Upload
lamtuong
View
222
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
KONSTRUKSI MAKNA PEREMPUAN MUSLIMAH
DALAM FILM ISTRI PARUH WAKTU
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
NUR HALIMAH
NIM: 1113051000170
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018
i
ABSTRAK
Nur Halimah (1113051000170)
Konstruksi Makna Perempuan Muslimah Dalam Film Istri Paruh Waktu
Film merupakan salah satu alat media massa yang digunakan untuk
menyampaikan informasi yang dinilai cukup efektif dalam menyampaikan pesan,
dibandingkan dengan media komunikasi lainnya. Dalam media komunikasi massa
terutama film mempunyai peran untuk menyebarkan atau memberikan opini
masyarakat tentang perempuan. Perempuan terkadang digambarkan pada posisi
yang bias gender bahwa banyak terdapat peran-peran perempuan dalam konteks
itu di masyarakat selalu timpang. Dalam menjelaskan film hal ini penting untuk
melihat sejauh mana sebenernya film sebagai media komunikasi massa
mengkonstruksi perempuan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat rumusan masalah. Adapun
rumusan masalahnya yaitu Bagaimana Makna Perempuan Muslimah
Dikonstruksikan Dalam Film Istri Paruh Waktu? Jika dilihat dari teks dan gambar
dalam film berdasarkan pandangan konstruktivis.
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, peneliti menggunakan teori
konstruksi tentang perempuan, film, feminisme, narasi dan semiotika. Bagaimana
komunikasi massa dalam sebuah film masih dijadikan sebuah alat oleh kelompok
ideologis patriakis, untuk membangun tempat pemikiran yang timpang tentang
perempuan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma
konstruktivis. Metode yang digunakan peneliti adalah analisis naratif struktural
aktansial model Greimas dan semiotika Roland Barthes. Untuk mengidentifikasi
tokoh dalam cerita melalui analisis struktural aktansial dan melengkapi data
tentang temuan dari makna yang ditampilkan dalam film.
Dalam analisis naratif Greimas menunjukan secara jelas tokoh dalam film.
Tokoh protagonis dalam film di perankan oleh sosok Fira dan tokoh antagonis
dalam cerita film di kategorikan sebagai sosok Rifa. Dilihat dari makna semiotika
menunjukan seorang perempuan muslimah yang ingin menyempurnakan
keimanannya dengan berjuang dan rela berkorban untuk menjadi perempuan
dengan ketaatan (iman) yang sempurna. Selain itu dalam cerita film menguraikan
pemahaman bahwa seorang perempuan mempunyai peran dan tanggung jawab
yang harus di utamakan yaitu mengabdi kepada suami dan bertanggungjawab di
bidang domestik. Jika dilihat dari perspektif feminisme, seorang perempuan pun
mempunyai kesempatan yang sama dengan lelaki untuk melakukan pekerjaan
yang sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Adapun dalam menjalankan
peran di bidang domestik perlu adanya kerja sama untuk saling membantu satu
sama lain antara suami dan istri agar tercipta relasi gender yang seimbang.
Kata kunci: Konstruksi, Perempuan, Film, Feminisme, Naratif, Semiotika
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan begitu
banyak nikmat, karunia, dan kekuatannya serta menuntun tangan, pikiran, untuk
mampu menyelesaikan tugas skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kehadirat junjungan baginda nabi Muhammad SAW, beserta
keluarga, para sahabat serta seluruh pengikutnya yang senantiasa berpegang teguh
terhadap ajaran dalam menjalankan agama Allah SWT. Semoga uswatun hasanah
yang beliau contohkan, menjadikan penulis khususnya dan para pembaca pada
umumnya pengikut yang senantiasa mengikutinya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam penelitian skripsi ini peneliti menyadari bahwa tanpa adanya bantuan
dari berbagai pihak terkait, peneliti tidak dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik. Karena berkat arahan, bantuan, petunjuk, dan motivasi yang diberikan,
akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini guna mendapatkan gelar Strata
Satu (S1) di Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan kali ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada beberapa pihak yakni:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Suparto, M.Ed, Ph.D selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik,
Dr. Hj. Roudhonah, MA selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum,
serta Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan.
iii
3. Drs. Masran, MA selaku Ketua Jurusan dan Fita Fathurokhmah, M.Si selaku
Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
4. Bintan Humeira, M.Si selaku Dosen Pembimbing Skipsi yang senantiasa
sabar dan sedia dalam memberikan bimbingan. Serta telah memberikan
pengarahan, kritik serta motivasi selama proses skripsi ini berlangsung.
Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada beliau, semoga
Allah SWT senantiasa memberikan keberkahan, kesehatan, dan kebaikan
setiap saat kepada beliau beserta keluarga.
5. Wahyu Prasetyawan, Ph.D, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
telah mengarahkan seluruh mahasiswa KPI D 2013 untuk mengikuti kegiatan
akademik, serta membantu memperlancar dalam penggarapan skripsi ini.
6. Kepada seluruh dosen, karyawan, serta staff tata usaha Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Kepada Film Maker Muslim, Komunitas pembuat film yang membuat penulis
terinspirasi dengan film-film dakwahnya yang sangat menginspirasi dan
kreatif. Semoga Film Maker Muslim kedepannya menjadi sukses dalam
membuat karya khususnya di perfilman indonesia.
8. Kepada kedua Orang Tua penulis, Bapak H. Bustomi dan Ibu Uum yang telah
merawat dan membesarkan penulis serta telah berupaya memberikan motivasi
baik moril maupun materil. Terimakasih juga untuk do’a yang selalu
dipanjatkan untuk peneliti.
9. Kepada ketiga saudari perempuan penulis, Dede Handayani, Siti Aisyah, dan
Sri Rahayu yang selalu memberikan motivasi dan semangat agar skripsi ini
iv
dapat selesai dengan baik. Serta sepupu dan keponakanku yang selalu
memberikan keceriaan di dalam keluarga.
10. Kepada teman-teman KPI 2013, dan teman-teman seperjuangan lainnya yang
tak henti-hentinya mendoakan, memberi dukungan, memberikan banyak
inspirasi, dan kenangan manis selama empat tahun ini. Serta teman-teman
KKN ALTUR, yang telah memotivasi penulis dan memberikan pengalaman
dan kenangan indah.
Demikian ucapan terimaksih yang penulis berikan. Semoga Allah senantiasa
membalas semua kebaikan serta menuntun kita ke jalan yang di ridhai-Nya.
Meskipun terdapat ketidaksempurnaan dalam penyusunan skripsi ini, penulis
berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Amin
Jakarta, 27 April 2018
Nur Halimah
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ........................................................ 5
1. Batasan Masalah .......................................................................... 5
2. Rumusan Masalah ....................................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 5
1. Tujuan Penelitian ........................................................................ 5
2. Manfaat Penelitian ...................................................................... 5
D. Metodologi Penelitian ....................................................................... 6
1. Paradigma Penelitian .................................................................. 6
2. Pendekatan Penelitian ................................................................. 8
3. Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 8
4. Teknik Analisis Data ................................................................... 9
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 10
F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 13
BAB II LANDASAN TEORI .......................................................................... 15
A. Konstruksi Perempuan di Media Massa ......................................... 15
B. Stereotipe Gender ............................................................................ 16
1. Pengertian Stereotipe ................................................................ 16
2. Stereotipe terhadap Perempuan ................................................ 17
C. Perspektif Feminisme ..................................................................... 19
1. Pengertian Feminisme .............................................................. 19
2. Aliran-Aliran Feminisme ....................................................... 21
D. Analisis Naratif ............................................................................... 31
1. Pengertian Narasi ...................................................................... 31
2. Analisis Narasi .......................................................................... 33
E. Analisis Semiotika .......................................................................... 36
F. Film Sebagai Media Komunikasi Massa ......................................... 41
BAB III Gambaran Umum Film Istri Paruh Waktu ..................................... 43
A. Latar Belakang Pembuatan Film Istri Paruh Waktu ....................... 43
B. Profil Orang-Orang Di Balik Film Istri Paruh Waktu .................... 44
C. Sinopsis Film Istri Paruh Waktu ..................................................... 47
D. Tim Produksi Film Istri Paruh Waktu ............................................ 48
BAB 1V TEMUAN DAN ANALISIS PENELITIAN ..................................... 49
vi
A. Narasi Struktural Aktansial Fungsional dan
Makna Semiotika Dalam Film Istri Paruh Waktu ........................... 49
1. Analisis Narasi Struktural Aktansial dan Fungsional .................. 49
2. Analisis Makna Semiotika Dalam Film ....................................... 56
B Analisis Feminisme Makna Narasi dan Tanda Dalam Film ............ 78
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 82
A. Kesimpulan ...................................................................................... 82
B. Saran ................................................................................................ 85
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 86
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Peta Roland Barthes ............................................................................ 39
Tabel 4.1 Gedung-gedung bertingkat tempat perkantoran .................................... 57
Tabel 4.2 Pertemuan Fira dan Rifa di depan lift .................................................. 59
Tabel 4.3 Pengungkapan cerita Fira kepada temannya di kantin ........................ 62
Tabel 4.4 Suami yang memasak untuk istrinya .................................................. 65
Tabel 4.5 Penjelasan Fira kepada temannya saat berdiskusi ............................... 68
Tabel 4.6 Suasana tengah malam pada saat suami berdoa .................................. 71
Tabel 4.7 Keyakinan Fira terhadap keputusannya .............................................. 74
Tabel 4.8 Suasana saat istri menyambut suami pulang bekerja .......................... 76
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Analisis Struktural Aktansial ............................................................ 35
Gambar 3.1 Foto Muhammad Amrul Ummami .................................................. 44
Gambar 3.2 Foto Muhammad Ali Ghifari ........................................................... 45
Gambar 3.3 Foto Andre Muhammad Addin ........................................................ 45
Gambar 3.3 Foto Ryan Kurniawan ...................................................................... 46
Gambar 3.5 Cover Film Istri Paruh Waktu ........................................................ 48
Gambar 4.1 Skema Struktur Aktansial ................................................................. 50
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bagi masyarakat modern, kehadiran media massa merupakan hal yang
tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya. Media massa telah menjadi
kebutuhan utama, karena media massa merupakan sarana informasi yang
paling efisien dalam masyarakat modern. Film sebagai media komunikasi
massa memang tidak lepas dari hubungan antara film dan masyarakat.
Media komunikasi massa terutama film mempunyai peran dan fungsi
untuk menginformasikan, membentuk opini atau pendapat, dan menghibur.
Dalam menjelaskan film hal ini penting untuk melihat sejauh mana film
sebagai media komunikasi mengkonstruksi perempuan. Proses pemikiran
dalam konstruksi pembuatan film diperlukan teknik pemikiran berupa ide,
gagasan, dan cerita yang akan dikerjakan karena pada hakikatnya media film
telah memengaruhi cara berfikir, merasakan, dan bertingkah laku manusia itu
sendiri. Pencarian sebuah ide atau gagasan dalam film dapat berasal dari mana
saja, seperti novel, cerpen, puisi, bahkan dari sejarah ataupun cerita nyata.1
Film dianggap sebagai media komunikasi yang efektif terhadap massa
yang menjadi sasarannya, karena sifatnya yang audio visual, yaitu gambar
dan suara yang hidup. Dengan gambar dan suara, film mampu bercerita
banyak dalam waktu singkat. Industri film disebut sebagai industri yang
dibangun dari mimpi karena sifatnya yang imajinatif dan sebagai media
kreatif. Industri film adalah industri bisnis, prediksi ini telah menggeser
1 Anderson Daniel Sudarto, Analisis Semiotika Film Alangkah Lucunya Negeri ini, Jurnal
Acta Diurna, Vol 4, No. 1, 2015, h. 2.
2
anggapan orang yang masih meyakini bahwa film adalah karya seni, yang
diproduksi secara kreatif dan memenuhi imajinasi orang-orang yang
bertujuan memperoleh estetika (keindahan) yang sempurna.2
Film sebagai salah satu media penyampai pesan dalam ilmu komunikasi,
juga berperan sebagai alat propaganda atas sebuah tujuan yang pada akhirnya
disadari atau tidak akan membawa pengaruh yang kuat terhadap pola pikir
suatu masyarakat. Film dinilai paling berpengaruh terhadap kejiwaan para
penontonnya. Karena film dipandang memiliki jangkauan, rasisime, pengaruh
emosional, dan popularitas yang lebih.3
Film merupakan salah satu alat media massa yang digunakan untuk
menyampaikan informasi yang dinilai cukup efektif dalam menyampaikan
pesan, dibandingkan dengan media komunikasi lainnya. Film sebagai media
komunikasi massa berperan untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita
yang terjadi dalam kehidupan dan memiliki realitas yang kuat salah satunya
menceritakan tentang realitas masyarakat.4
Dalam media massa khususnya film, perempuan terkadang digambarkan
pada posisi timpang bahwa banyak terdapat peran-peran perempuan dalam
konteks itu di masyarakat selalu timpang. Ketimpangan antara perempuan
dan laki-laki dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan. Perempuan yang baik
seharusnya mampu tampil menawan, pandai mengurus rumah tangga,
memasak, tampil prima untuk menyenangkan suami.
2 Elvinaro Ardianto, dan Lukati Komala Erdinaya, Komunikasi Massa Suatu Pengantar
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007) h. 134. 3 Denis McQuail, Teori Komunikai Massa Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga, 1987), h.
13. 4 Effendy, Onong Uchjana, Televisi, Siaran, Teori dan Praktek, ( Bandung: Alumni,
1986), h. 239.
3
Hal inilah yang dikemas dalam banyak media massa, hal itu berdasarkan
efek budaya patriarki dalam masyarakat. Budaya patriarki telah membesarkan
sebagian besar insan media massa dalam pandangan sempit secara tak
disadari telah menimbulkan bias pemahaman gender.5
Pandangan masyarakat mengenai perempuan sebagian besar juga
terbentuk oleh apa yang selama ini digambarkan oleh media massa, terutama
sinema atau film. Masyarakat saat ini mudah terpengaruh dengan tayangan di
dalam sebuah film yang berdasarkan realitas yang berkembang di masyarakat.
Untuk itu penulis merasa penting untuk meneliti bagaimana narasi makna
struktural aktansial dan fungsional tentang perempuan dalam film Istri Paruh
Waktu. Film ini diproduksi oleh Want Production yang dibuat oleh anak
muda yang tergabung dalam komunitas Film Maker Muslim. Komunitas ini
dibentuk oleh beberapa orang lelaki, tim utamanya adalah Muhammad Amrul
Ummami, Muhammad Ali Ghifari, Ryan Kurniawan, Andre Muhammad
Addin, yang masing-masing bertugas sebagai produser, penulis naskah,
pengarah audio, dan juga pemeran film.
Memberikan sebuah stereotipe terhadap perempuan dalam film sebagai
sosok yang ideal, hanya melanggengkan pemikiran patriaki yang menuntut
muslimah untuk mengikuti standar ideal yang tidak adil. Membuat penonton
film khususnya perempuan merasa bahwa istri yang sholehah adalah istri
yang tidak bekerja di luar rumah, yang fokus mengabdi kepada suami dan
menjadi madrasah utama anak agar keimananya sempurna.
5 Sugihastuti, Kritik Sastra Femini: Teori dan Aplikasinya, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar,
2002), h. 58.
4
Dalam perspektif feminisme sebagai istri itu perannya tidak hanya
bekerja dirumah dan fokus mengabdi kepada suami saja. Tetapi bisa sambil
berkarya atau berkerja di ranah publik sesuai dengan kompetensi yang
dimiliki. Dalam Islam tidak melarang wanita untuk bekerja ataupun berbisnis
karena Allah mensyariatkan dan memerintahkan hambanya untuk bekerja.6
Maka sangat disayangkan, film islami yang akan menjadi inspirasi
masyarakat yaitu film Istri Paruh Waktu yang Rilis di youtube Pada 16 April
2015 dan memperoleh viewers 1. 344.664xditonton. Justru berdakwah lewat
film mengenai nilai-nilai yang akan membelenggu perempuan muslimah,
melalui ekspektasi yang memberikan stereotipe terhadap perempuan. Bahwa
perempuan seolah-olah yang menjadi sosok utama yang bertanggung jawab
dalam bidang domestik.
Berdasarkan pemaparan yang sudah dijelaskan pada latar belakang,
penulis tertarik untuk meneliti Film Istri Paruh Waktu lebih mendalam lagi.
Oleh karena itu penulis akan memberikan judul penelitian “Konstruksi
Makna Perempuan Muslimah Dalam Film Istri Paruh Waktu”
6 Mai Yamani, Feminisme dan Islam, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2000) h. 140-145.
5
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dalam penelitian ini penulis
membatasi permasalahan pada bagaimana konstruksi makna perempuan
muslimah dalam Film Istri Paruh Waktu.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perumusan
masalah yang di angkat adalah “Bagaimana makna perempuan muslimah
dikonstruksikan dalam Film Istri Paruh Waktu?”
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki
tujuan untuk mengetahui bagaimana proses konstruksi makna perempuan
muslimah dalam Film Istri Paruh Waktu
2. Manfaat Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat dari segi akademis dan praktis, yaitu:
a. Manfaat Akademis
Untuk pengembangan ilmu komunikasi, diharapkan penelitian
ini dapat menjadi tambahan referensi dan peningkatan wawasan
akademis. Terutama tentang analisis naratif struktural funngsional
Greimas dan semiotika dalam film. Sehingga dapat bermanfaat dan
memberikan kontribusi bagi mahasiswa tentang perspektif
feminisme dalam sebuah film.
6
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pelengkap dan bahan
perbandingan bagi penelitian serupa yang telah ada serta
memberikan inspirasi dan kontribusi bagi para akademisi, praktisi,
dan kepada pembaca. Serta memotivasi kreativitas para peneliti
dalam mengkaji film dengan menggunakan analisis naratif struktural
aktansial dan fungsional Greimas dan juga semiotika.
D. Metodologi Penelitian
Metodologi adalah Proses, prinsip, dan prosedur yang kita gunakan untuk
mendekati masalah dan mencari jawaban. Dengan ungkapan lain, metodologi
adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian. Metodologi
dipengaruhi atau berdasarkan perspektif teoritis itu sendiri, suatu kerangka
penjelasan atau interpretasi yang memungkinkan peneliti memahami data dan
menghubungkan data yang rumit dengan peristiwa dan situasi lain.7
Metodologi diperlukan karena merupakan cara untuk memperoleh
pengetahuan atau pemahaman dari objek yang kita teliti serta bagaimana
pengetahuan dan pemahaman itu memenuhi tujuan penelitian.8
1. Paradigma Penelitian
Paradigma merupakan pandangan yang mendasar dari para ilmuan
yang memiliki beberapa kumpulan asumsi, konsep, atau proposisi yang
secara logis dipakai peneliti untuk menggungkap kebenaran dalam realita
7 Deddy Mulyana, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006),
h. 145. 8 Haryatmoko, Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Kritis), (Yogyakarta; PT.
Rajagrafindo Persada, 2016) h. 15.
7
sosial dan penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
paradigma konstruktivis.
Paradigma konstruktivis ialah paradigma yang hampir merupakan
antitesis dari paham yang meletakan pengamatan dan objektivitas dalam
menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paradigma ini
memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially
meaningful action melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap
pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara atau
mengelola dunia sosial mereka.9
Menggunakan paradigma konstruktivis untuk memandang dan
melihat realitas sosial sebagai sesuatu yang holistik atau utuh, kompleks,
dinamis, penuh makna, dan hubungan gejala bersifat interaktif
(reciprocal). Penelitian pada objek yang alamiah, objek yang alamiah
adalah objek yang tidak dimanipulasi oleh penulis dan kehadiran penulis
tidak mempengaruhi dinamika pada objek tersebut.10
Penulis menggunakan paradigma konstruktivis karena ingin
mendapatkan pengembangan pemahaman yang membantu proses
interpretasi suatu peristiwa. Sedangkan subjek penelitian seorang
khalayak dewasa ini yang dianggap sudah memiliki pengalaman terhadap
hubungan intim merupakan sebuah kajian yang unik dan menarik untuk
diteliti.
9 Dedy N. Hidayat, Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik Klasik,
(Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, 2003) h. 3. 10
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007),
h.49
8
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif.
Pendekatan kualitatif di definisikan sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan perilaku yang dapat diamati oleh peneliti.11
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan temuan-
temuan data, yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau
dengan cara pengukuran atau kuantifikasi lainnya. Menurut Moleong,
penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya
prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan
dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah.12
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan teknik atau cara-cara yang
digunakan peneliti untuk pengumpulan data. Tahapan-tahapan dalam
pengumpulan data peneliti menggunakan metode sebagai berikut:
1. Observasi
Observasi bersal dari bahasa latin yang berarti memperhatikan dan
mengikuti. Memperhatikan dan mengikuti dalam arti mengamati dengan
teliti dan sistematis sasaran prilaku yang dituju. Cartwirght & Cartwright
mendefinisikan sebagai suatu proses melihat, mengamati, dan
11 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Offset, 2006), Cet. 22 h. 3. 12
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 6.
9
mencermati serta “merekam” prilaku secara sistematis untuk suatu tujuan
tertentu. Jadi, observasi adalah suatu kegiatan mencari data yang dapat
digunakan untuk memberikan suatu kesimpulan atau diagnosis.13
Pada
dasarnya observasi bertujuan untuk mendeskripsikan setting yang
dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat
dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka
terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut.
4. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik analisis struktural
Aktansial Greimas dan semiotika Roland Barthes. Greimas telah berhasil
mengembangkan teori strukturalisme menjadi stukturalisme naratif dan
memperkenalkan konsep satuan naratif terkecil dalam karya sastranya
yang disebut aktan. Greimas mengembangkan teori Vladimir Propp yang
menjadi dasar sebuah analisis naratif yang universal.
Dalam menganalisis tokoh cerita dalam film penulis menggunakan
analisis struktural aktansial model Greimas, karena dalam Greimas
membentuk pada struktur narasi tentang peran dan fungsi tokoh dalam
film. Kemudian dalam analisis teks dan gambar peneliti menggunakan
semiotika. Menggunakan semiotika untuk mengkaji tanda, dan tanda
tersebut menyampaikan suatu informasi atau pesan baik secara verbal
dan non verbal sehingga bersifat komunikatif. Hal tersebut memunculkan
13
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta:
Salemba Humanika, 2012), h. 131.
10
suatu proses pemaknaan oleh penerima tanda akan makna informasi atau
pesan dari pengirim pesan.14
Hal itu penting karena berbicara bagaimana cara untuk membangun
makna. Dengan menggunakan semiotika membantu peneliti untuk
membedah makna dalam teks dan gambar, berdasarkan kerangka
pemikiran denotasi, konotasi dan mitos. Dalam film teks dan gambar itu
tidak boleh di abaikan. Untuk itu peneliti perlu membedah makna itu
dengan semiotika.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian skripsi ini merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu
mengenai perempuan dalam media massa. Terdapat beberapa penelitian yang
membahas tentang perempuan dalam media massa diantaranya:
1. Skripsi Ratih Anggun Anggraeni (2012) Mahasiswa Universitas
Indonesia “Pola Relasi Suami Istri Terkait Dengan Pembagian Kerja
Dan Pengambilan Keputusan (Stusi Kasus Terhadap Tiga Keluarga
Dalam Perubahan Peran Di Keluarga” Penelitian skripsi ini
memfokuskan kepada pola relasi suami istri terutama dalam aspek
pembagian kerja dan pengambilan keputusan setelah terjadinya
perubahan peran dalam keluarga (studi kasus terhadap tiga keluarga).
untuk memahami dan menganalisa temuan lapangan, penelitian ini
menggunakan konsep keluarga, pembagian kerja suami istri dalam
keluarga, pengambilan keputusan. Metode penelitian yang digunakan
adalah kualitatif.
14
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,
(Yogyakarta: Jalasutra 2003), h. 42.
11
2. Skripsi Siti Fadhillah (2016) Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang berjudul “Konstruksi Perempuan Dalam Film Assalamualaikum
Beijing Produksi Maxima Pictures Production”. Skripsi ini
menggunakan teori Konstruksi sosial, fokus penelitian ini adalah
mengenai bagaimana perempuan dikonstruksi dalam aspek peran
perempuan di masyarakat pada film Assalamualaikum Beijing. Metode
penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan jenis penelitian
deskriptif. Teknik analisis data yang digunakan analisis framing model
Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki yang mengoperasionalkan empat
dimensi struktural cerita sebagai perangkat framing sintaksis, skrip,
tematik, dan retoris.
3. Dionni Ditya Perdana (2014) Mahasiswa Universitas Diponegoro
“Stereotipe Perempuan Dalam film Anna Karenina”. Penelitian ini
menggunakan teori film sebagai media massa dan Gender. Menemukan
bahwa dalam film Anna Karenina terdapat banyak tanda yang di
representasikan melalui teks percakapan maupun teks gambar untuk
mendukung stereotipe bahwa perempuan bekerja di wilayah domestik
dan pelabelan bad women di masyarakat. Metode penelitian ini
menggunakan semiotika Roland Barthes.
4. Siti Hardiyanti (2017) Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang
berjudul “Stereotipe Wanita Muslimah Dalam Film Khalifah
(Analisis Semiotika Roland Barthes)”, Skripsi ini menggunakan
pendekatan kualitatif deksriptif dan analisis semiotik Roland Barthes,
yaitu dengan tata cara menemukan penanda (signifier) dan petanda
12
(signified), kemudian dilakukan pembagian makna denotasi dan konotasi.
Hasil dari penelitian ini ditemukannya 3 stereotipe yang terbentuk dalam
film khalifah ini. Pertama, stereotipe wanita sebagai pilar rumah tangga.
Kedua, stereotipe wanita sebagai pesolek dan pemikat lelaki.
Ketiga,stereotipe wanita sebagai the second class.
5. Skripsi Edwina Ayu Dianingtyas (2010) Mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang berjudul yang berjudul “Representasi
Perempuan Jawa Dalam Film R.A Kartini”, Skripsi ini menggunakan
teori Gender dan feminisme dalam film. Menemukan dalam film R.A
Kartini terdapat ketidakadilan gender dalam budaya Jawa yang identik
dengan ideologi patriaki. Tampak sangat memperlihatkan perjuangan
feminis, dalam hal ini R.A Kartini memperjuangkan nasib kaumnya.
Namun sebagian besar orang penting yang berada dibalik layar adalah
kaum laki-laki. Hal ini tentu turut memengaruhi proses pembuatan film
yang dibuat dari sudut pandang mereka sebagai lelaki. Metode peneliitian
yang digunkan adalah kualitatif dengan dengan menggunakan analisis
semiotika Roland Barthes untuk menganalisis objek yang diteliti.
Dari beberapa tinjauan pustaka diatas penelitian ini memiliki karakter
yang berbeda, hal ini dapat dilihat dari latar belakang dan analisis yang
berbeda dari penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian-penelitian
sebelumnya. Penelitian yang penulis lakukan diharapkan memberi tambahan
atau pelengkap dari penelitian yang dilakukan sebelumnya.
13
F. Sistematika Penulisan
Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang ha-hal yang diuraikan
dalam penulisan ini, maka penulis membagi sistematika penyusunan
penulisan, dimana masing-masing dibagi ke dalam sub-sub dengan rincian
sebagai berikut:
1. BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini terdapat latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian
(paradigma penelitian, pendekatan penelitian, teknik pengumpulan data,
teknik analisis data) tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.
2. BAB II LANDASAN TEORI
Dalam bab ini menerangkan tentang teori stereotipe gender, yang berisi
seputar pengertian stereotipe, stereotipe terhadap perempuan. Selain itu
tentang perspektif feminisme, yang berisi tentang pengertian feminisme
dan aliran-aliran feminisme. Serta analisis naratif yang meliputi
pengertian narasi, analisis narasi, analisis semiotika, dan juga konsep
film sebagai media komunikasi tentang isu perempuan.
3. BAB III GAMBARAN UMUM FILM ISTRI PARUH WAKTU
Pada bab ini berisikan sekilas mengenai latar belakang pembuatan film
Istri Paruh Waktu, profil orang-orang di balik layar film Istri Paruh
waktu dan sinopsis film Istri Paruh Waktu, tim produksi Film Istri Paruh
Waktu
14
4. BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS PENELITIAN
Pada bab ini membahas mengenai analisis dan hasil penelitian dalam film
Istri Paruh Waktu dengan analisis narasi struktural aktansial dan
fungsional A.-J Greimas, membedah teks dan gambar dengan
menggunakan analisis semiotika dalam film istri paruh waktu, analisis
feminisme makna narasi dan tanda dalam Film Istri Paruh Waktu
5. BAB V PENUTUP
Peneliti mengakhiri skripsi ini dengan memberikan kesimpulan yang
berfungsi memberikan jawaban umum atas pertanyaan yang terdapat
pada bab 1, serta di ikuti saran dari penulis.
DAFTAR PUSTAKA
15
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konstruksi Perempuan di Media Massa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata konstruksi memiliki arti
susunan (model atau tata letak) suatu bangunan atau susunan dan hubungan
kata dalam kelompok kata1 Sedangkan menurut kamus komunikasi, definisi
konstruksi adalah suatu konsep, yakni abstraksi sebagai generalisasi dari
hal-hal yang khusus, yang dapat diamati dan diukur.2
Konstruksi gender yang berkembang dalam masyarakat sangat erat
kaitannya dengan nilai “kepantasan”. Gender secara konseptual dapat
dipahami sebagai sistem peran dan hubungan antara laki-laki dan
perempuan yang dibentuk bukan berdasarkan biologis, tetapi oleh sosial,
budaya, dan politik. Gender adalah peran-peran yang harus dimainkan untuk
menunjukan kepada orang lain bahwa kita maskulin atau feminin. Peran ini
juga menentukan apa yang pantas dan tidak pantas dilakukan, layak atau
tidak layak dilakukan mengikuti aturan-aturan yang ada di masyarakat.3
Aturan tersebut berupa seperangkat perilaku yang mencakup penampilan
pakaian, sikap, seksualitas, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah
tangga. Konstruksi sosial tentang gender menjadikan perempuan lebih
memilih pekerjaan yang sifatnya melayani dan masih berkaitan dengan
pekerjaan yang bersifat domestik dalam rumah tangga. Dengan demikian,
hal ini menjadikan sebuah stereotipe terhadap perempuan.
1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), h.590. 2 Onong Uchjana Effendy, Kamus Komunikasi, (Bandung: Mandar Maju, 1989), h. 264.
3 Fadilah Suralaga, dkk., Pengantar Kajian Gender (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), h. 64.
16
B. Stereotipe Gender
1. Pengertian Stereotipe
Stereotipe adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan
berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Stereotipe sangat
erat hubungannya dengan prasangka, prasangka disini diartikan sebagai
suatu sikap negatif kepada seseorang atau kelompok lain dan
membandingkan dengan kelompoknya sendiri.4
Pada dasarnya stereotipe merupakan pelabelan yang diberikan oleh
seseorang atau kelompok sosial tertentu kepada sosio-kultur tertentu, dan
oleh karenanya seringkali bersifat subyektif, sepihak dan salah kaprah.
Stereotipe ini biasanya merupakan anggapan umum yang digunakan
sebagai referensi awal ketika pertama kali seseorang atau kelompok-
kelompok tertentu melihat kelompok atau orang lain.5
Adapun stereotipe yang diberikan kepada perempuan adalah bahwa
mereka itu individu yang lemah, melakukan peran domestik, emosional,
lemah dan lebih kuat laki-laki. Tetapi sebaliknya, kaum laki-laki
dianggap lebih superior, rasional, dan melakukan peran di wilayah
publik. Stereotipe atau pelebelan yang dianggap cenderung merugikan
kaum perempuan sering dimunculkan dalam berbagai film.
Pelabelan yang dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin tertentu
(perempuan) akan menimbulkan kesan negatif atas sifat-sifat yang
diharuskan disandang oleh perempuan. Demikian pula perempuan adalah
4 Liliweri, Gara-Gara Komunikasi Antar Budaya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001) h.
175. 5 Andik purwasito, Komunikasi multi cultural, (Surakarta: Muhammadiah University Press,
2003) h. 228.
17
jenis manusia lemah fisik dan intelektualnya sehingga tidak bisa menjadi
pemimpin. Karena ia sarat dalam keterbatasan tidak sebagaimana laki-
laki. Aktifitas laki-laki lebih leluasa, bebas, lebih berkualitas, dan
produktif.
Misalnya laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama
sedangkan perempuan hanya dinilai sebagai suplemen, karena
perempuan dalam sistem penggajian atau upah kerja dibayar lebih rendah
dari laki-laki. Keterpurukan ini semakin parah dengan legitimasi agama
yang disalah tafsirkan.6
2. Stereotipe Terhadap Perempuan
Bila membicarakan mengenai seseorang bahkan mengenai seorang
bayi, orang pasti berpikir mengetahui beberapa sifat dan karakteristik
yang dimiliki orang tersebut. Namun banyak ide-ide mengenai tingkah
laku laki-laki dan perempuan adalah berdasarkan stereotipe dan bukan
bukti ilmiah. Stereotipe adalah persamaan pendapat dalam sebuah
kebudayaan mengenai ciri khas tingkah laku yang dimiliki sebuah
kelompok masyarakat. Terdapat stereotipe mengenai laki-laki dan
perempuan, ras, kelompok, suku tertentu, orang dengan pekerjaan
tertentu dan bahkan mengenai warna rambut. Stereotipe adalah dari
kebudayaan yang merupakan, simbol, kepercayaan dan nilai-nilai yang
umum. Stereotipe ada untuk jangka waktu yang panjang dijaga dengan
sistem tingkah laku tertentu.
6 Fadilah Suralaga, dkk, Pengantar Kajian Gender, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW)
UIN Jakarta, 2003) h.76-77.
18
Stereotipe muncul akibat konstruksi sosial yang cenderung
merugikan kelompok minoritas. Meski jumlah penduduk perempuan
bukan merupakan kelompok minoritas, namun kebudayaan dan tradisi
membuat perempuan tidak banyak mengeluarkan pendapat. Perempuan
hanya diperbolehkan melakukan kegiatan domestik, yaitu hal-hal yang
berhubungan dengan rumah tangga. Hal ini kemudian membentuk sifat
perempuan yang cenderung lemah karena selalu hanya berhubungan
dengan kegiatan memasak, membersihkan rumah, mengurus anak,
belanja, dan sebagainya. Stereotyping ini biasanya dilakukan oleh
sebagian besar masyarakat sekaligus sehingga menimbulkan kesan
bahwa sifat perempuan memang begitu adanya.7
Stereotipe terhadap perempuan dapat dilihat dari tiga aspek: biologis,
psikologis, dan mitologis. Secara biologis perempuan dianggap lebih
lemah dari laki-laki. Sementara secara psikologis perempuan dianggap
sebagai sosok yang emosional dalam bertindak, suka di lindungi, tidak
menyukai tantangan, dan lembut. Sedangan secara mitologis yang
merujuk pada ajaran agama dan mitos-mitos tertentu, perempuan hampir
senantiasa diposisikan sebagai subordinasi laki-laki.
Stereotipe terhadap perempuan tidak hanya terjadi dalam ruang
kehidupan sosial, tetapi juga ada dalam tradisi teks, termasuk teks
keagamaan, dalam teks karya sastra, ketidakadilan gender juga sering
ditemukan. Hal ini karena karya sastra pada dasarnya merupakan
fenomena kehidupan, struktur dan kebudayaan suatu masyarakat. Karya
7 Rollins, Joan H. Women‟s Minds Women‟s Bodies The Psychology of Women in a
Biosocial Context, (Prentice-Hall: USA 1996), h.57.
19
sastra sebagai sebuah karya yang dihasilkan melalui proses imajinasi
merupakan cerminan fenomena sosial yang terjadi di tengah masyarakat.
Strereotipe merupakan bagian dari ketidakadian gender yang dimana
disebabkan oleh sistem patriakhi. Ketidakadilan gender disebabkan
karena budaya patriarkhi yang cenderung mengutamakan laki-laki lebih
dari perempuan. Sebaliknya, budaya matriarkhi lebih mengunggulkan
perempuan daripada laki-laki. Aspek-aspek budaya yang bias patriarkhi
dan bias matriarkhi sudah semakin tidak relevan apabila dihadapkan
dengan semangat zaman modern yang egaliter, demokratis dan
berkeadilan. Budaya egaliter dan demokratis memberikan penghargaan
kepada seseorang berdasarkan kemampuan dan jasanya (meritocrary)
bukan berdasarkan jenis kelamin atau gender.
Adapun gender sebagai sifat yang melekat pada kaum lelaki dan
perempuan yang dikonstruksi berdasarkan sosial dan kultural, yaitu
maskulin atau feminin. Ciri dari sifat itu sendiri dapat dipertukarkan,
dapat berubah dari waktu ke waktu, serta berbeda dari satu tempat ke
tempat yang lain.8
C. Perspektif Feminisme
1. Pengertian Feminisme
Feminisme berasal dari bahasa latin, femina yang artinya perempuan
atau memiliki kualitas keperempuanan. Secara istilah, Lisa Tuttle
mendefinisikan feminisme sebagai advokasi mengenai hak-hak
perempuan yang didasarkan sebuah kepercayaan mengenai persamaan
8 Siti Rofi’ah, Membangun Pola Relasi Keluarga Berbasis kesetaraan dan keadilan
gender, Muwaza, Vol 7, nomer 2, 2015
20
seksis dan itu merujuk kepada siapapun yang sadar untuk mengakhiri
adanya subordinasi terhadap perempuan dengan cara apa pun dan alasan
apa pun.
Sementara itu, Maggie Humm memaknai feminisme sebagai sebuah
ideologi pembebasan perempuan karena semua pendekatannya terkait
dengan ketidakadilan yang dialami perempuan berdasarkan jenis
kelaminnya sebagai perempuan.
Tujuan utama feminisme ialah membongkar relasi kuasa yang tak
seimbang (unequal). Secara umum, gerakan feminis berakar pada prinsip
pengalaman kaum perempuan dalam dunia patriakhi, suatu kondisi sosial
budaya yang tidak berpihak pada perempuan sebagai subjek utuh. Sebab
itu, gerakan feminis berupaya mengubah tatanan sosial baru dan relasi
kuasa yang lebih seimbang.9
Feminisme sebagai sebuah perspektif menempatkan pada pentingnya
kesadaran atas persamaan hak antara perempuan dan laki-laki di semua
bidang. Feminisme mencoba untuk mendekonstruksi sistem yang
menimbulkan kelompok yang mendominasi dan dinominasi, serta sistem
hegemoni dimana kelompok subordinat terpaksa harus menerima nilai-
nilai yang ditetapkan oleh kelompok yang berkuasa. Karena itu, gerakan
feminisme berupaya untuk menghilangkan pertentangan antara kelompok
yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat.
Feminisme berdasarkan Rosemarry Putnam Tong (2010) dapat
diklasifikasikan kepada beberapa aliran seperti feminisme liberal,
9 Ida Rosyidah, Hermawati. Relasi Gender Dalam Agama-Agama, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2013) h. 45.
21
feminisme radikal, feminisme maxis, feminisme sosialis, dan lain-lain.
Klasifikasi ini didasarkan kepada inti pemikiran dan isu-isu perjuangan
mereka yang berbeda-beda.10
2. Aliran-Aliran Feminisme
A. Feminisme Liberal
Feminisme liberal merupakan aliran feminis paling awal, yang
akar sejarahnya dapat ditarik hingga abad ke 18. sejak
kemunculannya hingga sekarang ini, pemikiran feminis liberal
tidaklah statis, tetapi sebaliknya mereka memiliki banyak perubahan
pemikiran dari abad ke abad sesuai dengan tuntutan dan
perkembangan masyarakatnya.
Adapun tokoh-tokoh feminisme liberal awal yaitu Mary
Wollstonecraft, John Stuart Mill, Harriet Taylor, Women’s Suffrage
Movement, Elizabeth Gady Stanton, Betty Friedan, Gloria Steinem.
sementara tokoh-tokoh feminisme liberal di era kontemporer di
antaranya yaitu Zillah Einsenstein, Elizabeth Holtzman, Bella
Abzug, Eleanor smel, dll. Feminis liberal yang muncul di abad ke 19
dimotori oleh John Stuart Mill dan Harriet Taylor Mill. Gagasan
utama kedua tokoh tersebut yaitu:
a) Perempuan memiliki otonomi untuk meraih kebahagiannya
b) Perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki
dalam bidang pendidikan
10
Ida Rosyidah, Hermawati. Relasi Gender Dalam Agama-Agama, h. 43-50.
22
c) Perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki
dalam hal kebebasan sipil, seperti hak poltik perempuan, dan
dalam bidang ekonomi
d) Menolak adanya status quo, khususnya dominasi suami dalam
keluarga, dan mendorong perempuan bekerja di ranah publik
sebenarnya menantang wacana patriarkhis yang fokus pada
pembagian kerja (division of labor) dalam rumah tangga.
Meskipun pemikirannya saat itu belum sampai pada perlunya
keterlibatan laki-laki di dalam pekerjaan domestik
Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus
mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Meskipun demikian,
kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh
antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada
perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan.
Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan
membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat.11
Feminisme liberal memang mengakui adanya institusi
perkawinan, namun mereka mengingatkan bahwa problem
ketimpangan gender masih sangat kuat terjadi dalam keluarga,
terutama di lihat dari pembagian kerja yang tidak seimbang antara
perempuan dan laki-laki. Pada umumnya, perempuan memiliki
tanggung jawab dan peran yang lebih besar di ranah domestik.
11
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru Tentang Relasi
Gender, (Bandung: Mizan, 1999) h. 228.
23
Pekerjaan pengasuhan anak dan kerja rumah tangga
menghabiskan waktu yang jauh lebih lama dibandingkan kerja
publik. Untuk mengatasi problem ketimpangan gender di ranah
domestik, feminisme liberal mengajukan solusi yang cenderung
bersifat interpersonal yakni melalui cara istri perlu melakukan
negoisasi agar suami mau terlibat dalam pekerjaan domestik.
Melibatkan suami dalam kerja domestik sangat penting untuk
membuka peluang bagi istri bisa berkarir di dunia publik.
Selain itu tuntutan feminisme liberal terhadap kesenjangan
antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat dapat
diubah melalui kombinasi antara inisiatif dan prestasi individu.
Beberapa strategi yang bisa dilakukan, diantaranya yaitu
meningkatkan level pendidikan perempuan, diskusi rasional dengan
kaum laki-laki, seperti dengan suami, teman sekerja, teman
seprofesi, adik atau kakak laki-laki, dan lain-lain.
Diskusi terkait pola-pola dan peran dalam pengasuhan anak,
pembagian pekerjaan dalam rumah tangga, dan lain-lain bisa
menjadi topik yang pada akhirnya dapat membuka kesempatan
perempuan untuk berkarir di luar rumah. Selain itu, strategi berupa
kombinasi reformasi dan persuasi termasuk lobi politik dapat
menjadi cara untuk merubah kesenjangan gender. Nancy Chodorow
dalam bukunya Reproduction of Mothering mengemukakan:
“Anak laki-laki mengalami penderitaan manakala tumbuh
dalam keluarga „tanpa kehadiran sang ayah‟, yaitu keluarga di
mana ayah adalah satu figure yang tidak berperan penting dan
24
tidak terlibat dalam proses pengasuhan sehari-hari. Anak laki-
laki akan tumbuh timpang dan mengalami ambivalensi dalam
pandangan mereka tentang perempuan sehingga mereka belajar
untuk seksis ketika dewasa”
Pernyataan tersebut dengan jelas menunjukan bahwa sikap yang
seksis diwariskan orangtua kepada anaknya melalui sosialisasi dalam
keluarga. Sosialisasi nilai-nilai patriarkhi juga terjadi di ranah
masyarakat seperti di institusi pendidikan, kesehatan, ekonomi,
agama, dll. Sayangnya, upaya feminisme liberal untuk
mensosialisasikan pentingnya keterlibatan laki-laki di ranah
domestik, saat itu belum menjadi skala prioritas.12
Salah satu alasan mengapa kalangan feminis liberal tidak berani
melakukan perlawanan radikal terhadap ketimpangan gender dalam
rumah tangga adalah karena mereka menerima sistem perkawinan
yang heteroseksual. Sebagian feminisme liberal berusaha sekuat
tenaga untuk mempertahankan “keluarga” dan “nilai-nilai keluarga”
serta perlunya membangun perkawinan yang lebih egalitarian dan
bersahabat.
B. Feminisme Radikal
Feminisme radikal muncul karena ketidakpuasan terhadap ide-
ide dan agenda-agenda perjuangan feminisme liberal. Gagasan
feminisme radikal ini sangat berbeda dengan faham feminis liberal
yang justru sangat mendukung institusi keluarga, bahkan mereka
12
Ida Rosyidah, Hermawati. Relasi Gender Dalam Agama-Agama, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2013) h. 60.
25
berpendapat penanaman nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender
harus dimulai dalam keluarga.13
Teori yang muncul abad ke-19 berasumsi bahwa perempuan
tidak harus tergantung pada laki-laki baik kebutuhan seksualitasnya
dan kebendaannya. Seksualitas dalam artian ini kepuasan seksualitas
bisa diperoleh perempuan dengan sesama jenisnya sehingga terjadi
praktek lesbian.14
Teori ini juga telah menggugat lembaga-lembaga yang telah
merugikan perempuan seperti lembaga patriarkhi, yang intinya
memfokuskan pada permasalahan ketertindasan perempuan yakni
hak untuk memilih adalah simbol mereka. Kaum feminis radikal dan
kultural telah menyatakan bahwa perbedaan antara seks atau gender
mengalir karena sosialisasi history keseluruhan perempuan dalam
masyarakat yang patriarkhi.15
Tugas utama para feminisme radikal ini adalah menolak institusi
keluarga baik maupun praktiknya, sehingga kebebasan perempuan
tidak hanya perjuangan untuk mencapai kesetaraan hak saja, akan
tetapi juga meliputi hal transformasi secara sempurna dalam ruang
persahabatan dan hubungan kemanusiaan.
C. Feminisme Marxis
Aliran ini berpandangan bahwa penyebab ketimpangan gender
dikarenakan adanya sistem kelas kapitalis. Sistem ini telah membuat
13
Ida Rosyidah, Hermawati. Relasi Gender Dalam Agama-Agama, h. 61. 14
Caroline Ramazanoglu, Feminism and Contradiction, (London: Routledge, 1989), h. 12 15
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought : Pengantar paling Komprehensif kepada
Aliran Utama Pemikiran Feminis, terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro, (Yogyakarta : Jalasutra,
1998), h.71.
26
laki-laki bekerja di luar rumah, sementara wanita di dalam rumah.
Perolehan upah membuat laki-laki merasa lebih tinggi dan kuasa.
Hak pribadi perempuan akhirnya jatuh ke tangan laki-laki. Artinya,
perempuan dianggap sebagai hak milik pribadi
Laki-laki di rumah, perempuan menjadi pekerja tanpa upah,
miskin, dan tidak punya harta. Dalam sistem keluarga, suami
digambarkan sebagai kaum borjuis yang menindas sedangkan istri
sebagai kaum proletar yang tertindas. Menurut kaum feminisme
marxis, tradisi patriarkat dalam sistem kapitalisme sangat kuat, maka
perjuangan kesetaraan gender dapat diwujudkan dengan cara
menghapuskan dikotomi pekerjaan sektor domestik dan sektor
publik. Emansipasi perempuan terjadi hanya jika perempuan terlibat
dalam produksi, dan berhenti mengurus urusan rumah tangga.16
Isu yang diperjuangkan oleh feminis maxis meliputi beragam
hal, diantaranya a) Penguatan perempuan miskin dan perempuan
kelas pekerja b) Menghapuskan ketergantungan ekonomi perempuan
c) Menekankan fakta bahwa sesungguhnya perempuan bukan
sekadar konsumer, tetapi lebih dari itu, perempuan juga produser
ekonomi yang sering kali terabaikan, sehingga sering ditemukan
perempuan-perempuan yang bekerja, namun tidak terdata, biasanya
disebut invisible workers d). Perempuan memiliki beban ganda
(double burden), meski ia sudah bekerja di luar rumah, ia masih
dibebani tugas-tugas domestik.
16
M Hajir Mutawakkil, Keadilan Islam Dalam Persoalan Gender, Jurnal Kalimah, Vol.
12, No. 1, Maret 2014
27
Sayangnya tugas-tugas domestik seringkali dianggap tak
bernilai sehingga sering dianggap rendah. Karena itu, feminis maxis
menyatakan bahwa tugas-tugas yang dianggap “domestik” juga
harus diakui sebagai pekerjaan yang bernilai dan bukan hanya
menjadi tanggung jawab perempuan. Laki-laki seharusnya juga
terlibat dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga.17
D. Feminisme Sosialis
Feminisme sosialis adalah gerakan untuk membebaskan kaum
perempuan melalui perubahan struktur patriarkat. Perubahan struktur
patriarkat bertujuan untuk mewujudkan kesetaraan gender.18
Beberapa isu yang diperjuangkan feminisme sosialis diantaranya
yaitu: a) Penolakan pada kapitalisme dunia yang tidak hanya
menyebabkan ketimpangan negara maju dan terbelakang, tetapi juga
menyebabkan feminisasi of poverty pada banyak kalangan
perempuan, terutama perempuan di negara-negara berkembang, b)
Feminis ini menuntut penerapan sistem ekonomi yang lebih setara
dan adil gender melalui kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada
pemerataan sistem ekonomi/modal/kreasi/, dan c) Isu-isu terkait
prostitusi, perdagangan dan komersialisasi tubuh perempuan
seharusnya menjadi isu-isu prioritas yang harus diperjuangkan oleh
negara dan masyarakat pada umumnya.19
17
Ida Rosyidah, Hermawati. Relasi Gender Dalam Agama-Agama, h. 70-71. 18
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru Tentang Relasi
Gender, (Bandung: Mizan, 1999) h. 133. 19
Ida Rosyidah, Hermawati. Relasi Gender Dalam Agama-Agama, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2013) h. 73-74.
28
Aliran ini diwarnai oleh pemikiran-pemikiran Karl Max. Oleh
karena itu, dalam pandangan aliran ini, pola relasi gender dalam
realitas masyarakat lebih disebabkan oleh faktor budaya. Posisi
inferior perempuan dalam institusi keluarga berkaitan dengan
struktur keluarga dalam masyarkat kapitalis dan pola relasi yang
timpang yang disebabkan oleh penerapan sistem kapitalis yang
mendukung tenaga Kerja tanpa upah bagi perempuan dalam lingkup
rumah tangga.
Akhirnya yang terjadi, istri secara ekonomi tergantung pada
suami dan mecemaskan keamanan ekonomi rumah tangganya karena
dukungan kekuasaan kepada suami. Oleh karena itu agar pola relasi
laki-laki dan perempuan seimbang diperlukan peninjauan struktur
secara mendalam, terutama menghapuskan dikotomi pekerjaan
sektor domestik dan publik.
E. Feminisme Konservatif
Konservatif adalah mempertahankan apa yang telah ada. Paham
ini tidak menyukai adanya perubahan. Karena menurut paham ini,
perubahan yang terjadi tidak selalu akan berakhir baik, masih ada
kemungkinan akan terjadi sesuatu yang buruk. Orang-orang yang
berpaham konservatif menolak untuk disebut pesimis, mereka hanya
memelihara apa yang telah ada.
Berkaitan dengan feminisme konservatif dalam peran fiqh
perempuan, Ratna Megawangi sejak awal meyakini adanya kodrat
penciptaan manusia: laki-laki dan perempuan. Bagi Ratna, secara
29
biologis dan genetis, penciptaan manusia memang berbeda dan ini
sangat berpengaruh pada pembagian peran laki-laki dan perempuan.
Pendapat Ratna jelas berseberangan dengan para feminis di masa
sekarang yang masih percaya bahwa perbedaan peran berdasarkan
gender adalah produk budaya, bukan karena perbedaan biologis atau
genetis yang bersifat nature. 20
F. Feminisme Moderat
Feminisme ini menurut Herman J. Waluyo (1998) Memandang
bahwa kodrat perempuan dan laki-laki memang berbeda, yang harus
dibuat sama adalah hak, kesempatan, dan perlakuan. Karena itu yang
penting adalah adanya hubungan yang sejajar antara perempuan dan
laki-laki kemitrasejajaran ini merupakan pandangan pokok dari
gender. Feminisme moderat mendukung perempuan dalam
melaksanakan tugas-tugas alami.
Akan tetapi, feminisme moderat juga menganjurkan dirinya agar
hidup mandiri, baik secara intelektual maupun secara ekonomis.
Kesanggupan tersebut akan membuat perempuan memiliki
kedudukan sejajar dengan laki-laki dan melepaskan dirinya dari
ketergantungan terhadap laki-laki.21
Berdasarkan pengertian dari masing-masing konsep feminisme,
penulis menyimpulkan terdapat beberapa perbedaan pandangan yang
sangat signifikan antar masing-masing aliran dalam feminisme yaitu:
20
M. Noor Harisudin, Pemikiran Feminis Muslim di Indonesia Tentang Fiqh Perempuan,
Jurnal Al- Tahrir, Vol. 15, No. 2, November 2015, h. 241-243 21
M. Noor Harisudin, Pemikiran Feminis Muslim di Indonesia Tentang Fiqh Perempuan,
Jurnal Al- Tahrir, Vol. 15, No. 2, November 2015, h 255-258
30
Feminisme liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki
dan perempuan dalam beberapa hal terutama yang berhubungan dengan
fungsi reproduksi, aliran ini masih tetap memandang perlu adanya
perbedaan. Oleh karena itu, kelompok ini beranggapan, tidak mesti
dilakukan perubahan struktural secara menyeluruh, tetapi cukup
melibatkan perempuan di dalam berbagai peran, seperti peran sosial,
ekonomi, dan politik. Organ reproduksi bukan merupakan peghalang
terhadap peran-peran tersebut. Aliran ini beranggapan bahwa
ketertindasan dan keterbelakangan yang terjadi pada perempuan
disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Mereka beranggapan
bahwa setiap perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa
bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya
kedudukan setera dengan laki-laki.
Berbeda dengan feminisme liberal, feminisme radikal menganggap
ketertindasan yang dialami oleh perempuan terjadi akibat sistem patriaki.
Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan
laki-laki. Kemudian feminisme marxis berpendapat bahwa ketertinggalan
perempuan bukan disebabkan oleh tindakan individu secara sengaja,
tetapi akibat dari struktur sosial, politik, ekonomi yang erat kaitannya
dengan sistem kapitalisme. Unsur kunci yang membedakan feminisme
marxis dari teori feminisme lainnya terletak pada anggapannya bahwa
penindasan kelas merupakan penindasan utama.
Asumsi yang digunakan feminisme sosialis adalah bahwa hidup
dalam masyarakat kapitalis bukan satu-satunya penyebab utama
31
keterbelakangan perempuan. Feminisme sosial muncul sebagai kritik
terhadap feminisme maxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah
muncul sebelum kapitalisme, dan tetap tidak akan berubah jika
kapitalisme runtuh. Feminisme sosial menggunakan analisis kelas dan
gender untuk memahami penindasan perempuan. Sedangkan feminisme
moderat memandang bahwa kodrat perempuan dan laki-laki memang
berbeda, yang harus dibuat sama adalah hak, kesempatan, dan perlakuan.
Karena itu yang penting adalah adanya hubungan yang sejajar antara
perempuan dan laki-laki kemitrasejajaran ini merupakan pandangan
pokok dari gender.
Pada dasarnya tujuan dari feminisme itu adalah sama yaitu
kepedulian memperjuangkan nasib perempuan, hak-hak dari kaum
wanita agar mendapat hak yang sama tanpa adanya diskriminasi. Dalam
penelitian ini menggunakan perspektif feminisme yang secara umumnya
merupakan sebuah ideologi pembebasan perempuan karena semua
pendekatannya terkait dengan ketidakadilan yang dialami perempuan
berdasarkan jenis kelaminnya sebagai perempuan. Feminisme sebagai
sebuah perspektif menempatkan pada pentingnya kesadaran atas
persamaan hak antara perempuan dan laki-laki di semua bidang.
D. Analisis Naratif
1. Pengertian Narasi
Narasi berasal dari bahasa latin narre, yang artinya membuat tahu.
Berarti narasi berkaitan dengan suatu pemberitahuan peristiwa atau
informasi. Tetapi tidak semua yang memberikan informasi disebut
32
dengan narasi. Pengumuman jadwal tayangan televisi di surat kabar atau
denah suatu lokasi walaupun berisi informasi tidak bisa disebut narasi
(cerita).22
Narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan
dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah
terjadi. Narasi merupakan representasi dari peristiwa-peristiwa atau
rangkaian dari peristiwa-peristiwa.23
Narasi juga merupakan proses dan efek dari suatu cerita dipilih dan
representasi waktu dalam teks. Narasi juga bisa didefinisikan sebagai
interpretasi terorganisasi tentang serangkaian peistiwa. Interpretasi ini
mencakup pemberian peranan (agency) kepada tokoh-tokoh yang ada
dalam narasi dan penggalian hubungan sebab-akibat yang ada diantara
berbagai peristiwa.24
Dari berbagai pengertian narasi yang diatas, Pada
dasarnya narasi adalah representasi dari peristiwa-peristiwa atau
rangkaian dari peristiwa-peristiwa. Dengan demikian, sebuah teks baru
bisa disebut sebagai narasi apabila terdapat beberapa peristiwa atau
rangkaian dari peristiwa-peristiwa.
Narasi dibentuk dengan menggabungkan berbagai peristiwa yang
terjadi hingga akhirnya menjadi sebuah cerita. Dengan demikian analisis
naratif bertujuan untuk mengetahui bagaimana sebuah peristiwa disusun
dan bagaimana urutan dari cerita tersebut, mulai dari yang berperan
sebagai sender hingga traitor.
22
Eriyanto, Analisis Naratif, (Jakarta, Kencana, 2013) h.1 23
Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), h. 2.
24
John Hartley, Communication, Cultural, & Media Studies (Konsep Kunci),
(Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h. 206.
33
2. Analisis Narasi
Analisis naratif adalah analisis mengenai narasi, baik fiksi maupun
non fiksi. Menggunakan analisis naratif berarti menempatkan teks
sebagai sebuah cerita (narasi) sesuai dengan karakteristik narasi. Teks di
lihat sebagai rangkaian peristiwa, logika dan tata urutan peristiwa, bagian
dari peristiwa yang dipilih dan dibuang.
Analisis naratif memiliki sejumlah kelebihan. Pertama, analisis
naratif membantu memahami bagaimana pengetahuan, makna, dan nilai
diproduksi dan disebarkan dalam masyarakat. Kedua, memahami
bagaimana dunia sosial dan politik diceritakan dalam pandangan tertentu
yang dapat membantu kita mengetahui kekuatan dan nilai sosial yang
dominan dalam masyarakat. Ketiga, analisis naratif memungkinkan
menyelidiki hal-hal tersembunyi dan laten dari suatu teks media.
Keempat, analisis naratif mereflesikan konkinuitas dan perubahan
komunikasi.25
Adapun model analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
analisis narasi model A.J Greimas, naratif model ini mampu
menunjukkan secara jelas dan dikotomis antara tokoh protagonis dan
antagonis. A.J Greimas berpendapat bahwa subjek yang terdapat dalam
wacana merupakan manusia semu yang dibentuk oleh tindakan yang
disebut actans dan acteurs. Teori struktural naratif dipergunakan untuk
menganalisis karya prosa fiksi berdasarkan pada struktur cerita dan
25
Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks Berita
Media, (Jakarta: Kencana, 2013), h.10-11.
34
analisis struktur aktan dan fungsional merupakan konsep dasar langkah
kerja yang dikemukakan Greimas.
Greimas adalah seorang ahli sastra yang berasal dari perancis.
Sebagai seorang penganut teori struktural, ia telah berhasil
mengembangkan teori strukturalisme menjadi strukturalisme naratif dan
memperkenalkan konsep satuan naratif terkecil dalam karya sastra yang
disebut aktan. Teori ini dikembangkan atas dasar analogi-analogi
struktural dalam linguistik yang berasal dari Ferdinand de Saussure, dan
Greimas menerapkan teorinyadalam dongeng atau cerita rakyat Rusia. 26
Sebuah narasi dikarakterisasi oleh enam peran, yang disebut oleh
Greimas sebagai aktan dimana aktan tersebut berfungsi mengarahkan
jalannya cerita. Analisis Greimas kerap juga disebut sebagai model
aktan.27
Analisis naratif model Greimas dengan struktural aktansial yang
berbentuk seperti di bawah ini.
26
Alfian Rokhmansyah, Studi dan Pengkajian Sastra (Perkenalan Awal Terhadap Ilmu
Sastra), (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h.87-88 27
Eriyato, Analisis Naratif: Dasar-Dasar Penerapannya dalam Analisis Teks Berita
Media, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013) h.96.
35
Gambar 2.1 Analisis Struktural Aktansial (S. Jager & F. Maier) 28
Aktan adalah sesuatu yang abstrak seperti cinta, kebebasan, atau
sekelompok tokoh. Pengertian aktan dihubungkan dengan satuan
sintaksis naratif, yaitu unsur sintaksis yang mempunyai fungsi-fungsi
tertentu. Fungsi itu sendiri dapat diartikan sebagai satuan dasar cerita
yang menerangkan tindakan bermakna yang membentuk narasi.29
Aktan dalam teori Greimas menempati enam fungsi, yaitu: Subjek
adalah seseorang atau sesuatu yang ditugasi oleh pengirim
untuk mendapatkan objek yang di inginkannya. Objek adalah seseorang
atau sesuatu yang di inginkan dan di cari oleh subjek yang di motivasi
pengirim dan tidak ada pada diri pengirim. Pengirim adalah sesuatu atau
seseorang yang menjadi sumber ide dan berfungsi sebagai penggerak
cerita. Pengirim ini yang menimbulkan keinginan bagi subjek untuk
28
Haryatmoko, Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Kritis), (PT. Rajagrafindo
Persada, 2016) h. 123. 29
Alfian Rokhmansyah, Studi dan Pengkajian Sastra (Perkenalan Awal Terhadap Ilmu
Sastra), h. 88.
PENERIMA PENGIRIM OBJEK
PENOLONG PENGHALANG
SUBJEK
KONTRAK
36
mendapatkan objek. Penolong adalah seseorang atau sesuatu yang bertugas
membantu atau mempermudah subjek dalam melaksanakan tugasnya
untuk mendapatkan objek. Penghalang merupakan seseorang atau suatu
kondisi yang berperan atau berfungsi untuk menghalangi tugas subjek
untuk mencapai objek. Penerima adalah sesuatu atau seseorang yang
menerima dampak dari proses subjek untuk mencapai objek.
Berkaitan dengan hal tersebut diantara pengirim dan penerima
terdapat suatu komunikasi diantara pengirim dan objek ada tujuan,
diantara pengirim dan subjek ada perjanjian, diantara subjek dan objek
ada usaha dan diantara penolong, penghalang, dan subjek terdapat
bantuan atau tantangan.
Perlu di ketahui bahwa aktan-aktan itu dalam struktur tertentu dapat
menduduki fungsi ganda bergantung siapa yang menduduki fungsi
subjek. Aktan dalam teori Greimas, ditinjau dari segi tata cerita
menunjukkan hubungan yang berbeda-beda. Maksudnya, dalam suatu
skema aktan suatu fungsi dapat menduduki beberapa peran, dan dari
karakter peran kriteria tokoh dapat diamati. Menurut teori Greimas,
seorang tokoh dapat menduduki beberapa fungsi dan peran di dalam
suatu skema aktan.30
E. Analisis Semiotika
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda, bertujuan untuk
mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sebuah tanda atau untuk
menafsiran makna tersebut. Semiotika menjadi salah satu kajian dalam teori
30
Alfian Rokhmansyah, Studi dan Pengkajian Sastra (Perkenalan Awal Terhadap Ilmu
Sastra), h. 89.
37
komunikasi. Tradisi semiotika terdiri atas sekumpulan teori tentang
bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi
perasaan, kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri. 31
Studi sistematis tentang tanda-tanda dikenal sebagai semiologi. Artinya
ialah “kata-kata” mengenai “tanda-tanda”. Kata semi dalam semiologi berasal
dari semeion (bahasa latin), yang artinya tanda. Semiologi telah
dikembangkan untuk menganalisis tanda-tanda. Menurut Sausure, semiotika
berkaitan dengan segala hal yang dapat dimaknai tanda-tanda. Suatu tanda
adalah segala sesuatu yang dapat dilekati (dimaknai) sebagai penggantian
yang signifikan.32
Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami
dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan
“tanda”. Dengan demikian, semiotik mempelajari hakikat tentang keberadaan
suatu tanda.33
Didalam bukunya, Alex Sobur menjelaskan tentang semiotika.
“Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha
mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama
manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya
hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memakai hal-
hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat
dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to commuunicate).
Memaknai berarti objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam
31
Stephen W. Littlejohn,Teori Komunikasi, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h.53. 32
Berger, Arthur Asa. Pengantar Semiotika: Tanda-tanda Dalam Kebudayaan
Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010), h.4. 33
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 15.
38
hal mana objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi
sistem terstruktur dari tanda”34
Dalam penelitian ini menggunakan semiotika Roland Barthes, Roland
Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara
kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan
makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa
saja menyampaikan makna yang berbeda situasinya. Roland Barthes
meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks
dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara
konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh
penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification” 35
Pemikiran Barthes tentang semiotika sangat dipengaruhi oleh Saussure.
Jika Saussure mengintrodusir istilah signifier dan signified berkenan dengan
lambang-lambang atau teks dalam suatu paket pesan maka Barthes
menggunakan istilah denotasi dan konotasi untuk menunjuk tingkatan-
tingkatan makna. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan, yaitu mitos
yang menandai suatu masyarakat. Barthes menciptakan peta bagaimana tanda
bekerja yaitu sebagai berikut:
34
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 15. 35
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi Disertai Contoh Praktis Riset
Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran (Jakarta:
Kencana, 2010), h. 272.
39
Tabel 2.1
Peta Roland Barthes
1. Signifier M (Penanda) 2. Signified (Petanda)
3. Denotative Signifier (Tanda Denotatif)
4. Connotative
Signifier (Penanda
Konotatif)
5. Connotative Signified
(Petanda Konotatif)
6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)
Dari tabel 2.2 diatas dapat dijelaskan bahwa tanda denotative (3) terdiri
atas (1) penanda dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan tanda
denotatif adalah juga penanda konotatif (4).
1. Denotasi adalah interaksi antara signifier dan signified dalam sign, dan
antara sign dengan referent (object) dalam realitas eksternal.
2. Konotasi adalah interaksi yang muncul ketika sign bertemu perasaan atau
emosi pembaca/ pengguna dan nilai-nilai budaya mereka. Makna menjadi
subjektif atau inter subjektif. Tanda lebih terbuka penafsirannya pada
konotasi daripada denotasi.
Pada dasarnya, terdapat perbedaan mengenai pengertian denotasi dan
konotasi yang dipahami oleh Barthes dengan pengertian secara umum.
Dengan pengertian umum, denotasi bisa dipahami sebagai makna harfiah atau
makna sesungguhnya. Sedangkan dalam pemahaman Barthes, denotasi
merupakan first order of signification atau sistem signifikansi tingkat
40
pertama. Denotasi adalah makna apa yang terlihat dan pada kenyataannya
sama. Denotasi juga dapat dikatakan sebagai fenomena yang tampak dengan
panca indera.36
Berbeda dengan denotasi, pengertian konotasi secara umum biasa
dimengerti sebagai makna yang bukan sebenarnya, tidak pasti dan tidak
langsung. Dalam pemahaman Barthes konotasi merupakan second of
signification atau sistem signifikansi tingkat kedua. Konotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di
dalamnya beroperasi makna yang tersebunyi, tidak langsung dan tidak pasti.
Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika penanda
mengkaitkannya dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi,
keyakinan serta nilai-nilai dari kebudayaan pembacanya. Jadi dapat dikatakan
bahwa denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap objek,
sementara konotasi adalah bagaimana menggambarkan tanda tersebut.37
Dalam kerangka pemikiran Roland Barthes, konotasi identik dengan
operasi ideologi, yang biasa disebut dengan mitos. Mitos merupakan
pengkodean makna dan nilai-nilai sosial yang dianggap alamiah. Selain itu,
mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa
aspek tentang realitas atau gejala alam.38
Bagi Barthes mitos adalah sistem
komunikasi dan merupakan sebagai pesan. Mitos berfungsi untuk
mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang
36
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h.70. 37
Indiawan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi: Aplikasi Praktis Bagi
Penelitian dan Skripsi Komunikasi, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2014), h. 17. 38
Indiawan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, h. 22.
41
berlaku dalam suatu periode tertentu.39
Sebuah mitos dapat menjadi sebuah
ideologi atau paradigma apabila sudah berakar lama dan digunakan sebagai
acuan hidup serta menyentuh ranah norma sosial yang berlaku
dimasyarakat.40
F. Film Sebagai Media Komunikasi Tentang Isu Perempuan
Film sebagai media komunikasi massa mempunyai peranan penting,
khususnya dalam mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Berfungsi untuk menyampaikan informasi yang
dinilai cukup efektif dalam menyampaikan pesan, dibandingkan dengan
media komunikasi lainnya. Film sebagai media komunikasi massa memang
tidak lepas dari hubungan antara film dan masyarakat itu sendiri.
Film mempunyai suatu dampak tertentu terhadap penonton, dampak-
dampak tersebut dapat berbagai macam seperti, dampak psikologis, dan
dampak sosial. Pesan film sebagai media komunikasi massa dapat berbentuk
apa saja tergantung dari misi film tersebut. Akan tetapi, umumnya sebuah
film dapat mencakup berbagai pesan, baik itu pesan pendidikan, hiburan dan
informasi. Pesan dalam film menggunakan mekanisme lambang-lambang
yang ada pada pikiran manusia berupa isi pesan, suara, perkataan, percakapan
dan sebagainya. Film dianggap sebagai media komunikasi yang ampuh
terhadap massa yang menjadi sasarannya, karena sifatnya yang audio visual,
yaitu gambar dan suara yang hidup.
Dengan gambar dan suara, film mampu bercerita banyak dalam waktu
singkat. Industri film disebut sebagai industri yang dibangun dari mimpi
39
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h.71. 40
Benny Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, (Jakarta: Komunitas Bambu,
2011), h. 59.
42
karena sifatnya yang imajinatif dan sebagai media kreatif. Industri film adalah
industri bisnis, prediksi ini telah menggeser anggapan orang yang masih
meyakini bahwa film adalah karya seni, yang diproduksi secara kreatif dan
memenuhi imajinasi orang-orang yang bertujuan memperoleh estetika
(keindahan) yang sempurna.41
Media massa merupakan salah satu instrumen utama yang membentuk
konstruksi gender pada masyarakat. Laki-laki dan perempuan telah
direpresentasikan oleh media sesuai dengan stereotipe kultural untuk
mereproduksi peranan-peranan jenis kelamin secara tradisional. Film sebagai
salah satu produk dari media massa juga berperan besar dalam membentuk
pandangan masyarakat mengenai konstruksi gender. Film dijadikan sebuah
alat oleh kelompok ideologi patriaki untuk membangun tempat pemikiran
yang timpang tentang perempuan.
Meskipun telah banyak kemajuan pada hak-hak kaum perempuan, namun
persoalan ketidakadilan gender umumnya masih menimpa kaum perempuan.
Hal tersebut dinilai karena adanya konstruksi gender yang telah melalui
perjalanan sejarah yang sangat panjang dan terlanjur mengakar kuat dalam
masyarakat. Ketidakadilan gender inilah yang digugat ideologi feminis.
Feminisme merupakan sebuah ideologi yang berangkat dari suatu kesadaran
akan suatu penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat
di tempat kerja ataupun dalam konteks masyarakat secara makro, serta
tindakan sadar baik oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah
keadaan tersebut.42
41
Elvinaro Ardianto, dan Lukati Komala Erdinaya, Komunikasi Massa Suatu Pengantar
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007) h. 134. 42
Sunarto, Analisis Wacana Ideologi Gender Media Anak-anak (Semarang: Mimbar,
2000) h. 34-35.
43
BAB III
GAMBARAN UMUM FILM ISTRI PARUH WAKTU
A. Latar Belakang Pembuatan Film Istri Paruh Waktu
Pembuatan Film Istri Paruh Waktu di produksi oleh Want Production.
Want Production berdiri pada tahun 2010. Perusahaan ini mencoba membuat
music video dan band indie. Setelah itu di bulan September 2011 perusahaan
ini mencoba sesuatu yang baru. Proyek film pendeknya berkembang dengan
anggaran rendah, pada tahun 2012 Want Production membuat banyak karya
termasuk web series yang disebut weapon man, many short clip, event
documentation dan event organizing.1
Hingga pada tahun 2015 Want Production membuat beberapa film
pendek salah satunya yang berjudul Istri Paruh Waktu, yang sudah memiliki
banyak tampilan dan akan terus meningkat. Film Istri Paruh Waktu
mengisahkan tentang Fira yaitu seorang istri yang tengah kalut dalam
memilih karir dan pengabdiannya pada suaminya. Film ini banyak
menginspirasi orang terutama perempuan yang telah menikah. Film ini di rilis
di Youtube pada tanggal 16 April 2015, sudah ditonton lebih dari 1.344.664x
oleh penonton di Youtube.2
Film ini dibuat oleh empat orang laki-laki yang tergabung dalam
komunitas Film Maker Muslim. Komunitas yang dibentuk oleh beberapa
orang laki-laki tim utamanya adalah Muhammad Amrul Ummami,
Muhammad Ali Ghifari, Ryan Kurniawan, Andre Muhammad Addin.
1 Daqumovie, Istri Paruh Waktu, artikel diakses pada 22 mei 2018 dari
https://m.facebook.com/filmmakermuslim/photos/a.3656 2 Film Maker Muslim, artikel diakses pada 30 Mei 2018 dari
https://m.youtube.com/user/wantproductiontv
44
Masing-masing dari komunitas tersebut bertugas sebagai produser, penulis
naskah, pengarah audio, dan juga pemeran dalam film.
B. Profil Orang-Orang Di Balik Layar Film Istri Paruh Waktu
Profil pembuat film istri paruh waktu
Gambar 3.1 Foto Muhammad Amrul Ummami
Muhammad Amrul Ummami adalah sosok Pemimpin di tengah anak-
anak Film Maker Muslim. Tanpa gagasannya, WANT Production atau Film
Maker Muslim mungkin tak akan pernah ada. Di lapangan, pria yang lahir
tanggal 20 Desember 1987 ini adalah sosok director yang handal. Kerja cepat,
efektif dan efisien adalah salah satu ciri khasnya saat men-direct.
Pada akhir tahun 2014, Amrul Umammi mulai memutuskan untuk
membuat karya religi. Ia mengajukan ide film pendek religi pertamanya yang
diberi judul Cinta Subuh. Pada Film Istri Paruh Waktu Amrul Umammi
berperan sebagai Pengedit, Sutradara, Sinematografer. 3
3 Hello Hijab, Profile orang-orang di balik layar film maker muslim, artikel diakses pada 22
mei 2018 dari https://hellohijabers.wordpress.com /2015/06/16/ profile-orang-orang-di-balik-layar-
film-maker-muslim-2/
45
Gambar 3.2 Foto Muhammad Ali Ghifari
Muhammad Ali Ghifari lahir di Jakarta pada tanggal 2 November 1990.
Di antara anak-anak Want Production Film Maker Muslim, kak Ghifar ini
yang hafalan Al Quran nya paling banyak dan wawasannya paling luas. Dari
mitologi yunani sampai sejarah nabi dan sahabat, dia hapal hingga detailnya.
Karna wawasannya itulah, lahir skenario-skenario film yang cerdas dan
inspiratif. Selain jago menulis, kak Ghifar juga jago dalam melatih akting.
Bisa dilihat aktingnya yang keren sebagai Ijat di film pendek StayingSane. Di
series Film Istri Paruh Waktu kak Ghifar ambil peran sebagai Produser,
penulis skenario, akting coach, dan aktor sekaligus.
Gambar 3.3 Foto Andre Muhammad Addin
Andre Muhammad Addin Lahir di Lhokseumawe, 23 Desember 1988
Dia adalah sosok line produser yang handal. Cermat dalam mengatur budget
produksi, tegas soal pengeluaran dan disiplin dalam memanajeri jadwal
produksi. Andre Muhammad Addin memulai debut aktingnya di film pendek
Staying Sane. Berlanjut ke ODKT, HKS dan yang terbaru series hinta Subuh.
46
Kak pddin juga baru merampungkan syutingnya bersama beda sinema dalam
film Tausiyah Cinta. Lulusan IT Binus University angkatan 2008 ini juga
seorang Liver pudlian. Selain suka bola, dia jago basket dan renang.4
Dalam pembuatan Film Istri Paruh Waktu Kak Addin bertugas sebagai
Cinematographer (Orang yang melaksanakan aspek teknis dari pencahayaan
dan fotografi adegan) Sinematografer yang kreatif juga akan membantu
sutradara dalam memilih sudut, penyusunan, dan rasa dari pencahayaan dan
kamera.
Gambar 3.4 Ryan Kurniawan
Ryan Kurniawan adalah putra Bekasi berdarah sunda, Pria kelahiran 27
November 1987 ini adalah penggemar berat novel harry potter. Tapi kalau
ditanya, siapa idolanya akang Ryan akan menjawab : Rasulullah Muhammad
SAW. Pria romantis yang punya ketertarikan khusus pada langit dan bintang-
bintang ini berperan sebagai DOP, Astrada, Produser, sekaligus Art Director
dalam karya-karya Film Maker Muslim.
Dalam pembuatan Film Istri Paruh Waktu Ryan Kurniawan dan Andre
Muhammad Addin berperan sebagai Cinematographer/ DOP (Orang yang
melaksanakan aspek teknis dari pencahayaan dan fotografi adegan)
4 Profile orang-orang di balik layar Film Maker Muslim, artikel diakses pada 22 mei 2018
dari https://hellohijabers.wordpress.com/2015/06/16/profile-orang-orang-di-balik-layar-film-
maker-muslim-2/
47
Sinematografer yang kreatif juga akan membantu sutradara dalam memilih
sudut, penyusunan, dan rasa dari pencahayaan dan kamera.
C. Sinopsis Film Istri Paruh Waktu
Film berjudul “Istri Paruh Waktu” menceritakan seorang wanita karir
yang sudah dua bulan menikah dengan suaminya dan sang istri yang bernama
Fira. Sosok istri yang mempunyai jabatan cukup prestisius di kantornya
karena jadi orang penting di tempat kerjanya maka pekerjaan dia pun semakin
banyak. Sehingga Fira merasa tidak punya banyak waktu lagi untuk keluarga
dan suaminya. Fira bercerita kepada sahabatnya, dan keputusan Fira
mengundurkan diri dari tempat kerja pun ditentang oleh teman baiknya, yaitu
Rifa yang diperankan oleh Mauly Shofia Chaerani.
Tetapi Fira sudah mantap dengan pilihannya, Fira hanya ingin fokus
mengabdi kepada suaminya dan anak-anaknya kelak, Dia berkata bahwa
“pekerjaan di rumah lebih banyak dari pada di tempat kerjanya”. Salah satu
alasan keputusan Fira untuk berhenti dari pekerjaan impiannya karena demi
fokus mengabdi kepada suami yaitu menjalankan kewajibannya sebagai istri
dan ingin lebih dekat dengan suami agar imannya lebih sempurna.5
Fira Percaya, Pendidikan tinggi yang dicapainya selama ini tidak akan
sia-sia karena ia akan menjadi seorang ibu, madrasah pertama bagi anak-
anaknya kelak. Selain itu, yang menggugah hati Fira pemeran utama dalam
film ini suatu ketika ditengah malam suaminya menangis dan memohon
kepada Tuhan agar Muhammad Iqbal yang berperan sebagai suami
dipantaskan menjadi imam bagi sang istri tercinta. Hal itu diketahui Fira yang
5 daqumovie, Istri Paruh Waktu, artikel diakses pada 22 mei 2018 dari
https://m.facebook.com/filmmakermuslim/photos/a.3656
48
saat itu sedang tidur dan terbangun. Itulah yang membuat Fira memutuskan
untuk resign dari tempat kerjanya.
D. Tim produksi Film Istri Paruh Waktu
Gambar 3.5 Cover Film Istri Paruh Waktu
Produced & Directed: Film Istri Paruh Waaktu
Penulis Naskah: M Ali Ghifari
Produser Pelaksana: Andre M Addin
Sutradara: M. Amrul Umammi
Musik: Yaser Abdallah
Editor: M. Amrul Umammi
Sinematografer: Ryan Kurniawan
Shooting Euipment: Indra Yogiswara
Pemain: Lisa Listiana sebagai istri (Fira)
Shofia Maulina Chaerani sebagai Rifa (Teman)
Muhammad Iqbal sebagai suami6
6 Film Maker Muslim, artikel diakses pada 30 Mei 2018 dari
https://m.youtube.com/user/wantproductiontv
49
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS PENELITIAN
A. Narasi Struktural Aktansial & Fungsional dan Makna semiotika
Dalam Film Istri Paruh Waktu
1. Analisis Narasi Struktural Aktansial dan Fungsional
Dalam analisis struktural Greimas, teks di analisis apa adanya tanpa
harus memikirkan kapan teks ditulis, siapa pengarangnya, dan dalam
konteks apa. Logika manusia adalah biner, artinya orang berpikir secara
oposisi, atau melalui kontras. Hanya ada makna dalam perbedaan. Salah
satu cara untuk mengangkat logika biner ini ialah melalui kerangka yang
tampak (sintaksis), yaitu kisah sebaagaimana diceritakan. Pelaku-pelaku
berkembang, bertemu, berjuang dan bertarung. Logika biner diungkap
dalam bentuk analisis struktur narasi, analisis pengorganisasian para
pelaku dan peran-peran mereka. Langkah inilah yang akan memberi
lintasan makna. Adapun untuk menentukan tokoh dalam cerita peneliti
menggunakan Analisis Struktural Aktansial dan fungsional yang berbentuk
seperti di bawah ini (mengikuti model A.-J. Greimas1:
1 Haryatmoko, Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Kritis), (PT. Rajagrafindo
Persada, 2016) h. 123.
50
Gambar 4.1 Skema Struktur Aktansial
Dalam skema aktansial diatas menunjukkan bahwa ada relasi antara
subjek dan objek. Relasi subjek dan objek tersebut dapat dilihat dari
bagaimana peran tokoh dan situasi yang dinarasikan dalam film. Subjek
merupakan seseorang atau sesuatu yang diposisikan punya peran penting dan
mengemban tugas untuk mendapatkan objek. Dengan kata lain, objek adalah
tujuan yang ingin dicapai oleh subjek. Peran subjek didorong oleh suatu
kondisi atau seseorang, yang disebut sebagai pengirim. Dalam film ini,
subjek diperankan oleh sosok Fira, seorang istri yang bekerja, yang
memutuskan untuk mengundurkan diri dari karirnya karena ingin mengabdi
PENGIRIM
- Suami menyiapkan
makan malam
- Suami yang bersedih
saat berdoa agar
dipantaskan menjadi
imam yang baik
OBJEK
pengabdian kepada
suami untuk mencapai
keimanan sempurna
PENERIMA
- Fira
PENGHALANG
- Rifa (Teman Fira)
- Pekerjaan kantor
yang menyibukan
SUBJEK
Fira
PENOLONG
- Berhenti bekerja
KONTRAK
51
kepada suaminya sebagai pengejawantahan diri seorang muslimah yang
sempurna. Keinginan menjadi perempuan dengan ketaatan (iman) yang
sempurna menjadi tujuan Fira. Oleh karena itu, mengabdi untuk memperoleh
keimanan sempurna dikategorikan sebagai objek dalam cerita.
Dalam cerita, dorongan untuk subjek atau Fira mengabdi kepada suami
sebagai bentuk ketaatan dimunculkan dari dua situasi, yaitu 1) Adegan saat
suami Fira menyiapkan makan malam untuk dirinya yang pulang malam
karena ada pekerjaan yang menyibukan di kantor, dan 2) Adegan saat Fira
mendengar doa suaminya saat sholat ditengah malam yang berharap agar
Allah menjadikan dirinya imam yang baik.
Dua kondisi ini dikatakan sebagai pengirim karena dilihat oleh peneliti,
mendorong subjek (Fira) untuk merubah diri dan membuat Fira merasa
bersalah, karena tidak bisa menjadi istri yang bisa seperti itu. Kemudian
mendorong dia untuk mengambil keputusan dengan merubahnya agar dapat
mengabdi kepada suami untuk mencapai keimanan yang sempurna.
Dalam skema ini ada seseorang atau situasi yang dianggap membantu
subjek (Fira) untuk mencapai tujuan atau objek, yang disebut sebagai
penolong. Penolong dalam skema ini adalah keputusan Fira untuk
mengundurkan diri dari pekerjaannya. keputusan ini dipandang memudahkan
Fira untuk mengabdi kepada suaminya untuk memperoleh keimanan yang
sempurna.
Selanjutnya skema ini menunjukan bahwa dalam cerita ada seseorang
atau kondisi yang merintangi subjek (Fira) untuk mencapai tujuannya (objek).
seseorang atau kondisi ini disebut sebagai penghalang, karena menghalangi
52
tugas subjek untuk mencapai objek. Terdapat sesuatu yang menghalanginya
untuk menjalankan objek, yaitu 1) kesibukan di kantor yang mengharuskan
dia pulang malam, dan 2) sosok Rifa, sahabat Fira. Kondisi kantor yang sibuk
dianggap merintangi Fira untuk mengurus keluarganya dengan baik.
Demikian juga dengan sosok Rifa yang berusaha untuk mencegah Fira untuk
mengundurkan diri dari pekerjannya. Kedua hal tersebut dianggap sebagai
satu kondisi yang dapat mencegah Fira untuk mengabdi kepada suaminya.
Adapun yang berperan sebagai Penerima adalah sesuatu atau seseorang
yang menerima dampak dari proses subjek untuk mencapai objek, yaitu Fira
dalam konteks ini Fira sebagai seseorang yang merasa seakan-akan jauh lebih
tenang, karena keputusannya berdasarkan akibat suaminya yang berkata
bahwa dia belum berhasil menjadi suami yang mengarahkan istrinya untuk
menjadi istri yang sholehah. Suami Fira mengakui bahwa dia belum bisa
menjadi imam yang baik. Hal itu memberikan dampak yang merasa bahwa
sebagai imam tidak berhasil sebagai suami yang mendidik istrinya. Dengan
menjalankan pengabdian kepada suami di bidang domestik itu sudah
menghilangkan rasa bersalahnya agar menjadi istri yang baik
Kontrak menjelaskan bahwa pengirim memicu hasrat kepada subjek atau
mempercayakan sebuah tujuan kepada Fira. Hal itu untuk menjalankan objek
dengan mengabdi kepada suami untuk mencapai keimanan yang sempurna.
Kontrak di ikuti dengan tiga tes yang merupakan cermin logika dasar
tindakan manusia. Terdapat tes kualifikasi untuk mengidentifikasi tokoh-
tokoh yang ada di dalam sebuah cerita untuk menentukan subjek sesuai fungsi
dan peran-peran. Dalam hal itu perlu dilakukan tes kualifikasi yaitu:
53
Pertama, tes kualifikasi subjek dilakukan untuk mengidentifikasi subjek.
Karena di anggap punya kompetensi yang dibutuhkan untuk memenuhi
sesuatu yang diusulkan oleh pengirim. Adapun tes kualifikasi subjeknya
adalah Fira.
Dalam penelitian ini Fira dikualifikasi sebagai subjek karena beberapa
alasan berikut Pertama, Fira dikualifikasi sebagai subjek karena memiliki
kompetensi untuk meraih objek. Kemudian Fira mendapatkan dorongan, yaitu
1) Merasa belum bisa melayani suami pada saat melihat suaminya
menyiapkan makan malam, dan 2) Pada saat tengah malam Fira terbangun
karena melihat dan mendengar suaminya yang bersedih saat berdoa agar
dipantaskan menjadi suami (imam) yang baik. Dua kondisi ini dikatakan
sebagai tes kualifikasi subjek karena memiliki kompetensi sebuah dorongan
untuk meraih objek.
Kedua, tes pokok menyangkut bagaimana membawa kepenerimaan
objek. Tes ini sering dalam bentuk konfrontasi, konflik, atau perjuangan
subjek. Adapun tes pokoknya tampak pada perjuangan subjek dalam film ini,
Berdasarkan hal tersebut, yaitu: 1) Perjuangan subjek untuk menjalankan
perannya sebagai ibu rumah tangga yang mengabdi kepada suami. Perjuangan
ini ditunjukan oleh tokoh Fira yang mengalami konflik batin untuk
memutuskan berhenti bekerja, dan 2) Perjuangan subjek ditunjukan dengan
perubahan penampilan Fira yang menggunakan jilbab lebih syar’i. Hal itu
diungkapkan Fira karena ingin menyempurnakan keimanannya.
Dua kondisi ini dikatakan sebagai tes pokok karena dilihat oleh peneliti,
Subjek (Fira) merupakan tokoh yang di idetifikasi melakukan tes perjuangan
54
dalam meraih objeknya yaitu menjalankan pengabdian kepada suami untuk
mencapai keimanan yang sempurna. Kemudian hal ini tampak dari teks
pembicaraan Fira dengan temannya, yang merasa bahwa ada perubahan yang
cukup signifikan yang dilakukan oleh Fira. Hal ini menunjukan bahwa Fira
ingin lebih fokus mengabdi kepada suami. Sehingga hal tersebut membuat
Fira memutuskan berhenti bekerja dari kantornya.
Ketiga, tes pujian atau sanksi mengambil bentuk suatu pengakuan sosial
terhadap subjek atas keberhasilan atau kegagalan. Sehingga subjek akan
dipuji atau dihukum, kinerja subjek di evaluasi atau ditafsirkan maknanya.
Tes pujian terkait dengan reward atau kinerja subjek yang di evaluasi.
Pada akhir kisah film, yaitu: 1) Fira berhenti bekerja untuk melakukan
pengorbanannya, dimana Fira merasa tidak bisa memenuhi kebutuhan
suaminya yang dia dengar dan lihat saat suaminya menyiapkan makanan, dan
2) Pada saat suaminya bersedih dan berdoa agar di pantaskan menjadi seorang
suami (imam) yang baik.
Dua kondisi tersebut menjadi keputusan Fira untuk mengambil keputusan
terhadap dirinya. Sehingga terdapat konsekuensi yang diterimanya sebagai
istri yang harus melayani suaminya di bidang domestik atau di rumah untuk
mengurus suami dan mengasuh anak.
Jadi dari ketiga tes itu tampak sekali, bahwa pemilihan Fira sebagai
subjek (menjadi tokoh utama) cukup beralasan karena lolos dari ketiganya.
Ketiga tes tersebut semakin diteguhkan oleh seleksi isi percakapan Fira
dengan Rifa yang sangat mewakili stereotipe terhadap perempuan.
55
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: analisis narasi
model A.J Greimas, naratif model ini mampu menunjukkan secara jelas dan
dikotomis antara tokoh protagonis dan antagonis dalam film. Adapun tokoh
Protagonis dalam film Istri Paruh Waktu dikategorikan sebagai sosok Fira,
seorang istri memutuskan untuk mengundurkan diri dari karirnya di kantor
karena merasa bersalah belum bisa menjadi istri yang baik. Hal itu dapat
ditunjukan pada saat Fira merubah diri dan berpenampilan lebih syar’i.
Kemudian keputusan Fira mengundurkan diri dari karirnya untuk
merubahnya agar dapat menjalankan pengabdian kepada suami untuk
mencapai keimanan yang sempurna. Fira digambarkan sebagai tokoh
protagonis yaitu tokoh yang yang melawan antagonis.
Tokoh antagonis dalam cerita film di perankan oleh sosok Rifa. Sosok
Rifa yang berusaha untuk mencegah dan menentang keputusan Fira untuk
tidak mengundurkan diri dari pekerjannya dikategorikan sebagai tokoh
antagonis. Hal tersebut dianggap sebagai satu kondisi dan cara yang
dilakukan temannya untuk dapat mencegah Fira untuk menjalankan
pengabdian kepada suaminya.
Dari kedua situasi dan kondisi tokoh tersebut menunjukan bahwa tokoh
protagonis diperankan oleh tokoh utama dalam cerita film yaitu Fira dan
antagonis di perankan oleh sosok Rifa dalam film yang menjadi penghalang.
Tokoh protagonis dan antagonis memiliki sikap yang bertentangan. Meskipun
begitu, keberadaan tokoh antagonis dan protagonis diperlukan untuk
mendukung jalinan dalam sebuah cerita itu dikembangkan.
56
2. Analisis Makna Semiotika Dalam Film
Film sebagai salah satu media penyampai pesan dalam ilmu komunikasi,
juga berperan sebagai alat propaganda atas sebuah tujuan yang pada akhirnya
disadari atau tidak akan membawa pengaruh yang kuat terhadap pola pikir
suatu masyarakat.2 Tidak selalu hal-hal yang ditayangkan sebuah film dalam
adegan-adegannya dapat dimengerti secara jelas apabila tidak disertai adanya
pengamatan yang mendalam. Bedasarkan hal itu di bawah ini terdapat
potongan gambar dan teks percakapan dalam film yang mempunyai makna
atau pesan terselubung atau tersembunyi, dalam film tersebut yang
mempresentasikan sebuah stereotipe terhadap perempuan. Dibawah ini
terdapat beberapa potongan gambar bermakna tanda semiotika dalam film.
Teks dan gambar yang diungkapkan pada analisis terdapat beberapa
materialisasi objek. Akan hal itu maka penulis menganalisis film Istri Paruh
Waktu menggunakan semiotika Roland Barthes, yaitu dengan mencari makna
denotasi, konotasi, dan mitos yang terdapat dalam film Istri Paruh Waktu.
2 Denis McQuail, Teori Komunikai Massa Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga, 1987), h.
13.
57
Tabel 4.1 Gedung-gedung bertingkat tempat perkantoran
Scene Visual
Scene
1
Gambar 1
Sebuah perkotaan yang modern penuh dengan gedung tinggi dan
tempat perkantoran
1. Denotasi:
Tabel 4.1 diatas menunjukan bahwa dalam gambar satu menunjukan
suasana menjelang malam yang gelap. Dengan menggunakan latar belakang
perkotaan yang ditampilkan adalah gedung-gedung tinggi seperti tempat
perkantoran, tempat makan, transportasi kendaraan seperti mobil, motor dan
lainnya. Sebuah perkotaan modern yang terdapat banyak orang bekerja.
Gambar ini diambil dari jarak jauh dengan frame size long shot, sehingga
objek belakang tampak jelas. Dalam gambar berkaitan dengan tempat banyak
orang bekerja yaitu di sebuah gedung-gedung bertingkat di kota metropolitan.
2. Konotasi:
Kota metropolitan dengan gedung-gedung bertingkat menunjukan bentuk
modernitas, bahwa perempuan itu biasanya sudah terlibat dalam aktifitas
58
publik dimana hal tersebut sudah menjadi hal yang biasa. Hal ini menunjukan
hiruk pikuk di kota metropolitan dan gedung-gedung itu menunjukan bahwa
Fira tinggal di budaya kultur kota dimana perempuan bekerja itu sudah
menjadi hal wajar karena kebanyakan perempuan di perkotaan itu bekerja.
Metropolitan adalah istilah untuk menggambarkan suatu kawasan perkotaan
yang relatif besar, baik dari ukuran luas wilayah, jumlah penduduk, maupun
skala aktivitas ekonomi dan sosial tinggi, diwarnai dengan strata sosial
ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistis.
3. Mitos:
Secara etimologi (asal kata) kata metropolitan (kata benda) atau
metropolis (kata sifat) berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu kata meter yang
berarti ibu dan kata polis yang berarti kota (perkotaan). Secara umum,
metropolitan dapat juga didefinisikan sebagai suatu pusat pemukiman besar
yang terdiri dari satu kota besar dan beberapa kawasan yang berada di
sekitarnya dengan satu atau lebih kota besar melayani sebagai titik hubung
dengan kota-kota di sekitarnya tersebut. Dimana kota adalah suatu sistem
jaringan kehidupan manusia ysng ditandai dengan kepadatan penduduk yang
Wilayah metropolitan adalah sebuah pusat populasi besar yang terdiri atas
satu metropolis besar dan daerah sekitarnya. Satu kota besar atau lebih dapat
berperan sebagai hubnya, dan wilayah metropolitan biasanya diberi nama
sesuai dengan kota sentral terbesar atau terpenting di dalamnya. Metropolitan
merupakan sebuah sistem perkotaan yang berarti kumpulan kota-kota yang
saling berinteraksi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu dalam
lingkungan yang kompleks.
59
Tabel 4.2 Pertemuan Fira dan Rifa di depan lift
Scene Visual Percakapan
Scene 2
Gambar 2
Perjumpaan Fira dengan Rifa di
depan lift tempat mereka janjian
untuk bertemu
Rifa: ko bawaan kamu banyak
banget sih
Fira: nanti aku ceritain, eh jilbab
kamu baru
Rifa: iya bagus ga?
Fira: bagus
Rifa: ngomongin soal jilbab, ko
penampilan kamu ada yang
beda deh, lebih syari gitu,
ada panggilan apa nih?
Fira: say aku mau cerita banyak
nih, tapi..
Rifa: tapi apa?
Fira: tapi, kamu bantuin bawa
barang bawaan aku dong,
berat nih..
Rifa: aahh dasar kamu, sini-sini
yuk
60
1. Denotasi:
Tabel 4.2 diatas menunjukan bahwa pada potongan gambar kedua dalam
adegan tersebut tampak bahwa Rifa terkejut karena melihat perubahan
penampilan Fira yang berbeda dari biasanya. Hal itu terlihat dari jilbab yang
dikenakan oleh Fira. Perubahan penampilan ini dirasakan oleh Rifa sebagai
sesuatu hal yang berbeda dari biasanya bahwa lebih syar‟i (Syariat Islam).
Hal itu yang dianggap menunjukan sebuah perbedaan yang cukup signifikan
yang sebelumnya menggunakan jilbab biasa. Pernyataan ini dapat di lihat dari
teks percakapan berikut:
“ngomongin soal jilbab, ko penampilan kamu ada yang beda deh,lebih
syar‟i gitu, ada panggilan apa nih?”
2. Konotasi:
Perkataan lebih syar‟i itu maksudnya hijab yang digunakan syar‟i
berdasarkan dengan ajaran agama Islam. Tampak dari gambar bahwa Fira
menggunakan jilbab yang panjang, menutup kepala, dada, bahu, dan lebih
lebar dari biasanya. Jilbab syar‟i adalah jilbab yang sesuai dengan ketentuan
yang ada dalam ajaran Islam. Kriteria berbusana atau berpenampilan syar‟i
berdasarkan perintah Allah dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 59:
أييب ٱل ي لك أدن بيبين ر نسبء ٱلمؤمنين يذنين عليين من جل بنبتك جك ص نبي قل ل ن ش أ ي
حيمب غفسا س كب ٱلل ٩٥يؤرين
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka" Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu, dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (Al-Ahzab :59).
61
3. Mitos:
Jilbab pada hakikatnya sudah dikenal sebelum munculnya syari’at Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Pada era Nabi, yang dimaksud jilbab
adalah pakaian yang besar dan longgar yang menutupi tubuh dari kepala
hingga kaki. Menggunakan jilbab syar‟i dapat membantu menjaga etika
dengan orang lain, menjadikan diri lebih sederhana dan tidak berlebihan
dalam kehidupan sehari-hari. Menggunakan jilbab syar‟i dapat
mendakwahkan kepada wanita muslim lainnya cara menggunakan jilbab yang
benar menurut agama Islam.3
Jilbab dipahami oleh kebanyakan masyarakat adalah kain yang hanya
berfungsi untuk menutup kepala, leher, dada, bahu atau mungkin lebih lebar
sedikit. Adapun fungsi jilbab adalah pertama, sebagai penutup aurat
perempuan untuk melindungi diri dari fitnah, baik ketika sedang bergaul
dengan laki-laki yang secara hukum islam bukan mahramnya. kedua, untuk
menjaga dan melindungi kesucian, kehormatan dan kemuliannya sebagai
seorang perempuan. ketiga, untuk menjaga identitas sebagai perempuan
muslimah yang membedakan dengan perempuan lain.4
3 Nina Surtiretna, et. Al, Anggun Berjilbab (Bandung; Al-Bayan, 1995), h. 65-68.
4 Abu Syuqqah, Busana dan perhiasan wanita menurut al-quran dan hadist, cet ke-1
(Bandung: Mizan, 1998) h.20.
62
Tabel 4.3 Pengungkapan cerita Fira kepada temannya di kantin
Scene Visual Percakapan
Scene
3
Gambar 3
Keputusan Fira resign dari tempat
kerjanya ditentang Rifa temannya
Rifa: eh terus-terus gimana bu,
ceritanya ko bisa hijabnya
jadi syar’i gini?
Fira: itu ada hubungannya sama
barang bawaan aku fa.
Rifa: hubungannya?
Fira: aku resign dari kantor
Rifa: ehh kenapa?
Fira: ya, supaya bisa lebih dekat
dengan suami fa, supaya
iman ku sempurna, supaya
aku bisa lebih fokus
menjalankan kewajiban ku
sebagai istri dan ibu
Rifa: aah kamu mulai aneh deh,
nanti deh bahas imannya.
Jelasin dulu satu-satu.
Fira: yowes, kamu mau aku mulai
dari mana
63
Rifa: suamimu engga melarang
kamu kerja kan?
Fira: engga
Rifa: kamu dipecat dari kantor?
Fira: engga rifa sayang..
Rifa: atau ada bos dikantor yang
menggoda
Fira: astagfirullah, kamu apa-apaan
deh..
Rifa: ya terus kenapa dong ra?
kerjaan mu bagus kan, sesuai
lagi dengan jurusan mu
waktu kuliah mu dulu
Fira: ya itu tadi, aku ingin
menyempurnakan imanku
Rifa: makanya kamu jadi syar’i
gini?
Fira: “tersenyum”
1. Denotasi:
Tabel 4.3 diatas menjelaskan bahwa pada potongan gambar diatas
tampak perubahan hijab yang dikenakan Fira. Dalam adegan menampilkan
Rifa yang merasa antusias terhadap pernyataan Fira yang merubah
penampilannya. Perubahan hijab yang dikenakannya, karena alasan untuk
64
mengundurkan diri dari pekerjaan di kantor. Hal ini dapat di lihat dari teks
percakapan sebagai berikut:
”aku resign dari kantor”, “ya, supaya bisa lebih dekat dengan suami fa,
supaya iman ku sempurna, supaya aku bisa lebih fokus menjalankan
kewajiban ku sebagai istri dan ibu”.
2. Konotasi:
Sehingga dengan berhijab syar‟i menjadi alasan Fira mengundurkan diri
dari pekerjaan di kantor dengan alasan untuk dapat menyempurnakan
keimanannya. Makna iman tidak sekadar percaya melainkan harus
melingkupi tiga aspek yang kesemuanya ada pada manusia yaitu hati, ucapan,
dan amal perbuatan. Seorang yang beriman harus meyakini dalam hatinya
tentang semua hal yang harus diyakininya. Kemudian menjelaskan dengan
lisannya sebagai sebuah pernyataan keimanan yang membawa konsekuensi
tertentu dan dibuktikan secara kongkrit dalam amal perbuatannya.
أ ليم يذا بأم ج سسلوۦ ثم لم يشتببا ئك ىم إنمب ٱلمؤمن ٱلزين ءامنا بٱلل ل أ نفسيم ي سبيل ٱلل
ذق ٥٩ٱلص
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang
yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak
ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada
jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar
3. Mitos:
Keimanan adalah pembenaran yang hakiki dan utuh yang menghujam ke
dalam hati serta membuahkan ketaatan untuk meraih sukses dan kebahagiaan
dalam kehidupan dunia dan akhirat. Keimanan juga merupakan keyakinan
65
yang sungguh-sungguh yang tidak bercampur dengan keraguan serta
berpengaruh baik pada pikiran, perasaan, kemauan, dan tingkah laku.
Implementasi dari sebuah keimanan seseorang adalah ia mampu
berakhlak terpuji. Allah sangat menyukai hambanya yang mempunyai akhlak
terpuji. Akhlak terpuji dalam Islam disebut sebagai akhlak mahmudah.
Beberapa contoh akhlak terpuji antara lain adalah bersikap jujur, bertanggung
jawab, amanah, baik hati, tawadhu, istiqomah dll. Sebagai umat Islam kita
mempunyai suri tauladan yang perlu untuk dicontoh atau diikuti yaitu Nabi
Muhammad SAW.
Tabel 4.4 Suami yang memasak untuk istrinya
Scene Visual Percakapan
Scene
4
Gambar 4
Saat pulang kerja Fira terkejut
melihat suaminya sudah
menyiapkan makan malam.
Suami: Mandi Dek.. abis itu makan
ya.. mas udah masakin
kesukaan kamu loh
Istri: Loh Mas, Ko masak? ada
apa hari ini?
Suami: Ga ada apa-apa, tadi mas
pulang jam 7, eh dirumah
engga ada kamu, mas pikir
pasti kamu capek deh
pulang malam, jadi mas
masakin deh buat kamu.
66
Fira: Ahh mas ini bisa aja, aku
makan dulu baru mandi
boleh
Fira mengatakan kepada rifa “Aku
seneng sekaligus sedih fa, suami ku
pulang kerja menyiapkan segalanya
untuk ku seneng banget tapi
sekaligus sedih karena berkurang
satu kesempatan ku melayaninya,
kurang satu amalanku sebagai
seorang istri
1. Denotasi:
Tabel 4.4 diatas menunjukan bahwa tampaknya Fira terkejut dan terharu
melihat suaminya sudah menyiapkan makan malam. Kemudian Fira merasa
bahwa sosok perempuan yang seharusnya menyiapkan makanan dan
melayani suami. Hal ini dapat dilihat dari teks percakapan sebagai berikut:
“Aku seneng sekaligus sedih fa, suami ku pulang kerja menyiapkan
segalanya untuk ku seneng banget tapi sekaligus sedih karena berkurang
satu kesempatan ku melayaninya, kurang satu amalanku sebagai seorang
istri”
Tampak ada suatu kondisi yang berbeda dengan pandangan orang bahwa
seharusnya suami yang disiapkan. Hal itu menekankan kegundahan seorang
istri yang ketika suaminya menyiapkan makan malam dia merasa sedih.
Karena merasa bahwa memasak itu seharusnya sudah kewajiban perempuan
67
yang mengerjakan bukan laki-laki, walaupun suaminya tidak merasa
keberatan untuk memasak.
2. Konotasi:
Hal ini membuat Fira mengalami konflik batin terhadap dirinya bahwa
timbul dalam dirinya, terutama ketika menghadapi alternatif untuk memilih di
antara dua atau beberapa kemungkinan yang mengandung motif atau sebab-
sebab yang menjadi dorongan tindakan Fira. Konflik batin berhubungan erat
dengan kejiwaan seseorang. Konflik batin terjadi dalam hati atau jiwa seorang
tokoh cerita. Konflik batin adalah konflik yang dialami manusia dengan
dirinya sendiri atau biasa disebut dengan permasalahan intern seorang
individu.
3. Mitos:
Konflik batin ini merupakan konflik yang umumnya dialami tokoh utama
dalam cerita rekaan (fiksi). Konflik batin merupakan pertentangan dalam diri
suatu tokoh cerita rekaan (fiksi) yang merupakan unsur esensial atau
merupakan hakikat dalam mengembangkan alur cerita. Konflik dapat
dibedakan menjadi dua kategori: (1) eksternal, konflik yang terjadi antara
seorang tokoh dengan sesuatu yang di luar dirinya; (2) konflik internal,
konflik yang terjadi dalam hati, jiwa seorang tokoh cerita. Dapat disimpulkan
bahwa konflik internal merupakan konflik yang dialami manusia dengan
dirinya sendiri. Misalnya, terjadi akibat adanya pertentangan antara dua
keinginan, keyakinan, pilihan yang berbeda, harapan-harapan, atau masalah-
masalah lainnya. Kedua konflik tersebut saling berkaitan, saling
menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, dan dapat terjadi secara
68
bersamaan. Konflik internal dan eksternal dalam sebuah karya sastra dapat
berwujud konflik utama dan sub konflik (konflik tambahan). Konflik utama
pada umumnya dialami oleh tokoh utama cerita (tokoh protagonist).
Tabel 4.5 Penjelasan Fira kepada temannya saat berdiskusi
Scene Visual Percakapan
Scene
5
Gambar 5
Fira menjelaskan pilihan dan
keputusannya untuk berhenti bekerja
kepada Rifa.
Rifa: Aku beneran ga ngerti
deh ra, cari kerja tuh
susah, banyak yang
mau kerja ditempatmu,
kamunya malah resign,
ga bersyukur itu
namanya..
Fira: Justru aku lagi berusaha
bersyukur terus fa,
salah satunya ya dengan
resign ini
Rifa: Kamu serius ra resign?
Fira: Ya serius sayangku
Rifa: Terus kamu nanti di
rumah aja dong,
ngapain?
Fira: Banyak ko pekerjaan di
69
rumah yang harus
dikerjakan, lebih banyak
malah dari pada di
kantor.
1. Denotasi:
Tabel 4.5 diatas menunjukan bahwa tampak pada saat berada ditempat
makan Rifa memberikan sebuah nasihat untuk Fira yang tidak bersyukur
dengan bekerja di kantor. Tetapi Fira berusaha mensyukurinya salah satunya
dengan keputusan berhenti bekerja dari kantornya. Pernyataan ini dapat di
lihat dari teks percakapan berikut:
“Justru aku lagi berusaha bersyukur terus fa, salah satunya ya dengan
resign ini”
Dari teks tersebut menjelaskan bahwa berhenti bekerja untuk bisa
bersyukur dengan apa yang sudah ia miliiki. Karena merasa selama bekerja
dikantor belum bersyukur dengan apa yang dimiliki.
2. Konotasi:
Bersyukur merupakan suatu perbuatan yang bertujuan untuk berterima
kasih atas segala limpahan nikmat yang telah Allah SWT berikan. Secara
bahasa syukur adalah pujian kepada yang telah berbuat baik atas apa yang
dilakukan kepadanya. Syukur adalah kebalikan dari kufur. Hakikat syukur
adalah menampakkan nikmat, sedangkan hakikat ke-kufur-an adalah
menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti
menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh
pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah.
70
Menurut istilah syara‟, syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang
diberikan oleh Allah Swt dengan disertai ketundukan kepada-Nya dan
mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Allah swt.
Terdapat ayat Al-Quran yang menerangkan arti bersyukur kepada Allah
dalam surat Ibrahim (14) ayat 7 sebagai berikut:
لئن كفشتم إ سبكم لئن شكشتم لصيذنكم إر تأر ٧عزابي لشذيذ
Artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih"
3. Mitos:
Secara psikologis rasa syukur dapat memberikan kepuasan pada diri
sendiri sehingga mampu menghilangkan perasaan resah ketika gagal
memperoleh sesuatu yang di inginkan. Syukur mengandung arti mengenali
semua nikmat yang telah Allah SWT karuniakan, termasuk didalamnya
yaitu dengan mengenali potensi-potensi yang Allah SWT anugerahkan pada
diri ini, yang nantinya menumbuhkan optimisme yang membuat diri
bersemangat menghadapi tantangan. Maka dengan perasaan bersyukur akan
menumbuhkan rasa tidak takut gagal dan berani mencoba hal baru sehingga
tidak bersikap pesimis terhadap kompetisi serta meningkatkan rasa percaya
dirinya.
71
Tabel 4.6 Suasana tengah malam pada saat suami berdoa
Scene Visual Percakapan
Scene
6
Gambar 6
Saat Fira sedang tidur, suaminya
tengah malam berdoa dan
bersedih karena merasa belum
pantas menjadi imam yang baik.
Suami: Aku merasa sangat
berterima kasih sama
Allah, diberikan istri
yang luar biasa kaya
kamu
Fira: Gombal deh
Suami: Kamu mau dengar
sampai habis ga? tapi
dek, sampai sekarang
aku belum berani
menjadi imam sholat
buat kamu, hafalan ku
sedikit, ilmu agama ku
kurang, aku banyak
kekurangan
Fira: Ya Allah mas
Suami: Kamu jangan kecewa
ya, jangan berhenti
bantu aku, bantu aku
mencintai mu dengan
72
tepat, bantu aku terus
memantaskan diri jadi
imam buat kamu
Cerita lalu berakhir
Fira: Dari itulah fa, aku
merasa malu, ko bisa
suami ku dengan
ikhlas melakukan
segalanya untuk ku
mengaanggap ku
sedemikian tinggi, tapi
aku malu hidup dari
hasil keringatnya dan
demi gengsi ku, aku
tinggalkan
kewajibanku sebagai
seorang istri.
1. Denotasi:
Tabel 4.6 Pada gambar diatas menampilkan seorang istri (Fira) yang
tidur dan suami yang berada disampingnya sedang duduk memegang Al-
Quran kemudian berdoa dan bersedih karena merasa belum bisa menjadi
imam yang baik untuk istrinya.
73
Kemudian Fira mendapat hasil refleksi terhadap perkataan suaminya
setelah berdoa untuk dipantaskan menjadi imam yang baik, terhadap
perkataan suaminya, yang ingin dipantaskan menjadi imam baik yang dapat
membimbing istrinya. Hal ini dapat di lihat dari teks sebagai beikut:
“Kamu jangan kecewa ya, jangan berhenti bantu aku, bantu aku
mencintai mu dengan tepat, bantu aku terus memantaskan diri jadi
imam buat kamu”.
2. Konotasi:
Berdasarkan kutipan teks tersebut menjelaskan bahwa suaminya ingin
dipantaskan menjadi imam baik untuk istrinya. Karena sebagai suami
merasa gagal menjadi imam atau pemimpin yang mendidik istrinya
(membimbing keluarganya). Imam dalam agama Islam adalah sebuah posisi
pemimpin dalam agama islam. Dikalangan sunni, kalimat imam sinonim
dengan kalimat khalifah. Dalam berbagai keadaan kalimat imam juga bisa
berarti pemimpin salat berjamaah dan kalimat imam juga bisa digunakan
untuk gelar para ilmuan agama islam terkenal.
3. Mitos:
Suami sebagai imam adalah suami yang mampu menjadi suri teladan
dalam keluarganya, dan ia pun harus berakhlak mulia serta serta memiliki
ilmu agama yang dalam memimpin keluarganya, suami harus bijaksana,
arif, adil, menasehati anak dan istrinya. Juga menjamin kehalalan nafkah
yang dibawa pulang untuk anak istrinya. Imam akan selalu diikuti gerak-
geriknya dalam shalat oleh jama’ah yang lain. Untuk menjadi seorang imam
harus mempunyai syarat-syarat diantaaranya seperti sehat akalnya, dan lebih
fasih bacaannya.
74
Tabel 4.7 Keyakinan Fira terhadap Keputusannya
Scene Visual Percakapan
Scene 7
Gambar 7
Eskpresi Fira yang merasa yakin
dengan keputusannya
Fira: Ini pilihan yang Insya
Allah ga akan aku
sesali ko,
Rifa: yakin?
Fira: Iya Insya Allah yakin
Rifa: Tapi ra, buat apa coba
dulu kamu sekolah
tinggi-tinggi kalo ujung-
ujungnya kamu cuma
jadi ibu rumah tangga
Fira: Setiap wanita harus punya
pendidikan yang baik fa,
kan kita yang akan
menjadi madrasah
pertama anak-anak kita
nanti
75
1. Denotasi:
Tabel 4.7 diatas menampilkan bahwa Fira yakin terhadap keputusannya
untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya di kantor. Kemudian terdapat
suatu kondisi yang membuat temannya (Rifa) tidak yakin dan bertanya
keyakinan keputusan Fira agar tidak ada penyesalan nantinya dengan
keputusan untuk fokus menjadi ibu rumah tangga. Pernyataan ini dapat di
lihat dari teks percakapan berikut:
“Tapi ra, buat apa coba dulu kamu sekolah tinggi-tinggi kalo ujung-
ujungnya kamu cuma jadi ibu rumah tangga”
2. Konotasi:
Pada kutipan teks diatas menjelaskan bahwa menjadi ibu rumah tangga
tidak perlu sekolah tinggi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
ibu rumah tangga dapat diartikan sebagai seorang wanita yang mengatur
penyelenggaraan berbagai macam pekerjaan rumah tangga (tidak bekerja di
kantor). Ibu rumah tangga adalah wanita yang banyak menghabiskan
waktunya dirumah dan mempersembahkan waktunya terebut untuk
mengasuh dan mengurus anak anaknya menurut pola yang diberikan
masyarakat umum. Dalam bahasa lain dipahami bahwa ibu rumah tangga
adalah wanita yang mayoritas waktunya dipergunakan untuk mengajarkan
dan memelihara anak anaknya dengan pola asuh yang baik dan benar.
3. Mitos:
Ibu rumah tangga adalah seorang wanita yang bekerja menjalankan atau
mengelola rumah keluarganya, bertanggung jawab untuk mendidik anak-
anaknya, memasak, dan menghidangkan makanan, membeli barang-barang
kebutuhan keluarga sehari-hari, membersihkan dan memelihara rumah,
76
menyiapkan dan menjahit pakaian untuk keluarga dan lain sebagainya. Ibu
rumah tangga umumnya tidak bekerja diluar rumah tetapi di bidang
domestik.
Tabel 4.8 Suasana saat istri menyambut suami pulang bekerja
Scene Visual Percakapan
Scene 8
Gambar 8
Fira menyiapkan makanan dan
menyambut suaminya pulang
dari bekerja
Suami: Assalamualaikum
Fira: Walaikumsallam,
alhamdulillah.. makan yuk
mas, tapi mandi dulu ya..
aku masak enak loh
Suami: humm aku makan dulu baru
mandi boleh
Fira: Boleh, tapi aku temeninnya
sambil tutup hidung ya
Suami: hahahaha
1. Denotasi:
Tabel 4.8 diatas menunjukan bahwa, pada akhir film tokoh utamanya
yaitu Fira akhirnya memutuskan untuk melepaskan pekerjaannya di kantor
demi menjalankan pengabdiannya kepada suami di bidang domestik.
Dengan mengabdi kepada suami untuk melayani dan memenuhi
kebutuhannya. Hal itu tampak pada gambar diatas saat berada di ruangan
makan, Fira sudah menyiapkan berbagai macam makanan yang sudah
77
dimasaknya. Kemudian setelah itu menyambut suaminya yang sudah pulang
dari bekerja.
2. Konotasi:
Dari adegan diatas bahwa Fira telah melakukan pengorbanan untuk
menjalankan pengabdiannya kepada suami. Dimana pengabdian kepada
suami merupakan suatu bentuk ketaatan seorang istri kepada suami yang
telah menikah dan berkeluarga. Hal tersebut menunjukan bahwa Fira telah
mengorbankan karirnya dengan memutuskan berhenti dari bekerja demi
menjalankan pengabdian kepada suami. Sehingga pada akhirnya Fira
memutuskan untuk menjalankan pekerjaan di bidang domestik.
3. Mitos:
Rela berkorban menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), rela
adalah bersedia dengan senang hati dan tidak mengharapkan imbalan atas
kemauan sendiri, sedangkan berkorban adalah memberikan segala sesuatu
yang dimiliki sekalipun menimbulkan penderitaan bagi dirinya sendiri. Rela
berkorban juga dapat di definisikan sebagai sikap dan perilaku yang
dilakukan dengan ikhlas serta mendahulukan kepentingan orang lain
daripada kepentingan pribadi dan tidak mengharapkan imbalan apapun di
dunia sekalipun menimbulkan kerugian atau penderitaan bagi dirinya. Sikap
rela berkorban adalah sikap yang mencerminkan adanya keikhlasan dalam
memberikan sesuatu yang dimiliki untuk orang lain, meskipun akan
menimbulkan rasa ketidaknyamanan atau kerugian pada diri sendiri.
78
B. Analisis Feminisme Makna Narasi dan Tanda Dalam Film
Dalam analisis penelitian ini, Film Istri Paruh Waktu memiliki makna
secara strukural aktansial dan fungsional. Dalam penelitian ini menunjukkan
secara jelas dan dikotomis antara tokoh protagonis dan antagonis dalam film.
Adapun tokoh Protagonis dalam film Istri Paruh Waktu dikategorikan sebagai
sosok Fira, seorang istri memutuskan untuk mengundurkan diri dari karirnya
di kantor karena merasa bersalah belum bisa menjadi istri yang baik.
Tokoh antagonis dalam cerita film di perankan oleh sosok Rifa. Sosok
Rifa yang berusaha untuk mencegah dan menentang keputusan Fira untuk
tidak mengundurkan diri dari pekerjannya dikategorikan sebagai tokoh
antagonis. Dari kedua situasi dan kondisi tokoh tersebut menunjukan bahwa
tokoh protagonis diperankan oleh tokoh utama dalam cerita film yaitu Fira
dan antagonis di perankan oleh sosok Rifa dalam film yang menjadi
penghalang.
Berdasarkan hal itu dapat terlihat tanda-tanda pada scene secara
keseluruhan yang menunjukan makna dalam teks dan gambar, bahwa terdapat
makna denotasi, konotasi, dan mitos. Adapun makna Denotasi dalam analisis
film Istri Paruh Waktu menggambarkan seorang perempuan muslimah yang
sempurna keimanannya dalam kerangka islam. Hal itu terlihat dari gambar
yang menunjukan perempuan yang menggunakan jilbab yang menjadi lebih
syar’i dan memutuskan untuk fokus menjalankan peran sebagai seorang istri
dan ibu di bidang domestik.
Selain itu makna Konotasi yang terdapat pada film Istri Paruh Waktu
menunjukan bahwa bagaimana seorang istri rela berkorban untuk menjadi
79
perempuan yang sempurna keimanannya. Hal itu yang membuat tokoh utama
dalam film merasa dilema antara karir dan pengabdiannya kepada suami, dan
makna Mitos dari hasil analisis data mitos, pada kedelapan scene film Istri
Paruh Waktu menunjukan sebuah gambaran tentang seorang perempuan yang
di stereotipe sebagai seorang istri yang seharusnya mengabdi kepada suami
dan menjalankan perannya di bidang domestik.
Dari kajian feminisme bahwa dari cerita film Istri Paruh Waktu
perempuan digambarkan atau dilihat secara timpang berdasarkan peran dan
fungsinya, secara stereotipe bahwa perempuan yang bertanggung jawab
dalam bidang domestik, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan rumah
tangga. Selain itu menandakan makna seorang perempuan yang mempunyai
keinginan menjadi perempuan dengan ketaatan (iman) yang sempurna. yang
ditunjukan bahwa seorang istri itu sebaiknya berada dirumah menjalankan
tugas dan pekerjaan di bidang domestik. Dengan mengambil keputusan
berhenti bekerja, maka perempuan bisa lebih fokus menjalankan kewajiban
sebagai istri dan ibu yang bertanggung jawab di bidang domestik.
Berdasarkan perspektif feminisme liberal menjelaskan bahwa perempuan
memiliki otonomi untuk meraih kebahagiannya, perempuan memiliki
kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam hal kebebasan sipil, seperti
hak poltik perempuan, dan dalam bidang ekonomi.5 Menolak adanya status
quo khususnya dominasi suami dalam keluarga dan mendukung perempuan
untuk bekerja di ranah publik.6
5 Arivia, Filsafat Berspektif Feminis, (Jakarta, Buku Kompas, 2003) h. 92.
6 Ida Rosyidah, Relasi Gender Dalam Agama-Agama (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2013)
h. 54.
80
Dalam pandangan Islam, bekerja merupakan suatu tugas yang mulia yang
akan membawa diri seseorang pada posisi terhormat, bernilai, baik di mata
Allah SWT maupun dimata kaumnya. Oleh sebab itulah Islam menegaskan
bahwa bekerja merupakan sebuah kewajiban yang setingkat dengan ibadah.
Orang yang bekerja akan mendapat pahala sebagaimana orang beribadah.
Terdapat ayat dalam Al Quran yang menegaskan perintah untuk bekerja
dalam surat At-Taubah: (9) 105 sebagai berikut:
ٱلش لم ٱلغيب ع إل ستشد ٱلمؤمن سسلوۥ عملكم قل ٱعملا سيش ٱلل ذة ينبئكم بمب ي
مل ٥٠٩كنتم ت
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-
orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”
Surat Al-Ankabut: (29) 17 sebagai berikut:
ب ل يملك لكم إنمب ت بذ من د ٱلل كب إ ٱلزين ت تخلق إ نب ث أ سصقب ٱبتغا ذ من د ٱلل
ٱشكشا لوۥ إليو تشج ٱعبذه صق ٱلش ٥٧عنذ ٱلل
“Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan
kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu
tidak mampu memberikan rezeki kepadamu; maka mintalah rezeki itu di sisi
Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-
Nya-lah kamu akan dikembalikan”
Dalam film menunjukan makna bahwa seorang perempuan lebih baik
tidak bekerja di luar rumah, padahal di dalam Al Quran dan hadis tidak
ditemukan larangan yang tegas bagi perempuan untuk memilih profesi, baik
profesi itu dikerjakan secara sendiri atau secara kolektif, baik di lembaga-
lembaga pemerintah maupun di lembaga-lembaga swasta, selama pekerjaan
81
itu halal dan dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, menghormati ajaran
agamanya, dan mencegah hal-hal yang dapat menimbulkan kemudaratan.7
Dalam perspektif feminisme Islam, dalam hal urusan rumah tangga
suami dan istri dapat secara bergantian atau bekerjasama melakukan
pekerjaan-pekerjaan tersebut, sesuai dengan kesempatan, kondisi dan
kelapangan. Kerisihan seorang suami yang mencuci piring dan memasak
hanya karena adanya anggapan yang sudah mengakar bahwa semua itu
adalah tugas-tugas kewanitaan.
Ibn Hazm, seperti dikutip oleh Quraish Shihab, bahwa seorang istri
pada dasarnya tidak berkewajiban melayani suaminya dalam hal
menyediakan makanan, menjahit pakaian dan sebagainya. Justru suamilah
yang berkewajiban menyiapkan pakaian bagi istri dan anak-anaknya dan
menyediakan makanan siap saji. Jika terdapat suami membantu istri
memasak, menyiapkan makanan. Menjadi hal yang wajar karena memang
seharusnya suami bisa membantu istri dalam bidang pekerjaan dirumah. Hal
itulah yang menjadi pemaknaan dalam analisis berdasarkan kajian
feminisme yang secara umum .
7 Nasarudin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi, 2010) h. 150.
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dari tiap bab penulis mengambil kesimpulan
dengan menggunakan Analisis naratif struktural aktansial dan fungsional
model Greimas menunjukan bahwa tokoh Protagonis dalam film Istri
Paruh Waktu dikategorikan sebagai sosok Fira, seorang istri yang
memutuskan untuk mengundurkan diri dari karirnya untuk merubahnya
agar dapat menjalankan pengabdian kepada suami untuk mencapai
keimanan yang sempurna. Adapun tokoh antagonis dalam cerita film di
perankan oleh sosok Rifa. Sosok Rifa yang berusaha untuk mencegah dan
menentang keputusan Fira untuk tidak mengundurkan diri dari
pekerjaannya dikategorikan sebagai tokoh antagonis.
Berdasarkan hal tersebut terdapat beberapa aktan yang mendukung
narasi dalam cerita berdasarkan peran dan fungsinya dalam analisis yaitu:
1) Subjek yang diperankan oleh sosok Fira, seorang istri yang bekerja,
yang memutuskan untuk mengundurkan diri dari karirnya karena ingin
mengabdi kepada suaminya sebagai pengejawantahan diri seorang
muslimah yang sempurna, 2) objek dalam film ini, keinginan menjadi
perempuan dengan ketaatan (iman) yang sempurna menjadi tujuan Fira.
Oleh karena itu, mengabdi untuk memperoleh keimanan sempurna
dikategorikan sebagai objek dalam cerita. Peran subjek didorong oleh
suatu kondisi atau seseorang, yang disebut sebagai pengirim, 3) pengirim
yaitu 1) Adegan saat suami Fira menyiapkan makan malam untuk dirinya
83
yang pulang malam karena ada pekerjaan yang menyibukan di kantor, dan
2) Adegan saat Fira mendengar doa suaminya saat sholat ditengah malam
yang berharap agar Allah menjadikan dirinya imam yang baik. Dua
kondisi ini dikatakan sebagai pengirim
Selain itu ada seseorang atau situasi yang dianggap membantu
subjek (Fira) untuk mencapai tujuan atau objek yang disebut sebagai
penolong, 4) Penolongnya adalah keputusan Fira untuk mengundurkan
diri dari pekerjaannya. Adapun dalam cerita terdapat sesuatu yang
menghalanginya untuk menjalankan objek yang disebut sebagai
penghalang, 5) Penghalang yaitu kondisi kantor yang sibuk dianggap
merintangi Fira untuk mengurus keluarganya dengan baik. Demikian juga
dengan sosok Rifa yang berusaha untuk mencegah Fira untuk tidak
mengundurkan diri dari karirnya di kantor. Adapun yang berperan sebagai
6) Penerima adalah Fira.
Hal tersebut dapat terlihat dari tanda-tanda atau scene-scene dari
makna semiotika dalam film yaitu: 1) Makna denotasi dalam analisis film
Istri Paruh Waktu menggambarkan seorang perempuan muslimah yang
sempurna keimanannya dalam kerangka Islam. Hal itu terlihat dari gambar
yang menunjukan perempuan yang menggunakan jilbab yang menjadi
lebih syar’i dan memutuskan untuk fokus menjalankan peran sebagai
seorang istri dan ibu di bidang domestik, Selain itu 2) Makna konotasi
yang terdapat pada film Istri Paruh Waktu menunjukan bahwa bagaimana
seorang istri rela berkorban dan berjuang untuk menjadi perempuan yang
sempurna keimanannya. Hal itu yang membuat tokoh utama dalam film
84
yang merasa dilema antara karir dan pengabdiannya kepada suami, dan 3)
makna Mitos dari hasil analisis data mitos menunjukan sebuah gambaran
tentang seorang perempuan yang di stereotipe sebagai seorang istri yang
seharusnya mengabdi kepada suami dan menjalankan perannya di bidang
domestik.
Dari segi kajian feminisme bahwa dari cerita film tersebut
menandakan makna bahwa terdapat sebuah konstruksi makna perempuan
muslimah dalam film yang berjudul “Istri Paruh Waktu”. Secara stereotipe
perempuan dikonstruksi atau dilihat secara timpang berdasarkan peran dan
fungsinya. Bahwa perempuan yang bertanggung jawab dalam bidang
domestik, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan rumah tangga
Pada dasarnya perlu adanya relasi antara suami dan istri dalam
mengambil keputusan dalam bidang pekerjaan domestik dan non
domestik. Agar terciptanya keseimbangan dalam menjalankan fungsi dan
peran dalam rumah tangga dengan adanya kerjasama dan saling
membantu. Tetapi hal terpenting adalah menyingkirkan dilema antara
mana yang lebih penting, keluarga atau karir. Hal itu bisa di lihat dengan
bagaimana setiap perempuan memandang nilai sebuah kebahagiaan dalam
hidupnya. Jangan hanya menilai sesuatu dari perspektif masyarakat
terdahulu, yang memberikan sebuah batasan untuk perempuan
mengembangkan kompetensi atau kreativitasnya. Sudah saatnya
masyarakat lebih objektif dalam menerima sebuah stereotipe yang hadir di
tengah kehidupan masyarakat. Karena stereotipe dapat terus-menerus di
85
lestarikan melalui komunikasi dan budaya yang beredar di kalangan
masyarakat dan dapat diturunkan ke generasi berikutnya.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa hal yang
dapat menjadi saran dari peneliti yaitu:
1. Kepada para pembaca yang hendak melakukan penelitian khususnya
pada kajian film, hendaknya mampu mengembangkan penelitian
dengan metodologi yang sesuai dengan kajian film.
2. Bagi penelitian selanjutnya yang akan mengkaji tentang konstruksi
perempuan dalam sebuah film, alangkah bagusnya mewaancarai
narasumber untuk mengetahui tanggapan mereka terkait film tersebut.
3. Berharap Film Maker Muslim dapat terus membuat karya film yang
menginspirasi, kreatif dan tetap mengangkat fenomena yang jarang
diangkat oleh pembuat film lainnya.
4. Pembuat film sebaiknya mengkaji film lebih dalam terlebih dahulu
mengenai produksi film, agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam
memahami sebuah stereotipe tentang perempuan.
86
DAFTAR PUSTAKA
Ardianto Elvinaro, 2007, dan Lukati Komala Erdinaya, Komunikasi Massa Suatu
Pengantar (Bandung: Simbiosa Rekatama Media)
Ardianto Elvinaro dan Bambang Q-Anees, 2007, Filsafat Ilmu Komunikasi
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media)
Arivia Gadis, 2003, Filsafat Berspektif Feminis, (Jakarta: Buku Kompas)
Bungin Burhan, 2009, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu sosial (Jakarta: Prenada Media Grup)
Effendy, Onong Uchjana. 1986, Televisi Siaran, Teori dan Praktek., (Bandung:
Alumni)
Eriyanto, 2001, Analisis Wacana (Pengantar Analisis Teks Media), (Yogyakarta;
PT LkiS Printing Cemerlang)
Eriyanto, 2013, Analisis Naratif, : Dasar-Dasar Penerapannya dalam Analisis
Teks Berita Media, (Jakarta: Kencana)
Esplen, E & Jolly, S, 2006, Gender and sex: a sample of definitions‟, Bridge
(gender and development). (Brighto: University of Sussex)
Herdiansyah Haris, 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk ilmu sosial
(Jakarta: Salemba Humanika)
Haryatmoko, 2016, Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Kritis),
(Yogyakarta: PT. Rajagrafindo Persada)
Hartley John, 2009, Communication, Cultural, & Media Studies (Konsep Kunci),
(Yogyakarta: Jalasutra)
Ihromi T.O, 1995, Kajian Wanita Dalam Pembangunan, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia)
87
Irwanto Budi, 2005, Film, Ideologi: Hegemoni Militer, dalam sinema Indonesia
(Yogyakarta: Aksara)
Liliweri, 2001, Gara-Gara Komunikasi Antar Budaya, (Bandung: Remaja
Rosdakarya)
McQuail Denis, 1987, Teori Komunikai Massa Suatu Pengantar, (Jakarta:
Erlangga)
Megawangi Ratna, 1996, Perkembangan Teori Feminisme Masa Kini dan
Mendatang serta Kaitannya dengan Pemikiran Keislaman, (dalam jurnal
Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, Edisi ke-1)
Megawangi Ratna, 1999, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru Tentang
Relasi Gender, (Bandung: Mizan)
Moleong Lexy J, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revis (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya Offset)
Morissan, 2005, Media penyiaran: Strategi Mengelola Radio dan Televisi (
Tangerang: Ramdina Prakarsa)
Mulyana Deddy, 2006, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda
Karya)
Mulyati, Sri, 2004, Relasi Suami Istri dalam Islam, (Jakarta: PSW UIN Jakarta)
Mustofa Abdul Wahid, 2004, Manajemen Keluarga Sakinah,( Yogyakarta: Diva
Press)
Pawito, 2007, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: LkiS)
Prakoso Gatot, 1977, Film Pinggiran-Analogi Film Pendek , Eksperimental &
Dokumenter (Jakarta: Fatma Press)
88
Pranajaya Adi, 2000, Film dan Masyarakat Sebuah Pengantar (Jakarta: BPSDM
Citra Pusat Perfilman)
Purwasito Andik, 2003, Komunikasi multi cultural, (Surakarta: muhammadiah
university press)
Ramazanoglu Caroline, 1989, Feminism and Contradiction, (London: Routledge)
Rivers, William, dkk., 2008, Media Massa dan Masyarakat Modern (Jakarta:
Kencana)
Rokhmansyah Alfian, 2014, Studi dan Pengkajian Sastra (Perkenalan Awal
Terhadap Ilmu Sastra), (Yogyakarta: Graha Ilmu)
Rosyidah Ida, Hermawati, 2013, Relasi Gender Dalam Agama-Agama, (Jakarta:
UIN Jakarta Press)
Salim Abdullah, 1994, Akhlak Islam (Membina Rumah Tangga dan Masyarakat),
(Jakarta, Media Da’wah)
Sean M b ac Bride, 1983, Komunikasi dan masyarakat sekarang dan masa depan,
aneka suarasatu dunia (Jakarta: PN Balai Pustaka Unesco)
Sugiyono. 2005, Memahami Penelitian Kualitatif. (Bandung: ALFABETA,
Bandung)
Suralaga Fadilah, dkk, 2003, Pengantar Kajian Gender, (Jakarta: Pusat Studi
Wanita (PSW) UIN Jakarta dengan McGill-ICIHEP)
Tong, Rosemarie Putnam, 1998, Feminist Thought: Pengantar paling
Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, terj. Aquarini
Priyatna Prabasmoro, (Yogyakarta: Jalasutra)
Umar Nasarudin, 2010, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi)
Yamani Mai, 2000, Feminisme dan Islam, (Bandung: Penerbit Nuansa)
89
WEBSITE :
http://kbbi.web.id/film.html diakses pada tanggal 28 Juli 2017
http://www.lemlit.undip.ac.id/abstrak/index2.php?option=com_content&task
diakses pada tanggal 18 Oktober 2017
https://m.facebook.com/filmmakermuslim/photos/a.3656 diakses pada tanggal 22
mei 2018
https://m.youtube.com/user/wantproductiontv diakses pada tanggal 30 Mei 2018
https://hellohijabers.wordpress.com/2015/06/16/profile-orang-orang-di-balik-
layar-film-maker-muslim-2/ diakses pada 22 mei 2018
JURNAL :
Anderson Daniel Sudarto, “Analisis Semiotika Film Alangkah Lucunya Negeri
ini,” Jurnal pcta Diurna, Volume 4, Nomer. 1, 2015
M Hajir Mutawakkil, Keadilan Islam Dalam Persoalan Gender, Jurnal Kalimah,
Vol. 12, Nomer. 1, Maret 2014
Nazla Putri Utari, Pemaknaan Penggunaan Jilbab Syar‟i di Kalangan Mahasiswa
Psikologi, Jurnal Simbolika, Volume 1, Nomer. 1, April 2015
Siti Rofi’ah, Membangun Pola Relasi Keluarga Berbasis kesetaraan dan keadila
gender, Muwaza, Vol 7, Nomer 2, 2015
M. Noor Harisudin, Pemikiran Feminis Muslim di Indonesia Tentang Fiqh
Perempuan, Jurnal Al- Tahrir, Vol. 15, No. 2, November 2015