Upload
andina-kluniari
View
303
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
Urolitiasis merupakan penyakit yang salah satu dari gejalanya adalah pembentukan batu
di dalam saluran kemih. Penyakit ini diduga telah ada sejak peradaban manusia yang tua
karena ditemukan batu diantara tulang panggul kerangka mumi dari seorang berumur 16
tahun. Penyakit ini dapat menyerang penduduk diseluruh dunia tidak terkecuali
penduduk Indonesia. Angka kejadian ini tidak sama di berbagai belahan bumi. Di
negara-negara berkembang banyak ditemukan batu buli-buli sedangkan di negara maju
banyak dijumpai penyakit batu saluran kemih bagian atas. Hal ini karena adanya
pengaruh status gizi dan aktivitas pasien sehari-hari.1
Batu buli-buli adalah massa kristal yang terbentuk dari mineral dan protein, yang
biasanya terdapat urine. Batu pada daerah ini lebih jarang ditemukan dibandingkan batu
pada ginjal. Di amerika serikat 5-10% penduduknya menderita penyakit ini sedangkan
di seluruh dunia rata-rata terdapat 1-12% penduduk yang menderita batu saluran kemih.
Batu ini jarang ditemui pada anak-anak atau pada ras afro america. Batu buli-buli dapat
muncul dimana saja di sistem urinary sebelum menetap di buli-buli. Batu biasanya
berawal dari granula sebesar butir pasir yang kemudian menarik material-material urine
untuk melekat sehingga besarnya cukup untuk mengobstruksi aliran urine dan
mengakibatkan gejala nyeri. Batu ini dapat menggores dinding buli-buli dan
mengakibatkan perdarahan dan infeksi.1,2
Etiologi dari pembentukan batu buli-buli tidak sepenuhnya dimengerti. Batu
buli-buli biasanya ditemukan pada infeksi saluran kencing, obtruksi saluran kencing,
pembesaran kelenjar prostate pada pria, atau ditemukannya benda asing pada saluran
kencing. Makanan dan konsumsi air merupakan faktor yang penting dalam
pembentukan batu buli-buli. Penyakit ini merupakan tiga penyakit terbanyak di bidang
urologi disamping infeksi saluran kemih dan pembesaran prostat benigna. 95 % dari
semua batu buli-buli terjadi pada pria, terutama pada pembesaran kelenjar prostate atau
infeksi saluran kencing.1,2,3
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Buli-Buli
Buli-buli adalah organ berongga yang terdiri dari atas 3 lapis otot detrusor yang saling
beranyaman. Di sebelah dalam adalah otot longitudinal, di tengah merupakan otot
sirkuler dan paling luar merupakan otot longitudinal. Mukosa buli-buli terdiri atas sel-
sel transisional yang sama seperti pada mukosa-mukosa pada pelvis renalis, ureter dan
uretra posterior. Pada dasar buli-buli kedua muara ureter dan meatus uretra internum
membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli.1,2
Secara anatomik, bentuk buli-buli terdiri atas 3 permukaan yaitu (1) permukaan
superior yang berbatasan dengan rongga peritoneum, (2) dua permukaan inferiolateral,
dan (3) permukaan posterior. Permukaan superior merupakan lokus minoris (daerah
terlemah) dinding buli-buli.1,2
Gambar buli-buli tampak posterior.
Buli-buli berfungsi menampung urin dari ureter dan kemudian mengeluarkannya
melalui uretra dalam mekanisme miksi (berkemih). Dalam menampung urin, buli-buli
mempunyai kapasitas maksimal, yang volumenya untuk orang dewasa kurang lebih
adalah 300-450 ml; sedangkan kapasitas buli-buli pada anak menurut formula Koff
adalah:1
Pada saat kosong, buli-buli terletak di belakang simfisis pubis dan pada saat
penuh berada diatas simfisis sehingga dapat di palpasi dan di perkusi. Buli-buli yang
terisi penuh memberikan rangsangan pada saraf aferen dan menyebabkan aktivasi pusat
miksi di medula spinalis segmen sakral S2-4. Hal ini akan menyebabkan kontraksi otot
2
Kapasitas Buli-buli = (Umur (tahun) + 2) x 30 ml
detrusor, terbukanya leher buli-buli, dan relaksasi sfingter uretra sehingga terjadilah
proses miksi.1
Arteri-arteri utama yang mengantar darah ke vesika urinaria/buli-buli adalah
cabang arteria iliaca interna. Arteria vesicalis superior memasok darah pada bagian
ventrokranial vesika urinaria. Pada laki-laki arteria vesikalis inferior mengantar darah
kepada fundus vesicae. Pada wanita arteria aginalis mengambil alih fungsi arteria
vesicalis inferior dan melepaskan cabang-cabang kecil ke bagian dorsokaudal vesica
urinaria. Arteria obturatoria dan arteria glutealis inferior juga melepaskan cabang-
cabang kecil ke vesika urinaria.1,2
Nama vena adalah sesuai dengan nama arteri yang diiringinya, dan merupakan
anak cabang vena iliaca interna. Pada laki-laki, plexus venosus vesicalis yang
bergabung dengan plexus venosus prostaticus, meliputi fundus vesicae dan prostata,
kedua vesicula seminalis, kedua ductus deferens, dan ujung kaudal kedua ureter. Plexus
venosus prostaticus yang merupakan anyaman yang rapat, menerima darah dari vena
dorsalis penis. Plexus venosus vesicalis menyalurkan isinya terutama ke vena iliaca
interna melalui vena vesicalis inferior, tetapi dapat juga menyalurkan darah ke plexus
venosi vertebrale melalui vena sacralis. Pada wanita, pleksus venosus vesikalis melputi
bagian uretra dalam pelvis dan cervix vesicae, dan menampung darah dari vena dorsalis
clitoridis serta berhubungan dengan plexus venosus vaginalis. 1,2
Pada kedua jenis kelamin pembuluh limfe meninggalkan permukaan kranial
vesika urinaria dan melintas ke nodi lymphoidei iliaci externi, sedangkan yang berasal
dari permukaan posteroinferir melintas ke nodi lymphoidei iliaci ineterni. Beberapa
pembuluh limfe dari cervix vesicae ditampung dalam nodi lymphoidei sacrales atau
iliaci communes.1,2,4
Serabut parasimpatis untuk vesica urinaria berasal dari nervi splanchnici pelvici
(nervi erigentes). Serabut ini berfungsi sebagai perangsang muskulus detrusor dan
sebagai penghambat sphincter internus. Karena itu, jika serabut ini terangsang karena
peregangan, vesika urinaria berkontraksi, sphincter internus mengendur dan urin
mengalir ke dalam uretra. Serabut simpatis untuk vesica urinaria berasal dari nervi
thoracici XI-XII, dan nervi lumbales I-II. Saraf-saraf untuk inervasi vesica urinaria
membentuk plexus venosus vesicalis yang mengandung seabut simpatis dan
parasimpatis. Plexus venosus vesicalis merupakan lanjutan plexus hypogastricus
3
inferior (plexus pelvicus). Serabut sensoris daro vesica urinaria besifat visceral dan
menyalurkan perasan sakit, seperti yang disebabkan oleh peregangan berlebih. 1,2
2.2 Epidemiologi
Dikatakan terdapat perbedaan insiden penyakit ini menurut geografi dan gaya hidup.
Data dari Indonesia hingga saat ini belum didapatkan. Akan tetapi data yang
dikumpulkan dari Thailand menunjukkan terdapat 35,6 orang dari 100.000 orang yang
dirawat dirumah sakit memiliki batu saluran kencing. Dari data ini ditemukan ras China
memiliki insiden lebih rendah jika dibandingkan dengan penduduk asli Thailand.
Penelitian ini juga menemukan perbedaan insiden antara penduduk desa dan kota.
Penduduk kota memiliki insiden yang lebih tinggi begitu pula penduduk dengan sosial
ekonomi rendah.3 Penelitian yang dilakukan di Boston pada anak anak menemukan
penyebab tersering batu buli-buli adalah kelainan kongenital pada ginjal, adanya benda
asing di buli-buli, infeksi terutama oleh Proteus sp.4,5
2.3 Etiologi
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran
urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain
yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara epidemiologi terdapat beberapa faktor
yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih pada seseorang antara lain: (1) faktor
intrinsik yaitu keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan (2) faktor ekstrinsik yaitu
pengaruh yang berasal dari lingkungan disekitarnya. 1,2
Faktor intrinsik itu antara lain adalah:
1. herediter (keturunan): penyakit ini diduga diturunkan dari orangtuanya.
2. Umur: penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun.
3. Jenis kelamin: jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak daripada pasien
perempuan.
Beberapa faktor ekstrinsik diantaranya:
1. Geografi: pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran
kemih yang lebih tingi daripada di daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah
stone belt (sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di Afrika Selatan hampir tidak
dijumpai penyakit batu saluran kemih.
2. Iklim dan temperatur.
4
3. Asupan air: kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air
yang dikonsumsi dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.
4. Diet: diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit
batu saluran kemih.
5. Pekerjaan: penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak
duduk atau kurang aktivitas atau sedentary life.
2.4 Pembentukan Batu Saluran Kemih
2.4.1 Teori Pembentukan Batu Saluran Kemih
Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada tempat-
tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasis urine) yaitu pada sistem
kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises (stenosis
uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti pada hiperplasia prostat
benigna, striktura dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang
memudahkan terjadinya pembentukan batu.1,2,5
Batu terdiri dari kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun
bahan anorganik yang telarut di dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam
keadan metastable (tetap terlarut) dalam urine jika tidak ada keadaan-keadan tertentu
yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal. Kristal-kristal yang saling mengadakan
presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi,
dan menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal-kristal yang lebih besar.
Meskipun ukurannya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan belum cukup mampu
membuntu saluran kemih. Untuk itu agregat kristal menempel pada epitel saluran kemih
(membentuk retensi kristal) dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu
sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih. 1,2
Kondisi metastable dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya koloid dalam
urine, konsentrasi solut di dalam urine, laju aliran urine di dalam saluran kemih atau
adanya korpus alienum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu. Lebih
dari 80% batu saluran kemih terdiri atas batu kalsium baik yang berikatan dengan
oksalat maupun fosfat, membentuk batu kalsium oksalat dan batu kalsium fosfat;
sedangkan sisanya berasal dari batu asam urat, batu magnesium amonium fosfat (batu
infeksi), batu xanthyn, batu sistein dan batu jenis lainnya. Meskipun patogenesis
pembentukan batu-batu diatas hampir sama, tetapi suasana di saluran kemih yang
5
memungkinkan terbentuknya jenis batu itu tdak sama. Dalam hal ini misalkan batu
asam urat mudah terbentuk dalam suasana asam, sedangkan batu magnesium amonium
fosfat terbentk karena urine bersifat basa.1
2.4.2 Penghambat Pembentukan Batu Saluran Kemih
Terbentuk atau tidaknya batu di dalam saluran kemih ditentukan juga oleh adanya
keseimbangan antara zat-zat pembentuk batu dan inhibitor yaitu zat-zat yang dapat
mampu mencegah timbulnya batu. Dikenal beberapa zat yang dapat menghambat
terbentuknya batu saluran kemih, yang bekerja mulai dari proses reabsorpsi kalsium di
dalam usus, proses pembentukan inti batu atau kristal, proses agregasi kristal hingga
retensi kristal. Ion magnesium (Mg++) dikenal dapat menghambat pembentukan batu
karena jika berikatan dengan oksalat, membentuk garam magnesium oksalat sehingga
jumlah oksalat yang akan berikatan dengan kalsium (Ca++) untuk membentuk kalsium
oksalat menurun. Demikian pula sitrat jika berikatan dengan ion kalsium membentuk
garam kalsium sitrat, sehingga jumlah kalsium yang akan berikatan dengan oksalat atau
fosfat berkurang. Hal ini menyebabkan kristal kalsium oksalat atau kalsium fosfat
jumlahnya berkurang.1
Beberapa protein atau senyawa organik lain mampu bertindak sebagai inhibitor
dengan cara menghambat pertumbuhan kristal, menghambat agregasi kristal, maupun
menghambat retensi kristal. Senyawa itu antara lain adalah: glikosaminoglikan (GAG),
protein Tamm Horsfall (THP) atau uromukoid, nefrokalsin dan osteopontin. Defisiensi
zat-zat yang berfungsi sebagai inhibitor batu merupakan salah satu faktor penyebab
timbulnya batu saluran kemih. 1,2
2.4.3 Komposisi Batu
Batu saluran kemih umumnya mengandung unsur: kalsium oksalat atau kalsium fosfat,
asam urat, magnesium amonium fosfat (MAP), xanthyn, dan sistin, silikat dan senyawa
lainnya. Data mengenai kandungan/komposisi zat yang tedapat pada batu sangat penting
untuk usaha pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya batu residif.1
1. Batu Kalsium
Batu jenis ini paling banyak dijumpai, yaitu kurang lebih 70-80% dari seluruh
batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri dari kalsium oksalat,
kalsium fosfat, atau campuran dari kedua unsur tersebut.
6
Faktor terjadinya batu kalsium adalah:
Hiperkalsiuri yaitu kadar kalsium di dalam urine lebih besar dari 250-300
mg/24 jam. Menurut Pak (1976) terdapat 3 macam penyebab terjadinya
hiperkalsiuri, antara lain:
o Hiperkalsiuri absorbtif yang terjadi karena adanya peningkatan
absorbsi kalsium melalui usus.
o Hiperkalsiuri renal terjadi karena adanya gangguan kemampuan
reabsorbsi kalsium melalui tubulus ginjal.
o Hiperkalsiuri resorptif terjadi karena adanya peningkatan resorpsi
kalsium tulang yang banyak terjadi pada hiperparatiroidisme
primer atau pada tumor paratiroid.
Hiperoksaluri adalahekskresi oksalat urine yang melebihi 45 gram per
hari. Keadaan ini banyak dijumpai pada pasien yang mengalami
gangguan pada usus sehabis menjalani pembedahan usus dan pasien
yang banyak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung oksalat
diantaranya adalah teh, kopi instan, minuman soft drink, kokoa, arbei,
jeruk sitrun dan sayuran berwarna hijau terutama bayam.
Hiperurikosuria adalah kadar asam urat di dalam urine yang melebihi
850 mg/24 jam. Asam urat yang berlebihan dalam urine bertindak
sebagai inti batu/nidus untuk terbentuknya batu kalsium oksalat. Sumber
asam urat di dalam urine berasal dari makanan yang banyak mengandung
purin maupun berasal dari metabolisme endogen.
Hipositraturia. Di dalam urine, sitrat bereaksi dengan kalsium
membentuk kalsium sitrat, sehingga menghalangi ikatan kalsium dengan
oksalat atau fosfat. Hal ini dimungkinkan karena ikatan kalsium sitrat
lebih mudah larut daripada kalsium oksalat. Oleh karena itu sitrat dapat
berfungsi sebagai penghambat pembentukan batu kalsium. Hipositraturia
dapat terjadi pada: penyakit asidosis tubuli ginjal atau Renal Tubular
Acidosis, sindrom malabsorbsi, atau pemakaian diuretik golongan
thiazide dalam jangka waktu yang lama.
Hipomagnesuria. Sepeti halnya pada sitrat, magnesium bertindak sebagai
penghambat timbulnya batu kalsium, karena di dalam urine magnesium
7
bereaksi dengan oksalat membentuk magnesium oksalat sehingga
mencegah ikatan kalsium dengan oksalat. Penyebab tersering
hipomagnesuria adalah penyakit inflamasi usus (inflamatory bowel
disease) yang diikuti dengan gangguan malabsorbsi.
2. Batu Struvit1,6
Batu struvit disebut juga batu infeksi karena terbentuknya batu ini disebabkan
oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi ini adalah kuman
golongan pemecah urea atau urea splitter yang dapat menghasilkan enzim urease
dan merubah urine menjadi bersuasana basa melalui hidrolisis urea menjadi
amoniak seperti pada reaksi:
Suasana basa ini yang memudahkan garam-garam magnesium, amonium, fosfat
dan karbonat membentuk batu magnesium amonium fosfat (MAP) atau
(MgNH4PO4H2O) dan karbonat apatit (Ca10[PO4]6CO3. Karena terdiri atas 3
kation (Ca++Mg++ dan NH4+) batu ini dikenal sebagai batu triple-phosphate.
Kuman-kuman yang termasuk pemecah urea diantaranya adalah: Proteus
spp, Klebsiella, Enterobakter, Pseudomonas, dan Stafilokokus. Meskipun E coli
banak meninbulkan infeksi saluran kemih akan tetapi kuman ini bukan termasuk
pemecah urea.
3. Batu Asam Urat1,2,6
Batu asam urat merupakan 5-10% dari seluruh batu saluran kemih. Diantara 75-
80% batu asam urat terdiri atas asam urat murni dan sisanya merupakan
campuran kalsium oksalat. Penyakit batu asam urat banyak diderita oleh pasien-
pasine penyakit Gout, pasien yang mendapatkan terapi antikanker, dan yang
banyak mempergunakan obat urikosurik diantaranya adalah sulfinpirazone,
thiazide, dan salisilat. Kegemukan, peminum alkohol dan diet tinggi protein
mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan penyakit ini.
Sumber asam urat berasal dari diet yang mengandung purin dan
metabolisme endogen di dalam tubuh. Degradasi purin di dalam tubuh melalui
asam inosinat dirubah menjadi hipoxantin. Dengan bantuan enzim xanthin
oksidase, hipoxanthin dirubah menjadi xanthin yang akhirnya dirubah menjadi
asam urat. Pada mamalia lain dan dalmation, mempunyai enzim urekase yang
dapat merubah asam urat menjadi allantoin yang larut di dalam air. Pada
8
CO(NH2)2 + H2O 2NH3 + CO2
manusia karena tidak mempunyai enzim itu, asam urat diekskresikan ke dalam
urin dalam bentuk asam urat bebas dan garam urat yang lebih sering berikatan
dengan natrium membentuk natirum urat. Natrium urat lebih mudah larut dalam
air dibandingkan dengan asam urat bebas sehingga tidak mungkin mengadakan
kristalisasi di dalam urine.
Asam urat relatif tidak larut dalam urine sehingga pada keadaan tertentu
mudah sekali membentuk kristal asam urat, dan selanjutnya membentuk batu
asam urat. Faktor yang menyebabkan terbentuknya batu asam urat adalah (1)
urine yang terlalu asam (pH urine <6), (2) volume urine yang jumlahnya sedikit
(<2 liter per hari) atau dehidrasi, (3) hiperurikosuri atau kadar asam urat yang
tinggi.
Ukuran batu asam urat bervariasi mulai dari ukuran kecil sampai ukuran
besar sehingga membentuk batu Staghorn yang mengisi seluruh pelvikalises
ginjal. Tidak seperti batu jenis kalsium yang bentuknya bergerigi, batu asam urat
bentuknya halus dan bulat sehingga pada pemeriksan PIV tampak sebagai
bayangan filling defect pada saluran kemih sehingga seringkali harus dibedakan
dengan bekuan darah, bentkan papila ginjal yang nekrosis, tumor, atau bezoar
jamur. Pada pemeriksaan USG memberikan gambaran bayangan akustik
(acoustic shadowing).
Untuk mencegah timbulnya kembali batu asam urat setelah terapi adalah
dengan minum banyak, alkalinisasi urine dengan mempertahankan pH diantara
6,5-7 dan menjaga jangan terjadi hiperurikosuria dengan mencegah terjadinya
hiperurisemia. Setiap pagi pasien dianjurkan untuk memeriksa pH urine dengan
kertas nitrazin, dan dijaga supaya produksi urine tidak kurang dari 1500-2000 ml
per hari. Dilakukan pemeriksaan kadar asam urat secara berkala, dan jika terjadi
hiperurisemia harus diterapi dengan obat-obatan inhibitor xanthin oksidase yaitu
allopurinol.
4. Batu Jenis Lain
Batu sistin, batu xanthin, batu triamteren dan batu silikat sangat jarang dijumpai.
Batu sistin didapatkan karena kelainan metabolisme sistin yaitu kelainan dalam
absorbsi sistin di mukosa usus. Demikian batu xanthin terbentuk karena penyakit
bawan berupa defisiensi enzim xanthin oksidase yang mengkatalisis perubahan
9
Batu yang dikeluarkan dari buli-buli
hipoxanthin menjadi xanthin dan xanthin menjadi asam urat. Pemakaian antasida
yang mengandung silikat (magnesium silikat atau aluminometilsalisilat) yang
berlebihan dan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan timbulnya batu
silikat.
2.5 Penegakan Diagnosis
2.5.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Untuk menegakkan diagnosis batu buli-buli seorang dokter dituntut untuk dapat
melakukan pemeriksaan dengan seksama dan sistematik mulai dari pemeriksaan
subyektif yaitu mencermati keluhan yang disampaikan oleh pasien yang digali melalui
anamnesis yang sistematik mencakup keluhan utama pasien, riwayat penyakit lain yang
pernah dideritanya, maupun yang pernah diderita oleh keluarganya dan riwayat penyakit
yang diderita saat ini. Batu buli-buli sering terjadi pada pasien yang menderita
gangguan miksi atau terdapat benda asing di buli-buli.6,7
Pasien dengan batu buli-buli dapat sepenuhnya asimptomatik. Gejala khas pada
batu buli-buli adalah berupa gejala iritasi seperti urgensi yaitu rasa sangat ingin kencing.
Keadaan ini akibat hiperiritabilitas dan hiperaktivitas buli-buli karena inflamasi,
terdapat benda asing dalam buli-buli, adanya obstuksi infravesika, atau karena kelainan
buli-buli nerogen. Keluhan biasanya muncul dalam bentuk nyeri pada regio suprapubik
yang dapat bersifat tumpul atau tajam yang diperparah dengan meningkatnya aktifitas. 6,7
Frekuensi atau polakisuria yaitu suatu keadaan dimana frekuensi berkemih lebih
dari normal. Setiap hari, orang normal rata-rata berkemih 5 hingga 6 kali sehari dengan
volume kurang lebih 300ml setiap miksi. Polakisuria dapat disebabkan karena produksi
urin yang berlebihan atau kapasitas buli-buli yang menurun sehingga pada waktu buli-
buli terisi pada volume yang belum mencapai kapasitasnya sudah terjadi rangsangan
miksi. Nokturia merupakan polakisuria yang terjadi pada malam hari.6
Gejala yang lain adalah disuria yaitu nyeri pada saat miksi terutama karena
inflamasi pada buli-buli dan uretra. Nyeri ini dirasakan di sekitar meatus uretra
eksternus, skrotum, perineum, punggung atau pinggang. Disuria pada penderita batu
buli-buli terjadi pada akhir miksi. Rasa tidak lampias saat miksi dan miksi yang
tersendat –sendat juga sering dikeluhkan oleh pasien. Pada pemeriksaan fisik dapat
teraba vesika urinaria yang penuh pada region suprapubik akibat retensi urin dan nyeri
tekan suprasimfisis.6
10
2.5.2 Pemeriksaan Penunjang6,7
a. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis merupakan pemeriksaan yang sering dikerjakan pada
kasus urologi meliputi uji makroskopik, dengan menilai warna, bau, dan
berat jenis urin. Kimiawi meliputi pemeriksaan derajat keasaman, protein,
dan gula dalam urin. Mikroskopik mencari kemungkinan adanya sel-sel, cast
atau bentukan lain dalam urin. Urin mempunyai pH yang bersifat asam yaitu
rata-rata 5,5-6,5. Jika didapatkan pH yang relatif basa kemungkinan terjadi
infeksi bakteri oleh baktri pemecah urea, sedangkan bila pH terlalu asam
kemungkinan terjadi asidosis pada tubulus ginjal atau terdapat batu asam
urat. Selain itu dapat ditemukan hematuri baik mikros ataupun makros,
pyuria, bakteriuri dan kultur urine yang memperlihatkan gambaran adanya
organisme pemecah urea.
b. Pemeriksaan Darah
- Darah rutin
Pemeriksaan darah rutin terdiri atas pemeriksaan kadar hemoglobin, lekosit,
laju endap darah, hitung jenis lekosit, dan hitung trombosit
- Elektrolit : Na, K, Ca, P
Pemeriksaan elektrolit berguna untuk mengetahui faktor predisposisi
pembentukan batu saluran kemih antara lain : fosfat, kalsium,magnesium.
Selain itu untuk mendeteksi adanya sindroma para neoplastik yang terjadi
pada tumor grawitz
c. Foto Polos Abdomen
Merupakan foto skrining untuk menilai kelainan-kelainan urologi.
ditemukannya bayangan opak dalam sistem urinaria mulai dari ginjal, ureter
hingga ke buli-buli. Bedakan dengan kalsifikasi pembuluh darah, flebolit,
atau feses yang mengeras. Akan tetapi kebanyakan batu pada orang dewasa
tersusun dari asam urat yang radioluscent sehingga diperlukan pemeriksaan
ultrasonografi, CT scan tanpa kontras atau sitoskopi untuk mengkonfirmasi
keberadaan batu.
11
Gambaran radioopak pada foto polos abdomen
Gambaran Sitoskopi
d. USG
Ultrasonografi banyak dipakai untuk mencari kelainan-kelainan pada ginjal,
buli-buli, prostat, testis dan pemeriksaan pada kasus keganasan. Pada buli-
buli, USG berguna untuk menghitung sisa urin pasca miksi dan mendeteksi
adanya batu atau tumor buli-buli yang tidak bisa terlihat dengan foto polos
abdomen.
e. Sistografi
Sistografi adalah pencitraan buli-buli dengan memakai kontras. Foto ini
dapat dikerjakan dengan beberapa cara antara lain : melalui foto IVP,
memasukkan kontras melalui kateter uretra langsung ke buli-buli,
memasukkan kateter melalui kateter sistostomi atau melalui pungsi
suprapubik. Dari sistogram dapat dikenali adanya tumor atau bekuan darah
di dalam buli-buli yang ditunjukkan oleh adanya filling defect, adanya
robekan buli-buli yang terlihat sebagai ekstravasasi kontras keluar dari buli-
buli, adanya divertikel buli-buli, buli-buli neurogenik dan kelainan buli-buli
yang lain. Pemeriksaan ini juga dapat untuk menilai inkontinensia stess pada
wanita dan adanya refluks vesikoureter.
12Gambaran bayangan radioopak pada VU dengan IVP
Gambar endoskopi dari batu buli-buli
2.6 Penanganan
Penanganan kasus batu buli-buli dapat secara konservatif dengan obat-obatan
maupun pembedahan.3,4,5
a. Pelarutan
Jenis batu yang memang dapat dilarukan adalah jenis batu asam urat. Batu ini
hanya teradi pada keadaan pH air kemih yang asam (pH 6,2) sehingga dengan
pemberian bikarbonas natrikus disertai dengan makanan alkalis, batu asam urat
diharapkan dapat larut. Pelarutan batu buli-buli menjadi mungkin jika pH urin diatas
sama dengan 6,5. Potasium sitrat dapat pula dijadikan pilihan Akan tetapi alkalinisasi
urin yang terlalu agresif dapat mengakibatkan deposit kalsium fosfat pada permukaan
batu yang akan memeperburuk kondisi Pada batu asam urat penting pula mengkoreksi
etiologi kadar asam urat air kemih dan darah dengan bantuan alopurinol, usah ini cukup
memberikan hasil yang baik. 3,4,5
Batu struvit tidak dapat dilarutkan tetapi dapat dicegah pembesannya bila
diberikan pengobatan dengan pengasaman kemih dan pemberian antiurease. Renacidin
dikatakan dapat dipakai untuk melarutkan batu fosfat atau struvit, akan tetapi
pengobatannya lama dan invasif karena harus dikombinasikan dengan kateter irigasi.
Pasien juga harus dimonitor ketat tanda-tanda sepsis atau hipermagnesemia Bila
terdapat kuman harus dibasmi. Akan tetapi kuman yang terdapat pada urolitiasis sulit
untuk dibasmi karena kuman berada di dalam batu yang tidak pernah dapat dicapai oleh
antibiotik. 3,4,5
Solutin G adalah obat yang langsung dapat diberikan kebatu di kandung kemih.
Selain solutin G, juga dipakai obat hemiasidrin untuk batu di ginjal dengan cara irigasi,
tetapi hasilnya kurang memuaskan, kecuali untuk batu sisa pasca bedah yang
13
dapatdiberikan melalui nefrostomi yang terpasang. Kemungkinan penyulit dengan
pengobatan seperti ini adalah intoksikasi atau infeksi yang lebih berat.
b. Litotripsi
Pemecahan batu atau litotripsi telah mulai dilakukan sejak lama dengan cara
buta, tetapi dengan kemajuan teknik endoskopi dapat dilakukan dengan cara lihat
langsung. Untuk batu kandung kemih, batu dipecahkan menggunakan litotriptor secara
mekanis melalui sistoskop atau memakai gelombang elektrohidrolik atau ultrasonik.
Litotriptor hanya dapat memecahkan batu dalam batas ukuran 3 cm ke bawah. ESWL
(extracorporeal shock wave litotripsy) dapat digunakan untuk memecahkan batu tanpa
perlukaan di tubuh sama sekali. Gelombang kejut dialirankan melalui air ke tubuh dan
dipusatkan pada batu yang akan dipecah. Batu akan hancur dan keluar bersama kemih.
ESWL dilakukan tanpa tindak bedah apapun. 3,4,5
c. Pembedahan
Pembedahan dijadikan pilihan jika terjadi kegagalan pada pengobatan
konservatif, infeksi rekuren, retensi urin akut, gross hematuria. Sejak jaman
Hippocrates, batu buli-buli diterapi dengan teknik insisi pada suprapubic atau insisi
perineal. Tidak adanya antibiotic dan kontrol hemostatik yang adekuat pada saat itu
membuat angka morbiditas dan mortalitas teknik ini sangat tinggi. Bahkan dengan
diperkenalkannya sitoskopi pada tahun 1877, trauma pada buli-buli tetap menjadi
resiko. 3,4,5
Saat ini dikenal 3 teknik pembedahan, pertama adalah transurethral
sitolitolapaksi. Setelah posisi batu diketahui dengan menggunakan sitoskopi, energi
seperti lithocast, ultrasonic, electrohidrolik, dan laser diaplikasikan pada batu sehingga
memecahnya menjadi fragmen-fragmen yang dapat keluar melalui sitoskopi Teknik
kedua, percutaneus suprapubic sistolitolapksi adalah teknik yang banyak digunakan
pada anak-anak. Teknik ini memungkinkan pemakaian endoskopi yang lebih pendek
dengan diameter yang lebih besar, biasanya dengan pemecah batu ultrasonik, yang
mempercepat fragmentasi dan evakuasi batu. Seringkali kombinasi dari transurethral
dan perkutaneus dipergunakan untuk menjaga kestabilan posisi batu serta mempercepat
evakuasi batu dan debrisnya. Jika merupakan indikasi maka reseksi atau insisi prostate
transurethral (TURP atau TUIP) dapat dikerjakan dengan mudah dan aman. 3,4,5
14Batu buli-buli yang sedang dihancurkan dengan laser
Pendekatan ketiga adalah sistostomi suprapubik yang memungkinkan
pengangkatan batu yang lebih besar dan lebih keras, atau divertikulosis buli-buli
merupakan indikasi. Keuntungan teknik ini adalah pengangkatan batu yang lebih cepat,
mudah dan pada kasus dengan batu yang sulit diangkat dengan menggunakan kedua
teknik sebelumnya. Kerugian teknik ini meliputi lamanya perawatan di rumah sakit,
nyeri postoperasi, dan lamanya masa kateterisasi buli-buli. 3,4,5
BAB 3
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : DAMS
15
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 56 tahun
Agama : Hindu
Suku : Bali
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Pemangku
Alamat : Banjar Serongga Tengah, Desa Serongga, Gianyar
Status : Menikah
MRS : 23 Mei 2011
Tgl. Pemeriksaan : 25 Mei 2011
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri bila buang air kecil
RIWAYAT PENYAKIT
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dalam keadaan sadar mengeluh nyeri saat buang air kecil. Keluhan ini
dirasakan oleh pasien sejak ± 3 bulan yang lalu. Nyeri saat kencing terutama dirasakan
pada ujung penis. Selain itu, pasien juga merasakan nyeri di daerah perut bagian bawah,
nyeri dirasakan seperti ditekan kadang terasa ditusuk. Nyeri dikatakan bertambah berat
apabila pasien berjalan.
Pasien juga mengeluhkan kencingnya sedikit-sedikit dan tersendat-sendat
sehingga pasien sering merasa tidak lampias setelah kencing. Pasien juga mengatakan
sering ingin kencing terutama pada malam hari, frekuensi BAK sebanyak ± 6-8 kali/hari
dengan volume ± 10 cc tiap kali BAK. Warna air kencing kuning jernih, terkadang
agak keruh disertai pasir kecil darah dan batu. BAB sebanyak 3-4 kali/hari, konsistensi
padat, warna coklat kekuningan. Nafsu makan pasien dikatakan baik.
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pasien menyangkal pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat
penyakit jantung, asma, kencing manis, dan alergi disangkal oleh pasien. Pasien
mengatakan memiliki tekanan darah tinggi yang diketahui sejak ± 4 tahun yang lalu,
namun tidak terkontrol dengan obat.
16
Riwayat Pengobatan
Pasien mengatakan selama ini hanya berobat ke dokter umum, dan oleh dokter pasien
diberikan obat namun pasien tidak tahu nama obatnya. Selama berobat, keluhan
dikatakan berkurang setelah minum obat, namun setelah obat habis, keluhan akan
muncul lagi.
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang lain yang menderita keluhan yang
sama dengan pasien.
Riwayat Pribadi Dan Sosial
Pasien adalah seorang pemangku, dan sehari-harinya pasien sering memimpin upacara
adat didesanya. Riwayat minum minuman beralkohol dan merokok disangkal oleh
pasien.
III. PEMERIKSAAN FISIK
3.1 Status Present
GCS : E4V5M6 (kompos mentis)
Tekanan Darah : 130/90 mmhg
Nadi : 85 kali/menit
Kecepatan Nafas :19 kali/menit
Temperatur Aksila : 36,7º C
TB : 165 cm
BB : 70 kg
3.2 Status General
Kepala : Normocephali
Mata : An -/-, ikt -/-, RP +/+ isokor
THT : rhinorea -/-, otorea -/-
Thorak : Cor : S1S2 tunggal reguler murmur (-)
Po : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen I : distensi (-)
A : BU (+) N
Pal : Nyeri tekan suprasimfisis (+) , massa
Per : Tympani
17
Ekstremitas : akral hangat + + , edema - -
+ + - -
3.3 Status Lokalis
Regio flank D et S :
Inspeksi : massa -/-, tanda radang -/-
Palpasi : CVA -/-, Ballotement -/-
Regio Suprapubik
Inspeksi : massa (-),
Palpasi : kandung kencing teraba penuh, nyeri tekan (+)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Rutin
Darah Lengkap 05-05-2011
WBC 10,5.103/µL
RBC 4,39.103/µL
HGB 11,1 g/dL
HCT 35,7%
MCV 81,3
MCH 25,3
PLT 497.103/ µL
Faal Hemostasis (23/05/2011)
APTT : 41,3 detik
PT : 17,2 detik
Urinalisis (05/05/2011)
Jenis pemeriksaan Hasil Jenis pemeriksaan Hasil
Warna Kuning Sedimen
Berat jenis 1005 Eritrosit 20-30
PH 6,5 Leukosit Banyak
Protein Negatif Epitel Banyak
18
Glukosa Negatif Torak granuler Negatif
Bilirubin Negatif Torak leukosit Negatif
urobilinogen Negatif Torak eritrosit Negatif
Keton Negatif Kristal Negatif
Nitrit Negatif jamur Negatif
Darah /Hb Positif
Leukosit Positif
Pemeriksaan Khusus
BOF (05/05/2011)
Tampak bayangan radiopaque pada ginjal kanan dan kiri serta vesika urinaria.
Kontur ginjal kanan dan kiri tidak tampak jelasContour Ren kanan dan kiri
kabur.
Kontour psoas line kanan dan kiri tampak normal.
Distribusi gas dalam gas usus dalam batas normal
Skeletal: tidak tampak kelainan.
Kesimpulan :
Batu di Vesika Urinaria
Batu Ren Dekstra- Sinistra
V. RESUME
19
Penderita, laki-laki, 56 tahun, Hindu, Bali datang mengeluh nyeri saat buang air kecil.
Keluhan dirasakan sejak ± 3 bulan yang lalu. Nyeri saat kencing terutama dirasakan
pada ujung penis. Selain itu, nyeri juga dirasakan di daerah perut bagian bawah, nyeri
dirasakan seperti ditekan kadang terasa ditusuk. Nyeri dikatakan bertambah berat
apabila pasien berjalan. Pasien juga mengeluhkan kencingnya sedikit-sedikit dan
tersendat-sendat sehingga pasien sering merasa tidak lampias setelah kencing. Pasien
juga mengatakan sering ingin kencing terutama pada malam hari. Warna kencing
kuning jernih, terkadang agak keruh disertai pasir kecil darah dan batu. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan status present didapatkan tekanan darah sedikit
meningkat, dari status general didapatkan pada pemeriksaan abdomen terdapat nyeri
tekan pada regio suprasimfisis. Dari status lokalis didapatkan nyeri tekan pada
suprasimfisis dan kandung kencing teraba penuh. Dari pemeriksaan penunjang:
pemeriksaan hematologi rutin dalam batas normal. Dari urinalisis didapatkan eritrosit
dan leukosit positif. Dari foto BOF didapatkan kesan batu di vesika urinaria dan ren
dekstra sinistra.
VI. DIAGNOSIS
Batu Buli-Buli
Batu Ren sinistra et dekstra
VII. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan kimia darah : Bun, serum creatinin, elektrolit
Sistografi (IVP)
USG urologi
VIII. PENATALAKSANAAN
- MRS
- IVFD Nacl 0,9 % 20 tetes/menit
- Asam Mefenamat 3x500 mg
- Cefotaxim IV 3x1 gr
- Pro Vesiculolitotomy
IX. MONITORING
- Keluhan: nyeri, perdarahan
20
- Tanda vital: tekanan darah, nadi, kecepatan nafas dan temperatur axilla.
X. PROGNOSIS
Dubius ad bonam
BAB 4
PEMBAHASAN
Dari anamnesa didapatkan gejala khas batu buli-buli berupa nyeri saat buang air kecil. Yang
dirasakan sejak ± 3 bulan yang lalu. Nyeri saat kencing terutama dirasakan pada ujung
penis. Sesuai dengan teri yang menyebutkan bahwa salah satu gejala batu buli-buli
adalah disuria yaitu nyeri pada saat miksi terutama karena inflamasi pada buli-buli dan
21
uretra. Nyeri ini dirasakan di sekitar meatus uretra eksternus, skrotum, perineum,
punggung atau pinggang. Disuria pada penderita batu buli-buli terjadi pada akhir miksi.
Selain itu, pasien juga merasakan nyeri di daerah perut bagian bawah, nyeri dirasakan
seperti ditekan kadang terasa ditusuk. Nyeri dikatakan bertambah berat apabila pasien
berjalan. Hal ini dikarenakan perubahan posisi batu dalam buli-buli. Pasien juga
mengeluhkan kencingnya sedikit-sedikit dan tersendat-sendat sehingga pasien sering
merasa tidak lampias setelah kencing. Hal ini disebabkan adanya obstruksi dari batu
sehingga aliran urine menjadi tidak lancar.
Pasien juga mengatakan sering ingin kencing terutama pada malam hari,
frekuensi BAK sebanyak ± 6-8 kali/hari. Sesuai dengan teori dimana Gejala khas pada
batu buli-buli adalah berupa gejala iritasi seperti urgensi yaitu rasa sangat ingin kencing.
Keadaan ini akibat hiperiritabilitas dan hiperaktivitas buli-buli karena inflamasi,
terdapat benda asing dalam buli-buli, adanya obstuksi infravesika, atau karena kelainan
buli-buli nerogen. Frekuensi atau polakisuria yaitu suatu keadaan dimana frekuensi
berkemih lebih dari normal. Setiap hari, orang normal rata-rata berkemih 5 hingga 6 kali
sehari dengan volume kurang lebih 300ml setiap miksi. Polakisuria dapat disebabkan
karena produksi urin yang berlebihan atau kapasitas buli-buli yang menurun sehingga
pada waktu buli-buli terisi pada volume yang belum mencapai kapasitasnya sudah
terjadi rangsangan miksi. Nokturia merupakan polakisuria yang terjadi pada malam hari.
Warna air kencing kuning jernih, terkadang agak keruh disertai pasir kecil darah dan
batu.
Dari status lokalis didapatkan nyeri tekan pada suprapubik dan kandung kencing
teraba penuh. Hal ini disebabkan oleh gangguan aliran urine sehingga membuat stasis
urine dalam vesika urinaria. Stasis urine ini mengakibatkan overdistensi kandung
kencing sehingga merangsang saraf simpatis yang mengakibatkan keluhan nyeri. Selain
itu nyeri dapat pula diakibatkan oleh adanya infeksi pada kandung kencing. Dari
pemeriksaan penunjang urinalisis didapatkan PH urin 6,5 dan dari sedimen urin
didapatkan eritrosit serta leukosit banyak. Hal ini sesuai dengan teori Urin pada pasien
dengan batu buli-buli mempunyai pH yang bersifat asam yaitu rata-rata 5,5-6,5. Jika
didapatkan pH yang relatif basa kemungkinan terjadi infeksi bakteri oleh baktri
pemecah urea, sedangkan bila pH terlalu asam kemungkinan terjadi asidosis pada
tubulus ginjal atau terdapat batu asam urat. Selain itu dapat ditemukan hematuri baik
22
mikros ataupun makros, pyuria, bakteriuri dan kultur urine yang memperlihatkan
gambaran adanya organisme pemecah urea. Dari foto BOF didapatkan kesan batu di
vesika urinaria dan ren dekstra sinistra.
Terapi pada kasus ini adalah vesikulolitotomi. Kemungkinan terapi
mempergunakan litotripsi tidak dapat dilakukan karena diameter batu melebihi 3 cm.
Keuntungan teknik ini adalah memungkinkannya pengangkatan batu dengan diameter
yang lebih besar dan jenis batu yang keras yang tidak dapat dihancurkan dengan
litotripsi. Kerugiannya adalah besarnya resiko infeksi dan perdarahan, masa perawatan
di rumah sakit yang lebih lama, nyeri postoperatif, dan masa kateterisasi kandung
kencing yang lebih lama. Hal ini dapat dikontrol dengan penanganan infeksi yang
adekuat terutama infeksi nasokomial dengan antibiotika berspektrum luas, nyeri post
operatif diatasi dengan pemberian analgetik.
BAB 5
KESIMPULAN
1. Pada pasien ini ditemukan gejala-gejala yang mengarahkan diagnosis ke batu
kandung kencing yaitu nyeri pada suprapubik dan nyeri saat miksi disertai
dengan buang air kencing yang seret dan sedikit-sedikit.
23
2. Faktor resiko yang ditemukan pada pasien ini adalah pasien sering menahan
kencing, konsumsi air pasien juga kurang dari 1 liter perhari dan pekerjaan
pasien sebagai pemangku yang membuat pasien harus sering duduk.
3. Berdasarkan hasil pemeriksaan rontgen dengan foto polos abdomen ditemukan
batu pada vesika urinaria dengan diameter lebih dari 3 cm sehingga modalitas
terapi yang dipakai adalah pembedahan (vesikulolitotomi).
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo, BB. Dasar-dasar Urologi, SMF/Lab Ilmu Bedah RSUD Dr. Saiful
Anwar Fakultas Kedokteran Univ. Brawijaya. CV Sagung Seto, Jakarta. 2003.
Hal 5-6 & 57-61.
24
2. Moore, KL & Agur, AMR. Essential Clinical Anatomy, Williams and Wilkins,
1996. pp. 156-161.
3. Jong WD, dan Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 2005. Hal 756-763
4. Basler J,(August,10,2007), Bladder stone. Available at:
htpp//www.Emedicine.com. Accessed : May 25th 2011.
5. Halstead, S. dan Valyasevi, A. (1967), Studies Of Blader Stone Disease in
Thailand. Epidemiologic Studies in Ubol Province, American Journal of Clinical
Nutrition, vol. 20, no.12, pp 1332-1339
6. Paul A. Jhonson (Agustus, 14, 2006), Blader Stone. Available at:
www.healthAtoZ.com . Accessed : May 25th 2011
7. Vargas, B. , Robert, L. (1987), Stones in The Urinary Bladder in Children and
Young Adults, American Journal of Radiology, vol.148, pp. 491-495
25