Upload
gstayumdpiirmapratiwi
View
242
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
konflik peran auditor dalam menghadapi dilema peran mengenai profesi dan fee yang didapatkan. independen tanggungjawab profesional tidak bias
Citation preview
1
PENGARUH KONFLIK PERAN AUDITOR INTERNAL
TERHADAP INDEPENDENSI KERJA
Gusti Ayu Made Firma Pratiwi 1114081101
I Gusti Ayu Tria Andrianti 1114081118
Putu Heny Suryani 1114081105
Universitas Pendidikan Ganesha
ABSTRAK
Tujuan utama dari artikel ini adalah untuk mengetahui
pengaruh konflik peran auditor internal terhadap independensi kerja
auditor internal. Setiap auditor mempunyai motivasi untuk patuh
kepada etika profesi dan standar auditing yang telah ditetapkan. Tak
dipungkiri auditor dihadapkan oleh potensial konflik peran dalam
menjalankan setiap tugasnya. Konflik peran merupakan suatu gejala
psikologis yang timbul karena adanya dua rangkaian tuntutan yang
bertentangan sehingga menyebabkan rasa tidak nyaman dalam
bekerja. Auditor yang memiliki independensi tinggi lebih besar
kemungkinannya untuk menolak permintaan klien yang melanggar
kode etik dan standar profesi auditor internal, sedangkan auditor
dengan independensi yang rendah akan lebih besar kemungkinannya
untuk menerima permintaan klien tersebut.
Kata kunci : konflik peran, auditor internal, kode etik, independensi
ABSTRACK
The main purpose of this article is to determine the effect of
role conflict of internal auditor on the independence of internal
auditor's work. Auditors are motivated to be obedient to professional
ethics and auditing standards that have been established. The auditor
confronted by a potential role conflict in their job. Role conflict is a
psychological phenomenon that arises because of two sets of
conflicting demands, causing discomfort in the work. Auditors who
have high independence are more likely to reject the clients request
who violated the code of ethics and professional standards of internal 1
2
auditors, while the auditor with a low independence will be more
likely to accept the client's request.
Keywords : role conflict, internal auditor, code ethics, independence
I. Pendahuluan
Profesi sebagai audit internal merupakan suatu profesi
yang menjadi sorotan masyarakat dan cukup menantang
daripada profesi lain pada umumnya dikarenakan sifat
pekerjaannya yang sensitif sebagai suatu bagian penting dari
pengendalian internal dalam suatu organisasi. Sorotan
masyarakat terhadap profesi auditor sangatlah besar sebagai
dampak beberapa skandal perusahaan besar dunia yang sempat
terjadi. Sorotan tajam diarahkan pada perilaku auditor dalam
berhadapan dengan klien yang dipersepsikan gagal dalam
menjalankan perannya sebagai auditor independen.
Auditor internal harus memperoleh kepercayaan diri dari
perusahaan dan pemakai laporan keuangan untuk membuktikan
kewajaran pada setiap unit kerja, transaksi kegiatan
operasional, maupun perumusan dan pelaksanaan kebijakan
manajemen suatu organisasi. (Nurmawati Oktaria, dan Rina
Tjandrakirana, 2012). Oleh karena itu, dalam memberikan
pendapatan maka auditor harus bersikap independen dari
aktivitas audit.
Namun tak jarang auditor dihadapkan oleh potensial
konflik peran dalam menjalankan tugasnya. Konflik peran
muncul karena adanya ketidaksesuaian antara harapan yang
disampaikan pada individual di dalam organisasi dengan orang
lain di dalam maupun di luar organisasi. Situasi konflik audit
terjadi ketika auditor dan klien tidak sepakat akan beberapa
aspek kinerja fungsi atestasi. Dalam situasi ini, klien berusaha
menekan auditor untuk mengambil tindakan yang melanggar
standar auditing. Salah satu diantaranya memaksakan opini
yang tidak sesuai dengan kenyataan. (Turban Drijah Herawati
dan Sari Atmini, 2010)
3
Setiap auditor mempunyai motivasi untuk patuh kepada
etika profesi dan standar auditing, dengan kasus tersebut diatas
auditor akan menghadapi situasi konflik audit. Jika auditor
menuruti permintaan klien tersebut berarti auditor melanggar
standar profesional, sedangkan jika tidak menuruti permintaan
klien akan menyebabkan klien kemungkinan memutuskan
penghentian tugas. Konflik antara auditor dengan klien dapat
menimbulkan dilema etis bagi auditor. Karena independensi
berlandaskan pada nilai kejujuran dan peran penting dalam
pengambilan suatu keputusan.
Independensi merupakan landasan utama struktur filosofi
profesi. Bagaimana pun kompetennya seorang auditor dalam
melaksanakan audit dan jasa atestasi lainnya, opini yang
mereka berikan hanya akan bernilai rendah bagi pihak-pihak
yang mendasarkan diri pada laporan audit kecuali jika auditor
bekerja secara independen. Dalam memberikan pelayan,
auditor harus bersikap independend in fact, auditor harus
bertindak dengan menjunjung tinggi integritas dan objektivitas.
Auditor juga harus independend in appearance., auditor
sebaiknya tidak mempunyai kepentingan finansial atau
hubungan bisnis dengan klien. Auditor harus terus menerus
menilai hubungannya dengan klien untuk menghindari situasi
yang dapat mengganggu independensinya (Boyton dan Kell,
1996 dalam Herawati dan Sari Atmini, 2008).
Melihat dari kasus tersebut diatas mengenai konflik
peran auditor internal yang menjalankan profesinya sebagai
auditor independen, maka dalam artikel ini akan dijelaskan
mengenai pengaruh konflik peran auditor internal terhadap
independensi kerja.
II. Pembahasan
II.1 Pengertian Konflik Peran
4
Konflik peran biasanya terjadi karena adanya
perintah yang berbeda yang diterima secara bersamaan, dan
pelaksanaan salah satu perintah saja akan mengakibatkan
terabaikannya perintah yang lain. Konflik peran dapat
menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan bisa
menurunkan motivasi kerja karena mempunyai dampak
negatif terhadap perilaku individu-individu seperti timbulnya
ketegangan kerja, banyak terjadi perpindahan pekerja,
penurunan kepuasan kerja sehingga bisa menurunkan
kinerja auditor secara keseluruhan. (Zaenal Fanani, Rheny
Afriana Hanif, dan Bambang Subroto, 2008)
Konflik peran didefinisikan sebagai hasil dari
ketidakkonsistenan harapan-harapan berbagai pihak atau
persepsi adanya ketidakcocokan antara tuntutan peran
dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya
(Leigh et al. Dalam Abdul Rohman, 2009). Teori peran
menyatakan bahwa ketika perilaku yang diharapkan oleh
individu tidak konsisten, maka mereka dapat mengalami
stress, depresi, merasa tidak puas, dan kinerja mereka akan
kurang efektif daripada jika pada harapan tersebut tidak
mengandung konflik. Jadi, dapat dikatakan bahwa konflik
peran dapat memberikan pengaruh negatif terhadap cara
berpikir seseorang. Dengan kata lain, konflik peran dapat
menurunkan tingkat komitmen independensi seseorang
(Ahmad dan Taylor, 2009 dalam Abdul Rohman, 2009).
Robbins dan Timothy (2008) menjelaskan ketika
seorang individu dihadapkan dengan ekpektasi peran yang
berlainan, hasilnya adalah konflik peran (role conflict).
Konflik ini muncul ketika seorang individu menemukan
bahwa untuk memenuhi syarat satu peran dapat
membuatnya lebih sulit untuk memenuhi peran lain. Pada
tingkat ekstrim, hal ini dapat meliputi situasi-situasi dimana
dua atau lebih ekspektasi peran saling bertentangan.
Konflik peran (role conflict) didefinisikan sebagai
adanya tekanan dua atau lebih kelompok tekanan secara
5
simultan sehingga kepatuhan pada kelompok yang satu akan
menimbulkan kesulitan atau ketidakmungkinan untuk
mematuhi yang lainnya (Wolfe, et al, 1962 dalam Abdul
Rohman, 2009). Abernethy dan Stoelwinder, 1995 (dalam
Abdul Rohman, 2009) menyatakan bahwa tingkat peran
dipengaruhi oleh seberapa jauh para profesional ingin
mempertahankan sikap keprofesionalan mereka dalam
perusahaan dan seberapa jauh lingkungan pengendalian
yang berlaku di perusahaan mengancam otonomi para
profesional tersebut.
Konflik peran mempunyai dampak yang negatif
terhadap perilaku karyawan seperti timbulnya ketegangan
kerja, peningkatan perputaran kerja (banyaknya terjadi
perpindahan pekerja), penurunan kepuasan kerja,
penurunan komitmen pada organisasi dan penurunan kinerja
keseluruhan (Wolfe, et. al, 1964 ; Jackson dan Schuler, 1985,
dalam Abdul Rohman, 2009).
Konflik peran juga berhubungan dengan
penyimpangan hasil dan sikap pekerjaan yang berhubungan
dengan pekerjaan, seperti misalnya rendahnya kepuasan
kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan
kecenderungan meninggalkan perusahaan dan mengurangi
komitmen organisasi (Aberethy & Stoelwinder, 1995; Puspa
& Riyanto, 1999; Suwandi & Indriantoro, 1999; Jackson &
Schuler, 1985; Levin & Stokes, 1989, dalam Abdul Rohman,
2009).
Konflik peran didefinisikan oleh Brief et al (dalam
Gartiria Hutami dan Anis Chariri, 2008) sebagai “the
incongruity of expectations associated with a role”. Jadi,
konflik peran adalah adanya ketidakcocokan antara harapan-
harapan yang berkaitan dengan suatu peran. Secara lebih
spesifik, Leigh et al. (dalam Gartiria Hutami dan Anis
Chariri, 2008) menyatakan bahwa: “Role conflict is the
result of an employee facing the inconsistent Expectations of
various parlies or personal needs, values, etc.” Artinya,
6
konflik peran merupakan hasil dari ketidakkonsistenan
harapanharapan berbagai pihak atau persepsi adanya
ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan kebutuhan,
nilai-nilai individu, dan sebagainya. Sebagai akibatnya,
seseorang yang mengalami konflik peran akan berada dalam
suasana terombang-ambing, terjepit, dan serba salah.
Misalkan yang terjadi pada Bill Patterson seorang
kepala rumah tangga dan seorang eksekutif. Dari banyak
peran yang harus dihadapi oleh Bill Patterson meliputi
beberapa konflik peran misalnya, usaha Bill untuk
menyesuaikan diri antara ekspektasi-ekspektasi yang
ditempatkan padanya sebagai seorang suami dan ayah
dengan sebagai seorang eksekutif EMM Industries. Yang
pertama menekankan stabilitas dan keinginan istri dan anak-
anaknya untuk tetap tinggal di Phoenix. EMM sebaliknya,
mengharapkan para karyawannya tanggap terhadap
kebutuhan dan keperluan perusahaan. Meskipun mungkin
berada dalam kepentingan Financial dan Karier Bill untuk
menerima relokasi tempat kerja, timbulah konflik untuk
memilih antar ekspektasi peran keluarga dan karir. (Robbins
dan Timothy, 2008).
II.2 Pengertian Auditor Internal
Pengertian audit internal menurut “Professional
Practices Framework”: International Standards for The
Professional Practice of Internal Audit, IIA, 2004 (dalam
Arief Efendi, 2007) adalah suatu aktivitas independen, yang
memberikan jaminan keyakinan serta konsultasi
(consulting) yang dirancang untuk memberikan suatu nilai
tambah (to add value) serta meningkatkan (improve)
kegiatan operasi organisasi. Internal auditing membantu
organisasi dalam usaha mencapai tujuannya dengan cara
memberikan suatu pendekatan disiplin yang sistematis
untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektifitas
7
manajemen risiko (risk management), pengendalian
(control) dan proses tata kelola (governance processes).
Profesi audit internal pada awal abad 21 mengalami
perkembangan yang cukup berati, sejak munculnya kasus
Enron & Worldcom yang menjadi sorotan kalangan dunia
usaha. Meskipun reputasi audit internal sempat terpuruk
oleh kasus tersebut, namun beberapa perusahaan tetap
melibatkan peran auditor internal. Terbukti saaat ini profesi
auditor internal turut berperan dalam implementasi Good
Corporate Governance (GCG) di perusahaan maupun Good
Government Governance (GGG) di pemerintahan.
Audit internal merupakan suatu kegiatan pemberian
keyakinan (assurance) dan konsultasi yang bersifat
independen dan obyektif guna meningkatkan efektifitas
perusahaan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Bagian audit internal memiliki fungsi untuk memonitor
sistem pengendalian yang ada. (Samatha Adisti, 2013). Agar
efektif, kegiatan audit internal harus memiliki orang-orang
yang berkualitas, terampil dan berpengalaman dan dapat
bekerja sesuai dengan Kode Etik Auditor Internal dan
Standar Internasional untuk Praktik Profesional Auditor
Internal (SIPPAI).
II.2.1 Peran Auditor Internal
Auditor internal memiliki peran penting dalam
menjalankan fungsi pengawasan, sebagai penilai
kecukupan struktur pengendalian intern, penilai
efektivitas struktur pengendalian intern, dan penilai
kualitas kerja. Oleh karena itu seorang auditor
internal harus mampu menerapkan kemampuan,
pengetahuan, dan pengalaman, disamping itu
independensi dibutuhkan dalam menghasilkan audit
yang berkualitas. Fungsi audit internal akan efektif
dan optimum apabila kinerja auditor ditentukan oleh
perilaku auditor tersebut. Perilaku auditor tersebut
8
dapat terlihat dari komitmennya pada organisasi dan
motivasinya untuk meningkatkan kinerjanya.
Standar umum pertama (SA seksi 210 dalam
SPAP, 2001) menyebutkan bahwa audit harus
dilaksanan oleh seorang atau yang memiliki keahlian
dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.
Sedangkan standar umum ketiga (SA seksi 230 dala
SPAP, 2001) menyebutkan bahwa dalam pelaksaan
audit akan penyusunan laporannya auditor wajib
menggunakan kemahiran profesionalnya dengan
cermat dan seksama. (Nurmawari Oktaria dan Rina
Tjandrakirana, 2012) Oleh karena itu, maka setiap
auditor wajib memiliki kemahiran profesionalitas dan
keahlian dalam melaksanakan tugasnya sebagi
auditor.
Salah satu aspek penting dalam kemampuan
untuk menciptakan hubungan yang efektif adalah
kemampuan dalam mengatasi konflik interpersonal
(manajemen konflik). Apalagi profesi auditor
merupakan salah satu profesi yang rentan
menimbulkan potensi konflik di dalamnya. Terdapat
tekanan-tekanan psikis (bahkan mungkin fisik)
terhadap auditor dalam pengambilan keputusan yang
berpotensi menimbulkan konflik.
II.2.2 Kode Etik Auditor Internal
Auditor internal sebagai suatu profesi diikat
oleh kode etik yang menjadi pedoman untuk
berperilaku sesuai dengan standar yang berlaku
dan agar melaksanakan tanggung jawabnya secara
profesional. Kode etik memberi batasan kriteria
perilaku profesional dan mengharapkan para anggota
Profesi Auditor Internal Indonesia untuk memelihara
standar kompetensi, moralitas dan kehormatannya.
(Prayandha, 2010)
9
Profesi audit internal memiliki kode etik profesi
yang harus ditaati dan dijalankan oleh segenap
auditor internal. Kode etik tersebut memuat standar
perilaku sebagai pedoman bagi seluruh auditor
internal. Kode etik dibuat dengan tujuan untuk
mengatur tingkah laku individu agar sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh seseorang dari anggota profesi
tertentu dapat menyebabkan berkurangnya rasa
kepercayaan masyarakat terhadap suatu profesi
secara keseluruhan. (Prayandha, 2010)
Terdapat 4 (empat) prinsip yang harus
dipegang teguh dan diterapkan oleh auditor internal
menurut IIA
(The Institute of Internal Auditorscode
of Ethics) yaitu : Integrity (Integritas), Objectivity
(Objektivitas), Confidentiality (Kerahasiaan)
dan Competency (Kompetensi).
(www.akuntansi.fenaro.narotama.ac.id)
1. Integritas : integritas internal auditor mendasari
kepercayaan para pengguna
terhadap pertimbangannya, sehingga memiliki
konsistensi antara tindakan dengan nilai dan
prinsip.
a. Harus melaksanakan pekerjaannya dengan
kejujuran, kesungguhan dan tanggung jawab.
b. Harus mentaati hukum dan membuat
pengungkapan sesuai hukum dan profesinya.
c. Tidak boleh secara sadar terlibat dalam
kegiatan yang ilegal atau terlibat dalam
tindakanyang dapat mendiskreditkan profesi
internal audit atau mendiskreditkan
organisasinya.
d. Harus menghormati dan menyumbang kepada
tujuan organisasi yang sah dan etis.
10
2. Obyektivitas : internal auditor menunjukan
obyektivitas yang tinggi, tidak dipengaruhi oleh
kepentingan manapun dalam membentuk
penilaian.
a. Tidak boleh berpartisipasi dalam kegiatan atau
hubungan apapun yang dapat atau
patutdiduga dapat mengurangi
kemampuannya untuk melakukan assessment
secara objektif. Termasuk dalam hal ini adalah
kegiatan atau hubungan yang menimbulkan
konflik dengan kepentingan organisasinya.
b. Tidak boleh menerima bentuk apapun yang
dapat atau diduga dapat
mempengaruhi pertimbangan profesionalnya.
c. Harus mengungkapkan semua fakta-fakta
penting yang diketahuinya, yaitu fakta-fakta
yang jika tidak diungkapkan dapat mendistorsi
laporan dari kegiatan yang direview.
3. Kerahasiaan : internal auditor menghargai nilai
dan kepemilikan dari informasi yang
diterima,tidak mengungkapkan informasi tanpa
otoritas yang tepat kecuali ada kewajiban hukum
atau profesional.
a. Harus bersikap hati-hati dalam menggunakan
dan menjaga informasi yang diperoleh dalam
pelaksanaan tugasnya.
b. Tidak boleh menggunakan informasi untuk
mendapatkan keuntungan pribadi atau
untuk hal-hal yang dapat merugikan tujuan
organisasi yang sah dan etis.
4. Kompetensi : internal auditor menerapkan
pengetahuan, keterampilan dan pengalaman
yangdiperlukan dalam melakukan jasa internal
auditing.
11
a. Hanya melakukan jasa yang dapat diselesaikan
dengan menggunakan pengetahuan,keahlian,
dan pengalaman yang dimillikinya.
b. Melakukan jasa internal auditing dengan
standar profesi audit internal.
c. Harus senantiasa meningkatkan keahliannya,
dan efektivitas serta kualiats dari jasa yang
diberikan.
Jadi dengan adanya kode etik tersebut maka
auditor internal memiliki pedoman untuk
melakukan setiap tugasnya. Untuk menyelesaikan
tanggung jawab auditor secara profesional juga
diperlukan adanya standar audit internal. Standar
audit internal tidak hanya menekankan terhadap
pentingnya kualitas profesional auditor internal
tetapi juga terhadap bagaimana auditor
mengambil pertimbangan dan keputusan saat
melakukan audit dan pelaporan. Standar audit
internal meliputi : a. independensi, b. kemampuan
profesional, c. lingkup pekerjaan audit internal, d.
pelaksanaan kegiatan pemeriksaan/penilaaian
sesuai dengan SOP, dan e.manajemen audit
internal. (www.auditorinternal.com)
II.3 Pengertian Independensi
International Standards for the Professional Practice
of Internal Auditing (ISPPIA IIA, 2006) mengidentifikasi
independensi auditor internal sebagai kriteria paling penting
bagi efektivitas fungsi auditor internal. Jadi, dalam setiap
kejadian, auditor internal diharapkan untuk mempunyai
integritas dan komitmen untuk membuat pendapat yang
bebas dari bias atau tidak berpihak. Alvin A. Arens, (2011)
mendefinisikan independensi dalam pengauditan sebagai
"Penggunaan cara pandang yang tidak bias dalam
pelaksanaan pengujian audit, evaluasi hasil pengujian
12
tersebut, dan pelaporan hasil temuan audit". Sedangkan
Mulyadi (2002) mendefinisikan independensi sebagai
"keadaan bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh
pihak lain, tidak tergantung pada orang lain" dan akuntan
publik yang independen haruslah akuntan publik yang tidak
terpengaruh dan tidak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan
yang berasal dari luar diri akuntan dalam
mempertimbangkan fakta yang dijumpainya dalam
pemeriksaan.
Arens dan Loebbecke, 2000 dalam Nurmawati Oktari
dan Rina Tjandakirana, 2012 mendefinisikan independensi
dalam pengauditan sebagai “pengguna cara pandang yang
tidak bias dalam pelaksanaan pengujian audit, evaluasi hasil
pengujian tersebut, dapat pelaporan hasil temuan audit. Hal
ini senada dengan America Institute of Certified Public
Accountant menyatakan bahwa independensi adalah suatu
kemampuan untuk bertindak berdasarkan integritas dan
objektivitas. Meskipun integritas dan objektivitas tidak dapat
diukur dengan pasti, tetapi keduanya merupakan hal yang
mendasar bagi profesi akuntan. Integritas merupakan
prinsip moral yang tidak memihak, jujur, memandang dan
mengemukakan fakta seperti apa adanya dan sesuai dengan
kode etik.
Auditor internal yang independen jika diminta untuk
melanggar kode etik, pilihan mereka dapat merupakan
sesuatu yang tentu saja tidak menyenangkan. Pilihan yang
sulit jika para auditor internal tidak memiliki sifat
profesional yang utama yaitu independensi. Auditor internal
yang profesional harus memiliki independensi untuk
memenuhi kewajiban profesionalnya. Bagaimanapun
sempurnanya keahlian teknis seorang auditor, jika ia
kehilangan sikap tidak memihak, maka ia tidak dapat
mempertahankan kebebasan pendapatnya.
II.3.1 Independensi Auditor Internal
13
Dalam Code of Profesional Conduct disebutkan
bahwa salah satu dari enam prinsip auditing adalah
objektivitas dan independensi. Anggota profesi harus
menjaga objektivitas dan bebas dari pertentangan
kepentingan dalam melaksanakan tanggung jawab
profesional. Anggota profesi harus bersikap
independend in fact dan independend in appearance
pada saat memberikan jasa auditing dan jasa atestasi
lainnya (Boynton dan Kell, 1996 dalam Herawati dan
Sari Atmini, 2008).
Independensi merupakan landasan utama
struktur filosofi profesi. Bagaimana pun kompetennya
seorang auditor dalam melaksanakan audit dan jasa
atestasi lainnya, opini yang mereka berikan hanya
akan bernilai rendah bagi pihak-pihak yang
mendasarkan diri pada laporan audit kecuali jika
auditor bekerja secara independen. Dalam
memberikan pelayan, auditor harus bersikap
independend in fact, auditor harus bertindak dengan
menjunjung tinggi integritas dan objektivitas. Auditor
juga harus independend in appearance., auditor
sebaiknya tidak mempunyai kepentingan finansial
atau hubungan bisnis dengan klien. Auditor harus
terus menerus menilai hubungannya dengan klien
untuk menghindari situasi yang dapat mengganggu
independensinya (Boyton dan Kell, 1996 dalam
Herawati dan Sari Atmini, 2008).
Auditor diharuskan untuk bersikap independen
terhadap profesinya dan juga klien tetapi pada saat
yang sama kelangsungan hidup auditor tergantung
pada klien melalui fee yang dibayarkan oleh klien
kepada auditor. Konflik audit terjadi saat auditor
meminta manajemen klien untuk mengungkapkan
informasi yang tidak ingin diungkapkan manajemen
klien kepada publik. Hal ini akan menjadi dilema etika
14
pada saat auditor dihadapkan pada keputusan untuk
mengkompromikan independensi dan integritas bagi
keuntungan ekonomi.
Secara teoritis profesi auditing mempunyai
pedoman yang jelas bagi auditor untuk selalu
mempertahankan independensinya. Namun secara
praktik, pada saat menghadapi tekanan dari
manajemen klien, seorang auditor mungkin akan
memenuhi permintaan manajemen klien dan secara
sadar auditor tersebut meninggalkan prinsip objektif
dan independen. Dengan kata lain, pada saat auditor
memutuskan untuk melakukan kompromi dengan
manajemen klien, maka situasi konflik audit
mengganggu dan berdampak negatif terhadap
independensi auditor. (Abdul Rohman, 2009)
II.4 Hasil Pembahasan
Konflik peran didefinisikan sebagai hasil dari
ketidakkonsistenan harapan-harapan berbagai pihak atau
persepsi adanya ketidakcocokan antara tuntutan peran
dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya
(Leigh et al. Dalam Abdul Rohman, 2009). Konflik peran
auditor internal terjadi ketika adanya perbedaan pendapat
mengenai beberapa aspek antara manajemen klien dan
auditor. Manajemen klien dapat mempengaruhi kinerja
auditor bahkan memaksa auditor untuk membuat opini yang
tidak sesuai dengan kenyataan agar organisasi yang dimiliki
manajemen klien tetap memiliki reputasi yang baik dimata
masyarakat.
Konflik peran yang dihadapi auditor internal tersebut
menguji seberapa besar seorang auditor mampu menjunjung
kode etik profesi auditor internal. Terdapat 4 (empat)
prinsip yang harus dipegang teguh dan diterapkan oleh
auditor internal menurut IIA
(The Institute of Internal Auditorscode of Ethics)
15
yaitu : Integrity (Integritas), Objectivity (Objektivitas),
Confidentiality (Kerahasiaan) dan Competency (Kompetensi).
Auditor yang mengikuti keinginan manajemen klien
tersebut diatas dikarenakan beberapa faktor penyebab. Yang
pertama auditor tidak memiliki komitmen profesi yang kuat,
kedua, auditor tidak ingin kehilangan pekerjaannya karena
manajemen klien bisa saja memutuskan untuk
memberhentikan auditor sehingga fee yang dibayarkan oleh
klien pun jadi tak dibayarkan. Namun, auditor yang memiliki
komitmen profesi yang kuat akan menolak keinginan
manajemen klien tersebut.
Bagaimana pun kompetennya seorang auditor dalam
melaksanakan audit dan jasa atestasi lainnya, opini yang
mereka berikan hanya akan bernilai rendah bagi pihak-pihak
yang mendasarkan diri pada laporan audit ketika auditor
tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan kode etik profesi,
kecuali jika auditor bekerja secara independen dan sesuai
dengan kode etik.
III. Simpulan
Setiap auditor mempunyai motivasi untuk patuh kepada
etika profesi dan standar auditing yang telah ditetapkan.
Namun tidak dipungkiri, auditor dihadapkan oleh potensial
konflik peran dalam menjalankan setiap tugasnya. Konflik peran
auditor internal terjadi ketika manajemen klien memiliki
perbedaan pendapat dalam beberapa aspek dengan auditor.
Pada saat terjadi konflik, manajemen klien mungkin akan
berusaha untuk mempengaruhi pekerjaan audit yang sedang
dilaksanakan auditor, dan mungkin manajemen klien akan
menekan auditor untuk melakukan tindakan tertentu yang
bertentangan dengan standar auditing. Auditor diharuskan
bersikap independen terhadap klien tetapi pada saat yang sama
kelangsungan hidup auditor tergantung pada klien melalui fee
yang dibayarkan oleh klien kepada auditor.
16
Independensi merupakan landasan utama struktur filosofi
profesi. Konflik peran berpengaruh negatif signifikan terhadap
independensi kerja auditor internal. Hal ini menunjukkan
bahwa auditor internal yang mengalami konflik peran yang
tinggi dalam pekerjaannya akan cenderung memiliki komitmen
independensi yang kurang baik, begitu juga sebaliknya. Dapat
pula dikatakan, Auditor yang memiliki komitmen profesi tinggi
lebih besar kemungkinannya untuk menolak permintaan klien
yang melanggar kode etik dan standar profesi auditor internal,
sedangkan auditor dengan komitmen profesi yang rendah akan
lebih besar kemungkinannya untuk menerima permintaan klien
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Herawati , Turban Drijah dan Sari Atmini. 2010. Perbedaan Perilaku
Auditor Dalam Situasi Konflik Audit dari Segi Gender: Peran
Locus Of Control, Komitmen Profesi, dan Kesadaran Etis.
Jurnal Aplikasi Manajemen, Vol. 8, No. 2
Fanani , Zaenal, Rheny Afriana Hanif, dan Bambang Subroto. 2008.
Pengaruh Struktur Audit, Konflik Peran dan Ketidakjelasan
Peran Terhadap Kinerja Auditor. Jurnal Akuntansi dan
Keuangan Indonesia, Volume 5 – Nomor 2
Rohman, Abdul. 2009. Pengaruh Jabatan Organisasi, Budaya
Organisasi, dan Konflik Peran Auditor Internal Terhadap
Kepuasan Kerja Internal Auditor (Studi pada Badan Urusan
Logistik di Indonesia). Jurnal Telaah & Riset Akuntansi, Vol. 2,
No. 1
Oktaria, Nurmawati dan Rina Tjandrakirana. 2012. Pengaruh
Kompetensi dan Independensi Auditor Terhadap Kinerja
Audito Internal Bank BUMN di Kanwil Palembang.
Akuntanbilitas; Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Akuntansi, Vol. 6 No. 1
17
Hutami, Gartiria dan Anis Chariri. Pengaruh Konflik Peran dan
Ambiguitas Peran Terhadap Komitmen Independensi Auditor
Internal Pemerintah Daerah (Studi Empiris pada Inspektorat
Kota Semarang)
Ekasiwi, Samatha Adisti. 2013. Peran Audit Internal Dalam
Pengungkapan Kelemahan Material Sebagai Penunjang Tata
Kelola Perusahaan yang Baik, Skripsi. Universitas Diponegoro,
Semarang, 1
Robbins, Stephen, dan Timhoty A. Judge. 2008. Perilaku Organisasi.
Edisi 12, Buku 1. Jakarta: Salemba Empat
Arens, Alvin A., dkk. 2011. Jasa Audit dan Assurance Pendekatan
Terpadu. Jakarta: Salemba Empat
Effendi, Muh. Arif. 2007. Tantangan Untuk Menjadi Seseorang Auditor
Internal yang Profesional (Challenge To Be The Profesional
Internal Auditor). Jakarta
Mulyadi. 2002. Auditing Edisi ke-6. Jakarta: Salemba Empat
www.na.theiia.org
www.auditorinternal.com
www.iia.org.uk
www.akuntansi.fenaro.narotama.ac.id
www.universitas-galuh.ac.id