15

Click here to load reader

Lahan Kering Beriklim Basah

  • Upload
    zia

  • View
    28

  • Download
    6

Embed Size (px)

DESCRIPTION

.

Citation preview

MAKALAH MANAJEMEN AGROEKOSISTEMMANAJEMEN LAHAN BASAH DAN LAHAN KERING

Dosen Pengampu Prof Dr Ir Husni Th.Sebayang,MS

Disusun Oleh:

Kelompok 6

Andy Agus Cahyono

135040200111025

Fauziyah Ghina Tsamarah 135040200111033

Widya Castrena

135040200111078

Jefta Mayesti Damanik

135040201111010

Dinar Ristikawati

135040201111123

Kelas: CPROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2015

KATA PENGANTARBAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Potensi Sektor pertanian merupakan tumpuan utama penyediaan pangan bagi 249,9 juta penduduk Indonesia, penyedia sekitar 87% bahan baku industri kecil dan menengah, serta penyumbang 15% PDB dengan nilai devisa sekitar US $ 43 Milyar. Selain itu, sektor pertanian menyerap sekitar 33% tenaga kerja dan menjadi sumber utama pendapatan dari sekitar 70% rumah tangga di perdesaan (Badan Pusat Statistik 2013).

Di masa yang akan datang, sektor pertanian juga tetap menjadi salah satu andalan bagi ketahanan pangan dan energi nasional. Kebutuhan pangan dan juga energi akan terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan penduduk. Karena itu, pemerintah bersama ilmuan di bidang pertanian terus berusaha membuat inovasi-inovasi baru dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian.

Peningkatan produktivitas pertanian sangat bergantung dari budidaya yang baik dan tepat. Dalam budidaya, faktor pengelolaan atau manajemen agroekosistem sangatlah penting. Dalam pengelolaan agroekosistem, terlebih dahulu harus mengenali lahan yang akan ditanami, sehingga dapat mengetahui tanaman yang akan ditanam dan mendapatkan hasil yang optimal. Di Indonesia terdapat 2 macam lahan pertanian yaitu lahan basah dan lahan kering. Berdasarkan data BPS tahun 2012, total luas penggunaan lahan pertanian yaitu 39,9 juta Ha, 8 juta ha diantaranya merupakan lahan basah/sawah dan 31,9 juta ha merupakan lahan kering. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang permasalahan lahan basah dan lahan kering, serta mencoba memberikan solusi atas permasalahan tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

1. apa permasalahan yang dihadapi pada lahan basah dan pada lahan kering?

2. Bagaimana cara mengatasi permasalahan yang dihadapi pada lahan basah dan lahan kering?1.3 Tujuan

1. Mengetahui permasalahan pada lahan kering dan lahan basah2. Mengetahui solusi permalahan pada lahan kering dan lahan basah.1.4 ManfaatDapat mengetahui permasalahan pada lahan basah dan lahan kering serta dapat mengatasi masalah pada lahan basah dan lahan kering.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengelolaan Faktor-Faktor Lingkungan2.2 Lahan KeringMenurut Odum (1971) lahan kering adalah bagian dari ekosistem teresterial yang luasnya relatif luas dibandingkan dengan lahan basah. Kemudian menurut Hidayat dkk (2000) lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Lahan kering adalah lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya hanya mengharapkan dari curah hujan. Lahan kering berdasarkan iklim terbagi menjadi 2 yaitu :

2.2.1 Lahan kering beriklim basah (dryland-wet climate)

Lahan kering beriklim basah mempunyai curah hujan yang tinggi (>2000 mm/tahun) dan cukup lama, sehingga air cukup tersedia dan peluang masa tanam cukup lama (8-12 bulan). Akan tetapi tingginya curah hujan menyebabkan terjadinya pencucian sebagian besar kation/ hara yang cukup intensif, unsur hara juga banyak hilang karena erosi dan aliran permukaan yang tinggi, sehingga kesuburan fisik-kimia tanah menjadi rendah.

Kendala lahan kering beriklim basah yang paling menonjol adalah tingkat produktivitasnya yang rendah. Tahah di wilayah ini umumnya didominasi oleh Ultisols dan Oxisol yang merupakan tanah-tanah bereaksi masam (pH rendah) dan miskin unsur hara, kadar bahan organic rendah, kandungan besi dan mangan tinggi, sering peka eroi. Pola tanam yang kurang sesuai dengan potensi dan kondisi lahan yang mendorong kepekaan erosi,sehingga perlu tindakan konservasi secara dini. Selain itu efisiensi pemupukan rendah karena N dan K dari pupuk mudah tercuci, dan P terfiksasi oleh Fe dan Al. (Wahyunto dan Rizatus, 2013)

Kemasaman merupakan kendala utama di tanah sulfat masam. Sumber kemasaman ini berasal dari senyawa pirit (FeS2) yang teroksidasi melepaskan ion-ion hidrogen dan sulfat yang diikuti oleh penurunan pH menjadi sekitar 3. Keadaan tersebut menyebabkan kelarutan Al meningkat sehingga hampir semua tanaman budidaya, termasuk padi tidak dapat tumbuh secara normal. Pengapuran pada awalnya dianggap mampu mengatasi permasalahan tersebut, akan tetapi karena tanah sulfat masam memiliki pH yang berfluktuasi bergantung musim, maka ternyata pengapuran tersebut tidak efektif. (Ahfyanti dan Dwi, 2008).

Tingginya tingkat kelarutan Al pada tanah-tanah masam dapat ditanggulangi melalui pemberian kapur (Ca2+), namun cara ini membutuhkan biaya tinggi serta cenderung merusak lingkungan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa batuan kapur alami juga mengandung logam-logam berat yang dapat membahayakan lingkungan. Di samping itu pemberian kapur yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan berkurangnya tingkat ketersediaan hara-hara mikro tanah yang diperlukan tanaman. Dengan demikian perlu dicarikan alternatif penurunan kadar Al terlarut ini dengan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan. Salah satu cara yang mungkin dapat dikembangkan adalah memanfaatkan jenis-jenis tumbuhan yang mampu mengakumulasi Al pada jaringannya tanpa mengakibatkan keracunan unsur ini pada tanaman yang bersangkutan. Melastoma malabathricum L. adalah salah satu jenis tumbuhan yang dikenal mampu menyerap Al dalam jumlah yang tinggi dan tidak menunjukkan gejala keracunan Al. Hasil penelitian Watanabe et al. (1998) dalam Suhardi (2012) menunjukkan bahwa Melastoma malabathricum L. mampu mengakumulasi Al pada daun muda, dewasa, tua dan akar masing-masing sebanyak 8.000, 9.200, 14.400 dan 10.400 ppm Al dengan tidak menunjukkan keracunan Al. Penurunan kadar Al ini diharapkan pada gilirannya juga akan meningkatkan ketersediaan P serta memperbaiki efisiensi serapan P oleh tanaman. Dengan demikian pemanfaatan Melastoma malabathricum L. ini untuk menurunkan kandungan Al larut serta meningkatkan ketersediaan P tanah adalah sangat mungkin (Suhardi, 2012).

Keracunan Fe atau bronzing dapat menyebabkan pertumbuhan padi terhambat, menurunkan produktivitas tanaman dan kematian tanaman (Jenning et al., 1979 dalam Suhartini, 2004). Penyebab utama dari keracunan Fe di berbagai daerah dapat beragam, keracunan Fe dapat terjadi pada keadaan pH rendah, besi terlarut tinggi, kadar kation rendah, KTK rendah atau kombinasi berbagai faktor tersebut (Ottow et al., 1982 dalam Suhartini, 2004). Keracunan Fe merupakan gejala fisiologis yang kompleks yang disebabkan oleh kondisi tanaman meliputi fisik, hara, fisiologik, dan kondisi tanah yang mengandung Fe berlebihan (Ottow et al., 1989 dalam Suhartini, 2004). Gejala tanaman padi keracunan Fe ditandai oleh daun berwarna oranye atau bronzing, pembungaan terhambat, proses sintesis terhenti, tanaman menjadi kerdil, bagian akar menebal dan berwarna coklat, kasar, dan pendek. Pada kondisi yang parah batang dan daun menjadi busuk dan tanaman akhirnya mati. Tahapan keracunan besi pada padi menurut Ottow et al. (1989) dalam Suhartini (2004) terdiri atas dua fase. Pertama, fase 7 hari setelah penggenangan (stress pemindahan bibit). Pada fase ini akar belum mampu mengoksidasi kelebihan ferro menjadi ferri selama penggenangan. Dengan kata lain, mekanisme excluding powernya belum berfungsi. Akibatnya ion ferro yang berlebihan akan banyak terserap oleh tanaman. Kedua, fase antara primordia dan berbunga yang disebabkan oleh tidak efektifnya mekanisme akar untuk menolak ferro akibat makin permeabilitasnya akar tanaman. Namun gejala keracunan Fe dapat terlihat pada setiap stadia pertumbuhan, dan sebaiknya dievaluasi pada fase anakan maksimum dan primordia (Van Breeman and Moormann, 1978 dalam Suhartini, 2004). Tanaman yang kekurangan hara makro akan menunjukkan perubahan drastis dalam metabolisme. Kekurangan K atau Ca menambah permeabilitas dan kerusakan metabolit. Pada tanaman yang kekurangan K dan molekul penyusun metabolit tanaman rendah akan mengalami hambatan dalam menyusun bentuk molekul tinggi karena beberapa proses sintesis terhenti. Dengan demikian, tanaman yang kecukupan hara mampu melindungi lapisan akar, permeabilitas akar terkontrol dan akar tanaman memiliki kapasitas oksidasi yang kuat dan reduksi besi rendah (Suhartini, 2004). Kombinasi pemupukan N, P, K dengan pengapuran dan penggunaan bahan organik merupakan teknologi yang baik untuk menanggulangi keracunan Fe (Kasno, 2009).

Upaya atau teknologi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah keracunan Fe pada tanaman padi adalah dengan penggunaan asam humat yang diperoleh dari berbagai jenis bahan organik dan pengelolaan air. Pengendalian keracunan Fe dengan pengelolaan air dapat terjadi melalui pencucian Fe larut dan oksidasi besi larut (Fe2+) menjadi besi tidak larut (Fe3+). Dengan pengelolaan air secara terus menerus selama pertumbuhan tanaman padi diharapkan dapat menekan bahaya keracunan Fe. Pengaturan drainase dapat menurunkan kadar Fe2+ dan Mn2+ di tanah, meningkatkan serapan hara makro dan menurunkan kadar Fe dan Mn di tanaman. Namun interval drainase yang tepat belum ditemukan, untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Asam humat memiliki peranan besar dalam memperbaiki tingkat kesuburan tanah baik secara kimia, fisika maupun biologi. Asam humat dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kapasitas memegang air tanah dan kapasitas tukar kation tanah serta dapat menurunkan kelarutan unsur yang dapat meracun seperti Fe dan Al melalui pembentukan senyawa metal organo komplek atau khelat. Asam humat dapat diekstrak dari sisa-sisa tanaman, pupuk organik, dan berbagai jenis bahan organic yang telah didekomposisikan seperti tanah gambut, jerami padi, pupuk kandang, sampah kota, dan alang-alang (Anonimous, 2011).

Untuk mengoptimalkan sistem pertanian berkelanjutan dan budidaya tanaman di daerah berlahan kering beriklim basah para petani harus menggunakan kaidah-kaidah yang dapat memberikan hasil optimal pada pertaniannya dan juga harus memperhatikan berbagai aspek yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kondisi lingkungan, seperti:

Perlunya pengolahan tanah yang baik. Pemberian pupuk organik pada lahan kering. Pembuatan teras, agar permukaan tanah yang miring menjadi bertingkat-tingkat untuk mengurangi kecepatan air yang meresap kedalam tanah. Melakukan konservasi secara kultur teknis. Penggunaan varietas unggul yang tahan terhadap kekeringan. Melakukan pola tanam yang efektif.

2.2.2 Lahan kering beriklim kering (dryland dry climate)2.2.3 Lahan dataran tinggi (high altitude area)

2.3 Lahan Basah

2.3.1 Lahan sawah beririgasi (Irrigated Lowland)

2.2.4 Lahan sawah tadah hujan (rainfed lowland)

2.3.2 Rawa lebak dan pasang surut (swampy/tidal areas)

DAFTAR PUSTAKAAhfyanti dan W.W. Dwi. 2008. Pemilihan Bahan Amelioran Untuk Mengatasi Keracunan Aluminium Pada Tanaman Padi di Tanah Sulfat Masam. http://repository.ipb.ac.id diakses tanggal 28 Mei 2012.

Anonimous. 2011. Upaya Pengendalian Keracunan Besi (Fe) dengan Asam Humat dan Pengelolaan Air Untuk Meningkatkan Produktifitas Tanah Sawah Bukaan Baru. http://www.hydro.co.id. diakses tanggal 28 Mei 2012

Kasno, A. 2009. Keracunan Besi Sawah Bukaan Baru dan Penanggulangannya. http://pustaka.litbang.deptan.go.id akses tanggal 28 Mei 2012

Odum, E. P., 1971. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Suhardi. 2012. Peran Tumbuhan Akumulator Alumunium (Melastoma malabathricum L.) terhadap Ketersediaan P pada Tanah Ultisol.Program Studi Tanah Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian UNIB. http://www.himita.freehomepage.com diakses tanggal 28 Mei 2012.

Suhartini, T. 2004. Perbaikan Varietas Padi untuk Lahan Keracunan Fe. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. Buletin Plasma Nutfah Vol.10 No.1.

Wahyunto dan Rizatus Shofiyati. 2013. Prospek Pertanian Lahan Kering Dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta