26
LAPORAN KASUS TETANUS Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kepaniteraan klinik Departemen Saraf RST dr. Soedjono Tingkat II Magelang OLEH : REZA ANGGA PRATAMA NRP : 1410221025 DIBIMBING OLEH : LETKOL (CKM) dr. HERIANTO! S".S KEPANITERAAN KLINIK SARA# #AKULTAS KEDOKTERAN UNI$ERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL %$ETERAN& 'AKARTA PERIODE 25 MEI 2 'UNI 2015 0

LAPORAN KASUS CIDP

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dsdsdsds

Citation preview

LAPORAN KASUS

TETANUS

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Kepaniteraan klinik Departemen Saraf

RST dr. Soedjono Tingkat II Magelang

OLEH :

REZA ANGGA PRATAMANRP : 1410221025DIBIMBING OLEH :

LETKOL (CKM) dr. HERIYANTO, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

PERIODE

25 MEI 27 JUNI 2015

KATA PENGANTAR

Dalam kesempatan kali ini puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat, nikmat, karunia dan hidayah-Nya, dan tidak lupa sholawat serta salam yang senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya serta para sahabatnya, laporan kasus yang berjudul CIDP dapat diselesaikan.

Penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada dr. Heriyanto, Sp.S selaku pembimbing yang dengan penuh dedikasi, kesabaran dan keikhlasan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing penulis sehingga hambatan dalam penulisan laporan kasus ini dapat teratasi.

Penulis juga ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada pasien dan keluarga atas partisipasi dan kerjasamanya yang memperbolehkan pelaporan kasus ini berlangsung dengan baik dan lancar. Atas hal tersebut penulis ucapkan terimakasih.

Penulis menyadari bahwa tulisan dalam laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mohon maaf apabila terdapat kekurangan pada laporan kasus. Penulis juga mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari semua pihak agar menjadi lebih baik. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan kemajuan ilmu pengetahuan khususnya kedokteran dikemudian hari.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR1DAFTAR ISI2BAB I LAPORAN KASUS3

A. Identitias Pasien3B. Status Pasien3C. Prognosis11BAB II TINJAUAN PUSTAKA12DAFTAR PUSTAKA16BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas PasienNama:Bp. JJenis Kelamin:Pria

Usia:tahun

Alamat :

Pekerjaan:Karyawan swastaBangsa:Indonesia

Suku:Jawa

Agama:Islam

Status Perkawinan:Sudah Menikah

B. Status PasienAutoanamnesis :Autoanamnesis, Senin, 5 Juni 2015

Keluhan Utama :Kedua tangan dan kaki lemah Keluhan Tambahan:Kedua tangan dan kaki kaku, sering kesemutan, dan badan terasa lemas. Riwayat Penyakit Sekarang :Sejak tahun 2012, pasien mengeluh kedua tangan dan kaki kaku, lemah. Kedua kaki berat untuk melangkah. dan sering kesemutan. Badan terasa lemas. Pasien mengaku sudah pernah cek asam urat, gula, dan kolesterol tetapi hasilnya normal. Pasien pernah berobat ke dokter saraf di boyolali dan diberi suntik di kaki dan diberi obat lalu keluhan berkurang pada tahun 2014. 3 bulan SMRS pasien tiba - tiba kedua kaki lemah ketika naik motor lalu semakin buruk sampai kedua tangan terasa lemah. Badan terasa lemas. 1 hari SMRS pasien masih mengeluh kedua kaki, tangan, dan badan terasa lemah, makan (+) normal, minum (+) normal. Riwayat trauma kepala (-)Riwayat Penyakit Dahulu:Tidak ditemukan riwayat hipertensi, tidak ditemukan riwayat diabetes mellitus, tidak ada trauma sebelumnya pada kepala, dan tidak pernah mengalami operasi.Riwayat Penyakit Keluarga:Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang samaC. Pemeriksaan FisikKesadaran:E4 M6 V5 Keadaan Umum:sakit sedangStatus Generalisata :

Tanda vital:Tekanan darah = 120/80

Nadi= 95x/ menit

RR

= 24x/ menit

Suhu= 360CKepala:Deformitas (-)

Mata:Pupil bulat isokhor +/+, Konjungtiva anemia -/-, sklera ikterik -/-THT:Telinga = aurikula tidak terdapat kelainan, liang telinga lapang, serumen -/-, membran timpani intak

Hidung =deviasi septum (), mukosa normal, konka tidak hipertrofi

Tenggorokan = T1 T1, hiperemis (-)Thorax:Pergerakan dada simetris; suara paru vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-; suara jantung S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen:Datar, Bising usus dalam batas normal, timpani pada seluruh lapang abdomen, tidak teraba pembesaran hepar dan lienEkstremitas:Akral hangat, edema tungkai (-), capillary refill < 2 detik, tidak terdapat edema, tidak terdapat sianosisStatus Neurologis

a. Kesadaran : E4 M6 V5, GCS = 15b.Meningeal Sign: Kaku kuduk: -

Kernig

: -

Brudzinski I: -

Brudzinski II: -

Brudzinski III: -

Brudzinski IV: -

Laseque : -c. Nervi Cranialis

1. Nervus I (N. Olfactorius)

Daya Penghidu

: SDE

2. Nervus II (N. Opticus)

Tajaman Penglihatan: SDE

Pengenalan Warna: SDE

Lapang Pandang

: SDE

Funduskopi

: Tidak Dilakukan

3. Nervus III, IV, VI (N. Occulomotorius/ Trochlearis/ Abdusens)

Kedudukan bola mata saat diam : ditengah

Gerakan Bola Mata: ke segala arah

Pupil:

- Ukuran Pupil

: 3 mm/ 3 mm

- Bentuk Pupil

: Bulat/Bulat

- Isokor/ Anisokor: Isokhor

- RCL

: (+/+)

- RCTL

: (+/+)

- Refleks Akomodasi/ Konvergensi : SDE

4. Nervus V (N. Trigeminus)

Sensoris

: (+) terasa sama dikedua sisi wajah

Motorik : Menggigit

: (+)

Membuka Mulut

: (+)

Menggigit Tounge Spatel kayu : (+)

Menggerakan rahang

: (+)

Reflex: Maseter/Mandibula: (-)

Reflex kornea

: (+/+)

5. Nervus VII (N. Fasialis)

Motorik:

Kondisi Diam

: dbn

Kondisi Bergerak

m. frontalis

: (+)

m. korugator supersilii: (+)

m. nasalis

: (+)

m. orbicularis oculi

: (+)

m. orbicularis oris

: (+)

m. zygomaticum

: (+)

m. risorius

: (+)

m. bucinator

: (+)

m. mentalis

: (+)

m. plysma

: (+)

Sensorik Khusus:

Lakrimasi: SDE

Refleks Stapedius: SDE

Pengecap Lidah: SDE

6. Nervus VIII (N. Acusticus)

Suara berbisik: SDE

Detik Arloji: SDE

Tes Garpu tala : SDE

Tes Kalori: SDE

7. Nervus IX,X (N. Glossopharyngeus,Vagus )

Inspeksi oropharing keadaan istirahat

: uvula dan arkus faring simetris

Inspeksi oropharing saat berfonasi

: normal

Daya Pengecap Lidah 1/3 Belakang

: SDE

Menelan

: normal

Suara Serak atau parau

: SDE

8. Nervus XI (N. Assesorius)

Kekuatan m. trapezius

: 5

Kekuatan m. sternokleidomastoideus: 51. Nervus XII (N. Hipoglosus) Kondisi diam

: normalKondisi bergerak

: normal

d. Motorik

Observasi: gerakan terbatas pada 4 ekstremitas. Wajah simetris

Palpasi

: Tidak terdapat atrofi, konsistensi kenyal dan tegang

Perkusi: Normal

Tonus: Hipotonus Hipotonus

Hipotonus Hipotonus

Kekuatan otot :

Ekstremitas atas :

m. deltoid

: 3/3

m. biseps brakii

: 3/3

m. triseps

: 3/3

m. brakioradialis

: 4/4

m. pronator teres

: 4/4

Genggaman Tangan: 4/3

Ekstremitas bawah:

m. iliopsoas

:

m. kuadrisep femoris:

m. hamstring

:

m. tibialis anterior

:

m. gastrocnemius

: 4/4

m. soleus

: 4/4e. Sensorik

Eksteroseptik/protopatik

: (+) normal

Propriosepstik

: (+) normal

Kombinasi

Stereognosis

: SDE

Barognosis

: SDE

Graphestesia

: (+) normal

Two point tactile discrimination : (+) normal

Sensory extinction

: (-)

Loss of body image: (-)

f. Reflek Fisiologis

Refleks permukaan:

Dinding perut: (+/+)

Cremaster: SDE

Refleks tendon

BPR/biseps

: (+/+)

TPR/triseps

: (+/+)

KPR/patella

: (-/+)

APR/Achilles

: (-/+)

Klonus

: (-/-)

g. Reflek Patologis

Babinski

: (-/-)

Chaddock

: (-/-)

Oppenheim

: (-/-)

Gordon

: (-/-)

Schaefer

: (-/-)

Gonda

: (-/-)

Stransky

: (-/-)

Rossolimo

: (-/-)

Mendel bechterew

: (-/-)

Hoffman

: (-/-)

Trommer

: (-/-)

Klonus Pattela

: (-/-)

Klonus Ankle

: (-/-)

h. Reflex primitive

Grasp reflex

: (-/-)

Palmo-MentalReflex: (-/-)

i. Pemeriksaan cereblum

Koordinasi

Asinergia/disinergia: -

Diadokinesia

: -

Metria

: -

Tes pemeliharaan sikap

Rebound phenomenon : (+)

Tes Lengan lurus

: (+)

Keseimbangan

Sikap Duduk

: normal

Sikap Berdiri

:

Wide base/broad base stance: SDE

Modifikasi Romberg

: SDE

Dekomposisi sikap

: SDE

Berjalan :

Tandem walking

: SDE

Berjalan memutari kursi/meja: SDE

Berjalan maju-mundur

: SDE

Lari ditempat

: SDE

Tonus : (-)

Tremor

: (-)j. Pemeriksaan Fungsi Luhur

Aphasia

: (-)

Alexia

: (-)

Apraksia

: (-)

Agraphia

: (-)

Akalkulia

: (-)

Right-left disorientation : (-)

Fingeragnosia

: (-)k. Tes sendi sakroiliaka :

Patricks: (-)

Contra Patricks: (-)l. Tes provokasi n. ischiadicus ;

Laseque

: (-)/(-)

Sicards

: (-)/(-)

Bragards

: (-)/(-)

Minors

: SDE

Neris

: SDE

Door bell sign

: (-)

Kemp test

: SDEPemeriksaan Penunjang Darah lengkap, Gula darah sewaktu, Gula darah 2 jam post prandial, EMGAssesment

a. Klinis

: b. Topis

: Sistem Saraf Tepic. Etiologis

: CIDP (Chronic d. Diagnosa Banding: (-)Planning

a. Diagnosis Darah lengkap, Gula darah sewaktu, Gula darah 2 jam post prandial, EMGb. TerapiRL 500 cc/6 jam

Inj Ampicillin 3x2 ampulInj norages 3x1 amp

Inj Fenitoin 3x100 mg (1amp) IV dalam NS 50 cc

Dexamethason 4x5 mg IV diberikan 30 menit sebelum antibiotik

Citicolin 2x1000 mg IV

Inj extrace 2x500 mcg IV

Ondansetron 2x4 mg IVAntitetanus Toksin (Tetagam) 20.000 unit IM

HTIG 9000 unit IM

Paracetamol 500 mg suppBedrest posisi miring kanan dan miring kiri

O2 Nasal Kanul 3L

c. Monitoring

Observasi keadaan umumVital sign

d. Edukasi

Edukasi keadaan pasien dan prognosisnya kepada keluarga

Edukasi penyebab dan faktor risiko CIDPEdukasi pasien bahwa pasien dilatih untuk menggunakan anggota geraknya.Prognosis

Quo ad Vitam: ad bonam

Quo ad Functionam: dubia ad malam

Quo ad Sanationam: dubia ad malamBAB II

TINJAUAN PUSTAKADefinisiChronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP) adalah suatu gangguan neurologis yang dikarakteristik oleh kelemahan progresif dan gangguan fungsi sensorik pada tungkai dan lengan. Gangguan ini kadang-kadang disebut chronic relapsing polyneuropathy, disebabkan oleh kerusakan selubung mielin (selubung lemak yang membungkus dan melindungi sekeliling serat saraf) nervus perifer. Meskipun gangguan ini dapat terjadi pada setiap umur dan jenis kelamin, CIDP lebih sering terjadi pada dewasa muda, dan pria lebih sering dibandingkan wanita. Gejala-gejala yang sering terlihat termasuk rasa geli atau mati rasa (dimulai pada jari-jari kaki dan tangan), kelemahan kedua lengan dan tungkai, hilangnya refleks tendon dalam (areflexia), fatigue, dan sensasi abnormal.1 Gejala-gejala, penanganan dan prognosis sangat mirip dengan tipe penyakit lain yang dikenal sebagai guillain-barr-syndrome. CIDP awalnya dikenal sebagai "chronic Guillain-Barr syndrome." Guillain-Barr syndrome adalah suatu gangguan akut yang gejala-gejalanya cepat terlihat dan lebih jelas. Walaupun keduanya mirip, CIDP dan Guillain-Barr merupakan dua kondisi yang berbeda. CIDP biasa juga dikenal sebagai chronic relapsing polyneuropathy.2

Demyelinisasi nervus perifer menyebabkan kelemahan kedua tungkai dan lengan yang berkembang secara progresif dan lebih berat sepanjang tahun. Kemampuan tungkai dan lengan merasakan impuls sensorik seperti sentuhan, nyeri dan temperatur juga terganggu. Khasnya pertama kali dirasakan sebagai tingling (rasa geli) atau tumpul pada jari-jari kaki dan tangan. Gejala-gejala keduanya menyebar dan lebih berat sepanjang tahun.2,3 Epidemologi

Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy adalah gangguan yang sering terjadi dan meskipun kadang terdiagnosa, dan merupakan penyakit yang potensial dapat ditangani, dengan prevalensi kira-kira 0.5 per 100,000 kasus. Persamaan klinik dengan varian inflammatory demyelinating polyneuropathy acute (GuillainBarr syndrome) memungkinkan terapi immunosuppresif bermanfaat dalam penanganan pasien, sehingga diduga patogenesis gangguan ini berupa immune-mediated. Saat Austin, dkk serta Dyck dkk., pertama kali mendeskripsikan pasien dengan corticosteroid-responsive chronic polyneuropathy, spektrum presentasi klinik dan penyokong diagnostik terus berkembang, termasuk pilihan terapi. Penting membedakan gangguan ini dari chronic sensorimotor polyneuropathies yang timbul bersamaan dengan diabetes, alkoholisme, atau malnutrisi.3,5

Etiologi

CIDP adalah suatu gangguan sistem imun. Khususnya, sistem imun tidak dapat mengenal sel-sel myelin nervus perifer dan menganggapnya sebagai agent asing. Kerusakan selubung terjadi saat sistem imun mencoba untuk membersihkan tubuh dari agent asing. Tidak ada fakta penelitian genetik yang menyokong terjadinya penyakit ini, ataupun riwayat keluarga. Beberapa kesimpulan menunjukkan bahwa CIDP merupakan penyakit yang tidak diturunkan.3Seperti Guillain-Barr syndrome, sangat kuat dugaan bahwa CIDP dipicu oleh infeksi virus. Sebagai contoh, sel-sel imun dapat rusak oleh infeksi virus, seperti yang terjadi pada acquired-immunodeficiency-syndrome (AIDS) sehingga menyebabkan malfungsi sistem imun. Apakah infeksi virus atau mikroba yang secara langsung menyebabkan CIDP masih belum jelas.4,6

CIDP berbeda dari Guillain-Barr syndrome pada infeksi virus, dimana tidak terjadi antara beberapa bulan saat gejala pertama terlihat. Pada Guillain-Barr syndrome, infeksi virus atau bakteri, khas mendahului timbulnya gejala-gejala.6 Patogenesis

Proteksi melawan respon-respon imun terhadap autoantigen adalah kunci untuk pemeliharaan self-tolerance. Pada chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy, self-tolerance mengalami kerusakan. Autoreactive T cells dan B cells, yang menjadi bagian normal imunitas, teraktivasi menyebabkan kerusakan organ spesifik.3,6Prinsip dasar respon imun seluler dan humoral yang memperlihatkan bahwa autoreactive T cells mengenal suatu autoantigen spesifik dalam konteks kompleks immunokompatibilitas klas II pada permukaan antigen-presenting cells (makrofag) pada kompartemen imun sistemik. Infeksi dapat memicu kejadian ini melalui peniru molekuler, potongan melintang pada epitop terbagi antara agent mikrobial dan antigen nervus. Limfosit T yang teraktivasi ini dapat melewati barier pembuluh darah nervus dalam proses yang melibatkan molekul-molekul adhesi seluler, matriks metaloproteinase dan kemokin. Diantara sistem saraf perifer, sel-sel T mengaktivasi makrofag yang meningkatkan aktifitas fagositik, produksi sitokin dan pelepasan mediator toksik, termasuk nitric oxida, reactive oxygen intermediates, matrix metalloproteinase, dan sitokin proinflamasi, termasuk tumor necrosis factor-( dan interferon (. Autoantibodi melewati barier pembuluh darah saraf atau secara lokal dihasilkan dari keterlibatan sel-sel plasma menyebabkan kerusakan demielinasi dan aksonal. Autoantibodi dapat menyebabkan demyelinisasi melalui sitotoksisitas seluler dependent-antibody, secara potensial memblokade epitop yang secara fungsional sesuai dengan hantaran saraf, dan mengaktivasi sistem komplemen melalui pathway klasik, menghasilkan mediator-mediator proinflamasi dan membran lisis- menyerang kompleks C5b-9. Terminasi respon inflamasi terjadi melalui induksi apoptosis sel T dan pelepasan sitokin antiinflamasi, termasuk interleukin -10 dan mentransformasi faktor pertumbuhan-(. Selubung mielin (sisipan) tersusun dari berbagai protein, seperti myelin protein zero, yang tersusun lebih dari 50 % dari total protein membran pada mielin sistem saraf perifer manusia; myelin protein 2; myelin basic protein; myelin-associated glycoprotein; connexin 32; dan gangliosida dan dihubungkan dengan glikolipid. Molekul-molekul ini telah teridentifikasi sebagai antigen target untuk respon-respon antibodi dengan berbagai frekuensi pada pasien dengan penyakit CIDP.3

Gambar. Immunopathogenesis dari Chronic Inflammatory Demyelinating NeuropathyKlasifikasi

a. Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy Klasik Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy klasik, dikarakteristik oleh kelemahan simetris pada otot-otot proksimal dan distal yang mengalami peningkatan progresifitas lebih dari dua bulan (keadaan kondisi ini terpisah dari GuillainBarr syndrome, penyakit ini self-limited). Kondisi-kondisi yang ada berhubungan dengan gangguan sensasi, tidak adanya atau berkurangnya refleks-refleks tendon, dan elevasi kadar protein cairan serebrospinal, pada hantaran-saraf terdapat demielinasi, dan tanda-tanda demielinasi pada spesimen biopsi. Dalam perjalanan penyakit, dapat terjadi relaps atau kronik dan progresif. Paling sering pada dewasa muda.5

b. Neuropathy DemielinasiAnalisis klinik yang sangat teliti mendefinisikan bentuk lain dari acquired demyelinating polyneuropathy. Penyebab diduga autoimun atau dysimmune yang berbeda dari chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy klasik, baik dalam presentasi klinik maupun respon terhadap penanganan. Namun tidak jelas apakah kondisi ini adalah varian chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy atau penyakit yang berbeda. Penyakit-penyakit tersebut antara lain:3,5

Distal Acquired Demyelinating Symmetric Neuropathy. Diduga bahwa distal acquired demyelinating symmetric neuropathy berbeda dengan acquired demyelinating polyneuropathy. Prevalensi meningkat pada pria dan mereka yang berumur lebih dari 50 tahun. Gejala yang menonjol berupa sensory loss distal, kelemahan distal ringan (berbeda dengan defisit motor yang lebih general pada chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy klasik), dan kehilangan keseimbangan. IgM paraproteinemia ditemukan pada hampir 23 pasien dengan kondisi ini. IgM-associated distal demyelinating symmetric neuropathy berespon kurang baik terhadap terapi immunosuppressive.3,5,7 Multifocal Motor Neuropathy. Penting untuk membedakan multifocal motor neuropathy dari penyakit motor neuron. Multifocal motor neuropathy dikarakteristik oleh kelemahan asimetrik tanpa sensory loss, seringkali dimulai pada otot lengan distal. Blokade hantaran motorik partial pada kedua sisi adalah ciri khas gambaran elektrofisiologik, walaupun tidak semua pasien mengalaminya. Sampai saat ini dilakukan deteksi antiganglioside antibody sirkulasi. Kadar protein cairan cerebrospinal dan jumlah sel biasanya normal. Meskipun penanganan kortikosteroid dan plasmapheresis tidak efektif, multifocal motor neuropathy dapat diperbaiki dengan immune globulin atau terapi cyclophosphamide. 3,5Multifocal Acquired Demyelinating Sensory dan Motor Neuropathy (LewisSumner Syndrome). Multifocal acquired demyelinating sensory and motor neuropathy (the LewisSumner syndrome) memiliki kemiripan dengan chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (misalnya, defisit motorik dan sensorik, peningkatan kadar protein, dan pada studi hantaran nervus motorik dan sensorik memberikan hasil abnormal) dan multifocal motor neuropathy (misalnya, gejala-gejala yang asimetrik, sering dimulai dari lengan dan tangan, dan blokade hantaran). Beberapa psaien dengan kondisi ini memiliki antibodi terhadap gangliosida, dan pasien-pasien ini berespon baik terhadap penanganan intravenous immune globulin atau cyclophosphamide.3,7

c. Neuropathy-neuropathy lain yang mirip dengan Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy.

Beberapa bentuk lain dari acquired dan chronic polyneuropathy memiliki gambaran yang sama dengan chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy dan telah diklasifikasikan menjadi sub kelompok. Bentuk-bentuk ini termasuk axonal chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy, pure sensory chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy, dan pure motor dan axonal chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (yang juga disebut multifocal acquired motor axonopathy). Pasien-pasien dengan peripheral-nerve demyelination dan respon complete atau partial terhadap immunoterapi, diduga sebagai bagian dari family chronic acquired demyelinating polyneuropathies yang besar. Chronic idiopathic axonal polyneuropathy adalah suatu kelompok gangguan heterogeneous akibat progresifitas neuropathy sensorimotor lambat tanpa nyeri, dapat menyebabkan kecacatan ringan sampai sedang.8,9Kriteria klinik

a. Kriteria klinik menurut American Academy of Neurology (AAN )3 Klinik : disfungsi motorik, dan disfungsi sensorik, yang melibatkan > dari 1 tungkai, atau keduanya.\

Waktu berlangsungnya; ( dari 2 bulan

Refleks: berkurang atau tidak ada

Tes elektrodiagnostik: 3 dari 4 kriteria berikut: blokade kecepatan hantaran parsial ( 2 nervus motorik, pemanjangan latensi distal ( 2 nervus motorik atau tidak adanya gelombang F. Cairan cerebrospinal: hitung leukosit < 10/mm3, peningkatan kadar protein (pendukung) Temuan biopsi: adanya demyelinisasi dan remyelinisasib. Kriteria Klinik Saperstein dkk.3 Klinik ; Mayor: kelemahan proksimal dan distal simetrik; Minor: khusus kelemahan distal atau sensory loss.

Waktu berlangsungnya; ( dari 2 bulan

Refleks: berkurang atau tidak ada Tes elektrodiagnostik: 2 dari 4 kriteria elektrodiagnostik AAN. Cairan cerebrospinal: Protein > 45 mg/dl; hitung leukosit < 10/mm3 (pendukung) Temuan biopsi: gambaran menonjol demyelinisasi

c. Kriteria Inflammatory Neuropathy Cause and Treatment (INCAT)3 Klinik : progresif atau relapsing motorik dan disfungsi sensorik lebih dari 1 tungkai

Waktu berlangsungnya; > dari 2 bulan Refleks: berkurang atau tidak ada Tes elektrodiagnostik: blokade hantaran parsial 2 nervus motorik dan kecepatan hantaran abnormal atau latensi distal atau latensi gelombang F pada 1 nervus lain; atau tidak adanya blokade hantaran parsial, abnormalitas kecepatan hantaran, latensi distal, atau latensi gelombang F pada 3 nervus motorik; atau abormalitas elektrodiagnostik menunjukkan demyelinisasi 2 nervus dan pemeriksaan histologi menunjukkan adanya demyelinisasi. Cairan cerebrospinal: analisis cairan cerebrospinal direkomendasikan tapi tidak diharuskan.

Temuan biopsi: tidak diharuskan (kecuali pada kasus-kasus dengan abnormalitas elektrodiagnostik hanya pada 2 nervus motorik).3Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis terhadap gejala-gejala yang timbul serta pemeriksaan klinis. CIDP biasanya mengalami kelemahan dan gangguan sensorik. Kadang-kadang hanya terjadi gejala kelemahan tanpa gangguan sensorik, namun jarang terjadi hanya gangguan sesorik sendiri.9Gejala-gejala CIDP sering diawali dengan gejala-gejala seperti rasa geli atau mati rasa yang dimulai dari jari-jari tangan dan kaki, kelemahan pada tangan dan kaki atau kaki terasa berat dan kaku, tangan tidak bisa menggenggam, hilangnya refleks tendon dalam (arefleksia), kelelahan dan adanya sensasi abnormal. Penyakit ini bisa menjadi progresif dan memburuk dalam beberapa minggu, bulan atau kadang-kadang tahun. Bila semakin berat bisa terjadi tremor terutama pada tungkai dan lengan bagian atas. Sangat jarang terjadi kelumpuhan pada daerah wajah.3Diagnosis CIDP dapat ditelusuri dengan tes darah, lumbal punksi dan uji hantaran saraf menggunakan elektromiogram (EMG), EKG atau dengan MRI.

1. Lumbal punksi

Lumbal pungsi dilakukan untuk penilaian cairan cerebrospinal. Jumlah protein cairan cerebrospinal pada CIDP, lebih banyak dibandingkan pada keadaan normal. Kadang-kadang terdapat papil edema dan sindroma pseudotumor yang berhubungan dengan tingginya protein cairan cerebrospinal. Analisis cairan cerebrospinal pada pasien CIDP menunjukkan adanya disosiasi albuminositologik.62. EMGElectromyography (EMG) digunakan untuk mengukur respon otot terhadap stimulasi elektrik. Pada EMG, suatu elektroda diantara suatu jarum didorong melalui kulit kedalam otot; beberapa elektroda dibutuhkan untuk dimasukkan melalui otot untuk akurasi pengukuran perilaku otot. Stimulasi otot menyebabkan pola visual atau audio. Pola panjang gelombang membawa informasi mengenai respon otot. Pola khas panjang gelombang dihasilkan oleh otot yang sehat, yang disebut aksi potensial, yang dapat dibandingkan dengan otot dari seseorang yang diduga mengalami CIDP. Untuk otot yang mengalami kerusakan nervus, aksi potensial panjang gelombang lebih kecil dibandingkan dengan otot normal.4,6,9 3. EKG

Elektrokardiogram dapat digunakan untuk mencatat aktifitas elektrik pada jantung saat diduga terjadi paralisis otot jantung. Kerusakan nervus akan merubah pola normal detak jantung.9

4. MRI

MRI digunakan untuk mengeliminasi kemungkinan adanya kerusakan yang terjadi pada sistem saraf perifer. Differensial diagnosis

Perlu dilakukan berbagai tes laboratorium yang lebih luas diperlukan pada beberapa pasien untuk meneliti berbagai penyebab lain dari demyelinisasi polineuropathy, demikian juga penyakit yang bersamaan dengan penyakit ini. Beberapa differensial diagnosa:

Guillan-barre syndrome, yang ditandai dengan kelemahan muskular progresif dalam periode ( 1 bulan

Neuropathy yang diturunkan, misalnya neuropathy motor dan sensorik yang diturunkan. Diperlukan anamnesis riwayat keluarga dan analisis DNA untuk membuktikannya.

Neuropathy metabolik: misalnya neuropathy diabetik dan neuropathy yang berhubungan dengan gangguan toleransi glukosa: uremik, hepatik dan neuropathy acromegalic; neuropathy yang berhubungan dengan hypotiroidisme. Diperlukan tes laboratorium yang tepat untuk membuktikan kelainan-kelaian ini.

Neuropathy paraneoplastik: neuropathy yang berhubungan dengan limphoma atau karsinoma.

Neuropathy yang berhubungan dengan monoklonal gammopathy: neuropathy yang berhubungan dengan mieloma osteosclerosis, dengan monoklonal gammopathy yang tidak dapat ditentukan, dan dengan Waldenstroms macroglobulinemia.

Neuropathy yang berhubungan dengan penyakit infeksi: infeksi dengan immunodeficiensy virus, Leprosy, Borreliosis (termasuk lyme disease), diptheria.

Neuropathy toksik: alkohol, agent-agent industri (misalnya acrylamide), logam (misalnya timah), obat-obatan (platinum-based agent, amiodarone, perhexiline, tacrolimus, chloroquin, dan suramin).

Neuropathy akibat defisiensi nutrisi: defisiensi vitamin B1, B6, B12, atau E

Neuropathy yang berhubungan dengan porphyria

Neuropathy yang berhubungan dengan penyakit-penyakit berat: polyneuropathy yang berhubungan dengan sepsis, multiple organ failure, atau ventilasi jangka panjang.3

Penanganan

Dalam penanganan harus melibatkan ahli neurologi, ahli immunologi dan ahli terapi fisik. Kelompok pendukung berguna dalam membantu penanganan.

Penanganan CIDP dan Guillain-Barr syndrome sama. Penggunaan kortikosteroid seperti prednisone, yang akan mengurangi respon sistem imun, dapat mengurangi jumlah demielinasi yang terjadi.3,8

Medikamentosa

Steroid

First line penanganan untuk CIDP termasuk kortikosteroid (mis. Prednisone), Dengan dosis awal 100 mg/hari dan biasanya dinaikkan dalam 1-4 minggu kemudian dapat diganti dengan terapi lain secara selang-seling. Apabila kekuatan otot menjadi normal kembali dan mencapai keadaan plateu maka dosis prednison dapat diturunkan secara perlahan-lahan 5 mg setiap 2-3 minggu.5,7Obat-obat imunosuppresif

Obat-obat Immunosuppressive seringkali digunakan adalah klas Cytotoxic (kemoterapi), termasuk Rituximab (Rituxan) dengan target sel-B, serta Cyclophosphamide, obat yang mengurangi fungsi sistem imun. Ciclosporin juga telah digunakan pada CIDP tapi dengan frekuensi yang kurang karena merupakan pendekatan yang baru. Ciclosporin diperkirakan terikat pada immunocompetent Lymphocytes, khususnya limfosit-T.5,7,9

Penanganan immunosuppresif non-cytotoxic yang biasa digunakan termasuk Azathioprine (Imuran) dan Mycophenolate mofetil (Cellcept). Anti-thymocyte globulin (ATG), suatu agent immunosuppresif yang secara selektif menghancurkan limfosit T, telah dipelajari untuk digunakan untuk CIDP. Anti-thymocyte globulin adalah fraksi gamma globulin antiserum dari hewan yang telah diimunisasi melawan human thymocytes. Ini merupakan suatu polyclonal antibody.4

Plasmapheresis (plasma exchange) dan immunoglobulin (IVIg)Plasmapheresis (plasma exchange) dan intravenous Immunoglobulin (IVIg) yang dapat diberikan tunggal atau kombinasi dengan obat immunosuppresif lain.5,7,8

Prosedur medis yang dikenal sebagai plasmapheresis, atau plasma exchange, dapat menjadi pilihan penanganan yang lain. Pada plasmapheresis, plasma darah dikeluarkan dari tubuh, Eritrosit diambil dari plasma dan dikembalikan kedalam tubuh dengan plasma yang bebas antibodi atau dengan cairan intravena. Oleh karena plasma darah dikeluarkan dari tubuh pasien CIDP dapat mengandung antibodi terhadap selubung myelin, mengeluarkan antibodi-antibodi ini dapat mengurangi efek dari sistem imun tubuh menyerang sel-sel nervus.7,9

Prosedur lain yang menghasilkan hasil yang sama yaitu pemberian intravenous immunoglobulin (IVIg). IVIg secara umum ditujukan untuk penanganan sistem imun yang berhubungan dengan neuropathy. Seperti plasmapheresis, immunoglobulin dapat membantu mengurangi jumlah anti-myelin antibody, dan untuk menekan respon imun.9 Fisioterapi Fisioterapi memegang peranan penting dalam penanganan CIDP. Fisioterapi dapat memperbaiki kekuatan, fungsi dan mobilitas otot dan meminimalisasikan penyusutan otot dan tendon serta distorsi sendi-sendi.4

Pemulihan dan Rehabilitasi

Pemulihan dari CIDP bervariasi dari satu orang ke orang lain. Beberapa orang pulih sempurna tanpa intervensi pengobatan, sedangkan yang lain dapat relaps lagi dan lagi. Oleh karena beberapa orang dapat mengalami kelemahan atau numbness yang permanen, terapi fisik dapat digunakan sebagai bagian dari regimen rehabilitasi.7

Prognosis

Prognosis seorang pasien berkisar antara pemulihan sempurna sampai pola ulangan periodik gejala-gejala dan residual kelemahan atau numbness otot. Seperti pada Multiple Sclerosis, suatu kondisi yang mirip demyelinasi, tidak mungkin diprediksi dengan pasti bagaimana CIDP mempengaruhi seseorang nantinya. Pola relaps dan remisi sangat bervariasi pada tiap-tiap pasien. Periode relaps bisa sangat mengganggu, tapi beberapa pasien dapat mengalami pemulihan signifikan.

Jika terdiagnosa secara dini, inisiasi penanganan dini untuk mencegah nerve-loss direkomendasikan. Akan tetapi, beberapa orang masih menyisakan gejala-gejala sisa seperti; rasa tumpul, kelemahan, tremor, fatigue dan gejala-gejala lain yang dapat memicu morbiditas jangka panjang dan membatasi kualitas hidup.1Penting untuk membangun hubungan yang baik dengan dokter, penyedia layanan primer dan spesialis. Oleh karena penyakit yang jarang, beberapa dokter tidak memiliki kesiapan untuk menanganinya. Tiap-tiap kasus CIDP berbeda, dan relaps jika terjadi dapat membawa gejala-gejala dan masalah baru. Oleh karena variabilitas dalam berat dan progresifitas penyakit, dokter-dokter tidak mampu menentukan prognosis pasti. Periode eksperimentasi dengan regimen penanganan berbeda penting untuk menemukan regimen penanganan yang tepat untuk diberikan pada pasien. 1,3

Perhatian Khusus

Masalah penting, penggunaan IVIg akan meningkatkan resiko kerusakan ginjal pada penderita usia tua atau diabetes. Perlu diberikan Lovenox (Enoxaparin) yang dapat menurunkan resiko pembekuan darah pada pasien hipertensi. Resiko meningkat bila Lovenox diberikan bersama dengan aspirin atau obat antiinflamasi. Penggunaan kortikosteroid dapat menekan efisiensi sistem imun, sehingga meningkatkan resiko infeksi sekunder atau oportunistik. Staf medis perlu memonitor pasien yang menerima penanganan ini untuk timbulnya tanda-tanda komplikasi.1,3 BAB III

ANALISA KASUS

Pada kasus ini, didapatkan seorang pasien Bp. P datang dengan keluhan kejang. Kejang terjadi pada hari MRS 8 jam sebelum dibawa ke Rumah Sakit. Sebelumnya pada 3 SMRS pasien mengeluhkan adanya nyeri tenggorokan. Kemudian 2 hari SMRS pasien mengalami demam dan leher mulai terasa tidak enak. Pada saat 1 hari SMRS pasien mengalami kejang dengan durasi 5 menit. Kemudian pada hari MRS pasien mengalami kejang kembali disertai dengan leher kaku, badan yang kaku serta ekstremitas yang kaku dan melipat. Pasien juga mengalami kejang bila terdapat rangsangan cahaya, suara, atau sentuhan. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan pasien mengalami rhisus sardonicus, trismus < 1 cm, serta opisthotonus.

Dari hasil pemeriksaan, pasien didiagnosis mengalami tetanus. Terjadi kekakuan seluruh tubuh pada pasien karena neurotransmitter inhibitorik di Sistem saraf tepi pasien mengalami penghambatan pelepasan oleh toksin C. tetanii yaitu tetanospasmin. Hal ini mengakibatkan tubuh pasien tidak dapat mengendalikan impuls eksitatorik sehingga terjadi kejang pada otot-otot volunteer pasien. Komplikasi yang dapat terjadi adalah apnea akibat kontraksi dari otot-otot pernafasan tanpa relaksasi serta hipoglikemia karena terjadi kontraksi terus-menerus. Pasien juga mengalami demam akibat peningkatan dari metabolisme seluruh tubuh namun juga bisa diakibatkan oleh infeksi C. tetanii pada pasien. Diduga infeksi C.tetanii mengenai mulut tenggorokan pasien karena pasien mengeluhkan adanya nyeri tenggorokan tanpa disertai adanya riwayat luka pada pasien.

Prognosis pada pasien ini malam dari segi ad vitam, ad sanatoinam, dan ad functionam karena berdasarkan skor Phillips didapatkan hasil > 18 dimana hal ini menunjukkan tetanus berat.DAFTAR PUSTAKA1. NINDS Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (CIDP). National Institute of Neurological Disorders and Stroke National Institutes of Health Bethesda, MD 20892. Available at http://en.wikipedia.org/wiki/Chronic_ inflammatory_demyelinating_polyneuropathy Last updated August 18, 2009. 2. Hoyle BD. Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy. http://www.answers.com/topic/chronic-inflammatory-demyelinating-polyneuropathy

3. Kller H, Kieseier BC, Jander S, Hans-Peter Hartung. Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy. Volume 352:1343-1356. March 31, 2005. Available at http://content.nejm.org/cgi/reprint/352/13/1343.pdf.

4. Rajabally YA, Guillaume N, Francoise P, Bouche P, Peter Y K. Validity of diagnostic criteria for chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy: a multicentre European study. 19 August 2009. Available at. http://jnnp.bmj.com/cgi/content/short/jnnp.2009.179358v1?rss=1 5. Hoyle B. D. Chronic Acquired Demyelinating Symmetric Polyneuropathy Classified by Pattern of Weakness Arch Neurol.2003;60:260-264.

6. Mygland A, Monstad P. Chronic Acquired Demyelinating SymmetrPolyneuropathy Classified by Pattern of Weakness. Vest-Agder Central Hospital, N-4604 Kristiansand, Norway. Vol. 60 No. 2, February 2003.7. John Hopkins medicine. Guillian-Barre and CIDP. http://www.hopkinsmedicine.org/8. Oh S.J., Joy J.L., Kuruoglu R. Chronic sensory demyelinating neuropathy: chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy presenting as a pure sensory neuropathy. 1992;55;677-680 J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 10.1136/jnnp.55.8.677 9. Markowitz J.A., Jeste S.S., Kang P.B. Child Neurology: Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy in children. 2008;71:e74-e78. Available at http://www.neurology.org/cgi/content/abstract/71/23/e74?ck=nc.

10