43
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Bayi yang baru lahir akan mengalami berbagai macam perubahan yang didapatkan di luar uterus. Perbedaan antara kondisi intrauterine dan ekstrauterine membuat bayi harus berusaha beradaptasi dengan hal tersebut. Proses adaptasi ini akan menjadi lebih sulit pada bayi risiko tinggi seperti bayi prematur. Bayi prematur adalah kelahiran bayi kurang dari 37 minggu usia kehamilan. World Health Organization (WHO) memperkirakan 15 juta bayi lahir prematur setiap tahun atau lebih dari 1:10 kelahiran. Tingkat kelahiran prematur berkisar dari 5% sampai 18% dari bayi yang lahir. Data indonesia tahun 2012 tercatat sekitar 675.700 atau 15.5 per 100 kelahiran. Indonesia menempati peringkat kelima dunia negara dengan jumlah bayi prematur terbanyak di dunia. Prematuritas adalah penyebab utama kematian pada anak di bawah usia 5 tahun (WHO, 2015). Kematian bayi prematur disebabkan sebagian besar organ tubuh yang belum matang dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan ekstrauterine. Imaturitas organ bayi antara lain fungsi metabolisme, ginjal, hati, imunologik, hematologik dan sistem saraf. Bayi 1

Laporan Inovasi Aplikasi 2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Inovasi Aplikasi Teori Keperawatan

Citation preview

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Bayi yang baru lahir akan mengalami berbagai macam perubahan yang

didapatkan di luar uterus. Perbedaan antara kondisi intrauterine dan

ekstrauterine membuat bayi harus berusaha beradaptasi dengan hal tersebut.

Proses adaptasi ini akan menjadi lebih sulit pada bayi risiko tinggi seperti bayi

prematur. Bayi prematur adalah kelahiran bayi kurang dari 37 minggu usia

kehamilan. World Health Organization (WHO) memperkirakan 15 juta bayi

lahir prematur setiap tahun atau lebih dari 1:10 kelahiran. Tingkat kelahiran

prematur berkisar dari 5% sampai 18% dari bayi yang lahir. Data indonesia

tahun 2012 tercatat sekitar 675.700 atau 15.5 per 100 kelahiran. Indonesia

menempati peringkat kelima dunia negara dengan jumlah bayi prematur

terbanyak di dunia. Prematuritas adalah penyebab utama kematian pada anak

di bawah usia 5 tahun (WHO, 2015).

Kematian bayi prematur disebabkan sebagian besar organ tubuh yang belum

matang dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan ekstrauterine.

Imaturitas organ bayi antara lain fungsi metabolisme, ginjal, hati, imunologik,

hematologik dan sistem saraf. Bayi prematur secara umum belum mempunyai

kematangan dalam sistem pertahanan tubuh untuk beradaptasi dengan

lingkungan (Prasanna & Radhika, 2013 ; Chapman & Durham, 2010).

Lingkungan yang tidak bersahabat dapat menyebabkan bayi stres. Stres

tersebut bersumber dari kebisingan yang ditimbulkan oleh inkubator,

ventilator, peralatan monitoring, percakapan para staf diruang perawatan, dan

pencahayaan ruang perawatan serta prosedur invasif; seperti pengambilan

sampel darah, pergantian popok, kegiatan membuka dan menutup inkubator

(Indriansari, 2011).

Menurut Wong et al (2009) neonatus prematur sangat sensitif terhadap

rangsang-rangsang yang dapat menimbulkan stress. Bayi prematur belum

1

mampu mengatasi dan beradaptasi dengan stress lingkungan. Stress

lingkungan umumnya berasal dari adanya perubahan drastis yang menjadi

ancaman bayi seperti kondisi suhu udara, sinar yang terang, kebisingan

lingkungan yang sangat berbeda dengan kondisi intrauterine atau rangsang

lain yang menimbulkan nyeri. Hal ini disebabkan karena immaturitas sistem

syaraf dan kurang stabilnya fisiologis bayi.

Model adaptasi Roy menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk

biopsikososial sebagai satu kesatuan yang utuh. Dalam memenuhi

kebutuhannya, manusia selalu dihadapkan berbagai persoalan yang kompleks,

sehingga dituntut untuk melakukan adaptasi. Penggunaan koping atau

mekanisme pertahanan diri, adalah berespon melakukan peran dan fungsi

secara optimal untuk memelihara integritas diri dari keadaan rentang sehat

sakit dari keadaan lingkungan sekitarnya. Dasar teori ini adalah memandang

individu sebagai suatu sistem yang adaptif. Dikatakan adaptif karena individu

secara terus menerus akan berinteraksi dengan stimulus lingkungan baik dari

lingkungan internal maupun dengan lingkungan eksternal (Alligood & Tomey,

2006).

Melihat banyaknya dampak dari stress adaptasi terhadap lingkungan yang

dihadapi bayi prematur dari intrauterine ke ekstrauterine, maka

dikembangkanlah metode developmental care atau asuhan perkembangan

yang bertujuan untuk memfasilitasi perkembangan bayi secara normal dan

memfasilitasi keterikatan antara bayi dan ibu (Rustina, 2015). Developmental

care adalah asuhan yang memfasilitasi perkembangan bayi melalui

pengelolaan lingkungan perawatan dan observasi perilaku sehingga bayi

mendapatkan stimulus yang adekuat (Symington & Panelli, 2004). Intervensi

yang mendukung developmental care (asuhan perkembangan) meliputi:

menurunkan kebisingan, mengurangi cahaya, minimal sentuhan (touching),

positioning, manajemen nyeri, beri bayi minum (feeding), nesting (Rustina,

2015).

2

Hasil analisis data diperoleh jumlah rerata bayi yang dirawat di ruang Seruni

Rumah Sakit Anak Bunda Harapan Kita (RSAB Harapan Kita) sebanyak 70-

75 bayi per bulan, yang sebagian besar adalah bayi prematur. Namun

pelaksanaan asuhan perkembangan oleh perawat masih kurang karena belum

adanya kebijakan, aturan, atau panduan tertulis tentang asuhan perkembangan

diruangan. Menurut Prasanna & Radhika (2013); Chapman & Durham (2010)

Stimulasi perkembangan pada prematur perlu diperhatikan untuk peningkatan

neurofisiologis dan pertumbuhannya. Hal inilah yang mendasari keputusan

dalam menentukan prioritas masalah proyek inovasi. Proyek inovasi ini

mencoba untuk menggali respon adaptasi bayi prematur yang dirawat di

ruangan perinatologi berdasarkan pendekatan model teori adaptasi yang

dikembangkan oleh Sister Callista Roy, dengan mengaplikasikan teori

adaptasi Sister Callista Roy pada Panduan Asuhan Keperawatan (PAK)

tentang asuhan perkembangan di ruang Seruni RSAB Harapan Kita tahun

2015.

1.2 TUJUAN

1.2.1 Tujuan Umum

Perawat ruang Seruni RSAB Harapan Kita mampu melaksanakan

asuhan perkembangan (developmental care) sesuai dengan Panduan

Asuhan Keperawatan (PAK).

1.2.2 Tujuan khusus

1.2.2.1 Perawat ruang Seruni RSAB Harapan Kita mampu memahami

konsep asuhan perkembangan sesuai dengan Panduan Asuhan

Keperawatan (PAK).

1.2.2.2 Perawat ruang Seruni RSAB Harapan Kita mampu

melaksanakan asuhan perkembangan sesuai dengan Panduan

Asuhan Keperawatan (PAK).

1.2.2.3 Perawat ruang Seruni RSAB Harapan Kita mampu melakukan

evaluasi/verifikasi terhadap Panduan Asuhan Keperawatan

(PAK) tentang asuhan perkembangan (developmental care).

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Teori Sister Callista Roy

2.1.1 Latar Belakang Dasar Pengembangan Model adaptasi Roy

Dasar teori ini adalah memandang individu sebagai suatu sistem yang

adaptif. Dikatakan adaptif karena individu secara terus menerus akan

berinteraksi dengan stimulus lingkungan baik dari lingkungan internal

maupun dengan lingkungan eksternal (Alligood & Tomey, 2006).

Melalui teori ini Roy mencoba memahami proses adaptasi individu

terhadap situasi kehidupan mereka yang sangat bervariasi (Roy &

Andrew, 1999). Dalam interaksinya dengan stimulus lingkungan secara

terus menerus, individu pada akhirnya akan memberikan respon

terhadap stimulus tersebut dan proses adaptasi pun terjadi. Respon

individu terhadap stimulus lingkungan dapat berupa respon adaptif

ataupun respon yang inefektif. Respon adaptif merupakan respon yang

dapat meningkatkan integritas dan membantu individu untuk mencapai

tujuan dari adaptasi sendiri, seperti bertahan hidup, tumbuh,

berreproduksi, penguasaan dan perubahan pada individu maupun

lingkungan. Sebaliknya, respon inefektif dapat menggagalkan atau

mengancam tujuan adaptasi (Alligood & Tomey, 2010).

2.1.2 Konsep Model Adaptasi Roy

Model Adaptasi dari Roy ini dipublikasikan pertama pada tahun 1970

dengan asumsi dasar model teori ini adalah:

1. Setiap orang selalu menggunakan koping yang bersifat positif

maupun negatif. Kemampuan beradaptasi seseorang dipengaruhi

oleh tiga komponen yaitu; penyebab utama terjadinya perubahan,

terjadinya perubahan dan pengalaman beradaptasi.

2. Individu selalu berada dalam rentang sehat – sakit, yang

berhubungan erat dengan keefektifan koping yang dilakukan untuk

memelihara kemampuan adaptasi.

4

Roy mengidentifikasi 3 tipe stimulus lingkungan yaitu fokal,

kontekstual dan residual yang dianggap sebagai kekuatan yang

mempengaruhi individu secara langsung. Menurut Fawcet (2009):

1. Stimulus fokal merupakan satu – satunya faktor yang langsung

mempengaruhi individu.

2. Stimulus kontekstual adalah stimulus lain yang berkontribusi

langsung pada respon individu.

3. Stimulus residual merupakan faktor yang tidak diketahui yang dapat

mempengaruhi individu.

Stimulus lingkungan secara langsung berhubungan dengan proses

koping, namun dapat secara langsung ataupun tidak langsung

berhubungan dengan modus adaptasi. Hubungan langsung antara

stimulus lingkungan dengan modus adaptasi dimediasi oleh proses

koping. Individu menggunakan 2 proses koping dalam menapis

stimulus lingkungan dimana proses tersebut adalah regulator dan

kognator. Proses koping regulator menekankan pada sistem syaraf,

kimiawi dan endokrin yang memproses stimulus secara otomatis dan

tidak disadari. Proses koping kognator menekankan pada jalur kognitif

emotif dalam memproses stimulus, memproses informasi/

mempersepsikan, belajar, mempertimbangkan dan emosi (Fawcet,

2009).

Roy menjelaskan bahwa proses regulator dan kognator tidak dapat

diamati secara langsung akan tetapi respon perilaku dari 2 sistem

tersebut dapat diamati secara langsung melalui 4 modus adaptasi yang

antara lain adalah fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan

interdependen. Keempat modus adaptasi ini saling berhubungan melalui

persepsi. Adanya respon yang adaptif ataupun respon yang inefektif

pada satu modus akan mempengaruhi proses adaptasi pada modus

lainnya (Alligood & Tomey, 2006).

5

Modus adaptasi fisiologis merupakan cara individu berinteraksi dengan

lingkungan melalui proses fisiologis sehingga individu dapat memenuhi

kebutuhan dasar mereka yaitu oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktifitas

dan istirahat serta perlindungan. Pencapaian integritas fisiologis

merupakan respon adaptif pada modus adapatif (Alligood & Tomey,

2006). Modus adaptasi konsep diri didasari pada kebutuhan psikologis

dan spiritual, kebutuhan dalam memahami individu sebagai makhluk

yang utuh.

Terdapat dua respon adaptasi yang dinyatakan Roy yaitu:

1. Respon yang adaptif dimana terminologinya adalah manusia dapat

mencapai tujuan atau keseimbangan sistem tubuh manusia.

2. Respon yang tidak adaptif dimana manusia tidak dapat mengontrol

dari terminologi keseimbangan sistem tubuh manusia, atau tidak

dapat mencapai tujuan yang akan diraih.

Respon tersebut selain menjadi hasil dari proses adaptasi

selanjutnya akan juga menjadi umpan balik terhadap stimuli adaptasi.

6

Bagan 1 Model Adaptasi Roy

Input

Proses kontrol

Affector

Output

Bagan 2 Aplikasi Model Adaptasi Roy terhadap Developmental Care

7

BAYI PREMATUR

Imaturitas sistem respirasiImaturitas sistem kardiovaskulerImaturitas sistem termoregulasiImaturitas sistem gastrointestinalImaturitas sistem renalImaturitas sistem hepatik hematologiImaturitas sistem imunologi

Adaptasi intrauterine dengan lingkungan ekstrauterin (faktor lingkungan):suhu, suara, cahaya dan sentuhan

Stres fisiologis pada bayi prematur

DEVELOPMENTAL CARE

Respon adaptif:Pengurangan stres dan nyeriKonservasi energi dan mempercepat pemulihanMeningkatkan pertumbuhan dan kesejahteraan.Membantu menstimulasi perilaku pada setiap tahap kematangan perkembangan saraf.

2.2 Developmental Care

2.2.1 Definisi

Asuhan perkembangan (developmental care) merupakan asuhan individual

dengan cara mengurangi gangguan dan manipulasi pada bayi yang dilakukan

oleh pemberi asuhan dalam upaya menurunkan stres pada bayi. Penekanan

asuhan perkembangan pada minimalisasi penggunaan energi bayi dan

menurunkan stres serta mencegah komplikasi (Rustina, 2015).

Developmental care disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan toleransi

pada setiap bayi. Selama stadium awal perkembangan (terutama usia gestasi

33 minggu), rangsangan akan menghasilkan aktifitas acak, tidak

terkoordinasi, seperti ekstensi, ekstensi tungkai, hiperfleksi, dan tanda vital

yang tidak teratur. Pada tahap ini bayi perlu mendapatkan rangsangan

lingkungan minimal seperti penanganan dengan gerakan perlahan, terkontrol,

dan gerakan acak mereka dikontrol dengan anggota badan dipegang

mendekati tubuhnya selama memutar atau berubah posisi (Hockenberry &

Wilson, 2009). Pelaksanaan developmental care didasarkan pada teori bahwa

perubahan otak janin terjadi pada minggu-minggu terakhir kehamilan.

Perkembangan otak bayi in utero terhenti ketika bayi dilahirkan prematur

(Horner, 2010).

2.2.2 Tujuan

Adapun tujuan developmental care yaitu :

Bagi bayi:

a. Pengurangan stres dan nyeri

b. Konservasi energi dan mempercepat pemulihan

c. Meningkatkan pertumbuhan dan kesejahteraan

d. Membantu menstimulasi perilaku pada setiap tahap kematangan

perkembangan saraf

8

Bagi orang tua:

a. Mendorong dan memberikan support pada orang tua dalam peran

pengasuh utama

b. Meningkatkan kesejahteraan keluarga baik secara emosional maupun

sosial

2.3 Tindakan yang mendukung Developmental Care

Memfasilitasi tidur

Memfasilitasi tidur merupakan hal penting dalam developmental care karena

tidur merupakan kebutuhan dasar manusia (Coughlin et al, 2009). Periode

tidur tidak boleh diganggu minimal selama 50 menit untuk memungkinkan

siklus tidur yang komplit (Hockenberry & Wilson, 2009). Gangguan pada

siklus tidur secara signifikan berhubungan dengan proses awal perkembangan

sensori. Terdapat bukti bahwa pertumbuhan didukung oleh kualitas tidur pada

awal perkembangan otak bayi. Hubungan kejadian antara fase tidur aktif

(Rapid Eye Movement-REM) dan fase tidur tenang (Non-REM) memiliki

batasan dalam kemampuan otak untuk menstimulasi sel saraf terhadap

berbagai pengalaman sensori. Pada usia 28-30 minggu biasanya bayi selalu

berada pada fase tidur, dengan 80-90% pada fase tidur aktif (REM) (Jenkins

et al, 2014).

2.4 Komponen Developmental Care (Altimier, Leslie; Phillips, 2013; Dulson,

2014) :

1. Pengurangan Kebisingan

2. Pengurangan Cahaya

3. Positioning

4. Minimal Handling

5. Family-centered care (Kangaroo Care)

6. Minimalisir Stres dan Nyeri

7. Feeding9

1. PENGURANGAN KEBISINGAN

Suara nyaring mempengaruhi perkembangan sistem pendengaran dan

mengganggu istirahat bayi. Selain itu, suara yang terlalu bising dapat

meningkatkan kelelahan pada bayi, status tidur terjaga bayi menjadi terganggu,

meningkatkan frekuensi jantung, meningkatkan tekanan intrakranial,

menimbulkan episode hipoksia dan bayi menjadi agitasi. Lingkungan yang

tenang bagi bayi memiliki rata-rata derajat kebisingan 45dB, dengan suara

yang masih ditolerir maksimal 65dB.

Segera setelah lahir, bayi dihadapkan pada lingkungan yang bising yang

mempunyai derajat kebisingan sekitar 70-80 dB. Beberapa alat kesehatan yang

menyumbangkan berbagai tingkatan kebisingan, seperti: 1) Pompa infus (IV

Pump) 60-78 dB; 2) Ketukan jari pada inkubator 70 – 95 dB; 3) Gelembung

dalam ventilator atau selang 62 – 87 dB; 4) Menutup pintu inkubator 80 – 111

dB; 5) Pulse oxymeter alarm 86 dB.

Intervensi perawatan untuk membantu mengurangi kebisingan:

1. Pendidikan bagi staf perawatan dan orang tua tentang efek suara dan

kebutuhan untuk tenang bagi bayi.

2. Audit secara reguler terkait tingkat kebisingan pada hari yang berbeda,

ronde bangsal dan handover, berikan umpan balik untuk staf / orang tua

3. Bicaralah dengan suara pelan

4. Tutup pintu inkubator lembut

5. Hindari menempatkan benda di atas inkubator

6. Cepat berespon terhadap bunyi alarm (Matikan Alarm)

7. Atur bunyi alarm dan telepon pada tingkat suara yang rendah

8. Tidak ada radio di ruangan

10

9. Pertimbangkan pemakaian sarung telinga selama prosedur yang terlalu

berisik

Keterangan:

1. Direkomendasikan dukungan suara antara orang tua dan bayi secara dini.

Bayi memiliki kesempatan untuk mendengar suara orang tua mereka.

2. Kebisingan mengganggu tidur yang penting untuk pertumbuhan dan

perkembangan bayi.

3. Tingkat kebisingan yang tinggi dapat menimbulkan stres bagi bayi, orang

tua dan staf.

4. Awal kerusakan koklea pada orang dewasa adalah pada suara dengan

tingkat kebisingan 80dB. Koklea pada bayi prematur lebih sensitif

dibanding orang dewasa.

5. Perkembangan fungsi pendengaran berkembang pada usia kehamilan 27

minggu

2. PENGURANGAN CAHAYA

Panduan pemberian cahaya :

1. Cahaya diukur dalam tingkat 'Lux' menggunakan lightmeter. Pencahayaan

sekitarnya harus bervariasi dari 10- 600 lux.

2. Tingkat pencahayaan harus disesuaikan, memungkinkan peredupan dan

peningkatan tingkat untuk praktek kerja yang aman dan prosedural.

3. Bertujuan untuk menjaga tingkat pencahayaan rendah (300 lux)

Intervensi perawatan untuk membantu mengatur cahaya:

1. Melindungi bayi dari cahaya di bawah 25 lux sampai usia koreksi

kehamilan 32/34 minggu. Penutup inkubator atau kanopi dengan cot

terbuka.

11

2. Pada usia 32 minggu mulai memperkenalkan paparan cahaya tingkat

sedang 2 jam per hari. Tetap menggunakan penutup dan melindungi bayi

dari paparan lampu terang atau sinar matahari.

3. Secara bertahap meningkatkan pencahayaan pada usia 35-37 usia koreksi

kehamilan.

4. Lindungi bayi dari pencahayaan yang terfokus pada prosedur medis dan

pemeriksaan. Hindari penggunaan lampu penghangat yang cahayanya

disorotkan langsung ke muka bayi karena bayi akan selalu menutup

matanya karena silau.

5. Bisa menggunakan penutup mata atau tangan pengasuh.

6. Hindari menempatkan gambar yang sangat kontras pada bayi

7. Beritahukan kepada orang tua bahwa bayi mulai mengikuti garis wajah

mereka pada usia 33/34 minggu

Keterangan:

1. Refleks pupil belum efektif sebelum usia 32 minggu, bayi tidak dapat

menyesuaikan diri dengan cahaya terang. Cahaya yang terlalu terang dapat

merusak kemampuan melihat bayi. Tingkat cahaya yang lebih tinggi dapat

mengganggu siklus tidur bayi.

2. Bayi yang belum lahir menganggap cahaya sebagai rangkaian bayangan

abu-abu melalui dinding abdomen ibu. Setelah melahirkan persepsi visual

bayi berkembang lebih jauh karena mereka mengalami siklus cahaya dan

stimulasi visual lainnya. Bayi perlu secara bertahap menjadi terbiasa

dengan perubahan malam / siang, transisi normal pola tidur waktu malam.

3. Cahaya di ruang rawat bayi dapat berasal dari berbagai sumber,

diantaranya lampu tindakan dan fototerapi. Kedua sumber ini

memproduksi 300 – 400 footcandle (ftc). Sumber pencahayaan ini sangat

mengganggu karena melebihi dari cahaya yang dianjurkan oleh American

Academy of Pediatric yaitu 60 ftc.

3. DUKUNGAN POSISI (POSITIONING)

Bayi harus didukung dalam posisi nyaman yang membantu melindungi postur dan

perkembangan mereka, organisasi perilaku dan stabilitas kebutuhan mereka yang

12

akan berubah tergantung pada usia bayi (Iii, Mazoti, Barreto, Estadual, & Paraná,

2015) :

1. Supinasi

Yang dilakukan dengan memfleksikan ekstremitas bagian bawah Posisi supine

dengan posisi lurus direkomendasikan selama beberapa hari pertama kehidupan

untuk mencegah obstruksi fungsi saluran vena serebral dan mencegah

peningkatan aliran darah otak.

2. Posisi miring (side lying)

Yang dilakukan dengan memposisikan bayi ke salah satu sisi dengan

memfleksikan tangan dan kaki sehingga berada ditengah-tengah tubuh. Side-

lying mengurangi efek perpanjangan gravitasi, memfasilitasi orientasi midline

pada kepala dan ekstremitas, dan menganjurkan aktifitas tangan ke tangan,

tangan ke mulut, atau tangan ke wajah.

3. Posisi prone

Dengan menelungkupkan bayi dimana ekstremitas bagian bawah fleksi dan

kepala dimiringkan ke salah satu sisi. Mendukung kepala bayi pada bantal gel

dan posisi kepala alternatif antara sisi kiri dan kanan mungkin dapat

mengurangi penekanan samping tempurung kepala.

Intervensi perawatan untuk memberikan dukungan posisi:

1. Bayi kurang dari 34 minggu harus diberi nesting, yang bertujuan untuk

memberikan penahanan dan mendukung pembatasan bayi. Sebuah bantal

gel juga dapat digunakan. Bantal gel harus digunakan untuk semua bayi

sampai mereka telah mampu mengontrol kepala untuk menjaga kepala

mereka di garis tengah dan mampu terlentang tanpa dukungan.

2. Bayi yang lebih tua tidak mampu untuk mempertahankan atau mengubah

posisi kepala mereka, karena adanya ketidakstabilan juga akan

mendapatkan keuntungan dari penggunaan bantal gel yang sesuai.

3. Pada bayi usia 35 minggu, sebagian besar bayi mempunyai kematangan

terkait otot dan gerakan spontan untuk menjaga postur pada garis tengah

tanpa memerlukan adanya positioning.

13

4. Dukungan posisi bagi mereka memberikan kesempatan untuk belajar

sendiri melalui gerakan spontan. Oleh karena itu, positioning dapat secara

bertahap dikurangi seiring bertambahnya usia bayi kemudian dihapus.

5. Bayi akan secara bertahap dipersiapkan untuk tidur terlentang sejalan

dengan dimulai usia 35 -37 minggu dan seterusnya.

6. Bayi tidak seharusnya diberi bantuan posisi ketika di rumah kecuali bayi

tersebut ada indikasi medis dan masih dalam perawatan.

Keterangan:

1. Bayi prematur memiliki otot yang lemah, sering tersentak dan belum mampu

mengontrol pergerakan kepala. Gerakan ini membuat sulit bagi bayi untuk

mengontrol gerakan untuk melawan gravitasi. Postur ini tergantung pada

perawat yang memberikan dukungan posisi. Bayi prematur rentan terhadap

ketidakseimbangan jaringan lunak dan deformitas tulang, misalnya abduksi

panggul dan plagiosefali.

2. Positioning mendukung stabilitas otonom, perilaku (termasuk status dan pola

tidur) serta pengembangan muskuloskeletal bayi.

3. Posisi yang tidak tepat dapat menyebabkan ketidaknyamanan, kontraktur

jaringan lunak dan ketidakseimbangan otot.

4. Posisi fleksi membantu suhu tubuh bayi stabil dan konservasi energi,

sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan berat badan bayi.

5. Positioning dapat mendukung tidur bayi.

4. MINIMAL HANDLING

Intervensi handling harus disesuaikan sebagai observasi isyarat perilaku bayi

dan respon fisiologis.

Intervensi perawatan untuk memberikan dukungan sentuhan:

1. Sebelum intervensi sentuhan, persiapkan kebutuhan terkait lingkungan

(cahaya dan suara)

14

2. Libatkan orang tua dan bimbing mereka untuk mulai mengenali pola perilaku

bayi mereka, dan kemudian dapat membantu untuk memberikan pengetahuan

tentang apa yang bayi mereka merespon / tidak suka.

3. Amati tidur bayi, stabilitas status fisiologis dan isyarat.

4. Sentuhan positif dan lembut, biarkan bayi tahu kapan intervensi yang akan

terjadi dan selesai. Pijat bayi tidak direkomendasikan pada bayi prematur

tetapi pada bayi matur.

5. Dukung dan ajarkan orang tua memberikan sentuhan positif dan memegang

yang nyaman.

6. Pindahkan dan ubah posisi bayi perlahan-lahan. Hindari gerakan membalik

bayi tiba-tiba karena akan merangsang refleks kejut dan postur ekstensor

Keterangan:

1. Handling yang tidak tepat dapat menyebabkan rasa sakit, stres,

ketidakstabilan fisiologis; kurangnya pengontrolan suhu, pola tidur

terganggu, mempengaruhi status bayi.

2. Kepercayaan diri orangtua dapat berkurang jika bayi mereka terus

menunjukkan tanda-tanda stres ketika mereka menyentuh bayinya. Partisipasi

awal orang tua memungkinkan mereka untuk belajar mengenali dan

menanggapi isyarat perilaku bayi mereka dan membantu mempromosikan

kepercayaan diri mereka juga mendukung hubungan orangtua dan bayi.

3. Bayi prematur sering membutuhkan beberapa intervensi lebih dari 24 jam,

yang dapat mengakibatkan peningkatan stabilitas dan respon stres fisiologis.

Mengakui dan menanggapi isyarat bayi secara tepat dapat membantu

meminimalkan respon stres / rasa sakit bayi.

5. PERAWATAN KANGURU

Perawatan Kanguru (Kangaroo Care) merupakan intervensi perawatan dimana

kulit bayi kontak dengan orang tua dalam posisi pronasi tegak pada dada orang

tua. Bayi ditutupi selimut atau tertutup dalam pakaian orang tua untuk menjaga

stabilitas suhu. Kangaroo Care harus dipertimbangkan untuk semua bayi.

Orang tua harus didorong dan didukung untuk memiliki bayi mereka dalam

posisi kanguru secara teratur dan konsisten. Ini tergantung pada stabilitas bayi

15

dan ketersediaan tenaga perawat untuk mendukung perawatan metode kanguru

yang aman.

Intervensi untuk memberikan dukungan perawatan metode kanguru:

1. Orang tua harus didorong dan didukung untuk melakukan perawatan kanguru

bagi bayi mereka. Idealnya minimal 60 menit setiap kali, untuk mencapai

manfaat maksimal. Kangaroo Care dapat dikurangi ketika bayi menunjukkan

tanda-tanda ketidakstabilan, distress atau orang tua ingin menghentikannya.

2. Orang tua akan diberikan informasi yang menjelaskan manfaat, persiapan

dalam melakukan perawatan kanguru. Orang tua juga perlu

mempertimbangkan kenyamanan mereka sendiri saat dalam posisi untuk

perawatan kanguru lebih dari satu jam. Oleh karena itu disarankan pada orang

tua untuk memakai pakaian yang nyaman. Perawatan kanguru juga perlu

menjadi pengalaman ikatan positif bagi orang tua

3. Direkomendasikan bagi semua bayi yang stabil secara medis, termasuk mereka

yang menerima bantuan pernafasan. Ketersediaan tenaga perawat akan perlu

dipertimbangkan untuk memastikan transfer aman pada bayi yang menerima

bantuan pernafasan

4. Waktu dan frekuensi perawatan kanguru harus dicatat

5. Pemberian makan pada bayi boleh dilakukan saat melakukan metode kanguru

Keterangan:

Perawatan kanguru terbukti meningkatkan oksigenasi, menurunkan resiko apnea

dan meningkatkan stabilitas otonomi dibandingkan standar perawatan inkubator.

Studi menunjukkan terdapat efek positif perawatan kanguru terhadap peningkatan

laktasi dan meningkatkan kepercayaan diri orang tua.

6. MINIMALISIR STRES DAN NYERI

Nyeri yang terus menerus dapat memberikan konsekuensi yang serius dan

merugikan bagi bayi. Konsekuansi jangka pendek dari prosedur yang

menyakitkan adalah penurunan saturasi oksigen dan peningkatan denyut jantung

yang dapat meningkatkan kebutuhan sistem jantung dan paru-paru. Selain itu,

nyeri dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, dan meningkatkan

16

resiko perdarahan intraventrikular pada bayi prematur. Konsekuansi jangka

panjang dari prosedur menyakitkan yang berulang-ulang dapat menurunkan

sensitivitas terhadap nyeri pada masa kanak-kanak, insiden tertinggi pada keluhan

somatik, dan perubahan jangka panjang pada otak dan sumsum tulang belakang.

Keterangan:

1. Jalur nyeri dikembangkan pada usia akhir kehamilan, yang memungkinkan

janin untuk memahami rasa nyeri.

2. Bayi prematur dan bayi sakit sering mengalami prosedur yang menyakitkan

dan stres. Studi menunjukkan bahwa perkembangan otak dipengaruhi oleh stres

dan nyeri. Efek stres bisa lebih lama dari nyeri akut. Bayi prematur mengalami

antara 2 - 10 prosedur yang menyakitkan. Sulit untuk membedakan antara rasa

sakit dan stres pada bayi prematur karena respon perilaku mereka juga belum

matang.

3. Dukungan dalam meminimalkan nyeri dan stres dilakukan sebelum, selama

dan setelah prosedur selesai dengan bayi.

4. Nyeri dan respon stres harus dinilai dan dicatat.

5. Orang tua sebaiknya terlibat dalam perencanaan mengelola stres dan nyeri bayi

selama prosedur.

Intervensi perawatan untuk memberikan dukungan minimalisir stres dan

nyeri: 

1. Diskusikan dengan orang tua. Tanyakan apa yang mereka amati yang dapat

membantu bayi mereka misalnya memegang, menggenggam jari, bicara

dengan lembut. Hal ini lebih relevan bagi bayi sehingga dari waktu ke waktu

orang tua belajar membaca isyarat dan tanggapan bayi mereka.

2. Timing - kapan waktu terbaik untuk bayi? Selalu mempertimbangkan

kebutuhan pengobatan. Cobalah sesuaikan dengan pola tidur bayi.

3. Lingkungan - meminimalkan paparan bayi dengan cahaya terang dan

mengurangi tingkat kebisingan.

4. Kenyamanan - menyediakan “nesting” dan mendukung posisi fleksi

17

5. Memfasilitasi Non Nutritive Sucking (NNS) pada bayi – sebelum, selama dan

setelah intervensi. Dapat dikombinasikan dengan Sukrosa atau EBM

6. Gunakan sentuhan positif - persiapan dan dukungan pada bayi selama prosedur

7. Memfasilitasi bayi untuk kenyamanan diri - hands to face/grasping / able to

brace feet.

8. Menilai perilaku / stabilitas / postur bayi sebelum dan pada saat penyelesaian

prosedur atau perawatan.

7. FEEDING

Perawatan bayi prematur atau bayi resiko tinggi memiliki tiga kriteria yang

menggambarkan stabilitas bayi prematur, yaitu: stabilitas status

cardiorespiratory, peningkatan berat badan yang konsisten, keberhasilan

pemberian makanan melalui botol/bottle-feeding (meskipun ibu berniat untuk

menyusui bayi). Keberhasilan pemberian makan merupakan implikasi dari

bonding antara orang tua-anak. Masalah pemberian makan pada bayi prematur

merupakan hal yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan.

Kemampuan bayi untuk berhasil melakukan oral-feeding melalui menyusui

langsung atau menggunakan botol sangat tergantung pada pada tingkat

perkembangan struktur dan fungsi saluran cerna serta kapasitas mulut bayi.

Berikut adalah tujuh kelainan yang dapat menggangu atau memperlambat

keberhasilan transisi oral-feeding yaitu: 1) ketidakmatangan koordinasi

menghisap-menelan-bernafas, 2) tidak ada atau lemahnya refleks batuk dan

muntah, 3) lambatnya pengosongan lambung, 4) menurunnya motilitas usus, 5)

tidak berfungsinya katup ileosekal, 6) tidak berfungsinya spingter

gastroesophangeal, 7) terganggunya reflex rektosphingterik.

a. Enteral Feeding

Pemberian makan enteral minimal adalah pemberian makan segera kepada

bayi prematur pada beberapa hari kehidupan untuk menunggu stabilitas

fisiologis bayi. Pemberian makan minimal dalam jumlah kecil hanya 0,1

sampai 4 ml, seringnya susu formula preterm atau ASI, frekuensi

pemberian setiap 2-3 jam, sejak hari ketiga atau ketujuh setelah lahir dan

sering diberikan melalui oral gastric tube (Kenner & McGrath, 2004;

18

Hockenberry & Wilson, 2009). Hidrasi parenteral dan nutrisi dilanjutkan

sampai bayi mampu menoleransi sejumlah makanan enteral yang

mencukupi untuk pertumbuhan.

Enteral feeding terbukti merangsang saluran gastrointestinal bayi,

mencegah atrofi mukosa dan selanjutnya menghindari kesulitan pemberian

makan enteral. Menurut Kenner & McGrath (2004) pemberian makanan

enteral minimal akan memberikan efek terhadap uptake leucine oleh

jaringan limfa yang merupakan indikator fisiologis kematangan saluran

cerna. Pemberian makan enteral minimal juga meningkatkan kematangan

jaringan limfa dan sintesa protein yang berfungsi untuk perlindungan pada

bayi prematur, bayi sakit dan mempercepat penyembuhan luka. Maturasi

saluran cerna sangat ditentukan oleh pemberian makan enteral minimal

terutama jika yang digunakan adalah ASI. ASI mengandung lemak yang

dapat meningkatkan fungsi sistem immunologi dan mengurangi infeksi.

ASI juga mengandung zat-zat nutrien seperti glutamate, threonine,

peptide, faktor-faktor pertumbuhan seperti glucagon mirip peptide (GLP-

2), dan hormon yang merangsang pertumbuhan saluran cerna, kematangan

dan kemampuan untuk mencerna nutrisi enteral (Kenner & McGrath,

2004).

b. Gavage Feeding

Pemberian makan melalui gavage merupakan cara aman untuk memenuhi

kebutuhan nutrisi bayi yang usia gestasinya kurang dari 32 munggu atau

beratnya kurang dari 1500 gram. Bayi tersebut biasanya terlalu lemah

untuk menghisap dengan efektif, tidak mampu mengoordinasi reflek

menelan dan tidak memiliki refleks muntah.

Cara pemberian gavage feeding melalui dua cara yaitu Continuous dan

Bolus feeding. Continuous feeding menyebabkan lebih lamanya waktu

untuk mencapai enteral feeding yang penuh. Tidak ada perbedaan hari

bermakna untuk pertumbuhan maksimal dan kemungkinan terjadinya NEC

19

(Necrotizing enterocolitis). Intervensi keperawatan yang dilakukan selama

terpasang selang makanan adalah melakuan penkajian abdomen secara

konsisten , palpasi, auskultasi bising usus setiap 4 jam dan melakukan

aspirasi residual sebelum pemberian makanan.

c. Breastfeeding

Breastfeeding harus dihubungkan dengan ASI adalah makanan terbaik

untuk bayi. Breastfeeding juga dihubungkan dengan peningkatan sistem

imun, pertumbuhan saluran cerna, dan penurunan angka kesakitan.

Stabilitas denyut jantung dan pernafasan, saturasi oksigen juga

dihubungkan dengan breastfeeding.

BAB 3

PELAKSANAAN KEGIATAN

3.1 PERSIAPAN

3.1.1 Observasi ruangan

1. Ruang Seruni memiliki ruang perawatan dengan kapasitas box

bayi 11 buah, inkubator 11 buah.

2. Jumlah bed side monitor lengkap 2 buah, dan monitoring SaO2 +

HR 4 buah.

3.1.2 Wawancara dengan perawat ruangan

1. Optimalisasi pelaksanaan asuhan perkembangan

2. Optimalisasi prosedur pemasangan nesting dan positioning

3.1.3 Analisa SWOT

3.1.3.1 Strengthen (kekuatan)

1. Tenaga perawat 35 orang, terdiri dari : S1 sejumlah 13

orang, DIII sejumlah 22 orang.

2. Tenaga pekarya sejumlah 6 orang, administrasi 1 orang.

3. Perawat ruangan memiliki sertifikat NICU sejumlah 17

orang, dan sertifikat resusitasi 2 orang.

20

4. Ruang Seruni terdiri dari ruang perawatan post NICU, level

II infeksi, level II non infeksi, isolasi, level I non infeksi,

ruang prematur.

5. BOR dalam rentang 80-90 % dengan rata rata 70-75 pasien

per bulan.

6. Kepala ruangan dan CI menyambut baik program inovasi.

7. Memiliki struktur organisasi yang jelas. Terdapat

pengaturan jadwal dinas pagi, siang, malam disesuaikan

dengan jumlah tingkat ketergantungan pasien setiap hari.

8. Perawat ruang Seruni RSAB Harapan Kita memiliki

motivasi untuk mengembangkan diri dalam meningkatkan

ilmu pengetahuan dan kompetensinya dibidang

keperawatan.

9. Perawat ruangan memiliki motivasi untuk meningkatkan

kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien

dan masyarakat yang lebih baik.

10.Setiap perawat memiliki logbook dengan target kompetensi

melakukan inovasi minimal 1 kali per bulan.

3.1.3.2 Weakness (Kelemahan)

1. Belum ada panduan asuhan keperawatan (PAK) tentang

asuhan perkembangan yang dapat digunakan sebagai

standar untuk melakukan tindakan.

2. Belum ada standar operasional prosedur (SOP) tentang

intervensi asuhan perkembangan yang dapat digunakan

sebagai standar untuk melakukan tindakan.

3. Belum ada kebijakan yang mengatur tentang pelaksanaan

asuhan perkembangan diruang Seruni RSAB Harapan Kita.

3.1.3.3 Opportunity (Peluang)

1. Meningkatnya kualitas pelayanan asuhan

keperawatan kepada masyarakat.

2. Pelayanan patient safety dapat terlaksana dengan baik

3. Meningkatnya tingkat kepuasan pasien dan masyarakat

21

4. Rumah Sakit pendidikan yang terus mengembangkan

asuhan keperawatan berdasarkan Evidence Based Practice

3.1.3.4 Threat (Ancaman)

1. Tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan

keperawatan semakin meningkat.

2. Banyak rumah sakit yang telah terakreditasi Undang-

undang perlindungan konsumen menuntut para petugas

kesehatan untuk melayani masyarakat secara profesional.

3. Meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat terhadap

pelayanan keperawatan.

3.1.4 Penetapan Masalah

Berdasarkan wawancara dengan Kepala ruangan yang dilakukan

didapatkan hasil sebagai berikut:

1. Belum ada Panduan Asuhan Keperawatan (PAK) tentang asuhan

perkembangan yang dapat digunakan sebagai standar untuk

melakukan tindakan

2. Belum ada Standar Operasional Prosedur (SOP) tentang intervensi

asuhan perkembangan yang dapat digunakan sebagai standar untuk

melakukan tindakan

3. Belum ada kebijakan yang mengatur tentang pelaksanaan asuhan

perkembangan diruang Seruni RSAB Harapan Kita

3.1.5 Strategi Penyelesaian Masalah

“Proyek inovasi aplikasi teori adaptasi Sister Callista Roy dengan

menggunakan Panduan Asuhan Keperawatan (PAK) tentang asuhan

perkembangan (Developmental care) di Ruang Seruni RSAB Harapan

Kita”

3.2 PELAKSANAAN

22

3.2.1 Sosialisasi aplikasi teori adaptasi Sister Callista Roy dengan

menggunakan Panduan Asuhan Keperawatan (PAK) tentang asuhan

perkembangan (Developmental care) di Ruang Seruni RSAB Harapan

Kita

3.2.2 Pembuatan Rancangan Panduan Asuhan Keperawatan (RPAK) tentang

asuhan perkembangan (Developmental care) di Ruang Seruni RSAB

Harapan Kita

3.3 EVALUASI

3.3.1 Sosialisasi aplikasi teori adaptasi Sister Callista Roy dengan

menggunakan Panduan Asuhan Keperawatan (PAK) tentang asuhan

perkembangan (Developmental care) di Ruang Seruni RSAB Harapan

Kita.

Evaluasi proses:

- Peran dan tugas mahasiswa sesuai dengan perencanaan

- Audien ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan meskipun kadang-

kadang ada perawat yang keluar dari diskusi untuk mengontrol

ruangan bayi

- Waktu yang direncanakan tidak sesuai dalam pelaksanaannya

dikarenakan adanya kegiatan rutin pagi hari seperti operan, pre

conference dan visit dokter

- Suasana yang mendukung

Evaluasi hasil:

Hasil disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Tabel 3.1 Distribusi Frekuensi Perawat Berdasarkan Jenis Kelamin, Pendidikan

dan Lama Bekerja di Ruang Seruni RSAB Harapan Kita

Desember 2015

( n= 15)

No Variabel N %

23

1 Jenis KelaminLaki –laki 0 0Perempuan 15 100

2 Umur< 30 tahun 4 26,730 – 40 tahun 5 33,3> 40 tahun 6 40

3 PendidikanD III 11 73,3S I 4 26,7

4 Lama Bekerja< 2 tahun 2 13.32-5 tahun 7 46,7> 5 tahun 6 40

Berdasarkan tabel 3.1 diketahui bahwa semua responden berjenis kelamin

perempuan 100%, sebagian besar perawat berusia > 40 tahun 40%, pendidikan

DIII 73,3 % dan lama bekerja > 5 tahun 40% .

Tabel 3.2 Distribusi Pengetahuan Perawat tentang Developmental Care sebelum

dan sesudah sosialisasi di Ruang Seruni RSAB Harapan Kita

Desember 2015

( n= 15)

KategoriPre sosialisasi Post sosialisasi

Min-Max Mean SD Min-

Max Mean SD

Pengetahuan 62-67 64,20 1,934 63-72 68,13 2,167

Berdasarkan tabel 3.2 diketahui bahwa rerata pengetahuan perawat tentang

developmental care sebelum sosialisasi 64,2, setelah sosialisasi 68,13.

24

BAB 4

PENUTUP

4.1 SIMPULAN

Model adaptasi Roy menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk

biopsikososial sebagai satu kesatuan yang utuh. Dalam memenuhi

kebutuhannya, manusia selalu dihadapkan berbagai persoalan yang

kompleks, sehingga dituntut untuk melakukan adaptasi. Penggunaan

koping atau mekanisme pertahanan diri, adalah berespon melakukan peran

dan fungsi secara optimal untuk memelihara integritas diri dari keadaan

rentang sehat sakit dari keadaan lingkungan sekitarnya. Dasar teori ini

adalah memandang individu sebagai suatu sistem yang adaptif. Dikatakan

adaptif karena individu secara terus menerus akan berinteraksi dengan

stimulus lingkungan baik dari lingkungan internal maupun dengan

lingkungan eksternal (Alligood & Tomey, 2006).

Developmental care adalah asuhan yang memfasilitasi perkembangan bayi

melalui pengelolaan lingkungan perawatan dan observasi perilaku

25

sehingga bayi mendapatkan stimulus yang adekuat (Symington & Panelli,

2004). Intervensi yang mendukung developmental care (asuhan

perkembangan) meliputi: menurunkan kebisingan, mengurangi cahaya,

minimal sentuhan (touching), positioning, manajemen nyeri, beri bayi

minum (feeding), nesting (Rustina, 2015).

Program inovasi aplikasi teori adaptasi Roy dengan menggunakan

Panduan Asuhan Keperawatan (PAK) tentang asuhan perkembangan

(Developmental care) di Ruang Seruni RSAB Harapan Kita memiliki

peluang efektif untuk diterapkan dalam asuhan keperawatan. setelah

program selesai dilaksanakan, perawat menunjukkan perubahan tingkat

pengetahuan tentang asuhan perkembangan sehingga dapat dijadikan

panduan dalam pemberian asuhan keperawatan.

4.2 Kekurangan dan Hambatan

1. Rancangan Panduan Asuhan Perkembangan belum diuji sesuai kondisi

di lapangan (Ruang Seruni RSAB Harapan Kita)

2. Optimalisasi waktu yang diberikan sehingga belum dapat diukur

kemanfaatan dari Rancangan PAP.

4.3 Rekomendasi

1. Rancangan PAP dapat diterapkan untuk mendukung asuhan

keperawatan di ruang neonatal

2. Kebijakan atau aturan yang dibuat untuk mendukung pelaksanaan

asuhan perkembangan.

26

DAFTAR PUSTAKA

Altimier, Leslie & Phillips, R. M. (2013). The neonatal integrative developmental care model: seven neuroprotective core measures for family-centered developmental care. Newborn and Infant Nursing Reviews, 13(1), 9–22.

Basavanthappa. (2007). Nursing theories. New Delhi: Jaypee.

Coughlin, M. Gibbins, S., & Hoath, S (2009). Core Measure for developmentally supportive care in neonatal intensive care unit: Theory, precedence, and practice. Journal of Advanced Nursing, 65(10)2239-2248.

Chapman, L., & Durham, R.F. (2010). Maternal-newborn nursing : The critical component of nursing care. Philadelphia : Davis Company

Dulson, P. (2014). The Northern Neonatal Network Guideline for Family Centred Developmental Care, (February), 1–23.

George, J.B. (2002). Nursing theories: Base for professional nursing. (5th Ed). Pearson Education.

Hockenberry, M. J., & Wilson, D. (2009). Wong’s essentials of pediatric nursing (8th

ed). St. Louis: Mosby Inc.

Horner, S. (2010). Developmental care. Article of Neonatal Intensive Care Chicago Children’s Memorial Hospital. Retrieved from http://www.childrenmemorial.org/depts/neonatology/developmental.aspx

Iii, S. D., Mazoti, G., Barreto, S., Estadual, U., & Paraná, W. (2015). Validation of newborn positioning protocol in Intensive Care Unit, 68(6), 835–841.

Jenkins, D., Harigopal, S., Paterson, L., & Boyd, M. (2014). Guideline for family centred Developmental Care. Retrieved from Northern Neonatal Network website: www.nornet.org.uk

Kenner, C. & McGrath, J. M. (2004). Developmental care of newborns & infants: a guide for health proffesional. St. Louis: Mosby.

Kompas (2015). Indonesia Urutan Kelima Jumlah Kelahiran Prematur. Diakses dari

27

http://health.kompas.com/read/2015/04/28/151500923/Indonesia.Urutan.Kelima.Jumlah.Kelahiran.Prematur

Mariyam, Rustina, Y., Waluyanti, F.T. (2013). Aplikasi teori konservasi Levine pada anak dengan gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi di ruang perawatan anak. Jurnal Keperawatan Anak, 1.

Prasanna, K., & Radhika, M. (2013). Effectiveness of massage on weight gain and selected physiological parameters among preterm babies in selected hospital. International Journal of Science and Research. 4(4), 2319-7064

Rustina, Y. (2015). Bayi prematur: perspektif keperawatan. Jakarta: Segung Seto.

Symington, A., Pinelli, J.,(2004). Developmental care for promoting development and preventing morbidity in preterminfants. The Cochrane Database of Systematic Reviews: The Cochrane Database, (3).

Tomey, A.M., & Alligood, M. R. (2010). Nursing theorist and their work. (7th ed). St. Louis: Elsevier

WHO (2015). Preterm birth. Diakses dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs363/en/

Wong, D. L., Hockenberry, M., Eaton, Wilson, D., Winkelstein, M. L., & Schwartz, P. (2009). Buku ajar: Keperawatan pediatrik. Edisi 6. (Alih bahasa: Hartono. A., Kurnianingsih. S., & Setiawan). Jakarta: EGC.

28