42
Menuju Konsepsi Kewarganegaraan Substantif di Indonesia Monograf Perhimpunan Pendidikan Demokrasi No 1 tahun 2006 Robertus Robet 1

Kewaerganegaraan Dan Politik

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kewaerganegaraan Dan Politik

Menuju Konsepsi Kewarganegaraan Substantif di Indonesia

Monograf Perhimpunan Pendidikan Demokrasi

No 1 tahun 2006

Robertus Robet

1

Page 2: Kewaerganegaraan Dan Politik

Menuju Konsepsi Kewarganegaraan Substantif di Indonesia1

Monograf Perhimpunan Pendidikan Demokrasi

No 1 tahun 2006Robertus Robet

I. Permasalahan

Meski di tingkat perdebatan umum belum dianggap penting terutama bila dibandingkan dengan isu seperti good governance, reformasi sektor keamanan, keadilan transisional, persoalan atau diskursus kewarganegaraan (citizenship) sebenarnya merupakan soal fundamental dan sangat berpengaruh terhadap masa depan dan kualitas demokrasi di Indonesia. Persoalan ini memang di Indonesia agaknya telah begitu saja disepelekan dan pengertiannya cendrung dijadikan satu keranjang dengan pengertian yang lebih teknis seperti ‘pendidikan kewarganegaraan’ atau yang belakangan, ia juga sering diperlakukan semata-mata sebagai prosedural bagaimana terdaftar

1 Tulisan ini diambil dari monograf yang diterbitkan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi No 1 tahun 2006. Disajikan dengan sedikit perbaikan.

2

Page 3: Kewaerganegaraan Dan Politik

selaku warga Negara Indonesia.2 Padahal untuk konteks negara-negara seperti Eropa Timur, Afrika dan Amerika Latin yang sama-sama pernah mengalami transisi demokrasi, wacana ini menjadi salah satu isu fundamental dalam politik, sangat mengemuka dan dianggap penting dengan pengertiannya yang mendasar dan substantif.3

Keadaan ini bisa jadi disebabkan karena diskursus mengenai kewargenagaraan di Indonesia dalam pengertiannya yang komprehensif, substantive dan politis telah lama hilang dalam kosa kata politik di Indonesia. Politik Orde Baru dan warisannya yang masih mewatak dalam struktur kepolitikan sekarang telah terlanjur membentuk gagasan yang membuat hampir kebanyakan orang Indonesia menerima bahwa kewarganegaraan, baik sebagai status maupun sebagai pendirian yang kompleks lebih merupakan hasil pemberian dan bentukan Negara ketimbang refleksi dari hak-hak fundamental warga. Dengan demikian, sepinya pemikiran dan debat ke arah apa itu kewarganegaraan baru di alam demokrasi ini bisa dimengerti sebagai akibat dari berlangsungnya kebiasaan lama untuk menyerahkan segala bentuk pendefinisian mengenai siapa warga Negara Indonesia itu, siapa orang Indonesia itu ke tangan Negara semata-mata. Dengan kata lain, diskursus ini demikian penting dan tetap penting tetapi penggarapanya lebih banyak tetap dimonopoli oleh struktur kepolitikan di tingkat Negara, kurang beredar di kalangan masyarakat atau public yang lebih luas.

Hal kedua yang barangkali menjadi penyebab dari kelesuan pembahasan mengenai kewarganegaraan yang subtsantif adalah karena absenya visi mengenai manusia dan masyarakat baru yang bagaimana yang hendak dibentuk oleh sebuah pemerintahan demokratis pasca otoriterianisme. Kekosongan visi ini dapat dirasakan apabila kita perbandingkan keadaannya dengan kegairahan yang

2 Salah satu bukti bagaimana persoalan kewarganegaraan, yang menyangkut kompleksitas soal untuk membentuk bagaimana warga yang baik , siapa itu orang Indonesia telah sedemikian disepelekan di Indonesia adalah dengan melihat bagaimana pemerintahnya mengatur pendidikan. Pendidikan merupakan arena paling fundamental bagi Negara untuk membentuk visi siapa manusia Indonesia itu. Karenanya departemen pendidikan mestinya merupakan institusi paling penting untuk menjalankan proyek Negara ini. Di Indonesia bagaimana mungkin kementrian dengan tujuan semacam itu diberikan kepada seorang bekas menteri keuangan yang tidak memiliki latar belakang pendidikan filsafat, sosial dan kemasyarakatan?3 Untuk ini lihat dalam pengantar yang ditulis oleh Andrews, Geoff dalam Andrew, Geoffs (ed), (1991), Citizenship, (London: Lawrence and Wishart), hlm. 9.

3

Page 4: Kewaerganegaraan Dan Politik

muncul pada masa lampau di saat di mana Negara bangsa baru merdeka dari kolonialisme di mana konsepsi mengani kewarganegaraan muncul seiring dengan kegairahan cita-cita untuk membentuk bangsa dan masyarakat baru pasca kemerdekaan.4

Kenyataan ini merupakan ironi, karena pada kenyataannya berbagai tuntutan yang muncul belakangan ini secara tidak langung merefleksikan keperluan untuk mendefinisikan modus dan konsepsi kewarganegaraan yang substantive secara baru. Tuntutan itu berpangkal pada persoalan-persoalan sebagai berikut: pertama adalah munculnya tantangan dan kritik yang sangat kuat terhadap model demokrasi libertarian yang terlampau memanfaatakn dan mengandalkan pasar. Ini mengakibatkan demokrasi tidak berefek pada pemenuhan keadilan sosial bagi rakyat miskin sebagaimana nampak dari gejala makin tingginya tingkat pengangguran, jenjang antara kaya- dan miskin yang makin tinggi dan kelambatan Negara dalam merespon krisis, wabah dan bencana; kedua adalah ketidakmampuan pemerintahan pasca otoriterian untuk membangun harmoni kehidupan sosial yang stabil dan lestari sebagaimana nampak dari berbagai gejala kekerasan, berkembangnya rasisisme dan primordialisme. Ketiga adalah, tantangan bagaimana demokrasi menangani persoalan-persoalan yang menhancurkan masyarakat dan Negara seperti korupsi di berbagai lembaga Negara. Keempat adalah pertanyaan tentang relevansi ideology Negara dalam hal ini Pancasila dalam kepolitikan saat ini.

Tantangan yang bersumber dari hubungan-hubungan kompleks ekonomi, social dan politik di atas tersebut sedemikian dahsyatnya sehingga memberikan pengaruh terhadap kadar atau tingkat tidak hanya legitimasi pemerintahan secara khusus tetapi juga terhadap legitimasi demokrasi secara umum. Rakyat di rumah-rumah dan di jalan-jalan mulai bertanya-tanya mengenai sejauh mana atau apa mungkin demokrasi bisa menjawab persoalan-persoalan generic seperti kemiskinan dan ketidakadilan, keterbelakangan social, krisis ekonomi, kekerasan dan terror? Kini akibat tendensi krisis yang tak kunjung berhenti orang mulai berfikir secara lebih ‘struktural’ dengan menduga-duga bahwa jangan-jangan masalahnya ada pada demokrasi itu sendiri. Apa gunanya demokrasi untuk mengatasi persoalan hidup sehari-hari? Lebih jauh lagi, ditambah dengan masalah Aceh dan di Papua, orang mulai bertanya apa gunanya menjadi warga dari sebuah pemerintahan demokratis? Apa gunanya jadi warga Negara bila Negara

4 Mengenai ini lihat dalam MR. Soepardo dkk (1962), Civics: Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia (Jakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka)

4

Page 5: Kewaerganegaraan Dan Politik

dimana warga bernaung berhadapan dengan kesulitan permanent yang tak ada ujungnya?

Dengan kata lain, dalam konteks dan lingkungan politik yang demokratis, persoalan-persoalan social dan ekonomi yang muncul telah sedemikian rupa bertransformasi menjadi persoalan kewargaan secara umum. Dera’an krisis , konflik dan kekerasaan menghantarkan orang untuk menggugat relevansi Negara dan kegunaan terikat atau menjadi anggota dalam sebuah organisasi Negara.

Di sini persoalan berdemokrasi bertransformasi dari pertanyaan bagaimana memperjuangkan dan mencapai demokrasi dengan mengalahkan musuh-musuhnya, menjadi bagaimana menjadikan public atau orang banyak menggunakan demokrasi sebagai fasilitas untuk memperjuangkan dan mencapai kehidupan kepolitikan yang lebih esensial seperti keadilan dan kesamaan social dan kebebasan yang sejati. Pertanyaan mengenai demokrasi harus diubah menjadi pertanyaan mengenai bagaimana dan siapa ‘orang Indonesia’ dalam tatanan yang demokratis itu. Bagaimana demokrasi berefek pada pendefinisian karakter ‘orang Indonesia’ secara umum? Sejah mana Negara mengubah cara pandangnya terhadap warga atau ‘orang Indonesia sendiri, apakah sejalan dengan identitas politiknya secara umum atauhkan masih berciri otoritarianistik?

II. Tantangan Kewarganegaraan Demokratis Baru

a. Kewarganegaraan dan Keadilan

Tuntutan untuk memperluas konsepsi kewargaan dengan memasukkan entitas pemenuhan keadilan secara jelas dapat kita mengerti dari realitas sebagaimana ditulis sebagai berikut:

”Saya tidak jadi mengambil (dana kompensasi BBM) karena belum punya KTP. Baru tadi pagi saya membuat surat keterangan tinggal sementara dari kelurahan agar bisa mengambil bantuannya sekarang,” ujar Midin, warga asal Lampung yang menetap di Desa Sukamanah, Kecamatan Cikampek, sejak tahun 1998 ini.

Masyidin, warga Desa Cikampek Timur, mengaku, ”Saya bikin KTP dadakan biar bisa mengambil dana bantuan. Untuk mengurusnya, saya keluar uang Rp 50.000.” Midin dan beberapa warga lain yang ditemui menyebutkan, mereka mengeluarkan uang

5

Page 6: Kewaerganegaraan Dan Politik

antara Rp 5.000-Rp 10.000 untuk membuat surat keterangan domisili. 5

Dalam sejarah Indonesia semenjak mungkin inilah untuk pertama kali orang miskin berupaya secara sukarela, antusias dan spontan membuat KTP. Sebelum ini, KTP lebih dianggap sebagai kewajiban di mana orang biasanya merasa perlu tetapi sekaligus terbebani. Orang miskin yang tidak pernah membuat dokumen lain seperti paspor untuk keluar negeri bahkan cenderung mengelak punya KTP, selain karena perlu biaya juga dianggap tidak ada gunanya kecuali sekadar untuk didata urusan pemilu semata-mata. Selain itu kebiasaan dan suasana masa lalu mendefinsikan identitas kewargaan nasional lebih sebagai kewajiban darinegara sebagai alat control. KTP pada masa lalu lebih merupakan lambang bahwa warga pemilikinya adalah property dari sebah pemerintahan otoriter, persis seperti cap pada pantat hewan peternakan. KTP dan identitas kewargaan merupakan beban yang disandang, ia ditempuh supaya hidup sehari-hari tidak menghadapi masalah-masalah yang rumit seperti berhadapan dengan lurah, polisi dsb.

Krisis datang dan mengubah dasar motif dan kebutuhan orang akan status kewargaaan, paling tidak untuk kalangan miskin yang membutuhkan subsidi BBM dari pemerintah. Ironisnya, identitas kewargaan itu dicari dengan jalan membeberkan identias social sebagai orang miskin. Saya miskin maka saya perlu identitas kewargaan saya’. Kemiskinan menjadi prasyarat untuk mengakui identitas nasionalnya. Dalam kasus ini berlaku keadaan di mana identitas kewargaan dituntut dengan basis penjelasan kelas socialnya.

Di sini yang penting untuk dikemukakan adalah, adanya perubahan yang pasti mengenai pentingnya dua hal dari dua arah sekaligus yakni pertama; munculnya subyektifikasi kewarganegaraan yang pasif menjadi subyektifikasi kewarganegaraan yang aktif di mana identitas kewarganegaraan dikehendaki secara sadar dan dalam kepentingan yang juga disadari; yang kedua adalah tampilnya kepentingan keadilan dalam pencarian identitas kewarganegaraan. Di titik ini, Negara tidak sekadar dituntut untuk memberikan definisi kewarganegaraan sebagaimana dikehendaki, tapi juga bobot atau kualitas mengenai makna, kegunaan dan prevelidege sebagai warga Negara sekaligus.

b. Kewarganegaraan dan Rasisme

5http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0510/14/daerah/2126378.htm

6

Page 7: Kewaerganegaraan Dan Politik

Tantangan kedua dalam pencarian konsepsi kewarganegaraan demokratis baru berasal dari persoalan lama yang belum pernah dituntaskan yakni soal rasisme terutama rasisme terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Selama ini tidak dapat dipungkiri, bahwa soal utama kewarganegaraan baik dalam pengertiannya yang substantive maupun dalam artian yang paling procedural adalah soal rasisme terhadap keturunan minoritas Tionghoa.

Ivana mengaku mendapatkan SKBRI setelah empat tahun menjadi pebulu tangkis nasional dan telah mengharumkan nama Indonesia di berbagai ajang kompetisi bulu tangkis internasional. Sebelumnya, dia terpaksa menggunakan secarik kertas keterangan jika akan bertanding di luar negeri.

Perempuan berambut cepak ini mengaku mendapatkan surat "berharga" itu setelah mengutarakan masalah tersebut kepada Presiden Soeharto, pemimpin negara yang kala itu berkuasa. "Waktu itu saya bilang belum punya kartu tanda penduduk (KTP)," ujar pebulu tangkis yang berjaya pada 1980-an. Tak beberapa lama berselang, tepatnya pada 1982, Ivana akhirnya memperoleh surat-surat yang menyatakan kejelasan tentang status kewarganegaraannya.

Kendati sempat kecewa dengan pemerintah yang tak peduli dengan nasib kewarganegaraannya, sementara dia telah berjuang demi nama bangsa, Ivana mengaku tak pernah berpikir untuk berpaling dari negeri ini. Ia tetap sabar berjuang dan menunggu. "Ada perasaan sedih. Tapi saya cinta negara ini. Saya lahir di negeri ini," ujar pelatih pelatnas untuk tunggal putri ini.

Berbeda dengan kebanyakan praktek di Negara-negara demokrasi, di mana kewarganegaraan dalam pengertiannya yang paling generic (identitas sebagai warga Negara) justru dengan gampang ditawarkan dan diberikan berdasarkan prestasi individu, di Indonesia, pemberian status kewarganegaraan justru dipersulit bahkan bagi individu istimewa dalam masyarakat. Rasisme dalam praktek di tingkat lembaga-lembaga Negara dipertahankan bukan lagi semata-mata sebagai rasisme tapi lebih karena ia telah berfungsi sedemikian dalam menghidupi realitas korupsi di dalamnya.

Dalam konteks etnis Tionghoa di Indonesia, terutama pada masa Orde Baru, rasisme secara mencolok dibungkus dan ditopang oleh system kekuasaan yang ada sebagai bagian dari upaya mempertahankan legitimasi dan kekuasaan militer di Indonesia. Penyatuan rasisme dalam kekuasaan politik pada waktu itu kelihatan dengan jelas dalam diskursus quasi nasionalisme –terutama nasionalisme

7

Page 8: Kewaerganegaraan Dan Politik

ekonomi- yang menggembar-gemborkan diskurus ‘ekonomi pribumi’ dan ‘ekonomi non-pribumi’ yang diselaraskan dengan pembatasan kegiatan politik, kebudayaan dan social.

Perubahan politik di Indonesia tidak secara serta merta mengeliminasi rasisme dan politik rasis yang menopangnya. Bahkan setelah peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang mengambil korban dan menghadirkan tragedy demikian dahsyat, politik Indosia masih cukup kebal terhadap kesadaran mengeliminasi rasisme. Digunakannya isu-isu amuk ras belakangan ini yang di satu segi memang menunjukkan masih bertahannya politik kekerasaan berbasis rasis sekaligus juga memeperlihatkan bentuk-bentuk intimidasi secara langsung yang ditujukan kepada etnis minoritas.

c. Kewarganegaraan , Gender dan Kosmopolitanisme

Saya mau curhat, 10 tahun saya menikah dengan warga negara Singapura, mengurus status kewarganegaraan itu suatu penderitaan, sampai-sampai tidak ada ketenangan. Sekarang ada anak. Saya berharap, peraturan (Undang-undang Kewarganegaraan) jangan sampai merugikan, menyulitkan, memojokkan istri dan anak.

Curahan hati (curhat) itu dilontarkan penyanyi Imaniar yang telah berpisah dari suaminya. Saya menjadi pembela suami di segala bidang. Saya takut dia deportasi karena kalau dia dideportasi saya takut anak kami juga ikut dideportasi. Dilema ini dihadapi banyak perempuan Indonesia (yang menikah antarbangsa), tambah Imaniar yang kini mengasuh anaknya. Dia menunjukkan Kartu Izin Tinggal Sementara (Kitas) anaknya. Kartu ini selalu saya bawa ke mana pun.6

Dalam tatanan politik otoriterian konsepsi kebangsaan dan kewarganegaraan dibentuk secara sepihak oleh penguasa. Salah satu korban terbesar pembentukan kewarganegaraan model demikian adalah perempuan. Mengapa? Karena perempuan di dalam tatanan yang demikian mengalami subordinasi ganda sekaligus yakni secara ekonomi dan secara politik. Perempuan terutama setelah menikah oleh karena statusnya ditempatkan sebagai orang nomor dua di dalam keluarga. Artinya dalam relasi kekeluargaan itu, ia tidakpernah

6 http://www.kompas.com/kompas%2Detak/0510/08/swara/2109902.htm

8

Page 9: Kewaerganegaraan Dan Politik

menjadi warga Negara yang penuh, karena sebagian hak-haknya misalnya dalam hal pewarisan, pengasuhan anak dan penentuan kewarganegaraan anak bergantung pada status hukum suami. Di masa lalu gejala-gejela ini biasanya dianggap sepi dan wajar-wajar saja.

Di masa kini, seiring dengan meluasnya gejala globalisasi maka perpindahan dan kedatangan orang terjadi lebih intens. Kultur kosmopolit serta perkembangan dalam penguasaan bahasa, lalu-lintas ekonomi, membuat gejal kawin campur antara bangsa menjadi semakin besar dan biasa. Gejala ini tentu tidak sangkut-pautnya dengan nasionalisme. Di dalam Negara otoriterian, di mana urusan tubuh dan reproduksi masih ditentukan dan diatur oleh Negara, gejala kawin campur memang sering dianggap masalah. Namun di dalam Negara demokrasi yang normal, perkawinan dengan siapa saja tentu adalah bagian dari hak asasi manusia. Negara dialarang untuk ikut campur dalam urusan privat.

Yang jadi soal adalah, beredarnya xenophobia yang dicampur-adukan dalam sentiment nasionalisme seringkali menghasilkan cara pandang represif yang melihat perkawinan campur secara sinis, terutama apabila warga Indonesianya perempuan. Sinisme yang dipraktekkan dalam kebijkan public berakibat buruk terhadap perempuan yakni dengan ditempatkannya perempuan dalam posisi yang sangat lemah secara hkum baik dalam kerangka hubungannya dengan Negara asal maupun dalam kerangka hubungannya dengan suami.

III. Kewarganegaraan sebagai diskursus : dibentuk atau ditemukan ?

Pada masa pemerintahan republic awal era Soekarno, konsepsi kewarganegaraan secara aktif di produksi dalam pelbagai kegiatan pemerintahan. Ini tentu saja berkaitan dengan modus serta latar belakang kepolitikan masa itu yang menegaskan perlunya pembangunan demarkasi antara “siapa Indonesia’ atau siapa pro-republik dengan ‘siapa kolonial’ atau ‘anti-republik. Soekarno sendiri pada waktu itu, bicara panjang lebar dan meletakkan apa yang disebutnya sebagai ‘character building’ dan ‘nation building’ di mana di dalamnya diteguhkan sekali lagi secara kuat dan simultan akar identitas nasional kewargaan Indonesia.

Dalam konteks republic awal , kewarganegaraan merupakan sebuah penemuan politik yang diperoleh setelah kolonialisme dikalahkan dan Negara bangsa modern yang merdeka terbentuk. Kewarganegaraan diakui sebagai sebuah identitas keanggotaan pada suatu kolektif yang dihasilkan dari tindakan emansipasi yakni memerdekakan diri. Dengan

9

Page 10: Kewaerganegaraan Dan Politik

begitu kewarganegaraan Indonesia melekat pada kemerdekaan Indonesia, artinya lagi kewarganegaraan Indonesia kemudian ditransformasikan secara politik untuk melekat pada nasionalisme Indonesia.7 Pada tahap ini meski pemerintahan Soekarno memiliki kecendrungan yang sangat kuat untuk mendeterminasi identitas politik secara umum, diskursus kewarganageraan relative masih memiliki sifat otonom karena dalam Soekarno arti kewarganegaraan masih memiliki sifat terbuka untuk perdebatan sejauh ia masih menjadi subyek yang terkait erat dengan akar awalnya yakni emansipasi dan kemerdekaan (rakyat dan manusia merdeka)

Pemerintahan otoriterian di bawah Soeharto yang muncul setelah penggulingan Soekarno, mentransformasikan sekali lagi konsepsi kewarganegaraan Indonesia. Dari semula kewarganegaraan sekadar melekat pada nasionalisme Indonesia diubah menjadi melekat pada system kenegaraanya untuk seterusnya pada rejimentasi kekuasaan politiknya. Pada tahap ini konsepsi kewarganegaraan mulai kehilangan sifat otonominya, ia mengalami – dengan meminjam istilah Foucault- obyektifikasi dalam arti dilepaskan dari sejarah awalnya sebagai diskurus emansipasi yang terbuka menjadi obyek yang dibina di bawah rejim politik orde Baru. Kewarganegaraan menjadi diskursus yang tertutup karena pengertian dan pendefinsiannya secara monopolistic didominasi oleh Negara dan pemerintahan yang berkuasa semata-mata.

Di bawah pemerintahan Soeharto kewargenageraan bukan lagi diskursus yang beredar di ruang public melainkan bagian dari strategi kekuasaan yang melekat pada lembaga-lembaga resmi Negara yang berfungsi untuk ‘meresmikan’ segenap warga Negara sehingga melebur menjadi bagian dari Negara.

7 Di titik ini bisa dimaklumi kesulitan yang dihadapi oleh sejumlah kalangan feminis dan kosmopolitanis yang muncul belakangan, terutama yang muncul berkaitan dengan tuntutan kewarganegaraan ganda. Kesulitan kewarganegaraan ganda di Indonesia serta keberatan atas prosedur kewarganegeraan yang berbasis pada garis keturunan bapak dapat ditarik sumbernya dari akar kewarganegaraan Indonesia yang terus melekat pada nasionalisme awal Indonesia. Artinya, perubahan ke arah itu hanya mungkin dilakukan apabila konsepsi baru mengenai nasionalisme Indonesia berhasil dilakukan, atau paling tidak perubahan kea rah itu harus dilakukan dalam kerangka –paralel- dengan pembaharuan nasionalisme Indonesia di masa depan. Di sini kaum feminis memang tidak dapat berdiri sendiri, di tingkat politik ia harus merangkul kekuatan dan agen-agen pembaharuan yang lainnya di masyarakat Indonesia.

10

Page 11: Kewaerganegaraan Dan Politik

Dengan startegi semacam ini, maka Orde Baru secara masif memainkan kembali sebuah konsepsi lama yang dipetik dari gagasan fasistik pemikir hukum adat Soepomo. Di dalam Soepomo, rakyat dan Negara/pemerintah tidak boleh merupakan entitas yang terpisah. Keduanya harus menyatu dalam kesatuan integral (totalitas) untuk menunjang keharmonisan umum. Di dalam Orde baru kerangka ini dipraktekaan dalam bentuknya yang paling subtil. Di sini, karena kekuasaan berada di tangan Negara, maka Negara lah yang secara produktif menciptakan diskurus mengenai siapa dan apa itu warga. Dengan kata lain pada masa Orde baru, kewarganegaraan lebih sebagai identitas yang dibentuk dan disematkan oleh Negara, ketimbang entitas yang dicari dan dipahami sebagai bagian dari kehidupan di dalam polity.

Karena startegi kekuasaan Orde Baru cenderung kepada totalisasi, maka perubahan mengenai konsepsi kewarganegaraan ke arah otonomisasi hanya mungkin terjadi seiring dengan atau melalui tantangan terhadap kekuasaan Negara. Ini dilakukan dengan mengambil berbagai bentuk subyektifikasi politik. Dengan subyektifikasi politik dimaksudkan sebagai upaya para actor atau agen untuk menampilkan diri sebagai pemegang inisiatif politik yang berbeda kepentingan dengan Negara. Sebagai contoh dalam gerakan buruh misalnya, sementara Negara menghendaki kepatuhan dan harmonisasi antara buruh dengan majikan, maka protes buruh mencerminkan subyektifikasi di mana dengan protes tersebut buruh keluar dalam identitas politiknya tersendiri. Subyektifikasi ini sendiri apabila diamati, dibantu kalau bukan dibasiskan pada penalaran yang sifatnya normative, yang relative masih diterima oleh system dan panggung kekuasaan sendiri pada waktu.

Di titiik inilah penting untuk menyebut normatifitas hak asasi manusia, sebagai dasar dari subyektifikasi para agen. Pada prakteknya, hak asasi manusia memiliki peluang untuk relatif diterima dan diijinkan dalam kaedah poltik Orde Baru meski tetap dibenci dan berusaha direpresi juga.8 Karenanya, wajar apabila, hak asasi manusia merupakan fasilitas yang paling bisa digunakan sebagai sandaran untuk membangun watak keagenan dankewarganegaraan yang baru, karena ia satu-satunya yang memenuhi dua kualifikasi sekaligus; otonom di satu sisi sehingga dapat dijadikan alternative dan kritik dan relative dikenal dalam kosa kata politik Orde Baru sehingga tidak gampang untuk disubversikan. Di sini pilihan atas hak asasi sedikit banyak merupakan pilihan yang strategis ketimbang semata-semata prinsipiil.

8 Relatif diterima di sini dikaitkan dan diperbandingkan dengan misalnya subyektifitas yang dibawa oleh penantang lain yang dianggap lebih radikal, populis dan kiri yang lebih gampang dijebloskan ke dalam kriminalisasi subversi.

11

Page 12: Kewaerganegaraan Dan Politik

Dari sini konsepsi hak asasi manusia dan demokrasi sepanjang sejarah kekuasaan Orde Baru mengambil posisi yang demarkatif, menjadi penanda kemunculan subyektifikasi baru di luar konsepsi kewarganegaraan yang dibentuk oleh Orde Baru. Hak asasi manusia menantang konsepsi kewarganegaraan yang sangat terikat pada kolektifitas (komunitarianistik dalam pengertiannya yang paling buruk), berkecendrungan totalisasi, dibentuk secara satu arah, menjadi konsepsi kewargangeraan yang lebih otonom.

Di titik ini, hak asasi manusia memberikan sebuah gerbang bagi kemungkinan penciptaan dan penemuan bagi berbagai bentuk otonomisasi dan subyektifikasi. Dari sini, manusia Indonesia yang semula dikungkung semata-mata oleh model kewarganegaraan totaliter mendapatkan kebebasan untuk mencari dan menemukan modus keterlibatannya dengan Negara dan merumuskan konsepsi kewarganegaraan apa yang lebih tepat untuk dirinya.

Pada akhirnya, hal paling penting yang dihadirkan diskursus hak asasi manusia adalah jangkauan baru dalam imajinasi politik orang Indonesia, dari subyek yang semula hanya bersandar pada status dan identitas dalam keterikatannya pada Negara bangsa semata-mata, menjadi subyek dengan sandaran dan imajinasi baru yang lebih luas yakni dunia kosmopolit dalam kebersamaan global.

Di titik ini, tak terhindarkan lagi, hak asasi manusia membuka kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas menyangkut pendirian kewarganegaraan di Indonesia. Akibatnya dari sini, tuntutan-tuntutan politik dalam kewarganegaraan baru di Indonesia secara nyata telah merubah persoalan dan diskursus kewargaan (citizenship) yang semula hanya bersifat melulu politis dan satu arah (otoriter/ warga sebagai identitas yang diberikan oleh Negara) menjadi lebih bersifat kompleks dengan melibatkan soal ekonomi dan keadilan social, serta gender dan lebih pluralis. Gejala ini membuat konsepsi dan tuntutan kewargaan sebagaimana disebut oleh Kimberly Hutchings berfungsi secara produktif karena menumbuhkan dan merangsang munculnya soal dan wacana-wacana baru dalam politik kewargaan secara umum. Hutchings menegaskan bahwa:

Citizenship not only invoked in defence of old rights, it also plays a prominence role in the continuing effort to affirm and realize new ones. Invoked in this context, citizenship is held to require support for collective action to assist the

12

Page 13: Kewaerganegaraan Dan Politik

victims of ujustifiable forms of exclusion anchored in class, ethnicity, gender and race.9

(Kewargaan tidak hanya telah memperkuat pertahanan hak-hak yang lama (hak-hak sipil dan politik), ia juga memainkan peran yang sangat penting dalam upaya lanjut memastikan dan merealisasikan tumbuhnya hak-hak yang baru. Di dalam konteks ini, kewargaan diarahkan untuk menyediakan dukungan untuk tindakan-tindakan kolektif demi menolong para korban dari berbagai bentuk ketidakadilan dan peminggiran karena kelas, etnis, gender maupun ras.)

IV. Aspek Substantif Kewarganegaraan

Politik dan terutama hukum sebagaimana telah diperkirakan oleh ahli-ahli paling klasik seperti Plato, Aristoteles maupun ahli filsafat moral dan hukum modern seperti baik yang berasal dari paham Liberal seperti Habermas maupun komunitarian seperti MacIntyre, mengakui dua aspek dualistik pengertian politik seperti demokrasi, hukum termasuk kewarganegaraan. Para ahli senantiasa biasanya mengakui adanya aspek substantive atau aspek luas dan aspek procedural atau aspek sempitnya.10

Pemikiran mengenai konsepsi Negara Hukum misalnya juga memiliki dua aspek ini. Secara procedural Negara hukum secara sempit diartikan sebagai Negara di mana hukum menjadi panglima. Akibatnya sejauh terdapat hukum atau undang-undang yang dapat dijadikan patokan berprilaku maka cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa

9 Kimberly Hutchings sebagaimana dikutip dalam Evans, Tony (2000), Citizenship and Human Rights in the Age of Globalization dalam Alternative, NO 25 tahun 2000, hlm, 415-438.10 Di dalam gagasan filsafat Aristoteles ini ditujukan dalam pembedaan dua jenis realitas: material dan formal. Oleh pemikir komunitarian seperti MacIntyre ini diturunkan menjadi pembedaan antara apa yang disebutnya sebagai internal good dan external good. Untuk ini lihat dalam MacIntyre (…..), After Virtue…….Dalam etika diskursus Habermas, pandangan dualistik nampak dari konsepsinya ketika membedakan antara legitimasi hukum yang berbasis pada tindakan komunikatif diskursif rasional dengan tindakan strategis. Sementara pemikir seperti Foucault memisahkan antara Practise of Liberation sebagai hubungan yang secara produktif mengalirkan imaji kemajuan dalam masyarakat dan practice of freedom yakni sagala upaya untuk memformulasikan dan menginstitusionalkan kemajuan.

13

Page 14: Kewaerganegaraan Dan Politik

syarat-syarat Negara hukum sudah terpenuhi. Pandangan yang sempit semacam ini tentu saja banyak mengandung kelemahan, sebagai contoh Negara Jerman di masa Hitler atau praktek rasialis di Afrika selatan jaman rejim Apartheid, di mana praktek-praktek fasis dan rasialis justru dilakukan di bawah hukum-hukum. Dengan pengalaman semacam ini,maka pengertian sempit dan procedural selalu tidak langkap dan oleh karenanya ia perlu untuk dijelaskan dan didefiniskan oleh aspek substansinya, agar tidak mencelakai prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan keadilan. Di dalam konsep Negara Hukum misalnya, perlu sekali ditegsakan aspek subtsantifnya yakni keadilan dan kesetaraan serta kemudahan untuk menjangkau keadilan itu..

Pengertian kewarganegaraaan yang substantif sendiri sebenarnya telah mengalami pasang surut. Tradisi paling kuno pasca Aristoteles, disumbangkan oleh tradisi Romawi kuno terutama oleh seorang hakim romawi benama Gaius dimana pendefinisian warga dimulai dengan pendefinisian konsep res (dalam respublika) sebagai ‘person, action sekaligus benda’ sehingga dengan demikian identitas kewargaaan di sini ditentukan dari status individu dalam suatu komunitas politik terutama yang menyangkut hak kepemilikan dan hukum. Di sinilah pengertian warga negara sebagai individu yang bebas untuk bertindak dibawah, perlindungan hukum dimulai. Identitas kewargaan di sini dilihat dalam konteks legalis homo. Yang diakui di sini adalah anggapan bahwa ‘Karena saya terikat dalam hukum suatu komunitas maka saya memiliki privledge tertentu dalam komunitas di mana saya berada’.

Dalam pengertian Romawi klasik ini, identitas kewargaan lebih dilihat dalam sudut status legal yang melibatkan pengertian akan hak-hak warga dan tugas-tugas warga. Pandangan ini sempat menggeser dan merubah konsepsi warga sebagai zoon politikon aristoteles yang bersifat lebih aktif. Di dalam Aristoteles kewargaaan dihayati dalam konsepsi politea yang melibatkan tiga hal pokok yakni: penghayatan dan keterlibatan pada komunitas politik (polis); penghayatan akan eudamonia (pencarian kebahagian umum); dan kecakapan selaku zoon logon ekhon yakni mahluk yang berakal dan bermeditasi dengan kemampuan membagi diskursus.

Perubahan dalam modus partisipasi politik dari active engagment Aristotelian dalam asosiasi politik menjadi passive bearer of rights terjadi makin keras setelah munculnya dua kejadian. Pertama adalah transformasi Yunani Kuno sebagai akibat imperialisme Kerajaan Romawi. Akibat perluasan kekaisaran yang terjadi pasca imperialisme, Romawi kemudian mengalami perluasan dengan size kewilayahan yang membesar, ini yang mengakibatkan halangan fisik untuk

14

Page 15: Kewaerganegaraan Dan Politik

terselenggaranya model partisipasi dan keaktivan langsung dalam politik.

Sebab kedua adalah, kemunculan Kristianitas di Eropa yang menggantikan paham politik Yunani Kuno, dalam hal ini bisa kita sebut penggantian dari Aristoteles oleh Agustinus. Sebagaimana diketahui sebelumnya, bahwa dalam Aristoteles warga negara ditempatkan secara resiprokal dengan warga yang lain dalam kerangka keterlibatan dalam asosiasi politik yang ada. Jadi ukuran keterlibatan politik diletakkan dalam kerangka keterbukaan diskursus sesama warga negara polis di dalam public sphere. Esensi ini yang diubah oleh Agustinus ketika dia menancapkan fatwa bahwa ‘semua orang sama dihadapan Tuhan’. Dari sini identitas politik kewargaan berubah dari ‘sama dihadapan suatu public sphere’ menjadi ‘sama dihadapan Tuhan’.

Namun demikian penyempitan substansi ini secara dramatis didobrak kembali oleh lahirnya deklarasi hak asasi manusia dari revolusi Perancis 1979. Ini yang kemudian secara revolusioner membalik modus political identity Agustinus ini. Dengan deklarasi ini, warga negara dibebaskan dari subyektifikasi terhadap God dan monarki absolut. Ia tidak lagi menjadi subyek hukum karena panggilan ‘dari dalam sana’ tetapi dari tanggungjawabnya sebagai pencipta hukum dan pemilik hak-hak.

Dalam konteks Indonesia, pergulatan untuk mendefinisikan konsepsi kewarganegaraan yang substantive juga berlangsung. Hanya mungkin, berbeda dengan pengalaman sejarah kewarganegaraan di Eropa dan Amerika di mana perdebatan memang telah jelas mengacu pada konsepsi citizenship yang telah dikenal dalam nomenklatur politik dan hukum sejak lama. Di Indonesia pergulatan tentang isu ini dilakukan dengan ‘menumpang’ pada pergulatan ide yang lebih besar seperti demokrasi, hubungan Negara- civil socity dan debat-debat seputar Ideologi Negara.

Berkaitan dengan itu, penting untuk mengemukan bahwa di Indonesia kepentingan untuk mendefisnisikan konsepsi kewargaan secara substantif berakar dalam kebutuhan untuk mentransformasi pandangan kenegaraan yang meletakkan status atau kedudukan warga atau individu sebagai tergantung dan bersumber semata-mata dari Negara menjadi warga dengan status yang lebih otonom.

Biang keladi dari kedudukan warga yang demikian lemah dalam hubungannya dengan Negara dapat dirujuk kembali pada pendirian Soepomo mengenai Negara Integralistik yang merupakan basis ideologis untuk sebuah Negara Totalitarian.Soepomo memulai idenya

15

Page 16: Kewaerganegaraan Dan Politik

dengan menghantam terlebih dahulu dua gagasan kenegaraan yakni liberalisme dan komunisme, dari situ ia kemudian mengajukan apa yang ia sebut sebagai integralisme. Di dalam ide Integralisme Soepomo relasi Negara dan warga harus dilihat dalam pencerminan kehidupan hubungan-hubungan adat di nusantara yang sangat menekankan kerangka harmoni, kesatuan dan totalitas antara warga dengan pemimpinnya. Dengan itu Soepomo menekankan pentingnya mencantumkan nilai-nilai harmoni dan penghormatan terhadap pemimpin dan yang dipimpin. Dalam konteks waktu itu, dengan menghantam liberalisme dan komunisme Soepomo tidak pelak lagi memang tengah melakukan semacam lips service terutama terhadap pemerintahan fasis Jepang.11

Dengan ajaran itu maka Soepomomenganjurkan sebuah konsep kenegaraan yang menghancurkan identitas dan status kewarganegaraan individu untuk diserap dalam kesatuan dalam kuasa Negara dan pemimpinya. Ajaran Soepomo ini meski beberap aspek yang paling berbahayanya sempat dihadang oleh Hatta namun dikembangkan terutama kemudian oleh Abdul Kadir Besar.

Kecendrungan totalitarianisme untuk menghilangkan identitas dan status politik warga warisan Soepomo ini yang kemudian menjadi akar dari paradigma dan praktek politik Orde Baru yang menjadikan Negara sebagai sumber dan ukuran hak, sementara warga atau individu diperlakukan sebagai semacam kawula dengan kewajiban mengabdi bagi Negara. Implikasi Politik dari warisan Soepomo dapat kita lihat dari kenyataan sebagai berikut :

Pertama, warganegara didefnisikan sebagai subyek yang sangat terikat pada satu sumber kerangka politik yakni negara. Warga bukanlah entitas yang otonom melainkan semacam ‘hak milik’ negara, dengan demikian konsepsi aktor dalam politik sama sekali tidak diakui.

Kedua, hak-hak warga negara didefinisikan secara terbatas dan selalu dikaitkan dengan kepentingan negara secara umum.

Ketiga, kecendrungan untuk menolak atau paling tidak meminimalkan universalitas.

11 Untuk ini lihat dalam Bourchier, David (1997), Totalitarianisme and the “National Personality”: Recent Controversary about philosophical Basis of the Indonesian State dalam shciller dan martin-Schiller (ed) imagining Indonesia: Cultural Politics and Political Culture (OHIO: Ohio University Centre for International studies)

16

Page 17: Kewaerganegaraan Dan Politik

Perubahan kedudukan serta status politik kewargaan yang lebih otonom baru dicapai kemudian setelah perubahan politik berlangsung, terutama juga dengan makin diperluasnya jaminan hak-hak warga dan diakuinya HAM dalam konstitusi Indonesia kemudian. Namun demikian ‘bahaya Soepomo’ ini tentu saja masih bisa terus berlangsung apabila kehidupan konstitusional dan hukum kita tidak dijaga secara kritis dan terus menerus.

Di titik ini kewarganegaran yang substantive dalam pengertian yang berbasis pada pandangan demokrasi dan kesetaran sebagaimana yang telah nampak dalam konstitusi kita menjadi sangat penting untuk terus menerus diperkuat di segala wilayah yang dimungkinkan.

IV. Pentingnya Menegaskan Kewarganegaraan yang Substantif

Mengapa konsepsi kewarganegaraan yang substantif perlu ditegaskan kembali?

a. Mengokohkan karakter ke-Indonesiaan baru yang demokratis dan egaliter.

Di sini, alasan utama untuk mencantumkan konsepsi kewargaan yang substantive mengacu pada keperluan untuk menegaskan paradigma atau paham demokrasi dan kesetaraan yang telah dicapai dalam masa reformasi. Penegasan ini diperlukan bukan hanya semata-mata untuk keperluan memberikan jaminan perlindungan kepada warga yang diklaim sebagai warga Negara RI tetapi juga dalam keperluan untuk mengokohkan identitas baru bagai dunia luar bahwa ‘menjadi Indonesia atau warga Indonesia berarti juga menjadi bagian dari sebuah komunitas demokratis dan egaliter’. Dengan begitu ciri keIndonesiaan yang baru dan berbeda dengan masa-masa otoriterian dapat dikokohkan.

Di dalam demokrasi, sumber dari segala otoritas politik –basis legitimasi dari kekuasaan- adalah tubuh kepolitikan kolektif dari rakyat, atau warga dari sebuah ruang kepolitikan (polity). Dengan kata lain demokrasi menjunjung tinggi konsepsi yang menegaskan bahwa seorang warga adalah seorang anggota penuh dan setara dari tubuh kepolitikan yang dimaksud yakni Negara Bangsa.

Warga dari sebuah negeri demokratis seringkali juga memiliki identitas yang beragam dari saling tumpang tindih satu sama lain (overlapping) akibat perbedaan dalam identitas social ekonomi dan budaya seperti misalnya ras, agama, kelas social dan gender. Namun begitu, sebuah identitas tunggal harus dimiliki dalam prinsip kesetaraan oleh setiap

17

Page 18: Kewaerganegaraan Dan Politik

warga dalam komunitas politik (polity) dengan tetap memperhatikan beragam perbedaan identitas, inilah yang kita sebut dengan identitas kewargaan.12

Di titik ini, identitas dimaksud dimiliki secara umum oleh setiap warga. Pemilikan identitas kewargaan itu sendiri harus didahului dan didasarkan pada komitmen terhadap prinsip dan nilai-nilai demokrasi yang dianut oleh bangsa serta dipertahankan secara yang bebas dan sadar Dengan posisi semacam maka aspek pokok dari kewargaanegaraan demokrasi adalah sudut pandang untuk melihat individu atau warga sebagai anggota komunitas dengan previledge hukum yakni sebagai penyandang hak-hak dengan partisipasi (bearer of rights) ketimbang abdi yang melayani kepentingan Negara dan penguasa.13 Inilah aspek subtsansial pertama dari kewarganegaraan.

Lebih jauh lagi, di titik ini penting untuk ditegaskan bahwa bagi bangsa dengan tingkat kemajemukan agama, ras, etnis serta identitas cultural, sebuah identitas umum dan tunggal yang mengatasi berbagai perbedaan tersebut menjadi sangat penting terutama dalam keperluan membangun ikatan kebersamaan sebagai sebuah komunitas politik demokratis.

Namun demikian justru karena kehendak mengabdi kepentingan demokratis maka kewarganegaraan selalu merupakan sebuah diskursus terbuka. Ia merupakan salah satu arena paling pokok dalam kepolitikan di mana berbagai kepentingan dan kekutan politik berupaya memberikan definisi dan menentukan watak-watak pokoknya. Kewarganegaraan demikian penting tidak hanya karena ia mencerminkan sebuah identitas politik apa yang dominant dalam sebuah komunitas politik, lebih jauh dari itu ia seringkali diinginkan

12 Di sini yang dikehendaki adalah meskipun pada dasarnya identitas kewargaan itu satu namun kesatuan itu dilakukan dengan tidak menindas, meniadakan hak-hak dari kelompok yang rentan terhadap ketidakadilan seperti perempuan, anak dan minoritas. Memang dalam diskursus politik dan hukum, klaim keumuman dan universalitas dari konsepsi kewargaan seringkali kesulitan untuk menemukan kesesuaian dengan tuntutan yang sifatnya particular seperti hak-hak jender misalnya. Di sini seringkali konsepsi kewargaan dianggap bertentangan dengan aspirasi jender. Untuk ini lihat dalam Young, Iris Marion (1995), Polity and Group Difference: A Critique of the Idea of Universal citizenship dalam Beiner, Ronald (ed) Tehorising Citizenship (New York: SUNY)13 Untuk ini lihat dalam Held, David (1991), Between State and Civil Society: Citizenship dalam Andrews, Geoff (ed), Citizenship (London: Lawrence & Wishart)

18

Page 19: Kewaerganegaraan Dan Politik

untuk merepresentasikan dan memformulasikan secara subtil karakter ideology apa yang diperjuangkan dan dianut oleh komunitas itu. Pada momen ini konsepsi kewarganegaraan tidak hanya berfungsi secara formal sebagai penanda identitas politik tertentu, ia sekaligus juga bekerja sebagai semacam kesadaran yang mengarahkan, memberi batas (demarkasi) dan memberi orientasi pada individu.14

Sebagai arena kontestasi dengan demikian konsepsi kewarganegraan selalu bersifat ringkih dalam arti ia akan menjadi sangat bergantung pada factor-faktor determinan yang berasal dalam kepolitikan secara umum. Pada titik ini, dengan demikian sebagaimana demokrasi, kewarganegaran juga selalu hidup di bawah ancaman. Dalam keadaan di mana kekuatan dan nilai-nilai demokrasi serta kesetaraan menjadi lemah, ia bisa didefinisikan secara politik oleh kekuatan otoritarian, fascis dan fundamentalis. Untuk mencegah itu, oleh karenanya selaku pembawa hak dan sebegitu ia menerima demokrasi, maka otomatis, warga juga kemudian memiliki tanggung jawab politik: tanggung jawab untuk mempertahankan demokrasi sebagai sendi kehidupan bersama. Di sini kita memahami aspek substansial kedua dalam konsepsi kewarganegaraan yakni tugas atau tanggung jawab warga yakni aktifitas dan partisipasi maksimum untuk menjaga dan menentukan watak Negara demokratis.

b. Keperluan untuk memperluas wahana jaminan dan perlindungan hak-hak dasar dan keadilan social (social justice).

Keperluan untuk meneguhkan konsepsi kewarganegaran yang substantive seringkali juga didasarkan pada alasan yang sifatnya kontekstual, menyangkut tantangan-tantangan konkret yang dihadapi oleh warga dalam kaitanya dengan kebutuhan mempertahankan cita-cita demokrasi dan keadilan social. Konsepsi ini berkembang secara luar biasa terutama dalam lingkungan-lingkungan Negara-negara yang baru saja lepas dari belenggu rejim otoriter seperti di Negara-negara Eropa Timur paska jatuhnya Uni Soviet, Amerika Latin. Dalam konteks Negara-negara itu, pemikiran tentang kewarganegaran yang substantive berakar pada kepentingan untuk mengkonsolidasikan demokrasi, melindungi kesejahteraan social, memecahkan soal konflik etnis dan agama, mengaktualkan isu nasionalisme dan reformasi pemerintahan.15

14 Lihat pandangan Mouffe dalam Smith, Anna Marie (1998), Laclau and Mouffe: the Radical Political Imaginary, (Routledge: London dan New York)15 Shafir, Gershon (1998), Introduction: The Evolving Tradition of Citizenship dalam Shafir (ed) The Citizenship Debates (University of

19

Page 20: Kewaerganegaraan Dan Politik

Dalam konteks ini, ikatan seorang individu dengan Negara ada baiknya dikonstruksi secara demokratis dalam arti dimulai dari apa yang bisa disediakan Negara terhadap individu yang menjadi anggota warganya. Dengan demikian status kewarganegaraan di sini sekaligus juga menjadi semacam penanda dari suatu perjanjian social di mana Negara dikukuhkan justru melalui pengukuhan atas niat melindungi dan memenuhi hak-hak warga.

Tabel 1: Lokasi Kuasa dan Tipe-tipe Hak untuk MelindungiLOkasiKuasa

Kategori Hak

Contoh Hak Tindakan Berbasis Hak Yang Relevan

Tubuh Kesehatan

Hak atas kesehatan, lingkungan yang bersih dan hak-hak reproduksi.

Pemenuhan kebutuhan jasmani, reproduksi dan kebebasan untuk menjadi orang tua.

Kesejahteraan

Sosial Hak perawatan dan pengasuhan anak gratis.

Pendidikan Gratis

Pelayanan Masyarakat

Kesempatan membangun kemampuan dan bakat.

Budaya Budaya Kebebasan berfikir dan beragama/tidak beragama.

Kebebasan berekspresi dan mengkritik.

Toleransi

Mengupayakan tata simbolik dan bentuk-bentuk keterlibatan diskursif.

Asosiasi Warga(Civic Association)

Hak untuk bergabung dan mengorganisasikan asosiasi.

Aktif selaku anggota asosiasi.

Kebebasan informasi.

Prakarsa-prakarsa individu dan kelompok.

Ekonomi Pendapatan Minimum yang terjamin.

Bentuk KOnsumsi dan produksi yang beragam.

Akses terhadap produksi.

Kemampuan beraktivitas dalam ekonomi tanpa halangan keuangan.

Relasi Koersi dan Organisasai Kekerasaan

Hidup dalam damai dan kerjasama.

Kebijakan luar negeri yang berdasar hukum.

Akuntabilitas politisi terhadap hukum.

Kemanan fisik dan hubungan tanpa kekerasan.

Hukum dan Institusi Peraturan Perundangan

Persamaan dihadapan hukum.

Kesempatan yang sama untuk musyawarah.

Keterlibatan dan partisipasi langsung dalam politik dan perwaikilan politik yang ada yang lintas kelompok.

Partisipasi dalam penyusunan agenda public, debat dan politik electoral.

Minnesota Press: Minneapolis: London)

20

Page 21: Kewaerganegaraan Dan Politik

Dari table di atas, nampak dengan jelas bahwa di dalam suatu tatanan yang demokratis maka pendefisnian tentang kuasa diiringi atau dipadankan dengan pendefinsian hak-haknya, termasuk hak-hak yang sifatnya hak sosial. Logika ini sendiri menjadi suatu keharusan mengingat hak-hak itu sendiri muncul dengan kesadaran perlunya menyeimbangkan meluasnya kuasa Negara atas warga. Dengan demikian makin besar kekuasaan Negara, makin besar pula hak-hak warga yang mesti dijamin dan dilindungi.

Dengan alur semacam ini, maka kualitas warga dan kualitas Negara menjadi tidak bertentangan. Di sini diakui bahwa Negara demokratis berarti juga suatu Negara yang kuat, bukan karena kuasa represifnya, tapi karena kemampuannya menjamin dan melindungi hak warga.

a. Dapatkah Kita Mengubur Rasisme: Diskursus ‘ Masalah Cina” dan Konsepsi Kewargaan Rasis

Pada dasarnya kalau dilihat secara tekstual dari Undang-undang Kewarganegaraan yang pernah ada, memang tidak dijumpai ungkapan rasis secara terbuka. Namun justru, di sinilah letak soal pokoknya, yakni bahwa konsepsi dan aturan kearganegaraan itu hidup dilingkungan politik serta system hukum lain yang bersifat rasis.

Aspirasi dan pandangan kritis kalangan minoritas terhadap persoalan kewarganegaraan dalam arti formal berakar pada perjalanan panjang politik rasis yang berkembang di Indonesia. Di sini paling tidak dapat kita jejakan pada dua periodic yang paling dahsyat yakni masa penjajahan (yang menyusun masyarakat atas dasar pemembelahan ras-ras di Hindia Belanda dan masa Orde Suharto di mana di sini etnis Tionghoa direpresentasikan, ditetapkan dan didefinisikan dalam sebuah konstruksi politik yang sangat buruk dan negative yakni dalam apa yang disebut ‘masalah cina’.

Dengan ‘masalah cina’ maka yang dimaksud adalah sebuah kesatuan diskursif untuk menempatkan golongan etnis Tionghoa secara umum dalam kaitannya dengan peristiwa G 30 S di mana di satu sisi pemerintah RRT pada waktu dianggap mendukung Soekarno dan PKI sementara pada saat yang sama untuk sebagian masih berlaku perjanjian Dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan RRT. Kompleksitas yang kemudian timbul dari dua keadaan ini menghasilkan sebuah keadaan politik yang sanagt buruk di mana etnis Tionghoa secara umum mengalami tuduhan ‘berbau PKI’ disatu sisi

21

Page 22: Kewaerganegaraan Dan Politik

dan tidak nasionalis di sisi yang lain. Tuduhan ini pada perkembangannya menjadi diskurusus dominan yang menancap dalam pandangan rasis di Indonesia.

Parahnya diskursus ‘masalah cina’ ini sendiri menjadi sumber dan rujukan praktek politik rasis karena memang mendapatkan legitimasi yang bersumber secara langsung dari pusat kekuasaan Baru sendiri sebagaimana nampak dari cara bagaimana Negara pada waktu menempatkan diskursus ini:

Rujukan yang paling nyata dan awal disimpulkan oleh Presiden Soeharto pada waktu itu langsung dalam Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia Jenderal Soeharto di depan sidang DPR-GR, 16 agustus 1967, 2 tahun selang peristiwa G 30 S menyebut-neyebut secara khusus apa yang dikenal dengan masalah Cina:

Dalam rangka mewudjukan tertib-sosial ini, maka kami akan memberikan garis kebijaksanaan Pemerintah yang berhubungan dengan masalah Cina. Kepada seluruh Rakyat, kami serukan agar tidak terjebak kedalam kegiatan-kegiatan yang menjurus kepada rasialisme…..Kita harus menarik garis lurus yang jelas antara Cina Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia keturunan cina….Kami Serukan kepada warga Negara Indonesia keturunan Cina untuk tidak menunda-nunda lagi ber-integrasi dan berasimilasi dengan masyarakat Indonesia (asli). Saudara-saudara hendaknya sadar, bahwa saudara-saudara telah memilih dengan sukarela tanpa paksaan kewarganegaraan Indonesia.16

Berlanjut dari perintah pidato presiden itu, normalisasi dan institusionalisasi kemudian dikembangkan dalam sebuah politik kewarganegaraan yang secara jelas memang menempatkan etnisitas tionghoa secara umum ke dalam posisi yang aneh: di satu sisi di tingkat normative, diakomodasi sebagai WNI (dengan embel-embel keturunan atau bukan asli sementara di sisi yang lain pencitraan sebagai ‘unsur asing’ masih terus berlangsung dan dilanjutkan.17

Kelanjutan dari parktek ini dapat kita telusuri dengan melihat berbagai

16 Pidato Kenegaraan Presiden republic Indonesia Jenderal Soeharto di depan sidang DPR-GR, 16 agustus 1967, diterbitkan oleh Departemen Penerangan RI.17. Ini nampak dengan jelas dari diskursus mengenai pribumi dan non-pribumi yang masih terus berkembang.

22

Page 23: Kewaerganegaraan Dan Politik

mekanisme politik dan kemanan yang digunakan untuk terus menghidupkan diskurus ‘masalah cina’. Lima thaun lebih semenjak g 30 S meletus keluar Keputusan Kabakin no. kpts.-031 tahun 1973 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Masalah Cina, Keputusan Kabakin no. kpts.-032 tahun 1973 tentang Struktur Organisasi, Prosedur dan Tata Cara kerja Badan Koordinasi Masalah Cina. Setelah itu masih juga dilanjutkan lagi dengan keluarnya Inpres nomor 2 tahun 1980 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Praktek politik yang berkembang akibat dari diskursus “masalah Cina’ :

1. menguatnya pemisahan yang absurd antara istilah asing – asli

2. menguatnya diskursus tentang pribumi – non pribumi3. menguatnya sterotype tentang ‘masalah cina’

sehingga menjadi diskursus umum bahwa ‘cina/orang cina = masalah = bukan warga yang baik = tidak layak setara = tidak perlu mendapatkan hak setara.

4. rasialisme yang terlembaga dan menjadi praktek diskriminasi.

Dengan menguatnya kelembagaan rasis ini, maka tidak dapat dihindarkan lagi bahwa identitas social etnis tionghoa di sini kemudian sudah sedemikian rupa diperangkap dan dibelenggu oleh rasisme secara umum. Jadi terlepas dari apapun yang telah dibuat dan dihasilkan oleh etnis keturunan ini, ia tetap sulit untuk melepaskan diri kerangka hegemonik dan pandangan rasis umum yang telah dibuat.

Sedikit perubahan baru berlangsung puluhan tahun kemudian, awalnya di tahun 1996, di mana mantan presiden Soeharto mengeluarkan Keppres no 56 tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan.di mana di dalam Keppres itu keharusan yang dibuat sejak tahun 1980 tidak lagi diwajibkan. Tindakan yang lebih signifikan kemudian terjadi setelah Soeharto jatuh di mana Presiden Habibie yang menggantikannya mengeluarkan Inpres no 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan istilah Pribumi dan Non Pribumi dilanjutkan dengan disahkannya UU no 29 tahun 1999 tentang Penghapusan Semua bentuk Diskriminasi Rasial. Pergeseran yang berarti dalam kerangka diskurus ‘masalah cina’ ini terjadi secara lebih kentara di masa Presiden Abdurrahman Wahid g dengan dihidupkannya kembali praktek cultural etnis Tionghoa sehingga dengan itu didekonstruksi semua mekanisme yang melahirkan struktur rasis olitik yang dibangun oleh Soeharto.

23

Page 24: Kewaerganegaraan Dan Politik

Namun begitu meski secara cultural telah terjadi perubahan-perubahan yang sangat berarti, disebabkan karena rasisme telah berakar lama dalam kelembagaan politik keamanan dan hukum, maka meski secara normatif dan dalam aturan ia telah dihapuskan namun ia telah terlanjur hidup dalam urat praktek birokrasi di Indonesia, sehingga diskriminasi dalam praktek masih tetap sulit dihilangkan.

b. Dapatkah kita Mengubur Patriarkhi dan Xenophobia?

Pemberlakuan hukum dan aturan kewargaan yang menempatkan status kewarganegaraan perempuan (istri) dan anak dibawah atau bergantung pada status kewarganegaraan laki-laki (suami) telah berlangsung dan diterima semenjak lama, bahkan mungkin semenjak sebuah undang-undang kewarganegaraan diberlakukan di Indonesia. Dalam UU Kewarganegaraan baik UU 3 Tahun 1946 dan UU 62 Tahun 1958, kewarganegaraan perempuan dan anak selalu ditentukan oleh pihak diluar dirinya. Bagi perempuan, identitas kewarganegaraan itu ditentukan oleh suami dan Negara Suami. Dalam sebuah perkawinan campuran, relasi gender yang timpang ini terlihat jelas.

Dalam UU 62 Tahun 1958, prinsip yang dianut adalah persamaan derajat kewarganegaraan dalam perkawinan yang memungkinkan adanya perbedaan kewarganegaraan antara suami dan istri. Pada prakteknya, sudah terjadi beberapa kasus yang apabila pasangan tersebut tinggal disalah satu Negara suami atau istri maka terdapat beberapa akibat yang timbul, yaitu: 1) hambatan keimigrasian (hambatan dari aspek birokrasi), 2) apabila istri tinggal di negara suami, maka status istri rentan karena dia berstatus sebagai imigran, 3) pada beberapa Negara, warga Negara asing dimungkinkan mengajukan permanent residen. Sayangnya, untuk perempuan dalam masa penantian penentuan permanent residen ini, mereka rentan terhadap kekerasan domestik dan system hukum yang tidak memihak, 4) jika tinggal di Negara istri, istri tidak memiliki kapasitas untuk menjadi sponsor terhadap permohonan izin tingal suami, dan 5) apabila terdapat masalah dengan status kewarganegaraan suami (misal: deportasi) anak akan menanggung akibat yang sama.

Cara pandang yang bias gender ini juga berpengaruh terhadap posisi anak dalam sebuah keluarga hasil perkawinan campuran (mixed couple). Posisi perempuan yang lemah dalam relasi kewarganegaraan dengan suami dan Negara suaminya, akan menyebabkan posisi kewarganegaraan anak tergantung pada status hukum garis ayah. Apalagi untuk anak yang orang tuanya terpisah secara hukum (bercerai), maka hubungan Ibu dan anak menjadi hubungan antara orang asing yang dalam kasus Indonesia, status kewarganegaraan

24

Page 25: Kewaerganegaraan Dan Politik

anak akan ditentukan oleh pengadilan. Hal ini mencederai hak anak untuk menentukan kemerdekaan dirinya.

Dominasi wacana patriarkis ini dapat berlaku selama masa-masa itu dan belum pernah ada kritik tersendiri.18 Singkatnya dari peraturan kewarganegaraan yang saat ini ada, dalam hal pengaturan hubungan laki-laki dan perempuan nampak dengan jelas aturan-aturan yang dibuat masih bersifat :

18 Hal ini nampak pada RUU kewarganegaraan yang sedang dibahas oleh DPR. Ini terlihat dari ketentuan yang menyatakan bahwa perempuan Indonesia akan kehilangan kewarganegaraannya jika ia menikah dengan pria WNA yang mana Negara si pria tersebut menghendaki kewarganegaraan yang sama dengan kewarganegaraan suami. Hal ini tidak konsisten dengan Konvensi CEDAW tentang jaminan independensi kewarganegaraan perempuan yang sudah menikah. Dalam kerangka keadilan gender yang fundamental, pasal ini juga mengindikasikan bahwa perempuan tidak berhak menentukan hidupnya karena status kewarganegaraan yang berkaitan langsung dengan dirinya-pun ditentukan oleh pihak diluar dirinya. Perempuan juga akan menjadi asing di negerinya sendiri serta kehilangan hak sipil, politik dan ekonominya. Dan apabila suami meninggal atau kehilangan status kewarganegaraan, maka perempuan/istri akan kehilangan status kewarganegaraannya.

Ketentuan-ketentuan yang kurang memperhatikan aspek kesetaraan jender di atas dapat dilihat dalam susunan pasal-pasal RUU sebagai berikut:

Pasal 21:

(1)Anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin, bertempat tinggal serta berada di wilayah Negara republic Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia mengikuti status kewarganegaraan:

a. ayahnya, apabila anak tersebut mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya;

b. ibunya, apabila anak tersebut lahir dalam perkawinan yang sah dan ayahnya meninggal dunia;

c. ibunya, apabila anak tersebut lahir dalam perkawinan yang sah, tetapi dalam perceraian, oleh hakim diserahkan pada asuhan ibunya; atau

d. ibunya, apabila anak tersebut lahir di luar perkawinan yang sah

25

Page 26: Kewaerganegaraan Dan Politik

1. ius sanguinis yang patriarchal, ini akan menyebabkan diskriminasi terhadap perempuan terutama dalam hal hak anak.

2. asas kewarganegaraan tunggal yang kaku kurang memberikan kemerdekaan bagi anak hasil kawin campur untuk memilih kewarganegaraan orang tuanya.

Pasal ini menunjukkan potensi diskriminasi di mana status kewargaan anak dari garis ibu diperoleh otomatis hanya dalam keadan di mana si ayah telah meninggal, sementara si ayah hidup maka otomatis si anak akan mengikuti kewargaanegaraan si ayah.

Pasal 22:

(1) dalam hal terjadi perceraian antara seorang ibu warga Negara Republik Indonesia dan ayah warga Negara asing, dan hakim menyatakan bahwa anak yang lahir dari perkawinan kedua orang tersebut diserahkan kepada asuhan ibunya, maka ibu anak tersebut dapat mengajukan permohonan kepada menteri untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia.

(2)Dalam hal putusnya perkawinan karena kematian suami dari seorang istri warga Negara republic Indonesia, anak yang mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya dapat mengajukan permohonan kepada Menteri untuk memperoleh kewarganegaraa Republik Indonesia.

Pasal 22 ini sedikit bertolak belakang dengan pasal 21 dalam hal pemegang hak kewargaan antara anak dan ibu tapi diskriminasi masih terus berlangsung, ini nampak dari :

Pasal ini memisahkan dua sebab kewargaanegaraan untuk anak yakni perceraian orang tua dan kematian (selalu si ayah). Apabila karena cerai, maka si ibu punya hak mengajukan kewarganegaran si anak, tetapi bila ayah meninggal maka si anak yang mengajukan. Dengan ketentuan semacam ini, maka pasal ini beranggapan laki-laki masih memiliki potensi dan kemampuan hukum atas anak sejauh akibat perceraian karenanya hak penentuan kewarganegaraan dijatuhkan kepada si ibu. Kemampuan hukum laki-laki itu selesai bila meninggal tapi anehnya hak pengajuan kewarganegaraan tidak lagi pada ibu melainkan pada anak. Selain terlihat mengesampingkan hak

26

Page 27: Kewaerganegaraan Dan Politik

VI. Kesimpulan

Dalam konteks Indonesia sekarang, penyusunan suatu definisi baru mengenai siapa warga Negara Republik Indonesia juga dibebani kewajiban untuk memperhatikan lingkungan di luar hukum yang secara dinamis terlibat dalam menentukan siapa orang Indonesia itu, dalam hal ini kelas social dan gender misalnya. Artinya yang hendak dipersoalkan di sini adalah sejauh mana identitas kewargaan yang sifatnya legal procedural itu dihadapkan pada pertanyaan yang berakar pada identitas social-ekonomi warga misalnya kemiskinan. Dalam hal Tenaga kerja Indonesia misalnya, apa arti menjadi warga Indonesia di satu sisi tetapi di lain sisi miskin dan menderita, hidup di bawah kondisi-kondisi social yang terbelakang, dihancurkan dan disiksa di negara orang tanpa ada negara yang beruapaya membela dan menolang. Apa makna KTP Indonesia buat mereka?

Pertanyaan ini demikian penting, terutama dengan mengingat dan memperhatikan gejala-gejala belakangan ini di mana privatisasi merajalela dan makin menjauhkan orang miskin dari segala macam akses terhadap pendidikan, kesehatan dan perumahan yang layak.

Persoalan ini mungkin tidak berkaitan dengan kewarganegaraan secara langsung , tetapi yang justru mau ditekankan di sini adalah

perempuan pasal ini tidak diperhitungkan situasi-situasi khusus seperti umur si anak.

Pasal 26 :

Warga Negara Republik Indonesia kehilangan kewarganegaraanya apabila yang bersangkutan :

(d). sebelum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh bapaknya yang berkewarganegraan asing, jika yang bersangkutan dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.

Pasal 26 ini merupakan pasal yang patut mendapat sorotan tajam, karena sifatnya yang mau melangkahi hak dan pendirian anak juga mengabaikan aspirasi-aspirasi si ibu. Ketentuan sebagaimana pasal ini yang dalam praktek telah melahirkan sejumlah masalah hukum yang sangat merugikan pihak ibu, karena harus merelakan kehilangan hak anak setelah perceraian dengan suami yang berkewarganegraan asing. Sering karena kesulitan ekonomi dsb, perempuan atau si ibu menjadi sama sekali kehilangan askses untuk pengasuhan dan pemeliharaan anak.

27

Page 28: Kewaerganegaraan Dan Politik

bahwa dalam kerangka membangun diskursus politik yang maksimum untuk mencapai produk hukum yang komprehensif, akan sangat baik apabila pertanyaan ini dicerna.

Dalam keperluan itu, undang-undang Kewarganegaraan dan perubahan konstitusi serta undang-undang yang lain bahkan, dapat dimanfaatkan untuk memberi semacam peneguhan komitmen Negara untuk pertama; memperlakukan warga sebagai subyek yang terhormat dan bermartabat secara social ; kedua mengupayakan keadilan social yang terus menerus untuk meneguhkan sikap menolak situasi brute luck dialami oleh warga yang menjadi anggotanya.

Dengan pendirian semacam ini maka sebuah ukuran substantif mengenai hubungan Negara dan warga menjadi sangat penting untuk ditegaskan kembali dalam undang-undang kewarganegaraan. Di titik ini singkatnya, undang-undang Kewarganegaraan hendaknya menegaskan kembali syarat-syarat pokok sebagai berikut:

Pertama, dia menegaskan sebuah identitas bersama yang mengatasi segala perbedaan ras, etnik, agama, gender dan kelas dalam masyarakat, dalam hal ini perlu dikemukakan pandangan tentang apa Indonesia dan kebangsaan Indonesia.

Kedua, identitas tersebut diperkuat oleh nilai-nilai kebajikan utama (virtue) yang dianut secara sukarela, tanpa paksaan dan menjadi komitmen dari semua warga dan mencerminkan kesetaraan., dalam hal dimulai dengan Pancasila dan hak asasi-manusia.

Ketiga, identitas umum itu sendiri kualitasnya selalu ditentukan ciri dan karakternya oleh cita-cita bersama komunitas bangsa, dalam hal ini oleh sejauh mana hak-hak warga dilindungi dan diperjuangkan. Semakin tinggi dan kualitas hak yang diberikan maka semakin tinggi juga kualitas kewarganegaraan sehingga dengan itu semakin tinggi pula kualitas politik dan legitimasi negara atau pemerintahan yang mengupayakannya. Di titik ini kewarganegaraan sangat terkait dengan sebuah konstitusi dan kehidupan konstitusional yang menjamin hak-hak itu secara penuh. Dalam hal ini harus dipertegas lagi hak-hak sebagaimana termaktub dalam konstitusi, termasuk hak-hak yang menyangkut social, ekonomi dan budaya.

Keempat, sesuai dengan penegasan hak-hak konstitusional dan hak asasi manusia, perlu juga ditegaskan kewajiban warga dalam hal ini kewajiban untuk terlibat secara aktif dalam kepolitikan umum (polity); seperti terlibat aktif dalam kepolitikan tidak hanya pada saat pemilu tetapi juga aktif dalam menjunjung kehidupan konstitusi serta menjaga demokrasi.

28

Page 29: Kewaerganegaraan Dan Politik

Kelima, dalam konteks Indonesia di mana kemiskinan, kerawanan social dan keterbelakangan masih merupakan persoalan pokok, maka jelas bahwa konsepsi kewarganageraan baru yang dibentuk harus mampu memberikan perlindungan dan jaminan yang utama terhadap masyarakat miskin.

29

Page 30: Kewaerganegaraan Dan Politik

Lampiran

Jaminan Hak-hak DasarSebagaimana Tercantum dalam UUD 1945

No PasalBunyi Hak yang

Dijamin

1. 18

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Hak budaya komunitas

2. 27 (1)

Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Hak sipil dan politik

3. 27 (2)Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Hak sosial dan ekonomi

4. 28

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebaganya ditetapkan dengan undang-undang.

Hak sipil dan politik

5. 29 (2)

Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Hak sipil

6. 30 (1)Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.

Hak sipil dan politik

7. 31 (1)Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.

Hak sosial dan budaya

8. 31 (2)

Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.

Hak sosial dan budaya

9. 32 Pemerintah memajukan Hak budaya

30

Page 31: Kewaerganegaraan Dan Politik

kebudayaan nasional Indonesia

10. 33 (1)Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Hak ekonomi

11. 33 (2)

Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Hak ekonomi

12. 33 (3)

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Hak ekonomi

13. 34Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

Hak sosial dan ekonomi

31

Page 32: Kewaerganegaraan Dan Politik

Tambahan Jaminan Hak-hak Dasar Sebagaimana Tercantum dalam UUD 1945 Hasil Amandemen

No PasalBunyi Hak yang

Dijamin

1.18B (1)

Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

Hak budaya

2.18B (2)

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Hak budaya

3. 27 (1)

Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Hak sipil dan politik

4. 27 (2)Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Hak ekonomi dan sosial

5. 27 (3)Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.

Hak sipil dan politik

6. 28

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Hak sipil dan politik

7.28A-28J

(Pasal-pasal yang mengadopsi butir-butir Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia)

Hak sipil dan politik serta hak sosial, ekonomi dan budaya

8. 29 (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya

Hak sipil

32

Page 33: Kewaerganegaraan Dan Politik

dan kepercayaannya itu

9. 30 (1)Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.

Hak sipil dan politik

10. 31 (1)Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

Hak sosial dan budaya

11. 31 (2)Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Hak sosial dan budaya

12. 32 (1)

Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Hak budaya

13. 32 (2)Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.

Hak budaya

14. 33 (1)Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Hak ekonomi

15. 33 (2)

Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Hak ekonomi

16. 33 (3)

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Hak ekonomi

17. 34 (1)Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

Hak sosial dan ekonomi

18. 34 (2)

Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Hak sosial dan ekonomi

19. 34 (3)

Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Hak sosial

33