35
Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam Oleh: Astati Riani dan Samsuri Arsyad A. Pendahuluan Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi –termasuk tanah– hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah An-Nuur ayat 42 Artinya: ”Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (QS An- Nuur, 24: 42). Allah SWT juga berfirman dalam Surah Al-Hadid ayat 2 Artinya: ”Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Hadid, 57:2) Page 1 of 35

Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

Oleh: Astati Riani dan Samsuri Arsyad

A. Pendahuluan

Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi –

termasuk tanah– hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Sebagaimana

firman Allah SWT dalam Surah An-Nuur ayat 42

Artinya: ”Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada

Allah-lah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur, 24: 42).

Allah SWT juga berfirman dalam Surah Al-Hadid ayat 2

Artinya: ”Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia

menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala

sesuatu.” (QS Al-Hadid, 57:2)

Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa pemilik hakiki dari segala sesuatu

(termasuk tanah) adalah Allah SWT semata.1

Tanah merupakan salah satu sumber daya yang disiapkan Allah SWT

untuk manusia dalam rangka mengemban amanah sebagai khalifah di muka

bumi. Dengan tanah manusia dapat memenuhi keperluannya karena Allah SWT

1 M. Shiddiq Al-Jawi, Hukum Pertanahan Menurut Syariah Islam, http://herlindahpetir.lecture.ub.ac.id/2012/09/tulisan-menarik-hukum-pertanahan-menurut-syariah-islam/ diakses pada tanggal 22-12-2012

Page 1 of 23

Page 2: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

telah memudahkan pengelolaannya kepada manusia sebagaimana difirmankan

Allah SWT dalam Surah al-Mulk ayat 152

Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka

berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-

Nya. dan Hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”

(QS. Al-Mulk, 67:15)

Semua yang ada di langit dan di bumi sesungguhnya adalah milik Allah

SWT, tidak terkecuali dengan tanah. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam al-

Qur’an Surah An-Nisa ayat 1263

Artinya: “Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi,

dan adalah (pengetahuan) Allah Maha meliputi segala sesuatu.” (QS An-

Nisa, 4:126)

Karena hak kepemilikan tanah hakikatnya ada pada Allah SWT

sedangkan manusia tidak lain hanya sebatas penerima amanah maka

pengelolaan tanah oleh manusia harus berdasarkan kepada kehendak Allah

SWT.4

Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada

manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya.

Firman Allah SWT dalam Surah Al-hadid ayat 72 Kholis Budiono, Studi Pemikiran Dan Praktik Pengelolaan Tanah Dalam Sejarah Islam, program Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia3 Ibid.4 Siti Mariam Malinumbay S. Salasal, The Concept of Land Ownership: Islamic Perspective, Buletin Geoinformasi, Jld. 2 No.2, ms. 285-304, Penerbit Akademik Fakulti Kejuruteraan & Sains Geoinformasi, Desember, 1998, hlm. 287

Page 2 of 23

Page 3: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

Artinya: “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah

menjadikan kamu menguasainya.” (QS Al-Hadid, 57:7).

Menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi berkata, “Ayat ini adalah dalil

bahwa asal usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah SWT, dan bahwa

manusia tidak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf) dengan cara

yang diridhai oleh Allah SWT.” (Tafsir Al-Qurthubi, Juz I hal. 130).

Dengan demikian, Islam telah menjelaskan dengan gamblang filosofi

kepemilikan tanah dalam Islam. Intinya ada 2 (dua) poin, yaitu: Pertama,

pemilik hakiki dari tanah adalah Allah SWT. Kedua, Allah SWT sebagai

pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah

menurut hukum-hukum Allah.5

Dalam syariah Islam, tanah terbagi menjadi 2 (dua) yaitu, tanah usyriyah

(al-ardhu al-‘usyriyah) dan tanah kharajiyah (al-ardhu al-kharajiyah).6

Tanah usyriyah dalah tanah yang penduduknya masuk Islam secara damai

tanpa peperangan, contohnya Madinah Munawwarah dan Indonesia. Termasuk

tanah usyriyah adalah seluruh Jazirah Arab yang ditaklukkan dengan

peperangan, misalnya Makkah, juga tanah mati yang telah dihidupkan oleh

seseorang. Sedangkan tanah kharajiyah adalah tanah yang dikuasai kaum

Muslimin melalui peperangan (al-harb), misalnya tanah Irak, Syam, dan Mesir

kecuali Jazirah Arab, atau tanah yang dikuasai melalui perdamaian (al-shulhu),

misalnya tanah Bahrain dan Khurasan.7

5 M. Shiddiq Al-Jawi, Op.Cit.6 Ibid.7 Ibid.

Page 3 of 23

Page 4: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

Selain itu, dalam syariah Islam telah mengatur persoalan kepemilikan

tanah secara rinci, dengan mempertimbangkan 2 (dua) aspek yang terkait

dengan tanah, yaitu: (1) zat tanah (raqabah al-ardh), dan (2) manfaat tanah

(manfaah al-ardh), yakni penggunaan tanah untuk pertanian dan sebagainya.8

Sejarah Islam mencatat pengelolaan tanah ini menjadi hal yang penting

karena pada masa awal penyebaran Islam banyak terjadi peperangan yang

membawa konsekuensi adanya harta rampasan dalam bentuk tanah (tanah

kharaj). Status tanah ini tentu saja berbeda dengan tanah ushr milik kaum

Muslim sehingga membawa konsekuensi adanya perbedaan perlakuan dalam

hak kepemilikan dan pengelolaannya. Pembagian dan pengelolaan tanah ini

menjadi sangat komplek akibat semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam dan

beragamnya karakteristik daerah atau tanah yang menjadi rampasan sehingga

banyak kita temukan pemikiran dan praktik pengelolaan tanah yang khas dari

masa ke masa.9

Permasalahanya adalah apakah kharaj memiliki peran besar dalam

mengatur kebijakan fiskal sebagai sumber pendapatan negara?

Maka dari itu, pemakalah akan merumuskan masalah mengenai definisi

kharaj dan pemikiran ekonomi para cendekiawan Muslim mengenai definisi

kharaj serta bagaimana mekanisme penetapan kharaj? Lalu bagaimana sejarah

yang melatarbelakangi timbulnya kharaj dan kebijakan apa saja yang diambil

pemimpin tentang kharaj? Dan terakhir, bagaimana penerapan kharaj dalam

perekonomian modern? Apa kharaj masih ada dalam perekonomian modern

saat ini? Jika ada, apakah mekanismenya masih sama dengan masa pemerin-

tahan Rasulullah dan para khalifah?

B. Pembahasan

8 Ibid.9 Kholis Budiono, Op.Cit.

Page 4 of 23

Page 5: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

1. Definisi Kharaj

Kharaj menurut bahasa bermakna al-kara’ (sewa) dan al-ghullah

(hasil). Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Mu’minun ayat

72: 10

Artinya: “Atau kamu meminta upah kepada mereka?", Maka upah dari

Tuhanmu[1012]11 adalah lebih baik, dan dia adalah pemberi rezki yang

paling baik.” (Q.S. Al-Mu’minun, 23:72)

Setiap tanah yang diambil dari kaum kafir dengan cara paksa,

setelah diumumkan perang terhadap mereka, maka tanah tersebut

dikategorikan sebagai tanah kharajiyah. Meskipun mereka masuk Islam

setelah penaklukan atau singkatnya kharaj adalah pajak tanah yang

dipungut dari non-Muslim. Dalam terminologi keuangan Islam, kharaj

adalah pajak atas tanah atau hasil tanah, di mana para pengelola wilayah

taklukan harus membayar kepada Negara Islam. Negara Islam setelah

penaklukan adalah pemilik atas wilayah itu, dan pengelola harus

membayar sewa kepada Negara Islam. Para penyewa ini menanami tanah

untuk pembayaran tertentu dan memelihara sisa hasil panennya untuk diri

mereka sendiri. Jika kharaj ibarat penyewa atau pemegang kontrak atas

tanah atau pengelola yang membayar pajak kepada pemiliknya. Kharaj

ditetapkan berdasarkan ijtihad.12

Menurut Abu Yusuf, tanah kharaj didefiniskan tanah sebagai tanah

yang diperoleh kaum Muslimin akibat penaklukan suatu wilayah baik

10 Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 12611 [1012] yang dimaksudkan upah dari Tuhan ialah rezki yang dianugrahkan Tuhan di dunia, dan pahala di akhirat.12 Gusfahmi, Op.Cit., hlm. 126

Page 5 of 23

Page 6: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

dengan peperangan maupun tanpa peperangan. Karena itu tanah kharaj

bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu13:

Tanah yang dikuasai oleh penguasa Muslim dengan damai/sukarela

melalui perjanjian dengan tetap mempertahankan kepemilikan tanah

kepada pemiliknya sebelumnya.

Tanah yang dikuasai oleh penguasa Muslim melalui jalan

peperangan yang ditinggalkan pemilik sebelumnya sehingga

kepemilikannya berubah menjadi milik kaum Muslim.

Sementara itu dalam pandangan Imam Al Mawardi dalam “Al

Ahkam Al Sulthaniyah” tentang definisi kharaj bahwa ia merupakan upah

yang diberikan atas kompensasi atas pemanfaatan tanah pertanian atas

tanah lain yang membawa manfaat atas maslahat bagi kehidupan

manusia. Kharaj dapat dipandang sebagai bayaran yang wajib diambil

dari kalangan kafir ketika tanah yang dijadikan objek kharaj tersebut

didapat dari jalan peperangan dengan kaum Muslimin dan jatuh ke tangan

kaum Muslimin maka kaum kafir masih memiliki pilihan untuk tetap

memiliki dan mengelola tanah tersebut namun pajak yang diambil dari

tanah itu maka di sanalah kharaj dipungut. Dan bila tanah tersebut

dibiarkan kaum Muslimin yang mengelolanya maka bayaran yang

ditetapkan atasnya hanya dipandang sebagai sewa.14

Sedangkan Abdul Qadim Zallum berpandangan yang dimaksud

dengan kharaj adalah hak kaum Muslim atas tanah yang diperoleh (dan

menjadi bagian ghanimah) dari orang kafir, baik melalui peperangan

maupun perjanjian damai. Dari sini ada kharaj ‘unwah (kharaj paksaan)

dan kharaj sulhi (kharaj damai).15

13 Siti Mariam Malinumbay S. Salasal, Op.Cit., hlm. 29614 Al-Mawardi, Al Ahkam As-Sulthaniyah, (Beirut: Darul Fikir, 1960), hlm.132

Page 6 of 23

Page 7: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

Kharaj ‘Unwah (Kharaj Paksaan) adalah kharaj yang diambil dari

seluruh tanah yang dikuasai kaum Muslim (dan diperoleh) dari orang-

orang kafir secara paksa melalui peperangan. Contohnya adalah tanah

Irak, Syam dan Mesir. Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam surah

al-Hasyr, 59:7-10.16 Sedangkan kharaj sulhi (kharaj damai) adalah kharaj

yang diambil dari setiap tanah di mana pemiliknya telah menyerahkan diri

kepada kaum Muslim (berdasarkan perjanjian) damai.17

2. Sejarah Kharaj

Masa pengelolaan tanah kharaj dalam sejarah Islam pertama kali

muncul ketika umat Islam di bawah kepemimpinan Rasulullah meme-

nangkan Perang Khaybar pada tahun 7H / 629M.18 Setelah melewati masa

pertempuran selama sebulan, penduduk Khaybar menyerah dengan syarat

dan berjanji meninggalkan tanahnya. Syarat yang mereka ajukan diterima

Rasulullah. Mereka mengatakan kepada Rasulullah bahwa mereka

memiliki pengalaman khusus dalam bertani dan berkebun kurma. Oleh

karena itu, mereka meminta izin untuk tetap tinggal serta mengelola tanah

tersebut.19

Rasulullah SAW mengabulkan permintaan mereka dan memberikan

setengah bagian dari hasil panen kebun mereka. Untuk mengatur

pelaksanaan keputusan tersebut, Rasulullah mengangkat Abdullah bin

Rawalah sebagai pengawas. Dalam hal ini, Abdullah bin Rawalah diberi

wewenang mengatur kembali pemukiman penduduk Khaybar, mengatur

pembagian tenaga kerja yang mengolah dan menggarap tanah Khaybar 15 Abdul Qadim Zallum, Sistem keuangan Negara Khalifah, terj. Ahmad S, (Jakarta: HTI-Press, 2008), hlm. 5416 Ibid., hlm. 5417 Ibid., hlm. 5718 Kholis Budiono, Op.Cit19 Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 42

Page 7 of 23

Page 8: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

serta menerapkan sistem bagi hasil. Setiap tahun, ia datang ke Khaybar

untuk menaksir hasil produksi dan membaginya menjadi dua bagian yang

sama banyak. Hal ini terus berlangsung selama masa kepemimpinan

Rasulullah dan Abu Bakar Al-Shiddiq.20

Dalam peperangan sebelumnya masalah ini belum muncul karena

setiap peperangan tersebut ghanimah atau harta rampasan perang masih

didominasi oleh harta bergerak seperti emas, perak, besi, ternak dan

sejenisnya tetapi pada peperangan Khaybar, ghanimah tersebut berupa

tanah yang luas dan produktif lengkap dengan mata air. Dipicu oleh

penaklukan tanah khaybar dari Bani Nadhir inilah kemudian akhirnya

Allah SWT menetapkan melalui Rasulullah tentang mulai diberlakukan-

nya kharaj atau sewa tanah. Keputusan ini didasarkan kepada al-Qur’an

Surah Al-Anfal ayat 1 dan Surat Al-Hasyr ayat 6 dan 7 yang banyak ber-

bicara tentang ghanimah (harta rampasan akibat peperangan) dan fai

(harta rampasan tanpa peperangan).21

Pada hakikatnya, sistem pajak kharaj sudah ada pada masa

kekaisaran Romawi dalam bentuk yang sama dan hal ini merupakan fakta

bahwa pembayaran pajak adalah hal yang sudah biasa diterapkan pada

masa kekaisaran Sasanid dan Persia.22 Oleh kaum Muslim di masa awal

pemerintah Islam, sistem tersebut diadopsi serta dimodifikasi sesuai

dengan prinisp-prinsip keadilan. Dalam perkembangan berikutnya, kharaj

menjadi salah satu sumber pendapatan Negara yang penting.23

3. Mekanisme Kharaj

20 Ibid.21 Kholis Budiono, Op.Cit22 Ameer Ali, A Short History of The Saracens, (London: Macmillan and Corporation, 1949), hlm.6323 Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hlm.44

Page 8 of 23

Page 9: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

Dari sisi subjek (wajib pajaknya), kharaj dikenakan atas orang kafir

dan juga Muslim (karena membeli tanah kharajiyah). Apabila orang kafir

yang mengelola tanah kharaj masuk Islam, maka ia tetap dikenai kharaj

sebagaimana keadaan sebelumnya. Seorang Muslim boleh membeli tanah

kharaj dari seorang kafir dzimmi24 dan dia tetap dikenakan kharaj

(menurut Mazhab Syafi’i). Jika seorang kafir masuk Islam, maka tanah

itu tetap menjadi miliknya, dan mereka wajib membayar 10% dari hasil

buminya sebagai zakat, bukan sebagai kharaj. Said Hawwa

menjelaskan25:

Umar mengatakan bahwa membayar kharaj bagi kaum Muslim

adalah suatu kehinaan. Kharaj (pajak penghasilan) yang telah

dikenakan terhadap orang kafir dzimmi, maka apabila tanah kharaj

berpindah pula pajak penghasilannya. Berarti pula, seorang

Muslim pada waktu itu wajib menunaikan pajak penghasilan

sebagaimana seorang kafir dzimmi dan ini adalah satu bentuk

kehidupan yang Allah telah menyelamatkan dari kehinaan ini.

Namun pendapat larangan di atas diperbolehkan oleh sebagaian

sahabat dan tabi’in, seperti Abdullah Ibn Mas’ud, Muhammad Ibn Sirrin

dan Umar Ibn Abdul Aziz. Mereka berpendapat bahwa kehinaan yang

dimaksud dalam Surah At-Taubah ayat 29 itu adalah atas kepala

(orangnya) bukan atas tanahnya. Oleh karena itu, tidak ada kehinaan

dalam menunaikan pajak penghasilan dari tanah kharaj. Dengan demikian

tidak ada larangan untuk membelinya.26

24 Secara istilah, dzimmi adalah orang non-Muslim merdeka yang hidup dalam Negara Islam yang sebagai balasan karena membayar pajak perorangan, menerima perlindungan dan keamanan. 25 Gusfami, Op.Cit., hlm. 12726 Ibid., hlm. 127-128

Page 9 of 23

Page 10: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

Tanah kosong yang diamanahkan negara kepada seseorang yang

mampu menghidupkannya menjadi tanah yang produktif maka tanah itu

secara otomatis berpindah kepemilikannya kepada yang mampu

mengolahnya dengan syarat orang tersebut harus membayar ushr (bagi

umat Muslim) atau kharaj (bagi non-Muslim). Tarif kharaj yang

diberlakukan menurut Abu Yusuf dibagi menjadi 327:

40% bagi tanah yang diairi tanpa irigasi

30% bagi tanah yang diairi dengan irigasi

25% ketika musim panas

Yahya bin Adam pada masa kekhalifahan Al-Ma’mun (813-833 M)

melanjutkan kajian tentang kharaj tetapi lebih menitik beratkan kepada

dasar-dasar hadits terhadap masalah-masalah yang dikaji. Hal ini berbeda

dengan Abu Yusuf yang sangat kuat terhadap analisis dan kemampuan-

nya dalam istinbath hukum. Dan kitab ketiga disusun oleh Qudama bin

Ja’far, seorang qadhi yang hidup di masa Khalifah Al-Muqtadir (908-932)

di mana kitab karyanya ini lebih banyak sebagai bantahan atas tuduhan

bahwa penerapan sistem kharaj tidak sesuai dengan syariah sehingga

praktis dalam karyanya tidak ditemukan suatu analisis dan ijtihad hukum

yang baru. Yahya bin Adham dan Qudama membagi tanah kharaj

menjadi tiga28:

Tanah anwa, yaitu tanah yang ditaklukkan yang mana negara

memiliki hak 20% untuk dijadikan tanah negara dan 80% dapat

dibagikan kepada kaum Muslimin yang berjasa pada penaklukan

tersebut.

27 Euis Amalia, Abu Yusuf, http://mayasfaformuamalah.blogspot.com/2012/01/abu-yusuf.html akses 15-12-201228 Kholis Budiono, Op.Cit.

Page 10 of 23

Page 11: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

Tanah Sulk, yaitu tanah milik orang-orang yang telah mengadakan

perdamaian dengan penguasa Islam.

Tanah yang mendapat pengairan dari fasilitas non-Muslim.

Menurut Al-Mawardi, penilaian atas kharaj (pajak) harus bervariasi

sesuai dengan faktor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam

membayar pajak, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman, dan sistem irigasi.

Al-Mawardi menjelaskan alasan penyebutan ketiga hal tersebut sebagai

faktor yang sangat penting dalam melakukan penilaian kharaj (pajak)

karena sedikit banyaknya jumlah produksi bergantung kepadanya. Jenis

tanaman juga turut berpengaruh terhadap penilaian kharaj berbagai jenis

tanaman karena mempunyai variasi harga yang berbeda-beda. Begitu pula

halnya dengan sistem irigasi. Tanaman yang menggunakan sistem irigasi

secara manual tidak dapat dikenai sejumlah pajak yang sama dengan

tanaman yang menggunakan sistem irigasi alamiah.29

Tentang metode penetapan kharaj, Al-Mawardi menyarankan

menggunakan salah satu dari tiga metode yang pernah ditetapkan dalam

sejarah Islam, yaitu30:

Metode Misabah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan uku-

ran tanah metode ini merupakan fixed-tax, terlepas dari apakah

tanah tersebut ditanami atau tidak, selama tanah tersebut memang

bisa ditanami.

Metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami

saja. Dalam metode ini, tanah subur yang tidak dikelola tidak

termasuk dalam penilaian objek kharaj.

29 Al-Mawardi, Op.Cit., hlm. 148-14930 Ibid., hlm. 149

Page 11 of 23

Page 12: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

Metode musaqah yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan

persentase dari hasil produksi. Dalam metode ini, pajak dipungut

setelah tanaman mengalami masa panen.

Secara kronologi, metode Misabah pertama kali diterapkan pada

masa Khalifah Umar bin Khattab, di mana pajak yang ditetapkan ada

pada fixed atas setiap tanah yang berpotensi produktif yang memiliki

akses air, sekalipun tidak ditanami sehingga pendapatan yang diterima

oleh negara dari jenis pajak ini pun bersifat fixed. Metode kedua, metode

penerapan Kharaj juga pernah ditetapkan pada masa Khalifah Umar yang

dilakukan pada wilayah tertentu, terutama di Syria dalam pengenaan

pajak. Metode yang terakhir, Muqasamah pertama kali ditetapkan pada

masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada pemerintahan Al-Mahdi dan

Harun at-Rasyid.31

4. Kebijakan Kharaj

Berdasarkan hadits Bukhari dan Muslim, Rasulullah menjalankan

model pengelolaan tanah dengan cara menyewakan kepada pihak lain

yakni orang yahudi di Khaybar. Jenis sewa yang digunakan adalah kira’

dengan biaya sewa sebesar 50% dari hasil yang didapat dari tanah

tersebut. Pada saat itu Rasulullah bertindak sebagai pihak yang

menyediakan tanahnya sedangkan orang yahudi menyediakan bibit dan

biaya pengerjaannya. Besaran inilah yang kemudian akan diambil oleh

negara sebagai sewa atas tanah yang digarap oleh orang yahudi tersebut.32

Terkait dengen besarnya biaya sewa kharaj tersebut Rasulullah

memberikan petunjuk agar pola penyewaan yang menggunakan kira’ di

mana penggarap tanah menyediakan bibit dan biaya pengerjaannya maka

31 Adiwarman A. karim, Op.Cit., hlm. 30832 Kholis Budiono, Op.Cit.

Page 12 of 23

Page 13: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

bagian dari penggarap harus lebih besar dari pemilik tanah atau sekurang-

kurangnya 50% dari total hasil yang didapat. Tidak layak bagi pemilik

tanah jika mendapatkan bagian yang lebih besar dari bagian penggarap

tanah yang telah bersusah payah mengeluarkan biaya dan keahliannya

untuk mengelola tanah tersebut.33

Sistem pengelolaan tanah kharaj mengalami perkembangan, pada

zaman Rasulullah SAW dengan mengacu kepada kebijakan pengelolaan

tanah Khaybar maka tanah hasil rampasan status pengelolaannya tetap

kepada pemilik sebelumnya tetapi negara memungut pajak atas tanah

tersebut yang dikenal dengan nama kharaj sehingga tanahnya disebut

dengan tanah kharaj.34 Jumlah kharaj dari tanah ini adalah tetap, yakni

setengah dari hasil produksi. Untuk memastikan sistem tersebut berjalan

dengan baik dan benar, Rasulullah SAW. mengirim orang-orang yang

memiliki pengetahuan dalam masalah ini untuk menaksir jumlah

keseluruhan hasil produksi. Setelah mengurangi sepertiga sebagai

kompensasi dari kemungkinan kelebihan penaksiran, sisanya yang

berjumlah duapertiga dibagi-bagikan, setengah untuk negara dan setengah

lainnya untuk para penyewa yang disertai hak kebebasan untuk memilih

apakah menerima pembagian tersebut atau menolaknya.35

Di zaman khalifah Abu Bakar mekanisme kepemilikan atas tanah

rampasan sempat berubah dengan memberikan tanah rampasan kepada

kaum Muslimin, kemudian pada masa Khalifah Umar kembali seperti

praktik yang dilakukan Rasulullah SAW. perubahan praktik ini boleh jadi

akibat sudah meluasnya kekuasaan kekhalifahan Islam pada saat itu yang

membentang dari Iran, Palestina, Irak hingga ke Mesir sehinga diharap-

33 Ibid.34 Ibid.35 Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hlm.44

Page 13 of 23

Page 14: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

kan pemerintahan daerah tersebut dapat mengawasi pengelolaan tanah

tersebut dan menghimpun kharaj bagi kepentingan masyarakat.36

Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab (634 – 644 M) tercatat

sebuah peristiwa pengelolaan tanah kharaj yang cukup operasional.

Ketika kaum Muslimin yang menaklukkan Mesir maka terdapat sebuah

tanah subuh yang sangat luas yang bernama Sawad. Pasukan kaum

Muslimin waktu itu meminta Khalifah Umar untuk membagi tanah

rampasan tersebut kepada mereka seperti yang pernah atau bisa dilakukan

terhadap harta rampasan. Setelah berdiskusi dengan Ali bin Abi Thalib

maka Khalifah Umar memutuskan untuk mempertahankan tanah tersebut

dan menjadikannya sebagai sumber keuangan negara yang akan

bermanfaat bagi umat Islam.37 Kebijakan Khalifah Umar ini terbukti

mendatangkan maslahat karena selanjutnya kharaj ini menjadi sumber

pendapatan yang sangat besar untuk membiayai kegiatan pemerintah.38

Mayoritas sumber pemasukan pajak al-kharaj berasal dari daerah-

daerah bekas Kerajaan Romawi dan Sasanid (Persia) dan hal ini

membutuhkan suatu sistem administrasi yang terperinci untuk penaksiran,

pengumpulan dan pendistribusian pendapatan yang diperoleh dari pajak

tanah-tanah tersebut. Berdasarkan hal ini, Khalifah Umar mengutus

Utsman ibn Hunaif Al-Anshari untuk melakukan survei batas-batas tanah

di Sawad. Berdasarkan hasil survei, luas tanah tersebut 36 juta jarib39 dan

setiap jarib ditentukan jumlahnya. Setelah itu, Utsman mengirim

proposalnya tersebut kepada Khalifah untuk dimintakan persetujuannya.40

36 Kholis Budiono, Op.Cit.37 M. Zarra Nezhad, Tribute (Kharaj) As A Tax On Land In Islam, International Journal of Islamic Financial Services, Vol. 5, No. 138 Monzer Khaft, Public Sector Economics from Islamic Prespective, hlm. 3239 jarib merupakan satuan ukuran luas yang digunakan untuk mengukur tanah-tanah pertanian dan untuk menentukan batas-batas pemilikan tanah.1 Jarib kira-kira 8 acre; 1 acre = 0,4646 hektar40 Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hlm. 67

Page 14 of 23

Page 15: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

Dalam hal ini, Khalifah Umar menerapkan beberapa peraturan

sebagai berikut41:

Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik

Muslim dan kepentingan ini tidak dapat diganggu gugat sedangkan

bagian wilayah yang berada di bawah perjanjian dalam tetap

dimiliki oleh pemilik sebelumnya dari kepemiliknya tersebut dapat

dialihkan.

Kharaj dibebankan kepada semua tanah yang berada di bawah

kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk agama

Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat dikonversi

menjadi tanah ushr.

Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikkan selama mereka

membayar kharaj dan jizyah.

Tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah

yang diklaim kembali (seperti Bashra) bila diolah oleh kaum

Muslimin diperlakukan sebagai tanah ushr.

Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz

(satu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan

asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi

dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.

Di Mesir, berdasarkan perjanjian Amar, setiap pemilik tanah

dibebankan pajak sebesar dua dinar, di samping tiga irdabb

gandum, dua qist untuk setiap minyak, cuka, dan madu, dan

rancangan ini telah disetujui Khalifah.

Seiring dengan makin tingginya kebutuhan terhadap pasokan

makanan bagi masyarakat maka kebijakan kharaj dengan dirham

mengalami perubahan yakni diberlakukannya tambahan dengan sejumlah 41 Ibid., hlm. 67-68

Page 15 of 23

Page 16: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

komoditas dari tanah tersebut untuk setiap acre42-nya. Namun kebijakan

ini dirasa kurang ideal sehingga lahirlah ketetapan yang lebih rinci

dengan mempertimbangakan lebih banyak faktor seperti: tingkat

produktivitas tanah, tingkat elastisitas harga komoditas, biaya pengairan

dan nilai ekonomis tanah. Contoh dari penerapan kharaj di Sawad

berdasarkan komoditas ditampilkan dalam tabel berikut ini.

Tipe Komoditas

per acre

Tingkat Kharaj

(dirham)

Anggur 10

Sayuran 8

Semanggi 8

Vetch 8

Wijen 8

Tebu 6

Alfafa 5

Gandum 4

Barley 2

Kebijakan Kharaj ini kemudian diberlakukan secara menyeluruh

diseluruh wilayah kekuasaan khalifah dengan tetap mempertimbangkan

faktor-faktor tersebut sebelumnya.43

Pada masa Khalifah Utsman ibn Affan, untuk meningkatkan penge-

luaran dibidang pertahanan dan kelautan, meningkatkan dana pensiun,

dan pembangunan berbagai wilayah taklukan baru, negara membutuhkan

dana tambahan. Oleh karena itu, Khalifah Utsman ibn Affan membuat

42 1 acre = 0,4646 hektar43 M. Zarra, Op.Cit.

Page 16 of 23

Page 17: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

beberapa perubahan administrasi tingkat atas dan pergantian beberapa

gubernur. Sebagai hasilnya, jumlah pemasukan kharaj dan jizyah yang

berasal dari Mesir meningkat dua kali lipat, yakni dari 2 juta dinar

menjadi 4 juta dinar setelah dilakukan pergantian gubernur dari Amr

kepada Abdullah bin Saad.44

Pada saat Khalifah Ali bin Abi Thalib berkuasa langsung

mengambil tindakan salah satunya pendistribusian pendapatan pajak

tahunan sesuai dengan yang telah ditetapkan Umar ibn Khattab45, karena

kebijakan-kebijakan yang telah dibuat khalifah sebelumnya, Khalifah

Utsman, lebih banyak menguntungkan keluarganya yang telah

menimbulkan benih kekecewaan yang mendalam pada sebahagian kaum

Muslim.46

Di masa Khalifah Umar, ketetapan besaran kharaj mengalami

sedikit perubahan dengan memperhatikan tingkat produktivitas tanah

tersebut. Makin produktif atau besar hasil panennya maka makin besar

kharaj yang dibayar. Di samping itu juga ditetapkan batas minimal umur

komoditas yang terkena pembayaran kharaj. Misalnya untuk tanah kharaj

yang ditanami pohon anggur maka baru dikenakan kharaj jika telah

mencapai umur 3 tahun.47

Selain itu, kharaj yang dipungut atas lahan gandum yang sangat

produktif sebanyak satu setengah dirham ditambah satu sha’48 per jarib,

lahan yang cukup produktif sebesar satu dirham dan lahan yang kurang

produktif sebesar sepertiga dirham. Ketiga jenis lahan tersebut diirigasi

oleh Sungai Eufrat. Sama halnya dengan yang tadi, pada setiap jarib

44 Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hlm.8045 Ibid., hlm.8246 Ibid., hlm.8147 Kholis Budiono, Op.Cit48 Sha’ adalah satu-satunya ukuran bagi seluruh timbangan yang dipergunakan. 1 sha’ kira-kira 8 kg

Page 17 of 23

Page 18: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

lahan yang ditanami barley (jelai) dikenakan kharaj setengah dari hasil

gandum; pada setiap jarib pohon kurma dikenai sepuluh dirham; dan pada

setiap kebun anggur dikenai sepuluh dirham. Produksi pertanian lainnya

dibebaskan dari pemungutan kharaj.49

5. Penerapan Kharaj dalam Perekonomian Modern

Dalam perekonomian modern saat ini, penerapan kharaj sama

seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dimana PBB adalah pajak yang

bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutama ditentukan oleh

keadaan objek, yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subjek

(siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.50 Namun

yang membedakan PBB dan kharaj adalah jika dalam kharaj cenderung

digunakan dalam hal pertanian sehingga ditentukan dari tingkat

kesubuhan tanah, jenis tanaman dan sistem irigasi, sedangkan PBB besar

pajaknya ditetukan berdasarkan zona lokasi tanah.51

Namun PBB ini jelas bertentangan dengan syariah, karena kaum

Muslim ikut dibebankan atas tanah dan atau bangunan yang mereka

miliki, tempati, atau manfaatkan. Kalau diidentikkan dengan kharaj,

maka Indonesia bukanlah tanah kharajiyah yang ditaklukan dengan

peperangan. Sehingga warga Muslim atas tanah itu tidak wajib membayar

kharaj. Khalifah Umar Ibn Khattab pun pernah melarang pengenaan

kharaj terhadap kaum Muslim, dan memasukkan penerimaan hasil tanah

sebagai zakat.52

49 Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hlm.110-11150 Gusfahmi, Op.Cit., hlm.23651 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm. 4652 Ibid., hlm.237

Page 18 of 23

Page 19: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

Karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa kharaj adalah tanah

taklukan (kharajiyah), kaum kafir wajib membayar kharaj. Jika dijual

kepada kaum Muslim, ia tetap dikenakan karena status tanah kharajiyah

tersebut, meskipun nilainya berubah menjadi zakat. Terhadap tanah

kharaj dan tanah kharajiyah (negeri taklukan yang penduduknya telah

masuk Islam) seperti Irak, Syam, Mesir, Libya, Aljazair, Maroko, Bosnia,

negeri-negeri di Asia Tengah, maka di sana berlaku kharaj (the land tax)

sampai kiamat.53

Sedangkan terhadap negara yang penduduknya masuk Islam seperti

Indonesia, atau tanah yang statusnya bukan tanah kharaj, maka kharaj

tidak berlaku, karena tanah tersebut tanah usyriyah yang wajib

dikeluarkan zakatnya. Seluruh potensi pemungutan atas hasil tanah, telah

terakumulasi dalam zakat.54

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa55:

a. Atas kaum Muslim Indonesia tidak boleh dipungut Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB), termasuk juga terhadap non-Muslim. Karena

tanah yang mereka tinggali bukan termasuk tanah kharajiyah.

b. Jika PBB memungut pajak terhadap tanah dan/ bangunan, maka hal

ini adalah kezaliman. Sebab atas hasil usaha mereka telah dipungut

‘ushr (zakat) bagi kaum Muslim dan jizyah (pajak kepala) bagi non-

Muslim.

c. Kharaj termasuk penerimaan negara resmi atas non-Muslim atas

tanah kharajiyah, namun karena Indonesia bukan termasuk tanah

kharajiyah, maka PBB tidak boleh dipungut.

C. Penutup

53 Ibid., hlm.240-24154 Ibid., hlm.24155 Ibid.

Page 19 of 23

Page 20: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

Pada hakikatnya semua yang ada di muka bumi ini adalah milik Allah

SWT –termasuk tanah– sedangkan manusia tidak lain hanyalah sebatas

penerima amanah maka pengelolaan tanah oleh manusia harus sesuai dengan

kehendak Allah SWT. Setiap tanah yang diambil dari kaum kafir dengan cara

paksa, setelah diumumkan perang terhadap mereka, maka tanah tersebut

dikategorikan sebagai tanah kharajiyah. Meskipun mereka masuk Islam setelah

penaklukan atau singkatnya kharaj adalah pajak tanah yang dipungut dari non-

Muslim.

Dalam sejarah Islam masa pengelolaan tanah kharaj pertama kali muncul

ketika umat islam di bawah kepemimpinan Rasulullah memenangkan Perang

Khaybar pada tahun 7H/629M. Dan dalam perkembangan berikutnya, kharaj

menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang penting. Al-Mawardi

menyarankan menggunakan salah satu dari tiga metode penetapan kharaj dalam

sejarah Islam, yaitu: metode misabah, metode penetapan kharaj dan metode

musaqah.

Kebijakan yang diambil Rasulullah dan pemimpin setelahnya mengenai

tanah kharaj tidak selamanya sama. Di Masa Rasulullah SAW, beliau

menjalankan model pengelolaan tanah dengan cara menyewakan kepada pihak

lain dimana jenis sewa yang digunakan adalah kira’ dengan biaya sewa sebesar

50% dari hasil yang didapat dari tanah tersebut. Namun di masa Khalifah Abu

Bakar kebijakan ini sempat berubah dengan memberikan tanah rampasan

kepada kaum Muslimin. Kemudian kebijakan kembali seperti yang dilakukan

Rasulullah pada kekhalifahan Umar bin Khattab.

Karena semakin luasnya kekuasaan kekhalifahan Islam di masa umar bin

Khattab, sehingga lahirlah ketetapan yang lebih rinci dengan memper-

timbangkan lebih banyak faktor seperti: tingkat produktivitas tanah, tingkat

elastisitas harga komoditas, biaya pengairan dan nilai ekonomis tanah.

Page 20 of 23

Page 21: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

Khalifah yang melanjutkan kepemimpinan setelah Khalifah Umar tiada

adalah Khalifah Utsman ibn Affan. Khalifah Utsman membuat beberapa

perubahan administrasi tingkat atas dan pergantian beberapa gubernur dan

sebagai hasilnya, jumlah pemasukan yang berasal dari Mesir meningkat dua

kali lipat menjadi 4 juta dinar. Sepeninggal Khalifah Utsman, Khalifah Ali bin

Abi Thalib yang melanjutkan kepemimpinan langsung mengambil tindakan

salah satunya pendistribusian pendapatan pajak tahunan sesuai dengan yang

telah ditetapkan Umar ibn Khattab, namun ketetapan besaran kharaj mengalami

sedikit perubahan dengan memperhatikan tingkat produktivitas tanah tersebut.

Zaman berkembang dan perekonomian semakin modern, penerapan

kharaj pun masih ada namun dengan nama yang berbeda yaitu, Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB), namun yang membedakan adalah jika dalam kharaj

ditentukan dari tingkat kesuburan tanah, jenis tanaman dan sistem, sedangkan

PBB ditentukan berdasarkan letak/posisi tanah itu berada.

Namun, untuk Negara Indonesia khusunya sebagai negara yang

penduduknya masuk Islam, status tanahnya bukan tanah kharajiyah, maka tidak

kharaj tidak berlaku, karena tanah Indonesia adalah tanah usyriyah. Sebab

Khalifah Umar pun pernah melarang pengenaan kharaj terhadap kaum

Muslimin.

Page 21 of 23

Page 22: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

Daftar Pustaka

A. Buku

Al-Mawardi. 1978. Al-Ahkam As-Sulthaniyah. Beirut: Darul Fikir

Ali, Ameer. 1949. A Short History of The Saracens. London: Macmillan and

Corporation

Gusfahmi. 2007. Pajak Menurut Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Karim, Adiwarman A. 2001. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer.

Jakarta: Gema Insani

Karim, Adiwarman A. 2012. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada

Qadim Zallum, Abdul. 2008. Sistem keuangan Negara Khalifah. Terj. Ahmad

S, Jakarta: HTI-Press

Page 22 of 23

Page 23: Kharaj Sebagai Instrumen Keuangan Publik Islam

B. Artikel/Majalah

Kholis Budiono, Studi Pemikiran Dan Praktik Pengelolaan Tanah Dalam

Sejarah Islam, program Studi Timur Tengah dan Islam Universitas

Indonesia

Monzer Khaft, Public Sector Economics from Islamic Prespective.

M. Zarra Nezhad, Tribute (Kharaj) As A Tax On Land In Islam, International

Journal of Islamic Financial Services, Vol. 5, No. 1

Siti Mariam Malinumbay S. Salasal, The Concept of Land Ownership: Islamic

Perspective, Buletin Geoinformasi, Jld. 2 No.2, ms. 285-304, Penerbit

Akademik Fakulti Kejuruteraan & Sains Geoinformasi, Desember, 1998

C. Website

Euis Amalia, Abu Yusuf. From

http://mayasfaformuamalah.blogspot.com/2012/01/abu-yusuf.html

M. Shiddiq Al-Jawi, Hukum Pertanahan Menurut Syariah Islam. From

http://herlindahpetir.lecture.ub.ac.id/2012/09/tulisan-menarik-hukum-

pertanahan-menurut-syariah-islam/

http://telagaalkautsar.multiply.com/journal/item/77?&show_interstitial=1&u=

%2Fjournal%2Fitem

Page 23 of 23