Upload
rulhas-sultra
View
158
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
KARYA ILMIAH
KETIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA
(Refleksi atas Hukum Fiqih)
PUSTAKA ILMU DAN AMAL
JAKARTA SELATAN
TAHUN 2013
[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]
Refleksi atas Hukum Fiqih
2
Isu gender akhir-akhir ini demikian marak digulirkan melalui berbagai forum diskusi maupun seminar. Perbincangan di sekitar masalah ini perlu dilakukan untuk melihat secara objektif akan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam dinamika sosial. Dalam istilah kontemporer, kaum perempuan masih berada dalam posisi subordinat, marginal dan terdiskriminasi. Keadaan ini secara nyata seringkali mengantarkan kaum perempuan pada posisi yang rentan terhadap penindasan dan kekerasan.
Oleh: HASRUL
Ketimpangan Jender dalam
Interpretasi Agama
(Refleksi atas Hukum Fiqih)
[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]
Refleksi atas Hukum Fiqih
3
I. PENDAHULUAN
Isu gender akhir-akhir ini demikian marak digulirkan melalui
berbagai forum diskusi maupun seminar. Perbincangan di sekitar masalah
ini perlu dilakukan untuk melihat secara objektif akan kedudukan laki-laki
dan perempuan dalam kehidupan sosial. Dalam istilah kontemporer, kaum
perempuan masih berada dalam posisi subordinat, marginal dan
terdiskriminasi. Keadaan ini secara nyata seringkali mengantarkan kaum
perempuan pada posisi yang rentan terhadap penindasan dan kekerasan.
Dalam sejarah perkembangan peradaban manusia, laki-laki selalu
mendominasi perempuan dalam seluruh aspek kehidupan, baik kehidupan
beragama maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Pada kondisi
tersebut, perempuan selalu tidak mendapat hak-haknya sebagaimana
yang diperoleh pihak laki-laki termasuk hak-hak kebendaan dan
pemanfaatannya. (Amir Syarifuddin, 2005: 181) Saat ini, hak-hak
perempuan dianggap telah mendapat signifikansi yang kuat di masa
modern dan khususnya di dunia Islam. Namun, secara historis perempuan
masih juga tetap tersubordinasi oleh laki-laki. Perempuan dianggap
sebagai jenis kelamin kedua sebagaimana Simon de Beavoir
menggambarkan perempuan. Teriring zaman, proses liberalisasi
perempuan telah memperoleh signifikansinya yang baru, khususnya
setelah perang dunia kedua. (Asghar Ali Engineer, 2007: 1)
Pembebasan terhadap perempuan menurut Husein Muhammad
dapat membawa dampak strategis bagi pembangunan manusia. Beliau
mengungkapkan: “banyak orang beranggapan bahwa masalah
penindasan terhadap perempuan adalah masalah yang tidak besar,
padahal masalah yang dialami dan dihadapi perempuan adalah masalah
besar karena perempuan adalah bagian dari manusia dan bagian dari
jenis manusia. Ketika perempuan dijadikan nomor dua maka ini
sebenarnya adalah masalah bagi kemanusiaan”. (Husein Muhammad,
2004, XXV)
[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]
Refleksi atas Hukum Fiqih
4
Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa
masalah, baik dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban
dalam masyarakat. Perbedaan anatomi biologi antara keduanya cukup
jelas. Akan tetapi, efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan
perdebatan karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologi (seks)
melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap
perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut jender. (Nasaruddin Umar,
2010: 1) Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran
Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan
perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan
martabat seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Namun dalam realitasnya, ajaran agama banyak
sekali yang ditawarkan sepotong dan tidak utuh. Akibatnya yang muncul
bukan ajaran melainkan paham atau sikap yang sudah diwarnai oleh
pengaruh kultur tertentu.
Ajaran jelas lebih luas daripada paham atau sikap. Islam yang
bersumber pada al-Quran dan sunnah sejak awal telah dipersiapkan
sesuai dengan segala umat dan zaman dengan latar belakang yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, sebagai misal aturan tentang hubungan
laki-laki dan perempuan telah ditetapkan dan sebagaimana layaknya teks
hukum agama tidak akan mengalami perubahan. Adapun yang mengalami
perubahan hanyalah pemahaman atas teks yang tidak berubah itu sesuai
dengan konteksnya. (Amir Syarifuddin, 2005: 182)
Permasalahan wanita nampaknya akan tetap aktual dan
kontroversial. Semua ini tentunya paralel dengan pergeseran peran
perempuan yang tidak lagi terbatas ruang lingkup keluarga, tetapi seluas
ruang kehidupan modern sekarang ini. Berdasarkan kenyataan ini, maka
pembahasan mengenai perempuan menurut informasi al-Quran dan
hadis menjadi sangat penting. Tentunya dalam konteks yang bervariatif,
mulai dari asal kejadiannya, sampai kepada hak-hak dan kewajibannya,
baik di dalam maupun di luar rumah.
[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]
Refleksi atas Hukum Fiqih
5
Pada kenyataannya, Kedudukan perempuan dalam pandangan
ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara
masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang
sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan. Muhammad
al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan
Mesir, menulis: “Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum
seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati
keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh
perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih
baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa
ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan
bahan perbandingan”. (Membumikan al-Quran)
Fenomena inilah yang merangsang munculnya analisis kritis yang
mendasar dan tajam terhadap sejumlah wacana keagamaan konservatif
yang selama ini ada. Para pemikir baru yang cenderung kritis dan menilai
stagnasi dan konservatisme telah memarginalkan, mengalienasi dan
bahkan menciptakan ketertindasan kaum muslimin dalam kehidupan
modern dan global yang tidak bisa lagi dibendung. (Husein Muhammad,
2004, 79-80)
Sejumlah ilmuwan kontemporer menyakini bahwa pemahaman kita
dalam agama terhadap perempuan masih bias dan memarjinalkan. Hal ini
mereka simpulkan setelah mengkaji dan menganalisa Islam dalam
beberapa perspektif, diantaranya fiqih. Fiqih selama ini sering dipahami
sebagian besar orang sebagai doktrin keagamaan, normatif dan
keputusannya tidak boleh dikritisi. Pada sisi inilah kita harus ingat bahwa
fiqih sebenarnya merupakan interpretasi orang terhadap teks-teks suci,
yaitu al-Quran dan hadis. Interpretasi orang tentu bisa berbeda-beda
karena ada banyak hal yang turut mempengaruhinya. Oleh karena itu,
objek inilah yang akan menjadi tema dalam tulisan ini dengan judul:
“INTERPRETASI AGAMA SEBAGAI SALAH SATU SUMBER
KETIMPANGAN JENDER: Refleksi atas Hukum Fiqih”.
[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]
Refleksi atas Hukum Fiqih
6
II. PEMBAHASAN
A. WAWASAN JENDER DAN RUANG LINGKUP HUKUM FIQIH
Menguraikan persoalan jender dengan merujuk sumber ajaran,
dapat menimbulkan beda pendapat, apalagi memahami teks-teks
keagamaan, bahkan teks apapun dipengaruhi oleh banyak faktor. Bukan
saja tingkat pengetahuan tetapi juga latar belakang pendidikan, budaya
serta kondisi sosial masyarakat. Ini belum lagi yang diakibatkan oleh
kesalahfahaman memahami latar belakang teks dan sifat dari bahasanya.
(Nasaruddin Umar, 2010: XXIII) Sehubungan hal ini, konteks fiqih adalah
salah satu sorotan mendasar terkait jender. Secara rinci, uraian tentang
jender, fiqih dan relasi antara keduanya diuraikan dibawah ini:
a) Wawasan Jender
Kata jender berasal dari bahasa Inggris, yaitu “gender” yang berarti
jenis kelamin. Dalam Webster’s New World Dictionary, jender diartikan
sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat
dari segi nilai dan tingkah laku. Meskipun kata jender belum masuk dalam
perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah
lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan
Wanita. Jender diartikannya sebagai interpretasi mental dan kultural
terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. (Nasaruddin
Umar, 2010: 30-31)
Dari sekilas definisi di atas dapat disimpulkan bahwa jender adalah
suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki
dan perempuan dilihat dari segi sosial-budaya. Dengan demikian, jender
dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non-
biologis. (Nasaruddin Umar, 2010: 31) Gender bukanlah kodrat ataupun
ketentuan Tuhan. Oleh karena itu, jender berkaitan dengan proses
keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan
bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan
budaya dimana mereka berada. (Jurnal Kordinat, 2002: 29-30)
[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]
Refleksi atas Hukum Fiqih
7
b) Ruang Lingkup Hukum Fiqih
Kata “al-Fiqh” menurut bahasa berarti pemahaman. Adapun
menurut istilah, fiqih adalah pengetahuan tentang hukum syara’ yang
bersifat amaliah/operasional yang berhasil diusahakan dari dalil-dalil yang
terinci. Fiqih dirumuskan dari dalil-dalil yang zhanny dan terdapat campur
tangan akal pikiran manusia dalam penarikan hukumnya. Itulah sebabnya,
tingkat kekuatan hukumnya hanya sampai ke tingkatan zhan. (Satria
Effendi, 2009: 2-4)
Wahyu Allah yang bermuatan hukum syara’ itu telah berhasil
dipahami dan dirumuskan ulama mujtahid periode awal menjadi aturan
yang bersifat amali dan operasional. Hasil rumusan itu disebut fiqih yang
dikumpul dan didokumentasikan dalam bentuk karya tulis yang bernama
kitab-kitab fiqih. Kitab fiqih tersebut diteruskan oleh pengikut ulama
mujtahid kepada generasi berikutnya sampai kepada waktu kita ini dengan
hanya mengalami sedikit perubahan yang tidak bersifat substansial. Akal
dan pemikiran manusia yang memahami wahyu Allah itu terpengaruh oleh
sesuatu yang berada diluarnya, seperti situasi dan kondisi, lingkungan dan
waktu. Oleh Karen itu, apa yang dapat dihasilkan oleh pemikiran manusia
itu dapat mengalami perubahan bila faktor yang mempengaruhinya itu
telah mengalami perubahan. (Amir Syarifuddin, 2005: 170)
Bila kita perhatikan secara cermat, posisi perempuan dalam
fiqihterlihat bahwa di satu sisi fiqih menempatkan perempuan di tempat
yang mulia dan terhormat. Ia tidak perlu bekerja keras, tidak perlu
berkeliaran ke luar rumah, diperintahkan berpakaian yang hampir
menutup seluruh bagian tubuhnya dan aturan-aturan lainnya. Tidak
mudah bagi kita menilai posisi perempuan sebagaimana yang
ditempatkan oleh fiqih. Di sisi lain, terlihat batasan-batasan, pengurangan-
pengurangan dan pengecualian-pengecualian kepada perempuan
dibandingkan dengan apa yang diberikan kepada laki-laki. Hal ini oleh
sebagian orang dianggap keterbatasan posisi yang diterima oleh
perempuan. (Amir Syarifuddin, 2005: 178-179)
[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]
Refleksi atas Hukum Fiqih
8
c) Wacana Jender dan Fiqih
Peningkatan perempuan sudah dilaksanakan semenjak dua puluh
tahun lalu, namun hasilnya belum mencapai taraf yang diharapkan.
Diperkirakan bahwa diantara sebabnya adalah pandangan terhadap
wanita yang telah terbentuk dalam masyarakat akibat pengaruh yang
berada di lingkungannya, baik pengaruh pemahaman agama atau
kepercayaan, budaya maupun faktor lainnya.
Aktivitas perempuan pada domain publik dan penempatannya pada
jabatan-jabatan publik otoritatif, dalam buku-buku klasik masih terus
menjadi perdebatan para ahli. Argumen yang sering dikemukakan adalah
bahwa teks yang berbicara mengenai keunggulan laki-laki atas
perempuan dinyakini sebagai valid dan autentik. Fakta sosial memang
masih menunjukkan dominansi laki-laki dibandingkan perempuan dalam
struktur sosial. Akan tetapi, realitas itu dalam beberapa dasawarsa ini
tengan digugat dan digeser secara perlahan-lahan tapi pasti melalui
realitas sosial baru. Paling tidak kita dapat menyebut dua Negara
berpenduduk mayoritas muslim yang dipimpin perempuan, yaitu Benazir
Bhutto di Pakistan dan Khalida Ziya di Bangladesh. (Husein Muhammad,
2004, 79-80)
Atas dasar perkiraan di atas, pembicaran lebih lanjut diarahkan
pada aspek mana dari ajaran agama yang berpengaruh dalam
penempatan posisi wanita. Aspek ajaran dapat ditemukan dalam al-Quran
dan Hadis yang berbicara tentang wanita, sedangkan aspek pemahaman
dapat dicari dari hasil ijtihad para ulama yang tertuang dan dirumuskan
dalam hasil karya mereka yang bernama fiqih.
Dalam kitab-kitab fiqih, hampir semua sepakat bahwa perempuan
ditempatkan secara instrumental daripada substansi. Ketidakhadiran
suara perempuan dimana fiqih dirumuskan diartikan dengan ketiadaan
substansi perempuan dalam Islam. (Said Aqil Husin M., 2003: 214) Ini
tentu menjadi masalah besar dalam dunia Islam jika dibiarkan berlarut-
larut tampa ada rekonstruksi pemahaman dalam konteks ini.
[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]
Refleksi atas Hukum Fiqih
9
B. PERAN DAN STATUS PEREMPUAN
Persoalan-persoalan yang menyangkut perempuan benar-benar
mendapatkan perhatian yang serius dalam sumber-sumber syari’ah Islam.
Al-Quran mapun hadis menyebutkan tema perempuan ini dalam banyak
tempat. Bahkan sejumlah nama surah dalam al-Quran diambil dari nama
perempuan atau masalah perempuan. Ada yang dalam bentuk jender,
seperti surah al-Nisa’ atau nama person, seperti surah Maryam, mapun
yang menjadi persolan perempuan, seperti surah al-Thalaq, al-
Mumtahanah, al-Mujadilah, dan sebagainya.
Dalam realitas sosial-budaya, al-Quran hadir untuk berbicara pada
kenyataan ketika diturunkannya. Akan tetapi, al-Quran tidak begitu saja
mengakui dan menerima tradisi-tradisi tersebut sebagaimana adanya.
Sepanjang tradisi tersebut telah menyimpang dari prinsip
kemanusiaan, maka al-Quran melakukan kritik dan koreksi serta
mengajukan gagasan baru kearah kondisi yang lebih baik dan sejalan
dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, kesetaraan dan keadilan. (Husein
Muhammad, 2004, 79-80) Syariat Islam menanggapi ketidaksetaraan
jender yang lebih mencolok pada masa pra-Islam. Contohnya, peraturan
Islam melarang melakukan pembunuhan terhadap bayi perempuan,
menghilangkan status perempuan sebagai barang, menekankan sifat
kesepakatan, dapat menerima mahar secara langsung dan berbagai
perubahan hukum lainnya. (John L. Esposito, 2002: 310)
Untuk membangun gambaran yang lebih jelas tentang status dan
peran perempuan dalam al-Quran dan sunnah, seseorang sebaiknya
membedakan antara islam sebagai agama dan islam sebagai kultural.
Ruang lingkup keduanya dapat dlihat uraiannya sebagai berikut:
a) Islam sebagai Agama
Islam sebagai agama menunjukkan kepada aturan-aturan
berkenaan dengan kesalehan, etika dan keimanan. Aspek-aspek spiritual
Islam dipandang sebagai tugas-tugas peribadatan dan karenanya disebut
[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]
Refleksi atas Hukum Fiqih
10
sebagai fondasi keimanan, seperti keesaan Allah, kenabian terakhir
Muhammad, shalat, zakat, puasa dan menunaikan haji ke Makkah.
Berkenaan dengan urusan religious ini, laki-laki dan perempuan adalah
sederajat dalam pandangan Allah. Bukti mengenai hal ini dapat ditemukan
dalam banyak ayat al-Quran.
b) Islam sebagai Kultural
Islam sebagai kultural menunjukan kepada ide dan praktik-praktik
kaum muslimin daalm konteks situasi dan kondisi sosial, ekonomi dan
politik. Manusia bukan hanya menyembah Tuhan, melainkan juga
berinteraksi dalam hubungan sosial.
Pada dataran kultural ini, kaum perempuan tidak diperlakukan
sama dengan kaum laki-laki. Ketidak setaraan semacam ini berkembang
secara luar biasa sebagai hasil dari otoritas patriarkal setelah wafatnya
nabi Muhammad Saw. Mereka membenarkan sistem ketidaksetaran ini
dengan merujuk kepada beberapa ayat al-Quran tertentu dan hadis.
Namun, para modernis termasuk sejumlah pemimpin politik abad ke-19
dan ke-20, birokrat pemerintahan, gerakan perempuan dan minoritas
ulama yakin bahwa banyak ayat dan hadis yang tidak mendukung klaim-
klaim kategoris semacam itu. (John L. Esposito, 2002: 310)
Menutup seluruh tubuh dan mengasingkan perempuan secara total
tampaknya tidak memiliki dasar dalam al-Quran dan hadis. Meskipun
demikian, sejumlah ayat al-Quran melegitimasi bahwa penyaksian
perempuan setengah dari laki-laki, meniadakan hak perempuan untuk
mengasuh anak setelah mencapai umur tertentu, memperkenankan
poligami dan memberikan warisan setengah dari bagian laki-laki serta
beberapa konteks lainnya. Namun, para modernis berpendapat bahwa
ketentuan tersebut harus mempertimbangkan konteks sosial dan kultural.
Ironisnya, kenyataan ini justru menjadi pembenaran bagi struktur dominasi
laki-laki dalam keluarga. Nasib perempuan bergantung di ujung struktur
kepribadian suaminya, seperti halnya nasib rakyat bergantung pada raja.
(Said Aqil Husin M., 2003: 214)
[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]
Refleksi atas Hukum Fiqih
11
C. TELAAH KITAB KLASIK DAN OTORITASNYA
Misi al-Quran diturunkan hanya dapat dipahami secara utuh setelah
memahami kondisi sosial budaya bangsa Arab. Bahkan sejumlah ayat
dalam al-Quran, seperti ayat-ayat jender dapat disalahpahami tampa
memahami latar belakang sosial-budaya masyarakat Arab. Lebih dari itu,
kesalahan dalam memaknai kandungannya akan berdampak besar dalam
hasil interpretasinya. Konteks inilah yang ingin dibangun oleh para
modernis yang tidak hanya terpaku pada teks, melainkan
mempertimbangkan kondisi sosial, psikologis, ekologi, budaya, dan
konteks terkait lainnya.
Sehubungan hal diatas, nampak bahwa persoalan konseptual akan
selalu muncul bilamana terdapat benturan antara ketentuan nash yang
bersifat universal dan permanen dengan nilai budaya yang bersifat lokal
dan kontemporer. Kita dihadapkan kepada pilihan rumit, yaitu haruskah
kita menerapkan ketentuan nash sekalipun harus mengorbankan stabilitas
dan integrasi nilai yang sudah mapan atau haruskah mentolerir stabilitas
dan integrasi nilai yang tidak mengacu dan tidak sejalan dengan nash.
(Nasaruddin Umar, 2010: 15) Hal inilah yang harus kita respon tekait
kitab-kitab klasik dalam relasinya dengan kondisi kontemporer sekarang.
Al-Quran dan hadis memberikan sejumlah pernyataan kepada
kaum perempuan akan posisi yang sejajar dengan laki-laki untuk berperan
dan terlibat dalam perjuagan-perjuagan sosial-politik. Pada sisi lain, fakta-
fakta sosial periode awal Islam memperlihatkan betapa banyak kaum
perempuan, para isteri nabi dan sahabat yang memiliki intelektual melebihi
kaum laki-laki. Mereka juga terlibat secara aktif dalam peran-peran sosial,
politik dan kebudayaan. Aisyah adalah isteri nabi yang cerdas, guru besar
dan pejuang, bahkan Aisyah pernah memimpin pasukan dalam perang
unta melawan khalifah Ali bin Abi Thalib. (Husein Muhammad, 2004, 185-
186) Keterlibatan Aisyah dalam peperangan itu menunjukkan partisipasi
kaum muslimah dalam bidang politik praktis sekalipun.
[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]
Refleksi atas Hukum Fiqih
12
Dihadapkan pada realitas sosial yang berkembang saat ini,
tampaknya konservatisme wacana keagamaan dalam banyak hal telah
ditinggalkan. Maka pemikiran ke arah merumuskan kembali wacana
keagamaan menjadi sebuah kebutuhan yang sangat mendesak dan
niscaya. Tanpa ini, agama akan teraliensi dari kehidupan sosial yang terus
berkembang dan mengalami perubahan yang tidak mungkin dapat
dipertahankan.
Upaya ke arah reinterpretasi dan redefinisi di atas mensyaratkan
sejumlah langkah metodologis agar teks-teks keagamaan tersebut
menjadi hidup dan memiliki relevansi dengan ruang kontemporer saat ini.
Beberapa hal yang perlu menjadi dasar bagi langka reinterpretasi
tersebut, (Husein Muhammad, 2004, 185-186) yaitu:
1) Menjadikan tujuan-tujuan syari’ah sebagai basis utama
penafsiran/takwil,
2) Melakukan analisis terhadap aspek sosio-historis,
3) Malakukan analisis bahasa dan konteksnya,
4) Melakukan aspek kausalitas dalam teks, dan
5) Melakukan analisis kritis terhadap sumber-sumber transmisi hadis.
Selain itu, reinterpretasi yang akan dilakukan haruslah berangkat
dengan niat yang benar, tidak bermaksud untuk menciptakan
ketidakadilan baru, atau menempatkan posisi wanita lebih tinggi dibanding
pria, melainkan untuk menciptakan kesetaraan relasi jender antara pria
dan wanita yang sejalan dengan ajaran Islam yang fundamental.
D. BIAS JENDER DALAM PEMAHAMAN TEKS
Kebenaran dan kebaikan yang disampaikan al-Quran bersifat
universal dan abadi, akan tetapi proses verbalisasinya berkaitan erat
dengan kondisi masyarakat Arab pada masa turunnya. Dalam nada yang
lebih berani, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa al-Quran diturunkan dalam
bahasa Arab dan disesuaikan dengan gaya retorika mereka agar dapat
dipahami. (Jurnal Mumtaz, 2011: 63)
[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]
Refleksi atas Hukum Fiqih
13
Sebagaimana bahasa lainnya, bahasa Arab tersusun dalam sistem
simbolik. Sistem tersebut disandarkan pada kehidupan masyarakat Arab
yang secara langsung berkaitan erat dengan pola kehidupan
masyarakatnya. Ini mengindikasikan bahwa teks al-Quran adalah rekaman
atas kondisi sosial yang berlangsung selama dua puluh tiga tahun masa
kerasulan nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, kecenderungan untuk
memahami al-Quran secara tekstual akan mengesankan adanya ayat-ayat
yang kontradiktif antara satu dengan lainnya.
Supremasi teks atas spirit tekstualisasi mengandung potensi besar
bagi munculnya tafsir agama yang bias. Ayat tentang waris misalnya,
pada saat turunnya mengandung spirit pemberdayaan perempuan secara
ekonomi. Mereka yang tadinya diwariskan, lalu berubah menjadi mampu
mewarisi atau memperoleh warisan dan akhirnya mampu pula
mewariskan atau memberikan warisan. Dari trasnfoRmasi ini dapat
ditangkap bahwa bagian anak perempuan separoh dari laki-laki
mengandung tekanan pesan bahwa separoh adalah jaminan minimal yang
bisa diterima perempuan. (Jurnal Mumtaz, 2011: 63) Pada ayat yang
sama bahkan disebutkan bahwa bagian perempuan (ibu) adalah sama
dengan laki-laki (ayah).
“Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak”. (Q.S. al-Nisa [4]: 11 )
Analisa diatas memberikan harapan baru dalam menafsirkan ulang
teks-teks keagamaan sesuai dengan kondisi kekinian. Tindakan ini
tentunya bukan berarti harus berbeda dengan sebelumnya, melainkan
tetap berpatokan pada pijakan yang telah ada. Seperti dalam sejarah
bahwa Islam pernah memiliki lebih dari seratus mazhab. Tumbuh
suburnya mazhab tersebut menunjukkan adanya spirit kebebasan berfikir
dan usaha-usaha untuk menafsirkan al-Quran untuk mengembangkan
sistem hukum Islam sangatlah dihargai oleh pemegang otoritas
keagamaan di masa itu. (Asghar Ali Engineer, 2007: 26)
[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]
Refleksi atas Hukum Fiqih
14
III. ANALISIS
Perbedaan laki-laki dan perempuan tidak cukup hanya dikaji secara
biologis tetpi memerlukan pengkajian secara non-bilogis. Kajian yang
terakhir inilah disebut studi jender, yaitu suatu upaya untuk memahami
interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin.
Peran jender tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan
identitas dan berbagai karakteristik yang diasumsikan masyarakat kepada
laki-laki dan perempuan. Terlepas dari hal ini, wacana jender sebagai isu
kontemporer perlu dianalisa lebih jauh lagi dan dilihat dari beberapa
perspektif yang relevan. Kajian ini memunculkan fenomena menarik ketika
fiqih oleh kalangan pemikir baru dicoba untuk dilakukan rekonstruksi
berdasarkan analisis konteks kontemporer.
Proses-proses fiqih dalam perspektif ini diharapkan dapat
menghasilakan prosuk hokum dimana manusia sebagai subjek hokum
ditempatkan pada posisi yang tidak saling mensubordnasi,
mendeskriminasi atau memarjinalkan satu atas yang lain atas dasar
apapun. Upaya ke arah perubahan ini dirasakan sebagai kebutuhan yang
sangat mendesak dan strategis bagi perwujudan hubungan-hubungan
kemanusiaan yang lebih adil.
Pendekatan fiqih dalam konteks jender sesungguhnya merupakan
konsekuensi logis dari pertanggungjawaban ketauhidan Islam. Afirmasi
prinsip ini tidak hanya dapat dipahami sebagai hubungan personal
manusia dengan Tuhan yang Maha Absolut, melainkan juga diwujudkan
dalan relasi interaktif kehidupan manusia. Pada saat kita menyakini bahwa
Tuhan adalah satu-satunya pemegang otoritas mutlak atas alam semesta,
maka pada saat yang sama seharusnya menjadi kenyakinan kita pula
untuk memandang ciptaan Tuhan dengan setara, terlepas dari simbol-
simbol budaya yang menyertainya. Perbedaan-perbedaan yang diciptakan
Tuhan tidak seharusnya menjadi dasar pembedaan-pembedaan pada
wilayah-wilayah sosial, ekonomi, budaya dan seterusnya.
[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]
Refleksi atas Hukum Fiqih
15
DAFTAR PUSTAKA
Al-Munawar, Said Aqil Husin. “Al-Quran: Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki”, Cet. III Jakarta: Ciputat Press, 2003
Departemen Agama RI. “Mushaf al-Quran Terjemah”, Jakarta: al-Huda,
2002
Effendi, Satria. “Ushul Fiqh”, Cet. III, Jakarta: Kencana, 2009
Engineer, Asghar Ali. “Pembebasan Perempuan”, Cet. II, Yogyakarta:
LKIS, 2007
Esposito, John L. “Ensiklopedi Oxpord: Dunia Islam Modern”, Penerjemah:
Eva Y.N., dkk., Editor: Ahmad Baiquni, dkk., Cet. II, Bandung:
Mizan, 2002
Jurnal Kordinat, Volume III, No. 1, April 2002, Jakarta: KOPERTAIS, 2002
Jurnal Mumtaz, Volume II, No. 1, 2011, Jakarta: IPTIQ, 2011
Muhammad, Husein. “Islam Agama Ramah Perempaun: Pembelaan Kiai
Pesantren”, Cet. I, Yogyakarta: Fehmina Institute dan LKIS, 2004
Syarifuddin, Amir. “Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum
Islam Kontemporer di Indonesia”, Cet. V, Jakarta: Ciputat Press,
2005
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Quran”,
Cet. II, Jakarta: Dian Rakyat, 2010