Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KONFLIK POLITIK PADA MASA ORDE BARU
DALAM NOVEL WASRIPIN DAN SATINAH
KARYA KUNTOWIJOYO
TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Vianney Raditawati
NIM: 034114039
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
MARET 2008
ii
iii
iv
Syarat Kematian: Soeharto (8 Juni 1921 – 27 Januari 2008) Kalau saja, dulu kau tak mengirim tentara dan tak menyulap ujung Sumatera menjadi kuburan massal, pastinya pemuda Rigaih itu tengah tersedu tanpa syarat Kalau saja, dulu kau terbangkan ribuan merpati ke Timor Timur, mungkin bocah-bocah di Dili membacamu lewat buku pelajaran dan bertanya pada ibunya yang berkutang, "Di mana makam dia, bu?" Kalau saja, kau biarkan anak-anakmu menyendokkan nasinya sendiri dan tak mengambil beras dari bakul yang kau bangun, kami – yang lapar kebenaran – mungkin merangkai takziah dengan tulus Kalau saja, Kau memilih untuk mengundang makan para musuhmu daripada menyodorkan mereka pada bahaya dan maut, kesempitan dan ketidakmerdekaan, pemberangusan dan pengkerdilan, pastinya mereka bakal sesenggukan melihatmu dibaringkan Kalau saja, kau tak mati kemarin, mungkin aku yang ke tempatmu menyarangkan sebilah bambu di lehermu menikmati nafas-nafas terakhirmu sambil mendekatkan bibirku di telingamu dan berbisik, "Maaf, ceritamu harus usai…" 280108 kamar adem, petojo roy thaniago
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, Maret 2008
Penulis
Vianney Raditawati
vi
ABSTRAK
Raditawati, Vianney. 2008. Konflik Politik Pada Masa Orde Baru dalam Novel Wasripin dan Satinah Karya Kuntowijoyo: Tinjauan Sosiologi Sastra. Skripsi S-1. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Tujuan penelitian ini adalah 1) mendeskripsikan konflik politik yang terkandung dalam novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dengan analisis sosiologis; dan 2) mendeskripsikan korelasi antara novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dengan kenyataan dalam sejarah masya rakat Indonesia. Penelitian ini menganalisis konflik politik pada masa Orde Baru yang terdapat dalam novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dengan tinjauan sosiologi sastra. Metode yang dipakai dalam penelitian adalah metode analisis. Hasil penelitian berupa analisis sosiologis yang membahas aspek konflik politik dalam novel Wasripin dan Satinah dan mengungkapkan masalah realitas sosial, yakni membahas kesejajaran antara konflik politik dalam novel dengan konflik politik dalam sejarah Indonesia selama pemerintahan Orde Baru. Konflik politik memiliki konotasi politik yakni mempunyai keterkaitan dengan negara atau pemerintah, para pejabat politik, dan kebijakan. Konflik politik dalam novel Wasripin dan Satinah karya merupakan konflik yang dominan. Analisis sosiologis terhadap novel Wasripin dan Satinah dengan membahas konflik politik meliputi penyebab terjadinya konflik, tipe konflik dan tujuan konflik. Kemajemukan vertikal yang ditandai dengan struktur masyarakat yang terpolarisasi menurut pemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan merupakan kondisi yang memungkinkan terjadinya konflik. Tipe konflik politik dalam novel Wasripin dan Satinah dapat dikategorikan sebagai tipe konflik negatif. Konflik tersebut mengancam eksistensi sistem sosial politik serta struktur masyarakat, apalagi pihak-pihak yang berkonflik menggunakan cara kekerasan untuk memperjuangkan kepentingannya. Dalam novel Wasripin dan Satinah, ada beberapa pihak yang saling bertikai untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Pihak-pihak yang bertikai di sini adalah para anggota partai. Ketiga partai memiliki tujuan yang sama, yaitu ingin menduduki dan memenangkan pemilu. Ketiganya ingin mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan. Karena alasan dan tujuan yang sama, yang satu sama lain saling berbenturan dan menghalangi, maka terjadilah konflik yang berkepanjangan. Pencerminan antara novel Wasripin dan Satinah dengan kenyataan sejarah masyarakat Indonesia pada masa Orde Baru ditekankan pada konflik politik yang terjadi pada kurun waktu sejarah tersebut. Kondisi orde baru ditandai dengan konflik, pertentangan politik antarpartai atau kelompok-kelompok yang memiliki tujuan dan ideologi yang berbeda. Pencerminan juga ditunjukkan dengan terdapatnya kekuatan politik yang dominan. Selain kemiripan dalam peristiwa, kemiripan juga terjadi dalam pemberian nama-nama. Aspek simbolis juga mewarnai pemberian nama dalam novel Wasripin dan Satinah. Yaitu antara lain
vii
Partai Randu, Partai Langit, Partai Kuda, Presiden Sadarto, dan Jalan Cempaka. Nama-nama tersebut memiliki arti atau sindiran pada nama yang benar-benar ada dalam sejarah Indonesia.
viii
ABSTRACT
Raditawati, Vianney. 2008. Political Conflict in New Order Era in Kuntowijoyo’s Wasripin dan Satinah: A Literary Sociological Approach. A thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters, Sanata Dharma University. The objective of the study is 1) to describe the political conflict contained in Kuntowijoyo’s Wasripin dan Satinah using a sociological analysis; and 2) to describe the correlation between Kuntowijoyo’s Wasripin dan Satinah and the reality of Indonesian social history. This study analyses a political conflict in new order era in Kuntowijoyo’s Wasripin dan Satinah using a literary sociological approach. The method used in this study is a descriptive method. The result of the study is a sociological analysis which discusses the aspect of political conflict in the novel. Wasripin dan Satinah and gasps a social reality problem, that is discussing aquality between political conflict in the novel and the history of Indonesian political conflict during New Order government. Political conflict has a political connotation that it has a relation with a country or a government, political officials, and wisdom. Political conflict in kuntowijoyo’s Wasripin and Satinah is by discussing political conlict including the cause of the conflict, the type of the conflict and the purpose of the conflict. Vertical diversity which is marked by polarize society structure based on wealth ownership, knowledge, and power the condition which make conflict possible. The type of the political conflict in Wasripin dan Satinah can be categorized as a negative type of conflict. The conflict threats the existence of the social political system and the society structure. Moreover, the conflicting parties use violence to pursue their several parties which are conflicting each other to get their will. The conflicting parties are the party members. Those three parties have a similar goal, that is to monopolize and to win the general election. These of them want to have power in the governmental position. The same reason and purpose, which is bumps and obstructs against each other, makes a long lasting conflict. The similarity between the novel Wasripin dan Satinah and the reality of Indonesian social history in New Order era is emphasized in political conflict happened in historical range of time. The New Order condition is marked by conflict, political conflict among parties or groups which have different purpose and ideology. The similarity is also showed by dominant political power. Beside the event similarity, there is also similar naming. Symbolical aspect is also coloring the naming in the novel Wasripin dan Satinah, those are Partai Randu, Partai Langit, Partai Kuda, Presiden Sadarto, and Jalan Cempaka. Those names have a meaning or a cynism to the real names in Indonesian history.
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis
menyusun skripsi ini dalam rangka menyelesaikan Program Strata Satu (S-1) pada
Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan
mempunyai beberapa kekurangan karena keterbatasan kemampuan serta
pengalaman penulis. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan dan
perbaikan skripsi ini.
Dalam menyusun skripsi ini, penulis telah banyak memperoleh bimbingan,
pengarahan, saran, serta dorongan yang bermanfaat dan mendukung penyelesaian
skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum. selaku pembimbing I yang telah
memberikan pengarahan dan membimbing dengan sabar sehingga penulis
akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Dra. S.E. Peni Adji, M.Hum. selaku pembimbing II yang telah
memberikan pengarahan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibu Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum. selaku pembimbing akademik
angkatan 2003 yang selalu memotivasi dan memberikan semangat kepada
anak-anaknya untuk segera menyelesaikan skripsi.
x
4. Seluruh dosen di Fakultas Sastra, terutama para dosen Program Studi
Sastra Indonesia yang telah mendidik dan memberikan banyak ilmu
pengetahuan.
5. Segenap keluarga besar Prodi Sastra Indonesia atas persahabatan yang
hangat.
6. Segenap karyawan perpustakaan USD dan staf sekretariat Fakultas Sastra
untuk pelayanan yang ramah.
7. To all my family: mama, grandma yang selalu sabar mengingatkan,
memotivasi dan memberi harapan besar agar segera lulus. Kakakku Mas
Ipung dan adik-adikku tercinta, Heru dan Tiyok. Terima kasih atas doa
semangat, dukungan dan cinta yang selalu memotivasi penulis.
8. To my lovely kk’ku chayank F. Cahyo Dwi Utomo, terima kasih atas
segala rasa sayang, cinta, dukungan dan doanya. Terima kasih untuk
motivasi dan semangat yang selalu diberikan.
9. Seluruh kawan seperjuangan di Sastra Indonesia angkatan 2003, thanks
atas persahabatan selama ini dan motivasi untuk terus maju pantang
mundur dalam menyelesaikan skripsi.
10. Astari, Aning, Emak, Gondez, Doan, Diar, Eci, Gayung, Simply, Jatex,
Rinto, Nenex, Binyong, Dede’, Rini, Uci, Prima, Firla, Melya, Tasya.
Suwun untuk persahabatan, curhatan, serta waktu untuk bermain bersama.
Terima kasih telah hadir dalam hidupku dan mewarnai perjalananku di
Sastra Indonesia.
xi
11. My honey bee Cucur, my marie bee Bexti, my sweety bee R-leeta terima
kasih atas dukungan dan persahabatan selama 12 tahun. Kalian kan tetap
menjadi sahabatku sepanjang masa.
12. Adel dan Nhe2cute terima kasih dengan selalu mengatakan meski orang
yang kita sayangi dan kita harap selalu ada di samping kita saat kita butuh
tapi mereka tidak pernah bisa, tetep maju terusss!! Terima kasih buat
semangat dan pertanyaan-pertanyaan seputar skripsiku.
13. Teman-teman serta boz di Pikanet Group. Terima kasih karena memberiku
kesempatan menemukan pertemanan, keceriaan, persahabatan dan cintaku.
Terima kasih atas pengalaman berharga yang diberikan.
14. Teman-teman mudika St. Agustina tengkyu banget atas pertemanannya.
15. Bu Cicil dan Rina, serta segenap peserta dan team Bukit Doa Yerusalem
Baru. Terima kasih atas pemulihan jiwaku dan pengajaran atas cinta
kepada sesama serta pembaharuan hidup. Terima kasih karena
mengajarkanku lebih mencintai Allahku.
16. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung kelancaran penulisan
skripsi ini. Tidak ada yang sanggup menggantikan selain rasa terima kasih
yang mendalam.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan yang telah
diberikan. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan.
Penulis
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA............................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................................... vi
ABSTRACT ........................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ix
DAFTAR ISI........................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................................... 5
1.5 Landasan Teori......................................................................................... 7
1.5.1 Pendekatan Sosiologi Sastra............................................................ 7
1.5.2 Konflik Politik................................................................................. 11
1.5.3 Orde Baru........................................................................................ 16
1.5.3.1 Eksploitasi Sumber Daya .................................................... 19
1.5.3.2 Kelebihan Sistem Pemerintahan Orde Baru........................ 19
xiii
1.5.3.3 Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru..................... 20
1.6 Metode Penelitian..................................................................................... 22
1.7 Sumber Data ............................................................................................. 24
1.8 Sistematika Penyajian .............................................................................. 25
BAB II KONFLIK POLITIK DALAM NOVEL WASRIPIN DAN SATINAH
KARYA KUNTOWIJOYO ........................................................................... 25
2.1 Penyebab Konflik Politik ......................................................................... 28
2.2 Tipe Konflik Politik ................................................................................. 39
2.3 Tujuan Konflik Politik ............................................................................. 42
BAB III KORELASI KONFLIK POLITIK DALAM NOVEL WASRIPIN
DAN SATINAH KARYA KUNTOWIJOYO DENGAN KENYATAAN
DALAM SEJARAH MASYARAKAT PADA PEMERINTAHAN MASA
ORDE BARU................................................................................................. 44
3.1 Novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dan Realitas
Pemerintahan Masa Orde Baru ................................................................ 45
3.2 Aspek Simbolis dalam Novel Wasripin dan Satinah ............................... 62
BAB IV KESIMPULAN...................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 76
BIOGRAFI PENULIS.......................................................................................... 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, sastra ‘menyajikan
kehidupan’ dan ‘kehidupan yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial’,
walaupun karya sastra juga ‘meniru’ alam dan dunia subjektif manusia. Pada
intinya sastra adalah cerminan masyarakat (Jabrohim, 2001:87). Karya sastra
merupakan salah satu media refleksi atau cerminan atas realitas kehidupan
manusia yang dapat mewakili persoalan dan keadaan umum masyarakat.
Karya sastra merupakan dunia kemungkinan, artinya ketika pembaca
berhadapan dengan karya sastra, maka ia berhadapan dengan berbagai
kemungkinan dan penafsiran. Setiap pembaca memiliki hak untuk memiliki
penafsiran sendiri dan seringkali berbeda hasil penafsiran terhadap makna
karya sastra. Pembaca dengan horison harapan yang berbeda akan
mengakibatkan perbedaan penafsiran terhadap sebuah karya sastra tertentu.
Belum tentu apa yang dipikirkan pembaca adalah maksud dari pengarang
dalam menafsirkan makna suatu karya. Hal ini berkaitan dengan masalah
sifat, fungsi, dan hakikat karya sastra. Sifat-sifat khas sastra ditunjukkan oleh
aspek referensialnya (acuan), "fiksionalitas", "ciptaan" dan sifat "imajinatif"
2
(Wellek, 1989:18). Sedangkan fungs i sastra tergantung dari sudut
pandang serta ditentukan pula oleh latar ideologinya. Hakikat keberadaan
karya sastra
selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Dalam
penulisan karya sastra selalu ada konvensi-konvensi yang mengikat, padahal
dari sisi si pengarang sendiri ingin menciptakan suatu karya yang lain dari
yang lain. Dia ingin menambahkan sesuatu yang baru sesuai dengan
kreativitasnya. Ketiga unsur itu, yaitu sifat khas sastra yang menyangkut
fiksionalitas, ciptaan, dan imajinatif, yang menyebabkan masalah yang luas
dan kompleks di dalam dunia sastra. Hal ini juga telah memungkinkan
beragamnya teori dan pendekatan terhadap karya sastra, beragamnya aliran
dalam sastra dan memungkinkan beragamnya konsep estetik karya sastra.
Novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo sangat sarat dengan
kemelut konflik politik. Konflik yang disajikan di dalam novel ini banyak
memuat konflik pada zaman pemerintahan Orde Baru. Baik itu perebutan
kedudukan, kekuasaan, atau kekayaan. Seringkali disinggung bagaimana para
pemimpin pada masa itu memimpin rakyatnya dan menjalankan pemerintahan
Indonesia, serta berbagai intrik dan lika- liku model pejabat pemerintahan
dalam menjalankan pemerintahan. Lewat karyanya ini Kuntowijoyo mencoba
menggambarkan alam pik ir bangsa ini. Mulai dari tingkat paling bawah
hingga birokrasi di tingkat paling atas. Novel ini mengkritik dan mengulas
secara tidak langsung bagaimana pelaksanaan politik pada masa itu.
3
Kuntowijoyo, sang penulis novel ini sangat mencintai dan bahkan
berpihak kepada orang-orang tertindas yang selama ini selalu jadi korban
pembangunan. Kuntowijoyo lebih tampil sebagai pemikir, budayawan, dan
sastrawan daripada aktivis. Kritiknya sangat tajam, empiris, dan substansial,
tetapi jujur. Begitu pula yang ditampilkan dalam karyanya Wasripin dan
Satinah yang sangat sarat akan penggambaran ketidakadilan pada
pemerintahan masa Orde Baru.
Hal lain yang menarik pada novel Wasripin dan Satinah bila
dibandingkan dengan novel yang menyinggung atau bercerita tentang
peristiwa sejarah lainnya adalah gaya penceritaannya yang tidak menunjuk
secara langsung tentang konflik politik yang terjadi pada kurun sejarah sekitar
pemerintahan Orde Baru. Demikian juga novel Wasripin dan Satinah tidak
menunjuk secara langsung pada latar tempat dan nama-nama tokoh yang
terlibat dalam peristiwa sejarah tersebut. Namun, sesungguhnya konflik
politik dalam novel Wasripin dan Satinah merupakan pencerminan dari
konflik politik yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia sekitar
pemerintahan Orde Baru, yaitu pada pemerintahan sekitar tahun 1968-1998.
Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis untuk menganalisis novel
Wasripin dan Satinah. Penulis ingin membuktikan bahwa konflik politik
dalam novel Wasripin dan Satinah merupakan pencerminan dari sejarah
Indonesia sekitar pemerintahan Orde Baru.
4
Penulis menganalisis novel ini dengan tinjauan sosiologi sastra.
Menurut pendekatan sosiologi sastra, sebuah karya sastra dilihat hubungannya
dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan.
Objek karya sastra adalah sebuah realitas kehidupan. Apabila realitas itu
adalah sebuah peristiwa sejarah yang pernah benar-benar terjadi dalam dunia
realitas atau dunia nyata, maka suatu karya sastra tersebut mencoba untuk
menerjemahkan peristiwa itu ke dalam bahasa imajiner yaitu bahasa yang
sarat akan penggambaran imajinasi pengarang dengan maksud untuk
memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan yang dimiliki
pengarang. Selain itu, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya
untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa
sejarah. Suatu karya sastra juga dapat merupakan penciptaan kembali suatu
peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang. Sastra
menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar
terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup
hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa
yang terjadi dalam batin seseorang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas,
maka penulis membuat rumusan masalah yang akan dibahas sebagai berikut:
5
1.2.1 Bagaimana konflik politik yang terkandung dalam novel Wasripin dan
Satinah karya Kuntowijoyo dengan analisis sosiologis?
1.2.2 Bagaimana korelasi antara novel Wasripin dan Satinah karya
Kuntowijoyo dengan kenyataan dalam sejarah masyarakat Indonesia
pada masa pemerintahan Orde Baru?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka
tujuan penelitan ini sebagai berikut:
1.3.1 Mendeskripsikan konflik politik yang terkandung dalam novel
Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dengan analisis sosiologis.
1.3.2 Mendeskripsikan korelasi antara novel Wasripin dan Satinah karya
Kuntowijoyo dengan kenyataan dalam sejarah masyarakat Indonesia
pada masa pemerintahan Orde Baru.
1.4 Manfaat Penelitian
Pertama, melalui penelitian ini diharapkan dapat membuktikan sejauh
mana sosiologi sastra dapat diaplikasikan dalam novel Indonesia modern
dalam hal ini novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dilihat sebagai
dokumen sosio-budaya.
Kedua, meskipun penelitian terhadap novel karya Kuntowijoyo sudah
banyak dilakukan. Namun demikian, penelitian ini diharapkan dapat
melengkapi penelitian yang sudah ada dengan cara dan persepsi yang berbeda
6
sehingga dapat diperoleh keanekaragaman pemahaman dan penafsiran dengan
masing-masing argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
Ketiga, menyangkut tujuan praktis, penelitian ini diharapkan
membantu pembaca untuk memahami novel Kuntowijoyo. Diharapkan
penelitian ini membantu pembaca dalam memahami maksud yang terkandung
dalam Wasripin dan Satinah dan dapat membantu pemahaman sastra
mengenai konflik politik yang pernah terjadi di Indonesia. Penelitian ini
diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan bagi peneliti maupun
pembaca, mengingat novel ini termasuk novel sejarah, yaitu novel yang berisi
tentang cerita sejarah. Oleh karena itu, dengan membaca hasil penelitian ini
akan menambah wawasan kesejarahan Indonesia.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam
pengembangan kritik sastra dan ilmu sastra.
1.5 Landasan Teori
1.5.1 Pendekatan Sosiologi Sastra
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra
dalam menganalisis novel Wasripin dan Satinah. Menurut pandangan teori
ini, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya
sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang
7
cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang
diacu oleh karya sastra.
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi
kepada semesta. Namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang
dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat
hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan
kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala
sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Rene Wellek dan dan Austin
Warren (Semi, 1989:53) membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi.
Pertama, sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status
sosial, ideologi politik, dan lain- lain yang menyangkut diri pengarang. Kedua,
sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra.
Yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya
sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya.
Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan
pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh
Ian Watt (Semi, 1989:54) dengan melihat hubungan timbal balik antara
sastrawan, sastra, dan masyarakat.
8
Telaah suatu karya sastra menurut Ian Watt akan mencakup tiga hal,
yakni konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi
sosial sastra.
Konteks sosial pengarang adalah yang menyangkut posisi sosial
masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya
faktor- faktor sosial yang bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai
perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Sastra sebagai
cermin masyarakat menelaah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai
pencerminan keadaan masyarakat. Fungs i sosial sastra, dalam hal ini ditelaah
sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai
seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus
sebagai pendidikan masyarakat bagi pembaca.
Umar Junus (1986:3) mengemukakan bahwa yang menjadi
pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah sebagai berikut:
1. Karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya.
2. Penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra.
3. Penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya
sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya.
4. Pengaruh sosio-budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya
pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan
Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas.
5. Pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman.
9
6. Pendekatan Devignaud yang melihat mekanisme universal dari seni,
termasuk sastra.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yang pertama
yakni karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya yang mencatat
kenyataan sosio-budaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu.
Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa karya sastra tidak lahir dari
kekosongan budaya. Bagaimanapun karya sastra itu mencerminkan
masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan
masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.
Demikian pula objek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun
dalam menangkap realitas tersebut sastrawan mengambilnya secara acak.
Sastrawan memilih dan mengumpulkan bahan-bahan itu sesuai dengan
pedoman dan asas yang dipilihnya. Karya sastra tidak dilihat sebagai suatu
keseluruhan secara utuh, tapi hanya dipilah mana bagian yang dituju untuk
ditelaah. Pendekatan ini hanya tertarik pada unsur-unsur sosio-budaya di
dalamnya yang dilihat sebagai unsur-unsur yang lepas. Ia hanya mendasarkan
kepada cerita tanpa mempersoalkan struktur karya. Henry James (Michel
Zerraffa dalam Elizabeth and Burns, 1973:36) mengatakan bahwa sastrawan
menganalisis "data" kehidupan sosial, memahaminya dan mencoba
menentukan tanda yang esensial untuk dipindahkan ke dalam karya sastra.
Paradigma sosiologi sastra berakar dari latar belakang historis dua
gejala, yaitu masyarakat dan sastra, karya sastra ada dalam masyarakat,
10
dengan kata lain, tidak ada karya sastra tanpa masyarakat. Sebuah karya sastra
lahir dari masyarakat. Sosiologi sastra, meskipun belum menemukan pola
analisis yang dianggap memuaskan, mulai memperhatikan karya seni sebagai
bagian yang integral dari masyarakat. Tujuannya jelas untuk memberikan
kualitas yang proposional bagi kedua gejala, yaitu sastra dan masyarakat.
(Ratna, 2003). Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian
pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra
merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena
sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa
diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu
diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan,
analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam
bentuk karya sastra. Dalam mengaplikasikan pendekatan ini, karya sastra
tidak dilihat sebagai keseluruhan, melainkan hanya tertarik pada unsur sosio-
budaya di dalamnya yang dilihat sebagai unsur-unsur yang lepas dari kesatuan
karya. Sehubungan dengan analisis terhadap novel Wasripin dan Satinah,
penulis mengambil unsur yang dominan dalam karya tersebut, yakni konflik
politik.
Dalam teori sosiologi sastra ada beberapa pendapat mengenai
hubungan antara sosiologi dan sastra, salah satunya bahwa sastra yang
menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya dan sastra sebagai
cerminan masyarakat (a) sastra dapat mencerminkan masyarakat; (b)
11
menampilkan fakta-fakta sosial dalam masyarakat (Saraswati, 2003:11-12).
Pandangan ini beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari
berbagai infrastruktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan
lain sebagainya.
1.5.2 Konflik Politik
Konflik merupakan fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat.
Konflik bisa terjadi dalam hubungan proses produksi. Misalnya saja terjadi
pemogokan buruh dalam sebuah pabrik karena mereka memiliki tuntutan
kenaikan upah atau perbaikan kondisi kerja. Konflik bisa juga terjadi dengan
pertikaian antarkelompok etnis yang berbeda dalam memperebutkan sumber
daya yang sama. Konflik tidak jarang terjadi dalam masyarakat yang
mejemuk. Dalam kehidupan politik masyarakat sering dihadapkan pada
konflik dalam rangka untuk mendapatkan atau memperjuangkan sumber daya
langka yang tidak jarang disertai dengan kekerasan. Baik itu perebutan
kedudukan, kekuasaan, atau kekayaan.
Konflik terjadi karena dalam masyarakat terdapat kelompok-
kelompok, lembaga- lembaga, organisasi, dan kelas-kelas sosial yang tidak
selalu memiliki kepentingan yang sama. Konflik dilatarbelakangi oleh
perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-
perbedaan tersebut di antaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian,
pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Di antara
kelompok-kelompok tersebut memiliki perbedaan taraf kekuasaan dan
12
wewenang, sehingga konflik merupakan gejala yang senantiasa terjadi dalam
masyarakat. Demikian pula dengan sumber daya yang langka di antara
kelompok-kelompok masyarakat yang tidak selalu seimbang, sehingga konflik
merupakan gejala yang senantiasa terjadi dalam masyarakat. Dalam
kehidupan bermasyarakat, terjadinya konflik tidak dapat dielakkan. Konflik
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial. Manusia sering dipandang
sebagai struktur sosial yang memiliki berbagai tujuan dan kepentingan.
Manusia dikuasai oleh motif-motif untuk memenuhi kepentingan dirinya. Dari
berbagai kepentingan itu, antara yang satu dengan yang lain seringkali
berbenturan, sehingga untuk mencapai tujuannya masing-masing, konflik
biasa terjadi. Konflik sering digambarkan sebagai pencerminan pertentangan
kepentingan dan naluri untuk bermusuhan.
Konflik merupakan gejala yang selalu hadir dalam masyarakat.
Konflik tidak mungkin dihilangkan, melainkan hanya dapat diatur mekanisme
penyelesaiannya. Selama masyarakat ada, selama itu pula konflik ada di
dalam masyarakat. Oleh karena itu, tidaklah mungkin menghapuskan konflik
seperti yang menjadi angan-angan para diktator (Rauf, 2001:1). Dalam
menghadapi situasi yang secara potensial mengembangkan hasrat untuk
berperang dan adanya konflik, perlu diciptakan suatu organisasi dan
ketertiban sosial yang dapat dipelihara dengan baik. Untuk itu dihadirkan
organisasi-organisasi dan lembaga- lembaga yang mengatur dan melindungi
13
masyarakat, agar segala kepentingan dapat terpenuhi dengan memperkecil
risiko dari besarnya konflik yang mungkin terjadi.
Konflik politik memiliki konotasi politik yakni mempunyai
keterkaitan dengan negara atau pemerintah, para pejabat politik atau
pemerintah, dan kebijakan. Konflik politik selalu merupakan konflik
kelompok. Yang dimaksud konflik kelompok adalah konflik yang terjadi
antara dua kelompok atau lebih (Rauf, 2001:19).
Kata “politik” mengacu kepada segala sesuatu yang berkaitan dengan
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan kedudukan yang dipegang oleh
para pejabat pemerintah. Pejabat pemerintah adalah sekelompok orang yang
memegang kekuasaan untuk mengatur masyarakat secara keseluruhan
(Easton, 1965:47) dan, dalam usaha mengatur masyarakat, berhak
menggunakan kekerasan fisik yang memaksa (Almond, 1971:6). Kekuasaan
yang memiliki kedua sifat tadi (yakni mengatur masyarakat secara
keseluruhan dan menggunakan kekerasan fisik secara sah) disebut kekuasaan
politik, sedangkan orang atau kelompok orang yang memiliki kekuasaan
politik dinamakan penguasa politik. Keputusan-keputusan yang dihasilkan
oleh penguasa politik dalam usaha untuk mengatur masyarakat disebut
kebijakan politik (Rauf, 2001:20). Bahasan dalam teori politik antara lain
adalah filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat,
kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial,
14
pembangunan politik, perbandingan politik, dan sebagainya yang menyangkut
kehidupan pemerintahan.
Politik tidak selamanya negatif dan karena itu diperlukan pendidikan
politik untuk memahami perilaku politik pemerintah, partai, swasta,
organisasi masyarakat dan sebagainya dalam memperjuangkan kepentingan
orang banyak atau kepentingan kelompok. Negatif atau positifnya politik
dapat dilihat dari perilaku institusi dan perorangan dalam berpolitik. Juga
dapat dilihat sejauh-mana kebijakan dan keputusan politik menghasilkan
dampak positif atau negatif pada publik, pasar dan lingkungan sosial ekonomi
dan fisik (Djogo, 2007).
Ilmu politik sendiri didefinisikan secara sederhana sebagai studi
tentang negara, pemerintah dan politik. Varma (dalam Djogo, 2007)
menyatakan bahwa para pemikir politik biasa juga atau kadang melakukan
analisis tentang konsep negara, hukum, kedaulatan, hak-hak, keadilan atau
ketidakadilan dan sebagainya. Secara umum dapat kita katakan bahwa politik
adalah seni dan praktik pengelolaan sistem pemerintahan, yang menyangkut
institusi, kekuasaan, kewenangan, kebijakan, administrasi negara dan upaya
untuk kepentingan masyarakat banyak atau untuk kepentingan kelompok
politik tertentu. Charles Hyneman (dalam Djogo, 2007) menyampaikan ruang
lingkup ilmu politik yang mencakup struktur organisasi, proses pembuatan
kebijakan, tindakan dan keputusan, pengawasan, serta lingkungan manusia
dari suatu pemerintahan yang syah.
15
Konflik politik dirumuskan secara longgar sebagai perbedaan
pendapat, persaingan, dan pertentangaan di antara sejumlah individu,
kelompok, ataupun organisasi dalam upaya mendapatkan dan atau
mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan
dilaksanakan pemerintah (Surbakti, 1992: 151). Secara sempit konflik politik
dapat dirumuskan sebagai kegiatan kolektif warga masyarakat yang diarahkan
untuk menentang kebijakan umum dan pelaksanaannya, menentang perilaku
penguasa beserta segenap aturan, struktur, dan prosedur yang mengatur
hubungan-hubungan di antara partisipan politik. Namun sesungguhnya,
konflik memiliki fungsi positif bagi masyarakat. Menurut Dahrendorf
(Surbakti, 1992: 150) konflik berfungsi sebagai pengintegrasian masyarakat
dan sebagai sumber perubahan. Selain itu, konflik berfungsi untuk
menghilangkan unsur-unsur pengganggu dalam suatu hubungan. Dalam hal
ini konflik sebagai penyelesaian ketegangan antara unsur-unsur yang
bertentangan, yang mempunyai fungsi stabilisator dan menjadi komponen
untuk mempererat hubungan (Surbakti 1992: 150).
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Duverger (1967:33) yang
berpendapat bahwa setiap fenomena politik memiliki aspek konflik dan
integrasi. Kekuasaan merupakan salah satu fenomena politik yang penting.
Kekuasaan merupakan sumber daya langka yang menjadi penyebab konflik.
Orang yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk mempertahankan
kekuasaan. Di samping itu, ada pihak lain yang menentang kekuasaan dan
16
ingin merebut kekuasaan itu untuk tujuan yang sama. Kekuasaan mempunyai
aspek integrasi dalam arti bahwa kekuasaan dipergunakan untuk menegakkan
ketertiban dan keadilan; sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteran
umum melawan tindakan berbagai kelompok kepentingan.
1.5.3 Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto
di Indonesia. Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Presiden
Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas
penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno. Menurut versi Orde
Baru, Orde Lama adalah pemerintahan kacau yang koruptif dan tidak mampu
menyelenggarakan negara. Demi memperbaiki situasi yang kacau ini,
kelompok yang dipimpin Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan dan
menamakan dirinya sebagai “Orde Baru”. Dalam penggunaan istilah yang
sifatnya sepihak ini istilah “baru” dikonotasikan sebagai sesuatu yang baik
dan memberi harapan, sedang ungkapan “lama” dikaitkan dengan sifat-sifat
negatif semisal kecenderungan manipulatif dan tidak kompeten dalam
melaksanakan pemerintahan (Adam, 2006:29).
Sejak kelahirannya, salah satu tekad utama pemerintahan Orde Baru
adalah mengadakan koreksi total terhadap “kegagalan” sistem-sistem politik
sebelumnya. Untuk memperbaiki kegagalan-kegagalan yang dilakukan Orde
Lama, Orde Baru melakukan perbaikan dari dua “kegagalan” pokok yang
17
dilakukan orde sebelumnya dengan melaksanakan pembangunan ekonomi dan
menciptakan sistem politik yang stabil. Kegagalan-kegagalan ini tercermin
pada kemerosotan perekonomian yang begitu parah pada tahun 1960-an, dan
munculnya berbagai pemberontakan lokal yang mencapai puncaknya pada
peristiwa G-30-S/PKI (Pabottingi, 1996:182).
Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka
waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi
praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara
rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar (Adam, 2006:29).
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui
pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk
menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET
(eks tapol) bagi mereka para mantan tahanan politik Orde Baru. Belakangan
ini baru disadari bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran HAM.
Pembubuhan tanda ET dapat mematikan kehidupan sosialnya dalam berpolitik
maupun dalam masyarakat (ibid).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai
tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif
yang didominasi militer, namun dengan nasihat dari ahli ekonomi didikan
Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan
seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan
18
keluarga Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang
didengar oleh pusat (Adam, 2006:81-82).
Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwi tujuan,
bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di
pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta
dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik
dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi. Dengan kekuasaannya yang
besar, dia mampu melakukan apa pun. Perintah Soeharto bagaikan perintah
dewa yang harus dituruti (jika ingin selamat) (ibid).
1.5.3.1 Eksploitasi Sumber Daya
Selama masa pemerintahan Orde Baru dengan kebijakan-kebijakan
yang diberlakukannya dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-
besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar meski tidak merata
di Indonesia. Contohnya, dengan pertumbuhan ekonomi yang besar ini
ditandai dengan jumlah orang yang kelaparan banyak berkurang pada tahun
1970-an dan 1980-an. Segala sumber daya alam yang ada di Indonesia benar-
benar dimanfaatkan bahkan terkesan dikeruk habis-habisan yang dipromotori
serta dikuasai oleh keluarga Cendana keuntungannya.
1.5.3.2 Kelebihan Sistem Pemerintahan Orde Baru
1. Sukses meningkatkan angka pendapatan masyarakat.
Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun
19
1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari
AS$1.000.
2. Sukses transmigrasi.
3. Sukses proram KB (Keluarga Berencana).
4. Sukses memerangi buta huruf.
5. Sukses swasembada pangan.
6. Sukses meminimalisir jumlah pengangguran.
7. Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun).
8. Sukses Gerakan Wajib Belajar Sembilan Tahun.
9. Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh.
10. Sukses dalam menjaga keamanan dalam negeri.
11. Sukses dalam menarik investor asing.
12. Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk
dalam negeri.
1.5.3.3 Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
1. Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme.
2. Pembangunan Indonesia yang tidak merata.
3. Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang
tidak merata bagi si kaya dan si miskin).
4. Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan.
5. Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran
dan majalah yang dibredel.
20
Dari data-data di atas yang didapat dari, http://id.wikipedia.org/wiki/
Sejarah_Indonesia_%28Era_Orde_Baru%29 tak bisa disangkal rezim ini
memang mencatat prestasi-prestasi besar. Dengan adanya stabilitas politik,
telah terjadi loncatan jauh di bidang ekonomi. Akan tetapi di lain pihak rezim
ini telah meninggalkan keterpurukan yang harus ditanggung oleh generasi
selanjutnya.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan berkembang pesat.
Menurut versi pihak kalangan Orde Baru, program-program pembangunan
dalam mengentaskan kemiskinan berhasil sukses. Banyak sekali program
modernisasi yang ditempuh, berbagai bentuk pembangunan sarana umum,
berikut pesatnya penanaman modal asing di Indonesia. Semua hal di atas
merupakan tanda betapa suksesnya pembangunan di Indonesia (Moedjanto,
1988:170-171). Maka pemerintahan Orde Baru merasa perlu dan wajib untuk
mengangkat Presiden Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan”. Makin marak
masuknya modal asing di Indonesia menunjukkan betapa ramahnya rezim itu
terhadap modal asing. Sikap ramah tersebut tentu saja bukan saja melulu
mendatangkan kemakmuran terhadap masyarakat, tetapi terlebih juga demi
kemakmuran keluarga dan kelompoknya. Selang beberapa bulan Presiden
Soekarno menadatangani Supersemar, Soeharto langsung mempersilakan IMF
masuk Indonesia kemudian Indonesia mulai mengadakan pertemuan dengan
negara-negara yang memperlancar masuknya PT. Freeport ke Indonesia
(Adam, 2006:38). Keuntungan minyak bukan saja membawa kemakmuran
21
bagi masyarakat, terlebih pada kalangan orang-orang yang dekat dengan
pemerintah. Korupsi sering terjadi di pihak pejabat. Bersama maraknya
korupsi, dunia industri mulai dirambah oleh Keluarga Soeharto dan rekan-
rekannya. Keluarga Soeharto juga mendirikan industri dan pabrik-pabrik atas
nama keluarga Soeharto yang ditangani bersama orang-orang terdekatnya
yang pada akhirnya usahanya sukses baik di dalam maupun luar negeri.
Sudah dirasakan kemajuan ekonomi yang dicapai pembangunan
sampai sekarang. Penghasilan penduduk rata-rata secara nasional 800 dolar
setahun. Industri semakin menjadi andalan nasional. Sarana dan prasarana
sosial ekonomi telah semakin mampu memenuhi kebutuhan rakyat pada
umumnya. Sekalipun begitu, hasil tersebut disertai dengan berbagai
kelemahan. Kesenjangan kemajuan antardaerah dan kemiskinan di kalangan
masyarakat belum tertangani secara tepat. Indonesia menjadi negara
penghutang ketiga terbesar di dunia. Kolusi dan korupsi yang merugikan
rakyat belum terkontrol secara sistematik. Penyalahgunaan kekuasaan di
semua peringkat struktur masyarakat masih menghimpit hak-hak dasar rakyat,
terutama yang lebih lemah. Demokrasi dipertentangkan dengan kemakmuran,
sekalipun keduanya merupakan tujuan kemerdekaan (Pabottingi, 1996:51).
1.6 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang
mengutamakan bahwa sastra mencerminkan atau menampilkan kehidupan
22
yang merupakan realitas sosial. Pendekatan sosiologi sastra ini merupakan
pendekatan yang tidak mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian.
Pendekatan tersebut berdasarkan anggapan bahwa sastra adalah cermin
kehidupan masyarakat dan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan
(Damono, 1978:2).
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif analisis. Pertama-tama dipilih salah satu unsur dalam novel
Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo yakni aspek konflik politik.
Selanjutnya konflik politik dalam novel tersebut dideskripsikan dengan
dibantu oleh teori- teori tentang konflik serta dihubungkan dengan peristiwa
pada masa Orde Baru. Analisis ini dilengkapi dengan data-data sejarah yang
diperoleh dari kepustakaan.
Peneliti hanya menggunakan satu teknik pengumpulan data, yakni
metode kepustakaan. Metode ini dilakukan dengan menelaah pustaka yang
ada kaitannya dengan objek penelitian yakni konflik politik pada masa Orde
Baru dalam novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo. Metode
kepustakaan diperoleh dengan cara teknik catat, yakni mencatat data yang
berasal dari buku-buku dan bacaan-bacaan yang memuat hal-hal yang
berhubungan dengan konflik politik pada masa Orde Baru. Peneliti
mengumpulkan representasi atau cerita-cerita yang memuat konflik atau
gambaran konflik yang mirip atau menyinggung kejadian yang terjadi pada
masa Orde Baru, kemudian peneliti mencari korelasi yang terjadi pada
23
kehidupan nyata, yaitu yang benar-benar terjadi pada masa pemerintahan
Orde Baru di Indonesia.
1.7 Sumber Data
Novel : Wasripin dan Satinah
Pengarang : Kuntowioyo
Tahun terbit : 2003
Tebal buku : iv + 256 hlm; 14 cm x 21 cm
Cetakan : Pertama
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
1.8 Sistematika Penyajian
Hasil penelitian ini terdiri dari tiga bab. Bab I berisi pendahuluan yang
meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab II berupa analisis sosiologis yang membahas aspek konflik politik
dalam novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.
Bab III mengungkapkan masalah realitas sosial, yakni membahas
kesejajaran antara konflik politik dalam novel Wasripin dan Satinah karya
Kuntowijoyo dengan konflik politik dalam sejarah Indonesia.
Bab IV berisi kesimpulan dari hasil analisis data dan diakhiri dengan
pemaparan daftar pustaka.
24
BAB II
KONFLIK POLITIK DALAM NOVEL WASRIPIN DAN SATINAH
KARYA KUNTOWIJOYO
Dalam penelitian ini, penulis mengambil unsur yang dominan dalam
novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo, yakni konflik politik.
Apabila suatu pertentangan diselesaikan dengan keterlibatan
pemerintah dan lembaga politik, maka konflik tersebut berkembang menjadi
konflik politik, demikian pula dengan pemogokan buruh akibat perselisihan
dengan pengusaha. Pada umumnya pemogokan tersebut beraspek sosial dan
ekonomi. Akan tetapi, bisa berubah menjadi konflik politik apabila
pemogokan tersebut berkembang menjadi besar dan memiliki tuntutan politis,
serta melibatkan lembaga- lembaga politik dan pemerintah. Gerakan-gerakan
sosial yang tampak tidak mempunyai tendens i politik terkadang memiliki
tujuan politik untuk masa jangka panjang. Demikian pula dengan gerakan-
gerakan intelektual seperti pendirian organisasi-organisasi intelektual yang
melibatkan tokoh-tokoh yang punya sumber kekuasaan potensial bisa
dijadikan sarana politik dan ada kemungkinan bisa menimbulkan konflik
politik.
Konflik politik dalam novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo
merupakan konflik yang dominan. Konflik tersebut meliputi hampir
keseluruhan cerita. Analisis sosiologis terhadap novel Wasripin dan Satinah
25
dengan mengambil konflik politik meliputi penyebab terjadinya konflik, tipe
konflik dan tujuan konflik. Novel Wasripin dan Satinah mengisahkan
pergolakan politik yang terjadi di sebuah negara. Negara ini senantiasa
mengalami konflik yang tajam, pemberontakan dan kekerasan serta
fragmentasi dalam pelaksanaan pemerintahan. Hal ini disebutkan secara
eksplisit oleh pengarangnya:
(1) “Saudara-saudara, saya baru saja terima surat ancaman. TPI akan dibakar kalau kita mencampuri urusan mereka. Karenanya, jangan diulang lagi, Wasripin. Mereka punya backing.” Ancaman itu tidak sekedar menakut-nakuti. Malam hari yang lain serombongan laki- laki datang di TPI dengan sebuah truk. Mereka menggedor pintu dan mengobrak-abrik lemari, meja-kursi, bangku-bangku. Satpam yang tertidur tidak mendengar suara-suara itu. Kemudian mereka mengecer-ecer bensin di lantai. Lalu menyulutnya dengan korek api. TPI terbakar. Mereka pergi. Satpam yang bertugas bangun dari tidur di emperan surau. Berteriak-teriak, “Api! Api! Tolong! Tolong!” Ketika siang itu Kepala TPI datang, dia hanya dapat mengumpat dala hati. Untung ketua Partai Randu segera datang, menepuk-nepuk pundak, menentramkan hatinya. “Jangan khawatir, ini pasti sebuah kesalahan. Akan kumintakan ganti,” kata Ketua Partai Randu. “Siapa yang mengganti?” “ Kau tahu beresnya saja, mereka pasti tak tahu bahwa TPI itu persembahan Randu untuk nelayan.” Sungguh seperti sulapan, hanya dalam dua minggu TPI sudah berdiri lagi. Kerja lembur. Kali ini lebih bagus, tembok semen, kusen dan daun pintu kayu jati, dan cat-cat baru. Mereka mendengar bahwa Partai Randu yang membangun. Karenanya tidak heran dari mana datangnya duit untuk membangun, semua orang mengerti kekuasaan itu kuasa. (Kuntowijoyo, 2003:66-67)
26
(2) “Ketika TPI dibakar, yang mengganti kok Ketua Partai Randu?”
Secara bersama-sama orang menyahut, “Itu dalam penyelidikan.” Berkali-kali. Ruang pertemuan gaduh.
“Gombal!” “Pembodohan!” (Kuntowijoyo, 2003:179)
Dalam penggalan kutipan di atas (kutipan 1 dan 2), sekelompok
gerombolan telah merusak dan membakar TPI (Tempat Pelelangan Ikan).
Lalu tidak seberapa lama, pemimpin Partai Randu datang dan mengembalikan
bahkan memperbaiki dengan jauh lebih baik dibandingkan keadaan TPI
sebelumnya. Hal itu tidak mengherankan karena pemimpin Partai Randu
adalah orang penting dan mempunyai kekuasaan yang berarti dalam negara.
Kuat dugaan bahwa sebenarnya pihak Partai Randulah yang merencanakan
perusakan kemudian berpura-pura menjadi pahlawan bagi masyarakat
nelayan. Hal ini dilakukan untuk menarik simpati masyarakat agar mau
memberikan suaranya untuk Partai Randu agar Partai Randu menang dalam
pemilu.
(3) Seleksi ideologis, pengetahuan administratif, dan pengetahuan lingkungan sosio-kultural desa. Pengumuman calon diadakan dua minggu sebelum hari H untuk menghindari kampanye terselubung dan obral uang (kemudian disebut money politics). Perhitungannya demikian: seminggu untuk kampanye dan seminggu minggu tenang. Namun beberapa calon sudah mencuri start dengan keyakinan akan lulus seleksi. Mereka membentuk kader, kampanye door-to-door, mengadakan rapat diam-diam, dan menjanjikan ini- itu (termasuk memberikan uang bagi pemilihnya). Dari sebelas calon yang lulus (diluluskan) seleksi ada tiga orang. Jadi
27
banyak calon yang kecewa. (Tiga cukup. Biar tidak bertele-tele).
Kampanye pun dimulai. Meskipun tinggal di pantai, mereka masih malu-malu: tak ada pidato-pidatoan (“Pilih aku!”), rapat-rapat umum (“Pembangunan desa jadi prioritas!”), dan janji-janji terbuka (“Listrik masuk desa!”). Hanya saja kampanye terselubung sudah direncanakan sebelumnya oleh ketiga kontestan berupa: ziarah politik, tahlilan politik, doa politik, istighotsah politik, wayangan politik, ruwat politik. Desa menjadi ramai seperti pasar malam dalam minggu itu. Para PKL (pedagang kaki lima) ikut sibuk. Mereka akan pindah dari tempat ke tempat lain, sedikitnya tiga putaran siang-malam. (Kuntowijoyo, 2003:82-83)
Ada banyak kecurangan. Ada berbagai intrik dalam pelaksanaan
politik dalam pemerintahan. Segala cara dilakukan demi terlaksananya semua
keinginan suatu kelompok politik. Dari iming- iming untuk menarik tokoh
masyarakat, money politics hingga pencurian start untuk kampanye. Berbagai
intrik dan cara pemerintahan dari pemerintah dan beberapa pihak yang ingin
menduduki posisi dalam pemerintahan telah menimbulkan konflik dalam
masyarakat maupun dalam badan pemerintahan itu sendiri. Konflik yang
didasari dengan keinginan yang berkaitan dengan pemerintahan inilah yang
disebut konflik politik karena dalam konflik ini terdapat keterlibatan
pemerintah dan lembaga politik.
2.1 Penyebab Konflik Politik
Penyebab timbulnya konflik adalah kemajemukan struktur
masyarakat, baik kemajemukan kultural maupun sosial. Kemajemukan sosial
28
dan kultural ini dikategorikan sebagai kemajemukan horisontal (Surbakti,
1992: 151). Selain itu kemajemukan vertikal juga merupakan kondisi yang
memungkinkan terjadinya konflik. Kemajemukan vertikal ditandai dengan
struktur masyarakat yang terpolarisasi menurut pemilikan kekayaan,
pengetahuan, dan kekuasaan. Kemajemukan tersebut memungkinkan
perbedaan kepentingan di antara kelompok-kelompok masyarakat.
Kemajemukan horisontal kultural dapat menimbulkan konflik karena masing-
masing unsur kultural berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik
budayanya dari ancaman kultur lain, sedangkan kemajemukan horisontal
sosial dapat menimbulkan konflik sebab tiap-tiap kelompok yang
mendasarkan pekerjaan dan profesi serta tempat tinggal tersebut memiliki
kepentingan berbeda bahkan saling bertentangan. Kemajemukan vertikal
dapat menimbulkan konflik sebab sebagian besar masyarakat tidak memiliki
atau hanya memiliki sedikit kekayaan dan kekuasaan. Namun demikian,
perbedaan-perbedaan masyarakat ini akan menimbulkan konflik apabila
kelompok-kelompok tersebut memperebutkan sumber-sumber yang sama dan
manakala terdapat benturan kepentingan.
Seperti dalam novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo,
terdapat partai-partai yang saling berebut kekuasaan. Mereka berebut untuk
memenangkan pemilu. Bahkan tidak jarang partai-partai ini melakukan hal-
hal untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Dalam kutipan berikut terdapat
29
Partai Randu dan Partai Langit yang saling menjatuhkan dan menyalahkan
dalam suatu kampanye.
(4) Pemogokan itu benar-benar terjadi waktu ada tawur antara pendukung Partai Randu dan Partai Langit. Ketua Partai Randu dan pimpinan pusat akan datang. Polisi dikerahkan, menjaga titik-titik rawan dua hari sebelum hari H. Rencana kunjungan itu tersebar luas. Koran-koran daerah dan pusat diramaikan dengan perang pernyataan. Partai Langit menuduh Partai Randu mencuri start, kampanye sebelum waktunya. Partai Randu membantah, katanya itu hanya pertemuan biasa untuk konsolidasi. Partai Langit mengatakan pertemuan biasa itu seharusnya tanpa pidato-pidato di alun-alun kota.
Ceritanya, panggung calon tempat pidato Ketua Partai Randu roboh pagi-pagi, hanya beberapa jam sebelum dipakai. Panitia geger, tidak mungkin lagi membuat pangung. Pimpinan Partai Randu menuduh Partai Langit yang telah berbuat itu. Partai Langit membantah, menyatakan perlunya dibentuk tim pencari fakta independen. Polisi menyatakan ada pihak ketiga sengaja memperkeruh situasi. Kepala Polisi berjanji akan mencari pihak ketiga itu, artinya ekstrim kiri (PKI), ekstrim kanan (DI/TII), dan golput. Rapat di alun-alun dibatalkan, jadi hanya ada rapat tertutup. (hlm 132)
Maurice Duverger (1967) mengajukan penyebab konflik bertolak dari
sudut pandang pelaku konflik. Menurut Duverger (1967: 174) penyebab
antagonisme politik (konflik politik) meliputi sebab-sebab individual dan
sebab-sebab kolektif. Sebab-sebab individual menurut Duverger, karena
terdapat perbedaan bakat individual di antara manusia. Ia mendasarkan diri
pada konsep-konsep biologi Charles Darwin tentang struggle for life yang
menyatakan bahwa setiap individu harus bertempur melawan yang lain untuk
kelangsungan hidup dan hanya yang paling mampu akan memenangkannya.
30
Dari kecenderungan ini menjelma menjadi perjuangan untuk memuaskan
kebutuhan manusia. Dalam arena politik hal ini menjadi perjuangan untuk
posisi utama. Selain itu, dalam diri manusia terdapat naluri untuk berkuasa
yang dianggap sebagai kecenderungan manusiawi yang fundamental. Ambisi
individual ini merupakan faktor primer di dalam konflik politik.
Konflik politik yang disebabkan oleh kolektif bertolak dari kondisi
masyarakat. Di dalam masyarakat terdapat kelas-kelas sosial yang mempunyai
perbedaan kepentingan. Kontradiksi yang tajam antara kelas sosial yang satu
dengan kelas sosial yang lain mengakibatkan perjuangan kelas yang disertai
dengan kekerasan. Perjuangan kelas merupakan bentuk konflik politik.
Bentuk-bentuk konflik lainnya seperti konflik antara buruh dan pengusaha,
petani dengan tuan tanah, konflik kelompok-kelompok ideologis menurut
analisis ini adalah pencerminan dari perjuangan kelas.
Konflik politik terbentuk karena adanya penguasa politik. Oleh karena
itu faktor terpenting dalam konflik politik adalah penguasa politik. Dalam
banyak kasus, penguasa politik ternyata menjadi penyebab dari berbagai
penderitaan warga masyarakat, meskipun di dalam kasus yang jumlahnya
lebih sedikit, penguasa politik ada yang berhasil menciptakan kesejahteraan
bagi rakyatnya (Rauf, 2001:23).
Konflik politik yang diceritakan dalam novel Wasripin dan Satinah
terpolarisasi dalam kelompok-kelompok sosial yang memiliki perbedaan-
perbedaan peran dan kepentingan. Dengan kata lain kondisi sosial dan kultural
31
serta kondisi politiknya sangat majemuk. Struktur masyarakatnya terpolarisasi
menurut kekayaan, pengetahuan dan kekuasaan.
Kekuasaan dan wewenang merupakan sumber daya langka yang sering
kali menjadi penyebab terjadinya konflik dan perubahan pola-pola yang telah
melembaga. Distribusi sumber kekuasaan dalam negara tidak seimbang.
Distribusi kekuasaan pada partai-partai politik terlihat dalam novel ini.
Dalam novel ini banyak pihak yang bertikai, yakni dari kalangan
masyarakat dan pemerintah, di mana dalam tubuh pemerintah itu sendiri
terdapat konflik-konflik tersendiri.
Diceritakan tiga partai saling berebut untuk mencari massa dalam
artian mencari dukungan dari masyarakat. Di antaranya Partai Randu, Partai
Kuda dan Partai Langit. Masing-masing memiliki cara tersendiri untuk
menarik dan mengajak masyarakat untuk mendukung. Namun, dari ketiga
partai yang bertikai, Partai Kuda jarang sekali muncul. Dari ketiganya Partai
Kuda sangat jarang diceritakan oleh pengarang, sehingga timbul kesan bahwa
Partai Kuda tidak pernah turut bertikai dalam memperebutkan kekuasaan.
Bahkan tidak diceritakan dalam novel ini bagaimana usaha Partai Kuda untuk
mendapatkan kekuasaan dan posisi dalam pemerintahan. Dalam novel ini
Partai Kuda hanya diceritakan turut bersaing dalam pemilu.
Dari ketiga partai ini, Partai Randulah yang memiliki kekuasaan paling
tinggi. Anggota-anggota Partai Randu adalah orang-orang penting yang
32
pernah ada dalam pemerintahan. Semua orang bahkan TNI tunduk pada
perintah pimpinan Partai Randu.
(5) Untuk keperluan Partai Randu, di alun-alun kota didirikanlah sebuah panggung pertunjukan yang akan diisi rombongan artis-artis keliling dari ibu kota. Dalam rencana Bupati Kepala Daerah, Komandan Tentara, dan Kepala Polisi akan diminta menyumbangkan suara. Soal perizinan, jangan tanya mudahnya. Partai Randu tinggal menelpon Kepala Polisi. Pengamanan Polisi ekstra kuat diperlukan karena Partai Randu memperkirakan yang menonton pasti banyak ekstrem kanan dan golputnya. (hlm 172)
Secara eksplisit disebutkan pengarang bahwa kekuasaan Partai Randu
sangat besar. Dia dapat dengan mudah mendapatkan izin dan dukungan dari
berbagai pihak-pihak penting yang nanti dapat membantunya untuk mencapai
tujuan.
Sebenarnya dari masyarakat nelayan, Partai Randu tidak mendapatkan
suara karena mereka menganggap pimpinan dan anggota-anggota partai ini
sering melakukan penyelewengan. Oleh karena itu, masyarakat desa nelayan
lebih memilih salah seorang dari penduduknya yang dikenal jujur dan baik
hati untuk menjadi pimpinan mereka, Wasripin. Wasripin adalah seorang yang
polos dan memiliki kemampuan untuk mengobati banyak orang dengan
penyakit apapun. Karena keahliannya itulah dia dikenal banyak orang.
(6) Wasripin semakin sibuk menolong orang. Anak-anak yang panas, ibu batuk tak sembuh-sembuh, laki- laki yang selalu semutan kakinya, orang yang rumahnya angker, laki- laki
33
yang kakinya membengkak, laki- laki yang tidak thok-cer, suami- istri yang belum dikaruniai anak, rumah yang banyak penunggunya. Kadang-kadang diajaknya pasien ke TPI. Mereka membawa makanan, kalengan, baju, sarung untuk Wasripin. Seluruh desa mengenalnya. Dia juga menjadi konsultan. Pengantin yang tak kunjung akur, anak yang bodoh sekolahnya, orang yang akan mendirikan rumah, orang yang membeli tanah, perjodohan, peruntungan pekerjaan, orangtua yang kehilangan anak. Musim tanam tidak ditanyakan ke PLP (Penyuluh Lapangan Pertanian) tapi ke Wasripin. Kerbau hilang tidak lapor ke Polisi tapi ke Wasripin. Hampir-hampir tidak ada waktu untuk diri sendiri. Surau, TPI, dan menolong. (hlm 75)
(7) “Namamu pasti Wasripin.” “Kok tahu?” “Diam-diam kau terkenal di sini.” (hlm 14)
(8) Wasripin keluar dari TPI. Orang-orang di pasar berbisik-bisik, “Inilah Wasripin, kata orang dialah pemimpin kita yang baru. “ (hlm 38)
(9) “Aku tahu sekarang, kau pasti Wasripin,” teriaknya setelah jauh. “Pemimpin kami!”
“Eh, aku pemimpin pencuri juga?” pikir Wasripin. (hlm 63)
Seluruh masyarakat nelayan mengakui bahwa Wasripin adalah
pemimpin mereka. Orang yang selama ini mereka anut dan mereka percayai
dapat memimpin masyarakat. Bahkan seorang pencuri pun tunduk padanya.
(10) Partai Randu dengar, Partai Langit dengar. Mereka masing-masing mengadakan rapat kilat. Wasripin akan sangat menguntungkan bagi kemenangan partai mereka di perkampungan nelayan itu dalam pemilu yang sudah di ambang pintu. Dan mereka tidak mau kehilangan momentum, mumpung masih hangat beritanya. Partai Randu memutuskan untuk memberi jabatan sebagai koordinator pemenangan pemilu, Partai Langit memutuskan untuk mengangkatnya jadi salah satu ketua. Aparat desa juga cepat-cepat mengadakan pertemuan untuk mengangkatnya sebagai Komandan Hansip. (hlm 29-30)
34
Partai Randu dan Partai Langit bertikai dan berebut untuk menarik
pimpinan masyarakat ini untuk menjadi anggotanya. Berbagai cara dan iming-
iming diberikan untuk menarik perhatian Wasripin, tapi keluguan dan
kepolosan sang pemimpin ini berhasil mematahkan semangat para anggota
partai.
(11) Ketua Partai Randu mendekat. “Wasripin, jangan tolak kesempatan yang bagus ini.
Kau akan kami jadikan koordinator pemenangan pemilu Partai Randu. Kalau menang, kau dapat naik ke tingkat kecamatan. Dari kecamatan dapat meningkat ke kabupaten. Dari kabupaten ke tingkat provinsi. Dari provinsi ke tingkat pusat. Di pusat dunia terbuka: menteri, ketua DPR/MPR, gubernur, bupati. Tinggal pilih.” Wasripin melongo,tidak paham. “Apa artinya, Pak?” tanyanya pada Pak Modin. “Ya, seperti yang dikatakannya.” “Semua pada mulanya juga tak ngerti, kata Ketua Partai
Randu. “Itulah sebabnya ada sekolah, ada kursus, ada seminar,
ada training. Bagaimana?” Wasripin menggeleng, lebih karena tidak mengerti
daripada menolak. Ketua Partai Langit maju. “Bagaimana kalau Wakil Ketua Partai Langit?”
Lagi- lagi Wasripin bisik-bisik pada Pak Modin menanyakan apa artinya salah satu Ketua Partai Langit.
“Jangan, Pak. Jabatan itu terlalu tinggi.” (hlm 31-32)
Pemerintah yang juga adalah sahabat dekat pimpinan Partai Randu
melakukan berbagai cara agar Wasripin gagal menjadi sang pemimpin karena
kehadirannya dapat menggagalkan rencana menangnya partai pimpinannya.
35
Akhirnya ditemukan kesalahan bahwa Wasripin tidak memiliki KTP, dia
dianggap sebagai pendatang gelap.
(12) Di saku baju ditemukan fotokopi ijazah yang terlipat-lipat dan lusuh: Ijazah SD. Selain itu tidak ada apapun: tidak KTP, tidak SIM. (hlm 11)
Namun Wasripin lebih memilih untuk menjadi seorang satpam TPI
(Tempat Pelelangan Ikan).
(13) “Pilih yang mana?” Tanya Pak Modin. “Saya jadi satpam saja,” katanya. (hlm 36)
Kemudian Wasripin justru memilih Pak Modin, orang selama ini
menampungnya di surau, untuk menjadi pemimpin. Mendengar kabar ini,
masyarakat desa nelayan pun setuju, karena Pak Modin adalah pilihan
Wasripin sang pemimpin mereka. Masyarakat nelayan melakukan berbagai
cara agar Pak Modin bisa menjadi salah satu wakil mereka.
(14) Wasripin yang tidak berhak ikut pilkades dijadikan penasehat.
Di rumah, di TPI, di jalan, sedang nonton Satinah menyanyi orang bertanya kepada Wasripin, “Pilih siapa?”
“Pak Modin- lah.” Kabar bahwa Wasripin memilih Pak Modin segera
tersebar di seluruh perkampungan nelayan. “Pemimpin kita memilih Pak Modin!” “Pemimpin kita memilih Pak Modin!”
Setelah pilkades diselenggarakan ternyata Pak Modin meraup delapan puluh persen suara. Maka seeblum diadakan putaran selanjutnya, pesaing Pak Modin pun mengundurkan
36
diri. Pak Modin meraih kemenangan. Tetapi, Danramil masih minta Pak Modin bersaing dengan kotak kosong, katanya untuk menjamin pilkades yang bersih dan demokratis. Camat setuju dengan usulan itu. Pak Modin pun memenangkan sembilan puluh lima persen, lima persen tidak datang, dan kotak kosong sungguh-sungguh kosong.
Dalam rapat Muspika, Danramil menunjukkan surat dari Kodim yang ditandatangani Wadandim supaya tidak ada pelantikan Kades.
“Pemilihan cermin aspirasi rakyat,” kaya Camat. “Tidak. Intel kita berkata lain,” kata Danramil. Camat pun menunda-nunda pelantikan Kades. (hlm 84-
85)
Namun sekali lagi kehadirannya pun dipersulit. Hingga pada akhirnya
masyarakat pun lebih memilih golput (tidak memilih partai mana pun).
(15) Orang sudah terlanjur mencap para nelayan sebagai golput fanatik, tidak mau terlibat dalam politik desa maupun nasional. Pernah suatu partai mengadakan rapat umum di lapangan TPI, para nelayan membubarkan rapat itu. (hlm 83)
(16) Partai Randu sudah menargetkan perolehan suara yang
tak mungkin diraih bila surau masih golput. Maka, sebagai pemuka masyarakat dan lulusan Pendekar (pendidikan kader) Partai, dia mengusulkan dalam rapat LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) untuk memberi saja sebuah KTP (kartu tanda penduduk) pada Wasripin, tanpa embel-embel ET (Eks Tapol). Syaratnya, dia berjanji tak akan golput. Usulan itu diterima, seperti biasanya dengan aklamasi. (hlm 109)
Usaha Partai Randu tidak berhenti sampai di sini. Berbagai intrik
dilakukan agar Partai Randu diterima di hati rakyat meskipun harus
menggunakan cara-cara yang anarkhi dan penuh kekerasan (seperti pada
kutipan no.1), dan banyak cara lainnya.
37
(17) “Pak Modin dedengkot golput harus disingkirkan bila partai ingin menang,” kata renstra yang dibuat Ketua Partai Randu setempat (“disingkirkan” artinya ”dimusnahkan”, ”dipenjara”, atau “ditahan”). (hlm 137)
Berdasarkan penyebab konflik yang diajukan oleh Duverger, maka
penyebab konflik politik dalam masyarakat yang dikisahkan oleh novel
Wasripin dan Satinah hanya memiliki relevansi dengan sebab-sebab
individual.
Teori Duverger (1982:174) tentang penyebab konflik menunjukkan
kepada kita bahwa konflik kelompok dapat pula ditimbulkan oleh bakat-bakat
individual, di samping tentu saja merupakan penyebab terjadinya konflik
pribadi. Tidaklah mengherankan bila sebab-sebab individual seperti
kecenderungan berkompetisi atau selalu tidak puas terhadap pekerjaan orang
lain dapat menyebabkan orang yang mempunyai ciri-ciri seperti selalu terlibat
konflik dengan orang lain di manapun mereka berada. Yang menjadi masalah
adalah bila bakat-bakat individual seperti itu menimbulkan konflik kelompok
karena konflik kelompok menghasilkan dampak yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan konflik pribadi. Konflik kelompok merupakan ciri
konflik politik. Oleh karena itu sifat-sifat pribadi seseorang dapat saja
menimbulkan konflik politik bila orang tersebut adalah pimpinan atau orang
yang berpengaruh di dalam kelompoknya. Pimpinan sebuah partai politik
umpamanya, yang mempunyai kecenderungan berkonflik dengan orang lain
38
akan menyebabkan partai politik bersangkutan cenderung terlibat konflik
dengan partai politik atau kelompok lain. Pemimpin yang mempunyai bakat
yang kuat untuk berkonflik akan menimbulkan persoalan bagi kelompoknya
karena pemimpin tersebut akan selalu menyeret kelompoknya ke dalam
konflik dengan kelompok-kelompok lain.
2.2 Tipe Konflik Politik
Dalam teori konflik politik dikenal dua tipe konflik. Paul Conn
membuat kategori tipe konflik, yakni konflik positif dan konflik negatif
(Surbakti 1992:153). Yang dimaksud dengan konflik positif ialah konflik
yang tidak mengancam eksistensi sistem politik, yang biasanya disalurkan
lewat mekanisme penyelesaian konflik yang disepakati bersama dalam
konstitusi. Sebaliknya konflik negatif ialah konflik yang dapat mengancam
eksistensi sistem politik yang biasanya disalurkan lewat cara-cara
nonkonstitusional seperti kudeta, separatisme, terorisme dan revolusi
(Surbakti, 1992:71). Kedua tipe konflik ini berkaitan dengan tipe masyarakat,
yakni masyarakat yang mapan dan masyarakat yang belum mapan.
Masyarakat yang mapan telah memiliki dan mendayagunakan struktur
kelembagaan yang diatur dalam konstitusi. Sedangkan masyarakat yang
belum mapan tidak memiliki struktur kelembagaan yang mendapat dukungan
penuh dari seluruh masyarakat. Tipe konflik politik dalam novel Wasripin dan
Satinah dapat dikategorikan sebagai tipe konflik negatif. Konflik tersebut
39
mengancam eksistensi sistem sosial dan politik serta struktur masyarakat.
Apalagi pihak-pihak yang berkonflik menggunakan cara kekerasan untuk
memperjuangkan kepentingannya dan mempertahankan sistem lama. Tipe
konflik negatif juga mempunyai karakteristik dipergunakan cara-cara
kekerasan oleh pihak yang bertikai seperti kudeta, separitisme, revolusi dan
terorisme.
Pihak-pihak yang bertikai menggunakan cara-cara kekerasan. Baik
anggota partai maupun anggota masyarakat nelayan mempergunakan cara-
cara terorisme dan kekerasan untuk mewujudkan tujuannya. Partai Randu
maupun lembaga- lembaga pemerintah menekankan aspek paksaan fisik
maupun mental terhadap masyarakat nelayan yang kurang bersimpati
terhadapnya. Partai Randu yang memiliki kekuasaan dalam pemerintah dan
ditakuti banyak orang menggunakan berbagai cara untuk mencapai tujuan
baik secara halus maupun kekerasan.
Masing-masing partai menggunakan cara-caranya sendiri untuk
menarik simpatisan. Hal ini secara eksplisit disebutkan oleh pengarangnya.
Dalam novel ini telah disebutkan seperti pada kutipan-kutipan di atas akan
adanya kecurangan-kecurangan dan berbagai cara yang dilakukan demi
tercapainya suatu tujuan. Cara-cara ini dilaksanakan baik secara halus maupun
langsung secara kekerasan fisik. Bahkan terjadi teror dan pembunuhan. Teror
dan pembunuhan politik ini dilakukan gerombolan yang tak dikenal. Sering
sekali terjadi petrus (penembakan misterius).
40
(18) LKMD-LKMD mengadakan rapat intern dan kemudian rapat gabungan. Mereka bikin resolusi supaya pihak keamanan, Polri bertanggung jawab. Resolusi itu dibawa para Kades dan Sekdes ke atas dan diteruskan sampai atas betul. Kodim sebagai tentara hanya bisa menawarkan satu pemecahan yang cespleng, yaitu menembak mereka ala petrus (penembakan misterius) yang terbukti sangat efektif di tempat lain. Memenjarakan dan memproses berdasar hukum, akan mahal biayanya, penjara tidak memuat mereka yang bejat moralnya, dan terlalu bertele-tele. Solusi itu diterima dengan perasaan senang. (hlm 120)
Diduga pembunuhan ini dilakukan oleh sekelompok orang yang ingin
merusak persatuan dan kedamaian negara.
(19) Ada gerakan baru di desa-desa sepanjang pantai. Mereka menyebut diri GPL, Gerakan Pemuda Liar. (hlm 119)
Diduga kelompok ini ingin memerdekakan daerahnya sendiri. Namun
entah disengaja atau tidak, tiap orang yang terbunuh adalah orang-orang
penting dalam masyarakat. Orang ini sangat berpengaruh terhadap
kelangsungan suatu partai. Beberapa kali pula si korban adalah saksi kunci
pada suatu peristiwa atau saksi kunci terhadap kejahatan atau tindakan salah
seorang yang memiliki kedudukan penting dalam suatu pemerintahan.
Beberapa orang dan pers menilai bahwa peristiwa petrus ini adalah peristiwa
politik. Namun sekali lagi pemerintah menyangkal dan melakukan berbagai
cara untuk membungkam pers. Setelah banyak tersiar kabar tentang
kecurigaan masyarakat bahwa pelaku petrus adalah pemerintah, secara
perlahan peristiwa petrus tidak terjadi lagi
41
2.3 Tujuan Konflik Politik
Secara umum tujuan konflik dapat dirumuskan sebagai mendapatkan
dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting. Menurut
Surbakti (1992: 163) tujuan konflik dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik memiliki tujuan yang sama,
yakni sama-sama berupaya mendapatkan;
2. Di satu pihak hendak mendapatkan, sedangkan di pihak lain berusaha
keras mempertahankan apa yang dimiliki.
Dalam novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo, ada beberapa
pihak yang saling bertikai untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Pihak-pihak yang bertikai di sini adalah para anggota partai Partai Randu,
Partai Langit dan Partai Kuda serta masyarakat.
Ketiga partai memiliki tujuan yang sama, yaitu ingin menduduki kursi
pemerintahan dan memenangkan pemilu. Ketiganya ingin mendapatkan
kekuasaan dalam pemerintahan. Karena alasan dan tujuan yang sama, yang
satu sama lain saling berbenturan dan satu sama lain saling menghalangi,
maka terjadilah konflik yang berkepanjangan. Selain itu, dalam novel ini
diceritakan konflik terselubung yang terjadi antara anggota partai dengan
masyarakat dengan tujuan mendapatkan perhatian dan dukungan dari
masyarakat. Dikatakan terselubung karena anggota partai itu tidak melakukan
konflik secara terang-terangan. Mereka mencari dukungan masyarakat dengan
menyeleseikan kerusuhan yang terjadi dalam masyarakat, padahal kerusuhan
42
demi kerusuhan yang terjadi adalah buatan anggota partai itu sendiri yang
berlomba- lomba mencari perhatian masyarakat (seperti pada kutipan 1).
43
BAB III
KORELASI KONFLIK POLITIK
DALAM NOVEL WASRIPIN DAN SATINAH KARYA KUNTOWIJOYO DENGAN
KENYATAAN DALAM SEJARAH MASYARAKAT PADA PEMERINTAHAN
MASA ORDE BARU
Dalam bab ini penulis membahas kaitan antara sastra dan realitas
sosial, yaitu apa yang ada di luar karya sastra. Seperti yang telah disebutkan
pada bab pendahuluan bahwa karya sastra mencerminkan kenyataan sosial.
Maka akan dijabarkan bukti-bukti tentang peristiwa-peristiwa yang mirip,
yaitu yang ada dalam karya sastra tetapi mirip dengan apa yang terjadi pada
kenyataan. Kenyataan yang akan dibahas di sini dibatasi pada kenyataan pada
pemerintahan masa Orde Baru, sesuai dengan batasan penelitian yang
dilakukan penulis. Demikian halnya dengan novel Wasripin dan Satinah
karya Kuntowijoyo. Dalam konteks ini, penulis ingin membuktikan adanya
unsur pencerminan antara konflik politik dalam novel Wasripin dan Satinah
dengan konflik politik pada kurun sejarah masa Orde Baru. Namun demikian,
sebagai sebuah karya kreatif pencerminan tersebut bukan berarti menjiplak
realitas sejarah. Karya sastra memilih bahan yang terdapat dalam masyarakat
(termasuk realitas sejarah), mengolahnya dengan dipadu oleh imajinasi
pengarang, sehingga realitas dalam novel Wasripin dan Satinah dengan
realitas dalam sejarah masyarakat Indonesia tidak sama persis.
44
Pencerminan antara novel Wasripin dan Satinah dengan kenyataan
sejarah masyarakat Indonesia pada masa Orde Baru ditekankan pada konflik
politik yang terjadi pada kurun waktu sejarah tersebut. Pencerminan ini bukan
berarti sama persis, akan tetapi hanya pada beberapa bagian dari sejarah
tersebut mempunyai kesamaan dengan konflik politik yang tercermin dalam
novel Wasripin dan Satinah. Pencerminan tersebut menyangkut periode
sejarah, dan kondisi politik yang mengakibatkan timbulnya konflik, kekuatan-
kekuatan yang terlibat dalam konflik, serta konflik dan perubahan sosial-
politik.
3.1 Novel Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo dan Realitas
Pemerintahan Masa Orde Baru
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa novel Wasripin
dan Satinah memiliki unsur pencerminan dari pemerintahan masa Orde Baru,
maka di sini akan disebutkan dan dijelaskan di mana letak pencerminan
tersebut dengan mengungkapkan letak pencerminan dengan mengemukakan
bukti-bukti dan fakta yang menyangkut pencerminan dari novel karya
Kuntowijoyo ini yang diambil dari kepustakaan.
Dalam kutipan 10 dan 11 diceritakan, Wasripin adalah orang yang
telah mengambil hati banyak orang. Dia adalah pemuda yang baik, polos,
lugu, suka membantu dan memiliki banyak kelebihan yang dia sendiri tidak
sadari. Dia bisa menyembuhkan orang dan meramal, apa pun yang dia katakan
45
akan terjadi. Karena kehebatannya itulah dia disukai banyak orang. Melihat
dan mendengar tentang kelebihan Wasripin, tentu banyak partai tidak mau
melewatkan kesempatan ini. Mereka berlomba- lomba menarik Wasripin
untuk menjadi anggotanya. Jika Wasripin mau masuk ke dalam anggota salah
satu partai, tentu para pengikut dan penggemar Wasripin akan turut masuk ke
dalam partai itu juga. Partai yang paling banyak memiliki pengikut tentu saja
dialah yang akan memenangkan pemilu.
Hal yang serupa juga sering terjadi dalam pemilu. Hal ini dianggap
sudah biasa. Pada masa pemilu biasanya partai-partai berusaha mencari
simpati rakyat dengan menarik orang-orang yang sekiranya berpengaruh di
hati rakyat. Baik dari kalangan anggota TNI, artis, budayawan maupun orang-
orang awam yang memiliki kelebihan dan memiliki tempat di hati rakyat.
(20) Camat membentuk Panitia Seleksi Cakades. Seleksi ideologis, pengetahuan administratif, dan pengetahuan lingkungan sosio-kultural desa. Pengumuman calon diadakan dua minggu sebelaum hari H untuk menghindari kampanye terselubung dan obral uang (kemudian disebut money politics). Perhitungannya demikian: seminggu untuk kampanye dan seminggu minggu tenang. Namun beberapa calon sudah mencuri start dengan keyakinan aka lulus seleksi. Mereka membentuk kader; kampanye door-to-door, mengadakan rapat diam-diam, dan menjanjikan ini- itu (termasuk memberi uang bagi pemilihnya). Dari sebelas calon yang lulus (diluluskan) seleksi ada tiga orang, Babinsa (Bintara Pembina Desa), Sekdes, dan Kaur Keamanan. Jadi banyak calon-calon yang kecewa. (“Tiga cukup. Biar tidak bertele-tele,” kata Camat). Kampanye pun dimulai. Meskipun tinggal di pantai, mereka masih malu-malu: tak ada pidato-pidatoan (“Pilih aku!”), rapat-rapat umum (“Pembangunan desa jadi prioritas!”), dan janji-
46
janji terbuka (“Listrik msuk desa!”). Hanya saja kampanye terselubung sudah direncanakan sebelumnya oleh ketiga kontestan berupa: ziarah politik, tahlilan politik, doa politik, istighotsah politik, wayangan politik, ruwat politik. Desa menjadi ramai seperti pasar malam dalam minggu itu. Para PKL (Pedagang Kaki Lima) ikut sibuk. Mereka akan pindah dari tempat ke tempat lain, sedikitnya tiga putaran siang-malam. (hlm 29)
(21) Partai Randu ulang tahun. Partai-partai lain, Partai Kuda dan Partai Langit, meramalkan bahwa kesempatan itu akan digunakan untuk mencuri start alias kampanye terselubung. Mereka gembar-gembor lewat media massa. Koran-koran juga bilang begitu. Tapi, menteri Penerangan dalam sebuah wawancara di TVRI menyatakan bahwa pemerintah akan menindak tegas siapa saja yang mencuri start. Mekanismenya adalah soal perizinan. Semua pihak yang akan mengumpulkan lebih dari lima puluh orang di tempat umum wajib minta izin dengan menunjukkan jadwal acara. Atau, kalau itu berupa pertunjukan (teater, ketoprak, nyanyi, film) harus menunjukkan naskah, alur cerita, izin sensor, atau teksnya. Pendek kata, pemerintah tidak mau kecolongan siapa pun. (hlm171)
(22) Namun, seperti kata pepatah, “sepandai-pandai tupai melompat sekali akan gagal juga”. Satgas Partai Randu yang bertugas menjaga kelancaran pertunjukan menemukan selebaran-selebaran yang mendeskreditkan partai. Misalnya, “Partai Randu Sarang Korupsi”, “Partai Randu Melindungi Maling Kakap”, “Maling Teriak Maling”, dan “Partai Randu Anti Pembangunan”. Ketika Ketua Partai melihat selebaran itu rasanya dada mau meledak. Tapi dasar sedang pentas kesenian dia harus bisa menunjukkan muka cerah dan bibir tersenyum (hlm172)
Sudah sama-sama kita saksikan juga, dalam pemilu, selama puluhan
tahun telah menggunakan Golkar (PDI, juga PPP, dan kelompok-kelompok
politik lainnya) untuk menyelenggarakan, secara berturut-turut, pemilihan
umum yang palsu dan tidak sah, dan menjadikan parlemen hanya sebagai
47
barang hiasan yang buruk (Said, 2000). Masyarakat hanya dijadikan saksi
terus menerus terhadap kemenangan Golkar dari pemilu ke pemilu.
Perjalanan Pemilu 1997 sendiri diwarnai berbagai konflik dan
kerusuhan antarpendukung partai politik di beberapa daerah. Pada 22-24
maret 1997 misalnya, di Kota Pekalongan terjadi kerusuhan akibat amukan
masyarakat dan simpatisan PPP yang merasa diperlakukan tidak adil oleh
aparat, ketimbang Golkar (Ecip, 1998:23). Selama pelaksanaan kampanye
1997, kekerasan politik dan politik kekerasan tetap berlangsung. Hingga 13
Mei 1997 atau 16 hari sejak kampanye dimulai pada tanggal 27 April 1997,
korban tewas mencapai 49 orang dengan ratusan orang luka (Zon, 2004:16).
(23) Partai Randu minoritas, tapi kuat karena didukung oleh aparat, pegawai negeri, dan sebagian juragan. (hlm 155)
Dalam masa Orde Baru, Partai Randu identik dengan Golkar.
Meskipun sebenarnya pendukung Golkar dalam masyarakat kecil, tapi mau
tidak mau Partai Golkar sangatlah kuat. Dia didukung oleh seluruh anggota
militer dan pegawai negeri atau KORPRI yang sudah diwajibkan untuk
menjadi anggota Partai Golkar. Selain itu anggota Golkar yang turut
membesarkan Golkar adalah anggota keluarga si pemimpin partai kuning ini,
yang merupakan pengendali usaha-usaha besar di Indonesia yang sudah
merambah ke luar negeri sehingga kekayaan negara akan tetap berkutat pada
anggota keluarga.
48
(24) “O, ya. Kami sedang sibuk. Ada penduduk mau bedhol desa bertransmigrasi. Saya harus datang dan memberi pengarahan. Ada jembatan selesai dibangun. Saya harus meresmikan. Ada Jambore Nasional Pramuka. Saya harus menyertai para gubernur, menteri dan wakil presiden. Ada…”
Ketua partai jengkel. Ia ingin Bupati paham betul bahwa Partai Randu adalah Partai pemerintah yang sanggup menentukan siapa duduk di mana.
“Katanya Bapak ingin jadi wakil gubernur?” Bupati paham betul arti ancaman itu lalu merendah.
“Ya jangan begitu to Pak. Ini betul-betul kok. Coba Pak. Apa yang tidak saya kerjakan untuk partai? Suruh bikin edaran ke camat-camat, ke instansi yang ada, dan ke perusahaan-perusahaan sudah saya kerjakan. Sering, tanpa tedeng aling-aling di depan publik saya berkampanye untuk partai.” (hlm 174)
Partai Randu seperti halnya Golkar adalah partai yang sekali lagi
memiliki kuasa yang besar. Dia mampu melakukan apapun bahkan kolusi dan
nepotisme yang merajalela. Partai ini memiliki kuasa mengangkat siapa pun
di mana pun menjadi apa pun. Tidak heran jika orang yang dekat dengan
penguasa partai ini akan mampu menduduki jabatan yang tinggi meski dia
tidak memiliki massa sekalipun. Meski dia tidak dipilih oleh masyarakat, tapi
dengan kedekatannya dengan penguasa seolah-olah tongkat estafet itu telah
digenggamnya sehingga dia mampu menduduki kursi apapun sesuai
harapannya.
(25) Seorang nelayan maju membacakan teks Kebulatan Tekad yang sudah dipersiapkan oleh seorang nelayan yang aktif di HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia).
49
“Satu. Mendukung Pancasila dan UUD ’45.” “Gombal!” ujar Danramil pelan-pelan. “Dua. Mendukung Presiden Sadarto.” “Tahi kucing!” Danramil.
“Tiga. Menyatakan pilkades terlaksana secara demokratis.”
“Bohong!” Danramil. “Empat. Mendesak Kades baru segera dilantik.” “Intimidasi!” Danramil. (hlm 86)
Partai diwajibkan memakai Pancasila sebagai dasar, sekalipun tetap
berpedoman pada ideologi masing-masing. Partai mulai diarahkan untuk
mendukung sistem politik yang sedang dikembangkan. Presiden secara
intensif memanfaatkan peran mobilisasi partai politik terhadap masyarakat.
Dalam rangka keperluan presiden, partai diminta pandangan dan
dukungannya. Pembuatan keputusan yang melibatkan partai berlangsung di
bawah arahan presiden. Semuanya itu dilaksanakan untuk menegakkan
kepemimpinan pemerintah di bawah presiden dalam rangka melaksanakan
revolusi secara efektif. Orde Baru mempertajam format kepartaian tersebut
dengan alasan demi menegakkan stabilitas politik sebagai prakondisi bagi
pembangunan nasional (Pabotingi 1995:42).
Dalam masa Orde Baru (Orba), Soeharto dan Orba menjadi kekuatan
yang mirip kitab suci. Segala keputusannya harus ditaati. Siapa pun atau
kelompok mana pun yang mencoba melawan dianggap menentang Pancasila
dan UUD 1945. Soeharto telah menjelma menjadi Pancasila itu sendiri.
Soeharto adalah Pancasila dan Pancasila adalah Soeharto. Jadi, telah terjadi
50
personifikasi antara Pancasila dan Soeharto. Soeharto setara dengan Pancasila
itu sendiri (Adam 2006:81-82). Dengan demikian, kekuasaan Soeharto dan
Orba kian kokoh dan tak ada yang menandingi.
(26) Maka dalam sebuah upacara yang diramaikan dengan selawatan mereka melantik Modin sebagai Kepala Rakyat alias Karak. Pembawa acara mengatakan bahwa yang melantik rakyat, jadi rakyatlah yang bertanggung jawab. Kalau ada apa-apa, rakyatlah yang akan maju.
Segera camat tahu bahwa ada Karak. Urusan itu dibawanya ke rapat Muspika. Danramil bersungut-sungut, “Rakyat? Rakyat? Lha kok rakyat?” Ia mondar-mandir, “Mungkin dia PKI malam di sana!”
“Aku tahu sekarang! Dia dulu ikut pemberontakan Tiga Daerah!” (Peristiwa Tiga Daerah di Brebes, Tegal, dan Pekalongan adalah pembangkangan pada Pemerintah Pusat, dekat setelah kemerdekaan).
“Itu tak mungkin. Dia ikut Hizbullah.” “O, bagaimana kalian ini. Dulu dia pasti mempraktekkan KKM, Kerja di Kubu Musuh.”
“Itu istilah baru, Pak.” (hlm 87)
PKI begitu dipandang sebelah mata. Makin jelaslah bagi banyak
orang, sekarang ini, bahwa rezim Orde Baru memang dengan sengaja telah
memelintir sejarah dan menyebarkan kebohongan selama puluhan tahun, demi
tegaknya kekuasaan Suharto (beserta pendukung-pendukung setianya). Kita
juga merasakan sendiri, atau menyaksikan, bahwa dengan cara-cara inilah
rezim Orde Baru telah menyebarkan terus-menerus rasa permusuhan di antara
berbagai komponen bangsa. Melalui kampanye bohong tentang “bahaya laten
PKI”, puluhan juta orang telah terus-menerus diintimidasi dan dipersekusi
51
dalam jangka lama, untuk mematahkan atau melumpuhkan semua kekuatan
demokratis yang kritis terhadap Orde Baru. Dengan kebohongan sejarah yang
dijadikan bahan indoktrinasi yang ampuh, rezim Orde Baru telah melakukan
kekerasan negara dan pelanggaran Hak Asasi Manusia secara besar-besaran
dan dalam jangka lama. Karenanya, kebohongan sejarah adalah juga salah
satu di antara begitu banyak dosa berat rezim Soeharto (Said, 2000).
Menurut versi Orde Baru, dikatakan bahwa PKI adalah politik partai
atheis yang menjadi dalang utama di balik plot untuk membunuh para
pemimpin Angkatan Darat Repiblik Indonesia pada 1 Oktober 1965.
Pembuatan serta kewajiban menonton film “Pengkhianatan G30S/PKI” adalah
contoh konkret bagaimana Orde Baru ingin mendesak versinya tentang
sejarah Indonesia kepada masyarakat. Karena pembunuhan para jenderal itu
dipandang sebagai “kudeta” untuk mengganti pemerintahan yang sah, maka
PKI dinyatakan bersalah dan sudah selayaknya jika semaksimal mungkin
anggota dari partai tersebut dibunuh di luar hukum dan di luar prinsip-prinsip
kemanusiaan yang berlaku. Pembantaian terhadap setengah juta lebih orang
yang dianggap PKI adalah sah adanya. Begitu pula pemenjaraan serta
penindasan terhadap jutaan orang lainnya setelah itu. Tak dihitung terjadinya
berbagai bentuk pelanggaran hak-hak manusia yang paling asasi secara
massal. Baik itu pembunuhan, pemenjaraan, dan lain- lain yang bentuknya
tindak kekerasan. Menariknya, berkat beredarnya versi resmi mengenai apa
yang terjadi pada era 1965-1966 itu banyak warga percaya bahwa
52
pembunuhan massal dan berbagai bentuk pelanggaran hak-hak sipil atas
mereka yang dituduh sebagai komunis adalah sah-sah saja, bahkan “sudah
selayaknya” (Adam, 2006:28). Kelompok militer justru malah dihormati
sebagai kelompok istimewa dalam mempertahankan kelangsungan hidup
bangsa. Bagi masyarakat timbul anggapan yang kalah pasti salah, dan yang
menang pasti benar. PKI itu kalah maka dia salah, sedangkan militer menang
maka dia benar (Mulder, 2004:77). Perlawanan nasional tak terdengar ketika
pada tahun yang sama Orde Baru memenjarakan ribuan orang di Pulau Buru
tanpa proses pengadilan (Huskens, 2003:92). Bahkan ketika tahun 1979 para
tawanan Pulau Buru ini dibebaskan, pemerintah Orde Baru masih terus
menghukum mereka. Pembubuhan kode “ET” (eks-Tapol) pada KTP milik
para bekas tahanan politik itu adalah contoh tindak pelanggaran HAM berikut
juga dengungan akan istilah “bahaya laten PKI”, berguna untuk menakut-
nakuti dan mengontrol masyarakat. Bahkan Orde Baru telah
mengkampanyekan slogan “bersih lingkungan” dengan maksud
membersihkan instansi- instansi negeri maupun swasta dari orang-orang yang
diduga pernah memiliki kaitan dengan PKI (Adam 2006:29).
(27) “Intel- intel kami sedang mencari biang keroknya. Modin itu hanya boneka, “ kata Danramil.
“Ah jangan cepat menuduh, lho Pak. Di sekolah kepolisian selalu ditekankan ‘asas praduga tak bersalah’,” kata Kapolsek.
“Apa kalau TNI asasnya ‘tembak dulu urusan belakang’?” (hlm 88)
53
Sekarang ini, mereka yang mau merenungkan secara dalam-dalam,
tidaklah bisa mengingkari bahwa Orde Baru telah melakukan berbagai
kejahatan negara dan kekerasan negara terhadap banyak komponen bangsa.
Rezim ini telah membunuh kehidupan demokrasi dalam jangka puluhan
tahun. Kekuasaan politik yang dipegang oleh Soeharto, dengan mendapat
dukungan sepenuhnya dari para pimpinan militer (terutama dari TNI-AD),
telah menjadikan negara sebagai jaring-jaringan mafia, yang dengan semena-
mena telah menyalahgunakan kekuasaan secara besar-besaran.
(28) “Begini. Pak Modin dipersilakan pulang.” Sambil memberikan sejumlah uang, “Maaf, ada kesalahan prosedur pada kami. Bapak, ini uang transportnya, ini uang akomodasinya, ini uang konsultasinya.”
Pak Modin menerima uang itu, menghitung, dan uang transport masuk sakunya. (hlm 91)
(29) Aparat desa keberatan dengan pengeluaran uang pajak itu, tapi tidak digubrisnya. Ketika petugas pajak menyatakan bahwa desa itu menunggak setoran pajak tidak digubrisnya juga. Ia tenang-tenang saja, karena ia membawa misi Partai Randu. Baru ketika sebuah koran daerah mengabarkan bahwa Camat sebagai care taker Kades perkampungan nelayan menilep uang pajak, ia pergi minta uang ke Kantor Partai Randu untuk membayar.
Di kantor Partai Randu ia berdebat dengan bendahara. “Saya disuruh menyukseskan pemilu yang akan datang
dengan segala cara. Itulah cara saya.” “Tapi jangan sampai masuk koran. Itu memalukan
partai. Semua orang tahu bahwa engkau fungsionaris partai.” “Jangan salahkan saya, salahkan koran.” (hlm 93)
54
Dengan mengangkangi kekuasaan politik yang busuk inilah maka
KKN merajalela, dan korupsi menjadi “budaya bangsa” seperti yang masih
terus juga kita saksikan sampai dewasa ini di seluruh tanah air. Nyatalah
sudah dengan gamblang, bahwa kejahatan rezim militer Soeharto dan kawan-
kawan yang amat serius adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang telah
dilakukan selama puluhan tahun dan secara besar-besaran dan sistematis.
Diktatur militer ini pulalah yang telah berhasil, selama puluhan tahun, telah
mengintimidasi para intelektual, merekayasa politik, “membeli” sejumlah
ulama, kyai, atau pendeta, serta membungkam pers.
(30) Rupanya emprit abuntut bedhug (perkara kecil menjadi besar). Presiden sendiri membawa kritik pers dan kampus pada Surat Sakti itu ke Sidang Kabinet. Karena menggugat Surat Sakti berarti menggugat Presiden, sehingga dia merasa digoyang-goyang. Padahal, selama ini tak seorang pun berani menggugat. Kalau yang menggugat perorangan, semua life line-nya akan diputus. Kalau lembaga, akan dinyatakan terlarang. Dan orang-orangnya akan tersangkut ekstrem kanan atau ekstrem kiri. Semua anggota kabinet tahu bahwa dia marah besar; meskipun dari luar nampak senyumnya selalu hadir: Lembut dalam penampilan tapi keras dalam perbuatan, kira-kira begitu semboyannya. Pada kesempatan itu dinyatakan bahwa negara dalam bahaya, dan ia memerintahkan menteri-menterinya untuk tidak ragu-ragu bertindak tegas. Maka, beberapa hari kemudian Menteri Penerangan melarang surat kabar-surat kabar mengecam Surat Sakti, tidak melalui telepon tetapi melalui Keputusan Menteri. Ancamannya adalah pencabutan surat izin terbit. Menteri Perguruan Tinggi berbuat serupa, mengancam akan membubarkan sebuah perguruan tinggi yang mengecam Surat Sakti. (hlm 150)
(31) Pers dan kampus tidak kurang akal. Mengecam terang-terangan dilarang, mereka lalu memuji terang-terangan.
55
Seminar bertema, “Surat Sakti, Hak Prerogatif”; “Sesuai UUD ’45: Surat Sakti, Membubarkan Parlemen, Memberi Grasi”; dan “Surat Sakti versus Mafia Pengadilan”. Mereka sudah betul-betul berhenti menghujat, sebaliknya malah memuji-muji. Tetapi, orang tahu bahwa mengecam menimbulkan kebencian, memuji menimbulkan sinisme masyarakat. Mendapat laporan tentang maraknya puji-pujian pers dan kampus serta sinisme masyarakat, Menteri Penerangan dan Menteri Perguruan Tinggi hanya bisa pusing kepala. Ternyata jadi pesuruh itu sulit, meskipun pesuruh itu bernama menteri, “Salah lagi!” (hlm 151)
Pada masa Orde Baru kegiatan demonstrasi sangat dilarang, apalagi
kegiatan demons trasi yang mengecam pemerintahan atau menyinggung para
anggota pemerintahan. Tidak jarang mereka yang berani melawan langsung
ditangkap, atau tiba-tiba dinyatakan hilang dan bukan tidak mungkin dia
dilenyapkan. Seringkali TNI dijadikan mafia. Hal serupa seringkali terdengar.
Namun masyarakat luas tahu dan sudah menjadi rahasia umum mengenai tata
cara kekuasaan berlebihan ini.
Akhirnya pada tahun 1998, terjadi pemberontakan besar-besaran dari
mahasiswa UGM dan diteruskan oleh mahasiswa Sanata Dharma Yogyakarta
dan diakhiri dengan peristiwa berdarah yang menewaskan mahasiswa Trisakti
untuk mengusut dan berusaha memperbaiki pemerintahan Indonesia yang
sudah terlanjur bobrok. Pemerintah sendiri sudah berusaha dan melakukan
berbagai cara untuk menutupi dan mencari cara agar dapat lari dari serbuan
hujatan ataupun kecaman dan kritik dari masyarakat. Karena kata-kata hujatan
terhadap pemerintah yang mencolok dilarang, maka para mahasiswa
56
menggunakan kata-kata manis yang menyindir para pemerintah. Namun justru
cara cerdas ini dapat memicu kebencian masyarakat dan membangun
kesadaran masyarakat untuk turut memperbaiki pemerintahan. Hanya saja,
tidak sedikit pula masyarakat yang dihantui rasa takut akan kekuasaan Orde
Baru yang sudah dikenal sangat kejam (Zon, 2004:57-58).
(32) Tidak disangka-sangka kayu di teluk terbakar. Suatu malam ketika perahu-perahu nelayan sedang istirahat, dan orang-orang muda tiduran di surau mereka mendengar seseorang berteriak, “Api! Api!” Mereka bengun, membawa ember-ember air, menuju tumpukan kayu di teluk. Kayu-kayu itu tidak pernah menjadi perhatian mereka lagi. Juga perahu- perahu yang menjemput kayu itu dari sebuah kapal yang berlabuh di lepas pantai, truk-truk yang mengangkut kayu. “Api!” “Api!” Orang di seluruh perkampungan terbangun, membawa ember-ember untuk memadamkan api.
Lagi ramai-ramainya bekerja, mereka dikejutkan oleh datangnya sebuah truk yang penumpangnya membawa bedil. Melalui sebuah mikrofon mereka mendengar orang berteriak, “Jangan dipadamkan!”
“Biarkan! Biarkan!” Mereka terus bekerja. Tiba-tiba terdengar tembakan senjata api. “hentikan air itu, Saudara-saudara!” ketika satu-dua orang masih juga mengambil air laut dengan ember, terdengar letusan lagi. “Mundur!” Dengan terbengong-bengong tidak mengerti mereka hanya bisa menonton kayu bertumpuk-tumpuk terbakar. Jadilah orang-orang desa datang mengelilingi teluk, menonton pertunjukan terbakarnya kayu itu. Ai berkobar-kobar. Truk dengan orang-orang bersenjata itu pergi. Tak lama kemudian sebuah jip, sebuah truk, dan sebuah tangki dengan kabel besar, datang. Dengan penerangan api yang menjilat-jilat orang- orang-orang desa dengan jelas melihat mereka berseragam. Mereka polisi, tentara, dan pemadam kebakaran. Bersenjata bedil. “Tolong, Bapak-bapak minggir. Api itu akan dipadamkan,” kata seorang lewat mikrofon. Orang-orang tidak bergerak. Corong mikrofon berbunyi lagi,”Tolong, Bapak-bapak.” Orang-orang
57
menyingkir memberi tempat penyedot dan penyemprot air. Sementara itu tangki mendekati kayu-kayu terbakar. Air disedot, air disemprotkan. Tidak lama kemudian api padam. “Terima kasih, Bapak-bapak,”kata pengeras suara, lalu mereka pergi. Teluk itu jadi gelap, dan orang-orang kembali tidur. Keesokan harinya Kepala Dusun perkampungan nelayan mengajak nelayan yang tak melaut ke kelurahan untuk mendengarkan keterangan resmi tentang peristiwa tentang terbakarnya kayu. “Bapak-bapak. Kayu-kayu itu adalah kayu ilegal. Nah, kebakaran itu disengaja oleh sindikat kayu ilegal yang lain. Persaingan usaha.”
“Tanya, pak.” “Ya?” “Bedil mereka dari mana?” “Itu sedang dalam penyelidikan.” “Kok rambut mereka pendek-pendek?” “Itu juga sedang di selidiki.” “Ilegal kok sudah berapa bulan dibiarkan?” “Itu sedang dalam penyelidikan.” “Aparat terlibat?”
“Itu dalam penyelidikan.” “Pemiliknya siapa, Pak?” “Itu dalam penyelidikan.” “Ketika TPI dibakar, yang mengganti kok Ketua Partai
Randu?” Secara bersama-sama orang menyahut “Itu dalam
penyelidikan.” Berkali-kali. Ruang pertemuan gaduh. “Ini penerangan atau penggelapan?” “Gombal!” “Pembodohan!” Juru penerang dan perangkat desa diam-diam
menyelinap keluar,meninggalkan kantor. Ada kejadian yang sama di tempat lain. Kayu-kayu dibakar, rakyat berusaha memadamkan , orang-orang bersenjata pergi, polisi datang dengan mobil pemadam kebakaran. Ketika berita itu sampai ke perkampungan nelayan mereka sudah tak peduli lagi.”Itu bukan urusan kami,”kata mereka. (hlm 177-179)
Kutipan 1 dan 32 menceritakan bahwa ada pihak militer yang turut
campur dalam mengurusi masyarakat. Pada masa Orde Baru, masalah
58
dwifungsi ABRI selalu digembar-gemborkan oleh masyarakat. ABRI sudah
tidak lagi menjalankan dominasi di bidang militer saja. Dalam keadaan
tertentu, tentara mungkin dominan tetapi dalam keadaan lain, mereka tidak
semestinya dominan. Intinya dwifungsi ABRI merujuk pada rasa tanggung
jawab anggota ABRI. Mereka bukanlah perwira militer-profesional yang
merupakan alat mati dan cuma melaksanakan apa kemauan pemerintah, tetapi
sebaliknya mereka merasa bertanggung jawab atas nasib bangsa dan negara.
Dengan demikian mereka bersedia melakukan intervensi dalam politik
sekiranya memang perlu demi kepentingan hari depan negaranya (Pabotingi,
1995:100).
Menurut Pabottingi (1995:184), sejauh ini pelaksanaan dwifungsi
ABRI lebih bersifat struktural. Dapat dikatakan bahwa dwifungsi ABRI
selama ini bersifat “kuantitatif”. Artinya, hadirnya ABRI sebagai kekuatan
politik dalam Orde Baru ditandai oleh duduknya anggota ABRI dalam
berbagai jabatan dalam pemerintahan, baik di pusat maupun daerah.
Kecenderungan ini dikuatirkan akan bermuara kepada:
1. Dominasi ABRI dalam politik.
2. Kecurigaan dari pihak sipil.
3. Berlanjutnya ketidaksiapan sipil untuk menjalankan pemerintahan
secara mandiri.
Masalahnya apakah corak intervensi yang mereka lakukan terhadap
masyarakat sudah dianggap tepat. Selama pemerintahan Orde Baru sejak
59
proklamasi kemerdekaan, sudah tentu masyarakat Indonesia mengalami
banyak perubahan sehingga keadaan politik juga berubah. Corak pelaksanaan
dwifungsi yang dulu dianggap tepat belum tentu pada masa sekarang
dianggap tepat. Adalah benar bahwa salah satu aktor politik penting dalam
Orde Baru adalah ABRI, yang mengembangkan doktrin dwifungsi ABRI.
Banyak anggota-anggota militer yang duduk dalam kursi-kursi di
pemerintahan, baik itu anggota DPR, MPR, maupun gubernur. Peran
struktural ABRI dalam pemerintahan terlalu besar, maka tidak mustahil kalau
dalam keadaan tertentu mereka akan menyalahgunakan kedudukan dan
kekuasaannya, sehingga mencemarkan nama baik mereka sendiri dalam
mayarakat. Seiring dengan kemajuan jaman, tentu pemikiran masyarakat juga
akan bertambah kritis terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Terkadang ABRI
malah melakukan kekerasan secara brutal terhadap masyarakat dengan alasan
untuk mengendalikan massa dan sebagainya. Misal pada peristiwa Poso dan
sebagainya. Bahkan masyarakat akan kritis terhadap korupsi yang dilakukan
oleh anggota ABRI yang duduk dalam pemerintahan.
Kemiripan peristiwa juga terjadi seperti pada kutipan 18 dan 19.
Dalam novel diceritakan bagaimana GPL kemudian berusaha dimusnahkan
oleh pemerintah dengan gerakan ala petrus (penembakan misterius). Korban
atau orang-orang yang dianggap menggangu ketentraman rakyat maupun
pemerintah langsung dibunuh tanpa melalui proses hukum. Mereka dibunuh
seolah-olah menjadi korban pembunuhan oleh penjahat. Masyarakat tidak
60
mengetahui kenapa banyak korban yang dibunuh di sembarang tempat.
Mereka bagaikan sampah yang bisa ditemukan di manapun. Lalu kecurigaan
muncul di masyarakat, ternyata orang-orang yang ditemukan adalah orang-
orang yang berpengaruh dalam pemerintahan atau saksi kunci suatu peristiwa.
Bahkan setelah pembunuhnya tertangkap tapi dengan mudahnya langsung
dilepaskan.
(33) Kepala Polisi diundang Dewan Perwakilan untuk dengar pendapat. “Pembunuhnya sudah tertangkap. Mengapa dilepaskan?” “Polisi memakai asas ‘Praduga Tak Bersalah’.” (hlm 129)
Hampir mirip dengan peristiwa terbentuknya GPL dalam novel
Wasripin dan Satinah, dulu pada masa Orde Baru, guna menyukseskan
partainya, yakni Golkar, dalam Pemilu tahun 1982, pemerintah tak segan-
segan menggunakan preman atau “gali” (gabungan anak-anak liar) dalam
kampanye. Orang-orang yang kebanyakan terdiri dari kaum muda ini biasanya
dibawa naik truk dalam pawai-pawai kampanye guna memberi kesan bahwa
partai pemerintah itu mendapat dukungan luas dari masyarakat. Berkat
kampanye yang didukung para preman itu memang akhirnya Golkar menang
mutlak dalam pemilu tersebut. Celakanya, seusai pemilu para preman menjadi
merasa berhak untuk mendapatkan “imbalan”, yakni dengan cara semakin
berani memeras rakyat. Masyarakat pun mengeluh atas makin meluas dan
61
seriusnya gangguan keamanan yang ditimbulkan para penjahat ini (Adam
2006:33).
Atas keluhan demikian pemerintahan Soeharto memberi jawaban
dengan menghabisi para preman itu, yakni dengan membunuh mereka secara
rahasia serta di luar jalur hukum. Tiba-tiba saja mayat orang-orang yang
dicurigai sebagai preman pengganggu keamanan itu bergelimpangan tak
bernyawa di tempat-tempat umum dalam kondisi mengenaskan. Tentang
operasi militer yang disebut sebagai “pembunuhan misterius” ini LBH Jakarta
melaporkan bahwa sampai tahun 1984 diketemukan setidaknya 5000 orang
yang telah menjadi korban (Huskens, 2003:89). Tentu saja tindakan
pembunuhan ini dilakukan tanpa melalui proses sidang. Sementara itu
meskipun bersifat “misterius”, semua orang tahu bahwa pelakunya adalah
aparat resmi negara. Dalam buku semi-otobiografi yang terbit pada 1989,
dengan judul Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya: Otobiografi Seperti
Dipaparkan Kepada G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. (Huskens, 2003:99),
Soeharto mengakui bahwa dialah yang menjadi inisiator pembunuhan
misterius itu.
3.2 Aspek Simbolis dalam Novel Wasripin dan Satinah
Manusia yang hidup di dunia ini memiliki tugas dan kepentingannya
masing-masing yang berkaitan dengan hidup diri pribadi, masyarakat dan
lingkungannya. Untuk menjalankan tugas-tugas kemanusiaan, manusia punya
62
satu alat, yakni bahasa. Dengan bahasa, manusia dapat mengungkapkan apa
yang ingin diungkapkan. Mereka menggunakan bahasa untuk berkomunikasi,
menyampaikan pesan, pikiran, dan perasaannya. Namun terkadang dalam
penyampaian dan penerimaan suatu pesan atau pikiran kepada orang lain
belum tentu hasilnya sesuai yang diharapkan si pengirim pesan. Oleh karena
itu bahasa dapat membuatnya terasa nyata dan terungkap. Penyampaian
bahasa di sini tentu saja tidak hanya mengucapkan suatu kata atau kalimat
kepada orang lain. Sekadar berbahasa saja tidak dapat mewakili ungkapan si
penutur. Bahasa ini juga diliputi dengan mimik, gerak, bahasa tubuh dan
sebagainya yang membuat bahasa menjadi lebih hidup sehingga si pengirim
dan penerima pesan dapat mengekspresikan perasaan hatinya.
Manusia adalah makhluk sosial yang diliputi aturan-aturan dan
masalah kompleks yang ada dalam masyarakat, karena mau tidak mau dia
pasti berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain dalam menjalankan
kehidupannya di masyarakat. Berkaitan dengan hal ini, dapat dikatakan bahwa
syarat terjadinya proses komunikasi harus terdapat dua pelaku, yakni pengirim
dan penerima pesan, sehingga yang perlu ditekankan selanjutnya adalah
bagaimana cara kita menyampaikan pesan agar dapat berjalan secara efektif..
Dalam hal ini, Badudu (dalam Fathony, 2006), mengemukakan ada beberapa
faktor yang harus diperhatikan, yaitu: a). orang yang berbicara; b). orang yang
diajak bicara; c). situasi pembicaraan apakah formal atau non-formal; dan d).
masalah yang dibicarakan (topik).
63
Terkadang ada alasan tertentu seseorang tidak mengungkapkan atau
menyampaikan pesan secara terbuka. Baik itu untuk menjaga perasaan si
penerima pesan atau pun agar ucapan atau kata-kata yang dikeluarkan tidak
menyinggung perasaan atau sekadar memenuhi norma kesopanan semata.
Kini manusia telah sepakat bersama, dalam kesalingbergantungannya selama
berabad-abad, untuk menjadikan berbagai suara yang mereka ciptakan dengan
paru-paru, tenggorokan, lidah, gigi, dan bibir, secara sistematis mewakili
peristiwa-peristiwa dalam sistem-sistem saraf mereka, sehingga bahasa
disebut sebagai sistem kesepakatan-kesepakatan. Di antara semua bentuk
simbol, bahasa merupakan simbol yang paling rumit, halus dan berkembang.
Simbol-simbol dalam berbahasa sering digunakan agar si penutur dapat
menyampaikan isi hati dan pikirannya tanpa harus khawatir ada orang lain
yang tersinggung, atau dapat digunakan untuk sengaja menyindir seseorang.
Secara ontologis hakikat keberadaan bahasa tidak dapat dipisahkan
dengan kehidupan manusia. Hakikat makna bahasa dan keberadaan bahasa
senantiasa memproyeksikan kehidupan manusia yang sifatnya tidak terbatas
dan kompleks. Dalam konteks proyeksi kehidupan manusia, bahasa senantiasa
digunakan secara khas dan memiliki suatu aturan permainan tersendiri
Bahasa merupakan suatu sistem yang terdiri dari lambang- lambang,
kata-kata, dan kalimat-kalimat yang disusun menurut aturan tertentu dan
digunakan sekelompok orang untuk berkomunikasi. Dalam tulisannya, Mudjia
Rahardjo (dalam Fathony, 2006) mengatakan: "Di mana ada manusia, di sana
64
ada bahasa". Keduanya tidak dapat dipisahkan. Bahasa tumbuh dan
berkembang karena manusia. Manusia berkembang juga karena bahasa.
Keduanya menyatu dalam segala aktivitas kehidupan. Hubungan manusia dan
bahasa merupakan dua hal yang tidak dapat dinafikan salah satunya. Bahasa
pula yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain.
Dilihat dari segi fungsinya, bahasa memiliki dua fungsi yaitu, pertama,
sebagai alat untuk menyatakan ide, pikiran, gagasan atau perasaan, dan kedua,
sebagai alat untuk melakukan komunikasi dalam berinteraksi dengan orang
lain (Fathony, 2006). Berdasar dua fungsi tersebut, adalah sesuatu yang
mustahil dilakukan jika manusia dalam berinteraksi dan berkomunikasi tanpa
melibatkan peranan bahasa. Komunikasi pada hakekatnya merupakan proses
penyampaian pesan dari pengirim kepada penerima. Hubungan komunikasi
dan interaksi antara si pengirim dan si penerima, dibangun berdasarkan
penyusunan kode atau simbol bahasa oleh pengirim dan pembongkaran ide
atau simbol bahasa oleh penerima.
Dalam dunia sastra, hal ini seringkali terjadi. Dalam penulisan, sering
terdapat simbol-simbol dalam pemakaian nama agar tidak terkesan menyindir.
Padahal seringkali memang tulisan itu ditulis untuk menyindir suatu peristiwa
atau sindiran terhadap pihak kalangan tertentu. Novel merupakan bentuk
simbolis dan dalam novel juga terkandung simbol-simbol yang merupakan
kreasi dari pengarangnya.
65
Pada bagian ini penulis menguraikan aspek simbolis dalam novel
Wasripin dan Satinah yang diintrepretasikan secara sosiologis. Hal ini
dimaksudkan sebagai kelengkapan analisis sosiologis yang tidak sekedar
bersifat historis. Simbol-simbol tersebut menyangkut pada penggunaan nama-
nama. Selain adanya kemiripan dalam peristiwa antara novel Wasripin dan
Satinah dengan pemerintahan Indonesia pada masa Orde Baru yang telah
dijabarkan di atas, kemiripan juga terjadi dalam pemakaian nama-nama.
Nama-nama yang terdapat dalam novel Wasripin dan Satinah boleh
dikatakan memiliki keanehan, baik nama diri (nama salah satu tokoh), nama
partai dan nama tempat. Nama-nama tersebut ada yang memiliki arti atau
sekadar sindiran pada nama yang benar-benar ada dalam masyarakat
Indonesia.
3.3.1 Partai Randu
Nama Partai Randu dan sifat-sifat yang ditunjukkan dalam
novel Wasripin dan Satinah identik dengan Partai Golkar. Randu
adalah nama sebuah pohon yang biasanya dapat tumbuh tinggi dan
besar, sedangkan Golkar adalah nama salah satu partai nomor satu
yang pernah jaya dalam pemerintahan Indonesia yang memiliki
lambang pohon beringin, yakni pohon yang biasanya tumbuh tinggi
besar dan rindang. Kedua pohon ini yakni randu dan beringin memiliki
kemiripan fisik. Pengarang menggunakan nama randu untuk
mengasosiasikan nama sebuah Partai Golkar.
66
3.3.2 Partai Langit
Nama Partai Langit identik dengan Partai Persatuan
Pembangunan, yakni nama partai yang turut meramaikan dunia
perpolitikan di Indonesia. Partai Persatuan Pembangunan
menggunakan lambang bulan yang berbentuk sabit dan bintang. Bulan
dan bintang adalah anggota benda-benda langit. Pengarang
menggunakan nama langit untuk nama sebuah partai dalam novel
Wasripin dan Satinah untuk mengasosiasikan Partai Persatuan
Pembangunan.
3.3.3 Partai Kuda
Nama Partai Kuda identik dengan Partai Demokrasi Indonesia,
yakni partai yang juga turut meramaikan dunia politik Indonesia.
Partai Demokrasi Indonesia menggunakan lambang binatang banteng.
Banteng adalah binatang mamalia berkaki empat, demikian halnya
dengan kuda. Pengarang menggunakan nama kuda untuk nama sebuah
partai dalam novel Wasripin dan Satinah untuk mengasosiasikan
Partai Demokrasi Indonesia.
3.3.4 Presiden Sadarto
(34) “Dua. Mendukung Presiden Sadarto.” (hlm 86)
Sadarto adalah nama presiden dalam novel Wasripin dan
Satinah. Nama ini terdengar hampir mirip dengan nama presiden
67
kedua Indonesia yang mempromotori Orde Baru yakni, Soeharto.
Nama Sadarto bisa juga diasosiasikan oleh pengarang sebagai kritikan
terhadap presiden kedua Indonesia ini. Sadarto bisa dipenggal menjadi
‘sadar to’. Dalam bahasa Jawa ‘sadar to’ dapat diartikan ‘sadarlah’
dalam bahasa Indonesia, yakni ajakan untuk sadar. Pengarang ingin
menyampaikan atau mengajak agar sang presiden untuk sadar akan
segala perbuatan buruk yang pernah dia lakukan terhadap bangsa
Indonesia di masa lampau. Seperti kita semua ketahui bahwa semasa
pemerintahan Presiden Soeharto, korupsi, kolusi dan nepotisme telah
merajai bumi Indonesia.
3.3.5 Jalan Cempaka (154)
(35) Mereka - sama seperti orang lain – juga terheran-heran mengapa tiba-tiba saja sebuah Surat Sakti dari Jalan Cempaka bisa menggagalkan usaha mereka yang tersusun rapi. (hlm154)
Nama sebuah jalan dalam novel Wasripin dan Satinah ini
diasosiasikan dengan nama sebuah jalan yang identik dengan tempat
tinggal sang penguasa Orde Baru dalam pemerintahan Indonesia. Sang
pemimpin Orde Baru, Soeharto dan keluarga tinggal di sebuah rumah
di Jalan Cendana. Nama cendana dan cempaka terdengar sangat mirip,
maka sang pengarang menggunakan nama ini untuk menggantikan
nama Jalan Cendana.
68
BAB IV
KESIMPULAN
Konflik politik dalam novel Wasripin dan Satinah mempunyai unsur
pencerminan dengan konflik politik dalam sejarah Indonesia pada masa Orde
Baru. Dalam beberapa hal terdapat kemiripan antara konflik politik dalam
novel Wasripin dan Satinah dengan kenyataan dalam sejarah Indonesia.
Periode sejarah negara yang dikisahkan oleh Kuntowijoyo dalam novelnya
mempunyai kesamaan dengan periode sejarah Indonesia pada masa Orde
Baru. Ciri-ciri yang ditunjukkan pada masa tersebut memang tidak
digambarkan secara lengkap, akan tetapi dalam beberapa bagian selalu
digambarkan secara eksplisit bahwa kejadian-kejadian dalam novel tersebut
mirip dengan kejadian yang pernah terjadi pada masa Orde Baru.
Ada banyak bentuk pencerminan dari periode sejarah Indonesia pada
masa Orde Baru dengan novel karya Kuntowijoyo ini. Dalam sejarah
Indonesia Orde Baru. Kondisi Orde Baru ditandai dengan konflik,
pertentangan politik antarpartai atau kelompok-kelompok yang memiliki
tujuan dan ideologi yang berbeda. Kesejajaran juga ditunjukkan oleh
terdapatnya kekuatan politik dominan. Dalam novel Wasripin dan Satinah
terdapat kekuatan politik dominan yaitu Partai Randu dengan seperangkat
anggota dan pimpinannya. Sangat kental diceritakan bagaimana kelicikan,
perjuangan dan usaha-usaha bahkan penyelewengan yang dilakukan partai
69
tersebut untuk mempertahankan kedudukannya. Dalam pertarungannya, Partai
Randu berhadapan dengan Partai Langit dan Partai Kuda, ketiga partai ini
melakukan banyak trik-trik untuk saling memperebutkan kedudukannya.
Ketiga kekuatan politik dominan ini terlibat dalam konflik. Namun karena
kekuasaan Partai Randu lebih dominan, maka partai yang lain harus
mengalah. Partai Randu, Partai Langit dan Partai Kuda merupakan cerminan
dan simbol dari Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai
Demokrasi Indonesia.
Dalam novel Wasripin dan Satinah diceritakan bagaimana besar dan
kuatnya kekuasaan Partai Randu sebagai cerminan Partai Golkar dalam
kehidupan realitas yang mencerminkan ujung tombak rezim Orde Baru.
Dalam praktek menjalankan pemerintahan, PPP dan PDI terasa kurang
berhasil dalam menjalankan rencana-rencana dari hirarkinya, sehingga
memerlukan bantuan pengusaha, maupun pihak luar dengan segala resikonya.
Golkar selama pemerintahan Orde Baru mampu mengatasi kelemahan itu
dengan memanfaatkan hirarki birokrasi negara lewat kekuasaan. Hanya saja,
tanpa dapat menolak dampak dari kebijakan stabilitas politik, lingkup
organisasi partai dibatasi hanya sampai ibukota kabupaten, sehingga
pelaksanaan kebijakan politik massa mengambang itu mengalienasikan
masyarakat desa dari politik rutin sambil mendiskriminasikan peluang PPP
dan PDI (Pabottingi 1996:45). Demikian juga yang diceritakan dalam novel,
Partai Randu, memiliki kekuasaan yang kuat dan kelebihan yang tidak
70
dimiliki partai lain. Anggota-anggota Partai Randu adalah orang-orang yang
memiliki keahlian masing-masing di bidangnya. Kebanyakan adalah orang
yang sudah memiliki kuasa dalam pemerintahan. Partai ini juga menunjukkan
kuasanya kepada masyarakat desa sehingga partai-partai lain tidak memiliki
kesempatan untuk merebut hati masyarakat. Masyarakat lebih kepada takut
dibandingkan benar-benar tertarik pada Partai Randu. Partai Langit dan Partai
Kuda jatuh karena kekuasaan yang tidak mereka miliki.
Uraian historis tentang sejumlah peristiwa masa lalu menurut versi
Orde Baru tampak masuk akal, tentang bobroknya Orde Lama, tentang
mutlaknya peran militer, tentang pembantaian massal yang dianggap sudah
seharusnya, tentang sukses pembangunan, atau tentang sahnya serbuan atas
masyarakat yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat. Akan tetapi jika
kita kaji lebih lanjut, akan kelihatan bahwa di balik keterangan-keterangan
yang masuk akal itu ada sejumlah pertanyaan penting untuk diajukan.
Di sinilah terletak pentingnya penulisan kembali sejarah Indonesia.
Dengan menulis kembali sejarah Indonesia diharapkan akan ada banyak narasi
dan interpretasi baru yang lebih demokratis, kritis, kreatif, kontinyu, serta
terbuka terhadap wacana seha t, yakni suatu narasi dan interpretasi yang tidak
melulu bertolak dari penguasa (dengan segala kepentingan politis dan
ekonomisnya), melainkan juga dari warga masyarakat, termasuk mereka yang
telah menjadi korban ketidakadilan penguasa (Hersri Setiawan dalam
Budiawan, 2004:xxii).
71
Penulisan kembali sejarah dalam situasi seperti sekarang ini adalah
penting untuk membantu menciptakan suatu “masyarakat Indonesia baru”.
Dalam masyarakat baru itu akan ditinggalkan pola pemerintahan yang otoriter
dan penuh praktik kekerasan, digantikan dengan penyelenggaraan negara yang
lebih demokratis di mana terjaminlah kebebasan mengemukakan pendapat,
supremasi hukum, keadilan, serta hak-hak asasi manusia (Sastraprateja,
2001:121).
Semua itu tentu saja penting bukan hanya untuk dapat memahami
masa lalu secara lebih kritis, kreatif, dan kontinyu, melainkan juga untuk
mampu menjalani masa kini secara lebih mantap serta merencanakan masa
depan secara lebih tepat. Demi terwujudnya cita-cita bangsa untuk
membangun bangsa yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Kita mesti belajar pada sejarah bangsa kita sendiri terhadap
serangkaian peristiwa yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa. Sikap ini
penting, agar kita tidak lupa akan sejarah bangsa kita sendiri. Demi keadilan
dan kedamaian, kata Walter Benjamin (dalam Adam, 2006:274), tugas
peradaban adalah menggumuli mereka yang ditindas dan diperbudak, dan lalu
membangun budaya mengingat masa lalu mereka yang menjadi korban.
Membangun tradisi mengingat masa lalu para korban penindasan atau
perbudakan merupakan upaya untuk menyelamatkan masa lalu dan masa
depan bangsa kita. Menyelamatkan masa lalu berarti membenarkan sejarah
yang selama ini salah. Selama ini kita terperdaya akan sejarah dan cerita masa
72
lalu tentang pemimpin-pemimpin maupun perjuangan-perjuangan mereka
yang kita anggap pahlawan yang sempurna. Padahal di balik semuanya itu ada
kebobrokan dan penipuan besar-besaran terhadap sejarah bangsa. Dengan
mengingat dan belajar dari masa lalu kita dapat menyelamatkan masa depan
agar di kemudian nanti kita tidak akan terjerumus dan melakukan kesalahan
yang sama.
Dengan upaya penyelamatan masa lalu tersebut rasa ketidakadilan dan
penderitaan yang tidak diselesaikan pada masa lampau dapat diselamatkan
dengan membangun ingatan dan lalu mempersoalkannya secara politik dan
hukum. Kita bisa melakukan kritik dan pembenaran-pembenaran terhadap
mereka yang selama ini disalahkan dan mendapatkan perlakuan tidak adil.
Pengalaman penderitaan dan trauma yang tersimpan dalam ingatan
masyarakat berpotensi merusak dan melemahkan kemampuan manusia untuk
dapat melihat persoalan dan masa depannya secara jernih dan utuh.
Pengalaman penderitaan dan trauma yang mendalam hanya dapat menjadikan
seseorang takut untuk kembali mulai melangkah membangun hidup yang
baru. Dia akan semakin terpuruk. Masyarakat yang lupa akan masa lalunya
akan terus kehilangan arah, orientasi diri, dan identitasnya. Lupa akan
pembusukan yang terjadi dalam negerinya sendiri, hanya akan menutup pintu
kesempatan bagi para elite yang melakukan pembusukan dan kejahatan publik
untuk mempertanggungjawabkan kejahatannya. Bagi mereka yang telah
melakukan kejahatan dapat tetap bebas karena masyarakat mulai melupakan
73
dan tidak mempedulikan bangsanya lagi. Masyarakat yang lupa akan sejarah
adalah masyarakat yang tidak peduli pada masa depan bangsanya.
Belajar pada Milan Kundera (dalam Adam, 2006:276), kita mesti
membangun kesadaran sejarah untuk berjuang melawan lupa, bila kita tidak
ingin membiarkan sejarah dikuasai oleh nafsu korup dan mental busuk. Kita
mesti ingat terhadap sejarah. Seperti pesan dari Bung Karno, presiden pertama
Indonesia ‘Jas Merah’, yang artinya Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah.
Dengan tetap mengingat sejarah, maka kita bisa belajar dari masa lalu agar
kita tidak akan melakukan kebodohan untuk kesekian kalinya. Sejarah yang
tidak hanya sekadar melahirkan masa lalu melulu secara historis, masa lalu
yang melulu merasakan kerinduan atau mungkin kegelisahan serta
menghadirkan harapan dari masa kini dan masa depan, melainkan ingatan
yang mampu membangun kegelisahan dan penderitaan manusia, untuk dapat
membuahkan partisipasi dan pembebasan. Dengan ingatan akan penderitaan,
diharapkan manusia dapat melahirkan sesuatu yang bukan hanya menunjuk
pada kerinduan manusia akan pengetahuan, tetapi lebih- lebih pada
pembebasan dari penderitaan manusia.
Dokumen sejarah bangsa kita telah terkotori oleh kebiadaban dan
manipulasi. Namun bagaimanapun, sejarah ini mesti tetap ditulis dalam buku
sejarah bangsa, agar kita bisa memetik pelajaran darinya. Tentu bukan dengan
tangis meratap atau pun bahkan dendam, tetapi menjadikan masa lalu yang
kelam itu sebagai guru, agar seluruh tragedi yang pernah menimpa bangsa ini
74
tidak berulang kembali. Ingatan sosial mesti dibangun bukan untuk memupuk
kebencian, karena kita tidak akan pernah belajar apapun dari kebencian,
seperti halnya juga kita tidak akan pernah belajar apapun dari sikap memuja-
muja suatu rezim, tetapi untuk menyadari bahwa kita semua adalah satu tali
darah kemanusiaan yang harus saling menjaga martabatnya secara etis.
75
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Asvi Warman, dkk. 2006. Soeharto Sehat. Yogyakarta:Galangpress.
Almond, Gabriel A. 1971. “Introduction: A Functional Approach to Comparative
Politics” dalam The Politics of the Developing Areas. Terj. Princeton. New
York: Princeton Univercity Press.
Budiawan. 2004. Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti Komunis dan Politik
Rekonsiliasi Pasca-Soeharto. Jakarta: ELSAM.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Duverger, Maurice. 1967. Political Parties: Their Organization and Activitiesin
Modern State. London: Metheun.
Duverger, Maurice. 1982. Sosiologi Politik. Judul asli The Study of Politics. Jakarta:
Rajawali.
Easton, David. 1965. A Framework for Political Analysis. Terjemahan Englewood
Cliffs. New York: Prentice-Hall.
Ecip, S. Sinansari. 1998. Kronologi Situasi Penggulingan Soeharto. Bandung: Mizan.
Huskens, Frans, dan Huub de Jonge. 2003. Orde Zonder Order: Kekerasan dan
Dendam di Indonesia 1965-1998. Yogyakarta: LKIS.
76
Hyneman, C.S. 1959. The Study of Politics: The Present State of American Political
Science. Urbana: University of Illinois Press.
Jabrohim (ed). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.
Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastera. Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur,
Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar.
Kuntowijoyo. 2003. Wasripin dan Satinah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Moedjanto, M.A, G. 1988. Indonesia Abad Ke-20. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Mulder, Niels. 2004. Individu, Masyarakat dan Sejarah: Kajian Kritis Buku-Buku
Pelajaran Sekolah di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Otobigrafi Soeharto Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya Seperti Dipaparkan
kepada: G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. 1988. Jakarta: PT Citra Lamtoro
Gung Persada.
Pabottingi, Mochtar. 1996. Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Rauf, Maswadi. 2001. Konsensus dan Konflik Politik. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra: Sebuah Pemahaman Awal. Malang:
UMM Press dan Bayu Media.
77
Sastraprateja, M. 2001. Pendidikan Sebagai Humanisasi. Yogyakarta: Penerbit
Universitas Sanata Dharma.
Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Varma, S.P. 1999. Modern Political Theory. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terj./sad. Melani
Budiana. Jakarta: Gramedia.
Zeraffa, Michel. 1973. “The Novel as Literary Form and Social Institution”, dalam
The Sociology of Literature & Drama. Terj. Elizabeth & Burns.
Harmondsworth: Penguin.
Zon, Fadli. 2004. Politik Huru-Hara Mei 1998. Jakarta: Institute For Policy Studies.
Internet:
Djogo, Tony. 2007. “Politik Lingkungan (Environment Politics),
http://www.beritabumi.or.id/artikelvt.php?idartikel=180 download 31 Juli
2007
Fathony, Abdul Halim. 2006. “Bahasa Matematika,
http://www.sigmetris.com/artikel.html download 5 November 2007.
78
Said, A. Umar. 2000. “Kebohongan Sejarah Orde Baru Harus Kita Bongkar Bersama-
sama, http://kontak.club.fr/Sekilas%20tentang%20website%20ini.htm
download September 2006.
“Sejarah Indonesia (Era Orde Baru)”. 2006.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%28Era_Orde_Baru%29
download September 2006.
79
BIOGRAFI PENULIS
Vianney Raditawati lahir di Yogyakarta pada
tanggal 04 Agustus 1985. Menempuh pendidikan Taman
Kanak-Kanak di TK Kusuma I Nologaten, pendidikan
Sekolah Dasar di SD Caturtunggal V Gowok, pendidikan
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP N 4 Depok,
dan pendidikan Sekolah Menengah Umum di SMU N 1 Depok Yogyakarta. Pada
Maret 2008 mendapatkan gelar sarjana sastra dari Universitas Sanata Dharma dengan
skripsi yang berjudul “ Konflik Politik Pada Masa Orde Baru dalam Novel Wasripin
dan Satinah Karya Kuntowijoyo: Tinjauan Sosiologi Sastra”. Kini tinggal di
Sambilegi Lor no.111 RT 05 RW 54 Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta
55282; telp. (0274) 4332201.