Upload
vankiet
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KOMODIFIKASI ISI MEDIA TERHADAP TREND
BERJILBAB GAUL DALAM RUBRIK FASHION
MAJALAH ANNISA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi
Islam (S.Kom.I.)
Oleh:
Intan Purwatih
NIM: 1110051000123
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarja Strata Satu (S1) Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini, saya telah
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiat
atau hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 8 September 2014
Intan Purwatih
i
ABSTRAK
Nama : Intan Purwatih
Judul : Komodifikasi Isi Media Terhadap Trend Berjilbab Gaul dalam
Rubrik Fashion Majalah Annisa
NIM : 1110051000123
Jilbab tidak hanya digunakan oleh para perempuan dewasa, namun juga digunakan oleh remaja, yang selalu mengikuti mode yang sedang tren. Kini kita melihat jilbab sebagai bagian dari gaya hidup remaja muslim. Bahkan, saat ini mulai banyak bermunculan butik yang dengan khusus menjual jilbab yang telah dimodifikasi dengan berbagai cara. Jilbab yang merupakan kewajiban dari perempuan muslimah menutup aurat banyak ditampilkan dalam majalah. Majalah tersebut menilai bahwa perempuan Indonesia menyukai model jilbab gaul yang saat ini menjadi tren. Maka majalah pun berlomba-lomba menampilkan berbagai model jilbab yang lebih fashionable. Majalah tersebut seakan-akan menjadikan jilbab sebagai barang dagangan (komoditas) yang dapat laku dipasaran sehingga mendapatkan keuntungan yang lebih. Fenomena jilbab yang gaul tanpa mengedepankan syariat Islam, hal tersebut terjadi pada majalah Annisa karena terdapat kerjasama majalah Annisa dengan majalah asing.
Pertanyaan penelitian, yaitu: Bagaimana makna denotasi, konotasi dan mitos pada foto-foto jilbab gaul muslimah dengan motif lasercut di rubrik fashion pada majalah Annisa edisi Juni tahun 2013? Bagaimanakah komodifikasi isi media mewujudkan nilai guna ke nilai tukar di majalah Annisa?
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah konstruktivis dengan pendekatan kualitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis wacana semiotika. Teknik pengumpulan data yaitu, wawancara mendalam dengan direktur majalah Annisa, dan observasi yang digunakan yaitu observasi non partisipan, serta dokumentasi yaitu mengumpulkan data yang berhubungan dengan penelitian berupa rubrik fashion yang terdapat di majalah Annisa.
Penelitian ini menggunakan kerangka teori ekonomi politik media Vincent Mosco, yaitu komodifikasi khususnya pada komodifikasi isi media dan konsep foto semiotika Roland Barthes diantaranya, trick effect, pose, objects, photogenia, aesthetiscism, dan syntax.
Kesimpulan dari penelitian ini bahwa makna denotasi yang ditemukan menggambarkan bahwa jilbab yang disajikan Annisa, pakaiannya ketat, membentuk lekuk tubuh, tidak menutupi dada dan seperti pakaian laki-laki. Makna konotasinya, penggunaan jilbab pada Annisa tidak dalam kategori syar’i dan hanya mengedepankan mode. Mitosnya penggunaan jilbab yang tidak syar’i sama saja berbusana tapi tanpa pakaian karena membentuk lekuk tubuh. Adanya komodifikasi isi media pada majalah Annisa yang dipengaruhi oleh beberapa kultur dari internasional, sehingga barang atau jasa yang awalnya hanya merupakan nilai guna menjadi nilai tukar. Isi media dirubah sedemikian rupa, dengan cara seperti pemilihan model, teknik fotografer, jilbab gaul, dan iklan sehingga mendapat keuntungan untuk majalah Annisa.
Keyword: fashionable, lasercut, ekonomi politik, semiotika, trend
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahirabbil’alamiin. Segala puji dan syukur dipanjatkan
kehadirat Allah SWT. Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan karunia
nikmat-Nya serta ridho-Nya kepada peneliti agar dapat menyelesaikan skripsi ini
yang berjudul “Komodifikasi Isi Media Terhadap Trend Gaya Jilbab Gaul
Muslimah Modern dalam Rubrik Fashion Majalah Annisa”. Tidak lupa shalawat
dan salam juga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, beserta para
sahabat dan keluarganya.
Skripsi ini merupakan tugas akhir peneliti yang disusun guna melengkapi
salah satu syarat yang telah ditentukan dalam menempuh program studi Strata
Satu (S1). Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa terwujudnya skripsi ini tidak
lepas dari bantuan dukungan dan bimbingan serta perhatian berbagai pihak. Oleh
karena itu peneliti ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada:
1. Dr. H. Arif Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Dr. Suprapto, M.Ed, Ph.D, selaku Wakil Dekan I bidang
Akademik, Drs. Jumroni, M.Si, selaku Wakil Dekan II bidang
Administrasi Umum dan Dr. H. Sunandar Ibnu Noor, M.A selaku Wakil
Dekan III bidang Kemahasiswaan.
2. Rachmat Baihaky, M.A selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam.
3. Fita Fathurokhmah, M.Si selaku Sekertaris Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam sekaligus dosen pembimbing peneliti yang selalu
iii
memberikan waktu luang, tenaga dan pikiran, motivasi serta memberikan
pengarahan dengan penuh kesabaran dalam proses penyelesaian skripsi ini.
4. Prof. Dr. Murodi, M.A selaku Dosen Penasehat Akademik Jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, yang telah
memberikan ilmu yang tak ternilai, sehingga peneliti dapat menyelesaikan
studi di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Segenap staf akademik dan staf perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Teruntuk yang mulia kedua orang tuaku tersayang, Ibunda Siti Komariyah
dan Ayahanda Kemas Ali Kosim, yang senantiasa mencurahkan cinta,
kasih dan sayangnya dikala sehat maupun sakit, dikala susah maupun
senang, dikala mudah maupun sulit. Membantu dengan segenap
kemampuan dan doa-doa dalam setiap sholatnya, doa yang selalu
mengiringi tiap langkah kaki ini sehingga peneliti mampu menyelesaikan
skripsi ini.
8. Ibu Avi Budimansyah selaku Direktur majalah Annisa, mba Ade Nur
Sa’adah selaku managing editor, kak Andini Aprilliana selaku Asst.
Fashion Stylist majalah Annisa beserta staf yang telah memberikan
kesempatan dan kemudahan kepada peneliti untuk melaksanakan
penelitian.
iv
9. Adik-adikku tercinta, Randy Nurluddyn dan Salsa Nurapriyanda kalian
semua adalah inspirasi dalam hidupku untuk terus menjadi kakak yang
sukses dan dapat menjadi contoh untuk kalian, kakak sayang kalian.
10. Teman sejawat KPI 2010 dan sahabat KPI D Cory, Nadia, Arista (Madeh),
Ucin, Rika, Erfa, Ibel, Dwinovita, Itha, Anis, Ewy, Anggy, Fitri, Nurul,
Bobby, Abdurrahman, Agung, Ichsan, Mantri, Rachmat, Enjang Zaki,
Helmi, Fahmi, dan Syehab terima kasih sudah menjadi sahabat terbaik
selama ini, melewati waktu dalam suka duka, tawa canda, serta
memberikan motivasi kepada peneliti dalam penyelesaian skripsi ini,
pokoknya sayang kalian semuanya.
11. Special thanks to Nurmalisa Nazarani yang selalu siaga dan menemani
peneliti disaat melakukan penelitian serta memberi masukan kepada
peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini serta selalu memberi semangat.
12. Terimakasih pula kepada Om JR yang sudah meluangkan waktu disela-
sela kesibukan kerjanya untuk membantu peneliti dalam melakukan
penyelesaian skripsi ini dan juga tak pernah absen dalam memberikan
motivasi kepada peneliti.
13. Sahabat KKN PETA 2013, Rezza Fahlevi, Imas, Novi (Ipil), Bebsy,
Savira, Dian, Willy, Dio, Yogi, Muha, Umam, dan Makin, terimakasih
sudah menjadi sahabat yang selalu memberikan masukan dan motivasi
kepada peneliti.
14. Sahabat terbaikku Siti Ratna (Nyonyo) yang selalu setia dan bersedia
meluangkan waktunya untuk mendengarkan keluh kesah peneliti dalam
v
proses penyelesaian skripsi ini dan juga tak henti-hentinya memberikan
motivasi kepada peneliti. Dan untuk semua pihak yang pernah terlibat
dalam penyelesaian skripsi ini, yang tak bisa peneliti sebutkan satu
persatu, mengucapkan banyak terima kasih untuk bantuannya sehingga
dapat terselesaikannya skripsi ini.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, peneliti akan menerima segala kritik dan saran sehingga dapat
menjadi acuan pembelajaran peneliti.
Peneliti berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca khususnya mahasiswa/i Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam dan
sebagai bahan pembanding untuk penelitian selanjutnya.
Jakarta, 8 September 2014
Intan Purwatih
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... viii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. Batas dan Rumusan Masalah ....................................................................... 10
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 11
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 11
E. Metodologi Penelitian .................................................................................. 12
F. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 18
G. Sistematika Penulisan .................................................................................. 20
BAB II. LANDASAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEP
A. Landasan Teori............................................................................................. 21
1. Komodifikasi pada Media ....................................................................... 21
2. Tinjauan Umum Tentang Semiotika ....................................................... 26
B. Kerangka Konsep ......................................................................................... 43
1. Media Cetak ............................................................................................ 43
2. Majalah ................................................................................................... 45
3. Jilbab ....................................................................................................... 51
4. Jilbab Gaul .............................................................................................. 55
vii
BAB III. GAMBARAN UMUM MAJALAH ANNISA
A. Gambaran Umum Majalah Annisa ............................................................... 58
B. Sasaran Pembaca dan Pendistribusian Majalah Annisa ............................... 60
C. Rubrikasi Majalah Annisa ............................................................................ 60
D. Struktur Redaksi Majalah Annisa ................................................................ 61
BAB IV. TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Analisis Semiotika Roland Barthes.............................................................. 66
1. Analisis Data Foto 1 .............................................................................. 67
2. Analisis Data Foto 2 .............................................................................. 77
B. Analisis Pemaknaan Komodifikasi Isi Media di Majalah Annisa ................ 85
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................. 89
B. Saran ............................................................................................................ 91
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 92
LAMPIRAN
viii
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar Peta Tanda Roland Barthes ........................................... 38
2. Gambar 1 Data Foto 1 ................................................................. 67
3. Gambar Foto 2 ........................................................................... 75
4. Gambar 3 Data Foto 2 ................................................................. 77
5. Gambar Foto 4 ........................................................................... 84
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini masyarakat di Indonesia telah akrab dengan media massa.
Fenomena ini mulai tampak pasca era Orde Baru sekitar tahun 1998 ketika
terjadi reformasi. Masyarakat merasakan perbedaan dalam diri mereka dimana
semula pada era Orde Baru kebebasan media sangat terbatas, sangat tidak
leluasa, namun kini menjadi begitu terbuka dan amat bebas.
Media massa pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni
media massa cetak dan elektronik. Media cetak yang dapat memenuhi kriteria
sebagai media massa adalah surat kabar dan majalah.1 Media cetak adalah
berita-berita yang disiarkan melalui benda cetak.2
Salah satu media cetak yang paling tua di Indonesia adalah surat
kabar. Keberadaan surat kabar di Indonesia ditandai dengan perjalanan
panjang melalui empat (4) periode, yakni masa penjajahan Belanda,
penjajahan Jepang, menjelang kemerdekaan dan awal kemerdekaan. Serta
zaman Orde Lama dan Orde Baru. Sedangkan keberadaan majalah sebagai
media massa terjadi tidak lama setelah surat kabar. Sebagaimana surat kabar,
sejarah majalah diawali dari negara-negara Eropa dan Amerika.
Edisi perdana majalah yang diluncurkan di Amerika pada pertengahan
1930-an memperoleh kesuksesan besar, majalah telah memuat segmentasi
1Elvinaro Ardianto, dkk, Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2007), h. 103. 2Zaenuddin HM, The Journalist (Jakarta: Prestasi Pusta Karya, 2007), h. 12.
2
pasar tersendiri dan membuat fenomena baru dalam dunia media massa cetak
di Amerika.3
Keberadaan majalah sebagai media massa di Indonesia dimulai
menjelang awal kemerdekaan Indonesia. Di Jakarta pada tahun 1945 terbit
majalah bulanan dengan nama Pantja Raja pimpinan Markoem
Djojohadisoeparto (MD) dengan prakata dari Ki Hajar Dewantoro selaku
menteri Pendidikan pertama Republik Indonesia.
Majalah merupakan media cetak yang paling simpel organisasi atau
struktur redaksinya, relatif mudah mengelolanya, serta tidak membutuhkan
modal yang banyak. Majalah juga dapat diterbitkan oleh setiap kelompok
masyarakat, dimana mereka dapat dengan leluasa dan luwes menentukan
bentuk, jenis dan sasaran khalayaknya. Majalah mempunyai karakteristik
tersendiri dibanding dengan media cetak lainnya, salah satunya adalah
frekuensi terbit majalah pada umumnya adalah mingguan, selebihnya dwi
mingguan, bahkan bulanan, dalam majalah juga terdapat jumlah halaman yang
lebih banyak sehingga menampilkan gambar atau foto yang lengkap dengan
ukuran besar dan kadang-kadang berwarna serta kualitas kertas yang lebih
baik. Di samping foto dan cover atau sampul majalah juga merupakan daya
tarik tersendiri, karena cover adalah ibarat pakaian. Cover majalah biasanya
menggunakan kertas yang bagus dengan gambar dan warna yang menarik.
Majalah merupakan salah satu media cetak di Indonesia yang sangat
berkembang, memiliki pengaruh yang besar terhadap pola pikir dan perilaku
3Elvinaro Ardianto, Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2007), h. 116.
3
masyarakat, karena dalam media cetak terdiri atas rubrik-rubrik yang biasa
dijadikan sebagai inspirasi, tak terkecuali bagi media cetak nasional, seperti
Majalah Annisa banyak memuat foto-foto dengan jilbab yang fashionable,
yang mengikuti masukan tren dari Barat, sehingga banyak dijadikan inspirasi
bagi perempuan muslimah masa kini. Dan yang menjadi persoalan adalah
majalah Annisa sebagai majalah Islam dengan mengedepankan nilai-nilai
Islam dan identitas Islam justru melakukan komodifikasi tentang makna jilbab
yang sesungguhnya dalam Islam. Makna jilbab berubah karena tren atau gaya,
bukan lagi mengedepankan syariat Islam.
Keunikan lain yang peneliti nilai dari majalah Annisa adalah target
pasar atau pembacanya kalangan aktif muslimah. Dimana muslimah dalam
ajaran Islam diwajibkan menggunakan jilbab sesuai dengan perintah berjilbab
dalam Al-Qur’an surat Al- Ahzab ayat 59:
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin: Hendaklah mereka
menutup jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar
mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu.
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S Al-Ahzab,
33:59)
Wanita merupakan pasar pembaca potensial, dan majalah banyak
membuka diri bagi pekerja wanita dibandingkan dengan surat kabar. Majalah
4
juga menjadi instrumen penting dalam perubahan sosial.4 Sejalan dengan
majalah-majalah muslimah yang bermunculan, majalah tersebut menjadi salah
satu tolak ukur bagi perempuan muslimah dalam berjilbab masa kini, yang
lebih modis dan mudah ditiru oleh para pembaca majalah muslimah agar
berpenampilan lebih menarik dan tidak dianggap kuno. Peneliti khawatir
dengan adanya isi media tentang gaya jilbab yang majalah Annisa tampilkan
dapat merubah makna jilbab yang sebenarnya.
Dari fenomena tren berjilbab muslimah pada masa sekarang ini,
terutama yang dimuat di majalah Annisa tentang rubrik fashion yang berisi
foto-foto penggunaan tren aksesoris lasercut dalam jilbab muslimah, harusnya
tidak lepas dari syariat Islam beragama aturan berjilbab sesuai dalam Al-
Qur’an.
Nilai guna jilbab “kaffah” Islam memang sejalan dengan visi misi
majalah Annisa yang menuliskan bahwa “Annisa menghadirkan informasi
yang mencakup semua aspek kehidupan muslimah modern sesuai dengan tren
lokal dan global, masih dalam nilai dan identitas Islam”. Namun pada
kenyataannya majalah Annisa bertolak belakang dengan visi misinya, Annisa
menyajikan model jilbab gaul yang awalnya dari nilai guna menjadi nilai
tukar. Ini dikarenakan adanya faktor tren, ekonomi dan kerja sama dengan
majalah asing. Dengan demikian, Annisa mengkomodifikasikan isi media
melalui tren jilbab gaul. Maksudnya, mentrendikan gaya jilbab yang tidak
sesuai dengan aturan Islam, kultur Islam, dan estetika.
4Shirley Biagi, Media/ Impact Pengantar Media Massa (Jakarta: Salemba Humanika,
2010), Edisi 9, h. 94.
5
Salah satu yang selalu dilihat dalam berpenampilan adalah bagaimana
cara berpakaian seseorang. Berbicara tentang pakaian sesungguhnya berbicara
sesuatu yang erat kaitannya dengan diri kita. Hal itu menunjukkan bahwa apa
yang dipakai sehari-hari dapat menggambarkan kepribadian yang dimiliki.
Cara berpakaian tentu mencirikan penampilan fisik. Berpakaian bukan sekadar
untuk menutupi tubuh atau asal pantas, namun juga berusaha menciptakan
kesan yang positif pada orang lain.5 Nilai-nilai agama, kebiasaan, tuntutan
lingkungan (tertulis atau tidak), nilai kenyamanan, semua itu memengaruhi
cara kita berdandan.6
Salah satu cara berpakaian yang berkaitan dengan nilai agama dan
yang sering menjadi pusat perhatian adalah dengan menggunakan jilbab.
Jilbab adalah pakaian yang wajib hukumnya dikalangan perempuan muslim.
Agamalah yang mewajibkan perempuan muslim untuk menutup aurat mereka
dengan jilbab. Tentu saja dengan alasan mereka menggunakan jilbab hanyalah
karena agama. Namun, jilbab bukan hanya menutup badan semata badan,
tetapi jilbab itu menghilangkan rasa birahi yang menimbulkan syahwat.7
Berjilbab adalah sebuah hukum dan syariat agama Islam yang berakar kuat
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW., bukan kultur Arab atau cara
berpakaian masyarakat Timur Tengah. Memakainya sesuai dengan ajaran
tersebut termasuk dalam kategori ibadah kepada Allah SWT. Dalam ajaran
Islam, para wanita dianjurkan mengenakan jilbab untuk menutupi seluruh
5Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2007), h. 394. 6Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, h. 392.
7Fuad Mohd. Fachruddin, Aurat dan Jilbab Dalam Pandangan Mata Islam (Jakarta: CV
Pedoman Ilmu Jaya, 1991), h. 33.
6
badan, kecuali telapak tangan, kaki dan wajah. Tujuannya untuk menghindari
pandangan yang mengundang syahwat.
Perempuan-perempuan yang menggunakan jilbab sering kali dinilai
perempuan yang memiliki fanatisme tentang agamanya. Tidak jarang
perempuan yang menggunakan jilbab mendapat diskriminasi pada bidang
politik, dikeluarkan dari sekolah, dan mendapat perlakuan buruk dari agama
lain. Berjilbab tidak boleh dijadikan alasan untuk menghalangi kemajuan karir
wanita.8 Pada saat itu jilbab hanya dipakai di kalangan terbatas dari segelintir
keluarga aktivis Islam, pelajar muslim di pesantren atau sekolah umum
sebagai ungkapan kepatuhan pada ajaran agama, sekaligus ungkapan
perlawanan terhadap status quo.9 Hal tersebut yang membuat perempuan kini
menciptakan bentuk-bentuk jilbab yang menarik agar jilbab dapat diterima
oleh masyarakat.
Saat ini jilbab tidak hanya digunakan oleh para perempuan dewasa,
namun juga digunakan oleh remaja, bahkan oleh remaja akhir yang selalu
mengikuti mode yang sedang tren. Kini kita melihat jilbab sebagai bagian dari
gaya hidup remaja muslim. Bahkan, saat ini mulai banyak bermunculan butik
yang dengan khusus menjual jilbab yang telah dimodifikasi dengan berbagai
cara. Berjilbab tidak boleh menjadi sekadar tren, sehingga apabila tren tersebut
berubah maka jilbab ditinggalkan.10
8Husein Shahab, Jilbab Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah (Bandung: Mizan 2008),
h.10. 9Malcolm Barnard, Fashion Sebagai Komunikasi. Mengkomunikasikan Identitas Sosial,
Seksual, Kelas, dan Gender (Yogyakarta: Jalasutra 1996), h. 11. 10
Shahab, Jilbab Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, h. 11.
7
Hal itu yang seharusnya difikirkan oleh para perempuan. Penggunaan
jilbab yang mereka lakukan seharusnya memang benar-benar atas dasar agama
bukan karena adanya perkembangan jilbab yang saat ini sedang marak di
pasaran. Pola, warna, dan aksesoris lainnya bisa saja berubah, tetapi
substansinya, yakni seorang perempuan muslimah wajib berjilbab, tidak
pernah berubah. Penggunaan aksesoris seperti bros, tentu tidak dilarang,
namun kaidah penggunaan jilbab yang menutupi dada dan pakaian yang tidak
menonjolkan bentuk tubuh tetap harus diperhatikan.
Kini jilbab pun mulai berubah bentuk. Dahulu yang hanya berupa kain
besar yang digunakan untuk menutupi kepala sampai dada, kini jilbab mulai
disesuaikan dengan mode yang sedang tren. Jilbab yang saat ini ada digunakan
para remaja akhir dinilai lebih luwes dan simpel. Hal ini pula yang membuat
para remaja akhir tidak malu dan ragu menggunakan jilbab. Berkembangnya
mode membuat jilbab menjadi busana yang ngetrend karena didesain untuk
gaya dengan model-model kontemporer. Jilbab menjadi busana muslim yg
selalu mendapatkan sentuhan gaya sehingga menjadi lebih menarik dan
fashionable. Bahkan saat ini mulai dikenal dengan istilah jilbab gaul. Jilbab
gaul memiliki ciri-ciri yaitu, pakaian yang digunakan merupakan pakaian yang
ketat, transparan, dan membentuk lekuk tubuh. Kerudung yang digunakan
tidak menutupi dada dan ujungnya diikat ke belakang. Pengguna jilbab gaul
biasanya juga melengkapi tampilannya dengan dandanan menor, wewangian,
serta aksesoris yang mencolok.
8
Seiring berkembangnya, jilbab kini mulai diterima di masyarakat luas.
Para penggunanya juga tidak ragu lagi untuk memodifikasi jilbab yang ada.
Beberapa kantor juga mulai mengizinkan para karyawan perempuannya
menggunakan jilbab. Di instansi pemerintahan juga mulai banyak terlihat para
perempuan yang menggunakan jilbab.
Selain itu, jilbab yang merupakan ciri khas dari perempuan muslimah
banyak ditampilkan dalam sebuah majalah. Majalah tersebut menilai bahwa
perempuan Indonesia menyukai model jilbab gaul yang saat ini menjadi tren.
Maka majalah pun berlomba-lomba menampilkan berbagai model jilbab yang
lebih fashionable. Majalah tersebut seakan-akan menjadikan jilbab sebagai
barang dagangan (komoditas) yang dapat laku dipasaran sehingga
mendapatkan keuntungan yang lebih.
Berbicara mengenai keuntungan, erat kaitannya dengan industri, dalam
hal ini yaitu industri media, karena majalah merupakan salah satu bagian dari
media cetak. Maka dari itu harus dipahami terlebih dahulu teori ekonomi
politik Vincent Mosco. Mengenai ekonomi politik, Mosco menawarkan
beberapa definisi ekonomi politik, yang boleh dibilang yang paling berguna
adalah studi tentang hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan, yang
saling merupakan produksi, distribusi, dan konsumsi sumber daya. Relasi
sosial yaitu relasi antara individu dan institusi sosial yang ada dalam konteks
ekonomi, politik, dan budaya. Misal relasi gender, kekuasaan, dan lain-lain.
Relasi kekuasaan maksudnya disini adalah kemampuan kontrol orang lain,
9
proses dan benda meski terjadi resistensi. Produksi adalah proses
menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan.
Dalam penelitian ini, peneliti memandang perlu melakukan penelitian
mengenai fenomena jilbab gaul. Jilbab di era sekarang ini dijadikan sebuah
komoditas untuk diangkat di media massa. Komoditas adalah segala sesuatu
yang diproduksi atau ditawarkan untuk dijual. Barang-barang dan jasa ini
selalu mempunyai asal-usul dan konsekuensi ideologis.11
Dalam konsep teoritik Mosco, selanjutnya dalam bukunya menjelaskan
“aktivitas” ekonomi politik, yang juga merupakan entry point atau pintu
masuk untuk menjelaskan fenomena ekonomi politik media atau komunikasi
terdiri dari 3 bagian, yaitu: komodifikasi (commodification), spasialisasi
(spatialization), dan strukturasi (structuration).12
Peneliti tertarik untuk meneliti majalah muslimah yang menyajikan
jilbab gaul sehingga menjadi inspirasi banyak wanita, terutama kalangan kaum
muslim yang aktif yang ingin tampil modis dengan menggunakan jilbab gaul
yang dimuat dalam majalah Annisa. Alasan peneliti memilih majalah Annisa
dikarenakan, pertama, sasaran pasar majalah Annisa mayoritas adalah
kalangan kaum muslim yang aktif yang gemar mencari trend dalam berjilbab
gaul; kedua, adanya gaya jilbab unik atau aneh yang disajikan dalam majalah
Annisa tanpa sesuai dengan syariat Islam; ketiga, para model yang digunakan
majalah Annisa mayoritas merupakan model asing, sehingga menimbulkan
11
Lull James, Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pengantar Global (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1997), h. 223. 12
“Kajian Ekonomi Politik Media” Artikel diakses pada 3 Juni 2014 dari
http://indiwan.blogspot.com/2010/05/kajian-ekonomi-politik-media.html.
10
kesan lebih menarik perhatian pembaca, keempat, penulisan setiap rubrik
dalam majalah Annisa menggunakan bahasa Inggris. Maka dari itu judul yang
diangkat oleh peneliti adalah “Komodifikasi Isi Media terhadap Trend
Berjilbab Gaul dalam Rubrik Fashion Majalah Annisa”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Untuk lebih fokus dalam penelitian ini, maka peneliti membatasi
masalah pada analisis semiotika foto-foto jilbab gaul dalam majalah Annisa
yaitu pada rubrik fashion edisi Juni tahun 2013, karena pada edisi ini majalah
Annisa menyajikan gaya jilbab yang berbeda, yaitu menggunakan top lasercut
sebagai jilbab, dimana gaya jilbab ini belum pernah disajikan pada edisi
sebelumnya. Kemudian untuk membatasi penggunaan teori, peneliti hanya
membahas mengenai poin komodifikasi dari Vincent Mosco, khususnya
komodifikasi isi media, karena peneliti ingin mengetahui bagaimana Annisa
mengolah suatu barang atau jasa dari nilai guna menjadi nilai tukar. Adapun
perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana makna denotasi, konotasi dan mitos pada foto-foto jilbab gaul
muslimah dengan motif lasercut di rubrik fashion pada majalah Annisa
edisi Juni tahun 2013?
2. Bagaimanakah komodifikasi isi media mewujudkan nilai guna ke nilai
tukar di majalah Annisa?
11
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini diantaranya:
1. Mendeskripsikan makna denotasi, konotasi dan mitos pada foto-foto di
rubrik fashion yang terdapat pada majalah Annisa edisi Juni tahun 2013.
2. Mendeskripsikan latar belakang, proses produksi dan konsumsi
kapitalisme yang berada di balik proses komodifikasi di majalah Annisa.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini secara akademis dapat memberikan kontribusi positif pada
bidang Ilmu Komunikasi, terutama dalam konteks analisis semiotika,
terutama manfaat mengetahui makna dalam sebuah tanda di media cetak
yaitu dengan semiotika, serta dapat memberikan informasi kepada
mahasiswa/i Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang akan
menggunakan jilbab gaul yang terdapat pada rubrik fashion di majalah
Annisa serta diharapkan dapat menambah pemahaman tentang proses
komodifikasi jilbab gaul yang dibangun oleh majalah Annisa.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para praktisi
komunikasi mengenai pembelajaran tentang pemahaman penggunaan
jilbab yang syar’i, khususnya bagi mahasiswa/i Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi. Serta bagi media sendiri diharapkan agar memberikan
12
fashion terutama jilbab gaul namun tetap dalam aturan agama yang
sebenarnya tanpa mengurangi makna di dalamnya.
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang
dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir
dan penelitian.13
Paradigma dapat dikatakan sebagai cara pandang yang
digunakan untuk memahami komplesitas yang ada dalam dunia nyata.
Paradigma tertanam kuat dalam asosiasi penganut dan praktisinya,
paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah dan juga
masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan pada mereka
mengenai apa yang harus melakukan pertimbangan eksistensial ataupun
epistimologis yang panjang.14
Penelitian ini menggunakan paradigma
konstruktivis. Paradigma konstruktivis memandang realitas kehidupan
sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi.
Karenanya, konsentrasi pada paradigma konstruktivis adalah menemukan
bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa
konstruksi itu dibentuk. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak
lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka
dan dipisahkan dari subjek sebagai pesan penyampai konstruktivisme
13
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kalitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2007), Edisi Revisi, h.49. 14
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2003), h. 9.
13
menganggap subjek (komunikan) sebagai faktor central dalam kegiatan
komunikasi serta hubungan-hubungan sosial.15
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian pada skripsi ini adalah pendekatan kualitatif
dengan sifat deskriptif. Yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif
adalah suatu pendekatan dalam melakukan penelitian yang berorientasi
pada gejala-gejala yang bersifat alamiah karena orientasinya demikian,
maka sifatnya naturalistic dan mendasar atau bersifat kealamiahan serta
tidak bisa dilakukan di laboratorium melainkan harus terjun di lapangan.16
Pendekatan kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan
sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya.
Pendekatan ini lebih menekankan pada persoalan kedalaman (kualitas)
data bukan banyaknya kuantitas data.17
3. Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah semiotika model
Roland Barthes. Menurut Barthes, pada tingkat denotasi, bahasa
menghadirkan konvensi atau kode-kode sosial yang bersifat eksplisit,
yakni kode-kode yang makna tandanya segera naik ke permukaan
berdasarkan relasi penanda dan petandanya. Dan pada tingkat konotasi,
bahasa menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit,
15
Mulyadi Saputra, “Paradigma Positivisme, Konstruktivisme dan Kritis dalam
Komunikasi”, artikel diakses pada 22 Mei 2014 dari
http://terinspirasikomunikasi.blogspot.com/2012/12/paradigma-positivisme-konstruktivisme.html. 16
Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986), h. 159. 17
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikas (Jakarta: Kencana, 2010), Cet.
Ke-5 h. 56.
14
yaitu sistem kode yang tandanya bermuatan makna-makna tersembunyi.
Makna tersembunyi ini adalah makna yang menurut Barthes merupakan
kawasan dari ideologi atau mitologi.18
4. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan
observasi, wawancara dan dokumentasi.
a. Observasi
Observasi adalah suatu cara mengumpulkan data dengan
mengambil langsung terhadap objek atau penggantinya (misal: film,
rekonstruksi, video dan sejenisnya)19
. Ada dua macam observasi:
1. Observasi Partisipan
Observasi partisipan adalah observasi yang memungkinkan periset
atau peneliti mengamati kehidupan individu atau kelompok dalam
situasi riil, dimana terdapat setting yang riil tanpa dikontrol atau
diatur secara sistematis seperti riset eksperimental, misalnya.20
2. Observasi Non Partisipan
Observasi non partisipan adalah observasi yang dalam
pelaksanaannya tidak melibatkan penelitian sebagai partisipasi atau
kelompok yang diteliti.21
18
Tommy Christomy, Semiotika Budaya (Depok: PPKB Universitas Indonesia, 2004),
h.94. 19
Nazar Bakry, Tuntunan Praktis Metodologi Penelitian (Jakarta: CV Pedoman Ilmu
Jaya, 1994), h. 36. 20
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikas (Jakarta: Kencana, 2010), h. 112. 21
Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2001), h. 83.
15
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi non
partisipan karena peneliti hanya mengunjungi tempat penelitian, menelaah
apa yang ada di sana serta tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan
penelitian sebagai partisipan yang diteliti.
b. Wawancara
Wawancara adalah teknis dalam upaya menghimpun data yang akurat
untuk keperluan melaksanakan proses pemecahan masalah tertentu
yang sesuai dengan data22
. Wawancara dilakukan untuk memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab terhadap
salah satu nara sumber. Ada dua jenis wawancara, yaitu:
1. Wawancara Terstruktur (Structured Interview)
Wawancara terstruktur adalah suatu cara mengumpulkan data atau
informasi dengan menggunakan pedoman wawancara, yang
merupakan bentuk spesifik yang berisi instruksi yang mengarahkan
peneliti dalam melakukan wawancara. Wawancara jenis ini dikenal
juga sebagai wawancara sistematis atau wawancara terpimpin23
.
2. Wawancara Mendalam (Depth Interview)
Wawancara mendalam adalah suatu cara mengumpulkan data atau
informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan
22
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian dan Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta:
Bhinneka Cipta, 1996), Cet. Ke-10. h. 72. 23
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana 2010), Cet.
Ke-5. h. 101.
16
agar mendapatkan data lengkap dan mendalam. Wawancara ini
dilakukan dengan berulang-ulang secara intensif.24
Wawancara yang digunakan oleh peneliti adalah jenis
wawancara mendalam, peneliti langsung mewawancarai narasumber,
yaitu Ibu Avi Budimansyah selaku Director/ Publisher di majalah
Annisa dan fotografer yaitu Roy Mega Antara.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah penelitian yang mengumpulkan, membaca dan
mempelajari berbagai bentuk data tertulis (buku, majalah atau jurnal)
yang terdapat di perpustakaan. Internet atau instansi lain yang dapat
dijadikan analisis dalam penelitian ini. Peneliti mengumpulkan data
yang berhubungan dengan penelitian berupa rubrik fashion yang
terdapat pada majalah Annisa.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis
semiotika model Roland Barthes, yaitu mencari tahu makna denotasi,
konotasi dan mitos yang ada pada foto-foto yang terpilih dalam rubrik
fashion pada majalah Annisa edisi Juni 2013 serta menerapkan pada teori
komodifikasi Vincent Mosco.
Dari data yang sudah terkumpul, peneliti terlebih dahulu
menyeleksi foto-foto yang ada pada rubrik fashion, karena yang akan
24
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana 2010), Cet.
Ke-5. h. 102.
17
peneliti analisis hanyalah foto yang menggunakan motif lasercut pada
jilbab.
Setelah tahap penyeleksian foto, peneliti menemukan dua foto
model asing yang menggunakan motif lasercut sebagai jilbab. Dari kedua
foto inilah peneliti akan menganalisis menggunakan semiotika Roland
Barthes yang mengikuti enam prosedur yang dapat memengaruhi foto,
setelah dianalisis kemudian peneliti menerapkan ke teori komodifikasi
Vincent Mosco.
6. Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian ini dilakukan pada tanggal 20 Februari s/d 12
Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di perusahaan media massa cetak
majalah Annisa yang beralamat di Jalan Pangeran Antasari No. 53 Jakarta
Selatan. Telp (021) 72793518 fax. (021) 72793118 website:
www.annisamagazine.com
7. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah majalah Annisa dan objek
dalam penelitian ini adalah foto-foto di rubrik fashion tentang jilbab
menggunakan motif lasercut pada majalah Annisa.
8. Pedoman Penulisan
Penulisan dalam penelitian ini mengacu kepada buku Pedoman
Penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis dan disertasi) CeQda Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
18
F. Tinjauan Pustaka
Dalam menentukan judul penelitian ini, peneliti sudah mengadakan
tinjauan pustaka ke perpustakaan yang terdapat di Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi, Perpustakaan Utama (PU) Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta maupun tinjauan ke perpustakaan lain. Selain dari
buku-buku yang jadi rujukan utama, data-data yang diperoleh pada penelitian
ini berfokus pada jilbab yang dijadikan fashion perempuan di media massa
cetak, khususnya majalah muslimah. Menurut pengamatan peneliti dari hasil
observasi yang peneliti lakukan sampai saat ini, hanya menemukan:
Noor Hidayati mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
yang berjudul ”Analisis Semiotika Terhadap Rubrik Mode Pada Majalah
Ummi” yang ditulis pada tahun 2011. Pada skripsi ini membahas tentang
rubrik mode yang terdapat pada majalah Ummi, pada skripsi ini menggunakan
teori semiotika Charles Sanders Peirce yakni membagi objeknya menjadi icon,
simbol, dan index.
Risqa Fadhielah mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang berjudul “Analisis Semiotika
Terhadap Rubrik Busana Pada Majalah Paras” yang ditulis pada tahun 2012.
Pada skripsi ini membahas tentang rubrik busana yang terdapat pada majalah
Paras, pada skripsi ini menggunakan teori semiotika Charles Sanders Peirce
yakni membagi objeknya menjadi icon, simbol, dan index.
19
Trigustia Pusporini mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi konsentrasi Jurnalistik yang
berjudul “Analisis Semiotika Terhadap Rubrik Fashion Style Majalah
Kawanku” yang ditulis pada tahun 2009. Pada skripsi ini membahas tentang
rubrik fashion style yang terdapat pada majalah Kawanku yang diambil dari
edisi No 33-2008 sampai edisi No 36-2008 menyajikan foto fashion style yang
bertemakan pakaian model tahun 70-an dan pergantian musim. Yang mencoba
menggali makna konotasi dan denotasi yang menggunakan teori semiotika
Roland Barthes.
Aldillah Oriza Sativa mahasiswi Universitas Mercu Buana Fakultas
Ilmu Komunikasi yang berjudul “Efek Majalah Fashion Terhadap Perilaku
Konsumtif Remaja di Universitas Mercu Buana” yang ditulis pada tahun
2013.
Ericha Nur Aprilia mahasiswi Universitas Mercu Buana Fakultas Ilmu
Komunikasi yang berjudul “Komodifikasi Program Variety Eat Bulaga
Indonesia di SCTV” yang ditulis pada tahun 2013.
Dari kelima skripsi yang diteliti tersebut, ada tiga skripsi yang sama-
sama membahas mengenai makna dan simbol pada rubrik foto yang terdapat
pada majalah muslimah dengan menggukan analisis semiotika, namun pada
skripsi ketiganya hanya meneliti foto-foto yang ada pada rubrik yang berbeda
disetiap majalah yang diteliti. Dan dua skripsi dengan judul dan penelitian
yang berbeda, peneliti mendapatkan inspirasi dari kedua skripsi tersebut yang
akhirnya menyatukan antara komodifikasi majalah dan jilbab.
20
Perbedaan pada skripsi ini, peneliti selain menggunakan analisis
semiotika, juga menggunakan teori ekonomi politik media dengan proses
komodifikasi.
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN: Dalam bab ini berisi tentang latar belakang
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN TEORI: Dalam bab ini membahas
tentang teori yang digunakan sesuai dengan permasalahan. Teori ekonomi
politik media Vincent Mosco khususnya komodifikasi isi media, tinjauan
umum semiotika, teori semiotika Roland Barthes, konsep media cetak, konsep
majalah, konsep jilbab, dan jilbab gaul.
BAB III GAMBARAN UMUM: Dalam bab ini membahas tentang sejarah
singkat majalah Annisa, rubrikasi majalah Annisa, struktur redaksi majalah
Annisa.
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA: Dalam bab ini berisi tentang
tanda-tanda, makna, pesan yang terdapat pada foto-foto yang terpilih dalam
rubrik fashion majalah Annisa edisi Juni 2013 dengan menggunakan teori
semiotika foto Roland Barthes yaitu denotatif, konotatif dan mitos serta
pemaknaan komodifikasi isi media di majalah Annisa.
BAB V PENUTUP: Dalam bab ini membahas mengenai kesimpulan dan saran
dari penelitian ini.
21
BAB II
LANDASAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEP
A. Landasan Teori
1. Komodifikasi pada Media
Istilah ekonomi politik diartikan secara sempit oleh Mosco sebagai
studi tentang hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan
yang saling menguntungkan antara sumber-sumber produksi, distribusi
dan konsumsi, termasuk didalamnya sumber-sumber yang terkait dengan
komunikasi. Dari pendapat Mosco di atas dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan kekuasaan (politik) dengan kehidupan ekonomi dalam
masyarakat. Dalam studi media massa, penerapan pendekatan ekonomi
politik memiliki tiga konsep awal, yaitu komodifikasi, spasialisasi, dan
strukturasi.
1. Komodifikasi adalah upaya mengubah apapun menjadi komoditas
atau barang dagangan sebagai alat mendapatkan keuntungan.
Dalam media massa tiga hal yang saling terkait adalah isi media,
jumlah audiens, dan iklan. Berita atau isi media adalah komoditas
untuk menaikkan jumlah audiens atau oplah. Jumlah audiens atau
oplah juga merupakan komoditas yang dapat dijual pada
pengiklan. Uang yang masuk merupakan profit dan dapat
digunakan untuk ekspansi media. Ekspansi media menghasilkan
kekuatan yang lebih besar lagi dalam mengendalikan masyarakat
melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi.
22
2. Spasialisasi adalah cara-cara mengatasi hambatan jarak dan waktu
dalam kehidupan sosial. Dengan kemajuan teknologi komunikasi,
jarak dan waktu bukan lagi hambatan dalam praktik ekonomi
politik. Spasialisasi berhubungan dengan proses transformasi
batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat
dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan perpanjangan
institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan
usaha media.
3. Strukturasi atau penyeragaman yaitu ideologi secara terstruktur.
Komoditas adalah segala sesuatu yang diproduksi atau ditawarkan
untuk dijual. Barang-barang dan jasa-jasa ini selalu mempunyai asal-usul
dan konsekuensi ideologis.25
Komoditas terjadi dari adanya jangkauan kebutuhan yang luas,
baik fisik maupun kultural dan penggunaannya dapat dijabarkan melalui
berbagai cara komoditas bisa muncul dari berbagai macam kebutuhan
sosial tersebut termasuk didalamnya kepuasan jasmani sampai
pemenuhan status dalam masyarakat. Jadi nilai pakai tidak hanya terbatas
pada pemenuhan kebutuhan untuk bertahan hidup, tetapi lebih meluas
sampai kepenggunaan yang didasarkan kepada kebutuhan sosial.
Sehingga komodifikasi mengacu pada proses mengubah nilai pakai
menjadi nilai tukar dan beragam cara bagaimana proses ini kemudian
25
Lull James, Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1997), h. 223.
23
diperluas ke dalam bidang sosial dari produk komunikasi, audiens dan
tenaga kerja yang selama ini mendapat sedikit perhatian. Proses
komodifikasi ini menggambarkan cara kapitalisme membawa modalnya
melalui perubahan nilai pakai menjadi nilai tukar.26
Adam Smith dan ekonomi klasik membedakan antara produk
yang nilainya berasal dari kepuasan keinginan dan kebutuhan spesifik
dari manusia yang disebut nilai pakai dan produk yang nilainya berasal
dari kemampuan produk tersebut untuk ditingkatkan sebagai nilai tukar.
Komoditas adalah bentuk khusus dari produk ketika produksi mereka
secara terorganisisr diatur melalui proses pertukaran.27
Dalam konsep komodifikasi ini, komunikasi merupakan arena
potensial tempat terjadinya komodifikasi. Hal ini dikarenakan
komunikasi merupakan komoditas yang sangat besar pengaruhnya karena
yang terjadi bukan hanya komodifikasi untuk mendapatkan surplus
value, tapi juga karena pesan yang disampaikan mengandung simbol dan
citra yang bisa dimanfaatkan untuk mempertajam “kesadaran” penerima
pesan.28
Terdapat dua dimensi signifikan dalam hubungan antara
komodifikasi dan komunikasi:
1. Proses dan teknologi komunikasi yang memberi kontribusi
kepada proses komodifikasi secara umum sebagai satu kesatuan.
26
Vincent Mosco, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal
(London: Sage Publication, 1996), h. 141. 27
Mosco, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal, h. 141-
142. 28
Mosco, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal, h..134.
24
2. Proses komodifikasi yang bekerja dalam masyarakat merasuk
dalam proses sosial komodifikasi sebagai suatu praktik sosial.29
Bentuk-bentuk komodifikasi dalam komunikasi:
1. Komodifikasi Isi Media
Proses komodifikasi pada komunikasi melibatkan
perubahan pesan-pesan dari sumber data sampai sistem pemikiran
dan menjadi produk ysang dapat dipasarkan. Misalnya paket
produk yang dipasarkan media dengan cara pemuatan tulisan
seorang penulis, artikel lain dan iklan dalam suatu paket yang bisa
dijual. Dari sudut pandang modal, komodifikasi isi media
dipengaruhi oleh penciptaan nilai surplus atau keuntungan. Isi
media dibuat sedemikian rupa sehingga mendatangkan
keuntungan bagi pemilik modal.30
2. Komodifikasi Khalayak
Media komodifikasi memiliki dua peran, yaitu sebagai
peran langsung pencipta surplus melalui produksi dan pertukaran
komoditas. Dan tidak langsung melalui periklanan dalam
penciptaan nilai surplus melalui sektor lain produksi komoditas.
Pengiklan juga berperan dalam menentukan isi media, sehingga
menciptakan khalayak sebagai komoditas, Smythe mengambil
ide-ide ini dengan pandangan yang berbeda dengan menekankan
pada audiens yaitu bahwa audiens adalah komoditas utama dari
29
Vincent Mosco, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal
(London: Sage Publication, 1996), h..142. 30
Mosco, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal, h. 146.
25
media massa. Menurut Smythe, media massa tebentuk dari sebuah
proses dimana didalamnya perusahaan media memproduksi
audiens dan mengirim mereka pada pengiklan.
Dalam pandangannya, proses tersebut menciptakan
hubungan yang resiprokal yang mengikat antara media, khalayak
dan pengiklan. Program atau isi media digunakan untuk
membentuk khalayak dan pengiklan membayar perusahaan media
untuk mendapatkan akses pada khalayak ini, dengan begitu
khalayak dibawa kepada pengiklan.31
3. Komodifikasi Pekerja
Pekerja merupakan penggerak kegiatan produksi.
Pemanfaatan tenaga dan pikiran mereka secara optimal dengan
cara mengkonstruksi pikiran mereka tentang bagaimana
menyenangkannya jika bekerja dalam sebuah institusi media
massa, walaupun dengan upah yang tak seharusnya.32
Tiga aspek di atas merupakan “kendaraan” untuk mendekati dan
memahami perspektif komodifikasi dalam industri media. Dan
komodifikasi isi media dianggapnya sebagai langkah awal untuk
memahami komodifikasi dalam kegiatan komunikasi.33
Komodifikasi sering kali disamakan dengan komersialisasi,
31
Vincent Mosco, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal
(London: Sage Publication, 1996), h..148. 32
“Kajian Ekonomi Politik Media” Artikel diakses pada 3 Juni 2014 dari
http://indiwan.blogspot.com/2010/05/kajian-ekonomi-politik-media.html 33
Syaiful Halim, Postkomodifikasi Media and Cultural Studies (Tangerang: Matahati Production,
2012), h. 54.
26
walaupun dalam pengertiannya sedikit berbeda. Komodifikasi merujuk
pada semua nilai tukar, sedangkan komersialisasi lebih merujuk pada
nilai tukar ekonomi. Namun, komodifikasi dilihat sebagai kegiatan
produksi dan distribusi komoditas yang memiliki daya tarik agar dapat
menarik audiens sebanyak-banyaknya, tanpa mementingkan
pertimbangan konteks sosial, sehingga komodifikasi menjadi tempat
dimana proses bisnis berlangsung.
Dalam penelitian ini, peneliti lebih memfokuskan dan
menganalisis komodifikasi tentang isi media atau konten dari majalah
Annisa khususnya pada rubrik fashion.
2. Tinjauan Umum Tentang Semiotika
1. Pengertian Semiotik/ Semiologi
Semiologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani semion
atau sign dalam bahasa Inggris, yaitu tanda. Secara singkat, semiologi
dapat diartikan sebagai suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda, misalnya seperti bahasa, sinyal, kode, dan sebagainya. Secara
terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang
mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh
kebudayaan sebagai tanda.
Secara umum, istilah semiotika atau semiotics merupakan satu
kajian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan tanda-tanda (semi/sign).
Dalam hal ini tanda-tanda yang dimaksud adalah semua hal yang
27
diciptakan dan direka sebagai bentuk penyampaian informasi yang
memiliki makna tertentu.
Semiotika pada dasarnya ilmu yang mempelajari atas kode-kode,
yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang sesuatu
sebagai tanda-tanda yang bermakna. Contohnya asap menandai adanya
api, sirine mobil yang keras menandai adanya kebakaran, bila disekitar
rumah kita ada tetangga yang memasang janur maka pertanda ada
pernikahan, dan sebagainya.
Semiotika memiliki dua tokoh utama dalam perkembangan
kajiannya, yakni Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de
Saussure (1857-1913). Peirce adalah filsafat ahli logika dari Amerika
Serikat. Sedangkan Saussure mengembangkan dasar-dasar teori linguistik
umum di Eropa.
Menurut Charles Sanders Peirce, semiotika tidak lain dari sebuah
nama logika. Semiotika Peirce bermula dari ketertarikannya untuk
menyelidiki bagaimana manusia berpikir, sampai Peirce menyimpulkan
bahwa semiotika tak lain adalah sinonim untuk logika. Maksudnya
bahwa kita hanya dapat berpikir dengan sarana tanda. Sudah pasti tanpa
tanda kita tidak dapat berkomunikasi. Peirce menjelaskan logika harus
mempelajari bagaimana orang bernalar, penalaran itu, menurutnya
dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir,
berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang
ditampilkan oleh alam semesta.
28
Kemudian semiotika menurut Ferdinand de Saussure, semiologi
sebuah kajian umum tentang tanda-tanda didalam masyarakat. Semiotika
merupakan ilmu yang mempelajari kehidupan tanda-tanda dalam
masyarakat dapat dibayangkan ada. Ia akan menjadi bagian dari
psikologis sosial dan karenanya juga bagian dari psikologis umum. Saya
akan menyebutnya semiologi (dari bahasa Yunani, semion “tanda”).
Semiologi akan menujukkan hal-hal yang membangun tanda-tanda dan
hukum-hukum yang mengaturnya. Semiotika Saussure mengemuka dari
pikiran-pikiran yang dituliskan betdasarkan pada teori kebahasaan.
Saussure mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum.
Kekhasan teorinya terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa
sebagai sistem tanda. Ia menyatakan bahwa tanda linguistik perlu
menemukan tempatnya dalam sebuah teori umum, dan untuk hal ini ia
mengusulkan nama semiologi.
Semiologi juga sama sebagai semiotika, mulai dari metode dan
analisis bahasa. Untuk menganalisis bagaimana semua sistem tanda
bekerja. Mengeksplorasi dari logika dan metodelogi dibalik komunikasi,
dan memperlihatkan bagaimana kita mengerti sebuah sistem melalui
metode semiotik, dan maksud dari komunikasi. Difokuskan terhadap
pemaknaan dan dengan jalan dimana pemaknaan akan diproduksi dan
dikirimkan.
Semiotika pada umumnya adalah studi tentang tanda dan segala
yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungan dengan
29
tanda-tanda lain, pengirimnya, dan penerimanya oleh mereka yang
mempergunakannya. Dengan demikian istilah semiotika maupun
semiologi yaitu ilmu tentang tanda-tanda (the science of sign) tanpa
adanya perbedaan pengertian yang terlalu tajam. Semiologi lebih dikenal
di Eropa yang mewarisi tokoh dari Ferdinand de Saussure dengan tradisi
linguistiknya. Sedangkan semiotika lebih dipakai oleh para penutur
bahasa di Inggris mewarisi tradisi Charles Sanders Peirce.
Dalam pemikiran Peirce dikenal dengan teori segitiga makna-nya
(triangel meaning). Berdasarkan teori tersebut, semiotika berangkat dari
tiga elemen utama yang terdiri dari: tanda (sign), acuan tanda (object),
pengguna tanda (interpretant). Menurut Peirce, salah satu bentuk tanda
adalah kata. Sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda.
Sementara interpretan adalah tanda yang ada dibenak seseorang tentang
objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila elemen-elemen tersebut
berinteraksi dalam bentuk seseorang, maka munculah makna tentang
sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut.
Contohnya, gambar rambu telepon umum. Gambarnya adalah
representamen yang berhubungan dengan misalnya, sebuah kata benda
didalam bahasa Indonesia, telepon mengacu pada suatu alat komunikasi
berupa telepon sungguhan. Kata telepon berkedudukan sebagai sebuah
representamen yang berhubungan dengan alat komunikasi jarak jauh,
dengan rujukan pada objek tertentu pula. Perkataan tersebut kemudian
menjadi representamen yang berhubungan dengan interpretan baru lagi,
30
misalnya handphone atau ponsel. Kemudian representamen ponsel
tersebut berhubungan dengan interpretasi lain, misalnya gambar iklan
telepon dan seterusnya, sambung-menyambung tanpa pernah selesai.
Dalam kajian Peirce terdapat tipologi tanda yaitu, pertama adalah
ikon yakni kemiripan “rupa” (resemblance), contohnya suatu peta atau
lukisan, misalnya hubungan ikonik dengan objeknya sejauh diantara
keduanya terdapat kesamaan atau keserupaan. Kedua adalah indeks yakni
keterkaitan eksistensi diantara representasi dan objeknya. Contohnya,
ketukan pintu merupakan indeks dari ada kedatangan seseorang di rumah
kita. Ketiga adalah simbol yang merupakan tanda yang bersifat abriter
(semena-mena atau semaunya) dan konvensional berupa kesepakatan.
Tanda-tanda kebahasaan pada umumnya adalah simbol-simbol. Misalnya
rambu lalu lintas yang hanya berupa garis putih melintang di atas latar
belakang merah. Pemaknaannya garis putih maupun bidang merah yang
menjadi latar belakangnya adalah sebuah tanda arbiter yang berdasarkan
konvensi atau kesepakatan.
Menurut pandangan Saussure tentang tanda sangat berbeda
dengan pandangan para ahli linguistik di zamannya. Saussure justru
menyerang pemahaman historis terhadap bahasa yang dikembangkan
pada abad ke-19.34
Menurutnya, definisi tanda linguistik merupakan
entitas dua sisi yang bersifat arbiter (semena-mena atau semaunya).
34
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi (Jakarta: Mitra Wacana Media,
2011), h. 15
31
Sisi pertama disebutnya dengan penanda (signifier), dan sisi
kedua dari tanda yaitu sisi yang diwakili secara material oleh penanda,
disebut juga sebagai petanda (signified).
Unsur penanda (signifier) merupakan aspek material tanda yang
bersifat sensoris yang dapat diindrai (sensible). Dengan kata lain penanda
adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan
apa yang ditulis atau dibaca. Sementara petanda (signified) adalah
gambaran mental, pikiran, atau konsep, merupakan aspek mental dari
tanda-tanda yang biasa disebut juga sebagai “konsep”, yakni konsep-
konsep ide didalam benak penutur. Misalnya, gambar ayam, maka
signifiernya adalah ayam tulisan “a-y-a-m”, berkokok (aspek material
dari bahasa yang dikatakan, didengar, ditulis dan dibaca). Sedangkan
signifiednya adalah berkaki dua, berbulu, berjengger (segala bentuk dan
konsep dari ayam).
Kedua elemen di atas tidak dapat dipisahkan karena saling
menyatu dan tergantung satu sama lain. Walaupun penanda dan petanda
dapat dibedakan, namun praktiknya tidak dapat dipisahkan. Tiada
penanda tanpa petanda, tiada petanda tanpa penanda. Kombinasi dari
suatu konsep dan suatu citra-bunyi inilah yang kemudian menghasilkan
tanda khususnya didalam bahasa, tanda-tanda memiliki dua karakteristik
primordial, yakni linear dan arbiter. Karakteristik pertama, linearitas
penanda berkaitan dengan dimensi kewaktuannya. Penanda-penanda
kebahasaan harus diproduksi secara beruntun, satu demi satu, tidak
32
mungkin secara sekaligus atau simultan. Karakteritik kedua, kearbiteran
tanda bersangkutan dengan relasi diantara penanda dan petanda adalah
semata-mata berdasarkan konvensi atau kesepakatan.
Pada dasarnya para semiotikus melihat kehidupan sosial dan
budaya sebagai pemaknaan, bukan sebagai hakikat esensial objek.
Charles Morris memudahkan kita dalam memahami ruang lingkup kajian
semiotika yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda.
Menurutnya, kajian semiotika pada dasarnya terbagi menjadi tiga cabang
penyelidikan (Branches of inquiry) yakni, sintaktik atau sintaksis, suatu
cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji “hubungan formal
diantara suatu tanda dengan tanda-tanda lain”, dengan perkataan lain,
karena hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang
mengendalikan tuturan dan interpretasi, pengertian sintaktik kurang lebih
adalah gramatika.
2. Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure
tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-
bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan
bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda
pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan
menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan
kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan
33
konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan
Barthes ini dikenal dengan order of signification, mencakup denotasi
(makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir
dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan
Saussure dan Barthes meskipun tetap mempergunakan istilah signifier-
signified yang diusung Saussure.
Tanda bekerja di dua tingkatan dari pemaknaan denotasi dan
konotasi. Definisi denotasi menurut Barthes adalah sistem signifikansi
tingkat pertama. Jelasnya tingkatan tanda mengkomunikasikan dan
mengacu kepada pemaknaan dari tanda yang masuk akal. Makna
denotasi dapat diekspresikan dengan cara mendeskripsikan tanda dengan
benar.35
Jadi tanda-tanda pada tataan pertama ini hanya akan menjadi
penanda-penanda yang berhubungan dengan petanda-petanda pada
tataran kedua. Denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah,
makna yang sesungguhnya, bahkan kadang kala dirancukan dengan
referensi atau acuan. Proses signifikansi yang secara tradisional disebut
sebagai denotasi yang biasanya mengacu pada penggunaan bahasa
dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap.
Denotasi merupakan tingkat pertandaan hubungan antara
penandaan dan petanda antara tanda dan rujukannya pada realitas yang
menghasilkan makna sesungguhnya. Sesuatu hal yang disepakati
bersama secara general dan universal. Misalnya, kerudung yang berarti
35
Michael O‟Shaughnessy and Jane Stadler, Media and Society (New York: Oxford,
1991), h. 115.
34
sebagai penutup aurat, penutup kepala, berwarna hitam, berbentuk segi
empat.
Sedangkan pengertian dari konotasi adalah tataran signifikansi
tingkat kedua, konotasi mengacu pada emosi, nilai dan asosiasi yang
menimbulkan tanda kepada para pembaca, penonton, atau pendengar.
Makna konotasi dari tanda yang dapat diekspresikan dengan cepat
melalui catatan atau pengalaman atau kenangan yang dibayangkan.36
Konotasi merupakan hubungan antara penanda dan petanda yang
didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung.
Konotasi adalah istilah signifikansi tahap kedua yang digunakan
Barthes. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda
bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca dan nilai-nilai dari
kebudayaan. Makna konotasi adalah bagaimana cara
menggambarkannya. Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga
kehadirannya tidak disadari. Contohnya, makna dibalik kerudung yang
berarti identitas, kesucian dan harga diri.
Konotasi identik dengan ideologi, yang disebutnya mitos, dan
berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi
nilai-nilai dominan yang berlaku dalam periode tertentu. Barthes
menempatkan ideologi dengan mitos karena ada hubungan antara
penanda konotatif dan petanda konotatif yang terjadi secara termotivasi.37
Ia juga memahami ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang
36
Michael O‟Shaughnessy and Jane Stadler, Media and Society (New York: Oxford,
1991), h. 116. 37
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), h. 71.
35
hidup di dunia tidak nyata atau imajiner dan ideal, walaupun kenyataan
hidup yang sesungguhnya tidak demikian. Ideologi ada selama
kebudayaan ada, itulah sebabnya Barthes menjelaskan berbicara tentang
konotasi sebagai suatu ekspresi budaya, misalnya seperti tokoh, latar,
sudut pandang, dan lain sebagainya.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang
menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat
kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified,
tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki
petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang
memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna
denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Mitos
merupakan sesuatu yang dianggap alamiah, bersifat konvensional.
Mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan
yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Didalam mitos terdapat pola
tiga dimensi penanda, petanda dan tanda. Mitos juga suatu sistem
pemaknaan tataran kedua.
Pada signifikansi tahap kedua yang berhubungan dengan isi,
tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan
menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala
alam. Mitos primitif, misalnya mengenai hidup dan mati, manusia dan
dewa, baik dan buruk. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari
suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan
36
atau memahami sesuatu. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai
feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan.38
Mitos
adalah suatu wahana ideologi berwujud.39
Mitos dapat berangkai menjadi
mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan-kesatuan
budaya. Sedangkan Van Zoest (1991) menegaskan, siapa pun
menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi
yang terdapat didalamnya.
Dalam pandangan Umar Yunus, mitos tidak dibentuk melalui
penyelidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang
digeneralisasikan oleh karenanya lebih baik hidup dalam masyarakat.40
Misalnya, ia mungkin hidup dalam gosip kemudian ia mungkin
dibuktikan dengan tindakan nyata. Sikap kita terhadap sesuatu ditemukan
oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos ini menyebabkan kita
mempunyai prasangka tertentu terhadap suatu hal yang dinyatakan dalam
mitos.
Setiap tipe tuturan, entah berupa sesuatu yang tertulis atau
sekedar representasi, verbal atau visual, secara potensial dapat menjadi
mitos.41
Artinya, tidak hanya wacana tertulis yang dapat kita baca
sebagai mitos, melainkan juga fotografi, film, pertunjukan, bahkan olah
raga dan makanan. Contohnya, di sebuah cover majalah tampak foto
seorang Negro muda yang mengenakan seragam serdadu Prancis.
38
John Fiske, Introduction to Communication Studie (London: Second Edition, 1990), h.
88. 39
Van Zoest dalam Alex Sobur, Analisis Teks Media (London: Second Edition), h. 88. 40
Umar Yunus, Mitos dan Komunikasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), h. 74. 41
Kris Budiman, Semiotika Visual (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), h. 41.
37
Pada tataran pertama, kita dapat mengidentifikasi setiap penanda
didalam citra tersebut ke dalam konsep-konsep yang setepat mungkin,
misalnya seorang serdadu, pakaian seragam, lengan yang diangkat, mata
yang menatap ke atas dan sebuah bendera Prancis.
Pada tataran kedua, (tataran konotasi atau mitos), citra ini
memberikan makna: bahwa Prancis adalah sebuah bangsa yang besar,
dengan segenap putranya yang tanpa diskriminasi ras sedikit pun setia di
bawah lindungan benderanya. Pada tataran konotasi ini penanda-
penandanya menunjuk kepada seperangkat petanda atau fragmen ideologi
tertentu, yakni campuran dari imperialitas Prancis dan kemiliteran.
Contoh lain adalah pohon beringin yang rindang dan lebat
menimbulkan konotasi keramat karena dianggap sebagai hunian para
makhluk halus. Konotasi keramat ini kemudian berkembang menjadi
asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon
beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah
menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, pohon
beringin yang keramat akhirnya dianggap sebagai sebuah mitos.
Pendekatan semiotik Roland Barthes secara khusus tertuju kepada
sejenis tuturan (speech) yang disebutnya sebagai mitos.42
Menurutnya,
bahwa membutuhkan kondisi tertentu untuk dapat menjadi mitos, yaitu
dicirikan oleh hadirnya tataran signifikansi yang disebut sebagai sistem
semiologi tingkat kedua. Penanda-penanda berhubungan dengan petanda-
42
Kris Budiman, Semiotika Visual (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), h.38.
38
petanda kemudian menghasilkan tanda. Pada tataran signifikansi lapis
kedua inilah mitos terlahir. Aspek material mitos, yaitu penanda-penanda
pada tataran kedua sistem semiologi itu, dapat disebut sebagai retorik
atau konator-konator yang tersusun dari tanda-tanda pada sistem pertama,
sementara petanda-petandanya sendiri dapat dinamakan sebagai fragmen
ideologi.
Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta
denotatif, karena salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk
menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi
terjadinya salah baca (misreading) atau salah satu dalam mengartikan
makna suatu tanda.
Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja43
:
1. Signifier
(penanda)
2. Signified
(petanda)
3. Denotative Sign
(tanda denotative)
4. Connotative Signifier
(penanda konotatif)
5. Connotative Signified
(petanda konotatif)
6. Connotative Sign (tanda konotatif)
Gambar 2.1
Peta Tanda Roland Barthes
43
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 69.
39
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri
atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan,
tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal
tersebut merupakan unsur material, hanya jika Anda mengenal tanda
“singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian
menjadi mungkin.
Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar
memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda
denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya inilah
sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi
Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif.
Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam
pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti
oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti
sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang
kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang
secara tradisional disebut sebagai arti yang sesuai dengan apa yang
terucap. Akan tetapi, didalam semiologi Roland Barthes dan para
pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikansi tingkat pertama,
sementara konotasi merupakan tingkat ke-dua. Dalam hal ini denotasi
justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna, dan dengan
demikian sensor atau represi politisi. Sebagai reaksi yang paling ekstrem
melawan keharfiahan denotasi bersifat opresif ini, Barthes mencoba
40
menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang hanya adalah konotasi
semata-mata.
3. Semiotika Foto Roland Barthes
Foto bisa bersifat secara subjektif, setiap orang memiliki cara
yang berbeda-beda dalam mengartikan makna pada sebuah foto, sangat
minim kemungkinannya dari dua orang yang berbeda memiliki detail
pemikiran yang sama persis terhadap satu foto, dan suatu foto secara
umum atau garis besar pasti akan memberikan satu makna tertentu.
Artinya, sekaya apapun variasi interpretasi makna yang dihasilkan oleh
khalayak tapi secara umum menuju ke satu fisik dan kesimpulan yang
sama.
Foto sebagai petanda atau signifier memberikan makna melalui
orang, benda atau situasi dalam foto itu sendiri. Dalam hal ini segala
sesuatu yang menjadi pusat perhatian dalam foto itu bisa dan akan
mengambil alih realitas seperti yang sebenarnya dan tergantung pada
maknanya. Orang benda, atau situasi dalam foto itu sangat berkaitan
dengan tanda, yaitu korelasi original yang diterjemahkan kepada kita dan
orang, benda, atau situasi itu menjadi tanda atau sign itu sendiri.44
Sebuah tanda atau sign menggantikan sesuatu untuk seseorang.
Dia hanya bermakna jika dia memiliki seseorang yang mengartikannya.
Meskipun demikian, semua tanda bergantung dari proses pemaknaannya
dari keberadaan khalayak yang spesifik dan konkret, yaitu mereka yang
44
Judit Williams, Decoding Adwertisments: Ideology (London: Camelot Press, 1985), h.
35.
41
memperoleh dan menghasilkan semua sistem nilai dan kepercayaan.
Dalam The Photographic Message, Barthes mengajukan tiga tahapan
dalam membaca foto, yaitu perseptif, kognitif, dan etis ideologis.45
Pertama, tahap perseptif terjadi ketika seseorang mencoba
melakukan transformasi gambar ke kategori verbal, jadi semacam
verbalisasi gambar. Konotasi perspektif tidak lain adalah imajinasi
sintagnatik yang pada dasarnya bersifat perspektif (forsee). Kedua,
konotasi kognitif dilakukan dengan cara mengumpulkan beberapa
signifier yang dikalimatkan.
Barthes menunjukkan bahwa tiga cara rekayasa di atas membuka
kemungkinan untuk menurunkan signifier. Barthes menyebut signifier
pada tingkat konotatif ini dengan sebutan mitos dan signified dengan
sebutan ideologi. Ini dibangun dengan imajinasi simbolik. Ketiga, tahap
ini tidak menentukan wacana suatu foto dan ideologi atau moralitas yang
berkaitan. Kita akan mencari objektivitas pesan foto melalui prosedur
yang dapat diamati dan diukur.46
Dalam The Photographic Message Barthes juga menyebutkan
enam prosedur atau kemungkinan untuk memengaruhi gambar sebagai
analogon. Keenam langkah tersebut dapat dipandang sebagai kegiatan
menulis karena pada hakikatnya lewat prosedur tersebut seorang
fotografer dapat menentukan berbagai unsur tanda, hubungan, dan lain-
45
ST. Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Kanal, 2002), h. 187. 46
Sunardi, Semiotika Negativa, h. 187.
42
lain yang menjadi pertimbangan utama ketika orang membaca bahasa
gambar tersebut.
Pada bahasan ini, Barthes mengemukakan enam prosedur
konotasi citra, khususnya menyangkut fotografi untuk membangkitkan
konotasi dalam proses produksi foto. Prosedur-prosedur ini terbagi dalam
dua bagian besar. Pertama, konotasi yang diproduksi melalui modifikasi
atau intervensi langsung terhadap realita itu sendiri. Maksudnya
manipulasi atau rekayasa yang secara langsung dapat memengaruhi
realitas atau kenyataan itu sendiri.
Dalam hal ini dibagi lagi menjadi tiga bagian yaitu:47
Trick effect
(efek tiruan) adalah gambar hasil rekayasa foto atau gambar yang sengaja
dibuat berlebihan dalam menyampaikan tujuan pembuatan berita. Efek
tiruan merupakan intervensi “without warning in the plane of
denotation” artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang
berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.
Selanjutnya, pose (sikap) adalah gaya, posisi, ekspresi dan sikap
objek foto. Dalam mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan
foto akan memilih objek yang sedang diambil. Kemudian, objects (objek)
adalah pemilihan dari objek itu sendiri untuk menentukan point of
interest (POI) dari sebuah foto. Objek ini ibarat perbendaharaan kata
yang siap dimasukkan ke dalam sebuah kalimat.
47
Jonathan Bignell, Media Semiotics an Introduction (USA: Manchester University Press,
1997), h. 99-102.
43
Bagian yang kedua adalah konotasi yang diproduksi melalui
wilayah estetis foto yang meliputi, photogenia (fotogenia) yakni cara
atau teknik dalam pengambilan foto atau gambar. Misalnya, lighting
(pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring (keburaman), panning
(efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze (efek beku), angle (sudut
pandang pengambilan objek). Selanjutnya, aestheticism (estetisme) yaitu
format atau gambar estetika foto secara keseluruhan dan dapat
menimbulkan makna konotasi, contohnya komposisi dari sebuah foto.
Terakhir adalah syntax (sintaksis), yaitu susunan kalimat yang bercerita
atau caption dari isi foto untuk memberikan keterangan pada foto atau
gambar yang dapat membatasi dan menimbulkan makna konotasi.
3. Kerangka Konsep
a. Media Cetak
Secara harfiah pengertian media cetak bisa diartikan sebagai
sebuah media penyampai informasi yang memiliki manfaat dan terkait
dengan kepentingan rakyat banyak, yang disampaikan secara tertulis.
Dengan demikian yang dimaksud media cetak meliputi surat
kabar, majalah, serta segala macam barang cetakan yang ditujukan untuk
menyebarluaskan pesan-pesan komunikasi. Sementara dalam kutipan
44
Ronald H. Aderson media cetak berarti bahan bacaan yang diproduksi
secara profesional seperti buku, majalah, dan buku petunjuk.48
Media cetak mempunyai makna sebuah media yang
menggunakan bahan dasar kertas atau kain untuk menyampaikan pesan-
pesannya. Unsur-unsur utama adalah tulisan atau teks, gambar visualisasi
atau keduanya. Media cetak ini bisa dibuat untuk membantu fasilitator
melakukan komunikasi interpersonal saat pelatihan atau kegiatan
kelompok. Media ini juga bisa dijadikan sebagai bahan referensi atau
bahan bacaan atau menjadi media instruksional atau mengkomunikasikan
teknologi baru dan cara-cara melakukan sesuatu (leaflet, brosur, buklet).
Bisa juga mengkomunikasikan perhatian dan peringatan serta
mengkampanyekan suatu isu (poster) dan menjadi media ekspresi dan
karya personal (poster, gambar, kartun, komik).49
Saat ini media cetak mengalami perkembangan. Perusahaan
media cetak mulai banyak yang berdiri dan melebarkan pemasarannya
sampai pedesaan. Orang-orang yang berada jauh dari perkotaan dapat
menikmati media cetak tersebut.
Jenisnya pun menjadi bermacam-macam. Mulai dari koran harian
sampai bulanan, tabloid, majalah, dan buletin. Informasi yang diberikan
pun bukan hanya sekadar tentang politik atau ekonomi yang sedang
48
Ronald H.Anderson, Pemilihan dan Pengembangan Media untuk Pembelajaran
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 161. 49
Artikel diakses pada tanggal 5 Juni 2014 dari
http://media.diknas.go.id/media/document/3537. pdf.
45
terjadi, tapi juga ada bidang hiburannya yang tercantum dalam media
tersebut.
Konsumen media cetak ini pun bukannya hanya dari kalangan
ekonomi menengah ke atas saja, tapi kalangan ekonomi menengah ke
bawah juga sudah dapat menikmati informasi dari media cetak tersebut.
Harga yang terjangkau oleh semua kalangan tersebut, membuat semua
kalangan mampu untuk membeli dan menikmati informasi yang
diberikan oleh media tersebut.
Jenis media cetak pun sudah bermacam-macam. Semua usia
mempunyai media cetak masing-masing. Dari anak-anak sampai orang
tua pun punya jenisnya. Media cetak berupa tabloid merupakan media
informasi yang dikonsumsi oleh kalangan anak-anak dan remaja.
Media cetak juga berusaha mengajak khalayak untuk membaca
informasi yang dibutuhkan. Media cetak berusaha menarik minat baca
khalayak untuk mengetahui seberapa besar pengaruh yang ditimbulkan
oleh berita-berita yang dimuatnya, sesuai dengan fungsi media cetak,
yaitu menyebarkan informasi, mendidik,menghibur dan kontrol sosial.50
c. Majalah
Majalah adalah sebuah media publikasi atau terbitan secara
berkala yang memuat artikel-artikel dari berbagai penulis. Selain memuat
artikel, majalah juga merupakan publikasi yang berisi cerita pendek,
50
Onong Uchjana, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Citra Aditya, 1992), h.
92.
46
gambar, review, ilustrasi atau feature lainnya yang mewarnai isi dari
majalah. Majalah tidak hanya soal waktu terbit dan bentuknya saja,
melainkan juga isinya. Kalau koran lebih banyak berisi berita kejadian
aktual, ulasan berita, kolom opini, dan informasi yang bersifat
penerangan. Maka majalah lebih banyak berisi feature penyuluhan,
artikel masalah, pendirian penulisnya, cerita kocak, laporan hasil
penyelidikan, sajak dan jenis-jenis kesusastraan lainnya, seringkali
disertai foto dan ilustrasi.51
Oleh karena itu, majalah dijadikan salah satu
pusat informasi bacaan yang sering dijadikan bahan rujukan oleh para
pembaca dalam mencari sesuatu hal yang diinginkannya.
Eksistensi majalah muncul karena kebutuhan masyarakat akan
informasi beragam yang sesuai dengan gaya hidup masyarakat saat ini.
Maka tak heran banyak berbagai ragam majalah beredar saat ini, yang
disesuaikan dengan segmentasinya. Majalah dapat dibedakan menurut
pembaca pada umumnya atau kelompok pembaca yang menjadi target
pasarnya, yakni majalah dapat diklasifikasikan menurut segmen
demografis (usia atau jenis kelamin), ataupun pembedaan secara
psikografis, dan geografis atau dapat dilihat dari segi kebijakan
editorialnya. Sebagai contoh untuk majalah yang terbitnya berdasarkan
keadaaan demografis, misalnya majalah Gadis, majalah yang
diperuntukkan untuk wanita. Sedangkan majalah yang berdasarkan
pengelompokan geografis (wilayah), misalnya: majalah sekolah.
51
Slamet Suseno, Teknik Penulisan Ilmu Popular, Kiat Menulis Non-Fiksi Untuk Majalah
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 7.
47
Berbagai bahasan artikel informasi yang diulas dalam majalah-majalah
tersebut tentunya disesuaikan dengan karakter dan gaya bahasa target
audiensnya, begitu pula dengan gaya pendekatan dalam hal tampilan atau
desain majalahnya.
Menurut Dominick, klasifikasi majalah dibagi ke dalam lima kategori
utama, yaitu52
:
1. General Consumer
Konsumen majalah ini siapa saja. Mereka dapat membeli majalah
tersebut di sudut-sudut, outlet, mall, supermall, atau toko buku lokal.
Majalah konsumen umum ini menyajikan informasi tentang produk
dan jasa yang diiklankan pada halaman tertentu.
2. Business Publication
Majalah-majalah bisnis (disebut juga trade publication) melayani
secara khusus informasi bisnis, industri atau profesi. Media ini tidak
dijual di mall, atau supermall, pembacanya terbatas pada kaum
profesional atau pelaku bisnis. Produk-produk yang diiklankan
umumnya hanya dibeli oleh organisasi bisnis atau kaum profesional.
3. Literacy Reviews and Academic Journal
Terdapat nama ribuan majalah kritik sastra dan majalah ilmiah, yang
pada umumnya memiliki sirkulasi di bawah 10 ribu, dan banyak
diterbitkan oleh organisasi-organisasi nonprofit, universitas, yayasan
52
Elvinaro Ardianto, dkk, Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi. (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media), 2007.
48
atau organisasi profesional. Mereka menerbitkan empat edisi atau
kurang dari itu setiap tahunnya, dan kebanyakan tidak menerima
iklan.
4. Newsletter
Media ini dipublikasikan dengan bentuk khusus, 4-8 halaman dengan
perwajahan khusus pula. Media ini didistribusikan secara gratis atau
dijual secara berlangganan. Belakangan penerbitan newsletter telah
menjadi lahan bisnis besar.
5. Public Relations Magazines
Majalah public relations ini diterbitkan oleh perusahaan, dan
dirancang untuk sirkulasi pada karyawan perusahaan, agen,
pelanggan, dan pemegang saham. Jenis publikasi penerbitan ini
berbeda sedikit dengan periklanan, kendati menjadi bagian dari
promo organisasi atau perusahaan yang mensponsori penerbitan.
Didalam suatu majalah terkandung banyak elemen-elemen grafis
seperti gambar, tipografi, warna, ilustrasi dan elemen lainnya yang
dimana hal itu untuk memperindah isi majalah dan untuk menarik
perhatian masyarakat untuk membacanya. Majalah juga harus memiliki
konsep atau target segmentasi yang jelas dan sesuatu hal yang berbeda
dengan majalah lainnya. Agar dapat terlihat oleh masyarakat memiliki
ciri khas serta keunggulan dari majalah-majalah pesaing.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, saat ini majalah tidak
hanya terbatas dijual bebas di toko-toko atau kios-kios buku yang dibuat
49
oleh suatu perusahaan untuk masyarakat umum, namun suatu organisasi
juga dapat menerbitkan majalahnya sendiri apabila kebutuhan informasi
tentang lingkup organisasi tersebut dirasa perlu.53
Terdapat beberapa karakteristik mengenai majalah, yaitu:
1. Penyajian lebih lama
Frekuensi terbit majalah pada umumnya adalah mingguan, selebihnya
dwi mingguan, bahkan bulanan. Majalah berita biasanya terbit
mingguan, sehingga para reporternya punya waktu yang cukup lama
untuk memahami dan mempelajari suatu peristiwa. Kuncinya adalah
berita-berita dalam majalah disajikan lebih lengkap, karena dibubuhi
latar belakang peristiwa. Unsur why dikemukakan secara lengkap.
Peristiwanya atau proses terjadinya peristiwa (unsur how)
dikemukakan secara kronologis.
2. Nilai aktualitas lebih lama
Apabila nilai aktualitas surat kabar hanya berumur satu hari, maka
nilai aktualitas majalah bisa satu minggu. Sebagai contoh, kita akan
menganggap usang surat kabar kemarin atau dua hari yang lalu bila
kita baca saat ini. Akan tetapi, beda dengan majalah. Majalah tidak
akan dianggap usang jika terbit dua atau tiga hari yang lalu.
Sebagaimana dialami bersama, bahwa dalam membaca majalah tidak
pernah tuntas sekaligus. Pada hari pertama mungkin hanya membaca
53
“Definisi Majalah”. Artikel diakses pada 10 Juni 2014 dari
http://rahdinalspaceart.blogspot.com/2011/11/definisi-majalah-majalahadalah-sebuah.html?m=1
50
topik yang disenangi atau yang relevan dengan profesi, hari esok dan
seterusnya membaca topik yang lain sebagai referensi.54
3. Gambar atau foto lebih banyak
Jumlah halaman majalah lebih banyak, sehingga penyajian beritanya
yang mendalam, majalah juga dapat menampilkan gambar atau foto
yang lengkap, dengan ukuran besar dan kadang-kadang berwarna,
serta kualitas kertas yang dipilihkannya pun lebih baik. Foto-foto
yang ditampilkan memiliki daya tarik tersendiri, apalagi apabila foto
tersebut bersifat eksklusif.
4. Cover sebagai daya tarik
Disamping foto, cover atau sampul majalah juga memberikan daya
tarik tersendiri. Cover ibarat pakaian dan aksesorisnya pada manusia.
Cover majalah biasanya menggunakan kertas dan warna yang bagus
dengan gambar dan warna yang menjajikan. Menarik tidaknya cover
suatu majalah sangat bergantung pada tipe majalahnya, serta
konsistensi dalam menampilkan ciri khasnya.
Majalah bernafaskan Islam, khususnya yang ada di Indonesia
telah berkembang sebelum kemerdekaan. Majalah-majalah tersebut
muncul dengan tujuan mencoba menyebarkan gagasan modernisasi di
kalangan umat Islam, menyebarkan semangat pembaharuan Islam, juga
menyuarakan perjuangannya melawan kekuasaan kolonial dan pengaruh
54
Elvinarno Ardianto, Lukiati Komala, Siti Karlinah. Komunikasi Massa Suatu
Pengantar. Edisi Revisi (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007), h. 121.
51
asing.55
Selain itu majalah Islam juga menjadi media penyebaran ilmu
pengetahuan dan kebudayaan untuk dakwah dan pembangunan umat.56
Kebutuhan kaum muslim akan informasi dan semangat
pembaharu Islam membuat majalah-majalah Islam terus bermunculan
sampai pada era Orde Baru. Pembangunan Orde Baru yang telah
mendorong proses intelektualisasi yang pasif dan melahirkan kelas
menengah terpelajar di Indonesia, dimana mayoritas adalah berasal dari
kalangan santri atau muslim, ikut mempengaruhi muncul dan
berkembangnya media massa seperti majalah dengan kualitas yang lebih
baik.57
Pada perkembangan sampai saat ini majalah Islam semakin
beragam, kini majalah Islam bermunculan untuk kalangan yang lebih
khusus, yaitu ditujukan untuk kaum perempuan. Majalah seperti Femina
dan Kartini adalah contoh dari majalah yang didesain untuk kaum
wanita. Dengan perkembangan umat Islam seperti yang dijelaskan di
atas, bermunculan pula majalah yang dikonsep untuk perempuan muslim,
seperti Paras, Noor, Hijabella. Juga majalah Annisa.
d. Jilbab
Berdasarkan konteks pemakaian dan pengertiannya, kata jilbab
berasal dari bahasa Arab, Jalaba yang maknanya menutup sesuatu dengan
55
Kurniawan Djunaedhi, Rahasia Dapur Majalah Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Umum, 1995), h. 307. 56
Djunaedhi, Rahasia Dapur Majalah Indonesia, h. 311. 57
M. Syafi‟i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995), h.
120.
52
sesuatu yang lain sehingga tidak dapat dilihat auratnya. Para ulama
berbeda pendapat tentang pengertian jilbab. Ada yang mengatakan jilbab
itu mirip rida' (sorban). Ada juga yang mengatakan kerudung yang lebih
besar dari khimar (selendang). Sebagian lagi mengartikan dengan gina',
yaitu penutup muka atau kerudung lebar. Muhammad Said Al - Asymawi
menyimpulkan bahwa jilbab adalah gaun longgar yang menutupi sekujur
tubuh perempuan.
Jilbab pada prinsipnya adalah untuk mengendalikan diri dari
dorongan nafsu (syahwat) dan menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan
maksiat. Perempuan beriman tentu saja akan memilih busana sederhana
dan tidak berlebihan sehingga menimbulkan perhatian publik dan tidak
untuk pamer (riya').
Di lndonesia pemakaian jilbab pada perempuan muslimah bukan
hal yang aneh karena mayoritas penduduk lndonesia beragama lslam.
Setiap perempuan muslimah Indonesia memiliki pemahaman tersendiri
mengenai arti jilbab. Ada yang menganggap jilbab sebagai penutup
kepala dan ada juga yang menganggap jilbab itu sebagai pakaian komplit.
Pengertian jilbab berbeda dengan kerudung. Kerudung
merupakan kain yang digunakan untuk menutupi kepala, leher, hingga
dada, sedangkan jilbab meliputi keseluruhan pakaian yang menutup
mulai dari kepala sampai kaki, kecuali muka dan telapak tangan hingga
53
pergelangan tangan. Sehingga seseorang yang mengenakan jilbab pasti
berkerudung tetapi orang yang berkerudung belum tentu berjilbab.58
Para perancang mode boleh saja mengatakan bahwa hasil
rancangannya adalah jilbab, tetapi jika hal itu tidak memenuhi syariat
sebagaimana yang diperintahkan Allah, maka itu bukanlah jilbab. Karena
dalam Islam, suatu pakaian disebut jilbab jika memenuhi syarat yang
telah ditentukan, diantaranya59
menutup seluruh badan selain yang
dikecualikan, bukan berfungsi sebagai perhiasan, kainnya harus tebal
(tidak tipis), harus longgar (tidak ketat) sehingga tidak menggambarkan
sesuatu dari tubuhnya, dan tidak menyerupai laki-laki.
Namun pada saat ini, mayoritas perempuan muslimah lebih
memahami pengertian jilbab adalah sama dengan kerudung atau hijab,
yaitu berfungsi hanya untuk menutupi kepala, leher dan dada. Bahkan
jilbab yang digunakan pada saat ini adalah jilbab yang jauh dari
ketentuan-ketentuan ajaran agama Islam, atau lebih dikenal dengan
sebutan jilbab gaul.
Seorang muslimah adalah seorang wanita yang mengaku dirinya
beriman kepada Allah dan keimanannya itu diyakini dalam hati,
diikrarkan dengan lisan dan diwujudkan dengan perbuatan sehari-hari.
Dan pengamalan dari keimanan ini adalah dengan menjalankan perintah-
perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Mengenakan jilbab
58
“Hukum Memakai Jilbab Menurut Islam”, Artikel diakses pada 3 Juni 2014 dari
http://mmn-dot-org.blogspot.com/2013/05/hukum-memakai-jilbab-menurut-islam-jilbab-
mmn.html?m=1. 59
“Kriteria Jilbab Menurut Al-Qur‟an” Artikel diakses pada 31 Januari 2014 dari http://
efrialdy.wordpress.com/2009/08/13/kriteria-jilbab-menurut-al-qur%E2%80%99an-dan-as-sunnah/
54
bagi seorang wanita merupakan suatu perintah dari Allah SWT. dan
hukumnya adalah wajib yang bila dikerjakan berpahala dan bila
ditinggalkan berdosa. Allah SWT. mewajibkan wanita beriman untuk
mengenakan jilbabnya atau kerudungnya, kecuali kepada orang-orang
tertentu.
Melalui Al-Qur‟an Islam mengajarkan bahwa tujuan utama
berbusana, termasuk etika berjilbab bagi perempuan adalah semata-mata
untuk mengekspresikan ketakwaan.
“Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah
menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk
perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik.
Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-
mudahan mereka ingat. (Q.S. Al-A‟raf, 7:26).
Dan mempertegas jati diri agar terhindar dari tindakan tak
senonoh kaum laki-laki yang tidak bertanggung jawab, sesuai dengan
firman Allah SWT.
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung kedadanya,.......... (Q.S. An-Nur, 24:31).
55
e. Jilbab Gaul
Seiring dengan semakin maraknya penggunaan jilbab dikalangan
wanita muslimah, mulai terjadi pergeseran makna jilbab itu sendiri. Para
muslimah yang latah berjilbab tanpa mengetahui hukum jilbab dan aturan-
aturan Syariahnya, menjadi trendsetter penggunaan jilbab yang lebih
mengarah pada tujuan mode. Inilah yang dikenal dengan fenomena jilbab
gaul. Jilbab gaul dicirikan dengan pakaian ketat, transparan dan membentuk
lekuk tubuh. Kerudung yang digunakan tidak menutupi dada dan ujungnya
diikat ke belakang. Pengguna jilbab gaul biasanya juga melengkapi
penampilannya dengan dandanan menor, wewangian serta aksesoris yang
mencolok. Yang menjadi acuan utama dalam memakai jilbab gaul ini bahwa
mereka ingin menghilangkan pandangan lama yang dianggap kurang
memihak pada para pemakai jilbab60
. Berikut adalah ciri-ciri jilbab gaul61
:
1. Jilbab gaul tidak menutup aurat secara sempurna (hanya “membungkus”
aurat).
Aurat wanita adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak
tangan. Namun, banyak dari busana muslimah saat ini, tidak menutupi
aurat secara keseluruhan. Masih ada saja celah-celah yang menampakkan
aurat. Di antaranya masih ada yang menampakkan leher, lengan, tangan,
kaki. Padahal jilbab syar‟i adalah yang menutup aurat secara sempurna,
kecuali muka dan telapak tangan saja.
60
“Dibalik Pesona Jilbab Gaul”, artikel diakses ada 3 September 2014 dari
www.Anneahira.Com/Pesona-Jilbab-Htm 61
Ust. Abu Rufaid Agus Suseno, Lc “Dosa Dibalik Jilbab Gaul”, artikel diakses pada 3
September 2014 dari https://www.facebook.com/jilbabkujilbabsyari/posts/527685580621492
56
Dari Abu Dawud, dari Aisyah berkata, bahwa Asma suatu kali
mendatangi Rasulullah dengan mengenakan pakaian tipis lalu Rasulullah
berkata kepadanya,
الوسأة إذ بلغث الوحض لن جصلح أى سي هها إال هرا وهرا وأشاز ا أسواء إى
إلى وجهه وكفه
”Wahai Asma’, wanita yang telah haid (maksudnya telah baligh), tidak
boleh terlihat darinya kecuali ini, beliau mengisyaratkan ke mukanya
dan telapak tangannya.” (HR. Abu Dawud no. 4104).
2. Jilbab gaul tipis dan transparan
Menutup aurat tidak mungkin terwujud dengan pakaian tipis dan
transparan, justru dengan pakaian tipis, akan menambah fitnah dan
menjadi hiasan bagi kaum wanita. Karenanya Nabi SAW bersabda, ”Dua
golongan dari ahli Neraka yang tidak pernah aku lihat: seseorang
membawa cambuk seperti ekor sapi yang dia memukul orang-orang, dan
perempuan yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok,
kepalanya bagai punuk onta yang bergoyang. Mereka tidak akan masuk
surga dan tidak akan mendapatkan baunya,sekalipun ia bisa didapatkan
sejauh perjalanan sekian dan sekian” (HR.Muslim).
Ibnu Abdil Barr mengatakan, ”Makna „kasiyatun „ariyatun‟
(berpakaian tapi telanjang) adalah para wanita yang memakai pakaian
yang tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut
belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutup dengan sempurna).
Mereka berpakaian, namun hakikatnya mereka telanjang.”62
62
Jilbab Mar‟ah Mudlimah h. 125-126
57
3. Jilbab gaul ketat
Memakai jilbab itu bertujuan menghindari fitnah, dan hal ini tak
mungkin terwujud dengan memakai pakaian ketat. Meskipun terkadang
pakaian ini menutupi warna kulit, namun pakaian seperti ini
menampakkan sebagian bahkan seluruh lekuk tubuh.
4. Jilbab gaul berparfum
Padahal Nabi SAW menegaskan,
شاة م لجدوا هي زحها فه ت على قى طست فوس حع سأة اس أوا اه
”Tidaklah seorang wanita memakai minyak wangi lalu keluar melewati
sebuah kaum supaya mereka mencium parfumnya, maka sesungguhnya
wanita itu adalah pezina.” (HR.Ahmad).
5. Jilbab gaul menyerupai wanita-wanita kafir
Biasanya jilbab gaul mengikuti mode yang sedang berkembang di
dunia barat kemudian dipoles sedikit dengan nuansa Islami, belum lagi
dengan model yang sedang ngetrend yang menyerupai biarawati Nasrani.
6. Jilbab gaul menarik perhatian kaum lelaki
Diantara tujuan jilbab adalah melindungi diri dari godaan lelaki
dan menghindar dari fitnah, namun jilbab gaul justru malah menarik
perhatian kaum lelaki. Bagaimana mungkin jilbab justru menarik
perhatian kaum lelaki? Hal ini disebabkan, jilbab gaul berwarna warni
dan dihiasi berbagai macam motif. Syaikh al Albani menegaskan,
“Tujuan disyari‟atkannya memakai jilbab adalah untuk menutup
perhiasan wanita, maka tidak masuk akal jika seorang wanita muslim
memakai jilbab yang penuh motif & hiasan”.
58
BAB III
GAMBARAN UMUM MAJALAH ANNISA
A. Gambaran Umum Majalah Annisa
Annisa merupakan majalah yang diperuntukan bagi perempuan,
kehadirannya disesuaikan dengan perkembangan zaman melalui representasi
muslimah dalam sajian-sajiannya. Annisa menghadirkan informasi yang
mencakup semua aspek kehidupan muslimah modern sesuai dengan tren lokal
dan global, masih dalam nilai dan identitas Islam.
Annisa terbit pertama kali pada tanggal 28 November 2011. Terhitung
dari terbit pertama kali, berarti sampai saat ini Annisa sudah berusia 2,5
tahun. Dilihat dari edisi November tahun 2012 majalah Annisa memperingati
hari jadinya dalam edisi tersebut.
Nama Annisa terlahir setelah melalui beberapa tahap penyesuaian dan
penyeleksian. Sebelumnya ada beberapa pilihan nama yang akan ditetapkan,
diantaranya ada Noura, Aisya, Aisah dan Annisa. Setelah melalui proses dan
tahap penyeleksian, akhirnya Annisa ditetapkan sebagai nama majalah ini
dengan alasan karena mengingat konsep yang diusung mengenai fashion
lebih banyak dan memang majalah Annisa tujuannya diperuntukkan bagi
kaum wanita. Maka ditetapkanlah Annisa, sesuai dengan artinya yaitu wanita.
Selain itu, Annisa dipilih karena memang namanya yang simpel dan mudah
diingat oleh masyarakat. Annisa memiliki slogan women insight “wawasan
wanita”.
59
Sejalan dengan perkembangan Annisa, selama satu tahun berjalan
Annisa selalu ingin memberikan sajian fashion yang up to date dan
berkualitas. Annisa merupakan majalah lokal yang ingin berkonsep
internasional, sehingga Annisa dengan segala cara menyajikan gaya busana
dan jilbab yang memang selalu berbeda dengan yang lain. Pada dasarnya
Annisa memang mengusung dan mengedepankan tentang fashion, pada saat
Annisa masih berawal dari nol, banyak sekali kesulitan atau hambatan dalam
peminjaman produk atau wardrobe yang berkualitas dan ternama. Maka pada
saat itu Annisa memutuskan untuk bekerja sama dengan PT. Trinaya Media,
yang mana didalamnya tergabung dengan beberapa majalah, lokal dan
internasional yaitu Kartini, Elle, Marie Claire, Elle Decore, dan Working
Mother. Hal ini dilakukan karena untuk mempermudah Annisa dalam
meminimalisir hambatan yang ada sebelumnya, seperti dalam peminjaman
produk yang digunakan untuk pemotretan, salah satunya misalnya dalam
produk busana.
Setelah bergabung atau bekerja sama dengan PT. Trinaya Media,
Annisa lebih mendapatkan keleluasaan dalam peminjaman produk yang bisa
dikatakan famous dan berkualitas. Karena suatu produk dapat
mempercayakan penggunaan produknya terhadap media yang dianggap layak
dan berkualitas. Dengan bergabungnya Annisa di PT. Trinaya Media inilah
Annisa dianggap majalah yang memang layak untuk menggunakan produk
yang famous. Terlebih lagi Annisa merupakan majalah muslim, sehingga
banyak ide yang didapat dalam memadupadankan busana yang modern
60
dengan jilbab yang simpel namun tetap modis. Selain untuk mempermudah
dalam peminjaman produk, bekerja samanya Annisa dengan PT. Trinadia
Media yaitu untuk menambah iklan yang dimuat dalam Annisa dengan tujuan
Annisa dapat menambah income yang besar.
B. Sasaran Pembaca dan Pendistribusian Majalah Annisa
Kehadiran Annisa, sejatinya untuk referensi bacaan kaum perempuan.
Sasaran atau target pembaca dari majalah Annisa itu sendiri diantaranya
muslimah yang aktif (remaja maupun dewasa), dinamis, dan modern; usia 25-
30 tahun, mengikuti perkembangan tren dan gaya hidup terkini; memiliki
SES A-B; perempuan karir atau pengusaha perempuan, ibu rumah tangga;
memiliki mobilitas sosial dan aman secara finansial.
Jumlah sirkulasi Annisa adalah 50.000 eksemplar. Wilayah
pendistribusian majalah Annisa tersebar di Indonesia yaitu Jabotabek 60%,
Bandung 7%, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi 7%, Semarang, Solo,
Yogyakarta 8%, Surabaya 11%, dan Bali 2%.
C. Rubrikasi Majalah Annisa
Bagian yang terpenting dari majalah adalah rubrik-rubrik yang dapat
dijadikan sebagai inspirasi bagi pembaca. Rubrik merupakan ruangan yang
terdapat dalam surat kabar yang memuat isi dan berita, ruangan khusus yang
dapat dimuat dengan periode yang tetap dengan hari-hari tertentu atau
beberapa minggu sekali, yang membuat masalah masing-masing sesuai yang
ditulis rubrik tersebut.
61
Majalah Annisa mempunyai empat pembahasan inti, dari empat
pembahasan inti inilah lahir rubrik-rubrik yang membahas masalah-masalah
sesuai dengan rubrik-rubrik yang ada. Berikut empat bahasan inti pada
majalah Annisa yaitu: inspirasi 20%, berita dan info komunitas 10%, fashion
dan gaya hidup 40%, panduan dan wawasan 30%. Dalam empat pembahasan
inti tersebut terdapat rubrik-rubrik yang berhubungan dengan bahasan inti
yaitu:
Inspirasi : a topic, a success, a inspiration, a story, a event, a close
Berita dan info komunitas : a mushalla, a community, a news, a review
Fashion dan gaya hidup : a editor’s choice, a style guide, a fashion news,
a beauty news, a catwalk, a street style, a style, a fashion, a hijab tutorial,
a beauty, a make over, a home, a gadget, a credit, a resto
Panduan dan wawasan : a TO Z, a health, a money, a trip, a recipe, a
couple, a halal, a parenting, a love notes.
Sesuai dengan pembahasan inti yaitu fashion dan gaya hidup yang
sebanyak 40%, Annisa memang benar telah menyajikan rubrik-rubrik
mengenai fashion lebih banyak dibandingkan dengan rubrik lainnya. Jadi
Annisa memang sesuai dengan konsep awalnya yaitu majalah fashion untuk
kaum wanita muslim yang aktif dan ingin tampil lebih modis.
D. Struktur Redaksi Majalah Annisa
Editor in Chief : Berliana Febrianti
Managing Editor : Ade Nur Sa’adah
Fashion and Beauty Writer : Dyah Ayu Amalia
Andini Aprilliana
62
Features and Lifestyle Writer : Rara Peni Asih
Tri Sintarini
Editorial Secretary : Andi Bramantya
Contributor : Asma Nadia
Dida Nurhaida
Elvina Rahayu
Graphic Designer : Dhoni Nurcahyo
Ziyah Paramitasari
Photographer : Arief Prabowo
Senior Account Executive : Ria Eka Yulianti
Account Executive : Erica Fabiola
Director/ Publisher : Avi Budimansyah
Director : S. Hadi Sutarto
Published : PT. Madani Segarra Media
Berdasarkan kedudukannya masing-masing staff redaksi mempunyai
tugas-tugas sebagi berikut:
1. Editor in Chief
Editor in chief atau kepala redaksi adalah kepala utama publikasi
ini, memiliki tanggung jawab akhir untuk semua operasi dan kebijakan.
Memimpin semua departemen organisasi, serta orang yang
bertanggungjawab untuk mendelegasikan tugas kepada anggota staf serta
menjaga dengan waktu yang dibutuhkan mereka untuk menyelesaikan
tugas mereka. Tanggung jawab khas editor in chief mencakup, palang
63
pengecekan fakta, ejaan, tata bahasa, menulis halaman gaya desain, dan
foto; menolak tulisan yang tampaknya menjiplak, hantu-ditulis oleh editor
lainnya sub, atau diterbitkan sebelumnya di tempat lain; mengedit konten
tersebut; berkontribusi potongan editorial; memotivasi dan
mengembangkan staf editorial; memastikan draft akhir selesai dan daerah
tidak kosong; penanganan keluhan pembaca dan mengambil tanggung
jawab untuk masalah yang dihasilkan.
2. Managing editor
Managing editor seorang redaktur pelaksana adalah anggota
senior dari tim manajemen sebuah publikasi. Tugas pokok managing
editor ialah mengkoordinasikan fungsi-fungsi editorial sebagaimana
mestinya dalam rangka memenuhi seluruh rencana penerbitan. Ia lebur
dalam totalitas kerja sama antarbagian redaksi, pemasaran, dan produksi.
Ia mengarahkan fungsi-fungsi staf redaksi dalam kaitannya dengan
pencapaian target.
3. Fashion and beauty writer
Fashion and beauty writer bertugas mencari bahan dan menulis
naskah/ artikel mengenai segala sesuatu tentang fashion dan kecantikan.
4. Features and lifestyle writer
Features and lifestyle writer bertugas mencari bahan dan menulis
naskah/ artikel mengenai gaya hidup dan hiburan.
64
5. Editorial secretary
Nama lainnya ialah editorial assistant, editorial trainee, dan
assistant editor. Bertugas membantu editor di dalam mengkoordinasikan
kopi editor lepas dan pembaca proof, dan juga membantu mengurus jual
beli copyrights.
6. Contributor
Contributor adalah orang yang turut andil dalam pekerjaan sesuai
dengan jobdesk-nya, namun contributor bukan merupakan pekerja tetap
dalam suatu perusahaan tersebut.
7. Graphic designer
Graphic designer adalah profesi yang menciptakan ilustrasi,
tipografi, fotografi, atau grafis motion. Graphic designer bertugas untuk
merancang cover atau kulit muka; membuat dummy atau nomor contoh
sebelum produk di cetak dan dijual ke pasar; mendesain dan me-layout
setiap halaman dengan naskah, foto, dan angka-angka; mengatur
peruntukan halaman untuk naskah; menulis judul berita, anak judul,
caption foto, nama penulis pada setiap naskah; menulis nomor halaman,
nama rubrik, nomor volume terbit, hari terbit, dan tanggal terbit pada
setiap edisi.
8. Photographer
Photographer bertugas mengambil gambil gambar peristiwa atau
objek tertentu yang bernilai berita atau untuk melengkapi tulisan berita
65
yang dibuat wartawan tulis, photographer merupakan mitra kerja yang
setaraf dengan wartawan tulisan (reporter).
9. Account executive
Tugas intim sebagai account executive adalah sebagai jembatan
antara perusahaan dengan klien/nasabah, menjadi seorang account
executive kerjanya tak lain adalah mencari klien/ nasabah/ sejenisnya
kemudian menjaganya agar bisa menjadi pelanggan setia alias loyal.
Tanggung jawab seorang account executive diantaranya, memonitor
aktifitas sales, untuk memastikan implementasi program berjalan sesuai
rencana; mengupdate account profile, untuk mengetahui profil yang
dicover /tahun sebagai informasi data; membuat sales plan dan
pelaksanaannya untuk program penunjang penjualan.
66
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Majalah Annisa adalah majalah yang peduli terhadap perkembangan
fashion. Kepedulian ini terlihat dari tersedianya pembahasan inti yaitu fashion dan
gaya hidup, dimana di dalamnya memuat lebih banyak mengenai perkembangan
fashion di zaman sekarang.
Sebagai salah satu majalah muslim, tentunya Annisa pada setiap rubriknya
mengandung unsur-unsur dan nilai-nilai keislaman yang dapat menjadi inspirasi
dan bahan pendidikan maupun pembelajaran bagi pembaca-pembaca setianya.
Fashion merupakan salah satu dari rubrik yang ada dalam kategori fashion
dan gaya hidup. Sesuai dengan namanya, dalam rubrik fashion ini Annisa
menyajikan model busana dilengkapi dengan gaya jilbab yang sangat simpel,
sehingga memudahkan para pembaca yang tidak berjilbab pun dapat mengikuti
gaya atau tren yang disajikan. Untuk lebih mengetahui apakah jilbab yang
disajikan dalam Annisa sudah termasuk dalam kategori syar‟i ataukah hanya
sebagai komoditi, maka peneliti akan menganalisis foto-foto yang terdapat pada
rubrik fashion dalam tiga bahasan yaitu, denotasi, konotasi, dan mitos.
Dalam tahapan konotasi, peneliti mengikuti prosedur dari Roland Barthes yang
dapat memengaruhi sebuah foto, diantaranya trick effects, pose, objects,
photoghenia, aestheticism, dan syntax.
67
A. Analisis Semiotika Roland Barthes
Gambar 1, data foto 1
A. Analisis Data Foto 1
1. Makna Denotasi
Denotasi adalah hubungan antara penanda dengan petanda
dalam sebuah tanda yang mengacu terhadap realitas eksternalnya.
Dalam mengungkap makna denotatif dari sebuah foto bisa melalui
68
tahapan perseptif. Maksudnya makna paling nyata dari sebuah tanda
yang artinya makna sesungguhnya dan yang digambarkan terhadap
sebuah objek.
Dapat dijelaskan analogon atau objek yang terdapat dalam
foto yang tampak di atas, makna denotasi pada data foto 1 yaitu:
model bernama Olena, dan rancangan busana skirt as headcover oleh
Argyle & Oxford, sweater oleh Ask by Asky Febrianti, dan skirt
oleh Friederich Herman. Tema dari foto ini adalah match point.
Foto terdapat seorang model yang sedang berpose dengan
menggunakan sweater hangat yang bermotif tribal dengan beragam
warna, yaitu hijau, orange, biru, dan putih. Model menggunakan
inner ninja berwarna hitam dan jilbab lasercut berwarna silver serta
bawahan yang berwarna sama. Background berwarna putih dan
terdapat tulisan yang berbahasa Inggris dengan warna abu-abu.
2. Makna Konotasi
Makna konotasi adalah makna yang muncul berdasarkan atau
pikiran dan perasaan yang timbul terhadap suatu tanda. Menurut
Roland Barthes dalam memahami makna konotasi dari sebuah foto
yang disebut konotasi kognitif, maksudnya adalah makna yang
dikonstruksi berdasarkan imajinasi paradigmatik.
Dalam hal ini, selain pemahaman budaya atau cultural juga
bisa dari pengamatan prosedur yang berpengaruh terhadap foto atau
gambar sebagai analogon.
69
2.1 Trick Effect atau Manipulasi Foto
Efek tiruan yaitu rekayasa foto dan memadukan dua
gambar sekaligus disebut manipulasi foto dengan cara menambah
atau mengurangi objek dalam foto sehingga memiliki arti yang lain
sampai tingkat yang berlebihan untuk menyampaikan tujuan si
pembuat berita atau karya.
Dalam data foto 1 ini, terlihat indikasi pemotongan
sebagian gambar atau cropping yang dilakukan untuk membuang
gambar yang dirasa tidak perlu atau mengganggu komposisi visual
dari foto ini.
Pada data foto 1 terdapat beberapa sentuhan editing,
dengan menggunakan sebuah aplikasi pengolahan data foto atau
gambar, seperti photoshop dan aplikasi sejenisnya dengan tujuan
mengatur kontras warna yang lebih baik dan merubah foto atau
gambar yang sebenarnya. Hal ini dikatakan Roy Mega Antara
(fotografer) kepada peneliti ketika wawancara.
“Editan ada dong, pasti ada editan. Tapi lebih banyak aslinya
daripada editannya. Maksudnya yang diedit itu
backgroundnya, karena pada saat shoot itu kita pakai
background putih. Kalo untuk modelnya itu paling diedit ya
dialus-alusin mukanya doang, misalnya kalo ada jerawat satu
paling dipoles. Tapi realnya ya begini fotonya karena saat itu
juga kita pakai lampu studio. Editan cropping juga terlihat di
foto ini, karena seingat saya, saat itu saya foto full body. Tapi
sebenarnya cropping itu menjadi hal yang wajar ya, itu
disesuaikan dengan kemauan editor dan juga dihasil cetak
nanti bagus atau tidak”62
.
62
Hasil wawancara dengan Roy Mega Antara selaku fotografer di majalah Annisa, pada
hari Selasa tanggal 12 Agustus 2014, pukul 16.00 WIB.
70
Pada pernyataan di atas berlaku pada semua foto yang
menjadi bahan penelitian yaitu data foto 1 dan foto 2. Penjelasan
tersebut menerangkan bahwa foto-foto yang ada hanya dilakukan
editing secara sederhana, yaitu untuk membuat model terlihat lebih
cantik.
2.2 Pose
Pose (gesture) adalah sikap atau ekspresi objek yang
mempunyai arti tertentu.
Dari data foto 1, karena foto ini memang foto fashion maka
terlihat model yang sedang bergaya dengan ekspresi yang datar
namun tetap memberikan kesan eksotik dan menarik dengan
produk (jilbab gaul) yang digunakan. Dengan ekpresi seperti itu
mewakilkan karakteristik jilbab gaul yang dikenakan.
2.3 Objects
Objek merupakan benda-benda atau yang dikomposisikan
sedemikian rupa sehingga dapat diasosiasikan dengan ide-ide
tertentu dan merupakan point of interest (POI) atau pusat perhatian
dalam foto.
Pada data foto 1, point of interestnya adalah pada bagian
produk yang digunakan model yaitu sweater hangat bermotif tribal
dan dengan gaya jilbabnya yang unik. Membuat model ini terlihat
modis meskipun dengan gaya yang simpel. Point of interest ini
dikatakan oleh Roy Mega Antara (fotografer) kepada peneliti.
“Foto ini kan foto fashion ya, dimana seorang model yang
digunakan itu harus mampu untuk menonjolkan produk yang
71
dia pakai, sehingga yang melihatnya menjadi tertarik pada
apa yang dia pakai dalam foto itu”63
.
Pada pernyataan di atas berlaku pada semua foto yang
menjadi bahan penelitian yaitu data foto 1 dan foto 2. Penjelasan
tersebut menerangkan bahwa foto-foto itu ingin menonjolkakan
karakteristik produk jilbab gaul yang dikenakan melalui model.
2.4 Photogenia atau Teknik Foto
Photogenia adalah seni atau taknik memotret sehingga foto
yang dihasilkan telah dibantu atau terkontaminasi dengan teknik-
teknik dalam fotografi, misalnya seperti mengatur ISO
(Internastional Standarts Organization), diafragma, speed serta
teknik lighting, exposure, blurring, angle atau cara pengambilan
foto, panning maupun moving. Untuk memperkuat hasil analisis,
maka peneliti memasukkan hasil data wawancara dengan Roy
Mega Antara selaku fotografer.
“Waktu itu saya menggunakan kamera Canon 5D Mark2,
lensanya pake Canon 70-200 F2.8. Foto ini ISOnya 100 waktu
itu modenya manual cuman kalo speednya saya engga inget,
Fnya saya rasa kayanyasih 13 speednya mungkin 160 paling
ya. Semuanya dalam pemotretan saya pake Canon. Setelah
saya terjun menjadi fotografer profesional saya menggunakan
kamera Canon, awalnya saya menggunakan kamera Nikon”.
“Untuk foto 1 dan 2 ini sama ya dari penggunaan kamera dan
ISOnya juga, karena foto ini dilakukan di studio ya, dan
menggunakan flash juga maksudnya flas gede yang ada di
studio tapi pake listrik jadi gausah pake flash dari kamera
lagi, kita cuma butuh trigger aja paling untuk nyalain
lampunya”64
.
63
Hasil wawancara dengan Roya Mega Antara selaku fotografer di majalah Annisa, pada
hari Selasa tanggal 12 Agustus 2014, pukul 16.00 WIB. 64
Hasil wawancara dengan Roya Mega Antara selaku fotografer di majalah Annisa, pada
hari Selasa tanggal 12 Agustus 2014, pukul 16.00 WIB.
72
Jika dilihat dari data foto 1, teknik pengambilan gambarnya
menggunakan mode manual dengan cahaya bantuan yaitu flash
besar yang yang menggunakan listrik. Foto diambil di dalam
studio, dan menggunakan ISO 100, diafragma yang digunakan data
foto 1 sekitar f/13. Selanjutnya adalah speed (kecepatan rana
merekam gambar) yang digunakan berkisar 1/160 sesuai standar
untuk pemotretan di dalam studio (indoor).
Dalam data foto 1, fotografer mengambil sudut pandang
yang sejajar dengan mata objek. Pandangan sudut sejajar ini adalah
subjek difoto dengan posisi sama dengan kamera. Fotografer
duduk dengan kamera sejajar dengan objek. Data foto 1 ini adalah
medium shoot sehingga model terlihat lebih jelas, ini dimaksudkan
untuk menonjolkan sisi karakteristik dari jilbabnya.
2.5 Aestheticism atau Komposisi
Estetika berkaitan dengan komposisi gambar secara
keseluruhan yang menimbulkan makna tertentu. Aestheticism atau
komposisi merupakan susunan dari berbagai objek atau gambar
yang mempunyai dua sifat saling bertentangan. Bila membangun
gambar, namun juga bisa mengacaukan gambar.
Gambar pada foto ini memiliki komposisi yang pas, dimana
objek dari foto ini hanya satu sehingga foto fokus pada model,
ditambah dengan tulisan-tulisan pada background membuat foto
menjadi lebih menarik dan tidak kosong.
73
2.6 Syntax
Syntax adalah penyusunan tanda-tanda menjadi satu kalimat
atau suatu makna tertentu. Syntax tidak harus dibangun lebih dari
satu foto. Dalam satu foto pun dapat dibangun syntax.
Pembentukan syntax seperti ini biasanya dibantu dengan caption.
Data foto 1 ini bukan merupakan foto jurnalistik sehingga
tidak terdapat sintax. Misalnya seperti keterangan tempat maupun
waktu pengambilan foto. Hanya saja tulisan yang menjelaskan
tentang memadupadankan pakaian yang simpel, tapi tetap terlihat
modis.
3. Mitos
Mitos yang terkandung pada data foto 1 yang dianalisis
dengan teori semiotika yang berlandaskan pada penggabungan
makna denotasi dan konotasi yang dapat dimaknai dari data foto 1
dengan tema match point adalah seorang model yang mengenakan
jilbab gaul sama saja seperti perempuan yang berjilbab tapi dengan
pakaian telanjang karena apa yang dikenakannya itu membentuk
lekuk tubuh, contohnya seperti data foto 1, model yang hanya
memakai sweater hangat bermotif tribal dan bawahan berupa rok
berwarna silver dan dipadukan dengan jilbab yang simpel pula.
Dengan mix and match seperti itu, sudah bisa ditiru karena memang
sangat simpel. Pakaian dan jilbab seperti itu merupakan model
pakaian yang casual.
74
Namun jika dilihat dari ketentuan jilbab dalam kategori
syar‟i, maka data foto 1 tersebut belum dapat dikatakan jilbab syar‟i
yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Karena pada dasarnya
kriteria jilbab yang syar‟i itu adalah menutup seluruh badan selain
yang dikecualikan, bukan berfungsi sebagai perhiasan, kainnya harus
tebal (tidak tipis), harus longgar (tidak ketat) sehingga tidak
menggambarkan sesuatu dari tubuhnya, dan tidak menyerupai laki-
laki.
Dari analisis yang ada dapat terlihat bahwa, jilbab yang
digunakan oleh model asing ini memang kainnya tebal sehingga
tidak terlihat atau menerawang, inner yang digunakan tidak terlapisi
jilbab lagi, sehingga lehernya masih terlihat dan terbentuk. Pakaian
yang digunakan memang tidak menyerupai laki-laki namun masih
terlihat agak ketat sehingga sedikit menggambarkan lekukan
tubuhnya. Jilbab berwarna silver yang digunakan memang sangat
simpel, namun terlihat aneh dan mencolok karena bentuk dan
penempatan fungsinya yang kurang tepat, meskipun dari warna
pakaian dan jilbab tidak membuat menarik perhatian.
Dilihat dari teori ekonomi politik media mengenai
komodifikasi isi media, terutama dalam rubrik fashion bahwa jilbab
gaul yang digunakan oleh model itu memang pada dasarnya bukan
jilbab yang sewajarnya, maksudnya jilbab yang digunakan adalah
sebenarnya merupakan outfit yang seharusnya pemakaiannya pada
75
tubuh bukan pada kepala yang dijadikan sebagai jilbab. Berikut
gambar perbandingannya.
Gambar foto 2
Dari kedua foto di atas dapat terlihat jelas, bahwa foto
sebelah kiri seorang model menggunakan outfit bermotif lasercut
berwarna silver yang dijadikan sebagai jilbab. Dan foto sebelah
kanan menggunakan outfit bermotif lasercut berwarna silver sebagai
top yang dikenakan ditubuhnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Annisa
menyajikan gaya jilbab yang trend namun belum memenuhi kategori
syar‟i, jilbab yang digunakan merupakan hasil modifikasi, yang
76
bagaimana caranya agar barang atau produk tersebut dapat terlihat
lebih menarik dan unik tentunya dapat menjadi nilai jual. Hal ini
dibuktikan dengan Annisa dalam kiprahnya selama ini dalam
pemilihan model asing yang dipilih, produk yang digunakan
merupakan produk ternama (kualitas dan branded), serta modifikasi
jilbab yang semaksimal mungkin di mix and match menjadi menarik
dan unik, khususnya dalam rubrik fashion. Itu semua bertujuan agar
Annisa mendapat pemasok iklan yang lebih banyak dan tentunya
akan mendapat income yang lebih besar pula65
.
65
Wawancara dengan Ibu Avi Budimansyah selaku Director/ Publisher, pada hari Kamis
tanggal 10 Juli 2014, pukul 11.30 WIB.
77
Gambar 3, data foto 2
B. Analisis Data Foto 2
1. Makna Denotasi
Denotasi adalah hubungan antara penanda dengan petanda
dalam sebuah tanda yang mengacu terhadap realitas eksternalnya.
Dalam mengungkap makna denotatif dari sebuah foto bisa melalui
tahapan perseptif. Maksudnya makna paling nyata dari sebuah tanda
yang artinya makna sesungguhnya dan yang digambarkan terhadap
sebuah objek.
78
Dapat dijelaskan analogon atau objek yang terdapat dalam
foto yang tampak di atas, makna denotasi pada data foto 1 yaitu:
Model bernama Sicil, dan rancangan busana top as headcover oleh
Argyle & Oxford, jacket oleh I.K.Y.K, dan dress oleh Ask by Asky
Febrianti. Seorang model asing bergaya menggunakan gaun
bermotif yang berwana gold, coklat muda dan ungu dengan warna
dasar biru tua. Dengan gaun yang dilapisi cropped jacket polos
berwarna gold yang hanya sampai bagian dada saja. Celana
berwarna hitam polos dengan model lurus dan sedikit lebih katung.
Model juga memakai wedges berwarna hitam dengan model yang
sedikit lebih tertutup bagian depan kaki serta ada aksen tali. Model
menggunakan inner ninja berwarna hitam dan memakai jilbab
berwarna gold yang bermotif lasercut. Background berwarna putih,
dengan berbagai tulisan bahasa Inggris yang berwarna grey. Di
sebelah kanan bawah foto terdapat tulisan “pilih gaun bermotif
sebagai kunci untuk tampil simple namun berkonsep. Cropped jacket
dapat dijadikan tambahan istimewa” dengan tulisan berwarna putih.
2. Makna Konotasi
Dalam memahami makna konotasi dari sebuah foto,
digunakan enam prosedur dalam semiotik Roland Barthes. Makna
konotasi yaitu makna yang datang berdasarkan atas perasaan, pikiran
yang timbul terhadap suatu tanda. Barthes menjelaskan metode dan
beberapa prosedur yang disebut dengan tahap konotasi kognitif, yaitu
79
makna yang dibangun atas dasar imajinasi paradigmatik. Selain
pemahaman cultural atau budaya juga dapat diperoleh dengan
memperhatikan beberapa perkembangan prosedur yang
mempengaruhi gambar sebagai analogon.
2.1 Trick Effect atau Manipulasi Foto
Trick effect ialah rekayasa foto dan memadukan dua
gambar sekaligus disebut manipulasi foto dengan cara menambah
atau mengurangi objek dalam foto sehingga memilki arti yang
lain sampai tingkat yang berlebihan untuk menyampaiakan tujuan
si pembuat berita atau karya.
Pada data foto 2, tidak banyak dilakukan manipulasi foto
ataupun sentuhan editing. Data foto 2 ini sama dengan data foto 1,
hanya sentuhan edit pada bagian wajah model untuk
memperhalus dan terlihat lebih cantik, begitupun dengan
background, pada saat pemotretan background berwarna putih
polos. Tapi ada yang membedakan antara data foto 1 dan foto 2
yaitu, pada data foto 2 tidak terdapat cropping, namun full body.
Ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh fotografer yang
pernyataannya ada di data foto 1.
2.2 Pose
Pose (gesture) adalah sikap atau ekspresi objek yang
mempunyai arti tertentu. Misalnya seperti gerak-gerik dari
seseorang dan arah pandang mata. Dalam prosedur ini dilihat
80
kode bahasa tubuh yang ditampilkan oleh objek yang mempunyai
makna tertentu.
Dari data foto 2, model asing yang berpose dengan
mengangkat kedua tangannya yang diletakkan di pinggang, serta
menyilangkan kaki. Layaknya pose model profesional, dengan
wajah sedikit menunjukkan mimik eksotis. Seperti hasil
wawancara peneliti dengan fotografer Roy Mega Antara,
mengatakan,
“sebenernya sih kalo untuk ekpresi dari setiap model
fashion itu tidak memiliki makna tertentu ya, ekspresi
disesuaikan dengan pakaian serta bjilbab yang dikenakan.
Misalnya si model mengenakan pakaian dan jilbab untuk ke
pesta, engga mungkin dong ekspresinya cengengesan? Jadi
ekspresi itu hanya mewakili dari sisi karakteristik pakaian
dan jilbab yang ingin ditonjolkan”66
.
2.3 Objects
Objek merupakan benda-benda atau yang dikomposisikan
sedemikian rupa sehingga dapat diasosiasikan dengan ide-ide
tertentu dan merupakan point of intereset (POI) atau pusat
perhatian dalam foto.
Dari data foto 2, seorang model asing sebagai satu-satunya
point of interest atau pusat perhatian dalam foto tersebut, yaitu
ingin menonjolkan sisi karakteristik dari pakaian dan jilbab yang
dikenakan oleh model.
2.4 Photogenia atau Teknik Foto
66
Hasil wawancara dengan Roya Mega Antara selaku fotografer di majalah Annisa, pada
hari Selasa tanggal 12 Agustus 2014, pukul 16.00 WIB.
81
Photogenia adalah seni memotret sehingga foto yang
dihasilkan telah menggunakan beberapa teknik-teknik memotret,
seperti lighting, exposure, blurring, angle atau cara pengambilan
foto, panning maupun moving.
Data foto 2, terlihat model yang sedang bergaya.
Fotografer memotret dengan kamera yang sejajar terhadap model.
Untuk memperkuat hasil analisis, maka peneliti memasukkan
hasil data wawancara dengan Roy Mega Antara selaku fotografer.
“Untuk foto 1 dan 2 ini sama ya dari penggunaan kamera
dan ISOnya juga, karena foto ini dilakukan di studio ya,
dan menggunakan flash juga maksudnya flas gede yang
ada di studio tapi pake listrik jadi gausah pake flash dari
kamera lagi, kita cuma butuh trigger aja paling untuk
nyalain lampunya”67
.
2.5 Aestheticism atau komposisi
Aiestheticism atau komposisi merupakan susunan dari
berbagai objek atau gambar yang mempunyai dua sifat saling
bertentangan. Bila membangun gambar, namun juga bisa
mengacauskan gambar.
Data foto 2, memang hanya terdapat satu objek foto
sehingga model tepat berada di tengah-tengah sehingga foto
terlihat lebih fokus. Dengan tambahan tulisan-tulisan pada
background foto membuat foto menjadi lebih menarik.
67
Hasil wawancara dengan Roy Mega Antara selaku fotografer di majalah Annisa, pada
hari Selasa tanggal 12 Agustus 2014, pukul 16.00 WIB.
82
2.6 Syntax
Syntax adalah penyusunan tanda-tanda menjadi satu
kalimat atau suatu makna tertentu. Syntax tidak harus dibangun
lebih dari satu foto. Dalam satu foto pun dapat dibangun syntax.
Pembentukan syntax seperti ini biasanya dibantu dengan caption.
Data foto 2 ini bukan merupakan foto jurnalistik sehingga
tidak terdapat syntax. Misalnya seperti keterangan tempat maupun
waktu pengambilan foto. Hanya saja tulisan yang menjelaskan
tentang memadupadankan pakaian yang simpel, tapi tetap terlihat
modis.
3. Mitos
Mitos yang terkandung pada data foto 2 yang dianalisis dengan
teori semiotika yang berlandaskan pada penggabungan makna
denotasi dan konotasi yang dapat dimaknai dari foto 2 dengan tema
match point adalah seorang model yang mengenakan jilbab gaul sama
saja seperti perempuan yang berjilbab tapi dengan pakaian telanjang
karena apa yang dikenakannya itu membentuk lekuk tubuh. Seperti
yang dikatakan oleh Ibnu „Abdil Barr Rahimahullah mengatakan,
“Makna kasiyatun „ariyatun adalah para wanita yang memakai
pakaian yang tipis sehingga dapat menggambarkan bentuk tubuhnya,
pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi
dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada
83
hakikatnya mereka telanjang.”68
Tidak jauh berbeda dengan foto 1,
pada foto 2 ini, model menggunakan dres bermotif dan dilapisi
cropped jacket polos berwara gold, serta menggunakan celana hitam
polos lurus dipadukan dengan wedges yang berwarna senada dengan
celana. Tidak terkecuali jilbab yang dipakai juga tidak kalah unik,
dengan motif lasercut berwarna coklat membuat penampilan semakin
terlihat anggun. Dari keanggunan jilbab gaul yang dikenakan model
terlihat lekukan tubuhnya, dan itu jelas bukan jilbab syar‟i.
Namun jika dilihat dari ketentuan jilbab dalam kategori syar‟i,
maka foto tersebut belum dapat dikatakan jilbab syar‟i yang sesuai
dengan ajaran agama Islam. Karena pada dasarnya kriteria jilbab yang
syar‟i itu adalah menutup seluruh badan selain yang dikecualikan,
bukan berfungsi sebagai perhiasan, kainnya harus tebal (tidak tipis),
harus longgar (tidak ketat) sehingga tidak menggambarkan sesuatu
dari tubuhnya, dan tidak menyerupai laki-laki.
Dari analisis yang ada dapat terlihat bahwa, jilbab yang
digunakan oleh model asing cantik ini memang kainnya tebal
sehingga tidak terlihat atau menerawang, inner yang digunakan tidak
terlapisi jilbab lagi, sehingga lehernya masih terbentuk, bahkan sama
sekali tidak menutup dada. Dalam foto kedua ini, model memakai
celana hitam model lurus, yang pada dasarnya celana memang
merupakan pakaian laki-laki, gaun yang digunakan model memang
68
Jilbab Al Mar‟ah Al Muslimah h. 125-126
84
lebih panjang sehingga tidak menonjolkan bagian dari aurat, namun
jilbab gaul yang digunakan masih belum dapat dikatakan syar‟i karena
memang masih terlihat lekukan tubuhnya, serta celana yang lumayan
ketat.
Dilihat dari teori ekonomi politik media mengenai
komodifikasi isi media, terutama dalam rubrik fashion. Karena antara
data foto 1 dan data foto 2 ini masih memiliki tema yang sama, maka
dalam pemakaian jilbab gaul oleh model pada dasarnya bukan jilbab
yang sewajarnya, maksudnya jilbab yang digunakan adalah
sebenarnya merupakan outfit yang seharusnya pemakaiannya pada
tubuh bukan pada kepala yang dijadikan sebagai jilbab.
Gambar foto 4
85
Dari kedua foto di atas sudah terlihat jelas bahwa foto sebelah kiri,
model menggunakan outfit yang dijadikan sebagai jilbab dengan motif
lasercut polos berwarna gold, dan sebelah kanan model menggunakan
outfit motif lasercut berwarna yang sama yaitu gold digunakan sebagai top
pada tubuhnya.
Dengan demikian Annisa menjadikan jilbab sebagai nilai jual yang
pada dasarnya dijadikan komoditi, dengan mengesampingkan bagaimana
sebenarnya jilbab yang layak atau sesuai dengan syariat Islam.
B. Analisis Pemaknaan Komodifikasi Isi Media di Majalah Annisa
Majalah Annisa merupakan majalah yang mengkomodifikasikan isi
medianya, dimana isi artikel atau gambar pada majalah Annisa dijadikan
komoditas agar mereka meraup untung yang besar. Sebagai contoh, dalam
sebuah gambar di rubrik fashion mereka mempromosikan sebuah produk
lasercut yang digunakan sebagai jilbab. Jilbab yang mereka tampilkan adalah
jilbab yang telah dimodifikasi, sehingga terlihat lebih fashionable dan unik,
sehingga menampilkan sesuatu yang berbeda dari majalah muslimah lainnya.
Perbedaan tampilan jilbab inilah yang kemudian menjadi komoditas bagi
majalah Annisa untuk mendapatkan keuntungan.
Isi media merupakan sebuah pesan sebagai komoditas yang bisa
menyenangkan khalayak, mengundang para pemasang iklan, dan
memperpanjang bisnis media, yang ditandai dengan penyajian informasi-
informasi bertema sensasional meliputi kehidupan seputar artis, dan
86
selebritas, mistik atau tahayul, serbaserbi seks, juga ramah tamah yang
dilakukan politisi atau pejabat, serta dikemas secara spektakuler.69
Dalam majalah Annisa, isi media pada rubrik fashion yang mengenai
komodifikasi jilbab ini dipengaruhi karena pada dasarnya Annisa memiliki
konsep internasional yang memang bergabung dalam beberapa majalah
internasional seperti Elle, Marie Claire, Elle Decore, dan Working Mother,
sehingga tren fashion yang disajikan di Annisa merupakan pengaruh dari
majalah-majalah internasional tersebut.70
Selain rubrik fashion, terdapat juga
rubrik-rubrik lain yang tidak kalah menarik, seperti kisah para selebritis,
tokoh inspiratif, serta artikel lain mengenai keislaman juga dimuat dalam
majalah ini. Semua dikemas secara detail dan gaya bahasa ditulis semenarik
mungkin agar menarik perhatian pembaca. Dari olahan isi media tersebutlah,
Annisa dapat menarik pemasang iklan, melalui pemasang iklan itu Annisa
mendapat keuntungan. Karena semakin bagus kualitas Annisa, maka semakin
mudah untuk bekerja sama dengan perusahaan lain maka semakin banyak
pula pemasukan yang dapat diperoleh.
Proses dari komodifikasi dalam suatu program berawal dengan
mengubah data-data menjadi sistem makna oleh pelaku media menjadi
sebuah produk yang akan dijual kepada konsumen, khalayak, maupun
perusahaan pengiklan. Artinya, bahwa media tidak hanya berhenti pada
69
Syaiful Halim, Postkomodifikasi Media and Cultural Studies (Tangerang: Matahati
Production, 2012), h. 56. 70 Wawancara dengan Ibu Avi Budimansyah selaku Director/ Publisher, pada hari Kamis
tanggal 10 Juli 2014, pukul 11.30 WIB.
87
proses pembentukan budaya melalui konten yang didistribusikan saja,
melainkan menjadikan budaya itu sebagai komoditas yang bisa dijual.
Vincent Mosco mengemukakan bahwa di samping ketiga bentuk
komodifikasi di atas, juga ada komodifikasi lain yang perlu untuk
diperhatikan, yaitu komodifikasi “imanen”. Sebuah iklan yang membeli
waktu tayang atau ruang dalam sebuah media massa, kemudian mendapatkan
peningkatan keuntungan dari iklan yang mereka pasang pada media massa
tersebut. Kemudian uang atau keuntungan dari proses hubungan antara media
dan khalayak, maka dapat disebut juga sebagai hasil proses komodifikasi.
Dalam hal ini, rating adalah sebuah komoditi yang penting karena
dibentuk sebagai komoditas dalam proses mengkontribusikan terhadap
produksi komoditas. Dan penting juga untuk menghubungkan advertiser
(pemasang iklan). Pemilik perusahaan dan audiens yang juga sebagai
konsumen dari produk-produk mereka. Serta bukan hanya sebagai komoditas
media, tapi telah menjadi bagian dari tahapan-tahapan perkembangan
komodifikasi komunikasi.
Dalam komodifikasi isi media dibuat sedemikian rupa sehingga
mendatangkan keuntungan bagi pemilik modal, pada majalah Annisa dalam
komodifikasi isi media ini salah satunya dengan cara, seperti:
1. Model
Pemilihan model asing sebagai model yang dipakai Annisa dalam
setiap rubriknya terutama pada rubrik fashion, menurut Annisa model
88
asing lebih dapat menonjolkan atau menjual produk (jilbab gaul) yang
dikenakan.
2. Teknik fotografer
Dalam sebuah pemotretan disetiap edisi, pastinya memiliki konsep
yang berbeda-beda, dengan mengikuti konsep yang ada, fotografer
yang profesional berusaha mewujudkan sesuai permintaan, itu tidaklah
mudah harus menggunakan teknik tertentu agar mendapat hasil foto
yang bagus.
3. Gaya jilbab gaul
Gaya jilbab gaul yang ditampilkan Annisa memang berbeda dengan
majalah lainnya, karena konsep dasar Annisa sendiri mengusung
fashion internasional sehingga gaya jilbabnya sedikit lebih gaya ke
barat-baratan namun dibuat atau dikemas semenarik mungkin untuk
mendapat perhatian pembaca.
4. Iklan
Semakin baik dan bagus kualitas Annisa maka akan semakin banyak
pemasok iklan yang ingin bekerja sama dengan Annisa, dari pemasok
iklan pula dapat menghasilkan income yang besar.
89
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah majalah Annisa sebagai majalah
muslimah yang memiliki rubrik fashion, dalam menyajikan foto-foto yang
dimuat dengan tema match point merupakan foto yang dapat dikategorikan
unik dalam penyajian jilbab gaul. Foto-foto ini terdapat pada edisi Juni 2013.
1. Makna denotasi, konotasi, dan mitos
1. Tahap Denotasi
Dari data foto 1 dan foto 2 yang bertemakan match point adalah semua
foto yang disajikan di rubrik fashion jilbabnya masih ketat, membentuk
lekuk tubuh, tidak menutupi dada, dan seperti pakaian laki-laki.
2. Tahap konotasi
Kedua foto yang diteliti memiliki point of interest (POI) hal ini sesuai
dengan foto yang diteliti yaitu foto fashion, maka dalam foto tersebut
harus menonjolkan sisi karakteristik dari jilbab gaul yang dikenakan,
sehingga produk tersebut bisa memikat para pembaca majalah Annisa.
Adapun tahap editing yang dilakukan hanya sedikit sentuhan aplikasi
untuk memperhalus wajah model serta mengatur kontras, cropping dan
lighting sehingga keindahan dari foto itu tidak berkurang. Jilbab gaul
yang disajikan jauh dari kategori syar’i dan hanya sebatas
mengedepankan mode dan mengesampingkan syariat Islam dalam
berjilbab.
90
3. Tahap Mitoss
Dari kedua foto yang diteliti, dapat dikatakan bahwa perempuan
muslim yang mengenakan jilbab gaul itu sama saja seperti berbusana
tapi tanpa pakaian.
2. Komodifikasi Isi Media di Majalah Annisa
Dengan menyajikan jilbab gaul yang unik merupakan salah satu cara
Annisa mengkomodifikasikan isi media melalui jilbab gaul. Yang awalnya
hanya merupakan nilai guna menjadi nilai tukar.
Dalam komodifikasi isi media dibuat sedemikian rupa sehingga
mendatangkan keuntungan bagi pemilik modal, pada majalah Annisa dalam
komodifikasi isi media dalam rubrik fashion dengan cara, seperti:
1. Model
Pemilihan model asing sebagai model yang dipakai Annisa dalam
setiap rubriknya terutama pada rubrik fashion, menurut Annisa model
asing lebih dapat menonjolkan atau menjual produk (jilbab gaul) yang
dikenakan.
2. Teknik fotografer
Dalam sebuah pemotretan disetiap edisi, pastinya memiliki konsep
yang berbeda-beda, dengan mengikuti konsep yang ada, fotografer
yang profesional berusaha mewujudkan sesuai permintaan, itu tidaklah
mudah harus menggunakan teknik tertentu agar mendapat hasil foto
yang bagus.
.
91
3. Gaya jilbab gaul
Gaya jilbab gaul yang ditampilkan Annisa memang berbeda dengan
majalah lainnya, karena konsep dasar Annisa sendiri mengusung
fashion internasional sehingga gaya jilbabnya sedikit lebih gaya ke
barat-baratan namun dibuat atau dikemas semenarik mungkin untuk
mendapat perhatian pembaca.
4. Iklan
Semakin baik dan bagus kualitas Annisa maka akan semakin banyak
pemasok iklan yang ingin bekerja sama dengan Annisa, dari pemasok
iklan pula dapat menghasilkan income yang besar.
B. Saran
Saran yang bisa dijadikan masukan bagi majalah Annisa untuk
perbaikan di edisi berikutnya adalah agar redaktur dalam memberikan gaya
jilbab gaul harus lebih memenuhi kriteria jilbab syar’i yang sesuai dengan
ketentuan ajaran agama Islam, karena sesungguhnya jilbab adalah penutup
aurat perempuan dan bukan hanya sekedar perhiasan untuk sekedar
“membungkus” aurat.
92
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku
Ardianto, Elvinaro, dkk, Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007.
Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian dan Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Bhinneka Cipta, 1996.
Anwar, M. Syafi’i. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina,
1995.
Bakry, Nazar. Tuntunan Praktis Metodologi Penelitian. Jakarta: CV Pedoman
Ilmu Jaya, 1994.
Barnard, Malcolm. Fashion Sebagai Komunikasi. Cara Mengkomunikasikan
Identitas Sosial, Seksual, Kelas, dan Gender. Yogyakarta: Jalan Sutra
1996.
Biagi, Shirley. Media/ Impect Pengantar Media Massa. Jakarta: Salemba
Humanika, 2010.
Bignell, Jonathan. Media Semiotics an Introduction. USA: Manchester University
Press, 1997.
Budiman, Kris. Semiotika Visual.Yogyakarta: Jalasutra, 2011.
Christomy, Tommy. Semiotika Budaya. Depok: PPKB Universitas Indonesia,
2004.
Djunaeddhi, Kurniawan. Rahasia Dapur Majalah Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Umum, 1995.
Fachruddin, Fuad Mohd. Aurat dan Jilbab Dalam Pandangan Mata Islam.
Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya,1991.
Fiske, Johan. Introduction to Communication Studi. London: Second Edition,
1990.
93
HM, Zaenuddin. The Journalist. Jakarta: Prestasi Pusta Karya, 2007.
James, Lull. Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global.Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1997.
Junus, Umar. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan, 1981.
Kriyantono, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2006.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007.
Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007.
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2003.
Nazir, Muhammad. Metode Penelitian. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1986.
O’Shaughnessy, Michael and Stadler, Jane. Media and Society, New York:
Oxford, 1991.
Rakhmat, Jalaludin. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2001.
Shahab, Husein. Jilbab Menurut Al-Qur’an dan As-sunnah. Bandung: Mizan,
2008.
Sunardi, ST. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal. 2002.
Wahyu Wibowo, Indiwan Seto. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana
Media, 2011.
Williams, Judit. Decoding Adwertisments: Ideology. London: Camelot Press,
1985.
B. Sumber Internet
“Kriteria Jilbab Menurut Al-Qur’an”, diakses pada 31 Januari 2014 dari http://
efrialdy.wordpress.com/2009/08/13/kriteria-jilbab-menurut-al-
qur%E2%80%99an-dan-as-sunnah/
94
Mulyadi Saputra, “Paradigma Positivisme, Konstruktivisme dan Kritis dalam
Komunikasi”, diakses pada 22 Mei 2014 dari
http://terinspirasikomunikasi.blogspot.com/2012/12/paradigma-
positivisme-konstruktivisme.html
“Kajian Ekonomi Politik Media”, diakses pada 3 Juni 2014 dari
http://indiwan.blogspot.com/2010/05/kajian-ekonomi-politik-media.html
Shidarta, “The Reasoned Actioned Theory”, diakses pada 5 Juni 2014 dari
http://dartaanekateori.blogspot.com.
“Definisi Majalah”. Artikel diakses pada 10 Juni 2014 dari
http://rahdinalspaceart.blogspot.com/2011/11/definisi-majalah-
majalahadalah-sebuah.html?m=1
“Hukum Memakai Jilbab Menurut Islam”, diakses pada 3 Juni 2014 dari
http://mmn-dot-org.blogspot.com/2013/05/hukum-memakai-jilbab-
menurut-islam-jilbab-mmn.html?m=1
“Dibalik Pesona Jilbab Gaul”, artikel diakses ada 3 September 2014 dari
www.Anneahira.Com/Pesona-Jilbab-Htm
Abu Rufaid Agus Suseno, Lc “Dibalik Jilbab Gaul”, artikel diakses pada 3
September 2014 dari
https://www.facebook.com/jilbabkujilbabsyari/posts/527685580621492
Komodifikasi Isi Media terhadap Trend Berjilbab Gaul dalam Rubrik
Fashion Majalah Annisa Edisi Juni 2013
Nama Peneliti : Intan Purwatih (Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
NIM : 1110051000123
Narasumber : Ibu Avi Budimansyah
Jabatan : Director/ Publisher
Hari/Tanggal : Kamis, 10 Juli 2014
Tempat : Lantai 3, kantor ANNISA
Waktu : Pukul 11.30 WIB
1. Bagaimana sejarah kelahiran majalah ANNISA?
ANNISA pertama kali terbit itu tanggal 28 November 2012. Engga ada
tanggal berdirinya secara formal, Cuma kalo ditanya kapan ya edisi
pertamanya itu keluar pada tanggal segitu.
2. Kenapa dinamakan majalah ANNISA?
Sebenernya sih waktu itu ada beberapa nama yang menjadi pilihan,
diantaranya Noura, Aisya, Aisah dan Annisa. Tapi setelah melalui
beberapa tahap dan proses akhirnya nama Annisa-lah yang terpilih,
dikarena sesuai dengan artinya yaitu “wanita”. Dan majalah Annisa
memang merupakan majalah muslimah yang mengusung topik utamanya
mengenai fashion yang memang diperuntukkan kaum wanita. Selain
alasan tersebut juga, nama Annisa bisa lebih dikenal dan diingat oleh
masyarakat tentunya.
3. Apakah ANNISA merupakan media cetak yang berdiri sendiri atau
memang bagian dari perusahaan media lain?
Hemmm, di awal tahun kemuculan Annisa memang berdiri sendiri tidak
ada kerja sama dengan perusahaan lain, namun seiring berjalan dan
berkembangnya Annisa, mendapatkan beberapa kendala yang
mengharuskan Annisa untuk bekerja sama dengan perusahaan lain,
kendala yang didapati saat itu adalah mengenai fashionnya itu sendiri,
misalnya seperti produk pakaian, jilbab atau wardrobe yang lainnya,
karena kan Annisa majalah fashion, jadi harus up to date kan, gamungkin
menyajikan fashion yang gitu-gitu aja. Nah, untuk meminimalisir kendala
tersebut maka Annisa memutuskan untuk bekerja sama dengan PT.
Trinaya Media, yang mana di dalamnya tergabung juga majalah-majalah
lokal dan international seperti Kartini, Elle, Marie Claire, Elle Decore,
dan Working Mother. Jadi saat ini Annisa tergabung di dalam PT. Trinaya
Media.
4. Apakah ada alasan lain ANNISA selain untuk mempermudah dalam
bekerja sama di PT. Trinaya Media?
Hemm, gini yah Annisa kan pengennya menyajikan fashion yang selalu up
to date ya, maksudnya pengen yang baguslah. Misalnya untuk
peminjaman produk nih, nah produk itu sendiri memilih majalah yang
kualitasnya bagus dalam menggunakan produknya, jadi misalnya gini deh,
kamu punya rancangan baju nih, nah rancangan kamu dipakai oleh ehm
misalnya artis dangdut, menurut kamu itu kurang layak untuk memakai
rancangan kamu. Nah begitu juga dengan produk pakaian, semakin bagus
kualitas majalah maka semakin mudah majalah itu untuk memakai produk
yang bagus pula. Dari situlah, Annisa ikut bergabung di PT. Trinaya
Media soalnya kan ada majalah lokal dan international juga. Selain itu
juga Annisa kan majalah muslimah, nah selain pakaian kita juga
memikirkan model jilbab yang disajikan. Nanti gimana ya model jilbabnya
kalo bajunya begini atau begini, dengan bergabung kan jadinya Annisa
lebih bisa mengeksplor model pakaian serta jilbabnya, karena Annisa
sendiri mengusung tema international. Dengan produk dan gaya jilbab
itulah yang membuat Annisa semakin mudah untuk bekerja sama dengan
perusahaan lain (pemasok iklan), yang tidak lain membuat pemasukan
Annisa menjadi lebih banyak.
5. Bagaimana struktur redaksi majalah ANNISA?
Untuk struktur redaksi majalah Annisa bisa dilihat di bagian halaman awal
pada majalah Annisa.
6. Rubrik apa saja yang ada di majalah ANNISA? Tolong dijelaskan
Untuk majalah Annisa sendiri itu ada 4 topik utama ya, yang masing-
masing diantaranya terbagi lagi, maksudnya ada rubrik-rubrik lainnya.
Yaitu, Pertama Inspirasi di mana di dalamnya terdapat rubrik a topic, a
success, a inspiration, a story, a event, a close. Kedua, Berita dan info
komunitas yang terdiri dari rubruk a mushalla, a community, a news, a
review. Ketiga, Fashion dan gaya hidup, ini merupakan topik yang paling
banyak rubriknya diantara yang lain, yaitu terdiri dari rubrik a editor’s
choice, a style guide, a fashion news, a beauty news, a catwalk, a street
style, a style, a fashion, a hijab tutorial, a beauty, a make over, a home, a
gadget, a credit, a resto. Dan keempat, Panduan dan wawasan terdiri dari
rubrik a TO Z, a health, a money, a trip, a recipe, a couple, a halal, a
parenting, a love notes.
7. Mengapa dalam contents majalah ANNISA, bagian fashion dan gaya
hidup itu lebih banyak porsinya 40% dibandingkan dengan yang
lain?
Seperti yang sudah dijelaskan diawal ya, karena kan Annisa ini memang
majalah muslimah yang diperuntukkan kaum perempuan, sehingga kajian
utamanya itu memang mengenai fashion.
8. Apakah bedanya/karakteristik majalah ANNISA dibanding dengan
majalah-majalah bernafaskan Islam lainnya?
Fashionnya, Annisa lebih menonjolkan fashionnya. Karena kan Annisa itu
tujuannya menginspirasi perempuan yang tadinya engga jilbab menjadi
berjilbab. Dan setiap gaya jilbab yang disajikan itu lebih Annisa lebih
memilih model jilbab yang simpel. Annisa juga kan memakai model asing,
jadi itu sih yang membedakannya.
9. Bagaimana kedudukan rubrik fashion dalam majalah ANNISA?
Apakah rubrik fashion hanya sebagai rubrik pendukung?
Rubrik fashion kan memang bagian dari rubrik topik utama yaitu fashion
dan gaya hidup, jadi rubrik fashion ini sebagai salah satu rubrik
pendukung dari topik utamanya, karena kan selain rubrik fashion juga
masih banyak rubrik pendukung lainnya yang masih berkaitan dengan
fashion namun hanya nama rubriknya saja yang berbeda.
10. Apakah busana yang ada dalam rubrik fashion sudah termasuk
busana muslimah menurut syariat Islam?
Kalau untuk dikategorikan sudah syar’i atau belum dalam pakaian maupun
jilbab, Annisa memang belum dapat dikatakan syar’i. Karena sebenarnya
Annisa ingin mneginspirasi perempuan-perempuan yang tidak berjilbab
sehingga ingin mengenakan jilbab setelah membaca Annisa. Oleh sebab
itu Annisa menyajikan pakaian serta jilbab yang simpel, yang dapat ditiru
oleh para pembaca. Dengan maksud, bahwa pakai jilbab itu engga ribet
loh, dengan pakaian yang kamu punya, itu bisa di mix and match aja.
Engga mungkin dong bagi perempuan yang masih diawal berjilbab mau
langsung menggunakan jilbab yang panjang, pakaian yang terlihat lebih
besar, pasti mereka melihatnya pun risih kan, makanya Annisa lebih
memilih model gaya yang simpel-simpel aja.
11. Bagaimana tren rubrik fashion. Apakah mengambil tren masa kini,
atau mengambil tren pada zaman dahulu lalu dikeluarkan atau
disperkenalkan kembali di zaman sekarang?
Kalo untuk tren fashion saat ini Annisa masih memakai tren pada zaman
sekarang, tidak mengambil konsep fashion pada zaman dulu, walopun ada
itu ada di rubrik a make over, dimana biasanya fashion itu di mix and
match antara fashion tren zaman dulu dengan zaman sekarang.
12. Terinspirasi dari apa untuk mendapatkan sebuah tema?
Kalo tema sendiri kita nyesuain sama momen-momen besar aja, misalnya
kaya hari raya idul fitri dan hari raya idul adha kita menyajikan gaya tren
jilbab yang berbeda dari edisi sebelumnya, kemudian seperti momen yang
olahraga itu, pekan olahraga nasional, kita juga mengikuti temanya
misalnya seperti menyajikan gaya jilbab dan pakaian perempuan saat
berolahraga namun tetap bisa terlihat modis. Ya gitu aja sih ya kalo untuk
tema.
13. Mengapa model yang digunakan adalah model asing yang
mengenakan jilbab?
Kenapa ya, bisa lebih ngangkat bajunya sih ya. Jadi bajunya keliatan lebih
bagus gitu. Pengen lebih kaya international gitu. Intinya lebih bisa
menonjolkan pakaian dan jilbab yang dipakai aja.
14. Dari mana asal model asing tersebut?
Kalo untuk model itu mayoritas mereka berasal dari negara Rusia dan
Brazil.
Pewawancara
Intan Purwatih
Narasumber
Avi Budimansyah
Komodifikasi Isi Media terhadap Trend Berjilbab Gaul dalam Rubrik
Fashion Majalah Annisa Edisi Juni 2013
Nama Peneliti : Intan Purwatih (Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
NIM : 1110051000123
Narasumber : Roy Mega Antara
Jabatan : Fotografer
Hari/Tanggal : Selasa, 12 Agustus 2014
Tempat : Chily Cafe, lantai dasar, Senayan Trade Centre (STC)
Waktu : Pkl.16.00 WIB
1. Apakah menjadi fotografer adalah cita-cita anda? Sudah berapa lama
anda menjadi fotografer?
Saya awalnya engga ada niat buat jadi fotografer. Saya menyukai
fotografer sudah sekitar kurang lebih 4 tahun. Sebelum tahun 2008 itu saya
tidak pernah sama sekali megang kamera, tidak bagaimana cara
menggunakanya, hanya sekedar tahu kamera pocket untuk jepret-jepret.
Dan akhirnya lama kelamaan diracunilah sama temen-temen. Dan perlahan
saya baru mencari tahu bagaimana motret foto orang yang bagus,
bukaannya mesti berapa, ISOnya mesti berapa. Selama 1 tahun itu saya
benar-benar belajar fotografi. Tapi kalo untuk menjadi fotografer
profesional saya baru sekitar 2 tahun, semenjak bergabung di ANNISA.
Dan semenjak ANNISA mulai berdiri sampai saat ini usia ANNISA sudah
2 tahun.
2. Apa latar belakang pendidikan formal anda? Apakah ada keilmuan
fotografi?
Saya dulu sama sekali tidak ada pendidikan mengenai fotografi. Karena
latar belakang pendidikan formal saya itu lulusan Ilmu Ekonomi di
STEKPI. Saya belajar fotografi secara otodidak, tidak pernah mengikuti
kursus atau pelatihan motret. Awalnya saya diajak sama temen-temen, dari
situ saya mulai tertarik dan diajak hunting foto. Kalo untuk
pembelajarannya sendiri saya lebih suka sharing sama temen, karena saya
termasuk orang yang lamban dalam menangkap materi, misalnya dari
100% itu saya hanya bisa menagkap sekitar 50% saya. Jadi saya lebih s
banyak bertanya aja dan juga lebih suka baca dari buku.
3. Apakah dalam pengambilan foto, terutama dalam pengambilan foto-
foto pada rubrik fashion edisi Juni 2013, menggunakan agenda
perencanaan?
Kalo agenda perencanaan itu pasti, karena sebelumnya sudah pasti
menentukan tema, konsepnya seperti apa dan bagaimana, begitupun
dengan waktu pemotretan akan dilaksanakan kapan dan dimana itu sudah
pasti sebelumnya direncanakan terlebih dahulu.
4. Apa kamera yang digunakan pada saat pengambilan foto?
Kamera yang saya gunakan saat motret itu kamera Canon SD Mark2
dengan lensa canon 70-200 F2.8.
5. Apa kesulitan yang menghalangi pengambilan foto?
Sebenarnya tidak ada kesulitan dalam pengambilan foto, karena di sini
saya bekerja sama dengan orang-orang yang sudah profesional. Sehingga
hampir tidak ada kesulitan.
6. Bagaimana teknik pengambilan foto di rubrik fashion?
Foto ini ISOnya 100 waktu itu modenya manual cuman kalo speednya
saya engga inget, F-nya saya rasa kayanyasih 13 speednya mungkin 160
paling ya. Semuanya dalam pemotretan saya pake Canon. Setelah saya
terjun menjadi fotografer profesional saya menggunakan kamera Canon,
awalnya saya menggunakan kamera Nikon. Untuk foto 1 dan 2 ini sama ya
dari penggunaan kamera dan ISOnya juga, karena foto ini dilakukan di
studio ya, dan menggunakan flash juga maksudnya flash gede yang ada di
studio tapi pake listrik jadi gausah pake flash dari kamera lagi, kita cuma
butuh trigger aja paling untuk nyalain lampunya.
7. Apakah ada estetika komposisi gambar pada foto-foto yang saya
teliti?
Oh kalo untuk estetika iya sudah pasti ada dalam sebuah foto, tapi lagi-lagi
untuk mengatur komposisi foto itu bagian dari editor karena saya hanya
bertugas untuk memotret saja.
8. Apakah foto-foto yang akan saya teliti melalui proses editing terlebih
dahulu?
Proses editing pasti ada, kalau saya hanya bagian eksekusi. Jadi ketika
saya sudah dikasih tau konsepnya apa dan gambarannya seperti apa, saya
hanya bertugas untuk merealisasikan dari konsep yang diminta. Setelah
saya memotret, hasil akhir itu bagian editor yang nantinya ingin seperti
apa dan bagaimana hasil dari foto itu sendiri.
9. Apakah pada foto-foto yang saya teliti menggunakan flash?
Pada saat motret di studio itu, flash yang digunakan itu flash yang besar.
Maksudnya menggunakan lampu yang banyak, sehingga flash pada
kamera tidak diperlukan lagi.
10. Apa saja syarat-syarat dan kriteria fotografi jurnalistik untuk
ditampilkan dalam majalah ANNISA?
Syaratnya sih menurut saya harus bagus. Dalam arti karya yang dihasilkan
itu bagus menurut fotografer, dan menurut klien. Jadi fotografer mengikuti
apa kata dari klien, misalnya dalam sebuah pemotretan klien sudah merasa
puas dengan hasil karya saya, namun menurut saya sendiri itu hasil saya
belum maksimal, karena masih bisa mendapatkan hasil yang jauh lebih
bagus dari pada itu, tapi karena klien sudah merasa puas jadi saya stop dan
mengikuti apa kata klien.
11. Terinspirasi dari apa untuk mendapatkan sebuah tema?
Tema? Untuk di ANNISA saya tidak ikut terlibat dalam menentukan tema,
tugas saya hanya sekedar memotret. Saya tinggal terima jadi aja, saya
dikasih tau tema apa dan bagaimana maunya, ketika saya sudah mendapat
gambaran ya saya langsung motret sesuai apa yang diinginkan atau
diminta.
12. Bagaimana dengan model yang difoto untuk majalah ANNISA,
khususnya pada rubrik fashion yang menggunakan model asing?
Kalo untuk model, ANNISA memang mostly menggunakan model asing.
Itu karena wajah model asing memang lebih terlihat cantik ketika dipakai
jilbab ketimbang model yang Indonesia. Tapi kalo model asing ini aslinya
itu ya biasa aja, engga cantik-cantik banget, rambutnya aja keriwil, tapi
kalo dipakein jilbab itu cocok banget.
Pewawancara
Intan Purwatih
Narasumber
Roy Mega Antara