Click here to load reader
Upload
leminh
View
300
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Kurikulum Pendidikan Agama Kristen (PAK) di Sekolah Menengah Atas (SMA)
dalam Kajian Pendidikan Karakter
Oleh
Ridolof Sefnat Mamarodi
71 2008 009
Tugas Akhir
Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi
Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains
Teologi
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga,
2015
i
ii
iii
iv
Kata Pengantar
“Jika anda bertannya apa manfaat Pendidikan, maka jawabannya sederhana: Pendidikan
membuat orang lebih baik dan orang baik tentu berperilaku mulia.” - Plato
Pendidikan menjadi bagian yang paling penting dalam pertumbuhan kehidupan
manusia,pendidikan membantu manusia untuk dapat bertumbuh lebih cepat secara fisik dan
mental.Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu membawa perubahan bagi
peserta didiknya kearah kehidupan yang lebih bernilai. Seperti yang dikatakan Plato bahwa
dengan pendidikan orang akan berperilaku mulia dan perilaku itu secara konsisten dilakukan
terus sebagai keutamaan dalam hidupnya.
Untuk mencapai perilaku yang bernilai sebagai keutamaan hidup, diperlukan
pendidikan karakter yang merupakan bagian dari pendidikan yang baik. Pendidikan karakter
membantu peserta didiknya untuk dapat menentukan nilai yang baik dan bermoral dalam
setiap sikap dan perilaku dirinya sendiri. Pada dasarnya yang dihadapi generasi muda adalah
tentang pendidikan moral dan nilai yang membentuk generasi baru yang berkarakter baik.
Oleh sebab itu, tulisan ini penulis ajukan bukan pertama-tama demi mencapai gelar
sarjana teologi –suatu upaya melanggengkan pragmatisme- seperti yang dituliskan dalam
format administrasi Universitas (nampak pada halaman cover tugas akhir ini). Akan tetapi
tulisan ini penulis ajukan sebagai realisasi dari kenginan untuk memperbaiki pendidikan yang
terjadi di Indonesia. Maka tentu tulisan ini memuat banyak kelemahan sebab ia adalah
langkah awal dari proses belajar.
Atas rampungnya tugas akhir ini maka puji syukur tak terbilang penulis haturkan bagi
Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab penulis sadar bila tanpa ijin-Nya tentu tulisan ini tak akan
pernah terselesaikan dan bahkan ada sekalipun. Akan tetapi penulis juga sadar bahwa
pencapaian ini dapat terwujud juga berkat bantuan banyak pihak. Untuk itu penulis ingin
menghaturkan rasa terima kasih dan hormat kepada seluruh pihak yang telah membantu dan
mendukung sehingga tugas akhir ini boleh terselesaikan. Kepada mama dan papa berserta
kedua adik Keken dan Rian yang rela menderita demi kebahagiaan yang sekarang penulis
rasakan, kepada merekalah rasa terima kasih dan hormat terbesar penulis berikan. Kemudian,
tak kurang juga ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Pdt. Dr. Jacob Daan Engel
dan Pdt. Mariska Lauterboom, MATS yang telah membimbing penulis dalam menyusun
tugas akhir ini. Penulis memberikan penghargaan kepada Ibu Ira D. Mangililo, Ph.D dan
Bapak Pdt. Dr. Eben Nuban Timo selaku reviewer tugas akhir ini.
v
Terkhusus Ibu Ira Mangililo, Ph.D penulis haturkan terima kasih yang sangat besar atas
empat poin kritik yang sangat substansial terhadap tugas akhir ini. Kepada pembimbing
ketiga mener Albert Joshua Putra Maliogha, S.Si-Teol yang selalu ada setiap dibutuhkan dan
banyak meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam mengarahkan dan memberikan
masukan dalam pembuatan tugas akhir ini, ucapan terima kasih juga penulis berikan. Kepada
teman-temanBona Fide dan Las Vegas (AJPM, AOS, JGK, AH, JN, FS, AMS, YDD, DNK,
Yopi Jr.), dan tokoh nasional Gusti A.B. Menoh, S.Si-Teol, M.Hum yang telah mencintai
kami sekuat cintanya, semua penulis ucapkan terima kasih atas ruang diskusi dan kesempatan
untuk mengenal berbagai pemikir-pemikir besar yang membuat penulis memiliki wawasan
dan pengetahuan lebih banyak yang tidak didapatkan selama hampir 7 tahun belajar di
Fakultas Teologi UKSW. Untuk keluarga yang selalu menemani penulis selama berada di
Salatiga; Onco, Om, Cindy, Lestari, Since, Pak de, Jerry, dan Samuel, penulis juga
mengucapkan banyak terima kasih. Ucapan terima kasih yang terakhir penulis haturkan
kepada dua sosok perempuan yang telah membantu dan menemani penulis dalam pembuatan
tugas akhir ini, kepada Ip yang bersama-sama dari awal penulisan ini ikut mencari dan
memberikan masukan berupa ide-ide dan kepada Dania yang kemudian menggantikan Ip
dalam menemani penulis sampai akhir penulisan tugas akhir ini. Terima kasih atas kehadiran
kalian semua dalam kehidupan penulis.
Semoga tulisan ini dapat berguna bagi mereka yang membacanya. Kritik dan saran
dari siapapun yang membaca tulisan ini sangat penulis harapkan guna perbaikan kualitas
penulisan. Tuhan kiranya memberkati kita.
Salatiga, 1 Juli 2015
Ridolof Sefnat Mamarodi
vi
Daftar Isi
Cover
Lembar Pengesahan
Pernyataan Tidak Plagiat
Persetujuan Akses
Kata Pengantar
Daftar Isi
Abstrak
1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Metodologi
1.5 Manfaat Penelitian
1.6 Sistematika Penulisan
2 Pendidikan Agama Krsiten dan Pendidikan Karakter
2.1 Pendidikan Agama Kristen
2.1.1 Pengertian Pendidikan Agama Kristen
2.1.2 Tujuan Pendidikan Agama Kristen (PAK)
2.2 Pendidikan Karakter
2.2.1 Pengertian Pendidikan Karakter
2.2.2 Inti dan Komponen Karakter
2.2.3 Elemen – Elemen Karakter
3 Peran Pendidikan Karakter dalam Kurikulum PAK
a. Karakteristik Kurikulum 2013
b. Landasan Filosofis
c. Standar Kompetensi Kelulusan SMA/MA/SMK/MAK/SMALB/Paket C
d. Kompetensi Inti
e. Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti
4 Kesimpulan
Daftar Pustaka
i
ii
iii
iv
vi
vii
1
1
6
6
6
6
6
7
7
7
8
11
11
12
16
18
18
19
23
25
26
31
32
vii
Abstrak
Pendidikan karakter akhir – akhir ini menjadi topik yang selalu dibahas dalam dunia
pendidikan Indonesia. Hal ini disebabkan oleh beberapa tahun terakhir ini indonesia
mengalami perubahan besar yakni perubahan bentuk pemerintahan, perubahan tatanan
ekonomi dan perubahan globalisasi. Perubahan ini tidak terjadi secara linear sehingga
menyebabkan perkembangan yang saling berlawanan, dan menyebabkan krisis norma moral,
hirarki nilai sikap dan pandangan hidup. Maka dari itu pemerintah mencari jalan keluar
bangsa ini dari krisis tersebut dengan mengembangkan pendidikan nilai moral melalui
pendidikan karakter yang didalamnya mencakup pula pendidikan agama Kristen dan budi
pekerti.
Tulisan ini akan membahas kurikulum 2013 yang diatur oleh pemerintah melalui
permen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan
Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah, secara khusus kurikulum
mata pelajaran PAK dan budi pekerti ditinjau kesesuaiannya teori pendidikan karakter yang
mencakup inti, komponen dan elemen karakter. Penulis akan menggunakan metode
penelitian kualitatif guna menjawab isu yang penulis angkat dalam tulisan ini. Melalui tulisan
ini penulis mendapati bahwa seluruh perubahan yang mencakup cara berpikir, seni, teknologi,
budaya, olahraga sangat ditentukan oleh pendidikan. Guna memastikan perubahan sebagai
dampak dari pendidikan bermuara pada perubahan yang menjunjung tinggi humanitas maka
pendidikan karakter merupakan keniscayaan. Selain itu, penulis juga menemukan bahwa
untuk mencapai tunjuan perubahan yang menjunjung tinggi humanitas melalui pendidikan
karakter maka kurikulum harus disusun sedemikian rupa secara tepat. Sebab dalam
kurikulumlah berbagai bentuk strategi dan tujuan dari pendidikan itu dirancang.
Kata kunci : Pendidikan, Pendidikan Karakter, PAK, Kurikulum 2013, Moral, Inti Karakter,
Komponen Karakter, Elemen Karakter.
1
1. Pendahuluan
I.1. Latar Belakang
Lebih dari satu dekade belakangan ini, Indonesia mengalami perubahan besar.
Perubahan bentuk pemerintahan, tatanan ekonomi, dan Globalisasi. Perubahan terjadi dari
bentuk pemerintahan yang otokrasi menjadi bentuk pemerintahan yang demokarsi sehingga
memunculkan kesadaran untuk membentuk dan memperkuat masyarakat sipil (civil society).
Dalam kaitan perubahan pada tatanan ekonomi, perubahan yang sangat cepat dari bentuk
tatanan sosial-ekonomi agraris menjadi tatanan sosial-ekonomi industrial yang ditandai
dengan berkembangnya kapitalisme dan pasar bebas. Perubahan ini tidak lantas membawa
kemakmuran masyarakat secara merata, garis pemisah antara miskin dan kaya masih belum
teratasi. Perubahan yang terakhir adalah globalisasi yang merambah hampir ke segala aspek
kehidupan, terutama dalam bidang komunikasi yang menyebabkan begitu cepatnya aktivitas
manusia, mulai dari peredaran uang, informasi, barang, jasa dan bahkan perpindahan manusia
dari satu tempat ke tempat lain di dunia ini. Ketiga perubahan besar ini ternyata prosesnya
tidak linear maka terjadilah perkembangan yang saling berlawanan. Hal ini menyebabkan
krisis norma moral, hirarki nilai sikap dan pandangan hidup, generasi-generasi muda
Indonesia yang sudah semakin jauh menyimpang dari nilai-nilai moral yang berlaku.
Pada akhirnya dunia pendidikanlah yang disiasati oleh pemerintah sebagai terapi atas
berbagai penyakit sosial akibat perubahan ini, dengan menambahkan pada kurikulum jumlah
jam pelajaran agama, budi pekerti dan berbagai corak pendidikan “nilai”. Dalam Undang-
Undang no. 20 tahun 2003 menyinggung tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3)”.
Pemerintah melihat pendidikan sebagai salah satu jalan keluar untuk membawa masyarakat
Indonesai terlepas dari krisis moral yang melanda bangsa ini. Dari pengertiannya secara
etimologi istilah Pedidikan dalam Bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari
kata“Education” dalam Bahasa Inggris, dan kata “education” sendiri bersal dari bahasa
Latin “educere” yang berarti membimbing (to lead), ditambah awalan “e” yang berarti
keluar (out). Jadi arti dasar pendidikan adalah suatu tindakan untuk membimbing keluar.1
1 Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen, (Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat
(Kristen) Protestan dan Universitas Terbuka), 1994, 4.
2
Pendidikan dalam arti khusus dapat dirumuskan sebagai bimbingan atau pertolongan yang
diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada orang lain yang belum dewasa untuk
mencapai tujuan pendidikan. Sedangkan dalam arti umum sebagai usaha yang dijalankan oleh
sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau kelompok orang lain supaya ia atau
mereka mencapai tingkat hidup yang lebih tinggi. 2
Seorang filsuf bernama A.N. Whitehead juga mengatakan bahwa ada hukum alam
yang mengatur segala sesuatu di alam semesta ini, yakni hukum kemajuan dan
perkembangan. Karena manusia adalah bagian dari alam semesta ini maka manusia juga
terkena hukum perkembangan tersebut ; manusia tumbuh secara fisik dan mental menurut
tahapan tertentu yang disebut “daur” atau “ritme.” Tentunya setiap tahap ini bergerak ke arah
perkembangan yang lebih tinggi. Dalam hal ini Whitehead menekankan bahwa setiap anak
sudah selalu memiliki prinsip pertumbuhan yang bersifat bawaan menuju kemajuan atau
perbaikan diri. Dalam diri anak sudah terdapat sifat alamiah untuk memperbaiki diri dan
menemukan sesuatu yang baru. Namun karena pertumbuhan alamiah ini bergerak lambat,
maka dibutuhkan intervensi dari luar untuk mempercepat dan mengarahkan pertumbuhan
tersebut. Menurutnya pendidikan dan sosialisasi merupakan salah satu intervensi yang terarah
yang membantu perkembangan fisik dan mental, sehingga kepribadian anak dapat
berkembang lebih mudah , lebih cepat dan lebih ekonomis.3
N. Driyarkara mengatakan bahwa pendidikan merupakan proses perubahan ganda,
pertama perubahan dalam diri manusia (muda) sendiri, yang disebut eksistensia, dan yang
kedua proses ini berlangsung dalam masyarakat dan budaya yang juga berubah. Dengan
demikian, dalam pendidikan, manusia (muda) itu mau tak mau harus berubah juga bersama
dengan yang lain, yang menjadi Umwelt (lingkungan hidup).4 Menurutnya pendidikan harus
dipandang sebagai komunikasi eksistensia manusiawi yang autentik kepada manusia muda
supaya dimiliki, dilanjutkan, dan disempurnakan. Komunikasi ini harus terjadi dalam
kesatuan antara pendidik dan anak didik, yang berdasarkan das liebende Miteinander sein
(hidup bersama dalam cinta kasih).
2 Imam Barnadib, Beberapa Hal Tentang Pendidikan, (Yogyakarta : STUDING. 1982), 1.
3 M. sastrapratedja, Pendidikan sebagai humanisasi, (Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan pancasila, 2013),
24 4 Driyarkara, “Hominisasi dan Humanisasi” dalam A.Sudiarja, at.al (eds.), Karya Lengkap Driyarkara :
Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2006), 415-417.
3
Ada tiga rumusan definisi pendidikan yang dibuat oleh Driyarkara, ketiga rumusan ini
tidak terpisah melainkan saling memuat. Pertama, pendidikan adalah hidup bersama dalam
kesatuan tri-tunggal bapak-ibu-anak, dimana terjadi pemanusiaan anak, dengan mana dia
berproses untuk akhirnya menjadi manusia sendiri sebagai manusia purnawan. Kedua, pada
kenyataannya pendidikan berarti pemasukan anak ke dalam budaya, atau juga masuknya alam
budaya ke dalam diri anak. Pemasukan disini menunjukkan adanya aktivitas baik dari
pendidik maupun dari anak didik. Kebudayaan yang dimaksud bukan hanya humanisasi,
melainkan juga hominisasi sebagai tingkat fundamental. Maka dari itu pendidikan adalah
hidup bersama dalam kesatuan tritunggal bapak-ibu-anak, dimana terjadi pembudayaan anak,
dengan mana dia berproses untuk akhirnya bisa membudaya sendiri sebagai manusia
purnawan. Yang ketiga, bahwa hidup bahwa hidup manusia sekalipun sangat primitif, tentu
merupakan pelaksanaan nilai-nilai. Makan dan minum, tidur dan bekerja,bergaul dan
bergurau, menangis dan bersuka ria semuanya itu adalah pelaksanaan nilai-nilai. Maka dari
itu pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal bapak-ibu-anak, dimana
terjadi pelaksanaan nilai-nilai, dengan mana dia berproses untuk akhirnya bisa melaksanakan
sendiri sebagai manusia purnawan.5
Menurut Driyarkara pendidikan secara prinsip berlangsung dalam lingkungan
keluarga. Pendidikan merupakan tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu yang
merupakan figur sentral dalam pendidikan. Ayah dan ibu bertanggung jawab untuk
membantu memanusiakan, membudayakan dan menanamkan nilai-nilai terhadap anak-
anaknya. Bimbingan bantuan ayah dan ibu tersebut berakhir apabila sang anak menjadi
dewasa, menjadi manusia sempurna atau manusia purnawan. Dari uraian tersebut pendidikan
terbatas kepada anak, jadi yang menjadi objek kajian pendidikan adalah pergaulan pendidikan
antara orang dewasa dan orang yang belum dewasa. Dalam konteks ini proses pendidikan
berlangsung sejak anak lahir sampai anak mencapai tahap dewasa. Pendidik dalam hal ini
bisa orang tua atau guru yang fungsinya sebagai orang tua, membimbing anak yang belum
dewasa mengantarkannya untuk dapat hidup mandiri dan menjadi dirinya sendiri.
Sedangkan, menurut Martin Heidegger pendidikan harus dapat memanusiakan
manusia (der mensch menscht).6 Dalam masyarakat Sulawesi juga mengenal istilah atau
falsafah hidup orang Minahasa yang dikatakan oleh Dr. G.S.S.Y.Ratulangi (Sam Ratulangi)
yaitu “Si Tou Timou Tumou Tou,” yang artinya manusia hidup untuk memanusiakan manusia
5 Driyarkara, “Hominisasi dan Humanisasi,” 415-417.
6 Driyarkara, “Hominisasi dan Humanisasi,” 275.
4
lain. Dengan demikian, ide memanusiakan manusia ini merupakan ide sentral atau
fundamental pada beberapa budaya dan bangsa, namun sering dilupakan atau sengaja
diabaikan oleh para pendidik, inilah yang menjadi masalah utama dalam pendidikan.
Permasalahan pendidikan ini menurut Paulo Freire seorang tokoh pendidikan Amerika latin
merupakan sistem pendidikan yang memperkuat struktur yang kurang adil dalam masyarakat.
Menurutnya pendidikan yang sering terjadi selama ini adalah pendidikan sistem bank. Dalam
hal ini guru sebagai subjek dan murid merupakan objek yang harus diberikan informasi,
pendidikan meyerupai usaha mendepositkan uang di bank.7 Pendidikan sudah tidak melihat
bagaimana hasil akhirnya, peserta didik yang diajarkan apakah akan menjadi benar-benar
manusia purnawan atau tidak. Pendidikan hanya terbatas pada bagaimana cara mengajar dan
apa yang diajarkan tanpa melihat prosesnya. Sehingga pendidikan sudah tidak lagi dipahami
sebagai pendidikan secara ontologis. Oleh karena itu, pendidikan harus diperhatikan dengan
serius agar mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri yaitu menjadikan homoniora yang
humaniora.
Berdasarkan pengertian pendidikan dari beberapa ahli di atas, maka pendidikan harus
mengedepankan ide tentang pendidikan yang humanisme, kalau ini sudah dapat dicapai maka
sebagai bentuk usaha dari pemerintah untuk menyembuhkan krisis moral lewat pendidikan
bisa mencapai titik terang. Sehingga tidak sulit untuk menerapkan apa yang coba diusungkan
oleh pemerintah dalam hal mencari jalan keluar atau solusi dari krisis moral tersebut, yakni
lewat pendidikan nilai yang dikemas dalam bentuk kurikulum baru yang lebih menekankan
pendidikan karakter. Oleh karena itu dengan menekankan pendidikan karakter pada peserta
didik sekolah diharapkan mampu untuk membentuk generasi-generasi muda yang lebih baik.
Ada empat alasan mendasar mengapa sekolah pada masa sekarang perlu lebih
bersungguh-sungguh menjadikan dirinya tempat terbaik bagi pendidikan karakter, yakni; (a)
Banyak keluarga yang tidak melaksanakan pendidikan karakter; (b) Sekolah tidak hanya
bertujuan membentuk anak yang cerdas , tetapi juga anak yang baik; (c) Kecerdasan seorang
anak hanya bermakna manakala dilandasi dengan kebaikan; (d) Membentuk anak didik agar
berkarakter tangguh bukan sekedar tugas tambahan bagi guru, melainkan tanggung jawab
yang melekat pada perannya sebagai seorang guru.8 Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 tentang Kurikulum
2013 Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah, pada pasal 3 ayat 3 dinyatakan bahwa
7 Sastrapratedja, Pendidikan sebagai humanisasi,26.
8 Saptono, Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter; Wawasan,Strategi, dan Langkah Praktis,
(Jakarta:Esensi Erlangga Group, 2011),24.
5
kompetensi inti yang hendak dicapai terdiri atas; kompetensi inti sikap spiritual, sikap sosial,
pengetahuan dan ketrampilan. Hal ini bisa dicapai salah satunya lewat mata pelajaran
Pendidikan Agama Kristen.
Pendidikan Agama Kristen (PAK), sangat berperan penting dalam pembentukan
karakter siswa di sekolah. Di saat mata pelajaran yang lain lebih menekankan nilai pada
ranah kognitif (pengetahuan), PAK lebih cenderung kepada ranah afektif (sikap dan
perilaku). Menurut Thomas Groome istilah “Pendidikan Agama Kristen” dapat membantu
mengingatkan kita lebih jauh bahwa kita semua dipanggil menjadi gereja Kristen yang
universal,9 dalam hal ini Pendidikan Agama Kristen tidak hanya belajar dari dalam komunitas
Kristen saja melainkan dari dunia luar dengan berbagai pengalaman-pengalaman yang ada
dalam masyarakat umum. Ia juga mengatakan bahwa setiap jenis pendidikan cepat atau
lambat akan mempengaruhi orang-orang dalam cara mereka menjalani kehidupan dalam
masyarakat. Werner C. Graendorf juga mengatakan bahwa tujuan PAK adalah untuk
membimbing individu-individu pada semua tingkat perkembangannya, dengan cara
pendidikan kontemporer, menuju pengenalan serta pengalaman akan tujuan serta rencana
Allah dalam hidup Kristus melalui setiap aspek kehidupan, dan juga untuk memperlengkapi
mereka dalam pelayanan yang efektif.10
Jadi, PAK membentuk karakter peserta didik
berdasarkan nilai kekristenan atau wujud dari kasih yang telah Yesus ajarkan sejak dini,
dalam hal ini pada usia remaja atau pada tingkat Sekolah Menegah Atas.
Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah salah satu jenjang sekolah yang memiliki
mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen yang dalam pelaksanaannya mengacu pada
Kurikulum PAK 2013. Dalam mata pelajaran ini Firman Tuhan dan nilai-nilai kekristenan
menjadi landasannya, secara tidak langsung mata pelajaran PAK sangat berperan penting
untuk manamkan kasih yang telah Yesus ajarkan. Tentunya dengan harapan akan berimbas
ke berbagai bidang di sekolah maupun di luar sekolah, misalnya di bidang mata pelajaran
yang lain atau pun dalam organisasi sekolah dan bidang ekstrakulikuler. Namun sejauh mana
PAK mempengaruhi para peserta didik dalam pembentukan pendidikan karakter? Ini perlu di
kaji dalam suatu karya ilmiah. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis mengambil judul :
“ Kurikulum Pendidikan Agama Kristen (PAK) di Sekolah Menengah Atas
(SMA) dalam Kajian Pendidikan Karakter ”
9 Thomas H. Groome,Christian Religious Education: Sahring Our Story and Vision, (New York:
Harper &Row, Publishers, 1980), 24 10
Daniel Nuhamara, Pembimbing PAK,(Bandung:Jurnal Info Media,2007),30
6
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana kajian pendidikan karakter terhadap kurikulum Pendidikan Agama Kristen
(PAK) di Sekolah Menengah Atas ?
1.3. Tujuan
Mendeskripsikan kajian pendidikan parakter terhadap kurikulum Pendidikan Agama
Kristen(PAK) di Sekolah Menengah Atas.
1.4. Manfaat Penelitian:
1. Manfaat Teoritis: diharapkan dari penulisan ini dapat menambah kontribusi
pengetahuan tentang peran dan dampak PAK dalam pendidikan karakter peserta didik
disekolah.
2. Manfaat Praktis: sebagai bahan acuan sekolah SMA lain nya.
I.5. Metodologi Penelitian:
1. Metode dan Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif
dengan pendekatan kualitatif yang bermaksud untuk mendeskripsikan atau menjelaskan
sebuah kejadian atau situasi sebagaimana adanya11
, sehingga dapat memberikan sebuah
gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti tanpa direkayasa.
2. Teknik Pengumpulan Data
Yang menjadi data primer dari penulisan ini adalah dokumen – dokumen yang
berkaitan dengan kurikulum PAK Sekolah Menangah Atas . Dengan ini akan membantu
proses penulisan untuk lebih spesifik dan mendetail. Dalam hal ini, kajian-kajian pustaka
yang digunakan sangat membantu proses penulisan.
I.6. Sistematika Penulisan:
Dalam penulisan diatas, penulis menggunakan sistematika penulisan yakni pada
bagian yang pertama adalah latar belakang masalah yang terdiri dari rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, lokasi penelitian, dan metode penelitian yang terdiri dari jenis
penelitian dan teknik pengumpulan data.Penulis menguraikan dan menjelaskan satu persatu
dari setiap point-point yang merupakan latar belakang masalah. Setelah bagian yang pertama
selesai kemudian dilanjutkan pada bagian yang kedua yaitu teori. Dalam penelitian ini
penulis menggunakan teori pendidikan karakter menurut beberapa ahli dalam melihat sejauh
mana pendidikan karakter berperan dalam membentuk kepribadian peserta didik yang
berkarater lewat kurikulum PAK. Teori ini yang akan membantu penulis sebagai acuan untuk
11
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta:CV.Rajawali, 1983), 19.
7
menjelaskan dan memahami sejauh mana PAK berperan terhadap pembentukan karakter
peserta didik. Selanjutnya adalah bagian yang ketiga yaitu hasil penelitian dan analisis,
kemudian pada bagian yang keempat sebagai kesimpulan dan saran.
2. Pendidikan Agama Kristen dan Pendidikan Karakter
2.1 Pendidikan Agama Kristen
Pada dasarnya Pendidkan Agama Kristen sudah ada sejak zaman gereja purba. Namun
gereja purba bukanlah penemu pendidikan agama, melainkan gerejalah yang merupakan hasil
dari pendidikan tersebut. Hal ini disebabkan karena pesekutuan Kristen mengambil dasar
agama Yahudi selaku dasar iman Kristen, yaitu perbuatan hebat yang dilaksanakan Allah di
tengah-tengah umat Israel.12
Kemudian PAK mengalami perkembangan dari masa-ke masa,
dimana konsep pendidikan yang sudah ada dari dahulu kala mengalami perubahan demi
perubahan hingga pada akhirnya secara teratur Pedidikan Agama Kristen dijadikan ilmu
tersendiri.
2.1.1 Pengertian Pendidikan Agama Kristen
Pendidikan Agama Kristen sama seperti pendidikan yang lain yakni kegiatan yang kompleks
dan tidak pernah ada deskripsi yang lengkap mengenai Pendidikan Agama Kristen. Salah satu
pengertian dari PAK yang dikemukakan oleh Yohanes Calvin seorang tokoh reformasi
protestan yang digelari doctor ecclesia ;
“Pendidikan Agama Kristen adalah pemupukan akal orang-orang percaya dan anak-anak mereka
dengan Firman Allah dibawah bimbingan Roh Kudus melalui sejumlah pengalaman belajar yang
dilaksanakan gereja. Sehingga dalam diri mereka dihasilkan pertumbuhan rohani yang bersinambung
yang diejawantahkan semakin mendalam melalui pengabdian diri kepada Allah Bapa Tuhan Yesus
Kristus berupa tindakan-tindakan kasih terhadap sesamanya.”13
Dari rumusan pengertian diatas Calvin ingin mengutamakan sifat intelektual dan
pengalaman belajar. Menurutnya orang-orang percaya telah dipilih dalam Kristus dan
dijadikan anak-anak gereja, karena itu sudah sewajarnya mereka dibesarkan dalam
lingkungan pedagogis gereja. Mereka di didik dengan Firman melelui Roh Kudus yang
dikenakan kepada mereka sebagai peserta didik. Para peserta didik ini tidak akan tamat dalam
sekolah mereka karena didepan mereka akan selalu ada kemungkinan-kemungkinan untuk
belajar lagi. Dengan demikian, Calvin mengharapkan agar semua yang terlibat dalam
pengalam-pengalaman belajar tersebut semakin berdisiplin dalam pengabdian diri kepada
Allah, melalui pelayan-pelayan yang mewujudkan kasih dalam semua lapisan dan lembaga
masyarakat.
12
Robert R.Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: dari
Plato sampai Ignatius Loyola, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 1. 13
Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran, 413.
8
2.1.2 Tujuan Pendidikan Agama Kristen (PAK)
Mengapa kita melakukan Pendidikan Agama Kristen? Pertanyaan ini tentunya
meminta refleksi diri dari setiap pendidik Kristen karena Pendidikan Agama Kristen tidak
hanya memiliki satu tujuan. Hal ini dapat terjadi karena setiap pendidik memiliki tujuannya
masing-masing dalam kegiatan pendidikan tersebut, ada yang sangat bagus dan bermanfaat
namun ada juga yang sangat buruk. Oleh karena itu, Thomas Groome mencoba untuk
mengusulkan tujuan utama dari pendidikan agama Kristen adalah Kerajaan Alllah.14
Kerajaan
Allah ini masih belum sempurna, karena itu harus disempurnakan seiring bejalannya waktu,
kesempurnaan Kerajaan Allah berarti pemenuhan terhadap seluruh kerinduan hati manusia
dan kebutuhan umat manusia yang autentik.15
Konsep Kerajaan Allah sebagai tujuan dari
PAK juga sudah nampak dari masa kehidupan Yesus, hal ini terlihat dari teks-teks Injil
sinoptik dimana Yesus selalu atau sering membicarakan mengenai Kerajaan Allah
(Pemerintahan Allah, Kerjaan Alla, Kerjaan surga, dsb) dalam setiap pengajaran Yesus.16
Groome menegaskan bahwa Kerajaan Allah adalah rencana Allah bagi ciptaan-Nya
dan merupakan tema dan tujuan utama dalam pemberitaan dan kehidupan Yesus. Oleh sebab
itu, kegiatan PAK harus mampu mensponsori orang-orang untuk bergerak menuju ke arah
iman Kristen dimana tujuan dari pendidikan yang demikian adalah Kerjaan Allah di didalam
Yesus Kristus. Bagi orang-orang Kristen Kerajaan Allah dan ke-Tuhanan Kristus harus ada
bersam-sama dalam bagian utama pemberitaan dan Pendidikan Agama Kristen. Dalam
rangka mewujudkan Kerajaan Allah yang adalah tujuan utama PAK, Groome juga menyadari
bahwa sejak dahulu komunitas Kristen telah mempunyai tujuan dari usaha-usaha pendidikan
Kristen yakni untuk mempromosikan orang-orang ke arah iman Kristen sebagai realitas yang
hidup.17
Oleh sebab itu PAK harus bersama-sama dengan iman Kristen bergerak menuju
tercapainya Kerajaan Allah. Disini iman bukan sesuatu yang diberikan oleh para
pendidik/pengajar agama Kristen, tetapi iman adalah anugerah pemberian Allah (Yoh. 6:44
dan Ef. 2:8). PAK yang adalah suatu proses pendidikan, akan membentuk dan
14
Kerajaan Allah yang dimaksud bukan sebagai wilayah pemerinthan atau kekuasaan, juga bukan
sebagai konsep yang abstrak. Kerajaan Allah adalah sebuah symbol yang menunjuk pada kegiatan Allah yang
nyata didalam sejarah yang memperhatikan kedaulatan Allah. Artinya Kerajaan Allah merupakan
situasi/keadaan kongkrit dalam dunia yang tercipta karena adanya kegiatan-kegiatan Allah yang sedang
berlangsung. [Thomas Groome, Christian Religius Education, 50] 15
Thomas H. Groome,Christian Religious Education – Pendidikan Agama Kristen :Berbagi ceerita
dan Visi Kita, Terj. Daniel Stefanus (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 52. 16
Groome, Christian Religious Education – Pendidikan, 54 17
Groome, Christian Religious Education – Pendidikan, 80
9
mengembangkan iman Kristen yang sudah ada pada setiap manusia untuk menciptakan atau
menghadirkan Kerajaan Allah di lingkunagn sekitarnya.
Menurut Groome iman Kristen merupakan realitas yang hidup memiliki tiga dimensi
yang diekspresikan dalam tiga kegiatan yaitu; 1) iman sebagai kegiatan percaya (faith as
believing), 2) iman sebagai kegiatan mempercayakan (faith as trusting), dan 3) iman sebagai
kegiatan melakukan (faith as doing). Fakta bahwa iman adalah pemberian Allah tidak
membuat usah-usaha pendidikan kita menjadi tidak perlu, sebaliknya iman harus menjadi
Kristen secara eksplisit, dimana manusia harus memiliki hubungan yang hidup dengan Allah
dalam Yesus, maka cerita iman komunitas Kristen harus dijumpai dalam pengalaman hidup,
lewat tiga kegiatan tersebut.18
Artinya dalam setiap kegiatan pendidikan agama Kristen, baik
pengajar maupun peserta didik tidak hanya berbicara tentang konsep iman Kristen yang
abstrak melainkan harus melakukan iman itu sebagai tindakan praxis.
Pendidikan agama Kristen sebagai tindakan praxis, Groome mengusulkan pendekatan
praxis oleh beberapa tokoh yang terkenal dalam kegiatan praxisnya;
a. Aristoteles
Menurut Aristoteles ada tiga gaya kehidupan manusia yang dapat menghasilkan suatu
kehidupan yang bermakna, yakni: Theoria, suatu kegiatan pencarian kebenaran dengan
proses kontemplatif/reflektif, suatu kegiatan atau tindakan yang tidak terlibat (mengasingkan
diri, menarik diri). Praxis (praxis), suatu kegiatan dengan keterlibatan diri yang reflektif
dalam situasi sosial. Poiesis, sebuah cara mengetahui terwujud dalam dan muncul dari
“membuat” atau cara berhubungan dengan realitas dimana benda kongkret dihasilkan (hasil
dari sebuah pengetahuan yang melibatkan pengetahuan).19
Bagi Aristoteles praxis merupakan suatu kegiatan etis yang dipilih dengan bebas,
harus selalu melibatkan pilihan yang dilakukan dengan sengaja. Segala bentuk tindakan
praxis adalah pilihan, dan sumber dari pilihan itu adalah hasrat dan penalaran yang memiliki
tujuan yang jelas. Aristoteles juga menjelaskan bahwa ada tiga hal yang dalam jiwa yang
mengontrol tindakan praxis dan untuk mencapai kebenaran, yaitu perasaan, kecerdasan dan
hasrat. Dengan demikian, praxis merupakan sebuah pilihan tindakan yang selalu melibatkan
perasaan, disini sesungguhnya apatheia (keheningan atau tidak adanya perasaan) selalu
menghalangi sebuah tindakan praxis. Praxis juga tidak menuruti hasrat yang tidak masuk
18
Groome, Christian Religious Education – Pendidikan, 107 19
Groome, Christian Religious Education – Pendidikan, 224
10
akal, artinya bagi Aristoteles praxis adalah kegiatan manusia yang utuh-melibatkan pikiran,
perasaan, dan gaya hidup.20
b. Paulo Freire
Ada tiga asumsi utama yang menjadi dasar dalam pendekatan pendidikan Paulo
Freire. Pertama, panggilan utama dari manusia adalah humanisasi. Kedua, manusia mampu
merubah realitas mereka, dimana manusia dapat memiliki kesadaran kritis terhadap realitas
manusia tersebut sampai pada tingkat untuk bertindak mengubah realitas manusia itu. Ketiga,
pendidikan tidak pernah netral. Pendidikan memiliki konsekuensi-konsekuensi politis yang
dapat mengontrol orang-orang dengan menyesuaikan mereka dengan masyarakat yang ada
atau untuk membebaskan mereka dalam menghadapi realitas mereka secara kreatif dan
kristis. Berdasarkan tiga asumsi dasar ini Freire mengusulkan pendekatan “pemecahan
masalah” refleksi kritis atas realitas masa kini sebagai bagian dari pendidikan praxis.
Menurutnya pendidikan harus memiliki tujuan sebagai praktek pembebasan, sudah saatnya
meninggalkan proses belajar dengan metode menyimpan pengetahuan (banking method) dan
harus mempromosikan motode kesadaran kritis (conscientization). Dengan kesadaran kritis
manusia akan berproses menemukan makna realita, dan mengubah realitas itu kea rah
humanisasi.21
Berdasarkan pendekatan praxis dari kedua tokoh diatas Groome menyimpulkan
bahwa untuk mencapai tujuan PAK yakni menciptakan Kerajaan Allah, maka pendidikan
agama Kristen harus dilakukan dengan pendekatan praxis karena menurutnya;22
1) Pendekatan yang didasari pada tindakan praxis kelihatannya mampu
mempromosikan “mengenal” dalam arti yang sesuai dengan Alkitab.
2) Pendekatan yang didasarkan pada tindakan praxis mempertahankan kesatuan
antara teori dan praxis, pendekatan ini lebih memungkinkan untuk
mempromosikan iman Kristen yang hidup dan dapat mengurangi kesenjangan
antara iman yang kita yakini dan cara kita hidup.
3) Pendekatan yang didasari pada tindakan praxis lebih mampu untuk mepromosikan
emansipasi dan kebebasan manusia dari pada cara memahami teori ke dalam
praktik.
20
Groome, Christian Religious Education – Pendidikan, 226 21
Groome, Christian Religious Education – Pendidikan, 257. 22
Groome, Christian Religious Education – Pendidikan, 259.
11
2.2. Pendidikan Karakter
2.2.1. Pengertian Pendidikan Karakter
Menurut Wynne (1191), karakter berasal dari bahasa Yunani “karasso” yang berarti
“to mark” (menandai) atau mengukir dan memfokuskan bagaimana menerapkan nilai-nilai
kebaikan dalam tindakan nyata atau perilaku sehari-hari.23
Pada masa Yunani kuno konsep
karakter ini telah dipakai oleh beberapa filsuf dalam pengajaran mereka. Pertama, Socrates
menilai bahwa formulasi doktrin kebaikan adalah pengetahuan. Bagi Socrates orang yang
bijak adalah orang yang mengetahui, dimana pengetahuan yang benar akan membimbing
pada tindakan yang benar. Jadi, dalam karakter Socrates yang bisa diambil adalah bahwa
nilai-nilai yang lahir dari pengetahuan yang benar amatlah penting dalam pembentukan nilai
oleh seseorang.24
Kedua, setelah Socrates munculah muridnya yang bernama Plato. Menurut
Plato orang-orang yang keutamaannya mengejar kesuksesan, rasa hormat, dan popularitas
adalah orang yang berkarakter rendah. Sebaliknya, Plato berusaha mencetak karakter dengan
ukuran kebijaksanaa sebagai akibat dari pengetahuannya (kebajiakan adalah pengetahuan).
Plato percaya bahwa dengan mencetak orang-orang yang bijak, kita dapat menciptakan
Negara yang ideal. Ketiga, Aristotels dalam karyanya buku “Etika Nikomakea” mengatakan
bahwa hidup harus bertujuan pada eudaminia yang bila dipahami dengan baik akan
menghasilkan perbuatan dan moral yang baik dan bijak. Aristoteles memaknai pendidikan
dengan menekankan pada tujuan praxis sebuah pendidikan sabagai jalan menuju
eudamonia.25
Thomas Lickona mengatakan bahwa karakter yang baik terdiri dari mengetahui hal
yang baik, menginginkan yang baik, dan melakukan hal yang baik – kebiasaan dalam cara
berpikir, kebiasaan dalam hati, dan kebiasaan dalam tindakan.26
Menurut Lickona ketiga hal
tersebut mengarahkan anak-anak peserta didik pada kehidupan yang bermoral. Dalam buku
“Whats Works in Character Educations” oleh Marvin Berkowitz dikatakan bahwa
pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan
karakter yang baik (good character) berlandaskan kebijakan-kebijakan inti (core virtues)
yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat.27
Mulyasa dalam buku
23
H.E.Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta: Bumi Askara, 2014), 3 24
Fatchul Mu’in, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2011), 304. 25
Mu’in, Pendidikan Karakter , 305 – 306 . 26
Thomas Lickona, Edocation For Character : How our schools can teach respect and responsibility.
Terj. J.A Wamaungo, (Jakarta: Bumi Askara, 2013), 82. 27
Marvin W. Berkowitz & Melinda C. Bier, Whats Works in CharacterEducations: A Research-driven
Guide for Educators,(Washington DC: Character Education Partnership, 2005),2.
12
“Manajemen Pendidikan Karakter” mengatakan bahwa pendidikan karakter bermakna lebih
tinggi dari pada moral, karena pendidikan karakter tidak hanya berkaitan dengan masalah
benar – salah, melainkan suatu proses untuk dapat menanamkan kebiasaan (habit) mengenai
hal-hal yang baik dalam kehidupan, sehingga peserta didik dapat memiliki kesadaran,
pemahaman yang tinggi, dan kepedulian serta komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam
kehidupan sehari-hari.28
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Ratna Megawangi bahwa
moral dan karakter memiliki perbedaan. Moral adalah pengetahuan seseorang tentang hal
yang baik dan buruk. Sedangkan karakter adalah tabiat seseorang dalam setiap tindakan dan
perilakunya langsung di-drive oleh otak. Oleh sebab itu, dengan adanya pendidikan karakter
dapat mengakomodasikan peran dan fungsi pendidikan yang bernilai.29
Tetapi secara
substansial moral dan karakter tidak memiliki perbedaan yang prinsipil.
2.2.2. Inti dan Komponen Karakter
Karakter yang baik harus didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan
untuk berbuat baik dan melakukan perbuatan kebaikan. Peterson dan Seligman (2004)
mengusulkan konsep klasifikasi karakter dengan menggunakan model klasifikasi dari
Linnean yaitu virtues (kebajikan), character strengths (kekuatan karakter) dan situational
themes (kondisi situasional).30
Pada level pertama yakni virtues (kebijaksanaan) terdapat nilai-nilai inti yang
karakteristiknya dinilai melalui cara pandang moral filosofi dan pemikiran religious. Nilai-
nilai inti tersebut mencakup ;
- Kebijaksanaan dan pengetahuan yaitu kekuatan kognitif yang memerlukan
akuisisi dan penggunaan pengetahuan.
- Keberanian yaitu kekuatan emosional yang melibatkan latihan untuk mencapai
tujuan dalam menghadapi oposisi, eksternal atau internal.
- Kemanusiaan yaitu kekuatan interpersonal untuk melibatkan, merawat dan
berteman dengan orang lain.
- Keadilan yaitu kekuatan sipil yang mendasari kesehatan kehidupan masyarakat.
- Kesederhanaan yaitu kekuatan untuk melindungi dan melawan suatu kelebihan.
- Transendensi yaitu kekuatan yang membentuk koneksi ke alam yang lebih besar
dan memberikan suatu makna.
28
Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, 3. 29
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter : Konsepsi dan Aplikasi dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta:
Kencana, 2012), 33 30
Roslyn De Braine, Leadership, Character and Its Development: A Qualitative Exploration, SA
(Journal of Human Resource Management, 2007), 2
13
Pada level kedua atau kekuatan karakter (character strengths), faktor-faktor
psikologis membentuk dan memproses mekanisme nilai-nilai virtues. Kemudian mampu
membedakan rute untuk menunjukan satu dengan yang lain dari nilai virtues, yaitu;31
- Kebijaksanaan dan pengetahuan (wisdom & knowledge) meliputi kreativitas
(orisinalitas), rasa ingin tahu, pemikiran yang terbuka, belajar kasih sayang dan
perspektif kebijaksanaan.
- Keberanian (courage) meliputi persistensi (kegigihan, keuletan), integritas
(ketulusan dan kejujuran) dan vitalitas (semangat antusiasme).
- Kemanusiaan (humanity) meliputi cinta kasih, kebaikan dan kecerdasan sosial
(kecerdasn emosional dan kecerdasan pribadi).
- Keadilan (justice) meliputi kewarganegaraan (tanggung jawab sosial, loyalitas dan
kerja sama), melakukan keadilan dan kepemimpinan.
- Kesederhanaan (temperance) meliputi pengampunan dan belas kasihan,
kerendahan hati, kehati-hatian dan pengendalian diri.
- Transendensi (transendence) meliputi apresiasi keindahan dan keunggulan
(kekaguman), perasaan bersyukur (rasa terima kasih), harapan (optimis,
berorientasi ke masa depan), humor dan spiritualitas.
Kemudian pada level yang terakhir yaitu kondisi situasional (situational themes),
pada situasi tertentu dapat mendorong orang untuk dapat menunjukan karakter seperti apa
yang akan keluar sesuai dengan situasi yang dialaminya.
Selain inti karakter yang menjadi dasar paling utama suatu karakter baik itu terbentuk,
Lickona murumuskan suatu konsep komponen karakter yang baik, yaitu pengetahuan moral
(moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan tindakan moral (moral action). Ketiga
konsep ini memiliki komponennya masing masing. Gambar berikut ini merupakan bagan
keterkaitan antara ketiga kerangka konsep dan komponen karakter yang baik32
.
31
Braine, Leadership, Character and Its, 3. 32
Lickona, Edocation For Character, 84
Karakter
Pengetahuan Moral: - Kesadaran moral - Pengetahuan nilai moral - Penentuan respektif - Pemikiran moral - Pengambilan keputusan
- Pengetahuan pribadi
Perasaan Moral: - Hati nurani - Harga diri / percaya diri - Empati - Mencintai kebaikan - Pengendalian diri - Kerendahan hati Tindakan Moral:
- Kompetensi/ kemampuan - Keinginan/kemauan - Kebiasaan
14
1. Pengetahuan Moral (moral knowing).
a. Kesadaran Moral. Dua tanggung jawab moral yang harus diambil oleh manusia
khusunya orang muda, yang pertama adalah menggunakan pemikiran mereka untuk melihat
suatu situasi yang memerlukan penilaian moral kemudian memikirkan dengan cermat ke arah
mana suatu tindakan yang memiliki nilai kebenaran. Yang kedua adalah memahami informasi
dari permasalaahn yang bersangkutan.33
Kesadaran moral ini dapat membantu peserta didik
untuk bisa menentukan fakta sebelum mengambil keputusan suatu nilai moral.
b. Mengetahui Nilai Moral. Nilai-nilai moral yakni menghargai kehidupan, tanggung
jawab bagi orang lain, jujur, toleransi, keadilan, rasa hormat, disiplin diri, integritas,
kebaikan, belas kasih, dan dorongan/dukungan adalah nilai untuk menjadi pribadi yang
baik.34
c. Penentuan Prespektif. Ini merupakan prasyarat dalam penilaian moral, dimana kita
harus bisa memahami dan menentukan suatu penilaian dari sudut pandang orang lain, melihat
situasi yang sebenarnya, ikut merasakan apa yang meraka rasakan, bereaksi dan
membayangkan apa yang akan mereka lakukan. Sasaran fundamental moral adalah peserta
didik mengalami dunia bukan dari sudut pandang mereka sendiri melainkan dari sudut
pandang orang lain yang benar-benar berbeda dari diri mereka.35
d. Pemikiran Moral. Manusia mempelajari pemikiran moral yang baik dan yang
tidak baik melalui tindakan atau perbuatan suatu hal. Artinya manusia selalu bertindak untuk
mencapai kebaikan yang terbaik dan bertindak seolah-olah dengan apa yang kita lakukan
orang lain juga akan melakukan hal yang sama pada situasi serupa.36
e. Pengambilan Keputusan.37
Manusia harus mampu memikirkan bagaimana
mengambil keputusan yang memiliki nilai moral, dimana ketika kita bertindak dalam
permasalahan moral kita dapat mengetahui konsekuensi apa yang akan terjadi, tentunya ke
arah memaksimalkan konsekuensi yang baik dan lebih bernilai.
f. Pengetahuan Pribadi. Kita harus dapat mengulas dan mengevaluasi secara kritis
perilaku kita, agar dapat menjadi manusia yang bermoral.38
Dengan demikian kita mnjadi
sadar akan kekuatan dan kelemahan karakter diri kita, sehingga kita dapat mengolah
kelemahan kita didalam karakter tersebut.
33
Lickona, Edocation For Character, 86 34
Lickona, Edocation For Character, 87 35
Lickona, Edocation For Character, 88 36
Lickona, Edocation For Character, 88 37
Lickona, Edocation For Character, 89. 38
Lickona, Edocation For Character, 89.
15
2. Perasaan Moral (moral feeling)
a. Hati Nurani. Ada dua sisi yang harus diperhatikan yakni sisi kognitif (mengetahui
apa yang benar) dan sisi emosional (merasa berkewajiban untuk melakukan apa yang benar).
Dengan hati nurani kita memiliki kemampuan untuk merasa bersalah yang membangun
(constructive guilt).39
b. Harga Diri / Percaya diri. Dengan kepercayaan diri kita dapat menilai diri kita
sendiri tanpa bergantung pada persetujuan orang lain. Kemudian, kita dapat mengembangkan
harga diri/percaya diri berdasarkan rasa tanggung jawab, kejujuran, dan kebaikan yang
diyakini dari kemampuan diri kita sendiri.40
c. Empati. Rasa empati ini merupakan cara kita memahami atau mengidentifikasi
suatu keadaan dengan cara seolah-olah sedang terjadi dalam keadaaan orang lain. Empati
mempukan kita untuk keluar dari diri kita sendiri dan masuk kedalam diri orang lain.41
d. Mencintai Kebaikan. Seseorang telah mencintai kebaikan, maka ia akan
melakukan hal-hal yang baik itu. Ini adalah bentuk karakter yang tertinggi dimana seseorang
bisa mengikutsertakan sifat yang benar-benar tertarik pada hal yang baik (moralitas).42
e. Pengendalian Diri. Dalam kebaikan moral manusia perlu pengendalian diri, hal ini
diperlukan untuk menahan diri agar tidak memanjakan diri kita. Dengan pengendalian diri
memampukan kita untuk dapat beretika bahkan disaat kita tidak menginginkannya.43
f. Kerendahan Hati. Rendah hati merupakan sisi afektif dari pengetahuan pribadi.
Kerendahan hati membantu kita mengatasi kesombongan dan melindungi kita dari keinginan
untuk berbuat jahat.44
3. Tindakan Moral (moral action)
a. Kompetensi / Kemampuan. Komponen ini memiliki kemampuan untuk mengubah
penialain dari perasaan moral kedalam tindakan moral yang efektif.45
Kemampuan untuk
mengolah perasaan yang dirasakan (misalnya rasa empati) menjadi suatu tindakan nyata yang
bisa dirasakan manfaatnya oleh orang lain.
39
Lickona, Edocation For Character, 93. 40
Lickona, Edocation For Character, 93. 41
Lickona, Edocation For Character, 94. 42
Lickona, Edocation For Character, 95. 43
Lickona, Edocation For Character, 96. 44
Lickona, Edocation For Character, 97. 45
Lickona, Edocation For Character, 98.
16
b. Keinginan / Kemauan. Untuk menjadi sesorang yang baik ia memerlukan tindakan
keinginan yang baik atau suatu penggerak dari dalam diri untuk melakuan apa yang kita pikir
itu baik dan harus dilakukan. Keinginan ini berada pada inti dari dorongan moral.46
c. Kebiasaan. Kebiasaan untuk melakuakan hal yang baik harus dilakukan terus
menerus (tindakan habit) sehingga moral action dapat terus terwujud dalam dirinya bahkan
dalam situasi tersulit sekalipun.47
2.2.3 Elemen – Elemen Karakter
Inti karakter dan komponen karakter di atas ternyata masih berada pada tatanan
konseptual dari karakter, sehingga dibuthkan elemen – elemen karakter yang merupakan
perwujudan dari kedua konsep sebelumnya dalam wujud praktis atau lebih dari pada itu
sebagai tindakan praxis. Elemen – elemen karakter tersebut ialah:48
1. Kepemimpinan (leadership). Seorang pemimpin adalah memimpin dengan contoh
sebagai panutan dan teladan, memungkinkan orang lain untuk melakukan
pekerjaan sesuai dengan bidangnya. Pemimpin memberikan kepuasan serta
menginspirasi bawahannya, kemudian mereka akan meningkatkan kinerja dan
mengembangkan etos kerja mereka;
2. Integritas (intergrity / faithfulness) yaitu perkataan yang benar dan yang dapat
dipercaya dalam kondisi apapun. Konsisten dan setia dalam setiap tugas dan
tanggung jawab.
3. Kerajinan (industriousness) yaitu karakter dan kemampuan yang menghasilkan
kualitas kerja yang tinggi secara konsisten. Terdapat kemauan dalam diri untuk
terus giat dalam mengahasilkan karya.
4. Empati (empathy) mendasari semua aspek kepemimpinan dengan menempatkan
diri pada posisi orang lain untuk memahami apa kebutuhan mereka dalam posisi
mereka, agar benar-benar berkomunikasi secara efektif mendapatkan perspektif
yang seimbang dan membangun rasa hormat dari orang lain;
5. Kesetiaan (loyalty). Kesetiaan kepada diri sendiri, orang lain dan atau lembaga
menggambarkan citra dan komitmen diri.
6. Optimisme (optimism) dalam melakukan sesuatu yang melibihi dari yang
diharapkan.
46
Lickona, Edocation For Character, 99. 47
Lickona, Edocation For Character, 99. 48
Braine, Leadership, Character and Its, 6
17
7. Keadilan (fairness) menerapkan aturan secara konsisten dan memberikan orang
lain kesempatan yang sama.
8. Belas kasihan (compassion) bagian sisi manusia yang membutuhkan perhatian dan
konseling untuk masalah yang dihadapinya.
9. Cinta (love) merupakan layanan dalam konsep kasih, tulus dan peduli. Hal ini
bersifat universal dan mempunyai prinsip yang mendukung perkembangan dan
pembangunan kehidupan masyarakat.
10. Humor (humour) sebagai suatu cara manusia untuk keluar dari situasi yang terlalu
serius, menjadi sebuah selingan dan hiburan dalam mengatasi masalah.
11. Disiplin diri (self-disclipline), bertanggung jawab dalam setiap kegiatan dalam
organisasi, dibutuhkan kedisiplinan untuk mematuhi kebijakan dan prosedur
dalam peruhasan
12. Ketekunan (perverance) merupakan keinginan bawaan atau gairah untuk
mencapai sesuatu.
13. Percaya diri (seff-confidance), keputusan yang diambil membuatnya percaya diri
itu benar atau buruk dan orang lain mengakuinya.
14. Kerendahan hati (humility), tidak pernah berpikir bahwa kita selalu lebih baik dari
orang lain, selalu menempatkan sikap untuk terus belajar dan ingin selalu
berkembang tanpa merasa hebat.
15. Pengetahuan diri (self-knowledge) yaitu mengetahui kekuatan dan kelemahan diri
serta jujur terhadap diri sendiri.
16. Inisiatif (initiative) selalu berkeinginan untuk “menjadi” tanpa harus menunggu
dorongan orang lain.
17. Hati nurani (conscience), dorongan untuk bertindak benar atau salah, pada taraf
ini biasa nilai kebenaran yang selalu diutamakan.
18. Kreativitas (creativity) , memodifikasi diri, memiliki ide-ide baru yang inovatif,
dan tidak hanya pada tataran ide tetapi mengahasilkan sesuatu yang kreatif.
19. Spiritualitas (spirituality), dimensi kekuatan dari dalam yang melampaui diri
sendiri, dalam hal yang berkaitan dengan roh dan emosi.
Selain elemen-elemen karakter di atas, McElmeel (2002), memberikan ciri-ciri
karakter manusia yang memenuhi inti dan komponen karakter yaitu; kepedulian, keberanian,
rasa ingin tahu, fleksibilitas, persahabatan, kerendahan hati, humor, inisiatif, integritas,
kesabaran, beprilaku baik, pemecahan masalah, disiplin diri dan kerja sama.
18
3. Peran Pendidikan Karakter dalam Kurikulum PAK
Kurikulum 2013 ini adalah kurikulum yang di rancang oleh pemerintah sebagai
kurikulum baru setelah mengembangkannya dari kurikulum sebelumnya yakni Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum ini bertujuan untuk mempersiapkan manusia
Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman,
produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Sesuai dengan Peraturan Menteri
Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur
Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah,49
kurikulum ini memiliki beberapa
bagian penting yakni;
a. Karakteristik Kurikulum 2013
1. Mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spiritual dan sosial, rasa
ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik;
2. Sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman belajar
terencana dimana peserta didik menerapkan apa yang dipelajari di sekolah ke
masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar;
3. Mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan serta menerapkannya dalam
berbagai situasi di sekolah dan masyarakat;
4. Memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap,
pengetahuan, dan keterampilan;
5. Kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih lanjut
dalam kompetensi dasar mata pelajaran;
6. Kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing elements)
kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses pembelajaran
dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam kompetensi inti;
7. Kompetensi dasar dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif, saling
memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched) antar mata pelajaran dan
jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertikal).
Karakteristik kurikulum yang dijabarkan ke dalam tujuh poin diatas merupakan ciri
khas dari kurikulum ini. Tentunya karakteristik ini yang dasar sehingga kurikulum 2013 ini
49
Salinan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 69 Tahun 2013 Tentang
Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah dalam
https://urip.files.wordpress.com/2013/06/07-b-salinan-lampiran-permendikbud-no-69-tahun-2013-ttg-
kurikulum-sma-ma.pdf, diakses 10 Juni 2015.
19
berbeda dari kurikulum yang sebelumnya. Tujuh poin diatas merupakan hal-hal yang ingin
dicapai oleh pemerintah yang belum tercapai pada karikulum sebelumnya baik itu kurikulum
KBK maupun kurikulum KTSP.
Karakteristik kurikulum 2013 ini nampaknya ingin menciptakan peserta didiknya
menjadi generasi – generasi baru yang mempunyai keseimbangan antara pengembangan
sikap spiritual dan sosial, yang kemudian dengan segala pengetahuan yang didapat disekolah
dapat menerapkanya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk mencapai hal tersebut tentunya
harus ada kompetensi yang dicapai, berdasarkan karakteristik di atas maka kompetensi
dinyatakan dalam kompetensi inti dan kompetensi dasar.
Penulis melihat bahwa dalam karakteristik ini sudah nampak nilai-nilai dari inti dan
komponen karakter, dimana jelas dijabarkan pada poin satu sampai empat tentang peserta
didik seperti apa yang diinginkan nantinya. Pada poin tersebut terdapat unsur-unsur yang
dibutuhkan untuk menjadi peserta didik yang berkarakter baik yakni moral knowing,
curiosity, wisdom and knowledge, dan moral action. Pemerintah menyadari bahwa nilai-nilai
karakter ini sangat dibutuhkan, dimana peserta didik yang dihasilkan harus mampu
memahami dan menganalisa lalu mengambil tindakan yang sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya. Namun ini baru sebagai konsep ideal yang diinginkan oleh pemerintah. Oleh
sebab itu pada poin ke lima sampai tujuh dalam karakteristik kurikulum 2013 ini, dipaparkan
bagaimana cara agar poin pertama sampai ke empat dapat tercapai, yakni dengan kompetensi
inti dan kompetensi dasar.
b. Landasan Filosofis
Kurikulum 2013 dikembangkan dengan landasan filosofis yang memberikan dasar
bagi pengembangan seluruh potensi peserta didik menjadi manusia Indonesia berkualitas
yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional. Pada dasarnya tidak ada satupun filosofi
pendidikan yang dapat digunakan secara spesifik untuk pengembangan kurikulum yang dapat
menghasilkan manusia yang berkualitas. Berdasarkan hal tersebut, Kurikulum 2013
dikembangkan menggunakan filosofi sebagai berikut:
1. Pendidikan berakar pada budaya bangsa untuk membangun kehidupan bangsa masa
kini dan masa mendatang. Pandangan ini menjadikan Kurikulum 2013 dikembangkan
berdasarkan budaya bangsa Indonesia yang beragam, diarahkan untuk membangun kehidupan
masa kini, dan untuk membangun dasar bagi kehidupan bangsa yang lebih baik di masa
depan. Mempersiapkan peserta didik untuk kehidupan masa depan selalu menjadi kepedulian
20
kurikulum, hal ini mengandung makna bahwa kurikulum adalah rancangan pendidikan untuk
mempersiapkan kehidupan generasi muda bangsa.
Pendidikan sebagai upaya mempersiapkan peserta didik menjadi generasi muda yang
lebih baik di masa depan. Bangsa Indonesia yang memiliki banyak kebudayaan, tentunya
harus diperhatikan dengan benar oleh pendidikan itu sendiri, agar dalam penerapan
pendidikan ini sesuai dengan kebudayaan yang ada di Indonesia. Dalam pendidikan terdapat
konsep atau dimensi masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Jadi menurut
penulis landasan filosofis dari kurikulum 2013, khususnya pada poin ini sudah memenuhi
dimensi pendidikan tersebut. Dalam penerapan pendidikan di Indonesia lewat kurikulum ini
peserta didik diajarkan untuk tidak melupakan masa lalu dari bangsa ini yakni kebudayaan
yang sudah ada dari dulu dan membentuk konsep diri primer masayarakat indonesia,
kemudian dari beragam kebudayaan itu akan membangun pemahaman peserta didik pada
masa kini dan membangun dasar yang baik untuk kehidupan bangsa dimasa depan sebagai
kesadaran yang ingin dicapai.
Beragam budaya berarti beragam pula watak dan kebiasaan dari setiap masyarakat
Indonesia, oleh sebab itu diperlukan nilai-nilai karakter dalam memaknai kebudayaan kita
yang beragam ini. Menurut penulis peserta didik juga harus memiliki nilai kebijaksanaan dan
pengetahuan yang merupakan bagian dari virtue sebagai inti karakter, terutama pengetahuan
tentang kebudayaan itu sendiri. Dampaknya adalah peserta didik mampu menganalisa
kebudayaan orang lain yang berbeda dari dirinya kemudian menghargainya. Selain itu di
butuhkan juga moral feeling yang merupakan bagian dari rasa empati, percaya diri, dan
rendah hati. Dengan moral feeling peserta didik akan merasa percaya diri dengan
kebudayaannya yang berbeda dari yang lain, namun bisa juga ikut merasakan sebagai bagian
dari kebudayaan orang lain. Namun yang paling penting adalah peserta didik tidak merasa
kebudayaannya lebih baik dari kebudayaan orang lain.
2. Peserta didik adalah pewaris budaya bangsa yang kreatif. Menurut pandangan
filosofi ini, prestasi bangsa di berbagai bidang kehidupan di masa lampau adalah sesuatu
yang harus termuat dalam isi kurikulum untuk dipelajari peserta didik. Proses pendidikan
adalah suatu proses yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan
potensi dirinya menjadi kemampuan berpikir rasional dan kecemerlangan akademik dengan
memberikan makna terhadap apa yang dilihat, didengar, dibaca, dipelajari dari warisan
budaya berdasarkan makna yang ditentukan oleh lensa budayanya dan sesuai dengan tingkat
kematangan psikologis serta kematangan fisik peserta didik. Kurikulum 2013 juga
21
memposisikan keunggulan budaya tersebut dipelajari untuk menimbulkan rasa bangga,
diaplikasikan dan dimanifestasikan dalam kehidupan pribadi, dalam interaksi sosial di
masyarakat sekitarnya, dan dalam kehidupan berbangsa masa kini.
Pada poin ini landasan filosofis yang hendak dibangun adalah peserta didik sebagai
pewaris dari kebudayaan bangsa kemudian dapat mengeksposnya dengan kreatif. Dalam hal
ini peserta didik dorong untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya untuk dapat
berpikir secara rasional terhadap hal-hal yang dihadapinya. Selain itu landasan ini berupaya
untuk melestarikan kebudayaan bangsa dan kemudian menanamkan rasa kebanggaan atas
budaya tersebut.
Pada tataran ini landasan filosofi dari kurikulum 2013 ini juga sudah memenuhi
sebagian hakikat pendidikan itu sendiri. Dimana menurut Driyarkara bahwa pendidikan
merupakan proses perubahan ganda, yakni perubahan dalam diri manusia (muda) sendiri,
yang disebut eksistensia, dan proses ini berlangsung dalam masyarakat dan budaya yang juga
berubah. Oleh karena itu dalam pendidikan, manusia (muda) itu berubah juga bersama
dengan lingkungan hidupnya. Sebenarnya pemerintah ingin ada suatu tindakan untu
melestarikan kebudayaan tersebut sebagai bagian dari pendidikan. Dalam hal ini peserta didik
harus mewujudkannya dengan nilai karakter yang terdapat pada moral action sebagai
komponen karakter. Dalam moral action sisi kemampuan, kemauan dan kebiasaan. Peserta
didik dengan kempuan yang ia miliki, akan mengembangkan potensi dalam dirinya kemudian
ada hasrat kemauan untuk melakukan dalam kehidupannya, dan itu dilakukan secara terus
menerus menjadi suatu kebiasaan yang baik.
3. Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan
kecemerlangan akademik melalui pendidikan disiplin ilmu. Filosofi ini menentukan bahwa isi
kurikulum adalah disiplin ilmu dan pembelajaran adalah pembelajaran disiplin ilmu
(essentialism). Filosofi ini mewajibkan kurikulum memiliki nama mata pelajaran yang sama
dengan nama disiplin ilmu, selalu bertujuan untuk mengembangkan kemampuan intelektual
dan kecemerlangan akademik.
Landasan filosofi ini pemerintah ingin menekankan bahwa mata pelajaran yang
beredar di sekolah-sekolah harus sesuai dengan disiplin ilmu yang ada. Hal ini dijadikan
sebagi landasan filosofi karena terdapat banyak sekolah yang memiliki mata pelajar tidak
sesui dengan kontennya atau ilmu yang harus diberikan. Hal ini akan berdampak buruk bagi
siswa kalau dibiarkan terus berlanjut, karena siswa nantinya akan seperti orang yang
kelihatanya mengetahui banyak hal padahal hanya sedikit yang dia pahami.
22
Pada poin ini, pemerintah menyadari bahwa untuk mengembangkan kecerdasan
manusia tidak ada jalan lain selain pendidikan, oleh kerana itu pendidikan yang di ajarkan
harus sesuai dengan disiplin ilmu yang dibutuhkan peserta didik tersebut. Hal ini sesuai
denagn konsep Whitehead bahwa pada dasarnya manusia bisa berkembang dengan sendirinya
menuju kearah yang lebih baik, namun karena perkembangan itu secara alami bergerak
lambat, maka dibutuhkan intervensi pendidikan. Pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan
peserta didik akan lebih cepat membantu proses perkembangan peserta didik tersebut.
Ketika pendidikan sudah dilakukan secara benar, dalam hal ini mata pelajaran sudah
sesuai dengan disiplin ilmu yang dibutuhkan maka dengan sendirinya peserta didik akan
mudah memahami dan manyukai pelajaran tersebut. Sehingga, elemen-elemen karakter yang
berkaitan dengan kerajinan, ketekunan, optimis, percaya diri, inisiatif dan kreatif akan mudah
di wujudkan oleh peserta didik. Peserta didik akan dengan gembira dan sangat berantusias
dalam mengikuti proses pembelajaran, bukan tidak mungkin mereka akan menghasilkan
karya-karya yang kreatif dan luar biasa. Karena pada dasarnya ketika mereka mata pelajaran
sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka butuhkan, konsep inti karakter akan berhasil
dicapai.
4. Pendidikan untuk membangun kehidupan masa kini dan masa depan yang lebih
baik dari masa lalu dengan berbagai kemampuan intelektual, kemampuan berkomunikasi,
sikap sosial, kepedulian, dan berpartisipasi untuk membangun kehidupan masyarakat dan
bangsa yang lebih baik (experimentalism and sosial reconstructivism).
Landasan filosofis yang terakhir ini sebenarnya menunjukan suatu konsep ideal yang
hanya akan tercapai ketika tiga poin sebelumnya sudah tercapai. Pada poin ini pemerintah
ingin pendidikan untuk menciptakan generasi baru yang mampu membangun kehidupan yang
lebih baik dari sebelumnya. Hasil dari pendidikan tersebut tidak hanya di nikmati sendiri oleh
peserta didik, melainkan harus mampu ditransformasikan ke lingkungan masyarakat dan
bangsa. Hasil pendidikan yang bagaimana? Paling tidak hasil pendidikan yang mampu
membawa perubahan pada diri sendiri kearah yang lebih baik. Dengan landasan filosofi ini,
sebenarnya Kurikulum 2013 bermaksud untuk mengembangkan potensi peserta didik
menjadi kemampuan dalam berpikir reflektif bagi penyelesaian masalah sosial di masyarakat,
dan untuk membangun kehidupan masyarakat demokratis yang lebih baik.
Perubahan pada diri sendiri dan masyarakat luas hanya bisa tercapai ketika semua
elemen-elemen karakter bisa dilakukan. Pembentukan karakter peserta didik dari proses
pembelajaran harus berhasil peserta didik sehingga mampu membawa perubahan, virtue
23
sebagai inti karakter yang mempunyai kekuatan untuk dapat mengetahui dan mengendalikan
diri dengan situasi yang dia hadapi. Moral knowing sebagai bentuk kesadaran diri untuk
mengetahui mana yang baik dan buruk, kemudian dengan moral feeling dapat menumbuhkan
rasa percaya diri, berempati dengan orang lain, mencintai kebaikan dan tidak pernah merasa
lebih hebat dari orang lain, yang terakhir adalah tindakan, dengan kemampuan kita
melakukan sesuatu kebaikan dan itu atas dasar kemauan diri sendiri bukan dorongan orang
lain. Dengan demikian maka peserta didik sudah siap untuk membawa perubahan dalam
dirinya dan masyarakat sekitar.
c. Standar Kompetensi Kelulusan SMA/MA/SMK/MAK/SMALB/Paket C50
Dimensi Sikap : Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman,
berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara
efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan
bangsa dalam pergaulan dunia.
Dimensi Pengetahuan : Memiliki pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan
metakognitif dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan
kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab serta dampak
fenomena dan kejadian.
Dimensi Ketrampilan : Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif
dalam ranah abstrak dan konkret sebagai pengembangan dari yang dipelajari di sekolah
secara mandiri.
Standar Kompetensi Kelulusan ini merupakan standar paling dasar yang harus di
capai para peserta didik untuk bisa dinyatakan lulus atau berhasil dari proses pembelajaran
selama satu semester. Berkaitan dengan kurikulum 2013 yang lebih menekankan pada
pengembangan karakter sudah seharusnya standar kompetensi kelulusan ini memiliki unsur
karakter yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Hal ini bertujuan supaya paserta didik
yang dinyatakan lulus atau berhasil benar-benar menjadi peserta didik yang berkarakter yang
baik dan bermoralitas. Dari ketiga dimensi yang hendak dicapai yaitu dimensi sikap,
pengetahuan dan keterampilan di atas tentunya menjadi satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Artinya ketiga-tiga nya harus dicapai oleh peserta didik untuk dapat dinyatakan
lulus.
50
Salinan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 54 Tahun 2013 Tentang
Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar Dan Menengah dalam
https://urip.files.wordpress.com/2013/06/01-b-salinan-lampiran-permendikbud-no-54-tahun-2013-ttg-skl.pdf,
diakses 10 Juni 2015.
24
Standar kompetensi kelulusan ini menginginkan peserta didik untuk lulus dengan
karakter yang baik dan mampu membawa perubahan. Hal ini bisa dilihat dari dimensi
pertama yakni sikap, peserta didik dituntut untuk mampu memiliki perilaku yang
mencerminkan sikap yang baik. Peserta didik harus memiliki nilai karakter untuk dapat
membentuk dirinya menjadi individu yang bersikap baik, yang paling utama adalah ia harus
mempunyai konsep tentang karakter yang baik itu seperti apa, kemudian mengolah dan
menerimanya dalam diri dan melakukan dalam kehidupannya. Dimensi sikap ini lebih
menekankan bagaimana peserta didik mengambil sikap dan berinteraksi dalam alam dan
lingkungan sosial, berkaitan dengan sikap maka moral feeling tentunya sangat berpengaruh
bagaimana dalam pengambilan sikap selalu diikuti dengan pertimbangan hati nuraninya.
Kadang kala dengan pengetahuan kita ingin mencoba melakukan sesuatu yang negatif namun
hati nuranilah yang selalu mengingatkan kita.
Demensi yang kedua yang hendak dicapai peserta didik adalah pengetahuan. Peserta
didik tentunya diharapkan memiliki pengetahuan yang baik tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni dan budaya. Pada dimensi ini peserta didik yang dinyatakan lulus atau
berhasil ialah mereka yang memiliki nilai-nilai karakter yaitu pengetahuan dan
kebijaksanaan, serta kemanusiaan sebagai bagian dari kekuatan karakter, selain itu kesadaran
moral, pengetahuan pribadi dan penentuan perspektif dalam moral knowing juga diperlukan.
Dengan demikian peserta didik dapat lebih bijak dalam menyelesaikan masalah dengan
pengetahuannya, ia mampu memikirkan dengan cermat arah mana suatu tindakan yang
memiliki nilai kebenarnanya. Juga dengan kebijaksaan peserta didik mampu merespon segala
pesrubahan sosial yang terjadi.
Dimensi yang terakhir yang harus dicapai peserta didik adalah dimensi keterampilan.
Pesrta didik harus mempunyai keterampilan yang baik, dari hasil pembelajaran pengetahuan
yang didapat kemudian dikelolah dan menghasilkan suatu kreativitas yang baik. Peserta didik
tidak cukup hanya memiliki sikap dan penetahuan yang baik, ia juga harus terampil dalam
bidangnya. Ketrampilan ini akan menjadi kerampilan yang baik ketika pesrta didik mampu
mewujudkan elemen-elemen karakter dalam dirinya. Elemen karakter seperti ketekunan
dalam melakukan tugas dan tanggung jawab, integritas tinggi, disiplin diri yang baik, inisiatis
untuk melakukan hal-hal yang baru, percaya diri dengan kemampuan yang dimilikinya,
optimis terhadap niat dan kemauannya, rendah hati dan kreatif dalam mengembangkan
potensi yang ada dalam dirinya. Pada akhirnya peserta didik dapat menjadi individu yang
mempunyai ketrampilan dapat bermanfaat pada dirinya terlebih bagi masyarakat sekitarnya.
25
d. Kompetensi Inti
1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong
royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap
sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif
dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa
dalam pergaulan dunia.
3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural
berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan
humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait
penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang
kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait
dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu
menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
Kompetensi inti merupakan tujuan umum yang hendak dicapai dalam satu proses
pembelajaran. Dalam kompetensi inti ini memuat hal-hal yang merujuk pada tercapainya
standar kompetensi kelulusan. Kompetensi inti juga masih berupa sebuah konsep yang
nantinya akan dilihat kompetensi ini bisa tercapai atau tidak dengan perwujudan kompetensi
dasar. Kompetensi inti melalui empat poin yang dijabarkan diatas benar-benar ingin
mehasilkan generasi baru yakni peserta didik yang tidak hanya paham pada konsep dan
pengetahuan melainkan mampu mekukannya sebagai tindakan praxis. Dengan pendidikan
yang didapat di sekolah diharapkan dapat membentuk peserta didik menjadi individu yang
tidak hanya mengalami perubahan pada diri sendiri, melainkan harus di transformasikan
dalam lingkungan sosial.
Kempetensi inti menginginkan peserta didik untuk dapat menghayati dan
mengamalkan ajaran agam meraka masing-masing. Menghayati berarti memahami dengan
betul serta benar-benar menyakini, ini merupakan bagian dari pada moral knowing dan moral
feeling dimana peserta didik harus mengetahui ajaran agama mereka kemudian secara sadar
mencintai kebaikan dari nilai-nilai agama mereka dan mengamalkanya dalam kehidupan
mereka. Dalam mengamalkan sebagai moral action, peserta didik harus benar-benar
melakukannya dengan niat yang baik dan secara berkelangsungan. Selain ajaran agama,
26
perilaku jujur, disiplin dan tanggung jawab juga harus bersamaan menjadi tindakan yang
nyata dalam kehidupannya di sekolah, dirumah, dan di lingkungan masyarakat.
Kompetensi inti juga menginginkan peserta didik mengembangkan rasa ingin tahu
mereka tentang pengetahuan diajarakan, kemudian dikembangkan dan menjadikan bahan
pertimbangan untuk pemecahan masalah yang dihadapi. Pada tahap ini peserta didik
membutuhkan nilai-nilai moral untuk mencapai kompetensi ini. Inisiatif menjadi nilai yang
utama, dimana dengan inisiatif maka peserta didik memiliki dorongan untuk
mengembangkan pengetahuannya. Selain rasa ingin tahu, dalam kompentensi inti juga
menginginkan peserta didiknya untuk mampu menghasilkan sesuatu sesuai dengan
pengetahuan yang didapatkan disekolahnya. Sebuah kemauan, kemampuan dan sekali lagi
kebiasaan dan moral action ini menjadi bagian penting untuk mewujudakan kompentisi inti
tersebut. Karena hanya dengan kemampuan dan kemauan dari dalam diri peserta didik
mampu menghasilkan keterampilan sesuai dengan potensinya.
e. Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti
Kelas X
1.1 - Mensyukuri karunia Allah bagi dirinya yang terus bertumbuh sebagai pribadi
dewasa.
1.2 - Menghayati nilai-nilai Kristiani: Kesetiaan, kasih dan keadilan dalam kehidupan
sosial.
1.3 - Mengakui peran Roh Kudus dalam membarui kehidupan orang beriman.
1.4 - Mensyukuri karunia Allah melalui kebersamaan dengan orang lain tanpa kehilangan
identitas
2.1 - Mengembangkan perilaku sebagai pribadi yang terus bertumbuh menjadi dewasa.
2.2 - Meneladani Yesus dalam mewujudkan nilai-nilai Kristiani: Kesetiaan, kasih dan
keadilan dalam kehidupan.
2.3 - Bersedia hidup baru sebagai wujud percaya pada peran Roh Kudus sebagai
pembaharu.
2.4 - Bersedia hidup bersama dengan orang lain tanpa kehilangan identitas dan alam.
3.1 - Mengidentifikasi ciri-ciri pribadi yang terus bertumbuh menjadi dewasa.
3.2 - Memahami makna nilai Kristiani: Kesetiaan, kasih dan keadilan dalam kehidupan.
3.3 - Menjelaskan peran Roh Kudus dalam membaharui kehidupan orang beriman.
3.4 - Menjelaskan makna kebersamaan dengan orang lain tanpa kehilangan identitas.
4.1 - Menunjukkan ciri-ciri pribadi yang terus bertumbuh menjadi dewasa.
27
4.2 - Menerapkan nilai-nilai Kristiani: Kesetiaan, Kasih dan Keadilan dalam kehidupan.
4.3 - Memberikan kesaksian tentang peran Roh Kudus sebagai pembaharu.
4.4 - Mengkaji bagian Alkitab yang berbicara mengenai peran Roh Kudus dalam
membarui kehidupan orang beriman dari kitab Kisah Rasul.
Kelas XI
1.1 - Mengakui peran Allah dalam kehidupan keluarga.
1.2 - Menghayati nilai-nilai Kristiani dalam kehidupan keluargaagar siap menghadapi
gaya hidup modern.
1.3 - Mengakui peran keluarga dan sekolah sebagai lembaga pendidikan utama dalam
kehidupan modern.
1.4 - Mengakui bahwa perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi
adalah anugerah Tuhan.
2.1 - Mengembangkan perilaku tanggung jawab sebagai wujud dari pengakuan terhadap
peran Allah dalam kehidupan keluarga.
2.2 - Mewujudkan nilai-nilai Kristiani dalam kehidupan keluargauntuk menghadapi gaya
hidup modern.
2.3 - Bersikap kritis dalam menyikapi peran keluarga dan sekolah sebagai lembaga
pendidikan dalam kehidupan modern.
2.4 - Bersikap kritis dalam menghadapi perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan
dan tekonologi dengan mengacu pada Alkitab.
3.1 - Menjelaskan peran Allah dalam kehidupan keluarga.
3.2 - Menjelaskan pentingnya nilai-nilai Kristiani dalam kehidupan keluargauntuk
menghadapi gaya hidup modern.
3.3 - Menganalisis peran keluarga dan sekolah sebagai lembaga pendidikan dalam
kehidupan modern.
3.4 - Mengidentifikasi perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan tekonologi
dengan mengacu pada Alkitab.
4.1 - Bersaksi tentang peran Allah dalam keluarganya.
4.2 - Berperan aktif mewujudkan nilai-nilai Kristiani dalam kehidupan keluarganya untuk
menghadapi gaya hidup modern.
4.3 - Membuat refleksi tentang peran keluarga dan sekolah sebagai lembaga pendidikan
dalam kehidupan modern.
28
4.4 - Membuat karya untuk mengkritisi perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan
dan tekonologi dengan mengacu pada Alkitab.
Kelas XII
1.1 - Menerima HAM sebagai anugerah Allah.
1.2 - Mensyukuri pemberian Allah dalamkehidupan multikultur.
1.3 - Menghayati kasih Allah kepada semua orang yang diwujudkan dalam nilai-nilai
demokrasi pada konteks lokal dan global.
1.4 - Menghayati perannya sebagai pembawa damai sejahtera dalam kehidupan
seharihari.
2.1 - Mengembangkan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai HAM.
2.2 - Mengembangkan sikap dan perilaku yang menghargai multikultur.
2.3 - Menunjukkan nilai-nilai demokrasi pada konteks lokal dan global.
2.4 - Mengembangkan perilaku sebagai pembawa damai sejahtera dalam kehidupan
sehari-hari.
3.1 - Memahami arti HAM dan hubungannya dengan tuntutan keadilan yang Allah
kehendaki.
3.2 - Menganalisis berbagai pelanggaran HAM di Indonesia yang merusak kehidupan dan
kesejahteraan manusia.
3.3 - Memahami nilai-nilai multikultur.
3.4 - Menjelaskan makna nilai-nilai demokrasi pada konteks lokal dan global dengan
mengacu pada teks Alkitab.
3.5 - Menguraikan perannya sebagai pembawa damai sejahtera dalam kehidupan sehari-
hari selaku murid Kristus.
4.1 - Menerapkan sikap dan perilaku yang menghargai HAM.
4.2 - Berperan aktif dalam menjunjung kehidupan yang multikultur.
4.3 - Menalar nilai-nilai demokrasi pada konteks lokal dan global mengacu pada teks
Alkitab.
4.4 - Proaktif sebagai pembawa damai sejahtera selaku murid Kristus.
Kompetensi dasar ini merupakan penjabaran poin-poin yang akan mewujudkan
kompetensi inti, baik kelas X, XI, dan XII. Kompetensi inti sebagai suatu konsep akan
diwujudkan dalam proses pembelajaran dikelas. Proses pembelajaran bisa berlangsung hanya
dengan melihat atau merancang RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang sesuai
dengan kompetensi dasar yang ada pada kurikulum. Tentunya kompetensi dasar harus secara
29
spesifik memaparkan hal-hal apa yang dapat mewujudkan kompetensi inti pada akhir
pembelajaran.
Kurikulum 2013 khususnya mata pelajaran Pendidikan Agama Kristen, kompetensi
inti sudah menjelaskan bahwa secara keseluruhan kompetensi inti bertujuan menghasilkan
peserta didik yang berkarakter. Peserta didik yang berkarakter dapat tercapai bilamana nilai-
nilai karakter dihidupi oleh peserta didik, mulai dari inti karakteer yang meliputi virtues,
kekuatan karakter, situasional karakter, moral knowing, moral feeling, moral action dan
elemen – elemen karakter. ketika nilai-nilai ini dimiliki oleh peserta didik maka cara dia
memahami pengetahuan yang dia dapat, mengelolahnya, berinteraksi dengan sesama,
menunjukan sikap, serta menghasilkan keterampilan keseluruhannya adalah individu yang
berkarakter yang siap membawa perubahan bagi dirinya dan lingkungan. Oleh sebab itu
seharunya kompentensi dasar hanya menjawab kompetensi inti dengan menjabarkan poin-
poin yang mengandung unsur karakter tersebut.
Dalam kompetensi dasar ini lebih banyak memuat nilai-nilai dan pemahaman pesrta
didik terhadap Allah, bagaimana kita mengahayati, memahami, merespon, bersaksi mengenai
karya Allah. Yang mana semua itu dimaksudkan merujuk kepada tujuan PAK untuk
mewujudkan terciptanya Kerajaan Allah. Hal tersebut nampak dari isi kompetensi dasar yang
mana kelas X hanya menyinggung karya Allah dalam diri pribadi peserta didik untuk menjadi
lebih dewasa, kelas XII juga demikian, hanya menyinggung peran Allah dalam keluarga, dan
pada kelas XII isi kompetensi hanya menyinggung tentang bagaimana menilai HAM sebagai
karya dan anugerah Allah. Tentunya hal ini menjadi kotradiksi dengan apa yang hendak
dicapai kompetensi inti pada akhir proses pembelajaran. Jika kompetensi dasar gagal
mewujudkan peserta didik yang dikonsepkan pada kompetensi inti maka secara otomatis,
peserta didik itu dinyatakan gagal atau tidak lulus karena tidak memenuhi apa yang hendak
dicapai pada standar kompetensi kelulusan.
Dalam pengembangan karakter sebenarnya ada pendekatan agama yang di
kembangkan oleh beberapa ahli, dalam agama kristen lanadasan dari pengembangan karakter
itu nampak pada kesepuluh hukum Tuhan, kitab Amsal, dan bagaimana kesetiaan serta
ketaatan manusia (De Braine,2007). Namun hal ini juga tidak banyak nampak pada
kompetensi dasar kurikulum PAK. Padahal nilai-nilai ini sangat penting dalam membentuk
karakter peserta didik kristen dalam memahami imannya kepada Allah, kemudian memaknai
dan menghayati panggilan hidupnya. Sehingga Kerajaan Allah boleh diwujudkan oleh peserta
didik yang berkarakter dan bermoralitas.
30
Dari sekian banyak poin yang terdapat pada kompetensi dasar hanya beberapa poin
yang memuat nilai-nilai karakter yang menjadi kebutuhan utama kurikulum 2013. Pada kelas
X terdapat nilai kasih, kesetiaan dan keadilan. Ini merupakan nilai karakter yang termasuk
pada elemen-elemen karaker. Kesetian, kasih dan keadilan merupakan nilai kristiani yang
mau diterapkan kepada peserta didik. Dengan nilai tersebut peserta didik diharapkan untuk
mampu melakukannya sebagai bentuk dari tindakan nyata atau praxis di lingkungan sekolah ,
rumah dan masyarakat. sehingga peserta didik dapat mencapai kompetensi inti.
Pada kelas XII terdapat beberapa nilai karakter yaitu tanggung jawab dan nilai-nilai
kristiani serta bersikap kritis. Nilai-nilai kristiani tentunya sama seperti yang telah dijelaskan
pada kelas X, sikap tanggung jawab adalah nilai karakter yang termasuk dalam virtue sebagai
kekuatan karakter diman tanggung jawa diperlukan peserta didik membentuk dirinya menjadi
individu yang lebih bertanggung jawab atas segala kewajibannya. Kemudian sikap kristis
merupakan bentuk dari rasa ingin tahu peserta didik. Nilai karakter ini tentunya sangat
penting bagi perkembangan pengetahuan dan pemahaman terhadap potensi diri peserta didik.
Pada kelas XII, nilai-nilai karakter yang ada ialah mengembangkan sikap perilaku
memahami HAM dan menghargai multikultural. Peserta didik diharapkan mampu
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai imago dei. Mengembangkan sikap
perilaku mengahargai manusia adalah salah satu bentuk wujud dari nilai moral yaitu
kemanusiaan dan kerendahan hati. Dengan nilai kemanusiaan peserta didik benar-benar
menghargai kehidupannya dan orang lain, timbul sikap untuk saling merawat dan membantu
satu dengan yang lain. Sedangkan nilai kerendahan hati membentuk suatu konsep bahwa
semua manusia itu sama, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang, sehingga peserta
didik dapat saling menghargai memperlakukan satu dengan yang lain dengan cara manusiawi.
Kompetensi dasar memang sudah memuat beberapa nilai karakter dalam kurikulum
PAK, namun menurut penulis hal ini masih kurang mengingat hasil akhir yang ingin dicapai
adalah pserta didik sebagai generasi-generasi pembawa perubahan yang berkarakter. Nilai-
nilai karakter harus lebih banyak diterapkan dalam lingkungan sekolah baik didalam kelas
maupun diluar kelas. Tidak hanya peserta didik saja yang menghidupi nilai-nilai karakter ini
tetapi semua orang yang menjadi bagian dari sekolah tersebut.
31
4. Kesimpulan
Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis akan memaparkan beberapa hal sebagai
kesimpulan dari topik permasalahan yang penulis teliti. Adapun kesimpulan tersebut
mencakup dua hal yaitu;
Pertama, pendidikan merupakan satu-satunya penyebab terjadinya perubahan. Semua
hal yang berkaitan dengan adanya perubahan pada dasarnya merupakan suatu bentuk
pendidikan, misalnya pengetahuan, budaya, seni, teknologi, dan olah raga adalah bentuk dari
pendidikan. Pendidikan mampu membawa perubahan yang positif maupun negatif,
tergantung jenis pendidikan seperti apa yang dilakukan. Oleh karena itu diperlukan
pendidikan karakter sebagai bentuk dari pendidikan yang bermoral. Dengan nilai-nilai
karakter seseorang dapat menentukan dirinya sebagai individu yang membawa perubahan
positif bagi dirinya dan lingkungan. Masyarakat yang memiliki karakter baik akan
menjadikan bangsanya bangsa yang bermartabat.
Kedua, karena pendidikan itu sangat penting, maka kurikulum juga memiliki peran
yang penting. Kurikulum merupakan bagian terpenting dalam menjalankan atau menerapkan
suatu pendidikan, pada kurikulumlah berbagai bentuk strategi dan tujuan dari pendidikan itu
dirancang. Pendidikan yang baik akan mengahsilkan suatu perubahan yang baik juga,
pendidikan yang baik dapat tercapai ketika kurikulum yang dirancang dengan baik dapat
dilakukan. Oleh karena itu dalam penyusunan atau pembuatan kurikulum harus benar-benar
dilakukan sesuai dengan tujuan dari pendidikan tersebut. Bilamana kurikulum itu tidak
dirancang dengan baik maka output yang dihasilkan adalah output dengan kualitas yang
buruk, dan pada akhirnya perubahan yang terjadi adalah perubahan negatif.
Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis kemukakan, maka ada beberapa hal yang
patut penulis ajukan sebagai saran kepada berapa pihak. Yang pertama kepada pemerintah
dalam merancang kurikulum, agar dapat benar-benar memperhatikan tujuan utama dari
kurikulum tersebut. Dalam hal ini kurikulum 2013 mata pelajaran PAK di SMA perlu di
revisi sedikit pada bagian kompetensi dasarnya untuk lebih memperbanyak nilai-nilai
karakter. Kedua, kepada pihak Sekolah Menegah Atas untuk dapat merancang RPP sesuai
dengan kurikulum yang ada, perlu juga memodifikasi sesuai dengan kondisi lapangan. Kedua
hal ini penulis usulkan mengingat kelompok usia SMA ini adalah kelompok usia yang
rentang pada runtuhnya nilai moral. Oleh sebab itu peserta didik SMA ini harus dipersiapkan
dengan baik secara mental dan prilaku yang berkarakter untuk memasuki dunia yang lebih
luas.
32
Daftar Pustaka
Ryan, Kevin & Bohlin, Karen E. Building Character in Schools: Practical Ways to Bring
Moral Instruction to Life. (San Fransisco: Josssey-Bass, 1990).
Berkowitz, Marvin W. & Bier, Melinda C. Whats Works in CharacterEducations: A
Research-Driven Guide for Educators. (Washington DC: Character Education
Partnership, 2005).
Lickona, Thomas. Edocation For Character : How our schools can teach respect and
responsibility. Terj. J.A Wamaungo, (Jakarta: Bumi Askara, 2013).
_____________. Character Matters: How to Help Our Children Develop Good Judgment,
Integrity, and Other Essential Virtues. Terj. J.A Wamaungo & Jean A.R. Zien,
(Jakarta: Bumi Askara, 2012).
Fitri, Agus Zaenal. Pendidikan Krakter berbasis Nilai dan Etika di Sekolah. (Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2012).
Saptono. Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter; Wawasan,strategi, dan langkah praktis.
(Jakarta:Esensi Erlangga Group, 2011).
Boehlke, Robert R. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen.
(Jakarta: Gunung Mulia, 2011).
Sairin, Weinata. Identitas dan Ciri Khas pendidikan Kristen di Indonesia. (Jakarta: Gunung
Mulia, 2011).
Antone, Hope S. Pendidikan Kristiani Kontekstual: Mempertimbangkan Realita
Kemajemukan. (Jakarta: Gunung Mulia, 2012).
Vogel, Linda Jane. The Religious Education of Older Adults. (Alabama: Religious Education
Press, 1983).
Groome, Thomas H. Christian Religious Education. (New York: Harper & Row Publisher,
1980).
_______________. Christian Religious Education – Pendidikan Agama Kristen :Berbagi
ceerita dan Visi Kita, Terj. Daniel Stefanus (Jakarta: Gunung Mulia, 2011).
Nuhamara, Daniel. Pembimbing PAK. (Bandung: Jurnal Info Media, 2007).
Mustakim, Bagus. Pendidikan Karakter: Membangun Delapan Karakter Emas Menuju
Indonesia Bermartabat. (Yogyakarta: Samudra Biru, 2011).
Kesuma, Dharma and others. Pedidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah.
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011).
33
Raka, Gede and others. Pendidikan Karakter di Sekolah : dari Gagasan ke Tindakan.
(Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011).
Barnadib, Imam,. Beberapa Hal Tentang Pendidikan,. (Yogyakarta : Studing, 1982).
Sastrapratedja M. Pendidikan sebagai humanisasi. (Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan
pancasila, 2013).
Driyarkara, “Hominisasi dan Humanisasi” dalam A.Sudiarja, at.al (eds.), Karya Lengkap
Driyarkara : Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan
Bangsanya. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006).
Mulyasa, H, E. Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta: Bumi Askara, 2014).
Mu’in, Fatchul. Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik, (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011).
Asmani, Jamal M. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah,
(Yogyakarta: Diva Press, 2011).
Zubaedi. Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lemabga
pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011).
Koesoema A, Doni. Pendidikan Karakter : Utuh dan Menyeluruh, (Yogayakarta: Kanisius,
2012).
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta:CV.Rajawali, 1983).
Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:PT.Remaja Rosdakarya, 2001).
Jurnal
Braine Roslyn De, Leadership, Character and Its Development: A Qualitative Exploration,
(SA Journal of Human Resource Management), 2007
Website
Salinan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 54 Tahun 2013
Tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar Dan Menengah dalam
https://urip.files.wordpress.com/2013/06/01-b-salinan-lampiran-permendikbud-no-54-
tahun-2013-ttg-skl.pdf.
Salinan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 69 Tahun 2013
Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah
Aliyah dalam https://urip.files.wordpress.com/2013/06/07-b-salinan-lampiran-
permendikbud-no-69-tahun-2013-ttg-kurikulum-sma-ma.pdf.