Upload
khrisna-rangga-permana
View
146
Download
35
Embed Size (px)
DESCRIPTION
zxzxz
Citation preview
KASUS PANJANG
KERATOKONJUNGTIVITIS
Oleh:
Oleh :Riandiani Dwi H. 0810713036Khuswatun Hasanah 105070107111023Cahyani Permata 105070107111027
Pembimbing:dr. Rosy Aldina, Sp.M (K)
LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MATAFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM dr. SAIFUL ANWARMALANG
2015
BAB 1PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangKeratokonjungtivitis adalah istilah yang digunakan dalam lingkup
peradangan pada mata yang mengenai kornea dan konjungtiva secara
bersamaan. Kelainan konjungtiva dan kornea sering menjadi penyebab timbulnya
penyakit mata. Permukaan mata secara regular terpajan lingkungan luar dan
mudah mengalami trauma, infeksi, dan reaksi alergi yang merupakan sebagian
besar penyakit pada jaringan ini (Klasco, 2011).
Keratokonjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai faktor dan seringkali
mengalami kekambuhan. Ada beberapa istilah yang sering digunakan dalam
keratokonjungtivitis yaitu Vernal Keratokonjunctivitis (VKC) yang digunakan pada
keadaan keratokonjungtivitis yang terjadi di musim semi, dan biasanya
disebabkan oleh alergen; Atopic keratokonjunctivitis (AKC) yang merupakan
sebuah manifestasi dari atopi; Epidemi keratokonjunctivitis (EKC) yang
disebabkan oleh infeksi adenovirus; keratokonjungtivitis sicca yang diduga
disebabkan oleh kekeringan; dan keratokonjungtivitis limbus superior yang
diduga disebabkan oleh trauma mekanik (Ilyas dan Yulianti, 2011).
VKC adalah keratokonjungtivitis yang biasanya mengenai 2 mata (bilateral),
kronis, inflamasi mata bagian luar, dan seringkali terjadi pada pasien dengan usia
dekade pertama dan kedua kehidupan. VKC jarang terjadi pada daerah dengan
iklim sedang, namun pada beberapa area di Afrika, Amerika Latin, dan Asia, VKC
merupakan alasan terbanyak pasien datang berobat dengan kalkulasi sebanyak
3-6% pada tingkat berbagai usia, meningkat sebesar 33-90% pada anak-anak
dan dewasa muda. Prevalensi VKC pada anak-anak di Afrika adalah sebesar 4-
5%. Di Eropa dan Asia, VKC lebih banyak mengenai anak laki-laki dibanding
anak perempuan, sedangkan distribusi berdasarkan kelamin tersebut tidak
berlaku di Afrika (Smedt dkk., 2013).
AKC merupakan suatu penyakit inflamasi kronis pada kedua mata
(bilateral) yang seringkali mengenai usia remaja akhir dan dekade kelima
kehidupan. AKC merupakan manifestasi keterlibatan inflamasi pada mata disertai
1
dengan atopi berupa dermatitis atopik (95%), asma (87%), dan ekzema.
Prevalensi AKC adalah sebesar <1-8% pada populasi dewasa dan terjadi lebih
banyak pada laki-laki daripada perempuan (Strohbehn dkk., 2013; Vichyanond
dkk., 2014).
EKC merupakan bentuk keratokonjungtivitis yang paling berat. Selama
kurun waktu 2008-2010, di Amerika terdapat kejadian luar biasa (KLB) EKC pada
4 area yaitu Florida, Illinois, Minnesota, dan New Jersey dengan total sebanyak 6
kasus berhubungan dengan infeksi adenovirus. Pada kejadian tersebut terjadi
transmisi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan melalui pemeriksaan
oftalmologi, selain dari transmisi komunitas (MMWR, 2013).
Keratokonjunctivitis sicca (KCS) atau yang lebih sering disebut dengan Dry
Eye Syndrome (DES) adalah suatu keadaan mata kompleks yang menurunkan
kenyamanan dan fungsi dalam melihat. Prevalensi DES di Amerika adalah 10%
pada usia < 60 tahun yang mana tidak termasuk pengguna lensa kontak. DES
lebih banyak mengenai perempuan daripada laki-laki, terutama pada perempuan
yang telah mengalami menopause. Pada sebuah studi oleh The Beaver Dam
didapatkan bahwa insiden DES adalah sebesar 21,6% pada populasi dengan
rentang usia 43-86 tahun (McGinnigle dkk., 2012).
Insidensi keratokonjungtivitis relatif kecil yaitu sekitar 0,1%-0,5% dari
seluruh pasien yang berobat dengan masalah mata dan hanya 2% dari seluruh
pasien yang diperiksa di klinik mata. Adapun hal yang perlu mendapatkan
perhatian lebih adalah mengenai penatalaksanaan kasus ini agar dapat
mengalami penyembuhan maksimal dan mencegah terjadinya rekurensi ataupun
komplikasi yang dapat mengurangi kualitas hidup.
1.2 Rumusan Masalaha. Apa definisi dari keratokonjungtivitis?
b. Bagaimana cara mendiagnosis keratokonjungtivitis?
c. Bagaimana penatalaksanaan keratokonjungtivitis?
2
1.3 Tujuana. Memahami definisi dari keratokonjungtivitis?
b. Memahami cara mendiagnosis keratokonjungtivitis?
c. Memahami penatalaksanaan keratokonjungtivitis?
3
BAB 2TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konjungtiva2.1.1 Anatomi dan Fisiologi
Konjungtiva adalah membran mukosa tipis dan transparan yang melapisi
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan
anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva palpebralis melapisi
permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior
dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan
inferior) dan membungkus jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris.
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan melipat
berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan
memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Adapun duktus kelenjar
lakrimalis bermuara ke forniks temporal superior. Struktur konjungtiva forniks
sama dengan konjungtiva palpebra, namun hubungan dengan jaringan di
bawahnya lebih lemah dan membentuk lekukan-lekukan. Selain itu, konjungtiva
forniks juga mengandung banyak pembuluh darah. Oleh karena itu, udem akan
mudah terjadi di tempat ini apabila terdapat peradangan mata.
Gambar 2.1 Anatomi Konjungtiva
4
Secara histologis, lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima
lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel
konjungtiva di dekat limbus, di atas kurunkula, dan di dekat persambungan
mukokutan pada tepi kelopak mata yang terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-
sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi
mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi
lapisan air mata secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel basal
berwarna lebih pekat daripada sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat
mengandung pigmen (Vaughan, 2010).
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan
satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid
dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa
sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi
berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada
neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi
folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari Jaringan penyambung yang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang
konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar air mata
asesori (kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar
lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar Krause berada di
forniks atas dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi
atas tarsus atas (Vaughan, 2010).
2.1.2 Vaskularisasi dan PersarafanArteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan
banyak vena konjungtiva membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat
banyak. Konjungtiva juga menerima persarafan dari percabangan pertama
nervus V dengan serabut nyeri yang relatif sedikit (Vaughan, 2010; Tortora,
2009).
5
2.2 Kornea2.2.1 Anatomi dan Fisiologi
Kornea adalah jaringan transparan yang merupakan selaput bening mata
yang tembus cahaya dan melapisi bagian luar bola mata. Apabila terjadi udem,
maka kornea berfungsi sebagai prisma yang dapat menguraikan sinar yang
masuk ke dalam mata, sehingga pasien akan melihat halo. Kornea merupakan
lensa cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Adapun batas
antara sklera dan kornea disebut limbus kornea. Secara histologis, kornea terdiri
dari 5 lapisan yaitu lapisan epitel (yang bersambung dengan epitel konjungtiva
bulbaris), membran Bowman, stroma, membran Descement dan endotel (Ilyas
dan Yulianti, 2011; Kanski, 2015).
a. Epitel
Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel
basal sering terlihat mitosis sel, sel muda terdorong kedepan menjadi lapisan
sel poligonal dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng. Sel basal
berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel poligonal didepannya
melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran
air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan
membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan
menghasilkan erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
b. Membran Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
c. Stroma
Stroma membentuk 90% ketebalan kornea. Stroma terdiri atas lamel yang
merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan yang lainnya. Pada
permukaan terlihat anyaman yang teratur, sedang di bagian perifer serat
kolagen ini bercabang. Terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
± 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan
fibroblas yang terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
6
membentuk bahan dasar serat kolagen dalam perkembangan embrio atau
sesudah trauma.
d. Membran Descement
Merupakan membran aseluler dan merupakan batas belakang stroma kornea
yang bersifat sangat elastis dan tebalnya sekitar 40 μm.
e. Endotel
Berasal dari mesotelium, bentuk heksagonal, besar 20-40 μm. Endotel
melekat pada membran descement melalui hemidoson dan zonula okluden.
Sel endotel mempertahankan deturgensi kornea dengan memompa
kelebihan cairan dari stroma. Pada densitas 500 sel/mm2, terjadi edema dan
transparansi kornea.
Gambar 2.2 Anatomi Mata
Gambar 2.3 Lapisan Kornea
7
2.2.2 Vaskularisasi dan PersarafanKornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik, terutama berasal dari
saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran bowman
melepaskan selubung schwannya. Bulbus krause untuk sensasi dingin
ditemukan di antaranya. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah
limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-
pembuluh darah limbus, humour aquos dan air mata. Kornea superfisial juga
mendapat oksigen sebagian besar dari atmosfir. Transparansi kornea
dipertahankan oleh strukturnya yang seragam, avaskularitas, dan deturgensinya
(Vaughan, 2010).
2.3 Keratokonjungtivitis 2.3.1 Definisi
Keratokonjungtivitis adalah peradangan ("-itis") dari kornea dan
konjungtiva. Ketika hanya kornea yang meradang, disebut keratitis dan ketika
hanya konjungtiva yang meradang, disebut konjungtivitis (Ilyas dan Yulianti,
2011).
2.3.2 EtiologiKonjungtivitis dapat diakibatkan oleh infeksi (virus, bakteri, fungal,
maupun parasit), toksik, dan alergen. Konjungtivitis viral lebih sering terjadi
daripada konjungtivitis bakterial. Insidensi konjungtivitis meningkat pada awal
musim semi. Etiologi konjungtivitis dapat diketahui berdasarkan keadaan klinis
pasien. Pada pasien konjungtivitis didapatkan infiltrat seluler dan eksudat pada
konjungtiva. Sedangkan etiologi keratitis dapat disebabkan oleh beberapa hal
seperti berkurangnya air mata, keracunan obat, reaksi alergi pada pemberian
obat topikal, dan reaksi terhadap konjungtivitis menahun. Morfologi dan distribusi
lesi pada kornea dapat membantu mengetahui penyebab keratitis. Adapun
penyebab potensial keratokonjungtivitis adalah kekeringan (penyebab
keratokonjungtivitis sicca), infeksi virus (penyebab EKC), manifestasi dari atopi
atau alergen (penyebab AKC atau VKC), maupun trauma mekanik (penyebab
8
keratokonjungtivitis limbus superior (Bawazeer dan Hodge, 2008; Ilyas dan
Yulianti, 2011).
2.3.3 Patofisiologi Konjungtivitis alergi disebabkan oleh respon imun tipe 1 terhadap alergen.
Alergen terikat dengan sel mast dan terjadinya reaksi silang terhadap IgE.
Akibatnya, terjadi degranulasi sel mast dan permulaan reaksi bertingkat dari
peradangan. Hal ini menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast, juga
mediator lain termasuk triptase, kimase, heparin, kondroitin sulfat, prostaglandin,
tromboksan, dan leukotrien. Histamin dan bradikinin akan segera menstimulasi
nosiseptor, sehingga menyebabkan rasa gatal, peningkatan permeabilitas
vaskuler, vasodilatasi, kemerahan, dan injeksi konjungtiva (AAO, 2003).
Konjungtivitis infeksi timbul sebagai akibat dari penurunan daya imun
pejamu dan kontaminasi eksternal. Patogen infeksius dapat menginvasi dari
tempat yang berdekatan atau dari jalur aliran darah dan bereplikasi di dalam sel
mukosa konjungtiva. Infeksi bakteri dan virus memulai reaksi bertingkat dari
peradangan leukosit atau limfosit yang menyebabkan penarikan eritrosit atau
leukosit ke area tersebut. Leukosit mencapai permukaan dan berakumulasi di
konjungtiva dengan mudah melalui kapiler yang mengalami dilatasi dan
peningkatan permeabilitas. Pertahanan tubuh primer terhadap infeksi berupa
lapisan epitel yang menutupi konjungtiva. Rusaknya lapisan ini memudahkan
terjadinya infeksi. Sedangkan pertahanan sekunder berupa sistem imunologi
(tear-film immunoglobulin dan lisozyme) yang merangsang lakrimasi (AAO,
2003).
2.3.4 KlasifikasiBeberapa klasifikasi yang mengacu pada keratokonjungtivitis antara lain
(Bawazeer dan Hodge, 2008; Ilyas dan Yulianti, 2011; Smedt dkk., 2013):
a. Vernal keratokonjunctivitis (VKC) digunakan ketika peradangan konjungtiva
dan kornea terjadi di musim semi yang biasanya diakibatkan oleh alergen.
VKC seringkali mengenai usia dekade pertama dan kedua kehidupan.
9
b. Atopic keratokonjunctivitis adalah ketika peradangan konjungtiva dan kornea
yang merupakan salah satu manifestasi dari atopi. AKC seringkali mengenai
usia remaja akhir dan dekade kelima kehidupan.
c. Epidemi keratokonjunctivitis (EKC) yang disebabkan oleh infeksi adenovirus.
d. Keratokonjunctivitis sicca ("Sicca" berarti "kering") digunakan ketika
peradangan konjungtiva dan kornea diakibatkan oleh kekeringan.
e. Keratokonjungtivitis limbus superior yang diduga disebabkan oleh trauma
mekanik
2.3.5 Diagnosis2.3.5.1 Anamnesis
Gejala penting konjungtivitis yang dapat kita temukan dari anamnesis
antara lain adalah sensasi adanya benda asing, yaitu tergores atau panas,
sensasi penuh di sekitar mata, gatal, merah, dan fotofobia. Sensasi benda asing
dan tergores atau terbakar sering berhubungan dengan edema dan hipertrofi
papiler yang biasanya menyertai hiperemi konjungtiva. Nyeri pada iris atau
corpus siliaris mengesankan terkenanya kornea (Vaughan, 2010). Pada DES,
pasien mengeluh adanya mata terasa kering, terasa mengganjal, nyeri, merah,
fotofobia, dan kelelahan mata, meskipun tidak semua gejala ini dirasakan oleh
pasien.
2.3.5.2 Pemeriksaan fisikTanda penting konjungtivitis adalah hiperemia, mata berair (nrocoh),
eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi papiler, kemosis (edem stroma konjungtiva),
folikel (hipertrofi lapis limfoid stroma), pseudomembranosa dan membran,
granuloma, dan limfadenopati preaurikuler. Pemeriksaan awal termasuk
pengukuran ketajaman visus, pemeriksaan eksternal dan slit-lamp biomikroskopi.
Adapun pemeriksaan eksternal harus mencakup elemen berikut ini (Vaughan,
2010):
- Limfadenopati regional, terutama kelenjar getah bening preaurikuler.
- Kulit: tanda-tanda rossacea, eksema, seborrhea.
10
- Kelainan kelopak mata dan adneksa: pembengkakan, perubahan warna,
malposisi, kelemahan, ulserasi, nodul, ekimosis, keganasan.
- Konjungtiva: bentuk injeksi, perdarahan subkonjungtiva, kemosis, perubahan
sikatrikal, simblepharon (perlekatan konjungtiva palpebral ke konjungtiva
bulbaris; terjadi sebanyak 20% kasus), massa, dan sekret.
2.3.5.3 Pemeriksaan penunjangSlit-lamp biomikroskopi harus mencakup pemeriksaan yang hati-hati
terhadap:
- Margo palpebra: inflamasi, ulserasi, sekret, nodul atau vesikel, sisa kulit
berwarna darah, keratinisasi
- Bulu mata: kerontokan bulu mata, kerak kulit, ketombe, telur kutu
- Punctum lacrimal dan canaliculi: penonjolan, sekret
- Konjungtiva tarsal dan forniks: Adanya papila, folikel dan ukurannya;
perubahan sikatrikal, termasuk penonjolan ke dalam dan simblepharon;
membran dan psudomembran, ulserasi, perdarahan, benda asing, massa,
kelemahan palpebra
- Konjungtiva bulbar/limbus: folikel, edema, nodul, kemosis, kelemahan, papila,
ulserasi, luka, flikten, perdarahan, benda asing, keratinisasi
- Kornea: Defek epitelial, keratopati punctata dan keratitis dendritik, filamen,
ulserasi, infiltrasi, termasuk infiltrat subepitelial dan flikten, vaskularisasi,
keratik presipitat
- Bilik mata depan: reaksi inflamasi, sinekia, defek transiluminasi
- Corak pewarnaan: konjungtiva dan kornea
11
Gambar 2.4 Keratokonjungtivitis vernalis (VKC)
Gambar 2.5 Keratokonjungtivitis epidemika (EKC)
Gambar 2.6 Keratokonjungtivitis alergi (AKC)
Gambar 2.7 Keratokonjungtivitis limbus superior
12
2.3.6 PenatalaksanaanPenatalaksanaan keratokonjungtivitis tergantung pada berat ringannya
gejala klinik. Pada kasus ringan sampai sedang, cukup diberikan obat tetes mata
tergantung jenis penyebabnya seperti pada KKV dapat diberikan anti histamin
topikal dan dapat ditambahkan vasokonstriktor, kemudian dilanjutkan dengan
stabilasator sel mast. Pada kasus yang berat dapat dikombinasi dalam
pengobatannya ataupun dilakukan pembedahan (Ilyas dan Yulianti, 2011).
Pada konjungtivitis virus yang merupakan “self limiting disease”
penanganan yang diberikan bersifat simtomatik serta dapat pula diberikan
antibiotik tetes mata (kloramfenikol) untuk mencegah infeksi bakteri sekunder.
Steroid tetes mata dapat diberikan jika terdapat lesi epithelial kornea, namun
pemberian steroid hanya berdasarkan pengawasan dokter spesialis mata karena
bahaya efek sampingnya cukup besar bila digunakan berkepanjangan, antara
lain infeksi fungal sekunder, katarak maupun glaucoma (Sambursky dkk., 2007).
Penanganan primer keratokonjungtivitis epidemika ialah dengan kompres
dingin dan menggunakan tetes mata astrigen. Agen antivirus tidak efektif.
Antibiotik topikal bermanfaat untuk mencegah infeksi sekunder. Steroid topikal 3
kali sehari akan menghambat terjadinya infiltrate kornea subepitel atau jika
terdapat kekeruhan pada kornea yang mengakibatkan penurunan visus yang
berat, namun pemakaian berkepanjangan akan mengakibatkan sakit mata yang
berkelanjutan. Pemakaian steroid harus di tapering off setelah pemakaian lebih
dari 1 minggu (Yanoff dkk., 2003).
Penanganan konjungtivitis bakteri ialah dengan antibiotik topikal tetes
mata (misalnya kloramfenikol) yang harus diberikan setiap 2 jam dalam 24 jam
pertama untuk mempercepat proses penyembuhan, kemudian dikurangi menjadi
setiap empat jam pada hari berikutnya. Penggunaan salep mata pada malam
hari akan mengurangi kekakuan pada kelopak mata di pagi hari. Antibiotik
lainnya yang dapat dipilih untuk gram negatif ialah tobramisin, gentamisin dan
polimiksin; sedangkan untuk gram positif berupa sefazolin, vankomisin dan
basitrasin (Khaw dan Shah, 2004). Penanganan infeksi jamur ialah dengan
natamisin 5% setiap 1-2 jam saat bangun, atau dapat pula diberikan pilihan
13
antijamur lainnya yaitu mikonazol, amfoterisin, nistatin dan lain-lain (Ilyas dan
Yulianti, 2011). 2.3.7 Komplikasi
Kebanyakan konjungtivitis dapat sembuh sendiri, namun apabila
konjungtivitis tidak memperoleh penanganan yang adekuat maka dapat
menyebabkan komplikasi (Ilyas dan Yulianti, 2011) :
a. Blefaritis marginal hingga krusta akibat konjungtivitis akibat staphilococcus
b. Jaringan parut pada konjungtiva akibat konjungtivitis chlamidia pada orang
dewasa yang tidak diobati adekuat
c. Keratitis punctata akibat konjungtivitis viral
d. Keratokonus (perubahan bentuk kornea berupa penipisan kornea sehingga
bentuknya menyerupai kerucut) akibat konjungtivitis alergi.
e. Ulserasi kornea marginal, perforasi kornea hingga endoftalmitis dapat terjadi
pada infeksi N. gonorrhoeae, N. kochii, N. meningitidis, H. aegypticus, S.
aureus dan M. catarrhalis.
f. Pneumonia terjadi 10-20 % pada bayi yang mengalami konjungtivitis
chlamydia.
g. Meningitis dan septikemia akibat konjungtivitis yang diakibatkan
meningococcus.
2.3.8 PrognosisPrognosis pada kasus keratokonjungtivitis tergantung pada berat
ringannya gejala klinis yang dirasakan pasien, namun umumnya baik terutama
pada kasus yang tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada kornea (Vaughan,
2010).
14
BAB 3LAPORAN KASUS
3.1 Identitas PasienNama : Nn. AD
Umur : 21 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswi
Alamat : Ds. Gampingan RT 36/7, Bantur, Malang
3.2 Anamnesis (24 Oktober 2015)3.2.1 Keluhan Utama
Mata kanan terasa gatal dan kabur
3.2.2 Riwayat Penyakit SekarangPasien mengeluh mata kanan terasa gatal sejak ± 1 minggu
sebelum datang ke RSSA. Rasa gatal membuat pasien sering mengucek
mata. Pasien juga mengeluh pandangan matanya kabur sejak pukul
20:00 WIB (3 jam SMRS). Selain itu, pasien mengeluh matanya merah,
belekan, silau bila terkena cahaya, dan nrocoh. Ada rasa mengganjal
pada mata. Tidak ada nyeri. Riwayat kontak orang dengan penyakit yang
sama disangkal. Riwayat trauma disangkal. Riwayat alergi disangkal.
Riwayat pemakaian lensa kontak disangkal.
3.2.2 Riwayat Terapi Pasien membeli dan memakai insto tanpa resep dokter diteteskan
1x sehari @ 2 tetes.
15
Pasien berobat ke dokter umum dan mendapatkan obat C-lyteers
baru dipakai sekali (3 tetes)
3.2.3 Riwayat Penyakit DahuluPasien tidak memiliki riwayat sakit mata sebelumnya. Tidak ada riwayat
alergi pada pasien. Riwayat sakit sistemik disangkal oleh pasien.
3.2.4 Riwayat KeluargaSakit mata (-).
3.2.5 Riwayat Pemakaian KacamataPasien tidak pernah menggunakan kacamata.
3.3 Pemeriksaan Fisik
20/50 ph 20/40 Visus 20/20Ortoforia Kedudukan Ortoforia
Gerakan Bola Mata
Spasme (-), Edema (-) Palpebra Spasme (-), Edema (-)
Sekret (+), CI (+), PCI (+) Konjungtiva Sekret (-), CI (-), PCI (-)
Tes fluoresens (+), defek epitel di superior Kornea Jernih
Dalam C.O.A DalamRadline Iris Radline
Bulat, Ø 3 mm, RP (+) Pupil Bulat, Ø 3 mm, RP (+)Jernih Lensa Jernih
n/p TIO n/pdbn Funduskopi Dbn
3.4 Status GeneralisGCS 456, compos mentis
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 98x/menit
16
Respirasi : 19x/menit
Suhu aksial : 36,7º
3.5 Status Lokalis MataTanggal 24 Oktober 2015
Gambar 3.1 OD
Gambar 3.2 Tes Fluoresens OD
3.6 Diagnosis Banding
- OD Keratokonjungtivitis bakterial dd viral
- OD Keratokonjungtivitis alergi
3.7 AssessmentOD Keratokonjungtivitis bakterial dd viral
17
3.8 Planning3.8.1 Terapi
• Levofloksasin tetes mata 6 x 1 OD
• Artificial tears + vitamin A gel 4 x 1 OD
• Kontrol poli mata hari Selasa tanggal 27 Oktober 2015
3.8.2 Edukasi• Penyakit yang diderita oleh pasien kemungkinan besar disebabkan
oleh bakteri.
• Adanya kemungkinan penularan terhadap orang yang ada di sekitar
pasien, sehingga penting untuk menjaga higienitas dengan mencuci
tangan menggunakan air dan sabun setelah menetesi mata dengan
obat.
• Rencana penatalaksanaan penyakit pasien meliputi jenis-jenis obat
mata yang harus digunakan.
• Meminta pasien untuk kontrol sesuai dengan jadwal yang telah
diberikan oleh dokter.
3.8 PrognosisAd visam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad kosmetika : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad vitam : bonam
3.9 Follow Up (27 Oktober 2015)3.9.1 Anamnesis
Pasien mengeluh mata kanan terasa gatal sejak ± 4 hari sebelum
datang kontrol ke poli mata RSSA. Riwayat mengucek mata karena gatal
(+). Merah (+). Nrocoh (+). Silau (+). Belekan (-). Cekot-cekot (-). Riwayat
18
kontak orang dengan penyakit yang sama disangkal. Riwayat trauma
disangkal. Riwayat alergi disangkal. Riwayat pemakaian lensa kontak
disangkal. Riwayat pengobatan, pasien berobat ke IGD RSSA pada hari
Sabtu tanggal 24 Oktober 2015 dan mendapatkan 3 macam obat yaitu
antibiotik, cairan pengganti air mata superfisial, dan repitel. Saat ini, obat
sudah habis.
3.9.2 Pemeriksaan Fisik
5/12 Visus 5/7,5Ortoforia Kedudukan Ortoforia
Gerakan Bola Mata
Spasme (-), Edema (-) Palpebra Spasme (-), Edema (-)
Sekret (-), CI (+) minimal,PCI (+) minimal Konjungtiva Sekret (-), CI (-), PCI (-)
Tes fluoresens (+), defek epitel di superior (+),
infiltrat (-)Kornea Jernih
Dalam C.O.A Dalam
Radline Iris Radline
Bulat, Ø 3 mm, RP (+) Pupil Bulat, Ø 3 mm, RP (+)
Jernih Lensa Jernihn/p TIO n/pdbn Funduskopi dbn
19
Gambar 3.3 ODS
Gambar 3.4 Slit lamp OD
Gambar 3.5 Tes Fluoresens OD
20
3.9.3 Diagnosis KerjaOD Keratokonjungtivitis bakterial dengan perbaikan
3.9.4 Terapi• Levofloksasin tetes mata 6 x 1 OD
• Artificial tears + vitamin A gel 4 x 1 OD
• Kontrol poli mata hari Senin tanggal 2 November 2015
21
BAB 4PEMBAHASAN
Berdasarkan studi epidemiologi, dua jenis keratokonjungtivitis yang dapat
mengenai usia tertentu adalah VKC dan AKC di mana VKC lebih sering
mengenai anak-anak (di bawah usia 10 tahun; rata-rata usia 4-7 tahun), dekade
pertama, dan kedua kehidupan. Sedangkan AKC lebih sering mengenai usia
remaja akhir dan dekade kelima kehidupan. Sementara berdasarkan distribusi
jenis kelamin, keduanya lebih banyak mengenai laki-laki daripada perempuan.
Pasien berusia 21 tahun yang mana secara studi epidemiologi dapat terkena
VKC ataupun AKC bila ditinjau dari segi usia meskipun tidak sesuai bila ditinjau
dari distribusi jenis kelamin. Namun, dikarenakan pada pasien tidak didapatkan
riwayat alergi baik berupa dermatitis atopi, ekzema, maupun asma, maka
keratokonjungtivitis yang dialami oleh pasien lebih mengarah pada KCS (DES)
karena sesuai dengan distribusi jenis kelamin yaitu lebih banyak pada
perempuan dibanding dengan laki-laki dan banyak mengenai usia < 60 tahun.
Pasien dengan keratitis secara umum akan mengeluhkan adanya mata
merah, silau, dan perasaan adanya benda asing (kelilipan), dan penglihatan
turun mendadak pada mata yang terinfeksi. Pada keratitis bakterial, akan
didapatkan keluhan yang lebih spesifik berupa sekret mukopurulen hingga
purulen. Keratitis akibat infeksi virus (misalnya infeksi adenovirus) akan
memberikan gambaran berupa mata merah, nyeri, mata berair, sekret mukoid,
dan rasa gatal pada mata. Namun, pada EKC pasien akan cenderung
mengeluhkan adanya mata berair, silau, dan sensasi adanya benda asing di
mata. Ciri khas dari EKC adalah keluhan biasanya muncul setelah terjadi suatu
episode ISPA. Sedangkan gejala konjungtivitis secara umum adalah mata
merah, nyeri, fotofobia, nrocoh, sekret yang lebih nyata di pagi hari, pseudoptosis
akibat membengkaknya kelopak mata, hipertrofi papil, folikel, membran,
pseudomembran, granulasi, terasa seperti adanya benda asing pada mata, dan
adenopati preaurikular.
Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan pandangan mata kanan
terasa gatal dan kabur, merah, silau bila terkena cahaya, nrocoh, ada rasa
22
mengganjal pada mata, dan adanya sekret mata. Pasien mengaku tidak
mengalami sakit batuk atau pilek sebelumnya, tidak memiliki riwayat alergi,
riwayat pemakaian lensa kontak, dan riwayat kontak dengan orang di sekitarnya
dengan keluhan yang sama. Maka berdasarkan keluhan yang dialami oleh
pasien, pasien ini dapat didiagnosis sebagai keratokonjungtivitis dengan
kecurigaan bakteri sebagai organisme penyebab.
Secara teori, pada pemeriksaan fisik berupa inspeksi pada pasien dengan
kerato-konjungtivitis akan didapatkan tanda berupa konjungtiva hiperemis,
sekret, pseudoptosis, dan kemosis (edema stroma konjungtiva). Dari
pemeriksaan tajam penglihatan didapatkan visus yang menurun. Dari
pemeriksaan menggunakan slit lamp didapatkan adanya Conjunctival Injection
(CI) dan Peri Corneal Injection (PCI). Selain itu, pada tes fluoresens akan
menunjukkan hasil positif (defek kornea berwarna hijau pada pemeriksaan slit
lamp). Pada kasus ini, dari pemeriksaan fisik pasien didapatkan hasil
pemeriksaan berupa sekret, CI, dan PCI. Tes fluoresens pada pasien juga
memberikan hasil yang positif (berwarna hijau). Oleh karena itu, berdasarkan
gejala yang dialami oleh pasien yang didudukung dengan pemeriksaan fisik
dapat mengarahkan diagnosis yang paling mungkin adalah keratokonjungtivitis.
Penatalaksanaan keratokonjungtivitis disesuaikan dengan etiologinya.
Pada kasus ini, berdasarkan klinis lebih mengarah ke keratokonjungtivitis bakteri.
Oleh karena itu, pasien diberi terapi medikamentosa berupa Levofloksasin tetes
mata 6 x 1 OD. Levofloksasin diberikan pada pasien ini untuk mencegah
terjadinya komplikasi yang mungkin terjadi. Pada pasien ini dipilih Levofloksasin
karena Levofloksasin merupakan antibiotik bakteri gram positif dan negatif.
Levofloksasin ini dapat digunakan pada bakteri-bakteri yang resisten terhadap
antibiotik golongan aminoglikosida dan beta laktam. Selain itu, saat ini masih
jarang didapatkan resistensi bakteri terhadap Levofloksasin. Levofloksasin
merupakan golongan antibiotik yang bergantung pada dosis. Oleh karena itu,
daya bakterisidalnya dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan pemberian
dosis. Levofloksasin memiliki efek menghambat pertumbuhan bakteri selama 2-
4,5 jam pasca pemberian. Efek samping Levofloksasin adalah penurunan daya
penglihatan untuk sementara waktu, sensasi seperti ada benda asing pada mata,
23
demam, sakit kepala, rasa panas terbakar atau tidak nyaman pada mata,
fotofobia, iritasi, gatal pada kelopak mata, syok, dan reaksi anafilaktoid. Sehingga
diperlukan KIE yang baik pada pasien.
Repitel salep 4 x 1 OD diberikan untuk membantu mempercepat proses
re-epitelialisasi dan melindungi kornea. Hal ini diindikasikan karena pada
pemeriksaan fisik telah didapatkan defek epitel kornea yang cukup luas. Adapun
kandungan dari obat ini adalah vitamin A, kalsium pantotenat, dan aneurin
hidroklorida.
Sedangkan Lyteers tetes mata 6 x 1 OD memiliki kandungan narium
klorida 4,4 mg dan kalium klorida 0,8 mg per ml nya. Adapun zat tambahannya
adalah Saliva Orthana (musin) yang merupakan sediaan steril mata yang
berfungsi sebagai lubrikan pada mata kering dan mempertahankan agar
permukaan mata tetap basah. Mekanismenya adalah dengan membentuk
lapisan pelindung pada permukaan mata yang disebut lapisan air mata (tears
film).
Prognosis pada kasus keratokonjungtivitis secara teori bergantung pada
berat ringannya gejala yang dirasakan pasien. Umumnya prognosis baik. Pada
kasus ini dapat dikatakan prognosis pasien secara umum dubia ad bonam. Untuk
KIE pada pasien perlu kita sampaikan agar pasien selalu menjaga kebersihan
tubuh khususnya mata, juga kebersihan lingkungan. Sebaiknya menghindari
kontak dengan penderita penyakit yang sama untuk mencegah terkena penyakit
seperti ini lagi. Apabila telah terjadi kontak, pasien harus mencuci tangan, karena
mencuci tangan akan menghindarkan kita dari infeksi. Serta perlu kita sampaikan
juga perlunya pola hidup sehat dan teratur untuk menjaga imunitas agar selalu
baik.
24
BAB 5KESIMPULAN
Konjungtivitis adalah inflamasi yang terjadi pada konjungtiva. Keratitis adalah
inflamasi yang terjadi pada kornea. Ada suatu keadaan di mana inflamasi
tersebut terjadi secara bersamaan pada konjungtiva dan kornea, sehingga
disebut dengan keratokonjungtivitis.
Gejala dari keratokonjungtivitis antara lain adalah mata merah, gatal, terasa
berpasir, silau bila terkena cahaya, nyeri, nrocoh, dan dapat disertai dengan
sekret, meskipun tidak seluruh gejala ini dikeluhkan oleh satu pasien.
Sifat sekret dapat menunjukkan penyebab infeksinya. Seperti sekret mukoid
biasanya terjadi pada reaksi alergi atau vernal, sekret purulen pada infeksi
bakteri atau klamidia, sekret hiperpurulen pada infeksi meningokok atau
gonokok, dan sekret serous pada infeksi virus (adenovirus).
Diagnosis keratokonjungtivitis ditegakkan berdasarkan klinis pasien.
Penatalaksanaan keratokonjungtivitis bergantung pada jenis kerato-
konjungtivitis yang dialami oleh pasien.
Edukasi pada pasien dengan keratokonjungtivitis sangat diperlukan karena
infeksi ini seringkali berhubungan dengan higienitas. Selain itu, pasien juga
dapat diajarkan untuk melindungi diri dan mengedukasi orang di sekitarnya
yang mengalami hal serupa.
25
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Ophthalmology. 2003. Preferred practice pattern: conjunctivitis, 2nd ed. San Francisco: American Academy of Ophthalmology.
Bawazeer, A dan Hodge, W.G. 2008. Keratoconjunctivitis Epidemic. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1192751-print pada tanggal 27 Oktober 2015.
Ilyas, S dan Yulianti, S.R. 2011. Ilmu Penyakit Mata Edisi Keempat Cetakan ke-1. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kanski, J. J. 2003. Clinical Ophtalmology, A Systematic Approach. Fifth Edition. Butterworth Heinemann. Edinburgh.
Khaw, P.T. dan Shah Pand Elkington AR. 2004. ABC of Eyes. Fourth edition. BMJ Publishing Group.
McGinnigle, S., Naroo, S.A., dan Eperjesi, F. 2012. Evaluation of Dry Eye, Journal Sourvey of Ophtalmology Volume 57 Nomer 4. USA: Elsevier.
Morbidity and Mortality Weekly Report. 2013. Adenovirus-Associated Epidemic Keratoconjunctivitis Outbreaks–Four States: 2008-2010, Vol. 62, No. 32. Amerika: CDC.
Sambursky, R.P., Fram, N., dan Cohen, E. 2007. The prevalence of adenoviral conjunctivitis at the Wills Eye Hospital emergency room. Optometry 78:236-914.
Smedt, S.D., Wildner, G., dan Kestelyn, P. 2013. Vernal Keratoconjunctivitis: an update, Journal Ophtalmol 2013;97:9-14.
Vaughan, Daniel G. dkk. 2010. Oftalmologi Umum. Widya Medika. Jakarta: Widya Medika.
Vichyanond, P., Pacharn, P., Pleyer, U. dan Leonardi, A. 2014. Vernal Keratokonjunctivitis: A severe allergic eye disease with remodeling changes; Pediatric Allergy and Immunology. Thailand: John and Wiley & Sons Ltd.
Yanoff, M., Duker J.S., dan Augsburger J.J. 2003. Opthalmology 2nd edition.
26