Upload
pipit-fitriani-setiadi
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
1/26
1
I. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Penuaan merupakan fenomena yang terjadi pada setiap orang diseluruh dunia. Pada
proses penuaan ini tubuh mengalami kehilangan massa tulang secara bertahap, yang
mengakibatkan osteoporosis dan osteopenia (Cummings, et al. 1989 cit Chen, 2014).
Osteoporosis merupakan suatu kondisi deklasifikasi dan demineralisasi tulang yang sering
terjadi pada manula (Michaelsson, 2009 cit Amalraj, 2015). Osteoporosis telah diidentifikasi
dan menjadi sebuah masalah yang serius bagi kesehatan masyarakat. Bagi wanita berumur 50
tahun yang mengalami osteoporosis, resiko patah tulang seumur hidup adalah 60 %
(Cummings, et al. 1989 cit Chen, 2014).
Tingginya asupan kalsium diakui dapat mencegah terjadinya osteoporosis. Namun,
kalsium harus tersedia dalam bentuk yang dapat diserap oleh tubuh. Agar kalsium tersebut
dapat diserap, maka kalsium yang terdapat dalam makanan harus larut dalam asam lambung
didalam perut, atau tetap berada dalam larutan tersebut (Gueguen & Pointillart, 2000).
Kalsium merupakan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh untuk menjalankan fungsi
fosiologis, dan dapat memelihara jaringan-jaringan tulang (Broadus, 1996). Menurut
Vavrusova (2014), kalsium adalah salah satu nutrisi yang essensial dan merupakan jenis
mineral yang melimpah di bumi. Oleh karena itu, kalsium harus tersedia dengan mudah
untuk memenuhi asupan nutrisi per hari. Kalsium sangat penting untuk proses biokimia dan
fisiologis termasuk rangsangan neuromuscular , pembekuan darah, transfer ion anorganik
yang melintasi membran, sekresi hormon, pelepasan enzim, dan berperan dalam sistem
reproduksi seperti motilitas sperma dan pembuahan sel telur (Lobaugh, 1995; Weaver and
Heaney, 1999).
Menurut Theobald (2005) sumber kalsium yang sangat baik adalah susu, karena susu
memiliki bioavailabilitas atau absorpsi kalsium yang tinggi dan tidak memiliki faktor
penghambat. Nutrisi yang dimiliki oleh susu seperti laktosa dan protein berkontribusi positif
terhadap bioavailabilitas kalsium dan mencegah terjadinya pengendapan ion kalsium. Namun
demikian, terdapat beberapa orang yang memiliki sifat intoleran terhadap laktosa, dan alergi
terhadap kandungan protein dalam susu. Intoleransi laktosa disebabkan oleh defisiensi β-
galaktosidase (Pereira, 2014). Orang yang memiliki sifat intoleransi terhadap kandungan
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
2/26
2
laktosa dalam susu akan mengalami kram perut, diare, mual dan muntah, karena selama
fermentasi terbentuk beberapa senyawa seperti asam lemak rantai pendek, metana, dan
karbondioksida yang dapat mempengaruhi motilitas usus sehingga menyebabkan sembelit
(Theobald, 2005).
Sumber kalsium lain yang dapat digunakan dan berasal dari sektor perikanan salah
satunya adalah tulang ikan. Menurut Trilaksani (2006) tulang ikan merupakan salah satu
bentuk limbah dari industri pengolahan ikan yang memiliki kandungan kalsium terbanyak
diantara bagian tubuh ikan, karena unsur utama dari tulang ikan adalah kalsium, fosfor dan
karbonat. Tulang ikan memiliki kalsium (Ca) dan phosphor (P) yaitu sekitar 2 % (20g/kg
berat kering) (Malde et, al, 2010). Kandungan kalsium dari sektor perikanan antara lain:
tulang tuna madidihang (Thunnus albacares) sebesar 13,19 % (Ismanaji et al., 2000) tulang
ikan nila 9,02% (Baskoro, 2008), tulang ikan lele 13,48% (Sari et al., 2013), tepung mutiara
35 % (Gao, 2008).
Peningkatan penyerapan kalsium memiliki peranan besar dalam mengurangi resiko patah
tulang dan osteoporosis dalam tubuh, karena kalsium yang diserap oleh usus dapat digunakan
untuk fungsi-fungsi fisiologis terutama mineralisasi tulang atau mengurangi pengeroposan
tulang (Gueguen & Pointillart, 2000). Bioavailabilitas kalsium digunakan untuk menjelaskan
proses fisikokimia dan fisiologis yang mempengaruhi penyerapan fraksional kalsium dalam
tubuh sehingga mineral tersebut dapat digunakan oleh tubuh untuk menjalankan fungsi
metabolisme (Trilaksani, 2006).
Pengujian bioavailabilitas kalsium dapat dilakukan dengan berbagai metode, antara lain
secara in vitro yang merupakan simulasi proses pencernaan bahan pangan dengan
menggunakan enzim komersial ( Roig et al., 1999), secara in vivo yang merupakan
pengukuran keseimbangan kalisum dengan cara mengukur absorpsi nyata kalsium yang
diukur berdasarkan selisih antara kalsium yang dikonsumsi dengan kalsium yang
dieksresikan lewat feses (Allen, 1982).
Allen (1982) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
bioavailabilitas kalsium, yaitu faktor komponen makanan dan faktor fisiologis. Komponen
makanan yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium meliputi fosfor, protein, komponen
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
3/26
3
tumbuhan (serat, fitat, dan oksalat), laktosa, dan lemak. Gropper et al. (2005) menambahkan
bahwa keberadaan kation divalen (bervalensi dua) juga dapat mengurangi absorpsi kalsium.
Faktor fisiologis yang dapat mempengaruhi absorpsi kalsium adalah status vitamin D,
defisiensi kalsium dan fosfor, serta perbedaan kondisi fisiologis dan kebutuhan pada setiap
tahap dalam daur kehidupan (Allen, 1982). Tahap dalam daur kehidupan yang dimaksud
adalah bayi, anak-anak dan remaja, dewasa, ibu hamil dan menyusui, wanita menopause serta
lansia (Ariyanti, 2012).
Penelitian tentang bioavailabilitas kalsium dari sektor perikanan telah diuji secara in vitro
dan in vivo, antara lain: Suptijah (2012) menguji secara in vivo pada cangkang udang
berukuran nano (37-127 nm) menghasilkan bioavailabilitas sebesar 63.3%, (Minarty, 2012)
melaporkan bahwa nano kalsium dari cangkang rajungan sebesar 75,1 %. Tepung tulang
tuna yang diuji secara in vitro memiliki bioavailabilitas sebesar 0.86% (Trilaksani, 2006).
Selain itu, tepung tulang lele 12.5% (b/b) dalam crackers dapat meningkatkan kandungan
kalsium dari 86.28mg/100gram menjadi 522,79 mg/100g kalsium (Ca) dan memiliki
bioavailabilitas kalsium (in vitro) sebesar 14.53% lebih tinggi dibandingkan dengan crackers
komersial yang difortifikasi dengan CaCO3 hanya memiliki bioavailabilitas sebesar 8%
(Purwawinangsih, 2011).
Oleh karena itu makalah ini akan mengulas mengenai bioavailabilitas kalsium dari
beberapa produk perikanan dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya.
b. Tujuan
Mengetahui ketersediaan kalsium secara biologis (bioavailabilitas) kalsium (Ca) dari
beberapa produk perikanan serta berbagai komponen yang mempengaruhinya.
c. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penyusunan makalah ini adalah dapat memberikan
informasi dan pengetahuan mengenai ketersediaan kalsium secara biologis (bioavailabilitas)
dari beberapa produk perikanan, dengan berbagai komponen yang mempengaruhinya.
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
4/26
4
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Kalsium
Mineral merupakan bagian yang memegang peranan penting dalam pemeliharaan
tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan.
Mineral berperan dalam berbagai tahap metabolisme, terutama sebagai kofaktor dalam
aktifitas enzim. Mineral digolongkan kedalam mineral makro dan mineral mikro
(Almatsier, 2004).
Vavrusova (2014) menjelaskan, kalsium adalah salah satu nutrisi yang essensial dan
merupakan jenis mineral yang melimpah di bumi. Oleh karena itu, kalsium harus tersedia
dengan mudah untuk memenuhi asupan nutrisi per hari. Kalsium merupakan salah satu
mineral makro yang terkandung dalam tubuh lebih banyak dibandingkan dengan mineral
lain. Kalsium yang terdapat dalam tubuh diperkirakan 2 % berat badan orang dewasa atau
sekitar 1,0-1,4 kg dan 25-30 gram pada bayi. Sebagian besar kalsium terkonsentrasi pada
tulang rawan dan gigi, selebihnya terdapat dalam cairan tubuh dan jarigan lunak
(Winarno, 2004).
Kalsium yang berada dalam tulang dan gigi berbentuk hidroksiapatit
[Ca10(PO4)6(OH)2] dan pada konsentrasi 2,25-2,60 mmol/l(9-10,4 mg/100 ml) kalsium
tulang berada dalam kondisi yang seimbang dengan kalsium plasma. Kalsium yang
berada pada cairan tubuh yaitu dalam cairan ektraseluer dan intraseluler memiliki
peranan untuk mengatur fungsi sel, seperti transmisi saraf, kontraksi otot, penggumpalan
darah, dan menjaga permeabilitas membran sel (Almatsier, 2004),.
Kalsium merupakan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh untuk menjalankan fungsi
fosiologis, dan dapat memelihara jaringan-jaringan tulang (Broadus, 1996). Kalsium
sangat penting untuk proses biokimia dan fisiologis termasuk rangsangsan
neuromuscular , pembekuan darah, transfer ion anorganik yang melintasi membran,
sekresi hormon, pelepasan enzim, dan berperan dalam sistem reproduksi seperti motilitas
sperma dan pembuahan sel telur (Lobaugh, 1995; Weaver and Heaney, 1999).
Konsentrasi kalsium di dalam plasma darah cenderung konstan, dan perbedaan antar
individu sangat sedikit bergantung kepada waktu (Allen, 1982; Anderson and Garner,
1996 cit Kim, 2012). Kalsium plasma yang tersebar dalam cairan ekstraseluler maupun
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
5/26
5
intraseluler, meskipun jumlahnya hanya 1% dari total kalsium tubuh namun memiliki
peranan yang sangat vital (Muflihah, 2011). Peran kalsium dalam pembentukan darah
yakni protrombin mula-mula harus berikatan dengan kalsium sebelum diaktifkan menjadi
trombin. Trombin kemudian membantu perubahan fibrinogen menjadi fibrin yang
merupakan gumpalan darah. Kalsium juga merupakan bagian dari enzim yaitu lipase,
suksinat dehidrogenase, dan beberapa enzim proteilitik tertentu. Selain itu, kalsium juga
berperan dalam pengiriman impuls syaraf ke jaringan-jaringan tubuh, penyimpanan dan
pelepasan neurotransmiter, penyimpanan dan pelepasan hormon, penyerapan dan
pengikatan asam amino, pengaturan sekresi gastrin serta menjaga keseimbangan osmotik
(Muchtadi, Palupi, & Astawan 1993).
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
6/26
6
B. Kebutuhan kalsium
Menurut Winarno (2008), keperluan kalsium di dalam tubuh biasanya dihitung
berdasarkan keseimbangan kalsium. Berikut ini merupakan tabel 1. Mengenai angka
kecukupan kalsium untuk masing-masing umur :
Tabel 1. Angka Kecukupan Kalsium dalam Tubuh
Sumber : Peraturan Menteri Kesehatan RI (2013)
Jumlah yang dianjurkan untuk asupan kalsium perhari adalah 1000 mg/hari untuk
orang dewasa, dan rekomendasi antar negara memiliki perbedaan satu sama lainnya
(Gueguen & Pointillart, 2000). Menurut Mesias, Seiquer, & Navvarro (2011) cit
Vavrusova (2014) kebutuhan kalsium yang paling besar adalah selama pertumbuhan, dan
kebutuhan semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia. Peningkatan kebutuhkan
Kelompok
kecukupan kalsium
(mg/hari)
Bayi( bulan)
0-6 200
7-11 250
Anak-anak (tahun)
1-3 650
4-6 650
7-9 1000Pria dan wanita(tahun)
10-12 1200
13-15 1200
16-18 1200
19-29 1100
30-49 1000
50-64 1000
65+ 1000
Ibu hamil
Trisemester 1 +200Trisemester 2 +200
Trisemester 3 +200
Ibu menyusui
6 bulan pertama +200
6 bulan kedua +200
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
7/26
7
kalsium terjadi saat kehamilan dan menyusui (Forbes, 1976) dan penurunan penyerapan
kalsium dimulai dari usia 50-60 pada wanita dan 55-60 untuk pria (Bullamor et al.,
1970).
C. Tulang ikan sebagai sumber Kalsium
Tulang mengandung kalsium, fosfat, dan magnesium. Kalsium merupakan mineral
yang paling melimpah dan terdapat bersama phosfat dalam bentuk kristal yang kompleks
yaitu hidroksiapatit [Ca10(PO4)6(OH)2]. Mineral yang terkandung dalam tulang bukan
merupakan hiroksiapatit murni, karena mengandung karbonat, sitrat, sodium, dan
magnesium (Theobald, 2002). Menurut Trilaksani (2006) tulang ikan merupakan salah
satu bentuk limbah dari industri perikanan yang memiliki kandungan kalsium terbanyak
diantara bagian tubuh ikan, karena unsur utama dari tulang ikan adalah kalsium fosfor
dan karbonat. Berikut ini merupakan kandungan dari beberapa tepung tulang yang
disajikan pada tabel 2:
Tabel 2. Kandungan Gizi Pada Beberapa Tuang Ikan
KomposisiTepung Kepala
Ikan Lele DumboTepung TulangIkan Tuna
Tepung Tulangikan patin
TulangIkan Nila
Air (%) 8.72 8.30 8.65 8.76
Abu (%) 16.53 84.22 41.60 63.37
Protein (%) 51.15 1.29 33.50 26.06
Lemak % 8.56 4.13 11.65 2.85
Kalsium (%) 5.68 39.24 30.38 18.70
Referensi
Purwawinangsih
(2011) Nabil (2005) Apriliani,(2010)
Lekahena,
(2012)
Yoon et al., (2005) meneliti mengenai pengaruh dari tepung tulang ikan tuna yang di
peroleh dari limbah industri perikanan terhadap metabolisme tulang tikus ovariektomi
(OVX) yang diberikan perlakuan selama 5 minggu dengan kontrol berupa kalsium
karbonat (CaCO3). Penelitian ini memiliki 6 kelompok perlakuan, antara lain : OVX-CC
(CaCO3), OVX-CCH (CaCO3 dan ekstrak herbal), OVX-TB (tepung tulang tuna), OVX-
TBH (tepung tulang tuna dan ekstrak herbal), OVX-CTB (citrate tepung tulang tuna),
OVX-CTBH (citrat dan tepung tulang tuna dengan ekstrak herbal). Adapun komposisi
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
8/26
8
kalsium yang diberikan sebesar 0.5% pada setiap kelompok perlakuan. Hasil yang
diperoleh dari penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan kalsium pada berbagai perlakuan
Keterangan : sham-control (control dengan CaCO3), OVX-CC (CaCO3), OVX-CCH(CaCO3 dan ekstrak herbal), OVX-TB (tepung tulang tuna), OVX-TBH
(tepung tulang tuna dan ekstrak herbal), OVX-CTB (citrate tepung tulang
tuna), OVX-CTBH (citrat dan tepung tulang tuna dengan ekstrak herbal)
Sumber Yoon et al., 2005
Penelitian ini menjelaskan bahwa tulang ikan dapat dijadikan sumber kalsium yang
baik, hal tersebut dapat terlihat bahwa kandungan kalsium dalam tulang tikus yang
diberikan sumber kalsium dari tepung tulang tuna tidak berbeda nyata dengan kelompok
tikus yang diberikan perlakuan dengan sumber kalsium dari CaCO3 (kalsium karbonat).
D. Pengertian Bioavailabilitas
Ketersediaan biologis (Bioavailabilitas) kalsium merupakan proses fisikokimia dan
fisiologis yang mempengaruhi penyerapan kalsium dalam tubuh sehingga mineral
tersebut dapat digunakan oleh tubuh untuk menjalankan fungsi metabolisme (Trilaksani,
et al. 2006). Menurut Theobald (2005) bioavailabilitas kalisum yang berasal dari
makanan dapat didefinisikan sebagai jumlah kalsium dari makanan yang dapat
dimanfaatkan oleh tubuh untuk fungsi proses metabolisme. Hal tersebut mencakup
penyimpanan, penyerapan, serta pemanfaatan kalsium yang diserap oleh tubuh. Terdapat
sejumlah variable fisiologis dan faktor nutrisi atau makanan yang dapat mempengaruhi
bioavailabilitas kalisum, antara lain status vitamin D, usia, kehamilan, menyusui dan
penyakit.
Groupkalsium dalam
feses (mg/d)
Kalsium dalam
urin (mg/d)
Serumosteocalcin
(ng/mL)
Kalsium dalamtulang
(mg/100g)
BMD per 10berat badan
(g/cm2)
Sham (SCC) 26.60 ± 8.22a,b
2.83 ± 1.90b
1.38 ± 0.26b,c
44.79 ± 5.33a
0.069 ± 0.006
OVX-CC 32.42 ± 15.66a
3.98 ± 1.18a,b
1.26 ± 0.33c
39.96 ± 3.98b
0.056 ± 0.006
OVX-CCH 29.55 ± 6.67a,b
3.88 ± 1.68a,b
1.53 ± 0.32a,b,c
39.59 ± 2.85b
0.055 ± 0.002
OVX-TB 31.82 ± 7.63a,b
4.80 ±1.05a
1.61 ± 0.24a,b
35.48 ± 2.86b
0.050 ± 0.002
OVX-TBH 25.80 ± 9.60a,b 3.39 ± 0.99a,b 1.58 ± 0.31a,b 36.59 ± 3.09b 0.054 ± 0.002
OVX-CTB 25.59 ± 6.82a,b 3.86 ± 1.25a,b 1.75 ± 0.20a 37.72 ± 5.03b 0.056 ± 0.003
OVX-CTBH 21.14 ± 11.02b 2.60 ± 0.83b 1.67 ± 0.25a,b 38.64 ± 5.08b 0.055 ± 0.002
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
9/26
9
E. Mekanisme absorbsi kalsium
Hidroksiapatit [Ca10(PO4)6(OH)2] merupakan penyusun utama dari jaringan keras
manusia seperti tulang dan gigi, dan 99% dari total kalsium dalam tubuh manusia
berbentuk hidroksiapatit dalam tulang (Rodriguez et al., 1998). Sebanyak 1 % sisanya
kalsium terletak pada jaringan lunak, dan dalam jumlah yang kecil kalsium terdapat
dalam cairan ekstraseluler seperti plasma darah dengan konsentrasi 3 mmol L-1
. Dalam
cairan ekstraseluler, 50 % merupakan ion kalsium bebas yang berada dalam kondisi
seimbang dengan kalsium yang terikat dengan protein seperti albumin, sitrat, sulfat dan
fosfat (Robertson, Marshall, & Bowers, 1981).
Kalsium yang dapat diserap dalam saluran pencernaan sebanyak 20-30%, dan yang
tidak diserap dieksreksikan dalam tinja. Jumlah kalsium yang diserap tergantung pada
kandungan kalsium yang ada dalam makanan yang dikonsumsi, dan penyerapan kalsium
terjadi pada usus kecil dengan kondisi pH asam, kemudian sampai pada usus besar,
penyerapan terjadi dalam kondisi basa. Kalsium diabsorpsi setelah terjadinya fermentasi
oleh bakteri pada proses pencernaan tersebut (Basu & Donaldson 2003).
Penyerapan kalsium melalui transport aktif dikendalikan oleh kalsium yang
terionisasi dalam peredaran darah dan terjadi pada usus kecil yang diatur oleh calcitriol.
Absorpsi kalsium meningkat ketika konsentrasi 1.1 mmol/L, dan sebaliknya konsentrasi
penyerapan menurun ketika konsentasi 1.3 mmol/L (Scopacasa et al. 2004 cit Theobald
2005). 90 % penyerapan kalsium terjadi pada usus kecil dan kalsium dapat diabsorpsi jika
berbentuk ion terlarut (Ca2+
) (Wasserman, 2004) atau terikat dengan molekul organik
terlarut untuk melewati dinding usus (Gueguen & Pointillart, 2000).
Absorpsi kalsium pada usus halus melibatkan dua proses, yaitu transeluler dan
paraseluller. Jalur transeluler terjadi pada proksimal intestinal terutama pada duodenum,
sedangkan jalur paraseluller terjadi di sepanjang usus kecil terutama pada ileum dan
jejunum. Jalur transeluler terdiri dari tiga jalur, yaitu (1) masuk ke “brush border
membrane” yang terdapat pada enterosit (sel epitel usus halus), (2) difusi intraseluler, dan
(3) ekstrusi pada membran basolateral/penekanan kalsium keluar membran basolateral
menuju cairan ekstraseluler yang dilakukan dengan pompa ATPase. Transport kalsium
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
10/26
10
dengan jalur paraseluler yaitu melalui tight junction yang ada di antara sel epitel
(Bronner, 1992).
F. Pengujian Bioavailabilitas
1. In vitro
Pengujian secara in vitro merupakan metode yang memperkirakan ketersediaan
mineral dalam makanan. Metode ini dilakukan dengan cara simulasi saluran pencernaan
(gastrointestinal) yang diikuti dengan pengukuran molekul terlarut. Prinsipnya, makanan
yang akan diuji dihomogenkan dan diberikan larutan pepsin dengan pH 2, dan
selanjutnya diberikan penambahan pancreatin serta bile salt (garam empedu) (Miller,
1981). Masalah yang dapat ditemui dari penentuan dengan metode ini adalah bentuk
kimia dari mineral yang diuji, adanya komponen makanan lain seperti fruktosa, asam
askorbat, sistein yang dapat meningkatkan penyerapan, dan okasalat, fosfat, maupun fitat
yang dapat mengurangi jumah mineral yang dapat diserap. Damayanthi (2008)
menyatakan bahwa metode pengujian bioavailabilitas secara in vitro lebih
menguntungkan karena praktis dan murah, namun dalam metode ini memiliki
keterbatasan yaitu enzim yang digunakan adalah enzim pepsin dan pankreatin bile yang
memiliki peranan untuk memecah protein hingga kalsium yang terikat dapat terlepas dan
berdifusi kedalam kantung dialisis. Namun, pada pencernaan manusia tidak hanya
mengandung kedua enzim tersebut dan aktivitas enzim yang berbeda akan menghasilkan
tingkat bioavailabilitas yang berbeda pula. Adanya interaksi antar mineral, serat pangan,
dan komponen lain dalam makanan dapat menyebabkan keseimbangan mineral pada
manusia sangat sulit untuk dipelajari dengan menggunakan metode in vitro (Wilson et al,
1979 cit Muflihah 2011).
2. In Vivo
Metode in vivo menurut Allen (1982) merupakan metode keseimbangan kalsium
dilakukan untuk mengukur absorpsi nyata kalsium yang merupakan selisih antara kalsium
yang dikonsumsi dengan kalsium yang dieksresikan lewat feses. Metode ini memiliki
kelebihan yaitu dapat mengukur bioavailabilitas secara tepat (Gueguen & Pointillart,
2000) namun memiliki keragaman yang lebih besar dibandingkan dengan pengujian
secara in vitro (Sudharma, 1995).
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
11/26
11
G. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Bioavailabilitas Kalsium
Bentuk kimia dari kalsium dapat mempengaruhi penyerapan kalsium, misalnya
kasium laktat memiliki bioavailabilitas yang tinggi dari kalsium karbonat (Theobald,
2005). Kalsium laktat memiliki kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kalsium
karbonat, sehingga penyerapan pada kalsium laktat lebih tinggi (Muchtadi, 2008 cit
Ariyanti, 2012). Kelarutan kalsium dalam lambung dan usus adalah faktor yang sangat
penting dalam penyerapan kalisum karena asam lambung dapat menyebabakan ionisasi
kalsium dan meningkatkan penyerapan kalisum (Theobald, 2008). Nutrisi atau senyawa
lain yang terdapat dalam makanan dan memiliki kemampuan untuk membuat senyawa
yang kompleks dengan kalsium dalam usus seperti oksalat, fitat, dan asam uronik yang
dapat mengurangi bioavailabilitas kalsium (Theobald, 2005). Faktor-faktor yang
mempengaruhi bioavailabilitas kalsium antara lain :
a. Interaksi antara mineral dengan mineral
Mineral yang memiliki berat molekul dan jumlah muatan valensi yang sama akan
bersaing satu sama lain untuk diabsorpsi (Almatsier, 2004). Gropper et al. (2005)
menjelaskan bahwa keberadaan kation divalen (bervalensi 2) seperti magnesium dan
seng dapat mengurangi absorpsi kalsium ketika magnesium atau seng berada dalam
keadaan berlebih dalam saluran pencernaan karena kedua mineral tersebut akan saling
berkompetisi dalam hal penyerapannya di usus. Pengaruh kation divalen dalam
bioavailabilitas kalsium dapat dikurangi jika konsumsinya tidak bersamaan sehingga
keberadaannya dalam usus lebih rendah dari kalsium.
Mineral lainnya yang berpengaruh adalah fosfor yang merupakan nutrisi yang
secara teori dapat mempengaruhi penyerapan kalsium dalam tubuh. Penyerapan
kalsium tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara langsung memberikan
dampak pada ketersediaan kalsium melalui interaksi antara phosphor dengan kalsium
dalam makanan, sedangkan cara kedua adalah secara tidak langsung dimediasi
melalui respon hormonal tubuh terhadap kekurangan maupun kelebihan fosfor (Allen,
1982). Tabel 5 berikut ini merupakan salah satu contoh interaksi antara kalsium
dengan fosfor yang terjadi pada tikus yang diberikan perlakuan dengan tepung
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
12/26
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
13/26
13
c. Interaksi serat dengan mineral
Ketersediaan biologik mineral banyak dipengaruhi oleh bahan-bahan makanan
non mineral yang terkandung dalam makanan tersebut. Serat yang ada dalam
makanan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penyerapan kalsium.
Serat memiliki efek yang negatif tehadap penyerapan (Martons, 2002). Komponen
utama serat makanan diklasifikasikan sebagai materi penyusun dinding sel tumbuhan
(selulosa, polisakarida nonselulosa, dan lignin) atau polisakarida nonstruktural seperti
pektin, gum, musilage, dan beberapa hemiselulosa (Allen 1982). Selulosa dapat
meningkatkan massa feses dalam usus dan mengurangi transit time sehingga
mengurangi waktu yang tersedia untuk absorpsi kalsium. hemiselulosa menstimulasi
proliferasi oleh mikroba, yang pada akhirnya akan mengikat kalsium sehingga
kalsium tidak dapat diabsorpsi (Gropper et al. 2005)
Asam fitat dalam serat kacang-kacangan dan serealia serta asam oksalat dalam
bayam dapat mengikat mineral-mineral tertentu sehingga tidak dapat diabsorpsi.
Makanan tinggi serat (lebih dari 35 gram sehari) dapat menghambat absorpsi kalsium,
zat besi, seng dan magnesium (Almatsier, 2004). Oksalat menghambat absorpsi
kalsium karena terjadinya peningkatan ekskresi lewat feses (Gropper et al, 2005).
d. Ukuran Partikel
Kalsium yang sering dikonsumsi merupakan kalsium dalam bentuk mikro
kalsium. Ukuran parikel yang dimiliki cenderung lebih besar dibandingkan dengan
nano kalsium yang memiliki ukuran partikel 10-1000 nm sehingga dapat
mempengaruhi tingkat absorpsinya. Mikro kalsium memiliki tingkat absorpsi
sebanyak 50%, sedangkan nano kalsium memiliki tingkat absorpsi hampir 100%
(Suptijah, 2009). Menurut Erfanian (2014) yang meneliti pengaruh dari ukuran nano
terhadap penyerapan dan bioavailabilitas kalsium dari susu yang dilakukan secara in
vivo, menunjukan bahwa disefisiensi tulang dapat dicegah dengan cara pemberian
suplemen nano kalsium, karena nano kalsium memiliki ketersediaan kalsium yang
tinggi dibandingkan dengan mikro kalsium. Nano kalsium memiliki tingkat absorpsi
sebesar 90%, sedangkan mikro kalsium memiliki nilai absorpsi sebesar 65%. Nano
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
14/26
14
kalsium dapat cepat memasuki reseptor dan terabsorpsi sempurna oleh tubuh, dan
lebih efisien dibandingkan dengan mikro kalsium (Suptijah, 2009).
Absorpsi yang terjadi pada nano maupun mikro kalsium dapat dibandingkan
melalui penelitian yang telah dilakukan oleh Gao (2008) secara in vivo dengan cara
mengukur kandungan kalsium pada feses, urin, dan femur (tulang paha) pada
beberapa tikus yang dibagi menjadi 5 kelompok dengan berbagai perlakuan.
Kelompok I dan II merupakan sampel yang diberikan treatment tepung mutiara
dengan ukuran mikro, kemudian III dan IV merupakan sampel tikus yang diberikan
perlakuan berupa tepung mutiara ukuran nano, kelompok V merupakan tikus yang
diberikan sumber kalsium yang rendah. Efek nano kalsium terhadap retensi dan
absorpsi kalsium pada tikus dapat dilihat dalam tabel 5.
Tebel 5. Retensi dan absorpsi kalsium pada tikus yang diberi perlakuan nano dan
mikro kalsium
Group n Totalabsorpsi
kalsium
(mg/d)
Kandungankalsium
dalam feses
(mg/d)
Kandungankalsium
dalam urin
(mg/d)
Absorpsikalsium pada
tikus
(%)
Retensikalsium
(%)
I
II
III
IV
V
20
20
20
20
20
51.6 ± 9.1
70.4 ±12.9
53.7 ± 8.3
72.3 ±13.4
10.9 ± 1.6
26.5 ± 4.7
30.4 ± 10.3
11.2 ± 2.4
14.1 ± 5.2
8.40 ± 2.01
6.3 ± 0.9
8.5 1.1
2.1 ± 0.8
3.2 ± 0.4
1.9 ± 0.04
48.6 ± 9.4a
56.8 ± 6.8a
79.1 ± 8.3bc
80.5 ± 8.2bc
22.9 ± 1.6
74.9 ± 6.1a
78.8 ± 10.2a
95.1 ± 12.3bc
94.5 ± 9.7bc
24.0 ± 2.9
Keterangan :
I & II : Kelompok perlakuan yang diberikan tepung mutiara berukuran mikro
III & IV : Kelompok perlakuan yang diberikan tepung mutiara berukuran nano
V : Kelompok yang tidak diberikan perlakuan apapun
Sumber : Gao et al., 2008
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
15/26
15
Berdasarkan hasil tersebut menunjukan bahwa absorpsi kalsium paling tinggi adalah
tikus yang diberikan perlakuan berupa tepung mutiara yang berukuran nano sebesar 79.1
% dan 80.5 %, sedangkan tikus yang diberikan perlakuan dengan tepung mutiara
berukuran mikro hanya dapat menyerap sebanyak 48.6 % dan 56.8 %. Efek pemberian
sumber kalsium berupa tepung mutiara terhadap tulang femur tikus yang telah diberikan
perlakuan dapat dilihat pada tabel 6 .
Tabel 6. Efek pemberian tepung mutiara terhadap panjang dan berat femur tikus
Keterangan :
I & II : Kelompok perlakuan yang diberikan tepung mutiara berukuran mikro
III & IV : Kelompok perlakuan yang diberikan tepung mutiara berukuran nano
V : Kelompok yang tidak diberikan perlakuan apapun
Sumber : Gao et al. 2008
Kelompok I dan II yang diberikan perlakuan dengan sumber kalsium tepung mutiara
berukuran mikro memiliki panjang dan berat tulang lebih rendah sebesar 2.58-2.67 cm
dan 0.75-0.81 g dibandingkan dengan kelompok III dan IV yang diberikan tepung
mutiara berukuran nano sebesar 2.81-2.97 cm dan 0.95-1.03 g. Kemudian total kalsium
yang terserap pada tikus kelompok III dan V memiliki nilai yang lebih tinggi, sehingga
kandungan kalsium dalam tulang memiliki peningkatan antara sebelum dengan setelah
diberikan perlakuan. Kelompok yang diberikan perlakuan dengan tepung berukuran
mikro memiliki peningkatan kandungan kalsium dalam tulang sebesar 83.32-94.36 gram,sedangkan pada kelompok perlakuan yang diberikan tepung mutiara berukuran nano
memiliki peningkatan kandungan kalsium dalam tulang sebesar 120.49-147.49 gram.
Selanjutnya peningkatan kandungan kalsium dalam tubuh tikus dapat dilihat pada tabel 7.
Group nPanjang
femurs (cm)
Berat Femur
(g)
Total
absorpsikalsium (g)
Kalsium dalam femurs (g)Retensi
KalsiumSebelum sesudah
I 20 2.58±0.11a 0.75 ± 0.09a 2.24 ± 0.34 53.36 ± 5.34 83.32 ± 11.34a 1.34a
II 20 2.67 ± 0.09a 0.81 ± 0.07a 2.69 ± 0.47 53.36 ± 5.34 94.36 ± 13.45b 1.52b
III 20 2.81 ± 0.12bc
0.95 ± 0.14bc
2.21 ± 0.53 53.36 ± 5.34 120.41 ± 12.14bc
3.03bc
IV 20 2.97 ± 0.18bd
1.03 ± 0.11 2.73 ± 0.31 53.36 ± 5.34 147.49 ± 17.62bc
3.45bd
V 20 2.41 ± 0.04 0.57 ± 0.06 0.74 ± 0.01 53.36 ± 5.34 47.86 ± 8.98 0.74
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
16/26
16
Tabel 7. Peningkatan kandungan kalsium pada kelompok perlakuan
Keterangan :
I & II : Kelompok perlakuan yang diberikan tepung mutiara berukuran mikro
III & IV : Kelompok perlakuan yang diberikan tepung mutiara berukuran nano
V : Kelompok yang tidak diberikan perlakuan apapun
Sumber : Gao et al. 2008
Berdasarkan tabel tersebut, kandungan feses dan urin pada kelompok I dan II lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok III dan IV. Hal tersebut menunjukan bahwa
kalsium tidak dapat terserap dengan baik pada tikus yang diberikan perlakuan dengan
tepung mutiara berukuran mikro, sehingga mengakibatkan kandungan kalsium dalam
tulang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang diberikan tepung mutiara
berukuran nano. Kandungan kalsium dalam tulang pada kelompok yang diberikan
perlakuan dengan tepung mutiara berukuran nano memiliki nilai lebih tinggi sebesar
72.55-99.36 atau 252-208%, dan hal tersebut terjadi juga pada serum darah sebesar 0.54-
0.77 mmol/L atau 30-42%.
Group n
kalsiuma
dalamfeses
(mg/d)
Persentase
kalsiumdalam
feses (%)
Kalsiuma
dalamurin
(mg/d)
Persentase
kalsiumdalam urin
(%)
Kalsiuma
dalamfemurs
(mg)
Persentase
kalsiumdalam
femurs (%)
Kalsiuma
dalamserum
(mml/L)
Persentase
kalsiumdalam
serum (%
I 20 18.1 215 4.4 232 35.46 74 0.15 8
II 20 22 262 6.6 347 46.5 97 0.35 19
III 20 2.8 33 0.2 11 72.55 252 0.54 30
IV 20 5.7 68 1.3 68 99.36 208 0.77 42
V 20 (8.40) - ( 1.9) 232 (47.86) 74 (1.82) 8
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
17/26
17
e. Fortifikasi
Trilaksani (2006) mengemukakan bahwa sumber kalsium yang ditambahkan atau
difortifikasikan kedalam bahan makanan dapat meningkatkan penyerapan kalsium
terutama pada bahan makanan yang mengandung laktosa tinggi, dan asupan vitamin D
yang seimbang. Martinez et al., (1998) telah meneliti mengenai bioavailabilitas kalsium
secara in vitro pada makanan bayi yang diberikan tambahan berupa daging dan tulang
ikan hake ( Merluccius merlucius) dan ikan sole (Solea vulgaris vulgaris) dengan
perbandingan 1 : 1. Perlakuan dalam penelitian ini adalah penambahan daging ikan sole
(S), kemudian penambahan daging ikan hake (H), penambahan daging dengan tulang
ikan sole dan daging ikan hoke tanpa tulang (SBH), SB merupakan perlakuan
penambahan daging dan tulang ikan sole dan perlakuaan terakhir adalah penambahan
daging dan tulang ikan hake (HB). Keseluruhan perlakuan tersebut ditambahkan sebesar
24 % ke dalam produk yang diuji kandungan mineral dan bioavailabilitasnya. Tabel 8
menjelaskan kandungan kalsium pada berbagai perlakuan yang diberikan.
Tabel 8. Kandungan Kalsium pada Setiap Bahan Tambahan
Keterangan :
DM = Dialysis mineral
S = daging ikan sole
H = daging ikan hake
SHB = daging dengan tulang ikan sole dan daging ikan hoke tanpa tulangSB = daging dan tulang ikan sole
HB = daging dan tulang ikan hake
Sumber : Martinez et al., (1998)
Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa kandungan tertinggi dalam bahan
yang akan di tambahkan pada makanan bayi adalah sampel dengan kode HB ( Hake with
bone) yaitu daging dengan penambahan tulang ikan Hake yaitu 512mg/100 gram bahan,
kemudian persentase kalsium yang terdialisis sebesar 2.47%. Adapun hasil yang
diperoleh setelah ditambahkan pada bahan makanan dapat dilihat pada tabel 10.
Kalsium
Tanpa Tulang Penambahan Tulang
S H SBH SB HB
mg 100g-1
67.7±9.86d
97.1 ± 10.28cd
232 ±18.50bc
330 ± 47.99b
512 ±102.90a
% DM 8.32 ± 2.21a 2.24 ± 0.67c 5.08 ± 0.56b 4.54 ± 0.21b 2.47 ± 0.28c
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
18/26
18
Tabel 9. Persentase dan jumlah kalsium yang terdialisis pada sampel makanan bayi
Keterangan :
DM = Dialysis mineral
S = daging ikan soleH = daging ikan hake
SHB = daging dengan tulang ikan sole dan daging ikan hoke tanpa tulang
SB = daging dan tulang ikan soleHB = daging dan tulang ikan hake
Sumber : Martinez et al., (1998)
Persentase kalsium yang terdialisis pada seluruh perlakuan meningkat setelah
ditambahkan pada makanan. Persentase kalsium yang terdialisis pada sampel HB ( Hake
Bone) memiliki peningkatan dari 2.47% menjadi 26%, kemudian pada sampel SB (Sole
Bone) memiliki peningkatan sebesar 4.54% menjadi 20.3%, sampel SBH (Sole Bone
Hake) memiliki persentase 5.08% menjadi 21.4%, sampel Hake menunjukan peningkatan
sebesar 2.24% menjadi 16.1% dan sampel S (Sole) 8.32% menjadi 16.3%. Sampel HB
( Hake Bone) memiliki persentase tertinggi besar 26% sedangkan terendah adalah dampel
H (Hake) sebesar 16.1%. Menurut Guthrie (1975) cit Trilaksani (2006) penyerapan
kalsium dalam level 20-30% merupakan kategori yang cukup baik. Hal ini menunjukan
bahwa sumber kalsium berupa daging dan tulang ikan yang ditambahkan kedalam bahan
pangan memiliki penyerapan yang lebih baik dibandingkan sebelum ditambahkan
kedalam bahan pangan .
Faktor lain yang dapat mempengaruhi absorpsi kalsium antara lain komponen
makanan yang dikonsumsi dan masuk kedalam tubuh. Komponen tersebut antara lain
protein, laktosa, dan lemak (Allen, 1982). Berikut ini adalah penjelasannya :a. Protein
Heaney (2002) cit Muflihah (2011) menjelaskan bahwa peningkatan asupan
protein akan meningkatkan ekskresi kalsium di urin dan menyebabkan keseimbangan
kalsium negatif. Hal ini disebabkan karena asupan protein yang tinggi akan
Kalsium
Tanpa Tulang Penambahan Tulang
S H SBH SB HB
mg 100g-1 39.0 ±4.35d 51.7 ± 1.61cd 78.9 ±1.18bc 82.8 ± 4.25b 92.8 ± 0.44a
% DM 16.3 ± 1.36a
16.1 ± 0.35c
21.4 ± 1.95b
20.3 ± 1.92b
26.0 ± 1.03c
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
19/26
19
meningkatkan laju filtrasi glomerolus sehingga resorpsi kalsium di dalam tubulus
ginjal akan berkurang, dengan demikian kalsium lebih banyak dibuang ke urin.
b. Laktosa
Laktosa juga akan meningkatkan absorpsi bila tersedia cukup enzim laktase.Laktosa meningkatkan transpor kalsium melalui difusi di ileum dibandingkan dengan
transpor aktif (Allen 1982). Interaksi laktosa dengan kalsium membentuk kompleks
kalsium laktat yang memiliki tingkat absorpsi yang tinggi. Fermentasi laktosa oleh
mikroba usus akan menghasilkan asam yang dapat menurunkan pH sehingga absorpsi
lebih optimal (Muflihah, 2011).
c. Lemak
Asam lemak makanan yang tidak terabsorpsi memiliki hubungan yang signifikan
dengan terjadinya steatorea yang dapat meningkatkan ekskresi dalam feses sehingga
menurunkan absorpsi kalsium melalui pembentukan kompleks asam lemak (terutama
asam lemak jenuh) dan kalsium (insoluble calcium shoaps) dalam lumen di usus
halus yang tidak dapat diabsorpsi dan akan diekskresikan lewat feses (Theobald.
2005).
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
20/26
20
III.PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Sumber kalsium dari tepung mutiara yang berukuran nano dapat meningkatkan
absorpsi kalsium dalam tubuh sebesar 79.1% sampai 80.5%, sedangkan tepung
mutiara yang berukuran mikro hanya dapat menyerap kalsium sebesar 48.6% sampai
56.8%.
2. Sumber kalsium yang berasal dari daging dan tulang ikan yang telah difortifikasi
kedalam produk memiliki bioavailabilitas yang lebih tinggi dibandingkan sebelum
difortifikasi.
b. Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian mengenai bioavailabilitas kalsium dari produk yang
telah difortifikasi dengan sumber kalsium yang berukuran nano.
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
21/26
21
DAFTAR PUSTAKA
Allen, L.H. 1982. Calcium bioavailability and absorption: a review. The American Journal of
Clinical Nutrition. Vol.35; 783-808.
Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.Amalraj, Augustine., A. Pius. 2015. Bioavailability of Calcium and absorption inhibitors in raw
and cooked green leavy vegetables commonly consumed in India-An in vitro study. Food
Chemistry. Vol. 170 ; 430-43.
Apriliani I. S,. 2010. Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) pada
Pembuatan Cone Es Krim. Skirpsi. Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ariyanti, T.D. 2012. Bioavailabilitas Kalsium (Ca) dan Zat Besi (Fe) Secara In Vitro pada
Beberapa Produk Komersial Susu Ibu Hamil. Skripsi. Departemen Gizi Masyarakat.
Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Baskoro, P. 2008. Fortifikasi Tepung Tulang Nila Merah Terhadap Karakteristik Biskuit. Skripsi.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Jatinangor: Universitas Padjajaran.
Basu T.K, D. Donaldson. 2003. Intestinal absorption in health and disease: micronutrients. Best
Practice and Research. Clinical Gastroenterology 17: 957 – 79.
Broadus, A.E., 1996. Mineral balance and homeostasis. In: Favus, M.J. (Ed.), Primer on the
Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism, 3rd Edition. Lippincott-
Raven, Philadelphia, pp. 57 – 63.
Bronner F. 1992. Current concepts of calcium absorption: an overview. Journal of Nutrition 122:
641-643.
Bullamor, J. R., Gallaghe, J. C., Wilkinso, R., & Nordin, B. E. C. 1970. Effect of age on calcium
absorption. Lancet, 2, 535-537.
Chen, Li-Ru, Yu-Tang Wen, Chih-Lin Kuo, Kuo-Hu Chen. 2014. Calcium and Vitamin D
Suplementation on Bone Health: Current Evidence and Recommendations. International
Journal of Gerontology. 8 (2014) 183-188.
Damayanthi E, Rimbawan. 2008. Penuntun Praktikum Evaluasi Nilai Gizi. diktat. Bogor:
Departemen Gizi Masyarakat. Fakultas Ekologi manusia. Institut Pertanian Bogor.
Erfanian, Arezoo., H. Mirhosseini, M. Y.A. Manap, B. Rasti, M. H. Bejo.2014. Influence of
Nano-Size reduction on Bsorption and Bioavailability of Calcium from Fortified Milk in
Rats. Food Research International. Vol. 66; 1-11.
Forbes, G. B. (1976). Calcium accumulation by human fetus. Pediatrics, 57,976e977.
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
22/26
22
Gao, Haiyan.,H. Chen, W. Chen, F. Tao, Y. Zheng, Y. Jiang, H. Ruan. 2008. Effect of nanometer
pearl powder on Calcium absorption and utilization in rats. Food Chemistry. Vol.109:439-
498.
Gropper, S.,Smith., Groff. 2005. Andanced Nutrition and Human Metabolism 4th edition.
Wadsworth. USA.
Gueguen, L., & Pointillart, A. 2000. The bioavailability of dietary calcium. Journal of the
American College of Nutrition, 19,119Se136S.
Ismanadji, I., Djazuli N, Widarto, Istihastuti T, Herawati N, Ismarsudi, Lasmono. 2000. LaporanPerekayasaan Teknologi Pengolahan Limbah. Jakarta : Balai Bimbingan dan Pengujian
Mutu Hasil Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan.
Kemi, Virpi. 2010. Effect of dietary phosphorus and calcium-to-phosphorus ratio on calcium and
bone metabolism in healthy 20-to 43-year-old-finish women. Dissertation. Departement of
Fod and Environmental Sciences University of Helsinki. Helsinki.
Khoerunnisa. 2008. Isolasi dan Karakterisasi Nano Kalsium dari Cangkang Kijing Lokal(Pilsbryoconcha exilis ) dengan Metode Presipitasi. Skripsi. Departemen teknologi Hasil
perairan. Fakultas Perikanan dan ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lekahena, V., D. N. Faridah, R. Syarief, R. Peranginangin. 2012. Karakterisasi Fisiko Kimia
Nano Kalsium Hasil Ekstraksi Tulang Ikan Nila Menggunakan Larutan Basa dan Asam.
Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol 25, No. 1.
Lobaugh, B., 1995. Blood calcium and phosphorus regulation. In: Anderson, J.J.B., Garner, S.C.(Eds.), Calcium and Phosphorus in Health and Disease. CRC Press, Boca Raton, FL, pp.
28 – 42.
Malde, M. K., S. Bugel, M. Kristensen, K. Malde, I. E. Graff, J. I. Pedersen. 2010. Calcium fromSalmon and Cod Bone is Well Absorbed in Young Healthy Men: A Double Blinded
Randomised Crossover Design. Nutrition and Metabolism. Vol.7;61.
Martinez, Isabel., M. Santaella, G. Ros, M. J. Periago. 1998. Content and in vitro availability of
Fe, Zn, Mg, Ca, and P in Homogenized Fish-Based Weaning Foods After Bone Addition.
Food Chemistry. Vol 63 No.3 : 299-305.
Miller, D., B. R. Schricker, R. R. Rasmussen, D.V. Campen. 1981. An in vitro method for
estimation of iron availability from meals. The American Journal of Clinical Nutrition.
Vol. 34; 2248-2256.
Minarty.I. S., 2012. Aplikasi Nanokalisum dari cangkang Ranjungan (Portunus sp) pada
Efervescent. Skripsi. Departemen Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut
Teknologi Bogor. Bogor.
Muchtadi D, Palupi N.S & Astawan M. 1993. Metabolisme Zat Gizi : Sumber, Fungsi dan
Kebutuhan Bagi Tubuh Manusia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
23/26
23
Muflihah, Asia. 2011. Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi In Vitro Cookies pati Garut
( Maranta aundinaceae L) dengan Penambahan Torbangun (Coleus ambionicus Lour) padaBerbagai Minuman. Skripsi. Departemen Gizi Maskarakat. Fakultas Ekologi Manusia.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nabil, Muhammad. 2005. Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tuna (Thunnus sp.) Sebagai
Sumber Kalsium Dengan Metode Hidrolisis Protein. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. IPB. Bogor.
Nurilmala M., M. Wahyuni, H. Wiratmaja. 2006. Perbaikan Nilai tambahn Limbah Tulang Ikan
Tuna (Thunnus sp) Menjadi Gelatin Serta Analisis Fisika-Kimia. Buletin Teknologi Hsil
Perikanan. Vol IX. No : 2.
Peraturan Meteri Kesehatan 2013. Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Bagi Bangsa
Indonesia.
diakses 27 Mei 2015 : 08.30 WIB.
Pereira, Paula C. 2014. Milk Nutritional composition and role in human health. Nutrition 30 619-
627.
Purwawinagsih, Eva Fitrina. 2011. Ketersediaan Biologis (Bioavailabilitas) Kalsium Secara In
Vitro pada Crackers dengan Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus).Skripsi. Departemen Gizi Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Robertson, W. G., Marshall, R. W., & Bowers, G. N. 1981. Ionized calcium in body fluids. CRC
Critical Reviews in Clinical Laboratory Sciences, 15,85-125.
Rodriguez-Clemente, R., Lopez-Macipe, A., Gomez-Morales, J., Torrent-Burgues, J., & Castano,
V. M. .1998. Hydroxyapatite precipitation: a case of nucleationaggregation-agglomerationgrowth mechanism. Journal of the European Ceramic Society, 18,1351-1356.
Roig, M. J., A. Alegria, R. Barbera, R. Farre, & M. J. Lagarda. 1999. Calcium dialysability as an
estimation of bioavailability in human milk, cow and infant formulas. Food Chemistry, 64:
403-409.
Sari, Fitri Komala., Ishartini, Dwi., Parnanto, Nur Heriyadi. 2013. Pengaruh Penambahan Tulang
Ikan Lele (Clarias Sp.) Dan Kacang Tunggak (Vigna Unguiculata) Terhadap KandunganKalsium Dan Protein Pada Susu Jagung Manis ( Zea Mays Saccharata). (Jurnal). Srakarta:
Jurusan Teknologi Pangan. Universitas Sebelas Maret.
Sudharma E. 1995. Evaluasi ketersediaan mineral besi dan seng iodium serta vitamin B dalamproduk fermentasi susu kacang merah (Phaseolus Vulgaris L.) dan kacang tolo (VignaUnguiculata L.). Skripsi. Bogor. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Suptijah, Pipih. 2009. Nanokalisum Hewani dari Perairan. Di dalam: Bucklet 101 Inovation.
Penerbit: BIC kementrian Ristek.
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
24/26
24
Suptijah, Pipih., A. M. Jacoeb, N. Deviyanti. 2012. Ketersediaan dan Bioavailabilitas
Nanokalsium Cangkang Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei). Jurnal Akuatika.
Vol.III;63-73.
Theobald, H. E. 2005. Dietary Calcium and Health. British Nutrition Foundation Bulletin. Vol.
30; 237-277.
Trilaksani, Wini., E. Salamah, M. Nabil. 2006. Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tuna (Thunnus
sp.) sebagai Sumber Kalsium dengan Metode Hidrolisis Protein. Vol.9 No:2.
Vavrusova, Martina., L.H. Skibsted. 2014. Calcium Nutrition. Bioavailability and Fortification.
Food Science and Technology. Vol. 59;1198-1204.
Wasserman, R. H. (2004). Vitamin D and the dual processes of intestinal calcium absorption.
Journal of Nutrition, 134,3137e3139.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi.Gramedia. Jakarta.
Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi Edisi Terbaru. Bimo Press.
Yoon, G.A., Y. M. Kim, G. Y. Chi, H. J. Hwang. 2005. Effect of Tuna Bone and Herbal Extract
on Bone Metabolism in Ovariectomized Rats. Nutrition Research. Vol. 25; 1013-1019.
Yoonaisil T, dan Hertrampf JW. 2006. An effect of nucleotides in the Asian Seabass. Aquaculture
Asia Pasific Magazine : 20-21
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
25/26
25
Pertanyaan :
1. Rahmat Aulia : apakah perbedaan antara metode in vitro dan metode in vivo ?
Jawaban : Pengujian secara in vitro merupakan metode yang
memperkirakan ketersediaan mineral dalam makanan. Metode ini dilakukan dengan carasimulasi saluran pencernaan (gastrointestinal) dengan menggunakan kantung dialisis
yang diikuti dengan pengukuran molekul terlarut. Prinsipnya, makanan yang akan diuji
dihomogenkan dan diberikan larutan pepsin dengan pH 2, dan selanjutnya diberikan
penambahan pancreatin serta bile salt (garam empedu) adapun metode secara in vivo
merupakan metode keseimbangan kalsium dan isotop kalsium. Metode keseimbangan
kalsium dilakukan untuk mengukur absorpsi nyata kalsium yang merupakan selisih antara
kalsium yang dikonsumsi dengan kalsium yang dieksresikan lewat feses, pada pengujian
ini pengujian dilakukan pada tikus yang diberikan perlakuan dengan jangka waktu
tertentu.
2. Mohammad Riza : mengapa fortifikasi sumber kalsium ke dalam produk dapat
meningkatkan absorpsi kalsium dalam tubuh ?
Jawaban : berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh martinez et al,
(1998) bioavailabilitas kalsium secara in vitro pada makanan bayi yang diberikan
tambahan berupa daging dan tulang ikan hake ( Merluccius merlucius) dapat
meningkatkan persentasi mineral yang terdialisis dibandingkan dengan tanpa
ditambahkan kedalam makanan bayi, hal tersebut dapat dipengaruhi oleh komponen gizi
lainnya yang terdapat di dalam makanan tersebut. Misalnya kandungan protein dapat
menurunkan penyerapkan kalsium karena protein yang tinggi akan menigkatkan lajufiltrasi glomerolus sehingga resorpsi kalsium di dalam tubulus ginjal akan berkurang,
dengan demikian kalsium lebih banyak dibuang ke urin. Selanjutnya lemak dapat
meningkatkan ekskresi dalam feses sehingga menurunkan absorpsi kalsium melalui
pembentukan kompleks asam lemak (terutama asam lemak jenuh) dan kalsium (insoluble
calcium shoaps) dalam lumen di usus halus yang tidak dapat diabsorpsi dan akan
diekskresikan lewat feses. Selanjutnya adalah kandungan serat dalam makanan dapat
menghambat penyerapan kalsium, misalnya selulosa dapat meningkatkan massa feses
dalam usus dan mengurangi transit time sehingga mengurangi waktu yang tersedia untuk
absorpsi kalsium dan hemiselulosa menstimulasi proliferasi oleh mikroba, yang pada
akhirnya akan mengikat kalsium sehingga kalsium tidak dapat diabsorpsi. Zat gizilainnya adalah laktosa yang dapat meningkatkan penyerapan kalsium, interaksi laktosa
dengan kalsium membentuk kompleks kalsium laktat yang memiliki tingkat absorpsi
yang tinggi. Fermentasi laktosa oleh mikroba usus akan menghasilkan asam yang dapat
menurunkan pH sehingga absorpsi lebih optimal.
8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
26/26
26
3. Rr. Oky Arum : apakah hubungan antara kandungan kalsium dalam feses dan urin
dengan absorpsi kalsium ?
Jawaban : konsentrasi kandungan kalsium dalam feses dan urin menunjukan
proporsi atau konsentrasi kalsium yang tidak dapat serap oleh tubuh dan di eksresikan
melalui feses dan urin. Hal tersebut ditunjukan pada penelitian yang telah dilakukan olehGao et al., (2008) bahwa ketika kandungan kalsium dalam urin dan feses tinggi, maka
absorpsi kalsium dalam tubuh rendah. Sesuai dengan pernyataan Theobald (2005) bahwa
ketika ekskresi kalsium dalam feses meningkat, maka dapat menurunkan absorpsi
kalsium dalam tubuh.