laporan kasus 4

Embed Size (px)

Citation preview

SKENARIO 4INFORMASI KESEHATAN PASIEN

Seorang wanita usia 45 tahun telah didiagnosis kanker payudara stadium IV. Saat ini keadaan pasien tampak sangat lemah dan sesak napas karena kanker telah menyebar ke paru-paru. Dokter menganjurkan pasien untuk segera menjalani kemoterapi dan penanganan kegawatdaruratan. Namun keluarga pasien meminta dokter yang menangani pasien untuk menginformasikan apapun kepada pasien karena dikhawatirkan keadaan pasien akan semakin memburuk.

STEP 1. CLARIFY UNFAMILIAR TERMS1. Kanker : Kanker merupakan kumpulan sel abnormal yang tumbuh secara terus menerus, tidak terbatas, tidak terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya; dapat berupa seperti tonjolan (tumor).2. Kanker Payudara Stadium IV : Kanker payudara stadium IV merupakan suatu kondisi keganasan pada payudara dimana sel parenkim payudara kehilangan mekanisme normalnya sehingga tumbuh secara abnormal. Keganasan ini berupa tumor yang sudah meluas, melekat pada kulit dan dinding dada, kemerahan, edema, disertai dengan pertumbuhan kelenjar getah bening dan sudah mengalami metastasis jauh.3. Kemoterapi : Kemoterapi adalah suatu tindakan memberikan obat-obatan anti kanker dalam bentuk zat kimia cair, kapsul, atau infuse yang bertujuan untuk menghambat atau membunuh sel kanker.

STEP 2. DEFINE THE PROBLEMS1. Apa hak dan kewajiban bagi dokter dan juga pasien?2. Bagaimana cara dokter menyampaikan informasi yang baik kepada pasien tentang kondisi kesehatan yang sesungguhnya?3. Bagaimana cara menyampaikan informed consent yang baik?4. Bagaimana etik medikolegal yang benar, ditininjau dari:a. KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia)b. Hukum Kesehatanc. Bioetik5. Bagaimana sikap profesionalisme seorang dokter yang seharusnya pada kondisi dalam kasus ini?

STEP 3. BRAINSTORM POSSIBLE HYPOTHESIS1. Hak dan Kewajiban Doter & Pasiena. Hak Dokter Sebagai Pengemban Profesi: Hak dokter menerima imbalan jasa Hak dokter mendapatkan perlindungan hokum Hak dokter mendapatkan informasi pasien Hak dokter memberikan pelayanan medisb. Kewajiban Dokter: Dokter wajib memberikan kesempatan kepada pasien memilih tindakan yang dilakukan Dokter wajib menjaga rekam medis pasien Dokter wajib melakukan tindakan yang sesuai dengan standard operasional praktek Dokter wajib merujuk kepada yang lebih ahlinyac. Hak Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan:1) Hak Primer2) Hak Sekunderd. Kewajiban Pasien: Pasien wajib memberikan informasi yang lengkap tentang kesehatannya kepada dokter Pasien wajib mematuhi peraturan dokter Dokter wajib memberikan imbalan terhadap tindakan dokter2. Cara dokter menyampaikan informasi kesehatan yang baik:Dokter harus menjelaskan kepada pasien dari hal-hal berikut dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien: Etiologi atau penyebab dari timbulya suatu penyakit Patofisiologi atau perjalanan penyakitnya Diagnosis kerja dan diagnosis banding penyakit Terapi penyakit Prognosis Komplikasi

3. Cara menyampaikan informed consent yang baik dapat disampaikan dengan beberapa option berikut:a. Dengan menggunakan bahasa yang sempurna dan tertulisb. Dengan menggunakan bahasa yang sempurna dan lisanc. Dengan menggunakan bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima dan dimengerti oleh pihak pasiend. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak pasien

Memberikan penjelasan lengkap mengenai:a. Diagnosis dan tatacara tindakan medisb. Tujuan dilakukannya tindakan medisc. Alternatif tindakan lain dan resikonyad. Prognosis tindakan yang dilakukan

Bentuk informed consent:a. Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa)b. Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat) Bentuk tertulis Bentuk lisan Bentuk isyarat4. Etik medikolegal ditinjau dari KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia):Menurut KODEKI, dibagi menjadi 4 kategori:1) Kewajiban umum2) Kewajiban dokter terhadap pasien3) Kewajiban dokter terhadap teman sejawat4) Kewajiban dokter terhadap diri sendiri

Etik medikolegal ditinjau dari Hukum Kesehatan: 1) Permenkes RI No. 585/Menkes/Per/IX/Tahun 1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medis2) Permenkes RI No. 269 Tentang Rekam Medis3) UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 56 Tentang Kesehatan4) UU No. 29 Tahun 2009 Pasal 45 Tentang Praktek Kedokteran

Etik Medikolegal ditinjau dari Bioetik:1) Benefience2) Malfience3) Justice4) Otonomi

5. Sikap profesionalisme dokter terhadap pasien dan keluarganya:Seorang dokter tentunya haris memiliki sikap:a. Jujur dan berterus terangb. Empati dan Simpatic. Menghargai dan menghormatid. Peduli

STEP 4. ARRANGE INTO A TENTATIVE SOLUTION1. Hak Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan:a. Hak pasien atas perawatanb. Hak untuk menolak cara perawatan tertentuc. Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan merawat pasiend. Hak untuk mendapatkan informasi kesehatane. Ha untuk menolak perawatan tanpa ijinf. Hak atas rasa amang. Hak atas pembatalan terhadap pengaturan kebebasanh. Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatani. Hak atas twenty-four-a-day-visitor-rightsj. Hak pasien menggugat atau menuntutk. Hak pasien mengenai bantuan hokumKewajiban Pasien:a. Kewajiban memberikan informasi medisb. Kewajiban melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kesehatanc. Kewajiban memenuhi aturan-aturan pada kesehatand. Kewajiban berterus-terang apabila timbul masalah dalam hubungannya dengan dokter atau tenaga kesehatane. Kewajiban memberikan imbalan jasaf. Menyimpan rahasia dokter yang diketahuinya

Hak Dokter Sebagai Pengemban Profesi:a. Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujur-jujurnya dari pasienb. Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanan yang diberikan pada pasienc. Hak atas dasar itikad baik dari pasien atau keluarganya dalam melaksanakan transaksi terapeutikd. Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas pelayanan kesehatan yang diberie. Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medis dari pasien atau keluarganyaKewajiban Dokter Sebagai Pengemban Profesi:a. Kewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standard profesi yaitu dengan cara melakukan tindakan medis dalam suatu kasus yang konkretb. Menghormati hak pasien (rahasia atas kesehatan pasien bahkan sampai pasien meninggal dunia)c. Memberikan infoormasi pada pasien dan atau keluarganya tentang tindakan medis yang dilakukannya dan resiko yang mungkin terjadi akibat tindakan tersebutd. Merujuk pasien berobat ke dokter lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baike. Kewajiban memberikan pertolongan dalam keadaan darurat sebagai tugas perikemanusiaan2. K3. Cara menyampaikan informed consent yang baik:1) Bentuk Informed Consenta. Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa)Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat umum sehingga tidak perlu lagi dibuat tertulisb. Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat) TertulisUntuk informed consent yang mengandung tindakan dengan resiko besar (Permenkes RI No. 585/Menkes/Per, Pasal 3 ayat (1) dan SK.PBIDI No. 319/PB/A.4/88 Butir 3)

LisanBersifat Non Invasif dan tidak mengandung resiko tinggi Isyarat (Body Languange)

4. Etik Medikolegal ditinjau dari Hukum Kesehatan:1) Permenkes RI No. 585/Menkes/Per/IX Tahun 1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK.PBIDI No.319/PB/A.4/88 Butir 3 Tentang Informasi Kesehatan, Setiap-tindakan yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi serta resiko yang berkaitan2) UU RI No. 36 Tahun 2009 Pasal 56 Tentang Kesehatan(1) Setiap orang berhak ,enerima/menolak sebagian/seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap(2) Ayat (1) diatas tidak berlaku pada: Penyakit menular Keadaan pasien tidak sadar Gangguan mental berat 3) UU RI No.29 Tahun 2009 Pasal 45 Tentang Praktek Kedokteran, Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau kedokteran gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.4) Permenkes RI No.585/Menkes/Per/IX/ Tahun 1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medis, Persetuuan yang diberikan pasien atau kekurangannya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medic yang akan dilakukan pada pasien tersebut.

Etik Medikolegal Ditinjau Dari Bioetik:1) Benefience Mengutamakan alturisme Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia Meminimalisasi akibat buruk Member khasiat namun murah Memandang pasien atau keluarga bukanlah suatu tindakan yang menguntungkan dokter2) Malfience Menolong pasien emergensi Mengobati pasien yang luka Tidak membunuh pasien Tidak memandang sebagai objek Melindungi pasien dari serangan3) Justice Memberlakukan segala sesuatu secara universal Menghargai hak sehat pasien Menghargai hak hokum pasien Tidak melakukan penyalahgunaan4) Otonomi Tidak mengintervensi pasien dalam keputusan Melakksanakan Informed Consent Menghargai rasionalitas pasien Tidak berbohong kepada apasien meskipun dari kebaikan pasien

SISTEMATIKA PERMASALAHAN

ETIK MEDIKOLEGAL

Prinsip Etika Kedokteran

Hak dan Kewajiban

PasienDokterSafety Patient

ProfesionalismeInformed ConsentPenyampaian Informasi Kesehatan

Prinsip program Kesehatan PasienEtik Kedokteran

KODEKIBIOETIKHukum Kesehatan

STEP 5. SASARAN BELAJAR1. Konfidensialitas Medik2. Malpraktek Medik 3. Rekam Medik dan Audit Medik4. Kegawatan Medik5. Patient Safety

STEP 6. BELAJAR MANDIRI

STEP 7.1. Konfidensialitas MedikKONSEP konfidensialitas medik yang diterapkan di dunia kedokteran hingga sekarang ini sebenarnya sama tuanya dengan sejarah kedokteran itu sendiri. Sejak zaman Priestly Medicine, jauh sebelum Hippocrates, sudah banyak dokter mempraktekkannya. Agaknya mereka sadar bahwa dengan cara itu penderita tidak akan merasa ragu datang meminta pertolongan, karena percaya bahwa dokter akan merahasiakan segala sesualu yang berkaitan dengan penyakitnya. Dengan begitu maka penyakit yang timbul di dalam masyarakat akan mudah diketalnii dan dikontrol.Adanya keyakinan masyarakat bahwa dokter tak akan menyebarluas kan penyakit seseorang juga membuat mereka tak ragu lagi mengemukakan semua keluhannya guna kepentingan diagnosis dan terapi, termasuk keluhan yang dapat menimbulkan rasa malu. Perlu diketahui bahwa dalam rangka menemukan dan mengidentifikasi penyakit diperlukan keterangan yang selengkap-lengkapnya dan sejujur-jujurnya, termasuk latar belakang kehidupannya. Selain itu diperlukan pula pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan pada bagian tubuh yang paling pribadi.Menyadari pentingnya konsep konfidensialitas medik ini maka Hippocrates memandang perlunya menjadikan rahasia kedokteran sebagai bagian penting dari sumpahnya. Oleh karena itu dalam sumpah yang diucapkan atas nama seluruh dewa yang ada Hippocrates berjanji sebagai berikut:"Whatever, in connection with my professional practice, or not in connection with it, I see or hear, in the life of men, which ought not to be spoken of abroad, I will not divulge, as reckoning that all such should be kepi secret."Oleh World Medical Association, sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Jenewa, bunyi sumpah Hippocrates tersebut dirubah menjadi : "/ will respect the secrets which are confided in me, even after patient has died."Perubahan kalimat "/ will not divulge" menjadi "I will respect" oleh persatuan dokter seluruh dunia itu dimaksudkan agar masalah kerahasiaan medik tidak dipandang kaku. Dengan kalimat "I will respect" berarti terbuka peluang bagi interpretasi yang lain, mengingat implikasi dari bunyi sumpah Hippocrates tidak memungkinkan dokter membuka rahasia kedokteran untuk tujuan apapun, termasuk untuk kepentingan pasien yang bersangkutan.KEWAJIBAN HUKUMBagaimanapun, kalau dasarnya hanya sumpah maka kewajiban dokter untuk merahasiakan penyakit pasien hanyalah merupakan kewajiban moral saja dan untuk mematuhinya amat tergantung pada pribadi masing-masing dokter. Tidak ada sanksi yang bersifat memaksa yang dapat diterapkan bagi dokter yang melanggarnya selain sanksi pengucilan oleh masyarakat kedokteran. Oleh sebab itulah lalu timbul pemikiran untuk menjadikan kewajiban menyimpan rahasia kedokteran tidak hanya sekedar kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum.Perlu disadari bahwa tiap-tiap masyarakat di negeri manapun, dapat tersusun baik bila tiap-tiap anggotanya mempunyai kesehatan yang baik. Kesehatan yang baik hanya dapat dicapai jika tiap orang yang sakit, dengan perasaan bebas, dapat pergi ke dokter dan menceritakan dengan hati terbuka segala keluhannya. Semuanya ini dimungkinkan jika tiap orang yang sakit menaruh kepercayaan kepada dokter bahwa penyakitnya tidak akan diungkapkan kepada orang lain. Jika kepercayaan tidak ada maka tidak mustahil orang menjadi segan berobat, sehingga penyakit yang ada di masyarakat tidak dapat diketahui dan dikontrol.Atas dasar pemikiran tersebut maka norma kesusilaan yang sudah ada sejak zainan Priestly Medicine itu perlu dikuatkan dengan undang-undang. Perancis dan Belgia merupakan contoh negara yang memandang pentingnya masalah konfidensialitas medik dijadikan pula kewajiban hukum sehingga ada sanksi yang bersifat paksaan yang dapat diterapkan terhadap dokter yang melanggar norma itu.Di Indonesia sendiri, kedudukan konfidensialitas medik sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 10 Th. 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran tanggal 21 Mei 1966, hanyalah merupakan kewajiban moral saja. Tetapi sejak diberlakukannya peraturan tersebut berubah menjadi kewajiban moral dan hukum. Pasal 53 UU Kesehatan RI Th. 1992 beserta penjelasannya menyatakan dengan tegas bahwa rahasia kedokteran merupakan hak pasien yang wajib dihormati. Selain sanksi moral tentunya juga ada sanksi hukum yang dapat diterapkan jika dilanggar; yaitu sanksi pidana, perdata dan administratif.Sanksi pidana dapat dilihat pada Pasal 322 KUHP, yang bunyinya:1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang ia wajib menyimpannya oleh karena jabatan atau pekerjaannya, baik sekarang maupun yang dulu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya enam ratus rupiah.2) Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang yang tertentu, maka ini hanya dituntut atas pengaduan orang itu.Sanksi pidana yang lebih berat lagi diberikan jika rahasia kedokteran yang dibocorkan tersebut menyangkut kepentingan negara dan dibocorkan kepada negara lain, misalnya tentang kesehatan presiden. Hal ini sesuai dengan Pasal 112 KUHP.Dari pasal 322 KUHP dapat dilihat dengan jelas bahwa pembocoran rahasia kedokteran oleh tenaga kesehatan merupakan delik aduan. di mana dokter hanya dapat dituntut jika ada pengaduan dari pasien yang bersangkutan. Sungguh pun delik aduan, tetapi Menteri Kesehatan berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 10 Th. 1966 tetap berhak melakukan tindakan administratif meskipun pasien memaafkan dan tidak mengadukannya kepada yang berwajib.Setiap pembocoran rahasia kedokteran tentunya dapat menimbulkan kerugian di pihak pasien, baik materiel maupun immateriel, sehingga pasien (berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata) dapat menggugat dokter seperti pada kasus di bawah ini:"Seorang pasien wanita berobat ke dokter ahli kandungan karena menderita keputihan. Dalam pemeriksaan dokter menemukan penyebabnya, yaitu sisa-sisa kondom dalam vagina pasien. Pada suatu hari dokter bertemu suaminya di lapangan tenis. Sambil bergurau berkata: "Kalau masuk pakai jas hujan, keluarnya jas hujan itu jangan sampai ketinggalan". Mendengar gurauan itu suami pasien segera sadar apa yang sebenarnya terjadi mengingat ia tidak pernah menggunakan kondom. Atas dasar itulah kemudian ia menceraikannya. Tentu saja perceraian itu menimbulkan kerugian materiel serta immateriel (rasa malu) sehingga wanita itu menggugat dokter ke Pengadilan."SUBJEK PERAHASIAANTimbulnya konsep konfidensialitas medik pada zaman Priestly Medicine tidak dapat dipisahkan dari tingkat pemahaman orang tentang terjadinya penyakit. Pada masa-masa itu penyakit dianggap sebagai hukuman Tuhan atas dosa-dosa yang diperbuat oleh manusia. Oleh sebab itu, memberitakan penyakit seseorang kepada orang Iain sama artinya dengan memberitakan bahwa orang tersebut telah melakukan perbuatan dosa. Alasan inilah sebenamya yang mendorong banyak dokter di zaman itu, termasuk Hippocrates, melakukan praktek kedokteran berdasarkan prinsip konfidensial.Subjek yang harus dirahasiakannya pun tidak dibatasi hanya pada aspek tertentu saja. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari bunyi sumpah yang diucapkan Hippocrates, yang bunyinya sebagai berikut:"Whatever, in connection with my professional practice, or not inconnection with it, I see or hear, in the life of men".Pada era kedokteran modern sekarang ini, di mana pemahaman tentang terjadinya penyakit telah dikoreksi, tidak berarti lalu subjek perahasiaan juga mengalami perubahan, misalnya hanya dibatasi pada penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan rasa malu atau yang dapat mengungkapkan latar belakang kehidupan saja.Bagaimana pun pengaruh dari sumpah Hippocrates memang ada, namun harus diakui bahwa konsep individualisme yang melanda kehidupan masyarakat sekarang ini juga menjadi alasan dominan.Pasal 1 dari Peraturan Pemerintah Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran menyebutkan bahwa yang menjadi subyek perahasiaan adalah segala sesuatu yang diketahui selama melakukan pekerjaan di lapangan kedokteran. Menurut penjelasannya, segala sesuatu yang diketahui itu ialah segala fakta yang didapat pada pemeriksaan, interpretasi untuk menegakkan diagnosa dan melakukan pengobatan. Ini meliputi hasil anamnesa, pemeriksaan jasmani, pemeriksaan dengan alat-alat kedokteran, fakta yang dikumpulkan oleh pembantu-pembantunya dan sebagainya.Rahasia kedokteran tersebut harus dijaga oleh semua tenaga kesehatan, baik medik maupun non medik, yaitu:a. Semua tenaga kesehatan. b. Semua mahasiswa kedokteran.c. Semua murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan atau perawatan.d. Orang-orang yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.Jadi Menteri Kesehatan dapat menetapkan, baik secara umu rataupun insidentil, orang-orang tertentu yang harus ikut menjaga kerahasiaan; misalnya pegawai tata usaha, pegawai laboratorium atau pegawai yang ditugasi mengurus rekam medik.PENGENDORAN TERHADAP PRINSEP KONFIDENSIALMeskipun semua tenaga kesehatan, utamanya dokter, harus memperlakukan informasi medik sebagai rahasia yang harus dipegang teguh, tidak berarti tertutup peluang untuk membuka rahasia tersebut kepada pihak lain. Dalam keadaan tertentu dokter dapat membocorkan rahasia tersebut tanpa perlu merasa takut mendapat sanksi, baik hukum maupun etik.Adapun yang dimaksud membocorkan rahasia kedokteran ialah menyampaikan sebagian atau seluruh informasi kepada pihak lain yang tidak berhak, baik perorangan ataupun badan (misalnya perusahaan asuransi). Perlu dipahami bahwa yang berhak atas informasi medik hanyalah pasien yang bersangkutan atau walinya dalam hal pasien tidak sehat akalnya atau belum dewasa. Oleh sebab itu pemberian informasi kepada yang berhak, baik tertulis ataupun lisan, tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan pembocoran. Malahan dokter wajib memenuhi keinginan pasien untuk mendapatkan informasi guna dijadikan rekomendasi bagi permohonan cuti sakit, cuti hamil, mengurus akte kelahiran atau akte kematian. Juga tidak tertutup kemungkinan bagi pasien untuk mendapatkan informasi guna kelengkapan bukti dalam perkara perdata, sebab dalam perkara tersebut masing-masing pihak berhak mengupayakan sendiri bukti-buktinya. Pemberian informasi medik kepada pihak lain hanya dibenarkan jika ada ijin dari yang berhak, untuk melaksanakan undang-undang atau karena keadaan darurat. Di luar ketentuan tersebut di atas dapat dikategorikan sebagai tindakan pembocoran rahasia yang bersifat melanggar hukum.A. IZIN DARI YANG BERHAKSelain pasien memiliki hak untuk dirahasiakan penyakitnya tentunya ia juga memiliki hak untuk melepaskan sifat kerahasiaan dari tiap-tiap informasi yang berkaitan dengan kesehatannya. Oleh sebab itu boleh saja dokter membocorkan kepada pihak lain tanpa perlu merasa khawatir dituntut atau digugat, asalkan yang bersangkutan telah memberikan ijin atau dengan kata lain telah melepaskan sifat kerahasiaannya. Untuk kepentingan mengurus klaim asuransi kecelakaan kerja misalnya, dokter dapat memberikan keterangan medik langsung kepada pihak perusahaan dengan ijin tertulis dari pihak pasien.Pada hakikatnya penyampaian laporan kesehatan calon pegawai atau calon nasabah asuransi langsung kepada instansi atau perusahaan terkait juga merupakan tindakan pembocoran, tetapi dokter tidak dapat dipersalahkan jika sudah ada ijin dari yang bersangkutan. Meskipun tidak perlu secara tertulis, tetapi dengan kesediaan diperiksa dapat dianggap telah memberikan ijin yang bersifat implisit (implied consent) sebab sudah menjadi ketentuan baku yang tentu saja juga sudah dipahami oleh setiap calon pegawai atau nasabah tentang tujuan pemeriksaan itu.B. DALAM RANGKA MELAKSANAKAN UNDANG-UNDANGMeskipun hak atas kerahasiaan medik dijamin oleh undang-undang, namun ada undang-undang lain yang mengharuskan dokter membuka rahasia tersebut seperti misalnya melaporkan adanya penderita penyakit wabah atau memberikan keterangan untuk kepentingan proses peradilan pidana. Akibatnya terjadilah benturan antara dua kewajiban hukum.Menghadapi situasi seperti itu dokter tak perlu merasa ragu sebab berdasarkan Pasal 50 KUHP, tidak dipidana melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang. Hanya saja yang perlu diperhatikan ialah tingkat hirarki dari kedua peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan itu. Tidak seharusnya peraturan perundang-undangan yang peringkatnya lebih rendah mengalahkan yang lebih tinggi. Mengenai kesaksian medik untuk kepentingan peradilan pidana telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu hanya dapat disampaikan dihadapan hakim dalam sidang pengadilan. Namun demikian, dokter masih diberi kesempatan mengajukan hak undur diri untuk tidak memberikan informasi yang bersifat rahasia itu. Hanya saja hakim berwenang menentukan boleh tidaknya dokter menggunakan hak tersebut.C. KEADAAN DARURATPenerapan prinsip konfidensial kelihatannya sederhana dan mudah. namun pada prakteknya di lapangan seringkali rumit dan sulit sehingga banyak dokter merasa bingung. Contoh yang paling gampang adalah jika dokter menemukan pasien seorang guru dengan penyakit tuberkulosa atau seorang sopir bus umum dengan penyakit epilepsi. Pertanyaannya, bolehkah dokter melaporkan temuannya itu kepada instansi terkait untuk melindungi anak didik dari penularan atau mencegah penumpang dari malapetaka? . Pertanyaan tersebut di atas perlu jawaban tegas, tetapi tidak mudah untuk menjawabnya sebab menyangkut dua kepentingan dan dua hak yang saling berbenturan. Kepentingan dan hak individu jelas harus dilindungi, tetapi kepentingan dan hak masyarakat juga tidak boleh diabaikan. Jadi pada hakikatnya inti permasalahan dari pertanyaan di atas adalah bagaimana meletakkan garis keseimbangan antara individual interest dengan social interest serta antara individual right dengan social right.Untuk lebih jelasnya perlu dikemukakan sebuah kasus yang sangat menarik, yaitu kasus Tarasoff yang kejadiannya sebagai berikut:Seorang mahasiswa dari University of Barkeley, California, bernama Prosenjit Poddar jatuh hati kepada seorang wanita cantik bernama Tarasoff. Karena tidak mendapat balasan yang memadai maka ia mengalami depresi berat dan mentelantarkan kuliahnya. Akhirnya ia berobat ke Dr Lawrence Moore, seorang psikiater dari kampus tersebut. Dari anamnesa yang dilakukan oleh dokter itu terungkap bahwa mahasiswa tersebut mempunyai rencana membunuh Tarasoff. Setelah berunding dengan atasannya, yaitu Dr Harvey Powelson yang juga seorang psikiater, Dr Moore kemudian menulis surat kepada polisi kampus agar dilakukan penahanan untuk evaluasi. Karena di depan polisi menunjukkan sikap yang sangat kooperatif dan juga berjanji menjauhi Tarasoff maka ia dilepaskan. Ternyata enam bulan kemudian Poddar benar-benar melaksanakan niatnya, membunuh Tarasoff secara kejam. Akibatnya orang tua korban menuntut dokter karena merasa anaknya tidak diberitahu sebelumnya tentang adanya niat pembunuhan itu.Hal yang sangat menarik dari kasus tersebut adalah pandangan dari hakim Tobringer yang memimpin sidang tentang penerapan prinsip konfidensial, bahwa kewajiban menyimpan rahasia kedokteran berakhir manakala ada ancaman bahaya terhadap masyarakat. Pandangan tersebut nampaknya sejalan dengan Pasal 48 K.UHP yang bersumber pada doctrine of necessety.

2. Malpraktek MedikA. DefinisiPengertian Malpraktek Ada berbagai macam pendapat dari para sarjana mengenai pengertian malpraktek. Masing-masing pendapat itu diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Veronica menyatakan bahwa istilah malparaktek berasal dari malpractice yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter.2) Hermien Hadiati menjelaskan malpractice secara harfiah berarti bad practice, atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus. Karena malpraktek berkaitan dengan how to practice the medical science and technology, yang sangat erat hubungannya dengan sarana kesehatan atau tempat melakukan praktek dan orang yang melaksanakan praktek. Maka Hermien lebih cenderung untuk menggunakan istilah maltreatment.3) Danny Wiradharma memandang malpraktek dari sudut tanggung jawab dokter yang berada dalam suatu perikatan dengan pasien, yaitu dokter tersebut melakukan praktek buruk.4) Ngesti Lestari mengartikan malpraktek secara harfiah sebagai pelaksanaan atau tindakan yang salah.5) Amri Amir menjelaskan malpraktek medis adalah tindakan yang salah oleh dokter pada waktu menjalankan praktek, yang menyebabkan kerusakan atau kerugian bagi kesehatan dan kehidupan pasien, serta menggunakan keahliannya untuk kepentingan pribadi.6) Sedangkan menurut Ninik Mariyanti, malpraktek sebenarnya mempunyai pengertian yang luas, yang dapat dijabarkan sebagai berikut: Dalam arti umum : suatu praktek yang buruk, yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi. Dalam arti khusus (dilihat dari sudut pasien) malpraktek dapat terjadi di dalam menentukan diagnosis, menjalankan operasi, selama menjalankan perawatan, dan sesudah perawatan. 7) Menurut Jusuf Hanafiah, malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.

Beberapa sarjana sepakat untuk merumuskan penggunaan istilah medical malpractice (malpaktek medik) sebagaimana disebutkan dibawah ini : John D. Blum memberikan rumusan tentang medical malpractice sebagai a form of professional negligence in which measerable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or ommission by the defendant practitioner (malpraktek medik merupakan bentuk kelalaian profesi dalam bentuk luka atau cacat yang dapat diukur yang terjadinya pada pasien yang mengajukan gugatan sebagai akibat langsung dari tindakan dokter). Black Law Dictionary merumuskan malpraktek sebagai any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or judiacry duties, evil practice, or illegal or immoral conduct (perbuatan jahat dari seorang ahli, kekurangan dalam keterampilan yang dibawah standar, atau tidak cermatnya seorag ahli dalam menjalankan kewajibannya secara hokum, praktek yang jelek atau ilegal atau perbuatan yang tidak bermoral).

Dari beberapa pengertian tentang malpraktek medik diatas semua sarjana sepakat untuk mengartikan malpraktek medik sebagai kesalahan tenaga kesehatan yang karena tidak mempergunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan sesuai dengan standar profesinya yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka atau cacat atau bahkan meninggal dunia. Dari berbagai pengertian mengenai malpraktek yang dikemukakan oleh beberapa sarjana diatas, terlihat bahwa sebagian orang mengaitkan malpraktek medik sebagai malpraktek yang dilakukan oleh dokter. Hal ini mungkin disebabkan karena kasus-kasus yang muncul ke permukaan atau yang diajukan ke pengadilan adalah kasus-kasus yang dilakukan oleh dokter. Selain itu dalam berbagai literatur, permasalahan malpraktek ataupun permasalahan yang berhubungan dengan kesehatan, yang dijadikan sebagai patokan adalah profesi dokter. Akan tetapi menurut penulis, malpraktek medik tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dari kalangan profesi dokter saja. Tetapi juga dapat dilakukan oleh orang-orang yang berprofesi di bidang pelayanan kesehatan atau biasa disebut tenaga kesehatan. Didalam Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, yaitu dalam pasal 2 ayat (1) ditentukan bahwa tenaga kesehatan terdiri dari : (a). Tenaga medis (b). Tenaga keperawatan (c). Tenaga kefarmasian (d). Tenaga kesehatan masyarakat (e). Tenaga gizi (f). Tenaga keterapian fisik (g). Tenaga keteknisan medis. Orang-orang yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan mungkin saja melakukan tindakan malpraktek medis. Jadi tidak hanya profesi dokter saja. Misalnya tenaga keperawatan yang terdiri dari perawat dan bidan. Mereka juga mungkin melakukan tindakan malpraktek medis karena perawat maupun bidan juga sama seperti dokter yang profesinya memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

B. Jenis-jenis malpraktekNgesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik menjadi dua bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis (yuridical malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.1) Malpraktek Etik Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh bidan. 2) Malpraktek Yuridis Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administratif (administrative malpractice).a) Malpraktek Perdata (Civil Malpractice) Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.Adapun isi daripada tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa: Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi terlambat melaksanakannya. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa syarat seperti: Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat). Perbuatan tersebut melanggar hukum (tertulis ataupun tidak tertulis). Ada kerugian. Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang diderita. Adanya kesalahan (schuld).

Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsur berikut: Adanya suatu kewajiban tenaga kesehatan terhadap pasien. Tenaga kesehatan telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan. Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya. Secara faktual kerugian itu diesbabkan oleh tindakan dibawah standar.

Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tenaga kesehatan (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi res ipsa loquitor yang artinya fakta telah berbicara. Dalam hal demikian tenaga kesehatan itulah yang harus membutikan tidak adanya kelalaian pada dirinya. Dalam malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktek yang disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis). Karena apabila yang terjadi adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan tersebut termasuk dalam malpraktek pidana. Contoh dari malpraktek perdata, misalnya seorang dokter yang melakukan operasi ternyata meninggalkan sisa perban didalam tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa ada perban yang tertinggal kemudian dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban yang tertinggal tersebut. Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan tidak menimbulkan akibat negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.b) Malpraktek Pidana Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut. Malpraktek pidana ada tiga bentuk yaitu: Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional), misalnya pada kasus aborsi tanpa insikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak benar. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati.c) Malpraktek Administratif Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.

C. Teori-teori malpraktekAda tiga teori yang menyebutkan sumber dari perbuatan malpraktek yaitu:1. Teori Pelanggaran Kontrak Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak. Ini berprinsip bahwa secara hukum seorang tenaga kesehatan tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang bilamana diantara keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara tenaga kesehatan dengan pasien. Hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien baru terjadi apabila telah terjadi kontrak diantara kedua belah pihak tersebut. Sehubungan dengan adanya hubungan kontrak pasien dengan tenaga kesehatan ini, tidak berarti bahwa hubungan tenaga kesehatan dengan pasien itu selalu terjadi dengan adanya kesepakatan bersama. Dalam keadaan penderita tidak sadar diri ataupun keadaan gawat darurat misalnya, seorang penderita tidak mungkin memberikan persetujuannya.Apabila terjadi situasi yang demikian ini, maka persetujuan atau kontrak tenaga kesehatan pasien dapat diminta dari pihak ketiga, yaitu keluarga penderita yang bertindak atas nama dan mewakili kepentingan penderita. Apabila hal ini juga tidak mungkin, misalnya dikarenakan penderita gawat darurat tersebut datang tanpa keluarga dan hanya diantar oleh orang lain yang kebetulan telah menolongnya, maka demi kepentingan penderita, menurut perundang-undangan yang berlaku, seorang tenaga kesehatan diwajibkan memberikan pertolongan dengan sebaik-baiknya. Tindakan ini, secara hukum telah dianggap sebagai perwujudan kontrak tenaga kesehatan-pasien.2. Teori Perbuatan Yang Disengaja Teori kedua yang dapat digunakan oleh pasien sebagai dasar untuk menggugat tenaga kesehatan karena perbuatan malpraktek adalah kesalahan yang dibuat dengan sengaja (intentional tort), yang mengakibatkan seseorang secara fisik mengalami cedera (asssult and battery).3. Teori Kelalaian Teori ketiga menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah kelalaian (negligence). Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang dikategorikan dalam malpraktek ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu kelalaian yang dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat (culpa lata). Untuk membuktikan hal yang demikian ini tentu saja bukan merupakan tugas yang mudah bagi aparat penegak hukum.Selain dikenal adanya beberapa teori tentang sumber perbuatan malpraktek, yang apabila ditinjau dari kegunaan teori-teori tersebut tentu saja sangat berguna bagi pihak pasien dan para aparat penegak hukum, karena dengan teori-teori tersebut pasien dapat mempergunakannya sebagai dasar suatu gugatan dan bagi aparat hukum dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan. Ada juga teori yang dapat dijadikan pegangan untuk mengadakan pembelaan apabila ia menghadapi tuntutan malpraktek. Teori-teori itu adalah:-Teori Kesediaan Untuk Menerima Resiko (Assumption Of Risk) Teori ini mengatakan bahwa seorang tenaga kesehatan akan terlindung dari tuntutan malpraktek, bila pasien memberikan izin atau persetujuan untuk melakukan suatu tindakan medik dan menyatakan bersedia memikul segala resiko dan bahaya yang mungkin timbul akibat tindakan medik tersebut. Teori ini mempunyai arti yang sangat besar bagi seorang tenaga kesehatan, selama tindakan tenaga kesehatan itu bertujuan untuk indikasi medis.-Teori Pasien Ikut Berperan Dalam Kelalaian (Contributory Negligence)Adalah kasus dimana tenaga kesehatan dan pasien dinyatakan oleh pengadilan sama-sama melakukan kelalaian.-Perjanjian Membebaskan Dari Kesalahan (Exculpatory Contract)Cara lain bagi tenaga kesehatan untuk melindungi diri dari tuntutan malpraktek adalah dengan mengadakan suatu perjanjian atau kontrak khusus dengan penderita, yang berjanji tidak akan menuntut tenaga kesehatan atau rumah sakit bila terjadi misalnya kelalaian malpraktek. Teori pembelaan ini bersifat spekulasi karena berhasil tidaknya tenaga kesehatan menggunakan pembelaannya, yang dalam hal ini berupa perjanjian khusus dengan pasien, hasinya sangat tergantung pada penilaian pengadilan.-Peraturan Good Samaritan Menurut teori ini,seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat darurat dengan tujuan murni (setulus hati) pada suatu peristiwa darurat dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek kecuali jika terdapat indikasi terjadi suatu kelalaian yang sangat mencolok. -Pembebasan Atas Tuntutan (Releas)Yaitu suatu kasus dimana pasien membebaskan tenaga kesehatan dari seluruh tuntutan malpraktek, dan kedua belah pihak bersepakat untuk mengadakan penyelesaian bersama. Teori pembelaan yang berupa pembebasan ini, hanya dapat dilaksanakan sepanjang kesalahan tenaga kesehatan tersebut menyangkut tanggungjawab perdata (masuk kategori hukum perdata), misalnya wanprestasi, sebab dalam kasus ini hanya melibatkan kedua belah pihak yang saling mengadakan kontrak atau janji saja. Dalam hal ini apabila mereka ternyata dapat bersepakat untuk menyelesaikan bersama dengan damai, itu lebih baik, karena sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dalam penyelesaian kasus perdata, yaitu adanya suatu perdamaian antara kedua belah pihak. Tetapi apabila kesalahan tenaga kesehatan itu termasuk dalam kategori hukum pidana (tanggung jawab pidana) misalnya terjadi kelalaian berat sehingga mengakibatkan meninggalnya pasien, maka teori ini tidak dapat diterapkan, sebab bicara hukum pidana berarti bicara tentang hukum publik, yang menyangkut kepentingan umum bersama. Oleh karena itu apabila telah terbukti tenaga kesehatan telah melakukan malpraktek, maka hukum harus tetap diberlakukan padanya, karena kalau tidak, berarti kita tidak mendidik kepada masyarakat pada umumnya untuk sadar terhadap hukum yang berlaku, sehingga selanjutnya akan sangat sulit untuk menegakkan hukum itu sendiri. Disamping itu, kalau teori ini diterima dalam kasus pidana dikhawatirkan tiap perbuatan malpraktek seorang tenaga kesehatan tidak akan ada sanksi hukumnya, sehingga dapat mengurangi tanggung jawab dan sikap hati-hatinya seorang tenaga kesehatan di dalam menjalankan tugasnya. -Peraturan Mengenai Jangka Waktu Boleh Menuntut (Statute Of Limitation) Menurut teori ini tuntutan malpraktek hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu, yang biasanya relatif lebih pendek daripada tuntutan-tuntutan hukum yang lain. -Workmens Compensation Bila seorang tenaga kesehatan dan pasien yang terlibat dalam suatu kasus malpraktek keduanya bekerja pada suatu lembaga atau badan usaha yang sama, maka pasien tersebut tidak akan memperoleh ganti rugi dari kasus malpraktek yang dibuat oleh tenaga kesehatan tersebut. Hal ini disebabkan menurut peraturan workmens compensation, semua pegawai dan pekerja menerima ganti rugi bagi setiap kecelakaan yang terjadi di situ, dan tidak menjadi persoalan kesalahan siapa dan apa sebenarnya penyebab cedera atau luka. Akan tetapi walaupun dengan adanya teori-teori pembelaan tersebut, tidak berarti seorang tenaga kesehatan boleh bertindak semaunya kepada pasien. Walaupun terdapat teori-teori pembelaan tersebut, juga harus dilihat apakah tindakan tenaga kesehatan telah sesuai dengan standar profesi. Apabila tindakan tenaga kesehatan tersebut tidak sesuai dengan standar profesi, maka teori-teori pembelaan tersebut tidak dapat dijadikan alasan pembelaan baginya. Misalnya pada peraturan good Samaritan yang menyebutkan bahwa seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat darurat pada peristiwa darurat dapat dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek. Walaupun terdapat peraturan good samaritan ini, seorang tenaga kesehatan dalam memberikan pertolongan gawat darurat pada peristiwa darurat tetap harus memberikan pertolongannya dengan sepenuh hati berdasarkan pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya. Apabila dalam memberikan pertolongan gawat darurat, seorang tenaga kesehatan hanya memberikan pertolongan yang sekedarnya dan tidak sungguh-sungguh dalam menggunakan pengetahuan dan keahliannya, jika terjadi sesuatu hal yang membahayakan kesehatan atau nyawa orang yang ditolongnya itu, maka tenaga kesehatan tersebut tetap dapat dituntut secara hukum.3. Rekam Medik dan Audit MedikDefinisi Rekam Medis dalam berbagai kepustakaan dituliskan dalam berbagai pengertian, seperti dibawab ini:Menurut Edna K Huffman: Rekam Medis adalah berkas yang menyatakan siapa, apa, mengapa, dimana, kapan dan bagaimana pelayanan yang diperoleb seorang pasien selama dirawat atau menjalani pengobatan.Menurut Permenkes No. 749a/Menkes!Per/XII/1989: Rekam Medis adalah berkas yang beirisi catatan dan dokumen mengenai identitas pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lainnya yang diterima pasien pada sarana kesehatan, baik rawat jalan maupun rawat inap.Menurut Gemala Hatta : Rekam Medis merupakan kumpulan fakta tentang kehidupan seseorang dan riwayat penyakitnya, termasuk keadaan sakit, pengobatan saat ini dan saat lampau yang ditulis oleb para praktisi kesehatan dalam upaya mereka memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien.Permenkes No. 749a/Menkes!Per/XII/1989 Menurut Waters dan Murphy : Rekam Medis adalah Kompendium (ikhtisar) yang berisi informasi tentang keadaan pasien selama perawatan atau selama pemeliharaan kesehatan.Menurut IDI :Sebagai rekaman dalam bentuk tulisan atau gambaran aktivitas pelayanan yang diberikan oleh pemberi pelayanan medik/kesehatan kepada seorang pasien.Tipe Rekam Medis1. Rekam medis rumah sakitRekam medis rumah sakit adalah rekam medis yang lengkap, terkini yang memuat riwayat pasien, kondisi terapi dan hasil perawatan. Rekam medis rumah sakit adalah bukti hukum penting yang dapat digunakan dalam berbagai perkara hukum, rekam medis yang baik dapat membantu rumah sakit atau dokter merekonstruksi kembali urutan terapi dan menunjukan bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan dapat diterima dalam kondisi yang ada pada saat itu. JCAHO menetapkan bahwa rekam medis dari rumah sakit yang terakreditasi memuat informasi yang cukup untuk menetapkan diagnosis, terapi dan hasil terapi secara akurat. Rekam medis tiap-tiap rumah sakit sangat bervariasi, tergantung dari karakteristik dari tiap rumah sakit.Tetapi pada umumnya rekam medis rumah sakit terdiri dari dua bagian, Bagian informasi umum dan informasi klinis. Informasi yang minimal harus ada ditetapkan oleh pewawas rumah sakit wilayah atau standar akreditas, dan peraturan-peraturan yang ditetapkan untuk rumah sakit dan para staf medis.2. Rekam medis dokter praktekTujuan dan fungsi rekam medis pasien untuk dokter praktek sama dengan tujuan dan fungsi rekam medis pada rumah sakit. Umumnya tidak ada format panduan khusus yang mengatur komponen-komponen apa saja yang harus ada dalam rekam medis pada praktek dokter. Tetapi Sebagai acuan, rekam medis harus berisiinformasi mengenai terapi yang diberikan kepada pasien di manapun selain di rumah sakit dengan detail dan lengkap. Instruksi-instruksi yang diberikan kepada pasien melalui telepon juga harus direkam, Dokter juga harus mencatat setiap telepon yang diterima. Pencatatan korespondensi melalui telepon harus dipisahkan dari rekam medis pasien. Seorang dokter sebagai dokter prakte memiliki kewajiban untuk melengkapi rekam medis dan memberikan salinanya kepada dokter berikutnya yang bertanggung jawab terhadap pasien. Tetapi dokter tidak dibenarkan memberikan rekam medis pasien kepada petugas kesehatan yang tidak berkualifikasi dan dukun.Tujuan dan Kegunaan Rekam Medis1. Tujuan Rekam MedisTujuan rekam medik adalah menunjang tercapainya tertib administrasi dalam rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Tanpa didukung suatu sistem pengelolaan rekam medis yang baik dan benar, tidak mungkin tertib administrasi rumah sakit akan berhasil sebagaimana yang diharapkan. Sedangkan tertib administrasi merupakan salah satu faktor yang menentukan di dalam upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit.2. Kegunaan Rekam MedisDalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 749 a tahun 1989 menyebutkan bahwa Rekam Medis memiliki 5 manfaat, yaitu :1. Sebagai dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pesien2. Sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum3. Bahan untuk kepentingan penelitian 4. Sebagai dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan dan 5. Sebagai bahan untuk menyiapkan statistik kesehatanKegunaan rekam medis dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain, (Dirjen Yankes 1993: 10)1. Aspek AdministrasiSuatu berkas rekam medis mempunyai nilai administrasi, karena Isinya menyangkut tindakan berdasarkan wewenang dan tanggung jawab sebagai tenaga medis dan para medis dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan.2. Aspek MedisSebagai dasar untuk merencanakan pengobatan atau perawatan yang harus diberikan kepada seorang pasien.3. Aspek HukumSuatu berkas rekam medis mempunyai nilai hukum, karena isinya menyangkut masalah adanya jaminan kepastian hukum atas dasar keadilan, dalam rangka usaha untuk menegakkan hukum serta penyediaan bahan bukti untuk menegakkan keadilan.4. Aspek KeuanganSuatu berkas rekam medis mempunyai nilai uang, karena isinya mengandung data / informasi yang dapat dipergunakan sebagai aspek keuangan.5. Aspek PenelitianSuatu berkas rekam medis mempunyai nilai penelitian, karena isinya menyangkut data / informasi yang dapat dipergunakan sebagai aspek penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dibidang kesehatan.6. Aspek PendidikanSuatu berkas rekam medis mempunyai nilai pendidikan, karena isinya menyangkut data / informasi tentang perkembangan kronologis dan kegiatan pelayanan medik yang diberikan kepada pasien. Informasi tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan atau referensi pengajaran dibidang profesi si pemakai.7. Aspek DokumentasiSuatu berkas rekam medis mempunyai nilai dokumentasi, karena isinya menyangkut sumber ingatan yang harus didokumentasikan dan dipakai sebagai bahan pertanggung jawaban dan laporan rumah sakit.Dengan melihat beberapa aspek tersebut diatas, rekam medis mempunyai kegunaan yang sangat luas, karena tidak hanya menyangkut antara pasien dengan (Dirjen Yankes, 1993: 12) :1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dengan tenaga ahli lainnya yang ikut ambil bagian didalam memberikan pelayanan, pengobatan, perawatan kepada pasien.2. Sebagai dasar untuk merencanakan pengobatan / perawatan yang harus diberikan kepada seorang pasien.3. Sebagai bukti tertulis atas segala tindakan pelayanan, perkembangan penyakit dan pengobatan selama pasien berkunjung / dirawat di rumah sakit.4. Sebagai bahan yang berguna untuk analisa, penelitian dan evaluasi terhadap kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien.5. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun Dokter dan tenaga kesehatan dan lainnya. 6. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian dan pendidikan.7. Sebagai dasar ingatan penghitungan biaya pembayaran pelayanan medik pasien. 8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikanMenurut International Federation Health Organization (1992:2), rekam medis disimpan dengan tujuan:1. Fungsi komunikasiRekam medis disimpan untuk komonikasi diantara dua orang yang bertanggungjawab terhadap kesehatan pasien untuk kebutuhan pasien saat ini dan yang akan datang.2. Kesehatan pasien yang berkesinambunganRekam medis dihasilkan atau dibuat untuk penyembuhan pasien setiap waktu dan sesegera mungkin.3. Evaluasi kesehatan pasienRekam medis merupakan salah satu mekanisme yang memungkinkan evaluasi terhadap standar penyembuhan yang telah diberikan.4. Rekaman bersejarahRekam medis merupakan contoh yang menggambarkan tipe dan metode pengobatan yang dilakukan pada waktu tertentu.5. MedikolegalRekam medis merupakan bukti dari opini yang yang bersifat prasangka menegnai kondisi, sejarah dan prognosi pasien.6. Tujuan statistikRekam medis dapat digunakan untuk menghitung jumlah penyakit, prosedur pembedahan dan insiden yang ditemukan setelah pengobatan khusus.7. Tujuan penelitian dan pendidikanRekam medis di waktu yang akan datang dapat digunakan dalam penelitian kesehatan. Berdasarkan aspek diatas maka rekam medis mempunyai nilai kegunaan yang sangat luas, yaitu:1. Dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien 2. Bahan pembuktian dalam hukum 3. Bahan untuk kepentingan penelitian dan pendidikan 4. Dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan 5. Bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan 6. Fungsi komunikasi 7. Kesehatan pasien yang berkesinambungan 8. Rekaman bersejarah.Penggunaan Rekam MedisPengguna atau pemakai rekam medis adalah pihak pihak perorangan yang memasukkan, memverifikasi, mengoreksi, menganalisa atau memperoleh informasi dari rekaman, baik secara langsung ataupun melalui perantara. Pengguna rekam medis atau yang tergantung dengan data yang ada dalam rekam medis sangat beragam. Ada pengguna rekam medis per orangan (Primer dan sekunder) serta pengguna dari kelompok institusi.Pengguna Rekam Medis / Kesehatan Perorangan1.1 Para pemberi pelayanan (Pengguna primer)Pihak pihak yang memberikan pelayanan kesehatan langsung kepada pasien. Mereka terdiri dari individu atau pemberi jasa kesehatan perorangan yang meliputi tenaga dokter, perawat, profesi kesehatan pendukung lainnya dan tenaga klinis. Profesi kesehatan pendukung termasuk asisten dokter, fisioterapis, terapi wicara, terapi pernafasan (respiratoris), okupasi terapis, tekniker radiologi dan teknisi laboratorium medis. Profesi medis lainnya juga membantu pelayanan klinis, termasuk ahli farmasi, tenaga sosial, ahli gizi, konsultan diet, psikolog, Podiatris (ahli mengobati kelainan kaki manusia dan khiropraktor (orang yang mengobati penyakit dengan mengurut tulang punggung). Kelompok ini memasukkan informasi ke dalam rekam medis secara langsung. sedangkan fasilitas pelayanan lainnya seperti tekniker laboratorium medis, tekniker radiologi membuat laporan tersendiri sebagai bagian dari rekam medis pasien. keberadaan rekam medis akan menghindari sifat lupa tenaga kesehatan saat menangani pasien yang banyak.1. 2 Para konsumen (pengguna sekunder)Pasien dan keluarganya yang juga memerlukan informasi rekam medis dirinya (perorangan/individu pasien) untuk berbagai kepentingan. bahkan, dalam era keterbukaan masa kini, terlebih di masa mendatang. kiranya tidak dapat dihindari adanya pasien yang memerlukan bentuk fisik rekam medis untuk berbagai kepentingan. Untuk itu perlu dipertimbangkan urgensi kebutuhan, maksud dan tujuan serta unsur sekuritas, kerahasian dan keamanan serta aturan lain yang terlibat (aturan profesi, instansi, pemerintah, kewenangan dan lainnya). Demikian juga dengan adanya kemajuan sudut pandang berbagai negara di dunia sudah mulai mengeluarkan ketepatan yang memberi hak kepada pasien untuk melihat rekam medisnya (dengan adanya Health Insurance Portability and Accountability Act (HIPAA), mulai 14 April 2003 warga negara AS dapat membaca rekam medisnya kecuali tentang analisis kejiwaan). Lebih lanjut mereka juga memperoleh hak untuk mengoreksi informasi dalam rekam medisnya dan menambahkan informasi yang kurang serta memverifikasi biaya pelayanan yang dibebankan kepadanya.(Konsep HIPAA, 1998-AS).Pengguna Rekam Medis / Kesehatan dari kelompok1.1 Manajer pelayanan dan penunjang pasienKelompok ini adalah pihak yang menggunakan rekam medis perorangan secara sekunder serta tidak menangani perawatan pasien secara langsung. Kelompok ini menggunakan data rekam medis kesehatan untuk menilai kinerja fasilitas kesehatan serta manfaat pelayanan yang diberikan. Data yang diperoleh menggambarkan pola dan kecendrungan pelayanan. Dengan masukan data agrerat tersebut akan memudahkan manajer instansi pelayanan kesehatan dalam memperbaiki proses pelayanan, sarana dan prasarana ke depan.1.2 Pihak pengganti biaya perawatanKelompok ini akan menelaah sejauh apa diagnosis yang terkait dengan biaya perawatan. Penggantian biaya harus sesuai dengan diagnosis akhir dan atau tindakan yang ditegakkan dokter (dokter yang dimaksud adalah dokter utama yang merawat pasien dan bertanggung jawab terhadap masa perawatan pasien) sesudah sesudah pasien pulang perawatan. Diagnosis dicantumkan serta ditandatangi dokter tersebut pada lembar Ringkasan Riwayat Pulang (Resume) atau dengan tanda tangan secara on-line (Bila perangkat lunak telah tersedia pada sistem rekam medis eletronik) (Electronik Signature). Berdasarkan diagnosis dan atau tindakan tersebut ahli kode (pada unit kerja MIK) akan menetapkan nomor kode sesuai standar klasifikasi yang ditetapkan pemerintah atau sesuai disiplin atau tindakan (Menggunakan kode tambahan yang tergabung dalam keluarga sistem klasifikasi ICD yaitu (a) International Classification of Diseases for Oncology (ICDO) untuk sandar klasifikasi internasional onkologi, (b) International Classification of Functioning, Disability and Health (ICF) untuk disabilitas dan disfungsi tubuh dan kesehatan, (c) Application of the International Classification of Diseases to Dentistry and Stomatology (ICD-DA) untuk gigi dan stomalogi, (d) Application of the International Classification of Diseases to Rheumatology and Orthopaedic (ICD-R&O), termasuk International Classification of Musculoskeletal Disorder (ICDMSD), (e) International Classification for Health Inteventions (ICHI) untuk tindakan/intervensi sebagai pengganti International Classification of Prosedures in Medicine (ICOPIM). Kesemua buku tersebut dapat melengkapi klasifikasi ICD atau standar klasifikasi international penyakit (morbiditas dan mortalitas) yang dibakukan pemerintah. Maupun menggunakan buku yang dikeluarkan profesi psikiatri di AS yaitu Diagnostic and Statical of Mental Disorders (DSM) untuk gannguan kejiwaan). Informasi kode ini diteruskan unit kerja MIK kepada pihak asuransi. Adakalanya pihak asuransi membuuhkan copy tentang keterangan tertentu rekam medis pasien bersama dengan tagihan (klaim). Tidak dibenarkan rumh sakit mengambil diagnosis kerja dari ruang perawatan sebagai diagnosis akhir dan meneruskannya ke pihak asuransi, padahal pasien belum pulang perawatan.1.3 Pengguna rekam medis sekunder lainnyaKantor pasien, pengacara, periset atau investigator klinis, wartawan kesehatan, pengambil kebijakan. Lazimnya pihak penanggung lainnya (akreditor) perlu menganalisis tagihan perawatan yang diajukan oleh kantor tempat pasien bekerja. Akreditor membutuhkan informasi kondisi sakit pasien dari rekam medis untuk klaim (misalnya asuransi tenaga kerja) terutama bila terjadi penyakit akibat suatu kondisi buruk atau efek sampingan.Isi Rekam MedisRekam medik rumah sakit merupakan komponen penting dalam pelaksanaan kegiatan manajemen rumah sakit, rekam medik rumah sakit harus mampu menyajikan informasi lengkap tentang proses pelayanan medis dan kesehatan di rumah sakit, baik dimasa lalu, masa kini maupun perkiraan masa datang tentang apa yang akan terjadi. Aspek Hukum Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang pengisian rekam medik dapat memberikan sanksi hukum bagi rumah sakit atau petugas kesehatan yang melalaikan dan berbuat khilaf dalam pengisian lembar-lembar rekam medik (Permenkes, 1992: 27).a. Data MedikData medik dihasilkan sebagai kewajiban pihak pelaksana pelayanan medis, paramedik dan ahli kesehatan yang lain (paramedis keperawatan dan para non keperawatan). Mereka akan mendokumentasikan semua hasil pemeriksaan dan pengobatan pasien dengan menggunakan alat perekam tertentu, baik secara manual dengan komputer. Jenis rekamnya disebut dengan rekam medik (Permenkes, 1992: 28)

Petunjuk teknis rekam medik rumah sakit sudah tersusun tahun 1992 dan diedarkan ke seluruh organisasi Rumah Sakit di Indonesia. Ada dua jenis rekam medik rumah sakit (Permenkes, 1992: 28). Yaitu :1. Rekam medis untuk pasien rawat jalan termasuk pasien gawat daruratBerisi identitas pasien, hasil anemnesis (keluhan utama, riwayat sekarang, riwayat penyakit yang pernah diderita, riwayat keluarga tentang penyakit yang mungkin diturungkan atau yang ditularkan diantara keluarga), hasil pemeriksaan, (fisik laboratorium, pemeriksaan kasus lainnya), diagnostik karja, dan pengobatan atau tindakan, pencatatan data ini harus diisi selambat-lambatnya 1 x 24 jam setelah pasien diperiksa.2. Rekam medik untuk pasien rawat inapHampir sama dengan isi rekam medis untuk pasien rawat jalan, kecuali persetujuan pengobatan atau tindakan, catatan konsultasi, catatan perawatan oleh perawat dan tenaga kesehatan lainnya, catatan observasi klinik, hasil pengobatan, resume akhir, dan evaluasi pengobatan.3. Pendelegasian membuat Rekam MedisSelain dokter dan dokter gigi yang membuat/mengisi rekam medis, tenaga kesehatan lain yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien dapat membuat/mengisi rekam medis atas perintah/ pendelegasian secara tertulis dari dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran.b. Data UmumData umum dihasilkan oleh kelompok kegiatan non medik yang akan mendukung kegiatan kelompok data medik di poliklinik. Beberapa contoh kegiatan Poliklinik adalah kegiatan persalinan, kegiatan radiology, kegiatan perawatan,kegiatan pembedahan, kegiatan laboratorium dan sebagainya. Data umum pendukung didapatkan dari kegiatan pemakaian ambulans, kegiatan pemesanan makanan, kegiatan kepegawaian, kegiatan keuangan dan sebagainya (Permenkes, 1992: 28)

Tata Cara Penyelenggaraan Rekam Medisa. Pembuatan1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib rnembuat rekam medis.2. Rekam medis sebagaimana harus dibuat segera dan dilengkapi setelah pasien menerima pelayanan.3. Pembuatan rekam medis dilaksanakan melalui pencatatan dan pendokumentasian hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah dberikan kepada pasien.4. Setiap pencatatan ke dalam rekam medis harus dibubuhi ama, waktu dan tanda tangn dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan secara langsung.5. Dalam hai terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan pada rekam medis dapat dilakukan pembetulan.6. Pembetulan hanya dapat dilakukan dengan cara pencoretan tanpa menghilangkan catatan yang dibetulkan dan dibubuhi paraf dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang bersangkutan.7. Dokter, dokter gigi dan/atau tenaga kesehatan tertentu bertanggungjawab atas catatan dan/atau dokumen yang dibuat pada rekam medis.b. Penyimpanan Dan Pemusnahan1. Rekam medis pasien rawat inap di rumah sakit wajib disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat atau dipulangkan.2. Setelah batas waktu 5 (lima) tahun dilampaui, rekam medis dapat dimusnahkan, kecuali ringkasan pulang dan persetujuan tindakan medik.3. Ringkasan pulang dan persetujuan tindakan medik harus disimpan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung dari tanggal dibuatnya ringkasan tersebut.4. Penyimpanan rekam medis dan ringkasan dilaksanakan oleh petugas yang ditunjuk oleh pimpinan sarana pelayanan kesehatan.5. Rekam medis pada sarana pelayanan kesehatan non rumah sakit wajib disimpan sekurangkurangnya untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat.6. Setelah batas waktu, rekam medis dapat dimusnahkan.

c. Kerahasiaan1. Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan pasien harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu, petugas pengelola dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan2. Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal :1. untuk kepentingan kesehatan pasien;2. memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hokum atas perintah pengadilan;3. permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri4. permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan5. untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien. Dengan syarat harus dilakukan secara tertulis kepada pimpinan sarana pelayanan kesehatan6. Penjelasan tentang si rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien dengan izin tertulis pasien atau berdasarkan peraturan perundang-undangan7. Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat menjelaskan isi rekam medis secara tertulis atau langsung kepada pemohon tanpa izin pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan.d. Kepemilikan1. Berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan2. Isi rekam medis merupakan milik pasien3. Isi rekam medis dalam bentuk ringkasan rekam medis4. Ringkasan rekam medis dapat diberikan, dicatat, atau dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atau atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasien yang berhak untuk itu5. pertanggung jawabanPimpinan sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas hilang, rusak, pemalsuan, dan/atau penggunaan oleh orang atau badan yang tidak berhak terhadap rekam medis.Aspek Hukum, Disiplin, Etik dan Kerahasiaan Rekam MedisRekam medis dapat melindungi minat hukum (legal interest) pasien, rumah sakit, dan dokter serta staff rumah sakit bila ketiga belah pihak melengkapi kewajibannya masing-masing terhadap berkas rekam medis.Dasar hukum rekam medis di Indonesia :1. Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran2. Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan3. Keputusan Menteri Kesehatan No.034/Birhub/1972 tentang Perencanaan dan Pemeliharaan Rumkit dimana rumah sakit di wajibkan: Mempunyai dan merawat statistic yang up to date Membina rekam medis berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan4. Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/Menkes/Per/xii/89 tentang rekam medisRekam Medis Sebagai Alat BuktiRekam medis dapat digunakan sebagai salah satu alat bukti tertulis di pengadilan.Kerahasiaan Rekam MedisSetiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan kerahasiaan yang menyangkut riwayat penyakit pasien yang tertuang dalam rekam medis. Rahasia kedokteran tersebut dapat dibuka hanya untuk kepentingan pasien untuk memenuhi permintaan aparat penegak hukum (hakim majelis), permintaan pasien sendiri atau berdasarkan ketentuan undangan yang berlaku.Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, rahasia kedokteran (isi rekam medis) baru dapat dibuka bila diminta oleh hakim majelis di hadapan sidang majelis. Dokter dan dokter gigi bertanggung jawab atas kerahasiaan rekam medis sedangkan kepala sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab menyimpan rekam medis.Sanksi HukumDalam Pasal 79 UU Praktik Kedokteran secara tegas mengatur bahwa setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak membuat rekam medis dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah). Selain tanggung jawab pidana, dokter dan dokter gigi yang tidak membuat rekam medis juga dapat dikenakan sanksi secara perdata, karena dokter dan dokter gigi tidak melakukan yang seharusnya dilakukan (ingkar janji/wanprestasi) dalam hubungan dokter dengan pasien.Sanksi Disiplin dan EtikDokter dan dokter gigi yang tidak membuat rekam medis selain mendapat sanksi hukum juga dapat dikenakan sanksi disiplin dan etik sesuai dengan UU Praktik Kedokteran, Peraturan KKI, Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia (KODEKGI).Dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 16/KKI/PER/VIII/2006 tentang Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin MKDKI dan MKDKIP, ada tiga alternatif sanksi disiplin yaitu : Pemberian peringatan tertulis. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.Selain sanksi disiplin, dokter dan dokter gigi yang tidak membuat rekam medis dapat dikenakan sanksi etik oleh organisasi profesi yaitu Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Gigi (MKEKG).

4. Kegawatan MedikA. DefinisiPasien Gawat Medik1) Pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapat pertolongan secepatnya.2) Pasien Gawat Tidak DaruratPasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan darurat, misalnya kanker stadium lanjut.3) Pasien Darurat Tidak GawatPasien akibat musibah yang datang tiba-tiba, tetapi tidak mengancam nyawa dan anggota badannya, misanya luka sayat dangkal.4) Pasien Tidak Gawat Tidak DaruratMisalnya pasien dengan ulcus tropiurn, TBC kulit, dan sebagainya.5) Kecelakaan (Accident)Suatu kejadian dimana terjadi interaksi berbagai factor yang datangnya mendadak, tidak dikehendaki sehinga menimbulkan cedera (fisik, mental, dan sosial).6) CederaMasalah kesehatan yang didapat/dialami sebagai akibat kecelakaan.7) BencanaPeristiwa atau rangkaian peritiwa yang disebabkan oleh alam dan atau manusia yang mengakibatkan korban dan penderitaan manusia. kerugian harta benda, kerusakan Iingkungan, kerusakan sarana dan prasarana umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat dan pembangunan nasional yang memerlukan pertolongar. dan bantuan.B. Penanggulangan penderita gawat darurat (PPGD)Tujuan :1) Mencegah kematian dan cacat (to save life and limb) pada periderita gawat darurat, hingga dapat hidup dan berfungs kembali dalarn masyarakat sebagaimana mestinya.2) Merujuk penderita gawat darurat melalui sistem rujukan untuk memperoleh penanganan yang Iebih memadai.3) Menanggulangi korban bencana.C. Prinsip penanggulangan penderita gawat daruratKematian dapat terjadi bila seseorang mengalami kerusakan atau kegagalan dan salah satu sistem/organ di bawah ini yaitu :1.Susunan saraf pusat.2.Pernapasan.3.Kardiovaskuler.4.Hati.5.Ginjal.6.Pankreas.Kegagalan (kerusakan) sistem/organ tersebut dapat disebabkan oleh:1.Trauma/cedera.2.Infeksi.3.Keracunan (poisoning).4.Degenerasi (failure).5.Asfiksi.6.Kehilangan cairan dan elektrolit dalam jumlah besar (excessive loss of wafer and electrolit).7.Dan lain-lain.Kegagalan sistem susunan saraf pusat, kardiovaskuler, pernapasan dan hipoglikemia dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat (4-6 menit). sedangkan kegagalan sistem/organ yang lain dapat menyebabkan kematian dalam waktu yang lebih lama.Dengan demikian keberhasilan Penanggulangan Pendenta Gawat Darurat (PPGD) dalam mencegah kematian dan cacat ditentukan oleh:1.Kecepatan menemukan penderita gawat darurat.2.Kecepatan meminta pertolongan.3.Kecepatan dan kualitas pertolongan yang diberikan ditempat kejadian, dalam perjalanan kerumah sakit, dan pertolongan selanjutnya secara mantap di Puskesmas atau rumah sakit.D. Sistem penanggulangan penderita gawat daruratTujuan :Tercapainya suatu pelayanan kesehatan yang optimal, terarah dan terpadu bagi setiap anggota masyarakat yang berada daam keadaan gawat darurat.Upaya pelayanan kesehatan pada penderita gawat darurat pada dasarnya mencakup suatu rangkaian kegiatan yang harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu mencegah kematian atau cacat yang mungkin terjadi.Cakupan pelayanan kesehatan yang perlu dikembangkan meliputi:1) Penanggulangan penderita di tempat kejadian.2) Transportasi penderita gawat darurat dan tempat kejadian kesarana kesehatan yang lebih memadai.3) Upaya penyediaan sarana komunikasi untuk menunjang kegiatan penanggulangan penderita gawat darurat.4) Upaya rujukan ilmu pengetahuan,pasien dan tenaga ahli.5) Upaya penanggulangan penderita gawat darurat di tempat rujukan (Unit Gawat Darurat dan ICU).6) Upaya pembiayaan penderita gawat darurat.E. Pengaturan Penyelenggaraan Pelayanan Gawat DaruratKetentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur dalam pasal 51 UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal 4). Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang mampu. Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta). Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian pelayanan. Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase pra-rumah sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/ 1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari. Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik. Secara umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7 UU No.23/1992 tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang spesifik untuk pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit. Bentuk peraturan tersebut seyogyanya adalah peraturan pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sector kesehatan.F. Masalah Lingkup Kewenangan Personil dalam Pelayanan Gawat DaruratHal yang perlu dikemukakan adalah pengertian tenaga kesehatan yang berkaitan dengan lingkup kewenangan dalam penanganan keadaan gawat darurat. Pengertian tenaga kesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3 UU No.23/1992 tentang Kesehatan sebagai berikut: tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Melihat ketentuan tersebut nampak bahwa profesi kesehatan memerlukan kompetensi tertentu dan kewenangan khusus karena tindakan yang dilakukan mengandung risiko yang tidak kecil. Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenagakesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari tindakan seseorang yang tidak mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan pengobatan/perawatan, sehingga akibat yang dapat merugikan atau membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat dihindari, khususnya tindakan medis yang mengandung risiko. Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik diatur dalam pasal 50 UU No.23/ 1992 tentang Kesehatan yang merumuskan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan.6 Pengaturan di atas menyangkut pelayanan gawat darurat pada fase di rumah sakit, di mana pada dasarnya setiap dokter memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan medik termasuk tindakan spesifik dalam keadaan gawat darurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan maka yang bersangkutan harus menerapkan standar profesi sesuai dengan situasi (gawat darurat) saat itu.6,10 Pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit umumnya tindakan pertolongan pertama dilakukan oleh masyarakat awam baik yang tidak terlatih maupu yang terlatih di bidang medis. Dalam hal itu ketentuan perihal kewenangan untukmelakukan tindakan medis dalam undang-undang kesehatan seperti di atas tidak akan diterapkan, karena masyarakat melakukan hal itu dengan sukarela dan dengan itikad yang baik. Selain itu mereka tidak dapat disebut sebagai tenaga kesehatan karena pekerjaan utamanya bukan di bidang kesehatan. Jika tindakan fase pra-rumah sakit dilaksanakan oleh tenaga terampil yang telah mendapat pendidikan khusus di bidang kedokteran gawat darurat dan yang memang tugasnya di bidang ini (misalnya petugas 118), maka tanggungjawab hukumnya tidak berbeda dengan tenaga kesehatan di rumah sakit. Penentuan ada tidaknya kelalaian dilakukan dengan membandingkan keterampilan tindakannya dengan tenaga yang serupa.G. Masalah Medikolegal pada Penanganan Pasien Gawat DaruratHal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi hubungan hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat. Karena secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu bagi tenaga kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat. Menurut The American Hospital Association (AHA) pengertian gawat darurat adalah: An emergency is any condition that in the opinion of the patient, his family, or whoever assumes the responsibility of bringing the patient to the hospital-require immediate medical attention. This condition continuesuntil a determination has been made by a health care professional that the patients life or well-being is not threatened. Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat darurat walaupun sebenarnya tidak demikian.Sehubungan dengan hal itu perlu dibedakan antara false emergency dengan true emergency yang pengertiannya adalah: A true emergency is any condition clinically determined to require immediate medical care. Such conditions range from those requiring extensive immediate care and admission to the hospital to those that are diagnostic problems and may or may not require admission after work-up and observation. Untuk menilai dan menentukan tingkat urgensi masalah kesehatan yang dihadapi pasien diselenggarakanlah triage. Tenaga yang menangani hal tersebut yang paling ideal adalah dokter, namun jika tenaga terbatas, di beberapa tempat dikerjakan oleh perawat melalui standing order yang disusun rumah sakit. Selain itu perlu pula dibedakan antara penanganan kasus gawat darurat fase pra-rumah sakit dengan fase di rumah sakit. Pihak yang terkait pada kedua fase tersebut dapat berbeda, di mana pada fase pra-rumah sakit selain tenaga kesehatan akan terlibat pula orang awam, sedangkan pada fase rumah sakit umumnya yang terlibat adalah tenaga kesehatan, khususnya tenaga medis dan perawat. Kewenangan dan tanggungjawab tenaga kesehatan dan orang awam tersebut telah dibicarakan di atas. Kecepatan dan ketepatan tindakan pada fase pra-rumah sakit sangat menentukan survivabilitas pasien.H. Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat DaruratDi USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan perundang-undangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara sukarela beritikad baik menolong seseorang dalam keadaan gawat darurat.3,5 Dengan demikian seorang pasien dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang dialaminya. Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah :1.Kesukarelaan pihak penolong. Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan atau keinginan pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bila pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak berlaku.2.Itikad baik pihak penolong. Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang dilakukan penolong. Hal yang bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah keterampilan penolong. Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan karena diduga terdapatkekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab kerugiannya/cacat (proximate cause).5 Bila tuduhan kelalaian tersebut dilakukan dalam situasi gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut terjadi.2 Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang berkualifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula. Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perlu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersbut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis.

5. Patient SafetyHampir setiap tindakan medik menyimpan potensi resiko. Banyaknya jenis obat, jenis pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien dan staf Rumah Sakit yang cukup besar, merupakan hal yang potensial bagi terjadinya kesalahan medis (medical errors). Menurut Institute of Medicine (1999), medical error didefinisikan sebagai: The failure of a planned action to be completed as intended (error of execusion) or the use of a wrong plan to achieve an aim (error of planning). Artinya kesalahan medis didefinisikan sebagai: suatu Kegagalan tindakan medis yang telah direncanakan untuk diselesaikan tidak seperti yang diharapkan (yaitu kesalahan tindakan) atau perencanaan yang salah untuk mencapai suatu tujuan (yaitu kesalahan perencanaan). Kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis ini akan mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien, bisa berupa Near Miss atau Adverse Event (Kejadian Tidak Diharapkan/KTD).Near Miss atau Nyaris Cedera (NC) merupakan suatu kejadian akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang dapat mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi, karena keberuntungan (misalnya,pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat), pencegahan (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan), dan peringanan (suatu obat dengan overdosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidotenya).Adverse Event atau Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) merupakan suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), dan bukan karena underlying disease atau kondisi pasien.Kesalahan tersebut bisa terjadi dalam tahap diagnostic seperti kesalahan atau keterlambatan diagnose, tidak menerapkan pemeriksaan yang sesuai, menggunakan cara pemeriksaan yang sudah tidak dipakai atau tidak bertindak atas hasil pemeriksaan atau observasi; tahap pengobatan seperti kesalahan pada prosedur pengobatan, pelaksanaan terapi, metode penggunaan obat, dan keterlambatan merespon hasil pemeriksaan asuhan yang tidak layak; tahap preventive seperti tidak memberikan terapi provilaktik serta monitor dan follow up yang tidak adekuat; atau pada hal teknis yang lain seperti kegagalan berkomunikasi, kegagalan alat atau system yang lain.Dalam kenyataannya masalah medical error dalam sistem pelayanan kesehatan mencerminkan fenomena gunung es, karena yang terdeteksi umumnya adalah adverse event yang ditemukan secara kebetulan saja. Sebagian besar yang lain cenderung tidak dilaporkan, tidak dicatat, atau justru luput dari perhatian kita semua.Pada November 1999, the American Hospital Asosiation (AHA) Board of Trustees mengidentifikasikan bahwa keselamatan dan keamanan pasien (patient safety) merupakan sebuah prioritas strategik. Mereka juga menetapkan capaian-capaian peningkatan yang terukur untuk medication safety sebagai target utamanya. Tahun 2000, Institute of Medicine, Amerika Serikat dalam TO ERR IS HUMAN, Building a Safer Health System melaporkan bahwa dalam pelayanan pasien rawat inap di rumah sakit ada sekitar 3-16% Kejadian Tidak Diharapkan (KTD/Adverse Event). Menindaklanjuti penemuan ini, tahun 2004, WHO mencanangkan World Alliance for Patient Safety, program bersama dengan berbagai negara untuk meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit.Di Indonesia, telah dikeluarkan pula Kepmen nomor 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, yang tujuan utamanya adalah untuk tercapainya pelayanan medis prima di rumah sakit yang jauh dari medical error dan memberikan keselamatan bagi pasien. Perkembangan ini diikuti oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) yang berinisiatif melakukan pertemuan dan mengajak semua stakeholder rumah sakit untuk lebih memperhatian keselamatan pasien di rumah sakit.Mempertimbangkan betapa pentingnya misi rumah sakit untuk mampu memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik terhadap pasien mengharuskan rumah sakit untuk berusaha mengurangi medical error sebagai bagian dari penghargaannya terhadap kemanusiaan, maka dikembangkan system Patient Safety yang dirancang mampu menjawab permasalahan yang ada.