40
Penulis BAB I PENDAHULUAN Permasalahan terkait kesehatan mata di Indonesia cukup banyak karena mata merupakan salah satu indera penting dari lima macam panca indera. Permasalahan tersebut dimulai dari kelainan kongenital pada mata, infeksi/peradangan pada mata hingga tingginya angka kebutaan di Indonesia. Salah satu bagian mata yang cukup berperan penting adalah kornea. Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang merupakan bagian dari media refraksi, kornea juga berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Akibat kornea inilah maka sinar dapat diteruskan atau dibiaskan ke dalam bola mata karena kornea merupakan komponen utama sistem optik mata dimana 70 % pembiasan sinar terjadi di kornea. Keratitis atau peradangan pada kornea adalah permasalahan mata yang cukup sering dijumpai mengingat lapisan kornea merupakan lapisan yang berhubungan langsung dengan lingkungan luar sehingga rentan terjadinya trauma ataupun infeksi. Hampir seluruh kasus keratitis akan mengganggu kemampuan penglihatan 1

Keratitis Laudia-5 Baru

Embed Size (px)

DESCRIPTION

keratitis

Citation preview

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

Permasalahan terkait kesehatan mata di Indonesia cukup banyak karena mata merupakan salah satu indera penting dari lima macam panca indera. Permasalahan tersebut dimulai dari kelainan kongenital pada mata, infeksi/peradangan pada mata hingga tingginya angka kebutaan di Indonesia. Salah satu bagian mata yang cukup berperan penting adalah kornea.

Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang merupakan bagian dari media refraksi, kornea juga berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Akibat kornea inilah maka sinar dapat diteruskan atau dibiaskan ke dalam bola mata karena kornea merupakan komponen utama sistem optik mata dimana 70 % pembiasan sinar terjadi di kornea.

Keratitis atau peradangan pada kornea adalah permasalahan mata yang cukup sering dijumpai mengingat lapisan kornea merupakan lapisan yang berhubungan langsung dengan lingkungan luar sehingga rentan terjadinya trauma ataupun infeksi. Hampir seluruh kasus keratitis akan mengganggu kemampuan penglihatan seseorang yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup seseorang.

Oleh karena itu penting sebagai dokter umum untuk dapat mengenali dan menanggulangi kasus keratitis (sejauh kemampuan dokter umum) yang terjadi di masyarakat baik sebagai dokter keluarga ataupun dokter yang bekerja di strata pelayanan primer. Dan pada kesempatan ini pula, penulis membuat pembahasan kasus ini mengenai keratitis khususnya yang disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

KORNEA

2.1 Anatomi Kornea

Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme pada sistem optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva.

Gambar 2.1. Lapisan Kornea

Kornea dalam bahasa latin cornum artinya seperti tanduk, merupakan selaput bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan lapis dari jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :

1. Epitel

Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di sampingnya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Sedangkan epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya regenerasi.

2. Membran bowman

Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya generasi.

3. Stroma

Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan lebar sekitar 1 m yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh diameter kornea, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serta kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama, dan kadang sampai 15 bulan.

4. Membran Descemet

Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak amorf pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur hidup dan mempunyai tebal + 40 mm.

5. Endotel

Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal, tebal antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel dari kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea.

2.2 Perdarahan dan Persarafan

Kornea mendapat nutrisi dari pembuluh-pembuluh darah limbus, humor aqueous, dan air mata. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama (ophthalmichus) dan nervus kranialis trigeminus. Saraf trigeminus ini memberikan sensitivitas tinggi terhadap nyeri bila kornea disentuh.

2.3 Fisiologi Kornea

Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada epitel. Kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan pada lapisan air mata tersebut. Hal ini mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.

Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus.

Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran Bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur (Biswell, 2010).

2.4 Kelainan Kornea

Adapun faktor-faktor yang sering menyebabkan kelainan pada kornea adalah:

1. Dry eye

Kelainan ini muncul ketika lapisan air mata mengalami defisiensi sehingga tidak dapat memenuhi batas-batas kecukupan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, yang kemudian diikuti dengan keluhan subjektif. Kekurangan cairan lubrikasi fisiologis merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi mikroba pada mata.

2. Defisiensi vitamin A

Kelainan kornea oleh karena defisiensi vitamin A dapat menyebabkan kekeringan yang menggambarkan bercak Bitot yang warnanya seperti mutiara yang berbentuk segitiga dengan pangkal di daerah limbus. Bercak Bitot seperti ada busa di atasnya. Bercak ini tidak dibasahi oleh air mata dan akan terbentuk kembali bila dilakukan debridement. Terdapat dugaan bahwa bentuk busa ini merupakan akibat kuman Corynebacterium xerosis. Hipovitamin A ini juga dapat menyebabkan keratomalasia dan tukak kornea dimana akan terlihat kornea nekrosis dengan vaskularisasi ke dalamnya.

3. Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea

Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea yang terjadi adalah mikrokornea dan megalokornea.

Mikrokornea adalah suatu kondisi yang tidak diketahui penyebabnya, bisa berhubungan dengan gangguan pertumbuhan kornea fetal pada bulan ke-5. Selain itu bisa juga berhubungan dengan pertumbuhan yang berlebihan dari puncak anterior optic cup yang meninggalkan sedikit ruang bagi kornea untuk berkembang. Mikrokornea bisa berhubungan dengan autosomal dominan atau resesif dengan prediksi seks yang sama, walaupun transmisi dominan lebih sering ditemukan.

Megalokornea adalah suatu pembesaran segmen anterior bola mata. Penyebabnya bisa berhubungan dengan kegagalan optic cup untuk tumbuh dan anterior tip menutup yang meninggalkan ruangan besar bagi kornea untuk untuk diisi.

4. Distrofi kornea

Deposit abnormal yang disertai oleh perubahan arsitektur kornea, bilateral simetrik dan herediter, tanpa sebab yang diketahui. Proses dimulai pada usia bayi 1-2 tahun dapat menetap atau berkembang lambat dan bermanisfestasi pada usia 10-20 tahun. Pada kelainan ini tajam penglihatan biasanya terganggu dan dapat disertai dengan erosi kornea.

5. Trauma kornea

Trauma kornea bisa disebabkan oleh trauma tumpul, luka penetrasi atau perforasi benda asing. Kemungkinan kontaminasi jamur atau bakteri harus diingat dengan kultur untuk bakteri dan jamur diambil pada saat pemeriksaan pertama jika memungkinkan.

Trauma tumpul kornea dapat menimbulkan aberasi, edema, robeknya membran Descemet dan laserasi korneoskleral di limbus.

Trauma penetrasi merupakan keadaan yang gawat untuk bola mata karena pada keadaan ini kuman akan mudah masuk ke dalam bola mata selain dapat mengakibatkan kerusakan susunan anatomik dan fungsional jaringan intraokular.

Perforasi benda asing yang terdapat pada kornea dapat menimbulkan gejala berupa rasa pedas dan sakit pada mata. Keluhan ini mungkin terjadi akibat sudah terdapatnya keratitis atau tukak pada mata tersebut.

2.5 Keratitis

2.5.1. Definisi

Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang gambaran infiltrat berbentuk bercak-bercak halus yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapis kornea yang terkena seperti keratitis superficial dan profunda, atau berdasarkan penyebabnya yaitu keratitis karena berkurangnya sekresi air mata, keratitis karena keracunan obat, keratitis reaksi alergi, infeksi, reaksi kekebalan, reaksi terhadap konjungtivitis menahun.

2.5.2. Etiolgi

Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya:

1. Virus. Seperti virus herpes simpleks dan Virus herpes zoster.

2. Bakteri. Seperti bakteri Staphylococcus, Streptococcus, Pseudomonas, dan Pseudococcus.

3. Jamur. Seperti Candida dan Aspergillus.

4. Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari.

5. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak.

6. Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak cukupnya pembentukan air mata.

7. Adanya benda asing di mata.

8. Reaksi terhadap obat seperti neomisin, tobramisin, polusi, atau partikel udara seperti debu, serbuk sari.

2.5.3. Klasifikasi

Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal.

1. Berdasarkan lapisan kornea yang terkena

1.1. Keratitis Superfisialis, yaitu bila mengenai lapisan epitel atau Bowman.

A. Keratitis Pungtata Superfisialis

a. Definisi

Berupa bintik-bintik putih pada permukaan kornea yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit infeksi virus antara lain virus herpes simpleks, herpes zoster, dan vaksinia.

Gambar 2.2. Keratitis punctata superfisialis

b. Etiologi

Belum ditemukan organisme penyebabnya, namun dicurigai virus. Pada satu kasus berhasil diisolasi virus varicella-zoster dari kerokan kornea. Penyebab lainnya dapat terjadi pada moluskulum kontangiosum, acne roasea, blefaritis, keratitis neuroparalitik, trachoma, trauma radiasi, lagoftalmos, keracunan obat seperti neomisin, tobramisin dan bahan pengawet lainnya.

c. Manifestasi klinis

Pasien mengeluh sakit, silau, mata merah dan rasa kelilipan. Lesi punctata pada kornea dapat dimana saja, tapi biasanya pada daerah sentral. Daerah lesi biasanya meninggi dan berisi titik-titik halus berwarna abu-abu jika di tes flouresin akan memberikan hasil (+) berwarna hijau saat disinari dengan lampu biru.

d. Terapi

Pasien diberi air mata buatan, tobramisin (antibiotik) tetes mata, dan Midriatikum dan sikloplegik.

B. Keratitis Flikten

a. Definisi

Benjolan berwarna putih kekuningan berdiameter 2-3 mm pada limbus, dapat berjumlah 1 atau lebih. Pada flikten terjadi penimbunan sel limfoid, dan ditemukan sel eosinofil serta mempunyai kecenderungan untuk menyerang kornea. Pada kasus rekuren penyakit ini timbul pada anak-anak yang mengalami kurang gizi dan menderita TBC sistemik.

b. Manifestasi Klinik

Terdapat hifema konjungtiva, dan memberi kesan kurangnya air mata (dry eyes syndrome). Secara subyektif, terdapat benjolan putih kemerahan di pinggiran mata yang hitam. Apabila jaringan kornea terkena, maka mata berair, silau dan dapt disertai rasa sakit dan penglihatan kabur. Secara obyektif, terdapat benjolan putih kekuningan pada daerah limbus yang dikelilingi daerah konjungtiva yang hiperemik. Gambaran yang khas adalah terbentuknya papula atau pustula pada kornea dan konjungtiva karena penyakit ini biasanya disebut kerato-konjungtivitis flikten.

c. Terapi

Terapi dapat dengan tetes mata steroid akan memberikan hasil yang memuaskan. Steroid oral tidak dianjurkan apalagi bila terdapat penyakit TBC yang mendasari.

C. Keratitis Sika

a. Definisi

Keratitis Sika adalah keratitis yang pada dasarnya diakibatkan oleh kurangnya sekresi kelenjar lakrimal dan atau sel goblet, yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan : Defisiensi kelenjar air mata, Defisiensi komponen lemak dari air mata, Defisiensi komponen musin, Penguapan air mata yang berlebihan ,akibat parut pada kornea atau rusaknya mikrovili kornea misalnya pasca trauma kimia.

b. Manifestasi klinik

Secara subyektif : bila belum ada kerusakan kornea maka keluhan penderita adalah mata ngeres, pedih, kering dan rasa seperti ada pasir (ngeres), keluhan-keluhan yang lazim disebut sindrom dry eye. Apabila terjadi kerusakan kornea keluhan-keluhan ditambah dengan silau, sakit, berair dan kabur.

Secara obyektif : pada tingkat dry-eye, kejernihan permukaan konjungtiva dan kornea hilang, tes schirmer berkurang, tear film kornea mudah pecah, tear break up time berkurang, sukar menggerakkan kelopak mata.

c. Terapi

Apabila yang kurang adalah komponen air dari air mata, diberikan air mata tiruan (artificial tear), sedangkan bila komponen lemaknya yang berkurang maka diberikan lensa kontak.

D. Keratitis Lepra

a. Definisi

Keratitis lepra atau Morbus hansen atau penyakit lepra menyerang dan menimbulkan kerusakan pada kornea melalui 4 cara :

a. Gangguan trofik pada kornea yang disebabkan kerusakan syaraf oleh mikobakterium lepra.

b. Terjadinya ektropion dan lagoftalmus serta anestesi kornea sehingga menyebabkan exposure keratitis.

c. Pada daerah yang endemik, sering disertai adanya penyakit trakoma yang menyebabkan entropion dan trikiasis.

d. Apabila terjadi denervasi(hambatan) kelenjar lakrimal, akan menyebabkan dry eyes sindrome.

Perubahan yang terjadi akibat serangan mikobakterium lepra adalah membesar dan membengkaknya syaraf kornea disertai bintil-bintil dalam benang (bead on string).

b. Manifestasi klinik

Secara subyektif :

Biasanya penderita datang bukan karena keluhan keratitisnya melainkan oleh adanyapembengkakan yang kemerahan pada palpebra serta tanda-tanda lain pada bagian tubuh di luar mata.

Secara obyektif :

Terdapat keratitis avaskuler berupa lesi pungtata berwarna putih seperti kapur yang secara perlahan batasnya akan mengabur dan sekelilingnya menjadi seperti berkabut.

c. Diagnosis

Pembengkakan saraf kornea disertai bead on string adalah khas untuk keratitis lepra.

d. Terapi

Terdapat mikobakterium lepra diberikan dapsone dan rifampisin. Apabila terdapat deformitas pelpebra yang akan mengakibatkan kerusakan kornea dilakukan koreksi pembedahan.

E. Keratits Nummularis

a. Definisi

Keratitis nummularis adalah bentuk keratitis yang ditandai dengan infiltrat bundar (nummus=keping uang logam) berkelompok dan tepinya berbatas tegas. Keratitis ini berjalan lambat, sering kali unilateral dan pada umumnya didapatkan pada petani yang bekerja disawah. Nama lain dari keratitis nummularis adalah Keratitis Sawahica atau Keratitis Punctata Tropica.

b. Etiologi

Diduga virus

c. Manifestasi Klinik

Infiltrat multipel dan bundar yang terdapat di lapisan kornea bagian superfisial biasanya tidak menyebabkan ulserasi.

Secara subyektif : keluhan utama adalah silau (fotofobia).

Secara obyektif : mata yang terserang tampak merah karena injeksi siliar, disertai lakrimasi.

d. Terapi

Pemberian kortikosteroid lokal memberikan hasil yang baik yaitu hilangnya tanda-tanda radang dan lakrimasi tetapi penyerapam infiltrat terjadi dalam waktu yang lama, dapat 1 hingga 2 tahun.

1.2. Keratitis Profunda/Interstisialis, yaitu apabila mengenai lapisan stroma.

A. Keratitis Interstisial Luetik atau keratitis Sifilis Kongenital.

a. Definisi

Merupakan manifestasi lanjut (late manifestation) dari sifilis kongenital. Didapatkan pada anak berusia 5-15 tahun. Keratitis Interstisial Luetik adalah suatu reaksi imunologik terdapat treponema palidum karena kuman ini tidak dijumpai di kornea pada fase akut. Peradangan berupa edema, infiltrat limfosit, dan vaskularisasi pada stroma. Proses peradangan kornea ini dapat sembuh sendiri.

b. Manifestasi Klinik

Secara subyektif : keluhan sakit, silau, kabur pada fase akut

Secara obyektif : keratitis intertisial ini merupakan bagian dari trias hutcinson yaitu : keratitis intertisial, gangguan pendengaran sampai tuli dan kelainan pada gigi seri atas (Hutchinsons teeth).

Pada fase akut infiltrat stroma berupa bercak-bercak yang dapat mengenai seluruh kornea dan menyebabkan kekeruhan seperti kaca susu. Pembuluh darah dari a.siliaris anterior memasuki stroma pada seluruh kuadran dengan arah radial menuju kebagian sentral kornea yang keruh. Tepi kornea merah sedang dibagian tengahnya merah keabu-abuan, gambaran ini disebut bercak salmon.

Dalam beberapa minggu proses peradangan akan menjadi tenang, kornea berangsur-angsur menjadi bening kembali, pembuluh darah yang masuk ke dalam stroma menjadi kecil dan kosong (ghost-vessel). Gejala iritasi menghilang dan tajam penglihatan membaik.

c. Diagnosis

Berdasarkan adanya trias hutchinson ditambah kelainan-kelainan fisik lain seperti pangkal hidung yang mendatar (saddle nose), penonjolan os frontal (prominent frontal eminence). Reaksi serologis yang positif mendukung diagnosis.

B. Keratitis Sklerotikans.

a. Definisi

Merupakan suatu keadaan peradangan sklera dan kornea biasanya unilateral disertai dengan infiltrasi sel radang menahun pada bagian sklera dan kornea.

b. Manifestasi Klinis

Keratitis ini akan memberi gejala berupa kekeruhan kornea lokal berbentuk segitiga dengan puncak menuju ke arah kornea bagian sentral. Penderita mengeluh sakit atau nyeri, fotofobia tetapi tidak ada sekret. Secara objektif kekeruhan kornea terlokalisasi dan berbatas tegas, unilateral, kornea terlihat putih menyerupai sklera.

c. Terapi

Tidak ada pengobatan yang spesifik. Pemberian kortikosteroid dan antiradang non steroid ditujukan terhadap skleritisnya. Apabila terdapat iritis dapat diberikan atropin.

2. Berdasarkan penyebabnya

A. Keratitis Bakterial

Lebih dari 90% inflamasi kornea disebabkan oleh bakteri. Sejumlah bakteri yang dapat menginfeksi kornea yaitu Staphylococcus epidermis, Staphylococcus aureus, Streptococcus pnemoniae, koliformis, pseudomonas dan haemophilus. Kebanyakan bakteri tidak dapat menetrasi kornea sepanjang epitel kornea masih intak. Hanya bakteri gonococci dan difteri yang dapat menetrasi epitel korea yang intak.

Gejala gejalanya antara lain yaitu nyeri, fotofobia, visus lemah, lakrimasi dan sekret purulen. Sekret purulen khas untuk keratitis bakteri sedangkan keratitis virus mempunyak sekret yang berair.

Terapi konservatif pada keratitis bakteri adalah antibiotik topikal (ofloxacin dan polymixin) yang berspektrum luas untuk bakteri gram positif dan bakteri gram negative sampai hasil kultur pathogen dan resistensi diketahui. Bakteri dapat diterapi pertama kalinya dengan tetes mata ataupun salep. Terapi pembedahan berupa keratoplasti emergency dilakukan jika terdapat descematocel atau ulkus kornea yang perforasi.

B. Keratitis Viral

Keratitis Herpes Simpleks

Keratitis akibat infeksi herpes simpleks terdapat dalam berbagai bentuk seperti : keratitis pungtata superfilis, keratitis dendritic, keratitis profunda. Keratitis dendritic yang disebakan oleh virus akan memberikan gambaran spesifik berupa infiltrate pada kornea dengan bentuk seperti ranting pohon yang bercabang-cabang dengan memberikan uji fluorescein positif nyata pada tempat percabangan. Sensibilitas kornea nyata menurun diakibatkan karena ujung saraf ikut terkena infeksi virus herpes simpleks. Infeksi ini biasanya bersifat reinfeksi endogen. Infeksi primer berjalan tanpa gejala klinis atau sub klinis. Virus pada infeksi primer masuk melalui akson saraf menuju ganglion dan menetap menjadi laten. Bila penderita mengalamin penurunan daya tahan tubuh seperti demam maka akan terjadi rekurensi.

Bentuk keratitis virus herpes simpleks dibedakan berdasarkan lokasi lesi pada lapisan kornea. Keratitis dendritic mempunyai khas lesi epitel yang bercabang, sensitifitas kornea menurun dan dapat berkembang menjadi keratitis stromal. Keratitis stromal ini mempunyai epitel yang intak, pada pemerikasaan slitlamp menunjukkan infiltrate kornea disirformis sentral. Sedangkan keratitis endothelium terjadi karena virus herpes simpleks terdapat pada humor aquos yang menyebabkan pembengkakan sel endotel. Dan sindrom nekrosis retinal akut mengenai bola mata bagian posterior yang terlibat pada pasien imunokompromis (AIDS).

Pengobatan dapat diberikan virustatika seperti IDU trifluoritimidin dan asiklovir. Pemberian streroid pada penderita herpes sangat berbahaya, karena gejala akan sangat berkurang akan tetapi proses berjalan trus karena daya tahan tubuh yang berkurang.

Gambar 2.3. Infiltrat Dendritika

Keratitis Herpes Zoster

Keratitis herpes zoster merupakan manifestasi infeksi virus herpes zoster pada cabang pertama saraf trigeminus, termasuk puncak hidung dan demikian pula dengan kornea atau konjungtiva. Bila terjadi kelainan saraf trigeminus ini, maka akan memberikan keluhan pada daerah yang dipersarafinya dan pada herpes zoster akan terlihat vesikel pada kelopak mata dan infiltrat pada kornea. Pengobatan adalah simtomatik seperti pemberian analgetika, diberikan asiklovir dan pada usia lanjut dapat diberi steroid. Penyulit yang dapat terjadi pada herpes zoster oftalmik adalah uveitis, parese otot pergerakan mata, glaukoma dan neuritis optik. Pada mata dapat disertai dengan konjungtivitis, keratitis pungtata, neurotrofik keratitis, uveitis, skeritis, glaukoma dan neuritis.

C. Keratitis Jamur

Lebih jarang dibandingkan dengan keratitis bakterial. Dimulai dengan suatu trauma pada kornea oleh ranting pohon, daun dan bagian tumbuh-tumbuhan. Kebanyakan jamur disebabkan ole candida, fusarium, aspergillus, dan curvularia.

Keluhan baru timbul setelah 5 hari rudapaksa atau tiga minggu kemudian. Pasien akan mengeluhkan sakit mata yang hebat, berair dan silau. Pada mata akan terlihat infiltrat kelabu, disertai hipopion, peradangan, ulserasi superficial, dan satelit bila terletak di dalam sroma. Diberikan pengobatan sistemik ketokonazole (200-600mg/hari) dan siklopegik. Penyulit yang dapat terjadi adalah endoftalmitis.

3. Berdasarkan Bentuk Infiltratnya:

1. Punctata

: bentuk seperti bintik-bintik kecil yang menyebar.

2. Filamentous: bentuk seperti benang tipis.

3. Numularis

: bentuk seperti bentukan uang logam (coin lession).

4. Dendiritika

: bentuk seperti cabang-cabang pohon.

5. Disformik

: bentuk seperti cakram di dalam jaringan kornea.

2.5.4. Patofisiologi

Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan kornea,wandering celldan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea.

Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia, yang berat pada kebanyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun berair mata dan fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea, umumnya tidak ada tahi mata kecuali pada ulkus bakteri purulen.

Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau letaknya di pusat.

2.5.5. Gejala dan Tanda

Rasa Nyeri / Bila Penderita Terkena Rangsangan Cahaya (Photofobia).

Spasme Palpebra (Blepharospasme).

Air Mata Berlebihan (Epifora).

Mata merah (hiperemi) dari perikornea menghilang ke arah fornik

Penglihatan kabur

2.5.6. Diagnosis

Anamnesa :

Pasien datang dengan keluhan Epifora, blefarospasme, dan fotofobia.

Kadang disertai dengan penuran visus

Pemeriksaan fisik (mata dilihat dari luar) :

Hiperemi perikorneal(PCVI)

Kornea keruh atau terdapat bercak-bercak inflitrat dengan slit lamp.

Pemeriksaan penunjang

Tes Flouresin

Untuk mengetahui adanya kerusakan pada epitelkornea akibat erosi, keratitis epitelial, bila terjadi defek epitel kornea akan terlihat warna hijau pada defek tersebut

FL test positif: Keratitis Epithelial

FL test negatif: Keratitis Sub Epithelial

Tes Sensitibilitas

Untuk mengetahui keadaan sensibilitas kornea yang berkaitan dengan penyakit mata akibat kelainan saraf trigeminus oleh herpes zooster ataupun akibat gangguan ujung saraf sensibel kornea oleh infeksi herpes simpleks.

Positf

: Hampir semua keratitis

Negatif

: Keratitis Herpes Simpleks

2.5.7. Penatalaksanaan

Terapi Kausatif

Pemberian antibiotik, air mata buatan.

Pada keratitis bakterial diberikan gentamycin 15 mg/ml, tobramisin 15 mg/ml, sefuroksim 50 mg/ml. Untuk hari-hari pertama diberikan setiap 30 menit kemudian diturunkan menjadi 1 jam dan selanjutnya 2 jam bila keadaan mulai membaik. Ganti obatnya bila resisten atau keadaan tidak membaik.

Perlu diberikan siklopegik untuk mengurangi rasa nyeri akibat spasme siliar.

Pada terapi jamur sebaiknya diberikan ketokonazole 1 % yang berspektum luas.

Antivirus, anti inflamasi dan analgesik.

Terapi Suportif

Bebat mata yang berguna untuk mencegah infeksi sekunder, mengurangi rasa sakit, mempercepat penyembuhan.

Terapi Simptomatik

Kalau perlu Midriatikum untuk mengurangi spasme silier sehingga rasa nyeri berkurang

2.5.8. Komplikasi

Ulkus kornea karena pengobatan yang tidak adekuat, terjadi Descemetokel

Terapi :

Konjungtiva flap jika tidak di flap maka bola mata mengecil Pthisis Bulbi

Menambah nutrisi

UlkusKeratitisErosi

Nekrosis jaringan--

Infiltrat supuratifInfiltrat (+)Infiltrat (-)

Discontinuetas jaringan kornea-Discontinue dari permukaan

Defek kornea bergaungSel radang putihMengelupas saja, idak ada sel radang

Jika sembuh pasti sikatrik / bekasBisa sembuh semburna asal tidak ada komplikasi

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama

: Tn. N.

Umur

: 32 Tahun

Jenis Kelamin

: Laki-Laki

Pekerjaan

: Swasta

Alamat

: Samba Gunung RT/RW 3/1 Dukun

Tanggal Pemeriksaan: 18 Agustus 2014

3.2 Anamnesa

3.2.1 Keluhan Utama

Mata kanan merah

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Seorang laki-laki usia 32 tahun datang ke poli mata dengan keluhan mata kanan tiba-tiba merah sejak tiga hari yang lalu. Selain itu mata kanan terasa berair sejak tiga hari yang lalu, mata kanan juga terasa lebih kabur, terasa nyeri saat terkena cahaya. Pasien mengatakan mata kanan tidak mengeluarkan kotoran, tidak merasa cekot-cekot, tidak merasa kemeng, tidak terasa ngeres, tidak terasa mengganjal.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengatakan pernah sakit seperti ini 1 tahun yang lalu dibawa berobat ke dokter dan sembuh.

Pasien mengata tidak menderita DM dan Hipertensi

Pasien mengatakan tidak ada alergi

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengatakan di keluarganya tidak ada keluhan yang sama seperti yang pasien rasakan sekarang pada matanya.

3.2.5 Riwayat Pengobatan

Pasien mengatakan mengobati dengan menggunakan obat tetes insto, tetapi tidak ada perubahan dan tidak kunjung sembuh.

3.3.Pemeriksaan Fisik

3.3.1.Status Generalis

Keadaan Umum: Baik

Kesadaran

: Compos Mentis

GCS

: 4,5,6.

Mata KananPemeriksaanMata Kiri

6/8.5Visus6/7.5

-Koreksi-

Tidak dilakukanTonometri(TIO)Tidak dilakukan

Sentral, NormalKedudukanSentral, Normal

Ke segala arahPergerakanKe segala arah

Hiperemi (-)

Edema (-)

Blefarospasme (+)Palpebra superiorHiperemi (-)

Edema (-)

Blefarospasme (-)

Hiperemi (-)

Edema (-)Palpebra InferiorHiperemi (-)

Edema (-)

Hiperemi (-)Konjungtiva PalpebraHiperemi (-)

Hiperemi (-)

Sekret (-)Kunjungtiva BulbiHiperemi (-)

Sekret (-)

Hiperemi (-)Kunjungtiva FornikHiperemi (-)

Putih SkleraPutih

Terdapat gambaran infiltrat berupa butiran kecil berbentuk tidak jelas KorneaTidak terdapat gambaran infiltrat

Dalam, jernihBilik Mata DepanDalam, jernih

RegulerIrisReguler

Bulat, letak di pusat, Refleks cahaya (+)PupilBulat, letak di pusat, Refleks cahaya (+)

Tidak dilakukanLensaTidak dilakukan

Tidak dilakukanFunduskopiTidak dilakukan

(+)Refleks Fundus(+)

(+)Tes FlouresinTidak dilakukan

3.3.2.Status Lokalis

Mata Kanan(OD)

Mata Kiri(OS)

Flouresin test (+)

3.4.Resume

Seorang laki-laki usia 32 tahun datang ke poli mata dengan keluhan mata kanan tiba-tiba merah sejak tiga hari yang lalu. Selain itu mata kanan terasa berair sejak tiga hari yang lalu, mata kanan juga terasa lebih kabur, terasa nyeri saat terkena cahaya. Sebelumnya pasien mangatakan pernah sakit seperti ini satu tahun yang lalu, berobat ke dokter lalu sembuh. Keluarga pasien tidak ada yang sakit seperti ini.

Pemeriksaan fisik didapatkan pada mata kanan :

Visus: 6/8.5

Palpebra superior: Blefarospasme (+)

Kunjungtiva: PCVI(+)

Kornea: Terdapat bintik-bintik infiltrat dengan flouresin (+),

Terdapat gambaran infiltrat berupa butiran kecil berbentuk tidak jelas.

Pemeriksaan fisik didapatkan pada mata kiri :

Visus: 6/7.5

Palpebra superior: Blefarospasme (-)

Kunjungtiva: PCVI(-)

Kornea: Terdapat bintik-bintik infiltrat dengan flouresin (+),

Terdapat gambaran infiltrat berupa butiran kecil berbentuk tidak jelas.

3.5. Diagnosis Banding

Konjungtivitis

Glaukoma akut

Uveitis

3.6. Diagnosis

OD Keratitis Ephitelial

3.7. Planning

3.7.1. Terapi :

Kausatif

- Gentamycin

Suportif

Bebat mata

Simptomatis

Nyeri : Pantocain (waktu pasien diperiksa)

Beri Siklopegic untuk mengurangi nyeri dengan : Atropin 1%

3.7.2. Monitoring

Kontrol kembali ke poli mata setelah 3 hari pemberian obat.

3.7.3. Edukasi

Memberikan penjelasan kepada pasien tentang penyakitnya.

Menjelaskan kepada pasien terapi yang diberikan di sesuaikan berdasarkan keluhan dan hasil pemeriksaan yang ditemukan.

Pemakaian obat atau terapi harus sesuai ajuran dokter agar penyakit bisa di obati dan tidak menjadi tambah parah.

Untuk beberapa hari pasien diberikan ajuran untuk tidak mengucek-ngecek mata.

Selalu menjaga kebersihan dan kesehatan mata pasien.

Lakukan pengontrolan kembali sesuai jadwal kontrol yang ditentukan dokter agar dapat mengetahui penyakit pasien sudah membaik atau tidak.

DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, Sidarta.2011. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Keempat. FKUI;Jakarta.

Lab/UPF Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.2006.Pedomam Diagnose Dan Terapi Rumah Sakit Daerah Dr.Soetomo;Surabaya.

Sidohutomo, Armanto. Kuswandari, Yulianti. (2012). Buku Ajar Ilmu Penyakit Mata FK UWK Surabaya. Surabaya : FK UWKS

2