Upload
arini-eka-pratiwi
View
262
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Praktikum Farmakologi
Eksperimen-Eksperimen Dasar 1
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
“Eksperimen-Eksperimen Dasar”
Laboratorium Farmakologi, Selasa, 26 Maret 2013
Disusun Oleh :
Kelompok 5 - Farmasi IV D
Nova Sari Aulia 1111102000098
M. A. W. Kharurrijal 1111102000102
Putri Nur Handayani 1111102000104
Ahmad Fauzi 1111102000105
Ana Yuliana 1111102000109
Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2013
DAFTAR ISI
Praktikum Farmakologi
Eksperimen-Eksperimen Dasar i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………....... i
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................... 1
1.2 Tujuan Praktikum ……………………………………………………………................... 2
1.4 Manfaat Praktikum ……………………………………………………………................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori ……………………………………………………...............................… 3
BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Judul Praktikum................................................................................................................. 10
3.2 Waktu dan Tempat ……………………………………………....…………...........…… 11
3.3 Alat dan Bahan ………………………………………………………....................……. 11
3.4 Cara Kerja ……………………………………………………………................………. 11
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil ……………………………………………………………...................………....... 12
4.2 Pembahasan ……………………………………………….....................………………. 12
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan …………………………………………………….............…………….…. 15
5.2 Saran …………………………………………………………………………...........….. 16
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………........……… 17
Praktikum Farmakologi
Eksperimen-Eksperimen Dasar 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tindakan pemberian obat menjadi salah satu tindakan penting seorang
farmasis dalam menjalankan peran kolaborasinya.Saat memberikan obat pada pasien
perawat perlu memperhatikan aspek enam tepat yang meliputi: tepat pasien (right
client), tepat obat (right drug), tepat dosis (right dosis), tepat waktu (right time), tepat
cara (right route) dan tepat dokumentasi (right documentation). Rute pemeberian obat
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat. Terdapat berbagai rute
pemberian yaitu, oral, subkutan, intravena, intraperitoneal, intramuskular, rektal, dan
topikal. Rute pemberian dipilih berdasarkan efek yang diinginkan.
Praktikum kali ini yaitu praktikum Eksperimen-Eksperimen Dasar merupakan
praktikum yang mempelajari cara-cara pemberian obat melalui beberapa rute
pemberian dengan menggunakan obat dizepam. Penting untuk farmasis mengetahui
cara pemberian obat melalui beberapa rute pemberian. Terutama untuk menguji
bagaimana efektivitas suatu obat apabila ingin diuji ke hewan uji contohnya mencit.
Contohnya diazepam, yang merupakan sedatif atau penenang efeknya dapat beragam
bergantung rute pemberiannya. Bila pemberian intravena tidak hati-hati dapat
mengakibatkan shock dan depresi pernafasan.
Oleh karena itu, penting bagi seorang mahasiswa farmasi untuk mempelajari
berbagai rute pemberian tersebut, terkait dengan pentingnya rute pemberian obat
karena apabila ingin menguji suatu sediaan ke hewan uji, kita harus mengetahui
berbagai rute pemberian tersebut dan itu sangat penting didalam bidang farmasi,
contohnya pada penelitian, pembuatan sediaan, dan lain-lain yang berhubungan
dengan uji efektivitas sediaan farmasi.
Praktikum Farmakologi
Eksperimen-Eksperimen Dasar 2
1.2 Tujuan Praktikum
Mengenal teknik-teknik pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat
Menyadari berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efeknya
Dapat menyatakan beberapa konsekuensi praktis dari pengaruh rute pemberian
obat terhadap efeknya
Mengenal manifestasi berbagai obat yang diberikan
1.3 Manfaat Praktikum
Praktikum kali ini dapat memberikan pengetahuan mengenai berbagai rute
pemberian, pengaruh rute pemberian, dan manifestasi berbagai obat yang diberikan
dalam berbagai rute pemberian.
Praktikum Farmakologi
Eksperimen-Eksperimen Dasar 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Ditinjau dari segi isitem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana
faktor keturunan dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang
terlihat/karakteristik hewan percobaan, maka ada 4 golongan hewan yaitu :
1. Hewan liar.
2. Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka.
3. Hewan yang bebas kuman spesifik pathogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan
system barrier (tertutup).
4. Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara
dengan system isolator sudah barang tetntuu penggunaan hewan percobaan
tersebut diatas disesuaikan dengan macam percobaan biomedis yang akan
dilakukan. Dengan demikian, apabila sustu percobaan dilakukan terhadap hewan
percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan percobaan
konvensional ilmiah maupun hewan yang bebas kuman (Sulaksonono, M.E.,
1987)
Obat mempunyai waktu absorpsi, waktu distribusi, dan eliminasi yang berbeda.
Untuk menhasilkan efek yang spesifik, suatu obat harus tersedia dalam konsentrasi
yang tepat di tempat kerjanya.
Absorpsi menerangkan laju obat ketika meninggalkan tempat pemberiannya
dan jumlahnya. Namun, klinisi terutama mementingkan suatu parameter yang dikenal
sebagai ketersediaan hayati, dibanding absorbsi. Ketersediaan hayati adalah sitilah
yang digunakan untuk menunjukkan jumlah fraksi suatu dosis obat yang mencapai
tempat kerjanya atau cairan tubuh yang akan dilewati obat sebelum mencapai tempat
kerjanya. Sebagai contoh, obat yang diberikan secara oral, harus diabsorbsi pertama
kali dari lambung dan usus tetapi mungkin hal ini dibatasi oleh sifat-sifat bentuk
sediaan dan sifat fisikokimia obat. Selanjutnya obat akan melalui hati, tempat
metabolisme dan ekskresi empedu dapat terjadi sebelum obat mencapai sirkulasi
Praktikum Farmakologi
Eksperimen-Eksperimen Dasar 4
sistemik. Dengan demikian, sejumlah fraksi dosis yang diberikan dan diabsorbsi akan
mengalami inaktivasi atau penguraian sebelum obat dapat mecapai sirkulasi darah dan
terdistribusi sampai ke tempat kerjanya. Jika kapasitas metabolik dan ekskresi hati
untuk obat tersebut besar, ketersediaan hayati obat tersebut akan berkurang (first past
effect).
Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya
obat yang diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek
terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat member efek obat secara local atau sistemik.
Efek sistemik diperoleh jika obat beredar keseluruh tubuh melalui peredaran darah,
sedang efek lokal adalah efek obat yang berkerja setempat semisalnya salep (Anief,
1990 ).
Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara :
a. Oral melalui saluran gastrointestinal atau rectal.
b. Parenteral dengan cara intravena, intra muskuler dan subkutan.
c. Inhalasi langsung ke dalam paru – paru.
Efek lokal dapat diperoleh dengan cara :
a. Intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan ada mata, hidung, telinga.
b. Intrarespiratoral, berupa gas masuk paru – paru.
c. Rectal, uretral dan vaginal, dengan jalan dimasukan ke dalam dubur, saluran
kencing dan kemaluan wanita, obat meleleh atau larut pada keringat badan atau
larut dalam cairan badan.
Pilihan rute pemberian obat harus didasarkan atas beberapa faktor yaitu faktor
anatomis, fisiologis, patologis, dan lain-lain. Rute pemberian yang umum digunakan
adalah oral dan parenteral. Penggunaan oral merupakan cara yang paling umum
digunakan dalam pemberian obat karena rute ini paling aman, nyaman, dan murah.
Kerugian rute oral antara lain terbatasnya absorpsi beberapa obat karena sifat fisik,
muntah sebagai akibat iritasi pada mukosa saluran pencernaan, terurainya obat oleh
enzim pencernaan atau pH lambung yang rendah, absorpsi obat yang tidak teratur atau
terganggu dengan adanya makanan atau obat lain, dan diperlukannya kerjasama
dengan pasien. Sedangkan sediaan parenteral umum digunakan biasanya bila ingin
Praktikum Farmakologi
Eksperimen-Eksperimen Dasar 5
mendapatkan efek terapeutik yang cepat, karena dalam pemberian parenteral efek
terapeutik yang dihasilkan jauh lebih cepat daripada pemberian oral. Sediaan injeksi
parenteral memiliki kelebihan tersendiri jika dibandingkan dengan sediaan oral.
Pemberian parenteral penting untuk obat yang dihantarkan dalam bentuk aktif. Oleh
karena itu, dosis efektif dapat diberikan dengan lebih akurat.
A. Pemberian Oral
Absorpsi dari saluran pencernaan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti luas
permukaan tempat absorpsi, aliran darah ke tempat absorpsi, keadaan fisik obat
(larutan, suspensi, atau bentuk sediaan padat), kelarutannya dalam air, dan
konsentrasi di tempat absorpsi. Untuk obat yang diberikan dalam bentuk sediaan
padat, laju disolusi dapat menjadi faktor pembatas dalam proses absorpsi., terutama
jika obat memiliki kelarutan yang rendah dalam air. Karena sebagian besar absorpsi
obat melalui saluran pencernaan terjadi melalui proses transpor pasif, absorpsi lebih
mudah terjadi jika obat dalam bentuk tidak terionisasi dan lebih lipofil.
Obat yang dirusak oleh cairan lambung atau yang menyebabkan iritasi lambung,
kadang-kadang diberikan dalam bentuk disalut yang dapat mencegah terlarutnya
sediaan di dalam cairan lambung yang bersifat asam.
B.Pemberian Sublingual
Pemberian sublingual biasanya diberikan jika tempat absorpsi obat yang diinginkan
adalah mukosa oral. Contohnya nitrogliserin, obat ini efektif jika diberikan secara
sublingual, karena sifatnya non-ionik dan memiliki kelarutan dalam lipida yang
sangat tinggi. Oleh karena itu, obat akan diabsorpsi dengan sangat cepat. Obat yang
diabsorpsi melalui mukosa oral dari vena mulut menuju vena cava superior, obat
akan terhindar dari metabolisme lintas-pertama yang cepat di hati, yang cukup
mencegah adanya molekul aktif nitrogliserin di dalam sirkulasi sistemik jika tablet
sublingual tertelan.
C.Pemberian Rektal
Pemberian obat dengan rute rektal sangat berguna jika pemberian oral tidak dapat
dilakukan karena pasien tidak sadar atau muntah, biasanya digunakan pada anak-
Praktikum Farmakologi
Eksperimen-Eksperimen Dasar 6
anak. Sekitar 50% obat yang diabsorpsi melalui rektum tidak akan melewati hati
karena kemungkinan terjadinya first past effect di hati lebih kecil dibandingkan
dengan rute oral. Kerugiannya adalah banyak obat yang dapat menyebabkan iritasi
terhadap mukosa rektum.
D. Injeksi Parenteral
Pemberian obat rute parenteral yang utama adalah intravena, subkutan, dan
intramuskular. Absorbsi subkutan dan intramuskular terjadi melalui difusi sederhana
mengikuti gradien dari depot obat ke dalam plasma. Laju absorpsinya dibatasi oleh
luas membran kapiler di tempat absorpsi dan kelarutan obat di dalam cairan
intestinal.
1. Intravena
Penghantaran obat pada pemberian intravena dikontrol dan dicapai secara
akurat dan cepat, hal yang tidak mungkin dicapai oleh rute pemberian lain.
Larutan tertentu yang bersifat iritan dapat diberikan dengan rute intravena,
karena dinding pembuluh darah relatif tidak sensitif dan obat jika
diinjeksikan secara perlahan akan terencerkan oleh darah. Selain keuntungan,
rute intravena juga memiliki kekurangan yaitu reaksi yang tidak diharapkan
kemungkinan dapat terjadi, karena obat dengan konsentrasi tinggi cepat
tercapai dalam plasma dan jaringan. Karena itu sebaiknya sediaan diberikan
secara lambat atau perlahan, tidak diberikan melalui injeksi segera, disertai
pemantauan ketat terhadap respons pasien.
2. Subkutan
Obat yang diberikan secara subkutan biasanya obat yang tidak iritan terhadap
jaringan. Obat yang bersifat iritan dapat menyebabkan nyeri, nekrosis, dan
kerusakan jaringan. Laju absorpsi setelah pemberian obat secara subkutan
biasanya cukup konstan dan lambat sehingga memungkinkan timbulnya efek
yang tertunda. Contoh obat yang menggunakan rute pemberian subkutan
adalah sediaan suspensi insulin dan beberapa hormon dapat diberikan lebih
efektif dengan rute pemberian ini.
Praktikum Farmakologi
Eksperimen-Eksperimen Dasar 7
3. Intramuskular
Obat dalam larutan berair diabsorpsi sangat cepat setelah di berikan secara
injeksi intramuskular dan tergantung pada laju aliran darah di daerah
pemberian injeksi. Laju absorpsi sangat lambat dan konstan setelah
pemberian intramuskular jika obat yang diberikan dibuat dalam larutan
minyak atau disuspensikan dengan pembawa depo. Obat-obat yang bersifat
sangat iritan dengan pemberian subkutan dapat diberikan dengan rute
intramuskular.
4. Intraarteri
Obat diberikan langsung melalui injeksi ke dalam saluran arteri ditujukan
untuk melokalisasi efek obat dalam jaringan atau organ tertentu. Contohnya
pada pengobatan tumor hati atau kanker di kepala/leher. Zat-zat diagnostik
diberikan dengan cara ini.
5. Intratekal
Sawar darah-otak dan sawar darah-cairan serebrospinal sering kali menahan
atau memperlambat masuknya obat ke dalam SSP. Oleh karena itu, jika efek
obat diharapkan bersifat lokal dan cepat pada selaput otak atau aksis
serebrospinal seperti pada anestesia spinal atau infeksi akut pada SSP, obat
kadang-kadang diinjeksikan langsung ke dalam ruang spinl subaraknoid.
E. Absorpsi Pulmonal
Obat yang tidak menyebabkan iritasi, mengandung gas dan mudah menguap dapat
terhidap dan terabsorpsi melalui epitel paru-paru dan melalui membran muka saluran
pernafasan. Dengan rute pulmonal, obat lebih mudah memasuki aliran darah karen
luas permukaan paru-paru sangat besar. Selain itu, larutan obat dapat diatomisasi
dan tetesan halus di udara (aerosol) dihirup. Keuntungan rute ini adalah absorpsi
yang cepat ke dalam darah, dapat terhindar dari kehilangan akibat first past effect di
hati.
Praktikum Farmakologi
Eksperimen-Eksperimen Dasar 8
F. Pemakaian Topikal
Pemakaian topikal ditujukan untuk pemakaian luar. Ada beberapa tempat pemakaian
topikal, namun tempat yang sering digunakan adalah kulit.
1. Membran Mukosa
Obat yang digunakan pada membran mukosa konjungtiva, nasofaring,
orofaring, vagina, usus besar, uretra, dan saluran urin biasanya untuk efek
lokal. Absorpsi melalui membran mukosa mudah terjadi.
2. Kulit
Absorpsi melalui kuit dipengaruhi oleh luas permukaan tempat obat
dioleskan, dan kelarutannya di dalam lipid, karena epidermis berlaku sebagai
sawar lipid. Absorpsi melalui kulit dapat ditingkatkan dengan membuat
suspensi obat di dalam pembawa minyak dan menggosok sediaan tersebut
diatas kulit.
3. Mata
Pemakaian topikal pada mata bertujuan untuk memberikan efek lokal.
Absorpsi sistemik yang dihasilka akibat adanya aliran melalui saluran
nasolakrimal umumnya tidak dikehendaki. Namun biasanya dapat terjadi,
contohnya pada pemberian antagonis -adenergik.
Diazepam
Terapi medikamentosa untuk gangguan tidur (hipnotik) dan keadaan ansietas
akut (ansiolitik) didominasi oleh benzodiazepin (diazepam dan lorazepam). Secara
umum, obat-obat ini akan menginduksi tidur bila diberikan dalam dosis tinggi pada
malam hari dan akan diberikan sedasi serta mengurangi ansietas bila diberikan dalam
dosis rendah yang terbagi pada siang hari. Benzodiazepin mempunyai efek ansiolitik,
hipnotik, relaksan oto, antikonvulsan, dan amnesik, yang diduga disebabkan terutama
oleh penguat inhibisi yang diperantarai asam -aminobutirat (GABA) pada sistem
saraf pusat. GABA yang dilepaskan dari terminal saraf terikat pada reseptor GABAA,
aktivasi reseptor ini meningkatkan konduktansi Cl- neuron. Kompleks kanal Cl--
Praktikum Farmakologi
Eksperimen-Eksperimen Dasar 9
GABA juga mempunyai tempat reseptor yang memodulasi benzodiazepin. Hal ini
meningkatkan afinitas ikatan GABA dan memperkuat aksi GABA pada konduktansi
Cl- membran neuron. Barbiturat berperan pada tempat ikatan lain dan dengan cara
yang sama memperkuat aksi GABA. Dalam keadaan tidak ada GABA, benzodiazepin
dan barbiturat dosis rendah tidak mempengaruhi konduktansi Cl-.
Benzodiazepin banyak digunakan karena toksisitasnya yang tampaknya
rendah, tapi pada penggunaan terus menerus atau kronis dapat menyebabkan
gangguan kognitif, toleransi, dan ketergantungan. Untuk alasan ini, benzodiazepin
sebaiknya hanya digunakan selama 2-4 minggu untuk terapi ansietas berat dan
insomnia.
Praktikum Farmakologi
Eksperimen-Eksperimen Dasar 10
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Judul Praktikum
Eksperimen-Eksperimen Dasar
3.2 Waktu dan Tempat
Waktu dan Tanggal : Pukul 14:00 – 16:00, Hari Selasa/ 26 Maret 2013
Tempat : Ruang Bahan Lt. 1
3.3 Alat dan Bahan
Alat :
Alat suntik Timbangan hewan Stopwatch
Bahan :
Diazepam dosis 5 mg/kg BB Mencit
3.4 Cara Kerja
1. Siapkan mencit yang menjadi bahan eksperimen.
2. Hitung berat badan mencit tersebut.
3. Hitung dosis diazepam yang akan diberikan untuk mencit dengan rumus VAO.
4. Siapkan alat suntik yang berisi diazepam sesuai dosis dengan konsentrasi yang
ditentukan.
5. Suntikkan diazepam tersebut kepada objek percobaan secara SC, IV, IP, dan
IM.
6. Amati efek.yang terjadi pada mencit saat 15 menit, 30 menit, dan 45 menit
berikutnya.
7. Catat dan bandingkan hasilnya dengan rute pemberian lainnya.
Praktikum Farmakologi
Eksperimen-Eksperimen Dasar 11
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil
Tabel Data Hasil Percobaan
No.
Berat
Mencit
(kg)
VAO
(mL)
Rute
Pemberian
Mulai Efek
(menit ke-)
Righting
Reflex
(detik)
Kecepatan Pernafasan
( x /30 detik)
15’ 30’ 40’
1. 0,0230 0,0230 SC 7’ 00” 3 80 65 50
2. 0,0215 0,0215 IV 1’ 06” 3 87 90 89
3. 0,0240 0,0240 IP 1’ 46” < 1 70 54 74
4. 0,0278 0,0278 IP 9’ 53” < 1 65 88 75
5. 0,0252 0,0252 IM 22’ 21” < 1 65 60 67
6. 0,0270 0,0270 IM 3’ 20” < 1 77 63 70
** Ket :
S C : Sub Cutanous
I V : Intra Vena
I P : Intra Peritonial
I M : Intra Muscular
Hasil Perhitungan Dosis Diazepam untuk Mencit
Diket : Berat mencit = 0.0252 kg
Dosis diazepam = 5 mg/ kg BB
Konsentrasi diazepam = 5 mg/ ml
Praktikum Farmakologi
Eksperimen-Eksperimen Dasar 12
Perhitungan :
5.2 Pembahasan
Percobaan pada praktikum kali ini untuk mengenal teknik pemberian obat melalui
berbagai rute pemberian, serta menyadari efek yang ditimbulkan obat dari berbagai
macam rute pemberian terhadap hewan uji. Rute pemberian yang dimaksud yaitu
intravena, intramuskular, intraperitoneal, dan subkutan. Hewan uji yang digunakan
yaitu mencit dan obat yang digunakan yaitu diazepam yang termasuk golongan
hipnotik-sedativ.
Hal yang pertama dilakukan yaitu menghitung dosis diazepam yang akan
diberikan ke hewan uji, dimana dosis yang diberikan harus sesuai dengan bobot
Praktikum Farmakologi
Eksperimen-Eksperimen Dasar 13
hewan uji tersebut. Selanjutnya memberikan obat tersebut dengan berbagai macam
rute pemberian pada hewan uji yang berbeda.
Dari data hasil percobaan, dapat dilihat efek tercepat atau respon sensitivitas
tercepat yang terjadi pada hewan uji yaitu dengan rute pemberian intravena. Dan jika
diurutkan berdasarkan durasi paling cepat hingga paling rendah dari data didapatkan:
IV > IP > SC > IM. Hal ini dikarenakan dalam rute pemberian intravena, obat
langsung masuk ke jaringan sistemik yaitu langsung terdistribusi dan dibawa oleh
darah dalam pembuluh darah tanpa melewati barier atau membran-membran tertentu
seperti pada rute pemberian lainnya. Oleh karena itu, perbedaan cara pemberian obat
ke dalam tubuh akan mempengaruhi onset dan durasi dari obat serta menimbulkan
efek yang yang berbeda-beda. Pada pemberian secara intramuskular akan memberikan
onset paling lambat karena melalui membran atau barier dahulu sebelum masuk ke
dalam darah. Selain itu banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas obat
sehingga mempengaruhi efek yang ditimbulkan seperti sifat fisikokimia obat, jumlah
obat atau dosis yang diberikan, jenis kelamin, berat tubuh, dan keadaan fisik hewan
uji tersebut.
Salah satu yang mempengaruhi sifat fisikokimia obat yaitu kelarutannya.
Kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat yang
larut dalam air diserap cukup berat, tergantung dari aliran darah di tempat suntikan.
Obat yang sukar larut dalam air pada pH fisiologik akan mengendap di tempat
suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap, dan tidak teratur. Obat-
obat dalam larutan minyak atau bentuk suspensi akan diabsorpsi dengan sangat
lambat dan konstan.
Pada percobaan kali ini kami juga mengamati righting effect yaitu gerak reflek
mencit untuk bangun kembali setelah diterlentangkan. Pada mencit yang diberikan
suntikan intramuskular memberikan righting effect kurang dari satu menit, itu
menunjukkan bahwa onset obat dalam darah konstan. Sedangkan yang diberikan
secara intravena memberikan righting effect 3 menit, lebih lama karena kadar obat
diazepam dalam darah tinggi, menyebabkan efek yang lebih besar daripada pemberian
intramuskular.
Pada percobaan, kecepatan pernafasan mencit menurun setelah 30 menit dan
kembali normal setelah 40 menit. Penurunan kecepatan pernafasan setelah 30 menit
Praktikum Farmakologi
Eksperimen-Eksperimen Dasar 14
menunjukkan efek yang ditimbulkan oleh diazepam. Sedangkan setelah 40 menit,
kecepatan pernafasan mencit kembali ke keadaan semula yaitu menunjukkan kadar
diazepam di dalam darah sudah berkurang atau habis.
Pada percobaan ini terdapat penyimpangan yang terjadi, seperti terdapat mencit
yang ternyata resisten terhadap Diazepam yang diberikan. Adanya penyimpangan
tersebut mungkin disebabkan kesalahan yang dilakukan dalam percobaan. Adapun
kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi antara lain :
1) Penentuan dosis yang tidak tepat. Hal ini bisa disebabkan kesalahan pada
proses penimbangan hewan uji atau pembuatan larutan diazepam. Hewan uji
yang terlalu aktif sangat sukar untuk ditimbang sehingga mengakibatkan
kesalahan pengukuran bobot. Akibatnya dosis yang diberikan bisa saja
berlebih atau kurang dari yang seharusnya. Begitu juga apabila terjadi
kesalahan penimbangan uretan dan pencukupan volumnya bisa menjadikan
penyimpangan kesalahan menjadi lebih besar.
2) Mekanisme injeksi yang kurang benar. Hal ini dikarenakan setiap hewan uji
diperlakukan oleh praktikan yang berbeda-beda dengan skill dan pengalaman
yang berbeda-beda pula. Injeksi yang salah dapat mengakibatkan obat
terakumulasi dalam jaringan yang salah sehingga absorbsi dan distribusi obat
menjadi berbeda dari yang seharusnya. Injeksi yang salah juga bisa
mengakibatkan dosis obat yang masuk tidak sesuai dengan yang diharapkan
atau bahkan obat tidak masuk ke sirkualsi sistemik.
3) Tingkat resistensi dari hewan percobaan yang berbeda-beda. Hewan
percobaan yang lebih resisten tentu mengakibatkan onset dan durasi obat
menjadi lebih cepat dari pada seharusnya atau tidak timbul efek pada hewan
percobaan walaupun diberikan injeksi sesuai dosis yang telah ditentukan.
4) Kondisi hewan uji. Distribusi dan efek kerja diazepam dipengaruhi juga oleh
kondisi psikis dan raga hewan uji. Hewan uji yang banyak mendapatkan
perlakukan yang tidak sesuai bisa mengakibatkan stress sehingga kinerja
diazepam terganggu atau efek menjadi berkurang. Begitu pula juga dengan
kondisi kesehatan, kualitas genetik, serta nutrisi hewan uji.
Praktikum Farmakologi
Eksperimen-Eksperimen Dasar 15
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari data hasil percobaan, dapat dilihat efek tercepat atau respon sensitivitas
tercepat yang terjadi pada hewan uji yaitu dengan rute pemberian intravena
(IV).
Perbedaan cara pemberian obat ke dalam tubuh akan mempengaruhi onset dan
durasi dari obat serta menimbulkan efek yang yang berbeda-beda.
Berdasarkan percobaan, pemberian intramuskular (IM) yang paling lambat
menimbulkan efek pada mencit kami.
Pada percobaan kami, terdapat mencit yang ternyata resisten terhadap
Diazepam yang diberikan.
Kecepatan pernafasan mencit menurun pada saat kada
Kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi pada percobaan ini:
o Penentuan dosis yang tidak tepat, dikarenakan mencit yang kami
gunakan sangat hiperaktif sehingga sulit untuk ditimbang.
o Mekanisme injeksi yang kurang benar.
o Tingkat resistensi dari hewan percobaan, pada praktikum kali ini
mencit, yang berbeda-beda.
o Kondisi hewan uji. Kemungkinan stress pada mencit kami sangat besar
karena kurang terampilnya kami dalam memegang dan
memperlakukan mencit tersebut dan juga akibat adanya cahaya, karena
mencit fotophobia.
Praktikum Farmakologi
Eksperimen-Eksperimen Dasar 16
5.2 Saran
Sebaiknya mencit tidak terlalu banyak dipegang-pegang karena dapat membuat
mencit tersebut stress. Lalu pada saat penyuntikkan usahakan berhati-hati agar tidak
terjadi kesalahan yang dapat menyebabkan kematian pada hewan uji.
Praktikum Farmakologi
Eksperimen-Eksperimen Dasar 17
DAFTAR PUSTAKA
Goodman dan Gilman. 2012. Dasar Farmakologi Terapi Ed. 10. Jakarta: EGC
Mycek, Mary J. dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Ed. 2. Jakarta: Widya Medika
Neal, Michael J. 2006. Farmakologi Medis Ed. 5. Jakarta: Erlangga
Schmitz, Gary dkk. 2008. Farmakologi dan Toksikologi Ed. 3. Jakarta: EGC