Upload
others
View
24
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
KONSEP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
(STUDI KITAB TAFSIR TAHLILI CORAK ADABUL IJTIMA’I)
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Strata Satu (S.1) dalam Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama
Oleh :
DAHLIANA SUKMASARI
NIM. UT.160072
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
2020
i
Dr. D.I. Ansusa Putra Lc M.A
Drs. Djunaidi, M.P‹I.I Jaınbi 27 Maret 2020
Dr. D.I. Ansusa Putra, Le, M.A,M.IIum
Alamat :Fak Ushuluddin dan Studi Agama Kepada YTH UIN STS Jambi Jl. Raya Jambi-Ma. Bulian Bapak Dekan
Simp. Sungai Duren Fak. USA
Muaro Jambi UIN STS Jambi
Di
Jambi
NOTA DINAS
Assalâom 'alnikıını WR. fYIl
Setelah ıneınbaca dan ınengadakan perbaikan sesuai dengan persyaratan yang berlaku di Fakultas Ushuluddin UIN STS Jambi, maka kami berpendapat bahwa skripsi saudari Dahliana Sukmasari dengan judul “Knıısep Kesejahteraan Masyarakat dnlam
Perspektif Al-Qıır’aıı (Studi Kitab Tafsir Talılili Curak Adabull 1jtiuuı’ı” telah dapat diajukan untuk diınunaqashalıkan sebagai salah satu syarat untuk mcmperolclı gelar Saıjana Strata Satu (S.I) Jurusan Ilınu Al-Qur‟an dan Tafsir pada Fakultas Uslıuluddin dan Studi Agama UIN STS Jaıııbi.
Demikianlah yang dapat kami saınpaİkan kepada Bapak/lbu, scrrıoga bermanfaat bagi kepentingan agama, nusa dan bangsa.
Wassalam
Pembiınbing II
NIP. 1986 l2l520ll0l 1004
Pem )mbing I
i. M.Pd.I
NIP. 195605
ii
iii
iv
MOTTO
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah
orang-orang yang beruntung.”
v
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirobbil „alamin
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat kesehatan
sehingga saya dapat menyelesaikan skipsi ini guna memperoleh Gelar Sarjana Strata
1 (S1) shalawat besertakan salam tidak lupa pula kita doakan kepada Allah semoga
disampaikan-Nya kepada nabi Muhammad SAW
Akhirnya sebuah perjalanan berhasil kutempuh Walau terkadang aku tersandung dan
terjatuh Namun keyakinan tak pernah rapuh berkat doa dan usaha
Ayahanda (Partahian)..
Kini study ku telah selesai berkat doa dan restumu dalam hidupku besar harapan
anakmu ini mentjadi kebanggaanmu semoga ananda dapat mewujudkan segera
mungkin apa yang diinginkan..aamiin.
Ibunda (Nur arbamma)..
Lelah menanti keberhasilanku, doamu membuat aku semangat kasih sayangmu
menjadikan aku tegar hingga mendapatkan hidup dengan penuh kesabaran, Walaupun
beragam cobaan yang menghalangi. Ibunda tiada lagi yang kuinginkan di dunia ini
selain terus berdoa dan berusaha tuk selalu membahagiakanmu.
Ku Persembahkan karya kecil ku ini
sebagai bukti cinta dan hormat dan kasih sayang kepada ayahanda dan ibunda tercinta
yang telah bersusah payah demi tercapainya cita-cita dan keberhasilan
Saudara-saudaraku terbaik yang telah mengisi hari dengan canda tawa dan senyum
terindah yang pernah kumiliki, dan
tanpamu teman aku tak akan pernah berarti, tanpamu teman aku bukan siapa-siapa,
terimakasih ku ucapkan kepada teman-teman keluarga besar Ushuluddin terkususnya
teman-teman di Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, ,juga kepada semua-semua orang yang
telah menyemangati saya yang banyak membantu dalam segi materil dan moril.
vi
ABSTRAK
Nama : Dahliana Sukmasari
Nim : UT-160072
Judul : Konsep Kesejahteraan Masyarakat dalam Perspektif Al-Qur’an (Studi
Kitab Tafsir Tahlili Corak Adabul Ijtima’i)
Penelitian ini dilatar belakangi oleh realitas yang memprihatinkan dan
memerlukan perhahian yaitu cara pandang masyarakat terhadap pencapaian
kesejahteraan yang terlalu materialistik. Hal ini mendorong penulis untuk
menganalisis kembali konsep kesejahteraan masyarakat yang termuat dalam Al-
Qur‟an yang dijabarkan oleh para mufassirin melalui tulisan-tulisannya. khususnya
pada kitab tafsir tahlili corak adabul ijtima‟I karya M. Quraish Shihab, Ahmad
Musthafa Al-Maraghi dan Buya Hamka.
Pendekatan penelitian yang penulis gunakan adalah (library research) dalam
teknis deskriptif kualitatif eksploratif dengan menekankan pada sumber tertulis
terutama karya tafsir M. Quraish Shihab, Ahmad Musthafa Al-Maraghi dan Buya
Hamka (Tafsir Al-Mishbah, Tafsir Al-Maraghi dan Tafsir Al-Azhar). dalam
pengumpulan data peneliti menggunakan teknik penelusuran yakni menelusuri kata
kesejahteraan masyarakat yang terdapat dalam buku-buku perpustakaan, jurnal-jurnal
maupun web-site.
Hasilnya penulis menemukan bahwa hakikat kesejahteraan itu dapat diperoleh
apabila masyarakat terbebas dari jeratan kekufuran, kemiskinan, kebodohan dan rasa
takut. dan hal ini didapatkan apabila masyarakat memperkukuh keimanan dan ridak
mencampurkannya dengan segala bentuk kezhaliman lalu kemudian direalisasikan
melalui amal saleh atau amal kebajikan.. Akhirnya penulis merekomendasikan
kepada umat Islam untuk dapat menambah keimanan dengan cara lebih mengenal
Allah sehingga dapat menarik perhatian-Nya untuk memberikan anugrah
kesejahterann.
vii
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر الر بسم الله
له ة والسلام على خير الأنام وعلى االحمد لله الذي علم بالقلم علم الإنسان مالم يعلم , الصلا وأصحابه اولى الكرام "اما بعد"
Puji syukur kehadirat Allah swt. berkat rahmat hidayah serta inayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada nabi Muhammad saw. beserta keluarga, sahabatnya dan para
pengikut setianya.
Adapun tujuan penyusunan skripsi ini, untuk memenuhi persyaratan
penyelesaian pendidikan pada program strata satu jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir
pada Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi Tahun 2019/2020.
Dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis menyadari banyak pihak yang telah ikut
berpartisipasi secara aktif maupun pasif dalam membantu proses penyelesaian skripsi
ini. Oleh karena itu, penulis merasa sangat perlu menyampaikan ucapan terima kasih
kepada pihak yang membantu, baik yang telah membimbing, mengarahkan,
memberikan petunjuk maupun yang senantiasa memotivasi.
1. Ayahanda Partahian Siregar dan ibunda Nur Arbamma Nasution sebagai
orang tua penulis yang telah berjuang merawat, membesarkan serta mencari
nafkah sehingga penulis dapat sampai pada tahap akhir perkuliahan. Tiada
kata-kata yang layak penulis berikan untuk mengemukakan penghargaan atas
jasa beliau. Tanpa doa yang ditujukan kepada penulis, penulis tidak mampu
menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini, penulis hanya dapat mendoakan
semoga beliau berdua senantiasa mendapatkan berkah, rahmat dari sisi Allah
swt. Dan tidak lupa pula kepada abang tersayang Aris Apriyanto SH dan
keluarga besar penulis yang senantiasa memberikan bantuannya, baik moril
maupun materil sehingga proses pembelajaran selama di bangku kuliah dapat
berjalan lancar.
2. Bapak Prof. Dr. H. Suaidi Asy‟ari, MA.,Ph.D selaku Rektor UIN STS Jambi
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di
kampus ini.
3. Ibu Dr. Rofiqoh Ferawati, SE.,M.EI, Bapak Dr As‟ad Isma, M.Pd. Bapak
Bahrul Ulum, S, Ag.,MA. Selaku Wakil Rektor I, II, dan III Universitas Islam
Negeri Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
4. Bapak Dr. Abdul Halim, S,Ag., M.Ag Dekan Fakultas Ushuluddin, dan Studi
Agama, Bapak Dr. Masiyan, M,Ag, Dr. Bapak Edy Kusnadi, S.Ag., M.Phil,
dan Bapak Dr. M. Ied Al Munir, S.Ag., M.Ag., M.Hum, selaku wakil Dekan
I, II dan III yang senantiasa membimbing penulis selama menempuh
perkuliahan.
5. Ibu Ermawati, S.Ag., M.Ag dan bapak Bambang Husni Nugroho, S.Th., I.
M.H.I selaku ketua juru san Ilmu Hadis dan ketua Ilmu Al-Qur‟an bersama
viii
sekertarisnya atas segala ilmu, petunjuk dan arahannya selama menempuh
jenjang perkuliahan di Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama.
6. Bapak Drs. Djunaidi, M.Pd.I dan bapak Dr. D.I. Ansusa Putra, Lc, M.A. M.
Hum. selaku pembimbing I dan pembimbing II penulis yang dengan ikhlas
meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan arahan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi sejak awal hingga akhir.
7. Seluruh dosen di lingkungan Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS
Jambi yang telah berjasa mengajar dan mendidik penulis selama menjadi
mahasiswa di UIN STS Jambi serta Staf Akademik yang dengan sabarnya
melayani penulis dalam menyelesaikan prosedur akademik yang harus dijalani
hingga ke tahap penyelesaian.
8. Bapak dan ibu kepala perpustakaan UIN STS Jambi beserta staf-stafnya yang
telah menyediakan referensi yang dibutuhkan dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Saudara-saudara seperjuangan, Mahasiswa Ilmu Al-Qur‟an dan Tafir Khusus
teman-teman seangkatan yang senantiasa memotivasi, memberikan kritik dan
semangat kepada penulis dan senantiasa menemani penulis baik dalam
keadaan suka maupun duka.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak
sempat disebutkan namanya satu persatu, semoga bantuan yang telah diberikan
bernilai ibadah di sisi Allah swt. dan semoga Allah swt. senantiasa meridai semua
amal usaha yang peneliti telah laksanakan dengan penuh kesungguhan serta
keikhlasan.
Pada kenyataanya walaupun menerima banyak bantuan dari berbagai pihak,
pada dasarnya yang bertanggung jawab terhadap tulisan ini adalah penulis sendiri.
Terakhir harus penulis sampaikan kepada mereka yang membaca dan berkenan
memberi saran, kritik atau bahkan koreksi terhadap kekurangan dan kesalahan yang
pasti masih terdapat dalam skripsi ini. Semoga dengan saran dan kritik tersebut.
Skripsi ini dapat diterima dikalangan pembaca yang lebih luas lagi di masa yang akan
datang. Semoga tulisan yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi pembaca
Jambi, Maret 2020
Penulis
Dahliana Sukmasari
NIM.UT.160072
ix
DAFTAR ISI
NOTA DINAS ................................................................ Error! Bookmark not defined.
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ........................................... iii
PENGESAHAN ............................................................. Error! Bookmark not defined.
MOTTO ..................................................................................................................... iv
PERSEMBAHAN ....................................................................................................... v
ABSTRAK ................................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 8
C. Batasan Masalah................................................................................................ 8
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...................................................................... 9
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................................... 9
F. Metode penelitian ............................................................................................ 11
G. Metode Pengumpulan Data ............................................................................. 14
H. Metode Analisis Data ...................................................................................... 14
I. Sistematika Laporan Penelitian ....................................................................... 15
BAB II KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DALAM AL-QUR’AN ............ 17
A. Pengertian Kesejahteraan Masyarakat ............................................................ 17
B. Kesejahteraan Menurut Para Pakar ................................................................. 18
1. Pendapat Sastrawan ..................................................................................... 18
2. Pendapat Aristoteles .................................................................................... 18
3. Pendapat Ahli Pikir Zaman Sekarang.......................................................... 19
4. Menurut Al-Ghazali .................................................................................... 21
5. Menurut Hamka Berdasarkan Hadis Nabi ................................................... 22
C. Kesejahteraan dalam Al-Qur‟an ...................................................................... 23
BAB III AYAT DAN TAFSIRAN TENTANG KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT ....................................................................................................... 37
A. Tafsir Al-Maraghi ........................................................................................... 37
1. Q.S Al-An`ām ayat 82 ................................................................................. 37
2. QS. Al-A‟raf ayat 96 ................................................................................... 38
3. QS. An-Nūr 55 ............................................................................................ 40
B. Tafsir Al-Mishbah ........................................................................................... 43
1. QS Al-An‟am 82 ......................................................................................... 43
2. QS al-A‟raf 96 ............................................................................................. 46
3. QS. An-Nūr 55 ............................................................................................ 51
C. Tafsir Al-Azhar ............................................................................................... 57
1. QS. Al-An‟am 82 ........................................................................................ 57
2. QS al-A‟raf 96 ............................................................................................. 58
x
3. QS An-Nūr 55 ............................................................................................. 61
BAB IV ANALISIS KITAB TAFSIR TAHLILI TENTANG
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DALAM QS AL-AN’AM 82, AL-A’RAF
96, DAN AN-NŪR 55. .............................................................................................. 64
A. Hakikat Kesejahteraan Masyarakat ................................................................. 64
1. Beriman dan tidak Dzalim ........................................................................... 64
2. Mengerjakan Amal Saleh ............................................................................ 67
B. Indikator Kesejahteraan Masyarakat dalam Al-Qur‟an .................................. 69
1. Beriman kepada Allah ................................................................................. 72
2. Memiliki Harta (Kekayaan) ......................................................................... 73
3. Hidup Seimbangan ...................................................................................... 74
4. Berilmu dan Bekerja .................................................................................... 75
BAB V PENUTUP .................................................................................................... 77
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 77
B. Saran ................................................................................................................ 78
Daftar Pustaka .......................................................................................................... 79
CURRICULUM VITAE .......................................................................................... 83
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Alfabet
Arab Indonesia Arab Indonesia
ṭ ط ‟ ا
ẓ ظ b ب
„ ع t خ
gh غ th ز
f ف j ج
q ق ḥ ح
k ن kh ر
l ي d د
dz m ذ
r n ز
z h ش
w و s ض
‟ ء sh ش
ṣ y ص
ḍ ض
B. Vokal dan Harkat
Arab Indonesia Arab Indonesia Arab Indonesia
ȋ ا Ā آ A ا
Aw ا و ȋ ا I ا
Ai ا Ū ا و U ا
C. Tā’ marbūṭah
Transliterasi untuk Tā‟ marbūṭah ini ada dua macam
1. Tā‟ marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun maka
transliterasinya adalah h.
Arab Indonesia
ḥilmah دىح
Jaziyah جصح
xii
2. Tā‟ marbūṭah hidup atau yang mendapat harakat fathah, kasrah dan dammah,
maka transliterasinya adalah t.
Arab Indonesia
Wizārat al-Tarbiyah وشازجارستح
Mir‟ātu al-zaman ساجاص
3. Tā‟ marbūṭah yang berharakat tanwin makan transliterasinya adalah
tan/tin/tun.
Arab Indonesia
فجعح
D. Daftar Singkatan
Beberapa singkatan yang dibakukan adalah:
Swt. = subḥanahu wa ta„ala
Saw. = sallallāhu „alaihi wa sallam
As. = „alaihi al - salām
Cet. = Cetakan
Vol = Volume
Jil + Jilid
H = Hijriah
M = Masehi
SM = Sebelum Masehi
QS. ……: 4 = QS. al-Baqarah 2: 4 atau QS. Ali „Imran 3: 4
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan yang didambakan oleh semua manusia di dunia ini adalah
kesejahteraan baik tinggal di kota maupun yang di desa, Sejahtera lahir dan bathin.1
Kesejahteraan adalah sebuah tata kehidupan sosial, material maupun spiritual yang
diikuti dengan rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman diri, setiap warga negara
dapat melakukan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang
sebaik-baiknya bagi diri sendiri, rumah tangga, serta masyarakat dengan menjunjung
tinggi hak-hak asasi. Kesejahteraan menurut Badan Pusat Statistik (2007) adalah
suatu kondisi dimana seluruh kebutuhan jasmani dan rohani dari rumah tangga
tersebut dapat dipenuhi sesuai dengan tingkat hidup.2
Manusia adalah makhluk yang hidup dalam keberadaan makhluk lain, dan
hidup berdampingan dengan sesamanya. Ia selama hidup di dunia sejak lahir sampai
mati, memang tidak bisa lepas dari manusia lainnya. Karena itu manusia adalah
makhluk individu sekaligus makhluk sosial (yang bermasyarakat)3
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
1 Ical, ”Indikator Kesejahteraan”, Diakses melalui alamat http://www.kompasiana.com/icai/5
4ff1feda3331e4550f95f/indikator-kesejahteraan. Tanggal 09 nov 2019 2 Berita Resmi BPS 2007
3 Kaelany, Islam & Aspek-Aspek Kemasyarakatan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), 157.
2
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurāt
49; 13)4
Meskipin manusia diciptakan dalam beribu-ribu tabiat dan selera dalam
keindividuan dan pribadi, namun ia difitrahkan untuk hidup bermasyarakat. Adalah di
luar jangkauan kemampuan manusia untuk hidup sendiri-sendiri. Para peneliti
menemukan, bahwa siksaan yang paling mencekam bagi manusia adalah
terkurungnya ia dalam penjara kesendirian. Demikian itu karena setiap individu pada
dasarnya sangat banyak tergantung pada nilai-nilai kemanusiaan dan keberadaanya
dalam kelompok.5
Selain itu manusia juga membutuhkan lembaga atau institusi yang
memfasilitasi, melindungi dan mengatur berbagai norma-norma dan aturan-aturan
yang memudahkan bagi mereka untuk memenuhi kebutuhannya, dalam istilah
modern lembaga tersebut dikenal dengan “Pemerintah”, Para pencetus kemerdekaan
bangsa Indonesia telah merumuskan kesejahteraan sebagai tujuan bangsa dalam
batang tubuh UUD 1945 dan telah menjabarkannya dalam bab perekonomian
nasional dan kesejahteraan sosial dalam pasal 33 UUD 1945 dengan menegaskan
bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, sayangnya
harapan dan cita-cita tersebut masih jauh dari kenyataan.6
Kesejahteraan di Indonesia dilaksanakan dengan filosofi‚ kesejahteraan adalah
hak bagi setiap warga negara atau welfare of all. Atas dasar filosofi tersebut, maka
fakir miskin sebagai warga negara Indonesia berhak atas kesejahteraan sebagaimana
warga negara Indonesia pada umumnya. Mereka memiliki hak untuk hidup sejahtera,
yang ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial untuk
4 Kementerian Agama RI, Al - Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta: Al-Hadi Media Kreasi,
2015), 517 5 Kaelany, Islam & Aspek-Aspek Kemasyarakatan, 157
6 Amiruddin Sodiq, “Konsep Kesejahteraan Dalam Islam”, Jurnal STAIN Kudus Equilibrium
Vol. 3 No. 2 (2015) 382
3
dapat hidup secara layak dan mampu mengembangkan diri, serta mampu
melaksanakan fungsi sosialnya.7
Kesejahteraan hidup seseorang pada realitanya memiliki banyak indikator yang
dapat diukur. Pengukuran tingkat kesejahteraan seseorang juga sering mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1980-an terjadi perubahan dimana
kesejahteraan diukur dari income, tenaga kerja dan hak-hak sipil. Pada tahun 1990-an
terjadi perubahan lagi, Mahbub Ul-Haq merumuskan ukuran kesejahteraan dengan
Human Development Index (HDI). Dengan HDI, kesejahteraan tidak lagi ditekankan
pada aspek ekonomi saja, tetapi juga pada aspek kualitas sosial individu. HDI
merupakan gabungan dari tiga komponen, yaitu indeks harapan hidup, indeks
pendidikan, dan indeks pendapatan per kapita.8
Di antara aspek yang sering digunakan sebagai indikator ukuran kesejahteraan
adalah pendapatan, populasi, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, konsumsi,
perumahan, dan sosial budaya. Jika kita menggunakan indikator tersebut, maka akan
timbul pertanyaan apakah pemenuhan indikator tersebut menjamin seseorang
mendapatkan kesejahteraan?. Apabila iya, mengapa beberapa orang sudah memiliki
rumah mewah, kendaraan, deposito dan berbagai bentuk properti lainnya harus
merasa gelisah, takut, bahkan ada yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Berdasarkan fakta di atas, tampaknya ada yang kurang dalam mengukur
kesejahteraan masyarakat.
Dalam ekonomi Islam, kebahagiaan diberikan oleh Allah kepada siapapun (pria
dan wanita) yang ingin melakukan perbuatan baik bersama dengan iman kepada
Allah. Seperti yang disebutkan oleh Allah dalam Surat An-Nahl 97 sedangkan tiga
indikator untuk mengukur kesejahteraan dan kebahagiaan dalam Islam adalah tauhid,
konsumsi, dan hilangnya segala bentuk ketakutan dan kecemasan. Hal itu seperti
7 Widia Amelia,”Kesejahteraan Sosial dalam Persfektif Al-Qur‟an”, Skripsi (Makassar:
Program Strata 1 UIN Alauddin Makassar 2018). 4 8 Ziauddin Sardar, “Kesejahteraan dalam Perspektifislam Pada karyawan BANK Syariah”
Jurnal Ekonomi SyariahTeori danTerapan Vol.3No. 5 (2016) 394
4
yang disebutkan Konsep Kesejahteraan dalam Islam Allah dalam Q.S Quraisy 3-
4.10.9
Dari perbedaan pemahaman tolak ukur kesejahteraan tersebut, baik itu dari
kerangka berpikir material, spiritual dan pelaku ekonomi konvensional. Dalam Islam
memiliki ukuran kesejahteraan yang berbeda. Ini bisa dipahami dari ayat Al-Qur‟an
yang menjelaskan tentang kesejahteraan salah satunya ialah QS Al-An‟am 82,
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka
itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al-An‟am 6: 82)10
Al-Qur`an menggunakan beberapa istilah yang berarti kesejahteraan
masyarakat. Di antara istilah-istilah itu ada yang cakupan maknanya sudah jelas dan
lugas dan ada yang masih membutuhkan interpretasi. Secara kategoris istilah tafsir
dapat dibedakan menjadi dua yaitu: Pertama, tafsir sebagai produk, ia merupakan
hasil dialektika seorang mufassir dengan teks dan konteks baik secara lengkap 30 juz,
maupun yang hanya sebagian ayat Al-Qur‟an. Kedua, tafsir sebagai proses, ia
merupakan aktifitas berpikir untuk menafsirkan objek (dalam hal ini teks Al-Qur‟an
dan realitas). Sebagai proses, maka ia bersifat dinamis untuk selalu „menghidupkan‟
teks secara terus-menerus dan tidak pernah mengenal titik henti. Hal ini
sesungguhnya merupakan konsekuwensi logis dari keinginan seorang mufassir untuk
mendialogkan teks Al-Qur‟an yang statis, dengan konteks yang selalu dinamis. Tafsir
sesungguhnya bersifat dinamis dan merupakan proses yang tak pernah mengenal titik
9 Asep Hilmi, “Konsep Hidup Sejahtera Perspektif Al-Qur‟an (Studi Komparatif Penafsiran M.
Quraish Shihab Dan Hamka)” Skripsi (Jakarta: Program Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2018). 8 10
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an, dan Terjemah, 138
5
henti, terbukti secara historis kaum muslimin telah melakukan kajian tafsir, sejak
Nabi Muhammad SAW, para sahabat, tabi‟in dan bahkan hingga sekarang ini.11
Sketsa penafsiran yang digambarkan Abdul Mustaqim, Ia mengklasifikasi
perkembangan metodologi tafsir menjadi tiga era, tafsir era formatif dengan nalar
quasi-kritis, tafsir era afirmatif dengan nalar ideologis dan tafsir era reformatif
dengan nalar kritis.12
Pertama, era formatif yang berbasis pada nalar quasi-kritis. Artinya, hasil
penafsiran masih diterima begitu saja sebagai kebenaran tanpa ada kritisisme di
dalamnya.13
Pergeseran episteme berikutnya adalah di era afirmatif penafsiran di era
ini lebih didominasi oleh kepentingan-kepentingan idiologi tertentu, sehingga Al-
Qur‟an seringkali diperlakukan hanya sebagai legitimasi idiologis, teologis atau
madzab tertentu. Posisi Al-Qur‟an di sini cenderung sebagai obyek, sedangkan
realitas dan mufassirnya sebagai subyek. Akibatnya sering terjadi pemaksaan gagasan
non qur‟ani dalam penafsiran Al-Qur‟an.14
Era reformatif ditandai dengan cara
berpikir kritis dan transformatif. Artinya, hasil penafsiran yang ada sudah mulai
dikritisi dengan nalar ilmiah, dan tafsir dibangun untuk kepentingan transformasi
umat. Di era reformatif yang berbasis pada nalar kritis, posisi Al-Qur‟an, realitas dan
mufassir menjadi objek subjek sekaligus.15
Akibat adanya pergeseran epistemolog tafsir tersebut menjadikan kata (ظلم)
zulum pada ayat di atas tidak lagi ditafsirkan dengan pendekatan teologi saja yaitu
“syirik” yang berarti kekal di neraka. Tetapi, dengan berkembangnya periode
penafsiran dan konsekuensi logis dari diktum yang dianut oleh umat Islam bahwa
Al-Qur‟an itu shalihun li kulli zaman wa makan16
kata (ظلم) zulum mengalami
pengembangan penafsiran yaitu dengan munculnya pendekatan adabul ijtima‟I/sosial
11
M.Jamil, “Pergeseran Epistemologi dalam Tradisi Penafsiran Al-Qur‟an” Jurnal Ilmiah Abdi
Ilmu, Vol. 4 No.1 Juni (2011) 1 12
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS, 2009), 31 13
M.Jamil, “Pergeseran Epistemologi alam Tradisi Penafsiran Al-Qur‟an”, 470 14
Ibid. , 475 15
Ibid. , 479 16
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir , (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003) Kata Pengantar xi
6
menafsirkan kata (ظلم) dzulum dengan perbuatan dosa yang dapat merugikan orang
lain. Tidak hanya itu Dalam sebuah jurnal bapak Dr. D.I. Ansusa Putra di jelaskan
bahwa dalam kisah Musa kata zalim disamakan juga dengan kata ketidak tahuan
(jahiliyyah)17
bahkan tirani.18
Pada ayat di atas kata al-amnu adalah konotasi dari kata sejahtera, dalam kamus
lengkap al-Fikr dimuat bahwa makna kata sejahtera dalam bahasa Arab adalah al-
amnu atau as-salāmu.19
Juga dalam kamus kontomporer Arab Indonesia amnu,
thuma‟ninah dan salām, berarti ketentraman, ketenangan, kedamaian.20
Jika kata zulum pada ayat ini dipahami dalam arti syirik, maka keamanan yang
dimaksud adalah kemanan dari siksa duniawi yang memunahkan orang-orang
durhaka dan dari siksa akhirat yaitu kekekalan di neraka. Jika kata zulum dipahami
dalam segala macam dosa, maka tentu saja keamanan yang dimaksud adalah
kesejahteraan hidup duniawi dan keberkahannya serta kabahagiaan akhirat dengan
peringkat sangat tinggi di akhirat nanti.21
Jika mereka tidak mencampur iman dengan
kezaliman secara mutlak, baik itu syirik dan kemaksiatan, maka mereka mendapatkan
rasa aman dan hidayah yang sempurna.22
17
Kata jâhilîyah berasal dari ja-ha-la yang mengandung arti lawan kata „ilm; kasar tabiatnya;
bersikap tidak ramah; berpaling dari/menjauh (jafâ); dungu; tolol; bodoh; naik darah (hamuqa).
Sinonim dari kata jahala adalah al-khiffah (kekurangan berfikir) atau istakhaffah (meremehkan;
menganggap ringan), fasakha (bodoh; lemah akalnya), dafuta (bodoh; dungu), safaha (merendahkan;
bodoh; tolol; jelek akhlaknya), ghalaza (kasar dalam perangai). Sedangkan antonimnya adalah al-„ilm
(pengetahuan); „alima (mengetahui); jâmalah (bersikap baik dan ramah); al-tuma‟nînah (ketenangan);
al-ma„rifah (pengetahuan); al-jusum (perkara-perkara besar). Lihat Luthviyah Romziana, Pandangan
Al-Qur‟an Tentang Makna Jâhilîyah Perspektif Semantik, Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis Volume 4,
Nomor 1, Juni (2014.) 113 18
Fir'aun adalah raja tirani yang terkenal di zamannya. Lihat D.I. Ansusa Putra, “New Concept
Of Ignorance: Epiatemological Approach To The Story Of Moses As Relevant Reference For
Contemporary Ulama”, Journal of Islam & Social Studies, Vol. 5, No 2 (2019). 118. 19
Achmad Sunarto, Kamus Lengkap Al-Fikr, (Surabaya: Halaim Jaya, 2002) 176. 20
Atabik Ali a. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Cet ke 9 (Yogyakarta:
Multi Karya Grafika, 1996) 225 21
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, volume 4, cet 3 (Jakarta: Lentera Hati, Jakarta, 2005)
173 22
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‟di, Tafsir Al-Qur‟an , Cet ke-VI (Jakarta, Darul Haq:
2016) 484
7
Ayat ini menjelaskan rasa aman sentosa dapat terwujud ketika seseorang benar-
benar beriman dan bertaqwa lalu menjaga diri dari segala bentuk kezaliman (yang
sudah dijelaskan maksudnya diatas). Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur
pertama dan utama dari kesejahteraan. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan dapat
meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Masyarakat sejahtera atas dasar iman dan
taqwa, menjadi tujuan akhir dalam kehidupan manusia di dunia ini.
Sebagai orang Islam, adanya pandangan yang berbeda dengan orang-orang
yang berpegang pada ekonomi konvensional dalam hal kesejahteraan adalah suatu hal
yang lazim, karena itu sangatlah menarik untuk membahas dan mengkaji konsep
kesejahteraan dalam Islam, Berkanaan dengan hal tersebut, tulisan ini akan mencoba
menjelaskan tentang kesejahteraan hidup di dunia melalui pendekatan studi kitab
tafsir tahlili bercorak adabul ijtima‟i, dengan judul “Konsep Kesejahteraan
Masyarakat Dalam Perspektif Al-Qur’an: Studi Kitab Tafsir Tahlili Corak
Adabul Ijtima’i”.
8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana dijelaskan di muka,
maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini sebagai berikut.
1. Apakah hakikat kesejahteraan masyarakat berdasarkan tafsiran QS. Al-An‟am
82, al-A‟raf 96 dan an-Nūr 55?
2. Apa saja indikator kesejahteraan masyarakat berdasarkan tafsiran QS. Al-
An‟am 82, al-A‟raf 96 dan an-Nūr 55?
C. Batasan Masalah
Mengingat luasnya definisi kesejahteraan dan banyaknya ayat-ayat Al-
Qur`an yang berkaitan, maka bahasan kesejahteraan akan dibatasi “lebih kepada
aspek keimanan”. Demikian pula ayat-ayat Al-Qur`an yang terkait secara langsung
dengan konsep kesejahteraan dibatasi pada iman dan taqwa, sebagai titik tolak
penafsiran. Dengan demikian maka tidak keliru memposisikan QS al-An‟am 82,, al-
A‟raf ayat 96 dan an-Nūr 55. Dengan mempertimbangkan bahwa ketiga ayat ini
sudah dapat mewakili ayat lain yang memiliki bahasan yang sama.
Adapun kitab tafsir tahlili corak adabul ijtima‟I yang dijadikan sebagai rujukan
pada skripsi ini adalah kitab tafsir Al-Maraghi, kitab tafsir Al-Mishbah, dan kitab
tafsir Al-Azhar. Adapun alasan pemilihihan atas tiga penafsir tersebut karena
ketiganya adalah tafsir yang muktabarah pada masanya.
Pembatasan masalah sebagai digambarkan itu adalah suatu yang amat penting
agar penelitian dapat dilaksanakan dengan baik dan sekaligus mendapatkan apa yang
menjadi tujuan.23
Paling tidak, ada dua permasalahan pokok yang harus diteliti dalam
ayat-ayat ini. Pertama, kajian tekstual terhadap ayat-ayat itu seperti latar belakang
turunnya dalam konteks apa dia diturunkan, dan sebagainya semua itu berkaitan erat
dengan pemahaman sebuah teks. Kedua, bagaimana penafsiran ayat-ayat tersebut.
23
Nashruddin Baidan, dan Erwati Aziz, Metodologi khusus Penelitian Tafsir, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2016), 137
9
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana hakikat kesejahteraan masyarakat dalam QS
Al-An‟am ayat 82, Al-A‟raf ayat 96 dan An-Nūr ayat 55 menurut para
mufassir dalam kitab tafsir tahlili corak adabul ijtima‟i
b. Untuk mengetahui indikator kesejahteraan masyarakat yang dijelaskan
dalam QS Al-An‟am ayat 82, Al-A‟raf ayat 96 dan An-Nūr ayat 55
berdasarkan penafsiran para mufassir dalam kitab tafsir tahlili bercorak
adabul ijtima‟i
2. Kegunaan penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat memenuhi di antaranya
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi khazanah
keilmuan, khususnya yang berkaitan dengan judul dari penelitian ini.
b. Memberikan konstribusi pemikiran agar setiap pembaca semakin
mengarah dan mengacu pada Al-Qur‟an disetiap ucapan dan tingkah laku.
c. Untuk menambah dan mengembangkan wawasan penulis dalam membuat
dan menyusun karya ilmiah yang baik dan benar.
E. Tinjauan Pustaka
Kajian pustaka pada umumnya dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang
hubungan topik penelitian yang akan diajukan dengan penelitian sejenis yang pernah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sehingga tidak terjadi pengulangan yang tidak
perlu dan mubazir atau melarikan karya orang lain atau yang disebut dengan plagiat.
dalam hal ini sejauh pengetahuan dan pengamatan penulis secara cermat dan
menyeluruh sudah banyak peneliti sebelumnya yang melakukan penelitian atau
penulisan yang membahas tentang konsep kesejahteraan masyarakat dalam perspektif
Al-Qur‟an. Namun, sepanjang penelusuran penulis, belum ada penelitian yang secara
spesifik membahas tentang penafsiran ayat-ayat yang telah ditentukan oleh peneliti
10
sebagai bahan penelitiannya. Diantara penelitian terdahulu yang pernah dilakukan
adalah:
Pertama, dalam bentuk buku yang disusun oleh Abdul Aziz Al-Badri dengan
judul: Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam. Buku ini berisikan tentang bagaimana
Islam mengatasi problematika sosial ekonomi yang dihadapi masyarakat., bagaimana
Islam mendudukkan kedudukan Negara, dan individu dalam masyarakat berdasar
hokum-hukum Islam.24
Karya ini disajikan dengan metode istimbats terhadap nash-
nash hukum Islam ditambah dengan sajian fakta-fakta sejarah.25
Kedua, dalam bentuk jurnal yang ditulis oleh Sulaiman Kurdi mahasiswa
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin
2017 yang berjudul Masyarakat Ideal dalam Al-Qur‟an (Pergulatan Pemikiran
Ideologi Negara dalam Islam antara Formalistik dan Substansialistik) tulisan ini
lebih memfokuskan kajiannya terhadap masyarakat ideal dalam Al-Qur‟an secara
keseluruhan.26
Ketiga, Amirus Sodiq, menulis jurnal yang berjudul ‚Konsep Kesejahteraan
dalam Islam (Equilibrium Vol. 3 No. 2 – 2015). Jurnal ini berbeda dengan skripsi
ini, terlihat dari perspektif yang digunakan. Amirus Sodiq menjelaskan tentang
indikator kesejahteraan dalam Islam dari dua persepektif yaitu Al-Qur‟an dan hadis.
Dalam pembahasannya, jurnal ini memaparkan kesejahteraan sosial yang terdapat
dalam QS Quraisy 3-4, QS al-Nisa 9, QS al-Nah 97 dan hadis-hadis yang mendukung
tentang ayat-ayat tersebut. Dan juga membahas tentang kesejahteraan berbasis zakat.
Sedangkan skripsi ini hanya dilihat dari perspektif Al-Qur‟an yaitu QS Al-An‟am
ayat 82, Al-A‟raf ayat 96 dan An-Nuur ayat 55. sekalipun dalam perkembangannya
akan mengutip ayat-ayat yang lain sebagai pendukung untuk memahami secara
menyeluruh.
24
Abdul Aziz Al-Badri, Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
1995). 10 25
Ibid. 26
Sulaiman Kurdi, “Masyarakat Ideal dalam Al-Qur‟an (Pergulatan Pemikiran Ideologi Negara
dalam Islam antara Formalistik dan Substansialistik)”, Jurnal Studi Islam dan Humaniora Masyarakat
Ideal 41-57 Vol. 14. No. 1 (2017).
11
Keempat, Widia Amelia, Kesejahteraan Sosial dalam Persfektif Al-Qur‟an.
Skripsi ini berbeda denagan skripsi yang akan peneliti tulis, meskipun perspektif yang
digunakan sama-sama perspektif Al-Qur‟an tetapi dalam skripsi ini Widia Amelia
hanya memfokuskan penelitiannya pada QS Thaha 117-119 sedangkan dalam skripsi
yang akan peneliti tulis ini fokus ayatnya yaitu QS Al-An‟am ayat 82, Al-A‟raf ayat
96 dan An-Nuur ayat 55. Dan juga Widia Amelia dalam skripsinya melakukan
penafsiran sendiri dengan menggunakan metode tahlili sedangkan skirpsi yang akan
ditulis ini adalah studi kitab tafsir tahlili yang sudah ada sebelumnya.
Sebagaimana terlihat dari studi relevan ini bahwa belum ada di antara kajian
tersebut yang membahas tentang konsep Al-Qur`an dalam kesejahteraan msyarakat
berdasarkan ayat-ayat Al-Qur‟an yang telah peneliti tentukan. Penulis menyoroti
konsep Al-Qur`an dalam kesejahteraan masyarakat berdasarkan tiga ayat yang telah
penulis tentukan dan juga penafsiran para mufassir terhadap ayat tersebut. Artinya
karya penulis tidaklah sama dengan karya di atas. Kekosongan akademis inilah yang
akan diisi oleh peneliti.
F. Metode penelitian
Kajian terhadap konsep kesejahteraan msyarakat dalam perspektif tafsir tahlili
corak adabul ijtima‟i menggunakan metode sebagai berikut.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
a. Jenis Penelitian
Berangkat dari permasalahan yang diangkat dan data yang akan
dihimpun, maka tampak jelas bahwa jenis penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan (library research) dengan subyek dan objeknya, semuanya berasal
dari bahan-bahan kepustakaan (literature) berupa kitab-kitab tafsir, kitab-kitab
hadis kitab-kitab ilmu tafsir dan ilmu hadis sebagainya serta buku-buku yang
berkaitan dengan penelitian ini. Kondisi buku yang demikian sudah cukup
untuk dijadikan bahan baku penelitian, sehingga tidak sulit dalam melakukan
analisa untuk mengambil kesimpulan yang merupakan hasil penelitian. Jika
demikian, maka penelitian ini tidak memerlukan data lapangan karena yang
12
ingin dicari ialah pemikiran, konsep atau teori yang dikemukakan oleh para
ulama dan ilmuan yang tertuang di dalam karya-karya tulis mereka. Jadi, tanpa
data lapangan hasil penelitian ini sudah cukup representative dan dapat
dijadikan pegangan.
b. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat penjelasan (explanatory research). Disebut
penelitian ini bersifat penjelasan karena penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan penjelasan tentang suatu kasus atau pemahaman dan tafsiran
terhadap suatu ayat dari berbagai ayat Al-Qur‟an.
2. Sumber Data
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini dapat penulis
klasifikasikan dalam dua jenis, yaitu data primer dan data skunder. Adapun objek
utama dalam penelitian ini adalah penafsiran para mufassir terhadap teks ayat Al-
Qur‟an, dalam hal ini yang menjadi data primernya adalah Al-Qur‟an dan kitab tafsir
tahlili yang menggunakan pendekatan adabul ijtima‟i. Yaitu kitab tafsir Al-Mishbah,
kitab tafsir Al-Maraghi dan kitab tafsir Al-Azhar. Adapun alasan peneliti memilih
tiga tafsir ini karena ketiganya adalah tafsir kontemporer yang berkeinginan untuk
mengembalikan Al-Qur`an sebagai kitab petunjuk, mereka tidak lagi memahami kitab
suci sebagai wahyu yang mati sebagaimana telah dipahami oleh para ulama
tradisional selama ini. Melainkan sesuatu yang hidup. Al-Qur`an dipahami sebagai
kitab suci yang kemunculannya tidak lepas dari konteks kesejarahan manusia. Al-
Qur`an tidak diturunkan dalam ruang yang hampa budaya melainkan justru hadir
dalam zaman dan ruang yang sarat budaya.27
Secara harfiah tahlili berarti menjadi lepas atau terurai.28
Yang dimaksud
dengan tahlili ialah metode yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-
27
Mustaqim, Mazhibut Tafsir, 94. 28
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014). 379.
13
Qur‟an dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan kecenderungan, dan
keinginan mufassirnya.29
Metode tafsir tahlili juga dikenal dengan istilah metode tafsir analitik
(menganalisa secara mendalam) atau metode tafsir tazji‟iy (mengkaji satu persoalan
sampai pada detil-detilnya). Maksudnya adalah bahwa metode ini mengurai semua
aspek yang terkandung di dalam Al-Qur‟an, bahkan membedah sampai pada
persoalan juz‟I (persial) secara detil. Dengan menggunakan metode tahlili ini seorang
mufassir memiliki peluang seluas-luasnya untuk berkreasi dan mengeluarkan segala
kemampuan, bahkan semua kemauannya, di dalam menganalisa atau mengkaji suatu
ayat.30
Kitab tafsir tahlili yang dimaksud disini adalah kitab tafsir tahlili yang
bercorak adabul al-ijtima‟i. adapun alasan peneliti memilih corak tafsir tersebut
karena corak tafsir ini berusaha mengemukakan keindahan (balaghah) bahasa dan
kemukjizatan Al-Qur‟an, berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh
Al-Qur‟an, berupaya mengungkapkan betapa Al-Qur‟an itu mengandung hokum-
hukum alam raya dan aturan-aturan kemasyarakatan, dan bermaksud membantu
memecahkan segala problematika yang dihadapi umat Islam khususnya dan umat
manusia umumnya melalui petunjuk dan ajaran Al-Qur‟an dan teori-teori ilmiah yang
benar. Juga berusaha menjelaskan kepada umat bahwa Al-Qur‟an itu adalah Kitab
Suci yang kekal yang mampu bertahan selama perkembangan zaman dan kebudayaan
manusia sampai akhir masa, berupaya melenyapkan segala kebohongan dan keraguan
yang dilontarkan terhadap Al-Quran dengan argumen yang kuat yang mampu
menangkis segala kebatilan, karena memang kebatilan itu pasti lenyap.31
Adapun data skunder yang digunakan sebagai data pendukung penelitian ini
adalah karya-karya yang memiliki keterkaitan dengan poko-pokok pembahasan
pnelitian ini. Seperti buku ilmiah, majalah ilmiah, artikel-artikel ilmiah, journal
29
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 378. 30
Zulheldi. 6 Langkah Metode Tafsir Maudu‟i. (Depok: RajaGrafindo Persada, 2017), 11. 31
ibid. , 28
14
ilmiah, dan sebagainya yang berhubungan dengan topic pembahasan sebagai
pelengkap data penelitian
G. Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data yang diperlukan penulis melakukan penelusuran
kepustakaan dengan mengkaji dan menelaah referensi yang bersumber dari tulisan-
tulisan yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang sedang penulis teliti.
persoalan yang sedang diteliti. penulis melakukan teknik penelusuran yakni
menelusuri kata kesejahteraan masyarakat yang terdapat dalam buku-buku
perpustakaan atau toko buku lainnya.
Berbagai macam cara untuk menemukan buku-buku yang menyangkut tema
penelitian, misalnya melalui katalog yang ada di perpustakaan atau melalui indeks
yang terdapat di belakang buku. Selanjutnya data yang terkumpul tersebut dianalisis
sehingga dapat memberikan pengertian dan kesimpulan sebagai jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang menjadi penelitian.
H. Metode Analisis Data
Setelah melakukan pengumpulan data penulis akan menganalisa data yang
didapatkan dengan menggunakan analisis kualitatif. Tahap awal pada analisis ini
adalah orientasi atau deskripsi. Pada tahap ini peneliti mendeskripsikan semua data
yang sudah dikumpulkan berupa apa yang sudah ditelusuri, dilihat, didengar,
dirasakan, dan dibaca.32
Proses penelitian kualitatif pada tahap ke-2 disebut tahap reduksi/focus. Pada
tahap ini peneliti mereduksi segala informasi yang telah diperoleh pada tahap
pertama. Pada proses reduksi ini, peneliti mereduksi data yang ditemukan pada tahap
1 untuk memfokuskan pada masalah yang telah peneliti tentukan. Pada tahap reduksi
ini peneliti menyortir data dengan cara memilih mana data yang menarik, penting,
berguna, dan baru. data yang dirasa tidak dipakai disingkirkan. Berdasarkan
32
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitataif dan R&D, (Bandung: Al-Fabeta, 2018),
19.
15
pertimbangan tersebut, maka data-data yang tersebut selanjutnya dikelompokkan
menjadi beberapa kategori yang ditetapkan sebagai focus penelitian.33
Proses penelitian kualitatif, pada tahap ke-3 adalah tahap selective. Pada tahap
ini peneliti menguraikan focus yang telah ditetapkan menjadi lebih rinci. Pada tahap
ini setelah peneliti melakukan analisis yang mendalam terhadap data dan informasi
yang diperoleh, maka peneliti dapat menemukan tema dengan cara
mengkonstruksikan data yang diperoleh menjadi sesuatu bangunan pengetahuan,
hipotesis atau ilmu yang baru.34
I. Sistematika Laporan Penelitian
Untuk menjabarkan hasil penelitian yang logis, ilmiah dan sistematis maka,
penelitian ini dibagi kepada lima bab. Bab I adalah pendahuluan. Bab ini memuat
latar belakang masalah yang mengantarkan bahasan menuju pertanyaan inti dalam
penelitian. Di samping itu, bab ini juga berisi batasan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II, Membahas tentang hakikat kesejahteraan masyarakat. Meliputi
pengertian kesejahteraan masyarakat, Term-term yang semakna dengan kesejahteraan
masyarakat dalam Al-Qur‟an, indikator kesejahteraan masyarakat, Upaya-upaya yang
harus ditempuh, dan Pandangan para Ulama tentang Kesejahteraan Masyarakat
Bab III, yaitu ayat-ayat tentang kesejahteraan masyarakat dan membahas
penafsiran ayat-ayat yang bersangkutan dengan masyarakat sejahtera, bab ini
bertugas menjabarkan penafsiran para mufassir mengenai ayat tersebut.
Bab IV, merupakan bahasan inti yang diuraikan untuk membahas analisis kitab
tafsir tahlili QS. Al-An‟am 82, Al-A‟raf 96 dan an-Nūr 55 masyarakat sejahtera yang
telah dijelaskan oleh para mufassir dalam tafsirannya, serta bentuk aplikasinya dalam
perilaku keseharian sebagaimana telah dicontohkan oleh para sahabat-sahabat
terdahulu.Akhirnya
33
Ibid. 34
Ibid., 20.
16
Bab V, merupakan penutup penelitian, berisikan bahasan tentang kesimpulan
akhir penelitian, saran-saran penulis berkaitan dengan konsep Al-Qur`an dalam
perwujudan kesejahteraan masyarakat, serta kata penutup yang akan mengakhiri
penelitian.
17
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
A. Pengertian Kesejahteraan Masyarakat
Sejahtera, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, merujuk pada situasi yang
aman sentosa, dan makmur. Aman berarti terbebas dari bahaya dan gangguan. Hidup
yang aman menandakan suatu kehidupan yang terbebas dari segala kesukaran dan
bencana. Sehingga, hidup yang sentosa adalah hidup dalam suasana aman, damai dan
tidak ada kekacauan. Dalam arti yang lebih luas kesejahteraan adalah terbebasnya
seseorang dari jeratan kemiskinan, kebodohan dan rasa takut sehingga dia
memperoleh kehidupan yang aman dan tenteram secara lahiriah maupun batiniah.35
Dalam KBBI masyarakat adalah sejumlah manusia yang terikat oleh suatu
kebudayaan yang mereka anggap sama.36
Menurut Charles Horton masyarakat adalah
sesuatu yang menyeluruh yang mencakup berbagai bagian yang berkaitan secara
sistematis-fungsional.37
Kesejahteraan masyarakat adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan dasar yang
tercermin dari rumah yang layak, tercukupinya kebutuhan sandang dan pangan, biaya
pendidikan dan kesehatan yang murah dan berkualitas atau kondisi dimana setiap
individu mampu memaksimalkan utilitasnya pada tingkat batas anggaran tertentu dan
kondisi dimana tercukupinya kebutuhan jasmani dan rohani.38
35
Amiruddin Sodiq, “Konsep Kesejahteraan Dalam Islam”, Jurnal STAIN Kudus Equilibrium
Vol. 3 No. 2 (2015) 384. 36
Dendy Sugono kepala pusat bahasa, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasionak,
2003), 405 37
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers, 1993.) XIII 38
Justita Dura, “Pengaruh Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Alokasi Dana Desa, Kebijakan
Dana Kelembagaan Desa terhadap Kesejahteraan Masyarakat”, Jurnal Jibeka, Vol. 10, No.1, (Agustus,
2016), 2623
18
B. Kesejahteraan Menurut Para Pakar
1. Pendapat Sastrawan
Seorang wazir masyhur pada masa Daulah Abbasiah Yahya bin Khalid Al-
Barmaky.39
ditanya apakah bahagia itu? beliau menjawab bahagia adalah sentosa
perangai, kuat ingatan, bijaksana akal, tenang dan sabar menuju maksud.40
Kebahagiaan itu pernah dinyanyikan oleh seorang ahli syair bernama Hatai‟ah
demikian:
ه ارم ى اي.و ع ج ج اد ياسع أ ز سد د و ع اس د ع س لأ ذم د الل ع ا.و خس ادذ اص س خ يالل ذ مى و
“Menurut pendapatkau, bukanlah kebahagiaan itu pada mengumpul harta
benda. Tetapi taqwa akan Allah itulah bahagia. Taqwa kepada Allah itulah yang
sebaik-baiknya disimpan. Pada sisi Allah sajalah kebahagiaan para orang yang
taqwa.” 41
Ahli syair yang lain yang amat masyhur dalam perkembangan agama Islam,
yaitu Zain bin Tsabit , ahli syair Rasulullah saw berkata:
ا. س صثخ س و ؤ س ا إ د و ع س ض ا ااضإل “jika petang dan pagi seorang manusia telah beroleh aman sentosa dari
gangguan manusia, itulah dia orang yang bahagia.”
2. Pendapat Aristoteles
Aristoteles berpendapat bahwa: “Bahagia bukanlah suatu perolehan untuk
manusia, tetapi corak bahagia itu berlain-lain dan berbagai ragam menurut perlainan
corak dan ragam orang yang mencarinya. Kadang-kadang sesuatu yang dipandang
bahagia oleh seseorang tidak oleh yang lain. Sebab itu menurut undang-undang
Aristoteles. Bahagia itu adalah suatu kesenangan yang dicapai oleh setiap orang
menurut kehendak masing-masing.
39
Yahya bin Khalid AL-Barmaky pada tahun 778 menjadi guru bagi Harun Al-Rasyid. Lalu
setelah khalifah sebelumnya wafat Harun Al-Rasyid naik tahta sebagai khalifah kelima Bani
Abbasiyah, karena jasanya Harun al-Rasyid mengangkat Yahya sebagai Wazir atau Perdana Menteri.
Diah Violin, “Khalifah harun Ar-Rasyid mengangkat gurunya yahya bin khalid al Barmaky sebagai
wazir”, diakses melalui https://brainly.co.id/tugas/22024261 tanggal 24 Maret 2020. 40
Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: PT. Pustaka Panji Mas, 1997), 22. 41
Ibid. , 21
19
Beliau berpendapat bahwa bahagia itu bukan mempunyai arti dan satu
kejadian, melainkan berlainan coraknya menurut tujuan masing-masing manusia.
Adapun yang berdiri dengan sendirinya dan tujuan setiap manusia yang hidup ialah,
kebaikan umum. Bahagia itu adalah tujuan tiap-tiap diri. Kelak setelah tiap-tiap diri
beroleh bahagia yang dicarinya, barulah kemanusiaan umum itu melangkah menuju
kebaikan untuk bersama. Kata Aristoteles lagi; “Kebaikan umum itu ialah suatu
perkara yang bila telah tercapai, maka kita tidak berkehendak lagi kepada yang lain.
Tetapi bahagia itu anugrah Allah kepada tiap-tiap diri yang dipilih-Nya yang boleh
jadi orang lain tidak merasainya, meskipun yang peroleh bahagia dengan yang tidak
beroleh itu berkumpul setiap hari.” 42
3. Pendapat Ahli Pikir Zaman Sekarang
Ahli-ahli pikir zaman kini ada yang putus asa, yang kecewa dan ada yang
merasa sukar sekali mencari bahagia itu. salah satunya yaitu: Hendrik Ibsen, ahli pikir
bangsa Norwegia (1828-1906) berpercaya bahwa mencari kebahagiaan itu hanya
menghabiskan umur saja, karena jalan untuk menempuhnya sangat tertutup, setiap
ikhtiar untuk melangkah ke sana senantiasa bertarung. Karena mula-mula orang yang
menujunya menyangka bahwa perjalanan telah dekat, padahal dekat kepada jurang
tempat jatuh. Beliau berkata: “Kita belum mencapai bahagia, sebab tiap-tiap jalan
yang ditempuh menjauhkan kita dari padanya.”43
Coba kita berpikir sejenak patutlah beliau berkata demikian betapa banyaknya
kita lihat di dalam hidup ini manusia berikhtiar hendak mencapai bahagia dengan
bermacam-macam jalan, tetapi boleh dikatakan tiap-tiap menempuh itu terjatuh
ditengah jalan, ada pahlawan yang mula-mula menyangka bahwa bahagia akan
dicapai olehnya dengan jalan membela tanah airnya. setelah ia peroleh kemenangan
itu, lupalah ia kepada bahagia yang ditujunya, ia mencoba pulak hendak merusak
tanah air orang lain, Seketika orang miskin bercita-cita hendak kaya, karena apabila
harta telah cukup bahagia akan tercapai, sebab dapat membantu sesama hamba Allah.
42
Ibid. , 25 43
Ibid. , 26
20
Tetapi setelah dia kaya dia menjadi sombong, harta bendanya disimpannya dan dia
mencari kikir, Sebelum ia menjadi Presiden atau Menteri atau anggota Parlemen, ia
berjanji dihadapan rakyat bahwa ia akan membantah segala sifat zalim dan aniaya,
tetapi setelah kursi diperolehnya, berkisarlah kezaliman menteri yang hilang kepada
Menteri yang baru, demikianlah antara lain contohnya.
Bertentangan dengan Leo Tolstoy, pujangga Rusia yang masyhur itu (1828-
1910) berpendapat bahwa yang menjadi sebab manusia berputus asa di dalam
mencari bahagia ialah karena bahagia itu diambilnya untuk dirinya sendiri, bukan
untuk bersama, padahal segala bahagia yang diborong untuk diri sendiri itu mustahil
berhasil, karena bahagia semacam itu tidak mungkin tidak menganggu bahagia orang
lain, orang lain yang terganggu itu tidak mungkin akan pasrah ia tersinggung, dan dia
akan mempertahankan diri oleh sebab itu bukan lagi ‟menuntut bahagia‟ memberi
keuntungan tetapi memberi kerugian bersama.44
Sebab itu pula nyatalah bahwa bahagia yang dituntut mestinya bukan buat diri
sendiri, tetapi buat bersama, buat masyarakat, karena “Allah adalah atas jama‟ah”
dari sebab bahagia dicari untuk bersama, dan segala manusia rindu mencapainya.
Disini timbullah persatuan keperluan dan persatuan keinginan, timbullah kecintaan di
antar sesama dan kehendak tolong-tolongan.45
Maka bahagia raya itu tidaklah akan didapat didalam hidup yang gelap,
melainkan pada kehidupan yang penuh nur, penuh cahaya gemilang. Hidup bercahaya
dan berseri ialah hidup yang sudi mengorbankan kesenangan dan kebahagiaan diri
sendiri untuk kesenangan dan kebahagiaan bersama, untuk menghilangkan segala
permusuhan dan kebencian yang melekat di dalam jantung, anak adam terbit lantaran
hawa nafsu dan syahwat yang semuanya itu membawa manusia ke pada gelap gulita
inilah yang menjadikan dunia penuh dengan lakon kesedihan dan sandiwara yang
menyeramkan. Hidup yang gilang gemilng itu ialah berkorban.46
44
Ibid. , 27 45
Ibid. 46
Ibid. , 28
21
Betrand Russel filosof Inggris pun sependirian dengan Tolstoy dalam hal
ini.George Bernard Shaw bintang filsafat dari Irlandia itu dalam karangan
sandiwaranya “Manusia yang maju” menghilangkan keraguan yang bersarang di hati
manusia lantaran pengaruh pendapat ibsen di atas tadi.47
Kata beliau, “Jadi manusia tidak kuat mencari jalan menuju bahagia atau tak
kuat menyingkir dari jalan sengsara dan celaka, sekali-kali jangan ia putus asa. Ia
mesti berpegang teguh dengan keberanian, ia masih kuat. Tak boleh menyerahkan diri
kepada sengsaranya dan tidak beruntungnya. Ia mesti tahu bahwa manusia sudah
berpuluh-puluh anak keturunan yang menjadi korban, ada yang sesat dan telah jatuh.
Kita yang datang di belakang mendapat pengajaran baru daripada kejatuhan mereka.
Kita mesti memilih jalan lain, jangan jalan yang telah ditempuh orang-orang yang
telah tersesat.48
4. Menurut Al-Ghazali
Dalam mewujudkan kebahagiaan, Al-Ghazali menekankan pentingnya arti
cinta kepada Allah. pengetahuan tentang Tuhan merupakan kunci untuk mencintai
Allah karena tidak mungkin lahir cinta jika tidak mampu mengetahui dan merasakan
indahnya berhubungan dengan sesuatu yang menyenangkan.49
Dalam hal ini dapat diilustrasikan bahwa orang akan bahagia apabila dapat
berkenalan dengan raja. Hal itu karena raja mempunyai kekuasaan yang besar dalam
masyarakat dan dirinya sendiri sehingga timbulah rasa simpatik terhadap raja. Tetapi
ia akan lebih merasa bahagia apabila dapat berkenalan dengan raja segala raja, maka
tentu saja perkenalan itu berbeda bagi orang yang selalu dekat dengan raja dan orang
yang berjauhan dengan raja. bagi yang dekat dengan raja tentu akan lebih mencintai
rajanya daripada berjauhan sekalipun raja itu berpengaruh padanya.
Begitu juga cinta kepada Tuhan bila manusia tidak berkenalan dengan-Nya
dan dan berpengaruh dalam batin maka inilah yang dikatakan Al-Ghazali bahwa Ia
47
Ibid. 48
ibid. 49
Al-Ghazali, Kimia Kebahagiaan, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul “The
Alchemy of Happines” oleh Haidar Bagir, ( Bandung: Mizan, 1995), 105
22
sendiri sajalah yang pantas untuk dicintai tetapi bila seseorang tidak mencintai-Nya
maka hal itu disebabkan karena ia tak mengenal-Nya. Bahagia menurut Al-Ghazali
akan dapat dicapai apabila manusia sudah bisa memumdukkam mafsu kebinatangan
dan setan dalam dirinya, serta menggantinya dengan sifat malaikat, Sedangkan
kebahagiaan tetinggi menurut Al-Ghazali adalah ketika manusia terbuka hijabnya
dengan Allah, ia bisa melihat Allah dengan mata batinnya atau dalam bahasa Al-
Ghazali telah sampai kepada tahap ma‟rifatullah.50
5. Menurut Hamka Berdasarkan Hadis Nabi
Dari Aisyah Radhiallahu „anha, bahwa pada suatu hari ia bertanya kepada
Rasulullah saw;”Ya Rasulullah dengan apakah kelebihan setengah manusia dari yang
setengahnya? Rasulullah menjawab ”Dengan akal” Kata Aisyah pula “Dan di
akhirat? “Dengan akal juga” kata beliau.“Bukankah seorang manusia lebih dari
manusia yang lain dari hal pahala lantaran amal ibadahnya?” kata Aisyah pula.
Rasulullah menjawab lagi. “Hai Aisyah bukankah amal ibadah yang mereka kerjakan
itu hanya menurut kadar akalnya? Sekedar ketinggian derajat akalnya, sebegitulah
ibadah mereka dan menurut amal itu pula pahala yang diberikan kepada mereka”51
Sabda Rasulullah pula “Allah telah membagi akal kepada tiga bagian, siapa
yang cukup mempunyai ketiga bagiannya sempurnalah akalnya kalau kekurangan
walau sebagian, tidaklah terhitung dia orang yang berakal.” Orang bertanya ‟Ya
Rasulullah, manakah bagian yang tidak macam itu?” Kata beliau “Pertama baik
ma‟rifatnya dengan Allah, kedua, baik taatnya bagi Allah, ketiga, baik pula sabarnya
atas ketentuan Allah.”52
Hamka menyimpulkan dalam bukunya Tasawuf Modern bahwa bahagia
manusia itu menurut derajat akalnya, karena akallah yang dapat membedakan antara
baik dengan buruk, akal yang dapat mengagak-agakkan segala pekerjaan, akal yang
menyelidiki hakikat dan kejadian segala sesuatu yang dituju dalam perjalanan hidup
50
Ibid, 112 51
Hamka, Tasawuf Modern, 29 52
Ibid.
23
dunia ini. Bertambah sempurna bertambah indah dan murni akal itu, bartambah
pulalah derajat bahagia yang kita capai, sebab itu menurut kehendak hadits tadi,
kepada kesempurnaan akallah kesempurnaan bahagia.
Bertambah luas akal bertambah luaslah hidup bertambah datanglah bahagia.
Bertambah sempit akal bertambah sempit pula hidup. Bertambah datanglah celaka.
Oleh agama perjalanan bahagia itu telah diberi berakhir. Puncak penghabisan ialah
kenal akan Tuhan baik ma‟rifat kepada-Nya, baik taat kepada-Nya dan baik sabar atas
musibah-Nya tidak ada lagi hidup di atas itu.53
Orang-orang yang terlampau mengejar dunia tidak menyadari bahwa orang
yang terlampau gemar akan kesenangan dan kelezatannya dan paling giat mengejar
kemewahannya adalah juga (orang) yang paling besar kepayahan dan kesulitannya,
paling banyak menghadapi ancaman bahaya dan paling sering diliputi kerisauan,
kegundahan, dan kesedihan. Sebagai contohnya, para raja dan hartawan.54
C. Kesejahteraan dalam Al-Qur’an
Kesejahteraan masyarakat dalam Al-Qur‟an meliputi berbagai aspek baik fisik,
sosial dan spiritual. Aspek kesejahteraan ini, secara komprehensip bersifat interagtif
sehingga bila salah satu di antaranya tidak terpenuhi, maka dipastikan manusia
mengalami kekurangan kesejahteraan masyarakat. Al-Qur‟an menegaskan tentang
menyatunya nilai kesejahteraan masyarakat dengan nilai pengabdian dan menyembah
Allah. Sebagaimana firman Allah:
53
Ibid, 30 54
Abdullah Haddad, Menuju Kesempurnaan Hidup, (Bandung: Mizan, 1996) 57.
24
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
pun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan
teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS
an-Nisa 4: 36).55
Islam sangat respek dengan tema-tema tentang kesejahteraan sosial. Dalam
bidang ekonomi, Islam mengatur distribusi kekayaan agar tidak hanya beredar di
kalangan atas. Ini sesuai dalam Al-Qur‟an:
“Apa saja harta rampasan fa‟i yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang
berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat
(rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang
dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang
kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.”
(QS Al-Hasyr 59: 7).56
Selain itu, kesejahteraan masyarakat akan tercipta dalam sistem masyarakat
yang stabil, khususnya adanya stabilitas keamanan. Stabilitas sosial-ekonomi tidak
55
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta: Al-Hadi Media Kreasi, 2015),
84. 56
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, 38
25
mungkin terjamin tanpa adanya stabilitas keamanan (termasuk di dalamnya stabilias
politik). Hal ini sebagaimana doa Nabi Ibrahim dalam QS al Baqarah 2:126;
“[D]an (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri
Mekah) ini negeri yang aman dan berilah rezki berupa buah-buahan kepada
penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Dia (Allah) berfirman: "Dan kepada orang yang kafir akan Aku beri
kesenangan sementara, kemudian Aku paksa dia menjalani ke dalam azab
neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali".(QS Al-Baqarah 2: 126).57
Mengenai kesejahteraan masyarakat dalam Al-Qur‟an menggunakan beragam
istilah seperti Sa‟ada (bahagia), faza/fauz (gembira), falaha (sentosa), roghodan
(suka/senang).58
Adapun dalam kamus lengkap al-Fikr makna kata sejahtera dalam
bahasa Arab dituliskan dengan kata al-amnu atau as-salām.59
Dalam Mu‟jam Al-Faẓ Al-Qur‟an Al-Karim makna kesejahteraan ditemukan
pada kata sa‟idun (berbahagia),60
sakinah امة ىاثثاخيطأح اهريء61
fauz (ظفس )62
wassalāmu ( الأاوالطءا ).dalam QS Maryam 33 dan thaha 47.63
raghadan64
Ringkasnya hubungan sejahtera dengan kata sa‟ada, sakinah, raghadan,
fauz,salām, amanu, dan falaha adalah hubungan tadhammun maksudnya ialah kata-
57
Ibid. ,19. 58
Al-Fairuzabadi, Qamus al-Muhit, Juz 4 (Bairut: Dar al-Fikr, 1983,), 230. 59
Achmad Sunarto, Kamus Lengkap Al-Fikr, (Surabaya, Halaim Jaya 2002) 176. 60
Jumhur Mesir Arabiyah, Mu‟jam Al-Fas Al-Qur‟an Al-Karim, (Mesir: Majmu‟Lughatul
„Arabiyah, 1989 M/1409 H), 571 61
Ibid. , 581 62
Ibid. ,866 63
Ibid. ,588 64
Ibid. ,507
26
kata sa‟id dan lain-lainnya tadi ada dalam makna sejahtera, sedangkan hubungan
kata-kata tersebut dengan sejahtera adalah hubungan talāzum maksudnya begini
orang yang bahagia pasti sejahtera, orang yang aman pasti sejahtera.
Menurut Asep Usman Ismail.65
di antara istilah-istilah itu yang cakupan
maknanya luas dan mendalam, serta menggambarkan konsep kesejahteraan
masyarakat secara mendasar adalah istilah al-falāh yang melahirkan al-muflihūn,
masyarakat sejahtera atas dasar iman dan taqwa, menjadi tujuan akhir dalam
kehidupan manusia di dunia ini.66
1. Sa’ada
kata as-Sa‟ada dan kata as-sa‟ādatu artinya bahagia dan itu adalah perolehan
perkara yang diberikan oleh Allah kepada manusia atas tercapainya sebuah kebaikan.
kebalikan dari kata as-sa‟du atau as-sa‟ādatu adalah ج م از yaitu kesulitan atau اش
kesengsaraan.67
disebutkan dalam sebuah kalimat arab الل د artinya semoga Allah أ سع
membahagiakannya. juga dalam kalimat lainnya yang berbunyi rajulun sa‟iidun
artinya laki-laki yang bahagia, atau kalimat lainnya qouumun su‟adāu artinya kaum
yang bahagia, dan kebahagiaan paling agung adalah syurga. hal ini sebagaimana yang
difirmankan oleh Allah swt dalam ayat berikut:
“Adapun orang-orang yang bahagia maka tempatnya di dalam syurga” (QS
Hud 11: 108).68
“Dan diantara mereka ada yang celaka dan adapula yang bahagua” (QS Huud
11: 105).69
65
Pros. Dr. Asep Usman Ismail, Ma. Beliau adalah Dewan pakar Pusat Al-Qur‟an, Selain
menjabat sebagai Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beliau juga merupakan DLB di
Universitas Paramadina dan Universitas al-Thahiriyah. Beliau aktif memberi kuliah Tasawuf, Tafsir
dan ahlak. Di antara karya beliau yaitu Al-Qur‟an dan kesejahteraan Sosial. PSQ Ali Nurdin, “Cari
Ustadz”, diaksesmelalui https://www.cariustadz.id/ustadz/detail/Prof--DR--Asep-Usman-Ismail--MA
pada tanggal 24 februari 2020 66
Asep Usman Ismail, Kesejahteraan Sosial Perspektif Al-Qur‟an, Jurnal Ilmu Kesejahteraan
Sosial, Vol. 4 No. ( 1 Juni 2015), 45 67
Ar-Raghib Al-Ashfahani, Kamus Al-Qur‟an, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul
“Al-Mufradat fi gharibil Qur‟an,” jil 1, oleh Ahmad Zaini Dahlan (Depek: Pustaka Khazanah Fawa‟id,
2017) 68
Kementerian Agama RI. Al-Qur‟an dan Terjemah, 233 69
Ibid,
27
Kata ساعدجا artinya adalah memberikan pertolongan yang dapat menimbulkan
kebahagiaan. dan ungkapan yang berbunyi ه س عد و artinya adalah semoga Allah ر ثه
memberikan kepadamu kebahagiaan demi kebahagiaan, atau semoga Allah
memberikanmu pertolongan demi pertolongan. namun makna yang lebih tepat adalah
yang pertama. Kata اد yang bermakna menghibur, ini khusus digunakan bagi الإسع
orang yang menangis. disebutkan dalam sebuah kalimat arab د ف أ سع دذ إسر سع ل د
artinya aku memintanya untuk menghiburku lalu diapun menghiburku, kata اعد اس
artinya adalah pergelangan tangan bagian bawah (lengan) alasan dinamakannya
pergelangan tangan dengan اساعد karena pergelangan tangan selalu digambarkan
sebagai bentuk pertolongan. begitu juga dengan kedua sayap burung disebut dengan
اعد .sebagaimana ia juga dapat digunakan untuk mengartikan kedua tangan س
adapun kata ا عد ia adalah sejenis tumbuhan yang dapat menghambat susu, oleh اس
karena itu disebutkan dalam sebuah istilah Arab ا عد ااس و ول سع tempat
pengembalaan jangan seperti pohon sa‟dan kata as-sa‟dānatu artinya bisa burung
merpati, tali penjepit sandal, pekikan unta dan bintang yang sudah kita kenal.70
2. Sakinah
Sakīnah terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf sin, kaf dan nun yang
mengandung makna ketenangan atau antonym goncang dan gerak.71
menurut bahasa,
sakīnah artinya ketenangan, kedamaian, sakīnah berakar kata sakana, artinya menjadi
tenang, mereda, hening, tinggal. Al-Maraghi menjelaskan dalam tafsirnya makna kata
as-Sakīnah adalah ketenangan dan ketentraman jiwa, lawan kegunjangan dan
kegundahan.72
Dalam Islam kata sakinah menandakan ketenangan dan kedamaian
secara khusus, yaitu kedamaian dari Allah yang berada di dalam kalbu.73
Berbagai bentuk kata yang terdiri dari tiga ketiga huruf tersebut kesemuanya
bermuara kepada makna diatas, Rumah dinamai maskan, karena ia adalah tempat
untuk meraih ketenangan setelah sebelumnya penghuninya bergerak bahkan boleh
70
Al-Ashfahani, Kamus Al-Qur‟an, 71
Al-Mishbah, volum 5, 566 72
Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, jilid 10, 200-201. 73
Ahsin W. Al-Hafidz. Kamus Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Hamzah, 2012), 263
28
jadi mengalami kegoncangan di luar rumah. “Pisau” yang berfungsi untuk
menyembelih binatang dinamai sikkīn dari akar kata yang sama dengan sakīnah,
karena pisau adalah alat yang menghasilkan ketenangan bagi binatang setelah
sebelumnya ia bergejolak.74
Dalam Al-Qur‟an kata sakinah ditemukan 6 kali.75
Dari ayat-ayat yang
berbicara tentang sakinah dapat diperoleh beberapa kesimpulan antara lain bahwa
sakinah dirasakan setelah sebelumnya terjadi situasi yang mencekam baik karena
bahaya yang mengancam jiwa, atau sesuatu yang mengeruhkan pikiran, masa kini,
atau masa lalu.
Sakinah tidak datang begitu saja tetapi ada syarat bagi kehadirannya, kalbu
harus siap dengan menanamkan kesabaran dan ketakwaan. Sakiinah diturunkan Allah
ke dalam kalbu dan ini diperoleh setelah beberapa pase, bermula dari mengosongkan
kalbu dari segala sifat tercela, memutuskan hubungan dengan masa lalu yang kelam
disusul dengan mujahadah/ perjuangan melawan sifat-sifat yang tercela dengan
mengedepankan sifat yang terpuji.
Sakinah bukan sekedar terlihat pada ketenangan lahir yang tercermin pada
kecerahan air muka, karena ini bias muncul akibat keluguan, ketidak tahuan atau
kebodohan, tetapi ia terlihat pada kecerahan air muka yang disertai dengan
kelapangan dada, budi bahasa yang halus, yang dilahirkan oleh ketenangan hati akibat
menyatukan pemahaman dan kesucian hati serta bergabungnya kejelasan pandangan
dengan tekad yang kuat. Ketika itu, seseorang pada tahap ini telah menguasai dan
memimpin sisi dalamnya sehingga tercipta keserasian dan keharmonisan antara
semua unsur yang berbeda bahkan yang bertentangan di dalam jiwanya.76
3. Fāza/Fauz
77
74
Al-Mishbah, volum 5, 567 75
Kata sakiinah terdapat pada Q.S al-Fath 48: 4, 18 dan 26 dan QS. At-Taubah 9: 26 dan 40 76
Al-Mishbah, volum 5, 567 77
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, 583
29
Kata mafāza terambil dari kata fauz. Kata yang digunakan ayat ini dapat berarti
kemenangan atau tempat dan waktunya. Ia digunakan oleh bahasa dalam arti
keselamatan dan keterbebasan dari bencanam disertai dengan perolehan kebajikan.
Al-Qur‟an menggunakan kata tersebut dalam dalam berbagai bentuknya untuk makna
pengampunan dosa dan perolehan surga bacalah.78
Al-Maraghi dalam menafsirkan kata mafāzā pada QS an-Naba ayat 31 yaitu
memperoleh kemenangan berupa kenikmatan dan pahala.79
dalam tafsirnya Al-
Maraghi pada QS Al-Ahzab ujung ayat 71 faqod fāza fauzan „adzimā menjelaskan
bahwa barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya lalu dia melakukan apa yang
diperintahkan dan menghentikan apa yang Dia larang , lalu berkata yang benar, maka
sesungguhnya dia memperoleh pahala besar dan kemuliaan pada hari penunjukkan
besar.80
Quraish shihab menafsirkan QS al-Ahzab 71 Dia pun mengampuni bagi kamu
dosa-dosa kamu. dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka
sesungguhnya ia telah mendapat keberuntungan dengan keberuntungan besar yakni
ampunan dan surga Ilahi.81
4. Raghadan
Raghadan artinya kelapangan hidup. Dan kata raghīdun artinya baik dan
luas.82
Kata raghadan disebutkan sebanyak tiga dalam Al-Qur‟an (QS al-Baqarah 35,
dan 58 dan An-Nahl 112).83
Dalam tafsir Al-Maraghi dijelaskan makna ar-Raghad
ialah sejahtera, tidak ada kesusahan di dalamnya, atau bisa diartikan sebagai
longgar.84
Allah swt telah berfirman:
78
Quraish Shihab, Al-Mishbah, volume 15, 20 79
Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, jilid 30, 25 80
Ibid, jilid 22, 76 81
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, volum 11, 329 82
Ar-Raghib Al-Ashfahani, Kamus Al-Qur‟an, 80 83
Mu‟jam li-Alfaz Al-Qur‟an Al-Karim, 507 84
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, jil 1, 152.
30
“Dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik” (QS. Al-Baqarah
2 : 35).85
“Rezekinya dating kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat (QS. An-
Nahl 16 : 112).86
Kalimat م ى ا د artinya kaum itu mendapatkan kelapangan hidup. Dan أ زغ
kalimat اش ر د dia menjadikan binatang ternaknya dalam kelapangan hidup. Dan أ زغ
kata اد سغ artinya adalah susu yang bercampur, dinamakan demikian karena susu ا
tersebut menunjukkan akan kelapangan hidup.87
5. Amanu
Jika ditelusuri hakikat dari rasa aman adalah tenangnya hati dan hilangnya rasa
kwatir, lafazh الاح ,ال dan الا pada dasarnya adalah lafazh-lafazh yang
berbentuk mashdar. Kemudian terkadang lafazh amānu dijadikan sebuah nama untuk
kondisi dimana manusia merasa aman di sana. Dan terkadang dijadikan sebagai
sebuah nama untuk sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang (amanah)88
seperti
firman Allah
....
“Kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu” (QS Al-Anfal 8:
27).89
yakni amanah yang dipercayakan kepada kalian, adapun firmannya:
….
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi.” (QS al-
Aḥzāb 33: 72).90
85
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, 6 86
Ibid, 280 87
Ar-Raghib Al-Ashfahani, Kamus Al-Qur‟an, 80 88
Ibid. , 98-97 89
Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, 181 90
Ibid. , 427
31
6. As-Salām
Terambil dari akar kata salima (س) yang pada mulanya berarti selamat dan
bebas dari bahaya. Kemudian berkembang dan menghasilkan arti-arti lain, seperti
memberi, menerima, patuh, tunduk, berdamai, tenteram, tidak cacat, dan ucapan
selamat. As-salam adalah salah satu dari al-Asmaa Al-Husna (nama-nama Allah yang
indah) yang artinya sejahtera/keselamatan.91
Nama As-Salām, disebut antara lain
dalam QS Al-Hasyr (59);23. Makna as-Salām menurut al-Ghazali adalah
keterhindaran zat Allah dari segala aib, keterhindaran sifat-Nya dari segala
kekurangan, dan keterhindarnya perbuatan-Nya dari segala kejahatan dan keburukan
dengan demikian tiada keselamatan/keterhindaran dari keburukan dan aib yang
terdapat di dunia ini kecuali merujuk kepada-Nya dan bersumber dari-Nya. Seseorang
meneladani sifat ini dituntun untuk menghindarkan hatinya dari segala aib dan
kekurangan, dengki dan hasud serta berkehendak untuk berbuat kejahatan.92
kata (سلا) salāma terambil dari akar kata yang terdiri dari tiga huruf sīn, lām,
dan mīm. makna dasar yang terangkai dari huruf-huruf ini adalah luput dari
kekurangan, kerusakan, dan aib. dari sini kata selamat diucapkan misalnya bila terjadi
yang tidak diinginkan, namun tidak mengakibatkan kekurangan atau kecelakaan.
salām atau damai semacam ini adalah damai fasif. ada juga damai aktif. ketika anda
mengucapkan selamat kepada seseorang yang sukses dalam usahanya, maka ucapan
itu adalah cermin dari kedamaian yang aktif. di sini bukan saja ia terhindar dari
keburukan, tetapi lebih dari itu ia meraih suatu kebajikan/sukses.
Damai dan perdamaian atau salām menjadi tujuan hidup setiap muslim, karena
Allah swt mengajak ke Dar as-Salām (QS Yunus 25) bahkan Allah swt yang
merupakan pangkalan tempat kedamaian (QS al-Hasyr 23).Tanpa as-Salām yakni
Allah swt, atau tanpa salām, yakni damai dalam jiwa manusia serta dalam
interaksinya, maka segalanya akan kacau, rusak bahkan kehidupan akan terhenti.
91
Ahsin W. Al-Hafidz. Kamus Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Hamzah, 2012), 264 92
Ibid.
32
sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, maka keduanya akan
rusak binasa (QS al-Anbiya 21: 22).93
7. Falaha
Kata al-falāḥ حفلاا terdapat dalam Al-Qur‟an secara implisit, yaitu pengambilan
dari lafal aflaha ( فخا ) bentuk fi‟il mādi, lafal yuflihu, yuflihūn, tuflihūn فخ, - - ,فذى-
وثفذ berupa fi‟il mudhari, dan lafal muflihūn, muflihūn فذى berupa isim fā‟il.94
Kata al-falāḥ حفلاا akar katanya adalah فخ dasarnya memiliki dua makna yaitu,
yang pertama bermakna syaqq (شك) artinya membelah atau membajak tanah, yang
kedua bermakna fawzun wa baqāun artinya beruntung dan kekal.95
Dari kata al-falhu ( حفا ) petani dinamai al-fallāḥun حفلاا karena dia mencangkul
untuk membelah tanah lalu menanam benih. Benih yang ditanam petani
menumbuhkan buah yang diharapkannya. Dari sini agaknya, memperoleh apa yang
diharapkan dinamai falāḥ ( حفلا ) dan hal tersebut tentu melahirkan kebahagiaan yang
juga menjadi salah satu makna al-falāḥ.96
Penggunaan kata fallāḥ ( حفلا ) yang berarti petani memberi kesan bahwa
seseorang yang melakukan kebaikan, janganlah bersegara cepat-cepat mengharapkan
hasil dalam waktu yang singkat. Ia harus berusaha susah payah dan sabar membajak
tanah, menanam benih, menyirami, memupuk, dan membasmi hama tanamannya, lalu
harus menunggu hingga memetik buah.97
Dengan demikian makna al-falāḥ ( حفلاا ) adalah keberhasilan berupa
keberuntungan dan kebahagiaan yang diharapkan setelah melakukan perbuatan baik.
Sedang lawan kata (antonim) dari aflaha adalah khāba (خاة) yang bermakna merugi
seperti sebidang tanah yang tak tersiram hujan (tandus) atau sesuatu yang tidak
93
al-Mishbah, volum 6 266 94
Lafaẓ aflaha, yuflihu, tuflihūn, tuflihū, muflihūn, dan muflihin terdapat dalam 40 ayat tersebar
dalam 24 surat, Lihat Muhammad Fuad Abd.al-Bāqī, al-Mu‟jam al Mufahras Li alfāẓ Al-Qur‟an
alKarim (Beirut: Dar-al Fikr, 1987 M/1407 H) , 562 95
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu‟jam Maqāyis al-Lugah, juz IV, (T.t : Dar
al-Fikr t.t) , 450 96
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah , Pesan, Vol.9 (Jakarta : Lentera Hati, 2007), 383 97
Dudung Abdullah, Wawasan Al-Qur‟an Tentangal-Falāḥ (Suatu Kajian Tafsir Mauḍū„Ī)”,
Disertasi, (Makassar: Program Pascasarjana Uin Alauddin Makassar, 2015), 46
33
memberikan manfaat juga haram, atau juga berarti lenyaplah semua yang ia miliki
tanpa sedikitpun tersisa.98
Menurut al-Rāghib al-Aṣfaḥāni, memperoleh apa yang diharapkan itu bisa
dirasakan di dunia dan bisa di akhirat. Di dunia (duniawi) menjadikan hidup nyaman
berupa keleluasaan hidup, kekayaan dan kemuliaan.Sedangkan di akhirat (ukhrawi)
ada empat hal, yaitu a) kekal abadai tanpa mengalami kepunahan b) Kekayaan tanpa
kebutuha c) Kemuliaan tanpa kehinaan d) Ilmu tanpa ketidak tahuan.99
sehingga bisa
dirumuskan tidak ada kehidupan yang sempurna kecuali kehidupan akhirat.100
Sebagaimana dinyatakan di dalam Al-Qur`an:
“Dan kehidupan dunia ini hanyalah kehdupan senda-gurau dan permainan. Dan
sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sejatinya, sekiranya mereka
mengetahui.” (Q.S. Al„Ankabut 29: 64).101
Konsep kesejahteraan atau al-falâh yang ditawarkan Al-Qur`an kepada manusia
memiliki dua dimensi yang berpasangan kokoh, selaras, serasi dan simponi, serta
bernilai fundamental dalam kehidupan orang-orang yang beriman kepada Al-Qur`an,
yakni dimensi lahir batin dan dimensi dunia akhirat. Kesejahteraan yang dibangun
Al-Qur`an berdiri di atas lima pilar utama, yakni terpenuhinya kebutuhan fisik-
biologis, kebutuhan intelektual, kebutuhan emosi, kebutuhan spiritual dan
kebutuhan sosial.102
Kelima kebutuhan ini, sebagaimana disebutkan di atas, memiliki dimensi lahir
dan batin, serta berpijak pada realitas kehidupan yang menjadi landasan, motif dan
perjuangan untuk mengembamgkan kualitas kehidupan dunia, tetapi tidak berhenti
98
Ibid. 99
Al-Rāgib al-Aṣfahānī,Mufradāt Alfāẓ al-Qur‟ān( Beirut : Dār al-Syāmiah, 1992 M/1412 H),
644 100
Ibid. 101
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, 404 102
Ismail, Konsep Kesejahteraan Sosial Perspektif Al-Qur‟an, 45
34
pada pemenuhan kebutuhan fisik-biologis atau kehidupan kebendaan yang berhenti
pada dimensi waktu dan tempat, kini, di sini, di tempat ini. Kualitas hidup yang
menjadi indikator tingkat kesejahteraan yang ditawarkan Al-Qur`an tercermin pada
doa sapu jagat sebagai berikut:
“[D]an di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan lindungilah kami dari azab
neraka” (QS al-Baqarah 2: 201).103
Hakikat doa tersebut menegaskan bahwa kebaikan hidup di dunia yang menjadi
sumber al–falāh tersebut dengan landasan iman dan ibadah merupakan modal yang
diinvestasikan untuk kehidupan akhirat, karena dalam pandangan Islam, akhirat itu
merupakan tempat untuk memetik, sedangkan dunia merupakan tempat untuk
menanam. Tidak ada seorang pun di antara umat manusia yang bisa memetik
kesejahteraan hidup di akhirat tanpa menanam di dunia. Manusia yang dalam
hidupnya hanya berorientasi untuk mendapatkan kesejahteraan dunia, tanpa beriman
kepada akhirat dan berorientasi untuk mendapatkan kesejahteraan di dunia tanpa
beriman kepada akhirat dan berorientasi untuk mendapatkan kesejahteraan di alam
keabadian.104
Hal ini, tercermin pada doa yang berikut:
“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka berzikirlah kepada
Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyang kamu, bahkan
103
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, 31 104
Ismail. Konsep Kesejahteraan Sosial Perspektif Al-Qur‟an46.
35
berzikirlah lebih dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: "Ya
Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan di akhirat dia tidak
memperoleh bagian apapun dari kebaikan dan kesejahteraan)” (Q.S. Al-
Baqarah 2: 200).105
Manusia yang demikian adalah manusia yang totalitas hidupnya didedikasikan
untuk kesejahteraan dunia, tetapi etos kerja, perjuangan, dan jerih payahnya tidak
bermakna bagi kehidupan di akhirat. Al-Qur`an melukiskan nasib orang-orang kafir
di akhirat pada ayat yang berikut:
“Dan orang-orang yang kafir, amal perbuatan mereka seperti fatamorgana di
tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi
apabila (air) itu didatangi tidak ada apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah
baginya (kekal dalam azab Allah).” (Q.S. Al-Nur 24: 39).106
Di dalam Al-Qur`an, masyarakat sejahtera dinamakan al-muflihûn, yang secara
harfiah berarti orang-orang yang beruntung. Masyarakat sejahtera (al-muflihûn) yang
ditawarkan Al-Qur`an yang menjadi cita-cita dan perjuangan orang-orang beriman
tercermin pada ayat Al-Qur`an yang berikut:
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata
105
Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, 31 106
Ibid, 355
36
mereka mendustakan (ayat- ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai
dengan apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. Al-A‟raf 7: 96).107
Al-Quran telah meletakkan mekanisme-mekanisme tertentu bagi yang ingin
mencapai al-falah ini. Secara mudahnya, mekanisme yang dikenal pasti sebagai
formula untuk mencapai kejayaan atau sejehateraan hidup adalah dengan menghayati
unsur-unsur murni seperti keimanan yang tinggi, amal soleh, taqwa, al-amr bi al-
ma`ruf wa al nahy `an al-munkar, akhlak yang terpuji dan nilai-nilai luhur yang
tercermin dalam setiap perlakuan manusia. Firman Allah SWT sebagai berikut:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,(1). (yaitu) orang-
orang yang khusyu' dalam sembahyangnya,(2) dan orang-orang yang
menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, (3) dan
orang-orang yang menunaikan zakat,(4) dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, (5). kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka
miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.(6)” (Q.S al-
Mu‟miūun/23: 1-6)108
Oleh karena itu siapa saja yang mau melakukan amal kebaikan dan beriman
kepada Allah Swt. Maka Allah telah berjanji akan memberikan balasan berupa
kehidupan yang baik di dunia dan pahala di akhirat yang lebih baik dari apa yang
telah dikerjakannya. Kehidupan yang baik dapat diartikan sebagai kehidupan yang
aman, nyaman, damai, tenteram, rizki yang lapang, dan terbebas dari berbagai macam
beban dan kesulitan yang dihadapinya,
107
Ibid. ,163 108
Ibid. , 342
37
BAB III
AYAT DAN TAFSIRAN TENTANG KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
A. Tafsir Al-Maraghi
1. Q.S Al-An`ām ayat 82
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka
itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An‟ām 6: 82).109
Al-Maraghi menafsirkan kata aẓ-Ẓulma pada ayat di atas adalah sesuatu yang
membaurkan keimanan seseorang kepada Allah, sehingga keimanan itu berkurang,
yaitu syirik di dalam akidah atau ibadah.110
Umpamanya menjadikan penolong selain
Allah. Yang bersama-sama dengan-Nya atau tanpa Dia. Ia dimohon penolongannya.
Maka, ia diagungkan seperti Dia diagungkan, dan dicintai seperti Dia dicintai, karena
keyakinan bahwa ia kuasa untuk mendatangkan manfaat atau kemudaratan dengan
sendirinya, atau dengan pengaruh terhadap kehendak dan kekuasaan Allah.
Jadi, yang dimaksud disini bukan kezaliman manusia terhadap dirinya sendiri
karena melakukan sebagian kemudaratan, atau meninggalkan sebagian manfaat
karena tidak tahu atau meremehkan. Bukan pula kezaliman terhadap orang lain
dengan sebagian tindakan dan hukumnya. Maksud ini diketahui dari hadis yang
dijadikan penafsir sebagai penguat penjelasannya yaitu hadis riwayat Ahmad,
Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lain-lain dari Ibnu Mas`ud. Ia mengatakan, ketika
ayat ini diturunkan, hal itu terasa sulit bagi orang-orang. Mereka bertanya, “Ya
Rasulallah, siapakah di antara kita yang tidak berlaku zalim terhadap dirinya?”
Rasulullah ṣallallahu `alaihi wasallam, menjawab :”Ia bukan seperti yang beliau
109
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, 138 110
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha
Putram 1992), 305
37
maksudkan. Tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan oleh hamba yang shalih:
“Hai anakku, janganlah kamu persekutukan Allah, sesungguhnya menyekutukan
38
Allah itu benar-benar kezaliman yang berat.”
Sedangkan yang dimaksud dengan keamanan Al-Maraghi menjelaskan bahwa
keamanan adalah keamanan dari azab Allah yang menimpa kepada orang yang
beriman dan ibadahnya diridhai oleh Allah. Yakni: sesungguhnya orang-orang yang
beriman kepada Allah Ta`ala dan tidak mencampurkan keimanannya dengan
lezaliman yang besar, yaitu mempersekutukan-Nya, hanya bagi merekalah tanpa yang
lainnya keamanan kekekalan di negeri azab (neraka). Sedang di balik itu mereka
berada antara harap dan cemas.111
Sampai pada titik ini, penulis melihat bahwa Al-Maraghi tidak banyak
mengeluarkan komentar dalam menafsirkan ayat ini. beliau berhenti hanya pada
maksud periwayatan hadis zhulum adalah syirik (menyekutukan Allah) dan aman
adalah keamanan dari kekekalan di negeri azab yakni neraka.
2. QS. Al-A’raf ayat 96
“Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A‟rāf 7: 96).112
Al-Maraghi menjelaskan akibat dari ketaatan kepada seruan Nabi Muhammad
shalallahu `alaihi wasallam untuk beribadah kepada Allah semata dan mereka mau
meninggalkan segala yang dilarang, seperti syirik dan berbuat kerusakan di muka
bumi dengan melakukan kekejian dan dosa-dosa, adalah Allah akan turunkan pada
mereka hujan yang bermanfaat yang dapat menyuburkan tanah dan memberikan
kemakmuran hidup dalam negeri serta Allah datangkan kepada mereka ilmu-ilmu,
bermacam-macam pengetahuan dan kepahaman tentang sunah-sunah alam semesta
111
Ibid. , 306 112
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah,163
39
yang belum pernah dicapai oleh umat manusia sebelumnya. Kesimpulannya bahwa
andaikan mereka mau beriman niscaya Allah beri mereka kekayaan yang sangat luas
dari segala penjuru, dan Allah mudahkan mereka mendapat ganti dari hukuman-
hukuman yang telah menimpa mereka, sebagian dari langit dan ada pula dari bumi.113
Sebuah pedoman yang diakui oleh Al-Qur`an Karim ialah, bahwa iman yang
benar dan agama yang haq adalah penyebab datangnya kebahagiaan dunia, dan dalam
soal materi selain orang mukmin, orang kafirpun ikut pula merasakannya
sebagaimana firman Allah Ta`ala:
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada
mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka;
sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada
mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu
mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An‟ām 44).114
Al-Maraghi dalam menentukan kesejahteraan seseorang tidaklah semata-mata
menilai hanya dari materi saja karena dibukanya semua pintu kesenangan itu adalah
sebagai cobaan dan ujian bagi mereka, yang akibatnya di antara mereka ada yang
lupa daratan dan semakin jahat, bukannya bersyukur kepada pemberi nikmat.
Sehingga kesenangan itu berubah menjadi bencana, bukan nikmat, dan menjadi fitnah
bukan berkah. Lain halnya orang-orang yang beriman. Bagi mereka dibukakannya
pintu-pintu kesenangan oleh Allah menjadikan mereka bersyukur kepada-Nya dan
berterima kasih atas anugrah-Nya, lalu digunakan untuk hal-hal yang baik, bukan hal-
hal yang buruk, dan untuk kepentingan pembangunan, bukan kerusakan. Oleh
113
Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, 28 114
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, 132.
40
karenanya, mereka mendapat balasan berupa semakin bertambahnya kenikmatan di
dunia dan pahala yang baik kelak di akhirat.115
بىا فأخذوبهم بمب كبوىا يكسبىن .... ولكه كذ
Akan tetapi penduduk kota-kota itu tidak beriman dan tidak bertakwa, bahkan
mendustakan. Maka kami hukum mereka atas perbuatan yang mereka lakukan yang
berupa kemusyrikan dan kemaksiatan yang merusak stabilitas masyarakat manusia.
Menurut AL-Maraghi Hukuman keras itu, sebenarnya merupakan dampak yang
lazim dari perbuatan maksiat yang mereka lakukan, berdasarkan sunnah-sunnah yang
telah Allah terapkan pada alam semesta, dan merupakan pelajaran bagi orang lain,
semisal mereka andaikan mau berfikir tentang hukum-hukum umum dari alam ini,
yang takkan berubah dan takkan berganti. 116
3. QS. An-Nūr 55
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan
bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar
akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi
aman sentausa. mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan
115
Ibid. 116
Ibid. , 29
41
sesuatu apapun dengan Aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)
itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nūr 24: 55)117
Dalam menafsirkan ayat di atas Al-Maraghi mula-mula mengingatkan kita
barang siapa menaati Rasul, berarti dia telah mengikuti jalan yang haq, dan barang
siapa mengikuti jalan yang haq, maka balasannya adalah surga yang penuh
kesenangan. dan janji Allah bahwa Dia akan menjadikan kaum mu`minin yang taat
kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai khalifah di bumi, meneguhkan kedudukan
mereka dengan pertolongan dan kemuliaan, serta menjadikan mereka merasa aman
setelah merasa takut kepada musuh, sehingga mereka hanya menyembah kepada
Allah semata dalam keadaan aman. Tetapi, barangsiapa mengingkari semua nikmat
ini sesudah itu, berarti dia telah durhaka kepada Tuhannya, dan kafir terhadap
nikmat-Nya.118
Al-Maraghi menjadikan kehidupan Rasul dan para sahabat sebagai contoh
nyata pemenuhan janji Allah atas orang mu‟min, Allah Ta`ala telah memenuhi janji-
Nya, Rasulullah ṣalallahu „alaihi wasallam tidak wafat hingga beliau menaklukkan
kota Makkah, Khaibar, Bahrain dan seluruh wilayah Jazirah Arab, memungut upeti
dari orang-orang Majusi Hajar dan sebagian penduduk Syam, serta menerima hadiah
dari Haraclius. Raja Romawi, Maquqis di Mesir dan Najasyi Raja Habsyah. Setelah
Rasulullah ṣalallahu „alaihi wasallam wafat urusan dipegang oleh Al-Khulafa` Ar-
Rashidin yang mengikuti jejak beliau. Mereka banyak menaklukkan wilayah Barat
dan Timur, merobek-robek kerajaan para kisra (gelar raja Persia) menguasai
kekayaan mereka dan memperbudak para pengikut kaisar (gelar raja Romawi).119
Hadis shahih dari Tabrani dan Hakim diriwayatkan dari Ubay bin Ka`ab ketika
Rasulullah ṣalallahu `alaihi wasallam. Para sahabatnya tiba di Madinah dan
dilindungi oleh orang-orang Anshar, maka orang-orang Arab memanah mereka
secara serempak sehingga mereka bermalam dengan selalu memegang senjata hingga
pagi. Mereka berkata, “lihatlah, kami akan tetap berjaga hingga kami dapat tidur
117
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, 357 118
Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, 229 119
Ibid, 229
42
dengan aman dan tenang. Kami hanya takut kepada Allah!.120
Maka Allah
menurunkan ayat ini.121
....
Dan sungguh Dia akan mengubah keadaan mereka dari merasa sakut menjadi
merasa aman. Ar-Rabi` mengatakan dari Anas, bahwa lebih dari sepuluh tahun di
Makkah, nabi ṣalallahu `alaihi wasallam dan para sahabatnya menyeru manusia
kepada Allah semata dan beribadah kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan
suatu apapun. Mereka melakukan hal itu dalam keadaan takut dan belum diperintah
untuk berperang. Hingga ketika kemudian mereka diperintah untuk hijrah ke Madinah
dan telah datang ke sana, Allah menyuruh mereka untuk berperang. Mereka menjadi
takut, sehingga setiap berjalan dan tidur hingga pagi, mereka senantiasa memegang
senjata, namun mereka brnar-benar bersabar. Kemudian seorang lelaki di antara para
sahabat bertanya. “Ya Rasulullah, akankah selamannya kami dalam takut seperti ini?.
Akan datangkah suatu hari untuk kami merasa aman dan meletakkan senjata?”
Rasulullah ṣalallahu `alaihi wasallam, menjawab, “Kalian akan bersabar hanya
dalam waktu sebentar hingga seorang lelaki di antara kalian duduk di tengah orang
banyak dengan merangkak tanpa ada besi di dalamnya.” Kemudian Allah
menurunkan ayat: Wa‟adallahul-ladzina amanu...
Senada dengan ayat tersebut ialah firman Allah:
120
Muḥammad bin „Abdillāh Al-Ḥākim al-Naisābūrī, Al-Mustadrāk „alā al-Ṣaḥīhain (Beirut:
Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1982), II, 435 121
Ahmat Hatta, Tafsir Qur‟an Perkata dilengkapi Asbabunnuzul dan Terjemah, (Jakarta:
Maghfirah, 2011) 357.
43
“[D]an ingatlah (hai Para Muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi
tertindas di muka bumi (Mekkah), kamu takut orang-orang (Mekkah) akan
menculik kamu, Maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan
dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki
dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Anfāl 8: 26).122
Kemudian Allah mengemukakan alasan mengapa mereka diberi kekuatan dan
sebagainya. “Mereka beribadah kepada-Ku tanpa takut kepada seorang pun selain
Aku”.123
B. Tafsir Al-Mishbah
1. QS Al-An’am 82
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka
itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An‟ām 6: 82).124
Ayat 82 di atas dipahami oleh mayoritas ulama tafsir sebagaimana kelanjutan
dari ucapan Nabi Ibrahim as, sehingga ayat tersebut menjadi jawaban terhadap
pertanyaan yang diajukan tentang golongan siapa yang lebih berhak mendapat
keamanan. Ini diperkuat oleh ayat 83 yang secara tegas masih menunjuk kepada Nabi
Ibrahim as. Ada juga yang memahaminya sebagai kalimat baru yang tidak
berhubungan secara langsung dengan ayat sebelumnya, dengan kata lain dialog Nabi
Ibrahim as, dengan kaumnya berakhir dengan penutup ayat 81. 125
Ayat 82 di atas pernah membingungkan sementara sahabat Nabi “Siapakah di
antara kita yang tidak melakukan kezaliman atas dirinya?” yakni siapakah yang tidak
berdosa sehingga mencampurkan keimanannya dengan kezaliman? Jika demikian kita
semua dalam bahaya, tidak memperoleh keamanan, demikian lebih kurang ucapan
mereka. Nabi Shalallahu `alaihi wasallam menjelaskan bahwa, makna ayat ini bukan
122
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, 180 123
Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, 230 124
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, 138 125
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol 4, cet 3 (Jakarta: Lentera Hati, Jakarta, 2005),
170.
44
seperti makna yang kalian duga. Tidakkah kalian mendengar/mengetahui apa yang
diucapkan oleh hamba Allah yang shaleh (Luqman as) bahwa: “sesungguhnya syirik
adalah penganiayaan yang besar” (QS Luqman 31:13), yang dimaksud ayat ini
adalah syirik. Demikian penjelasan Rasul saw. Sebagaimana diriwayatkan oleh
Bukhari, Muslim, at-Tirmizi dan lain melalui sahabat Nabi Abdullah bin Mas/ud.126
Firman-Nya (لم يلبسىا) tidak mencampuradukkan mengandung makna
melakukan dua hal yang serupa tetapi tidak sama dalam satu waktu, syirik atau
mempersekutukan Allah swt, adalah menggabung dua hal yang serupa, yang pertama
mengakui ketuhanan Allah Allah swt, serta kewajarannya untuk disembah, dan kedua
mengakui kewajaran selain-Nya untuk disembah, dan karena pennyembahan selain-
Nya adalah penempatan sesuatu bukan pada tempatnya, maka yang demikian dinamai
zhulum. Melakukan kedua hal itu secara bersamaan menjadikan keimanan mereka
kepada Tuhan bercampur dengan zhulum.127
M. Quraish Shihab juga menjelaskan pendapat lain az-Zamkasyari yang
berpendapat bahwa kata zhulum mancakup kedurhakaan selain syirik. Hanya saja
pendapat ini tidak sejalan dengan konteks ayat yang merupakan ucapan Nabi Ibrahim
as yang ketika itu baru berusaha meyakinkan kaumnya, tentang keesaan Allah. Atau
baru dalam proses pencarian Tuhan Yang Maha Esa, belum lagi berdakwah agar
menghindar dari kedurhakaan. Di sisi lain, pendapat tersebut tidak sejalan dengan
penjelasan Rasul saw kepada sahabat-sahabat beliau yang telah dikemukakan di
atas.128
Firman-Nya ( أولئك لهم المه ) mereka itulah yang mendapat keamanan,
mengandung makna bahwa mereka sangat wajar mendapat rasa aman yang sifatnya
istimewa yang hanya khusus bagi mereka. Seakan-akan segala keamanan dalam
126
Hadis ini terdapat dalam kitabnya Muḥammad bin „Īsā bin Saurah al-Tirmiżī, Al-Jāmi„ al-
Ṣaḥīḥ: Sunan al-Tirmiżī (Mesir: Maktabah wa Maṭba„ah Muṡṭafā al-Bābī al-Ḥalabī wa Aulādihi,
1975), V, 262. Aḥmad bin Muḥammad bin Ḥanbal al-Syaibānī, Musnad al-Imām Aḥmad bin Ḥanbal
(Beirut: Mu‟assasah al-Risālah, 1996), VI, 68-69. Dan Aḥmad bin Muḥammad bin Ḥanbal al-Syaibānī,
Musnad al-Imām Aḥmad bin Ḥanbal, VII, 129 127
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol 4, 172 128
Ibid.
45
segala aspeknya akan mereka peroleh, karena itu para pakar bahasa menyatakan
bahwa redaksi semacam ini jauh lebih dalam dan mantap maknanya dari pada
seandainya ayat ini menyatakan ulāika humul āminūn mereka itulah orang-orang
yang aman.129
Jika kata zhulum pada ayat ini dipahami dalam arti syirik, maka keamanan yang
dimaksud adalah kemanan dari siksa duniawi yang memunahkan orang-orang
durhaka dan dari siksa ukhrawi yaitu kekelan di neraka. Jika kata zhulum dipahami
dalam segala macam dosa, maka tentu saja keamanan yang dimaksud adalah
kesejahteraan hidup duniawi dan keberkahannya serta kabahagiaan ukhrawi dengan
peringkat sangat tinggi di akhirat nanti.
Dan pendapat senada yang diungkapkan Syaikh Abdurrahman an-Nashir as-
Sa‟di dalam tafsirnya Allah berfirman untuk memberi keputusan kepada kedua
kelompok “orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan keẓaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan, dan mereka itu
adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Aman dari ketakutan, azab dan
kesengsaraan serta mendapatkan hidayah kepada jalan yang lurus. Jika mereka tidak
mencampur iman dengan kezhaliman secara mutlak, baik itu syirik dan kemaksiatan,
maka mereka mendapatkan rasa aman dan hidayah yang sempurna.130
Firman-Nya ( هتدون وهم م ) mereka itu adalah muhtadūn mengandung makna
bahwa mereka adalah orang-orang yang mengetahui tujuan yang benar cara-cara
mencapai tujuan itu serta kemampuan untuk mencapainya. Ini karena kata hidayat
adalah petunjuk jalan menuju arah yang benar dan baik. Kata hidayat biasanya tidak
digunakan kecuali untuk sesuatu yang baik atau benar.
Nabi Ibrahim tidak berkata “Siapa di antara kita?” tetapi berkata: “manakah di
antara dua golongan?” agar perbandingan itu tidak hanya terbatas antara beliau
dengan kaum yang dihadapinya saja ketika itu, tetapi mencakup semua manusia yang
129
Ibid. 130
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‟di, Tafsir Al-Qur‟an , Cet ke-VI (Jakarta, Darul Haq:
2016) 484
46
mengesakan Allah dan semua yang mempersekutukan-Nya kapan dan dimanapun. Di
sisi lain dengan kalimat ini beliau tidak mengklaim bahwa beliau adalah yang benar,
tetapi menyerahkan kepada mitra dialog untuk berfikir bersama siapa di antara kedua
kelompok yang benar. Ini serupa dengan pengajaran Allah swt kepada Nabi
Muhammad Saw, ketika beliau diperintahkan untuk menyampaikan kepada orang-
orang musyrik: “Sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada
dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah:”Kamu tidak akan
ditanya (tanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan
ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat” (QS. Saba` 34:24-25). Perhatikan
juga bagaimana beliau tidak diperintah untuk menamai apa yang mereka lakukan
sebagai dosa, tetapi menamainya apa yang kamu perbuat, walau dalam saat yang
sama menyatakan tentang perbuatan-perbuatan kaum muslim sebagai dosa yang kami
perbuat yakni dosa menurut dugaan kalian.131
2. QS al-A’raf 96
“Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A‟rāf 7: 96).132
Demikianlah siksa dijatuhkan Allah atas mereka yang durhaka, padahal jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri yang kami kisahkan keadaan mereka atau selain
mereka beriman kepada Rasul-Rasul mereka ketika para Rasul itu atau ajarannya
datang kepada mereka dan bertakwa, yakni melaksanakan perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya, pastilah Kami, yakni Allah melalui makhluk-Nya
131
Shihab, Tafsir Almishbah, 173. 132
Ibid, Vol 5, 163
47
melimpahkan kepada mereka berkah-berkah yakni aneka kebajikan yang sangat
banyak dari langit dan bumi yang menghasilkan kesejahteraan lahir dan bathin, tetapi
mereka mendustakan para Rasul dan ayat-ayat Kami maka Kami siksa mereka
disebabkan apa, yakni kedurhakaan yang mereka terus-menerus lakukan sejalan
dengan kebejatan jiwa mereka.133
Kata ( لى ) jikalau digunakan dalam arti perandaian terhadap sesuatu yang
mustahil /tidak mungkin lagi akan terjadi. Ini berbeda dengan kata (اذا) apanila
digunakan untuk menggambarkan perandaian yang diduga keras akan terjadi.
Penggunaan kata Law disini menunjukkan melimpahnya keberkahan untuk penduduk
negeri-negeri yang durhaka itu adalah sesuatu yang mustahil. Kendati demikian ayat
ini dapat juga dipahami sebagai mengisyaratkan salah satu sunnah Allah yang lain,
yaitu bahwa Allah akan melimpahkan aneka anugrah dan keberkahan kepada
penduduk negeri yang beriman dan bertakwa. Sejarah Islam menunjukkan bahwa
penduduk Mekkah yang durhaka kepada Allah swt, mengalami masa-masa sulit
bahkan paceklik selama tujuh tahun, sedangkan penduduk Madinah hidup aman dan
sejahtera di bawah bimbingan Rasulullah ṣalallahu „alai wasallam.134
Keimanan menjadikan seseorang selalu merasa aman dan optimis, dan ini
mengantarkan hidup tenang dan dapat berkonsentrasi dalam usahanya, itu sebabnya
keimanan kepada Allah selalu ditekankan dalam segala hal, termasuk dalam upaya
memperoleh rizki. Sekian banyak ayat yang menyatakan bahwa Allah adalah
penjamin rezeki: “Tidak ada satu binatang melatapun di dunia ini kecuali Allah yang
menjamin rezeki-Nya” (QS. Hud: 6). Lebih jauh ditegaskan-Nya: “berapa banyak
binatang yang tidak dapat mengurus rezekinya, Allah yang memberi rezeki juga
kepadamu.” (QS. Al-Ankabut: 60)
Ini bukan anjuran menanti kedatangan rezeki tanpa usaha, tetapi tujuannya
adalah menanamkan rasa percaya diri, mengembangkan cinta kasih, serta kesenangan
bathin bila rezeki yang diharapkan belum kunjung tiba. Ketakwaan penduduk suatu
133
Ibid. 134
Ibid, .182
48
negeri menjadikan mereka bekerja sama dalam kebajikan dan tolong menolong dalam
mengelola bumi serta menikmatinya bersama/semakin kukuh kerja sama dan semakin
tenang jiwa, maka akan semakin banyak pula yang dapat diraih dari alam raya ini.
Sebaliknya mempersekutukan Tuhan menjadikan perhatian tertuju kepada
sekian sumber yang berbeda-beda, dan ini mengakibatkan jiwa tidak tenang, sehingga
tidak dapat berkonsentrasi dalam usaha. Di sisi lain kedurhakaan mengakibatkan
kekacauan dan permusuhan, sehingga tenaga dan pikiran tidak lagi tertuju kepada
upaya meraih kesejahteraan, tetapi berupaya menggapai membentengi diri dari
ancaman sesama. Demikian Allah melimpahkan keberkatan bagi yang percaya dan
bertakwa dan menghalanginya bagi yang kafir dan durhaka.135
Sayyid Qutub tentang ayat ini dan ayat sebelumnya bahwa di dihadapan teks itu
kita berhenti menghadapi salah satu hakikat keagamaan, sekaligus merupakan hakikat
kehidupan umat manusia dan hakikat alam raya. Kita berhenti di hadapan satu faktor
dari sekian faktor yang mempengaruhi sejarah umat manusia, kendati diabaikan oleh
filsafat manusia bahkan diingkari secara total olehnya.136
Keimanan kepada Allah tulis Sayyid Qutub lebih jauh adalah bukti kegiaatan
fitrah manusia dan berfungsinya dengan baik alat-alatnya. Ia adalah bukti kebenaran
pengetahuan manusia, serta dinamisme organ-organnya. Ia menghasilkan kelapangan
dalam bidang rasa menyangkut hakikat wujud, dan semua itu adalah fator-faktor
utama untuk meraih sukses dalam kehidupan nyata. Keimanan kepada Allah adalah
pendorong yang sangat kukuh: ia menghimpun semua potensi manusia dan
mengarahkannya kepada satu tujuan sambil memberinya kebebasan untuk meraih
dukungan dari kekuatan Allah, dan melakukan aktifitas sesuai dengan kehendak-Nya.
Yaitu membangun dunia ini dan memakmurkannya, membendung kerusakan dan
penganiayaan serta mengembangkan kualitas hidup dan mengembangkannya. Semua
ini juga adalah faktor-faktor utama untuk meraih sukses dalam kehidupan nyata.
Keimanan kepada Allah membebaskan manusia dari ketundukan kepada hawa nafsu
135
Ibid. , 183 136
Ibid.
49
dan perhambaan diri kepada manusia, dan tidak dapat disangkal bahwa manusia yang
bebas akibat ketundukannya kepada Allah semata, lebih mampu untuk menjadi
khalifah di bumi, kekhalifaan yang lurus bersinambung dan terus menerus, dibanding
mereka yang menjadi hamba-hamba hawa nafsu atau menjadi hamba-hamba sesama
manusia. Adapun ketakwaan kepada Allah, maka ia adalah kesadaran yang
bertanggung jawab yang memelihara manusia dari kecerobohan, ketidak adilan dan
keangkuhan. Ia merupakan pendorong gerak dan pendorong hidup. Ia yang
mengarahkan kegiatan manusia dengan hati-hati sehingga tidak bertindak sewenang-
wenang, tidak ceroboh dan tidak melampaui batas kegiatan yang bermanfaat.137
Thabathaba`i ketika menafsirkan ayat ini antara lain menulis bahwa alam raya
dan segala bagiannya yang rinci, saling berkaitan antara satu dengan yang lain
bagaikan satu badan dalam keterkaitannya pada rasa sakit atau masa sehatnya, juga
dalam pelaksanaan kegiatan dan kewajibannya. Semua saling pengaruh
mempengaruhi, dan semua pada akhirnya sebagaimana dijelaskan Al-Qur`an
bertumpu dan kembali kepada Allah swt. Apabila salah satu bagian tidak berfungsi
dengan baik atau menyimpang dari jalan yang seharusnya ia tempuh, maka akan
nampak dampak negatifnya pada bagian yang lain dan ini pada gilirannya akan
mempengaruhi seluruh bagian. Hal ini berlaku terhadap alam raya dan merupakan
hukum alam yang diterapkan Allah swt, yang tidak mengalami perubahan termasuk
terhadap manusia dan manusia pun tidak mampu mengelak darinya. Masyarakat
manusia yang menyimpang dari jalan lurus yang ditetapkan oleh Allah swt bagi
kebahagiaannya, penyimpangannya dalam batas tertentu itu menjadikan keadaan
sekelilingnya termasuk hukum-hukum sebab akibat yang berkaitan dengan alam raya
dan yang mempengaruhi manusia ikut terganggu dan ini pada gilirannya
menimbulkan dampak negatif. Bila itu terjadi, maka akan lahir krisis dalam
kehidupan bermasyarakat serta gangguan dalam interaksi sosial mereka, seperti krisis
moral, ketiadaan kasih sayang, kekejaman bahkan lebih dari itu akan bertumpuk
137
Ibid. , 183
50
musibah dan bencana alam, seperti keenggenan langit menurunkan hujan atau bumi
menumbuhkan tumbuhan, banjir dan air bah, gempa bumi dan bencana alam lainnya.
Semua itu adalah tanda-tanda yang diberikan Allah swt, untuk memperingatkan
manusia kembali ke jalan yang lurus. Kalau mereka enggan kembali, maka di sanalah
hati mereka dikunci dan ketika itu mereka menduga bahwa kehidupan tidak lain
kecuali kehidupan material yang penuh dengan krisis, dan bahwa kehidupan tidak
lain kecuali upaya untuk menghadapi alam dan menundukkannya. Dan ketika itu
manusia mangatur hidupnya atas dasar pandangan tersebut, serta berusaha sekuat
tenaga dan pikirannya untuk menciptakan dengan ilmu dan teknologi apa yang dapat
menghalangi bencana alam. Tetapi sungguh manusia sangat kufur lagi angkuh ketika
mereka menduga bahwa ilmu dan teknologinya akan dapat mengalahkan kekuatan
Allah Yang Maha Kuasa. Betapa dia dapat mengalahkan-Nya sedang manusia dan
alam raya semuanya berada di bawah kekuasaan-Nya dan Dia pula bukan selain-Nya
yang menghubungkan partikel-partikel kecil sampai dengan yang terbesar antara satu
dengan yang lain dan seluruh bagian jagad raya ini. Demikian lebih kurang
Thabathaba`i.138
Kata ( فتحىب ) yang diterjemahkan dengan Kami limpahkan terambil dari kata (
yang bermakna membuka. Kata ini pada hakikatnya bermakna menyingkirkan ( فتح
penghalang yang mencegah sesuatu untuk masuk. Jika Allah turun tangan
menyingkirkan penghalang, maka itu berarti pintu akan terbuka sangat lebar dan ini
mengantar melimpah dan masuknya segala macam kebajikan melalui pintu itu.139
Kata ( بزكبت ) adalah bentuk jamak dari kata ( بزكة ) yakni aneka kebajikan
rohani dan jasmani. Kata ( بزكة ) bermakna sesuatu yang mantap juga berarti
kebajikan yang melimpah dan beraneka ragam serta bersinanbung. Kolam dinamai
birkah, karena air yang ditampung dalam kolam itu menetap mantap di dalamnya
tidak tercecer kemana-mana.140
138
Ibid. , 184 139
Ibid. 140
Ibid.
51
Keberkatan Ilahi datang dari arah yang seringkali tidak diduga atau dirasakan
secara material dan tidak pula dapat dibatasi atau bahkan diukur. Teks ayat ini dan
ayat-ayat lain yang berbicara tentang keberkahan tersebut merupakan curahan dari
berbagai sumber, dan langit dan dari bumi melalui segala penjurunya. Dari sini
segala penambahan yang tidak terukur oleh indera dinamai berkat. Keberkatan dari
langit dapat juga dipahami dalam arti keberkatan spiritual dan keberkatan bumi
adalah keberkatan material.141
3. QS. An-Nūr 55
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan
bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar
akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi
aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)
itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nūr 24: 55)142
Quraish Shihab menuliskan pendapat Al-Baqa`i dan Thahir Ibn `Asyur tentang
kaitan antara ayat ini dengan ayat sebelumnya, lalu menepisnya menandakan bukan
141
Ibid. 185 142
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, 357
52
itu yang terpenting. Apapun hubungannya, yang jelas ayat ini menyatakan. Dan Allah
telah menjanjikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan membuktikan
keimanannya dengan mengerjakan amal-amal yang shaleh yakni yang baik dan
bermanfaat sesuai tuntunan agama untuk menganugrahkan mereka kekuasaan, dan
Dia bersumpah bahwa Yang Maha Kuasa itu pasti akan menjadikan mereka
penguasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
penguasa, dan pasti Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang mereka anut
yang telah dirhidai-Nya untuk mereka yakni agama Islam, dan Dia benar-benar akan
mengganti buat mereka sesudah ketakutan yang mencekam mereka dengan rasa
aman sentasa yang sangat mendalam.143
Kata ( مىكم ) dipahami oleh sementara para ulama dalam arti sebagian dari
kamu. Ada juga yang memahaminya hanya tertuju kepada masyarakat Nabi dan
sahabat-sahabat beliau, yang hidup pada abad pertama hijriah, sehingga kata ( الارض )
mereka pahami dalam arti kota Mekkah atau paling tinggi wilayah kekuasaan Khulafa
ar-Rashidin. Pendapat tersebut membatasi pengertian ayat ini, padahal tidak
ditemukan qarinah/indikator yang jelas untuk pembatasannya, karena itu pendapat
yang memahaminya dalam arti umum, bahkan memahaminya sebagai salah satu
hukum kemasyarakatan adalah pendapat yang lebih tepat.
Kata ( عمل ) dipahami dalam arti penggunaan daya. Manusia memiliki empat
daya pokok. Daya fisik, daya pikir, daya kalbu dan daya hidup. Dalam fisik
melahirkan keterampilan, daya pikir melahirkan ilmu dan teknologi, daya kalbu
mengantar kepada keimanan dan akhlak yang luhur, berimajinasi serta mendorong
lahirnnya seni, sedang daya hidup menjadikan seseorang mampu menghadapi aneka
tantangan serta menyesuaikan diri dengan lingkungan. Penggunaan salah satu dari
daya ini dinamai `amal.
Kata ( صبلحبت ) terambil dari kata ( صلح ) yang biasa dipahami dalam arti baik
atau bermanfaat. Sesuatu yang saleh adalah yang terpelihara nilai-nilainya sehingga
143
Ibid.
53
dapat tetap berfungsi dengan baik dan bermanfaat. seorang yang beramal saleh
dituntut untuk memelihara ciptaan Allah agar tetap berfungsi, juga dituntut untuk
melakukan kegiatan memulihkan nilai sesuatu yang berkurang atau hilang sehingga
menjadi baik dan bermanfaat lagi, bahkan jika dapat maka hendaknya ia melakukan
amal yang dapat melahirkan nilai tambah bagi sesuatu itu, sehingga kualitas dan
manfaatnya lebih tinggi dari semula.
Qurai Shihab menjelaskan maksud mengerjakan amal-amal shaleh pada ayat ini
tentu bukan semua amal saleh, tetapi sebagian besar dari amal-amal saleh itu yang
kadarnya cukup untuk menjadikan seseorang digelar sebagai orang saleh dan
kumpulan dari mereka dinamai masyarakat yang saleh. Memang amal-amal saleh
yang diamalkan oleh mayoritas anggota masyarakat akan memberi dampak bagi
perkembangan positif masyarakat itu, menjadikan mereka kuat dan sejahtera lahir dan
batin serta mengantar terjalinnya hubungan harmonis antar semua pihak sesuai
dengan tuntunan agama.144
Qurai Shihab menambahkan Thahir Ibn `Asyur menggaris bawahi sekian
banyak tuntunan agama baik dari Al-Qur`an maupun as-Sunnah yang menjadi syarat
pokok bagi tercapainya janji ini. Antara lain firman-Nya.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Naḥl 16: 90).145
144
Ibid, 186 145
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, 277
54
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu.” (QS. An-Nisa‟ 4: 29).146
Juga firman-Nya yang mengandung kecaman kepada para pendurhaka agar
dihindari oleh kaum beriman, yakni:
…
“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk Mengadakan
kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak,..” (QS.
Al-Baqarah 2: 205).147
dan firman-Nya
“Maka Apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di
muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS. Muhammad 47:
22).148
Di sisi lain Rasul ṣalallahu „alaihi wasallam telah menjelaskan pula
kebijaksanaan yang harus ditempuh oleh para penguasa terhadap rakyat dan anggota
masyarakat secara umum, juga terhadap musuh dalam peperangan, perdamaian dan
perjanjian serta menjelaskan pula prinsip-prinsip interaksi antar anggota masyarakat.
Nah, jika para penguasa dan masyarakat umum mengindahkan tuntunan yang
dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya di atas, niscaya janji Allah ini pasti terlaksana.
Kalau ada masyarakat non-Muslim yang melaksanakan tuntunan di atas dan
menerapkannya dalam masyarakat mereka walau tanpa iman kepada Allah dan Rasul-
146
Ibid. , 83 147
Ibid. , 32 148
Ibid. , 509
55
Nya, maka mereka juga akan meraih sukses serupa dengan yang dapat diraih kaum
muslimin karena tuntunan-tuntunan itu telah menjadi hukum-hukum kemsyarakatan
dan sunnatullah serta sebab-sebab yang menghasilkan janji itu. Memang ketiadaan
iman serta kedurhakaan mereka kepada Allah dalam bentuk syirik, atau mengingkari
kerasulan menjadikan mereka tidak memperoleh dukungan Allah dalam menolak
bencana, namun demikian mereka dapat berhasil karena Allah subhana wata`ala,
tidak menghalangi mereka mencapai sukses itu melalui kesungguhan mereka
berusaha. Inilah yang kita lihat dewasa ini pada banyak negara di dunia Barat.
Demikian lebih kurang uraian Ibn `Asyifa.149
Sementara ulama menjadikan ayat ini sebagai isyarat tentang kekuasaan yang
diraih oleh masyarakat Nabi dan keempat khalifah beliau. Kalaupun pendapat ini
diterima, namun redaksinya yang bersifat umum dapat mencakup semua generasi
sejak masa Nabi saw hingga akhir zaman. Karena seperti dikemukakan di atas, janji
ini berkaitan dengan syarat-syaratnya yang telah hukum-hukum kemasyarakatan,
sehingga kapan dan dimanapun syarat-syarat itu terpenuhi, janji ini akan terlaksana.
Di sisi lain perlu dicatat bahwa tidak semua masyarakat yang meraih kekuasaan,
dapat dinilai sebagai telah diridhai Allah, karena pemberian kekuasaan di samping
sebagai anugrah dan ganjaran juga sebagai ujian dna cobaan. Bukankah sebagian
penguasa dan masyarakat bersifat tirani dan durhaka kepada Allah swt.?
Firman-Nya ( كمب استخلف الذيه مه قبلهم ) sebagaimana Dia telah menjadikan orang-
orang sebelum mereka penguasa. Mencakup para penguasa yang taat sebelum
kehadiran Nabi Muhammad seperti Nabi Daud, Sulaiman, Yusuf as dan lain-lain.
Kata ( الارض ) pada ayat ini dapat dipahami dalam pengertian terbatas yakni
wilayah tertentu di pentas bumi ini.
Kata ( ىه ( مكبن) yang pada mulanya dari kata ( التمكيه ) terambil dari kata ( وليمك
yakni tempat: at-tamkin adalah pemantapan disuatu tempat, dan ini mengandung arti
kehadirannya tanpa gangguan berarti. Agama bila dimantapkan pada satu tempat
149
Ibid , 391
56
maka, masyarakat di tempat itu memiliki kebebasan melaksanakan syariat agama itu
tanpa gangguan dari siapa pun. Pada awal masa Islam, kaum muslimin belum
memperoleh tamkin itu, sehingga mereka selalu dikejar-kejar, dan terpaksa
bersembunyi atau berhijrah guna menghindari dari ancaman lawan-lawan mereka.
Didahulukannya kata ( لهم ) buat mereka pada penggalan ayat di atas untuk memberi
penekanan bahwa pemantapan itu dilakukan Allah untuk mereka.
Firman-Nya (لىهم مه بعد خىفهم أمىب mengandung makna bahwa anggota ( وليبد
masyarakat mereka hidup dalam suasana penuh rasa aman tidak mengkhawatirkan
adanya serangan musuh dari dalam atau luar, bahkan hidup sejahtera terbutuhi
kebutuhan-kebutuhan pokok mereka, dalam kesehatan, pendidikan dan perlindungan
sosial secara umum, bertolak belakang dengan keadaan dan situasi yang mereka
alami sebelumnya.
Firman-Nya ( بدووىييع ) mereka menyembah-Ku merupakan uraian tentang
keadaan mereka yang dijanjikan oleh ayat ini merupakan kesimpulan syarat-syarat
peroleh janji itu dan yang sebelum ini telah diuraikan oleh Ibn `Asyur sebagaimana
penulis sadur di atas. Penggunaan bentuk kata kerja masa kini dan datang (mudhari`)
pada kata tersebut menuntut kesinambungan ibadah itu, atau dengan kata lain
kensistensi masyarakat memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan Allah dan yang
disimpulkan dalam kata beribadah kepada-Nya semata-mata.150
Penggunaan bentuk tunggal yang menunjuk Allah pada ayat ini mengisyaratkan
bahwa ibadah tersebut harus sepenuhnya tulus di arahkan kepada Allah swt, dan ini
ditegaskan lebih jauh dengan penggalan berikut yaitu (لا يشزكىن بي شيئب) yakni mereka
dalam beribadah itu tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu, tidak juga sedikit
persekutuan pun.151
150
Ibid. , 391 151
Ibid. , 392
57
C. Tafsir Al-Azhar
1. QS. Al-An’am 82
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka
itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An‟ām 6: 82).152
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanan mereka
dengan kegelapan adalah bagi mereka itu keamanan” (pangkal ayat 82)
Buya Hamka menegaskan apabila iman telah tumbuh hendaklah disiangi dan
disisipi terus, jangan dibiarkan masih ada sisa kegelapan di dalamnya. Apabila sekali
telah mengakui telah beriman bahwa diri bertuhan kepada Allah, hedaklah iman itu
dipupuk dan dipertinggi, dan mi‟rajkan jiwa kepada martabat yang lebih tinggi.
Sehingga cahaya itu bukan semata-mata diambil dari matahari lagi melainkan
langsung dari Allah. Dengan demikian maka kegelapan hilang dari dalam jiwa.
Dalam ayat ini Allah menjanjikan bahwa orang yang selalu menyiangi, sisip dan
membersihkan iman itu, mutunya bertambah tinggi akan di anugrahi oleh Allah
keamanan. Tegasnya iman menimbulkan aman dalam jiwa.153
lebih mempositifkan lagi lanjutan dari hilangnya rasa takut. Sesudah hilang rasa
takut dengan sendirinya timbul rasa aman dan tenteram, hilang segala kegelisahan
sebab kegelapan tidak ada lagi baik di luar maupun di dalam diri. Di lanjutan ayat
Allah berfirman ”dan mereka itulah orang-orang yang mendapat hidayah” (ujung
ayat 82). Itu adalah janji wajar dari Allah iman telah tumbuh rasa takut telah hilang
sebab tidak ada tempat takut kecuali Allah. Dengan sendirinya kegelapan dalam diri
152
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, 138 153
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 2003), 2095
58
menjadi hilang, bila gelap jiwa telah hilang timbullah rasa aman. Dan jika jiwa telah
aman tentram maka terbukalah ilham dan petunjuk, jalan di muka menjadi terang .154
Di sini Ibrahim menjelaskan bagaimana iman yang benar. Inilah iman yang
timbul dari kesadaran dan jiwa yang terang. Dari perjalanan fikiran, dan dari hasil
penyelidikan fikiran yang memuaskan hati. Iman yang demikian tidak bisa dicampur
dengan kegelapan. Kegelapan ialah syirik, jahil dan kebodohan. Yang segala
perbuatan yang tidak beralasan, tidak berasal dari pokok agama lalu dikatakan agama,
Di sini kita ambil arti asal dari kalimat zhulum, yaitu kegelapan yang kemudian
makna dari akibat kegelapan itu yang lebih banyak terpakai yaitu aniaya. Sebab
perbuatan yang timbul tidak dari fikiran yang sehat adalah gelelapan dan adalah
aniaya. Dengan ayat ini tegas-tegas Allah berfirman dengan perantara lidah Ibrahim
disampaikan sebagai wahyu kepada Muhammad Saw bahwa beriman yang tidak
dicampuri dengan zhulum yang berarti kegelapan berarti juga aniaya dan berarti juga
syirik. Hanya beriman yang demikian lah yang akan mendapat keamanan dalam hati,
baik keamanan perasaan di atas dunia maupun keamanan dari azab di akhirat dan
mereka itulah yang mendapat hidayah dan petunjuk dari Allah, sehingga tercapailah
kebennaran yang sejati dan sampai kepada apa yang dicita-citakan oleh tiap-tiap
manusia yang mengenal tujuan hidup yaitu ridha Allah Swt.155
2. QS al-A’raf 96
“Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A‟rāf 7: 96).156
154
Ibid. ,2095 155
Ibid. ,2096-2097 156
Kementerian Agama RI, Alqur‟an dan Terjemah, 163
59
“dan jika penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa sesungguhnya
Kami bukakan kepada mereka berkat dari langit dan bumi” (pangkal ayat 96)
Menurut Buya Hamka Keimanan dan taqwa kepada Allah adalah kunci
pembuka rezeki. Sebab kalau orang sudah beriman dan bertaqwa. fikirannya sendiri
terbuka ilhampun datang sebab iman dan taqwa itu menimbulkan silaturrahmi
sesama manusia. Lantaran itu timbullah kerja sama yang baik sebagai khalifah Allah
di muka bumi. Dengan demikian turunlah berkat dari langit dan menyemburlah
berkat dari bumi. Berkat itu dua macamnya yaitu yang hakiki dan yang ma‟nawi.157
Yang hakiki ialah yang berupa hujan membawa kesuburan bumi, maka teraturlah
tumbuhan dan keluarlah segala hasil bumi. Atau terbukalah fikiran manusia menggali
harta dan kekayaan yang terpendam dalam bumi itu, seumpama besi, emas, perak
logam dan yang lain, atau mengatur perkebunan yang luas menyuburkan ekonomi
seumpama kopra, getah dan benang emas palm dan lain-lain. Yang ma‟nawi ialah
timbulnya fikiran-fikiran yang baru dan petunjuk dari Allah, baik berupa wahyu yang
dibawakan oleh Rasul atau ilham yang ditumpahkan Allah kepada orang-orang yang
berjuang dengan ikhlas dan dengan iman dan taqwa pusaka nenek moyang bias
dipertahankan.158
“akan tetapi mereka mendustakan, maka Kami siksalah mereka dengan sebab
apa yang telah mereka usahakan”
Artinya, berkat dan nikmat itu bisa dicabut Allah kembali karena iman dan
taqwa tidak berpengaruh lagi atas jiwa penduduk negeri itu. Meskipun hujan turun
juga menurut musimnya, bukan lagi kesuburan yang akan dibawanya, melainkan
banjir yang menghalau melicin-tandaskan segala apa yang telah ditanam. Misalnya
karena tiap-tiap orang tidak ada iman dan taqwa berekut ingin cepat kaya lalu mereka
tebang hutan di sekeliling mereka, sehingga terjadi erosi.159
157
Hamka, Tafsir Al-Azhar, 2456 158
Ibid. 159
Ibid. , 2456
60
Inilah yang pernah digambarkan dengan jelas di dalam Al-Qur‟an Surat Saba‟
(surat 34) tentang penduduk negeri Saba‟ yang makmur. “Baldatun ṭoyyibatun wa
rabbun ghafūr" Negeri yang subur dan Allah Yang Pengampun. kesuburan mereka
yang bertali dan berkelindan dengan ketaatan mereka kepada Allah. Sehingga mereka
dapat mengatur perairan dan waduk (bendungan) yang teratur. Tetapi setelah anak
cucu mendapat bekas usaha orang tua, mereka hidup dengan senang dan mewah di
atas tanah yang subur, semuanya malas memelihara baik-baik pusaka itu, sehingga
bendungan jadi rusak dan kebun-kebun yang subur menjadi susut penghasilannya.
Lalu mereka berganti menjadi orang perantau, tetapi perantauan kian lama kian jauh,
sehingga kampung pangkalan jadi tingggal dan akhirnya negeri Saba‟ musnah
penduduknya habis pindah porak poranda.160
Kalau iman dan taqwa tidak ada lagi silaturrahmi sesama manusiapun padam,
bahkan berganti dengan perebutan kekayaan untuk diri sendiri biar orang lain
teraniaya. Akhirnya meskipun mereka dapat menggali kekayaan bumi, mereka
gunakan kekayaan itu buat menindas yang lemah. Sebagaimana zaman sekarang
orang menggali pertambangan manggan dan uranium untuk bahan membuat bom
atom atau senjata nuklir yang lainnya.161
Di dalam ayat ini telah Nampak pedoman hidup yang jelas, bahwasanya hidup
beriman dan bertaqwa semata-mata karena hendak mengejar masuk surga di akhirat,
bahkan terlebih dahulu menuju berkat yang berlimpah ruah dalam dunia ini. Ayat ini
menunjukkan bahwa kemakmuran ekonomi kait berkait tali bertali dengan
kemakmuran iman. Betapapun melimpahnya kekayaan bumi yang telah dibongkar
manusia, tidaklah dia akan membawa berkat kalau iman dan taqwa tidak ada dalam
jiwa, maka segala bencana yang menimpa suatu ummat, bukanlah salah dari orang
lain melainkan dari sebab usaha yang salah timbul kesalahan karena iman dan taqwa
tidak ada lagi.162
160
Ibid. , 2457 161
Ibid. 162
Ibid.
61
3. QS An-Nūr 55
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan
bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar
akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi
aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)
itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nūr 24: 55)163
Buya Hamka menjelaskan bahwa Ayar 55 ini adalah inti tujuan perjuangan
hidup dan inilah janji dan pengharapan yang telah dikemukakan Tuhan bagi setiap
Mu‟min dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keyakinan di permukaan bumi
ini. Dan pokok pendirian mesti dipegang teguh dan sekali-kali jangan dilepaskan baik
keduanya atau salah satu di antara keduanya. Pertama ialah iman atau kepercayaan.
kedua amal shaleh perbuatan baik, bukti dan bakti. Kalau iman tidak ada halauan
perkerjaan tidaklah tentu arahnya entah berakibat baik ataukah berakibat buruk, iman
sebagaimana yang telah barkali-kali diterangkan adalah pelita yang memberi cahaya
dalam hati, bersinar cahaya itu keluar dan dapatlah petunjuk, sehingga nyatalah apa
163
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, 357
62
yang dikerjakan. Oleh sebab itu iman dengan sendirinya menimbulkan amal yang
shaleh.164
Banyak pula amalan shaleh dikerjakan, tetapi jika tidak timbul dari pada iman,
bercampur aduklah di antara yang haq dan yang bathil, tetapi kalau keduanya telah
berpadu satu, amal shalih timbul dari iman dan iman menimbulkan amal, terdapatlah
kekuatan pribadi baik seorang diri ataupun masyarakat Mu‟min itu. Maka kepada
orang-orang seperti ini atau masyarakat seperti inilah Tuhan menjanjikan bahwa
mereka akan diberi warisan kekuasaan di permukaan bumi ini. Kendali bumi ini akan
diserahkan ke tangan mereka sebagaimana dahulu pun warisan demikian telah pernah
pula diberikan kepada ummat yang terdahulu dari mereka.165
Dengan sendirinya apabila kekuatan iman amal shaleh itu telah padu satu dan
telah menimbulkan hasil nyata dalam masyarakat, maka agama yang dipelukpun
menjadi kokoh dan teguh, berurat ke bumi, bercabang ke langit, tidak dapat diusik
dan diganggu orang lain. Sebab dialah agama yang diridhai Allah.
Kalau sekiranya selama ini dada rasa berdebar cemas ditimpa oleh takut rasa-
rasa akan ditimpa oleh bahaya juga, rasa-rasa agama ini akan di ancam orang juga
sehingga keamanan dalam hati tak pernah ada, namun apabila janji warisan itu telah
dikabulkan Tuhan, rasa ketakutan itu akan hilang dengan sendirinya dan keamanan
tercapai, sebagai ganti dari ketakutan.166
Tetapi dasar pokok keamanan itu diperingatkan kembali oleh tuhan yaitu sifat-
sifat dan kelakuan yang dipunyai oleh ummat beriman dan beramal shaleh itu. Yaitu
mereka hanya beribadah kepada Allah. Mereka tidak mempersekutukan Tuhan
dengan yang lain. Selama hal ini masih dijaga terus dan dipelihara selama itu pula
janji pewarisan itu tidak akan dicabut oleh Tuhan. Tetapi kalau sesudah itu mereka
kafir lagi menolak dan ingkar lagi niscaya merekapun telah terhitung menjadi orang
164
Hamka, Tafsir Al-Azhar, 4963 165
Ibid. ,4963 166
Ibid.
63
fasik. Jangan kecewa jika janji itu dicabut oleh Tuhan kembali.167
Itulah kandungan
QS an-Nūr 55 di atas yang dijelaskan Buya Hamka.
Untuk memperlihatkan bahwa janji Allah itu benar-benar nyata kepada
pembaca Buya Hamka memberikan contoh kisah-kisah orang beriman yang sudah
tidak asing lagi bagi kita, pertama yaitu manusia yang paling utama Nabi Muhammad
saw bersama sekalian pengikutnya dari Muhajirin dan Anshar selama 10 tahun di
Madinah ayat inilah bekal Abu Bakar menundukkan kaum Murtad, pegangan Umar
bin Khattab menundukkan dua kerajaan besar yaitu Persia dan Rum.168
Sekali Muhammad al-Fatih, pahlawan Turki telah menyebrang Tanduk Emas
dan merebut Konstatinopel dan meruntuhkan sisa terakhir dari kerajaan Byzantium di
tahun 1453. Seluruh umat Islam bersorak mengucap syukur tetapi sekali pula kaum
Muslimin diusir besar-besaran, dan masjid-masjid dijadikan gereja, menaranya
diambil penggantungkan loncenga oleh Raja Spanyol suami-istri di tahun 1492.169
Di tahun 1258 masuklah tentara Mongol dan Tartar ke negeri Baghdad sesudah
menghancur leburkan. Membunuh dan membakar negeri-negeri Islam di Asia
Tengah, mereka hancur leburkan Baghdad mereka bakari istana mereka lemparkan
beribu-ribu jilid kitab-kitab pengetahuan Islam ke sungai Dajlah sehingga berubah air
sungai itu menjadi hitam karena tinta yang luntur dan mereka bunuh
khalifah.170
Musuh Islam manyangka bahwa habislah Islam dengan runtuhnya
Baghdad dan terbunuhnya Khalifah. Tetapi dalam masa setengah abad saja sesudah
kejadian itu, cucu dari tentara Mongol penakluk itu sendirilah yang masuk ke dalam
Islam dan cucu-cucunya pula yang mendirikan kerajaan Islam Mongol di India.171
Sejak tahun 1511 bangsa-bangsa Barat Kristen telah menjajah negeri-negeri
Islam. Bangsa Kristen Belanda telah menguasai Indonesia selama 350 tahun. Orang
167
Ibid. 168
Ibid. 169
Ibid, 4965 170
Ibid. 171
Ibid.
64
menyangka habislah sudah Islam di Indonesia. Rupanya karena pangaruh ayat 55
surat an-Nur ini tenaga Islam bangkit kembali dan penjajahan hapus sirna.172
Negeri-negeri Kristen membantu berdirinya Negara Israel di pusat kebudayaan
dan peradaban Arab. Yaitu Palestina, lebih satu juta orang Arab penduduk asli
Palestina terusir dari kampung halamannya. Tetapi kejadian ini pulalah yang menjadi
perangsang buat kebangkitan baru pada tanah-tanah Arab yang mengelilingi Palestina
agar bersatu padu. Di samping terusirnya satu juta Ummat Islam dari Palestina dan
hidup menumpang-numpang di negeri tetangganya, 75 juta ummat Islam di Indonesia
mencapai kemerdekaan, 75 juta ummat Islam pula di Pakistan dapat mendirikan
Negara.173
Di dalam memperjuangkan iman dan amal shaleh tidaklah selalu kita bertemu
jalan yang datar disirami minyak wangi, kiri kanan dipasangi gaba-gaba daun kelapa,
kadang-kadang kita terbentur, sebagaimana Nabi dan para sahabatnya pun pernah
terbentur. Kalau kita gagal sekali atau dua kali ataupun kalau kita kalah, bukanlah
berarti bahwa yang kita tuju dan kita cita-cita tidak benar. Mungkin cara kita
mencapai tujuan yang tidak kena jalannya.174
172
Ibid. 173
Ibid. ,4966 174
Ibid. ,4966
64
BAB IV
ANALISIS AYAT TENTANG KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DALAM
QS AL-AN’AM 82, AL-A’RAF 96, DAN AN-NŪR 55.
A. Hakikat Kesejahteraan Masyarakat
Hakikat kesejahteraan masyarakat yaitu seseorang/kelompok yang hidupnya
tidak ada rasa takut dan tidak pula bersedih. Rasa takut ialah kegoncangan hati
menyangkut sesuatu yang negatif di masa akan datang, sedangkan bersedih ialah
kegelisahan menyangkut sesuatu yang negatif yang pernah terjadi. Untuk mencapai
hal tersebut, Allah telah memerintahkan beberapa hal dalam QS al-An‟am 82, al-
A‟raf 96 dan an-Nūr 55 sebagai berikut;
1. Beriman dan tidak Dzalim
Menurut pengertian bahasa Arab iman ialah at-taṣdiqu bil qalbi, membenarkan
dengan (dalam) hati.175
Ibnu Katsir menunjuk beberapa ayat Al-Qur‟an yang memberi
pengertian bahwa ialah pengakuan dengan (dalam) hati, antara lain.
….
…. “Dia membenarkan Allah dan membenarkan orang-orang mu‟min”. (QS a-
Taubah 9: 61).176
Pernyataan saudara-saudara Yusuf kepada Ya‟kub:
…
…
”Dan engkau ayah sekali-kali tidak akan membenarkan kami (QS Yusuf 12:
17)177
…..
175
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam, (Semarang: PT Putaka Rizki Putra, 2001), 5 176
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, 196 177
Ibid. ,237
65
“Melainkan mereka yang membenarkan dalam hati dan mengerjakan amalan
saleh” (QS. Al-„Ash 103:3).178
Adapun pengertian iman menurut syara‟ ialah
ا تاالأ زو اع ,و ا ج تا ك ارصد و ا س تا م ىي ا “Mengucapkan dengan lidah, membenarkan dengan hati dan mengerjakan
dengan anggota tubuh”179
Tegasnya iman menurut batasan syara‟ ialah memadukan ucapan dengan
pengakuan hati dan perilaku. Dengan lain perkataan mengikrarkan dengan lidah akan
kebenaran Islam, membenarkan yang diikrarkan itu dengan hati dan tercermin dalam
perilaku hidup sehari-hari dalam bentuk amal perbuatan. Iman dan aman sangat erat
hubungannya, dimana kalau tidak ada iman dalam jiwa manusia, sukar akan tercapai
keamanan dalam masyarakatnya. keamanan masyarakat berarti setiap orang
memperoleh haknya, di samping kesanggupan memenuhi kewajibannya.180
Dasar pertama untuk membangun kepribadian seorang muslim adalah akidah
yang benar, yang berdiri di atas keimanan yang benar (haq) yang mendorong kepada
tindakan yang lurus. Pada awalnya dalam menjalani kehidupan ini manusia dalam
keadaan bersih suci dan terbebas dari cela.181
Selain itu ia juga siap untuk menerima
kebenaran dan kebajikan Allah Swt. Menegaskan.
“[D]an Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada
orang-orang yang zalim selain kerugian.” (Qs. Al-Isra 82.).182
Maksud berakidah secara benar adalah beriman kepada Allah, malaikat-
malaikatnya, kitab-kitab-Nya para Rasul-Nya, hari kiamat ketentuan dan takdir baik
atau buruk, manis ataukah pahir, hanya dengan hati yang istiqamahlah iman menjadi
sempurna, lurus serta menghasilkan buah. Maka dengan hati yang lurus imanpun
178
ibid. ,601 179
Ash-Shidqy, Al-Islam, 6 180
Fachruddin, Ensiklopedi Al-Qur‟an, (Jakarta: Rineka Karya, 1992), 100 181
Ahmad Umar Hasyim, Menjadi Muslim Kaffah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004) 4 182
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah,, 290
66
lurus. Kelurusan iman inilah yang akan memberi corak pada kepribadian seorang
Muslim dalam semua ibadah , pergaulan dan perilaku. Sehingga semua tubuhnya
menjadi baik, juga perkataan, perbuatan serta niatnya.183
Orang yang beriman tidak memiliki alasan untuk takut akan bencana duniawi
karena tauhid menarik belas kasihan Allah dan menyediakan perlindungan terhadap
siksaan duniawi. dan syirik (politeisme) tentu saja, adalah penyebab dari hukuman
dan bencana duniawi, dan merupakan penyebab hukuman abadi di akhirat.184
Sesungguhnya hakikat iman itu yang dengannya akan terealisasi janji Allah
secara pasti adalah hakikat sangat besar yang mencakup seluruh aspek aktivitas
manusia. Dan hakikat itu mengarahkan seluruh aktivitas manusia.maka ketika hakikat
itu bersemayam dalam hati, ia akan menampakkan dirinya dalam gambaran amal
yang penuh semangat, pembangunan dan kreativitas yang semuanya tertuju kepada
Allah. Orang yang melakukan itu semata-mata hanya mencari ridha Allah.185
Itulah iman yang meliputi seluruh aspek manusis getaran-getaran jiwanya,
degup-degup jantungnya, kesenangan-kesenangan ruhnya, kencenderungan-
kecenderungan fitrahnya, gerakan-gerakan tubuhnya, aktifitas-aktifitas anggota
badannya, serta perilaku-perilakunya terhadap Allah dalam memperlakukan
keluarganya dan manusia seluruhnya. Semua itu diarahkan hanya kepada Allah hal
itu terkandung dalam firman Allah di dalam ayat itu sendiri sebagai jalan menuju
khilafah, kekuasaan, keteguhan dan keamanan.186
Selama orang beriman tidak menyekutukan Allah dengan tuhan lain atau
dengan syahwat-syahwat mereka , mereka beriman dan beramal shaleh maka janji
allah itu pasti terlaksana bagi setiap orang dari umat ini yang menunaikan syarat itu
sampai hari kiamat kelak, sesuangguhnya kelambatan datangnya pertolongan,
kekuasaan, peneguhan, pengokohan, dan keamaan Allah di sebabkan oleh tidak
183
Hasyim, Menjadi Muslim Kaffah, 4 184
Shabbir Ahmed Usmani, The Noble Qur‟an, (Delhi: Idara Isha‟at-E-Diniyat (P) LTD. 2002)
595. 185
Abdullah Haddad, Menuju Kesempurnaan Hidup, (Bandung: Mizan, 1996), 22 186
Ibid.,
67
hadirnya syarat Allah itu dalam salah satu di antara-aspeknya yang luas atau dalam
beban taklif di antara taklif-taklif yang besar.187
Oleh karena itu Allah menambah komentar atas janji itu dengan perintah sholat,
zakat dan taat. Tujuannya agar tidak menjadikan Rasulullah dan umatnya sebagai
sasaran bagi kekuatan orang-orang kafir yang memerangi mereka dan memerangi
agama mereka yang diridhai Allah.188
“[D]an aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat 52: 6).189
Iman kepada Allah tidak akan terealisasikan dalam tataran perasaan dan amal
kecuali dengan disertai kesadaran untuk beribadah. Tanpa ibadah manusia tidak akan
mencapai taraf kemanusiaannya.. bentuk peribadahan yang wajib kepada seluruh
umat Islam adalah sama laki-laki maupun perempuan sama-sama diwajibkan
menjalankan ibadah. Tidak diragukan lagi bahwa faktor ini mempunyai peran yang
sangat besar untuk memperdalam makna kesatuan umat Islam. Lebih dari itu setiap
bentuk peribadatan dalam Islam mempunyai makna filosofis tersendiri yang akan
menegaskan makna kesatuan, kesolidan, dan kekuatan umat Islam. Satunya arah
kiblat memberikan gambaran bahwa hati umat Islam selalu bertemu paling tidak lima
kali dalam satu hari, hati mereka sama-sama menghadap dan terikat kesatu pusat.190
2. Mengerjakan Amal Saleh
Menurut Quraish Shihab amal saleh adalah pekerjaan yang apabila dilakukan
terhenti atau menjadi tiada (akibat pekerjaan tersebut) suatu mudharat (kerusakan)
atau dengan dikerjakannya diperoleh manfaat dan kesesuaian.191
Menurut
Muhammad Abduh disebutkan bahwa amal saleh adalah segala perbuatan yang
187
Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilalil Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani, 2004) 256 188
Ibid. ,257 189
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan terjemah, 523 190
Said Hawwa, Al-Islam, di terjemah oleh Abdul Hayyie al-Kattani judul asli al-Islam.
(Jakarta: Gema Insani, 2004) 433 191
Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol 15 588.
68
berguna bagi pribadi, kelompok, dan masyarakat secara keseluruhan.192
Menurut
Zamakhsyari adalah segala bentuk perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, Al-
Qur‟an dan as-Sunnah.193
Dari beberapa pendapat terkait makna amal saleh di atas, dapat disimpulkan
bahwa amal saleh adalah segala perbuatan –sesuai petunjuk Al-Qur‟an dan as-Sunnah
yang jika dikerjakan dapat menimbulkan manfaat bagi diri sendiri, kelompok dan
masyarakat keseluruhan. Jadi kriteria amal saleh ialah sebuah ukuran yang menjadi
dasar penilaian suatu perbuatan –sesuai petunjuk Al-Qur‟an dan as-Sunnah yang jika
dikerjakan dapat menimbulkan manfaat bagi diri sendiri, kelompok dan masyarakat
keseluruhan.
Antara Iman dan amal saleh (perbuatan baik) dalam Al-Qur‟an dijalin berpilin
dengan eratnya, bagai tidak dapat atau tidak boleh diceraikan antara keduanya.
berulangkali, apabila disebut alladzina amanu (orang-orang yang beriman) disambung
dengan wa‟amilushshalihat (dan mereka mengerjakan amal shaleh.)para ahli ilmu
pernah memberikan perumpamaan amal saleh tanpa iman bagai pohon yang tiada
mempunyai urat tunggang, sebaliknya iman yang tiada melahirkan amal soleh bagai
pohon yang tiada berbuah.194
dengan perkataan lain tiada menghasilkan apa-apa.
Dalam Al-Qur‟an, kebahagiaan diberikan oleh Allah kepada siapapun (pria dan
wanita) yang ingin melakukan perbuatan baik bersama dengan iman kepada Allah.
Seperti yang disebutkan oleh Allah dalam Surat AnNahl ayat 97
192
Yusran, “Amal Saleh: Doktrin Teologi dan sikap sosial.” Jurnal al-Adyan Vol.1, No.2
(Desember 2015): h. 127 193
ibid. 194
Fachruddin, Ensiklopedi Al-Qur‟an, 95
69
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. an-Nahl 16: 97).195
Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam
mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.
B. Indika tor Kesejahteraan Masyarakat dalam Al-Qur’an
Kegiatan manusia mengatasi ledakan penduduk adalah sebagian dari usaha
menciptakan penduduk yang sejahtera. Semua manusia bercita-cita untuk mencapai
hidup yang bahagia dan sejahtera, namun kebanyakan mengira bahwa kesejahteraan
itu besar ketergantungan pada kemakmuran materi, harta atau uang, karena prinsip
yang demikian itu dikejarnya materi tanpa mengenal aturan dan pedoman agama yang
penting cita-cita tercapai apa saja dilakukan, dengan tanpa memperhatikan apa jalan
yang ditempuh dibolehkan atau dilarang. Maka muncullah akses-akses yang
membahayakan bukan saja pada diri pribadi, melainkan juga bagi orang lain dan
bahkan pada lingkungan. Itulah antara lain perlunya agama yang merupakan kendali
agar seseorang dalam rangka meraih kesejahtera tidak menempuh jalan yang
menyimpang
Kesejahteraan merupakan sesuatu yang bersifat subjektif, sehingga ukuran
kesejahteraan bagi setiap individu atau keluarga berbeda satu sama lain. Tetapi pada
prinsipnya kesejahteraan berkaitan erat dengan kebutuhan dasar. Apabila kita lihat
dalam Al-Qur‟an indikator kesejahteraan dari masa ke masa hingga saat ini tidak
mengalami perubahan. Al-Qur‟an telah menyinggung indikator kesejahteraan dalam
banyak surat di anataranya : Surat Quraisy ayat 3-4, “Maka hendaklah mereka
menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka‟bah). yang telah memberikan makanan
kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa
takut”196
berdasarkan ayat di atas, maka kita dapat melihat bahwa indikator
195
Kementerian Agama RI. Al-Qur‟an dan Terjemah, 278 196
Ibid, , 602
70
kesejahteraan ada tiga, yaitu: (1) Menyembah Tuhan (pemilik) Ka‟bah, (2)
Menghilangkan lapar dan (3) Menghilangkan rasa takut.197
Dalam Al-Qur‟an, menurut Asep Usman Ismail, masyarakat yang sejahtera
dinamakan al–muflihūn (افذى ( yang secara harfiah berarti orang-orang yang
beruntung. Indikator masyarakat sejahtera (al-muflihūn),198
yaitu “Mereka yang
beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki
yang Kami berikan kepada mereka, dan mereka beriman kepada (Al-Qur‟an) yang
diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang diturunkan sebelum
engkau, dan mereka yakin adanya akhirat. Merekalah yang mendapat petunjuk dari
Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (meraih kesejahteraan
dunia dan akhirat) (QS al-Baqarah/2:4-5).199
Ayat lain yang menjadi rujukan bagi indikator kesejahteraan terdapat dalam Al-
Qur‟an surat An-Nisā‟ ayat 9 yang artinya adalah “Dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar”.200
Berpijak pada ayat di atas, kita dapat menyimpulkan
bahwa kekhawatiran terhadap generasi yang lemah adalah representasi dari
kemiskinan, yang merupakan lawan dari kesejahteraan, ayat tersebut menganjurkan
kepada manusia untuk menghindari kemiskinan dengan bekerja keras sebagai wujud
ikhtiyar dan bertawakal kepada Allah,201
Pada ayat di atas, Allah juga menganjurkan kepada manusia untuk
memperhatikan generasi penerusnya (anak keturunannya) agar tidak terjatuh dalam
kondisi kemiskinan, hal itu bisa dilakukan dengan mempersiapkan atau mendidik
generasi penerusnya (anak keturunannya) dengan pendidikan yang berkualitas dan
197
Asep Usman Ismail, Al-Qur‟an dan Kesejahteraan Sosial: Sebuah Rintisan Pembangunan
Paradigma Sosial Islam yang Berkeadilan dan Berkesejahteraan (Tangerang: Lentera Hati, 2012), 390. 198
Ibid.. 199
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, 2 200
Ibid. ,78 201
Ibid. ,391
71
berorientasi pada kesejahteraan moral dan material, sehingga kelak menjadi SDM
yang terampil dan berakhlakul karimah, mengingat anak adalah asset yang termahal
bagi orang tua dan juga berbicara dengan jujur dan benar, serta Allah Swt. Juga
menganjurkan untuk menyiapkan generasi penerus yang kuat, baik kuat dalam hal
ketaqwaannya kepada Allah Swt. Maupun kuat dalam hal ekonomi,202
Al-Qur‟an juga menyinggung tentang kesejahteraan yang terdapat pada surat
An-Nahl ayat 97 “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan”.203
yang dimaksud dengan kehidupan yang baik pada ayat di atas adalah memperoleh
rizki yang halal dan baik, ada juga pendapat yang mengatakan kehidupan yang baik
adalah beribadah kepada Allah disertai memakan dengan rizki yang halal dan
memiliki sifat qana‟ah, ada pendapat lain yang mengatakan kehidupan yang baik
adalah hari demi hari selalu mendapat rizki dari Allah Swt. Menurut Al-Jurjani, rizki
adalah segala yang diberikan oleh Allah Swt. Kepada hewan untuk diambil
manfaatnya baik itu rizki halal maupun haram. 204
Selanjutnya Ayat ke-20 dari Surat Al-hadid juga dijadikan sebagai rujukan bagi
kesejahteraan masyarakat, yang artinya “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan
dunia Ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-
megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak,
seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi
hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
202
Ibid. 203
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an Terjemah. 278 204
Ismail, “Kesejahteraan Sosial Perspektif Al-Qur‟an 390-394
72
menipu”.205
Kita juga mengetahui bahwa berlomba-lomba dalam hal kemewahan
duniawi dapat menjerumuskan manusia ke dalam kesombongan kebinasaan, seperti
yang terdapat dalam Surat At-Takatsur ayat 1-2 yang artinya “Bermegah-megahan
Telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur” 206
Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa aspek-aspek yang sering dijadikan
indikator kesejahteraan seperti tingkat pendapatan (besarnya kekayaan), kepadatan
penduduk (jumlah anak), perumahan, dan lain-lain bisa menipu seseorang jika tidak
diiringi dengan pembangunan mental atau moral yang berorientasi pada nilai-nilai
ketuhanan. yang pada gilirannya manusia dikhawatirkan akan terjebak pada
persaingan kemewahan duniawi yang serba hedonis dan materialistik, dengan
demikian penanaman tauhid (pembentukan moral dan mental) merupakan indikator
utama bagi kesejahteraan.207
Berdasarkan ayat-ayat yang dikategorikan sebagai indikator kesejahteraan
masyarakat di atas dapat dirumuskan bahwa indikator kesejahteraan masyarakat di
antaranya ialah
1. Beriman kepada Allah
Percaya kepada kesesaan Tuhan merupakan pangkal yang paling pokok bagi
kesejahteraan hidup manusia, dengan mengesakan tuhan berarti pula menjauhi
sejauh-jauhnya perbuatan yang bernilai penyembahan dan penghambaan selain dari
pada-Nya. Jika manusia percaya akan Allah percaya pula ia akan rahmat, petunjuk
dan pertolongan Allah.kepada manusia. Bahwasanya ia juga menghendaki kejadian
manusia dan ia juga menghendaki agar manusia hidup yang baik, meskipun dalam
mencapainya perlu berusaha.208
Indikator ini merupakan representasi dari pembangunan mental, hal ini
menunjukkan bahwa jika seluruh indikator kesejahteraan yang berpijak pada aspek
materi telah terpenuhi, hal itu tidak menjamin bahwa pemiliknya akan mengalami
205
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, 540 206
Ismail, Konsep Kesejahteraan Sosial Perspektif Al-Qur‟an, 394 207
Sodiq, Konsep Kesejahteraan dalam Islam, 394 208
Khaelany, Islam Kependudukan & Lingkungan Hidup, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), 66
73
kebahagiaan, kita sering mendengar jika ada orang yang memiliki rumah mewah,
kendaraan banyak, harta yang melimpah namun hatinya selalu gelisah dan tidak
pernah tenang bahkan tidak sedikit yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri,
padahal seluruh kebutuhan materinya telah terpenuhi. Karena itulah ketergantungan
manusia kepada Tuhannya yang diaplikasikan dalam penghambaan (ibadah) kepada-
Nya secara ikhlas merupakan indikator utama kesejahteraan (kebahagiaan yang
hakiki) seseorang.
2. Memiliki Harta (Kekayaan)
Keinginan Memiliki harta kekayaan merupakan fitrah manusia dan ini adalah
lanjutan dari naluri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setelah seseorang dapat
mencapai dan memenuhi segala kebutuhan pokoknya, keinginan itu meningkat tidak
hanya sekedar mempertahankan hidup, melainkan juga timbul keinginan yang lebih
menyenangkan. Makanan yang semula hanya sekedar alat untuk mempertahan hidup
kemudian meningkat kepada makanan yang lebih lezat dan nikmat.
Keinginan kepada kekayaan itu termasuk fitrah manusia yang tidak perlu
diselewengkan melainkan diberi pengarahan dan penyaluran yang telah diajarkan
oleh agama, dalam rangka ini perlu diperhatikan keseimbangan antara kepentingan
individu dan masyarakat, kepentingan dunia dan kepentingan akhirat. Kekayaan-
kekayaan itu adalah merupakan kesenangan hidup manusia.209
209
Ibid. , 64
74
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga).” (QS Ali-Imran, 3;14).210
“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.”.(QS. Al-
Fajr, 89;20).211
Pemenuhan indikator ini harusnya dipenuhi setelah pemenuhan indikator
pertama Al-Maraghi menjelaskan dalam tafsirnya dibukanya semua pintu kesenangan
adalah sebagai cobaan dan ujian bagi mereka yang akhirnya antara mereka ada yang
lupa daratan dan semakin jauh. Kesenangan itu berubah menjadi bencana bukan
nikmat dan menjadi fitnah berbeda dengan orang yang sudah dilandasi dengan iman
bagi mereka dibukanya pintu-pintu kesenangan oleh Allah menjadikan mereka
bersyukur kepada-Nya. Lalu, digunakan untuk hal-hal baik, untuk kepentingan
pembangunan bukan kerusakan oleh karenanya mereka mendapat balasan berupa
penambahan kenikmatan di dunia dan pahala yang baik kelak di akhirat.212
3. Hidup Seimbangan
Hidup berkeseimbangan itu mencakup a). keseimbangan antara kepentingan
individu dan masyarakat b). keseimbangan amal perbuatan untuk dunia dan akhirat
dan c). keseimbangan lahir batin dan dalam segala perbuatan dengan tidak berlebihan.
dalam membelanjakan harta, menolong orang lain hendaklah juga diperhatikan
bagian sendiri, jangan sampai menyerahkan semua harta yang dimiliki, tetapi
akhirnya hidup meminta-minta,213
Allah berfirman:
210
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, 51 211
Ibid. 593 212
BAB III Ayat dan Tafsirannya, 40 213
Khaelany, Islam Kependudukan & Lingkungan Hidup, 69
75
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan
janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan
menyesal.” (QS. Al-Isrā‟ 17;29)214
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-
tengah antara yang demikian itu. “ (QS. Al-Furqān 25;67).215
4. Berilmu dan Bekerja
Berilmu dan bekerja atau bekerja dan berilmu adalah dua ungkapan yang sama
benarnya. Berilmu tidak beramal seperti pohon yang tidak berbuah. Sebaliknya
beramal atau bekerja tanpa ilmu seperti yang dihasilkan pohon yang buruk. Oleh
karena itulah Nabi mengatakan bahwa menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban
orang muslim-mukmin baik laki-laki maupun perempuan. Kewajiban itupun taka da
batasnya tidak memandang umur dan waktu.216
Para ulama mengelompokkan ilmu menurut sudut pandang masing-masing,
meskipun prinsip dasarnya sama, bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi
setiap muslim. Sementara itu, al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin
mengklasifikasikan ilmu dalam dua kelompok yaitu:
a. Ilmu fadhu „ain. Yaitu ilmu tentang cara amal perbuatan yang wajib. Maka
orang yang mengetahui ilmu yang wajib dan waktunya wajibnya berartilah dia
sudah mengetahui ilmu fardhu „ain.
b. Ilmu fardhu kifayah. Ialah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan
dalam menegakkan urusan duniawi.
Lebih jauh al-Ghazali menjelaskan yang termasuk ilmu fardhu „ain ialah ilmu
agama dengan segala cabangnya, seperti yang tercakup dalam Rukun Islam.
214
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, 285 215
Ibid, 365 216
Khaelany, Islam Kependudukan & Lingkungan Hidup, 72
76
Sementara yang termasuk dalam ilmu fardhu kifayah antara lain ilmu kedokteran,
ilmu berhitung untuk jual beli, dan sebagainya.217
Janganlah melakukan sesuatu yang tidak tahu ilmu tentangnya, sesungguhnya
pendengaran dan hati semuanya akan dimintainpertanggung jawabannya di sisi Allah
“Janganlah melakukan sesuatu yang tidak tahu ilmu tentangnya, sesungguhnya
pendengaran dan hati semuanya akan dimintainpertanggung jawabannya di sisi
Allah” (QS 17: 36).
217
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Dien, (Kairo: Dar asy-
Syaeb, 1981), hlm. 82
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut;
1. Adapun hakikat kesejahteraan masyarakat ialah kondisi di mana terbebasnya
suatu masyarakat dari jeratan kekufuran, kemiskinan, kebodohan, dan rasa takut
sehingga dia memperoleh kehidupan yang aman dan tenteram secara lahiriah
maupun batiniah. Gambaran ini dapat diperoleh dalam kehidupan di dunia dan
juga di akhirat apabila setiap individu dapat menjaga keimanan mereka dan
tidak mencampur adukkannya dengan kezaliman (baik itu syirik maupun
pebuatan dosa lainnya) Sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-An‟am 82, al-
A‟raf 96 dan An-Nur 55 Dalam QS Al-An‟am 82 ini di jelaskan bahwa
seseorang yang tidak mencampurkan keimanan dengan kezaliman Allah
janjikan keamanan di dunia dan di akhirat, Oleh karena itu, masyarakat
diharapkan dapat menjaga dan memupuk keimanan mereka disebabkan
masyarakat yang mentauhidkan Allah semata adalah masyarakat
berkesejahteraan. Lalu keimanan itu direalisasikan dengan amal saleh, seperti
dijelaskan pada pengertian iman, bahwa iman adalah dipercayai dengan hati,
diucapkan dengan lisan lalu dibuktikan dengan amal perbuatan, Qurai Shihab
menjelaskan dalam tafsirnya bahwa amal saleh yang disebutkan dalam QS an-
Nur 55 bukanlah semua amal saleh tetapi hanya amal-amal yang dapat
menjadikan seseorang disebut saleh.
2. Indikator kesejahteraan masyarakat di dalam Al-Quran banyak terdapat
dibanyak ayat yaitu meliputi kebutuhan materi dan non materi, dan yang paling
utama di antara keduanya adalah non materi, pemantapan mental atau bisa juga
dinamakan pemantapan iman dalam diri, merupakan pondasi awal yang harus
78
dibentuk. jiwa yang tergantung kepada Allah akan dapat menarik kasih sayang
Allah untuk melimpahkan segala yang diinginkannya, tapi jika hal itu belum
terjadi dia tidak akan berputus asa karena dia tau bahwa Allah punya cara
sendiri untuk membuatnya selalu merasa bahagia, dalam skripsi ini dijelaskan
ada 4 indikator kesejahteraan di antaranya: beriman kepada Allah, memiliki
harta (kekayaan), hidup seimbang dan berilmu dan bekerja.
B. Saran
Secara umum, penelitian ini sebagai langkah awal untuk mengetahui tentang
kesejahteraan masyarakat dalam Al-Qur‟an khususnya pada QS Al-An‟ām 82, Al,
A‟raf 96 dan An-Nūr 55 di mana membahas tentang janji Allah kepada orang-orang
yang beriman akan memberikan kesejahteraan kepada siapa saja yang benar-benar
hanya mentauhidkan Allah semata. Kesejahteraan yang dimaksud di sini dari segala
sisi material maupun dari segi kejiwaan. Kesejahteraan kejiawaan akan melibatkan
kesejahteraan material.
Dari skripsi ini tentunya masih banyak perlu dikembangkan karena melihat
begitu banyaknya ayat Al-Qur‟an yang menyinggung tentang kesejahteraan sosial dan
penelitian-penelitian yang membahas tentang kesejahteraan sosial dalam Al-Qur‟an
masih sedikit.
79
Daftar Pustaka
Buku
Al-Ashfahani, Ar-Raghib. Kamus Al-Qur‟an, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul “Al-Mufradat fi gharibil Qur‟an,” jil 1, oleh Ahmad Zaini Dahlan,
Depok: Pustaka Khazanah Fawa‟id, 2017.
Al-Ragib al-Ashfahani, Mu‟jam Mufradat al Faz al - Qur‟an (Beirut: Dar al-Fikr,
t.th.
Al-Badri, Abdul Aziz. Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam. Jakarta: Gema Insani
Press, 1995
Al-Fairuzabadi, Qamus al-Muhit, Jus 4, Bairut: Dar al-Fikr, 1983.
Al-Farmawi, Abd Al-Hayy. Metode Tafsir Maudu‟iy suatu Pengantar. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1994
Al-Ghazali, Kimia Kebahagiaan, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul
“The Alchemy of Happines” oleh Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1995.
Al-Hafidz, Ahsin W. Kamus Ilmu Al-Qur‟an, Jakarta: Hamzah, 2012
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT. Karya
Toha Putram 1992
As‟Sa‟di, Abdurrahman bin Nashir. Tafsir Al-Qur‟an , Cet ke-VI (Jakarta, Darul Haq,
2016.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Al-Islam, (Semarang: PT Putaka Rizki Putra,
2001)
Baidan, Nashruddin dan Erwati Aziz. Metodologi Khusus Penelitian Tafsir.
Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2016.
Fahrudin, Adi. “Pengantar Kesejahteraan Sosial” Cet. II; (Bandung: Refika
Aditama, 2014
Haddad, Abdullah. Menuju Kesempurnaan Hidup, Bandung: Mizan, 1996.
Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: PT. Pustaka Panji Mas, 1997.
, Tafsir Al-Azhar, Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 2003.
80
Hawwa, Said. Al-Islam, diterjemah oleh Abdul Hayyie al-Kattani judul asli al-Islam.
Jakarta: Gema Insani, 2004
Hartono, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Hasyim, Ahmad Umar. Menjadi Muslim Kaffah, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004.
Ismail, Asep Usman. Al-Qur‟an dan Kesejahteraan Sosial: Sebuah Rintisan
Pembangunan Paradigma Sosial Islam yang Berkeadilan dan Berkesejahteraan
Tangerang: Lentera Hati, 2012,
Kaelany, Islam & Aspek-Aspek Kemasyarakatan, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
. Islam Kependudukan & Lingkungan Hidup, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta: Al-Hadi Media
Kreasi, 2015
Mustaqim, Abdul . Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS, 2009).
. Mazhibut Tafsir. Yogyakarta, Nun Pustaka Yogyakarta: 1003.
Muhdlor, Atabik Ali a. Zuhdi. Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Cet ke 9
Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1996.
Muhammad, Ahsin Sakho. Keberkahan Al-Qur‟an Memahami Tema-Tema Penting
Kehidupan dalam Terang Kitab Suci. Jakarta: PT. Qaf Media Kreative, 2017.
Munawar, Ismail. dkk, Sistem Ekonomi Indonesia Tafsiran Pancasila dan UUD 1945
Jakarta: Erlangga, 2014
Qutb, Sayyid. Tafsir fi Zhilalil Qur‟an, Jakarta: Gema Insani, 2004.
Shihab, M.Quraish. Tafsir Al-Mishbah, volume 4, cet 3, Jakarta: Lentera Hati,
Jakarta, 2005.
. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati, 2013.
Soekarno, Soerjono. Kamus Sosiologi, Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers, 1993.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitataif dan R&D. Bandung: Al-Fabeta,
2018
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur‟an. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014.
Sunarto, Achmad. Kamus Lengkap Al-Fikr, (Surabaya: Halaim Jaya, 2002)
81
Tim Kepala Pusat Bahasa, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasionak, 2003.
Tim Kashino, Kamus Al-Munir, Surabaya: Kashino, 2000.
Usmani, Shabbir Ahmed. The Noble Qur‟an, Delhi: Idara Isha‟at-E-Diniyat (P) LTD.
2002
Zulheldi. 6 Langkah Metode Tafsir Maudu‟i. Depok: Raja Grafindo Persada, 2017
Skripsi
Amelia, Widia. “Kesejahteraan Sosial dalam Persfektif Al-Qur‟an”. Skripsi
(Makassar: Program Strata 1 UIN Alauddin Makassar 2018).
Hilmi, Asep. “Konsep Hidup Sejahtera Perspektif Al-Qur‟an (Studi Komparatif
Penafsiran M. Quraish Shihab Dan Hamka)” Skripsi (Jakarta: Program Strata 1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2018).
Jurnal
Ismail, Asep Usman Ismail. “Kesejahteraan Sosial Perspektif Al-Qur‟an” Jurnal Ilmu
Kesejahteraan Sosial Vol. 4 No. 1 ( 2015),
Jamil, M. “Pergeseran Epistemologi Dalam Tradisi Penafsiran Al-Qur‟an” Jurnal
Ilmiah Abdi Ilmu, Vol. 4 No.1 Juni (2011)
Kurdi, Sulaiman. Masyarakat Ideal Dalam Al-Qur‟an (Pergulatan Pemikiran Ideologi
Negara dalam Islam antara Formalistik dan Substansialistik),Jurnal Studi Islam
dan Humaniora Masyarakat Ideal 41-57 Vol. 14. No. 1 Juni (2017)
Putra, Ansusa. “New Concept Of Ignorance: Epiatemological Approach To The
Story Of Moses As Relevant Reference For Contemporary Ulama”, Journal of
Islam & Social Studies, Vol. 5, No 2 (2019).
Romziana, Luthviyah. “Pandangan Al-Qur‟an Tentang Makna Jâhilîyah Perspektif
Semantik”, Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis Volume 4, Nomor 1, Juni (2014.)
Sardar, Ziauddin. “Kesejahteraandalam Perspektifislam Padakaryawan BANK
Syariah” Jurnal Ekonomi SyariahTeori danTerapan Vol.3No. 5 (2016)
82
Sodiq, Amiruddin. “Konsep Kesejahteraan Dalam Islam”, Jurnal STAIN Kudus
Equilibrium Vol. 3 No. 2 (2015)
Yusran, “Amal Saleh: Doktrin Teologi dan sikap sosial.” Jurnal al-Adyan Vol.1, No.2
(Desember 2015)
Web-site
Berita Resmi BPS 2007
Ical.”Indikator Kesejahteraan” Diakses melalui alamat. http://www.kompasiana.com
/ica/54ff1feda333112e4550f95f/indikato-kesejahteraan tanggal 09 nov 2019 jam
20.56.
83
CURRICULUM VITAE
Informasi Diri
Dahliana Sukmasari di lahirkan di desa pagaran lobu sipange, kecamatan
Sayur Matinggi. Kabupaten Sidimpuan, Sumatra Utara pada hari kamis tepatnya pada
tanggal 02 januari 1997, putri dari bapak Partahian dan Ibuk Nur Arbamma, anak
pertama dari Sembilan bersaudara
Riwayat Pendidikan
Dahlia memperoleh Sarjana Agama dari Universitas Islam Negeri Jambi pada
tahun 2020, lulus dari Madrasah Aliyah Kulliyatul Muballighin Muhammadiyah
Padangpanjang Sumatra Barat pada tahun 2016, sebelum itu telah lulus juga di SMP
Muhammadiyah Muara Bungo pada tahun 2013 dan SD Muhammadiyah Muara
Bungo pada tahun 2010.
Riwayat Organisasi
Dahlia juga mempunyai pengalaman keorganisasian di salah satu otonom
yaitu kepanitiaan di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Tapak Suci Putra
Muhammadiyah dan juga Kepanitiaan di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).