KH.abbas Buntet

Embed Size (px)

Citation preview

FacebookTop of Form

Bottom of Form Mohammad Tri Faldi Beranda Pintasan Privasi

Pengaturan Akun

SEJARAH TOKOH NU YANG JARANG TEREKSPOS (1)9 Februari 2013 pukul 22:30Dukung NU Mendirikan TV NU Nusantara 16.587 menyukai inisekitar sejam yang lalu MANAQIB KH. ABBAS DJAMIL BUNTET Daftar Isi:1. Pendahuluan2. Masa Kelahiran KH. Abbas Djamil3. Pendidikan KH. Abbas Djamil4. Kiprah KH. Abbas Djamil di Pesantren5. Kesederhanaan KH. Abbas Djamil6. Perjuangan KH. Abbas Djamil7. Karamah KH. Abbas Djamil8. Kewafatan KH. Abbas DjamilPendahuluanAl-Mukarram KH. Abbas bin KH. Abd Djamil dari Buntet adalah Wali Allah berintelektual tinggi, pejuang hebat dan ahli organisasi. Di bawah kepemimpinannya Pesantren Buntet di Cirebon mencapai masa keemasan, walaupun saat itu situasi dalam keadaan kacau dan penuh ketegangan sebagai akibat dari berkecamuknya Perang Dunia II.KH. Abbas adalah salah satu dari Tujuh Kyai Besar yang menjadi Muqaddam utama tarekat Tijaniyyah yang diangkat oleh Mursyid Tarekat Tijaniyyah Syekh Ali ibn Abdullah ath-Thayyib al-Madani dari Madinah. Ketujuh Muqaddam utama inilah yang bertanggung jawab atas penyebaran tarekat ini ke wilayah Jawa Barat.Tujuh Muqaddam itu adalah Syekh Ali ath-Thayyib Bogor (putra dari Syekh Ali ibn Abdullah ath-Thayyib Madinah), KH. Asyari Bunyamin Garut, KH. Badruzzaman Garut, KH. Utsman Damiri Cimahi (Bandung), dan tiga bersaudara Kyai Buntet: KH. Abbas Djamil, KH. Anas dan KH. Akyas.Masa Kelahiran KH. Abbas DjamilKH. Abbas Djamil adalah putra sulung dari pasangan KH. Abdul Djamil dan Nyai Qariah. KH. Abbas Djamil dilahirkan pada hari Jumat 24 Dzulhijah 1300 H atau 1879 M di desa Pekalangan, Cirebon.Sedangkan ayahnya KH. Abdul Djamil adalah putra KH. Mutaad, menantu pendiri Pesantren Buntet, yakni Mbah Muqayyim.Mbah Muqayyim menjadi Mufti pada masa pemerintahan Sultan Khairuddin I, Sultan Kanoman yang mempunyai anak Sultan Khairuddin II yang lahir pada tahun 1777. Tetapi Jabatan terhormat itu kemudian ditinggalkan semata-mata karena dorongan dan rasa tanggung jawab terhadap agama dan bangsa.Selain itu juga karena sikap dasar politik Mbah Muqayyim yang non-cooperative terhadap penjajah Belanda karena penjajah secara politik saat itu sudah menguasai Kesultanan Cirebon.Setelah meninggalkan Kesultanan Cirebon, maka didirikanlah lembaga pendidikan pesantren tahun 1750 di Dusun Kedung Malang, desa Buntet, Cirebon yang petilasannya dapat dilihat sampai sekarang berupa pemakaman para santrinya. Untuk menghindari desakan penjajah Belanda, ia selalu berpindah-pindah. Sebelum berada di Blok Buntet, (desa Martapada Kulon) seperti sekarang ini, ia berada di sebuah daerah yang disebut Gajah Ngambung. Disebut begitu, karena Mbah Muqayyim dikabarkan mempunyai gajah putih.Setelah itu juga masih terus berpindah tempat ke Persawahan Lemah Agung (masih daerah Cirebon), lantas ke daerah yang disebut Tuk Karangsuwung. Bahkan, lantaran begitu gencarnya desakan penjajah Belanda (karena sikap politik yang non-cooperative), Mbah Muqayyim sampai hijrah ke daerah Beji, Pemalang, Jawa Tengah, sebelum kembali ke daerah Buntet, Cirebon. Hal itu dilakukan karena hampir tiap hari tentara penjajah Belanda melakukan patroli ke daerah pesantren. Sehingga suasana pesantren, mencekam, tapi para santri tetap giat belajar sambil terus begerilya, bila malam hari tiba.Semuanya itu dijalani dengan tabah dan penuh harapan, sebab Mbah Muqayyim selalu mendampingi mereka. Sementara bimbingan Mhah Muqayyim selalu meraka harapkan sebab kiai itu dikenal sebagai tokoh yang ahli tirakat (riyadhah) untuk kewaspadaan dan keselamatan bersama. Ia pernah berpuasa tanpa putus selama 12 tahun. Mbah Muqayyim niat puasanya yang dua belas tahun itu dalam empat bagian.Tiga tahun pertama, ditunjukkan untuk keselamatan Buntet Pesantren. Tiga tahun kedua untuk keselamatan anak cucuknya. Tiga tahun yang ketiga untuk para santri dan pengikutnya yang setia. Sedang tiga tahun yang keempat untuk keselamatan dirinya. Saat itu Mbah Muqayyim lah peletak awal Pesantren Buntet, sudah berpikir besar untuk keselamatan umat Islam dan bangsa. Karena itu pesantren rintisannya hingga saat ini masih mewarisi semangat tersebut. Sejak zaman pergerakan kemerdekaan, dan ketika para ulama mendirikan Nahdlatul Ulama, pesantren ini menjadi salah satu basis kekuatan NU di Jawa Barat.Dengan demikian, pada dasarnya KH. Abbas adalah dari keluarga alim. Oleh karena itu pertamakali ia belajar adalah pada ayahnya sendiri, KH. Abdul Djamil.Pendidikan KH. Abbas DjamilMasa kecilnya banyak dihabiskan dengan belajar pada ayahnya sendiri, KH. Abdul Djamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama, barulah KH. Abbas berguru kepada para ualama yang lainnya.KH. Nasuha di Pesantren Sukanasari Plered Cirebon adalah yang beliau tuju pertama kali. Kemudian pindah lagi ke Pesantren salaf di daerah Jatisari, Pimpinan KH. Hasan di Jatisari Weu Jawa Barat. Lalu ia melanjutkan ke sebuah Pesantren yang diasuh oleh KH. Abu Ubaidah di Giren Tegal, Jawa Tengah.KH. Abbas juga berguru kepada KH. Anwaruddin Kriyani, lebih akrab dipanggil Ki Buyut Kriyan, yang juga dikenal sebagai Mursyid tarekat Syattariyyah dan juga pernah menjadi penghulu agama di Kraton Kasepuhan Cirebon.Setelah berbagai ilmu keagamaan dikuasai, selanjutnya ia pindah ke pesantren yang sangat kondang di Jawa Timur, yakni Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asyari, tokoh kharismatik yang kemudian menjadi pendiri NU.Pesantren Tebuireng itu menambah kematangan kepribadian Kiai Abbas, sebab di pesantren itu ia bertemu dengan para santri lain dan kyai yang terpandang seperti KH. Abdul Wahab Hasbullah (tokoh dan sekaligus arsitek berdirinya NU) dan KH. Abdul Karim yang akrab dipanggil Mbah Manaf Lirboyo, Kediri Jawa Timur.Walaupun keilmuannya sudah cukup tinggi, namun ia seorang santri yang gigih, karena itu tetap berniat memperdalam keilmuannya dengan belajar ke Mekkah al-Mukarramah. Beruntunglah ia belajar ke sana, sebab saat itu masih ada ulama Jawa terkenal tempat berguru, yaitu Syekh Makhfudz Termas (asal Pacitan, Jatim) yang karya-karyanya sangat masyhur.Di Mekkah, ia kembali bersama-sama dengan KH. Bakir Yogyakarta, KH. Abdillah Surabaya dan KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang. Sebagai santri yang sudah matang, maka di waktu senggang KH. Abbas ditugasi untuk mengajar pada para muqimin (orang-orang Indonesia yang tertinggal di Mekkah). Santrinya waktu itu antara lain, KH Cholil Balerante- Palimanan, KH Sulaiman Babakan, Ciwaringin dan santri-santri lainnya.Sepulangnya dari Mekah, KH. Abbas kerap menemui Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asyari di Tebuireng Jombang. Bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Abdul Karim (Mbah Manaf) beliau ikut membidani lahirnya Pesantren Lirboyo di Kediri.Kiprah KH. Abbas Djamil di PesantrenSetelah KH. Abdul Djamil, ayahnya, meninggal KH. Abbas memegang tampuk kepemimpinan pesantren. Salah satu terobosan utama yang dilakukan KH. Abbas adalah pengenalan sistem madrasah di pesantren sembari tetap mempertahankan sistem pengajaran tradisional seperti sorogan, bandongan, dan ngaji pasaran.Dengan bermodal ilmu pengetahuan yang diperoleh dari berbagai pesantren di Jawa, kemudian dipermatang lagi dengan keilmuan yang dipelajari dari Mekah, serta upayanya mengikuti perkembangan pemikiran Islam yang terjadi di Timur Tengah pada umumnya, maka mulailah KH. Abbas memegang tampuk pimpinan Pesantren Buntet, warisan dari nenek moyangnya itu dengan penuh kesungguhan. Dengan modal keilmuan yang memadai itu membuat daya tarik pesantren Buntet semakin tinggi.Sebagai seorang kyai muda yang energik ia mengajarkan berbagai khazanah kitab kuning, namun tidak lupa memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu. Maka kitab-karya ulama Mesir seperti Tafsir Thanthawi Jauhari yang banyak mengupas masalah ilmu pengetahuan itu mulai diperkenalkan pada para santri. Demikian juga Tafsir Fakhrurrazi yang bernuansa filosofis itu juga diajarkan.Dengan adanya pengetahuan yang luas itu pengajaran ushul fiqih mencapai kemajuan yang sangat pesat, sehingga pemikiran fiqih para alumni Buntet sejak dulu sudah sangat maju. Sebagaimana umumnya pesantren fiqih memang merupakan kajian yang sangat diprioritaskan, sebab ilmu ini menyangkut kehidupan sehari-hari masyarakat.Dengan sikapnya itu, nama Kiai Abbas dikenal keseluruh Jawa, sebagai seurang ulama yang alim dan berpemikiran progresif. Namun demikian ia tetap rendah hati pada para santrinya, misalnya ketika ditanya sesuai yang tidak menguasasi, atau ada santri yang minta diajari kitab yang belum pernah dikajianya ulang, maka Kiai Abbas terus terang mengatakan pada santrinya bahwa ia belum menguasasi kitab tersebut, sehingga perlu waktu untuk menelaahnya kembali.Dalam tradisi pesantren, selain dikenal dengan tradisi ilmu kitab kuning, juga dikenal dengan tradisi ilmu kanuragan atau ilmu bela diri, yang keduanya wajib dipelajari. Apalagi dalam menjalankan misi dakwah dan berjuang melawan penjahat dan penjajah. Kehadiran ilmu kanuragan menjadi sebuah keharusan.Oleh karena itu ketika usianya mulai senja, sementara perjuangan kemerdekaan saat itu sedang menuju puncaknya, maka pengajaran ilmu kanuragan dirasa lebih mendesak untuk mencapai kemerdekaan. Maka dengan berat hati terpaksa ia tinggalkan kegiatannya mengajar kitab-kitab kuning pada ribuan santrinya. Sebab yang menangani soal itu sudah diserahkan sepenuhnya pada kedua adik kandungnya, KH. Anas dan KH. Akyas.Ketika memasuki masa senjanya, Kiai Abbas lebih banyak memusatkan perhatian pada kegiatan dakwah di Masyarakat dan mengajar ilmu-ilmu kesaktian atau ilmu beladiri, sebagai bekal masyarakat untuk melawan penjajah. Tampaknya ia mewarisi darah perjuangan dari kakeknya yaitu Mbah Muqayyim, yang rela meninggalkan Istana Cirebon karena menolak kehadiran Belanda. Dan kini darah perjuangan tersebut sudah merasuk ke cucunya. Karena itu, Kiai Abbas mulai merintas perlawanan, dengan mengajarkan berbagai ilmu kesaktian pada masyarakat.Pada tahun 1928 beliau mendirikan Madrasah Abnaul Wathan Ibtidaiyah yang mengajarkan bidang studi umum dan sekuler. Dalam hal ini KH. Abbas mengambil pedoman dari perkataan Imam Syafii: Peliharalah nilai lama yang baik dan ambil nilai baru yang lebih baik, yang kemudian menjadi motto Pesantren Buntet dan juga NU sampai sekarang.Beberapa santri KH. Abbas kelak menjadi tokoh terkenal di tingkat nasional seperti KH. Tubagus Mansur Mamun seorang qari nasional terkenal pada zamannya, KH. Amin Iskandar yang pernah menjadi dubes RI untuk Irak, Profesor KH. Ibrahim Hussein yang pernah menjadi rektor IAIN Palembang dan Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran Jakarta dan sebagainya.Kesederhanaan KH. Abbas DjamilSetiap usai salat Dzuhur atau Ashar, tahun 1920-an, sebuah langgar di langgar Buntet, Cirebon, selalu penuh sesak oleh para tamu. Ada yang datang dari daerah sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah, bahkan ada yang dari Jawa Timur. Mereka bukan santri yang hendak menuntut ilmu agama, melainkan masyarakat yang hendak belajar ilmu kesaktian kepada sang guru.Walaupun namanya sudah sangat terkenal di seantero pulau jawa, baik karena kesaktian maupun kealimannya. Kala itu KH. Abbas tetap saja hidup sederhana. Di langgar beratap genteng itu, ada dua kamar dan ruang terbuka cukup lebar dengan hamparan tikar yang terbuat dari pandan. Di ruang terbuka inilah, sejak tahun 1920 hingga 1945 kiai Abbas menerima tamu tak henti-hentinya.Perjuangan KH. Abbas DjamilSebagai Mursyid tarekat, KH. Abbas menempati kedudukan unik karena beliau selain menjadi Mursyid tarekat Tijaniyyah beliau juga menjadi Mursyid tarekat Syattariyyah. Ini agak aneh sebab tradisi tarekat Tijaniyyah melarang pengikutnya menjadi pengikut tarekat lain. Beberapa kalangan menyatakan bahwa pengecualian ini disebabkan oleh tingginya derajat keilmuan dan spiritualitas KH. Abbas. Pada masanya inilah Pesantren Buntet memegang peranan penting dalam menyebarluaskan tarekat Syattariyyah dan Tijaniyyah.Ketinggian ilmunya dan keluasan wawasannya, serta sikapnya yang progresif, dimana beliau tidak hanya mengajarkan kitab kuning tetapi juga beberapa kitab modern, menyebabkan namanya terkenal di seantero Jawa.Selain tinggi kecerdasannya, KH. Abbas juga terkenal sebagai kyai yang sakti mandraguna. Banyak santri dan tamu yang berdatangan untuk belajar ilmu kesaktian kepada beliau. Yang datang berguru pun bukan orang biasa saja, namun sudah merupakan kelas pendekar yang ingin menambah ilmu.Konon KH. Abbas menerima beberapa tamu sakti langsung di kamar pribadinya untuk diajak duel. Setelah diuji kemampuannya, barulah KH. Abbas memberinya ijazah amalan kesaktian sesuai kebutuhan. Dengan gerakan itu maka pesantren Buntet dijadikan sebagai markas pergerakan kaum Republik untuk melawan penjajahan. Mulai saat itu Pesantren Buntet menjadi basis perjuanagan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam barisan Hizbullah.Sebagaimana Sabilillah, Hizbullah juga merupakan kekuatan yang tangguh dan disegani musuh, kekuatan itu diperoleh berkat latihan-latihan berat yang diperoleh dalam pendidikan PETA (Pembela Tanah Air) di Cibarusa semasa penjajahan Jepang. Organisasi perjuangan umat Islam ini didirikan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Anggotanya terdiri atas kaum tua militan. Organisasi ini di Pesantren Buntet, diketuai KH. Abbas dan adiknya KH. Anas, serta dibantu oleh ulama lain seperti KH. Murtadho, KH. Sholeh dan KH. Mujahid. Karena itu muncul tokoh Hizbullah di zaman pergerakan Nasional yang berasal dari Cirebon seperti KH. Hasyim Anwar dan KH. Abdullah Abbas, putera KH. Abbas.Ketika melakukan perang gerilya, tentara Hizbullah memusatkan pertahahannya di daerah Legok, kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan, dengan front di perbukitan Cimaneungteung yang terletak di dareah Waled Selatan membentang ke Bukit Cihirup Kecapantan Cipancur, Kuningan. Daerah tersebut terus dipertahankan sampai terjadinya Perundingan Renville yang kemudian Pemerintah RI beserta semua tentaranya hizrah ke Yogyakarta.Selain mendirikan Hizbullah, pada saat itu di Buntet Pesantren juga dikenal adanya organisasi yang bernama Asybal. Inilah organisasi anak-anak yang berusia di bawah 17 tahun. Organisasi ini sengaja dibentuk oleh para sesepuh Buntet Pesantren sebagai pasukan pengintai atau mata-mata guna mengetahui gerakan musuh sekaligus juga sebagai penghubung dari daerah pertahanan sampai ke daerah front terdepan. Semasa perang kemerdekaan itu, banyak warga Buntet Pesantren yang gugur dalam pertempuran, diantaranya adalah KH. Mujahid, KH. Aqib, KH. Mawardi, KH. Abdul Jalil, KH. Nawawi dan lain-lain.Basis kekuatan laskar yang dibangun oleh Kiai Abbas itu kemudian menjadi pilar penting bagi tercetusnya revolusi November di surabaya tahun 1946. Peristiwa itu terbukti setelah KH. Hasyim Asyari mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1946, Bung Tomo segera datang berkonsultasi pada KH. Hasyim Asyari guna minta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris.Tetapi kiai Hasyim menyarankan agar perlawanan rakyat itu jangan dimulai terlebih dahulu, sebelum KH. Abbas, sebagai Laskar andalannya, datang ke Surabaya. Memang setelah itu laskar dari Pesantren Buntet, di bawah pimpinan KH. Abbas beserta adiknya KH. Anas, mempunyai peran besar dalam perjuangan menentang tentara Inggris yang kemudian dikenal dengan peristiwa 10 november 1945 itu.Atas restu Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asyari, ia terlibat langsung dalam pertempuran Surabaya tersebut. Selanjutnya kiai Abbas juga mengirimkan para pemuda yang tergabung dalam tentara Hizbullah ke berbagai daerah pertahanan untuk melawan penjajah yang hendak menguasai kembali republik ini, seperti ke Jakarta, Bekasi, Cianjur dan lain-lain.Dialah santri yang mempunyai beberapa kelebihan, baik dalam bidang ilmu bela diri maupun ilmu kedigdayaan. Dan tidak jarang, KH. Abbas diminta bantuan khusus yang berkaitan dengan keahliannya itu. Hubungan antara KH. Hasyim Asyari dengan KH. Abbas memang sudah lama terjalin, terlihat ketika pertama kali KH. Hasyim Asyari mendirikan pesantrean Tebuireng, Kiai sakti dari Cirebon itu banyak memberikan perlindungan, terutama saat diganggu oleh para penjahat setempat, yang merasa terusik oleh kehadiran Pesantren Tebuireng.Itulah Peran sosial keagamaan pesantren Buntet yang dirintis Mbah Qoyyim dilanjutkan oleh Kiai Abbas, kemudian diteruskan lagi oleh Kiai Abdullah Abbas menjadikan Buntet sebagai Pesantren perjuangan.Ketika Pesantren Tebuireng meminta pengamanan dari Buntet, KH. Abbas sendiri yang langsung memimpin pasukan pengaman pendirian Pesantren Tebuireng. KH. Abbas datang bersama kakaknya, KH. Soleh Zamzam dari Pesantren Benda Kerep, KH. Abdullah Pangurangan dan KH. Syamsuri Wanatar untuk melawan para penjahat yang didukung Belanda untuk mengganggu pendirian Pesantren.KH. Abbas juga merupakan tokoh pejuang nasional. Terbukti saat usianya yang sudah sepuh, 60 tahun, KH. Abbas bahkan ikut terjun langsung dalam pertempuran 10 November di Surabaya. Pesantrennya juga menjadi salah satu basis perjuangan. Sebagian tokoh Hizbullah berasal dari Buntet, termasuk KH. Abdullah Abbas (Ki Dullah), putra KH. Abbas Djamil.Karamah KH. Abbas DjamilSebagaimana umumnya para ulama yang diyakini sebagai Wali Allah, KH. Abbas juga termasuk salah satu kyai yang memiliki banyak karamah. Di sini hanya akan kami tampilkan satu pengakuan Abdul Wachid salah satu Pengawal KH. Abbas Buntet waktu Perang 10 November 1945 di SurabayaPada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka setelah penjajah Jepang tidak berdaya. Pada tanggal 29 September 1945 tentara sekutu (Inggris) yang bertugas sebagai Polisi Keamanan mendarat di berbagai kota besar di Jawa dan Sumatra, diantaranya adalah di kota Surabaya. Mereka bermaksud untuk melucuti persenjataan tentara Jepang. Ternyata, Belanda membonceng tentara Inggris dan melakukan tindakan-tindakan anarkis.Tentu rakyat Indonesia yang telah merdeka tidak ingin kedaulatannya dikoyak-koyak kembali oleh Belanda. Maka meletuslah perang dahsyat yang terkenal dengan Perang 10 November. Namun rakyat Surabaya tidak dapat berbuat banyak, bahkan telah mundur ke luar kota Surabaya. Selain itu, mereka juga menunggu kyai dari Cirebon. Karena menurut Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asyari perlawanan akan dimualai nanti kalau sudah datang ulama dari Cirebon. Dan ulama yang dimaksud adalah KH. Abbas.Bagaimana perjalan KH. Abbas ke Surabaya? Berikut ini penuturan Abdul Wachid, satu-satunya pengawal KH. Abbas yang memberikan kesaksian secara tertulis melalui H. Samsu pada tahun 1998.Pada hari itu, kalau tidak salah, tanggal 6 November 1945 saya dengan tiga orang yaitu Usman, Abdullah dan Sya,rani mendapat tugas dari Detasemen Hizbullah Resimen XII/SGD untuk mengawal Kiai Abbas ke front Surabaya.Pada jam 06.30 rombongan kami, dengan diiringi pasukan Hizbullah Resimen XII Divisi I Syarif Hidayat meninggalkan Markas Detasemen menuju stasiun Prujakan Cirebon. Rombongan kami, selain tiga pengawal serta Kiai Abbas, juga ikut Kiai H. Achmad Tamin dari Losari sebagai pendamping Kiai Abbas. Selanjutnya kami naik Kereta Api Express.Pada waktu itu, Kiai Abbas mengenakan jas buka abu-abu, kain sarung plekat bersorban dan beralas kaki trumpah (sandal japit kulit). Kiai Abbas menyerahkan sebuah kantong pada saya. Setelah saya raba-raba, ternyata isinya bakyak. Saya sempat heran bahkan tertawa sendiri, untuk apa bakyak ini? Bukankah Kiai sudah memakai trumpah? Atau senjata perang? Masa senjata kok bakyak?Pada sekitar jam 17.00, kereta api yang kami tumpangi telah masuk di stasiun Rembang Jawa Tengah. Ternyata sudah banyak orang yang menunggu. Lalu kami diantar ke Pondok Pesantren Kiai Bisri di Rembang.Pada malam harinya, bada salat isya, para ulama yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 15 orang, mengadakan musyawarah untuk menentukan komando atau pemimpin pertempuran di Surabaya. Hasil musyawarah memutuskan bahwa komado pertempuran dipercayakan kepada Kiai Abbas.Bada salat Shubuh, Pondok Pesantren Rembang sudah ramai. Para santri sudah siap berangkat ke Surabaya, dan banyak pula yang berseragam Hizbullah. Di halam masjid sudah ada dua mobil sedan kuna yang berkapasitas empat orang penumpang. Bapak Kiai Abbas memanggil saya dan rekan-rekan pengawal dari Cirebon. Beliau meminta bingkisan (bakyak) yang dititipkannya pada saya. Beliau juga menyuruh kepada kami, pengawal dari Cirebon, untuk tidak ke mana-mana sampai beliau kembali dari Surabaya.Setelah itu, Kiai Abbas naik salah satu mobil dengan Kiai Bisri di jok belakang sementara H. Achmad Tamin duduk di depan dengan sopir. Sedang sedan yang satunya lagi berpenumpang empat orang kiai yang saya sendiri tidak tahu namanya. Dengan diiringi pekik takbir ALLAHU AKBAR!!!, dan pekik MERDEKA!!! yang saling bersahutan, rombongan kiai itu perlahan-lahan bergerak meninggalkan pondok pesantren Rembang.Sudah hampir sepekan kami berada di Pondok pesantren Rembang. Tiada kabar berita apa-apa. Ini membuat kami gelisah. Ingin rasanya menyusul ke Surabaya kalau saja tidak ada pesan dari Kiai untuk tidak boleh ke mana-mana.Baru pada tanggal 13 November 1945, ada beberapa laskar Hizbullah (santri Pondok Pesantren Rembang) yang datang. Kedatangannya disambut oleh santri-santri termasuk kami dan langsung dibrondong pertanyaan-pertanyaan tentang situasi peperangan Kota Surabaya.Menurut cerita santri Rembang yang baru datang tersebut, begitu rombongan para kiai datang, langsung disambut dengan gemuruh takbir dan pekik merdeka. Lalu para kiai tersebut masuk ke masjid dan melakukan salat sunnah. kemudian Kiai Abbas dari Cirebon memerintahkan kepada pendamping beliau, Kiai H. Achmad Tamin untuk berdoa di tepi kolam masjid. Dan kepada Kiai Bisri dari Rembang beliau Kiai Abbas memohon agar memerintahkan para laskar atau pemuda-pemuda yang akan berjuang untuk mengambil air wudlu dan meminum air yang telah diberi doa. Segera saja para laskar atau pemuda-pemuda itu berebutan, bahkan ada yang merasa kurang dengan hanya berwudlu dan menerjunkan diri masuk ke dalam kolam.Kemudian, bagaikan lebah keluar dari sarangnya, pemuda-pemuda dari segala lapisan Badan Perjuangan AREK-AREK SUROBOYO menyerbu Belanda dengan diringi takbir dan pekik merdeka yang bergemuruh di seluruh penjuru kota Surabaya yang didisambut dengan rentetan tembakan gencar dari serdadu Belanda. Korban dari kedua belah pihak pun tak terelakkan berjatuhan, terutama dari pihak kita yang hanya bersenjata bambu runcing, pentungan atau golok seadanya yang disongsong dengan semburan peluru dari berbagai senjata otomatis modern. Sungguh tragis dan mengerikan.Kami dengan para kiai berda di tempat yang agak tinggi, jadi jelas sekali dapat melihat keadaan di bawah sana, jelas santri Rembang yang ternyata pengawal Kiai Bisri Rembang.Saat itu, lanjut cerita santri Rembang, Kiai Abbas Cirebon mengenakan alas kaki bakyak berdiri tegak di halaman masjid. Kemudian beliau membaca doa dengan menengadahkan kedua tangannya ke langit. Kiranya doa beliau terkabulkan. Saya melihat dengan mata kepala sendiri keajaiban yang luiar biasa. Beribu-ribu alu (penumbuk padi) dan lesung (tempat padi saat ditumbuk) dari rumah-rumah rakyat berhamburan terbang menerjang serdadu-serdadu Belanda. Suaranya bergemuruh bagaikan air bah sehingga Belanda kewalahan dan merekapun mundur ke kapal induk mereka.Tidak lama kemudian, pihak sekutu mengirim pesawat Bomber Hercules. Akan tetapi pesawat itu tiba-tiba meledak di udara sebelum bereaksi. Kemudian beberapa pesawat sekutu berturut-turut datang lagi yang maksudnya akan akan menjatuhkan bom-bom untuk menghancurkan Kota Surabaya, namun beberapa pesawat itupun mengalami nasib yang sama, meledak di udara sebelum bereaksi.Di situlah kehebatan Kiai Abbas Cirebon yang dapat saya saksikan sendiri, tandas santri Rembang meyakinkan para santri.Keesokan harinya, lanjut cerita santri Rembang, pihak musuhpun datang lagi berbondong-bondong berupa kompi tang-tang atau mobil baja dan truk-truk menyerang kubu-kubu pertahanan tentara atau laskar kita yang diiringi oleh dentuman kanon dan mortir serta rentetan tembakan tembakan 12,7 dari pesawat udara yang cukup banyak jumlahnya sehingga tentara dan laskar kita banyak yang gugur dan terpaksa mundur di pinggir kota Surabaya.Menjelang malam hari tiba, pertempuran baru agak mereda. Hanya beberapa tembakan kecil saja yang masih terdengar di sana sini. Kemudian kami diperintah pulang oleh Pak Kiai Bisri untuk menyampaikan berita keadaan di front Surabaya kepada keluarga dan warga Pondok Pesantren bahwa pak kiai dan para alim ulama lainnya dalam keadaan selamat sehat wal afiyat, dan dianjurkan kepada semua warga pondok dan masyarakat Rembang untuk berdoa memohon kepada Allah Swt. atas perlindungan, keselamatan dan kemenangan bagi para pejuang kita yang dalam pertempuran melawan dan mengusir penjajah Belanda dari bumi Indonesia.Tiga hari kemudian, menjelang pagi, Kiai Abbas dengan pendampingnya KH. Achmad Tamin dan Kiai Bisri Rembang serta beberapa kiai lainnya datang. Kami tidak banyak memperoleh informasi dari beliau-beliau tentang kejadian Surabaya. Setelah Shubuh, kami para pengawal dari Cirebon diperintahkan berkemas-kemas untuk pulang kembali ke Cirebon.Dengan menumpang Kereta Api Express jam 06.00, kami bertolak meninggalkan Rembang dan tiba di Cirebon dengan selamat pada jam 17.30. sepanjang perjalanan dari Rembang ke Cirebon, tidak banyak yang kami bicarakan, karena Kiai Abbas dalam kelelahan dan kantuk yang amat sangat karena selama di Surabaya beliau kurang istirahat dan kurang tidur. Demikianlah yang bisa saya sampaikan. Dan mohon maaf atas segala kelupaanKewafatan KH. Abbas DjamilHingga akhir hayatnya KH. Abbas Djamil Buntet sangat aktif dalam pergerakan sosial keagamaan dan politik. KH. Abbas selalu memantau dan menyiagakan laskar santrinya sebab beliau tahu Belanda amat licik.Namun di tengah kegigihan para laskar, termasuk para kyai pemimpin Hizbullah, diplomat Indonesia melakukan kesepakatan di Linggar Jati. Konon, mendengar hasil Perjanjian Linggar Jati itu, Kyai Abbas merasa sedih dan kecewa, merasa perjuangannya dikhianati. Beliau tak lama kemudian jatuh sakit hingga wafat pada hari Ahad di waktu Shubuh tanggal 1 Rabiul Awwal 1365 H atau 1946 Masehi.Syaroni As-Samfuriy, Rumah Sakit Balapulang Tegal 09 Februari 2013https://www.facebook.com/photo.php?fbid=409204662503545&set=a.356613851095960.85503.347695735321105&type=1&comment_id=1081165&ref=notif&notif_t=photo_comment&theaterTop of FormBottom of Form

Ahmad Rosyidi Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia Catatan oleh Ahmad Rosyidi

Semua Catatan

DitandaiDitandai Dapatkan Catatan melalui RSS Sisipkan Kiriman LaporkanTentangBuat IklanBuat HalamanPengembangKarierPrivasiKukiKetentuanBantuan

Facebook 2013 Bahasa Indonesia