37
1 Koridor : Bali-Nusa Tenggara Fokus Kegiatan : Peternakan LAPORAN TAHUNAN TAHUN PERTAMA PENELITIAN PRIORITAS NASIONAL MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA 2011-2025 (PENPRINAS MP3EI 2011-2015) FOKUS/KORIDOR PETERNAKAN/BALI-NUSA TENGGARA TOPIK KEGIATAN PENGENDALIAN PENYAKIT PARASITER PADA SAPI MELALUI POLA PEMBINAAN KELOMPOK TERNAK (BINAPOKTAN) Prof. Dr. drh. I Made Damriyasa MS (NIDN 0031126263) Prof. Dr. Drh. Nyoman Sadra Dharmawan MS (NIDN 0005105812) Drh. Anak Agung Gde Arjana Mkes (NIDN 0026125608) UNIVERSITAS UDAYANA NOPEMBER 2015

LAPORAN AKHIR MP3EI

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LAPORAN AKHIR MP3EI

  1  

Koridor : Bali-Nusa Tenggara Fokus Kegiatan : Peternakan

LAPORAN TAHUNAN

TAHUN PERTAMA

PENELITIAN PRIORITAS NASIONAL MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN

PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA 2011-2025 (PENPRINAS MP3EI 2011-2015)

FOKUS/KORIDOR PETERNAKAN/BALI-NUSA TENGGARA

TOPIK KEGIATAN

PENGENDALIAN PENYAKIT PARASITER PADA SAPI MELALUI POLA PEMBINAAN KELOMPOK TERNAK (BINAPOKTAN)

Prof. Dr. drh. I Made Damriyasa MS (NIDN 0031126263)

Prof. Dr. Drh. Nyoman Sadra Dharmawan MS (NIDN 0005105812) Drh. Anak Agung Gde Arjana Mkes (NIDN 0026125608)

UNIVERSITAS UDAYANA NOPEMBER 2015

Page 2: LAPORAN AKHIR MP3EI

  2  

 

Page 3: LAPORAN AKHIR MP3EI

  3  

RINGKASAN

Penyakit parasiter adalah salah satu penyakit pada sapi yang kebanyakan bersifat sub klinis serta menimbulkan kerugian ekonomi sangat tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model pengendalian penyakit parasiter yang efektif, murah dan ramah lingkungan berbasis partisipasi masyarakat melalui pembinaan kelompok ternak sapi. Sehingga penelitian ini berdampak langsung pada peningkatan produktivitas ternak yang dapat meningkatkan pendapatan peternak. Penelitian ini diawali dengan penentuan kelompok ternak binaan serta identifikasi parasit melalui pemeriksaan koproskopis dan serologis. Selanjutnya dilakukan penentuan faktor-faktor risikonya. Dengan diketahui peta dan data epidemiologi penyakit parasit pada sapi, dapat dipakai dasar dalam penentuan model strategi pengendaliannya. Data sosiodemografis anggota kelompok ternak binaan, sistem dan manajemen peternakan serta karakteristi peternakan diperoleh melalui kuisioner.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari pengambilan data melalui kuisioner dan pemeriksaan laboratorium diketahui bahwa status sosial ekonomi anggota kelompok tani binaan masih rendah sehingga tingkat kesejahteraannya juga rendah. Peternakan sapi merupakan satu satunya penunjang perekonomian kelompok ternak binaan dan sangat potensial untuk dikembangkan karena didukung oleh ketersediaan pakan ternak. Terkait dengan program pemberantasan penyakit parasiter, kelompok ternak binaan tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang penyakit parasiter serta dampaknya terhadap ternak. Dari hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan prevalensi penyakit parasit saluran pencernaan pada kelompok ternak binaan cukup tinggi. Juga ditemukan antibodi terhadap Neospora caninum pada sapi yang dipelihara oleh kelompok ternak binaan.

Dari data dan informasi yang diperoleh tersebut dapat dirumuskan program program pemberantasan penyakit parasiter berbasis partsisipasi peternak melalui pembinaan kelompok tani (BINAPOKTAN). Program tersebut akan dilaksanakan pada tahun 2016.

Page 4: LAPORAN AKHIR MP3EI

  4  

PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas terlaksananya penelitian ini, sehingga terwujud dalam laporan tahunan yang dapat kami sajikan berikut ini. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung terlaksananya penelitian ini. Utamanya kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang sebelumnya melalui P2M Dikti yang telah mendanai penelitian ini. Penelitian ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa dukungan mitra Dinas Peternakan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem serta Kelompok ternak Sapi Dukuh Sari, Wana Merta, Arta Wiguna dan Margi Lestari.

Penelitaian ini direncanakan selama dua tahun, oleh karena itu untuk tercapainay tujuan penelitian ini sangat diharapkan kritik, saran serta masukan sehingga hasil penelitian ini dapat bermanfaat terutama dalam meningkatkan produktivitas ternak sapi.

Jimbaran, 10 Nopember 2015

Tim Peneliti

Page 5: LAPORAN AKHIR MP3EI

  5  

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul 1

Halaman Pengesahan 2

Ringkasan 3

Daftar isi 4

Daftar Tabel 5

Daftar Gambar 6

Daftar Lampiran 7

Bab 1 Pendahuluan 8

Bab 2 Studi Pustaka 9

Bab 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 12

Bab 4 Metoda Penelitian 13

Bab 5 Hasil dan Pembahasan 14

Bab 6 Rencana Tahap Berikutnya 28

Bab 7 Kesimpulan dan Saran 30

Daftar Pustaka 31

Page 6: LAPORAN AKHIR MP3EI

  6  

DAFTAR TABEL

-

Page 7: LAPORAN AKHIR MP3EI

  7  

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Sebaran Kelompok Ternak Sapi di 7 Kecamatan di Kabupaten

Karangasem 14

Gambar 2. Sebaran jumlah anggota kelompok ternak binaan 16 Gambar 3. Rata-rata kepemilikan ternak pada masing-masing kelompok

ternak binaan 16

Gambar 4. Rata-rata penghasilan perbulan pada kelompok tani ternak 17

Gambar 5. Tingkat pendidikan anggota kelompok tani ternak 18 Gambar 6. Perbedaan tingkat pendidikan anggota masing masing

kelompok ternak. 18

Gambar 7. Perbedaan tingkat pendidikan anak masing masing kelompok ternak.

19

Gambar 7. Perbedaan lantai rumah pada masing masing kelompok ternak. 20 Gambar 8. Ketersediaan pakan pada kelompok ternak binaan 21 Gambar 9. Keragaman penggunaan pakan tambahan pada kelompok

ternak binaan 22

Gambar 10 Prevalensi parasit gastrointestinal pada sapi di masing-masing kelompok ternak binaan

23

Gambar 11. Seroprevalensi Neospora caninum 25

Page 8: LAPORAN AKHIR MP3EI

  8  

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Kuisioner Peternak 33 Lampiran 2. Kuisioner individu sapi 35  

Page 9: LAPORAN AKHIR MP3EI

  9  

BAB 1. PENDAHULUAN

Sapi Bali (Bibos banteng) merupakan salah satu jenis ternak potong asli Indonesia

yang sudah beradaptasi dengan lingkungan di daerah tropis. Populasi sapi bali di Indonesia

saat ini sekitar 4 juta ekor dan hanya sekitar 600 – 700 ribu ekor ada di Bali dengan

peningkatan populasi yang sangat rendah. Salah satu faktor yang menghambat

pertumbuhan populasi adalah rendahnya produktivitas akibat infeksi penyakit yang

berdampak pada pertumbuhan dan reproduksi. Diantara penyakit yang berbahaya dan

bersifat subklinis adalah infeksi parasit. Pada sapi terdapat 40 spesies Trematoda, 9 spesies

Cestoda, 63 spesies Nematoda, 2 spesies Acanthocephala, 2 spesies Hirudinida, 78 spesies

Arthropoda dan 50 spesies Protozoa.

Misalnya infeksi cacing pada saluran pencernaan sapi merupakan salah satu

penyakit infeksius yang bersifat subklinis (tanpa menunjukkan gejala klinis yang menciri)

dan menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi, misalnya di Belanda secara

ekonomi pernah dianalisis oleh Gross et al., (1999) bahwa kerugian ekonomi yang hanya

disebabkan oleh infeksi cacing nematoda mencapai 90 juta Euro per tahun. Kerugian ini

akibat penurunan berat badan atau terhambatnya pertumbuhan serta faktor pencetus

terjangkitnya penyakit infeksius lainnya yang disebabkan oleh virus maupun bakteri.

Kebutuhan daging di Indonesia terus meningkat sejalan dengan meningkatnya

jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya peran protein hewani. Pada

tahun 2012 kebutuhan daging diperkirakan mencapai 490.000 ton, dan yang bisa dipenuhi

oleh produksi ternak di dalam negeri hanya berkisar 82%, sedangkan sisanya dari import.

Pada tahun 2014 diharapkan import daging tidak lebih dari 10% dari kebutuhan daging

nasional. Ini artinya 90% produksi daging harus dapat dipenuhi dari produksi ternak di

dalam negeri. Untuk mencapai ini diperlukan peningkatan produktivitas ternak yang salah

satunya adalah dengan melakukan pembinaan pada kelompok kelompok ternak.

Seperti diketahui bahwa penggunaan obat antiparasit kimiawi yang tidak tepat

dapat berdampak munculnya resistensi parasit-parasit tertentu, serta rusaknya

keseimbangan ekosistem mikroorganisme non target. Hal ini akan berdampak pada

keruskan lingkungan. Umumnya penggunaan obat-obatan tersebut kurang mendapat

pengawasan dari dokter hewan. Sehingga urgensi dari penelitian ini selain untuk

meningkatkan produktivitas ternak juga untuk mencegah terjadinya resistensi parasit

terhadap obat serta mengurangi dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.

Page 10: LAPORAN AKHIR MP3EI

  10  

Di Indonesia, terutama peternakan sapi rakyat belum melakukan program

pengendalian penyakit parasit sehingga dapat diyakini bahwa penyakit ini merupakan

penyebab rendahnya produktivitas ternak sehingga berdampak pada rendahnya pendapatan

peternak dari usaha ternak yang dilakukan. Oleh karena itu diperlukan suatu program

pengendalian parasit pada sapi yang selektif dan efisien dengan melibatkan peternak

melalui pembinaan kelompok tani ternak (BINAPOKTAN).

BAB 2. STUDI PUSTAKA

Sapi Bali (Bibos banteng) merupakan salah satu jenis ternak potong asli

Indonesia yang sudah beradaptasi dengan lingkungan di daerah tropis. Hal ini tercermin

dari tingginya tingkat reproduksi dan sifat yang tidak terlalu selektif terhadap pakan yang

tersedia, sehingga sapi Bali sangat berpotensi untuk ditingkatkan produktifitasnya.

Populasi sapi bali di Bali selama lima tahun terakhir sekitar 600 – 700 ribu ekor. Salah satu

faktor yang menghambat pertumbuhan populasi adalah ketersediaan bibit sapi bali yang

berkualitas masih kurang. Kondisi ini sangat menghambat peningkatan produksi ternak

dalam upaya memenuhi swasembada daging tahun 2014. Oleh karena itu perlu upaya-

upaya yang lebih riil dalam meningkatkan populasi ternak yang salah satunya adalah

menyediakan bibit ternak dengan kualitas yang baik.

Badan Pusat Satatistik tahun 2010 menyatakan bahwa 99,81 % sapi dipelihara

secara tradisional oleh peternak kecil dengan skala 2 – 3 ekor. Dengan kondisi seperti ini

penanggulangan penyakit parasit tidak menjadi perhatian peternak. Salah satu yang

menghambat produktivitas ternak sapi adalah adanya penyakit parasit seperti cacingan atau

infeksi protozoa (Neospora caninum) yang menyebabkan gangguan reproduksi seperti

keguguran atau gangguan reproduksi lainnya.

Salah satu contoh penyakit cacingan pada sapi adalah Penyakit cacing hati

(fascioliasis/distomatosis) yang merupakan penyakit yang berlangsung akut, subakut, atau

kronik, disebabkan oleh trematoda genus Fasciola, Fascioloides, dan Dicrocoelium

(Kaufmann,1997). Pada tahun 1991 pernah dilaporkan bahwa kerugian ekonomi akibat

penyakit ini diperkirakan sekitar 500 milyar setiap tahun (Anonymous, 1990). Kerugian

tersebut akibat kerusakan hati yang harus diafkir, pertumbuhan terhambat serta kerugian

lainnya. Prevalensi fasciolosis pada sapi pernah dilaporkan mencapai 90% ( Suhardono et

al., 1991)

Page 11: LAPORAN AKHIR MP3EI

  11  

Contoh lain dari infeksi parasit (protozoa) pada sapi yang belakangan ini menjadi

pusat perhatian para pakar parasitologi dunia adalah neosporosis. Penyakit ini disebabkan

oleh protozoa Neospora caninum yang menyebabkan keguguran serta gangguan reproduksi

lainnya (Dubey et al., 2007 ). Di beberapa negara dilaporkan bahwa kerugian ekonomi

akibat penyakit ini pada sapi sangat tinggi, misalnya di California parasit ini menyebabkan

40.000 kassus keguguran pada sapi dengan kerugian diperkirakan $ 35 juta dolar per tahun

(Barr et al., 1998), di Australia dan New Zealand diperkirakan menyebabkan kerugian 100

juta dolar per tahun (Richel, 2000). Secara serologis penyakit ini juga ditemukan pada sapi

bali (Damriyasa et al., 2010). Hal ini mengindikasikan bahwa penyakit ini merupakan

ancaman terhadap populasi sapi bali.

Dwinata et al., (2009) melaporkan hasil pemeriksaan koproskopis pada sapi di

Kelompok ternak Kerta Nandini Kabupaten Badung ditemukan 87% sapi yang dipelihara

terinfeksi oleh cacing. Kondisi yang sama dapat diasumsikan terjadi juga pada kelompok

ternak lainnya di Bali. Dari uraian diatas maka untuk mengurangi dampak yang

ditimbulkan oleh penyakit parasit pada sapi, maka strategis yang tepat dan efisien serta

ramah lingkungan sangat mendesak perlu dilakukan.

Strategi dengan obat cacing (deworming) telah banyak dilakukan dan hasilnya

cukup memuaskan terutama pada ternak yang digembalakan (Williams et al, 1986).

Misalnya dengan pemberian salah satu obat cacing seperti Moxidectin yang merupakan

generasi kedua dari komponen endectocide yang sangat potensial membunuh endo dan

ektoparasit pada sapi (Hubert et al., 1995; Morin et al., 1996; Chick et al., 1993).

Pengendalian dengan obat-obatan kimiawi telah berhasil dilakukan dalam beberapa

dekade, namun belakangan ini diketahui dapat menyebabkan evolusi parasit tertentu.

Situasi ini menyebabkan fokus perhatian pengendalian tidak terlalu optimistis dengan

penggunaan obat-obatan kimia. Banyak dilaporkan adanya resistensi parasit tertentu

(Nematoda and Arthropoda) terhadap obat obatan kimia akibat penggunaan yang kurang

tepat. Penggunaan obat-obatan kimia secara masif dan kurang tepat juga dapat

menyebabkan kerusakan lingkungan karena membunuh ornasime yang bukan menjadi

target (non-target organisms). Penggunaan obat antiparasit kimiawi yang kurang tepat juga

dapat menyebabkan penurunan kualitas pupuk kandang serta mempengaruhi ekosistem

mikroorganisme pada kotoran sapi. Hal ini juga mempengaruhi ekosistem serangga yang

siklus hidupnya memerlukan kotoran sapi (Barth, 1993; Halley et al., 1989; Herd, 1995;

Page 12: LAPORAN AKHIR MP3EI

  12  

Lumaret et al., 1993; McKellar 1992; Wall and Strong 1987; Wrdhaugh et al., 1998;

Wardhaugh et al., 2001).

Mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan beberapa langkah antara lain;

pengobatan yang selektif, pengembangan organic breeding dengan membatasi penggunaan

obat-obatan kimia serta penggunaan obat-obatan herbal yang telah terbukti secara ilmiah

terbuksi sebagai antiparasit. Penggunaan obat-obatan kimia sebagai antiparasit yang

kurang efetif dan tidak selektif dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut ; (i) dampak

negatif terhadap perkembangan kekebalan alami (natural immunity), (ii) adanya residu

kimia pada daging atau produknya, (iii) dampak lingkungan, (iv) munculnya resistensi

parasit terhadap obat antiparasit tertentu (Ketzis et al., 2006; Stear et al., 2007; Bisset et

al., 2001). Obat anti parasit tertentu yang telah terbukti menimbulkan resistensi terutama

pada cacing nematoda adalah benzimidazole (Le Jambre et 1979), levamizole (Sangster et

al., 1998).

Dari kajian pustaka diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengurangi dampak

ekonomi akibat penyakit parasit pada sapi terutama pada peternakan tradisional sangat

mendesak dilakukan program pengendalian penyakit tersebut. Dalam program

pengendalian penyakit tersebut juga harus menjadi perhatian dampak negatif seperti

resistensi dan kerusakan ekosistem mikroorganisme yang ditimbulkan akibat penggunaan

obat obatan kimia yang kurang tepat. Oleh karena strategi pengendalian yang tepat untuk

wilayah Indonesia adalah pengendalian yang selektif, aman dan efisien berbasis

pemeriksaan laboratorium melalui pembinaan kelompok ternak (BINAPOKTAN).

 

Page 13: LAPORAN AKHIR MP3EI

  13  

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan tahun pertama bertujuan untuk:

a. Menentukan jenis dan prevalensi infeksi parasit pada sapi kelompok ternak binaan

serta faktor risiko penyakit tersebut

b. Menentukan strategi pengendalian parasit yang selektif dan efektif berbasis data

epidemiologi dan hasil pemeriksaan laboratorium, serta lebih mengutamakan obat

herbal yang tersedia

c. Meningkatkan pemahaman peternak tentang dampak infeksi parasit pada sapi, serta

pentingnya pengendalian penyakit tersebut pada sapi.

3.2. Manfaat Penelitian

Maanfaat yang diperoleh dari hasil penelitian tahun pertama dapat digunakan untuk

menentukan strategi pengendalian penyakit parasit pada sapi terhadap kelompok ternak

sapi binaan adalah peningkatan produksi, kualitas pedet yang dihasilkan lebih baik

sehingga harga jual ternak lebih tinggi. Hal ini akan meningkatkan kesejahteraan peternak

sehingga akan merangsang masyarakat sekitar kelompok ternak binaan menjadi anggota

kelompok. Dengan demikian kegiatan ini akan meningkatkan perluasan tenaga kerja.

Page 14: LAPORAN AKHIR MP3EI

  14  

BAB 4. METODE PENELITIAN

4.1. Penentuan Kelompok Ternak Binaan

Sasaran adalah kelompok ternak sapi di beberapa kecamatan di kabupaten

Karangasem Bali. Sebelum dilakukan penentuan kelompok ternak binaan dilakukan

penentuan lokasi. Kelompok ternak sapi binaan akan dipilih 4 kelompok ternak dengan

persyaratan kelompok sebagai berikut: a). kelompok peternak aktif yang terdaftar di Dinas

Peternakan Kabupaten/Kota , b). jumlah anggota minimum 40 orang, c) tidak bermasalah baik

dengan perbankan maupun sumber permodalan lainnya, dan d) bersedia menjadi kelompok

ternak binaan.

4.2 Survey Penyakit Parasit dan Analisis Situasi

Kegiatan ini diawali dengan pertemuan di masing masing kelompok ternak sapi untuk

mendapatkan data karakteristi manajemen peternakan pada kelompok ternak dan anggota

kelompok. Selanjutnya dilakukan kunjungan ke masing masing anggota untuk pengambilan

sampel darah dan tinja. Sampel darah dan tinja kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium

di Laboratorium Center for Studies on Animal Diseases (CSAD) FKH Unud. Pemeriksaan

laboratorium yang dilakukan seperti tabel berikut:

Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium pada Kelompok Ternak Binaan

No Sampel Metoda Tujuan 1. Darah Ulas darah Mengetahui parasit darah pada sapi misalnya Babesia

bovis, Tripanosoma spp.Theileria spp, Eperythrozoon spp, Ehrlichia bovis dll

2. Tinja SAF (Sodium Acetic Formal-dehyde)

Untuk mengetahui adanya infeksi cacing maupun protozoa yang berada atau stadiumnya ada pada saluran pencernaan seperti Toxocara vitulorum, Eimeria bovis, Fasciola spp dll

3. Serum ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay)

Untuk mendeteksi adanya infeksi Nesopora caninum (protozoa penyebab keguguran) dan Sisteserkus bovis (stadium kista cacing pita pada manusia)

Page 15: LAPORAN AKHIR MP3EI

  15  

BAB 5.

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penentuan Kelompok Ternak Binaan

Sebagai mitra dalam penelitian ini adalah Dinas Peternakan, Kelautan dan

Perikanan Kabupaten Karangasem, sehingga kelompok ternak binaan ditentukan di

Kabupaten Karangasem. Di wilayah Kabupaten karangasem terdapat 592 kelompok ternak

yang terdiri dari Kelompok ternak sapi, Kelompok ternak babi, Kelompok ternak itik dan

kelompok ternak ayam. Dari 592 kelompok ternak tersebut 524 (88,51%) merupakan

kelompok ternak sapi yang tersebar di 7 Kecamatan (Gambar1). Dengan demikian di

wilayah kabupaten Karangasem merupakan daerah yang sangat potensial dikembangkan

ternak sapi.

Gambar 1. Sebaran Kelompok Ternak Sapi di 7 Kecamatan di Kabupaten Karangasem

Dari 542 kelompok ternak sapi yang tersebar di 7 Kecamatan di Kabupaten

Karangasem, dilakukan kunjungan secara acak ke masing-masing kecamatan dengan

jumlah kelompok ternak sapi di masing masing kecamatan sebanyak 2 sampai 3 kelompok

ternak. Kunjungan ke masing masing kelompok ternak bersama dengan petugas Bidang

18  

92  

108  

64  

98  103  

41  

Manggis   Bebandem   Abang   Karangasem   Rendang   Kubu   Sidemen  

Page 16: LAPORAN AKHIR MP3EI

  16  

Produksi Ternak dari Dinas Peternakan, Kelaluatan dan Perikanan Kabupaten Karangasem.

Dalam kunjungan tersebut dilakukan wawancara dengan ketua kelompok ternak untuk

mengetahui profil kelompok ternak serta potensi untuk dilakukan program pembinaan

dalam meningkatkan produktivitas yang didukung oleh potensi pakan ternak yang bisa

menunjang kelangsungan kelompok ternak tersebut.

Secara acak dikunjungi 18 kelompok ternak yang tersebar di 7 kecamatan di

Kabupaten Karangasem. Kunjungan ke masing masing kelompok ternak diawali pada

bulan April 2015. Berdasarkan hasil kunjungan dan dilakukan diskusi dengan bidang

produksi Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem, maka

diputuskan program pembinaan kelompok ternak (BINAPOKTAN) dilakukan di dua

kelompok ternak sapi yaitu;

1. Kelompok Ternak Sapi Wana Merta

2. Kelompok Ternak Sapi Dukuh Sari

3. Kelompok Ternak Sapi Arta Wiguna

4. Kelompok Ternak Sapi Margi Lestari

Keempat kelompok ternak sapi tersebut berada di Banjar Keladian, Desa Pempatan,

Kecamatan Rendang. Kelompok ternak tersebut berlokasi di lereng selatan Gunung Agung

yang didukung oleh ketersedian pakan (rumput gajah) yang sangan memedai.

Kelompok ternak sapi Wana Merta terdiri dari 20 anggota dengan populasi sapi

183 ekor, kelompok ternak sapi Dukuh Sari terdiri dari 20 anggota dengan populasi sapi

sebanyak 167 ekor, Kelompok ternak Arta Wiguna terdiri dari 20 anggota dengan populasi

sapi sebesar 166 ekor, dan Kelompok ternak Margi Lestari terdiri dari 17 anggota dengan

populasi sebesar 128 ekor yang terdiri dari sapi induk, penggemukan dan pedet. Sapi di

keempat kelompok ternak sapi tersebut dilakukan pemeriksaan kondisi tubuh masing

masing sapi serta pendataan data sapi dan data peternak yang merupakan faktor risiko

penyakit parasiter. Data kondisi ternak dan faktor risiko diperoleh dengan menggunakan

kuisioner.

Empat Kelompok Tani Ternak (KTT) yang digunakan sebagai pilot projek dalam

penelitian ini meliputi KTT Arta Wiguna, KTT Margi Lestari, KTT Wana Merta dan KTT

Dukuh Sari. Keempat KTT tersebut berlokasi di Kecamatan Rendang Kabupaten

Karangasem Bali. Selanjutnya kelompok tani ternak tersebut kita gunakan sebagai

Page 17: LAPORAN AKHIR MP3EI

  17  

Kelompok Ternak Binaan (KTB). Sebanyak 77 anggota KTB digunakan sebagai peternak

sapi binaan dalam program ini dengan sebaran anggota kelompok ternak tersaji pada

gambar 2 berikut.

Gambar 2. Sebaran jumlah anggota kelompok ternak binaan

Rata-rata kepemilikan ternak pada masing masing anggota kelompok ternak adalah

sebanyak 8 ekor per anggota, yang secara rinci rata rata kepemilikan sapi disajikan pada

gambar 3 berikut:

Gambar 3. Rata-rata kepemilikan ternak pada masing-masing kelompok ternak binaan

KTT  Arta  Wiguna,  20  

KTT  Margi  Lestari,  17  

KTT  Wana  Merta,  20  

KTT  Dukuh  Sari,  20  

10.75  

5.76  6.35   6.5  

KTT  Arta  Wiguna   KTT  Margi  Lestari   KTT  Wana  Merta   KTT  Dukuh  Sari  

Page 18: LAPORAN AKHIR MP3EI

  18  

Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa keempat kelompok ternak binaan ini

mempunyai potensi pengembangan karena didukung oleh keberadaan pakan yang

memadai. Disamping itu kelompok ternak binaan memenfaatkan lereng gunung sebagai

lahan rumput gajah. Pemamfaatan ini selain untuk peternakan juga bermanfaat dalam

mencegah terjadinya erosi.

5.2. Sosiodemografi Kelompok Ternak Binaan

Indikator sosisodemografis kelompok ternak binaan pada program ini berdasarkan

penghasilan per bulan, kondisi rumah, kepemilikan barang seperti alat transportasi, tingkat

pendidikan kapala rumah tangga maupun anak.

Dari data rata rata penghasilan perbulan yang diperoleh menunjukkan bahwa rata

rata penghasilan perbulan dari anggota kelompok tani ternak adalahRp. 1.032.467. Rata-

rata penghasilan masing kelompok tani ternak disajikan pada gambar 4.

 

Gambar 4. Rata-rata penghasilan perbulan pada kelompok tani ternak

Dari data penghasilan perbulan menunjukkan bahwa kondisi ekonomi peternak

masih relative rendah, oleh karena itu perlu dilakukan pembinaan agar terjadi peningkatan

pendapatan peternak melalui peningkatan produktivitas ternak sapi yang dipelihara.

Rendahnya pendapatan peternak sangat terkait dengan tingkat pendidikan dari peternak

tersebut. Tingkat pendidikan peternak sebagian besar masih rendah yaitu Sekolah Dasar

dan Sekolah Menengah Pertama, seperti tersaji pada gambar 5.

845000  

582352.94  

1185000  

1450000  

KTT  Arta  Wiguna   KTT  Margi  Lestari   KTT  Wana  Merta   KTT  Dukuh  Sari  

Page 19: LAPORAN AKHIR MP3EI

  19  

Gambar 5. Tingkat pendidikan anggota kelompok tani ternak

Dari data tersebut menunjukkan bahwa hanya 6,5% anggota kelompok tani ternak

memiliki tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Bahkan tidak ada anggota

kelompok tani ternak yang memiliki tingkat pendidikan perguruan tinggi. Perbedaan

tingkat pendidikan untuk masing masing kelompok tani ternak secara statistik berbeda

signifikan, seperti tersaji pada gambar 6.

Gambar 6. Perbedaan tingkat pendidikan anggota masing masing kelompok ternak.

0  

70  

30  

0  

Tidak  Sekolah   SD   SMP   SMA  

0  

10  

20  

30  

40  

50  

60  

70  

80  

ARTA  WIGUNA   MARGI  LESTARI   WANA  MERTA   DUKUH  SARI  

Tidak  Sekolah   SD   SMP   SMA  

Page 20: LAPORAN AKHIR MP3EI

  20  

Tingkat pendidikan anak dari anggota kelompok ternak binaan 50,6% Dekolah

Dasar, 24,7% Sekolah Menengah Pertama, 22,1% Sekolah Menengah Atas dan masih ada

2,6% tidak sekolah. Perbedaan tingkat pendidikan anak pada masing-masing kelompok

ternak binaan tersaji pada gambar 7.

Gambar 7. Perbedaan tingkat pendidikan anak masing masing kelompok ternak.

Hampir seluruh (98,7%) anggota kelompok ternak merupakan petani, dan hanya

satu anggota kelompok ternak memiliki kerja sampingan sebagai wiraswasta. Hal ini

menunjukkan bahwa kehidupan para anggota kelompok ternak di wilayah ini tergantung

pada sector pertanian yaitu sector peternakan. Ternak sapi merupakan satu satunya

peopang perekonomian di wilayah ini. Hal ini ditunjukkan dari 77 anggota kelompok

ternak, 75 (97,4%) menyatakan bahwa ternak sapi yang dipelihara sanat mendukung

kebutuhan keluarga seperti biaya sekolah anak, upacara adat serta kepentingan lainnya.

Kondisi rumah kelompok ternak binaan diukur berdasarkan lantai rumah. Lantai

rumah diklasifikasikan menjadi tiga yaitu lantai tanah, lantai semen dan lantai keramik.

Derajat kualitas lantai tersebut dapat dipakai indikator derajat ekonomi anggota kelompok

ternak. Sebaian besar (70,1%) anggota kelompok ternak binaan memiliki rumah dengan

lantai semen, sedangkan yang memiliki lantai keramik sebanyak 20,8%, dan masih ada

sebanyak 9,1% anggota kelompok ternak binaan tinggal di rumah dengan lantai tanah.

Perbedaan jenis lantai rumah pada masing masing kelompok ternak binaan disajikan pada

gambar 8.

0  

10  

20  

30  

40  

50  

60  

70  

80  

90  

100  

Tidak  Sekolah   SD   SMP   SMA  

ARTA  WIGUNA   MARGI  LESTARI   WANA  MERTA   DUKUH  SARI  

Page 21: LAPORAN AKHIR MP3EI

  21  

Gambar 7. Perbedaan lantai rumah pada masing masing kelompok ternak.

Kepemilikan alat transportasi dapat juga digunakan sebagai salah satu indikator

status ekonomi masyarakat. Alat transportasi yang dimiliki oleh kelompok ternak binaan

sebagian besar (84,4%) adalah sepeda motor, 2,6% anggota kelompok ternak memiliki

sarana transportasi mobil, dan 13% anggota kelompok ternak binaan memiliki sepeda

motor dan mobil.

Dari data sosiodemografis anggota kelompok ternak binaan pada program ini

menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonomi yang masih rendah. Hal ini ditunjukkan oleh

tingkat pendidikan yang sebagian besar sekolah dasar dengan penghasilan yang rendah.

Ditinjau dari potensi pengembangan peternakan sapi bali di wilayah kelompok ternak

binaan maka peternakan sapi akan mampu meningkatkan kondisi sosial ekonomi

masyarakat di wilayah tersebut.

Terkait dengan pengembangan ternak sapi pada kelompok ternak binaan tersebut

telah mendapat perhatian dari berbagai instansi baik pemerintah maupun suasta. Dari

empat kelompok ternak binaan tersebut dua kelompok ternak sudah pernah mendapat

bantuan. Bantuan tersebut diberikan dalam bentuk bibit ternak maupun bantuan lainnya.

Pada program ini akan dilakukan program pembinaan dan pendampingan dalam

meningkatkan produktivitas melalui pemberantasan penyakit parasit.

5.3 Karakteristik Peternakan Sapi Kelompok Ternak Binaan

Berdasarkan data yang diperoleh dari karakteristi peternakan sapi kelompok ternak

binaan menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan tradisional. Selain memelihara sapi juga

0   20   40   60   80   100   120  

ARTA  WIGUNA  

MARGI  LESTARI  

WANA  MERTA  

DUKUH  SARI  

KERAMIK  

SEMEN  

TANAH  

Page 22: LAPORAN AKHIR MP3EI

  22  

memelihara aneka ternak lainnya. Lebih dari setelah (59,7%) anggota kelompok ternak

binaan selain memelihara sapi juga memelihara ternak lainnya.

Peternakan sapi di kelompok ternak binaan ini sangat didukung oleh ketersediaan

pakan berupa rumput gajah yang ditanam dan tumbuh subur di lereng gunung agung.

Sebaian besar (76%) anggota kelompok ternak binaan menyatakan bahwa ketersediaan

pakan di wilayahnya sangat mencukupi (Gambar 8).

Gambar 8. Ketersediaan pakan pada kelompok ternak binaan

Selain rumput gajah sebagai pakan utama, peternak juga menggunakan pakan

tambahan berupa konsentrat maupun pakan tambahan lainnya. Namun tidak semua

anggota kelompok ternak menyatakan bahwa mereka menggunakan pakan tambahan.

Sebaian (50,6%) menyatakan menggunakan pakan tambahan dan sisanya 49,4%

menyatakan bahwa mereka tidak menggunakan pakan tambahan. Keragaman penggunaan

pakan tambahan tersaji pada gambar 9.

Gambar 9. Keragaman penggunaan pakan tambahan pada kelompok ternak binaan

YA  TIDAK  0  

20  40  60  80  

100  

YA  

TIDAK  

Page 23: LAPORAN AKHIR MP3EI

  23  

Sapi yang dipelihara oleh kelompok ternak binaan 36,4% dieroleh di pasar hewan,

39% menyatakan bahwa dari ternak sendir dan 24,7% menyatakan bahwa sapi yang

dipelihara dari peternakan sendiri dan pasar.

5.4. Survey Penyakit Parasiter

Dalam penelitian tahun pertama dilakukan survey penyakit parasiter pada sapi yang

ada pada kelompok ternak binaan. Survey penyakit parasiter dilakukan secara langsung

dengan pemeriksaan koproskopis terhadap parasit yang menginfeksi saluran pencernaan,

serta pemeriksaan secara tidak langsung dengan mendeteksi keberadaan antibodi terhadap

Nesopora caninum dengan metoda ELISA.

Data yang terkait dengan penyakit parasiter pada sapi juga diperoleh melalui

kuisioner, terutama pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit parasiter. Penyakit

parasiter yang umum diketahui masyarakat adalah kecacingan. Hanya 27,3% anggota

kelompok ternak binaan mengetahui bahwa kecacingan juga terjadi pada ternak. Tetapi

apakah ternak sapi juga terinfeksi oelh cacing, 100% menyatakan tidak tahu tentang

kecacingan dan dampaknya pada sapi. Dari pemahaman dan pengetahuan tersebut maka

sangat perlu diberikan pemahaman terutama bahaya penyakit parasiter pada sapi. Selain

masalah penyakit parasiter, penyakit lainnya juga merupakan maslah pada ternak di

kelompok ternak binaan tersebut. Hampir semua (98,7%) anggota kelompok ternak binaan

yang mengalami masalah kesehatan ternaknya melapor pada petugas peternakan.

Penyakit pada ternak tidak hanya berdampak pada kesehatan ternak, juga beberapa

penyakit pada ternak dapat menular ke manusia yaitu bersifat zoonosis. Salah satu penyakit

zoonosis yang dapat ditularkan melalui daging sapi adalah penyakit cacing pita pada

manusia. Dalam siklus hidup dan penularan ke manusia sangat didukung oleh faktor

sanitasi. Data yang dieproleh pada penelitian ini 98,7% anggota kelompok ternak binaan

tidak memiliki jamban. Kondisi seperti ini sangat potensial terjadinya penyebaran penyakit

zoonosis tersebut.

5.4.1. Infeksi Parasit Gastrointestinal

Pemeriksaan koproskopis dilakukan dengan pemeriksaan keberadaan stadium

tertentu dari parasit yang berada dalam saluran pencernaan melalui pemeriksaan feses.

Feses sapi diambil secara langsung pada rektum kemudian ditampung dalam kontainer

Page 24: LAPORAN AKHIR MP3EI

  24  

feses yang tanpa pengawet dan dengan pengawet Sodium Acid Formaldehyde (SAF).

Sampel feses tanpa pengawet disimpat di lemari es sebelum dilakukan pemeriksaan

laboratorium.

Dari hasil pemeriksaan mikroskopis ditemuakan adanya telos cacing Fasciola spp,

Paramphistomum spp, Trichuris spp dan Toxocara vitulorum. Disamping itu ditemukan

juga ookista Eimeria spp., dengan prevalensi berturut turut 42%, 36%, 24%, 40% dan

77%. Keragaman prevalensi pada masing-masing kelompok ternak binaan tersaji pada

gambar 10.

   

Gambar 10. Prevalensi parasit gastrointestinal pada sapi di masing-masing kelompok

ternak binaan

Dari data diatas menunjukan bahwa prevalensi parasit saluran pencernaan pada sapi

di masing masing kelompok ternak binaan cukup tinggi. Parasit tersebut sangat

mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas ternak.

0   10   20   30   40   50   60   70   80   90   100  

FASCIOLA  

PARAMPHISTOMUM  

TRICHURIS  

TOXOCARA  

EIMERIA  

DUKUH  SARI  

WANA  MERTA  

MARGI  LESTARI  

ARTA  WIGUNA  

Page 25: LAPORAN AKHIR MP3EI

  25  

5.4.2 Seroprevalensi Neospora caninum

Neosporosis adalah penyakit parasiter yang disebabkan oleh parasit Neospora caninum,

penyakit ini merupakan salah satu penyebab keguguran endemik maupun sporadik pada sapi yang

dapat meyerang sapi perah maupun sapi potong. Dampak lainnya selain keguguran, neosporosis

dapat menyebabkan lahir lemah pada pedet. Pada anjing infeksi parasit ini menyebabkan kerusakan

neuromuscular. Sapi yang pernah mengalami keguguran akibat neosporosis dapat mengalami

keguguran lagi, atau melahirkan anak sapi yang secara klinis sakit, lemah atau bersifat subklinis.

Infeksi Neospora pada sapi menyebabkan kerugian ekonomi, karena mengalami

keguguran. Sapi yang terinfeksi neospora mengalami penurunan efisiensi reproduksi, produksi susu

berkurang, berat badan menurun, (Baszler, 2003 ). Hewan yang lahir dengan neosporosis secara

klinis tampak lemah, kurus dan tidak bisa berkembang. Hal ini akan menimbulkan penyakit penting

pada sapi yang menyebabkan perekonomian benar - benar goyah, (Moore dan Dragi, 2003; Moore,

2005). Sebagai contoli di California biaya yang dikeluarkan untuk penanganan terhadap Neospora

caninum, sekitar US$ 35 Million per tahun, (Cheah, et at., 2004). Dampak ekonomi dari keguguran

yang disebabkan Neospora caninum tergantung pada biaya pemeliharaan, fetus yang mati dan

secara tidak langsung dihubungkan dengan penetapan diagnosis. Keturunannya akan mengalami

keguguran dan tidak menghasilkan susu, (Murat dan Mehtap, 2005). Pada sapi perah , sapi yang

seropositif Neospora caninum, produksi susunya menurun dibanding dengan sapi yang tidak

terinfeksi,tetapi dibanding dengan yang seronegatif produksi susunya lebih tinggi , (Moore, 2005). Anjing merupakan hospes definitif Neospora caninum, oleh karena itu peran anjing

sangat penting dalam penyebaran neosporosis pada ternak lainnya terutama sapi. Pada

penelitian ini 98,7% anggota kelompok ternak binaan menyatakan bahwa disekitar

kandang sapi terdapat anjing yang dipelihara sendiri atau yang dipelihara tetangga. Dengan

kondisi seperti ini sangat potensial sapi yang dipelihara terinfeksi oleh Neospora caninum.

Dari 644 ekor yang diperiksa secara serologis dengan menggunakan metoda

ELISA, 52 ekor sapi terdeteksi adanya antibodi (IgG) terhadap Neospora caninum, atau

seroprevalensi Nesospora caninum pada sapi sebesar 8%. Antibodi terhadap Neospora

caninum ditemukan pada 18 peternak yang tersebar di semua kelompok ternak

binaan(Gambar 11).

Page 26: LAPORAN AKHIR MP3EI

  26  

Gambar 11. Seroprevalensi Neospora caninum

Parameter lainnya yang diketahui mempunyai hubungan yang signifikan dengan

seropositif antibodi Neospora caninum pada sapi adalah gangguan reproduksi. Sapi yang

dinyatakan pernah mengalami gangguan reproduksi lebih banyak ditemukan seropositif

terhadap Neospora caninum dibandingkan dengan sapi yang dinyatakan tidak pernah

mengalami gangguan reproduksi.

Dari beberapa parameter tersebut diketahui bahwa kepemilikan anjing mempunyai

hubungan dengan seropositif pada sapi. Kemudian hubungan signifikan juga terjadi antara

seropositif pada sapi dengan anjing yang positif baik dalam pemeriksaan serologis maupun

koproskopis terhadap antibodi maupun oosit Neospora caninum. Hal ini mengindikasikan

bahwa sumber penularan pada sapi terjadi melalui kontaminasi air atau pakan oleh oosit

Neospora caninum pada tinja anjing. Seperti diuraikan dalam beberapa laporan penelitian

bahwa di dalam intestinum anjing berkembang ookista Neospora caninum dan

mengeluarkan ookista tersebut lewat feses, (Baszler , 2003). Ookista tersebut akan sangat

resisten untuk bertahan hidup sampai beberapa minggu atau beberapa bulan pada

lingkungan yang cocok, ( Schares , 2003). Ookista yang mencemari makanan apabila

termakan hospes intermediet (sapi), akan berkembang menjadi sporozoit , kemudian akan

menginfeksi serta menyebar ke usus halus. Sporozoit menyebar dengan cepat, dan berubah

menjadi takhizoit, (Sanchez. et al., 2003). Takhizoit berkembang pada bermacam jaringan

8  

23  

Sapi   Peternak  

Sapi   Peternak  

Page 27: LAPORAN AKHIR MP3EI

  27  

terutama pada otot, hati, jantung , otak, dan plasenta, (Baszler, 2003 ). Takhizoit yang

menginfeksi otot skeletal dan otot jantung, serta yang melalui jaringan menyebar ke hati,

akan menjadi berlipat ganda, berkembang , dan membentuk kista yang berisi bradizoit.

Apabila proses infeksi terjadi pada janin dan plasenta , akan menyebabkan keguguran,

melahirkan anak sapi yang lemah, mati waktu lahir dan juga turunnya produksi susu,

(Schares, 2003). Hospes intermediet dapat juga mengalami infeksi tanpa mencernakan

ookista, tetapi dengan Cara transplasental, induk ke fetus lewat aliran darah, (Baszler ,

2003).

Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan

antara sapi yang pernah mengalami gangguan reproduksi dengan seropositif antibodi

terhadap Neospora caninum. Namun secara signifikan tidak ditemukan adanya hubungan

sapi seropositif dengan riwayat pernah mengalami keguguran. Selama dilakukan

monitoring sapi sapi seropositif, satupun sampai saat ini tidak tejadi keguguran sehingga

tidak dilakukan isolasi Neospora caninum pada janin yang mengalami keguguran. Untuk

tujuan tersebut direncanakan pada penelitian berikutnya dilakukan isolasi parasit baik pada

janin yang mengalami keguguran maupun pada tinja anjing. Terkait hubungan antara

gangguan reproduksi dengan infeksi Neospora caninum pada sapi Sawada et al., (2000)

melaporkan bahwa sapi yang mengandung antibodi Neospora caninum atau seropositif

cenderung mengalami abortus dibandingkan dengan sapi yang seronegatif. Titer antibodi

meningkat pada 4 sampai 5 bulan sebelum kelahiran dan akan menurun sejak 2 bulan

setelah kelahiran. Dalam suatu penelitian menunjukkan adanya reaktivasi infeksi laten;

tetapi masih sedikit yang mengetahui mekanisme reaktivasinya. Hal ini diyakini mirip pada

mekanisme parasitemia pada saat kebuntingan yang menginduksi terjadinya infeksi pada

fetus.

Selain itu jika ditinjau dari keberadaan antibodi pada sapi yang tidak menunjukkan

gejala klinis, titer antibodi akan mengalami peningkatan pada sapi yang mengalami abortus

daripada yang tidak mengalami abortus. Titer antibodi mengalami puncaknya pada 4-5

bulan sebelum kelahiran hal ini menunjukkan adanya reaktivasi infeksi laten pada

pertengahan kebuntingan, (Stenlund et al., 1999). Pada penelitian tidak menunjukkan

perubahan antibodi pada berbagai umur kebuntingan. Hal ini disebabkan masing-masing

sapi yang diteliti belum dilakukan dalam satu siklus penuh, namun penelitian ini akan terus

dilakukan sehingga masing-masing sapi dimonitor dalam satu siklus reproduksi.

Page 28: LAPORAN AKHIR MP3EI

  28  

Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa anjing merupakan sumber penularan

Neospora caninum terhadap sapi yang secara serologis positif mengandung antibodi. Dan

secara koproskopis diketahui bahwa anjing mengeluarkan ookista Neospora caninum

bersama tinja.

Page 29: LAPORAN AKHIR MP3EI

  29  

BAB 6.

RENCANA TAHUN BERIKUTNYA

Tahun berikutnya yaitu tahun 2016 direncanakan program pembinaan kelompok

ternak. Strategi pembinaan disusun berdasarkan data dan informasi yang telah diperoleh

pada tahun pertama meliputi data sosiodemografis, danta infeksi penyakit parasiter serta

data lainnya. Secara ringkar kegiatan, luaran dan indikator capaian pada pelaksanaan tahun

kedua sebagai berikut.

Kegiatan Luaran Indikator capaian

TA

HU

N K

E -

2

Pembinaan kelompok ternak

• Kelompok ternak andal dan mandiri

• Program pelayanan kesehatan

• Data efektifitas program

• Data analisis ekonomi

• Prevalensi penyakit parasit menurun

• Produktivitas ternak meningkat

• Jumlah pedet grade I lebih banyak

• Pendapatan peternak meningkat

6.1 Pembinaan Kelompok Ternak

Pembinaan kelompok ternak dilakukan secara periodik dan terjadual, kegiatan yang

dilakukan secara bekelompok melalui penyuluhan tentang manajemen pencegahan dan

penanggulangan penyakit pada sapi secara umum. Selanjutnya dilakukan pendampingan teknis

ke masing-masing peternak dengan melibatkan mahasiswa PPDH FKH Unud. Pendampingan

teknis meliputi cara penggunaan obat-obatan yang selektif, aman dan efektif dalam

pengendalian penyakit parasit.

6.2 Pelayanan kesehatan ternak

Pemeriksaan kesehatan ternak sapi pada seluruh anggota kelompok ternak akan

dilakukan dilanjutkan dengan pengobatan apabila ternak tersebut terbukti secara

laboratoris terinfeksi oleh parasit.

6.3 Monitoring dan evaluasi

Monitoring dilakukan satu bulan setelah pengobatan dengan melakukan uji

laboratorium seperti pada tabel 1. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui efikasi atau

Page 30: LAPORAN AKHIR MP3EI

  30  

kemampuan strategi pengendalian yang dilakukan menurunkan atau meniadakan penyakit

tersebut. Evaluasi juga akan dilakukan untuk mengetahui dampak positif program ini yang

meliputi: a) jumlah peternak yang hadir dari jumlah yang diundang, b) jumlah peternak

yang mengikuti sampai akhir program ini dari jumlah yang hadir c) respon peternak selama

kegiatan yang meliputi jumlah peserta yang aktif dari jumlah yang hadir. Di akhir

program ini akan dilakukan analisi ekonomi akibat dari penerapak program ini.

Enam bulan setelah kegiatan ini berakhir akan dilakukan evaluasi setelah kegiatan

meliputi: a) peternak yang menerapkan program ini pada beberapa kelompok ternak di Bali

dan b) peternak yang menerapkan program ini yang berasal dari luar kelompok peternak

atau dari kabupaten lain.

Page 31: LAPORAN AKHIR MP3EI

  31  

BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari pengambilan data melalui

kuisioner dan pemeriksaan laboratorium dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Status sosial ekonomi anggota kelompok tani binaan masih rendah sehingga tingkat

kesejahteraannya juga rendah.

2. Peternakan sapi merupakan satu satunya penunjang perekonomian kelompok ternak

binaan.

3. Peternakan sapi di wilayah kelompok ternak binaan sangat potensial untuk

dikembangkan karena didukung oleh ketersediaan pakan ternak.

4. Kelompok ternak binaan tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang

penyakit parasiter serta dampaknya terhadap ternak

5. Prevalensi penyakit parasit saluran pencernaan pada kelompok ternak binaan cukup

tinggi.

6. Antibodi terhadap Neospora caninum ditemukan pada sapi yang dipelihara oleh

kelompok ternak binaan.

Dari hasil penelitian yang diperoleh berupa data sosiodemografis peternak, jenis

penyakit parasiter yang ditemukan dapat digunakan sebagai dasar dalam penyusunan

program pemberantasan penyakit parasiter berbasis partisipasi peternak. Pada program

yang akan dilaksankana pada tahun kedua akan diawali dengan program pembinaan dan

pendampingan kelompok ternak, dan selanjutnya akan dilakukan program pengobatan

dengan melibatkan peternak. Di akhir program perlu dilakukan evaluasi tentang dampak

program tersebut dari aspek ekonomi, produktivitas ternak dan kesehatan ternak.

Page 32: LAPORAN AKHIR MP3EI

  32  

DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 1990. Data ekonomi akibat penyakit. Direktorat jenderal Peternakan, Jakarta.

Barr, B. C., J. P. Dubey, D. S. Lindsay, J. P. Reynolds, and S. J. Wells. 1998.Neosporosis: its prevalence and economic impact. Comp. Cont. Edu. Pract.Vet. 20:1–16.

Barth D., 1993: Importance of the methodology in the interpretation of factors affecting degradation of dung, Vet. Parasitol. 48. 99-108.

Bisset SA, Morris CA, McEwan JC, Vlassoff A: 2001. Breeding sheep in New Zealand that are less reliant on anthelmintics to maintain health and productivity. N Z Vet J, 49:236-246.

Chick B, McDonald D, Cobb R, Kieran PJ, Wood I. 1993. The efficacy of injectable and pour-on formulations of moxidectin against lice on cattle. Aust Vet J. Jun;70(6):212–213.

Damriyasa IM., N.S. Dharmawan, Ibk Ardana, A.A.S Kenderan, 2004. Pemberantasan Ekto Dan Endoparasit Pada Babi Untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak Rakyat Di Desa Bebandem Karangasem. Udayana Mengabdi 3 (1) P. 7-8

Damriyasa, IM., Schares G. And C. Bauer (2010) Seroprevalence of Antibodies to Neospora Caninum In Bos Javanicus (Bali Cattle) From Indonesia. Trop. Anim. Health Prod. 42: 95-98

Dharmawan, N.S., A.A.S. Kenderan, I.B.K. Ardana, I G. Mahardika, N. Sulabda And I M. Damriyasa. (2009). Studies On The Hematology Status Of Bali Cattle In Bali. Proc. International Conference On Biotechnology, Bali, September, 15-16, 2009.

Dharmawan, N.S., I M. Damriyasa, I N. Kapti, P. Sutisna, M. Okamoto And A. Ito. (2009). Experimental Infection Of Taenia Saginata Eggs In Bali Cattle: Distribution And Density Of Cysticercus Bovis. Jurnal Veteriner 10 No. 4;178-183

Dwinata I M, I B M Oka dan I M. Damriyasa. 2009; Pemberantasan Penyakit Parasiter Berbasis Pemeriksaan Koproskopis Pada Kelompok Ternak Sapi Kerta Nandini Desa Petang. Laporan Pengabdian Penerapan Iptek

Gross SJ, Ryan WG, Ploeger HW (1999): Anthelmintic treatment of dairy cows and its effect on milk production. Vet Rec, 144:581-587.

Halley B.A., Nessel R.J., Lu A.Y.H., 1989: Environmental aspects of ivermectin usage in livestock: general considerations, in: CampbellW.C. (Ed.), Ivermectin and Abamectin, Springer Verlag, New York, , pp. 162-172

Herd R. 1995: Endectocidal drugs: ecological risks and counter-measures, Int. J. Parasitol. 25 875-885.

Hubert J, Kerboeuf D, Cardinaud B, Blond F. 1995. Persistent efficacy of moxidectin against Dictyocaulus viviparus and Ostertagia ostertagi in cattle. Vet Rec. Mar 4;136(9):223–224.

Page 33: LAPORAN AKHIR MP3EI

  33  

Kendran A. A. S., I M Damriyasa, N S Dharmawan, I B K Ardana, L D Anggreni (2012). Profil Kimia Klinik Darah Sapi Bali. Veteriner Vol. 13 No. 4; 410-415

Ketzis JK, Vercruysse J, Stromberg BE, Larsen M, Athanasiadou S, Houdijk JG: 2006. Evaluation of efficacy expectations for novel and non-chemical helminth control strategies in ruminants. Vet Parasitol, 139:321-35.

Le Jambre L.F., RoyalW.M.,MartinP.J.: 1979. The inheritance of thiabendazole resistance in Haemonchus contortus, Parasitology 78. 107-119.

Lumaret J.-P., Galante E., Lumbreras C., Mena C.,BertrandM., Bernal J.L.,Cooper J.-F., Kadiri N., Crowe D., 1993: Field effects of antiparasitic drug ivermectin residues on dung beetles, J. Appl. Ecol. 30 428-436.

McCracken D.I., 1993: The potential for avermectins to affect wildlife, Vet. Parasitol. 48 273-280.

Morin D, Valdez R, Lichtensteiger C, Paul A, DiPietro J, Guerino F. 1996. Efficacy of moxidectin 0.5% pour-on against naturally acquired nematode infections in cattle. Vet Parasitol. Oct 15;65(1-2):75–81.

Reichel, M. P. 2000. Neospora caninum infections in Australia and New Zealand. Aust. Vet. J. 78:258–261.

Sangster N.C., Redwin J.M., Bjørn H.: 1998. Inheritance of levamisole and benzimidazole resistance in an isolate of Haemonchus contortus, Int.J. Parasitol. 28 503-510.

Stear MJ, Doligalska M, Donskow-Schmelter K: 2007. Alternatives to anthelmintics for the control of nematodes in livestock. Parasitology, 134:139-151.

Suhardono, S. Widjajanti, P. Stevenson and I.H. Carmichael. 1991. Control of Fasciola gigantica with triclabendazole in Indonesia cattle. Trop. Anim. Health and Production, 23: 217 – 220.

Wall R., Strong L., 1987: Environmental consequences of treating cattle with antiparasitic drug ivermectin, Nature 327. 418-421.

Wardhaugh K.G., Longstaff B.C., Lacey M.J., 1998: Effects of residues of deltamethrin in cattle faeces on the development and survival of three species of dung-breeding insects, Aust. Vet. J. 76. 273-280.

Wardhaugh K.G., Longstaff B.C.,MortonR., 2001: A comparison of the evelopment and survival of the dung beetle, Onthophagus taurus (Schreb.) when fed on the faeces of cattle treated with pour-on formulations of prinomectin or moxidectin,Vet. Parasitol. 99. 155-168.

Williams JC, Corwin RM, Craig TM, Wescott RB. 1986.Control strategies for nematodiasis in cattle. Vet Clin North Am Food Anim Pract. Jul;2(2):247–260.

Page 34: LAPORAN AKHIR MP3EI

  34  

Lampiran 1. Kuisionere Peternak TIM PENELITIAN MP3EI SAPI BALI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

Nomor Kwisioner: Nama Pemilik:......................................................

Alamat :…………………………………………………..... Telp/Hp:………………

Nama Kelompok ...........................................................

Jumlah Sapi .................................................................

Tanggal kunjungan: …………………………..…………......

A. Data Peternakan:

1. Pendidikan Pemilik 12. Apakah tahu sapi terinfeksi kecacingan

q 1 SD q 4 Perg. tinggi q 1 Ya

q 2 SMP q 5 Tidak sekolah q 2 Tidak

q 3 SMA

2. Pekerjaan Pemilik 13. Kalau Ya, apa langkah selanjutnya?

q 1 Petani q Swasta/Wiraswasta q 1 Dibiarkan q 3 Obati Sendiri

q 2 PNS/ABRI q 2 Lapor petugas keswan/dokter hewan

3. Rata2 penghasilan/bl: Rp. ........................ 14. Pemasaran sapi, dijual ke:....................

4. Kondisi rumah 15. Apakah tahu dampak infeksi kecacaingan

q 1 Lantai tanah q 3 lantai keramik q 1 Ya

q 2 Lantai semen q 2 Tidak

5.Sarana transportasi yang dimiliki 16. Ketersediaan pakan

q 1 Sepeda motor, jumlah:............... q 1 Tidak ada q 3 Cukup

q 2 Mobil, jumlah:......................... q 2 Kurang

6. Jamban 17. Asal sapi (bibit) yang dipelihara sekarang

q 1 Ya q 1 Sendiri q 3 Lainnya:................

Page 35: LAPORAN AKHIR MP3EI

  35  

q 2 Tidak (dimana:..........................) q 2 Pasar:...........................

7. Pendidikan Anak 18. Peran sapi utk kesejahteraan peternak

q 1 SD q 4 Perg. tinggi q 1 Tidak q 4 Cukup

q 2 SMP q 5 Tidak sekolah q 2 Kurang q 5 Sangat mendukung

q 3 SMA q 3 Mendukung

8. Pernah menerima bantuan terkait peternakan 19. Pakan tambahan

q 1 Ya q 1 Ya:..........................................

q 2 Tidak q 2 Tidak

9. Kalau Ya 20. Permasalahan yang dihadapi (sebutkan):

q 1 Bentuk:....................................... .........................................................

q 2 Asal:........................................... .........................................................

10. Memelihara ternak lain selain sapi .........................................................

q 1 Ya: ......................................... .........................................................

q 2 Tidak .........................................................

11. Di sekitar kandang terdapat anjing .........................................................

q 1 Ya .........................................................

q 2 Tidak .........................................................

Page 36: LAPORAN AKHIR MP3EI

  36  

Lampiran 2. Kuisioner individu ternak

TIM PENELITIAN MP3EI SAPI BALI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

Nomor Kwisioner: Nama Pemilik:......................................................

Alamat :…………………………………………………..... Telp/Hp:………………

Nama Kelompok ...........................................................

Jumlah Sapi .................................................................

Tanggal kunjungan: …………………………..…………......

B. Data individu ternak:

1. Jenis kelamin 7. Pernah divaksinasi

q 1 Jantan q 1 Ya (apa dan kapan………………..)

q 2 Betina q 2 Tidak

2. Jenis sapi 8. Status reproduksi (sapi betina)

q 1 Induk q 1 Masa kering

q 2 Penggemukan q 2 Bunting (.............. bl)

q 3 Pedet q 3 Menyusui

3. Status umur 9. Pernah keguguran (sapi betina)

q 1 Muda q 1 Ya (kapan……………………….)

q 2 Dewasa q 2 Tidak

4. Kondisi fisik: 10. Sumber air minum

q 1 Gemuk q 1 PAM

q 2 Sedang q 2 Sungai

q 3 Kurus q 3 Air hujan

5. Pernah mencret 11. Sistem perkandangan

q 1 Ya (Kapan:……………….) q 1 Lantai tanah

Page 37: LAPORAN AKHIR MP3EI

  37  

q 2 Tidak q 2 Lantai semen

6. Pernah diobati 12. Pakan

q 1 Ya (apa dan kapan………………..) q 1 Rumput q 4 Lainnya...........

q 2 Tidak q 2 Rumput dan hijauan

q 3 Rumput dan konsentrat