Upload
asti-amakuza
View
269
Download
26
Embed Size (px)
Citation preview
Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam
Oleh: Astati Riani dan Samsuri Arsyad
A. Pendahuluan
Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi –
termasuk tanah– hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Sebagaimana
firman Allah SWT dalam Surah An-Nuur ayat 42
Artinya: ”Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada
Allah-lah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur, 24: 42).
Allah SWT juga berfirman dalam Surah Al-Hadid ayat 2
Artinya: ”Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia
menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” (QS Al-Hadid, 57:2)
Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa pemilik hakiki dari segala sesuatu
(termasuk tanah) adalah Allah SWT semata.1
Tanah merupakan salah satu sumber daya yang disiapkan Allah SWT
untuk manusia dalam rangka mengemban amanah sebagai khalifah di muka
bumi. Dengan tanah manusia dapat memenuhi keperluannya karena Allah SWT
1 M. Shiddiq Al-Jawi, Hukum Pertanahan Menurut Syariah Islam, http://herlindahpetir.lecture.ub.ac.id/2012/09/tulisan-menarik-hukum-pertanahan-menurut-syariah-islam/ diakses pada tanggal 22-12-2012
Page 1 of 23
telah memudahkan pengelolaannya kepada manusia sebagaimana difirmankan
Allah SWT dalam Surah al-Mulk ayat 152
Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-
Nya. dan Hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
(QS. Al-Mulk, 67:15)
Semua yang ada di langit dan di bumi sesungguhnya adalah milik Allah
SWT, tidak terkecuali dengan tanah. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam al-
Qur’an Surah An-Nisa ayat 1263
Artinya: “Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi,
dan adalah (pengetahuan) Allah Maha meliputi segala sesuatu.” (QS An-
Nisa, 4:126)
Karena hak kepemilikan tanah hakikatnya ada pada Allah SWT
sedangkan manusia tidak lain hanya sebatas penerima amanah maka
pengelolaan tanah oleh manusia harus berdasarkan kepada kehendak Allah
SWT.4
Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada
manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya.
Firman Allah SWT dalam Surah Al-hadid ayat 72 Kholis Budiono, Studi Pemikiran Dan Praktik Pengelolaan Tanah Dalam Sejarah Islam, program Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia3 Ibid.4 Siti Mariam Malinumbay S. Salasal, The Concept of Land Ownership: Islamic Perspective, Buletin Geoinformasi, Jld. 2 No.2, ms. 285-304, Penerbit Akademik Fakulti Kejuruteraan & Sains Geoinformasi, Desember, 1998, hlm. 287
Page 2 of 23
Artinya: “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah
menjadikan kamu menguasainya.” (QS Al-Hadid, 57:7).
Menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi berkata, “Ayat ini adalah dalil
bahwa asal usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah SWT, dan bahwa
manusia tidak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf) dengan cara
yang diridhai oleh Allah SWT.” (Tafsir Al-Qurthubi, Juz I hal. 130).
Dengan demikian, Islam telah menjelaskan dengan gamblang filosofi
kepemilikan tanah dalam Islam. Intinya ada 2 (dua) poin, yaitu: Pertama,
pemilik hakiki dari tanah adalah Allah SWT. Kedua, Allah SWT sebagai
pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah
menurut hukum-hukum Allah.5
Dalam syariah Islam, tanah terbagi menjadi 2 (dua) yaitu, tanah usyriyah
(al-ardhu al-‘usyriyah) dan tanah kharajiyah (al-ardhu al-kharajiyah).6
Tanah usyriyah dalah tanah yang penduduknya masuk Islam secara damai
tanpa peperangan, contohnya Madinah Munawwarah dan Indonesia. Termasuk
tanah usyriyah adalah seluruh Jazirah Arab yang ditaklukkan dengan
peperangan, misalnya Makkah, juga tanah mati yang telah dihidupkan oleh
seseorang. Sedangkan tanah kharajiyah adalah tanah yang dikuasai kaum
Muslimin melalui peperangan (al-harb), misalnya tanah Irak, Syam, dan Mesir
kecuali Jazirah Arab, atau tanah yang dikuasai melalui perdamaian (al-shulhu),
misalnya tanah Bahrain dan Khurasan.7
5 M. Shiddiq Al-Jawi, Op.Cit.6 Ibid.7 Ibid.
Page 3 of 23
Selain itu, dalam syariah Islam telah mengatur persoalan kepemilikan
tanah secara rinci, dengan mempertimbangkan 2 (dua) aspek yang terkait
dengan tanah, yaitu: (1) zat tanah (raqabah al-ardh), dan (2) manfaat tanah
(manfaah al-ardh), yakni penggunaan tanah untuk pertanian dan sebagainya.8
Sejarah Islam mencatat pengelolaan tanah ini menjadi hal yang penting
karena pada masa awal penyebaran Islam banyak terjadi peperangan yang
membawa konsekuensi adanya harta rampasan dalam bentuk tanah (tanah
kharaj). Status tanah ini tentu saja berbeda dengan tanah ushr milik kaum
Muslim sehingga membawa konsekuensi adanya perbedaan perlakuan dalam
hak kepemilikan dan pengelolaannya. Pembagian dan pengelolaan tanah ini
menjadi sangat komplek akibat semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam dan
beragamnya karakteristik daerah atau tanah yang menjadi rampasan sehingga
banyak kita temukan pemikiran dan praktik pengelolaan tanah yang khas dari
masa ke masa.9
Permasalahanya adalah apakah kharaj memiliki peran besar dalam
mengatur kebijakan fiskal sebagai sumber pendapatan negara?
Maka dari itu, pemakalah akan merumuskan masalah mengenai definisi
kharaj dan pemikiran ekonomi para cendekiawan Muslim mengenai definisi
kharaj serta bagaimana mekanisme penetapan kharaj? Lalu bagaimana sejarah
yang melatarbelakangi timbulnya kharaj dan kebijakan apa saja yang diambil
pemimpin tentang kharaj? Dan terakhir, bagaimana penerapan kharaj dalam
perekonomian modern? Apa kharaj masih ada dalam perekonomian modern
saat ini? Jika ada, apakah mekanismenya masih sama dengan masa pemerin-
tahan Rasulullah dan para khalifah?
B. Pembahasan
8 Ibid.9 Kholis Budiono, Op.Cit.
Page 4 of 23
1. Definisi Kharaj
Kharaj menurut bahasa bermakna al-kara’ (sewa) dan al-ghullah
(hasil). Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Mu’minun ayat
72: 10
Artinya: “Atau kamu meminta upah kepada mereka?", Maka upah dari
Tuhanmu[1012]11 adalah lebih baik, dan dia adalah pemberi rezki yang
paling baik.” (Q.S. Al-Mu’minun, 23:72)
Setiap tanah yang diambil dari kaum kafir dengan cara paksa,
setelah diumumkan perang terhadap mereka, maka tanah tersebut
dikategorikan sebagai tanah kharajiyah. Meskipun mereka masuk Islam
setelah penaklukan atau singkatnya kharaj adalah pajak tanah yang
dipungut dari non-Muslim. Dalam terminologi keuangan Islam, kharaj
adalah pajak atas tanah atau hasil tanah, di mana para pengelola wilayah
taklukan harus membayar kepada Negara Islam. Negara Islam setelah
penaklukan adalah pemilik atas wilayah itu, dan pengelola harus
membayar sewa kepada Negara Islam. Para penyewa ini menanami tanah
untuk pembayaran tertentu dan memelihara sisa hasil panennya untuk diri
mereka sendiri. Jika kharaj ibarat penyewa atau pemegang kontrak atas
tanah atau pengelola yang membayar pajak kepada pemiliknya. Kharaj
ditetapkan berdasarkan ijtihad.12
Menurut Abu Yusuf, tanah kharaj didefiniskan tanah sebagai tanah
yang diperoleh kaum Muslimin akibat penaklukan suatu wilayah baik
10 Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 12611 [1012] yang dimaksudkan upah dari Tuhan ialah rezki yang dianugrahkan Tuhan di dunia, dan pahala di akhirat.12 Gusfahmi, Op.Cit., hlm. 126
Page 5 of 23
dengan peperangan maupun tanpa peperangan. Karena itu tanah kharaj
bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu13:
Tanah yang dikuasai oleh penguasa Muslim dengan damai/sukarela
melalui perjanjian dengan tetap mempertahankan kepemilikan tanah
kepada pemiliknya sebelumnya.
Tanah yang dikuasai oleh penguasa Muslim melalui jalan
peperangan yang ditinggalkan pemilik sebelumnya sehingga
kepemilikannya berubah menjadi milik kaum Muslim.
Sementara itu dalam pandangan Imam Al Mawardi dalam “Al
Ahkam Al Sulthaniyah” tentang definisi kharaj bahwa ia merupakan upah
yang diberikan atas kompensasi atas pemanfaatan tanah pertanian atas
tanah lain yang membawa manfaat atas maslahat bagi kehidupan
manusia. Kharaj dapat dipandang sebagai bayaran yang wajib diambil
dari kalangan kafir ketika tanah yang dijadikan objek kharaj tersebut
didapat dari jalan peperangan dengan kaum Muslimin dan jatuh ke tangan
kaum Muslimin maka kaum kafir masih memiliki pilihan untuk tetap
memiliki dan mengelola tanah tersebut namun pajak yang diambil dari
tanah itu maka di sanalah kharaj dipungut. Dan bila tanah tersebut
dibiarkan kaum Muslimin yang mengelolanya maka bayaran yang
ditetapkan atasnya hanya dipandang sebagai sewa.14
Sedangkan Abdul Qadim Zallum berpandangan yang dimaksud
dengan kharaj adalah hak kaum Muslim atas tanah yang diperoleh (dan
menjadi bagian ghanimah) dari orang kafir, baik melalui peperangan
maupun perjanjian damai. Dari sini ada kharaj ‘unwah (kharaj paksaan)
dan kharaj sulhi (kharaj damai).15
13 Siti Mariam Malinumbay S. Salasal, Op.Cit., hlm. 29614 Al-Mawardi, Al Ahkam As-Sulthaniyah, (Beirut: Darul Fikir, 1960), hlm.132
Page 6 of 23
Kharaj ‘Unwah (Kharaj Paksaan) adalah kharaj yang diambil dari
seluruh tanah yang dikuasai kaum Muslim (dan diperoleh) dari orang-
orang kafir secara paksa melalui peperangan. Contohnya adalah tanah
Irak, Syam dan Mesir. Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam surah
al-Hasyr, 59:7-10.16 Sedangkan kharaj sulhi (kharaj damai) adalah kharaj
yang diambil dari setiap tanah di mana pemiliknya telah menyerahkan diri
kepada kaum Muslim (berdasarkan perjanjian) damai.17
2. Sejarah Kharaj
Masa pengelolaan tanah kharaj dalam sejarah Islam pertama kali
muncul ketika umat Islam di bawah kepemimpinan Rasulullah meme-
nangkan Perang Khaybar pada tahun 7H / 629M.18 Setelah melewati masa
pertempuran selama sebulan, penduduk Khaybar menyerah dengan syarat
dan berjanji meninggalkan tanahnya. Syarat yang mereka ajukan diterima
Rasulullah. Mereka mengatakan kepada Rasulullah bahwa mereka
memiliki pengalaman khusus dalam bertani dan berkebun kurma. Oleh
karena itu, mereka meminta izin untuk tetap tinggal serta mengelola tanah
tersebut.19
Rasulullah SAW mengabulkan permintaan mereka dan memberikan
setengah bagian dari hasil panen kebun mereka. Untuk mengatur
pelaksanaan keputusan tersebut, Rasulullah mengangkat Abdullah bin
Rawalah sebagai pengawas. Dalam hal ini, Abdullah bin Rawalah diberi
wewenang mengatur kembali pemukiman penduduk Khaybar, mengatur
pembagian tenaga kerja yang mengolah dan menggarap tanah Khaybar 15 Abdul Qadim Zallum, Sistem keuangan Negara Khalifah, terj. Ahmad S, (Jakarta: HTI-Press, 2008), hlm. 5416 Ibid., hlm. 5417 Ibid., hlm. 5718 Kholis Budiono, Op.Cit19 Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 42
Page 7 of 23
serta menerapkan sistem bagi hasil. Setiap tahun, ia datang ke Khaybar
untuk menaksir hasil produksi dan membaginya menjadi dua bagian yang
sama banyak. Hal ini terus berlangsung selama masa kepemimpinan
Rasulullah dan Abu Bakar Al-Shiddiq.20
Dalam peperangan sebelumnya masalah ini belum muncul karena
setiap peperangan tersebut ghanimah atau harta rampasan perang masih
didominasi oleh harta bergerak seperti emas, perak, besi, ternak dan
sejenisnya tetapi pada peperangan Khaybar, ghanimah tersebut berupa
tanah yang luas dan produktif lengkap dengan mata air. Dipicu oleh
penaklukan tanah khaybar dari Bani Nadhir inilah kemudian akhirnya
Allah SWT menetapkan melalui Rasulullah tentang mulai diberlakukan-
nya kharaj atau sewa tanah. Keputusan ini didasarkan kepada al-Qur’an
Surah Al-Anfal ayat 1 dan Surat Al-Hasyr ayat 6 dan 7 yang banyak ber-
bicara tentang ghanimah (harta rampasan akibat peperangan) dan fai
(harta rampasan tanpa peperangan).21
Pada hakikatnya, sistem pajak kharaj sudah ada pada masa
kekaisaran Romawi dalam bentuk yang sama dan hal ini merupakan fakta
bahwa pembayaran pajak adalah hal yang sudah biasa diterapkan pada
masa kekaisaran Sasanid dan Persia.22 Oleh kaum Muslim di masa awal
pemerintah Islam, sistem tersebut diadopsi serta dimodifikasi sesuai
dengan prinisp-prinsip keadilan. Dalam perkembangan berikutnya, kharaj
menjadi salah satu sumber pendapatan Negara yang penting.23
3. Mekanisme Kharaj
20 Ibid.21 Kholis Budiono, Op.Cit22 Ameer Ali, A Short History of The Saracens, (London: Macmillan and Corporation, 1949), hlm.6323 Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hlm.44
Page 8 of 23
Dari sisi subjek (wajib pajaknya), kharaj dikenakan atas orang kafir
dan juga Muslim (karena membeli tanah kharajiyah). Apabila orang kafir
yang mengelola tanah kharaj masuk Islam, maka ia tetap dikenai kharaj
sebagaimana keadaan sebelumnya. Seorang Muslim boleh membeli tanah
kharaj dari seorang kafir dzimmi24 dan dia tetap dikenakan kharaj
(menurut Mazhab Syafi’i). Jika seorang kafir masuk Islam, maka tanah
itu tetap menjadi miliknya, dan mereka wajib membayar 10% dari hasil
buminya sebagai zakat, bukan sebagai kharaj. Said Hawwa
menjelaskan25:
Umar mengatakan bahwa membayar kharaj bagi kaum Muslim
adalah suatu kehinaan. Kharaj (pajak penghasilan) yang telah
dikenakan terhadap orang kafir dzimmi, maka apabila tanah kharaj
berpindah pula pajak penghasilannya. Berarti pula, seorang
Muslim pada waktu itu wajib menunaikan pajak penghasilan
sebagaimana seorang kafir dzimmi dan ini adalah satu bentuk
kehidupan yang Allah telah menyelamatkan dari kehinaan ini.
Namun pendapat larangan di atas diperbolehkan oleh sebagaian
sahabat dan tabi’in, seperti Abdullah Ibn Mas’ud, Muhammad Ibn Sirrin
dan Umar Ibn Abdul Aziz. Mereka berpendapat bahwa kehinaan yang
dimaksud dalam Surah At-Taubah ayat 29 itu adalah atas kepala
(orangnya) bukan atas tanahnya. Oleh karena itu, tidak ada kehinaan
dalam menunaikan pajak penghasilan dari tanah kharaj. Dengan demikian
tidak ada larangan untuk membelinya.26
24 Secara istilah, dzimmi adalah orang non-Muslim merdeka yang hidup dalam Negara Islam yang sebagai balasan karena membayar pajak perorangan, menerima perlindungan dan keamanan. 25 Gusfami, Op.Cit., hlm. 12726 Ibid., hlm. 127-128
Page 9 of 23
Tanah kosong yang diamanahkan negara kepada seseorang yang
mampu menghidupkannya menjadi tanah yang produktif maka tanah itu
secara otomatis berpindah kepemilikannya kepada yang mampu
mengolahnya dengan syarat orang tersebut harus membayar ushr (bagi
umat Muslim) atau kharaj (bagi non-Muslim). Tarif kharaj yang
diberlakukan menurut Abu Yusuf dibagi menjadi 327:
40% bagi tanah yang diairi tanpa irigasi
30% bagi tanah yang diairi dengan irigasi
25% ketika musim panas
Yahya bin Adam pada masa kekhalifahan Al-Ma’mun (813-833 M)
melanjutkan kajian tentang kharaj tetapi lebih menitik beratkan kepada
dasar-dasar hadits terhadap masalah-masalah yang dikaji. Hal ini berbeda
dengan Abu Yusuf yang sangat kuat terhadap analisis dan kemampuan-
nya dalam istinbath hukum. Dan kitab ketiga disusun oleh Qudama bin
Ja’far, seorang qadhi yang hidup di masa Khalifah Al-Muqtadir (908-932)
di mana kitab karyanya ini lebih banyak sebagai bantahan atas tuduhan
bahwa penerapan sistem kharaj tidak sesuai dengan syariah sehingga
praktis dalam karyanya tidak ditemukan suatu analisis dan ijtihad hukum
yang baru. Yahya bin Adham dan Qudama membagi tanah kharaj
menjadi tiga28:
Tanah anwa, yaitu tanah yang ditaklukkan yang mana negara
memiliki hak 20% untuk dijadikan tanah negara dan 80% dapat
dibagikan kepada kaum Muslimin yang berjasa pada penaklukan
tersebut.
27 Euis Amalia, Abu Yusuf, http://mayasfaformuamalah.blogspot.com/2012/01/abu-yusuf.html akses 15-12-201228 Kholis Budiono, Op.Cit.
Page 10 of 23
Tanah Sulk, yaitu tanah milik orang-orang yang telah mengadakan
perdamaian dengan penguasa Islam.
Tanah yang mendapat pengairan dari fasilitas non-Muslim.
Menurut Al-Mawardi, penilaian atas kharaj (pajak) harus bervariasi
sesuai dengan faktor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam
membayar pajak, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman, dan sistem irigasi.
Al-Mawardi menjelaskan alasan penyebutan ketiga hal tersebut sebagai
faktor yang sangat penting dalam melakukan penilaian kharaj (pajak)
karena sedikit banyaknya jumlah produksi bergantung kepadanya. Jenis
tanaman juga turut berpengaruh terhadap penilaian kharaj berbagai jenis
tanaman karena mempunyai variasi harga yang berbeda-beda. Begitu pula
halnya dengan sistem irigasi. Tanaman yang menggunakan sistem irigasi
secara manual tidak dapat dikenai sejumlah pajak yang sama dengan
tanaman yang menggunakan sistem irigasi alamiah.29
Tentang metode penetapan kharaj, Al-Mawardi menyarankan
menggunakan salah satu dari tiga metode yang pernah ditetapkan dalam
sejarah Islam, yaitu30:
Metode Misabah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan uku-
ran tanah metode ini merupakan fixed-tax, terlepas dari apakah
tanah tersebut ditanami atau tidak, selama tanah tersebut memang
bisa ditanami.
Metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami
saja. Dalam metode ini, tanah subur yang tidak dikelola tidak
termasuk dalam penilaian objek kharaj.
29 Al-Mawardi, Op.Cit., hlm. 148-14930 Ibid., hlm. 149
Page 11 of 23
Metode musaqah yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan
persentase dari hasil produksi. Dalam metode ini, pajak dipungut
setelah tanaman mengalami masa panen.
Secara kronologi, metode Misabah pertama kali diterapkan pada
masa Khalifah Umar bin Khattab, di mana pajak yang ditetapkan ada
pada fixed atas setiap tanah yang berpotensi produktif yang memiliki
akses air, sekalipun tidak ditanami sehingga pendapatan yang diterima
oleh negara dari jenis pajak ini pun bersifat fixed. Metode kedua, metode
penerapan Kharaj juga pernah ditetapkan pada masa Khalifah Umar yang
dilakukan pada wilayah tertentu, terutama di Syria dalam pengenaan
pajak. Metode yang terakhir, Muqasamah pertama kali ditetapkan pada
masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada pemerintahan Al-Mahdi dan
Harun at-Rasyid.31
4. Kebijakan Kharaj
Berdasarkan hadits Bukhari dan Muslim, Rasulullah menjalankan
model pengelolaan tanah dengan cara menyewakan kepada pihak lain
yakni orang yahudi di Khaybar. Jenis sewa yang digunakan adalah kira’
dengan biaya sewa sebesar 50% dari hasil yang didapat dari tanah
tersebut. Pada saat itu Rasulullah bertindak sebagai pihak yang
menyediakan tanahnya sedangkan orang yahudi menyediakan bibit dan
biaya pengerjaannya. Besaran inilah yang kemudian akan diambil oleh
negara sebagai sewa atas tanah yang digarap oleh orang yahudi tersebut.32
Terkait dengen besarnya biaya sewa kharaj tersebut Rasulullah
memberikan petunjuk agar pola penyewaan yang menggunakan kira’ di
mana penggarap tanah menyediakan bibit dan biaya pengerjaannya maka
31 Adiwarman A. karim, Op.Cit., hlm. 30832 Kholis Budiono, Op.Cit.
Page 12 of 23
bagian dari penggarap harus lebih besar dari pemilik tanah atau sekurang-
kurangnya 50% dari total hasil yang didapat. Tidak layak bagi pemilik
tanah jika mendapatkan bagian yang lebih besar dari bagian penggarap
tanah yang telah bersusah payah mengeluarkan biaya dan keahliannya
untuk mengelola tanah tersebut.33
Sistem pengelolaan tanah kharaj mengalami perkembangan, pada
zaman Rasulullah SAW dengan mengacu kepada kebijakan pengelolaan
tanah Khaybar maka tanah hasil rampasan status pengelolaannya tetap
kepada pemilik sebelumnya tetapi negara memungut pajak atas tanah
tersebut yang dikenal dengan nama kharaj sehingga tanahnya disebut
dengan tanah kharaj.34 Jumlah kharaj dari tanah ini adalah tetap, yakni
setengah dari hasil produksi. Untuk memastikan sistem tersebut berjalan
dengan baik dan benar, Rasulullah SAW. mengirim orang-orang yang
memiliki pengetahuan dalam masalah ini untuk menaksir jumlah
keseluruhan hasil produksi. Setelah mengurangi sepertiga sebagai
kompensasi dari kemungkinan kelebihan penaksiran, sisanya yang
berjumlah duapertiga dibagi-bagikan, setengah untuk negara dan setengah
lainnya untuk para penyewa yang disertai hak kebebasan untuk memilih
apakah menerima pembagian tersebut atau menolaknya.35
Di zaman khalifah Abu Bakar mekanisme kepemilikan atas tanah
rampasan sempat berubah dengan memberikan tanah rampasan kepada
kaum Muslimin, kemudian pada masa Khalifah Umar kembali seperti
praktik yang dilakukan Rasulullah SAW. perubahan praktik ini boleh jadi
akibat sudah meluasnya kekuasaan kekhalifahan Islam pada saat itu yang
membentang dari Iran, Palestina, Irak hingga ke Mesir sehinga diharap-
33 Ibid.34 Ibid.35 Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hlm.44
Page 13 of 23
kan pemerintahan daerah tersebut dapat mengawasi pengelolaan tanah
tersebut dan menghimpun kharaj bagi kepentingan masyarakat.36
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab (634 – 644 M) tercatat
sebuah peristiwa pengelolaan tanah kharaj yang cukup operasional.
Ketika kaum Muslimin yang menaklukkan Mesir maka terdapat sebuah
tanah subuh yang sangat luas yang bernama Sawad. Pasukan kaum
Muslimin waktu itu meminta Khalifah Umar untuk membagi tanah
rampasan tersebut kepada mereka seperti yang pernah atau bisa dilakukan
terhadap harta rampasan. Setelah berdiskusi dengan Ali bin Abi Thalib
maka Khalifah Umar memutuskan untuk mempertahankan tanah tersebut
dan menjadikannya sebagai sumber keuangan negara yang akan
bermanfaat bagi umat Islam.37 Kebijakan Khalifah Umar ini terbukti
mendatangkan maslahat karena selanjutnya kharaj ini menjadi sumber
pendapatan yang sangat besar untuk membiayai kegiatan pemerintah.38
Mayoritas sumber pemasukan pajak al-kharaj berasal dari daerah-
daerah bekas Kerajaan Romawi dan Sasanid (Persia) dan hal ini
membutuhkan suatu sistem administrasi yang terperinci untuk penaksiran,
pengumpulan dan pendistribusian pendapatan yang diperoleh dari pajak
tanah-tanah tersebut. Berdasarkan hal ini, Khalifah Umar mengutus
Utsman ibn Hunaif Al-Anshari untuk melakukan survei batas-batas tanah
di Sawad. Berdasarkan hasil survei, luas tanah tersebut 36 juta jarib39 dan
setiap jarib ditentukan jumlahnya. Setelah itu, Utsman mengirim
proposalnya tersebut kepada Khalifah untuk dimintakan persetujuannya.40
36 Kholis Budiono, Op.Cit.37 M. Zarra Nezhad, Tribute (Kharaj) As A Tax On Land In Islam, International Journal of Islamic Financial Services, Vol. 5, No. 138 Monzer Khaft, Public Sector Economics from Islamic Prespective, hlm. 3239 jarib merupakan satuan ukuran luas yang digunakan untuk mengukur tanah-tanah pertanian dan untuk menentukan batas-batas pemilikan tanah.1 Jarib kira-kira 8 acre; 1 acre = 0,4646 hektar40 Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hlm. 67
Page 14 of 23
Dalam hal ini, Khalifah Umar menerapkan beberapa peraturan
sebagai berikut41:
Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik
Muslim dan kepentingan ini tidak dapat diganggu gugat sedangkan
bagian wilayah yang berada di bawah perjanjian dalam tetap
dimiliki oleh pemilik sebelumnya dari kepemiliknya tersebut dapat
dialihkan.
Kharaj dibebankan kepada semua tanah yang berada di bawah
kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk agama
Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat dikonversi
menjadi tanah ushr.
Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikkan selama mereka
membayar kharaj dan jizyah.
Tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah
yang diklaim kembali (seperti Bashra) bila diolah oleh kaum
Muslimin diperlakukan sebagai tanah ushr.
Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz
(satu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan
asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi
dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.
Di Mesir, berdasarkan perjanjian Amar, setiap pemilik tanah
dibebankan pajak sebesar dua dinar, di samping tiga irdabb
gandum, dua qist untuk setiap minyak, cuka, dan madu, dan
rancangan ini telah disetujui Khalifah.
Seiring dengan makin tingginya kebutuhan terhadap pasokan
makanan bagi masyarakat maka kebijakan kharaj dengan dirham
mengalami perubahan yakni diberlakukannya tambahan dengan sejumlah 41 Ibid., hlm. 67-68
Page 15 of 23
komoditas dari tanah tersebut untuk setiap acre42-nya. Namun kebijakan
ini dirasa kurang ideal sehingga lahirlah ketetapan yang lebih rinci
dengan mempertimbangakan lebih banyak faktor seperti: tingkat
produktivitas tanah, tingkat elastisitas harga komoditas, biaya pengairan
dan nilai ekonomis tanah. Contoh dari penerapan kharaj di Sawad
berdasarkan komoditas ditampilkan dalam tabel berikut ini.
Tipe Komoditas
per acre
Tingkat Kharaj
(dirham)
Anggur 10
Sayuran 8
Semanggi 8
Vetch 8
Wijen 8
Tebu 6
Alfafa 5
Gandum 4
Barley 2
Kebijakan Kharaj ini kemudian diberlakukan secara menyeluruh
diseluruh wilayah kekuasaan khalifah dengan tetap mempertimbangkan
faktor-faktor tersebut sebelumnya.43
Pada masa Khalifah Utsman ibn Affan, untuk meningkatkan penge-
luaran dibidang pertahanan dan kelautan, meningkatkan dana pensiun,
dan pembangunan berbagai wilayah taklukan baru, negara membutuhkan
dana tambahan. Oleh karena itu, Khalifah Utsman ibn Affan membuat
42 1 acre = 0,4646 hektar43 M. Zarra, Op.Cit.
Page 16 of 23
beberapa perubahan administrasi tingkat atas dan pergantian beberapa
gubernur. Sebagai hasilnya, jumlah pemasukan kharaj dan jizyah yang
berasal dari Mesir meningkat dua kali lipat, yakni dari 2 juta dinar
menjadi 4 juta dinar setelah dilakukan pergantian gubernur dari Amr
kepada Abdullah bin Saad.44
Pada saat Khalifah Ali bin Abi Thalib berkuasa langsung
mengambil tindakan salah satunya pendistribusian pendapatan pajak
tahunan sesuai dengan yang telah ditetapkan Umar ibn Khattab45, karena
kebijakan-kebijakan yang telah dibuat khalifah sebelumnya, Khalifah
Utsman, lebih banyak menguntungkan keluarganya yang telah
menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebahagian kaum
Muslim.46
Di masa Khalifah Umar, ketetapan besaran kharaj mengalami
sedikit perubahan dengan memperhatikan tingkat produktivitas tanah
tersebut. Makin produktif atau besar hasil panennya maka makin besar
kharaj yang dibayar. Di samping itu juga ditetapkan batas minimal umur
komoditas yang terkena pembayaran kharaj. Misalnya untuk tanah kharaj
yang ditanami pohon anggur maka baru dikenakan kharaj jika telah
mencapai umur 3 tahun.47
Selain itu, kharaj yang dipungut atas lahan gandum yang sangat
produktif sebanyak satu setengah dirham ditambah satu sha’48 per jarib,
lahan yang cukup produktif sebesar satu dirham dan lahan yang kurang
produktif sebesar sepertiga dirham. Ketiga jenis lahan tersebut diirigasi
oleh Sungai Eufrat. Sama halnya dengan yang tadi, pada setiap jarib
44 Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hlm.8045 Ibid., hlm.8246 Ibid., hlm.8147 Kholis Budiono, Op.Cit48 Sha’ adalah satu-satunya ukuran bagi seluruh timbangan yang dipergunakan. 1 sha’ kira-kira 8 kg
Page 17 of 23
lahan yang ditanami barley (jelai) dikenakan kharaj setengah dari hasil
gandum; pada setiap jarib pohon kurma dikenai sepuluh dirham; dan pada
setiap kebun anggur dikenai sepuluh dirham. Produksi pertanian lainnya
dibebaskan dari pemungutan kharaj.49
5. Penerapan Kharaj dalam Perekonomian Modern
Dalam perekonomian modern saat ini, penerapan kharaj sama
seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dimana PBB adalah pajak yang
bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutama ditentukan oleh
keadaan objek, yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subjek
(siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.50 Namun
yang membedakan PBB dan kharaj adalah jika dalam kharaj cenderung
digunakan dalam hal pertanian sehingga ditentukan dari tingkat
kesubuhan tanah, jenis tanaman dan sistem irigasi, sedangkan PBB besar
pajaknya ditetukan berdasarkan zona lokasi tanah.51
Namun PBB ini jelas bertentangan dengan syariah, karena kaum
Muslim ikut dibebankan atas tanah dan atau bangunan yang mereka
miliki, tempati, atau manfaatkan. Kalau diidentikkan dengan kharaj,
maka Indonesia bukanlah tanah kharajiyah yang ditaklukan dengan
peperangan. Sehingga warga Muslim atas tanah itu tidak wajib membayar
kharaj. Khalifah Umar Ibn Khattab pun pernah melarang pengenaan
kharaj terhadap kaum Muslim, dan memasukkan penerimaan hasil tanah
sebagai zakat.52
49 Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hlm.110-11150 Gusfahmi, Op.Cit., hlm.23651 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm. 4652 Ibid., hlm.237
Page 18 of 23
Karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa kharaj adalah tanah
taklukan (kharajiyah), kaum kafir wajib membayar kharaj. Jika dijual
kepada kaum Muslim, ia tetap dikenakan karena status tanah kharajiyah
tersebut, meskipun nilainya berubah menjadi zakat. Terhadap tanah
kharaj dan tanah kharajiyah (negeri taklukan yang penduduknya telah
masuk Islam) seperti Irak, Syam, Mesir, Libya, Aljazair, Maroko, Bosnia,
negeri-negeri di Asia Tengah, maka di sana berlaku kharaj (the land tax)
sampai kiamat.53
Sedangkan terhadap negara yang penduduknya masuk Islam seperti
Indonesia, atau tanah yang statusnya bukan tanah kharaj, maka kharaj
tidak berlaku, karena tanah tersebut tanah usyriyah yang wajib
dikeluarkan zakatnya. Seluruh potensi pemungutan atas hasil tanah, telah
terakumulasi dalam zakat.54
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa55:
a. Atas kaum Muslim Indonesia tidak boleh dipungut Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), termasuk juga terhadap non-Muslim. Karena
tanah yang mereka tinggali bukan termasuk tanah kharajiyah.
b. Jika PBB memungut pajak terhadap tanah dan/ bangunan, maka hal
ini adalah kezaliman. Sebab atas hasil usaha mereka telah dipungut
‘ushr (zakat) bagi kaum Muslim dan jizyah (pajak kepala) bagi non-
Muslim.
c. Kharaj termasuk penerimaan negara resmi atas non-Muslim atas
tanah kharajiyah, namun karena Indonesia bukan termasuk tanah
kharajiyah, maka PBB tidak boleh dipungut.
C. Penutup
53 Ibid., hlm.240-24154 Ibid., hlm.24155 Ibid.
Page 19 of 23
Pada hakikatnya semua yang ada di muka bumi ini adalah milik Allah
SWT –termasuk tanah– sedangkan manusia tidak lain hanyalah sebatas
penerima amanah maka pengelolaan tanah oleh manusia harus sesuai dengan
kehendak Allah SWT. Setiap tanah yang diambil dari kaum kafir dengan cara
paksa, setelah diumumkan perang terhadap mereka, maka tanah tersebut
dikategorikan sebagai tanah kharajiyah. Meskipun mereka masuk Islam setelah
penaklukan atau singkatnya kharaj adalah pajak tanah yang dipungut dari non-
Muslim.
Dalam sejarah Islam masa pengelolaan tanah kharaj pertama kali muncul
ketika umat islam di bawah kepemimpinan Rasulullah memenangkan Perang
Khaybar pada tahun 7H/629M. Dan dalam perkembangan berikutnya, kharaj
menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang penting. Al-Mawardi
menyarankan menggunakan salah satu dari tiga metode penetapan kharaj dalam
sejarah Islam, yaitu: metode misabah, metode penetapan kharaj dan metode
musaqah.
Kebijakan yang diambil Rasulullah dan pemimpin setelahnya mengenai
tanah kharaj tidak selamanya sama. Di Masa Rasulullah SAW, beliau
menjalankan model pengelolaan tanah dengan cara menyewakan kepada pihak
lain dimana jenis sewa yang digunakan adalah kira’ dengan biaya sewa sebesar
50% dari hasil yang didapat dari tanah tersebut. Namun di masa Khalifah Abu
Bakar kebijakan ini sempat berubah dengan memberikan tanah rampasan
kepada kaum Muslimin. Kemudian kebijakan kembali seperti yang dilakukan
Rasulullah pada kekhalifahan Umar bin Khattab.
Karena semakin luasnya kekuasaan kekhalifahan Islam di masa umar bin
Khattab, sehingga lahirlah ketetapan yang lebih rinci dengan memper-
timbangkan lebih banyak faktor seperti: tingkat produktivitas tanah, tingkat
elastisitas harga komoditas, biaya pengairan dan nilai ekonomis tanah.
Page 20 of 23
Khalifah yang melanjutkan kepemimpinan setelah Khalifah Umar tiada
adalah Khalifah Utsman ibn Affan. Khalifah Utsman membuat beberapa
perubahan administrasi tingkat atas dan pergantian beberapa gubernur dan
sebagai hasilnya, jumlah pemasukan yang berasal dari Mesir meningkat dua
kali lipat menjadi 4 juta dinar. Sepeninggal Khalifah Utsman, Khalifah Ali bin
Abi Thalib yang melanjutkan kepemimpinan langsung mengambil tindakan
salah satunya pendistribusian pendapatan pajak tahunan sesuai dengan yang
telah ditetapkan Umar ibn Khattab, namun ketetapan besaran kharaj mengalami
sedikit perubahan dengan memperhatikan tingkat produktivitas tanah tersebut.
Zaman berkembang dan perekonomian semakin modern, penerapan
kharaj pun masih ada namun dengan nama yang berbeda yaitu, Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), namun yang membedakan adalah jika dalam kharaj
ditentukan dari tingkat kesuburan tanah, jenis tanaman dan sistem, sedangkan
PBB ditentukan berdasarkan letak/posisi tanah itu berada.
Namun, untuk Negara Indonesia khusunya sebagai negara yang
penduduknya masuk Islam, status tanahnya bukan tanah kharajiyah, maka tidak
kharaj tidak berlaku, karena tanah Indonesia adalah tanah usyriyah. Sebab
Khalifah Umar pun pernah melarang pengenaan kharaj terhadap kaum
Muslimin.
Page 21 of 23
Daftar Pustaka
A. Buku
Al-Mawardi. 1978. Al-Ahkam As-Sulthaniyah. Beirut: Darul Fikir
Ali, Ameer. 1949. A Short History of The Saracens. London: Macmillan and
Corporation
Gusfahmi. 2007. Pajak Menurut Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Karim, Adiwarman A. 2001. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer.
Jakarta: Gema Insani
Karim, Adiwarman A. 2012. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada
Qadim Zallum, Abdul. 2008. Sistem keuangan Negara Khalifah. Terj. Ahmad
S, Jakarta: HTI-Press
Page 22 of 23
B. Artikel/Majalah
Kholis Budiono, Studi Pemikiran Dan Praktik Pengelolaan Tanah Dalam
Sejarah Islam, program Studi Timur Tengah dan Islam Universitas
Indonesia
Monzer Khaft, Public Sector Economics from Islamic Prespective.
M. Zarra Nezhad, Tribute (Kharaj) As A Tax On Land In Islam, International
Journal of Islamic Financial Services, Vol. 5, No. 1
Siti Mariam Malinumbay S. Salasal, The Concept of Land Ownership: Islamic
Perspective, Buletin Geoinformasi, Jld. 2 No.2, ms. 285-304, Penerbit
Akademik Fakulti Kejuruteraan & Sains Geoinformasi, Desember, 1998
C. Website
Euis Amalia, Abu Yusuf. From
http://mayasfaformuamalah.blogspot.com/2012/01/abu-yusuf.html
M. Shiddiq Al-Jawi, Hukum Pertanahan Menurut Syariah Islam. From
http://herlindahpetir.lecture.ub.ac.id/2012/09/tulisan-menarik-hukum-
pertanahan-menurut-syariah-islam/
http://telagaalkautsar.multiply.com/journal/item/77?&show_interstitial=1&u=
%2Fjournal%2Fitem
Page 23 of 23