Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Korelasi Antara Asupan Zat Besi Dengan Indikator Tinggi Badan
Terhadap Usia (Tb/U) Pada Anak Usia 5-6 Tahun Di Jakarta
Andi Rama Sulaiman, Saptawati Bardosono
1. Program Studi Sarjana Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, DKI Jakarta,
Indonesia
2. Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, DKI Jakarta, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Stunting merupakan kegagalan pertumbuah liner yang dilihat dari indikator tinggi badan terhadap usia jatuh
dibawah persentil 5 (WHO). Prevalensi stunting di Indonesia (30,7%) tergolong dalam kategori High Severity
(WHO). Stunting sebagai masalah gizi kronis dan multifaktorial memiliki banyak dampak antara lain
peningkatan morbiditas, peningkatan mortalitas, gangguan fungsi metabolisme, komplikasi obstetrik saat hamil,
gangguan perkembangan, dan penurunan produktivitas sosioekonomi. Salah satu yang menjadi faktor risiko
adalah asupan nutrisi. Zat besi merupakan mikronutrien yang memiliki banyak fungsi bagi tubuh manusia
termasuk dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Asupan zat besi yang tidak adekuat dapat menyebabkan
anemia defisiensi zaat besi, peningkatan risiko infeksi, gangguan perkembangan kognitif , dan gangguan
perilaku. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional dengan tujuan untuk mencari korelasi antara
asupan zat besi dan indikator tinggi badan terhadap usia (TB/U). Penelitian ini menggunakan data sekunder
(usia, tinggi badan dan asupan zat besi) dari penelitian primer pada anak usia 5-6 tahun yang tinggal di Jl. Kimia,
Jakarta. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah tidak ada korelasi bermakna antara asupan zat besi dan
indikator TB/U (p=0,964). Namun tidak ada hubungan bermakna antara kecukupan asupan zat besi harian (AKG
2012) dan angka kejadian stunting (p=0,719).
Corelation between Iron Intake and Height for Age Indicator in Child age 5-6 Years in
Jakarta
Abstract
Stunting is linear growth failure that defined by WHO with low height for age indicator (<percentile 5). Stunting
prevalence in Indonesia (30,7%) categorized as High Severity (WHO). Stunting as chronic multifactorial
nutritional problem has many effect such as increase the risk of morbidity, increase the risk of mortality,
impaired metabolism function, obstetric complication in pregnant women, developmental disorder, and decrease
in socioeconomic productivity. Stunting has many risk factor, and one of them is nutrional intake. Iron is
micronutrient that has many function in human body such as in child growth and development. Inadequte iron
intake can cause iron deficiency anemia, increase in risk of infection, cognitive development disorder, and
behavioural disorder. This research use cross-sectional design with purpose to find correlation between iron
intake and high for age indictator. This research use secondary data (age, height, iron intake) from primary
research on child age 5-6 years that live in Kimia St., Jakarta. Result of this research is there is no significant
correlation between iron intake and height for age indicator (p=0,964). This research also found out that there is
no significant correlation between inadequate iron intake (AKG 2012) and stunting incidence (p=0,719).
Keywords: Iron intake, height for age, stunting, child age 5-6 years, Jakarta
Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014
2
Pendahuluan
Stunting merupakan kegagalan
proses pertumbuhan linier yang disebabkan
oleh berbagai penyebab antara lain kondisi
kesehatan yang tidak optimal dan/atau
kondisi nutrisi yang kurang baik. Stunting
dapat dilihat dari rasio antara tinggi badan
(TB) dan usia yang rendah.1 Stunting
merupakan masalah global yang hingga
saat ini perlu mendapatkan perhatian
khusus karena angka kejadian nya yang
masih tinggi. Berdasarkan laporan
UNICEF mengenai Pelacakan pada Anak
dan Gizi Ibu pada tahun 2010, secara
global diperkirakan terdapat 195 juta anak
di bawah lima tahun yang mengalami
stunting.2 Sedangkan berdasarkan database
malnutrisi UNICEF-WHO-The World
Bank yang dipublikasian pada tahun 2012,
secara global terdapat 162 juta anak
dibawah lima tahun yang mengalami
stunting. Trend global saat ini
menunjukkan terjadinya penurunan angka
kejadian dan prevalensi stunting. Hal
tersebut dapat dilihat dari penurunan
prevalensi stunting sebesar 33% pada
tahun 2000 menjadi 25% pada tahun 2012,
dan penurunan angka kejadian 197 juta
anak pada tahun 2000 menjadi 162 juta
pada tahun 2012. Sebanyak 56% anak
yang mengalami stunting di dunia tinggal
di Asia dan 36% tinggal di Afrika.3
Sebagai salah satu negara di Asia,
Indonesia merupakan salah satu negara
dengan prevalensi stunting tinggi.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun
2007, prevalensi stunting pada balita di
Indonesia sebesar 36,8%. Prevalensi
tersebut menurun menjadi 35,6% pada
Riset Kesehatan Dasar 2010. Pada tahun
2013, kembali terjadi peningkatan
prevalensi stunting yaitu menjadi 37,2%.
Pada tahun 2013, prevalensi stunting pada
anak usia 5-12 tahun memiliki angka
30,7%. DKI Jakarta memiliki prevalensi
stunting pada balita dibawah prevalensi
nasional yaitu sebesar 26,7% pada tahun
2007, 26,6% pada tahun 2010 terjadi
peningkatan prevalensi menjadi sekitar
28%. Sedangkan prevalensi stunting pada
anak usia 5-12 tahun di DKI Jakarta,
menunjukkan angka mendekati 20%.2,4,5,6
Stunting memiliki keterkaitan
dengan sosioekonomi yang rendah,
peningkatan risiko penyakit, dan
pemberian nutrisi yang tidak sesuai. Selain
itu stunting juga berkaitan dengan
gangguan perkembangan kognitif anak.
Hal ini terjadi karena etiologi stunting juga
berkaitan dengan perkembangan kognitif.
Asupan nutrisi yang tidak adekuat tentu
saja berpengaruh pada perkembangan
kognitif anak. Perkembangan kognitif anak
terjadi secara cepat sampai usia 2 tahun
hingga mencapai sekitar 80% kapasitas
ukuran dewasa. Oleh karena itu, stunting
Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014
3
dapat menjadi indikator kecurigaan
gangguan perkembangan kognitif pada
anak.7
Peningkatan risiko penyakit dan
komplikasi lainnya seperti hipotermia,
hipoglikemia, dan dehidrasi dapat terjadi
pada anak yang mengalami stunting.
Peningkatan risiko dan komplikasi tersebut
menjadi alasan dilakukannya terapi
intervensi berupa perbaikan asupan nutrisi
sehingga hal tersebut dapat dicegah.8
Stunting dapat terjadi karena
berbagai penyebab. Sekitar 20-40%
stunting pada dua tahun pertama
kehidupan dikaitkan dengan berat badan
lahir rendah (BBLR). Defisiensi nnutrisi
maternal pada masa kehamilan juga
menjadi salah satu kemungkinan penyebab
pada kasus tersebut. Asupan nutrisi yang
tidak adekuat dan infeksi rekuren/kronis
merupakan kondisi yang juga dapat
menyebabkan terjadinya stunting pada
anak.7 Asupan nutrisi yang tidak adekuat
secara umum menjadi fokus utama atau
prioritas pada masalah stunting. Pada
penelitian ini, asupan nutrisi yang dibahas
adalah zat besi. Studi oleh Angeles et al
pada tahun 1993 di Indonesia
menunjukkan bahwa terjadi perubahan
tinggi badan dan height-for-age Z-score
yang signifikan pada anak usia 2-5 tahun
setelah suplementasi zat besi.9 Studi oleh
Lawless et al pada tahun 1994 di Kenya
menunjukkan hasil perubahan mean untuk
tinggi badan, height-for-age Z-score, berat
badan, weight-for-age Z-score pada anak
usia 6-11 tahun setelah suplementasi zat
besi.10
Studi oleh Rahman et al pada tahun
1999 di Bangladesh menunjukkan tidak
ada perbedaan signifikan dari tinggi badan
dan berat badan setelah dilakukan
suplementasi zat besi.6 Oleh karena itu,
penelitian ini dilakukan untuk mencari
apakah terdapat hubungan antara asupan
zat besi dengan stunting baik hubungan
secara lansung maupun tak langsung.11
Pada tahun pertama kehidupan
akan terjadi pertumbuhan yang sangat
cepat dengan peningkatan tinggi badan dan
berat badan. Pada fase setelah itu,
pertumbuhan akan melambat dengan
cukup signifikan, yaitu pada usia
prasekolah dan usia sekolah.7
Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa intervensi asupan
nutrisi pada anak dengan stunting perlu
segera dilakukan mengingat selain terjadi
gangguan pertumbuhan juga terjadi
perkembangan kognitif terutama pada dua
tahun pertama kehidupan, sehingga hasil
dari penelitian ini dapat menjadi referensi
untuk pemberian tatalaksana intervensi
asupan nutrisi berupa pemberian asupan
zat besi ataupun pencegahan agar tidak
terjadi stunting pada pasien.2,3,7,8
Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014
4
Tinjauan Teoritis
Stunting didefinisikan sebagai
kegagalan proses pertumbuhan linier yang
dapat disebabkan oleh kondisi kesehatan
yang tidak optimal dan/atau kondisi nutrisi
yang kurang baik. Stunting juga berkaitan
dengan kondisi sosioekonomi yang rendah
dan peningkatan risiko penyakit serta
pemberian nutrisi yang tidak sesuai.1
Dengan sistem Z-score terdapat dua
cara yaitu dengan cut-off dan
menggunakan kesimpulan statistic seperti
mean, standar deviasi, standar eror, dan
distribusi frekuensi.1
Berdasarkan National
Center for Health Statistics (NCHS),
apabila kurva height-for-age seorang anak
berada dibawah persentil kelima dari kurva
referensi untuk kelompok umur anak
tersebut dapat pula diklasifikasikan sebagai
stunting.7
Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa stunting dapat terjadi
karena beberapa penyebab. Sekitar 20-40%
stunting yang terjadi pada dua tahun
pertama kehidupan diasosiasikan dengan
berat badan lahir rendah (BBLR). Selain
itu, defisiensi nutrisi masih dapat
dipertimbangkan karena kemungkinan
defisiensi nutrisi maternal pada masa
kelahiran. Selain kedua penyebab tersebut,
asupan nutrisi yang tidak adekuat dan
infeksi rekuren atau kronis juga dapat
menyebabkan stunting. Asupan nutrisi
yang tidak adekuat biasanya menjadi fokus
utama untuk masalah stunting.7
Selain kegagalan pertumbuhan
linier, stunting juga diduga berkaitan
dengan perkembangan kemampuan
kognitif seorang anak. Walaupun stunting
sebenarnya fokus kepada tinggi badan
sesuai kelompok umur, namun kondisi-
kondisi yang dapat menyebabkan stunting
juga berkaitan dengan perkembangan
seorang anak. Sebelumnya, asupan nutrisi
yang tidak adekuat pada usia dibawah dua
tahun merupakan penyebab utama
terjadinya gangguan perkembangan
kognitif pada seorang anak, dikarenakan
hingga usia dua tahun otak manusia dalam
perkembangan hingga mencapai 80%
ukuran dewasa. Namun, studi terkini
menjelaskan bahwa asupan nutrisi yang
tidak adekuat pada anak diatas usia dua
tahun juga dapat menyebabkan gangguan
perkembangan kemampuan kognitif yang
sama berpengaruhnya dengan asupan
nutrisi yang tidak adekuat pada anak
dibawah usia dua tahun. Oleh karena itu,
intervensi untuk memperbaiki asupan
nutrisi pada anak usia diatas dua tahun
dengan riwayat gangguan perkembangan
kemampuan kognitif pasca asupan nutrisi
yang tidak adekuat, dapat memberikan
perbaikan pada perkembangan hingga
mencapai taraf yang hampir normal.7
Tatalaksana untuk stunting dapat
dilakukan melalui intervensi asupan nutrisi
Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014
5
yang disesuaikan dari data yang diapatkan.
Dari data populasi, dapat diperoleh
kemungkinan penyebab stunting pada
populasi tersebut, apakah karena asupan
protein-energi yang tidak adekuat, atau
asupan mikronutrien yang tidak adekuat.8
Zat besi memiliki peranan penting
dalam aktivitas sel darah merah, yaitu
melalui hemoglobin. Hemoglobin
disintesis di sel imatur pada sumsum
tulang. Hemoglobin bekerja melalui dua
cara yaitu heme yang mengandung zat besi
mengikat oksigen di paru, kemudian heme
melepas oksigen ke jaringan dan mengikat
karbondioksida pada saat yang sama.
Mioglobin merupakan protein yang juga
mengandung heme dan memiliki fungsi
sebagai reservoir oksigen pada otot.12
Zat besi juga berperan dalam
metabolisme obat di hati, yaitu obat yang
larut dalam air. Asupan zat besi yang
adekuat dibutuhkan untuk menjaga fungsi
dari sistem imun tubuh manusia. Kelebihan
atau kekurangan zat besi dapat
menyebabkan perubahan pada sistem
imun. Sedangkan kekurangan zat besi akan
mempengaruhi sistem imunitas humoral
dan selular.12
Sumber zat besi yang terbaik
adalah hati. Selain itu seafood (kerang dan
ikan), ginjal, jantung, lean meat, dan
daging unggas juga baik sebagai sumber
zat besi. Sayuran dan kacang kering
merupakan sumber tanaman terbaik untuk
zat besi. Selain itu, putih telur, wine,
sereal, dan gandum juga dapat menjadi
sumber zat besi. Secara umum, produk
susu tidak mengandung zat besi.12
Angka Kecukupan Gizi merupakan
nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi
yang dibutuhkan oleh tubuh untuk dapat
hidup sehat setiap hari bagi hampir semua
orang dalam populasi (97,5%) menurut
kelompok umur, jenis kelamin, dan
kondisi-kondisi tertentu seperti hamil dan
menyusui. Berdasarkan Angka Kecukupan
Gizi Indonesia tahun 2012, jumlah zat besi
yang dibutuhkan oleh tubuh setiap harinya
pada kelompok usia 5-6 tahun adalah 9
mg.13
Studi yang dilakukan oleh Angeles et al
pada tahun 1993 di Indonesia mengenai
suplementasi zat besi pada anak usia 2-5
tahun menunjukkan bahwa terjadi
perubahan tinggi badan dan height-for-age
Z-score yang signifikan setelah
suplementasi. 9
Studi yang dilakukan oleh Lawless
et al pada tahun 1994 di Kenya dengan
topik yang sama pada usia 6-11 tahun
menunjukkan hasil perubahan mean untuk
tinggi badan, height-for-age Z-score, berat
badan, weight-for-age Z-score setelah
suplementasi.10
Selain itu studi dengan topik yang
sama dilakukan oleh Rahman et al pada
tahun 1999 di Bangladesh dan memberikan
hasil tidak ada perbedaan signifikan dari
Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014
6
tinggi badan dan berat badan setelah
dilakukan suplementasi.11
Metode Penelitian
Penelitian ini memakai desain
penelitian dengan metode cross sectional
untuk mendapatkan korelasi antara asupan
zat besi dengan indikator tinggi badan
terhadap usia (TB/U) pada anak usia 5-6
tahun. Penelitian ini adalah penelitian yang
memakai data sekunder yang berasal dari
screening subjek dalam penelitian yang
berjudul “The effect of Frisian Flag GUM
456 (isomaltulose enriched and mineral
and vitamin fortified) on cognitive
performance parameters in young children
(5-6 years old)”. Penelitian yang telah
disebutkan diatas adalah penelitian
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
yang dilaksanakan di beberapa RW pada
daerah Jl. Kimia, Jakarta Pusat. Screening
tersebut dilakukan pada bulan Mei tahun
2011.
Populasi target dalam penelitian ini
ialah anak berusia 5-6 tahun. Populasi
terjangkau dalam penelitian ini ialah anak
berusia 5-6 tahun yang bertempat tinggal
di Jl. Kimia, Jakarta Pusat, dan telah
berpartisipasi pada penelitian primer.
Subjek penelitian ini ialah populasi
terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi
dan tidak masuk dalam kriteria eksklusi
Untuk menghitung besar sampel
pada penelitian ini, digunakan rumus
korelasi dengan tujuan membandingkan
dua variable berikut, yaitu:
{(Za + Zb) / (0,5 ln (1+r) / (1-r)])}2
+ 3
Dimana:
r = koefisien korelasi (perkiraan)
ditetapkan 0.4
Za = ditetapkan 1.960
Zb = ditetapkan 1.282
Berdasarkan rumus korelasi di atas,
didapatkan bahwa paling sedikit perlu
digunakan 62 sampel. Pada penelitian ini
tidak perlu penambahan 10% pada sampel
karena tidak terdapat kemungkinan untuk
drop out. Pada penelitian ini menggunakan
simple random sampling untuk
mendapatkan 70 sampel dari data
sekunder.
Bahan penelitian ini ialah data
sekunder dari penelitian primer dengan
judul “The effect of Frisian Flag GUM 456
(isomaltulose enriched and mineral and
vitamin fortified) on cognitive performance
parameters in young children (5-6 years
old)”. Penelitian yang telah disebutkan
diatas adalah penelitian Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia yang
dilaksanakan di beberapa RW pada daerah
Jl. Kimia, Jakarta Pusat. Screening tersebut
dilakukan pada bulan Mei tahun 2011.
Subjek pada penelitian primer tersebut
adalah anak laki-laki dan perempuan sehat
berusia 5-6 tahun yang tinggal di lokasi
Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014
7
penelitian dan setuju untuk berpartisipasi
dalam penelitian tersebut. Data sekunder
yang dikumpulkan antara lain usia, jenis
kelamin, tinggi badan, dan asupan zat besi.
Pengumpulan data asupan zat besi
memakai instrumen semikuantitatif food
frequency questionnaire (FFQ). Kontrol
kualitas data sekunder didasarkan pada
kompetensi petugas yang melakukan
pengambilan data yaitu staf-staf FKUI
yang kompeten. Pengumpulan data
antropometri (TB dan BB) dilakukan
dengan alat dan cara standar sesuai dengan
pengukuran dan pemeriksaan Riset
Kesehatan Dasar (2007). Alat penelitian ini
adalah kuesioner yang dipakai untuk
mengolah data dari penelitian primer
menjadi data sekunder yang diperlukan
pada penelitian ini.
Variabel bebas pada penelitian ini
adalah usia, jenis kelamin, asupan zat besi,
dan sosiodemografi.Variabel terikat pada
penelitian ini adalah indikator tinggi badan
terhadap usia (TB/U).
Untuk menganalisis data pada
penelitian ini, dilakukan beberapa uji
sebelum diolah lebih lanjut menggunakan
SPSS versi 20 untuk Windows. Untuk
mengetahui distribusi data pada penelitian
ini, dilakukan uji Komogorov-Smirnov.
Pada penelitian ini didapatkan distribusi
data tidak normal, sehingga dilakukan uji
Spearman. Uji ini digunakan pada
penelitian ini karena data pada penelitian
ini berupa masalah kategori numerik dan
hipotesis korelatif antara dua variabel
numerik.
Hasil Penelitian
Untuk menjawab pertanyaan
penelitian mengenai sebaran karakteristik
subjek penelitian berdasarkan
sosiodemografi, maka pada penelitian ini
dilakukan pengambilan data mengenai
karakteristik sosiodemografi subjek
penelitian dengan menggunakan kuesioner
objektif dengan data berasal dari penelitian
primer yang berjudul “The effect of Frisian
Flag GUM 456 (isomaltulose enriched and
mineral and vitamin fortified) on cognitive
performance parameters in young children
(5-6 years old)”. Karakteristik
sosiodemografi yang dimaksudkan adalah
karakteristik usia, jenis kelamin, dan
pendapatan keluarga. Tingkat pendapatan
keluarga pada penelitian ini dikategorikan
menjadi dua kelompok, yaitu pendapatan
keluarga <Rp. 1.290.000,- dan pendapatan
keluarga Rp. 1.290.000,-.
Pengkategorian tingkatan pendapatan
keluarga pada penelitian ini didasarkan
pada upah minimum regional (UMR) di
daerah DKI Jakarta.
Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014
8
Tabel 1. Sebaran Subjek Berdasarkan
Karakteristik Sosiodemografi (n=70)
Berdasarkan pengambilan data
yang dilakukan, didapatkan bahwa median
usia subjek penelitian ini adalah 6,1 tahun
dengan usia subjek penelitian termuda
adalah 5,0 tahun dan usia subjek penelitian
tertua 6,9 tahun. Pada penelitian ini
didapatkan subjek berjenis kelamin
perempuan (54,3%) lebih banyak bila
dibandingkan dengan subjek berjenis
kelamin laki-laki (45,7%). Untuk tingkat
pendapatan keluarga pada subjek
penelitian ini didapatkan hampir 60%
subjek penelitian berasal dari keluarga
dengan pendapatan keluarga kurang dari
Rp. 1.290.000,- atau dibawah upah
minimum regional (UMR) daerah DKI
Jakarta.
Pada penelitian ini dilakukan
pengambilan data tinggi badan dan usia
pada subjek penelitian yang kemudian
diubah menjadi indikator tinggi badan
terhadap usia (TB/U). Pada penelitian ini,
digunakan software epi-info untuk
mengubah data tinggi badan dan usia pada
subjek penelitian diubah mnjeadi indikator
tinggi badan terhadap usia (TB/U).
Kemudian dilakukan analisis data untuk
melihat sebaran karakteristik subjek
penelitian berdasarkan indikator tinggi
badan terhadap usia (TB/U) dengan acuan
pengkategorian stunting berdasarkan
WHO, yaitu bila indikator tinggi badan
terhadap usia (TB/U) menunjukkan dibawa
persentil 5. Sehingga pada penelitian ini,
subjek penelitianndibagi menjadi dua
kelompok kategori yaitu normal
( persentil 5) dan stunted (<persentil 5).
Tabel 2. Sebaran Subjek Berdasarkan
Karakteristik Indikator TB/U (n=70)
Setelah dilakukan analisis data
pada penelitian ini, didapatkan bahwa rata-
rata tinggi badan subjek penelitian ini
adalah 111,2 ± 6,4 cm. Pengkategorian
indikator tinggi badan terhadap usia
(TB/U) berdasarkan kategori stunting
WHO memperlihatkan bahwa median
persentil indikator tinggi badan terhadap
usia (TB/U) subjek penelitian ini adalah
16,5, dengan persentil indikator tinggi
badan terhadap usia (TB/U) terendah
adalah 1 dan persentil indikator tinggi
badan terhadap usia (TB/U) tertinggi
adalah 93. Selain itu, juga didapatkan
bahwa 20% dari subjek penilitian ini
Variabel n %
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
32
38
45.7
54.3
Pendapatan Keluarga
< Rp. 1.290.000,-
≥ Rp. 1.290.000,-
41
29
59.6
41.4
Variabel n %
Kategori Indikator TB/U
< Persentil 5 14 20
≥ Persentil 5 56 80
Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014
9
memiliki persentil indikator tinggi badan
terhadap usia (TB/U) <5 atau tergolong
dalam kategori stunted.
Selain karakteristik sosiodemografi
dan karakteristik indikator tinggi badan
terhadap usia (TB/U), pada penelitian ini
dilakukan pula analisis data mengenai
sebaran karakteristik subjek penelitian
berdasarkan asupan zat besi. Data asupan
zat besi didapatkan melalui pengisian food
frequency questionnaire oleh subjek
penelitian yang merupakan kuesioner
semikuantitatif. Data yang didapat
kemudian dikategorikan menjadi asupan
zat besi cukup dan asupan zat besi kurang
berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG)
2012 mengenai asupan zat besi harian.
Tabel 3. Sebaran Subjek Berdasarkan
Karakteristik Asupan Zat Besi (n=70)
Pada penelitian ini didapatkan data
karakteristik asupan zat besi subjek
penelitian yaitu didapatkan median asupan
zat besi harian subjek penelitian ini adalah
9,6 mg dengan asupan zat besi harian
terendah adalah sebesar 2,2 mg dan asupan
zat besi harian tertinggi sebesar 46,5 mg.
Berdasarkan pengkategorian dengan acuan
angka kecukupan gizi (AKG) 2012
mengenai asupan zat besi harian,
didapatkan pada penelitian ini terdapat
45,7% subjek penelitian dengan asupan zat
besi yang tidak memenuhi asupan zat besi
harian yaitu 9 mg/hari atau tergolong
dalam asupan zat besi kurang.
Salah satu tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengkaji mengenai korelasi
antara asupan zat besi dan indikator tinggi
badan terhadap usia (TB/U), sehingga pada
penelitian ini dilakukan analisis data untuk
mendapatkan korelasi antara asupan zat
besi dan indikator tinggi badan terhadap
usia (TB/U).
Tabel 4. Korelasi antara Asupan Zat Besi dan
Indikator TB/U (n=70)
Berdasarkan hasil uji korelasi
menggunakan uji Spearman, tidak terdapat
korelasi bermakna antara asupan zat besi
dan indikator tinggi badan terhadap usia
(TB/U) pada subjek penelitian ini karena
didapatkan nilai p = 0,964 (p>0,05).
Analisis lebih lanjut untuk melihat
gambaran hubungan antara kecukupan
asupan zat besi harian berdasarkan angka
kecukupan gizi (AKG) 2012 yang
digolongkan kepada asupan zat besi
kurang dan asupan zat besi cukup dengan
status gizi berdasarkan indikator tinggi
badan terhadap usia (TB/U) berdasarkan
Uji Spearman Indikator TB/U
Asupan Zat Besi
r -0,05
p 0,964
n 70
Variabel n %
Kategori Asupan Zat Besi
< 9 mg/hari 32 45,7
≥ 9 mg/hari 38 54,3
Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014
10
kategori stunting WHO yaitu dibagi
menjadi dxua kategori stunted dan normal.
Tabel 5. Hubungan antara Kecukupan Asupan
Zat Besi dengan Status Gizi Berdasarkan
Indikator TB/U
Indikator TB/U
Stunted Normal
Asupan
Zat Besi
AKG Kurang 7 25
AKG Cukup 7 31
Berdasarkan uji yang telah
dilakukan maka didapatkan nilai p=0,719
yang menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan bermakna antara kecukupan
asupan zat besi dan status gizi berdasarkan
indikator tinggi badan terhadap usia
(TB/U). Namun didapatkan angka kejadian
stunting pada kelompok subjek dengan
asupan zat besi yang tidak memenuhi
asupan zat besi harian (28%) lebih tinggi
bila dibandingkan dengan angka kejadian
stunting pada kelompok subjek dengan
asupan zat besi yang memenuhi asupan zat
besi harian (22,5%).
Pembahasan
Pada penelitian ini didapatkan
bahwa karakteristik sosiodemografi subjek
penelitian menunjukkan jenis kelamin
perempuan (54.3%) lebih banyak bila
dibandingkan dengan laki-laki (45.7%).
Karakteristik jenis kelamin subjek
penelitian ini agak berbeda dengan
karakterstik jenis kelamin di Jakarta dan
Indonesia dimana jumlah laki-laki lebih
banyak dibandingkan perempuan pada
kelompok usia 5-9 tahun. Namun
demikian, perbedaan antara karakterstik
jenis kelamin baik di Jakarta maupun
Indonesia tidak terlalu besar.14,15
Selain jenis kelamin, karakteristik
sosiodemografi yang didapatkan pada
penelitian ini adalah tingkat pendapatan
keluarga. Berdasarkan data yang didapat,
sebanyak 59.6% subjek penelitian
memiliki tingkat pendapatan keluarga <Rp.
1.290.000,- atau dibawah upah minimum
regional (UMR) daerah DKI Jakarta pada
tahun 2011. Berdasarkan laporan
Kementerian Keuangan Republik
Indonesia tahun 2012 dengan judul
Tinjauan Ekonomi & Keuangan Daerah
Provinsi DKI Jakarta, didapatkan bahwa
tingkat kemiskinan di daerah DKI Jakarta
sebesar 3,8% pada tahun 2009 dan
mencapai 4,04% atau sebanyak 388.300
jiwa pada tahun 2010. Pada tahun 2013,
didapatkan bahwa tingkat kemiskinan di
daerah Jakarta memiliki nilai 3,72%.
Kecilnya angka tingkat kemiskinan di
Jakarta ini disebabkan oleh pengkategorian
tingkat kemiskinan yang tidak sesuai
dengan upah minimum regional daerah
Jakarta pada tahun 2011 ( Rp. 1.290.000,-)
melainkan menetapkan cut-off point
sebesar Rp. 434.322/bulan, dengan asumsi
dengan tingkat pendapatan tersebut dapat
Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014
11
memenuhi kebutuhan sehari-hari subjek
penelitian. Oleh karena belum adanya data
mengenai pendapatan keluarga di Jakarta
yang menggunakan data tingkat
pendapatan keluarga terkait UMR daerah
DKI Jakarta 2011, maka karakteristik
tingkat pendapat keluarga subjek penelitian
ini tidak dapat dibandingkan dengan
tingkat pendapatan keluarga penduduk di
daerah DKI Jakarta.16,17
Berdasarkan karakteristik indikator tinggi
badan terhadap usia (TB/U), didapatkan
bahwa sebanyak 20% subjek penelitian
memiliki persentil indikator tinggi badan
terhadap usia (TB/U) < 5 atau tergolong
dalam kategori stunted.
Pada Riset Kesehatan Dasar tahun
2013, didapatkan bahwa prevalensi
stunting pada kelompok usia 5-12 tahun di
DKI Jakarta hampir mencapai angka 20%.
Selain itu, pada anak usia 5 tahun di
Indonesia didapatkan prevalensi stunting
sebesar 29% pada laki-laki dan 27,5%
pada perempuan. Sedangkan pada anak
usia 6 tahun di Indonesia didapatkan
prevalensi stunting sebesar 27,7% pada
laki-laki dan 25,5% pada perempuan.
Secara nasional prevalensi stunting pada
kelompok usia 5-12 tahun di Indonesia
mencapai 30,7%.6
Berdasarkan WHO, prevalensi
stunting pada penelitian ini, yaitu sebesar
20%, masuk ke dalam kategori Medium
Severity. Sedangkan prevalensi stunting di
DKI Jakarta yang tidak mencapai angka
20% masuk ke dalam kategori Low
Severity. Prevalensi stunting secara
nasional di Indonesia yang menunjukkan
angka 30,7% digolongkan ke dalam
kategori High Severity. Terdapat 20%
subjek penelitian yang digolongkan ke
dalam kategori stunted karena persentil
indikator tinggi badan terhadap usia
(TB/U) < 5, sehingga perlu dipikirkan
dampak-dampak yang mungkin muncul
akibat kondisi stunting pada subjek
penelitian ini. Stunting dapat menyebabkan
berbagai dampak yang luas dan bersifat
jangka panjang.1
Stunting dapat memiliki dampak
pada tiga aspek kehidupan yaitu aspek
kesehatan, aspek pendidikan, dan aspek
sosioekonomi. Dampak stunting pada
ketiga aspek tersebut terjadi karena
stunting dapat memiliki dua peran, yaitu
sebagai penyebab langsung tinggi badan
yang kurang pada masa dewasa sehingga
menyebabkan fungsi suboptimal dan
sebagai faktor yang berperan dalam proses
di awal kehidupan yang mengarah pada
pertumbuhan yang buruk dan outcome
sampingan lainnya. Pada aspek kesehatan,
stunting tidak hanya akan menyebabkan
kegagalan pertumbuhan linier pada sistem
skeletal, melainkan juga akan
mengakibatkan berbagai kondisi medis dan
meningkatkan morbiditas. Stunting dapat
menyebabkan peningkatan morbiditas
Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014
12
yaitu terkait dengan diare dan pneumonia
pada masa kanak-kanak. Selain
menyebabkan peningkatan morbiditas pada
anak, stunting juga dapat menyebabkan
peningkatan mortalitas pada anak dibawah
5 tahun dan menjadi prediktor terbaik pada
risiko kematian anak pada dua tahun awal
kehidupan.1,18,20
Anak dengan stunting akan
memiliki risiko lebih tinggi untuk memiliki
penyakit kronis, gangguan fungsi oksidasi
lemak seperti pada obesitas, dan penurunan
toleransi glukosa. Anak stunted yang
memiliki gangguan fungsi oksidasi lipid
akan menyimpan lipid lebih banyak pada
jaringan adipose. Mekanisme terjadinya
hal tersebut masih belum jelas, namun
asupan gizi yang kurang kemungkinan
menyebabkan kerusakan pada enzim dan
hormone yang bertanggungjawab pada
oksidasi lipid yang optimal.19
Dalam aspek kesehatan, stunting
akan menyebabkan ukuran tubuh wanita
hamil yang lebih kecil sehingga akan
menyebabkan beberapa akibat pada sistem
reproduksi. Pada wanita dengan tinggi
badan yang kurang akan menyebabkan
risiko komplikasi obstetrik yang lebih
tinggi dikarenakan ukuran pelvis yang
lebih kecil. Komplikasi obstetrik yang
dimaksud adalah obstruksi persalinan
karena ukuran pelvis yang sempit sehingga
menyebabkan birth asphyxia. Tinggi badan
maternal kurang dari 145 cm memiliki
risiko lebih tinggi untuk terjadinya birth
asphyxia. Anak yang selamat dari birth
asphyxia kemudian akan mengalami
gangguan neurodevelopmental kronik
seperti cerebral palsy, retardasi mental, dan
disablitas belajar. Peningkatan risiko
kematian perinatal pada tinggi badan
maternal <145 cm disebabkan oleh birth
asphyxia dan juga efek jangka panjang
IUGR pada nutrisi anak dan fungsi
imunitas yang kemudian akan meningkatan
risiko mortalitas.18,20
Selain itu, terdapat keterkaitan
antara tinggi badan wanita hamil dengan
berat badan lahir anak. Hal ini yang
menyebabkan dapat terjadi suatu siklus
stunting karena anak dengan berat badan
lahir rendah (BBLR) juga memiliki risiko
yang lebih tinggi untuk mengalami
stunting. BBLR pada anak dengan ibu
stunted terjadi karena restriksi aliran darah
dan perkembangan uterus, plasenta, dan
fetus atau biasa disebut dengan
intrauterine growth restriction (IUGR).
Kondisi tersebut kemudian akan
menyebabkan berbagai kondisi medis yang
membahayakan neonatus. IUGR dapat
menyebabkan chronic fetal distress atau
fetal death. Apabila anak dengan IUGR
lahir dalam kondisi hidup, maka kemudian
akan mengalami gangguan pertumbuhan
dan berbagai komplikasi medis lainnya
seperti gangguan perkembangan
neurologis, intelektual, dan juga tinggi
Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014
13
badan yang kurang akan menetap hingga
dewasa.1,18,20
Stunting juga memiliki keterkaitan
yang cukup kuat dengan gangguan
perkembangan pada anak. Gangguan
perkembangan pada anak dengan stunted
kemudian akan menyebabkan gangguan
pada performa dan pencapaian akademis
anak tersebut. Namun hubungan tersebut
tidak dapat dinyatakan sebagai hubungan
kausatif, karena terdapat faktor lain yang
mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak yaitu faktor
lingkungan dan sosioekonomi. Pada kasus
gangguan perkemabangan seperti di atas,
intervensi dengan kombinasi suplementasi
dan stimulasi intelektual adalah tatalaksana
yang akan memberikan hasil terbaik.19
Gangguan kognitif permanen pada
anak stunted dapat terjadi karena
kerusakan jaringan otak baik secara
struktural maupun fungsional. Pada
rentang waktu antara 12-36 bulan,
performa kognitif anak dengan stunted
akan lebih buruk dibandingkan anak
dengan pertumbuhan normal, selain itu
pada pertengahan masa kanak-kanak akan
memperlihatkan pencapaian akademis
yang lebih rendah.18,19,20
Stunting juga sering dikaitkan
dengan produktivitas ekonomi seseorang.
Pada suatu penelitian cross-sectional di
Brazil, didapatkan bahwa peningkatan 1%
dari tinggi badan berkaitan dengan 2,4%
peningkatan pendapatan. Laki-laki dan
wanita dengan tinggi badan yang lebih
tinggi akan memiliki pendapatan yang
lebih tinggi setelah mengontrol variabel
tingkat edukasi dan indikator kesehatan
lainnya seperti IMT, per capita energy
intake, dan per capita protein intake. Anak
dengan stunting kemudian akan tumbuh
menjadi dewasa dengan tinggi badan yang
kurang. Dampak pada aspek ekonomi ini
sering dikaitkan dengan keterbatasan
fungsional dari orang dengan stunting yang
menyebabkan penurunan kapasitas kerja.
Kondisi sosioekonomi rendah yang banyak
ditemukan pada individu dengan stunting
kemudian akan berkontribusi dalam siklus
stunting yang telah dijelaskan sebelumnya
dan akan menyebabkan siklus tersebut
terus berulang selama beberapa generasi.20
Data karakterstik asupan zat besi
subjek pada penelitian ini menunjukkan
bahwa sebesar 45.7% subjek penelitian
memiliki asupan zat besi harian <9mg/hari
atau tergolong dalam kategori asupan zat
besi kurang berdasarkan angka kecukupan
gizi (AKG) 2012. Pada penelitian ini
didapatkan bahwa median asupan zat besi
harian pada penelitian ini memiliki nilai
sebesar 9,6 mg dengan asupan zat besi
harian terendah adalah sebesar 2,2 mg dan
asupan zaat besi harian tertinggi sebesar
46,5 mg.13
Pada penelitian ini, data
karakteristik asupan zat besi subjek
Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014
14
penelitian menunjukkan sebesar 45,7%
memilki asupan zat besi harian <9 mg/hari.
Hal tersebut menunjukkan bahwa hampir
setengah dari subjek penelitian tidak
mencapai angka kecukupan gizi (AKG).
Tidak tercapainya angka kecukupan zat
besi harian merupakan salah satu yang
dapat menyebabkan terjadinya defisiensi
zat besi. Defisiensi zat besi kemudian
dapat menyebabkan anemia dan mudah
lelah, gangguan perkembangna kognitif,
dan gangguan pertumbuhan dan kekuatan
fisik. Selain disebabkan oleh asupan zat
besi yang tidak adekuat, defisiensi zat besi
juga dapat disebabkan oleh pajanan dini
terhadap susu sapi pada anak. Hal ini dapat
terjadi karena susu sapi memiliki
kandungan zat besi yang rendah.8,21,22
Manifestasi dari defisiensi zat besi antara
lain sklera kebiruan, koilonychias,
gangguan kapasitas latihan, perubahan
warna urin, peningkatan absorbsi timbal,
dan peningkatan kerentanan terhadap
infeksi.
Defisiensi zat besi dapat
menyebabkan terjadinya anemia
kekurangan zat besi. Anemia kekurang zat
besi pada masa awal kanak-kanak
memiliki hubungan secara kausatif dengan
keterlambatan perkembangan. Pada
manusia, dua tahun awal kehidupan
merupakan waktu yang rentan untuk
mengalami defisiensi zat besi karena pada
periode waktu tersebut terjadi perubahan
yang paling penting pada multiplikasi
neuronal. Selain gangguan perkembangan,
anemia kekurangan zat besi juga dapat
menyebabkan gangguan perilaku pada
anak. Mekanisme anemia kekurangan zat
besi menyebabkan gangguan
perkembangan dan perilaku masih belum
diketahui secara pasti.8,21,23
Kebutuhan zat besi mungkin akan melebihi
asupan zat besi pada dua periode dalam
kehidupan manusia. Periode pertama
adalah pada 6-18 bulan awal kehidupan
dan periode kedua adalah pada masa
remaja untuk perempuan.23
Defisiensi zat besi dapat
menyebabkan perubahan pada morfologi,
biokimiawi, dan bioenergi otak. Defisiensi
zat besi dapat menyebabkan perubahan
morfologi otak karena zat besi penting
dalam neurogenesis dan diferensiasi
beberapa jenis sel otak. Defisiensi zat besi
juga dapat menyebabkan gangguan pada
neurokimiawi otak terutama pada jaras
monoaminergik. Defisiensi zat besi akan
menganggu metabolisme dopamin dan
norepinefrin serta menganggu sintesis dan
katabolisme monoamin. Selain itu,
kebutuhan energi yang besar oleh otak dan
penggunaan glukosa sebagai bahan energi,
menyebabkan defisiensi zat besi yang
memiliki efek menganggu homeostasis
glukosa, akan mengakibatkan perubahan
bioenergi otak.23
Distribusi zat besi di otak yang
tidak merata menyebabkan defisiensi zat
Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014
15
besi hanya mempengaruhi beberapa bagian
otak dan tidak mempengaruhi bagian otak
lainnya. Secara umum, defisiensi zat besi
akan menganggu fungsi motoric dan
perilaku sosioemosional. Kemampuan
motorik anak dengan defisiensi zat besi
akan menunjukkan perbedaan yang
signifikan dengan anak dalam kelompok
usia yang sama dan tanpa defisiensi zat
besi. Perilaku sosioemosional anak dengan
defisiensi zat besi akan menunjukkan sifat
lebih pemalu, sulit untuk dihibur atau
ditenangkan, dan lebih jarang
menunjukkan afek positif.23
Zat besi berada dalam ASI
memiliki konsentrasi yang rendah namun
mudah diabsorbsi karena rendahnya
konsentrasi kalsium dan fosfat dalam ASI.
Namun demikian, intervensi pemberian
suplementasi formula lebih baik diabosrbsi
bila dibandingkan dengan ASI. Didapatkan
pula saat anak berusia 9 bulan, sumber
asupan zat besi selain ASI perlu diberikan
kepada anak.22
Setelah dilakukan uji korelasi pada
data penelitian ini, didapatkan bahwa tidak
terdapat korelasi yang bermakna antara
asupan zat besi dengan indikator tinggi
badan terhadap usia (p=0,964). Analisis
data lebih lanjut yang mencari korelasi
antara asupan zat besi kurang (<9 mg/hari)
dengan angka kejadian stunting (persentil
indikator tinggi badan terhadap usia < 5)
juga menunjukkan tidak ada hubungan
yang bermakna (p=0,719).
Tidak adanya hubungan bermakna
antara asupan zat besi dan indikator tinggi
badan terhadap usia (TB/U) sesuai dengan
penelitian lain yang menunjukkan bahwa
suplementasi zat besi tidak menunjukkan
perbedaan bermakna antara pertumbuhan
anak dengan indikator tinggi badan
terhadap usia (TB/U) pada anak yang
mendapatkan suplementasi zat besi dan
tidak mendapatkan suplementasi. Pada
penelitian tersebut didapatkan bahwa
perbedaan pada indikator tinggi badan
terhadap usia pada kelompok anak yang
mendapatkan suplementasi zat besi dan
yang tidak mendatkan suplementasi
disebabkan oleh pertambahan usia selama
pengamatan (p<0,001). Penelitian lain juga
mendukung hal tersebut yaitu suplementasi
zat besi selama satu tahun tidak
memberikan efek pada pertumbuhan linier
anak. Penelitian tahun 2001 juga
menunjukkan bahwa suplementasi zat besi
tidak berpengaruh terhadap indikator TB/U
dan pertumbuhan linier anak.24,25,26
Terdapat 9 penelitian yang
menunjukkan korelasi antara asupan zat
besi dan indikator tinggi badan terhadap
usia (TB/U). Pada 3 penelitian tersebut,
subjek merupakan anak dengan anemia
kekurangan zat besi, dan suplementasi zat
besi menunjukkan hubungan positif
dengan pertubumbuhan linier anak. Dua
Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014
16
penelitian lainnnya menggunakan anak
pada daerah dengan prevalensi anemia
kekurangan zat besi yang tinggi (>50%)
sebagai subjek, hasil dari kedua penelitian
ini adalah ditemukan respon pertumbuhan
linier yang signifikan setelah pemberian
suplementasi zat besi. Keempat penelitian
sisanya menunjukkan bahwa suplementasi
zat besi pada anak tanpa anemia tidak
memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap pertumbuhan anak.27
Berdasarkan hasil penelitian ini dan
penelitian lain yang serupa, dapat
disimpulkan bahwa asupan zat besi pada
anak sehat (nonanemis) tidak memiliki
hubungan yang signifikan dengan indikator
tinggi badan terhadap usia (TB/U). Namun
pada penelitian ini perlu juga diingat
bahwa stunting merupakan suatu kondisi
yang terjadi secara kronis bahkan sejak
dalam kandungan dan juga banyak faktor
yang dapat mempengaruhi atau
menyebabkannya atau
multifaktorial.24,25,26,27
Selama dalam kandungan, kondisi
maternal dapat menjadi faktor risiko
terjadinya stunting. Kondisi maternal yang
dimaksud adalah defisiensi nutrisi, jarak
antar melahirkan, stunted, dan merokok).
Kondisi-kondisi tersebut dapat
menyebabkan berat badan lahir rendah
(BBLR) yang juga merupakan faktor risiko
untuk terjadinya stunting pada anak.
Kondisi maternal seperti disebutkan diatas
dapat menyebabkan BBLR yang bersama
dengan defisiensi malnutrisi maternal
dapat menganggu fungsi sistem imunitas
anak. Terganggunya fungsi sistem
imunitas anak kemudian akan
meningkatkan risiko infeksi berulang dan
kondisi kesehatan lainnya pada anak yang
juga merupakan faktor risiko terjadinya
stunting. Kebiasan maternal juga dapat
menjadi faktor risiko terjadinya stunting.
Kebiasan maternal yang dimaksud adalah
kujungan prenatal, antenatal care, dan pola
pemberian ASI.28,29
Pada daerah rural, anak dengan
BBLR memiliki kemungkinan mengalami
stunting pada 6 bulan pertama kehidupan
sebesar 4x lipat dibandingankan dengan
anak dengan berat badan lahir normal.
Kemungkinan ini akan meningkat menjadi
hampir 8x lipat pada daerah urban. Baik
pada daerah rural maupun urban, BBLR
akan meningkatkan kemungkinan stunting
pada 12 bulan pertama kehidupan hingga
2x lipat dibandingkan anak dengan berat
badan lahir normal.29
Kondisi medis pada anak yang
paling sering menjadi faktor risiko
terjadinya stunting di daerah rural adalah
diare dan infeksi saluran nafas berat pada
dua minggu pertama kehidupan. Faktor
risiko lainnya yang dapat menyebabkan
stunting pada anak antara lain
sosioekonomi keluarga yang buruk, tingkat
Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014
17
pendidikan orang tua yang rendah, dan
asupan zat gizi yang tidak adekuat.29
Asupan zat besi bersama dengan
zinc dan vitamin A memiliki hubungan
paling kuat dengan pertumbuhan anak bila
dibandingkan dengan calory intake dan
asupan makronutrien serta mikronutrien
lainnya.12,27
Pada penelitian ini didapatkan
bahwa tidak terdapat korelasi yang
bermakna antara asupan zat besi dan
indikator tinggi badan terhadap usia
(TB/U) walaupun secara proporsional
didapatkan lebih banyak subjek penelitian
dengan persentil indikator tinggi badan
terhadap usia yang normal pada kelompok
subjek dengan angka kecukupan zat besi
harian yang cukup. Hasil ini dapat
dianalisa lebih lanjut karena terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi
korelasi yang telah disebutkan
sebelumnya. Hal yang pertama adalah
subjek penelitian ini adalah anak yang
sehat dan telah dilakukan skrining
mengenai status anemia pada subjek,
sehingga seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya efek asupan zat besi akan
menunjukkan korelasi bermakna dengan
pertumbuhan anak hanya pada anak yang
mengalami anemia dan tidak pada anak
yang nonanemis. Hal yang kedua adalah
penggunaan kuesioner semikuantitatif FFQ
sebagai alat pengambilan data pada
penelitian primer. Food frequency
questionnaire (FFQ) memiliki beberapa
keterbatasan karena hanya mendapatkan
pola asupan zat besi dalam jangka waktu
yang tidak panjang. Selain itu, dapat pula
terjadi recall bias yang dapat
mempengaruhi data asupan zat besi harian
subjek penelitian. Keterbatasan ini
menyebabkan tidak didapatkannya
gambaran umum jangka panjang mengenai
pola asupan zat besi subjek penelitian,
karena seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa proses terjadinya
stunting dimulai bahkan sejak di dalam
kandungan.
Kesimpulan
Sebaran subjek berdasarkan
karakteristik sosiodemografi adalah
median usia 6,1 tahun dengan usia termuda
5,0 tahun dan usia tertua 6,9 tahun. Subjek
berjeniskelamin perempuan (54,3%) lebih
banyak bila dibandingkan dengan subjek
berjeniskelamin laki-laki (45,7%). Hampir
60% subjek penelitian berasal dari
keluarga dengan pendapatan keluarga
kurang dari Rp. 1.920.000,- atau dibawah
upah minimum regional (UMR) daerah
DKI Jakarta.
Sebaran subjek berdasarkan
karakteristik indikator tinggi badan
terhadap usia (TB/U) adalah rata-rata
tinggi badan 111,2 ± 6,4 cm, median
persentil indikator tinggi badan terhadap
usia (TB/U) subjek penelitian ini adalah
Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014
18
16,5, dengan persentil terendah adalah 1
dan persentil tertinggi adalah 93. Sebanyak
20% subjek penilitian memiliki persentil
indikator tinggi badan terhadap usia
(TB/U) <5 atau tergolong dalam kategori
stunted.
Sebaran subjek berdasarkan
karakteristik asupan zat besi adalah median
asupan zat besi harian adalah 9,6 mg
dengan asupan terendah adalah sebesar 2,2
mg dan asupan tertinggi sebesar 46,5 mg.
Sebanyak 45,7% subjek penelitian
memiliki asupan zat besi yang tidak
memenuhi asupan zat besi harian
berdasarkan AKG 2012 yaitu 9 mg/hari
atau tergolong dalam asupan zat besi
kurang.
Tidak terdapat korelasi bermakna
antara asupan zat besi dan indikator tinggi
badan terhadap usia (TB/U) pada subjek
penelitian ini (p=0,964) dan tidak terdapat
hubungan bermakna antara kecukupan
asupan zat besi dan status gizi berdasarkan
indikator tinggi badan terhadap usia
(TB/U) (p=0,719).
Saran
Setelah dilakukan penelitian ini,
didapatkan beberapa hal penting dan perlu
diperhatikan serta dikaji lebih lanjut. Hal
pertama adalah perlunya dilakukan edukasi
kepada masyarakat mengenai stunting
sebagai suatu kondisi yang bersifat kronis
dan multifaktorial serta komplikasi
stunting agar prevalensi stunting di
Indonesia dapat berkurang dan siklus
stunting dapat diputus. Selain itu juga
perlu dilakukan edukasi mengenai dampak
dari defisiensi zat besi kepada masyarakat
agar dampak tersebut dapat dicegah
sebelum gangguan perkembangan kognitif
dan perilaku terjadi pada anak. Penelitian
dengan topik yang sama perlu dilakukan,
namun dengan menggunakan modalitas
pengambilan data yang dapat
menggambarkan pola asupan zat besi
jangka panjang secara akurat sehingga
diharapkan dapat diperoleh gambaran
korelasi yang lebih tepat.
Daftar Referensi
1. Onis ME, Blossner M. WHO
global database on child growth
and malnutrition. WHO: Geneva;
1997.
2. Renyoet BS, Hadju V, Rochimiwati
SN. Hubungan pola asuh dengan
kejadian stunting anak usia 6-23
bulan di wilayah pesisir kecamatan
Tallo kota Makassar. 2013.
3. UNICEF-WHO-The World Bank
joint child malnutrition estimates
[Internet]. Levels and Trends in
Child Malnutrition; 2012 [cited
2014 May 8]. Available from:
Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014
19
http://www.who.int/entity/nutgrowt
hdb/jme_unicef_who_wb.pdf
4. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI. Laporan
nasional riset kesehatan dasar tahun
2007. Jakarta: 2008. p.37.
5. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI. Laporan
nasional riset kesehatan dasar tahun
2010. Jakarta: 2010. p.18.
6. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI. Laporan
nasional riset kesehatan dasar tahun
2013. Jakarta: 2013. p.212-7.
7. The David and Lucile Packard
Foundation. Children and poverty.
The Future of Children. 1997
Summer/Fall;7(2):
8. Muller O, Krawinkel M.
Malnutrition and health in
developing countries. CMAJ. 2005
August;173(3):279-86.
9. Angeles IT, Schultink Wj,
Matulessi P, Gross R,
Sastroamidjojo S. Decreased rate of
stunting among anemic Indonesian
preschool children through iron
supplementation. Am J Clin Nutr.
1993;58:339-42.
10. Lawless JW, Latham MC,
Stephenson LS, Kinoti SN, Pertet
AM. Iron supplementation
improves appetite and growth in
anemic Kenyan primary school
children. J Nutr. 1994;124:645-54.
11. Rahman MM, Akramuzzaman SM,
Mitra AK, Fuchs GJ, Mahalanabis
D. Long-term supplementation with
iron does not enhance growth in
malnourished Bangladeshi
children.J Nutr. 1999;129:1319-22.
12. Mahan LK, Stump SE, Raymond
JL. Krause’s food and the nutrition
care process. 13th
ed. USA:
Elsevier Inc.; 2012.
13. Kartono D, Hardinsyah, Jahari AB,
Sulaeman A, Soekatri M. Angka
kecukupan gizi Indonesia 2012.
Pokja AKG: 2012.
14. Badan Pusat Statistik. Profil
kesehatan provinsi DKI Jakarta
tahun 2012. Jakarta; 2012.
15. Badan Pusat Statistik.
Perkembangan beberapa indikator
utama sosial-ekonomi Indonesia.
Jakarta; 2013.
16. Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan Kementerian Keuangan
Republik Indonesia. Tinjauan
ekonomi dan keuangan daerah
provinsi DKI Jakarta. Jakarta;
2012.
17. Peraturan Gubernur Provinsi DKI
Jakarta Nomor 196 Tahun 2010.
Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014
20
Upah minimum provinsi tahun
2011. Jakarta; 2010.
18. UNICEF. Tracking Progress on
Child and Maternal Nutrition: a
survival development priority. New
York: 2010.
19. Branca F, Ferrari M. Impact of
micronutrient deficiencies on
growth: the stunting syndrome.
Ann Nutr Metab 2002; 46(suppl 1):
8-17.
20. Dewey KG, Begum K. Long-term
consequences of stunting in early
life. Maternal and Child Nutrition
2011; 7(suppl 3): 5-18.
21. Boner RS. Micronutrients.
Pediatric and Child Health 2013;
23(8): 333-5.
22. Booth IW, Aukett MA. Iron
deficiency anemia in infancy and
early childhood. Archives of
Disease in Childhood 1997;
76(549): 549-54.
23. Beard JL. Why iron deficiency is
important in infant development.
J.Nutr 2008; 138: 2534-6.
24. Thu BD, Schultink W, Dillon D,
Gross R, Leswara ND, Khoi HH.
Effect of daily and weekly
micronutrient supplementation on
micronutrient deficiencies and
growth in young vietnameses
children. Am J Clin Nutr 1999; 69:
80-6.
25. Lind T, Lonnerdal B, Stenlund H,
Gamayanti IL, Ismail D,
Seswandhana R, et al. A
community-based randomized
controlled trial of iron and zinc
supplementation in indonesian
infant: Effect of Growth and
Development. Am J Clin Nutr
2004; 80: 729-36.
26. Rosado JL. Separate and joint
effects of micronutrient
deficiencies on linear growth. J.
Nutr 1999; 129: 531-3.
27. Rivera JA, Hotz C, Cossio TG,
Nuefeld L, Guerra AG. The effect
of micronutrient deficiencies on
child growth: a review of result
from community-based
supplementation trials. J. Nutr
2003; 133: 4010-20.
28. Lewit EM, Kerrebrock N.
Population-based growth stunting.
Children and Poverty 1997; 7(2):
151-2.
29. Ricci JA, Becker S. Risk factors for
wasting and stunting among
children in Metro Cebu,
Philippines. Am J Clin Nutr
1996;63(6): 966.
Korelasi antara..., Andi Rama Sulaiman, FK UI, 2014