55
I. IDENTITAS PASIEN Nama pasien : An. F Umur : 22 bulan Masuk RS : 18 Juni 2015 pukul 10.37 Jenis kelamin : laki-laki Agama : Islam Suku : Jawa Alamat : GIRI KUSUMO RT/RW: 01/03 Ruang : Nakula PENGAWASAN 1.2 Nomor RM : 328294 Nama ayah : Tn. K Umur : 30 tahun Pendidikan terakhir : SMA Pekerjaan : Satpam Nama ibu : Ny. L Umur : 27 tahun Pendidikan terakhir : SMA Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga II. DATA DASAR 1. ANAMNESIS Alloanamnesis dilakukan dengan ibu pasien, perawat ruang Nakula-4 RSUD Kota Semarang pada tanggal 18 Juni 2015 serta didukung catatan medis pasien. 1

LAPORAN KASUS baru

Embed Size (px)

DESCRIPTION

lapsus

Citation preview

Page 1: LAPORAN KASUS baru

I. IDENTITAS PASIEN

Nama pasien : An. F

Umur : 22 bulan

Masuk RS : 18 Juni 2015 pukul 10.37

Jenis kelamin : laki-laki

Agama : Islam

Suku : Jawa

Alamat : GIRI KUSUMO RT/RW: 01/03

Ruang : Nakula PENGAWASAN 1.2

Nomor RM : 328294

Nama ayah : Tn. K

Umur : 30 tahun

Pendidikan terakhir : SMA

Pekerjaan : Satpam

Nama ibu : Ny. L

Umur : 27 tahun

Pendidikan terakhir : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

II. DATA DASAR

1. ANAMNESIS

Alloanamnesis dilakukan dengan ibu pasien, perawat ruang Nakula-4 RSUD Kota

Semarang pada tanggal 18 Juni 2015 serta didukung catatan medis pasien.

Keluhan utama : berak cair

Keluhan tambahan : panas, muntah, batuk ± 2 minggu tanpa dahak dengan

pilek

1

Page 2: LAPORAN KASUS baru

Riwayat Penyakit Sekarang:

Sebelum masuk rumah sakit:

4 hari SMRS (sebelum masuk rumah sakit) ibu pasien mengeluh anaknya mengalami

berak cair 3x dalam sehari sebanyak ¼ gelas aqua per kali, berwarna kekuningan,

berampas, tidak nyemprot, tidak berlendir, tidak ada darah. Berbau busuk namun tidak

amis. Saat membersihkan dubur tidak tampak kemerahan. Pasien juga muntah >3x,

sebanyak ½ gelas aqua perkali, awalnya muntah berisi susu, setelah itu muntahan berisi

air dan lendir. Kencing masih seperti biasanya 3-5 x/hari. Ibu mengaku anaknya menjadi

lebih lemas dan tampak kehausan saat diberikan minum. Ibu pasien juga mengeluh

anaknya demam demam ringan ± 1 bulan, disertai batuk kecil dan ringan sejak 2 minggu

sebelum mencret disertai pilek 3 hari SMRS. Keluhan demam tinggi dialami 3 hari

SMRS yang timbul perlahan-lahan lalu menetap sepanjang hari, tidak menggigil, tidak

kejang, tidak mengigau. Demam membaik sesaat dengan pemberian obat penurun panas

yang dibeli ibu dari warung, kemudian demam naik lagi. Riwayat sesak napas disangkal.

6 jam sebelum masuk rumah sakit anak rewel, mencret masih seperti sebelumnya.

Demam, batuk dan pilek masih ada. Muntah >5X dalam waktu 5 jam setiap diberikan

minum susu. Mata tampak lebih cowong daripada biasanya, kencing berkurang, dan

tampak kehausan. Riwayat makan atau minum minuman yang sudah basi disangkal oleh

ibu. Riwayat berganti-ganti susu formula disangkal. Karena khawatir dengan kondisi

anaknya, kemudian orangtua membawa anak ke IGD RSUD Kota Semarang dan oleh

dokter jaga disarankan untuk mondok.

Setelah masuk rumah sakit:

Tanggal Perjalanan Penyakit dan Diagnosis Pengobatan dan Tindakan18/06/15

U: 22blBB:9kgR/S:0/4

HR:140x/mRR:46x/mt: 38°CN: i/t kuat

10.02 WIBPasien dari Poli

12.15 WIBS: - diare 3x, menyemprot, ampas (+),

lendir (-), darah (-)- muntah >5x tiap diberi minum susu- panas tinggi hari ke-3- lemas- kehausan- batuk pilek (+)

O: KU/KESS : TSS/CM

(advice dr. residen)Th:/ Inf RL 10 tpm Inj cefotaxim

2x200mg Inf PCT 3X125mg PO: PCT syr

3X3/4Cth

2

Page 3: LAPORAN KASUS baru

19/06/15

HR:147x/mRR:38x/mt: 37.5°CN: i/t cukup

R/S: 1/5

Kepala : UUB sudah menutupMata : cekung +/+Hidung : NCH (-)Thorax : simetris (+) retraksi min

cor:/ BJI-II req, m (-), g (-)p:/ SNV+/+, rh-/-, wh-/-

Abdomen : BU (+)Ekstremitas : akral dingin -/-, CRT <2s

A: GEDS

08.00 WIBS: - diare 4x (semalam) + diare 3x (pagi),

menyemprot, ampas (-), lendir (-), darah (-)

- muntah 1x- panas- lemas- batuk pilek (+)

O: KU/KESS : TSS/CMKepala : UUB sudah menutupMata : cekung +/+Hidung : NCH (-)Thorax : simetris (+) retraksi min

cor:/ BJI-II req, m (-), g (-)p:/ SNV+/+, rh-/-, wh-/-

Abdomen : BU (+)Ekstremitas : akral dingin -/-, CRT <2s

A: GEDS Suspect TB

Program:/ pantau KU dan

tanda vital cek DR

(advice dr.Lilia, SpA)Th:/ inf RL 20tpm Inj ceftriaxone

3x250mg Inj metronidazol

3x100g Inj ranitidin

2x1/4amp Inj extra dexa

1/2amp Inf PCT 100mg

tiap 4 jamPO:

Sanmol 3x3/4Cth Lacto B

2x1/2sachet Aspar K 2x1/4tab Zincpro 1x1CthProgram:/ pantau KU dan

tanda vital, monitor tanda-tanda dehidrasi

cek DR ulang, elektrolit, Ro Thorax

hitung balance cairan

Scoring TB : 7Gizi +1Kontak +2Demam +1Batuk +1KGB +1RO +1

3

Page 4: LAPORAN KASUS baru

20/06/15

U: 22blBB:9kgR/S:2/6

HR:150x/mRR:34x/mt: 36,5°CN:i/t cukup

10.18 WIBS: - diare berkurang frekuensinya,ampas

(-), lendir (-), darah (-)- muntah -- panas -- batuk (+)

O: KU/KESS : TSR/apatis-somnolenKepala : UUB sudah menutupMata : cekung -/-Mulut : sianosis -Hidung : NCH (-)Thorax : simetris (+) retraksi (+)

cor:/ BJI-II req, m (-), g (-)p:/ SNV+/+, rh-/-, wh-/-

Abdomen : datar, supel, BU (+)Ekstremitas : akral dingin -/-, CRT <2s

BU +50CCA: post-GEDS TB

(advice dr.Lilia, SpA)Th:/ Inf RL 40cc/jam

sampai besok pagi Ceftriaxone 3x250 Inj metronidazol

stop Inj ranitidin

2x1/4amp Inj extra dexa

1/2amp Inf PCT 3x100mg

PO: Sanmol 3x3/4Cth Lacto B

2x1/2sachet Aspar K 2x1/4tab Zincpro 1x1Cth Rifampicin 135mg

x 1 B6 10mg INH 90mg Pirazinamid

180mgMfla pulv 1x1

Program:/ pantau KU dan

tanda vital, monitor tanda-tanda dehidrasi

cek DR ulang

21/06/15

U: 22blBB:9kgR/S:3/7

HR:126x/mRR:30x/mt: 36,3°CN:i/t cukup

09.00 WIBS: - diare -,

- muntah -- panas -- batuk +

O: KU/KESS : TSR/ CMKepala : UUB sudah menutupMata : cekung -/-Mulut : sianosis -Hidung : NCH (-)Thorax : simetris (+) retraksi min

cor:/ BJI-II req, m (-), g (-)

Terapi:Infus affCefixime 2xcth1Rifampicin 135mg x 1 B6 10mg INH 90mg Pirazinamid

180mgMfla pulv 1x1

Program: bila KU

4

Page 5: LAPORAN KASUS baru

p:/ SNV+/+, rh-/-, wh-/-,Abdomen : datar, supel, BU (+)Ekstremitas : akral dingin -/-, CRT <2s

A: GEDSTB

baik ,BLPL edukasi

TB,kontrol teratur

Riwayat Penyakit Dahulu:

Sebelumnya pasien pernah mengalami keluhan berak cair, namun tidak sampai dirawat

di rumah sakit. Riwayat sesak napas, Batuk lama dan alergi disangkal ibu pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga:

Anggota keluarga yang tinggal satu rumah tidak sedang sakit mencret seperti pasien,

tetapi pada anggota keluarga terdapat kakak pasien yang terkena TB namun telah

menjalani pengobatan dan dinyatakan sembuh oleh dokter.

Riwayat Persalinan dan Kehamilan:

Pasien seorang anak laki-laki, lahir dari ibu G2P1A0 usia 26 tahun, usia kehamilan

40minggu. Lahir secara pervaginam ditolong oleh Sp.OG di rumah sakit. Pasien lahir

menangis, aktif, kulit kemerahan, berat badan lahir 3200 gram, panjang badan lahir,

lingkar kepala, lingkar dada ibu mengaku lupa.

Riwayat Pemeliharaan Prenatal:

Ibu pasien biasa memeriksakan kandungannya secara teratur di bidan 1 kali setiap bulan

sampai usia kehamilan 6 bulan dan 2 kali setiap bulan dari usia kehamilan 6 bulan

sampai 9 bulan. Usia kehamilan 7 bulan, ibu pasien juga memeriksakan kehamilannya ke

Sp.OG. Dari hasil USG oleh Sp.OG, didapatkan kesan janin sehat sesuai usia kehamilan.

Selama hamil ibu mengaku mendapat imunisasi TT 2 kali di bidan. Ibu tidak pernah

menderita penyakit selama hamil. Riwayat perdarahan, trauma dan minum jamu

disangkal. Obat – obatan yang diminum hanya yang diberikan oleh bidan selama

kehamilan adalah vitamin dan tablet penambah darah.

Riwayat Pemeliharaan Postnatal:

Kontrol ke Posyandu teratur untuk melakukan imunisasi dan ibu pasien mengatakan

anaknya lengkap menjalani imunisasi dasar, dan catatan tumbuh kembang anaknya.

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan:

5

Page 6: LAPORAN KASUS baru

Pertumbuhan:

Berat badan lahir 3200 gram, panjang badan saat lahir lupa. Berat badan dan panjang

badan sekarang berturut turut 9 kg dan 78 cm.

Riwayat Makan dan Minum:

ASI diberikan sejak lahir sampai usia saat ini namun makanan tambahan lain seperti nasi,

bubur susu, ibu pasien mengatakan bahwa anaknya tidak menyukai, anaknya hanya

memakan roti dan ASI. Ibu selalu mencuci tangan ketika akan menyusui. Sejak umur 9

bulan, pasien juga mulai diberikan susu formula tetapi ASI masih tetap diberikan. ASI

tidak dilanjutkan dengan alasan ibu sibuk bekerja. Saat ini pasien minum susu formula,

5x/hari, sekali minum ±110cc takaran botol susu. Ibu pasien memiliki 3 botol susu,

dicuci menggunakan sabun dan air dari PAM setelah itu direbus dengan air mendidih

menggunakan alat sterilisasi botol susu 2 minggu sekali. Riwayat minum susu basi

disangkal, riwayat ganti susu disangkal. Mulai usia 6 bulan diberikan makanan tambahan

berupa nasi tim sebanyak 3 kali dalam sehari dengan @ 1/4 mangkok bayi.

Riwayat Imunisasi:

BCG : 1 kali (usia 3 bulan), terdapat skar pada lengan atas kanan

HepB0 : 1 kali (usia 0 bulan)

DPT/HepB1,2,3 : 3 kali (usia 2, 3, 4 bulan)

Polio : 4 kali (usia 1, 2, 3, 4 bulan)

Campak : 1 kali (udia 9 bulan)

Riwayat Sosial Ekonomi:

Kedua orang tua pasien bekerja sebagai satpam. Biaya pengobatan ditanggung BPJS.

II. PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada tanggal 19 Juni 2015 pukul 12.00 WIB di ruang Nakula 4. Bayi laki-laki

usia 22 bulan, berat badan 9kg, panjang badan 78 cm.

Kesan umum :

Compos Mentis, tampak sakit berat, rewel.

Tanda-tanda vital

frekuensi nadi : 110 kali/menit

6

Page 7: LAPORAN KASUS baru

frekuensi napas : 34 kali/menit

suhu : 37,5°C

Status internus:

Kepala

ubun-ubun besar sudah menutup, normocephalus, rambut hitam terdistribusi

merata, tidak kering, tidak mudah dicabut

Mata

mata cekung (+ sedikit/+ sedikit), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Hidung

bentuk normal, nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)

Telinga

normoti, discharge (-/-)

Mulut

bibir kering (+), sianosis (-)

Leher

pembesaran KGB (+)

Tenggorokan

mukosa faring hiperemis (-), tonsil T1-T1, kripta melebar (-), detritus (-)

Thorax

a. Paru

o Inspeksi : hemithorax dextra dan sinistra simetris pada keadaan inspirasi

dan ekspirasi, retraksi (-), napas cepat dan dalam (+)

o Palpasi : stem fremitus tidak dilakukan

o Perkusi : tidak dilakukan

o Auskultasi : suara napas vesikuler (+/+), rhonki basah (+/+), wheezing (-/-)

b. Jantung

o Inspeksi : pulsasi iktus kordis tidak tampak

o Palpasi : iktus kordis teraba di MCL ICS IV

o Perkusi : tidak dilakukan

o Auskultasi : bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

o Inspeksi : agak cembung

o Auskultasi : bising usus (+) meningkat

7

Page 8: LAPORAN KASUS baru

o Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba membesar

o Perkusi : hipertimpani di keempat kuadran abdomen

Genitalia dan anorektal

Anus dan daerah sekitar lecet (-) hiperemis (+)

Kulit

cubitan perut kembali lambat >2s, exanthema (-)

Ekstremitas

Superior Inferior

Akral dingin -/- +/+

Akral sianosis -/- -/-

CRT >2 detik >2 detik

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Penunjang18/6 P07.30

19/6 S17.00

Hematologi Hemoglobin (g/dl) [N=12-16] Hematokrit (%) [N=37-47] Jl. leukosit (/ul) [N=4,8-10,8] Jl. trombosit (103/ul) [N=150-400] Jl. eritrosit (/ul) [N=4,2-5,4]

13.038.109.2402-

12.333,610.74014,21

Kimia klinik Natrium (mmol/L) [N=134-147] Kalium (mmol/L) [N=3,5-5,2] Kalsium (mmol/L) [N=1,12-1,32]

---

1373,31,22

Widal S typhi O S typhi H

negneg

--

Ket: - : tidak dikerjakanneg : negatif

Faeces Rutin18/612.30

Makroskopis Warna Konsistensi Bau Lendir Darah

coklatcairkhasnegatifnegatif

Mikroskopis Protein faeces Karbohidrat Lemak

negatifpositifpositif (+1)

8

Page 9: LAPORAN KASUS baru

Eritrosit Amoeba Telur Cacing Leukosit Bakteri Jamur Lain-lain

1-3negatifnegatif1-3negatifnegatifnegatif

Rontagen

IV. PEMERIKSAAN ANTROPOMETRI

Bayi laki-laki 22 bulan dengan berat badan 9 kg, dan panjang badan 78 cm.

WAZ=BB−medianSD

=9−12.21.30

=−2.4(Kesan : BB kurang)

HAZ= PB−medianSD

=78−863.3

=−2.42(Kesan: pendek )

9

Page 10: LAPORAN KASUS baru

WHZ=BB−medianSD

=9−10,50,9

=−2,77(Kesan :kurus )

V. RESUME

Telah diperiksa seorang bayi laki-laki umur 12 bulan, berat badan 9kg dan panjang badan

78cm, dengan keluhan berak cair 4x dalam sehari sejak satu hari sebelum masuk rumah

sakit. 4 hari SMRS (sebelum masuk rumah sakit) ibu pasien mengeluh anaknya

mengalami berak cair 3x dalam sehari sebanyak ¼ gelas aqua per kali, berwarna

kekuningan, berampas, tidak nyemprot, tidak berlendir, tidak ada darah. Berbau busuk

namun tidak amis. Saat membersihkan dubur tidak tampak kemerahan. Pasien juga

muntah >3x, sebanyak ½ gelas aqua perkali, awalnya muntah berisi susu, setelah itu

muntahan berisi air dan lendir. Kencing masih seperti biasanya 3-5 x/hari. Ibu pasien

juga mengeluh anaknya demam demam ringan ± 1 bulan, disertai batuk kecil dan ringan

sejak 2 minggu sebelum mencret disertai pilek 3 hari SMRS. Keluhan demam tinggi

dialami 3 hari SMRS yang timbul perlahan-lahan lalu menetap sepanjang hari, tidak

menggigil, tidak kejang, tidak mengigau. Demam membaik sesaat dengan pemberian

obat penurun panas yang dibeli ibu dari warung, kemudian demam naik lagi. Riwayat

sesak napas disangkal.

6 jam sebelum masuk rumah sakit anak rewel, mencret masih seperti sebelumnya.

Demam, batuk dan pilek masih ada. Muntah >5X dalam waktu 5 jam setiap diberikan

minum susu. Mata tampak lebih cowong daripada biasanya, kencing berkurang, dan

tampak kehausan. Riwayat makan atau minum minuman yang sudah basi disangkal oleh

ibu. Riwayat berganti-ganti susu formula disangkal. Karena khawatir dengan kondisi

anaknya, kemudian orangtua membawa anak ke Poli Anak Kota Semarang dan oleh

dokter residen disarankan untuk mondok. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesan umum

tampak sakit sedang, rewel, dan kurang aktif. Tanda-tanda vital: HR 148x/menit, RR

48x/menit, dan suhu 38.5°C. Didapatkan tanda-tanda distres pernapasan lainnya: NCH

(-), retraksi (-). Pada auskultasi paru didapatkan suara napas vesikuler dan ronkhi -/-.

Hasil laboratorium didapatkan baik leukosit 9.700/ul. Hari ke-0 perawatan, kesan umum

compos mentis, pasien tampak sakit sedang, mencret cair >3x banyaknya, mata cowong

+/+, cubitan kulit kembali sangat lambat >2s, CRT >2s, akral dingin. Dari hasil

pemeriksaan KGB didapatkan pembesaran KGB dan dilakukan skoring TB 7 sehingga

diberikan pengobatan TB.

10

Page 11: LAPORAN KASUS baru

VI. DIAGNOSA BANDING

1. GEDS

– GEDS et causa infeksi parenteral– GEDS et causa infeksi enteral et causa virus– GEDS et causa infeksi enteral et causa bakteri– GEDS et causa infeksi enteral et causa jamur– GEDS et causa infeksi enteral et causa parasit– GEDS et causa makanan– GEDS et causa psikis

2. Batuk 2 minggu

– Batuk Kronik Berulang TB paru Asma bronkhiale

– ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) Infeksi Saluran Pernapasan Atas

o Otitis media

o Rhinitis

o Sinusitis

o Faringitis

o Tonsilitis

o Laringitis

Infeksi Saluran Pernapasan Bawaho Bronkiolitis

o Bronkopneumonia

VII. DIAGNOSA KERJA

1. GEDS et. causa infeksi parenteral

2. TB Paru

VIII. TERAPI

8.1 Non-medikamentosa

– Infus RL 60cc/jam*Ulangi sekali lagi jika denyut nadi sangat lemah atau tak teraba

8.2 Medikamentosa

11

Page 12: LAPORAN KASUS baru

– Inj Metronidazole 3 x 100 mg– Ceftriaxone 3x250– Inj PCT 3x100mg bila suhu >39

PO:

Zincpro Syr 20mg/5ml 1x1Cth selama 10 hari Lacto B 2 x ½ sachet Sanmol 3x3/4Cth Rifampicin 135mg x 1o B6 10mg

o INH 90mg

o Pirazinamid 180mg

Mfla pulv 1x1

IX. PROGRAM

1. pantau KU dan tanda vital, monitor tanda-tanda dehidrasi 2. hitung balans cairan3. cek darah rutin ulang

X. PROGNOSA

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam: ad bonam

Quo ad sanationam: dubia ad bonam

XI. USUL

– cek elektrolit ulang

XII. EDUKASI

1. Menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA

2. Menjaga kebersihan diri dan anak, kebersihan makanan, dan lingkungan

3. Mencuci botol susu

12

Page 13: LAPORAN KASUS baru

4. Biasakan mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan minuman, dan setelah

buang air besar dan buang air kecil

5. Air harus diambil dari sumber terbersih yang tersedia

6. Biasakan berak dan cebok di atas jamban yang langsung mengalir ke septic tank

7. Edukasi orangtua tentang oralit dan cara pemberian oralit

8. Ventilasi udara rumah

9. Pola makan yang sehat

TINJAUAN PUSTAKA

1. GASTROENTERITIS

13

Page 14: LAPORAN KASUS baru

1.1 Definisi

Peradangan pada saluran cerna yang dapat disebabkan oleh virus mauun bakteri.1

dengan gejala nyeri perut, dan diare. Diare adalah buang air besar yang lebih >3x

sehari dan dengan konsistensi yang lebih encer dari biasanya.2

1.2 Klasifikasi1-2

1.2.1 Berdasarkan lamanya diare

1.2.1.1 diare akut

Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali

perhari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau

tanpa lendir dan darah yang berlangsung kurang dari 14 hari.

1.2.1.2 diare persisten

diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dan dengan etiologi infeksi.

1.2.1.3 diare kronik

diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dan dengan etiologi non-

infeksi.

1.2.2 Berdasarkan etiologi

1.2.2.1 Faktor infeksi

a. Infeksi enteral, yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan

penyebab utama diare pada anak. Infeksi enteral ini meliputi:

Infeksi virus

Beberapa penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa

penyebab utama (55%) diare akut adalah rotavirus.

Infeksi bakteri

E.coli, Salmonella, Shigella, Vibrio, Campylobacter, dan

sebagainya.

Infeksi protozoa

Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, dan lainnya.

Infestasi parasit

Ascaris, Trichiuris, Oxyuris, Strongyloides.

Infeksi jamur

Candida albicans.

14

Page 15: LAPORAN KASUS baru

b. Infeksi parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat

pencernaan, seperti otitis media akut, tonsilofaringitis,

bronkopneumonia, dan sebagainya.

1.2.2.2 Faktor malabsorpsi

a. Malabsorpsi karbohidrat

disakarida (intoleransi laktosa, maltosa, sukrosa), monosakarida

(intoleransi glukosa, fruktosa, galaktosa). Pada bayi dan anak yang

terpenting dan tersering adalah intoleransi laktosa.

b. Malabsorpsi lemak

c. Malabsorpsi protein

1.2.2.3 Faktor makanan

makanan basi, makanan beracun, alergi terhadap makanan.

1.2.2.4 Faktor psikologis

merupakan rasa takut dan cemas. Walaupun jarang, dapat menimbulkan

diare terutama pada anak yang lebih besar.

1.2.3 Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang

1.2.3.1 Diare tanpa dehidrasi

1.2.3.2 Diare dengan dehidrasi ringan/sedang

1.2.3.3 Diare dengan dehidrasi berat

1.2.4 Berdasarkan tonisitas plasma

1.2.4.1 Diare dengan dehidrasi hipotonik

yaitu bila kadar natrium dalam plasma <130mEq/l

1.2.4.2 Diare dengan dehidrasi isotonik

yaitu bila kadar natrium dalam plasma 130-150mEq/l

1.2.4.3 Diare dengan dehidrasi hipertonik

yaitu bila kadar natrium dalam plasma >150mEq/l

1.3 Patogenesis

1.3.1 Diare sekretorik

Diare sekretorik disebabkan karena sekresi air dan elektrolit ke dalam usus

halus. Hal ini terjadi absorpsi natrium oleh vili gagal sedangkan sekresi klorida

di sel epitel berlangsung terus atau meningkat. Hasil akhir adalah sekresi cairan

yang mengakibatkan kehilangan air dan elektrolit dari tubuh sebagian tinja cair.

Hal ini menyebabkan terjadinya dehidrasi. Pada diare infeksi perubahan ini

15

Page 16: LAPORAN KASUS baru

terjadi karena adanya rangsangan pada mukosa usus halus toksin bakteri seperti

toksin Escherichia coli dan Vibrio cholera 01 atau virus (rotavirus). Pada diare

sekretorik, toksin merangsang c-AMP atau c-GMP untuk mensekresikan secara

aktif air dan elektrolit ke dalam lumen usus sehingga terjadi diare.

Diare sekresi (secretory diarrhea), disebabkan oleh:

a. Infeksi virus, kuman-kuman pathogen dan apatogen

b. Hiperperistaltik usus halus yang dapat disebabkan oleh bahan-bahan kimia,

makanan (misalnya keracunan makanan, makanan yang pedas, terlalu asam),

gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan saraf, hawa dingin, alergi dan

sebagainya.

c. Difesiensi imun terutama SIgA (Secretory Immunoglobulin A)

1.3.2 Diare osmotik

Kenaikan tekanan osmotik dalam lumen usus akibat fermentasi makanan yang

tidak diserap akan menarik air sel kedalam lumen usus sehingga terjadi diare.

Diare jenis ini terjadi karena kita menelan makanan yang sulit diserap, baik

karena memang makanan tersebut sulit diserap (magnesium, fosfat, laktulosa,

sorbitol) atau karena terjadi gangguan penyerapan di usus (penderita defisiensi

laktose yang menelan laktosa). Karbohidrat yang tidak diserap di usus ini akan

difermentasi di usus besar, dan kemudian akan terbentuk asam lemak rantai

pendek. Meskipun asam lemak rantai pendek ini dapat diserap oleh usus, tetapi

jika produksinya berlebihan, akibatnya jumlah yang diserap kalah banyak

dibandingkan jumlah yang dihasilkan, sehingga menyebabkan peningkatan

osmolaritas di dalam usus. Peningkatan osmolaritas ini akan menarik air dari

dalam dinding usus untuk keluar ke rongga usus. Akibatnya, terjadi diare cair

yang bersifat asam, dengan osmolaritas yang tinggi tanpa disertai adanya

leukosit di feses.

1.4 Manifestasi klinis

Mula-mula bayi/anak menjadi cengeng, gelisah, suhu badan mungkin meningkat,

nafsu makan berkurang atau tidak ada kemudian timbul diare. Tinja makin cair,

mungkin mengandung darah dan/atau lendir, warna tinja berubah menjadi kehijau-

hijauan karena tercampur empedu. Karena seringnya defekasi, anus dan sekitarnya

lecet karena tinja makin lama menjadi asam akibat banyaknya asam laktat, yang terjadi dari

pemecahan laktosa yang tidak dapat diabsorpsi oleh usus. Gejala muntah dapat terjadi

sebelum atau sesudah diare. Bila penderita telah banyak kehilangan air dan elektrolit

16

Page 17: LAPORAN KASUS baru

terjadilah gejala dehidrasi. Berat badan turun, pada bayi ubun-ubun besar cekung, tonus dan

turgor kulit berkurang selaput lendir mulut dan bibir terlihat kering.

Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak daripada pemasukan air

(input), merupakan penyebab terjadinya kematian pada diare.

1.5 Tatalaksana

17

Page 18: LAPORAN KASUS baru

18

Page 19: LAPORAN KASUS baru

19

Page 20: LAPORAN KASUS baru

20

Page 21: LAPORAN KASUS baru

1.6 Pencegahan

Memberikan ASI

Memperbaiki makanan pendamping ASI

Menggunakan air bersih yang cukup

Mencuci tangan

Menggunakan jamban

Membuang tinja bayi yang benar

TUBERCULOSIS

2.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan

TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan

TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru. Bila kuman TB menyerang otak dan sistem saraf

pusat, akan menyebabkan meningitis TB. Bila kuman TB menginfeksi hampir seluruh organ

tubuh, seperti ginjal, jantung, saluran kencing, tulang, sendi, otot, usus, kulit, disebut TB

milier atau TB ekstrapulmoner.1

Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita oleh anak

<15 tahun.1 Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki kontak yang signifikan

dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada tahap ini test tuberkulin negatif,

rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei

Mycobacterium tuberculosis dan kuman tersebut menetap secara intraseluler pada jaringan

paru dan jaringan limfoid sekitarnya, pada tahap ini rontgen toraks bisa normal atau hanya

terdapat granuloma atau kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan limfoidnya serta

didapatkan uji tuberkulin yang positif. Sementara itu, seseorang dikatakan sakit TB jika

terdapat gejala klinis yang mendukung serta didukung oleh gambaran kelainan rontgen

toraks, pada tahap inilah seseorang dikatakan menderita tuberkulosis.4

TB ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita TB). Ketika penderita

TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka memercikkan kuman TB atau basil ke

udara. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil kuman

TB. Penderita TB dengan status TB BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat menularkan

sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia

sudah tertular dengan TB. Seseorang yang tertular dengan kuman TB belum tentu menjadi

21

Page 22: LAPORAN KASUS baru

sakit TB. Kuman TB dapat menjadi tidak aktif (dormant) selama bertahun-tahun dengan

membentuk suatu dinding sel berupa lapisan lilin yang tebal. Bila sistem kekebalan tubuh

seseorang menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi lebih besar. Seseorang yang

sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat secara lengkap dan teratur.2

2.2 Epidemiologi

Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa sepertiga

penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan angka tertinggi

di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah

yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap

merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara

berkembang maupun di negara maju.3

Dari Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama 11 tahun (1983-1993) didapatkan

171 kasus TB anak usia <15 tahun. Diperkirakan jumlah kasus TB anak per tahun adalah 5-6

% dari total kasus TB. Di Negara berkembang, TB pada anak berusia <15 tahun adalah 15%

dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju angkanya lebih rendah yaitu 5-7%.2

Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah

583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. Jumlah

seluruh kasus TB anak dari 7 Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun

(1998-2002) adalah 1086 penyandang TB. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan

(42,9%), sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan 16,5%.3

Terdapat beberapa faktor risiko yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun

timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi

dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit. Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara

lain anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah

endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat dan tempat penampungan umum (panti

asuhan, penjara atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.3

Anak yang terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit. Berikut ini adalah faktor-

faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor

risikonya adalah usia, infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari

negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais,

diabetes mellitus, gagal ginjal kronik.2

2.3 Etiologi

22

Page 23: LAPORAN KASUS baru

Terdapat 60 lebih spesies Mycobacterium, tetapi hanya separuhnya yang merupakan

patogen terhadap manusia. Hanya terdapat 5 spesies dari Mycobacterium yang paling umum

menyebabkan infeksi, yaitu: M. Tuberculosis, M. Bovis, M. Africanum, M. Microti dan M.

Canetti. Dari kelima jenis ini M. Tuberkulosis merupakan penyebab paling penting dari

penyakit tuberkulosis pada manusia. Ada 3 varian M. Tuberkulosis yaitu varian humanus,

bovinum dan avium. Yang paling banyak ditemukan menginfeksi manusia M. Tuberkulosis

varian humanus.5

M. Tuberkulosis berbentuk batang, tidak membentuk spora, tidak berkapsul,

nonmotil, pleomorfik, dan termasuk bakteri gram positif lemah, serta memiliki ukuran

panjang 1-10 mikrometer dan lebarnya 0,2-0,6 mikrometer. M. Tuberkulosis tumbuh optimal

pada suhu 37-410C dan merupakan bakteri aerob obligat yang berkembang biak secara

optimal pada jaringan yang mengandung banyak udara seperti jaringan paru. Dinding sel

yang kaya akan lipid menjadikan basil ini resisten terhadap aksi bakterisid dari antibodi dan

komplemen. Sebagian besar dari dinding selnya terdiri atas lipid (80%), peptidoglikan, dan

arabinomannan. Lipid membuat kuman tahan terhadap asam sehingga disebut BTA dan

kuman ini tahan terhadap gangguan kimia dan fisika. Oleh karena ketahanannya terhadap

asam, M. Tuberkulosis dapat membentuk kompleks yang stabil antara asam mikolat pada

dinding selnya dengan berbagai zat pewarnaan golongan aryl methan seperti carbolfuchsin,

auramine dan rhodamin. Kuman ini dapat bertahan hidup di udara yang kering atau basah

karena kuman dalam keadaan dorman. Dan dari keadaan dorman ini kuman dapat reaktivasi

kembali.1

Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu di dalam sitoplasma

makrofag karena pada sitoplasma makrofag banyak mengandung lipid. Kuman ini bersifat

aerob, sifat ini menunjukan bahwa kuman ini menyenangi jaringan yang tinggi mengandung

oksigen sehingga tempat predileksi penyakit ini adalah bagian apikal paru karena tekanan O2

pada apikal lebih tinggi dari pada tempat lainnya.4

M. Tuberkulosis dapat tumbuh pada medium klasik yang terdiri kuning telur dan

glyserin (medium Lowenstein-Jensen). Bakteri ini tumbuh secara lambat, dengan waktu

generasi 12- 24 jam. Pengisolasian dari spesimen klinis dari media sintetik yang solid

membutuhkan waktu 3-6 minggu dan untuk uji sensitivitas terhadap obat membutuhkan

tambahan waktu 4 minggu. Sementara itu, pertumbuhan bakteri ini dapat dideteksi dalam 1- 3

minggu dengan menggunakan medium cair yang selektif seperti BACTEC dan uji sensitivitas

terhadap obat hanya membutuhkan waktu tambahan 3-5 hari

23

Page 24: LAPORAN KASUS baru

Gambar 3.1. Patogenesis tuberkulosis3

PATOGENESIS

Perjalanan alamiah

Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga

dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadinya TB di berbagai

organ.3

24

Page 25: LAPORAN KASUS baru

Gambar 3.2. Kalender perjalanan penyakit TB primer3

Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin biasanya positif

dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi TB,

dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini

berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada

tahap ini.2

Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6

bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB. Tuberkulosis pleura

terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada

tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal

biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar

manifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan

90% kematian karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.3

BAB IV

DIAGNOSIS

4.1 Manifestasi klinis

25

Page 26: LAPORAN KASUS baru

Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat bervariasi dan

bergantung pada faktor kuman TB, penjamu serta interaksi diantara keduanya.Faktor kuman

bergantung pada jumlah kuman dan virulensinya, sedangkan faktor penjamu bergantung pada

usia dan kompetensi imun serta kerentanan penjamu pada awal terjadinya infeksi.2

Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu. Tanda dan

gejala pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan sedangkan pada kelompok

dengan rentang umur diantaranya menunjukkan clinically silent dissease.3

4.1.1. Manifestasi sistemik

Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena dapat

disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi sistemik yang

dapat dialami anak yaitu:3

1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang dapat disertai

keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan demam pada pasien TB

berkisar antara 40-80% kasus.

2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan

penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan.

3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik

dengan adekuat (failure to thrive).

4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel.

5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan, tetapi pada anak

bukan merupakan gejala utama.

6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.

7. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah).

4.2 Pemeriksaan penunjang

4.2.1. Uji tuberkulin

Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik

yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB,

maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Uji tuberkulin cara mantoux

dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU secara intrakutan di bagian volar

lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan

26

Page 27: LAPORAN KASUS baru

terhadap indurasi yang timbul. Jika tidak timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan

sebagai negatif.2,5

Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi ≥ 10 mm dinyatakan

positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh

infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi BCG atau infeksi M.

atipik. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-14 cm dinyatakan

uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin

disebabkan oleh BCG-nya, tapi bila ukuran indurasinya ≥ 15 mm sangat mungkin karena

infeksi alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan uji tuberkulin negatif.

Diameter 5-9 cm dinyatakan positif meragukan. Pada keadaan imunokompromais atau pada

pemeriksaan foto thorak terdapat kelainan radiologis hasil positif yang digunakan ≥

5mm.2,5

4.2.2. Uji interferon

Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen tertentu,

diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumya limfosit T tersebut telah tersensitisasi

dengan antigen TB maka limfosit T akan menghasilkan interferon gamma yang kemudian

di kalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini hingga saat ini belum dapat membedakan antara

infeksi TB dan sakit TB.5

4.2.3. Radiologi

Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis pada

TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain.

Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:

Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat

Konsolidasi segmental/lobar

Milier

Kalsifikasi dengan infiltrat

Atelektasis

Kavitas

Efusi pleura

Tuberkuloma

4.2.4. Serologi

Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB, mycodot,

Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada

satupun pemeriksaan serologis yang dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.5

27

Page 28: LAPORAN KASUS baru

4.2.5. Mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan mikroskopik

apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan kuman M. Tuberkulosis dan

pemeriksaan PCR.

Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit

mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas lambung

didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur hasil dinyatakan

positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini PCR masih digunakan

untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin.2,5

4.2.6. Patologi Anatomik

Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil,

terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tresebut

mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma.

Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia langhans.2

Untuk memudahkan diagnosis TB paru pada anak, IDAI merekomendasiskan

diagnosis TB anak dengan sistem skoring, yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda

klinis yang dijumpai.9,10

Parameter 0 1 2 3

Kontak TB  Tidak jelas  -  Laporan

keluarga (BTA

negatif atau

tidak jelas)

 BTA(+)

Uji Tuberkulin Negatif - - Positif (≥ 10 mm

atau ≥ 5 mm pada

keadaan

imunosupresi)

Berat badan /

Status Gizi

- BB/TB < 90% 

atau

BB/U < 80%

Klinis gizi

buruk

atau BB/TB <

70%

atau BB/U <

-

28

Page 29: LAPORAN KASUS baru

60%

Demam tanpa

sebab yang jelas

- ≥ 2 minggu - -

Batuk - ≥ 3 minggu - -

Pembesaran

kelenjar koli,

aksila, inguinal

- ≥ 1 cm, jumlah

> 1, tidak nyeri

- -

Pembengkakan

tulang / sendi

panggul, lutut,

falang

- Ada

pembengkakan

- -

Foto Thorak Normal/kelainan

tidak jelas

Gambaran

sugestif TB

- -

 

Catatan:

Diagnosis dengan sistem skor ditegakkan oleh dokter.

Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis.

Berat badan dinilai saat datang.

Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku.

Gambaran sugestif TB, berupa; pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal

dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan infiltrat;

atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena

diperlakukan secara khusus.

Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka

sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan  kesehatan.

Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤ 7 hari) harus

dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat diagnostik.

Didiagnosis TB Anak ditegakkan bila jumlah skor ≥ 6, (skor maksimal 13).

Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks, dan/atau

terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan penurunan kesadaran

serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien harus di rawat inap di RS.

29

Page 30: LAPORAN KASUS baru

Gambar 4.1 Bagan skrining tuberkulosis11

5.1. Obat TB yang Digunakan

Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),

pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan

obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat lain

(second line, lini kedua) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone,

ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin,

ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.5

Nama Obat Dosis harian

(mg/kgBB/hari)

Dosis maksimal

(mg/hari)

Efek Samping

Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas

Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,

trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan

30

Page 31: LAPORAN KASUS baru

tubuh berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal

Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang,

buta warna merah-hijau, penyempitan lapang

pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisin 15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik

* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10

mg/kgBB/hari.

** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat

mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui

sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.

Gambar 5.1. Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya2,5

5.1.1 Panduan Obat TB

Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan

sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase

intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih).

Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk membunuh kuman intraselular dan ekstraselular.

Pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi

kemungkinan terjadinya kekambuhan. Berbeda pada orang dewasa , OAT diberikan pada

anak setiap hari, bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk

mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan

setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah

panduan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin,

isoniazid, dan pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan

isoniazid.2,3

Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti milier,

meningitis TB, TB sistem skletal, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan minimal empat

macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau streptomisin). Pada fase

lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu

meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis

TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam tida

31

Page 32: LAPORAN KASUS baru

dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu

dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off selama 2-4 minggu.3,5

2 Bulan 6 Bulan 9 Bulan 12 Bulan

Isoniazid

Rifampisin

Pirazinamid

Etambutol

Streptomisin

Prednison

Gambar 5.2. Paduan Obat Antituberkulosis2,5

5.1.2 Evaluasi hasil pengobatan

Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2

bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak

jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu

evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah

evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada

pada awal pengobatan, misalnya penambahan berat badan, hilangnya demam, hilangnya

batuk, perbaikan nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon pengobatan baik, maka

pengobatan dilanjutkan.3,5

Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin,

kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura

atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto rontgen toraks perlu diulang setelah 1

bulan untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto

rontgen toraks dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana

evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi.5

32

Page 33: LAPORAN KASUS baru

Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi

penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut mengapa

tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau

resistensi terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka

pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang

dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum

obat, kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi. Setelah

pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat dihentikan. Foto

rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin.5,6

Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu subpopulasi

persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam tubuh, dan

mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pengobatan lebih dari 6

bulan pada TB anak tanpa komplikasi menunjukkan angka kekambuhan yang tidak berbeda

bermakna dengan pengobatan 6 bulan5

5.1.3 Evaluasi efek samping pengobatan

OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering

terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal,

hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek samping yang perlu

diperhatikan adalah hepatotoksisitas.2,5

Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak melebihi

10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dalam

kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan Serum Glutamic-Oxaloacetic

Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat Transaminase (SGPT) hingga ≥ 5 kali

tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas normal (40 U/I) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin

total lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan beberapa nilai beberapapun

yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea dan muntah.1,3

Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang terjadi.

Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan perubahan terapi.

Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase yang tidak terlalu tinggi

(moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan

peningkatan ≥ 5 kali tanpa gejala, atau ≥ 3 kali batas normal disertai dengan gejala

memerlukan penghentian rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin. Akan tetapi

mengingat pentingnya rifampisin dalam paduan pengobatan yang efektif, perlunya

33

Page 34: LAPORAN KASUS baru

penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya, isoniazid dan rifampisin

cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan dan dilakukan

pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat.1,5

Apabila peningkatan enzim transaminase ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas

normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim

transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan kembali

apabila nilai laboratorium telah normal. Tetapi berikutnya dilakukan dengan cara

memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan harus

dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul

kembali pada pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (full-

dose) dan pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.5

5.2. Nonmedikamentosa

5.2.1 Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)

Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai

dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam menelan obat

ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah

satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan langsung

terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly observed treatment shortcours

(DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program

penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan

TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.2

Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu sebagai

berikut : 2,12

Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana.

Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.

Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh

pengawas minum obat (PMO).

Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi

program penanggulangan TB.

5.2.2 Sumber penularan dan case finding

34

Page 35: LAPORAN KASUS baru

Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber

penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang

dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber

infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan

sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal,

yaitu mencari anak lain di sekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin.2

Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak disekitarnya atau yang

kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan

tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang

yaitu uji tuberkulin.3,5

5.2.3 Aspek edukasi dan sosial ekonomi

Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena pengobatan TB

memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka biaya

yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga penanganan gizi yang baik, meliputi

kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik,

pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang optimal. Edukasi

ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak

tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB padak anak tidak menular kepada orang

disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat.3,5

5.3 Pencegahan

5.3.1 Imunisasi BCG

Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Guérin) diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis

untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah

insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebuh tebal, ulkus

tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih

dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang

mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin,

jarak pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.3,5

Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%. Imunisasi

BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan spondilitis TB pada

35

Page 36: LAPORAN KASUS baru

anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB milier, meningitis TB,

TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif

telah mempunyai parut BCG. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi

umumnya tidak dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif

aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering ditemukan adalah

ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi

imunisasi BCG adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat,

gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai berat

badan optimal.5

5.3.2 Kemoprofilaksis

Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis

sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB,

sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB.

Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan

dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular,

terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada

akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan

sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi (BTA sputum negatif), maka INH

profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien. Jika

didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah dihentikan, sebaiknya dilakukan

uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk evaluasi lebih lanjut.2,3

Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum

sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak

semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam

kelompok resiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan

imunokompromais. Contoh anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita,

menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik

dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin dalam kurun

waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12

bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan

untuk menilai respon dan efek samping obat.3,5

6.1 Komplikasi

36

Page 37: LAPORAN KASUS baru

Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke

ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang dilahirkan dari orang tua yang

menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar untuk menderita tuberkulosis.

Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan pada

pasien dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.13,14

DAFTAR PUSTAKA

1. Juffrie M, Soenarto SS, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS. Buku ajar gastroenterologi-hepatologi jilid 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2011.

2. WHO. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit: pedoman bagi rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota. Jakarta: WHO Indonesia; 2008.

3. Dadiyanto DW, Muryawan MH, Soetadji. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2011.

37

Page 38: LAPORAN KASUS baru

4. IDI. Panduan praktis klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer: edisi revisi tahun 2014. 2014.

5. Staf pengajar FKUI. Buku Kuliah IKA. Jakarta: BPFKUI; 1985.6. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S. Diagnosa fisik pada anak. Jakarta: Sagung

Seto; 2009.7. Kliegman, et.al. Nelson textbook of pediatrics: vol 1. 18th ed. Philadelphia: WB

Saunders; 2007.8. WHO. The treatment of diarrhea: a manual for physicians and other senior health

workers. 2005.9. William W, Hay J, Myron L, Judith M. Lange current diagnosis & treatment in

pediatrics. 18th ed. 2007.10. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al. Surviving

Sepsis Campaign. International guidelines for management of severe sepsis and sepsis shock: 2012. Society of Critical Care Medicine and The European Society of Intensive Care Medicine 2013 [Internet]. 2013 Feb [cited 2015 April 28]; 41(2): 565, 613-35.

11. National Clinical Effectiveness Committee. Sepsis management: national clinical guideline no.6. 2014.

12. Stony Brook Medicine. Severe sepsis/septic shock recognition and treatment protocols. 2013.

13. Adapted from American Academy of Pediatrics. Group B Streptococcal Infections. In: Red Book: 2009 Report of the Committee on Infectious Diseases, 28th ed, Pickering, LK (Ed), American Academy of Pediatrics, Elk Grove Village, IL 2009. p. 628.

14. Pudjiadi AH, Malisie RF, Somasetia DH. Sepsis dan surviving sepsis campaign 2012. Dalam: Pudjiadi AH, Malisie RF, Somasetia DH, editor. Lokakarya gawat darurat pediatri: tatalaksana sepsis berat dan syok septik pada anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2014. p.3-18.

15. Lee SJ. Park EA. Efficacy and safety of amoxicillin-sulbactam and ampicillin-sulbactam in full term neonates.The Korean Society of Neonatology Neonatal Medicine [Internet]. 2005 [cited 2015 May 7]; 12(1).

38