5
KUAETNIKA Sebuah komunitas seni SANGGAR UNTUK PERTUMBUHAN Jika anda menyaksikan pertunjukan Kelompok musik KUA ETNIKA dan kemudian anda terheran- heran kenapa mereka bisa kompak padahal tanpa berpedoman partitur, jawabannya sederhana: karena mereka – para pemusik itu – bekerja dengan hati yang satu. Pribadi-pribadi yang berkumpul di situ sudah lebur dalam pergumulan kreatif yang cukup lama, sehingga di antara mereka seperti ada “tali jiwa” yang selalu mengikatnya. Mereka memiliki perasaan yang sama, yaitu kepercayaan pada penjelajahan kreativitas atas dasar intuisi dengan mengutamakan “situasi mood” sebagai pedoman kreatif. Eksplorasi estetis musikal tidak berangkat dari sebuah disiplin baku, dari konvensi-konvensi yang terakui secara formal, melainkan dari kesadaran “mengolah apa yang ada, apa yang tersedia”. Ini tak ubahnya yang selalu mewarani proses olah cipta para seniman tradisional di Indonesia dalam melakukan kreasi-kreasi keseniannya. Bisa dimaklumi karena memang umumnya para pendukung komunitas ini lahir dan tumbuh dalam latar tradisi (Jawa dan Bali) yang kental. Dan itulah musik “kua etnika” garapan Djaduk Ferianto yang merupakan penggalian atas musik etnik dengan pendekatan modern. Komunitas Seni Kua Etnika memang sebuah sanggar. Didirikan antara lain oleh Djaduk Ferianto, Butet Kartaredjasa, dan Purwanto pada tahun 1995, sanggar ini merupakan medan interaksi dari sejumlah pekerja seni: pemusik, penyair dan pemain teater. Sejak awal tahun 80-an, secara temporal dan sporadis, para pendukung yang terhimpun di sini telah melakukan interaksi kreatif dalam berbagai kesempatan. Antara lain melalui Teater Gandrik, Padepokan Seni Bagong K, Komunitas Pak Kanjeng (1993-1995), dan Teater Paku. Setelah berproses dalam kelompok-kelompok kesenian itu, mereka semakin memantapkan diri sebagai sebuah kelompok kesenian yang solid. Sebagai sebuah komunitas mereka bergerak dalam satu niat yang sama, yaitu melakukan penjelajahan kreatif ulang-alik, antara kesenian tradisional dan kesenian modern; antara “eksplorasi bebas yang idealistik” dengan “eksplorasi pragmatis yang industrial”. Mereka meyakini bahwa dua kutub yang berseberangan itu, yang terkadang mengandung nilai-nilai yang bertentangan, pada satu momentum perlu disinergikan. Dipertemukan untuk dipetik manfaatnya. Karena itulah, sejak tahun 1997 komunitas ini memberanikan diri membangun sebuah sanggar seluas 600 meter persegi, di desa Kersan, Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan. Bantul, Yogyakarta, Indonesia. Di sanggar yang dibangun secara swadaya, yang akhirnya dilengkapi sebuah studio rekaman ini, kemudian tersambunglah proses budaya ulang-alik itu. Suatu saat mereka menjelajah dari satu konser ke konser lain di berbagai gedung kesenian serius. Tetapi, pada suatu kali, mereka tidak merasa merosot derajatnya karena harus melakukan pertunjukan mengiringi penyanyi pop di layar televisi, atau pun ke acara bersifat hiburan dalam aneka kemasan. Mereka menjadikan seni musik sebagai atmosfer kreatif. Dalam payung kelompok musik Kua Etnika mereka melakukan penggalian musik-musik etnik, perkusif dan memadukannya dengan instrument elektrik, seperti tampak dalam pertunjukan ke Eropa kali ini. Saat yang sama mereka juga menafsir kembali musik keroncong dalam semangat daur ulang sebagaimana tercermin dalam album musik Orkes Sinten Remen. Dengan model pendekatan ini musik keroncong tampil dalam kemasan yang lebih familier bagi generasi baru karena di dalamnya terkandung jazz, blues, rock’n roll, country dan ndangdut. Di kesempatan yang lain, dengan bendera Orkes Melayu Banter Banget, mereka pun menyentuh wilayah musik melayu yang kental sekali warna ndangdut-nya. Namun sanggar ini tak hanya menampung kegelisahan bermusik. Kegiatan berteater pun juga berproses di situ sebagaimana dilakukan Teater Gandrik, salah satu kelompok teater terkemuka di Indonesia.

KUAETNIKA

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KUAETNIKA

KUAETNIKASebuah komunitas seni

SANGGAR UNTUK PERTUMBUHANJika anda menyaksikan pertunjukan Kelompok musik KUA ETNIKA dan kemudian anda terheran-heran kenapa mereka bisa kompak padahal tanpa berpedoman partitur, jawabannya sederhana: karena mereka – para pemusik itu – bekerja dengan hati yang satu. Pribadi-pribadi yang berkumpul di situ sudah lebur dalam pergumulan kreatif yang cukup lama, sehingga di antara mereka seperti ada “tali jiwa” yang selalu mengikatnya. Mereka memiliki perasaan yang sama, yaitu kepercayaan pada penjelajahan kreativitas atas dasar intuisi dengan mengutamakan “situasi mood” sebagai pedoman kreatif. Eksplorasi estetis musikal tidak berangkat dari sebuah disiplin baku, dari konvensi-konvensi yang terakui secara formal, melainkan dari kesadaran “mengolah apa yang ada, apa yang tersedia”. Ini tak ubahnya yang selalu mewarani proses olah cipta para seniman tradisional di Indonesia dalam melakukan kreasi-kreasi keseniannya. Bisa dimaklumi karena memang umumnya para pendukung komunitas ini lahir dan tumbuh dalam latar tradisi (Jawa dan Bali) yang kental. Dan itulah musik “kua etnika” garapan Djaduk Ferianto yang merupakan penggalian atas musik etnik dengan pendekatan modern. Komunitas Seni Kua Etnika memang sebuah sanggar. Didirikan antara lain oleh Djaduk Ferianto, Butet Kartaredjasa, dan Purwanto pada tahun 1995, sanggar ini merupakan medan interaksi dari sejumlah pekerja seni: pemusik, penyair dan pemain teater. Sejak awal tahun 80-an, secara temporal dan sporadis, para pendukung yang terhimpun di sini telah melakukan interaksi kreatif dalam berbagai kesempatan. Antara lain melalui Teater Gandrik, Padepokan Seni Bagong K, Komunitas Pak Kanjeng (1993-1995), dan Teater Paku. Setelah berproses dalam kelompok-kelompok kesenian itu, mereka semakin memantapkan diri sebagai sebuah kelompok kesenian yang solid. Sebagai sebuah komunitas mereka bergerak dalam satu niat yang sama, yaitu melakukan penjelajahan kreatif ulang-alik, antara kesenian tradisional dan kesenian modern; antara “eksplorasi bebas yang idealistik” dengan “eksplorasi pragmatis yang industrial”. Mereka meyakini bahwa dua kutub yang berseberangan itu, yang terkadang mengandung nilai-nilai yang bertentangan, pada satu momentum perlu disinergikan. Dipertemukan untuk dipetik manfaatnya. Karena itulah, sejak tahun 1997 komunitas ini memberanikan diri membangun sebuah sanggar seluas 600 meter persegi, di desa Kersan, Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan. Bantul, Yogyakarta, Indonesia. Di sanggar yang dibangun secara swadaya, yang akhirnya dilengkapi sebuah studio rekaman ini, kemudian tersambunglah proses budaya ulang-alik itu. Suatu saat mereka menjelajah dari satu konser ke konser lain di berbagai gedung kesenian serius. Tetapi, pada suatu kali, mereka tidak merasa merosot derajatnya karena harus melakukan pertunjukan mengiringi penyanyi pop di layar televisi, atau pun ke acara bersifat hiburan dalam aneka kemasan. Mereka menjadikan seni musik sebagai atmosfer kreatif. Dalam payung kelompok musik Kua Etnika mereka melakukan penggalian musik-musik etnik, perkusif dan memadukannya dengan instrument elektrik, seperti tampak dalam pertunjukan ke Eropa kali ini. Saat yang sama mereka juga menafsir kembali musik keroncong dalam semangat daur ulang sebagaimana tercermin dalam album musik Orkes Sinten Remen. Dengan model pendekatan ini musik keroncong tampil dalam kemasan yang lebih familier bagi generasi baru karena di dalamnya terkandung jazz, blues, rock’n roll, country dan ndangdut. Di kesempatan yang lain, dengan bendera Orkes Melayu Banter Banget, mereka pun menyentuh wilayah musik melayu yang kental sekali warna ndangdut-nya. Namun sanggar ini tak hanya menampung kegelisahan bermusik. Kegiatan berteater pun juga berproses di situ sebagaimana dilakukan Teater Gandrik, salah satu kelompok teater terkemuka di Indonesia. Juga kegiatan pengembangan pemikiran kebudayaan yang secara berkala dilakukan dalam forum Jagongan Wagen, baik berupa dialog interaktif maupun pementasan bagi seniman-seniman dari luar kota. Komunitas ini senantiasa ingin memberikan ruang pertumbuhan bagi anggota dan warganya yang memang berniat mengembangkan diri dalam olah kesenian. 

LANDASAN KREATIFTapi kenapa mereka menggali musik etnik? Tentang hal ini bisa diterangkan bahwa dalam sejarahnya, khasanah musik etnik di Indonesia telah mampu diuji oleh waktu. Hal itu disebabkan antara lain oleh dua hal. Pertama, masing-masing memiliki kekhasan, kelebihan, kekuatan dan bahkan keagungannya sendiri. Dan kedua, oleh dukungan masyarakatnya. Akan tetapi, ketika nilai-nilai modernitas beserta produk budayanya (budaya massa/pop) menggelombang, dan bahkan mampu mendominasi budaya masyarakat, -- musik etnik di Indonesia pun tergeser ke wilayah pinggiran. Artinya, wilayah habitat musik etnik di Indonesia makin mengecil, begitu pula dengan jumlah pendukungnya. Berkat keliatan sikap budaya pendukungnya, musik

Page 2: KUAETNIKA

etnik sampai kini tetap bertahan, meskipun menempati posisi pinggiran. Melihat kenyataan itu, mereka merasa perlu menciptakan revitalisasi musik etnik. Untuk itu, dibutuhkan terobosan budaya, terobosan kreatif dalam mengolah musik etnik, sehingga hasil olahan itu memiliki relevansi dan memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat modern. Upaya revitalisasi itu antara lain melalui pendekatan dan penafsiran yang berbeda (baru) dari yang selama ini ada. Itu artinya, mengolah musik etnik dengan sentuhan atau nafas modern, tanpa harus kehilangan spirit dasarnya/spirit tradisi. Dalam prakteknya, pola-pola irama tradisi dikembangkan semaksimal mungkin, sehingga diharapkan lahir “musik etnik alternatif”. Dasar keyakinan kerja kreatif itu ialah bahwa musik etnik di Indonesia, baik instrumen, melodi, maupun iramanya, senantiasa terbuka terhadap kemungkinan baru. Termasuk didalamnya upaya mendialogkan khasanah musik etnik dengan khasanah musik Barat, maupun mendialogkan antar musik etnik itu sendiri yang berasal dari daerah yang berbeda, misalnya musik etnik Bali dengan Jawa atau Sunda atau Minang. Dari berbagai rajutan dialog musikal itu diharapkan mampu melahirkan apa yang disebut “harmoni keindonesiaan”, tanpa melenyapkan karakter masing-masing musik etnik. 

MENJALIN INTERAKSI Bertolak dari kesadaran bahwa kesempatan belajar dan pengembangan diri tidak hanya diperoleh melalui bangku pendidikan formal, melainkan juga bisa didapat dari kesempatan berinteraksi dengan berbagai praktisi kesenian lainnya, maka komunitas ini senantiasa membuka diri untuk bekerjasama dalam penggarapan seni pertunjukan untuk panggung atau pun televisi. Baik sebagai pribadi maupun kelompok. Salah satu bentuk kolaborasi yang pernah dilakukan, misalnya, penggarapan acara musik di RCTI “Dua Warna” (1996-1997) di mana Djaduk bersama Aminoto Kosin dan Erwin Gutawa mencoba mempertemukan musik etnik dan elektrik pada lagu-lagu pop. Dan menggarap variety show “Pasar Rakyat 76” di televisi dengan menjadikan Orkes Sinten Remen sebagai pemusik utamanya. Selain itu, juga melakukan penggarapan musik untuk tari dengan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Eksotika Karmawibangga, Miroto and Dancers, Sentot Sudiarto; dengan Teater Koma dan Teater Gandrik: juga dengan para sineas Teguh Karya, Garin Nugroho, Slamet Rahardjo, Uci Supra, Nano Riantiarno, untuk pembuatan illustrasi musik film ataupun sinetron. Bahkan dalam perkembangannya komunitas ini melakukan kolaborasi kreatif bersama pemusik-pemusik manca negara, antara lain dengan para pemusik Malaysia yang menghasilkan konser “Many Skin”. Dan tahun 2003 lalu berproses dengan grup Pata Masters dari Jerman dan menghasilkan sebuah pertunjukan dan album “Pata Java”. Album-album musik itu melengkapi karya-karya sebelumnya yaitu: Nang-ning-nong Orkes Sumpeg, Ritus Swara dan Unen-Unen. Sejak akhir 90-an, tanpa segan komunitas seni Kuaetnika membuka pintunya bagi anak-anak muda, gerakan musik mereka, apapun bentuk musik dan potongan rambut mereka. Kuaetnika membuka diri pada berbagai selera musik anak muda ini bahkan sampai yang paling ekstrim. Shaggy Dog, Melancholic Bitch, Mock Me Not, Seek Six Sick, Cross Bottom, maupun anak-ank muda dari Yayasan Berkata-kata Cepat Yogyakarta (baca; Jogja Hip Hop Foundation), adalah beberapa dari nama-nama kelompok musik yang pernah, sempat, bahkan sebagian masih berproses di studio Kuaetnika. Para personil Kuaetnika terbiasa terlibat dalam percakapan panjang dengan anak-anak muda ini, untuk bertukar pikiran , gagasan, dan bahkan bertukar kegelisahan. Setali tiga uang dengan kegelisahan mereka untuk membuka diri pada berbagai sumber dan medium kreasi, mereka pun tampak tak pernah lelah mendatangi berbagai ruang komunikasi, menabrak pula seluruh fiksi tentang komunikasi. Mereka merambah dan mencairkan gedung-gedung pertunjukan yang kaku, sama bersemangatnya dengan acara-acara panggung terbuka di kampung-kampung dan di tengah pasar tradisional, atau berkolaborasi dengan musisi pop di acara tv. Ngamen di 5 kota di 5 negara Eropa di tahun 2004 disikapi sama seriusnya dengan ngamen di kota-kota pesisir utara pulau Jawa.

TRIE UTAMI Awalnya, ia tak lekas menerima tawaran untuk menjadi vokalis dari sebuah kelompok jazz asal Bandung. “Menjadi penyanyi bukan cita-cita saya. Menjadi tokoh sentral tak menarik,” katanya. Kalau saja percakapan itu selesai di sana mungkin kita akan mengenalnya dengan cara yang berbeda. Kini, sulit mencari yang tak pernah mendengar suara vokalis kelahiran 8 januari 1968. di tahun 80-an, ia identik dengan Krakatau, band jazz yang sempat ditolaknya itu. Di tahun 90-an ia tampil bersama beberapa grup, selain menancapkan kukunya diantara penyanyi solo terdepan di Indonesia dan pula mendapatkan pengakuan dari berbagai festival dan kegiatan musik berskala internasional. Di paruh awal 2000-an ia mendapat gelar baru: Miss Pitch Control, seturut tag-line yang sering ia ucapkan beserta seluruh penampilannya yang dingin dan tajam dalam sebuah kompetisi vocal salah satu stasiun televisi. Pertemuannya dengan seni tradisi berlangsung sejak lama, bersamaan pertemuannya dengan seni modern. Di paruh 70-an bersamaan dengan studi piano klasik, ia belajar pula tari klasik Jawa dan Sunda. Di Krakatau, ia mendapatkan ruang eksplorasi mendalam

Page 3: KUAETNIKA

yang mempertemukan musikalitas pentatonic dan diatonic. Sejak itu, pertemuan musik tradisi dan musik modern menjadi agenda yang setia dijalaninya. Sejak paruh kedua 90-an, setelah sempat terlibat sebagai vokalis di komunitas musik Nyi Kanjeng, ia mulai bekerja sama dengan komunitas Kuaetnika. Mula-mula ia menjadi vokalis tamu di proyek-proyek Orkes Sinten Remen dan Kuaetnika, mengisi beberapa komposisi dalam album dan pertunjukan mereka. Kini, ia adalah penyanyi utama Kuaetnika. 

PEMUSIK KUAETNIKA

DJADUK FERIANTOYogyakarta, 19 Juli 1964 Fakultas Seni Rupa & Desain ISI –Yogyakarta Perkusi, Vokalis, Traditionil Flute 

PURWANTO Gunungkidul, 12 Januari 1967 ISI - Yogyakarta Bonang, Reong & Pamade 

INDRA GUNAWANMedan, 23 April 1970 ISI - Yogyakarta Keyboard (Synthes) 

I NYOMAN CAU ARSANA Badung (Bali), 7 November 1971 ISI - Yogyakarta Reong, Pamade & Saron SUWARJIYA Sleman, 26 Maret 1863 UNY (IKIP Yogyakarta) Saron & Pamade AGUS

WAHYUDI Yogyakarta, 17 Agustus 1975 UGM & ISI-Yogyakarta Keyboard 

FAFAN ISFANDIARMalang, 1974 ISI Yogyakarta Biola 

SUKOCO Bantul, 16 September 1967 SMKI Yogyakarta Kendang & Reong 

WARDOYOBrebes, 1969 ISI Yogyakarta Kendang Sunda 

PARDIMAN Bantul, ISI Yogyakarta Bonang & Saron 

I KETUT IDEP SUKAYANABangli (Bali), ISI Denpasar Reong & Ugal 

ADDITIONAL PEMUSIK KUAETNIKA 

BENY FUAD HERAWANBandung, 19 Desember 1976 ISI - Yogyakarta Drum 

DHANNY ERIAWAN WIBOWOMagelang, 1 Desember 1975 SMA Bass Guitar 

ARIE SENJAYANTOSemarang, 27 September 1973 USD-Yogyakarta Electrick & Acustik Guitar 

SILIR PUJIWATI Temanggung, 29 Mei 1975 ISI-Yogyakarta Vokal 

JAJOEK SURATMOPontianak, USD-Yogyakarta Vokal 

ALAMAT

Page 4: KUAETNIKA

Komunitas Seni Kuaetnika Studio & Workshop 

Komplek Padepokan Seni Bagong KussudihardjaJln. Bibis Raya, Gg. Nusa Indah No. 146 Kembaran Rt 04/Rw 21, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55183 

Kontak Person:•Butet Kartaredjasa+62811 269 [email protected]

• Sony Suprapto +62811 250 5429 [email protected] [email protected]