105
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergantian musim seperti akhir-akhir ini, mampu menyebabkan ternak menjadi mudah terjangkit penyakit, sehingga akan menurunkan performans dari ternak tersebut. Pemeriksaan penyakit dapat kita amati secara langsung baik dari jarak jauh maupun dekat. Faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan ternak salah satunya yaitu akibat adanya parasit. Mendeteksi keberadaan parasit tersebut dapat kita lakukan dengan mengamati tubuh ternak, feses, serta sampel darah. Namun, seringkali kita belum dapat mengetahui penyakit ternak tetapi ternak sudah kehilangan nyawanya akibat penurunan daya tahan tubuh. Cara lain yang digunakan untuk mendeteksi kesehatan ternak dapat dilakukan dengan cara nekropsi yaitu dengan membedah bagian dalam tubuh ternak. 1.2. Tujuan dan Manfaat

LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pergantian musim seperti akhir-akhir ini, mampu menyebabkan ternak

menjadi mudah terjangkit penyakit, sehingga akan menurunkan performans dari

ternak tersebut. Pemeriksaan penyakit dapat kita amati secara langsung baik dari

jarak jauh maupun dekat. Faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan ternak salah

satunya yaitu akibat adanya parasit. Mendeteksi keberadaan parasit tersebut dapat

kita lakukan dengan mengamati tubuh ternak, feses, serta sampel darah. Namun,

seringkali kita belum dapat mengetahui penyakit ternak tetapi ternak sudah

kehilangan nyawanya akibat penurunan daya tahan tubuh. Cara lain yang

digunakan untuk mendeteksi kesehatan ternak dapat dilakukan dengan cara

nekropsi yaitu dengan membedah bagian dalam tubuh ternak.

1.2. Tujuan dan Manfaat

Tujuan praktikum Ilmu Kesehatan Ternak dengan materi analisis kondisi

peternakan rakyat dan pemeriksaan kesehatan ternak yaitu untuk dapat

mengetahui kondisi lingkungan di sekitar ternak serta kesehatan ternak

ruminansia. Materi pemeriksaan mikroskopis feses dan pengamatan preparat

awetan parasit betujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya cacing dalam sampel

feses yang diambil serta mengetahui berbagai macam bentuk endoparasit dan

Page 2: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

2

ekstoparasit. Materi kesehatan ternak unggas bertujuan untuk mempelajari kondisi

tubuh unggas melalui pengambilan sampel darah serta nekropsi.

Manfaat dari praktikum ilmu kesehatan ternak unggas dengan materi

analisis kondisi peternakan rakyat dan pemeriksaan kesehtatan ternak ruminansia

yaitu dapat mengamati secara langsung kondisi peternakan yang memenuhi syarat

atau tidak serta dapat mengetahui kondisi ternak ruminansia. Materi pemeriksaan

mikroskopis feses dan pemeriksaan preparat awetan parasit memiliki manfaat

yaitu dapat mengetahui jenis-jenis cacing yang ada pada feses serta dapat

mengenali berbagai macam endoparasit dan ekstoparasit. Sedangkan materi

kesehatan ternak memiliki manfaat yaitu dapat mengetahui performans ternak

unggas yang diamati melalui sampel darah dan nekropsi.

Page 3: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Analisis Kondisi Peternakan Rakyat

Anamnesa merupakan cara untuk mengetahui kondisi kesehatan ternak

dengan menanyakan pada pemilik ternak mengenai hal-hal yang berhubungan

dengan kesehatan ternak (Siregar, 1997). Pengetahuan kesehatan ternak berguna

untuk menghindari atau menanggulangi kerugian usaha akibat serangan penyakit

yang datang (Rianto dan Purbowati, 2010).

Memelihara kesehatan sapi peternak harus mengawasi kebersihan kandang

dan memberikan perawatan kepada sapi dengan baik (Asmaki, 2009). Kebersihan

kandang dilakukan dengan melakukan sanitasi dengan baik, melakukan desinfeksi

pada kandang dan peralatan kandang. Memberikan perawatan kepada sapi seperti

membersihkan tubuh sapi secara teratur, memberikan kebutuhan pakan dengan

baik, vaksinasi ternak secara teratur, dan memeriksa kesehatan ternak secara

berkala (Rianto dan Purbowati, 2010).

Keadaan kandang yang baik yaitu tidak berdekatan dengan daerah

pemukiman penduduk minimal 50 meter, dan tidak ada genangan air serta bersih

baik didalam kandang maupun diluar kandang sehingga ternak dapat merasa

nyaman (Purnomoadi, 2003). Lantai yang terbuat dari tanah padat harus dilapisi

dengan alas seperti jerami kering sebagai alas ternak agar tetap hangat sehingga

nyaman bagi ternak itu sendiri (Mandiri, 2009). Kandang sapi yang memenuhi

syarat sebaiknya terdapat ventilasi yang berfungsi sebagai proses sirkulasi udara

Page 4: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

4

di dalam kandang (Abidin, 2002). Kotoran atau sampah yang menumpuk dapat

dijadikan sebagai media perkembangan berbagai penyakit tertentu pada suatu

ternak (Rianto dan Purbowati, 2010).

Pakan merupakan segala sesuatu yang diberikan kepada ternak yang dapat

dicerna secara keseluruhan maupun dicerna hanya sebagiannya saja dan

berpengaruh positif terhadap pertumbuhan, perkembangan, daya tahan tubuh,

serta reproduksi ternak (Purnomoadi, 2003). Pola perumbuhan dan perkembangan

ternak tergantung pada pengelolaan dan tingkat nutrisi didalam pakan yang

tersedia. Pakan yang diberikan kepada ternak terdiri dari dua macam yaitu pakan

berserat yang terdiri dari hijauan serta limbah pertanian (jerami padi, jerami tebu,

dll) dan pakan penguat seperti konsentrat (Rianto dan Purbowati 2010).

2.2. Pemeriksaan Kesehatan Ternak Ruminansia

Ternak yang sehat dapat dilihat secara kasat mata maupun secara

pemeriksaan. Secara kasat mata ternak yang sehat ditandai dengan bulu licin

mengkilap serta tidak ada luka dibagian tubuhnya, bentuk tubuh proporsional,

bereaksi baik terhadap pakan, dan bentuk kotoran normal (Agromedia, 2010).

Pemeriksaan dapat dilakukan dengan memeriksa frekuensi nafas, denyut nadi, dan

suhu rektal. Suhu rektal pada sapi potong dewasaberkisar antara 37–39℃,

sedangkan frekuensi nafas 10-30 kali/menit, dan denyut nadi sebesar 60-70

kali/menit (Williamson dan Payne, 1993).

Gejala yang muncul jika terdapat kelainan pada saluran pencernaan

misalnya kembung adalah nafsu makan hilang, perut bagian kiri terlihat buncit,

Page 5: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

5

susah bernafas dan badan gemetar (Rianto dan Purbowati, 2010). Ciri ternak yang

terkena diare yaitu nafsu makan menurun dan feses terlihat encer (Asmaki, 2009).

2.3. Parasit

Parasit merupakan organisme yang hidupnya merugikan induk semang

yang ditumpanginya (Suwandi, 2001). Pada umunya parasit merugikan kesehatan

hewan, dari sudut pandang ekonomi kerugian terjadi akibat rusaknya organ karena

parasitnya sendiri, kematian ternak dan biaya yang harus ditanggung untuk

pengendaliannya (Jusmaldi dan Arini, 2010). Pola pemberian pakan dan jenis

pakan, faktor-faktor lingkungan (suhu, kelembaban, dan curah hujan) serta

sanitasi lingkungan yang kurang baik dapat mempengaruhi berkembanganya

parasit dalam tubuh ternak(Dwinata dalam Jusmaldi dan Arini, 2010).

2.3.1. Ekstoparasit

Ekstoparasit merupakan parasit yang hidupnya pada permukaan tubuh

bagian luar atau bagian tubuh dalam yang dapat berhubungan langsung dengan

dunia luar dari hospes atau inang, seperti kulit, rongga telinga, hidung, bulu, ekor,

dan mata (Suwandi, 2001). Golongan ekstoparasit yaitu termasuk insecta dan

arachnida. Kelas insecta terdiri dari empat ordo, yaitu Phthiraptera (kutu),

Siphonoptera (pinjal), Hemiptera (kutu busuk), Diptera (nyamuk dan lalat), dan

kelas Arachnida itu sendiri terdiri dari ordo Acariformes (tungau) dan

Parasitiformers (caplak) (Hadi dan Soviana dalam Andini, 2008).

Page 6: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

6

2.3.1.1. Tabanidae tabanus sp.,cacing jenis ini termasuk ke dalam kelas Insecta,

ordo Diptera, sub ordo Brachycera, famili Tabanidae. Tabanus adalah lalat pitak

atau lalat kuda (Hadi dan Saviana, 2000). Daur hidup dari Tabanus sp. adalah

dimulai dari telur menetas dalam waktu satu minggu lalu masuk ke dalam air,

didalam air larva lalat kuda akan makan larva insecta, larva Crustacea, siput

cacing tanah dan sebagainya, kemudian larva akan migrasi ke tanah kering untuk

menjadi pupa yang sangat mirip dengan pupa kupu-kupu, setelah 5 hari sampai 3

minggu menjadi lalat dewasa, kecepatan untuk menjadi lalat dewasa tergantung

dari jenis lalat kuda (Levine, 1994).

2.3.1.2. Chrysomya megachepala, family Callphoridae mirip dengan lalat rumah

atau sering disebut juga dengan sebutan lalat hijau, tetapi seringkali lebih besar

dan biasanya berwarna hijau atau biru metalik (Levine, 1994). Hasil pengamatan

terhadap tanda-tanda morfologi Chrysomya megachepala didapatkan bahwa

warna tubuh hijau metalik, torak berwarna hijau metalik kecokelatan, abdomen

berwarna hijau metalik. Panjang tubuh 8,83±0,68 mm (n=40) dengan kisaran

antara 7,17-10,40 mm, ukuran lebar kepala 3,27±0,68 mm (n=40) dengan kisaran

antara 2,50-4,07 mm. Panjang sayap 5,99±2,84 mm (n=40) dengan kisaran 5,30-

7,10. Lebar sayap 2,30±2,33 mm (n=40) dengan kisaran 2,01- 2,80 mm. Mata

berukuran besar dan berwarna merah, hampir bersentuhan diantara keduanya

(Suraini, 2011).Semua lalat mengalami metamorfosis sempurna dalam

perkembangannya. Pertama, telur lalat akan diletakkan dalam medium yang dapat

menjadi medium untuk pertumbuhan larva. Lalu larva akan berubah menjadi

pupa. Stadium pupa bisa beberapa hari, minggu, atau bulan. Kemudian lalat

Page 7: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

7

dewasa akan muncul dan mencari pasangan kembali untuk menghasilkan telur-

telur mereka(Hadi, 2012). Selama hidupnya lalat hijau betina dapat menghasilkan

rata-rata 687,5–1690 butir telur yang dapat bertelur sebanyak 4–6 kali. Waktu

yang diperlukan untuk melengkapi siklus hidup dalam media daging mentah pada

suhu 24–28,5oC dengan kelembaban 85–95% adalah selama 24–33 hari (Haryati,

2006).

2.3.2. Endoparasit

Endoparasit adalah parasit yang ditemukan pada organ bagian dalam

inang (Yuliarti, 2011).Endoparasit meliputi cacing, seperti cacing gilik

(nematode) dan cacing daun (trematoda) (Mastika et al., 1993).

2.3.2.1. Schistosoma bovis, telur cacing jenis Schistosoma sp. ini berwarna coklat

kekuningan, mempunyai dinding yang tembus sinar, terdapat tonjolan seperti

spina pada salah satu ujungnya (Soedarto dalam Jusmaldi dan Arini, 2010).

penelitiannya di danau Lindu dan lembah Napu, Sulawesi Tengah

menggambarkan daur hidup dari Schistosoma sebagai berikut : Telur cacing yang

dikeluarkan bersama tinja akan menetas dalam air dan menjadi mirasidium yang

dapat berenang dan memasuki induk semang antara, yaitu siput. Di dalam tubuh

siput mirasidium berubah menjadi sporosista pertama atau sporosista induk yang

mengandung sporosista kedua atau sporosista anak yang kemudian akan

menghasilkan serkaria. Untuk siklus ini, diperlukan waktu lebih kurang tiga

bulan. Serkaria kemudian keluar meninggalkan siput dan berenang aktif mencari

hospes definitifnya, yaitu manusia, anjing, tikus, kijang dan hewan lainnya seperti

Page 8: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

8

kuda dan sapi. Genus Schistosoma biasanya menyerang sistem peredaran darah

(Suwandi, 2001).

2.3.2.2. Syngamus laryngeus,Mammonogamus laryngeus (Syngamus laryngeus)

adalah cacing jenis nematoda yang dapat ditemukan di laring dari hewan mamalia

tropis terutama pada sapi potong dan kucing (Moks et al., 2005). Cacing kelas

nematoda yang menyerang saluran pencernaan dapat menimbulkan kerugian

berupa gangguan pertumbuhan dan mencret (Suwandi, 2001).

2.3.2.3. Haemonchus spp.,Hemonchus spp adalah jenis cacing kawat yang hidup

di saluran pencernaan, cacing ini berwarna merah berukuran 10-20 mm (jantan)

dan bergaris merah dengan ukuran 18-30 mm (betina), dan biasanya mudah

terlihat saat bedah bangkai (FAO yang diterjemahkan oleh Akoso et al., 1990).

Kerugian yang ditimbulkan selain kematian juga menyebabkan terhambatnya

pertumbuhan dan produksi, karena sifat cacing adalah penghisap darah yang

mengakibatkan anemia hemorhagie dengan ditandai jumlah eritrosit dan PCV,

infeksi khronis dapat berjalan lama karena masih adanya sejumlah cacing jika

disertai nutrisi buruk maka berakibat penurunan berat badan dan disertai

penurunan protein dalam tubuh (Lastuti et al., 2006).

2.3.2.4. Paramphistomum sp., yang termasuk kedalam cacing genus Fasciola

(cacing hati) yang berwarna merah muda ke kuning-kuningan sampai abu-abu ke

hijau-hijauan antara lain cacing Paramphistomum sp. (cacing parang) dan Genus

Schistosoma (menyerang sistem peredaran darah) (Suwandi, 2001). Cacing

dewasa bertelur didalam habitatnya kemudian menuju usus dan dikeluarkan

Page 9: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

9

bersam dengan tinja. Telur beroperkulum yang telah mengandung embrio

kemudian menetas membebaskan mirasidium yang bergerak aktif dalam

lingkungan yang berair menuju inang sementara berupa siput. Lima sampai tujuh

minggu setelah infeksi berudu keluar dari tubuh siput dan berenang bebas

kemudian kontak dengan tanaman disekitarnya membentuk metaserkaria.

Perkembangan selanjutnya, serkaria membentuk kista pada tanaman atau rumput

di area penggembalaan. Infeksi terjadi karena inang definitif memakan rumput

yang terkontaminasi metaserkaria. Setelah termakan, metaserkaria mengalami

ekskistasi membebaskan cacing muda dalam usus halus. Kemudian cacing muda

ini akan bermigrasi keatas menuju rumen dan retikulum dan akhirnya berkembang

menjadi cacing dewasa kembali (Putratama, 2009).

2.3.2.5. Prosthogonimus, telur cacing prosthogonimus umumnya memiliki

panjang rata-rata 87 x 50 μm, dan berwarna kecoklatan (Elmer dan Glen, 1989).

Genus prosthogonimus ini adalah cacing berukuran sedang bagian paling lebar

dibagian belakang pertengahan tubuh (Levine, 1994). Infeksi cacing trematoda

yang tersebar luas dan kejadiannya sangat umum tersebut dipengaruhi oleh

beberapa faktor antara lain iklim yang tropis dan sistem irigasi yang tidak teratur

sehingga siput yang berperan sebagai ISA (induk semang antara) dapat

berkembang biak dengan mudah (Sutrisnawati, 2011).

2.4. Pemeriksaan Kesehatan Ternak Unggas Broiler

Populasi kandang yang terlalu padat dapat menyebabkan ayam menjadi

stres, sehingga menurunkan produksi, disamping itu juga akan berpengaruh pada

Page 10: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

10

efisien penggunaan pakan. Sedangkan populasi yang terlalu kecil akan

menyebabkan kandang kurang efisien penggunaannya dan akan berpengaruh juga

pada pertumbuhan bobot badannya yang kurang optimal disebabkan ayam banyak

bergerak atau jalan-jalan (Murni, 2009). Kepadatan kandang ayam umur lima

minggu berjumlah antara 8-10 ekor/m2 (Martono dalam Wahyudi et al., 2010).

Pengambilan sampel darah atau organ tubuh ayam digunakan untuk

menganalisa apakah organ tersebut terserang penyakit atau tidak dengan

melakukan analisis DNA-nya melalui uji PCR (polymerase chain reaction). Jika

DNA negative berarti tidak terjangkit virus dan jika DNA posistif terinfeksi virus,

segera ayam-ayam tersebut dimusnahkan untuk mencegah penyebaran yang

semakin luas. Pemeriksaan nekropsi adalah pemeriksaan jaringan tubuh ternak

untuk mengetahui kelainan penyakit pada ternak unggas dengan cara membedah

rongga tubuh (Murtidjo, 1992). Gambaran darah merupakan salah satu parameter

dari status kesehatan hewan karena darah mempunyai fungsi penting dalam

pengaturan fisiologis tubuh. Fungsi darah berkaitan dengan transportasi

komponen di dalam tubuh seperti nutrisi, oksigen, karbondioksida, maetabolit,

hormon, panas, dan imun tubuh sedangkan fungsi dari darah berkaitan dengan

keseimbangan cairan dan pH tubuh (Reece dalam Satyaningtihas et al., 2010).

Ciri ayam broiler yang sehat yaitu muka cerah, jengger merah, lubang

hidung bersih dari lendir, tidak bercak merah pada bagian kulit, ayam tidak

mengantuk, bulu cerah tidak kusam, kelihatan berminyak, sayap kuat tidak jatuh,

serta kaki tegak dan kokoh. Ayam yang sehat tidak terdapat luka di bagian

tubuhnya (Fadilah dan Polana, 2004). Peternakan unggas memperhatikan titik

Page 11: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

11

kritis mulai dari pemeliharaan, proses pemotongan unggas di RPU, transportasi

dan pada saat penjajaan merupakan hal yang harus mendapat perhatian khusus.

Bila penanganan titik kritis dilaksanakan dengan tepat, maka kemungkinan

terjadinya kontaminasi silang dapat ditekan dengan yang pada gilirannya dapat

meningkatkan mutu dan kualitas produk unggas tersebut aman dan layak

dikonsumsi (Akhirany, 2009).

Unggas yang sakit memiliki ciri-ciri saat berdiri ayam tidak berdiri

secara tegak atau lemah (Fadilah dan Polana, 2004). Pada lantai kandang sebagai

tempat berpijak haruslah bersih dan harus dalam keadaan kering. Sebab bila kotor

dan becek akan sangat merugikan ayam. Lantai yang becek mengakibatkan ujung

jari kaki ayam terbungkus oleh kotoran, sehingga memperbesar kemungkinan

terjadinya infeksi penyakit kolera atau coli (Sudarmono dan Sugeng, 2007). Pada

kondisi fisik ternak bulu unggas merupakan hal yang penting bagi tingkat

ketahanan terhadap penyakit. Bulu memiliki peranan penting yaitu untuk

membantu menghangatkan tubuh, untuk terbang, untuk identifikasi penyakit,

untuk insulasi tubuh terhadap panas dan dingin yakni melindungi tubuh dari

pengaruh panas dan dingin serta untuk identifikasi defisiensi nutrient, bulu akan

kusam dan mudah patah jika kekurangan salah satu nutrient dalam pakan

(Yuwanta, 2008).

Penyakit pada saluran pencernaan merupakan penyakit yang disebabkan

oleh bakteri maupun virus yang biasanya menyerang pada bagian organ saluran

pencernaan (Tabbu, 2002). Abnormalitas pada saluran pencernaan ayam dapat

meliputi stomatitis, nekrosis pada paruh, impaksi (pemadatan tembolok), impaksi

Page 12: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

12

ventrikulus (Fadilah dan Polana, 2004). Kemudian penyakit hati juga salah satu

diantaranya penyakit yang biasa disebut dengan fatty liver-Hemorrhagic

syndrome (FLHS) yang ditandai dengan hati berwarna pucat kekuningan,

membesar, mudah rapuh dan berminyak (Tabbu, 2002). Kelebihan mengkonsumsi

pakan yang mengandung energi dan karbohidrat yang tinggi dapat menimbulkan

pelemakan pada hati,hal ini disebabkan karena kelebihan karbohidrat sehingga

akan diubah menjadi lemak melalui proses glukoneogenesis. Lemak perut

merupakan deposisi dari kelebihan metabolisme lemak yang merupakan cadangan

energi bagi ayam yang diperoleh dari diet yaitu lemak pakan dan lipogenesis

(Wahyono et al. dalam Rumiyani et al., 2011).

Jantung terdiri atas sekumpulan otot berfungsi memompa darah kesemua

bagian tubuh dan merupakan pusat sistem peredaran darah(Akoso, 2002). Jantung

merupakan organ vital yang berperan dalam sirkulasi darah. Jantung yang

terinfeksi penyakit maupun racun biasanya akan mengalami perubahan pada

ukuran jantung (Hermana et al. 2005).

Ginjal bertanggung jawab produksi air seni yang dikeluarkan lewat

salurannya menuju ureter, menampungnya dalam kandung kemih, dan

mengeluarkannya melalui uretra (Akoso, 2000). Kerusakan pada ginjal ini adanya

sel yang mengalami nekrosa menyebabkan proses filtrasi dan keseimbangan asam

basa akan terganggu. Akibatnya metabolisme dalam tubuh menjadi menurun dan

hal ini dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan (Sugito et al., 2006).

Pankreas adalah jaringan kelenjar yang terletak di belakang lambung dan

bagian yang besar terletak dibawah ginjal sebelah kanan. Kelenjar ini memiliki

Page 13: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

13

saluran untuk aliran getah yang dihasilkannya mengalir ke usus (Akoso, 2000).

Kerusakan pada pankreas dan saluran pencernaan ayam memberikan indikasi

terjadinya gangguan pada proses pencernaan ayam penderita sehingga terjadi

gangguan pertumbuhan bobot badan ayam (Wahyuwardhani et al, 2000).

Percabangan trachea merupakan rangakaian dari cincin tulang rawan, pada

bagian cincin tulang rawan ini tumbuh bulu getar atau cilia. Percabangan pada

Treachea dibagi menjadi dua yaitu bifuricatio trachea dan yang berujung pada

alveoli (Sudarmono dan Sugeng, 2007). Salah satu ciri-ciri dari kelainan atau

penyakit pada ternak dapat dilihat dengan kantong udaranya (Rasyaf, 2008).

Noduli kartilaginus merupakan salah satu penyakit pada saluran

pernafasan unggas terutama pada paru–paru. Nodule kartilagnius dapat ditemukan

pada didalam parenkim dari lobi paru. Nodule kartilagnius berasal dari kondrosit

yang mengalami dysplasia dari bronki yang berdekatan selama stadium awal

perkembangan (Sudarmono dan Sugeng, 2007). Noduli pada paru sering sekali

ditemukan pada ayam pedaging umur 1 hari – 52 minggu. Noduli tersebut

biasanya paling sering di temukan pada ayam pejantan umur 3 minggu, di dalam

paru pada bagian kiri (Tabbu, 2002).

Duktus bagian kiri akan berkembang menjadi oviduk yang aktif

sedangkan duktus sebelah kanan akan mengalami regresi (Tabbu, 2002). Kista

kecil tidak menimbulkan efek yang merugikan namun kista besar dapat

mengakibatkan rongga abdomen menggantung sehingga dapat dikelirukan sebagai

asites (Fadilah dan Polana, 2004).

Page 14: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

14

Tubuh hewan terdapat tiga macam sistem syaraf yaitu sistem saraf pusat,

sistem saraf tepi dan sistem saraf simpatetik (Akoso, 2000). Kelainan pada marek

dapat digolongkan ke dalam kerusakan syaraf dan tumor limfoid (limfoma).

Kerusakan syaraf pada Marek dapat terjadi pada susunan syaraf pusat maupun

perifer (tepi) (Damayanti dan Wiyono, 2003). Ditambahkan oleh kerusakan pada

otak, batang otak, dan syaraf perifer atau syaraf tepi masing-masing ditandai

dengan ensefalitis, myelitis, dan neuritis yang ketiganya bersifat non superatif

(Hungerford dalam Damayanti dan Wiyono, 2003).

Page 15: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

15

BAB III

MATERI DAN METODE

Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak tentang Analisis Kondisi Peternakan

Rakyatdi peternakan sapi potong milik Bapak Wagimin yang dilaksanakan pada

hari Sabtu tanggal 24 Oktober 2012 di Bulusan, Kecamatan Tembalang pada

pukul 16.00 – 17.00 WIB. Pemeriksaan Feses dan Pengamatan Preparat Parasit

dilaksanakan pada hari Senin tanggal 5 November 2012 pukul 16.00 – 18.00

WIB. Serta Pemeriksaan Kesehatan Ternak Unggas dilaksanakan hari Senin

tanggal 26 November 2012 pukul 14.00 – 16.00 di Laboratorium Ilmu Kesehatan

Ternak Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang.

3.1. Materi

Materi yang digunakan dalam praktikum dengan materi analisis kondisi

peternakan rakyat adalah alat wawancara yang bertujuan sebagai pengambil data

dan pengambilan gambar. Materi praktikum dengan pemeriksaan kesehatan ternak

ruminansia yaitu termometer yang bertujuan untuk mengetahui suhu tubuh ternak,

stetoskop untuk mengetahui denyut nadi dari ternak, dan alat tulis yang berfungsi

untuk mencatat data keseluruhan saat praktikum. Praktikum pemeriksaan feses

dan pengamatan preparat parasit yaitu mortar berfungsi untuk wadah mengaduk

feses, sendok yang berfungsi untuk mengaduk feses, pipet tetes berfungsi untuk

mengambil larutan feses, tabung sentrifuse berfungsi untuk menghomogenkan

larutan feses, rak tabung sentrifuse berfungsi tempat tabung sentrifuse agar tetap

Page 16: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

16

tegak lurus, gelas obyek yang berfungsi untuk wadah sampel feses yang akan

diamati pada mikoskop, dan kaca penutup untuk menutup obyek glas. Materi yang

digunakan dalam praktikum pemeriksaan kesehatan ternak yaitu menggunakan

ayam broiler, alat suntik yang digunakan untuk mengambil darah, pisau yang

digunakan untuk menyembelih ternak, pisau bedah yang digunakan untuk

mengambil organ dalam. Bahan yang digunakan pada saat praktikum antara lain

feses dan larutan gula.

3.2. Metode

3.2.1. Analisis kondisi peternakan rakyat

Metode yang digunakan dalam praktikum analisis kondisi peternakan

rakyat adalah mengunjungi peternak kemudian mengamati keadaan lingkungan

fisik, melakukan wawancara kepada peternak dengan menanyakan tentang

penyakit yang pernah diderita oleh ternak, kemudian pemberian pakan pada

ternak, sanitasi kandang, pencegahan penyakit, dan penanganan penyakit jika

ternak terkena sakit.

3.2.2. Pemeriksaan kesehatan ternak ruminansia

3.2.2.1. Pemeriksaan jarak jauh, mengamati dari jauh mulai dari aktifitas

ternak, sikap berdiri, pergerakan anggota tubuh, serta mengamati konsumsi makan

dan minumnya.

Page 17: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

17

3.2.2.2. Pemeriksaan jarak dekat, mendatangi ternak serta mengamati sikap

ketanggapan dari ternak. Memegang ternak secara perlahan-lahan kemudian

mengukur frekuensi denyut nadi dengan menggunakan tangan yang kita letakkan

di pangkal ekor, kemudian mengukur suhu tubuh ternak dengan menggunakan

termometer, kemudian mengukur kecepatan bernafas dengan menggunakan

telapak tangan yang didekatkan ke hidung ternak.

3.2.3. Pemeriksaan mikroskopis feses

3.2.3.1. Metode natif, mengambil 1-2 gram feses. Meletakkan feses kedalam

mortal, kemudian menambahkan air sedikit dan mengaduk hingga rata.

Mengambil larutan feses dengan menggunakan pipet tetes dan meletakkannya

kedalam obyek glas, lalu menutupnya dengan menggunakan kaca penutup.

Mengamati sampel feses dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x10.

3.2.3.2. Metode sentrifuse, mengambil 1-2 gram feses. Meletakkan feses

kedalam mortal, kemudian menambahkan air sedikit dan mengaduk hingga rata.

Menuangkan larutan feses kedalam tabung sentrifuse hingga ¾ bagian tabung.

Memutar sentrifuse selama 5 menit. Menuangkan NaCl sampai ¾ bagian tabung,

lalu mengaduk hingga homogen dengan menggunakan sentrifuse selama 5 menit.

Meletakkan tabung sentrifuse pada rak tabung pada posisi tegak lurus.

Menambahkan NaCl perlahan-lahan hingga penuh (hingga permukaan air menjadi

cembung), dan membiarkan selama 2-3 menit. Menempelkan obyek glas pada

permukaan NaCl yang cembung tersebut, dan langsung membaliknya. Mengamati

dibawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10.

Page 18: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

18

3.2.5. Pengamatan preparat awetan parasit

Metode yang digunakan dalam pengamatan preparat parasit dengan

menggunakan preparat ektoparasit yang ada didalam tabung kecil dan endoparasit

yang ada dalam tabung besar, kemudian mengamati dan mencatatnya serta

menggambar preparat hewan ektoparasit dan endoparasit.

3.2.6. Pemeriksaan kesehatan unggas

3.2.6.1. Pengamatan performans unggas, metode yang digunakan untuk

pemeriksaan kesehatan unggas yaitu dengan pengamatan performans unggas yaitu

dengan melihat penampilan tubuh unggas, meliputi: mata, sayap, kaki, bulu, pial.

3.2.6.2. Pengambilan darah, mengambil darah ayam melalui vena bracialis (vena

bagian sayap sebelah dalam) atau vena jugularis dengan menggunakan jarum

suntik. Memasukkan darah dalam tabung gelas secara hati-hati (darah dialirkan

lambat melalui dinding tabung). Tabung penampung tanpa antikoagulan dan

menunggu selama setengah jam kemudian mengamati perubahannya.

3.2.6.3. Nekropsi, mematikan ayam dengan cara memotong pembuluh darah

(arteri maupun vena jugularis), syaraf, trakea maupun esofagus pada bagian leher

sebelah atas dengan pisau tajam. Membasahi bulu unggas, pada bagian dada dan

perut. Meletakkan unggas pada alas plastik dan melakukan nekropsi dengan

memeriksa permukaan kulit ayam, memeriksa warna dan kondisi jaringan bawah

kulit dan otot dada, memeriksa semua yang nampak setelah otot dada dan perut

dibuka, memeriksa saluran pencernaan, memeriksa hati, memeriksa jantung,

Page 19: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

19

memeriksa ginjal, memeriksa pankreas, memeriksa bursa fabrisius, memeriksa

trakea, memeriksa paru, serta memeriksa syaraf.

Page 20: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

20

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Peternakan Rakyat

Berdasarkan hasil praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, diperoleh data

sebagai berikut:

Ilustrasi 1. Kondisi Peternakan Rakyat

Peternakan Bapak Wagimin terletak di Kelurahan Bulusan, Kecamatan

Tembalang, Semarang. Pendidikan Bapak Wagimin yaitu tidak tamat SD. Bapak

Wagimin mulai beternak sapi potong sekitar tahun 2005. Jumlah ternak yang

dimiliki saat ini yaitu 7 ekor yaitu 6 ekor jantan dan 1 ekor betina. Ilmu beternak

Bapak Wagimin pada awalnya otodidak, kemudian mendapatkan pelatihan

beternak dari penyuluh Dinas Peternakan Kota Semarang. Kondisi peternakan

milik Bapak Wagimin masih kurang memenuhi syarat, karena jarak kandang

dengan rumah penduduk sangat dekat dan lingkungan kandang terlihat kumuh.

Keadaan kandang seperti ini akan membuat ternak kurang merasa nyaman dan

Page 21: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

21

mudah terserang bibit penyakit. Hal ini sesuai pendapat Purnomoadi (2003) yang

menyatakan bahwa keadaan kandang yang baik yaitu tidak berdekatan dengan

pemukiman penduduk minimal 50 meter, dan tidak ada genangan air serta bersih

baik didalam kandang maupun diluar kandang sehingga ternak dapat merasa

nyaman.

Salah satu cara untuk mengetahui kondisi ternak yaitu dengan

menggunakan teknik anamnesa. Teknik anamnesa dilakukan dengan menanyakan

kondisi ternak secara langsung kepada peternak. Hal ini sesuai dengan pendapat

dari Siregar (1997) yang menyatakan bahwa anamnesa merupakan cara untuk

mengetahui kondisi kesehatan ternak dengan menanyakan pada pemilik ternak

mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan ternak.Riwayat penyakit

yang pernah menyerang ternak biasanya yaitu masuk angin, kembung, dan diare.

Penyakit masuk angin dan kembung dapat diketahui bila ternak tidak mau makan

dan ukuran rumen membesar, sedangkan ternak yang terjangkit diare fesesnya

akan terlihat encer. Hal ini sesuai pendapat dari Rianto dan Purbowati (2010)

yang menyatakan bahwa gejala yang muncul jika terdapat kelainan pada saluran

pencernaan misalnya kembung adalah nafsu makan hilang, perut bagian kiri

terlihat buncit, susah bernafas dan badan gemetar.

Page 22: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

22

4.1.1. Pengamatan kondisi lingkungan dan kandang ternak

Berdasarkan hasil praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, diperoleh data

sebagai berikut:

Ilustrasi 2.Keadaan Lingkungan kandang

Lokasi pembuatan kandang Bapak Wagimin belum memenuhi syarat,

karena jarak antara kandang dengan rumah penduduk relatif dekat. Hal ini sesuai

dengan pendapat Mandiri (2009) yang menyatakan bahwa lokasi yang ideal dalam

pembuatan kandang yaitu daerah yang letaknya cukup jauh dari pemukiman

penduduk. Lingkungan disekitar peternakan mendukung karena dekat dengan

sumber air, disekitar lingkungan kandang juga terdapat tanaman diantaranya

ketela pohon, beberapa legume, serta pohon besar yang digunakan sebagai bahan

pakan ternak. Kebersihan lingkungan kurang karena kotoran hanya dibuang

melewati pintu dan hanya dibiarkan menumpuk karena tidak terdapat saluran

pembuangan. Lingkungan kandang yang tidak bersih dapat menyebabkan ternak

mudah terserang penyakit seperti diare dan cacingan. Hal ini sesuai dengan

Page 23: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

23

pendapat dari Rianto dan Purbowati (2010) yang menyatakan bahwa kotoran atau

sampah yang menumpuk dapat digunakan sebagai media perkembangan penyakit

tertentu pada ternak.

Ilustrasi 3. Keadaan Sumber Air

Bangunan kandang pada peternakan ini berupa bangunan tradisional semi

permanen yang terbuat dari bambu. Lingkungan sekitar kandang sangat

mendukung karena dekat dengan sumber air dan terdapat tanaman yang dapat

digunakan sebagai pakan di dekat kandang. Namun kandang peternakan Bapak

Wagimin kurang memenuhi syarat karena lantai kandang berupa lantai tanah yang

tidak diberi alas dan tidak dibuat miring. Lantai kandang yang baik yaitu harus

dibuat miring guna memudahkan dalam melakukan sanitasi, serta pemberian alas

pada lantai yang terbuat dari tanah supaya ternak merasa hangat. Hal ini sesuai

dengan pendapat Mandiri (2009) yang menyatakan bahwa lantai yang terbuat dari

tanah padat harus dilapisi dengan alas seperti jerami kering sebagai alas ternak

agar tetap hangat. Kandang juga tidak dilengkapi dengan selokan sehingga sulit

untuk melakukan sanitasi. Selain itu tidak terdapat ventilasi udara pada kandang,

Page 24: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

24

sehingga sirkulasi udara didalam kandang kurang baik. Hal ini sesuai dengan

pendapat Abidin (2002) yang berpendapat bahwa kandangan sapi yang ideal

sebaiknya terdapat ventilasi yang berfungsi sebagai proses sirkulasi udara. Antar

ternak tidak diberi pembatas atau stall, hal ini dapat menyebabkan perkelahian

antar ternak. Palung tempat pakan terbuat dari bambu yang memanjang tanpa

sekat sehingga membuat sapi saling berebut pakan.

4.1.2. Tata laksana

Berdasarkan hasil praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, diperoleh data

sebagai berikut:

Ilustrasi 3. Pakan Hijauan

Pakan merupakan bahan yang didalamnya mengandung nutrisi yang

diberikan kepada ternak untuk pertumbuhan dan reproduksi. Hal ini sesuai dengan

pendapat Purnomoadi (2003) yang menyatakan bahwa pakan merupakan segala

sesuatu yang diberikan kepada ternak yang dapat dicerna keseluruhan maupun

Page 25: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

25

sebagiannya saja dan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan, perkembangan,

serta reproduksi ternak. Pemberian pakan pada ternak oleh Bapak Wagimin

berupa rumput, ketela pohon, dedak, dan molases.Pakan sangat berpengaruh pada

pertumbuhan dan perkembangan serta reproduksi ternak. Hal ini sesuai dengan

pendapat Rianto dan Purbowati (2010) yang menyatakan bahwa pola perumbuhan

dan perkembangan ternak tergantung pada pengelolaan dan tingkat nutrisi didalam

pakan yang tersedia.

Tata laksana dalam pemeliharaan ternak meliputi lokasi kandang, pakan

dan kebersihan kandang serta suhu lingkungan kandang. Suhu udara dilokasi

kandang sudah baik untuk produktivitas ternak, namun lokasi pembangunan

kandang kurang sesuai karena dibangun dekat dengan pemukiman. Sanitasi

kandang dilakukan setiap pagi. Permasalahan pada lantai kandang yang terbuat

dari tanah membuat kondisi kandang tetap lembab dan kotor. Pembuangan

kotoran ternak hanya dilakukan dengan mengumpulkannya di samping kandang

sehingga lingkungan kandang menjadi kotor dan dapat menyebarkan berbagai

penyakit. Sanitasi sapi dilakukan dengan memandikan sapi dua hari sekali saat

musim penghujan tetapi saat musim kemarau sapi tidak dimandikan untuk

menghemat air. Hal ini dapat menyebabkan berbagai penyakit kulit akibat

datangnya ekstoparasit contohnya lalat. Menjaga kesehatan ternak seharusnya

diperhatikan mulai dari kebersihan ternak dan kebersihan dilingkungan ternak.

Hal ini sesuai dengan pendapat Asmaki (2009) yang menyatakan bahwa dalam

memelihara kesehatan sapi peternak harus mengawasi kebersihan kandang dan

memberikan perawatan kepada sapi dengan baik. Penanganan yang dilakukan

Page 26: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

26

oleh Bapak Wagimin apabila ada ternak yang sakit yaitu memanggilkan dokter

hewan disekitar tempat tinggal.

Page 27: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

27

4.2. Pemeriksaan Kesehatan Hewan

Berdasarkan hasil praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, diperoleh data

sebagai berikut:

Ilustrasi 4.Gambar Induk Sapi

Pengamatan tingkah laku pada ternak didapatkan, secara umum sapi

Peranakan Ongole milik Bapak Wagimin kondisi permukaan tubuhnya agak

kusam, namun tidak ditemukan luka dipermukaan tubuh. Aktivitas pada sapi

sangat lincah, seluruh anggota tubuh aktif bergerak, tidak ada luka disekitar

tubuh, nafsu makan dan minum banyak, posisi tubuh berdiri tegak, dan kondisi

berat badan cukup sehingga dapat dikatakan sapi dalam keadaan sehat. Hal ini

sesuai dengan pendapat Agromedia (2010) yang menyatakan bahwa sapi yang

sehat ditandai dengan bulu licin mengkilap serta tidak ada luka dibagian

tubuhnya, bentuk tubuh proporsional, bereaksi baik terhadap pakan, dan bentuk

kotoran normal.

Page 28: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

28

Pemeriksaan fisik tubuh ternak yang telah dilakukan, didapatkan bahwa

tidak ada bagian tubuh ternak yang nampak sakit. Suhu tubuh mencapai 38oC,

gerakan nafas teratur, kecepatan pulpus sebesar 60 kali/menit. Hasil pemeriksaan

ini menunjukkan bahwa ternak dalam kondisi normal. Hal ini sesuai dengan

pendapat Williamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa frekuensi nafas

normal pada sapi potong yaitu 10-30 kali/menit, dan denyut nadi sebesar 60-70

kali/menit. Ditambahkan oleh Sugeng (2006) yang menyatakan bahwa suhu tubuh

normal pada sapi sebesar 38-39,5oC. Kondisi feses yang keluar lunak dan tidak

berbentuk, kondisi urin keluar dalam jumlah sedang. Hal ini menunjukkan ternak

sehat.

Page 29: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.

Sumber : www.google.co.id

29

4. 3. Pemeriksaan Mikroskopis Feses

Pemeriksaan mikroskopis feses bertujuan untuk mengetahui jenis cacing

yang ada dalam sampel feses. Pemeriksaan mikroskopis feses ini dilakukan

dengan 2 metode yaitu metode natif dan metode sentrifuse.

4.3.1. Metode Natif

Berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis feses dengan metode natif

diperoleh telur cacing Schistosoma bovispada feses sapi anakan Peranakan Ongole

sebagai berikut :

Ilustrasi 5. Schistosoma bovis

Pengamatan sampel feses sapi PO (Peranakan Ongole) ditemukan telur

cacing jenis trematoda yaitu Schistosoma bovis dengan ciri-ciri bentuk agak oval

panjang, memiliki bintik gelap dibagian tengah, dan berwarna kecoklatan serta

berwarna cerah dibagian pinggir seperti dinding. Hal ini sesuai dengan pendapat

Page 30: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

30

dari Soedarto dalam Jusmaldi dan Arini (2010) yang menyatakan bahwa telur

cacing jenis Schistosoma sp. ini berwarna coklat kekuningan, mempunyai dinding

yang tembus sinar, terdapat tonjolan seperti spina pada salah satu ujungnya.

Siklus hidup dari cacing Shistosomayaitu berawal dari telur yang ada di dalam

tinja –(mirasidium - sporosista - serkaria)–menuju sapi atau hewan lainnya. Hal

ini sesuai dengan pendapatHadijaja dalam Soejoedono (2011) dari penelitiannya

di danau Lindu dan lembah Napu, Sulawesi Tengah menggambarkan daur hidup

dari Schistosoma sebagai berikut : Telur cacing yang dikeluarkan bersama tinja

akan menetas dalam air dan menjadi mirasidium yang dapat berenang dan

memasuki induk semang antara, yaitu siput. Di dalam tubuh siput mirasidium

berubah menjadi sporosista pertama atau sporosista induk yang mengandung

sporosista kedua atau sporosista anak yang kemudian akan menghasilkan serkaria.

Untuk siklus ini, diperlukan waktu lebih kurang tiga bulan. Serkaria kemudian

keluar meninggalkan siput dan berenang aktif mencari hospes definitifnya, yaitu

manusia, anjing, tikus, kijang dan hewan lainnya seperti kuda dan sapi.

Schistosoma bovis umumnya sering dijumpai pada sapi potong, biasanya

menyerang sistem peredaran darah pada hewan ternak yang ditempatinya. Hal ini

sesuai dengan pendapat Suwandi (2001) yang menyatakan bahwa genus

Schistosoma biasanya menyerang sistem peredaran darah.

Page 31: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.

Sumber : www.google.co.id

31

4.3.2. Metode Sentrifuse

Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh bahwa pada sampel feses sapi

PO (Peranakan Ongole) ditemukan telur cacing jenis Syngamus laryngeus sebagai

berikut :

Ilustrasi 6. Syngamus laryngeus

Syngamus laryngeus memiliki ciri-ciri ukuran tubuh yang kecil dan

bentuk oval, dan terdapat bintik hitam, berdinding tipis dan termasuk kedalam

cacing kelas nematoda. Syngamus laryngeus dapat ditemukan pada bagian laring.

Hal ini sesuai dengan pendapat Moks et al. (2005) yang menyatakan bahwa

Mammonogamus laryngeus (Syngamus laryngeus) adalah cacing jenis nematoda

yang dapat ditemukan di laring dari hewan mamalia tropis terutama pada sapi

potong dan kucing. Perkembangbiakan endoparasit didalam tubuh ternak, dapat

menimbulkan beberapa penyakit, salah satu contohnya yaitu dapat menghambat

proses pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan pendapat Suwandi (2001) yang

Page 32: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

32

menyatakan bahwa cacing dari kelas nematoda yang menyerang saluran

pencernaan ternakruminansia dapat menimbulkan kerugian berupa gangguan

pertumbuhan dan mencret.

4.4. Pengamatan Preparat Awetan Parasit

Pengamatan preparat awetan parasit bertujuan untuk dapat mengenali dan

mengetahui dengan jelas berbagai jenis endoparasit dan ekstoparasit yang sering

muncul pada ternak.

4.4.1. Ektoparasit

Ektoparasit yaitu parasit yang hidupnya pada permukaan tubuh bagian

luar atau bagian tubuh yang berhubungan langsung dengan dunia luar dari hospes.

Hal ini sesuai dengan pendapat Suwandi (2001) yang menyatakan bahwa

ekstoparasitmerupakan parasit yang hidupnya pada permukaan tubuh bagian luar

atau bagian tubuh dalam yang dapat berhubungan langsung dengan dunia luar dari

hospes atau inang, seperti kulit, rongga telinga, hidung, bulu, ekor, dan

mata.Golongan ekstoparasit yang biasa menyerang ternak yaitu kelas insekta dan

kelas arachnida. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadi dan Soviana yang

disitasikan Andini (2008) yang menyatakan ektoparasit termasuk kelas insecta

yang terdiri dari empat ordo, yaitu Phthiraptera (kutu), Siphonoptera (pinjal),

Hemiptera (kutu busuk), Diptera (nyamuk dan lalat), dan kelas Arachnida itu

sendiri terdiri dari ordo Acariformes (tungau) dan Parasitiformers (caplak).

Page 33: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.

Sumber : www.google.co.id

33

4.4.1.1. Tabanidae tabanus sp, Berdasarkan hasil pengamatan preparat awetan

parasit, diperoleh hasil sebagai berikut :

Ilustrasi 7. Tabanidae tabanus sp

Tabanidae tabanus sp merupakan ektoparasit yang bisa terbang. Lalat ini

berwarna hitam dan dapat menyebarkan virus penyakit. Hal ini sesuai dengan

pendapat Levine (1994) bahwa Tabanus termasuk ke dalam kelas Insecta, ordo

Diptera, sub ordo Brachycera, famili Tabanidae. Tabanus adalah lalat pitak atau

lalat kuda. Daur hidup dari Tabanus sp. adalah dimulai dari telur menetas dalam

waktu satu minggu lalu masuk ke dalam air, didalam air larva lalat kuda akan

makan larva insecta, larva Crustacea, siput cacing tanah dan sebagainya,

kemudian larva akan migrasi ke tanah kering untuk menjadi pupa yang sangat

mirip dengan pupa kupu-kupu, setelah 5 hari sampai 3 minggu menjadi lalat

dewasa, kecepatan untuk menjadi lalat dewasa tergantung dari jenis lalat

Page 34: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.

Sumber : www.google.co.id

34

kuda.Ditambahkan pula oleh pendapat Hadi dan Saviana (2000) bahwa Tabanus

adalah lalat pitak atau lalat kuda.

4.4.1.2. Chrysomya megachephala, Berdasarkan hasil pengamatan preparat

awetan parasit, diperoleh hasil sebagai berikut :

Ilustrasi 8. Chrysomya megachepala

Chrysomya megachephala termasuk jenis ekstoparasit dari Ordo Dipetra

dan Family Callphoridae. Hal ini sesuai dengan Levine (1994) bahwa Family

Callphoridae mirip dengan lalat rumah atau sering disebut juga dengan sebutan

lalat hijau, tetapi seringkali lebih besar dan biasanya berwarna hijau atau biru

metalik. Ciri-ciri parasit ini antara lain tubuh yang berwarna biru kehitaman serta

mengkilap, dan mata yang berwarna coklat. Ditambahkan oleh Suraini (2011)

yang menyatakan bahwa hasil pengamatan terhadap tanda-tanda morfologi

Chrysomya megachepala didapatkan bahwa warna tubuh hijau metalik, torak

berwarna hijau metalik kecokelatan, abdomen berwarna hijau metalik. Panjang

Page 35: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

35

tubuh 8,83±0,68 mm (n=40) dengan kisaran antara 7,17-10,40 mm, ukuran lebar

kepala 3,27±0,68 mm (n=40) dengan kisaran antara 2,50-4,07 mm. Panjang sayap

5,99±2,84 mm (n=40) dengan kisaran 5,30-7,10. Lebar sayap 2,30±2,33 mm

(n=40) dengan kisaran 2,01- 2,80 mm. Mata berukuran besar dan berwarna merah,

hampir bersentuhan diantara keduanya. Daur hidup dari lalat ini yaitu berawal dari

telur kemudian menjadi larva, berkembang menjadi pupa, kemudian hiduplah lalat

dewasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadi (2012) yang menyatakan bahwa

semua lalat mengalami metamorfosis sempurna dalam perkembangannya.

Pertama, telur lalat akan diletakkan dalam medium yang dapat menjadi medium

untuk pertumbuhan larva. Lalu larva akan berubah menjadi pupa. Stadium pupa

bisa beberapa hari, minggu, atau bulan, kemudian lalat dewasa akan muncul dan

mencari pasangan kembali untuk menghasilkan telur. Larva-larva tersebut

biasanya menghinggapi dan hidup dalam daging mentah. Hal ini sesuai dengan

pendapat Haryati (2006) yang menyatakan bahwa selama hidupnya lalat hijau

betina dapat menghasilkan rata-rata 687,5–1690 butir telur yang dapat bertelur

sebanyak 4–6 kali. Waktu yang diperlukan untuk melengkapi siklus hidup dalam

media daging mentah pada suhu 24–28,5oC dengan kelembaban 85–95% adalah

selama 24–33 hari.

Page 36: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.

Sumber : www.google.co.id

36

4.4.2. Endoparasit

Endoparasit adalah parasit yang hidupnya berada dalam tubuh induk

semang.hal ini sesuai dengan pendapat Yuliarti (2011) yang menyatakan bahwa

endoparasit merupakan parasit yang ditemukan pada organ bagian dalam inang.

Endoparasit terdiri dari kelas trematoda dan kelas nematoda. Hal ini sesuai dengan

pendapat Mastika et al., (1993) yang menyatakan bahwa endoparasit meliputi

cacing, seperti cacing gilik (nematoda) dan cacing daun (trematoda).

4.4.2.1. Haemonchus, Berdasarkan hasil pengamatan pada preparat parasit,

diperoleh hasil sebagai berikut :

Ilustrasi 9. Haemonchus

Haemonchus memiliki ciri-ciri antara lain tubuh yang berwarna merah,

berbentuk seperti serabut dan termasuk kedalam jenis cacing lambung karena

hidupnya yang berada di saluran pencernaan. Hal ini sesuai dengan pendapat dari

FAO yang diterjemahkan oleh Akoso et al. (1990) yang menyatakan bahwa

Page 37: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

37

Hemonchus spp. adalah jenis cacing kawat yang hidup di saluran pencernaan,

cacing ini berwarna merah berukuran 10-20 mm (jantan) dan bergaris merah

dengan ukuran 18-30 mm (betina), dan biasanya mudah terlihat saat bedah

bangkai. Cacing Haemonchussering ditemukan pada ternak kambing dan domba.

Dampak yang ditimbulkan yaitu bermula pada penurunan protein tubuh hingga

kematian. Hal ini sesuai dengan pendapat Lastuti et al. (2006) yang menyatakan

bahwa kerugian yang ditimbulkan selain kematian juga menyebabkan

terhambatnya pertumbuhan dan produksi, karena sifat cacing adalah penghisap

darah yang mengakibatkan anemia hemorhagie dengan ditandai jumlah eritrosit

dan PCV, infeksi khronis dapat berjalan lama karena masih adanya sejumlah

cacing jika disertai nutrisi buruk maka berakibat penurunan berat badan dan

disertai penurunan protein dalam tubuh.

Page 38: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.

Sumber : www.google.co.id

38

4.4.2.2. Paramphistomum spp., Berdasarkan hasil pengamatan preparat parasit,

diperoleh hasil sebagai berikut :

Ilustrasi 10. Paramphistomumspp.

Paramphistomum adalah jenis cacing kelas trematoda. Cacing ini

berbentuk seperti kerikil dan berwarna putih keabu-abuan. Hal ini sesuai dengan

pendapat Suwandi (2001) menyatakan bahwa yang termasuk kedalam cacing

genus Fasciola (cacing hati) yang berwarna merah muda kekuning-kuningan

sampai abu-abu kehijau-hijauan antara lain cacing Paramphistomum sp. (cacing

parang) dan Genus Schistosoma (menyerang sistem peredaran darah). Siklus

hidup cacing paramphistomum berawal dari telur-larva-cacing dewasa. Hal ini

sesuai dengan pendapat Putratama (2009) yang menyatakan bahwa cacing dewasa

bertelur didalam habitatnya kemudian menuju usus dan dikeluarkan bersama

dengan tinja. Telur beroperkulum yang telah mengandung embrio kemudian

menetas membebaskan mirasidium yang bergerak aktif dalam lingkungan yang

Page 39: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

39

berair menuju inang sementara berupa siput. Lima sampai tujuh minggu setelah

infeksi berudu keluar dari tubuh siput dan berenang bebas kemudian kontak

dengan tanaman disekitarnya membentuk metaserkaria. Perkembangan

selanjutnya, serkaria membentuk kista pada tanaman atau rumput di area

penggembalaan. Infeksi terjadi karena inang definitif memakan rumput yang

terkontaminasi metaserkaria. Setelah termakan, metaserkaria membebaskan

cacing muda dalam usus halus. Kemudian cacing muda ini akan bermigrasi keatas

menuju rumen dan retikulum dan akhirnya berkembang menjadi cacing dewasa

kembali. Kemunculan parasit terjadi karena pengaruh dari lingkungan sekitar

yang kurang baik sehingga menyebabkan kerugian bagi peternak.Hal ini sesuai

dengan pendapat Dwinata dalam Jusmaldi dan Arini (2010) yang menyatakan

bahwa pola pemberian pakan, faktor-faktor lingkungan (suhu, kelembaban, dan

curah hujan) serta sanitasi yang kurang baik dapat mempengaruhi

berkembanganya parasit.

Page 40: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2012.

Sumber : www.google.co.id

40

4.4.2.3. Prostagonimus, Berdasarkan hasil pengamatan preparat parasit, diperoleh

hasil sebagai berikut :

Ilustrasi 11. Prosthogonimus

Prostogonimus memiliki bentuk tubuh yang pipih, tipis dan bagiannya

ada yang lebar di salah satu sisinya, warnanya putih kecoklatan dan termasuk

kedalam kelas trematoda. Hal ini sesuai dengan pendapat Elmer dan Glen (1989)

yang menyatakan bahwa telur cacing prostogonimus umumnya memiliki panjang

rata-rata 87 x 50 μm, dan berwarna kecoklatan. Ditambahkan oleh Levine (1994)

bahwa genus prosthogonimus ini adalah cacing berukuran sedang bagian paling

lebar dibagian belakang pertengahan tubuh.Siput merupakan induk semang antara

bagi cacing jenis trematoda ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutrisnawati

(2011) yang menyatakan bahwa infeksi cacing trematoda yang tersebar luas dan

kejadiannya sangat umum tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain

iklim yang tropis dan sistem irigasi yang tidak teratur sehingga siput yang

Page 41: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

41

berperan sebagai ISA (induk semang antara) dapat berkembang biak dengan

mudah.

4.5. Pemeriksaan Kesehatan Ternak Unggas (Broiler)

Berdasarkan pemeriksaan kesehatan ternak unggas broiler dari segi

riwayat hidup diperoleh hasil bahwa ayam tersebut berjenis kelamin betina dan

berumur 1,5 bulan. Ayam broiler didapatkan dari RPU (Rumah Potong Unggas).

Kondisi umum dari ayam broiler tersebut tubuhnya dalam keadaan kurang sehat

karena lingkungan kandang yang kurang memenuhi syarat seperti luas kandang

yang terlalu sempit dan kapasitas ayam yang terlalu banyak. Hal ini sesuai dengan

pendapat Murni (2009) yang menyatakan bahwa populasi kandang yang terlalu

padat dapat menyebabkan ayam menjadi stres, sehingga menurunkan produksi,

disamping itu juga akan berpengaruh pada efisien penggunaan pakan. Sedangkan

populasi yang terlalu kecil akan menyebabkan kandang kurang efisien

penggunaannya dan akan berpengaruh juga pada pertumbuhan bobot badannya

yang kurang optimal disebabkan ayam banyak bergerak atau jalan-jalan.

Ditambahkan oleh Martono dalam Wahyudi et al. (2010) yang menyatakan bahwa

kepadatan kandang untuk ayam umur lima minggu atau 1,5 bulan berjumlah

antara 8-10 ekor/m2.

Page 42: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

42

4.5.1. Pengamatan Performans Unggas

Berdasarkan hasil praktikum pada pengamatan performans unggas,

didapatkan hasil sebagai berikut :

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Sumber: www.jsfp.com Kesehatan Ternak, 2012.

Ilustrasi 13. Performans Unggas

Unggas yang diamati memiliki tingkah laku yang lemah, bagian kepala

terluka terutama pada bagian jengger, mulut, hidung, mata dan kaki yang bengkak

hingga berwarna hijau dikarenakan pembengkakan darah. Hal ini sesuai dengan

pendapat Fadilah dan Polana (2004) yang menyatakan bahwa unggas yang sakit

memiliki ciri-ciri pada saat berdiri ayam tidak berdiri secara tegak atau lemah. Hal

ini diperkuat oleh pendapat Sudarmono dan Sugeng (2007) yang menyatakan

bahwa lantai kandang sebagai tempat berpijak haruslah bersih dan harus dalam

keadaan kering. Sebab bila kotor dan becek akan sangat merugikan ayam. Lantai

yang becek mengakibatkan ujung jari kaki ayam terbungkus oleh kotoran,

sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya infeksi penyakit kolera atau coli.

4.3.1. Pengambilan Darah

Page 43: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

43

Berdasarkan hasil praktikum, pengambilan darah ayam broiler

didapatkan hasil berupa :

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Sumber: www.jsfp.com Kesehatan Ternak, 2012.

Ilustrasi 14. Pengambilan Darah

Serum darah adalah bagian dari plasma yang didalamnya terlarut

berbagai macam protein. Diantaranya gamaglobulin yang berupa zat anti bodi dan

berfungsi untuk mengebalkan seseorang dari gangguan penyakit. Pengambilan

serum darah ayam diambil melalui Vena Bracialis (Vena di bagian sayap sebelah

dalam) dengan menggunakan spuilt (3 cc) kemudian dimasukan kedalam tabung

gelas secara hati-hati, dan dibiarkan selama setengah jam. Pengambilan darah

yang dianalisa tidak terdapat kandungan nutrisi maupun zat toksik yang dapat

menyebabkan unggas sakit.Hal ini sesuai dengan pendapat Murtidjo (1992) yang

menyatakan bahwa pengambilan sampel darah atau organ tubuh ayam digunakan

untuk menganalisa apakah organ tersebut terserang penyakit atau tidak dengan

melakukan analisis DNA-nya melalui uji PCR (polymerase chain reaction).Jika

DNA negative berarti tidak terjangkit virus dan jika DNA posistif terinfeksi virus,

segera ayam-ayam tersebut dimusnahkan untuk mencegah penyebaran yang

Page 44: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

44

semakin luas.Diperkuat oleh Reece dalam Satyaningtihas et al. (2010) bahwa

gambaran darah merupakan salah satu parameter dari status kesehatan hewan

karena darah mempunyai fungsi penting dalam pengaturan fisiologis tubuh.

Fungsi darah secara umum berkaitan dengan transportasi komponen di dalam

tubuh seperti nutrisi, oksigen, karbondioksida, maetabolit, hormon, panas, dan

imun tubuh sedangkan fungsi dari darah berkaitan dengan keseimbangan cairan

dan pH tubuh.

4.5.3. Nekropsi

Berdasarkan hasil praktikum, nekropsi dapat diartikan yaitu pemeriksaan

unggas meliputi jaringan permukaan tubuh hingga organ dalamnya yang

digunakan untuk mengetahui kelainan pada unggas dengan cara membedah tubuh

unggas. Hal ini sesuai dengan pendapat Murtidjo (1992) yang menyatakan bahwa

Pemeriksaan nekropsi adalah pemeriksaan jaringan tubuh ternak untuk

mengetahui kelainan penyakit pada ternak unggas dengan cara membedah rongga

tubuh. Hal ini diperkuat oleh Fadilah et al. (2004) bahwa nekropsi merupakan

suatu prosedur untuk melakukan pemeriksaan yang cepat dan rinci secara patologi

anatomi untuk mengetahui sebab-sebab kematian seekor atau sekelompok hewan

yang dalam hal ini adalah ayam sehingga dapat dilakukan penanggulangan

penyakit. Pemeriksaan nekropsi yang dilakukan pada saat praktikum, antara lain.

Page 45: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

45

4.5.3.1. Pemeriksaan Permukaan Kulit Ayam

Berdasarkan hasil praktikum pengamatan kulit ayam diperoleh hasil

berupa :

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Sumber: www.jsfp.com Kesehatan Ternak, 2012.

Ilustrasi 15. Permukaan Kulit Ayam

Hasil yang diperoleh pada pemeriksaan kulit ayam dapat diamati yaitu

kulit ayam memiliki warna bersih merah muda pucat yang menandakan ayam

dalam keadaan sehat. Hal ini sesuai dengan pendapat Fadilah dan Polana (2004)

yang menyatakan bahwa ciri ayam broiler yang sehat yaitu muka cerah, jengger

merah, lubang hidung bersih dari lendir, tidak ada exudates dan bercak merah

pada bagian kulit, ayam tidak mengantuk, bulu cerah tidak kusam, kelihatan

berminyak, sayap kuat tidak jatuh, serta kaki tegak dan kokoh. Kulit unggas

seluruhnya tertutup oleh bulu. Bulu tersebut memiliki peranan yang sangat

penting. Hal ini sesuai dengan pendapat Yuwanta (2008) yang menyatakan bahwa

Bulu unggas merupakan hal yang penting bagi tingkat ketahanan terhadap

Page 46: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

46

penyakit. Bulu memiliki peranan penting yaitu untuk membantu menghangatkan

tubuh, untuk terbang, untuk identifikasi penyakit, untuk insulasi tubuh terhadap

panas dan dingin yakni melindungi tubuh dari pengaruh panas dan dingin serta

untuk identifikasi defisiensi nutrient, bulu akan kusam dan mudah patah jika

kekurangan salah satu nutrient dalam pakan.

4.5.3.2. Pemeriksaan warna dan kondisi jaringan dibawah kulit

Berdasarkan hasil praktikum pengamatan warna dan kondisi jaringan

dibawah kulit diperoleh hasil berupa :

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Sumber: www.23isdu.com Kesehatan Ternak, 2012.

Ilustrasi 16. Warna dan Kondisi Jaringan di Bawah Kulit

Hasil praktikum nekropsi dengan membuka kulit penutup tubuh yang

dimulai dari ujung tulang dada hingga seluruh kulit terlepas dari tubuh pada

jaringan subkutan yang terletak diantara kulit dan daging maupun jaringan daging,

kondisi yang diamati yaitu bersih, kering, warnanya krem, serta tidak terdapat

bercak-bercak merah. Ini menandakan bahwa kondisi jaringan dibawah kulit yaitu

Page 47: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

47

sehat dan tidak ditemukan adanya gejala penyakit. Hal ini sesuai dengam

pendapat dari Fadilah dan Polana (2004) yang menyatakan bahwa ayam pedaging

yang sehat yaitu muka cerah, jengger merah, lubang hidung bersih dari lendir,

tidak ada exudates dan bercak merah pada bagian kulit, ayam tidak mengantuk,

bulu cerah tidak kusam, kelihatan berminyak, sayap kuat tidak jatuh, serta kaki

tegak dan kokoh. Keadaan unggas tersebut tentu dipelihara dengan baik, karena

pada dasarnya unggas merupakan produk peternakan yang konsumsinya selalu

meningkat. Oleh karena itu para peternak berupaya untuk meningkatkan mutu dan

kualitas produk yang akan dijual agar tidak mudah terjangkit beberapa penyakit

yang mudah datang dan pergi. Hal ini sesuai dengan pendapat Akhirany (2009)

yang menyatakan bahwa pada peternakan unggas memperhatikan titik kritis mulai

dari pemeliharaan, proses pemotongan unggas di RPU, transportasi dan pada saat

penjajaan merupakan hal yang harus mendapat perhatian khusus. Bila penanganan

titik kritis dilaksanakan dengan tepat, maka kemungkinan terjadinya kontaminasi

silang dapat ditekan dengan yang pada gilirannya dapat meningkatkan mutu dan

kualitas produk unggas tersebut aman dan layak dikonsumsi.

Page 48: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

48

4.5.3.3. Pemeriksaan semua yang nampak setelah otot dada dan perut

dibuka

Berdasarkan hasil praktikum pengamatan otot dada setelah dibuka

diperoleh hasil berupa :

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Sumber: www.kdj.com Kesehatan Ternak, 2012.

Ilustrasi 17. Kondisi Bagian dalam Dada dan Perut

Hasil praktikum pada waktu membuka otot daging yang menutupi rongga

perut dengan cara menggunting otot dasar rongga dada yang telah terpotong ke

arah anus dapat diamati bahwa isi rongga dada dan perut terdapat banyak

gumpalan lemak atau pengkejuan, namun tidak ditemukan adanya gejala penyakit

yang nampak. Hal ini sesuai dengan pendapat Fadilah dan Polana (2004) yang

menyatakan bahwa pada ayam sehat tidak terdapat luka di bagian tubuhnya.

Bagian jaringan bawah kulit dan otot dada ayam jaringan subkutan kondisinya

basah mengkilat begitu juga dengan jaringan dagingnya. Isi rongga dada bersih

tetapi banyak lemak.Isi rongga perut bersih namun banyak gumpalan lemak.

Page 49: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

49

Ditambahkan oleh pendapat Wahyono et al. dalam Rumiyani et al. (2011) yang

menyatakan bahwa lemak perut merupakan deposisi dari kelebihan metabolisme

lemak yang merupakan cadangan energi bagi ayam yang diperoleh dari diet yaitu

lemak pakan dan lipogenesis.

4.5.3.4. Pemeriksaan Saluran Pencernaan

Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan saluran pencernaan ayam

diperoleh hasil berupa :

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Sumber: www.dbfs.com Kesehatan Ternak, 2012.

Ilustrasi 18. Saluran Pencernaan

Pemeriksaan saluran pencernaan meliputi pemeriksaan dinding saluran

dan isi saluran pencernaan. Bagian gizzard, terdapat pakan yang sudah hancur dan

berbentuk halus.Bagian proventrikulus kosong dan pada bagian tembolok

didalamnya masih terdapat pakan yang bersifat lembek. Dari hasil pengamatan

tidak ditemukan gejala adanya penyakit pada saluran pencernaan yang disebabkan

oleh bakteri ataupun virus. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Tabbu (2002)

Page 50: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

50

yang menyatakan bahwa penyakit pada saluran pencernaan merupakan penyakit

yang disebabkan oleh bakteri maupun virus yang menyerang organ saluran

pencernaan. Hal ini diperkuat oleh pendapat Fadilah dan Polana (2004) yang

menyatakan bahwa abnormalitas pada saluran pencernaan ayam meliputi

stomatitis, nekrosis pada paruh, impaksi (pemadatan tembolok), impaksi

ventrikulus.

4.5.3.5. Pemeriksaan Hati

Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan hati diperoleh hasil berupa :

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Sumber: www.dufa.com Kesehatan Ternak, 2012.

Ilustrasi 19. Hati

Pemeriksaan hati pada unggas yang terlihat yaitu ukuran yang normal,

memiliki warna coklat pucat, namun terdapat perbedaan warna pada kedua hati

tersebut ini disebabkan oleh terjadinya perlemakan hati yang diakibatkan

pengkonsumsian karbohidrat yang berlebih pada bahan pakan. Hal tersebut sesuai

Page 51: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

51

dengan pendapat Tabbu (2002) bahwa penyakit hati salah satu diantaranya yaitu

pelemakan hati yang biasa disebut dengan fatty liver-Hemorrhagic syndrome

(FLHS) yang ditandai dengan hati berwarna pucat kekuningan, membesar, mudah

rapuh dan berminyak. Pelemakan hati biasanya diakibatkan pengkonsumsian

bahan pakan yang mengandung karbohidrat berlebih. Hal ini diperkuat oleh

pendapat Fadilah dan Polana (2004) yang menyatakan bahwa kelebihan

mengkonsumsi pakan yang mengandung energi dan karbohidrat yang tinggi dapat

menimbulkan pelemakan pada hati karena kelebihan karbohidrat akan diubah

menjadi lemak melalui glukoneogenesis.

4.5.2.6. Pemeriksan Jantung

Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan jantung diperoleh hasil

berupa :

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Sumber : www.dfhb.com Kesehatan Ternak, 2012.

Ilustrasi 20. Jantung

Page 52: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

52

Hasil pengamatan pada pemeriksaan jantung unggas yang merupakan

pusat sistem peredaran darah terlihat yaitu ukuran normal, warna merah hati,

selaput jantung normal, dan tidak ada konsistensi pada jantung, ini menandakan

jantung pada unggas tersebut dalam keadaan sehat, karena tidak ada kelainan–

kelainan yang nampak. Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (2000) yang

menyatakan bahwa jantung yang terdiri atas sekumpulan otot berfungsi memompa

darah kesemua bagian tubuh dan merupakan pusat sistem peredaran

darah.Kelainan pada jantung bisanya dapat dilihat dari warna, bentuk, serta

ukurannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hermana et al. (2005) yang

menyatakan bahwa jantung merupakan organ vital yang berperan dalam sirkulasi

darah. Jantung yang terinfeksi penyakit maupun racun biasanya akan mengalami

perubahan pada ukuran jantung.

4.5.2.7. Pemeriksaan Ginjal

Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan ginjal diperoleh hasil berupa :

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Sumber: www.ebfuaho.com Kesehatan Ternak, 2012.

Ilustrasi 21. Ginjal

Page 53: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

53

Hasil pengamatan pada pemeriksaan ginjal unggas yang merupakan salah

satu organ yang erat dengan pembentukan dan pengeluaran kencing terlihat yaitu

ukuran normal, warna merah tua, ini menandakan ginjal pada unggas tersebut

dalam keadaan sehat, serta tidak ditemukan kelainan pada ginjal ayam broiler

yang diamati.Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (2000) yang menyatakan

bahwa ginjal bertanggung jawab terhadap produksi air seni yang dikeluarkan

lewat salurannya menuju ureter, menampungnya dalam kandung kemih, dan

mengeluarkannya melalui uretra. Selain itu ginjal juga berfungsi pada proses

penyerapan dalam metabolisme dalam tubuh unggas. Hal ini sesuai dengan

pendapat Sugita et al. (2006) yang menyatakan bahwa adanya kerusakan pada

ginjal ini adanya sel yang mengalami nekrosa menyebabkan proses filtrasi dan

keseimbangan asam basa akan terganggu. Akibatnya metabolisme dalam tubuh

menjadi menurun dan hal ini dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan.

Page 54: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

54

4.5.2.8. Pemeriksaan Pankreas

Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan pankreas ayam diperoleh hasil

berupa :

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Sumber: www.dbf.com Kesehatan Ternak, 2012.

Ilustrasi 22. Pankreas

Hasil pengamatan pada pemeriksaan pankreas unggas yang terletak

dibelakang lambung terlihat yaitu ukuran normal, warna putih, ini menandakan

pankreas pada unggas tersebut sehat. Tidak ada kelainan yang nampak pada

pankreas ayam broiler yang diamati. Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (2000)

yang menyatakan bahwa pankreas adalah jaringan kelenjar yang terletak di

belakang lambung dan bagian yang besar terletak dibawah ginjal sebelah

kanan.Kelenjar ini memiliki saluran untuk aliran getah yang dihasilkannya

Page 55: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

55

mengalir ke usus.Pertumbuhan bobot badan yang meningkat merupakan salah satu

faktor penyebab kerusakan pankreas pada ternak, semakin tinggi bobot badan

maka kerja pankreas untuk mengubah glikogen menjadi energi dengan bantuan

hormon insulin semakin besar, sehingga kerja pankreas menjadi lebih berat dan

menyebabkan terjadinya pembengkakan pada organ tersebut. Hal ini sesuai

pendapat Wahyuwardhani et al. (2000) yang menyatakan bahwa kerusakan pada

pankreas dan saluran pencernaan ayam memberikan indikasi terjadinya gangguan

pada proses pencernaan ayam penderita sehingga terjadi gangguan pertumbuhan

bobot badan ayam.

4.5.2.9. Pemeriksaan Trachea

Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan Trachea diperoleh hasil berupa

:

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Sumber: www.djfb.com Kesehatan Ternak, 2012.

Ilustrasi 23. Trachea

Page 56: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

56

Hasil pengamatan pada pemeriksaan trachea unggas yang terlihat yaitu

warna putih keruh dan tidak terdapat ap – apa didalamnya, baik pada cilia maupun

pada percabangan trachea.Hal ini menandakan trakea pada unggas tersebut tidak

terdapat penyakit.Hal ini sesuai dengan pendapat Sudarmono dan Sugeng (2007)

yang menyatakan bahwa percabangan trachea merupakan rangakaian cincin

tulang rawan, pada bagian ini tumbuh bulu getar/cilia.Percabangan pada Treachea

dibagi menjadi dua yaitu bifuricatio trachea dan berujung pada alveoli. Diperkuat

oleh Rasyaf (2008) yang menyatakan bahwa salah satu ciri-ciri kelainan atau

penyakit pada ternak dapat dilihat dengan kantong udaranya.

4.5.2.10. Pemeriksaan paru – paru

Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan paru-paru diperoleh hasil

berupa:

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Sumber: www.dhvfui.com Kesehatan Ternak, 2012.

Ilustrasi 24. Paru-paru

Page 57: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

57

Hasil pengamatan pada pemeriksaan paru - paru unggas yang terlihat yaitu

warna merah muda, konsistensi normal, ini menandakan paru - paru pada unggas

tersebut sehat. Saat dilakukan uji apung, paru-paru tersebut mengapung yang

menandakan bahwa pada paru-paru tersebut masih terdapat oksigen dan sehat. Hal

ini tidak sesuai dengan pendapat Sudarmono dan Sugeng (2007) yang menyatakan

bahwa Noduli kartilaginus merupakan salah satu penyakit pada saluran pernafasan

unggas terutama pada paru–paru.Nodule kartilagnius dapat ditemukan pada

didalam parenkim dari lobi paru. Nodule kartilagnius berasal dari kondrosit yang

mengalami dysplasia dari bronki yang berdekatan selama stadium awal

perkembangan. penyakit ini biasanya sering terjadi pada ayam pedaging pejantan

pada umur 3 minggu. Hal ini sesuai dengan pendapat Tabbu (2002) yang

menyatakan bahwa noduli pada paru sering ditemukan pada ayam pedaging umur

1 hari – 52 minggu. Noduli tersebut paling sering di temukan pada ayam pejantan

umur 3 minggu, di dalam paru bagian kiri.

Page 58: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

58

4.5.2.1. Pemeriksaan Syaraf

Berdasarkan hasil praktikum pemeriksaan syaraf diperoleh hasil berupa:

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Sumber: www.dbfha.com Kesehatan Ternak, 2012.

Ilustrasi 25. Syaraf

Hasil pengamatan pada pemeriksaan syaraf unggas yang merupakan

sistem pusat dimana pada tingkah laku ternak berpusat pada sistem syaraf tersebut

terlihat yaitu ukuran normal, warna biru, dan tidak ditemukan adanya gejala

penyakit pada syaraf.Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (2000) yang

menyatakan bahwa dalam tubuh hewan terdapat tiga macam sistem syaraf yaitu

sistem syaraf pusat, sistem syaraf tepi, dan sistem syaraf simpatetik. Salah satu

penyakit yang disebabkan oleh kerusakan pada syaraf yaitu Marek. Hal ini sesuai

Page 59: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

59

dengan pendapat Damayanti dan Wiyono (2003) bahwa kelainan pada marek

dapat digolongkan ke dalam kerusakan syaraf dan tumor limfoid (limfoma).

Kerusakan syaraf pada Marek dapat terjadi pada susunan syaraf pusat maupun

perifer (tepi). Ditambahkan oleh Hungerford disitasikan oleh Damayanti dan

Wiyono (2003) yang menyatakan bahwa kerusakan pada otak, batang otak, dan

syaraf perifer masing-masing ditandai dengan ensefalitis, myelitis, dan neuritis

yang ketiganya bersifat non superatif.

Page 60: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

60

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa pada analisis

kondisi peternakan sapi potong milik Bapak Wagimin yaitu bangunan kandang

dan sanitasi kurang memenuhi syarat. Pemeriksaan parasit dengan metode natif

didapatkan telur cacing pada anakan yaitu Schistosoma bovis. Pengamatan

sentrifuse didapatkan telur cacing pada indukan yaitu Syngamus laryngeus. Parasit

terbagi menajadi dua, yakni ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit yang diamati

meliputi Chrysomya megachepala, Tabanidae tabanus sp sedangkan endoparasit

yang diamati antara lain Paramphistomum, Prostogonius dan Haemonchus.

Pengamatan pada ayam broiler didapatkan hasil bahwa ayam dalam keadaan

sehat, namun terdapat bengkak pada kaki karena cidera sehingga tidak mampu

berjalan dengan baik.

5.2. Saran

Mendirikan sebuah peternakan seharusnya memperhatikan lokasi dan

pembuatan kandang yang nyaman untuk ternak, serta melakukan sanitasi dengan

baik agar ternak dapat tumbuh, dan bereproduksi dengan baik. Pemeriksaan

parasit melalui feses dengan metode natif dan sentrifuse sebaiknya dilakukan

dengan teliti dan sungguh-sungguh, karena pengamatan tersebut sangat susah

dilakukan.

Page 61: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

61

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi Potong. Agro Media Pustaka, Jakarta.

Akhirany, N. 2009. Pedoman pengawasan biosecurity dan higine terhadap produk unggas. Buletin Peternakan Edisi 32, Sulawesi Selatan.

Akoso, B.T. 2000. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.

Andini, W.R. 2008. Ekstoparasit pengganggu pada Orangutan (Pongo pygmaeus) di habitat ex-situ. Skripsi, Bogor.

Asmaki, A.P., H. Masturi dan T.D. Asmaki. 2009. Agribisnis Ternak Sapi. Pustaka Grafika, Bandung.

Damayanti, R., dan A. Wibowo.2003. Gambaran Histopatologi kasus Marek pada ayam pedaging di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis.8 (4) : 247-255.

Fadillah, R, Pollana, A. 2004. Aneka Penyakit Pada Ayam dan Cara Mengatasinya. Agro Media Pustaka. Tangerang.

FAO. 1990. Manual For Animal Health Auxiliary Personnel. (Diterjemahkan oleh : B. Akoso., G. Tjahyowati., S. Pangestoeti), PT Yiara Wacana Yogyakarta, Sleman.

Hadi, U.K. 2012. Serangga Pengganggu Kesehatan. Istitut Pertanian Bogor, Bogor.

Hadi, U.K. dan Saviana, S. 2000. Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosa danPengendaliannya. Institus Pertanian Bogor, Bogor.

Haryati, S. 2006. Optimalisasi penggunaan bawang putih sebagai pengawet alami dalam pengolahan ikan asin Jambal Roti. Tesis, Bogor.

Hermana, W., D.I. Puspitasari., K.G. Wiryawan., dan S. Suharti. 2005. Pemberian tepung daun salam (Syzgium polyanthum (Weight) Walp.) dalam ransum sebagai bahan antibakteri Escherichia coli terhadap organ dalam ayam broiler. Media Peternakan. 31 (1) : 63-70.

Jusmaldi., dan A. Wijayanti, 2010. Prevalensi dan jenis telur cacing gastrointestinal pada Rusa Sambar (Cervus unicolor) di penangkaran Rusa desa api-api Kabupaten Penajam Paser Utara. Bioprospek Universitas Mulawarman. 7 (2) : 77-75.

Page 62: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

62

Lastuti, N.D.R., Mufasirin., dan I.S. Hamid. 2006. Deteksi protein Haemonchussp pada Domba dan Kambing dengan uji Dot Blot menggunakan antibodi poliklonal protein ekskresi dan sekresi Haemonchus contortus. Media Kedokteran Hewan. 22 (3) : 162-167.

Levine, N.D. 1994. Parasitologi Veteriner. (Diterjemahkan oleh : G. Ashadi) Gadjah Mada University, Yogyakarta.

Mastika, M., Suaryana, K.G., Oka, I.G.L., Sutrisna, I.B. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press, Surakarta.

Moks, E., U. Saarma., dan H. Valdmann. 2005. Syngamoniasis in tourist. Emerging Infectious Diseases. 11 (12) : 1976.

Murni, M.C. 2009. Mengelola Kandang dan Peralatan Ayam Pedaging. Departemen Peternakan, Cianjur.

Murtidjo, B. A. 1992. Memelihara Domba. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Noble, E.R., dan G.A. Noble. 1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan. (Diterjemahkan oleh : Wardiarto). Gadjah Mada University, Yogayakarta.

Purnomoadi, A. 2003. Ilmu Ternak Potong dan Kerja. Diklat Kuliah Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.

Putratama, R. 2009. Hubungan kecacingan pada ternak sapi di sekitar taman nasional Way Kambas dengan kemungkinan kejadian kecacingan pada Badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) di suaka Rhino Sumatera. Skripsi. Bogor.

Rasyaf, M. 2008. Panduan Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya, Jakarta.

Rianto, E., dan Purbowati, E,. 2010. Panduan Lengkap Sapi Potong. PenebarSwadaya, Jakarta.

Rumiyani, T., Wihandoyo., dan J.H.P. Sidadolog. 2011. The effect of stuf during 22-28 days of ages on growth and percentage of meat and abdominal fat of broiler. Buletin Peternakan. 35 (1) : 38-49.

Satyaningtijas,A.S., S.D. Widhyari., dan R.D. Natalia. 2010. Jumlah eritrosit, nilai hematrokit, dan kadar hemoglobin ayam pedaging umur 6 minggu dengan pakan tambahan. 4 (2) : 69-73.

Siregar, B.S. 1997. Penggemukkan Sapi. Penebar Swadaya, Jakarta.

Page 63: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

63

Sudarmono, A.S., dan Y.B. Sugeng. 2007. Sapi Potong (Pemeliharaan, Perbaikan Produksi, Prospek Bisnis, dan Analisis Penggemukan). Penebar Swadaya, Jakarta.

Sugeng, Bambang. 2006. Sapi Potong. Edisi 1. Penebar Swadaya, Jakarta.

Sugito., W. Manalu., D.A. Astuti., E. Handhrayani., dan Chairul. 2006. Hitopatologi hati dan ginjal pada ayam broiler yang di papar cekaman panas dan diberi ekstrak Kulit Batang Jaloh (Salix tetrasperma roxb). Seminar Nasional Tekhnologi Peternakan dan Veteriner Bogor. Hal : 728-734.

Suraini. 2011. Jenis-jenis lalat (Dipetra) dan bakteri Enterobacteriaceae yang terdapat di tempat pembuangan akhir sampah (TPA) kota Padang. Skripsi, Padang.

Sutrisnawati. 2011. Infeksi Eschinostomatidae pada siput Bellamya javanica di Kecamatan Dolo Sulawesi Tengah. 9 (2) : 57-60.

Suwandi. 2001. Mengenal Berbagai Penyakit Parasitik Pada Ternak. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Soejoedono, R.R., 2011. Status Zoonis di Indonesia. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonis Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tabbu, C.R. 2002. Penyakit Ayam dan PenanggulangannyaVolume 2. Kanisius, Yogyakarta.

Tim Karya Tani Mandiri. 2009. Pedoman Budidaya Beternak Sapi Potong. CV Nuansa Aulia. Bandung.

Yuliarti, E. 2011. Tingkat serangan ekstoparasit pada Ikan Patin (Pangasius djambal) pada beberapa pembudidaya ikan di kota Makasar. Skripsi, Makasar.

Yuwanta, Tri. 2008. Dasar Beternak Unggas. Kanisius,Yogyakarta.Wahyudi, W.A., H. Afriani., dan N. Idris. 2010. Evaluasi adopsi tekhnologi

peternakan ayam Broiler di Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi. 12 (2) : 23-28.

Wahyuwardhani,S., Y.Sani., L.Parede., dan M.Poeloengan. 2000. Sindroma kekerdilan pada ayam pedaging dan gambaran patologinya. 5 (2) : 125-131.

Williamson. G., dan W.J.A Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Page 64: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

64

LAMPIRAN

Lampiran 1. Wawancara dengan Peternak

Page 65: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

65

Lampiran 2. Pengamatan Kondisi Lingkungan dan Kandang Ternak

Page 66: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

66

Lampiran 3. Pemeriksaan Kesehatan Ternak

\

Page 67: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

67

Lampiran 3. (lanjutan)

Page 68: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

68

Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan Mikroskop Feses

Page 69: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

69

Lampiran 5. Pengamatan Preparat Awetan Parasit

Page 70: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

70

Lampiran 5. (Lanjutan)

Page 71: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

71

Lampiran 6. Riwayat Hidup Unggas

Page 72: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

72

Lampiran 7. Pengamatan Performans Unggas

Page 73: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

73

Lampiran 7. (Lanjutan)

Page 74: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

74

Lampiran 7. (Lanjutan)

Page 75: LAPORAN ILMU KESEHATAN TERNpict

75

Lampiran 7. (Lanjutan)