Upload
hoangtuyen
View
246
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
1
KONTINUITAS DAN PERUBAHAN MUSIK PENGIRING DALAM
UPACARA ADAT PERKAWINAN BATAK TOBA DI KECAMATAN
KOLANG KABUPATEN TAPANULI TENGAH
SKRIPSI SARJANA
Dikerjakan
O
L
E
H
NAMA : HENDRA KIRANTA SIREGAR
NIM : 140707002
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2018
2
3
4
i
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan
Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam skripsi ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 18 September 2018
Hendra Kiranta Siregar
Nim 140707002
ii
ABSTRAK
Tulisan ini membahas tentang kontinuitas dan perubahan musik pengiring
dalam upacara adat perkawinan Batak Toba di Kecamatan Kolang Kabupaten
Tapanuli Tengah. Adapun tujuan penelitian ini (1) Untuk mendekripsikan
kontinuitas dan perubahan musik pengiring pada adat perkawinan Batak Toba di
Kecamatan Kolang Tapanuli Tengah, (2) Untuk mendekripsikan peran musik
pengiring dalam upacara adat perkawinan tersebut. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Metode penelitian kualitatif
adalah suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yang
diperoleh melalui studi kepustakaan dan studi lapangan dengan obsercasi,
wawancara dan perekaman.
Dengan menggunakan teori perubahan yang di kemukankan oleh
Herskovits dalam Merriam mengemukakan bahwa kontinuitas dan perubahan
merupakan suatu tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil dan dinamis
yang melekat dalam setiap kebudayaan (Merriam, 1964:303) dan Bruno Netll
dalam menentukan materi tonal yang terdiri dari perbendaharaan nada/tangga
nada, nada dasar, interval nada dan kontur melodi; ritme yang terdiri dari nilai
notasi yang digunakan, sukat/meter, dan tempo; bentuk yang terdiri dari seksi,
motif, dan frasa; serta elemen-elemen lain yakni timbre, tekstur (Bruno Nettl
1964).
. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum
tahun 80-an penyerahan ulos menggunakan musik gondang pada upacara adat
perkawinan. Kemudian pada tahun 90-an upacara adat tidak menggunakan musik
dan setelah tahun 2000-an masuk lah keyboard hingga sampai sekarang ini musik
sudah digunakan sebagai pengiring penyerahan ulos (mangulosi). Musik juga
berperanan pada setiap rangkaian kegiatan upacara adat perkawinan tersebut.
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Adapun penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu
syarat memperoleh gelar sarjana seni di UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Medan.
Dalam penulisan skripsi ini, judul yang di ambil penulis adalah
”KONTINUITAS DAN PERUBAHAN MUSIK PENGIRING DALAM
UPACARA ADAT PERKAWINAN BATAK TOBA DI KECAMATAN
KOLANG KABUPATEN TAPANULI TENGAH”
Selama melakukan penelitian maupun dalam proses penyusunan skripsi
ini, Penulis menemukan banyak kesulitan maupun hambatan mulai dari
perencanaan sampai pada penyelesaian, namun berkat ketekunan, dukungan dan
bimbingan dari berbagai pihak guna penyempurnaan skripsi ini, sehingga penulis
akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih
kepada:
1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara yang telah banyak membantu di kantor jurusan, serta kepada
seluruh staf pengajar jurusan etnomusikologi penulis mengucapkan terima kasih
atas bimbingan dan bantuan yang diberikan, sehingga memperluas wawasan
penulis dalam pengetahuan selama mengikuti perkuliahan.
iv
2. Ibu Arifni Netrirosa,SST., M.A. selaku ketua jurusan Etnomusikologi Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si.
selaku sekretaris jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya yang telah
memberikan dukungan dan bantuan administrasi sertaregi strasi perkuliahan dan
terima kasih juga kepada seluruh dosen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing dalam perkulihan selama
kurang lebih 4 (empat) tahun ini.
3. Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum dan Bapak Drs. Kumalo Tarigan,M.A
selaku Dosen Pembimbing yang telah sabar dalam membantu penulis dan
selalu membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Bapak J.H Siregar, Ibu N.H
Manik dan seluruh keluarga besar terima kasih atas dukungan, cinta, kasih
sayang, perhatian, material serta doa dan dukungan yang diberikan selama
penulisan skripsi ini.
5. Kepada saudara-saudara tercinta Helen Tiwa Siregar S.PAK, Afandi Malatas
Siregar A. md, Susi Sridevi siregar S. Kep, Henni Friska Siregar SE dan Indra
Kisanta Siregar S. Si yang selalu mendoakan dan mendukung penulis dalam
menyelesiakan penulisan skripsi ini.
6. Kepada teman spesial penulis Juliana Sihombing S. AP yang turut mendoakan
dan mendukung penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
7. Kelompok Kecil Uriel (Ernala Malau dan Suheri Lubis) yang turut mendoakan
dan mendukung penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
8. Teman-teman Etnomusikologi 2014 yang turut mendoakan dan mendukung
penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
v
9. Kepada Kasri Situmeang dan Candro Lumban Tobing yang selalu membantu dan
mendukung penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis masih banyak terdapat kekurangan
dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan rendah hati penulis
menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca hingga pada
akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
khususnya mahasiswa Jurusan Etnomusikologi.
Medan, 18 September 2018
Hendra Kiranta Siregar
140707002
vi
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBARAN PENGESAHAN ............................................................................... i
PERSETUJUAN DEPARTEMEN ........................................................................ ii
PENGESAHAN FAKULTAS .............................................................................. iii
PERNYATAAN ..................................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xii
DAFTAR TABEL.................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Pokok Permasalahan ............................................................................... 4
1.3 Tujuan dan Metode Penelitian ................................................................ 4
1.3.1 Tujuan Penelitian ........................................................................... 4
1.3.2 Manfaat Penelitian ......................................................................... 5
1.4 Konsep dan Teori .................................................................................... 5
1.4.1 Konsep............................................................................................ 5
1.4.2 Teori ............................................................................................... 6
1.5 Metode Penelitian.................................................................................... 9
1.5.1 Studi kepustakaan........................................................................... 10
1.5.2 Kerja lapangan ............................................................................... 11
1.5.2.1 Wawancara ......................................................................... 11
1.5.2.2 Observasi ............................................................................ 11
1.5.2.3 Kerja laboratoriunm ........................................................... 12
1.6. Lokasi Penelitian .................................................................................... 13
BAB II MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN KOLANG
KABUPATEN TAPANULI TENGAH .................................................... 14
2.1 Geografis Kecamatan Kolang Kabupaten Tapanuli Tengah ................. 14
2.2 Asal-Usul Masyarakat Batak Toba ........................................................ 15
2.2.1 Asal-Usul Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Kolang ........... 19
2.3 Mata Penncarian Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Kolang ......... 19
2.4 Sistim Religi/kepercayaan ..................................................................... 21
2.5 Sistem Sosial Kekerabatan .................................................................... 25
2.6 Konsep Kemasyarakatan ....................................................................... 30
vii
2.7 Budaya Musikal Batak Toba di Kecamatan Kolang ............................. 32
2.7.1 Musik Vokal di Kecamatan Kolang ............................................. 32
2.7.2 Musik pada upacara perkawinan .................................................. 35
2.7.2.1 Ensambel Gondang Hasapi ............................................... 36
2.7.2.2 Gondang Sabangunan ....................................................... 36
2.7.2.3 Instrument Tunggal .......................................................... 38
BAB III KAJIAN KONTINUITAS DAN PERUBAHAN MUSIK
PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN DI KECAMATAN
KOLANG .................................................................................................. 40
3.1 Perkawinan Pada Masyarakaat Batak Toba di Kecamatan Kolang ..... 40
3.1.1 Tahapan upacara perkawinan ...................................................... 41
3.1.1.1 Martumpol ....................................................................... 41
3.1.1.2 Acara pemberkatan pernikahan ....................................... 41
3.1.1.2.1 Waktu ............................................................... 41
3.1.1.2.2 Tempat.............................................................. 42
3.1.1.2.3 Pemimpin upacara ............................................ 42
3.1.1.2.4 Jemaat ............................................................... 42
1.1.1.3 Proses Upacara Adat ....................................................... 43
3.1.2 Tingkatan Upacara Perkawinan di Kecamatan Kolang .............. 47
3.1.3 Syarat-Syarat Perkawinan ........................................................... 47
3.2 Sejarah Musik Perkawinan Batak Toba di Kecamatan Kolang ........... 48
3.2.1 Masa Pra-Kristen ......................................................................... 48
3.2.2 Masa Kristen ............................................................................... 48
3.2.3 Masa Sekarang ............................................................................ 49
3.3 Kontinuitas dan Perubahan musik pada upacara adat
perkawinan di Kecamatan Kolang ...................................................... 50
3.3.1 Kontinuitas .................................................................................. 50
3.3.2 Perubahan ................................................................................... 50
BAB IV DISKUSI KOMPOSISI MUSIKAL DALAM UPACARA
ADAT PERKAWINAN BATAK TOBA DI KECAMATAN
KOLANG KABUPATEN TAPANULI TENGAH ................................ 55
4.1 Transkripsi............................................................................................ 55
4.2 Pemilihan Sampel Lagu ....................................................................... 55
4.3 Kajian Struktur Musik Lagu Burju Marsimatua, Ulos Passamot
dan Tttin Marakkup .............................................................................. 56
4.4 Transkripsi Lagu Burju Marsimatua .................................................... 58
44.1 Kajian Struktur Musikal ............................................................... 59
4.4.1.1 Perbendaharaan Nada ...................................................... 59
4.4.1.2 Tangga Nada (modus) ..................................................... 59
4.4.1.3 Nada Dasar ...................................................................... 60
4.4.1.4 Interval ............................................................................ 62
4.4.1.5 Kontur Melodi ................................................................. 63
4.4.1.6 Ritme ............................................................................... 65
4.4.1.7 Tempo ............................................................................. 66
4.4.1.8 Pola Kadensa .................................................................. 67
viii
4.4.1.9 Formula Melodik ............................................................ 67
4.4.2 Makna Yang Dikandung Dalam Nyanyian ................................. 70
4.5 Transkripsi Lagu Ulos Passamot ......................................................... 71
4.5.1 Kajian Struktur Musikal .............................................................. 72
4.5.1.1 Perbendaharaan Nada .................................................... 72
4.5.1.2 Tangga Nada (modus) .................................................... 72
4.5.1.3 Nada Dasar .................................................................... 73
4.5.1.4 Interval ........................................................................... 74
4.5.1.5 Kontur Melodi ............................................................... 76
4.5.1.6 Ritme ............................................................................. 78
4.5.1.7 Tempo ............................................................................ 79
4.5.1.8 Pola Kadensa ................................................................ 79
4.5.1.9 Formula Melodik .......................................................... 80
4.5.2 Makna Yang Dikandung Dalam Nyanyian ................................. 82
4.6 Transkripsi Lagu Tintin Marakkup ...................................................... 83
4.6.1 Kajian Struktur Musikal .............................................................. 84
4.6.1.1 Perbendaharaan Nada ...................................................... 84
4.6.1.2 Tangga Nada (modus) ..................................................... 84
4.6.1.3 Nada Dasar ...................................................................... 85
4.6.1.4 Interval ............................................................................ 86
4.6.1.5 Kontur Melodi ................................................................. 88
4.6.1.6 Ritme ............................................................................... 90
4.6.1.7 Tempo ............................................................................. 91
4.6.1.8 Pola Kadensa .................................................................. 91
4.6.1.9 Formula Melodik ............................................................ 92
4.6.2 Makna Yang Dikandung Dalam Nyanyian .............................. ...95
BAB VI PENUTUP .............................................................................................. ...96
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... ...96
5.3 Saran ................................................................................................. ...67
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... ..98
DAFTAR WEBSITE ............................................................................................ 100
DATA INFORMAN ............................................................................................. 101
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1. Upacara pemberkatan di gereja ...................................................... 43
Gambar 3.2. Upacara pemberkatan di gereja ...................................................... 43
Gambar 3.3 Upacara pemberkatan di gereja ....................................................... 43
Gambar 3.4. Tempat upacara adat di halaman rumah pengantin ........................ 44
Gambar 3.5: mangupa-upa kedua pengantin ...................................................... 45
Gambar 3.6. Saat makan siang`........................................................................... 46
Gambar 3.7. Marhata adat ................................................................................... 46
Gambar 3.8. Saat mangulosi ............................................................................... 46
Gambar 3.9. Pemain keyboard ............................................................................ 53
Gambar 3.10. Pemain Saxophone ....................................................................... 53
Gambar 3.11. Penyanyi Trio ............................................................................... 54
Gambar 3.12. Pemain Sulim ............................................................................... 54
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1. Struktur musik perkawinan era 70-an ................................................ 52
Tabel 3.2. Struktur musik perkawinan era 80-an ................................................ 52
Tabel 3.3. Struktur musik perkawinan era 2000-an ............................................ 52
Tabel 4.4. Nada dasar lagu burju marsimatua .................................................... 61
Tabel 4.5. Rumus Interval ................................................................................... 62
Tabel 4.6. Interval Lagu Burju Marsimatua ........................................................ 63
Tabel 4.7. Analisis Bentuk, Frasa dan Motif……………………….….………..68
Tabel 4.8. Nada dasar lagu ulos passamot .......................................................... 74
Tabel 4.9. Rumus Interval ................................................................................... 75
Tabel 4.10. Interval Lagu Ulos Passamot ........................................................... 75
Tabel 4.11. Analisis Bentuk, Frasa dan Motif……………………………….….81
Tabel 4.12. Nada dasar lagu Tintin Marakkup .................................................... 86
Tabel 4.13. Rumus Interval ................................................................................. 87
Tabel 4.14 Interval Lagu Tintin Marakkup ........................................................ 88
Tabel 4.15. Analisis Bentuk, Frasa dan Motif .................................................... 93
.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.6 Latar Belakang
Seni merupakan salah satu bentuk aktivitas budaya masyarakat, yang
dalam kehidupannya juga selalu tidak berdiri sendiri, tetapi mempunyai kaitan
erat dengan aspek keagamaan, bahasa, ekonomi, dan sistim tatanan dalam
masyarakat di tempat kesenian itu tumbuh dan berkembang. Kehadiran sebuah
seni di tengah-tengah masyarakat mempunyai peran tertentu, karena seni tidak
akan pernah lahir dan berkembang jika tidak berfungsi bagi masyarakat. Demikian
halnya suku Batak Toba, meskipun merupakan bagian dari enam sub suku Batak,
tentunya memiliki kebudayaan sendiri yang membedakannya dari lima sub suku
Batak lainnya.
Salah satu dari kegiatan adat yang menjadi tradisi turun temurun dan juga
merupakan kegiatan yang dianggap sakral bagi masyarakat Batak Toba ialah
upacara perkawinan. Perkawinan adalah ikatan sosial atau perjanjian hukum antar
pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu
pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi. (Purba,
2015).
Perkawinan dalam masyarakat Batak Toba bukan hanya menjadi urusan
ayah, ibu, dari kedua calon pengantin, tetapi menjadi urusan semua anggota
keluarga kedua belah pihak yang tergabung dalam struktur kekerabatan yang
disebut dalihan na tolu. Peran-peran dalam upacara perkawinan adat tersebut
selalau terkait dalam tiga kedudukan utama dalam adat dalihan na tolu tersebut.
2
Dalam masyarakat Batak Toba hingga sekarang ini, adat dalihan na tolu masih
tetap dihargai sebagai asas kehidupan. Asas kehidupan itu tergambar pada falsafah
dalihan na tolu, yaitu somba marhula-hula (hormat kepada pihak marga orangtua
dari istri [mertua]), elek marboru (sayang kepada pihak marga daripada
suami anak perempuan [menantu]), manat mardongan tubu (tetap menjalin
hubungan baik dengan saudara semarga).
Upacara perkawinan adat Batak Toba selalu di iringi dengan musik. Pada
awalnya musik pengiring pesta perkawinan masyarakat Batak Toba khususnya di
Kecamatan Kolang terdapat dua jenis ensambel musik, yakni gondang hasapi dan
gondang sabangunan. Kedua ensambel musik ini selalu menjadi bagian dari
aktivitas upacara seperti gondang mula-mula, gondang somba-somba, gondang
elek-elek, gondang liat-liat, dan gondang hasahatan. Dahulunya, musik yang
digunakan untuk upacara perkawinan Batak Toba ialah gondang sabangunan dan
bertahan sampai pada tahun 1970-an, dan setelah itu gondang mulai jarang di
pakai pada saat upacara perkawinan dikarenakan setiap gondang dimainkan selalu
ada yang kesurupan (sumorop) atau dimasuki oleh roh gaib. Setelah itu masuklah
grup musik band dan bertahan cukup lama.Selanjutnya pada tahun 1995 masuk
lah alat musik keyboard tunggal dan bertahan hingga sampai sekarang.
Salah satu penyebab perubahan musik dalam upacara adat perkawinan
masyarakat Batak Toba ialah modernisasi. Modernisasi suatu masyarakat
merupakan suatu poses transformasi yang meliputi segala aspek kehidupan.
Dilihat dari segi kebudayaan, modernisasi dapat diartikan sebagai proses
pergeseran sikap sebagian warga masyarakat yang disebabkan oleh adanya
3
kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Perkembangan
zaman mempengaruhi terjadinya perubahan dalam setiap bagian upacara adat
perkawinan masyarakat Batak Toba. Zaman yang semakin maju dan berkembang
dapat mempengaruhi keberlanjutan musik tradisi menjadi semakin berkembang
atau semakin menghilang, seperti yang terjadi pada masyarakat yang ada di
Kecamatan Kolang.
Alat musik yang digunakan pada saat upacara pernikahan telah mengalami
perkembangan tanpa menghilangkan nilai tradisinya, masuknya alat musik
modern kedalam musik penikahan menjadi kesatuan yang kompleks dengan alat
musik tradisi. Berhubungan dengan hal tersebut, khususnya pada masyarakat
Batak Toba di Kecamatan Kolang pelaksanaan upacara adat seperti upacara
perkawinan, dalam pengamatan penulis pada peristiwa budaya, musik sebagai
kelengkapan adat perkawinan penyajiannya telah menggabungkan alat musik
barat dengan alat musik tradisional. Alat musik barat yang digunakan pada
umumnya adalah alat musik keyboard, saxophone, atau pun terompet. Keyboard
merupakan salah satu alat musik yang multifungsi, dimana praktisi atau pemain
keyboard tersebut menggunakan fitur-fitur yang ada didalamnya untuk
memprogram atau menciptakan irama musik yang dibutuhkan, demikian juga
dengan saxophone dan ditambah dengan penyanyi/trio. Alat musik keyboard dan
saxophone atau pun terompet tersebut tidak dimainkan bersama alat musik
modern saja, akan tetapidigabungkan dengan alat musik tradisional, yaitu sulim,
hesek maupun taganing. Namun Taganing tidak begitu sering digunakan bahkan
jarang, karena tidak banyak yang bisa memainkan nya.
4
Dengan demikian, penulis lebih tertarik untuk mengakaji lebih dalam lagi
mengenai kontinuitas dan perubahan yang terjadi dalam musik perkawinan di
Kecamatan Kolang Tapanuli Tengah. Maka dari itu, berdasarkan latar belakang
tersebut penulis mengangkat penelitian ini menjadi sebuah tulisan ilmiah dalam
bentuk skripsi dengan memberi judul: “KONTINUITAS DAN PERUBAHAN
MUSIK PENGIRING DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN BATAK
TOBA DI KECAMATAN KOLANG KABUPATEN TAPANULI TENGAH”
1.7 Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan
sebelumnya, yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini yaitu:
1. Bagaimana kontinuitas dan perubahan musik pengiring pada adat
perkawinan Batak Toba di Kecamatan Kolang Tapanuli Tengah?
2. Bagaimana peran musik pengiring dalam upacara adat perkawinan
tersebut?
1.8 Tujuan dan Metode Penelitian
1.8.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendekripsikan kontinuitas dan perubahan musik pengiring
pada adat perkawinan Batak Toba di Kecamatan Kolang Tapanuli
Tengah.
2. Untuk mendekripsikan peran musik pengiring dalam upacara adat
perkawinan tersebut.
5
1.8.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dan ingin dicapai dalam tulisan ini adalah:
1. Secara akademis, untuk memenuhi salah satu syarat ujian sarjana di Program
Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
2. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca, baik yang berada
dalam disiplin etnomusikologi maupun di luar etnomusikologi, khususnya
bagi penulis dalam menambah wawasan mengenai budaya Batak Toba.
3. Sebagai dokumentasi dan sarana literature tentang kontinuitas dan perubahan
musik pada upacara adat perkawinan Batak Toba.
4. Sebagai dokumentasi tambahan bagi Departemen Etnomusikologi mengenai
fenomena budaya Batak Toba.
1.9 Konsep dan Teori
1.9.1 Konsep
Koentjaraningrat (2009:85) menyatakan “konsep merupakan
penggabungan dan perbandingan bagian-bagian dari suatu penggambaran dengan
bagian-bagian dari penggambaran lain yang sejenis, berdasarkan asas-asas tertentu
secara konsisten”.
Kontinuitas budaya (cultural continuity) Transmisi makna dan nilai-nilai
karakteristik budaya dan generasi. Terjemahan (Oxford reference) Kontinuitas
yang dimaksud disini adalah adanya hal-hal yang masih tetap eksis,
dipertahankan, dan masih berlanjut hingga pada saat ini. Sebagai bentuk
kontinuitas dapat dilihat dari keberlanjutan alat musik tradisional yang masih
6
dipakai pada upacara perkawinan. Dimana dengan adanya fenomena musik,
konsep/ide musik tersebut masih terus berlanjut namun telah terjadi variasi.
Perubahan kebudayaan (culture change) Proses pergeseran, pengurangan,
penambahan, dan perkembangan unsur-unsur dalam suatu kebudayaan yang
terjadi melalui interaksi antara warga pendukung kebudayaan lain dengan
penciptaan unsur-unsur kebudayaan baru dan melalui usaha penyesuaian antara
unsur-unsur kebudayaan tadi. (Kamus istilah antropologi 1984:147) kata
perubahan berarti, hal (keadaan) berubah, peralihan, pertukaran. Dalam bahasa
Inggris perubahan disebut change, misalnya perubahan sosial atau sosial change,
artinya perubahan dalam kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosial suatu
masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, dan perilaku di antara kelompok
manusia (Yandianto, 2000:656; Abdulsyani, 1995:83).
1.9.2 Teori
Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berfikir dalam
membahas permasalahan. Untuk itu penulis mencoba mengambil beberapa teori
sebagai acuan dalam penulisan skripsi ini. Teori juga merupakan landasan berpikir
secara ilmiah untuk menguji, membandingkan, atau menerapkan untuk objek
penelitian. Dalam pembahasan ini teori dapat digunakan sebagai landasan dan
kerangka berpikir dalam membahas setiap permasalahan. Oleh karena itu, penulis
mengadopsi beberapa teori sebagai referensi dalam penulisan skripsi ini.
Alan P Merriam (1964:303) mengemukakan bahwa perubahan bisa berasal
dari dalam lingkungan kebudayaan atau internal, dan perubahan juga bisa berasal
dari luar kebudayaan atau eksternal. Perubahan secara internal merupakan
7
perubahan yang timbul dari dalam dan dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan
itu sendiri, dan juga disebut inovasi. Sedangkan perubahan eksternal merupakan
perubahan yang timbul akibat pengaruh yang dilakukan oleh orang-orang dari luar
lingkup budaya tersebut atau akulturasi.
Dalam suatu kebudayaan musik tradisi lisan atau oral suatu perubahan
dapat terjadi, karena proses transmisi atau pengajarannya dilakukan secara lisan.
Menurut Bruno Netll (1983:193) terdapat empat tipe sejarah, perubahan yang
terjadi dalam transmisi musik; (1) menyatakan bahwa musik/nyanyian yang
diwariskan, tidak mengalami perubahan sama sekali. Dengan kata lain lagu
tersebut dinyanyikan sama persis, baik sebelum maupun sesudah diwariskan, (2)
menyatakan bahwa musik/nyanyian yang diwariskan, mengalami perubahan,
tetapi hanya dalam versi tunggal atau satu petunjuk, sehingga dari warisan itu
berbeda dari aslinya tanpa proliferasi dari elemen-elemennya, (3)
menyatakanbahwa musik yang diwariskan menghasilkan banyak variasi atau
perubahan, bahkan beberapa dari musik itu ditinggalkan dan dilupakan; dengan
kata lain sebagai ide tetap stabil, sedangkan selebihnya mengalami perubahan, (4)
menyatakan perubahan benar-benar total dari musik yang asli, sebagian besar
idemusik/nyanyian/lagu itu dirubah sama sekali, bahkan ada yang cenderung
menyimpang dari pengembangan ide aslinya.
Herskovits dalam Merriam mengemukakan bahwa perubahan dan
kelanjutan (kontinuitas) merupakan suatu tema yang digunakan untuk memahami
sifat stabil dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan
fenomena ini, teori kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap
8
kebudayaan beroperasi dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelanjutan,
dimana variasi-variasi dan perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat
dielakkan (Merriam, 1964:303).
Selain itu penulis juga menggunakan teori perubahan budaya. Menurut
Herskovitz perubahan kebudayaan dapat dilihat dari dua titik pandang, yaitu
bagaimana yang terjadi di masa lampau dan masa sekarang. Berdasarkan titik
pandang pertama, mereka selalu mempergunakannya dalam istilah difusi yang
didefenisikan sebagai transmisi budaya dalam proses. Perubahan dapat dipandang
dari bagaimana asal-usul sebuah kebudayaan tersebut apakah karena faktor
internal atau eksternal. Perubahan yang terjadi karena faktor internal disebut
inovasi, dan perubahan karena faktor eksternal disebut akulturasi (1948:525).
Sependapat dengan uraian tersebut, Koentjaraningrat (1965:135) juga
mengemukakan tentang salah satu faktor yang menyebabkan perubahan
kebudayaan, yaitu: inovasi (innovation) adalah suatu proses perubahan
kebudayaan yang besar tetapi yang terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Proses ini meliputi satu penemuan baru, jalannya unsur itu disebarkan ke lain
bagian masyarakat dan cara unsur kebudayaan tadi diterima, dipelajari, dan
akhirnya dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemudian Lauwer juga
berpendapat bahwa terjadinya suatu perubahan dapat diakibatkan oleh adanya
akulturasi (acculturation), dimana akulturasi disini mengacu pada pengaruh suatu
kebudayaan lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan yang
mengakibatkan terjadinya suatu perubahan (1989:402). Perubahan kebudayaan
adalah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh
9
sejumlah warga masyarakat yang terdapat dalam aturan-aturan atau nomra-norma,
nilai-nilai, teknologi, selera dan rasa keindahan atau kesenian dan bahasa.
Perubahan kebudayaan bisa mencakup salah satu unsurnya dan mempengaruhi
unsur-unsur kebudayaan lainnya, atau juga dapat merubah seluruh unsur-unsur
kebudayaan tersebut. (Suparlan, 2004:24).
1.10 Metode Penelitian
Penelitian berpusat pada Kontinuitas dan perubahan musik pengiring
dalam upacara adat perkawinan batak toba. Menurut Caplin (1989:301), metode
adalah prosedur sistematis yang tercakup dalam upaya menyelidiki suatu fakta
atau konsep. Metode penelitian dapat diartikan dalam beberapa disiplin ilmu
tertentu. Di dalam ilmu-ilmu sosial, objek pengamatan dan penelitian yang
merupakan dasar dari pengetahuan ilmiah adalah gejala-gejala masyarakat yang
lebih khusus, terdiri dari kejadian-kejadian kongkrit.
Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode deskriptif yang
bersifat kualitatif. Koentjaraningrat (1990:29) mengatakan bahwa penelitian yang
bersifat deskriptif adalah bertujuan untuk memaparkan secara tepat sifat-sifat
suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan
frekuensi atau penyebaran dari suatu gejala ke gejala lain dalam suatu masyarakat.
Penulis menyimpulkan, metode penelitian adalah cara yang dipakai untuk
mendapatkan atau memperoleh informasi serta fakta yang ada didalam objek
penelitian. Penulis juga menggunakan metode kualitatif agar mendapatkan,
mengumpulkan data dan menguraikannya dengan mewawancarai informan yang
telah penulis tentukan.
10
1.5.1.Studi kepustakaan
Studi kepustakaan ini dilakukan untuk menjadi kerangka acuan di dalam
penulisan juga untuk melengkapi data-data. Koentjaraningrat (2009:35)
menyatakan bahwa studi pustaka bersifat penting karena membantu penulis untuk
menemukan gejala-gejala dalam objek penelitian. Melalui studi pustaka, penulis
sebagai peneliti diperkaya denga informasi-informasi yang terdapat dalam
berbagai sumber buku yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
Dalam mengumpulkan awal penulis melakukan studi kepustakaan. Studi
kepustakaan perlu dilakukan untuk mengumpulkan data-data dan sumber bacaan
yang mendukung penelitian. Sumber bacaan ini dapat berupa buku-buku, skripsi
etnomusikologi, jurnal, maupun bacaan-bacaan yang diperlukan dalam
mendukung penelitian.
Dalam hal ini penulis telah membaca skripsi sarjana Etnomusikologi yang
mendukung kepada penulisan skripsi ini. Selain itu penulis mencari sumber data
dari internet dengan kata kunci World Wide Web (WWW). Penulis juga membaca
buku-buku antropologi dan etnomusikologi yaitu Pengantar Ilmu Antropologi,
The Anthropology Of Music, Folk and Traditional Music Of The Western
Continents, Worlds Of Music, Etnomusikologi, Pluralitas musik Etnik Batak Toba,
Mandailin, Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun, dan beberapa
buku lainnya.
Studi kepustakaan ini juga dilakukan terhadap topik-topik lain yang
berkaitan dengan skripsi ini antara lain sosiologi dan topik tentang kebudayaan
masyarakat Batak Toba.
11
1.5.2. Kerja lapangan
Dalam kerja lapangan (field work), penulis melakukan kerja lapangan
dengan observasi langsung ke daerah penelitian yaitu Kecamatan Kolang,
Kabupaten Tapanuli Tengah.
1.5.2.1 Wawancara
Salah satu metode yang digunakan adalah wawancara kepada narasumber.
Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal seperti percakapan yang
bertujuan memperoleh informasi. Wawancara ini semiterstruktur, dengan maksud
agar proses wawancara dapat berjalan dengan lebihsantai dan terbuka, namun
tetap rapi.
Wawancara adalah teknik mengumpulkan data yang digunakan peneliti
untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalu bercakap-cakap dan
berhadapan muka dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada
sipeneliti. (Mardalis:2006:64). Dalam wawancara, penulis menetapkan
narasumber, yaitu bapak Kasmudin Pasaribu, beliau adalah seorang moderator
(tatang atur) dalam acara adat Batak Toba, khususnya di Kolang. Bapak Jekson
Hutagalung yang merupakan pemusik dalam acara pesta, yang khususnya di
Kolang. Selain itu, penulis juga mencari beberapa tokoh masyarakat lainnya yang
berkaitan untuk mengembangkan penulisan skripsi ini.
1.5.2.2 Observasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data, dimana peneliti
melakukan pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari
dekat kegiatan yang dilakukan (Riduwan, 2004 : 104). Observasi dalam penelitian
12
sangat penting karena untuk menunjang data-data penelitian agar lebih akurat.
Observasi dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung
dengan mengamati proses saat latihan sampai pementasan dilaksanakan. Secara
tidak langsung dengan melihat dan mengamati rekaman video dan gambar.
1.5.2.3 Kerja laboratoriunm
Seluruh data yang diperoleh penulis dari lapangan dan studi kepustakaan,
kemudian dianalisis kembali di dalam kerja laboratorium. Penulis akan melakukan
seleksi data, analisis data, dan mengelompokkannya sesuai dengan informasi yang
penulis harapkan. Proses analisis data penelitian dimulai dengan menelaah
keseluruhan data yang diperoleh. Analisis data dilakukan mulai awal penelitian
dan berlangsung sampai pada saat proses penulisan laporan penelitian selesai.
Begitu juga dengan data yang berbentuk gambar, penulis akan mencantumkannya
dalam tulisan ini. Data yang tidak bersifat musikal diolah kemudian dan dituliskan
dalam bentuk tulisan atau karya ilmiah. Selama proses pengolahan data, penulis
juga melakukan diskusi-diskusi dengan para dosen pembimbing dan teman-teman
yang ada di Departemen Etnomusikologi.
1.6. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian penulis di Kecamatan Kolang Kabupaten Tapanuli
Tengah, karena kasus dan informan yang penulis tentukan bertempat di
Kecamatan Kolang Kabupaten Tapanuli Tengah. Karena di daerah ini terdapat
masyarakat yang heterogen. Selain itu di daerah ini telah beberapa kali terjadi
perubahan musik pengiring pada upacara adat perkawinan Batak Toba. Sebagai
13
daerah perantauan masyarakat Batak Toba yang dating ke daerah ini untuk tinggal
menetap masih memelihara dan melanjutkan tradisi asalnya.
14
BAB II
MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN KOLANG
KABUPATEN TAPANULI TENGAH
2.1 Geografis Kecamatan Kolang Kabupaten Tapanuli Tengah
Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu kabupaten tertua di
Sumatera Utara. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, wilayah Tapanuli
Tengah masuk Keresidenan Tapanuli yang dipimpin seorang residen
berkedudukan di Sibolga. Salah satu putera daerah Tapanuli tengah yang pernah
duduk sebagai residen di Keresidenan Tapanuli adalah Dr.Ferdinand
Lumbantobing. Dipercaya sebagai menteri di zaman Orde Lama dan permulaan
Orde Baru, beliau dianugerahi gelar pahlawan nasional dan dimakamkan di
Kecamatan Kolang, Kabupaten Tapanuli Tengah.
Kolang adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah,
Sumatera Utara, Indonesia. Ibukota kecamatan ini berada di kelurahan Kolang
Nauli. Kecamatan Kolang terdiri atas desa Untemungkur I, Untemungkur II,
Untemungkur III, Untemungkur IV, Trans SP1, Trans SP2, Satahi Nauli, Pasar
Onan Hurlang (kelurahan), Kolang Nauli (kelurahan), Parhambingan, Sibio-bio,
Siabal-abal, Hubu, Pamalian. Mayoritas penduduknya adalah Suku Batak Toba
dan Angkola Mandailing, akan tetapi suku di Tapanuli Tengah beragam mulai
dari Batak, Mandailing, Minangkabau, Nias, Jawa, Minahasa, Dayak, Bugis,
Sunda bahkan ada suku dari Arab, Yaman, Cina dan sebagainya. Sebagian besar
penduduk Kabupaten Tapanuli Tengah memeluk Agama Kristen dengan total
persentase Agama Kristen 56.92% (Kristen Protestan 45,31% dan Katolik
11,61%) diikuti oleh Agama Islam (42.71%), Buddha (0,07%), dan
15
Hindu(0,01%). Agama Kristen Protestan/Katolik banyak dianut oleh Suku Batak
Toba, Suku Karo, Batak Dairi, Batak Simalungun, Nias. Agama Islam di Tapanuli
Tengah dianut oleh Suku Batak Angkola, Suku Mandailing dan Suku Melayu.
Agama Buddha dianut oleh orang-orang yang beretnis Tionghoa dan Agama
Hindu banyak dianut oleh suku dari Bali. Kabupaten Tapanuli Tengah terletak di
pesisir Pantai Barat Pulau Sumatera dengan panjang garis pantai 200 km dan
sebagian besar berada di daratan Pulau Sumatera dan sebagian lainnya di pulau-
pulau kecil dengan luas wilayah 2.188 km².
2.2 Asal-Usul Masyarakat Batak Toba
Persebaran masyarakat Batak Toba dimulai ketika badan zending masuk
ke tanah Batak yang membuka isolasi wilayah Batak. Keterkungkungan yang
lama menyelimuti tanah Batak selama berabad-abad yang diterima sebagai suatu
kebiasaan oleh masyarakat ini. Bahkan mereka memproteksi diri dari kehidupan
lain diluar sistem sosio kemasyarakatan yang sudah terbangun pada orang Batak
Toba. Badan zending yang membuka isolasi ini melalui pendidikan yang
ditularkan melalui pengajaran agama Kristen, akhirnya membuahkan hasil dengan
timbulnya minat orang Batak melakukan persebaran ke seluruh pelosok. Hal
mendasar dari cita-cita filosofi semua orang Batak yaitu mengejar hamoraon,
hagabeon dan hasangapon adalah bagian paling kuat untuk mewujudkan
keinginan-keinginan itu.
Status sosial bagi masyarakat Batak Toba yang dianggap paling mendasar,
membuat orang Batak selalu suka bekerja keras sehingga pekerjaan adalah sesuatu
yang penting. Adakalanya, pekerjaan sebagai guru jemaat dengan gaji yang kecil
16
akan dilakukan untuk mengejar status sosial. Karena anggapan bahwa seorang
guru lebih tinggi kedudukan sosialnya dari seorang petani.
Dengan terbentuknya berita dari para missionaris tentang adanya
kehidupan lain yang lebih layak di luar wilayah Batak, orang-orang Batak yang
sudah mengecap pendidikan dari pihak zending ini, mencoba mengadu nasib dan
mencari pengalaman baru di tempat yang mereka cari (parserahan). Mereka
melakukan perjalanan dengan menyusuri jalan setapak. Untuk tiba di sekitar
Sumatera Timur (penyebutan untuk wilayah tanah Simalungun dan pesisir timur
Sumatera), orang-orang Batak yang tinggal di Toba Na Sae (Tanah Batak Toba
yang luas) harus dengan menyusuri tepian Danau Toba dengan sampan dari
Balige menuju Tigara dan berjalan kaki menuju Pematang Siantar melalui Tiga
Dolok.
Selain pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak menuju Sumatera
Timur, masih ada peluang untuk keluar walau dengan resiko perjalanan yang berat
dan berbahaya. Misalnya, alternatif jalan menuju Padang sebagai pelabuhan
internasional ketika itu, dapat dilalui dari Sibolga dengan kapal barang. Hal ini
pernah terjadi dengan adanya orang-orang Batak Toba berkediaman di tanah
Minang pada tahun 1900-an dan orang Batak yang ada di Jawa diyakini berangkat
dengan kapal api dari Padang, atau dengan masuknya tentera Paderi pada tahun
1820-an ke tanah Batak pada saat perang Paderi/Bonjol (purba:2015).
Akses jalan dari Sumatera Timur ke tanah Batak, awalnya dijalani melalui
beberapa titik persinggahan yang memakan waktu berhari-hari. Rute-rute kecil
dari tengah hutan sebagai jalan setapak yang dirintis oleh pedagang-pedagang
17
local (perlanja sira-penjual garam), adalah pilihan untuk dapat keluar dari tanah
Batak. Rute lain yang dipilih adalah melalui jalan menyusuri sungai Asahan dari
pesisir timur menuju kawasan Danau Toba di Porsea.
Jalan raya yang menghubungkan tanah Batak ke Sumatera Timur baru
dibuka pada tahun 1915 melalui Sibolga, Sipirok, Tarutung, Balige, Porsea,
Parapat, Tiga Dolok menuju Pematang Siantar (Cunningham, 1958:85). Dengan
dibukanya jalan raya itu, percepatan perpindahan orang Batak menuju daerah lain
semakin tampak. Salah satu sumbernya adalah informasi dari anggota keluarga
Batak yang sudah tiba lebih dahulu di tanah-tanah garapan mereka. Persebaran
masyarakat Batak Toba ke daerah lain untuk mengejar tingkat perekonomian yang
lebih baik, tidak hanya dilakukan oleh kalangan yang berpendidikan saja, tetapi
adalah juga para petani-petani yang hanya mengandalkan semangat dan
pengetahuan pertaniannya. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya, dan
kewajiban bekerja sebagai rodi yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di
kampungnya. Untuk kepergiannya, mereka mau membayar pajak rodi sebesar 3
(tiga) gulden ditambah pajak dan ongkos ganti rugi pekerjaan rodi selama setahun.
Perpindahan orang Batak ke daerah lain untuk menetap adalah pilihan untuk
meningkatkan taraf ekonomi mereka (Sangti, 1977:180).
Perpindahan orang Batak ke daerah lain untuk menetap adalah pilihan
untuk meningkatkan taraf ekonomi mereka. Tetapi, ada beberapa kasus untuk
sebagian masyarakat Samosir yang pergi meninggalkan kampung halamannya
untuk bekerja di daerah Sumatera Timur, hanya bersihat sementara. Kelompok ini
disebut dengan mangombo (bekerja hanya untuk menerima gaji). Selanjutnya
18
secara periodik mereka kembali ke kampung halamannya. Hal itu terjadi hingga
tahun 1980-an, yang diikuti oleh beberapa kelompok masyarakat dari dataran
tinggi Humbang yang pergi mangombo ke Simalungun di Laras, Dolok Merangir,
Dolok Ilir dan Tanjung Leidong di Tanjung Balai.
Bagi orang-orang Batak yang tinggal menetap di daerah-daerah
parserahan selanjutnya membentuk komuni-komuni baru dengan membawa
segala aspek kebudayaannya. Adat istiadat yang dipakai mereka tidak dihilangkan
begitu saja. Mereka berpegang pada konsep adat yang sudah dibangun nenek
moyang mereka terdahulu. Karena beragamnya orang Batak dari berbagai latar
belakang daerah di bona pasogit, mereka menyatukan persepsi untuk membuat
adat Batak itu dapat diterima oleh komunitas mereka sendiri, tanpa melihat daerah
asal mereka seperti dari Silindung, Toba Holbung, Humbang dan Samosir.
Mereka menjalankan adat Batak dengan seperti apa yang dilakukan orang Batak
di bona pasogit, termasuk dalam pemakaian musik untuk mengiringi upacara adat
Batak mereka.
Bagi orang-orang Batak yang tinggal menetap di daerah-daerah parserahan
(perantauan) selanjutnya membentuk komuni-komuni baru dengan membawa
segala aspek kebudayaannya. Adat istiadat yang dipakai mereka tidak dihilangkan
begitu saja. Mereka berpegang pada konsep adat yang sudah dibangun nenek
moyang mereka terdahulu. Karena beragamnya orang Batak dari berbagai latar
belakang daerah di bona pasogit, mereka menyatukan persepsi untuk membuat
adat Batak itu dapat diterima oleh komunitas mereka sendiri, tanpa melihat daerah
asal mereka. Mereka menjalankan adat Batak dengan seperti apa yang dilakukan
19
orang Batak di bona pasogit, termasuk dalam pemakaian musik untuk mengiringi
upacara-upacara adat Batak mereka. Masyarakat Batak Toba dewasa ini yang
berada di Simalungun, menempati hampir semua daerah yang ada di Simalungun.
Mereka hidup berkelompok di Pematang Siantar, Perdagangan, Kerasaan,
Serbelawan, Dolok Sinumbah, Bah Jambi, Maria Bandar, Panei Tongah,
Saribudolok, Tiga Dolok, Tiga Balata, Tanah Jawa, Parapat dan daerah lain.
2.2.1 Asal-Usul Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Kolang
Lokasi penelitian yang penulis teliti berada di Kecamatan Kolang,
Kabupaten Tapanuli Tengah yang merupakan tempat tinggal penulis. Menurut
data yang penulis dapat persebaran masyarakat Batak Toba di Kecamatan Kolang
datang dari Tarutung sekitar tahun abad ke-VIII. Yang di bawak oleh marga
siopat pisoran seperti marga Hutagalung, Hutabarat, Hutapea dan Panggabean
yang daerah nya terletak di desa parhambingan dan desa sipakpahi. Dari desa
sitahanbarat sampe ke sibolga marga yang membuka kampung (huta) adalah
marga hutagalung, daerah lobiharambir itu marga yang pertama sekali bertempat
tinggal adalah marga Lumbantobing dan sekaligus menjadi raja ni huta.
Selanjutnya dari kelurahan Pasar Onan Hurlang sampai ke desa Gonting mahe
adalah daerah marga Naipospos.
2.3 Mata Penncarian Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Kolang
Secara tradisional, mata pencaharian masyarakat Batak Toba umumnya
adalah bercocok tanam. Pekerjaan bercocok tanam yang dilakukan adalah
berladang dan menanam padi di sawah. Di samping itu, mereka juga mengelola
hasil hutan terutama untuk memenuhi hidup sehari-hari. Salah satu ciri khas desa-
20
desa kecil yang terdapat di Kecamatan Kolang adalah bentuk dari permukiman
tradisionalnya. Pola permukiman desa-desa tersebut umumnya terdiri atas
beberapa perumahan yang dikelilingi oleh rerimbunan pohon di antara bentangan
lahan persawahan di sekelilingnya.
Menurut hukum adat, dahulu lahan yang dijadikan untuk bercocok tanam
tersebut diperoleh dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga
mandapat tanah warisan tetapi tidak boleh menjualnya. Tapi seiring
perkembangan zaman, hukum tersebut lama kelamaan sudah mulai tidak dipakai
lagi, sebab sudah ada beberapa oknum yang pernah menjual tanahnya meskipun
tanah itu warisan marganya. walaupun demikian, penduduk Kecamatan Kolang
masih banyak yang memegang teguh hukum adat tersebut.
Gambaran umum tentang keadaan lingkungan alam khususnya yang
didapatkan di Kecamatan Kolang sedikit berbeda. Meskipun terdapat juga lahan-
lahan persawahan di tempat tersebut, wilayah ini merupakan wilayah yang relatif
kering dan kurang subur jika dibandingkan dengan wilayah Batak Toba yang
lainnya. Untuk memenuhi debit air yang dibutuhkan tanaman terkadang sebagian
besar penduduk mengandalkan air hujan, sebab selain lahan yang relatif kering,
sistem irigasi juga tidak berjalan maksimal. Oleh karena itu, sebagian besar
masyarakat menghidupi dirinya dengan menyadap pohon kareat
(mangguris/manderes). Sebab menurut penduduk setempat, selain perawatannya
yang lebih mudah, biasanya pohon karet merupakan salah satu tanaman yang
tidak terlalu membutuhkan banyak debit seperti tanaman yang lain. Di samping
itu, ada juga yang bertanam padi dan sayur-sayuran.
21
Selain sektor pertanian, perternakan juga merupakan salah satu mata
pencaharian penduduk Kecamatan Kolang, antara lain perternakan babi, kambing,
ayam, dan bebek. Usaha nelayan atau penangkapan ikan dilakukan sebagian
penduduk yang merantau ke daerah pantai dan pulang seminggu sekali. Jika
ditinjau secara keseluruhan sebagian besar masyarakat Batak Toba di Kecamatan
Kolang saat ini bermata pencaharian sebagai petani, peladang, nelayan, pegawai,
wiraswasta dan pejabat pemerintahan.
2.4 Sistim Religi/kepercayaan
Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya, segala hal di dalam
kehidupan selalu ada sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya sebagai
karya Mula Jadi Nabolon. Dalam cerita turun temurun, mitologi dalam
kepercayaan masyarakat Batak Toba ini yaitu adanya tiga oknum dewa masing-
masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari Mulajadi
Nabolon yang memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan manusia
(Situmorang, 2009:21).
Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang
diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak.
Dalam tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari
jelmaan Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri sendiri yaitu 1)
Mulajadi Nabolon, 2) Debata Asi-asi dan 3) Batara Guru yang sesuai dengan
pekerjaannya di Bumi. Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam
semesta untuk alam yang besar (Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang
lebih rendah. Debata Asiasi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih
22
melalui oknum perantara (roh leluhur, roh penghuni suatu tempat). Batara Guru
berarti maha guru yang member ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan
dan penangkalan roh-roh jahat. (Tampubolon, 1978:9-10)
Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke
mulut (tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal
ini terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa
Batak. Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa
memiliki dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing
berdiri sendiri (Hutauruk, 2006:8)
Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas
oleh Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang)
pemilik otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut
mengatur tata kehidupan manusia. Dalam legenda Siboru Deak (Deang) Parujar
dalam tonggotonggo (doa) yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon menyebut:
Debata Natolu, Natolu Suhu, Naopat Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan
dan tugas 29 keempat oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan
bersusah payah dan berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso
sinomba (yang tidak disaji dan tidak disembah) sebagai tugas keempat dimaksud
dari na opat harajaon (Sangti, 1977:279).
Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat
konsep bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal.
23
Kehidupan itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah
meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas
sendiri.
Itu sebabnya, hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat Batak
untuk ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur
bersama jasadnya. Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan dipergunakan
nantinya setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan
ringgit sitio suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan
„jauh‟ dari dunia nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan
dalam dunia roh. (Ibid. 1978:10).
Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan,
bahwa orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah
yang satu yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang
ada. Orang Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan
langit dan bumi dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus
menerus. Debata Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilah yang tidak bermula dan
tidak berakhir. Dia adalah awal dari semua yang ada.
Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya
untuk mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar
pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus
mempunyai sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan
hidup, kekayaan akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup
kebijaksanaan, kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini
24
terus dilakukan oleh orang Batak secara turun temurun. Implementasinya, nampak
pada setiap pekerjaan adat dan hubungan kehidupan antara orang Batak. Sehingga
sahala adalah wujud dari hagabeon, hamoraon dan hasangapon.
Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia.
Dia merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang penting
dan kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah dimana seseorang
memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa
diperoleh atau hilang. Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada
nilai-nilai kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon
(kekayaan) dan hasangapon (kehormatan).
Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah berdiri sendiri
secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang
Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja. Pengertian
menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan
orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk membentuk rumah tangga
sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari usaha-usaha untuk mendirikan
ke”raja”annya sendiri. Manusia harus menghormati sanak saudaranya dan marga
yang dia miliki.
Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak adalah
mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih
dianggap sama dengan banyak memiliki istri dan anak, ladang yang luas dan
ternak yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki
seorang Batak memiliki sahala sebagai raja.
25
Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan
gagasan-gagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon
digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Dalam mencapai
harajaon, hamoraon, dan hasangapon, ketegangan seringkali muncul antara kakak
beradik dalam satu marga. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki status yang
tinggi akan mencoba menengahi, tetapi bila usaha-usaha ini tidak berhasil, sebuah
kelompok bisa pergi untuk mendirikan pemukiman baru.
Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang
kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu,
masyarakat Toba memiliki cirri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan
masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki
gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki
Di Kecamatan Kolang dominan mempercayai tiga agama di dunia yakni
Islam, Kristen Protestan dan Kristen Katholik. Penduduk Kecamatan Kolang
didiami Etnis pesisir yang mayoritas beragama Islam. Bentuk keyakinan lain
adalah kepercayaan Parmalim yang merupakan agama nenek moyang suku Batak.
Dengan adanya berbagai etnis ini maka penggalangan persatuan dan kesatuan
dapat terbina dengan baik.
2.5 Sistem Sosial Kekerabatan
Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Kolang juga menggunakan sistim
kekerabatam yang ada pada umum nya di suku Batak Toba. Tetapi hanya ada
beberapa yang membedakan dalam penyebutan tutur (partuturan) pada kerabat.
26
Seperti penyebutan pada saudara laki-laki kepada saudara perempuan disebut
itong, tetapi jika di suku Batak Toba secara umum itu disebut ito dan sebagainya.
Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal
dari satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan
mitologi seperti disebutkan dalam pembahasan di atas. Garis keturunan yang
disandang oleh setiap orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber yang
secara eksklusif ditarik lurus dari pihak laki-laki (keturunan agnatic, patrilineal
atau laki-laki). Garis patrilineal ini dipakai guna menentukan status keanggotaan
dalam sebuah kelompok yang dinamai marga. Sedangkan patrilineal adalah garis
keturunan menurut laki-laki.
Mengenai prinsip garis keturunal patrilineal tersebut, Soerjono Soekanto
memberikan penjelasan: “Hubungan kekerabatan melalui laki-laki saja, dan
karena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap individu dalam masyarakat semua
kaum kerabat ayahnya masuk kedalam batas hubungan kekerabatannya,
sedangkan semua kaum kerabat ibunya jatuh diluar batas itu”. Sehingga,
kelompok marga Batak adalah sebuah organisasi keluarga yang luas. Kekerabatan
dari kelompok keturunan bagi orang Batak banyak dijumpai menurut wilayah
kediaman masyarakat Batak Toba. Mereka membentuk grup-grup menjadi sebuah
kelompok marga (descent group) sebagai kesatuan sosial. Kesatuan yang diakui
(de facto) oleh umum.
Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Batak Toba dalam beberapa hal
merupakan masyarakat yang patriakal. Dalam masyarakat tradisional, posisi
perempuan seringkali sulit. Jika seorang perempuan telah melahirkan banyak
27
anaklaki-laki dan satu anak perempuan akan sangat dihargai, tetapi jika
perempuan tidakmelahirkan anak laki-laki akan dianggap rendah. Karena system
marga diambil dari anak laki-laki, seorang laki-laki yang tidak memiliki anak laki-
laki tidak dapat mengabadikan marganya. Keadaan ini dianggap sebagai rasa malu
yang besar dan laki-laki itu didesak untuk memiliki istri lagi, karena anak-anak
membawa kebanggaan dalam sebuah marga, biasanya laki-laki yang memiliki
kekayaan sering memiliki lebih dari satu istri. Karena marga adalah eksogamus,
maka perkawinan antara orang-orang dari marga yang sama dianggap tabu.
Adat Batak Toba mendorong seseorang segera menikah setelah masa
pubertas dan bagi laki-laki menikah dianggap sebagai sebuah tugas. Sistem marga
Batak Toba bersifat hirarkis, dalam arti bahwa marga (hula-hula), yang telah
memberikan anak perempuannya agar dinikahi marga yang lain dianggap lebih
tinggi dari pada marga yang menerima isteri tersebut (boru). Di pihak lain, marga
yang lebih tinggi juga berhubungan dengan marga-marga yang lain yang telah
memberikan anak-anak perempuan kepada mereka, yaitu yang dianggap lebih
tinggi.
Tiga marga adalah marga milik seseorang (dongan sabutuha, teman dari
satu rahim), hula-hula dan boru disebut dalihan na tolu, yang merujuk pada tiga
batu yang diletakkan dibawah tungku untuk memasak. Dalam hal ini tidak
seorang pun berada di atas karena setiap orang memiliki hubungan dengan sebuah
marga yang mereka anggap lebih tinggi.
Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari
filsafat hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat
28
seorang laki-laki dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang
tertentu yaitu kaum kerabat dari pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak
perempuan. Seluruh pihak yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba,
masing-masing memiliki nama sebutan panggilan yang menunjukkan status
kekerabatan. Filsafat hidup kekerabatan inilah yang disebut Dalihan Na Tolu
(tungku nan tiga) yang terdiri dari:
1. Dongan Sabutuha atau dongan tubu yaitu terdiri dari namarsaompu artinya
segenap keturunan dari kakek yang sama, dengan pengertian keturunan
lakilaki dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat terlihat dalam posisi
sebagai dongan tubu, hula-hula dan boru terhadap orang lain. Terhadap
hulahula-nya, dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan
hula-hula dan terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan
tubu.
2. Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga ayah
mertua seorang laki-laki yang memberinya istri. Yang termasuk hula-hula
bukan hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari
yaitu marga asal nenek (istri kakek) ego lima tingkat ke atas atau lebih, tulang
yaitu saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona tulang
(tulang kandung dari bapak ego), tulang tangkas (tulang ego saudara), tulang
ro robot (ipar dari tulang), lae atau tunggane (ipar) yang termasuk di
dalamnya anak dari tulang anak mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari
ipar, cucu ipar; bao (istri ipar) yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua
perempuan dan anak laki-laki, anak perempuan dari tulang ro robot; paraman
29
dari anak lakilaki, termasuk di dalamnya anak ipar dari hula-hula, cucu
pertama, cucu dari tulang, saudara dari menantu perempuan, paraman dari
bao; hula-hula hatopan yaitu semua abang dan adik dari pihak hula-hula.
3. Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri, yang
termasuk di dalamnya namboru (bibi) yang terdiri dari iboto ni ama niba
(saudara perempuan bapak), mertua perempuan dari saudara perempuan,
nenek dari menantu laki-laki; amang boru (suami bibi) yang termasuk di
dalamnya mertua laki-laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu laki-
laki; iboto (saudara perempuan) yang termasuk di dalamnya putri dari
namboru, saudara perempuan nenek, saudara perempuan dari abang atau adik
kita; lae (ipar) yang termasuk di dalamnya saudara perempuan, anak namboru,
mertua laki-laki dari putri, amang boru dari ayah, bao dari saudara
perempuan. Boru (putri) yang termasuk di dalamnya boru tubu (putri
kandung), boru ni pariban (putri kakak atau adik perempuan), hela (menantu),
yang termasuk di dalamnya suami dari putri, suami dari putri abang atau adik
kita, suami dari putri; bere atau ibebere (kemenakan) atau anak dari saudara
perempuan; boru natua-tua yaitu semua keturunan dari putri kakak kita dari
tingkat kelima.
Penyebutan kata somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan
tubu adalah salah satu semboyan yang hidup hingga saat ini pada masyarakat
Batak Toba yang mencerminkan keterkaitan hubungan ketiga sistem kekerabatan
ini. Artinya hula-hula menempati kedudukan yang terhormat diantara ketiga
golongan fungsional tersebut. Boru harus bersikap sujud dan patuh terhadap hula-
30
hula dan harus dijunjung tinggi. Hal itu tampak dari filosofi yang dianut tentang
ketiga golongan ini. Hula hula, mata ni mual si patio-tioon, mata ni ari so
husoran artinya hula-hula adalah sumber mata air yang selalu dipelihara supaya
tetap jernih dan matahari yang tidak boleh ditentang. Hula-hula diberi sebutan
sebagai debata na ni ida atau wakil Tuhan yang dapat dilihat, karena merupakan
sumber berkat, perlindungan dan pendamai dalam sengketa. Elek marboru artinya
hula-hula harus selalu menyayangi borunya dan sangat pantang untuk menyakiti
hati dan perasaan boru. Manat mardongan tubu artinya orang yang semarga harus
berperasaan seia sekata dan sepenanggungan sebagai saudara kandung dan saling
hormat menghormati.
Adapun fungsi dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah
mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak
dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi
masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba, secara otomatis
berlaku fungsi dalihan na tolu, dan selama orang Batak Toba tetap
mempertahankan kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan na tolu
tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.
2.6 Konsep Kemasyarakatan
Koentjaraningrat (1995:110) mengatakan bahwa stratifikasi sosial orang
Batak dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi empat (4) prinsip
yaitu:
1. Perbedaan tingkat umur. Yakni, sistem pelapisan sosial masyarakat Batak
Toba berdasarkan perbedaan tingkat umur ysng dapat dilihat dalam
31
sistem adat istiadat. Dalam pesta adat, orang-orang tua yang tingkat
umurnya lebih tinggi, akan lebih banyak berbicara atau disebut raja adat.
2. Perbedaan pangkat dan jabatan. Sistem pelapisan sosial berdasarkan
perbedaan pangkat dan jabatan ini dapat dilihat pada perbedaan harta dan
keahlian yaitu pada keturunan raja-raja, dukun, pemusik (pargonsi) dan
juga pandai-pandai seperti besi, tenun, ukir, dan lain-lain.
3. Perbedaan sifat keaslian. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan
sifat dan keaslian dapat kita lihat dalam jabatan dan kepemimpinan.
Dalam system ini berlaku sifat keturunan contohnya, di daerah Muara
adalah daerah asal marga Simatupang. Maka secara otomatis turunan
marga Simatupang ini lebih berhak atas jabatan kepemimpinan di daerah
tersebut seperti Kepala Desa atau yang di luar jabatan pemerintahan.
Demikian juga halnya dalam hak ulayat dalam pemilikan tanah.
4. Status kawin adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin
dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada orang Batak yang
sudah berkeluarga. Mereka sudah mempunyai wewenang untuk
mengikuti acara adat atau berbicara dalam lingkungan keluarganya, dan
biasanya orang Batak yang sudah berkeluarga akan menjaga wibawanya
dalam adat ataupun dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu sangat
besar arti perkawinan pada masyarakat Batak Toba.
32
2.7 Budaya Musikal Batak Toba di Kecamatan Kolang
2.7.1 Musik Vokal di Kecamatan Kolang
Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Kolang masih tetap memelihara
budaya musikal sebagaimana daerah asal di antara budaya musikal tersebut yang
masih tetap hidup dan terpelihara ialah musik vokal dan musik instrumental.
Tentu saja ada yang hilang, namun masih ada yang berlanjut.
Budaya musikal masyarakat Batak Toba tercakup dalam dua bahagian
besar, yaitu musik vokal dan musik instrumental. Musik vokal pada masyarakat
Batak Toba disebut dengan ende. Dalam musik vokal tradisional,
pengklasifikasiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang
dapat dilihat berdasarkan liriknya. Ben Pasaribu (1986 : 27-28) membuat
pembagian terhadap musik vokal tradisional Batak Toba dalam delapan bagian,
yaitu:
1. Ende mandideng, adalah musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak
(lullaby). Nyanyian ini masih tetap hidup di Kecamatan Kolang salah satunya
lagu bue-bue.
2. Ende sipaingot, adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang
akan melangsungkan pernikahan. Biasanya dinyanyikan pada waktu senggang
saat menjelang pernikahan. Dalam upacara adat pernikahan di Kecamatan
Kolang Ende Sipaingot ini disajikan oleh orang tua dari pihak laki-laki
ataupun yang mewakili.
3. Ende pargaulan, adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo
chorus”, dan dinyanyikan oleh kaum muda-mudi dan daam waktu senggang,
33
biasanya malam hari. Nyanyian ini tidak ditemukan lagi di Kecamatan
Kolang.
4. Ende tumba, adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring
tarian hiburan (tumba). Penyanyinya sekaligus menari dengan melompat-
lompat dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende
tumba ini dilakukan oleh para muda-mudi atau remaja di alaman (halaman
kampung) pada malam terang bulan. Nyanyian ini tidak ditemukan lagi di
Kecamatan Kolang.
5. Ende sibaran, adalah musik vokal yang menggambarkan cetusan penderitaan
seseorang yang berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita
tersebut, dan biasanya dinyanyikan di tempat yang sepi. Nyanyian ini tidak
ditemukan lagi di Kecamatan Kolang.
6. Ende pasu-pasuan, adalah musik vokal yang berkaitan dengan
pemberkatan,dan berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari Yang
Maha Kuasa. Biasanya dinyanyikan oleh para orang tua kepada keturunannya.
Nyanyian ini tidak ditemukan lagi di Kecamatan Kolang.
7. Ende hata, adalah musik vokal berupa lirik yang diimbuhi ritem yang
disajikan secara monoton, seperti metric speech. Liriknya berupa rangkaian
pantun dengan bentuk pola “aa bb” yang memiliki jumlah suku kata yang
sama. Biasanya dimainkan oleh kumpulan anak-anak yang dipimipin oleh
seseorang yang lebih dewasa atau orang tua. Nyanyian ini tidak di temukan
lagi diKecamatan Kolang.
34
8. Ende andung, adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup
seseorang yang telah meninggal, yang disajikn pada saat atau setelah
disemayamkan. Dalam ende andung alunan melodi biasanya muncul secara
spontan sehingga penyanyinya haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan
terampil dalam sastra yang menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting
untuk jenis nyanyian ini. Dalam upacara kematian di Kecamatan Kolang Ende
andung ini masih sering di sajikan. Biasanya orang yang menyanyikan nya
adalah keluarga dekat atau kerabat yang meninggal.
Demikian juga Hutasoit yang dikutip oleh Ritha Ony membagi kelompok
musik vokal menjadi tiga jenis, yaitu:
2. Ende namarhadohoan, yaitu musik vokal yang diyanyikan untuk acara-acara
namarhadodoan (resmi).
3. Ende siriakon, yaitu musik vokal yang dinyanyikan oleh masyarakat Batak
Toba dalam kegiatan sehari-hari.
4. Ende sibaran, yaitu musik vokal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan
berbagai peristiwa kesedihan atau dukacita.
Tetapi apabila dikaji lebih rinci dari banyaknya jenis musik vokal pada
masyarakat Batak Toba, maka dibuat pengklasifikasian yang lebih mendetail
terhadap nyanyian-nyanyian tersebut sesuai dengan sudut pandang masing-
masing. Berikut ini adalah pembagian jenis musik vokal Batak Toba oleh Jan
Harold Brunvand yang dikutip oleh Ritha Ony (1983:13). Jenis musik vokal
tersebut sebagai berikut:
35
1 Nyanyian kelonan (lullaby), yaitu musik vokal yang mempunyai irama halus,
tenang, berulang-ulang, ditambah dengan kata-kata kasih sayang sehingga
dapat membangkitkan rasa kantuk bagi si anak yang mendengarkan. Contoh:
Mandideng.
2 Nyanyian kerja (work song), yaitu musik vokal yang mempunyai irama dan
kata-kata yang bersifat menggugah semangat,sehingga dapat menimbulkan
rasa gairah untuk bekerja. Contoh : Luga-luga solu.
3 Nyanyian permainan (play song), yaitu musik vokal yang mempunyai irama
gembira serta kata-kata yang lucu dan selalu dikaitkan dengan permainan.
Contoh: Sampele-sampele.
4 Nyanyian yang bersifat kerohanian atau keagamaan, yaitu musik vokal yang
teksnya berhubungan dengan kitab Injil, legenda-legenda keagamaan, atau
pelajaran-pelajaran keagamaan. Contoh: Metmet ahu on.
5 Nyanyian nasehat, yaitu musik vokal yang liriknya berisi nasehat tentang
bagaimana pola bertingkah laku yang baik. Contoh: Siboruadi.
6 Nyanyian mengenai hubungan berpacaran dan pernikahan, yaitu musik vocal
yang liriknya biasanya mengungkapkan kebiasaan muda-mudi yang sedang
bercinta dan akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Contoh: Madekdek ma
Gambiri.
2.7.2 Musik pada upacara perkawinan
Dalam musik instrumental ada beberapa instrument yang lazim digunakan
dalam ansambel maupun disajikan dalam permainan tunggal, baik dalam
kaitannya dalam upacara adat, religi maupun sebagai hiburan.
36
Dahulu pada masyarakat Batak Toba terdapat dua ansambel musik
tradisional, yaitu: ansambel gondang hasapi dan gondang sabangunan. Selain itu
ada juga instrument musik tradisional yang digunakan secara tunggal.
2.7.2.1 Ensambel Gondang Hasapi
Beberapa instrument yang terdapat dalam ansambel gondang hasapi
adalah sebagai berikut:
1. Hasapi ende (plucked lute dua senar) jenis chordophone yang berfungsi
sebagai pembawa melodi, dimainkan dengan cara mamiltik (dipetik).
2. Hasapi doal (plucked lute dua senar), sama denga hasapi ende, namun
hasapi doal berfungsi sebagai pembawa ritem konstan, dan berukuran
lebih besar dari hasapi ende.
3. Sarune etek (shawm), kelompok aerophone yang memiliki reed tunggal
(single reed) dimainkan dengan mangombus marsiulak hosa (meniup
dengan terus menerus).
4. Saga-saga, kelompok xylophone, pembawa melodi juga sebagai pembawa
ritem variabel pada lagu-lagu tertentu. Dimainkan dengan cara dipalu.
5. Hesek, instrument idiophone sebagai pembawa tempo (ketukan dasar).
2.7.2.2 Gondang Sabangunan
Ensambel gondang sabangunan mempunyai beberapa istilah yang sering
digunakan oleh masyarakat Batak Toba, yakni ogung sabangunan atau gondang
bolon. Komposisi alatnya terdiri dari :
1. Sarune bolon (shawm, oboe), yaitu sejenis alat tiup berlidah ganda (double
reed) yang berperan sebagai pembawa melodi dan dimainkan dengan cara
37
mangombus marsiulak hosa. Instrumen ini tergolong kepada kelompok
aerophone.
2. Taganing (single headed drum), yaitu seperangkat gendang bernada
bermuka satu yang tersusun atas lima buah gendang, yang berfungsi
sebagai pembawa melodi dan juga pembawa ritem variabel untuk lagu
atau repertoar tertentu. Kelima gendang tersebut dibedakan sesuai dengan
namanya masing-masing, 15 Sebuah aliran kepercayaan tradisional/agama
suku Batak Toba yang berkembang di Huta Tinggi, Laguboti, Sumatera
Utara. 16 Dikutip dari Buku yang berjudul “Gondang Batak Toba” oleh
Ritha Ony dan Irwansyah Harahap. Universitas Sumatera Utara yakni
odap-odap, paiduani odap, painonga, paiduani ting-ting, dan ting-ting.
Instrumen ini tergolong ke dalam kelompok membranophone.
3. Gordang bolon (single headed drum), yakni sebuah gendang-bas bermuka
satu yang ukurannya lebih besar dari taganing, yang berperan sebagai
pembawa ritem konstan dan ritem variabel. Insrumen juga sering disebut
sebagai bass dari ensambel gondang sabangunan. Klasifikasi instrumen
ini termasuk kepada kelompok membranophone.
4. Ogung (gong), yaitu seperangkat gong yang terdiri dari empat buah dengan
ukuran yang berbeda-beda. Keempat buah gong tersebut diberi nama
oloan, ihutan, doal, dan panggora. Masing-masing ogung sudah memiliki
ritem tertentu dan dimainkan terus menerus secara konstan/tidak berubah-
ubah. Instrumen ini tergolong kepada kelompok idiophone.
38
5. Hesek, yaitu sejenis alat perkusi berupa plat besi, botol, atau benda lainnya
yang dapat menghasilkan bunyi tajam untuk dijadikan sebagai pembawa
tempo. Instrumen ini tergolong kepada idiophone.
6. Odap (double headed drum), yakni sejenis gendang kecil bermuka dua
(dua sisi selaput gendang) yang berperan sebagai pembawa ritem variabel.
Instrumen ini biasanya hanya dimainkan pada lagu atau repertoar tertentu.
Instrumen ini tergolong kepada kelompok membranophone.
2.7.2.3 Instrument Tunggal
Instrument tunggal adalah alat musik yang dimainkan secara tunggal yang
terlepas dari ansambel gondang hasapi dan gondang sabangunan. instrument yang
termasuk instrument tunggal dalam masyarakat Batak Toba antara lain:
1. Sulim (transverse flute), kelompok aerophone. Dimainkan dengan meniup
dari samping (side blown flute), berfungsi membawa melodi. Sampai
sekarang ini sulim masih dimainkan dalam upacara adat perkawina di
Kecamatan Kolang.
2. Saga-saga (jew’s harp) klasifikasi idiophone. Dimainkan dengan
menggetarkan lidah dan instrument tersebut di rongga mulut sebagai
resonatornya.
3. Jenggong (jew’s harp) mempunyai konsep yang sama dengan saga-saga,
namun materinya berbeda karena terbuat dari logam.
4. Talatoit (transverse flute), sering juga disebut salohat atau tulila.
Dimainkan dengan meniup dari samping. Kelompok aerophone.
39
5. Sordam (long flute) terbuat dari bambu, kelompok aerophone, dimainkan
dengan ditiup dari ujung (end blown flute).
6. Tanggeteng, alat musik yang senarnya terbuat dari rotan dan peti kayu
sebagai resonatornya.
40
BAB III
KAJIAN KONTINUITAS DAN PERUBAHAN MUSIK PADA UPACARA
ADAT PERKAWINAN DI KECAMATAN KOLANG
3.1 Perkawinan Pada Masyarakaat Batak Toba di Kecamatan Kolang
Perkawinan merupakan pengikatan adat; pengikatan kekerabatan; sehingga
dapat terjadinya suatu perikatan membawa akibat bukan semata-mata terhadap
hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, kedudukan anak,
harta bersama, kedudukan hak dan kewajiban orangtua, tetapi menyangkut juga
kepada hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekerabatan, dan juga
menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Perkawinan adalah aturan-
aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk bentuk perkawinan, cara-cara
dan pelamaran, upacara perkawinan. (Adikusuma, 1992:182)
Bagi masyarakat adat batak toba juga mengartikan perkawinan itu adalah
dimana seorang laki-laki mengikatkan diri dengan seorang wanita, untuk hidup
bersama dalam satu rumah tangga dengan melalui prosedur yang di tentukan
dalam ketentuan-ketentuan hukum adat Batak Toba. (Samosir.1980:29)
Dalam hukum adat, sahnya perkawinan secara adat Batak Toba umumnya
tergantung kepada masyarakat penganut agama yang bersangkutan yang
dilaksanakan menurut tata tertib agamanya, mereka juga terlebih dahulu
melakukan upacara adat supaya dapat masuk ke dalam lingkungan masyarakat
adat dan diakui menjadi warga masyarakat adat. Masyarakat Batak Toba pada
umumnya menganut perkawinan monogami dan prinsip keturunan masyarakat
Batak Toba adalah patrilineal.
41
3.1.1 Tahapan upacara perkawinan
Perkawinan adat pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Kolang tidak
terlepas dari pengesahan agama. Semua upacara perkawinan yang dilaksanakan
oleh masyarakat Batak Toba dalam konteks adat selalu didahului atau diikuti
pengesahan agama masing-masing. Tahapan perkawinan pada masyarakat Batak
Toba yang umum dilakukan sebagai berikut: martumpol, pemberkatan
pernikahan, upacara adat.
3.1.1.1 Martumpol
Martumpol bagi orang Batak Toba bisa disebut juga sebagai acara
pertunangan tetapi secara harafiah martumpol merupakan acara kedua pengantin
di hadapan pengurus jemaat gereja diikat dalam janji untuk melangsungkan
pernikahan.
Upacara adat ini diikuti oleh orang tua kedua calon pengantin dan keluarga
mereka beserta para undangan yang biasanya diadakan di dalam gereja, karena
yang mengadakan acara martumpol ini kebanyakan adalah masyarakat Batak
Toba yang beragama Kristen.
3.1.1.2 Acara pemberkatan pernikahan
3.1.1.2.1 Waktu
Acara pemberkatan pernikahan dilakukan setelah proses martumpol
dilaksanakan. Biasanya selang beberapa bulan atau minggu setelah proses
martumpol dilaksanakan. Waktunya tergantung pada kesiapan kedua pengantin
dan kedua keluarga pengantin. Pemberkatan di gereja diadakan sebelum
42
berlangsungnya proses upacara adat namun masih pada hari yang sama. Upacara
pemberkatan diadakan pagi hari sekitar pukul 09.00 WIB sampai dengan selesai.
3.1.1.2.2 Tempat
Tempat berlangsungnya acara pemberkatan kedua pengantin dilaksanakan
di gereja. Gereja yang dipakai biasanya adalah gereja dimana salah satu dari
orangtua mempelai menjadi jemaatnya atau dapat juga meminjam gereja terdekat
apabila gereja mempelai jauh dari lokasi pesta, namun masih dalam
lembaga/insttusi yang sama.
3.1.1.2.3 Pemimpin upacara
Pemimpin upacara dalam acara pemberkatan pernikahan di gereja yaitu
pendeta, namun dapat juga dipimpin oleh pengurus gereja seperti guru jemaat
(voorhanger). Pemimpin ini dibantu oleh pengurus gereja lainnya, seperti penatua
gerejaa, biblevro. Pemberkatan digereja seperti pada gambar 3.1.
3.1.1.2.4 Jemaat
Jemaat dalam upacara pemberkatan pernikahan yaitu kedua calon
pengantin, keluarga dari kedua pengantin, serta organisasi-organisasi kekerabatan
dan kemasyarakatan dari kedua pengantin. Jemaat yang terdiri daripada orang tua
masing-masing pengantin dan kedua pengantin seperti gambar 3.2 sementara
gambar pengantin dengan jemaat yang lain seperti pada gambar 3.3
43
Gambar 3.1 Pemberkatan di gereja
Gambar3.2 Pengantin dan kedua orang tua pengantin
Gambar 3. Kedua pengantin dengan jemaat
4.1.1.3 Proses Upacara Adat
Proses upacara adat berlangsung setelah selesai upacara pemberkatan
pernikahan secara agama di gereja. Setelah pulang dari gereja kedua pengantin
44
beserta rombongan pun pulang ke rumah pengantin laki-laki atau tempat upacara
adat tersebut dilangsungkan. Di Kecamatan Kolang selalu diadakan di halaman
rumah penganting dan biasanya juga tidak jauh dari tempat (gereja) pemberkatan
pernikahan. Jika halaman rumah pengantin tidak terlalu luas, maka halaman
rumah tetangga dapat dipergunakan oleh karena toleransi dan kebersamaan yang
tinggi di desa ini. Di halaman tersebut di pasang teratak dan semua dekorasi yang
di perlukan.
Gambar 3.4. Tempat upacara adat di halaman rumah pengantin
Kemudian kedua orang tua dari laki-laki mangupa-upa kedua pengantin
dengan memberikan ikan mas (dekke simudur-udur). Setelah kedua pengantin di
upa-upa kemudian masuklah rombongan keluarga dari perempuan sekalian makan
siang (mangan adat) dan disitu juga kedua orang tua dari pihak perempuan
memberikan makanan tertentu mangupa-upa (member makanan syukuran) seperti
pada gamabar 3.5.
45
Gambar 3.5: mangupa-upa kedua pengantin
Setelah mangupa-upa baru dilanjutkan dengan makan siang bagi semua
kaum kerabat seperti gambar 3.6. Selesai makan siang acara dilanjutkan dengan
memberikan jambar (bahagian daging tertentu yang diberikan kepada kaum
kerabat). keluarga dari pihak perempuan memberikan jambar kepada keluarga
dari pihak laki-laki. Setelah itu dilangsungkan marhata adat (penyampaian kata-
kata adat) seperti pada gambar 3.7. selesai marhata adat baru dilanjut dengan
mangulosi yang di pimpin oleh pemimpin upacara seperti pada gambar 3.8.
Pemimpin upacara dalam upacara adat yaitu raja parhata (parsinabul) dari
masing-masing pihak pengantin laki-laki dan perempuan. Parsinabul ini sudah
dilibatkan dari mulai acara peminangan (marhusip) sehingga mereka tau persis
apa yang harus dipersiapkan untuk upacara adat nanti. Pada umum nya parsinabul
ini adalah laki-laki dan Parsinabul biasanya di ambil dari yang semarga dari
masing-masing pengantin.
46
Gambar 3.6. Saat makan siang
Gambar 3.7. Marhata adat
Gambar 3.8. Saat mangulosi
47
3.1.2 Tingkatan Upacara Perkawinan di Kecamatan Kolang
Ada tiga tingkatan upacara perkawinan pada masyarakat Batak Toba,
yaitu: (1) unjuk; (2) mangadati; (3) pasahat sulang-sulang ni pahoppu.
1. Unjuk merupakan ritus perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan semua
prosedur adat Batak yaitu Dalihan Na tolu. Inilah yang disebut sebagai tata
upacara ritus perkawinan lengkap, karna keluarga kedua belah pihak saling
menyetujui.
2. Mangadati merupakan ritus perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan adat
Batak Dalihan Na Tolu, tetapi ritusnya sendiri dilakukan sebelum pasangan
tersebut memiliki anak.
3. Pasahat sulang-sulang ni pahoppu merupakan ritus perkawinan yang dilakukan
menurut adat Batak Dalihan Na Tolu, sehingga pasangan yang bersangkutan
mangalua dan ritusnya dilakukan setelah memiliki anak.
3.1.3 Syarat-Syarat Perkawinan
Syarat-syarat yang harus ada dalam perkawinan adalah adanya sinamot,
ulos, jambar, dekke.
1. Sinamot merupakan salah satu syarat sah nya perkawinan, Sinamot juga
merupakan mahar atau uang beli yang diberikan pihak laki-laki (paranak)
kepada pihak perempuan (parboru) yang ingin menikah.
2. Ulos merupakan kain tenun yang berbentuk selendang khas suku Batak Toba,
ulos artinya hangat atau berkat. Pemberian ulos kepada pengantin dimaksudkan
agar ikatan batin kedua mempelai seperti rotan.
48
3. Jambar berupa daging ataupun uang, yang akan dibagikan kepada pihak
perempuan.
4. Dengke adalah ikan yang akan dibagikan kepada keluarga laki-laki dari pihak
pengantin perempuan.
3.2 Sejarah Musik Perkawinan Batak Toba di Kecamatan Kolang
3.2.1 Masa Pra-Kristen
Dalam kehidupan sehari-hari pada masa pra-kristen, adat diwujudkan
dalam banyak bentuk dan praktek. Misalnya mamele (pemujaan roh nenek
moyang), pesta bius (upacara korban), mangongkal holi (upacara penggalian
tengkorak. Praktek ini diwariskan secara oral dari satu generasi ke generasi
berikutnya sebagai bagian dari adat. Pada zaman pra-kristen gondang sabangunan
merupakan alat musik yang digunakan untuk upacara adat perkawinan.
3.2.2 Masa Kristen
Sejak tahun 1863 masuknya Nommensen ke Tanah Batak, ajaran agama
kristen mulai menyebar dikalangan masyarakat Batak Toba. Musik sudah tidak
lagi di hantarkan kepada Mula Jadi Na Bolon, melainkan kepercayaan mereka
sudah mengenal Tuhan Yang Maha Esa. Perubahan pun terjadi dalam kegiatan
upacara adat sudah diberlakukan secara agama Kristen, musik yang digunakan
masih tetap menggunakan gondang sabagunan namun dalam nyanyian, lagu-lagu
yang biasa dinyanyikan di gereja telah di nyanyikan juga ke dalam rangkain
upacara adat, khususnya nyanyian sebagai nyanyian penghantar ulos. Dalam
ketersediaan gondang yang digunakan di Kecamatan Kolang ada di daerah
tersebut dan ada juga yang di panggil dari daerah atau kecamatan sebelah. Namun
49
pada masa itu tidak semua masyarakat yang melaksanakan upacara adat
perkawinan menggunakan gondang sabangunan, dikarenakan kondisi ekonomi
yang tidak mampu.
3.2.3 Masa Sekarang
Zaman sekarang musik yang digunakan dalam upacara adat perkawinan
adat Batak toba telah mengalami perubahan yang pesat, dimana setelah
munculnya masa opera batak maka telah masuklah alat-alat musik modern untuk
dipakai dan dikombinasikan dengan sulim, taganing, hesek. Namun pada
kebanyakan upacara adat perkawinan yang penulis telusuri, taganing sudah tidak
digunakan lagi. Perubahan nyata telah terlihat dimasa sekarang seperti
menggunakan alat musik keyboard, alat musik tiup seperti sulim, saxophone
bahkan ditambah lagi dengan penyayi tiga orang yang sering disebut sebagai
penyanyi trio.
Dalam penggunaan alat musik tersebut keyboard sebagai pembawa ritem
dan chord untuk mengiringi melodi yang dibawakan oleh penyanyi trio.
Sementara sulim dan saxophone sebagai pembawa melodi, ketika penyanyi trio
sedang bernyanyi pemain sulim dan pemain saxophone tidak terlalu dominan atau
sering memainkan alat nya, tetapi pada saat bagian intro dan interlude disitulah
sulim dan saxophone dimainkan.
50
3.3 Kontinuitas dan Perubahan musik pada upacara adat perkawinan di
Kecamatan Kolang
3.3.1 Kontinuitas
Dalam perannya musik merupakan wadah yang digunakan dalam proses
manortor (menari) dalam upacara adat perkawinan. Terdapat nama gondang yang
dipakai selama proses manortor (menari) berlangsung. Nama gondang yang
dipakai dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan Batak Toba dari dahulu
hingga sekarang masih tetap ada dan sama; yakni gondang mula-mula, gondang
somba-somba, gondang elek-elek, gondang liat-liat, gondang hasahatan dan
gondang sitio-tio. Akan tetapi lagu yang di pakai tidak sama dengan lagu yang
dimainkan pada gondang hasapi maupun gondang sabangunan.
Lagu-lagu dalam musik berasal dari lagu-lagu rakyat maupun lagu-lagu
lainnya di luar tradisi Batak Toba namun dapat dikelompokkan kedalam gondang-
gondang tertentu, misalnya gondang somba-somba pada musik tiup diambil dari
melodi lagu opera begitu juga dengan gondang lainnya dapat diambil dari lagu-
lagu rakyat yang konteksnya sesuai dengan konteks gondang. Bahkan semakin
kepada zaman sekarang ini lagu-lagu pop batak bahkan diluar pop batak juga di
pakai dalam proses manortor (menari).
3.3.2 Perubahan
Dalam pembahasan ini penulis menfokuskan ensambel musik yang
berkembang pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Kolang. Dalam hal ini
penulis memfokuskan kajian pada musik yang masih berlanjut hingga sekarang ini
pada penggunaannya dalam upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba.
51
Penulis akan mengkaji musik yang digunakan pada upacara adat perkaawinan di
Kecamatan Kolang mulai dari era 70-an hingga sekarang. Ada yang berlanjut dan
ada perubahan yang terjadi. Seperti menurut Soekanto, perubahan terjadi karena
usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri sesuai kebutuhan situasi dan kondisi
yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat (Soekanto, 1992:21).
Musik yang pada era 70-an dengan pada era zaman sekarang telah
mengalami perubahan dan perkembangan dalam struktur musiknya. Seperti hasil
wawancara dengan Kasmudin Pasaribu selaku parhata adat (juru bicara) di
Kecamatan Kolang bahwa pada era 70-an musik perkawinan terbagi menjadi 2
(dua) bagian: yakni gondang sabangunan dan uning-uningan. Penggunaan dari
kedua bagian musik tersebut dimainkan harus sesuai dengan rasa dan perpaduan
yang cocok pada saat proses mangulosi berlangsung, dengan kata lain ada saatnya
masing-masing dari bagian musik tersebut dimainkan. Namun pada era 80-a
setelah jaman opera masuk dan berkembang, mulailah terjadi perubahan dari segi
struktur musiknya. Musik yang di pakai telah terjadi pencampuran, yang dimana
alat musik tersebut di gabung dengan alat musik band sebagai musik pengiring
pada saat acar mangulosi, tetapi tidak semua yang mampu menggunakan alat
musik pengirin ini dikarenakan masalah ekonomi yang dibawah kategori mampu.
Dari tahun 90-an Masuklah alat musik keyboard dan sering disebut solo keyboard,
yang dapat memprogram musik sehingga terdengar seperti menggunakan lebih
dari satu alat musik, disitulah mulai terjadi perubahan dalam struktur musiknya,
ada yang tetap digunakan seperti sulim, dan ada yang tidak lagi digunakan seperti
taganing, sarune, ogung dan lain-lain. Dari situ pula telah terjadi
52
pengkolaborasian dengan alat musik modern seperti zaman sekarang ini dengan
formasi yang terdiri dari : keyboard, sulim, saxophone dan trio ataupun keyboard,
sulim dan pengiring trio. formasi ini oleh masyarakat Kecamatan Kolang
Kabupaten Tapanuli Tengah lazim disebut musik atau parmusik.
Tabel 3.1 Struktur musik perkawinan era 70-an
Ensambel Instrumen Sifat
Gondang sabangunan Taganing
Sarune
Ogung (Oloan Ihutan,
Panggora, Doal)
Hesek
Berdiri sendiri
Uning-uningan Garantung
Sulim
Hasapi
Hesek
Berdiri Sendiri
Tabel 3.2 Struktur musik perkawinan era 80-an
Ensambel Instrumen Sifat Vokal
Musik Gitar elektrik
Bass
Drum
Piano
Full band Lazimnya
repertoar pada
saat mangulosi
telah terdapat
nyanyian,
diiringi oleh
vokal dan musi
Tabel 3.3 Struktur musik perkawinan era 2000-an
Ensambel Instrumen Sifat Vokal
Musik
Saxophone
Sulim
Keyboard dan,
Penyanyi trio.
Telah terjadi
pengkolaborasian
dengan alat musik
modern.
Lagu yang
digunakan makin
bervariasi; lagu
Batak Toba, lagu
pop, lagu pop
diluar tradisi Batak
Toba. Jenis vokal
pun makin
beragam, yakni: solo dan trio.
53
Gambar 3.9. Pemain keyboard
Gambar 3.10. Pemain Saxophone
54
Gambar 3.11. Penyanyi Trio
Gambar 3.12. Pemain Sulim
55
BAB IV
KOMPOSISI MUSIKAL DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN
BATAK TOBA DI KECAMATAN KOLANG KABUPATEN TAPANULI
TENGAH
4.1 Transkripsi
Sebelum melakukan kerja analisis, langkah pertama yang dikerjakan ialah
mengubah bunyi musik ke dalam lambang visual melalui sebuah proses kerja
yang disebut transkripsi. Nettl mengatakan bahwa transkripsi adalah proses
menotasikan bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual, atau kegiatan
memvisualisasikan bunyi musik ke dalam bentuk notasi dengan cara
menuliskannya ke atas kertas. Pada umumnya dalam budaya oral, notasi yang
digunakan ialah notasi konvensional Barat, hal ini menjadi alternatif pilihan yang
paling besar kemungkinannya digunakan, terutama jika dalam budaya musikal
yang diteliti tidak tersedia sistem penulisan notasi musik.
4.2 Pemilihan Sampel Lagu
Di era tahun 70-80 an pada saat penyerahan ulos (mangulosi) tidak selalu
menggunakan musik sebagai pengiring, tetapi ada juga yang tidak menggunakan
musik. Namun setelah masuk nya alat musik keyboard yang digabungkan dengan
musik tiup disitulah mulai digunakan musik sebagai pengiring saat mangulosi.
Adapun contoh-contoh lagu nya seperti: Tittin marakkup, ulos passamot, ulos
hela, ulos sian hula-hula dan burju marsimatua.
Lagu Burju Marsimatua dan lagu Ulos Passamot yang akan penulis
transkripsikan dan analisis pada bagian bab ini sebagai salah satu lagu/nyanyian
pada upacara adat perkawinan Batak Toba di Kecamatan Kolang. Ada beberapa
56
faktor yang menjadi pertimbangan penulis dalam memilih komposisi lagu tersebut
untuk di analisis, yaitu karena:
1. Menurut penulis, pada saat pemberian ulos passamot dan ulos pambobok
merupakan bagian upacara adat yang penulis rasa lebih menyentuh dari
pada bagian rangkaian pemberian ulos lainnya.
2. Lagu Burju marsimatua, lagu Ulos passamot dan lagu Tittin marakkup
merupakan lagu yang sangat populer, dan di setiap penelitian penulis selalu
terdapat lagu tersebut pada ucara adat perkawinan masyarakat Batak Toba
di Kecamatan Kolang Kabupaten Tapanuli Tengah.
3. penulis ingin menunjukkan ciri-ciri lagu yang digunakan dalam upacara
adat di perkawinan di Kecamatan Kolang.
4. Lebih lanjut penulis juga ingin menambahkan bahwa ada nilai tambah di
dalam perubahan dari yang tidak ada iringan musik menjadi ada iringan
musik dalam upacara perkawinan tersebut.
4.3 Kajian Struktur Musik Lagu Burju Marsimatua, Ulos Passamot dan
Tintin Marakkup
Kajian struktur musik merupakan sebuah pekerjaan etnomusikolog yang
mendeskripsikan tentang hal-hal yang berkaitan dengan aspek musikal. Pada
skripsi ini, penulis akan mengkaji struktur musikal nyanyian ulos passamot dan
burju marsimatua. Adapun struktur musikal yang akan dideskripsikan pada kedua
nyanyian ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Bruno Nettl yakni: ada
empat aspek yang dapat dideskripsikan dari sebuah musik (melodi) yaitu: materi
tonal yang terdiri dari perbendaharaan nada/tangga nada, nada dasar, interval nada
57
dan kontur melodi; ritme yang terdiri dari nilai notasi yang digunakan,
sukat/meter, dan tempo; bentuk yang terdiri dari seksi, motif, dan frasa; serta
elemen-elemen lain yakni timbre, tekstur (Bruno Nettl 1964).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis menganalisis aspek musikal
dengan dua pendekatan musik yaitu; (1) menganalisis dan mendeskripsikan apa
yang di dengar, dan (2) menuliskan dan mendes-kripsikan apa yang di lihat Bruno
Netll (1964: 98). Oleh sebab itu, penulis melakukan perekaman terhadap lagu ulos
passamot, burju marsimatua dan tintin marakkup kemudian melakukan
pentranskripsian dan menganalisis hasil transkripsi tersebut.
Ketiga lagu ditranskripsikan dengan menggunakan sistim notasi barat
yakni menggunakan garis paranada (notasi balok). Penggunaan sistim tersebut
akan memudahkan penulis menganalisisnya sesuai dengan prosedur analisis
musik yang dikemukakan oleh Bruno Nettl diatas. Garis paranada tersebut pada
dasarnya terdiri dari lima garis dan empat spasi namun untuk nada dengan
frekwensi yang lebih tinggi atau lebih rendah maka akan ditambah juga garis
bantu sesuai dengan kebutuhan pentranskripsian. Sistem notasi ini menggunakan
tanda kunci (cleff) G, seperti berikut ini
58
4.4 Transkripsi Lagu Burju Marsimatua
59
4.4.1 Kajian Struktur Musikal
Unsur-unsur yang berkaitan dengan struktur musikal terdiri dari:
Perbendaharaan nada
Tangga nada (modus)
Nada dasar
Interval
Kontur melodi
Ritme
Tempo
Pola kadensa
Formula melodik
4.4.1.1 Perbendaharaan Nada
Nada-nada yang terdapat dalam lagu burju marsimatua berjumlah lima
belas nada, diantaranya terdapat tiga nada rendah dan lima nada oktaf. Nada nada
tersebut penulis susun dari nada yang paling rendah ke nada yang paling tinggi.
Maka akan terlihat seperti berikut ini: F#1 – G1 – A1 – D – E – F# - G – A – B –
C# - D1 – E1 – F#1 – G
1 – A
1.
4.4.1.2 Tangga Nada (modus)
Sebagaimana dikemukakan oleh Nettl bahwa cara-cara untuk
mendeskripsikan tangga nada adalah dengan menuliskan semua nada yang dipakai
dalam membangun sebuah komposisi musik tanpa melihat fungsi masing-masing
nada tersebut dalam lagu. Selanjutnya, tangga nada tersebut digolongkan menurut
beberapa klasifikasi, menurut jumlah nada yang dipakai. Tangga nada ditonic (dua
60
nada), tritonic (tiga nada), tetratonic (empat), pentatonic (lima nada), hexatonic
(enam nada), septatonic (tujuh nada). Serta menurut interval antara nada-nada
yang disusun dari nada terendah sampai nada tertinggi seperti mayor dan minor.
Dua nada dengan jarak satu oktaf biasanya dianggap satu nada saja (Bruno Nettl
terj. Nathalian 2012: 142). Berdasarkan pendapat tersebut, tangga nada lagu burju
marsimatua dapat disebut heptatonik (terdiri dari tujuh nada) dengan tiga nada
yang diulang pada transposisi oktaf nya. Hubungan antara nadanya adalah
semitone dan wholetone, dan interval dari nada nada tersebut adalah lima sekunda
mayor dan dua sekunda minor.
Nada - nada di atas jika digambarkan dalam notasi balok, maka hasilnya
adalah sebagai berikut:
4.4.1.3 Nada Dasar
Tonalitas merupakan nada yang menjadi dasar sebuah lagu. Menentukan
nada dasar sebuah lagu merupakan hal yang terkadang sulit. Beberapa cara yang
dikemukakan oleh Bruno nettl dalam menentukan nada dasar yakni:
1. Nada yang paling sering dipakai
2. Nada yang harga ritmisnya paling besar
3. Nada akhir, tengah, atau awal komposisi
4. Nada paling rendah
5. Nada yang berada pada posisi oktaf
6. Nada dengan tekanan ritmis paling kuat
61
7. Harus diingat bahwa barang kali ada gaya-gaya musik yang mempunyai
sistem tonalitas yang tidak bisa dideskripsikan dengan patokan-patokan
diatas. Mendeskripsikan sistem tonalitas seperti ini, cara terbaik
tampaknya adalah berdasarkan pengalaman, pengenalan yang akrab
dengan gaya musik tersebut akan dapat ditentukan tonalitas dari musik
yang diteliti.
Dari kutipan diatas penulis melihat pernyataan pertama dan keempat
disepakati penulis untuk menjadi patokan nada dasar pada lagu Burju
Marsimatua. Dengan alasan bahwa setiap frasa yang diakhiri atau diselesaikan
pada nada ini akan memberi kesan yang kuat bahwa lagu tersebut telah berakhir
atau berada pada posisi terminalnya, dan melodic line (alur melodi) yang diakhiri
pada nada ini juga memberi nuansa bahwa kalimat lagu tersebut telah selesai
disajikan. Maka nada dasar lagu Burju Marsimatua dalam tulisan ini adalah nada
D.
Tabel 4.4 Nada dasar lagu burju marsimatua
Metode 1 2 3 4 5 6 7
Nada dasar F# F# D D F# F# F# F# D
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat kecenderungan nada dasar ada pada
nada D maka penulis menjadikannya sebagai nada dasar lagu ini dikarenakan pada
lagu burju marsimatua tergantung pada si prnyanyi yang membawakan lagu
tersebut.
62
4.4.1.4 Interval
Interval merupakan jarak (range) antara nada satu dengan nada lainnya
yang diukur berdasarkan sistim laras dari masing-masing nada. Interval terdiri atas
dua yaitu; (1) interval harmonis, yaitu nada-nada dibunyikan secara bersamaan (2)
interval melodis, yaitu nada-nada yang dibunyikan secara tidak bersamaan.
Penentuan sebuah interval nada berdasarkan jarak nada nada tersebut. Jika
dari nada dasar C maka nada C-C disebut prime, C-D disebut sebagai sekunda, C-
E disebut terts, C-F disebut kwart, C-G disebut kwint, C-A disebut sekta, C-B
disebut septime, dan C-c' disebut oktaf. Penamaan interval juga ditambahi dengan
mayor, minor, agumentik, dan diminis. Penentuan tersebut berdasarkan jika laras
sebuah nada diturunkan atau dinaikkan dari ketepan laras yang sudah ditentukan.
Untuk lebih jelasnya penulis menggambarkannya dalam bentuk tabel dibawah ini.
Tabel 4.5 Rumus Interval
Nada Interval Laras
C-C Prime perfect 0
C-D Sekunda minor 1
C-E Terts mayor 2
C-F Kwart perfect 2 ½
C-G Kwint perfect 3 ½
C-A Sekta mayor 4 ½
C-B Septime mayor 5 ½
C-c' Oktaf perfect 6
63
Berdasarkan penjabaran diatas, lagu burju marsimatua memiliki interval
prime, sekunda, terts, kwart dan kwint. Untuk lebih jelasnya dan masing masing
jumlah intervalnya terdapat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.6 Interval Lagu Burju Marsimatua
No Interval Jumlah laras Jumlah interval
1 Prime 0 75
2 Sekunda minor 1/5 30
3 Sekunda mayor 2 53
4 Terts minor 2 ½ 19
5 Terts mayor 3 ½ 11
6 Kwart Perfect 4 ½ 7
7. Kwint Perfect 5 ½ 2
8. Sekta mayor 6 1
9. Septime mayor 6 ½ 1
10. Oktaf perfect 7 1
200
4.4.1.5 Kontur Melodi
Kontur adalah garis melodi yang terdapat pada sebuah komposisi musik
yang dapat diidentifikasi berdasarkan pergerakan melodinya dan diperlihatkan
melalui grafik garis. Pada komposisi musik yang relatif panjang, identifikasi
kontur didasarkan pada bentuk melodi musiknya.
bila gerak melodinya naik disebut ascending;
64
bila menurun disebut descending;
bila melengkung bergelombang disebut pendulous;
bila berjenjang disebut terraced;
dan apabila gerakan-gerakan intervalnya sangat terbatas disebut static.
Dengan mengacu pada identifikasi kantur di atas, maka kantur lagu burju
marsimatua dapat di lihat sebagai berikut.
1. Kontur ascending
2. kontur discending
3. Kontur pandulous
4. Kontur tracced
65
5. kontur statis
Jika di lihat secara umum perjalanan melodi nya, maka kontur lagu burju
marsimatuan adalah kontur pendulous.
4.4.1.6 Ritme
Ritme atau irama adalah gerak nada yang teratur karena adanya aksen
yang tetap. Berdasarkan penggunaan ritme pada hasil transkripsi lagu Burju
Marsimatua dapat dilihat sebagai berikut.
1. Penuh
Sebuah not dengan nilai penuh
2. Not setengah
Sebuah not dengan nilai dua ketuk
3. Single
66
Sebuah not dengan nilai seperempat
4. Duple
Dua buah not yang masing masing bernilai seperdelapan
5. Triple
Satu ketukan dasar yang terdiri dari tiga nada masing masing nada bernilai
seperdelapan. Gambar diatas menunjukkan pada ketukan dasarnya tidak diberi
nada (rest).
Satu ketukan dasar yang terdiri dari tiga nada masing masing nada bernilai
seperdelapan.
4.4.1.7 Tempo
Tempo merupakan ukuran kecepatan dalam birama sebuah lagu. Sering
juga disebut sebagai pulsa/ketukan dasar. Tempo diukur berdasarkan konsep
waktu permenit, jika sebuah lagu ketukan dasarnya 60 maka setiap ketukan
berdurasi satu detik. Tempo dilaksifikasikan berdasarkan kecepatannya terbagi
67
atas grave (15-39), large (40-59), larghetto (60-65), adagio (66-75) andante (76-
89), moderato (90-104), allegretto (105-114), alegro (115-129), vivace (130-167),
presto (168-199), prestissimo (200-500). Lagu burju marsimatua memiliki tempo
75 (adagio).
4.4.1.8 Pola Kadensa
Berdasarkan sudut pandang etnomusikologi istilah kadensa diartikan
sebagai pola penyelesaian atau akhir untaian melodi baik itu dalam frase ataupun
bentuk pada materi ini, kadensa yang dimaksud adalah hanya berhubungan
dengan melodi dan bukan akord, yang terdapat dan dianggap relevan pada lagu
Burju Marsimatua.
Kadensa frasa A Kadensa frasa B
Kadensa frasa C Kadensa Frasa D
4.4.1.9 Formula Melodik
Formula melodi dalam hal ini terdiri atas bentuk, frasa, dan motif. Bentuk
adalah gabungan dari beberapa frasa yang terjalin menjadi satu pola melodi. Frasa
adalah bagian-bagian kecil dari melodi. Motif adalah ide melodi sebagai dasar
pembentukan melodi. Berikut beberapa istilah untuk menganalisis bentuk, yang
dikemukakan oleh William P. Malm :
1. Repetitif yaitu bentuk nyanyian/melodi yang diulang-ulang.
68
2. Ireratif yaitu bentuk nyanyian/melodi yang memakai formula melodi yang
kecil dengan kecenderungan pengulang-pengulang di dalam keseluruhan
nyanyian.
3. Strofic yaitu bentuk nyanyian yang diulang tetapi menggunakan teks
nyanyian/melodi yang baru atau berbeda.
4. Reverting yaitu bentuk yang apabila dalam nyanyian/melodi terjadi
pengulangan pada frasa pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan
melodi.
5. Progressive yaitu bentuk nyanyian/melodi yang terus berubah dengan
menggunakan materi melodi yang selalu baru.
Pada lagu burju marsimatua, penulis menyimpulkan dari kutipan diatas
bahwa bentuk melodi lagu Burju Marsimatua adalah bentuk Repetitif dan dimana
dalam lagu Burju Marsimatua tersebut dinyanyikan dengan melodi yang
cenderung pengulangan dan memakai formula kecil.
Tabel 4.7 Analisis Bentuk, Frasa, dan Motif
Birama Frasa
1 – 10 A dan A1
11 – 19 B
20 – 23 C
24 – 27 D
28 – 33 D1
69
Bentuk frasa A
Bentuk frasa A1
Bentuk frasa B
Bentuk frasa C
Bentuk frasa D
70
Bentuk Frasa D1
4.4.2 Makna Yang Dikandung Dalam Nyanyian
Dalam lagu Burju Marsimatua menjelaskan tentang isi hati kedua orang
tua dari pengantin perempuan yang melepaskan putri nya dan memulai hidup baru
dengan pasangan nya yang akan menjadi teman hidup nya untuk selama-lama nya
hingga maut memisahkan. Dan di dalam lagu ini juga menceritakan nasihat untuk
pengantin perempuan supaya lebih menghormati mertua nya seperti terdapat pada
teks “burju-burju ma ho boru marsimatua, asa tanda ma ho inang boru ni raja”.
71
4.5 Transkripsi Lagu Ulos Passamot
72
4.5.1 Kajian Struktur Musikal
Unsur-unsur yang berkaitan dengan struktur musikal terdiri dari:
Perbendaharaan nada
Tangga nada (modus)
Nada dasar
Interval
Kontur melodi
Ritme
Tempo
Pola kadensa
Formula melodik
4.5.1.1 Perbendaharaan Nada
Nada-nada yang terdapat dalam lagu Ulos Passamot berjumlah delapan
nada, diantaranya terdapat tiga nada rendah dan lima nada oktaf. Nada nada
tersebut penulis susun dari nada yang paling rendah ke nada yang paling tinggi.
Maka akan terlihat seperti berikut ini: A1 – B1 – C#1 – D – E – F# – A1_
B1.
4.5.1.2 Tangga Nada (modus)
Sebagaimana dikemukakan oleh Nettl bahwa cara-cara untuk
mendeskripsikan tangga nada adalah dengan menuliskan semua nada yang dipakai
dalam membangun sebuah komposisi musik tanpa melihat fungsi masing-masing
nada tersebut dalam lagu. Selanjutnya, tangga nada tersebut digolongkan menurut
beberapa klasifikasi, menurut jumlah nada yang dipakai. Tangga nada ditonic (dua
nada), tritonic (tiga nada), tetratonic (empat), pentatonic (lima nada), hexatonic
73
(enam nada), septatonic (tujuh nada). Serta menurut interval antara nada-nada
yang disusun dari nada terendah sampai nada tertinggi seperti mayor dan minor.
Dua nada dengan jarak satu oktaf biasanya dianggap satu nada saja (Bruno
Nettl terj. Nathalian 2012: 142). Berdasarkan pendapat tersebut, tangga nada lagu
ulos passamot dapat disebut hexatonic (terdiri dari enam nada) dengan tiga nada
yang diulang pada transposisi oktaf nya. Hubungan antara nadanya adalah
semitone dan wholetone, dan interval dari nada nada tersebut adalah lima sekunda
mayor dan dua sekunda minor.
Nada - nada di atas jika digambarkan dalam notasi balok, maka hasilnya
adalah sebagai berikut:
4.5.1.3 Nada Dasar
Tonalitas merupakan nada yang menjadi dasar sebuah lagu. Menentukan
nada dasar sebuah lagu merupakan hal yang terkadang sulit. Beberapa cara yang
dikemukakan oleh Bruno nettl dalam menentukan nada dasar yakni:
1. Nada yang paling sering dipakai
2. Nada yang harga ritmisnya paling besar
3. Nada akhir, tengah, atau awal komposisi
4. Nada paling rendah
5. Nada yang berada pada posisi oktaf
6. Nada dengan tekanan ritmis paling kuat
74
7. Harus diingat bahwa barang kali ada gaya-gaya musik yang mempunyai
sistem tonalitas yang tidak bisa dideskripsikan dengan patokan-patokan
diatas. Mendeskripsikan sistem tonalitas seperti ini, cara terbaik
tampaknya adalah berdasarkan pengalaman, pengenalan yang akrab
dengan gaya musik tersebut akan dapat ditentukan tonalitas dari musik
yang diteliti.
Dari kutipan diatas penulis melihat pernyataan pertama dan keempat
disepakati penulis untuk menjadi patokan nada dasar pada lagu ulos passamot.
Dengan alasan bahwa setiap frasa yang diakhiri atau diselesaikan pada nada ini
akan memberi kesan yang kuat bahwa lagu tersebut telah berakhir atau berada
pada posisi terminalnya, dan melodic line (alur melodi) yang diakhiri pada nada
ini juga memberi nuansa bahwa kalimat lagu tersebut telah selesai disajikan.
Maka nada dasar lagu Ulos passamot dalam tulisan ini adalah nada D.
Tabel 4.8 Nada dasar lagu ulos passamot
Metode 1 2 3 4 5 6 7
Nada dasar E E D D F# A B E D
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat kecenderungan nada dasar ada pada
nada F maka penulis menjadikannya sebagai nada dasar lagu ini.
4.5.1.4 Interval
Interval merupakan jarak (range) antara nada satu dengan nada lainnya
yang diukur berdasarkan sistim laras dari masing-masing nada. Interval terdiri atas
dua yaitu; (1) interval harmonis, yaitu nada-nada dibunyikan secara bersamaan (2)
interval melodis, yaitu nada-nada yang dibunyikan secara tidak bersamaan.
75
Penentuan sebuah interval nada berdasarkan jarak nada nada tersebut. Jika
dari nada dasar C maka nada C-C disebut prime, C-D disebut sebagai sekunda, C-
E disebut terts, C-F disebut kwart, C-G disebut kwint, C-A disebut sekta, C-B
disebut septime, dan C-c' disebut oktaf. Penamaan interval juga ditambahi dengan
mayor, minor, agumentik, dan diminis. Penentuan tersebut berdasarkan jika laras
sebuah nada diturunkan atau dinaikkan dari ketepan laras yang sudah ditentukan.
Untuk lebih jelasnya penulis menggambarkannya dalam bentuk tabel dibawah ini.
Tabel 4.9 Rumus Interval
Nada Interval Laras
C-C Prime perfect 0
C-D Sekunda minor 1
C-E Terts mayor 2
C-F Kwart perfect 2 ½
C-G Kwint perfect 3 ½
C-A Sekta mayor 4 ½
C-B Septime mayor 5 ½
C-c' Oktaf perfect 6
Berdasarkan penjabaran diatas, lagu Ulos Passamot memiliki interval
prime, sekunda, terts, kwart dan kwint. Untuk lebih jelasnya dan masing masing
jumlah intervalnya terdapat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.10 Interval Lagu Ulos Passamot
No Interval Jumlah laras Jumlah interval
76
1 Prime 0 61
2 Sekunda minor 1/5 60
3 Sekunda mayor 2 6
4 Terts minor 2 ½ 12
5 Terts mayor 3 ½ 3
6 Kwart Perfect 4 ½ -
7. Kwint Perfect 5 ½ -
8. Sekta mayor 6 -
9. Septime mayor 6 ½ -
10. Oktaf perfect 7 -
143
4.5.1.5 Kontur Melodi
Kontur adalah garis melodi yang terdapat pada sebuah komposisi musik
yang dapat diidentifikasi berdasarkan pergerakan melodinya dan diperlihatkan
melalui grafik garis. Pada komposisi musik yang relatif panjang, identifikasi
kontur didasarkan pada bentuk melodi musiknya.
bila gerak melodinya naik disebut ascending;
bila menurun disebut descending;
bila melengkung bergelombang disebut pendulous;
bila berjenjang disebut terraced;
dan apabila gerakan-gerakan intervalnya sangat terbatas disebut static.
77
Dengan mengacu pada identifikasi kantur di atas, maka kantur lagu burju
marsimatua dapat di lihat sebagai berikut.
1. Kontur ascending
2. kontur discending
3. Kontur pandulous
4. Kontur tracced
5. kontur statis
Jika dilihat secara umum perjalanan melodi nya maka, kontur lagu ulos passamot
adalah pendulous.
78
4.4.1.6 Ritme
Ritme atau irama adalah gerak nada yang teratur karena adanya aksen
yang tetap. Berdasarkan penggunaan ritme pada hasil transkripsi lagu ulos
passamot dapat dilihat sebagai berikut.
1. Penuh
2. Sebuah not dengan nilai penuh
Not setengah
Sebuah not dengan nilai dua ketuk
3. Single
Sebuah not dengan nilai seperempat
4. Duple
Dua buah not yang masing masing bernilai seperdelapan
79
5. Triple
Satu ketukan dasar yang terdiri dari tiga nada masing masing nada bernilai
seperdelapan. Gambar diatas menunjukkan pada ketukan dasarnya tidak diberi
nada (rest).
Satu ketukan dasar yang terdiri dari tiga nada masing masing nada bernilai
seperdelapan.
4.5.1.7 Tempo
Tempo merupakan ukuran kecepatan dalam birama sebuah lagu. Sering
juga disebut sebagai pulsa/ketukan dasar. Tempo diukur berdasarkan konsep
waktu permenit, jika sebuah lagu ketukan dasarnya 60 maka setiap ketukan
berdurasi satu detik. Tempo dilaksifikasikan berdasarkan kecepatannya terbagi
atas grave (15-39), large (40-59), larghetto (60-65), adagio (66-75) andante (76-
89), moderato (90-104), allegretto (105-114), alegro (115-129), vivace (130-167),
presto (168-199), prestissimo (200-500). Lagu ulos passamot memiliki tempo 150
(vivace).
4.5.1.8 Pola Kadensa
Berdasarkan sudut pandang etnomusikologi istilah kadensa diartikan
sebagai pola penyelesaian atau akhir untaian melodi baik itu dalam frase ataupun
bentuk, pada materi ini kadensa yang dimaksud adalah hanya berhubungan
80
dengan melodi dan bukan akord, yang terdapat dan dianggap relevan pada lagu
Ulos Passamot.
Kadensa frasa A Kadensa frasa B
Kadensa frasa C Kadensa frasa D
4.4.1.9 Formula Melodik
Formula melodi dalam hal ini terdiri atas bentuk, frasa, dan motif. Bentuk
adalah gabungan dari beberapa frasa yang terjalin menjadi satu pola melodi. Frasa
adalah bagian-bagian kecil dari melodi. Motif adalah ide melodi sebagai dasar
pembentukan melodi. Berikut beberapa istilah untuk menganalisis bentuk, yang
dikemukakan oleh William P. Malm :
1. Repetitif yaitu bentuk nyanyian/melodi yang diulang-ulang.
2. Ireratif yaitu bentuk nyanyian/melodi yang memakai formula melodi yang kecil
dengan kecenderungan pengulang-pengulang di dalam keseluruhan nyanyian.
3. Strofic yaitu bentuk nyanyian yang diulang tetapi menggunakan teks
nyanyian/melodi yang baru atau berbeda.
4. Reverting yaitu bentuk yang apabila dalam nyanyian/melodi terjadi
pengulangan pada frasa pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan
melodi.
81
Progressive yaitu bentuk nyanyian/melodi yang terus berubah dengan
menggunakan materi melodi yang selalu baru.
.Pada lagu ulos passamot, penulis menyimpulkan dari kutipan diatas
bahwa bentuk melodi lagu ini adalah bentuk Repetitif dan dimana dalam lagu
ulos passamot tersebut dinyanyikan dengan melodi yang cenderung
pengulangan dan memakai formula kecil.
Tabel 4.11 Analisis Bentuk, Frasa, dan Motif
Birama Frasa
1 – 9 A
10 – 18 A1
19 – 27 B
28 – 33 B1
Bentuk frasa A
Bentuk frasa A1
82
Bentuk frasa B
Bentuk Frasa B1
4.5.2 Makna Yang Dikandung Dalam Nyanyian
Makna dari lagu ini adalah kedua orang tua pengantin wanita memberikan
ulos kepada kedua orang tua pengantin laki-laki yang telah menjadi besan.
Bertujuan supaya hubungan sesama besan supaya selalu baik dan selalu di berkati
Tuhan.
83
4.6 Transkripsi Lagu Tintin Marakkup
84
4.6.1 Kajian Struktur Musikal
Unsur-unsur yang berkaitan dengan struktur musikal terdiri dari:
Perbendaharaan nada
Tangga nada (modus)
Nada dasar
Interval
Kontur melodi
Ritme
Tempo
Pola kadensa
Formula melodik
4.6.1.1 Perbendaharaan Nada
Nada-nada yang terdapat dalam lagu Tintin Marakkup berjumlah delapan
nada, diantaranya terdapat tiga nada rendah dan lima nada oktaf. Nada nada
tersebut penulis susun dari nada yang paling rendah ke nada yang paling tinggi.
Maka akan terlihat seperti berikut ini : A1 – B – C#1 – D – E – F# – G# - A1
4.5.1.2 Tangga Nada (modus)
Sebagaimana dikemukakan oleh Nettl bahwa cara-cara untuk
mendeskripsikan tangga nada adalah dengan menuliskan semua nada yang dipakai
dalam membangun sebuah komposisi musik tanpa melihat fungsi masing-masing
nada tersebut dalam lagu. Selanjutnya, tangga nada tersebut digolongkan menurut
beberapa klasifikasi, menurut jumlah nada yang dipakai. Tangga nada ditonic (dua
nada), tritonic (tiga nada), tetratonic (empat), pentatonic (lima nada), hexatonic
85
(enam nada), septatonic (tujuh nada). Serta menurut interval antara nada-nada
yang disusun dari nada terendah sampai nada tertinggi seperti mayor dan minor.
Dua nada dengan jarak satu oktaf biasanya dianggap satu nada saja (Bruno
Nettl terj. Nathalian 2012: 142). Berdasarkan pendapat tersebut, tangga nada lagu
ulos passamot dapat disebut hexatonic (terdiri dari enam nada) dengan tiga nada
yang diulang pada transposisi oktaf nya. Hubungan antara nadanya adalah
semitone dan wholetone, dan interval dari nada nada tersebut adalah lima sekunda
mayor dan dua sekunda minor.
Nada - nada di atas jika digambarkan dalam notasi balok, maka hasilnya
adalah sebagai berikut:
A B C# D E F# G# A
4.5.1.3 Nada Dasar
Tonalitas merupakan nada yang menjadi dasar sebuah lagu. Menentukan
nada dasar sebuah lagu merupakan hal yang terkadang sulit. Beberapa cara yang
dikemukakan oleh Bruno nettl dalam menentukan nada dasar yakni:
1. Nada yang paling sering dipakai
2. Nada yang harga ritmisnya paling besar
3. Nada akhir, tengah, atau awal komposisi
4. Nada paling rendah
5. Nada yang berada pada posisi oktaf
6. Nada dengan tekanan ritmis paling kuat
86
7. Harus diingat bahwa barang kali ada gaya-gaya musik yang mempunyai
sistem tonalitas yang tidak bisa dideskripsikan dengan patokan-patokan
diatas. Mendeskripsikan sistem tonalitas seperti ini, cara terbaik
tampaknya adalah berdasarkan pengalaman, pengenalan yang akrab
dengan gaya musik tersebut akan dapat ditentukan tonalitas dari musik
yang diteliti.
Dari kutipan diatas penulis melihat pernyataan pertama dan keempat
disepakati penulis untuk menjadi patokan nada dasar pada lagu Tintin Marakkup.
Dengan alasan bahwa setiap frasa yang diakhiri atau diselesaikan pada nada ini
akan memberi kesan yang kuat bahwa lagu tersebut telah berakhir atau berada
pada posisi terminalnya, dan melodic line (alur melodi) yang diakhiri pada nada
ini juga memberi nuansa bahwa kalimat lagu tersebut telah selesai disajikan.
Maka nada dasar lagu Tintin Marakkup dalam tulisan ini adalah nada A.
Tabel 4.12 Nada dasar lagu Tintin Marakkup
Metode 1 2 3 4 5 6 7
Nada dasar B B B A A A B B A
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat kecenderungan nada dasar ada pada
nada F maka penulis menjadikannya sebagai nada dasar lagu ini.
4.5.1.4 Interval
Interval merupakan jarak (range) antara nada satu dengan nada lainnya
yang diukur berdasarkan sistim laras dari masing-masing nada. Interval terdiri atas
dua yaitu; (1) interval harmonis, yaitu nada-nada dibunyikan secara bersamaan (2)
interval melodis, yaitu nada-nada yang dibunyikan secara tidak bersamaan.
87
Penentuan sebuah interval nada berdasarkan jarak nada nada tersebut. Jika
dari nada dasar C maka nada C-C disebut prime, C-D disebut sebagai sekunda, C-
E disebut terts, C-F disebut kwart, C-G disebut kwint, C-A disebut sekta, C-B
disebut septime, dan C-c' disebut oktaf. Penamaan interval juga ditambahi dengan
mayor, minor, agumentik, dan diminis. Penentuan tersebut berdasarkan jika laras
sebuah nada diturunkan atau dinaikkan dari ketepan laras yang sudah ditentukan.
Untuk lebih jelasnya penulis menggambarkannya dalam bentuk tabel dibawah ini.
Tabel 4.13 Rumus Interval
Nada Interval Laras
C-C Prime perfect 0
C-D Sekunda minor 1
C-E Terts mayor 2
C-F Kwart perfect 2 ½
C-G Kwint perfect 3 ½
C-A Sekta mayor 4 ½
C-B Septime mayor 5 ½
C-c' Oktaf perfect 6
Berdasarkan penjabaran diatas, lagu Tintin Marakkup memiliki interval
prime, sekunda, terts, kwart dan kwint. Untuk lebih jelasnya dan masing masing
jumlah intervalnya terdapat pada tabel dibawah ini.
88
Tabel 4.14 Interval Lagu Tintin Marakkup
No Interval Jumlah laras Jumlah interval
1 Prime 0 101
2 Sekunda minor 1/5 44
3 Sekunda mayor 2 100
4 Terts minor 2 ½ 22
5 Terts mayor 3 ½ 7
6 Kwart Perfect 4 ½ 2
7. Kwint Perfect 5 ½ 1
8. Sekta mayor 6 -
9. Septime mayor 6 ½ -
10. Oktaf perfect 7 -
337
4.5.1.5 Kontur Melodi
Kontur adalah garis melodi yang terdapat pada sebuah komposisi musik
yang dapat diidentifikasi berdasarkan pergerakan melodinya dan diperlihatkan
melalui grafik garis. Pada komposisi musik yang relatif panjang, identifikasi
kontur didasarkan pada bentuk melodi musiknya.
bila gerak melodinya naik disebut ascending;
bila menurun disebut descending;
bila melengkung bergelombang disebut pendulous;
bila berjenjang disebut terraced;
89
dan apabila gerakan-gerakan intervalnya sangat terbatas disebut static.
Dengan mengacu pada identifikasi kantur di atas, maka kantur lagu Tintin
Marakkup dapat di lihat sebagai berikut.
1. Kontur ascending
2. kontur discending
3. Kontur pandulous
4. Kontur tracced
5. kontur statis
Jika dilihat secara umum perjalanan melodi nya maka, kontur lagu Tintin
Marakkup adalah pendulous.
90
4.4.1.6 Ritme
Ritme atau irama adalah gerak nada yang teratur karena adanya aksen
yang tetap. Berdasarkan penggunaan ritme pada hasil transkripsi lagu Tintin
Marakkup dapat dilihat sebagai berikut.
1. Penuh
2. Sebuah not dengan nilai penuh
Not setengah
Sebuah not dengan nilai dua ketuk
3. Single
Sebuah not dengan nilai seperempat
4. Duple
Dua buah not yang masing masing bernilai seperdelapan
5. Triple
91
Satu ketukan dasar yang terdiri dari tiga nada masing masing nada bernilai
seperdelapan. Gambar diatas menunjukkan pada ketukan dasarnya tidak diberi
nada (rest).
Satu ketukan dasar yang terdiri dari tiga nada masing masing nada bernilai
seperdelapan.
4.5.1.7 Tempo
Tempo merupakan ukuran kecepatan dalam birama sebuah lagu. Sering
juga disebut sebagai pulsa/ketukan dasar. Tempo diukur berdasarkan konsep
waktu permenit, jika sebuah lagu ketukan dasarnya 60 maka setiap ketukan
berdurasi satu detik. Tempo dilaksifikasikan berdasarkan kecepatannya terbagi
atas grave (15-39), large (40-59), larghetto (60-65), adagio (66-75) andante (76-
89), moderato (90-104), allegretto (105-114), alegro (115-129), vivace (130-167),
presto (168-199), prestissimo (200-500). Lagu Tintin Marakkup memiliki tempo
58 (large)
4.5.1.8 Pola Kadensa
Berdasarkan sudut pandang etnomusikologi istilah kadensa diartikan
sebagai pola penyelesaian atau akhir untaian melodi baik itu dalam frase ataupun
bentuk, pada materi ini kadensa yang dimaksud adalah hanya berhubungan
92
dengan melodi dan bukan akord, yang terdapat dan dianggap relevan pada lagu
Tintin Marakkup Kadensa frasa A Kadensa frasa B
Kadensa frasa C Kadensa frasa D
4.4.1.9 Formula Melodik
Formula melodi dalam hal ini terdiri atas bentuk, frasa, dan motif. Bentuk
adalah gabungan dari beberapa frasa yang terjalin menjadi satu pola melodi. Frasa
adalah bagian-bagian kecil dari melodi. Motif adalah ide melodi sebagai dasar
pembentukan melodi. Berikut beberapa istilah untuk menganalisis bentuk, yang
dikemukakan oleh William P. Malm :
1. Repetitif yaitu bentuk nyanyian/melodi yang diulang-ulang.
2. Ireratif yaitu bentuk nyanyian/melodi yang memakai formula melodi yang
kecil dengan kecenderungan pengulang-pengulang di dalam keseluruhan
nyanyian.
3. Strofic yaitu bentuk nyanyian yang diulang tetapi menggunakan teks
nyanyian/melodi yang baru atau berbeda.
4. Reverting yaitu bentuk yang apabila dalam nyanyian/melodi terjadi
pengulangan pada frasa pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan
melodi.
93
Progressive yaitu bentuk nyanyian/melodi yang terus berubah dengan
menggunakan materi melodi yang selalu baru.
Pada lagu Tittin Marakkup, penulis menyimpulkan dari kutipan diatas
bahwa bentuk melodi lagu ini adalah bentuk Repetitif dan dimana dalam lagu
Tintin Marakkup tersebut dinyanyikan dengan melodi yang cenderung
pengulangan dan memakai formula kecil.
Tabel 4.15Analisis Bentuk, Frasa, dan Motif
Birama Frasa
1 – 12 A
13 – 31 A1
32 – 38 B
39 – 50 B1
51 – 59 C
60 – 64 C1
Bentuk frasa A
Bentuk frasa A1
94
Bentuk frasa B
Bentuk Frasa B1
Bentuk Frasa C
Bentuk Frasa C1
95
4.6.2 Makna Yang Dikandung Dalam Nyanyian
Prosesi pemberian ulos oleh Tulang (saudara laki-laki dari ibu pengantin
pria) sekaligus penerimaan sebagian dari sinamot (mas kawin yang diterima oleh
pihak keluarga pengantin wanita) kepada Tulang. Jenis ulos yang diberikan adalah
Ulos Ragi Hotang (kado berupa kain yang diberikan kepada pengantin yang
sedang mengadakan upacara adat perkawinan).
96
BAB VI
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dijelaskan di atas tentang
musik perkawinan di Kecamatan Kolang Kabupaten Tapanuli Tengah, penulis
menyimpulkan bahwa musik pada upacara adat perkawinan Batak Toba di
Kecamatan Kolang telah mengalami perubahan dan perkembangan. Dari dahulu
hingga sekarang masih ada yang tetap yakni gondang mula-mula, gondang
somba-somba, gondang elek-elek, gondang liat-liat, gondang hasahatan dan
gondang sitio-tio. Lagu yang di pakai tidak sama dengan lagu yang dimainkan
pada gondang hasapi maupun gondang sabangunan dan keyboard.
Musik pada era 70-an hingga zaman sekarang telah mengalami perubahan
dan perkembangan dalam struktur musiknya yakni seperti gondang sabangunan
dan uning-uningan. Penggunaan dari kedua musik ini dimainkan harus sesuai
dengan rasa dan perpaduan yang cocok pada saat proses mangulosi berlangsung.
Pada era 80-a setelah zaman opera masuk dan berkembang, mulailah
terjadi perubahan dari segi struktur musiknya. Musik yang di pakai (taganing,
sarune, odap dan sulim) telah terjadi pencampuran, dimana alat musik tersebut di
gabung dengan alat musik band (organ, kontra bass, gitar dan drum sett) sebagai
musik pengiring pada saat acara mangulosi, walaupun tidak semua yang mampu
menghadirkan musik ini dikarenakan masalah ekonomi yang tidak mendukung.
Tahun 90-an Masuklah alat musik kibot dan disebut solo kibot, yang dapat
memprogram musik sehingga terdengar seperti menggunakan lebih dari satu alat
musik, disitulah mulai terjadi perubahan dalam struktur musiknya, ada yang tetap
97
digunakan seperti sulim, dan ada yang tidak lagi digunakan seperti taganing,
sarune, ogung dan lain-lain. Dari situ pula telah terjadi pengkolaborasian dengan
alat musik modern seperti zaman sekarang ini.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis kemukakan di atas, maka
penulis mengajukan beberapa saran seperti berikut ini :
1. Selaku masyarakat, sebaiknya kita bersama-sama untuk melestarikan
setiap unsur kebudayaan secara khusus musik tradisi yang turun-temurun
diajarkan oleh para musisi pendahulu.
2. Semoga nilai tradisi kebudayaan khususnya pada kebudayaan masyarakat
Batak Toba tidak punah. Namun tetap diimbangi dengan kebutuhan
masyarakat masa kini, tanpa menghilangkan nilai tradisi sebagai suku
Batak Toba.
3. Kepada pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah agar tetap menjaga
kelangsungan kesemiam ini.
98
DAFTAR PUSTAKA
Depudikbud, 1984 Kamus Istilah Antropologi. Jakarta balaipustaka.
Depdikbud, 2005. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta balaipustaka.
Departemen Pendidikan Nasional.2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa
Djelantik. 1990. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia
Endaswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan:
Gultom, D.J. Dalihan Na Tolu: Nilai Budaya Suku Batak. Medan: Armanda
Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka widyatama.
Ihromi, T.O. 1994. Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Ed). Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Koentjaraningrat. 1983. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Rineka
Cipta.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kountur, Rony, D.M.S., Ph.D. 2003. Metode Penelitian: untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta: Teruna Grafika.
Malm,William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New
Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta terJemahannya dalam
bahasa Indonesia
Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Etnomusicology. New York: The Pree
Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology Of Music. United States Of America:
University Press. Moleong, Lexy J. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Marcia Herndorn, “Analisis Struktur Musik Dalam Etnomusikologi.” Seperti naskah
terjemahan M. Takari, Perikuten Tarigan (Medan: Jurusan Etnomusikologi,
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 1994), 4.
Priskila, Anita R. 2015. Musik Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba di
Kota. Medan, Kajian Fungsi, Kontinuitas dan Perubahan. Medan,
Universitas Sumatera Utara.
Pandiangan, Kawan. 2015. Kajian Musik dan Teks Ende Tarombo Sonak Malela
Pada Upacara Perkawinan Pomparan Raja Sonak Malela Di Medan Pandora Hopkins, “The Purpose of Transcription”, dalam Journal for the Society
of Ethnomusicology (Ann Arbor Michigan, 1966), 316.
Phylis M. May, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in
Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University
Archieve, 1978), 109.
Roberta L. Singer, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse
in Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University
Archieve, 1978), 113. Ginting, Novalinda R. 2012. Kontinuitas dan Perubahan Gendang Patam-Patam
Dalam Musik Tradisional Karo. Medan, Universitas Sumatera Utara.
Sidabutar, Bonggud. 2014. Sulim Batak Toba Sebagai Kajian Kontinuitas dan
Perubahan. Medan, Universitas Sumatera Utara.
99
Simangunsong, Emmi. 2002. “Ensambel Gondang Sabangunan Batak Toba:
Perhubungan Di antara Muzik, Tortor Dan Adat Dalihan Na Tolu.‟ Unpublish
M.A. thesis, University Sains Malaysia, Pulau Pinang, Malaysia.
Sihombing, Ricky F.P. 2016. Fungsi Sosial Musik Populer Dalam Upacara Adat
Perkawinan Masyarakat Batak Toba Di Binjai
Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. Takari, Muhammad. 2004. Interelasi Budaya Musik Batak dan Melayu di Sumatera
Utara dalam Pluralitas Musik Etnik Batak Toba, Mandailing, Melayu,
Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun. Medan: Pusat Dokumentasi
PengkajianKebudayaan Batak, Universitas HKBP Nommensen.
100
DAFTAR WEBSITE
http://repository.usu.ac.id
http//:www.budaya.com
www.wikipedia.com
www.gobatak.com
www. meiracindy.blogspot.com
www.rolandhutajulu.blogspot.com/adat-perkawinan-batak-toba
journal of Emmi Simangunsong “Muzik Gondang Sabangunan dan Peranannya
dalam Upacara Pesta Adat Batak Toba: Satu Pengenalan”
101
DATA INFORMAN
1. Nama : Kasmudin Pasaribu
Alamat : Desa Lobu Harambir, kecamatan Kolang
Umur : 67 Tahun
Pekerjaan : Petani/Raja parhata adat
2. Nama : Makrudin Pasaribu
Alamat : P.O Hurlang, kecamatan Kolang
Umur : 73 Tahun
Pekerjaan : Petani/Raja parhata adat
3. Nama : Jekson Hutagalung
Alamat : Desa Sitahanbarat, kecamatan Kolang
Umur :34 Tahun
Pekerjaan : Pargonsi
4. Nama : Pasindang Silalahi
Alamat : Lobu Harambir
Umur : 41 Tahun
Pekerjaan : Tokoh Adat/Tokoh Masyarakat
5. Nama : Marudut Situmeang Alamat : Lobu Harambit
Umur : 33 Tahun
Pekerjaan : Pemilik Sound system/jasa sewa alat music
6. Nama : Unggun Batubara
Alamat : Simahena-henak Untemungkur II
Umur :56 Tahun
Pekerjaan :Petani/Raja parhata adat