2
Kisah Sedih Gadis Cilik Belanda di Zaman Jepang OPINI | 19 August 2013 | 18:08 Dibaca: 2090 Komentar: 15 4 Ada sebuah buku yang berjudul ‘The Remains of War: Surviving the Other Concentration Camps of World War II ’ ditulis oleh G. Pauline Kok-Schurgers. Buku ini berkisah tentang pengalaman gadis kecil berusia 9 tahun, yang pada tahun 1942, tatkala Belanda menyerah kepada Jepang di Indonesia, harus dipenjarakan bersama ibu, adik lakinya dan dua adik lainnya yang masih balita di beberapa concentration camps di Sumatra. Ayahnya dikirim ke Burma-Siam oleh Jepang untuk membangun rel kereta api. Bertahun-tahun mereka hidup dalam penyiksaan, kelaparan dan penyakit, sementara mereka tak mengetahui nasib sang ayah apakah masih hidup atau sudah wafat. Kisah yang menyayat hati ini, lebih mengaduk-aduk emosi saya, karena Pauline bercerita tentang Indonesia tempat dia dilahirkan. Saya cuplikkan barang sedikit narasi yang bercerita tentang makan dengan tangan dan tentang kelambu. Saya yakin kita akan benar-benar akan terharu membacanya. Pada awal buku ini, Pauline bercerita tentang kehidupannya sebelum kedatangan Jepang menjajah Indonesia. Inilah sekelumit kutipannya. Mom and Dad came from Holland, so they hadn’t known about rice and spicy Indonesian dishes before Dad had come here to teach. Although they came to love rice dishes, Mom and Dad still liked to eat potatoes, vegetables, and meat regularly. I, however, was born in Indonesia and had grown up on its food. Whenever Dutch food was on the menu, I tried to hide around mealtime and sneak to the back of the house, where I knew Sitah and Hassan would have their meal of rice with several side dishes. They would not only allow me to eat, but to do so with my hands. I had become skilled at forming a delicious clump of food between my fingers, which I would bring to my mouth, without losing one grain of rice. No spoon was needed; my thumb would push in the food. And no plate had to be washed afterward, since we used cups of palm leaves held together with a tootpick. The palm leaves would enhance the paste of the warm food and were thrown out when the meal was finished. Saduran bebasnya: Ayah dan ibu berasal dari Belanda, karenanya mereka tak mengenal makanan nasi dan lauk beraneka bumbu sebelum ayah bertugas sebagai guru di sini. Sekalipun mereka sudah mulai menyukai makan nasi, tetapi kentang, sayur dan daging tetap menjadi makanan pokok. Berbeda dengan aku, yang lahir di sini, dan besar dengan makan nasi. Setiap kali makanan Belanda dihidangkan di meja makan, aku selalu bersembunyi di kamar pembantu dan di situ bersama Sitah dan Hasan menikmati makan siang. Saya sudah sangat trampil makan dengan tangan tanpa sebutir nasi pun yang jatuh. Tak ada sendok yang kami pakai, dan makanan di tangan ini aku suapkan ke dalam mulut dengan jari jempolku. Dan tak ada piring yang harus dicuci, karena kami memakai piring daun (pincuk) yang dibuat dengan dibentuk dengan biting. Aroma dari daun ini menambah nikmatnya rasa makanan.

Kisah Sedih Gadis Cilik Belanda Di Zaman Jepang

  • Upload
    ui

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kisah Sedih Gadis Cilik Belanda Di Zaman Jepang

Citation preview

Kisah Sedih Gadis Cilik Belanda di Zaman Jepang

Kisah Sedih Gadis Cilik Belanda di Zaman Jepang

OPINI | 19 August 2013 | 18:08 INCLUDEPICTURE "http://assets.kompasiana.com/statics/kompasiana4.0/images/ico_baca.gif" \* MERGEFORMATINET

Dibaca: 2090 Komentar: 15 4 Ada sebuah buku yang berjudul The Remains of War: Surviving the Other Concentration Camps of World War II ditulis oleh G. Pauline Kok-Schurgers. Buku ini berkisah tentang pengalaman gadis kecil berusia 9 tahun, yang pada tahun 1942, tatkala Belanda menyerah kepada Jepang di Indonesia, harus dipenjarakan bersama ibu, adik lakinya dan dua adik lainnya yang masih balita di beberapa concentration camps di Sumatra. Ayahnya dikirim ke Burma-Siam oleh Jepang untuk membangun rel kereta api. Bertahun-tahun mereka hidup dalam penyiksaan, kelaparan dan penyakit, sementara mereka tak mengetahui nasib sang ayah apakah masih hidup atau sudah wafat.Kisah yang menyayat hati ini, lebih mengaduk-aduk emosi saya, karena Pauline bercerita tentang Indonesia tempat dia dilahirkan. Saya cuplikkan barang sedikit narasi yang bercerita tentang makan dengan tangan dan tentang kelambu. Saya yakin kita akan benar-benar akan terharu membacanya.Pada awal buku ini, Pauline bercerita tentang kehidupannya sebelum kedatangan Jepang menjajah Indonesia. Inilah sekelumit kutipannya. Mom and Dad came from Holland, so they hadnt known about rice and spicy Indonesian dishes before Dad had come here to teach. Although they came to love rice dishes, Mom and Dad still liked to eat potatoes, vegetables, and meat regularly. I, however, was born in Indonesia and had grown up on its food. Whenever Dutch food was on the menu, I tried to hide around mealtime and sneak to the back of the house, where I knew Sitah and Hassan would have their meal of rice with several side dishes. They would not only allow me to eat, but to do so with my hands. I had become skilled at forming a delicious clump of food between my fingers, which I would bring to my mouth, without losing one grain of rice. No spoon was needed; my thumb would push in the food. And no plate had to be washed afterward, since we used cups of palm leaves held together with a tootpick. The palm leaves would enhance the paste of the warm food and were thrown out when the meal was finished.Saduran bebasnya: Ayah dan ibu berasal dari Belanda, karenanya mereka tak mengenal makanan nasi dan lauk beraneka bumbu sebelum ayah bertugas sebagai guru di sini. Sekalipun mereka sudah mulai menyukai makan nasi, tetapi kentang, sayur dan daging tetap menjadi makanan pokok. Berbeda dengan aku, yang lahir di sini, dan besar dengan makan nasi. Setiap kali makanan Belanda dihidangkan di meja makan, aku selalu bersembunyi di kamar pembantu dan di situ bersama Sitah dan Hasan menikmati makan siang. Saya sudah sangat trampil makan dengan tangan tanpa sebutir nasi pun yang jatuh. Tak ada sendok yang kami pakai, dan makanan di tangan ini aku suapkan ke dalam mulut dengan jari jempolku. Dan tak ada piring yang harus dicuci, karena kami memakai piring daun (pincuk) yang dibuat dengan dibentuk dengan biting. Aroma dari daun ini menambah nikmatnya rasa makanan.Ada cerita lain tentang kelambu pada waktu Pauline sudah berada di kamp penahanan di Aceh. Dia bercerita tentang kelambu yang kutipannya sebagai berikut. After more people arrived at Kamp Keudah, the Japanese commander gave each family some money to use in the toko, to supplement meals or use for other much-needed things. Mom bought new klamboe (mosquito nets) and a pillow. She wanted to use the pillow to hide her jewelry and extra money in at night, so that it wouldnt be stolen, since the people here had begun to steal like magpies. Peter once said the only way to fight thieves was to steal something back from somewhere else, but there wasnt much else at Kamp Keudah worth stealing.Whenever Mom was out doing her corvee (chores), I had to watch Easabella and Emma-M. Simon didnt need watching. He always had his own games, real or imaginary, and besides, Simon was never bad. When Mom returned from her chores, she expected the room to be neat and tidy. That meant it had to be cleaned up and our possesions put aside in an orderly way, with the sleeping pads rolled up, so we could lean against them.We needed new klamboes (mosquito nets) so badly. In the ceiling of the buildings we had found several large hooks to which we could attach the top of the klamboes; the previous occupants must have used them for the same reason. The gauzy sides of each klamboe would fall like sheets around us, and they were long enough that we could fold the ends under the sleeping mats. Since the klamboes were sized to fit full mattress, we needed only three of them to span our five sleeping mats. And we would lift the parts that draped between us, so that we could all see one another. In the beginning, this felt like camping, and we had a lot of fun with it.The klamboes that Sitah had brought us at the hotel were starting to tear and had numerous block spots, where the mosquitos had been smacked dead. I loved to smack mosquitoes. With one hand inside the gauze of the klamboe, and the other hand outside, I could clap and crush each blood-filled insect to a sliver. Over time, the blood would turn from red to black, and adorn the the gauze with one more hard spot.Saduran bebas: Ibu membeli kelambu dan bantal. Bantal ini dipakai untuk menembunyikan perhiasan dan uang, karena penghuni kamp banyak yang suka mencuri. Kata adikku, kiat untuk mengatasi pencuri, adalah dengan cara juga mencuri kembali milik orang lain, tapi di kamp ini boleh dibilang sudah tak ada lagi barang yang bisa dicuri.

Kelambu ini benar-benar kami butuhkan. Bagian atas kelambu ini kami cantolkan pada paku besar yang ada di langit-langit kamar. Rupanya paku besar ini adalah bekas peninggalan penghuni sebelumnya. Awal-awalnya memakai kelambu ini terasa seperti camping dan aku menyukainya. Kelambu lama yang dibawakan oleh pembantu kami, sudah banyak koyak dan berhiaskan bercak-bercak hitam, bekas nyamuk yang ditepuk. Aku senang sekali menepuk nyamuk. Caranya satu tangan ditaruh di luar kelambu dan satu lainnya di dalam dan dengan sekali tepuk nyamuk yang gemuk oleh darah ini langsung gepeng. Lama-kelamaan, bekas darah nayamuk ini berubah dari merah menjadi hitam dan kelambu ini penuh dengan bintik-bintik hitam.