Upload
lekhue
View
314
Download
18
Embed Size (px)
Citation preview
i
KESADARAN HUKUM MASYARAKAT DALAM SERTIFIKASI
TANAH WAKAF ( Studi Kasus Di Wilayah KUA Ngaliyan Kota Semarang )
SKRIPSI
Diajukan sebagai persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh; ALI MAGHFUR
( N I M : 2101069 )
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG 2008
ii
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO SEMARANG
iii
Drs. H. Musahadi, M.Ag. Jl. Permata Ngaliyan II/62-63 Ngaliyan Semarang. PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : Hal : Naskah Skripsi An. Sdr. Ali Maghfur Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang Di Semarang Assalamu’alaiakum Wr. Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirim naskah skripsi saudara : Nama : Ali Maghfur NIM : 2101069 Judul : KESADARAN HUKUM MASYARAKAT DALAM SERTIFIKASI TANAH WAKAF (Studi Kasus Di Wilayah KUA Ngaliyan Kota Semarang ) Dengan ini saya mohon kiranya skripsi tersebut dapat segera dimunaqosahkan. Wassalaamu’alaikum Wr. Wb. Pembimbing Drs. H. Musahadi, M.Ag. NIP. 150 267 754
iv
DEPARTEMEN AGAMA INSTITUT AGAM ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG Jl. Dr. Hamka Km. 2 Ngaliyan Telp/ Fax. (024) 7601291 Semarang 50185
PENGESAHAN
Skripsi Saudara : Ali Maghfur Nomor Induk Mahasiswa : 2101069 Judul :KESADARAN HUKUM MASYARAKAT DALAM
SERTIFIKASI TANAH WAKAF ( Studi Kasus Di Wilayah KUA Ngaliyan Kota Semarang )
Telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus denngan predikat cumlaude / baik / cukup, pada tanggal :
29 Juli 2008 Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata I (S-I) tahun akademik 2007/2008
Semarang, 29 Juli 2008. Ketua Sidang Sekretaris Sidang Drs. Maksun, M.Ag. Drs. H. Musahadi, M.Ag. Nip. 150 2630 40 Nip. 150 267 754 Penguji I Penguji II Hj. Rr. Sugiarti, SH., MH. Dede Rodin, M.Ag. NIP . 150 104 180 Nip. 150 318 015
Pembimbing
Drs. H. Musahadi, M.Ag. Nip. 150 267 754
v
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang sudah pernah ditulis oleh orang lain atau di terbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi dan nara sumber yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 15 Juli 2008 Deklarator Ali Maghfur Nim.2101069
vi
Abstrak
Di wilayah Kota Semarang, hingga bulan Mei 2007 terdapat 1.061.370,4 M2 luas tanah wakaf. Jumlah tanah yang sudah bersertifikat berjumlah 927.407 m2 sementara yang belum memiliki AIW/APAIW sejumlah 33.807M2. Khusus untuk Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang terdapat 60.787 m2 luas tanah wakaf. Dari jumlah tersebut terdapat 59.181 M2 luas tanah wakaf yang sudah bersertifikat dan 1.606 M2 luas tanah wakaf masih dalam proses BPN.
Adanya tanah wakaf yang belum bersertifikat, dikarenakan beberapa hal yakni: Masyarakat kesulitan biaya sertifikasi, Masih ada sebagian masyarakat yang belum percaya kepada pemerintah dalam hal sertifikasi, Koordinasi antara instansi dengan masyarakat belum berjalan dengan baik, Masih ada anggapan sementara bahwa pengurusan sertifikasi oleh instansi terkait belum termasuk hal-hal yang cepat diselesaikan pengurusannyamasyarakat
Dari data diatas, ada hal yang menarik dan patut menjadi pertanyaan yakni, bagaimanakah sertifikasi tanah wakaf berjalan di KUA Ngaliyan? Factor-faktor apakah yang mempengaruhi jalannya sertifikasi di KUA Ngaliyan? Bagaimana kesadaran hukum masyarakat dalam sertifikasi tanah wakaf tersebut?. Paling tidak persoalan ini yang menarik untuk diteliti.
Penelitian ini menggunakan Jenis penelitian lapangan (field research). Penelitian ini berada pada masyarakat di wilayah KUA Ngaliyan Kota Semarang dengan mengfokuskan pada aspek kesadaran hukum masyarakat dalam sertifikasi tanah wakaf.
Sedangkan data yang dipakai adalah data primer dan data sekunder. Sebagai data primer pada penelitian ini adalah Masyarakat yang berada di wilayah KUA Ngaliyan yang terbatas pada masyarakat yang pernah melakukan sertifikasi tanah wakaf, atau masyarakat yang pernah melakukan perwakafan. Sementara data sekundernya adalah sumber-sumber yang relevan dengan bahasan yang peneliti kemukakan, yakni : Peraturan perundang-undangan, buku, artikel. Sementara metode pengumpulan data melalui metode observasi, metode sampel, wawancara (interview) dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisa data secara deskriptif-kualitatif dengan menekankan pada pengetahuan, pemahaman dan sikap serta pola prilaku masyarakat dalam sertifikasi tanah wakaf tersebut. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui jalannya sertifikasi tanah wakaf di KUA Ngaliyan, mengetahui factor-faktor yang mempengaruhinya dan untuk mengetahui kesadaran hukum masyarakat dalam sertifikasi tanah wakaf di Wilayah KUA Ngaliyan.
Menurut penulis pengetahuan dan pemahaman hukum masyarakat tentang hukum sertifikasi tanah wakaf di pengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut : Masyarakat tidak pernah secara nyata memperolah pendidikan tentang peraturan tertulis, khususnya masalah sertifikasi tanah wakaf, Pensertifikasian tanah wakaf merupakan masalah yang jarang terjadi, Hukum Sertifikasi tanah merupakan berada pada hukum perdata sehingga peranan hukum dan perundang-undangan tidak tampak jika tidak ada perkara yang di angkat.
Sikap dan pola perikelakuan masyarakat dalam hal ini merupakan sikap dan pola perikelakuan yang berdasar pada hukum islam yang selama ini menjadi kebiasaan dalam melakukan perbuatan. Dan disisi lain sikap dan pola perikelakuan responden merupakan sikap instrumental. Instrumental merupakan sikap yang mempertimbangkan untung dan rugi suatu kaedah hukum
vii
MOTTO
( y7 oΨ≈ ys ö6ß™ Ÿω zΝù=Ïæ !$ uΖ s9 ωÎ) $ tΒ !$ oΨtFôϑ ¯=tã ( y7 ¨Ρ Î) |MΡ r& ãΛ⎧ Î=yè ø9$# ÞΟŠ Å3 ptø: $#
Artinya :. "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Qs Al-Baqarah :32)
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada :
1. Ayahanda Khadiq dan Ibunda Rufi’ah tercinta, yang telah mengukir jiwa ragaku
serta mencurahkan kasih-sayangnya dan memberikan dorongan baik moril
maupun materiil, sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini.
2. Adinda Nur Halimah, Sahil Taufiq, Muhawarotul Khasanah, Muhammad Aziz
Hidayatullah, Nurul Huda, adik-adikku tersayang yang selalu memberi senyum
penyejuk dahaga jiwaku.
3. Bapak H. Musahadi dan Ibu Hj. Mahmudah yang selalu memberikan bimbingan
dan saran kepada saya.
4. Bapak H Sutedjo dan Ibu Hj Elliya Fiyanti yang telah memberikan fasilitas dari
awal sampai akhir, serta Mbak Dewi Suswiryani yang telah mengingatkan saya.
5. Seluruh Warga Perumahan Permata Ngaliyan Rt 10 & 11 RW 03 Ngaliyan yang
selalu memberi saran, canda tawa kepada saya.
6. Segenap Pengurus Ta’mir Musholla Baitussalam yang telah memberikan didikan
material dan spiritual kepada saya.
7. Segenap pengurus Rt 10 Perumahan Permata Ngaliyan yang telah memberikan
didikan sosial kepada saya dalam bermasyarakat
8. Segenap pengurus Majlis Ta’lim Remaja Baitussalam, pengurus “PERMATA”
yang selalu memberikan fasilitas kegiatan pada saya.
9. Saudara Iman Fadhillah yang selalu memberikan saran dan dukungan moril
kepada saya, serta teman-teman se-angkatan ( Teddy Kholiluddin, Zarqoni,
Wiwit Rizka Fatkhurrahman, Imam Bukhori, Lukman Zein, Muslikhuddin, Joko
Mesdi, Nurul Islam, M Taufiq, Khoirul Umam, Umi Hafidhoh, Yani, Sofi,
Dyah) dan teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan.
10. Segenap pengurus PMII Rayon Syari’ah 2002. Segenap Pengurus PMII
Komisariat Walisongo Semarang 2004.
11. Segenap pengurus BEM Fakultas Syariah 2004, Segenap pengurus JQH 2003.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. karena dengan Rahmat,
Hidayah dan inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul
“KESADARAN HUKUM MASYARAKAT NGALIYAN DALAM SERTIFIKASI
TANAH WAKAF” (Studi Kasus Di Wilayah KUA Ngaliyan Kota Semarang). Shalawat
serta salam selalu penulis haturkan kepada Nabi dan Rasul terakhir, Muhammad SAW,
yang dalam dirinya senantiasa terdapat tauladan bagi ummatnya.
Penulis yakin bahwa Skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan dengan baik tanpa
bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak
langsung, baik secara moril maupun material. Atas segala budi baik yang telah
diberikan oleh pihak-pihak tersebut penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih.
Dalam kesempatan ini secara khusus kami sampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang.
2. Bapak Drs. H. Musahadi, M.Ag. selaku Pembantu Dekan Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo Semarang dan dosen pembimbing yang senantiasa memberikan
saran serta koreksi kepada penulis.
3. Bapak Ahmad Arif Budiman, M.Ag. selaku Kajur , Ibu Anthin Lathifah, M.Ag.
selaku Sekjur, Bapak Moh Sho’im, M.Ag. selaku Staf Ahwal Al-Syakhsiyah
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah
secara ikhlas memberikan ilmunya selama menempuh studi di Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo Semarang
5. Ayahanda Khadiq dan Ibunda Rufia’h serta adik-adikku yang telah memberikan
dorongan baik moril maupun materiil selama belajar di IAIN Walisongo
Semarang.
6. Keluarga Bpk H. Sutedjo, keluarga H. Musahadi, Pengurus Rt 10, Pengurus
Ta’mir Musholla Baitussalam, dan seluruh Warga Perumahan Permata Ngaliyan
Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang yang telah memberikan dukungan moril
maupun materiil dari awal sampai akhir.
7. Segenap civitas akademika Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo baik karyawan,
teman-teman mahasiswa yang telah ikhlas membantu dan mendorong dalam
proses belajar di Fakultas Syari’ah.
x
8. Iman Fadhillah, S.Hi, Wiwit Rizka, S.Hi, serta kawan-kawan seangkatan yang
telah memberikan dorongan kepada penulis.
9. Kecamatan Ngaliyan, KUA Ngaliyan, masyarakat di Kecamatan Ngaliyan yang
telah memberi izin, informasi, data-data untuk penulisan skripsi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam Skripsi
ini. Namun tegur sapa, saran dan kritik yang konstruktif selalu penulis harapkan dari
berbagai pihak demi kebaikan Skripsi ini dan penulisan-penulisan selanjutnya. Semoga
Allah SWT. membalas budi baik mereka dan menjadikannya sebagai amal jariyah untuk
selamanya. Akhirnya hanya kepada Allah-lah penulis berserah diri dari segala urusan
dengan selalu mengharap ridha, ampunan dan petunjuk-Nya. Semoga Skripsi ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi para pembaca dan dapat
diterima di sisi Allah sebagai amal ibadah. Amin.
Semarang, 15 Juli 2008
Penulis,
Ali Maghfur
xi
DAFTAR ISI Halaman Judul..……………………………………………………………………. i Halaman Persetujuan Pembimbing ……………………………………………….. iii Halaman Pengesahan………………………………………………………………. iv Halaman Deklarasi…………………………………………………………............ v Abstrak ……………………………………………………………………………. vi Halaman Motto…………………………………………………………………….. vii Halaman Persembahan……………………………………………….,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,. viii Halaman Kata Pengantar…………………………………………………………… ix Halaman Daftar Isi…………………………………………………………………. xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………………………… 1 B. Rumusan Masalah……………………………………………………… 5 C. Tujuan Penulisan / Penelitian…………………………………………. 5 D. Telaah Pustaka………………………………………………………… 6 E. Metode Penulisan / Penelitian………………………………………… 9 F. Sistematika Penulisan…………………………………………………. 13 BAB II TINTAUAN TENTANG HUKUM DAN SERTIFIKASI TANAH
WAKAF A. Kerangka Teori Kesadaran Hukum…………………………………… 15 B. Hukum Wakaf Dalam Islam…………………………………………… 26 C. Perwakafan Menurut Hukum Adat…………………………………… 40 D. Peraturan Tentang Sertifikasi Tanah dan Tanah Wakaf Di Indonesia… 41 E. Perwakafan Dan Pendaftaran Tanah Wakaf…………………………… 45 F. Sertifikasi Tanah Wakaf……………………………………………….. 48
BABIII KESADARAN HUKUM MASYARAKAT DALAM SERTIFIKASI TANAH WAKAF ( Studi Kasus Di Wilayah KUA Ngaliyan Kota Semarang ) A. Profil Masyarakat Ngaliyan…………………………………………… 55 B. Sertifikasi Tanah Wakaf Di KUA Kecamatan Ngaliyan……………… 57 C. Factor-faktor yang mempengaruhi jalannya sertifikasi tanah wakaf…. 65 D. Kesadaran Hukum Masyarakat Dalam Sertifikasi Tanah Wakaf ……. 66
BAB IV ANALISA KESADARAN HUKUM MASYARAKAT DALAM
SERTIFIKASI TANAH WAKAF (Studi Kasus Di Wilayah KUA Ngaliyan Kota Semarang ) A. Pelaksanaan Sertifikasi Tanah Wakaf Di KUA Ngaliyan…………….. 77 B. Kesadaran Hukum Masyarakat Dalam Sertifikasi Tanah Wakaf ……. 80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………… 89 B. Rekomendasi………………………………………………………….. 90 C. Penutup ………………………………………………………………. 91
xii
Tabel
Hal 67 Tabel-1: Menurut saudara, apakah ketentuan tentang sertifikasi tanah wakaf
diatur dalam peraturan tertulis ?
67 Tabel-2: Sertifikasi tanah wakaf dilakukan berdasarkan apa ?
68 Tabel-3 : Menurut saudara, siapakah yang terlibat dalam ikrar wakaf ?
68 Tabel-4 : Kemanakah saudara membuat akta ikrar wakaf ?
69 Tabel-5: Pengetahuan Hukum Responden
69 Tabel-6 : Ketentuan mengenai sertifikasi tanah wakaf sebaiknya tunduk pada
apa ?
70 Tabel-7 : Bagaimanakah untuk mendapatkan bukti AIW ?
70 Tabel-8 : Apakah ada syarat bagi wakif dan saksi dalam ikrar wakaf?
71 Tabel-9: Selain membuat akta ikrar wakaf lembaga ( PPAIW ) tersebut
melakukan apa ?
72 Tabel-10 : Pemahaman Hukum Responden
72 Tabel-11: Jika saudara dalam membuat akta ikrar wakaf di tolak oleh PPAIW
karena persyaratan tidak lengkap, bagaimana sikap saudara ?
72 Tabel-12 : Apakah saudara setuju bila dalam sertifikasi harus menunjukkan
bukti Akta Ikrar Wakaf di samping surat tanah ?
73 Tabel-13 : Apakah saudara setuju terhadap orang yang terlibat terdapat Syarat-
syarat ?
73 Tabel-14 : Apakah saudara setuju, wakif harus datang dan berikrar kepada
nadzir dihadapan PPAIW dan di saksikan oleh saksi ?
74 Tabel-15: Konsistensi Sikap Hukum Responden
74 Tabel-16 : Apakah saudara sudah pernah melakukan Ikrar Wakaf dihadapan
PPAIW?
75 Tabel-17 : Apakah saudara pernah terlibat dalam ikrar wakaf ?
75 Tabel-18 : Apakah saudara pernah membuat Akta Ikrar Wakaf di KUA ?
76 Tabel-19 : Pola perikelakuan Hukum Responden
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap pemeluk Islam tentu merasakan dan memahami bahwa persoalan hukum
adalah sesuatu yang sentral. Setidaknya hal ini tidak bisa terlepas dari sorotan dan
timbangan hukum. Daniel Pipes, menegaskan bahwa kunci utama membedakan hukum
islam dengan hukum barat adalah "Who you are, not where you are"( siapa anda dan
bukan dimana anda berada), artinya di manapun orang islam, islam berada, syari'at atau
hukum senantiasa "membanyanginya".1
Untuk suatu masyarakat yang sedang “membangun”, seperti halnya Indonesia,
hukum senantiasa dikaitkan dengan upaya-upaya untuk mencapai taraf kehidupan yang
lebih baik daripada yang telah dicapai sebelumnya. Menghadapi kenyataan yang seperti
itu, peranan hukum semakin menjadi penting dalam rangka mewujudkan tujuan
pembangunan sebagaimana yang telah di tetapkan. Fungsi hukum dalam pembangunan
tidak sekedar sebagai alat pengendali social( social control ) saja, melainkan upaya
menggerakkan masyarakat agar berperilaku sesuai dengan cara-cara baru untuk
mencapai suatu keadaan masyarakat sebagaimana yang di cita-citakan.
Meskipun demikian, masing-masing anggota masyarakat sudah tentu
mempunyai kepentingan yang kadang-kadang sama dan sering pula berbeda. Perbedaan
kepentingan tersebut apabila dibiarkan lama kelamaan akan berubah menjadi
pertentangan, pertentangan kepentingan selanjutnya dapat menimbulkan kekacauan
dalam masyarakat apabila tidak ada aturan yang dapat menyeimbangkannya. Aturan-
aturan itu dibuat guna mengatasi pertentangan kebutuhan dasar tadi, dan masyarakat
1 Joseph Schacth, Pengantar Ilmu Hukum , Jogjakarta : Islamika, 2003.
2
yang tidak mau mengindahkan aturan-aturan tadi berarti tidak memperhatikan hak dan
kewajiban yang ada pada masyarakat.2
Fungsi hukum dalam masyarakat menurut Prof. Antonie A.G. Peters terdapat tiga
perspektif 3 : pertama perspektif control social, kedua social enginerring, ketiga
emansipasi masyarakat. Dari tiga perspektif ini yang lebih dekat dengan masyarakat
yakni social enginerring. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo dalam
desertasinya, bahwa hukum sebagai sarana social enginerring adalah penggunaan hukum
secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana yang
dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan-perubahan yang di inginkan.4
Pemikiran tersebut sesuai dengan politik hukum nasional, sebagaimana termuat
dalam ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
Yang mengemukakan bahwa :5
1. Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung
kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang
berkembang kearah modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan
pembangunan segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian
hukum sebagai prasarana yang harus ditunjukkan kearah peningkatan
pembinaan kesatuan bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana penunjang
perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh, dilakukan
dengan :
a) Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional antara
lain dengan mengadakan pembaharuan, kodifikasi serta unifikasi
2 Drs. Dudu Duswara Machmudah, S.H., M.Hum., Pengantar Ilmu Hukum ( Sebuah Skettsa) : Refika Aditam, Bandung, 2003, hlm 9-10.
3 Abdurrahman, S.H., Tebaran Pikiran Tentang Studi Hukum dan Masyarakat, Jakarta : Media Sarana Press, 1987, hlm 12.
4 Sadjipto Rahardjo, Hukum Dan Perubahan Sosial : Alumni, Bandung, 1979, hlm 142. 5 Dr. Otje Salman, S.H., Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Bandung : Alumni,
Bandung, 1993, hlm 2
3
hukum dibidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan
kesadaran hukum dalam masyarakat.
b) Menertibkan lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya masing-
masing.
c) Meningkatkan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak hukum.
2. Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para
penguasa dan para pejabat pemerintah kearah penegakan hukum, keadilan
serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, dan ketertiban
serta kepastian hukum sesuai dengan undang-undang dasar 1945.
Upaya kodifikasi tersebut sesungguhnya bermaksud mengganti tata hukum yang
kini berlaku –yang di buat oleh pemerintah colonial- dengan tata hukum baru yang
benar-benar mencerminkan kesadaran hukum masyarakat. Berkaitan dengan usaha ini,
timbul masalah, system hukum mana yang mewakili kesadaran hukum masyarakat,
yang dapat menjadi sumber utama pembentukan hukum nasional. Hal ini disebabkan,
karena hingga saat ini terdapat tiga system hukum yang mempengaruhi atau merupakan
sumber dari tata hukum posistif Indonesia, yaitu system hukum adat, system hukum
islam, dan sistem hukum barat.6
Demikian juga hukum wakaf yang ketentuan teknisnya dipengaruhi hukum yang
ada pada waktu itu. Dalam usaha pemerintah untuk mewujudkan ketertiban hukum dan
administrasi tanah wakaf, membentuk PPAIW meskipun sebenarnya masalah
pencatatan/pensertifikasian tanah wakaf lebih dekat diqiyaskan kepada soal utang
piutang.7
6 Ibid, hlm 4 7 Dr. Ahmad Rofiq, M. A., Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Gama Media, 2001, hlm
125.
4
Dalam kaitannya dengan sertifikasi tanah telah diatur dalam undang-undang No 5
tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria dan Peraturan Pemerintah No 10
tahun 1961 tentang pendaftaran yang tanah telah meletakkan dua kewajiban pokok.8
Dalam rangka untuk menertibkan tanah wakaf diatur dalam Intruksi Presiden No
1 Tahun 1991 tentang KHI, UU No 41 Tahun 2004 tentang wakaf, PP No 42 Tahun
2006 Tentang pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 41/2004, meskipun telah diundang-
undangkan, masalah sertifikasi tanah wakaf di Indonesia dalam prakteknya masih sering
ditemui tanah wakaf yang tidak disertifikatkan.
Sertifikasi tanah wakaf diperlukan demi tertib administrasi dan kepastian hak bila
terjadi sengketa atau masalah hukum. Sertifikasi tanah wakaf dilakukan secara bersama
oleh Departemen Agama dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pada tahun 2004,
kedua lembaga ini mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Kepala
BPN No. 422 Tahun 2004 tentang Sertifikasi Tanah Wakaf. Proses sertifikasi tanah
wakaf dibebankan kepada Anggaran Departemen Agama.
Menurut data Depag tahun 2003 dan diperkuat oleh data CSRC (Centre for the
Study of Religion and Research) bahwa asset wakaf di seluruh Indonesia adalah
362.471 lokasi dengan total nilai sekitar 590 trilyun9 Data yang ada di Departemen
Agama RI sampai dengan bulan Februari 2003 jumlah seluruh tanah wakaf di Indonesia
berjumlah 362.471 lokasi dengan luas 1.475.198.580 m2, sedangkan tanah wakaf yang
sudah bersertifikat 272.351 (75.13%) lokasi, dan yang belum memiliki sertifikat
sebanyak 78.167 (22.%). Padahal tanah wakaf ini merupakan aset umat Islam yang perlu
dikelola, dikembangkan, dan didaya gunakan secara profesional dan amanah sehingga
8 Bachtiar Effendi S.H., Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya, Bandung :
Alumni, 1993, hlm 47-48. Kewajiban pokok a) kewajiban bagi pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah (Pengukuran, pemetaan,pembukuan, peralihan, pemberian surat ), b) kewajiban bagi pemegang hak atas tanah untuk mendaftarkan hak-hak atas tanah yang wajib di daftarkan .
9 Herman Budiyanto ( Artikel ; Masa Depan Wakaf Indonesia ), http Net, tanggal 3 Mei 2007
5
nantinya dapat memberikan kontribusi dalam mengentaskan kemiskinan yang melanda
bangsa Indonesia saat ini.10
Sementara di wilayah Kota Semarang, hingga bulan Mei 2007 terdapat
1.061.370,4 M2 luas tanah wakaf. Jumlah tanah yang sudah bersertifikat berjumlah
927.407 m2 sementara yang belum memiliki AIW/APAIW sejumlah 33.807M2. Khusus
untuk Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang terdapat 60.787 m2 luas tanah wakaf. Dari
jumlah tersebut terdapat 59.181 M2 luas tanah wakaf yang sudah bersertifikat dan 1.606
M2 luas tanah wakaf masih dalam proses BPN.11
Adanya tanah wakaf yang belum bersertifikat, dikarenakan beberapa kendala:
1. Terbatasnya dana yang tersedia dalam pembuatan sertifikasi tanah wakaf.
2. Masih ada sebagian masyarakat yang belum percaya kepada pemerintah dalam hal
sertifikasi tanah wakaf.
3. Koordinasi antara instansi terkait belum berjalan dengan baik.
4. Ada anggapan sementara bahwa pengurusan sertifikat tanah wakaf oleh instansi terkait
Belum termasuk hal-hal yang cepat diselesaikan pengurusannya.12
Berangkat dari berbagai fakta dan kendala di atas dan untuk mempermudah proses
sertifikasi tanah wakaf sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah RI No. 28
Tahun 1977, KUA Ngaliyan Kota Semarang telah melakukan sertifikasi tanah wakaf.
Sebagaimana ketetapan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 28
Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik maupun ketentuan dalam Undang-undang
No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Namun sejauh mana program tersebut berjalan dan
factor yang mempengaruhinya serta sejauh mana kesadaran hukum masyarakat dalam
sertifikasi tanah wakaf tersebut. Atas dasar itulah penulis mencoba melakukan penelitian
10 Departemen Agama, Peraturan Perundangan Perwakafan, 2006, hlm. 132-133 11 Laporan Pertanggungjawaban KUA Ngaliyan Bulan Januari Tahun 2008 12 Departemen Agama, Juklak Pensertifikatan Tanah Wakaf, Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan
Wakaf, 2003, hlm. 1.
6
tentang kesadaran hukum masyarakat di wilayah KUA Ngaliyan Kota Semarang yang
akan penulis tuangkan dalam skripsi ini dengan judul KESADARAN HUKUM
MASYARAKAT DALAM SERTIFIKASI TANAH WAKAF (Studi Kasus Di Wilayah
KUA Ngaliyan Kota Semarang).
B. Permasalahan
1. Bagaimanakah program sertifikasi tanah wakaf berjalan di wilayah KUA Ngaliyan .
2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi jalannya program tersebut
3. Sejauhmana kesadaran hukum masayarakat di wilayah KUA Ngaliyan.
a) Sejauhmana Pengetahuan Hukum Masyarakat dalam sertifikasi tanah wakaf
b) Sejauhmana Pemahaman Hukum Masyarakat dalam sertifikasi tanah wakaf
c) Sejauhmana Sikap Masyarakat dalam sertifikasi tanah wakaf
d) Sejauhmana Pola Perikelakuan Masyarakat dalam sertifikasi tanah wakaf
C. Tujuan Penulisan Skripsi
Setiap penulisan tentu berdasarkan atas maksud dan tujuan pokok yang akan
dicapai atas pembahasan materi tersebut. Maka penulis merumuskan tujuan penulisan
skripsi sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui jalannya program sertifikasi di wilayah KUA Ngaliyan.
2. Untuk mengetahui factor yang mempengaruhi jalannya program sertifikasi tanah
wakaf di wilayah KUA Ngaliyan
3. Untuk Mengetahui kesadaran hukum masyarakat dalam sertifikasi tanah wakaf
a. Menilai pengetahuan hukum masyarakat dalam sertifikasi tanah
wakaf
b. Menilai sejauhmana pemahaman hukum masyarakat dalam sertifikasi
tanah wakaf
7
c. Menilai sejauhmana sikap hukum masyarakat dalam sertifikasi tanah
wakaf
d. Menilai sejauhmana pola perikelakuan hukum masyarakat dalam
sertifiakasi tanah wakaf.
D. Telaah Pustaka
Dalam sebuah penelitian, telaah pustaka diperlukan dalam rangka memperjelas
masalah yang dikaji karena penelitian-penelitian yang serupa sudah pernah ditulis atau
dikaji baik yang sudah berbentuk buku maupun dari penelitian. Buku dan hasil
penelitian yang secara umum membicarakan Kesadaran Hukum dan sertifikasi tanah
wakaf adalah sbb :
Menurut Soerjono Soekanto, dalam buku Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan
Hukum, bahwa kesadaran hukum masyarakat dipengaruhi oleh empat indicator yang
saling berhubungan antara indicator satu dan yang lainnya 13 yakni a. Pengetahuan
hukum, b. Pemahaman hukum, c. Sikap hukum, d. Pola perikelakuan hukum.
Dr. R. Otje Salman, SH. Mengatakan bahwa, kesadaran hukum berkaitan dengan
nilai-nilai yang tumbuh dalam suatu masyarakat, dengan demikian masyarakat mentaati
hukum bukan karena paksaan melainkan hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat itu sendiri.14 Kesadaran hukum dalam penulisan ini diartikan sebagai
persepsi hukum individu atau masyarakat terhadap hukum.
Ronny Hanitidjo Soemitro, S.H., berpendapat bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi terhadap hukum sangat besar mempengaruhi kehidupan
masyarakat.15
13 Soerjono Soekanto , S.H., M.A., Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Jakart : Rajawali, 1982. 14 Dr. Otje Salman S.H., Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris : Alumni, Bandung,
1993 15 Ronny Hanitidjo Soemitro, S.H., Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum Dan Masyarakat, Bandung:
Remdja Karya, 1985, hlm 29.
8
Joseph Schacht dalam bukunya Pengantar Hukum Islam, yang mengatakan
tentang hukum objektif yang menjamin subjektifitas hak-hak individu. sejauh
persyaratan-persyaratan yang di tetapkan oleh si pemberi wakaf mempunyai kekuatan
hukum16 adanya persyaratan-persyaratan yang dibuat oleh wakif pada tanah wakaf yang
di wakafkan.
H. Abdurrahman, SH,MH., berpendapat bahwa masalah perwakafan tanah milik
dan kedudukan tanah wakaf di Indonesia pada dasarnya adalah membicarakan masalah
pranata hukum yang unik sekaligus rumit.17
Dalam buku, Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf, menjelaskan tentang syarat-
syarat wakaf, rukun wakaf, jenis wakaf, dan peraturan perundangan tentang wakaf.18
Di dalam Juklak Pensertifikasian Tanah Wakaf, membahas mengenai Peraturan
Pemerintah Nomor 28 tahun 1977, yang mengatur tata cara pelaksanaan sertifikasi tanah
milik yang sudah bersertifikat, tanah hak milik yang belum bersertifikat (bekas hak
milik adat) dan tanah yang belum ada hak miliknya.19
Ahmad Rofiq, “Hukum Islam di Indonesia”, yang secara umum mengkaji tentang
materi hukum Islam di Indonesia yang meliputi pengertian wakaf, sejarah hukum islam
di Indonesia, benda wakaf, pengawasan harta wakaf dan penyelesaian perselisihan harta
wakaf.20
Dr. H. Imam Suhadi, S.H., “Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat”, yang
menguraikan tentang pensertifikatan tanah wakaf, penggunaan tanah wakaf dan
16 Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, Jogjakarta : Islamika, 2003 . 17 H. Abdurrahman, S.H., M.H., Masalah Perwakafan Tanah Milik Dan Kedudukan Tanah Wakaf Di
Negara Kita, Bandung : PT. Citra Aditiya Bakti, 1994. 18 Muhammad Daud Ali, Sistem Hukum Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf, Jakarta : Universitas Indonesia
(UI-Press), 1988 . 19 Drs. H. Tulus, Juklak Pensertifikatan Tanah Wakaf, Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf
Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama Republik Indonesia, 2003 20 . Drs. Ahmad Rofiq, M. A., Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003, hlm. 490-
528.
9
pengelola tanah wakaf serta faktor atau motivasi yang mendorong perwakafan tanah
wakaf.21
Usaha untuk melindungi tanah wakaf sangat diperlukan, melindungi disini
maksudnya melindungi tanah wakaf dari segi hukum, fisik, komputerisasi, dan
melindungi dari bimbingan dan pengawasan tanah wakaf. sehingga tujuan dan manfaat
daripada tanah wakaf itu benar terjaga dengan baik.22
Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein, M.A., Pendaftaran Tanah Di Indonesai dan
Peraturan Pelaksanaannya, meyatakan tentang perlunya pendaftaran tanah wakaf
sebagai upaya melndungi sekaligus bukti telah adanya tanah wakaf sebelum adanya
ketentuan pensertifikatan tanah wakaf secara resmi.23
Disamping buku-buku diatas, terdapat pula hasil penelitian dalam bentuk skripsi
yakni Skripsi Nizar Zulmi yang berjudul Studi Analisis Pelaksanaan Sertifikasi Tanah
Wakaf di KUA Tembalang Kota Semarang. pada penelitian ini pembahasannya berbeda
dari pembahasan yang peneliti lakukan, karena skripsi ini di uraikan tentang praktek
sertifikasi tanah wakaf di KUA Tembalang.
Pada skripsi saudara Nizar juga disebutkan bahwa praktek sertifikasi tanah wakaf
di KUA Tembalang mendapat respon dari masyarakat kaitannya dengan penyuluhan
yang dilakukan pihak KUA. Hal ini berbeda pada penelitian yang sekarang peneliti
lakukan.
Letak perbedaan dapat dilihat bahwa skripsi saudara nizar hanya berkisar pada
masalah inovasi-inovasi yang dibuat oleh KUA Tembalang untuk meningkatkan
21 . Dr, H. Imam Suhadi . SH., Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, Yogyakarta: PT dan Bhakti Prima
Yasa, 2002, hlm. 95-98. 22 . Drs. H. Tulus, Strategi Pengamanan Tanah Wakaf, Jakarta: Proyek Peningkatan Pemberdayaan Wakaf
Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama Republik Indonesia, 2004, hlm. 51-112. 23 Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein, M.A., Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (
Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyin), Jakarta Timur: Prenada Media, 2004 .
10
sertifikasi tanah wakaf, sedang pada penelitian yang peneliti lakukan adalah pada aspek
kesadaran hukum masyarakatnya.
E. Metode Penelitian
Masalah tentang sertifikasi tentunya sudah banyak yang menelitinya, namun
penelitian tersebut kurang optimal. Sejauh penelusuran peneliti, belum menemukan
penelitian yang membahas tentang kesadaran hukum masyarkat dalam sertifikasi tanah
wakaf. oleh karena itu, metode yang peneliti gunakan pada penelitian ini adalah :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), penelitian ini
berada pada masyarakat di wilayah KUA Ngaliyan Kota Semarang dengan
mengfokuskan pada aspek kesadaran hukum masyarakat dalam sertifikasi tanah wakaf.
2. Sumber Data
Adapun untuk memperoleh data penelitian yang objektif dan ilmiah, penelitian ini
akan menggunakan metode sebagai berikut:
a. Sumber Data Primer
Adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan mengenakan
alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber
informasi yang dicari.24
Sebagai data primer pada penelitian ini adalah Masyarakat yang berada di wilayah
KUA Ngaliyan yang pernah melakukan sertifikasi tanah wakaf, atau masyarakat yang
pernah melakukan perwakafan.
b. Sumber Data Skunder
Sumber data skunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain, tidak langsung
dari subyek penelitian.
24 Saifuddin Azwar, Metode penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 1, 1998, hlm. 91.
11
Peneliti menggunakan data ini sebagai pendukung dari data primer yang peneliti
dapat secara langsung dari masyarakat atau dari lembaga-lembaga pemerintahan. Data
ini di dapat dari sumber-sumber yang relefan dengan bahasan yang peneliti kemukakan,
yakni : Peraturan perundang-undangan, buku, artikel.
3. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini adalah penelitian kualitatatif dengan paradigma naturalistik.
Penelitian dengan konteks naturalistik dengan harapan makna yang di angkat dari
penelitian tersebut memang dari konteksnya bukan dari konsep prapenelitian.25 maka
dalam memperoleh data, peneliti menggunakan metode :
a. Metode Observasi
Metode observasi yakni teknik pengumpulan data di mana peneliti mengadakan
pengamatan secara langsung atau tidak langsung, dengan alat atau tidak terhadap gejala-
gejala subyek yang di selidiki baik pada situasi sebenarnya atau situasi buatan.26
Menurut Guba, observasi itu interaktif, antar peneliti dengan yang di teliti, dan ada
pengaruh yang timbal balik.27
Observasi atau pengamatan, peneliti gunakan untuk mencari gejala-gejala hukum
tentang kesadaran hukum masyarakat dalam sertifikasi tanah wakaf yang muncul di
masyarakat.
Dalam melakukan observasi, peneliti interaktif dengan masyarakat, karena mereka
beraktifitas, maka secara bersama peneliti dan yang diobservasi membangun data
penelitian.
b. Metode Sampel
25 Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rake Sarasin, edisi III,
1998. 26 Burhan Ashshofa S.H., Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 1996, hlm 26. 27 Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Ibid, hlm 115.
12
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang di teliti.28 Oleh karena populasi
penelitian ini adalah masyarakat di Kecamatan Ngaliyan yang memiliki sifat homogen
serta terdapatnya perbedaan-perbedaan yang secara umum ada antara wilayah satu
dengan wilayah yang lain, maka peneliti hanya mengambil satu sampel kelurahan
Podorejo dengan memilih 27 masyarakat untuk di jadikan responden.
c. Metode Kuesioner atau Angket
Koesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh
informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia
ketahui.29
Penggunaan metode ini, peneliti gunakan untuk memperoleh data yang berkaitan
dengan pemahaman, pengetahuan, sikap hukum, dan pola perikelakuan hukum
masyarakat dalam sertifikasi tanah wakaf di wilayah KUA Ngaliyan dengan cara
membuat pertanyaan-pertanyaan disertai jawaban-jawaban pilihan yang berhubungan
dengan sertifikasi tanah wakaf, kemudian diberikan kepada responden untuk menjawab
setiap pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya.
d. Metode Wawancara/ Interview
Wawancara adalah sebuah percakapan antara dua orang atau lebih yang
pertanyaannya diajukan oleh peneliti kepada subyek atau sekelompok subyek penelitian
untuk dijawab.30
Metode wawancara di gunakan untuk menggali data dari sumber aslinya yakni
masyarakat di wilayah KUA Ngaliyan Kota Semarang berdasar pada sampel yang
dipilih, Penggunaan metode ini untuk mengetahui lebih jauh tentang pengetahuan,
28 Prof. Dr. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (suatu Pendekatan), Jakarta : Rineka Cipta, 2006,
hlm 131. 29 Ibid, hlm 151. 30 Cholid Narbuko, Metodologi Riset, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1986,
hlm. 48
13
pemahaman, sikap dan pola perikelakuan hukum masyarakat dalam sertifikasi tanah
wakaf.
Karena berkaitan dengan program pemerintah, maka dalam memperoleh data ini,
peneliti akan melakukan wawancara dengan pejabat KUA dalam hal ini PPAIW yang
bertugas mencatat sertifikasi tanah wakaf.
e. Metode Dokumentasi
Yaitu mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan-catatan, transkip, buku,
surat kabar, majalah, notulen rapat, dan lain sebagainya.31
Metode Dokumentasi di gunakan untuk melengkapi data dari sumber aslinya yakni
masyarakat di wilayah KUA Ngaliyan, dengan cara mengumpulkan dokumen sertifikasi
tanah wakaf yang ada di Kecamtan Ngaliyan dan data di KUA Ngaliyan kota Semarang.
4. Teknik Analisa Data
Menurut Moleong, analisa data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya kedalam suatu pola kategori dan uraian data.32
Teknik analisa yang digunakan merupakan analisa data kualitatif, dalam analisa ini
menekankan pada pengetahuan, pemahaman, sikap, dan pola perikelakukan masyarakat
dalam sertifikasi tanah wakaf di wilayah KUA Ngaliyan.
Untuk klarifikasi, verifikasi dan eksplanasi mengenai data dan fenomena yang
muncul dilapangan, dilakukan dengan mendiskripsikan sejumlah variabel-variabel
dengan masalah yang diteliti, untuk. kemudian dilakukan analisis secara deskriptif
kualitatif.
F. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan, sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab,
antara lain :
31 Suharsimi Arikunto, LokkCit, hlm. 236 32 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990, hlm. 103.
14
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi, latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua tinjauan umum tentang hukum dan Sertifikasi tanah wakaf. Bab ini
berbicara mengenai sejarah hukum dan teori kesadaran hukum. Yang terakhir pada bab
ini diterangkan tentang hukum wakaf dalam Islam yang meliputi, pengertian, syarat dan
rukun wakaf, jenis-jenis wakaf, beberapa pendapat ulama, peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang perwakafan tanah dan pendaftarannya serta sertifikasi
tanah wakaf.
Bab ketiga tentang profil masyarakat Kecamatan Ngaliyan, meliputi letak
geografis Kecamtan Ngaliyan, Sertifikasi tanah wakaf di KUA Ngaliyan, Faktor-faktor
yang mempengaruhi pelaksanaan sertifikasi, Kesadaran hukum masyarakat Ngaliyan
dalam sertifikasi tanah wakaf yang meliputi, pemahaman hukum, pengetahuan hukum,
sikap hukum dan pola perikelakuan hukum.
Bab keempat berisi analisa terhadap data yang tertera pada bab II dan bab III.
Pembicaraan dalam bab ini berkisar mengenai sertifikasi Di KUA Ngaliyan, kesadaran
hukum masyarakat dalam sertifikasi tanah wakaf di wilayah KUA Ngaliyan yang
meliputi Pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap dan pola perikelakuan
Masyarakat.
Bab kelima merupakan proses akhir dari semua bab, sehingga dapat di tarik
kesimpulan mengenai kesadaran hukum masyarakat dalam sertifikasi tanah wakaf. Bab
ini berisi kesimpulan, rekomendasi, dan penutup.
15
BAB II
TINJAUAN TENTANG HUKUM DAN SERTIFIKASI TANAH WAKAF
A. Kerangka Teori Kesadaran Hukum
1. Sejarah Pembentukan Hukum
Melalui sejarah hukum dapat diketahui bahwa hukum yang pertama berlaku dan
merupakan pencerminan kesadaran hukum rakyat Indonesia ialah hukum adat. Untuk
jangka waktu yang cukup lama hukum adat ini sebagai suatu norma hukum, bersama-
sama dengan norma-norma social lainnya dan norma agama hindu memainkan
peranannya berfungsi sebagai alat pengendalian social.
Hukum islam masuk di Indonesia bersama-sama dengan masuknya Agama islam
di Indonesia, meskipun ada perbedaan mengenai waktu masuknya, namun berdasarkan
kesimpulan dari seminar tentang masuknya islam ke Indonesia pada 17-20 Maret tahun
1963 di Medan, di sebutkan bahwa islam masuk di Indonesia pada abad pertama
hijriyah ( abad ketujuh/ kedelapan belas masehi ) dengan kesimpulan-kesimpulan bahwa
menurut sumber yang diketahui islam masuk pada abad pertama hijriyah melalui pesisir
Sumatra sampai ke pulau jawa yang dibawa oleh para saudagar.1
Dalam hukum-hukum jawa yang diwakili oleh babad tanah jawi, babad mataram
dan pepakem carbon pada abad keenam belas, Atho’ Madzar yang mengutip Hooker
menyatakan bahwa pengaruh hukum islam bersifat samar-samar karena hukum islam
dianggap hanya sebagian dari hukum dan itupun sejauh adat pribumi telah
menerimanya.2
1 Abdul ghofur, M.Ag., Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta : Pustak
Pelajar (di terbitkan atas kerjasama dengan Walisongo Press), 2002, hlm 116-117. 2 Ibid, hlm 122-123.
16
Atas dasar itulah, para ahli hukum belanda menganggap, bahwa sebelum dan
sesudah tahun 1300 di Indonesia berlaku hukum islam. Pandangan ini melahirkan
sebuah teori yang di sebut reception in complexeu. Teori ini dipelopori oleh para ahli
hukum belanda seperti C.F. Winter, Solomon Keyzer dan mencapai puncak ketenaranya
melalui L.W.C. Van den Berg. Politik hukum ini dapat dilihat pada politik hukum
colonial pada waktu itu, yang memberlakukan hukum islam bagi penduduk pribumi
yang beragama islam.3
Ajaran reception in complextu ternyata tidak bertahan lama, dengan dipelopori
oleh Cornelis Van Vollenhoven mulai mengkritik ketentuan-ketentuan yang termuat
dalam stadsblad 1855, sebelumnya ajaran reception in complexu. dikecam oleh Snouck
Hurgronje, yang waktu itu menjabat sebagai Penasihat Pemerintah Belanda Urusan
Islam dan bumiputra, kecamannya itu didasarkan atas penemuannya ( bahwa di Aceh
selain hukum islam berlaku pula ketentuan-ketentuan lain).
Atas dasar penemuannya itu, sebagai pengganti ajaran reception in complexu,
Snouck Hurgronje mengemukakan teorinya yang terkenal dengan teori receptie.
Muatan pokok dari teori ini merupakan prinsip dari divide et impera yang bertujuan
untuk menghambat dan menghentikan meluasnya hukum islam.4
Teori ini menghendaki bahwa hukum yang hidup dan berlaku dikalangan rakyat
Indonesia ( pada waktu itu ; bumiputra ) adalah hukum adat, Hukum islam meresepsi
terhadap hukum adat, hukum islam hanya mempunyai kekuatan berlaku jika hukum adat
menghendakinya. Ajaran inilah yang kemudian digunakan dasar untuk menentang isi
pasal-pasal yang termuat di dalam regeerings reglemeent (RR) tahun 1885 oleh van
Vollenhoven beserta para pengikutnya.
3 Dr. Otje Salman, SH., Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Bandung : Penerbit
Alumni, 1993, hlm 22 4 Dr. Ahmad Rofiq, M.A., Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta : Gama Media, 2001,
hlm 65.
17
Tampaknya, berlakunya ketentuan hukum tersebut tidak memuaskan mereka yang
menghendaki di Indonesia tetap diberlakukannya hukum islam tanpa melalui hukum
adat. Kelompok ahli hukum ini termasuk di dalamnya Hazairin menentang
diterapkannya teori receptie dalam perundang-undangan di Indonesia, khususnya
setelah Indonesia mencapai kemerdekaan. Mereka menghendaki digunakannya teori
receptie a contrario atau teori receptie exit yang menyatakan bahwa hukum adat baru
berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum islam. Teori baru tersebut, merupakan
kebalikan dari teori receptie Snouck Hurgronje.5
Sebagai sandaran teori baru ini adalah kenyataan bahwa dibeberapa wilayah
Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama islam dan kuat menjalankanya,
terdapat kecenderungan bahwa mereka menghendaki diberlakukannya hukum islam
pada perbuatan-perbuatan hukum tertentu, seperti dalam perkawinan, pewarisan,
perwakafan, dan kekeluargaan lainnya.
Hazairin berpendapat bahwa berlakunya hukum islam secara formal di Indonesia
hendaknya didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk itu.6
Menurut Dr. Ojte Salman, SH, hubungan antara hukum adat dan hukum islam
didasarkan atas ketiga teori yang telah dikemukakn diatas. Dari ketiga teori tersebut
dapat dilihat bahwa setiap teori, beserta para pendukungnya,mempunyai kecenderungan
untuk mengangkat salah satu system hukum, hukum adat atau islam pada kedudukannya
yang lebih tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut ia berpendapat bahwa hukum adat
dan islam memiliki taraf yang sejajar dalam daya berlakunya di Indonesia. Ini berarti
bahwa baik teori reception in complexu, teori receptie maupun teori receptie a contrario
daya berlakunya hukum tidak disebabkan oleh meresepsinya system hukum tersebut
5 Drs. Ahmad Rofiq, M.A., Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000, hlm 20-21. 6 Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Islam, Jakarta : Tinta Mas, 1974, hlm 101.
18
pada system hukum yang lainnya, tetapi hendaknya disebabkan olah adanya kesadaran
hukum masyarakat yang nyata menghendaki bahwa hukum itulah yang berlaku.7
Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa penyelidikan hukum dapat dilakukan
dengan cara mempelajari proses terbentuknya norma hukum dari kebiasaan-kebiasaan
masyarakat, atau dengan cara mempelajari timbulnya kebiasaan-kebiasaan masyarakat
sebagai akibat adanya suatu norma hukum.
Suatu perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dan dirasakan masyarakat
sebagai perbuatan yang sudah seharusnya, akan menjadi hukum kebiasaan. Di samping
itu kebiasaan dapat menjadi hukum apabila kebiasaan tersebut dirasakan sebagai suatu
kewajiban yang harus ditaati. Perasaan tersebut dapat terjadi apabila kebiasaan tersebut
dikukuhkan oleh pimpinan suatu masyarakat, hal ini biasanya terjadi pada masyarakat
tradisional. Sedangkan dalam masyarakat modern hal tersebut disebabkan oleh pendapat
umum, yurisprudensi dan doktrin. Bagi mereka yang tergolong dalam aliran
posistivisme hukum beranggapan bahwa hukum kebiasaan hanya berlaku sebagai
hukum yang sungguh-sungguh apabila undang-undang memberi kepadanya kekuatan
yang mengikat. Menurut teori tersebut hukum ada karena Negara menghendakinya.
Dengan demikian, sekalipun diakui bahwa hukum terbentuk dari kebiasan-kebiasaan
masyarakat, peranan Negara tampak dominan dalam pembentukan hukum.
Hal tersebut dapat terjadi karena masyarakat tumbuh dan berkembang secara
dinamis, sehingga perasaan hukum terhadap nilai-nilai yang ada sebelumnya pun akan
bergerak secara dinamis pula yang merupakan sebuah pencerminan kesadaran hukum
masyarakat.
Seperti telah di singgung di muka, bahwa politik hukum Indonesia mulai tampak
jelas sejak ditetapkannya ketetapan MPR No.IV/1973. dari ketetapan MPR tersebut
7 Dr. Otje Salman, Opcit, hlm 25.
19
ternyata bahwa pembangunan di bidang hukum harus diarahkan kepada penongkatan
dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional.
Hukum bukan saja merupakan gejala normative, melainkan juga merupakan gejala
social dan empiris. Hal tersebut diketahui dari pengertian hukum yang di kemukakan
oleh Mohktar Kusumaatmadja.
Hukum sebagai gejala normative dapat dilihat dari kata-kata “asas-asas dan
kaidah-kaidah” pada pengertian hukum di atas, sementara hukum sebagai gejala social
dapat dilihat dari kata-kata “lembaga-lembaga dan proses-proses”.8
Tentang factor-faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum, bisa jadi
dapat disebabkan oleh adanya ketakutan terhadap sanksi yang akan dikenakan apabila
melanggar hukum, atau karena kepentingan-kepentinganya terjamin oleh hukum, bahwa
akan mematuhi hukum karena merasa hukum yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai
yang ada dalam dirinya.
Seseorang mematuhi hukum dapat disebabkan factor-factor diatas, hal ini
berlainan dengan kesadaran hukum yang lebih berkaitan pada aspek pengetahuan,
pemahaman, sikap, dan pola perikelakuan hukum seseorang atau warga masyarakat.
2. Pengertian Kesadaran Hukum
Istilah kesadaran secara etimologi berasal dari kata sadar yang berarti merasa,
tahu, dan mengerti. Dalam istilah fiqh sadar berarti mengetahui atau mengerti tentang
tindak hukum yang dilakukan dan akibat hukumnya, serta dapat membedakan baik
buruk. Merasa dan mengerti bahwa perilaku tertentu diatur oleh hukum disebut
kesadaran hukum. Sadar juga berarti al-idrak ( berakal ), sadar atau kesadaran sangat
erat kaitannya dengan akal, hanya orang yang berakallah yang mempunyai kesadaran.9
8 Dr. Otje Salman, Look Cit, hlm 29. 9 Ensiklopedi Hukum Islam : Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Jilid 5, hlm 1525.
20
Abdul Qodir Audah, ahli hukum pidana islam dari mesir, menjelaskan fase-fase
kesadaran yang dilalui seseorang sejak ia dilahirkan sampai dewasa yakni ; fase,
sebelum mempunyai kesadaran ( sejak seseorang dilahirkan sampai mencapai usia 7
tahun ) atau fase anak-anak, fase telah memiliki kesadaran yang masih lemah /Mumayiz
( sejak seseorang berusia 7-15 tahun ), fase yang telah mempunyai kesadaran yang
sempurna ( yang di mulai dari usia 15 tahun sampai seseorang meninggal ) atau disebut
fase dewasa.10
3. Konsepsi Kesadaran Hukum
Konsep hukum diartikan sebagai garis-garis dasar kebijaksanaan hukum yang di
bentuk oleh suatu masyarakat hukum. Garis-garis dasar kebijaksanaan ini hakikatnya
merupakan pernyataan sikap suatu masyarakat hukum terhadap berbagai pilihan tradisi
atau budaya hukum, filsafat atau teori hukum, desain-desain pembentukan dan
penyelenggaraan hukum yang hendak dipilihnya.11
Penetapan konsep hukum merupakan tahap awal bagi proses pembentukan,
penyelenggaraan dan pembangunan hukum suatu masyarakat hukum. Pada tahab ini,
suatu masyarakat hukum harus memilih dan menetapkan suatu desain pembentukan
penyelenggaraan dan pembangunan hukum yang dipilihnya dengan mempertimbangkan
kondisi social, budaya, psikologi dan seluruh aspek kemasyarakatan.
Untuk tradisi hukum, masyarakat harus memilih budaya hukum tertulis, tidak
tertulis atau kombinasi keduanya dengan mempertimbangkan aspek posistif dan
negative dari masing-masing tradisi itu.
Secara keseluruhan, penetapan konsep hukum hakikatnya adalah penetapan,
pemulihan, atau peningkatan eksistensi, kompetensi, dan fungsi dari masing-masing
10 Ibid, 11 Prof. Dr. lili Rasjidi, S.H., S. Sos., LL.M, IB Wyasa putra, S.H., Hukum Suatu Sitem, bandung : Remaja
Rosdakarya, 1993, hlm 111.
21
komponen system hukum sehingga formulasi konsep hukum itu merupakan desain
fungsi dari setiap komponen system hukum dan desain proses dari suatu system hukum.
Dari konsep inilah merupakan awal dari adanya konsep kesadaran hukum
masyarakat terhadap konsep yang menjadi kesepakatan dalam masyarakat.
Faham kesadaran hukum sebenarnya berkisar pada warga-warga masyarakat
merupakan suatu factor yang menentukan bagi sahnya hokum, pada awalnya masalah
kesadaran hukum timbul didalam proses penerapan dari pada hukum positif tertulis.
Didalam kerangka proses tersebut timbul masalah. Oleh karena adanya ketidak sesuaian
antara dasar sahnya hukum ( yaitu pengendalian social dari penguasa atau kesadaran
masyarakat ) dengan kenyataan-kenyataan dipatuhinya atau tidak ditaatinya hukum
tertulis tersebut. Ide tentang kesadaran warga-warga masyarakat sebagai dasar sahnya
hukum positif tertulis ditemukan didalam ajaran-ajaran tentang Rechtsgefuhl atau
Rechtbewusstein yang intinya adalah, bahwa tidak ada hukum yang mengikat warga-
warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukumnya (G.E. Langemeijer 1970 ).12
Pendapat tersebut di atas mengarahkan persoalan pada masalah bagaimana para
warga masyarakat untuk siapa hukum dibuat, merasakan dan menerima hukum tersebut.
Masalah yang sama juga terungkap oleh ajaran-ajaran yang berpendapat pokok, bahwa
sahnya hukum ditentukan oleh kesadaran dari kelompok social. apa yang penting
adalah kesungguhan daripada tekanan-tekanan social yang ada di belakang peraturan-
peraturan. (H.L.A. Hart 1961). Podgorecki, pembentukan hukum dan masyarakat,
apabila pembentuk hukum menerbitkan peraturan-peraturan yang tidak cocok dengan
kesadaran atau perasaan masyarakat, maka diharapkan akan timbul reaksi-reaksi yang
negative dari masyarakat. Semakin besar pertentangan-pertentangan antara peraturan
dan kesadaran tersebut, semakin sulit untuk menerapkannya. Sudah tentu pembentuk
12 Dr. Soerjono Soekanto, SH. MA., Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta : Rajawali, 1982,
hlm 143.
22
hukum dapat memperlakukannya dengan paksaan, dengan akibat meningkatnya biaya-
biaya social ( A. Podgoreeki 1973 ).13
Ada sesuatu kecenderungan yang sangat kuat, agar terjadi kesesuaian dan
keserasian yang proporsional antara hukum yang diterapkan dengan kesadaran hukum
dari masyarakat yang bersangkutan.
Kesadaran hukum sebenarnya mengandung dua sisi, sisi yang satu merupakan
suatu kategori dari keadaan batin individual dan sisi yang kedua merupakan penentuan
bersama dari suatu lingkungan tertentu.14 Dengan kata lain konsepsi tentang kesadaran
hukum menunjuk pada interdependensi mental dan interpenetrasi mental, yang masing-
masing berorientasi pada “aku”nya manusia dan pada “kami”nya.
Soerjono Soekanto dalam bukunya menyatakan bahwa perasaan hukum dan
keyakinan hukum individu di dalam masyarakat merupakan kesadaran hukum individu
dan menjadi pangkal dari kesadaran hukum masyarakat. Sehingga kesadaran hukum
dapat dikatakan bahwa perasaan dan kenyakinan hukum inilah yang merupakan inti dari
kesadaran hukum. Bila perasaan dan keyakinan dari individu-individu itu membentuk
menjadi satu dalam masyarakat, maka kesadaran hukum tersebut merupakan kesadaran
hukum pada masyarakat. 15
Sehingga perlu adanya pembedaan antara kesadaran hukum dan perasaan hukum
dalam masyarakat. Perasaan hukum diartikan sebagai penilaian hukum yang timbul
secara serta merta dari masyarakat. Kesadaran hukum lebih banyak merupakan
13 Ibid, hlm 146-147. 14 John Z. Loudoe, S.H., Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, Jakarta, Bina Aksara, 1985, hlm
163. 15 Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 1988, hlm
146-147.
23
perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukannya
melalui penafsiran-penafsiran secara ilmiah ( J.J. Von Schmid 1965:63).16
Jadi kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam
diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada yakni
tentang nilai-nilai hukum dan bukan penilaian hukum terhadap suatu kejadian-kejadian
yang kongkrit dalam suatu masyarakat yang bersangkutan.
Suatu konsep lain yang erat hubungannya dengan kesadaran hukum adalah
mengenai kebudayaan hukum ( legal culture ). Konsep ini secara relative baru
diperkembangkan, dan salah satu gunanya adalah untuk dapat mengetahui perihal nilai-
nilai terhadap prosedur hukum maupun substansinya ( L.M. Friedman 1969 :29-44).17
Konsepsi kebudayaan hukum lebih tepat, oleh karena kesadaran hukum banyak
sekali berkaitan dengan aspek-aspek kognitif dan perasaan yang sering kali dianggap
sebagai factor-faktor yang mempengaruhi hubungan antara hukum dengan pola-pola
perilaku manusia dalam masyarakat.
Setiap masyarakat senantiasa mempunyai kebutuhan-kebutuhan utama dan
didalam memenuhi kebutuhan utamanya para warga masyarakat mendapatkan
pengalaman-pengalaman tentang factor-faktor yang mendukung dan yang mengahalang-
halangi usahanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan utama tersebut.
Bila dianggap bahwa hukum merupakan konkretisasi dari system nilai-nilai yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, maka suatu keadaan yang dicita-citakan
adalah adanya keselarasan dan keseimbangan antara hukum dengan system-sitem nilai
tersebut, dengan demikian konsekwensinya adalah bahwa perubahan pada system nilai-
nilai harus di ikuti dengan perubahan hukum atau dilain pihak hukum harus dapat
dipergunakan sebagai sarana untuk mengadakan pada system nilai-nilai tersebut.
16 Dr. Soerjono Soekanto, Kesadaran dan Kepatuhan Hukum Masyarakt, Op. Cit, hlm 152. 17 Ibid, hlm 153.
24
Dalam kaitannya dengan kesadaran hukum terdapat empat indicator kesadaran
hukum, yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu:18
a) Pengetahuan hukum
Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa
perilaku tertentu yang di atur oleh hukum. Sudah tentu hukum disini adalah
hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan
perilaku yang dilarang ataupun sesuatu perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.
Pengetahuan hukum tersebut erat juga kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat
dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut telah di
undang-undangkan.
b) Pemahaman hukum
Pemahaman hukum dalam arti disini adalah sejumlah informasi yang
dimiliki seseorang, mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan lain
perkataan pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari
suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta
manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut.
Pemahaman hukum ini dapat diperoleh bila peraturan tersebut dapat dengan
mudah dimengerti oleh warga masyarakat.
c) Sikap hukum
Sikap hukum adalah suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena
adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau
menguntungkan jika hukum itu ditaati. Sebagaimana terlihat bahwa kesadaran
hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang terdapat di masyarakat. Suatu sikap
hukum akan melibatkan pilihan-pilahan warga terhadap hukum yang sesuai
18 Dr. Otje Salman S.H., Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Bandung : Penerbit
Alumni, 1993, hlm 30
25
dengan nilai-nilai yang ada pada dirinya sehingga akhirnya warga masyarakat
menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya.
Kaitannya dengan sikap hukum Soerdjono Soekanto mengatakan, bahwa
perlu adanya pembedaan sikap, sikap yang fundamental dan instrumental. Sikap
fundamental merupakan sikap yang dilakukan secara serta merta tanpa
memperhitungkan untung ruginya, sedang sikap instrumental merupakan sikap
yang memperhitungkan keburukan dan kebaikan dari kaidah hukum.19
d) Pola perikelakuan hukum
Pola perikelakuan hukum merupakan setiap perikelakuan teratur yang
bertujuan untuk mencapai keserasian antara ketertiban dengan kebebasan.20 Pola
ini merupakan yang utama dalam kesadaran hukum, karena disini dapat dilihat
apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dengan demikian
sampai berapa jauh kesadaran hukum masyarakat dapat dilihat dari pola
perikelakuan hukum suatu masyarakat.
Apabila indicator-indikator di atas terpenuhi, maka derajat hukumnya tinggi,
begitu pula sebaliknya, akibat tingginya kesadaran masyarakat mengakibatkan para
warga masyarakat menaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, begitu pula
sebaliknya.
Bila dipandang secara sempit, konsep kesadaran hukum seakan mensyaratkan
terdapatnya peraturan-peraturan hukum terlebih dahulu sebelum kesadaran hukum
timbul. Dalam sudut pandang yang lebih luas, konsep dapat diterapkan pada dua titik
pusat. Bila titik pusat kesadaran hukum pada peraturan-peraturan hukum, melaui konsep
ini dapat dilihat sampai sejauhmana efektifitas peraturan-peraturan hukum tersebut
dalam masyarakat. Sementara titik pusat kesadaran hukum adalah fakta-fakta social,
19 Dr. Soerjono Soekanto, Look Cit, hlm 244. 20 Ibid, hlm 247-248.
26
melalui konsep ini dapat dilihat proses pembentukan hukum dari fakta-fakta social
tersebut.21
Selanjutnya, konsep yang digunakan dalam tulisan ini adalah konsep hukum
sertifikasi yang secara khusus menyangkut tanah wakaf.
Tentang konsep hukum islam, pada tulisan ini adalah hukum islam dalam
pengertian yang luas, yaitu bahwa hukum islam mengatur masalah hubungan manusia
dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.
Konsep hukum sertifikasi mengandung pengertian sebagai tindakan untuk
memberikan kepastian hukum terhadap sesuatu yang dijadikan untuk itu, meskipun pada
dasarnya konsep ini tidak dijelaskan secara jelas dalam perwakafan islam, karena
memang tindakan mewakafkan dalam islam adalah semata-mata hanyalah untuk ibadah
kepada Allah.
Di lihat dari hukum sertifikasi di atas tidak akan terlepas dari hukum islam yang
mengatur masalah wakaf, karena pranata wakaf merupakan sebuah pranata yang berasal
dari hukum Islam. Sehingga bila berbicara tentang permasalahan perwakafan, tidak akan
lepas dari pembicaraan tentang konsepsi wakaf menurut hukum Islam. Akan tetapi,
dalam Islam tidak ada konsep yang tunggal tentang wakaf, karena apabila mendalami
tentang wakaf, akan dihadapkan pada pendapat yang beragam.22 Maka dari itu akan
penulis bahas sebagian pendapat dalam skripsi ini, dengan mengawali pada pengertian
wakaf.
B. Hukum Wakaf Dalam Islam
1. Pengertian Wakaf
21 Dr. Otje Salman, Opcit, hlm 44. 22 Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita,
Bandung: PT. Aditya Bakti, Cet. Ke-4, 1994, hlm. 15.
27
Secara bahasa, wakaf berasal dari bahasa Arab al–waqf bentuk masdar dari
waqafa–yaqifu–waqfan.23 di dalam kepustakaan, sinonim waqf adalah habs, keduanya
merupakan kata benda yang berasal dari kata kerja waqafa dan habasa, yang artinya
menghentikan, bentuk jamaknya adalah awqaf dan habasa untuk habs, perkataan habs
atau ahbas biasanya di pergunakan di Afrika Utara dikalangan pengikut mazhab
Maliki.24
Dalam kamus bahasa Indonesia kata wakaf diartikan sebagai sesuatu benda yang
diamalkan (tanah, bangunan dan sebagainya) untuk kemakmuran agama (Islam).25
Dalam hukum fiqh, istilah tersebut berarti menyerahkan suatu hak milik yang
tahan lama zatnya kepada seseorang atau nazhir (penjaga wakaf), atau kepada suatu
badan hukum pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaat digunakan kepada
hal-hal yang sesuai dengan ajaran syari’at Islam.26
Dari berbagai pengertian wakaf menurut bahasa di atas, maka dapat disimpulkan,
bahwa al-habs maupun al-waqf sama-sama mengandung makna menahan, mencegah
atau melarang dan diam. Di katakan menahan karena wakaf ditahan dari kerusakan,
penjualan dan semua tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. Menurut istilah
syara’ wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaat di jalan Allah.27
Para ahli fiqh berbeda dalam mendefinisikan wakaf menurut istilah, sehingga
mereka berbeda pula dalam memandang hakikat wakaf itu sendiri. 28 Berbagai
pandangan tentang wakaf menurut istilah sebagai berikut:
23 A. W. Munawir, Kamus al–Munawir Arab–Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, Cet.
Ke–4, 1994, hlm. 1578. 24 Muhammad Daud Ali, SistemEkonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI-Press, 1988, hlm 80 25 Pius A Partanto (eds), Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994, hlm. 782. 26 Harun Nasution, Ersiklopedi Islam Indonesia, Djambatan: IAIN Syarif Hidayatullah, t.th., hlm. 981 27 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 14, Bandung: PT. Al Ma’arif Penerbit Percetakan Offset, 1987, hlm.
148. 28 Idham Khalid Baedawi, Fiqh Wakaf, Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal
Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, hlm. 2.
28
a. Abu Yusuf dan Imam Muhammad
Mengartikan wakaf adalah penahanan pokok suatu benda di bawah hukum
benda Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga hak pemilikan dari wakaf berakhir dan
berpindah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk tujuan yang hasilnya
dipergunakan untuk makhluk-Nya (seperti dikutip dari FyZee, 1966: 83).29
b. Maulana Muhammad
Wakaf berarti penetapan yang bersifat abadi untuk memungut hasil dari
barang yang diwakafkan guna kepentingan orang seorang, atau yang bersifat
keagamaan, atau untuk tujuan amal.30
c. Jumhur Ulama
Wakaf adalah merupakan suatu harta yang mungkin dimanfaatkan selagi
barangnya utuh, dengan putusnya hak penggunaan dari si wakif atau orang lain,
untuk kebajikan yang semata-mata demi mendekatkan diri kepada Allah.31
d. Muhammad Ibn Ismail as-Sau’any
Wakaf adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa
menghabiskan atau merusak bendanya dan digunakan untuk kebaikan.32
e. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam KHI, wakaf didefinisikan sebagai perbuatan hukum seseorang atau
kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda
miliknya dan melembagakannya uantuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat
atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
f. Dalam Ensiklopedi Islam
29 H. Abdurrahman, S.H., M.H., Masalah Perwakafan Tanah Milik Dan Kedudukan Tanah Wakaf Di Negara Kita, Bandung : P.T Citra Aditiya Bakti, 1994., hlm. 18
30 Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2005, hlm. 12.
31 Abdurrahman, Op. Cit., hlm. 20. 32 Said Agil Husin Al-Munawir, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani, 2004, hlm. 127
29
Waqf adalah memberikan harta kekayaan dengan sukarela atau suatu
pemberian yang berlaku abadi untuk kepentingan pemerintah Islam untuk
kepentingan keagamaan atau kepentingan umum.33
Wakaf termasuk salah satu bentuk filantropi (kedermawanan), selain zakat, infaq
dan sedekah yang senantiasa diharapkan pengamalannya, seperti terlihat dalam pesan-
pesan ajaran Islam. Dengan demikian, berwakaf adalah perbuatan baik yang sangat
dianjurkan agama.34
Dari beberapa pengertian wakaf di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa wakaf meliputi:
a. Harta benda milik seseorang atau kelompok.
b. Harta benda tersebut bersifat kekal zatnya, tidak habis apabila dipakai.
c. Harta tersebut kepemilikannya oleh pemiliknya.
d. Harta yang lepas kepemilikannya tersebut tidak bisa dihibahkan, diwariskan
atau diperjualbelikan.
e. Manfaat dari harta benda tersebut adalah untuk kepentingan umum sesuai
dengan ajaran agama Islam.
2. Dasar Hukum wakaf
A. Dasar Hukum Wakaf Yang Bersumber Dari Nash
Di dalam al-Qur’an tidak pernah berbicara secara spesifik dan tegas tentang
wakaf. Hanya saja karena wakaf itu merupakan salah satu bentuk kebajikan melalui
harta benda, maka para ulama pun memahami bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang
memerintahkan pemanfaatan harta untuk kebajikan juga mencakup wakaf.35
Dalil yang dipakai sebagai dasar hukum wakaf adalah sebagai berikut:
33 Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. Ke–2, 1999, hlm. 432.
34 DEPAG, Strategi Pengamanan Tanah Wakaf, Jakarta: Proyek Peningkatan Pemberdayaan Wakaf Ditjen Bimas Islam dan Penyelengaraan Haji Departemen Agama RI, 2004, hlm. 2.
35 Helmi Karim, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 103
30
1. QS. Ali Imran ayat 92:
ليمبه ع ء فإن اللهينفقوا من شا تمون وحبا تنفقوا ممى تتح الوا البرنال (لن ت )92: عمران
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (QS. Ali Imran: 92)
2. QS. Al-Baqarah ayat 267:
)267: البقرة(يا أيها الذين آمنوا أنفقوا من طيبات ما كسبتم ومما أخرجنا لكم من األرض
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu”. (QS. al-Baqarah: 267)
Jika menelaah berbagai firman Allah di atas, maka dapat dimengerti
penyampaian perintah pelaksanaan adalah bersifat umum, berupa suatu perintah
untuk berbuat kebaikan. Kebaikan dimaksud adalah mengandung dan mencakup
pengertian zakat, infak, shadaqah dan tidak ketinggalan pengertian wakaf. Wakaf
dikatakan sebagai suatu kebaikan, karena wakaf merupakan penyerahan harta
benda untuk kepentingan sosial yang tujuannya semata-mata untuk mendekatkan
diri (taqarruf) kepada Allah SWT dalam rangka mendapatkan pahala dari pada-
Nya.36
B. Dasar Hukum Wakaf Yang bersumber dari Hadits
Ada beberapa hadits yang berbicara tentang wakaf yang secara umum
bermaksud menjelaskan wakaf. Hadits tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Hadits Rasulullah SAW dari Ibnu Umar
يارسول اهللا : م يستأمره فيها فقال.فأتى النيب ص.أصاب عمر أرضا خبيرب: عن ابن عمر قالإن شئت : فماتأمرىن به؟ قال. إىن أصبت أرضا خبيرب مل أصب ماال قط هو أنفس عندى منه
36 Taufik Hammami, Perwakafan Tanah dalam Politik Hukum Agraria Nasional, Jakarta: PT Tatanusa,
2003, hlm. 41-42.
31
يبتاع وال يورث وال. فتصدق ا عمر أنه اليباع أصلها: قال. حبست أصلها وتصدقت افتصدق عمر ىف الفقراء وىف القرىب وىف الرقاب وىف سبيل اهللا وابن السبيل : قال. وال يوهب
والضيف ال جناح على من وليها أن يأكل منها باملعروف أويطعم صديقا غري متمول فيه )رواه مسلم(
Artinya: “Dari Ibnu ‘Umar ra. Berkata:“Umar telah menguasai tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada Nabi SAW. guna meminta instruksi sehubungan dengan tanah tersebut”. Ia berkata: “Ya Rasulullah, aku telah memperoleh sebidang tanah di Khaibar, yang aku tidak menyenanginya seperti padanya, apa yang engkau perintah kepada-ku dengannya? “Beliau bersabda: “Jika kamu menginginkannya, tahanlah asalnya, dan shadaqahkan hasilnya”. Maka bershaqahlah Umar, tanah tersebut tidak bisa dijual, dihibahkan, diwariskan. Ia menshadaqahkannya kepada orang-orang fakir, budak-budak, pejuang dijalan Allah, ibnu sabil, dan tamu-tamu. Tidak berdosa orang yang mengelolanya, memakan dari hasil tanah tersebut dengan cara yang ma’ruf dan memakannya tanpa maksud memperkaya diri”.
2. Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu
Hurairah:
عن اىب هريرة ان رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قال اذا مات االنسان انقطع عمله اال من )رواه مسلم( او ولد صاحل يدعوله . اوعلم ينتفع به.اال من صدقة جارية :ثالثة
Artinya: ”Dari Abu Hurairah ra. Berkata: sesungguhnya Nabi SAW. Bersabda: “Apabila manusia meninggal maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang berdoa untuk orang tuanya”.
Jelas, maksud dari shadaqah jariyah adalah wakaf. Karena pahala wakaf akan
terus-menerus mengalir selama harta benda wakaf masih dimanfaatkan.
Sebagaimana keutamaan shadaqah jariyah yang manfaat dan pengaruhnya kekal
setelah pemberi sedekah meninggal dunia.37 Itulah antara lain dari beberapa dalil
yang menjadi dasar hukum disyari’atkannya wakaf dalam syari’at Islam. Bila dilihat
dari beberapa dalil di atas, sesungguhnya melaksanakan wakaf bagi muslim
37 Yusuf Qardhawi , Fii Fiqh al-Aulawiyyaati Diraasah Jadiidah fii dhau’ al-Qur’an wa as-Sunnati , Terj. Muhammad Nurhakim “Urutan Amal yang Terpenting dari yang Penting, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 123.
32
merupakan suatu realisasi ibadah kepada Allah SWT melalui harta benda yang
dimilikinya, yaitu dengan melepaskan benda tersebut guna kepentingan orang lain.
Meski demikian, ayat al-Qur’an dan hadits di atas bisa menjadi pedoman para ahli
fiqh Islam. Dimana sejak masa Khulafa’ur Rasyidin sampai sekarang, dalam
membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan.
Wakaf adalah ibadah atau pengabdian kepada Allah SWT, yang bermotif rasa
cinta kasih kepada sesama manusia, membantu kepentingan orang lain dan
kepentingan umum. Dengan mewakafkan sebagian harta bendanya, akan tercipta
rasa solidaritas seseorang.38
Dengan demikian, wakaf dapat penulis artikan sebagai suatu perbuatan
memisahkan harta milik pribadi yang digunakan untuk kepentingan umum dalam
rangka mencari ridlo Allah SWT semata dan setelah benda tersebut diwakafkan
maka benda tersebut tidak ada di tangan wakif dan disyaratkan benda yang
diwakafkan adalah benda yang jelas.
3. Rukun-rukun Wakaf
Rukun adalah sesuatu yang merupakan sendi utama dan unsur pokok dalam
pembentukan sesuatu hal. Perkataan rukun berasal dari bahasa Arab “ruknun” yang
berarti tiang, penopang atau sandaran.39 Dengan kata lain, sesuatu yang karenanya baru
ada hukum dan dengan ketiadaannya tidak akan ada hokum.40 Atau dengan kata lain
rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perbuatan.
Dengan demikian, sempurna tidaknya wakaf sangat dipengaruhi oleh rukun-rukun
yang ada dalam perbuatan wakaf tersebut. Masing-masing rukun tersebut harus saling
38 Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2002,
hlm. 7. 39 Anton M. Moelyono, (et.al), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1989,
hlm. 757. 40 Muhammad Rifa’i, Ushul Fiqh, Semarang: Wicaksana, 1991, hlm. 15.
33
menopang satu dengan yang lainnya. Karena keberadaan yang satu sangat menentukan
keberadaan yang lainnya. Wakaf dikatakan sah, maka harus memenuhi ketentuan-
ketentuan sebagai berikut:
Wakif )واقف(
Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan
benda miliknya (KHI Pasal 215 ayat (1)).41 Adapun syarat-syarat wakaf yang harus
dipenuhi adalah sebagai berikut:
1. Cakap berbuat tabarru. Berhak berbuat kebaikan, sekalipun ia bukan muslim42
2. Sehat akalnya dan dalam keadaan sadar
3. Kehendak sendiri tidak sah bila dipaksa
4. Telah mencapai umur dan cakap
5. Pemilik sah dari barang (benda) wakaf
Mauquf atau harta yang di wakafkan
Mauquf adalah benda yang diwakafkan. Benda wakaf adalah segala benda,
baik benda bergerak atau benda tidak bergerak yang memiliki daya tahan dan tidak
hanya dapat sekali pakai serta bernilai menurut ajaran Islam.43
Adapun syarat-syarat maukuf adalah sebagai berikut:
a. Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak sekali pakai
b. Benda wakaf dapat berupa milik kelompok atau badan hukum
c. Hak milik wakif jelas batas-batas kepemilikannya, selain itu benda wakaf
merupakan benda yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan
sengketa
41 Departemen Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pasal 215 ayat (1), hlm. 95.
42 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Alqeisindo, 1997, hlm. 341. 43 Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit., hlm. 95.
34
d. Benda wakaf itu tidak dapat dimiliki dan dilimpahkan kepemilikannya
e. Benda wakaf dapat dialihkan jika hanya jelas-jelas untuk maslahat yang lebih
besar
f. Benda wakaf tidak dapat diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan.
Mauquf ‘Alaih atau Tujuan Wakaf
Seharusnya wakif menentukan tujuan ia mewakafkan harta benda miliknya.
Apakah diwakafkan hartanya itu untuk menolong keluarganya sendiri, untuk fakir
miskin, sabilillah dan lain-lain, atau diwakafkan untuk kepentingan umum. Yang
utama adalah bahwa wakaf itu diperuntukkan pada kepentingan umum. Yang jelas,
syarat dari tujuan wakaf adalah untuk kebaikan, mencari ridlo Allah SWT dan
mendekatkan diri kepada-Nya.
Tujuan wakaf merupakan wewenang wakif. Apakah harta yang diwakafkan itu
untuk menolong keluarganya sendiri sebagai wakaf keluarga (wakaf ahli), atau untuk
fakir miskin dan lain-lain, atau untuk kepentingan umum (wakaf khairi).44
Oleh karena itu, tujuan wakaf tidak bisa digunakan untuk kepentingan maksiat
atau membantu, mendukung dan memungkinkan peruntukkan untuk tujuan maksiat.
Sighat Atau Ikrar Peryataan Wakaf
Para fuqoha sepakat bahwa orang yang yang berwakaf harus membuat
pernyataan yang di sebut dengan shighat. Sighat adalah pernyataan wakif sebagai
penyerahan barang atau benda yang diwakafkan itu, dapat dilakukan dengan lisan
ataupun tulisan.45 Para fuqoha membedakan shighat kepada lafaz yang nyata ( al-
sarih) dan lafaz yang yang tidak jelas ( kinayah ) sepakat bahwa orang yang yang
berwakaf harus membuat pernyataan yang di sebut dengan shighat.
44 Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual: dari Normative ke Pemahaman Sosial, Semarang: Pustaka Pelajar,
2004, hlm. 323. 45 Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005, hlm. 20.
35
Para fuqoha telah menetapkan bahwa shighat wakaf juga harus memnuhi
sayarat sebagi berikut :46
a. Shighat wakaf itu harus mengandung pernyataan yang berarti kekal (al-
Ta’bid).
b. Shighat wakaf itu harus mengandung arti tegas dan tunai, tidak boleh di
tangguhkan untuk masa yang akan datang.
c. Shighat wakaf harus mengandung kepastian artinya tidak boleh diikuti
syarat kebebasan memilih.
d. Shighat wakaf itu harus tidak diikat dengan syarat yang batil.
e. Shighat wakaf harus mengandung penjelasan tempat atau tujuan wakaf
artinya seseorang yang berwakaf harus menjelaskan ke mana dan untuk apa
atau untuk apa wakaf itu diberikan.
Karena tindakan mewakafkan sesuatu itu di pandang sebagai perbuatan hukum
sepihak, maka dengan pernyataan wakif yang merupakan ijab, perwakafan telah
terjadi.47
Nazhir Wakaf atau Pengelola Wakaf
Pada umumnya di dalam kitab-kitab fiqh tidak mencantumkan nazhir wakaf
sebagai salah satu rukun wakaf, karena wakaf merupakan ibadah Tabarru’. Namun
sesuai dengan tujuan wakaf yaitu untuk melestarikan manfaat dari benda wakaf, maka
kehadiran nazhir sangat diperlukan.48
Nazhir adalah orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf. Nazhir berarti
orang yang berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk mengurusnya,
46 H. Abdurrahman, SH, MH., Masalah Perwakafan Tanah Milik Dan Kedudukan Tanah Wakaf Di
Negara Kita(edisi revisi), Bandung : Citra Aditya Bakti, 1994, hlm 52-53. 47 Ibid 48 Drs. Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2000, hlm 498.
36
memeliharanya, dan mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang berhak
menerimanya.49
Pada dasarnya, siapa saja dapat menjadi nazhir asalkan dia tidak terhalang
melakukan perbuatan hukum. Akan tetapi, kalau nazhir itu adalah perseorangan, ada
beberapa syarat yang harus dipenuhinya yaitu: beragama Islam, dewasa, dapat
dipercaya serta mampu secara jasmani dan rohani untuk menyelenggarakan urusan
yang berkaitan dengan wakaf.50
4. Syarat-syarat Wakaf
Menurut hukum, untuk sahnya amalan wakaf diperlukan syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Wakaf harus secara tunai
Wakaf harus dilakukan secara tunai, sebab pernyataan wakaf berakibat
lepasnya hak milik seketika setelah wakif menyatakan berwakaf.51
b. Tujuan wakaf harus jelas
Oleh karena itu bila seseorang mewakafkan hartanya tanpa menyebutkan
tujuannya sama sekali, maka di pandang tidak sah. Meskipun demikian, jika wakif
mengesahkan wakafnya itu kepada suatu badan hukum, maka ia di pandang sah.
Sebab penggunaan harta wakaf menjadi tanggung jawab badan hukum.52
c. Wakaf yang sah harus dilaksanakan
Wakaf yang sah itu wajib dilaksanakan, dengan syarat tidak boleh ada khiyar
(membatalkan atau melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan) sebab
49 Said Agil Husin Al-Munawir, Op. Cit., hlm. 151. 50 Abdul Ghofur Anshori, Op. Cit, hlm. 28. 51 Ibid, hlm. 30. 52 Ibid.
37
pernyataan wakaf berlangsung seketika dan untuk selamanya. 53 Dalam
hubungannya dengan syarat-syarat wakaf di atas, apabila wakif mengajukan syarat
mengenai harta wakaf, maka syarat itu harus dihormati sepanjang tidak
bertentangan dengan syariat Islam.
5. Jenis-jenis Wakaf
Untuk jenis-jenis wakaf harta wakaf bisa ditinjau dari dua segi yaitu ditinjau dari
tujuan wakaf dan ditinjau dari harta wakaf. Bila ditinjau dari tujuan wakaf, wakaf dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Wakaf Ahli
Wakaf ahli adalah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu,
seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan.54
Apabila ada seseorang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu
kepada cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah
mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.
Dalam satu segi, wakaf ahli (dzurri) ini baik sekali, karena si wakif akan
mendapat dua kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibadah wakafnya, juga kebaikan
dari silaturrahmi terhadap keluarga yang diberikan harta wakaf.55
Pada perkembangan selanjutnya, wakaf ahli untuk saat ini dianggap kurang
dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umum, karena sering menimbulkan
kekaburan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang diserahi
harta wakaf.
b. Wakaf Khoiri
53 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI-Press, 1988, hlm. 87. 54 DEPAG, Fiqh Wakaf, Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal Bimas Islam
dan Penyelenggaraan Haji, 2003, hlm. 14. 55 Ibid.
38
Wakaf khoiri adalah wakaf yang ditujukan untuk kebaikan tetapi bukan
untuk keluarga. 56 Wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama atau
kemasyarakatan (kebajikan umum. 57 Seperti wakaf yang disertakan untuk
keperluan pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak
yatim dan lain sebagainya.
Dalam tinjauan pembangunannya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak
manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-
pihak yang ingin mengambil manfaatnya. Dan jenis inilah yang sesungguhnya
paling sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara umum.
Secara substansi, wakaf inilah yang merupakan salah satu segi dari cara
membelanjakan (manfaat) harta jalan Allah SWT. Dan tentunya kalau di lihat dari
kegunaannya merupakan salah satu sarana pembangunan, baik di bidang
keagamaan, khususnya peribadatan, perekonomian, kebudayaan, kesehatan,
keamanan dan sebagainya. Dengan demikian benda wakaf tersebut benar-benar
terasa manfaatnya untuk kepentingan kemanusiaan (umum), tidak hanya untuk
keluarga atau kerabat yang terbatas.58
Selanjutnya bila ditinjau dari harta wakaf, maka terbagi menjadi:
1. Harta atau benda tak bergerak, seperti tanah, sawah dan bangunan.
Benda macam inilah yang sangat dianjurkan agar diwakafkan, karena
mempunyai nilai jariyah yang lebih lama. Ini sejalan dengan praktek wakaf
yang dilakukan sahabat Umar Ibn Khattab atas tanah Khaibar atas perintah
Rasulullah SAW. Demikian juga yang dilakukan oleh Bani al Najjar yang
56 Bahrun Abu Bakar, L C., Op. Cit., hlm. 733. 57 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Op. Cit., hlm. 17. 58 Ibid.
39
mewakafkan bangunan dinding pagarnya kepada Rasul untuk kepentingan
masjid.
2. Benda bergerak, seperti mobil, sepeda motor, binatang ternak, atau
benda-benda lainnya.
Yang terakhir ini dapat juga diwakafkan. Namun demikian, nilai jariyahnya
terbatas hingga benda-benda itu tidak dapat dipertahankan keberadaannya.
Maka selesailah wakaf tersebut, kecuali apabila masih memungkinkan
diupayakan untuk ditukar atau diganti dengan benda baru yang lain.59
6. Hikmah Wakaf
Wakaf merupakan salah satu bentuk ibadah, yaitu nilainya lebih dominan
pada ibadah sosial. Ini berarti juga merupakan salah satu jenis dari beberapa jenis
ibadah serupa, seperti amal shalih, shadaqah, infaq dan lainnya.
Segala sesuatu yang diperintahkan Allah tentu ada hikmah-hikmah yang
berguna bagi kehidupan manusia demikian halnya wakaf.
Hikmah Wakaf antara lain :
a. Untuk menghimpun dana bagi pengembangan dan kelangsungan agama Islam
di suatu daerah.
b. Memberi kesempatan kepada umat Islam untuk beramal jariyah, yang relatif
lama dimanfaatkan oleh umat manusia.
c. Mendapatkan pahala yang terus menerus selama harta wakaf itu masih
berkesinambungan dalam kebajikan.
Orang mewakafkan hartanya akan mendapatkan nama harum dikalangan orang
yang menerima wakaf atau dikalangan orang lain yang mengetahuinya.
59 Ahmad Rofiq, Op. Cit., hlm. 505.
40
C. Perwakafan Menurut Hukum Adat
Sekalipun pada hakikatnya lembaga wakaf ini adalah bersal dari Hukum Islam,
akan tetapi pada kenyataannya seakan-akan sudah merupakan kesepakatan di kalangan
para ahli hukum kita untuk memandang masalah wakaf ini sebagai masalah dalam
hukum adat Indonesia. Hal ini adalah dukarenakan sudah meresepsinya penerimaan
lembaga wakaf ini di dalam masyarakat Indonesia dan di anggap sebagai suatu lembaga
Hukum yang timbul sebagai hukum adat/kebiasaan dalam pergaulan hidup mereka .60
Menurut Ter Haar wakaf ini adalah merupakan suatu Lembaga Hukum Islam yang
diterima di banyak daerah di Nusantara ini yang di sebut dalam istilah Belanda Vrome
Stichting.61 Menurutnya sekalipun masalah tentang wakaf didasarkan pada ketentuan
dan ajaran Agama Islam akan tetapi lembaga wakaf ini sudah di kenal di Indonesia
sebelum kedatangan Agama Islam. Pada tahun 1922 ada beberapa jenis wakaf yang
tidak tunduk pada aturan-aturan Islam, yaitu ; pada suku Badui di Cibeo (Banten
selatan) dikenal dengan “Huma Serang”, huma adalah lading-ladang ini di kerjakan
setiap tahun secara bersama-sama dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan
bersama.
Konsep wakaf yang dikemukakan oleh Ter Haar merupakan sebagai perbuatan
hukum yang bersifat rangkap, maksudnya rangkap ialah bahwa perbuatan itu disatu
pihak perbuatan mengenai tanah atau benda yang menyebabkan obyek itu mendapat
kedudukan hukum yang khusus, tetapi dilain pihak perbuatan tadi menimbulkan suatu
badan dalam hukum adat.62
Menurut hukum adat pembuat wakaf harus mempunyai hak dan kuasa penuh atas
barang yang di wakafkan, barangnya harus di tunjuk dengan jelas dan tidak boleh di
60 H Abdurrahman, S.HMH, Opcit, hlm 91 61 Mr. B Ter Haar Bzn ( terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto), Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,
Jakarta : Pradya Paramita, 1976, hlm 161. 62 Ibid
41
pakai kea rah hal yang terlarang menurut hukum islam, tujuannya yang jelas itu harus
dilukiskan dengan kata-kata yang terang, orang yang menerima wakaf harus di tunjuk
seterang-terangnya.
Menurutnya, andaikata wakaf itu semata-mata hanya bersangkutan dengan hukum
tak tertulisnya orang-orang pribumi saja, maka akan cukuplah dengan tokoh hukum
(rechtsfigur) demikian yakni pada suatu benda yang tidak ada penemunya dan tujuannya
ditentuakan dengan lengkap dan tujuan itu dapat dicapai sepenuhnya bila perlu dengan
memaksa supaya aturan yang di tentukan oleh pembuat wakaf itu dijalankan.63
D. Peraturan Tentang Perwakafan Tanah dan Tanah Wakaf Di Indonesia
Peraturan mengenai persoalan perwakafan tanah dan tanah wakaf di Indonesia
adalah termasuk dalam bidang apa yang dinamakan dengan hukum agraria ( Agraria
Law) yaitu sebagai perangkat peraturan yang mengatur tentang bagaimana penggunaan
dan pemanfaatan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia untuk kesejahteraan bersama
seluruh rakyat Indonesia, bagaimana hubungan hukum antara orang dengan bumi, air
dan ruang angkasa serta hubungan antara orang dengan orang yang berkenaan dengan
bumi, air dan ruang angkasa tersebut. 64
Hukum agraria yang berlaku di Negara kita berpokok pangkal pada undang-
Undang no. 5 tahun 1960, yang mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960. tentang
ketentuan pokok Agraria yang lebih di kenal dengan singkat U.U.PA.
Semenjak dahulu persoalan tentang wakaf ini di atur dalam Hukum Adat yang
sifatnya tidak tertulis dengan mengambil sumber dari sumber hukum islam. Disamping
itu telah pula dikeluarkan berbagai peraturan yang mengatur tentang persoalan wakaf
antara lain : Peraturan dimaksud pada zaman kemerdekaan masih tetap di berlakukan
63 Iibid, hlm 162. 64 H. Abdurrahman, S.H., Masalah perwakafan Tanah Milik Dan Kedudukan tanah wakaf Di Indonesia,
Bandung : Citra Aditiya Bakti, 1994, hlm 67.
42
terus karena masih belum diadakan suatu peraturan tentang perwakafan yang baru. Di
zaman kemerdekaan telah pula dikelurkan beberapa ketentuan dan petunjuk dari
Departemen Agama tanggal 22 Desember 1953 tentang berbagai petunjuk mengenai
wakaf.65
Peraturan tentang persoalan wakaf yang berasal dari zaman colonial tersebut pada
zaman kemerdekaan dirasakan kurang memadai dan sudah banyak ketinggalan. Oleh
karena itu dan dalam rangka pembaharuan Hukum Agraria di Negara kita, persoalan
tentang perwakafan tanah ini di berikan perhatian khusus sebagaimana terlihat dengan
adanya bab XI dari U.U.P.A. Undang-undang No.5/1960 tentang hak tanah untuk
keperluan suci dan social.
Untuk masa sekarang mengenai peraturan disebutkan dalam dua Undang-undang,
yaitu ; undang-undang No. 5/1960 tentang ketentuan-ketentuan pokok agraria ( UUPA)
pasal 49 di atur tentang Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan social, pada ayat 3 dari
pasal tesebut menyatakan perwakafan tanah milik dilindungi dan di atur dengan
peraturan-pemerintah, Serta undang-undang No.7 / 1989 tentang peradilan Agama,
dalam dalam pasal ini juga di sebutkan bahwa pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, kewarisan serta wakaf
dan sodaqoh.66
Dari ketentuan pasal 49 ayat 3 tersebut diatas maka dalam rangka melindungi
berlangsungnya perwakafan tanah ini pemerintah akan memberikan pengaturan melalui
suatu peraturan pemerintah tentang perwakafan tanah milik yang dikeluarkan pada
tanggal 17 Mei 1977 yakni peraturan pemerintah No. 28 tahun 1977 yang dimuat dalam
65 Ibid hlm 70. 66 Soedharyo Soimin, S.H., Status Hak Dan Pembebasan Tanah (edisi kedua), Jakarta : Sinara Grafika,
2004, hlm 64-65.
43
Lembaran Negara 1977 No.38 tentang perwakafan tanah Milik, yang menjadi latar
belakang dikeluarkannya peraturan pemeriantah.
Peraturan yang berkenaan dengan masalah wakaf pada saat sekarang, dihadapkan
pada sejumlah di berbagai instansi yang menangani atau ada hubungannya dengan
masalah tersebut. Yakni tiga kelompok peraturan yang berkenaan ada hubungannya
dengan wakaf, yaitu : 67
1) Ketentuan mengenai wakaf pada umumnya ( semua bentuk wakaf ) hal ini di atur
dalam buku III Kompilasi Hukum Islam ( pasal 215-228 ) Kompilasi Hukum Islam
ini merupakan “pedoman “ untuk bidang Hukum material bagi para hakim di
lingkungan peradilan Agama, KHI di berlakukan atas dasar :
a. Instruksi Presiden tanggal 10 Juni 1991 No.1 Tahun 1991. instruksi ini di
tujukan kepada Menteri Agama agar menyebar luaskan Kompilasi Hukum Islam
yang terdiri atas tiga buku, buku I tentang Perkawinan, buku II tentang
Kewarisan dan buku III tentang Wakaf.
b. Keputusan Menteri Agama RI tanggal 22 Juli 1991 No 154 Tahun 1991 tentang
pelaksanaan Instruksi presiden No.1 Tahun 1991.
c. Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam
tanggal 25 Juli 1991 No.3694/EV/Hk.003/A2/91 tentang penyebarluasan
instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.
2) Peraturan-peraturan Khusus mengenai Perwakafan Tanah Milik yang dikeluarkan
dalam rangka melaksanakan ketentuan pasal 49 Undang-Undang No.5 tahun 1960 .
a. PP RI Nomor 28 Tahun 1977 yang dipandang sebagai ketentuan induk yang
mengatur masalah perwakafan tanah milik.
67 H. Abdurrahman, Opcit, hlm 75.
44
b. Peraturan Menteri Agama Tanggal 10 Januari 1978 Nomor 1 Tahun 1978
Peraturan Pelaksanaanya tentang perwakafan tanah milik.
c. Peraturan Menteri Dalam Negeri tanggal 26 Nopember 1977 Nomor 6 tahun
1977 tentang tata cara pendaftaran tanah secara khusus pada pendaftaran tanah
milik dan biaya yang diperlukan.
d. Instruksi bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tanggal 23 januari
1978 nomor 1 tahun 1978 tentang pelaksanaan peraturan pemerintah Nomor 28
tahun 1977 tentang perwakafan tanah yang ditujukan kepada Kantor wilayah
Departemen Agama seluruh Indonesia.
e. Peraturan Direktur Jenderal bimbingan Masyarakat Islam tanggal 19 April 1978
tentang formulir dan pedoman pelaksanaan PP tentang Perwakafan tanah milik,
termasuk didalamnya mengatur tentang tata cara perwakafan tanah milik.
f. Keputusan Menteri Agama tanggal 9 bAgustus 1978 Nomor 73 tahun 1978
tentang pendelegasian wewenang Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama
Propinsi diseluruh Indonesia untuk mengangkat dan memberhentikan setiap
Kepala Kantor Urusan Agama ( KUA ) Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat
Akta Ikrar Wakaf.
g. Intruksi Menteri Agama No 3 tahun 1979 tentang petunjuk pelaksanaan
keputusan Menteri Agama No 73 tahun 1978 tentang Pendelegasian wewenang
KAKANWIL Depag Propinsi untuk mengangkat dan memberhentikan setiap
Kepala KUA Kecamatan sebagai PPAIW.
h. Surat Edaran Direktur Jenderal Bimas Islam dan urusan Hajitanggal 25 Juni
1980 tentang pemakaian Bea Materai
i. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tanggal 27 tahun 1980 tentang ketentuan
Materai.
45
j. Surat Edaran Direktur Jenderal Bimas Islam dan urusan haji tanggal 16 April
1981 tentang petunjuk pemberian Nomor formulir perwakafan tanah Milik.
k. Instruksi Menteri Agama RI tanggal 12 Desember 1989 Nomor 15 1989 tentang
Pembuatan Akta Ikrar Wakaf dan Pensertifikatan tanah wakaf.
l. Instruksi Bersama Menteri Agama RI dan Kepala Badan Pertanahan Nasional
tanggal 30 November 1990 Nomor 4 dan 24 tahun 1990 tentang sertifikasi tanah
wakaf.
m. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan tanggal 27 Agustus 1991 Nomor 630.I-
278 tentang pelaksanaan pensertifikatan tanah wakaf.
3) Peraturan-peraturan lain yang secara tidak khusus mengatur tentang maslah wakaf
tetapi terkait dengan perwakafan
a. PP No.9 tahun 1987 tentang penyediaan dan penggunaan tanah untuk keperluan
tempat pemakaman.
b. Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 7 Juni 1989 No.26 tahun 1989 tentang
pedoman pelaksanaan Peraturan pemerintah No.7 tahun 1987.
c. Instruksi Menteri agama tanggal 12 Desember Tahun 1989 No.16 Tahun 1989
tentang Pembinaan Zakat Infaq dan Sodaqoh.
Dalam perkembangannya peraturan tentang perwakafan tanah telah di atur dalam
UU Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah
Nomor 42 tahun 2006 tentang peraturan pelaksananya.
E. Perwakafan dan Pendaftaran Tanah
Untuk menjamin kepastian hukum atas tanah UUPA telah menggariskan adanya
keharusan untuk melaksanakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia ( pasal 19
ayat 1 UUPA) yang kemudian di tindak lanjuti dengan keluarnya peraturan pemerintah
No.10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah yang memuat pengaturan secara teknik
46
penyelenggaraan pendaftaran tanah. 68 kemudian disempurnakan pada peraturan
pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.
Sebagaimana penjelasan tentang peraturan-peraturan khusus perwakafan tanah
pada pasal 49 UUPA diatas, yang kemudian diatur dalam Undang-undang RI No 41
tahun 2004 tentang wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang
peraturan pelaksana yang mengatur tentang wakaf pada pasal 1, bahwa wakaf adalah
perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian dari harta
benda miliknya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.69
Sebagaimana PP Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, pasal 3 (a)
dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang
hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar
dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan,
(b) untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
pemerintah dengan mudah dapat memperolah data yang diperlukan dalam mengadakan
perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumha susun yang terdaftar,
(c) untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Termasuk didalam pendaftaran tanah adalah tanah wakaf yang dijelaskan pada
pasal 9 ( c) PP Nomor 24 tahun 1997, dalam pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi
kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yakni pada pasal 11 ayat 1(c) penerbitan
sertifikat dan untuk kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi peralihan
dan pembebanan hak ( pasal 11 ayat 2 (a )), serta pada pasal 23 kaitannya dengan tanah
wakaf dibuktikan dengan Ikrar Wakaf. Kemudian hal pembuktian terhadap tanah
68 Bachtiar Effendi, S.H, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya, Bandung :
Alumni, 1993, hlm 52. 69 Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Undang-Undang
Republik Indonesia tentang Wakaf, 2005.
47
tedapat pada pasal 24 ayat 1 bahwa keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang
berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat buktimengenai adanya
hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang
bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah
secara sistematik oleh kepala kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara
sporadic, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain
yang membebaninya.70
Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama
pemegang hak pada waktu berlakunya UUPA dan apabila hak tersebut kemudian
beralih, bukti peralihan hak berturut-turut sampai ketangan pemegang hak pada waktu
dilakukan pembuktian hak. Termasuk diantaranya adalah tanah wakaf dengan Akta Ikrar
Wakaf/ Surat Ikrar Wakaf baik yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakannya
peraturan pemerintah Nomor 28 tahun 1977.
70 H. Ali Chomzah, S.H., Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jakarta : Prestasi Pustaka, 2004, hlm
114-115.
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukanoleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah intik pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.
Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran tanah atau peraturan pemerintah ini.
Pendaftaran Tanah Secara Sporadik adalah kegiatan pendaftran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/ kelurahan secara individual atau masal.
Pendaftran Tanah Secara Sistematik adalah kegiatan pendaftran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara sirentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/ kelurahan.
Pemeliharaan dan Pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan yuridis dalam peta pendaftran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.
Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan diatasnya.
48
F. Sertifikasi Tanah Wakaf
Dari pengertian dasar sertifikasi, yang dimaksud dengan sertifikat adalah salinan
surat ukur dan buku tanah yang di jahit menjadi satu serta diberikan sampul yang
bentuknya ditetapkan oleh Menteri Dalam negeri.71
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa sertifikat adalah tanda
atau surat keterangan (pernyataan tertulis) yang tercatat dari orang yang berwenang
yang dapat digunakan dengan bukti suatu kejadian.72
Sementara sertifikat tanah bisa berarti bahwa hal tersebut terkait dengan surat
bukti pemilikan tanah yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.73 Dari sumber
lain, penerbitan sertifikat dimaksudkan untuk kepentingan pemegang hak yang
bersangkutan sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data yuridis yang
didaftar dalam buku tanah.74
Pengertian di atas ditegaskan lagi dalam peraturan-peraturan pemerintah Nomor 24
tahun 1997 khususnya pasal 1 ayat 2. bahwa sertifikat adalah surat tanda bukti hak
sebagaimana di maksud, dalam pasal 19 ayat 2, huruf C UUPA, untuk hak atas tanah,
hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik oleh satuan rumah susun dan hak tanggungan
yang masing-masing dibukukan dalam buku tanah.75
Dalam undang-undang UUPA juga di sebutkan adanya perbedaan sertifikat yakni
sertifikat dan sertifikat sementara, sertifikat sementara merupakan sertifikat tanah yang
belum memiliki surat ukur.76
71 Ibid, hlm 49. 72 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hlm. 928. 73 Ibid. 74 Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1997, hlm. 451. 75 H. Ali Chomzah, S.H., Hukum Agraria ( pertanahan Indonesia), Jakarta : Prestasi Pustaka, 2004, hlm
58. 76 Bachtiar Effendie, S.H., OpCit, hlm 49.
49
Sehingga pengertian sertifikasi bisa berarti proses tindakan hukum yang dilakukan
seseorang terhadap tanah yang bersangkutan. Apabila di kaitkan dengan wakaf adalah
suatu tindakan hukum yang diambil seseorang terhadap tanah wakaf guna melindungi
keberadaannya dari kepemilikan hak secara personal maupun kelompok.
Sebagai usaha pemerintah untuk mengamankan dan menertibkan perwakafan
tanah milik, tercantum dalam Undang-Undang No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam, UU No 41 tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah No 42
tahun 2006 tentang peraturan pelaksanaan UU No 41 tahun 2004.
Mengenai tata cara sertifikasi adalah sebagaimana tercantum dalam juklak
pensertifikasian tanah wakaf yang terjadi sejak berlakunya PP. Nomor 28 tahun 1977,
sebagai berikut :77
1. Tanah yang sudah ada sertifikatnya
a. Persyaratan pembuatan akta ikrar wakaf
i. Sertifikat tanah
ii. Surat keterangan dari Kepala Desa yang diketahui Camat bahwa tanah
tersebut tidak dalam sengketa.
iii. Surat keterangan pendaftaran tanah dari (SKPT) dari kantor pertanahan .
b. Proses pembuatan akta ikrar wakaf
i. Calon wakif harus datang dihadapan Penjabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
(PPAIW) dengan membawa Persyaratan pada poin (a).
ii. PPAIW melakukan meneliti atas kehendak calon wakif atas tanah yang di
wakafkan, meneliti para Nadzir dengan menggunakan formulir W.5 (bagi
Nadzir perorangan) atau W.5a ( bagi Nadzir badan hukum).
77 Juklak Pensersertifikatan Tanah Wakaf, Jakarta : Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji
Depag RI, 1999.
50
iii. Calon wakif mengikrarkan wakaf dengan lisan, jelas dan tegas kepada
Nadzir dihadapan PPAIW dan para saksi, kemudian di tuangkan dalam
bentuk tertulis menurut bentuk formulir W.1.
iv. Calon wakif yang tidak dapat datang dihadapan persetujuan kepala kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya dan di bacakan kepada Nadzir
dihadapan PPAIW dan saksi.
v. PPAIW membuat Akta Ikrar Wakaf dalam rangkap 3 menurut bentuk
formulir W.2 dan salinannya rangkap 4 menurut bentuk W.2.a. ( lembar
pertama disimpan, lembar kedua untuk keperluan pendaftaran di kantor
pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat, lembar ketiga dikirimkan
kepada pengadilan agama setempat, salinan lembar pertama diserahkan
kepada Wakif, salinan lembar kedua diserahkan kepada Nadzir, salinan
lembar ketiga dikirim kepada kandepag, salinan lembar keempat dikirim
kepada Kepala Desa setempat.
c. Pendaftaran dan pencatatan Akta Ikrar Wakaf
i. PPAIW atas nama Nadzir berkewajiban untuk mengajukan permohonan
pendaftaran tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat
dengan menyerahkan ; sertifikat tanah yang bersangkutan, Akta Ikrar
Wakaf, surat pengesahan dari KUA Kecamatan mengenai Nadzir yang
bersangkutan.
ii. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat ;
Mencamtumkan kata-kata “WAKAF” dengan huruf besar dibelakang
nomor hak milik tanah yang bersangkutan pada Buku Tanah dan
Sertifikatnya.
Mencantumkan kata-kata :
51
“Diwakafkan untuk….…………………
berdasarkan akta Ikrar Wakaf PPAIW
Kecamatan……………tanggal,……..….No…….…pada halaman 3
(tiga) kolom sebab Perubahan Dalam Buku Tanah dan Sertifikatnya.
Mencantumkan kata Nadzir, nama Nadzir disertai kedudukannya pada
Buku Tanah dan sertifikatnya.
2. Tanah yang belum ada sertifikatnya
a) Persyaratan pembuatan akta ikrara wakaf
i. Surat-surat kepemilikan tanah (termasuk surat pemindahan hak, girik dan
lain-lain)
ii. Surat Kepala Desa yang diketahui oleh Camat yang membenarkan surat-
surat tanah tersebut dan tidak dalam sengketa
iii. Surat-surat keterangan Kepala Kantor Pertanahan kabupatan/Kotamadya
setempat yang menyatakan sertifikata ( pasal 25 ayat 4 PP.no. 10/1961).
b) Proses Pembuatan Akta Ikra Wakaf
Sama halnya dengan angka huruf b, untuk tanah yang sudah bersertifikat
dengan keterangan seperti dimaksud dalam angka 2 huruf a.
c) Pendaftaran Pencatatan Akta Ikrar Wakaf
i. PPAIW atas nama Nadzir berkewajiban untuk mengajukan permohonan
pendaftaran pada kantor pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat
dengan mnyerahkan ; surat kepemilikan tanah ( termasuk surat pemindahan
hak, girik, dall), Akta Ikrar Wakaf, dan surat pengesahan Nadzir.
ii. Apabila memenuhi persyaratan untuk di konversi, maka dapat dikonversi
langsung atas nama Wakif (PMPA.2/1962 jo SK. 26/DDA/1970).
52
iii. Apabila persyaratan untuk di konversi tidak dipenuhi dapat diproses
melalui prosedur pengakuan hak atas nama Wakif.
iv. Berdasarkan Akta Ikrar Wakaf dibalik nama atas nama Nadzir
v. Bagi konversi yang dilaksanakan melalui prosedur pengakuan hak
penerbitan sertifikasinya setelah diperoleh SK. Pengakuan hak atas nama
wakif, selanjutnya dilaksanakan pencatatan seperti halnya yang disebut
angka 1 huruf c (ii).
3. Tanah yang belum ada haknya
Tanah yang sudah berstatus tanah wakaf ( tanah yang sudah berfungsi sebagai
tanah wakaf, masyarakat dan pemerintah desa setempat mengakui sebagai tanah
wakaf, sedangkan status tanahnya bukan milik adat (Negara)).
a) Wakif atau ahli warisnya masih ada dan mempunyai surat bukti penggarapan/
penguasaan.
i. Surat keterangan Kepala Desa yang diketahui oleh Camat disamping
menjelaskan tentang per-.
ii. Surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT) dari kantor pertanahan
Kabupaten/Kotamadya setempat yang menerangkan status tanah Negara
tersebut apabila sudah pernah terdaftar atau menerangkan belum
bersertifikat apabila tanah Negara itu belum pernah terdaftar.
iii. Calon wakif atau ahli waris dating menghadap PPAIW untuk
melaksanakan Ikrar Wakaf, selanjutnya untuk dibuatkan Akta Ikrar Wakaf
( seperti halnya angka 1 huruf b)
iv. PPAIW mengajukan permohonan atas nama Nadzir kepada Kakanwil
Badan Pertanahan Nasional Propinsi mealui Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya setempat, dengan mnyerahkan surat-surat bukti
53
penguasaan/penggarapan atas nama Wakif serta surat-surat sebagaimana
dimaksud dalam angka romawi (i) sampai dengan angka romawi(iii)
tersebut di atas dan surat pengesahan Nadzir.
v. Kantor pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat memproses dan
meneruskan permohonan tersebut ke Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Propinsi.
vi. Setelah diterbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah, atas nama
Nadzir, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya tersebut
menerbitkan sertifikat tanah wakaf.
b) Wakif atau ahli warisnya tidak ada, tidak mempunyai surat bukti
penguasaaan/penggarapan.
i. Surat keterangan Kepala Desa yang diketahui Camat disamping
menjelaskan tentang perwakafan tanah tersebut tidak dalam sengketa, juga
menjelaskan kebenaran penguasaan/penggarapan oleh calon Wakif.
ii. Proses selanjutnya sebagaimana tersebut dalam huruf a angka romawi (ii)
sampai denga angka romawi (vi) di atas.
c) Wakif atau ahli warisnya tidak ada
i. Surat keterangan tentang tanah (kalau ada)
ii. Surat Kepala Desa diketahui Camat yang menerangkan tentang perwakafan
tanah tersebut serta tidak dalam sengketa.
iii. Surat pernyataan tentang perwakafan tanah dari orang-orang yang
bersebelahan dengan tanah tersebut.
iv. Nadzir atau Kepala Desa mendaftarkannya kepada KUA Kecamatan
setempat.
v. Kepala KUA meneliti dan mengesahkan Nadzir.
54
vi. Membuat Akta Pengganti AIW
vii. PPAIW atas nama Nadzir mengajukan permohonan Hak Atas Tanah/
viii. Selanjutnya pemrosesan permohonan hak, SK Pemberian hak Atas Tanah
dan penerbitan sertifikat atas nama Nadzir.
Dengan di keluarkannya UU No 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan peraturan
pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang peraturan pelaksananya, telah memberikan
posisi tersendiri, termasuk didalamnya di atur mengenai tata cara sertifikasi tanah
wakaf.
Tata cara yang di maksud adalah untuk menyempurnakan tata cara sebelumnya
yang di buat berdasar pada Peraturan Pemerintah No 28 tahun 1977, adapun tata cara
yang berdasar pada UU No 41 tahun 2004 terdapat dalam pasal 17 sampai pasal 21,
serta dalam peraturan pemerintah No 42 tahun 2006 terdapat pada pasal 28 sampai pasal
39.78
78 Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2004.
55
BAB III
KESADARAN HUKUM MASYARAKAT DALAM SERTIFIKASI TANAH WAKAF
A. Profil Masyarakat Kecamatan Ngaliyan
1. Gambaran Umum Kecamatan Ngaliyan
Secara geografis Kecamatan Ngaliyan memiliki luas wilayah 4.140 Ha yang terdiri
dari tanah sawah, tanah kering, tanah basah, tanah perkebunan, hutan, tanah keperluan
fasilitas umum dan lain-lain.
Kecamatan Ngaliyan merupakan bagian dari 16 kecamatan yang berada di wilayah
kota semarang, kecamatan ngaliyan sendiri terdiri dari 10 kelurahan yaitu kelurahan
Gondoryo. Kelurahan Podorejo, Kelurahan Beringin, Kelurahan Purwoyoso, Kelurahan
Tambakaji, Kelurahan Kalipancur, Kelurahan Bambankerep, Kelurahan Ngaliyan,
Kelurahan Wonosari, dan Kelurahan Wates. Kecamatan Ngaliyan terletak di bagian barat
kota semarang drngan batas-batas wilayah Yaitu :
a) Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tugu
b) Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Semarang Barat
c) Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Mijen
d) Dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Kaliwungu Kabupaten
Kendal.
Jumlah penduduk sampai saat ini 103.862 jiwa yang sebagian besar atau 90 %
beragama Islam. Jumlah penduduk laki-laki 46.467 jiwa dan perempuan 46,510 jiwa.
Dilihat dari jumlah pemeluk agama, penduduk yang beragama Islam berjumlah 92.977
jiwa, Agama Kristen Protestan 4.198 jiwa, Agama Kristen Katolik 5.012 jiwa, Agama
Hindu 472 jiwa, Agama Buddha 721 jiwa dan Lain-lain 88 jiwa.
56
Sarana peribadatan di Kecamatan Ngaliyan bisa dilihat dari 254 jumlah tempat
ibadah yang ada yakni Masjid 73 buah, Langgar 131 buah, Musholla 25 buah, Gereja 5
buah, tidak ada Vihara, tidak ada Kuil.
2. Gambaran KUA Ngaliyan
Kantor Urusan Agama adalah unit kerja jajaran Departemen agama yang merupakan
jajaran terdepan serta ujung tombak yang berkedudukan di Kecamatan Ngaliyan. Dalam
melaksanakan tugasnya langsung berhadapan dengan masyarakat, dengan unsur pelayanan
yang meliputi; pelayanan nikah, rujuk, talak, pembinaan keagamaan, kemasjidan,
perwakafan, Badan Amil Zakat(BAZ), BP4, Ibadah, Sosial dan tugas-tugas sektoral
maupun lintas sektoral.
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Ngaliyan berdiri di atas tanah seluas 550
M2 dengan luas bangunan 90 m2, yang terletak di Jl. Prof. Hamka N0. 234 Ngaliyan.
A. Tugas dan fungsi KUA Kecamatan Ngaliyan
Secara garis besar, tugas dan fungsi Kantor Urusan Agama Kecamatan Nagliyan
berpedoman pada KMA RI Nomor 45 Tahun 1981 Dan Kepres RI Nomor 45 Tahun
2002, yakni membantu dan melaksanakan sebagian tugas umum pemerintah dalam
bidang Agama.
Disamping Tugas secara umum di atas, Kantor Urusan Agama Kecamatan dalam
melaksanakan tugasnya menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi
dengan departemen agama Kota/Kabupaten maupun antar unsur Kantor Urusan
Agama Kecamatan dan dengan instansi terkait di wilayah Kecamatan Ngaliyan.
Adapun fungsi dari Kantor Urusan Agama Kecamatan adalah sebagai berikut :
1. Melakukan bimbingan dalam bidang perkawinan.
2. Melakukan pembinaan dan bimbingan dalam bidang keagamaan
57
3. Melakukan bimbingan dalam bidang kemasjidan, zakat, perwakafan, dan
ibadah sosial lainya.
4. Melaksanakan pencatatan NTCR sesuai dengan kebijaksanaan yang
diatetapkan oleh Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku (KAM. No 18/75 yang disempurnakan
pasal 730).
5. Menghimpun dan melakukakn dokumentasi serta menyajikan data statistic.
B. Pegawai KUA Kecamatan Ngaliyan
No Nama Pegawai Gol Jabatan Alamat 1. Muadhim, SAg.
NIP. 150234068 III/c Kepala KUA Bringin Rt.01/ 1
Ngaliyan 2. Darodjat, S.Ag.
NIP. 150294439 III/b Penghulu Kebonharjo Rt 03/V
Tanjungmas Smg 3. Dra. Siti Fatimah
NIP. 150254705 III/d Staf Jl. Purwoyoso V/B
No.23 RT 04/XII Ngaliyan
4. Ida Farikhah, SH. NIP. 150242031
III/c Staf Griya Lestari A/4 No.35 RT 03/VIII Gondoryo Ngaliyan
5. Bambang Prayitno NIP. 150238550
III/a Bendahara Perum Tugu Asri D.3 RT.06/1 Tambakaji Ngaliyan.
6. Kusmanto NIP. 150231101
II/c Staf Segaran RT.03/4 Tambakaji Ngaliyan Semarang.
B. Sertifikasi Tanah Wakaf Di KUA Kecamatan Ngaliyan
Dalam buku laporan pertanggungjawaban KUA Kecamatan Ngaliyan Tahun 2007
disebutkan bahwa sertifikasi wakaf merupakan salah satu upaya peningkatan Pemberian
Bimbingan dan Pelayanan Kepada Masyarakat di Bidang Urusan Agama Islam selain
zakat, infaq, sodaqoh dan kegiatan lainnya.
Tahapan biasa diterapkan oleh KUA dalam proses sertifikasi Tanah Wakaf adalah
sebagai berikut:
58
- Menginventarisir Tanah Wakaf yang sudah memiliki sertifikat dan yang masih HM
Pribadi utuk diwakafkan baik seluruhnya maupun diwakafkan sebagian.
- Mengumpulkan dan memberikan penyuluhan kepada ta’mir
langgar/masjid/musholla yang tanahnya belum hak milik wakaf.
- Mengadakan koordinasi dengan pimpinan BPN maupun petugas yang menangani
pensertifikatan tanah wakaf untuk memperlancar tebitnya sertifikat tanah wakaf.
- Menyelenggarakan pertemuan pengurus masjid, langgar, musholla, Lembaga
Pendidikan Islam dengan Muspika untuk mensosialisasikan program tanah wakaf.
Secara skematik, proses sertifikasi tanah wakaf di KUA Ngaliyan Kota Semarang
masih berdasar pada proses yang di berikan oleh Departemen Agama RI sesuai dengan
PP. No. 28 Tahun 1977, sebagai berikut :
Gambar I menunjukkan bahwa keluarga sedang mengadakan rapat untuk
memutuskan mewakafkan tanah. II. Kepala keluarga (selaku Wakif), saksi dan Nadzir
pergi ke KUA menghadap kepala KUA selaku Pejabat Pembuata Akta Ikrar Wakaf
(PPAIW). III. PPAIW memeriksa persyaratan Wakaf dan selanjutnya mengesahkan
Nadzir. IV. Wakif mengucapkan Ikrar Wakaf di hadapan saksi-saksi dan PPAIW, untuk
selanjutnya PPAIW membuat Akta Ikrar Wakaf (AIW) dan salinannya. V. Wakif, Nadzir,
dan saksi pulang dengan membawa salinan AIW (W2.a). VI. PPAIW atas nama nadzir
menuju ke kantor Pertanhana Kabupaten/Kota dengan membawa berkas permohonan
pendaftaran tanah Wakaf dengan pengantar formulir W-7. VII. Kantor pertanhana
I II III IV
V VI VII VIII
59
memproses Sertifikat Tanah Wakaf. VIII. Kepala Kantor Pertanahan menyerahkan
Sertifikat Tanah Wakaf kepada Nadzir, dan selanjutnya ditunjukkan kepada PPAIW untuk
di catat pada daftar Akta Ikrar Wakaf formulir W.4.
Data sertifikasi tanah wakaf di Kecamatan Ngaliyan, sepanjang pengetahuan penulis
menunjukan korelasi positif. Data terakhir pada bulan Maret 2008 menunjukkan bahwa
hingga saat ini sudah ada 177 lokasi tanah wakaf, Tanah yang sudah bersertifikat
mencapai 170 lokasi, dan yang 7 lokasi baru proses di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Laporan Perkembangan Sertifikasi Tanah Wakaf Bulan : Januari 2008
Model : F7
No
Kelurahan Jumlah Tanah Wakaf
Bersertifikat
Telah diselesaikan AIW / APAIW BPN
Belum AIW/ APAIW
Ket
LK LM2 LK LM2 LK LM2 LK LM2 LK LM2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1 Gondoryo 5 710 5 710 2 Podorejo 21 9138 21 9138 3 Beringin 19 6216 19 6216 4 Purwoyoso 42 16097 39 15177 3 920 5 Kalipancur 6 2090 4 1668 2 422 6 Bambankerep 4 750 4 750 7 Ngaliyan 18 4436 18 4436 8 Tambakaji 36 11151 36 11151 9 Wonosari 20 7625 18 7361 2 264
10 Wates 6 2574 6 2574
Jumlah 177 60787 170 59181 7 1606
Laporan Perkembangan Sertifikasi Tanah Wakaf Menurut Penggunaannya
Bulan : Januari 2008 Model : F8
Masjid
Musholla/ Langgar
Madrasah/ Sekolahan
Kuburan/ Makam
Pondok/ Pesantren
Panti Asuhan
Tanah Produktif
Jumlah
No
Kelurahan
lk lm2 lk lm2 lk Lm2 Lk lm2 Lk lm2 lk Lm2 lk lm2 lk lm2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Gondoryo 4 635 1 75 5 710
60
2 Podorejo 3 3175 14 2340 3 3371 1 252 21 9138
3 Bringin 4 1020 11 1048 1 3269 3 879 19 6216
4 Purwoyoso 21 9373 16 2274 2 1315 1 2367 40 15329
5 Kalipancur 2 902 4 766 6 1668
6 Bambankerep 1 451 3 299 4 750
7 Ngaliyan 5 1901 10 1564 3 971 18 4436
8 Tambakaji 14 6535 18 3214 4 1402 36 11151
9 Wonosari 2 1495 11 1510 5 4168 18 7173
10 Wates 3 465 3 2109 6 2574
Jumlah 56 25487 91 13555 20 13336 2 5636 4 1131 173 59145
Jumlah Tanah Wakaf Yang Sudah Bersertifikat Di Kecamatan Ngaliyan 1
Sertifikat Akta Ikrar Wakaf No Peruntukan Wakaf Kel Podorejo
Wakif Nadzir
No Tanggal No Tanggal 1 Masjid At Taqwa
Dan pondok Kambali Kyai Rusdi 14 03-Feb-92 W3/24/09/1991 16-Sep-91
2 Pon Putri Asmuni Kyai Rusydi 12 03-Feb-92 W2/31/09/1991 16-Sep-91 3 MI Podorejo Asmuni Kyai Rusydi 26 03-Feb-92 W3/20/09/1991 16-Sep-91 4 Sekolah Al
Ma'arif Kambali Kyai Rusydi 25 03-Feb-92 W2/23/09/1991 16-Sep-91
5 Mshl,Baitussalam Reni Kyai Rusydi 29 01-Sep-92 W2/16/09/1991 16-Sep-91 6 Mushola Rosiyah Kyai Rusydi 28 03-Feb-92 W2/16/09/1991 16-Sep-91 7 Maslahul Huda III Kasroni Kyai Rusydi 23 03-Feb-92 W2/28/09/1991 16-Sep-91 8 Mshl Al Barokah Achdan Kyai Rusydi 22 03-Sep-92 W3/26/09/1991 16-Sep-91 9 Mushola Kumaidi Kyai Rusydi 15 03-Feb-92 W3/01/09/1991 16-Sep-91
10 Mshl Al Hikmah Musripah Kyai Rusydi 21 03-Feb-92 W3/41/09/1991 16-Jul-91 11 Mshl Istiqomah Suryadi Kyai Rusydi 27 03-Feb-92 W2/14/09/1991 16-Sep-91 12 Mshl Mujahidin Kasrin Kyai Rusydi 20 03-Feb-92 W2/27/09/1991 16-Sep-91 13 Mshl Al
Ittihadiyah Suryadi Kyai Rusydi 18 03-Feb-92 W3/19/01/1991 16-Sep-91
14 Mshl Bani Syukur Djuma'i Kyai Rusydi 17 03-Feb-92 W3/22/09/1991 15 Mshl baitul Isza Ngasi Kyai Rusydi 8 03-Feb-92 W3/30/09/1991 16-Sep-91 16 Mshl baitul Isza Karnadi Kyai Rusydi 16 03-Feb-92 W3/18/09/1991 16-Sep-91 17 Masjid Kemat 24 03-Feb-92 18 Mshl Palir Muhani Kyai Rusydi 10 03-Feb-92 W3/15/09/1991 16-Sep-91 19 Mshl al Mujahirin Ridwan Kyai Rusydi 19 03-Feb-92 W3/17/09/1991 16-Sep-91 20 Mshl al Mujahidin Siti
Aminah Sutekno 3 04-Mar-04
21 Masjid Muthohirin Isro'i 1 04-Mar-04 01-Oct-99
No Peruntukan
wakaf Wakif Nadzir Sertifikat Akta Ikrar Wakaf
Kel Purwoyoso No Tanggal No Tanggal 1 Masjid Al-Falah Soehardjo Drs. H.
N.Mustam Aji
146 03-Des-97
80/W.2/IX/1997 03-N0p-1997
2 Masjid Ar-Ridho H. yuswar 1989 5-Jan-98 19/W.1/IX/1997 23-Sep-
1 Data tanah wakaf yang sudah bersertifikat di kecamatan Ngaliyan di ambil pada buan maret 2008.
61
97 3 Musholla dan Rudjito & 2031 5-Jan-98 23/W.3/IX/1997 16-Sep-
97 TPQ Al-Amin Suharsono 4 musholla Al-Huda Sudarti Suroyo 2287 6-Jan-98 88/W.3/IX/1997 25-Nop-
1997 5 Masjid Klampisan H. Supariya Drs.
Mardliyo 1626 02-Okt-91 W2/52/09/1990 06-nop-
1990 6 Madrasah
Klampisan Katidjah 1627 02-Okt-91 W2/53/09/1990 06-nop-
1990 7 Musholla
Baiturrahim Pyujiono Drs. H.
N.Mustam Aji
2220 6-Jan-98 12/W.2/IX/97 22-Sep-97
8 Musholla Nurul Huda
Soepadi 1479 13-Des-97
46/X/97 01-Okt-1997
10 Masjid Miftahul Huda
Sa'idah 1389 13-Des-97
63/W.5/X/97 01-Okt-1997
11 Musholla Nurul Huda
Drs. H. N.Mustam Aji
1373 13-Des-97
15-W.3/IX/97 22-Sep-97
12 Musholla Al-Ikhlas
Zainuri 1693 24-Des-97
18/W.3/97 23-Sep-97
13 Musholla Al-Marom
Abdul halim 1343 13-Des-97
49/W.3/X/97 01-Okt-1997
14 Makam Achmad Nasir H. Achmad Nur
464 06-Des-97
84/W.3/IX/97 10-Nop-1997
15 Musholla Baitussalam
Sutirto Drs. H. N.Mustam Aji
390 06-Des-97
52/W.3/X/97 01-Okt-1997
16 Musholla Al-Barokah
Broto 1253 13-Des-97
51/W.3/X/97 01-Okt-1997
17 Musholla At-Taubah
Kaswan Sodiq 1210 13-Des-97
53/W.3/X/97 01-Okt-1997
18 Musholla An-Nur Suwardi 2720 9-Jan-98 54/X/97 01-Okt-1997
19 Masjid At-Taubah Edi Poerwanto,S.H
2876 17-Jan-98
67/W.3/X/97 01-Okt-1997
20 Masjid Al-Amin Hj. Sri Djannah Hawari 2127 6-Jan-98 07/W.3/IX/97 15-Sep-97
21 Masjid Al-Amin Kamidah 2086 6-Jan-98 08/W.3/IX/97 11-Sep-97
22 Masjid Al-Ichsan Marjuki Drs. H. N.Mustam Aji
2784 6-Jan-98 1/W.3/IX/98 11-Sep-97
23 Musholla Al-Ihlas Kalimi 2432 9-Jan-98 50/X/97 01-Okt-97
24 Musholla Bitul Muttaqin
Saliman 1839 5-Jan-98 11/W.2/IX/97 12-Sep-97
25 musholla Al-Hidayah
Muhyono 1725 5-Jan-98 48/1.c15/X/1997 01-Okt-97
26 Masjid jami' Nurul Islam
T.T. babah Deblong
1098 13-Des-97
25.W3./IX/97 24-Sep-97
27 Masjid As-Siroj H. Suradji 1898 5-Jan-98 17/W.3/IX/97 23-Sep-97
28 Musholla Supardi Hawari 828 13-Des-97
90/W.3/XII/97 02-Des-97
29 masjid al-muttaqin
Drs. Sugeng Rahmat
M. Ashar 821 13-Des-97
21/W.3/IX/97 17-Sep-97
30 musholla Baitul Istighan
Jumar Drs. H. N.Mustam Aji
743 13-Des-97
45/X/97 01-Okt-97
31 Masjid Attaqwa Drs. H. N.Mustam Aji
Hawari 604 13-Des-97
09/W.3/1997 18-Sep-97
32 Masjid Sirojudin Sudirman istinja'a
Drs. H. N.Mustam Aji
1591 21-Des-97
13/W.3/IX/97 22-Sep-97
62
33 Masjid Al-Huda Hawari 924 13-Des-97
44/X/97 01-Okt-97
34 Masjid Al-Fatah Drs. Iswoyo Wiryo
Drs. Iswoyo Wiryo
2764 9-Jan-98 28/W.3/IX/97 9-Sep-97
35 YPI Al-Fattah Drs. Iswoyo Wiryo
Drs. Iswoyo Wiryo
2730 9-Jan-98 105/W.3/IX/1997 29-Sep-97
36 Masjid Al-Ihlas Drs. H.Syafi'i Drs. H. N.Mustam Aji
5142 06-Des-97
37 Masjid H. Moch Dalail Agus Susanto
4 06-Des-03
27-Jul-03
Kel Tambak Aji 1 Masjid Al-
Mustaghfi Juwariyah KH. Syaiful
Hidayat 457 22-Sep-
93 W2/26/09/90 22-okt-
90 2 musholla mukari 416 24-Okt-91 W2/25/09/90 22-Okt-
90 3 Masjid al-
Mustaghfirin Surur 454 22-Sep-
93 W2/22/09/90 22-Okt-
90 4 Musholla Nurul
huda poliman Abdul
manan 8 5-Jan-94
5 Kegaiatan Agama Islam
Drs. Yakoep 560 24-Okt-91 W2./63/09/91 22-Okt-90
6 Musholla H. Hasyim K. Asikin 6 3-Jan-94 W2/19/09/92 04-Des-92
7 Masjid H. A. Ahmadi K. Abdul Manan
559 24-Okt-91 W2/05/09/90 22-Okt-90
8 Musholla Al-Barokah
Sariyah KH. Syaiful Hidayat
41`9 24-Okt/91 W3/21/09/90 22-Okt-90
9 Musholla Simin Drs. Mardliyo
1877 26-Jul-93 W2/08/09/91 16-Sep-91
10 Musholla Sukar 1874 26-Jul-93 W3/13/09/90 9-Sep-91
11 Musholla Miftahul Huda
A. Kemat 1875 26-Jul-93 W2/09/09/91 16-Sep-91
12 Masjid H. A. Wahab H. Marzuki 466 23-Okt-91 W3/36/09/90 22-Okt-90
13 Masjid Assolihin Siti Kasbari KH. Syaiful Hidayat
445 1-Apr-93 W3/59/09/91 16-Sep-91
14 Msjid Darus syukur
Sulikah Drs. Matrdliyo
1844 4-Jan-93 W2/04/09/92 20-Jan-92
15 Musholla Al-Muin H. Toha H. Marzuki 468 23-Okt-91 W3/35/09/90 22-Okt-90
16 Madrasah Diniyah/TK Islam
Ambijan 480 13-Jan-92
W2/42/09/91 16-Sep-91
17 Masjid darus Salam
Kartiyah K. Asikin 793 21-Okt-92 W2/61/09/91 27-Des-91
18 Musholla An-Nur Siti Maimunah H. Abdul Manan
420 12-Nop-96
W2/29/93 5-Mar-92
19 Langgar Al-Ihsan Drs. Thohir Su'ady
3730 27-Feb-98
20 Masjid Assholihin Isa KH. Syaiful Hidayat
2303 19-Jan-98
21 TPQ Nurul Huda H. Asnawi H. Asnawi 1638 19-Jan-98
22 Langgar Al-Maqosid
Fudholi Al-Maqosid 1893 19-Jan-98
23 Masjid Baitul Muttaqin
Drs. Thohir Su'ady
3704 27-Feb-98
24 Masjid Baitul Muttaqin
Abduh KH. Syaiful Hidayat
4210 10-Mar-98
W.3/30/97 23-Sep-97
25 Langgar Attaubah
Samlawi 1125 19-Jan-98
26 Musholla Al-Muhtadin
Tasiman 4250 19-Jan-98
63
27 Masjid Al-Mubarok
Paiman Drs. H.A. Qoliby
691 16-Des-98
28 Masjid/ Madrasah Ismun M Ismun 3722 27-Feb-98
29 Langgar Baiturrahman
Narto Dinojo Saiful H 655 16-Feb-97
30 Musholla Al-Ihlas Kasmi Fadlan 4002 3-Mar-98 31 Masjid Al-Asyiri H. Sukaimi H. Mukri 6 6-Jan-04 26-Jun-
03 32 Madrasah
Diniyah/TK Islam Duchuwan Juweni 2 30-Jun-
00 29-Des-
99 33 Masjid Baitul
Iman 3 21-Des-
00 23-Sep-
97 34 Langgar An-
Ni'mah Djoko Sartono 1 20-Apr-00 10-Apr-
00 35 langgar Sati Sudarto 4 3-Sep-01 17-Apr-
01 36 Masjid H. Abu H. Abdul
Manan 558 24-Okt-91 22-Okt-
90 Kel Kalipancur 1 Musholla
Nurussalam Rambat Pramono
Muhadi 256 30-Mar-98
2 Musholla Nurussalam
Supanut 597 30-Mar-98
3 Masjid Baitul Muttaqin
Khoiruddin Abas 345 30-Mar-98
4 Masjid Al-Falah Mustofa,BA Sutamto, BA 4 21-Jul-00 14-Mar-00
Kel Gondoryo 1 Masjid
Baiturrahim Sapuan M. Lahuri 84 21-Sep-
90 Mk.01/K-10/BA-03.2
27-Jan-90
2 Mausholla Baitul Muttaqin
Asman M. Lahuri 104 10-Okt-91 W.2/65/K-10/91 3-Jun-91
3 Masjid Baitul Muttaqin
H. Kasnawi H. Chudhori 564 30-Mar-98
29-Des-97
4 Masjid Baitul Muttaqin
Sanimah 577 30-Mar-98
29-Des-97
5 Masjid Baitul Muttaqin
Ngasemi 777 30-Mar-98
29-Des-97
Kel. Beringin 1 Musholla Al-Ihlas Mainah KH. Syaeful
Hidayat 413 24-Okt-91 W.2/24/09/90 22-Okt-
90 2 Musholla Baitul
Hawa H. Rahisan 407 24-Okt-91 W.2/13/90 22-Okt-
90 3 Musholla Warsinah 421 29-Jan-
92 W.2/07/09/91 16-Sep-
91 4 Pondok
Pesantren A. Sopiyan 418 24-Okt-91 W.2/17/09/90 22-Okt-
90 5 Masjid Mainah 443 1-Apr-93 W.3/60/09/91 16-Sep-
91 6 Masjid Istiqomah Sami M. Lahuri 110 19-Mar-
92 W.2/91/K-10/91 25-Jul-
91 7 Masjid
Baituttaqwa Tasno Suhadi 2001 24-okt-91 W.2/69/K-10/91 3-Jun-91
8 Masjid Baiturrahim
Soepari Iskak 2003 24-Okt-91 W.2/70/k-10/91 3-Jun-91
9 Langgar Soepari Suhadi 1824 31-Jan-90
Mk.01/K-10/BA.0.3.2/05
23-Jan-90
10 Langgar Mukilik 1820 31-Jan-90
Mk.01/K-10/BA.0.3.2/056
23-Jan-90
11 Musholla A. Soleh 1822 31-Jan- Mk.01/K- 23-Jan-
64
90 10/BA.03.2/053 90 12 Musholla Ijtihad Gondo Utomo Mulyono 1 18-Jan-
05 29-Des-
03 13 Pon Madrasatul
Qur'an H. Soleh
Mahalli 661 9-Feb-98 83/W2/Xi/97 9-Feb-
98 14 Kuburan H. Syaiful
Hidayat 784 9-Feb-98 77/W.3/X/97 9-Feb-
98 15 Pon Madrasatul
Qur'an H. Soleh
Mahalli 663 9-Feb-98 82/W.3/XI/93 9-Feb-
98 16 langgar
Roudhotul Mutaalimin
parlan M Lahuri 117 06-Des-93
12-Nop-91
Kel Wates 1 Langgar Miftahul
Mutaalimin Sripah M Lahuri 107 10-Okt-91 W2/63/K-10/91 3-Jun-91
2 musholla Attaqwa Yatilah M Lahuri 101 10-Okt-91 W2/64/K-10/91 3-Jun-91 3 Musholla Miftahul
Huda Sarpi Maskaini 684 30-Mar-
98
4 MTs Darul Ulum Sinah Ahya' 705 30-Mar-98
5 MI Darul Ulum Karmani Ahya' 704 30-Mar-98
6 Yayasan Manbaul Ulum
Kamdanah Toha hasan 1 7-Mar-03 25-Mei-02
7 Kel Wonosari 1 Musholla Al-Ihlas Yasin Sufyan 852 11-Feb-
92 W.3/39/09/91 16-Sep-
91 2 musholla Baitus
Surur Surur KH. Syaiful
Hidayat 410 24-Okt-91 W.2/16/09/90 22-Okt-
90 3 Mawsjid
Muhajirin H. Abdullah K Humam
Mukti 652 23-Okt-91 W.3/60/09/90 22-Okt-
90 4 Musholla Abu Mahsar 674 26-Des-
91 W3/15/09/91 22-Okt-
90 5 Musholla Simah 658 23-Okt-91 W2/62/09/90 22-Okt-
90 6 musholla Sumardjo KH. Mahfud 372 10-Des-
91 W2/30/09/90 22-Okt-
90 7 Musholla Minwar 374 10-Des-
91 W3/31/09/90 22-Okt-
90 8 Musholla Abu Naim 366 23-Okt-91 W2/03/09/90 22-Okt-
90 9 Musholla Maskur 368 23-Okt-91 W2/27/09/90 22-Okt-
90 10 Musholla Al-Huda Humam
Mukti Aziz 163 25-Jun-
96 6/9/1992 5-Jun-92
11 Pendidikan Muhammadiyah
munawqar H Nurul Anwar
1819 30-Mar-98
12 Pendidikan Muhammadiyah
1835 3-Mar-98
13 Pendidikan Muhammadiyah
1836 3-Mar-98
14 Musholla P. Syafi'i H. Mahbub 183 24-Okt-96 30-Apr-96
15 Taman Kanak-Kanak
Sri Hidayati M Muzamil 2 30-Jun-00
26-mei-00
16 Lembaga Pendidikan islam
Hj khoiriyah H. Masduki 3 9-Mar-01 30-okt-00
17 Salasatun Ahwan 4 25-Jul-01 23-Apr-01
18 Tempat Ibadah Sri Hidayati H. Muzamil 1 29-Apr-00 1-Mar-00
19 Masjid Muhajirin H,. Abdullah Humam 652 23-Okt-91
65
Mukti Aziz 20 Musholla
Mujahidin Abu Khoiri 660 23-Okt-91 22-Okt-
90 21 Musholla
Abdullah Abu Mahsar 674 26-Des-
91 22-Okt-
90
Keterangan Kode AKTA :
a. W.1. Ikrar Wakaf b. W.2. Akta Ikrar Wakaf c. W.2a. Salinan Akta Ikrar Wakaf d. W.K. Surat Keterangan Kepala Desa Tentang Perwakafan Tanah e. W.D. Surat pendaftran Tanah yang terjadi sebelum berlakunya P.P No 28 tahun 1977 f. W.3. Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf g. W.3a. Salinan APAIW h. W.4. Daftar Akta Ikrar Wakaf i. W.4a. Daftar APAIW j. W.5. Surat Pengesahan Nadzir k. W.6. Buku catatat tentang keadaan tanah wakaf l. W.6a. buku catatan tentang pengololaan dan hasil tanah wakaf m. W.6b. Buku Catatan tentang penggunaan hasil tanah wakaf n. W.7. Permohonan Pendaftaran Tanah Wakaf
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi sertifikasi tanah wakaf
Ketika melakukan wawancara bersama Bpk Djarojat, beliau menyatakan bahwa :
Apakah program sertifikasi berjalan? Program yang selama ini di laksanakan di sini,
ya dengan tetap memakai ketentuan yang ada yakni dari Depag. Bagaimanakah
respon masyarakat? Masyarakat sangat antusias dalam melakukan sertifikasi, apakah
yang menjadi kendala masyarakat dalam melakukan sertifikasi? Menurutnya dari
masyarakat yang melakukan Ikrar Wakaf selama ini menyatakan bahwa masalah
biaya sertifikasi menjadi kendala, dan kurangnya pemahaman masyarkat tentang
sertifikasi, ya kalau saya selaku PPAIW memaklumi bahwa hal ini menyangkut
organisasi.2
Ada dua faktor yang cukup mempengaruhi lancar atau tidaknya proses sertifikasi
tanah wakaf yakni faktor pendukung dan faktor penghambat.
2 Wawancara bersama Bp Djarojat
66
1. Faktor Pendukung
Dengan telah timbulnya pengertian masyarakat tentang proses dan biaya
pesertifikatan tanah wakaf dan masih banyak lokasi yang harus diselesaikan
perwakafannya. Inilah salah satu faktor yang mendukung proses sertifikasi berjalan
dengan lancar. Selain itu sistem kekerabatan dan seringnya silaturami yang dilakukan
antara KUA dengan para Ta’mir masjid, langgar dan sarana-sarana keagamaan
masyarakat dapat memahami proses-proses menyelesaikan pensertifikatan tanah.
Factor pendukung lainnya yang barangkali bisa menyelesaikan problem sertifikasi
tanah di KUA Ngaliyan, seperti yang sudah ditegaskan sebelumnya adalah
bertambahnya jumlah sertifikasi tanah wakaf di KUA Kecamatan Ngaliyan. Hal ini
ditambah dengan pemahaman petugas akan pentingnya membangun semangat
profesionalisme diantara para pegawi KUA.
2. Faktor Penghambat
Selain ada faktor penunjang, tak bisa dinafikan juga hadirnya berbagai faktor
yang menghambat lancarnya proses sertifikasi tanah ini. Diantaranya adalah:
a. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya sertifikasi tanah wakaf,
sehingga masih banyak tempat-tempat ibadah yang belum diproses
pensertifikatannya.
b. Masih banyak tempat ibadah yang tanahnya berstatus Hak Guna Bangunan (HGB)
maupun tanah milik PT Pengembang Perumahan, sehingga mengalami kesulitan
untuk proses sertifikasi karena harus diadakan peningkatan haknya dan ini butuh
waktu yang lama dan dana yang tinggi.
c. Kurangnya komunikasi antara KUA dengan Masyarakat
D. Kesadaran Hukum Masyarakat
1. Pengetahuan Hukum sertifikasi Tanah wakaf
67
Pengetahuan tentang suatu system hokum merupakan salah satu indicator dari
kesadaran hokum. Untuk itu maka pada bagian ini akan dikemukakan tentang
pengetahuan responden sekitar system hokum sertifikasi.
Tabel-1 Pertanyaan : Menurut saudara, apakah ketentuan tentang sertifikasi tanah wakaf diatur
dalam peraturan tertulis ? N=27
Jawaban Proporsi %
A. Ya, PP No 42 2006, UU No 41 2006 B. Tidak C. Tidak tahu
33,33 29,63 37,04
Jumlah 100 Jumlah responden yang menyatakan bahwa sertifikasi diatur dalam peraturan
tertulis adalah 33,33% responden, responden yang menjawab tidak 29,63% responden dan
yang tidak tahu 37,04% responden.
Dari responden yang menyatakan mengetahui bahwa sertifikasi di atur dalam
peraturan tertulis ketika di wawancarai menyatakan bahwa saya mengetahui bahwa
sertifikasi tanah wakaf itu di atur dalam peraturan tertulis atau UU, akan tetapi
saya kurang tahu pasal-pasal yang mengaturnya.
Bila dilihat dari tabel di atas ternyata responden yang menjawab secara tepat
adalah 9 responden dari 27 responden.
Tabel-2 Pertanyaan : Sertifikasi tanah wakaf dilakukan berdasarkan apa ?
N=27 Jawaban Proporsi
% A. Bukti AIW dan Surat tanah B. Surat-surat tanah tanpa bukti AIW C. Tidak tahu
62,96 29,64 7,40
Jumlah 100 Responden yang menyatakan bahwa Dalam mensertifikasikan tanah wakaf
berdasar pada AIW dan surat yang menyatakan keterangan tentang keberadaan tanah
wakaf. responden yang berhasil diwawancarai ternyata sebagian besar atau 62,96 % (17)
responden mengetahui hal tersebut, sedang yang hanya mengetahui surat-surat tanah tanpa
AIW 29,64% (8) responden, sedang responden yang tidak tahu 7,40% (2) responden.
Dari sebagian responden ketika di Tanya mengenai bukti AIW, menyatakan bahwa
Akta ikrar wakaf adalah surat atau pernyataan secara tertulis yang menyatakan
68
bahwa tanah tersebut merupakan tanah wakaf, sedang surat tanah itu leter D
(istilah dahulu)/ sertifikat tanah.
Bila dilihat dari tabel di atas ternyata responden yang menjawab secara tepat
adalah 17 responden dari 27 responden.
Tabel-3 Pertanyaan : Menurut saudara, siapakah yang terlibat dalam ikrar wakaf ?
N=27 Jawaban Proporsi
% A. Wakif, nadzir, saksi, mauquf alaih, PPAIW B. Jawaban A ditambah kepala desa dan camat C. Tidak tahu
51,85 33,33 14,82
Jumlah 100 Responden yang dapat diwawancarai adalah 51,85% (14) responden menjawab
wakif, nadzir, saksi, mauquf alaih, dan PPAIW merupakan yang terlibat dalam pembuatan
Akta Ikrar wakaf. Sedang 33,33% (9) responden selain jawaban pada huruf A menambahi
dengan kepala desa / Camat adalah yang terlibat dalam pembuatan Akta Ikrar Wakaf. Dan
responden yang menyatakan tidak tahu 14,82% (4) responden.
Dari responden yang mengetahui seputar keterlibatan dalam ikrar wakaf rata
menyatakan bahwa ;
Wakif merupakan orang yang memiliki tanah wakaf.
Nadzir merupakan orang yang di pasrahi/ di beri amanat untuk mengelola
tanah wakaf
Saksi merupakan orang yang di mengetahui keberadaan tanah wakaf
tersebut.
PPAIW merupakan petugas yang mencatat.
Kepala desa/camat merupakan pejabat yang mengeluarkan atau memberi
wewenang untuk mengeluarkan surat tentang keberadaan tanah.
Bila dilihat dari tabel di atas ternyata responden yang menjawab secara tepat
adalah 9 responden dari 27 responden.
Tabel-4
Pertanyaan : Kemanakah saudara membuat akta ikrar wakaf ? N=27
Jawaban Proporsi %
A. KUA B. PPAT C. Tidak tahu
88,88
11,12
69
Jumlah 100 Sebagian besar Responden menjawab KUA sebagai tempat pembuatan Akta Ikrar
Wakaf. Responden yang memilih KUA sebagai lembaga yang membuat akta ikrar
wakaf ketika menyatakan bahwa karena KUA terdapat petugas yang mencatat akta
ikrar wakaf maka KUA saya anggap sebagai rujukan dalam membuat Akta Ikrar
wakaf.
Bila dilihat dari tabel di atas ternyata responden yang menjawab secara tepat
adalah 24 responden dari 27 responden.
Berdasarkan data di atas maka dapat disusun suatu tabel gabungan sesuai dengan
ketepatan jawaban responden. untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan hokum
responden dalam sertifikasi tanah wakaf,
Tabel-5 Pengetahuan Hukum Responden
Tabel Jawaban responden
A. Tabel 1 B. Tabel 2 C. Tabel 3 D. Tabel 4
9 17 9 24
Jumlah 59 Dari tabel tersebut dapatlah dikemukakan hal-hal sebagai berikut . tingkat
pengetahuan hukum responden dalam sertifikasi tanah wakaf adalah sebesar 59 x 27/100
=15,93%.
2. Pemahaman Hukum Sertifikasi Tanah Wakaf
Pemahaman Hukum Tentang Ketentuan Sertifikasi Merupakan Indicator Kedua
Dalam Kesadaran Hukum. Untuk mengetahui sejauhmana pemahaman responden
tentang sertifikasi tanah wakaf, berikut pertanyaan yang diajukan :
Tabel-6 Pertanyaan : Ketentuan mengenai sertifikasi tanah wakaf sebaiknya tunduk pada apa ?
N=27 Jawaban Proporsi
% A. Perundang-undangan yang berlaku B. Hukum islam C. Tidak tahu
33,33 48,15 18,52
Jumlah 100 Responden yang memilih ketentuan mengenai sertifikasi tanah wakaf sebaiknya
tunduk pada hukum Perundang-undangan yang berlaku adalah 33,33% (9) responden.
Sedang yang menjawab hokum islam adalah 48,15% dan yang tidak tahu 18,52%.
70
Terbatas pada responden yang menjawab hokum islam ketika diwawancarai
responden beralasan bahwa sertifikasi tanah wakaf harus tunduk pada hokum
islam karena pada dasarnya hokum islam yang mengatur tentang perwakafan.
Sedang responden yang menjawab perundang-undangan yang berlaku rata-rata
beralasan bahwa karena sertifkasi tanah wakaf itu di atur dalam perundang-
undangan, maka harus tunduk pada perundangan yang berlaku, namun ketika
ditanyakan kembali mengenai pasal-pasal yang mengaturnya, responden tidak bisa
menunjukkan pasal yang mengaturnya.
Dari tabel tersebut responden yang menjawab tepat adalah 9 responden dari 27
responden.
Tabel-7 Pertanyaan : Bagaimanakah untuk mendapatkan bukti AIW ?
N=27 Jawaban Proporsi
% A. Wakif datang ke KUA dan mengikrarkan tanah wakaf
kepada nadzir dihadapan PPAIW serta 2 orang saksi dan surat tanah
B. Wakif datang ke KUA dan membawa surat-surat tanah
C. Tidak tahu
44,44
29,63
25,93 Jumlah 100
Responden yang dapat diwawancarai ternyata sebagian besar 12 (44,44%)
responden menjawab dalam mendapatkan AIW adalah wakif membawa surat-surat tanah
dan melaksanakan ikrar wakaf kepada nadzir di hadapan PPAIW dan 2 orang saksi.
Ketika diwawancarai mengenai keharusan wakif untuk datang ke KUA sebagian
beralasan bahwa wakif harus datang karena wakif adalah orang yang melakukan
ikrar wakaf. Sebagian lagi beralasan bahwa wakif tidak harus datang ke KUA
karena dapat di gantikan dengan orang lain/ atau istilahnya dengan surat kuasa.
Ketika responden yang menjawab jawaban b, beralasan bahwa wakif tidak
melakukan ikrar wakaf lagi karena sudah pernah melakukan ikrar pada waktu
lampau.
Dari 27 responden yang menjawab dalam mendapatkan AIW adalah wakif
membawa surat-surat tanah adalah 8 (29,63% )Responden, dan yang tidak tahu sejumlah 7
(25,93%) responden.
Bila dilihat dari tabel di atas ternyata responden yang menjawab secara tepat
adalah 12 responden dari 27 responden.
Tabel-8
71
Pertanyaan : Apakah ada syarat bagi wakif dan saksi dalam ikrar wakaf? N=27
Jawaban Proporsi %
A. Ya, dewasa, islam, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, pemilik sah harta wakaf.
B. Ya, pemilik sah harta benda wakaf C. Tidak tahu
55,55
37,04 7,41
Jumlah 100 Dari responden yang dapat diwawancarai sebagian besar 15 (55,55%) menjawab
ya adanya syarat yang terlibat dalam Ikrar wakaf sebagaimana tabel-3 diatas. Dengan
mencontohkan ketentuan Wakif dan saksi harus dewasa, islam, berakal sehat, dan tidak
terhalang melakukan perbuatan hukum, pemilik sah harta benda wakaf.
Responden yang diwawancarai menyatakan bahwa syarat-syarat itu harus di
berlakukan pada saksi atau yang terlibat dalam ikrar wakaf, karena hokum islam
dalam perwakafan itu telah di atur di dalamnya termasuk saksi.
Responden yang menjawab b, dalam angket ternyata ketika di wawancarai
sebagian besar kurang memahami dari pertanyaan yang di berikan, sehingga
jawabannya kurang sempurna. Namun dalam menjawab wawancara secara lisan
sebagian besar menyatakan hal serupa bahwa syarat itu harus di berlakukan
terhadap saksi atau yang terlibat dalam ikrar wakaf.
Responden yang menjawab pemilik harta wakaf sejumlah 10 (37.03%) responden,
dan yang tidak tahu 2(7,41%) responden.
Bila dilihat dari tabel di atas ternyata responden yang menjawab secara tepat
adalah 15 responden dari 27 responden.
Tabel-9 Pertanyaan : Selain membuat akta ikrar wakaf lembaga ( PPAIW ) tersebut melakukan
apa ? N=27
Jawaban Proporsi %
A. Meneliti syarat-syarat sesuai ketentuan dan mengesahkan setelah ditandatangani oleh yang bersangkutan
B. Mengesahkan AIW setelah ditandatangani oleh yang bersangkutan
C. Tidak tahu
44,44
25,93
29,63 Jumlah 100
72
Responden selain membuat akta ikrar wakaf PPAIW juga meneliti syarat-syarat
sesuai ketentuan yang diatur dalam peraturan Perundang-undangan yang dipilihnya adalah
12(44,44%) responden.
Ketika responden di wawancarai mengenai tugas PPAIW selain membuat AIW,
responden yang menjawab a pada tabel di atas sebagian besar menyatakan bahwa
meneliti surat-surat tanah yang diwakafkan atau istilahnya surat leter D, kemudian
memberi cap (stempel ) atau di sahkan.
Sedang responden yang menjawab b, menyatakan bahwa mengesahkan akta ikrar
wakaf adalah 7(25,93%) dan yang tidak tahu 8(29,63%) responden.
Bila dilihat dari tabel di atas ternyata responden yang menjawab secara tepat
adalah 12 responden dari 27 responden.
Berdasarkan data di atas maka dapat disusun suatu tabel gabungan sesuai dengan
ketepatan jawaban responden. untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan hokum
responden dalam sertifikasi tanah wakaf,
Tabel-10 Pemahaman Hukum Responden
Tabel Jawaban responden
A. Tabel 6 B. Tabel 7 C. Tabel 8 D. Tabel 9
9 12 15 12
Jumlah 48 Dari tabel tersebut dapatlah dikemukakan hal-hal sebagai berikut . tingkat
pemahaman hukum responden dalam sertifikasi tanah wakaf adalah sebesar 48 x 27/100
=12,96%.
3. Sikap hokum responden tentang sertifikasi tanah wakaf
Sikap Terhadap Ketentauan Dalam Sertifikasi Merupakan Indicator Ketika Dalam
Kesadaran Hukum, berikut merupakan pertanyaan yang di jadikan acuan untuk
memperoleh informasi mengenai sikap responden.
Tabel-11 Pertanyaan : Jika saudara dalam membuat akta ikrar wakaf di tolak oleh PPAIW karena
persyaratan tidak lengkap, bagaimana sikap saudara ? N=27
Jawaban Responden %
A. Menerima, karena sadar akan pentingnya syarat tersebut
55,56
73
B. Tidak menerima, karena syarat tersebut terlalu sulit didapatkan
C. Tidak menjawab
25,93
18,52 Jumlah 100
Sikap responden ketika ditanya seperti pertanyaan pada Tabel-11, yang menerima
adalah 55,56% (15) responden dengan alasan bahwa responden sadar akan pentingnya
syarat-syarat tersebut. Responden yang tidak menerima adalah 25,93% (7) responden
dengan alasan syarat yang dibuat terlalu menyulitkannya. Sedang tidak menjawab adalah
18,52% (7) responden.
Tabel-12 Pertanyaan : Apakah saudara setuju bila dalam sertifikasi harus menunjukkan bukti Akta
Ikrar Wakaf di samping surat tanah ? N=27
Jawaban Proporsi %
A. Setuju B. Kurang setuju C. Tidak menjawab
62,96 37,04
Jumlah 100
Responden yang menyatakan setuju ketika sertifikasi harus menunjukkan bukti
AIW di samping surat tanah lainnya sejumlah 62,96% (17) responden. Yang menyatakan
kurang setuju sejumlah 10(37,04%) responden dan responden yang tidak menjawab 0%.
bila dilihat dari jawaban responden pada tabel-2 adalah 17 responden, maka responden
konsisten pada jawabannya.
Tabel-13 Pertanyan : Apakah saudara setuju terhadap orang yang terlibat terdapat Syarat-syarat ?
N=27 Jawaban Proporsi
% A. Setuju B. Kurang setuju C. Tidak Menjawab
59,26 29,63 11,11
Jumlah 100 Responden yang menjawab setuju adanya ketentuan-ketentuan terhadap yang
terlibat dalam ikrar wakaf seperti pada tabel-13 adalah 59,26% (16) responden. Yang
menjawab kurang setuju 8(29,63%) dan yang tidak menjawab 3(11,11%) responden
Bila dilihat tabel-3 diatas ternyata responden yang konsisten adalah 16 responden.
Hal ini wajar karena 2 responden dari tabel-11 adalah responden yang menjawab kurang
tepat dari tabel-3 di atas.
74
Tabel-14 Pertanyaan : Apakah saudara setuju, wakif harus datang dan berikrar kepada nadzir
dihadapan PPAIW dan di saksikan oleh saksi ? N=27
Jawaban Proporsi %
A. Setuju, karena peraturan telah mengaturnya B. Kurang setuju, karena tidak ada aturan dalam
islam C. Tidak menjawab
62,96 25,93
11,11
Jumlah 100,00 Responden yang menjawab bahwa wakif harus datang dan berikrar kepada nadzir
dihadapan PPAIW dan Saksi adalah 62,96% (17) responden. Sedang yang menjawab
kurang setuju karena responden beranggapan bahwa islam mengatur masalah sertifikasi
7(25,93%) responden, dan yang tidak menjawab 3(11,11%) responden.
Bila dilihat pada tabel-3 di atas yang menjawab tepat adalah 14 responden maka
dikatakan bahwa sebagian besar responden konsisten pada tabel-3, meskipun pada tabel-
14 yang menyatakan setuju terdapat 17 responden, pada dasarnya 3 responden merupakan
yang memilih jawaban yang kurang tepat pada tabel-3 diatas.
Berdasarkan data di atas maka dapat disusun suatu tabel gabungan sesuai dengan
ketepatan jawaban responden. untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan hokum
responden dalam sertifikasi tanah wakaf,
Tabel-15 Konsistensi Sikap Hukum Responden
Tabel Jawaban responden
A. Tabel 11 B. Tabel 12 C. Tabel 13 D. Tabel 14
15 17 16 17
Jumlah 65 Dari tabel tersebut dapatlah dikemukakan hal-hal sebagai berikut . tingkat sikap
responden dalam sertifikasi tanah wakaf adalah sebesar 65 x 27/100 =17,55%.
4. Pola Perikelakuan Hukum dalam sertifikasi tanah wakaf
Pola Perikelakuan Merupakan Indicator Keempat Dalam Kesadaran Hukum, untuk
mengetahui pola perikelakuan responden maka pertanyan sekitar sertifikasi diajukan.
Tabel-16 Pertanyaan : Apakah saudara sudah pernah melakukan Ikrar Wakaf dihadapan PPAIW?
N=27
75
Jawaban Proporsi %
A. Pernah B. Belum pernah C. Tidak Menjawab
85,16 11,11 3,72
Jumlah 100,00 Responden yang menyatakan pernah melakukan ikrar wakaf dihadapan PPAIW
sejumlah 23(85,16%) responden, sedangkan yang belum pernah adalah 3(11,11%)
esponden dan tidak menjawab 1(3,72) responden.
Tabel-17 Pertanyaan : Apakah saudara pernah terlibat dalam ikrar wakaf ?
N=27 Jawaban Responden
% A. Pernah B. Belum pernah C. Tidak Menjawab
85,16 11,11 3,72
Jumlah 100.00 Responden pernah terlibat dalam ikrar wakaf adalah 23(85,16%), yang belum
pernah sejumlah 3(11,11%) responden dan yang tidak menjawab 1(3,72%). ketika di
wawancarai keterlibatan responden dalam hal ini adalah berfariasi.
Tabel-18 Pertanyaan : apakah saudara pernah membuat Akta Ikrar Wakaf di KUA ?
N=27 Jawaban Responden
% A. Pernah B. Belum pernah C. Tidak Menjawab
85,16 11,11 3,72
Jumlah 100,00 Responden yang menyatakan pernah membuat AIW di KUA sejumlah 23(85,16%)
responden, sedang yang belum pernah adalah 3(11,11%) responden dan yang tidak
menjawab 1(3,72%) responden.
Responden yang di wawancarai yang menyatakan pernah membuat AIW di KUA
dengan alasan bahwa responden termasuk orang yang ditnjuk sebagai panitia
sertifikasi tanah wakaf, sedang responden yang belum pernah beralasan bahwa
pada waktu pelaksanaan sertifikasi tanah wakaf merupakan sertifikasi secara masal
atau kelompok, sehingga secara langsung belum pernah membuat AIW di KUA.
Berdasarkan data di atas maka dapat disusun suatu tabel gabungan sesuai dengan
ketepatan jawaban responden. untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan hokum
responden dalam sertifikasi tanah wakaf,
76
Tabel-19 Pola perikelakuan Hukum Responden
Tabel Jawaban responden
A. Tabel 16 B. Tabel 17 C. Tabel 18
23 23 23
Jumlah 69 Dari tabel tersebut dapatlah dikemukakan hal-hal sebagai berikut . tingkat pola
perilaku responden dalam sertifikasi tanah wakaf adalah sebesar 40 x 27/100 =18,63%.
77
Bab IV
ANALISA KESADARAN HUKUM MASYARAKAT DALAM SERTIFIKASI TANAH WAKAF
A. Analisa terhadap sertifikasi tanah wakaf di KUA Ngaliyan Kota Semarang
Analisis terhadap berjalannya sertifikasi ini akan coba penulis kaitkan dengan
tiga hal yang cukup signifikan yakni, faktor pendukung dan penghambat, undang-
undang dan implikasi praktis bagi masyarakat.
Seperti yang dibahas dalam bab sebelumnya bahwa ada dua faktor yang
mempengaruhi proses sertifikasi tanah, yakni pendorong dan penghambat. Faktor
pendorong atau penunjang lancarnya proses sertifikasi tanah antara lain, adalah mulai
tumbuhnya kesadaran masyarakat, sistem kekerabatan dan seringnya silaturami yang
dilakukan antara KUA dengan para Ta’mir masjid, musholla atau langgar dan sarana-
sarana keagamaan masyarakat dapat memahami proses-proses menyelesaikan
pensertifikatan tanah.
Selain ada faktor penunjang tentu tidak bisa dinafikan banyak hal yang bisa
menghambat lancarnya proses sertifikasi tanah ini. Diantaranya adalah masyarakat
masih kesulitan membiayai sertifikasi tanah wakaf, masih adanya masyarakat yang
kurang memahami pentingnya sertifikasi tanah wakaf.
Dari faktor yang mendukung maupun menghambat tentu harus dicarikan
solusinya terutama faktor yang menghambat. hambatan-hambatan tersebut bisa
berasal dari dua wilayah, masyarakat sendiri dan petugas KUA.
78
Pembinaan secara terus menerus kepada masyarakat dalam hal sertifikasi
tanah wakaf sangat di perlukan, maka perlu di sini ditekankan bahwa peningkatan
kualitas dan kuantitas pegawai KUA dalam menangani masalah wakaf.
Pembinaan yang diberikan oleh KUA diharapkan masyarakat mengetahui dan
memahami proses sertifikasi itu berlangsung, sehingga hukum yang selama ini di buat
benar-benar telah dapat di rasakan oleh masyarakat.
KUA dalam hal ini PPAIW bagaimanapun juga merupakan institusi formal
yang salah satu kewenangannya adalah menangani masalah wakaf. Meskipun
demikian, pengelolaan wakaf tidak sepenuhnya berada di tangan KUA, tetapi juga
menjadi kewajiban seluruh elemen yang terkait dengan persoalan wakaf yakni, nadlir,
masyarakat dan KUA sendiri.1
Tugas yang cukup penting yang di emban KUA dalam konteks pelaksanaan
sertifikasi wakaf ini. Yang pertama adalah tugas pengawasan. Tugas pengawasan ini
dilakukan pada saat pelaksanaan praktek perwakafan mulai dari ikrar wakaf hingga
keluarnya bukti sertifikat tanah wakaf.
Pengawasan yang selama ini di lakukan masih sebatas pada proses ikrar
wakaf saja, sehingga kurang optimal dalam mengawasi jalannya sertifikasi tanah
wakaf, Hal ini di sebabkan kurang proaktifnya petugas dengan masyarakat.
Tugas PPAIW bukan berarti sudah selesai pada tahap itu. Karena pada
tahapan selanjutnya mereka memiliki tanggung jawab yang tak kalah pentingnya
yakni mengawasi pendayagunaan tanah wakaf.
1 Achmad Arief Budiman, Peran KUA Dalam Pemberdayaan Perwakafan: Studi Kasus di Kota
Semarang, Penelitian Individual: IAIN Walisongo Semarang, 2005, hlm. 67.
79
Pengawasan dalam pengelolaan wakaf ini ditujukan kepada nadzir, agar dia
bisa bertindak benar dan profesional dalam melakukan pengelolaan terhadap tanah
wakaf. Pengawasan terhadap tanah wakaf ini juga sangat terkait dengan hasil
pengelolaan maupun substansi dari benda wakaf itu sendiri.2
Fungsi pengawasan ini sebenarnya dapat dikatakan tidak terlalu optimal. Hal
ini disebabkan karena kebanyakan pegawai KUA memahami bahwa tugas KUA
sudah purna bila sertifikat sudah diberikan, Selain itu nadzir juga jarang sekali
melakukan koordinasi dengan pihak KUA, sehingga komunikasi terputus setelah
pembuatan sertifikat Akta Ikrar Wakaf selesai.3
Selain fungsi pengawasan KUA juga perlu mengembangkan pembinaan
hukum kepada masyarakat, baik melalui majelis ta’lim atau pertemuan warga lainnya
akan sangat membantu dalam proses memahamkan kepada masyarakat akan
pentingnya sertifikasi tanah sebagai jaminan hukum.
Juga akan sangat efektif jika ada semacam simulasi atau praktek pra ikrar
wakaf. Karena dengan begitu, masyarakat akan memahami secara lebih detail
mengenai hukum sertifikasi itu sendiri.
B. Analisa Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Sertifikasi Tanah Wakaf
Sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya, kesadaran hukum sebenarnya
mengandung dua sisi, sisi yang satu merupakan suatu kategori dari keadaan batin
individual dan sisi yang kedua merupakan penentuan bersama dari suatu lingkungan
2 Ibid, hlm. 77. 3 Wawancara dengan Bapak Djarojat..
80
tertentu.4 Dengan kesadaran hukum menunjuk pada interdependensi mental dan
interpenetrasi mental, yang masing-masing berorientasi pada “aku”nya manusia dan
pada “kami”nya.
Soerjono Soekanto dalam bukunya menyatakan bahwa perasaan hukum dan
keyakinan hukum individu di dalam masyarakat merupakan kesadaran hukum
individu dan menjadi pangkal dari kesadaran hukum masyarakat. Sehingga
kesadaran hukum dapat dikatakan bahwa perasaan dan kenyakinan hukum inilah
yang merupakan inti dari kesadaran hukum. Bila perasaan dan keyakinan dari
individu-individu itu membentuk menjadi satu dalam masyarakat, maka kesadaran
hukum tersebut merupakan kesadaran hukum pada masyarakat. 5
Pembedaan antara kesadaran hukum dan perasaan hukum dalam masyarakat
sangat perlu. Perasaan hukum diartikan sebagai penilaian hukum yang timbul secara
serta merta dari masyarakat. Kesadaran hukum lebih banyak merupakan perumusan
dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukannya melalui
penafsiran-penafsiran secara ilmiah ( J.J. Von Schmid 1965:63).6
Kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di
dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan
ada yakni tentang nilai-nilai hukum dan bukan penilaian hukum terhadap suatu
kejadian-kejadian yang kongkrit dalam suatu masyarakat yang bersangkutan.
Kesadaran hukum masyarakat dalam sertifikasi tanah wakaf tentunya harus
dilihat dari beberapa aspek:
4 John Z. Loudoe, S.H., Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, Jakarta, Bina Aksara, 1985, hlm 163. 5 Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 1988, hlm 146-147.
6 Dr. Soerjono Soekanto, Kesadaran dan Kepatuhan Hukum Masyarakat, Jakarta : Rajawali, 1982, hlm 152.
81
1.Pengetahuan Hukum
Pengetahuan tentang suatu sistem hukum merupakan salah satu indikator
dari kesadaran hukum. Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang
mengenai beberapa perilaku tertentu yang di atur oleh hukum. Hukum disini adalah
hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan
perilaku yang dilarang ataupun sesuatu perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.
Pengetahuan hukum tersebut erat juga kaitannya dengan asumsi bahwa
masyarakat dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut
telah di undang-undangkan.
Pengetahuan responden seputar sistem hukum sertifikasi sebagaimana
dijelaskan di bab III. Jumlah responden yang menyatakan bahwa sertifikasi diatur
dalam peraturan tertulis adalah 33,33% (9) responden dari 27 responden.
Dari responden yang menyatakan mengetahui bahwa sertifikasi di atur
dalam peraturan tertulis ketika di wawancarai menyatakan mengetahui bahwa
sertifikasi tanah wakaf itu di atur dalam peraturan tertulis atau UU, akan tetapi
responden kurang mengetahui tahu pasal-pasal yang mengaturnya. Menurut penulis
hal ini adalah wajar karena responden tidak pernah secara nyata memperoleh
informasi tentang hal tersebut.
Bila dilihat dalam peraturan tertulis dalam hal ini Undang-undang, secara
umum di atur dalam UU No 41 tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah
No 42 tahun 2006 berisi tentang tata cara pembuatan AIW yakni pasal 28 sampai
39.7
7 Departemen Agama RI, Undang-Undang Republik Indonesia No 41 tahun 2004 tentang wakaf, 2005
82
Responden yang menyatakan bahwa dalam mensertifikasikan tanah wakaf
berdasar pada AIW dan surat yang menyatakan keterangan tentang keberadaan
tanah wakaf. responden yang berhasil diwawancarai ternyata sebagian besar atau
62,96 % (17) responden mengetahui hal tersebut.
Sebagian responden ketika di wawancarai mengenai bukti AIW,
menyatakan bahwa Akta ikrar wakaf adalah surat atau pernyataan secara tertulis
yang menyatakan bahwa tanah tersebut merupakan tanah wakaf, sedang surat tanah
itu leter D (istilah dahulu)/ sertifikat tanah.
Bila dilihat dalam peraturan tertulis mengenai hal-hal yang harus dipenuhi
dalam mensertifikasikan tanah wakaf tercantum dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 42 tahun 2006 pasal 38 ayat 1 dan 2 yang berbunyi bahwa pendaftaran harta
benda wakaf tidak bergerak berupa tanah dilaksanakan berdasarkan AIW atau
APAIW, dan persyaratan-persyaratan lain yang menjelaskan tentang tanah yang
diwakafkan tersebut.8
Adapun keterlibatan Wakif, nadzir, saksi, mauquf alaih, PPAIW, kepala
desa dan Camat merupakan yang terlibat dalam pembuatan Akta Ikrar wakaf. Dari
27 responden yang mengetahui seputar keterlibatan dalam ikrar wakaf adalah
33,33% (9) responden.
Berdasar pada PP No 42 2006 pasal 34 (d ) bahwa AIW yang telah
ditandatangani oleh wakif, Nadzir, 2 orang saksi, dan atau mauquf alaih disahkan
oleh PPAIW. Ini berarti wakif, Nadzir, saksi, dan PPAIW terlibat, kemudian
berdasar pasal 35 ayat 3 bahwa kepala desa terlibat jikalau tidak ada yang memohon
8 Ibid
83
pembuatan AIW, sedangkan camat dalam keterlibatan pembuatan Akta Ikrar Wakaf
sebagai persyaratan administrative sebagaimana pasal 38 ayat 2(b).9
Sebagian besar atau 24 responden dari 27 responden mengetahui bahwa
KUA sebagai tempat pembuatan Akta Ikrar Wakaf. Responden memilih KUA
sebagai lembaga yang membuat akta ikrar wakaf.
Menurut penulis dengan berdasar pada Undang-undang No 41 2004
memang secara eksplisit tidak dicantumkan, akan tetapi bila dilihat dalam Peraturan
Pemerintah No 42 tahun 2006 berkaitan dengan bahasan ini sesuai dengan pasal 37
ayat 1 bahwa PPAIW harta benda wakaf tidak bergerak berupa tanah adalah Kepala
KUA dan atau pejabat yang menyelenggarakan untuk itu. berdasar pasal ini, bahwa
PPAIW itu ternyata KUA sebagai lembaga yang menyelenggarkan dan PPAIW
sebagai petugas, maka dapat disimpulkan bahwa tempat pembuatan Akta Ikrar
Wakaf adalah KUA. 10 Sedang mengenai PPAT tidak salah kalau dilihat dari
peraturan lain yakni PP Nomor 24 tahun 1997 pasal 6 ayat 2 bahwa dalam
melaksanakan pendaftaran tanah Kepala Kantor Pertanahan di Bantu oleh PPAT.11
Menurut penulis pengetahuan responden tentang sertifikasi tanah wakaf di
pengaruhi oleh hal-hal :
a. Masyarakat tidak pernah secara nyata memperolah pendidikan tentang
peraturan tertulis, khususnya masalah sertifikasi tanah wakaf.
9 Peraturan Pemerintah No 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU No 41 tahun 2004. 10 Ibid 11 Peraturan Pemerintah No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
84
b.Pensertifikasian tanah wakaf merupakan masalah yang jarang terjadi,
umumnya hanya pada masyarakat yang melakukan tindakan hukum terhadap
tanah wakaf.
c. Hukum Sertifikasi tanah berada pada posisi hukum perdata sehingga peranan
hukum dan perundang-undangan tidak tampak jika tidak ada perkara yang di
angkat.
2. Pemahaman Hukum
Pemahaman Hukum Tentang Ketentuan Sertifikasi Merupakan Indikator
Kedua Dalam Kesadaran Hukum. Pemahaman hukum dalam arti disini adalah
sejumlah informasi yang dimiliki seseorang, mengenai isi peraturan dari suatu
hukum tertentu. Dengan lain perkataan pemahaman hukum adalah suatu pengertian
terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu, tertulis
maupun tidak tertulis, serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur
oleh peraturan tersebut. Pemahaman hukum ini dapat diperoleh bila peraturan
tersebut dapat dengan mudah dimengerti oleh warga masyarakat.
Dari 27 Responden yang memilih ketentuan mengenai sertifikasi tanah
wakaf sebaiknya tunduk pada hukum Perundang-undangan yang berlaku adalah
33,33% (9) responden. Sedang yang menjawab hukum Islam adalah 48,15%.
Hukum islam dalam hal ini KHI (kompilasi hukum islam) sebagai rujukan
dari Hukum sertifikasi, namun bukan berarti harus tunduk pada hukum islam
sebagaimana responden pahami.
Menurut penulis dengan berdasar pada hukum Islam sebenarnya tidak ada
yang mengatur masalah sertifikasi, tetapi hanya mengatur masalah material dari
85
hukum perwakafan. Dengan keluarnya UU N0 1 tahun 1991 tentang KHI yang
menjadi buku induk dalam perwakafan bukan berarti hukum sertifikasi tanah wakaf
itu tunduk pada hukum Islam. Karena kalau sertifikasi itu tunduk pada hukum Islam
akan di hadapkan pada pandangan-pandangan yang berfariasi.
Kemudian Dalam mendapatkan AIW dengan berdasar pada undang-undang
No 41 Tahun 2004 yakni pasal 21 ayat 1 bahwa ikrar wakaf dituangkan dalam akta
ikrar wakaf, bila pasal ini dipahami bahwa AIW tidak bisa didapat bila belum
melaksanakan ikrar wakaf, maka wakif yang tidak melaksanakan ikrar wakaf tidak
dapat bukti AIW. Dalam pelaksanaan ikrar wakaf ini terdapat pada pasal 17 ayat 1
dan 2 menjelaskan bahwa ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nadzir
dihadapan PPAIW dengan disaksikan oleh 2 orang saksi yang dinyatakan secara
lisan. Kemudian pasal 19 juga menyebutkan bahwa untuk dapat melaksanakan ikrar
wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan surat dan atau tanda bukti kepemilikan
atas harta benda wakaf kepada PPAIW.
Dari 27 responden 44,44% responden menyatakan hal tersebut, responden
dalam hal ini memahaminya, pemahaman responden menurut penulis berdasar pada
hukum islam.
Responden yang beranggapan bahwa AIW didapat tanpa Ikrar wakaf karena
sudah dilakukan pada waktu perwakafan tapi tidak dihadapan PPAIW. Pada
dasarnya AIW didapat setelah melakukan ikrar Wakaf kepada nadzir dihadapan
PPAIW dan disertai saksi disamping surat-surat lainnya, meskipun ikrar wakaf
sifatnya hanya pengulangan.
86
Sebagian besar responden 55,55% (15) menyatakan adanya syarat bagi yang
terlibat dalam Ikrar wakaf. Dengan mencontohkan ketentuan Wakif dan saksi harus
dewasa, Islam, berakal sehat, dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum,
pemilik sah harta benda wakaf.
Bila dilihat dalam perundang-undangan yang berlaku ketentuan mengenai
syarat saksi diatur pada pasal 20 UU No 41 2004 bahwa saksi dalam ikrar wakaf
harus memenuhi persyaratan dewasa, Islam, berakal sehat dan tidak terhalang
melakukan perbuatan hukum, serta pasal 7 (a ) bahwa wakif meliputi perseorangan,
dan pasal 8 ayat 1 bahwa wakif perseorangan sebagaimana pasal 7 (a ) hanya dapat
melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan ; dewasa, berakal sehat, tidak
terhalang melakukan perbuatan hukum dan pemilik sah harta benda wakaf.
Dalam UU No 41 tahun 2004 tersebut terdapat pada pasal 21 ayat 3
menjelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai Akta Ikrar wakaf di atur dalam
Peraturan Pemerintah. Dalam PP tersebut yakni pasal 34b menyatakan bahwa
PPAIW meneliti kelengkapan persyaratan administrasi perwakafan dan keadaan
fisik benda wakaf.
Secara keseluruhan pemahaman hukum responden mengenai hukum
sertifikasi tanah wakaf di pengaruhi hukum tidak tertulis yakni hukum Islam. Hal
ini adalah wajar karena masyarakat sebagian besar beragama Islam.
3. Sikap Hukum Responden
Sikap Terhadap Ketentauan Dalam Sertifikasi Merupakan Indikator Ketiga
Dalam Kesadaran Hukum. Sikap hukum adalah suatu kecenderungan untuk
menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang
87
bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati. Sebagaimana terlihat bahwa
kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang terdapat di masyarakat. Suatu
sikap hukum akan melibatkan pilihan-pilahan warga terhadap hukum yang sesuai
dengan nilai-nilai yang ada pada dirinya sehingga akhirnya warga masyarakat
menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya.
Kaitannya dengan sikap hukum Soerdjono Soekanto mengatakan, bahwa
perlu adanya pembedaan sikap, sikap yang fundamental dan instrumental. Sikap
fundamental merupakan sikap yang dilakukan secara serta merta tanpa
memperhitungkan untung ruginya, sedang sikap instrumental merupakan sikap yang
memperhitungkan keburukan dan kebaikan dari kaidah hukum.12
Sikap responden sebagian besar dipengaruhi oleh sikap instrumental.
Instrumental merupakan sikap yang mempertimbangkan untung dan rugi suatu
kaedah hukum.
4. Pola Perikelakuan Hukum
Pola Prilaku merupakan indikator keempat dalam Kesadaran Hukum, Pola
prilaku hukum merupakan setiap prilaku teratur yang bertujuan untuk mencapai
keserasian antara ketertiban dengan kebebasan.13
Pola ini merupakan yang utama dalam kesadaran hukum, karena disini dapat
dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Data
sertifikasi tanah wakaf di Kecamatan Ngaliyan sampai pada bulan Maret 2008 177
lokasi tanah wakaf, Tanah yang sudah bersertifikat mencapai 173 lokasi, dan yang 4
lokasi baru proses di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
12 Dr. Soerjono Soekanto, Opcit, hlm 244. 13 Ibid, hlm 247-248.
88
Bila dipandang kesadaran hukum masyarakat berpangkal pada pola
perikelakuan hukum masyarakat maka, untuk saat sekarang ini menunjukkan bahwa
kesadaran hukum masyarakat di Wilayah KUA Ngaliyan tinggi.
Peranan dan keterlibatan pemerintah memang sangat strategis dalam
menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat. Karena tanpa keterlibatan pemerintah,
maka akan sulit bagi masyarakat untuk berkembang.
89
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa kesadaran hukum
masyarakat berkaitan erat dengan empat indikator kesadaran hukum yakni
pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum, dan pola perikelakuan
hukum.
Sebagaian besar masyarakat pada dasarnya tidak mengetahui secara pasti isi
peraturan tertulis yang mengatur tentang sertifikasi tanah wakaf, pengetahuan
responden adalah berdasar pada hukum tidak tertulis yakni hukum islam yang
selama ini di jadikan pedoman dalam perwakafan
Pemahaman hukum masyarakat dalam sertifikasi tanah wakaf pada dasarnya
juga tidak memahami, sebagian besar pemahaman responden berdasar pada hukum
islam.
Pengetahuan dan pemahaman hukum masyarakat tentang hukum sertifikasi
tanah wakaf di pengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut :
a. Masyarakat tidak pernah secara nyata memperolah pendidikan tentang
peraturan tertulis, khususnya masalah sertifikasi tanah wakaf.
b. Pensertifikasian tanah wakaf merupakan masalah yang jarang terjadi,
umumnya hanya pada masyarakat yang melakukan tindakan hukum
terhadap tanah wakaf.
90
c. Hukum Sertifikasi tanah merupakan berada pada hukum perdata sehingga
peranan huku dan perundang-undangan tidak tampak jika tidak ada
perkara yang di angkat.
Sikap dan pola perikelakuan masyarakat dalam hal ini merupakan sikap dan
pola perikelakuan yang berdasar pada hukum islam yang selama ini menjadi
kebiasaan dalam melakukan perbuatan. Dan disisi lain sikap dan pola perikelakuan
responden merupakan sikap instrumental,. Instrumental merupakan sikap yang
mempertimbangkan untung dan rugi suatu kaedah hukum.
B. Rekomendasi
Setelah menyimak kesimpulan-kesimpulan tersebut di atas, di tampilkan beberapa
rekomendasi sebagai berikut :
1. Untuk mendapatkan gambaran tentang pengetahauan, pemahaman, sikap dan Pola
Perikelakuan Hukum masyarakat tentang sertifikasi tanah wakaf perlu di lakukan
penelitian lanjutan.
2. Kesadaran masyarakat dalam sertifikasi tanah wakaf perlu mendapatkan perhatian
yang lebih, sehingga pembangunan hukum sebgaimana yang di cita-citakan akan
terwujud.
3. Perlu di teliti lebih lanjut sejauhmana peranan yurisprudensi tentang sertifikasi
tanah wakaf sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
4. Oleh karena adanya kurangnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang
sertifikasi tanah wakaf, perlu dilakukan penyuluhan hukum secara intensif oleh
kalangan hukum.
91
C. Penutup
Demikian skripsi yang telah di susun oleh penulis, sebagai manusia biasa adanya
kesalahan adalah keniscayaan, oleh karena itu, penulis berharap ada kritik yang
membangun, atau mungkin dapat dilakukan penelitian ulang, karena penulis
menyadari masih banyak kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Tebaran Pikiran Tentang Studi Hukum dan Masyarakat, Jakarta : Media
Sarana Press, 1987.
___________, Masalah Perwakafan Tanah Milik Dan Kedudukan Tanah Wakaf Di
Negara Kita, Bandung : PT. Citra Aditiya Bakti, 1994.
Ali, Daud, Muhammad, Sistem Hukum Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf, Jakarta :
Universitas Indonesia (UI-Press), 1988 .
Al-Munawir, Husin, Agil, Said, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani,
2004.
Anshori, Ghofur, Abdul, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar
Media, 2005.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian (suatu Pendekatan), Jakarta : Rineka Cipta,
2006.
Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 1996.
Azwar, Saifuddin, Metode penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 1, 1998.
Baedawi, Khalid, Idham, Fiqh Wakaf, Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf
Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003.
Budiyanto, Herman ( Artikel ; Masa Depan Wakaf Indonesia ), http Net, tanggal 3 Mei
2007
Chomzah, Ali, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jakarta : Prestasi Pustaka, 2004.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
DEPAG, Strategi Pengamanan Tanah Wakaf, Jakarta: Proyek Peningkatan
Pemberdayaan Wakaf Ditjen Bimas Islam dan Penyelengaraan Haji
Departemen Agama RI, 2004.
______, Fiqh Wakaf, Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal
Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003.
______,Juklak Pensersertifikatan Tanah Wakaf, Jakarta : Direktorat Jenderal Bimas
Islam dan Urusan Haji Depag RI, 1999.
_________, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Wakaf : Direktorat Jenderal
Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005.
Effendi, Bachtiar, Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya,
Bandung : Alumni, 1993.
Effendi, Satria, M. Zein ( Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyin), Jakarta
Timur: Prenada Media, 2004 .
Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. Ke–2, 1999.
Ghofur, Abdul, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta :
Pustak Pelajar (di terbitkan atas kerjasama dengan Walisongo Press), 2002.
Hammami, Taufik, Perwakafan Tanah dalam Politik Hukum Agraria Nasional, Jakarta:
PT Tatanusa, 2003.
Hanitidjo, Ronny, Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum Dan Masyarakat,
Bandung: Remadja Karya, 1985.
Halim, Abdul, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005.
Harsono, Budi, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1997.
Haar Bzn, Ter, ( terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto), Asas-asas dan Susunan
Hukum Adat, Jakarta : Pradya Paramita, 1976.
Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Islam, Jakarta : Tinta Mas, 1974.
Hoeve, Van ,Ensiklopedi Hukum Islam : Ichtiar Baru, Jakarta, Jilid 5,T.th.
Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Loudoe, Z, John, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, Jakarta, Bina Aksara,
1985.
Machmudah, Duswara, Dudu, Pengantar Ilmu Hukum ( Sebuah Skettsa), Bandung:
Refika Aditama, 2003.
Moelyono, M, Anton, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-2, Jakarta: Balai Pustaka,
1989.
Munawir, A.W., Kamus al–Munawir Arab–Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka
Progressif, Cet. Ke–4, 1994.
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rake Sarasin, edisi III,
1998.
Narbuko, Cholid, Metodologi Riset, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang, 1986.
Nasution, Harun, Ersiklopedi Islam Indonesia, Djambatan: IAIN Syarif Hidayatullah, t.th.
Partanto, A, Pius (eds), Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994, hlm. 782.
Qardhawi, Yusuf, Fii Fiqh al-Aulawiyyaati Diraasah Jadiidah fii dhau’ al-Qur’an wa as-
Sunnati , Terj. Muhammad Nurhakim “Urutan Amal yang Terpenting dari
yang Penting, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Rahardjo, Sadjipto, Hukum Dan Perubahan Sosial,Bandung: Alumni, 1979.
Rasjidi, Lili, Putra, Wyasa, IB, Hukum Suatu Sitem, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993.
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Alqeisindo, 1997.
Rifa’I, Muhammad, Ushul Fiqh, Semarang: Wicaksana, 1991.
Rofiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Gama Media, 2001.
____________, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2003.
____________, Fiqh Kontekstual: dari Normative ke Pemahaman Sosial, Semarang:
Pustaka Pelajar, 2004.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz 14, Bandung: PT. Al Ma’arif Penerbit Percetakan
Offset, 1987.
Salman, Otje, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Bandung :
Alumni, 1993.
Schacth, Joseph, Pengantar Ilmu Hukum , Jogjakarta : Islamika, 2003.
Soekanto, Soerjono, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta : Rajawali, 1982.
______________, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 1988.
Soimin, Soedharyo, Status Hak Dan Pembebasan Tanah (edisi kedua), Jakarta : Sinara
Grafika, 2004.
Suhadi, Imam, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima
Yasa, 2002.
Tulus, Juklak Pensertifikatan Tanah Wakaf, Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan
Wakaf Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji
Departemen Agama Republik Indonesia, 2003
__________,Strategi Pengamanan Tanah Wakaf, Jakarta: Proyek Peningkatan
Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji
Departemen Agama Republik Indonesia, 2004.
Lampiran-Lampiran
SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL BIMAS ISLAM DAN
PENYELENGGARAAN HAJI
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang dengan izin dan ridhonya-Nya kita dapat menerbitkan naskah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Salah satu upaya yang dilakukan Departemen Agama dewasa ini adalah memberdayakan Wakaf yang merupakan instrument dalam membangun kehidupan sosial – ekonomi umat islam. Dalam hubungan ini Departemen Agama akan terus berupaya mendorong dan memfasilitasi pemberdayaan wakaf secara berkesinambungan. Bagian – bagian penting dari konsep pemberdayaan wakaf secara umum antara lain mengurai tentang pemahaman yang komprehensif dan pola manajemen modern pemberdayaan potensi wakaf yang ada. Untuk itu kehadiran Undang – undang wakaf ini menjadi momentum yang cukup menggembirakan dalam rangka memberdayakan wakaf secara produktif. Dan diharapkan perhatian terhadap pemberdayaan wakaf lebih meningkat sesuai dengan harapan dan keinginan kita bersama. Saat ini Pemerintah sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan Undang – undang tentang wakaf. Oleh karena itu , dalam penerbitan berikutnya Undang – undang ini akan dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah. Semoga Allah SWT memberkati niat baik dan upaya yang kita lakukan. Amin. Wassalam, Jakarta, November 2004 Direktur Jenderal
Drs. H. Taufiq Kamil
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 2004
TENTANG
WAKAF
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki
potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum ;
b. bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat, yang pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan ;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, dipandang perlu membentuk Undang – Undang tentang wakaf.
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 29, dan Pasal 33 Undang – undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
UNDANG – UNDANG TENTANG WAKAF
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang – undang ini yang dimaksud dengan :
1. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
2. Wakif adalah pihak yang mewakafkan hara benda miliknya. 3. Ikrar Wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau
tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya. 4. Nazhir adalah pihak yang menerima harat benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan
dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. 5. Harta benda Wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau
manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh Wakif
6. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW, adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat akta ikrar wakaf.
7. Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga independent untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia.
8. Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri.
9. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang agama.
BAB II DASAR-DASAR WAKAF
Bagian Pertama
Umum
Pasal 2
Wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syariah.
Pasal 3
Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.
Bagian Kedua
Tujuan dan Fungsi Wakaf
Pasal 4
Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.
Pasal 5
Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Bagian Ketiga
Unsur Wakaf
Pasal 6
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut : a. Wakif ; b. Nazhir ; c. Harta Benda Wakaf ; d. Ikrar Wakaf ; e. Peruntukan harta benda wakaf f. Jangka waktu wakaf
Bagian Keempat
Wakif
Pasal 7
Wakif meliputi :
a. Perseorangan ; b. Organisasi ; c. Badan hukum .
Pasal 8 (1) Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a hanya dapat
melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan : a. dewasa ; b. berakal sehat ; c. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum ; dan d. pemilik sah harta benda wakaf.
(2) Wakif organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b hanya dapat melakukan
wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
(3) Wakif badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
Bagian Kelima
Nazhir
Pasal 9
Nazhir meliputi : a. perseorangan ; b. organisasi ;atau
c. badan hukum.
Pasal 10
(1) Perseorangan sebagaimana diamksud dalam Pasal 9 huruf a hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan :
a. warga Negara Indonesia ; b. beragama islam ; c. dewasa ; d. amanah ; e. mampu secara jasmani dan rohani ; dan f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
(2) Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b hanya dapat menjadi
Nazhir apabila memenuhi persyaratan :
a. pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
b. organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam.
(3) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c hanya dapat menjadi
Nazhir apabila memenuhi persyaratan :
a. pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyatan nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ;dan
b. badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku; dan
c. badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
Pasal 11
Nazhir mempunyai tugas :
a. melakukan pengadministrasian harta benda wakaf ; b. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan
peruntukannya; c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; d. melaporkan pelaksanakan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Pasal 12
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen)
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir memperoleh pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.
Pasal 14
(1) Dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Nazhir harus terdaftar pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Harta Benda Wakaf
Pasal 15
Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh Wakif secara sah.
Pasal 16
(1) Harta benda wakaf terdiri dari : a. benda tidak bergerak ; dan b. benda bergerak
(2) Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :
a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar ;
b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a ;
c. tanaman dan benda lain ynag berkaitan dengan tanah ; d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku ; e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang
– undangan yang berlaku. (3) Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang
tidak habis karena dikonsumsi, meliputi: a. uang; b. logam mulia; c. surat berharga; d. kendaraan; e. hak atas kekayaan intelektual; f. hak sewa dan; dan g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Bagian Ketujuh
Ikrar Wakaf
Pasal 17
(1) Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nazhir di hadapan PPAIW dengan disaksiakn oleh 2 (dua) orang saksi.
(2) Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW
Pasal 18
Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alas an yang dibenarkan oleh hukum, Wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi.
Pasal 19
Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW.
Pasal 20
Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan :
a. dewasa ; b. beragama islam ; c. berakal sehat ; d. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum .
Pasal 21
(1) Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf. (2) Akta ikrar wkaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat :
a. nama dan identitas Wakif ; b. nama dan identitas Nazhir ; c. data dan keterangan harta benda wakaf ; d. peruntukan harta benda wakaf ; e. jangka waktu wakaf.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Peruntukan Harta Benda Wakaf
Pasal 22
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi :
a. sarana dan kegiatan ibadah ; b. sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan ; c. bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa; d. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan
peraturan perundang – undangan.
Pasal 23
(1) Penetapan peruntukan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan oleh Wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf.
(2) Dalam hal Wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf , Nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.
Bagian Kesembilan
Wakaf dengan Wasiat
Pasal 24
Wakaf dengan wasiat baik secara lisan maupun secara tertulis hanya dapat dilakukan apabila disaksikan oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
Pasal 25
Harta benda wakaf yang diwakafkan dengan wasiat paling banyak 1/3 (satu pertiga) dari jumlah harta warisan setelah dikurangi dengan utang pewasiat, kecuali dengan persetujuan seluruh ahli waris.
Pasal 26
(1) Wakaf dengan wasiat dilaksanakan oleh penerima wasiat setelah pewasiat yang bersangkutan meninggal dunia.
(2) Penerima wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak sebagai kuasa wakif (3) Wakaf dengan wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dan ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan tata cara perwakafan yang diatur dalam undang – undang ini.
Pasal 27 Dalam hal wakaf dengan wasiat tidak dilaksanakan oleh penerima wasiat, atas permintaan pihak yang berkepentingan, pengadilan dapat memerintahkan penerima wasiat yang bersangkutan untuk melaksanakan wasiat.
Bagian Kesepuluh
Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang
Pasal 28
Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri
Pasal 29
(1) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dilaksanakan oleh Wakif dengan pernyataan kehendak Wakif yang dilakukan secara tertulis.
(2) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat(1) diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.
(3) Sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syariah kepada Wakif dan Nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf.
Pasal 30
Lembaga keuangan syariah atas nama Nazhir mendaftar harta benda wakaf berupa uang kepada Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya Sertifikat Wakaf Uang.
Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III PENDAFTARAN DAN PENGUMUMAN HARTA BENDA WAKAF
Pasal 32
PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja akta ikrar wakaf ditandatangani.
Pasal 33
Dalam pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, PPAIW menyerahkan :
a. salinan akta ikrar wakaf; b. surat – surat dan.atau bukti – bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya.
Pasal 34
Instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf
Pasal 35
Bukti pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 disampaikan oleh PPAIW kepada Nazhir.
Pasal 36
Dalam hal harta benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya, Nazhir melalui PPAIW mendaftarkan kembali kepada Instansi yang berwenang dan Badan Wakaf Indonesia atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah peruntukannya itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara pendaftaran harta benda wakaf.
Pasal 37
Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengadministrasikan pendaftaran harta benda wakaf.
Pasal 38
Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengumumkan kepada masyarakat harta benda wakaf yang telah terdaftar.
Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut mengenai PPAIW, tata cara pendaftaran dan pengumumkan harta benda wakaf diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV PERUBAHAN STATUS HARTA BENDA WAKAF
Pasal 40
Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang :
a. dijadikan jaminan ; b. disita ; c. dihibahkan ; d. dijual ; e. diwariskan ; f. ditukar ; g. ditukar ; atau h. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Pasal 41
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum ssuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentang dengan syariah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia (3) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.
(4) Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN HARTA BENDA WAKAF
Pasal 42
Nazhir wajib mengelola dan mengembangan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan , fungsi , dan peruntukannya.
Pasal 43
(1) Pengelolaan dan pengmbangan hara benda wakaf oleh Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah.
(2) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara produktif
(3) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga penjamin syariah.
Pasal 44
(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir dilarang melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila harta benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf
Pasal 45
(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf , Nazhir diberhentikan dan diganti dengan Nazhir lain apabila Nazhir yang bersangkutan :
a. meninggal dunia bagi Nazhir perseorangan b. bubar/dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku untuk Nazhir organisasi atau Nazhir badan hukum. c. Atas permintaan sendiri ; d. Tidak melaksakan tugasnya sebagai Nazhir dan/atau melanggar ketentuan larangan
dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku :;
e. Dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh Nazhir lain
karena pemberhentian dan penggantian Nazhir, dilakukan dngan tetap memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang ditetapkan dan tujuan serta fungsi wakaf.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
BADAN WAKAF INDONESIA
Bagian Pertama
Kedudukan dan Tugas
Pasal 47 (1) Dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk Badan
Wakaf Indonesia. (2) Badan Wakaf Indonesia merupakan lembaga independen dalam melaksanakan tugasnya.
Pasal 48
Badan Wakaf Indonesia berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota sesuai kebutuhan. Pasal 49 (1) Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan wewenang :
a. melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf
b. melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional
c. memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf ;
d. memberhentikan dan mengganti Nazhir
e. memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf ;
f. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan Wakaf
Indonesia dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah , organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional , dan pihak lain yang dipandang perlu.
Pasal 50
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Badan Wakaf Indonesia memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama Indonesia.
Bagian Kedua
Organisasi
Pasal 51
(1) Badan Wakaf Indonesia terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan (2) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unsur pelaksana
tugas Badan Wakaf Indonesia. (3) Dewan Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unsure pengawas
pelaksana tugas Badan Wakaf Indonesia.
Pasal 52
(1) Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, masing-masing dipimpin oleh 1 (satu) orang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota.Pemberhentian dan penggantian Nazhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia
(2) Susunan keanggotaan masing – masing Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh para anggota
Bagian Ketiga
Anggota
Pasal 53
Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari paling sedikit 20 (dua puluh ) orang dan paling banyak 30 (tiga puluh ) orang yang berasal dari unsure masyarakat.
Pasal 54 (1) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Wakaf Indonesia , setiap calon anggota
harus memenuhi persyaratan :
a. warga Negara Indonesia ;
b. beragama islam ;
c. dewasa ;
d. amanah ;
e. mampu secara jasmani dan rohani ;
f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum ;
g. memiliki pengetahuan, kemampuan , dan/atau pengalaman di bidang perwakafan dan/atau ekonomi, khususnya di bidang ekonomi syariah;dan
h. mempunyai komitmen yang tinggi untuk mengembangkan perwakafan nasional. (2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ketentuan mengenai
persyaratan lain untuk menjadi anggota Badan Wakaf Indonesia ditetapkan oleh Badan Wakaf Indonesia.
Bagian Keempat
Pengangkatan dan Pemberhentian
Pasal 55
(1) Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (2) Keanggotaan Perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah diangkat dan diberhentikan
oleh Badan Wakaf Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan Badan Wakaf Indonesia.
Pasal 56
Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan
Pasal 57
(1) Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan kepada Presiden oleh Menteri.
(2) Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia kepada Presiden untuk
selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia. (3) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan calon keanggotaan Badan Wakaf Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 (dua) diatur oleh Badan Wakaf Indonesia , yang pelaksanaannya terbuak untuk umum
Pasal 58
Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia yang berhenti seblum berakhirnya masa jabatan diatur oleh Badan Wakaf Indonesia.
Bagian Kelima
Pembiayaan
Pasal 59
Dalam rangka pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia, Pemerintah wajib membantu biaya operasional.
Bagian Keenam
Ketentuan Pelaksanaan
Pasal 60
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi , tugas , fungsi, persyaratan, dan tata cara pemilihan anggota serta susunan keanggotaan dan tata kerja Badan Wakaf Indonesia diatur oleh Badan Wakaf Indonesia.
Bagian Ketujuh
Pertanggungjawaban
Pasal 61
(1) Pertanggungjawaban palaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia dilakukan melalui laporan tahunan yang diaudit olh lembaga audit independen dan disampaikan kepada Menteri
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan kepada masyarakat.
BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 62
(1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai
mufakat. (2) Apabila penyelesaian sngketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil ,
sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi , arbitrase , atau pengadilan.
BAB VIII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 63
(1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan wakaf untuk
mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf ; (2) Khusus mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri
mengikutsertakan Badan Wakaf Indonesia (3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia.
Pasal 64
Dalam rangka pembinaan , Menteri dan Badan Wakaf Indonesia dapat melakukan kerja sama dengan organisasi masyarakat , para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.
Pasal 65
Dalam pelaksanaan pengawasan , Menteri dapat menggunakan akuntan public.
Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk pembinaan dan pengawasan oleh Menteri dan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65 diatur deengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX KETENTUAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 67
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menjamin, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,000 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana dneda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 68
(1) Menteri dapat mengenakan sanksi administrative atas pelanggaran tidak didaftarkannya harta benda wakaf oleh lembaga keuangan syariah dan PPAIW sebagaimana dimaksudb dalam Pasal 30 dan Pasal 32
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. peringatan tertulis b. penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi lembaga
keuangan syariah ; c. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelakasaan sanksi administrative sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 69
(1) Dengan berlakunya uundang – undang ini, wakaf yang dilakukan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang – undangan yang berlaku sebelum diundangkannya undang-undang ini, dinyatakan sah sebagai wakaf menurut undang – undang ini.
(2) Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan dan diumumkan paling lama 5 (lima) tahun sejak undang – undang ini diundangkan.
Pasal 70
Semua peraturan perundang – undangan yang mengatur mengenai perwakafan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan undang – undang ini.
BAB XI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 71
Undang – undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta Pada tanggal 27 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 27 Oktober 2004
MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
PROF. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2006
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004
TENTANG WAKAF
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14, Pasal 21, Pasal
31, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 46, Pasal 66, dan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 159; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4459).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Wakaf adalah perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut Syariah.
2. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
3. Ikrar Wakaf adalah pernyataan kehendak Wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
4. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
5. Mauquf alaih adalah pihak yang ditunjuk untuk memperoleh manfaat dari peruntukan harta benda wakaf sesuai pernyataan kehendak Wakif yang dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf.
6. Akta Ikrar Wakaf, yang selanjutnya disingkat AIW adalah bukti pernyataan kehendak Wakif untuk mewakafkan harta benda miliknya guna dikelola Nazhir sesuai dengan peruntukan harta benda wakaf yang dituangkan dalam bentuk
akta.
7. Sertifikat Wakaf Uang adalah surat bukti yang dikeluarkan oleh Lembaga Keuangan Syariah kepada Wakif dan Nazhir tentang penyerahan wakaf uang.
8. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, yang selanjutnya disingkat PPAIW, adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat Akta Ikrar Wakaf.
9. Lembaga Keuangan Syariah, yang selanjutnya disingkat LKS adalah badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang keuangan Syariah.
10. Bank Syariah adalah Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah dari Bank Umum konvensional serta Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
11. Badan Wakaf Indonesia, yang selanjutnya disingkat BWI, adalah lembaga independen dalam pelaksanaan tugasnya untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia.
12. Kepala Kantor Urusan Agama yang selanjutnya disingkat dengan Kepala KUA adalah pejabat Departemen Agama yang membidangi urusan agama Islam di tingkat kecamatan.
13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
BAB II
NAZHIR
Bagian Kesatu Umum
Pasal 2
Nazhir meliputi: a. perseorangan; b. organisasi; atau c. badan hukum.
Pasal 3
(1) Harta benda wakaf harus didaftarkan atas nama Nazhir untuk kepentingan pihak yang dimaksud dalam AIW sesuai dengan peruntukannya.
(2) Terdaftarnya harta benda wakaf atas nama Nazhir tidak membuktikan kepemilikan Nazhir atas harta benda wakaf.
(3) Penggantian Nazhir tidak mengakibatkan peralihan harta benda wakaf yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Nazhir Perseorangan
Pasal 4 (1) Nazhir perseorangan ditunjuk oleh Wakif dengan memenuhi persyaratan
menurut undang-undang.
(2) Nazhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan pada Menteri dan BWI melalui Kantor Urusan Agama setempat.
(3) Dalam hal tidak terdapat Kantor Urusan Agama setempat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), pendaftaran Nazhir dilakukan melalui Kantor Urusan Agama terdekat, Kantor Departemen Agama, atau perwakilan Badan Wakaf Indonesia di provinsi/kabupaten/ kota.
(4) BWI menerbitkan tanda bukti pendaftaran Nazhir.
(5) Nazhir perseorangan harus merupakan suatu kelompok yang terdiri dari paling sedikit 3 (tiga) orang, dan salah seorang diangkat menjadi ketua.
(6) Salah seorang Nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus bertempat tinggal di kecamatan tempat benda wakaf berada.
Pasal 5
(1) Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) berhenti dari kedudukannya apabila: a. meninggal dunia; b. berhalangan tetap; c. mengundurkan diri; atau d. diberhentikan oleh BWI.
(2) Berhentinya salah seorang Nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengakibatkan berhentinya Nazhir perseorangan lainnya.
Pasal 6
(1) Apabila diantara Nazhir perseorangan berhenti dari kedudukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, maka Nazhir yang ada harus melaporkan ke Kantor Urusan Agama untuk selanjutnya diteruskan kepada BWI paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal berhentinya Nazhir perseorangan, yang kemudian pengganti Nazhir tersebut akan ditetapkan oleh BWI.
(2) Dalam hal diantara Nazhir perseorangan berhenti dari kedudukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal S untuk wakaf dalam jangka waktu terbatas dan wakaf dalam jangka waktu tidak terbatas, maka Nazhir yang ada memberitahukan kepada Wakif atau ahli waris Wakif apabila Wakif sudah meninggal dunia.
(3) Dalam hal tidak terdapat Kantor Urusan Agama setempat, laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Nazhir melalui Kantor Urusan Agama terdekat, Kantor Departemen Agama, atau perwakilan BWI di provinsi / kabupaten / kota.
(4) Apabila Nazhir dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak AIW dibuat tidak melaksanakan tugasnya, maka Kepala KUA baik atas inisiatif sendiri maupun atas usul Wakif atau ahli warisnya berhak mengusulkan kepada BWI untuk pemberhentian dan penggantian Nazhir.
Bagian Ketiga
Nazhir Organisasi
Pasal 7 (1) Nazhir organisasi wajib didaftarkan pada Menteri dan BWI melalui Kantor Urusan
Agama setempat. (2) Dalam hal tidak terdapat Kantor Urusan Agama setempat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pendaftaran Nazhir dilakukan melalui Kantor Urusan Agama terdekat, Kantor Departemen Agama, atau perwakilan BWI di provinsi/kabupaten/kota.
(3) Nazhir organisasi merupakan organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. pengurus organisasi harus memenuhi persyaratan Nazhir perseorangan; b. salah seorang pengurus organisasi harus berdomisili di kabupaten/kota letak
benda wakaf berada; c. memiliki:
1. salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasar; 2. daftar susunan pengurus; 3. anggaran rumah tangga; 4. program kerja dalam pengembangan wakaf; 5. daftar kekayaan yang berasal dari harta wakaf yang terpisah dari
kekayaan lain atau yang merupakan kekayaan organisasi; dan 6. surat pernyataan bersedia untuk diaudit.
(4) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilampirkan pada permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebelum penandatanganan AIW.
Pasal 8
(1) Nazhir organisasi bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar organisasi yang bersangkutan.
(2) Apabila salah seorang Nazhir yang diangkat oleh Nazhir organisasi meninggal, mengundurkan diri, berhalangan tetap dan/atau dibatalkan kedudukannya sebagai Nazhir, maka Nazhir yang bersangkutan harus diganti.
Pasal 9
(1) Nazhir perwakilan daerah dari suatu organisasi yang tidak melaksanakan tugas dan/atau melanggar ketentuan larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan peruntukan yang tercantum dalam AIW, maka pengurus pusat organisasi bersangkutan wajib menyelesaikannya baik diminta atau tidak oleh BWI.
(2) Dalam hal pengurus pusat organisasi tidak dapat menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Nazhir organisasi dapat diberhentikan dan diganti hak kenazhirannya oleh BWI dengan memperhatikan saran dan pertimbangan MUI setempat.
(3) Apabila Nazhir organisasi dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak AIW dibuat tidak melaksanakan tugasnya, maka Kepala KUA baik atas inisiatif sendiri maupun atas usul Wakif atau ahli warisnya berhak mengusulkan kepada BWI untuk pemberhentian dan penggantian Nazhir.
Pasal 10
Apabila salah seorang Nazhir yang diangkat oleh Nazhir organisasi meninggal, mengundurkan diri, berhalangan tetap dan/atau dibatalkan kedudukannya sebagai Nazhir yang diangkat oleh Nazhir organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), maka organisasi yang bersangkutan harus melaporkan kepada KUA untuk selanjutnya diteruskan kepada BWI paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak kejadian tersebut.
Bagian Keempat Nazhir Badan Hukum
Pasal 11
(1) Nazhir badan hukum wajib didaftarkan pada Menteri dan BWI melalui Kantor Urusan Agama setempat.
(2) Dalam hal tidak terdapat Kantor Urusan Agama setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendaftaran Nazhir dilakukan melalui Kantor Urusan Agama terdekat, Kantor Departemen Agama, atau perwakilan BWI di provinsi/ kabupaten / kota.
(3) Nazhir badan hukum yang melaksanakan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam;
b. pengurus badan hukum harus memenuhi persyaratan Nazhir perseorangan;
c. salah seorang pengurus badan hukum harus berdomisili di kabupaten/kota benda wakaf berada;
d. memiliki: 1. salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasar badan hukum
yang telah disahkan oleh instansi berwenang; 2. daftar susunan pengurus; 3. anggaran rumah tangga; 4. program kerja dalam pengembangan wakaf; 5. daftar terpisah kekayaan yang berasal dari harta benda wakaf atau yang
merupakan kekayaan badan hukum; dan 6. surat pernyataan bersedia untuk diaudit.
(4) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dilampirkan pada permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 12
(1) Nazhir perwakilan daerah dari suatu badan hukum yang tidak melaksanakan tugas dan/atau melanggar ketentuan larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan peruntukan yang tercantum dalam AIW, maka pengurus pusat badan hukum bersangkutan wajib menyelesaikannya, baik diminta atau tidak oleh BWI.
(2) Dalam hal pengurus pusat badan hukum tidak dapat menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Nazhir badan hukum dapat diberhentikan dan diganti hak kenazhirannya oleh BWI dengan memperhatikan saran dan pertimbangan MUI setempat.
(3) Apabila Nazhir badan hukum dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak AIW dibuat tidak melaksanakan tugasnya, maka Kepala KUA baik atas inisiatif sendiri maupun atas usul Wakif atau ahli warisnya berhak mengusulkan kepada BWI untuk pemberhentian dan penggantian Nazhir.
Bagian Kelima
Tugas dan Masa Bakti Nazhir
Pasal 13
(1) Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 7 dan Pasal 11 wajib mengadministrasikan, mengelola, mengembangkan, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.
(2) Nazhir wajib membuat laporan secara berkala kepada Menteri dan BWI mengenai kegiatan perwakafan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 14
(1) Masa bakti Nazhir adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali.
(2) Pengangkatan kembali Nazhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh BWI, apabila yang bersangkutan telah melaksanakan tugasnya dengan baik dalam periode sebelumnya sesuai ketentuan prinsip syariah dan Peraturan Perundang-undangan.
BAB III
JENIS HARTA BENDA WAKAF, AKTA IKRAR WAKAF DAN PEJABAT PEMBUAT AKTA IKRAR WAKAF
Bagian Kesatu
Jenis Harta Benda Wakaf
Pasal 15 Jenis harta benda wakaf meliputi: a. benda tidak bergerak; b. benda bergerak selain uang; dan c. benda bergerak berupa uang.
Paragraf 1 Benda Tidak Bergerak
Pasal 16
Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a meliputi : a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan baik
yang sudah maupun yang belum terdaftar; b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah; d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan; dan e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan prinsip syariah dan
Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 17 (1) Hak atas tanah yang dapat diwakafkan terdiri dari:
a. hak milik atas tanah baik yang sudah atau belum terdaftar; b. hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai di atas tanah negara;
c. hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan atau hak milik wajib mendapat izin tertulis pemegang hak pengelolaan atau hak milik;
d. hak milik atas satuan rumah susun. (2) Apabila wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dimaksudkan
sebagai wakaf untuk selamanya, maka diperlukan pelepasan hak dari pemegang hak pengelolaan atau hak milik.
(3) Hak atas tanah yang diwakafkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dimiliki atau dikuasai oleh Wakif secara sah serta bebas dari segala sitaan, perkara, sengketa, dan tidak dijaminkan.
Pasal 18
(1) Benda wakaf tidak bergerak berupa tanah hanya dapat diwakafkan untuk jangka waktu selama-lamanya kecuali wakaf hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c.
(2) Benda wakaf tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwakafkan beserta bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diperoleh dari instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, dan pemerintah desa atau sebutan lain yang setingkat dengan itu wajib mendapat izin dari pejabat yang berwenang sesuai Peraturan Perundang-undangan.
Paragraf 2 Benda Bergerak Selain Uang
Pasal 19
(1) Benda digolongkan sebagai benda bergerak karena sifatnya yang dapat berpindah atau dipindahkan atau karena ketetapan undang-undang.
(2) Benda bergerak terbagi dalam benda bergerak yang dapat dihabiskan dan yang tidak dapat dihabiskan karena pemakaian.
(3) Benda bergerak yang dapat dihabiskan karena pemakaian tidak dapat diwakalkan, kecuali air dan bahan bakar minyak yang persediaannya berkelanjutan.
(4) Benda bergerak yang tidak dapat dihabiskan karena pemakaian dapat diwakafkan dengan memperhatikan ketentuan prinsip syariah.
Pasal 20
Benda bergerak karena sifatnya yang dapat diwakafkan meliputi: a. kapal; b. pesawat terbang; c. kendaraan bermotor; d. mesin atau peralatan industri yang tidak tertancap pada bangunan; e. logam dan batu mulia; dan/atau f. benda lainnya yang tergolong sebagai benda bergerak karena sifatnya dan
memiliki manfaat jangka panjang.
Pasal 21 Benda bergerak selain uang karena Peraturan Perundang-undangan yang dapat diwakafkan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah sebagai berikut:
a. surat berharga yang berupa: 1. saham; 2. Surat Utang Negara; 3. obligasi pada umumnya; dan/atau 4. surat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan uang.
b. Hak Atas Kekayaan Intelektual yang berupa: 1. hak cipta; 2. hak merk; 3. hak paten; 4. hak desain industri;
5. hak rahasia dagang;
6. hak sirkuit terpadu;
7. hak perlindungan varietas tanaman; dan/atau
8. hak Iainnya.
c. hak atas benda bergerak lainnya yang berupa: 1. hak sewa, hak pakai dan hak pakai hasil atas benda bergerak; atau 2. perikatan, tuntutan atas jumlah uang yang dapat ditagih atas benda bergerak.
Paragraf 3
Benda Bergerak Berupa Uang
Pasal 22 (1) Wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah.
(2) Dalam hal uang yang akan diwakafkan masih dalam mata uang asing, maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah.
(3) Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk: a. hadir di Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU)
untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya; b. menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang akan diwakafkan; c. menyetorkan secara tunai sejumlah uang ke LKSPWU; d. mengisi formulir pernyataan kehendak Wakif yang berfungsi sebagai AIW.
(4) Dalam hal Wakif tidak dapat hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, maka Wakif dapat menunjuk wakil atau kuasanya.
(5) Wakif dapat menyatakan ikrar wakaf benda bergerak berupa uang kepada Nazhir di hadapan PPAIW yang selanjutnya Nazhir menyerahkan AIW tersebut kepada LKS-PWU.
Pasal 23
Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui LKS yang ditunjuk oleh Menteri sebagai LKS Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU).
Pasal 24 (1) LKS yang ditunjuk oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 atas
dasar saran dan pertimbangan dari BWI.
(2) BWI memberikan saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah mempertimbangkan saran instansi terkait.
(3) Saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada LKS-PWU yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Menteri; b. melampirkan anggaran dasar dan pengesahan sebagai badan hukum; c. memiliki kantor operasional di wilayah Republik Indonesia; d. bergerak di bidang keuangan syariah; dan e. memiliki fungsi menerima titipan (wadi'ah).
(4) BWI wajib memberikan pertimbangan kepada Menteri paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah LKS memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Setelah menerima saran dan pertimbangan BWI sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri paling lambat 7 (tujuh) hari kerja menunjuk LKS atau menolak permohonan dimaksud.
Pa
sal 25
LKS-PWU bertugas: a. mengumumkan kepada publik atas keberadaannya sebagai LKS Penerima
Wakaf Uang;
b. menyediakan blangko Sertifikat Wakaf Uang; c. menerima secara tunai wakaf uang dari Wakif atas nama Nazhir; d. menempatkan uang wakaf ke dalam rekening titipan (wadi'ah) atas nama Nazhir
yang ditunjuk Wakif; e. menerima pernyataan kehendak Wakif yang dituangkan secara tertulis dalam
formulir pernyataan kehendak Wakif; f. menerbitkan Sertifikat Wakaf Uang serta menyerahkan sertifikat tersebut kepada
Wakif dan menyerahkan tembusan sertifikat kepada Nazhir yang ditunjuk oleh Wakif; dan
g. mendaftarkan wakaf uang kepada Menteri atas nama Nazhir.
Pasal 26 Sertifikat Wakaf Uang sekurang-kurangnya memuat keterangan mengenai: a. nama LKS Penerima Wakaf Uang; b. nama Wakif; c. alamat Wakif; d. jumlah wakaf uang; e. peruntukan wakaf; f. jangka waktu wakaf; g. nama Nazhir yang dipilih; h. alamat Nazhir yang dipilih; dan i. tempat dan tanggal penerbitan Sertifikat Wakaf Uang.
Pasal 27
Dalam hal Wakif berkehendak melakukan perbuatan hukum wakaf uang untuk jangka waktu tertentu maka pada saat jangka waktu tersebut berakhir, Nazhir wajib mengembalikan jumlah pokok wakaf uang kepada Wakif atau ahli waris/penerus haknya melalui LKS-PWU.
Bagian Kedua
Akta Ikrar Wakaf (AIW) dan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (APAIW)
Paragraf 1
Pembuatan Akta Ikrar Wakaf
Pasal 28 Pembuatan AIW benda tidak bergerak wajib memenuhi persyaratan dengan menyerahkan sertifikat hak atas tanah atau sertifikat satuan rumah susun yang bersangkutan atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya.
Pasal 29 Pembuatan AIW benda bergerak selain uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 21 wajib memenuhi persyaratan dengan menyerahkan bukti pemilikan benda bergerak selain uang.
Pasal 30
(1) Pernyataan kehendak Wakif dituangkan dalam bentuk AIW sesuai dengan jenis harta benda yang diwakafkan, diselenggarakan dalam Majelis Ikrar Wakaf yang dihadiri oleh Nazhir, Mauquf alaih, dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(2) Kehadiran Nazhir dan Mauquf alaih dalam Majelis Ikrar Wakaf untuk wakaf benda bergerak berupa uang dapat dinyatakan dengan surat pernyataan Nazhir dan/atau Mauquf alaih.
(3) Dalam hal Mauquf alaih adalah masyarakat luas (publik), maka kehadiran Mauquf alaih dalam Majelis lkrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disyaratkan.
(4) Pernyataan kehendak Wakif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dalam bentuk wakaf-khairi atau wakaf-ahli.
(5) Wakaf ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperuntukkan bagi kesejahteraan umum sesama kerabat berdasarkan hubungan darah (nasab) dengan Wakif.
(6) Dalam hal sesama kerabat dari wakaf ahli telah punah, maka wakaf ahli karena hukum beralih statusnya menjadi wakaf khairi yang peruntukannya ditetapkan oleh Menteri berdasarkan pertimbangan BWI.
Pasal 31
Dalam hal perbuatan wakaf belum dituangkan dalam AIW sedangkan perbuatan wakaf sudah diketahui berdasarkan berbagai petunjuk (qarinah) dan 2 (dua) orang saksi serta AIW tidak mungkin dibuat karena Wakif sudah meninggal dunia atau tidak diketahui lagi keberadaannya, maka dibuat APAIW.
Pasal 32
(1) Wakif menyatakan ikrar wakaf kepada Nazhir di hadapan PPAIW dalam Majelis Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1).
(2) Ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Mauquf alaih dan
harta benda wakaf diterima oleh Nazhir untuk kepentingan Mauquf alaih.
(3) Ikrar wakaf yang dilaksanakan oleh Wakif dan diterima oleh Nazhir dituangkan dalam AIW oleh PPAIW.
(4) AIW sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat: a. nama dan identitas Wakif; b. nama dan identitas Nazhir; c. nama dan identitas saksi; d. data dan keterangan harta benda wakaf; e. peruntukan harta benda wakaf; dan f. jangka waktu wakaf.
(5) Dalam hal Wakif adalah organisasi atau badan hukum, maka nama dan identitas Wakif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a yang dicantumkan dalam akta adalah nama pengurus organisasi atau direksi badan hukum yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar masing-masing.
(6) Dalam hat Nazhir adalah organisasi atau badan hukum, maka nama dan identitas Nazhir sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b yang dicantumkan dalam akta adalah nama yang ditctapkan oleh pengurus organisasi atau badan hukum yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar masing-masing.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, bentuk, isi dan tata cara pengisian AIW atau APAIW untuk benda tidak bergerak dan benda bergerak selain uang diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 2
Tata Cara Pembuatan Akta Ikrar Wakaf
Pasal 34 Tata cara pembuatan AIW benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 dan benda bergerak selain uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21 dilaksanakan sebagai berikut:
a. sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan; b. PPAIW meneliti kelengkapan persyaratan administrasi penvakafan dan keadaan
fisik benda wakaf; c. dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf b terpenuhi, maka
pelaksanaan ikrar wakaf dan pembuatan AIW dianggap sah apabila dilakukan dalam Majelis Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1).
d. AIW yang telah ditandatangani oleh Wakif, Nazhir, 2 (dua) orang saksi, dan/atau Mauquf alaih disahkan oleh PPAIW.
e. Salinan AIW disampaikan kepada: 1. Wakif; 2. Nazhir; 3. Mauquf alaih; 4. Kantor Pertanahan kabupaten/kota dalam hal benda wakaf berupa tanah; dan 5. Instansi berwenang lainnya dalam hal benda wakaf berupa benda tidak
bergerak selain tanah atau benda bergerak selain uang.
Pasal 35 (1) Tata cara pembuatan APAIW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
dilaksanakan berdasarkan permohonan masyarakat atau saksi yang mengetahui keberadaan benda wakaf.
(2) Permohonan masyarakat atau 2 (dua) orang saksi yang mengetahui dan mendengar perbuatan wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikuatkan dengan adanya petunjuk (qarinah) tentang keberadaan benda wakaf.
(3) Apabila tidak ada orang yang memohon pembuatan APAIW, maka kepala desa tempat benda wakaf tersebut berada wajib meminta pembuatan APAIW tersebut kepada PPAIW setempat.
(4) PPAIW atas nama Nazhir wajib menyampaikan APAIW beserta dokumen pelengkap lainnya kepada kepala kantor pertanahan kabupaten/kota setempat dalam rangka pendaftaran wakaf tanah yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan APAIW.
Pasal 36
(1) Harta benda wakaf wajib diserahkan oleh Wakif kepada Nazhir dengan membuat berita acara serah terima paling lambat pada saat penandatanganan AIW yang diselenggarakan dalam Majelis Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
(2) Didalam berita acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disebutkan tentang keadaan serta rincian harta benda wakaf yang ditandatangani oleh Wakif dan Nazhir.
(3) Berita acara serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan dalam hal serah terima benda wakaf telah dinyatakan dalam AIW.
Bagian Ketiga
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW)
Pasal 37 (1) PPAIW harta benda wakaf tidak bergerak berupa tanah adalah Kepala KUA
dan/atau pejabat yang menyelenggarakan urusan wakaf.
(2) PPAIW harta benda wakaf bergerak sclain uang adalah Kepala KUA dan/atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri.
(3) PPAIW harta benda wakaf bergerak berupa uang adalah Pejabat Lembaga Keuangan Syariah paling rendah setingkat Kepala Seksi LKS yang ditunjuk oleh Menteri.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tidak menutup kesempatan bagi Wakif untuk membuat AIW di hadapan Notaris.
(5) Persyaratan Notaris sebagai PPAIW diitetapkan oleh Menteri.
BAB IV TATA CARA PENDAFTARAN
DAN PENGUMUMAN HARTA BENDA WAKAF
Bagian Kesatu Tata Cara Pendaftaran Harta Benda Wakaf
Paragraf 1 Harta Benda Wakaf Tidak Bergerak
Pasal 38
(1) Pendaftaran harta benda wakaf tidak bergerak berupa tanah dilaksanakan berdasarkan AIW atau APAIW.
(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampirkan persyaratan sebagai berikut: a. sertifikat hak atas tanah atau sertifikat hak milik atas satuan rumah susun
yang bersangkutan atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya; b. surat pernyataan dari yang bersangkutan bahwa tanahnya tidak dalam
sengketa, perkara, sitaan dan tidak dijaminkan yang diketahui oleh kepala desa atau lurah atau sebutan lain yang setingkat, yang diperkuat oleh camat setempat;
c. izin dari pejabat yang berwenang sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan dalam hal tanahnya diperoleh dari instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD dan pemerintahan desa atau sebutan lain yang setingkat dengan itu;
d. izin dari pejabat bidang pertanahan apabila dalam sertifikat dan keputusan pemberian haknya diperlukan izin pelepasan/peralihan.
e. izin dari pemegang hak pengelolaan atau hak milik dalam hal hak guna bangunan atau hak pakai yang diwakafkan di atas hak pengelolaan atau hak milik.
Pasal 39
(1) Pendaftaran sertifikat tanah wakaf dilakukan berdasarkan AIW atau APAIW dengan tata cara sebagai berikut: a. terhadap tanah yang sudah berstatus hak milik didaftarkan menjadi tanah
wakaf atas nama Nazhir; b. terhadap tanah hak milik yang diwakafkan hanya sebagian dari luas
keseluruhan harus dilakukan pemecahan sertifikat hak milik terlebih dahulu, kemudian didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nazhir;
c. terhadap tanah yang belum berstatus hak milik yang berasal dari tanah milik adat langsung didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nazhir;
d. terhadap hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai di atas tanah negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b yang telah mendapatkan persetujuan pelepasan hak dari pejabat yang berwenang di bidang pertanahan didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nazhir;
e. terhadap tanah negara yang diatasnya berdiri bangunan masjid, musala, makam, didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nazhir;
f. Pejabat yang benwenang di bidang pertanahan kabupaten/kota setempat mencatat perwakafan tanah yang bersangkutan pada buku tanah dan sertifikatnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran wakaf tanah diatur
dengan Peraturan Menteri setelah mendapat saran dan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang pertanahan.
Paragraf 2
Wakaf Benda Bergerak Selain Uang
Pasal 40
PPAIW mendaftarkan AIW dari: a. benda bergerak selain uang yang terdaftar pada instansi yang berwenang; b. benda bergerak selain uang yang tidak terdaftar dan yang memiliki atau tidak
memiliki tanda bukti pembelian atau bukti pembayaran didaftar pada BWI, dan selama di daerah tertentu belum dibentuk BWI, maka pcndaftaran tersebut dilakukan di Kantor Departemen Agama setempat.
Pasal 41
(1) Untuk benda bergerak yang sudah terdaftar, Wakif menyerahkan tanda bukti kepemilikan benda bergerak kepada PPAIW dengan disertai surat keterangan pendaftaran dari instansi yang berwenang yang tugas pokoknya terkait dengan pendaftaran benda bergerak tersebut.
(2) Untuk benda bergerak yang tidak terdaftar, Wakif menyerahkan tanda bukti pembelian atau tanda bukti pembayaran berupa faktur, kwitansi atau bukti lainnya.
(3) Untuk benda bergerak yang tidak terdaftar dan tidak memiliki tanda bukti pembelian atau tanda bukti pembayaran, Wakif membuat surat pernyataan kepemilikan atas benda bergerak tersebut yang diketahui oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh instansi pemerintah setempat.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perwakafan benda bergerak.selain uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21 diatur dengan Peraturan Menteri berdasarkan usul BWI.
Paragraf 3
Harta Benda Wakaf Bergerak Berupa Uang
Pasal 43 (1) LKS-PWU atas nama Nazhir mendaftarkan wakaf uang kepada Menteri paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya Sertifikat Wakaf Uang.
(2) Pendaftaran wakaf uang dari LKS-PWU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada BWI untuk diadministrasikan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi pendaftaran wakaf uang diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Pengumuman Harta Benda Wakaf
Pasal 44 (1) PPAIW menyampaikan AIW kepada kantor Departemen Agama dan BW1 untuk
dimuat dalam register umum wakaf yang tersedia pada kantor Departemen Agama dan BWI.
(2) Masyarakat dapat mengetahui atau mengakses informasi tentang wakaf benda bergerak selain uang yang termuat dalam register umum yang tersedia pada kantor Departemen Agama dan BWI.
BAB V PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN
Pasal 45
(1) Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan peruntukan yang tercantum dalam AIW.
(2) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memajukan kesejahteraan umum, Nazhir dapat bekerjasama dengan pihak lain sesuai dengan prinsip syariah.
Pasal 46
Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dari perorangan warga negara asing, organisasi asing dan badan hukum asing yang berskala nasional atau internasional, serta harta benda wakaf terlantar, dapat dilakukan oleh BWI.
Pasal 47
Dalam hal harta benda wakaf berasal dari luar negeri, Wakif harus melengkapi dengan bukti kepemilikan sah harta benda wakaf sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan, dan Nazhir harus melaporkan kepada lembaga terkait perihal adanya perbuatan wakaf.
Pasal 48
(1) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf harus berpedoman pada peraturan BWI.
(2) Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk LKS dan/atau instrumen keuangan syariah.
(3) Dalam hal LKS-PWU menerima wakaf uang untuk jangka waktu tertentu, maka Nazhir hanya dapat melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf uang pada LKS-PWU dimaksud.
(4) Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang yang dilakukan pada bank syariah harus mengikuti program lembaga penjamin simpanan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
(5) Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang yang dilakukan dalam bentuk investasi di luar bank syariah harus diasuransikan pada asuransi syariah.
BAB VI PENUKARAN HARTA BENDA WAKAF
Pasal 49
(1) Perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang kecuali dengan izin tertulis dari Menteri berdasarkan pertimbangan BWI.
(2) Izin tertulis dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut: a. perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum
sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
b. harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf; atau c. pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan
mendesak.
(3) Selain dari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), izin pertukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan jika: a. harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan sah sesuai
dengan Peraturan Perundang-undangan; dan b. nilai dan manfaat harta benda penukar sekurang-kurangnya sama dengan
harta benda wakaf semula.
(4) Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditetapkan oleh bupati/walikota berdasarkan rekomendasi tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur: a. pemerintah daerah kabupaten/kota; b. kantor pertanahan kabupaten/kota; c. Majelis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten/kota; d. kantor Departemen Agama kabupaten/kota; dan e. Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan.
Pasal 50
Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) huruf b dihitung sebagai berikut: a. harta benda penukar memiliki Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sekurang-
kurangnya sama dengan NJOP harta benda wakaf; dan b. harta benda penukar berada di wilayah yang strategis dan mudah untuk
dikembangkan.
Pasal 51 Penukaran terhadap harta benda wakaf yang akan diubah statusnya dilakukan sebagai berikut: a. Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui Kantor
Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan perubahan status/tukar menukar tersebut;
b. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor Departemen Agama kabupaten/kota;
c. Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota setelah menerima permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan dan maksud seperti dalam Pasal 49 ayat (4), dan selanjutnya bupati/walikota setempat membuat Surat Keputusan;
d. Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota meneruskan permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penilaian dari tim kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama provinsi dan selanjutnya meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri; dan
e. setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti dapat dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh Nazhir ke kantor pertanahan dan/atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut.
BAB VII BANTUAN PEMBIAYAAN
BADAN WAKAF INDONESIA
Pasal 52 (1) Bantuan pembiayaan BWI dibebankan kepada APBN selama 10 (sepuluh) tahun
pertama melalui anggaran Departemen Agama dan dapat diperpanjang;
(2) BWI mempertanggungjawabkan bantuan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara berkala kepada Menteri.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 53 (1) Nazhir wakaf berhak memperoleh pembinaan dari Menteri dan BWI.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penyiapan sarana dan prasarana penunjang operasional Nazhir wakaf baik
perseorangan, organisasi dan badan hukum; b. penyusunan regulasi, pemberian motivasi, pemberian fasilitas,
pengkoordinasian, pemberdayaan dan pengembangan terhadap harta benda wakaf;
c. penyediaan fasilitas proses sertifikasi Wakaf; d. penyiapan dan pengadaan blanko-blanko AIW, baik wakaf benda tidak
bergerak dan/atau benda bergerak; e. penyiapan penyuluh penerangan di daerah untuk melakukan pembinaan dan
pengembangan wakaf kepada Nazhir sesuai dengan lingkupnya; dan f. pemberian fasilitas masuknya dana-dana wakaf dari dalam dan luar negeri
dalam pengembangan dan pemberdayaan wakaf.
Pasal 54 Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) pemerintah memperhatikan saran dan pertimbangan MUI sesuai dengan tingkatannya.
Pasal 55 (1) Pembinaan terhadap Nazhir, wajib dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam
setahun.
(2) Kerjasama dengan pihak ketiga, dalam rangka pembinaan terhadap kegiatan perwakafan di Indonesia dapat dilakukan dalam bentuk penelitian, pelatihan, seminar maupun kegiatan lainnya.
(3) Tujuan pembinaan adalah untuk peningkatan etika dan moralitas dalam pengelolaan wakaf serta untuk peningkatan profesionalitas pengelolaan dana wakaf.
Pasal 56
(1) Pengawasan terhadap perwakafan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, baik aktif maupun pasif.
(2) Pengawasan aktif dilakukan dengan melakukan pemeriksaan langsung terhadap Nazhir atas pengelolaan wakaf, sekurang-kurangnya sekali dalam setahun.
(3) Pengawasan pasif dilakukan dengan melakukan pengamatan atas berbagai laporan yang disampaikan Nazhir berkaitan dengan pengelolaan wakaf.
(4) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah dan masyarakat dapat meminta bantuan jasa akuntan publik independen.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan terhadap perwakafan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB IX SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 57
(1) Menteri dapat memberikan peringatan tertulis kepada LKS-PWU yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
(2) Peringatan tertulis paling banyak diberikan 3 (tiga) kali untuk 3 (tiga) kali kejadian yang berbeda.
(3) Penghentian sementara atau pencabutan izin sebagai LKSPWU dapat dilakukan setelah LKS-PWU dimaksud telah menerima 3 kali surat peringatan tertulis.
(4) Penghentian sementara atau pencabutan izin sebagai LKSPWU dapat dilakukan setelah mendengar pembelaan dari LKS-PWU dimaksud dan/atau rekomendasi dari instansi terkait.
BAB X KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 58
(1) Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, harta benda tidak bergerak berupa tanah, bangunan, tanaman dan benda lain yang terkait dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang telah diwakafkan secara sah menurut syariah tetapi belum terdaftar sebagai benda wakaf menurut Peraturan Perundang-undangan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dapat didaftarkan menurut ketentuan Peraturan Pemerintah ini, dengan ketentuan: a. dalam hal harta benda wakaf dikuasai secara fisik, dan sudah ada AIW; b. dalam hal harta benda wakaf yang tidak dikuasai secara fisik sebagian atau
seluruhnya, sepanjang Wakif dan/atau Nazhir bersedia dan sanggup menyelesaikan penguasaan fisik dan dapat membuktikan penguasaan harta benda wakaf tersebut adalah tanpa alas hak yang sah; atau
c. dalam hal harta benda wakaf yang dikuasai oleh ahli waris Wakif atau Nazhir, dapat didaftarkan menjadi wakaf sepanjang terdapat kesaksian dari pihak yang mengetahui wakaf tersebut dan dikukuhkan dengan penetapan pengadilan.
(2) Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini: a. lembaga non keuangan atau perseorangan yang menerima wakaf uang wajib
untuk mengalihkan penerimaan wakaf uang melalui rekening wadi'ah pada LKS-PWU yang ditunjuk oleh Menteri;
b. lembaga keuangan yang menerima wakaf uang wajib mengajukan
permohonan kepada Menteri sebagai LKSPWU.
(3) Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, perseorangan, organisasi, atau badan hukum yang mengelola wakaf uang wajib mendaftarkan pada Menteri dan BWI melaui KUA setempat untuk menjadi Nazhir.
Pasal 59
Sebelum BWI terbentuk, tanda bukti pendaftaran Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) diterbitkan oleh Menteri.
BAB XI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 60
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, pelaksanaan wakaf yang didasarkan ketentuan Peraturan Perundangundangan yang berlaku sebelum Peraturan Pemerintah ini sepanjang tidak bertentangan dinyatakan sah sebagai wakaf menurut Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 61 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 Desember 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
DR. H, SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Desember 2006 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 105
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesra,
Wisnu Setiawan
PP 24/1997, PENDAFTARAN TANAH........ Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 24 TAHUN 1997 (24/1997) Tanggal: 8 JULI 1997 (JAKARTA)
Sumber: LN NO. 1997/59; TLN NO. 3696 Tentang: PENDAFTARAN TANAH
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan; b. bahwa pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria ditugaskan kepada Pemerintah, merupakan sarana dalam memberikan jaminan kepastian hukum yang dimaksudkan; c. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata pada pembangunan nasional, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan; Mengingat: 1. Pasal 5 ayat(2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Vendu Reglement Staatsblad 1908 Nomor 189 juncto Vendu Instructie Staatsblad 1908 Nomor 190; 3. Undang-undang Nomor REFR DOCNM="60uu005">5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043); 4. Undang-undang Nomor REFR DOCNM="85uu016">16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3318); 5. Undang-undang Nomor REFR DOCNM="96UU004.DOC">4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3632); 6. Peraturan Pemerintah Nomor REFR DOCNM="77pp028">28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik (Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3107); 7. Peraturan Pemerintah Nomor REFR DOCNM="88pp004">4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara nomor 3372); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENDAFTARAN TANAH. BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. 2. Bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang yang berbatas. 3. Tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh Negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah. 4. Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. 5. Hak atas tanah adalah hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, selanjutnya disebut UUPA. 6. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. 7. Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. 8. Ajudikasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya. 9. Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah atau Peraturan Pemerintah ini. 10. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. 11. pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. 12. Pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. 13. Titik dasar teknik adalah titik yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu sistem tertentu yang berfungsi sebagai titik kontrol atau titik ikat untuk keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas.
14. Peta dasar pendaftaran adalah peta yang memuat titik-titik bidang dasar teknik dan unsur-unsur geografis, seperti sungai, jalan, bangunan dan batas fisik bidang-bidang tanah. 15. Peta pendaftaran adalah peta yang menggambarkan bidang atau bidang-bidang tanah untuk keperluan pembukuan tanah. 16. Daftar tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat identitas bidang tanah dengan suatu sistem penomoran. 17. Surat ukur adalah dokumen yang memuat data fisik suatu bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian. 18. Daftar nama adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat keterangan mengenai penguasaan tanah dengan sesuatu hak atas tanah, atau hak pengelolaan dan mengenai pemilikan hak milik atas satuan rumah susun oleh orang perseorangan atau badan hukum tertentu. 19. Buku tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu obyek pendaftaran yang sudah ada haknya. 20. Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. 21. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dibidang agraria/pertanahan. 22. Badan Pertanahan Nasional adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bidang tugasnya meliputi bidang pertanahan. 23. Kantor Pertanahan adalah unit kerja Badan Pertanahan Nasional di wilayah kabupaten atau kotamadya, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah. 24. Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu. BAB II AZAS DAN TUJUAN Pasal 2 Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan azas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka. Pasal 3 Pendaftaran tanah bertujuan: a. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; b. untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
c. untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Pasal 4 (1) Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan hak atas tanah. (2) Untuk melaksanakan fungsi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 haruf b data fisik dan data yuridis dari bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar terbuka untuk umum. (3) Untuk mencapai tertib administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, setiap bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan, dan hapusnya hak atas bidang tanah dan hak milik atas satuan rumah susun wajib didaftar. BAB III POKOK-POKOK PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN TANAH Bagian Kesatu Penyelenggara Dan Pelaksana Pendaftaran Tanah Pasal 5 Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional. Pasal 6 (1) Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 tugas pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali kegiatan-kegiatan tertentu yang oleh Peraturan Pemerintah ini atau perundang-undangan yang bersangkutan ditugaskan kepada Pejabat lain. (2) Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Pasal 7 (1) PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. (2) Untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil Menteri dapat menunjuk PPAT Sementara. (3) Peraturan jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Pasal 8 (1) Dalam melaksanakan pendaftaran tanah secara sistematik, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Panitia Ajudikasi yang dibentuk oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. (2) Susunan Panitian Ajudikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. seorang Ketua Panitia, merangkap anggota yang dijabat oleh seorang pegawai Badan Pertanahan Nasional; b. beberapa orang anggota yang terdiri dari: 1) seorang pegawai Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai kemampuan pengetahuan di bidang pendaftaran tanah;
2) seorang pegawai Badan pertanahan Nasional yang mempunyai kemampuan pengetahuan di bidang hak-hak atas tanah; 3) Kepala Desa/Kelurahan yang bersangkutan dan atau seorang Pamong Desa/Kelurahan yang ditunjuknya. (3) Keanggotaan Panitia Ajudikasi dapat ditambah dengan seorang anggota yang sangat diperlukan dalam penilaian kepastian data yuridis mengenai bidang-bidang tanah di wilayah desa/kelurahan yang bersangkutan. (4) Dalam melaksanakan tugasnya Panitia Ajudikasi dibantu oleh satuan tugas pengukuran dan pemetaan, satuan tugas pengumpul data yuridis dan satuan tugas administrasi yang tugas, susunan dan kegiatannya diatur oleh Menteri. (5) Tugas dan wewenang Ketua dan anggota Panitia Ajudikasi diatur oleh Menteri. Bagian Kedua Obyek Pendaftaran Tanah Pasal 9 (1) Obyek pendaftaran tanah meliputi: a. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; b. tanah hak pengelolaan; c. tanah wakaf; d. hak milik atas satuan rumah susun; e. hak tanggungan; f. tanah Negara. (2) Dalam hal tanah Negara sebagai obyek pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah Negara dalam daftar tanah. Bagian Ketiga Satuan Wilayah Tata Usaha Pendaftaran Tanah Pasal 10 (1) Satuan wilayah tata usaha pendaftaran tanah adalah desa atau kelurahan. (2) Khusus untuk pendaftaran tanah hak guna usaha, hak pengelolaan, hak tanggungan dan tanah Negara satuan wilayah tata usaha pendaftarannya adalah Kabupaten/Kotamadya. Bagian Keempat Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Pasal 11
Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Pasal 12 (1) Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi: a. pengumpulan dan pengolahan data fisik; b. pembuktian hak dan pembukuannya; c. penerbitan sertifikat; d. penyajian data fisik dan data yuridis; e. penyimpanan daftar umum dan dokumen. (2) Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi: a. pendaftaran peralihan dan pembebanan hak; b. pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya. BAB IV PENDAFTARAN TANAH UNTUK PERTAMA KALI Bagian Kesatu Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali Pasal 13 (1) Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. (2) Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri. (3) Dalam hal suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pendaftarannya dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sporadik. (4) Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan. Bagian Kedua Pengumpulan Dan Pengolahan Data Fisik Paragraf 1 Pengukuran Dan Pemetaan Pasal 14 (1) Untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan data fisik dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan.
(2) Kegiatan pengukuran dan pemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pembuatan peta dasar pendaftaran; b. penetapan batas bidang-bidang tanah; c. pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran; d. pembuatan daftar tanah; e. pembuatan surat ukur. Paragraf 2 Pembuatan Peta Dasar Pendaftaran Pasal 15 (1) Kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dimulai dengan pembuatan peta dasar pendaftaran. (2) Di wilayah-wilayah yang belum ditunjuk sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik oleh Badan Pertanahan nasional diusahakan tersedianya peta dasar pendaftaran untuk keperluan pendaftaran tanah secara sporadik. Pasal 16 (1) Untuk keperluan pembuatan peta dasar pendaftaran Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan pemasangan, pengukuran, pemetaan dan pemeliharaan titik-titik dasar teknik nasional di setiap Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. (2) Pengukuran untuk pembuatan peta dasar pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diikatkan dengan titik-titik dasar teknik nasional sebagai kerangka dasarnya. (3) Jika di suatu daerah tidak ada atau belum ada titik-titik dasar teknik nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam melaksanakan pengukuran untuk pembuatan peta dasar pendaftaran dapat digunakan titik dasar lokal teknik yang bersifat sementara, yang kemudian diikatkan dengan titik dasar teknik nasional. (4) Peta dasar pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) menjadi dasar untuk pembuatan peta pendaftaran. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengukuran dan pemetaan titik dasar teknik nasional dan pembuatan peta dasar pendaftaran ditetapkan oleh Menteri. Paragraf 3 Penetapan Batas Bidang-bidang Tanah Pasal 17 (1) Untuk memperoleh data fisik yang diperlukan bagi pendaftaran tanah, bidang-bidang tanah yang akan dipetakan diukur, setelah ditetapkan letaknya, batas-batasnya dan menurut keperluannya ditempatkan tanda-tanda batas di setiap sudut bidang tanah yang bersangkutan. (2) Dalam penetapan batas bidang tanah pada pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik diupayakan penataan batas berdasarkan kesepakatan para pihak yang berkepengingan.
(3) Penempatan tanda-tanda batas termasuk pemeliharaannya wajib dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. (4) Bentuk, ukuran, dan teknik penempatan tanda batas ditetapkan oleh Menteri. Pasal 18 (1) Penetapan batas bidang tanah yang sudah dipunyai dengan suatu hak yang belum terdaftar atau sudah terdaftar tetapi belum ada surat ukur/gambar situasinya atau surat ukur/gambar situasi yang ada tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sebenarnya, dilakukan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, berdasarkan penunjukan batas oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan sedapat mungkin disetujui oleh para pemegang hak atas tanah yang berbatasan. (2) Penetapan batas bidang tanah yang akan diberikan dengan hak baru dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau atas penunjukan instansi yang berwenang. (3) Dalam menetapkan batas-batas bidang tanah Panitia Ajudikasi atau Kepala Kantor Pertanahan memperhatikan batas-batas bidang atau bidang-bidang tanah yang telah terdaftar dan surat ukur atau gambar situasi yang bersangkutan. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dituangkan dalam suatu berita acara yang ditandatangani oleh mereka yang memberikan persetujuan. (5) Bentuk berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 19 (1) Jika dalam penetapan batas bidang tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan antara pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dengan pemegang hak atas tanah yang berbatasan, pengukuran bidang tanahnya diupayakan untuk sementara dilakukan berdasarkan batas-batas yang menurut kenyataannya merupakan batas-batas bidang-bidang tanah yang bersangkutan. (2) Jika pada waktu yang telah ditentukan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan atau para pemegang hak atas tanah yang berbatasan tidak hadir setelah dilakukan pemanggilan, pengukuran bidang tanahnya, untuk sementara dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketua Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik membuat berita acara mengenai dilakukannya pengukuran sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk mengenai belum diperolehnya kesekapatan batas atau ketidakhadiran pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. (4) Dalam gambar ukur sebagai hasil pengukuran sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibubuhkan catatan atau tanda yang menunjukkan bahwa batas-batas bidang tanah tersebut baru merupakan batas-batas sementara. (5) Dalam hal telah diperoleh kesepakatan melalui musyawarah mengenai batas-batas yang dimaksudkan atau diperoleh kepastiannya berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diadakan penyesuaian terhadap data yang ada pada peta pendaftaran yang bersangkutan. Paragraf 4
Pengukuran Dan Pemetaan Bidang-bidang Tanah Dan Pembuatan Peta Pendaftaran Pasal 20 (1) Bidang-bidang tanah yang sudah ditetapkan batas-batasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 diukur dan selanjutnya dipetakan dalam peta dasar pendaftaran. (2) Jika dalam wilayah pendaftaran tanah secara sporadik belum ada peta dasar pendaftaran, dapat digunakan peta lain, sepanjang peta tersebut memenuhi syarat untuk pembuatan peta pendaftaran. (3) Jika dalam wilayah dimaksud belum tersedia peta dasar pendaftaran maupun peta lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pembuatan peta dasar pendaftaran dilakukan bersamaan dengan pengukuran dan pemetaan bidang tanah yang bersangkutan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran ditetapkan oleh Menteri. Paragraf 5 Pembuatan Daftar Tanah Pasal 21 (1) Bidang atau bidang-bidang yang sudah dipetakan atau dibubuhkan nomor pendaftarannya pada peta pendaftaran dibukukan dalam daftar tanah. (2) Bentuk, isi, cara pengisian, penyimpanan dan pemeliharaan daftar tanah diatur oleh Menteri. Paragraf 6 Pembuatan Surat Ukur Pasal 22 (1) Bagi bidang-bidang tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, b dan c sudah diatur serta dipetakan dalam peta pendaftaran, dibuatkan surat ukur untuk keperluan pendaftaran haknya. (2) Untuk wilayah-wilayah pendaftaran tanah secara sporadik yang belum tersedia peta pendaftaran, surat ukur dibuat dari hasil pengukuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20. (3) Bentuk, isi, cara pengisian, penyimpanan dan pemeliharaan surat ukur ditetapkan oleh Menteri. Bagian Ketiga Pembuktian Hak Dan Pembukuannya Paragraf 1 Pembuktian Hak Baru
Pasal 23 Untuk keperluan pendaftaran hak: a. hak atas tanah baru dibuktikan dengan: 1) penetapan pemberian hak dari Pajabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila pemberian hak tersebut berasal dari tanah Negara atau tanah hak pengelolaan; 2) asli akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang hak milik kepada penerima hak yang bersangkutan apabila mengenai hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik; b. hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh Pejabat yang berwenang; c. tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf; d. hak milik atas satuan rumah susun dibuktikan dengan akta pemisahan; e. pemberian hak tanggungan dibuktikan dengan akta pemberian hak tanggungan. Paragraf 2 Pembuktian Hak Lama Pasal 24 (1) Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya. (2) Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluan-pendahulunya, dengan syarat: a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya; b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya. Pasal 25 (1) Dalam rangka menilai kebenaran alat bukti sebagaimana dimaksud Pasal 24 dilakukan pengumpulan dan penelitian data yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik. (2) Hasil penelitian alat-alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam suatu daftar isian yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 26 (1) Daftar isian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) beserta peta bidang atau bidang-bidang tanah yang bersangkutan sebagai hasil pengukuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) diumumkan selama 30 (tiga puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau 60 (enam puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara sporadik untuk memberi kesempatan kepada pihak yang berkepentingan mengajukan keberatan. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di Kantor Panitia Ajudikasi dan Kantor Kepala Desa/Kelurahan letak tanah yang bersangkutan dalam pendaftaran tanah secara spordik serta di tempat lain yang dianggap perlu. (3) Selain pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dalam hal pendaftaran tanah secara sporadik individual, pengumuman dapat dilakukan melalui media massa. (4) Ketenttuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 27 (1) Jika dalam jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) ada yang mengajukan keberatan mengenai data fisik dan atau data yuridis yang diumumkan, Ketua Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik mengusahakan agar secepatnya keberatan yang diajukan diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat. (2) Jika usaha penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membawa hasil, dibuatkan berita acara penyelesaian dan jika penyelesaian yang dimaksudkan mengakibatkan perubahan pada apa yang diumumkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), perubahan tersebut diadakan pada peta bidang-bidang tanah dan atau daftar isian yang bersangkutan. (3) Jika usaha penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan atau tidak membawa hasil, Ketua Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik memberitahukan secara tetulis kepada pihak yang mengajukan keberatan agar mengajukan gugatan mengenai data fisik dan atau data yuridis yang disengketakan ke Pengadilan. Pasal 28 (1) Setelah jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) berakhir, data fisik dan data yuridis yang diumumkan tersebut oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik disahkan dengan suatu berita acara yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri. (2) Jika setelah berakhirnya jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) masih ada kekurangkelengkapan data fisik dan atau data yuridis yang bersangkutan atau masih ada keberatan yang belum diselesaikan, pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan catatan mengenai hal-hal yang belum lengkap dan atau keberatan yang belum diselesaikan. (3) Berita acara pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar untuk :
a. pembukuan hak atas tanah yang bersangkutan dalam buku tanah; b. pengakuan hak atas tanah; c. pemberian hak atas tanah. Paragraf 3 Pembukuan Hak Pasal 29 (1) hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah susun didaftar dengan membukukanya dalam buku tanah yang memuat data yuridis dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan, dan sepanjang ada surat ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut. (2) Pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya pada surat ukur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bukti bahwa hak yang bersangkutan beserta pemegang haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan dalam surat ukur secara hukum telah di daftar menurut Peraturan Pemerintah ini. (3) Pembukuan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 23 dan berita acara pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28. Pasal 30 (1) Atas dasar alat bukti dan berita acara pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) hak atas bidang tanah: a. yang data fisik dan data yuridisnya sudah lengkap dan tidak ada yang disengketakan, dilakukan pembukuannya dalam buku tanah menurut ketentuan Pasal 29 ayat (1); b. yang data fisik atau data yuridisnya belum lengkap dilakukan pembukuannya dalam buku tanah dengan catatan mengenai hal-hal yang belum lengkap; c. yang data fisik dan atau data yuridisnya disengketakan tetapi tidak diajukan gugatan ke Pengadilan dilakukan pembukuannya dalam buku tanah dengan catatan mengenai adanya sengketa tersebut dan kepada pihak yang keberatan diberitahukan oleh Kepala Panitia Ajudikasi untuk pendaftaran tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan untuk pendaftaran tanah secara sporadik untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai data yang disengketakan dalam waktu 60 (enam puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan 90 (sembilan puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara sporadik dihitung sejak disampaikannya pemberitahuan tersebut; d. yang data fisik dan atau data yuridisnya disengketakan dan diajukan gugatan ke Pengadilan tetapi tidak ada perintah dari Pengadilan untuk status quo dan tidak ada putusan penyitaan dari Pengadilan, dilakukan pembukuannya dalam buku tanah dengan catatan mengenai adanya sengketa tersebut serta hal-hal yang disengketakan; e. yang data fisik atau data yuridisnya disengketakan dan diajukan ke Pengadilan serta ada perintah untuk status quo atau putusan penyitaan dari Pengadilan, dibukukan dalam buku tanah dengan mengosongkan nama pemegang haknya dan hal-hal lain yang disengketakan serta mencatat di dalamnya adanya sita atau perintah status quo tersebut. (2) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihapus apabila:
a. telah diserahkan tambahan alat pembuktian yang diperlukan; atau b. telah lewat waktu 5 (lima) tahun tanpa ada yang mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai data yang dibukukan. (3) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dihapus apabila: a. telah diperoleh penyelesaian secara damai antara pihak-pihak yang bersengketa; atau b. diperoleh putusan Pengadilan mengenai sengketa yang bersangkutan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; atau c. setelah dalam waktu 60 (enam puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara sitematik dan 90 (sembilan puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara sporadik sejak disampaikan pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak diajukan gugatan mengenai sengketa tersebut ke Pengadilan. (4) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dihapus apabila: a. telah dicapai penyelesaian secara damai antara pihak-pihak yang bersengketa; atau b. diperoleh putusan Pengadilan mengenai sengketa yang bersangkutan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (5) Penyelesaian pengisian buku tanah dan penghapusan catatan adanya sita atau perintah status quo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan apabila: a. setelah diperoleh penyelesaian secara damai antara pihak-pihak yang bersengketa; atau b. diperoleh putusan Pengadilan mengenai sengketa yang bersangkutan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pencabutan sita atau status quo dari Pengadilan. Bagian Keempat
Penerbitan Sertifikat Pasal 31 (1) Sertipikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1). (2) Jika di dalam buku tanah terdapat catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b yang menyangkut data yuridis, atau catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf c, d dan e yang menyangkut data fisik maupun data yuridis penerbitan sertipikat ditangguhkan sampai catatan yang bersangkutan dihapus. (3) Sertipikat hanya boleh diserahkan kepada pihak yang namanya tercantum dalam buku tanah yang bersangkutan sebagai pemegang hak atau kepada pihak lain yang dikuasakan olehnya. (4) Mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susu kepunyaan bersama beberapa orang atau badan hukum diterbitkan satu sertipikat, yang diterimakan kepada salah satu pemegang hak bersama atas penunjukan tertulis para pemegang hak bersama yang lain. (5) Mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun kepunyaan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diterbitkan sertipikat sebanyak jumlah pemegang hak bersama untuk diberikan kepada tiap pemegang hak bersama yang bersangkutan, yang memuat nama serta besarnya bagian masing-masing dari hak bersama tersebut. (6) Bentuk, isi, cara pengisian dan penandatanganan sertifikat ditetapkan oleh Menteri. Pasal 32 (1) Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. (2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut. Bagian Kelima Penyajian Data Fisik Dan Data Yuridis Pasal 33 (1) Dalam rangka penyajian data fisik dan data yuridis, Kantor pertanahan menyelenggarakan tata usaha pendaftaran tanah dalam daftar umum yang terdiri dari peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan daftar nama. (2) Bentuk, cara pengisian, penyimpanan, pemeliharaan, dan penggantian peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan daftar nama ditetapkan oleh Menteri. Pasal 34
(1) Setiap orang yang berkepentingan berhak mengetahui data fisik dan data yuridis yang tersimpan di dalam peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur dan buku tanah. (2) Data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam daftar nama hanya terbuka bagi instansi Pemerintah tertentu untuk keperluan pelaksanaan tugasnya. (3) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh keterangan mengenai data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. Bagian Keenam Penyimpanan Daftar Umum Dan Dokumen Pasal 35 (1) Dokumen-dokumen yang merupakan alat pembuktian yang telah digunakan sebagai dasar pendaftaran diberi tanda pengenal dan disimpan di Kantor Pertanahan yang bersangkutan atau di tempat lain yang ditetapkan oleh Menteri, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari daftar umum. (2) Peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah, daftar nama dan dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tetap berada di Kantor Pertanahan yang bersangkutan atau di tempat lain yang ditetapkan oleh Menteri. (3) Dengan izin tetulis dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya dapat diberikan petikan, salinan atau rekaman dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada instani lain yang memerlukan untuk pelaksanaan tugasnya. (4) Atas perintah Pengadilan yang sedang mengadili suatu perkara, asli dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibawa oleh Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan atau Pejabat yang ditunjuk ke sidang Pengadilan tersebut untuk diperlihatkan kepada Majelis Hakim dan para pihak yang bersangkutan. (5) Secara bertahap data pendaftaran tanah disimpan dan disajikan dengan menggunakan peralatan elektronik dan mikrofilm. (6) Rekaman dokumen yang dihasilkan alat elektronik atau mikrofilm sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mempunyai kekuatan pembuktian sesudah ditandatangani dan dibubuhui cap dinas oleh Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan. (7) Bentuk, cara penyimpanan, penyajian dan penghapusan dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), demikian juga cara penyimpanan dan penyajian data pendaftaran tanah dengan alat elektronik dan mikrofilm sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Menteri. BAB V PEMELIHARAAN DATA PENDAFTARAN TANAH Bagian Kesatu Umum Pasal 36 (1) Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar.
(2) Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kantor Pertanahan. Bagian Kedua Pendaftaran Peralihan Dan Pembebanan Hak Paragraf 1 Pemindahan Hak Pasal 37 (1) Pendirian hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam peusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang yang bersangkutan. Pasal 38 (1) Pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dihadiri oleh para pihak yang melakukan hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu. (2) Bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh Menteri. Pasal 39 (1) PPAT menolak untuk membuat akta, jika: a. mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau b. mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan: 1) surat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan 2) surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan; atau c. salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau
d. salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak; atau e. untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau f. obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau g. tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. (2) Penolakan untuk membuat akta tersebut diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang bersangkutan disertai alasannya. Pasal 40 (1) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar. (2) PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada para pihak yang bersangkutan. Paragraf 2 Pemindahan Hak Dengan Lelang Pasal 41 (1) Peralihan hak melalui pemindahan hak dengan lelang hanya dapat didaftar jika dibuktikan dengan kutipan risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang. (2) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum suatu bidang tanah atau satuan rumah susun dilelang baik dalam rangka lelang eksekusi maupun lelang non eksekusi, Kepala Kantor Lelang wajib meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 kepada Kantor Pertanahan mengenai bidang tanah atau satuan rumah susun yang akan dilelang. (3) Kepala Kantor Pertanahan mengeluarkan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya permintaan dari Kepala Kantor Lelang. (4) Kepala Kantor Lelang menolak melaksanakan lelang, apabila: a. mengenai tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun: 1) kepadanya tidak diserahkan sertipikat asli hak yang bersangkutan, kecuali dalam hal lelang eksekusi yang dapat tetap dilaksanakan walaupun sertipikat asli hak tersebut tidak diperoleh oleh Pejabat Lelang dari pemegang haknya; atau 2) sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau b. mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan:
1) surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan 2) surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan; atau c. ada perintah Pengadilan Negeri untuk tidak melaksanakan lelang berhubung dengan sengketa mengenai tanah yang bersangkutan. (5) Untuk pendaftaran peralihan hak yang diperoleh melalui lelang disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan: a. kutipan risalah lelang yang bersangkutan; b. 1) sertipikat hak milik atas satuan rumah susun atau hak atas tanah yang dilelang jika bidang tanah yang bersangkutan sudah terdaftar; atau 2) dalam hal sertipikat tersebut tidak diserahkan kepada pembeli lelang eksekusi, surat keterangan dari Kepala Kantor Lelang mengenai alasan tidak diserahkannya sertipikat tersebut; atau 3) jika bidang tanah yang bersangkutan belum terdaftar, surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b Pasal ini; c. bukti identitas pembeli lelang; d. bukti pelunasan pembelian. Paragraf 3 Peralihan Hak Karena Pewarisan Pasal 42 (1) Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan sebagai warisan kepada Kantor Pertanahan, sertipikat hak yang bersnagkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris. (2) Jika bidang tanah yang merupakan warisan belum didaftar, wajib diserahkan juga dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf b. (3) Jika penerima warisan terdiri dari satu orang, pendaftaran peralihan hak tersebut dilakukan kepada orang tersebut berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Jika penerima warisan lebih dari satu orang dan waktu peralihan hak tersebut didaftarkan disertai dengan akta pembagian waris yang memuat keterangan bahwa hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun tertentu jatuh kepada seorang penerima warisan tertentu, pendaftaran peralihan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun itu dilakukan kepada penerima warisan yang bersangkutan berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris dan akta pembagian waris tersebut.
(5) Warisan berupa hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang menurut akta pembagian waris harus dibagi bersama antara beberapa penerima warisan atau waktu didaftarkan belum ada akta pembagian warisnya, didaftar peralihan haknya kepada para penerima waris yang berhak sebagai hak bersama mereka berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris dan/atau akta pembagian waris tersebut. Paragraf 4 Peralihan Hak Karena Penggabungan Atau Peleburan Perseroan Atau Koperasi Pasal 43 (1) Peralihan hak atas tanah, hak pengelolaan, atau hak milik atas satuan rumah susun karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi yang tidak didahului dengan likuidasi perseroan atau koperasi yang bergabung atau melebur dapat didaftar berdasarkan akta yang membuktikan terjadinya penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi yang bersangkutan setelah penggabungan atau peleburan tersebut disahkan oleh Pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Peralihan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi yang didahului dengan likuidasi perseroan atau koperasi yang bergabung atau melebur didaftar berdasarkan pemindahan hak dalam rangka likuidasi yang dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1). Paragraf 5 Pembebasan Hak Pasal 44 (1) Pembebasan hak tanggungan pada hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, pembebanan hak guna bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk bangunan atas hak milik, dan pembebasan lain pada hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang ditentukan dengan peraturan perundang-undangan, dapat didaftar jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40 berlaku juga untuk pembuatan akta PPAT yang dimaksud pada ayat (1). Paragraf 6 Penolakan Pendaftaran Peralihan Dan Pembebasan Hak Pasal 45 (1) Kepala Kantor Pertanahan menolak untuk melakukan pendaftaran peralihan atau pembebanan hak, jika salah satu syarat di bawah ini tidak dipenuhi: a. sertipikat atau surat keterangan tentang keadaan hak atas tanah tidak sesuai lagi dengan daftar-daftar yang ada pada Kantor Pertanahan;
b. perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) tidak dibuktikan dengan akta PPAT atau kutipan risalah lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, kecuali dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2); c. dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran peralihan atau pembebasan hak yang bersangkutan tidak lengkap; d. tidak dipenuhi syarat lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan; e. tanah yang bersangkutan merupakan obyek sengketa di Pengadilan; f. perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta PPAT batal atau dibatalkan oleh putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; atau g. perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dibatalkan oleh para pihak sebelum didaftar oleh Kantor Pertanahan. (2) Penolakan Kepala Kantor Pertanahan dilakukan secara tertulis, dengan menyebut alasan-alasan penolakan itu. (3) Surat penolakan disampaikan kepada yang berkepentingan, disertai pengembalian berkas permohonannya, dengan salinan kepada PPAT atau Kepala Kantor Lelang yang bersangkutan. Paragraf 7 Lain-lain Pasal 46 Ketentuan lebih lanjut diperlukan bagi pelaksanaan pendaftaran peralihan dan pembebasan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun ditetapkan oleh Menteri. Bagian Ketiga Pendaftaran Perubahan Data Pendaftaran Tanah Lainnya Paragraf 1 Perpanjangan Jangka Waktu Hak Atas Tanah Pasal 47 Pendaftaran perpanjangan jangka waktu hak atas tanah dilakukan dengan mencatatnya pada buku tanah dan sertipikat hak yang bersangkutan berdasarkan keputusan Pejabat yang berwenang yang memberikan perpanjangan jangka waktu hak yang bersangkutan. Paragraf 2 Pemecahan, Pemisahan Dan Penggabungan Bidang Tanah Pasal 48 (1) Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan, satu bidang tanah yang sudah didaftar dapat dipecah secara sempurna menjadi beberapa bagian, yang masing-masing merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk tiap bidang dibuatkan surat ukur, buku tanah dan sertipikat untuk menggantikan surat ukur, buku tanah dan sertipikat asalnya. (3) Jika hak atas tanah yang bersangkutan dibebani hak tanggungan, dan atau beban-beban lain yang terdaftar, pemecahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) baru boleh dilaksanakan setelah diperoleh persetujuan tertulis dari pemegang hak tanggungan atau pihak lain yang berwenang menyetujui penghapusan beban yang bersangkutan. (4) Dalam pelaksanaan pemecahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang mengenai tanah pertanian, wajib memperhatikan ketentuan mengenai batas minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 49 (1) Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan, dari satu bidang tanah yang sudah didaftar dapat dipisahkan sebagian atau beberapa bagian, yang selanjutnya merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula. (2) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk satuan bidang baru yang dipisahkan dibuatkan surat ukur, buku tanah dan sertipikat sebagai satuan bidang tanah baru dan pada peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan sertipikat bidang tanah semula dibubuhkan cacatan mengenai telah diadakannya pemisahan tersebut. (3) Terhadap pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) dan ayat (4). Pasal 50 (1) Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan, dua bidang tanah atau lebih yang sudah didaftar dan letaknya berbatasan yang kesemuanya atas nama pemilik yang sama dapat digabung menjadi satu satuan bidang baru, jika semuanya dipunyai dengan hak yang sama dan bersisa jangka waktu yang sama. (2) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk satuan bidang yang baru tersebut dibuatkan surat ukur, buku tanah dan sertipikat dengan menghapus surat ukur, buku tanah dan sertipikat masing-masing. (3) Terhadap penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3). Paragraf 3 Pembagian Hak Bersama Pasal 51 (1) Pembagian hak bersama atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun menjadi hak masing-masing pemegang hak bersama didaftar berdasarkan akta yang dibuat PPAT yang berwenang menurut peraturan yang berlaku yang membuktikan kesepakatan antara para pemegang hak bersama mengenai pembagian hak bersama tersebut. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40 berlaku juga untuk pembuatan akta PPAT yang dimaksud pada ayat (1). Paragraf 4 Hapusnya Hak Atas Tanah Dan
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Pasal 52 (1) Pendaftaran hapusnya suatu hak atas tanah, hak pengelolaan dan hak milik atas satuan rumah susun dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan membubuhkan catatan pada buku tanah dan surat ukur serta memusnahkan sertipikat hak yang bersangkutan, berdasarkan: a. data dalam buku tanah yang disimpan di Kantor Pertanahan, jika mengenai hak-hak dibatasi masa berlakunya; b. salinan surat keputusan Pejabat yang berwenang, bahwa hak yang bersangkutan telah dibatalkan atau dicabut; c. akta yang menyatakan bahwa hak yang bersangkutan telah dilepaskan oleh pemegang haknya. (2) Dalam hal sertipikat hak atas tanah yang dihapus tidak diserahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat pada buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan. Paragraf 5 Peralihan Dan Hapusnya Tanggungan Pasal 53 Pendaftaran peralihan hak tanggungan dilakukan dengan mencatatnya pada buku tanah serta sertipikat hak tanggungan yang bersangkutan dan pada buku tanah serta sertipikat hak yang dibebani berdasarkan surat tanda bukti beralihnya piutang yang dijamin karena cessie, subrogasi, pewarisan atau penggabungan serta peleburan perseroan. Pasal 54 (1) Pendaftaran hapusnya hak tanggungan dilakukan sesuai ketentuan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan dengan Tanah. (2) Dalam hal hak yang dibebani hak tanggungan telah dilelang dalam rangka pelunasan utang, maka surat pernyataan dari kantor bahwa pihaknya melepaskan hak tanggungan atas hak yang dilelang tersebut untuk jumlah yang melebihi hasil lelang beserta kutipan risalah lelang dapat dijadikan dasar untuk pendaftaran hapusnya hak tanggungan yang bersangkutan. Paragraf 6 Perubahan Data Pendaftaran Tanah Berdasarkan Putusan Atau Penetapan Pengadilan Pasal 55 (1) Panitera Pengadilan wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pertanahan mengenai isi semua putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan penetapan Ketua Pengadilan yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada data mengenai bidang tanah yang sudah didaftar atau satuan rumah susun untuk dicatat pada buku tanah yang bersangkutan dan sedapat mungkin pada sertipikatnya dan daftar-daftar lainnya. (2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan juga atas permintaan pihak yang berkepentingan, berdasarkan salinan resmi putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap atau salinan penetapan Ketua Pengadilan yang bersangkutan yang diserahkan olehnya kepada Kepala Kantor Pertanahan. (3) Pencatatan hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan dan hak milik atas satuan rumah susun berdasarkan putusan Pengadilan dilakukan setelah diperoleh surat keputusan mengenai hapusnya hak yang bersangkutan dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) Paragraf 7 Perubahan Nama Pasal 56 Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah sebagai akibat pemegang hak yang ganti nama dilakukan dengan mencatatnya di dalam buku tanah dan sertipikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan berdasarkan bukti mengenai ganti nama pemegang hak tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku. BAB VI PENERBITAN SERTIPIKAT PENGGANTI Pasal 57 (1) Atas permohonan pemegang hak diterbitkan sertipikat baru sebagai pengganti sertipikat yang rusak, hilang, masih menggunakan blanko sertipikat yang tidak digunakan lagi, atau yang tidak diserahkan kepada pembeli lelang dalam suatu lelang eksekusi. (2) Permohonan sertipikat pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan oleh pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah yang bersangkutan atau pihak lain yang merupakan penerima hak berdasarkan akta PPAT atau kutipan risalah lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 41, atau akta sebagaimana dimaksud Pasal 43 ayat (1), atau surat sebagaimana dimaksud Pasal 53, atau kuasanya. (3) Dalam hal pemegang hak atau penerima hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah meninggal dunia, permohonan sertipikat pengganti dapat diajukan oleh ahli warisnya dengan menyerahkan surat tanda bukti sebagai ahli waris. (4) Penggantian sertipikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat pada buku tanah yang bersangkutan. Pasal 58 Dalam hal Penggantian sertipikat karena rusak atau pembaharuan blanko sertipikat, sertipikat yang lama ditahan dan dimusnahkan. Pasal 59 (1) Permohonan penggantian sertipikat yang hilang harus disertai pernyataan di bawah sumpah dari yang bersangkutan dihadapan Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk mengenai hilangnya sertipikat hak yang bersangkutan. (2) Penerbitan sertipikat pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahului dengan pengumuman 1 (satu) kali dalam salah satu surat kabar harian setempat atas biaya pemohon. (3) Jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dihitung sejak hari pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada yang mengajukan keberatan mengenai akan
diterbitkannya sertipikat pengganti tersebut atau ada yang mengajukan keberatan akan tetapi menurut pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan keberatan tersebut tidak beralasan, diterbitkan sertipikat baru. (4) Jika keberatan yang diajukan dianggap beralasan oleh Kepala Kantor Pertanahan, maka ia menolak menerbitkan sertipikat pengganti. (5) Mengenai dilakukannya pengumuman dan penerbitan serta penolakan penerbitan sertipikat baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) dibuatkan berita acara oleh Kepala Kantor Pertanahan. (6) Sertipikat pengganti diserahkan kepada pihak yang memohon diterbitkannya sertipikat tersebut atau orang lain yang diberi kuasa untuk menerimanya. (7) Untuk daerah-daerah tertentu Menteri dapat menentukan cara dan tempat pengumuman yang lain daripada yang ditentukan pada ayat (2). Pasal 60 (1) Penggantian sertipikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang tidak diserahkan kepada pembeli lelang dalam lelang eksekusi didasarkan atas surat keterangan dari Kepala Kantor Lelang yang bersangkutan yang memuat alasan tidak dapat diserahkannya sertipikat tersebut kepada pemenang lelang. (2) Kepala Kantor Pertanahan mengumumkan telah ditertibkannya sertipikat pengganti untuk hak atas tanah atau milik atas satuan rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tidak berlakunya lagi sertipikat yang lama dalam salah satu surat kabar harian setempat atas biaya pemohon. BAB VII BIAYA PENDAFTARAN TANAH Pasal 61 (1) Besarnya dan cara pembayaran biaya-biaya dalam rangka pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. (2) Atas permohonan yang bersangkutan, Menteri atau Pejabat yang ditunjuk dapat membebaskan pemohon dari sebagian atau seluruh biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika pemohon dapat membuktikan tidak mampu membayar biaya tersebut. (3) Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya pendaftaran. (4) Tata cara untuk memperoleh pembebasan atas biaya pendaftaran tanah diatur oleh Menteri. BAB VIII SANKSI Pasal 62 PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 serta ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi
kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut. Pasal 63 Kepala Kantor Pertanahan yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan dalam peraturan pelaksanaannya serta ketentuan-ketentuan lain dalam pelaksanaan tugas kegiatan pendaftaran tanah dikenakan sanksi administratif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 64 (1) Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah ada masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau diubah atau diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. (2) Hak-hak yang didaftar serta hal-hal lain yang dihasilkan dalam kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tetap sah sebagai hasil pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah ini. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 65 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2171) dinyatakan tidak berlaku. Pasal 66 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku 3 (tiga) bulan sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 1997 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juli 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
ttd.
MOERDIONO
PENJELASAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997
TENTANG PENDAFTARAN TANAH
UMUM Dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua peranan tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan akan meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun untuk kegiatan usaha. Sehubungan dengan itu akan meningkat pula kebutuhan akan dukungan berupa jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, pertama-tama memerlukan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuannya. Selain itu dalam menghadapi kasus-kasus konkret diperlukan juga terselenggarannya pendaftaran tanah yang memungkinkan bagi para pemegang hak atas tanah untuk dengan mudah membuktikan haknya atas tanah yang dikuasinya, dan bagi para pihak yang berkepentingan, seperti calon pembeli dan calon kreditor, untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang menjadi obyek perbuatan hukum yang akan dilakukan, serta bagi Pemerintah untuk melaksanakan kebijaksanaan pertanahan. Sehubungan dengan itu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dalam Pasal 19 memerintahkan diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum dimaksud di atas. Pendaftaran tanah tersebut kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang sampai saat ini menjadi dasar kegiatan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia. Dalam kenyataannya pendaftaran tanah yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tersebut selama lebih dari 35 tahun belum cukup memberikan hasil yang memuaskan. Dari sekitar 55 juta bidang tanah hak yang memenuhi syarat untuk didaftar, baru lebih kurang 16,3 juta bidang yang sudah didaftar. Dalam pada itu, melalui pewarisan, pemisahan dan pemberian-pemberian hak baru, jumlah bidang tanah yang memenuhi syarat untuk didaftar untuk selama Pembangunan Jangka Panjang Kedua diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 75 juta. Hal-hal yang merupakan kendala dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, disamping kekurangan anggaran, alat dan tenaga, adalah keadaan obyektif tanah-tanahnya sendiri yang selain jumlahnya besar dan tersebar di wilayah yang luas, sebagian besar penguasaannya tidak didukung oleh alat-alat pembuktian yang mudah diperoleh dan dapat dipercaya kebenarannya. Selain itu ketentuan hukum untuk dasar pelaksanaannya dirasakan belum cukup memberikan kemungkinan untuk terlaksananya pendaftaran dalam waktu singkat dengan hasil yang lebih memuaskan. Sehubungan dengan itu maka dalam rangka meningkatkan dukungan yang lebih baik pada pembangunan nasional dengan memberikan kepastian hukum di bidang pertanahan, dipandang perlu untuk mengadakan penyempurnaan pada ketentuan yang mengatur pendaftaran tanah, yang pada kenyataannya tersebar pada banyak peraturan perundangan-undangan.
Dalam Peraturan Pemerintah yang menyempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ini, tetap dipertahankan tujuan dan sistem yang digunakan, yang pada hakikatnya sudah ditetapkan dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), yaitu bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan dan bahwa sistem publikasinya adalah sistem negatif, tetapi yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA. Pendaftaran tanah juga tetap dilaksanakan melalui dua cara, yaitu pertama-tama secara sistematik yang meliputi wilayah satu desa atau kelurahan atau sebagiannya yang terutama dilakukan atas prakarsa Pemerintah dan secara sporadik, yaitu pendaftaran mengenai bidang-bidang tanah atas permintaan pemegang atau penerima hak yang bersangkutan secara individual atau massal. Penyempurnaan yang diadakan meliputi penegasan berbagai hal yang belum jelas dalam peraturan yang lama, antara lain pengertian pendaftaran tanah itu sendiri, azas-azas dan tujuan penyelenggaraannya, yang disamping untuk memberi kepastian hukum sebagaimana disebut di atas juga dimaksudkan untuk menghimpun dan menyajikan informasi yang lengkap mengenai data fisik dan data yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan. Prosedur pengumpulan data penguasaan tanah juga dipertegas dan dipersingkat serta disederhanakan. Guna menjamin kepastian hukum di bidang penguasaan dan pemilikan tanah faktor kepastian letak dan batas setiap bidang tanah tidak dapat diabaikan. Dari pengalaman masa lalu cukup banyak sengketa tanah yang timbul sebagai akibat letak dan batas bidang-bidang tanah tidak benar. Karena itu masalah pengukuran dan pemetaan serta penyediaan peta berskala besar untuk keperluan penyelenggaraan pendaftaran tanah merupakan hal yang tidak boleh diabaikan dan merupakan bagian yang penting yang perlu mendapat perhatian yang serius dan seksama, bukan hanya dalam rangka pengumpulan data penguasaan tanah tetapi juga dalam penyajian data penguasaan/pemilikan tanah dan penyimpanan data tersebut. Perkembangan teknologi pengukuran dan pemetaan, seperti cara penentuan titik melalui Global Positioning System (GPS) dan komputerisasi pengolahan, penyajian dan penyimpanan data, pelaksanaan pengukuran dan pemetaan dapat dipakai di dalam pendaftaran tanah. Untuk mempercepat pengukuran dan pemetaan bidang tanah yang harus didaftar penggunaan teknologi modern, seperti Global Positioning System (GPS) dan komputerisasi pengolahan dan penyimpanan data perlu dimungkinkan yang pengaturannya diserahkan kepada Menteri. Di samping pendaftaran tanah secara sistematik pendaftaran tanah secara sporadik juga akan ditingkatkan pelaksanaannya, karena dalam kenyataannya akan bertambah banyak permintaan untuk mendaftar secara individu dan massal yang diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan, yang akan makin meningkat kegiatannya. Pendaftaran tanah secara sistematik diutamakan karena melalui cara ini akan mempercepat perolehan data mengenai bidang-bidang tanah yang akan didaftar dari pada melalui pendaftaran tanah secara sporadik. Tetapi karena prakarsanya datang dari Pemerintah, diperlukan waktu untuk memenuhi dana, tenaga dan peralatan yang diperlukan. Maka pelaksanaanya harus didasarkan pada suatu rencana kerja yang meliputi jangka waktu yang agak panjang dan rencana pelaksanaan tahunan yang berkelanjutan melalui uji kelayakan agar berjalan lancar. Tujuan pendaftaran tanah untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang tanah dipertegas dengan dimungkinkannya menurut Peraturan Pemerintah ini pembukuan bidang-bidang tanah yang data fisik dan atau data yuridisnya belum lengkap atau masih disengketakan, walaupun untuk tanah-tanah yang demikian belum dikeluarkan sertipakat sebagai tanda bukti haknya. Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah dalam Peraturan Pemerintah ini diberikan penegasan mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian sertipikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yanag kuat oleh UUPA. Untuk itu diberikan ketentuan bahwa selama belum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data
yuridis yang dicantumkan dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam pembuatan hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di Pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan (Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah ini), dan bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertipikat atas nama orang atau badan hukum lain, jika selama 5 (lima) tahun sejak dikeluarkannya sertipikat itu dia tidak mengajukan gugatan pada Pengadilan, sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain tersebut dengan itikad baik dan secara fisik nyata dikuasai olehnya atau oleh orang lain atau badan hukum yang mendapatkan persetujuannya (Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini). Dengan demikian maka makna dari pernyataan, bahwa sertipikat merupakan alat pembuktian yang kuat dan bahwa tujuan pendaftaran tanah yang diselenggarakan adalah dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya, sungguhpun sistem publikasi yang digunakan adalah sistem negatif. Ketentuan tersebut tidak mengurangi asas pemberian perlindungan yang seimbang baik kepada pihak yang mempunyai tanah dan dikuasai serta digunakan sebagaimana mestinya maupun kepada pihak yang memperoleh dan menguasainya dengan itikad baik dan dikuatkan dengan pendaftaran tanah yang bersangkutan atas namanya. Sengketa-sengketa dalam menyelenggarakan pendaftaran tanah tetap pertama-tama diusahakan untuk diselesaikan melalui musyawarah antara pihak yang bersangkutan. Baru setelah usaha penyelesaian secara damai tidak membawa hasil, dipersilahkan yang bersangkutan menyelesaikannya melalui Pengadilan. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah, maka pokok-pokok tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta cara melaksanakannya mendapat pengaturan juga dalam Peraturan Pemerintah ini. Tidak adanya sanksi bagi pihak yang berkepentingan untuk mendaftarkan perbuatan-perbuatan hukum yang telah dilakukan dan dibuktikan dengan akta PPAT, diatasi dengan diadakannya ketentuan, bahwa PPAT dalam waktu tertentu diwajibkan menyampaikan akta tanah yang dibuatnya beserta dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftarannya. Ketentuan ini diperlukan mengingat dalam praktek tidak selalu berkas yang bersangkutan sampai kepada Kantor Pertanahan. Dari apa yang dikemukakan di atas jelaslah, bahwa Peraturan Pemerintah yang baru mengenai pendaftaran tanah ini disamping tetap melaksanakan pokok-pokok yang digariskan oleh UUPA, memuat penyempurnaan dan penegasan yang diharapkan akan mampu untuk menjadi landasan hukum dan operasional bagi pelaksanaan pendaftaran tanah yang lebih cepat. PASAL DEMI PASAL Pasal 1Cukup jelas Pasal 2 Azas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah. Sedangkan azas aman dimaksudkan untuk menunjukkan, bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
Azas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang memerlukan. Azas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubhan yang terjadi di kemudahan hari. Azas mutakhir menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan, dan masyarat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat. Untuk itulah diberlakukan pula azas terbuka. Pasal 3 Tujuan pendaftaran tanah sebagaimana tercantum pada huruf a merupakan tujuan utama pendaftaran tanah yang diperintahkan oleh Pasal 19 UUPA. Disamping itu dengan terselenggaranya pendaftaran tanah juga dimaksudkan terciptanya suatu pusat informasi mengenai bidang-bidang tanah sehingga pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah didaftar. Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan. Pasal 4Ayat (1)Cukup jelas, Ayat (2)Cukup jelas, Ayat (3)Cukup jelas, Pasal 5Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kegiatan-kegiatan tertentu yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Pejabat lain, adalah kegiatan yang pemanfaatannya bersifat nasional atau melebihi wilayah kerja Kepala Kantor Pertanahan, misalnya pengukuran titik dasar teknik, pemetaan fotogrametri dan lain sebagainya. Ayat (2) Yang dimaksud dengan kegiatan-kegiatan tertentu adalah misalnya pembuatan akta PPAT oleh PPAT atau PPAT Sementara, pembuatan risalah lelang oleh Pejabat Lelang, ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik oleh Panitia Ajudikasi dan lain sebagainya. Pasal 7Ayat (1)Cukup jelas Ayat (2) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mempermudah rakyat di daerah terpencil yang tidak ada PPAT untuk melaksanakan perbuatan hukum mengenai tanah. Yang ditunjuk sebagai PPAT Sementara adalah Pejabat Pemerintah yang menguasai keadaan daerah yang bersangkutan, yaitu Kepala Desa. Ayat (3)Cukup jelas, Pasal 8 Ayat (1)
Mengingat pendaftaran tanah secara sistematik pada umumnya bersifat massal dan besar-besaran, maka untuk melaksanakannya Kepala Kantor Pertanahan perlu dibantu oleh Panitia yang khusus dibentuk untuk itu, sehingga dengan demikian tugas rutin Kantor Pertanahan tidak terganggu. Ayat (2)Cukup jelas, Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan untuk memungkinkan dimasukkannya Tetua Adat yang mengetahui benar riwayat/kepemilikan bidang-bidang tanah setempat dalam Panitia Ajudikasi, khususnya di daerah yang hukum adatnya masih kuat. Ayat (4)Cukup jelas, Ayat (5)Cukup jelas, Pasal 9Ayat (1)Cukup jelas Ayat (2) Pendaftaran tanah yang obyeknya bidang tanah yang berstatus tanah Negara dilakukan dengan mencatatnya dalam daftar tanah dan tidak ditertibkan sertipikat. Pasal 10 Ayat (1) Desa dan kelurahan adalah satuan wilayah pemerintahan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Ayat (2) Areal hak guna usaha, hak pengelolaan dan tanah Negara umumnya meliputi beberapa desa/kelurahan. Demikian juga obyek hak tanggungan dapat meliputi beberapa bidang tanah yang terletak di beberapa desa/kelurahan. Pasal 11Cukup jelas, Pasal 12Ayat (1)Cukup jelas, Ayat (2)Cukup jelas, Pasal 13Ayat (1)Cukup jelas, Ayat (2) Karena pendaftaran tanah secara sistematik dilaksanakan atas prakarsa Pemerintah, maka kegiatan tersebut didasarkan pada suatu rencara kerja yang ditetapkan oleh Menteri. Ayat (3)Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan adalah pihak yang berhak atas bidang tanah yang bersangkutan atau kuasanya. Pasal 14 Ayat (1)Cukup jelas, Ayat (2)Cukup jelas, Pasal 15 Ayat (1) Di dalam wilayah yang ditetapkan untuk dilaksanakan pendaftaran tanah secara sistematik mungkin ada bidang tanah yang sudah terdaftar. Penyediaan peta dasar pendaftaran untuk pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik yang dimaksud pada ayat ini, selain digunakan untuk pembuatan peta pendaftaran dalam pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik, juga digunakan untuk memetakan bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar di atas.
Ayat (2) Dengan adanya peta dasar pendaftaran bidang tanah yang didaftar dalam pendaftaran tanah secara sporadik dapat diketahui letaknya dalam kaitan dengan bidang-bidang tanah lain dalam suatu wilayah, sehingga dapat dihindarkan terjadinya sertipikat ganda atas satu bidang tanah. Pasal 16 Ayat (1) Penyiapan peta dasar pendaftaran diperlukan agar setiap bidang tanah yang didaftar dijamin letaknya secara pasti, karena dapat direkonstruksi di lapangan setiap saat. Untuk maksud tersebut diperlukan titik-titik dasar teknik nasional. Ayat (2) Titik dasar teknik adalah titik tetap yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu sistem tertentu yang berfungsi sebagai titik kontrol ataupun titik ikat untuk keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas. Ayat (3) Lihat penjelasan ayat (2). Ayat (4)Cukup jelas, Ayat (5)Cukup jelas, Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam kenyataannya banyak bidang tanah yang bentuknya kurang baik, dengan dilakukannya penataan batas dimaksudkan agar bentuk bidang-bidang tanah tersebut tertata dengan baik. Ayat (3)Cukup jelas, Ayat (4)Cukup jelas, Pasal 18 Ayat (1) Gambar situasi yang dimaksud Pasal ini adalah dokumen penunjuk obyek suatu hak atas tanah menurut ketentuan yang berlaku sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, yaitu yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 6 Tahun 1965 tentang Pedoman Pokok Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah Sebagaimana Diatur Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Yang dimaksud dengan pemegang hak atas tanah dalam ayat ini adalah orang atau badan hukum yang mempunyai hak atas tanah menurut UUPA, baik yang sudah bersertipikat maupun yang belum bersertipikat. Ayat (2) Yang dimaksud hak baru adalah hak atas tanah yang diberikan atas tanah Negara. Ayat (3)Cukup jelas, Ayat (4)Cukup jelas, Ayat (5)Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan batas-batas yang menurut kenyataannya merupakan batas-batas bidang-bidang tanah yang bersangkutan adalah misalnya tembok atau tanda-tanda lain yang menunjukkan batas penguasaan tanah oleh orang yang bersangkutan. Apabila ada tanda-tanda semacam ini maka persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang berbatasan tidak mutlak diperlukan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Ketentuan ini berlaku juga, jika pemegang hak atas tanah yang bersangkutan atau mereka yang mempunyai tanah yang berbatasan, biarpun sudah disampaikan pemberitahuan sebelumnya, tidak hadir pada waktu diadakan pengukuran. Ayat (4) Yang dimaksud dengan gambar ukur adalah hasil pengukuran dan pemetaan di lapangan berupa peta batas bidang atau bidang-bidang tanah secara kasar Catatan pada gambar ukur didasarkan pada berita acara pengukuran sementara. Ayat (5)Cukup jelas, Pasal 20 Ayat (1) Pemetaan bidang-bidang tanah bisa dilakukan langsung pada peta dasar pendaftaran, tetapi untuk bidang tanah yang luas pemetaannya dilakukan dengan cara membuat peta tersendiri dengan menggunakan data yang diambil dari peta dasar pendaftaran dan hasil ukuran batas bidang tanah yang akan dipetakan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan peta lain adalah misalnya peta dari instansi Pekerjaan Umum atau instansi Pajak, sepanjang peta tersebut memenuhi persyaratan teknis untuk pembuatan peta pendaftaran. Ayat (3) Dalam keadaan terpaksa pembuatan peta dasar pendaftaran dapat dilakukan bersama dengan pengukuran dan pemetaan bidang tanah yang bersangkutan dan bidang-bidang sekelilingnya yang berbatasan, sehingga letak relatif bidang tanah itu dapat ditentukan. Ayat (4) Pengaturan oleh Menteri menurut ayat ini meliputi pengaturan mengenai licensed surveyor. Pasal 21 Ayat (1) Daftar tanah dimaksudkan sebagai sumber informasi yang lengkap mengenai nomor bidang, lokasi dan penunjukan ke nomor surat ukur bidang-bidang tanah yang ada di wilayah pendaftaran, baik sebagai hasil pendaftaran untuk pertama kali maupun pemeliharaannya kemudian. Ayat (2)Cukup jelas, Pasal 22Ayat (1)Cukup jelas, Ayat (2) Dalam peraturan pendaftaran tanah yang lama surat ukur yang dimaksud ayat ini disebut gambar situasi.
Ayat (3) Cukup jelas Pasal 23 Huruf a Penetapan Pejabat yang berwenang mengenai pemberian hak atas tanah Negara dapat dikeluarkan secara individual, kolektif ataupun secara umum. Huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud dengan Akta Ikrar Wakaf adalah Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Ketentuan mengenai pembukuan wakaf ditinjau dari sudut obyeknya pembukuan tersebut merupakan pendaftaran untuk pertama kali, meskipun bidang tanah yang bersangkutan sebelumnya sudah didaftar sebagai tanah hak milik. Huruf d Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak pemilikan individual atas suatu satuan rumah susun tertentu, yang meliputi dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan hak bersama atas apa yang disebut bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama, tempat bangunan rumah susun itu didirikan. Pembukuan hak milik atas satuan rumah susun dilakukan berdasarkan Akta Pemisahan, yang menunjukkan satuan rumah susun yang mana yang dimiliki dan berapa bagian proporsional pemiliknya atas benda-benda yang dihaki bersama tersebut. Yang dimaksud dengan Akta Pemisahan adalah Akta Pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah susun. Pembukuannya merupakan pendaftaran untuk pertama kali, biarpun hak atas tanah tempat bangunan gedung yang bersangkutan berdiri sudah didaftar. Huruf e Yang dimaksud dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah Akta Pemberian Hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Pasal 24 Ayat (1) Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UUPA dan apabila hak tersebut kemudian beralih, bukti peralihan hak berturut-turut sampai ke tangan pemegang hak pada waktu dilakukan pembukuan hak. Alat-alat bukti tertulis yang dimaksudkan dapat berupa: a. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (Staatsblad. 1834-27), yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik; atau b. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie (Staatsblad. 1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan; atau
c. surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan; atau d. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959; atau e. surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya; atau f. akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini; atau g. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan; atau h. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977; atau i. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan; atau j. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; atau k. petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kerikil dan Verponding Indonesia sebelum berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961; atau l. surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; atau m. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA. Dalam hal bukti tertulis tersebut tidak lengkap atau tidak ada lagi, pembuktian pemilikan itu dapat dilakukan dengan keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan yang dapat dipercaya kebenarannya menurut pendapat Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik. Yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang cakap memberi kesaksian dan mengetahui kepemilikan tersebut. Ayat (2) Ketentuan ini memberi jalan keluar apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan sebagaimana dimaksud ayat (1), baik yang berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang dapat dipercaya. Dalam hal demikian pembukuan hak dapat dilakukan tidak berdasarkan bukti kepemilikan akan tetapi berdasarkan bukti penguasaan fisik yang telah dilakukan oleh pemohon dan pendahulunya. Pembukuan hak menurut ayat ini harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan dilakukan secara nyata dan dengan itikat baik selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut;
b. bahwa kenyataan penguasaan dan penggunaan tanah tersebut selama itu tidak diganggu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan; c. bahwa hal-hal tersebut diperkuat oleh kesaksian orang-orang yang dapat dipercaya; d. bahwa telah diberikan kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan melalui pengumuman sebagaimana dimaksud Pasal 26; e. bahwa telah diadakan penelitian juga mengenai kebenaran hal-hal yang disebutkan di atas; f. bahwa akhirnya kesimpulan mengenai status tanah dan pemegang haknya dituangkan dalam keputusan berupa pengakuan hak yang bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik. Pasal 25Ayat (1)Cukup jelas, Ayat (2)Cukup jelas, Pasal 26 Ayat (1) Yang diumumkan pada dasarnya adalah data fisik dan data yuridis yang akan dijadikan dasar pendaftaran bidang tanah yang bersangkutan. Untuk memudahkan pelaksanaannya, dalam pendaftaran tanah secara sistematik pengumuman tidak harus dilakukan sekaligus mengenai semua bidang tanah dalam wilayah yang telah ditetapkan, tetapi dapat dilaksanakan secara bertahap. Pengumuman pendaftaran tanah secara sistematik selama 30 (tiga puluh) hari dan pengumuman pendaftaran tanah secara sporadik 60 (enam puluh) hari dibedakan karena pendaftaran tanah secara sistematik merupakan pendaftaran tanah secara massal yang diketahui oleh masyarakat umum sehingga pengumumannya lebih singkat, sedangkan pengumuman pendaftaran tanah secara sporadik sifatnya individual dengan ruang lingkup terbatas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan tempat pengumuman yang lain adalah misalnya Kantor Rukun Warga, atau lokasi tanah yang bersangkutan. Untuk penentuan ini Menteri akan mengaturnya lebih lanjut. Ayat (3)Cukup jelas, Ayat (4)Cukup jelas, Pasal 27Ayat (1)Cukup jelas, Ayat (2)Cukup jelas, Ayat (3)Cukup jelas, Pasal 28Ayat (1)Cukup jelas Ayat (2) Belum lengkapnya data yang tersedia atau masih adanya keberatan yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), bukan merupakan alasan untuk menunda dilakukannya pembuatan berita secara hasil pengumuman data fisik dan data yuridis. Ayat (3) Pengesahan sebagaimana dimaksud ayat (2) merupakan pengesahan data fisik dan data yuridis bidang tanah sebagaimana adanya. Oleh karena itu data tersebut tidak selalu cukup untuk dasar pembukuan hak. Kadang-kadang data yang diperoleh hanya tepat untuk pembukuan hak melalui pengakuan hak berdasarkan pembuktian menurut Pasal 24 ayat (2).
Kadang-kadang dari penelitian riwayat tanah ternyata bahwa bidang tanah tersebut adalah tanah Negara, yang apabila sesuai dengan ketentuan yang berlaku dapat diberikan kepada pemohon dengan sesuatu hak atas tanah. Pasal 29Ayat (1)Cukup jelas, Ayat (2)Cukup jelas, Ayat (3)Cukup jelas Pasal 30 Ayat (1) Huruf a Salah satu tujuan pendaftaran tanah adalah untuk mengumpulkan dan menyajikan informasi mengenai bidang-bidang tanah. Oleh karena itu data fisik dan data yuridis mengenai bidang tanah yang sudah dinilai cukup untuk dibukukan tetap dibukukan walaupun ada data yang masih harus dilengkapi atau ada keberatan dari pihak lain mengenai data itu. Dengan demikian setiap data fisik dan data yuridis mengenai bidang tanah itu, termasuk adanya sengketa mengenai data itu, semuanya tercatat. Huruf b Ketidaklengkapan data yang dimaksud pada huruf b dapat mengenai data fisik, misalnya kerena surat ukurnya masih didasarkan atas batas sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3), dan dapat pula mengenai data yuridis, misalnya belum lengkapnya tanda tangan ahli waris. Huruf c, d dan e Sengketa yang dimaksud pada huruf c, d, dan e juga dapat mengenai data fisik maupun data yuridis. Dalam hal sengketa tersebut sudah diajukan ke Pengadilan dan ada perintah untuk status quo atau ada putusan mengenai sita atas tanah itu, maka pencantuman nama pemegang hak dalam buku tanah ditangguhkan sampai jelas siapa yang berhak atas tanah tersebut, baik melalui putusan Pengadilan maupun berdasarkan cara damai. Perintah status quo yang dimaksud disini haruslah resmi dan tertulis dan sesudah sidang pemeriksaan mengenai gugatan yang bersangkutan berjalan diperkuat dengan putusan peletakan sita atas tanah yang bersangkutan. Ayat (2) Waktu 5 (lima) tahun dipandang cukup untuk menganggap bahwa data fisik maupun data yuridis yang kurang lengkap pembuktiannya itu sudah benar adanya. Ayat (3) Penyelesaian secara damai dapat terjadi di luar maupun di dalam Pengadilan. Apabila dalam waktu yang ditentukan pihak yang berkeberatan atas data fisik maupun data yuridis yang akan dibukukan tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai hal yang disengketakan itu, keberatannya dianggap tidak beralasan dan catatan mengenai adanya keberatan itu dihapus. Apabila dalam waktu ditentukan keberatan tersebut diajukan ke Pengadilan, catatan itu dihapus setelah ada penyelesaian secara damai atau putusan Pengadilan mengenai sengketa tersebut. Ayat (4)Cukup jelas, Ayat (5)Cukup jelas, Pasal 31Ayat (1)Cukup jelas Ayat (2) Penerbitan Sertipikat dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan haknya. Oleh karena itu sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat sebagaimana dimaksud Pasal 19 UUPA. Sehubungan dengan itu apabila masih ada ketidakpastian
mengenai hak atas tanah yang bersangkutan, yang ternyata dari masih adanya catatan dalam pembukuannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), pada prinsipnya sertipikat belum dapat diterbitkan. Namun apabila catatan itu mengenai ketidaklengkapan data fisik yang tidak disengketakan, sertipikat dapat diterbitkan. Ayat (3) Sertipikat tanah wakaf diserahkan kepada Nadzirnya. Dalam hal pemegang hak sudah meninggal dunia, sertipikat diterimakan kepada ahli warisnya atau salah seorang ahli waris dengan persetujuan para ahli waris yang lain. Ayat (4) Dalam hal hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun kepunyaan seorang laki-laki yang beristeri atau seorang perempuan yang bersuami, surat penunjukan tertulis termaksud tidak diperlukan. Ayat (5) Dengan adanya ketentuan ini tiap pemegang hak bersama memegang sertipikat yang menyebutkan besarnya bagian masing-masing dari hak bersama tersebut. Dengan demikian masing-masing akan dengan mudah dapat melakukan perbuatan hukum mengenai bagian haknya yang bersangkutan tanpa perlu mengadakan perubahan pada surat tanda bukti hak para pemegang hak bersama yang bersangkutan, kecuali kalau secara tegas ada larangan untuk berbuat demikian jika tidak ada persetujuan para pemegang hak bersama yang lain. Ayat (6) Cukup jelas Pasal 32 Ayat (1) Sertipikat merupakan tanda bukti yang kuat, dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sudah barang tentu data fisik maupun data yuridis yang tercantum dalam sertipikat harus sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan, karena data itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut. Ayat (2) Pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem prublikasi positif, yang kebenaran data yang disajikan dijamin oleh Negara, melainkan menggunakan sistem publikasi negatif. Di dalam sistem publikasi negatif Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Tetapi walupun demikian tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi Negatif secara murni. Hal tersebut tampak dari pernyataan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat dan dalam Pasal 23, 32, dan 38 UUPA bahwa pendaftaran berbagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian yang kuat. Selain itu dari ketentuan-ketentuan mengenai prosedur pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan penyajian data fisik dan data yuridis serta penerbitan sertipikat dalam Peraturan Pemerintah ini, tampak jelas usaha untuk sejauh mungkin memperoleh dan menyajikan data yang benar, karena pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum. Sehubungan dengan itu diadakanlah ketentuan dalam ayat (2) ini. Ketentuan ini bertujuan, pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku
tanah, dengan sertipikat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Kelemahan sistem publikasi negatif adalah, bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertipikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut diatasi dengan menggunakan lembaga acquistieve verjaring atau adverse possession. Hukum tanah kita yang memakai dasar hukum adat tidak dapat menggunakan lembaga tersebut, karena hukum adat yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah, yaitu lembaga rechtsverwerking. Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikat baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan di dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah karena diterlantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) adalah sesuai dengan lembaga ini. Dengan pengertian demikian, maka apa yang dietentukan dalam ayat ini bukanlah menciptakan ketentuan hukum baru, melainkan merupakan penerapan ketentuan hukum yang sudah ada dalam hukum adat, yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian dari Hukum Tanah Nasional Indonesia dan sekaligus memberikan wujud konkrit dalam penerapan ketentuan dalam UUPA mengenai penelantaran tanah. Pasal 33 Ayat (1) Karena pada dasarnya terbuka bagi umum dokumen yang dimaksud ayat ini disebut daftar umum. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 34 Ayat (1) Sebelum melakukan perbuatan hukum mengenai bidang tanah tertentu para pihak yang berkepentingan perlu mengetahui data mengenai bidang tanah tersebut. Sehubungan dengan sifat terbuka data fisik dan data yuridis yang tersimpan dalam peta pendaftaran, daftar tanah, buku tanah dan surat ukur, siapapun yang berkepentingan berhak untuk mengetahui keterangan yang diperlukan. Tidak digunakannya hak tersebut menjadi tanggung jawab yang bersangkutan. Ayat (2) Daftar nama sebenarnya tidak memuat keterangan mengenai tanah, melainkan memuat keterangan mengenai orang perseorang atau badan hukum dalam hubungan dengan tanah yang dimilikinya. Keterangan ini diperlukan oleh instansi-instansi Pemerintah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya. Ayat (3)Cukup jelas, Pasal 35Ayat (1)Cukup jelas Ayat (2) Untuk mencegah hilangnya dokumen yang sangat penting untuk kepentingan masyarakat ini maka apabila ada instansi yang menganggap perlu untuk memeriksanya, pemeriksaan dokumen itu wajib dilakukan di Kantor Pertanahan. Pengecualian ketentuan ini adalah sebagaimana diatur dalam ayat (4). Ayat (3)
Cukup jelas Ayat (4) Setelah diperlihatkan dan jika diperlukan dibuatkan petikan, salinan atau rekamannya seperti dimaksud pada ayat (3), dokumen yang bersangkutan dibawa dan disimpan kembali di tempat yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Ayat (5) Penyimpanan dengan menggunakan peralatan elektronik dan dalam bentuk film akan menghemat tempat dan mempercepat akses pada data yang diperlukan. Tetapi penyelenggaraannya memerlukan persiapan peralatan dan tenaga serta dana yang besar. Maka pelaksanaannya akan dilakukan secara bertahap. Ayat (6)Cukup jelas, Ayat (7)Cukup jelas Pasal 36 Ayat (1) Perubahan data fisik terjadi kalau diadakan pemisahan, pemecahan, atau penggabungan bidang-bidang tanah yang sudah didaftar. Perubahan data yuridis terjadi misalnya kalau diadakan pembebanan atau pemindahan hak atas bidang tanah yang sudah didaftar. Ayat (2)Cukup jelas, Pasal 37Ayat (1)Cukup jelas Ayat (2) Pengecualian terhadap ketentuan pada ayat (1) perlu diberikan dalam keadaan tertentu yaitu untuk daerah-daerah yang terpencil dan belum ditunjuk PPAT Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), untuk memudahkan rakyat melaksanakan perbuatan hukum mengenai tanah. Pasal 38Ayat (1)Cukup jelas, Ayat (2)Cukup jelas, Pasal 39 Ayat (1) Dalam ayat ini diwujudkan fungsi dan tanggung jawab PPAT sebagai pelaksana pendaftaran tanah. Akta PPAT wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran pemindahan hak dan pembebanan hak yang bersangkutan. Oleh karena itu PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan, dengan antara lain mencocokkan data yang terdapat dalam sertipikat dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan. Yang dimaksudkan dalam huruf d dengan surat kuasa mutlak adalah pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali oleh pihak yang memberi kuasa, sehingga pada hakikatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak. Contoh syarat yang dimaksudkan dalam huruf g adalah misalnya larangan yang diadakan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan jo Peraturan Pemerintah Nomor 27 Thun 1996 tentang perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan untuk membuat akta, jika kepadanya tidak diserahkan fotocopy surat setoran pajak penghasilan yang bersangkutan. Ayat (2)Cukup jelas Pasal 40
Ayat (1) Selaku pelaksana pendaftaran tanah PPAT wajib segera menyampaikan akta yang dibuatnya kepada Kantor Pertanahan, agar dapat dilaksanakan proses pendaftarannya oleh Kepala Kantor Pertanahan. Ayat (2) Kewajiban PPAT hanya sebatas menyampaikan akta dengan berkas-berkasnya kepada Kantor Pertanahan. Pendaftaran kegiatan selanjutnya serta penerimaan sertipikatnya menjadi urusan pihak yang berkepentingan sendiri. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Untuk menghindarkan terjadinya pelelangan umum yang tidak jelas obyeknya perlu diminta keterangan yang paling mutakhir mengenai tanah atau satuan rumah susun yang akan dilelang dari Kantor Pertanahan. Ayat (3) Sesuai dengan fungsinya sebagai sumber informasi yang mutakhir mengenai tanah atau satuan rumah susun yang akan dilelang, keterangan ini sangat penting bagi Pejabat Lelang untuk memperoleh keyakinan tentang obyek lelang. Oleh karena itu surat keterangan tersebut harus tetap diterbitkan, walaupun tanah atau satuan rumah susun yang bersangkutan sedang dalam sengketa atau dalam status sitaan. Ayat (4) Lelang eksekusi meliputi lelang dalam rangka pelaksanaan putusan Pengadilan, hak tanggungan, sita pajak, sita Kejaksaan/Penyidik dan sita Panitia Urusan Piutang Negara. Dalam pelelangan eksekusi kadang-kadang tereksekusi menolak untuk menyerahkan sertipikat asli hak yang akan dilelang. Hal ini tidak boleh menghalangi dilaksanakannya lelang. Oleh karena itu lelang eksekusi tetap dapat dilaksanakan walaupun sertipikat asli tanah tersebut tidak dapat diperoleh Pejabat Lelang dari tereksekusi. Ayat (5) Dokumen ini akan dijadikan dasar pendaftaran peralihan haknya. Pasal 42 Ayat (1) Peralihan hak karena pewarisan terjadi karena hukum pada saat pemegang hak yang bersangkutan meninggal dunia. Dalam arti, bahwa sejak itu para ahli waris menjadi pemegang haknya yang baru. Mengenai siapa yang menjadi ahli waris diatur dalam Hukum Perdata yang berlaku bagi pewaris. Pendaftaran peralihan hak karena pewarisan juga diwajibkan, dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada para ahli waris dan demi ketertiban tata usaha pendaftaran tanah, agar data yang tersimpan dan disajikan selalu menunjukkan keadaan yang mutakhir. Surat tanda bukti sebagai ahli waris dapat berupa Akta Keterangan Hak Mewaris, atau Surat Penetapan Ahli Waris atau Surat Keterangan Ahli Waris. Ayat (2) Dokumen yang membuktikan adanya hak atas tanah pada yang mewariskan diperlukan karena pendaftaran peralihan hak ini baru dapat dilakukan setelah pendaftaran untuk pertama kali hak yang bersangkutan atas nama yang mewariskan.
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Apabila dari akta pembagian waris yang dibuat sesuai ketentuan yang berlaku bagi para ahli waris sudah ternyata suatu hak yang merupakan harta waris jatuh pada seorang penerima warisan tertentu, pendaftaran peralihan haknya dapat langsung dilakukan tanpa alat bukti peralihan hak lain, misalnya akta PPAT. Ayat (5) Sesudah hak tersebut didaftarkan sebagai harta bersama, pendaftaran pembagian hak tersebut selanjutnya dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 51. Pasal 43 Ayat (1) Beralihnya hak dalam penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi yang tidak didahului dengan likuidasi terjadi karena hukum (Pasal 107 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan Pasal 14 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian). Karena itu cukup dibuktikan dengan akta yang membuktikan terjadinya penggabungan atau peleburan tersebut. Ketentuan ini secara mutatis mutandis berlaku untuk penggabungan atau peleburan badan hukum lain. Ayat (2) Dalam rangka likuidasi dilakukan pemindahan hak, yang kalau mengenai tanah dibuktikan dengan akta PPAT. Pasal 44 Ayat (1) Dipandang dari sudut hak tanggungan, pendaftaran pemberian hak tanggungan merupakan pendaftaran pertama. Dipandang dari sudut hak yang dibebani, pencatatannya dalam buku tanah dan sertipikat tanah yang dibebani merupakan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 45 Ayat (1) Akta PPAT merupakan alat membuktikan telah dilakukannya suatu perbuatan hukum. Oleh karena itu apabila perbuatan hukum itu batal atau dibatalkan, akta PPAT yang bersangkutan tidak berfungsi lagi sebagai bukti perbuatan hukum tersebut. Dalam pada itu apabila suatu perbuatan hukum dibatalkan sendiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan sedangkan perbuatan hukum itu sudah didaftar di Kantor Pertanahan, maka pendaftaran tidak dapat dibatalkan. Perubahan data pendaftaran tanah menurut pembatalan perbuatan hukum itu harus didasarkan atas alat bukti lain, misalnya putusan Pengadilan atau akta PPAT mengenai perbuatan hukum yang baru. Ayat (2)Cukup jelas, Ayat (3)Cukup jelas, Pasal 46Cukup jelas Pasal 47 Perpanjangan jangka waktu suatu hak tidak mengakibatkan hak tersebut hapus atau terputus. Oleh karena itu untuk pendaftarannya tidak perlu dibuatkan buku tanah dan sertipikat baru. Pasal 48 Ayat (1)
Pemecahan bidang tanah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku dan tidak boleh mengakibatkan tidak terlaksananya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya ketentuan landreform (lihat ayat (4)). Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Pemecahan bidang tanah tidak boleh merugikan kepentingan kreditor yang mempunyai hak tanggungan atas tanah yang bersangkutan. Oleh kerena itu pemecahan tanah itu hanya boleh dilakukan setelah diperoleh persetujuan tertulis dari kreditor atau pihak lain yang berwenang menyetujui penghapusan beban lain yang bersangkutan. Beban yang bersangkutan tidak selalu harus dihapus. Dalam hal hak tersebut dibebani hak tanggungan, hak tanggungan yang bersangkutan tetap membebani bidang-bidang hasil pemecahan itu. Ayat (4) Peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat Peraturan Pemerintah ini diundangkan adalah Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Pasal 49 Ayat (1) Dalam pemisahan bidang tanah menurut ayat ini bidang tanah yang luas diambil sebagian yang terjadi satuan bidang baru. Dalam hal ini bidang tanah induknya masih ada dan tidak berubah identitasnya, kecuali mengenai luas dan batasnya. Istilah yang digunakan adalah pemisahan, untuk membedakannya dengan apa yang dilakukan menurut Pasal 48 Ayat (2)Cukup jelas, Ayat (3)Cukup jelas, Pasal 50Ayat (1)Cukup jelas, Ayat (2)Cukup jelas, Ayat (3)Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Pada saatnya suatu hak bersama, baik yang diperoleh sebagai warisan maupun sebab lain, perlu dibagi sehingga menjadi hak individu. Untuk itu kesepakatan antara pemegang hak bersama tersebut perlu dituangkan dalam akta PPAT yang akan menjadi dasar bagi pendaftarannya. Dalam pembagian tersebut tidak harus semua pemegang hak bersama memperoleh bagian. Dalam pembagian harta waris seringkali yang menjadi pemegang hak individu hanya sebagian dari keseluruhan penerima warisan, asalkan hal tersebut disepakati oleh seluruh penerima warisan sebagai pemegang hak bersama. Ayat (2)Cukup jelas, Pasal 52 Ayat (1) Untuk mencatat hapusnya hak atas tanah yang dibatasi masa berlakunya tidak diperlukan penegasan dari Pejabat yang berwenang. Dalam acara melepaskan hak, maka selain harus ada bukti, bahwa yang melepaskan adalah pemegang haknya, juga perlu diteliti apakah pemegang hak tersebut berwenang untuk melepaskan hak yang bersangkutan. Dalam hal hak dilepaskan dibebani hak tanggungan diperlukan persetujuan dari kreditor yang bersangkutan. Demikian juga ia tidak berwenang untuk melepaskan haknya, jika tanah yang bersangkutan berada dalam sita oleh Pengadilan atau ada beban-beban lain. Ayat (2)
Dalam hal-hal tertentu Kepala Kantor Pertanahan dapat mengumumkan hapusnya hak yang sertipikatnya tidak diserahkan kepadanya untuk mencegah dilakukannya perbuatan hukum mengenai tanah yang sudah tidak ada haknya tersebut. Pasal 53 Hak tanggungan merupakan accessoir pada suatu piutang tertentu, karenanya menurut hukum mengikuti peralihan piutang yang bersangkutan. Maka untuk peralihannya tidak diperlukan perbuatan hukum tersendiri dan pendaftarannya cukup dilakukan berdasarkan bukti cessie, subrogasi ataupun pewarisan piutangnya yang dijamin. Pasal 54Ayat (1), Cukup jelas Ayat (2) Kedua dokumen yang dimaksud ayat ini merupakan pernyataan tertulis dari pemegang hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996. Pasal 55 Ayat (1) Yang dimaksudkan dengan Pengadilan adalah baik badan-badan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara ataupun Peradilan Agama. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Putusan Pengadilan mengenai hapusnya sesuatu hak harus dilaksanakan lebih dahulu oleh Pejabat yang berwenang, sebelum didaftar oleh Kepala Kantor Pertanahan. Pasal 56 Yang dimaksud pemegang hak yang ganti nama adalah pemegang hak yang sama tetapi namanya berganti. Penggantian nama pemegang hak dapat terjadi baik mengenai orang perseorangan maupun badan hukum. Pasal 57 Ayat (1) Untuk memperkecil kemungkinan pemalsuan, di waktu yang lampau telah beberapa kali dilakukan penggantian blanko sertipikat. Sehubungan dengan itu apabila dikehendaki oleh pemegang hak, sertipikatnya boleh diganti dengan sertipikat yang menggunakan blanko baru. Diterbitkannya sertipikat pengganti dilakukan apabila dan sesudah semua ketentuan dalam Bab VI Peraturan Pemerintah ini dipenuhi. Ayat (2)Cukup jelas, Ayat (3)Cukup jelas, Ayat (4)Cukup jelas, Pasal 58Cukup jelas Pasal 59 Ayat (1) Dalam hal hak atas tanah berdasarkan akta yang dibuat oleh PPAT sudah berpindah kepada pihak lain, tetapi sebelum peralihan tersebut didaftar sertipikatnya hilang, permintaan penggantian sertipikat yang hilang dilakukan oleh pemegang haknya yang baru dengan pernyataan dari PPAT bahwa pada waktu dibuat dibuat akta PPAT sertipikat tersebut masih ada. Ayat (2)Cukup jelas, Ayat (3)Cukup jelas Ayat (4) Keberatan dianggap beralasan apabila misalnya ada pihak yang menyatakan bahwa sertipikat tersebut tidak hilang melainnya dipegang olehnya berdasarkan persetujuan pemegang hak dalam rangka suatu perbuatan hukum tertentu. Ayat (5)Cukup jelas, Ayat (6)Cukup jelas
Ayat (7) Di daerah-daerah tertentu pengumuman yang dimaksud pada ayat (2) memelukan biaya yang besar yang tidak sebanding dengan harga tanah yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu Menteri dapat menentukan cara pengumuman lain yang lebih murah biayanya. Pasal 60, Ayat (1)Cukup jelas Ayat (2) Pengumuman ini dimaksudkan agar masyarakat tidak melakukan perbuatan hukum mengenai tanah atau satuan rumah susun yang bersangkutan berdasarkan sertipikat yang telah tidak berlaku. Sertipikat yang lama dengan sendirinya tidak berlaku lagi, karena sesuai dengan ketentuan yang berlaku hak yang bersangkutan telah berpindah kepada pembeli lelang dengan telah dimenangkannya lelang serta telah dibayarnya harga pembelian lelang. Pasal 61 Ayat (1) Peraturan Pemerintah dimaksud adalah Peraturan Pemerintah pelaksanaan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Ayat (2)Cukup jelas, Ayat (3)Cukup jelas, Ayat (4)Cukup jelas, Pasal 62Cukup jelas, Pasal 63Cukup jelas. Pasal 64 Ayat (1) Ketentuan peralihan ini memungkinkan Peraturan Pemerintah ini segera dapat dilaksanakan di seluruh Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 65Cukup jelas, Pasal 66Cukup jelas --------------------- CATATAN Kutipan: MEDIA ELEKTRONIK SEKRETARIAT NEGARA TAHUN 1997