Upload
vanthu
View
233
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
KONSEP PENDIDIKAN PONDOK MODERN
DALAM PERSPEKTIF KH. IMAM ZARKASYI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh:
ARI MULYASARI
NIM: 109011000227
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
iv
ABSTRAK
Ari Mulyasari, NIM 109011000227. “Konsep Pendidikan Pondok
Modern Dalam Perspektif KH. Imam Zarkasy”. Skripsi Jurusan Pendidikan
Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran KH. Imam Zarkasyi dalam
pembentukan Pondok Modern Darussalam Gontor bersama kedua kakak
kandungnya KH. Ahmad Sahal dan KH. Zainuddin Fannanie. Yang terkenal
dengan sebutan Trimurti.
Adapun penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian
kualitatif tentang pemikiran tokoh dengan menggunakan metode deskriptif
analitis. Penelitian ini menggunakan beberapa sumber data primer yaitu buku
“Pedoman Pendidikan Modern” karangan KH. Imam Zarkasyi & KH. Zainuddin
Fannanie dan buku “KH. Imam Zarkasyi, Dari Gontor Merintis Pesantren
Modern”, yang ditulis oleh panitia penulisan riwayat hidup dan perjuangan KH.
Imam Zarkasyi. Selanjutnya, data-data sekunder diperoleh dengan mengkaji buku-
buku tentang KH. Imam Zarkasyi beserta pemikiran-pemikirannya, literatur-
literatur perpustakaan, dan mengunjungi langsung Pondok Modern Darussalam
Gontor di Ponorogo, Jawa Timur.
Dari penelitian yang dilakukan, penulis menganalisa pemikiran Imam
Zarkasyi dalam pembaharuan pondok modern yang olehnya dibagi menjadi 4
bagian, yaitu pembaharuan dalam bidang metode dan sistem pendidikan,
kurikulum pesantren, struktur dan sistem manajemen pesantren, serta pola pikir
santri dan kebebasan pesantren. Selain itu, menurut Imam Zarkasyi hal yang
paling penting dalam pendidikan pondok modern bukanlah pelajaran semata,
melainkan juga jiwanya. Jiwa itulah yang memelihara kelangsungan hidup
pesantren dan pada akhirnya menemukan filsafat hidup para santrinya. Imam
Zarkasyi dan kedua kakak kandungnya, KH. Ahmad Sahal dan KH. Zainuddin
Fannanie, merumuskan jiwa pesantren itu ada lima yang kemudian disebut dengan
Panca Jiwa Pondok Modern. Kelima jiwa ini adalah jiwa keikhlasan, jiwa
kesederhanaan, jiwa kesanggupan menolong diri sendiri (self help), jiwa ukhuwah
Islamiyah, dan jiwa kebebasan.
Kata kunci : KH Imam Zarkasyi, Pendidikan Pondok Modern
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
Maha Penyayang dan Maha Kuasa karena dengan izin dan kekuatan-Nya penulis
dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Konsep Pendidikan Pondok Modern
Dalam Perspektif KH. Imam Zarkasyi”, yang merupakan syarat untuk
menyelesaikan pendidikan strata 1 pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan selalu kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman jahiliyyah menuju
zaman yang penuh dengan syiar Islam dan ilmu pengetahuan seperti yang kita
rasakan saat ini.
Penulis sadari, bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini penulis
mengalami banyak kesulitan. Hal ini karena adanya keterbatasan dan kemampuan
yang belum sempurna. Namun berkat adanya bantuan, motivasi, dan bimbingan
dari berbagai pihak, skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh sebab itu dengan rasa
syukur serta hormat penulis mengucapkan terima kasih, terutama kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan beserta Wakil Dekan, Bagian Akademik, Administrasi dan
Keuangan.
2. Dr. Abdul Majid Khon, MA dan Ibu Marhamah Saleh, Lc., MA., selaku Ketua
dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam yang selalu memberikan
motivasi dan dorongan kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini
berlangsung.
3. Drs. Masan AF, MA., selaku Penasehat Akademik.
4. Dr. Muhammad Dahlan, M. Hum., sebagai pembimbing skripsi yang telah
meluangkan banyak waktunya guna memberi bimbingan dan arahan kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Bahrissalim, MA., yang sempat memberikan banyak bantuan kepada penulis
dalam penyusunan skripsi ini baik moril maupun materil.
vi
6. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah
memberikan ilmu selama perkuliahan.
7. Kedua orangtua tersayang dan tercinta Ayahanda Abbul Aziz, S. Pd. I dan
Ibunda Nurhasanah, S.Pd., terima kasih untuk segala limpahan kasih sayang,
motivasi, semangat, dan do‟amu. Terima kasih untuk menjadi „dosen
kehidupan‟ terbaik yang pernah kumiliki.
8. Mamah terkasih Rasmiyati yang telah berada disisi Sang Pencipta, terima
kasih untuk bekal yang singkat namun berarti hingga akhir hayat. Skripsi ini
ku persembahkan untukmu, Ma!
9. Om Bagus dan Mba‟ Wie, yang telah bersedia menjadi orangtua dan guru
inspiratif untuk kesuksesan penulis. Semoga Om B, Mba‟ Wie dan keluarga
selalu dalam lindungan dan curahan rahmat Allah SWT.
10. Teman-teman seperjuangan Jurusan PAI 2009 khususnya „kelas F‟, terima
kasih untuk warna-warni yang terlukis selama 5 tahun terakhir.
11. Kakak-kakak dan ade-ade Jurusan PAI, HMI Komisariat Tarbiyah, dan FK2I,
terima kasih untuk pengalaman dan cerita terbaik yang pernah singgah dihati.
12. Keluarga besar Pojok Seni Tarbiyah dan Paduan Suara Mahasiswa FITK,
terima kasih telah menjadi kakak, ade, dan saudara yang setia menjadi tempat
berbagi hati. Terimakasih pula untuk selalu mengajarkan akan arti keikhlasan
dan ketulusan dalam sebuah perjuangan.
13. Sahabat yang sempat memikat dalam ukhuwah jihad, Suci Nurpratiwi, Anggi
Febiana, Fina Nurul Khotimah, Ulfa Iwanda, Nurasiah, Siti Mawaddah, Siti
Fauziyah, Dewi Ratna Anggraini, Sri Yulianah, Nur Indah Cahyani,
Nurmalianis, Ka Nurhasanah, Siti Muthmainnah, Qisti Prawulandari, Yulisa
Desriyanti, Sri Hesti Hardiyathi, Jamilah, Siti Khodijah, Puji Syafitri
Rahmawati, dan ade aku yang manis, Nurlaela Sari. Terimakasih telah
membuat seorang Ari Mulyasari menjadi seperti sekarang ini.
14. Teruntuk kesayangan sulung, bungsu, dan ragil, terima kasih untuk pernah
singgah dan menciptakan jutaan kenangan yang indah dalam berbagai kisah.
Semoga persahabatan ini akan menjadi sejarah yang tak kan pernah pudar
walaupun telah tak bersama dalam langkah.
vii
15. Big Family of Cengceremen: Aa, Rizka, Ega, Asih, Pika, Chame, Uyun, Abet,
dan Lia, kamu sangat berarti istimewa dihati s’lamanya rasa ini.. jika tua
nanti kita t’lah hidup masing-masing, ingatlah hari ini…
16. Teteh Ega dan Dede Dillan, terus jadi anak yang baik yaa. Kalian yang
terbaiklah!
17. Ka Indra Munawar, yang telah bersedia memberikan segenap bantuannya
kepada penulis. Terima kasih untuk semangat, motivasi, dan berbagai
bantuannya, ya Ka!
18. Keluarga besar KAHFI BBC Motivator School, terima kasih telah mengubah
hidup dan pola pikir penulis untuk selalu mendekati dan mengenal Sang Ilahi.
19. Rekan-rekan guru dan staff SMPN 4 Tangerang Selatan, terima kasih telah
menerima penulis dengan segenap kekurangan yang dimiliki.
20. Segenap pihak yang tanpa mengurangi rasa hormat tidak dapat disebutkan satu
persatu namanya, terima kasih atas segala bantuan, perhatian dan semangat
yang diberikan kepada penulis.
Penulis memohon kepada Allah SWT agar melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada semua yang telah membantu penulis, sebagai imbalan jasa
atas semua yang telah dilakukan.
Hanya kepada Allah SWT sajalah penulis berharap semoga apa yang
penulis kerjakan mendapatkan keridhaan dan kecintaan-Nya. Semoga skripsi
ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Aamiin..
Jakarta, 26 Januari 2016
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH ..................................... iii
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... v
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah....................................... 5
1. Pembatasan Masalah .......................................................... 5
2. Perumusan Masalah ........................................................... 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 6
1. Tujuan Penelitian ............................................................... 6
2. Manfaat Penelitian ............................................................. 6
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pendidikan Pesantren Modern ................................................. 7
1. Pengertian Pendidikan ........................................................ 7
2. Sejarah Pondok Pesantren Moderen................................... 13
3. Sejaran Pondok Modern Darussalam Gontor ..................... 17
4. Panca Jiwa Pondok Modern ............................................... 21
5. Peranan Panca Jiwa Sebagai Filsafat Hidup di Pondok
Modern Gontor ................................................................... 24
B. Hasil Penelitian yang Relevan ................................................. 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu Penelitian ...................................................................... 27
B. Metodologi Penelitian .............................................................. 27
ix
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ......................... 28
1. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 28
2. Teknik Pengolahan Data .................................................... 29
D. Pengecekan Keabsahan Data.................................................... 29
E. Analisa Data ............................................................................. 29
F. Teknik Penulisan ...................................................................... 30
BAB IV BIOGRAFI DAN KONSEP PONDOK MODERN KH. IMAM
ZARKASYI
A. Biografi KH. Imam Zarkasyi ................................................... 31
B. Karya-karya KH. Imam Zarkasyi ............................................. 37
C. Gagasan, Cita-cita, dan Pembaharuan KH. Imam Zarkasyi….. 39
D. Pendidikan Pondok Modern Menurut KH. Imam Zarkasyi ..... 43
1. Pembaharuan Metode dan Sistem Pendidikan ................... 44
2. Pembaharuan Kurikulum ................................................... 47
3. Pembaharuan Struktur dan Menejemen Pesantren………... 49
4. Pembaharuan Dalam Pola Pikir Santri dan Kebebasan
Pesantren…………………………………………………. 50
5. Pengajaran Bahasa Asing ................................................... 51
6. Nilai dan Jiwa Pondok Modern .......................................... 54
7. Mengintegrasikan Sistem Pondok dan Madrasah .............. 62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 65
B. Saran ......................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 67
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada awal abad ke-20 situasi pendidikan Islam di Indonesia pada
umumnya masih bercorak tradisional. Kurikulum yang digunakan pada
berbagai lembaga pendidikan Islam masih bercorak dikotomis antara ilmu
agama dan ilmu umum. Orientasi pengajaran masih tertumpu pada penguasaan
materi melalui sistem hafalan yang serba verbalistik, yakni mampu
mengucapkan tapi tidak mengerti maksud dan tujuannya, apalagi
mengamalkannya. Pengajaran bahasa Arab lebih menekankan pada kajian
teori saja, namun belum sampai pada bagaimana penerapan dan
pengamalannya.
Adapun lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pondok pesantren
pada saat itu sebagian besar masih bersifat tradisional, baik dalam segi visi,
misi, tujuan, kurikulum, manajemen, metodologi pembelajaran, maupun
kompetensi gurunya. Lembaga pendidikan pesantren yang seperti ini hanya
mampu menghasilkan ulama ahli ilmu agama, namun kurang mampu
menjawab tantangan masyarakat modern. Padahal, telah diketahui bersama
bahwa dunia pendidikan sangat rentan dengan perubahan. Dinamisnya
pendidikan di Indonesia, membuat lembaga pendidikan di Indonesia tidak bisa
bertahan dalam satu sistem untuk kurun waktu yang panjang. Contohnya saja,
2
beberapa perubahan kurikulum yang sering terjadi di Indonesia yang sudah
kita ketahui, mulai dari Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan yang terakhir
Kurikulum 2013.
Dalam hal ini, pesantren oleh sebagian masyarakat dianggap tidak
pernah mengalami perubahan yang sistematik dan mendasar. Bahkan adapula
beberapa masyarakat yang memandang pesantren dengan kesan bahwa
pesantren sebagai simbol keterbelakangan dan ketertutupan. Perubahan yang
terjadi pada pesantren dipahami hampir-hampir merupakan suatu kemunduran
atau dianggap sebagai pengingkaran terhadap jati diri dan watak pesantren.1
Akan tetapi pada pesantren lain, justru didapati perkembangan yang
sebaliknya. Ekspansi lembaga pendidikan umum tidak menjadikan pesantren
pudar dan mundur, akan tetapi lembaga ini mampu bertahan. Bahkan
pesantren juga melakukan banyak penyesuaian dengan pendidikan umum,
sehingga mampu mengembangkan diri, bahkan menempatkan diri pada posisi
penting dalam sistem pendidikan nasional Indonesia secara keseluruhan.
Pada saat situasi pendidikan di Indonesia sedang dalam pola pendidikan
tradisional, muncul kurikulum yang bersifat integrated, yaitu kurikulum yang
memadupadankan antara ilmu agama dan ilmu umum di lembaga pendidikan
Islam yang dipelopori oleh tokoh pembaharu pendidikan Islam, Mahmud
Yunus. Telah banyak kontribusi yang diberikan Mahmud Yunus dalam dunia
pendidikan Islam. Di antaranya adalah, dengan mendirikan Pendidikan Guru
Agama (PGA) serta memasukkan pendidikan agama pada kurikulum
pendidikan umum yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan Nasional.
Beliau juga dikenal sebagai orang yang pertama kali berhasil mendirikan
Perguruan Tinggi Agama Islam. Selain itu Mahmud Yunus juga orang
pertama yang mengembangkan pengajaran bahasa Arab dengan pendekatan
langsung (direct method) atau at-thariqah al-mubasyaroh. Melalui metode
inilah berbagai aspek kebahasaan disatukan dalam sebuah penguatan yang
1 Huda Ali, Modernisasi Pesantren, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama
Jakarta, 2007), h. 39.
3
menekankan pada kemampuan mengucapkan secara tepat dan akurat. Melalui
eksperimennya dalam metode pengajaran bahasa ini, beliau mampu
menghasilkan lembaga yang mampu menghasilkan lulusan yang pandai
berbahasa Arab yang setara dengan kemampuan berbahasa Arab yang dikuasai
oleh lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo.
Dalam hal ini, KH. Imam Zarkasyi sebagai ulama jebolan dalam negeri
yang juga merupakan murid kesayangan Mahmud Yunus, ikut andil dalam
mengembangkan pola pendidikan pesantren dengan menggunakan Pondok
Modern Darussalam Gontor sebagai tempat bereksperimennya. Menurut
Imam Zarkasyi pondok adalah lembaga pendidikan agama Islam dengan
sistem asrama, dimana kyai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat
kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam dibawah bimbingan
kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.2 Sedangkan modern
adalah hal yang baru yang sifatnya mutakhir.3
Nurcholis Madjid mengatakan
modern adalah zaman kekinian.4
Modern di pondok modern Gontor adalah
metode dan sistem pendidikan yang diterapkan menganut sistem pendidikan
klasikal yang terorganisisir dalam bentuk perjenjangan dengan jangka waktu
yang ditetapkan serta diperkenalkan sistem ekstrakulikuler.5
Jadi, pondok
modern Gontor adalah pondok modern yang menggunakan sistem dan
metodenya serta prasarananya sudah memakai alat-alat mutakhir seperti
komputer dan sebagainya yang menitik beratkan pada masalah efisiensi dan
efektifitas pendidikan.
Dalam hal ini, Imam Zarkasyi menekankan pada tujuan pendidikan
yang diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik agar siap dan mampu
untuk hidup bermasyarakat sesuai dengan keahliannya. Hal yang demikian
antara lain karena pengaruh hadits Nabi Muhammad SAW, yang sering
2 Tim Penyusun, Biografi KH Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern,
(Ponorogo: Gontor Press, 2006), h. 56. 3 Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 652.
4 Nurcholish Madjid, KH. Imam Zarkasyi: Peran dan Ketokohannya dalam KH. Imam
Zarkasyi di Mata Ummat, (Ponorogo: Gontor Press, 1996), h. 965. 5Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 203.
4
dikutipnya, yaitu hadits yang berbunyi ناسهم للعخير الناس أنف (manusia yang
baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang banyak). Dengan rumusan
tersebut, Imam Zarkasyi mengarahkan santrinya bukan untuk memasuki suatu
lapangan profesi tertentu; tidak mengarahkan tidak berarti melarang, tetapi
tidak terlalu mempertimbangkan apa yang harus dipersiapkan para santri
untuk memasuki dunia profesi atau perguruan tinggi. Santri dengan bekal
yang diperolehnya selama pendidikan, diharapkan mampu mengembangkan
diri dan menentukan jalan hidupnya sendiri di masyarakat, termasuk
melanjutkan studi perguruan tinggi.
Hingga saat ini, kehadiran Imam Zarkasyi di pandang sebagai ulama
yang disegani dan di pengaruhi oleh bakat dari dalam dirinya, yaitu sebagai
orang yang berbakat, cerdas, dan rajin menuntut ilmu, serta pengaruh dari
lingkungan keluarga yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Berbagai
pengalamannya dalam memajukan dunia pendidikan, telah mendorong Imam
Zarkasyi memeras otak mencari terobosan baru dalam bidang pendidikan,
khususnya pendidikan Islam. Terobosan baru beliau wujudkan hampir pada
seluruh aspek pendidikan: tujuan, kurikulum, metode, serta sikap mental yang
tangguh. Tujuan pendidikan ditekankan pada tercapainya keseimbangan
hidup yang bahagia dunia dan akhirat, sebagai pengganti tujuan pendidikan
lembaga pendidikan tradisional yang hanya mementingkan akhirat saja.
Dalam bidang kurikulum pendidikan sejalan dengan tujuan pendidikan
tersebut. Yaitu kurikulum yang tidak hanya memuat ilmu-ilmu agama saja,
melainkan juga ilmu pengetahuan modern yang didukung oleh kemampuan
penguasaan bahasa Arab dan Inggris, baik secara lisan, tulisan, dan
sebagainya. Dalam bidang metode, diarahkan kepada pendekatan fungsional
pragmatik, yaitu pendekatan yang menekankan pada kemampuan
menggunakan atau mengamalkan setiap bidang keilmuan yang diajarkan,
khususnya dalam bidang bahasa Arab dan Inggris. Hal ini dilakukan sebagai
jawaban atas lemahnya lulusan pondok pesantren dalam menguasai bahasa
Arab dan Inggris secara aktif. Selanjutnya dalam bidang mental diarahkan
pada timbulnya sikap ikhlas mengabdi, hidup sederhana, percaya pada diri
5
sendiri, bebas, dan senantiasa mengembangkan sikap persaudaraan dengan
sesama umat Islam atau manusia pada umumnya.
Dari ilustrasi di atas, peneliti merasa tertarik untuk membahas lebih
jauh tentang pemikiran Kyai Pondok Modern yang menjadi salah satu perintis
Pondok Modern Darussalam Gontor, yakni KH. Imam Zarkasyi, sehingga
diterimanya sistem pendidikan pondok modern oleh masyarakat, dengan
mengangkat judul “KONSEP PENDIDIKAN PONDOK MODERN
DALAM PERSPEKTIF KH. IMAM ZARKASYI.”
Penulis memilih judul tersebut karena terdorong oleh rasa tanggung
jawab sebagai pendidik Muslim untuk meneruskan perjuangan pendidikan
Islam yang juga merupakan amanah Rasulullah SAW.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah mendasar yang dapat
diidentifikasikan terdiri dari permasalahan berikut:
1. Pada awal abad ke-20 situasi pendidikan Islam di Indonesia masih
bercorak tradisional.
2. Orientasi pengajaran hanya bertumpu pada penguasaan materi.
3. Lembaga pesantren sebagian besar komponennya juga masih bersifat
tradisional.
4. Pendapat sebagian masyarakat bahwa pesantren sebagai simbol
keterbelakangan dan ketertutupan.
5. Munculnya kurikulum yang integrated yang di pelopori oleh Mahmud
Yunus.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka pembatasan masalah
yang akan dikaji dan diteliti dalam skripsi ini adalah pada konsep KH.
Imam Zarkasyi tentang pendidikan pondok modern.
2. Perumusan Masalah
6
Masalah yang dirumuskan dan akan dikaji serta diteliti penulis dalam
tulisan ini adalah
a. Peran KH. Imam Zarkasyi dalam pembaharuan pondok modern.
b. Perspektif KH Imam Zarkasyi tentang konsep pendidikan pondok
modern.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui peran KH. Imam Zarkasyi dalam pembentukan
pondok modern.
b. Untuk mengetahui konsep pendidikan pondok modern dalam perspektif
KH. Imam Zarkasyi.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat di ambil dari penelitian ini adalah:
a. Di harapkan dapat dijadikan rujukan untuk penelitian lebih lanjut.
b. Di harapkan dapat menambah khazanah intelektual Islam di
Indonesia, khususnya di bidang pendidikan. Dengan demikian, skripsi
ini diharapkan memberikan kontribusi pemikiran bagi perumus
kebijakan pendidikan Islam di berbagai perguruan agama Islam, serta
para penyusun konsep pandidikan dalam bidang Pendidikan Islam
sebagai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Selanjutnya, dapat memotivasi para sarjana Muslim untuk selalu
menggali nilai-nilai ilmiah yang terdapat dalam tradisi keilmuan Islam
masa lalu.
7
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pendidikan Pesantren Modern
1. Pengertian Pendidikan
Kata “pendidikan” merupakan terjemahan dari kata paedagogos yang
berasal dari bahasa Yunani berarti penuntun anak. Dalam bahasa Romawi
dikenal dengan educare artinya membawa keluar. Bahasa Belanda menyebut
istilah pendidikan dengan nama opvoeden yang berarti membesarkan atau
mendewasakan. Dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah educate/
education yang berarti to give moral and intellectual training artinya
menanamkan moral dan melatih intelektual.1
Dalam konteks pemahaman pendidikan, banyak pakar dan ilmuan yang
berbeda pendapat. Namun paling tidak pemahaman dari Muhibbin Syah bisa
kita jadikan awalan untuk memahami arti dasar dari pendidikan. Menurutnya,
pendidikan adalah memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan
memberi latihan, diperlukan ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak
dan kecerdasan pikiran.2
Jika kita teruskan, maka pendidikan bisa berarti sebagai proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
1 Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Suatu Teori Pendidikan,
(Yogyakarta: Rake Sarasin, 1993), h. 15. 2 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2010), h. 10.
8
mendewasakan manusia, melalui upaya pengajaran dan pelatihan; atau proses
perbuatan, cara mendidik.3 Maka dari itu, pendidikan merupakan elemen yang
sangat signifikan dalam menjalani kehidupan. karena dari sepanjang
perjalanan manusia, pendidikan merupakan barometer untuk mencapai
naturasi (pemurnian) nilai-nilai kehidupan.
Oleh karena pentingnya masalah yang berkenaan dengan pendidikan
maka perlu diatur suatu aturan yang baku mengenai pendidikan tersebut, yang
dipayungi dalam sistem pendidikan nasional. Sebagaimana diketahui bahwa
visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai
pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga
negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga
mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman.4
Sementara itu, Mastuhu juga menyebutkan bahwa manusia sebagai
makhluk yang telah dikaruniai akal, perasaan, kemauan dan kemampuan-
kemampuan. Dengan demikian, adanya akal, kemauan dan kemampuan
menyebabkan manusia memiliki cara dan pola hidup yang multidimensi, yakni
kehidupan yang bersifat material dan bersifat spritual.5
Begitu pentingnya pendidikan bagi setiap manusia, dalam Islam, Allah
SWT akan mengangkat derajat bagi tiap-tiap manusia yang mempunyai ilmu
dan pendidikan. Hal ini telah termaktub dalam al-Qur’an surat al- Mujadalah
ayat 11:
3 Departemen Diknas, Memahami Makna dan Arti Pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, , (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), cet. ke-3, h. 263. 4 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), h. 11. 5 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Suatu Kajian Tentang Unsur Dan Nilai
Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), h. 11.
9
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepada kamu: "Berlapang-
lapanglah dalam majlis-majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu",
Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.6
Kandungan surat al-Mujadalah ayat 11 di atas berbicara tentang etika
atau akhlak ketika berada di majlis ilmu. Etika dan akhlak tersebut antara lain
ditujukan untuk mendukung terciptanya ketertiban, kenyamanan dan
ketenangan suasana selama dalam majlis, sehingga dapat mendukung
kelancaran kegiatan ilmu pengetahuan. Pada ayat tersebut juga terkandung
motivasi yang kuat agar orang giat menuntut ilmu pengetahuan, yaitu dengan
memberikan kedudukan yang tinggi dalam pandangan Allah SWT. Namun
dalam perkembangannya motivasi tersebut mengalami pasang surut
pelaksanaannya. Ada saat-saat umat Islam giat mengembangkan ilmu
pengetahuan sebagaimana telah disebutkan di atas dan ada saat-saat umat
mengalami kelesuan, bahkan menjauhkan diri dari ilmu pengetahuan.7
Ilmu yang dimaksud oleh ayat di atas bukan saja ilmu agama, tetapi ilmu
apapun yang bermanfaat. Dengan demikian menunjukkan bahwa ilmu dalam
pandangan al-Qur’an bukan hanya ilmu agama. Di sisi lain itu juga
menunjukkan bahwa ilmu haruslah menghasilkan khasyyah yakni rasa takut
dan kagum kepada Allah, yang pada gilirannnya mendorong orang yang
berilmu untuk mengamalkan ilmunya serta memanfaatkannya untuk
kepentingan makhluk.8
Seperti diterangkan dalam Al-Qur’an, salah satu etika dalam mencari
ilmu adalah tidak boleh puas setelah sampai pada batas tertentu jenjang ilmu
pengetahuan, karena ilmu pengetahuan ibarat lautan yang tidak bertepi dan
6 DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 911.
7 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.
157. 8 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2003), Cet. I, h. 80.
10
tidak pula berbatas. Sejauh manapun manusia meraih ilmu pengetahuan, ia
harus terus menambahnya, dan ia tidak akan mungkin sampai pada batas
kepuasan.9 Jadi betapa pentingnya ilmu bagi kehidupan manusia untuk meraih
kebahagiaan baik di dunia maupun akhirat.
Dalam segi bahasa, pendidikan berasal dari kata “didik”, mendapat
awalan “pen” dan akhiran “an”, yang berarti proses pengubahan sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan.10
Dalam konteks Islam (bahasa Arab)
ada tiga istilah yang mengacu kepada istilah pendidikan, yaitu al-tarbiyah, al-
ta’lim, dan al-ta’dib. Istilah “tarbiyah” (تربية) dari kata kerja “rabba” (رّب)
yang berarti mendidik. Kata tarbiyah, khususnya dalam al-Qur‟an, menunjuk
pada masa anak dan berkaitan dengan usaha yang wajib dilakukan,11
dan
merupakan beban orang dewasa, utamanya orang tua terhadap anaknya.
Sedangkan kata “pengajaran” dalam bahasa arab adalah “ta’lim” ( م يتعل ) dari
kata kerja “allama” ( عّلم) yang berarti “mengajar”.12
Dari dua pengertian di atas, jelas dipahami bahwa pendidikan pada
hakikatnya adalah upaya yang dilakukan seorang pendidik dalam rangka
menuntun anak dalam proses perubahan sikap dan perilaku, dari yang semula
belum baik menjadi baik. Proses pendidikan ini dilakukan bukan sekedar
mengubah prilaku seseorang dari yang belum baik menjadi baik, akan tetapi
lebih kepada memahami makna daripada kebaikan itu sendiri. Dengan kata
lain bahwa setiap manusia memang dituntut untuk selalu melakukan kebaikan.
Ngalim Purwanto menjelaskan bahwa “pendidikan adalah segala usaha
orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan”.13
Alisuf Sabri
9 Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal Dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gema
Insani, 1998), Cet.I, h. 238. 10
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 232. 11
Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 16. 12
Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005), h. 19. 13
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1993), Cet. VI, h. 11.
11
dalam bukunya “Ilmu Pendidikan” memaparkan, bahwa yang dimaksud
dengan pendidikan adalah “usaha sadar dari orang dewasa untuk membantu
atau membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak/peserta didik secara
teratur dan sistematis ke arah kedewasaan”.14
Dalam hal ini, Ngalim Purwanto dan Alisuf Sabri sepakat bahwa
pendidikan sejatinya adalah upaya membimbing peserta didik dalam rangka
menuju kedewasaan. Kedewasaan bukan hanya berarti dewasa secara jasmani,
tapi juga dewasa secara rohani.
Sedangkan pendidikan dalam arti umum yaitu proses transmisi
pengetahuan dari satu orang kepada orang lain atau dari satu generasi ke
generasi lainnya, dan berlangsung seumur hidup. Selama manusia masih di
muka bumi maka pendidikan akan terus berlangsung. Pendidikan menurut
Carter V. Good dimaknai oleh Djumransyah dalam bukunya “Filsafat
Pendidikan” sebagai proses sosial yang dapat mempengaruhi individu.
Pendidikan menentukan cara hidup seseorang, karena terjadinya modifikasi
dalam pandangan seseorang disebabkan pula oleh terjadinya pengaruh
interaksi antara kecerdasan, perhatian, pengalaman, dan sebagainya.15
Pengertian tersebut lebih ditekankan pada hal apa saja yang dapat
mempengaruhi proses pendidikan seorang individu, yaitu tentang cara
pandang mereka dalam menentukan sikap dan berperilaku.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa, “pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara”.16
Pengertian pendidikan di atas jelas lebih menekankan pada aspek sikap
14
Alisuf Sabri, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1999), Cet. I, h. 5. 15
M. Djumransjah, Filsafat Pendidikan, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h. 24. 16
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, (Bandung: Citra Umbara, 2009), h. 60.
12
yang dibutuhkan bagi individu agar mampu hidup bermasyarakat. Dikutip dari
buku yang berjudul Epistimologi dalam Pendidikan Islam, Prof. Proopert
Lodge, mengatakan bahwa Life is education and education is life. Itu berarti
bahwa membicarakan manusia akan selalu bersamaan dengan pendidikan,
demikian sebaliknya.17
Maksudnya, segala hal yang terjadi di sekitar kita,
hendaknya bisa kita jadikan sebagi sumber pendidikan bagi kita, karena
dengan pengalaman hidup yang demikian, seseorang akan lebih mudah
menemukan makna dibalik kejadian yang mereka alami sendiri.
Selain itu, pendidikan harus diarahkan kepada penguatan kognitif,
afektif, dan psikomotorik secara integratif. Meminjam pengertian pendidikan
yang dibawa oleh Bloom, bahwa dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi
menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi
kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya. Tujuan
pendidikan tersebut yaitu:
a. Cognitive domain (ranah kognitif), berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan
keterampilan berpikir.
b. Affective domain (ranah afektif), berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan
cara penyesuaian diri.
c. Psychomotor domain (ranah psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan,
mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.18
Dengan semua penjelasan di atas, pendidikan bisa diartikan sebagai,
segala sesuatu yang dilakukan oleh orang dewasa dalam rangka
mengembangkan kemampuan anak dengan tujuan mempersiapkan mereka
untuk dapat hidup di masa yang akan datang, tentunya tanpa melupan nilai-
nilai yang terkandung dalam pendidikan itu sendiri. Itulah yang dinamakan
17
Chatib Toha, Epistimologi Dalam Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
h. 293. 18
Retno Utari, Taksonomi Bloom dan Cara Penggunaannya, (Jakarta: Widyaswara Madya,
2012), h. 13.
13
pendidikan.
2. Sejarah Pondok Pesantren Modern
Pada permulaan berdirinya, bentuk pesantren sangat sederhana.
Kegiatan pengajian diselenggarakan di dalam masjid oleh seorang kyai
sebagai guru dengan beberapa orang santri sebagai muridnya. Mereka yang
menjadi kyai biasanya sudah pernah mukim bertahun-tahun untuk mengaji dan
mendalami pengetahuan islam di Makkah atau Madinah. Atau setidaknya
pernah berguru dengan seorang wali atau kyai terkenal di Nusantara.
Kemudian bermukim di suatu desa dengan mendirikan langgar yang
dipergunakan sebagai tempat untuk sholat berjama‟ah. 19
Tujuan pondok pesantren menurut Zamakhsari Dhofier adalah untuk
memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, untuk
meningkatkan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-
nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang
jujur dan bermoral serta menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih
hati.20
Menurut Hasbullah tujuan pondok pesantren adalah membimbing
manusia menuju kepribadian muslim, mengarahkan masyarakat melalui ilmu
dan amal dan untuk mempersiapkan santri menjadi alim ilmu agama,
bermanfaat bagi diri dan lingkungannya.21
Yusuf Faisal berpendapat bahwa
tujuan pondok pesantren ada tiga: Pertama, mencetak ulama yang menguasai
ilmu-ilmu agama. Kedua, mendidik muslim yang dapat melaksanakan syari‟at
agama untuk mengisi, membina dan mengembangkan peradaban Islam.
Ketiga, mendidik santri agar memiliki ketrampilan dasar yang relevan dengan
masyarakat religius.13
Pada awalnya, jama‟ah sang kyai hanya terdiri dari beberapa orang saja.
19
Mahmud, Model-Model Pembelajaran di Pesantren, (Tangerang: Media Nusantara,
2006), h. 3. 20
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1994), h. 21. 21
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1985), h. 24-25.
14
Setiap menjelang atau selesai sholat berjama‟ah, kyai atau ustadz biasanya
memberikan ceramah pengajian sekedarnya. Isi pengajian biasanya berkisar
pada rukun iman, rukun islam, serta akhlak yang lebih banyak menyangkut
kehidupan sehari-hari. Berkat caranya yang menarik dan keikhlasannya yang
tinggi serta perilakunya yang saleh, lama kelamaan jama‟ahnya bertambah
banyak. Orang yang datang tidak lagi hanya dari penduduk desa tersebut, akan
tetapi juga orang-orang dari luar desa. Sebagian dari mereka yang ikut
mengaji, kemudian ingin tinggal menetap, dekat dengan kyai atau ustadz, dan
bahkan mulai ada orang tua yang ingin menitipkan anaknya kepada sang kyai.
Untuk menampung semua itu, dibangunlah gubuk-gubuk untuk santri yang
menginap dan kemudian dikenal dengan pondok atau asrama. Dari situ,
terbentuklah sebuah pesantren yang di dalamnya terdapat pondok, masjid,
kyai, santri, dan materi pengajian dari kitab salafi (kitab kuning).
Pada umumnya pembelajaran di pesantren mengikuti pola tradisional,
yaitu model sorogan dan model bandongan.22
Metode bandongan atau juga
yang disebut dengan wetonan ialah kegiatan pengajaran di mana seorang kiai
atau ustadz membaca, menterjemahkan, dan mengupas pengertian kitab
tertentu, sementara para santri dalam jumlah yang terkadang cukup banyak,
mereka bergerombol duduk mengelilingi ustadz atau kiai tersebut atau mereka
mengambil tempat yang agak jauh selama suara beliau bisa terdengar oleh
masing-masing orang yang hadir di majlis itu, sambil jika perlu menambahkan
syakal atau harakat dan menulis penjelasannya di sela-sela kitab tersebut.23
Problem penggunaan metode ini adalah tidak adanya dialog antara kiai atau
ustadz dengan santri, sehingga masalah yang dihadapi oleh santri tidak
sepenuhnya bisa dikupas. Selain itu, metode ini cenderung lebih bersifat
teacher centered (berpusat pada guru), santri menjadi pasif, sehingga daya
fikir dan kreatifitas santri menjadi lemah.
Sedangkan metode sorogan adalah santri membacakan kitab kuning di
22
Ismail SM (eds), Dinamika Pesantren dan Madarasah, (Yogyakrata: Pustaka Pelajar,
2002). Cet. I, h. 101. 23
Imam Bawani, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993),
Cet. I, h. 98.
15
hadapan kiai atau ustadz yang langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri
baik dalam konteks bahasa maupun makna (Nahwu dan Sharafnya).24
Problem
dalam metode sorogan ini terletak pada alokasi waktu, metode ini memerlukan
waktu yang relatif lama, karena santri harus membaca kitab satu persatu,
sehingga santri harus bersabar untuk antri menunggu giliran membaca, apalagi
kalau jumlah yang diajar sangat banyak, pasti akan membutuhkan banyak
waktu, tenaga dan juga menuntut kesabaran, kerajinan, ketekunan, dan juga
kedisplinan pribadi seorang kiai. Kelemahan lain dalam metode ini adalah
tidak adanya dialog antara murid dengan kiai atau ustadz, dan lebih cenderung
bersifat student centered (terpusat pada murid).
Relevan dengan hal tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan tidak
dapat dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapai. Persoalannya adalah di
negara kita konsep penyelenggaraan pendidikan belum tersistem dan tertata
dengan baik. Bukti yang paling nyata adalah perubahan sistem dan tujuannya
manakala roda kepemimpinan dan ranah politik negara berubah atau ganti.
Ganti pemimpin, menteri dan elite-elite negeri, maka sistem dan tujuan
pendidikan kita juga ikut berubah. Intinya, kita belum mapan serta siap
menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas.
Padahal, sadar atau tidak sadar, bangsa kita telah mempunyai pola dan
sistem pendidikan tradisional yang begitu mengakar dengan tradisi dan
budaya bangsa kita. Pola pendidikan itu telah jauh-jauh hari dipolakan oleh
lembaga keagamaan yang bernama pesantren. Sehingga dapat dijelaskan
bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan khas Indonesia tertua yang
sudah berabad-abad teruji mampu menghadapi dan sekaligus beradaptasi
dengan berbagai bentuk perubahan.25
Penilaian pesimistis ini bila dilacak muncul dari ketidak akuratan
melihat profil pesantren secara utuh, artinya memang melihat pesantren
“hanya sebagai lembaga tua dengan segala kelemahannya” tanpa mengenal
lebih jauh watak-watak barunya yang terus berkembang dinamik, akan selalu
24
Said Aqiel Siradj, et. al., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan
Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. I, h. 223. 25
http://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren diakses pada12 Mei 2011.
16
menghasilkan penilaian yang simplistis atau bahkan reduktif.
Penerapan metode merupakan hal yang sangat penting dalam
pembelajaran, mengingat keberhasilan belajar mengajar sangat ditentukan
oleh penggunaan dan penerapan metode. Penerapan metode yang tepat akan
dapat mengantarkan keberhasilan yang sangat optimal. Oleh karena itu,
pemakaian metode harus sesuai dan selaras dengan karakteristik siswa,
materi, kondisi lingkungan (setting) di mana pengajaran itu berlangsung.26
Abad ke 20 merupakan abad kesadaran dan kebangkitan kembali
ummat Islam. Munculnya tokoh-tokoh Islam dengan gerakan-gerakan
Islamnya seperti Mu„tamar „Alam Islamy di Mekkah, Palestina, Cairo,
Karachi dan sebagainya, merupakan motor pembangkit kesadaran ummat
Islam untuk bangun dari kelalaiannya, kembali ke kejayaannya dengan ajaran
Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul seperti yang dilakukan oleh bapak-bapak kita
dahulu yang telah berhasil mengangkat perabadan ummat manusia ke puncak
kejayaannya dan kemakmuran, yang disinari dengan cahaya Islam dan dijiwai
dengan semangat pengabdian pemimpin-pemimpinnya.
Tetapi kejayaan kembali ummat Islam tidak akan dapat dicapai dengan
hanya mengenangkan dan membanggakan masa lampau. Hanya dengan amal
perbuatan dan perjuanganlah kejayaannya itu dapat direbut kembali,
dibangkitkan lagi.
Pondok modern telah lama menyadari hal di atas, dan selama
bermujahadah ke arah itu, melalui pendidikan dan pengajaran Islam. Perlu
diketahui bahwa ide mendirikan Pondok Modern dicetuskan justru setelah
KH. Ahmad Sahal (Pendiri Pondok Modern) kembali dari menghadiri
Mu„tamar Alam Islamy (Organisasi Dunia Islam) Far„i Hindy Syarqiyyah
(cabang Indonesia) di Surabaya Jawa Timur pada tahun 1926, di mana beliau
menjadi salah seorang pesertanya.27
26
Basyirudin Usman , Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2002), h. 32. 27
https://tarbiyahgp3.wordpress.com/2010/01/23/70/. Di akses pada tanggal 27 November
2014.
17
3. Sejarah Pondok Modern Darussalam Gontor
Untuk mengetahui sejauh mana peranan panca jiwa sebagai filsafat hidup
Pondok Modern dalam pendidikan di Pondok Modern Gontor, ada baiknya
kita menilik kembali kepada sejarah berdirinya Pondok Modern Gontor.28
Secara ringkas ada tiga fase berdirinya Pondok Modern Gontor, yaitu:
a. Pondok Tegalsari
Pada pertengahan abad ke-18 hiduplah seorang kyai terkenal bernama
Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari. Tegalsari adalah
sebuah desa terpencil lebih kurang 10 Km ke arah selatan dari kota Ponorogo.
Di tepi dua buah sungai, sungai Keyang den sungaf Malo, yang mengapit
desa Tegalsari inilah Kyai Ageng itu mendirikan sebuah pondok yang
kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari.
Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman
keemasan; ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di pondok ini.
Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa. Karena besarnya jumlah
santri, seluruh desa menjadi pondok, bahkan pondokan-pondokan mereka
juga didirikan di desa-desa sekitar.
Pondok Tegalsari telah menyumbangkan jasa yang besar dalam
pembangunan bangsa Indonesia melalui para alumninya. Di antara mereka
ada yang menjadi kyai, ulama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah,
negarawan, pengusaha, dll. Sekedar menyebut sebagai contoh adalah Paku
Buana II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerapaan Kartasura; Raden Ngabehi
Ronggowarsdo, seorang Pujangga Jawa yang masyhur; dan tokoh Pergerakan
Nasional HOS Cokroaminoto.
Setelah Kyai Ageng Hasan Bashari wafat, beliau digantikan oleh putra
ketujuh beliau bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya
digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan oleh
Kyai Hasan Anom. Demikianah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang
28
https://tarbiyahgp3.wordpress.com/2009/11/29/peranan-panca-jiwa-pondok-modern-
dalam-pendidikan-di-pondok-modern-gontor-2/. Diakses pada tanggal 29 November 2014
18
dari generasi ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh lain. Namun, pada
pertengahan abad ke-19, atau pada generasi keempat keluarga Kyai Bashari,
Pesantren Tegalsari mulai surut.
Pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang
yang sangat menonjol dalam segala bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin,
putera Penghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan
Cirebon. la sangat dekat dengan kyainya dan kyai pun sayang kepadanya.
Maka setelah memperoleh ilmu yang cukup santri Sulaiman Jamaluddin
diambil menantu oleh kyai. Dan jadilah ia kyai muda yang sekarang
dipercaya menggantikan kyai memimpin pesantren saat beliau berhalangan.
Bahkan Sang Kyai akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan
menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor.
b. Pondok Gontor Lama
Gontor adalah sebuah desa teletak + 3 Km sebelah timur Tegalsari dan
12 Km ke arah tenggara dari kota Ponorogo. Pada saat itu Gontor masih
merupakan hutan belantara yang tidak banyak didatangi orang. Bahkan hutan
ini dikenal sebagai tempat persembunyian para perampok, penjahat,
penyamun. dan pemabuk. Jelasnya tempat ini adalah tempat yang kotor dan
sumber dari segala kekotoran. Dalam bahasa Jawa tempat yang kotor itu
disebut nggon kotor yang kemudian disingkat menjadi “Gontor”.
Di desa tersebut Kyai muda Sulaiman Jamaluddin diberi amanat oleh
mertuanya untuk merintis pondok pesantren seperti Tegalsari dengan bekal 40
santri yang dibekalkan oleh Kyai Khalifah kepadanya. Pondok Gontor inilah
yang menjadi cikal bakal dari Pondok Modern Gontor sekarang.
Pondok yang didirikan oleh Kyai Sulaiman Jamaluddin ini berkembang
pesat. Khususnya ketika dipimpin oleh putera beliau yang bernama Kyai
Archam Anom Besari. Santri-santrinya berdatangan dari berbagai daerah di
Jawa. Konon banyak juga santri yang datang dari daerah Pasundan Jawa
Barat. Setelah Kyai Archam wafat, kepemimpinan pondok dilanjutkan oleh
putra beliau Kyai Santoso Anon Besari. Ia adalah generasi ketiga dari pendiri
19
Pondok Gontor lama. Pada masa kepemimpinan generasi ketiga ini Gontor
mulai surut, kegiatan pendidikan dan pengajaran di pesantren mulai
memudar. Di antara sebab kemunduran ini adalah karena kurangnya perhatian
terhadap kaderisasi.
Setelah Kyai Santoso wafat Pondok Gontor benar-benar mati. Saudara-
saudara Kyai Santoso tidak ada lagi yang sanggup menggantikannya untuk
mempertahankan keberadaan Pondok. Yang tinggal hanyalah lbu Nyai
Santoso beserta tujuh putera dan puterinya dengan peninggalan sebuah rumah
sederhana dan masjid tua warisan nenek moyangnya.
Tetapi rupanya sang ibu tidak hendak melihat pondok Gontor hanyut
dan lenyap ditelan sejarah. Karena itu beliu mengirimkan tiga orang di antara
puteranya ke beberapa pesantren dan lembaga pendidikan lain untuk
memperdalam agama. Ketiga putera itu adalah Ahmad Sahal (anak kelima),
Zainuddin Fannani (anak keenam), dan Imam Zarkasyi (anak bungsu).
c. Pondok Gontor Baru
Ketiga putera Ibu Nyai Santoso yang sering disebut sebagai “Trimurti”
itulah yang menghidupkan kembali Pondok Gontor. Pembukaan kembali
Pondok Gontor secara resmi dideklarasikan pada Senin Kliwon, 20
September 1926 bertepatan dengan 12 Rabiul Awwal 1345.
1) Pembukaan Tarbiyatul Athfal, 1926.
Langkah pertama untuk menghidupkan kembali Pondok Gontor adalah
dengan membuka Tarbiyatul Athfal (TA), suatu program pendidikan tingkat
dasar. Materi, sarana, dan prasarana pendidikannya sangat sederhana. Tetapi,
berkat kesungguhan, keuletan, kesabaran, dan keikhlasan pengasuh Gontor
Baru, usaha ini berhasil membangkitkan kembali semangat belajar
masyarakat desa Gontor. Program TA ini dalam perkembangan berikutrrya
tidak hanya diikuti oleh anak-anak, tetapi juga oleh orang dewasa. Peserta
didiknya juga tidak terbatas pada masyarakat desa Gontor tetapi juga
masyarakat desa sekitar.
Minat belajar masyarakat sekitar Gontor yang semakin tinggi
20
diantisipasi dengan pendirian cabang-cabang TA di desa-desa sekitar Gontor.
Madrasah-madrasah TA di desa-desa sekitar itu ditangani oleh para kader
yang telah disiapkan secara khusus melalui kursus pengkaderan.
2) Pembukaan Sullamul-Muta‟allimin,1932.
Setelah enam tahun TA berdiri, ia disambut dengan kegairahan yang
tinggi oleh para pecinta ilmu. Untuk itu mulailah dipikirkan upaya
pengembangan TA dengan membuka program lanjutan TA yang diberi nama
“Sullamul-Muta‟allimin‟ (SM) tahun 1932. Pada tingkatan ini para santri
diajari secara lebih dalam dan juga pelajaran fiqh, hadis, tafsir, terjemah al-
Qur‟an, cara berpidato, cara membahas suatu persoalan, juga diberi sedikit
bekal untuk menjadi guru berupa ilmu jiwa dan ilmu pendidikan. Di samping
itu mereka juga diajari keterampilan, kesehatan, olah raga, gerakan
kepanduan, dan lain-lain.
3) Pembukaan Kulliyatu-l-Mu‟allimin Al-Islamiyah (KMI), 1936.
Kehadiran TA dan SM telah membawa angin segar yang menggugah
minat belajar masyarakat. Perkembangan tersebut cukup menggembirakan
hati dan benar-benar disyukuri pengasuh pesantren. Kesyukuran tersebut
ditandai dengan “Kesyukuran 10 Tahun Pondok Gontor”. Acara kesyukuran
dan peringatan menjadi semakin sempurna dengan diikrarkannya pembukaan
program pendidikan baru angkatan menengah pertama dan menengah atas
yang dinamakan Kulliyatu-l-Mu‟allimin Al-Islamiyah (KMI) atau Sekolah
Guru Islam, yang menandai kebangkitam sistem pendidikan modern di
lingkungan pesantren.
Kulliyatu-l-Mu‟allimin Al-Islamiyah (KMI) adalah Sekolah Pendidikan
Guru Islam, hampir sama dengan Sekolah Normal Islam, di Padang Panjang.
Model ini kemudan dipadukan ke dalam sistem pendidikan pondok pesantren.
Pelajaran agama seperti yang diajarkan di beberapa pesantren pada umumnya,
diberikan di kelas-kelas. Tetapi pada saat yang sama para santri tinggal di
dalam asrama dengan mempertahankan suasana dan jiwa kehidupan
pesantren. Proses pendidikan berlangsung selama 24 jam, sehingga segala
21
yang didengar dan diperhatikan santri di dalam pondok ini adalah untuk
pendidikan. Pelajaran agama dan umum diberikan secara seimbang dalam
jangka 6 tahun. Pendidikan ketrampilam, kesenian, olah raga, organisasi, dan
lain-lain merupakan bagian dari kegiatan kehidupan santri di pondok.
Setelah perjalanan tiga tahun, pelajaran sudah harus ditingkatkan, maka
dibukalah tingkatan yang lebih tinggi bernama Bovenbow. Setelah berjalan 5
tahun, pengembangan tingkatan pendidlkan di KMI menjadi sebagai berikut:
bagian Onderbow, lama belajar 3 tahun dan bagian Bovenbow, lama belajar 2
tahun.
Dalam peringatan 10 tahun di atas, tercetus nama baru untuk Pondok
Gontor yang baru dihidupkan kembali, yakni “Pondok Modern Gontor”.
Nama ini merupakan sebutan masyarakat yang kemudian melekat pada
Pondok Gontor yang nama aslinya adalah “Darussalam”, artinya Kampung
Damai.
4. Panca Jiwa Pondok Modern
K.H. Imam Zarkasyi, salah seorang pendiri pondok, memiliki
pandangan bahwa hal yang paling penting dalam pesantren bukanlah
pelajarannya semata-mata, melainkan juga jiwanya. Jiwa itulah yang akan
memelihara kelangsungan hidup pesantren dan menentukan filsafat
hidupnya.29
Dalam Seminar Pondok Pesantren se-Indonesia tahun 1965 di
Yogyakarta, K.H. Imam Zarkasyi merumuskan jiwa pesantren kepada lima
hal yang tertuang dalam panca jiwa pondok modern. Kelima panca jiwa
tersebut adalah: keikhlasan, kesederhanaan, kesanggupan menolong diri
sendiri (zelp help) atau berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), ukhuwah
Islamiyah, dan jiwa bebas.30
Panca jiwa inilah yang menjadi filsafat hidup
Pondok Modern Gontor. Hal inilah yang menarik seorang Menteri Wakaf
Mesir Syeikh Hasan Baquri untuk berkunjung ke Pondok Modern Gontor
29
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (seri kajian Filsafat Pendidikan
Islam), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. I, h. 200. 30
Prasaran K.H. Imam Zarkasyi dalam Seminar Pondok Pesantren se-Indonesia di
Yogyakarta, 4 s/d 7 Juli 1965, dalam Diktat Pekan Perkenalan (Gontor: tth) h. 11-14.
22
tahun 1956. Beliau mengatakan: “Saya tidak tertarik melihat banyaknya
santri di pondok ini, tetapi yang membuat saya tertarik adalah Pondok
Modern Gontor mempunyai jiwa dan falsafat hidup yang akan menjamin
kelangsungan hidupnya.”31
a. Jiwa Keikhlasan
Artinya sepi ing pamrih (tidak karena didorong keinginan untuk
memperoleh keuntungan tertentu), semata mata untuk ibadah.32
Hal ini harus
meliputi segenap suasana pondok pesantren. Dan apabila sudah terjalin jiwa
keikhlasan antara kyai, guru serta santri, maka akan terdapat suasana hidup
yang harmonis antara kiayi yang disegani dan santri yang taat dan penuh
cinta serta hormat dengan segala keihlasan. Selanjutnya, dengan jiwa
keiklasan diharapkan bahkan diwajibakan bagi seorang santri atau setiap
santri mengerti dan menyadari arti lillah, arti beramal, arti taqwa dan arti
ikhlas.33
b. Jiwa Kesederhanaan
Jiwa kesederhanaan mengandung arti agung, dan bukan berarti pasif
(bahasa jawa = narimo) dan bukan berati suatu kemiskinan ataupun
kemelaratan. Tetapi mengandung unsur kekuatan atau ketabahan hati,
penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup dengan segala
kesulitan. Dan dari balik jiwa kesederhanaan inilah akan terpancar jiwa besar,
berani maju terus dalam menghadapi perjuangan hidup dan pantang mundur
dalam segala keadaan. Selain itu juga akan tumbuh dari jiwa keikhlasan ini
mental/karakter yang kuat yang menjadi syarat bagi suksesnya perjuangan
dalam segala kehidupan.34
c. Jiwa kesanggupan menolong diri sendiri (zelp help) atau berdikari (berdiri
di atas kaki sendiri)
Jiwa ini merupakan senjata ampuh dalam pendidikan di dalam pondok
31
K.H. Abullah Syukri Zarkasyi, Sambutan Pimpinan Pondok Modern Dalam Acara
Puncak Kesyukuran Delapan Windu, Dokumentasi Peringatan Delapan Windu Gontor, (Gontor:
1991) h. 91-98. 32
Ibid, hal 11. 33
Ibid, hal 12. 34
Ibid, hal 12.
23
modern. Berdikari bukan saja berarti adlam arti bahwa santri selalu belajar
dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri tetapi juga pondok
pesantren itu sendiri dengan tidak pernah menyandarkan kehidupannya
kepada bantuan atau belas kasihan orang lain. Hal inilah yang dinamakan
sama-sama memberikan iuran dan sama-sama memakai.35
Tetapi tidak kaku
dengan tidak menerima bantuan dari orang yang hendak membantu.
d. Jiwa ukhuwah Islamiyah yang demokratis antara santri
Kehidupan di pondok pesantren yang berjalan selama 24 jam harus
diliputi suasana persaudaraan akrab, sehingga segala kesenangan dirasakan
bersama dengan jalinan persamaan agama. Jiwa ukhuwah tidak hanya berlaku
ketika seorang santri masih menimba ilmu di pondok, akan tetapi jiwa
ukhuwah ini ditujukan kepada persatuan ummat ketika sudah menjadi alumni
dari pondok. Dari jiwa ukhuwah ini K.H. Ahmad Sahal berwasiat kepada
siswa kelas enam yang telah menyelesaikan pelajaran mereka di kelas VI
KMI Pondok Modern Gontor: Jadilah anak-anakku perekat ummat; dan
fahamilah benar-benar arti perekat ummat.36
e. Jiwa Bebas
Arti bebas di sini dititik-beratkan pada perbuatan berpikir dan berbuat,
bebas menentukan masa depannya. Dengan prinsip jiwa bebas ini para santri
harus bebas dalam memilih dan menentukan jalan hidupnya di masyarakat
kelak, dengan jiwa besar dan optimis dalam menghadapi kesulitan.
Tetapi sangat disayangkan apabila jiwa bebas ini diartikan dengan arti-
arti yang negatif. Seperti kebebasan yang keterlaluan (liberal), sehingga
kehilangan arah dan tujuah serta prinsip. Sehingga arti bebas di sini harus
dikembalikan kepada aslinya, yaitu garis-garis disiplin yang positif dengan
penuh tanggung jawab, baik di dalam kehidupan pondok dan masyarakat.
Dan jiwa-jiwa pondok yang terangkum dalam panca jiwa pondok modern
35
Ibid, hal. 13. 36
K.H. Imam Zarkasyi & K.H. Abdullah Sahal, Wasiat, Pesan, Nasehat dan Harapan
Pendiri Pondok Modern, (Gontor: tth) h. 21.
24
harus dihidupkan, dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya.
5. Peranan Panca Jiwa sebagai Filsafat Hidup dalam Pendidikan di Pondok
Modern Gontor
Panca jiwa pondok modern yang menjiwai setiap detik kehidupan di
pesantren. Salah satu peranan penting panca jiwa adalah sebagai falsafat
hidup santrinya. Dan dalam proses pendidikannya, K.H. Imam Zarkasyi
dalam sambutannya pada acara resepsi kesyukuran setengah abad dan
peresmian Masjid Jami‟ Pondok Modern Gontor menyatakan beberapa
semboyan pendidikan yang terilhami dari panca jiwa pondok modern.
Semboyan pendidikan itu adalah: “Berbudi tinggi, berbadan sehat,
berpengetahuan luas dan berpikiran bebas”.37
Dan semboyan ini bukan hanya
sekedar slogan atau sekedar rencana, tetapi adalah suatu hal yang sudah
terlaksana selama bertahun-tahun hingga sekarang. Dan semboyan ini
sekarang dikenal dengan “Motto Pondok Modern”.
Di samping semboyan yang sudah disebut di atas masih banyak lagi
semboyan-semboyan pendidikan untuk para santri sebagai cerminan dari
Panca Jiwa. Hal tersebut diungkapkan oleh K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi
M.A dalam pidatonya pada acara puncak kesyukuran delapan windu 1991.
Beliau mengungkapkan:
“Dari sinilah keluar filsafat hidup, pencerminan dari Panca Jiwa itu, sehingga
banyak semboyan-semboyan pendidikan untuk para santri seperti:
“Hidupilah pondok, jangan menggantungkan hidup dari pondok”
“Berjasalah dan jangan minta jasa”
“Jadilah santri yang: berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup
takut hidup mati saja”
Hidup sekali, hiduplah yang berarti”
Jadilah Santri yang pandai menciptakan pekerjaan, bukan yang mencari
pekerjaan”
“Berkorbanlah dalam berjuang, dengan bondo, bahu, pikir, lek perlu sak
37
Imam Zarkasyi, Sambutan Pimpinan Dalam Acara Resepsi Kesyukuran Setengah Abad
dan Peresmian Masjid Jami’ Pondok Modern Gontor, Kenang-kenangan 1926; Peringatan
Delapan Windu, 1990, (Gontor: 1990) h. 43-44.
25
nyawane pisan”
“Patah tumbuh hilang berganti. Sebelum patah sudah tumbuh, sebelum hilang
sudah berganti”38
Dapat disimpulkan dari ungkapan di atas bahwa kelima panca jiwa pondok
yang selalu menjiwai kehidupan di pondok mempunyai peran yang sangat
penting di pondok modern. Karena Pondok Modern lebih mementingkan
pendidikan daripada pengajarannya. Adapun arah dan tujuan pendidikan di
pondok modern adalah: kemasyarakatan, hidup sederhana, tidak berpartai dan
tujuan pokoknya “ibadah talabul „ilmi”, bukan untuk menjadi pegawai.39
Arah dan tujuan tersebut adalah wujud kongkrit dari panca jiwa yang selalu
menjiwai kehidupan di Pondok Modern Gontor dan dalam hal ini lebih
menekankan pada masalah jalannya pendidikan dan pengajaran.
B. Hasil Penelitian Yang Relevan
Konsep-konsep yang dicanangkan oleh KH. Imam Zarkasyi memang
tidak bisa dipandang sebelah mata. Sudah banyak karya-karya ilmiah yang
mengangkat betapa jitunya konsep-konsep yang digalakkan oleh Imam
Zarkasyi yang bahkan masih diterapkan hingga saat ini, di antaranya :
1. Ta‟lim al-Muta‟allim versi KH. Imam Zarkasyi, karya Mukti Ali, cet I
1991.
2. KH. Imam Zarkasyi: Peran dan Ketokohannya dalam KH. Imam
Zarkasyi di Mata Umma, karya Nurcholish Majid, 1996.
3. Panca Jiwa Pondok Pesantren, dalam Diktat Pekan Perkenalan Pondok
Modern Gontor, 1965.
4. Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, karya Abdullah
Syukri Zarkasyi, 2005.
5. Biografi KH. Imam Zarkasyi: Dari Gontor Merintis Pesantren Modern,
karya Tim Penyusun Gontor Press, 1996.
38
Imam Zarkasyi, Sambutan Pimpinan Dalam Acara Resepsi Kesyukuran Setengah Abad
dan Peresmian Masjid Jami’ Pondok Modern Gontor, Kenang-kenangan 1926; Peringatan
Delapan Windu, 1990, (Gontor: 1990) h. 43-44. 39
Diktat, Loc. Cit, h. 15.
26
Menurut Imam Badri, konsep dasar pendidikan yang dihayati,
dikembangkan dan diaktualkan oleh Zarkasyi merupakan suatu proses
pengaktualisasian diri dalam kehidupan manusia secara individu maupun
kelompok.40
Ini disebabkan karena manusia tercipta dengan segala
kesempurnaan yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Ada tiga aspek
dalam diri manusia hingga ia dapat mengaktualisasikan dirinya. Pertama,
aspek fisik berpotensi untuk melakukan beragam rekayasa terhadap
perkembangan lingkungannya, yang berjuang pada terwujudnya bangunan
gedung pencakar langit hampir di seluruh belahan bumi. Kedua, akal
berpotensi menggagas seluruh cakrawala kehidupan ini dengan imajinasinya
yang menakjubkan dan pada gilirannya manusia dapat mengeksplorasi
rahasia alam hingga planet paling tinggi sekalipun. Terakhir, aspek jiwa
sebagai pelengkap kedua potensi sebelumnya yang dapat dijadikan sarana
pengembaraan menuju segala sudut planet di seluruh jagad raya.
Menurut Zarkasyi pondok atau pesantren adalah tempat menggembleng
bibit umat. Senada dengan apa yang diutarakan Manfred Ziemek bahwa
tujuan pesantren adalah membentuk kepribadian, memantapkan akhlak dan
melengkapinya dengan pengetahuan.41
Jadi, wajar jika Zarkasyi kemudian
menjadikan lembaga pendidikan Islam yang dipimpinnya sebagai wadah
untuk mencetak kader-kader ulama calon pemimpin umat. Ulama yang
dilahirkan tentunya bukan sekedar ulama yang menguasai ilmu-ilmu agama
dengan pengertian yang sempit, karena problema dan tantangan yang
dihadapi umat dewasa ini semakin kompleks sehingga memerlukan beragam
pendekatan. Problematika tersebut tidak lagi cukup dihadapi dengan
pendekatan doctrinal-teologis berdasarkan buku-buku keagamaan yang
diajarkan di pesantren. Diperlukan pendekatan lain yakni pendekatan
cultural-sosiologis, yang mana dengan adanya integrasi di antara keduanya
akan memperoleh pemecahan masalah yang lebih komprehensif. Ini adalah
salah satu misi Pondok Gontor yaitu menciptakan “ulama yang intelek”
40
Imam Badri. “Kesadaran Sebagai Manusia,” Majalah Gontor, ed.06, Thn. II, 2004. 41
Imam Bahroni.“Ajaran Aktualisasi Diri Imam Zarkasyi,” Majalah Gontor, ed.06, Thn. II,
2004.
27
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu Penelitian
Penelitian yang berjudul “Konsep Pendidikan Pondok Modern
Dalam Perspektif KH. Imam Zarkasyi” ini dilakukan dari bulan Oktober
2012 sampai dengan September 2013. Pengumpulan data. mengenai sumber-
sumber tertulis diperoleh dari teks book yang ada di perpustakaan, wawancara,
serta sumber lain yang mendukung penelitian.
B. Metodologi Penelitian
Dalam skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif,
yang meneliti tentang pemikiran tokoh. Penelitian kualitatif adalah metode
penelitian yang berlandaskan pada filsafat post positivisme, yang sering
disebut juga paradigma interpretif dan konstruktif, yang memandang realitas
sosial sebagai sesuatu yang holistik/utuh, kompleks, dinamis, penuh makna,
dan hubungan gejala bersifat interaktif. Penelitian ini dilakukan pada obyek
yang alamiah, yakni obyek yang berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi
oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak begitu mempengaruhi dinamika pada
obyek tersebut.1
Dalam penelitian kualitatif, masalah yang dibawa oleh penulis masih
remang-remang, bahkan cenderung gelap, kompleks dan dinamis. Oleh karena
1 Sugiyono, Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 14.
28
itu, masalah dalam penelitian kualitatif deskriptif analitis masih bersifat
sementara, tentatif dan akan berkembang atau berganti.2Dalam penelitian
kualitatif pula, akan terjadi tiga kemungkinan terhadap masalah yang dibawa
oleh peneliti dalam penelitian. Yang pertama, masalah yang dibawa oleh
peneliti tetap, sehingga sejak awal sampai akhir penelitian sama. Yang kedua,
masalah yang dibawa peneliti setelah memasuki penelitian berkembang yaitu
memperluas atau memperdalam masalah yang telah disiapkan. Yang ketiga,
masalah yang dibawa peneliti setelah memasuki lapangan berubah total,
sehingga harus diganti masalah.
Skripsi ini ditunjang oleh data-data yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan, serta observasi. Karena permasalahan yang diteliti mengkaji
pemikiran tokoh, peran dan konsepnya, maka dari itu diperlukan banyaknya
literatur-literatur yang relevan dengan tulisan ini.
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Teknik pengumpulan data
Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang
mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam skripsi ini, penulis
menggunakan metode penelitian kualitatif tentang pemikiran tokoh. Dilihat
dari sumber datanya, maka pengumpulan data menggunakan sumber primer
dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data, dalam hal ini penulis menggunakan
sumber primer berupa buku yang disusun oleh KH. Imam Zarkasyi dan KH
Zainuddin Fananie yang berjudul Pedoman Pendidikan Modern dan buku
yang disusun oleh panitia penulisan riwayat hidup dan perjuangan KH Imam
Zarkasyi dengan judul KH Imam Zarkasyi Dari Gontor Merintis Pesantren
Modern. Adapun data sekunder merupakan sumber yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul data, dalam hal ini penulis mengkaji
buku-buku tentang KH. Imam Zarkasyi beserta pemikiran-pemikirannya,
2 Ibid., h. 205.
29
literatur-literatur perpustakaan, dan mengunjungi langsung Pondok Modern
Darussalam Gontor.
2. Teknik Pengelolahan data
Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan
adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan mengklasifikasi
data-data yang relevan dan yang mendukung pokok bahasan, untuk
selanjutnya penulis analisis, deskripsikan, dan simpulkan dalam satu
pembahasan yang utuh.
D. Pengecekan Keabsahan Data
Uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji credibility
(validitas internal), dependability (reliabilitas), dan confirmability
(obyektivitas). Dalam pengecekan keabsahan data pada skripsi ini, penulis
menggunakan cara confirmability yaitu, data yang telah ditemukan dianalisis
secara cermat dan diteliti, disusun, dikategorikan secara sistematik, dan
ditafsirkan berdasarkan pengalaman, kerangka berfikir dan perspektif peneliti
tanpa prasangka dan kecenderungan-kecenderungan tertentu. Confimability
atau objektivitas dalam penelitian kualitataif berarti jujur, peneliti mencatat
apa yang dilihat, didengar, ditangkap dan dirasakan berdasarkan persepsi dan
keyakinan dia, tidak dibuat-buat atau direka-reka.3
E. Analisa Data
Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari hasil bacaan kepustakaan dan wawancara, dengan
cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-
unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang
penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah
difahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
Dalam penelitian kualitatif, data diperoleh dari berbagai sumber,
dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam,
3 Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta 2013.
30
maka analisis data dalam skripsi ini dilakukan sebelum memasuki lapangan,
selama di lapangan dan setelah selesai di lapangan.
F. Teknik Penulisan
Secara teknik, penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini
merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.
31
BAB IV
BIOGRAFI DAN KONSEP PENDIDIKAN PONDOK MODERN
KH. IMAM ZARKASYI
A. Biografi KH. Imam Zarkasyi
Pertengahan abad ke-18 di desa Tegalsari hiduplah seorang kyai
terkenal yakni Kyai Ageng Hasan Besari, seorang pendiri pondok yang di
kenal dengan Pondok Tegalsari yang terletak di sebuah dea terpencil kurang
lebih 10 km ke arah selatan kota Ponorogo. Setelah berhasil membesarkan
pondok Tegalsari yang meluncurkan berbagai tokoh masyarakat seperti: kyai,
ulama, pejabat pemerintah, negarawan, pengusaha, dan lain-lain, akhirnya
Kyai Ageng Hasan Besari wafat yang kemudian beliau digantikan oleh putra
ketujuhnya yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya
digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Besari II yang kemudian digantikan oleh
Kyai Hasan Anom Besari. Demikianlah pesantren Tegalsari hidup dan
berkembang dari generasi ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh yang
lain. Namun pada pertengahan abad ke 19, pesantren Tegalsari mulai surut.
Pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang
sangat menonjol dalam segala bidang. Beliau adalah Sulaiman Jamaluddin,
putera Penghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan
Cirebon. Sulaiman Jamaluddin ini sangat dekat dengan kyainya dan kyai-pun
sangat sayang kepadanya. Maka setelah memperoleh ilmu yang cukup, santri
32
Sulaiman Jamaluddin diambil menantu oleh kyai. Jadilah ia kini kyai muda
dan di percaya menggantikan kyai memimpin pesantren saat beliau
berhalangan. Bahkan Sang Kyai akhirnya memberikan kepercayaan kepada
santri sekaligus menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri di desa
Gontor.
Di desa Gontor inilah Kyai muda Sulaiman merintis pondok seperti
Tegalsari yang mana pondok inilah yang menjadi cikal bakal dari Pondok
Modern Gontor sekarang. Pondok Gontor ini berkembang sangat pesat.
Khususnya ketika dipimpin oleh putera Kyai Sulaiman yang bernama Kyai
Archam Anom Besari. Setelah Kyai Archam wafat, kepemimpinan pondok
dilanjutkan oleh putera beliau yakni Kyai Santoso Anom Besari. Pada masa
kepemimpinan generasi ketiga inilah Pondok Gontor mulai surut. Bahkan
setelah Kyai Santoso wafat, Pondok Gontor ini benar-benar mati.
Setelah Kyai Santoso wafat, saudara-saudaranya tidak ada lagi yang
sanggup menggantikan untuk mempertahankan keberadaan pondok. Yang
tinggal hanyalah Ibu Nyai Santoso beserta tujuh putera dan puterinya dengan
peninggalan sebuah rumah sederhana dan masjid tua warisan nenek moyang.
Akan tetapi rupanya sang ibu tidak hendak melihat pondok Gontor
hanyut dan lenyap ditelan sejarah. Karena itu, beliau mengirimkan tiga orang
puteranya ke beberapa pesantren dan lembaga pendidikan lain untuk
memperdalam ilmu agama. Ketiga putera itu adalah Ahmad Sahal (anak
kelima), Zainuddin Fannani (anak keenam), dan Imam Zarkasyi (anak
bungsu), yang sampai saat ini dikenal sebagai pendiri Pondok Modern
Darussalam Gontor dan terkenal dengan sebutan “Trimurti”.
K.H. Imam Zarkasyi lahir di desa Gontor, Jawa Timur pada tanggal 21
Maret 1910 M. Masa kanak-kanak Imam Zarkasyi bukanlah masa yang
menyenangkan. Ia lahir dan dibesarkan pada zaman penjajahan dan zaman
paceklik. Meski termasuk keluarga berada, ia terpaksa makan sawut (parutan
singkong) agar dapat mondok atau bersekolah.1
1 Tim Penyusun Biografi, KH. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pondok Modern,
(Ponorogo: Gontor Perss, 1996), h. 5.
33
Belum genap usia beliau 16 tahun, Imam Zarkasyi muda mula-mula
menimba ilmu di beberapa pesantren yang ada di daerah kelahirannya, seperti
pesantren Josari, pesantren Joresan dan pesantren Tegal Sari. Setelah
menyelesaikan studi di Sekolah Ongkoloro (1925), ia melanjutkan studinya di
Pondok Pesantren Jamsarem, Solo. Pada waktu yang sama beliau juga belajar
di Sekolah Mamba’ul Ulum. Kemudian masih di kota yang sama ia
melanjutkan pendidikannya di Sekolah Arabiyah Adabiyah yang dipimpin
oleh K.H. M. O. Al-Hisyami, sampai tahun 1930. Selama belajar di sekolah-
sekolah tersebut (terutama Sekolah Arabiyah Adabiyah) ia sangat tertarik
dan kemudian mendalami pelajaran bahasa Arab. Sikap wara’nya sangat
menonjol. Wataknya yang pandai, zuhud dalam beribadah, berbudi pekerti
luhur lebih mencerminkan seorang keturunan kyai dari pada keturunan
keluarga periyai atau bangsawan.2
Sewaktu belajar di Solo, guru yang paling banyak mengisi dan
mengarahkan Imam Zarkasyi adalah al-Hasyimi, seorang ulama, tokoh politik
dan sekaligus sastrawan dari Tunisia yang diasingkan oleh Pemerintah
Perancis di wilayah penjajahan Belanda, dan akhirnya menetap di Solo. Di
kota Solo Imam Zarkasyi mendaftarkan dirinya di tiga lembaga pendidikan
Islam, yaitu: Pondok Jamsaren tempat ia mengaji kitab di malam hari, di
madrasah Arabiyah Islamiyah untuk sekolah pagi, dan di madrasah Manbaul
Ulum tempat belajarnya di sore hari. Di pondok Jamsaren, kitab-kitab yang di
pelajari antara lain: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Fathul Wahab, al-
Hikam, Ihya‟ Ulumuddin, Tafsir Jalalain, Safinatun Najah dan Qiraat
Syatibi. Sedangkan di madrasah Arabiyah Islamiyah di bawah asuhan Ustadz
Mahmud Omar al-Hasyimi. Di Manbaul Ulim materinya sama dengan di
pondok tetapi menggunakan metode yang lebih modern yaitu metode
langsung (direct method). Belum sampai tamat di MAI dan Manbaul Ulum,
Imam Zarkasyi tertarik untuk mengikuti program takhasus Ustadz
Muhammad Omar al-Hasyimi. Tampaknya program takhasus di asrama
2 Tim Penyusun Biografi, KH. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pondok Modern,
(Ponorogo: Gontor Perss, 1996), h. 4.
34
Ustadz Muhammad Omar al-Hasyimi jauh lebih penting dari pada
meneruskan pelajaran di MAI dan Manbaul Ulum. Yang jelas ia sangat
menghomati dan mengagumi gurunya, karena omar al-Hasyimi merupakan
figur yang perlu diteladani terutama dalam cara mendidik dan mengajar
murid-muridnya.
Bersama dengan Muhammad Omar al-Hasyimi Imam Zarkasyi benar-
benar menemukan sosok seorang pendidik, pemikir, politikius, berwawasan
luas yang baik dan terbukti setelah ia benar-benar mahirn dalam berbahasa
Arab dan dapat berbantah-bantahan dengan orang Hadramaut. Di Solo, Imam
Zarkasyi menuntut ilmu selama lima tahun termasuk di takhassus Omar al-
Hasyimi. Sebenarnya setelah selesai belajar di Solo, Imam Zarkasyi
mendapatkan tawaran untuk belajar ke Mesir, tetapi nasibnya belum baik, ia
tergeser oleh calon lain dari keturunan Arab. Namun ia tetap mencari jalan
lain untuk mencari guru yang pernah belajar ke Mesir. Untuk itu Al-Hasyimi
menyarankan kepadanya untuk melanjutkan studi ke Padang Panjang,
Sumatra Barat. Di daerah ini telah banyak ulama lulusan Mesir.3 Akhirnya
setelah menyelesaikan pendidikannya di Solo, Imam Zarkasyi meneruskan
studinya ke Kweekschool di Padang Panjang, Sumatera Barat, sampai tahun
1935.
Setelah tamat belajar di Kweekschool, Imam Zarkasyi diminta
menjadi direktur Perguruan tersebut oleh gurunya, Mahmud Yunus. Tetapi
Zarkasyi hanya dapat memenuhi permintaan dan kepercayaan tersebut selama
satu tahun (tahun 1936), dengan pertimbangan meskipun jabatan itu cukup
tinggi, tetapi ia merasa bahwa jabatan tersebut bukanlah tujuan utamanya
setelah menuntut ilmu di tempat itu. Imam Zarkasyi yang dinilai oleh
Mahmud Yunus memiliki bakat yang menonjol dalam bidang pendidikan,
namun ia melihat bahwa Gontor lebih memerlukan kehadirannya. Di samping
itu, kakaknya Ahmad Sahal yang tengah bekerja keras mengembangkan
pendidikan di Gontor tidak mengizinkan Imam Zarkasyi berlama-lama berada
di luar lingkungan pendidikan Gontor.
3 Ibid., h. 21-29.
35
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Padang Panjang, lengkaplah
sudah pengalamannya. Ia mengetahui kelemahan dan kelebihan dua sistem
pendidikan Islam, yaitu pondok dan madrasah. Pondok memiliki kelemahan
dalam bidang metodologi pengajaran, sedangkan madrasah memiliki
kelebihan dalam bidang ini. Pondok memiliki keunggulan dalam sistem
pendidikan dengan sistem kehidupan pondoknya di bawah pengasuhan kyai,
sedangkan madrasah tidak memiliki keunggulan ini.4
Setelah menyerahkan jabatan sebagai direktur Pendidikan
Kweekschool kepada Mahmud Yunus, Imam Zarkasyi kembali ke Gontor.
Pada tahun 1936 itu juga, genap sepuluh tahun setelah dinyatakannya Gontor
sebagai lembaga pendidikan dengan gaya baru, Imam Zarkasyi segera
memperkenalkan program pendidikan baru yang diberi nama Kulliyatu-l
Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) dan ia sendiri bertindak sebagai direkturnya.
Setelah pulang ke Gontor KH. Imam Zarkasyi benar-benar mencurahkan
segala kemampuannya untuk membangun pondok peninggalan leluhurnya.
Sebagian besar kehidupannya dicurahkan untuk kemajuan pondok yang
dicita-citakan bersama kedua kakaknya. Terbukti hingga saat ini Gontor
merupakan pondok modern yang banyak menghasilkan lulusan yang
berprestasi dan diakui oleh lembaga pendidikan dalam maupun luar Negeri.
Semua ini tidak lain karena prinsip KH. Imam Zarkasyi dan kedua kakaknya
yaitu “Bahu, Bondo, pikir, nek perlu sak Nyawane Pisan” (Tenaga, Harta,
Pikiran kalau perlu Nyawa sekalian).5
Pada tahun 1943 Imam Zarkasyi diminta untuk menjadi kepala Kantor
Agama Karesidenan Madiun. Pada masa pendudukan Jepang, Zarkaysi aktif
membina dan menjadi dosen di barisan Hizbullah di Cibarusa, Jawa Barat.
Setelah Indonesia merdeka, Zarkasyi juga aktif dalam membina Departemen
Agama R.I. khususnya Direktorat Pendidikan Agama yang pada waktu itu
menterinya adalah Prof. Dr. H. M. Rasyidi. Tenaga dan pikirannya juga
banyak dibutuhkan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ketika Ki
4 Ibid., h. 29-34.
5 Ibid., h. 247.
36
Hajar Dewantoro menjabat sebagai menterinya.
Jabatan-jabatan penting lainnya yang diduduki Imam Zarkasyi di
tengah kesibukannya sebagai pendidik di Gontor adalah sebagai Kepala Seksi
Pendidikan Kementerian Agama dari anggota Komite Penelitian Pendidikan
pada tahun 1946. Selanjutnya selama 8 tahun (1948-1955) ia dipercaya
sebagai Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Islam Indonesia (PGII) yang
sekretarisnya waktu itu dipegang oleh K. H. E. Z. Muttaqin. dan selanjutnya
beliau menjadi penasehat tetapnya.
Imam Zarkasyi juga pernah menjabat sebagai Kepala Bagian
Perencanaan Pendidikan Agama pada Sekolah Dasar Kementerian Agama
(1951-1953), Kepala Dewan Pengawas Pendidikan Agama (1953), Ketua
Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A)
Departemen Agama, Anggota Badan Perencana Peraturan Pokok Pendidikan
Swasta Kementerian Pendidikan (1957). Selain itu pada tahun 1959, Zarkasyi
diangkat menjadi Anggota Dewan Perancang Nasional oleh Presiden
Soekarno.
Dalam percaturan internasional, Imam Zarkasyi pernah menjadi
anggota delegasi Indonesia dalam peninjauan ke negara-negara Uni Soviet,
pada tahun 1962. Sepuluh tahun kemudian, ia juga mewakili Indonesia dalam
Mu’tamar Majma’ Al-Bunuth al-Islamiyah (Mu’tamar Akademisi Islam se-
Dunia), ke-7 yang berlangsung di Kairo. Di samping itu, ia juga menjadi
Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat.
Walaupun segala perhatiannya sebagaian besar dicurahkan kepada
kemajuan pondok KH. Imam Zarkasyi tidak lupa terhadap pendidikan anak-
anaknya. Pendidikan KH. Imam Zarkasyi kepada urta-putrinya sangat keras
dan dengan disiplin ketat serta mengutamakan ketaatan penuh dari putra-
putrinya. Ketentuan dan kesungguhan putra-putrinya dalam belajar dan
mengajarkan segala sesuatu juga sangat diperhatikan. Sejak kecil belajar
dengan tekun sudah dibiasakannya. Setelah selesai shalat maghrib sebelum
makan malam dan sesudah shalat Isya adalah masa belajar bagi putra-
putrinya yang masih duduk di sekolah dasar. Kepada putra-putrinya juga
37
diajarkan kesederhanaan hidup dan tanggung jawab terhadap penataan rumah
dan pekerjaan rumah tangga lainnya seperti memasak, menyediakan air
panas, membuat kue hari raya bagi anak putri, mengepel, mengatur tempat
tidur dan lain-lain. Di lua rumah putra-putrinya juga diharuskan mengikuti
pekerjaannya, seperti ke sawah pada waktu musim tanam dan musim panen,
membagikan zakat fitrah pada malam hari raya, menanam pohon kelapa ke
kebun dan lain sebagainya. Beliau selalu berpesan agar tidak merasa hina atau
malu dalam mengerjakan setiap pekerjaan yang halal.
Kalau saya dapat mendidik santri ratusan bahkan ribuan, mengapa
saya tidak mampu mendidik anak saya sendiri, begitulah beliau sering
berkata. Begitulah tekad, nalar dan gambaran tentang cara KH. Imam
Zarkasyi dalam mendidik putra-putrinya. Setelah sekian lama mendidik
santri, KH. Imam Zarkasyi mengakhiri hidupnya pada hari selasa 30 April
1985. Kyai yang tidak hanya sukses mendidik santri, melainkan juga putra-
putrinya itu meningal dunia sesuai keinginannya, hidup enak dan bermanfaat
bagi orang banyak, mati pun enak, tidak menyusahkan orang banyak. Beliau
meninggal dengan penuh konsekwen sesuai dengan selogan yang selalu
didengung-dengungkan kepada santri-santrinya bahwa dalam perjuangan kita
harus mengerahkan harta, tenaga, pikiran dan jika kerlu sekaligus nyawa.
Beliau meninggal dunia ketika telah gencar-gencarnya dalam mendidik
santri.6 Imam Zarkasyi meninggal dunia di Rimah Sakit Umum Madiun. Ia
meninggalkan seorang istri dan 11 orang putra-putri.
B. Karya-Karya Imam Zarkasyi
Selain dikenal sebagai aktivis dalam bidang pendidikan, sosial dan
politik kenegaraan, Imam Zarkasyi juga seorang ulama yang produktif dalam
bidang tulis-menulis. Dalam kaitan ini, ia banyak sekali meninggalkan karya
ilmiah yang hingga saat ini masih dapat dinikmati. Ini sesuai dengan niatan
beliau pada awal dibukanya KMI tahun 1936, beliau berkata: “seandainya
saya tidak berhasil mengajar dengan cara ini, saya akan mengajar dengan
6 lok-cit.
38
pena.”7
Sebelum memahami karya-karya yang dihasilkan KH. Imam Zarkasyi,
layak kiranya jika terlebih dahulu dipahami pemikiran tentang makna karya.
Karya dalam pandangan KH. Imam Zarkasyi, secara mendasar dihubungkan
dengan prinsip amal jariyah yang membawa manfaat kepada orang lain.
Semakin besar manfaat karya seseorang semakin besar nilai amal jariyah dari
karya itu. Sehingga, karya yang bermanfaat merupakan salah satu bentuk
ibadah dan realisasi ketaqwaan serta menjadi ukuran kebesaran seseorang.
Karangan KH. Imam Zarkasyi dalam bentuk tulisan diantaranya
adalah:
1. Darus al-Lugha al-„Arabiyyah I dan II, merupakan buku pelajaran bahasa
Arab dasar dengan sistem Gontor.
2. Kamus Darus al Lugah al-„Arabiyyah I dan II
3. Al-Tamrinat I, II dan II, merupakan buku latihan dan pendalaman qawa’id
(kaidah-kaidah tata bahasa), uslub (gaya bahasa), kalimat, dan mufradat
(kosa kata).
4. Dalil at-Tamrinat I, II dan III.
5. Amtsilah al-Jumal I dan II, merupakan buku yang berisi contoh-contoh
i’rab dari kalimat lengkap yang benar.
6. Al-Alfazh al-Mutaradifah, buku tentang sinonim beberapa kata dari bahasa
Arab.
7. Qawa‟id al-Imla, buku tentang kaidah-kaidah penulisan arab secara benar.
8. Pelajaran Membaca Huruf Arab I A, I B, dan II, dalam bahasa Jawa.
9. Pelajaran Tajwid, dalam bahasa Arab, lanjutan pelajaran tentang kaidah
membaca al-Qur’an secara benar.
10. Bimbingan Keimanan, buku pelajaran aqidah untuk tingkat dasar dan
bacaan anak-anak.
11. Ushuluddin, buku pelajaran akidah Ahlussunnah wal Jamaah untuk tingkat
menengah dan tingkat lanjutan.
7 Muhammad Arwani, Denyut Nadi Santri, Sebuah Upaya Memaknai Kegiatan Santri
Gontor, (Tajidu Press, Yogyakarta, Cet. I, Desember 2001), h. 41.
39
12. Pelajaran Fiqih I dan II, buku pelajaran fiqih tingkat menengah dan dapat
dipergunakan untuk praktek beribadah secara praktis dan sederhana bagi
pemula.
13. Senjata pengandjoer, ditulis bersama kakak kandungnya, KH. Zaenuddin
Fanani.
14. Pedoman Pendidikan Pondok Modern.
15. Kursus Agama Islam ditulis bersama kakanya KH. Zaenuddin Fanani.8
Selain itu Imam Zarkasyi juga menulis beberapa petunjuk teknik bagi
para santri dan guru di Pondok Darussalam Gontor dalam berbagai masalah
yang berkaitan dengan pendidikan di pesantren tersebut, termasuk metode
mengajar beberapa mata pelajaran. Buku-buku karangan beliau hingga kini
masih dipakai di KMI Pondok Modern Darussalam Gontor dan pondok-
pondok pesantren alumni Gontor serta beberapa sekolah agama.
C. Gagasan, Cita-Cita, dan Pembaharuan KH. Imam Zarkasyi
Lembaga pendidikan pondok pesantren adalah model pendidikan
Islam yang banyak dipakai dan berlaku di beberapa negara Islam. Namun, di
Indonesia lembaga pendidikan pesantren kurang mengalami kemajuan
dikarenakan situasi penjajahan. Sebelum mendirikan lembaga pendidikan
pesantren dengan corak yang modern, K.H. Imam Zarkasyi bersama pendiri
Pondok Gontor lainnya telah mengkaji lembaga-lembaga pendidikan yang
terkenal dan maju di luar negeri, khususnya yang sesuai dengan sistem
pondok pesantren. Ada empat lembaga pendidikan yang mereka kaji dalam
rangka studi banding yang kemudian dikenal sebagai “Sintesa Pondok
Modern”.
Pertama, Universitas Al-Azhar di Mesir merupakan sebuah lembaga
pendidikan swasta, dengan kekayaan wakafnya yang luar biasa, mampu
bertahan bahkan berperan dalam apapun dalam perubahan waktu dan massa.9
8 Ibid, h. 253-254.
9 K.H. Abullah Syukri Zarkasyi, MA, Pidato Pimpinan Pondok Modern dalam Acara
Puncak Kesyukuran Delapan Windu, dokumentasi peringatan delapan windu, (Gontor: 1991) h.
95-96.
40
Al-Azhar ini bermula dari sebuah masjid sederhana namun kemudian dapat
hidup ratusan tahun dan telah memiliki tanah wakaf yang mampu memberi
beasiswa untuk mahasiswa seluruh dunia. Kedua, Pondok Syanggit di Afrika
Utara, dekat Libya. Lembaga ini dikenal karena kedermawanan dan
keikhlasan pengasuhnya. Pondok ini dikelola dengan jiwa ikhlas dari
pengasuhnya di samping mendidik murid-muridnya, juga menanggung
kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Ketiga, Universitas Muslim Aligarh
yang membekali mahasiswanya dengan pengetahuan umum dan agama
sehingga mereka mempunyai wawasan yang luas dan menjadi pelopor
kebangkitan Islam di India. Universitas ini dikenal sebagai pelopor
pendidikan modern dan revival of Islam.10
Keempat, masih juga di India,
yaitu Perguruan Shantiniketan yang didirikan oleh seorang filosof Hindu,
Rabindranath Tagore. Perguruan ini terkenal karena kedamaiannya, dan
meskipun terletak jauh dari keramaian, tetapi dapat melaksanakan pendidikan
dengan baik dan bahkan dapat mempengaruhi dunia. Kedamaian di perguruan
tersebut mengilhami Darussalam (kampung damai) untuk Pondok Pesantren
Darussalam Gontor.
Keempat lembaga pendidikan yang dikaji itu selanjutnya menjadi
idaman Imam Zarkasyi dan lembaga pendidikan yang hendak ia bangun
adalah pondok pesantren yang merupakan perpaduan atau sintesa dari
keempat unsur di atas. Semua dipadukan dalam pandangan agama yang
tergolong mazhab Ahlussunah waljama’ah yang mayoritas dianut umat Islam
di Indonesia.
Selain hal-hal di atas, gagasan untuk memberikan warna baru terhadap
Gontor juga diilhami oleh peristiwa dari Kongres Umat Islam Indonesia di
Surabaya yang dilaksanakan pada pertengahan tahun 1926. Kongres tersebut
dihadiri oleh tokoh-tokoh umat Islam Indonesia seperti HOS. Cokroaminoto,
Mas Mansyur, H. Agus Salim, dan lain-lain. Dalam kongres tersebut
diputuskan agar ummat Islam Indonesia mengutus wakilnya ke Muktamar
10 Tim penyusun, Booklet Pondok Modern Gontor, (Gontor, Edisi I: 2000), h. 5.
41
Islam se-Dunia yang akan diadakan di Mekkah. Namun yang menjadi
masalah adalah di sekitar siapa yang ditunjuk menjadi utusannya. Sedangkan
kriteria utusan yang dapat hadir adalah orang yang mahir sekurang-kurangnya
dalam bahasa Arab dan Inggris. Dari sekian banyak peserta muktamar, tak
seorang pun yang memiliki kemampuan kedua bahasa tersebut. Akhirnya
dipilih dua orang utusan, yaitu HOS Cokroaminoto yang menguasai bahasa
Inggris dan Mas Mansyur yang menguasai bahasa Arab.
Peristiwa di atas memberikan kesan mendalam kepada Ahmad Sahal
yang hadir sebagai peserta dalam kongres tersebut. Kesan-kesan itu menjadi
topik diskusi serius bersama Imam Zarkasyi dan Zainuddin Fannani, dan
merupakan masukan pemikiran yang sangat berharga bagi bentuk dan ciri
lembaga pendidikan yang akan dibina pada waktu-waktu selanjumya. Sejalan
dengan ini, Imam Zarkasyi kemudian mencita-citakan bahwa pesantren
Gontor nantinya akan menjadi sebuah lembaga pendidikan yang mampu
mencetak kader-kader Muslim yang mahir dalam bahasa Arab dan Inggris
sekaligus.
Namun demikian, Imam Zarkasyi memiliki pandangan bahwa hal
yang paling penting dalam pesantren bukanlah pelajarannya semata-mata,
melainkan juga jiwanya. Jiwa itulah yang akan memelihara kelangsungan
hidup pesantren dan menemukan filsafat hidup para santrinya. Pada seminar
pondok pesantren se-Indonesia tahun 1965 di Yogyakarta, Imam Zarkasyi
merumuskan jiwa pesantren itu ada lima yang disebutnya dengan Panca Jiwa
Pondok Modern. Kelima jiwa ini adalah keikhlasan, kesederhanaan,
kesanggupan menolong diri sendiri (self help); ukhuwah Islamiyah dan jiwa
bebas. Yang dimaksud dengan jiwa keikhlasan adalah sepi ing pamrih (tidak
karena didorong keinginan untuk memperoleh keuntungan tertentu), semata
mata untuk ibadah, karena Allah.11
Sedangkan yang dikehendaki dengan jiwa
kesederhanaan adalah bahwa dalam kehidupan di pesantren harus diliputi
suasana kesederhanaan. Sederhana bukan berarti pasif atau narimo (pasrah),
11
Ibid, h. 11.
42
dan bukan karena melarat atau miskin, tetapi mengandung kekuatan dan
ketabahan dalam diri, penguasaan diri dalam menghadapi segala kesulitan.
Dengan demikian, di balik kesederhanaan itu terpancar jiwa besar, berani
maju dalam menghadapi perjuangan hidup dan pantang mundur. Sementara
itu yang dimaksud dengan kesanggupan menolong diri sendiri adalah
berdikari, bukan saja dalam arti bahwa santri harus belajar dan berlatih
mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi juga pondok pesantren itu
sendiri sebagai lembaga pendidikan tidak menyandarkan kehidupannya
kepada bantuan dan belas kasih orang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan
ukhuwah Islamiyah adalah bahwa kehidupan di pondok pesantren harus
diliputi oleh suasana dan perasaan persaudaraan yang akrab, sehingga segala
kesenangan dan kesusahan dapat dirasakan bersama dengan jalinan perasaan
keagamaan. Persaudaraan ini bukan saja selama berada dalam pondok
pesantren, tetapi juga harus mempengaruhi arah persaudaraan dan persatuan
umat yang luas. Selanjutnya yang dimaksud dengan jiwa bebas adalah bebas
dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menemukan masa depan. Para santri
harus bebas menentukan jalan hidupnya di masyarakat kelak, dengan jiwa
besar dan optimis dalam menghadapi kesulitan. Jiwa inilah yang dibawa oleh
santri sebagai bekal pokok dalam kehidupannya di masyarakat. Dan jiwa
pondok pesantren inilah yang harus senantiasa dihidupkan, dipelihara dan
dikembangkan dengan sebaik-baiknya.12
Selain prinsip dan jiwa tersebut di atas, Imam Zarkasyi juga
memiliki pandangan bahwa pada masa kemerdekaan pondok pesantren sudah
seharusnya menatap ke masa depan yang lebih jauh untuk mempertahankan
keberadaannya. Untuk itu harus dipadukan dengan beberapa sikap dasar.
Pertama, senantiasa memperhatikan perkembangan zaman, dan untuk ini
pelajaran yang diberikan di pondok pesantren harus disesuaikan dengan masa
depan kehidupan masyarakat, dengan menggunakan didaktik dan metodik
12
Tim penyusun, K.H. Imam Zarkasyi, Dari Gontor Merintis Pesantren Modern, (Gontor
Press, September 1996), h. 429.
43
yang menguntungkan pula, tanpa harus mengubah inti ajaran agama. Kedua,
jika diperlukan pondok pesantren dapat terus mempertahankan kehidupannya
dengan memperhatikan syarat-syarat material. Untuk itu harus ada wakaf
yang menjadi andalan bagi kelangsungan hidup pondok pesantren. Dengan
cara ini, pesantren akan senantiasa dapat meninggikan mutu pendidikan dan
pengajarannya. Ketiga, pondok pesantren jangan melupakan program
pembentukan kader untuk kelanjutan regenerasi, karena hidup matinya
pondok pesantren seringkali sangat tergantung kepada hidup matinya kyai
pendiri pesantren tersebut. Untuk memelihara kelangsungan hidup pondok
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, tiap-tiap pondok pesantren
harus menyiapkan kader-kader yang akan menggantikannya. Keempat,
perlunya tata cara penyelenggaran pondok pesantren dengan sebaik-baiknya.
Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya memperbaharui keadaan
penyelenggaraan pendidikan pondok pesantren yang pada umumnya bersifat
tradisional. Dengan demikian, segala sesuatu yang berkenaan dengan
penyelenggaraan pondok pesantren dapat diatur dengan sebaik-baiknya dan
seefisien mungkin, termasuk di dalamnya batas-batas hak dan kewajiban kyai,
para santri dan pondok pesantren itu sendiri.13
Langkah-langkah itulah yang dinilai oleh Imam Zarkasyi sebagai
dasar yang dapat menjamin kelangsungan dan perkembangan sebuah lembaga
pendidikan pesantren di masa mendatang. Pikiran-pikiran itulah yang
diterapkan oleh Imam Zarkasyi di lembaga pendidikan yang dipimpinnya,
yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor.
D. Pendidikan Pondok Modern Gontor Menurut KH. Imam Zarkasyi
Imam Zarkasyi bersama dengan dua orang saudaranya merintis suatu
lembaga pesantren yang bercorak modern sehingga dapat dikategorikan
sebagai tokoh pembaharu pendidikan Islam. Abduddin Nata dalam bukunya
Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam membagi konsep pembaharuan
pemikiran Imam Zarkasyi ke dalam empat bidang, yaitu pembaharuan dalam
13
Serba-serbi Singkat tentang Pondok Modern Darussalam Gontor, (Gontor: tth.), h. 4.
44
bidang metode dan sistem pendidikan, kurikulum pesantren, struktur dan
sistem manajemen pesantren serta pola pikir santri dan kebebasan
pesantren.14
Selain itu pembaharuan-pembaharuan yang di galakan oleh Imam
Zarkasyi adalah pengajaran bahasa asing, nilai dan jiwa pondok modern, serta
mengintegrasikan sistem pondok dan madrasah.
1. Pembaharuan Metode dan Sistem Pendidikan
Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “sisteam” yang berarti
komponen yang berhubungan secara teratur dan merupakan suatu
keseluruhan.15
Dengan demikian sistem pendidikan pondok modern adalah
totalitas interaksi dari seperangkat unsur-unsur pendidikan pondok modern
yang bekerja sama secara terpadu dan saling melengkapi satu sama lain
menuju tercapainya tujuan pendidikan pondok modern yang di cita-citakan.16
Perkembangan dunia telah melahirkan suatu kemajuan zaman yang
modern. Perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosio-kultural
seringkali membentuk pada aneka kemapanan. Dan berakibat pada keharusan
untuk mengadakan usaha kontekstualitas bangunan-bangunan sosio-kultural
dengan dinamika modernisasi, tak terkecuali dengan system pendidikan
pondok modern. Karena itu sistem pendidikan pondok modern harus selalu
melakukan upaya rekontruksi pemahaman tentang ajaran-ajarannya agar tetap
relevan dan survive.17
Pondok modern Gontor walaupun namanya pondok pesantren, tetapi
pendidikannya dan pengajarannya adalah bukan seperti pondok pesantren
tradisional ataupun tidak seperti model madrasah sekarang. Pondok modern
Gontor memiliki corak khusus yang merupakan modifikasi dari sistem
pendidikan pondok pesantren dan sistem pengajaran madrasah.
14 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam), (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. I, Juli 2000) h. 205. 15 Abdurrahman Mas’ud, Pesantren dan Walisongo, Sebuah Interaksi dalam Dunia
Pendidikan, dalam Darori Amin, (ed), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gema Media,
2002). h. 244. 16
Mastuhu, op.cit., h. 6. 17 Suwendi, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren: Beberapa Catatan, Marzuki Wahid,
(des), Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung:
Pustaka Hidayah, 1999), h. 216.
45
Kita dapat melihat dengan jelas bahwa sistem pendidikan agama
yang paling baik adalah sistem pondok pesantren, sedangkan system
pengajaran di nilai sebagai sistem terbaik untuk pengajaran agama. Dengan
demikian sistem pendidikan dan pengajaran adalah sistem madrasah dalam
pesantren. Madrasah dalam pesantren inilah menurut mereka yang dimaksud
dengan modern dalam pondok modern Gontor.18
Diantara sistem pendidikan pondok modern yang diterapkan KH.
Imam Zarkasyi adalah sistem klasikal. Dalam sistem klasikal yang dilakukan
KH. Imam Zarkasyi pada awalnya adalah mendirikan madrasah, nama
madrasah yang didirikan KH. Imam Zarkasyi sama dengan madrasah yang
didirikan gurunya Mahmus Yunus, yaitu Kulliyyatul Mua‟llimin al-Islamiyah
(KMI). KH. Imam Zarkasyi mengembangkan madrasahnya ke arah tujuan
pondok pesantren yaitu tafaqquh fi ad-din, guna mencetak ulama dan tokoh
masyarakat dengan menerapkan system belajar yang efektif dan efisien. Hal
ini ditempuh dalam rangka menerapkan eksistensi dalam pengajaran, dengan
harapan bahwa dengan biaya dan waktu yang relatif sedikit dapat
menghasilkan produk yang besar dan bermutu.19
Disamping secara klasikal
juga diperkenalkan sistem ekstra kurikuler dan untuk terlaksananya kegiatan
tersebut diadakan sistem asrama agar tujuan dan asas pendidikan dapat dibina
secara efektif.20
Di samping dengan menggunakan sistem “kasikal”, Imam Zarkasyi
juga memperkenalkan kegiatan ekstrakurikuler. Dalam kaitan ini para santri
memiliki kegiatan lain di luar jam pelajaran, seperti olahraga, kesenian,
keterampilan, pidato dalam tiga bahasa (Indonesia, Arab dan Inggris),
pramuka dan organisasi pelajar. Semuanya ini dijadikan sebagai kegiatan
ekstra kurikuler dalam wadah sistem pesantren yang diselenggarakan oleh
santri sendiri (student government). Dalam mengerjakan semua aktivitas itu,
18 Win Ushuluddin, Sintesa Pendidikan Islam Asia Afrika, (Yogyakarta: Paramadina,
2002), h. 101. 19 Ali Saefuddin, Darus Salam Pondok Modern Gontor, dalam Dawam Raharjo, (ed)
Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974), cet I, h. 141. 20 Sa’id Aqiel Siradj, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdaya dan Transformasi
Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 210-211.
46
santri diharuskan tetap tinggal di pondok pesantren (boarding school). Sistem
asrama tetap dipertahankan oleh Imam Zarkasyi, karena selain untuk tidak
meninggalkan ciri khas pesantren, juga dimaksudkan agar tujuan dan asas
pendidikan dapat dibina dan dikembangkan secara lebih efisien dan efektif.
Sehubungan dengan pencapaian tujuan dan berjalannya sistem
pendidikan tersebut, maka di Gontor jam-jam belajar di atur secara ketat,
bahkan untuk ini para santri tidak diperkenankan memasak sendiri. Hal ini
dimaksudkan untuk menghemat waktu. Kegiatan para santri sehari-hari
diawali dengan bangun pagi, sholat Subuh secara berjamaah dan membaca al-
Qur`an. Usai mengaji dilanjutkan dengan latihan berbahasa lnggris yang
dilakukan oleh para tutor, yaitu para santri senior. Setelah itu para santri
segera harus menyiapkan waktu untuk belajar di kelas, mulai dari pukul 07.00
sampai dengan pukul 12.30 dengan istirahat sebanyak dua kali. Keluar dari
kelas semua santri harus shalat Dzuhur berjamaah di Masjid, dilanjutkan
dengan makan siang. Pukul 14.00 tepat bel berbunyi lagi untuk menandai
kegiatan pelajaran kelas yang kedua kalinya bagi santri kelas IV ke bawah
yang dibimbing oleh santri senior selama satu jam. Setelah shalat Ashar
berjamaah santri baru diperbolehkan melakukan kegiatan ekstrakurikuler
seperti olahraga, kesenian, keterampilan dan sebagainya. Untuk ini mereka
bebas memilih kegiatan sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya
masing-masing.
Pola dan irama kegiatan pesantren yang demikian padat itu terus
berlangsung di Pondok Modern Gontor hingga saat ini. Itu berlangsung secara
alamiah dengan disiplin yang ketat, tanpa ada peraturan tertulis. Dalam
pandangan K.H. Imam Zarkasyi, peraturan harus diproses menjadi bagian
dari kualitas kesadaran, pikiran dan naluri atau dlomir yang seharusnya
dijadikan pedoman santri untuk membangun kehidupan sosialnya di dalam
pesantren. Perpaduan antara day school system dengan sistem asrama yang
diterapkan K.H. Imam Zarkasyi sekilas memang kelihatan menghilangkan
satu elemen penting dalam tradisi sistem pendidikan pesantren, yaitu
pengkajian kitab-kitab Islam klasik yang sering disebut Kitab Kuning. Namun
dalam kenyataan kesan dan asumsi ini tidak tepat. Karena yang dilakukan
47
oleh K.H. Imam Zarkasyi hanya menyangkut metode pengajaran di kelas-
kelas. Sedangkan esensi pelajaran agama yang menjadi inti kitab kuning itu
tetap ada dan dikemas sedemikian rupa dalam buku-buku yang lebih praktis
dan sistematis serta disesuaikan dengan jenjang pendidikan para santri. Pada
saatnya nanti, setelah para santri memasuki jenjang pendidikan terakhir,
mereka diberi kesempatan untuk membongkar dan memahami kumpulan
kitab-kitab kuning dalam jumlah besar dari berbagai disiplin ilmu agama.
Dengan bekal bahasa Arab yang dimiliki sejak kelas satu, para santri
diharapkan sudah dapat membaca dan memahami kitab-kitab tebal itu dengan
sendirinya, tanpa harus dibantu diterjemahkan oleh kyai sebagaimana yang
lazimnya dilakukan pada metode sorogan atau wetonan yang dilakukan
pesantren tradisional. Program yang diterapkan oleh K.H. Imam Zarkasyi itu
diberi nama Program Fathul Kutub.
Di samping itu, K.H. Imam Zarkasyi juga menganjurkan agar para
santri memiliki, membaca dan memahami kitab-kitab yang dipakai di
pesantren tradisional. Kitab-kitab tersebut antara lain Fatbul Qarib, Fatbul
Mu‟in, I‟anatul Thalibin dan sebagainya.21
2. Pembaharuan Kurikulum
Konsep pendidikan Imam Zarkasyi selanjutnya adalah berkenaan
dengan pembaharuan kurikulum. Kurikulum yang diterapkan K.H. Imam
Zarkasyi di Pondok Modern Gontor adalah 100% agama dan 100% umum. Di
samping pelajaran tafsir, hadits, fiqih, ushul fiqih yang biasa diajarkan di
pesantren tradisional, K.H. Imam Zarkasyi juga menambahkan ke dalam
kurikulum lembaga pendidikan yang diasuhnya itu pengetahuan umum,
seperti ilmu alam, ilmu hayat, ilmu pasti (berhitung, aljabar dan ilmu ukur),
sejarah, tata negara, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan sebagainya.
Selain itu ada pula mata pelajaran yang amat ditekankan dan harus menjadi
karakteristik lembaga pendidikannya itu, yaitu pelajaran bahasa Arab dan
21
Imam Zarkasyi & Ahmad Sahal, Wasiat, Pesan, Nasehat & Harapan Pendiri Pondok
Modern Gontor, (Gontor: tth), h. 15.
48
bahasa Inggris. Penekanan bahasa ini memakai metode langsung (direct
method).22
Pelajaran bahasa Arab lebih ditekankan pada penguasaan
kosakata, sehingga para santri kelas satu sudah diajarkan mengarang dalam
bahasa Arab dengan perbendaharaan kosa kata yang dimilikinya. Pelajaran
ilmu alat, yaitu nahwu dan sharf diberikan kepada santri saat menginjak kelas
II, yaitu ketika mereka sudah agak lancar berbicara dan memahami struktur
kalimat. Bahkan pelajaran seperti Balaghah dan Adabullughah baru diajarkan
pada saat santri menginjak kelas IV. Demikian halnya dengan bahasa Inggris,
Grammar baru diajarkan ketika para santri menginjak kelas III, sedangkan
materi bahasanya sudah diajarkan sejak kelas I.23
Khusus pengajaran bahasa Arab ditempuh dengan metode langsung
(direct method) yang diarahkan kepada penguasaan bahasa secara aktif
dengan memperbanyak latihan (drill), baik lisan maupun tulisan. Dengan
demikian, tekanan lebih banyak diarahkan pada pembinaan kemampuan anak
untuk memfungsikan kalimat secara sempuma, dan bukan pada alat atau
gramatika tanpa mampu berbahasa. Dalam penguasaan bahasa ini, K.H. Imam
Zarkasyi menetapkan semboyan Al-kalimah al-wabidah fi alf jumlatin
khairun min alfi kalimah fi jumlatin wabidah (kemampuan memfungsikan
satu kata dalam seribu susunan kalimat lebih baik daripada penguasaan seribu
kata secara hafalan dalam satu kalimat saja).24
Namun demikian kemampuan
dalam penguasaan bahasa Arab dan Inggris serta berbagai pengetahuan
tersebut tetap harus didasarkan pada asas, jiwa dan kepribadian moral yang
tinggi dan baik, seperti ikhlas, mandiri, sederhana dan sebagainya.
Untuk mendukung tercapainya moralitas dan kepribadian di atas,
kepada para santri diberikan juga pendidikan kemasyarakatan dan sosial yang
dapat mereka gunakan untuk melangsungkan kehidupan sosial ekonominya.
22 Lance Castles, Gontor: Sebuah Catatan Lama (Terjemahan), (Gontor: Trimurti, Cet. I,
1991), h. 8. 23 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1979) h. 251,
dalam buku karangan Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Seri Kajian
Filsafat Pendidikan Islam), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. I, Juli 2000) h. 206. 24
Djumhur dan Danasaputra, Sejarah Pendidikan, (Bandung: CV. Ilmu, cet. Ke IX 1976),
h. 193, dalam buku karangan Abuddin Nata, Ibid, h. 207.
49
Untuk ini kepada para siswa diberikan latihan praktis dalam mengamati dan
melakukan sesuatu yang ia perkirakan akan dihadapinya dalam hidupnya
kelak di masyarakat. Segala sesuatu diorganisasi sedemikian rupa untuk
membedakan gambaran realistik kepada siswa tentang kehidupan dalam
masyarakat. Para siswa dilatih untuk mengembangkan cinta kasih yang
mendahulukan kesejahteraan bersama daripada kesejahteraan pribadi,
kesadaran pengorbanan yang diabdikan demi kesejahteraan masyarakat,
khususnya umat Islam.25
Sejalan dengan hal tersebut, maka di Pondok Modern Gontor
diajarkan pelajaran ekstra seperti etiket atau tata krama yang berupa
kesopanan lahir dan kesopanan batin. Kesopanan batin menyangkut akhlak
dan jiwa, sedangkan kesopanan lahir termasuk gerak-gerik, tingkah laku,
bahkan pakaian.26
Khusus untuk menopang kelangsungan hidup para santri
dalam bidang ekonomi, diberikan pula pelajaran keterampilan seperti
menyablon, mengetik, kerajinan tangan (dekorasi, letter, janur) dan
sebagainya.
3. Pembaharuan Struktur dan Manajemen Pesantren
Demi kepentingan pendidikan dan pengajaran Islam, K.H. Imam
Zarkasyi dan dua saudaranya telah mewakafkan Pondok Pesantren Gontor
kepada sebuah lembaga yang disebut Badan Wakaf Pondok Modern Gontor.
Ikrar pewakafan ini telah dinyatakan di muka umum oleh ketiga pendiri
pondok tersebut. Dengan ditandatanganinya Piagam Penyerahan Wakaf itu,
maka Pondok Modern Gontor tidak lagi menjadi milik pribadi atau
perorangan sebagaimana yang umumnya dijumpai dalam lembaga pendidikan
pesantren tradisional. Dengan cara demikian, secara kelembagaan Pondok
Modern Gontor menjadi miliki ummat Islam, dan semua ummat Islam
bertanggung jawab atasnya.
25
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1986) h. 159.
dalam buku karangan Abuddin Nata, Ibid, h. 207. 26 A. Mukti Ali, Ta‟lim al-Muta‟allim versi Imam Zarkasyi, (Gontor: Trimurti, Cet I 1991)
h. 53.
50
Lembaga Badan Wakaf ini selanjutnya menjadi badan tertinggi di
Pondok Gontor. Badan inilah yang bertanggung jawab mengangkat kyai
untuk masa jabatan lima tahun. Dengan demikian, kyai bertindak sebagai
mandataris dan bertanggung jawab kepada Badan Wakaf. Untuk itu Badan
Wakaf memiliki lima program yang berkenaan dengan bidang pendidikan dan
pengajaran, bidang peralatan dan pergedungan, bidang perwakafan dan
sumber dana, bidang kaderisasi, serta bidang kesejahteraan.27
Dengan struktur kepengurusan yang demikian, maka kyai dan
keluarganya tidak punya hak material apa pun dari Gontor. Kyai dan guru-
guru juga tidak mengurusi uang dari para santri, sehingga mereka tidak
pernah membedakan antara santri yang kaya dengan santri yang kurang
mampu. Urusan keuangan menjadi tanggungjawab petugas kantor tata usaha
yang terdiri dari beberapa orang santri senior dan guru yang secara periodik
bisa diganti. Dengan demikian, pengajaran jalannya organisasi pendidikan
menjadi dinamis, terbuka dan obyektif.28
4. Pembaharuan dalam Pola Pikir Santri dan Kebebasan Pesantren.
Sejalan dengan Panca Jiwa Pondok Modern Gontor, bahwa setiap
santri ditanamkan jiwa agar berdikari dan bebas. Sikap ini tidak saja berarti
bahwa santri belajar dan berlatih mengurusi kepentingannya sendiri serta
bebas menemukan jalan hidupnya di masyarakat, tetapi juga bahwa pondok
pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan harus tetap independent dan
tidak bergantung pada pihak lain.29
Prinsip kemandirian tersebut bertolak dan
upaya menghindari kenyataan di mana kebanyakan lembaga pendidikan yang
diselenggarakan pada waktu itu didasarkan pada kepentingan golongan dan
politik tertentu.
Gagasan independensi Imam Zarkasyi itu direalisasikan dengan
menciptakan Pondok Modern Gontor benar-benar steril dari kepentingan
27 Abuddin Nata, Ibid, h. 208. 28 Abuddin Nata, Ibid, h. 208-209. 29
Imam Zarkasyi, Panca Jiwa Pondok Pesantren, (disampaikan pada Seminar Pesantren
Seluruh Indonesia, di Yogyakarta, 4-7 Juli 1965) dalam buku diktat pekan perkenalan, (Gontor:
tth) h. 11-14.
51
politik dan golongan apa pun. Hal ini diperkuat dengan semboyan Gontor di
atas dan untuk semua golongan.
Selanjutnya untuk mewujudkan kebebasan dan kemandirian tersebut,
di Gontor para santri diberi kebebasan memilih pilihan-pilihan mata pelajaran
yang ada. Dalam pelajaran hukum Islam misalnya, kitab yang diajarkan
adalah Bidayah al-Mujtahid karya Ulama Besar Ibn Rusyd yang hidup pada
abad ke-12 M. Ulama yang dikenal sebagai komentator Aristoteles ini
menulis bukunya dengan pendekatan komparatif (perbandingan mazhab). Hal
ini merupakan salah satu cermin, di mana paham keagamaan para santri
berada di atas semua golongan mazhab Ahlu Sunnah Waljama’ah. Dengan
demikian, semua mazhab diajarkan kepada para murid tinggal terserah
mereka mau memilih mazhab mana yang lebih cocok. Demikian pula dalam
hal bacaan qunut yang sering diperdebatkan misalnya, para santri bebas
apakah akan membaca qunut atau tidak.
Selanjutnya kemandirian pondok pesantren Gontor ini terlihat dari
adanya kebebasan para santri yang bebas menentukan jalan hidupnya kelak.
K.H. Imam Zarkasyi sering mengatakan bahwa Gontor tidak mencetak
pegawai, tetapi mencetak majikan untuk dirinya sendiri.30
5. Pengajaran Bahasa Asing
Selain diberi pelajaran umum KH. Imam Zarkasyi juga memberi
pelajaran bahasa asing bagi santri pondok modern Gontor. Bahkan kemahiran
berbahasa asing inilah yang menjadi daya tarik pada orang tua untuk
menyekolahkan anak-anaknya di pondok modern Gontor.
Alasan diberikan pengajaran bahasa asing terutama bahasa Arab di
pondok modern ini menurut KH. Imam Zarkasyi adalah pengalaman beliau
ketika mondok di pondok tradisional. Pada waktu itu santri yang belum bisa
bahasa Arab langsung disuruh oleh kyai untuk membaca kitab. Pertama kyai
membaca dulu santri disuruh menirukan. Begitulah terus menerus sampai
menamatkan satu kitab. Ketika tidak tahu santri tidak boleh bertanya karena
30 Kenang-kenangan peringatan Delapan Windu 1990, (Gontor: 1990), h. 17.
52
dianggap tidak sopan. Walaupun bisa membaca suatu kitab, belum tentu
santri bisa membaca kitab lain yang belum pernah dikaji. Dari pengalaman
inilah akhirnya diadakan pelajaran bahasa Arab di pondok Modern Gontor
baru setelah memahami bahasa Arab santri bebas membaca kitab apapun
tulisan yang berbahasa arab.31
Para santri pondok Modern Gontor diwajibkan berbicara dengan
bahasa asing setelah mukim selama 6 bulan, baik bahasa arab maupun bahasa
Inggris. Santri dilarang dengan bahasa daerah. Bahasa Indonesia digunakan
hanya untuk melayani tamu yang berkunjung. Menurut Steenbrink alasan
yang dikemukakan untuk menunjukkan pentingnya bahasa arab di luar motif
agama adalah:
a. Bahasa Arab kaya sekali dalam kosa kata dan struktur bahasanya, sehingga
bahasa ini cocok sebagai alat untuk mengekspresikan pikiran dan emosi,
serta sebagai alat untuk mengajarkan berbagai macam ilmu pengetahuan.
b. Bahasa Arab mempunyai kepustakaan besar pada semua bidang ilmu
pengetahuan.
c. Bahasa Arab adalah bahasa yang dengan bahasa ini semua ilmu
pengetahuan modern dan kesusastraan modern dapat dikemukakan, baik
dengan bahasa asli maupun bahasa terjemah.
d. Bahasa Arab adalah bahasa dari kelompok terbesar dunia ketiga. Untuk itu
mempersatukan dunia ketiga, bahasa ini patut diperhatikan di Indonesia.
Bahasa Arab kosa katanya banyak yang dijadikan bahasa Indonesia.32
Dengan mempelajari bahasa Arab, para santri diharapkan mampu
membaca kitab yang berbahasa Arab secara mandiri tanpa tergantung kepada
bimbingan kyai atau guru. Tidak saja membaca kitab-kitab kuning klasik,
tetapi juga membaca kitab-kitab, majalah serta tulisan yang berbahasa Arab
yang lain. Dalam mengajarkan bahasa Arab ini, KH. Imam Zarkasyi
menggunakan metode thariqah mubasyarah atau metode langsung. Ada cerita
menarik dari hasil penerapan metode ini, yaitu kisah Nurchalis Madjid ketika
31
Tim Penyusun, op.cit., h. 450. 32
Karel A. Streenbrink, Pondok Madrasah Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1974), h. 176.
53
ia mulai mondok di pondok modern Gontor, ayahnya telah memiliki kitab-
kitab yang sangat banyak, dan tidak ada yang mampu membacanya selain
ayahnya sendiri. Namun, ketika suatu saat Nurchalis pulang ke rumah,
dibawanya sebuah bacaan berbahasa arab dari mesir, kemudian ditunjukkan
kepada ayahnya untuk dibaca. Namun, ayahnya tidak dapat membacanya.
Akan tetapi, kemudian ia menunjukkan kepada ayahnya bahwa ia telah
mampu membaca semua kitab-kitab yang dimiliki ayahnya.33
Bahasa asing yang diterapkan KH. Imam Zarkasyi di pondok
modern ini adalah bahasa Inggris, sebab bahasa Inggris merupakan medium
penting untuk komunikasi internasional. Bahasa Inggris merupakan bahasa
terbesar di dunia sekarang ini dan merupkan salah satu bahasa resmi PBB.
Dapat dikatakan bahwa bahasa Inggris adalah kunci untuk ilmu pengetahuan
dunia, karena digunakan untuk medium diskusi ilmiah.34
Menurut Matsuhu ciri khas pondok modern Gontor ini adalah
kedisiplinan yang tinggi dalam penggunaan bahasa asing dalam percakapan
sehari-hari. Bahkan dalam memberi komentar pada siaran sepak bola juga
dilakukan dalam bahasa Arab atau Inggris, di pohon-pohon atau di tempat-
tempat tertentu ditempel daftar kata-kata atau ideom-ideom yang perlu
dikuasai oleh santri. Pemakaian bahasa Arab dan Inggris ini sehari-hari selalu
diawasi dan dibimbing oleh santri senior dan para ustadz. Untuk itu ustadz
semaksimal mungkin harus selalu bersama mereka. Dengan kedisiplinan
tinggi dalam bahasa Arab dan Inggris, diharapkan nantinya para santri dapat
berbicara secara aktif dalam kedua bahasa tersebut, disamping membaca dan
menulis. Dengan mahir berbahasa asing terutama bahasa Inggris maka para
santri akan bisa mengikuti perkembangan zaman yang cenderung dalam
globalisasi yang selalu berubah35
karena pondok modern merupakan yang
selalu tanggap terhadap perubahan dan tuntutan zaman, berwawasan masa
33
Tim Penyusun, op.cit., h. 54. 34
Steenbrink, op.cit., h. 180. 35
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h. 123.
54
depan dan mengutamakan prinsip efektifitas dan efisien.36
Khusus untuk
pelajaran bahasa, metode ini tempuh dengan metode langsung (direct method)
yang diarahkan pada penguasaan bahasa secara efektif dengan cara
memperbanyak latihan (drill) baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian
tekanan lebih banyak diarahkan pada pembinaan kemampuan anak untuk
memfungsikan kalimat secara sempurna dan bukan pada alat atau gramatika
tanpa mampu bahasa.37
Disamping pelajaran bahasa atau pelajaran kelas juga
diajarkan etika dan tatakrama yang berupa kesopanan lahir dan kesopanan
batin dan diberikan juga pelajaran ketrampilan.38
6. Nilai dan Jiwa Pondok Modern Gontor
Pandangan-pandangan KH. Zarkasyi tentang pondok modern
bertentangan dengan para orientalis. Para orientalis pada umumnya seperti
Snouck Hurgronye, hanya melihat pondok dari sisi dan bentuk lahirnya.
Misalnya, bentuk rumah, cara berpakaian, peralatan yang digunakan, tata
letak bangunan dan tradisi-tradisi yang statis.
Dalam masyarakat santri, tradisi pondok pesantren adalah sebuah
sistensi. Artinya budaya tersebut diakui sebagai salah satu kultur yang harus
dipertahankan eksistensinya, sekalipun karena tuntutan modernitas pondok
pesantren mesti melaksanakan pendidikan formal. Sebenarnya mengkaitkan
modernitas pondok pesantren dengan budaya kaum santri dapat mempekuat
karakteristik tradisi pondok pesantren, namun tetap tidak akan membuang
keterkaitannya dengan dunia luar. Sebab pondok pesantren bukan lembaga
eksklusif yang enggan mengakomodasikan arus eksternal.39
Menurut KH.
Abdulrrahman Wahid, pondok pesantren tidak dapat dilihat lagi sebagai sub
kultur dalam gejala yang unik dan terpisah dari dunia luar. Sementara
Hadimulyo menyebutkan pondok pesantren sebagai institusi kultural untuk
36 Suwendi, Rekuntruksi Pendidikan Pondok Beberapa Catatan dalam Sa‟id Aqiel Siradj
(ed), Pondok Masa Depan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 217. 37
Abuddin Nata, op.cit., h. 206. 38
Ibid., h. 207 39 Zubaidi Habibullah Asy’ari, Moralitas Pendidikan Pesantren, (Yogyakarta: LKPSM,
1995), h. 19.
55
mengembangkan sebuah budaya yang mempunyai karakteristik tersendiri,
tetapi juga membuka diri terhadap pengaruh-pengaruh dari luar.40
Menurut Abdurrahman Wahid ada tiga elemen yang mampu
membentuk pondok modern sebagai sebuah sub kultur diantaranaya:
a. Pola kepemimpinan pondok pesantren yang mandiri tidak terkooptasi
oleh negara. Kepemimpinan kyai di pondok pesantren adalah sangat unik
dan mutlak, karena mereka memakai sistem kepemimpinan. Relasi sosial
antara santri dan kyai dibangun atas landasan kepercayaan, bukan karena
faktor klien sebagaimana dilakukan masyarakat pada umumnya. Ketaatan
santri pada kyai lebih diharapkan karena berkah, sebagaimana dipahami
pada konsep sufi. Kyai juga berfungsi sebagai sumber nasihat bagi santri-
santrinya dengan memberikan wejangan-wejangan yang berguna bagi
santrinya bagi kehidupan selanjutnya. Dalam ilmu pendidikan, segi-segi
yang paling penting dari pendidikan adalah prestasi. Perasaan kuat
langsung diberikan dari seorang kyai kepada santrinya melalui
wejanganwejangan dan restu. Hal ini sering dilakukan oleh kyai KH.
Imam Zarkasyi kepada para santrinya ketika telah menginjak kelas akhir.
b. Pondok pesantren adalah memelihara dan mentransfer literaturliteratur dari
generasi ke generasi dalam berbagai abad. Pesantren merupakan model
utama bagi pencarian pengetahuan agama dan lainnya bagi masyarakat
muslim.
c. Pondok pesantren dengan sistem nilai. Dengan bertumpu pada pemahaman
literal tentang ajaran Islam, dalam kenyataan praktis, sistem nilai tidak
bisa dipisahkan dari elemen lain, yakni kepemimpinan kyai dengan
penggunaan literatur umum. Pelembagaan ajaran-ajaran Islam menyeluruh
dan praktek kehidupan kyai-santri sehari-hari sama artinya dengan
memberikan legitimasi kepada kepemimpinan kyai. Keunikan sistem nilai
memainkan peranan penting sebagai framework yang diinginkan
komunitas pondok pesantren demi kepentingan masyarakat pada
40 Abdurrahman Wahid, Pondok Sebagai Sub Kultur dalam Pondok dan Pembaharuan,
(Jakarta: LP3ES, 1993), h. 39.
56
umumnya. Keshalihan, misalnya adalah suatu nilai yang digunakan oleh
pondok pesantren untuk mempromosikan solidaritas antara berbagai status
sosial, sebagaimana dapat dilihat dalam metode yang digunakan untuk
mengalihkan abangan menjadi seorang yang berpandangan santri.
Ketiga elemen tersebut sesungguhnya menekankan usaha
rekontruksi dalam bentuk jiwa dan isi pondok pesantren. Kyai,
kesinambungan budaya dan sistem nilai serta metode merupakan seperangkat
penataan yang mesti dibentuk guna persyaratan nilai-nilai yang lebih
sempurna.41
Sistem pendidikan pondok modern yang dibangun dalam rangkai
sejarah telah melahirkan sejumlah jiwa pondok modern yang meniscayakan
standarisasi nilai. Sebelum membahas jiwa pondok modern lebih dahulu
harus diketahui apa pokok isi dari pondok modern. Menurut KH. Imam
Zarkasyi pokok isi pondok modern adalah pendidikan mental dan
karakternya. Selama beberapa abad sejak belum ada sekolah model Barat,
pondok modern telah memberikan pendidikan yang berharga bagi para santri
sebagai kader-kader mubalig dan pemimpin umat dalam berbagai bidang
kehidupan. Di dalam pondok modern itulah terjalin jiwa yang sangat kuat,
yang sangat menentukan falsafah hidup para santri. Adapun pengetahuan
yang mereka dapatkan selama bertahun-tahun tinggal di pondok modern
merupakan bekal kelengkapan (alat) dalam kehidupan mereka kelak.
Kehidupan dalam pondok pesantren dijiwai oleh suasana yang dapat
disebut panca jiwa. Jiwa yang dibangun ini secara keseluruhan akan menjadi
karakteristik-karakteristik yang belum pernah di bangun oleh sistem
pendidikan manapun. Panca jiwa pondok pesantren menurut KH. Imam
Zarkasyi adalah:
a. Jiwa Keikhlasan
Jiwa keikhlasan di pondok modern dipertahankan sekali agar menjadi
sesuatu yang utama serta mewarnai kehidupan seluruh santri dan keluarga
41 Abdurrahman Wahid, Pondok Pesantren Masa Depan dalam Sa‟id Aqiel Siradj, (ed),
Pesantren Masa Depan Wacana Memperdaya dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1999), h. 13-18.
57
pondok. Pelaksanaan tidak didasarkan atas suatu manajemen, tapi atas
refleksi dan pribadi kyai. Kyai di pondok modern Gontor tidak
mendapatkan gaji dari pondok dan tidak sedikit pun menggunakan uang
pondok untuk kepentingan pribadi. Kyai ikhlas mengorbankan hartanya
untuk kepentingan pondok.
Guru-guru yang membantu kyai dalam mengajar dan membimbing
santri bukanlah pegawai yang menerima gaji. Mereka adalah orang-orang
yang dengan tulus ikhlas mengamalkan ilmunya dan menanamkan amal
jariyahnya serta berjuang menghidupkan pondok. Jiwa ikhlas inilah yang
telah diabaikan, bahkan ada guru yang sebenarnya tidak senang mengajar.
Menurut Zakiyah Daradjat pekerjaan guru dilakukan hanyalah sekedar
untuk mencari nafkah, maka pekerjaannya sebagai guru hanya dinilainya
dari segi materi.42
Jiwa-jiwa keikhlasan yang meliputi seluruh kegiatan guru dan kyai
yang demikian ini adalah sesuatu yang wajib diketahui oleh semua santri
agar menjadi uswah hasanah (teladan yang baik). Dengan keteladanan itu
terciptalah tata batin dan tata pikir bahwa mereka sedang berada dalam
suatu kancah perjuangan yang dipenuhi dengan jiwa dan suasana
keikhlasan. Motto yang a‟mal (ikhlas adalah jiwa pekerjaan). Dengan
demikian para santri secara ikhlas belajar kepada kyai dan guru serta
menerima segala apa yang diperintahkan kepada mereka.tertulis dan
diucapkan di berbagai tempat di pondok ini adalah al-Ikhlas Ruh al-A‟mal
(ikhlas adalah jiwa pekerjaan). Dengan demikian para santri ikhlas belajar
kepada kiyai dan guru serta menerima segala apa yang di perintahkan
kepada mereka.43
b. Jiwa Kesederhanaan
Sederhana dalam pandangan KH. Imam Zarkasyi, tidak berarti miskin,
tetapi harus sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. Orang yang naik
becak dari Ponorogo ke Jakarta bukanlah orang yang sederhana.
42
Zakiyah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta:Bulan Bintang, 1980), h. 14. 43
Tim Penyusun, op.cit., h. 59.
58
Sebaliknya orang yang memaksakan naik pesawat, padahal dia tidak
mampu berarti orang tersebut bukan orang yang sederhana.
Jiwa kesederhanaan di pondok modern ditanamkan kepada santri
melalui cara hidup mereka sehari-hari. Dalam hal makan cukup
memenuhi kriteria makanan yang sehat dan bergizi, tidak perlu enakenak,
tempat tidur tidak pernah kasur yang empuk, tetapi cukup yang dapat
dipakai istirahat. Sedangkan pakaian tidak perlu mahal-mahal, tetapi
cukup yang suci dan menutupi aurat.
Kesederhanaan juga ditanamkan dalam pikiran. Santri dianjurkan tetap
sederhana, apa adanya (realistis), tidak mengkhayal yang bukan-bukan.
Maka di pondok modern Gontor ini tidak ada perbedaan antara anak
orang kaya dan anak orang miskin. Adapun yang membedakan antara satu
santri dengan santri yang lain adalah prestasi masing-masing di dalam
kelas. Kesederhanaan mengandung unsur-unsur kekuatan dan ketabahan
hati dalam menghadapi segala kesulitan. Maka dibalik kesederhanaan itu,
terpancar jiwa besar, berani maju terus dalam menghadapi perjuangan
hidup dan pandang mundur dalam segala keadaan. Bahkan di sinilah
hidup dan tumbuhnya mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat
bagi suksesnya perjuangan dalam segala kehidupan.44
c. Jiwa Kemandirian
Jiwa kemandirian di pondok modern Gontor berjalan seiring dengan
diterapkannya sistem asrama atau pondok. Seperti di pondok pesantren
pada umumnya, di pondok modern Gontor para santri belajar hidup
menolong diri sendiri dalam kebersamaan dengan santri lain. Setiap santri
sejak awal memasuki pondok modern Gontor dituntut untuk dapat
memikirkan sekaligus kebutuhannya sendiri.
Dalam lingkup yang lebih luas, para santri dalam sistem ini juga di
didik secara mandiri dengan mengakomodasikan mereka secara bersama-
sama mengatur kehidupan mereka sendiri di bawah bimbingan dan
pengawasan kyai. Untuk itulah di dalam asrama para santri didik melalui
44
Ibid, h. 60.
59
berbagai kegiatan yang bertujuan menanamkan jiwa kemandirian kepada
para santri. Kegiatan tersebut misalnya, klub olah raga, pramuka,
organisasi daerah dan sebagainya.
Bahkan menurut Panji No. 850 edisi 6 1996 menyebutkan Gontor
lewat jasa-jasa alumnusnya ternyata mampu membuktikan citacita guru
mereka KH. Imam Zarkasyi yaitu menegakkan kalimah Allah dengan
banyak mendirikan pondok yang berpola pada system pendidikan serupa.
Sekarang saja banyak alumni pondok modern Gontor yang berhasil
mengembangkan pesantren di daerah-daerah. Selain itu para alumninya
pun sudah banyak yang berkiprah, baik sebagai birokrat dan pejabat
pemerintah, pengusaha serta tokoh masyarakat. Semua itu adalah hasil
penerapan dari jiwa kemandirian dan panca jiwa pondok.
Selain menjadi prinsip pendidikan pesantren, kemudian juga
merupakan ciri khas keberadaan pesantren. Seperti pesantren-pesantren
lainnya, pondok modern Gontor berstatus swasta yang hidup dan
berkembang atas usaha-usaha mandiri. Tidak menggantungkan kepada
bantuan dan belas kasihan pihak lain. Untuk mengembangkan prinsip ini
KH. Imam Zarkasyi sering mengungkapkan dengan kata-kata yang
diplomatis. “Kami bukan maju karena bantuan, tetapi dibantu karena
kami maju”.45
d. Jiwa Ukhuwah Islamiyah
Para santri yang belajar di Kuliatul Mualimin al-Islamiyah (KMI)
berasal dari berbagai daerah, suku, budaya, dan kelompok keagamaan.
Mereka tinggal bersama di dalam asrama, serta saling mengenakan dan
berbagi pengalaman antara mereka. Pada masa awal diberlakukannya
sistem asrama ini, perbedaan-perbedaan dapat menjadi sumber konflik
dan perpecahan antara santri. Padahal saat berdirinya Kuliatul Mualimin
al-Islamiyah (KMI) bangsa Indonesia sedang berusaha menggalang rasa
persatuan dan kebangsaan. Untuk mengatasi hal ini, hal-hal yang berbau
kesukuan dihilangkan. Tidak jarang Imam Zarkasyi berteriak-teriak
kepada santrinya. “saya bukan orang Jawa saya orang Indonesia”.
45
Ibid., h. 62-63.
60
Selain itu, berbagai upaya sistematis juga dilakukan sepanjang proses
pendidikan di dalam pondok, yaitu ketika para calon santri resmi diterima
sebagai santri, mereka harus meninggalkan bahasa daerah masing-masing
dan wajib menggunakan bahasa Indonesia serta harus mendisiplinkan diri
untuk berbicara dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris. Selain itu, para
santri yang dating dari berbagai suku dan daerah ditempatkan secara acak
dalam beberapa kamar dan tidak dikelompokkan berdasarkan suku dan
daerah, seperti kebudayaan pondok pesantren pada waktu itu.
Menghilangkan sifat fanatisme akan kesukuan dan kedaerahan ini
dilakukan untuk menggalang rasa persatuan dan kebangsaan. Selain itu,
hal ini juga dimaksudkan sebagai jembatan menuju tertanamnya ukhuwah
Islamiyah.
Keinginan kuat KH. Imam Zarkasyi dan kedua kakaknya untuk
menanamkan jiwa ukhuwah Islamiyah dan semangat kebangsaan terlihat
juga dari penanaman bangunan-bangunan asrama dan sekolah, seperti
gedung Indonesia I, Indonesia II, Indonesia III, Tujuh Belas Agustus,
Mesir, Tunis Saudi, dan seterusnya. Meskipun demikian kesenian daerah
tidak dilarang, dan tetap ditampilkan yaitu dalam acara-acara tertentu
untuk memperluas wawasan santri tentang keanekaragaman budaya dan
kebhinekaan bangsa Indonesia. Organisasi daerah santri diperbolehkan,
tetapi hanya disebut konsultan atau perwakilan, dengan tujuan untuk
mempermudah urusan-urusan para santri dan daerah masing-masing.46
e. Jiwa Kebebasan
Bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa
depannya, dalam memilih jalan hidup di dalam masyarakat kelak bagi
para santri, dengan berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi
kehidupan. Kebebasan itu sampai kepada bebas kepada pengaruh asing.
Hanya saja dalam kebesaran ini sering kali ditemui unsur-unsur
negatif, yaitu apabila kebebasan itu sampai disalahgunakan, sehingga
46
Ibid., 64.
61
terlalu bebas, kehilangan arah dan tujuan atau prinsip. Sebaliknya, ada
pula yang bebas, berpegang teguh kepada tradisi yang dianggap paling
baik sendiri yang pernah menguntungkan pada zamannya, sehingga tidak
pernah menoleh ke arah keadaan sekitar dengan perubahan zamannya.
Akhirnya tidak bebas lagi, karena mengikatkan diri kepada yang diketahui
saja.
Menurut Zarkasyi, kebebasan di pondok modern harus dikembangkan
kepada aslinya, yaitu di dalam garis-garis disiplin yang positif yang penuh
tanggung jawab. Salah satu prinsip yang dijadikan pendidikan dasar oleh
KH. Imam Zarkasyi di pondoknya adalah sikap demokratis.
Kepemimpinan kyai menjadi kepemimpinan yang demokratis. Peran
kepemimpinan kyai dalam beberapa kegiatan didistribusikan kepada guru-
guru senior dan santri-santri senior. Hal ini didorong oleh suatu sistem,
juga sangat kondusif bagi pendidikan dan kaderisasi. Para guru senior
diberi kepercayaan untuk mengatur jalannya pelajaran di KMI dan
sebagai bagian keamanan pondok serta dilibatkan dalam membimbing
kegiatan santri. Sementara santri senior diharuskan menjadi khatib shalat
jum’at, memimpin organisasi, memimpin klub olah raga serta kelompok
diskusi. Sebagai pendidik, KH. Imam Zarkasyi sejak merintis pondok
modern telah aktif terjun langsung dalam membimbing para santri,
mengenal secara langsung satu persatu. Menurut H. Gusti Abdullah Muis,
santri pertama asli Kalimantan tahun 40-an, KH. Imam Zarkasyi dengan
tekun mengunjungi asrama santri dan membimbing mereka belajar serta
mengajak mereka berbicara bahasa Arab.
Dalam sistem madrasah dan dengan kualitas santri yang terus
bertambah, hubungan kyai dan santri berkembang sedemikian rupa,
sehingga hubungan kyai dan santri menjadi tampak rasional. Hubungan
antara kyai dan santri hanya untuk urusan pengelolaan pondok dalam
hubungannya dengan distribusi wewenang tadi. Meskipun demikian,
ikatan batin serta kasih sayang guru terhadap murid tetap seperti layaknya
seorang bapak terhadap anaknya. Hak tersebut dibuktikan dengan masih
62
mengenalnya KH. Imam Zarkasyi secara dekat dengan santri senior
sewaktu menjelang akhir hayatnya. Cara melakukan ini, menurutnya
dimulai dengan mengenal anak yang paling pintar atau yang paling taat,
atau sebaliknya, yaitu anak yang paling nakal dan anak yang paling
bodoh.47
Untuk mempertahankan ciri khas pendidikan pesantren panca jiwa
tersebut dijadikan acuan bagi terciptanya sistem dan nilai kehidupan di
dalam pondok, sehingga berbagai kegiatan di dalam pondok tetap harus
berpijak pada lima jiwa tersebut. Itulah sebabnya mengapa di dalam
berbagai kesempatan dan kegiatan KH. Imam Zarkasyi terus
mengingatkan pada santrinya bahwa, “meskipun modern (lembaga
pendidikan di pondok modern Gontor) ini tetap merupakan pondok
pesantren”.
7. Mengintegrasikan Sistem Pondok dan Madrasah
Santri dan pondok akhir-akhir ini banyak menjadi sorotan, baik dari
dalam maupun dari luar Islam bahkan dari luar negeri. Sorotan tersebut
bermacam-macam, ada yang positif yaitu untuk mencari sistem pendidikan
alternatif. Hal ini dorong adanya anggapan bahwa system pendidikan yang
sudah ada tidak sesuai dengan tuntutan zaman, bahkan dirasakan perlu
mencari sistem pengganti, sehingga pondok bisa menjadi pendidikan
alternatif.48
Terlepas dari sorotan tersebut, dibicarakannya pondok akhir-akhir ini
merupakan fenomena adanya keraguan tentang keberadaan santri dan pondok
sekarang ini apakah masih relevan dengan pembangunan umat? Dalam hal ini
pembahasannya dikhususkan kepada santri. Definisi santri telah banyak
dikemukakan orang, namun secara umum ciri gambarannya, santri memiliki
ciri, yaitu, seorang santri mempunyai kepedulian terhadap kewajiban-
kewajiban baik dengan sesama makhluk.
47
Ibid., h.59. 48 Abdul Wahid Zaeni, Dinamika Pondok Kaum Santri, (Yogyakarta: LKPSM, 1996), h.85.
63
Namun pondok, terutama kata pondok dapat dilihat sebagai suatu
pikiran yang maju dalam dunia pendidikan. ciri pendidikan ini menampilkan
santri sebagai sentralnya. Pondok diadakan untuk melayani kepentingan para
santri. Ini jarang, atau hampir tidak ada lembaga pendidikan yang
menempatkan cita mengutamakan siswa secara eksplisit.49
Alasan seperti itulah yang membuat KH. Imam Zarkasyi memilih
pondok sebagai model lembaga pendidikannya. Hal ini dapat ditangkap dari
ungkapan KH. Imam Zarkasyi setelah beliau merantau menuntut ilmu,
pemikiran tentang pondok dan pendidikan timbul kembali.
Pondok adalah tempat menggembleng bibit-bibit umat. Ini terjadi
sejak 1000 tahun yang lalu, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia.
Maka dari itu pendidikan pemuda-pemuda Indonesia yang berupa pondok ini
sudah ada sebelum adanya sekolah-sekolah ala Barat. KH. Imam Zarkasyi
pun selalu berkata bahwa pendidikan di pondok itulah sebenarnya pendidikan
nasional yang tulen atau pure national. Sesudah mengetahui pondok
merupakan tempat yang baik untuk mendidik, maka KH. Imam Zarkasyi, pak
Sahal, pak Fanani memiliki naluri untuk meneruskan perjuangan ayah kami
menghidupkan kembali pondok. Tapi pondok yang bagaimana yang harus
kita hadapi? Di sanalah akhirnya timbul satu pemikiran-pemikiran baru.
Menurut pandangan KH. Imam Zarkasyi, lembaga pendidikan
pesantren tetap merupakan tempat yang ideal untuk mencetak kader-kader
umat. Pondok mampu menanamkan sikap, pandangan dan filsafat hidup yang
bermanfaat bagi kehidupan santri pada kehidupannya masa depan. Di pondok
pula pendidikan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak dapat kita lakukan secara
efektif. Dari pendidikan pondok ini telah lahir tokoh-tokoh pejuang dan
pemimpin masyarakat. Bahkan ada salah satu presiden Indonesia adalah
seorang alumni pondok pesantren sekaligus pengasuh sebuah pondok
pesantren.
Sementara itu pengalaman belajar KH. Imam Zarkasyi tentang
sistem madrasah menunjukkan satu perkembangan yang berarti. Dari
49
Suyoto, Pondok dalam Alam Pendidikan Nasional, dalam Pondok dan Pembaharuan,
(Jakarta: LPES, 1995), h. 57.
64
pengalaman ini lalu KH. Imam Zarkasyi mendirikan madrasah seperti
madrasah tempatnya dulu bersekolah yaitu Kulliyatul Mu‟alimin. Menurut
Danasaputra madrasah yang didirikan di pondok modern Gontor ini berbeda
dengan madrasah pada umumnya. Perbedaannya yaitu madrasah ini
menggunakan cara baru dalam mendidik pada santrinya. Pada waktu itu
sudah banyak lembaga sejenis yang berdiri, seperti Kulliyatul Mu‟allimin di
Yogyakarta, madrasah-madrasah yang didirikan di pondok Tebuireng,
Tambakberas, Rejoso dan Krapyak.50
Akan tetapi madrasah-madrasah itu
terpisah dari pondok. Madrasah-madrasah itu hanya sebagai tambahan dari
sistem pondok yang tetap mengajarkan kitab-kitab kuning yang khas itu.51
Sedangkan Kulliyatul Mu‟alimin al-Islamiyah (KMI) dalam konsep KH.
Imam Zarkasyi dikembangkan dan diarahkan ke arah tujuan pondok modern
yang tafaqquh fi ad-din, guna mengecek ulama dan tokoh masyarakat dengan
menerapkan metode yang efektif dan efisien. Jika di pondok lain seperti
Tebuireng, Rejoso, Tambak Beras, dan Krapyak terpisah dari pondok, maka
di pondok modern Gontor antara madrasah dan pondok merupakan satu
kesatuan yang tak terpisahkan. Disini sesuai dengan ide KH. Imam Zarkasyi,
madrasah dan pondok merupakan integrasi atau terpadu.
Dalam sistem madrasah ini KH. Imam Zarkasyi bertindak sebagai
direktur KMI sekaligus guru yang mengajar di depan kelas, sementara di
dalam pondok berperan sebagai kyai yang selalu memberikan wejangan-
wejangan moral serta pengarahan-pengarahan tentang wawasan keislaman
dan falsafah hidup yang lebih luas.
50
Danasaputra dan Jumhur, Sejarah Pendidikan, (Bandung: CV. Ilmu, 1976), h. 192. 51
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya, 1985), h. 237.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demikianlah pembahasan tentang pembaharuan pendidikan yang
dilakukan oleh K.H. Imam Zarkasyi. Setelah menyimak pembahasan ini,
penulis menyimpulkan beberapa hal penting yang diambil dari gagasan
pembaharuan K.H. Imam Zarkasyi di Pondok Modern Gontor, di antaranya:
1. K.H. Imam Zarkasyi adalah salah satu tokoh yang berperan dalam
pembaharuan di pondok Modern Gontor dan juga merupakan salah satu
pendiri Pondok Modern Gontor. Adapun beberapa konsep pembaharuan
yang dilakukan oleh Imam Zarkasyi terbagi menjadi 4 bidang, yaitu:
pembaharuan dalam bidang metode dan sistem pendidikan, kurikulum
pesantren, struktur dan sistem manajemen pesantren, serta pola pikir santri
dan kebebasan pesantren.
2. Adapun menurut Imam Zarkasyi bahwa hal yang paling penting dalam
pendidikan pesantren modern bukanlah pelajaran semata, melainkan juga
jiwanya. Jiwa itulah yang memelihara kelangsungan hidup pesantren dan
pada akhirnya menemukan filsafat hidup para santrinya. Beliau
merumuskan jiwa pesantren itu ada lima yang kemudian disebut dengan
Panca Jiwa Pondok Modern. Kelima jiwa ini adalah jiwa keikhlasan, jiwa
66
kesederhanaan, jiwa kesanggupan menolong diri sendiri (self help), jiwa
ukhuwah Islamiyah, dan jiwa bebas.
B. Saran
Melalui kajian tentang Konsep Pendidikan Pondok Modern Dalam
Perspektif KH. Imam Zarkasyi, penulis ingin menyampaikan beberapa saran
kepada beberapa komponen yang terlibat dalam proses pendidikan, dengan
harapan mampu memajukan pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan
Islam dan pondok pesantren di Indonesia.
1. Bagi Pendidik
Penulis berharap dapat memberikan informasi mengenai konsep
pendidikan pondok modern yang diusung oleh KH. Imam Zarkasyi dan
aplikasinya ke dalam pendidikan Islam. Selain itu agar bisa menjadi acuan
bagi para pendidik khususnya pendidik yang berada di lingkungan
pesantren, dan umumnya untuk pendidik non pesantren.
2. Bagi Lembaga Pendidikan
Diharapkan mampu untuk terus mengembangkan kebijakan-
kebijakan pendidikan pondok modern yang fokus pada pengembangan
karakter peserta didik agar peserta didik bukan hanya cerdas secara
intelektual tapi cerdas dalam emosiaonal dan spiritual juga.
3. Bagi Masyarakat
Masyarakat sebagai lingkungan pendidikan hendaknya mampu
memberikan kontribusinya dalam mengembangkan pendidikan pondok
modern. Karena di masyarakat itulah seorang anak tumbuh dan
berkembang bersama warga masyarakat lain.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian yang penulis lakukan masih jauh dari
kesempurnaan, maka dari itu perlu ada penelitian selanjutnya mengenai
konsep pendidikan karakter yang lebih mendalam. Karena keterbatasan
itulah maka perlu adanya peneliti selanjutnya.
67
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. Mukti, Ta’lim al-Muta’allim versi Imam Zarkasyi, (Gontor: Trimurti, Cet I
1991).
Ali, Huda, Modernisasi Pesantren, (Jakarta: Balai Penelitian Dan Pengembangan
Agama Jakarta, 2007).
Arwani, Muhammad, Denyut Nadi Santri, sebuah upaya memaknai kegiatan
santri Gontor, (Tajidu Press, Yogyakarta, Cet. I, Desember 2001).
Badri, Imam. “Kesadaran Sebagai Manusia,” Majalah Gontor, ed.06, Thn.II,
2004.
Bahroni, Imam,“Ajaran Aktualisasi Diri Imam Zarkasyi,” Majalah Gontor, ed.06,
Thn.II, 2004.
Bawani, Imam, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas,
Cet I, 1993).
Castles, Lance, Gontor: Sebuah Catatan Lama (terjemahan), (Gontor: Trimurti,
Cet. I, 1991).
Daradjat, Zakiyah, Kepribadian Guru, (Jakarta:Bulan Bintang, 1980).
Daulay, Haidar, Putra, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2004).
DEPAG RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Semarang : CV. Toha Putra, 1989).
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
(Jakarta: LP3ES, 1994).
Djumhur dan Danasaputra, Sejarah Pendidikan, (Bandung: CV. Ilmu, Cet IX
1976).
Dumransjah, M., Filsafat Pendidikan, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008).
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1985).
http://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren
https://tarbiyahgp3.wordpress.com/2010/01/23/70/.
68
Ismail SM (eds), Dinamika Pesantren dan Madarasah, (Yogyakrata: Pustaka
Pelajar, Cet I, 2002).
Kenang-kenangan peringatan Delapan Windu 1990, (Gontor: 1990).
Madjid, Nurcholish, KH. Imam Zarkasyi: Peran dan Ketokohannya, dalam KH.
Imam Zarkasyi di Mata Ummat, (Ponorogo: Gontor Press, 1996).
Mahmud, Model-Model Pembelajaran di Pesantren, (Media Nusantara:
Tangerang, 2006).
Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999).
Mas’ud, Abdurrahman, Pesantren dan Walisongo, Sebuah Interaksi dalam Dunia
Pendidikan, dalam Darori Amin, (ed), Islam dan Kebudayaan Jawa,
(Yogyakarta: Gema Media, 2002).
Mastuhu, Dinamika sistem pendidikan pesantren, suatu kajian tentang unsur dan
nilai sistem pendidikan pesantren, (Jakarta : INIS, 1994)
Muhadjir, Noeng, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Suatu Teori
Pendidikan, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1993).
Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (seri kajian Filsafat
Pendidikan Islam), (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. I, Juli
2000).
________, Tafsir ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta : Raja Gravindo Persada, 2002).
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta
2013.
Prasaran K.H. Imam Zarkasyi dalam Seminar Pondok Pesantren se-Indonesia di
Yogyakarta, 4 s/d 7 Juli 1965, dalam Diktat Pekan Perkenalan (Gontor:
tth).
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984).
Purwanto, Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1993).
Qardhawi, Yusuf, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan,
(Jakarta : Gema Insani, 1998).
Sabri, Alisuf, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, Cet. I, 1999).
69
Saefuddin, Ali, Darus Salam Pondok Modern Gontor, dalam Dawam Raharjo,
(ed) Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, Cet I, 1974).
Serba-serbi Singkat tentang Pondok Modern Darussalam Gontor Gontor; tth.
Shihab, M.Quraish, Tafsir al-Mishbah ( Jakarta : Lentera Hati, 2003).
Siradj, Sa’id, Aqiel, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdaya dan
Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999).
Streenbrink, Karel A., Pondok Madrasah Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1974).
Sugiyono, Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010).
Suwendi, Rekonstruksi Pendidikan Pondok Beberapa Catatan dalam Sa’id Aqiel
Siradj (ed), Pondok Masa Depan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999).
Suyoto, Pondok dalam Alam Pendidikan Nasional, dalam Pondok dan
Pembaharuan, (Jakarta: LPES, 1995).
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2010).
Tim Penyusun, Biografi, KH. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pondok
Modern,(Ponorogo: Gontor Perss, 1996).
Tim penyusun, Booklet Pondok Modern Gontor, (Gontor, Edisi I: 2000).
Toha, Chatib, Epistimologi dalam Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, (Bandung: Citra Umbara, 2009).
Ushuluddin, Win, Sintesa Pendidikan Islam Asia Afrika, (Yogyakarta:
Paramadina, 2002).
Usman, Basyirudin, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat
Press, 2002)
Utari, Retno, Taksonomi Bloom dan Cara Penggunaannya, (Widyaswara Madya:
Jakarta, 2012)
Wahid, Abdurrahman, Pondok Pesantren Masa Depan dalam Sa’id Aqiel Siradj,
(ed), Pesantren Masa Depan Wacana Memperdaya dan Transformasi
Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999).
70
Wahid, Abdurrahman, Pondok Sebagai Sub Kultur dalam Pondok dan
Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1993).
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, Cet II
1979).
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya, 1985).
Zaeni, Abdul, Wahid, Dinamika Pondok Kaum Santri, (Yogyakarta: LKPSM,
1996).
Zarkasyi, Abdullah, Syukri, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005).
Zarkasyi, Abullah, Syukri, Pidato Pimpinan Pondok Modern dalam Acara Puncak
Kesyukuran Delapan Windu, dokumentasi peringatan delapan windu,
(Gontor: 1991).
________, Sambutan Pimpinan Pondok Modern dalam Acara Puncak
Kesyukuran Delapan Windu, dokumentasi peringatan delapan windu,
(Gontor: 1991).
Zarkasyi, Imam & Sahal, Ahmad, Wasiat, Pesan, Nasehat & Harapan Pendiri
Pondok Modern Gontor, (Gontor: tth).
Zarkasyi, Imam, Panca Jiwa Pondok Pesantren, (disampaikan pada Seminar
Pesantren Seluruh Indonesia, di Yogyakarta, 4-7 Juli 1965) dalam buku
diktat pekan perkenalan, (Gontor: tth) hal 11-14
Ziemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1986).
Zubaidi Habibullah Asy’ari, Moralitas Pendidikan Pesantren, (Yogyakarta:
LKPSM, 1995).