10
· ·---- --- -------, KONSEP DAN W A WASAN UMUM Orientasi Manajemen Sumberdaya Arkeologi di Indonesia M. Nur, Dosen Arkeologi Universitas Hasanuddin Abstrak The archaeological resources distribute almost in the whole area of Indonesia. The condition of archaeological resources management in our country still under standard. Good concept, theory and the operational at archaeological resources management in a country must have a good relation with the progress at conflict management and its partipatoris approach. Basicly, the state determination to archaeological resources management could be done right as long as all the public interest can be accommodate. The effective way to make it is how to involve the public into the activities. Key words: Archaeological, Resources Management, Public interest, Participation approach PENDAHULUAN Indonesia kaya akan sumberdaya arkeologi. Jika dilihat dari bentangan tema, kita menemukan kompleksitas tersebut pada situs hunian semi sedentaire di gua-gua kapur, hunian pada situs-situs terbuka peninggalan komunitas Austronesia, arsitektur bangunan keagamaan dan profan, variabilitas data arkeologi kubur, karakteristik peninggalan arkeologi kota, artefak epigrafi, artefak seni, data sejarah perbentengan serta sumberdaya arkeologi tematis lainnya. Jika dilihat dari bentangan periodisasi, kita menemukan sejarah peradaban bangsa yang begitu lengkap mulai dari jaman prasejarah, klasik, Islam, dan kolonial. Sumberdaya . arkeologi di atas terdistribusi merata pada hampir semua wilayah di Indonesia. Membayangkan kekayaan sumberdaya arkeologi tersebut, muncul pertanyaan, mampukah kita mengelola kekayaan tersebut dengan sumberdaya manusia yang ada. Apakah 11 kantor BP3, 2 studi dan konservasi, 10 Balai Arkeologi dan 4 jurusan Arkeologi mampu mengelola semua sumberdaya arkeologi tersebut. Keterbatasan jurnlah institusi arkeologi tersebut ditambah oleh persoalan kualitas sumberdaya manusia serta alokasi anggaran yang pas-pasan. Data di atas hanya merupakan ilustrasi untuk mengantar pemikiran kita memahami bagaimana orientasi manajemen sumberdaya arkeologi di Indones ia, atau bagaimana kekayaan sumberdaya arkeologi tersebut memberikan manfaat dalam berbagai peruntukan di masa mendatang. Papua Vol. 1 No. 1/ Juni 2009 1

KONSEP DAN W A W ASAN UMUM Orientasi Manajemen Sumberday

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KONSEP DAN W A W ASAN UMUM Orientasi Manajemen Sumberday

··--------------, KONSEP DAN W A W ASAN UMUM

Orientasi Manajemen Sumberdaya Arkeologi di Indonesia M. Nur, Dosen Arkeologi Universitas Hasanuddin

Abstrak

The archaeological resources distribute almost in the whole area of Indonesia. The condition of archaeological resources management in our country still under standard. Good concept, theory and the operational at archaeological resources management in a country must have a good relation with the progress at conflict management and its partipatoris approach. Basicly, the state determination to archaeological resources management could be done right as long as all the public interest can be accommodate. The effective way to make it is how to involve the public into the activities.

Key words: Archaeological, Resources Management, Public interest, Participation approach

PENDAHULUAN

Indonesia kaya akan sumberdaya arkeologi. Jika dilihat dari bentangan tema, kita menemukan kompleksitas tersebut pada situs hunian semi sedentaire di gua-gua kapur, hunian pada situs-situs terbuka peninggalan komunitas Austronesia, arsitektur bangunan keagamaan dan profan, variabilitas data arkeologi kubur, karakteristik peninggalan arkeologi kota, artefak epigrafi, artefak seni, data sejarah perbentengan serta sumberdaya arkeologi tematis lainnya. Jika dilihat dari bentangan periodisasi, kita menemukan sejarah peradaban bangsa yang begitu lengkap mulai dari jaman prasejarah, klasik, Islam, dan kolonial. Sumberdaya . arkeologi di atas terdistribusi merata pada hampir semua wilayah di Indonesia. Membayangkan kekayaan sumberdaya arkeologi tersebut, muncul pertanyaan, mampukah kita mengelola kekayaan tersebut dengan sumberdaya manusia yang ada. Apakah 11 kantor BP3, 2 Bal~i studi dan konservasi, 10 Balai Arkeologi dan 4 jurusan Arkeologi mampu mengelola semua sumberdaya arkeologi tersebut. Keterbatasan jurnlah institusi arkeologi tersebut ditambah oleh persoalan kualitas sumberdaya manusia serta alokasi anggaran yang pas-pasan. Data di atas hanya merupakan ilustrasi untuk mengantar pemikiran kita memahami bagaimana orientasi manajemen sumberdaya arkeologi di Indonesia, atau bagaimana kekayaan sumberdaya arkeologi tersebut memberikan manfaat dalam berbagai peruntukan di masa mendatang.

Papua Vol. 1 No. 1/ Juni 2009 1

Page 2: KONSEP DAN W A W ASAN UMUM Orientasi Manajemen Sumberday

c -· M. Nur, Orientasi Jfanajemen Sumberdaya Arkeo/ogi di Indonesia

1. Filsafat dan Dimensi Konilik dalam :\Ianajemen Sumberdaya Arkeologi Manajemen sumberdaya ari,:eologi lahir dan memilih alur filsafat post

processual archaeology yang sanga benentangan dengan alur filsafat processual archaeology. Dalam fi lsafat processual archaeology, kebenaran (truth) masa lalu diyakini ada. Asumsinya ada:ai ::1empelajari budaya masa, kita dapat merekonstruksi kebudayaan masa 22:.: :ersebut. Bertentangan dengan itu, filsafat post processua/ archaeo!og. · e:c.:::=gapan bahwa tidak ada kebenaran (truth) masa lalu. Apa yang diha-: ka...'1 • e:·e:::czr. ar ·eologi adalah rekonstruksi masa lalu :::::.e::::.:.:-.1: ye:-s: ~:e:-;J:- :e:-::.:y2. D: s:...:.:. a:-~·eologi bertujuan politis. Arkeologi adalah ··~: ..:..::..:.: ·:::.::.:: ?:-.::.:,--::s. :e:c:i..:. ·...,e:-:::r2.: • o:i is dan diliputi oleh moral (Tilley and

:::::.::.:::::. t':=e::J S..!..."'2berdaya arkeologi, setiap individu dan .:;:_- :-_ =~---2 ::..::....- :·a::= =a=.::. ez~a:n mendefmisikan kebudayaan masa lalu. ~p::. -~~- ::e:=.:.s: ~- :...:ez:aa::t :nasa lalu akan selalu berbeda tergantung

~ ---=- -;: _.....:: .:..:::: :::::. =--~ .:.a:: :.:-.:qreter:J.ya. Suku Mee di Papua, Suku Toraja di _:_~ ~: - e.::..z-_ --..:..:.-....: Day~- · Kalunantan, Suku Badui di Banten, dan Suku _.:.-- ,- !)~~ C.: :a:::n: a.<an meffil;i.'.Q definisi berbeda tentang kebudayaan masa :;,-=_ .!. . 'T:.:~ ·.:k p sampai di siru, setiap individu dari suku-suku di atas juga :::..e-· · -- e :nisi yang berbeda tentang kebudayaan mas a lalunya. Dengan .:~ · .-.: c.::. definisi tunggal tentang kebudayaan masa lalu dalam MSA adalah apa s..:.:::.. :::::.e::::.ffi!t interpretemya. Definisi kebudayaan bisa saja sangat akademis atau :e:-.:....:.:c. ·a. sangat pragmatis.

~onsekuens i alamiah dari filsafat kebudayaan di atas adalah terjadi .:-ce-2n asumsi dan apresiasi antara setiap indi\idu. setiap suku dan setiap i:::..:-.: • .::.s:. Jangankan individu yang tidak memiliki pemahaman akademis yang baik ·e::· :: - = surnberdaya arkeologi, akademisi dan BP3 Ja:im juga memiliki asumsi dan a~:-es:as· yang berbeda terhadap sumberdaya arkeologi d ' TrO\mlan. Polemik besar p·...:.::. :erjadi dan akhimya pembangunan proye • Pusa: b.formasi Majapahit cE:.::..:1gguhkan. Konflik adalah konsekuensi alamiah da~a:n mana· emen sumberdaya a:;._eo:ogi . Selain menjanjikan manfaat yang besar s be:-ezy2 ar eologi kita juga :::::.njanj ikan potensi konflik yang besar pada saat yang bersru"1laall. Yfodel konflik ya::g dapat terj adi bisa berupa konflik antar kom u:a- aea:. konflik antara n::asyarakat dengan pemerintah, konflik antara pe:ne~.n:ai eaerah dengan pe merintah pusat, konflik antara akadernisi dengan masya.-a-ui: 2warn, atau konflik antara negara dengan masyarakat intemasional.

Kematangan konsep, teori dan kerangkz operas:o::tal manaJ emen sumberdaya arkeologi (MSA) suatu negara seharusnya be:-~o:-elasi kuat dengan kemaj uan manaj emen konflik dan pendekatan parti ipa:ori- ya.::!g imil ikinya.

Pertanyaannya sekarang apakah model-rr.ode: ::-eso: si konflik dan pendekatan partisipatoris, baik secara akademis maupun Cal2:I1 ·erangka praktis di luar arkeologi dapat diadaptasi masuk ke dalam ba.::!gt:.:lan teori manajemen sumberdaya arkeologi. Inilah tantangan MSA Indonesia di ::m:-a n::endatang.

2 Papua Vol. 1 No. 1 I Juni 2009

Page 3: KONSEP DAN W A W ASAN UMUM Orientasi Manajemen Sumberday

M. Nur, Oriemasi Manajemen Sumberdaya Arkeologi di Indonesia

2. Orientasi MSA di Indonesia Tema pemikiran greater India dan local genius pemah marak didiskusikan

sekitar 20 tahun lalu (Ayatrohaedi ed., 1986). Pemikiran greater India memusatkan kajiannya pada persoalan persebaran budaya dengan penafsiran yang terfokus pada identifikasi atas dan pelaku dominasi dalam pertemuan antar masyarakat dan antar budaya. Sedangkan pemikiran local genius memusatkan perhatian pada perkembangan budaya, dengan penafsiran yang terfokus pada identifikasi atas kreativitas atau daya tanggap yang terdapat pada suatu bangsa untuk menyerap dan mengolah pengaruh apapun yang sampai padanya (Sedyawati, 1996:2).

Pemikiran local genius tampaknya lebih cenderung dianut oleh arkeologi Indonesia. Cerminannya terlihat pada UU no. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya Pasal2 yang berbunyi :

"Perlindungan benda eagar budaya dan situs bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia ".

Regulasi di atas merupakan muara dari pada MSA di Indonesia. Karena itu, tidak mengherankan bila peran negara sangat besar dalam MSA sehingga disebut oleh beberapa smjana sebagai State Oriented.

Meninjau ke belakang, orientasi MSA tersebut sebenamya memiliki pijakan yang kuat. Jika kita mengkatagorikan orientasi arkeologi di seluruh dunia, akan diperoleh tiga tipe yaitu pertama arkeologi nasionalis, kedua tipe arkeologi kolonialis, dan ketiga arkeologi imperialis.

Tipe arkeologi nasionalis, memberikan titik berat pada peninggalan budaya suatu negara untuk dapat menggugah rasa kebangsaan dan kebesaran suatu bangsa. Tipe arkeologi kolonialis menitikberatkan pada peninggalan budaya asing, dimana penduduk aslinya tersingkir oleh pendatang yang secara kultur historik tidak memiliki kaitan dengan penduduk aslinya. Contoh negara tipe ini adalah USA, Australia, Kanada dan New Zealand. Sedangkan tipe arkeologi imperialis yaitu yang menitikberatkan pada peninggalan di luar batas negaranya, yang dalam hal-hal tertentu secara dominan pemah atau masih di bawah pengaruh • mereka seperti Rusia, Amerika, Perancis, Belanda, Inggris dan Australia (Simanjuntak, 2006:11) . Arkeologi Indonesia termasuk dalam tipe yang pertama.

Menurut penulis, MSA kita yang sifatnya state oriented bukanlah permasalahan yang mendasar. Determinasi negara dalam MSA pada dasamya dapat dijalankan dengan baik sepanjang semua kepentingan publik dapat diakomodasi. Permasalahan MSA kita adalah sudah sejauh mana konflik kepentingan dalam pengelolaan dapat dihindarkan dan fungsi koordinasi dapat dioptimalkan.

Papua Vol. 1 No. 1 I Juni 2009 3

Page 4: KONSEP DAN W A W ASAN UMUM Orientasi Manajemen Sumberday

- ·~ . ·-=. Oria:~l.'·fGI:J.'crr.en Sumberdaya Arkeo/ogi di Indonesia

:....:.::_;;~-;.. e:·e·-:::· ::a::.:: 22..:-.:s segera dipikirkan adalah bagaimana bentuk . e~"._~ :~ c _ :rr . . ::;~- :::;:::::~~ cia.:am ~egiatan manaj emen secara keseluruhan. Sa .. ;>a: s ~--a::5 . ?"":.::::.:z:: =..a.:_-a.--aj· :Can organisasi non pemerintah (omop) baru sa:n a: zdz ·z-;:::- p~2z:a:::.. : . .:?::::: k..~"1ti asnya masih sanga kurang. Misalnya bebera?a sc. ,- a:z·_ ::: ::.::::e:: a:-·· ~og: · Indonesia yang dib a untuk pariwisata, masyaraka se~ :a.-:1,-a 1-a-;-a · ·:.::::z::~ dalam kegiatan pe anfaatan. Akibatnya adalah hanya seba_·an ·ec:... ~as_-a.-a] · : yang dapat mengambil manfaat dari MSA pada sebuah objek.

Seeara yuridis, peroata:: r::asyara.oca daJam pengelolaan Benda Cagar Budaya (BCB) diatur dalam Ll..: _ ·o. 5 Tah 199_ Pasal 18 Ayat 2 berbunyi Masyarakat, kelompok, atau perorangan berperan sena dalam pengelolaan benda eagar budaya dan situs. Pada regulasi ::mmannya yairu Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1993 pasal 42 juga ru:e=as:.atn tentang pelibatan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan BCB. Adap bu.nyinya adaJah sebagai berikut:

Ayat 1. Peran serta masya.ra:<.a: dalam pelestarian atau pengelolaan benda eagar budaya dapat dilakukan ole· perorangan a a bad an hukum, yayasan, perhimpunan, perkurnpulan, atau badan lain yang sejenis.

Ayat 2. Peran serta masyarakat sebagairnana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa penyuJuhan, seminar, pengurnpulan dana. dan ·egiatan lain dalam upaya perlindungan dan pemeliharaan benda eagar budaya. ~!asih berhubungan dengan manaj emen sumberdaya arkeologi, PP. o. 10 Tahun 199 juga memberi ruang kepada masyarakat untuk dilibatkan dalam pengawasan. Pasal -B ayat 1 berbunyi _\femeri bertanggung jawab alas pengawasan pelestarian b nda eagar budaya dan dilaf..:11kan bersama secara terpadu antara instansi pemerimah terkait atau dengan masyarakat. Regulasi ini membuktikan bahwa kita tidak memir · masalah dengan orintasi MSA kita. Yang perlu dibenahi adalah bagairnana C::ll Pelaksana Teknis (L"PT) yang terlibat langsung dalam program pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya arkeologi di lapangan dapat diarahkan untuk mengimplementasikan regulasi tersebut.

Publik sewajamya dilibatkan dalam keseluruhan rangkaian kegiatarr manajemen yang terdiri dari kegiatan pereneanaan (planning;, pengaturan (managing), pengarahan (directing), pengendalian (controlling), dan evaluasi (evaluating). Pelibatan publik dalam keseluruhan rangkaian kegiatan manajemen tersebut akan menumbuhkan rasa merniliki (sense of belonging) dan semangat tanggung jawab yang tinggi. Dengan demikian, publik akan menjadi rnitra dalam menjalankan fungsi pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya arkeologi. Bukan pada tempatnya sekarang publik dipersepsikan sebagai pihak yang berwawasan manajemen sempit, tidak kooperatif dan sangat politis dalam memandang sumberdaya arkeologi

4 Papua Vol. 1 No. 1/ Juni 2009

Page 5: KONSEP DAN W A W ASAN UMUM Orientasi Manajemen Sumberday

M. Nur, Orieniasi Manajemen Sumberdaya Arkeologi di Indonesia

Persepsi semacam ini tidak memandang asumsi dan apresiasi publik yang berbeda-beda sebagai kekayaan sumberdaya arkeologi itu sendiri. Jika persepsi semacam ini dipertahankan, publik juga akan memposisikan diri berada di luar sumberdaya arkeologinya. Dengan demikian, MSA kita akan berjalan di tempat karena tidak ada lagi pemaknaan baru dari masyarakat (public).

3. Problematika Nilai Penting

Nilai penting sumberdaya arkeologi perlu dibicarakan di sini karena berhubungan erat dengan orientasi politis MSA kita. Nilai penting sumberdaya arkeologi adalah manfaat yang dapat diberikan oleh sumberdaya arkeologi tersebut. Pekerjaan MSA adalah bagaimana mengidentifikasi dan mempertahankan nilai penting tersebut (Pearson dan Sullivan, 1995). Kedalaman kajian nilai penting dari sebuah sumberdaya arkeologi akan berkorelasi pada lebamya spektrum manfaat yang dapat diberikannya. Walaupun kita tidak memiliki alasan tunggal untuk menerangkan kurang berkembangnya kajian MSA serta aplikasinya di lapangan, tetapi lemahnya kemampuan teoritis dalam menemukan nilai penting suatu sumberdaya budaya mungkin merupakan salah satu penyebab.

Lemahnya kemampuan teoritis terlihat pada kecenderungan yang terlihat di lapangan dimana hasil penelitian non-manajemen sumberdaya arkeologi1 kurang digunakan dalam menemukan nilai penting suatu sumberdaya arkeologi. Selain pemaknaan baru dari masyarakat, nilai penting (significan value) sumberdaya arkeologi berasal dari kualitas informasi masa lalu yang dikandung oleh sumberdaya arkeologi tersebut. Di sinilah dua bidang dalam arkeologi bertemu dansaling terkait. Nilai penting yang ditemukan dari penelitian non-manajemen sumberdaya arkeologi harus dilestarikan dan dimanfaatkan oleh pengelola MSA. Kerjasama dua bidang arkeologi tersebut masih belum maksimal di Indonesia. Fenomena kurangnya kerjasama ini juga menjadi permasalahan kontemporer di negara maju sekalipun (Lipe, 2002:20-28).

Pengidentifikasian nilai penting merupakan salah satu permasalahan teoritis dalam MSA kita dan kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kajian tersebut dianggap hal yang tidak signifikan dalam suatu kegiatan akademis. Pada beberapa proyek yang dilakukan oleh lembaga arkeologi tertentu misalnya, kajian nilai pentingnya terkesan sangat sederhana. Semua benda eagar budaya atau sumberdaya arkeologi dikatakan memiliki nilai penting tinggi padahal kenyataan menunjukkan bahwa terdapat spesifikasi yang menunjukkan adanya gradasi nilai penting dari setiap sumberdaya arkeologi. Implikasi dari terbatasnya kemampuan pengelola mengeksplore nilai penting sebuah sumberdaya arkeologi adalah terbatasnya manfaat yang dapat diberikan oleh sumberdaya arkeologi tersebut. Kadang juga

Papua Vol. 1 No. 1 I Juni 2009 s

Page 6: KONSEP DAN W A W ASAN UMUM Orientasi Manajemen Sumberday

'.1 . 1 ur, Orientasi Manajemen Sumberdaya Arkeologi di Indonesia

pen~ · den ifi.kasian nilai penting untuk kebutuhan pelestarian dan pemanfaatan dianggap sama padahal keduanya adalah dua kegiatan akademis yang tujuannya

erbeda.

1. Walaupun perdebatan teoritis sebagai sebuah dialektika ilmu pengetahuan telah terj adi di kalangan para ahli tetapi sampai sekarang belum dapat dirumuskan sebuah kesepakatan tentang kriteria penentuan nilai penting. Paling tidak ada 5 hal yang menyebabkan sulitnya dicapai kesepakatan tentang kriteria nilai penting tersebut Nilai penting memiliki sifat yang abstrak dan multitafsir.

2. Karena sifatnya yang multitafsir maka sangat potensial untuk diisi oleh muatan politis.

3. Pemberian nilai penting bukan tahapan yang berdiri sendiri melainkan selalu terangkai dengan tahapan lain. Dengan demikian, nilai penting selalu terkait dengan tujuan, permasalahan dan perangkat operasional sebuah kegiatan akademis.

4. Nilai penting sangat sulit dikonversi ke dalam angka sehingga sulit untuk dianalisis secara kuantitatif.

5. Latar belakang para ahli yang memberikan penilaian berbeda-beda.

Berdasarkan pemahaman di atas , mudah dipaharni jika terdapat beberapa versi nilai penting walaupun sumberdaya arkeologi yang dinilai sama. Dalam konteks tersebut, yang paling penting adalah alasan yang diajukan harus objektif dan metodologis. Begitu signifikannya ni lai penting sebuah sumberdaya arkeologi sehingga ditentukan dalam Undang-Undang RI no. 5 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 1 yang menyebutkan nilai penting Benda Cagar Budaya adalah nilai penting sejarah, nilai p enting ilmu pengetahuan dan nilai penting kebudayaan. Penetapan nilai penting dalam undang-undang merupakan refleksi dari orientasi politis MSA kita.

Nilai penting yang digariskan dalam UU No. 5 Tahun 1992 di atas sebenamya memiliki 2 kelemahan mendasar yaitu :

6

1. Tidak diikuti oleh penjelasan operasional baik dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 dan Keputusan Menteri Nomor 063/U/1995 dan Nomor 064/U/1995. Dengan demikian, terbuka ruang penafsiran terhadap apa yang dimaksud dengan nilai penting sej arah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

2. Nilai penting tersebut dipahami sebagai suatu hal yang berdiri sendiri, tidak dikaitkan dan tidak ditempatkan sebagai sebuah tahapan signifikan dalam kegiatan akademis.

Papua Vol. 1 No. 1/ Juni 2009

Page 7: KONSEP DAN W A W ASAN UMUM Orientasi Manajemen Sumberday

M. Nur, Orientasi .\fanajemen Sumberdaya Arkeologi di Indonesia

Meskipun merniliki kelemahan seperti diuraikan di atas tetapi bukan berarti nilai penting dalam Undang-undang No. 5 tahun 1992 tersebut tidak dapat digunakan dalam operasional kegiatan MSA di lapangan. Paling tidak, beberapa alasan akadernis mengapa acuan nilai penting tersebut cukup relevan dalam MSA di Indonesia yaitu :

1.)Nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan seperti yang digariskan dalam UU No.5 tahun 1992 meskipun sangat interpretatif sifatnya tetapi merniliki cakupan yang sangat luas. Dari beberapa acuan nilai penting yang diajukan oleh ahli seperti Timothy Darvill yang membagi nilai penting menjadi 8 yaitu scientific research, creative arts, education, recreation and tourism, simbolic representation, legitimation of action, social solidarity and integration, dan money and economic gain (Darvill, 1995 :44-45) a tau Schiffer dan Gummerman yang membagi nilai penting menjadi nilai penting ilmu pengetahuan, sejarah, etnik, publik, hukum dan pendanaan (Schiffer dan Gummerman,1977: 241-254), semua nilai penting tersebut dapat diadaptasi ke dalam nilai penting seperti yang digariskan UU No.5 Tahun 1995.

2.) Nilai penting yang digariskan dalam UU No. 5 Tahun 1995 merupakan tetjemahan dari orientasi politis arkeologi Indonesia sebagai negara yang menganut faham arkeologi nasionalis. Penulis berasumsi bahwa sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah ilrniah, pengidentifikasian nilai penting untuk tujuan nasionalitas bukanlah hal yang keliru.

3.) Nilai penting sumberdaya arkeologi seperti dalam UU No. 5 tahun 1992 lebih mudah ditetjemahkan dalam penyusunan kerangka operasional.

Dari beberapa uraian di atas, penulis berasumsi bahwa MSA kita yang bermuara pada pemajuan kebudayaan nasional sudah berkorelasi dengan pedoman nilai penting yang digariskan dalam Undang-undang No.5 tahun 1992. Hanya saja, nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan sifatnya masih sangat konseptual. Dengan demikian, pengelola. MSA kita pada tingkat daerah belum dapat menetjemahkan nilai penting tersebut dalam kerangka operasional. Artinya, perlu ada regulasi turunan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 yang menjelaskan tentang kerangka operasional dari nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Bila dernikian, kita akan memiliki standarisasi kerangka operasional yang siap dilaksanakan oleh pengelola MSA pada tingkat bawah atau yang berhubungan langsung dengan program pelestarian dan

Papua Vol. 1 No. 1 I Juni 2009 7

Page 8: KONSEP DAN W A W ASAN UMUM Orientasi Manajemen Sumberday

\1 . . 'ur. Orienu:si .'.far.ojemen Sumberdaya Arkeo/ogi di Indonesia

pemanfaatan. Dalam o ·eks tersebut, kerangka operasional yang

diusulkan oleh Tanudirjo (_00..! ) ::ne::larik untuk didiskusikan.

Penutup Secara garis besar, ea_ a: -Lmp lkan bahwa perwajahan manaJemen

sumberdaya arkeologi di egGia ~ · :c. -ih j auh dari ukuran ideal. Kondisi tersebut terlihat pada beberapa feno::::e-'...a _ c.:::g idak berkorelasi kuat antara lain :

a. Sistem manajeme . ·a:!g b . 'alan belum berkorelasi kuat dengan regulasi yang ada. Hal · · e:-'= '-c: ada program-program yang dilaksanakan oleh Cni Pela:n:.m Te£1.:- · ba~·ah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala

e me·· a::..<an rr:as:a.---akz: cialam keseluruhan rangkaian kegiatan MSA. b. S · -:e::::J. man( e::nen ·ang ·alan bel urn berkorelasi kuat dengan

ko le ya rna alah yang adapi di lapangan. Salah satu cara yang paling efeklif un ' manjaring informasi , memetakan dan memecahkan permasalahan MSA di lapangan adalab penggunaan pendekatan partisipatoris (participarion approach) .

Kekayaan sumberdaya arkeologi (SDA) termasuk kandungan nilai pentingnya belum berkorelasi kuat dengan manfaat yang dapat diambil dari SDA tersebut. Secara garis besar, manfaat yang dapat diambil dari semberdaya arkeologi selama ini hanya manfaat yang berhubungan dengan kepentingan ideologis dan keilmuan, sedangkan dampak langsung ke masyarakat sebagai pemilik sah sumberdaya arkeologi belum banyak dirasakan dan belum menyentub kelompok per kelompok.

8 Papua Vol. 1 No. 1 I Juni 2009

Page 9: KONSEP DAN W A W ASAN UMUM Orientasi Manajemen Sumberday

Daftar Pustaka

Anonim, 1992, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1992 Tentang Benda eagar Budaya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Anonim, 1993, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1993

Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ayatrohaedi, (ed.). 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pus taka J aya.

Darvill, Timothy, and Cooper, (ed.). 1995. Managing Archaeology. New York: Routledge Press. Ltd.

Lipe, William. D. 2002. Public Benefits of Archaeological Research. Florida: University Press of Florida.

Pearson, Michael dan Sharon Sullivan. 1995. Looking After Heritage Places: the Basics of Heritage Planning for Managers, Landowners and Administrators. Melbourne: Meloume University Press, 1995.

Schiffer, Michael B. And George J., Gummerman. 1977. Conservation Archaeology, A Guide Book for Cultural Resources Management Studies. New York: London Academic Press.

Simanjuntak, Harry Truman, (ed.) . 2006. Archaeology: Indonesian Perspektif. R.P. Soejono 's Festschrift. Jakarta: Indonesian Institute of Sciences (LIPI).

Sedyawati, Edi. 1996. "Tantangan Untuk Sepuluh Tahun Lagi". PIA VII. Proyek Penelitian Arkeologi. Jakarta.

Shanks, M and Tilley, C. 1987. Reconstructing Archaeology. Cambridge: Cambridge University Press.

Tanudiijo, Daud Aris. 2004. "Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi: Sebuah Pengantar". Bahan diskusi untuk Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi, di Trowulan, Mojokerto, 27 Agustus- 1 September 2004.

Papua Vol. 1 No. 1/ Juni 2009 9

Page 10: KONSEP DAN W A W ASAN UMUM Orientasi Manajemen Sumberday

M. Nur, Orientasi .\far.9_'emen S:1mberdaya Arkeologi di Indonesia

Tanudirjo, Daud Aris. 2004. Penetapan rulai penting dalam pengelolaan benda eagar budaya Disampaikan dalam Rapat Penyusunan Standardisasi Kriteria

(Pembobotan) Bangunan Benda Cagar Budaya di Rumah Joglo Rempoa, Ciputat, Jakarta, 26- 2 .\fei _oo .

Webster. N. 1996. New T-.ventieth Century Dictionary. 2nd ed.

Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin. _004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

10 Papua Vol. 1 No. 1/ Juni 2009