Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KONSEP PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN INDONESIA:
STUDI KOMPARATIF PEMIKIRAN BUNG HATTA DAN
SYAFRUDDIN PRAWIRANEGARA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
YUNI BUDIAWATI
NIM. 1110046100028
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M/1436 H.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya hasil saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 23 Desember 2014
Yuni Budiawati
ABSTRAK
YUNI BUDIAWATI, NIM: 1110046100028, Konsep Pembangunan Perekonomian
Indonesia: Studi Komparatif Pemikiran Mohammad Hatta dan Syafruddin
Prawiranegara. Konsentrasi Perbankan Syariah, Prodi Muamalat, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta 1436 H/2014 M.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis konsep pembangunan ekonomi yang
dirancang oleh Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara pada masa
peralihan, apa yang menjadi fokus keduanya dalam pembangunan ekonomi,
menganalisis persamaan dan perbedaan konsep keduanya serta menganalisis
pemikiran keduanya, dilihat dari sudut pandang prinsip mashlahah ekonomi Islam,
yang diulas secara objektif, komprehensif sehingga dapat ditemukan konsep yang
dapat menjadi gambaran perekonomian nasional saat ini. Penelitian ini berupa
kepustakaan (library research) dengan menggunakan data dan analisa deskriptif, dari
sumber primer maupun sekunder. Metode yang digunakan adalah content analysis
dan komparatif. Kesimpulannya adalah perencanaan pembangunan ekonomi
keduanya memiliki kesamaan dalam konsep ideologis, pendidikan, infrastruktur, dan
transmigrasi meskipun ada perbedaan lainnya sesuai dengan posisi mereka saat itu.
Sedangkan pemikiran keduanya secara substansi selaras dengan konsep ekonomi
Islam, namun ada perbedaan pendapat mengenai bunga bank yang dianggap tidak
sama dengan riba, yang perlu dikritisi.
Kata kunci :Pembangunan ekonomi, masa peralihan, prinsip maslahah, ekonomi
Islam, Mohammad Hatta, Syafruddin Prawiranegara.
Pembimbing : Djaka Badranaya, ME.
Daftar Pustaka : Tahun 1950 s.d Tahun 2012
vi
Kata Pengantar
Puji Syukur pada Sang Maha Pengasih dan Sang Pemberi Rahmat Allah
SWT, yang telah mempermudah penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat Salam penuh rindu tersampaikan pada Baginda Muhammad SAW,
yang telah mengeluarkan kami dari kehidupan yang penuh kebodohan.
Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Namun, keberhasilan ini
tidak dapat penulis usahakan sendiri, banyak pihak yang telah membantu kelancaraan
dalam penulisan skripsi ini, Maka penulis ingin berterimakasih kepada:
1. Bapak JM. Muslimin, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH., selaku Ketua Prodi Muamalat, dan
Bapak Abdur Rouf, MA. selaku Sekretaris Prodi Muamalat beserta jajaran yang
telah memberikan arahan dalam mempermudah administratif penulis.
3. Bapak Djaka Badranaya, ME., selaku pembimbing skripsi yang dengan sabar
membimbing serta memberi masukan, dukungan dalam penulisan skripsi ini.
4. Semua Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, yang dengan tulus memberikan ilmu
yang begitu berharga kepada penulis selama kuliah, khususnya kepada Bapak Dr.
Anwar Abbas, MM, M.Ag. Semoga Allah meninggikan derajat semuanya.
vii
5. Staf perpustakaan Fakultas dan Universitas, yang menyediakan buku-buku yang
bermanfaat bagi penulis dan menjadi inspirasi ilham bagi penulis.
6. Orangtua tercinta Ayahanda Budianto dan Ibunda Misnawati. Adik-adik penulis
Dwi Setiabudi, Bella Pertiwi, dan Ihsan Budiman yang telah menjadi guru
kehidupan bagi penulis. Terimakasih atas semua dukungan dan doa kalian.
7. “Para Sahabat” Melianah, Nur Lailatus Sholihah, Iin Hamidah, Nida Khoiriyah,
PS-D angkatan 2010, para “Laskar CABE” terimakasih atas dukungannya.
8. Keluarga besar UKM Bahasa FLAT khususnya “FLAWLESS”, „Ikatan Alumni
Darussalam‟ (IKADA) Jabodetabek-Banten, COINS “Fighters”!, KOLIBET
(Komunitas Literasi Alfabet), Komunitas Musik Gesek Kamar Wina.
Terimakasih telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman yang sangat
berharga bagi penulis.
Terimakasih juga kepada semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu. Penulis menyadari, skripsi ini jauh dari sempurna, maka penulis akan terbuka
atas segala kritik dan saran. Semoga segala hal baik yang kita kerjakan mendapat
ridha dari Allah dan mendapat ampunan atas segala khilaf. Salam Berkah!
Jakarta, 23 Desember 2014
Yuni Budiawati
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN ........................................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................................ vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x
DAFTAR TABEL ................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 6
C. Pembatasan ................................................................................ 6
D. Perumusan Masalah ................................................................... 7
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 8
F. Review Studi Terdahulu ............................................................ 9
G. Metode Penelitian ...................................................................... 12
H. Sistematika Penulisan ................................................................ 17
BAB II Pembangunan Ekonomi dan Ekonomi Indonesia ..................... 19
A. Konsep Pembangunan Ekonomi Konvensional .................... 19
1. Pengertian Pembangunan Ekonomi.................................... 19
2. Tujuan Pembangunan Ekonomi ......................................... 20
B. Konsep Pembangunan Ekonomi Islam .................................... 23
1. Pengertian Pembangunan Ekonomi Islam .......................... 25
2. Konsep Pembangunan Ekonomi Islam................................. 25
ix
C. Perkembangan Pemikiran Ekonomi di Indonesia ................... 28
1. Membangun Ekonomi Nasional (1945-1959) ................... 28
2. Ekonomi Terpimpin (1959-1966) ....................................... 33
3. Paruh Pertama Orde Baru (1966-1982) .............................. 36
4. Deregulasi dan Liberalisasi Ekonomi (1982-1997) ........... 38
5. Krisis dan Pemulihan (1977-2004) ..................................... 41
6. Pemulihan dan Pengembangan (2004-2009) ..................... 41
BAB III Konsep Pembangunan Perekonomian Indonesia ...................... 43
A. Riwayat Singkat ........................................................................ 43
1. Mohammad Hatta ................................................................ 43
2. Syafruddin Prawiranegara ................................................... 52
B. Konsep Pembangunan Ekonomi .............................................. 58
1. Mohammad Hatta ................................................................ 58
2. Syafruddin Prawiranegara ................................................... 71
C. Relevansi Konsep Pembangunan Ekonomi Mohammad Hatta
dan Syafruddin Prawiranegara dari Sudut Ekonomi Islam..... 89
1. Pendidikan Moralitas ........................................................... 91
2. Koperasi dan Kesejahteraan Sosial ..................................... 91
3. Transmigrasi, Infrakstruktur, dan Pemerataan ................... 93
4. Korupsi dan Diskriminasi ................................................... 94
5. Pinjaman Luar Negeri dan Modal Asing ............................ 96
6. Riba ...................................................................................... 98
BAB VI Kesimpulan dan Saran ................................................................. 106
A. Kesimpulan ........................................................................... 106
B. Saran ...................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 110
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Evolusi Paradigma Tujuan Pembangunan .................................. 22
Gambar 2 Konsep Pembangunan dalam Islam ............................................ 27
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Komparasi Konsep Pembangunan Ekonomi Mohammad Hatta dan
Syafruddin Prawiranegara di Masa Peralihan .................................. 85
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia harus berbangga saat kebanyakan negara lain mendapatkan
kemerdekaan karena pemberian atau hadiah dari penjajahnya kemudian
menjadikannya sebuah negara persemakmuran, seperti negara-negara
persemakmuran Inggris yang mayoritas adalah negara jajahan Inggris,
meskipun kini keanggotaannya menjadi bersifat sukarela. Berbeda dengan
Indonesia dengan kegigihan para pejuang berhasil merebut kemerdekaannya.
Masa peralihan yaitu perubahan dari masa kolonial menuju masa
nasionalis, dimana seorang bangsa yang baru merdeka dari penjajahan
mencoba untuk menjadi mandiri dan membangun bangsanya. Itu merupakan
hal yang tidak mudah, begitupun dengan Indonesia yang masih sangat muda
untuk mengelola sebuah negara yang begitu luas. Tapi Indonesia memiliki
orang-orang hebat yang bekerja keras dan mempunyai pemikiran yang luar
biasa dalam membangun pondasi kuat perekonomian, hukum dan politik
Indonesia seperti Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara, yang
merancang dan membangun masa depan Indonesia yang diharapkan bagi
rakyatnya untuk maju dan hidup sejahtera.
2
Mohammad Hatta yang dijuluki sebagai „Bapak Koperasi‟ dan
Syafruddin Prawiranegara disebut oleh Douglass S. Paauw sebagai „The
Guardian of Monetary Stability‟. Keduanya merupakan salah satu the
founding father Indonesia yang meletakkan rancangbangun perekonomian
Indonesia hingga konsepnya masih dapat diterapkan hingga saat ini.
Mohammad Hatta seorang yang sosialis utopis, dimana pemikirannya
yang selalu mendahulukan kesejahteraan rakyat kecil seperti buruh dan tidak
menyukai konsep kapitalis yang tidak adil dalam menciptakan kesejahteraan.
Konsep koperasi yang diajukannya yang juga pernah dicanangkan oleh para
tokoh sosialis utopis seperti Robert Owen (1771-1858), Charles Fourier
(1772-1837), dan Louis Blanc (1881-1882),1 yang membuatnya dikenal
sebagai „Bapak Koperasi‟, bahwa menurutnya langkah awal dalam
meningkatkan kemakmuran rakyat adalah dengan terlebih dahulu mendorong
ekonomi yang terbelakang dengan jalan koperasi dan pendidikan.2 Yang mana
tertuang dalam UUD 1945 pada pasal 33 dengan tiga poin penting di sana
yaitu pertama, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas
asas kekeluargaan. Kedua, produksi penting bagi negara dan yang menguasai
hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ketiga, bumi, air dan semua
kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
1 Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h.
67. 2 Ibid., h. 9.
3
Syafruddin Prawiranegara yang pernah menjabat presiden selama 207
hari untuk PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) saat Soekarno dan
Mohammad Hatta berhasil ditangkap dan diasingkan oleh pihak Belanda
dalam Agresi Militer Belanda ke II pada 19 Desember 1948, kemudian
Syafruddin juga memiliki jabatan penting lainnya seperti Menteri Keuangan
(1949-1950) dan Gubernur Bank Indonesia (1950), juga memiliki peran
penting dalam membangun ekonomi. Menurut Fachry Ali meskipun
Mohammad Hatta dan Soemitro Djojohadikoesoemo juga merupakan peletak
dasar kebijakan ekonomi Indonesia tapi pemikiran ekonomi Syafruddin
Prawiranegara menurutnya memiliki posisi distinktif3 karena Syafruddin
sendiri memiliki pemikiran yang bertentangan dengan zamannya, saat ekonom
lain sedang meletakan dasar sistem ekonomi untuk Indonesia yang dia sebut
dengan pemikiran idealis yang tidak praktis, dia malah memiliki pandangan
lain yang praktis. Ada salah satu pandangan Syafruddin yang membuat kaget
sebagian ekonom Indonesia karena dianggap mengacu pada undang-undang
yang bersifat kapitalis di Amerika Serikat dan bertentangan dengan tujuan
UUD 45, seperti dikutip oleh Fachri Aly dalam kata pengantar bukunya M.
Dawam Rahardjo:
3 Fachri Aly, “M. Dawan Rahardjo dan Syafruddin Prawiranegara: Sebuah Refleksi
Apresiasi”, dalam M. Dawam Rahardjo, ed., Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius:
Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin Prawiranegara (Jakarta: Mizan, 2011), h. 39-40.
4
Sistem undang-undang dan peraturan yang sesungguhnya dapat
membangkitkan, menampung, dan menyalurkan kegiatan produktif manusia
sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya. Hukum yang berlaku mesti memberikan
dorongan yang sebesar-besarnya dan seluas-luasnya kepada kegiatan produktif,
sehingga semua anggota masyarakat yang sudah sanggup bekerja mau ikut serta
dalam kegiatan produksi.4
Mohammad Hatta (1902-1980) dan Syafruddin Prawiranegara (1911-
1989) salah satu dari banyak tokoh yang hidup pada zaman yang sama dan
bekerjasama dalam membangun Indonesia. Keduanya pun memiliki andil
yang sangat penting meskipun keduanya memiliki banyak perbedaan dalam
pandangan dan pemikiran juga memiliki cara masing-masing dalam
membangun perekonomian Indonesia, tapi tanpa keduanya Indonesia
mungkin tidak akan bisa berdiri hingga sekarang.
Selain kesamaan andil keduanya dalam membangun perekonomian
Indonesia, keduanya pun memiliki kesamaan latar belakang yaitu Mohammad
Hatta keturunan Minang yang memiliki darah religius dari keluarga ayahnya,
dimana kakeknya Syekh Arsyad merupakan seorang guru agama dan
pimpinan Tariqat Naqsyabandi.5 Syafruddin Prawiranegara yang juga
memiliki darah Minang dari pihak Ibu, memiliki kehidupan religus yang kuat
karena lahir dan besar di lingkungan pondok pesantren Banten. Ayahnya
Raden Arsyad Prawiraatmadja merupakan anggotan Sarekat Islam (SI),6
4 Ibid.
5Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam; Menangkap Makna Maqashid al Syariah
(Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), h.24. 6 Dawam M Raharjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius, Pragmatisme Pemikiran
Ekonomi Politik Syafruddin Prawiranegara (Jakarta: Mizan, 2011), h. 69.
5
Syafruddin Prawiranegara juga pernah menjadi pimpinan Masyumi (1960).
Latar belakang yang religius dapat mempengaruhi keduanya dalam pemikiran
dan juga pandangan. Seperti yang dikatakan beberapa tokoh bahwa pemikiran
Mohammad Hatta mengandung konsep Islam seperti dalam buku Dr. Anwar
Abbas yang membahas tuntas mengenai pemikirannya yang mengandung
unsur Maqasid Al Syariah, namun banyak juga yang menempatkannya
sebagai tokoh nasional muslim “sekuler” bersama Soekarno,7 begitu juga
dengan Syafruddin Prawiranegara yang disebut sebagai sosialis-religius
seperti pemikirannya yang banyak dia tuangkan di bukunya Politik dan
Revolusi Kita.
Maka bagaimana pemikiran serta strategi keduanya dalam membangun
pondasi perekonomian Indonesia dan bagaimana latar belakang keduanya
yang sangat kental dengan agama Islam yang juga kemungkinan berpengaruh
besar terhadap pemikirannya, serta bagaimana relevansinya pemikiran
keduanya dengan konsep ekonomi Islam.
Dari pemaparan latar belakang dan alasan dalam penulisan, maka
perlu kiranya penulis menganalisis lebih dalam lagi pemikiran Mohammad
Hatta dan Syafruddin Prawiranegara ke dalam penulisan skripsi yang
7 Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), h.3.
6
berjudul: “Konsep Pembangunan Perekonomian Indonesia: Studi
Komparatif Pemikiran Mohammad Hatta dan Safrudddin Prawiranegara”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis dapat
mengidentifikasi masalah yang muncul, di antaranya:
1. Bagaimana konsep ekonomi Islam?
2. Bagaimana konsep ekonomi pembangunan?
3. Bagaimana sistem ekonomi Indonesia lalu sampai saat ini?
4. Bagaimana latar belakang kehidupan Mohammad Hatta dan Syafruddin
Prawiranegara?
5. Bagaimana strategi Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara dalam
pembangunan ekonomi di Indonesia?
6. Bagaimana relevansi pemikiran ekonomi pembangunan Mohammad Hatta
dan Syafruddin Prawiranegara, dilihat dari sudut pandang ekonomi Islam?
C. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan dalam penelitian skripsi ini tidak meluas serta
menjaga kemungkinan penyimpangan dalam penelitian ini, maka penulis
perlu memberikan batasan pada:
a. Penelitian hanya dilakukan dengan menganalisis dan mengkomparasi
konsep ekonomi Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara dalam
7
membangun ekonomi Indonesia di masa peralihan, yaitu pemikiran
keduanya mengenai ideologi, pendidikan, koperasi, transmigrasi,
infrakstruktur, pinjaman luar negeri, modal asing, industri dan pemerataan
dan kesejahteraan sosial.
b. Menganalisis relevansi pemikiran Mohammad Hatta dan Syafruddin
Prawiranegara dilihat dari sudut pandang ekonomi Islam khususnya prinsip
mashlahah dan pemikiran ekonom muslim klasik dan kontemporer.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah yang
telah penulis paparkan sebelumnya, adapun secara spesifik perumusan
masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana konsep Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara dalam
membangun perekonomian Indonesia di masa peralihan yaitu mengenai
ideologi, pendidikan, koperasi, transmigrasi, infrakstruktur, pinjaman luar
negeri, modal asing, industri dan pemerataan serta kesejahteraan sosial?
b. Bagaimana persamaan dan perbedaan pemikiran serta konsep ekonomi
Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara dalam membangun
perekonomian Indonesia?
c. Bagaimana relevansi pemikiran ekonomi Mohammad Hatta dan Syafruddin
Prawiranegara dilihat dari sudut pandang ekonomi Islam?
8
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini berdasarkan hasil yang ingin dicapai dari
perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, diantaranya adalah:
a. Untuk menganalisis konsep pemikiran ekonomi Mohammad Hatta dan
Syafruddin Prawiranegara dalam pembangunan perekonomian Indonesia
di masa peralihan.
b. Untuk menganalisis persamaan dan perbedaan strategi Mohammad Hatta
dan Syafruddin Prawiranegara dalam pembangunan perekonomian
Indonesia di masa peralihan.
c. Untuk menganalisis keselarasan pemikiran Mohammad Hatta dan
Syafruddin Prawiranegara dilihat dari sudut pandang ekonomi Islam.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:
a. Bagi penulis, untuk meningkatkan pemahaman mengenai pemikiran
Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara sebagai seorang
ekonom yang nasionalis dan religius.
b. Bagi kalangan akademis, baik mahasiswa ataupun dosen, penelitian ini
diharapkan dapat menambah pemahaman mengenai pemikiran tokoh-
tokoh Indonesia yang berperan penting dalam membangun perekonomian
Indonesia.
9
c. Bagi pihak praktisi di lembaga keuangan syariah maupun pemerintahan,
hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dalam menerapkan kebijakan
mengenai perekonomian Indonesia.
d. Bagi masyarakat umum, dapat menambah wawasan dalam memahami
pemikiran para tokoh ekonom tersebut.
F. Review Studi Terdahulu
Untuk menghindari penelitian dengan objek dan juga pembahasan
yang sama maka diperlukan adanya review studi terdahulu. Dimana penulis
melakukan kajian pustaka dengan mencari studi terdahulu sebagai
pembanding, di antaranya adalah sebagai berikut:
1 Penulis Panji Patra Anggaredho
(Konsentrasi Perbankan Syariah, Program Studi
Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008).
Judul Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta Di Tinjau Dari
Perspektif Islam
Pembahasan Skripsi ini mengkaji pemikiran ekonomi Bung Hatta
kemudian dianalisis apakah sesuai dengan ekonomi Islam
dan juga kondisi ekonomi Indonesia dengan menggunakan
10
metode library research yang bersifat normatif yaitu
menelaah dan mengkaji dari berbagai sumber kepustakaan
yang berhubungan dengan tema kemudian diambil
kesimpulannya.
2 Identitas Dr.Anwar Abbas, M.M, M.Ag.,
Disertasi S3, Program Ilmu Agama Islam, Pasca Sarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Judul
Disertasi
Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta Ditinjau Dari
Perspektif Islam.
Pembahasan Mengulas pemikiran ekonomi Mohammad Hatta melalui
latar belakang Mohammad Hatta di bidang sosial politik
dan sosial ekonomi. Kemudian di kaji apakah ada nilai-
nilai Islam dalam pemikirannya dengan melihat dari
perspektif ekonomi islam dan juga maqashid al syariah.
Metode yang digunakan adalah deskriptif-analistis,
dimana setelah masalah dibahas kemudian dianalisis
terhadap data yang ada setelah itu dibandingkan anatara
pemikirannya dengan ajaran Islam serta mengevaluasi
sejauh mana kesesuaiannya.
3 Identitas Dr. Anwar Abbas, M.M, M.Ag.
11
Judul Jurnal Jurnal AHKAM Fakultas Syariah dan Hukum
“Pandangan Ekonomi Mohammad Hatta”
Pembahasan Membahas mengenai dasar pemikiran ekonomi Kapitalis,
Sosialis dan Campuran. Kemudian dibandingkan dengan
pandangan ekonomi Mohammad Hatta yaitu tentang cita-
cita ekonominya dan bagaimana penerapannya di
Indonesia.
4 Perbedaan Semua penelitian yang berasal dari Skripsi, Disertasi dan
Jurnal diatas, mengkaji topik yang sama yaitu pemikiran
ekonomi Mohammad Hatta dilihat dari perspektif ekonomi
Islam, dengan metode kepustakaan kualitatif analisis
deskriptif. Mengkaji sumber primer dan sekunder
mengenai pemikiran Mohammad Hatta yang kemudian
dianalisis apakah sesuai dengan ekonomi Islam dan
perekonomian Indonesia.
Pada penelitian ini penulis akan menganalisis pemikiran
Mohammad Hatta dan juga Syafruddin Prawiranegara
sebagai tokoh yang membangun dasar perekonomian
Indonesia di masa peralihan, dianalisis dari latar belakang,
pemikiran ekonomi dan strategi yang mereka lakukan
12
dalam pembangunan perekonomian Indonesia sebelum
dan sesudah kemerdekaan. Setelah itu melakukan analisis
komparatif terhadap pemikiran kedua tokoh tersebut
sehingga dapat dideskripsikan apa persamaan dan juga
perbedaannya. Kemudian dianalisis juga pemikiran
keduanya apakah ada relevansinya dengan konsep
ekonomi Islam.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library
research) dengan data dan analisis kualitatif yaitu serangkaian kegiatan yang
berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat
serta mengolah bahan penelitian.8 Hasil dari analisis kedua tokoh tersebut
dikomparasi dan dianalisis secara deskriptif tentang persamaan dan perbedaan
konsep keduanya kemudian dituangkan dalam sebuah laporan tertulis.
2. Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif yaitu sumber-sumber
yang sesuai dengan topik pembahasan, yang dikelompokkan menjadi dua
kategori, yaitu:
8 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 3.
13
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek yang akan
diteliti,9 dimana yang digunakan adalah buku dan tulisan karangan
Mohammad Hatta, meskipun ada lebih dari 58 buku yang dia tulis juga
pidato-pidatonya yang bertebaran di berbagai media seperti Hindia Poetra,
Neratja, Daoelat Ra‟jat dan lainnya, namun hanya beberapa sumber yang
diambil yaitu seperti “Demokrasi Kita, Bebas Aktif, dan Ekonomi Masa
Depan”,10
“Kumpulan Karangan I”,11
Pidato Bung Hatta yang berjudul
“Pikiran-Pikiran dalam Bidang Ekonomi untuk Mencapai Kemakmuran yang
Merata”,12
“Permulaan Pergerakan Nasional”,13
“Sesudah 25 Tahun”,14
dan
buku serta karangan Bung Hatta yang lainnya.
Kemudian sumber dari beberapa buku dan pidato Syafruddin
Prawiranegara yang berjudul “Islam dan Pergolakan Dunia”,15
“Kumpulan
9 Bagong Suyanto dan Sutinah, ed., Metode Penelitian Sosial, Sebagai Alternatif Pendekatan,
Edisi Revisi (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 55. 10
Mohammad Hatta. Demokrasi Kita, Bebas Aktif dan Ekonomi Masa Depan (Jakarta: UI
Press, 1980). 11
Mohammad Hatta. Kumpulan Karangan I (Jakarta: Bulan Bintang, 1976). 12
Mohammad Hatta. “Pikiran-pikiran dalam Bidang Ekonomi untuk Mencapai Kemakmuran
yang Merata.” Ceramah disampaikan dalam Seminar KADIN, Jakarta,20-22 September 1972 (Jakarta:
Yayasan Idayu Press, 1974). 13
Mohammad Hatta, “Permulaan Pergerakan Nasiona.” Pidato disampaikan di Gedung
Kebangkitan Nasional, Jakarta, 22 Mei 1974 (Jakarta: Idayu Press, 1977). 14
Mohammad Hatta, “Setelah 25 Tahun.” Pidato disampaikan pada Dies Natalies kesembilan
Universitas Sjiah Kuala Darussalam, Banda Aceh, 2 September 1970 (Jakarta: Gita Karya, 1970). 15
Syafruddin Prawiranegara, Islam dalam Pergolakan Dunia (Bandung: Al Ma‟arif, 1950).
14
karangan terpilih 2: Ekonomi dan Keuangan Makna Ekonomi”,16
“Human
Development Pola Pembangunan yang sesuai dengan Ajaran-Ajaran Islam
dan UUD „45”17
, dan “Islam dalam Pergolakan Dunia”18
serta buku
Syafruddin lainnya.
b. Data Sekunder
Sedangkan untuk sumber sekunder yaitu sumber yang diperoleh dari
lembaga atau institusi tertentu yaitu sebagai sumber kedua,19
diambil dari
beberapa buku ataupun tulisan yang berkaitan dengan topik pembahasan baik
langsung maupun tidak langsung seperti buku tentang Mohammad Hatta
“Bung Hatta dan Ekonomi Islam: Menangkap Makna Maqashid Al Syariah”,20
“Mohammad Hatta Bografi Singkat 1902-1980”,21
dan beberapa buku
mengenai Bung Hatta serta pemikirannya yang lainnya, serta buku karangan
M. Dawam Rahardjo yang mengulas pemikiran Syafruddin Prawinegara yaitu
“Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius: Pragmatisme Pemikiran
16
Syafruddin Prawiranegara, Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam Kumpulan
Karangan Terpilih, Jilid.II, (Jakarta: CV Haji Masaagung, 1988). 17
Syafruddin, Prawiranegara. Human Development Pola Pembangunan yang Sesuai dengan
Ajaran-Ajaran Islam dan UUD ’45 (Jakarta: Bulan Bintang, 1977). 18
Syafruddin, Prawiranegara. Islam dalam Pergolakan Dunia (Bandung: Al-Ma’arif, 1950). 19
Bagong Suyanto dan Sutinah, ed., Metode Penelitian Sosial, Sebagai Alternatif Pendekatan, Edisi Revisi (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 55.
20 Anwar Abbas. Bung Hatta dan Ekonomi Islam:Menangkap Makna Maqasid al Syari‟ah
(Jakarta: Penerbit Kompas, 2010). 21
Salman Alfarizi, Mohammad Hatta Biografi Singkat 1902-1980 (Yogyakarta: Garasi,
2012).
15
Ekonomi Politik Syafruddin Prawiranegara”.22
Serta sumber pendukung
lainnya yang berhubungan dengan topik yang dibahas.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik dalam pengambilan data kualitatif ini adalah dengan
mengumpulkan berbagai sumber kepustakaan yang berkaitan dengan topik
pembahasaan seperti bersumber dari buku, jurnal, artikel dan lain-lain.
4. Teknik Pengolahan Data
Teknik yang digunakan adalah dengan konsep analisis data kualitatif
(Bogdan & Biklen, 1982) yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja
dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang
dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa
yang dapat diceriterakan kepada orang lain.23
Selain itu juga menggunakan metode content analysis is a research
technique for making replicable and valid inferences from texts (or other
meaningful matter) to the contexts of their use.24
yaitu sebuah teknik
penelitian untuk membuat sesuatu replika dan inferensi yang valid dari teks
22
M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius: Pragmatisme
Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin Prawiranegara (Jakarta: Mizan, 2011). 23
Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 248.
24 Klaus Krippendorff, Content Anlysis: an Introduction to its Methodoly, Second Edition
(London: Sage Publications, 2004), h. 18.
16
atau hal-hal dalm konteks kebutuhan mereka.
5. Variabel Verifikasi
Dalam mendasari konsep islam dalam analisis setiap pemikiran
Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara yang cukup luas mengenai
ekonomi pembangunannya, maka dibuat beberapa rujukan untuk
mempermudah, yaitu dari prinsip mashlahah, dan juga pendapat para ekonom
Islam dari masa klasik hingga kontemporer.
Rujukan indikator Ekonomi Islam dilihat dari prinsip kemaslahatan
dalam ekonomi menurut Al-Qur‟an, ada 5 yaitu:25
1. Tidak bersifat ilegal atau bathil
2. Prinsip pemerataan dan berbasis masyarakat
3. Kemakmuran yang berkeadilan
4. Prinsip tidak saling menzalimi
5. Prinsip keseimbangan dan kesederhanaan (halal, sederhana, dan
kemurahan hati).
25
Badan Litbang dan Diklat, Kementrian Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat: Tafsir
Tematik Edisi Penyempurnaan (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2012).
17
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan ini merujuk pada pedoman penulisan skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.26
H. Sistematika Penulisan
BAB I: PENDAHULUAN.
Bab ini memuat; latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, review studi terdahulu, metodologi penelitian, dan
sistematika penulisan skripsi ini.
BAB II: PEMBANGUNAN EKONOMI DAN EKONOMI
INDONESIA
Pada bab ini menjelaskan pengertian mengenai konsep
ekonomi pembangunan menurut konsep dari konvensional dan
Islam yang juga akan menjabarkan isu-isu pokok ekonomi
pembangunan menurut kedua konsep tersebut serta
mendeskripsikan perkembangan ekonomi indonesia dari setiap
periode dan juga bagaimana para tokoh penting dan juga
pemikirannya.
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas IslamNegeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan
Mutu (PPJM) FSH, 2012).
18
BAB III: KONSEP PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN
INDONESIA
Bab ini menjelaskan biografi singkat Mohammad Hatta dan
Syafruddin Prawiranegara, serta bagaimana konsep keduanya
dalam membangun perekonomian Indonesia di masa peralihan.
Kemudian menganalisis relevansi pemikiran mereka dilihat
dari sudut pandang ekonomi Islam khususnya dengan prinsip
mashlahah dan pemikiran ekonom muslim klasik dan
kontemporer.
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN.
Bab ini berisi kesimpulan mengenai permasalahan yang
disebutkan dalam rumusan. Bab ini juga berisi Saran dalam
penulisan maupun pemikiran penulis mengenai konsep
ekonomi pembangunan.
19
BAB II
Pembangunan Ekonomi dan Ekonomi Indonesia
A. Konsep Pembangunan Ekonomi Konvensional
1. Pengertian Pembangunan Ekonomi
Ilmu ekonomi pembangunan merupakan cabang baru dari ilmu
ekonomi, yang pada awal kemunculannya masih dipertanyakan oleh para
ekonom karena tidak memiliki fokus masalah yang khas, namun setelah
permasalahan ekonomi semakin kompleks maka ilmu ekonomi pembangunan
diperlukan. Ilmu ini lahir dari ketimpangan sosial ekonomi paska Perang
Dunia II. Para ekonom dari negara maju berpikir bahwa perekonomian yang
hancur akibat perang harus segera dipulihkan untuk kelangsungan
perekonomian dunia dan juga karena kepentingan negara maju terhadap
negara Asia dan Afrika, maka mereka melakukan perencanaan untuk
membangun perekonomian di negara-negara berkembang dengan sistem yang
mereka bangun di negaranya.
Upaya pemulihkan perekonomian tersebut hasilnya tidak baik. Para
ekonom berkesimpulan bahwa permasalahan dan karakteristik di negara
berkembang tidak sama dengan negara maju, sehingga konsep pembangunan
juga semestinya berbeda, maka lahirlah ilmu ekonomi pembangunan.
Beberapa ahli mengemukakan definisi pembangunan, diantaranya:
a. Menurut Schumpeter, Ursula Hicks, dan A. Madison, pembangunan
ekonomi adalah pembangunan yang mensyaratkan bahwa kesejahteraan
20
penduduk harus meningkat, dan salah satu ukuran dari peningkatan
kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan ekonomi (GNP, GNP
perkapita dan sebagainya).
b. Menurut Denis Goulet menyebutkan bahwa pembangunan lebih dari
sekedar upaya mengatasi keterbelakangan pertumbuhan ekonomi, tidak
meratanya pembangunan, kemiskinan, dan sempitnya lapangan kerja,
tetapi juga disertai upaya dalam mengatasi keterbatasan pola pikir.1
c. Sedangkan Gunnar Myrdal mengartikan pembangunan sebagai
pergerakan ke atas dari seluruh sistem sosial.2
Maka dapat disimpulkan pembangunan ekonomi adalah upaya dalam
meningkatkan kesejahteraan manusia untuk memiliki hidup yang lebih baik
dalam aspek ekonomi dan juga untuk memiliki pola berpikir yang maju
sehingga dapat menaikkan tingkat sosial masyarakat.
2. Tujuan Pembangunan Ekonomi
Definisi yang terus berubah sesuai dengan permasalahan yang
dihadapi membuat perluasan dalam tujuan pembangunan. Pada mulanya
tujuan dari pembangunan adalah meningkatkan pendapatan perkapita yang
diharapkan dapat memberikan trickle down effect, sehingga dapat
menyelesaikan kemiskinan, pengagguran dan ketimpangan distribusi
1 Abdul Hakim, Ekonomi Pembangunan (Yogyakarta: Ekonisia, 2010), h. 11.
2 Mudrajad Kuncoro, Ekonomika Pembangunan; Masalah, Kebijakan dan Politik (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 5.
21
pendapatan. Banyak teori dari pembangunan yang tidak berhasil maka
dilakukan pengkajian ulang terhadap tujuan pembangunan, setelah dirasa ada
hal lain yang lebih penting dari sekedar faktor pertumbuhan ekonomi semata.
Kemudian muncul konsep baru mengenai tujuan pembangunan yaitu
konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep ini
muncul akan keprihatinan lingkungan yang muncul pada dasawarsa 1970-an,
tujuannya adalah untuk menjaga lingkungan sehingga dapat tetap terjaga dan
terus berkembang sejalan dengan berkembangnya perekonomian, karena tidak
akan menguntungkan ketika sistem biologis alam yang menopang ekonomi
dunia tidak diperhatikan. Strategi ecodevelopment sangat penting dalam
sustainable development karena yang paling utama strategi ini harus
berkelanjutan baik dari sisi ekologi maupun sosial.
Tujuan selanjutnya yang muncul adalah kebebasan, dimana hal ini
sangat penting dalam proses pembangunan. Menurut Armatya K. Sen
seseorang untuk mencapai kapabilitas aktualnya dipengaruhi oleh kesempatan
ekonomi, kebebasan berpolitik, fasilitas sosial, kesehatan, pendidikan dasar
dan dorongan untuk berinisisatif.3
3 Ibid., h. 6.
22
Menurut Michael P. Todaro ada tiga tujuan inti pembangunan, yaitu:4
a. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam
barang kebutuhan hidup yang pokok.
b. Peningkatan standar hidup, tidak hanya peningkatan pendapatan tapi juga
lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan serta nilai-nilai kultural dan
kemanusiaan, yang tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materil,
juga untuk menumbuhkan jati diri pribadi dan bangsa.
c. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial dengan membebaskan
mereka dari sikap menghamba dan ketergantungan bukan hanya terhadap
orang ataupun bangsa lain tetapi juga terhadap kekuatan yang berpotensi
merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.
Gambar 1. Evolusi Paradigma Tujuan Pembangunan.5
4 Michael, P. Todaro, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga edisi keenam (Jakarta: Erlangga,
1998), h. 22. 5 Mudrajad Kuncoro, Ekonomika Pembangunan (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 3.
Entitlements
dan Kapabilitas
Mengatasi
Kemiskinan Kebebasan Pembangunan
Berkelanjutan
Produk Domestik Bruto
(PDB)
Indikator nonmoneter
(Indeks Pembangunan
Manusia)
PDB rill per kapita
23
B. Konsep Pembangunan Ekonomi Islam
Dalam Islam ilmu ekonomi sudah banyak dipergunakan dan
dikembangkan oleh para ekonom muslim, jauh sebelum Adam Smith dengan
pandangannya dalam An Inquiry into the Natural and Causes of Wealth of
Nations yang disebut sebagai kebangkitan ilmu ekonomi modern.
Siddiqi mengidentifikasi sejarah ekonomi Islam dalam tiga tahap.6
Tahap Pertama, 4,5 abad setelah Hijriah (sampai tahun 1058 M/ 450 H), pada
periode pertama ini kaum Quraisy telah melakukan perniagaan ke timur dan
barat yang menghubungkan Bahrain dan Selat Persia (Teluk Arab), juga
penduduk Syria, Mesir, Iran, Irak, Yaman dan Ethiopia. Perniagaan ini tidak
hanya menghasilkan materi yang menguntungkan tetapi juga turut
mempercepat perkembangan ilmu pengetahuan, namun sebelum datangnya
Islam tradisi perniagaan yang banyak dilakukan dengan menggunakan sistem
riba yaitu meminta kelebihan pada saat telat dalam pembayaran.
Saat Rasulullah hadir, sistem ekonomi Islam dipraktekkan dalam
kehidupan bermasyarakat, yang sudah menggunakan uang sebagai alat jual
beli yaitu mata uang Persia dan Romawi. Bahkan tukar menukar mata uang
asing atau Sharf telah dilakukan. Lembaga Baitul Maal dibangun oleh
Rasulullah untuk mengurusi pengumpulan dan pendistribusian dana. Bahkan
6 Ibid., h. 17.
24
Riba yang mendarah daging diganti dengan sistem keadilan yang menjunjung
tinggi keadilan.7 Kemudian dilanjutkan perkembangannya oleh para fuqaha
dan sufi pada masa Khulafa Ar-Rasyidin, Daulah Umawiyah, Abbasyiah.
Tahap Kedua, yaitu antara tahun 1058-1446 M, pada masa ini banyak
ekonom Islam yang muncul dan sangat berpengaruh seperti Abu Hamid Al-
Ghazali (1055-1111 M), Taqiyuddin Ibnu Taymiyah (1263-1328 M), Ibnu
Khaldun (1332-1404 M). Al Ghazali mengembangkan sistem ekonomi yaitu
adanya pembagian kerja, evolusi uang, dan pelarangan riba fadl. Ibnu
Taymiyah menemukan sistem bagi hasil, manajemen uang, kontrol harga,
peranan permintaan dan penawaran dan analisis beban pajak tidak langsung.
Ibnu Khaldun berperan pada penelitian analisis mengenai pasang surutnya
suatu dinasti dan siklus kemiskinan dan kemakmuran serta pembagian kerja,
perdagangan internasional, dan keuangan negara.
Tahap Ketiga, yaitu antara 1446-1932 M, munculnya para pemikir
independen yang cenderung stagnasi, namun mengajak kembali kepada Al-
Qur‟an dan Sunnah. Diantaranya Shah Waliyullah (1703-1762 M),
Muhammad bin Abdul Wahab (1787), Jamaludin Al Afgani (1897), Mufti
Muhammad Abduh (1905), dan Muhammad Iqbal (1938).
7 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Depok: Gramata Publising, 2010), h. 70.
25
1. Pengertian Pembangunan Ekonomi Islam
Ada beberapa ahli yang mendefinisikan ekonomi Islam diantaranya:8
a. Menurut Hasanuzzaman adalah ilmu dan aplikasi petunjuk dan aturan
syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh dan
menggunakan sumber daya material agar memenuhi kebutuhan manusia
sehingga dapat menjalankan kewajibannya pada Allah dan masyarakat.
b. Menurut Umar Chapra, adalah cabang ilmu yang membantu
merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi
sumber daya yang langka, yang sejalan dengan ajaran Islam, tanpa
membatasi kebebasan individu ataupun menciptakan ketidakseimbangan
ekonomi makro dan ekologis.
2. Konsep Pembangunan Ekonomi Islam
Berbeda dengan konsep dalam ekonomi konvensional yang
memaksimalkan kekayaan dan konsumsi, ekonomi Islam melaksanakan
ekonomi dengan melihat keseimbangan antara material dan spiritual, sehingga
dalam ekonomi Islam keadilan sosial sebagai tujuan utama, Q.S As-Syura: 27
8 Mudrajat Kuncoro, Ekonomika Pembangunan (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 18.
26
“Dan Jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya
tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah
menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya dia
Maha mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.”
Manusia merupakan fokus utama dalam proses pembangunan sebagai
agen perubahan bertanggung jawab secara pribadi dan makhluk sosial dalam
mengembangkan diri dan lingkungannya. Dalam Islam, dan sumber utama
Islam adalah Al-Quran dan Sunnah maka setiap tujuan, perencanaan, proses
hingga akhir merujuk pada acuan utama tersebut. Islam menekankan
pembangunan spiritual, moral dan etika. Jika hal tersebut belum dibangun
secara baik, maka pembangunannya pun dianggap gagal. Pembangunan
materi dengan keadilan tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya
pembangunan moral.9
Menurut Aidit Ghazali (1990) ada lima pondasi filosofis yang
mendasari pembangunan dalam Islam, yaitu:10
a. Tauheed Uluhiyah, yaitu percaya pada ke-Maha Tunggal-an Tuhan dan
semua yang di alam semesta merupakan kepunyaan-Nya.
9 Umer Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi (Jakarta: Gema Insani, 2000), h. 9.
10 Mudrajat Kuncoro, Ekonomika Pembangunan (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 23.
27
b. Tauheed Rububiyyah, yaitu percaya bahwa Tuhan yang menentukan
keberlanjutan hidup, serta menuntun siapa saja yang percaya kepada-Nya
kepada kesuksesan.
c. Khilafah, yaitu peranan manusia sebagai wakil Tuhan di bumi.
d. Tazkiyyah An-Nas, ini merujuk kepada pertumbuhan dan penyucian
manusia sebagai prasyarat sebelum manusia menjalankan tanggung jawab
yang ditugaskan kepadanya.
e. Al-Falah, yaitu keberhasilan yang dicapai di kehidupan dunia akan
mempengaruhi keberhasilan di akhirat sepanjang keberhasilan yang
dicapai di dunia tidak menyalahi petunjuk yang telah Tuhan tetapkan.
Konsep pembangunan menurut Islam adalah tercapainya tujuan utama
pembangunan dalam Islam yaitu kesuksesan di akhirat. Sehingga indikator
dalam pembangunan Islam tidak hanya diukur dengan pertumbuhan namun
juga mencangkup perubahan kuantitif dan kualitatif.
Gambar 2. Konsep Pembangunan dalam Islam.11
= +
Kualitatif Kuantitatif VI. Sosial VIII. Teknologi
Ekonomi
11
Ibid., h. 25.
PEMBANGUNAN PERTUMBUHAN PERUBAHAN
IV. Fisik
V. Lingkungan
I. Spiritual
II. Moral
III. Etika
28
Sumber Manifestasi:
I. Takut akan Tuhan
II & III Nilai-Pola Islam
IV & V Pertumbuhan Sosial-Ekonomi
VI & VII Usaha Sendiri (Indegenous Effort)
C. Perkembangan Pemikiran Ekonomi di Indonesia
1. Membangun Ekonomi Nasional (1945-1959)
Pertengahan tahun 1945 Indonesia merumuskan persiapan
kemerdekaan Indonesia yang saat itu dalam masa penjajahan Jepang, akhirnya
dibentuklah Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) yang diketuai oleh Dr. K.R.T. Radjiman Widyodiningrat dengan
beranggotakan 68 orang yang ditunjuk untuk merumuskan dasar negara dan
juga “Soal Perekonomian Indonesia Merdeka” yang membahas bagaimana
kesertaan pemerintah dalam perusahaan besar (milik asing saat jaman
Belanda) yang di dalamnya banyak rakyat Indonesia yang bergantung
hidupnya. Dalam sidang BPUPKI tersebut juga dibahas mengenai butir-butir
UUD 1945 yang menjiwai pasal 33 tentang „Kesejahteraan Sosial‟ yang
kemudian disahkan pada tanggal 18 Agustus pada sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Banyak yang mendebatkan mengenai arti dari pasal 33 tersebut yang
dicanangkan oleh Mohammad Hatta. Maka dalam pidatonya yang berjudul
29
“Ekonomi Indonesia di Masa Mendatang”,12
Mohammad Hatta mencoba
menjelaskan arti dari pasal 33 tersebut. Beliau menyatakan bahwa ekonomi
Indonesia akan secara perlahan menghilang dari sifat individualisme dan akan
mengacu pada sistem kolektivisme. Sistem yang sesuai dengan semangat
kolektivisme itu adalah koperasi, maka seluruh perekonomian rakyat harus
berdasar pada koperasi yang kemudian di atasnya ada pemerintah yang
mengkoordinir segala usaha produktif bagi kesejahteraan rakyat.
Perekonomian Indonesia pada jaman penjajahan sangatlah buruk
karena upah yang sangat rendah, efisiensi tinggi di sektor perkebunan dan
juga investasi yang besar oleh perusahaan-perusahaan Belanda di sektor
pertambangan dan jasa. Sistem ini sangat menguntungkan bagi pihak penjajah
karena Indonesia hanya mendapatkan 8% dari pendapatan tersebut.
Setelah kemerdekaan diraih, maka Indonesia mulai melakukan
transformasi sistem ‘ekonomi kolonial’ ke ‘ekonomi nasional’, hal tersebut
tidaklah mudah karena terhambat dengan adanya agresi militer Belanda dan
juga usaha diplomatik internasional agar Belanda menyerahkan kedaulatan
kepada Indonesia yang hingga saat ini tidak juga mengakui Indonesia secara
de jure, tapi Syafruddin Prawiranegara tidak terlalu memikirkan dan
12
Mohammad Hatta, “Ekonomi Indonesia di Masa Mendatang.” Pidato diucapkan sebagai
Wakil Presiden dalam Konferensi Ekonomi di Yogyakarta pada tanggal 3 Februari 1946. (Jakarta: UI,
1985), h. 1-13.
30
mengambil sikap bahwa Indonesia harus mengambil dan menghargai isi dari
nilai kemerdekaan itu sendiri.13
Transformasi yang nyata mulai dapat dilakukan pada masa kabinet
Natsir. Banyak tokoh yang berkontribusi dalam menggagas ekonomi nasional
ini, diantaranya Soemitro Djojohadikoesoemo yang mengembangkan industri
skala kecil melalui induk-induk untuk menyalurkan kredit, memberikan
bantuan teknik dan outlet pemasaran, juga penggagas ‘Indonesianisasi’
dengan membuat program Benteng yang memberikan lisensi khusus kepada
pribumi untuk melakukan impor, namun tersendat karena ada penerima lisensi
yang menjual lisensinya pada pengusaha non pribumi juga pada etnis
Tionghoa sehingga kalah bersaing, dan juga rencana pembangunan lima tahun
(1956-1960) yang tujuannya untuk menetapkan pembangunan berbagai
industri dasar yang bisa dilaksanakan tanpa melakukan pembiayaan defisit
yang besar karena dibiayai oleh anggaran negara tanpa banyak mengandalkan
bantuan luar negeri14
tapi belum dapat terlaksana. Selain Soemitro tokoh lain
yang sangat pragmatis yang berorientasi ekonomi/pembangunan adalah
Mohammad Hatta, Syafruddin Prawiranegara, Djuanda, dan Jusuf Wibisono.
13
Sjafruddin Prawiranegara, Islam dalam Pergolakan Dunia, cet.1 (Bandung: Al- Ma‟arif,
1950), h.56. 14
Mudrajat Kuncoro, Ekonomika Pembangunan (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 66.
31
Sarbini Sumawinata dalam tulisannya mengenai Pembangunan
Ekonomi Indonesia15
tidak terlalu mempermasalahkan mengenai transformasi
ekonomi kolonial ke ekonomi nasional karena menurutnya tidak ada hal yang
spesifik yang menggambarkan bagaimana sistem ekonomi nasional itu
sendiri. Maka menurutnya yang harus dicari adalah tujuan yang ingin dicapai,
misalnya untuk meningkatkan kemakmuran rakyat. Langkah yang
menurutnya untuk mencapai kemakmuran rakyat adalah bagaimana cara
untuk meningkatkan tingkat konsumsi rakyat Indonesia dengan menanamkan
modal pada usaha yang menciptakan alat-alat untuk menaikkan tingkat
produksi sehingga juga meningkatkan pendapatan dan tingkat konsumsi,
selain itu juga mengoreksi struktur agraris yang berat sebelah karena hampir
70% saat itu, rakyat Indonesia bekerja sebagai petani. Selain itu juga
meningkatkan ekspor dan penanaman modal asing.
Program kabinet dalam melaksanakan ekonomi nasional:
a. Kabinet Hatta (Desember 1949 - September 1950): Melakukan
pengguntingan uang dan penggunaan sertifikat ekspor.
b. Kabinet Natsir (September 1950 - Maret 1951): Pengetatan anggaran
pemerintah untuk mengurangi inflasi, pengetatan kredit perusahaan asing,
15
Sarbini Sumawinata, “Garis-garis Besar Pembangunan Indonesia” dalam Hadi Soesastro ed.,
Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 1 1945-1959:
Membangun Ekonomi Nasional (Jakarta: Kanisius, 2005), h. 131-142.
32
Rencana Urgensi Perekonomian atau Rencana Urgensi Industri dan
program Benteng.
c. Kabinet Sukiman (April 1951-Pebruari 1952): Menasionalisasikan De
Javasche Bank karena defisit anggaran meningkat.
d. Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953): Menerapkan anggaran berimbang,
dan melakukan pengetatan impor.
e. Kabinet Ali Sastroamidjojo (Agustus 1953- Juli 1955): Karena utang
pemerintah meningkat dan cadangan internasional terkuras maka
melakukan pembatalan sebagian perjanjian KMB mengenai kebijakan
perdagangan secara sepihak.
f. Kabinet Burhanudin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956): Menghapuskan
sistem sertifikasi impor, screening terhadap importir terus dilakukan,
mengakhiri diskriminasi dengan memberikan kesempatan kepada
keturunan cina untuk terlibat dalam kegiatan impor, dan juga meninggalkan
sama sekali perjanjian KMB.
g. Kabinet Ali Sastroamidjoojo II (April 1956- Maret 1957): Karena defisit
anggaran dan inflasi meningkat, maka tahun 1956 pemerintah meminta
bantuan International Monetary Fund (IMF) sebesar US$ 55 juta.
h. Kabinet Djuanda (Maret 1957): Dibentuk secara sepihak setelah sistem
Demokrasi Terpimpin dicanangkan oleh presiden Soekarno, di mana
kemudian melaksanakan pengambil alihan perusahaan Belanda. Karena
33
sektor swasta nasional belum berkembang, maka sektor negara mengambil
alih, dan lahirlah ekonomi nasional yang etatis.
2. Ekonomi Terpimpin (1959-1966)
Periode ini dimulai sistem „Ekonomi Terpimpin‟ yang dicetuskan oleh
presiden Soekarno pada 21 Pebruari 1957 sebagai bentuk jalan keluar dari
berbagai kesulitan yang dihadapi oleh rakyat Indonesia, yang dikenal sebagai
„Konsepsi Presiden‟ yang menurut Sarbini bahwa Soekarno dan PKI berupaya
menguasai segalanya berdasarkan Manipol (Manifesto Politik) Soekarno.16
Periode ini merupakan periode gelap dalam sejarah Indonesia karena
semangat revolusioner sangat membara yang tidak mengindahkan kaidah-
kaidah ekonomi, awal mula ini pada tahun 1957 dimana banyak buruh yang
mogok kerja. Awal ekonomi terpimpin masa Orde Lama Soekarno ini
ditandai dengan merosotnya PDB perkapita, kenaikan inflasi, surutnya
penanaman modal dan berlanjutnya struktural regression. Simpanan Devisa
yang semakin berkurang karena habis untuk biaya keamanan dan juga
pengamanan nasional, Indonesia yang penghasil beras terbesar malah menjadi
impor beras terbesar dan karena kelangkaan menjadikan inflasi naik hingga
650%. Banyaknya perencanaan dalam pembangunan yaitu Dewan Perancang
Nasional yang diketuai oleh Mohammad Yamin yang dibentuk oleh Soekarno
16
Sarbini Sumawinata, dalam Thee Kian Wie ed., Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-
an sampai 1990-an (Jakarta: Kompas, 2005), h. 84.
34
tanpa ada ekonom di dalamnya, yang menghasilkan program Pembangunan
Nasional Berencana Delapan Tahun (1961-1968) dengan menggali kekayaan
alam secara besar-besaran untuk membiayai program pembangunan nasional.
Pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) tidak
selancar yang direncanakan, kemudian untuk menutupi kemerosotan ekonomi
tersebut presiden mengumumkan Deklarasi Ekonomi (DEKON) tentang
peraturan dalam bidang impor, ekspor, harga dan lain-lain yang disebut
sebagai peraturan 26 Mei 1963. Ternyata tidak membuahkan hasil baik karena
adanya campur tangan PKI yang awalnya tidak setuju dengan butir-butir
Dekon yang asli,17
hingga akhirnya PKI menyetujui dengan ditambah 12 butir
awal yang diajukan oleh PKI untuk kepentingannya kemudian ditambah
adanya konfrontasi dengan Malaysia yang pada akhirnya Indonesia keluar dari
PBB karena PBB menerima Malaysia menjadi Dewan Keamanan, dan dari
situlah Soekarno menetapkan BERDIKARI atau Berdiri di Bawah Kaki
Sendiri yang artinya penegasan pendirian Indonesia untuk tidak bergantung
pada luar negeri. Berdikari pun terlalu berat untuk dilakukan dengan naiknya
harga bahan makanan, nilai rupiah yang merosot dan pemerintah tidak
17
Soebandrio sebagai Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri meminta bantuan
Soedjatmoko untuk merumuskan program pembangunan ekonomi Indonesia baru, yang juga
melibatkan Sarbini sebagai satu-satunya ekonom di dalamnya.
35
sanggup untuk membiayai pembangunan nasional, akhirnya melakukan
pinjaman luar negeri sampai sebesar US$ 2.358 juta di tahun 196618
.
Kegagalan yang terjadi pada masa Orde Lama dengan sistem ekonomi
terpimpin yang dicetuskan, namun ada juga keberhasilan yang dicapai yaitu
mengenai pelayaran dan bongkar muat yang saat itu Soekarno menunjuk Ali
Sadikin sebagai Menteri Pelayaran, dan Ali Sadikin meminta nasehat kepada
pengusaha yang bergerak dalam industri ini yang salah satunya adalah
pengusaha pribumi yang masih dapat bertahan dengan kegagalan dalam
program Benteng yaitu Soedarpo Sastrosatomo. Soedarpo mengatakan bahwa
bongkar muat kapal dan keagenan merupakan sumber devisa bagi negara
namun karena pendapatan tersebut harus disetor kepada Lembaga Alat-alat
Pembayaran Luar Negeri untuk ditukar dengan kurs resmi yang rendah maka
pengusaha dan juga negara kehilangan banyak uang, sehingga jalan keluarnya
adalah dengan mengijinkan pengusaha memiliki kapal sendiri dengan
kebebasan untuk menggunakan devisa. Akhirnya dikeluarkan peraturan
bahwa setiap perusahaan asing maupun domestik harus memiliki surat izin
bongkar-muat, yang menjadi asal usul pemesanan muatan dimana semua
muatan untuk proyek pemerintah harus diangkut di bawah bendera Indonesia.
Hal itu sangat memudahkan bagi pengusaha industri pelayaran untuk bertahan
18
Bisuk Siahaan, “Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun, 1961-1968”,
dalam Hadi Soesanto ed., Pemikiran dan Permasalahan di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 2
1959-1966: Ekonomi Terpimpin (Jakarta: Canisius, 2005), h. 133-137.
36
dalam kondisi krisis Orde Lama. Serta berdirinya pabrik-pabrik besar telah
memberi para insinyur, manajer dan buruh pabrik Indonesia keterampilan
industri dan pengalaman dalam mengoperasikan pabrik modern, sehingga
pada masa awal Soeharto tidak perlu memulai upaya industrialisasi dari nol.19
3. Paruh Pertama Orde Baru (1966-1982)
Tahun 1966 merupakan tahun awal Orde Baru di bawah pimpinan
Soeharto. Pada masa pemerintahannya Soeharto mewarisi masalah-masalah
Orde Lama seperti tingkat inflasi yang mencapai 650%, utang luar negeri
sebesar US$ 2,5 Miliar, serta tingkat pertumbuhan yang rendah.
Maka pada awal pemerintahannya Soeharto melakukan langkah
reformasi perekonomian seperti mengembangkan sektor swasta, menarik
investor asing, menghilangkan subsidi pada perusahaan pemerintah. Orde
Baru juga mengupayakan untuk mengurangi tingkat kenaikan harga yang
disertai upaya untuk memenuhi kebutuhan yang paling mendasar yaitu
ketersediaan beras bagi rakyat.
Prestasi yang dicapai pada masa awal Orde Baru membuat Indonesia
begitu menonjol, dengan pencapaian kenaikan pertumbuhan rata-rata 6,7%
pertahun selama tiga dekade, juga sektor industri yang meningkat cukup pesat
bahkan melampaui tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 1961-
19
Thee Kian Wie ed., Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an (Jakarta:
Kompas, 2005), h. xiii.
37
2009. kecuali pada tahun 1973 dan 1983 (krisis minyak) dan 1997 (krisis
moneter). Pencapaian itu dilatarbelakangi oleh dua kekuatan selain Soeharto
dalam mengendalikan dan juga perencanaan ekonomi yaitu kelompok ekonom
yang dipimpin oleh Prof. Widjojo Nitisastro yang dijuluki “Mafia Barkeley”
dan kekuatan Mahasiswa. Mahasiswa melakukan seminar ekonomi dan
keuangan di FEUI di bawah bimbingan Widjojo Nitisastro yang akhirnya
hasil dari seminar tersebut dijadikan legitimasi kebijakan pada masa awal
Orde Baru.20
Dimana prinsip ekonomi itu mencangkup: (1) Asas
keseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan, ekspor dan impor, arus
barang dan arus uang, kesempatan bekerja dan pertambahan penduduk, (2)
Asas efisiensi dalam penggunaan sumber-sumber ekonomi, (3) Asas keadilan
dalam pembagian beban dan pembagian rezeki, dan (4) Asas perlunya
investasi bagi pertumbuhan ekonomi.21
Permasalahan yang telah dialami pada periode pertengahan 1960
dengan sistem ekonomi yang relatif tertutup dan bersifat nasionalis membuat
perubahan besar dalam sistem ekonomi di masa Orde Baru dengan sistem
ekonomi terbuka seperti banyaknya modal asing yang masuk dan pinjaman
luar negeri yang deras. Hingga diberlakukannya undang-undang Penanaman
20
Mudrajat Kuncoro, Ekonomika Pembangunan (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 249. 21
Hadi Soesanto, ed., Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah
Abad Terakhir 3 1966-1982: Paruh Pertama Ekonomi Orde Baru (Jakarta: Kanisius, 2005), h. 24.
38
Modal Asing tahun 1967 dan diperkenalkan konsep Anggaran yang
berimbang. Pada masa itu juga terlihat dua pemikiran yang saling bertolak
belakang dimana kelompok pemikir pertama lebih fokus pada peran negara
yang besar demi kesejahteraan rakyat dan dicerminkan dengan berbagai
alokasi dana terhadap program pembangunan sosial berupa pendidikan dan
kesehatan. Sedang kelompok pemikir yang kedua adalah kelompok yang
mendukung liberalisasi perekonomian dengan membuka aliran modal dan
pasar seluas-seluasnya sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
secara cepat dalam rangka pemulihan makroekonomi.22
4. Deregulasi dan Liberalisasi Ekonomi (1982-1997)
Pada periode ini terjadi penurunan harga minyak secara drastis yang
sangat memukul Indonesia. Pada dasawarsa 1970 penerimaan migas sangat
menyokong negara hingga pada 1982 dan 1986 harga minyak anjlok maka
penerimaan dari minyak dan gas (migas) turun drastis.
Saat muncul krisis tersebut pemerintah cepat tanggap dengan
melakukan liberalisasi serta deregulasi di bidang moneter, fiskal,
perdagangan, dan investasi. Juga mengubah ketergantungan negara terhadap
sektor migas dan beralih kepada komoditas lain, mobilisasi dana dalam negeri
22
Ibid., h. 23.
39
(pajak dan tabungan), serta mengurangi campur tangan pemerintah di banyak
sektor yang dirasa menghambat kemajuan dunia usaha.
Sistem deregulasi tersebut menaikkan iklim persaingan khususnya di
industri manufaktur yang ditandai dengan peningkatan jumlah perusahaan
yang tumbuh. Seperti pada tahun 1986 saat harga minyak jatuh lebih tajam
dari tahun 1982, akhirnya dilakukan deregulasi dan liberalisasi di sektor
perbankan, perdagangan dan pasar modal. Sektor pasar modal yang lama
vakum, dapat bangkit dan mencetak prestasi baik dalam nilai dan volume
perdagangan untuk ukuran dunia. Juga sektor perbankan, dimana perbankan
swasta mulai bersaing secara agresif untuk mendapatkan konsumen dan
pangsa pasar. Namun berbeda dengan bank pemerintah yang malah melemah
dalam menyesuaikan diri terhadap kesempatan komersial tersebut karena
terbiasa dengan adanya bantuan dari pemerintah dan Bank Sentral.23
Banyak teknokrat, ekonom, dan teknolog yang berperan dalam
menerapkan kebijakan rekonstruksi dan deregulasi. Habibie dengan konsep
“Delapan Wahana Industri”-nya yaitu pesawat terbang, kimia, elektronika,
trasnportasi darat, peralatan pertanian, kapal laut, rekayasa, dan pemesinan
umum, menitikberatkan pada peningkatan SDM untuk mencapai keunggulan
kompetitif agar indonesia tidak tertinggal dengan negara lain dalam bidang
23
Hadi Soesanto, ed., Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah
Abad Terakhir 4 1982-1997: Deregulasi dan Liberalisasi Ekonomi (Jakarta: Kanisius, 2005), h. 25.
40
teknologi. Peranan ekonom, teknokrat seperti Widjojo Nitisastro, Emil Salim,
Mohammad Sadli juga sangat berperan dalam kebijakan deregulasi,
restrukturisasi, penyesuaian eksternal, peningkatan daya saing, dan efisiensi.
Habibie mengusulkan adanya lompatan teknologi dalam memperoleh
nilai tambah yang jauh lebih tinggi dari produk hasil industri dengan
mengenali produk yang diprioritaskan maka diterapkan teknologi canggih
pada produk tersebut namun karena kebutuhannya yang mahal maka butuh
subsidi dari pemerintah, Habibie juga mengkritisi para ekonom yang terlalu
mengandalkan keunggulan komparatif dengan orientasi pasar bebas dan
ekspor produk-produk padat karya dan sumber daya alam. Namun Soemitro
Djojohadikoesoemo dan juga Kwik Kwan Gie mengkritik Habibie, Kwan Gie
malah lebih setuju dengan ekonom konvensional yang memanfaatkan
keunggulan komparatif dinamis tanpa teknologi yang tinggi dan subsidi
pemerintah, karena menurutnya lompatan teknologi tinggi mudah
terperangkap ke dalam hobi hingga tidak mempunyai trickle down effect.
Namun kebijakan deregulasi dan liberalisasi yang dilaksanakan sejak
tahun 1983 sampai pertengahan 1990 malah menyebabkan permasalahan baru
seperti meningkatnya utang luar negeri, lemahnya pengawasan perbankan,
41
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), yang secara faktor internal akhirnya
menyebabkan Indonesia mengalami masa krisis di tahun 1997/1998.24
5. Krisis dan Pemulihan (1997-2004)
Tahun 1997 merupakan awal krisis di Indonesia yang berdampak
cukup besar kepada sektor industri. Sektor manufaktur mengalami penurunan
yang sebelumnya 12% tetapi pada tahun 1997 menurun menjadi 5,3%, namun
setelah periode krisis Asia manufaktur kembali naik secara perlahan hingga
pada tahun 2004 mencapai 6,4% dan hanya meningkat satu digit saja karena
pertumbuhannya yang tersendat-sendat.
6. Pemulihan dan Pengembangan (2005-2009)
Periode ini merupakan masa pemulihan paska krisis di tahun 1997-
1998, dengan melakukan pengembangan revitalisasi, konsolidasi dan
rekonstruksi industri untuk dapat unggul dan kompetitif .
Industri Indonesia tidak sama dengan industri di negara Asia Timur
lainnya karena tidak memiliki pengalaman industrilisasi yang panjang, belum
memiliki permodalan yang baik, tapi cukup sukses dalam melakukan
transformasi ke industri yang bersifat outward looking.
Pada periode ini presiden SBY melakukan kebijakan dalam tiga
instruksi Presiden (Inpres) yaitu Inpres No.3 tahun 2006 mengenai
24
Ibid., h. 21.
42
serangkaian program dalam upaya memperkuat kelembagaan pelayanan
investasi dan sinkronisasi peraturan pusat dan daerah, kepabeanan dan cukai,
perpajakan, ketenagakerjaan, serta usaha kecil, menengah, dan koperasi
dengan tujuan untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi yang
dibutuhkan untuk membuka lapangan kerja baru, meningkatkan penghasilan
masyarakat, mengurangi kemiskinan sehingga target pertumbuhan ekonomi di
atas 6% dapat tercapai.
Kebijakan yang kedua yaitu dalam Inpres No.6 tahun 2007 mengenai
Paket Kebijakan Percepatan Pembangunan Sektor Riil dan Pengembangan
UMKM yang terdiri dari empat bidang utama, yaitu (1) Bidang perbaikan
Iklim Investasi; (2) Reformasi Sektor Keuangan; (3) Percepatan
Pembangunan Infrastruktur; dan (4) Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM).
Kebijakan yang ketiga tertuang dalam Inpres No.5 tahun 2008
mengenai Paket Fokus Pembangunan yaitu fokus program ekonomi tahun
2008-2009 dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
nasional, kelestarian sumber daya alam, peningkatan ketahanan energi dan
kualitas lingkungan, dan untuk pelaksanaan berbagai komitmen Masyarakat
Ekonomi Association of South East Asia Nations/ ASEAN (MEA)25
.
25
Mudrajat Kuncoro, Ekonomika Pembangunan (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 252-255.
43
BAB III
KONSEP PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN INDONESIA
A. Riwayat Singkat
1. Mohammad Hatta
Mohammad Hatta lahir pada 12 Agustus 1902 di Bukittinggi,
sebenarnya nama yang diberikan kepada Mohammad Hatta saat lahir adalah
Mohammad Athar namun karena masyarakat sekitar yang sulit menyebut
namanya sehingga sering disebut Atta, yang sampai akhirnya namanya
menjadi Mohammad Hatta.1 Nama kecilnya (Mohammad Athar) kini
diberikan kepada cucu laki-lakinya dari anaknya yang kedua Gemala. Hatta
adalah anak kedua dari 6 bersaudara yang semuanya adalah perempuan, jadi
Hatta adalah anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, yang kemungkinan
berpengaruh pada perilakunya yang lembut dan sopan.
Ayahnya Muhammad Jamil adalah anak dari seorang ulama besar
surau Batu Hampar yaitu Syeikh Abdrurrahman. Ayahnya tidak meneruskan
surau tapi memilih untuk berdagang, maka pamannya yang melanjutkan
kehidupan ulama, namun begitu Hatta tetap mendapatkan pengajaran agama
yang kuat sedari kecil. Ibunya Siti Saleha anak dari Ilyas Bagindo Marah yang
dipanggil Hatta dengan Pak Gaek berasal dari keluarga pedagang besar.
1 Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa (Jakarta: Kompas, 2012), h. xviii.
44
Setelah ayahnya meninggal saat Hatta berusia delapan bulan, ibunya menikah
lagi dengan seorang saudagar asal Palembang bernama Haji Ning.
Hatta menempuh pendidikan sekolah dasar di ELS (Europeesche
Lagere School) yaitu sekolah dasar untuk orang kulit putih dari kelas 5 sampai
kelas 7 sampai tahun 1913, di mana ia sebelumnya belajar secara privat.
Kemudian di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) SMP dengan bahasa
pengantarnya bahasa Belanda sampai 1917. Selain belajar biasa Hatta juga
rajin belajar agama dan mengaji di surau Nyik Jambek (Syaikh Muhammad
Djamil Djambek) dan juga dengan Haji Abdullah Ahmad saat di Padang, yang
dimana kedua ulama ini adalah ulama pembaharu di Minangkabau yang
sangat berpengaruh di Indonesia.2
Di padang Hatta aktif di menjadi anggota Serikat Usaha semacam
kamar dagang bersifat lokal, dia juga aktif di Jong Sumatranen Bond (JSB,
Perkumpulan Pemuda Sumatera) dia sebagai bendahara di sana. Saat dia
sekolah di Prins Hendrik School yaitu sekolah dagang menengah di Jakarta
dia pun aktif kembali sebagai bendahara pusat. Awalnya sang kakek akan
membawa Hatta ke Mekkah untuk belajar agama dan berharap dapat
melanjutkan suraunya. Namun Ibu dan pamannya tidak setuju karena Hatta
yang saat itu masih kecil, lalu ibunya meminta pamannya saja yang
meneruskan surau, hingga dengan lapang dada sang kakek merelakan Hatta
2 Ibid., h. 8.
45
untuk melanjutkan pendidikan dan berharap yang terbaik dengan keputusan
ini. Saat sekolah di Jakarta Hatta tinggal dengan Radja Bangsawan seorang
mantan inspektur kepala sekolah untuk wilayah bagian selatan. Hatta juga
sering mengunjungi pamannya yaitu Ayub Rais seorang pedagang kaya yang
banyak membantu Hatta dan juga sering bertukar pikiran mengenai bisnis,
ekonomi, dan perdagangan. Dari diskusi yang dilakukan Hatta dengan
pamannya itu membuat pengetahuan ekonomi bisnis Hatta lebih luas dari
yang didapatkan di bangku sekolah, selain itu juga membentuk pemikiran
Hatta mengenai ekonomi. Ayub Rais pula yang membiayai sebagian besar
biaya sekolah Hatta saat di Jakarta dan di Belanda.3
Selain pamannya Ayub Rais dan juga keluarganya yang sebagian besar
adalah pedagang yang membentuk pemikiran ekonomi Hatta, serta lingkungan
keluarga yang juga berasal dari kalangan ulama dan janji Hatta pada kakeknya
Pak Gaek untuk tetap taat pada agamanya membuat pemikiran Islam dan
religiusitas Hatta sangat kental dan berpengaruh juga pada pemikirannya dan
perilakunya yang sangat menjaga batas-batas ajaran Islam saat berteman
dengan para gadis Eropa, malah mereka mengatakan jika Hatta seperti
seorang pendeta.4 Dan tokoh lain seperti Haji Agus Salim yang dikenalnya
saat menjabat bendahara di JBS pusat juga berpengaruh pada pemikirannya.
3 Ibid., h. 39.
4 Ibid., h.10.
46
Keduanya sering melakukan diskusi tentang hubungan islam dan politik, Haji
Agus Salim memiliki pemikiran bahwa Islam sangat menghendaki masyarakat
yang sejahtera adil dan makmur yang berpangkal pada persamaan tetapi juga
memiliki kesempatan untuk menjadi lebih baik dan maju bagi yang berusaha,
masyarakat yang juga menjauhkan diri dari eksploitasi sesama manusia
(seperti sistem kapitalisme). Pandangan Haji Agus Salim yang sangat
menjurus kepada sosialisme itu dia selalu kaitkan dengan tujuan Islam dan
juga pengabdian kepada Allah. Oleh karena itu Haji Agus Salim tidak setuju
jika sosialisme itu berpangkal pada Marx. Dari pemikiran Haji Agus Salim ini
juga membentuk pemikiran Hatta mengenai sosialisme, dia mengungkapkan
bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi paham sosialisme di Indonesia
adalah ajaran Islam.5
Hatta melanjutkan pendidikannya di Belanda dari 1921-1932, ia
mengambil jurusan ekonomi perdagangan di Handels Hogeschool (Sekolah
Tinggi Dagang, kemudian menjadi Economicshe Hogeschool, Sekolah Tinggi
Ekonomi) di Rotterdam. Selain giat dalam menuntut ilmu di Belanda Hatta
juga aktif berorganisasi, salah satu alasannya pergi ke Belanda pun karena
rasa nasionalisme yang sangat tinggi untuk memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Banyak pengalaman pahit yang dialami oleh Hatta mengenai
5 Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam: Menangkap Makna Maaqshid Al Syariah
(Jakarta: Kompas, 2010), h. 33.
47
kekejaman para penjajah, seperti saat usianya 10 tahun, di Bukitiinggi
marsose (Korps Marechaussee te Voet yaitu satuan militer yang dibentuk
masa kolonial Belanda) dengan bayonet terhunus, menggeledah orang-orang
karena menolak membayar pajak langsung, sehingga terjadi perlawanan yang
akhirnya menewaskan 12 orang marsose dan 100 penduduk yang ditembak
mati. Dan Rais sahabat kakek Hatta dibawa dengan tangan diborgol,
melambai ke arahnya. Pengalaman pahit tersebut juga karena kakeknya sangat
keras dalam mendidik memelihara aturan serta disiplin dalam belajar
membentuk diri Hatta menjadi kuat dan nasionalis. Saat Turki kalah perang
dan menjadi bahan olok-olok anak-anak Belanda Hatta membencinya, namun
kakeknya memberitahunya bahwa para petinggi Turki itu telah membuat
kezaliman yang tidak mencerminkan keadilan atas nama Tuhan. Sehingga
pemikiran Hatta meskipun kritis dan tidak menyukai kolonial, namun ia tetap
tidak anti Barat.6
Hatta menjadi ketua Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan
Indonesia (PI) dari 1926-1930, meskipun membuatnya terlambat dalam
menyelesaikan studi namun waktunya tersebut dipergunakannya untuk
mematangkan ilmunya dan menambah studi baru yaitu tentang tata negara. PI
menjadi sangat memperhatikan perkembangan pergerakan nasional di
6 Salman Alfarizi, Mohammad Hatta Biografi Singkat 1902-1980 (Yogyakarta: Garasi, 2012),
h. 16.
48
Indonesia saat diketuai oleh Hatta. Hatta pun aktif dalam memberikan saran,
kritik dan komentar tentang pergerakan di Indonesia melalui tulisan yang
banyak bersebaran di berbagai majalah dan koran di Indonesia. Pada tahun
1931 mahasiswa komunis Indonesia secara perlahan merebut PI, sehingga
membuat Hatta mundur dan banyak pendirian dan juga pemikirannya yang
ditolak oleh pihak PI yang sudah dikuasai PKI, dalam sidang dan pertemuan
Internasional pun pihak komunis selalu ingin menguasai sidang dan
pembicaraan dan itulah yang membuat Hatta tidak menyukai komunis.7
Di luar negeri, Hatta sangat aktif dalam memperkenalkan perjuangan
Indonesia. Seperti pada tahun 1926 Hatta diutus untuk mengikuti Kongres
Demokrasi Internasional di Perancis yang dihadiri oleh utusan dari 31 negara.
Dalam kongres itu Hatta juga berhasil meyakinkan Kongres agar menyebut
„Indonesia‟ bukan „Hindia Belanda‟ dalam merujuk tanah airnya dan ia
menambahkan bahwa perdamaian dunia tidak akan tercapai jika penjajahan
masih terus terjadi seperti di Asia. Hatta juga banyak mengenal tokoh penting
negara lain seperti Jawaharlal Nehru, perdana menteri India yang kemudian
hubungan mereka tambah akrab sampai Indonesia mencapai
kemerdekaannya.8
7 Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam (Jakarta: Kompas, 2010), h. 21.
8 Ibid., h. 31.
49
Saat Hatta kembali ke tanah air, ia sangat berkontribusi dalam
perjuangan kemerdekaan hingga ia menjadi dikenal sebagai dwitunggal
(bersama Soekarno) oleh rakyat Indonesia, menjadi pasangan pemimpin yang
sangat dibanggakan dan menjadi harapan kemajuan Indonesia. Hatta juga
memiliki inisiatif dalam penghapusan tujuh kata di pembukaan UUD 1945
yang hampir membuat rakyat Indonesia pecah. Pada tahun 1950-1959 Hatta
menjadi wakil presiden Republik Indonesia di masa merdeka penuh, yang
sebelumnya menjabat sebagai Perdana Menteri RIS (Republik Indonesia
Serikat). Saat menjabat menjadi perdana menteri banyak kebijakan yang
diterapkan Hatta yaitu mengenai kebijakan politik luar negeri yaitu politik
bebas aktif, juga mengenai pembangunan ekonomi yang menurutnya
memerlukan pinjaman dari luar negeri dengan syarat harus pandai dalam
mengelolanya.9 Perkembangan koperasi dan juga pembentukan perusahaan
pemerintah seperti semen gresik merupakan salah satu dari banyak
keberhasilan Hatta dalam menjabat sebagai Wakil Presiden. Sampai pada 1
Desember tahun 1956 Hatta mengundurkan diri.
Hatta merupakan seseorang yang teguh pada pendirian dan juga
ideologinya dan ia siap dalam mempertahankannya, mungkin karena sikapnya
itulah yang membuatnya harus mundur ketika ia melihat arah politik yang
semakin menjadi taktis dan siasat dan tidak lagi melihat pada tujuan awal
9 Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa (Jakarta: Kompas, 2012), h.126.
50
yang utama. Hatta pernah mengatakan dalam tulisannya “Siapa yang takut
dilamun ombak jangan berumah di tepi air,” saat dia berkomentar kepada
seseorang yang ingin berpolitik tanpa resiko, namun apalah daya kini ombak
itu membuat banjir dan membuat Hatta harus mengundurkan diri karena yakin
tak akan ada rumah yang dapat tegak di bibir banjir.
Hatta seorang yang menepati janji, dan pernikahannya dengan Rahmi
pun ia laksanakan setelah Indonesia merdeka yaitu pada 18 November 1945
seperti janjinya dulu.10
Hatta adalah orang yang pemalu dan belum pernah
sebelumnya dekat dengan seorang wanita maka perkenalannya dengan Rahmi
pun dibantu oleh Soekarno. Hatta memiliki tiga putri yaitu Meutia Farida,
Gemala Rabi‟ah, dan Halida Nuriah. Hatta meninggal pada hari Jumat 14
Maret 1980.
Mohammad Hatta adalah seorang anak daerah yang memiliki jiwa
nasionalis tinggi. Pendidikan yang tinggi, pengetahuan, pengalaman serta
pergaulan yang luas membuat Hatta memiliki cara tersendiri dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan pergerakan yang ia buat di
dalam maupun luar negeri dan malah membuat bangsa penjajah sendiri
menaruh hormat padanya. Hatta memang tidak terlalu pandai dalam berorasi
yang menggebu-gebu seperti Soekarno, namun Hatta sangat tajam dalam
menulis pemikirannya. Banyak tulisan dalam bentuk buku, ataupun yang
10
Ibid., 119.
51
tersebar di berbagai media cetak yang berisi kritik, saran dan kecaman serta
pemikirannya mengenai Indonesia. Hatta membangkitkan semangat
perjuangan dan memberikan pendidikan politik kepada rakyat Indonesia
melalui tulisannya.
Dalam menulis Hatta selalu teliti dalam memberikan rujukan untuk
gagasan yang diungkapakannya dalam tulisan lepas yang tersebar di media.
Maka orang-orang yang tertarik akan sejarah ilmu pengetahuan akan langsung
melihat pada tulisan Hatta. Dalam bidang ekonomi Hatta lebih menyukai
aliran historis dan ekonomi politik, gagasan ekonominya lebih berorientasi
pada Gustav Schmoller, Werner Sombart, dan Karl Marx dari pada Adam
Smith. Dalam bidang filsafat Hatta merujuk pada H. Rickert dan W.
Windelband.11
Beberapa tulisannya yang dibuat saat di Belanda di antaranya adalah
Tujuan dan Politik Pergerakan Nasional Indoensia (1931), Krisis Ekonomi
dan Kapitalisme (1934), Rasionalisasi (1939), dan Mentjari Volkenbond dari
Abad ke Abad (1939). Juga buku-buku lainnya seperti Alam Pikiran Yunani
(1941), Pengantar ke Djalan Ekonomi Sosiologi (1957), dan Pengantar ke
Djalan Ilmu dan Pengetahuan (1954), Mendayung Antara Dua Karang (1946)
11
Salman Alfarizi, Mohammad Hatta Biografi Singkat 1902-1980 (Yogyakarta: Garasi, 2012),
h. 215-216.
52
dan masih banyak lagi tulisan Hatta yang telah tersebar dalam bentuk buku
maupun kumpulan karangan dan juga pidato.
2. Syafruddin Prawinegara
Syafruddin Prawiranegara lahir pada 29 Februari 1911 di Anyer Kidul,
Kawedanan Anyer, Banten. Nama kecilnya „Kuding‟ yang berasal dari kata
„Udin‟ pada nama Syafruddin. Ayahnya seorang ménak Sunda bernama Raden
Arsyad Prawira Atmadja, sedangkan ibunya memiliki darah Minangkabau.12
Ayahnya yang seorang camat ternyata memiliki darah Minangkabau,
yaitu buyut dari pihak ayahnya ternyata masih keturunan kerajaan Pagayurung
Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri.
Ayahnya meninggal pada 3 Maret 1939 saat membacakan pidato di suatu
rapat di Kediri dalam pemilihan Dewan Propinsi Jawa Timur. Syafruddin
dibesarkan di lingkungan yang moderat, karena masih keturunan ningrat maka
Syafruddin tidak susah dalam menempuh pendidikannya, namun hal itu tidak
membuatnya menjadi besar kepala dan memandang rendah kepada pihak lain.
Ayahnya yang memiliki sikap yang tegas dan tidak membeda-bedakan,
meskipun memiliki jabatan yang tinggi di masyarakat namun ia sangat dekat
dengan rakyat sehingga dibuang oleh Belanda ke Jawa Timur. Sifatnya itu
12
M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius: Pragmatisme Pemikiran
Ekonomi Politik Sjafruddin Prawiranegara (Jakarta: Mizan, 2011), h. 65.
53
menular kepada Syafruddin yang juga memiliki sikap yang tegas dan tidak
membeda-bedakan.
Syafruddin memulai pendidikannya pada tahun 1924 di ELS
(Europeesche Leagere School), setelah itu melanjutkan ke MULO (Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs) di Madiun Jawa Timur. AMS setingkat SMA
bagian A di Kota Bandung, setamatnya dari AMS Syafruddin melanjutkan ke
RHS (Reechts Hoge School) yaitu Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, ia tamat
dengan meraih gelar Sarjana Hukum/ Meester in de Rechten (Mr.).
Sedari kecil Syafruddin mendapat pendidikan formal di bawah
naungan kolonial karena keluarganya yang tergolong ningrat namun ia tidak
pernah meninggalkan Indonesia sebelum kemerdekaan untuk belajar,
sedangkan pendidikan agamanya dia peroleh dari keluarga dan juga
lingkungannya. Syafruddin yang terlihat menyukai buku saat di ELS juga
ternyata banyak belajar agama dari buku-buku berbahasa Inggris dan Belanda.
Juga pendidikan agama dari keluarga khususnya dari ayahnya yang
dibesarkan di lingkungan pesantren Banten dan juga sebagai anggota Sarekat
Islam (SI), ketertarikan ayahnya yang hidup di kalangan feodal yang kebarat-
baratan untuk mengikuti organisasi itu karena SI yang bersifat moderat dan
modernis yang tidak mengharamkan orang Islam menggunakan pakaian Barat
yang disebut sebagai keberuntungan baginya karena kebanyakan mereka yang
mengisolasi diri di pesantren dan mengharamkan celana panjang yang
54
dikenakan oleh Belanda yang orang Kristen.13
Begitu juga Syafruddin
meskipun di didik di sekolah Belanda namun agamanya kuat melekat dalam
dirinya.14
Syafruddin yang hidup dikalangan ningrat otomatis masuk dalam
organisasi Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI), yaitu komunitas yang
dibentuk oleh profesor konservatif Belanda untuk menekan tingkat radikal
kelompok pemuda dan mahasiswa yang nasionalis. Sehingga tak ada rasa
permusuhan dalam dirinya dengan pihak pemerintahan Belanda. USI sering
disebut sebagai organisasi dansa-dansi (sebutan yang digunakan Dawam
Rahardjo) yang berbeda dengan organisasi lain, namun seterusnya alumni-
alumni USI banyak yang menyokong pembentukan PSI (Persatuan Sosialis
Indonesia) yang dimana Syahrir menjadi panutan para anggota dan aktifis USI
dan dari situlah perkenalan antara Syahrir dan Syafruddin, ada yang
mengherankan saat Jusuf Wibisono menemukan Syafruddin berada satu
organisasi dengannya di Masyumi padahal kebanyakan temannya bergabung
di PSI.
Syahrir yang seorang matrealis sosialis, meskipun berteman baik
dengan Syafruddin karena memilki kesamaan pemikiran dan kultur lantas tak
13
Thee Kian We ed., Syafruddin Prawiranegara, Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an
sampai 1990-an (Jakarta: Kompas, 2005), h. 39. 14
M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius (Jakarta: Mizan, 2011), h.
69.
55
membuat Syafruddin mengikuti Syahrir untuk masuk dalam kelompoknya,
karena agamanya yang terlalu kuat untuk menjadi seorang matrealis sosialis.15
Syafruddin dan Syahrir memiliki kesamaan anti-fasisme Jepang, serta
mungkin karena memiliki darah Minang juga yang membuat mereka menjadi
dekat pada masa awal kemerdekaan. Kedekatannya dengan Syahrir membuat
pandangannya mengenai sosialis bertambah, dan juga pemikiran syharir
mengenai Sosialisme Kerakyatan sejalan dengan pemikiran Syafruddin yang
menmeukan aspek huminisme dan demokrasi.
Pembentukkan awal Syafruddin sebagai seorang teknokrat dan
ekonom dimulai saat dia bekerja di Departemen Keuangan masa kolonial.
Dari sana dia memperoleh pengetahuan tentang masalah fiskal, terutama
mengenai pajak. Pemikiran ekonominya berpihak pada peningkatan
pendapatan masyarakat. Syafruddinpun akhirnya mempelajari teori ekonomi
Kapitalisme yang dijunjung Keynes.
Karir dan perananya sebagai teknokrat dimulai pada tahun 1946
sebagai Menteri Muda Keuangan pada Kabinet Syahrir II, Menteri Keuangan
pada Kabinet Syahrir III, Menteri Kemakmuran pada Kabinet Hatta I (1948-
1949), Menteri Keuangan pada Kabinet Hatta III (Kabinet Republik Indonesia
Serikat, 1949-1950), Menteri Keuangan pada Kabinet Natsir (1950-1951),
15
Thee Kian We ed., Syafruddin Prawiranegara, Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an
sampai 1990-an (Jakarta: Kompas, 2005), h. 40.
56
Presiden Direktur De Javasche Bank yang terakhir (1951-1952), dan Gubernur
Bank Indonesia pertama (1952-1958).16
Pada masa jabatannya sebagai Menteri maupun Gubernur BI, sosok
Syafruddin yang dikenal memiliki sikap tegas, bahkan sikap tegasnya tersebut
dia tuangkan dalam banyak kritik terhadap gagasan yang menurutnya tidak
tepat. Pada masanya Syafruddin mengalami polemik berat dengan Soemitro
Djojohadikoesoemo seorang teknokrat bangsa yang saat itu menjabat sebagai
Menteri Perindustrian dan Perdagangan, polemik mengenai strategi dan
konsep dalam pembangunan. Namun setelah Syafruddin ditangkap karena
terlibat dalam pemberontakan PPRI (Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia) bersama Mohammad Natsir, Burhanudin Harahap, dan Soemitro
Djojohadiskoesoemo. Hubungan antara keduanya menjadi sangat baik,
bahkan saat kematian Syafruddin, Soemitro menulis pandangannya mengenai
Syafruddin di kata pengantar terjemahan desertasinya. Soemitro mengakui
bahwa pandangan Syafruddin benar dan dia saat itu seperti terbawa hasrat
untuk mempercepat perombakan secara fundamental terhadap struktur yang
diwariskan pada zaman penjajahan17
.
Syafruddin menikah dengan Tengku Halimah Syaehabudin, dan
memiliki delapan orang anak. Sifat religiusnya terlihat di masa tuanya, yang
16
M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius (Jakarta: Mizan, 2011), h.
106. 17
Ibid., h. 51.
57
dia habiskan dengan mengisi ceramah dan juga berdakwah, namun pada bulan
Juni 1985 dia diperiksa terkait dengan isi ceramahnya pada Idul Fitri 1404 H
di Tanjung Priok Jakarta. Dia juga pernah menjabat sebagai ketua Korp
Mubalig Indonesia (KMI). Syafruddin Prawiranegara meninggal pada 15
Pebruari 1989 di Jakarta, dalam usia tujuh puluh delapan tahun. Dia telah
meninggal tapi jasanya sangat berguna bagi pembangunan Indonesia sebagai
teknokrat dan juga ekonom yang membangun dasar ekonomi Indonesia dan
dia dikenal sebagai seorang negarawan, teknorat yang religius. Salah satu
kutipannya dia pernah mengatakan “Saya ingin mati di dalam Islam. Dan
ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi
takutlah kepada Allah”.
Banyak tulisan-tulisan dan juga pidato Syafruddin yang dimuat di
beberapa media cetak diantaranya ada sebanyak 86 judul buku yang terutama
berkaitan dengan tuganya sebagai teknoktrat, diantaranya: Islam dan
Pergolakan Dunia (1950), Sosialisme Indonesia Pembangunan (1982),
Peranan Uang dan Bank bagi Pembangunan dan Perkembangan Ekonomi
(1958), Dasar Politik Kemakmuran (1951), Human Development Pola
Pembangunan yang Sesuai dengan Ajaran-ajaran Islam dan UUD ‟45 (1977),
Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam yaitu kumpulam karangan
terpilih jilid ke II (1988) dan masih banyak lainnya.
58
B. Konsep Pembangunan Ekonomi
1. Mohammad Hatta
Mohammad Hatta, dan Syafruddin Prawiranegara merupakan salah
satu tokoh utama dalam peletak dasar pembangunan ekonomi Indonesia saat
masa peralihan, yaitu masa berakhirnya kolonialisme menuju masa
kemerdekaan (nasionalisasi ekonomi). Namun begitu keduanya memiliki cara
pandang yang berbeda dalam perencanaan pembangunan ekonomi Indonesia.
Hatta seperti halnya Syafruddin mendapatkan pendidikan dasar formal
hingga tingkat tinggi di sekolah Belanda. Hal tersebut membuat Hatta banyak
bergaul dengan pihak Belanda dan membuat pemikirannya terbuka sehingga
dia tidak anti terhadap Barat, karena menurutnya tidak semua orang Belanda
atau barat itu memiliki sifat yang buruk. Ideologi Hatta itu juga terbentuk dari
orang-orang terdekatnya seperti keluarga yang sebagian besar adalah pemuka
agama dan juga seorang pedagang besar. Selain itu juga perkenalannya
dengan beberapa tokoh yang secara tidak langsung mempengaruhi
pemikirannya.
Pertemuannya dengan Haji Agus Salim membuat pandangan
sosialisnya berbeda, di mana Salim mengatakan bahwa Islam meenghendaki
terbinanya suatu masyarakat yang adil dan makmur yang berpangkal pada
persamaan tetapi juga memberi kesempatan untuk maju bagi mereka yang
59
berusaha, suatu masyarakat yang juga tolong mneolong dan menjauhkan diri
dari sifat eksploitasi sesama manusia.18
Sehingga pemikirannya yang sosialis
itu jauh berbeda dengan sosialis barat, pandangannya sangat mencerminkan
sifat Indonesia yang sederhana saling tolong-menolong, serta menjunjung
tinggi agama.
Menurutnya perkembangan sosialisme di Indonesia itu lahir dari
keinginan bangsa untuk maju dan terbebas dari penjajahan. Dimana dalam
pergerakannya menuju kebebasan dari penghinaan diri dan penjajahan,
dengan sendirinya para pejuang terpikat oleh tuntutan sosial dan humanisme
(perikemanusiaan) yang disebarkan oleh pergerakan sosialisme di Barat. Dan
tuntutan sosial itu pula yang tergambar dalam jiwa Islam yang memang
menghendaki supaya manusia hidup saling sayang-menyayangi dan dalam
suasana persaudaraan yang tolong-menolong. Dan jiwa Islam memberontak
kapitalisme yang menghisap dan menindas, yang menurunkan derajat manusia
dan membawa sistem yang lebih jahat dari perbudakan dan feodalisme.19
Pemikirannya yang sosialis itu tercantum dalam UUD 1945 pasal 33
ayat 2 yang berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”, hal itu
mencerminkan konstitusi ekonomi Indonesia yang sangat sosialis di mana
18
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam (Jakarta: Kompas, 2010), h. 32. 19
Mohammad Hatta, “Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia”, dalam Sri-Edi Swasono ed.
Demokrasi Kita Bebas Aktif dan Ekonomi Masa Depan Edisi II (Jakarta: UI Press, 1992), h. 142-143.
60
pemikiran tersebut tercermin dalam sosialis Fabian yang berkembang di
Inggris, bahwa setiap produksi besar harus dikuasai oleh negara, namun di sini
masih belum jelas sektor manakah yang dianggap besar dan menguasai hajat
hidup orang banyak. Maka Hatta selaku wakil presiden membentuk Panitia
Pemikir Siasat Ekonomi untuk membahas sektor-sektor ekonomi mana saja
yang dianggap penting dan menguasai hajat hidup orang banyak.
Meskipun keberpihaknya pada sistem sosialis, namun yang terlihat
dari konsep ekonomi yang diterapkan Hatta pada pembagian cabang-cabang
ekonomi penting yang menurut Dr Anwar Abbas memilki sifat kapitalis dan
juga sosialis yang terkandung di dalamnya, seperti pada peranan pemerintah
dan penyerahan penentuan harga kepada mekanisme pasar yang sesuai dengan
sistem kapitalis, kemudian pada semangat pemerataan dan keadilan ekonomi
yang ingin diciptakan sesuai dengan sistem sosialis.20
Hatta juga mengemukakan bahwa sistem ekonomi Indonesia yang
tercantum dalam UUD ‟45 adalah ekonomi terpimpin, di mana dalam sistem
tersebut peran negara yaitu pemerintah sangat penting dalam tercapai suatu
penghidupan sosial yang lebih baik.21
20
Anwar Abbas, “Pandangan Ekonomi Mohammad Hatta”, Ahkam III, no. 05 (Maret 2001), h.
10. 21
Mohammad Hatta, “Pikiran-pikiran dalam Bidang Ekonomi untuk Mencapai Kemakmuran
yang Merata”, Ceramah disampaikan dalam Seminar KADIN, 20-22 September 1972 (Jakarta: Idayu
Press, 1974), h. 8.
61
Bentuk perekonomian yang sangat ditekankan oleh Hatta adalah
koperasi, karena sangat sesuai dengan tujuan dan cita-citanya yaitu
menciptakan keadilan dalam bidang ekonomi yang dapat mencapai
kemakmuran yang merata. Serta keberpihakannya pada rakyat kecil maka
Hatta memberikan solusi sistem koperasi yang paling baik untuk memajukan
usaha rakyat kecil. Karena pada saat itu sembilan puluh persen ekonomi
menengah dikuasai oleh Tionghoa yang menjadi pengulas ekonomi lapisan
atas dengan perekonomian rakyat dalam keadaan yang buruk yang menurut
Hatta sangat tidak sesuai.22
Telah disebutkan di awal tadi bahwa cita-cita Hatta dalam
pembangunan adalah kemakmuran yang merata, yang diawali dengan
kesejahteraan rakyat kecil dengan koperasi dan juga pendidikan yang
tercantum dalam UUD ‟45. Selain itu juga program pembangunan sarana
transportasi, transmigrasi, serta industri. Maka poin-poin penting itulah yang
digagas Hatta dalam awal proses pembangunan ekonomi Indonesia.
Koperasi yang sangat menjunjung kolektivisme sangat sesuai dengan
budaya rakyat Indonesia yang saling tolong menolong, meskipun dengan
masuknya para kolonial dari Barat yang membawa sifat individualisme
sebagai bentuk modernisasi yang telah berkembang di Indonesia. Dimana
akhirnya individualisme itu menghidupkan kapitalisme nasional yang
22
Ibid., h. 8.
62
nantinya akan disaingi bahkan dapat dihancurkan oleh kapitalisme asing yang
sangat kuat dan berkuasa.23
Maka, dengan dibangunnya koperasi ekonomi
masih ada kebebasan bagi individu untuk mengambil inisiatif atas persetujuan
bersama untuk keperluan bersama. Dan kapitalisme kolonial, yang tidak
memberi kesempatan berkembang pada kapitalisme muda Indonesia
(pengusaha muda) membuat jalan yang baik bagi koperasi Indonesia.
Koperasi dibangun dari bawah mengajak orang banyak untuk bekerja
sama untuk menyusun kemakmuran rakyat. Begitu pula dengan pemerintah
yang ikut serta dalam andil menetapkan politik perekonomian, berdasarkan
keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.24
Koperasi telah berkembang dengan baik di Inggris, Jerman, Denmark,
Swedia, Norwegia dan lain-lain. Itulah yang membuat Hatta tertarik dan
menerapkannya di Indonesia dengan nilai dasar Indonesia yang sama dengan
koperasi. Kekuatan yang ada pada koperasi adalah meletakkan titik berat pada
usaha bersama, orang belajar mengenal diri sendiri, percaya pada diri sendiri,
23
Mohammad Hatta, “Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia”, dalam Sri-Edi Swasono ed.
Demokrasi Kita Bebas Aktif dan Ekonomi Masa Depan Edisi II (Jakarta: UI Press, 1992), h. 148. 24
Ibid., h. 150.
63
belajar melaksanakan dasar self-help, dan autoaktivia beserta solidaritas
setiakawan dan tolong-menolong.25
Pendidikan juga merupakan proses penting dalam pembangunan suatu
bangsa yang telah mengalami pembodohan selama masa kolonial. Hatta
berpendapat bahwa sudah terlalu lama rakyat Indonesia dididik dengan cita-
cita umum yaitu „persatuan‟ namun masih keliru dengan asas mana yang
mesti dipakai, yang dapat membunuh semangat pergerakan rakyat. Dengan
pendidikan rakyat kecil dapat memahami kewajibannya, sebagai rakyat yang
juga diharuskan berjuang dalam pembangunan, karena budi pekerti dan iman
itu yang sangat diperlukan dalam pergerakan bangsa.26
Pendidikan disebutkan dalam UUD ‟45 pada pasal 34, di mana pasal
itu menjelaskan pendidikan adalah sumber utama dan menunjukkan
pentingnya SDM dalam kemajuan suatu bangsa. Hatta lebih mengutamakan
pendidikan politik ketimbang agitasi politik, begitu juga dengan koperasi,
menurutnya dalam memulai koperasi maka harus disiapkan SDM yang
mengerti koperasi (pengkaderan koperasi) dengan jalan pendidikan, dan dia
25
Mohammad Hatta, “Cita-cita Koperasi dalam Pasal 33 UUD 1945”, dalam Sri-Edi Swasono
ed. Demokrasi Kita Bebas-Aktif dan Ekonomi Masa Depan (Jakarta: UI Press, 1992), h.223. 26
Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan Jilid I (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 175.
64
melihat kalau koperasi juga salah satu cara mendidik masyarakat untuk
membantu diri dalam peningkatan kesejahteraan.27
Selanjutnya, Hatta sangat menekankan pada pembangunan
infrakstruktur perhubungan. Menurutnya hal itu akan sangat mempermudah
dalam bidang ekonomi melihat wilayah Indonesia yang luas terdiri dari pulau-
pulau sehingga diperlukan transportasi baik darat, laut maupun udara untuk
mencapai kawasan yang dituju.
Menurutnya ekonomi perhubungan sama halnya dengan hukum
sosialis dan kapitalis, yaitu mengangkut orang dan barang dengan ongkos
yang semurah-murahnya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Perbedaanya
hanya terletak pada tujuannya jika kapitalis memiliki tujuan untuk
mendapatkan keuntungan, maka sosialis memiliki tujuan untuk memenuhi
kepentingan rakyat.28
Dalam hal ini pemerintah daerah maupun pusat harus
bekerjasama dalam membangun sarana perhubungan ini, karena Hatta
berpendapat bahwa perhubungan adalah urat nadi perekonomian.29
Dengan adanya perhubungan yang memadai dalam pengangkutan
orang maupun barang, mempermudah pembangunan secara merata di wilayah
27
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam (Jakarta: Kompas, 2010), h. 320. 28
Mohammad Hatta, “Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia”, dalam Sri-Edi Swasono ed.
Demokrasi Kita Bebas Aktif dan Ekonomi Masa Depan Edisi II (Jakarta: UI Press, 1992), h. 162. 29
Ibid., h. 164.
65
Indonesia dan tidak hanya terpusat di ibu kota saja, itulah yang diinginkan
Hatta yaitu kemakmuran yang merata.
Hatta juga memberi gagasan mengenai transmigrasi yaitu perpindahan
penduduk dari pulau yang padat penduduknya ke pulau yang masih kurang
penduduknya. Sama seperti tujuan dari gagasan Hatta yang sebelumnya, yaitu
untuk kemakmuran yang merata. Karena melihat pembangunan yang tidak
merata antara Jawa, dengan pulau lainnya seperti Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua. Hatta menyebutkan bahwa tujuan dari transmigrasi ini
adalah untuk membuka ruang hidup baru di daerah yang kosong dan
meluaskan ruang hidup di daerah yang padat yang ditinggalkan oleh rakyat
yang pindah tempat.30
Sehingga kemakmuran menjadi semakin bertambah.
Hendaknya orang yang di transmigrasikan itu terdiri dari orang muda
yang dalam usia dapat melahirkan banyak anak. Kemudian yang dipindahkan
itu terdiri dari keluarga tani, tukang berbagai rupa, tukang bangunan, serta
guru-guru yang akan mengajar anak-anak mereka, begitu Hatta menjelaskan.
Transmigrasi juga berkesinambungan dengan pertumbuhan industri.
Menurutnya dengan adanya transmigrasi akan timbul kota-kota baru yang
dengan sendirinya akan mendorong timbulnya industri-industri yang akan
disusul dengan pembangunan tenaga listrik, maka akan timbul lapangan
30
Ibid., h. 154.
66
pekerjaan baru.31
Sehingga lambat laun akan menarik berbagai kegiatan
ekonomi yang dibutuhkan masyarakat, dan masyarakat dapat bekerjasama
dalam membangun daerahnya dan juga kesejahteraan bersama.
Selain beberapa gagasan mengenai koperasi, pendidikan, transportasi,
transmigrasi dan industri yang disebutkan tadi, Hatta juga banyak memberikan
pendapatnya mengenai kebijakan perekonomian yang diambil oleh
pemerintah baik dalam masa kabinetnya maupun setelah itu. Seperti mengenai
pinjaman luar negeri, menurutnya dalam membangun perekonomian
Indonesia paska masa kolonial membutuhkan beratus-ratus juta dollar
Amerika Serikat, dan melihat pemerintah yang memang tak mungkin
memiliki uang sebanyak itu, maka jalan keluarnya adalah dengan pinjaman
luar negeri dengan jangka pembayaran kembali dalam waktu yang lama.32
Meskipun pihak luar negeri memiliki motivasi tersendiri, yaitu untuk
mencari keuntungan, namun asalkan Indonesia pandai menggunakan pinjaman
ini untuk kepentingan kemakmuran rakyat33
maka itu diperbolehkan. Pada
dasarnya Hatta tidak menyetujui adanya pinjaman luar negeri ini karena dia
31
Mohammad Hatta, Pikiran-pikiran dalam Bidang Ekonomi untuk Mencapai Kemakmuran
yang Merata, Ceramah disampaikan dalam Seminar KADIN, 20-22 September 1972 (Jakarta: Idayu
Press, 1974), h. 12. 32
Ibid., h. 13. 33
Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa (Jakarta: Kompas, 2012), h.126.
67
berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan Islam yang menyebutkan
“tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah”.34
Dalam kutipannya, menyebutkan kondisi bangsa yang tidak mampu
dalam pembangunan:
“Negeri yang kurang maju, yang sedikit sekali mempunyai cabang-cabang
industri, tidak sanggup membiayai pembangunannya dari simpanan nasional tiap-
tiap tahun. Rakyatnya yang rata-rata miskin dan kurang makan tidak dapat
menabung banyak”.
Namun Hatta juga memberikan alasan, bahwa kerusakan sosial yang
parah yang dialami Indonesia, yang ditimbulkan oleh pihak kolonial yang
bahkan lebih parah dari Eropa, membuat Indonesia harus membangun dari
awal kembali. Hatta juga memberikan pembatasan masalah pinjaman luar
negeri ini, menurutnya pinjaman ini harus bersifat „bantuan perkembangan‟
bukan bantuan dengan syarat politik yang mengikat negara yang diberi
bantuan kepada suatu politik tertentu. Menurutnya bantuan perkembangan
yang tepat adalah bantuan yang berdasarkan rencana pembangunan negeri itu
sendiri, bukan rencana yang diajukan dari pihak luar, dan harus didasarkan
pada persediaan dan pembawaan alam negeri itu.35
34
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam (Jakarta: Kompas, 2010), h. 302. 35
Mohammad Hatta, “Masalah Bantuan Perkembangan Ekonomi Bagi Indonesia”, dalam Sri-
Edi Swasono ed. Demokrasi Kita Bebas-Aktif, Ekonomi Masa Depan Edisi II (Jakarta: UI Press, 1992),
h. 202.
68
Ada lima corak bantuan perkembangan yang dianjurkan Hatta dalam
proses pembangunan Indonesia, yaitu:36
a. Bantuan untuk “Human Capital”, bantuan dalam memajukan sumber
daya manusia, dengan mendidik tenaga-tenaga ahli Indonesia sebanyak-
banyaknya pada universitas, sekolah-sekolah tinggi, menengah kejuruan
dan pada berbagai industri.
b. Bantuan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktural, seperti jalan
besar, pelabuhan, memperbaiki aliran sungai, membuat kanal dan
sebagainya.
c. Penyediaan untuk penyelidikan geologi, yang biayanya bisa sebagian
dipikul Indonesia dan tenaga ahlinya sebagian yang di datangkan dari luar
negeri.
d. Bantuan untuk memperbesar sistem saluran air dan waduk di berbagai
daerah di Indonesia guna mengintensifkan dan melipatgandakan hasil
bumi, sekaligus sebagai sumber pembangunan tenaga listrik untuk
industri dan penerangan.
e. Bantuan untuk berbagai macam industri dasar dan tambang, serta industri
lainnya.
Hatta yang hidup pada masa peralihan yaitu perubahan ekonomi
kolonial menuju ekonomi nasional yang dicita-cita kan oleh para pejuang
36
Ibid., h. 216.
69
bangsa. Semenjak di jajah Belanda Indonesia dijadikan sebagai sumber
keuntungan yang menghasilkan barang-barang bagi pasar dunia, namun pasar
di dalam negeri diabaikan. Dasar ekonominya adalah „ekonomi ekspor‟, di
mana dasar dari perekonomian ialah mencapai keperluan rakyat namun barang
yang tidak bisa dihasilkan sendiri diimpor dari luar dan untuk membayarnya
itu dengan ekspor. Impor yang dilakukan pun kebanyakan adalah barang-
barang keperluan perusahaan-perusahaan besar dan orang-orang Barat yang
ada di Indonesia.37
Maka nasionalisasi ekonomi sangat didukung oleh Hatta,
dan penggantian sistem kapitalis yang ada, dia menggagas untuk diganti
dengan koperasi yang sesuai dengan cita-cita dan karakter bangsa.
Mengenai modal asing, meskipun banyak kontroversi Hatta tetap
mengambil langkah hati-hati dalam hal ini. Ia berharap supaya modal asing itu
digunakan dan direncanakan dengan baik agar memberikan manfaat kepada
negara. Namun jika tidak diindahkan akan menghasilkan kerugian yang besar
bagi Indonesia, Hatta juga menyarankan agar modal asing itu diperuntukkan
bagi kepentingan ekspor yang pendapatannya sebagai devisa untuk kembali
membayar utang-utang, dan juga untuk kepentingan peningkatan produktivitas
masyarakat.38
37
Mohammad Hatta, “Ekonomi Indonesia di Masa Datang”, dalam Hadi Soesastro ed.
Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 1 1945-1959:
Membangun Ekonomi Indonesia (Jakarta: Kanisisus, 2005), h. 35. 38
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam (Jakarta: Kompas, 2010), h. 336.
70
Dalam tujuan ekonominya, Hatta menggunakan pendekatan sejarah
dalam mengembangkan ekonomi Indonesia di masa peralihan, dengan cara:39
a. Mengubah dasar ekonomi dari ekspor yang merkantilis ke sistem
ekonomi yang berorientasi pada pasar domestik, untuk memenuhi
keperluan rakyat.
b. Mengembangkan sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan,
dan mengembangkan sektor perkebunan untuk menghasilkan devisa,
dengan pengelolaan berbasis koperasi.
c. Memperbaiki tenaga produktif rakyat melalui pendidikan dan perbaikan
kesehatan guna meningkatkan mutu pemberdayaan manusia.
d. Membentuk kerjasama ekonomi dan pasar regional, yang mencakup
Australia, Asia Tenggara, dan Asia Timur.
Bung Hatta yang telah mengundurkan diri dari Wakil Presiden pertama
pada penghujung 1956 karena permasalahan tujuan politik yang sepertinya
sudah jauh melenceng dan membuatnya tak bisa terus tegak di tengah banjir,
akhirnya membuatnya menjadi rakyat biasa. Banyak jabatan yang ditawarkan
kepadanya setelah berhenti menjadi Wakil Presiden namun itu ditolaknya, dia
hanya mengatakan “apa kata rakyat nanti”.40
Namun perjuangannya tidak
hanya sampai disitu, ia masih terus melihat perkembangan perekonomian dan
39
M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius (Jakarta: Mizan, 2011), h.
110. 40
Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa (Jakarta: Kompas, 2012), h.151.
71
mengkritisi perencanaan pembangunan ataupun kebijakan yang menurutnya
kurang tepat.
2. Syafruddin Prawinegara
Orang-orang yang dekat dengan Syafruddin adalah yang memiliki
ideologi sosialis, salah satunya seperti Syahrir. Syafruddin sendiri sangat
mendukung sistem sosialis kerakyatan yang dijunjungnya dapat memajukan
kemakmuran masyarakat. Pandangannya terhadap ideologis kapitalis yang
menurutnya adalah profit-making, atau mencari untung sebesar-besarnya
dengan biaya sekecil-kecilnya itu tidak sesuai.
Pembangunan ekonomi yang membutuhkan uang banyak hanya dapat
didapatkan melalui sistem kapitalis, namun mereka juga menyediakan uang
itu hanya jika sesuai dengan syarat-syarat yang mereka tentukan yakni
menurut asas kapitalisme. Dimana langkah penyediaan uang itu bisa melalui
sumbangan, pinjaman-pinjaman lunak/politik atau pinjaman dengan syarat
perdagangan internasional, serta penanaman modal asing. Menurutnya pada
intinya kapitalis itu hanya ingin mengajak negara yang menginginkan dana itu
untuk mengikuti Western (Capitalistic), dan mereka melakukan itu atas
pertimbangan profit-making semata.
Sebenarnya Syafruddin sendiri setuju dengan adanya ekonomi pasar
dan liberalisme (sistem kapitalis) yang dianggapnya mampu mendorong
72
gagasan-gagasan kemajuan. Namun kebebasan yang tidak terbatas dan tanpa
pimpinan akan menimbulkan eksploitasi dan dominasi minoritas, hingga harus
dipimpin dengan prinsip keadilan hukum dan keadilan sosial.
Sehingga Syafruddin mencari jalan tengah untuk ideologi yang ada di
Indonesia (Komunisme/Sosialisme dan Kapitalisme) dalam masalah
pembangunan yang didasarkan kepada hukum dan keadilan. Karena setelah
pemberontakan PKI pada 30 September 1968, pemerintah mendeskriminasi
para bekas anggota PKI, dia menganjurkan agar pemerintah memberikan
kebijakan yang humanis, karena dengan adanya perlakuan diskriminasi itu
membuat para orang Tionghoa menjadi berani untuk menyuap pemerintahan
yang mengakibatkan merajalela korupsi.
Ada tiga langkah yang dilakukan Syafruddin dalam mengambil jalan
tengah itu adalah menjamin keselamatan harta dan jiwa, menjamin keadilan
hukum dan keadilan sosial, serta mempertinggi kesejahteraan rakyat lahir dan
batin.41
Maka berbeda dengan Hatta, Syafruddin sangat menolak saat
Indonesia banyak melakukan pinjaman luar negeri atau menarik modal asing
secara berlebihan apapun alasannya. Menurutnya hal itu bisa saja dilakukan
jika hanya bersifat komplementer, namun Indonesia menjadikan hal tersebut
41
M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius (Jakarta: Mizan, 2011), h.
137.
73
bukan lagi bersifat komplementer tapi benar-benar menjadi sumber dana
utama. Alhasil dari sistem pembangunan ekonomi itu sebagian besar
masyarakat tidak turut bekerjasama dan berpartisipasi dalam proses
pembangunan, mereka hanya menjadi penonton dan menjadi korban dari yang
dinamakan „modernisasi‟.
Syafruddin tidak menampikkan modal asing yang masuk ke Indonesia,
hal itu dianggapnya sebagai jalan untuk melakukan industrilisasi Indonesia.
Namun pada kenyataannya pemerintah (Orde Baru) melakukan liberalisasi
permodalan dengan jalan melakukan pinjaman luar negeri untuk menutupi
defisist negara. Padahal hal tersebut sangat mengandung resiko, menurutnya
seharusnya defisist negara itu cukup didasarkan pada penerimaan dalam
negeri saja. Adapun modal asing dalam perusahaan di Indonesia seharusnya
diberlakukan undang-undang yang dibuat agar Indonesia bisa bermitra dengan
pihak asing, namun setelah itu Indonesia dapat mengambil alih proyek modal
asing tersebut.
Posisinya yang berada dalam masa transisi atau masa peralihan yaitu
dari masa kolonial menuju arah pembangunan perekonomian yang mandiri
membuatnya harus lebih melihat dan memahami permasalahan pembangunan
serta melihat permasalahan yang terjadi di lapangan yang sering disebut
„kesulitan masa peralihan‟, yang membuatnya berfikir kritis dan hati-hati pada
setiap langkah yang akan diambil. Menurutnya dalam masa peralihan dari
74
ekonomi kolonial menuju ekonomi nasional bukan dengan menggantikan
pengusaha asing dengan pengusaha pribumi dengan membiarkan sifat
kapitalis liberal melekat, namun peralihan dari sistem ekonomi yang hanya
mementingkan golongan yang berkuasa kepada sistem ekonomi yang
mementingkan seluruh masyarakat terutama golongan-golongan dengan
ekonomi lemah.42
Seperti yang terjadi pada deskriminasi pengusaha Tionghoa yang
dirasa sangat menguasai perekonomian Indonesia, Syafruddin berpandangan
bahwa peraturan politik perekonomian itu dirasa terlampau „Social Policy‟
daripada „Economic Policy‟ karena peraturannya yang „melindungi yang
lemah dan melenyapkan atau mengurangi kekuasaan yang kaya‟, dan karena
Tionghoa yang lebih berkuasa maka peraturan itu seperti peraturan yang anti-
Tionghoa. Padahal menurutnya bisa saja Tionghoa itu menjadi warganegara
yang baik dan mencintai tanah airnya. Dan ditegaskan olehnya bahwa tugas
negara (pemerintah) yang utama itu adalah menjaga, jangan sampai warga-
warga melakukan perbuatan jahat, seperti membunuh, mencuri, menipu dan
42
Sjafruddin Prawiranegara, “Peran Agama dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat dan
Ekonomi Indonesia”, dalam Kumpulan Karangan Terpilih Jilid I Islam Sebagai Pedoman Hidup
(Jakarta: Idayu Press, 1986), h. 105.
75
lain-lain. Dan peraturan-peraturan yang bertalian dengan kewajiban negara
menjamin keadilan hukum dan keadilan sosial.43
Selanjutnya mengenai masalah transmigrasi, Syafruddin sama halnya
dengan Hatta mendukung terlaksananya transmigrasi untuk pemerataan
pembangunan, namun menurutnya seharusnya trnasmigrasi dilakukan secara
spontan yaitu jangan menunggu pemerintah yang mengatur karena akan
memberikan kesempatan korupsi. Serta menurutnya transmigrasi memerlukan
biaya yang sangat mahal dan terkadang gagal dilakukan setelah itu karena
penduduk yang ingin kembali ke Jawa.44
Konsep pembangunan yang dicanangkan oleh Syafruddin adalah yang
mengarah pada tujuan Islam dan UUD 1945 pasal 31, 32, 33, dan 34,
mengenai pendidikan dan kesejahteraan sosial. Menurutnya konseptor negara
yang menyusun UUD 45 ingin membawa Indonesia pada konsep
kekeluargaan, sehingga tidak terdapat orang-orang fakir miskin dan anak-anak
yatim piatu yang terlantar.
UUD 1945 kembali dipakai pada 5 Juli 1959 setelah sebelumnya
Soekarno mengambil UUD RIS sebagai landasan negara, namun ternyata
43
Syafruddin Prawiranegara, “Membangun Kembali Ekonomi Indonesia”, dalam Hadi
Soesastro ed. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi Indonesia Selama Setengah Tahun Terakhir
1966-1982 Paruh Pertama Ekonomi Orde Baru (Jakarta: Kanisius, 2005), h. 51. 44
Thee Kian We ed., Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an (Jakarta:
Kompas, 2005), h. 47.
76
setelah itu pemahaman yang salah terjadi pada pengaplikasian dari tujuan
UUD ‟45, sehingga semakin lama penyimpangan dari UUD semakin jauh.
Tujuan dari pengajaran dan pendidikan yang layak dikatakan membutuhkan
dana yang banyak. Uang sebagai syarat yang tidak dapat dielakkan atau
„conditio sine qua non‟ sebagai modal dalam mengangkat taraf hidup rakyat,
menjadikan orang bodoh menjadi terdidik dan orang miskin menjadi makmur,
menjadi suatu „kejahatan yang wajib‟ (necessary evil) dengan cara
membangun tempat maksiat (maaf perjudian dan pelacuran) untuk menarik
wisatawan asing, serta banyaknya pungutan liar sebagai komersialisasi
jabatan.45
Hal yang menjadikan pembangunan ekonomi itu memerlukan dana
yang sangat tinggi adalah karena sebagian besar dana pembangunan itu masuk
ke dalam saku-saku petugas negara, calo-calo, dan kontraktor yang
diistimewakan. Mereka berusaha memperoleh keuntungan sebesar-besarnya
atas beban rakyat dan negara.
Syafruddin berpandangan, jika pembangunan ekonomi didahulukan
namun tidak disertai dengan pembangunan akhlak maka yang ada hanyalah
terjadinya korupsi yang merajalela. Jikapun ada pemberantasan korupsi
ataupun pungli, hal itu sangat susah karena merubah falsafah hidup itu tidak
45
Syafruddin Prawiranegara, Human Development Pola Pembangunan yang sesuai dengan
Ajaran-ajaran Islam dan UUD ‟45 (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h.11.
77
mudah. Karena konsep awal yang salah yang menjadikan manusia seperti
mendewakan uang dan kekayaan. Sehingga jika kebanyakan orang/pejabat
hidup dalam rumah mewah, mobil yang mengkilap, benda mewah yang
ber‟merk‟, dan juga hiburan-hiburan lain yang tidak cukup dipenuhi dengan
gaji yang pas-pasan itu, dari mana lagi mereka akan mendapatkan uang jika
tidak dari perbuatan mereka yang menyeleweng dari hukum?46
Maka menurut Syafruddin Prawiranegara, pendidikan dan pengajaran
adalah prioritas pertama dalam pembangunan, yaitu pembangunan akhlak
yang akan menjamin bahwa rakyat Indonesia benar-benar rakyat Pancasila
yang takwa kepada Allah SWT. Jika dalam pelaksanaannya membutuhkan
dana yang banyak seperti yang disebutkan sebelumnya, Syafruddin
menggambarkan seperti masyarakat yang bergotong-royong dalam
membangun masjid sebagai tempat ibadah untuk publik, yang tidak perlu
memerlukan dana yang besar karena sebagian besar adalah sumbangan dana
dan juga tenaga dari masyarakat sekitar. Begitu juga dengan pembanguan
pendidikan menurutnya banyak rakyat yang bersedia bergotong-royong dalam
mendirikan sekolah. Sehingga sejak di sekolah dasar warga Indonesia sudah
dilatih untuk bergotong-royong, suka bekerja, belajar dan berdikari, bukan
hanya mengumpulkan ilmu pengetahuan intelektual yang kering dan hampa.
Mereka dididik untuk memiliki self-respect (harga diri) hingga tidak suka
46
Ibid., h. 16.
78
meminta-minta dan berhutang jika benar-benar tidak perlu. Namun pada
kenyataannya Indonesia terus menerus meminjam uang dan menerima
sumbangan-sumbangan dari luar negeri, karena memang miskin, tetapi
pembesar-pembesarnya, sampai yang tidak tinggi sekalipun hidupnya sama
mewahnya atau lebih mewah lagi dari pembesar-pembesar di negara-negara
donor yang memberi pinjaman dan sumbangan!.”
Kutipan Syafruddin mengenai pembangunan dan gambaran
Indonesia:47
“Pembangunan bukan memanjakan orang asing untuk mengosongi
dompetnya, tetapi yang harus dimanjakan adalah anak-anak dan pemuda-pemuda
kita, bukan dengan kemewahan, tetapi dengan pengajaran dan pendidikan yang
bertujuan membentuk mereka menjadi manusia dan warga negara yang baik, yang
takwa kepada Allah S.W.T.”
Selanjutnya yang menjadi prioritas kedua dalam pembangunan adalah
pembangunan ekonomi. Dimana menurut Syafruddin pembangunan ekonomi
ini juga memiliki dua tujuan, yaitu:48
Pertama :menunjang pendidikan dan pengajaran,dan
Kedua :memenuhi keperluan hidup rakyat yang primer, pangan,
sandang dan perumahan serta keperluan lainnya.
Mengenai bentuk ekonomi Indonesia Syafruddin sependapat dengan
Hatta bahwa bentuk koperasi sebagai bentuk pertama ekonomi Indonesia,
47
Ibid., h. 25. 48
Ibid., h. 26.
79
seperti yang dicanangkan dalam pasal 33 UUD ‟45, karena koperasi
merupakan bentuk yang harmonis antara individualisme dan kolektivisme.
Bentuk kedua adalah perusahaan negara yang mengurus kepentingan rakyat
primer. Dan bentuk ketiga adalah perusahaan swasta milik perseorangan
dimana perusahaan ini dibiarkan bekerja di bidang di mana koperasi dan
perusahaan negara tidak ada, karena belum ada atau dianggap tidak perlu.
Kembali kepada tujuan pembangunan ekonomi yang disebutkan
Syafruddin yaitu untuk menunjang pendidikan dan pengajaran, maka setiap
pembangunan yang dilakukan pun yang harus diutamakan adalah bangunan-
bangunan untuk kepentingan pengajaran dan pendidikan bukan hotel-hotel
mewah untuk menampung wisatawan asing. Selain itu pembanguan industri
juga seharusnya yang berkaitan untuk kepentingan pengajaran dan pendidikan
seperti kertas, pensil, percetakan dan lain-lain.
Mendahulukan pembangunan pengajaran dan pendidikan bukan berarti
menolak wisatawan yang datang ke Indonesia untuk melihat keindahan alam
dan juga budaya. Namun Syafruddin berpendapat bahwa wisatawan asinglah
yang harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam dan adat istiadat
Indonesia, bukan orang Indonesia yang harus menyesuaikan kehidupan barat
di Indonesia karena hanya ingin mendapatkan uang dari mereka. Syafruddin
juga berpendapat bahwa pembanguan pada saat ini seperti imitasi dari
80
pembangunan yang dilakukan oleh negara maju sebelumnya dan hanya sedikit
saja yang mengandung unsur kreatifitas.
Manusia yang kreatif adalah manusia yang dapat membangun
lingkungan hidupnya sesuai dengan keadaan alam dan masyarakatnya,
sehingga dengan adanya pembangunan itu tidak hanya memelihara kelestarian
alamnya tetapi juga memperbaikinya bersama dengan peningkatan derajat dan
mutu masyarakat.49
Pengetahuan Syafruddin yang dalam mengenai agama dan ideologi
membawanya pada suatu pemikiran bahwa dalam pembangunan hal yang
utama itu bukanlah sekedar masalah ekonomi-materi, melainkan juga
kebudayaan. Sehingga dari setiap gagasan pembangunan yang dia sampaikan
lebih banyak mengenai proses pembangunan yang berhubungan dengan faktor
non ekonomi seperti agama, moral, hukum, sember daya manusia, dan hak-
hak asasi manusia.
Selain pandangannya mengenai bentuk ekonomi Indonesia dan juga
pembangunan ekonomi yang menjurus juga pada pembangunan sumber daya
manusia, Syafruddin sebagai Gubernur Bank Indonesia pertama yang juga
menjadi menteri pertama (saat dirinya menjabat sebagai Menteri Kemakmuran
49
Ibid., h. 28.
81
pada Kabinet Hatta) yang mengeluarkan ORI (Oeang Republik Indonesia),50
dan yang memegang peranan penting dalam kestabilan moneter, ia sangat
berhati-hati dalam mengambil keputusan ekonomi, ia tidak mau jika setiap
pembangunan yang ditujukan membangun perekonomian malah merusak
kestabilan moneter. Banyak gagasan yang dia tidak setuju dalam beberapa
kebijakan yang diajukan oleh Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Menteri
Perindustrian dan Perdagangan dalam Kabinet Natsir. Seperti gagasan
Soemitro mengenai industrialisasi yang memproduksi barang pengganti impor
merupakan langkah besar dalam kemandirian ekonomi, yang dikritisi
Syafruddin sebagai strategi pembangunan yang terlalu melompat jauh,
menurutnya industrilisasi harus didahului pembangunan pertanian yang akan
menjadi tulang punggungnya dan juga sebagai sumber pembentukan modal.
Juga mengenai anggaran berimbang yang dikatakan oleh Soemitro
tidak boleh statis jadi harus selalu dinamis sesuai dengan kebutuhan
pembangunan dan harus mengambil resiko defisit. Sedangkan Syafruddin
yang tidak mau mengakibatkan anggaran defisit apalagi jika ditutupi dengan
utang luar negeri hal itu akan sangat mengandung resiko, baginya anggaran
berimbang boleh dilakukan asal jangan menimbulkan inflasi, yang disebut
oleh Tan Goan Po pandangan Syafruddin itu akan menutup kemungkinan
50
Thee Kian We ed., Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an (Jakarta:
Kompas, 2005), h. 41.
82
kemajuan dan terobosan baru. Malah Tan Goan Po yang banyak mendukung
gagasan Soemitro saat terjadi polemik antara keduanya mengenai strategi
pembangunan. 51
Tan Goan Po menyarankan agar dicetak uang baru untuk
pembiayaan pembangunan yang langsung dikritik oleh Syafruddin sebagai
suatu gagasan yang akan menimbulkan inflasi dan merosotnya nilai mata
uang.52
Tapi selain polemik Syafruddin dengan Soemitro keduanya memiliki
pandangan yang sama mengenai industri kecil yang pro-ekonomi rakyat, sama
halnya dengan Hatta yang memperjuangkan industri rakyat kecil, atau
ekonomi kerakyatan yang disebut Syafruddin sosialis kerakyatan.
Masih mengenai keuangan, Syafruddin yang saat itu menjabat sebagai
Menteri Keuangan pertama dalam masa Kabinet Hatta melakukan
pengguntingan uang yang lalu disebut dengan “Gunting Syafruddin”. Dimana
pada saat itu beredar dua mata uang yaitu yang dikeluarkan oleh Belanda dan
Republik Indonesia, untuk menyeragamkan mata uang dan juga untuk
menghapus perbedaan antara mata uang tersebut, maka Syafruddin memotong
uang Belanda menjadi dua bagian, yang pertama dirubah menjadi uang
Republik dan sebagian lagi menjadi obligasi keuangan.53
51
M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius (Jakarta: Mizan, 2011), h.
112. 52
Sjafruddin Prawiranegara, “Kesulitan-kesulitan Masa peralihan ditinjau dari Sudut Pandang
Ekonomi”, dalam Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam Kumpulan Karangan Terpilih Jilid
II (Jakarta: Haji Masagung, 1988), h. 62. 53
Thee Kian We ed., Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an (Jakarta:
Kompas, 2005), h. 42.
83
Selain itu ia juga banyak memberikan gagasan terkait dengan
pembangunan di awal perkembangan Indonesia merdeka, di mana gagasan-
gagasan tersebut banyak dipakai saat masa Orde Baru, di antara beberapa
gagasannya adalah54
, pertama diperlukannya stabilisasi moneter sebagai basis
pertumbuhan ekonomi, baik internal yang berkaitan dengan anggaran negara
dengan mengendalikan pengeluaran dan mengatur skala prioritas, maupun
eksternal yang berhubungan dengan neraca pembayaran.
Kedua, perlunya membangun sektor pertanian sebagai tulang
punggung industrilisasi. Di mana sektor pertanian yang dikembangkan ini
adalah sektor pertanian pangan untuk mencapai swasembada pangan dan
sektor perkebunan untuk menghasilkan devisa. Serta untuk skala menengah
memberikan kesempatan kepada pihak asing yang mampu mengimpor
teknologi.
Ketiga, perlunya mempertahankan dan meningkatkan modal asing
untuk melakukan industrilisasi Indonesia. Karena Indonesia belum memiliki
modal yang cukup untuk menggerakan industri, dan jika ingin menuju
ekonomi nasionalis dengan mengusir para kapitalis asing (jaman kolonialis),
54
M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius (Jakarta: Mizan, 2011), h.
71-72.
84
maka dalam jangka pendek modal itu akan hancur dan tak akan memberikan
hasil lagi.55
Keempat, melakukan Indonesianisasi manajemen perusahaan-
perusahaan asing, dengan menyiapkan tenaga-tenaga profesonal yang dididik
di dalam maupun luar negeri sehingga mampu mengelola perusahaan dengan
baik.
Kelima, memberdayakan usaha kecil melalui kredit perbankan.
Keenam, menempatkan Bank Sentral sebagai lembaga mandiri pendamping
pemerintah yang bertugas memelihara kestabilan moneter dan nilai rupiah.
Ketujuh, Perencanaan pembangunan yang dilakukan dalam kerangka
model sistem ekonomi swasta, yaitu dengan memberikan kesempatan kepada
pihak swasta nasional, pribumi maupun aisng untuk melakukan kegiatan
produktif.56
Meskipun pola pembangunan yang dipakai pada Orde Baru adalah
gagasan Syafruddin, dari pada dua tokoh lainnya yaitu Hatta dan Soemitro.
Namun pemikirannya keduanya juga di pakai dalam, seperti gagasan Hatta
mengenai koperasi yang dikembangkan oleh Sudarsono Hadisaputro sebagai
55
Sjafruddin Prawiranegara, “Apakah Modal Asing Berbahaya bagi Bangsa dan Negara Kita?”,
dalam Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam Kumpulan Karangan Terpilih Jilid II (Jakarta:
Haji Masagung, 1988), h. 19. 56
M. Dawam Rahardjo. Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius (Jakarta: Mizan, 2011), h.
140.
85
Menteri Pertanian, di mana ia membentuk Koperasi Unit Desa (KUD) yang
dimulai dengan pengembangan Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Kemudian
gagasan Soemitro mengenai program industrilisasi yang dipakai dalam
pengembangan BUMN.
Setelah menganalisis beberapa konsep pembangunan ekonomi
Indonesia dari Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara, ada beberapa
konsep mereka yang sama dan saling melengkapi dan ada juga konsep
pembangunan ekonomi keduanya yang berbeda dan ada beberapa pandnagan
yang tidak dibahas salah satunya.
Tabel 1. Komparasi Konsep Pembangunan Ekonomi Mohammad Hatta
dan Syafruddin Prawiranegara Masa Peralihan.
No Konsep
Pembangunan Ekonomi
Mohammad Hatta Syafruddin Prawiranegara
1 Ideologi
Mendahulukan kesejahteraan sosial terutama rakyat kecil dalam setiap konsep pembangunan ekonominya seperti idenya yang tercantum dalam pasal 33, dan tidak menyukai adanya eksploitasi manusia dan perbudakan
Menjunjung ekonomi kerakyatan yang dapat memajukan kemakmuran masyarakat, dan tidak setuju dengan pandangan kapitalis yang menurutnya profit-making, dan setuju pada ekonomi pasar yang tidak bersifat eksploitasi dan tetap mendapat pengawasan
86
2 Pendidikan
Pendidikan merupakan bentuk pengkaderan SDM yang sangat efektif, juga untuk menumbuhkan pergerakan rakyat setelah masa kolonial. Hatta juga sangat peduli akan pendidikan moral
Pendidikan sangat penting dalam pembangunan moral dan akhlak serta menumbuhkan self-respect jika tidak ada pendidikan maka korupsi akan merajalela, maka pendidikan menjadi hal utama dalam pembangunan sebelum ekonomi
3 Transmigrasi
Transmigrasi salah satu bentuk dari pemerataan kemakmuran, karena pembangunan yang terjadi hanya di pulau Jawa, maka dengan adanya transmigrasi kemakmuran semakin bertambah
Transmigrasi harus dilakukan secara spontan jangan menunggu pemerintah karena memberikan kesempatan korupsi, transmigrasi juga membutuhkan banyak dana dan terkadang gagal karena transmigran yang ingin kembali ke Jawa
4 Pinjaman Luar negeri
Pembangunan paska masa kolonial membutuhkan dana yang banyak, dan jalan keluarnya melalui pinjaman luar negeri. Namun pinjaman luar negeri ini pengembaliannya dalam jangka panjang dan digunakan untuk kepentingan rakyat
Syafruddin sangat tidak menyetujui adanya pinjaman luar negeri apapun alasannya, bisa saja hal itu bersifat komplementer, namun Indonesia telah menjadikannya sebagai sumber dana utama dan itu mengandung resiko yang besar
87
5 Modal Asing
Hatta masih ragu-ragu dengan modal asing, namun menurutnya modal asing harus digunakan secara hati-hati dan lebih baik digunakan untuk kepentingan ekspor yang pendapatannya bisa mejadi devisa
Berbeda dengan Hatta, Syafruddin melihat modal asing sebagai aset, karena modal dan SDM Indonesia yang belum mencukupi dalam masa peralihan, maka modal asing sangat diperlukan untuk industrilisasi ke depannya, tetap dengan peraturan yang ketat sehingga pada akhirnya Indonesia bisa mengambil alih modal tersebut
6 Industri
Karena penduduk yang bertambah padat sehingga lahan pertanian menjadi semakin sempit, maka industrilisasi perlu dibangun, namun jika Indonesia melakukan industrilisasi maka harus cukup memberi penghidupan pada berjuta-juta rakyat
Industrilisasi yang harus dibangun Indonesia adalah pertanian sebagai tulang punggung industrilisasi dan untuk modal utama pembangunan. Dan juga mempertahankan dan meningkatkan modal asing sebagai awal industrilisasi Indonesia
7 Pertanian
Mengembangkan sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan dan mengembangkan sektor perkebunan untuk menghasilkan devisa
Menjadikan pertanian sebagai soko guru dalam perekonomian Indonesia yang saat itu sebagain besar sebagai petani, untuk mencapai swasembada pangan dan juga perkebunan sebagai devisa
8 Koperasi
Koperasi sesuai dengan cita-citanya yaitu untuk menciptakan keadilan dalam bidang ekonomi yang dapat mencapai kemakmuran yang merata, dan solusi yang baik untuk memajukan usaha rakyat kecil
Setuju dengan konsep koperasi Hatta karena menurutnya koperasi merupakan penyatuan harmonis antara kolektivisme dan individualisme
88
9 Stabilitas Moneter -
Stabilisasi moneter sebagai basis pertumbuhan ekonomi, baik internal dengan mengendalikan pengeluaran dan mengatur skala prioritas dan eksternal dengan neraca pembayaran
10 Nasionalisasi Ekonomi
-
Nasionalisasi bukan dengan menggantikan pengusaha asing dengan pengusaha pribumi dengan membiarkan sifat kapitalis liberal melekat, namun peralihan peralihan sistem ekonomi yang hanya mementingkan golongan kepada sistem yang mementingkan golongan masyarakat ekonomi lemah, Juga seharusnya pemindahan itu disertai dengan kemampuan mengatur perusahaan dengan baik
11 Infrastruktur
Infrakstruktur dapat mempermudah pembangunan ekonomi di wilayah lain, karena Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau, sehingga infrakstruktur dan transportasi sangat diperlukan, infrakstruktur dan transportasi merupakan urat nadi perekonomian.
-
89
C. Relevansi Konsep Pembangunan Ekonomi Mohammad Hatta dan
Syafruddin Prawiranegara Dilihat dari Sudut Pandang Ekonomi Islam
Konsep perencanaan pembangunan dari para tokoh telah dijabarkan
sebelumnya, bagaimana Hatta dan Syafruddin dengan latar belakang dan juga
pemikiran yang mereka bangun, memiliki perbedaan dan juga persamaan
dalam konsep pembangunan ekonomi Indonesia di masa peralihan.
Maka, setelah melihat konsep yang dipaparkan kedua tokoh tersebut
kita akan menganalisis bagaimana relevansi pemikiran keduanya jika dilihat
dari sudut pandang ekonomi Islam, yaitu dari prinsip mashlahah dan juga
pendapat dari para ekonom muslim dari zaman klasik sampai kontemporer.
Kemashlahatan dalam ekonomi menjadi tujuan penting dalam Islam
yang juga mengatur hubungan manusia dengan manusia. Mashlahah berasal
dari kata salaha-yasluhu, yang berarti „baik‟. Sedangkan bentuk kata lainnya
seperti aslaha berarti „memperbaiki‟. Salih atau salihat berarti kebaikan atau
kemaslahatan yang bersifat individu, sedangkan islah, muslihin bisa
dikategorikan sebagai kebaikan atau kemaslahtan yang bersifat sosial, kata
maslahah ini disebutkan dalam Al-Qur‟an sebanyak 108 kali.
Kata maslahah ini dikaitkan dengan perbuatan manusia, yang baik dan
membawa manfaat, baik bagi dirinya maupun orang lain, bahkan termasuk
kepada alam sekitar. Dan ini dijadikan Al-Qur‟an sebagai indikasi keimanan
seseorang, maksudnya keimanan seseorang tidak akan bernilai jika tidak
90
terwujud dalam perilakunya yang maslahat. Seperti yang diterangkan dalam
Q.S Hud (11): 117
Artinya: “Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-
negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat
kebaikan”.
Menurut Ar-Razi dalam tafsir ayat tersebut, menyebutkan bahwa Allah
tidak akan menghancurkan suatu kaum hanya karena aqidahnya yang
menyimpang, sedangkan perilaku mereka terhadap sosial tetap baik dan adil.
Begitu pula seperti yang disebutkan oleh „Abdul Karim Zaidan, menyatakan
bahwa Allah akan senantiasa menjaga suatu negara yang adil meskipun
masyarakatnya kafir akidah.57
Prinsip kemaslahatan ekonomi menurut Al-Qur‟an, ada 5 yaitu:58
1. Tidak bersifat ilegal atau bathil
2. Prinsip pemerataan dan berbasis masyarakat
3. Kemakmuran yang berkeadilan
4. Prinsip tidak saling menzalimi
5. Prinsip keseimbangan dan kesederhanaan (halal, sederhana, dan
kemurahan hati).
57
Badan Litbang dan Diklat, Kementrian Agama RI, Pembangunan Ekonomi Umat: Tafsir
Tematik Edisi Penyempurnaan (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2012), h. 178. 58
Ibid., h. 186.
91
1. Pendidikan Moralitas
Pendidikan merupakan hal utama dalam pembangunan sebelum
pembangunan ekonomi. Hatta selalu menggalang pendidikan bagi kader-
kadernya, menurutnya rakyat Indonesia sudah berada lama dalam masa
kebodohan pada masa kolonial, maka saat kemerdekaan dikumandangkan
waktunya rakyat Indonesia untuk membangkitkan jiwa pergerakan. Begitupun
dengan Syafruddin menurutnya pendidikan adalah faktor utama dalam
pembangunan karena pendidikan moral yang baik dapat membentuk SDM
yang dapat diandalkan dalam pembangunan. Serta untuk menumbuhkan self-
respect sehingga menjauhkan diri dari sifat meminta-minta dan juga
bergantung kepada orang lain.
Sama pandangannya seperti Al Maududi menurutnya moral adalah
kepentingan dasar bagi Islam, maka Islam tidak seluruhnya bersandar pada
hukum untuk menegakkan keadilan sosial, tapi lebih otoritas kepada
pembentukan moral manusia seperti iman, taqwa, pendidikan dan lainnya.59
2. Koperasi dan Kesejahteraan Sosial
Koperasi yang menjadi fokus utama dalam setiap gagasan Hatta,
karena sistem ini menurutnya sangat sesuai dengan ciri khas Indonesia yang
bersifat kolektivisme atau gotong-royong dan juga cita-cita Indonesia dalam
melaksanakan demokrasi ekonomi begitu pula dengan ajaran Islam yang
59
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer
(Depok: Gramata Publishing, 2010), h. 276.
92
mengemukakan dasar-dasar keadilan dan persaudaraan serta penilaian yang
tinggi kepada manusia pribadi sebagai makhluk Allah.
Hatta juga mengutarakan pendapatnya bahwa tujuan politik
perekonomian Indonesia ialah membangun suatu Indonesia yang adil dan
makmur, dengan pokok pelaksanaannya harus dipusatkan pada usaha
memperbesar tenaga beli rakyat dengan berangsur-angsur.
Syafruddin juga mendukung adanya koperasi karena sangat sesuai
dengan sifat masyarakat Indonesia yang gotong-royong, serta sangat
menekankan pada kemakmuran rakyat kecil. Namun menurutnya, koperasi
yang lebih cenderung mengambil sistem sosialis dan meskipun telah ada
aturannya dalam Islam, ia berpendapat bahwa Indonesia tidak seharusnya
mengambil satu ideologi saja (kapitalisme ataupun sosialisme). Ajaran
kapitalisme dan sosialisme pun dapat diterapkan sesuai dengan keadaan, untuk
kepentingan rakyat, bukan secara dogmatis. Karena orang tidak akan bisa
membentuk koperasi jika tidak mengetahui makna, dan cara menangani
bentuk usaha ekonomi ini. Maka, bentuk-bentuk usaha kapitalis pun dapat
dilaksanakan di Indonesia, dan tugas pemerintah serta masyarakat harus
bekerjasama dalam mengatasi terjadinya pelanggaran.
Koperasi merupakan kegiatan ekonomi berbasis kesejahteraan sosial
kemasyarakatan dimana tujuan pencapaiannya tersebut dipakai dalam
ekonomi Islam yang mana tujuan utama ekonomi Islam untuk mencapai
kesejahteraan sosial. Di mana menurut Ibnu Khaldun kesejahteraan
93
masyarakat tergantung dari aktivitas ekonominya, jumlah, dan pembagian
tenaga kerja, luasnya pasar, tunjangan dan fasilitas yang disediakan oleh
negara.60
. Dan Hatta mengambil koperasi sebagai sistem ekonomi yang tepat
untuk meningkatkan usaha kecil masyarakat dengan sistem kooperatif dan
kolektivisme yang tidak mengesampingkan hak individualisme.
3. Transmigrasi, Infrakstruktur dan Pemerataan
Pemerataan yang berbasis masyarakat adalah cita-cita setiap teknokrat
dalam membangun dasar ekonomi Indonesia setelah kemerdekaan. Itu juga
salah satu cita-cita Hatta yang paling penting dalam membangun ekonomi
Indonesia. Fokus utamanya adalah bagaimana rakyat kecil bisa makmur
setelah masa kolonial berakhir, karena seperti yang diketahui pada masa
penjajahan, rakyat adalah korban yang paling besar dalam menanggung segala
bahaya dan juga kesulitan. Juga karena jumlah rakyat Indonesia yang banyak
maka Hatta sangat menganjurkan dalam memberdayakan masyarakat untuk
makmur dengan turut serta dalam pembangunan.
Konsep dalam pemerataan ini dia gagas dengan konsep transmigrasi
dan juga industri yang diharapkan bisa menghasilkan pembangunan yang
merata (distribusi kekayaan yang merata juga) yang dibangun oleh para
masyarakat Indonesia.
60
Ibid., h.249.
94
Begitu juga dengan transmigrasi yang didukung oleh Syafruddin,
namun ia tak terlalu mengedapankan konsep itu, karena dana yang
dikeluarkan cukup besar dan banyak program transmigrasi terkadang gagal
karena banyak transmigran yang ingin kembali ke pulau Jawa.
Pemerataan dalam Islam disebut sebagai keadilan distribusi dan juga
menentukan regulasi yang jelas untuk memelihara keadilan. Sehingga harta
tidak hanya beredar hanya di kalangan orang-orang tertentu saja, seperti yang
disebutkan dalam Al Qur‟an Al Hasyr ayat 7 yang artinya Agar harta itu
jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.
4. Korupsi dan Diskriminasi
Hatta mengungkapkan pandangannya mengenai korupsi yang
merupakan praktik bathil yang sangat merugikan, dan sangat membuat
Indonesia terhambat dalam pembangunan, kemudian juga saat dirinya menjadi
penasehat Presiden Soeharto dan penasehat Komisi Empat pada 1970, Ini
dimaksudkan untuk memberantas korupsi dalam pemerintahan, namun begitu
banyak masalah yang ia peroleh membuatnya putus asa karena hanya bisa
sebatas dalam memberi nasehat saja sedangkan korupsi sudah sangat
membudaya, hanya contoh dari atas yang dapat memberantasnya.
Syafruddin juga menegaskan bahwa yang membuat biaya
pembangunan menjadi sangat besar adalah karena dana-dana pembangunan
itu masuk ke dalam kantong para petugas, calo dan kontraktor yang
diistimewakan, begitu pula dengan adanya pungutan liar atau „pungli‟ yang
95
biasa disebut „komersialisasi jabatan‟, itu juga termasuk dalam suatu hal yang
bathil yang tidak pantas dilakukan.
Sedangkan dalam hal diskriminasi terjadi pada masa kemerdekaan di
mana banyak kegiatan ekonomi kelas menengah dikuasai oleh orang
Tionghoa, sehingga yang saat itu Sumitro melakukan kebijakan lisensi bagi
importir pribumi yang pada akhirnya, malah di belakang banyak yang dijual
kepada Tionghoa yang membuat cangkupan ekonominya meluas. Banyak juga
para petinggi yang tidak menyukai jika ekonomi dikuasai oleh orang
keturunan seperti Tionghoa, Cina dan juga orang Asia lainnya, sehingga
menetapkan kebijakan ekonomi yang mempersulit Tionghoa dalam
melakukan aktifitas ekonomi, yang malah membuat mereka berani untuk
menyuap pejabat agar mempermudah transaksi mereka. Hal itu sangat tidak
disetujui oleh Syafruddin, dia berpendapat bahwa warga Tionghoa juga
merupakan rakyat Indonesia jika mereka dididik maka jiwa nasionalismenya
akan tumbuh kuat sama seperti rakyat Indonesia pada umumnya, dan bahkan
bisa membantu mengembangkan perekonomian Indonesia, dia tidak
menyalahkan Tionghoa yang memang bekerja lebih keras dalam mendapatkan
kemakmuran ekonomi itu.
Begitu juga setelah gerakan pemberontakan yang dilakukan PKI,
setelah itu pemerintah sangat gencar dalam membasmi mantan anggota KPI di
Indonesia dengan segala kebijakan yang menyudutkan. Ia menentang
pemerintah yanng terlalu menghukum para pengikut PKI, menurutnya
96
komunisme adalah sebuah ideologi dan tidak bisa dilarang karena sesuai
dengan kebebasan berfikir, yang terpenting menurutnya adalah mendidik
untuk membina mental dan harus dilawan dengan ideologi lagi, serta yang
utama adalah rakyat harus didorong untuk membangun kembali perekonomian
Indonesia berdasarkan ideologi pancasila.61
Korupsi dan diskriminasi merupakan salah satu perbuatan zalim yang
juga mengacu pada ketidakadilan karena korbannya tidak hanya satu dua
orang tetapi yang dirugikan adalah seluruh warga negara. Maka Islam
meletakkan prinsip muamalah agar tidak ada yang dirugikan atau merugikan,
sebagaimana firmannya dalam Al Qur‟an Al Baqarah ayat 279 yang artinya
kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).
5. Pinjaman Luar Negeri dan Modal Asing
Ada beberapa perbedaan pendapat antara Hatta dan Syafruddin dalam
masalah pinjaman luar negeri dan Modal Asing. Hatta meskipun masih ragu
akan pinjaman luar negeri karena menurutnya tangan di atas itu lebih baik dari
pada tangan di bawah. Namun karena kondisi Indonesia yang saat itu sangat
membutuhkan modal banyak untuk pembangunan maka jalan keluarnya
adalah dengan pinjaman luar negeri, meskipun pihak peminjam pasti memiliki
alasan tersendiri, jika Indonesia dapat mengelolanya dengan baik dan
pinjaman itu berjangka waktu panjang dalam pengembaliannya maka
61
Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius (Jakarta: Mizan,2010), h.
134.
97
pinjaman luar negeri itu bisa dilakukan. Sedangkan Syafruddin tidak
menyetujui adanya pinjaman luar negeri apapun itu alasannya, karena
menurutnya Indonesia belum bisa mengatur dengan benar pinjaman dengan
baik, dan malah menjadikan pinjaman itu sebagai sumber dana utama dan juga
untuk menutupi anggaran defisit negara seperti yang dilakukan pada masa
orde baru.
Mengenai modal asing Hatta malah kurang menyetujuinya, karena
akan ada perusahaan asing yang berkuasa di Indonesia. Seharusnya jika ada
modal asing maka harus ditempatkan di kegiatan ekspor sehingga hasil yang
di dapat bisa dijadikan devisa untuk pengembalian modal. Dari sudut
pandnagn Syafruddin modal asing ini sangat membantu bagi Indonesia karena
modal negara yang tidak mencukupi dalam melakukan perindustrian karena
Indonesia tidak memiliki sejarah yang panjang dalam perindustrian maka
perlu penguatan di awal, namun tetap adanya pengawasan dari pemerintah dan
juga undang-undang yang ketat dalam menangani hal itu. Sehingga nantinya
Indonesia bisa mengambil modal tersebut.
Menurut Monzer Khaf hutang negara yang diperbolehkan dalam
masyarakat Islam adalah hutang yang bukan penghasilan. yaitu tuntutan
hutang jangka pendek dan jangka panjang terhadap pemerintah yang tidak
98
terwakili dalam sarana tagihan-tagihan pembayaran. Monzer membagi hutang
negara menjadi tiga tujuan utama:62
a. Pendanaan bagi pengeluaran darurat yang melebihi kapasitas pajak
b. Pendanaan program pembangunan
c. Penyerapa (suntikan untuk kasus hutang yang tidak terbayar) kelebihan
atau kekurangan uang di tangan pemerintah sebagai alat pengelola
moneter.
Namun jika dilihat dari pembagian tujuan ini, penulis lebih
mendukung tujuan utang luar negeri dari konsep Hatta dan Syafruddin.
Dan Islam pun pernah menyebutkan bahwa tangan di atas (memberi) itu
lebih baik dari pada tangan di bawah (meminta-minta), maka lebih baik
jika pinjaman luar negeri sebagai utang negara itu dilakukan pada pilihan
terakhir yang mendesak dengan ketentuan perundang-undnagan yang
sudah disepakati.
6. Riba
Mengenai masalah Riba yang merupakan dasar perbedaan dari
ekonomi Islam dan konvensional. Hatta tidak membantah bahwa riba itu
haram hukumnya, karena sudah jelas Allah menyebutkannya dalam Al-Qur‟an
dalam Q.S Al-Baqarah (2): 277-278.
62
Ibid., h. 315.
99
Artinya:
277. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal
saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di
sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman.
Namun yang menjadi perhatian adalah pandangannya mengenai bunga
yang menurutnya tidaklah haram “selama tingkat suku bunga tersebut telah
ditetapkan terlebih dahulu, sehingga kemudian seseorang dapat memutuskan
secara lebih tepat apakah hal itu akan menguntungkan baginya atau tidak
untuk meminjam uang tersebut.63
Hatta lebih menekankan pada keterbukaan dalam transaksi karena
menurutnya harus ada kerelaan dari kedua belah pihak. Hatta menambahkan
“bila seseorang masih tetap ingin mempergunakan jasa bank, berarti ia telah
63
Anwar Abbas, Mohammad Hatta dan Ekonomi Islam (Jakarta: Kompas, 2010), h. 219.
100
rela membayar rentenya. Sebaliknya, bila rente dilakukan dengan diam-diam
maka ia termasuk riba.64
Bunga dalam bank adalah suatu hal yang positif karena bersifat
produktif sedangkan riba malah menghancurkan. Gambaran bunga dalam
bank pun menjadi cara dalam menuju kemajuan (ekonomi). Pandangan yang
di dapat Hatta itu juga tak terlepas dari peran guru agamanya yang bernama H.
Abdullah Ahmad seorang ulama dan tokoh agama terkenal di padang,
Sumatera Barat.65
Selaras dengan pemikiran Hatta, Syafruddin tidak mempermasalahkan
riba yang dilarang agama, namun yang ia permasalahkan ketika pengertian
riba itu dimaknai bunga bank. Menurutnya bunga bank bisa dikategorikan riba
jika jumlahnya berlipat ganda karena dimaknai sebagai pengerukan
keuntungan yang tinggi (eksploratif). Dan menurutnya riba itu diartikan
sebagai keuntungan yang diperoleh dengan cara-cara tak berkeprimanusiaan,
dengan menipu dan menindas rakyat, itulah riba yang dimaksudkan dalam
Islam.
Kemudian pendapatannya saat didirikan Bank Syariah dengan sistem
profit-sharing, ia akan menyetujuinya karena Bank Syariah menghindari
empat larangan agama dalam kegiatan ekonomi yaitu maysir (perjudian),
gharar (spekulasi), riba (bunga uang yang berlipat ganda), dan bathil
64
Ibid., h.219. 65
Ibid., h. 220.
101
(pelanggaran hukum). Namun ia akan mempertimbangkan Bank Syariah jika
sistem bagi hasil dan ruginya lebih tinggi, karena baginya bunga dalam bank
itu adalah biaya uang yang diperlukan, apa pun namanya hanya cara
penghitungannya saja yang berbeda. Bunga bank konvensional dihitung
berdasarkan biaya transaksi (transaction cost) untuk mendapatkan uang,
seperti biaya produksi plus keuntungan bank, atau mengikuti harga yang
ditentukan oleh permintaan dan penawaran di pasar uang66
.
Tidak hanya Hatta dan juga Syafruddin yang berpendapat seperti itu,
tokoh ekonom muslim juga banyak yang memiliki pandangan yang berbeda
mengenai riba ini, seperti yang diungkapkan Fazlur Rahman mengenai bunga
bank, menurutnya bunga bank yang ringan itu halal, sedangkan yang berlipat
ganda itu haram. Namun begitu Sri Edi Swasono mengatakan bahwa
“cakupan Ekonomi Syariah tidak sepatutnya direduksi menjadi masalah riba
dalam arti sempit itu, yaitu riba dalam arti bunga pinjam-meminjam atau pun
yang berkaitan dengan perbankan konvensional”.
Namun telah diketahui dengan pasti saat ini bahwa bunga sama dengan
riba dan hukumnya haram berapa pun besarannya, dan bunga itu sudah
diperjanjikan di awal maka sudah jelas hukumnya haram. Abu A‟la Al-
Maududi (1903-1979) sudah mematahkan pendapat Fazlur Rahman yang
66
Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius (Jakarta: Mizan, 2010), h.
205.
102
mengatakan bunga bank ringan adalah halal sedangkan yang berlipat haram
hukumnya, dengan aspek-aspek negatif yang terdapat dalam bunga, seperti:67
a. Teori piutang menanggung resiko
Fazlur Rahman mengatakan bahwa kreditor harus menanggung
resiko karena dia harus menahan diri dari dana yang dia pinjamkan,
Dia juga harus menahan keinginannya untuk memenuhi keinginan
orang lain, sehingga semestinya harus mendapatkan keuntungan dan
juga harus membayar sewa sebagai kompensasi dari pertanggungan
resiko. Pendapat itu dipatahkan dengan argumen, bahwa kreditor
meminjamkan uangnya yang berlebih dari yang dia perlukan jadi tidak
ada alasan untuk menahan diri, dan juga untuk sewa itu hanya
dikenakan pada barang seperti rumah, transportasi dan sebagainya.
Maka barang seperti emas, makanan, uang atau yang sejenisnya tidak
termasuk sewa.
b. Teori pinjaman memperoleh keuntungan
Teori yang mendukung mengatakan bahwa waktu itu berharga, dan
masa yang digunakan peminjam juga pasti mengalami keuntungan dan
si kreditor berhak atas keuntungan tersebut. Maka Al Maududi
menanggapinya dengan pertanyaan “Bagaimana dan darimana si
kreditor mengetahui jika si peminjam mengalami kerugian dari dan
67
Ibid., h. 282.
103
yang dipinjamkannya itu dan dari mana kreditor mengetahui dari
mana si peminjam secara pasti mendapatkan keuntungan sehingga si
kreditor dengan pasti pula menetapkan bagian keuntungan yang dia
ambil?” pertanyaan tersebut tidak mampu dijawab secara baik dan
masuk akal.
c. Teori produktivitas modal
Teori ini mengatakan bahwa modal itu untuk meningkatkan
produktivitas dan bunga sebagai imbalannya. Maka Al Maududi
menyatakan bahwa modal untuk meningkatkan produktivitas itu tidak
beralasan karena peningkatan produktivitas itu ada jika dikelola oleh
yang kompeten, jika modal itu dikaitkan dengan produktivitas maka
ada faktor lain yang berpengaruh. Sehingga tidak adil jika bunga
dikenakan pada peminjaman uang untuk 10 tahun ke atas dengan
kepastian keuntungan di masa depan yang tidak pasti.
d. Teori present value > future value
Teori ini berpendapat bahwa uang, kepuasan dan barang-barang di
masa sekarang lebih berharga dari pada masa depan. Maka Al
Maududi bertanya apakah memang sifat manusia seperti itu? lalu
kenapa mereka tidak menghabiskan semua uangnya untuk masa
sekarang, bukan untuk masa depan karena sebagian besar mereka
104
bekerja susah payah saat ini adalah untuk kehidupan masa depan yang
lebih baik.
e. Merupakan kejahatan moral
Bunga memiliki dampak negatif bagi psikologis, dimana bunga
membuat seseorang menjadi cinta terhadap uang, menumpuk-numpuk
kekayaan demi kepentingan pribadi sehingga distribusi kekayaan tidak
berjalan dengan baik.
f. Merupakan kejahatan sosial budaya
Institusi bunga menyebarkan rasa kebencian dan egois yang akan
menyebabkan kehilangan rasa solidaritas dalam masyarakat.
Kemudian kepentingan orang kaya dianggap bertentangan dengan
orang miskin yang nantinya akan menimbulkan perpecahan.
g. Merupakan kejahatan ekonomi
Bunga jika digunakan untuk kepentingan konsumsi maka akan
menurunkan standar hidup dan pendidikan anak-anak mereka karena
pembayaran angsuran yang berat secara terus menerus dan akan timbul
kecemasan yang akan merusak efisiensi kerja.
Begitu pula jika bunga dipinjamkan pada sektor produktif maka,
akumulasi modal sia-sia karena pemodal menahannya dengan harapan
akan adanya kenaikan bunga, akan timbul sikap tamak untuk
105
menaikkan bunga yang lebih tinggi sehingga tidak tersalurkannya dana
yang seharusnya dikerjakan pelaku bisnis yang akan mempercepat
kehancuran ekonomi dan terakhir modal tidak diinvestasikan ke dalam
banyak perusahaan yang sangat bermanfaat panjang dengan harapan
meningginya bunga di masa depan hal ini akan menghambat
pembangunan industri.68
Bahkan menurut Monzer Khaf, kegiatan menabung dan deposito di
bank secara ekonomi merupakan kegiatan negatif, karena itu selayaknya harus
dijatuhi hukuman bukan malah mendapatkan imbalan atau hadiah dan itulah
salah satu masalah dalam Islam.69
68
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer
(Depok: Gramata Publishing, 2010), h. 285.
69 Ibid., h. 313.
106
BAB IV
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Kesimpulan dapat penulis uraikan setelah melakukan analisis adalah
sebagai berikut:
Konsep pembangunan ekonomi yang diambil Mohammad Hatta dalam
masa peralihan, yaitu:
a. Membangun perekonomian Indonesia dengan tujuan kesejahteraan
sosial kemasyarakatan
b. Menjadikan Koperasi sebagai sistem ekonomi yang dapat membantu
usaha rakyat kecil
c. Pembangunan infrakstruktur, transportasi juga program transmigrasi
dalam pemerataan pembangunan dan distribusi kekayaan di wilayah
Indonesia.
d. Pembangunan pertanian untuk melengkapi pangan nasional dan
menjadikan perkebunan sebagai devisa negara
e. Utang luar negeri dengan pengawasan dan ketentuan yang ketat sebagai
bantuan dana dalam pembangunan ekonomi Indonesia.
107
Sedangkan konsep pembangunan ekonomi Syafruddin diantaranya,
yaitu:
a. Pendidikan dan pengajaran sebagai prioritas utama dalam pembangunan
nasional.
b. Pelaksanaan pembangunan ekonomi dengan memperhatikan stabilitas
moneter.
c. Pembangunan sektor pertanian untuk memenuhi swasembada pangan
nasional.
d. Mempertahankan dan meningkatkan modal asing untuk industriliasi
Indonesia.
e. Memberdayakan usaha kecil melalui kredit perbankan.
f. Menempatkan Bank sentral sebagai memelihara kestabilan moneter.
g. Perencanaan pembangunan dengan sistem ekonomi swasta, yaitu
memberikan kepada swasta pribumi maupun asing untuk melakukan
kegiatan produktif.
Persamaan konsep keduanya adalah pembangunan ekonomi berbasis
masyarakat dengan kemakmuran yang merata, karena keduanya adalah
pembela hak-hak manusia dan hak rakyat kecil, serta pentingnya pendidikan
dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai dasar
dari pembangunan.
108
Perbedaan konsep keduanya dapat dilihat dari sikap keduanya dalam
menghadapi masalah pembangunan di lapangan. Hatta hanya memfokuskan
sistem koperasi sebagai sistem yang baik dan pas diterapkan di Indonesia
yang memiliki budaya gotong-royong, dan sifatnya yang tegas namun
cenderung tertutup membuatnya hati-hati dalam menetapkan kebijakan,
namun Hatta merupakan simbol orientasi pembangunan seperti yang disebut
Higgins. Syafruddin yang seorang Gubernur BI, pandangannya lebih pada
kestabilan moneter, serta sikapnya tegas, kritis dan terang-terangan selalu
mengkritik dengan argumen yang rasional dan mengikuti hati nuraninya pada
kebijakan yang menurutnya tidak sesuai, meskipun terkadang pandangannya
dianggap melawan arus.
Sedangkan konsep pembangunan ekonomi keduanya jika dilihat dari
sudut pandang ekonomi Islam yaitu prinsip mashlahah juga pandangan
ekonom muslim klasik dan kontemporer, pemikiran kedua tokoh mengenai
pembangunan selaras dengan tujuan ekonomi Islam untuk keadilan sosial
yang merata, yang dilakukan dengan jalan yang baik tidak merugikan ataupun
menzalimi pihak lain, sehingga dapat pembangunan ekonomi dapat dilakukan
secara baik dan selaras antara sesama manusia serta lingkungan. Meskipun
begitu pemikiran mereka tersebut tidak disebut sebagai konsep ekonomi
Islam, namun secara substansi sudah sesuai dengan prinsip ekonomi Islam.
109
Walaupun begitu keduanya sama-sama berbeda pendapat mengenai
pengertian riba dengan bunga yang dianggap sama sehingga keduanya masih
memperbolehkan bunga bank karena tidka bersifat eksploitasi, namun hal
tersebut tetap harus dikritisasi karena telah diketahui bahwa bunga dan riba itu
sama sehingga bunga bank diharamkan, dan Allah telah jelas membedakan
antara jual beli dan juga riba. Meskipun Sri Edi Swasono mengatakan jangan
berpandangan sempit jika ekonomi Islam hanya terpaku dalam masalah bunga
dan riba. Tapi kita harus tetap membuka mata dan telinga kita jangan sampai
terpengaruh dengan hal yang sudah ditetapkan.
B. Saran
Berkenaan dengan penelitian ini, penulis ingin menyampaikan
beberapa catatan serta saran yang dirasa penting:
1. Perlunya kajian lagi secara mendalam mengenai pemikiran ekonomi
pembangunan Mohammad Hatta dan Syafruddin Prawiranegara yang
masih relevan dengan kebijakan ekonomi saat ini, untuk menyelaraskan
tujuan pembangunan berdasarkan UUD ’45 serta prinsip ekonomi Islam
yang sesuai untuk semua ummat.
2. Bagi pemerintah selaku pemegang kuasa dalam penetapan kebijakan
ekonomi, agar dapat melihat kembali kebijakan yang telah ditetapkan
apakah mengandung unsur eksploratif dan penindasan yang malah
110
mengganggu pertumbuhan ekonomi dan melenceng dari tuuan ekonomi
yang telah dibangun dan ditetapkan dalam UUD ’45, serta yang selaras
dengan prinsip ekonomi yang menekankan keadilan sosial untuk
tercapainya kemakmuran yang merata.
3. Kepada pembaca skripsi ini agar kritis dalam membaca analisis yang
dipaparkan, karena pemaparan yang tidak jelas atau sesuai dan adanya
kritik dan saran akan sangat membantu penulis dalam perbaikan.
110
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Anwar. Bung Hatta dan Ekonomi Islam : Menangkap Makna Maqasid al
Syariah. Jakarta: Penerbit Kompas, 2010.
. “Pandangan Ekonomi Mohammad Hatta”. Ahkam. No.5(Maret
2001).
Alfarizi, Salman. Mohammad Hatta Biografi Singkat 1902-1980. Jogjakarta:
GARASI, 2012.
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Depok: Gramata Publishing, 2010.
Chapra, Umar. Islam dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Gema Insani, 2000.
Farida Swasono, Meutia, ed. Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan. Jakarta:
Penerbit Sinar Harapan, 1980.
Hakim, Abdul. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, 2010.
Hatta, Mohammad. Demokrasi Kita, Bebas Aktif dan Ekonomi Masa Depan Edisi II.
Jakarta: UI Press, 1992.
. Ekonomi Indonesia di Masa Mendatang. Jakarta: Universitas
Indonesia, 1985.
. Kumpulan Karangan Jilid I. Jakarta: Bulan Bintang Jakarta,
1976.
. Permulaan Pergerakan Nasional, Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan Sarikat Islam (SI). Jakarta: Yayasan Idayu Press, 1977.
. Pikiran-Pikiran dalam Bidang Ekonomi untuk Mencapai
Kemakmuran yang Merata. Jakarta: Yayasan I Daya Press, 1974.
111
. Setelah 25 Tahun. Pidato disampaikan pada Dies Natalies
kesembilan Universitas Sjiah Kuala Darussalam, Banda Aceh, 2 September
1970 (Jakarta: Gita Karya, 1970).
J Moeloeng, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2014.
Kementerian Agama RI. Tafsir Al-Quran Tematik: Pembangunan Ekonomi Umat.
Jakarta: Kemenag RI, 2012.
Kuncoro, Mudrajad. Ekonomika Pembangunan; Masalah, Kebijakan dan Politik.
Jakarta: Erlangga, 2010.
Krippendorff, Klaus. Content Analysis: An Introduction to Its Methodology, Second
Edition. London: Saga Publications, 2004.
L Jhingan, M. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2010.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas IslamNegeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta:
Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) FSH, 2012.
Prawiranegara, Syafruddin. Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam,
Kumpulan Karangan Terpilih Jilid II. Jakarta: CV Haji Masaagung, 1988.
. Islam dalam Pergolakan Dunia, cet.I. Bandung: Al-
Ma’arif, 1950.
_____________________. Islam sebagai Pedoman Hidup, Kumpulan Karangan
Terpilih Jilid I. Jakarta: Inti Idayu Press, 1986.
112
____________________. Human Development Pola Pembangunan yang Sesuai
dengan Ajaran-Ajaran Islam dan UUD ’45. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
P. Todaro, Michael. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi Keenam. Jakarta:
PT. Gelora Aksara Pratama Penerbit Erlangga, 1998.
Rahardjo, M. Dawam. Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius: Pragmatisme
Pemikiran Ekonomi Politik Syafruddin Prawiranegara. Jakarta: Mizan, 2011.
. Ekonomi Politik Pembangunan. Jakarta: LSAF, 2012.
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif :Tatalangkah
dan Teknik-teknik Teoritasasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Sukirno, Sadono. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan
Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Kencana, 2011.
Soesastro, Hadi. ed. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam
Setengah Abad Terakhir 1 1945-1959: Membangun Ekonomi Nasional. Jakarta:
Kanisius, 2005.
. Pemikiran dan Permasalahan di Indonesia dalam Setengah
Abad Terakhir 2 1959-1966: Ekonomi Terpimpin. Jakarta: Canisius, 2005.
. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam
Setengah Abad Terakhir 3 1966-1982: Paruh Pertama Ekonomi Orde Baru.
Jakarta: Kanisius, 2005.
. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam
Setengah Abad Terakhir 4 1982-1997: Deregulasi dan Liberalisasi Ekonomi.
Jakarta: Kanisius, 2005.
113
Suyatno, Bagong, ed. Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan,
Edisi Revisi. Jakarta: Kencana, 2005.
Wee, Thee Kian ed. Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an
Jakarta: Kompas, 2005.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004.
Situs Internet
Agataha Nanda Widiiswa, Ryan. “Bung Hatta Sang Konseptor Perkonomian Bangsa
Indonesia”. Artikel diakses pada 19 Februari 2014 dari
http://politik.kompasiana.com/2013/06/02/bung-hattasang-konseptor-
perekonomian-bangsa-indonesia-565157.html.
Syahputra, Effendi. “Membumikan Pemikiran Bung Hatta”. Artikel diakses pada 19
Februari 2014 dari http://persatuanindonesia.or.id/artikel/136-membumikan-
pemikiran-bung-hatta
Samin, Muhammad. “Prabowo: Benahi Ekonomi Indonesia, Belajar dari Pemikiran
Hatta dan Soedjatmoko”. Artikel diakses pada 19 Februari 2014 dari
http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2012/10/09/prabowo-benahi-
ekonomi-indonesia-belajar-dari-pemikiran-hatta-dan-soedjatmoko-499970.html
Mudrajat, Kuncoro. “Tonjolkan Pemikiran Ekonomi Bung Hatta”. Artikel diakses
pada 19 Februari 2014 dari http://www.bunghatta.ac.id/berita/27/mudrajat-
kuncoro-tonjolkan-pemikiran-ekonomi-bung-.html
114
Purwanto, April. “Pemikiran Ekonomi Mohammad Hatta”. Artikel diakses pada 19
Februari 2014 dari http://pistaza.wordpress.com/2011/10/11/pemikiran-
ekonomi-mohammad-hatta/
Swasono, Meutia Farida Hatta. “Pemikiran dan Konsep Pemikiran Bung Hatta”.
Artikel diakses pada 19 Februari 2014 dari
http://muhammadardiannur.wordpress.com/2012/07/29/pemikiran-dan-konsep-
ekonomi-bung-hatta/
Ilyas, Ulfa. “Gagasan Ekonomi Bung Hatta Masih Relevan”. Artikel diakses pada 19
Februari 2014 dari http://www.berdikarionline.com/kabar-
rakyat/20130406/gagasan-ekonomi-bung-hatta-masih-relevan.html
“Tokoh Indonesia: Mohammad Hatta”. Artikel diakses pada 19 Februari 2014 dari
http://www.e-pustaka.com/tokoh-indonesia-mohammad-hatta.html