Upload
rujak-rcus
View
236
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Buku tentang transportasi dan pencemaran udara
Citation preview
Kota di Persimpangan Jalan: Pedoman Perancangan Strategi
Pengendalian Emisi dari Sektor Transportasi Jalan di Kawasan
Perkotaan
Diterbitkan oleh:
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH), 2009
ISBN 978-602-8358-23-1
Isi dan materi yang ada dalam buku ini dapat direproduksi dan disebarluaskan den-
gan tidak mengurangi isi dan arti dari dokumen ini. Diperbolehkan untuk mengutip isi
buku ini dengan menyebutkan sumbernya.
Pengarah : Mohd. Gempur Adnan
Penanggung Jawab : Ade Palguna Ruteka
Penyusun : M. Didin Khaerudin
Fitri Harwati
John H.P. Tambun Mulia
Dian Sugiarti
Tri Indriastuti
Shanty M.F. Syahril
Harya Setyaka Dillon
Editor : Armely Meiviana
Shanty M.F. Syahril
Fitri Harwati
Desain dan Tata Letak : www.hope-plus.com
Kota di persimpangan jalan i
Pengantar
Saat ini sekitar setengah dari penduduk Indonesia tinggal di kawasan perkotaan.
Kombinasi tingginya konsentrasi dan aktivitas penduduk di kawasan perkotaan
tersebut berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara akibat emisi
dari aktivitas sektor transportasi jalan. Hal ini diakibatkan pemenuhan kebutuhan
pergerakan warga kota masih bertumpu pada kendaraan bermotor pribadi.
Di sisi lain, kenyataan memperlihatkan populasi sepeda motor dan mobil pribadi di
Indonesia meningkat begitu pesat. Kemacetan juga kian kerap teramati di berbagai
kota metropolitan dan kota besar. Ini berarti kota sudah semakin tergantung pada
kendaraan bermotor pribadi dan cepat atau lambat ancaman pencemaran udara
akan di depan mata. Beberapa kota metropolitan bahkan sudah pernah mengalami
hari-hari dengan udara tidak sehat.
Oleh karena itu untuk mendukung seluruh kota di Indonesia dalam menghadapi
persoalan pencemaran udara tersebut maka Kementerian Negara Lingkungan Hidup
(KNLH) menerbitkan buku “Kota di Persimpangan Jalan: Pedoman Perancangan
Strategi Pengendalian Emisi dari Sektor Transportasi Jalan di Kawasan
Perkotaan”. Lebih jauh buku ini diharapkan dapat membantu Pemerintah Kota untuk
berperan lebih strategis dalam program pengendalian pencemaran udara yang telah
dikenal secara nasional dengan nama Program Langit Biru sejak tahun 1996.
Bila sebelumnya peran Pemerintah Kota dalam Program Langit Biru lebih dititik
beratkan sebagai pelaksana kebijakan, maka kini sejalan dengan semangat otonomi
daerah, Pemerintah Kota juga diharapkan berperan aktif sebagai perancang
strategi pengendalian bagi kotanya masing-masing. Tentu diharapkan lahir
strategi pengendalian yang efektif, menyentuh akar persoalan serta sesuai dengan
karakteristik dan potensi lokal.
ii Kota di persimpangan Jalan
Buku ini disusun dengan sistematika sedemikian rupa agar dapat memberikan
pemahaman yang umum tapi menyeluruh bagi segenap jajaran Pemerintah Kota,
tidak terbatas pada instansi lingkungan, tapi juga instansi perencana pembangunan
dan sektoral. Bahkan buku ini diharapkan dapat bermanfaat pula bagi masyarakat
guna berpartisipasi mewujudkan udara bersih.
Buku ini menjelaskan mulai dari hal yang paling mendasar yakni proses terjadinya
pencemaran udara pada Bab 1, serta faktor-faktor yang mempengaruhi besar
kecilnya emisi dari sektor transportasi pada Bab 2. Hingga prinsip dan elemen
strategi pengendalian pada Bab 3 dan Bab 4. Pada Bab 5 disajikan pula ringkasan
peraturan perundang-undangan yang terkait.
Pemahaman menyeluruh ini diharapkan dapat membangkitkan kesadaran Pemerintah
Kota untuk bersinergi menyusun strategi pengendalian emisi sektor transportasi
jalan dengan melibatkan masyarakat. Nantinya dalam proses perumusan strategi,
Pemerintah Kota disarankan untuk menggali informasi lebih mendalam dari beragam
pustaka lainnya maupun para narasumber ahli.
Akhir kata, saya mengundang Saudara sekalian untuk melakukan uji coba sederhana
di kota masing-masing. Cobalah berjalan kaki di kota Saudara, cukup sekitar 15
menit saja. Apakah Saudara merasa keselamatan terancam atau terintimidasi oleh
kendaraan bermotor yang lalu lalang? Apakah Saudara merasa sesak saat bernafas?
Apakah Saudara masih menemukan taman untuk beristirahat atau justru semua
ruang kosong bahkan hingga trotoar dan sisi jalan sudah digunakan untuk parkir
kendaraan bermotor?
Bagaimana jawabannya?
Bila Saudara merasa aman dan nyaman, maka bayangkan apakah 5 atau 10 tahun
mendatang Saudara masih akan merasakan hal yang sama?
Kota di persimpangan jalan iii
Sementara bila Saudara merasa tidak aman dan tidak nyaman, maka itu pertanda
awal bahwa sesuatu perlu dilakukan untuk mengendalikan kendaraan bermotor di
kota Saudara, karena sejatinya pembangunan kota ditujukan untuk kebahagiaan
manusianya dan bukan untuk mengakomodasi pertumbuhan kendaraan bermotor.
Jakarta, November 2009
Mohd. Gempur Adnan
Deputi MENLH Bidang Pengendalian
Pencemaran Lingkungan
iv Kota di persimpangan Jalan
Ucapan Terima Kasih
Kementerian Negara Lingkungan Hidup ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada para pakar dan segenap pemangku kepentingan berikut
yang telah berpartisipasi dan memberi masukan konstruktif dalam tiga forum
konsultasi yang diselenggarakan terkait dengan penyusunan buku ini.
Jakarta (9 Juli 2008) - Cecep Aminudin, Dollaris R. Suhadi, Ellen Tangkudung, Endra
Atmawidjaya, F. Trisbiantara, Marco Kusumawijaya, Mia Amalia, Sudarmanto B.N,
Tory Damantoro, Yayat Supriyatna, Wicaksono Sarosa.
Semarang (28-29 Agustus 2008) - Agus SMT, Brigida M., Budi, Cipto, Endang Pratiwi,
Harsoyo, Nurweni, Riri Fs.Indarlin, Sriwurni, Sujoko, WT. Nurindah, Yuni Hastut
(Bapedalda Kota); Lilin Budiarti, M. Farcha (Bappeda Kota); Busono W (BLH Provinsi);
Tuti Ekawati (Dinkes Kota); Imam Sukoco (Dishub Kota); Budi SR (Distaman Kota);
Hartono (DPKD kota); Rosid Hudoyo (DPU Kota); M. Sulistyowati (Infokom); Nuraeni
(Polwiltabes Kota); Catur Hadik S. (Patiro Semarang); Anita Ratnasari, Maryono, Okto
R.M, Indro Sumantri, Haryono S. Hodoyo (Universitas Diponegoro); Djoko Sutiyono
(UNIKA Soegiyopranoto); Sodang (Cakra TV); Herpin (Kompas); Adit (Radar Sema-
rang); Kowari (Sindo); Ariel (SMART FM); Anhar (Suara Merdeka) ; Restu (TVKU);
Berkah Wahyudi.
Surakarta (25-26 November 2008) – Triyanto (Bappeda Kota); Daliman (BLK);
Sutikno S. (DKK); Ari Wibowo, Judoyo (DLLAJ Kota); Saryanto (DPU Kota); Taviana
(DTK); Rusdan Aziz (Kecamatan Banjarsari); Dwi Apriliana S. (Kecamatan Jebres);
Haryati (Kecamatan Laweyan); Siswanto (Kecamatan Pasar Kliwon); Lukito, Diyah R.
(Kecamatan Serengan); Bambang W., Boni, Desi Elita, Edy S., M. Ndandung Kusumo,
Sultan N., Supono (KLH Surakarta); Choirul S. (YLIH); Pranoto, Syarif H.M. (PPLH
UNS); Suyatno (PT. KA. Solo); Novita Razak (Pusreg. Jawa); Djoko Sutiyono (Unika
Soegiyopranoto); J. Pramono; Suci Budiati.
Kota di persimpangan jalan v
Daftar Isi
Pengantar i
Ucapan Terima Kasih iv
Daftar Isi v
Daftar Gambar, Tabel, dan Kotak viii
Daftar Istilah xi
1. Apa yang menjadi persoalan? 1
1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara? 3
1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar 6
1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan 8
1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat 10
1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian 15
1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara 18
2. Apa penyebab persoalan 23
2.1 Emisi per km kendaraan bermotor masih tinggi 26
A. Kualitas bahan bakar 26
B. Tingkat teknologi kendaraan bermotor 28
C. Perawatan dan pengujian emisi kendaraan bermotor 30
D. Kecepatan kendaraan bermotor 32
E. Perilaku mengemudi 34
2.2 Panjang perjalanan kendaraan bermotor terus meningkat 35
A. Urbanisasi 35
B. Jarak asal-tujuan 39
C. Tingkat aktivitas penduduk 42
D. Pilihan moda transportasi 42
3. Bagaimana mengendalikannya? 47
3.1 Pengendalian sebagai proses pembuatan keputusan menuju perbaikan 48
A. Pengendalian: proses berkesinambungan menuju perbaikan 50
vi Kota di persimpangan Jalan
B. Dasar pembuatan keputusan 54
C. Aktor pembuat keputusan 54
3.2 Lima prinsip dasar menyusun strategi pengendalian 58
A. Prinsip ke-1: membangun sinergi antar instansi pemerintah 61
B. Prinsip ke-2: melibatkan masyarakat 62
C. Prinsip ke-3: membangun visi bersama 64
D. Prinsip ke-4: menentukan target pengendalian 66
E. Prinsip ke-5: merumuskan strategi pengendalian yang menyentuh akar
persoalan dan mempertimbangkan karakteristik kota 68
4. Strategi pengendalian 73
4.1 Elemen ke-1: bahan bakar yang lebih bersih 77
4.2 Elemen ke-2: teknologi kendaraan bermotor yang lebih bersih 78
4.3 Elemen ke-3: pengujian dan perawatan emisi kendaraan bermotor 80
4.4 Elemen ke-4: manajemen kebutuhan transportasi 83
A. Penataan ruang berorientasi transit 87
B. Peningkatan kualitas pelayanan angkutan umum berorientasi transit 92
C. Revitalisasi fasilitas pejalan kaki dan kendaraan tidak bermotor 94
D. Pembatasan penggunaan kendaraan bermotor pribadi 95
E. Fasilitas parkir dan melaju (park and ride) 97
F. Contoh penerapan manajemen kebutuhan transportasi di beberapa kota 97
5. Tinjauan hukum 105
5.1 Undang-undang Dasar 1945 107
5.2 Perundang-undangan lingkungan 108
A. UU No. 32/2009: Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 108
B. PP No. 41/1999: Pengendalian Pencemaran Udara 109
5.3 Perundang-undangan perencanaan pembangunan dan sektoral 113
A. UU No. 5/1984: Perindustrian 113
B. UU No. 22/2001: Minyak dan Gas Bumi 114
C. UU No. 25/2004: Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional 114
Kota di persimpangan jalan vii
D. UU No. 26/2007: Penataan Ruang 115
E. UU No. 22/2009: Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 116
5.4 Perundang-undangan pemerintahan daerah 117
Daftar Acuan 121
Rekomendasi Situs Terkait 125
viii Kota di persimpangan Jalan
Daftar Gambar, Tabel, dan Kotak
Gambar
Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara 2
Gambar 1.2: Proses terjadinya pencemaran udara 4
Gambar 1.3: Urbanisasi di Indonesia (1975-2025) 9
Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor 12
Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007 13
Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan 14
Gambar 1.7: Berbagai dampak akibat peningkatan jumlah kendaraan bermotor 19
Gambar 2.1: Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya beban pencemar dari
emisi gas buang kendaraan bermotor 25
Gambar 2.2: Perbandingan antara standar spesifikasi bensin dan solar yang berlaku
dengan yang dibutuhkan 27
Gambar 2.3: Perkembangan penurunan ambang batas emisi gas buang yang berlaku
di Negara Uni Eropa 29
Gambar 2.4: Tingkat kelulusan uji emisi gas buang mobil pribadi di jalan
tahun 2007 32
Gambar 2.5: Perilaku mengemudi yang agresif 34
Gambar 2.6: Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan moda transportasi 36
Gambar 2.7: Jumlah penduduk 10 kota terbesar di Indonesia tahun 2004 37
Gambar 2.8: Perbandingan suburbanisasi antara Jabodetabek dengan
kota-kota lain 40
Gambar 2.9: Perkembangan jumlah penduduk di DKI Jakarta dan Jabodetabek
tahun 1971-2000 41
Gambar 2.10: Perbandingan emisi CO2 antar moda transportasi 43
Gambar 2.11: Perbandingan kebutuhan ruang antar moda transportasi 44
Gambar 3.1: Pengendalian ketinggian muka air dalam bak 49
Gambar 3.2: Siklus pengendalian 51
Gambar 3.3: Skema proses pembuatan keputusan dalam pengendalian 54
Gambar 3.4: Aliran informasi antara pemerintah dan masyarakat 63
Gambar 3.5: Tata aliran kegiatan untuk menentukan target pengendalian 67
Gambar 4.1: Elemen pengendalian emisi sektor transportasi jalan 74
Kota di persimpangan jalan ix
Gambar 4.2: Konsep manajemen kebutuhan transportasi dan beberapa
contohnya 86
Gambar 4.3: Perbandingan pola penataan ruang 87
Gambar 4.4: Konsep kota bebas kendaraan bermotor pribadi 91
Gambar 4.5: Transjakarta mendapat prioritas, sehingga tidak ikut terjebak dalam
kemacetan 98
Gambar 4.6: Hari Bebas Kendaraan Bermotor di ruas Jl. Sudirman 99
Gambar 4.7: Peluncuran Sego Segawe di Yogyakarta dihadiri ribuan pesepeda 100
Gambar 4.8: Transjogja menghubungkan pusat kota, bandara dan obyek wisata 100
Gambar 4.9: Jalur lambat khusus untuk sepeda dan pejalan kaki
di Jl. Slamet Riyadi 101
Gambar 4.10: Pusat kota di Eropa yang sebagian besar bebas kendaraan
bermotor pribadi 102
Gambar 4.11: Jalur khusus pejalan kaki dan pesepeda di Bogota 103
Gambar 4.12: Fasilitas parkir sepeda di Bogota 104
Gambar 5.1: Target pencapaian indikator SPM pengendalian pencemaran
udara 120
Tabel
Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008 8
Tabel 2.1: Hasil pemantauan kualitas bensin dan solar di Indonesia
tahun 2005-2008 28
Tabel 2.2: Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama berdasarkan
PermenLH No. 5/2006 31
Tabel 2.3: Kinerja lalu lintas di 12 kota tahun 2007 33
Tabel 2.4: Sebaran penduduk kota di Indonesia 37
Tabel 3.1: Indikator evaluasi perkembangan potensi emisi sektor
transportasi jalan 69
Tabel 4.1: Alternatif sistem uji emisi gas buang kendaraan bermotor lama 82
Tabel 5.1: Pembagian urusan pemerintahan subsubbidang pengelolaan kualitas
udara dan pengendalian pencemaran udara 118
x Kota di persimpangan Jalan
Kotak
Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia 6
Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor 11
Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan bermotor 16
Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan pencemaran udara 21
Kotak 3.1: Tahapan perumusan kebijakan 52
Kotak 3.2: Stakeholder pengendalian emisi dari sektor transportasi jalan 56
Kotak 3.3: Hukum alam terkait dengan pengendalian pencemaran udara 59
Kotak 3.4: Tata pemerintahan yang baik (good governance) 60
Kotak 3.5: Peran instansi lingkungan 62
Kotak 4.1: Jaime Lerner, inovator pembangunan kota berkelanjutan 75
Kotak 4.2: Hirarki pengguna jalan 84
Kotak 4.3: Seoul, tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai
perubahan 88
Kotak 4.4: Sistem angkutan umum massal 93
Kotak 5.1: Peraturan perundang-undangan terkait dengan pengendalian
pencemaran udara 106
Kotak 5.2: Program Langit Biru 111
Kota di persimpangan jalan xi
Daftar Istilah
Ambang batas emisi gas buang adalah batas kadar maksimum dan/atau beban emisimaksimum yang dihasilkan dari pipa gas buang kendaraan motor yang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien.
Baku Mutu Udara Ambien atau BMUA adalah ukuran batas atau kadar zat yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien.
BAPPEDA singkatan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BAPPENAS singkatan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BBG singkatan dari Bahan Bakar Gas
BBM singkatan dari Bahan Bakar Minyak
Beban pencemar adalah zat yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai potensi mencemari udara ambien dalam suatu satuan waktu.
BRT singkatan dari Bus Rapid Transit, yakni angkutan umum massal berbasis bus yang beroperasi pada bidang jalan dengan jalur khusus dan prioritas.
CBD singkatan dari Central Business District atau pusat bisnis kota
CO adalah karbon monoksida
CO2 adalah karbon dioksida
Daya dukung udara ambien adalah kemampuan udara ambien untuk mendukungperikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
Daya tampung udara ambien adalah kemampuan udara ambien untuk mengaturkeseimbangan zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya sehingga daya dukung udara ambien tidak terlampaui.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepadaGubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu (UU No. 32/2004, pasal 1).
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepadadaerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No. 32/2004, pasal 1).
xii Kota di persimpangan Jalan
Emisi adalah zat yang masuk ke dalam udara bebas yang mempunyai potensi sebagai unsur pencemar.
ESDM singkatan dari Energi dan Sumber Daya Mineral
HC singkatan dari Hidrokarbon.
Hujan asam adalah hujan yang dianggap bersifat asam, menurut World MeteorologyOrganization (WMO) adalah jika rata-rata pH air hujan lebih rendah dari 5,6.
Instansi lingkungan adalah instansi yang bertanggungjawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan/atau pengendalian dampak lingkungan.
ISPU atau Indeks Standar Pencemar Udara adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu, yang didasarkan pada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya.
Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan atau transmisi tipe baru yang siap diproduksi dan akan dipasarkan, atau kendaraan bermotor yang sudah beroperasi di jalan tetapi akan diproduksi dengan perubahan desain mesin dan atau sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh (completely built-up) tetapi belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia.
Kendaraan bermotor lama adalah kendaraan bermotor yang sudah diproduksi, dirakit atau diimpor dan sudah beroperasi di wilayah Republik Indonesia.
Kepmen LH singkatan dari Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Keppres singkatan dari Keputusan Presiden.
KLH singkatan dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup
LRT singkatan dari Light Rapid Transit, yakni angkutan umum massal denganmenggunakan rel ringan atau biasa dikenal dengan monorel.
Manajemen Kebutuhan Transportasi atau Transport Demand Management adalahpendekatan untuk melayani kebutuhan transportasi dengan merekayasa agarkebutuhan transportasi tidak melebihi sumber daya yang dapat mendukungnya baik dari aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan.
MENLH singkatan dari Menteri Negara Lingkungan Hidup
Kota di persimpangan jalan xiii
Model dispersi adalah metodologi atau teknik numerikal yang dikembangkan atas dasar-dasar hukum fisika untuk memperkirakan penyebaran konsentrasi pencemar udara dalam waktu dan ruang sebagai fungsi dari distribusi emisi dan parameter meteorologi serta keadaan geofisik. Model ini berguna bagi para pengambil keputusan dalam pengendalian pencemaran udara, perencanaan transportasi dan perencanaan tata ruang.
MRT singkatan dari Mass Rapid Transit atau angkutan umum massal
NOx atau oksida nitrogen yang dapat berbentuk NO dan NO2, adalah gas yangmenyebabkan gangguan pernafasan dalam kadar tinggi, terjadi akibatpembakaran pada kendaraan bermotor dan juga mesin berbagai industri.
O3 adalah ozon permukaan.
Pemerintah adalah termasuk di dalamnya eksekutif, legislatif dan yudikatif merupakan suatu organisasi yang dipercaya secara sah, untuk mengemban tugasmengendalikan dan mengatur tindakan masyarakat sehingga kesejahteraan kolektif masyarakat dapat dipromosikan sedangkan hak-hak istimewa individu tetap dilindungi.
Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya (PP No. 41/1999, pasal 1).
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum (UU No. 32/2009 Pasal 1).
Pengendalian adalah pengawasan atas kemajuan (tugas) dengan membandingkan hasil dan sasaran secara teratur serta menyesuaikan usaha (kegiatan) dengan hasil pengawasan.
Perangkat hukum adalah instrumen kebijakan, baik yang berbentuk hukum, peraturan maupun petunjuk.
Permen LH singkatan dari Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
PM10 adalah partikel yang berukuran 10 mikron atau lebih kecil.
PP singkatan dari Peraturan Pemerintah
Renstra singkatan dari Rencana Strategis
xiv Kota di persimpangan Jalan
RPJM singkatan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah
SO2 atau sulfur dioksida adalah gas berbau yang dapat menyebabkan iritasi pernafasan terjadi akibat pembakaran batubara, bahan bakar minyak dan bahan bakar fosil lainnya yang mengandung sulfur. Selain itu dapat juga berasal dari sumber alami seperti gunung berapi.
Stakeholders adalah para pihak yang memiliki ketertarikan atau kepentingan terhadap suatu keputusan, baik sebagai individu maupun perwakilan suatu kelompok, termasuk pihak yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan tersebut.
Status Mutu Udara Ambien atau SMUA adalah keadaan mutu udara di suatu tempat pada saat dilakukan inventarisasi.
Toksik adalah pencemar udara yang dapat menyebabkan kematian, gangguan kesehatan dan kerusakan janin pada makhluk hidup.
Total Suspended Particulates atau TSP adalah konsentrasi debu.
Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfer yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya (PP No. 41/1999, pasal 1).
Urbanisasi adalah persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan.
UU singkatan dari Undang-undang
Wewenang pemerintahan adalah hak atau kekuasaan yang sah berdasarkan kaidah-kaidah hukum publik untuk melakukan perbuatan pemerintahan dan menjalankan fungsifungsi jabatan dan/atau organ pemerintah dalam upaya penyelenggaraan pencapaian tujuan negara (Warlan, 2004).
WHO singkatan dari World Health Organization
Kota di persimpangan jalan 1
Persoalan?1. Apa yang Menjadi
entunya kita semua sepakat bahwa udara yang bersih dan sehat sangatlah
dibutuhkan oleh setiap manusia dalam beraktivitas. Namun saat beraktivitas,
manusia justru melepaskan berbagai emisi atau zat yang berpotensi
untuk mencemari udara. Misalnya, saat menggunakan kendaraan bermotor,
memasak, menggunakan listrik, menghisap rokok, membakar sampah, dan lain
sebagainya. Bahkan setiap barang yang digunakan maupun dikonsumsi manusia
juga menghasilkan emisi pada saat proses produksi maupun distribusinya. Alhasil,
berbagai emisi yang terus menerus dilepaskan ke udara berpotensi menyebabkan
terjadinya pencemaran udara.
1
2 Apa yang menjadi persoalan?
Pencemaran udara berarti menurunnya kualitas udara sampai ke ambang yang
berdampak merugikan terhadap perikehidupan manusia maupun makhluk lainnya.
Manusia yang menghirup udara yang tercemar beresiko mengalami gangguan
kesehatan. Hal tersebut akan menghambat aktivitasnya, sehingga pendapatannya
menurun. Di samping itu sebagian pendapatan juga terpaksa dialokasikan untuk berobat.
Lebih jauh, daya tarik daerah yang udaranya tercemar terhadap investor maupun
pendatang akan berkurang, sehingga kemudian secara perlahan-lahan aktivitas ekonomi
di kawasan tersebut dapat menjadi stagnan atau bahkan menurun.
Sesuai fungsinya sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, maka di kawasan perkotaan
di Indonesia terjadi pemusatan penduduk dan aktivitasnya. Hal ini menyebabkan
kemungkinan terjadinya pencemaran udara di kawasan tersebut sangat besar. Salah satu
aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah
transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut
terus dipenuhi dengan kendaraan bermotor.
Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber
pencemar utama di kawasan perkotaan adalah
transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan
penduduk di kawasan tersebut terus menggunakan
kendaraan bermotor.
Jumlah kendaraan meningkatAktivitas manusia Emisi meningkat
Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara
Kota di persimpangan jalan 3
Pada Bab 1 ini akan diawali dengan paparan singkat mengenai proses terjadinya
pencemaran udara dan hasil pemantauan kualitas udara beberapa kota di Indonesia
yang telah memperlihatkan indikasi terjadinya pencemaran udara. Selanjutnya
dipaparkan tren distribusi penduduk di Indonesia yang memperlihatkan prosentase
penduduk kawasan perkotaan yang terus meningkat, yang diikuti dengan
peningkatan tren penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan yang juga
turut meningkat.
Kemudian dipaparkan pula mengenai kerugian akibat penggunaan kendaraan
bermotor yang tidak terkendali. Lalu Bab 1 ditutup dengan paparan mengenai
keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pencemaran udara. Uraian pada Bab 1
ini diharapkan dapat membuka mata semua pihak terkait mengenai resiko terjadinya
pencemaran udara dan dampaknya apabila pembangunan kawasan perkotaan di
Indonesia tidak mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor secara tepat.
1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara?
Sebelum kita membahas mengenai pencemaran udara, ada baiknya kita memahami
terlebih dahulu mengenai proses terjadinya pencemaran udara itu sendiri.
Dampak Pencemaran Udara :
. gangguan kesehatan
. pemanasan global
. kerugian ekonomi
Aktivitas manusia terganggu
4 Apa yang menjadi persoalan?
Gam
bar 1
.2 P
rose
s te
rjadi
nya
penc
emar
an u
dara
Kota di persimpangan jalan 5
Gambar 1.2 menunjukkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang mengeluarkan zat,
partikel atau emisi (polutan) ke udara, saat digunakan untuk menunjang aktivitas manusia.
Sebagian dari polutan yang dilepas ke udara tersebut dapat dilihat sebagai asap, tapi ada
pula yang tidak kasatmata. Dan ada pula polutan yang baru terbentuk akibat reaksi kimia
beberapa jenis polutan di udara, seperti oksidan fotokimia (O3).
Oleh angin, polutan kemudian disebarkan ke berbagai arah tergantung pada kecepatan dan
arah angin, sehingga konsentrasi polutan terencerkan. Namun perlu dicatat bahwa angin
tidak menghilangkan polutan dari atmosfer secara permanen, seringkali yang terjadi justru
pemindahan polutan dari lokasi sumber ke daerah tetangganya.
Untuk kota seperti Bandung yang berbentuk seperti mangkok, maka polutan yang tertiup
angin tetap terperangkap di dalam kawasan tersebut, karena adanya jajaran pegunungan
yang menghadang lajunya angin. Oleh karena itu, letak geografi dan bentuk topografi sebuah
kota juga memengaruhi tingkat pencemaran udara di kawasan tersebut.
Selain mengalami pengenceran, secara alamiah beberapa jenis polutan dapat hilang dari
udara karena diserap oleh tanaman, terbawa ke bumi oleh pengaruh gravitasi (deposisi
kering) atau terbawa oleh air hujan (deposisi basah).
Keberadaan seluruh mekanisme alamiah ini berfungsi mengatur keseimbangan kadar
polutan agar udara senantiasa dalam kondisi yang bersih dan sehat. Walaupun demikian
kemampuan mekanisme alamiah ini tetap ada batasnya. Apabila emisi dari aktivitas manusia
terus meningkat, akumulasi polutan yang diemisikan ke udara bebas menjadi lebih besar
daripada kemampuan mekanisme alamiah tersebut. Maka akibatnya konsentrasi polutan di
udara akan meningkat atau dengan kata lain kualitas udara menurun.
Bila penurunan kualitas terus terjadi hingga sampai ke tingkat tertentu, yang
berdampak pada menurunnya kemampuan udara untuk memenuhi fungsinya dalam
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, maka terjadilah
pencemaran udara.
6 Apa yang menjadi persoalan?
Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia
Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia yang tergabung dalam
Jaringan Pemantauan Kualitas Udara Ambien disampaikan secara terbuka
kepada masyarakat dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).
Jaringan ini dikelola oleh KNLH bersama dengan pemerintah daerah
setempat.
ISPU ditetapkan berdasarkan hasil perbandingan antara data hasil
pemantauan lima parameter utama pencemar udara - karbon monoksida
(CO), nitrogen oksida (NO2), ozon permukaan (O3), partikel berdiameter
lebih kecil dari 10 mikrometer (PM10), dan sulfur dioksida (SO2) terhadap
Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN).
Kualitas udara di Indonesia dalam bentuk ISPU dari tahun 2002 s.d.2005
ditampilkan pada tabel di bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruhnya
pernah mengalami hari tidak sehat atau bahkan lebih buruk. Artinya udara di
lima kota tersebut tercemar.
Dampak pencemaran udara terhadap kualitas hidup manusia, dapat terjadi secara
langsung berupa gangguan terhadap kesehatan manusia, maupun secara tidak
langsung berupa gangguan terhadap ekosistem pendukung kehidupan manusia,
seperti menurunnya ketahanan pangan akibat hujan asam dan kerugian ekonomi.
1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar
Sekarang mari kita simak data pada Kotak 1.1. Data yang merangkum
hasil pemantauan kualitas udara di lima kota terbesar di Indonesia dari tahun 2002-
2005 menunjukkan telah terjadinya pencemaran udara di seluruh kota tersebut.
Fakta tersebut diperkuat dengan data hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di
beberapa kota di Indonesia yang ditampilkan dalam Tabel 1.1.
Kota di persimpangan jalan 7
Kategori Medan Jakarta Bandung Semarang Surabaya
2002
Baik 55 22 62 179 44
Sedang 266 223 241 124 266
Tidak Sehat 22 95 4 4 11
Sangat tidak sehat 0 4 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 22 21 58 58 44
2003
Baik 128 18 76 82 49
Sedang 208 223 176 226 208
Tidak Sehat 0 67 11 1 2
Sangat Tidak Sehat 0 0 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 29 57 102 56 106
2004
Baik 135 18 64 60 74
Sedang 148 264 54 239 132
Tidak sehat 6 12 0 0 6
Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 79 71 247 66 153
2005
Baik 24 29 40 229 21
Sedang 0 270 14 83 175
Tidak sehat 0 18 0 0 0
Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 341 48 311 53 165
Tabel indeks kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia
(tahun 2002 – 2005)
Parameter kritis dominan penyebab pencemaran udara pada kota-kota
yang dipantau di atas selama tahun 2002 adalah PM10, kecuali untuk
DKI Jakarta adalah ozon permukaan (O3) (Rachmatunissa dan Hidayat,
2003). O3 adalah pencemar udara yang terbentuk sebagai produk reaksi
atmosferik antara NOx dengan hidrokarbon (HC) yang dipicu sinar
matahari (Soedomo, 2001). Baik NOx maupun HC merupakan pencemar
udara yang banyak dihasilkan oleh aktivitas transportasi.
Sumber: Rachmatunissa dan Hidayat (2003), KNLH (2004), KNLH (2005), dan KNLH (2006a).
8 Apa yang menjadi persoalan?
Data di atas merupakan sinyal bahwa akumulasi polutan yang diemisikan oleh aktivitas
di kota-kota besar tersebut telah melampaui kemampuan mekanisme alamiah yang
berfungsi menjaga agar udara tetap dalam keadaan yang bersih dan sehat. Tapi tingkat
pencemaran di masing-masing kota bervariasi, tergantung pada banyaknya polutan
yang diemisikan ke udara dan kemampuan mekanisme alamiah di kawasan tersebut.
Keduanya sangat ditentukan oleh karakteristik masing-masing kota seperti faktor
demografi, ekonomi dan geografi.
1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan
Jika melihat rumusan di atas, maka jumlah penduduk dan tingkat penggunaan kendaraan
bermotor merupakan dua faktor penting untuk melihat seberapa besar potensi
pencemaran yang mungkin terjadi di suatu kawasan perkotaan akibat aktivitas
transportasi. Semakin besar jumlah penduduk dan/atau tingkat aktivitasnya, maka potensi
pencemaran yang mungkin terjadi juga akan semakin besar.
Keterangan :
Tidak tercemar (tidak melampaui Baku Mutu Udara Ambien)
Tercemar (melampaui Baku Mutu Udara Ambien)
Data tidak lengkap
Tidak diukur pada tahun 2007
Sumber: KNLH (2008a), KNLH (2009)
Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008
No Kota
CO HC NO2 SO2 PM10 TSP O3
2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2007 2007
1 Medan
2 Palembang x x x x x x x
3 Jakarta Utara
4 Jakarta Timur
5Jakarta Selatan
6 Jakarta Barat
7 Jakarta Pusat
8 Bekasi x x x x x x x
9 Depok x x x x x x x
10 Tangerang x x x x x x x
11 Bandung
12 Yogyakarta
13 Semarang
14 Surabaya o
15 Denpasar o
16 Makassar o o
Kota di persimpangan jalan 9
Oleh karena itu, sebelum kita mengamati tingkat penggunaan kendaraan bermotor di
kawasan perkotaan Indonesia, mari pada Subbab 1.3 ini kita perhatikan pola distribusi
penduduk Indonesia. Gambar 1.3 memperlihatkan peningkatan prosentase penduduk
Indonesia yang bermukim di kawasan perkotaan (urbanisasi) dari waktu ke waktu.
Aktivitas yang berpotensi menggunakan kendaraan bemotor
Potensi pencemaran udara di suatu kawasan
Jumlah pendudukTa
hun
Sumber : UN (2008) dan Bappenas dkk (2005)
Urbanisasi (%)
Bila pada tahun 1970 hanya sekitar 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang
bermukim di perkotaan, maka pada tahun 2005 meningkat hingga 48 persen (UN, 2008).
Diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan
perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Kenyataan ini menunjukkan sedang berlangsungnya
transisi demografi di Indonesia dari masyarakat perdesaan menjadi masyarakat
perkotaan.
Gambar 1.3 : Urbanisasi di Indonesia (1975-2025)
0 � 10� 20� 30� 40� 50� 60 � 70 � 80 � 90 � 100
2025
2020
2015
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
10 Apa yang menjadi persoalan?
Sesuai dengan rumusan di atas, maka meningkatnya jumlah penduduk di kawasan
perkotaan tentunya berdampak pada meningkatnya potensi pencemaran udara di
kawasan tersebut. Apalagi mengingat tingkat aktivitas penduduk perkotaan yang relatif
lebih tinggi dibanding dengan kawasan perdesaan. Maka tak heran bila kualitas udara di
kota-kota metropolitan Indonesia terus memburuk, sebagaimana yang banyak juga terjadi
pada kota-kota lain di dunia.
1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat
Salah satu aktivitas yang berpotensi sebagai sumber pencemar utama di kawasan
perkotaan adalah transportasi. Padahal transportasi merupakan aspek penting yang
mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan. Sesuai fungsinya, di kawasan
perkotaan terjadi pertukaran barang, keahlian, ide, budaya, spiritual dan lainnya, yang
semuanya memunculkan kebutuhan pergerakan. Berpindahnya orang atau barang dari
satu tempat ke tempat lain untuk mencapai suatu tujuan tersebut yang didefinisikan
sebagai transportasi (Morlok, 1978).
Transportasi dapat dilakukan dengan beragam cara (moda), mulai dari berjalan kaki,
naik sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya, sepeda motor, mobil pribadi, taksi
atau angkutan umum. Transportasi dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat
mencemari udara bebas dengan emisi gas buangnya seperti dijelaskan pada Kotak
1.2. Tapi justru moda transportasi ini yang semakin banyak digunakan di kawasan
perkotaan.
Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan tercermin
dari pemandangan antrian panjang kendaraan bermotor yang semakin sering
dijumpai. Tidak hanya di kota metropolitan, kemacetan juga terjadi di beberapa kota
besar di Indonesia. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tersebut, seperti
diilustrasikan pada Gambar 1.4, sudah pasti berdampak pada peningkatan
kebutuhan ruas jalan dan penurunan kualitas udara.
Data statistik yang ditampilkan pada Gambar 1.5 menunjukkan jumlah kendaraan
bermotor di Indonesia bertambah secara eksponensial. Dalam 20 tahun terakhir, total
Kota di persimpangan jalan 11
Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor
Proses pembakaran bahan bakar yang menggerakan mesin kendaraan
bermotor menghasilkan gas buang yang mengandung pencemar karbon
monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon
(HC), dan partikulat (PM) (Soedomo, 2001). Lebih lanjut reaksi oksida
nitrogen dan hidrokarbon yang diinisiasi sinar matahari berpotensi
menghasilkan oksidan fotokimia (O3).
Sementara bila bahan bakar yang digunakan mengandung zat aditif seperti
timbel, maka zat tersebut dapat ditemui pula di dalam gas buangnya.
Bahkan pada saat pembakaran terjadi secara sempurna sekalipun,
kendaraan bermotor masih mengemisikan karbon dioksida (CO2) yang
berpotensi mengakibatkan pemanasan global.
Perlu digarisbawahi bawah tidak seluruh emisi gas buang kendaraan
bermotor tersebut dapat terlihat (kasatmata). Walaupun tidak kasat mata,
emisi gas buang tersebut tetap sangat berbahaya bagi kesehatan.
Gambar emisi gas buang yang tidak selalu kasat mata
12 Apa yang menjadi persoalan?
Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor
jumlah kendaraan bermotor menjadi hampir enam kali lipat. Laju pertumbuhannya
lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia. Pertumbuhan paling cepat
terjadi untuk kategori sepeda motor dan mobil. Secara rata-rata tingkat kepemilikan
sepeda motor kendaraan bermotor meningkat dari sekitar 34 sepeda motor
per 1000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 130 pada tahun 2005. Sementara
mobil meningkat dari sekitar 7 menjadi 25 unit per 1000 penduduk.
Persoalan pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang berdampak pada
kemacetan panjang, biasanya diatasi secara parsial, yaitu dengan penambahan atau
pelebaran jalan. Padahal solusi pembangunan jalan yang dilakukan di kota mana pun
tidak pernah berhasil karena hanya akan mengatasi kemacetan sesaat. Sebaliknya,
justru akan semakin memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Solusi seperti
ini sama seperti mengatasi kegemukan dengan membuat baju yang berukuran lebih
besar.
2Kendaraan bermotor pribadi
terus bertambah
1Kendaraan bermotor pribadi masih dalam jumlah terbatas
3Sudah tergantung pada
kendaraan bermotor pribadi
Kota di persimpangan jalan 13
Bis Truk Mobil Sepeda Motor
Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor
ternyata lebih cepat daripada laju pertambahan
jumlah penduduk di Indonesia.
Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007
Sumber: BPS (2006) dan Christiono (2008)
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Jum
lah
(juta
uni
t)
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
14 Apa yang menjadi persoalan?
Solusi pembangunan jalan tidak pernah berhasil
mengatasi kemacetan, sebaliknya justru akan memicu
pertambahan jumlah kendaraan bermotor.
Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan
Penyebaran penduduk Indonesia yang terpusat di kawasan perkotaan akan
mendorong perilaku yang sama terhadap penyebaran kendaraan bermotor. Apalagi
tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan bisa jadi lebih tinggi
daripada rata-rata nasional. Hal ini selain karena didorong kebutuhan pergerakan
tiap orang yang relatif lebih tinggi, juga dipengaruhi tingkat pendapatan penduduk.
Sumbangan sektor-sektor yang menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 70 persen (BPS, 2006).
Oleh karena itu tingkat pendapatan penduduk perkotaan relatif lebih tinggi dari
rata-rata nasional.
Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor juga tercermin dari pemakaian
bahan bakar minyak (BBM) oleh sektor transportasi juga turut meningkat.
Peningkatan total pemakaian BBM sektor transportasi mencapai lebih dari dua kali
lipat dalam kurun waktu tahun 1990-2005 (ESDM, 2007). Lebih dari 80% pemakaian
BBM sektor transportasi tersebut digunakan oleh transportasi darat. Pemakaian BBM
Kota di persimpangan jalan 15
oleh sektor transportasi paling dominan dibandingkan dengan sektor lainnya (industri,
rumah tangga dan listrik). Proporsinya bahkan meningkat, bila pada tahun 1990
masih pada kisaran 45% pemakaian BBM nasional, maka pada tahun 2007 mencapai
56% (Christiono, 2008).
1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian
Tiap jenis emisi pada asap kendaraan bermotor yang terakumulasi di udara ambien
dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia sebagaimana yang dirangkum
dalam Kotak 1.3. Memang sebagian besar dampak tersebut tidak langsung terdeteksi
pada saat manusia menghirup zat pencemar udara. Selain itu, tidak seluruh jenis
pencemar udara kasat mata seperti yang telah dijelaskan pada Kotak 1.2. Akibatnya
bahaya emisi gas buang kendaraan bermotor seringkali terabaikan.
Dampak emisi gas buang kendaraan bermotor tidak langsung terdeteksi
akibat adanya dua selang waktu (delay), yaitu:
(i) zat pencemar masih harus terakumulasi dulu sampai akhirnya melampaui
daya tampung udara di sekitar.
(ii) ada pula selang waktu antara saat individu menghirup zat pencemar hingga
ditemui adanya dampak kesehatan.
Lamanya delay ini bervariasi, mulai dari gangguan pernafasan yang dapat terjadi
dalam hitungan menit dan jam, hingga bisa puluhan tahun sampai seseorang
terdiagnosa menderita kanker.
Studi World Bank memperkirakan kerugian ekonomi akibat pencemaran udara di
Jakarta pada tahun 1989 sebesar Rp 500 milyar yang diperhitungkan dari 1.200
kematian prematur, 464 ribu penyakit asma dan 32 juta gangguan saluran pernafasan
(Shah dan Nagpal, 1997). Sementara studi ADB (Syahril dkk, 2002) memperkirakan
kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh beberapa jenis
pencemar (SO2, NO2 dan PM10) pada tahun 1998 di Jakarta mencapai sebesar
Rp 1,78 trilyun. Bila dicermati jumlah kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada tahun
1998 di atas setara dengan satu persen PDRB DKI Jakarta atau sama dengan total
penerimaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun tersebut.
16 Apa yang menjadi persoalan?
Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan
bermotor
Karbon monoksida (CO) yang terhirup memiliki kemampuan untuk
berikatan dengan hemoglobin (Hb), pigmen sel darah merah yang
mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan
karboksihemoglobin yang 200 kali lebih stabil dibandingkan ikatan Hb
dengan oksigen (oksihemoglobin). Akibatnya fungsi Hb yang membawa
oksigen ke seluruh tubuh terganggu. Kondisi seperti ini bisa berakibat
serius, bahkan fatal, karena bisa sampai menyebabkan kematian.
Hidrokarbon (HC) di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan
akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hydrocarbon
(PAH). Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan
merangsang terbentuknya sel-sel kanker.
Oksida nitrogen (NOx) seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia.
Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO.
Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2
yang bersifat racun terutama terhadap paru. Pemajanan NO2 dengan kadar
5 ppm selama 10 menit mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.
Sulfur dioksida (SO2) menimbulkan iritasi pada sistem penafasan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada
kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih. Bahkan pada beberapa individu yang
sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang
berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang
mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu
dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan
SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah.
Ozon (O3) pada kadar 0,3 ppm mulai menyebabkan terjadinya iritasi pada
hidung dan tenggorokan. Kontak dengan ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm
Kota di persimpangan jalan 17
selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing
dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon
berkadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan gejala
pembengkakan paru (edema pulmonari).
Partikulat (debu) berpengaruh terhadap kesehatan, tergantung pada
ukurannya. Partikulat yang berbahaya berukuran antara 0,1-10 mikron.
Pada umumnya partikulat berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung
masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sementara yang
lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian
atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan dapat menjadi lebih parah bila
terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang terdapat di udara juga.
Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin
akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus
pandang mata (visibility).
Timbel (Pb) yang berikatan dengan partikulat di udara berbahaya bagi
kesehatan. Logam tersebut dapat terhirup dan bersifat akumulatif. Pb dapat
bereaksi dengan senyawa dalam protein yang menyebabkan pengendapan
protein dan menghambat pembuatan hemoglobin. Gejala keracunan kronis
bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala,
anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan penglihatan.
Sumber: Kompilasi dari Depkes (2007)
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran udara di Jakarta tahun 1998 = total penerimaan Pemda DKI Jakarta tahun 1998.
Selain itu, saat terjadi pencemaran udara maka ekosistem pendukung kehidupan
manusia akan terganggu. Seperti tingginya konsentrasi SO2 dan NOx di udara dapat
terbawa ke bumi oleh air hujan (deposisi basah) dan mengakibatkan air hujan bersifat
18 Apa yang menjadi persoalan?
asam (Soedomo, 2001). Apabila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 maka hujan bersifat
asam dan dapat mengikis bangunan/gedung karena bersifat korosif serta merusak
kehidupan biota di badan air (sungai/danau).
Perlu digarisbawahi bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak hanya
berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara, tapi juga menyebabkan
banyak efek negatif lainnya. Antara lain, kemacetan di berbagai ruas jalan,
meroketnya permintaan BBM, berkurangnya ruang terbuka hijau akibat alih fungsi
untuk jalan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas (Barter dan Raad, 2000).
Penggunaan kendaraan bermotor sejatinya
ditujukan untuk menunjang berbagai kegiatan
perekonomian di sebuah kota. Namun pada
akhirnya justru berbalik memberikan kerugian
ekonomi yang sangat signifikan bagi kota tersebut.
Jika hanya dilihat dari sisi kemacetan saja, menurut Tamin (2008), kerugian akibat
kemacetan di ruas jalan Metropolitan Bandung setiap harinya mencapai Rp. 1,78
milyar. Sementara Studi SITRAMP 2 pada tahun 2004 melaporkan kerugian ekonomi
yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 5,5 trilyun
per tahun akibat bertambah panjangnya waktu tempuh dan meningkatnya biaya
operasional kendaraan (Bappenas dan JICA, 2004).
Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah strategi agar penggunaan kendaraan bermotor
dalam menunjang aktivitas manusia dan perekonomian tidak kemudian berbalik
memberikan dampak kesehatan serta kerugian ekonomi.
1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara
Otonomi daerah yang kini diatur dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah, telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah di Indonesia untuk secara
mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya (Warlan, 2004).
World Bank (2003) memproyeksikan kawasan perkotaan di Indonesia akan menjadi
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Kombinasi antara pertumbuhan
Kota di persimpangan jalan 19
Gam
bar
1.7
Ber
bag
ai d
amp
ak a
kib
at p
enin
gka
tan
jum
lah
kend
araa
n b
erm
oto
r
20 Apa yang menjadi persoalan?
ekonomi di kawasan perkotaan dan meningkatnya urbanisasi akan melahirkan
kebutuhan transportasi yang luar biasa. Bila hal ini tidak diantisipasi maka kota-kota
di Indonesia tidak akan dapat terhindar dari persoalan pencemaran udara.
Tidakkah ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk secara mandiri
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya di era otonomi daerah,
justru berbalik menyengsarakan masyarakatnya karena persoalan pencemaran udara
yang ditimbulkannya?
Sungguh ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya, justru berbalik menyengsarakan masyarakat karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya.
Bisa jadi Anda termasuk yang beranggapan bahwa pencemaran udara tidak perlu
dikhawatirkan karena merupakan trade-off dari pertambahan pendapatan yang
diperoleh. Nantinya persoalan tersebut akan mereda dengan sendirinya sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pola yang dialami oleh negara maju.
Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi? Pola hubungan antara
meningkatnya pendapatan per kapita dengan konsentrasi pencemar udara di negara
maju memang mengikuti bentuk kurva U terbalik (environmental kuznet curve)
seperti yang diuraikan lebih lanjut pada Kotak 1.4. Membaiknya kualitas udara
tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi sehingga memungkinkan negara
yang bersangkutan mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan kebijakan
pengendalian pencemaran udara yang efektif.
Tapi faktanya, beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang
saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat
perkembangan ekonomi yang sama (Marcotullio dkk, 2005). Artinya kualitas udara
ambien di negara berkembang memburuk dalam waktu yang lebih singkat daripada
yang dialami negara maju. Sebagai konsekuensinya maka negara berkembang harus
menghadapi persoalan pencemaran udara pada kondisi tingkat perkembangan ekonomi
yang masih lebih rendah daripada negara maju saat mengalami persoalan serupa.
Kota di persimpangan jalan 21
Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan
pencemaran udara
Pencemaran udara terjadi apabila konsentrasi pencemar di udara ambien
melebihi panduan kualitas udara ambien (ambient air quality guidelines) WHO
yang ditandai dengan garis tebal pada gambar di bawah. Terlihat bahwa
seiring dengan berkembangnya industri di negara maju, tingkat perkembangan
ekonomi meningkat, tapi pencemaran udara mulai menjadi persoalan. Maka
untuk mengatasi persoalan tersebut, dimulailah tahap pengendalian emisi
pencemar. Sekalipun demikian, kualitas udara tetap terus memburuk untuk
beberapa saat, sampai akhirnya memasuki tahap stabilisasi dan terjadi
perbaikan. Akhirnya kualitas udara dapat memenuhi panduan WHO setelah
diberlakukannya kebijakan padat teknologi.
Fakta menunjukkan bahwa beban pencemaran per kapita
yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih
besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami
tingkat perkembangan ekonomi yang sama.
Gambar kurva lingkungan Kuznet
Sumber: Peters dan Murray (2004)
Ting
kat p
ence
mar
an u
dara
Tahap 0Mulai industrialisasi
Tahap 1Mulai pengendalian
Tahap 2Kualitas udara stabil
Tahap 3Perbaikan kualitas udara
Tahap 4implementasiteknologi bersih
RendahTingkat pembangunan
Tinggi
Panduan kualitas udara ambien WHO
Selang waktu (delay) antara dimulainya upaya pengendalian emisi pencemar
hingga kualitas udara membaik terjadi karena:
(i) adanya pentahapan dalam melaksanakan suatu kebijakan dan
(ii) udara yang tercemar memerlukan waktu untuk memulihkan dirinya.
22 Apa yang menjadi persoalan?
Pada saat suatu kebijakan diumumkan, maka tidak langsung saat itu juga
terbentuk kondisi yang diinginkan. Misalnya pada saat diumumkan kewajiban
uji emisi, maka tidak serta merta esok harinya seluruh penduduk yang memiliki
kendaraan bermotor menguji emisi kendaraannya. Cepat atau lambatnya
kondisi yang diinginkan tercapai mencerminkan komitmen pemerintah dalam
melaksanakan suatu kebijakan.
Oleh karena itu keterbatasan dana yang tersedia merupakan tantangan yang harus
disiasati oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Semakin lama ditunda maka bisa
jadi besarnya dana yang diperlukan untuk melakukan intervensi menjadi sedemikian
besar sehingga tak terjangkau lagi. Belum lagi keberadaan umpan-balik dari dampak
pencemaran udara yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi
karena gangguan kesehatan dan kerugian material yang ditimbulkannya. Kota-kota di
Indonesia mau tak mau harus berpacu dengan waktu dan berinovasi untuk meyiasati
keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengendalikan pencemaran udara.
Kota di persimpangan jalan 1
Persoalan?1. Apa yang Menjadi
entunya kita semua sepakat bahwa udara yang bersih dan sehat sangatlah
dibutuhkan oleh setiap manusia dalam beraktivitas. Namun saat beraktivitas,
manusia justru melepaskan berbagai emisi atau zat yang berpotensi
untuk mencemari udara. Misalnya, saat menggunakan kendaraan bermotor,
memasak, menggunakan listrik, menghisap rokok, membakar sampah, dan lain
sebagainya. Bahkan setiap barang yang digunakan maupun dikonsumsi manusia
juga menghasilkan emisi pada saat proses produksi maupun distribusinya. Alhasil,
berbagai emisi yang terus menerus dilepaskan ke udara berpotensi menyebabkan
terjadinya pencemaran udara.
1
2 Apa yang menjadi persoalan?
Pencemaran udara berarti menurunnya kualitas udara sampai ke ambang yang
berdampak merugikan terhadap perikehidupan manusia maupun makhluk lainnya.
Manusia yang menghirup udara yang tercemar beresiko mengalami gangguan
kesehatan. Hal tersebut akan menghambat aktivitasnya, sehingga pendapatannya
menurun. Di samping itu sebagian pendapatan juga terpaksa dialokasikan untuk berobat.
Lebih jauh, daya tarik daerah yang udaranya tercemar terhadap investor maupun
pendatang akan berkurang, sehingga kemudian secara perlahan-lahan aktivitas ekonomi
di kawasan tersebut dapat menjadi stagnan atau bahkan menurun.
Sesuai fungsinya sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, maka di kawasan perkotaan
di Indonesia terjadi pemusatan penduduk dan aktivitasnya. Hal ini menyebabkan
kemungkinan terjadinya pencemaran udara di kawasan tersebut sangat besar. Salah satu
aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah
transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut
terus dipenuhi dengan kendaraan bermotor.
Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber
pencemar utama di kawasan perkotaan adalah
transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan
penduduk di kawasan tersebut terus menggunakan
kendaraan bermotor.
Jumlah kendaraan meningkatAktivitas manusia Emisi meningkat
Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara
Kota di persimpangan jalan 3
Pada Bab 1 ini akan diawali dengan paparan singkat mengenai proses terjadinya
pencemaran udara dan hasil pemantauan kualitas udara beberapa kota di Indonesia
yang telah memperlihatkan indikasi terjadinya pencemaran udara. Selanjutnya
dipaparkan tren distribusi penduduk di Indonesia yang memperlihatkan prosentase
penduduk kawasan perkotaan yang terus meningkat, yang diikuti dengan
peningkatan tren penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan yang juga
turut meningkat.
Kemudian dipaparkan pula mengenai kerugian akibat penggunaan kendaraan
bermotor yang tidak terkendali. Lalu Bab 1 ditutup dengan paparan mengenai
keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pencemaran udara. Uraian pada Bab 1
ini diharapkan dapat membuka mata semua pihak terkait mengenai resiko terjadinya
pencemaran udara dan dampaknya apabila pembangunan kawasan perkotaan di
Indonesia tidak mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor secara tepat.
1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara?
Sebelum kita membahas mengenai pencemaran udara, ada baiknya kita memahami
terlebih dahulu mengenai proses terjadinya pencemaran udara itu sendiri.
Dampak Pencemaran Udara :
. gangguan kesehatan
. pemanasan global
. kerugian ekonomi
Aktivitas manusia terganggu
4 Apa yang menjadi persoalan?
Gam
bar 1
.2 P
rose
s te
rjadi
nya
penc
emar
an u
dara
Kota di persimpangan jalan 5
Gambar 1.2 menunjukkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang mengeluarkan zat,
partikel atau emisi (polutan) ke udara, saat digunakan untuk menunjang aktivitas manusia.
Sebagian dari polutan yang dilepas ke udara tersebut dapat dilihat sebagai asap, tapi ada
pula yang tidak kasatmata. Dan ada pula polutan yang baru terbentuk akibat reaksi kimia
beberapa jenis polutan di udara, seperti oksidan fotokimia (O3).
Oleh angin, polutan kemudian disebarkan ke berbagai arah tergantung pada kecepatan dan
arah angin, sehingga konsentrasi polutan terencerkan. Namun perlu dicatat bahwa angin
tidak menghilangkan polutan dari atmosfer secara permanen, seringkali yang terjadi justru
pemindahan polutan dari lokasi sumber ke daerah tetangganya.
Untuk kota seperti Bandung yang berbentuk seperti mangkok, maka polutan yang tertiup
angin tetap terperangkap di dalam kawasan tersebut, karena adanya jajaran pegunungan
yang menghadang lajunya angin. Oleh karena itu, letak geografi dan bentuk topografi sebuah
kota juga memengaruhi tingkat pencemaran udara di kawasan tersebut.
Selain mengalami pengenceran, secara alamiah beberapa jenis polutan dapat hilang dari
udara karena diserap oleh tanaman, terbawa ke bumi oleh pengaruh gravitasi (deposisi
kering) atau terbawa oleh air hujan (deposisi basah).
Keberadaan seluruh mekanisme alamiah ini berfungsi mengatur keseimbangan kadar
polutan agar udara senantiasa dalam kondisi yang bersih dan sehat. Walaupun demikian
kemampuan mekanisme alamiah ini tetap ada batasnya. Apabila emisi dari aktivitas manusia
terus meningkat, akumulasi polutan yang diemisikan ke udara bebas menjadi lebih besar
daripada kemampuan mekanisme alamiah tersebut. Maka akibatnya konsentrasi polutan di
udara akan meningkat atau dengan kata lain kualitas udara menurun.
Bila penurunan kualitas terus terjadi hingga sampai ke tingkat tertentu, yang
berdampak pada menurunnya kemampuan udara untuk memenuhi fungsinya dalam
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, maka terjadilah
pencemaran udara.
6 Apa yang menjadi persoalan?
Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia
Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia yang tergabung dalam
Jaringan Pemantauan Kualitas Udara Ambien disampaikan secara terbuka
kepada masyarakat dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).
Jaringan ini dikelola oleh KNLH bersama dengan pemerintah daerah
setempat.
ISPU ditetapkan berdasarkan hasil perbandingan antara data hasil
pemantauan lima parameter utama pencemar udara - karbon monoksida
(CO), nitrogen oksida (NO2), ozon permukaan (O3), partikel berdiameter
lebih kecil dari 10 mikrometer (PM10), dan sulfur dioksida (SO2) terhadap
Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN).
Kualitas udara di Indonesia dalam bentuk ISPU dari tahun 2002 s.d.2005
ditampilkan pada tabel di bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruhnya
pernah mengalami hari tidak sehat atau bahkan lebih buruk. Artinya udara di
lima kota tersebut tercemar.
Dampak pencemaran udara terhadap kualitas hidup manusia, dapat terjadi secara
langsung berupa gangguan terhadap kesehatan manusia, maupun secara tidak
langsung berupa gangguan terhadap ekosistem pendukung kehidupan manusia,
seperti menurunnya ketahanan pangan akibat hujan asam dan kerugian ekonomi.
1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar
Sekarang mari kita simak data pada Kotak 1.1. Data yang merangkum
hasil pemantauan kualitas udara di lima kota terbesar di Indonesia dari tahun 2002-
2005 menunjukkan telah terjadinya pencemaran udara di seluruh kota tersebut.
Fakta tersebut diperkuat dengan data hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di
beberapa kota di Indonesia yang ditampilkan dalam Tabel 1.1.
Kota di persimpangan jalan 7
Kategori Medan Jakarta Bandung Semarang Surabaya
2002
Baik 55 22 62 179 44
Sedang 266 223 241 124 266
Tidak Sehat 22 95 4 4 11
Sangat tidak sehat 0 4 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 22 21 58 58 44
2003
Baik 128 18 76 82 49
Sedang 208 223 176 226 208
Tidak Sehat 0 67 11 1 2
Sangat Tidak Sehat 0 0 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 29 57 102 56 106
2004
Baik 135 18 64 60 74
Sedang 148 264 54 239 132
Tidak sehat 6 12 0 0 6
Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 79 71 247 66 153
2005
Baik 24 29 40 229 21
Sedang 0 270 14 83 175
Tidak sehat 0 18 0 0 0
Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 341 48 311 53 165
Tabel indeks kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia
(tahun 2002 – 2005)
Parameter kritis dominan penyebab pencemaran udara pada kota-kota
yang dipantau di atas selama tahun 2002 adalah PM10, kecuali untuk
DKI Jakarta adalah ozon permukaan (O3) (Rachmatunissa dan Hidayat,
2003). O3 adalah pencemar udara yang terbentuk sebagai produk reaksi
atmosferik antara NOx dengan hidrokarbon (HC) yang dipicu sinar
matahari (Soedomo, 2001). Baik NOx maupun HC merupakan pencemar
udara yang banyak dihasilkan oleh aktivitas transportasi.
Sumber: Rachmatunissa dan Hidayat (2003), KNLH (2004), KNLH (2005), dan KNLH (2006a).
8 Apa yang menjadi persoalan?
Data di atas merupakan sinyal bahwa akumulasi polutan yang diemisikan oleh aktivitas
di kota-kota besar tersebut telah melampaui kemampuan mekanisme alamiah yang
berfungsi menjaga agar udara tetap dalam keadaan yang bersih dan sehat. Tapi tingkat
pencemaran di masing-masing kota bervariasi, tergantung pada banyaknya polutan
yang diemisikan ke udara dan kemampuan mekanisme alamiah di kawasan tersebut.
Keduanya sangat ditentukan oleh karakteristik masing-masing kota seperti faktor
demografi, ekonomi dan geografi.
1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan
Jika melihat rumusan di atas, maka jumlah penduduk dan tingkat penggunaan kendaraan
bermotor merupakan dua faktor penting untuk melihat seberapa besar potensi
pencemaran yang mungkin terjadi di suatu kawasan perkotaan akibat aktivitas
transportasi. Semakin besar jumlah penduduk dan/atau tingkat aktivitasnya, maka potensi
pencemaran yang mungkin terjadi juga akan semakin besar.
Keterangan :
Tidak tercemar (tidak melampaui Baku Mutu Udara Ambien)
Tercemar (melampaui Baku Mutu Udara Ambien)
Data tidak lengkap
Tidak diukur pada tahun 2007
Sumber: KNLH (2008a), KNLH (2009)
Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008
No Kota
CO HC NO2 SO2 PM10 TSP O3
2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2007 2007
1 Medan
2 Palembang x x x x x x x
3 Jakarta Utara
4 Jakarta Timur
5Jakarta Selatan
6 Jakarta Barat
7 Jakarta Pusat
8 Bekasi x x x x x x x
9 Depok x x x x x x x
10 Tangerang x x x x x x x
11 Bandung
12 Yogyakarta
13 Semarang
14 Surabaya o
15 Denpasar o
16 Makassar o o
Kota di persimpangan jalan 9
Oleh karena itu, sebelum kita mengamati tingkat penggunaan kendaraan bermotor di
kawasan perkotaan Indonesia, mari pada Subbab 1.3 ini kita perhatikan pola distribusi
penduduk Indonesia. Gambar 1.3 memperlihatkan peningkatan prosentase penduduk
Indonesia yang bermukim di kawasan perkotaan (urbanisasi) dari waktu ke waktu.
Aktivitas yang berpotensi menggunakan kendaraan bemotor
Potensi pencemaran udara di suatu kawasan
Jumlah pendudukTa
hun
Sumber : UN (2008) dan Bappenas dkk (2005)
Urbanisasi (%)
Bila pada tahun 1970 hanya sekitar 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang
bermukim di perkotaan, maka pada tahun 2005 meningkat hingga 48 persen (UN, 2008).
Diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan
perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Kenyataan ini menunjukkan sedang berlangsungnya
transisi demografi di Indonesia dari masyarakat perdesaan menjadi masyarakat
perkotaan.
Gambar 1.3 : Urbanisasi di Indonesia (1975-2025)
0 � 10� 20� 30� 40� 50� 60 � 70 � 80 � 90 � 100
2025
2020
2015
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
10 Apa yang menjadi persoalan?
Sesuai dengan rumusan di atas, maka meningkatnya jumlah penduduk di kawasan
perkotaan tentunya berdampak pada meningkatnya potensi pencemaran udara di
kawasan tersebut. Apalagi mengingat tingkat aktivitas penduduk perkotaan yang relatif
lebih tinggi dibanding dengan kawasan perdesaan. Maka tak heran bila kualitas udara di
kota-kota metropolitan Indonesia terus memburuk, sebagaimana yang banyak juga terjadi
pada kota-kota lain di dunia.
1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat
Salah satu aktivitas yang berpotensi sebagai sumber pencemar utama di kawasan
perkotaan adalah transportasi. Padahal transportasi merupakan aspek penting yang
mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan. Sesuai fungsinya, di kawasan
perkotaan terjadi pertukaran barang, keahlian, ide, budaya, spiritual dan lainnya, yang
semuanya memunculkan kebutuhan pergerakan. Berpindahnya orang atau barang dari
satu tempat ke tempat lain untuk mencapai suatu tujuan tersebut yang didefinisikan
sebagai transportasi (Morlok, 1978).
Transportasi dapat dilakukan dengan beragam cara (moda), mulai dari berjalan kaki,
naik sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya, sepeda motor, mobil pribadi, taksi
atau angkutan umum. Transportasi dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat
mencemari udara bebas dengan emisi gas buangnya seperti dijelaskan pada Kotak
1.2. Tapi justru moda transportasi ini yang semakin banyak digunakan di kawasan
perkotaan.
Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan tercermin
dari pemandangan antrian panjang kendaraan bermotor yang semakin sering
dijumpai. Tidak hanya di kota metropolitan, kemacetan juga terjadi di beberapa kota
besar di Indonesia. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tersebut, seperti
diilustrasikan pada Gambar 1.4, sudah pasti berdampak pada peningkatan
kebutuhan ruas jalan dan penurunan kualitas udara.
Data statistik yang ditampilkan pada Gambar 1.5 menunjukkan jumlah kendaraan
bermotor di Indonesia bertambah secara eksponensial. Dalam 20 tahun terakhir, total
Kota di persimpangan jalan 11
Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor
Proses pembakaran bahan bakar yang menggerakan mesin kendaraan
bermotor menghasilkan gas buang yang mengandung pencemar karbon
monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon
(HC), dan partikulat (PM) (Soedomo, 2001). Lebih lanjut reaksi oksida
nitrogen dan hidrokarbon yang diinisiasi sinar matahari berpotensi
menghasilkan oksidan fotokimia (O3).
Sementara bila bahan bakar yang digunakan mengandung zat aditif seperti
timbel, maka zat tersebut dapat ditemui pula di dalam gas buangnya.
Bahkan pada saat pembakaran terjadi secara sempurna sekalipun,
kendaraan bermotor masih mengemisikan karbon dioksida (CO2) yang
berpotensi mengakibatkan pemanasan global.
Perlu digarisbawahi bawah tidak seluruh emisi gas buang kendaraan
bermotor tersebut dapat terlihat (kasatmata). Walaupun tidak kasat mata,
emisi gas buang tersebut tetap sangat berbahaya bagi kesehatan.
Gambar emisi gas buang yang tidak selalu kasat mata
12 Apa yang menjadi persoalan?
Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor
jumlah kendaraan bermotor menjadi hampir enam kali lipat. Laju pertumbuhannya
lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia. Pertumbuhan paling cepat
terjadi untuk kategori sepeda motor dan mobil. Secara rata-rata tingkat kepemilikan
sepeda motor kendaraan bermotor meningkat dari sekitar 34 sepeda motor
per 1000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 130 pada tahun 2005. Sementara
mobil meningkat dari sekitar 7 menjadi 25 unit per 1000 penduduk.
Persoalan pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang berdampak pada
kemacetan panjang, biasanya diatasi secara parsial, yaitu dengan penambahan atau
pelebaran jalan. Padahal solusi pembangunan jalan yang dilakukan di kota mana pun
tidak pernah berhasil karena hanya akan mengatasi kemacetan sesaat. Sebaliknya,
justru akan semakin memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Solusi seperti
ini sama seperti mengatasi kegemukan dengan membuat baju yang berukuran lebih
besar.
2Kendaraan bermotor pribadi
terus bertambah
1Kendaraan bermotor pribadi masih dalam jumlah terbatas
3Sudah tergantung pada
kendaraan bermotor pribadi
Kota di persimpangan jalan 13
Bis Truk Mobil Sepeda Motor
Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor
ternyata lebih cepat daripada laju pertambahan
jumlah penduduk di Indonesia.
Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007
Sumber: BPS (2006) dan Christiono (2008)
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Jum
lah
(juta
uni
t)
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
14 Apa yang menjadi persoalan?
Solusi pembangunan jalan tidak pernah berhasil
mengatasi kemacetan, sebaliknya justru akan memicu
pertambahan jumlah kendaraan bermotor.
Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan
Penyebaran penduduk Indonesia yang terpusat di kawasan perkotaan akan
mendorong perilaku yang sama terhadap penyebaran kendaraan bermotor. Apalagi
tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan bisa jadi lebih tinggi
daripada rata-rata nasional. Hal ini selain karena didorong kebutuhan pergerakan
tiap orang yang relatif lebih tinggi, juga dipengaruhi tingkat pendapatan penduduk.
Sumbangan sektor-sektor yang menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 70 persen (BPS, 2006).
Oleh karena itu tingkat pendapatan penduduk perkotaan relatif lebih tinggi dari
rata-rata nasional.
Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor juga tercermin dari pemakaian
bahan bakar minyak (BBM) oleh sektor transportasi juga turut meningkat.
Peningkatan total pemakaian BBM sektor transportasi mencapai lebih dari dua kali
lipat dalam kurun waktu tahun 1990-2005 (ESDM, 2007). Lebih dari 80% pemakaian
BBM sektor transportasi tersebut digunakan oleh transportasi darat. Pemakaian BBM
Kota di persimpangan jalan 15
oleh sektor transportasi paling dominan dibandingkan dengan sektor lainnya (industri,
rumah tangga dan listrik). Proporsinya bahkan meningkat, bila pada tahun 1990
masih pada kisaran 45% pemakaian BBM nasional, maka pada tahun 2007 mencapai
56% (Christiono, 2008).
1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian
Tiap jenis emisi pada asap kendaraan bermotor yang terakumulasi di udara ambien
dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia sebagaimana yang dirangkum
dalam Kotak 1.3. Memang sebagian besar dampak tersebut tidak langsung terdeteksi
pada saat manusia menghirup zat pencemar udara. Selain itu, tidak seluruh jenis
pencemar udara kasat mata seperti yang telah dijelaskan pada Kotak 1.2. Akibatnya
bahaya emisi gas buang kendaraan bermotor seringkali terabaikan.
Dampak emisi gas buang kendaraan bermotor tidak langsung terdeteksi
akibat adanya dua selang waktu (delay), yaitu:
(i) zat pencemar masih harus terakumulasi dulu sampai akhirnya melampaui
daya tampung udara di sekitar.
(ii) ada pula selang waktu antara saat individu menghirup zat pencemar hingga
ditemui adanya dampak kesehatan.
Lamanya delay ini bervariasi, mulai dari gangguan pernafasan yang dapat terjadi
dalam hitungan menit dan jam, hingga bisa puluhan tahun sampai seseorang
terdiagnosa menderita kanker.
Studi World Bank memperkirakan kerugian ekonomi akibat pencemaran udara di
Jakarta pada tahun 1989 sebesar Rp 500 milyar yang diperhitungkan dari 1.200
kematian prematur, 464 ribu penyakit asma dan 32 juta gangguan saluran pernafasan
(Shah dan Nagpal, 1997). Sementara studi ADB (Syahril dkk, 2002) memperkirakan
kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh beberapa jenis
pencemar (SO2, NO2 dan PM10) pada tahun 1998 di Jakarta mencapai sebesar
Rp 1,78 trilyun. Bila dicermati jumlah kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada tahun
1998 di atas setara dengan satu persen PDRB DKI Jakarta atau sama dengan total
penerimaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun tersebut.
16 Apa yang menjadi persoalan?
Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan
bermotor
Karbon monoksida (CO) yang terhirup memiliki kemampuan untuk
berikatan dengan hemoglobin (Hb), pigmen sel darah merah yang
mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan
karboksihemoglobin yang 200 kali lebih stabil dibandingkan ikatan Hb
dengan oksigen (oksihemoglobin). Akibatnya fungsi Hb yang membawa
oksigen ke seluruh tubuh terganggu. Kondisi seperti ini bisa berakibat
serius, bahkan fatal, karena bisa sampai menyebabkan kematian.
Hidrokarbon (HC) di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan
akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hydrocarbon
(PAH). Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan
merangsang terbentuknya sel-sel kanker.
Oksida nitrogen (NOx) seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia.
Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO.
Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2
yang bersifat racun terutama terhadap paru. Pemajanan NO2 dengan kadar
5 ppm selama 10 menit mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.
Sulfur dioksida (SO2) menimbulkan iritasi pada sistem penafasan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada
kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih. Bahkan pada beberapa individu yang
sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang
berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang
mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu
dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan
SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah.
Ozon (O3) pada kadar 0,3 ppm mulai menyebabkan terjadinya iritasi pada
hidung dan tenggorokan. Kontak dengan ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm
Kota di persimpangan jalan 17
selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing
dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon
berkadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan gejala
pembengkakan paru (edema pulmonari).
Partikulat (debu) berpengaruh terhadap kesehatan, tergantung pada
ukurannya. Partikulat yang berbahaya berukuran antara 0,1-10 mikron.
Pada umumnya partikulat berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung
masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sementara yang
lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian
atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan dapat menjadi lebih parah bila
terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang terdapat di udara juga.
Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin
akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus
pandang mata (visibility).
Timbel (Pb) yang berikatan dengan partikulat di udara berbahaya bagi
kesehatan. Logam tersebut dapat terhirup dan bersifat akumulatif. Pb dapat
bereaksi dengan senyawa dalam protein yang menyebabkan pengendapan
protein dan menghambat pembuatan hemoglobin. Gejala keracunan kronis
bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala,
anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan penglihatan.
Sumber: Kompilasi dari Depkes (2007)
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran udara di Jakarta tahun 1998 = total penerimaan Pemda DKI Jakarta tahun 1998.
Selain itu, saat terjadi pencemaran udara maka ekosistem pendukung kehidupan
manusia akan terganggu. Seperti tingginya konsentrasi SO2 dan NOx di udara dapat
terbawa ke bumi oleh air hujan (deposisi basah) dan mengakibatkan air hujan bersifat
18 Apa yang menjadi persoalan?
asam (Soedomo, 2001). Apabila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 maka hujan bersifat
asam dan dapat mengikis bangunan/gedung karena bersifat korosif serta merusak
kehidupan biota di badan air (sungai/danau).
Perlu digarisbawahi bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak hanya
berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara, tapi juga menyebabkan
banyak efek negatif lainnya. Antara lain, kemacetan di berbagai ruas jalan,
meroketnya permintaan BBM, berkurangnya ruang terbuka hijau akibat alih fungsi
untuk jalan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas (Barter dan Raad, 2000).
Penggunaan kendaraan bermotor sejatinya
ditujukan untuk menunjang berbagai kegiatan
perekonomian di sebuah kota. Namun pada
akhirnya justru berbalik memberikan kerugian
ekonomi yang sangat signifikan bagi kota tersebut.
Jika hanya dilihat dari sisi kemacetan saja, menurut Tamin (2008), kerugian akibat
kemacetan di ruas jalan Metropolitan Bandung setiap harinya mencapai Rp. 1,78
milyar. Sementara Studi SITRAMP 2 pada tahun 2004 melaporkan kerugian ekonomi
yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 5,5 trilyun
per tahun akibat bertambah panjangnya waktu tempuh dan meningkatnya biaya
operasional kendaraan (Bappenas dan JICA, 2004).
Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah strategi agar penggunaan kendaraan bermotor
dalam menunjang aktivitas manusia dan perekonomian tidak kemudian berbalik
memberikan dampak kesehatan serta kerugian ekonomi.
1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara
Otonomi daerah yang kini diatur dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah, telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah di Indonesia untuk secara
mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya (Warlan, 2004).
World Bank (2003) memproyeksikan kawasan perkotaan di Indonesia akan menjadi
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Kombinasi antara pertumbuhan
Kota di persimpangan jalan 19
Gam
bar
1.7
Ber
bag
ai d
amp
ak a
kib
at p
enin
gka
tan
jum
lah
kend
araa
n b
erm
oto
r
20 Apa yang menjadi persoalan?
ekonomi di kawasan perkotaan dan meningkatnya urbanisasi akan melahirkan
kebutuhan transportasi yang luar biasa. Bila hal ini tidak diantisipasi maka kota-kota
di Indonesia tidak akan dapat terhindar dari persoalan pencemaran udara.
Tidakkah ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk secara mandiri
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya di era otonomi daerah,
justru berbalik menyengsarakan masyarakatnya karena persoalan pencemaran udara
yang ditimbulkannya?
Sungguh ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya, justru berbalik menyengsarakan masyarakat karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya.
Bisa jadi Anda termasuk yang beranggapan bahwa pencemaran udara tidak perlu
dikhawatirkan karena merupakan trade-off dari pertambahan pendapatan yang
diperoleh. Nantinya persoalan tersebut akan mereda dengan sendirinya sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pola yang dialami oleh negara maju.
Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi? Pola hubungan antara
meningkatnya pendapatan per kapita dengan konsentrasi pencemar udara di negara
maju memang mengikuti bentuk kurva U terbalik (environmental kuznet curve)
seperti yang diuraikan lebih lanjut pada Kotak 1.4. Membaiknya kualitas udara
tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi sehingga memungkinkan negara
yang bersangkutan mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan kebijakan
pengendalian pencemaran udara yang efektif.
Tapi faktanya, beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang
saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat
perkembangan ekonomi yang sama (Marcotullio dkk, 2005). Artinya kualitas udara
ambien di negara berkembang memburuk dalam waktu yang lebih singkat daripada
yang dialami negara maju. Sebagai konsekuensinya maka negara berkembang harus
menghadapi persoalan pencemaran udara pada kondisi tingkat perkembangan ekonomi
yang masih lebih rendah daripada negara maju saat mengalami persoalan serupa.
Kota di persimpangan jalan 21
Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan
pencemaran udara
Pencemaran udara terjadi apabila konsentrasi pencemar di udara ambien
melebihi panduan kualitas udara ambien (ambient air quality guidelines) WHO
yang ditandai dengan garis tebal pada gambar di bawah. Terlihat bahwa
seiring dengan berkembangnya industri di negara maju, tingkat perkembangan
ekonomi meningkat, tapi pencemaran udara mulai menjadi persoalan. Maka
untuk mengatasi persoalan tersebut, dimulailah tahap pengendalian emisi
pencemar. Sekalipun demikian, kualitas udara tetap terus memburuk untuk
beberapa saat, sampai akhirnya memasuki tahap stabilisasi dan terjadi
perbaikan. Akhirnya kualitas udara dapat memenuhi panduan WHO setelah
diberlakukannya kebijakan padat teknologi.
Fakta menunjukkan bahwa beban pencemaran per kapita
yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih
besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami
tingkat perkembangan ekonomi yang sama.
Gambar kurva lingkungan Kuznet
Sumber: Peters dan Murray (2004)
Ting
kat p
ence
mar
an u
dara
Tahap 0Mulai industrialisasi
Tahap 1Mulai pengendalian
Tahap 2Kualitas udara stabil
Tahap 3Perbaikan kualitas udara
Tahap 4implementasiteknologi bersih
RendahTingkat pembangunan
Tinggi
Panduan kualitas udara ambien WHO
Selang waktu (delay) antara dimulainya upaya pengendalian emisi pencemar
hingga kualitas udara membaik terjadi karena:
(i) adanya pentahapan dalam melaksanakan suatu kebijakan dan
(ii) udara yang tercemar memerlukan waktu untuk memulihkan dirinya.
22 Apa yang menjadi persoalan?
Pada saat suatu kebijakan diumumkan, maka tidak langsung saat itu juga
terbentuk kondisi yang diinginkan. Misalnya pada saat diumumkan kewajiban
uji emisi, maka tidak serta merta esok harinya seluruh penduduk yang memiliki
kendaraan bermotor menguji emisi kendaraannya. Cepat atau lambatnya
kondisi yang diinginkan tercapai mencerminkan komitmen pemerintah dalam
melaksanakan suatu kebijakan.
Oleh karena itu keterbatasan dana yang tersedia merupakan tantangan yang harus
disiasati oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Semakin lama ditunda maka bisa
jadi besarnya dana yang diperlukan untuk melakukan intervensi menjadi sedemikian
besar sehingga tak terjangkau lagi. Belum lagi keberadaan umpan-balik dari dampak
pencemaran udara yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi
karena gangguan kesehatan dan kerugian material yang ditimbulkannya. Kota-kota di
Indonesia mau tak mau harus berpacu dengan waktu dan berinovasi untuk meyiasati
keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengendalikan pencemaran udara.
Kota di persimpangan jalan 1
Persoalan?1. Apa yang Menjadi
entunya kita semua sepakat bahwa udara yang bersih dan sehat sangatlah
dibutuhkan oleh setiap manusia dalam beraktivitas. Namun saat beraktivitas,
manusia justru melepaskan berbagai emisi atau zat yang berpotensi
untuk mencemari udara. Misalnya, saat menggunakan kendaraan bermotor,
memasak, menggunakan listrik, menghisap rokok, membakar sampah, dan lain
sebagainya. Bahkan setiap barang yang digunakan maupun dikonsumsi manusia
juga menghasilkan emisi pada saat proses produksi maupun distribusinya. Alhasil,
berbagai emisi yang terus menerus dilepaskan ke udara berpotensi menyebabkan
terjadinya pencemaran udara.
1
2 Apa yang menjadi persoalan?
Pencemaran udara berarti menurunnya kualitas udara sampai ke ambang yang
berdampak merugikan terhadap perikehidupan manusia maupun makhluk lainnya.
Manusia yang menghirup udara yang tercemar beresiko mengalami gangguan
kesehatan. Hal tersebut akan menghambat aktivitasnya, sehingga pendapatannya
menurun. Di samping itu sebagian pendapatan juga terpaksa dialokasikan untuk berobat.
Lebih jauh, daya tarik daerah yang udaranya tercemar terhadap investor maupun
pendatang akan berkurang, sehingga kemudian secara perlahan-lahan aktivitas ekonomi
di kawasan tersebut dapat menjadi stagnan atau bahkan menurun.
Sesuai fungsinya sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, maka di kawasan perkotaan
di Indonesia terjadi pemusatan penduduk dan aktivitasnya. Hal ini menyebabkan
kemungkinan terjadinya pencemaran udara di kawasan tersebut sangat besar. Salah satu
aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah
transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut
terus dipenuhi dengan kendaraan bermotor.
Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber
pencemar utama di kawasan perkotaan adalah
transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan
penduduk di kawasan tersebut terus menggunakan
kendaraan bermotor.
Jumlah kendaraan meningkatAktivitas manusia Emisi meningkat
Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara
Kota di persimpangan jalan 3
Pada Bab 1 ini akan diawali dengan paparan singkat mengenai proses terjadinya
pencemaran udara dan hasil pemantauan kualitas udara beberapa kota di Indonesia
yang telah memperlihatkan indikasi terjadinya pencemaran udara. Selanjutnya
dipaparkan tren distribusi penduduk di Indonesia yang memperlihatkan prosentase
penduduk kawasan perkotaan yang terus meningkat, yang diikuti dengan
peningkatan tren penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan yang juga
turut meningkat.
Kemudian dipaparkan pula mengenai kerugian akibat penggunaan kendaraan
bermotor yang tidak terkendali. Lalu Bab 1 ditutup dengan paparan mengenai
keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pencemaran udara. Uraian pada Bab 1
ini diharapkan dapat membuka mata semua pihak terkait mengenai resiko terjadinya
pencemaran udara dan dampaknya apabila pembangunan kawasan perkotaan di
Indonesia tidak mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor secara tepat.
1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara?
Sebelum kita membahas mengenai pencemaran udara, ada baiknya kita memahami
terlebih dahulu mengenai proses terjadinya pencemaran udara itu sendiri.
Dampak Pencemaran Udara :
. gangguan kesehatan
. pemanasan global
. kerugian ekonomi
Aktivitas manusia terganggu
4 Apa yang menjadi persoalan?
Gam
bar 1
.2 P
rose
s te
rjadi
nya
penc
emar
an u
dara
Kota di persimpangan jalan 5
Gambar 1.2 menunjukkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang mengeluarkan zat,
partikel atau emisi (polutan) ke udara, saat digunakan untuk menunjang aktivitas manusia.
Sebagian dari polutan yang dilepas ke udara tersebut dapat dilihat sebagai asap, tapi ada
pula yang tidak kasatmata. Dan ada pula polutan yang baru terbentuk akibat reaksi kimia
beberapa jenis polutan di udara, seperti oksidan fotokimia (O3).
Oleh angin, polutan kemudian disebarkan ke berbagai arah tergantung pada kecepatan dan
arah angin, sehingga konsentrasi polutan terencerkan. Namun perlu dicatat bahwa angin
tidak menghilangkan polutan dari atmosfer secara permanen, seringkali yang terjadi justru
pemindahan polutan dari lokasi sumber ke daerah tetangganya.
Untuk kota seperti Bandung yang berbentuk seperti mangkok, maka polutan yang tertiup
angin tetap terperangkap di dalam kawasan tersebut, karena adanya jajaran pegunungan
yang menghadang lajunya angin. Oleh karena itu, letak geografi dan bentuk topografi sebuah
kota juga memengaruhi tingkat pencemaran udara di kawasan tersebut.
Selain mengalami pengenceran, secara alamiah beberapa jenis polutan dapat hilang dari
udara karena diserap oleh tanaman, terbawa ke bumi oleh pengaruh gravitasi (deposisi
kering) atau terbawa oleh air hujan (deposisi basah).
Keberadaan seluruh mekanisme alamiah ini berfungsi mengatur keseimbangan kadar
polutan agar udara senantiasa dalam kondisi yang bersih dan sehat. Walaupun demikian
kemampuan mekanisme alamiah ini tetap ada batasnya. Apabila emisi dari aktivitas manusia
terus meningkat, akumulasi polutan yang diemisikan ke udara bebas menjadi lebih besar
daripada kemampuan mekanisme alamiah tersebut. Maka akibatnya konsentrasi polutan di
udara akan meningkat atau dengan kata lain kualitas udara menurun.
Bila penurunan kualitas terus terjadi hingga sampai ke tingkat tertentu, yang
berdampak pada menurunnya kemampuan udara untuk memenuhi fungsinya dalam
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, maka terjadilah
pencemaran udara.
6 Apa yang menjadi persoalan?
Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia
Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia yang tergabung dalam
Jaringan Pemantauan Kualitas Udara Ambien disampaikan secara terbuka
kepada masyarakat dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).
Jaringan ini dikelola oleh KNLH bersama dengan pemerintah daerah
setempat.
ISPU ditetapkan berdasarkan hasil perbandingan antara data hasil
pemantauan lima parameter utama pencemar udara - karbon monoksida
(CO), nitrogen oksida (NO2), ozon permukaan (O3), partikel berdiameter
lebih kecil dari 10 mikrometer (PM10), dan sulfur dioksida (SO2) terhadap
Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN).
Kualitas udara di Indonesia dalam bentuk ISPU dari tahun 2002 s.d.2005
ditampilkan pada tabel di bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruhnya
pernah mengalami hari tidak sehat atau bahkan lebih buruk. Artinya udara di
lima kota tersebut tercemar.
Dampak pencemaran udara terhadap kualitas hidup manusia, dapat terjadi secara
langsung berupa gangguan terhadap kesehatan manusia, maupun secara tidak
langsung berupa gangguan terhadap ekosistem pendukung kehidupan manusia,
seperti menurunnya ketahanan pangan akibat hujan asam dan kerugian ekonomi.
1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar
Sekarang mari kita simak data pada Kotak 1.1. Data yang merangkum
hasil pemantauan kualitas udara di lima kota terbesar di Indonesia dari tahun 2002-
2005 menunjukkan telah terjadinya pencemaran udara di seluruh kota tersebut.
Fakta tersebut diperkuat dengan data hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di
beberapa kota di Indonesia yang ditampilkan dalam Tabel 1.1.
Kota di persimpangan jalan 7
Kategori Medan Jakarta Bandung Semarang Surabaya
2002
Baik 55 22 62 179 44
Sedang 266 223 241 124 266
Tidak Sehat 22 95 4 4 11
Sangat tidak sehat 0 4 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 22 21 58 58 44
2003
Baik 128 18 76 82 49
Sedang 208 223 176 226 208
Tidak Sehat 0 67 11 1 2
Sangat Tidak Sehat 0 0 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 29 57 102 56 106
2004
Baik 135 18 64 60 74
Sedang 148 264 54 239 132
Tidak sehat 6 12 0 0 6
Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 79 71 247 66 153
2005
Baik 24 29 40 229 21
Sedang 0 270 14 83 175
Tidak sehat 0 18 0 0 0
Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 341 48 311 53 165
Tabel indeks kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia
(tahun 2002 – 2005)
Parameter kritis dominan penyebab pencemaran udara pada kota-kota
yang dipantau di atas selama tahun 2002 adalah PM10, kecuali untuk
DKI Jakarta adalah ozon permukaan (O3) (Rachmatunissa dan Hidayat,
2003). O3 adalah pencemar udara yang terbentuk sebagai produk reaksi
atmosferik antara NOx dengan hidrokarbon (HC) yang dipicu sinar
matahari (Soedomo, 2001). Baik NOx maupun HC merupakan pencemar
udara yang banyak dihasilkan oleh aktivitas transportasi.
Sumber: Rachmatunissa dan Hidayat (2003), KNLH (2004), KNLH (2005), dan KNLH (2006a).
8 Apa yang menjadi persoalan?
Data di atas merupakan sinyal bahwa akumulasi polutan yang diemisikan oleh aktivitas
di kota-kota besar tersebut telah melampaui kemampuan mekanisme alamiah yang
berfungsi menjaga agar udara tetap dalam keadaan yang bersih dan sehat. Tapi tingkat
pencemaran di masing-masing kota bervariasi, tergantung pada banyaknya polutan
yang diemisikan ke udara dan kemampuan mekanisme alamiah di kawasan tersebut.
Keduanya sangat ditentukan oleh karakteristik masing-masing kota seperti faktor
demografi, ekonomi dan geografi.
1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan
Jika melihat rumusan di atas, maka jumlah penduduk dan tingkat penggunaan kendaraan
bermotor merupakan dua faktor penting untuk melihat seberapa besar potensi
pencemaran yang mungkin terjadi di suatu kawasan perkotaan akibat aktivitas
transportasi. Semakin besar jumlah penduduk dan/atau tingkat aktivitasnya, maka potensi
pencemaran yang mungkin terjadi juga akan semakin besar.
Keterangan :
Tidak tercemar (tidak melampaui Baku Mutu Udara Ambien)
Tercemar (melampaui Baku Mutu Udara Ambien)
Data tidak lengkap
Tidak diukur pada tahun 2007
Sumber: KNLH (2008a), KNLH (2009)
Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008
No Kota
CO HC NO2 SO2 PM10 TSP O3
2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2007 2007
1 Medan
2 Palembang x x x x x x x
3 Jakarta Utara
4 Jakarta Timur
5Jakarta Selatan
6 Jakarta Barat
7 Jakarta Pusat
8 Bekasi x x x x x x x
9 Depok x x x x x x x
10 Tangerang x x x x x x x
11 Bandung
12 Yogyakarta
13 Semarang
14 Surabaya o
15 Denpasar o
16 Makassar o o
Kota di persimpangan jalan 9
Oleh karena itu, sebelum kita mengamati tingkat penggunaan kendaraan bermotor di
kawasan perkotaan Indonesia, mari pada Subbab 1.3 ini kita perhatikan pola distribusi
penduduk Indonesia. Gambar 1.3 memperlihatkan peningkatan prosentase penduduk
Indonesia yang bermukim di kawasan perkotaan (urbanisasi) dari waktu ke waktu.
Aktivitas yang berpotensi menggunakan kendaraan bemotor
Potensi pencemaran udara di suatu kawasan
Jumlah pendudukTa
hun
Sumber : UN (2008) dan Bappenas dkk (2005)
Urbanisasi (%)
Bila pada tahun 1970 hanya sekitar 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang
bermukim di perkotaan, maka pada tahun 2005 meningkat hingga 48 persen (UN, 2008).
Diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan
perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Kenyataan ini menunjukkan sedang berlangsungnya
transisi demografi di Indonesia dari masyarakat perdesaan menjadi masyarakat
perkotaan.
Gambar 1.3 : Urbanisasi di Indonesia (1975-2025)
0 � 10� 20� 30� 40� 50� 60 � 70 � 80 � 90 � 100
2025
2020
2015
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
10 Apa yang menjadi persoalan?
Sesuai dengan rumusan di atas, maka meningkatnya jumlah penduduk di kawasan
perkotaan tentunya berdampak pada meningkatnya potensi pencemaran udara di
kawasan tersebut. Apalagi mengingat tingkat aktivitas penduduk perkotaan yang relatif
lebih tinggi dibanding dengan kawasan perdesaan. Maka tak heran bila kualitas udara di
kota-kota metropolitan Indonesia terus memburuk, sebagaimana yang banyak juga terjadi
pada kota-kota lain di dunia.
1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat
Salah satu aktivitas yang berpotensi sebagai sumber pencemar utama di kawasan
perkotaan adalah transportasi. Padahal transportasi merupakan aspek penting yang
mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan. Sesuai fungsinya, di kawasan
perkotaan terjadi pertukaran barang, keahlian, ide, budaya, spiritual dan lainnya, yang
semuanya memunculkan kebutuhan pergerakan. Berpindahnya orang atau barang dari
satu tempat ke tempat lain untuk mencapai suatu tujuan tersebut yang didefinisikan
sebagai transportasi (Morlok, 1978).
Transportasi dapat dilakukan dengan beragam cara (moda), mulai dari berjalan kaki,
naik sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya, sepeda motor, mobil pribadi, taksi
atau angkutan umum. Transportasi dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat
mencemari udara bebas dengan emisi gas buangnya seperti dijelaskan pada Kotak
1.2. Tapi justru moda transportasi ini yang semakin banyak digunakan di kawasan
perkotaan.
Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan tercermin
dari pemandangan antrian panjang kendaraan bermotor yang semakin sering
dijumpai. Tidak hanya di kota metropolitan, kemacetan juga terjadi di beberapa kota
besar di Indonesia. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tersebut, seperti
diilustrasikan pada Gambar 1.4, sudah pasti berdampak pada peningkatan
kebutuhan ruas jalan dan penurunan kualitas udara.
Data statistik yang ditampilkan pada Gambar 1.5 menunjukkan jumlah kendaraan
bermotor di Indonesia bertambah secara eksponensial. Dalam 20 tahun terakhir, total
Kota di persimpangan jalan 11
Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor
Proses pembakaran bahan bakar yang menggerakan mesin kendaraan
bermotor menghasilkan gas buang yang mengandung pencemar karbon
monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon
(HC), dan partikulat (PM) (Soedomo, 2001). Lebih lanjut reaksi oksida
nitrogen dan hidrokarbon yang diinisiasi sinar matahari berpotensi
menghasilkan oksidan fotokimia (O3).
Sementara bila bahan bakar yang digunakan mengandung zat aditif seperti
timbel, maka zat tersebut dapat ditemui pula di dalam gas buangnya.
Bahkan pada saat pembakaran terjadi secara sempurna sekalipun,
kendaraan bermotor masih mengemisikan karbon dioksida (CO2) yang
berpotensi mengakibatkan pemanasan global.
Perlu digarisbawahi bawah tidak seluruh emisi gas buang kendaraan
bermotor tersebut dapat terlihat (kasatmata). Walaupun tidak kasat mata,
emisi gas buang tersebut tetap sangat berbahaya bagi kesehatan.
Gambar emisi gas buang yang tidak selalu kasat mata
12 Apa yang menjadi persoalan?
Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor
jumlah kendaraan bermotor menjadi hampir enam kali lipat. Laju pertumbuhannya
lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia. Pertumbuhan paling cepat
terjadi untuk kategori sepeda motor dan mobil. Secara rata-rata tingkat kepemilikan
sepeda motor kendaraan bermotor meningkat dari sekitar 34 sepeda motor
per 1000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 130 pada tahun 2005. Sementara
mobil meningkat dari sekitar 7 menjadi 25 unit per 1000 penduduk.
Persoalan pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang berdampak pada
kemacetan panjang, biasanya diatasi secara parsial, yaitu dengan penambahan atau
pelebaran jalan. Padahal solusi pembangunan jalan yang dilakukan di kota mana pun
tidak pernah berhasil karena hanya akan mengatasi kemacetan sesaat. Sebaliknya,
justru akan semakin memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Solusi seperti
ini sama seperti mengatasi kegemukan dengan membuat baju yang berukuran lebih
besar.
2Kendaraan bermotor pribadi
terus bertambah
1Kendaraan bermotor pribadi masih dalam jumlah terbatas
3Sudah tergantung pada
kendaraan bermotor pribadi
Kota di persimpangan jalan 13
Bis Truk Mobil Sepeda Motor
Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor
ternyata lebih cepat daripada laju pertambahan
jumlah penduduk di Indonesia.
Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007
Sumber: BPS (2006) dan Christiono (2008)
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Jum
lah
(juta
uni
t)
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
14 Apa yang menjadi persoalan?
Solusi pembangunan jalan tidak pernah berhasil
mengatasi kemacetan, sebaliknya justru akan memicu
pertambahan jumlah kendaraan bermotor.
Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan
Penyebaran penduduk Indonesia yang terpusat di kawasan perkotaan akan
mendorong perilaku yang sama terhadap penyebaran kendaraan bermotor. Apalagi
tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan bisa jadi lebih tinggi
daripada rata-rata nasional. Hal ini selain karena didorong kebutuhan pergerakan
tiap orang yang relatif lebih tinggi, juga dipengaruhi tingkat pendapatan penduduk.
Sumbangan sektor-sektor yang menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 70 persen (BPS, 2006).
Oleh karena itu tingkat pendapatan penduduk perkotaan relatif lebih tinggi dari
rata-rata nasional.
Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor juga tercermin dari pemakaian
bahan bakar minyak (BBM) oleh sektor transportasi juga turut meningkat.
Peningkatan total pemakaian BBM sektor transportasi mencapai lebih dari dua kali
lipat dalam kurun waktu tahun 1990-2005 (ESDM, 2007). Lebih dari 80% pemakaian
BBM sektor transportasi tersebut digunakan oleh transportasi darat. Pemakaian BBM
Kota di persimpangan jalan 15
oleh sektor transportasi paling dominan dibandingkan dengan sektor lainnya (industri,
rumah tangga dan listrik). Proporsinya bahkan meningkat, bila pada tahun 1990
masih pada kisaran 45% pemakaian BBM nasional, maka pada tahun 2007 mencapai
56% (Christiono, 2008).
1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian
Tiap jenis emisi pada asap kendaraan bermotor yang terakumulasi di udara ambien
dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia sebagaimana yang dirangkum
dalam Kotak 1.3. Memang sebagian besar dampak tersebut tidak langsung terdeteksi
pada saat manusia menghirup zat pencemar udara. Selain itu, tidak seluruh jenis
pencemar udara kasat mata seperti yang telah dijelaskan pada Kotak 1.2. Akibatnya
bahaya emisi gas buang kendaraan bermotor seringkali terabaikan.
Dampak emisi gas buang kendaraan bermotor tidak langsung terdeteksi
akibat adanya dua selang waktu (delay), yaitu:
(i) zat pencemar masih harus terakumulasi dulu sampai akhirnya melampaui
daya tampung udara di sekitar.
(ii) ada pula selang waktu antara saat individu menghirup zat pencemar hingga
ditemui adanya dampak kesehatan.
Lamanya delay ini bervariasi, mulai dari gangguan pernafasan yang dapat terjadi
dalam hitungan menit dan jam, hingga bisa puluhan tahun sampai seseorang
terdiagnosa menderita kanker.
Studi World Bank memperkirakan kerugian ekonomi akibat pencemaran udara di
Jakarta pada tahun 1989 sebesar Rp 500 milyar yang diperhitungkan dari 1.200
kematian prematur, 464 ribu penyakit asma dan 32 juta gangguan saluran pernafasan
(Shah dan Nagpal, 1997). Sementara studi ADB (Syahril dkk, 2002) memperkirakan
kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh beberapa jenis
pencemar (SO2, NO2 dan PM10) pada tahun 1998 di Jakarta mencapai sebesar
Rp 1,78 trilyun. Bila dicermati jumlah kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada tahun
1998 di atas setara dengan satu persen PDRB DKI Jakarta atau sama dengan total
penerimaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun tersebut.
16 Apa yang menjadi persoalan?
Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan
bermotor
Karbon monoksida (CO) yang terhirup memiliki kemampuan untuk
berikatan dengan hemoglobin (Hb), pigmen sel darah merah yang
mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan
karboksihemoglobin yang 200 kali lebih stabil dibandingkan ikatan Hb
dengan oksigen (oksihemoglobin). Akibatnya fungsi Hb yang membawa
oksigen ke seluruh tubuh terganggu. Kondisi seperti ini bisa berakibat
serius, bahkan fatal, karena bisa sampai menyebabkan kematian.
Hidrokarbon (HC) di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan
akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hydrocarbon
(PAH). Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan
merangsang terbentuknya sel-sel kanker.
Oksida nitrogen (NOx) seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia.
Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO.
Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2
yang bersifat racun terutama terhadap paru. Pemajanan NO2 dengan kadar
5 ppm selama 10 menit mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.
Sulfur dioksida (SO2) menimbulkan iritasi pada sistem penafasan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada
kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih. Bahkan pada beberapa individu yang
sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang
berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang
mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu
dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan
SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah.
Ozon (O3) pada kadar 0,3 ppm mulai menyebabkan terjadinya iritasi pada
hidung dan tenggorokan. Kontak dengan ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm
Kota di persimpangan jalan 17
selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing
dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon
berkadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan gejala
pembengkakan paru (edema pulmonari).
Partikulat (debu) berpengaruh terhadap kesehatan, tergantung pada
ukurannya. Partikulat yang berbahaya berukuran antara 0,1-10 mikron.
Pada umumnya partikulat berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung
masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sementara yang
lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian
atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan dapat menjadi lebih parah bila
terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang terdapat di udara juga.
Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin
akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus
pandang mata (visibility).
Timbel (Pb) yang berikatan dengan partikulat di udara berbahaya bagi
kesehatan. Logam tersebut dapat terhirup dan bersifat akumulatif. Pb dapat
bereaksi dengan senyawa dalam protein yang menyebabkan pengendapan
protein dan menghambat pembuatan hemoglobin. Gejala keracunan kronis
bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala,
anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan penglihatan.
Sumber: Kompilasi dari Depkes (2007)
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran udara di Jakarta tahun 1998 = total penerimaan Pemda DKI Jakarta tahun 1998.
Selain itu, saat terjadi pencemaran udara maka ekosistem pendukung kehidupan
manusia akan terganggu. Seperti tingginya konsentrasi SO2 dan NOx di udara dapat
terbawa ke bumi oleh air hujan (deposisi basah) dan mengakibatkan air hujan bersifat
18 Apa yang menjadi persoalan?
asam (Soedomo, 2001). Apabila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 maka hujan bersifat
asam dan dapat mengikis bangunan/gedung karena bersifat korosif serta merusak
kehidupan biota di badan air (sungai/danau).
Perlu digarisbawahi bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak hanya
berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara, tapi juga menyebabkan
banyak efek negatif lainnya. Antara lain, kemacetan di berbagai ruas jalan,
meroketnya permintaan BBM, berkurangnya ruang terbuka hijau akibat alih fungsi
untuk jalan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas (Barter dan Raad, 2000).
Penggunaan kendaraan bermotor sejatinya
ditujukan untuk menunjang berbagai kegiatan
perekonomian di sebuah kota. Namun pada
akhirnya justru berbalik memberikan kerugian
ekonomi yang sangat signifikan bagi kota tersebut.
Jika hanya dilihat dari sisi kemacetan saja, menurut Tamin (2008), kerugian akibat
kemacetan di ruas jalan Metropolitan Bandung setiap harinya mencapai Rp. 1,78
milyar. Sementara Studi SITRAMP 2 pada tahun 2004 melaporkan kerugian ekonomi
yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 5,5 trilyun
per tahun akibat bertambah panjangnya waktu tempuh dan meningkatnya biaya
operasional kendaraan (Bappenas dan JICA, 2004).
Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah strategi agar penggunaan kendaraan bermotor
dalam menunjang aktivitas manusia dan perekonomian tidak kemudian berbalik
memberikan dampak kesehatan serta kerugian ekonomi.
1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara
Otonomi daerah yang kini diatur dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah, telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah di Indonesia untuk secara
mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya (Warlan, 2004).
World Bank (2003) memproyeksikan kawasan perkotaan di Indonesia akan menjadi
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Kombinasi antara pertumbuhan
Kota di persimpangan jalan 19
Gam
bar
1.7
Ber
bag
ai d
amp
ak a
kib
at p
enin
gka
tan
jum
lah
kend
araa
n b
erm
oto
r
20 Apa yang menjadi persoalan?
ekonomi di kawasan perkotaan dan meningkatnya urbanisasi akan melahirkan
kebutuhan transportasi yang luar biasa. Bila hal ini tidak diantisipasi maka kota-kota
di Indonesia tidak akan dapat terhindar dari persoalan pencemaran udara.
Tidakkah ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk secara mandiri
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya di era otonomi daerah,
justru berbalik menyengsarakan masyarakatnya karena persoalan pencemaran udara
yang ditimbulkannya?
Sungguh ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya, justru berbalik menyengsarakan masyarakat karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya.
Bisa jadi Anda termasuk yang beranggapan bahwa pencemaran udara tidak perlu
dikhawatirkan karena merupakan trade-off dari pertambahan pendapatan yang
diperoleh. Nantinya persoalan tersebut akan mereda dengan sendirinya sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pola yang dialami oleh negara maju.
Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi? Pola hubungan antara
meningkatnya pendapatan per kapita dengan konsentrasi pencemar udara di negara
maju memang mengikuti bentuk kurva U terbalik (environmental kuznet curve)
seperti yang diuraikan lebih lanjut pada Kotak 1.4. Membaiknya kualitas udara
tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi sehingga memungkinkan negara
yang bersangkutan mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan kebijakan
pengendalian pencemaran udara yang efektif.
Tapi faktanya, beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang
saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat
perkembangan ekonomi yang sama (Marcotullio dkk, 2005). Artinya kualitas udara
ambien di negara berkembang memburuk dalam waktu yang lebih singkat daripada
yang dialami negara maju. Sebagai konsekuensinya maka negara berkembang harus
menghadapi persoalan pencemaran udara pada kondisi tingkat perkembangan ekonomi
yang masih lebih rendah daripada negara maju saat mengalami persoalan serupa.
Kota di persimpangan jalan 21
Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan
pencemaran udara
Pencemaran udara terjadi apabila konsentrasi pencemar di udara ambien
melebihi panduan kualitas udara ambien (ambient air quality guidelines) WHO
yang ditandai dengan garis tebal pada gambar di bawah. Terlihat bahwa
seiring dengan berkembangnya industri di negara maju, tingkat perkembangan
ekonomi meningkat, tapi pencemaran udara mulai menjadi persoalan. Maka
untuk mengatasi persoalan tersebut, dimulailah tahap pengendalian emisi
pencemar. Sekalipun demikian, kualitas udara tetap terus memburuk untuk
beberapa saat, sampai akhirnya memasuki tahap stabilisasi dan terjadi
perbaikan. Akhirnya kualitas udara dapat memenuhi panduan WHO setelah
diberlakukannya kebijakan padat teknologi.
Fakta menunjukkan bahwa beban pencemaran per kapita
yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih
besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami
tingkat perkembangan ekonomi yang sama.
Gambar kurva lingkungan Kuznet
Sumber: Peters dan Murray (2004)
Ting
kat p
ence
mar
an u
dara
Tahap 0Mulai industrialisasi
Tahap 1Mulai pengendalian
Tahap 2Kualitas udara stabil
Tahap 3Perbaikan kualitas udara
Tahap 4implementasiteknologi bersih
RendahTingkat pembangunan
Tinggi
Panduan kualitas udara ambien WHO
Selang waktu (delay) antara dimulainya upaya pengendalian emisi pencemar
hingga kualitas udara membaik terjadi karena:
(i) adanya pentahapan dalam melaksanakan suatu kebijakan dan
(ii) udara yang tercemar memerlukan waktu untuk memulihkan dirinya.
22 Apa yang menjadi persoalan?
Pada saat suatu kebijakan diumumkan, maka tidak langsung saat itu juga
terbentuk kondisi yang diinginkan. Misalnya pada saat diumumkan kewajiban
uji emisi, maka tidak serta merta esok harinya seluruh penduduk yang memiliki
kendaraan bermotor menguji emisi kendaraannya. Cepat atau lambatnya
kondisi yang diinginkan tercapai mencerminkan komitmen pemerintah dalam
melaksanakan suatu kebijakan.
Oleh karena itu keterbatasan dana yang tersedia merupakan tantangan yang harus
disiasati oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Semakin lama ditunda maka bisa
jadi besarnya dana yang diperlukan untuk melakukan intervensi menjadi sedemikian
besar sehingga tak terjangkau lagi. Belum lagi keberadaan umpan-balik dari dampak
pencemaran udara yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi
karena gangguan kesehatan dan kerugian material yang ditimbulkannya. Kota-kota di
Indonesia mau tak mau harus berpacu dengan waktu dan berinovasi untuk meyiasati
keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengendalikan pencemaran udara.
Kota di persimpangan jalan 1
Persoalan?1. Apa yang Menjadi
entunya kita semua sepakat bahwa udara yang bersih dan sehat sangatlah
dibutuhkan oleh setiap manusia dalam beraktivitas. Namun saat beraktivitas,
manusia justru melepaskan berbagai emisi atau zat yang berpotensi
untuk mencemari udara. Misalnya, saat menggunakan kendaraan bermotor,
memasak, menggunakan listrik, menghisap rokok, membakar sampah, dan lain
sebagainya. Bahkan setiap barang yang digunakan maupun dikonsumsi manusia
juga menghasilkan emisi pada saat proses produksi maupun distribusinya. Alhasil,
berbagai emisi yang terus menerus dilepaskan ke udara berpotensi menyebabkan
terjadinya pencemaran udara.
1
2 Apa yang menjadi persoalan?
Pencemaran udara berarti menurunnya kualitas udara sampai ke ambang yang
berdampak merugikan terhadap perikehidupan manusia maupun makhluk lainnya.
Manusia yang menghirup udara yang tercemar beresiko mengalami gangguan
kesehatan. Hal tersebut akan menghambat aktivitasnya, sehingga pendapatannya
menurun. Di samping itu sebagian pendapatan juga terpaksa dialokasikan untuk berobat.
Lebih jauh, daya tarik daerah yang udaranya tercemar terhadap investor maupun
pendatang akan berkurang, sehingga kemudian secara perlahan-lahan aktivitas ekonomi
di kawasan tersebut dapat menjadi stagnan atau bahkan menurun.
Sesuai fungsinya sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, maka di kawasan perkotaan
di Indonesia terjadi pemusatan penduduk dan aktivitasnya. Hal ini menyebabkan
kemungkinan terjadinya pencemaran udara di kawasan tersebut sangat besar. Salah satu
aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah
transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut
terus dipenuhi dengan kendaraan bermotor.
Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber
pencemar utama di kawasan perkotaan adalah
transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan
penduduk di kawasan tersebut terus menggunakan
kendaraan bermotor.
Jumlah kendaraan meningkatAktivitas manusia Emisi meningkat
Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara
Kota di persimpangan jalan 3
Pada Bab 1 ini akan diawali dengan paparan singkat mengenai proses terjadinya
pencemaran udara dan hasil pemantauan kualitas udara beberapa kota di Indonesia
yang telah memperlihatkan indikasi terjadinya pencemaran udara. Selanjutnya
dipaparkan tren distribusi penduduk di Indonesia yang memperlihatkan prosentase
penduduk kawasan perkotaan yang terus meningkat, yang diikuti dengan
peningkatan tren penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan yang juga
turut meningkat.
Kemudian dipaparkan pula mengenai kerugian akibat penggunaan kendaraan
bermotor yang tidak terkendali. Lalu Bab 1 ditutup dengan paparan mengenai
keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pencemaran udara. Uraian pada Bab 1
ini diharapkan dapat membuka mata semua pihak terkait mengenai resiko terjadinya
pencemaran udara dan dampaknya apabila pembangunan kawasan perkotaan di
Indonesia tidak mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor secara tepat.
1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara?
Sebelum kita membahas mengenai pencemaran udara, ada baiknya kita memahami
terlebih dahulu mengenai proses terjadinya pencemaran udara itu sendiri.
Dampak Pencemaran Udara :
. gangguan kesehatan
. pemanasan global
. kerugian ekonomi
Aktivitas manusia terganggu
4 Apa yang menjadi persoalan?
Gam
bar 1
.2 P
rose
s te
rjadi
nya
penc
emar
an u
dara
Kota di persimpangan jalan 5
Gambar 1.2 menunjukkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang mengeluarkan zat,
partikel atau emisi (polutan) ke udara, saat digunakan untuk menunjang aktivitas manusia.
Sebagian dari polutan yang dilepas ke udara tersebut dapat dilihat sebagai asap, tapi ada
pula yang tidak kasatmata. Dan ada pula polutan yang baru terbentuk akibat reaksi kimia
beberapa jenis polutan di udara, seperti oksidan fotokimia (O3).
Oleh angin, polutan kemudian disebarkan ke berbagai arah tergantung pada kecepatan dan
arah angin, sehingga konsentrasi polutan terencerkan. Namun perlu dicatat bahwa angin
tidak menghilangkan polutan dari atmosfer secara permanen, seringkali yang terjadi justru
pemindahan polutan dari lokasi sumber ke daerah tetangganya.
Untuk kota seperti Bandung yang berbentuk seperti mangkok, maka polutan yang tertiup
angin tetap terperangkap di dalam kawasan tersebut, karena adanya jajaran pegunungan
yang menghadang lajunya angin. Oleh karena itu, letak geografi dan bentuk topografi sebuah
kota juga memengaruhi tingkat pencemaran udara di kawasan tersebut.
Selain mengalami pengenceran, secara alamiah beberapa jenis polutan dapat hilang dari
udara karena diserap oleh tanaman, terbawa ke bumi oleh pengaruh gravitasi (deposisi
kering) atau terbawa oleh air hujan (deposisi basah).
Keberadaan seluruh mekanisme alamiah ini berfungsi mengatur keseimbangan kadar
polutan agar udara senantiasa dalam kondisi yang bersih dan sehat. Walaupun demikian
kemampuan mekanisme alamiah ini tetap ada batasnya. Apabila emisi dari aktivitas manusia
terus meningkat, akumulasi polutan yang diemisikan ke udara bebas menjadi lebih besar
daripada kemampuan mekanisme alamiah tersebut. Maka akibatnya konsentrasi polutan di
udara akan meningkat atau dengan kata lain kualitas udara menurun.
Bila penurunan kualitas terus terjadi hingga sampai ke tingkat tertentu, yang
berdampak pada menurunnya kemampuan udara untuk memenuhi fungsinya dalam
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, maka terjadilah
pencemaran udara.
6 Apa yang menjadi persoalan?
Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia
Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia yang tergabung dalam
Jaringan Pemantauan Kualitas Udara Ambien disampaikan secara terbuka
kepada masyarakat dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).
Jaringan ini dikelola oleh KNLH bersama dengan pemerintah daerah
setempat.
ISPU ditetapkan berdasarkan hasil perbandingan antara data hasil
pemantauan lima parameter utama pencemar udara - karbon monoksida
(CO), nitrogen oksida (NO2), ozon permukaan (O3), partikel berdiameter
lebih kecil dari 10 mikrometer (PM10), dan sulfur dioksida (SO2) terhadap
Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN).
Kualitas udara di Indonesia dalam bentuk ISPU dari tahun 2002 s.d.2005
ditampilkan pada tabel di bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruhnya
pernah mengalami hari tidak sehat atau bahkan lebih buruk. Artinya udara di
lima kota tersebut tercemar.
Dampak pencemaran udara terhadap kualitas hidup manusia, dapat terjadi secara
langsung berupa gangguan terhadap kesehatan manusia, maupun secara tidak
langsung berupa gangguan terhadap ekosistem pendukung kehidupan manusia,
seperti menurunnya ketahanan pangan akibat hujan asam dan kerugian ekonomi.
1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar
Sekarang mari kita simak data pada Kotak 1.1. Data yang merangkum
hasil pemantauan kualitas udara di lima kota terbesar di Indonesia dari tahun 2002-
2005 menunjukkan telah terjadinya pencemaran udara di seluruh kota tersebut.
Fakta tersebut diperkuat dengan data hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di
beberapa kota di Indonesia yang ditampilkan dalam Tabel 1.1.
Kota di persimpangan jalan 7
Kategori Medan Jakarta Bandung Semarang Surabaya
2002
Baik 55 22 62 179 44
Sedang 266 223 241 124 266
Tidak Sehat 22 95 4 4 11
Sangat tidak sehat 0 4 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 22 21 58 58 44
2003
Baik 128 18 76 82 49
Sedang 208 223 176 226 208
Tidak Sehat 0 67 11 1 2
Sangat Tidak Sehat 0 0 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 29 57 102 56 106
2004
Baik 135 18 64 60 74
Sedang 148 264 54 239 132
Tidak sehat 6 12 0 0 6
Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 79 71 247 66 153
2005
Baik 24 29 40 229 21
Sedang 0 270 14 83 175
Tidak sehat 0 18 0 0 0
Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 341 48 311 53 165
Tabel indeks kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia
(tahun 2002 – 2005)
Parameter kritis dominan penyebab pencemaran udara pada kota-kota
yang dipantau di atas selama tahun 2002 adalah PM10, kecuali untuk
DKI Jakarta adalah ozon permukaan (O3) (Rachmatunissa dan Hidayat,
2003). O3 adalah pencemar udara yang terbentuk sebagai produk reaksi
atmosferik antara NOx dengan hidrokarbon (HC) yang dipicu sinar
matahari (Soedomo, 2001). Baik NOx maupun HC merupakan pencemar
udara yang banyak dihasilkan oleh aktivitas transportasi.
Sumber: Rachmatunissa dan Hidayat (2003), KNLH (2004), KNLH (2005), dan KNLH (2006a).
8 Apa yang menjadi persoalan?
Data di atas merupakan sinyal bahwa akumulasi polutan yang diemisikan oleh aktivitas
di kota-kota besar tersebut telah melampaui kemampuan mekanisme alamiah yang
berfungsi menjaga agar udara tetap dalam keadaan yang bersih dan sehat. Tapi tingkat
pencemaran di masing-masing kota bervariasi, tergantung pada banyaknya polutan
yang diemisikan ke udara dan kemampuan mekanisme alamiah di kawasan tersebut.
Keduanya sangat ditentukan oleh karakteristik masing-masing kota seperti faktor
demografi, ekonomi dan geografi.
1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan
Jika melihat rumusan di atas, maka jumlah penduduk dan tingkat penggunaan kendaraan
bermotor merupakan dua faktor penting untuk melihat seberapa besar potensi
pencemaran yang mungkin terjadi di suatu kawasan perkotaan akibat aktivitas
transportasi. Semakin besar jumlah penduduk dan/atau tingkat aktivitasnya, maka potensi
pencemaran yang mungkin terjadi juga akan semakin besar.
Keterangan :
Tidak tercemar (tidak melampaui Baku Mutu Udara Ambien)
Tercemar (melampaui Baku Mutu Udara Ambien)
Data tidak lengkap
Tidak diukur pada tahun 2007
Sumber: KNLH (2008a), KNLH (2009)
Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008
No Kota
CO HC NO2 SO2 PM10 TSP O3
2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2007 2007
1 Medan
2 Palembang x x x x x x x
3 Jakarta Utara
4 Jakarta Timur
5Jakarta Selatan
6 Jakarta Barat
7 Jakarta Pusat
8 Bekasi x x x x x x x
9 Depok x x x x x x x
10 Tangerang x x x x x x x
11 Bandung
12 Yogyakarta
13 Semarang
14 Surabaya o
15 Denpasar o
16 Makassar o o
Kota di persimpangan jalan 9
Oleh karena itu, sebelum kita mengamati tingkat penggunaan kendaraan bermotor di
kawasan perkotaan Indonesia, mari pada Subbab 1.3 ini kita perhatikan pola distribusi
penduduk Indonesia. Gambar 1.3 memperlihatkan peningkatan prosentase penduduk
Indonesia yang bermukim di kawasan perkotaan (urbanisasi) dari waktu ke waktu.
Aktivitas yang berpotensi menggunakan kendaraan bemotor
Potensi pencemaran udara di suatu kawasan
Jumlah pendudukTa
hun
Sumber : UN (2008) dan Bappenas dkk (2005)
Urbanisasi (%)
Bila pada tahun 1970 hanya sekitar 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang
bermukim di perkotaan, maka pada tahun 2005 meningkat hingga 48 persen (UN, 2008).
Diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan
perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Kenyataan ini menunjukkan sedang berlangsungnya
transisi demografi di Indonesia dari masyarakat perdesaan menjadi masyarakat
perkotaan.
Gambar 1.3 : Urbanisasi di Indonesia (1975-2025)
0 � 10� 20� 30� 40� 50� 60 � 70 � 80 � 90 � 100
2025
2020
2015
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
10 Apa yang menjadi persoalan?
Sesuai dengan rumusan di atas, maka meningkatnya jumlah penduduk di kawasan
perkotaan tentunya berdampak pada meningkatnya potensi pencemaran udara di
kawasan tersebut. Apalagi mengingat tingkat aktivitas penduduk perkotaan yang relatif
lebih tinggi dibanding dengan kawasan perdesaan. Maka tak heran bila kualitas udara di
kota-kota metropolitan Indonesia terus memburuk, sebagaimana yang banyak juga terjadi
pada kota-kota lain di dunia.
1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat
Salah satu aktivitas yang berpotensi sebagai sumber pencemar utama di kawasan
perkotaan adalah transportasi. Padahal transportasi merupakan aspek penting yang
mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan. Sesuai fungsinya, di kawasan
perkotaan terjadi pertukaran barang, keahlian, ide, budaya, spiritual dan lainnya, yang
semuanya memunculkan kebutuhan pergerakan. Berpindahnya orang atau barang dari
satu tempat ke tempat lain untuk mencapai suatu tujuan tersebut yang didefinisikan
sebagai transportasi (Morlok, 1978).
Transportasi dapat dilakukan dengan beragam cara (moda), mulai dari berjalan kaki,
naik sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya, sepeda motor, mobil pribadi, taksi
atau angkutan umum. Transportasi dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat
mencemari udara bebas dengan emisi gas buangnya seperti dijelaskan pada Kotak
1.2. Tapi justru moda transportasi ini yang semakin banyak digunakan di kawasan
perkotaan.
Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan tercermin
dari pemandangan antrian panjang kendaraan bermotor yang semakin sering
dijumpai. Tidak hanya di kota metropolitan, kemacetan juga terjadi di beberapa kota
besar di Indonesia. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tersebut, seperti
diilustrasikan pada Gambar 1.4, sudah pasti berdampak pada peningkatan
kebutuhan ruas jalan dan penurunan kualitas udara.
Data statistik yang ditampilkan pada Gambar 1.5 menunjukkan jumlah kendaraan
bermotor di Indonesia bertambah secara eksponensial. Dalam 20 tahun terakhir, total
Kota di persimpangan jalan 11
Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor
Proses pembakaran bahan bakar yang menggerakan mesin kendaraan
bermotor menghasilkan gas buang yang mengandung pencemar karbon
monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon
(HC), dan partikulat (PM) (Soedomo, 2001). Lebih lanjut reaksi oksida
nitrogen dan hidrokarbon yang diinisiasi sinar matahari berpotensi
menghasilkan oksidan fotokimia (O3).
Sementara bila bahan bakar yang digunakan mengandung zat aditif seperti
timbel, maka zat tersebut dapat ditemui pula di dalam gas buangnya.
Bahkan pada saat pembakaran terjadi secara sempurna sekalipun,
kendaraan bermotor masih mengemisikan karbon dioksida (CO2) yang
berpotensi mengakibatkan pemanasan global.
Perlu digarisbawahi bawah tidak seluruh emisi gas buang kendaraan
bermotor tersebut dapat terlihat (kasatmata). Walaupun tidak kasat mata,
emisi gas buang tersebut tetap sangat berbahaya bagi kesehatan.
Gambar emisi gas buang yang tidak selalu kasat mata
12 Apa yang menjadi persoalan?
Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor
jumlah kendaraan bermotor menjadi hampir enam kali lipat. Laju pertumbuhannya
lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia. Pertumbuhan paling cepat
terjadi untuk kategori sepeda motor dan mobil. Secara rata-rata tingkat kepemilikan
sepeda motor kendaraan bermotor meningkat dari sekitar 34 sepeda motor
per 1000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 130 pada tahun 2005. Sementara
mobil meningkat dari sekitar 7 menjadi 25 unit per 1000 penduduk.
Persoalan pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang berdampak pada
kemacetan panjang, biasanya diatasi secara parsial, yaitu dengan penambahan atau
pelebaran jalan. Padahal solusi pembangunan jalan yang dilakukan di kota mana pun
tidak pernah berhasil karena hanya akan mengatasi kemacetan sesaat. Sebaliknya,
justru akan semakin memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Solusi seperti
ini sama seperti mengatasi kegemukan dengan membuat baju yang berukuran lebih
besar.
2Kendaraan bermotor pribadi
terus bertambah
1Kendaraan bermotor pribadi masih dalam jumlah terbatas
3Sudah tergantung pada
kendaraan bermotor pribadi
Kota di persimpangan jalan 13
Bis Truk Mobil Sepeda Motor
Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor
ternyata lebih cepat daripada laju pertambahan
jumlah penduduk di Indonesia.
Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007
Sumber: BPS (2006) dan Christiono (2008)
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Jum
lah
(juta
uni
t)
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
14 Apa yang menjadi persoalan?
Solusi pembangunan jalan tidak pernah berhasil
mengatasi kemacetan, sebaliknya justru akan memicu
pertambahan jumlah kendaraan bermotor.
Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan
Penyebaran penduduk Indonesia yang terpusat di kawasan perkotaan akan
mendorong perilaku yang sama terhadap penyebaran kendaraan bermotor. Apalagi
tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan bisa jadi lebih tinggi
daripada rata-rata nasional. Hal ini selain karena didorong kebutuhan pergerakan
tiap orang yang relatif lebih tinggi, juga dipengaruhi tingkat pendapatan penduduk.
Sumbangan sektor-sektor yang menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 70 persen (BPS, 2006).
Oleh karena itu tingkat pendapatan penduduk perkotaan relatif lebih tinggi dari
rata-rata nasional.
Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor juga tercermin dari pemakaian
bahan bakar minyak (BBM) oleh sektor transportasi juga turut meningkat.
Peningkatan total pemakaian BBM sektor transportasi mencapai lebih dari dua kali
lipat dalam kurun waktu tahun 1990-2005 (ESDM, 2007). Lebih dari 80% pemakaian
BBM sektor transportasi tersebut digunakan oleh transportasi darat. Pemakaian BBM
Kota di persimpangan jalan 15
oleh sektor transportasi paling dominan dibandingkan dengan sektor lainnya (industri,
rumah tangga dan listrik). Proporsinya bahkan meningkat, bila pada tahun 1990
masih pada kisaran 45% pemakaian BBM nasional, maka pada tahun 2007 mencapai
56% (Christiono, 2008).
1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian
Tiap jenis emisi pada asap kendaraan bermotor yang terakumulasi di udara ambien
dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia sebagaimana yang dirangkum
dalam Kotak 1.3. Memang sebagian besar dampak tersebut tidak langsung terdeteksi
pada saat manusia menghirup zat pencemar udara. Selain itu, tidak seluruh jenis
pencemar udara kasat mata seperti yang telah dijelaskan pada Kotak 1.2. Akibatnya
bahaya emisi gas buang kendaraan bermotor seringkali terabaikan.
Dampak emisi gas buang kendaraan bermotor tidak langsung terdeteksi
akibat adanya dua selang waktu (delay), yaitu:
(i) zat pencemar masih harus terakumulasi dulu sampai akhirnya melampaui
daya tampung udara di sekitar.
(ii) ada pula selang waktu antara saat individu menghirup zat pencemar hingga
ditemui adanya dampak kesehatan.
Lamanya delay ini bervariasi, mulai dari gangguan pernafasan yang dapat terjadi
dalam hitungan menit dan jam, hingga bisa puluhan tahun sampai seseorang
terdiagnosa menderita kanker.
Studi World Bank memperkirakan kerugian ekonomi akibat pencemaran udara di
Jakarta pada tahun 1989 sebesar Rp 500 milyar yang diperhitungkan dari 1.200
kematian prematur, 464 ribu penyakit asma dan 32 juta gangguan saluran pernafasan
(Shah dan Nagpal, 1997). Sementara studi ADB (Syahril dkk, 2002) memperkirakan
kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh beberapa jenis
pencemar (SO2, NO2 dan PM10) pada tahun 1998 di Jakarta mencapai sebesar
Rp 1,78 trilyun. Bila dicermati jumlah kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada tahun
1998 di atas setara dengan satu persen PDRB DKI Jakarta atau sama dengan total
penerimaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun tersebut.
16 Apa yang menjadi persoalan?
Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan
bermotor
Karbon monoksida (CO) yang terhirup memiliki kemampuan untuk
berikatan dengan hemoglobin (Hb), pigmen sel darah merah yang
mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan
karboksihemoglobin yang 200 kali lebih stabil dibandingkan ikatan Hb
dengan oksigen (oksihemoglobin). Akibatnya fungsi Hb yang membawa
oksigen ke seluruh tubuh terganggu. Kondisi seperti ini bisa berakibat
serius, bahkan fatal, karena bisa sampai menyebabkan kematian.
Hidrokarbon (HC) di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan
akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hydrocarbon
(PAH). Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan
merangsang terbentuknya sel-sel kanker.
Oksida nitrogen (NOx) seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia.
Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO.
Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2
yang bersifat racun terutama terhadap paru. Pemajanan NO2 dengan kadar
5 ppm selama 10 menit mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.
Sulfur dioksida (SO2) menimbulkan iritasi pada sistem penafasan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada
kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih. Bahkan pada beberapa individu yang
sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang
berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang
mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu
dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan
SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah.
Ozon (O3) pada kadar 0,3 ppm mulai menyebabkan terjadinya iritasi pada
hidung dan tenggorokan. Kontak dengan ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm
Kota di persimpangan jalan 17
selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing
dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon
berkadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan gejala
pembengkakan paru (edema pulmonari).
Partikulat (debu) berpengaruh terhadap kesehatan, tergantung pada
ukurannya. Partikulat yang berbahaya berukuran antara 0,1-10 mikron.
Pada umumnya partikulat berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung
masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sementara yang
lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian
atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan dapat menjadi lebih parah bila
terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang terdapat di udara juga.
Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin
akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus
pandang mata (visibility).
Timbel (Pb) yang berikatan dengan partikulat di udara berbahaya bagi
kesehatan. Logam tersebut dapat terhirup dan bersifat akumulatif. Pb dapat
bereaksi dengan senyawa dalam protein yang menyebabkan pengendapan
protein dan menghambat pembuatan hemoglobin. Gejala keracunan kronis
bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala,
anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan penglihatan.
Sumber: Kompilasi dari Depkes (2007)
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran udara di Jakarta tahun 1998 = total penerimaan Pemda DKI Jakarta tahun 1998.
Selain itu, saat terjadi pencemaran udara maka ekosistem pendukung kehidupan
manusia akan terganggu. Seperti tingginya konsentrasi SO2 dan NOx di udara dapat
terbawa ke bumi oleh air hujan (deposisi basah) dan mengakibatkan air hujan bersifat
18 Apa yang menjadi persoalan?
asam (Soedomo, 2001). Apabila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 maka hujan bersifat
asam dan dapat mengikis bangunan/gedung karena bersifat korosif serta merusak
kehidupan biota di badan air (sungai/danau).
Perlu digarisbawahi bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak hanya
berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara, tapi juga menyebabkan
banyak efek negatif lainnya. Antara lain, kemacetan di berbagai ruas jalan,
meroketnya permintaan BBM, berkurangnya ruang terbuka hijau akibat alih fungsi
untuk jalan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas (Barter dan Raad, 2000).
Penggunaan kendaraan bermotor sejatinya
ditujukan untuk menunjang berbagai kegiatan
perekonomian di sebuah kota. Namun pada
akhirnya justru berbalik memberikan kerugian
ekonomi yang sangat signifikan bagi kota tersebut.
Jika hanya dilihat dari sisi kemacetan saja, menurut Tamin (2008), kerugian akibat
kemacetan di ruas jalan Metropolitan Bandung setiap harinya mencapai Rp. 1,78
milyar. Sementara Studi SITRAMP 2 pada tahun 2004 melaporkan kerugian ekonomi
yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 5,5 trilyun
per tahun akibat bertambah panjangnya waktu tempuh dan meningkatnya biaya
operasional kendaraan (Bappenas dan JICA, 2004).
Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah strategi agar penggunaan kendaraan bermotor
dalam menunjang aktivitas manusia dan perekonomian tidak kemudian berbalik
memberikan dampak kesehatan serta kerugian ekonomi.
1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara
Otonomi daerah yang kini diatur dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah, telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah di Indonesia untuk secara
mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya (Warlan, 2004).
World Bank (2003) memproyeksikan kawasan perkotaan di Indonesia akan menjadi
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Kombinasi antara pertumbuhan
Kota di persimpangan jalan 19
Gam
bar
1.7
Ber
bag
ai d
amp
ak a
kib
at p
enin
gka
tan
jum
lah
kend
araa
n b
erm
oto
r
20 Apa yang menjadi persoalan?
ekonomi di kawasan perkotaan dan meningkatnya urbanisasi akan melahirkan
kebutuhan transportasi yang luar biasa. Bila hal ini tidak diantisipasi maka kota-kota
di Indonesia tidak akan dapat terhindar dari persoalan pencemaran udara.
Tidakkah ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk secara mandiri
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya di era otonomi daerah,
justru berbalik menyengsarakan masyarakatnya karena persoalan pencemaran udara
yang ditimbulkannya?
Sungguh ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya, justru berbalik menyengsarakan masyarakat karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya.
Bisa jadi Anda termasuk yang beranggapan bahwa pencemaran udara tidak perlu
dikhawatirkan karena merupakan trade-off dari pertambahan pendapatan yang
diperoleh. Nantinya persoalan tersebut akan mereda dengan sendirinya sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pola yang dialami oleh negara maju.
Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi? Pola hubungan antara
meningkatnya pendapatan per kapita dengan konsentrasi pencemar udara di negara
maju memang mengikuti bentuk kurva U terbalik (environmental kuznet curve)
seperti yang diuraikan lebih lanjut pada Kotak 1.4. Membaiknya kualitas udara
tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi sehingga memungkinkan negara
yang bersangkutan mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan kebijakan
pengendalian pencemaran udara yang efektif.
Tapi faktanya, beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang
saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat
perkembangan ekonomi yang sama (Marcotullio dkk, 2005). Artinya kualitas udara
ambien di negara berkembang memburuk dalam waktu yang lebih singkat daripada
yang dialami negara maju. Sebagai konsekuensinya maka negara berkembang harus
menghadapi persoalan pencemaran udara pada kondisi tingkat perkembangan ekonomi
yang masih lebih rendah daripada negara maju saat mengalami persoalan serupa.
Kota di persimpangan jalan 21
Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan
pencemaran udara
Pencemaran udara terjadi apabila konsentrasi pencemar di udara ambien
melebihi panduan kualitas udara ambien (ambient air quality guidelines) WHO
yang ditandai dengan garis tebal pada gambar di bawah. Terlihat bahwa
seiring dengan berkembangnya industri di negara maju, tingkat perkembangan
ekonomi meningkat, tapi pencemaran udara mulai menjadi persoalan. Maka
untuk mengatasi persoalan tersebut, dimulailah tahap pengendalian emisi
pencemar. Sekalipun demikian, kualitas udara tetap terus memburuk untuk
beberapa saat, sampai akhirnya memasuki tahap stabilisasi dan terjadi
perbaikan. Akhirnya kualitas udara dapat memenuhi panduan WHO setelah
diberlakukannya kebijakan padat teknologi.
Fakta menunjukkan bahwa beban pencemaran per kapita
yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih
besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami
tingkat perkembangan ekonomi yang sama.
Gambar kurva lingkungan Kuznet
Sumber: Peters dan Murray (2004)
Ting
kat p
ence
mar
an u
dara
Tahap 0Mulai industrialisasi
Tahap 1Mulai pengendalian
Tahap 2Kualitas udara stabil
Tahap 3Perbaikan kualitas udara
Tahap 4implementasiteknologi bersih
RendahTingkat pembangunan
Tinggi
Panduan kualitas udara ambien WHO
Selang waktu (delay) antara dimulainya upaya pengendalian emisi pencemar
hingga kualitas udara membaik terjadi karena:
(i) adanya pentahapan dalam melaksanakan suatu kebijakan dan
(ii) udara yang tercemar memerlukan waktu untuk memulihkan dirinya.
22 Apa yang menjadi persoalan?
Pada saat suatu kebijakan diumumkan, maka tidak langsung saat itu juga
terbentuk kondisi yang diinginkan. Misalnya pada saat diumumkan kewajiban
uji emisi, maka tidak serta merta esok harinya seluruh penduduk yang memiliki
kendaraan bermotor menguji emisi kendaraannya. Cepat atau lambatnya
kondisi yang diinginkan tercapai mencerminkan komitmen pemerintah dalam
melaksanakan suatu kebijakan.
Oleh karena itu keterbatasan dana yang tersedia merupakan tantangan yang harus
disiasati oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Semakin lama ditunda maka bisa
jadi besarnya dana yang diperlukan untuk melakukan intervensi menjadi sedemikian
besar sehingga tak terjangkau lagi. Belum lagi keberadaan umpan-balik dari dampak
pencemaran udara yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi
karena gangguan kesehatan dan kerugian material yang ditimbulkannya. Kota-kota di
Indonesia mau tak mau harus berpacu dengan waktu dan berinovasi untuk meyiasati
keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengendalikan pencemaran udara.
Kota di persimpangan jalan 1
Persoalan?1. Apa yang Menjadi
entunya kita semua sepakat bahwa udara yang bersih dan sehat sangatlah
dibutuhkan oleh setiap manusia dalam beraktivitas. Namun saat beraktivitas,
manusia justru melepaskan berbagai emisi atau zat yang berpotensi
untuk mencemari udara. Misalnya, saat menggunakan kendaraan bermotor,
memasak, menggunakan listrik, menghisap rokok, membakar sampah, dan lain
sebagainya. Bahkan setiap barang yang digunakan maupun dikonsumsi manusia
juga menghasilkan emisi pada saat proses produksi maupun distribusinya. Alhasil,
berbagai emisi yang terus menerus dilepaskan ke udara berpotensi menyebabkan
terjadinya pencemaran udara.
1
2 Apa yang menjadi persoalan?
Pencemaran udara berarti menurunnya kualitas udara sampai ke ambang yang
berdampak merugikan terhadap perikehidupan manusia maupun makhluk lainnya.
Manusia yang menghirup udara yang tercemar beresiko mengalami gangguan
kesehatan. Hal tersebut akan menghambat aktivitasnya, sehingga pendapatannya
menurun. Di samping itu sebagian pendapatan juga terpaksa dialokasikan untuk berobat.
Lebih jauh, daya tarik daerah yang udaranya tercemar terhadap investor maupun
pendatang akan berkurang, sehingga kemudian secara perlahan-lahan aktivitas ekonomi
di kawasan tersebut dapat menjadi stagnan atau bahkan menurun.
Sesuai fungsinya sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, maka di kawasan perkotaan
di Indonesia terjadi pemusatan penduduk dan aktivitasnya. Hal ini menyebabkan
kemungkinan terjadinya pencemaran udara di kawasan tersebut sangat besar. Salah satu
aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah
transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut
terus dipenuhi dengan kendaraan bermotor.
Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber
pencemar utama di kawasan perkotaan adalah
transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan
penduduk di kawasan tersebut terus menggunakan
kendaraan bermotor.
Jumlah kendaraan meningkatAktivitas manusia Emisi meningkat
Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara
Kota di persimpangan jalan 3
Pada Bab 1 ini akan diawali dengan paparan singkat mengenai proses terjadinya
pencemaran udara dan hasil pemantauan kualitas udara beberapa kota di Indonesia
yang telah memperlihatkan indikasi terjadinya pencemaran udara. Selanjutnya
dipaparkan tren distribusi penduduk di Indonesia yang memperlihatkan prosentase
penduduk kawasan perkotaan yang terus meningkat, yang diikuti dengan
peningkatan tren penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan yang juga
turut meningkat.
Kemudian dipaparkan pula mengenai kerugian akibat penggunaan kendaraan
bermotor yang tidak terkendali. Lalu Bab 1 ditutup dengan paparan mengenai
keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pencemaran udara. Uraian pada Bab 1
ini diharapkan dapat membuka mata semua pihak terkait mengenai resiko terjadinya
pencemaran udara dan dampaknya apabila pembangunan kawasan perkotaan di
Indonesia tidak mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor secara tepat.
1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara?
Sebelum kita membahas mengenai pencemaran udara, ada baiknya kita memahami
terlebih dahulu mengenai proses terjadinya pencemaran udara itu sendiri.
Dampak Pencemaran Udara :
. gangguan kesehatan
. pemanasan global
. kerugian ekonomi
Aktivitas manusia terganggu
4 Apa yang menjadi persoalan?
Gam
bar 1
.2 P
rose
s te
rjadi
nya
penc
emar
an u
dara
Kota di persimpangan jalan 5
Gambar 1.2 menunjukkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang mengeluarkan zat,
partikel atau emisi (polutan) ke udara, saat digunakan untuk menunjang aktivitas manusia.
Sebagian dari polutan yang dilepas ke udara tersebut dapat dilihat sebagai asap, tapi ada
pula yang tidak kasatmata. Dan ada pula polutan yang baru terbentuk akibat reaksi kimia
beberapa jenis polutan di udara, seperti oksidan fotokimia (O3).
Oleh angin, polutan kemudian disebarkan ke berbagai arah tergantung pada kecepatan dan
arah angin, sehingga konsentrasi polutan terencerkan. Namun perlu dicatat bahwa angin
tidak menghilangkan polutan dari atmosfer secara permanen, seringkali yang terjadi justru
pemindahan polutan dari lokasi sumber ke daerah tetangganya.
Untuk kota seperti Bandung yang berbentuk seperti mangkok, maka polutan yang tertiup
angin tetap terperangkap di dalam kawasan tersebut, karena adanya jajaran pegunungan
yang menghadang lajunya angin. Oleh karena itu, letak geografi dan bentuk topografi sebuah
kota juga memengaruhi tingkat pencemaran udara di kawasan tersebut.
Selain mengalami pengenceran, secara alamiah beberapa jenis polutan dapat hilang dari
udara karena diserap oleh tanaman, terbawa ke bumi oleh pengaruh gravitasi (deposisi
kering) atau terbawa oleh air hujan (deposisi basah).
Keberadaan seluruh mekanisme alamiah ini berfungsi mengatur keseimbangan kadar
polutan agar udara senantiasa dalam kondisi yang bersih dan sehat. Walaupun demikian
kemampuan mekanisme alamiah ini tetap ada batasnya. Apabila emisi dari aktivitas manusia
terus meningkat, akumulasi polutan yang diemisikan ke udara bebas menjadi lebih besar
daripada kemampuan mekanisme alamiah tersebut. Maka akibatnya konsentrasi polutan di
udara akan meningkat atau dengan kata lain kualitas udara menurun.
Bila penurunan kualitas terus terjadi hingga sampai ke tingkat tertentu, yang
berdampak pada menurunnya kemampuan udara untuk memenuhi fungsinya dalam
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, maka terjadilah
pencemaran udara.
6 Apa yang menjadi persoalan?
Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia
Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia yang tergabung dalam
Jaringan Pemantauan Kualitas Udara Ambien disampaikan secara terbuka
kepada masyarakat dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).
Jaringan ini dikelola oleh KNLH bersama dengan pemerintah daerah
setempat.
ISPU ditetapkan berdasarkan hasil perbandingan antara data hasil
pemantauan lima parameter utama pencemar udara - karbon monoksida
(CO), nitrogen oksida (NO2), ozon permukaan (O3), partikel berdiameter
lebih kecil dari 10 mikrometer (PM10), dan sulfur dioksida (SO2) terhadap
Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN).
Kualitas udara di Indonesia dalam bentuk ISPU dari tahun 2002 s.d.2005
ditampilkan pada tabel di bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruhnya
pernah mengalami hari tidak sehat atau bahkan lebih buruk. Artinya udara di
lima kota tersebut tercemar.
Dampak pencemaran udara terhadap kualitas hidup manusia, dapat terjadi secara
langsung berupa gangguan terhadap kesehatan manusia, maupun secara tidak
langsung berupa gangguan terhadap ekosistem pendukung kehidupan manusia,
seperti menurunnya ketahanan pangan akibat hujan asam dan kerugian ekonomi.
1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar
Sekarang mari kita simak data pada Kotak 1.1. Data yang merangkum
hasil pemantauan kualitas udara di lima kota terbesar di Indonesia dari tahun 2002-
2005 menunjukkan telah terjadinya pencemaran udara di seluruh kota tersebut.
Fakta tersebut diperkuat dengan data hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di
beberapa kota di Indonesia yang ditampilkan dalam Tabel 1.1.
Kota di persimpangan jalan 7
Kategori Medan Jakarta Bandung Semarang Surabaya
2002
Baik 55 22 62 179 44
Sedang 266 223 241 124 266
Tidak Sehat 22 95 4 4 11
Sangat tidak sehat 0 4 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 22 21 58 58 44
2003
Baik 128 18 76 82 49
Sedang 208 223 176 226 208
Tidak Sehat 0 67 11 1 2
Sangat Tidak Sehat 0 0 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 29 57 102 56 106
2004
Baik 135 18 64 60 74
Sedang 148 264 54 239 132
Tidak sehat 6 12 0 0 6
Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 79 71 247 66 153
2005
Baik 24 29 40 229 21
Sedang 0 270 14 83 175
Tidak sehat 0 18 0 0 0
Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 341 48 311 53 165
Tabel indeks kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia
(tahun 2002 – 2005)
Parameter kritis dominan penyebab pencemaran udara pada kota-kota
yang dipantau di atas selama tahun 2002 adalah PM10, kecuali untuk
DKI Jakarta adalah ozon permukaan (O3) (Rachmatunissa dan Hidayat,
2003). O3 adalah pencemar udara yang terbentuk sebagai produk reaksi
atmosferik antara NOx dengan hidrokarbon (HC) yang dipicu sinar
matahari (Soedomo, 2001). Baik NOx maupun HC merupakan pencemar
udara yang banyak dihasilkan oleh aktivitas transportasi.
Sumber: Rachmatunissa dan Hidayat (2003), KNLH (2004), KNLH (2005), dan KNLH (2006a).
8 Apa yang menjadi persoalan?
Data di atas merupakan sinyal bahwa akumulasi polutan yang diemisikan oleh aktivitas
di kota-kota besar tersebut telah melampaui kemampuan mekanisme alamiah yang
berfungsi menjaga agar udara tetap dalam keadaan yang bersih dan sehat. Tapi tingkat
pencemaran di masing-masing kota bervariasi, tergantung pada banyaknya polutan
yang diemisikan ke udara dan kemampuan mekanisme alamiah di kawasan tersebut.
Keduanya sangat ditentukan oleh karakteristik masing-masing kota seperti faktor
demografi, ekonomi dan geografi.
1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan
Jika melihat rumusan di atas, maka jumlah penduduk dan tingkat penggunaan kendaraan
bermotor merupakan dua faktor penting untuk melihat seberapa besar potensi
pencemaran yang mungkin terjadi di suatu kawasan perkotaan akibat aktivitas
transportasi. Semakin besar jumlah penduduk dan/atau tingkat aktivitasnya, maka potensi
pencemaran yang mungkin terjadi juga akan semakin besar.
Keterangan :
Tidak tercemar (tidak melampaui Baku Mutu Udara Ambien)
Tercemar (melampaui Baku Mutu Udara Ambien)
Data tidak lengkap
Tidak diukur pada tahun 2007
Sumber: KNLH (2008a), KNLH (2009)
Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008
No Kota
CO HC NO2 SO2 PM10 TSP O3
2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2007 2007
1 Medan
2 Palembang x x x x x x x
3 Jakarta Utara
4 Jakarta Timur
5Jakarta Selatan
6 Jakarta Barat
7 Jakarta Pusat
8 Bekasi x x x x x x x
9 Depok x x x x x x x
10 Tangerang x x x x x x x
11 Bandung
12 Yogyakarta
13 Semarang
14 Surabaya o
15 Denpasar o
16 Makassar o o
Kota di persimpangan jalan 9
Oleh karena itu, sebelum kita mengamati tingkat penggunaan kendaraan bermotor di
kawasan perkotaan Indonesia, mari pada Subbab 1.3 ini kita perhatikan pola distribusi
penduduk Indonesia. Gambar 1.3 memperlihatkan peningkatan prosentase penduduk
Indonesia yang bermukim di kawasan perkotaan (urbanisasi) dari waktu ke waktu.
Aktivitas yang berpotensi menggunakan kendaraan bemotor
Potensi pencemaran udara di suatu kawasan
Jumlah pendudukTa
hun
Sumber : UN (2008) dan Bappenas dkk (2005)
Urbanisasi (%)
Bila pada tahun 1970 hanya sekitar 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang
bermukim di perkotaan, maka pada tahun 2005 meningkat hingga 48 persen (UN, 2008).
Diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan
perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Kenyataan ini menunjukkan sedang berlangsungnya
transisi demografi di Indonesia dari masyarakat perdesaan menjadi masyarakat
perkotaan.
Gambar 1.3 : Urbanisasi di Indonesia (1975-2025)
0 � 10� 20� 30� 40� 50� 60 � 70 � 80 � 90 � 100
2025
2020
2015
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
10 Apa yang menjadi persoalan?
Sesuai dengan rumusan di atas, maka meningkatnya jumlah penduduk di kawasan
perkotaan tentunya berdampak pada meningkatnya potensi pencemaran udara di
kawasan tersebut. Apalagi mengingat tingkat aktivitas penduduk perkotaan yang relatif
lebih tinggi dibanding dengan kawasan perdesaan. Maka tak heran bila kualitas udara di
kota-kota metropolitan Indonesia terus memburuk, sebagaimana yang banyak juga terjadi
pada kota-kota lain di dunia.
1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat
Salah satu aktivitas yang berpotensi sebagai sumber pencemar utama di kawasan
perkotaan adalah transportasi. Padahal transportasi merupakan aspek penting yang
mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan. Sesuai fungsinya, di kawasan
perkotaan terjadi pertukaran barang, keahlian, ide, budaya, spiritual dan lainnya, yang
semuanya memunculkan kebutuhan pergerakan. Berpindahnya orang atau barang dari
satu tempat ke tempat lain untuk mencapai suatu tujuan tersebut yang didefinisikan
sebagai transportasi (Morlok, 1978).
Transportasi dapat dilakukan dengan beragam cara (moda), mulai dari berjalan kaki,
naik sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya, sepeda motor, mobil pribadi, taksi
atau angkutan umum. Transportasi dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat
mencemari udara bebas dengan emisi gas buangnya seperti dijelaskan pada Kotak
1.2. Tapi justru moda transportasi ini yang semakin banyak digunakan di kawasan
perkotaan.
Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan tercermin
dari pemandangan antrian panjang kendaraan bermotor yang semakin sering
dijumpai. Tidak hanya di kota metropolitan, kemacetan juga terjadi di beberapa kota
besar di Indonesia. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tersebut, seperti
diilustrasikan pada Gambar 1.4, sudah pasti berdampak pada peningkatan
kebutuhan ruas jalan dan penurunan kualitas udara.
Data statistik yang ditampilkan pada Gambar 1.5 menunjukkan jumlah kendaraan
bermotor di Indonesia bertambah secara eksponensial. Dalam 20 tahun terakhir, total
Kota di persimpangan jalan 11
Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor
Proses pembakaran bahan bakar yang menggerakan mesin kendaraan
bermotor menghasilkan gas buang yang mengandung pencemar karbon
monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon
(HC), dan partikulat (PM) (Soedomo, 2001). Lebih lanjut reaksi oksida
nitrogen dan hidrokarbon yang diinisiasi sinar matahari berpotensi
menghasilkan oksidan fotokimia (O3).
Sementara bila bahan bakar yang digunakan mengandung zat aditif seperti
timbel, maka zat tersebut dapat ditemui pula di dalam gas buangnya.
Bahkan pada saat pembakaran terjadi secara sempurna sekalipun,
kendaraan bermotor masih mengemisikan karbon dioksida (CO2) yang
berpotensi mengakibatkan pemanasan global.
Perlu digarisbawahi bawah tidak seluruh emisi gas buang kendaraan
bermotor tersebut dapat terlihat (kasatmata). Walaupun tidak kasat mata,
emisi gas buang tersebut tetap sangat berbahaya bagi kesehatan.
Gambar emisi gas buang yang tidak selalu kasat mata
12 Apa yang menjadi persoalan?
Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor
jumlah kendaraan bermotor menjadi hampir enam kali lipat. Laju pertumbuhannya
lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia. Pertumbuhan paling cepat
terjadi untuk kategori sepeda motor dan mobil. Secara rata-rata tingkat kepemilikan
sepeda motor kendaraan bermotor meningkat dari sekitar 34 sepeda motor
per 1000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 130 pada tahun 2005. Sementara
mobil meningkat dari sekitar 7 menjadi 25 unit per 1000 penduduk.
Persoalan pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang berdampak pada
kemacetan panjang, biasanya diatasi secara parsial, yaitu dengan penambahan atau
pelebaran jalan. Padahal solusi pembangunan jalan yang dilakukan di kota mana pun
tidak pernah berhasil karena hanya akan mengatasi kemacetan sesaat. Sebaliknya,
justru akan semakin memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Solusi seperti
ini sama seperti mengatasi kegemukan dengan membuat baju yang berukuran lebih
besar.
2Kendaraan bermotor pribadi
terus bertambah
1Kendaraan bermotor pribadi masih dalam jumlah terbatas
3Sudah tergantung pada
kendaraan bermotor pribadi
Kota di persimpangan jalan 13
Bis Truk Mobil Sepeda Motor
Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor
ternyata lebih cepat daripada laju pertambahan
jumlah penduduk di Indonesia.
Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007
Sumber: BPS (2006) dan Christiono (2008)
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Jum
lah
(juta
uni
t)
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
14 Apa yang menjadi persoalan?
Solusi pembangunan jalan tidak pernah berhasil
mengatasi kemacetan, sebaliknya justru akan memicu
pertambahan jumlah kendaraan bermotor.
Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan
Penyebaran penduduk Indonesia yang terpusat di kawasan perkotaan akan
mendorong perilaku yang sama terhadap penyebaran kendaraan bermotor. Apalagi
tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan bisa jadi lebih tinggi
daripada rata-rata nasional. Hal ini selain karena didorong kebutuhan pergerakan
tiap orang yang relatif lebih tinggi, juga dipengaruhi tingkat pendapatan penduduk.
Sumbangan sektor-sektor yang menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 70 persen (BPS, 2006).
Oleh karena itu tingkat pendapatan penduduk perkotaan relatif lebih tinggi dari
rata-rata nasional.
Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor juga tercermin dari pemakaian
bahan bakar minyak (BBM) oleh sektor transportasi juga turut meningkat.
Peningkatan total pemakaian BBM sektor transportasi mencapai lebih dari dua kali
lipat dalam kurun waktu tahun 1990-2005 (ESDM, 2007). Lebih dari 80% pemakaian
BBM sektor transportasi tersebut digunakan oleh transportasi darat. Pemakaian BBM
Kota di persimpangan jalan 15
oleh sektor transportasi paling dominan dibandingkan dengan sektor lainnya (industri,
rumah tangga dan listrik). Proporsinya bahkan meningkat, bila pada tahun 1990
masih pada kisaran 45% pemakaian BBM nasional, maka pada tahun 2007 mencapai
56% (Christiono, 2008).
1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian
Tiap jenis emisi pada asap kendaraan bermotor yang terakumulasi di udara ambien
dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia sebagaimana yang dirangkum
dalam Kotak 1.3. Memang sebagian besar dampak tersebut tidak langsung terdeteksi
pada saat manusia menghirup zat pencemar udara. Selain itu, tidak seluruh jenis
pencemar udara kasat mata seperti yang telah dijelaskan pada Kotak 1.2. Akibatnya
bahaya emisi gas buang kendaraan bermotor seringkali terabaikan.
Dampak emisi gas buang kendaraan bermotor tidak langsung terdeteksi
akibat adanya dua selang waktu (delay), yaitu:
(i) zat pencemar masih harus terakumulasi dulu sampai akhirnya melampaui
daya tampung udara di sekitar.
(ii) ada pula selang waktu antara saat individu menghirup zat pencemar hingga
ditemui adanya dampak kesehatan.
Lamanya delay ini bervariasi, mulai dari gangguan pernafasan yang dapat terjadi
dalam hitungan menit dan jam, hingga bisa puluhan tahun sampai seseorang
terdiagnosa menderita kanker.
Studi World Bank memperkirakan kerugian ekonomi akibat pencemaran udara di
Jakarta pada tahun 1989 sebesar Rp 500 milyar yang diperhitungkan dari 1.200
kematian prematur, 464 ribu penyakit asma dan 32 juta gangguan saluran pernafasan
(Shah dan Nagpal, 1997). Sementara studi ADB (Syahril dkk, 2002) memperkirakan
kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh beberapa jenis
pencemar (SO2, NO2 dan PM10) pada tahun 1998 di Jakarta mencapai sebesar
Rp 1,78 trilyun. Bila dicermati jumlah kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada tahun
1998 di atas setara dengan satu persen PDRB DKI Jakarta atau sama dengan total
penerimaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun tersebut.
16 Apa yang menjadi persoalan?
Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan
bermotor
Karbon monoksida (CO) yang terhirup memiliki kemampuan untuk
berikatan dengan hemoglobin (Hb), pigmen sel darah merah yang
mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan
karboksihemoglobin yang 200 kali lebih stabil dibandingkan ikatan Hb
dengan oksigen (oksihemoglobin). Akibatnya fungsi Hb yang membawa
oksigen ke seluruh tubuh terganggu. Kondisi seperti ini bisa berakibat
serius, bahkan fatal, karena bisa sampai menyebabkan kematian.
Hidrokarbon (HC) di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan
akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hydrocarbon
(PAH). Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan
merangsang terbentuknya sel-sel kanker.
Oksida nitrogen (NOx) seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia.
Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO.
Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2
yang bersifat racun terutama terhadap paru. Pemajanan NO2 dengan kadar
5 ppm selama 10 menit mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.
Sulfur dioksida (SO2) menimbulkan iritasi pada sistem penafasan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada
kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih. Bahkan pada beberapa individu yang
sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang
berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang
mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu
dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan
SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah.
Ozon (O3) pada kadar 0,3 ppm mulai menyebabkan terjadinya iritasi pada
hidung dan tenggorokan. Kontak dengan ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm
Kota di persimpangan jalan 17
selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing
dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon
berkadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan gejala
pembengkakan paru (edema pulmonari).
Partikulat (debu) berpengaruh terhadap kesehatan, tergantung pada
ukurannya. Partikulat yang berbahaya berukuran antara 0,1-10 mikron.
Pada umumnya partikulat berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung
masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sementara yang
lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian
atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan dapat menjadi lebih parah bila
terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang terdapat di udara juga.
Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin
akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus
pandang mata (visibility).
Timbel (Pb) yang berikatan dengan partikulat di udara berbahaya bagi
kesehatan. Logam tersebut dapat terhirup dan bersifat akumulatif. Pb dapat
bereaksi dengan senyawa dalam protein yang menyebabkan pengendapan
protein dan menghambat pembuatan hemoglobin. Gejala keracunan kronis
bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala,
anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan penglihatan.
Sumber: Kompilasi dari Depkes (2007)
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran udara di Jakarta tahun 1998 = total penerimaan Pemda DKI Jakarta tahun 1998.
Selain itu, saat terjadi pencemaran udara maka ekosistem pendukung kehidupan
manusia akan terganggu. Seperti tingginya konsentrasi SO2 dan NOx di udara dapat
terbawa ke bumi oleh air hujan (deposisi basah) dan mengakibatkan air hujan bersifat
18 Apa yang menjadi persoalan?
asam (Soedomo, 2001). Apabila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 maka hujan bersifat
asam dan dapat mengikis bangunan/gedung karena bersifat korosif serta merusak
kehidupan biota di badan air (sungai/danau).
Perlu digarisbawahi bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak hanya
berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara, tapi juga menyebabkan
banyak efek negatif lainnya. Antara lain, kemacetan di berbagai ruas jalan,
meroketnya permintaan BBM, berkurangnya ruang terbuka hijau akibat alih fungsi
untuk jalan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas (Barter dan Raad, 2000).
Penggunaan kendaraan bermotor sejatinya
ditujukan untuk menunjang berbagai kegiatan
perekonomian di sebuah kota. Namun pada
akhirnya justru berbalik memberikan kerugian
ekonomi yang sangat signifikan bagi kota tersebut.
Jika hanya dilihat dari sisi kemacetan saja, menurut Tamin (2008), kerugian akibat
kemacetan di ruas jalan Metropolitan Bandung setiap harinya mencapai Rp. 1,78
milyar. Sementara Studi SITRAMP 2 pada tahun 2004 melaporkan kerugian ekonomi
yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 5,5 trilyun
per tahun akibat bertambah panjangnya waktu tempuh dan meningkatnya biaya
operasional kendaraan (Bappenas dan JICA, 2004).
Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah strategi agar penggunaan kendaraan bermotor
dalam menunjang aktivitas manusia dan perekonomian tidak kemudian berbalik
memberikan dampak kesehatan serta kerugian ekonomi.
1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara
Otonomi daerah yang kini diatur dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah, telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah di Indonesia untuk secara
mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya (Warlan, 2004).
World Bank (2003) memproyeksikan kawasan perkotaan di Indonesia akan menjadi
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Kombinasi antara pertumbuhan
Kota di persimpangan jalan 19
Gam
bar
1.7
Ber
bag
ai d
amp
ak a
kib
at p
enin
gka
tan
jum
lah
kend
araa
n b
erm
oto
r
20 Apa yang menjadi persoalan?
ekonomi di kawasan perkotaan dan meningkatnya urbanisasi akan melahirkan
kebutuhan transportasi yang luar biasa. Bila hal ini tidak diantisipasi maka kota-kota
di Indonesia tidak akan dapat terhindar dari persoalan pencemaran udara.
Tidakkah ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk secara mandiri
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya di era otonomi daerah,
justru berbalik menyengsarakan masyarakatnya karena persoalan pencemaran udara
yang ditimbulkannya?
Sungguh ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya, justru berbalik menyengsarakan masyarakat karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya.
Bisa jadi Anda termasuk yang beranggapan bahwa pencemaran udara tidak perlu
dikhawatirkan karena merupakan trade-off dari pertambahan pendapatan yang
diperoleh. Nantinya persoalan tersebut akan mereda dengan sendirinya sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pola yang dialami oleh negara maju.
Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi? Pola hubungan antara
meningkatnya pendapatan per kapita dengan konsentrasi pencemar udara di negara
maju memang mengikuti bentuk kurva U terbalik (environmental kuznet curve)
seperti yang diuraikan lebih lanjut pada Kotak 1.4. Membaiknya kualitas udara
tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi sehingga memungkinkan negara
yang bersangkutan mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan kebijakan
pengendalian pencemaran udara yang efektif.
Tapi faktanya, beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang
saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat
perkembangan ekonomi yang sama (Marcotullio dkk, 2005). Artinya kualitas udara
ambien di negara berkembang memburuk dalam waktu yang lebih singkat daripada
yang dialami negara maju. Sebagai konsekuensinya maka negara berkembang harus
menghadapi persoalan pencemaran udara pada kondisi tingkat perkembangan ekonomi
yang masih lebih rendah daripada negara maju saat mengalami persoalan serupa.
Kota di persimpangan jalan 21
Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan
pencemaran udara
Pencemaran udara terjadi apabila konsentrasi pencemar di udara ambien
melebihi panduan kualitas udara ambien (ambient air quality guidelines) WHO
yang ditandai dengan garis tebal pada gambar di bawah. Terlihat bahwa
seiring dengan berkembangnya industri di negara maju, tingkat perkembangan
ekonomi meningkat, tapi pencemaran udara mulai menjadi persoalan. Maka
untuk mengatasi persoalan tersebut, dimulailah tahap pengendalian emisi
pencemar. Sekalipun demikian, kualitas udara tetap terus memburuk untuk
beberapa saat, sampai akhirnya memasuki tahap stabilisasi dan terjadi
perbaikan. Akhirnya kualitas udara dapat memenuhi panduan WHO setelah
diberlakukannya kebijakan padat teknologi.
Fakta menunjukkan bahwa beban pencemaran per kapita
yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih
besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami
tingkat perkembangan ekonomi yang sama.
Gambar kurva lingkungan Kuznet
Sumber: Peters dan Murray (2004)
Ting
kat p
ence
mar
an u
dara
Tahap 0Mulai industrialisasi
Tahap 1Mulai pengendalian
Tahap 2Kualitas udara stabil
Tahap 3Perbaikan kualitas udara
Tahap 4implementasiteknologi bersih
RendahTingkat pembangunan
Tinggi
Panduan kualitas udara ambien WHO
Selang waktu (delay) antara dimulainya upaya pengendalian emisi pencemar
hingga kualitas udara membaik terjadi karena:
(i) adanya pentahapan dalam melaksanakan suatu kebijakan dan
(ii) udara yang tercemar memerlukan waktu untuk memulihkan dirinya.
22 Apa yang menjadi persoalan?
Pada saat suatu kebijakan diumumkan, maka tidak langsung saat itu juga
terbentuk kondisi yang diinginkan. Misalnya pada saat diumumkan kewajiban
uji emisi, maka tidak serta merta esok harinya seluruh penduduk yang memiliki
kendaraan bermotor menguji emisi kendaraannya. Cepat atau lambatnya
kondisi yang diinginkan tercapai mencerminkan komitmen pemerintah dalam
melaksanakan suatu kebijakan.
Oleh karena itu keterbatasan dana yang tersedia merupakan tantangan yang harus
disiasati oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Semakin lama ditunda maka bisa
jadi besarnya dana yang diperlukan untuk melakukan intervensi menjadi sedemikian
besar sehingga tak terjangkau lagi. Belum lagi keberadaan umpan-balik dari dampak
pencemaran udara yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi
karena gangguan kesehatan dan kerugian material yang ditimbulkannya. Kota-kota di
Indonesia mau tak mau harus berpacu dengan waktu dan berinovasi untuk meyiasati
keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengendalikan pencemaran udara.
Kota di persimpangan jalan 1
Persoalan?1. Apa yang Menjadi
entunya kita semua sepakat bahwa udara yang bersih dan sehat sangatlah
dibutuhkan oleh setiap manusia dalam beraktivitas. Namun saat beraktivitas,
manusia justru melepaskan berbagai emisi atau zat yang berpotensi
untuk mencemari udara. Misalnya, saat menggunakan kendaraan bermotor,
memasak, menggunakan listrik, menghisap rokok, membakar sampah, dan lain
sebagainya. Bahkan setiap barang yang digunakan maupun dikonsumsi manusia
juga menghasilkan emisi pada saat proses produksi maupun distribusinya. Alhasil,
berbagai emisi yang terus menerus dilepaskan ke udara berpotensi menyebabkan
terjadinya pencemaran udara.
1
2 Apa yang menjadi persoalan?
Pencemaran udara berarti menurunnya kualitas udara sampai ke ambang yang
berdampak merugikan terhadap perikehidupan manusia maupun makhluk lainnya.
Manusia yang menghirup udara yang tercemar beresiko mengalami gangguan
kesehatan. Hal tersebut akan menghambat aktivitasnya, sehingga pendapatannya
menurun. Di samping itu sebagian pendapatan juga terpaksa dialokasikan untuk berobat.
Lebih jauh, daya tarik daerah yang udaranya tercemar terhadap investor maupun
pendatang akan berkurang, sehingga kemudian secara perlahan-lahan aktivitas ekonomi
di kawasan tersebut dapat menjadi stagnan atau bahkan menurun.
Sesuai fungsinya sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, maka di kawasan perkotaan
di Indonesia terjadi pemusatan penduduk dan aktivitasnya. Hal ini menyebabkan
kemungkinan terjadinya pencemaran udara di kawasan tersebut sangat besar. Salah satu
aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah
transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut
terus dipenuhi dengan kendaraan bermotor.
Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber
pencemar utama di kawasan perkotaan adalah
transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan
penduduk di kawasan tersebut terus menggunakan
kendaraan bermotor.
Jumlah kendaraan meningkatAktivitas manusia Emisi meningkat
Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara
Kota di persimpangan jalan 3
Pada Bab 1 ini akan diawali dengan paparan singkat mengenai proses terjadinya
pencemaran udara dan hasil pemantauan kualitas udara beberapa kota di Indonesia
yang telah memperlihatkan indikasi terjadinya pencemaran udara. Selanjutnya
dipaparkan tren distribusi penduduk di Indonesia yang memperlihatkan prosentase
penduduk kawasan perkotaan yang terus meningkat, yang diikuti dengan
peningkatan tren penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan yang juga
turut meningkat.
Kemudian dipaparkan pula mengenai kerugian akibat penggunaan kendaraan
bermotor yang tidak terkendali. Lalu Bab 1 ditutup dengan paparan mengenai
keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pencemaran udara. Uraian pada Bab 1
ini diharapkan dapat membuka mata semua pihak terkait mengenai resiko terjadinya
pencemaran udara dan dampaknya apabila pembangunan kawasan perkotaan di
Indonesia tidak mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor secara tepat.
1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara?
Sebelum kita membahas mengenai pencemaran udara, ada baiknya kita memahami
terlebih dahulu mengenai proses terjadinya pencemaran udara itu sendiri.
Dampak Pencemaran Udara :
. gangguan kesehatan
. pemanasan global
. kerugian ekonomi
Aktivitas manusia terganggu
4 Apa yang menjadi persoalan?
Gam
bar 1
.2 P
rose
s te
rjadi
nya
penc
emar
an u
dara
Kota di persimpangan jalan 5
Gambar 1.2 menunjukkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang mengeluarkan zat,
partikel atau emisi (polutan) ke udara, saat digunakan untuk menunjang aktivitas manusia.
Sebagian dari polutan yang dilepas ke udara tersebut dapat dilihat sebagai asap, tapi ada
pula yang tidak kasatmata. Dan ada pula polutan yang baru terbentuk akibat reaksi kimia
beberapa jenis polutan di udara, seperti oksidan fotokimia (O3).
Oleh angin, polutan kemudian disebarkan ke berbagai arah tergantung pada kecepatan dan
arah angin, sehingga konsentrasi polutan terencerkan. Namun perlu dicatat bahwa angin
tidak menghilangkan polutan dari atmosfer secara permanen, seringkali yang terjadi justru
pemindahan polutan dari lokasi sumber ke daerah tetangganya.
Untuk kota seperti Bandung yang berbentuk seperti mangkok, maka polutan yang tertiup
angin tetap terperangkap di dalam kawasan tersebut, karena adanya jajaran pegunungan
yang menghadang lajunya angin. Oleh karena itu, letak geografi dan bentuk topografi sebuah
kota juga memengaruhi tingkat pencemaran udara di kawasan tersebut.
Selain mengalami pengenceran, secara alamiah beberapa jenis polutan dapat hilang dari
udara karena diserap oleh tanaman, terbawa ke bumi oleh pengaruh gravitasi (deposisi
kering) atau terbawa oleh air hujan (deposisi basah).
Keberadaan seluruh mekanisme alamiah ini berfungsi mengatur keseimbangan kadar
polutan agar udara senantiasa dalam kondisi yang bersih dan sehat. Walaupun demikian
kemampuan mekanisme alamiah ini tetap ada batasnya. Apabila emisi dari aktivitas manusia
terus meningkat, akumulasi polutan yang diemisikan ke udara bebas menjadi lebih besar
daripada kemampuan mekanisme alamiah tersebut. Maka akibatnya konsentrasi polutan di
udara akan meningkat atau dengan kata lain kualitas udara menurun.
Bila penurunan kualitas terus terjadi hingga sampai ke tingkat tertentu, yang
berdampak pada menurunnya kemampuan udara untuk memenuhi fungsinya dalam
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, maka terjadilah
pencemaran udara.
6 Apa yang menjadi persoalan?
Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia
Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia yang tergabung dalam
Jaringan Pemantauan Kualitas Udara Ambien disampaikan secara terbuka
kepada masyarakat dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).
Jaringan ini dikelola oleh KNLH bersama dengan pemerintah daerah
setempat.
ISPU ditetapkan berdasarkan hasil perbandingan antara data hasil
pemantauan lima parameter utama pencemar udara - karbon monoksida
(CO), nitrogen oksida (NO2), ozon permukaan (O3), partikel berdiameter
lebih kecil dari 10 mikrometer (PM10), dan sulfur dioksida (SO2) terhadap
Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN).
Kualitas udara di Indonesia dalam bentuk ISPU dari tahun 2002 s.d.2005
ditampilkan pada tabel di bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruhnya
pernah mengalami hari tidak sehat atau bahkan lebih buruk. Artinya udara di
lima kota tersebut tercemar.
Dampak pencemaran udara terhadap kualitas hidup manusia, dapat terjadi secara
langsung berupa gangguan terhadap kesehatan manusia, maupun secara tidak
langsung berupa gangguan terhadap ekosistem pendukung kehidupan manusia,
seperti menurunnya ketahanan pangan akibat hujan asam dan kerugian ekonomi.
1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar
Sekarang mari kita simak data pada Kotak 1.1. Data yang merangkum
hasil pemantauan kualitas udara di lima kota terbesar di Indonesia dari tahun 2002-
2005 menunjukkan telah terjadinya pencemaran udara di seluruh kota tersebut.
Fakta tersebut diperkuat dengan data hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di
beberapa kota di Indonesia yang ditampilkan dalam Tabel 1.1.
Kota di persimpangan jalan 7
Kategori Medan Jakarta Bandung Semarang Surabaya
2002
Baik 55 22 62 179 44
Sedang 266 223 241 124 266
Tidak Sehat 22 95 4 4 11
Sangat tidak sehat 0 4 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 22 21 58 58 44
2003
Baik 128 18 76 82 49
Sedang 208 223 176 226 208
Tidak Sehat 0 67 11 1 2
Sangat Tidak Sehat 0 0 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 29 57 102 56 106
2004
Baik 135 18 64 60 74
Sedang 148 264 54 239 132
Tidak sehat 6 12 0 0 6
Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 79 71 247 66 153
2005
Baik 24 29 40 229 21
Sedang 0 270 14 83 175
Tidak sehat 0 18 0 0 0
Sangat tidak sehat 0 0 0 0 0
Berbahaya 0 0 0 0 0
Tidak ada data 341 48 311 53 165
Tabel indeks kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia
(tahun 2002 – 2005)
Parameter kritis dominan penyebab pencemaran udara pada kota-kota
yang dipantau di atas selama tahun 2002 adalah PM10, kecuali untuk
DKI Jakarta adalah ozon permukaan (O3) (Rachmatunissa dan Hidayat,
2003). O3 adalah pencemar udara yang terbentuk sebagai produk reaksi
atmosferik antara NOx dengan hidrokarbon (HC) yang dipicu sinar
matahari (Soedomo, 2001). Baik NOx maupun HC merupakan pencemar
udara yang banyak dihasilkan oleh aktivitas transportasi.
Sumber: Rachmatunissa dan Hidayat (2003), KNLH (2004), KNLH (2005), dan KNLH (2006a).
8 Apa yang menjadi persoalan?
Data di atas merupakan sinyal bahwa akumulasi polutan yang diemisikan oleh aktivitas
di kota-kota besar tersebut telah melampaui kemampuan mekanisme alamiah yang
berfungsi menjaga agar udara tetap dalam keadaan yang bersih dan sehat. Tapi tingkat
pencemaran di masing-masing kota bervariasi, tergantung pada banyaknya polutan
yang diemisikan ke udara dan kemampuan mekanisme alamiah di kawasan tersebut.
Keduanya sangat ditentukan oleh karakteristik masing-masing kota seperti faktor
demografi, ekonomi dan geografi.
1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan
Jika melihat rumusan di atas, maka jumlah penduduk dan tingkat penggunaan kendaraan
bermotor merupakan dua faktor penting untuk melihat seberapa besar potensi
pencemaran yang mungkin terjadi di suatu kawasan perkotaan akibat aktivitas
transportasi. Semakin besar jumlah penduduk dan/atau tingkat aktivitasnya, maka potensi
pencemaran yang mungkin terjadi juga akan semakin besar.
Keterangan :
Tidak tercemar (tidak melampaui Baku Mutu Udara Ambien)
Tercemar (melampaui Baku Mutu Udara Ambien)
Data tidak lengkap
Tidak diukur pada tahun 2007
Sumber: KNLH (2008a), KNLH (2009)
Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008
No Kota
CO HC NO2 SO2 PM10 TSP O3
2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2007 2007
1 Medan
2 Palembang x x x x x x x
3 Jakarta Utara
4 Jakarta Timur
5Jakarta Selatan
6 Jakarta Barat
7 Jakarta Pusat
8 Bekasi x x x x x x x
9 Depok x x x x x x x
10 Tangerang x x x x x x x
11 Bandung
12 Yogyakarta
13 Semarang
14 Surabaya o
15 Denpasar o
16 Makassar o o
Kota di persimpangan jalan 9
Oleh karena itu, sebelum kita mengamati tingkat penggunaan kendaraan bermotor di
kawasan perkotaan Indonesia, mari pada Subbab 1.3 ini kita perhatikan pola distribusi
penduduk Indonesia. Gambar 1.3 memperlihatkan peningkatan prosentase penduduk
Indonesia yang bermukim di kawasan perkotaan (urbanisasi) dari waktu ke waktu.
Aktivitas yang berpotensi menggunakan kendaraan bemotor
Potensi pencemaran udara di suatu kawasan
Jumlah pendudukTa
hun
Sumber : UN (2008) dan Bappenas dkk (2005)
Urbanisasi (%)
Bila pada tahun 1970 hanya sekitar 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang
bermukim di perkotaan, maka pada tahun 2005 meningkat hingga 48 persen (UN, 2008).
Diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan
perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Kenyataan ini menunjukkan sedang berlangsungnya
transisi demografi di Indonesia dari masyarakat perdesaan menjadi masyarakat
perkotaan.
Gambar 1.3 : Urbanisasi di Indonesia (1975-2025)
0 � 10� 20� 30� 40� 50� 60 � 70 � 80 � 90 � 100
2025
2020
2015
2010
2005
2000
1995
1990
1985
1980
1975
1970
10 Apa yang menjadi persoalan?
Sesuai dengan rumusan di atas, maka meningkatnya jumlah penduduk di kawasan
perkotaan tentunya berdampak pada meningkatnya potensi pencemaran udara di
kawasan tersebut. Apalagi mengingat tingkat aktivitas penduduk perkotaan yang relatif
lebih tinggi dibanding dengan kawasan perdesaan. Maka tak heran bila kualitas udara di
kota-kota metropolitan Indonesia terus memburuk, sebagaimana yang banyak juga terjadi
pada kota-kota lain di dunia.
1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat
Salah satu aktivitas yang berpotensi sebagai sumber pencemar utama di kawasan
perkotaan adalah transportasi. Padahal transportasi merupakan aspek penting yang
mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan. Sesuai fungsinya, di kawasan
perkotaan terjadi pertukaran barang, keahlian, ide, budaya, spiritual dan lainnya, yang
semuanya memunculkan kebutuhan pergerakan. Berpindahnya orang atau barang dari
satu tempat ke tempat lain untuk mencapai suatu tujuan tersebut yang didefinisikan
sebagai transportasi (Morlok, 1978).
Transportasi dapat dilakukan dengan beragam cara (moda), mulai dari berjalan kaki,
naik sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya, sepeda motor, mobil pribadi, taksi
atau angkutan umum. Transportasi dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat
mencemari udara bebas dengan emisi gas buangnya seperti dijelaskan pada Kotak
1.2. Tapi justru moda transportasi ini yang semakin banyak digunakan di kawasan
perkotaan.
Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan tercermin
dari pemandangan antrian panjang kendaraan bermotor yang semakin sering
dijumpai. Tidak hanya di kota metropolitan, kemacetan juga terjadi di beberapa kota
besar di Indonesia. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tersebut, seperti
diilustrasikan pada Gambar 1.4, sudah pasti berdampak pada peningkatan
kebutuhan ruas jalan dan penurunan kualitas udara.
Data statistik yang ditampilkan pada Gambar 1.5 menunjukkan jumlah kendaraan
bermotor di Indonesia bertambah secara eksponensial. Dalam 20 tahun terakhir, total
Kota di persimpangan jalan 11
Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor
Proses pembakaran bahan bakar yang menggerakan mesin kendaraan
bermotor menghasilkan gas buang yang mengandung pencemar karbon
monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon
(HC), dan partikulat (PM) (Soedomo, 2001). Lebih lanjut reaksi oksida
nitrogen dan hidrokarbon yang diinisiasi sinar matahari berpotensi
menghasilkan oksidan fotokimia (O3).
Sementara bila bahan bakar yang digunakan mengandung zat aditif seperti
timbel, maka zat tersebut dapat ditemui pula di dalam gas buangnya.
Bahkan pada saat pembakaran terjadi secara sempurna sekalipun,
kendaraan bermotor masih mengemisikan karbon dioksida (CO2) yang
berpotensi mengakibatkan pemanasan global.
Perlu digarisbawahi bawah tidak seluruh emisi gas buang kendaraan
bermotor tersebut dapat terlihat (kasatmata). Walaupun tidak kasat mata,
emisi gas buang tersebut tetap sangat berbahaya bagi kesehatan.
Gambar emisi gas buang yang tidak selalu kasat mata
12 Apa yang menjadi persoalan?
Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor
jumlah kendaraan bermotor menjadi hampir enam kali lipat. Laju pertumbuhannya
lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia. Pertumbuhan paling cepat
terjadi untuk kategori sepeda motor dan mobil. Secara rata-rata tingkat kepemilikan
sepeda motor kendaraan bermotor meningkat dari sekitar 34 sepeda motor
per 1000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 130 pada tahun 2005. Sementara
mobil meningkat dari sekitar 7 menjadi 25 unit per 1000 penduduk.
Persoalan pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang berdampak pada
kemacetan panjang, biasanya diatasi secara parsial, yaitu dengan penambahan atau
pelebaran jalan. Padahal solusi pembangunan jalan yang dilakukan di kota mana pun
tidak pernah berhasil karena hanya akan mengatasi kemacetan sesaat. Sebaliknya,
justru akan semakin memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Solusi seperti
ini sama seperti mengatasi kegemukan dengan membuat baju yang berukuran lebih
besar.
2Kendaraan bermotor pribadi
terus bertambah
1Kendaraan bermotor pribadi masih dalam jumlah terbatas
3Sudah tergantung pada
kendaraan bermotor pribadi
Kota di persimpangan jalan 13
Bis Truk Mobil Sepeda Motor
Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor
ternyata lebih cepat daripada laju pertambahan
jumlah penduduk di Indonesia.
Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007
Sumber: BPS (2006) dan Christiono (2008)
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Jum
lah
(juta
uni
t)
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
14 Apa yang menjadi persoalan?
Solusi pembangunan jalan tidak pernah berhasil
mengatasi kemacetan, sebaliknya justru akan memicu
pertambahan jumlah kendaraan bermotor.
Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan
Penyebaran penduduk Indonesia yang terpusat di kawasan perkotaan akan
mendorong perilaku yang sama terhadap penyebaran kendaraan bermotor. Apalagi
tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan bisa jadi lebih tinggi
daripada rata-rata nasional. Hal ini selain karena didorong kebutuhan pergerakan
tiap orang yang relatif lebih tinggi, juga dipengaruhi tingkat pendapatan penduduk.
Sumbangan sektor-sektor yang menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 70 persen (BPS, 2006).
Oleh karena itu tingkat pendapatan penduduk perkotaan relatif lebih tinggi dari
rata-rata nasional.
Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor juga tercermin dari pemakaian
bahan bakar minyak (BBM) oleh sektor transportasi juga turut meningkat.
Peningkatan total pemakaian BBM sektor transportasi mencapai lebih dari dua kali
lipat dalam kurun waktu tahun 1990-2005 (ESDM, 2007). Lebih dari 80% pemakaian
BBM sektor transportasi tersebut digunakan oleh transportasi darat. Pemakaian BBM
Kota di persimpangan jalan 15
oleh sektor transportasi paling dominan dibandingkan dengan sektor lainnya (industri,
rumah tangga dan listrik). Proporsinya bahkan meningkat, bila pada tahun 1990
masih pada kisaran 45% pemakaian BBM nasional, maka pada tahun 2007 mencapai
56% (Christiono, 2008).
1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian
Tiap jenis emisi pada asap kendaraan bermotor yang terakumulasi di udara ambien
dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia sebagaimana yang dirangkum
dalam Kotak 1.3. Memang sebagian besar dampak tersebut tidak langsung terdeteksi
pada saat manusia menghirup zat pencemar udara. Selain itu, tidak seluruh jenis
pencemar udara kasat mata seperti yang telah dijelaskan pada Kotak 1.2. Akibatnya
bahaya emisi gas buang kendaraan bermotor seringkali terabaikan.
Dampak emisi gas buang kendaraan bermotor tidak langsung terdeteksi
akibat adanya dua selang waktu (delay), yaitu:
(i) zat pencemar masih harus terakumulasi dulu sampai akhirnya melampaui
daya tampung udara di sekitar.
(ii) ada pula selang waktu antara saat individu menghirup zat pencemar hingga
ditemui adanya dampak kesehatan.
Lamanya delay ini bervariasi, mulai dari gangguan pernafasan yang dapat terjadi
dalam hitungan menit dan jam, hingga bisa puluhan tahun sampai seseorang
terdiagnosa menderita kanker.
Studi World Bank memperkirakan kerugian ekonomi akibat pencemaran udara di
Jakarta pada tahun 1989 sebesar Rp 500 milyar yang diperhitungkan dari 1.200
kematian prematur, 464 ribu penyakit asma dan 32 juta gangguan saluran pernafasan
(Shah dan Nagpal, 1997). Sementara studi ADB (Syahril dkk, 2002) memperkirakan
kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh beberapa jenis
pencemar (SO2, NO2 dan PM10) pada tahun 1998 di Jakarta mencapai sebesar
Rp 1,78 trilyun. Bila dicermati jumlah kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada tahun
1998 di atas setara dengan satu persen PDRB DKI Jakarta atau sama dengan total
penerimaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun tersebut.
16 Apa yang menjadi persoalan?
Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan
bermotor
Karbon monoksida (CO) yang terhirup memiliki kemampuan untuk
berikatan dengan hemoglobin (Hb), pigmen sel darah merah yang
mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan
karboksihemoglobin yang 200 kali lebih stabil dibandingkan ikatan Hb
dengan oksigen (oksihemoglobin). Akibatnya fungsi Hb yang membawa
oksigen ke seluruh tubuh terganggu. Kondisi seperti ini bisa berakibat
serius, bahkan fatal, karena bisa sampai menyebabkan kematian.
Hidrokarbon (HC) di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan
akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hydrocarbon
(PAH). Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan
merangsang terbentuknya sel-sel kanker.
Oksida nitrogen (NOx) seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia.
Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO.
Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2
yang bersifat racun terutama terhadap paru. Pemajanan NO2 dengan kadar
5 ppm selama 10 menit mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.
Sulfur dioksida (SO2) menimbulkan iritasi pada sistem penafasan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada
kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih. Bahkan pada beberapa individu yang
sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang
berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang
mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu
dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan
SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah.
Ozon (O3) pada kadar 0,3 ppm mulai menyebabkan terjadinya iritasi pada
hidung dan tenggorokan. Kontak dengan ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm
Kota di persimpangan jalan 17
selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing
dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon
berkadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan gejala
pembengkakan paru (edema pulmonari).
Partikulat (debu) berpengaruh terhadap kesehatan, tergantung pada
ukurannya. Partikulat yang berbahaya berukuran antara 0,1-10 mikron.
Pada umumnya partikulat berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung
masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sementara yang
lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian
atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan dapat menjadi lebih parah bila
terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang terdapat di udara juga.
Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin
akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus
pandang mata (visibility).
Timbel (Pb) yang berikatan dengan partikulat di udara berbahaya bagi
kesehatan. Logam tersebut dapat terhirup dan bersifat akumulatif. Pb dapat
bereaksi dengan senyawa dalam protein yang menyebabkan pengendapan
protein dan menghambat pembuatan hemoglobin. Gejala keracunan kronis
bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala,
anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan penglihatan.
Sumber: Kompilasi dari Depkes (2007)
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran udara di Jakarta tahun 1998 = total penerimaan Pemda DKI Jakarta tahun 1998.
Selain itu, saat terjadi pencemaran udara maka ekosistem pendukung kehidupan
manusia akan terganggu. Seperti tingginya konsentrasi SO2 dan NOx di udara dapat
terbawa ke bumi oleh air hujan (deposisi basah) dan mengakibatkan air hujan bersifat
18 Apa yang menjadi persoalan?
asam (Soedomo, 2001). Apabila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 maka hujan bersifat
asam dan dapat mengikis bangunan/gedung karena bersifat korosif serta merusak
kehidupan biota di badan air (sungai/danau).
Perlu digarisbawahi bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak hanya
berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara, tapi juga menyebabkan
banyak efek negatif lainnya. Antara lain, kemacetan di berbagai ruas jalan,
meroketnya permintaan BBM, berkurangnya ruang terbuka hijau akibat alih fungsi
untuk jalan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas (Barter dan Raad, 2000).
Penggunaan kendaraan bermotor sejatinya
ditujukan untuk menunjang berbagai kegiatan
perekonomian di sebuah kota. Namun pada
akhirnya justru berbalik memberikan kerugian
ekonomi yang sangat signifikan bagi kota tersebut.
Jika hanya dilihat dari sisi kemacetan saja, menurut Tamin (2008), kerugian akibat
kemacetan di ruas jalan Metropolitan Bandung setiap harinya mencapai Rp. 1,78
milyar. Sementara Studi SITRAMP 2 pada tahun 2004 melaporkan kerugian ekonomi
yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 5,5 trilyun
per tahun akibat bertambah panjangnya waktu tempuh dan meningkatnya biaya
operasional kendaraan (Bappenas dan JICA, 2004).
Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah strategi agar penggunaan kendaraan bermotor
dalam menunjang aktivitas manusia dan perekonomian tidak kemudian berbalik
memberikan dampak kesehatan serta kerugian ekonomi.
1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara
Otonomi daerah yang kini diatur dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah, telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah di Indonesia untuk secara
mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya (Warlan, 2004).
World Bank (2003) memproyeksikan kawasan perkotaan di Indonesia akan menjadi
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Kombinasi antara pertumbuhan
Kota di persimpangan jalan 19
Gam
bar
1.7
Ber
bag
ai d
amp
ak a
kib
at p
enin
gka
tan
jum
lah
kend
araa
n b
erm
oto
r
20 Apa yang menjadi persoalan?
ekonomi di kawasan perkotaan dan meningkatnya urbanisasi akan melahirkan
kebutuhan transportasi yang luar biasa. Bila hal ini tidak diantisipasi maka kota-kota
di Indonesia tidak akan dapat terhindar dari persoalan pencemaran udara.
Tidakkah ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk secara mandiri
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya di era otonomi daerah,
justru berbalik menyengsarakan masyarakatnya karena persoalan pencemaran udara
yang ditimbulkannya?
Sungguh ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya, justru berbalik menyengsarakan masyarakat karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya.
Bisa jadi Anda termasuk yang beranggapan bahwa pencemaran udara tidak perlu
dikhawatirkan karena merupakan trade-off dari pertambahan pendapatan yang
diperoleh. Nantinya persoalan tersebut akan mereda dengan sendirinya sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pola yang dialami oleh negara maju.
Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi? Pola hubungan antara
meningkatnya pendapatan per kapita dengan konsentrasi pencemar udara di negara
maju memang mengikuti bentuk kurva U terbalik (environmental kuznet curve)
seperti yang diuraikan lebih lanjut pada Kotak 1.4. Membaiknya kualitas udara
tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi sehingga memungkinkan negara
yang bersangkutan mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan kebijakan
pengendalian pencemaran udara yang efektif.
Tapi faktanya, beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang
saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat
perkembangan ekonomi yang sama (Marcotullio dkk, 2005). Artinya kualitas udara
ambien di negara berkembang memburuk dalam waktu yang lebih singkat daripada
yang dialami negara maju. Sebagai konsekuensinya maka negara berkembang harus
menghadapi persoalan pencemaran udara pada kondisi tingkat perkembangan ekonomi
yang masih lebih rendah daripada negara maju saat mengalami persoalan serupa.
Kota di persimpangan jalan 21
Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan
pencemaran udara
Pencemaran udara terjadi apabila konsentrasi pencemar di udara ambien
melebihi panduan kualitas udara ambien (ambient air quality guidelines) WHO
yang ditandai dengan garis tebal pada gambar di bawah. Terlihat bahwa
seiring dengan berkembangnya industri di negara maju, tingkat perkembangan
ekonomi meningkat, tapi pencemaran udara mulai menjadi persoalan. Maka
untuk mengatasi persoalan tersebut, dimulailah tahap pengendalian emisi
pencemar. Sekalipun demikian, kualitas udara tetap terus memburuk untuk
beberapa saat, sampai akhirnya memasuki tahap stabilisasi dan terjadi
perbaikan. Akhirnya kualitas udara dapat memenuhi panduan WHO setelah
diberlakukannya kebijakan padat teknologi.
Fakta menunjukkan bahwa beban pencemaran per kapita
yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih
besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami
tingkat perkembangan ekonomi yang sama.
Gambar kurva lingkungan Kuznet
Sumber: Peters dan Murray (2004)
Ting
kat p
ence
mar
an u
dara
Tahap 0Mulai industrialisasi
Tahap 1Mulai pengendalian
Tahap 2Kualitas udara stabil
Tahap 3Perbaikan kualitas udara
Tahap 4implementasiteknologi bersih
RendahTingkat pembangunan
Tinggi
Panduan kualitas udara ambien WHO
Selang waktu (delay) antara dimulainya upaya pengendalian emisi pencemar
hingga kualitas udara membaik terjadi karena:
(i) adanya pentahapan dalam melaksanakan suatu kebijakan dan
(ii) udara yang tercemar memerlukan waktu untuk memulihkan dirinya.
22 Apa yang menjadi persoalan?
Pada saat suatu kebijakan diumumkan, maka tidak langsung saat itu juga
terbentuk kondisi yang diinginkan. Misalnya pada saat diumumkan kewajiban
uji emisi, maka tidak serta merta esok harinya seluruh penduduk yang memiliki
kendaraan bermotor menguji emisi kendaraannya. Cepat atau lambatnya
kondisi yang diinginkan tercapai mencerminkan komitmen pemerintah dalam
melaksanakan suatu kebijakan.
Oleh karena itu keterbatasan dana yang tersedia merupakan tantangan yang harus
disiasati oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Semakin lama ditunda maka bisa
jadi besarnya dana yang diperlukan untuk melakukan intervensi menjadi sedemikian
besar sehingga tak terjangkau lagi. Belum lagi keberadaan umpan-balik dari dampak
pencemaran udara yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi
karena gangguan kesehatan dan kerugian material yang ditimbulkannya. Kota-kota di
Indonesia mau tak mau harus berpacu dengan waktu dan berinovasi untuk meyiasati
keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengendalikan pencemaran udara.
xvi Kota di persimpangan Jalan
Kontak:
Asisten Deputi Urusan Pengendalian Pencemaran Emisi Sumber Bergerak
Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran LingkunganKementerian Negara Lingkungan Hidup
Gedung B Lantai IVJl. D.I. Panjaitan Kav. 24 – Jakarta 13410
Telp: 021 – 8591 1207Fax: 021 - 8590 6678
Surel: [email protected]: http://www.menlh.go.id