34
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Do Not Resuscitate (DNR) menjadi trend dan issue yang akhir- akhir ini mulai sering diperbincangkan dalam dunia kesehatan. Do Not Resuscitate (DNR) merupakan sebuah perintah jangan dilakukannya resusitasi CPR (cardiopulmonary resusitation) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP) bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum jika terjadi permasalahan darurat pada jantung pasien atau berhentinya pernapasan. Salah satu yang melatarbelakangi munculnya konsep DNR ialah sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa dalam situasi klinis tertentu CPR hampir selalu sia-sia. Jarang sekali pasien bertahan hidup setelah dilakukan RJP ketika henti jantung yang timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau disfungsi organ. Harapan hidup pasien setelah dilakukan tindakan RJP sangat buruk (<5%) bila henti jantung terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, kanker (kecuali dengan penyakit yang minimal), atau AIDS; dan dengan tidak adanya penyakit penyebab yang irreversible, diikuti dengan trauma, perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau pneumonia. Asosiasi Kedokteran Amerika menjadi organisasi pertama yang mengusulkan pemberlakuan kebijakan DNR tersebut secara formal yang dikomunikasikan kepada seluruh staff terkait tentang kebijakan baru tersebut (American Medical Association, 1974 dalam Brewer, 2008). Asosiasi Perawat Amerika juga membicarakan tentang kebijakan DNR, bahwa keputusan DNR diambil dengan sebelumnya telah diinformasikan kepada pasien dan keluarganya mengenai keuntungan dan kerugian, serta 1

Laporan DNR

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Laporan DNR

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Do Not Resuscitate (DNR)  menjadi trend dan issue yang akhir-akhir ini mulai

sering diperbincangkan dalam dunia kesehatan. Do Not Resuscitate

(DNR) merupakan sebuah perintah jangan dilakukannya resusitasi CPR

(cardiopulmonary resusitation) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP) bagi tenaga

kesehatan ataupun masyarakat umum jika terjadi permasalahan darurat pada

jantung pasien atau berhentinya pernapasan. Salah satu yang melatarbelakangi

munculnya konsep DNR ialah sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa dalam

situasi klinis tertentu CPR hampir selalu sia-sia. Jarang sekali pasien bertahan

hidup setelah dilakukan RJP ketika henti jantung yang timbul disebabkan oleh

penyakit selain jantung atau disfungsi organ. Harapan hidup pasien setelah

dilakukan tindakan RJP sangat buruk (<5%) bila henti jantung terjadi pada pasien

dengan gagal ginjal, kanker (kecuali dengan penyakit yang minimal), atau AIDS;

dan dengan tidak adanya penyakit penyebab yang irreversible, diikuti dengan

trauma, perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau pneumonia.

Asosiasi Kedokteran Amerika menjadi organisasi pertama yang mengusulkan

pemberlakuan kebijakan DNR tersebut secara formal yang dikomunikasikan

kepada seluruh staff terkait tentang kebijakan baru tersebut (American Medical

Association, 1974 dalam Brewer, 2008). Asosiasi Perawat Amerika juga

membicarakan tentang kebijakan DNR, bahwa keputusan DNR diambil dengan

sebelumnya telah diinformasikan kepada pasien dan keluarganya mengenai

keuntungan dan kerugian, serta disepakati oleh semua pihak yang terlibat dalam

dokumen baku untuk menghindari tuntutan (American Nurses Association, 2003

dalam Brewer, 2008).

Sering kali DNR ini disalahartikan oleh para tim medis bahwa pasien DNR

tidak akan dilakukan tindakan medis apapun padahal sebenarnya tidak demikian.

DNR tidak berarti semua tatalaksana / penanganan aktif terhadap kondisi pasien

diberhentikan. Pemeriksaan dan penanganan pasien (misalnya terapi intravena,

pemberian obat-obatan) tetap dilakukan pada pasien DNR. Semua perawatan

mendasar harus terus dilakukan, tanpa kecuali. Oleh karena itu pemahaman

konsep mengenai DNR sangat penting bagi perawat, selain itu sebagai seorang

perawat juga diharapkan mampu berkomunikasi kepada pasien atau keluarga

1

Page 2: Laporan DNR

pasien terkait pengambilan keputusan untuk melakukan DNR dengan tetap

memperhatikan prinsip-prinsip etik di dalam keperawatan.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Meningkatkan pemahaman perawat mengenai konsep DNR (Do Not

Resusitation)

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui pengertian DNR

2. Mengetahui kriteria DNR

3. Mengetahui prinsip DNR

4. Mengetahui prosedur mendiskusikan DNR

5. Mengetahui SOP DNR

6. Mengetahui Etik DNR

7. Mengetahui perannya dalam pasien DNR

8. Mengetahui tentang konsep RJP

1.3 Manfaat

Dilakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua

pihak yang terkait diantaranya yakni bagi perawat di IGD dr.Soepraoen agar dapat

lebih memahami konsep DNR secara jelas. Serta sebagai masukan kepada rumah

sakit agar dapat menerapkan sistem DNR dengan benar sesuai prosedur.

2

Page 3: Laporan DNR

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian DNR

DNR atau do-not-resuscitate adalah suatu perintah yang memberitahukan 

tenaga medis untuk tidak melakukan CPR. Hal ini berarti bahwa dokter,  perawat,

dan tenaga emergensi medis tidak akan melakukan usaha CPR emergensi bila

pernapasan maupun jantung pasien berhenti.

Do Not Resuscitation (DNR), sebuah perintah jangan dilakukan Resusitasi,

adalah pesan untuk tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum untuk tidak

mencoba melakukan atau memberikan tindakan pertolongan berupa CPR

(cardiopulmonary resuscitation) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP) jika terjadi

permasalahan darurat pada jantung pasien atau terjadinya henti napas pada

pasien (Wahyu, 2013).

Tindakan Do Not Resuscitate (DNR): adalah suatu tindakan di mana jika

pasien mengalami henti jantung dan atau napas, paramedis tidak akan dipanggil

dan tidak akan dilakukan usaha resusitasi jantung-paru dasar maupun lanjut.Jika

pasien mengalami henti jantung dan atau napas, lakukan asesmen segera untuk

mengidentifikasi penyebab dan memeriksa posisi pasien, patensi jalan napas, dan

sebagainya. Tidak perlu melakukan usaha bantuan hidup dasar maupun lanjut.

DNR tidak berarti semua tatalaksana / penanganan aktif terhadap kondisi

pasien diberhentikan. Pemeriksaan dan penanganan pasien (misalnya terapi

intravena, pemberian obat-obatan) tetap dilakukan pada pasien DNR. Semua

perawatan mendasar harus terus dilakukan, tanpa kecuali.

1.2 Kriteria DNR

1. Usia pasien harus > 18 tahun

2. Pasien harus kompeten dan memiliki kapasitas yang baik secara mental

untuk mengambil keputusan

3. Keputusan ini harus tertulis, yang berarti harus ditulis oleh pasien sendiri atau

keluarga / kerabat yang dipercaya oleh pasien, dan harus dicatat di rekam

medis.

4. Harus ditandatangani oleh 2 orang, yaitu:

a. Penulis / pembuat keputusan atau oleh orang lain atas nama pasien

sambil diarahkan oleh pasien (jika pasien tidak mampu

menandatanganinya sendiri)

b. Orang lain sebagai saksi

3

Page 4: Laporan DNR

5. Harus diverifikasi oleh pernyataan spesifik yang dilakukan oleh pembuat

keputusan, dapat dituliskan di dokumen lain / terpisah, yang menyatakan

bahwa keputusan dini ini diaplikasikan untuk tindakan / penanganan spesifik,

bahkan jika terdapat risiko kematian.

6. Pernyataan keputusan dini di dokumen terpisah ini juga harus ditandatangani

dan disaksikan oleh 2 orang (salah satunya pasien).

7. Diskusi antara dokter dengan keluarga pasien mengenai keputusan ini harus

atas izin pasien.

8. Jika pasien tidak kompeten secara mental, diskusi dapat dilakukan dengan

keluarga / wali sah pasien dengan mempertimbangkan kondisi dan keinginan

pasien. Jika tidak terdapat keluarga / wali yang sah, keputusan dapat diambil

oleh dokter penanggungjawab pasien.

9. Jika terdapat situasi di mana pasien kehilangan kompetensinya untuk

mengambil keputusan tetapi telah membuat ‘keputusan dini DNR’

sebelumnya yang valid, keputusan ini haruslah tetap dihargai.

10. Dokter dapat tidak mengindahkan keputusan dini yang dibuat oleh pasien,

jika terdapat hal-hal berikut ini:

a. Pasien telah melakukan hal-hal yang tidak konsisten terhadap keputusan

dini /awal yang dibuat, yang mempengaruhi validitas keputusan tersebut

(misalnya, pasien pindah agama)

b. Terdapat situasi yang tidak diantisipasi oleh pasien dan situasi tersebut

dapat mempengaruhi keputusan pasien (misalnya, perkembangan terkini

dalam tatalaksana pasien yang secara drastis mengubah prospek kondisi

tertentu pasien).

c. Situasi / kondisi yang ada tidak jelas dan tidak dapat diprediksi

d. Terdapat perdebatan / perselisihan mengenai validitas keputusan dini /

awal dan kasus tersebut telah dibawa ke pengadilan.

e. Jika terdapat keraguan terhadap apa yang pasien inginkan / maksudkan,

paramedis harus bertindak sesuai dengan kepentingan / hal yang terbaik

untuk pasien. Dapat meminta saran dari dokter senior juga.

11. Tatalaksana emergensi tidak boleh tertunda hanya kerena mencari ada

tidaknya instruksi DNR pasien jika tidak terdapat indikasi jelas bahwa

instrusksi tersebut ada.

12. Pasien tidak diperbolehkan menolak perawatan dasar yang diberikan.

13. Perawatan dasar ini didefinisikan sebagai pemberian tempat tidur yang

nyaman dan hangat, pengurang rasa sakit / analgesik, manajemen gejala-

4

Page 5: Laporan DNR

gejala yang memicu stress fisik (seperti sesak napas, muntah,

inkontinensia), dan manajemen higene / kebersihan diri pasien.

14. Jika pasien tetap menolak perawatan dasar, dokter yang bertugas

sebaiknya meminta saran dari dokter senior, dan masalah ini dapat juga

dibawa ke komisi etik.

15. Rumah sakit sebaiknya membuat kerangka konsep dalam hal mengambil

keputusan DNR.

1.3 Prinsip Pelaksanaan DNR

1. Harus tetap ada anggapan untuk selalu melakukan resusitasi kecuali telah

dibuat keputusan secara lisan dan tertulis untuk tidak melakukan resusitasi

(DNR).

2. Keputusan tindakan DNR ini harus dicatat di rekam medis pasien.

3. Komunikasi yang baik sangatlah penting.

4. Dokter harus berdiskusi dengan pasien yang memiliki kemungkinan henti

napas / jantung mengenai tindakan apa yang pasien ingin tim medis lakukan

jika hal ini terjadi.

5. Pasien harus diberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai kondisi

dan penyakit pasien, prosedur RJP dan hasil yang mungkin terjadi.

6. Tanggung jawab dalam mengambil keputusan DNR terletak pada konsultan /

dokter umum yang bertanggungjawab atas pasien. Jika terdapat keraguan

dalam mengambil keputusan, dapat meminta saran dari dokter senior.

7. RJP sebaiknya tidak dilakukan pada kondisi-kondisi berikut ini:

a. RJP dinilai tidak dapat mengembalikan fungsi jantung dan pernapasan

pasien

b. Pasien dewasa, yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas

untuk mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP

c. Terdapat alasan yang valid, kuat, dan dapat diterima mengenai

pengambilan keputusan untuk tidak melakukan tindakan RJP.

d. Terdapat perintah DNR sebelumnya yang valid, lengkap, dan dengan

alasan kuat.

e. Pada pasien-pasien yang berada dalam fase terminal penyakitnya, di

mana tindakan RJP tidak dapat menunda fase terminal / kodisi

sekarat pasien dan tidak memberikan keuntungan terapetik (risiko /

bahayanya melebihi keuntungannya). Contoh: henti jantung / napas

yang dialami pasien merupakan kejadian alamiah akibat penyakit

terminal yang diderita. Pada kasus ini, RJP mungkin dapat

5

Page 6: Laporan DNR

mengembalikan fungsi jantung-paru pasien secara sementara tetapi

kondisi keseluruhan pasien dapat memburuk dan henti jantung /

napas akan terjadi kembali, yang merupakan bagian dari proses

alamiah dan tidak dapat terhindarkan dari proses kematian pasien.

Melakukan RJP pada kasus di atas akan membahayakan / merugikan

pasien dan bertolak belakang dengan etika kedokteran (prinsip ‘do no

harm’).

8. Semua pasien harus menjalani asesmen secara personal.

9. Pengambilan keputusan DNR harus merupakan langkah terbaik untuk pasien

dan harus didiskusikan dengan pasien meskipun tidak ada kewajiban secara

etika untuk mendiskusikan DNR dengan pasien-pasien yang menjalani

perawatan paliatif (di mana usaha RJP adalah sia-sia).

10. Diskusi dengan pasien dan keluarga merupakan hal yang penting dan

tergantung dengan kapasitas mental dan harapan hidup pasien. Diskusi dapat

dilakukan oleh konsultan rumah sakit, dokter umum, atau perawat yang

bertugas. Staf harus memberitahukan hasil diskusi mereka dengan pasien

kepada dokter penanggungjawab pasien.

11. Jika, pada situasi tertentu, terdapat perbedaan pendapat antara dokter dan

pasien mengenai tindakan DNR, dokter harus menghargai keinginan pasien

(yang kompeten secara mental).

12. Hasil diskusi dengan pasien dan atau keluarganya harus dicatat di rekam

medis pasien.

13. Di rekam medis, harus tercantum:

a. Tulisan ‘Pasien ini tidak dilakukan resusitasi’

b. Tulis tanggal dan waktu pengambilan keputusan

c. Indikasi / alasan tindakan DNR

d. Batas waktu berlakunya instruksi DNR

e. Nama dokter penanggungjawab pasien

f. Ditandatangani oleh dokter penanggungjawab pasien (yang mengambil

keputusan)

g. Contoh:

Tanggal 18 Maret 2010

Pukul 10.30 WIB

Tidak dilakukan RJP

Indikasi: syok kardiogenik

Batas waktu: 24 jam

6

Page 7: Laporan DNR

14. Pada beberapa kasus, tidak terdapat batasan waktu pemberlakuan instruksi

DNR, misalnya: keganasan fase terminal.

15. Pada pasien asing (luar negeri) dan populasi etnis minoritas di mana terdapat

kesulitan pemahaman bahasa, harus terdapat layanan penerjemah yang

kompeten.

16. DNR hanya berarti tidak dilakukan tindakan RJP. Penanganan dan

tatalaksana pasien lainnya tetap dilakukan dengan optimal.

17. Tindakan DNR dapat dipertimbangkan dalam kondisi-kondisi sebagai berikut:

a. Pasien berada dalam fase terminal penyakitnya atau kerugian /

penderitaan yang dirasakan pasien saat menjalani terapi melebihi

keuntungan dilakukannya terapi.

b. Pasien, yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk

mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP.

c. RJP bertentangan dengan keputusan dini /awal yang dibuat oleh pasien,

yang bersifat valid dan matang, mengenai penolakan semua tindakan

untuk mempertahankan hidup pasien.

1.4 Prosedur Mendiskusikan DNR Bersama Pasien

1. Pastikan tercipta suasana yang kondusif, tenang, privasi pasien terjaga.

2. Kehadiran yang lengkap dari orang-orang yang ingin dilibatkan oleh pasien

dalam mendiskusikan hal ini.

3. Komunikasi dan tatap mata sebaiknya sejajar dengan tinggi / posisi pasien.

4. Jika pasien tidak keberatan, ajaklah satu orang perawat untuk mendampingi

diskusi.

5. Perawat dapat membantu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien,

memberi dukungan dan penguatan kepada pasien setelah dokter

meninggalkan ruangan.

6. Mulailah dengan memberikan pertanyaan – pertanyaan umum seperti

bagaimanakah pandangan pasien terhadap penyakit dan tatalaksana yang

dijalaninya.

7. Mengangkat topik utama:

a. Mulai dengan menyatakan: “Saya ingin berdiskusi dengan Anda.”

b. “Apa yang Anda ingin kami (paramedis) lakukan jika suatu waktu Anda

menjadi terlalu sakit untuk dapat berbicara dengan kami?”

c. Salah satu hal penting adalah mengenai pertanyaan tindakan resusitasi.

7

Page 8: Laporan DNR

d. “Meskipun hal ini jarang terjadi, saya perlu untuk mempertimbangkan

mengenai tindakan apa yang harus kami lakukan jika jantung Anda

berhenti.”

e. “Beberapa orang memiliki pandangan yang kuat terhadap seberapa

banyak penanganan yang ingin mereka terima jika mereka menjadi

sangat sakit. Saya ingin tahu apakah Anda pernah memikirkan hal ini.”

8. Pemilihan waktu untuk berdiskusi:

a. Bukan waktu yang bagus untuk melakukan diskusi segera setelah

diagnosis ditegakkan.

b. Waktu diskusi yang terbaik adalah saat diagnosis dan prognosis sudah

jelas dan saat pasien telah mengetahui dan menerima penyakitnya.

9. Berusahalah untuk membangun pemahaman pasien mengenai situasinya

saat ini, sifat dasar resusitasi, kemungkinan tingkat keberhasilan resusitasi

jika dilakukan, serta harapan dan keinginan pasien. Pasien dan keluarganya

sering memiliki harapan / ekspektasi yang tidak realistis dari nilai resusitasi.

10. Berikan informasi mengenai RJP menggunakan kata-kata sederhana

yang dapat dimengerti oleh pasien.

11. Tingkat pemberian informasi harus dinilai dari respons dan

pemahaman setiap pasien.

12. Jika tidak tercapai kesepakatan, berikan pendapat dari sudut pandang

dokter (paramedis) mengenai kondisi pasien dan tindakan RJP. Dapat

dengan menyatakan: “Pendapat saya mungkin berbeda dengan apa yang

Anda inginkan. Karena alasan itulah saya ingin berdiskusi dengan Anda.”

13. Cobalah untuk mengerti:

a. Sudut pandang pasien

b. Nilai-nilai yang dianut oleh pasien

c. Ruang lingkup pengaplikasian (misalnya, penanganan apa saja yang

dijalani pasien)

14. Catat sudut pandang pasien, nilai-nilai yang dianut oleh pasien, dan ruang

lingkup pengaplikasian di rekam medis.

15. Diskusikan keputusan mengenai RJP dalam konteks positif sebagai bagian

dari perawatan suportif. Banyak pasien yang merasa takut diabaikan /

ditelantarkan dan merasa nyeri, melebihi rasa takutnya akan kematian.

16. Petugas harus menekankan mengenai terapi-terapi mana saja yang akan

tetap diberikan, pasien masih akan tetap dikunjungi oleh dokter secara

teratur, pengendalian nyeri, dan memberikan kenyamanan kepada pasien.

8

Page 9: Laporan DNR

17. Penting untuk memisahkan / membedakan keputusan DNR dengan

keputusan mengenai manajemen pasien lainnya.

18. Dengan memberikan kesempatan kepada pasien untuk berdiskusi dengan

dokter, akan membuat pasien merasa dihargai dan menurunkan tingkat

kecemasan / stress pasien juga.

1.5 SOP DNR

Penolakan Resusitasi/Bantuan Hidup DasarNomor Dokumen Nomor Revisi Halaman

Petunjuk Pelaksanaan

Tanggal Terbit Disetujui Oleh

Pengertian Suatu perintah yang memberitahukan tenaga medis untuk tidak melakukan cpr ( cardio pulmonary resuscitation)

Tujuan Untuk menyediakan suatu proses dimana pasien bisa memilih prosedur yang nyaman dalam hal bantuan hidup oleh tenaga medis emergency dalam [kasus henti jantung / henti nafas.

Kebijakan Surat penugasan oleh direktur rumah sakit tentang penunjukkan prosedur penolakan resusitas.

Prosedur Ucapkan salam “ assalamualaikum...” Jelaskan mengenai tindakan dan tujuan cpr kepada pasien /

keluarga pasien. Mintakan informed consent dari pasien atau keluarganya. instruksikan kepada keluarga pasien untuk mengisi formulir dnr. Tempatkan salinan pada rekam medis pasien dan serahkan juga

salinan pada pasien atau keluarga Instruksikan kepada pasien atau keluarga untuk memasang

formulir dnr di tempat-tempat yang mudah dilihat seperti bedstand.

Tinjau kembali status dnr secara berkala dengan pasien atau walinya, revisi bila ada perubahan keputusan yang terjadi dan catat dalam rekam medis. Bila keputusan dnr dibatalkan, catat tanggal terjadinya. Dan gelang dnr dimusnahkan

Perintah dnr harus mencakup hal-hal di bawah ini:A. DiagnosisB. Alasan dnrC. Kemampuan pasien untuk membuat keputusanD. Dokumentasi bahwa status dnr telah ditetapkan dan oleh siapa

Perintah dnr dapat dibatalkan dengan keputusan pasien sendiri atau dokter yang merawat, atau oleh wali yang sah. Dalam hal ini, catatan dnr di rekam medis harus pula dibatalkan dan gelang dnr (jika ada) harus dimusnahkan

Unit Terkait Dokter IGD Ruang Rawat Inap

(Sumber : Wahyu, 2013)

9

Page 10: Laporan DNR

1.6 Prinsip Etik DNR

Keputusan penolakan resusitasi (DNR) menurut Brewer (2008) melibatkan

tiga prinsip moral yang dapat dikaji oleh perawat, yaitu autonomy,

beneficience, dan nonmalefecience, ketiga prinsip tersebut merupakan

dilema etik yang menuntut perawat berpikir kritis, karena terdapat dua

perbedaan nilai terhadap profesionalisme dalam memberikan asuhan

keperawatan, secara profesional perawat ingin memberikan pelayanan

secara optimal, tetapi disatu sisi terdapat pendapat yang mengharuskan

penghentian tindakan.

a. Prinsip Beneficence

Prinsip beneficence pada RJP adalah pemulihan kesehatan dan fungsi-

fungsinya serta meringankan rasa sakit dan penderitaan. Keuntungan

terbesar dari tindakan RJP, dengan kemungkinan hidup lebih dari 20%,

telah dilaporkan pada henti jantung selama tindakan anestesi, overdosis

obat, dan penyakit jantung koroner atau aritmia ventriculer primer.

Jarang sekali pasien bertahan hidup setelah dilakukan RJP ketika henti

jantung yang timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau

disfungsi organ. Harapan hidup pasien setelah dilakukan tindakan RJP

sangat buruk (<5%) bila henti jantung terjadi pada pasien dengan gagal

ginjal, kanker (kecuali dengan penyakit yang minimal), atau AIDS; dan

dengan tidak adanya penyakit penyebab yang irrevers- ible, diikuti

dengan trauma, perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau

pneumonia. Dibatasinya pelaksanaan RJP telah meningkatkan derajat

harapan hidup pasien sebesar 10,5% setelah tindakan RJP, meskipun 7-

10% lainnya ditunda untuk dilakukan RJP. RJP yang dimulai dengan cepat

di Seattle menghasilkan tingkat harapan hidup sebesar 36%, Usia bukan

merupakan salah satu kontraindikasi dilakukannya tindakan RJP.

Walaupun dikatakan proses penuaan berkaitan dengan akumulasi

berbagai kelemahan dan penyakit, dengan terdapatnya perawatan jangka

panjang dan penurunan fungsi tubuh, masih menjadi salah satu

perkiraan hasil RJP yang buruk.

b. Prinsip Non Maleficence

Banyak pasien dengan disabilitas berat yang diikuti dengan

kerusakan otak berada dalam kondisi yang sama dengan kematian. RJP

menjadi berbahaya dan bersifat merusak ketika risiko kerusakan otak

10

Page 11: Laporan DNR

relatif tinggi. Oleh karena gangguan aliran darah ke otak atau ke jantung

dapat menyebabkan kerusakan berat, RJP dapat dikatakan berhasil

hanya jika dilakukan tepat waktu. Pada beberapa kasus, walaupun

petugas gawat darurat sudah membatasi dilakukannya tindakan RJP

di lapangan, masih dapat ditemukan bukti RJP yang tidak dikehendaki.

c. Prinsip Otonomi

Otonomi pasien harus dihormati secara etik dan di sebagian besar

negara dihormati secara legal. Akan tetapi hal itu membutuhkan

kemampuan komunikasi seorang pasien untuk dapat menyetujui atau

menolak tindakan medis termasuk RJP. Informed consent

mensyaratkan bahwa pasien dapat menerima dan memahami informasi

yang akurat tentang kondisi mereka dan prognosis, jenis tindakan

medik yang diusulkan, tindakan alternatif lainnya, risiko dan manfaat dari

tindakan medis tersebut. Pasien juga harus dinilai kapasitasnya dalam

mengambil keputusan. Bila pasien ragu-ragu maka dia harus dianggap

mempunyai kapasitas, dan bila kapasitas dalam mengambil keputusan

tersebut terganggu. Baik dokter dan penderita mungkin mempunyai

persepsi yang berbeda tentang kualitas hidup. Dokter mempunyai

kewajiban untuk menerangkan kepada pasien tentang RJP dan

hasilnya. Pengambilan keputusan yang tepat dapat terjadi bila

penderita mempunyai pemahaman yang baik tentang persepsi dan

hasil resusitasi. Masalah kemudian dapat timbul karena banyak dokter

tidak dapat memprediksi secara akurat tentang kemungkinan hidup dari

serangan jantung, sehingga penderita tidak dapat dipaksa untuk

mengambil persetujuan tentang tindakan RJP

2.7 Peran Perawat Pada Pasien DNR

Secara umum menurut Adam et al (2011), peran perawat ketika menghadapi

pasien DNR diantaranya adalah):

1) Membina hubungan saling percaya antara perawat, pasien dan keluarga.

2) Memfasilitasi pasien dan keluarga terkait kebutuhan (kehadiran

rohaniawan).

3) Menghormati setiap keputusan yang diambil oleh pasien dan keluarga.

4) Mengidentifikasi persepsi keluarga tentang kematian.

5) Mengidentifikasi pengambil keputusan dalam keluarga.

6) Menjawab pertanyaan keluarga secara terbuka dan jujur.

11

Page 12: Laporan DNR

7) Mendampingi pasien menghadapi proses kematian.

8) Memberikan dukungan kepada pasien dan keluarga.

9) Berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain terkait dengan keputusan

DNR.

10) Memberikan tanda berupa gelang berwarna ungu kepada pasien yang telah

dinyatakan DNR

2.8 Konsep RJP

2.8.1  Pengert ian

Suatu tindakan untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan sirkulasi guna

mempertahankan kelangsung hidup. Resusitasi jantung paru (RJP)

merupakan usaha memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan

ventilasi dari pasien yang mengalami henti jantung dan henti nafas melalui

resusitasi jantung paru (Paula, 2010)

2.8.2 Indikasi

a.Henti jantung dan henti nafas

Henti jantung terjadi bila jantung tiba-tiba berhenti berdenyut akibatnya terjadi

penghentian sirkulasi efektif, semua kerja jantung berhenti atau terjadi

aktivitas listrik yang tidak seirama.

Henti nafas adalah berhentinya pernafasan pada pasien/ korban yang

ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara penafasan dari

pasien/korban. Merupakan kasus yang haruus segera dilakukan bantuan

hidup dasar.

b.Ventrikel fibrilasi

Merupakan suatu keadaan dimana konstraksi yang tak korrdinasi sekaligus

dari semua otot ventrikel walaupun aliran sinyal-sinyal perangsangan yang

sangat banyak di seluruh ventrikel, ruangan di dalam ventrikel tidak

membesar, tidak berkonstraksi, dan tidak memompakan darah yang efektif.

Hal-hal yang pada dasarnya cenderung menimbulkan fibrilasi adalah (1) kejut

listrik jantung jang tiba-tiba (2) iskemia dari otot jantung.

c. Asistole

Merupakan suatu keadaan dimana tidak ada gambaran systole lagi dalam

EKG (gari lurus).

2.8.3 Konsep Fisiologis

Apa yang terjadi saat jantung berhenti berdenyut? Empat menit pertama jantung gagal

memompakan darah terutama ke otak, maka akan mengalami kekurangan suplai gula darah

12

Page 13: Laporan DNR

(utamanya) dan oksigen, sehingga otak mengalami iskemia. Lewat dari itu selama 10 menit

akan menyebabkan kematian sel otak yang irreversible (waktu kritis).

CPR/RJP merupakan tehnik dasar untuk safe and rescue jika terdapat korban yang

mengalami henti jantung mendadak (cardiac arrest) atau henti napas Pompa jantung

menggunakan tangan (resusuitasi kardiopulmonal) sebagai alat untuk defibrilasi. Bila tidak

terjadi defibrilasi dalam waktu satu menit setelah fibrilasi dimulai, jantung biasanya terlalu

lemah untuk dibangkitkan kembali dengan defibrilator sendiri karena kontraksi myocard yang

tidak efektif (pemacuan). Akan tetapi jantung masih mungkin dibangkitkan bila sebelumnya

dipompa dengan tangan dan kemudian mendefibrilasinya. Pompa jantung menggunakan

tangan (resusitasi kardiopulmonal) maka akan :

a. Memberikan kesempatan jantung berdenyut lebih cepat, kalau terlalu banyak

ventilasi ada fase silance.

b. Mengurangi ITP (Intra Thoracik Pressure) – Tekanan Dalam Rongga Dada

karena ventilasi untuk mencegah regurgitasi/ aspirasi.

c. Sebenarnya dengan mengkompresi jantung, secara tidak langsung

memberikan ekspirasi napas.

2.8.4 Pengkajian Sebelum RJP

Pengkajian pasien dengan RJP adalah menggunakan teori CAB:

a. Pastikan aman

Lihat sekitar korban ada bahaya, singkirkan dan bawa korban ke tempat yang aman.

b. Periksa apakah korban atau pasien sadar

Panggil pasien, sentuh pundak/bahu pasien kalau dia tidak sadar.

c. Panggil bantuan

Minta bantuan teman atau telepon no darurat No 118/112 (di Indonesia banyak banget)

a) Airway

1. Periksa jalan napas korban dengan cara : pembersihan sumbatan jalan

nafas.

2. Bebaskan jalan nafas: head titlt chin lift & model jaw trust

b) Breathing

1. Cek nafas korban (lock-feel-listen)

2. Memastikan korban/pasien bernafas/tidak

c) Circulation

1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung korban

2. Memberikan bantuan sirkulasi

d) Defibrilasi

13

Page 14: Laporan DNR

1. Analisa irama jantung pasien/korban, ada indikasi untuk pemberian shock listrik.

Prosedur defibrilasi sebagai berikut :

2. Paddle I ditempatkan dibawah klavikula kanan dekat tulang dada atas

3. Paddle II di iga ke-lima antara garis midklavikular kiri dan garis aksilar depan kiri

4. Bila hantaran (paddles) ditempatkan pada tempat sedemikian rupa sehingga

sejumlah aru maximal beraksi sebanyak mungkin pada miokardium. Aktivitas elektrik

dengan kontraksi kardiak yang efektif dapat dihasilkan bila miokard dapat oksigen dalam

jumlah yang cukup dan bila pusat pacu mengambil alih kembali.

5. Sementara jangan sentuh korban.

2.8.5 Prosedur RJP

2.8.5.1 Persiapan alat

RJP dilapangan gunakan tissue untuk membatasi antara mulut pasien dengan mulut

penolong

2.8.5.2 Persiapan pasien :

1. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka secara umum posisi

penderita terlentang dengan tujuan meningkatkan aliran darah ke organ-

organ vital.

2. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan

digerakkan sampai persiapan transportasi selesai, kecuali untuk menghindari

terjadinya luka yang lebih parah atau untuk memberikan pertolongan pertama

seperti pertolongan untuk membebaskan jalan nafas.

3. Penderita yang mengalami luka parah pada bagian muka atau penderita

tidak sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh (berbaring miring)

untuk memudahkan cairan keluar dari rongga mulut dan untuk menghindari

sumbatan jalan nafas oleh muntah atau darah penanganan yang sangat

penting adalah meyakinkan bahwa salurna nafas tetap terbuka untuk

menghindari terjadinya asfiksia.

4. Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar atau

kepala a gak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih rendah

dari bagian tubuh lainnya.

5. Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita

dibaringkan dengan posisi terlentang datar.

6. Pada penderita shock hypovolemik, baringkan penderita terlentang dengan

kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih besar dan

tekanand arah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar

bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali.

14

Page 15: Laporan DNR

2.8.5.2 Persiapan lingkungan :

1. Cari tempat yang aman dan nyaman untuk melakukan resusitasi

2. Persiapkan alas untuk tidur pasien (jika memungkinkan)

3. Siapkan lingkungan yang jauh dari keramaian untuk memudahkan melakukan

resusitasi.

Hal-hal yang perlu diperhatikan :

a. Ventilasi buatan (mulut ke mulut) dilakukan segera, kepala ditengadahkan

kebelakang dan dagu diangkat untuk meregangkan jalan nafas dan memajuklan,

lidah dalam menyiapkan ventilasi mulut ke mulut, teknik baru menganjurkan

15

Page 16: Laporan DNR

penghentian ventilasi 1,5 detik dan sedikit kekuatan dan tekanan pada ekshaiasi

sehingga esopagus tidak teruka (yang memungkinkan udara di bawah tekanan

mengaliri ke lambung). Sepanjang tindakan tersebut, kompresi dada harus dilakukan

dengan kecepatan minimal 100 kali permenit.

b. Kompresi jantung eksternal

1. Lakukan kombinasi nafas buatan dan kompresi jantung luar dengan

perbandingan 30:2 (baik 1 atau 2 penolong), dengan teknik sebagai berikut.

2. Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong menelusuri tulang iga kanan

atau kiri sehingga bertemu dengan tulang dada

3. Dari pertemuan tulang sternum diukur kurang lebih 2 atau 3 jari keatas

daerah tersebut merupakan tempat untuk tangan penolong dalam

memberikan bantuan sirkulasi.

4. Letakkan jari-jari kedua tangan atau saling mengait untuk memastikan bahwa

penekanan yang dilakukan tepat pada sternum dan tidak pada tulang iga atau

bagian atas perut.

5. Dekatkan badan penolong vertikal diatas pasien dengan berumpu pada

kedua tangan diluruskan diatas sternum pasien dan tekan sternum tegak

lurus sedalam 3,8 5cm.

6. Lepaskan tekanan tanpa melepas kontak antara tangan dan sternum pasien,

kemudian ulangi penekanan/kompresi jantung luar dengan kecepatan

100x/menit (dilakukan 4 siklus/menit, berarti hampir 2x kompresi dalam 1

detik).

7. Kombinasikan kompresi dan nafas buatan : setelah 30x kompresi, berikan

nafas buatan yang efektif sebanyak 2x.

8. Tidak ada penundaan antara kompresi nafas buatan kompresi lagim

sehingga jeda waktu tidak lama, lanjutkan resusitasi sampai.

9. Pertolongan diambil oleh yang lebih ahli

10. Pasien mulai bergerak/ada nafas spontan

11. Penolong kelelahan (harusnya penolong diganti tiap 2 menit, bila jumlah

penolong memadai)

12. Bila pasien/korban tak ada luka tetapi tak berespon dengan bantuan nafas,

atur posisinya agar miring ke samping (lateral position) agar lidah tak jatuh

kebelakang dan menyumbat saluran nafas.

16

Page 17: Laporan DNR

2.8.6 Indikasi RJP Boleh Tidak Dilakukan

Menurut American Heart Association 2010 ada beberapa kondisi RJP boleh

tidak dilakukan, diantaranya:

Adanya instruksi untuk tidak melakukan RJP (Do Not

Resuscitation/DNR)

Sudah tampak tanda-tanda kematian (kaku mayat, lebam mayat) atau

pada trauma yang tidak mungkin diselamatkan (seperti: leher yang

terpenggal)

Di tahun 2003, The National Asscociaation of EMS Physicians (NAEMSP)

mempublikasikan pedoman untuk tidak melakukan resusitasi pada pasien trauma

yang :

1. Pasien dengan trauma tumpul yang ditemukan dalam kondisi apneu, tidak ada

nadi dan tidak ada irama ECG (asistole)

2. Pasien dengan luka tembus/tusuk yang ditemukan dalam kondisi apneu dan

tidak ada nadi

3. Korban dengan leher yang terpenggal atau hemicorporectomy

4. Korban yang mengalami henti jantung ditolong petugas medis dan setelah 15

menit melakukan resusitasi tidak berespon. Semua keputusan yang dibuat

harus berdasar pada aturan yang berlaku di tempat tersebut

2.8.7 Tanda RJP yang Berkualitas

1. Posisi tangan tetap di sternum selama melakukan kompresi dada

2. Kompresi dada dilakukan dengan kecepatan minimal 100 x/ menit

3. Kompresi dada dilakuka dengan kedalaman minimal 5 cm atau 2 inchi

4. Memberikan kesempatan pada dinding dada untuk mengembang kembali

sebelum kompresi berikutnya

5. Meminimalkan interupsi kompresi dada selama RJP

6. Menghindari pemberian bantuan nafas yang berlebihan

17

Page 18: Laporan DNR

BAB 3

TINJAUAN JURNAL

3.1 Latar Belakang Jurnal

Pengakuan terhadap rendahnya angka kelangsungan hidup pasca

resusitasi dan tingginya biaya perawatan akibat penggunaan alat bantu pasca

resusitasi menyebabkan mulai diperhitungkannya kebijakan DNR sekitar tahun

1970-an. Selain itu jarang sekali pasien bertahan hidup setelah dilakukan RJP

ketika henti jantung yang timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau

disfungsi organ. Harapan hidup pasien setelah dilakukan tindakan RJP sangat

buruk (<5%) bila henti jantung terjadi pada pasien dengan gagal ginjal,kanker

(kecuali dengan penyakit yang minimal), atau AIDS; dan dengan tidak adanya

penyakit penyebab yang irreversible, diikuti dengan trauma, perdarahan, hipotensi

yang berkepanjangan atau pneumonia. Asosiasi Kedokteran Amerika menjadi

organisasi pertama yang mengusulkan pemberlakuan kebijakan DNR tersebut

secara formal yang dikomunikasikan kepada seluruh staff terkait tentang kebijakan

baru tersebut (American Medical Association, 1974 dalam Brewer, 2008).

DNR atau do-not-resuscitate adalah suatu perintah yang memberitahukan

tenaga medis untuk tidak melakukan CPR. Hal ini berarti bahwa dokter, perawat,

dan tenaga emergensi medis tidak akan melakukan usaha CPR emergensi bila

pernapasan maupun jantung pasien berhenti. CPR atau cardiopulmonary

resuscitation adalah suatu prosedur medis yang digunakan untuk mengembalikan

fungsi jantung (sirkulasi) dan pernapasan spontan pasien bila seorang pasien

mengalami kegagalan jantung maupun pernapasan.

Asosiasi Perawat Amerika juga membicarakan tentang kebijakan DNR,

bahwa keputusan DNR diambil dengan sebelumnya telah diinformasikan kepada

pasien dan keluarganya mengenai keuntungan dan kerugian, serta disepakati oleh

semua pihak yang terlibat dalam dokumen baku untuk menghindari tuntutan

(American Nurses Association, 2003 dalam Brewer, 2008).

Menurut Morrison et al (2010), perintah untuk tidak melakukan resusitasi

(DNR) diberikan oleh dokter berlisensi atau pernyataan penolakan resusitasi

merupakan permintaan tertulis pasien atau keluarganya dan harus ditandatangani

pada format baku yang dituangkan dalam informed consent, serta diputuskan

Page 19: Laporan DNR

setelah melalui proses konsultasi dengan dokter yang berwenang, artinya bahwa

pasien/keluarganya dapat menerima dan memahami informasi yang akurat tentang

kondisi, prognosis, jenis tindakan medik yang diusulkan, tindakan alternatif lain,

risiko, dan manfaat dari tindakan medis tersebut.

3.2 Metode

Penelitian ini menggunakan design cross sectional, dimana dilakukan pada

bulan September 2013 sampai bulan Maret 2014. Sebanyak 200 perawat yang

bekerja di Rumah Sakit Imam Khomeini dipilih dengan acak menggunakan simple

random. Para perawat mengisi kuesioner yang terbagi menjadi 2 bagian yang

pertama berisi data demografi dan yang kedua berisi pertanyaan mengenai DNR

Orders. Semua partisipan diminta mengisi kuesioner dalam waktu 1 minggu.

Apabila kuesioner tidak dikirim lebih dari 1 minggu peneliti akan mengirimkan

pesan pengingat. Analisa statistik menggunakan SPSS for windows versi 18. Data

disebut signifikan apabila P value < 0,05

3.3 Hasil

Berdasarkan kuisioner tentang pandangan perawat mengenai DNR,

sebagian besar perawat (38,7%) menganggap bahwa DNR diperlukan dan

memerlukan peran perawat di dalamnya. Keterlibatan pasien dalam pengambilan

keputusan terkait DNR dianggap sangat perlu (23,2%) akan tetapi, jika pasien

atau keluarga tidak mampu memutuskan, maka keluarga dan dokter keluarga

berhak mengambil keputusan. Menurut 59,5% responden, keputusan DNR

memang didapat dari pasien, keluarga, dan dokter dan hanya sebagian kecil

responden (29,7%) yang menganggap DNR merupakan kewenangan rumah sakit

dengan alasan bahwa kewajiban dari rumah sakit adalah untuk meningkatkan

harapan hidup pasien (35,8%). Pasien yang meminta untuk dilakukan DNR bukan

berarti pasien tersebut diabaikan begitu saja sebab konteks DNR yang sebenarnya

hanya mengacu pada penghentian tindakan Cardio Pulmonary Rescucitation

(DNR), bukan penghentian pada terapi atau perawatan rutin pasien. Hal ini sejalan

dengan sebagian besar jawaban sebgaian besar responden (67,2%) yang memilih

langkah yang sama setelah keputusan DNR dibuat dan sebanyak 66% responden

mengatakan terlibat pada proses DNR terutama pasien pernyakit terminal seperti

19

Page 20: Laporan DNR

kanker, diikuti okeh luka bakar, ensefalopati, serangan jantung, pasien HIV, dan

bayi dengan kelainan kongenital.

3.4 Analisis

Sebagian besar responden di dalam penelitian ini menganggap bahwa DNR

diperlukan dan merasa perlu untuk terlibat di dalamnya. Hal tersebut berkaitan

dengan prinsip etik keperawatan autonomy, beneficience, dan non maleficience.

20

Page 21: Laporan DNR

Prinsip moral yang diyakini pasien/keluarganya harus dihargai, meskipun sudut

pandang secara etik berbeda, prinsip autonomy di sebagian besar negara

dihormati secara legal, yang memerlukan keterampilan dalam berkomunikasi

secara baik. Perawat secara kognitif memiliki komunikasi terapeutik yang dapat

dijadikan acuan untuk membicarakan hak otonomi pasien/keluarganya, melalui

informed consent, pasien dan keluarga telah menentukan pilihan

menerima/menolak tindakan medis, termasuk resusitasi, meskipun umumnya

pasien/keluarga tidak memiliki rencana terhadap akhir kehidupannya. Perawat

dapat memberikan edukasi tentang proses tersebut dengan cara-cara yang baik

dan tidak menghakimi pasien/keluarga untuk menerima saran/masukan, tetapi

mendukung keputusan yang mereka tetapkan (AHA, 2005 dalam Basbeth dan

Sampurna, 2009).

Prinsip moral beneficence pada penerimaan/penolakan tindakan resusitasi

mengandung arti bahwa pasien memilih apa yang menurut mereka terbaik

berdasarkan keterangan-keterangan yang diberikan perawat, perawat dapat

memberikan informasi akurat mengenai keberhasilan resusitasi, manfaat dan

kerugiannya, serta angka harapan hidup pasca resusitasi, termasuk efek

samping/komplikasi yang terjadi, lama masa perawatan, serta penggunaan alat

bantu pendukung kehidupan yang memerlukan biaya cukup besar. Data-data dan

informasi yang diberikan dapat menjadi acuan pasien/keluarganya dalam

menentukan keputusan (Basbeth dan Sampurna, 2009).

Prinsip moral nonmalefecience berkaitan dengan pelaksanaan tindakan RJP

tidak membahayakan/merugikan pasien/keluarganya. Menurut Hilberman, Kutner

J, Parsons dan Murphy (1997) dalam Basbeth dan Sampurna (2009) dikatakan

bahwa banyak pasien mengalami gangguan neurologi berupa disabilitas berat

yang diikuti dengan kerusakan otak pasca RJP, menyebabkan kerusakan otak

permanen (brain death), tingkat kerusakan otak berkaitan dengan tindakan RJP

bervariasi antara 10-83%. Tindakan RJP dikatakan tidak merusak jika keuntungan

yang didapatkan lebih besar. Data tersebut dapat menjadi pertimbangan dokter

dalam menentukan DNAR pada pasien dengan angka harapan hidup relatif kecil

dan prognosa yang buruk.

21

Page 22: Laporan DNR

Hal ini disebabkan oleh Pengakuan terhadap rendahnya angka

kelangsungan hidup pasca resusitasi dan tingginya biaya perawatan akibat

penggunaan alat bantu pasca resusitasi. Pasien Do Not Resuscitate (DNR) pada

kondisi penyakit kronis/terminal dari sisi tindakan keperawatan tidak akan berbeda

dengan pasien pada umumnya, hanya memiliki makna bahwa jika pasien berhenti

bernapas atau henti jantung, tim medis tidak akan melakukan resusitasi/Resusitasi

Jantung Paru (RJP), hal ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan AHA, bahwa

jika RJP yang dilakukan tidak memberikan hasil signifikan pada situasi tertentu,

dan lebih membawa kerugian bagi pasien/keluarganya dari segi materil maupun

imateril, maka pelaksanaan RJP tidak perlu dilakukan (Ardagh, 2000 dalam

Basbeth dan Sampurna, 2009).

3.5 Jurnal

(terlampir)

22

Page 23: Laporan DNR

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.1.1 DNR atau do-not-resuscitate adalah suatu perintah yang

memberitahukan  tenaga medis untuk tidak melakukan CPR. Hal ini

berarti bahwa dokter,  perawat, dan tenaga emergensi medis tidak akan

melakukan usaha CPR emergensi bila pernapasan maupun jantung

pasien berhenti.

4.1.2 Kriteria dilakukannya DNR ialah perintah DNR untuk pasien harus tertulis

baik di catatan medis pasien maupun di catatan yang dibawa pasien

sehari-hari, di rumah sakit atau keperawatan, atau untuk pasien di rumah.

4.1.3 Prinsip DNR ialah hanya berarti tidak melakukan RJP pada pasien yang

mengalami henti jantung atau henti nafas. Penanganan dan tatalaksana

pasien lainnya tetap dilakukan

4.1.4 Prosedur mendiskusikan keputusan DNR dilakukan dengan keluarga

pasien dengan menjelaskan kelebihan dan kekurangan/resiko dari

dilakukannya DNR

4.1.5 SOP

4.1.6 ETIK

4.1.7 PERAN PERAWAT

4.1.8 KONSEP RJP

4.2 Saran

Hendaknya tenaga kesehatan lebih mengetahui tentang konsep DNR secara

jelas, sehingga jika ada pasien dengan permeintaan DNR maka para tenaga medis

tidak bingung akan tindakan apa yang akan dilakukan. Selain itu sebaiknya setiap

rumah sakit memiliki standar SOP mengenai tindakan DNR serta publikasi mengenai

DNR kepada seluruh tenaga kesehatan di rumah sakit.

23

Page 24: Laporan DNR

DAFTAR PUSTAKA

Adams, Judith A., Bailey Jr, Donald E., Anderson, Ruth A., & Docherty, Sharon L.

(2011).”Nursing Roles and Strategies in End-of-Life Decision Making in Acute Care: A

Systematic Review of the Literature.” Nursing Research and Practice. Volume 2011.

http://dx.doi.org/10.1155/2011/527834

AHA . 2010. Cardiac Arrest in Special Situations: 2010 American Heart Association Guideline

for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 122,

844-845

Basbeth, F 2009. ”Analisis etik terkait resusitasi jantung paru”,Majalah Kedokteran Indonesia,

Volume: 59, Nomor: 11, Nop 2009

Brizzi, M, K. Abdul- Kasim et al. 2012. “Early do not resuscitate orders in intracerebral

haemorage, frequency and predictive value for death and functional outcome. A

retrospective cohort study” Scandinavian Journal Of Trauma Resuscitation And Emergency

Medicine 20 (36)

Brewer, B C. 2008.”Do not abandon, do not resuscitate; a patient advocay position”. Journal of

Nursing Law.volume 12, number 2, 2008.

Fields, L. 2007. “DNR Does Not Mean No Care” Journal of Neuroscience 39 (5)

Lachman, Vicky D. (2006). “Applied ethics in nursing”. New York. Springer Publishing Company

Inc. ISBN 0-8261-7984-3

Morrison, Laurie J., Kierzek, Gerald, Diekema, Douglas S., Sayre, Michael R., Silvers, Scott M.,

Idris, Ahamed H., &Mancini, Mary E. 2010,”Part 3: Ethics: 2010 American Heart

Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular

Care”,Circulation, 122 18 suppl 3, S665-S675. DOI: 10.1161/circulationaha.110.970905.

Krisanty, dkk. 2010. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. CV Trans Info Media: Jakarta.

Tony, dkk. 2012. Penatalaksanaan Henti Jantung di Luar Rumah Sakit Sesuai dengan

Algoritma AHA 2010. UMM PRESS : Malang

Wahyu, Pria. 2013. Kebijakan DNR pada trauma Dada. Jakarta : Gaya Baru.

24