Upload
others
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 287-304
287
Konjungsi Koordinatif Bahasa Jepang dalam Biografi
Helen Keller, Esai Real Japanese, dan Kumpulan Cerpen
Dondon Yomeru Hanashi
Ruli Oknita Sari
Universitas Andalas
Padang, Indonesia
M.Yusdi
Universitas Andalas
Padang, Indonesia
Gusdi Sastra
Universitas Andalas
Padang, Indonesia
Abstrak
Konjungsi merupakan kelas kata yang ada pada setiap bahasa. Penelitian ini bertujuan
mendeskripsikan perilaku sintaksis konjungsi koordinatif bahasa Jepang. Perilaku sintaksis tersebut
meliputi fungsi konjungsi, letak struktural konjungsi, dan sifat kehadiran konjungsi. Sumber data
penelitian ini yaitu Biografi Hellen Keller, Esai Read Real Japanese, dan kumpulan Cerpen DonDon
Yomeru IriIro Na Hanashi. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif.
Dalam menganalisis data peneliti menggunakan metode padan translasional untuk pemindahan arti
dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia. Untuk menganalisis fungsi konjungsi, letak struktural
konjungsi, dan sifat kehadiran konjungsi peneliti menggunakan metode distribusional beserta
tekniknnya. Hasil analisis data menunjukan bahwa fungsi konjungsi koordinatif bahasa Jepang yaitu
menghubungkan kata dengan kata yaitu konjungsi to dan konjungsi ya, dan menghubungkan klausa
dengan kluasa yaitu konjungsi ga dan konjungsi -shi. Letak struktural konjungsi koordinatif bahasa
Jepang yaitu berada di antara unsur yang digabungkan. Sementara itu, sifat kehadiran konjungsi di
dalam konstruksi adalah wajib dan tidak dapat dilesapkan.
Kata kunci: konjungsi koordinatif; aditif; kontradiktif; klausa
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Abstract
Conjunction is a class of words that exist in every language. This study aims to describe the syntactic
behavior of Japanese coordinating conjunctions. The syntactic behavior includes the function of the
conjunction, the structural location of the conjunction, and the presence of the conjunction. The data
sources of this research are Hellen Keller Biography, Real Japanese Read Essays, and a collection of
Dondon Yomeru Hanashi short stories. This research is a descriptive qualitative research. In analyzing
the data the researcher applies the translational equivalent method for the transfer of meaning from
Japanese to Indonesian. To analyze the function of the conjunction, the structural location of the
conjunction, and the nature of the presence of the conjunction, the researcher uses the distributional
method and its technique. The results of data analysis show that the coordinating conjunctions of
Japanese are linking words to words, namely conjunctions to and conjunctions ya and linking clauses
with clauses, which is conjunctions ga and conjunctions -shi. The structural position of Japanese
coordinating conjunctions is among the elements combined. Meanwhile, the presence of conjunctions
in construction is mandatory and cannot be mitigated.
Keywords: coordinative conjunction; additive; condtradictive; clause
brought to you by COREView metadata, citation and similar papers at core.ac.uk
provided by Buletin Al-Turas
288
A. Pendahuluan
Bahasa merupakan salah satu anugrah
yang diberikan oleh Tuhan kepada
manusia. Manusia adalah makhluk yang
berfikir dan berkomunikasi melalui
bahasa. Bahkan wahyu dari Tuhan
sekalipun diturunkan melalui bahasa.
Bahasa mempunyai peranan penting
dalam kehidupan umat manusia. Tidak
dapat dibayangkan bagaimana jadinya
kehidupan manusia tanpa adanya bahasa.
Kesadaran akan pentingnnya bahasa
menjadikan banyaknya orang tertarik
mengkaji persoalan bahasa. Jika dilihat
dari sejarahnya, tokoh awal yang dikenal
menelaah bahasa yaitu Aristoteles dan
Plato. Bahkan para ahli sejarah linguistik
sepakat bahwa dasar-dasar konsepsi kelas
kata diletakan oleh Plato dan Aristoteles.
Jika dilihat dari jumlahnya ada
banyak sekali bahasa di dunia. Sejak
zaman aristoteles hingga saat sekarang ini
bahasa merupakan kajian yang menarik
dan masih belum selesai ditelaah. Salah
satu kajian yang sudah mulai ditelaah
semenjak zaman Aristoteles yaitu
mengenai kategori kata atau kelas kata.
Bahkan studi mengenai kelas kata
menempati posisi yang penting di Eropa
pada mula perkembanganya.
Terdapat berbagai cara dan teori yang
digunakan oleh para ahli linguistik atau
ahli bahasa dalam menganalisis kelas kata.
Makin berkembangannya penelitian
mengenai bahasa maka teori-teori dan
metode-metode dalam menganalisis dan
mendeskripsikan kelas kata semakin
mengalami peningkatan.
Kriteria dari pembagian kelas kata
dilakukan secara gramatikal dan bukan
semantik1. Akan tetapi, kaum tradisional
biasanya membagi kelas kata berdasarkan
1 Tymothi (Ed) Sophen, Typologi and Sintactic
Description : Volume 1, Clause Structure (New
York: Cambridge University Press, 2007). 2 Ida Ayu Mirah Purwiati, “Konjungsi
Subodinatif Dalam Teks Buku Pelajaran SLTA:
Analisis Bentuk , Distribusi, Dan Makna,” Aksara
27, no. 2 (Desember 2015): 133–50.
makna dan fungsi sebuah kata. Sementara
itu kaum struktualis membagi kelas kata
berdasarkan distribusinya di dalam sebuah
konstruksi. Dalam sistem pembagian
kelas atau part of speech, terdapat kategori
kata yang disebut dengan konjungsi.
Konjungsi termasuk salah satu kata
noneferensial, yakni kata yang tidak
mempunyai acuan di luar ahasa2.
Setiap bahasa-bahasa di dunia
memiliki suatu kecendrungan atau
universal tendency3. Kecendrungan
tersebut terlihat pada pembagian kelas
katannya. Setiap bahasa di dunia memiliki
kelas kata yang disebut dengan konjungsi.
Di dalam bahasa Jepang juga ditemukan
kelas kata atau kata yang bertugas sebagai
konjungsi.
Bahasa Jepang merupakan bahasa
ynag dipakai sebagai alat komunikasi oleh
masyarakat jepang. Bahasa Jepang
dipakai sebagai bahasa resmi dan sebagai
bahasa pengantar di semua Lembaga
Pendidikan Jepang.
Dalam Bahasa Jepang terdapat istilah
setsuzokushi dan setsuzokujhosi.
Setsuzokushi merupakan istilah yang
digunakan untuk menyebutkan konjungsi
dalam bahasa Jepang, sedangkan
setsuzokujoshi adalah konjungsi bahasa
Jepang yang berasal dari kelas kata
partikel. Menurut Setiana4
konjungsi/setsuzokushi dalam Bahasa
Jepang merupakan salah satu jenis kata
yang penting, sulit untuk dipelajari, dan
jumlahnnya sangat banyak.
Apabila kita merujuk kepada
kebanyakan buku-buku gramatika bahasa
Jepang yang terbit di Indonesia kedua
kelas kata ini dibedakan meskipun
tugasnnya sama. Namun di dalam
penelitian ini peneliti tidak menggunakan
3 Song J.J, “Linguistic Typology : Morphology
and Syntac” (England: Pearson Education
Limited, 2001). 4 Soni Mulyawan Setiana, “Fungsi Dan
Penggunaan Setsuzokushi (Sorede, Sokode, Dan
Suruto),” Majalah Ilmiah UNIKOM 10, no. 2
(2012).
Ruli Oknita Sari, dkk., Konjungsi Koordinatif Bahasa Jepang ...
289
istilah setzuzokushi ataupun
setsuzokujoshi untuk merujuk kepada
konjungsi Bahasa Jepang. Karena baik itu
setsuzokushi dan setsuzokujoshi
keduannya merujuk kepada hal yang sama
yaitu suatu konstituen atau kata yang
digunakan untuk menghubungkan unit
gramatikal di dalam Bahasa Jepang.
Meskipun dalam tata bahasa Jepang kedua
kelas kata ini dibedakan namun pada
prinsipnnya kedua kelas kata ini memiliki
fungsi dan tugas yang sama.
Menurut Sophen5 konjungsi
merupakan kata yang digunakan untuk
menghubungkan satuan lingual seperti
kata, frasa, dan klausa. Alwi6
menggunakan istilah konjungtor dan
bukan konjungsi untuk merujuk kepada
kelas yang berfungsi menghubungkan
satuan lingual. Menurutnya, kojungtor
atau kata sambung merupakan kata yang
masuk ke dalam kelas kata tugas yaitu
kelas kata yang tidak memiliki makna
leksikal namun hanya memiliki makna
gramatikal. Menurut Kridalaksana7
konjungsi merupaka konstruksi yang
dapat meluaskan satuan yang lain dalam
konstruksi hipotakstis, dan selalu
menghubungkan dua satuan lain atau lebih
dalam satu konstruksi. Konstruksi
hipotakstis yang dimaksud di sini yaitu
konstruksi yang digabungkan dengan
menggunakan konjungsi atau penghubung
sedangkan lawan dari satuan hipotaksis
yaitu satuan parataksis dimana satuan
lingual digabungkan tidak menggunakan
konjungsi akan tetapi menggunakan jeda
atau koma. Pada umumnnya konstruksi
parataksis dan hipotaksis merujuk kepada
konstruksi kalimat majemuk. Pada
konstruksi kalimat majemuk satuan
lingual berupa klausa dapat dihubungkan
dengan menggunakan hubungan yang
hipotaksis yaitu menggunakan konjungsi,
5 Sophen, Typologi and Sintactic Description :
Volume 1, Clause Structure. 6 dkk. Alwi, Tata Bahasa Baku Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1998).
atau melalui hubungan yang parataksis
yaitu tanpa penghubung atau konjungsi.
Karena keanekaragaman bahasa
terkadang konjungsi sulit dibedakan
dengan preposisi atau terjadi tumpang
tindih antara satu kelas kata dengan kelas
kata lainnya. Dalam bahasa Indonesia
kekaburan yang sering terjadi yaitu antara
kelas kata konjungsi dengan kelas kata
preposisi. Berikut ini contohnya:
(1) Ia pergi karena saya
(2) Ia pergi karena saya mengusirnya.
Berdasarkan kalimat (1) di atas konstituen
karena merupakan preposisi karena
diikuti oleh satuan kata8. Preposisi adalah
adposisi yang dalam bahasa bertipe VO
terletak di depan nomina. Pada kalimat (2)
konstituen karena bukanlah preposisi
melainkan merupakan sebuah konjungsi.
Konstituen karena pada kalimat (2)
dikategorikan sebagai konjungsi karena
berfungsi menghubungkan satuan lingual
yaitu klausa. Konstituen karena pada
kalimat (2) menggabungkan klausa bebas
Ia pergi dengan klausa terikat Karena
saya mengusirnya. Walaupun bentuk dan
posisi dari kedua konstituen tersebut
sama, namun kategori karena pada
kalimat (1) dengan karena yang terdapat
pada kalimat (2) berbeda. Yang satu
merupakan konjungsi sedangkan yang
lainya adalah preposisi.
Hal yang serupa dengan permasalahan
di atas juga terdapat dalam BJ.
Adakalanya satu kategori dengan
kategorinya tumpang tindih di dalam BJ.
Seperti yang terjadi antara kategori case
marking dengan kategori konjungsi.
Dilihat dari bentuknya konstituen ga
memiliki dua kemungkinan. Pertama,
dalam sebuah konstruksi konstituen ga
dapat menjadi sebuah konjungsi
koordinatif seperti yang terdapat pada data
7 Harimurti Kridalaksana, “Kelas Kata Dalam
Bahasa Indonesia” (Jakarta: Gramedia Pustaka,
2008). 8 Harimurti Kridalaksana.
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 287-304
290
(6) di bawah. Kedua, pada konstruksi yang
berbeda konstituen ga berkemungkinan
menjadi case marking atau penanda kasus
seperti pada kalimat (3) di bawah ini. Van
Valin dan Lapolla (1987) menyebutkan
bahwa konstituen ga adalah penanda
fokus dalam BJ. Berikut ini contohnya:
(3) Kuruma ga koshou shita.
Mobil FOC rusak LAMP
‘Mobil rusak’
Pada kalimat (3) di atas konstituen ga
bukan konjungsi melainkan case marking
fokus. Selain fungsinya yang bebeda
dengan konstituen ga yang ditemukan
pada data (6), dari segi makna yang
dimiliki pun terdapat perbedaan antara
konstituen ga yang terdapat pada data (6)
dengan konstituen ga yang terdapat pada
kalimat (3). Pada data (6) konstituen ga
memiliki makna gramatikal ‘tetapi’.
Sedangkan pada kalimat (3) konstituen ga
tidak memiliki makna gramatikal. Pada
kalimat (3) konstituen ga hanya memiliki
fungsi yaitu sebagai penanda fokus.
Terkait dengan persoalan fokus di dalam
kalimat, hal ini berkaitan dengan relasi
pragmatik atau struktur informasi sebuah
kalimat. Di dalam BJ terdapat dua
penanda kasus yang sering kabur batasan
penggunaanya. Penanda kasus yang
dimaksudkan tersebut yaitu penanda kasus
topik dengan penanda kasus fokus.
Penanda kasus topik di dalam BJ yaitu
konstituen wa. Sementara itu, yang
menjadi penanda kasus fokus yaitu
konstituen ga. Topik merupakan atau
merujuk kepada referen yang baru atau
sesuatu yang menjadi perhatian di dalam
konstruksi. Sedangkan referen yang sudah
diidentifikasi ditandai dengan penanda
fokus yaitu ga. Adapun pada kalimat (5)
di atas fokus dapat dipicu oleh pertanyaan
nani ga koshoushita ‘apa yang rusak?’.
Sehingga terlihat bahwa kuruma ‘mobil’
9 Masnur Muslich, Garis-Garis Besar Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2010).
pada kalimat (3) di atas adalah fokus dan
bukanlah topik.
Muslich9 menyatakan konjungsi atau
kata sambung adalah kata tugas yang
menghubungkan dua klausa atau lebih.
Menurutnya yang dihubungkan oleh
konjungsi adalah klausa. Meskipun lebih
jauh dia menambahkan bahwa konjungsi
koordinatif yang jumlahnya lebih sedikit
dibandingkan dengan konjungsi
subordinatif juga dapat menghubungkan
kata selain dari menghubungkan klausa.
Secara tradisional konjungsi terbagi
atas dua jenis dilihat dari hubungan antar
unit. Pertama, konjungsi koordinatif atau
coordinating conjunction. Kedua,
konjungsi subordinatif atau subordinating
conjunction. Konjungsi koordinatif
menghubungkan unit gramatikal yang
masing-masing unit memiliki hubungan
yang setara. Secara umum konjungsi
koordinatif seperti dan, tetapi, atau atau
equal ‘menyamai’ pada bahasa lainya
ditemukan pada setiap bahasa. Maksud
kata equal disini yaitu bahasa-bahasa di
dunia cendrung memiliki konjungsi
koordinatif yang bermakna sama dengan
dan, tetapi, atau dalam BI. Konjungsi dan
menandai suatu hubungan penambahan
sehingga konjungsi ini dikenal bersifat
aditif. Konjungsi atau menandai suatu
hubungan yang bersifat pilihan atau
alternatif. Konjungsi tapi menandai suatu
hubungan pertentangan atau juga dapat
dikatakan bersifat kontradiktif. Hampir
setiap bahasa di dunia memiliki konjungsi
koordinatif yang menandai suatu
hubungan yang bersifat aditif,
kontradiktif, dan alternatif.
Konjungsi koordinatif dan konjungsi
subordinatif ditemukan pada setiap
Bahasa, tak terkecuali dalam Bahasa
Jepang. Di dalam bahasa Jepang juga
ditemukan konjungsi koordinatif dan
konjungsi subordinatif. Karena luasnya
cakupan konjungsi, maka peneliti hanya
Ruli Oknita Sari, dkk., Konjungsi Koordinatif Bahasa Jepang ...
291
membatasi penelitian pada konjungsi
koordinatif bahasa Jepang saja.
Konjungsi adalah kata tugas yang
memiliki peranan penting dalam
membangun struktur kalimat. Penggunaan
konjungsi secara benar baik dalam bahasa
tulis ataupun Bahasa lisan meruapakan
sebuah kemampuan yang diperlukan bagi
setiap pengguna bahasa10. Fungsi sebagai
penghubung unit gramatikal atau
penghubung sintaksis membuat frekuensi
kemunculanya cukup tinggi di dalam
sebuah konstruksi. Kesalahan atau
ketidaktepatan penggunaan konjungsi
menjadikan suatu konstruksi tidak
berterima secara gramatikal. Selain itu,
kesalahan dalam penempatan konjungsi di
dalam kalimat dapat menimbulkan
kesalahan maksud atau makna yang
dikandung oleh kalimat tersebut.
Penggunaan konjungsi dengan benar
sangat menentukan keberterimaan suatu
konstruksi secara gramatikal. Ketepatan
penggunaan suatu konjungsi menentukan
kelancaran dalam menyampaikan
informasi dalam berkomunkasi. Apabila
penggunaan konjungsi tidak sesuai
dengan aturanya maka suatu konstruksi
tidak akan berterima secara gramatikal
dan juga tidak membawa makna yang
sesuai dengan yang diharapkan, seperti
pada kalimat (4) di bawah ini:
(4) *が 走っています ga hashitteimasu
KONJ berlari
ちょっと も やせ ません
chotto mo yase masen
sedikit Par kurus Neg
‘tetapi saya berlari, sedikitpun saya
tidak bisa menurunkan berat badan’
Kalimat (4) di atas merupakan salah satu
contoh ketidaktepatan penggunaan
10 Oktavian Aditya Nugraha, Abdul Ngalim, and
Yakub Nasucha, “Penggunaan Konjungsi Dalam
Bahasa Tulis Dan Lisan Oleh Siswa Kelas Lima
konjungsi BJ di dalam kalimat. Kesalahan
terjadi pada penempatan konjungsi atau
letak struktural konjungsi. Konjungsi
koordinatif aditif ga pada kalimat (4) di
atas akan berfungsi sebagaimana
mestinnya jika ditempatkan di antara
unsur yang digabungkan dan bukan
ditempatakan di awal.
Berdasarkan latar belakang di atas
peneliti tertarik untuk meneliti konjungsi
koordinatif BJ. Penelitian ini dilakukan
pada konjungsi koordinatif BJ yang
terdapat dalam biografi Hellen Keller
yang ditulis oleh Sukeyuki Imanishi, esai
Read Real Japanese, dan kumpulan
cerpen Dondon Yomeru hanashi.
Ketertarikan penulis terhadap tokoh
kemanusiaan dunia yaitu Helen Keller
menjadi salah satu alasan menjadikan
biografi ini sebagai sumber data. Helen
Keller mulai belajar bahasa pada usia yang
tidak sama dengan anak-anak pada
umumnya. Helen adalah seorang anak
yang buta dan tuli, gurunya mengajari
Helen berbahasa dengan membaca huruf
Braille. Helen belajar menemukan makna
sebuah kata melalui bacaan. BJ yang
digunakan di dalam biografi ini tidak
menggunakan pola kalimat yang sulit
serta mudah untuk dibaca dan dipahami
baik makna maupun struktur kalimatnya.
Esai Read Real Japanese merupakan
kumpulan dari beberapa esai yang
dijadikan buku dan diterbitkan oleh
Kondansha pada tahun 2008. Esai ini
ditulis oleh pengarang Jepang yang sudah
mengeluarkan karya terkenal baik di
Jepang maupun luar negri seperti
Murakami Haruki dan Banana
Yoshimoto. Kumpulan esai ini berisikan
tulisan kontemporer. Kata “kontemporer”
berkaitan dengan modernisasi dan masa
kini. Kumpulan esai ini merupakan karya
yang merefleksikan masa kini baik dari
segi bahasa maupun tema yang diangkat.
Biografi Helen Keller, Esai Read Real
Bakti Pandeyan 01 Sukoharjo,” Jurnal Penelitian
Humaniora 16, no. 2 (Agustus 2015): 43–50.
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 287-304
292
Japanese, dan kumpulan cerpen Don Don
Yomeru Iroiro Na Hanashi merupakan
bacaan yang popular di Jepang. Ketiga
sumber bacaan ini menggunakan bahasa
yang cukup sederhana baik dari tata
bahasa maupun penggunaan huruf kanji
terutama dalam cerpen Don Don Yomeru
Iroiro Na Hanashi.
Yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu (1) Bagaimanakah
bentuk konjungsi koordinatif bahasa
Jepang dalam Biografi Helen Keller, Esai
Read Real Japanese, dan Kumpulan
cerpen Dondon Yomeru Hanashi? (2)
Bagaimanakah perilaku gramatikal
konjungsi koordinatif bahasa Jepang
dalam biografi Helen Keller, Esai Read
Real Japanese, dan Kumpulan cerpen
Dondon Yomeru Hanashi.
Penelitian ini bertujuan untuk
menjelaskan mengenai bentuk konjungsi
koordinatif bahasa Jepang dan
menjelaskan serta mendeskripsikan
perilaku gramatikal konjungsi koordinatif
bahasa Jepang. Perilaku gramatikal
konjungsi koordinatif bahasa Jepang
meliputi tugas atau fungsi konjungsi, letak
struktural konjungsi koordinatif, dan sifat
kehadiran konjungsi koordinatif di dalam
konstruksi gramatikal.
Hasil penelitian ini diharapkan
memberikan manfaat terhadap (1)
pengembangan teori linguistik mengenai
konjungsi koordinatif bahasa Jepang; (2)
menjadi acuan atau bahan rujukan untuk
penelitian berikutnya.
Penelitian mengenai konjungsi bahasa
atau konjungsi bahasa Jepang khususnya
sudah ada yang melakukannya. Namun
berbeda dengan penelitian-penelitian
terdahulu, penelitian ini menggunakan
tinjauan sintaksis serta rumuasan masalah
yang berbeda. Penelitian penelitian
terdahulu mengenai konjungsi tersebut
seperti penelitian yang telah dilakukan
oleh Al-Buqori yang berjudul
11 Al-Buqori, “Setsuzokushi Aruiwa Dan
Soretomo Dalam Bahasa Jepang” (Andalas
University, 2014).
setsuzokushi aruiwa dan soretomo dalam
bahasa Jepang11. Peneliti mengambil
data tertulis dari novel. Jumlah konjungsi
yang diteliti yaitu ada dua, konjungsi
aruiwa dan konjungsi soretomo. Kedua
konjungsi ini dalam BJ memiliki makna
yang hampir sama. Peneliti melakukan
penelitian untuk melihat perbedaanya dari
sudut pandang sintaksis. Dari hasil
penelitian ditemukan bahwa konjungsi
aruiwa dilihat dari posisinya di dalam
konstruksi dapat terletak di awal dan di
tengah kalimat. Dan lagi, unit yang dapat
dihubungkan oleh konjungsi aruiwa yaitu
frasa dengan frasa serta kalimat dengan
kalimat. Konjungsi soretomo juga dapat
menghubungkan frasa, klausa, dan
kalimat, dan juga posisinya dapat terletak
di awal dan di tengah unit lingual yang
dihubungkan.
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan oleh Albuqori ditemukan
perbedaan antara konjungsi aruiwa dan
konjungsi soretomo meskipun secara
posisi struktural dan jenis unit lingual
yang dapat di hubungkan oleh kedua
konjungsi ini tidak ada perbedanya.
Perbedaan yang ditemukan antara
konjungsi aruiwa dengan konjungsi
soretomo tersebut yaitu konjungsi aruiwa
dapat digunakan pada kalimat afirmatif
dan introgatif sedangkan konjungsi
soretomo hanya digunakan pada kalimat
introgatif saja.
Penelitian berikutnya yaitu oleh
Ratnawati12 yang berjudul Konjungsi dan
Klausa Subordinatif dalam Bahasa Jawa.
Penelitian ini menggunakan dua tinjauan
yaitu tinjauan semantik dan sintaksis.
Dalam penelitianya, Ratnawati menyebut-
kan bahwa terjadi overlap penggunaan
konjungsi koordinatif dan subordinatif di
dalam bahasa Jawa. Tidak seperti bahasa
lainya, di dalam bahasa Jawa tidak jelas
garis pemisah antara konjungsi
koordinatif dengan konjungsi
12 Ratnawati, “No TitleKonjungsi Dan Klausa
Subordinat Dalam Bahasa Jawa” (Universitas
Indonesia, 1994).
Ruli Oknita Sari, dkk., Konjungsi Koordinatif Bahasa Jepang ...
293
subordinatif. Namun sayangnya, dalam
penelitian Ratnawati ini tidak ditemukan
analisis dan deskripsi yang lebih rinci
mengenai perbedaan antara kojungsi
koordinatif dengan konjungsi subordinatif
di dalam bahasa Jawa. Penelitian yang
dilakukan oleh Ratnawari ini lebih
cendrung kepada tinjauan sintaksis dan
semantis dari konjungsi dan klausa
subordinatif dalam bahasa Jawa saja.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan
oleh Ismail13 yang berjudul Konjungsi
Youni dan Tameni dalam Bahasa Jepang.
Latar belakang dari penelitian ini yaitu
karena kemiripan makna dari konjungsi
youni dengan konjungsi tameni. Karena
kemiripan makna antara konjungsi youni
dengan konjungsi tameni peneliti tertarik
untuk melihat perbedaan dan persaman
kedua konjungsi ini secara lebih dalam.
Tinjauan yang digunakana yaitu tinjauan
semantik. Dari penelitian yang dilakukan
oleh Ismail ini ditemukan bahwa
konjungsi tameni dan konjungsi youni
digunakan pada kalimat yang
mengandung makna kepentingan,
keinginan, perintah, permintaan, dan
manfaat. Perbedaan dari kedua konjungsi
ini yaitu konjungsi tameni tidak dapat
digunakan pada kalimat yang
mengandung makna perintah. Sedangkan
konjungsi youni tidak dapat digunakan
pada kalimat tujuan yang mengandung
makna kepentingan.
B. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif menggunakan pendekatan
kualitatif. Dikatakan sebagai penelitian
deskriptif karena sifatnnya yang berupa
pemamaparan, memaparkan secara
13 Ismail, “Konjungsi Tameni Dan Youni Dalam
Bahasa Jepang (Kajian Semantik)” (Andalas
University, 2009). 14 T. Fatimah Djajasudarma, Metode Linguistik:
Ancangan Metode Penelitian Dan Kajian
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2006). 15 Eugene A Nida, Morphology : The Descriptive
Analysis of Word. (Ann Arbor: The University of
Michigan Press, 1963).
deskripsi terhadap objek penelitian yang
di teliti. Djajasudarma14 menyatakan
bahwa sebuah penelitian deskriptif
memberikan gambaran dan ciri-ciri data
secara akurat sesuai dengan sifat alamiah
data itu sendiri. Dengan kata lain,
penelitian deskriptif dilakukan
berdasarkan fakta yang ada dengan
memberikan gambaran secara objektif
tentang keadaan yang sebenarnya yang
sedang diteliti. Menurut Nida15 penelitian
deskriptif memiliki berberapa
karakteristik yaitu (1) analisis yang
dilakukan harus berdasarkan pada apa
yang diujarkan, (2) bentuk merupakan hal
utama, sedangkan makna adalah bagian
kedua, (3) tidak ada bahasa yang dapat
dijelaskan prinsipnya tanpa mengacu pada
bagian lain, (4) bahasa selalu berubah.
Adapun pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu pendekatan
kualitatif. Afifuddin16 mengatakan
pendekatan kualitatif menekankan pada
makna penalaran, definisi suatu situasi
tertentu (dalam konteks tertentu) dan
mementingkan proses dibandingkan hasil
akhir.
Dalam sebuah penelitian khususnya
penelitian bahasa yang dijadikan sebagai
bahan jadi penelitian adalah data. Menurut
Sudaryanto dalam Kesuma17 data adalah
objek penelitian ditambah dengan
konteks.
Dalam penelitian ini, sumber data
berasal dari sumber tertulis. Sumber data
yang berasal dari data tertulis diperoleh
dari biografi berjudul Heren Kera Jiten
atau biografi Helen Keller oleh Imanishi
Sukeyuki, Esai Read Real Japanese, dan
kumpulan cerpen Don Don Yomeru
Hanashi. Adapun yang menjadi populasi
16 Beni Ahmad Saebani Afifuddin, Metodologi
Penelitian Kualitatif (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2009). 17 Tri Mastoyo Jati Kesuma, “Pengantar (Metode)
Penelitian Bahasa” (Yogyakarta: Crasvatibooks,
2007).
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 287-304
294
dalam penelitian ini yaitu keseluruhan
kalimat yang mengandung konjungsi
koordiantif dalam bahasa Jepang.
Sementara itu yang menjadi sampel
adalah konjungsi koordinatif yang
mewakili jenis keseluruhan populasi yang
telah dipilah dari sumber data yaitu
biografi Heren Kera Jiten, Esai Read Real
Japanese, dan kumpulan cerpen Don Don
Yomeru Hanashi. Peneliti menggunakan
ketiga teks ini sebagai sumber data
penelitian karena tersediannya data
penelitian yang dibutuhkan dan Bahasa
Jepang yang digunakan di dalam ketiga
teks ini tergolong mudah untuk dipahami
oleh peneliti.
Metode yang digunakan dalam
penjaringan data yaitu metode simak.
Teknik dasar yang digunakan adalah
teknik sadap. Sementara itu teknik simak
bebas libat cakap menjadi teknik lanjutan
dalam penjaringan data dalam tulisan ini.
Teknik sadap yaitu teknik yang dilakukan
dengan menyadap penggunaan bahasa
seseorang. Penyadapan ini dapat berupa
bahasa lisan dan bahasa tulisan. Namun
oleh karena sumber data adalah berupa
tulisan. Untuk itu teknik yang paling tepat
digunakan adalah teknik simak bebas libat
cakap karena peneliti tidak terlibat di
dalamnnya.
Dalam hal ini, pertama peneliti
membaca seluruh kalimat yang ada di
dalam biografi Helen Keller, Esai Read
Real Japanese, dan kumpulan cerpen Don
Don Yomeru Hanashi. Selanjutnya,
peneliti menyadap setiap kalimat yang
terdapat konjungsi koordinatif di
dalamnnya. Kemudian, peneliti mencatat
data ke dalam kartu data.
Metode analisis data adalah cara-cara
khas tertentu yang ditempuh peneliti
untuk memahami problematika satuan
kebahasaan yang diangkat sebagai objek
penelitian18. Adapun metode yang peneliti
gunakan dalam menganalisis data di
18 Sudaryanto, Metode Dan Teknik Analisis
Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana
dalam penelitian ini yaitu metode padan
dan metode agih atau disebut juga dengan
metode distribusional beserta teknik-
tekniknnya.
Metode padan yang peneliti gunakan
yaitu metode padan translasional. Metode
padan translasional digunakan dalam
pemindahan arti dari bahasa Jepang ke
bahasa Indonesia. Sementara itu, teknik
dasar yang digunakan adalah teknik pilah
unsur penentu, yaitu teknik analisis data
dengan cara memilah-milah satuan
kebahasaan yang dianalisis dengan alat
penentu berupa daya pilah yang bersifat
mental yang dimiliki oleh setiap peneliti.
Selain metode padan peneliti juga
menggunakan metode agih. Metode agih
yaitu metode yang alat penentunnya ada di
dalam bahasa itu sendiri. Adapun teknik
dasar yang digunakan yaitu teknik bagi
unsur langsung. Teknik bagi unsur
langsung digunakan untuk memilah dan
mengetahui jenis unit lingual yang
dihubungkan oleh konjungsi.
Metode yang digunakan untuk
menyajikan hasil analisis data yaitu
metode formal dan nonformal.
Sudaryanto19 menyatakan, penyajian
hasil analisis data secara informal adalah
penyajian hasil analisis data dengan
menggunakan kata-kata biasa. Sementara
itu, penyajian hasil analis data secara
formal adalah penyajian hasil analisis data
dengan menggunakan kaidah. Kaidah itu
dapat berupa rumus, bagan/diagram, tabel
dan gambar. Pada penelitian ini peneliti
akan menggunakan tabel sebagai metode
formal dalam penyajian hasil analisis data.
Sedangkan dalam penyajian nonformal
peneliti akan menggunakan kata-kata.
C. Temuan dan Pembahasan
Konjungsi koordinatif berjumlah lebih
sedikit dibandingkan dengan konjungsi
subordinatif. Konjungsi jenis ini dapat
menandai hubungan penambahan atau
Kebudayaan Secara Linguistis (Yogyakarta:
Sanata Dharma University Press, 2015). 19 Sudaryanto.
Ruli Oknita Sari, dkk., Konjungsi Koordinatif Bahasa Jepang ...
295
aditif, pemilihan atau alternatif dan
hubungan mempertentangkan atau
kontradiktif. Konjungsi aditif
menambahkan antara unit yang satu
dengan unit yang lain, konjungsi alternatif
untuk memilih antara unit yang satu
dengan yang lainya, sementara itu
konjungsi kontradiktif berfungsi untuk
mempertentangkan antara unit yang satu
dengan unit yang lainnya.
Konjungsi Koordinatif Menandai
“Penambahan/Aditif”
Konjungsi koordinatif Aditif mengikat
unit lingual yang kedudukanya sama atau
setara di dalam konstruksi sintaksis20.
Hubungan yang setara itu dapat dilihat
dari kelas kata atau jenis kata yang
digabungkan atau dihubungkan oleh
konjungsi. Dalam bahasa Jepang
ditemukan beberapa bentuk konjungsi
koordinatif yang menandai hubungan
penambahan atau bersifat aditif.
Konjungsi-konjungsi tersebut yaitu
konjungsi koordinatif to, konjungsi
koordinatif ya dan konjungsi koordinatif
shi seperti yang diuraikan pada bagian di
bawah ini.
Konjungsi Koordinatif to ‘Dan’
Konjungsi koordinatif to dalam BJ
berasal dari kelas kata partikel. Partikel
merupakan bentuk yang terbatas
kebebasannya tetapi berstatus kata. Jika
dibandingkan dengan leksikon bebas,
partikel masih memiliki keterbatasan.
Leksikon bebas umumnya memiliki
makna leksikal sedangkan partikel hanya
memilikiki makna gramatikal.
Konstituen to meruapkan konjungsi
koordinatif yang menghubungkan unit
lingual berupa kata. Konjungsi to selain
berfungsi menghubungkan kata dengan
kata juga berfungsi sebagai noun lister
atau mengurutkan beberapa benda yang
sifatnnya exhaustive atau keseluruhan.
20 Cici Puspita Sari, “Konjungsi Koordinatif
Aditif Bahasa Sunda,” EJurnal Mahasiswa
Universitas Padjajaran 1, no. 1 (2012).
Seperti yang ditunjukan oleh data di
bawah ini:
(1) パンチ と はさみ を
panci to hasami wo
pelubang kertas KONJ gunting AKU
入れ たりする の を….
Iretarisuru no wo
memasukan GEN AKU
‘(Konduktor) memasukan gunting dan
pelubang kertas’
Berdasarkan data (1) di atas konstituen
to mengikat unit gramatikal atau satuan
lingual berupa kata dalam sebuah
konstruksi sintaksis. Pada data (1) to
mengikat nomina dengan nomina.
Nomina yang diikat oleh to yaitu panci
‘pelubang kertas’ dan hasami ‘gunting’. Berdasarkan analisis data di atas yaitu data (1)
dapat disimpulkan bahawa konjungsi to
mengikat unit gramatikal atau satuan lingual
berupa kata. Konjungsi koordinatif to tidak
dapat mengikat unit lingual berupa klausa.
Dikarenakan konstituen to dapat
mengikat unsur yang sifatnya setara di
dalam sebuah konstruksi sintaksis maka
konstituen to dikategorikan sebagai
konjungsi koordinatif. Untuk
membuktikan bahwa konstituen to
merupakan konjungsi koordinatif maka
dilakukan pengujian dengan melihat
kedudukan unit yang diikat atau
dihubungkan oleh konjungsi tersebut.
Sebuah konstituen dikategorikan sebagai
konjungsi koordinatif apabila konstituen
tersebut mampu mengikat atau
menghubungkan unit garamatikal yang
kedudukanya setara atau sama
Berdasarkan data (1) konstituen to
menghubungkan nomina dengan nomina.
Tidak ditemukan konstituen to yang
mengikat atau menghubungkan satuan
lingual yang kelas katanya berbeda seperti
nomina dengan verba ataupun verba
dengan adverbia. Oleh karena itu dapat
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 287-304
296
disimpulkan bahwa konstituen to adalah
konjungsi koordinatif yang
menghubungkan satuan lingual yang
kedudukanya setara.
Letak konjungsi koordinatif to juga
dapat digambarkan dengan A co B, yang
mana A merupakan nomina pertama atau
N1 dan B merupakan nomina kedua atau
N2. Letak konjungsi koordinatif to adalah
tegar. Posisi konjungsi koordinatif to tidak
dapat dirubah atau dimutasikan menjadi
*co AB ataupun *AB co. Seperti kalimat
di bawah ini:
(1a) *… とパンチ はさみ を
to panci hasami wo
KONJ pelubang kertas gunting
AKU
入れ たりする の を….
Iretarisuru no wo
memasukan GEN AKU
‘(Konduktor) memasukan gunting
pelubang kertas’
Kalimat (1a) di atas tidak berterima
karena konjungsi to tidak memiliki fungsi
apapun di dalam konstruksi tersebut. Pada
kalimat (1a) konjungsi to terletak
mengawali nomina pertama. letak
struktural ini membuat konjungsi to
kehilangan fungsinya sebagai konjungtor.
Konjungsi koordinatif to hannya berfungsi
sebagai konjungtor jika berada di antara
nomina yang digabungkan seperti pada
data (1). Karena tidak dapat mengawali
atau berada di akhir unit lingual yang
digabungkan maka letak struktural
konjungsi koordinatif to adalah tegar.
Konjungsi to selain berfungsi atau
bertugas sebagai penghubung satuan-
satuan lingual juga berfungsi sebagai noun
lister yaitu dapat digunakan untuk
menjajarkan atau mengurutkan beberapa
nomina di dalam sebuah kalimat. Jumlah
nomina yang dapat di jajarkan tidak
terbatas. Pada data (1) konjungsi
koordinatif to menggabungkan dua buah
nomina yaitu panci ‘pelubang kertas’
dengan hasami ‘gunting’.
Kehadiran konjungsi koordinatif to di
dalam konstruksi tidak dapat dilesapkan.
Apabila konjungsi koordinatif to di
lesapkan maka konstruksi tidak berterima
secara gramatikal. Oleh karena itu
dikatakan bahwa sifat kehadiran
konjungsi koordinatif to adalah wajib.
(1b) *… パンチ はさみ を
panci hasami wo
pelubang kertas gunting AKU
入れ たりする の を….
Iretarisuru no wo
memasukan GEN AKU
‘(Konduktor) memasukan gunting
pelubang kertas’
Kalimat (1b) di atas tidak berterima
karena tidak ditemukan adanya
konjungtor yang bertugas
menggabungkan nomina panic dengan
nomina hasami. Konjungtor tersebut
seharusnnya berfungsi menggabungakan
nomina-nomina tersebut. Namun, karena
dilesapkan maka konstruksi menjadi tidak
berterima secara gramatikal. Untuk itu
dapat dikatakan bahwa kadar keintian
suatu unsur yaitu konjungsi koordinatif to
di dalam kalimat bersifat wajib. Konjungsi
to tidak dapat dihilangkan di dalam
konstruksi (1b) di atas.
Konjungsi Koordinatif ya ‘Dan’
Selain dari konstituen to, ditemukan
konstituen lainya yang juga dapat
digunakan untuk menghubungkan unit
lingual di dalam sebuah konstruksi yaitu
konjungsi koordinatif ya. Konjungsi
koordinatif ya mampu mengikat atau
menghubungkan satuan lingual berupa
kata. Seperti pada data (2) di bawah ini:
(2) …ガウス や 藤原先生
Gauss ya Fujiwarasensei
Gauss KONJ Fujiwara
の ような 人たち が …..
no youna hitotachi ga
Ruli Oknita Sari, dkk., Konjungsi Koordinatif Bahasa Jepang ...
297
GEN seperti orang-orang
FOC
‘Untuk orang seperti Gaus dan
Fujiwara’
Pada data (2) di atas konjungsi
koordinatif ya berfungsi menggabungkan
kata gausu ‘Gaus’ dengan kata
fujiwarasense ‘guru Fujiwara’. Kedua
kata yang digabungkan oleh konjungsi ya
tersebut berkategori nomina.
Konjungsi ya termasuk ke dalam
konjungsi koordinatif. Konjungsi
koordinatif adalah konjungsi yang
mengikat atau menghubungkan unit yang
sifatnya setara. Kesetaraan tersebut dapat
dilihat dari kelas kata serta jenis unit yang
dihubungkan.
Konjungsi ya menghubungkan nomina
dengan nomina. Berdasarkan analisis data
tidak ditemukan adanya konjungsi ya
yang menghubungkan nomina dengan
verba, verba dengan adverbia, dan
adverbia dengan nomina.
Letak struktural konjungsi koordinatif
ya di dalam kalimat yaitu berada di antara
satuan lingual yang dihubungkan. Posisi
struktural konjungsi koordinatif ya dapat
digambarkan dengan A co B. A
merupakan nomina pertama atau NI dan B
adalah nomina kedua atau N2. Letak
struktural konjungsi ya di dalam kalimat
adalah tegar dan tidak dapat dimutasikan
dengan posisi lainya seperti *ABco atau
*coAB. Jika dilakukan mutasi atau
pemindahan posisi konjungsi koordinatif
ya di dalam kalimat, maka kalimat tidak
berterima secara gramatikal, seperti yang
ditunjukan oleh kalimat (2a) di bawah ini.
(2a) *…ガウス 藤原先生 や
Gauss Fujiwarasensei ya
Gauss Fujiwara KONJ
の ような 人たち が …..
no youna hitotachi ga
GEN seperti orang-orang
FOC
‘Untuk orang seperti Gaus Fujiwara’
Kalimat (2a) di atas tidak berterima karena
posisi konjungsi koordinatif ya
dimutasikan yang seharusnnya berada di
antara satua lingual yang digabungkan
menjadi berada di akhir nomin ke dua atau
N2. Hal ini membuat konjungsi
koordinatif ya pada kalimat (2a)
kehilangan fungsinnya sebagai konjungtor
atau penghubung satuan lingual.
Selain dari letak strukturalnya yang
tegar sifat kehadiran konjungsi koordinatif
ya di dalam konstruksi adalah wajib.
Apabila konjungsi koordinatif ya di
lesapkan pada maka konstruksi tidak
berterima secara gramatikal. Seperti yang
terjadi pada kalimat (2b) di bawah.
(2b) *…ガウス 藤原先生
Gauss Fujiwarasensei
Gauss Fujiwara
の ような 人たち が …..
no youna hitotachi ga
GEN seperti orang-orang
FOC
‘Untuk orang seperti Gaus Fujiwara’
Kalimat (2b) di atas tidak berterima
karena konjungsi koordinatif ya
dilesapkan sehingga konstruksi
kehilangan bagian yang berperan sebagai
konjungtor nomina gausu dengan nomina
fujiwarasense.
Konjungsi ya memiliki persamaan baik
dari segi ciri struktural maupun maknanya
dengan konjungsi to. Pertama, konjungsi
ya dan konjungsi to adalah konjungsi
koordinatif. Kedua, konjungsi ya dan
konjungsi to memiliki fungsi untuk
mengikat dan menghubungkan unit
gramatikal berupa kata. Ketiga, konjungsi
ya dan konjungsi to mampu
menghubungkan kata dengan kategori
nomina. Keempat, kedua konjungsi ini
sama-sama menandai hubungan
penambahan atau aditif. Kelima, apabila
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
konjungsi ya beserta konjungsi to sama-
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 287-304
298
sama dipadankan dengan kata ‘dan’.
Keenam, letak konjungsi koordinatif ya
dan konjungsi koordinatif to yaitu berada
di antara satuan lingual yang
dihubungkan. Ketujuh, Sifat kehadiran
konjungsi koordinatif ya dan konjungsi
koordinatif to di dalam konstruksi adalah
wajib.
Selain memiliki peersamaan dengan
konjungsi to konjungsi ya juga memiliki
perbedaan dengan konjungsi to. Pertama,
konjungsi to bersifat exhaustive atau
menghubungkan item secara keseluruhan.
Maksudnnya di sini yaitu apabila
konjungsi to digunakan untuk
menghubungkan atau menajajarkan
beberapa nomina di dalam suatu
konstruksi maka nomina yang dijajarkan
atau dihubungkan tersebut sudah
keseluruhanya. Berbeda dengan konjungsi
to, konjungsi koordinatif ya hanya
mewakili beberapa nomina saja sehingga
dikatakan bersifat representative atau
inexhaustive. Perbedaan lainya yaitu
dalam penggunanya konjungsi ya diikuti
oleh partikel nado ‘dan lain-lainya’
sedangkan konjungsi to tidak diikuti oleh
partikel nado. Seperti yang terdapat pada
data (3) di bawah ini konjungsi koordinatif
ya diikuti oleh partikel nado.
(3) その 辺 は アメリカ 人
sono hen wa Amerika jin
sana sekitar TOP Amerika orang
や イギリス人 や フランス
人 ya Iigirisujin ya furansu
jin
KONJ Inggris orang KONJ Perancis
orang
など が たくさん 住んでい まし
た
nado ga takusan sundei mashita
lainnya FOC bannyak tinggal LAMP
‘Di sekitar sana banyak tinggal
orang Amerika, Inggris, Perancis dan
lainnya’
Seperti yang terdapat pada data (3)
konjungsi koordinatif ya diikuti oleh
partikel nado. Konstituen nado
mengindikasikan bahwasanya masih ada
nomina lainya yang tidak disebutkan atau
dimunculkan di dalam konstruksi selain
dari nomina Igirisujin, Amerikajin, dan
Furansujin di dalam data (3). Dalam
penggunanya bersama konjungsi
koordinatif ya partikel nado tidak selalu
hadir mengikuti konjungsi ya di dalam
sebuah konstruksi sintaksis.
Konjungsi Koordinatif shi ‘dan’
Konjungsi koordinatif shi tidak
berbeda dalam hal makna gramatikal
dengan konjungsi koordinatif
sebelumnnya yaitu jika dipadankan ke
dalam bahasa Indonesia konjungsi ini
dipadankan dengan kata ‘dan’. Konjungsi
koordinatif shi juga menandakan
hubungan aditif atau penambahan. Akan
tetapi, berdasarkan bentuknya konjungsi
sebelumnnya yaitu konjungsi koordinatif
to dan ya berasal dari kelas kata partikel,
sedangkan konjungsi koordinatif shi
merupakan afiks yang selalu melekat pada
unsur predikat.
Konstituen shi merupakan konjungsi
koordinatif yang juga menandai hubungan
penambahan/aditif di dalam BJ. Namun
berbeda dengan konjungsi to dan
konjungsi ya, konjungsi shi mengikat unit
gramatikal berupa klausa. Konjungsi
koordinatif shi menggabungkan dua uah
kalusa atau lebih yang kedudukannya
sama atau setara. Dengan kata lain antara
satu klausa dengan klausa lainnya yang
digabungkan tidak ada posisinnya yang
lebih tinggi ataupun yang lebih rendah
seperti yang terjadi antara klausa
subordinat dengan klausa matrik. Kedua
klausa yang digabungkan oleh konjungsi
koordinatif shi sama-sama dapat
membentuk kalimat tunggal atau simple
sentence. Penggunaan konjungsi shi di
dalam kalimat selain sebagai penghubung
satuan lingual juga berfungsi menunjukan
penambahan informasi.
Ruli Oknita Sari, dkk., Konjungsi Koordinatif Bahasa Jepang ...
299
(4) 暖かい 砂 の 上 に
atatakai suna no ue ni hangat pasir GEN atas di
飛び出 し 海 の 中
tobida shi umi no naka
terbang KONJ laut GEN dalam
へ 飛び込んでいき ました。 e tobikondeiki mashita
ke masuk LAMP ‘terbang di atas pasir yang hangat dan
masuk ke dalam laut’
Berdasarkan data (4) di atas terlihat bahwa
konjungsi koordinatif shi mengikat dua buah
klausa dalam konstruksi kalimat majemuk
setara. Data (4) di atas terdiri atas dua
klausa yang masing-masing klausa
berpotensi menjadi kalimat tunggal.
Klausa pertama pada data (4) di atas yaitu
atatakai suna no ue ni tobida shi ‘terbang
di atas pasir yang hangat’ dan klausa
kedua umi no naka e tobikondeiki mashita
‘masuk ke dalam laut’.
Dilihat dari korelasi temporal atau
hubungannya dengan waktu, bedasarkan
ketiga data di atas konjungsi shi
digunakan sebagai konektor klausa yang
menunjukan hubungan berurutan. Seperti
pada data (5) di bawah klausa pertama
dalam konstruksi tersebut yaitu densya ni
sesshoku shi ‘jatuh di kereta’ lalu diikuti
oleh klausa ke dua yaitu ookega wo suru
jiken ga arimashitakke ‘ada luka-luka
yang disebabkan oleh kecelakaan’. Secara
kronologis, peristiwa pada klausa pertama
terjadi lebih dahulu, baru peristiwa pada
klausa kedua, dan tidak terjadi
sebaliknnya.
(5)電車 に 接触 し 大怪我
densya ni sesshoku shi ookega
kereta di jatuh KONJ luka
を する 事件 が ありましたっけ
wo suru jiken ga arimashitakke
AKU terjadi kecelakan FOC ada’
‘(Seorang wanita) jatuh di kereta dan
ada luka-luka yang disebabkan oleh
kecelakaan’
Konjungsi koordinatif shi dapat
ditemukan pada konstruksi kalimat
majemuk setara atau compound sentence.
Berdasarkan letak strukturalnya,
konjungsi shi terletak di antara satuan
yang digabungkan. Konjungsi shi tidak
dapat mengawali satuan yang
digabungkan. Namun demikian, pada
kondisi tertentu konjungsi shi dapat
mengawali satuan yang digabungkan yaitu
ketika terjadi pengulangan konjungsi di
dalam sebuah konstruksi.
Gambaran letak struktural konjungsi
koordinatif shi di dalam kalimat majemuk
setara adalah A co B. A merupakan klausa
pertama, B klausa kedua, dan co adalah
konjungsi koordinatif shi. Gambaran letak
struktural di atas dapat ditemukan pada
kalimat majemuk yang dibentuk dari dua
buah satuan lingual berupa klausa. Akan
tetapi, jika suatu konstruksi dibentuk lebih
dari dua klausa dan konjungsi shi
digunakan sebagai penghubungnnya,
maka letak strukturalnnya menjadi A co B
co C. A, B, C merupakan satuan yang
digabungkan dan co merupakan konjungsi
koordinatif shi.
(4a) *し 暖かい砂 の 上 に 飛び出
shi atatakai suna no ue ni tobida
KONJ hangat pasir GEN atas di
terbang laut
海 の 中 へ 飛び込んでいき ました
umi no naka e tobikondeiki mashita
GEN dalam ke masuk LAMP
KONJ hangat pasir GEN atas di terbang
laut
‘dan terbang di atas pasir yang hangat
masuk ke dalam laut.’
Kalimat (4a) di atas menjadi tidak
berterima karena letak struktural
konjungsi shi yang semula berada di
antara unsur yang digabungkan dirubah
menjadi berada di awal unsur yang
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 287-304
300
digabungkan. Posisi ini tidak berterima
karena mengacaukan susunan sintakksis
kalimat (4a) dan menimbulkan makna
yang tidak koheren.
Menurut bentuknya, konjungsi shi
merupakan afiks. Konjungsi shi tidak
dapat berdiri sendiri dan melebur ke dalam
morfem lainnya. Konjungsi shi biasanya
ditemukan setelah unsur predikat. Oleh
karena unsur predikat klausa bahasa
Jepang terletak di akhir, maka konstituen
shi selalu ditemukan setelah unsure
predikatif.
Dari kedua data di atas yaitu data (4)
sampai dengan (5) unsur predikatif yang
ditempati oleh konjungsi shi yaitu
tobibida ‘masuk’ dan sesshoku ‘jatuh’.
Verba yang menempati fungsi predikat
pada data (4) hingga data (5) memiliki
bentuk dasar yaitu tobidasu ‘masuk atau
memasuki’ dan seshhoku suru
‘mendorong’. Ketika ditambahkan dengan
konjungsi shi, verba kedua data di atas
dirubah dari bentuk dasarnya agar dapat
ditambahkan dengan konjungsi shi.
Caranya dengan menghilangkan stem
yang berbunyi u yaitu –suru pada verba
seshoku dan –su pada verba tobidasu lalu
ditambahkan dengan konjungsi shi.
Sehingga secara berurutan verba yang
terdapat pada kedua data di atas yaitu data
(4) hingga data (5) setelah ditambahkan
dengan konjungsi shi menjadi seshoku-shi
dan tobida-shi.
Dalam sebuah konstruksi terkadang
ada unsur yang dapat dilesapkan tanpa
mengganggu susunan sintaksis
konstruksi. Apabila suatu unsur dapat
dilesapkan maka unsur tersebut tidak
wajib hadir di dalam sebuah konstruksi.
Namun, jika ketidakhadiran sebuah unsur
atau konstituen menyebabkan rusaknnya
susunan sebuah konstruksi sintaksis dan
tidak kohenrennya makna yang dihasilkan
oleh konstruksi, maka kehadiran unsur
tersebut adalah wajib sifatnya.
Berdasarkan data (4) dan data (5) di
atas diketahui bahwa konjungsi
koordiantif shi bertugas menggabungkan
dua buah klausa bebas untuk membentuk
konstruksi kalimat majemuk setara.
Dilihat dari sifat kehadiran konjungsi
koordinatif shi wajib hadir di antara satuan
lingual yang digabungkan. Apabila
konjungsi koordinatif shi dilesapkan maka
kalimat tidak berterima secara gramatikal,
seperti pada kalimat di bawah ini:
(5a) * 電車 に 接触 大怪我 を
densya ni sesshoku ookega
wo
kereta di jatuh luka
AKU
する 事件 が ありましたっけ
suru jiken ga
arimashitakke
terjadi kecelakan FOC ada’
‘(Seorang wanita) jatuh di kereta
ada luka-luka yang disebabkan
oleh kecelakaan’
Kalimat (5a) di atas tidak berterima karena
tidak ditemukan konstituen penghubung
klausa bebas-klausa bebas yang terdapat
pada kalimat tersebut. Pada kalimat (5a)
seharusnya dibutuhkan kehadiran
konjungsi koordinatif shi sebagai pengikat
kedua klausa yang terdapat pada
konstruksi tersebut.
Konjungsi Koordinatif Menandai
“Pertentangan”
Di dalam bahasa Jepang juga
ditemukan konjungsi koordinatif yang
menandai hubungan pertentangan.
Konjungsi koordinatif yang menandai
hubungan pertentangan disebut juga
dengan istilah kontradiktif. Dikatakan
konstradiktif karena antara satuan lingual
yang dihubungkan oleh konjungsi jenis ini
itu bertentangan. Di dalam penelitian ini
ditemukan bahwa konstituen ga
merupakan bentuk konjungsi koordinatif
yang meanandai hubungan pertentangan
di dalam bahasa Jepang.
Ruli Oknita Sari, dkk., Konjungsi Koordinatif Bahasa Jepang ...
301
Konstituen ga dapat dikategorikan
sebagai case marking atau penanda kasus
dan juga dapat dikategorikan sebagai
konjungsi koordinatif. Konstituen ga
dikategorikan sebagai konjungsi
koordinatif apabila konstituen ga
menghubungkan dua buah satuan lingual
yang sifatnya setara. Seperti yang
ditunjukan oleh data di bawah ini:
(6) 木村 さん は 二十年kimura san wa nijyunen
Kimura HON TOP 20 tahun
前 に 奥さん と
mae ni okusan to
sebelum pada istri dengan
結婚しました が
kekkonshimashita ga
menikah KONJ
最近 だんだん
saikin dandan
akhir-akhir ini perlaha-lahan
奥さん が いや
okusan ga iya
istri FOC benci
になり ました。
ninari mashita.
menjadi LAMP
‘Tuan Kimura dua puluh tahun yang
lalu menikah dengan istrinya, tetapi
akhir-akhir ini perlahan-lahan menjadi
benci kepadanya’.
Dilihat dari fungsi atau tugas
konjungsi, berdasarkan data (6) di atas
konjungsi koordinatif ga berfungsi
sebagai penghubung satuan lingual berupa
klausa. Data (6) di atas terdiri atas dua
buah klausa. Kedua klausa yang terdapat
pada data (6) merupakan klausa bebas
karena masing-masing klausa berpotensi
menjadi kalimat apabila konjungsi ga
dilesapkan. Klausa pertama data (6) di
atas terdiri atas unsur inti berupa subjek
dan predikat. Unsur predikatif pada klausa
pertama dan klausa kedua terdiri atas
verba. Pada klausa pertama yang menjadi
predikat yaitu kekonshimashita
‘menikah’, sementara itu yang menjadi
predikat pada klausa kedua adalah
iyaninarimashita ‘menjadi benci’.
Adapun yang menajadi subjek pada
klaua pertama data (6) di atas adalah
Kimura. Sedangkan pada klausa kedua
tidak ditemukan adanya subjek. Pada
klausa kedua data (6) di atas terjadi
penghilangan subjek karena subjek pada
klausa pertama dengan subjek pada klausa
kedua adalah sama yaitu Kimura.
Penghilangn subjek di dalam sebuah
konstruksi juga dinamakan dengan
ellipsis. Elispsis bertujuan untuk
menghindari pengulangan munculnya
unsur yang sama.
Berdasarkan letak atau posisi
strukturalnya, konjungsi ga berada di
antara kedua satuan lingual yang
dihubungkan. Seperti yang terdapat pada
data (6), konjungsi koordinatif ga berada
di antara klausa pertama dengan klausa
kedua. Apabila digambarkan maka letak
struktural konjungsi koordinatif ga
berdasarkan data (6) di atas yaitu A co B.
Yang mana A adalah klausa pertama dan
B adalah klausa kedau pada data (6) di
atas. Konjungsi koordinatif yang
menghubungkan kedua klausa pada data
(6) di atas di simbolkan dengn co. Letak
struktural konjungsi koordinataif ga
adalah tegar. Apabila posisi ini dirubah
maka kalimat majemuk setara yang
terdapat pada data (6) di atas tidak
berterima secara gramatikal. Seperti
kalimat (6a) di bawah ini:
(6a) * が木村 さん は 二十年
ga kimura san wa nijyunen
KONJ Kimura HON TOP 20 tahun
前 に 奥さん と
mae ni okusan to
sebelum pada istri dengan
結婚しました
kekkonshimashita menikah
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 287-304
302|
最近 だんだん
saikin dandan
akhir-akhir ini perlaha-lahan
奥さん が いや
okusan ga iya
istri FOC benci
になり ました。
ninari mashita.
menjadi LAMP
‘Tuan Kimura dua puluh tahun yang
lalu menikah dengan istrinya, akhir-akhir
ini perlahan-lahan menjadi benci
kepadanya’.
Kalimat (6a) di atas tidak berterima karena
knjungsi koordinatif ga pada kalimat
tersebut tidak berfungsi sebagaimana
mestinnya. Pada kalimat (6a) di atas
konjungsi koordinatif ga terlihat atau
ditemukan berada di awal klausa pertama.
Seharusnnya letak struktural konjungsi
koordinatif ga berada di antara klausa
pertama dengan klausa kedua bukan
berada di awal atau mengawali klausa
pertama. Konjungsi koordinatif ga
berfungsi apabila terletak di antara klausa
kimura san wa nijyunen mae ni
okusan to kekkonshimashita ‘tuan
Kimura dua puluh tahun yang lalu
menikah dengan istri’ dengan klausa
saikin dandan okusan ga iya ninari
mashita ‘, akhir-akhir ini perlahan-lahan
menjadi benci kepadannya’.
Seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya bahwasanya konjungsi
koordinatif ga menadai suatu hubungan
yang siftnya kontradiktif. Kontradiktif
yang dimaksudkan yaitu antara klausa
pertama dan klausa kedua data (6) di atas
saling bertentangan maknanya. Konjungsi
koordinatif ga mempertentangkan makna
klausa kimura san wa nijyunen mae ni
okusan to kekkonshimashita ‘tuan
Kimura dua puluh tahun yang lalu
menikah dengan istri’ dengan klausa
saikin dandan okusan ga iya ninari
mashita ‘, akhir-akhir ini perlahan-lahan
menjadi benci kepadannya’. Konjungsi
koordinatif ga hanya mampu mengikat
dua satuan lingual atau dua klausa saja.
Kedua buah klausa yang diikat atau
dihubungkan secara koordinatif pada data
(6) di atas memiliki subjek yang sama
seperti yang sudah disebutkan
sebelumnnya.
Konjungsi koordinatif ga wajib hadir di
dalam konstruksi kalimat majemuk setara
untuk menghubungkan klausa klausa yang
terdapat di dalam konstrukksi tersebut.
Seperti yang ditunjukan oleh data (6) di
atas, konjungsi ga menghubungkan dua
buah klausa bebas sehingga membentuk
kalimat majemuk setara yang
hubungannya bersifat hipotaktis karena
terdapat konjungsi koordinatif di
dalamnya. Jika konjungis ga yang terdapat
pada data (6) dilesapkan maka kalimat
menjadi tidak berterima secara
gramatikal.
(6b) * 木村 さん は 二十年
kimura san wa nijyunen
Kimura HON TOP 20 tahun
前 に 奥さん と
mae ni okusan to
sebelum pada istri dengan
結婚しました
kekkonshimashita menikah
最近 だんだん
saikin dandan
akhir-akhir ini perlaha-lahan
奥さん が いや
okusan ga iya
istri FOC benci
になり ました。
ninari mashita.
menjadi LAMP
‘Tuan Kimura dua puluh tahun yang lalu
menikah dengan istrinya, akhir-akhir ini
perlahan-lahan menjadi benci kepadanya’
Ruli Oknita Sari, dkk., Konjungsi Koordinatif Bahasa Jepang ...
303
Kalimat (6b) di atas tidak berterima
secara gramatikal karena konjungsi
koordinatif ga yang seharusnnya berfungsi
sebagai penghubung klausa-klausa yang
terdapat pada kalimat tersebut dilesapkan.
Karena konjungsi kordinatif ga dilesapkan
konstruksi kalimat majemuk setara tidak
terbentuk dan makna pertentangan yang
terdapat pada kalimat data (6) tidak
ditemukan pada kalimat (6b). Karena
pentingnnya kehadiran konjungsi
koordinatif ga pada konstruksi di atas
maka dapat dikatakan bahwa konjungsi
koordinatif ga merupakan unusur yang
kehadiranya bersifat wajib.
Tabel 1: Ciri gramatikal Konjungsi
Koordinatif bahasa Jepang
Ben
tuk
Mak
na
Ciri Sintaksis Konjungsi
Koordinatif
Tugas Letak Sifat
to Dan
Menghu
bungkan
unit
lingual;
Noun
lister
Antara
unit
lingual
yang
dihubung
kan
Wajib
ya Dan
Menghu
bungkan
unit
lingual;
Represent
atif
Antara
unit
lingual
yang
dihubung
kan
Wajib,
tidak
dapat
dilesap
kan.
shi Dan
Menghu
bungkan
atau
mengikat
unit
lingual
berupa
klausa
Antara
unit yang
dihubung
kan
Wajib,
tidak
dapat
dilesapk
an.
ga Tetap
i
Menghu
bungkan
unit
lingual
berupa
klausa
Antara
unit yang
dihubung
kan.
Wajib.
D. Kesimpulan
Konjungsi yang menghubungkan
satuan lingual yan setara kedudukannya
dinamakan dengan konjungsi koordinatif.
Konjungsi koordinatif dapat menandai
hubungan aditif, alternatif dan hubungan
kontradiktif.
Berdasarkan analisis data di dalam
penelitian ini konjungsi koordinatif yang
menandai hubungan aditif di dalam
bahasa Jepang yaitu ditemukan konjungsi
to. Konstituen to mampu menghubungkan
unit lingual di dalam suatu konstruksi
gramatikal. Unit lingual yang dapat
dihubungkan oleh konjungsi koordinatif
to yaitu nomina dengan nomina.
Sementara itu konjungsi koordinatif yang
menandai hubungan aditif lainya yang
ditemukan dalam penelitian ini yaitu
konjungsi shi dan konjungsi ya. Konjungsi
shi mampu menghubungkan unit lingual
berupa klausa di dalam konstruksi kalimat
majemuk setara. Sedangkan konjungsi ya
sama dengan konjungsi to mampu
menghubungkan unit lingual berupa kata.
Sementara itu, konjungsi koordinatif ga
merupakan konjungsi koordinatif yang
menandai hubungan kontradiktif.
Konjungsi kontradiktif ga
menghubungkan klausa dengan klausa
yang kedudukannya setara. Berdasarkan
bentuknnya, konjungsi to, ya, dan ga
berasal dari partikel. Sedangkan konjungsi
koordinatif shi adalah afiks dan selalu
menempel pada bentuk lainnya yaitu
unsur predikatif.
Konjungsi koordinatif to selain
berperan sebagai penghubun satuan
lingual berupa kata, juga dapat bertugas
sebagai noun lister yaitu menjajarkan
bebebrapa nomina di dalam konstruksi.
Berdasarkan letak strukturalnnya,
konjungsi koordinatif to, ya, ga, dan shi
berada di antara unsur ynag digabungkan.
Letak struktural keempat konjungsi
koordinatif bahasa Jepang tersebut tidak
dapat dimutasikan menjadi di awal atupun
di akhir sehingga dikatakan bahwa letak
struktural konjungsi koordinatif to, ya, ga
dan shi di dalam bahasa Jepang bersifat
tegar. Sementara itu untuk sifat
kehadirannya di dalam konstruksi,
kehadiran konjungsi koordinatif to,
konjungsi ya, konjungsi ga dan konjungsi
Buletin Al-Turas Vol. 25 No. 2 November 2019, hal. 287-304
Ruli Oknita Sari, dkk., Konjungsi Koordinatif Bahasa Jepang ...
304
shi tidak dapat dilesapkan atau bersifat
wajib.
Daftar Pustaka
Afifuddin, Beni Ahmad Saebani.
Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: CV. Pustaka Setia,
2009.
Al-Buqori. “Setsuzokushi Aruiwa Dan
Soretomo Dalam Bahasa Jepang.”
Andalas University, 2014.
Alwi, dkk. Tata Bahasa Baku Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
Djajasudarma, T. Fatimah. Metode
Linguistik: Ancangan Metode
Penelitian Dan Kajian. Bandung:
PT. Refika Aditama, 2006.
Eugene A Nida. Morphology : The
Descriptive Analysis of Word. Ann
Arbor: The University of
Michigan Press, 1963.
Harimurti Kridalaksana. “Kelas Kata
Dalam Bahasa Indonesia.” Jakarta:
Gramedia Pustaka, 2008.
Ismail. “Konjungsi Tameni Dan Youni
Dalam Bahasa Jepang (Kajian
Semantik).” Andalas University,
2009.
J.J, Song. “Linguistic Typology :
Morphology and Syntac.”
England: Pearson Education
Limited, 2001.
Muslich, Masnur. Garis-Garis Besar Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Bandung: PT. Refika Aditama,
2010.
Nugraha, Oktavian Aditya, Abdul
Ngalim, and Yakub Nasucha.
“Penggunaan Konjungsi Dalam
Bahasa Tulis Dan Lisan Oleh
Siswa Kelas Lima Bakti Pandeyan
01 Sukoharjo.” Jurnal Penelitian
Humaniora 16, no. 2 (Agustus
2015): 43–50.
Purwiati, Ida Ayu Mirah. “Konjungsi
Subodinatif Dalam Teks Buku
Pelajaran SLTA: Analisis Bentuk
, Distribusi, Dan Makna.” Aksara
27, no. 2 (Desember 2015): 133–
50.
Ratnawati. “No TitleKonjungsi Dan
Klausa Subordinat Dalam Bahasa
Jawa.” Universitas Indonesia,
1994.
Sari, Cici Puspita. “Konjungsi Koordinatif
Aditif Bahasa Sunda.” EJurnal
Mahasiswa Universitas
Padjajaran 1, no. 1 (2012).
Setiana, Soni Mulyawan. “Fungsi Dan
Penggunaan Setsuzokushi
(Sorede, Sokode, Dan Suruto).”
Majalah Ilmiah UNIKOM 10, no.
2 (2012).
Sophen, Tymothi (Ed). Typologi and
Sintactic Description : Volume 1,
Clause Structure. New York:
Cambridge University Press,
2007.
Sudaryanto. Metode Dan Teknik Analisis
Bahasa: Pengantar Penelitian
Wahana Kebudayaan Secara
Linguistis. Yogyakarta: Sanata
Dharma University Press, 2015.
Tri Mastoyo Jati Kesuma. “Pengantar
(Metode) Penelitian Bahasa.”
Yogyakarta: Crasvatibooks, 2007.