15
JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI © 2013 Magister Psikologi UMM, ISSN: 2303-2936 Volume I (1), 48 - 62 48 Kualitas hidup orang dengan HIV / AIDS yang mengikuti terapi antiretroviral Suhardiana Rachmawati Universitas Muhammadiyah Malang 1 Abstrak Menjadi ODHA merupakan suatu yang berat dalam hidup, dimana permasalahan yang kompleks selalu dihadapi setiap hari, bukan hanya berurusan dengan kondisi penyakit, tetapi kondisi penyakit yang disertai dengan stigma sosial yang sangat diskriminatif. Stigma dan diskriminasi ini seringkali menyebabkan menurunnya semangat hidup ODHA yang kemudian membawa efek dominan menurunnya kualitas hidup ODHA. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap secara mendalam kualitas hidup ODHA yang mengikuti terapi ARV dilihat dari segi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dalam bentuk studi kasus. Subjek yang diteliti dalam penelitian ini adalah Orang dengan HIV AIDS yang mengikuti terapi Antiretroviral. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara tidak berstruktur dan observasi nonpartisipan. Sedangkan alat bantu pengumpulan data penelitian menggunakan wawancara, observasi, alat perekam dan alat tulis. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kualitas hidup ODHA yang mengikuti terapi ARV dalam aspek fisik adalah baik karena ketiga subjek menyadari pentingnya menjaga kesehatan fisik sebagai ODHA dengan minum obat Antiretroviral tepat waktu sehingga tidak ada infeksi opportunistik yang muncul, sedangkan kualitas hidup ODHA secara emosional, sosial, dan spiritual adalah rendah dimana pada hasil penelitian menunjukkan bahwa ODHA kurang mengembangkan hubungan sosial dan kehidupan spiritualnya serta kurang memperoleh dukungan sosial baik dari keluarga dan orang-orang di sekitarnya yang menggambarkan bahwa stigma dan diskriminasi masih banyak yang dialami oleh ODHA. Kata kunci Kualitas Hidup, Orang dengan HIV AIDS (ODHA), Terapi Antiretroviral 1 Korespondensi ditujukan kepada Suhardiana Rachmawati, [email protected], telepon: 085234140274 Pendahuluan Masalah HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) dapat mengancam seluruh lapisan masyarakat dari berbagai kelas ekonomi, usia maupun jenis kelamin. Situasi yang dihadapi pende- rita HIV/AIDS sangat kompleks, selain harus menghadapi penyakitnya sendiri, mereka juga menghadapi stigma dan diskriminasi, sehingga mengalami masalah pada fisik, psikis, dan so- sial yang memerlukan intervensi komprehensif meliputi medikamentosa, nutrisi, dukungan sosial maupun psikoterapi/konseling (Effendy, 2008). Stigma dan diskriminasi pada ODHA da- pat terjadi di mana saja dan kapan saja, hal ini terutama dikarenakan stigma negatif yang dilekatkan pada ODHA, misalnya sampah masyarakat, pengguna narkotika, dan pelang- gan lokalisasi (Weber, 1993). Bentuk lain dari stigma berkembang melalui internalisasi oleh ODHA dengan persepsi negatif tentang diri mereka sendiri. Stigma dan diskriminasi yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan efek psikologi yang berat tentang bagaima- na ODHA melihat diri mereka sendiri, hal ini bisa mendorong terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri dan keputusasaan, sesuai dengan hasil penelitian Wagner et al. (2010) bahwa kondisi psikologis yang berat dihubung- kan dengan adanya stigma terhadap penyakit HIV. Stigma dan diskriminasi ini seringkali menyebabkan menurunnya semangat hidup ODHA yang kemudian membawa efek dominan menurunnya kualitas hidup ODHA.

Kualitas Hidup Orang Dengan HIV AIDS Yang Mengikuti Terapi Antiretroviral

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kualitas Hidup Orang Dengan HIV AIDS Yang Mengikuti Terapi Antiretroviral

Citation preview

  • JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013 Magister Psikologi UMM, ISSN: 2303-2936Volume I (1), 48 - 62

    48

    Kualitas hidup orang dengan HIV / AIDS yang mengikuti terapi antiretroviral

    Suhardiana Rachmawati Universitas Muhammadiyah Malang1

    Abstrak Menjadi ODHA merupakan suatu yang berat dalam hidup, dimana permasalahan yang kompleks selalu dihadapi setiap hari, bukan hanya berurusan dengan kondisi penyakit, tetapi kondisi penyakit yang disertai dengan stigma sosial yang sangat diskriminatif. Stigma dan diskriminasi ini seringkali menyebabkan menurunnya semangat hidup ODHA yang kemudian membawa efek dominan menurunnya kualitas hidup ODHA. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap secara mendalam kualitas hidup ODHA yang mengikuti terapi ARV dilihat dari segi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dalam bentuk studi kasus. Subjek yang diteliti dalam penelitian ini adalah Orang dengan HIV AIDS yang mengikuti terapi Antiretroviral. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara tidak berstruktur dan observasi nonpartisipan. Sedangkan alat bantu pengumpulan data penelitian menggunakan wawancara, observasi, alat perekam dan alat tulis. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kualitas hidup ODHA yang mengikuti terapi ARV dalam aspek fisik adalah baik karena ketiga subjek menyadari pentingnya menjaga kesehatan fisik sebagai ODHA dengan minum obat Antiretroviral tepat waktu sehingga tidak ada infeksi opportunistik yang muncul, sedangkan kualitas hidup ODHA secara emosional, sosial, dan spiritual adalah rendah dimana pada hasil penelitian menunjukkan bahwa ODHA kurang mengembangkan hubungan sosial dan kehidupan spiritualnya serta kurang memperoleh dukungan sosial baik dari keluarga dan orang-orang di sekitarnya yang menggambarkan bahwa stigma dan diskriminasi masih banyak yang dialami oleh ODHA.

    Kata kunci Kualitas Hidup, Orang dengan HIV AIDS (ODHA), Terapi Antiretroviral

    1 Korespondensi ditujukan kepada Suhardiana Rachmawati, [email protected], telepon: 085234140274

    Pendahuluan

    Masalah HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) dapat mengancam seluruh lapisan masyarakat dari berbagai kelas ekonomi, usia maupun jenis kelamin. Situasi yang dihadapi pende-rita HIV/AIDS sangat kompleks, selain harus menghadapi penyakitnya sendiri, mereka juga menghadapi stigma dan diskriminasi, sehingga mengalami masalah pada fisik, psikis, dan so-sial yang memerlukan intervensi komprehensif meliputi medikamentosa, nutrisi, dukungan sosial maupun psikoterapi/konseling (Effendy, 2008).

    Stigma dan diskriminasi pada ODHA da-pat terjadi di mana saja dan kapan saja, hal ini terutama dikarenakan stigma negatif yang

    dilekatkan pada ODHA, misalnya sampah masyarakat, pengguna narkotika, dan pelang-gan lokalisasi (Weber, 1993). Bentuk lain dari stigma berkembang melalui internalisasi oleh ODHA dengan persepsi negatif tentang diri mereka sendiri. Stigma dan diskriminasi yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan efek psikologi yang berat tentang bagaima-na ODHA melihat diri mereka sendiri, hal ini bisa mendorong terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri dan keputusasaan, sesuai dengan hasil penelitian Wagner et al. (2010) bahwa kondisi psikologis yang berat dihubung-kan dengan adanya stigma terhadap penyakit HIV. Stigma dan diskriminasi ini seringkali menyebabkan menurunnya semangat hidup ODHA yang kemudian membawa efek dominan menurunnya kualitas hidup ODHA.

  • 49

    JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62

    Secara awam, kualitas hidup berkaitan dengan pencapaian kehidupan manusia yang ideal atau sesuai dengan yang diinginkan (Diener & Suh, dalam Kahneman, Diener dan Schwarz, 1999). Menurut Molnar (2009) de-ngan melihat kualitas hidup suatu individu dapat diketahui posisi individu tersebut dalam hubungannya dengan kondisi yang diingin-kan/ideal.

    Lingkup dari konsep dan pengukuran kualitas hidup harus berpusat pada persepsi subjektif individual mengenai kualitas hidup dari kehidupannya sendiri sebagai ODHA (Mendlowicz & Murray, 2000). Selain itu Carr et al. (2001) mengatakan bahwa kualitas me-rupakan konstruk individual dan hal ini seba-liknya menjadi pertimbangan dalam penguku-ran kualitas hidup yang tepat.

    Kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu tentang posisinya dalam ke-hidupan, dalam hubungannya dengan sistem budaya dan nilai setempat dan berhubun-gan dengan cita-cita, pengharapan, dan pan-dangan-pandangannya, yang merupakan pe-ngukuran multidimensi, tidak terbatas hanya pada efek fisik maupun psikologis pengobatan (Gill & Feinstein, 1994).

    Infeksi HIV saat ini belum ditemukan pe-ngobatannya, sehingga sangat memungkinkan seseorang yang menderita AIDS sering me-ngalami masalah-masalah psikologis, teruta-ma kecemasan, depresi, rasa bersalah akibat perilaku seks dan penyalahgunaan obat, ma-rah dan timbulnya dorongan untuk bunuh diri (Hutapea, 1995). Perasaan depresi juga dapat menekan sistem imun sehingga individu lebih rentan terhadap penyakit dan kesakitan (Na-tional Safety Council, 2003). Dampak yang diakibatkan dari suatu penyakit tersebut ber-dasar pada pemahaman penderita terhadap penyakit dan terapi yang dilakukan yang ter-nyata berdampak terhadap fungsi dan kondisi sehat dari sudut pandang penderita (Wang et al. 2000). Penilaian tersebut dikenal sebagai kualitas hidup dan dianjurkan sebagai pencer-minan bagaimana penderita tersebut merespon suatu penyakitnya atau tindakan medis ber-dasar kondisi yang dialami penderita.

    Secara fisiologis HIV menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya dan jika ditam-bah dengan stress psikososial spiritual yang berkepanjangan akan mempercepat terjadinya AIDS, bahkan meningkatkan angka kematian. AIDS memang tidak bisa disembuhkan, tetapi usia harapan hidup ODHA bisa diperpanjang dengan pengobatan ARV (antiretroviral). Pe-

    ngobatan ini dapat meningkatkan kekebalan tubuh ODHA sehingga kualitas hidupnya pun meningkat (Yayasan Spiritia, 2006).

    Terapi ARV sangat bermanfaat dalam me-nurunkan jumlah HIV dalam tubuh sehingga penurunan limfosit CD4 (cluster of differentia-tion 4) dapat dicegah. Setelah pemberian obat antiretroviral selama 6 bulan biasanya dapat dicapai jumlah virus yang tak terdeteksi dan jumlah limfosit CD4 meningkat. Akibatnya resiko terjadinya infeksi oportunistik menu-run dan kualitas hidup penderita meningkat (Djauzi & Djoerban, 2002).

    Orang yang tertular HIV sering dihinggapi perasaan menjelang maut, rasa bersalah akan perilaku yang membuatnya terkena infeksi dan rasa diasingkan oleh orang lain. Stres akan tu-rut melemahkan sistem imun yang sudah di-lumpuhkan oleh HIV terlebih dahulu. Banyak orang yang tertular HIV/AIDS juga diting-galkan oleh teman dan orang-orang terdekat mereka. Stres yang disebabkan kehilangan ini pun akan turut melemahkan sistem imun mereka (Hutapea, 1995).

    Daya tahan tubuh penderita HIV/AIDS sangat rentan jika mengalami gangguan psikis atau mentalnya, sehingga perlu meningkat-kan kualitas hidupnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Effendy (2007) bahwa pen-derita HIV/AIDS juga perlu diarahkan untuk mengembangkan diri dengan transformasi ke-sadaran agar nantinya dapat mengelola emosi-nya secara mandiri sehingga dapat melakukan aktivitas seperti layaknya orang sehat sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya.

    Penelitian yang dilakukan Natalya (2006) tentang mekanisme dan coping strategy orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam menghadapi stres akibat penyakitnya, menunjukkan bahwa ODHA mengalami stres saat pertama kali mengetahui diagnosis penyakitnya. Sebagian besar dari mereka tidak mempercayai status penyakitnya saat itu.

    Sumber stres terbesar pada ODHA adalah kematian, efek samping obat, diskriminasi, ditinggal oleh orang yang disayang dan diketa-huinya status HIV/AIDS oleh orang-orang ter-dekat. Mekanisme koping yang digunakan ada-lah reaksi yang berorientasi pada ego, sebagian besar partisipan melakukan denial, projeksi, displacement, isolasi dan menyembunyikan status. Reaksi yang berorientasi pada verbal yang banyak dilakukan adalah meremas dan diam, sedangkan reaksi yang berorientasi pada masalah partisipan lebih banyak mencari tahu tentang HIV/AIDS dengan membaca buku atau

  • 50

    JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62

    menanyakan pada orang yang lebih tahu ten-tang HIV/AIDS.

    Dengan demikian menjadi ODHA meru-pakan suatu yang berat dalam hidup, dimana permasalahan yang kompleks selalu dihadapi setiap hari, bukan hanya berurusan dengan kondisi penyakit, tetapi kondisi penyakit yang disertai dengan stigma sosial yang sangat dis-kriminatif. Seseorang akan merasa bahwa di-rinya tidak berguna, tidak ada harapan, takut, sedih, marah dan muncul perasaan lainnya. Bagi orang yang dinyatakan positif HIV pasti akan mengalami atau menghadapi isu-isu kompleks seperti permasalahan bio, psiko, so-sial, dan spiritual.

    Dari berbagai latar belakang itulah me-ngapa peneliti tertarik meneliti tentang kuali-tas hidup ODHA yang mengikuti terapi antire-troviral, yang mana kualitas hidup merupakan masalah yang penting dalam pengalaman para penderita penyakit yang telah berhasil me-ngendalikan penyakitnya dan memperpanjang masa hidup yang dilaluinya Ersek et al. (1997) dalam Murtiwi et al. (2005).

    Berdasar pada latar belakang penelitian maka tujuan penelitian ini adalah mengung-kap secara mendalam kualitas hidup ODHA yang mengikuti terapi ARV dilihat dari segi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual.

    Tinjauan Pustaka

    Konsep kualitas hidup

    Kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu tentang posisinya dalam kehidupan, dalam hubungannya dengan sistem budaya dan nilai setempat dan berhubungan dengan cita-cita, pengharapan, dan pandangan-pan-dangannya, yang merupakan pe-ngukuran multidimensi, tidak terbatas hanya pada efek fisik maupun psikologis pengobatan (Gill & Feinstein, 1994).

    Kualitas hidup merupakan suatu bentuk multidimensional, terdapat tiga konsep kuali-tas hidup yaitu menunjukan suatu konsep multidimensional, yang berarti bahwa informa-si yang dibutuhkan mempunyai rentang area kehidupan dari penderita itu, seperti kese-jahteraan fisik, kemampuan fungsional, dan kesejahteraan emosi atau sosial (Ware, 1984), menilai celah antara keinginan atau harapan dengan kemampuan yang dapat dikerjakan dan terakhir bahwa kualitas hidup ini dinamis atau dapat berubah sesuai dengan derajat be-ratnya penyakit dan terapi yang didapat.

    Testa dan Simonson (1996) membuat batasan kualitas hidup didasarkan pada defi-nisi sehat WHO yang berisi dimensi sehat fisik, jiwa, dan sosial yang untuk tiap-tiap orang berbeda-beda karena dipengaruhi oleh penga-laman, kepercayaan, keinginan, dan persepsi seseorang. Keempat komponen ini disebut sebagai persepsi sehat (perception of health). Tiap-tiap dimensi tersebut dapat diukur de-ngan penilaian yang objektif status fungsio-nal atau status kesehatannya dan penilaian yang subjektif terhadap persepsi kesehatan-nya. Walaupun penilaian dimensi objektif ini penting untuk dapat melihat derajat keseha-tan seseorang, tetapi persepsi dan keinginan subjektif dapat diubah menjadi penilaian yang objektif sehingga menjadi suatu pengalaman kualitas hidupnya. Keinginan untuk sehat dan kemampuan menanggulangi keterbatasan dan ketidakmampuan dapat mempengaruhi persepsi sehat dan kepuasan terhadap hidup (life satisfaction) seseorang, sehingga dua orang dengan status kesehatan yang sama mungkin dapat berbeda kualitas hidupnya (Testa & Si-monson, 1996).

    Kualitas hidup adalah tingkatan yang menggambarkan keunggulan seorang individu yang dapat dinilai dari kehidupan mereka. Ke-unggulan individu tersebut biasa-nya dapat dinilai dari tujuan hidupnya, kontrol pribadin-ya, hubungan interpersonal, perkembangan pribadi, intelektual dan kondisi materi (Sara-fino, 1994).

    Konsep keinginan dan pengalaman menurut Calman

    Konsep ini difokuskan pada tiga hal yaitu kualitas hidup adalah multidimensional, tiap dimensi dapat berubah seiring waktu, dan perasaan penderita dipahami dengan sunguh-sungguh. Kualitas hidup merupakan celah antara keinginan (expectation) dengan pengala-man (experience) atau yang didapatkan pen-derita selama ini, sehingga konsep ini dikenal dengan Calmans gap. Semakin sempit celah berarti seseorang mempunyai kualitas hidup yang tinggi, sebaliknya penderita yang sedikit kemampuannya untuk merealisasikan keingi-nannya berarti mempunyai kualitas hidup yang buruk (Calman, 1984).

    Calman mengatakan bahwa celah antara keinginan dan pengalaman tersebut dapat ber-variasi menurut waktu tergantung pada perbai-kan dan memburuknya kesehatan penderita, hal ini berhubungan dengan hasil guna pengo-

  • 51

    JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62

    batan dan progresifitas suatu penyakit. Pada saat individu diberitahu mengenai suatu diag-nosis penyakitnya, maka dampak dari penya-kit dapat dirasakan bervariasi tergantung dari persepsi individu terhadap kualitas hidupnya. Penderita dengan keinginan yang berbeda akan melaporkan kualitas hidup yang berbeda, pa-dahal pada keadaan klinis yang serupa. Pen-derita yang mempunyai perubahan kesehatan dapat melaporkan tingkat kualitas hidup yang sama bila diukur secara berulang kali.

    Sebagai makhluk bio psiko sosial ODHA merupakan suatu kesatuan yang utuh diha-rapkan memiliki coping strategy untuk ber-adaptasi terhadap lingkungan dengan beres-pon terhadap kebutuhan fisiologis, konsep diri yang positif, mampu memelihara integritas diri, dan selalu berada pada rentang sehat sakit un-tuk memelihara proses adaptasi.

    Koping melibatkan usaha aktif untuk me-ngatasi tuntutan yang membuat stres. Salah satu cara untuk mengatasi stress itu adalah dengan memfokuskan diri untuk menyele-saikan masalah (problem focused coping) dan tidak memfokuskan diri hanya dengan melam-piaskan emosi-emosi yang disebabkan oleh masalah (emotion focused coping). Cara ketiga adalah dengan memikirkan kembali masalah, melalui penilaian kembali (reappraisal) belajar dan menemukan arti dari pengalaman dan per-bandingan sosial dengan orang lain yang lebih buruk keadaannya atau yang dapat menyedia-kan contoh-contoh yang memberikan inspirasi bagaimana mengatasi masalah (Wade & Tavris, 2007).

    Menurut Taylor (1991) ada dua sumber yang mempengaruhi perilaku koping, yaitu sumber internal dan eksternal. Termasuk dalam sumber internal adalah faktor kepriba-dian atau perbedaan-perbedaan yang terdapat pada masing-masing individu. Sedangkan sum-ber eksternal meliputi uang, waktu, dukungan sosial, standar kehidupan dan lain-lain.

    HIV menyebabkan terjadinya penurunan kekebalan tubuh sehingga individu rentan ter-hadap serangan infeksi opportunistik. Antire-troviral (ARV) bisa diberikan pada klien untuk menghentikan aktivitas virus, memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infek-si opportunistik, memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan kecacatan. ARV tidak me-nyembuhkan klien HIV, namun bisa memper-baiki kualitas hidup dan memperpanjang usia harapan hidup klien HIV/AIDS. Gambaran klinik yang berat, yang mencerminkan krite-

    ria AIDS, baru timbul sesudah jumlah CD-4 kurang dari 200/mm3 dalam darah (Yayasan Spiritia, 2006).

    Kondisi umum pada ODHA adalah kelela-han baik secara fisik ataupun psikologis. Stres yang tinggi dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang atau lama dapat memper-buruk kondisi kesehatan dan menyebabkan penyakit. Tetapi dengan adanya dukungan so-sial yang diterima oleh individu yang sedang mengalami atau menghadapi stres maka hal ini akan dapat mempertahankan daya tahan tubuh dan meningkatkan kesehatan individu. Kondisi ini dijelaskan oleh Sarafino (2006) bahwa berinteraksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu mengenai kejadian tersebut, dan ini akan me-ngurangi potensi munculnya stress baru atau stress yang berkepanjangan.

    Kerangka Pemikiran

    Dalam menjalani kehidupan sebagai ODHA akan mempengaruhi status fungsional, dukungan psikologis dan sosial yang diper-oleh sehingga menimbulkan persepsi tentang kesehatan secara fisik, mental, sosial dan spi-ritual. Keinginan untuk sehat dan kemampuan menanggulangi keterbatasan dan ketidakmam-puan dapat mempengaruhi persepsi sehat dan kepuasan terhadap hidup (life satisfaction) se-orang ODHA yang akan mengambarkan kuali-tas kehidupan yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal serta status kesehatan ODHA sendiri. Secara ringkas bisa dilihat pada Gambar 1.

    Gambar 1. Bagan kualitas hidup ODHA yang mengikuti terapi ARV

    7

    Kondisi umum pada ODHA adalah kelelahan baik secara fisik ataupun

    psikologis. Stres yang tinggi dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang atau

    lama dapat memperburuk kondisi kesehatan dan menyebabkan penyakit. Tetapi dengan

    adanya dukungan sosial yang diterima oleh individu yang sedang mengalami atau

    menghadapi stres maka hal ini akan dapat mempertahankan daya tahan tubuh dan

    meningkatkan kesehatan individu. Kondisi ini dijelaskan oleh Sarafino (2006) bahwa

    berinteraksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu

    mengenai kejadian tersebut, dan ini akan mengurangi potensi munculnya stress baru

    atau stress yang berkepanjangan.

    Kerangka Pemikiran

    Dalam menjalani kehidupan sebagai ODHA akan mempengaruhi status

    fungsional, dukungan psikologis dan sosial yang diperoleh sehingga menimbulkan

    persepsi tentang kesehatan secara fisik, mental, sosial dan spiritual. Keinginan untuk

    sehat dan kemampuan menanggulangi keterbatasan dan ketidakmampuan dapat

    mempengaruhi persepsi sehat dan kepuasan terhadap hidup (life satisfaction) seorang

    ODHA yang akan mengambarkan kualitas kehidupan yang dipengaruhi oleh faktor

    internal dan eksternal serta status kesehatan ODHA sendiri. Secara ringkas bisa dilihat

    pada gambar dibawah ini :

    Gambar 1. Bagan Kualitas Hidup ODHA yang Mengikuti Terapi ARV

    ODHA yang

    mengikuti

    terapi ARV

    Faktor Eksternal

    (Sosial Budaya, Ekonomi Politik, Lingkungan, Perawatan Kesehatan)

    Faktor Internal

    (Aspek biologis dan pengalaman hidup, gaya hidup dan perilaku sehat, kepribadian dan motivasi, nilai-nilai kepercayaan)

    Status Kesehatan ODHA

    (Gejala, Fungsi Tubuh, Persepsi kesehatan, Kesempatan)

    Kualitas

    Hidup

    ODHA

  • 52

    JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62

    Metode Penelitian

    Prosedur penelitian

    Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang menggu-nakan metode studi kasus. Subjek penelitian adalah tiga ODHA yang mengikuti terapi ARV di kota Malang. Sesuai dengan fokus peneli-tian, maka yang dijadikan subyek penelitian adalah ODHA yang mengikuti terapi Antire-troviral. Untuk mendapatkan data tersebut pe-neliti meminta bantuan pada seorang relawan yang terlibat dalam salah satu Yayasan yang bergerak dalam penyakit HIV AIDS yang ada di kota Malang untuk memperoleh ODHA yang besedia menjadi partisipan dalam penelitian. Tiga ODHA bersedia untuk mengisi Informed Consent sebagai subjek penelitian.

    Metode pengumpulan data

    Pengumpulan data dilakukan pada bulan Sep-tember - Oktober 2011. Dalam upaya menja-min keakuratan data, hasil wawancara semi-terstruktur dan observasi segera dianalisis setelah pengumpulan data selesai dilakukan. Wawancara digunakan peneliti untuk menda-patkan data atau informasi tentang masalah-masalah yang diteliti dengan cara berdialog. Untuk dapat bertemu dengan ODHA peneliti mendatangi ke rumahnya. Adapun wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semiterstruktur untuk mengung-kap beberapa hal antara lain aktivitas ODHA yang dilakukan sehari-hari, keadaan fisik yang dialami sejak menderita HIV AIDS sampai sekarang, perasaan apa saja yang dirasakan selama menjalani kehidupan dengan status se-bagai ODHA, bagaimana menjalani kehidupan sosial sebagai ODHA, dan bagaimana kehidu-pan spiritual sebagai ODHA.

    Observasi dilakukan peneliti selama satu bulan dalam masing-masing ODHA. Hal ini dilakukan untuk mengamati fenomena yang benar-benar tampak. Kejadian-kejadian dan

    peristiwa-peristiwa diamati secara tajam oleh peneliti dan ditulis dalam buku catatan. Dalam hal ini, observasi yang dilakukan oleh peneliti meliputi: aktivitas ODHA dalam kehidupan se-: aktivitas ODHA dalam kehidupan se-hari-hari dan interaksi ODHA dengan lingku-ngan sekitar.

    Analisis data

    Teknik analisis data dalam penelitian ini meng-gunakan teknik analisis kualitatif yang bersi-fat umum yaitu teknik analisis tematik. Teknik analisis ini adalah analisis makna berdasar Kualitas Hidup Orang dengan HIV-AIDS yang mengikuti Terapi ARV. Prosedur yang dilaku-kan terkait dengan teknik analisis ini adalah melakukan transkripsi data, pembuatan klasi-fikasi data dan kategori berdasar tema- tema yang teridentifikasi dalam data yang telah ter-kumpul. Setelah pembuatan kategori maka kemudian pada setiap kategori diberi kode untuk menunjukkan identitas setiap kategori sehingga pembuatan interpretasi dan kesim-pulan dari penelitian bisa dilakukan (Hanu-rawan, 2012). Validasi kesimpulan dilakukan melalui triangulasi data dengan menggunakan sumber-sumber data yang berbeda melalui wawancara terhadap beberapa informan yang bersedia memberikan informasi tentang sub-jek (Poerwandari, 1998). Sumber data yang diperoleh berasal dari tetangga, relawan dari Yayasan HIV AIDS dan teman ODHA yang ikut dalam Kelompok Dukungan Sebaya.

    Hasil Dan Pembahasan

    Deskripsi subjek penelitian

    Pemilihan subjek dalam penelitian ini diper-oleh berdasarkan kesediaan ODHA ikut dalam penelitian. Deskripsi subjek dalam penelitian secara lengkap bisa dilihat pada Tabel 1.

    Subjek pertama ODHA adalah Ny.U beru-sia 62 tahun, beragama Islam, berpendidikan SMP, aktivitas sehari-hari mengamen, belum menikah dan sudah 11 tahun mengikuti terapi

    Tabel 1 Daftar Identitas Subjek Penelitian

    Subjek Usia Status perkawinan Agama Pendidikan Aktivitas Lama terapi

    Ny. UNy. T

    Ny. N

    62 tahun32 tahun

    25 tahun

    Belum menikahMenikah

    Menikah

    IslamIslam

    Islam

    SMPSMA

    SMA

    MengamenBuruh pabrik konveksi, aktif di yayasan HIV AIDSIbu Rumah Tangga, aktif di yayasan HIV AIDS

    11 tahun5 tahun

    4 tahun

  • 53

    JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62

    ARV. Subjek ODHA kedua adalah Ny.T beru-sia 32 tahun, beragama Islam, berpendidikan SMA, sebagai ibu rumah tangga dengan satu anak, memenuhi kebutuhan hidupnya den-gan bekerja di pabrik konveksi dan sudah 5 tahun mengikuti terapi ARV serta aktif dalam yayasan yang bergerak dalam bidang AIDS. Subjek ODHA yang ketiga adalah Ny.U beru-sia 25 tahun, beragama Islam, berpendidikan SMA, sebagai ibu rumah tangga dengan satu anak dan mengikuti ARV selama 4 tahun serta aktif dalam yayasan yang bergerak dalam bi-dang AIDS.

    Kualitas hidup ODHA yang mengikuti terapi ARV

    Berdasar pada hasil pengumpulan data mela-lui wawancara semiterstruktur dan observasi non partisipan maka hasil penelitian kualitas hidup ODHA yang mengikuti terapi ARV dapat dirangkum berdasar empat aspek yaitu fisik, emosional, sosial, dan spiritual.

    Aspek fisik ODHA yang mengikuti terapi ARV

    Setelah Intervensi, secara fisik Ny.U tidak per-nah muncul infeksi opportunistik meskipun Ny.U sudah 11 tahun menderita AIDS. Perilaku yang dilakukan Ny.U tetap menjaga kesehatan diri dan kebersihan serta bersyukur bahwa dirinya tidak seperti ODHA lain yang tidak menghargai diri mereka sendiri sebagai ODHA dengan melakukan hal-hal yang bisa membuat mereka menjadi ODHA yang tidak layak, seper-ti sering keluar malam, tidak menjaga keber-sihan, tidak rutin minum obat ARV dan tidak pernah kontrol ke rumah sakit. Sampai saat ini berat badan Ny.U tetap stabil 40 kg dan tidak pernah drop. Kesehatan bagi Ny.U adalah hal yang penting dan bila kesehatan seorang ODHA tidak terjaga maka akan mudah jatuh dalam kondisi drop sehingga menyebabkan kematian.

    Ny.U bersungguh-sungguh melakukan hal tersebut dengan tepat waktu meminum obat ARV dan rutin kontrol ke rumah sakit sampai saat ini untuk memantau kondisi fisiknya serta memperoleh obat ARV. Kesehatan fisik sangat diperhatikan oleh Ny.U dengan minum obat ARV tepat waktu 2x/hari, rutin kontrol tiap bulan ke Rumah Sakit, makan teratur 3x/hari, minum sesuai dengan kebutuhan tubuh serta menjaga kebersihan diri dan lingkungan.

    Dibandingkan dengan kesehatan Ny.U se-cara fisik Ny.T sering mengalami batuk pilek yang sembuhnya lama walaupun sudah minum

    obat. Berat badan Ny.T sejak terkena HIV-AIDS sampai sekarang tetap stabil 57 kg dan sam-pai saat ini infeksi opportunistik tidak pernah muncul. Kesehatan bagi Ny.T juga sangat pen-ting karena hal ini adalah dasar bagi dirinya sebagai ODHA agar tetap sehat dan jangan sampai kesehatannya turun sehingga infeksi opportunistik akan muncul di dalam dirinya.

    Hal lain yang ditakuti oleh Ny.T adalah kondisi tubuh yang akan menurun dan jatuh sakit sehingga akan muncul infeksi opportu-nistik yang menyebabkan datangnya kematian lebih cepat bagi ODHA. Kondisi kesehatan be-nar-benar dijaga oleh Ny.T dengan minum obat ARV tepat waktu dan rutin kontrol ke rumah sakit setiap bulan untuk memantau keseha-tannya dan memperoleh obat ARV.

    Sampai saat ini Ny.N juga tidak pernah mengalami infeksi opportunistik. Kondisi fisik dan kesehatan Ny.N cukup baik, sejak di diag nosa menderita HIV AIDS sampai dengan sekarang, berat badan Ny.N tetap stabil 55 kg hanya mengalami sakit batuk pilek dan sakit gigi. Minum obat ARV dilakukan Ny.N dengan tepat waktu 2x/hari, tidak pernah tidur terlalu malam, tidak pernah keluar malam dan tidak telat makan serta menjaga agar tubuhnya tidak terlalu capek jika mengikuti kegiatan di yayasan dan senantiasa menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan mandi 2x/hari, makan 3x/hari dan istirahat yang cukup.

    Kesehatan adalah sesuatu yang sudah biasa, hanya dipikirkan bila sakit atau ketika gangguan kesehatan menganggu aktivitas se-hari-hari seseorang. Konsep sehat dan sakitdalam pandangan ODHA dipersepsikan secara berbeda dan merupakan hal yang bersifat sub-

    Tabel 2 Hasil temuan dimensi fisik ODHA yang mengikuti terapi ARV

    Subjek Deskripsi

    Ny.U

    Ny.T

    Ny.N

    Kesehatan cukup terjaga dan selama tidak pernah sakit. Berat badan Ny.U tetap stabil 40 kg. Kebersihan badan cukup terjaga dan tidak ada infeksi opportunistik yang muncul.

    Sering mengalami batuk-batuk tapi tidak mengganggu aktivitasnya sehari-hari, berat badan juga berada dalam kondisi stabil 57 kg, tidak ada infeksi opportunistik.

    Pernah mengalami penyakit batuk pilek ketika kecapekan. Infeksi opportunistik tidak pernah muncul dan berat badan tetap stabil 55 kg.

  • 54

    JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62

    jektif yang dipengaruhi oleh faktor pengala-man, proses belajar dan pengetahuannnya. Sesuai dengan penelitian Bing et al. (2000) bahwa status kesehatan dipengaruhi banyak aspek dari HIV dan penurunan kesehatan se-bagai perkembangan penyakit.

    Tingkat kesadaran Ny.U dalam menjaga kebersihan lebih tinggi dibandingkan Ny.T dan Ny.U, dapat dilihat dari hasil observasi yang telah dilakukan terhadap lingkungan ruangan kontrakkan Ny.U lebih bersih dibandingkan dengan lingkungan sekitar yang dihuni oleh orang lain, berbeda dengan lingkungan rumah Ny.T dan Ny.N yang kurang bersih. Bagi Ny.U menjaga kebersihan diri dan lingkungan ada-lah hal penting yang harus dilakukan oleh se-orang ODHA. Tingkat kesadaran dalam menja-ga kebersihan yang dimiliki oleh semua ODHA berbeda karena hal ini bisa dipengaruhi oleh persepsi sehat masing-masing ODHA dalam menilai kesehatan.

    Dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup ODHA secara fisik dalam penelitian ini ada-lah baik, didukung dengan tidak pernah mun-culnya infeksi opportunistik dalam diri ODHA dan mereka mengetahui akibat yang muncul bila tidak minum obat tepat waktu serta sela-lu menjaga kesehatan fisik agar tidak mudah drop yang bisa menimbulkan infeksi opportu-nistik sehingga menyebabkan kematian yang lebih cepat. Dengan kesadaran yang dimiliki oleh semua ODHA untuk menjaga kesehatan fisik, maka hal ini bisa memotivasi ODHA agar minum obat ARV dengan tepat waktu, rutin kontrol ke rumah sakit dan menjaga kebersi-han diri serta lingkungan. Bagi semua ODHA kesehatan fisik adalah hal penting yang harus dijaga karena infeksi opportunistik akan mun-cul bila kesehatan seorang ODHA tidak terjaga.

    Aspek emosional ODHA yang mengikuti terapi ARV

    Setelah Intervensi, dapat diketahui bahwa pada diri semua ODHA muncul perasaan tidak bisa menerima kenyataan ketika mengetahui bahwa dirinya tertular penyakit AIDS. Mereka yang sebenarnya tidak menginginkan penyakit ini harus terus menjalani hidup walaupun den-gan kondisi yang sulit dengan status mereka sebagai ODHA.

    Ketika pertama kali mengetahui bahwa mereka tertular HIV-AIDS dalam hal ini sub-jek belum bisa menerima kenyataan kalau sekarang dirinya tertular HIV-AIDS karena penyakit tersebut memiliki kesan negatif di d

    alam masyarakat yaitu mudah menular dan berbahaya. Penyakit AIDS menurut subjek adalah penyakit yang tidak bisa sembuh dan bisa menyebabkan datangnya kematian lebih cepat, sesuai dengan penelitian yang dilakukan Andaru (2005) bahwa ODHA harus mengha-dapi reaksi individu lain terutama masyarakat umum sehubungan dengan stigma dan dis-kriminasi yang berlaku terhadap sindrom HIV/AIDS yang diderita, sehingga semua ODHA dalam penelitian ini menyembunyikan status mereka agar orang lain tidak mengetahuinya. Hidup dengan HIV AIDS menyebabkan ODHA dalam penelitian ini membuat jarak dengan orang lain dan memiliki persepsi negatif dalam berhubungan sosial terkait dengan stigma masyarakat terhadap ODHA dan hal inilah yang harus dihadapi oleh ODHA dalam kehidu-pannya sehari-hari (Stewart et al. 2008).

    Hal ini sesuai dengan apa yang didapatkan oleh Vanable et al. (2006) bahwa diagnosis HIV menimbulkan masalah terkait dengan penyakit yang berhubungan dengan koping, menurun-kan harga diri, mengisolasi diri dan keadaan emosional yang buruk.

    Saat ini Ny.U sudah mulai menerima kenyataan bahwa dia adalah ODHA, pera-saan menyesal, kecewa, sedih dan khawatir yang pernah dirasakan Ny.U kini sudah mulai berkurang dengan mulai menerima kenyataan dan yakin bahwa ini adalah yang terbaik bagi

    Tabel 3 Hasil temuan dimensi emosional ODHA yang mengikuti terapi ARV

    Subjek Deskripsi

    Ny.U

    Ny.T

    Ny.N

    Sabar dalam menjalani kehidupan. Perasaan sedih masih terasa sampai saat ini bila teringat orang tua dan saudara-saudaranya, karena sudah lama tidak bertemu. Rasa kecewa, tidak percaya, dan penyesalan karena menderita HIV AIDS sudah berkurang dan digantikan dengan semangat menjalani kehidupan.

    Masih menyimpan rasa marah pada suaminya karena menyebabkannya tertular HIV AIDS. Masih ada rasa tidak percaya bila telah tertular HIV AIDS.

    Rasa tidak percaya bahwa tertular HIV AIDS masih dirasakan tetapi Ny.N merasa statusnya sebagai Odha tidak perlu disesali karena hal ini memang sudah menjadi jalannya, sehingga Ny.T merasa biasa-biasa saja.

  • 55

    JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62

    dirinya serta berharap suatu saat Ny.U akan sembuh dari AIDS.

    Hal yang sama dirasakan secara emosional ketika Ny.T mengetahui dirinya positif sebagai ODHA pada tahun 2007 merasa terkejut dan tidak percaya bahwa dia tertular HIV-AIDS ka-rena Ny.T merasa tidak pernah melakukan hal-hal yang bisa mengakibatkan penyakit terse-but. Kondisi ini merupakan situasi yang sulit bagi dirinya, terutama ketika mengetahui ter-tular HIV-AIDS dari suaminya yang juga positif sebagai ODHA.

    Rasa marah, dendam, kecewa dan sedih dirasakan Ny.T ketika sadar bahwa suaminya yang membawa penyakit ini. Sampai saat ini Ny.T tetap membenci suaminya karena me-nyebabkan tertular penyakit HIV-AIDS sehing-ga mereka berpisah, tidak pernah terpikirkan oleh Ny.T akan tertular penyakit berbahaya ini dan bagaimana kehidupannya nanti. Belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya ada-lah ODHA juga masih dirasakan Ny.T sampai saat ini karena Ny.T mengatakan tidak pernah melakukan hal-hal yang bisa menyebabkan tertular HIV AIDS. Perasaan menyesal kenapa menerima kehadiran suami yang telah lama bekerja jauh dari dirinya sehingga menyebab-kan tertular HIV AIDS juga masih dirasakan. Menurut Ny.T perasaan-perasaan tersebut sangat sulit untuk dihilangkan apalagi AIDS itu adalah penyakit yang memiliki kesan negatif di masyarakat dan bisa mendatangkan kematian lebih cepat.

    Berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Ny.N, secara emosi Ny.N bisa menghadapi hal ini dengan tenang walaupun belum bisa me-nerima kenyataan bahwa dia adalah ODHA dan tetap menjalani hidup. Rasa kemarahan, kebencian Ny.N terhadap suami yang menu-larkan HIV-AIDS yang pernah dirasakan su-dah berkurang sedikit demi sedikit dan mulai menerima kenyataan bahwa dirinya adalah ODHA.

    Ny.N positif tertular AIDS pada waktu hamil setelah tiga bulan menikah pada tahun 2006. Pada suatu waktu suami Ny.N disaran-kan untuk memeriksakan diri karena suami Ny.N memiliki riwayat menggunakan narkoba. Dari hasil pemeriksaan ternyata suami Ny.N positif HIV-AIDS dan akhirnya suaminya disa-rankan untuk minum obat ARV dua kali per-hari. Karena suami Ny.N positif terkena HIV-AIDS akhirnya Ny.N juga disarankan untuk diperiksa juga. Hasil pemeriksaan menyebut-kan bahwa Ny.N tertular AIDS tetapi Ny.N tidak merasakan gejala-gejala tertular HIV-AIDS ka-rena pada waktu itu Ny.N sedang hamil.

    Ketika melakukan pemeriksaan, Ny.N sudah bisa menduga akan tertular penyakit HIV-AIDS dari suaminya sampai benar-benar dibuktikan dari hasil pemeriksaan Ny.N yang hasilnya positif tertular HV-AIDS. sebenarnya Ny.N pada waktu itu tidak menginginkan ter-tular HIV-AIDS karena sedang hamil dan takut anaknya akan terkena HIV-AIDS juga, tetapi setelah mengetahui hasil pemeriksaan yang menyatakan positif sebagai ODHA, Ny.N hanya bisa bertanya mengapa harus saya?. Sampai saat ini Ny.N belum bisa menerima dan ber-harap pada hasil pemeriksaan yang rutin di-lakukan setiap 6 bulan sekali hasilnya negatif HIV-AIDS.

    Dapat diketahui bahwa kondisi emosional dari ketiga ODHA belum menerima sepenuh-nya kondisi mereka sebagai ODHA dan mereka juga berharap agar suatu saat bisa sembuh dari penyakit AIDS walaupun mereka tahu sampai saat ini penyakit AIDS belum ada obatnya.

    Aspek sosial ODHA yang mengikuti terapi ARV

    Menjalani kehidupan sebagai ODHA tentu ber-beda dengan kehidupan orang lain. Rasa takut, khawatir, dan malu akan dirasakan bila sta-tus mereka sebagai ODHA diketahui oleh orang lain.

    Setelah Intervensi, dapat diketahui bahwa ODHA masih memiliki kekhawatiran bila orang

    Tabel 4 Hasil temuan dimensi sosial ODHA yang mengikuti terapi ARV

    Subjek Deskripsi

    Ny.U

    Ny.T

    Ny.N

    Membatasi pergaulan dengan orang lain. Hal ini dilakukan agar orang lain tidak tahu statusnya sebagai Odha, tetapi Ny.U tetap mengikuti kegiatan seperti arisan, pengajian dan kegiatan yang bersifat sosial di lingkungannya.

    Tinggal di lingkungan perkampungan, tetangga dan masyarakat sekitar tidak mengetahui kalau Ny.T adalah Odha, Ny.T juga takut jika ada yang mengetahuinya sebagai Odha. Interaksi dan komunikasi dengan tetangga juga seperlunya.

    Tetap bergaul dengan masyarakat sekitar karena mereka sudah mengetahui kalau Ny.N adalah Odha, tidk ada pembatasan pergaulan dengan orang lain, tetapi Ny.N merasa lebih nyaman berada dengan orang-orang yang berada di yayasan yang bergerak di bidang AIDS karena mereka merasakan apa yang juga dirasakan oleh Ny.N

  • 56

    JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62

    lain mengetahui statusnya sebagai ODHA. Hal ini dirasakan Ny.U sampai saat ini, sehingga Ny.U membatasi untuk berinteraksi dengan orang lain. Hubungan sosial yang dijalani ha-nya seperlunya saja dan tidak terlalu banyak untuk berbicara dengan orang lain. Tetangga sekitar tidak ada yang mengetahui status Ny.U sebagai ODHA, karena menurut mereka Ny.U jarang berinteraksi dengan tetangga dan le-bih banyak didalam kamar setelah pulang dari bekerja.

    Kekhawatiran diketahuinya status ODHA oleh orang lain sangat dirasakan oleh Ny.U ter-bukti dari penjelasan Ny.U yang mengatakan bahwa dirinya tidak bisa bekerja dengan orang lain sehingga Ny.U bekerja sendiri tanpa orang lain. Kehidupan yang sekarang merupakan kesempatan dari Tuhan untuk memperbaiki hidupnya dan bertobat atas perbuatan dosa yang pernah dilakukan. Untuk menjalani ke-hidupan sebagai ODHA Ny.U mengatakan di-rinya harus mandiri dan tidak tergantung pada orang lain. Semua anggota keluarga sampai sekarang tidak tahu dimana keberadaan Ny.U, kadang-kadang Ny.U yang menghubungi mere-ka melalui telepon.

    Sebagai ODHA yang mandiri Ny.U men-coba untuk berdiri sendiri dan tidak tergan-tung pada orang lain termasuk keluarga. Se-bagai ODHA Ny.U merasa dirinya sendiri yang harus bertanggung jawab terhadap kehidupan-nya. Secara tidak langsung Ny.U memperoleh dukungan sosial melalui kegiatan memberikan pengalaman sebagai ODHA pada ODHA lain dan ketika melakukan konsultasi dengan tena-ga medis ketika Ny.U kontrol ke rumah sakit. Menghadapi kehidupan yang penuh dengan permasalahan dihadapi Ny.U sendiri tanpa ada dukungan sosial dari keluarga karena Ny.U sengaja meninggalkan keluarga untuk men-jadi ODHA yang mandiri dan tidak ada yang mengetahui keberadaannya sampai sekarang.

    Seperti Ny.U, Ny.T juga mengkhawatirkan apabila tetangga sekitarnya mengetahui kalau dia adalah ODHA tentu mereka akan mengu-cilkan dirinya. Sampai saat ini Ny.T tetap me-nyimpan statusnya sebagai ODHA dari tetang-ga sekitar sehingga tidak ada yang mengetahui tentang statusnya, Ny.T juga tetap bekerja pada sebuah pabrik konveksi setiap hari senin sampai jumat. Hubungan sosial dengan tetang-ga sekitar tetap dijalani seperti sebelum sakit dan hanya berbicara seperlunya, sehingga ada batasan untuk berinteraksi sosial dengan orang lain, karena Ny.T tidak ingin orang lain ada yang tahu tentang statusnya. Ny.T tinggal

    di lingkungan perkampungan dimana letak ru-mah sangat berdekatan satu sama lain sehing-ga Ny.T berhati-hati agar tetangga tidak ada yang mengetahui status Ny.T sebagai ODHA.

    Berbeda dengan Ny.U, sebagai ODHA Ny.T merasa bahwa dia tidak sendiri, ketika per-tama kali mengantar suaminya periksa ke rumah sakit ternyata banyak yang bernasib sama dengan dirinya. Sejak saat itulah Ny.T merasa bahwa masih banyak yang bisa di-lakukan oleh seorang ODHA, mulai mencari tahu apa dan bagaimana HIV-AIDS itu dan ak-tivitas apa yang bisa dilakukan oleh seorang ODHA. Se-hingga pada suatu saat Ny.T ber-gabung dengan yayasan yang bergerak dalam bidang HIV-AIDS sampai sekarang. Di yayasan tersebut Ny.T merasa bahwa dia dibutuhkan untuk memberikan dukungan psikologis ke-pada sesama ODHA, banyak aktivitas yang bisa dilakukan dalam yayasan tersebut mulai dari kunjungan ke rumah sakit, kunjungan ke rumah-rumah ODHA, membuat Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) dan mengikuti pelati-han-pelatihan yang terkait dengan ODHA.

    Dukungan dari keluarga juga tidak pernah diperoleh Ny.T, karena Ny.T hanya tinggal de-ngan anaknya dan berpisah dari suaminya, ke-luarga yang lain tinggalnya juga jauh dari Ny.T, sehingga dukungan sosial yang diterima Ny.T hanya dari sesama ODHA.

    Berbeda dengan Ny.U dan Ny.T yang me-nyembunyikan statusnya dari orang lain, status Ny.N sebagai ODHA sudah diketahui oleh orang tua dan tetangga sekitar. Tetapi perlakuan yang diterima oleh Ny.N lebih me-mandang negatif Ny.N sebagai ODHA, terbukti ketika orang tua menyarankan Ny.N agar ting-gal di rumah selama satu bulan lalu tinggal di rumah mertua satu bulan begitu seterusnya karena selama ini Ny.N belum memiliki rumah sendiri sehingga harus tinggal bersama orang tua. Ternyata orang tua sendiri juga belum bisa menerima status Ny.N sebagai ODHA walaupun mereka telah mengetahui status Ny.N. Sejak saat itu Ny.N tetap berusaha sabar dan tenang karena pada waktu Ny.N sedang hamil dan hal itu dilalui sampai melahirkan anaknya. Setelah melahirkan anaknya ibu Ny.N melarang Ny.N untuk merawat anaknya, sehingga anak Ny.N dirawat oleh ibunya. Untuk menghadapi ke-nyataan hidup seperti itu Ny.N memang harus bersabar.

    Tetangga sekitar juga mengetahui tentang kondisi Ny.N sebagai ODHA dan Ny.N sendiri tetap bersikap baik terhadap mereka walau-pun kadang-kadang ada tetangga yang mem-

  • 57

    JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62

    bicarakan dirinya, tapi Ny.N tidak memperdu-likan semua itu meskipun sebenarnya Ny.N merasa sedih dan terkadang sampai menangis. Dengan tetangga sekitar Ny.N tetap berusaha bersikap seperti biasa dan mengikuti beberapa kegiatan seperti acara pengajian dan kegiatan PKK. Ketika pertama kali mengikuti kegiatan di masyarakat memang ada beberapa tetangga yang tidak mendukung ketika Ny.N ikut dalam kegiatan, tetapi hal itu tidak terlalu diperha-tikan oleh Ny.N karena Ny.N sudah terbiasa dengan kondisi dimana orang lain mengang-gap dirinya berbeda karena statusnya seba-gai ODHA. Sehingga saat ini Ny.N hanya aktif dalam kegiatan di yayasan ODHA dan berinte-raksi seperlunya dengan orang lain.

    Meskipun status Ny.N sudah diketahui oleh orang tua dan tetangga sekitar, tetapi Ny.N tidak pernah memperoleh dukungan sosial dari mereka dan sebaliknya ada diskriminasi oleh orang tua dan tetangga terhadap Ny.N, se-hingga menyebabkan Ny.N menjauh dari mere-ka dan merasa nyaman jika bersama sesama ODHA untuk saling memberikan dukungan sosial.

    Meskipun status Ny.N sudah diketahui oleh orang tua dan tetangga sekitar, tetapi Ny.N tidak pernah memperoleh dukungan sosial dari mereka dan sebaliknya ada diskriminasi oleh orang tua dan tetangga terhadap Ny.N, se-hingga menyebabkan Ny.N menjauh dari mere-ka dan merasa nyaman jika bersama sesama ODHA untuk saling memberikan dukungan sosial.

    Hal yang sama juga dilakukan oleh Ny.N, sebagai ODHA Ny.N harus menjalani hidupnya sendiri dan mulai mencari informasi tentang HIV-AIDS dengan bergabung pada yayasan yang bergerak dalam bidang HIV-AIDS. Di dalam yayasan Ny.N memiliki tugas untuk memberikan motivasi pada ODHA lain yang dirawat di rumah sakit ataupun yang ada di dalam Kelompok Dukungan Sebaya sehingga Ny.N bisa mengetahui secara langsung kondisi fisik, psikologis, emosi, sosial dan spiritual dari ODHA tersebut. Berbagai kegiatan yang terkait dengan HIV-AIDS di yayasan diikuti oleh Ny.N karena ingin tahu tentang penyakit HIV-AIDS, mulai dari pelatihan tentang HIV-AIDS sampai pemberian support kepada ODHA yang lain.

    Meskipun tidak memperoleh dukungan dari keluarga tetapi hal ini tidak membuat keti-ga subjek berputus asa dengan kondisi mere-ka, dukungan dan semangat terkadang diper-oleh ketika bertemu dengan sesama ODHA. Sesuai dengan penelitian Ciambrone (2002)

    tentang pentingnya pemberian dukungan in-formal pada penderita penyakit kronik penting sekali untuk memahami secara mendalam ke-butuhan dan dampak pada wanita dengan HIV AIDS yang dikemas melalui jaringan kerja in-formal.

    Sedangkan Ny.U rutin kontrol ke rumah sakit dan waktu itu juga Ny.U diminta mem-berikan dukungan dan contoh dari dirinya se-bagai ODHA kepada ODHA yang lain, sehingga hal itu merupakan suatu hal yang bisa mem-berikan semangat bagi Ny.U walaupun tidak ada dukungan dan semangat dari keluarganya. Dalam penelitian ini dukungan yang diperoleh ODHA sebagian besar berasal dari orang lain dan bukan dari keluarga sesuai dengan ha-sil penelitian Yadav (2009) yang menyebutkan bahwa dukungan sosial dari orang lain yang diperoleh ODHA lebih besar dibandingkan dukungan dari keluarga.

    Hal ini juga terjadi pada Ny.N dan Ny.T yang juga aktif di yayasan yang bergerak di bi-dang Aids sehingga Ny.N dan Ny.T yang mem-berikan dukungan dan semangat pada ODHA yang lain dan itulah yang bisa menjadi duku-ngan bagi Ny.N dan Ny.T untuk lebih sema-ngat lagi menghadapi hidup sebagai ODHA. Dengan begitu maka harapan Ny. T dan Ny.N ikut aktif dalam yayasan yang bergerak dalam bidang AIDS juga untuk mendapatkan penge-tahuan tentang AIDS dan dukungan sosial dari sesama penderita AIDS. Hal ini juga seperti yang didapatkan dalam penelitian Moosa et al. (2009) bahwa penderita AIDS bergabung dalam yayasan yang bergerak dalam AIDS untuk memperoleh pengetahuan tentang AIDS dan berharap memperoleh dukungan sosial dari sesama ODHA.

    Hal yang sama juga diungkapkan dalam penelitian Diehl et al. (1996) didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan penggunaan strate-gi koping dari beberapa rentang usia, lan-jut usia umumnya menggunakan kombinasi strategi koping pertahanan diri dan penilaian positif pada situasi konflik, sedangkan pada dewasa muda menggunakan koping aktif (ko-ping adaptif). Hal senada juga diungkapkan dari hasil penelitian Vosvick et al. (2003) se-bagian besar responden menggunakan koping adaptif yaitu pengalihan perhatian pada hal-hal yang bermanfaat.

    Hal yang sama juga dilakukan oleh Ny.T dan Ny.N dengan statusnya sebagai ODHA membuat mereka merasa ingin tahu tentang HIV/AIDS dan untuk memenuhi keinginan-nya mereka bergabung di dalam yayasan yang

  • 58

    JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62

    bergerak di bidang Aids. Banyak kegiatan yang dilakukan oleh Ny.T didalam yayasan antara lain memberikan dukungan dan motivasi kepa-da ODHA yang layak, mengadakan kelompok dukungan sebaya (KDS) dimana anggotanya adalah para ODHA dan rutin kontrol setiap bu-lan ke Rumah Sakit. Begitu banyak aktivitas yang bisa dilakukan ODHA secara bebas untuk mengembangkan dirinya tetapi hal ini kurang dikembangkan dalam berhubungan sosial de-ngan orang lain yang bukan ODHA sehingga ada hambatan dalam memahami kehidupan dengan status sebagai ODHA karena masih ada rasa tidak bisa menerima kenyataan yang harus dijalani dan merasa berbeda bila status mereka diketahui orang lain.

    Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Felton dan Revenson (1987) yang menyatakan bahwa responden dewasa menggunakan ko-ping mencari informasi tentang penyakitnya sedang lansia lebih banyak menggunakan koping berpikir positif, dan mengembangkan harapan.

    Begitu banyak permasalahan yang harus dihadapi ODHA dalam kehidupan sehari-ha-ri dan hal itu tidak mudah bagi mereka yang sebenarnya tidak menginginkan penyakit itu ada pada dirinya. Hal itu menunjukkan bahwa mereka mengalami stress pada saat itu. Sum-ber stress pada ODHA yang terutama yaitu bila orang lain tahu tentang statusnya tentu mereka akan merasa malu dan dikucilkan oleh orang lain, sehingga mereka membatasi interaksi dengan orang lain. Dengan rasa malu sebagai ODHA akan mempengaruhi dalam hubungan sosial dengan orang lain sehingga ODHA dalam penelitian ini memilih untuk membatasi inte-raksi dengan orang lain (Stinson et al., 2008).

    Dalam penelitian ini hanya satu partisipan yang statusnya sebagai ODHA diketahui oleh orang tua dan masyarakat sekitar yaitu Ny.N, sebagai ODHA Ny.N merasa diasingkan oleh orang tua karena setelah mengetahui status Ny.N sebagai ODHA, orang tua menyarankan untuk tinggal selama sebulan di rumah orang tuanya dan sebulan di rumah mertuanya be-gitu seterusnya bergantian. Sesuai dengan hasil penelitian Hudson et al., (2001) ODHA perempuan membatasi interaksi sosial dengan teman dan keluarga seiring dengan kurangnya dukungan sosial dari mereka.

    Keadaan Ny.N berbeda dengan kedua partisipan sebelumnya, kedua orang tua dan tetangga sekitar mengetahui tentang status Ny.T sebagai ODHA tetapi tidak mereka tidak

    pernah memberikan dukungan pada Ny.T se-baliknya mereka terkesan menjauh dari Ny.N dan membatasi interaksi. Keadaan ini meng-gambarkan bahwa kondisi psikologis ODHA dipengaruhi oleh dukungan psikologis yang mereka dapatkan sesuai dengan hasil peneli-tian Gordillo et al. (2009) yang menyatakan bahwa kesulitan perempuan dalam menerima dukungan psikologis berpengaruh buruk pada kesehatan psikologis.

    Berbeda dengan Ny.U yang memang se-ngaja meninggalkan dan menyembunyikan sta-tusnya dari keluarga, Ny.T juga menyembunyi-kan statusnya dari keluarga dan masyarakat sekitar. Hal itu dilakukan karena Ny.T khawa-tir akan dikucilkan jika masyarakat tahu bahwa dirinya adalah seorang ODHA. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Hutapea (1995) bahwa orang yang tertular HIV/AIDS juga ditinggalkan oleh teman dan orang terdekat mereka. Stress yang disebabkan kehilangan ini pun turut melemahkan sistem imun mereka.

    Ny.U mengalami denial ketika pertama kali mengetahui statusnya sebagai ODHA se-hingga yang dilakukan oleh Ny.U menyembu-nyikan statusnya dari orang lain dan membuat jarak dengan orang lain. Begitu juga dengan Ny.T yang denial ketika mengetahui bahwa di-rinya tertular HIV/AIDS dari suaminya sehing-ga Ny.T menyembunyikan statusnya sebagai ODHA dan membatasi hubungan sosial dengan masyarakat. ODHA ketiga dalam penelitian ini yaitu Ny.N juga mengalami denial pada wak-tu mengetahui statusnya sebagai ODHA dan membatasi interaksi dengan orang lain.

    Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fleishman et al. (2003) bahwa strategi ko-ping individu yang menghindar, menarik diri, dan melakukan koping yang berfokus pada emosi didapatkan pada ODHA yang mengalami masalah psikologis. Sedangkan bentuk koping yang aktif, koping yang berfokus pada masalah, dan penerimaan yang positif didapatkan pada ODHA yang sedikit mengalami masalah psiko-logis.

    Dalam penelitian ini semua ODHA meng-hadapi stigma sebagai penderita AIDS sehingga mereka menyembunyikan status mereka dari orang lain sesuai dengan penelitian Wingwood et al. (2007) bahwa ODHA perempuan meng-hadapi stigma yang lebih besar dan menurut Derlega et al. (2002) stigma tersebut memper-tahankan ODHA menyembunyikan statusnya. Ketidakterbukaan ODHA akan statusnya ini menjadi penghalang mereka untuk meneri-

  • 59

    JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62

    ma dukungan yang mereka butuhkan untuk menghadapi penyakitnya seperti yang didapat-kan dalam penelitian Serovich et al. (2000).

    Dengan demikian dapat diketahui bahwa status sebagai ODHA mempengaruhi hubu-ngan sosial dan keadaan emosional ODHA yang sesuai dengan hasil penelitian Imam et al. (2011) bahwa mayoritas dari responden meng-gambarkan nilai Quality of Life yang rendah dalam hubungan sosial dan diikuti oleh kea-daan psikologis responden.

    Dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup dalam aspek sosial ketiga ODHA sama-sama buruk dimana mereka membatasi interaksi dengan orang lain, tidak memperoleh duku-ngan sosial dari keluarga dan menyembu-nyikan status mereka dari orang lain karena mereka menganggap bahwa mereka sama de-ngan orang lain yang tidak sakit HIV AIDS.

    Aspek spiritual ODHA yang mengikuti terapi ARV

    Setelah Intervensi, dapat diketahui bahwa Ny.U mulai menerima kenyataan bahwa dirinya ada-lah ODHA dan kehidupan beragama Ny.U juga tidak mengalami perubahan dengan adanya kenyataan yang harus diterima bahwa hidup sebagai ODHA tidaklah mudah, karena setiap orang pasti mengetahui bahwa penyakit AIDS memiliki nilai negatif di masyarakat.

    Ny.U tidak mengingkari bahwa dirinya adalah ODHA, karena ini adalah akibat dari perbuatannya sendiri. Dibesarkan dalam kelu-arga yang beragama tentu saja membuat Ny.U menyerahkan semuanya pada Tuhan YME dengan lebih rajin beribadah dan mendekatkan diri pada-Nya dengan menjalankan sholat se-bagai seorang muslim. Dengan statusnya seba-gai ODHA tidak membuat Ny.U menyalahkan Tuhan dan sebaliknya Ny.U memahami bahwa hal ini adalah akibat perbuatannya sehingga membuat Ny.U menjadi lebih mendekatkan diri pada Tuhan serta menerima bahwa ini adalah cobaan yang diberikan pada dirinya.

    Sebagai seorang muslim Ny.U menjadi ser-ing beribadah, mendekatkan diri kepada Tu-han YME dan tidak pernah menyalahkan orang lain atau Tuhan atas apa yang terjadi padanya, sebaliknya Ny.U merasa bahwa Tuhan masih sayang pada dirinya karena telah memberi co-baan sehingga banyak hikmah yang bisa di-ambil. Status sebagai ODHA membuat Ny.U bersyukur bahwa masih diberikan kesempatan untuk bertaubat dan membantu memberikan motivasi kepada ODHA yang lain agar mereka

    Tabel 5 Hasil temuan dimensi spiritual ODHA yang mengikuti terapi ARV

    Subjek Deskripsi

    Ny.U

    Ny.T

    Ny.N

    Ny.U mulai bisa menerima kenyataan bahwa dirinya sebagai ODHA dan sebagai seorang muslim Ny.U sudah pasrah menjalani kehidupan ini dan merasa ini adalah sebuah kesempatan baginya untuk lebih mendekatkan dan beribadah pada Tuhan. Ny.U tidak pernah melupakan sholat lima waktu dan puasa.

    Ny.T masih belum bisa menerima sepenuhnya bahwa dirinya tertular HIV AIDS dan menganggap Tuhan tidak adil pada dirinya, sebagai seorang muslim Ny.T jarang melakukan ibadah karena Ny.T merasa dia menanggung akibatnya sendiri sebagai ODHA .

    Belum bisa menerimasepenuhnya atas statusnya sebagai ODHA juga dialami oleh Ny.N, tapi mau tidak mau Ny.N juga tidak bisa merubah kenyataan bahwa dia adalah ODHA dan sebagai seorang muslim Ny.N mengatakan beribadah ketika ingat saja, dan jarang mengikuti pengajian.

    menjalani kehidupannya. Hal itu juga sesuai dengan penelitian Litwinczuk et al. (2007) yang menunjukkan bahwa kehidupan spiritual bisa berpengaruh pada kesehatan mental dan fisik sebagai ODHA. Aspek spiritual seperti ke-damaian, tujuan dan makna hidup membantu ODHA pada kesejahteraan psikologis (Coleman et al. 1999).

    Berbeda dengan Ny.U, karena Ny.T mera-sakan kekecewaan tertular HIV-AIDS membuat Ny.T jarang melakukan ibadah sebagai seorang muslim karena Ny.T merasa bahwa Tuhan tidak adil terhadap dirinya, kenapa dirinya bisa terkena AIDS padahal Ny.T tidak pernah melakukan pergaulan seks bebas, tidak pernah memakai narkoba dan tidak pernah menjalani kehidupan malam. Apalagi setelah terkena AIDS Ny.T harus menanggung sendiri akibatnya dan Ny.T tahu dirinya tidak akan pernah sembuh dari AIDS. Hal inilah yang menyebabkan Ny.T jarang beribadah. Untuk menjalani kehidupan sebagai ODHA memang bukan hal yang mudah bagi Ny.T, pernah merasakan putus asa akan kenyataan yang harus dihadapi membuat Ny.T merasa bahwa Tuhan tidak adil pada dirinya, sehingga kehidupan spiritual sudah mulai di-tinggalkan. Sebagai seorang muslim Ny.T tidak

  • 60

    JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62

    pernah terlihat beribadah selama observasi dalam penelitian.

    Untuk orientasi religiusitas Ny.U lebih baik dari Ny.T dan Ny.N sejak kecil Ny.U hidup didalam lingkungan religius sehingga bisa me-nerima segalanya dengan ikhlas dan mengam-bil hikmah serta menentukan tindakan yang akan dilakukan. Sesuai dengan apa yang di-katakan oleh Hanurawan (2001) bahwa religiu-sitas sebagai salah satu bagian dari cerminan kehidupan keberagamaan seseorang, secara logis akan memiliki pengaruh pada aktivitas seseorang dalam menjalani kehidupan dan sekaligus menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap masalah-masalah kehidupan.

    Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Kremer et al. (2009) bahwa kegiatan ibadah merupakan sebagai koping yang efektif terha-dap timbulnya beberapa gejala efek samping dari terapi ARV sedangkan keyakinan spiritual merupakan motivator yang penting terhadap kepatuhan terapi.

    Seperti Ny.T yang jarang beribadah, seba-gai seorang muslim Ny.N hanya melakukan ibadah ketika ingat saja. Rasa tidak bisa me-nerima kenapa Ny.N tertular HIV-AIDS sampai saat ini juga masih dirasakan, sehingga Ny.N tidak pernah melakukan ibadah. Ny.N beraga-ma Islam, tapi selama observasi Ny.N tidak per-nah terlihat beribadah. Tidak ada satu orang pun yang menginginkan tertular HIV-AIDS, se-hingga sampai sekarang dalam hati kecil Ny.N masih belum bisa menerima akan statusnya sebagai ODHA meskipun perilaku Ny.N terlihat biasa saja dalam menyikapi dirinya yang seba-gai ODHA. Akan tetapi Ny.N juga berdoa agar dirinya bisa sembuh dari HIV-AIDS.

    Kehidupan spiritual dari ODHA yang be-nar-benar telah menerima kondisinya dikata-kan tidak terganggu, tetapi berbeda dengan ODHA yang belum bisa menerima keadaannya kehidupan spiritual kadang terganggu karena merasa bahwa Tuhan tidak adil pada dirinya.

    Dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup ODHA dalam aspek spiritual juga rendah, ka-rena sebagian besar ODHA masih belum bisa menerima kenyataan tentang statusnya dan masih ada rasa bahwa Tuhan tidak adil pada mereka.

    Secara umum dari ketiga ODHA terse-but dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup masing-masing ODHA berbeda dalam meng-hadapi penyakit AIDS yang dideritanya karena masing-masing ODHA memiliki persepsi yang berbeda dalam menilai posisi dan keadaannya

    sekarang. Menerima kenyataan bahwa mereka adalah ODHA merupakan hal terpenting yang harus dilakukan oleh ODHA, sehingga mereka bisa memahami kondisi dirinya.

    Status sebagai ODHA merupakan hal baru yang dialami oleh semua partisipan dalam penelitian ini dan itu merupakan tuntutan-tuntutan yang penuh dengan tekanan atau membangkitkan emosi sehingga cara yang di-gunakan untuk menghadapinya lebih banyak dengan melampiaskan emosi-emosi yang dise-babkan oleh masalah (Wade & Tavris, 2007). Hal ini sesuai dengan penelitian Hasanah et al. (2010) yang menyebutkan bahwa penderita HIV lebih terganggu dalam aspek sosial daripa-da aspek fisik karena itu penderita HIV harus menerima pendidikan psikologis dan intervensi untuk aspek psikologis lebih baik.

    Kesimpulan dan Saran

    Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpul-kan bahwa kualitas hidup ODHA yang mengi-kuti terapi ARV dalam aspek fisik adalah baik karena ketiga subjek menyadari pentingnya menjaga kesehatan fisik sebagai ODHA de-ngan minum obat ARV tepat waktu sehingga tidak ada infeksi opportunistik yang muncul, sedangkan kualitas hidup ODHA secara emo-sional, sosial, dan spiritual adalah rendah di-mana pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ODHA kurang mengembangkan hubu-ngan sosial dan kehidupan spiritualnya serta kurang memperoleh dukungan sosial baik dari keluarga dan orang-orang di sekitarnya meng-gambarkan bahwa stigma dan diskriminasi masih banyak yang dialami oleh ODHA.

    Pengukuran kualitas hidup dalam peneli-tian ini dapat digunakan perbandingan bebera-pa alternatif pengelolaan, data penelitian kli-nis, penilaian manfaat suatu intervensi klinis, mengindentifikasikasi ODHA yang membutuh-kan tindakan perbaikan secara medis ataupun bantuan konseling, juga dapat dipakai untuk pengenalan dini terhadap ODHA sehingga da-pat diberikan intervensi tambahan.

    Penelitian ini hanya mengkaji kualitas hidup ODHA perempuan yang mengikuti terapi ARV secara kualitatif. Tentu masih banyak ke-terbatasan dalam penelitian ini, oleh karena itu diharapkan bagi para peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian dengan cakupan yang lebih luas, terutama dikaitkan dengan jenis kelamin, umur, ataupun variabel lain yang mempengaruhi kualitas hidup ODHA.

  • 61

    JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62

    Daftar Pustaka

    Andaru, G.S., 2005. Peranan faktor internal dan eksternal dalam pemilihan strategi koping stres odha dewasa muda. Jakarta; FKUI. http//www.digilib.ui.ac.id

    Bing, E. G., Hays, R. D., Jacobson, L. P., Chen, B., Gange, S. J., Kass, N. E., Chmiel, J. S., & Zucconi, S. L., 2000. Health related quality of life among people with HIV disease: Results from the Multicenter AIDS Co-hort Study. Quality of Life Research, 9, 7784.

    Browne, J.P., OBoyle, C.A., McGee, H.M., Joyce, C.R., Mc-Donald, N.J., OMalley, K., Hiltbrunner, B., 1994. In-dividual quality of life in the healthy elderly. Quality of Life Research, 3 (4): 235-244. http://ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7812276

    Calman, K.C., 1984. Quality of life in cancer patients a hy-pothesis. Journal of Medicine Ethics,10, 124-127.

    Carr, J.A., Gibson, B., Robinson, Peter, G., 2001. Measur-ing Quality of Life. British Medical Journal, 322, 1240-1243.

    Ciambrone, D., 2002. Informal Networks among Women with HIV/AIDS: Present Support and Future Pros-pects. Qualitative Health Research, 12 (7), 876-896.

    Coleman, C.L., & Holzemer, W.L., 1999. Spirituality: Symp-toms and psychological well being for african ameri-cans living with hiv disease. Journal of the Association of Nurses in AIDS CARE, 10 (1), 42-50.

    Derlega, V. J., Winstead, B. A., Greene, K., Serovich, J., & Elwood, W. N., 2002. Perceived HIV related stigma and HIV disclosure to relationship partners after finding

    out about the seropositive diagnosis. Journal of Health Psychology, 7, 415-432.

    Djauzi, S., & Djoerban, Z., 2002. Penatalaksanaan HIV/AIDS di Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: FKUI.

    Diehl, M., Coyle, N., Labouvie, V., & Gisela., 1996. Age and sex differences in strategies of coping and defense across the life span. Psychology and Aging, 11 (1), 127-139.

    Diener, E.D., & Suh, E.M., 1999. National differences in subjective well being. Dalam Kahneman, D., Diener, E., & Scwarz, N. Well Being: The Foundations of He-donic Psychology. New York: Russel Sage Foundation.

    Effendy, N., 2007. Peran Psikologi Transpersonal dalam meningkatkan Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS di Indonesia. Anima: Indonesian Psychological Journal, 24 (1), 1-16.

    Felton, B., & Revenson, T.A., 1987. Age differences in co-ping with chronic illness. Psychology and Aging, 2 (2), 164-170. http://psycnet.apa.org. Diakses 15 Maret 2012.

    Gill, T.M., & Feinstein, A.R., 1994. A critical appraisal of the quality of life measurement. Journal American Medicine Association, 272, 619-26.

    Gordillo, V., Fekete, E.M., Platteau, T., Antoni, M.H., Sch-neiderman, N., & Nostlinger, C., 2009. Emotional sup-

    port and gender in people living with HIV: effects on psychological well being. Juornal Behaviour Medicine, 32 (6), 523-531.

    Hanurawan, F., 2001. Kontroversi Pendekatan Kuantitatif dan Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Cet.I. Malang: Universitas Negeri Malang

    Hanurawan, F., 2012. Metode Penelitian Kualitatif dalam Ilmu Psikologi. Malang: Universitas Negeri Malang.

    Hasanah, C.I., Zaliha, A.R., & Mahiran, M., 2010. Factors influencing the quality of life in patients with HIV in

    Malaysia. Qualitative Life Research. 2011 Feb; 20 (1), 91-100. Epub 2010 Aug 26 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20737215. Diakses 18 Januari 2012.

    Hudson, A. L., Lee, K. A., Miramontes, H., & Portillo, C. J., 2001. Social interactions, perceived support, and level of distress in HIV positive women. Journal of the As-sociation of Nurses in AIDS Care, 12 (4), 68-76.

    Hutapea-Ronald., 1995. AIDS & PMS dan Perkosaan. Ja-karta: Rineka Cipta.

    Imam, M.H., Karim, M.R., Ferdous, C., & Akhter, S., 2011. Health related quality of life among the people living

    with HIV. Bangladesh: Bangladesh Med Res Counc. Kremer, H., Ironson, G., & Porr, M., 2009. Spiritual and

    Mind Body as Barriers and Motivators to HIV treat-ment Decision Making and Medication Adherence? Qualitative Studi AIDS PATIENT CARE STDS, 23 (2), 127-134.

    Litwinczuk, K., & Carla, J., 2007. The relationship between spirituality, purpose in life, and well being in HIV posi-tive persons. Journal of The Association Of Nurses In Aids Care, 18 (3), 13-22.

    Mendlowicz-Mauro, V., & Stein., M.B., 2000. Quality of life in individuals with anxiety disorders. American Jour-nal Psychiatry, 157, 669-682.

    Molnar, Pal., 2009. Some aspect of the measurement and improvement of quality of life. Diakses 1 Agustus 2012.

    Moosa, M.Y.H., Jonsson, G., Jeenah, F.Y., & De Wee L., 2009. Support Groups For Hiv Positive Mentally Ill Pa-tients. International Journal of Psychology and Coun-seling, 1 (9), 147-153.

    Murtiwi, Nurachmah, E., Nuraini, T., 2005. Kualitas Hidup Klien Kanker Yang Menerima Pelayanaan Hospis/

    Homecare: Suatu Analisis Kuantitatif. Jakarta: FKUI.Natalya, W., 2006. Mekanisme dan Strategi Koping Orang

    dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam Menghadapi Stres

    akibat Penyakitnya di Yogyakarta. Jakarta: FKUI. http//www. digilib.ui.ac.id

    National Safety Council. 2003. Manajemen Stres. Jakarta: EGC. HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika.

    Prastowo-Andi., 2011. Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

    Poerwandari, E., Kristi., 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Cet. 1. Jakarta: Lembaga Pengem-

  • 62

    JURNAL SAINS DAN PRAKTIK PSIKOLOGI 2013, Volume I (1), 48 - 62

    bangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI.

    Sarafino, E. P., 1994. Healthy psychology. 2nd ed. New York: John Wiley n Sons.

    Sarafino, E.P., 2006. Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. 5th . New York: John Wiley & Sons, Inc.

    Serovich, J. M., Brucker, P. S., & Kimberly, J. A., 2000. Barriers to social support for persons living with HIV/

    AIDS. AIDS care, 12, 651662. Stewart, W. T., Herek, G. M., Ramakrishna, J., Chandy,

    S., Wrubel, J., & Elstrand, M. L., 2008. HIV related stigma: adapting atheoretical framework for the use in India. Social Science and Medicine, 67, 1225-1235. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. Diakses tanggal 20 Februari 2012.

    Stinson, D. A., Logel, C., Zanna, M., Holmes, J., Cameron, J., & Wood, J., 2008. The cost of lower self esteem: Testing a selfand social bonds model of health. Journal of Personality and Social Psychology, 94, 412428

    Taylor, S.E., 1991. Health Psychology. New York: Mc Graw Hill Companies Inc.

    Testa, M.A., & Simonson, D.C., 1996. Assessment of Qual-ity of Life Outcomes. England Journal of Medicine, 334, 835-840.

    Universitas Muhammadiyah Malang. Pedoman Penulisan Tesis. Program PascaSarjana Universitas Muham-madiyah Malang.

    Vanable, P. A., Blair, D. C., & Littelwood, R. A., 2006. Im-pact of HIV related stigma on health behaviors and psychological adjustment among HIV positive men and women. AIDS and Behavior 10, 473-482. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. Diakses tanggal 20 Februari 2012.

    Fleishman, J.A., Sherbourne, C.D., Cleary, P.D., Wu, A.W., Crystal, S., & Hays, R.D., 2003. Patterns of coping among persons with HIV infection: Configurations,

    correlates, and change. American Journal of Commu-nity Psychology, 32 (1-2), 187-204.

    Vosvick, M., Felton, C. G., Krumbolitz, J., & Spiegel, D., 2003. Relationship of Functional Quality of Life to Strategies for Coping With the Stress of Living With

    HIV/AIDS: The Academy of Psychosomatic Medicine. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. Diakses tanggal 20 Februari 2012.

    Weber, J., 1993. AIDS dan Anda. Apa yang Perlu Anda Ketahui. Jakarta: Arcan.

    Wade, C., & Tavris, C., 2007. Psikologi Edisi 9 jilid 2. Ja-karta: Erlangga.

    Wagner, A.C., Hart, T.A., Mohammed, S., Ivanova, E., Wong, J., & Loutfy, M.R., 2010. Correlates of HIV stig-ma in HIV positive women. Archives Womens Mental Health 13, 207-214.

    Wang, P.C., Nadol, J.B., Austin, E., Merchant, S., & Gliklich, R.E., 2000. Validation of outcomes survey for adults with chronic suppurative otitis media. Ann Otol Rhinol Laryngol, 10 (9), 249-254.

    Ware, J.E., 1984. Conceptualizing Disease Impact and Treatment Outcomes. Cancer, 53, 2316-2323.

    Wingwood, G. M., Hardin, J. W., DiClemente, R. J., Peter-son, S. H., Mikhail, I., & Hook, E. W., 2007. HIV dis-crimination and the health of women living with HIV. Women & Health, 4, 99-112.

    Yadav, S., 2009. Perceived Social Support, Hope, And Qual-ity Of Life Of Persons Living With HIV/AIDS: A Case

    Study from Nepal. Springer Science Business Media B.V.