Upload
others
View
59
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KONSEP ETIKA GURU DAN MURID
DALAM PANDANGAN AL-GHAZALI
“Skripsi”
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd.I)
Oleh
ASEP SUPRIANTO
NIM: 205011000289
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009
ETIKA GURU DAN MURID DALAM PANDANGAN AL-GHAZALI
“Skripsi”
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd.I)
Oleh
ASEP SUPRIANTO
NIM: 205011000289
Di Bawah Bimbingan
Dr. Ahmad Shodiq, M.Ag
NIP: 150289321
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2009
ETIKA GURU DAN MURID DALAM PANDANGAN AL-GHAZALI
“Skripsi”
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd.I)
Oleh
ASEP SUPRIANTO
NIM: 205011000289
Di Bawah Bimbingan
Dr. Ahmad Shodiq, M.Ag
NIP: 150289321
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2009
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul: “Konsep Etika Guru dan Murid Dalam Pandangan Al-Ghazali” diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan dinyatakan Lulus dalam Ujian Munaqosah pada tanggal 17 Desember 2009 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.Pd.I) dalam bidang Pendidikan Agama.
Jakarta, 17 Desember 2009
Panitia Ujian Munaqosah
Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi) Tanggal Tanda Tangan Dr. H. Abdul Fatah Wibisono, MA NIP.: 19580112 198803 1 002 ………….. ………………. Sekretaris (Sekretaris Jurusan/Prodi) Drs. Sapiuddin Shidiq, M.Ag NIP. : 19670328 200003 1 001 …………... ………………. Penguji I Prof. Dr. H. Abdurrahman Ghazali. MA NIP.: 19450325 196510 1 001 ……………. ……………… Penguji II Drs. Sapiuddin Shidiq, M.Ag NIP. : 19670328 200003 1 001 …………... ……………….
Mengetahui, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA NIP.: 19571005 198703 1 003
ABSTRAK
Skripsi dengan judul “Konsep Etika Guru dan Murid Dalam Pandangan
Al-Ghazali”, ditulis oleh Asep Suprianto :205011000289 di bawah bimbingan Dr. Akhmad Shodiq, M.Ag, skripsi ini mendeskripsikan mengenai upaya peningkatan mutu pendidikan melalui penekanan penggunaan etika dalam proses pembelajaran, baik bagi guru ketika mengajar/mendidik maupun bagi murid ketika belajar.
Penelitian difokuskan untuk membahas seberapa penting penerapan etika dalam proses pembelajaran, baik bagi guru di satu pihak maupun bagi murid di pihak lain. Etika merupakan bagian yang amat penting dalam kehidupan manusia, karena pada hakikat kemanusiaan itu terletak pada moral atau akhlaknya. Artinya, sikap dan tindak tanduk seseorang adalah unsur utama yang ada dalam dirinya. Oleh karena itu, etika menjadi penting untuk diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam aspek pendidikan.
Dalam konteks ini, nampaknya etika guru dan murid menjadi penting, terutama ketika terjadi proses transformasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai pendidikan. Salah satu ulama yang mengkhususkan dirinya mendalami pentingnya penerapan etika guru dan murid dalam pendidikan adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, atau yang lebih dikenal dengan Imam al-Ghazali.
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh beberapa gambaran tentang pentingnya penggunaan etika dalam dunia pendidikan, diantaranya: 1) Seberapa jauh etika menjadi pegangan sekaligus pertimbangan dalam menjalankan peran dan fungsinya masing-masing, baik sebagai guru ketika mengajar/mendidik anak didik, maupun sebagai murid ketika belajar. 2) Konsep pemikiran al-Ghazali tentang etika guru dan murid. 3) Bagaimana pandangan Pendidikan Islam tentang konsep etika guru dan murid al-Ghazali.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan memakai metode deskriftif analistik. Sedangkan untuk mengungkapkan datanya penulis menggunakan metode observasi dan library research.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa penekanan penerapan etika guru dan murid sangatlah penting. Hal ini dikarenakan tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri adalah mampu mengantarkan, membimbing dan megarahkan anak didik (manusia) untuk melaksanakn fungsinya sebagai abd dan khalifah, guna membangun dan memakmurkan alam ini sesuai dengan konsep-konsep yang telah ditetapkan Allah SWT. Perwujudan ini tidak terlepas dari pribadi insan kamil yang bertaqwa dan berkualitas intelektual.
KATA PENGANTAR
ا���� ا���� ا� ���
Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat,
taufiq dan hidayah-Nya skripsi yang berjudul Konsep Etika Guru dan Murid
Dalam Pendangan Al-Ghazali ini dapat selesai dengan baik. Shalawat dan salam
semoga senantiasa tercurah ke haribaan junjungan kita Nabi Muhammad SAW,
yang telah mengeluarkan umat dari lembah kegelapan dan kenistaan ke lembah
terang benderang dan kemuliaan melalui dakwah dan pendidikan.
Dengan penuh kesadaran akan kelemahan yang penulis miliki, tugas akhir
ini tidak akan pernah selesai tanpa adanya dukungan dan semangat dari berbagai
pihak. Tetapi bangga rasanya, karena inilah yang dapat penulis berikan sebagai
salah satu karya terbaik dalam bidang pendidikan yang mudah-mudahan
bermanfaat. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai bantuan, baik moril
maupun materil. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga besar yang tercinta dan
tersayang, Ayahanda Mochammad Darpan bin Rusbad dan Ibunda Casih binti
Sayan, serta adik-adik saya yang tersayang, Adinda Ayu Mentari al-Faujiyah,
Adinda Ade Syifa Faujiyah dan Adinda Aikal Idmay Fauji. Kemudian khusus
kepada Dr. Akhmad Shodiq, M.Ag, sebagai pembimbing skripsi, yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan
arahan dalam penulisan skripsi ini, sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
Selain itu penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hiadayatullah Jakarta.
3. Seluruh dosen yang ada di lingkungan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis
selama menjadi mahasiswa di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Tidak ketinggalan pula para staf yang ada di
lingkungan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
4. Segenap keluarga besar penulis di Desa Kediri Kecamatan Binong
Kabupaten Subang. Diantaranya, Bapak Usman dan Ibu Tanisem beserta
anak-anaknya. Bapak H. Raswan dan Ibu Hj. Danirah beserta anak-
anaknya. Ayahanda H. Kasdullah dan Ibunda Hj. Rawen beserta anak-
anaknya. Bpk. Rajim dan Ibu Darinih beserta anak-anaknya. Bpk. Wahyu
dan Ibu Iis beserta anak-anaknya. Ibunda Enah beserta keluarga. Tidak
ketinggalan kepada almarhum Ayahanda Rusbad dan Ibunda Wasri,
almarhum Ayahanda Sayan dan Ibunda Kasri.
5. Teman-teman mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan
2005, yang telah memberikan semangat dan motivasi, sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
6. Teman-teman IKSAS (Ikatan Keluarga Santri Subang Kaliwungu),
FORMAL (Forum Mahasiswa dan Alumni Lirboyo) dan HIMABI
(Himpunan Mahasiswa Bahrul Ulum Ibukota) yang tidak bisa disebutkan
satu persatu, dengan tanpa mengurangi rasa hormat penulis.
7. Teman seperjuangan dan senasib, Syarif Hidayat, Syafiqul Subuh,
Iskandar, Yosep, Joni, Erdi Antoro, Meliyana, Ihwan, Liawati, Juju, Kang
Warid beserta keluarga, Kang Radjat beserta keluarga, Roni, dan yang
lainnya tanpa mengurangi rasa terima kasih penulis.
8. Ibu-ibu majlis ta’lim mushala Hidayatul Iman, yang selalu setia bersama
penulis, mengaji dan belajar bersama untuk mendapatkan Ridha Allah
SWT, dengan niat taqarub kepada-Nya.
Penulis menyadari sepenuhnya, skripsi ini jauh dari sempurna, karena
kapasitas intelektual penulis masih sangat terbatas. Namun penulis merasa bangga
dengan terselesaikannya skripsi ini. Untuk menambah kesempurnaan skripsi ini,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari semua pihak.
Semoga skripsi ini, yang mengupas tentang etika belajar dan mengajar
dapat dijadikan acuan mengingat semakin derasnya pengaruh kehidupan modern
yang mengabaikan etika-etika penting sebagai benteng kemaslahatan, serta dapat
menambah khazanah ilmu pengetahuan, khususnya bagi penulis dan umumnya
bagi para pecinta dan pengabdi ilmu pengetahuan.
Jakarta, 17 Desember 2009
Penulis
Skripsi ini didedikasikanSkripsi ini didedikasikanSkripsi ini didedikasikanSkripsi ini didedikasikan untuk kedua orang tua tercinta,untuk kedua orang tua tercinta,untuk kedua orang tua tercinta,untuk kedua orang tua tercinta,
AAAAyahanda Mochammad Darpan bin Ruyahanda Mochammad Darpan bin Ruyahanda Mochammad Darpan bin Ruyahanda Mochammad Darpan bin Rusbad dan Ibunda Casih binti Sayan,sbad dan Ibunda Casih binti Sayan,sbad dan Ibunda Casih binti Sayan,sbad dan Ibunda Casih binti Sayan, serta adikserta adikserta adikserta adik----adik saya yang tersayang,adik saya yang tersayang,adik saya yang tersayang,adik saya yang tersayang, Adinda Ayu Mentari alAdinda Ayu Mentari alAdinda Ayu Mentari alAdinda Ayu Mentari al----Faujiyah, Faujiyah, Faujiyah, Faujiyah,
Adinda Ade Syifa Faujiyah dan Adinda Aikal Idmay FaujiAdinda Ade Syifa Faujiyah dan Adinda Aikal Idmay FaujiAdinda Ade Syifa Faujiyah dan Adinda Aikal Idmay FaujiAdinda Ade Syifa Faujiyah dan Adinda Aikal Idmay Fauji Dan ……Dan ……Dan ……Dan …………..……..……..……..……………………………………………………………………………………………………………………
Pencinta dan Pengabdi Ilmu PengetahuanPencinta dan Pengabdi Ilmu PengetahuanPencinta dan Pengabdi Ilmu PengetahuanPencinta dan Pengabdi Ilmu Pengetahuan
“Semua manusia akan binasa“Semua manusia akan binasa“Semua manusia akan binasa“Semua manusia akan binasa keckeckeckecuali orang yang berilmu disertai amal dengan niat yang ikhlas”uali orang yang berilmu disertai amal dengan niat yang ikhlas”uali orang yang berilmu disertai amal dengan niat yang ikhlas”uali orang yang berilmu disertai amal dengan niat yang ikhlas”
DAFTAR ISI
Halaman
PERSETUJUAN PEMBIMBING
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ………………………………………………………………………
i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………..
ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….
v
DAFTAR LAMPIRAN……..…………………………………………………..
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………
1
B. Identifikasi Masalah ……………………………………………………..
5
C. Pembatasan Masalah ……….…………………………………………….
5
D. Perumusan Masalah ……….……………………………………………..
6
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………….………………………….
6
F. Metodologi Penelitian ……………………………..……………………..
6
1. Jenis Penelitian ………………………………………………………
6
2. Metode Penulisan ……………………………………………………
7
3. Fokus Penelitian ……………………………………………………..
7
4. Sumber Penelitian …………………………………………………...
7
5. Prosedur Penelitian ………………………………………………….
7
6. Teknik Penulisan ……………………………………………………
8
BAB II BIOGRAFI AL-GHAZALI
A. Sekilas Tentang Riwayat Hidup Al-Ghazali …………………………….
9
B. Perkembangan Spiritual dan Intelektual Al-Ghazali ……………………
13
C. Karya-karya Al-Ghazali …………………………………………………
19
BAB III KONSEP ETIKA AL-GHAZALI
A. Pengertian Etika …………………………………………………………
26
B. Proses Pembentukan Etika ………………………………………………
28
C. Peranan Pendidikan Islam Dalam Pembentukan Etika ………………….
31
BAB IV ETIKA GURU DAN MURID
A. Syarat Guru dan Murid ………………………………………………….
35
B. Etika Guru ………………………………………………………………
41
C. Etika Murid ……………………………………………………………..
48
BAB V ETIKA GURU DAN MURID AL-GHAZALI DALAM
PANDANGAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Pendidikan Islam ……………………………………………
57
B. Pandangan Dasar Pendidikan Islam …………………………………….
58
C. Tanggungjawab Pendidikan Islam ………………………………………
60
1. Keluarga (Lingkungan Rumah Tangga) ....………………………….
61
2. Diri Sendiri ………………………………………………………….
63
3. Sekolah (Lingkungan Pendidikan Formal) …………………………
64
4. Masyarakat (Lingkungan Sosial) …………………………………...
65
5. Pemerintah ………………………………………………………….
65
D. Pandangan Pendidikan Islam Tentang Etika Guru dan Murid
Al-Ghazali ……………………………………………………………….
67
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………...
70
B. Saran …………………………………………………………………….
71
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..
72
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Etika merupakan bagian yang amat penting dalam kehidupan manusia,
karena pada hakikat kemanusiaan itu terletak pada moral atau akhlaknya. Jika
akhlaknya baik, maka akan baik juga umat manusia secara keseluruhan. Bahkan,
nabi Muhammad sendiri menegaskan di dalam hadits yang berbunyi:
ا���� ���� ������ � �رم ا���ق
Artinya: Aku diutus ke dunia tidak lain hanya untuk menyempurnakan akhlak
yang mulia.1
Sikap dan tindak tanduk seseorang adalah unsur utama yang ada dalam
dirinya.2 Oleh karena itu, etika menjadi penting untuk diterapkan dalam berbagai
aspek kehidupan, termasuk dalam aspek pendidikan.
Pendidikan adalah upaya manusia demi manusia itu sendiri. Dengan
pengertian lain manusia itu adalah subjek dan sekaligus menjadi objek. Di dalam
pendidikan itu terpaut manusia yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda.
Sudah dapat dibayangkan bahwa tanpa ada koordinasi pengaturan kerja,
penempatan, pengarahan, dan bimbingan proses serta tujuan, pendidikan akan
mengalami kegagalan. Dan itulah merupakan tugas dan kewajiban administrasi
pendidikan yang berkaitan dengan manusia sebagai individu, anggota masyarakat,
dan abdi Allah.3
Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan
manusia. Dengan pendidikan manusia dapat menduduki tempat yang paling tinggi
di dunia, karena pendidikan merupakan suatu proses yang sangat mempengaruhi
kejiwaan seseorang. Proses pendidikan adalah menjadikan bukan hanya sekedar
meninggikan dimensi kognisi (transfer of knowledge) dan dimensi psikomotorik
1Imam Malik bin Anas, Al-Muwatho, (Mesir: Darul Hadits, 1993), Juz. I., h. 690 2Amsal Bakhtiar, Tema-Tema Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. I, h.
210. 3M. Daryanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), Cet. IV, h. 24.
peserta didik, namun ada dimensi afeksi (building of personality). Hal ini, karena
dimensi terakhir ini seringkali diabaikan dengan alasan kesulitan tolak ukur yang
digunakan dan seringnya terjadi kekeliruan dengan mengukur dimensi ini atas
dasar statistik semata.4
Corak pendidikan yang dikehendaki oleh Islam adalah pendidikan yang
mampu membentuk manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal,
serta anggun dalam moral dan kebajikan. Untuk meraih tujuan ini diperlukan
suatu landasan filosofis pendidikan yang sepenuhnya berangkat dari cita-cita Al-
Qur’an tentang manusia.
Pada dasarnya pendidikan berintikan interaksi antara guru dan murid.
Dalam interaksi tersebut, guru memegang peranan kunci bagi berlangsungnya
kegiatan pendidikan. Tanpa adanya guru proses pendidikan hampir tidak mungkin
dapat berjalan, akan tetapi tanpa adanya kelas, gedung, peralatan, dan sebagainya
proses pendidikan masih dapat berjalan walaupun dalam keadaan darurat.5
Fenomena yang ada sekarang ini sungguh sangat menyedihkan, bahkan
menjatuhkan citra baik guru dan murid. Bagaimana tidak, maraknya tindakan
asusila yang terjadi dalam kegiatan transformasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai
pendidikan, baik yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya, maupun oleh
murid kepada gurunya. Serangkaian kasus tersebut, tidak terlepas dari
ketidakmengertian dan kurang pahamnya guru maupun murid tentang suatu hal
yang harus dimiliki dan diterapkan dalam pedidikan, yakni baik sebagai guru
disatu pihak maupun sebagai murid dipihak lain, masing-masing harus
mempunyai etika.
Realitas menunjukan bahwa guru dan murid merupakan dua figur manusia
yang selalu hangat dibicarakan. Guru terkadang disanjung karena keteladanannya,
tetapi juga kadang dimaki dengan sinis karena kelalaiannya, meski kelalaian itu
bak setetes air di daun talas. Keburukan perilaku murid cenderung dialamatkan
kepada kegagalan guru membimbing dan membina murid-muridnya. Pada saat
4M. Jazerri, “Pemikiran Ibnu Jamaah Tentang Akhlak Pendidik”, dalam At-Tahrir: Jurnal
Pemikiran Islam (Ponorogo: Vol. 6, No. 2, 2006), h. 232. 5Nana Syaodih Sukmadinata, Perkembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung;
Remaja Rosdakarya, 1997) Cet. I, h. 203.
yang bersamaan, arogansi, ketidakpedulian, dan krisis moral lainnya telah
melanda sebagian lapisan mayarakat, tidak terkecuali para murid yang masih
memerlukan bimbingan dari gurunya.6
Oleh karena itu, pendidik dalam pendidikan Islam di samping sebagai
pengajar (transfer of knowledge) juga sekaligus sebagai panutan (central figure)
bagi peserta didiknya. Dengan demikian, pendidik menurut Islam memiliki beban
yang sangat berat, di samping beban profesional sebagai tenaga pengajar juga
beban moral dalam membentuk kepribadian peserta didik. Karena itu, di samping
menguasai ilmu yang diajarkan, pendidik juga harus membekali diri dengan
akhlak yang mulia.
Dalam konteks ini, nampaknya etika guru dan murid menjadi penting
terutama ketika terjadi proses transformasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai
pendidikan. Seberapa jauh etika itu menjadi pegangan sekaligus pertimbangan
dalam menjalankan peran dan fungsinya masing-masing, baik sebagai guru disatu
pihak ataupun sebagai murid dipihak lain.7 Salah satu ulama yang mengkhususkan
dirinya mendalami pentingnya penerapan etika guru dan murid dalam pendidikan
adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, atau yang lebih
dikenal dengan Imam al-Ghazali.
Kedudukan al-Ghazali dan karya-karyanya bagi masyarakat muslim
termasuk di Indonesia tidak dapat disangsikan menempati posisi yang sangat
penting. Reputasinya sebagai pemikir muslim terkemuka sepanjang sejarah Islam
dikenal secara luas diseluruh lapisan masyarakat muslim di berbagai belahan
penjuru dunia Islam. Keistimewaan al-Ghazali tidak saja terletak pada
penguasaannya yang mendalam tentang berbagai aspek ajaran Islam, tapi juga
melahirkan karya-karya tulis yang dapat menyentuh kebutuhan umat Islam
tentang ajaran agama yang memadai, sehingga ia mendapat gelar Hujjat al-Islam.
Tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi
tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan
keutamaan dan taqarub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang
6Armai Arif, Sejarah Pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam
Klasik, (Bandung: Angkasa, 2004), Cet. I, h. 235. 7Armai Arif, Sejarah Pertumbuhan dan…, h. 235.
tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Pemikiran tersebut tertuang dalam
karyanya “Ihya Ulum al-Din”.8
Dari permasalahan ini, dan atas dasar pertimbangan terhadap pentingnya
etika yang harus dimiliki oleh guru dan murid dalam pendidikan, maka penulis
mengangkat sebuah judul: “Konsep Etika Guru dan Murid Dalam Pandangan
Al-Ghazali”. Dengan harapan dapat mengingatkan dan menumbuhkan rasa
kesadaran seluruh guru dan murid terhadap pentingnya penggunaan etika sebagai
modal dasar yang paling utama.
Adapun alasan pemilihan judul tersebut, yakni:
1. Al-Ghazali merupakan salah seorang tokoh pendidikan Islam yang ideal
dan dapat dijadikan teladan bagi guru dan murid dalam mengemban
tugasnya masing-masing. Yakni sebagai pendidik di satu pihak dan
sebagai terdidik di pihak lain, agar usaha pendidikan dapat mencapai
hakikat tujuan pendidikan yang maksimal.
2. Menumbuh kembangkan etika guru dan murid dalam mengamalkan ilmu
bagi guru, dan menuntut ilmu bagi murid. Salah satu indikasinya adalah
penerapan dan pembiasaan etika tersebut dalam proses pendidikan, agar
usaha pendidikan dapat mencapai hakikat tujuan pendidikan yang
maksimal.
3. Kewajiban penulis sebagai mahasiswa jurusan pendidikan agama Islam
untuk membina dan menumbuh kembangkan nilai-nilai keagamaan dan
akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan dalam
taqarub (ibadah) kepada Allah, dan bukan untuk mencari kedudukan yang
tinggi atau mendapatkan kemegahan duniawi.
4. Sebelumnya sudah ada mahasiswa jurusan pendidikan agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang membahas tentang akhlak seorang pendidik. Akan tetapi, belum
dibahas secara jelas tentang akhlak seorang murid. Sehingga penulis
merasa perlu untuk membahas keduanya (guru dan murid), karena proses
8Muhammad Athiyah al-Abrasy, At-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Falasifatuha, (Kairo: Isa al-
Babiy al-Halabiy, 1975), h. 47.
pendidikan merupakan hubungan guru dan murid. Jadi, dalam proses
pendidikan bukan hanya guru yang harus mempunyai etika tetapi murid
juga harus mempunyai etika.
Demikian lebih kurang beberapa alasan penulis dalam memilih judul di
atas.
B. Identifikasi Masalah
Sehubungan dengan latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang
dapat diidentifikasi, yaitu sebagai berikut:
1. Rendahnya tingkat kesadaran guru untuk menerapkan etika dalam proses
pembelajaran.
2. Rendahnya tingkat kesadaran murid untuk menerapkan etika dalam proses
pembelajaran.
3. Kurangnya peran lembaga pendidikan dalam menunjang Pemikiran al-
Ghazali tentang pentingnya penerapan etika guru dan murid dalam proses
pembelajaran.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti memberikan batasan-batasan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pandangan Al-Ghazali tentang etika?
2. Bagaimanakah pandangan Al-Ghazali tentang guru dan murid?
3. Bagaimanakah pandangan Al-Ghazali tentang kriteria etika guru?
4. Bagaimanakah pandangan Al-Ghazali tentang kriteria etika murid?
D. Perumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah
Bagaimanakah Konsep Etika Guru dan Murid dalam Pandangan Al-Ghazali? Atau
dengan kalimat yang lebih rinci:
1. Bagaimana etika guru dalam pandangan Al-Ghazali?
2. Bagaimana etika murid dalam pandangan Al-Ghazali?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui konsep etika guru dan
murid dalam pandangan al-Ghazali. Salah satu indikasinya adalah penerapan dan
pembiasaan etika tersebut dalam proses pendidikan. Maka etika harus diterapkan
sebagaimana pandangan al-Ghazali, yang mengatakan bahwa guru dan murid
dalam proses pendidikan harus memiliki etika, karena pendidikan bukan kegiatan
yang dilakukan dengan asal-asalan.
Hasil yang diperoleh dari skripsi ini diharapkan memberi manfaat praktis
yang dapat menumbuh kembangkan etika guru dan murid dalam mengamalkan
ilmu bagi guru, dan menuntut ilmu bagi murid serta membantu seluruh lapisan
masyarakat terutama guru dan murid (dari berbagai latar belakang) untuk
memperluas wawasan tentang pembentukan karakter serta wawasan tentang
hubungan serasi antara pengetahuan agama dan sains, yang kemudian wawasan
ini diaplikasikan di segala profesinya sebagai guru, murid, pemimpin perusahaan,
ulama, atau lain sebagainya.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang sedang dilakukan ini, jika dilihat dari segi bahan-
bahan atau obyek yang akan diteliti, maka penelitian ini termasuk jenis
penelitian kepustakaan (library research) karena penelitian ini
menggunakan buku-buku dan majalah-majalah. Jika penelitian ini dilihat
dari segi cara menganalisanya, maka penelitian ini bersifat kualitatif.
2. Metode Penulisan
Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaann. Untuk mendapatkan data-data penelitian, penulis
mengumpulkan bahan kepustakaan, terutama yang berkaitan dengan
konsep etika guru dan murid dari berbagai sumber.
3. Fokus Penelitian
Subyek penelitian ini adalah pandangan al-Ghazali terhadap etika
guru dan murid dalam implementasinya di dunia pendidikan. Sedangkan
obyek penelitiannya adalah peningkatan kualitas guru dan murid dari etika
guru dan etika murid dalam pandangan al-Ghazali.
Cara penyajiannya bersifat deskiptif analitik. Penyajian deskriptif
adalah menjelaskan tentang pengertian, maksud dan tujuan dari etika guru
dan murid serta pengaruhnya dalam dunia pendidikan. Analisisnya adalah
menganalisa pemikiran al-Ghazali dengan berbagai dalil-dalil yang
memiliki keterkaitan, baik dalil dari al-Qur’an, Hadits, dan beberapa
disiplin ilmu pengetahuan.
4. Sumber Penelitian
Dalam pengumpulan data, penulis sepenuhnya menggunakan
metode penelitian kepustakaan. Untuk mendapatkan data-data penelitian,
penulis mengumpulkan bahan kepustakaan, terutama yang berkaitan
dengan etika (akhlak) guru dan murid dari beberapa sumber, diantaranya:
Dalil-dalil nash (Al-Qur’an dan Sunnah), Ihya Ulumuddin, sebagai
sumber primer, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam,
Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, dan lain-lain, sebagai sumber
sekunder.
5. Prosedur Penelitian
a. Tahap Persiapan
Pada tahapan ini, penulis mengadakan kunjungan perpustakaan
dalam rangka pengumpulan data.
b. Tahap Pelaksanaan
Tahapan ini penulis mengumpulkan data dari buku-buku sumber
yang diperoleh dari perpustakaan untuk penelitian.
c. Tahap Penyelesaiaan
Dalam tahap ini, peneliti menyimpulkan hasil observasi dan
kemudian menafsirkan serta menyusun data dalam bentuk hasil penelitian
(laporan).
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan Skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman
Penulisan Skirpsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
BAB II
BIOGRAFI AL-GHAZALI
A. Sekilas Tentang Riwayat Hidup Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad, mendapat gelar
Imam Besar Abu Hamid al-Ghazali Hujjatul Islam.9 Ia dipanggil Abu Hamid dan
mendapat julukan (laqab) “Zainuddin”.10 Dilahirkan pada tahun 450 H/ 1058 M,
dan wafat tahun 505 H/ 1111 M, di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia,
suatu kota di Khurasan, Persia. Kata “al-Ghazali” kadang-kadang diucapkan al-
Ghazzali (dengan dua z). dengan menduakalikan z., kata-kata al-Ghazali diambil
dari kata ghazzal, artinya tukang pemintal benang, karena pekerjaan ayahnya
adalah memintal benang wool, sedang al-Ghazali dengan satu z., diambil dari kata
Ghazalah, nama kampung kelahiran al-Ghazali, sebutan terakhir ini yang banyak
digunakan.11 Ketika akan meninggal, ayahnya berpesan kepada seorang sufi
(sahabat karibnya) agar anak-anaknya (al-Ghazali dan saudaranya) untuk diasuh
dan disempurnakan pendidikannya setuntas-tuntasnya. Segera setelah ayah al-
Ghazali meninggal saudaranya tersebut melaksanakan wasiat yang diberikan
kepadanya. Kedua anak itu dididik dan di sekolahkan, setelah harta pusaka
peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu
semampu-mampunya.12
Akan tetapi yang menjadi modal utamanya adalah kasih sayang ibu yang
selalu menjadi pendorong moril bagi mereka untuk belajar terus. Peninggalan
ayahnya habis terpakai, tidaklah mungkin bagi sang sufi itu untuk memberi
nafkah kepada mereka berdua, sang sufi pun berkata: “Ketahuilah bahwa saya
telah membelanjakan bagi kalian, seluruh harta peninggalan ayahmu, saya seorang
miskin dan bersahaya dalam hidupku. Saya kira hal yang terbaik yang dapat
9Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-
Ma’arif, 1980), Cet. 1, h. 108. 10Yusuf Qardhawi, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra, Terj. dari Al-Imam Al-Ghazali Baina
Maadihihi wa naqidiihi oleh Hasan Abrori, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1996), h. 39. 11Armai Arif, Sejarah Pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam
Klasik, (Bandung: Angkasa, 2004), Cet. 1, h. 235. 12Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2001), Cet. II, h. 81.
kalian lakukan ialah masuk ke dalam madrasah sebagai murid. Dengan jalan ini,
kalian akan mendapatkan makan untuk kelangsungan hidup”. Akhirnya kedua
anak tersebut mengikuti nasehat-nasehat yang diberikan oleh sang sufi, sehingga
menjadi sebab dari kebahagiaan dan tercapainya cita-cita luhur mereka.
Di masa kecil al-Ghazali belajar pada Imam Ahmad bin Muhammad az-
Zarkasy, dimana beliau belajar fiqh. Kemudian beliau juga belajar pada Imam
Abu Nasr al-Ismaily. Setelah meninggalkan Thous pada tahun 477 H, beliau
menuju Naisabur. Ia berguru dan bergaul dengan Imam al-Juwaini, dimana beliau
belajar membahas, bertekun untuk belajar sehingga ia mahir dalam ilmu kalam,
perdebatan, ushul fiqh, dan logika (manthiq), dan ia juga mulai sedikit belajar
falsafah. Semua itu dikuasainya dalam waktu singkat, sehingga beliau orang yang
paling mampu dalam berhujjah di zamannya, dan merupakan salah seorang ahli
yang disebut-sebut orang, pada zaman Imamul Haramain al-Juwainy.
Sekalipun sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa al-Juwainy adalah
guru al-Ghazali yang merasa cemburu atas kepintarannya, tetapi sejarah juga
membuktikan bahwa al-Ghazali tetap setia kepada gurunya tersebut sampai
wafatnya. Sebab al-Ghazali tidak meninggalkan gurunya sendiri walaupun ia
sudah sangat terkenal melebihi kemasyhuran gurunya.
Setelah gurunya, Imam al-Juwaini, wafat pada tahun 478 H, al-Ghazali
kemudian meninggalkan Naisabur menuju Askar untuk menemui Nizam al-Mulk,
seorang menteri raja Malikshah as-Saljuqy. Menteri tersebut menghormatinya di
depan sejumlah besar ulama-ulama dan ahli-ahli di zamannya. Al-Ghazali pun
berbahas dan berhujjah dengan mereka, sehingga dikalahkannya semuanya sebab
luasnya ilmunya, dan beliaupun semakin terkenal. Kemudian Nizam al-Mulk
memintanya pindah ke Baghdad untuk mengajar di sekolah Nizamiyah. Beliaupun
pindah kesana pada permulaan tahun 484 H.
Tetapi al-Ghazali tidak lama di Baghdad sebab sudah merasa bosan
dengan kehidupan dan pangkatnya di situ setelah empat tahun mengajar, yakni
sampai tahun 488 H. Semakin bosan ia terhadap kota Baghdad dan terhadap
dirinya sehingga ia mengalami krisis jiwa yang mengajak ia ingin berbuat zuhud
dan menjauhi manusia, dan meninggalkan gejala-gejala keangkuhan dan
kemasyhuran untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kejernihan jiwa dan
usaha untuk sampai kepada hakikat di tengah-tengah pendapat-pendapat yang
bertentangan yang menyelubungi masanya.
Beliau mengakui dalam bukunya: “Al-Munqiz min al-Dalal” bahwa ia
telah menanyai dirinya sendiri, tetapi ia tidak sanggup memandangnya dengan
rela hati, sebab didapatinya dirinya tenggelam dalam kehidupan sosial dan ilmiah
yang sangat jauh dari sepatutnya bagi seseorang yang bertaqwa dan wara’. Dia
mengaku bahwa ia terbelah dua, setengah ditarik oleh syaitan, yang setengah lagi
ditarik oleh iman. Yang pertama (panggilan syaitan) mengajaknya mencari
pangkat yang tinggi dan kehidupan mewah yang serba tidak akan kurang suatu
apapun, sedang yang kedua (panggilan iman) mengajak bahwa sudah sampai
masanya untuk pergi, umur tinggal sedikit dan akan berakhir dengan segera.
Petarungan yang dialaminya antara tarikan syaitan dan iman berjalan
sekitar enam bulan, ia tidak sanggup memilih antara membebaskan diri dari
keangkuhan dunia dan jiwanya, sehingga Allah memutuskan perkaranya dengan
menahan lidahnya dari percakapan dan tidak sanggup ia memberi pelajaran. Ini
disertai dengan sedih dan muram yang bekas-bekasnya nampak pada badan dan
gelagatnya. Sadarlah ia bahwa Allah menjatuhkan penyakit ini padanya untuk
kebaikan dia sendiri, dan bahwa masa percobaan sudah berakhir. Pada masa itu
mudahlah hatinya berpaling dari pangkat, harta, anak-anak, dan kawan-kawan.13
Al-Ghazali terkenal sebagai seorang teolog muslim, faqih, dan sufi abad
pertengahan. Hanya sedikit tokoh dalam sejarah intelektual muslim yang
mempunyai pengaruh sekuat dan seberagam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali.14
Al-Ghazali selain mahir berbicara juga amat produktif menulis. Karya tulisnya
relatif banyak, lebih dari 228 buku atau risalah, dalam berbagai lapangan: tasawuf,
teologi, falsafat, logika, fiqh, dan lain-lain. Sayang sekali baru 54 buah judul saja
yang sudah dijumpai, sedang yang lain belum. Karya tulisnya yang paling terkenal
luas adalah Ihya Ulum al-Din, kitab yang mengupas – berdasarkan al-Qur’an dan
13Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang….., h. 108-110 14Eva Y.N, dkk., Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001), h. 111
Sunnah serta dengan semangat tasawuf - masalah ilmu, ilmu aqidah, ibadat,
muamalat, keajaiban hati, akhlak dan latihan jiwa.15
Pada akhirnya setelah mengabdikan diri untuk ilmu pengetahuan puluhan
tahun dan setelah memperoleh kebenaran yang hakiki pada akhir hidupnya, ia
meninggal dunia di Thus pada 14 Jumadil Akhir 505 H/ 19 Desember 1111 M, di
hadapan adiknya, Abu Ahmad Mujiddudin. Al-Ghazali meninggalkan 3 (tiga)
orang anak perempuan, sedangkan anak-laki-lakinya yang bernama Hamid telah
meninggal dunia semenjak kecil.
Ibnu Asakir mengatakan, “Al-Ghazali r.a. pulang ke rahmatullah, pada
hari senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H. Ia dimakamkan di Dzahir,
ibukota Thabran. Allah swt. telah memberikan keistimewaan pada pribadinya
dengan berbagai karamah di akhirat, sebagaimana Allah swt. memberikan
anugerah keistimewaan dengan diterimanya ilmu al-Ghazali di dunia.”
Ibnul Jauzi dalam al-Muntadzim mengisahkan, menjelang wafatnya,
sebagian para muridnya meminta, “berwasiatlah padaku wahai guru?” Maka al-
Ghazali menjawab: “hendaknya anda tetap ikhlas.” Kata-kata itu terus terucap,
hingga maut menjemputnya.
Untuk melihat lebih jauh biografi Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, bisa
dilihat dalam kitab-kitab sebagai berikut: Wifayatul A’yan, I/463; Thabaqatusy
Syafi’iyah, IV/101; Syadzaratudz Dzahab, IV/10; Al-Wafi bil Wafayat, I/277;
Brock. 1:535 (419), S.1:744, Miftahus Sa’adah, II/191:210; Tabyinu Kadzbil
Muftary, 291-306; Mu’jamul Mathbu’at, 408: 1416; Adabul Lughat, III/917; Al-
Lubab, II/170; Al-A’laam, VII/22, 23; Ath-Thabaqatul Aliyah fi Manaqibisy
Syafi’iyah, Manuskrip dari lembar 84 a.; Ithafus Sadatil Muttaqin, I/27 dan
halaman sesudahnya; Tarikh Dimasyq, Ibnu Asakir, Manuskrip I/340; Siyaru
A’lamin Nubula’, karya adz-Dhahaby, Manuskrip jilid dua sepuluh lembar, 74 b.16
B. Perkembangan Spiritual dan Intelektual Al-Ghazali
15Harun Nasution, EnsiklopediIslam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 257 16Yusuf Qardhawi, Al-Ghazali Antara Pro dan……., h. 199-200
Apa yang menarik perhatian dalam sejarah hidup al-Ghazali adalah
kedahagaan terhadap segala pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai
keyakinan dan mencari hakikat kebenaran segala sesuatu yang tidak pernah puas.
Pengalaman pengembaraan intelektual dan spiritualnya berpindah-pindah dari
ilmu kalam dan filsafat, kemudian ke dunia batiniyah dan akhirnya membawanya
kepada tasawuf. Inilah sebabnya untuk memahami kejelasan pola pikir dan corak
hidupnya sering mengalami kesulitan.
Al-Ghazali lahir di Thus, salah satu kota di Khurasan yang diwarnai oleh
perbedaan Tuhan. Ketika ia mengalami pergolakan batin untuk menentukan
pilihan antara tasawuf dan kedudukan, penyelesaian yang sama berulang kembali,
kelihatannya hal ini dapat dihubungkan dengan pandangan teologisnya.
Berdasarkan tulisan-tulisannya, ia adalah pelanjut Asy’ariyah. Memang tidak
dapat diingkari bahwa ia membawa perubahan-perubahan baru dalam Asy’ariyah,
akan tetapi keyakinan dasar yang menjadi ciri Asy’ariyah tetap dipertahankannya,
yaitu penekanan khusus kepada kekuasaan mutlak Tuhan. Pandangan ini,
bagaimanapun menciptakan kesadaran akan serba keterbatasan dan kelemahan
manusia pada dirinya.
Apabila diperhatikan titik tolak al-Ghazali dalam proses pencariannya, ada
kesan inkoherensi. Ia ingin mencari hakikat kebenaran universal melalui al-ilm al-
yaqini, tapi yang tercapai adalah kebenaran individual melalui al-dzawq. Seakan-
akan dalam menceritakan pengalaman dan proses pencariannya, ia mengajak
semua orang untuk meragukan taqlid, indera, dan akal untuk mencari sumber
pengetahuan baru yang dapat digunakan untuk mencapai hakikat kebenaran
universal, tetapi akhirnya jalan keluar yang diperolehnya adalah dengan
menemukan intuisi (al-dzawq), memperlihatkan bahwa yang dapat diselamatkan
dari keraguan yang telah diciptakannya itu adalah orang-orang tertentu saja. Sebab
intuisi dan segala yang diperoleh daripadanya bersifat individual dan hanya
dicapai oleh orang-orang khusus.17
17Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1996), Cet. 1., h. 58
Masa al-Ghazali adalah masa kelahiran berbagai doktrin-doktrin
keagamaan dan kecenderungan-kecenderungan pemikiran yang saling
bertentangan. Pada masa itu, sudah ada orang-orang yang ahli dalam ilmu kalam,
sementara kelompok kebatinan mengira merekalah sesungguhnya yang ditentukan
mengambil sebagai pemimpin yang bersih dari dosa. Ada pula kelompok filosof,
kemudian kelompok tasawuf. Dari satu dan aspek yang lain inilah al-Ghazali
memandang bahwa manusia itu dilahirkan bukan diatas suatu agama atau suatu
doktrin tertentu. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya beragama Yahudi,
Nasrani, atau Majusi. Artinya anak kecil itu bagaimanapun mengambil doktrin
agama kedua orang tuanya. Dan al-Ghazali mempunyai pembawaan keinginan
meneliti hakekat dan mengambil yang murni dari berbagai pendapat kontroversial
dan doktrin-doktrin yang bermacam-macam itu.
Al-Ghazali ingin mengetahui hakikat fitrah manusia, hakikat kepercayaan-
kepercayaan agama dan doktrin-doktrin filsafat yang diambil manusia dengan
meniru kedua orang tua dan gurunya. Kemudian menentukan yang benar dari
yang batil, di atas berbagai perbedaan dan pertentangan doktrin-doktrin itu. Di
samping itu, ia mengharapkan akan mencapai pengetahuan ilmu al-yaqin, yaitu
apa yang diketahui (kebenarannya) terbuka lebar, tidak disertai keraguan, dan
tidak disertai kemungkinan salah dan angan-angan.
Maka mulailah ia mempelajari ilmu kalam dan aliran-aliran kebatinan, lalu
beralih mempelajari teori-teori filsafat, kemudian aliran tasawuf. Mulailah pula ia
membahas secara mendetil dengan kemauan keras untuk mencapai keyakinan
yang tidak ada keraguan.
Terhadap semua perkembangan yang datang tiba-tiba itu, al-Ghazali
menjelaskan dalam kitab al-Munqidz min al-Dlalal, ia berkata:
“… Aku menceburkan diri ke dalam lubuk samudera luas ini,
masuk dan menyelami keganasannya dengan berani, bukan menyelam
seperti pengecut yang ketakutan. Aku memasuki jauh ke dalam setiap
tempat yang gelap, menerobos setiap permasalahan dan kesulitan. Aku
memeriksa aqidah setiap kelompok dan menyingkap rahasia-rahasia
aliran setiap golongan, untuk membedakan diantara yang berbuat benar
dan yang berbuat batil, diantara yang berpegang kepada sunnah dan yang
ahli bid’ah. Aku tidak meninggalkan begitu saja seorang berpaham
spiritualisme, melainkan aku ingin juga mengetahui spiritualismenya itu.
Tidak pula meninggalkan seorang berpaham fenomenisme, melainkan aku
pun ingin mengetahui apa yang dihasilkan oleh fenomenismenya itu.
Terhadap seorang filosof, aku ingin mengetahui hakikat filsafatnya.
Terhadap seorang sufi aku ingin sekali mengetahui rahasia tasawufnya.
Terhadap ahli ilmu kalam aku ingin mengetahui ujung pembicaraan dan
perdebatannya. Terhadap ahli ibadah aku mengintip apa manfaat yang
dihasilkan ibadahnya. Demikian pun aku tidak meninggalkan seorang
zindik18
yang bermadzhab takhtil19
, melainkan aku semata-mata di
belakangnya untuk mengingatkan sebab-sebab keberaniannya dalam
paham takhtil dan kezindikannya.”20
Setelah mengadakan penelitian terus-menerus di balik ilmu al-yaqin itu, al-
Ghazali mendapatkan bahwa tidak ada dalam berbagai ilmunya itu sesuatu yang
memenuhi maksudnya, kecuali hanya berdasarkan perasaan dan akal, tetapi
setelah dipikirkannya ternyata ia menyesatkan. Karena eksperimennya terhadap
ilmu-ilmu yang berdasarkan perasaan menunjukan bahwa itu tidak benar.
Selanjutnya ia berkata dalam kitab al-Mnqidz min al-Dlalal:
“… maka berakhirlah keragu-raguanku, hingga diriku tidak
member kesempatan lagi menyerah pada perasaan aman dalam hal-hal
yang dirasakan, dan telah membuat keragu-raguan itu meluas. Ia
berucap, dari manakah hal-hal yang dirasakan itu dipercaya, padahal
perasaan indera yang paling tajam adalah perasaan penglihatan.
Mengenai perasaan penglihatan, kamu memandang kepada baying-
bayang kemudian terlihat bayang-bayang itu diam tidak bergerak, dan
kamu menetapkan tidak ada gerakan. Sesaat kemudian dengan dengan
percobaan dan penyaksian kamu mengetahui bayang-bayang itu
sebenarnya bergerak, tidak bergerak sekaligus, tetapi secara berangsur-
angsur, sedikit demi sedikit, hingga tidak sesaat pun bayang-bayang itu
berhenti. Memandang bintang yang ukurannya kelihatan kecil, kemudian
bukti-bukti berdasarkan geometri menunjukan bahwa bintang itu
ukurannya lebih besar dari pada bumi.”21
Demikian, habislah kepercayaan al-Ghazali dalam hal-hal yang
berdasarkan perasaan, tinggal yang berdasarkan akal; namun keragu-raguan
mengenai kesahannya masih melanda al-Ghazali juga. Maka, sebagaimana
(ternyata) bahwa akal itulah yang menunjukan ketidaksahan hal-hal yang
18Zindik adalah orang kafir yang berpura-pura beriman. 19Takhtil adalah aliran yang mengingkari sifat-sifat Allah swt. 20Imam Al-Ghazali, Al-Munqidz min al-Dlalal, Terj. Abdullah bin Nuh, Pembebas dari
Kesesatan, (Jakarta: Tintamas, 1960), h. 3 21Imam Al-Ghazali, Al-Munqidz min ………, h. 5
berdasarkan perasaan, di sana pun terdapat kekuatan lain di luar akal yang kuasa
membatalkan kepercayaan dalam hal akal. Setelah sembuh dari keragu-raguan itu,
al-Ghazali mempelajari ilmu-ilmu setiap golongan, dan ia tidak mendapatkan
keyakinan kecuali pada aliran tasawuf. Ia pun mengukuhkan, merekalah
sesungguhnya manusia yang paling benar ilmunya, paling bersih akhlaknya, dan
merekalah yang mendekati Allah dengan sebenarnya.22
Setelah melewati perjalanan panjangnya mencari kebenaran, ia
menegaskan, Kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan akhirat. Tidak ada
ambisi untuk mencapai kebahagiaan akhirat tersebut kecuali dengan taqwa dan
menahan hawa nafsu. Puncak dari itu semua adalah memutuskan hubungan hati
dengan dunia, menjauhi kampung penuh kepalsuan, kembali ke kampung
keabadian dan mulai memasang niat menuju Allah swt. Semuanya tidak dapat
disempurnakan kecuali berpaling dari harta, dan pangkat, serta lari dari kesibukan
dan segala macam keterikatan.
Al-Ghazali berkata:
“Saya meneliti keadaan diri sendiri, ternyata tenggelam dalam
berbagai ikatan duniawi, semuanya telah mengelilingi diri saya dari
segala penjuru. Saya teliti amal-amal saya, dimana yang terbaik adalah
mengajar, ternyata saya banyak disibukan dengan ilmu-ilmu yang tidak
penting dan tidak bermanfaat untuk akhirat. Kemudian saya memikirkan
masalah niat dalam mengajar, ternyata saya mengajar tidak secara ikhlas
karena Allah swt. Motivasi dan dorongan mengajar itu adalah mencari
kehormatan dan kemasyhuran. Saya merasa yakin telah berada di tebing
kehancuran, nyaris masuk neraka bila tidak berusaha mengoreksi
keadaan.”23
Demikianlah lebih kurang pengembaraan (perkembangan) spiritual dan
intelektual al-Ghazali yang dipandang sebagai kritikus pengetahuan, pemikir yang
cemerlang dengan pandangan yang jauh. Ia mengarahkan hidup kepada
kesempurnaan manusia yang akhirnya adalah mendekati Allah, serta kebahagiaan
dunia dan akhirat. Oleh karena itu, ia ingin mengajarkan ilmu-ilmu kepada
manusia yang dapat menyampaikannya kepada tujuan ini, dengan harapan yang
22Fathiyah Hasan Sulaiman,Al-Ghazali dan Plato; dalam Aspek Pendidikan (Suatu Studi),
Terj. oleh H.M. Mochtar Zoerni dan Baihaki Shafiuddin, (Singapore: Pustaka Nasional PTE LTD Singapore, 1986), h. 10-11
23Imam Al-Ghazali, Al-Munqidz min ………., h. 39-40
demikian itu akan membawa perbaikan terhadap individu-individu, dan
menyebarkan sifat yang utama diantara manusia. Karena inilah, ia pun merupakan
seorang pendidik, dan juga merupakan seorang yang mengadakan perbaikan
dalam masyarakat.
Untuk mengetahui lebih dalam lagi dedikasi al-Ghazali terhadap usahanya
dalam menyebarkan syiar Islam, dapat dilihat dari berberapa pandangan tokoh-
tokoh Islam lainnya. Diantara beberapa pandangan tentang al-Ghazali ialah
sebagai berikut:
1. Imam al-Haramain, gurunya mengatakan: “Al-Ghazali, lautan luas”.
2. Imam Muhammad bin Yahya, seorang murid al-Ghazali berkata: “Al-
Ghazali adalah Imam Syafi’i kedua”.
3. Abul Hasan Abdul Ghafir al-Farisi, salah seorang ulama yang hidup
semasa dengannya mengatakan: “Al-Ghazali adalah Hujjatul Islam dan
hujjah bagi umat Islam. Ia adalah Imam dari semua tokoh agama. Mata
manusia tidak pernah melihat orang yang setara dengannya dalam
kefasihan lisan, kehebatan berbicara, dan kepandaian ilmunya serta
karakternya”.
4. Ibnu Najjar berkata: “Al-Ghazali adalah Imam bagi seluruh para fuqaha.
Disepakati sebagai insan Rabbani bagi ummat Islam, mujtahid pada
masanya serta kenyataan ruang dan waktunya”.
5. Al-Mursi mengatakan: “Aku bersaksi bahwa al-Ghazali telah mencapai
derajat shiddiqin”.
6. Ibnu Katsir dalam kitab al-Bidayah wan Nihayah, mengatakan:
“Al-Ghazali menguasai berbagai cabang ilmu secara baik. Ia
memiliki karya tulis di berbagai bidang. Ia termasuk cendekiawan kaliber
dunia dalam semua hal yang dibicarakannya. Ia telah menjadi tokoh pada
masa muda, bahkan mengajar pada madrasah an-Nizamiyah Baghdad
dalam usia 34 tahun. Banyak ulama yang belajar kepadanya, seperti Abul
Khaththab dan Ibnu Aqil. Kedua orang ini merupakan tokoh mazhab
Hanbali. Mereka tertarik dengan kefasihan dan keluasan bacaan Imam al-
Ghazali”. Ibnul Jauzi berkata,’ para ulama menulis ucapan-ucapan al-
Ghazali dalam karya tulis mereka’.”
7. Ibnul Immad al-Hanbali dalam kitabnya asy-Syadzarat mengatakan: “Al-
Imam Zainuddin, Hujjatul Islam, Abu Hamid adalah salah seorang tokoh
yang telah menyusun berbagai karangan, memiliki hafalan yang kuat,
kecerdasan luar biasa dan amat dalam ilmunya. Ringkasnya, seseorang
tidak mungkin dapat menemukan orang yang sepadan dengannya”.
Lukisan terindah yang pernah digambarkan tentang keluasan ilmu
pengetahuan al-Ghazali adalah ucapan Syeikh Muhammad Musthafa al-Maraghi,
ketika memberi pengantar sebuah buku yang ditulis oleh Dr. Ahmad Farid ar-
Rifa’i. Beliau mengatakan:
“Apabila disebutkan nama-nama ulama, pikiran kita sering
mengaitkannya dengan bidang keilmuan yang menjadi keistimewaannya.
Bila disebut nama Ibnu Sina atau al-Farabi, maka akan terbetik dalam
hati kita bahwa keduanya filosuf Islam yang agung. Bila disebut nama al-
Bukhari, Muslim dan Ahmad, maka kita akan membayangkan bahwa
mereka sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kemampuan menghafal, jujur,
dipercaya, teliti, mengenal para tokoh hadits dan sebagainya”. Sedangkan
apabila disebutkan nama al-Ghazali, maka bercabanglah segi-segi
keilmuwan yang menjadi keistimewaannya. Tidak terbetik dalam hati
sebuah anggapan bahwa ia tokoh dalam satu bidang ilmu saja, tetapi
yang terbayang bahwa al-Ghazali sebagai tokoh yang menguasai banyak
bidang: ushul fiqh, fiqh, ilmu kalam, sosiologi, filosuf dan ia juga sebagai
Imam Ahlus Sunnah dan pelindungnya, ia juga sebagai seorang yang ahli
tentang rahasia alam dan hati. Jadi yang terpikir dalam benak kita, al-
Ghazali adalah seorang ensiklopedi pada zaman itu, orang yang haus
akan ilmu dan amat rakus terhadap berbagai disiplin ilmu.24
Sebenarnya kehebatan al-Ghazali bukan hanya terletak pada keluasan
pengetahuannya yang ensiklopedis. Dalam sejarah, banyak sekali orang yang
berpengetahuan luas bagaikan ensiklopedi, tapi tidak mendapatkan gelar Hujjatul
Islam. Adapun gelar Hujjatul Islam dari dunia Islam kepada al-Ghazali selama
hidupnya merupakan hujjah, pembelaan yang berhasil menentang anasir luar yang
membahayakan kepercayaan umat Islam.
Di belakang kemasyhuran al-Ghazali, terdapat rahasia lain berupa
keikhlasannya, sikap tajarrud-nya kepada Allah swt. dan sikap berjibaku mencari
keridhaan Allah swt. dengan mengesampingkan hak-hak dirinya. Ucapan keluar
24Yusuf Qardhawi, Al-Ghazali Antara….., h. 46
dari hati akan langsung menembus ke dalam hati, dan bila hanya keluar dari
pucuk lidah tidak akan menembus gendang telinga.
Keikhlasan adalah prioritas utama al-Ghazali. Ia rela menghabiskan
umurnya dalam mencari tujuan ini, sampai dapat meraihnya. Inilah yang tampak
dalam sejarah hidupnya. Allah-lah yang lebih mengetahui dengan segala rahasia.
Al-Ghazali telah menuliskan kisah pemikiran dan kejiwaannya dengan
bahasa indah dan memberi pengaruh kuat karena kejelasan dan kejujurannya,
dalam bukunya al-Munqidz minadh Dhalal wal Mushil ila Dzil Izzati wal Jalal.
Kendatipun bukti ini singkat, namun dianggap sebagai karya dan hasil
pemikirannya yang terpenting. Dr. Yusuf Musa mengatakan: “Kita tidak
mengetahui seorang pemikir ataupun filosuf yang menyusun buku sepadan atau
hamper sepadan dengan buku al-Munqidz ini. Buku ini merefleksikan pengakuan-
pengakuan jujur tentang gejolak jiwanya, gerakan hati dan pikirannya, sehingga
ia mencapai apa yang diinginkan pada batas akhir.”
C. Karya-karya Al-Ghazali
Al-Faqih Muhammad Ibnul Hasan bin Abdullah al-Husaini al-Wasithy
dalam kitabnya, ath-Thabaqatul Aliyah fi Manaqibi asy-Syafi’iyah, menyebutkan
ada 98 judul kitab karya al-Ghazali. Sedangkan as-Subky dalam kitabnya, ath-
Thabaqat asy-Syafi’iyah, menyebutkan ada 58 judul kitab karyanya. Thasy Kubra
Zadah menyebutkan dalam bukunya, Miftahus Sa’adah wa Misbahus Siyadah,
jumlah karyanya mencapai 80 judul kitab. Ia menambahkan bahwa buku dan
risalah-risalahnya mencapai ratusan, bahkan sulit dihitung. Bahkan pernah
dikatakan, al-Ghazali memiliki seribu minus satu karya. Walaupun hal tersebut
bertentangan dengan adat kebiasaan, namun orang yang mengenal kondisi al-
Ghazali sebenarnya, bias jadi akan membenarkan informasi tersebut.25
Puluhan kitab telah ditulis al-Ghazali, meliputi berbagai lapangan ilmu
pengetahuan, antara lain; filsafat, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, tafsir, tasawuf,
akhlak dan autobiografinya. Di dalam muqaddimah Ihya Ulum al-Din, Bhadawi
25Yusuf Qardhawi, Al-Ghazali Antara Pro dan……., h. 189
Thabana, menulis hasil-hasil karya al-Ghazali yang berjumlah 47 kitab, yang
penulis susun menurut kelompok ilmu pengetahuan sebagai berikut:
1. Kelompok Filsafat dan Ilmu Kalam yang meliputi:
1) Maqashid al-Falasifah (Tujuan Para Filosuf).
2) Tahaful al-Falasifah (Kerancuan Para Filosuf). Diterbitkan di Kairo,
tahun 1302 H, 1320 H, 1321 H, dan tahun 1955 M. Sedangkan di
Bombay diterbitkan tahun 1304 H. kitab ini juga diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin oleh C. Calonymus, kemudian dipublikasikan pada
tahun 1527 M dan 1562 M, terjemahan naskah tersebut ditranskip dari
terjemahan bahasa Yahudi. Sementara terjemahan ke dalam bahasa
Latin dari bahasa Arab oleh Augustinunivo, dan ia member penjelasan
atas naskah tersebut,terbit tahun 1497 M. Kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Perancis oleh Baron Carra de Voux, dalam majalah
Muzion yang terbit di Loupan tahun 1899 M.
3) Al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Moderasi Dalam Aqidah). Diterbitkan oleh
Musthafa al-Qabbany, Kairo tahun 1320 H. Ada pula pada Hamisy
(kitab pinggir) di kitab al-Insanul Kamil karya al-Jailany, terbitan
Kairo 1328 H. Dan satu edisi kumpulan bersama kitab al-Munqidz, al-
Madhnun, dan Tarbiyatul Aulad, terbitan Bombay, tanpa tahun, dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol. As-Subky dalam Thabaqat-
nya (IV/116) juga menyebutnya, begitu pula az-Zubaidy dalam al-Ithaf
Juz I/41, dan disebut juga Thabaqatul Aliyah.
4) Al-Maqashidul Asna fi Ma’ani Asmillah al-Husna (Arti Nama-nama
Tuhan Allah Yang Hasan).
5) Faishalut Tafriqah bainal Islam waz-Zindiqah (Perbedaan antara
Islam dan Zindiq).
6) Al-Munqidz minadh-Dhalal (Pembebasan Dari Kesesatan). Dicetak di
Istambul, tahun 1286 dan 1303 H. sedangkan di Kairo tahun 1309 H.
serta pada Hamisy al-Insanul Kamil. Buku ini diterjemahkan ke dalam
bahasa Perancis sampai tiga kali, ke dalam bahasa Inggris dua kali, ke
dalam bahasa Turki dan Belanda.
7) Al-Qishasul Mustaqim (Jalan Untuk Mengatasi Perselisihan
Pendapat).
8) Al-Mustadhiri (Penjelasan-penjelasan).
9) Hujjatul Haq (Argumen yang Benar). Disebut oleh al-Ghazali dalam
al-Munqidz, terbitan Damaskus 1934, hlm. 118, serta disebut oleh
pengarang ath-Thabaqatul Aliyah. As-Subky juga menyebut dalam
Thabaqat-nya, VI/116, al-Ghazali dalam Jawahirul Qur’an, terbitan
Kairo tahun 1933, hlm. 21, serta Dr. Abdurrahman Badawi, hlm. 62.
10) Mufsilul Khilaf fi Ushuluddin (Memisahkan Perselisihan Dalam
Ushuluddin).
11) Al-Muntaha fi Ilmi Jidal (Tata Cara Dalam Ilmu Diskusi). Karya ini
disebut oleh Ibnu Khalakan, III/354, dan as-Subky, IV/116 dengan
judul Albabul Muntahal fi Ilmil Jadal. Juga disebut az-Zubaidy dalam
Ithafus Sadatil Muttaqin dengan judul Albabul Muntahal fi Ilmil Jadal,
dalam Dr. Abdurrahman Badawi, hlm. 7.
12) Al-Madhun bin ‘Ala Ghairi Ahlihi (Persangkaan Pada Bukan
Ahlinya).
13) Maknun Nadlar (Metodologiku).
14) Asraar Ilmiddin (Rahasia Ilmu Agama).
15) Al-Arba’in fi Ushuluddin (40 Masalah Ushuluddin). Terbit di Kairo
tahun 1328 H/1910 M, dan diterbitkan oleh al-Maktabah at-Tijariyah
Kairo, tanpa tahun. Edisi Indonesia berjudul Teosofia al-Qur’an,
terjemahan Mohammad Luqman Hakiem dan Hosen Arjaz Jamad,
diterbitkan penerbit Risalah Gusti Surabaya, 1996 M.
16) Iljamul Awwam an Ilmil Kalam (Menghalangi Orang Awam Dari Ilmu
Kalam). Diterbitkan di Istambul tahun 1278 H, di Kairo tahun 1303,
1309, dan 1350 H, atas jasa Muhammad Ali Athiyah al-Katby. Serta
tahun 1351 H diterbitkan di Idaratul Muniriyah, diterjemahkan pula ke
dalam bahasa Spanyol.
17) Al-Qulul Jamil fi Raddi ala man Ghayaral Injil (Kata Yang Baik Untuk
Orang-orang yang Mengubah Injil).
18) Miyarul Ilmi (Timbangan Ilmu).
19) Al-Intishar (Rahasia-rahasia Alam).
20) Isbatun Nadlar (Pemantapan Logika).
2. Kelompok Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, yang meliputi:
1) Al-Bastih (Pembahasan Yang Mendalam). Diantaranya berbentuk
manuskrip dalam Diwan al-Hindy tahun 1766 M. dan Iskorial Cet. I,
1125 H, al-Fatih di Istambul No. 1500, di Sulaimaniyah, No. 629, di
College Ali No. 327, Dimyath Umumiyah No. 44. Yang disebut
pertama, keempat, kelima, dan keenam ada di perpustakaan Dzahiriyah
No. 174: 176 – Fiqh Syafi’i, ada pila di Darul Kutub al-Mishriyah No.
27 – Fiqh Syafi’i, namun kurang halamnnya, dan pada No. 223 – Fiqh
Syafi’i.
2) Al-Wasith (Perantara). Disebut oleh Ibnu Khalakan , III/354, as-
Subky, IV/116, Ibnul Immad, IV/12. Ada manuskrip di Pustaka
Dimyath, Nomor (Umumiyah: 43 – 124/31), dan di Darul Kutub al-
Mishriyah, No. 206 – Fiqh Syafi’i dalam 4 jilid. Di Pustaka adh-
Dhahiriyah, No. 127:129, 124: 126 – Fiqh Syafi’i.
3) Al-Wajiz (Surat-surat Wasiat). Diterbitkan di Kairo oleh Penerbit al-
Muayyad, tahun 1317, dalam dua juz.
4) Khulashatul Mukhthashar (Intisari Ringkasan Karangan).
5) Al-Musytasfa.
6) Al-Mankhul (Adat Kebiasaan).
7) Syifakhul Alil fi Qiyas wat Ta’lil (Penyembuh Yang Baik Dalam Qiyas
dan Ta’lil).
8) Adz-Dzari’ah ila Makarimis Syari’ah (Jalan Kepada Kemuliaan
Syariah).
3. Kelompok Ilmu Akhlak dan Tasawuf, yang meliputi:
1) Ihya Ulum al-Din (Menghidukan Kembali Ilmu-ilmu Agama). Kitab ini
diterbitkan ribuan kali, diantaranya diterbitkan di Bulaq tahun 1269,
1279, 1282, dan 1289 H. Terbit pula di Istambul pada tahun 1321 H.
Kemudian di Teheran tahun 1293 H. Sementara di Beirut yang
diterbitkan oleh Darul Qalam tanpa tahun.
2) Mizzanul Amal (Timbangan Amal).
3) Kimiyaus Sa’adah (Kimia Kebahagiaan). Terbit dalam teks Persia di
Calcutta tanpa tahun, dan diterbitkan oleh Hijr di Lucknow tahun 1279
H. dan di Bombay tahun 1883 M.
Teks Persia diterjemahkan ke dalam bahasa Turki oleh Musthafa al-
Wany. Wafat tahun 1591 M, dan belum sempat dicetak. Ada pula
manuskripnya di Aya Sofia, No. 1719, 1720, 526. Dan diterjemahkan
pula ke dalam bahasa Inggris dari bahasa Turki oleh H.A. Homes
dengan judul Alcemy of Happines, by Mohammed al-Ghazzali, the
Mohammedan Philosophe – Albany, New York, 1873.
Sedangkan teks Arab, disebutkan oleh az-Zubaidy dalam al-Ithaf, I/42,
dimana ia menemukannya di sebelah teks Persia berukuran besar, ada
teks Arab yang berukuran kecil dalam 4 kuras (bandel). Teks Arab ini
masuk dalam kumpulan Risalah al-Ghazali, yang diterbitkan oleh
Musthafa Kurdy, Kairo tahun 1328 dan 1343 H.
Teks Arab, diterjemahkan pula ke dalam bahasa Turki oleh Musthafa
al-Wany, diterbitkan di Istambul tahun 1260. Diterjemahkan pula ke
dalam bahasa Urdu di Lucknow tahun 1313 H. dank e dalam bahasa
Inggris dan Jerman.
4) Misykatul Anwar (Relung-relung Cahaya).
5) Minhajul Abidin (Pedoman Beribadah).
6) Al-Dararul Fakhirah fi Kasyfi Ulumil Akhirah (Mutiara Penyingkap
Ilmu Akhirat). Termaktub dalam edisi Majmu’ur Rasail, terbitan Darul
Fikr Beirut, 1996, hlm. 509.
7) Al-Ainis fil Wahdah (Lembut-lembut Dalam Kesatuan).
8) Al-Qurbah Ilallahi Azza wa Jalla (Mendekatkan Diri Kepada Allah).
9) Akhlak al-Abrar wan Najat minal Asrar (Akhlak Yang Luhur dan
Menyelamatkan Dari Keburukan).
10) Bidayatul Hidayah (Permulaan Mencapai Petunjuk). Berbagai
penerbit menerbitkannya, termasuk diantaranya terbitan Bulaq tahun
1287 H, Kairo tahun 1308 H. dalam terbitan yang disertai catatan-
catatan Muhammad an-Nawawi al-Jary, terbit di Kairo tahun 1308 H,
Bulaq 1309 H, Lucknow 1893 H, Kairo 1306, 1326 H, terbit di
Mabady 1326 H, Kairo 1353. Maktabatul Qur’an menerbitkannya
tahun 1985 M, editor Muhammad Utsman al-Khasyat. Kitab ini juga
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman.
11) Al-Mabadi wal Ghayyah.
12) Talbis al-Iblis (Tipu Daya Iblis). Disebut oleh as-Subky, IV/116,
Thasy Kubra dalam Miftahus Sa’adah, II/208, Haji Khalifah juga
menyebutkan, namun dengan judul Tadlis Iblis, II/254.
13) Nashihat al-Mulk (Nasihat Untuk Raja-raja). Bahasa asli kitab ini
Persia, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ali bin
Mubarak bin Mauhub, untuk Atabik Alb Qatlaj di Mosul (wafat 595
H). kemudian diterbitkan di Kairo tahun 1277 H, dan terbit sebagai
Hamisy kitabnya ath-Tharthusyi, Sirajul Muluk, Kairo tahun 1306 dan
1319 H.
14) Al-Ulum Laduniyyah (Ilmu-ilmu Laduni).
15) Ar-Risalah al-Qudsiyah (Risalah Suci).
16) Al-Ma’khadz (Tempat Pengambilan). Disebut oleh as-Subky, IV/130,
Ibnu Qadhi Syahbah: 8, Ibnul Immad dalam asy-Syadzarat, IV/130,
serta dalam Muallifatul Ghazali oleh Dr. Abdurrahman Badawi hlm.
10.
17) Al-Amali (Kemuliaan).
4. Kelompok Ilmu Tafsir, yang meliputi:
1) Yaquutut Ta’wil fi Tafsirit Tanzil (Metodologi Ta’wil di Dalam Tafsir
Yang diturunkan).
2) Jawahir Al-Qur’an (Rahasia Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an).
Terbit di Mekkah tahun 1302 H, di Bombay India tahun 1311 H, di
Kairo tahun 1320 H, oleh Fajr al-Kurdy, dan tahun 1352 H, oleh
Mathba’ah at-Tijariyah. Edisi Indonesia diterbitkan Risalah Gusti
Surabaya, tahun 1995, dengan judul Jawahirul Qur’an: Permata Ayat-
ayat Suci, terjemahan Mohammad Luqman Hakiem.
BAB III
KONSEP ETIKA AL-GHAZALI
A. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk
tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput,
kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam
bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah
yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah etika yang oleh filsuf
Yunani besar Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukan filsafat
moral.26
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika mempunyai tiga arti:
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak).
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.27
Etika bisa disamakan dengan adab atau akhlak (dalam bahasa Arab). Al-
Ghazali sendiri dalam bukunya Ihya Ulum al Din menyebutnya dengan istilah
adab.
Berikut beberapa pengertian etika atau akhlak menurut para ahli,28
diantaranya:
1. Ibnu Maskawaih dalam bukunya Tahdzibul Akhlak wat Tathhirul Araq.
�ا���� 1 0�ل ��.�-, دا*"� �%� إ�' أ!���%� �$ #" ! ورو
Artinya: “Perangai (etika) itu ialah keadaan gerak jiwa yang mendorong
ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran”.
2. Al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulum al Din.
26K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 4. 27Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1988), h. 237. 28Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), (Jakarta: Griya Grafis, 1992),
h. 27-29.
ة *$ ه"9� !' ا�.�-, را8�� *$ 567�ر ا�!��ل 3%4��� !�1��� *2�ر
"# $� 4��و<�0�� ا�' ! ورو
Artinya: “Perangai (etika) ialah suatu sifat yang tetap pada jiwa, yang
dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak
membutuhkan kepada pikiran”.
Menurut pengertian di atas, jelaslah bahwa hakekat etika menurut
al-Ghazali harus mencakup dua syarat:
1) Perbuatan itu harus konstan (tetap), yaitu dilakukan berulang kali
dalam bentuk yang sama, sehingga dapat menjadi kebiasaan.
Misalnya seseorang yang memberikan sumbangan harta hanya
sekali-kali karena dorongan keinginan sekonyong-konyong saja,
maka orang itu tidak dapat dikatakan sebagai pemurah selama sifat
demikian itu belum tetap dan meresap dalam jiwa.
2) Perbuatan yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai
wujud refleksif dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran,
yakni bukan karena adanya tekanan-tekanan, paksaan-paksaan dari
orang lain, atau pengaruh-pengaruh dan bujukan-bujukan indah
atau sebagainya.
3. Ahmad Amin dalam bukunya Al-Akhlak mengatakan:
ا1��� *�دة ا�رادة
Artinya: “Perangai (etika) ialah membiasakan kehendak”.
Yang dimaksud membiasakan (‘adah) adalah perbuatan itu selalu
diulang-ulang, sedang mengerjakannya itu dengan syarat: Adanya
kecenderungan hati kepadanya dan Adanya pengulangan yang cukup
banyak, sehingga mudah mengerjakannya tanpa memerlukan pikiran lagi.
Sedangkan yang dimaksud dengan kehendak (iradah) adalah
menangnya keinginan manusia setelah dibimbang. Proses terjadinya iradah
itu adalah sebagai berikut:
1) Timbul keinginan-keinginan setelah ada stimulan-stimulan melalui
indra-indranya.
2) Timbul kebimbangan, mana yang harus dipilih diantara keinginan-
keinginan yang banyak itu, padahal harus memilih hanya satu saja
diantara yang banyak itu; dengan lain perkataan, mana yang harus
didahulukan, karena tidak mungkin mengerjakan semua keinginan
dalam satu waktu yang sama.
3) Mengambil keputusan, menentukan keinginan yang dipilih diantara
keinginan yang banyak itu.
Sedangkan menurut Franz Magnis Suseno, etika merupakan sarana
orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab suatu pertanyaan yang amat
fundamental tentang bagaimana kita harus bertindak? Ada banyak pihak yang bisa
menjawab pertanyaan itu, seperti orang tua, guru, adat istiadat, tradisi, teman,
lingkungan sosial, agama, negara dan berbagai ideologi.29
B. Proses Pembentukan Etika
Pendidikan menurut al-Ghazali menghilangkan akhlak (etika) yang buruk
dan menanamkan akhlak (etika) yang baik. Jadi, pendidikan itu suatu proses
kegiatan yang sistematis untuk melahirkan perubahan-perubahan yang progresif
pada tingkah laku manusia. Mengikuti pendapat al-Ghazali tentang akhlak (etika)
dengan melalui kitab Maw’izatul Mu’minin dapat dikemukakan sebagai berikut:
beliau mengatakan: “hakekat akhlak(etika) ialah keadaan atau konstitusi jiwa
yang tetap (konstan) yang menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan secara
wajar gampang tanpa memerlukan pertimbangan dan pikiran”.
Bila dari konstitusi jiwa itu lahir perbuatan-perbuatan yang terpuji dilihat
dari agama dan akal, maka konstitusi (ha’iah) itu disebut watak yang baik.
Sebaliknya, bila daripadanya lahir perbuatan-perbuatan yang tercela, maka ha’iah
itu disebut watak yang buruk.
29Sudirman Tebba, Etika dan Tasawuf Jawa; Untuk Meraih Ketenangan Jiwa, (Jakarta:
Pustaka Irvan, 2007), h. 11.
Konstitusi itu haruslah tetap (konstan), sebab bila tidak tetap, misalnya
seseorang memberikan sumbangan harta hanya sekali-kali karena keinginan
sekonyong-konyong saja, maka orang itu tidak dikatakan pemurah selama sikap
demikian itu belum tetap (konstan) pada jiwanya. Kemudian perbuatan-perbuatan
itu haruslah lahir dengan gampang dan wajar tanpa pertimbangan pikir. Kalau
seseorang memberikan sumbangan karena tekanan moril atau diam sewaktu
dilanda marah, tapi dengan daya upaya menahan rasa marah itu, maka belum juga
dikatakan orang itu punya watak pemurah atau penyantun.30
Mengenai dasar watak, al-Ghazali menjelaskan: sebagaimana keindahan
bentuk lahir tidak akan sempurna hanya dengan keindahan dua biji mata tanpa
keindahan pipi dan hidung. Akan tetapi haruslah ada keindahan keseluruhan untuk
kesempurnaan keindahan lahir. Di dalam batin ada 4 (empat) unsur yang harus
baik keseluruhannya supaya baik watak manusia itu. Bilamana keempat unsur itu
sama seimbang dan serasi paduannya barulah terwujud keindahan watak itu,
empat watak itu ialah:
1. Kekuatan ilmu. Yakni, keindahannya manakala dengan mudah dia
menanggapi perbedaan antara kebenaran dengan kebohongan dalam
perkataan, antara hak dan batil dalam kepercayaan antara kebagusan dan
kejelekan dalam perbuatan. Bilamana kekuatan ilmu ini baik sempurna,
lahirlah daripadanya “Al-Hikmah” (kebijaksanaan). Hikmah adalah modal
yang sangat baik.
2. Kekuatan Ghadab (marah). Yakni, keindahannya manakala dia dalam
keadaan terkendali dan terarah menurut garis hikmah.
3. Kekuatan syahwat (keinginan). Yakni, keindahannya manakala dia berada
di bawah bimbingan dan isyarat hikmah yaitu petunjuk akal dan syara
(agama).
4. Kekuatan adil (keseimbangan) yang berada diantara tiga kekuatan di atas.
Yakni, pengendalian kekuatan syahwat dan ghadab di bawah petunjuk
akal dan syara (agama).
30Al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Maw’izatul Mu’minin min Ihya-I Ulumuddin,
(Mesir: Maktabah Tijariah al-Kubra, tt), h. 204.
Akal itu bagaikan seorang penasehat yang memberikan kekuatan petunjuk.
Kekuatan adil adalah kekuasaan. Dia bagaikan pelaksanaan dari isyarat-isyarat
penasehat itu. Kekuatan ghadab seperti anjing pemburu. Dia perlu latihan-latihan
agar dapat melaksanakan perintah sesuia dengan isyarat , tidak menurut gejolak
kekuatan nafsu. Adapun syahwat seperti kuda yang dinaiki untuk mengejar
buruan. Karena itu, dia kadang-kadang dia jinak dan kadang-kadang lari kencang.
Jika keempat unsur itu sama, seimbang dan serasi pada seseorang, maka dia
mempunyai watak yang baik secara mutlak. Bila sama seimbang sebagian saja,
maka dia punya watak relatif baik.31
Kekuatan ghadabiyah yang baik disebut syaja’ah (keberanian), sedangkan
kekuatan syahwat yang baik disebut ‘iffah (pengendalian diri dari hal-hal yang
tercela). Jika kekuatan ghadab itu berlebihan, maka disebut tahawwur (ganas),
sebaliknya jika kurang disebut jubnun (takut). Sedangkan jika kekuatan syahwat
berlebihan dinamakan syarahun (rakus), tetapi jika kurang disebut jumudun
(dingin beku). Kekuatan adil bila mana tidak ada, hilanglah keseimbangan karena
dia tidak punya dua sisi, yakni kelebihan (fadlun) maupun kekurangan (naqshun).
Lawannya hanya satu yaitu jaurun (zalim). Bila tidak ada adil menjadi zalim.
Adapun kekuatan ilmu (hikmah) jika di waktu penggunaannya berlebih-lebihan
untuk tujuan yang merusak, maka disebut khubstun (buruk), tetapi jika
penggunaannya terlalu kecil, maka disebut bahlun (bodoh), selanjutnya jika
penggunaannya tidak berlebih-lebihan dan tidak terlalu kecil, dengan kata lain
penggunaannya adalah sewajarnya atau ideal, maka hal seperti ini disebut dengan
hikmah.
Type-type manusia menurut wataknya ada sepuluh, berikut rinciannya:
1. Syaja’ah.
2. Tahawwur.
3. Jubnun.
4. ‘Iffah.
5. Syarahun.
31H. Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: Al-
Amin Press, 1997), Cet.1, h. 89-90.
6. Jumud.
7. Hikmah.
8. Khubts.
9. Bahlun.
10. Adlun/ Jaurun.
Kesepuluh sifat di atas dapat berubah disebabkan faktor lingkungan.
Empat unsur watak, yakni kekuatan-kekuatan ilmu, adil, syahwat, dan ghadab
tidak dapat ditaklukan atau ditindas secara total hingga tidak berpengaruh lagi,
apalagi melenyapkannya. Tetap mengarahkan, mengendalikan, dan
menjinakannya sehingga pengaruhnya menjadi positif adalah mungkin, yaitu
dengan jalan riyadlah dan mujahadah, dengan upaya pendidikan dan pembinaan
yang sungguh-sunggug. Dan kita diperintahkan untuk melakukan usaha demikian
itu, karena dengan usaha riyadlah dan mujahadah itu, kita akan memperoleh
keselamatan dan tambah dekat kepada Tuhan.32
Watak manusia yang ideal yang mungkin dicapai dengan usaha dan upaya
pendidikan ialah terwujudnya keseimbangan dan keserasian antara paduan
hikmah, adil, syaja’ah, dan ‘iffah.
C. Peranan Pendidikan Islam Dalam Pembentukan Etika
Pendidikan Islam adalah pendidikan berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah
sangat luas jangkauannya. Karena Islam mendorong setiap pemeluknya untuk
memperoleh pendidikan tanpa kenal batas waktu. Kurikulum pendidikan Islam
diwaktu dulu tidak tertentu atau terikat dengan sekian jam untuk suatu mata
pelajaran dalam seminggu, seperti halnya sekarang ini, tetapi pelajaran dulu itu
adalah umum sifatnya, dimana guru atau juru didik punya kebebasan memilih
buku dan bahan-bahan pelajaran yang akan diajarkannya.
Sebagai esensinya tujuan pendidikan Islam yang sejalan dengan tuntutan
al-Qur’an itu tidak lain adalah sikap penyerahan diri secara total kepada Allah
SWT., yang telah kita ikrarkan dalam shalat kita sehari-hari.
32Al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Maw’izatul Mu’minin………, h. 205.
���� ����⌧ ��� �����
�������⌧��� �����☺���� �� �� �!
�"#$%& '���(�) *+$,-
Artinya: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (Q.S. Al-An’am: 162).
Peranan pendidikan Islam dalam pembentukan etika sangatlah penting,
dikarenakan tujuan pendidikan itu sendiri adalah pembentukan akhlak yang mulia
dan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Pendidikan Islam bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan
keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, serta
pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim
yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaan, berbangsa dan
bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih
tinggi.33
Ada beberapa pandangan al-Ghazali tentang tujuan pendidikan. Berikut
rinciannya:
1. Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu
pengetahuan itu saja. Dalam kitabnya Ihya Ulum al-Din al-Ghazali
berkata: “apabila engkau mengadakan penyelidikan/penalaran terhadap
ilmu pengetahuan, maka engkau akan melihat kelezatan padanya. Oleh
karena itu, tujuan mempelajari ilmu pengetahuan adalah karena ilmu
pengetahuan itu sendiri”.
2. Tujuan utama pendidikan adalah pembentukan akhlak (etika). Dalam
kitabnya Mizanul Amal al-Ghazali berkata: “tujuan murid dalam
mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah
kesempurnaan dan keutamaan jiwanya”. Dari pernyataan tersebut,
jelaslah bahwa al-Ghazali menghendaki keluhuran rohani, keutamaan jiwa,
kemuliaan akhlak dan kepribadian yang kuat, semua itu merupakan tujuan
utama dari pendidikan bagi kalangan manusia muslim, karena akhlak
33Abdul Majid dkk., Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: PT.
Rosdakarya, 2004), Cet.1, h. 135.
(etika) adalah aspek fundamentalis dalam kehidupan seseorang,
masyarakat maupun suatu negara.
3. Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Al-Ghazali berkata: “dan sungguh engkau mengetahui bahwa
hasil ilmu pengetahuan adalah mendekatkan diri kepada Tuhan pencipta
alam, menghubungkan diri dan berhampiran dengan ketinggian malaikat,
demikian itu akhirat. Adapun di dunia adalah kemuliaan, kebesaran,
pengaruh pemerintahan bagi pimpinan negara dan penghormatan
menurut kebiasaannya”. Demikian itulah al-Ghazali, seiring dengan
kepribadiannya, ia tidak memperhatikan kehidupan dunia semata-mata
atau kehidupan akhirat, tetapi ia menganjurkan untuk berusaha dan bekerja
bagi keduanya tanpa meremehkan salah satunya. Jadi, ruang lingkup
pendidikan yang diharapkan bagi masyarakat muslim khususnya, menurut
al-Ghazali tidak sempit dan tidak terbatas bagi kehidupan dunia atau
kehidupan akhirat semata-mata, akan tetapi harus mencakup kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Dari ketiga tujuan pendidikan di atas, al-Ghazali kemudian memberikan
nasihat kepada muridnya: “hai anak! Ilmu yang tidak disertakan dengan amal itu
namanya gila, dan amal tanpa ilmu akan sia-sia, dan ketahuilah bahwa semata-
mata ilmu saja tidak akan menjauhkan maksiat di dunia ini, dan tidak akan
membawa kepada taat dan kelakpun di akhirat tiada akan memeliharamu
(menjaga, menghindarkan) dari neraka jahanam”.34
Menyimak uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa peranan pendidikan
Islam dalam pembentukan etika seseorang sangatlah signifikan, karena
kesempurnaan dan keluhuran jiwa bagi kehidupan di dunia sekarang ini, maupun
kehidupan di akhirat kelak adalah tujuan utama dari pendidikan Islam.
Îݾ8]LZ;BC1á‡Z…~$j’8‘¦�_q‚ÕÊé°3Ý£"eOµm_5î§Rƒ_�À®j˜¶ô_pɲõ÷Å�FÕ0'—�Bj_/�úÔ‘²ÚÍ'_÷_ÔƒÂæávì_㜊Ððß�Ÿí‹¾5)è_²X‰$i,*H“ÃÞ?ñ&·r±ùó0lpÍÇò¯ ^øcðâçlnõ2L±¸bÇœÕ_
34M. Zain Djambek, O Anak, (Jakarta: Tintamas, 1983), h. 17.
ø_8•]QTŽsŒW¥ø_ÞÊþ_c_’_@®Zµ¥PçtRgÕ¾_ž=7Àq[îÃ_Q�V-£_§_äV_‡-d‡Ã14Œ_å^ -_!äYÆÓ•«¥_£9FÌè´Ë_fw!À=Ålé÷Þa+ÜzÖm„¡¡_ÎHìj[IŠÊvqŒòiò¶B/J«$™Èüjì_?d�Dd_×;y¬µ¬Ä0$z-õÃ4¨9_ö-_FÝÍ‹-ò0f''_-v™_JU$__«?_-ˆu#ŒsÞˆ/_EÁ9Çz—GY5½Î_._'½J—;Ўðª_33:¬ sV-mÞ(‰�Ž¸Óv*hm¢™n‰##Þ-ßÛ_E)Ǩ_^_¤´v2ŽMHº¬w$¡9>‚¥«_;�_A-�…$gµJf_ rrǸ¬ëË…[ „_ êjä¨d�J_Ž)¸Ø"¹u'µ¹ûL��¥0�d _ã½bZJ ˜c’_J“Vñ_¡Ò(�É_zRNÂU__‹Ö[s_Û_Ë_‘Z_M¯ ™h†b =ɦ[Z½ôA®_'ÔÓ$–K9Ò(�Ú_z™JåÊM#u-a[P__¶:�U¬m–Úää__ð)Ñ]m„_ÆqÔÕ_ÖVkâŠFGaP“lˆÍ·©§u:!'9'¹ª¶Ê×—___çš.b7_‚„qO³ˆÂ™$äzVëTn•ÑOP´H.rœçŒÓ_M2Ä_�»ÐŠµy_˜á�J'¸X-¶ƒÔu¬Û_g©_—zë(ŽbH__jMBH›8Á>ÕF;ćs_ _èsY_U–òôˆ__žsZÂJ(Õ+_v�æ]…Rp_JßÔb‰mcà__9õ®fÖãì¸fÉ#¸©“^kù_`1QÜÔ6¬^~ü*ƒÚ-i÷â(_N =ê_ëq;_´d_µ_¶í___øVnv‹W—_”�Ç_”º_ÝÐÕ_†lnÁ+èi†å–Dˆƒó_ÅR•ÑmuYü¼ðx 'Ž_–‹_�Íáï³Y¤ìÜ?¡æ¡‚_+€_sëI6BV2¶É5ñ_(1�â5§_òØEû¾_÷_5ΘcQ´Œú‹û5ž?Ÿ¡íMT±¬cJ_¾+‘Üü¿(î*KǺƒ_êÕ¦€&“¢�;_».š–��À_aQ*- ÙècA#=Ø*H ö-r_Û‚¤’;ÕX-_I~žæµ4í†3–_ÜÖNNEÂ.;™ˆo$È_ϦVv£mrשç–_ž_®Â9b„d_X÷_•Rûl-˜ÕI_ _¬U‘5_ÌçÐ|Û_ÛFHëU¢ÒŸ#©®†)_[_ø'_*-ĉ¼__>‚¥¶™œ_!‰w¥‘_I"ð_~•‘_†"Õn‹J_U=_âºýX´ÚYP dzU? ÚƲ¸¸_nzTɹ_Ô¯ §ø;M…_•FGmµÐØèö¶öÊ-¢CîF*�ò¡”,'__À-_Ð*___¤ Ùn¥‘-¶�_˜ ˜_¢¯ _£²‹_Ddz‘BHž^õ+ôªÒ]-Ì�I_ØV®œ²•ÙzÓXA_V_Æ;ŽÕ,_ÊN¬³¢cÚªµª¥±XÆI_k.VY_z_J¸ÅKFk_e©¿f ˆ³__SÍr~5ñ__ÇŽ_©'_W¦jÍNH¾æí¦±â�/õf2).HåºU:j__™Ï´_W_¡”¶3ÐWO ,ä¯ Ú_€;Öö�áhî6—_«Ú…šiö& _#œ�X|LͶÌÛ™D€_=:æ¨ÈíÈŒàúTögÎr_Æ;š€Z?Ûs�@=+E__âËV6ä&žÆ´ì-Sh8_úÕAu___B Õ»Y_’__—Ú©#X·b¾¿qäÛ±R@^¹èl_¤OÌÄ_Þº_–Ží™_ƒ“ÐS ²Kt%@ã°-_aŸ_…]å�_àÓã·ŠÙv€__jÓ¸¼i8Î1TÒÐÏ9Þ@9ëN1!ɳ:ùÕ”ñ�+_mutëèöî;›_®Îm2?$ƒÉö®7ÅZ_$›ãR@=;Ó’¹JGS¢ëÏ©È‘’žÙ-Ûâ`·Û“Èí^�àHîmîwÝ‚1ëŠí.5_q__‚@éS_ts›hÀÕ³æ7$úU[SåÈ_�zЖ_¶Á_zÕZÝì›)À_sZ¯ _ŽM›v___Täâ¢Ô._i‰~@õªÚK³²� ã-_»Ue-•__†³’¶…EÜ¥_¥å_IÈ- ®±eAÈ_k_NÝ6¢Á>è5¼ÓˆWi_&³i"Û±“u_×ÎÁÁ_Ú°<I¦K__T_ŸZíQ€Œ3_ ª:Œ_U'j‘êkHèi_̵8�/ÃR§ï%_AïZ¶‘ý�±Î+~dŒÙt_‡__†-Š]_'Œô¥'s9+3 Òí_Â__’:Uƒ_�àŒ(ïYº]û—Ú€€8É_n]Kìù_œš„¹Œå.Q.¤·Ó“_YyÁ_^/ˆñLD_¥w_2:Ög‰.¼ëWÁ'p=+_Â>2__€ÎyÎ3Å'_CZNèî`¼icó'Ï4øïQ˜_c‘P±�‚1Ò’ßM'_2i E©_uQ<¥‚‚Äýê†<[(_pMj^Û´0³8__æ¹ùî¾Öíää_HÁ-âε+"ð*À¶sìj°‘RBP_™b²ä¬œçÒ£¸sm9Þ@ö¢r9¦îYûT’ŸÞ__¦Éh—_Ka¹èVmÞ»_2__7_Ù-m ‰_^R0V_WdEó_bÒÀŒ|£_½E�lF____µ§öØÊâ>ƒ-CrD«”#>”Ú¶æÏÝ9H´W_€HËt®‚Īکnâ²u;&šáX_6œóVì·__~UíStJi�Ô1€P_I_Ñh_)_€™Ô__H®rYÔܬmÈã‘ë]„ŬŒ`‚¤p(nÂnÃ/<I_Ü¥#Âìã_½]Óa_pœõ óéÏo|Ï'Lö®—î&‰‚‘�__£šæ‰sjsÞ)‰•À€__8ª–V²KjÞfFqÉ«þ&¿]>V7_‚k$xž7P–à’*ұؿg›_FârÕè¥I_É5™m;N¥˜_íP¶¤ÑÜ_9_w¦Ø£#m-ör„_íUoÀž¸ïWt™EäDŒ�:Ö^«©Â·f6 7÷Iæ•ìjôEywÜ͸“‘ØR>g!dÃ_ìjí¼_Xr˜ÁÏ5VKGI ^èS1³eKë·Ž2–
ù__ÕÉ]À'Õ’Iر__k³6e‰2àgÒ¹íkMó._D9_<TJm—_¸—õ-y?³£�0.0*®’Ís!i:rj�°gaÎO¡æ¶ô_··f8__ƒP•ËW(jºƒ+*BÙ$ô-=:ÍŸKi'_`:Á�°ÕÔ_ÆáÖ»§Ž(t__a¤^¦©Æã±ÅJŒ×äŽTv_¥_›"_ž_-W•_oö‚§>•í™c__ƒÜP•ˆm¦_¡T’ÁN;Š‡S·:Šì„àƒO¸…ÒÍÌd†ÅUÓ_¦�Þç9íV’CO™_¶ž…¤À u©tro²òÑëéRøšÔ¼xL‘ŽÕWH�á##¸©m3jpkSFêÚ7Œ®___åMì¶Ú›Çn£jó�]e»FĉÏ__‡½gC 'öƒJ_!ð)ÅØ©»“é_µÊæqÉõ- íÑa_ “ØÕ'±x%R˜:â-¬-0_É_¦¦Z˜r+D^BŒúÕ»_a“_x>´ÅŒÆB·Z|·BÕK.2;šÉ½Jq±_¾‡Ê_€_HéVü/jÍ____¥QÓuõÔîJ2ä.G"µ œDà!_ž‚ªÂæ±níÞ4)Øö_‰_¤Û°2÷-¹78È_�γuHþ|°#_®+7«4Œ®eÏ"ï_ÆHïPêe§Œ,d‘éQê7__! Žõ�£ë_h¿xœä¡Æ+W.TK÷´:?_ÃöhÉu_ˆ<Uytö_�+’3Ú¦Šs_RÇ_zÔ¦ñdBÙ_�ZJw3t¬r_.–¼U¶_)'�j1«Î–b9‰_06æº_ÅKÖÁ_Ÿ;n_XX“_ÚN_k_™q•‰tyš_°Ë’[_W[o¨´q�3€GJå´»S_¬¢L_ã-kx³TKH”[�X�v°œ.Rªâ_žQ3_‡__©o´€ <óPxh½ì_ä8_êÞµjÁ_½fÎ_õ¬œlS~ÐM^_yç&²~È«qæ`n_ë —_µ†Aã"–*_ˆl#y_M Øq¦Îxêî·_VNÑVÃd_^µ[RÓUn7D~lóSY䀬9_«X¢Ó±ÿÓúr_IÚéR2@'__¾ -n �¤Œæ±ìí_)‹___l-Úº_IÈ_ë�j_‹)K_–9çëYº“_ØLðzV¥Îùß_qU¥±!·0&ª2±2W2tQ;ß_œ0_œ_é]%¼_,_Èõ5_�¸iA__ÅM¨Ýy1_<_Z«s_ÓI!5_/__€OzÌ’Ý£S†É4뇸v_œ_˜«"3€__YÉ8“9$eÛØ<w;Õ†=_l+–EÉ9õ©-tÍÇ$__Ôå_£__«8Ï™êLf˜¨Ê#_AÓ½W¾¾_�_@_µ$hdR¾µÅ¡V_®yïZ8¤Sw$±²7_®Ì_«×w_Ò _e‡zn�fÍn¡r_©.`EŒ™H,;__†‘M#2mRi¾ñlÿ_J–Á×%¤_ŸZ«/3_/8Í+NF_?…)´ö_W7£».˜CÀ_ÎjLnõL(<`äV¥¦ôˆ_FGSXww†ÏV_º_r*_nÅÊtVÐâÝw~F–ò%�_�ŒTp_‰c_<TðH²0ÝÎ;šÝ.X�Bå#¦‚�X‚_ÍZŽ_Š_P__]J_@_ñí@ÉPI_4Ól_-¹Râs_%‡Ê)Öw"pU__%Ô_â"¹_žÕON´i°ÙÁ=kJ”îCV/-°gÎpiûÂ_GOZ±ä_€��-S¼F_ É>µœ_‰œÝ…m_,_#ƒžÕ¡kqû d_ÏzÉ·Ò$Þ]Æ1ÍOÑS°g#ÔSr¹1��dÙ"’Š3L0˜Fí¢–Äå_@Ç-Os<k_ï__¥G6¶*×3.có·__&ª6ž"ÉcÉ-"Q¢- _ž‡½Q»W“!rM¨’Et„Hà>1ïOžÍbU#¡ô¨Q$I_`F+B_üäÃr*Ülg_ÆÚÈË_�œ_Ú–òBÐ_8Ç¥;Í[r_ð´](¸…V_òyÇ_P6Õ¢„(ó–ùŽ_jz“__‚Hô«öVb_È*2GZz[_È+“ëDô2Q»#[“䀼_ØQ¶V_†cô¦mQ&__=ªÔw_€)8ÍJW5jÃí.Ûn$_#ÖŸgtóL__ÁéR+Fã__>µ,_â_. _íJO”¨É¢ö|µk;[T__AçÖ—Ïv�_I_ Ô�› "”j_)À_._gµiتÍËðEeÝ‘_¨ÎO¥ÌÍÎI_•¬¢š¹_-©¼Š_qŽ_éYú•ÊÆp_&�=ú¤xÜA_…e›Å–S¿qÉêEgËcg%"ì_ý©y__Ji³XÎH__ªÍŠæ_FNi—__`F_-bâî &W’ö4__2;SZé%QÀ$w¬ù-潪¹_ZØÓ4bb_Ç"´R&Q+˧ý¬_a�µ_Îð˜À_Íoß@-í@P__jçEç™pÀ__~ôE"9y„šõ-¦X÷__oZ»_ÒªÄ_ǸªFÐÜϸŒã¡5£ojÇjâ-®Æô ‹÷2yšr®y=«-_#mP_;Õ«…xÀ^~•_€1’3T•…Xž_`»[95=Ìa`_ š‡íI_€Ä‚)�¨¬¤_Í$ìÌ”n5X†__‘QkW²_¨Äc¹ª÷w«_ÁHÏaN�ý¦1Á9õ-_BŒlÇh„GlL‡æ$òjKˆÚåóÉ_°¨cŒ¢c _�[³“beú�ËšH…m’Ü�ä_U˜ïV__NsÜV~¢w¹ec�ØUc$Œ_N_éT¬·3NæÍÓ_˜ l’Gz4Ø_2œ`_ZH›(__ÄÕ먣_ät_Œ•Ù´eÊ‹v–ÂR1Ö‹½<FIp3èjΚë¹wÀÆy5FóQYåe/øP£es'6Ù�� ûH_œt4÷·_(£¡õ_·6Áå%NNjKth°H_ëS__:Ž#_N1®PcÞ–Þ'2`_‘ZVήŸ0ëO‚Õ|ÐØ_>•2‹eŹ_ÒÉÜ–bH_ªÍ´C_ž_íV™ã_”wïPÍ…_nqT£cT¬U¹Ú¤„_j™e´mà_i/®_dàpj´_�©!*X_Õ=_åb
KÍVIC0$œqRÂ^çO, Ü_J`ÒÚÙBÉ’_-LŽ-#_@#ÐQ_•ö)Ú¬Æ`=ëKc__�àj;+•YI�_ìjw“ÍbW¡ì+I$ö-« h‚9�ÎsZ_æ<_8_ֱز^!ÉÛèi‰EÂ�_$�-˜ì[[€ %±‘ÜÖÆ£,_Â*’Q�AKs¨:Ül_àT70™$W__ÜVœº_=Ž¯ íQê_€í_€_5‰q‹k’zâ�§Nb‹_Ä_ƒS¸A¸ç$ЕŠ”¹‹q]‹‚_8=©e´YNH_zV__�_€‚ÄÛ‰„�___úÕ'c'tAw___,Œw¨®&’تÄrªØÆyæ›öei_9__•N<ȸ;�°ŠI×tà�;šmÊ€X_ÓÖ¬\ˆ-‚À@5__æ®æ “B¶e8í_V8_zŠ»mnÑBA<Š²_Q_QƒëTõ7xãùr ïM$h¶Ô«6ÕÜí^]ûKÌßð�®Ì‘åœ_ÄפÈK¡_NOsí7§%�Ãÿ_9˜—1_ƒøÕµ¦‡Åq,-_ýt>%½_ãY•°r_‡ë_H�Á>¢Vø� E_ƒ&Oã_3CzF¯ pÙ$n~¾¹¯ ©ÿ_à›Ñ_CâDe€Ë2qøדU~ðøÜž_-ýyŸ¨WAF‡o·†(++c__’Oµ_Ô_†Þ_Øà*ã_R½j_÷OÔ0ñå‚__8ëõ«¶‘ï�_ÕXˆ_dŽjí¢þñHè+©hlj[©�_Cš™pFH__±%_jln_ð_õ©jŤ#Âý)«_uõ©h<_ÒŽã_ë•_¶*_Q_õ&�4Ç$)"¢•Î_'$U‰ì)99¦3_‘Æ)¾q÷¤f_§Öƒ)2 Ø”#ŒV|êÙ9 �CZ__S�j¥ÆíÇ_æšv$Ï– ÌI_UIá__Ñ”ì__sP²+) _M'¨_s[*®H_ŸZ̺±IIʊݺˆ_ó_sU¤µÈ$/>¢§”iØæï4•ÀÀ_QY·¾_GBB‚NWW5¶T‚9ª·_§n_ŒóÒ³•;‚wg_¨xa%Ý•__ñ³á_Ä„_œð_z”ºQ|à__θÐ_dÈ£ò¬Ý4�«_)¯ |2KÅ;�dúŠåõ�ƒŠb`‘‚O é_A^èhN_�-fÜxeecÁÁîk Ó»*×GÌ_·ÁE%ƒÄ_«__€°Í/Ï_#=ÅGàµi2T_î)±x*>_”¤Žø®Z”Xև̣öv€D_Â1éŠ[/�0<Â7�T_Œ__M]øMH”_éL>_‰”8Œ_ö_’ Ùµ9Xð�7à�½’_å©_€UÙ~ÚÜ(+©_ȯ mƒÁ_°;N>•�þ_è–_vüñ_¬p·Ü'>fxŽ›ð‚+=ƒË_žÀV¥¿Ãa_ŠV 3Ž_¯ W‹Â¡¤_)_ïROáÒ¬¨ã½uÇ__¢^‡_§ü;PÈÛ9_ˆ®ŠËÂK_‚__vÅt¶šC _zØÓôu)—PI©t__w9í7ëå_(_×_³§xubP]A&¶-´µB6®_"´ÖÄ____qW _¥s"-!Bà(楋GPFå_úVÌ_E__g=ÍN¶_öÅkìP's_i_ºc_µ=<?_劮G|Vس__0E9m‰ `œö«�;_)XÇ‹NXø*_5a4àT___Õ¨4ìô_œ¶å__Õm—O__�Â¥�M>`3ZñÛ.ÐvŒŠkÆ_tÅf‘)0_$��R)¿fU8Àæ´ç„¾v_ÄÓ_Ķ__EZV+c<Ú)_�L6T’£éZßbÀ$ñQ˜1ž8õ¦&Ó1þÆ_Æ_YŠÐ__»ö«Kn7g_ö©_9è_Çj_¹-X©ä/aÍ8Û_ûØ5`FUŽAÀ©_2êxäV‰X̨±„8^3CÅ»†_ý*Ç“Ôc_õ¥___9__E ¬Ôryöª_ö1¸8P -‰2Ü_‘Unb_$ôç¥_n69«�-FC�ôª_Ztc_T_EtsAç_pNj¥Õ’…áFjdîi XçNŒ‡$_j?ìÐ2_€Ozßû0__c>”Éí_Åfà¤kÊswZZ• ($Ö6§á¤ef`3]“[Žê_±ª÷ö¨b!”_éYº| ä‘æWþ_e$ĤŠ4¿_�8__<u_Ù˦)bv‚%¶Ž-:”_ƒÒ³q¸Ô“2_�˜€ Ö¦·ðâ_!”_é]2Ø_PŠQd_áp©Æ_mÜÅÓô%_C(_úÖÅ�ˆ‚ETPFG UØtâ«»_*î�n¾p_€_-'_ídkh6_P_q�ÅnÚB_8àŠ©¦Ã„_:bµ-�îõ÷-!NÚ™¹X™-¨$ç>”ô€__–4ãžÞ”cœØ´Ñ�É_úÕi†ŒV‹á_ëÍRd_ŽG&©+‰Êã _›_cÜUëtÈÅC_,¬ __<1_ü~bŽR_±g`E_ŸÂŸ_É_ö¨œ_ÀÉϽK_ Œ÷¡«___-À_'š¹___ëØU+59__V€�#Œ`Ô¥aØE�LñëNÞ©_Gœ_Æ—_xa“íZ'rV»@Ä–Ï_TÄ œUÛæS�¾�ê€p™_þTÑ”¦‡1_ò3LyTã¡4èÇšÃ$ãÖ�5œ_ÆZyBœV±ƒ–Ç-\)nʳañ¶Ÿ_±UË_ ìkžñOÄ�'Â09¸¹BP_I#ükÂ>*þÝz_†|Áep�Œ÷®ªxv÷>g1âZXudÏ£ou_4úòUU_üÝ+Œñ—í_áïoY. .ƒ;s__ü_ÿ_‚�Üj_K_“r䜎_ŠùçÆ�´¶·âËçxî¥Ãú1-SÕŸ_�âéJü¬ý_ø¡ÿ___Ót/5tË”_¹Ú_ëæOŠ?ðP½K^i¢µžB¬N_oþ½|§-xßP¾—mó³3ÿ__5”m¦y_3±Ï&¹jãéÒZ__‹â_Õ¯ ©éÞ4øñ¬x¬Èf¸”)ÉÁ5æÚƱ-I‰f`=M_¼£"B@<ri_Ø ùI#Ú¸^iͱâÏ_V»Ü…"š(Çï_c©«6—Ò_Ê1'_ÍB’:d__jÍ´$° u¯ 7_Œ”ú›PÀתîT¸š[-èìBöÍ2=_4e™�&µŸM*7à`zPÖ/"ƒ_
zâ�vÏsÃõëîŠÖZpŠ<_0‘%û_| ’jH-ä@r__¤6¥˜__â-˘úL'_ÎVm_�̬_ã“OžæHØ,(NxȧÂ#·BÏ‘íRXΓ±b8_óYN-_]€áHS·2_`žHT_eö«v_ä€%_çÖ£—VD8_úT__‘_z_E_ƒ‘ô´xz�$�‹Ú½¾b_A_Ö|P¤_¦U_Žõ_ë_L¸~‹ØU+�DŸâ?JéPæÜô¨eÔáн-ò«_ qTu-L;)Eäw_HÎI%ØóPý¨+_(ùGsZŠG£ON:_eÔò€�¶…Ö_FCuõ5Ÿq_¶_°*¥î-kj_¼˜cÚº__aÎ_ƒÑ_î%žå³__ú_J¯ 4ó«_&ãîkÿ_⾘äDê@_Mcê__á™>Y_Xz___&m_x�¤_,êų€zÔ_:œ_ÌZâe_Ð×”kŸ_ÞÒ__ÊpO@×_¯ üc»’_#%›'®zVÑâ_»=çQñ]¢¨håAŽÃ½cßüI___¿_Ò¼_|L¾º_äcÜÒ§Žï•H1«ƒÜž•£„`o_ɹì×?_Õ€21_îM_ñf_"_È ^ù¯ ___ÄÊ_>ô—7áP�Ç'±¬ì_|Ú£Ò5��aæ$Î__³Ú²î~0Çæ(óC_:_õçFÛí!Œ‡_ði_žŠTƒ¸ŽÆºâ“C¦¹´g ]|`’áÊ*6ÕèÀÖYø§3LT+òx_¬_;¡Pª2:ℱ,àì_úÖS”Q«¦’65�‰_£÷vÁòGPj�ŸŠµ9ÙŒï'?ÃSÛX«H_Ê ÇSI,B Ûg_®w%sžqDrÜI9-($ŸZÍÔl¤¿uÃ…ÚzVÔ_™†Üdžõ1Ñ€]À_ÖŠ¢3Œ_f2Y›p_9ÏaNþÄ’ùKÆØ_•·g¤’ ˜_=)âÀÂI‹ zVNw7„9Y…¥éSEpA__îjìÚt‚@Ä�_ V…™-)__oj¾ __˜½_Jm__ š2àÓMÄgv >µf_8¡c"ŒšÔ³³__._¥]žÀ_�__ì)Æ-ÙÊâ¢ô9Û]+É””__°-_ì¡"£_Ö´m-£Ý°_·¥^¶ÒÜÊ_-dtÒ´UÌ 46† P_žÂŸo¢Kr_Ê _±®´è-0P_`c¥iXxh®Ï�ŸÂ¸eW™�çvai__¶E__Æ:ŠÜ°Ñ_,ª_k`h¥#_ 㹫š%�kƒ__[ÐÔHÕL‹@Ð<ô §'¹_ÒxwB[K�fP_¡-=_@0¨ùkf/É._@�;T*‰_ºº–tË@¨_@_Ž•Õx_F’]^_1___µ�á_!¾Ö_uäcƒ^�ák_-®_•PF(RRØ™+ž‰_-_›m_9__@--.ØÆ�›_ö_Ë‹“;D±ð_:Wg_Ãý™_Â_Œ�*Ö/�ã–á&¦l°_yïZú8ûj†_du_ÏÜ_”ÄqØÔº_‰_N�#__w-c$Éjæ–»`ðM¹Ô€j½•‰sº2__JÓmU5¢£‚@_š–É¢†m-�Ž¤ÕJh›²Í”_‹"¥Ž_ó§Aa5´d_bO9ö§]ê)n_�A_°¬KÆ3 B¹_Žj_ÒÔÑ&lÁ!G_À$_†¬ß^(„_$_Ž+_ÑîîìÚQ_àdÕ3=ÔÎU‡>•q-ÐsvFœ·Ë;_ÎM>Æ__À�óß_‘c¥Üɨƒó`ã�]_—(«†V_•3š_5̽CmÄÀÇ…ÇR*ül±Ûã œ_jI¼_Ñä´Œ3ÜQÿ__Óª_®äÍM³I@¥nᮈç9êkAl£’ey_ÊúÓ ÑZ__ä‘ÜÕÉ,· ÚHúT´Î~BHµHP„U_tϽVÔå_!(¤°ì)-ô±_Àg$û_è4ý"_ _p¸=N3T•ÍÔy‘ÌÙÝÏ4›eFsÉéQ¦Šðß_P‘žâ·oáŠÊá•@ __¨Äé!_¦=)½_œ,È_É_8 àw¨ãº�œ_8ô-&’&€*à1_i–_V]š5_gD!ur¼²’ _ƒëQ=¯ Ú_†#_±-_Ë/3_XÁ¥µÓYW2à_ÜÕ'r–†d>_‰�$_NzÑgᘠ�˜€_÷ÅmˆT_Žƒ°¨Ì£$(À§"A_�_Œù…Iô"™_�_¦ã_�žâ-B…åûÙ_ޮʪ"Ú _ê(Š¸Ó¹„öª²‚À_éW Òâ¸E%AÇ-Sñ_ÂÚ__íbzŠ³áë°¶a¥9$w¨”lÅ&_öñÛ)___ÕËjДÔ_HÎ_"º=No´K„ÉÎx¬»Í=¦`¸Ï#-TU·_M1t÷šHP„ˆÇÞ5Ÿ§K‰ŽÓœ_ÞÐìV=!ÒC’W_5Ÿ>ž _Öàd÷_MÙ ù_MtL¡H¥¹¸ò�aG4Ë[__çt€àv5bxL²ãhÇ¥b�ÉI’h³ïbH_5~îÑgŒn__«Cn-ã___ô¤šå”_¸€+Ogsx+_58< É__ô¨`’Ha__EY3ý¦p1¸zš~¤‹° `_J¨E#I+•ÖwT_˜’Ó㺠_äœzÕ_O½–åÁ-ÜRxrÖkˆñ&æ_SNLçkSNÂw½”¨$_SPB�.¸Q‰À_ëZÆÖ;XŽÒ7Ô"ÐC~f__F1QtÃ’å«»eŽ___îk.Õ–)�ƒÐw-;« ÖĹ__¥di· 5Ó÷_ÕÆ*ãiA_:v�×2y³_FxÍh_ÂË__8_¨¤‹Q[h___žõojÜZ’Ç’:VöH售̘5_ó|°N:qR¨1N__ç°«_ÚhI·0ëÞ¤Ô`û4dà_Ž¢’w_Krå½äkoû ô5FX’êBAÈô¬_½BxØ_2Àö5-¤3<!æ__J�‚r¾Ä·P ˆŒt¬;±ë__zs[·_³¡_œš¥ý’!F�áÞ-Ý¡ÁÛsE5øí°€�þj+ýA¯ €Ã__jæãY®/˜�v©ëWRrŽ_“‘D#r›æØÕ†5´‡� ïQÀ†îRÐ_@î*_”–öÐ$dçžsV4¤&Ô‰¹'Ö¯ •_cs;Y´¸’e_±àŒ‘é[¶,!Ó_“–
_©´Ë!,y÷«_s¡_”_ŽÔž…4‘VÜH÷™U`¹-¡_"Ç_‘Þ›¤É_—_FsÔŠ±p¥rA__â”]É”’1f´�µ_‡#=*® $„‘__ojÒšè Ž_4Gdo'W|àv=+[Ù_¹#._É£_Ì__¦³|EvÌјÁ%�#ÖºËë(’<__íXWÚj4€ç$v_à®G=Êö_#¶_®_Ž†-Ù_ï–$�J-³I(URqÚ´_Í ‹__š'$Ý�R¹_…c˜•ã_SW‡íH_Æ_-OwjñDÒ88_©ª0jBà²úqD_*¹œ¢‘"ݦ™h_H_8ǵQ›P–õLˆÅ_u¦jú|·ÍˆI_Ç"§Óôy_M1ÊH'øªe+�£cgáî�ý¹xUH_Ÿ¿ŠÛñ_‡ÎŸ(__‡|u¬ß‡_ü;;³’Fx&µµýU¯ ܱ?�¨Jì»ÜÍŸlVß0_¬»ÍQ|³_j3ëRj7�´©Î=k%�´á‰àv_²VB½‰¢•Ú@_’§±¢âдÀF éRyè__„U_�_¥¾ ‘)Ë_Œ_™+_ÝÍ«x_¥¾ì|ÀV^³4-ó&H_àVšH×_Œƒ†¨dŒ,¡e__†œQ¢‚‘�o§=ý°iT€zƒZ¾_xôèd�Ð_ôjY.VÒ_±�†¨_PÊJädw¬ä®Z�"Ð_°gÔLh8õ5²$hcVeÚ=k�Ó_eþùF_5½¨j_µŸÈÝ_AB�‰R_�v—6L®2qÖ¹û-_¤®ÙÜ '#Ò‘õ±"4q_Ì8ÅM Ë4ìÂpW9ÇÒ-;_7t8í¶V| _¹¬k«±�pÛ__ã5ÓÍ¥‰àuÉ_†3Y±øq-òUN=EKÔÅêq·ºQ—^@àà_wž•ØiöaÕ_F__ZçG_´‰$b_ÇZê|-¦Å<^a í_æ _lPM<Á‘·-Evæ×_¸_•©-ê6öŒÛ_‘ØW1¬j_l”yLOÒª÷EJV,ÜDg„¼C$ö_–V²__± ŸZ�Mv_C1Ç¡-™Ú+K_y_RG_¤•Ì¢ìÌ)¢6Ì_;ˆô-ÿ_ ;jQeAãµ`ÚÎ×—__eI<šì|/_z]©vÀF__õ2‹lèPæ!Õ¬w!pÕ_‡¤“Kvk’Ä_ð+Fòe¸rÑ_Š£v_gœ_W_[SU_+__<Æ-t‚_±sÈõ¦è~_ŽÚÜÌê__äÕ鼉'U“__©¨µ]^;!å+�§Ò´M2e_¡ŠÊ¬É__é‘QÜé‡ab2OzŠ7!é8<äÖžŸ_è_�ÀVsV3Q°ÿ___¶¶!Á_Zäµ›9_ÄÂRIQÆOÖº-CPŽ(H�å'°¬¹QnFò lô4¢®_v4ô¶_J‚21WÒÎ#_>__Ö±ôù6_¬H<õ«—_&8Š‚yì*Õ;”•ÊWÑïv_@ëXwñ<%ƒrOzÝ™_Ab:ŠÊž]Ó‘0üë*‘åfŠ(˱,·CÍ ‚zzVê___‡_öªrZÆdR¸Èô«rÛˆ-C_ϵBW5PL£&’²]«ð_ äÕŸ_êÌ–QÅ_d¢ã_L·”Ü¡*I+ëYw±I. ¸9Py_¢Ð›X-_¸7+$¹_#æ>™®Æ_Y4å-‚@éX—QªÛ¨#‘ƒš‚Mìñ_WãÐЕɒ‰¬×I’¥_=ª&–$�yh_5JÂ_µÄï»�ØÔk#ÉsÈÂŽôÜl(Ù—ïPI féïU4__º½“�@5nw_Û�§#_›£^=¦ â1’_JÂM£vÒE-JÍ-ny _J³f_xã½6ýšv_@rGJe¶A_@_¤]Îg&Ù¦Ë_FC(¦µÔ6¶ä‚__ª(¦S‘œ“T5…òÑŽp0y4ù‘º…Á<C_ÍÙHÀ-éV®à’HH ŒúÖ'‚ìDú¯ ›/1ärk®Ô_33_ÆTzT¸Ü%_TaXE_ŒZI_RÙçÜÕÛ_ïµL’T_µOÄ6Æö=�ä_9_ý_Ѭ-_šNA<š_±Ê÷:û"%AÀæ¢Ö¬�Z³°_ªZFª¢P¤ä_ZwÒ%Ü_1_>µJ)šÅžoª‰>ØþP;j§‡ôå‹Y/& ‘²G¥w7ÚL_„Ä¡‰êqXRé,—a¡__zŠÎnä[[�×Y‚ ¶____]Ðì_KF7L__~SQµ¸(¥ˆ$_¦£ûoÙÝT’2zT¥sFî‚êÄE&"_÷¬[�&Hõ´›_®Þ¢º»xRãi___§¬4v²¨ÀÎ@ÇZÞ™1…ÊSi_h]è>lu_µ›y¡O)&@Y+±²’ÔÛ¨Ü__ÔÛØ"_ü¤_z_DÒ"q»1,ÔØi»:_ØRCz-Ñ�Î@îjMV_1’¹__¢³-öÍdÊI$ädÖj �_£dñ_NÅ·_;Tw_ˈ˜‚ÅÔ®`Ò,�¤à�Ç_/‚m_V¸_Ì3‘ŸJN _^æ‹$ÒH_@À_楅€”(àžâ·µ‹tŽÔ_Q¸_¢¸«©fµÔY”’¤ô=©-H—º�ÿÔúÞ___'_çñ£ìâ"[ _CW¬c&VÜA_ =ª½ý¹3áN_ïv)JÄq9',__qPjÓ_‡1_˜zU™TE_ÛÔÕ[†__ã>Õº…ÅÊÅÓæÙ_,pHªšÝÁ�ªÄ2IäŽx©·d___J�Š£‚A&´ŒlG3E�2Ñb„4€_E, ,Ÿ)Èô¨ár___ØU¸c_ªã©©š¸¥ï"Üw«_¾__úÕ_›¥’lã;�7P˜Œ.8Ïju¥²JÃq__ó_¡__F¬„2‚_-[H’loäÓæEŽÜyd6=*¥…Ã<¤0?CM3TùY&ŽÍ0¼â¨_Ê.U—�[¸©çRÌES|î ö¦Øç+¡4ý$¾yϹ«)£«I‰_÷_5”€F_Œ_Zµ°ª_89¬Òm™Å¶ÊŒ_yLd_9¬-rÑ$”7ñgµn]¾ÒÄ_“Xw__»Ò…zs‘] ¨£e1Ú|®_¨Î_íVà»;[ ‚;š±§Ù,p_T_E#X‚ä©__ÕR©ÊV_É&X‚@©a»w$_œzT²"Ã____ô–ñ¨_A×½l¥bTù˜±Ê_A¸þuy_`†Êæ©O_�KzzVz^³ÎWq_v«R¾¦mØÛºÔWpQŽ=*8�_ÃÈÃ_†°îïÜJÂ0I_ê¤_ÄÓäFQýãCjDó_s±k”’2#Á_vª2:¬„__Ö¶¤ðpÀà÷©íä7_nÉÇ¡¬Ü
q¾Æµ¼Å£¼ƒP´k”_Xä_”äc_g¯ Ò¢:š«|Ä_éG%�SHl_-_!'#Ö¬Å_â__ƒÍcê:»´ø�I#Ò´tf–çh˜7#¥C’‰_´‘,°_“€_ô¤�öŒ&N=*[æò£ pEP±Ôã3:9_‡cU +_©]*¦__-XÓä_AÍejRùÒ2Ž_=jæ† uÁÀ_ë['chêm[¡_K/_¹ªò]ye‚çŽõ«_Ö‡__=k.`db àÔµqµb pÌI_&�)v8=)¿6ü_ ç¥$®ñc__ïSÊÂ:²ôN!__^_é"…_ð_¹«·šà�__úŠ›L³¸Š@Ó±#Ò¦�T_¶÷A_h_zÒ²_;»UY×nÖÉ_÷5:]¯ –__§SQ_»ŽpI_ºÆâTGŒ“Þ¬XE$HŒ_Ö ÔÜ4ª_`_:ÖÆ–D°À__¦¶”®´9œb¶+Cn÷__°$_ÄUø´1‚Å@ÇjÙÓ´ô1_`___õÊÂv…ïX«„bW´€F…@_©kó__ð_t](Á=ÅA#‰A_U8ßRåx�X[+ó€Hîjü7__*Ã_w¬øïE£‘· zSeÔ’Yr__Ô(ܘÎæ�ë‰-ØŽsÚ¹¯ ²„‘�²9<_èaq"ý_¬�B"Ó_@@_äR³CNÄVR_“h5»en›_b2GSG%›_‰Y‰ô«¶_Ä’(_åqØÖ‘ÓShJÊ榤_5Èäžâ²¥Fg_p_:ûTfÀ9 w&ª]jemɉrؤõ9êT»'w_x9"˜_Ë’µ_N‘æ!¤'žÆ¶4ûXØüÀsÜÔ·`ŒÑN×I__IË_ZгÓs___Žõb+tó6¦*s_�¤.Aõ¤äÒ6M4súñk0_Œò8¥Ó.|ër¤`·-;_F�¾UÍG¦ÀP_èM8JäÍÜ�iìÌ3žjÔ6I_ô_Jœâ_†ò8ïL†áÁ5M܈E¢µÓ˜å_z_ÕrÜ°�Y�Áô¬íA˜Ý§–@_ô-U•VÙ_P_;ÓŠ¸JV,,zc_8nzW3io<×m4¬H=_5µ,‹2”Ç_J-´á__G_¶+w_Ž_–ä6ì_�¸_=jwq¹T_G¨¨nì�³–L_zb¢Ò™î®±)8_�g$¢7EMš‡÷@_Ç>•b4w„_Á#-<iû�_àŽÆ¦„��__éš„uB’ŒL¹Õã;œôô©-[í16zûÔ—°�Ã_ECkr°>У_µ7$ÎzÎÄRi�3_€Aö«_6k`„¸_ØÔæýPü«�Uõðñ_„_#-5_˜ß˜¡ª__)GaMŠ_q_ê3PÛ�vN1ŽrÖÕ¥�e8ãŠÆk•šÓ5Í«C(_y«ÖR�³�à_Žô·¶Æ9rÃ$w¦EndÇ@=éÂW-»²�íÇ”äô=�7MÖ^+’¼œŽ¸â¦Ô-_œ(æ ‚ÈBÁ˜dúÖ© qº5>Ê“0l`š›ì@�”©Ç-U¶»/ _�¥i²_-_Áä_ƒ½7dbàQ`#È_qéYw1_›ì_#ž„Õû_£p§ŒŒ_¦t÷M__h#žÕܨÆìÕ³Ò__”Ì__ïÖ¢—0Mò_SÒ´¦u’Þ08 v¨$„2r Å8Æ殚+I&Ø‹_rEC_´Ç__Ôîª2_ð;Tp _�ƒ_ïT݉mCDJÐ7“‚rM_Ì!�_€G-]X_Û_�ŸZËÔƒC__ì:Ör‘_l¿_æW_`â ÖnDQ_ ÀÈæ©é_®ØÉ'_éÞ+¸&_Glr*bÝËæm_âcs/ÈN+Í?kýi¡ð(�OÊ"#_úšô-_õšE¤’zוþÙ°¼^_Þà�åŸækn~XŸ_Ũ?ë¡ñÞ‡jÒê_1 ‚ÍÇ^õõ¿ü_Z_/â|J__dãñ¯ “ü50[¹I] –ë__�Á5-Zo_4ª_+°îük̜Ԫ_)�Iºß×™úOâª` �•íYˆK_A$TúŒ�9ˆHIÀêÓ!AÈ#_Ö½Š_Ý?T¤ï_"ýáZšr_9ÁÏ-QHT°_½jiñíÀÇ_¸-[¹¢W.A__Á©ü¸_‘__*R�_'š"h•†m*œÓ__rN)ÛËät¦?Ë�zŸJ§¡.V+O(W rj_—I_Óî_ÞOcU™»_œÐ�ÌÍó`g'µ?_ _�‡nX_œÔ –À'&�-Å‘Ç’y_ôªSI“Ó_jq´`wªRœ±_éM+ƒw_Ê_sùš�£'_~u1S“ÍFÄ�ÅX–ìWžÛq_8>•_�°À_¥YÛ¹�$æ¦òÔ($PÁ;™sYç�8_µ_¶d®__©-ibR¿(Æj_n0zP•ÊNÆ#Ù_rHJ¥ui¸ò8-Éa_ˆÀÍT¹·Y´9JÈÄ›MY_ ãÖ©¾š2H_é[¦Øœã?QP‹ ÄäcÞ…__K³Ÿ¹°ÝŒ_ÒŸk¦®Â_FOµl�=K�·'Ö¦M56Œ�Ÿz™SLÞ)Zç<ÚI,p£_➺A__}+ 6J___N_z Î_>Õ›‚@åØÄ‹IU_¨çÒ’M_s|£_úÖôv*NJð*F±R§hǵ_Ü›œìºX‡_T_úsMþËÞ í_Ú·ÚÉAä_HÖJqÀ_µhjW2aÒC`àUë]$¨É_ñ«�Z(ÀÀâ¬Ç __‘IDvЧ_šÄ€_ǵZ[A___íW,â_NáŽzU¡f-��Í4¬%_ŠZ†Á_0´$pp_Yû(B1Š_21´~UqW)4ÊÂØž_>µ,pdã_>¤TðÂ1–_ÔÉ_Úp9¡- ’ HB�§_4_A’jÂÁ¹³žGjw—·Œf †´ KrF�JeÄE@àgÐUÕŒsŠd¨ _FO½_sX¨c_¹ljaØ_954ª__ôô_C_Ž@çÔÕ(è6î1-·__1íP´aI___ZºF85_±_’_sBˆ_E°ä㯠µ___Ç?…Y_r1ì)V0¹ÀëëZF B-N9_žôǶ_ä_2*Ø_À_׈_7~”]!X¤a_óŒÒ´G_hÏ__[û:œœtõ¤_¹À_“w_Ñ›5¡Æ__>µ^k]£_GÐV¥ÔE@ Š¥2õÏ'Þ•®R³FMŹ@HÀ_‚ªI_�Œ_�[_B__À_U_ ÀÆi6‰å³3gŒ¢__ŸjF€¸__V��F2_¨ÌA˜ñÓ҄ѯ 5Ñ›=¨R8_ûU+Û0øà�Ö
½Õ© rF*¤Ð�¤??ZRWG<ÝŒ[‹_ ÆsIeh_Q°gëVæN_îª]6Ü4Ã�ÉéX¸ÛqÂDonÜ`_¤[@pN+DÙ©ä_FÖ¤1Á_V–5æ [v___Ò-Xiæâ@HÀ_¤¶µ2__fµ4Û#_9_9éQ Ô¯ ¡¡¦Ø˜ã_Æ_i[ Rx_÷¦YD_@~…XT_ù_>µ¤]„âØÿ_,v4Ò˜ç_ëRì>ÔÖ__Þ®ÃJÅY $dæ«–_ô_úÕ™__d€j6µïž_pF%A$â¬Ú60z‘PÄ __�;U«x�Î8_µ$îÈd`G_Õ,*wÊ_2©œ_)ö£Í8<_IÆà—)n__ç<UÄ“å_U_ò�_CëSy¬ _ ¡E±Ê¢Š.o_3Œ_j‚F!†2~•%ª—b.›b㩪šï‹ô¯ _ÀϨO_”ä–5µ:2–Ç•ŠÇB’m±ÓÛÈß1à_Ƴõ_VËL]÷’¤`uÞÀWŠülýºto_$‹gq_d__¯ __|kÿ_‚‹ßk_SŦÍ#«‚_Fÿ_ë×¥K_—½#ã³>)§‡º‹Ôû¯ â7íC¡x&9_Ås‚_M|Çñ·þ&–ðLšDàã _Å|9ñ_ö‚Ö¼Q!iå˜ ÎA5ÃßxŠãPŒ›Æb[�*•éÐØø_o_N«vg³|Iý¶üCâiäKYä!É__zW˜j__u/_ÎÇV�ÊžÛ�s0j)g–™�sÜúTgT[¹�…³�Jòñ_ƒè|v38•yÚåýR8Yò_3žäæ _Gh_úõª¯ v_áOz–úÐ4`¡_ëÅy5±²—S_ªWZ_¼Ÿíxd_íõ¢Þá•@bAô5cHÓı�ÄdzÔÒiXp_r«Ï©]Ìô0y5|CÛA“_Ñ+t_¢�on___Å^�G2 V_ö5;hÿ_gˆ)__½L_gÞå)µtdÛéï3’ `_²-_#$�´ôëq_ €3ëPÜF<Â;zWC‡1ú&_…iÓJèm®Ö�___cR™bŠ2#<š‚m©_Ø_ÅSL¶H8Ç-T0×>ƒ“R£¥‹¬ÂL_TS&(˜_ü«2[öIH_⣒ø±_äÖ®��fž__Z#FM²©ù”_ØÕe¹ØHB_õ_KíM#cŸ¨§dÇ_1__u_¢¥Ì¬Št#_H÷€±_$ŠGÕ£0²œ‚+&mV4$î_ÖuçŠl¬‰ûD©ÏrjáAÇ ¤ÒV7Ƴ_�ÀãëU#¾ŽBK:€=Mqš×Å�#KÈ_ÄÇÐ_á5ÿ_ŽPIrÃN•J_ÑMtB…Ì,zî-¯ Ahø2£_¸V¬Oâ5¥½¹YX__ó^_ñvYfb_Û9ÁÍa_øæçXvR®€ÿ_zº£E&g_Ó=�Wø¿ol †E'Ð_×_ª|hkÛ¦XüÎ23Ž+ƒ_<³_r[>�©d‰mÁ8_¹5nQ�£ÔØ×<[�ª96²mQÓw_�_î¡ö¥k¹²¤ò__u½ÚÉ___õ¢P[_Î=j¶:(Ĺæ4²_ìH=Ï4Û��YTû_PC3)_œ�zšXÌà_™¬dùMœR!X_‰1*çЖ(Âå_÷_°[ý�È<û_¸ˆ’_6Œú×3�ÌêYìV@»þ`_¥¸°û^D'š±qf__1ƒíVl,Ä$_¡´µ_«¢’io_![‚_SD_'yÞsŽÕ-r¦^__Ó-ôÉ$qÁ_ïŠÒ_R.š³(ÆD_T.sÞ-'P_œžàUÅÐݘ_B_þ#WltÔ_†LⱫ2ç-°D__¸>„S͇˜w(È=ñWßN_ð__°«v¶Ê!QŒ‘Y)Ü唌Û=<Z‚ÅG=êkxþÓ)_N_¥kÿ_e__,__Ö�a__²_€sÅ)6Z�b½®”²FC®__RãGx·_�£Òº_Ê3��GjuÕ‰’ÜùhIö¡K•_ÓMîrúFŽ-1p_ç£V¹Ó–U___MÓôûˆfÛå;_zâ· ðü’*¶Ö_ö¬§]=Š›v)[hÄÄ<±�ëVbÑŒÃk�ÄVÄ_†Ò_¬2_«Z™¹B¨„_J•VÆ7ff“á(Ä�È$šØ]_P€__zÕÍ3Lž À’6Ã_˜é['IfäúÖŠ¯ 1sÆ_Z`V_¶+Fت2 Q¸÷ÅLºTª[_Ç_â¬h>_¸ººF•_m=_éPÒZ™Å_–¬ÉÊ�ŸZ‡LÒ$�Qó@Ï°®¾__4øWÔV¶‘àõÞ_AšÆ¥[h''_øvt1À__F®ƒÃr™î™_¤ž‚£O_¤2†@2+¬ð¯ †£µC"__¹®vÛÕ_ÆŸ6¶*èöR�Œ• r_vún�" `0õIá=_Ot&Fz×O¨iÉo*ˆTe»Ò˜M¨hRÑVv_�NWŒ�]_œóÎáXŒ_ÐqWü5¦Æö‡Ï@_;ÔztËÿ_ #C_d__ku#_”™#Úº ÜpOcI_�_ÁÌ„†ôÍmjZYš@bÀ_°¦Zif7_ù>µQ•‡(¤¬ixkÃ_4mÀþñ©õm_HwDÄ9þéÅ[ÒœÃ_Å$_U¯ (œ³_sëZsRM˜Ö:CÄ@›'_sM»Ð_÷ʸ_Žµª·Ñ_Â__ÏJµy:$JUH_-5_!-t¨Õ@__Ȫ:uˆº¹&@_'µ[µa¨a_@-_+ìä___½ .b+[4´™X_@õ_©>ºˆ‹å¨ôªwê!ˆ__#½Pk¥�_�èjåÅY_V7çS™‚œ�yÅZÔ§û_A@PHëYž__e#6__sš·¯ È' 2ã·_pŠZ²'+‘Å6å__ûš±°yy^£µA£Àg‹$c_½LÍ‡Ú _¢sMY1¹>�`o %H_µ[”__Â_ýEXÓeKxÂíä÷4—á%*r =…Bv5JÇ=ªÂòÈ_?•>[DµÓ÷î!ý*Ω_HÉ� Žõ^ÆÞKô>q,«Ú”�Çk•ôx[Qtiw._y8-»Æ[k|!__Á¨£šÞΈ 8ïUüϵ¶ÜpÖ*츽,BúàŠ@¤_ô«v÷âé_r ìi ðôrJ _ž¼Ô7ÖOcr®¹e_ íZ ”K¢Ý‘�Ç_ÔEy^3ØUËå–%_£‘Ip±¹_A ö-#_˜ÉÜ£m_™ '�VVbX_�”ªG_Tr;V-_�ÁÈ¡5_Z_<_o-ܪ
À_ƒÍ>Â__ÉAá‡aV!¿Žå‹Mƒ�Z–+¸Ë_�_=êšRÔn,©ilír¥²_©éZ±éÂg_pOµ+…Hw`]?PFbb!€î+6¬TbÒ%x¾É _�Š-_ŠÎ_t©®î_À®8=ê¼vnÎ___Z–®(Âå‡E_*F* ®__–_ûŠ²ÐlˆŒäÖuÍ£H8è=(P±¯ *‰,Wë3_Ž=i·î____žõœ_Á_�Lû[†Éö«‹_’f~�_¤¤°Î*AšP___Z¶_ZÂÅF_÷¨_#tÃ_çµ&¬_•‘_�†0e �CVì/VÖÝ„j»HÇ#š†ãI‘ Ä’[_‘|„__•/R#4È¡Ô^YØ( _Ú´-f_¶d_#Ö³í,ž97_8nõ©_¸H‹_2*R±Iܯ ¯ °]9¶c�y_— Ûó¹ˆç½hj,'¶`F__*®†›™”¡N+X«_V:_F_v__ zÖŬE ]Ä‚$_Æ>PIî*V”¤`r_íMÝœ;�É___E&¨MÖ_F__“LI27t"¥Óï!¼_ _ŒóïMJŧ¡˜ºXWË_qW¡E_ì£_�J£¬__G" I_…%-Ô-_»‚»‡C[F*Jä¥aóÆm²Pž_ts_ˆŒƒéR¾Ë›c–_ÇnõZ_Z_I_ž¦‡d[ˆ–öáKd_ý+?Q¶)x¬¤_8__§;È@F(ŽÌ]L¦Q�9Áö¦ô_bhi¶_`VaÁö¤Ôâó×h__éZ_Ü"Ù*_ÂÕ)¤Vä_ýjScç±Tèì–¤¡àö5RÒ6´p²0Ç-lý¤œ‚:v¬_É]ç8C´w_¢�÷_况op¶üÆsŸJ~»¬
BAB VI
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan dan penelitian yang diperoleh, mengenai konsep
etika guru dan murid dalam pandangan al-Ghazali, maka penulis mengambil
kesimpulan:
Al-Ghazali menyebutkan, ada 8 (delapan) etika yang harus dimiliki dan
diterapkan oleh guru, yakni:
1. Sayang kepada murid.
2. Meneladani Rasulullah.
3. Memberi petunjuk dan nasihat kepad murid.
4. Mencegah murid dari berbagai dekadensi moral.
5. Tidak menjelek-jelekkan ilmu lain.
6. Memperhatikan tingkat kemampuan murid.
7. Tidak membawa pengaruh-pengaruh jelek pada kejiwaan murid.
8. Mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
Sedangkan bagi seorang murid, al-Ghazali menyebutkan ada 10 (sepuluh)
etika yang harus dimiliki sekaligus diterapkan, berikut rinciannya:
1. Mensucikan hati dari sifat-sifat kehinaan.
2. Menyerahkan seluruh jiwa.
3. Tawadhu kepada guru.
4. Menjaga diri dari mendengarkan perselisihan.
5. Tidak meninggalkan suatu cabang ilmu terpuji.
6. Tidak menekuni semua cabang ilmu secara simultan.
7. Tidak menekuni suatu cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu yang
dipelajari sebelumnya.
8. Mengetahui penyebab semulia-mulianya ilmu.
9. Bertujuan untuk menghias dan mempercantik batin.
10. Mengetahui hubungan antara ilmu dan tujuannya.
B. SARAN
Berdasarkan pada kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran
atau rekomendasi sebagai berikut:
1. Kepada Guru
Selain menyampaikan ilmu, guru juga harus memberikan contoh
yang baik. Hal itu, dapat terlaksana dengan penekanan etika yang harus
dimiliki oleh guru ketika mengajar.
2. Kepada Murid
Selain mencari ilmu, murid juga harus melandasi dirinya dengan
etika yang harus diterapkan ketika belajar, karena demi terbentuknya
pribadi insan kamil yang bertaqwa dan berkualitas intelektual
3. Kepada Lembaga Pendidikan (Sekolah)
Lembaga pendidikan harus mengoptimalkan kinerja semua pihak
yang ada di lingkungannya. Dalam hal ini, jajaran pejabat sekolah
diharapkan berjalan serasi, seimbang dan dinamis. Sekolah harus dapat
memformulasikan sistem pendidikan dan pengajaran yang kondusif. Hal
ini ditujukan agar peserta didik memiliki kepribadian paripurna, baik
sebagai intelektual maupun sebagai pemeluk agama dan makhluk sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Abrasy, Muhammad Athiyah. At-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Falasifatuha, Kairo: Isa al-Babiy al-Halabiy, 1975.
Arif, Armai. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga
Pendidikan Islam Klasik, Bandung: Angkasa, 2004.
Arifin, H.M. Kaptita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Jakarta: Bumi Aksara, Ed. II, Cet. III, 1995.
__________, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 1991. Bakhtiar, Amsal. Tema-Tema Filsafat Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005. Bertens, K. Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993. Daradjat Zakiah, dkk. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 1995. Daryanto, M. Administrasi Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet. IV, 2006. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Djambek, Zain, M. O Anak, Jakarta: Tintamas, 1983. Djatnika, Rachmat. Sistem Ethika Islami ; Akhlak Mulia, Jakarta: Griya Grafis, 1992. Eva Y.N, dkk., Ensiklopedi Oxford; Dunia Islam Modern, Bandung: Mizan, 2001. Hanafi, A. Filsafat Islam, Bandung: Bulan Bintang, 1976. Hasan Sulaiman, Fathiyah, Al-Ghazali dan Plato; dalam Aspek Pendidikan (Suatu
Studi), Terj. oleh H.M. Mochtar Zoerni dan Baihaki Shafiuddin, Singapore: Pustaka Nasional PTE LTD Singapore, 1986.
Ihsan, Hamdani. Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1998. Imam Abu Hamid Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Ma’arif, Juz I.
__________, Kitab al-‘Ilm, terj. Muhammad al-Baqir, Ilmu dalam Pemahaman
Kaum Sufi, Bandung: Karisma, 2002.
__________, Fatihat al-Ulum, Terj. Ma’ruf Asrori, Buat Pecinta Ilmu, Surabaya: Pustaka Progressif, 2002.
__________, al-Munqid min al-Dlalal, Terj. Abdullah bin Nuh, Pembebas dari
Kesesatan, Jakarta: Tintamas, 1960. Jazerri, M. Pemikiran Ibnu Jamaah Tentang Akhlak Pendidik, dalam At-Tahrir:
Jurnal Pemikiran Islam Ponorogo: Vol. 6, No. 2, 2006. Langgulung, Hasan. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung:
PT. Al-Ma’arif, 1980. __________, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988. Majid, Abdul, dkk. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Bandung: PT.
Rosdakarya, Cet. 1, 2004. Madjidi, Busyairi, H. Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta:
Al-Amin Press, Cet. 1, 1997. Zainu, Muhammad bin Jamil, Nidaun ilal Murabbin wal Murabbiyat. Terj. Syarif
Hade Masyah dan Anwar Shaleh Hambali, Solusi Pendidikan Anak Masa
Kini, Jakarta: Mustaqiim, 2002. Nata, Abudin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2001a. _______, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru Murid, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2001b. Nasution, Harun. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992. Nizar, Samsul. Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001. Qardhawi, Yusuf, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra, Terj. dari Al-Imam Al-
Ghazali Baina Maadihihi wa naqidiihi oleh Hasan Abrori, Surabaya: Pustaka Progressif, 1996.
Samana, A. Profesionalisme Keguruan, Yogyakarta: Kanasius, 1994. Syadali, Ahmad dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Syaodih Sukmadinata, Nana. Perkembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung; Remaja Rosdakarya, 1997.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2001. Tebba, Sudirman. Etika dan Tasawuf Jawa; Untuk Meraih Ketenangan Jiwa,
Jakarta: Pustaka Irvan, 2007. Wiryokusumo, Iskandar dan Usman Mulyadi, Dasar-dasar Pengembangan
Kurikulum, Jakarta: Bina Aksara, 1988.
Nasution, Muhammad Yasir, Manusia Menurut Al-Ghazali, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. 1, 1996.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. HIdakarya Agung, 1990.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Pengajuan Judul Skripsi
Lampiran 2 : Permohonan Pembuatan Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 3 : Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 4 : Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Penguji
Lampiran 5 : Jadwal Ujian Munaqosah