Upload
lp3yorg
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/3/2019 Kisruh Di Tanah Gempa
1/110 | Edisi: 008/Desember 2007
I n f o b u k u
TENTANG
NEGERI
YANG
TAK
PERNAH (MAU) BELAJAR
Judul : Kisah Kisruh di Tanah Gempa: Catatan
Penanganan Bencana Gempa Bumi
Yogya-Jateng 27 Mei 2006
Editor : AB Widyanto
Penerbit : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas
Halaman : xxix + 573 hal
Tahun : 2007
PROGRAM rekonstruksi pascagempa di Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), bisa
dikatakan hampir selesai seluruhnya. Ada yang
menilai, program pemulihan di Bantul jauh lebih
cepat daripada program serupa di Aceh(meskipun tidak setara benar untuk
diperbandingkan, mengingat tingkat kerusakan
yang amat jauh berbeda).
Terlepas dari telah pulihnya kehidupan
sosial-ekonomi di Bantul, banyak catatan dari
penanganan bencana gempa bumi Sabtu pagi 27
Mei 2006 itu, yang tidak boleh dilupakan
sekaligus menjadi pelajaran untuk semua pihak
BukuKisah Kisruh di Tanah Gempa: Catatan
Penanganan Bencana Gempa
Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006
menyampaikan pesan utama bahwa
kita ternyata belum juga bisa
menangani bencana secara benar.
Bahkan, seperti judul buku,
penanganan pascagempa di Bantul
justru carut-marut alias kisruh.
Agaknya, ini akibat pengalaman
buruk penanganan pada bencana-bencana sebelum 27 Mei 2006 di
berbagai tempat di Indonesia tak pernah secara sungguh-sungguh
dijadikan bahan pelajaran. Artinya, peristiwa 27 Mei 2006 makin
mengukuhkan kita sebagai bangsa yang tidak pernah (mau) belajar.
Masalahnya, akibat dari kondisi seperti itu korbannya tak lainselalu para korban bencana, rakyat. Untuk kasus Bantul, para korban
ibarat didera dua kali gempa. Gempa pertama, guncangan bumi
berkekuatan 5,9 Skala Richter. Kedua, gempa sosial akibat guncangan
para aktor yang terlibat dalam penanganan bencana. Di sisi lain, selalu
saja ada pihak yang diuntungkan dari tiap penanganan bencana.
Yang menarik, lebih tepatnya memprihatinkan, pemerintah
menjadi aktor yang paling menonjol dalam sorotan publik termasuk
dalam sebagian besar dari 26 tulisan di buku setebal 573 halaman ini.
Seperti pada bencana sebelumnya, ketika terjadi bencana
pemerintah menjadi aktor yang hadir pada urutan ke sekian.
Ambil contoh dalam hal bantuan pangan, meskipun pemenuhan
pangan menjadi kewajiban pemerintah, fakta lapangan
menunjukkan warga korban dan warga dari daerah yang terbebas
dari bencanalah, termasuk elemen masyarakat seperti LSM, yang
justru lebih cekatan ketimbang pemerintah.
Begitu pemerintah mulai beraksi, justru
masalah kian panjang. Soal pangan, distribusi tak
tepat tempat, waktu, bahkan tak tepat sasaran
dan bentuk.
Dalam hal distribusi, birokrasi menyebabkanbantuan tak bisa dengan mudah diakses para
korban. Bahkan, tak sedikit korban yang akhirnya
terlewatkan.
Mengapa hal seperti itu masih saja terjadi?
Bahkan, setelah Bantul, hal serupa terjadi pula di
Pangandaran ketika diterjang tsunami, dan Padang
ketika diguncang gempa, juga banjir di sepanjang
Bengawan Solo akhir 2007.
Buku ini menunjukkan, hal tersebut karena
kapasitas sistem dan kinerja
birokrasi pemerintah masih
sangat lemah. Ruwet dan
panjangnya jalur birokrasi
pemerintah semakin menguatkan
penilaian itu.
Buku berisi kumpulan
catatan lapangan para praktisi
lapangan (sebagian besar dari
LSM) dalam penanganan bencana yang terjun mulai hari pertama
ini, tak semata memberi rapor merah untuk pemerintah.
Sejumlah penulis memberikan catatan reflektif terhadap
peran dan perilaku sejumlah LSM serta media. Sebagian LSM
dinilai lebih mementingkan target-target program dan lebihmemihak kepada donor daripada korban sehingga banyak
mengabaikan kebijakan setempat bahkan nyaris mematikan
inisiatif masyarakat.
Media, tentu tidak semua, masih berkutat pada dramatisasi
bencana daripada meningkatkan pemahaman tentang
penanganan bencana. Media yang bertindak sebagai penyalur
bantuan pun merupakan sebuah persoalan dalam konteks fungsi
media massa yang sesungguhnya. Ketika media menggunakan
bendera korporat dalam menyalurkan bantuan, layak
dipertanyakan siapa yang sesungguhnya diwakili? Korporasikah
atau pembaca/pemirsa?
Itu satu hal. Hal lain, dalam posisi seperti itu, bagaimana
fungsi kontrol yang harus dilakukan media ketika media sendiri
justru menjadi pihak yang seharusnya dikontrol (sebagai
penyalur bantuan). (ded)