22

Click here to load reader

kurs tugas

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: kurs tugas

PEREKONOMIAN INDONESIA

TUGAS KELOMPOK

(jumlah uang beredar ,kurs,inflasi dan perkembangan perekonomian Indonesia terhadap Negara lain )

Di susun oleh :

1.Ni wayan esti agustina ( 1011011021 )

2.Prima helaubudi (10110110

3.Nanik Asih ( 10110110

FAKULTAS EKONOMI JURUSAN MANAJEMEN

TAHUN AJARAN 2012/2013

Page 2: kurs tugas

JUMLAH UANG ( KARTAL ,GIRAL DAN KUASI ) BEREDAR

Kepala Biro Humas BI, Difi A. Johansyah mengatakan menjelang hari Raya Idul Fitri penyebaran uang kartal secara nasional kian meningkat. Uang tersebut terdiri atas uang pecahan besar sebesar Rp34,947 triliun dan uang pecahan kecil senilaiRp 5,244 triliun. Untuk kantor pusat BI di Jakarta masih menjadi penyalur uang kartal terbesar yakni mencapai Rp13,9 triliun atau 34,59% dari total penyaluran di seluruh Indonesia. "Terdiri atas Rp 12,160 triliun uang pecahan besar dan Rp 1,741 triliun uang pecahan kecil," papar Difi kepada INILAH.COM, Selasa (7/9).Ia menjelaskan, Persebaran uang kartal tersebut disokong oleh 10 kantor BI di seluruh Indonesia. Setelah kantor pusat BI yang menjangkau wilayah Jabodetabek, kantor BI Surabaya tercatat sebagai penyalur uang kartal terbesar kedua. Tercatat, selama periode yang sama, kantor BI Surabaya sudah mengeluarkan uang (nett outflow) sebesar Rp 4,902 triliun atau 12,2% dari total nasional. Rinciannya terdiri atas Rp3,944 triliun uang besar dan Rp957,96 miliar uang kecil. Persebaran ketiga disusul oleh kantor BI Semarang, Padang, dan Banjarmasin. Masing-masing sudah menggelontorkan uang sebesar Rp3,88 triliun, Rp3,81 triliun, dan Rp3,704 triliun.

Selain itu, kata Difi, kebutuhan uang kartal masyarakat Medan dan Bandung juga besar. Berdasarkan data yang ada, kantor BI Medan dan Bandung sudah mengeluarkan uang masing-masing sebesar Rp1,836 triliun dan Rp2,976 triliun.Disusul BI Makassar senilai Rp1,772 triliun, lalu BI Palembang sebesar Rp2,241 triliun. Dam yang terkecil, kantor BI Denpasar tercatat sudah mengeluarkan uang sebesar Rp 1,166 triliun. Bank sentral Angka-angka ini diperkirakan akan terus bergerak naik seiring kian dekatnya Lebaran dan diperkirakan akan memuncak di h Peredaran Uang Kartal Bakal Melonjak 170% Jelang Lebaran  Jakarta - Bank Indonesia (BI) memperkirakan peredaran uang kartal menjelang lebaran akan naik 170 persen. Jika pada hari biasa jumlah uang yang beredar mencapai rata-rata Rp 20 triliun, maka menjelang lebaran naik menjadi Rp 54,2 triliun.Deputi Gubernur Bank Indonesia , S. Budi Rochadi mengungkapkan, uang kartal tersebut terdiri dari pecahan besar sejumlah Rp 49,5 triliun dan kecil berjumlah Rp 4,7 triliun.

"BI  mempersiapkan untuk Idul Fitri 2009 pada bulan puasa dan lebaran, kita menyediakan uang sebanyak Rp 150,8 triliun atau kurang lebih dua kali lipat dari tahun lalu yang hanya mencapai sekitar Rp 76 triliun," jelasnya dalam Konferensi Pers di Gedung Bank Indonesia (BI), Jakarta, Jumat (04/09/2009).Budi Rochadi mengatakan, untuk pecahan besar (Rp 20.000, Rp 50.000 dan Rp 100.000) sebanyak Rp 145,9 triliun dan pecahan kecil (Rp 20.000 kebawah) sejumlah Rp 5 triliun."Persediaan uang tahun ini karena ada pecahan baru dan permintaan di daerah dan di Jakarta meningkat, umumnya ingin mendapatkan pecahan baru Rp 2.000 tersebut," tuturnya.Budi Rochadi menambahkan, upaya BI untuk memenuhi permintaan uang dari masyarakat tersebut yakni bekerja sama dengan Peruum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) untuk semaksimal mungkin mencetak tanpa adanya hari libur atau dengan lembur."Selain itu kita juga meningkatkan secara optimal peran mobil kas keliling. Di Jakarta sendiri ada 5 mobil yang masing-masing mobil membawa persediaan uang sebesar Rp 5 miliar," tandasnya.

Page 3: kurs tugas

Perkembangan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat Selama Periode 1990-2007

Pemerintah pusat melalui Bank Sentralnya, yaitu Bank Indonesia mengatur/mengambil kebijakan yang diperlukan dalam mengatur kestabilan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dalam hal ini dolar Amerika Serikat. Dalam pembahasan yang berikut ini yang di bahas adalah perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang semua dampaknya juga berpengaruh terhadap semu sektor di berbagai daerah di Indonesia. Indonesia sebagaimana negara lainnya di berbagai belahan dunia juga memiliki mata uang sendiri, yaitu mata uang rupiah. Mata uang yang dimiliki oleh negara-negara di berbagai belahan dunia tersebut semuanya bertujuan guna memudahkan dalam bertransaksi berbagai macam kebutuhan akan barang-barang dan jasa-jasa.Dalam lingkup yang lebih luas lagi jika terjadi transaksi/perdagangan antar dua negara yang tentunya berlainan mata uangnya, maka dalam hal ini diperlukan adanya suatu angka perbandingan nilai antara  mata uang suatu negara dengan negara lainnya. Harga mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain disebut dengan kurs atau nilai tukar (exchange rate).            Adanya kenyataan bahwa mata uang dolar AS suatu valuta asing (valas) yang lebih stabil dan diterima oleh berbagai negara menjadikannya sebagai salah satu valuta asing yang acap kali diperdagangkan. Tujuan utama perdagangan valuta asing ini adalah untuk mencari keuntungan sebagaimana halnya produk-produk dari sektor riil. Walaupun valuta asing ini telah menjadi tradeble goods, perubahan valuta asing masih sangat sensitif terhadap perubahan sektor riil, misalnya perubahan harga-harga barang terutama harga barang impor. Fluktuasi kurs rupiah terhadap dolar AS selama kurun waktu tahun 1997-2002 (selama masa krisis) telah mengalami masa-masa yang paling berat setelah sebelumnya pernah terjadi gejolak moneter tahun 1966.Dari Tabel IV-2 memperlihatkan bahwa nilai tukar rupiah terus mengalami depresiasi dan hanya beberapa kali saja yang mengalami apresiasi. Pada tahun 1990 kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat adalah sebesar Rp.1.901 per dollar AS, kemudian melemah sebesar 4,79 persen atau berada dikisaran pada level 1.991 per dollar AS. Hal senada juga terjadi pada tahun 1992 yang melemah 15,86 persen atau turun 316 poin. Fluktuasi kurs rupiah terhadap dollar AS dapat diperhatikan melalui Tabel IV-2 berikut ini :

TABEL IV-2PERKEMBANGAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA

SERIKAT,1990-2007

Tahun Kurs Rata-Rata / Tahun Pertumbuhan

( Rupiah ) % Poin1990   1.901

Page 4: kurs tugas

1991   1.992    4,79      911992   2.308 1 5,86    3161993   2.110 -  8,58 -  1981994   2.200    4,27      901995   2.308    4,91    1081996   2.383    3,25      751997   3.989   67,39 1.6061998 11.591 190,57 7.6021999   7.100 - 38,75 -4.4912000    9.595   35,14  2.4952001 10.255     6,88     6602002    9.049 -  11,76 -1.2062003  10.260    13,38  1.2112004  10.263      0,03         32005    9.830 -    4,22 -   4332006    9.200 -    6,41 -   630

2007    9.400     2,17     200         Sumber : Statistik Indonesia (diolah),2007

            Meningkatnya ekspor dan bergairah kembali perdagangan luar negeri Indonesia menyebabkan kurs atau nilai tukar rupiah terhadap dollar menguat 8,58 persen atau 198 poin. Namun menguatnya rupiah terhadap dollar AS ini tidak dapat dipertahankan di tahun 1994,1995, dan1996 yaitu yang melemah 4,27 persen, 4,91 persen dan 3,25 persen. Melemahnya nilai tukar rupiah pada 3 tahun ini lebih disebabkan kurangnya persediaan uang dollar di Indonesia sedangkan permintaan akan dollar terus meningkat. Selain itu meningkatnya nilai impor juga berpotensi mempengaruhi kurs rupiah terhadap dollar pada 3 tahun tersebut.  Nilai tukar rupiah terhadap dollar semakin melemah karena permintaan akan dollar AS semakin besar yang antara lain untuk memenuhi kewajiban hutang luar negeri yang segera akan jatuh tempo dan untuk tujuan-tujuan spekulatif oleh para spekulan. Rupiah melemah 37,39 persen pada tahun 1997. Tahun 1997, terlihat dengan jelas bahwa betapa lemahnya fundamental ekonomi Indonesia. Di saat dollar begitu dibutuhkan baik untuk bayar utang luar negeri ataupun belanja luar negeri akan tetapi di saat itu pula terjadi excess demand terhadap dollar yang mengakibatkan harga dollar menaik tajam, selain itu juga dipengaruhi oleh ulah spekulan.

            Dalam Tabel IV-2 dapat dilihat bahwa memasuki tahun 1998 nilai tukar rupiah terhadap dollar mengalami depresiasi yang sangat besar yaitu melemah 190,57 persen atau mencapai level Rp.11.591 per dollar AS. Ini sebagai akibat dari melemahnya fundamentalis ekonomi Indonesia sehingga tidak sanggup menahan gejolak ekonomi yang juga terjadi di hampir seluruh negara Asia. Bank Indonesia telah mengambil berbagai langkah dalam mengatasi perkembangan nilai tukar rupiah yang kian tidak stabil tersebut, antara lain dengan melebarkan rentang dan intervensi di pasar valas ditingkatkan karena tekanan rupiah terus semakin kuat. Setelah Indonesia

Page 5: kurs tugas

mendapat bantuan dari IMF (International Monetary Fund), rupiah menguat 4.491 poin dalam tahun 1999. Menguatnya rupiah terhadap dollar juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, politik dan sosial yang membaik dalam negeri, namun juga kepercayan publik terhadap perekonomian Indonesia sedikit banyaknya membantu memperbaiki nilai tukar rupiah terhadap dollar. Memasuki tahun 2000 rupiah kembali melemah 35,14 persen.

Tekanan terhadap nilai tukar rupiah meningkat terus sejak bulan April 2000 (kwartal kedua) hingga kwartal keempat tahun 2000, sebagai akibat dari perkembangan politik dan keamanan menjelang Sidang Tahunan MPR Agustus 2000. Melemahnya rupiah ini berlanjut hingga tahun 2001 yaitu sebesar 660 poin. Pada pertengahan tahun 2001 (Juli 2001) terjadinya pengalihan kepemimpinan nasional, yang berdampak pada tahun 2002, sehingga kepercayaan pasar cenderung membaik yang di picu oleh harapan bahwa berakhirnya krisis politik dapat menjadi tumpuan bagi bangkitnya perekonomian Indonesia dari krisis yang berkepanjangan dan rupiah mengalami apresiasi sebesar 1.206 poin atau berada pada level Rp.9.049 per 1 dollar AS.  Memasuki tahun 2003, nilai tukar rupiah kembali melemah atau depresiasi sebesar 13,38 persen atau 1.211 poin. Hal ini disebabkan oleh memanasnya suhu politik akibat menjelang berakhirnya masa 5 tahunnya Presiden Megawati. Adanya ketegangan antara elit politik memicu buruknya harapan publik terhadap pasar baik publik asing maupun lokal. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar terus terjadi hingga tahun 2004, dimana melemah 0,03 persen atau 3 poin.

Setelah terjadinya pergantian tampuk Pimpinan Presiden Megawati ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui proses pemilihan langsung dan demokratis, membuat dunia bisnis kembali bergairah dan harapan publik terhadap perekonomian Indonesia pun mulai membaik. Akibatnya nilai tukar rupiah menguat terhadap dollar Amerika Serikat sebesar 4,22 persen atau 433 poin atau berada pada level Rp.9.830,-. Mengacu pada perbaikan indikator moneter, termasuk tingkat inflasi yang rendah, nilai tukar dollar hingga akhir 2006 sedikit menguat sebesar 6,42 persen atau 630 poin dimana mampu bertahan pada level Rp 9.200,-. Penguatan rupiah pada tahun ini didukung oleh faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal adalah karena masih dipengaruhi oleh ekonomi AS yang melemah karena terjebak defisit ratusan miliar dolar AS. Begitu pula faktor eksternal dari penguatan rupiah dipengaruhi pula oleh kestabilan harga minyak dunia, meski masih cukup tinggi. Sementara itu, dari sisi internal penguatan rupiah dipengaruhi oleh laju inflasi yang berada di bawah 10 persen dan menyebabkan suku bunga turun ke level 9,75 persen.

Alhasil, perbankan yang biasanya enggan menyalurkan kredit dan menaruh dana mereka ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tak lagi memiliki alternatif penyaluran dana yang lebih menguntungkan lagi. Menjelang akhir tahun 2007, gejolak rupiah kembali terjadi. Di tengah kebutuhan dollar AS yang tinggi, rupiah juga tidak bisa lepas dari masalah geopolitik serta sentimen global. Walaupun Pada awal tahun 2007 rupiah sedikit menguat namun pada akhir tahun rupiah melemah yang disebabkan karena besarnya permintaan korporasi terhadap dolar untuk keperluan pembayaran utang jatuh tempo. Suku bunga di beberapa negara yang

Page 6: kurs tugas

mengalami kenaikan, tingginya harga minyak dunia, rontoknya bursa saham akibat krisis ekonomi di AS berlanjut pada krisis kredit perumahan AS menjadi pendorongnya. Sehingga pergerakan rupiah hingga akhir tahun mengalami pelemahan tipis di level 9.425 per dollar AS, tapi relatif stabil di posisi 9.400.

PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN INDONESIA

Orde Baru

Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.

Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto.Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998.

Pasca Suharto

Page 7: kurs tugas

Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.

Pada 2010 Ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh pesat. PDB bisa dipastikan melebihin Rp 6300 Trilyun meningkat lebih dari 100 kali lipat dibanding PDB tahun 1980. Setelah India dan China, Indonesia adalah negara dengan ekonomi yang tumbuh paling cepat diantara 20 negara anggota Industri ekonomi terbesar didunia G20.

Ini adalah tabel PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia dari tahun ke tahun[2] oleh IMF dalam juta rupiah.

Tahun PDB

1990 233,013.290

1995 502,249.558

2000 1,389,769.700

2005 2,678,664.096

2010 6,422,918.230

Kajian Pengeluaran Publik

Sejak krisis keuangan Asia pada akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.

Page 8: kurs tugas

Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.

Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 miliar telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 miliar ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun 1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.

Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 miliar dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran total.

Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator

Page 9: kurs tugas

sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di Indonesia kedepannya.

Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun 2001 - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawah 1.0 persen dari PDB . Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen dari PDB. Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar 15 persen pada tahun 2006, menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik perkembangan Perbankan Indonesia.

A. Sejarah Perbankan

Dalam sejarahnya kegiatan perbankan dikenal mulai dari zaman Babilonia. Kegiatan perbankan ini kemudian berkembang ke zaman Yunasni kuno serta Romawi kuno. Pada saat itu kegiatan utama bank hanyalah sebagai tempat menukar uang oleh para pedagang antar kerajaan. Perkembangan perbankan di Indonesia juga tidak terlepas dari era zaman penjajahan Hindia Belanda tempo dulu.

B. Sejarah Perbankan di Indonesia

Memasuki tahun 1990-an BI mengeluarkan paket kebijakan yang berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR. Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tersebut diatur kembali struktur perbankan, ruang lingkup kegiatan, syarat pendirian, peningkatan perlindungan dana masyarakat dengan jalan menerapkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi persyaratan tingkat kesehatan bank, serta peningkatan profesionalisme para pelakunya. Dengan undang-undang tersebut juga ditetapkan penataan badan hukum bank-bank pemerintah, landasan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah), serta sanksi sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan pelanggaran ketentuan perbankan. Krisis Finansial terjadi pada Juli 1997 di Thailand yang mempengaruhi mata uang, bursa saham dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia. Peristiwa ini disebut krisis moneter (krismon) di Indonesia. Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand adalah negara yang paling parah terkena dampak krisis ini.Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis.

Page 10: kurs tugas

Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 miliar dolar, dan sektor bank yang baik.Tapi banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Pada tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 miliar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody’s menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi “junk bond”.

Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul pada neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesia, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B.J Habibie menjadi presiden. mulai dari sini krisis moneter indonesia memuncak.

A. Perkembangan Moneter Indonesia

Tahun 1999

Pemerintah telah mengambil keputusan untuk melakukan likuidasi terhadap 38 bank pada Maret 1999 ini. Keputusan pemerintah pada 13 Maret 1999 tersebut juga menetapkan 9 bank yang tetap beroperasi dengan mengikuti rekapitalisasi dan 7 bank yang diambil alih pemerintah serta 73 bank yang tetap beroperasi tanpa rekapitalisasi. Langkah mendasar dalam rangka penyehatan perbankan tersebut masih menghadapi iklim usaha yang kurang sehat seperti tingkat suku bunga deposito yang lebih tinggi daripada suku bunga kredit (negative spread). Suku bunga antar-bank juga relatif tinggi sekitar 37 persen untuk overnite pada akhir Maret 1999, yang mengindikasikan ketatnya kondisi likuiditas perbankan.Berdasarkan laporan mingguan dari Bank Indonesia (BI), menurunnya jumlah uang kartal pada minggu III Maret 1999 sebesar Rp 1,4 triliun dari posisi minggu II Maret 1999 mengindikasikan kembali tenangnya masyarakat setelah proses restrukturisasi perbankan diumumkan pemerintah. Sementara itu, perkembangan besaran moneter yang lain hingga akhir Maret 1999 menunjukkan posisi aktiva domestik bersih maupun cadangan devisa bersih berada pada tingkat memenuhi adjusted target yang ditetapkan oleh IMF.

Page 11: kurs tugas

Sedangkan dari laporan harian BI, transaksi devisa bank Indonesia menunjukkan surplus sebesar 9,3 juta USD dalam bulan Maret 1999. Posisi surplus ini tercapai berkat penerimaan devisa dari ekspor sebesar 134,8 juta USD, sementara penjualan devisa tercatat sebesar 125,5 juta USD. Dengan perkembangan ini diperkirakan cadangan devisa netto di akhir bulan Maret akan sedikit di atas 14,51 milliar USD yang tercatat pada minggu III Maret 1999.

Tahun 2009-2010

Perkembangan berbagai indikator ekonomi menjelang akhir tahun 2009 ditandai oleh terus berlanjutnya perbaikan kondisi makro ekonomi Indonesia. Perbaikan tersebut ditopang oleh meningkatnya optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi domestik dan global, serta terjaganya kestabilan makro ekonomi domestik. Pertumbuhan ekonomi tahun 2009 diprakirakan tumbuh 4,3%, inflasi tercatat sebesar 2,78%, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mencatat surplus, dan nilai tukar secara point-to-point menguat sebesar 15,65% dibandingkan dengan tahun lalu. Di tengah-tengah krisis global, berbagai kinerja yang cukup positif tersebut tidak terlepas dari daya tahan permintaan domestik yang kuat, sektor perbankan yang tetap sehat dan stabil, ekspektasi pemulihan ekonomi global yang semakin optimis, serta respons kebijakan fiskal dan moneter yang akomodatif dalam mendukung terjaganya perekonomian domestik. Di sisi domestik, konsumsi rumah tangga masih tumbuh pada level tinggi, didorong oleh stabilnya daya beli masyarakat serta keyakinan konsumen yang masih terjaga. Membaiknya ekspor dan tetap tingginya konsumsi mendorong optimisme pelaku usaha untuk meningkatkan investasi, terutama sejak pertengahan tahun 2009. Pada triwulan IV-2009, investasi diperkirakan tumbuh lebih tinggi yang tercermin antara lain pada peningkatan konsumsi semen dan  perbaikan pertumbuhan impor barang modal.

Dengan semakin membaiknya kondisi perekonomian tersebut, pertumbuhan ekonomi secara tahunan di kuartal IV-2009 diperkirakan akan mencapai sebesar 4,4%. Secara keseluruhan tahun 2009, perekonomian diperkirakan akan tumbuh sebesar 4,3%.Kebijakan moneter Bank Indonesia untuk mencapai sasaran inflasi sebesar 5±1% di tahun 2010 akan didukung oleh implementasi serangkai langkah kebijakan. Di sisi operasional, fokus kebijakan diarahkan untuk meningkatkan efektifitas transmisi kebijakan moneter, mengelola ekses likuiditas perbankan, dan menjaga volatilitas nilai tukar dalam rangka terjaganya ekspektasi inflasi masyarakat.  Di sisi struktural, upaya koordinasi dengan Pemerintah akan ditingkatkan untuk memitigasi dampak struktural inflasi yang bersumber dari masalah distribusi, tata niaga, dan struktur pasar komoditas bahan pokok. Untuk itu, Tim Pengendalian Inflasi yang merupakan tim lintas departemen yang terkait dengan pengendalian inflasi akan terus diefektifkan baik di pusat maupun di daerah.

Dengan mempertimbangkan bahwa tingkat BI Rate 6,5% masih konsisten dengan sasaran inflasi tahun 2010 sebesar 5% ±1% dan arah kebijakan moneter saat ini juga dipandang masih kondusif bagi proses pemulihan perekonomian dan berlangsungnya intermediasi perbankan,

Page 12: kurs tugas

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 6 Januari 2010 memutuskan untuk  mempertahankan BI Rate pada level 6,5% dengan koridor suku bunga yang juga tetap sebesar +/-50 bps di sekitar BI Rate, yaitu suku bunga repo sebesar 7% dan suku bunga FASBI sebesar 6%.

Kesimpulan

Kondisi perbankan di Indonesia semakin membaik meski tekanan krisis keuangan global semakin terasa. Hal tersebut terlihat dari berkurangnya keketatan likuiditas perbankan dan tumbuhnya total kredit perbankan. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Mulyaman D Hadad mengatakan, berdasarkan data perkembangan terakhir, keketatan likuiditas sudah berkurang. Dalam 2 bulan terakhir likuiditas mulai berkurang, tapi masih menjadi perhatian. Bertambahnya likuiditas perbankan tersebut karena ada pelonggaran ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) dan peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK), sedangkan total kredit tahun per tahun tumbuh 37,1 persen.Pejabat senior IMF Perwakilan Indonesia Milan Zavadjil juga menyatakan bahwa sistem perbankan di Indonesia mulai kuat dan memiliki modal serta kinerja bagus yang tercipta karena membaiknya sistem pengawasan perbankan. Zavadjil yang dikutip dari keterangan pers di website IMF menyebutkan kinerja perekonomian Indonesia secara umum sangat baik dalam 10 tahun terakhir dengan memperbaiki makro ekonomi dan stabilitas sistem keuangan terutama di sektor fiskal dan kebijakan moneter. Pernyataan ini sengaja dikeluarkan untuk meluruskan pemberitaan yang keliru oleh media-media di Indonesia mengenai penilaian atas ekonomi Indonesia dalam laporan IMF mengenai kondisi stabilitas sistem keuangan Indonesia yang dipublikasikan beberapa waktu lalu.

KRISIS Teluk belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, tapi prediksi ekonomi yang dikemukakan oleh beberapa pakar tampaknya cukup cerah. Ada yang memperkirakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1991-1992 antara 7 dan 8% serta laju inflasinya 8%. Bicara tentang masa depan, pada umumnya orang cenderung menyukai proyeksi cerah gemilang ketimbang gambaran yang benar tapi menyakitkan. Padahal, sebuah prediksi menjadi sangat penting karena ia bisa dimanfaatkan sebagai penunjuk arah yang tidak akan menyesatkan kita. Dan ketika Iwan Jaya Azis, 37 tahun, meluangkan waktu untuk wawancara dengan Isma Sawitri dari TEMPO, ekonom muda ini tak lupa membawa seberkas data. Jelas, ia tidak berpikir untuk menyenangkan, tapi juga tidak untuk menyesatkan. Iwan selalu bicara apa adanya, dan hampir selalu dengan angka. Berikut ini, prediksi Iwan Jaya Azis. Apakah Anda akan menampilkan nuansa-nuansa cerah untuk prospek ekonomi tahun 1991? Pertama-tama, kalau kita bicara prospek 1991, kita harus sepakat lebih dahulu tentang tahun 1990. Tampaknya, kita semua sudah sepakat, pertumbuhan tahun 1989-90 adalah 7,4%. Nah, kalau itu betul, maka prediksi saya, sepanjang dasawarsa yang lalu, tahun 1989 adalah tahun peak, tahun pertumbuhan

Page 13: kurs tugas

tinggi. Ya, Pak Sadli (ahli ekonomi) juga mengatakan begitu. Mungkin bedanya, Pak Sadli masih menduga, tahun 1990 itu laju pertumbuhan sama tingginya atau di atas 7%. Kalau hitungan saya sekitar 6,8%. Untuk tahun 1991, sedikit lebih rendah lagi, yaitu sekitar 6,6%. Tapi, ya, hampir sama. Setidaknya, kan ada penurunan.... Namun, itu sama sekali berbeda dengan mengatakan pertumbuhan ekonomi melambat. Saya rasa sama sekali berbeda. Angka 7,4% untuk tahun 1989 itu sedikit artifisial. Karena angka itu diperoleh sesudah dilakukan penyesuaian dengan angka dari BPS, terutama di sektor manufaktur. Namun, alasan utama mengapa kita tidak bisa mengatakan ekonomi kita tidak mengalami slow down, ya itu tadi, karena 7,4% itu artifisial. Jadi, sebetulnya angka 6,8% untuk tahun 1990 tidak lebih buruk dari 7,4% dari tahun 1989. Kalau misalnya yang benar itu sekitar 7% untuk tahun 1989, ya, 6,8% untuk tahun 1990 kan tidak lebih buruk, hanya terpaut 0,2%. Alasan kedua, Repelita V itu 5% lo targetnya. Dua tahun yang lalu tidak ada yang mimpi, pengamat ataupun pemerintah, bahwa laju pertumbuhan bisa di atas 6%. Jadi kalau 6,8% untuk tahun 1990 lalu 6,6% untuk tahun 1991, nah, itu masih tinggi, masih strong growth. Cuma, trendnya melambat. Mengenai inflasi, dugaan kita sekitar 10% untuk tahun 1990, 7,8% untuk tahun 1991, dan 7,1% untuk tahun 1992. Menurut Anda, apa achievement kita yang paling menonjol tahun 1990-91? Saya rasa achievement yang paling menonjol, sejak tahun 1986 sampai 1990 -- jadi empat tahun terakhir -- jelas ekspor nonmigas. Namun, mulai 1990-92, yang akan menonjol investasi swasta. Sedangkan investasi pemerintah tergantung harga minyak. Saya menduga dalam APBN, harga patokan minyak antara US$ 21 dan US$ 22 per barel.

Ini paling aman. Bagaimana dengan tingkat suku bunga? Tahun 1991, saya menduga suku bunga tidak akan beda banyak dengan 1990. Penurunan suku bunga hanya sedikit, dan itu pun baru terjadi tahun 1992. Dan yang menarik, kebijaksanaan uang ketat kan erat kaitannya dengan nilai tukar. Yang menarik, di tahun 1990 hubungan antara inflasi dalam negeri dan depresiasi nilai tukar hampir hilang, hampir nggak ada. Biasanya, kalau inflasi tinggi, depresiasi juga tinggi. Tahun 1990, inflasinya kira-kira 10%, tapi depresiasi rupiah terhadap dolar itu kira-kira 3%. Kecil. Sedangkan tahun 1989, inflasi 6,5% depresiasi 6,5%. Apa artinya itu? Artinya ada dua. Pertama, inflasi di luar negeri tahun 1990 juga naik. Karena begini, depresiasi kurs itu sebetulnya dipengaruhi bukan hanya oleh inflasi dalam negeri, tapi juga dipengaruhi inflasi luar negeri. Jadi, sebetulnya depresiasi kurs dipengaruhi oleh perbedaan inflasi luar negeri dan dalam negeri. Nah, kalau inflasi kita tinggi tapi inflasi di luar negeri juga tinggi, depresiasi kurs memang bisa rendah. Tapi kalau inflasi kita yang tinggi, inflasi luar negeri rendah, depresiasi rupiah terhadap dolar dengan sendirinya juga tinggi. Kedua, Pemerintah mungkin beranggapan, yang menentukan daya saing ekspor nonmigas kita tidak hanya kurs, tapi faktor lain, yakni deregulasi, kemudahan perizinan, keringanan bea masuk untuk impor barang modal asal produknya untuk ekspor, dan sebagainya.

Jadi, sekarang Pemerintah mulai melihat bahwa posisi rupiah terhadap US dollar sudah mulai agak stabil sehingga tidak perlu depresiasi besar-besar. Implikasi lainnya berarti sektor yang di luar kurs, seperti deregulasi, harus jalan terus. Harus lebih digenjot. Memang ada yang

Page 14: kurs tugas

mengkhawatirkan, kalau harga minyak naik, gairah untuk deregulasi berkurang, seperti sekitar tahun 1975 lagi. Tapi mudah-mudahan tidak. Sekarang tidak lagi tergantung pemerintah, tapi tergantung sektor industri, akan bagaimana. Jadi, sekarang soal mikro, bukan makronya. Kembali ke soal tingkat bunga, yang pada 1991 belum akan turun, bagaimana dampaknya terhadap gairah investasi? Kalau dilihat dari segi investasi asing, saya kira tidak akan terpengaruh oleh tingkat bunga. Sumber dananya kan dari luar. Sedangkan investasi domestik kan terbagi dua, yang menengah kecil dan yang besar-besar. Saya merasa usaha menengah kecil akan mengalami kesulitan kalau suku bunga tidak turun. Kalau begitu, apakah upaya untuk pemerataan akan terhambat? Secara absolut, pemerataan itu membaik, semua improved. Nyatanya, jumlah masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin kecil. Namun, secara relatif memburuk. Karena itu, di tengah ekonomi dengan tiga ciri yang mengandalkan swasta, ekspor, dan kekuatan pasar, harus ada supplement. Pertama, yang sifatnya seperti kebijaksanaan Tapos (mengenai saham koperasi), yang berupa imbauan. Kedua, KUK (Kredit Usaha Kecil). Ketiga, sistem alokasi anggaran harus lebih baik. Mengapa supplement? Karena kita tidak bisa mengharapkan trickle down effect. Saya tidak percaya pada trickle down effect. Sementara itu, kebijaksanaan Tapos, dalam dua tahun ke depan, mungkin belum akan membawa dampak langsung. Karena itu, saya kurang setuju kalau KUK itu dicabut. Yang bisa saya sarankan ialah, agar ketentuan 20% kredit yang harus disalurkan oleh bank pada pengusaha kecil hendaknya jangan diberlakukan terlalu ketat.

Nah, kalau kita biarkan ekonomi berjalan tanpa KUK, ekonomi akan parah, pemerataan akan parah. Berpikir tentang ini, maka supplement itu saya tambah satu lagi, yakni sistem pengawasan dan undang-undang atas sepak terjang sektor swasta. Menurut Anda, sudah sejauh mana keberhasilan policy deregulasi dalam menciptakan lapangan kerja? Tentang ini, ada dua pendapat. Pertama, strategi exportoriented sangat positif untuk penciptaan kesempatan kerja, dibandingkan strategi substitusi impor tahun 1970-an. Kedua, mismatch, ketidakcocokan antara kualitas dan jumlah tenaga kerja. Artinya, ketidakcocokan antara kualitas dan jumlah tenaga kerja yang meningkat terus, dengan demand dari sektor ekonomi. Makanya, ada sopir taksi yang sarjana, ada tenaga yang tidak siap pakai. Tapi, dilihat dari strategi ekonomi makro terhadap penciptaan kesempatan kerja, sekarang ini sudah baik. Bicara soal prospek bisnis, bagaimana Anda melihat potensi Indonesia Bagian Timur (IBT)? Perkembangan IBT akan cepat, begitu pula infrastruktur fisiknya akan lebih banyak. Dalam hal ini, harus diciptakan linkage (keterkaitan) antara konglomerat dan pengusaha lokal. Saya sangat percaya pada linkage. Saya tidak melihat alternatif lain kecuali linkage. Selain itu, walaupun sampai sekarang belum ada RUU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, saya merasa, sekali waktu desentralisasi ekonomi akan terlaksana dengan sendirinya. Mengapa? Pertama, kelak, pusat tidak akan mampu lagi mengatasi perkembangan daerah yang bagaikan pohon, akan bercabang-cabang banyak sekali. Kedua, pada suatu saat Pulau Jawa akan jenuh. Ini tak dapat dihindarkan karena daya dukung Pulau Jawa memang terbatas. Itulah kenyataan, sesuai dengan tuntutan zaman.

Page 15: kurs tugas