Upload
tai
View
59
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Makalh Psikologi Pendidikan
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring berjalannya waktu dan semakin pesatnya tingkat intelektualitas
serta kualitas kehidupan, maka pendidikan pun menjadi lebih kompleks. Oleh
karena itu, tentu saja hal ini membutuhkan sebuah desain pendidikan yang tepat
dan sesuai dengan kondisinya. Sehingga berbagai teori, metode dan desain
pembelajaran serta pengajaran pun dibuat dan diciptakan untuk mengapresiasikan
semakin beragamnya tingkat kebutuhan dan kerumitan permasalahan pendidikan.
Jadi memang itulah yang menjadi esensi pendidikan itu sendiri, yakni bagaimana
menciptakan sebuah kehidupan lebih baik yang tercipta dari proses pendidikan
yang kontekstual dan mampu menyerap aspirasi zaman dengan tepat dan sesuai.
Guru di dalam melaksanakan pembelajaran, juga harus bisa memilih
maupun menetapkan suatu pendekatan pembelajaran yang tepat di kelas sehingga
hasil pembelajaran lebih optimal, selayaknya seseorang dalam menjalankan
kehidupannya sehari-hari yang harus mampu menetapkan sasaran yang hendak
dicapai. Guru pun demikian, harus bisa menetapkan pendekatan pembelajaran
yang tepat.
Masing–masing individu akan memilih cara dan gayanya sendiri untuk
belajar dan mengajar, namun setidak-tidaknya ada karakteristik tertentu dalam
pendekatan pembelajaran tertentu yang khas dibandingkan dengan pendekatan
lain. Salah satu contoh pendekatan pembelajaran adalah pendekatan
konstruktivisme. Konstruktivisme menekankan pentingnya setiap siswa aktif
mengkonstruksikan pengetahuan melalui hubungan saling mempengaruhi dari
belajar sebelumnya dengan belajar baru. Hubungan tersebut dikonstruksikan oleh
siswa untuk kepentingan mereka sendiri. Elemen kuncinya adalah bahwa orang
belajar secara aktif mengkonstruksikan pengetahuan mereka sendiri,
membandingkan informasi baru dengan pemahaman sebelumnya dan
menggunakannya untuk menghasilkan pemahaman baru. Untuk itu, setiap
1
pelajaran di sekolah perlu diarahkan untuk selalu mendidik siswa agar
mengkonstruksikan pengetahuannya.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis akan memaparkan beberapa poin mengenai:
a. Apa itu teori konstruktivis?
b. Bagaimana pendekatan konstruktivis sosial untuk pengajaran?
c. Bagaimana guru dan teman sebaya bisa menjadi kontributor bersama
dalam pembelajaran murid?
d. Bagaimana menyusun kelompok kerja kecil?
e. Apa saja program konstruktivis sosial?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami melakukan penulisan makalah ini adalah untuk :
a. Menjelaskan teori konstruktivis.
b. Menjelaskan pendekatan konstruktivis sosial untuk pengajaran.
c. Menjelaskan bagaimana guru dan teman sebaya bisa menjadi kontributor
bersama dalam pembelajaran murid.
d. Menjelaskan bagaimana menyusun kelompok kerja kecil.
e. Menjelaskan program konstruktivis sosial.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pendekatan Konstruktivis Sosial untuk Pengajaran
Konstruktivisme merupakan strategi pengajaran yang menekankan peran
individu yang secara aktif menyusun dan membangun (to construct) pengetahuan
dan pemahaman (Santrock, 2010). Prinsip konstruktivisme ini merupakan inti dari
filsafat pendidikan William James dan John Dewey.
Menurut Brooks & Brooks, 2001 (dalam Santrock, 2010), dalam
pandangan konstruktivis, guru bukan sekedar memberi informasi ke pikiran anak,
tetapi guru harus mendorong anak untuk mengeksplorasi dunia mereka,
menemukan pengetahuan, merenung dan berpikir secara kritis.
Pendekatan konstruktivistik sosial menggunakan sejumlah inovasi di
dalam pembelajaran di kelas. Sebelum kita mempelajari inovasi-inovasi tersebut,
pertama-tama mari kita mantapkan pengetahuan kita tentang berbagai perspektif
konstruktivis dan dimana dimana tempat pendekatan konstruktivis sosial dalam
kerangka konstruktivis pada umumnya.
2.1.1. Konstruktivisme Sosial dalam Konteks Konstruktivis yang Lebih
Luas
Konstruktivisme menekankan bahwa individu akan belajar dengan baik
apabila mereka secara aktif mengkonstruksi pengetahuan dan pemahaman. Pada
pembahasan sebelumnya yaitu Perkembangan Kognitif telah dideskripsikan teori
dari Piaget dan Vygotsky yang keduanya bersifat konstruktivis. Menurut
pendekatan konstruktivis tersebut dapat disimpulkan bahwa murid menyusun
sendiri pengetahuannya.
Pendekatan konstruktivis sosial menekankan pada konteks sosial dari
pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikonstruksi secara
bersama (Bearison & Dorval, 2002; dalam Santrock, 2010). Keterlibatan dengan
orang lain membuka kesempatan bagi murid untuk mengevaluasi dan
3
memperbaiki pemahaman mereka saat mereka bertemu dengan pemikiran orang
lain dan saat mereka berpartisipasi dalam pencarian pemahaman bersama
(Gauvain, 2001; dalam Santrock, 2010). Dengan ini, pengalaman sosial
memberikan peranan penting dalam mekanisme perkembangan pemikiran murid.
Dari beberapa teori konstruktivis, teori konstruktivis Vygotsky sangat
relevan dengan pendekatan konstruktivis sosial. Dari teori Piaget ke teori
Vygotsky terdapat pergeseran konseptual dari individual ke kolaborasi, interaksi
sosial, dan aktivitas sosiokultural. Dalam pendekatan konstruktivis Piaget, murid
mengkonstruksi pengetahuan dengan menstransformasi, mengorganisasi, dan
mereorganisasikan pengetahuan dan informasi sebelumnya. Sedangkan Vygotsky
menekankan bahwa murid mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial
dengan orang lain. Isi dari pengetahuan ini dipengaruhi oleh kultur di mana murid
tinggal, yang mencakup bahasa, keyakinan, dan keahlian/keterampilan.
Dalam model Piaget dan Vygotsky, guru berfungsi sebagai fasilitator dan
membimbing ketimbang sebagai pengatur dan pembentuk pembelajaran anak.
Sering kali taka da perbedaan tegas antara konstruktivis sosial dengan pendekatan
konstruktivis lainnya.
Dalam suatu analisis terhadap pendekatan konstruktivis sosial, guru
dikatakan tertarik untuk melihat pembelajaran melalui tatapan mata murid
(Oldfather, dkk., 1999; dalam Santrock, 2010). Analisis yang sama juga mencatat
beberapa karakteristik kelas konstruktivis sosial.
1. Orientasi tujuan penting dari kelas ini adalah konstrusi makna
kolaboratif,
2. Guru memantau perspektif, pemikiran, dan perasaan murid,
3. Guru dan murid saling belajar dan mengajar,
4. Interaksi sosial mendominasi kelas,
5. Kurikulum dan isi fisik dari kelas mencerminkan minat murid dan
dipengaruhi oleh kultur mereka.
2.1.2. Situated Cognition
Situated Cognition atau kognisi yang ditempatkan adalah teori yang
menekankan bahwa pengetahuan seseorang dibentuk dan disituasikan dalam
4
konteks sosial dan fisik yang berkaitan dengan apa yang dipelajari (Brown,
Collins, & Duguid, 1989). Jika demikian, maka akan memungkinkan untuk
menciptakan situasi pembelajaran yang semirip mungkin dengan dunia nyata.
2.2 Guru dan Teman Sebaya sebagai Kontributor Bersama untuk
Pembelajaran Murid
Guru dan teman sebaya dapat memberi kontribusi bersama untuk
pembelajaran murid. Ada empat alat untuk melakukan metode ini, yaitu
scaffolding, pelatihan kognitif (cognitive apprenticeship), tutoring, dan
pembelajaran kooperatif. (Rogoff, 1998; Rogoff, Turkanis & Bartlett, 2001;
dalam Santrock, 2010).
2.2.1 Scaffolding
Kita mendeskripsikan scaffolding sebagai tekhnik mengubah level
dukungan di sepanjang jalannya sesi pengajaran, orang yang lebih ahli (guru atau
teman sesama murid yang lebih pandai) menyesuaikan jumlah bimbingannya
dengan kinerja murid. Setelah kompensasi murid meningkat, bimbingan
dikurangi.
Bayangkan scaffolding seperti tiang penopang saat membangun jembatan.
Penopang itu membantu saat dibutuhkan, namun ia disesuaikan dan secara
bertahap diambil saat jembatan sudah hampir selesai. Para peneliti menemukan
bahwa ketika scaffolding dipakai oleh guru dan teman sebaya dalam pembelajaran
kolaboratif, murid akan terbantu dalam proses belajarnya (Pressley, dkk, 2001;
Yarrow & Toping, 2001; dalam Santrock, 2010)
2.2.2. Pelatihan Kognitif
Psikolog perkembangan Barbara Rogoff (1990) percaya bahwa alat
penting dari pendidikan adalah pelatihan kognitif (cognitive apprenticeship), yang
berarti bahwa pakar memperluas dan mendukung pemahaman pemula dan
menggunakan keahlian kultur. Istilah “pelatihan” atau “magang” (apprenticeship)
menunjukkan pentingnya aktivitas dalam pembelajaran dan menjelaskan sifat dari
5
pembelajaran yang ditempatkan dalam suatu konteks. Dalam pelatihan kognitif,
guru sering kali memberi contoh strategi kepada murid tersebut untuk
melaksanakan tugas. Terakhir, mereka mendorong murid itu untuk melanjutkan
tugasnya secara mandiri.
Untuk mengilustrasikan arti penting pelatihan kognitif dalam
pembelajaran, Rogoff (1990) mendeskripsikan pengalaman yang berbeda dari
murid dari keluarga berpendapatan menengah dan keluarga miskin. Banyak
orangtua kelas menengah telah melibatkan anak-anaknya dalam pelatihan kognitif
sebelum mereka masuk TK atau SD. Mereka membaca buku bergambar bersama
anaknya dan mengajak murid berlatih komunikasi verbal. Sebaliknya, orang yang
miskin di Amerika lebih kecil kemungkinannya mengajak anaknya dalam
pelatihan kognitif yang melibatkan buku, komunikasi verbal yang ekstensif, dan
scaffolding (Heath, 1989; dalam Santrock, 2010).
Aspek kunci dari pelatihan kognitif adalah evaluasi ahli atas kapan
pembelajar sudah siap diajak ke langkah selanjtnya (Rogoff, 1998; dalam
Santrock, 2010). Dalam sebuah studi tentang intruksi pakar dalam bidang sains
dan matematika, para pakar itu memberi perhatian pada timing dari partisipasi
murid mereka dalam diskursus (Fox, 1993; dalam Santrock, 2010). Berdasarkan
pengetahuan yang diambil dari timing itu, para pakar mampu menentukan
seberapa baik murid dalam memahami pelajaran.
Kesadaran akan timing juga memampukan pakar untuk berhenti sejenak
pada momen yang tepat sehingga murid dapat mengantisipasi pemikiran pakar
dan melengkapi pemikiran si pakar. Dengan kata lain, pakar memberi kesempatan
pada murid untuk merespons secara tepat pada saat murid melewatkan
kesempatan untuk meemberi respons, pakar memerhatikan apa yang dilakukan si
murid. Misalnya seorang murid mungkin sedang sibuk menghitung atau menatap
kosong dengan tatapan kosong. Jika murid melewatkan dua atau tiga kali
kesempatan untuk merespons, pakar akan memberi penjelasan lanjutan. jika jelas
tidak ada pemahaman setelah penjelasan lanjutan diberikan, pakar itu akan
mengulangi atau merumuskan ulang apa yang mereka jelaskan.
6
Pakar juga menggunakan penyelesaian pernyaatan secara kolaboratif
sebagai salah satu cara untuk mencari tahu apa yang dipahami oleh murid. Strategi
umum yang digunakan oleh pakar adalah menggunakan pertanyaan “petunjuk”
agar murid tidak bingung. Jadi, pakar sering kali berusaha mengetahui level
pemahaman murid dengan mengobservasi wajah mereka dan cara mereka
menjawab pertanyaan. Pelatihan kognitif ini penting dikelas. Periset telah
menumukan bahwa pembelajaran murid akan terbantu bila murid menganggap
murid sedang berlatih, menggunakan scaffolding. Dan ikut berpartisipasi dalam
membantu murid belajar (Englert, Berry, & Dunsmoore, 2001; dalam Santrock,
2010).
2.2.3. Tutoring
Tutoring pada dasarnya adalah pelatihan kognitif antara pakar dengan
pemula. Tutoring bisa terjadi antara orang dewasa dan anak-anak, atau antara anak
yang lebih pandai dengan anak yang kurang pandai. Tutoring individual adalah
strategi yang efektif dan menguntungkan banyak murid, terutama mereka yang
kurang pandai dalam suatu mata pelajaran.
a. Pembantu Kelas, Sukarelawan, dan Mentor
Beberapa program tutoring individual telah dikembangkan. Program
Reading Recovery menawarkan sesi tutorial tatap muka masing-masing selama
satu jam sehari untuk murid yang kesulitan belajar membaca walau sudah
mendapat pelajaran formal selama setahun (Sensenbaugh,1995; dalam Santrock,
2010). Walaupun Reading Recovery merupakan hak cipta dari Ohio State
University dan program yang diizinkan menggunakan materi Marie Clay (1985),
berbagai Reading Recovery berbeda dalam caranya mengembangkan,
mengimplementasikan, dan menilai. Evaluasi atas program Reading Recovery
menunjukkan bahwa murid yang berpartisipasi dalam program itu pada grade
pertama memiliki kemampuan membaca yang lebih baik saat berada di grade
ketiga ketimbang teman mereka yang tidak mengikutinya selama grade pertama
(Sensenbaugh,1994; dalam Santrock, 2010). Akan tetapi, beberapa periset
menemukan bahwa kunci efektivitas program sejenis Reading Recovery adalah
7
sejauh mana keahlian pemrosesan fonologis dimasukkan (Chapman, Tummer, &
Prochnow, 2001; dalam Santrock, 2010).
Program lain yang menggunakan tutoring adalah Succes for All (SFA).
Program ini dikembangkan oleh Robert Slavin dan koleganyaa (1996; Slavin &
Maden, 2001; dalam Santrock, 2010). Program ini mencakup :
1. Program membaca sistematis yang menekankan pada perkembangan
kosakata dan membaca, dan kegiatan bercerita di dalam kelompok
kecil.
2. Periode membaca selama 90 menit setiap hari di mana murid grade
pertama sampai grade tiga dikelompokkan kembali berdasarkan
berkemampuan yang sama, terlepas dari usia.
3. Tutoring membaca diberikan oleh guru ahli dan terlatih secara
individual pada murid yang kemampuan membacanya dibawah rata-
rata.
4. Penilaian dilakukan setiap delapan minggu sekali untuk mengetahui
kemampuan murid, menyesuaikan penempatan kelompok membaca,
dan memberikan tutoring jika diperlukan.
5. Pengembangan profesional untuk guru dan tutor, mencakup tiga hari
training dan bimbingan pada awal tahun ajaran, dan training lanjutan
sepanjang tahun itu.
6. Tim pendukung keluarga yang didesain untuk memberikan pendidikan
parenting dan mendukung keterlibatan keluarga dalam sekolah.
SFA pertama kali diimplementasikan pada tahun 1987-1988 di lima
sekolah di Baltimore, Maryland, dan telah berkembang ke lebih dari 475 sekolah
di 31 negara bagian, melayani lebih dari 250.000 murid. Para peneliti menemukan
bahwa dalam berbagai perbandingan, murid yang berpartisipasi dalam program itu
mempunyai kemampuan membaca yang lebih baik dan berkurang
kemungkinannya untuk dimasukkan ke kelas pendiidkan khusus ketimbang anak
yang tidak mengikuti program tersebut (Slavin & Madden, 2001; Weiler, 1998;
dalam Santrock 2010).
8
b. Tutor Teman Sebaya
Sesama siswa juga dapat menjadi tutor yang efektif. Dalam tutoring teman
sebaya, seorang murid mengajar murid lainnya. Dalam tutoring lintas usia, teman
yang mengajar biasanya berusia lebih tua. Dalam tutoring teman seusia, teman
yang mengajar biasanya teman sekelas. Tutoring teman lintas usia biasanya akan
lebih baik ketimbang tutoring teman susia. Teman yang lebih tua biasanya lebih
pandai ketimbang teman sebaya, dan diajari oleh teman sekelas biasanya akan
membuat murid merasa malu dan menyebabkan perbandingan sosial yang negatif.
Para peneliti telah menemukan bahwa tutoring teman sering kali
membantu prestasi murid (Johnson & Ward,2001; Mathes dkk, 1998; McDonnel
dkk,2001; dalam Santrock, 2010). Dalam beberapa contoh, tutoring memberikan
manfaat bagi tutor maupun yang diajari, terutama ketika tutor yang lebih tua
adalah murid berprestasi rendah. Mengajari orang lain tentang sesuatu adalah cara
terbaik untuk belajar.
Dalam sebuah studi yang memenangkan penghargaan American
Educational Research Association untuk studi riset terbaik, dilakukan riset
terhadap efektifitas tutoring teman sekelas dalam bidang membaca. Evaluasi
dilakukaan terhadap tiga jenis siswa: murid berprestasi rendah dengan
kemampuan, murid berprestasi rendah tanpa kemampuan, murid berprestasi rata-
rata (Fuchs, dkk, 1997; dalam Santrock, 2010). Dua belas sekolah dasar dan
sekolah menengah secara acak ditetapkan sebagai kelompok eksperimental
(tutoring teman) dan kelompok kontrol (tanpa tutoring teman). Program tutoring
berlangsung selama lima belaas minggu. Training tutor teman ini menekankan
pada upaya membantu murid untuk berlatih membaca teks naratif dengan suara
keras, me-review dan mengurutkan pembacaan informasi, meringkas materi
bacaan yang banyak, mengemukakan ide utama, memprediksi dan mengecek hasil
cerita, dan strategi pembaca lainnya. Data prestasi kelas tutoring teman
menunjukkan kemajuan membaca yang lebih besar ketimbang mereka yang tidak
mendapatkan tutoring.
Program tutoring teman sebaya dipakai dalam studi yang baru saja
dideskripsikan di atas dinamakan Peer-Asisted Leraning Trategis (PALS). PALS
9
diciptakan oleh John F. Kennedy Center dan Department of Spesial Education di
Peabody College, di Vanderbilt University. Di dalam PALS, guru
mengidentifikasi anak-anak yang membutuhkan bantuan untuk menguasai
keahlian tertentu, dan anak-anak yang dirasa mampu membantu anak lain
menguasai keahlian tersebut. Berdasarkan informasi ini, guru akan memasangkan
murid di kelas sehingga pasangan itu akan bekerjasama secara produktif untuk
mengatasi problem yang mereka hadapi. Pasangan itu diubah secara reguler
sehingga murid bisa belajar berbagai macam keahlian, karenanya semua murid
berkesempatan menjadi pelatih dan pemain.
PALS adalah aktivitas 25 sampai 35 menit yang digunakan dua sampai
empat kali dalam seminggu. Biasanya PALS menciptakan 13 sampai 15 pasangan
di kelas. Program ini didesain untuk digunakan pada pelajaran membaca dan
matematika untuk anak TK sampai grade enam. Program ini tidak didesain untuk
menggantikan kurikulum yang sudah ada.
Dalam PALS Matematika, murid mengerjakan selembar masalah di suatu
bidang, seperti menambah, mengurangi, konsep angka, grafik, dan diagram.
PALS Matematika memasangkan siswa sebagai pemain dan pelatih. Pelatih
menggunakan lembaran yang berisi serangkaian pertanyaan yang didesain untuk
membimbing pemain dan memberi umpan balik kepada pemain. Murid kemudian
bertukar lembaran dan saling menilai lembar praktik masing-masing. Murid
mendapat nilai karena bekerjasama dan memberikan penjelasan yang baik selama
pelatihan dan karena berhasil mengerjakan soal dengan benar selama latihan. Para
peneliti telah menemukan bahwa PALS Matematika dan PALS Membaca efektif
untuk mengembangkan keahlian membaca dan matematika murid (Fuchs &
Burish, 2000; Fuchs, dkk., 1997; Mathes, torgesen, & Allor, 2001; dalam
Santrock, 2010).
2.2.4. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif terjadi ketika murid bekerja sama dalam
kelompok kecil (kelompok belajar) untuk saling membantu dalam belajar.
Kelompok belajar bersama ini bervariasi dalam ukurannya, meskipun biasanya
10
terdiri dari empat orang. Dalam beberapa kasus, kelompok belajar ini dilakukan
secara berpasangan (dua murid). Ketika murid ditugaskan belajar dalam
kelompok, biasanya kelompok itu akan tetap bertahan selama seminggu atau
sebulan, tetapi kelompok belajar bersama biasanya tidak banyak memakan waktu
murid dalam satu hari pelajaran atau satu tahun ajaran (Sherman, 2001; dalam
Santrock, 2010).
a. Riset terhadap pembelajaran kooperatif
Para periset telah menemukan bahwa pembelajaran koorperatif dapat
menjadi strategi yang efektif untuk meningkatkan prestasi, terutama jika dua
syarat di bawah ini terpenuhi (Slavin, 1995; dalam Santrock, 2010)
• Disediakan penghargaan kelompok. Beberapa tipe pengkuan atau
penghargaan diberikan kepada kelompok sehingga anggota kelompok itu
dapat memahami bahwa membantu orang lain adalah demi kepentingan
diri mereka juga.
• Individu diminati pertanggungjawaban. Perlu digunakan metode
mengevaluasi kontribusi individual, seperti dengan tes individual. Tanpa
akuntabilitas atau tanggung jawab individual, beberapa murid mungkin
akan “bermalas-malasan” (membiarkan murid lain mengerjakan
pekerjaannya sendiri) dan mungkin ada yang merasa diabaikan karena
merasa dirinya tidak banyak memberi kontribusi.
Jika kondisi penghargaan dan akuntabilitas individual di atas terpenuhi,
pembelajaran koorperatif akan meningkatkan pretasi di grade yang berbeda-beda,
dan meningkatkan prestasi di bidang keterampilan dasar seperti ppemecahan
masalah (Johnson & Johnson, 1999, 2002, 2003;Qin, Johnson, & Johnson, 1995).
b. Motivasi
Dalam kelompok belajar , biasanya terjadi pertambahan motivasi untuk
belajar (Johnson & Johnson, 2002; Sapon Shevin, 1999; dalam Santrock, 2010).
Dalam sebuah studi , murid Israel grade lima dan enam diberi pilihan meneruskan
tugas sekolah atau bermain (Sharan & Shaulov, 1990; dalam Santrock, 2010).
Hanya ketika murid berada dalam kelompok koorperatiflah mereka kemungkinan
tidak akan memilih bermain. Interaksi positif sesame teman dan perasaan positif
11
tentang keputusan mereka adalah factor motivasi di balik pilihan murid untuk
berada di dalam kelompok belajar bersama. Dalam studi lain, murid SMA
mendapatkan mamfaat lebih besar dan mengekspresika motivasi yang lebih
instrinsik untuk mempelajari konsep aljabar ketika mereka belajar dalam
kelompok ketimbang belajar sendiri sendiri (Nichols & Miller, 1994; dalam
Santrock, 2010).
c. Interdependensi dan Pengajaran Teman
Pembelajaran koorperatif juga memperbesar interdependensi dan
hubungan dengan murid lain (Johnson & Johnson, 2002, 2003; dalam Santrock,
2010). Dalam sebuah studi, murid grade lima lebih mungkinberalih ke strategi
yang benar untuk memecahkan problem decimal jika rekannya menerangkan
secara jelas ide mereka dan saling memerhatikan usulan satu sama lain (Ellis,
Klahr & Siegler, 1994; dalam Santrock, 2010).
Dalam sebuah kelompok belajar bersama, murid biasanya mempelajari
satu bagian dari unit yang lebih besar dan kemudian harus mengajarkan bagian itu
kepada kelompok. Saat murid mengajar sesuatu kepada murid lain, mereka
cenderung belajar lebih mendalam.
d. Pendekatan Pembelajaran Koorperatif
Sejumlah pendekatan pembelajaran koorperatif telah dikembangkan.
Antara lain, STAD (Student-Teams-Achievement Divisions), kelas jigsaw, belajar
bersama, investigasi kelompok, dan penulisan koorperatif untuk mengetahui
pendekatan ini.
e. Menciptakan Komunitas yang Koorperatif
Komunitas sekolah terdiri dari fakultas, staf, murid, orang tua, dan orang
di sekitar sekolah. Komunitas sekolah secara lebih luas juga mencakup
administrator pusat, petugas admisi kolese, dan calon karyawan. Untuk
menciptakan komunitas belajar yang efektif, David dan Roger Jhonson (2002);
dalam Santrock, 2010―percaya bahwa kerja sama dengan interpendensi positif
harus ada pada sejumlah level; kelompok belajar anak di kelas kelas, antar kelas,
sekolah, sekolah-orang tua, dan sejumlah lingkungan:
12
• Kerja sama kelas. Ada banyak cara untuk menciptakan kerja sama dan
interdependensi untuk seluruh kelas. Tujuan kelas dapat ditetapkan dan
diberi penghargaan. Ini dapat dilakukan dengan menambahkan nilai bonus
untuk semua nilai akademik seluruh anggota kelas jika seluruh anggota
kelas menjapai satu tujuan atau bias juga dengan memberi penghargaan
nonakademik seperti bebas tambahan, waktu istirahat, kaos, atau pesta
kelas. Kerja sama kelas dapat di promosikan dengan menempatkan tim
dalam tugas harian seperti membersihkan kelas mengelola simpanan kelas
atau usaha kelas, atau melakukan aktivitas lain yang bermamfaat bagi
seluruh kelas. Interdepensi kelas juga bias dilakukan dengan membagi
sumber daya, seperti menerbitkan newsletter kelas dimana setiap
kelompok dapat memberi sumbangan artikel. Dalam pelajaran geografi,
langit-langit kelas disulap menjadi peta. Kelas dibagi menjadi delapan
kelompok koorperatif dan masing-masing kelompok diberi tugas
melaporkan suatu loksi geografis. Kelas itu merencakan melakukan
kunjungan ke semua lokasi. Setiba nya di lokasi masing-masing kelompok
menyajikan laporannya tentang lokasi itu.
• Kerja sama antarkelas. Tim guru interdisiplinner bias mengorganisasikan
kelas mereka menjadi sebuah “lingkungan” atau “ kelas di dalam kelas”
dimana kelas-kelas bekerjasama mengerjakan satu proyek bersama.
• Kerjas sama sekolah. Kerja sama di level seluruh sekolah dapat dilakukan
dengan daya untukbeberapa cara. Pernyataan misi sekolah mungkin
mendeskripsikan tujuan bersama yang dicari oleh semua anggota sekolah
dan di pajang di dinding sekolah dan di webpage sekolah. Guru dapat
bekerja di berbagai macam tim koorperatif dan staf / fakultas dapat
bertemu setiap minguu untuk mengajar tim atau kelompok studi. Guru bias
di tempatkan di gugus tugas untuk mempelajari dan mencari solusi bagi
isu-isu sekolah. Interdepedensi di sekolah juga dapat k=di kembangkan
dengan berbagai aktivitas sekolah, seperti siaran berita sekolah yang di
produksi siswa, proyek semua kelas, dan pertemuan sekolah regular.
13
• Kerja sama sekolah-orang tua. Kerja sama ditingkatkan antara sekolah
dan oang tua dengan melibatkan orang tua dalam menciptakan tujuan
bersama dan merancang cara mencapai tujuan itu, berbagi sumber daya
untuk membantu sekolah mencapai tujuannya, dan menciptakan aktivitas
yang memperbesar kemungkinan orang tua mengembangkan sikap positif
terhadap sekolah
• Kerja sama sekolah-lingkungan. Jika sekolah berada di suatu lingkungan
masyarakat, interdependensi positif antara sekolah dan lingkungan dapat
memberi mamfaat bagi kedua belah pihak. Misi sekolah dapat didukung
oleh pengusaha sekitar sekolah yang memberikan sumber daya dan
pembiayaan untuk berbagai acara. Kelas dapat menampilkan proyek
pelayanan komunitas seperti membersihkan kamar.
2.3. Menyusun Kelompok Kerja Kecil
Ketika kita menyusun murid didalam kelompok kerja, kita harus membuat
keputusan tentang bagaimana menyusun kelompok, membangun keterampilan
kelompok, dan mentrukturisasi interaksi kelompok (Webb & Palincsar, 1996;
dalam Santrock, 2010)
2.3.1. Menyusun kelompok
Guru sering kali bertanya bagaimana mereka harus menempatkan murid
dalam kelompok-kelompok kecil di dalam kelas. Pendekatan pembelajaran
kooperatif dalam umumnya merekomendasikan kelompok heterogen, latar
belakang etis, status sosieokonomi, dan gender. Alasan dibalik pengelompokan
heterogen adalah ia memaksimalkan kesempatan bagi tutoring dan dukungan
sesama teman, meningkatkan relasi antar gender dan antar etnis,dan memastikan
bahwa setiap kelompok setidaknya memiliki satu murid yang bisa melakukan
tugas.
a. Kemampuan Heterogen
Salah satu alasan utama menggunakan pengelompokan kemampuan
heterogen adalah kelompok ini bisa membantu murid yang berkemampuan
14
rendah,yang dapat belajar dari murid berkemampuan tinggi. akan tetapi,beberapa
pengkritik mengatakan bahwa pengelompokan heterogen itu menghambat
peningkatan kemampuan dari murid yang berkemampuan tinggi. tetapi dalam
kebanyakan studi murid berprestasi tinggi mencapai nilai yang baik entah itu dia
dikelompok heterogen ataupun homogen. Dalam kelompok heterogen, murid
berkemampuan tinggi sering kali berperan sebagai “guru” dan menjelaskan
konsep kepada murid lain. Dalam kelompok homogen, murid berkemampuan
tinggi kecil kemungkinannya melakukan peran guru ini.
Satu masalah dalam kelompok heterogen adalah jika murid
berkemampuan tinggi, menengah, dan rendah dipadukan, murid berkemampuan
menengah akan terabaikan dalam beberapa hal, murid berkemampuan tinggi dan
rendah mungkin akan membentuk hubungan guru-murid dalam kelompok ini,
dengan mengabaikan murid berkemampuan menengah dalam interaksi kelompok.
Murid berkemampuan menengh mungkin akan lebih baik berada dalam kelompok
di mana sebagian besar semua murid punya kemampuan medium.
b. Heterogenitas Etnis, Sosioekonomi, dan Gender
Beberapa alasan awal dari pembentukan kelompok pembelajaraan
kooperatif adalah untuk meningkatkan relasi interpersonal diantara murid dari
beragam latar belakang etnis dan sosioekonomi yang berbeda. Harapannya adalah
interaksi dalam kondisi yang sederajat dalam kelompok kooperatif itu akan
mengurangi prasangka. Tetapi, meminta murid berinteraksi berdasarkan status
yang setara lebih sulit ketimbang yang diperkirakan.
Beberapa pakar merekomendasikan agar, saat membentuk kelompok yang
heterogen secara etnis dan sosioekonomi, memerhatikan komposisi kelompok itu.
Salah satu rekomendasinya adalah tidak membuat kompisisi itu terlalu jelas. Jadi,
anda bisa menvariasikan karakteristik sosial yang berbeda secara bersamaan,
seperti mengelompokkan wanita afrika–amerika dari keluarga kelas menengah,
pria kulit putih dari keluarga miskin dan sebagainya. Misalnya pria kulit putih
akan tak semuanya berasal dari keluarga berpendapatan tinggi. rekomendasi
lainnya adalah tidak membentuk kelompok yang hanya mengandung satu murid
15
minoritas dengan cara ini murid minoritas itu tidak akan menjadi “pusat perhatian
tunggal“.
Dalam kelompok campuran gender, pria cenderung lebih aktif dan
dominan, ketika mencampurkan pria dan wanita, tugas penting bagi guru dalam
hal ini adalah mendorong murid wanita untuk bicara dan mendorong anak lelaki
agar mau memberi kesempatanpada murid wanita untuk mengekspresikan
opininya dan memberi kontribusi pada kelompok. Strategi umumnya adalah
membagi pria dan wanita dalam jumlah yang sama. Dalam kelompok lima atau
enak anak yang punya anggota wanita, anak lelaki aka mengabaikan ganis itu.
2.3.2. Keahlian Team–Building
Pembelajaran kooperatif yang baik dikelas membutuhkan waktu untuk
membangun keahlian team–bulding (pembentukan tim). Ini melibatkan pemikiran
tentang cara memulai team buldingsejak awal tahun ajaran baru, membantu murid
menjadi pendengar yang baik, memberi latihan pada murid dalam memberi
kontribusi pada produk tim, meminta murid mendiskusikan manfaat dari
pemimpin tim, dan bekerja bersama pemimpin tim untuk membantu mengatasi
situasi dengan masalah.
2.3.3. Menyusun Interaksi Kelompok
Salah satu cara membantu murid bekerja dalam kelompok kecil adalah
memberi peran yang berbeda pada setiap murid. Misalnya, perhatikan peran-peran
yang bisa dilakukan murid dalam satu kelompok (Kagan, 1992; dalam Santrock,
2010):
a. Pendorong – motivator dan menyemangati murid yang lesu.
b. Pemuji – menunjukkan apresiasi terhadap kerja murid lain.
c. Penjaga – menyeibangkan partisipasi murid dalam kelompok.
d. Pelatih – membantu dalam pelajaran akademik.
e. Pemimpin pertamyaan – memastikan murid mengajukan pertanyaan dan
kelompok menjawabnya.
f. Pengecek – memastikan kelompok memahami materi.
16
g. Penguasa tugas – menjaga kelompok tetap perhatian pada tugas.
h. Pencatat – menuliskan ide dan keputusan.
i. Pemikir – memikirkan dan mengevaluasi kemajuan kelompok.
j. Kapten tenang – memonitor tingkat kebisingan kelompok.
k. Monitor material – mendapatkan dan mengembalikan suplai.
Peran semacam itu membantu kelompok berfungsi lebih lancar dan
membuat semua anggota kelompok merasa dirinya penting. Tetapi kebanyakan
pakar merekomendasikan agar anggota kelompok tidak melebihi lima atau enam
orang agar bisa bekerja secara efektif. Beberapa anggota bisa mengisi lebih dari
satu peran dan tidak semua peran harus diisi.
Cara lain mmenspesialisasikan peran adalah menetapkan beberapa murid
sebagai “peringkas” dan yang lainnya sebagai “pendengar”. Para peneliti
mengemukanakan bahwa kegiatan meringkas lebih bermanfaat daripada
mendengar, jadi semua anggota harus diberi kesempatan untuk menjadi peringkas
(Danserau, 1988; dalam Santrock, 2010).
2.4. Program Konstruktivis Sosial
Model pembelajaran pendekatan konstruktivis sosial memerlukan program
yang harus diwujudkan. Hal ini terutama dalam pembahasan yang berkaitan
kelompok kerja kecil atau strategi pembelajaran kooperatif (SPK). Ada empat
unsur penting dalam SPK, yaitu :
1. Adanya peserta / partisipan dalam kelompok
2. Adanya aturan kelompok
3. Adanya upaya belajar
4. Adanya tujuan yang harus dicapai.
Slavin, Arbani, dan Chambers (1996) berpendapat bahwa belajar melaui
kooperatif dapat dijelaskan dari beberapa perspektif, yaitu perspektif motivasi,
perpektif sosial, perspektif perkembangan kognitif, perpektif elaborasi kognitif.
Setiap individu unik dan memiliki karakteristik yang berbeda. Pada dasarnya
memiliki rasa ingin tahu dan daya imajinasi.
17
Berikut tiga program konstruktivis sosial dalam upaya mengajak murid
memecahkan problem dunia nyata dan mengembangkan pemahaman yang lebih
mendalam tentang konsep, yaitu :
2.4.1. Fostering a Community of Learners
Ann Brown dan Joe Campione (1996; Brown, 1997; Campione, 2001)
telah mengembangkan program yang dinamakan Fostering a Community of
Learners (FCL) yang fokus pada perkembangan literasi dan biologi. Program ini
dibentuk di sekolah dasar perkotaan dan tepat untuk anak-anak umur 6 samai 12
tahun. Refleksi dan diskusi adalah dimensi utama dari program ini. Program ini
menekankan tiga strategi yang mendorong refleksi dan diskusi: (1) menggunakan
orang dewasa sebagai model peran; (2) anak mengajar anak; dan (3) konsultasi
komputer online.
a. Orang Dewasa sebagai Model Peran
Pakar tamu dan guru kelas memperkenalkan ide besar dan prinsip sulit.
Orang dewasa itu kemudian menunjukkan cara berpikir dan merefleksikan sendiri
proses pengidentifikasian topik di dalam area penelitian umum atau cara menalar
berdasarkan informasi yang telah diberikan. Orang dewasa itu secara terus-
menerus meminta murid menjustifikasi pendapat mereka dan kemudian
mendukungnya dengan bukti-bukti, memikirkan contoh dari suatu kaidah, dan
sebagainya.
b. Anak Mengajar Anak
Brown (1997) mengatakan bahwa anak dan orang dewasa bisa
memperkaya proses belajar di kelas dengan kontribusi keahlian mereka. Di sini
dipakai pengajaran lintas usia, di mana murid yang lebih tua mengajar murid yang
lebih muda. Ini bisa dilakukan secara tatap muka dan lewat surat elektronik (e-
mail). Murid yang lebih tua sering kali bertindak sebagai pemimpin diskusi.
Pengajaran lintas usia memberi murid kesempatan berharga untuk berbicara
tentang pembelajaran, memberi murid tanggungjawab dan arah, dan mendorong
kolaborasi antarsiswa.
18
FCL menggunakan pengajaran resiprokal, dimana murid bergantian
memimpin diskusi kelompok kecil. Pengajaran resiprokal mensyaratkan agar
murid mendiskusikan bagian yang kompleks, berkolaborasi, serta berbagai
keahlian dan perspektif mereka tentang suatu topik. Pengajaran resiprokal bisa
melibatkan guru dan murid serta interaksi antarmurid.
c. Konsultasi Komputer Online
Kelas FCL juga menggunakan surat elektronik untuk membangun
komunitas dan keahlian. Melaui e-mail, pakar memberikan pelajaran dan nasihat,
dan juga komentar tentang apa makna dari belajar dan memahami. Pakar online
ini berfungsi sebagai model peran berpikir. Mereka bertanya, meneliti, dan
membuat kesimpulan berdasarkan pengetahuan yang tidak lengkap.
Jantung FCL adalah kultur pembelajaran, negosiasi, sharing (berbagi), dan
memproduksi karya yang ditampilkan pada orang lain. Pengalaman pendidikan ini
melibatkan komunitas interpretatif yang mendorong pertukaran aktif dan
resiprositas. Pendekatan ini mirip dengan yang direkomendasikan Jerome Bruner
(1996) untuk meningkatkan kultur pendidikan. Evaluasi riset terhadap pendekatan
FCL menunjukkan bahwa program ini bermanfaat meningkatkan pemahaman
murid dan bersifat fleksibel dalam menggunakan pengetahuan isi, yang
menghasilkan peningkatan prestasi di bidang pelajaran membaca, menulis, dan
pemecahan masalah.
2.4.2. Schools for Thought
Schools for thought adalah program formal dari pengajaran konstruktivis
sosial. Schools for Thought (SFT) (Lamon, dkk., 1996) telah mengombinasikan
aspek The Jasper Project, Fostering a Community of Learners (FCL), dan
Computer Supported Intentional Learning Environment (CSILE) dalam
lingkungan pembelajaran sekolah. Proyek ini dinamakan dengan judul buku John
Bruer (1993) yang meraih penghargaan, Schools for Thougth. The Jasper Project,
FCL, dan CSILE memiliki ciri sama yang membuat mereka bisa dikombinasikan
dalam lingkungan pembelajaran sekolah.
a. Kurikulum
19
Tiga program inti dari Schools for Thought menekankan arti penting dari
usaha mengajak murid untuk memikirkan problem dunia nyata. Aktivitas berbasis
problem dan berbasis proyek adalah jantung dari kurikulumnya. Penelitian
mendalam di bidang seperti sains, matematika, dan studi sosial sangat ditekankan.
Ketiga program itu juga menggabungkan penelitian lintas disipliner melampaui
batass-batas tradisional.
b. Instruksi
Ketiga program SFT melibatkan perubahan dalam iklim pengajaran di
kelas. Dalam kelas tradisional, murid menerima informasi yang diberikan guru,
buku, dan media lain: peran guru adalah memberi informasi dan membentuk
pembelajaran murid. Di banyak sekolah tradisional, murid umumnya hanya
mendengar, melihat, menirukan apa yang dikatakan guru dan teks dalam buku
(Greeno, 1993; Santrock, 2010).
Sebaliknya, ketiga program tersebut memberi murid banyak kesempatan
untuk merancang dan mengorganisasikan pembelajaran mereka sendiri dan
pemecahan masalahnya. Program itu juga mendorong murid bekerja sama saat
belajar dan berpikir.
c. Komunitas
The Jasper Project, FCL, dan CSILE semuanya menekankan arti penting
dari usaha memberi murid dan guru kesempatan untuk memandang diri mereka
sebagai bagian dari satu tim dan sebagai anggota dari komunitas yang lebih besar.
d. Teknologi
The Jasper Project, FCL, dan CSILE menggunakan teknologi untuk
mendobrak isolasi kelas tradisional. Mereka mendorong murid untuk
berkomunikasi secara elektronik denan komunitas pembelajar diluar dinding
kelas.
e. Penilaian
Penilaian dalam ketiga program tersebu difokuskan pada kinerja autentk
(seperti kemampuan membaca untuk menjawab pertanyaan riset, menulis untuk
membangun pengetahuan baru), membuat penilaian berkoordinasi dengan
20
pembelajaran dan intruksi, dan mendorong murid untuk melakukan penilaian diri
sendiri.
f. Ekplorasi Lebih Lanjut Atas Proyek Schools for Though
Proyek Schools for Thought masih dalam proses pembentukan dan
mengembangkan aktivitasnya agar diimplementasikan di kelas oleh guru. Dua tipe
alat yang dikembangkan adalah unit starter dan perangkat pendukung kinerja.
2.4.3. Sekolah Kolaboratif
Pada tahun 1977, sekolah kolaboratif dibuat untuk mrnjalin kerja sama
orang tua-guru dan masih berlanjut sampai saat ini dengan enam kelas untuk anak
tk sampai grade enam di salt lake city, utah. Ini adalah sekolah opsional yang
melayani melayani sekolah di semua distrik, terbuka bagi keluarga yang ingin
agar anaknya didik di sana. Belajar untuk bekerja secara efektif dalam kelompok
sangat ditekankan dalam kurikulumnya (Rogoff, Tukanis & Bartlett, 2001; dalam
Santrock, 2010). Selama bersekolah murid biasanya berkerja dalam kelompok
kecil dengan guru dan/ atau orang tua. Dalam beberapa kasus, anak belajar
sendiri. Anak sering membuat keputusan proyek berasma orang dewasa, bercakap
secara terbuka bersam guru dan orang tua relawan, juga dengan sesama murid,
dan menggap orang lain sebagai sumber bantuan.
Orang tua diminta memberi kontribusi tiga jam setiap minggu mengajar
dikelas untuk murid masuk kesana. Sebelum tahun ajaran baru dimulai, orang tua
dan guru mengadakan pertemuan di rumah keluarga untuk menyiapkan pelajaran.
Pertemuan orangtua diadakan sebulan sekali untuk membuat perencanaan dan
mediskusikan apa yang dapat dilakukan guna membantu kelas.
Dalam sekolah kolaboratif, guru, orang tua dan anak membantu
merencanakan dan mengembangkan kurikulu yang mencakup (Turkanis, 2001;
dalam Santrock, 2010).
• Menangkat momen untuk membangun ide yang menarik yang muncul dalam
diskusi kelas
• Mengakui bahwa murid punya agenda belajar sendiri yang dapat memberi
motivasi dan jalur ke pembelajaran di dalam area kurikulum
21
• Mendukung unit studi yang sering muncul selama proses kelompok, saat
orang tertarik dengan perhatian orang lain, dan mengembangkan keahlian
satu sama lain.
• Menggunakan berbagai sumberdaya yang luas dengan tidak terlalu banyak
mengandalkan pada buku peganggan
• Memfokuskan pendalaman ide besar konsep, dan proyek besar.
22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konstruktivisme merupakan strategi pengajaran yang menekankan peran
individu yang secara aktif menyusun dan membangun (to construct) pengetahuan
dan pemahaman. Dari beberapa teori konstruktivis, teori konstruktivis Vygotsky
sangat relevan dengan pendekatan konstruktivis sosial. Vygotsky menekankan
bahwa murid mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosialdengan orang
lain. Isi dari pengetahuan ini dipengaruhi oleh kultur di mana murid tinggal, yang
mencakup bahasa, keyakinan, dan keahlian/keterampilan.
Melalui scaffolding, pelatihan kognitif, tutoring, dan pembelajaran
kooperatif dapat membantu peran guru dan teman sebaya sebagai kontributor
bersama untuk pembelajaran murid. Pendekatan konstruktivistik sosial
menggunakan sejumlah inovasi di dalam pembelajaran di kelas, salah satu
langkah utama dalam menggunakan pendekatan konstruktivis sosial adalah
dengan menyusun kelompok kerja kecil. Agar kelompok kerja berjalan dengan
efektif, maka perlu tahap-tahap seperti menyusun kelompok, team-building, dan
menyusun interaksi antar kelompok.
Ada tiga program dalam konstruktivis sosial, yaitu fostering a community
of learners, school for thought, dan sekolah kolaboratif.
----------------------------
23
DAFTAR PUSTAKA
Brown, J.S., Collins, A. & Duguid, P. (1989). Situated Cognition and the Culture
of Learning. Educational Researcher, 18, 33-42.
Santrock, J. W. (2010). Psikologi Pendidikan (2nd Ed.). Jakarta: Kencana.
24