laporan geomorf

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Menurut Verstappen, Geomorfologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bentuk lahan (landform) yang membentuk permukaan bumi, di atas dan di bawah permukaan laut dan menekankan pada cara-cara terjadinya serta perkembangannya dalam konteks keruangan. Dengan kata lain, geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuk muka bumi atau bentuklahan, proses-proses yang mempengaruhi genesa, serta hubungannya dengan lingkungan dalam ruang dan waktu. Dari kedua definisi tersebut, dapat diketahui bahwa objek utama yang dipelajari dalam geomorfologi adalah bentuklahan, proses, genesa, dan evolusi pertumbuhan bentuklahan, serta mempelajari hubungannya denngan lingkungan. Pulau Jawa bagian selatan memiliki daya tarik tersendiri untuk dikaji secara geomorfologi, karena bentuk lahannya yang khas, yakni berupa marin, bentuk asal proses fluvial dan juga bentuk lahan asal proses solusional. Akibat dari adanya subduksi atau penunjaman lempeng australia kebawah lempeng eurasia, maka pada sisi selatan Pulai Jawa memiliki hasil bentuk lahan yang khas, yakni berupa jajaran pegunungan non-vulkanik, serta kawasan daerah karst. Kawasan karst ini kaya akan bentuk-bentuk minor maupun mayor. Bentuk minor seperti stalaktit, stalakmit, tiang massive, dll, sementara benuk mayor seperti gua karst, uvala, polje, cekungan-cekungan, dll. Keanekaragaman bentuk lahan di Jawa Tengah bagian Selatan ini menarik untuk dikaji lebih lanjut secara geomorfologinya. Oleh karena itu, fieldtrip pada tanggal 4 Desember 2011 ini bertujuan untuk memahami lebih lanjut tentang berbagai jjajaran pegunungan non-vulkanik, cekungan

Kelompok 2

Page 1

Baturetno, sungai anteseden, gua karst, dan juga bentuklahan marin di Teluk Pacitan, di Pantai Telengria.

B. Rumusan Masalah Dari uraian latar brlakang tersebut, dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yakni: 1. Bagaimana bentnuklahan yang dapat teramati di stopsite 1 yang

berlokasi di Reservoir klampisan? 2. Bagaimana kajian geomorfologi pada stopsite 2 di Cekungan

Baturetno? 3. 4. 5. Bagaimana kajian geomorfologi pada stopsite 3 di sungai Sinung? Bagaimana kajian geomorfologi pada stopsite 4 di gua Tabuhan? Bagaimana kajian geomorfologi pada stopsite 5 di Teluk Pacitan?

C. Tujuan Tujuan dari kegiatan fieldtrip ini adalah untuk: 1. Mengetahui bentuklahan yang dapat teramati di stopsite 1 yang

berlokasi di Reservoir klampisan. 2. Mengetahui kajian geomorfologi pada stopsite 2 di Cekungan

Baturetno. 3. 4. 5. Mengetahui kajian geomorfologi pada stopsite 3 di sungai Sinung. Mengetahui kajian geomorfologi pada stopsite 4 di gua Tabuhan. Mengetahui kajian geomorfologi pada stopsite 5 di Teluk Pacitan.

Kelompok 2

Page 2

D. Manfaat Dari hasil fieldtrip ini, manfaat yang dapat diambil antara lain: 1. Informasi mengenai bentuklahan yang terdapat pada 5 stopsite dari

Wonosari hingga teluk pacitan. 2. Dapat menambah kecintaan dan kepedulian terhadap kelestarian

lingkungan. 3. Dapat menambah wawasan dalam disiplin ilmu Geomorfologi.

Kelompok 2

Page 3

BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

STOP SITE 1

Lokasi : Reservoir Klampisan, yang terletak pada 07o4734,31 S dan 110o5432,6 E dengan elevasi 183 meter dpl.

Gambar 1. Reservoir Klampisan Stop site pertama ini terletak di Reservoar Klampisan merupakan sebuah tendon air untuk masyarakat sekitar. Sumber air pada resorvoir ini diperoleh dari timur Bengawan Solo. Dari tempat ini di sisi barat terlihat Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Di sebelah selatan terdapat rangkaian Plopoh Ringe. Lokasi Reservoar Klampisan ini masih merupakan bagian utara dari zona selatan Jawa Timur, jenis batuannya berupa batuan breksi vulkanik. Lokasi ini lebih rendah jika dibandingkan dengan bertingkat (stop fault). Proses pembentukan tanah di lokasi ini berawal dari adanya pelapukan, serta erosi yang terjadi secara alami maupun akibat aktivitas manusia. Kelompok 2 Page 4 rangkaian perbukitan di sebelah selatan (Plopoh Ringe). Hal ini disebabkan karena di Plopoh Ringe yang mengalami patahan

Penggunaan lahan di stop site 1 ini didominasi oleh pertanian lahan kering, berupa tegal tak berteras. Jenis tanaman pertanian berupa jagung dan padi gogo Akibatnya erosi berlangsung cepat, dan material yang ererosi di endapkan di suatu tempat. Jenis tumbuhan yang ada berupa tanaman keras, seperti pohon jati, akasia, mahoni, jambu, mangga, singkong, sukun.

Gambar 2. Jenis-jenis vegetasi di stopsite 1 Lokasi ini merupakan daerah perkembangan baru, yaitu setelah adanya pembangunan terminal Wonogiri, tetapi rencananya terminal tersebut akan dipindah di sekitar pertigaan Krisak. Di sebelah selatan dari reservoar Lampisan ini dulunya merupakan tegal (ketela pohon), kemudian sekitar tahun 1975 sekarang dibangun kawasan permukiman. Arah perluasan dari kota Wonogiri sendiri cenderung ke utara. Fisiografis Secara fisiografis, reservoar Klampisan ini berada pada perbatasan antara zona tengah dengan zona selatan. Dari bukit di lokasi ini, berhadapan langsung dengan escarpment dari pegunungan selatan. Bagian utara dari zona tengah terjadi

Kelompok 2

Page 5

depresi vulkanik, dan di arah timur dari lokasi ini dilintasi aliran Bengawan Solo. Apabila diamati, semakin ke utara, bukit-bukit pada jajaran plopoh range semakin tidak nampak, hal ini disebut dengan sesar berjenjang.

Gambar 3. Sesar berjenjang (step faulting) Geomorfologi Dari aspek geomorfologi, jenis bukit di lokasi 1 ini merupakan bukit in lier (satu), isolated hill yakni bukit-bukitnya terisolasi secara berkelompok. Bukit ini dikelilingi oleh suatu endapan dimana umur batuan bukit lebih tua dari pada umur batuan endapan di sekelilingnya. Pegunungan selatan merupakan rangkaian pegunungan non vulkanik, tetapi material penyusunnya sebagian besar berupa material vulkanik. Daerah Klampisan ini merupakan bagian dari rangkaian pegunungan selatan. Penyebab adanya material vulkanik ini tidak lepas dari proses ketika pembentukannya. Batuan di sekitar Gunung Gandul merupakan batuan intrusi yang kemudian lepas (rolling). Di bukit klampisan ini dominasi batuannya berupa batu breksi.

Kelompok 2

Page 6

Gambar 4. Bongkah batuan breksi di stop site 1 Ciri-ciri dari batuan breksi adalah: ukurannya yang tidak seragam; baik dari fragmen maupun matriksnya berukuraan kerikil hingga bongkahan besar bentuk butir agak menyudut merupakan breksi bawah laut, yakni hasil dari erosi gunung api bawah laut sedikit mengandung unsure karbonat pada semennya tidak terdapat fosil, karena batuan ini adalah pembekuan dari lahar pekat (kental dan dengan velocity lambat) adanya kekar (yaitu kekar tektonik), yang dicirikan : lurus, berpasangan, rapat Aspek Bencana Kekar-kekar yang memotong breksi ini, meskipun batuan breksi tergolong batuan yang kompak, tapi sangat rawan longsor karena karakteristik tanahnya yang tipis, maka ditanami vegetasi yang keras agar akarnya cepat menunjam ke dalam (retakan tadi)

Kelompok 2

Page 7

B.

STOP SITE 2 Stop site 2 ini berada di Desa Mojopuro, Kecamatan Wuryantoro, atau

terletak pada titik koordinat 07o5631,2 S dan 110o5706,3 elv 181m. Lokasi ini merupakan sebuah cekungan atau basin, yakni basin Baturetno yang disekelilingnya dibatasi oleh perbukitan. Cekungan Baturetno merupakan cekungan antar-pegunungan (inter-mountain basin) sebab terletak diantara dua jalur yang secara regional terdapat di pegunungan selatan. Disebelah utara Cekungan Baturetno, terdapat pegunungan yang meliputi Baturagunga RangeGunung Kidul, Panggung massif, Plopoh-Kambengan Range. Semenatara itu, disebalah selatan terdapat jalur plato batu gamping dan topografi karst Pegunungan Sewu. Cekungan Baturetno berisi endapan kuarter, karena cekungan ini terbentuk selama pleistosen. Pada plio-pleistosen, seluruh geantklin (tulang punggung) jawa terangkat akibat membusur akibat dari efek kompresi dari selatan, yakni hasil dari penunjaman kerak samudera hindia di bawah kerak jawa. Pegunungan Selatan yang telah terbentuk sejak oligo-miosen, karena efek pengangkatan ini mengalami peretakan dan penyesaran serta runtuh semakin ke utara (step faulting), termasuk pembentukan gawir Baturagung. Sedangkan sisi selatannya menjadi miring secara regional ke selatan. Pemiringan regional ke selatan ini juga disertai dengan step faulting dan flexure membentuk antithetic fault blocks. Melalui cara pematahan dan flexure inilah cekungan baturetno terbentuk. Pembentukan cekungan melalui retakan secara warping dan flexure yang bersamaan dengan pemiringan regional bagian selatan pegunungan selatan, menyebabkan terjadinya blocking sungai-sungai yang semula mengalir ke selatan sesuai dengan kemiringan regionalnya, menjadi kebalik ke utara (stop site 3). Hal ini mengakibatkan penanggulan alam dan membentuk lingkungan tertutup yang reduksi di beberapa wilayah cekungan. Dari lingkungan inilah endapan danau dan lempung hitam berasal. Dengan demikian, cekungan baturetno sudah mulai terbentuk saat ia berlokasi diantara dua jalur pegunungan sebagai inter-mountain basin. Tetapi

Kelompok 2

Page 8

pembentukan utamanya terjadi ketika pleistosen atas saat wilayah ini mengalami warping dan flexure serta block faulting akibat kompensasi pegunungan selatan yang terangkat bagian utaranya runtuh ke utara dan bagian selatannya terangkat miring ke selatan. Jenis tanah di daerah ini adalah tanah grumusol dengan ketebalan yang tinggi. Apabila kemarau biasanya akan pecah-pecah dan jika musim penghujan akan lengket. Tanah di daerah ini termasuk subur, karena didukung oleh posisinya yang berada pada cekungan. Kandungan gamping di dalam tanah ini tinggi karena hasil dari pelapukan sedimentasi material aluvial dan kolluvial. Penggunaan lahan berupa sawah irigasi, sedangkan sumber irigasinya berasal dari waduk Kedung Puling. Jenis tanaman yaitu: padi dan jagung.

Gambar 5. Tanah grumusol di cekungan baturetno Dari lokasi ini sebelah barat, pada awalnya merupakan hutan yang kemudian oleh Dinas Perhutani dibuka untuk masyarakat sebagai lahan pertanian. Pembukaan lahan tersebut dikenal dengan sebutan agroforestly. Berdasarkan kerangka tektonik, daerah di stopsite 2 ini merupakan sebuah basin. Kemudian setelah antiklin Jawa patah, bagian utaranya tenggelam, dan

Kelompok 2

Page 9

bagian barat mulai menyesuaikan diri. Di bagian utara mengalami step faulting, selang- seling (graben-horst). Cekungan Baturetno merupakan graben, sedangkan Panggung massive merupakan merupakan horst. Ketidakstabilan Southern Mountain terjadi mulai dari Ujung Kulon sampai ke Blambangan. Di kawasan ini tanahnya relative subur sebab menerima endapan alluvial yang tebal dari tebingtebing di sekitarnya. Strukturnya merupakan mud crack, yaitu tanah yang sering mengalami retakan-retakan yang diakibatkan kembang-kerut air hujan. Untuk mengantisipasi retakan-retakan tanah tersebut, masyarakat setempat membangun rumah dari material bamboo untuk menghindari kerusakan, seperti pecahnya lantai akibat retakan yang sering terjadi di tanah.

C.

STOP SITE 3

Lokasi : Jembatan Kali Sinung, Kecamatan Giritontro, yang terletak pada 08o0448,9 S dan 110o5126,8 E dengan elevsi 211 meter dpl. Lokasi ini terletak di bagian selatan Basin Baturetno. Limestone pada jembatan ini memiliki kemiringan perlapisannya kearah utara, sedangkan di Wuryantoro dan Eromoko kemiringan perlapisannya kearah timur. Di stop site 3 ini didominasi oleh formasi kepek, yaitu formasi yang terdiri dari napal dan batu gamping berlapis. Napal pada umumnya melapuk sedang, berwarna putih keabuan, berlapis, padu, terdapat nodul-nodul kalsit. Sementara itu, batugamping atau limestone pada umumnya melapuk sedang, berwarna abu-abu keputihan, berlapis, dan padu. Formasi ini dipermukaannya didominasi oleh napal dengan kekerasan yang sedang. Sedangkan tanah penutupnya berupa lempung lanauan, coklat kehitaman, lunak, dan ketebalan rata-rata 1 meter. (Adinugroho, 2009)

Kelompok 2

Page 10

Gambar 6. Sungai Sinung Pada awalnya, Bengawan Solo mengalir ke samudera Hindia, namun demikian terjadi pengangkatan zona selatan, sehingga terjadi pembalikan arah aliran sungai (tidak antiseden) dan bengawan Solo pun mengalir kearah utara menuju laut Jawa, yaitu menuju hilir di kabupaten Bojonegoro. Setelah terjadi pengangkatan, bekas aliran bengawan Solo menjadi kering, dan dikenal dengan lembah kering Giritontro, dan bermuara di teluk Sadeng Kabupaten Gunungkidul. Jika ditinjau dari posisi perpotongan dengan struktur geologinya, Sungai Sinung ini termasuk dalam klasifikasi lembah sungai anteseden. Lembah sungai anteseden merupakan lembah yang memotong struktur geologi dengan ketentuan bahwa dalam perkembangannya pengikisan vertikal yang dilakukan oleh air sungainya mampu mengimbangi pengangkatan yang terjadi di daeerah itu. Hal ini terjadi karena cukup kuatnya arusnya, sehingga mampu menggerus batuan yang menghalanginya. Bentuklahan akibat adanya peristiwa tektonisme yang bermula dari subduksi antara lempeng Australia dengan Lempang Eurasia berupa Perbukitan Kars Gunung Sewu yang membentang dari Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Wonogiri, sampai Kabupaten Pacitan. Salah satu bentuklahan di Perbukitan Kars Gunung Sewu adalah Bengawan Solo Purba. Bengawan Solo Purba adalah alur

Kelompok 2

Page 11

sungai sepanjang 30 km yang berupa lembah Giritontro yang sangat terjal berkelok-kelok memanjang dari Gunung Payung di sebelah barat Giriwoyo ke arah selatan berakhir di Teluk Pantai Sadeng Gunungkidul. Pengangkatan Pegunungan Selatan di Kala Plestosen Tengah sampai Meosen tidak diimbangi oleh proses penggerusan aliran Bengawan Solo sehingga mengakibatkan aliran Bengawan Solo terbendung dan membentuk sebuah Cekungan Baturetno yang terletak di daerah Baturetno sampai Eramoko (stop site 2). Akibatnya, aliran Bengawan Solo menemukan jalan keluar daerah yang lebih rendah kearah utara menuju Laut Jawa melewati jalur lipatan Pegunungan Kendeng dan Pegunungan Rembang. Proses tektonik berupa pengangkatan di Jawa bagian utara yang membentuk jalur lipatan tersebut diimbangi oleh daya gerus Bengawan Solo yang berlangsung sampai sekarang. Proses antesenden atau pembalikan arah aliran Sungai Bengawan Solo meninggalkan jejak berupa teras-teras sungai dan lembah yang curam yang memotong batuan tersier di Pegunungan Kendeng dan Pegunungan Rembang. Aliran Bengawan Solo sepanjang 540 km melewati 20 kabupaten diantaranya Surakarta, Wonogiri, Klaten, Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali, Sragen, Blora, Rembang, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Madiun, Pacitan, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik dan Surabaya. Bengawan Solo Purba yang mengalir ke selatan memotong jalur Pegunungan Seribu melewati suatu lembah yang dikenal dengan nama lembah Giritontro. Lembah Giritontro merupakan lembah bekas alur sungai besar, berdinding curam menyerupai huruf U dengan beda tinggi dasar lembah sampai puncak perbukitan sekitar 150-250 meter. Lembah Giritontro membentuk undakundak sungai pada kedua dinding lembahnya. Undak pertama dengan ketinggian 20 meter dari dasar lembah yang terdiri dari material tanah terarosa yang berwarna merah kecoklatan dengan material batu gamping berukuran 2-5 cm, rijang, dan fragmen batu beku. Material tersebut merupakan hasil rombakan dari perbukitan karst di sebelah samping kiri dan kanan lembah. Undak kedua dengan ketinggian 8 meter dari dasar lembah dengan material penyusun perselingan batulempung berwarna coklat kehitaman dengan batupasir konglomerat dengan komposisi terdiri atas mineral kuarsa, feldspar dan mineral mafik yang berasal dari batuan vulkanik. Material sedimentasi berupa alluvium membentuk Kelompok 2 Page 12

batulempung, sedangkan material sedimentasi berupa batupasir konglomerat merupakan batuan vulkanik Tersier yang tidak tertutup oleh batu gamping pada Formasi Wonosari. Ujung bagian utara Lembah Giritontro yang letaknya di sebelah timur dari Gunung Payung yang berada di atas lembah Bengawan Solo sekarang yang bermata air dari Gunung Rohtawu dan Pegunungan Tumpakkayan. Perbedaan ketinggian dari Lembah Giritontro dengan lembah Bengawan Solo sekarang sekitar 150 meter. Perbedaan tersebut disebabkan oleh struktur sesar Pucunglangan yang memanjang dari Gunung Batok di daerah Pacitan dengan Gunung Kukusan di daerah Wonogiri. Struktur sesar Pucunglangan mengakibatkan terbentuknya Cekungan Baturetno dan lembah mengantung yang dibatasi oleh tebing yang curam di sebelah timur Desa Sumur dan di daerah Giri Belah. Lembah tersebut merupakan bagian dari alur Lembah Giritontro yang terpotong oleh tebing yang curam di sisi tenggara Cekungan Baturetno. Penggunaan lahan di area ini diutamakan untuk tanaman jati, sedangkan pada sektor pertnian diutamakan untuk tanaman semusim, seperti kedelai dan padi gogo yang cocok untuk lahan kering. Untuk masalah sosial-budaya dapat diamati dari bentuk rumah, dinding yang sudah permanen, dan jalan yang sudah beraspal.

D. STOP SITE 4 Lokasi stop site 4 ini adalah Gua Tabuhan, yang terletak pada 08o0733,1 S dan 110o0442,7 dengan elv 45 meter dpl. Salah satu cirri dari kawasan karst adalah gua (cave). Gua aadalah serambi atau ruangan bawah tanah yang dapat dicapai dari permukaan dan cukup besar bila dimasuki oleh manusia. Gua terdiri dari rangkaian ruangan sehingga kedalamannya dapat mencapai ratusan meter.

Kelompok 2

Page 13

Gambar 7. Gua Tabuhan Secara umum gua terbentuk karena proses Tektonik (gempa), terban (runtuhan) dan juga pelarutan (solusional). Sedangkan gua tabuhan ini proses terbentuknya termasuk dalam proses pelarutan karena berada pada daerah karst (solusional). Ciri gua karena proses pelarutan adalah adanya Stalagtit, Stalagmite dan Tiang massive (stalagtit dan stalagmite yang bersambung jadi 1). Dalam gua Tabuhan ini masih terdapat stalaktit yang aktif, yakni stalaktit yang masih meneteskan air, dan bawahnya juga terdapan pengendapan atas tetes-tetes air tersebut.

Gambar 8. Stalaktit dan stalakmit

Kelompok 2

Page 14

Gambar 9. Tiang massive Proses terjadinya gua ini adalah karena adanya retakan pada atap sebuah conical hill, yang kemudian semakin tergerus oleh adanya air hujan, sehingga terbentuk rongga pada bukit ini. Retakan pada bukit gua tabuhan ini mengarah ke timur laut-barat daya. Ketika pada satu sisi bukit ini terbuka maka akan ditemukan sebuah ruangan dengan hiasan stalaktit diatap dan stalagmit di lantainya, serta ketika stalaktik dan stalakmit menyatu akan ada tiang massive.

Gambar 10. Bukit yang di dalamnya merupakan gua tabuhan Kelompok 2 Page 15

Penemuan gua ini disinyalir karena runtuhnya sisi depan gua. Pada baian dalam gua dulunya terdapat sungai bawah tanah, tapi kemudian menjadi kering. Gua tabuhan ini tergolong masih muda, yakni dengan indikasi masih adanya stalaktit dan stalagmit, serta belum berkembangnya sungai bawah tanah. Sedangkan cirri gua yang sudah agak tua adalah ada banyak runtuhan pada atap gua, sehingga terbentuk karst window, setelah sekian lama sungai bawah tanah tadi muncul ke permukaan, seperti yang terjadi di Green Canyon. M Stalagtit cenderung mengarah ke bagian mulut gua. Hal ini disebabkab karena di bagian pintu gua terjadi pengendapan yang lebih cepat sehingga bentuk stalagtit codong ke pintu gua. Bentuk stalagtit dipengaruhi kecepatan pengendapannya. Stalagtit dapat mati (berhenti menetes dan terbentuk) jika terjadi penyumbatan di dalam saluran air di bagian dalam stalagtit itu sendiri. Penyumbatan ini disebabkan oleh mengeraknya CaCo3 . Speleologi merupakan ilmu yang khusus mempelajari bentang alam karst. Kawasan karst di pegunungan seribu mempunyai jumlah 40000 buah. Pegunungan seribu disebut juga dengan Plato Selatan. Chronicle hill diperkirakan sudah mulai berkurang. Jika endapan kapur berada pada muara sungai bawah tanah dikenal dengan sebutan Travertine, seperti yang ada di Parangtritis. Lokva merupakan telaga di daerah karst. Lokva terbentuk karena dasar dolline tertutup endapan sekelilingnya, sehingga air tidak dapat mengalir melalui ponor, dan akhirnya air tersebut menggenang, terbentuklah lokva. Contoh lokva yang masih bagus ada di kawasan Karangbolong. Di daerah karst biasanya ditemukan jarring-jaring sungai bawah tanah. Sistem jaring-jaring tersebut dapat diketahui dengan melarutkan cairan berwarna yang tidak berbahaya bagi kesehatan kemudian dituangkan pada sungai bawah tanah tersebut, sehingga cabang sungai yang mendapat pengaruh dari cairan tersebut masih merupakan satu rangkaian sungai. Ketebalan permukaan batu gamping semakin tipis, hal ini tidak lepas dari pengaruh erosi, campur tangan manusia, dan denodasi. Batas zona pengangkatan

Kelompok 2

Page 16

di sebelah utara adalah pada stop site 1, dan sebelah selatan adalah pada Pantai Selatan.

E.

STOP SITE 5

Lokasi : pantai Teleng Ria (teluk Pacitan) 08o1359,1 S dan 110o0442,7 E dengan elevasi 45 meter dpl.

Gambar 11. Pantai Telengria di teluk Pacitan (sisi timur) Kawasan ini merupakan daerah subsidence, dengan bukti bahwat di sebelah utara dan barat terdapat bekas penurunan pada dinding tebing. Di bagian timur terdapat perbukitan yang batuannya menonjol, hal ini dipengaruhi oleh intrusi magma. Daerah yang mengalami subsidence antara lain : KarangbolongCilacap, serta Kulonprogo-Karangbolong. Sedangkan di Parangtritis tidak terjadi hal demikian. Pada stopsite terakhir ini merupakan bentuk lahan marin, yakni bentuk lahan yang terjadi akibat proses-proses yang berasal dari tenaga laut, seperti gelombang, arus, dan pasang surut. Bentuk lahan ini dapat diklasifikasikan lagi

Kelompok 2

Page 17

menjadi satuan bentuk lahan gisik, beting gisik, dataran aluvial pantai, bentuk lahan asal fluvial, dataran aluvial, dataran banjir, dan gosong sungai. Gisik merupakan satuan bentuk lahan yang memanjang di tepi pantai daerah pesisir Telengria dimana materialnya terdiri dari pasir dengan lereng datar, didominasi oleh proses sedimentasi dengan tekstur tanah kasar. Hal tersebut disebabkan oleh adanya proses-proses dari laut. Beting gisik mempunyai bentuk gundukan atau igir memanjang sejajar dengan garis pantai dengan material pasir, dan proses yang dominan adalah sedimentasi. Beting gisik ini berlereng datar dengan tekstur tanah kasar. Menurut penelitian Suryoputro (2001) beting gisik di daerah Cilacap juga merupakan gundukan yang memanjang di bagian belakang pesisir bergisik dan sejajar dengan garis pantai. Selanjutnya dikatakan bahwa beting gisik tersebut merupakan akumulasi sedimen lepas yang disesaskan adanya proses-proses dari laut. Karena merupakan sedimen lepas, maka materialnya mempunyai tekstur kasar dengan drainase sangat baik. Dataran aluvial pantai merupakan satuan bentuk lahan yang berbentuk datar dan terletak di belakang beting gisik, materialnya geluh dengan tekstur agak halus sampai kasar. Hal tersebut disebbabkan karena adanya perkembangan pantai yang lebih lanjut dan bergeser kearah darat yang sekarang telah tertutup oleh material hasil sedimentasi dari proses fluviomarin. Bentuk lahan asal fluvial terbentuk karena proses fluvial dengan material penyusun yang berasal dari endapan aluvium. Hal ini disebabkan karena deposisi dari aliran permukaan yang lebih dominan. Fenomena gumuk pasir (sand dunes) juga dapat ditemukan di lokasi ini, walaupun tidak seideal di Parangtritis. Material pasirnya berasal dari perbukitan sekitar yang kemudian dibawa melalui sungai Gerindulu, akhirnya diendapkan di laut membentuk kipas alluvial, dan ombak akan membawanya kembali ke pesisir pantai.

Kelompok 2

Page 18

Gumuk pasir yang ada di Pacitan ini tidak se ideal yang ada di Parangtritis karena beberapa alasan, yakni di teluk Pactan ini tidak terdapat tebing yang dapat memecah angin, serta tebing yang mampu mengarahkan arah angin layaknya tebing baturagung di parangtritis. Selain itu, material yang terbawa tidaklah sebanyak yang ada di parangtritis, karena material di Pacitan ini hanya sebatas hasil pengikisan dari bukit-bukit disekelilingnya dan dibawa oleh sungai Gerindulu. Jika di Parangtritis, material yang terbawa sangatlah banyak, yakni berasal dari gunung api, serta mendapat akumulasi juga dari sungai Oyo yang membawa material dari perbukitan karst. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa ketidak idealan gumuk di pesisir Pacitan ini disebabkan karena faktor materialnya, proses yang kurang sempurna, serta angin yang kurang terarah. Aspek bencana yang berpotensi di teluk Pacitan ini adalah adanya gerakan berupa rayapan di patahan sebelah utara dan juga tsunami, karena teluk pacitan memiliki 1 pintu tanpa ada penghalang, sehingga jika terjadi tsunami dampaknya akan luarbiasa karena air akan terkonsentrasi di satu titik. Kondisi pantai ini memiliki beberapa kendala dalam pengembangan dari aspek wisatanya, karena kendala lokasinya yang terpencil sehingga akses untuk dapat sampai tidaklah mudah. Selain itu, pantai ini tidak mempunyai cirri khas tersendiri, seperti pada Pantai Parangtritis yang memiliki ciri khas fenomena gumuk pasirnya

Kelompok 2

Page 19

BAB III PENUTUP

Kesimpulan 1. Pada Stop site 1, dapat diamati jajaran Plopoh Range yang semakin ke utara, mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena adanya proses step faulting atau patahan bertingkat. 2. Pada stopsite 2, yakni pada Basin Baturetno, yang merupakan suatu cekungan karena hasil dari adanya pengangkatan pada perbukitan disekelilingnya, sehingga daerah tersebut menjadi sebuah cekungan seperti halnya mangkuk atau parabola. 3. Pada stop site 3, terdapat sungai anteseden, (sungai Sinung) yakni sungai yang tetap mempertahankan arah alirannya walau terjadi pengangkatan. Hal ini berarti tingkat penggerusan secara vertikal oleh arus sungai bisa mengimbangi tingkat pengangkatan yang terjadi. 4. Pada stopsite 4, berupa Gua Karst yaitu gua tabuhan. Gua ini terjadi karena proses solusional atau pelarutan oleh air yang menganung CO2 terhadap perbukitan kapur yang mengandung CaCO3. Di dalam gua ini terdapat stalaktit, stalakmit,serta tiang masive. Gua ini masih termasuk muda, karena belum berkembangnya sungai bawah tanah. 5. Pada stopsite 5 yakni teluk pacitan, tidak terdapat sand dune yang se ideal di parangtritis karena tidak adanya tebing pemecah angin, material yang tidak banyak, serta arah angin yang tidak terarah.

Kelompok 2

Page 20

Daftar Pustaka

Adinugroho, Noor. 2009. Tinjauan Fisiografi Gunung Kidul Dan Parangtritis. Diakses di situs http://nooradinugroho.wordpress.com/2009/09/25/tinjauan-fisiografigunung-kidul-dan-parangtritis/ pada tanggal 15 Desember 2011 pukul 16.00 WIB. Endarto, Danang. 2007. Geomorfologi Umum. Surakarta: Universitas Sebelas Maret University. Endarto, Danang. 2008. Pengantar Geologi Indonesia. Surakarta: Universitas Sebelas Maret University. Suryoputro, A.A.D. 2001. Inventarisasi Geomorfologi Untuk Pengelolaan Wilayah Pantai Di Kabupaten Jepara. Jurusan Ilmu Kelautan, FPIK UNDIP. Semarang. Suryoputro. 2007. Kondisi Geomorfologi Pesisir Pacitan Untuk Informasi Pengelolaan Wilayah Pesisir. Jurusan Ilmu Kelautan, FPIK UNDIP. Semarang _____. 2010. Bentanglahan Basin Wonosari. Diakses di situs http://earthymoony.blogspot.com/2004/04/bentanglahan-basin-wonosari.html pada tanggal 15 Desember 2011 pukul 16.15 WIB.

Kelompok 2

Page 21