6
Kerapatan Adat nagari (KAN) merupakan lembaga kerapatan ninik mamak tertinggi yang berada di nagari. Sekarang ini ada pendapat atau keinginan untuk menjadikan KAN sebagai lembaga peradilan di nagari. Hal ini bukanlah suatu persoalan baru, tetapi merupakan salah satu tugas pokok dan fungsi dari KAN itu sendiri. Kalau KAN diaktifkan funngsinya sebagai lembaga Peradilan di nagari peran dan fungsinya juga akan lebih baik lagi ditengah masyarakat. Pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan desa, bentuk pemerintahan terendah saat itu diseragamkan di Indonesia menjadi pemerintahan desa, sehingga Sumatera Barat juga ikut berpemerintahan desa, maka lahirlah Perda Nomor 13 Tahun 1983, bahwa keberadaan nagari terimple- mentasikan dalam KAN. Perda ini lahir adalah untuk menyelamatkan keberadaan nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Sumatera Barat (Minangkabau) tetap lestari. Pada saat itu ada pula himbauan dari ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Barat agar setiap penyelesaian masalah sengketa adat, tanah ulayat dan sebagainya yang berhubungan dengan adat istiadat Minangkabau di Sumatera Barat seharusnya diselesaikan oleh KAN terlebih dahulu sebelum dibawa ke pengadilan negeri. Namun imbauan ini kurang diperhatikan oleh masyarakat nagari sehingga imbauan ini juga tidak berjalan sebagaimana mestinya yang berakibat kepada lemahnya fungsi KAN dan ninik mamak di Minangkabau, entah apa dan siapa yang salah kita juga tidak tahu. Akhirnya sampailah kita kembali ke sistem pemerintahan nagari berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Perda Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pokok-pokok Pemerintahan nagari serta Perda Nomor 2 Tahun 2007. Perda Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari mengatakan “Kerapatan Adat Nagari yang selanjutnya disebut KAN adalah Lembaga Kerapatan dari ninik mamak yang telah ada

Kerapatan Adat nagari

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ff

Citation preview

Page 1: Kerapatan Adat nagari

Kerapatan Adat nagari  (KAN) merupakan lembaga kerapatan ninik mamak tertinggi yang berada di nagari. Sekarang ini ada pendapat atau keinginan untuk menjadikan KAN sebagai lembaga peradilan  di nagari. Hal ini bukanlah suatu persoalan baru, tetapi merupakan salah satu tugas pokok dan fungsi dari KAN itu sendiri. Kalau KAN diaktifkan funngsinya sebagai lembaga Peradilan di nagari peran dan fungsinya juga akan lebih baik lagi ditengah masyarakat.

Pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan desa, bentuk pemerintahan terendah saat itu diseragamkan di Indonesia menjadi pemerintahan desa, sehingga Sumatera Barat juga ikut berpemerintahan desa, maka lahirlah Perda Nomor 13 Tahun 1983, bahwa  keberadaan nagari terimplementasikan dalam KAN. Perda ini lahir adalah untuk menyelamatkan keberadaan nagari  sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Sumatera Barat (Minangkabau) tetap lestari.

Pada saat itu ada pula himbauan dari ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Barat agar setiap penye-lesaian masalah sengketa adat, tanah ulayat dan sebagainya yang berhubungan dengan adat istiadat Minangkabau di Sumatera Barat seharusnya diselesaikan oleh KAN terlebih dahulu sebelum dibawa ke pengadilan negeri.

Namun imbauan ini kurang diperhatikan oleh masyarakat nagari sehingga imbauan ini juga tidak berjalan sebagaimana mestinya yang berakibat kepada lemahnya fungsi KAN dan ninik mamak di Minangkabau, entah apa dan siapa yang salah kita juga tidak tahu. Akhirnya sampailah kita kembali ke sistem pemerintahan nagari  berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo Undang-Undang  Nomor 32 Tahun 2004 dan Perda Nomor 9 Tahun 2000  tentang Pokok-pokok Pemerintahan nagari serta Perda Nomor 2 Tahun 2007.

Perda Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari mengatakan “Kerapatan Adat Nagari yang selanjutnya disebut KAN adalah Lembaga Kerapatan dari ninik mamak yang telah ada diwariskan secara turun temurun sepanjang adat dan berfungsi memelihara kelestarian adat serta menyelesaikan perselisihan sako jo pusako”.

Kalimat “menyelesaikan perselisihan sako jo pusako” apabila dicermati maknanya adalah sebagai fungsi  mengadili, dengan adanya tugas dan fungsi mengadili, maka KAN jauh sebelumnya sudah merupakan sebagai lembaga peradilan di nagari, sekalipun hanya sebatas masalah sako jo pusako dan adat istiadat. Sako jo pusako ini bisa berbentuk fisik (material) seperti ulayat dan gelar adat, pusako bersifat material adalah ganggam ba auntuak yang jelas wujudnya dan dapat dilihat dengan kasat mata, sedangkan sako  berbentuk abstrak seperti gelar penghulu/gelar adat dari suatu kaum di Minangkabau.

Permasalahan  atau sengketa seperti di atas dalam kehidupan bermasyarakat di nagari dahulunya sering terjadi, lembaga mediasi sebagai tempat menyelesaikannya adalah di KAN. Pada saat itu KAN tidak hanya menyelesaikan masalah perdata adat saja  tetapi juga perkara pidana yang bersifat ringan, seperti perkelahian, pencurian, pencurian ayam bagi muda mudi, dan sebagainya.

Page 2: Kerapatan Adat nagari

Di samping itu yang lebih berkembang dalam menyelesaikan sengketa atau perkara zaman dahulu adalah lebih mengedepankan kearifan lokal yaitu budaya malu di tengah masyarakat. Apabila seorang warga melakukan kesalahan seperti pencurian yang malu tidak si pencuri itu saja, tetapi seluruh sanak familinya juga turut menanggung malu, apalagi kalau ada peristiwa perzinaan. Hal ini merupakan aib yang luar biasa dan peristiwa yang tidak dapat di maafkan, bahkan yang bersangkutan dapat dibuang sepanjang adat  dan harus keluar dari nagari tersebut.

Bagi anak nagari yang berkelahi yang mengakibatkan luka, cukup diselesaikan oleh para ninik  mamak kedua belah pihak, apabila ada yang luka diobati, ada yang rugi berupa materi diganti, pepatah Minang mengatakan “kok sakik disilau, kok luko diubek, kok hilang dicari, kok hanyuik dipinteh kok mati dijanguak.” Ninik mamak tidak jadi provokator yang saling memanasi masing-masing anak kemenakannya, karena pada saat itu rasa kekeluargaan masih sangat tinggi sekali.

Jika ada persoalan ulayat yang sangat rumit dan persoalan yang sangat pelik dan membutuhkan tambo dan silsilah yang tidak dapat diselesaikan lagi oleh ninik mamak kedua belah pihak  baru di bawa ke peradilan nagari yaitu di KAN. Kalau masih tidak bisa diterima oleh salah satu pihak  yang berperkara maka baru dilanjutkan ke pengadilan negeri. Keputusan KAN itulah yang dijadikan sebagai dasar untuk mengadili perkara sako jo pusako atau tanah ulayat oleh pengadilan negeri.

Pada masa sekarang persoalan/sengketa seperti itu tetap ada dan bahkan selalu berulang-ulang atau itu ke itu saja persoalan yang terjadi di nagari (masalah ulayat, sako jo pusako, gala mamak kaum dan sebagainya), tetapi penyelesaiannya pada saat sekarang ini jarang sekali diselesaikan di KAN, tetapi sudah langsung saja ke pengadilan negeri, seperti dikatakan Ketua LKAAM Kota Padang Zainuddin Dt. Rajo Lenggang. Biasanya bila terjadi persengketaan sako jo pusako dan tanah ulayat di masyarakat mereka langsung menyelesaikannnya ke pengadilan negeri. Padahal sebelum dibawa ke pengadilan negeri alangkah baiknya diselesaikan di tingkat nagari melalui KAN.

Kenapa fungsi peradilan yang ada pada KAN tersebut tidak diaktifkan kembali di masa sekarang, pada hal fungsi itu merupakan termasuk tugas dan wewenangnya. Ini adalah suatu pertanyaaan dan tantangan ke depan bagi anak nagari untuk menyelamatkan nilai-nilai adat istiadat atau kearifan lokal yang pernah kita (Minangkabau) miliki dalam menyelesaikan apapun bentuk konflik yang ada di tengah masyarakat nagari (Minangkabau) zaman dulu.

Apabila  fungsi mengadili ini diaktifkan lagi maka peran KAN  akan lebih baik lagi, sehingga suatu persoalan/sengketa sako jo pusako dan tanah ulayat akan diselesaikan ditingkat KAN, dan pihak yang bersengketa/berperkara juga tidak akan banyak menghabiskan uang dan waktu untuk biaya dan mengurus perkaranya, dan apabila pihak yang berperkara merasa tidak puas terhadap keputusan KAN maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke pengadilan negeri.

Selesaikan di Tingkat Nagari

Page 3: Kerapatan Adat nagari

Biasanya  di KAN akan diusulkan untuk berdamai bagi yang berperkara, hal yang sama  juga seperti yang akan dilakukan di Pengadilan Negeri. Dimana kepada pihak yang berperkara selalu dianjurkan atau ditawarkan untuk berdamai.

Adanya wacana atau keinginan untuk menjadikan KAN sebagai lembaga peradilan di nagari. Hal ini ibarat siriah kambali ka gagangnyo, ibarat pinang kambali ka tampuaknyo atau jangguik pulang ka daguak dan bahkan KAN juga akan diberikan kewenangan pula untuk mengadili perkara tindak pidana ringan (tipiring).

Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat mengatakan, bahwa  sekarang sudah ada KAN di beberapa nagari untuk menyelesaikan masalah tipiring di KAN saja, seperti terjadinya perkelahian antara anak nagari di nagarinya. Bahkan sekarang ini sudah ada beberapa nagari yang bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk masalah tipiring ini agar diselesaikan di KAN saja di nagarinya. LKAAM Sumatera Barat juga sudah ada pem-bicaraan dengan Polda Sumbar yang akan membuat MoU tentang penyelesaian perkara Tipiring dengan KAN.

Jika ada di suatu nagari terjadi perkelahian dan mungkin ada yang luka ringan, persoalan ini   tidak perlu diselesaikan oleh pihak kepolisian, cukup diselesaikan secara kekeluargaan saja oleh mamak kaum masing-masing, dan para mamak ini sama-sama menasehati kemenakannya dan mengganti biaya pengobatan kalau yang bersangkutan mengalami luka atau lembam. Bahkan untuk perdamaiannya diadakan saling mengunjungi ke rumah masing-masing orang yang berkelahi tersebut.

Jadi pada saat sekarang  jangan sedikit-sedikit lapor polisi, sehingga prosesnya memakan waktu yang cukup lama dan membutuhkan biaya, karena berulang-ulang akan menanyakan terus ke kantor polisi tentang kasus yang dilaporkan tersebut, apalagi kalau memang sampai ke Pengadilan Negeri, sudah pasti akan menyita waktu dan biaya lagi yang pada akhirnya tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang, ada anekdok ditengah masyarakat “ yang satu jadi abu dan satu lagi jadi asap.”

Apabila KAN memang akan difungsikan sebagai Pengadilan di nagari, maka sudah barang tentu harus dilakukan pembenahan-pembenahan diantaranya adalah, Pertama minik mamak/penghulu sebagai pengurus KAN harus orang-orang yang mempunyai banyak sedikit pengetahuan tentang Hukum adat dan hukum pidana serta hukum perdata, karena yang bersangkutan juga akan men-jadi hakim Peradilan di nagari.

Kedua ninik mamak karena akan menjadi Hakim Peradilan nagari haruslah seorang yang mempuayai integritas yang teruji dan juga  moral yang tidak tercela, artinya yang akan menjadi ninik mamak atau penghulu di kaumnya juga akan ada persyaratan-persyaratan tertentu, sebab apabila ninik mamak/penghulu kaum itu terpilih menjadi pengurus KAN mungkin juga akan menjadi hakim di Peradilan nagari.

Page 4: Kerapatan Adat nagari

Ketiga kelembagaan/keorganisasian KAN harus ditata kembali (reorganisasi KAN) dan harus ada suatu bidang atau seksi khusus masalah peradilan dengan tupoksi yang jelas pula.

Empat, keuangan KAN juga harus jelas anggaran dan pendapatannya dan dikelola dengan manajemen keuangan yang transparan.

Kelima tata kelola adminstrasi juga harus diciptakan dengan baik, karena adanya bagian peradilan dan harus ada pula orang yang menerima pengaduan serta jadwal persidangan yang jelas, putusan perkara harus diarsipkan dan diberi nomor administrasi yang jelas pula.

Keenam adanya pengakuan dari Pemerintah atau instansi terkait tentang kewenangan,  tugas dan fungsi KAN sebagai peradilan nagari seperti adanya Fatwa Mahkamah Agung. Hal ini penting sehingga keberadaan keputusan KAN juga akan diakui dan dapat dijadikan sebagai dasar bagai pihak pengadilan negeri dalam mengadili/memproses suatu perkara, khususnya terhadap perkara perdata adat, seperti yang ada di Aceh dapat diakui keberadaan hukum cambuk bagi orang yang melanggar hukum Islam (khanun).

Ketujuh peran pemerintah provinsi, kabupaten, kota untuk memberikan supervisi tentang pengembangan organisasi dan adminstrasi keuangan. Sedangkan kepada instansi terkait dapat pula memberikan supervsi yang berhubungan dengan pengurus KAN dalam menangani perkara yang khususnya bersifat pidana, mungkin dalam bentuk pelatihan-pelatihan, Bimbingan Teknis, Seminar, loka karya dan sarasehan dan sebagainya.

Apabila hal ini terwujud maka anak nagari yang akan diangkat menjadi ninik mamak/penghulu dalam kaumnya akan lebih meningkatkan kemampuannya, karena yang bersangkutan akan menjadi pengurus KAN dan mungkin juga akan menjadi hakim peradilan nagari. Kalau ke-mampuan tidak ditingkatkan akan terseleksi secara alami. Di samping itu wibawa dan aktivitas  lembaga KAN semakin tinggi karena KAN juga melaksanakan fungsi peradilan di nagari serta keputusan KAN akan dapat dijadikan sebagai pedoman bagi hakim dalam memproses/mengadili perkara perdata adat di pengadilan negeri