Upload
redyhata
View
403
Download
50
Embed Size (px)
Citation preview
Abstrak
Dilaporkan seorang wanita, umur 28 tahun konsulan dari bagian obgin
dengan P2A0, post partum spontan dengan vakum ekstraksi, krisis tiroid dan
decompensasi cordis grade IV. Pasien mengeluh sesak yang semakin
memberat selama kehamilan, dada sering berdebar-debar, tangan sering
kesemutan, adanya benjolan di leher yang ikut bergerak bila menelan ludah,
bola mata menonjol keluar disertai pembengkakan di kedua kaki. ± 3 tahun
yang lalu pasien didiagnosa memiliki penyakit gondokan dan diberi obat
tetapi karena keluhan semakim memberat pasien tidak kontrol lagi.
Di UGD RS Sarjito pasien tampak sesak, kesadaran komposmentis,
tensi 190/110mmHg, HR. 152-200 x/mnt, RR.26 – 36x/mnt, suhu. 37,6oC.
RBK +/+, wheezing -/-, Vesikuler +/+. Gambaran EKG : STC 160 x/menit,
AFRVR. berdasarkan Sistem skoring Burch dan Wartofsky (Migneco, 2005),
didapatkan adanya takikardi ≥ 140 (25), adanya udem pulmo (15), adanya
atrial fibrilasi(10), adanya kelainan system syaraf yang dimulai dengan
adanya agitasi hingga kejang (30) serta adanya faktor pencetus berupa
kehamilan dan persalinan pervaginam dengan ekstraksi vakum (10)
sehingga jumlah skor adalah 90. Dimana bila skor ≥ 45 maka krisis tiroid
dapat ditegakkan.
Pasien dilakukan pemasangan Non Rebreathing Mask dengan oksigen
10 liter/menit dan ditransport ke ICU. Di ICU pasien diberikan terapi suportif
berupa ventilasi mekanik, pemasangan monitor invasive dan invasive
berupa CVC dan nutrisi. Terapi kausatif diberikan berupa pemberian
antibiotik ,lugol, PTU, kortikosteroid dan furosemid. Disini tidak dilakukan
pemberian propanolol dikarenakan adanya udem paru pada pasien.
Selama perawatan ICU kondisi pasien semakin memburuk dikarenakan
tidak adanya respon terhadap obat-obatan inotropik dan vasopresor dan
terapi lain yang diberikan sampai akhirnya pasien dinyatakan meninggal.
PENDAHULUAN
Krisis tiroid merupakan keadaan klinis yang mengancam jiwa, suatu
keadaan klinis yang berat dari hipertiroid, merupakan hasil dari kegagalan
tubuh untuk melakukan kompensasi hipertiroid yang berat. Lebih sering
terjadi pada wanita dibanding pria, dengan angka kematian sekitar 10 –
20%. Onset biasanya mendadak dan faktor pencetus dapat diidentifikasi
pada sekitar 50% kasus. (Oh, 2009)
Hipertiroid ditemukan sekitar 0,2% dari seluruh kehamilan. Tanda
klinis dari hipertiroid pada kehamilan seperti takikardi, berkeringat dan sesak
nafas kelihatan normal pada kondisi hamil. Gagal jantung kongestif, badai
tirod dan resiko preeklampsi secara signifikan dapat meningkat pada wanita
dengan hipertiroid yang tidak terkontrol (Lazarus, 2005).
Krisis tiroid harus dikenali dan ditangani berdasarkan manifestasi
klinis karena konfirmasi laboratoris seringkali tidak dapat dilakukan dalam
rentang waktu yang cukup cepat. Pasien biasanya memperlihatkan keadaan
hipermetabolik yang ditandai oleh demam tinggi, takikardi, mual, muntah,
agitasi, dan psikosis. Insidensi krisis tiroid adalah sekitar 1-2% dari pasien
hipertiroidisme. Namun, krisis tiroid yang tidak dikenali dan tidak ditangani
dapat berakibat sangat fatal. Angka kematian orang dewasa pada krisis
tiroid mencapai 10-20%. Bahkan beberapa laporan penelitian menyebutkan
hingga setinggi 75% dari populasi pasien yang dirawat inap. Dengan
tirotoksikosis yang terkendali dan penanganan dini krisis tiroid, angka
kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 20%. (Misra, 2010 ; Schraga,
2009).
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi badai tiroid atau krisis tirotoksik belum dapat dimengerti.
Kejadian kelenjar tiroid adalah aktivitas yang berlebihan (total bebas T4 dan
T3). Gejala dan tanda hipertiroid adalah aktivitas simpatis yang berlebihan
yang melepaskan epinefrin dan norepinefrin, meningkatnya sensitivitas
katekolamin dan meningkatnya cAMP merupakan dasar meningkatnya
aktivitas adrenergik. Hormon tiroid secara langsung memiliki efek
cardiostimulator, dengan takikardi dan meningkatkan kontraktilitas.
Termogenesis meningkat dengan vasodilatasi merupakan respon
kompensasi untuk meningkatkan temperatur tubuh (Bongard, 2002).
FAKTOR PENCETUS
Kebanyakan pasien yang datang dengan keadaan krisis memiliki
penyakit dasar Grave’s disease yang tidak dikenali atau tidak terkontrol.
Dimana faktor yang dapat memperberat seperti infeksi, trauma, prosedur
operatif, diabetes yang tidak terkontrol, kehamilan, eklampsia. Krisis justru
merupakan keadaan yang jarang terjadi pada tindakan bedah tiroid, tetapi
dilaporkan terjadi pada keadaan palpasi atau tekanan yang berlebih pada
kelenjar tiroid, preparasi yang tidak lengkap, dan dosis yang tidak adekuat
dari antagonis β adrenergik selama perioperatif (Oh,2009).
GEJALA KLINIS
Badai tiroid merupakan tanda tirotoksikosis berat dengan demam dan
gangguan status mental. Perubahan status mental meliputi bingung, agitasi,
psikosis, atau kasus berat sampai koma. Hiperpireksia, takikardi dengan
atrial fibrilasi, delirium, agitasi atau koma, muntah, diare, dan kelemahan
otot merupakan keadaan klinis yang utama. Diagnosa banding yang sering
adalah sepsis, tetapi manifestasi klinis dapat rancu dengan keadaan
hipertermi yang lain, opioid withdrawal, overdosis adrenergik atau kolinergik.
Manifestasi klinis dapat sangat kompleks dengan adanya faktor presipitasi
dan penyakit dasar yang menyertai. Manifestasi kardiovaskuler meliputi
takikardi, aritmia (sinus atau supraventrikel takikardi, atrial fibrilasi) dan
kegagalan jantung. Pasien dengan kegagalan jantung biasanya pada usia tua
dan memiliki riwayat gangguan jantung. Hipotensi dan syok merupakan
manifestasi lanjut. Gastrointestinal meliputi mual, muntah, diare, dan nyeri
perut. Kehilangan berat badan dan kakeksia bisa terjadi. (Oh, 2009)
Tabel 1. Sistem skoring Burch dan Wartofsky (Migneco, 2005).
Bila skor ≥ 45 à krisis tiroid, skor 25 -44 à impending krisis tiroid, skor ≤ 24
bukan krisis tiroid.
LABORATORIUM
Pada penderita hipertiroid dapat terjadi gangguan fungsi liver, antara
lain seperti meningkatnya aminotransferase, hiperbilirubinemia dan
hepatomegali umumnya terjadi. Meningkatnya T4 bebas, T3 bebas, dan
menurunnya TSH. (Oh, 2009)
TERAPI DAN MANAJEMEN
Manajemen temasuk penegakan diagnosis dan terapi spesifik, suportif,
untuk mengurangi sintesis, pelepasan, konversi perifer dan efek perifer dari
hormon tiroid. Diagnosis dari krisis tiroid adalah klinis dan tatalaksana harus
agresif. Beberapa terapi obat yang berbeda mekanisme untuk memblok
sintesa, sekresi, aktivasi atau aksi hormon tiroid dapat digunakan secara
bersama-sama untuk mengontrol secara cepat hipertiroid. (Bongard, et al.,
2002)
Tabel 2. Terapi krisis Tiroid (Henneman, 2003)
Antagonis adrenergik melawan efek dari hormon tiroid danβ
hipersensitivitas karena efek katekolamin. Propanolol merupakan obat
pilihan, juga menghambat konversi T4 menjadi T3. Takikardi, demam,
hiperkinesia, dan tremor berespon cukup cepat. Pemberian dosis awal 0,5 –
11 mg I.V diberikan secara perlahan setiap 5 – 10 menit sampai 10mg.
diikuti dengan 40 – 60 mg oral setiap 6 jam. Kortikosteroid pada umumnya
diberikan selama krisis, karena defisiensi relatif dapat terjadi, dan
glukokortikoid menghambat konversi perifer T4 menjadi T3. PTU mempunyai
onset yang cepat, dan efeknya dengan memblok iodinasi tirosin dan
hambatan parsial terhadap konversi T4 ke T3. Dosis awal 100 mg dapat
diberikan, dilanjutkan dengan 100 mg per 2 jam. Sodium iodide 1 gr i.v,
dapat diberikan per 12 jam sebagai infus continuous atau bolus dalam
beberapa menit. Iodine kerjanya menghambat dilepaskannya hormon tiroid
dari kelenjar. Iodine juga menghambat sintesa hormon tiroid. Intravena
sodium iodine diberikan dosis 1g perhari. Digoxin diindikasikan menyertai
koreksi hipokalemia jika terdapat atrial fibrilasi atau gagal jantung (Oh,
2009)
EDEMA PARU
Hormon tiroid memberi efek terhadap hemodinamik kardiovaskular.
Aksi dari hormone tiroid dalam meningkatkan konsumsi oksigen perifer
dapat secara langsung kontraktilitas jantung. Triiodothyronine menurunkan
resistensi pembuluh darah perifer dengan mendilatasi arteriola yang resisten
pada sirkulasi perifer sehingga volume pengisian arteri menurun dan terjadi
peningkatan pelepasan renin. Dengan meningkatnya reabsorbsi natrium
renal dapat meningkatkan volume plasma. Hal ini dapat meningkatkan
volume darah dan preload yang akhirnya dapat meningkatkan cardiac output
(Klein, 2001).
Gambar 1. Efek hormon tiroid terhadap hemodinamik kardiovaskuler (Klein,
2001).
Komplikasi yang paling sering pada ibu hamil dengan hipertiroid kronis
yang tidak terkontrol adalah gagal jantung dan krisis tiroid. Pada pasien
dengan hipertiroid yang berat dan kronis dapat terjadi penurunan
kontraktilitas jantung sehingga dapat terjadi penurunan cardiac output dan
terjadi gagal jantung dan kongesti paru. Hal ini umumnya ditemukan bila
munculnya sinus takikardi persisten atau atrial fibrilasi yang berkaitan
dengan gagal jantung (Yang, 2005 ; Klein, 2001).
Edema paru-paru merupakan penimbunan cairan serosa atau
serosanguinosa secara berlebihan di dalam ruang interstisial dan alveolus
paru-paru. Jika edema timbul akut dan luas, sering disusul kematian dalam
waktu singkat. Edema paru-paru mudah timbul jika terjadi peningkatan
tekanan hidrostatik dalam kapiler paru-paru, penurunan tekanan osmotik
koloid seperti pada nefritis, atau kerusakan dinding kapiler. Dinding kapiler
yang rusak dapat diakibatkan inhalasi gas-gas yang berbahaya, peradangan
seperti pada pneumonia, atau karena gangguan lokal proses oksigenasi.
Penyebab yang tersering dari edema paru adalah kegagalan ventrikel kiri
akibat penyakit jantung arteriosklerotik atau stenosis mitralis. Edema paru-
paru yang disebabkan kelainan pada jantung ini disebut juga edema paru
kardiogenik, sedangkan edema paru yang disebabkan selain kelainan
jantung disebut edema paru non kardiogenik (Wilson, 2006 ; Stoelting,
2002).
Edema paru dibagi menjadi 4 stadium, yaitu: (Morgan, 2006)
• Stadium I
Berupa edema paru interstitial. Pasien takipneu akibat dari compliance
paru menurun. Foto thorak menunjukkan corakan vaskuler paru sampai
diperifer dan peribronchial cuffing.
• Stadium II
Cairan mengisi interstitial dan mulai mengisi alveoli, mula-mula mengisi
sudut disekitar septa. Pertukaran gas relatif masih baik.
• Stadium III
Alveoli dipenuhi dengan cairan, banyak alveoli yang tidak terisi udara.
Cairan paling banyak terutama di area yang paling bawah (dependent
area) dari paru. Aliran darah melewati kapiler dengan alveoli yang berisi
cairan sehingga terjadi shunting. Hipoksemia dan hipokapnia merupakan
gejala yang menonjol.
• Stadium IV
Alveoli dipenuhi dengan cairan sampai mengalir ke jalan nafas.
Pertukaran gas sudah sangat terganggu akibat shunting dan obstruksi
jalan nafas, sehingga terjadi hiperkapnia dan hipoksemia yang berat .
Ada 3 gambaran radiologis utama yang dapat digunakan untuk
membedakan kardiogenik dan non kardiogenik edema paru secara radiologis
yaitu distribusi aliran darah paru, distribusi edema paru dan lebar pedikel
pembuluh darah. Distribusi aliran darah, pada pasien dengan edema paru
hirostatis terjadi redistribusi aliran darah, sedangkan pada pasien dengan
edema paru kardiak tidak terjadi redistribusi. Distribusi edema adalah
simetris pada edema paru kardiak atau over hidrasi sedangkan pada edema
paru permeabilitas patchy dan periferal. Ukuran jantung serta ada atau
tidaknya septal lines juga dapat digunakan sebagai salah satu kriteria untuk
membedakan edema paru kardiak dan non kardiak dengan akurasi 83%. Jadi
jika jantung membesar dan terdapat septal lines, kemungkinan besar edema
paru kardiak. . Pedicle pembuluh darah dapat dilihat dengan mengukur
lebar mediastinum tepat dibawah arkus aorta, dengan lebar yang normal
berkisar antara 43 mm sampai 53 mm dengan posisi pasien berdiri. Pedicle
pembuluh darah melebar pada 60% pasien dengan gagal jantung serta 85%
pada pasien dengan gagal ginjal atau over hidrasi. Hal yang berlawanan
pada pasien dengan edema permeabilitas, dimana pedicle pembuluh darah
masih dalam batas normal pada 70% kasus (Bongard, 2002).
Edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi kelebihan cairan
kedalam paru sekunder akibat peningkatan tekanan di atrium kiri dan vena
pulmonalis serta kapiler pulmonal. Hal ini tanpa ada perubahan dalam
permeabilitas atau integritas dari lapisan endotel dan epitel pada kapiler
pulmonal. Hasil akhirnya adalah filtrasi dari cairan dengan kandungan
protein yang rendah melewati endotel pulmonal ke interstitial pulmonum
serta ruang alveoli, sehingga terjadi penurunan kapasitas difusi, hipoksia dan
sesak nafas. Ada 2 mekanisme peningkatan tekanan hidrostatis kapiler yaitu
hipertensi vena pulmonalis dan peningkatan aliran darah paru. Penyebab
hipertensi vena pulmonalis antara lain gagal ventrikel kiri, stenosis mitralis
atau obstruksi atrium kiri. Peningkatan aliran darah paru dapat terjadi akibat
kelainan jantung dengan shunting kiri ke kanan atau shunting perifer,
hipervolemia (overhidrasi), anemia berat (Morgan, 2006).
Manajemen awal pasien dengan udem paru kardiak harus membahas
ABC resusitasi, yaitu, jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Oksigen harus
diberikan kepada semua pasien untuk menjaga saturasi oksigen> 90%.
Tujuan utama dari penatalaksanaan udem paru kardiogenik adalah (1)
penurunan kembali vena paru (pengurangan preload), (2) penurunan
resistensi vaskuler sistemik (reduksi afterload), dan (3) dukungan inotropic
dalam beberapa kasus. Preload pengurangan penurunan tekanan hidrostatik
kapiler paru dan mengurangi transudation cairan ke paru-paru dan alveoli
intersititium. Penurunan afterload meningkatkan output jantung dan
memperbaiki perfusi ginjal, yang memungkinkan untuk diuresis pada pasien
dengan overload cairan. Pasien dengan disfungsi LV parah atau gangguan
katup akut bisa hadir dengan hipotensi. Pasien ini tidak dapat mentolerir
obat untuk mengurangi preload dan afterload. Oleh karena itu, tujuan ketiga
dalam subset dari pasien adalah untuk memberikan dukungan inotropic
untuk menjaga tekanan darah yang memadai. Jiga dengan pemberian
farmakologi berupa morfin,diuretic, vasodilator dan inotropik (Sovari, 2008 ;
Morgan, 2006).
LAPORAN KASUS
Identitas pasien
Nama : Ny. L
Umur : 28 tahun
No. CM : 01 44 38 50
Masuk RS : 26 Oktober 2009
Masuk ICU : 26 Oktober 2009
Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien kiriman dari RSUD Sleman dengan diagnosa Kala II awal disertai
udem pulmo dan decompensasi cordis grade IV.
Pasien merasa hamil 8 bulan, perut terasa kencang-kencang teratur,
keluar lendir darah dan keluar air ketuban. Pasien juga mengeluh sesak
nafas yang semakin berat sejak masa kehamilan. Pasien tidak pernah
berobat selama masa kehamilan. Pasien juga mengeluh dada sering
berdebar-debar, tangan sering gemetar disertai adanya pembengkakan di
kedua kaki. Pasien dirujuk ke RS Sarjito dan dilakukan partus spontan
dengan vakum ekstraksi setelah itu pasien dikonsulkan untuk perawatan
ICU.
Riwayat Penyakit Dahulu :
± 3 tahun yang lalu pasien pernah berobat di dokter swasta di daerah
Rengat dan didiagnosa memiliki penyakit gondokan dan diberi obat. Tetapi
karena setelah minum obat pasien merasa mata dan kaki menjadi bengkak
disertai tangan menjadi gemetar pasien menghentikan konsumsi obat-
obatan tersebut dan tidak pernah berobat ke dokter atau puskesmas
terdekat untuk kontrol hingga kehamilan 8 bulan.
Dari hasil pemeriksaan di UGD RS sarjito didapatkan data bahwa
pasien tampak sesak. Kesadaran composmentis. Dengan tensi
190/110mmHg, HR. 152-200 x/mnt, RR.26 – 36x/mnt, suhu. 37,6oC. RBK +/+,
wheezing -/-, Vesikuler +/+. Kemudian dilakukan pemasangan Non
Rebreathing Mask dengan oksigen 10 liter/menit.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan :
Hb. 12,8
Hct. 38 AL. 16 AT. 511 AE. 4,56 BUN. 15
Creat. 1,3 GDS 155
Na. 133 K. 4,2 Cl. 107 Ca 1,46 Mg 0,91 FreeT4
2,74
h-TSH 0,04 T4 14,53 T3 1,0
AGD :
FiO2 : 0,3 PH : 7,131 PCO2 : 32,4 PO2 : 75,1
HCO3: 10,6
BE : -17,3 AaDO2 : 523,9 SO2 : 87
EKG : HR 160 x/menit, AFRVR
PEMERIKSAAN FISIK:
Pasien masuk ICU pada tanggal 26 Oktober 2009 jam 21.30, dari UGD
diantar oleh residen anestesi dan residen Obgin dengan KU lemah, compos
mentis, tampak sesak, terpasang NRM 10L/mnt, terpasang IV line di tangan
kiri dengan infus RL
Pada pemeriksaan:
K/L : pupil isokor 3mm/3mm, RC +/+, anemis -/-, exopthalmus, JVP
meningkat,
Massa thyroid (+), terpasang NRM 10L/mnt
Thorak : Cor : T.140/106mmHg, MAP : 117 , HR. 119 x/mnt, regular,
bising (-)
Pulmo : RR 30-34 x/mnt, RBK +/+, wheezing -/-, Vesikuler +/+
Abd : Teraba uterus setinggi umbilicus , H/L tidak teraba, turgor dbn,
peristaltic (+) normal
Ekst : edema ekstremitas bawah +/+, akral hangat
Perawatan di ICU
Hari Pemeriksaan Fisik Pmx penunjang Assesment/masalah Tindakan0 KU : CM, Lemah
GCS : E4V5M6TD : 120-160/50-107HR : 120-150x/mntRR : 12-50Temp: 37,2 - 37,8°CKepala/leher :Pupil Ø 3 mm, RC +/+ , CA -/-Jantung : S1-S2 tgl, reg murmur (-)Paru : ves +/+. Rbk +/+, wh-/-, Sat. 94-99%%Abdomen : soufle, H/L ttb, peristaltik +Extremitas :
Hb. 12,8
Hct. 38
AL. 16
AT. 511
AE. 4,56
BUN. 15
Creat. 1,3
GDS 155
Na. 133
K. 4,2
Cl. 107
Ca 1,46
Mg 0,91
AGD :
Krisis tiroidEdema Pulmo AkutCHF grade IV
Pada jam 01.00 WIB pasien mengalami kejang, kesadaran menurun kemudian dilakukan intubasi endotrakheal
Ventilasi : NRM 10 l/mnt
Terapi medikamentosa :Ceftriaxone 3x1 gramLasix 1x20 mgPTU 4x100 mgLugol 4x 10 tetesDigoxin 1x0,5 mg
Intake parenteral: RL 500 cc
Balans cairan CM : 432 ml
edema tungkai bawah +/+ FiO2 : 0,9
PH : 7,36
PCO2 : 23,8
PO2 : 85,3
HCO3 : 13,3
BE : -10,6
AaDO2 : 523,1
SO2 : 95,6
CK : 50 ml IWL : 147 ml BC : + 235 ml UO : 0,16 cc/kgBB/jam
Hari Pemeriksaan Fisik Pmx penunjang Assesment/masalah Tindakan1 KU : Sopor
GCS : E1VTM1TD : 70-160/40-107HR : 120-150x/mntRR : 14-24Temp: 37,2 - 39,5°CKepala/leher :Pupil Ø 4 mm, RC +/+ menurun, CA -/-Jantung : S1-S2 tgl, reg murmur (-)Paru : ves +/+. Rbk +/+, wh-/-, Sat. 94-99%%Abdomen : soufle, H/L ttb, peristaltik +Extremitas : edema tungkai bawah +/+
CKMB 72
CK 406
Troponin 0,61
freeT4 2,49
h-TSH 0,045
GDS 63
Na. 136
K. 5,87
Cl. 113
Ca 1,46
Mg 0,91
AGD :
FiO2 : 0,45
PH : 7,34
PCO2 : 28,5
PO2 : 117
HCO3 : 15,6
BE : -8,3
AaDO2 : 167,2
SO2 : 98,4
Ro thorax :
Cardiomegali dan
edema pulmo
Krisis tiroidEdema Pulmo AkutCHF grade IV
Hiperkalemia,Peningkatan CKMB,CK,Troponin, freeT4
Mulai pukul 16.00 WIB terjadi periode hipotensi sehingga NTG di stop dan diberi terapi dobutamin titrasi dan vascon titrasi. Kemudian mulai pukul 22.00 nadi sekitar 180-195 x/menit sehingga diberi amiodaron bolus intravena dan dilanjutkan titrasi.
Ventilasi : On ventilator mode P-SIMV RR12, PS 15 Peep 8, FiO2 45%
Pemasangan CVC
Koreksi hiperkalemia
Terapi medikamentosa :Ceftriaxone 3x1 gramLasix 1x20 mgNTG titrasiMO titrasiDexamethasone 3x 5 mgPTU 4x100 mgLugol 4x10 tetesParacetamol 3x500 mgDigoxin 1x0,5 mgIntake parenteral: RL 500 cc
Intake enteral 150 cc/2jam
Balans cairan CM : 2546 ml CK : 1400 ml IWL : 700 ml BC : + 446 ml UO : 1,1 cc/kgBB/jam
Hari Pemeriksaan Fisik Pmx penunjang Assesment/masalah Tindakan2 KU : Coma
GCS : E1VTM1TD : 80-130/50-70HR : 130-150x/mntRR : 16-30Temp: 37,2 - 39,2°CKepala/leher :Pupil Ø 4 mm, RC +/+ menurun , CA -/-
Hb. 11,2
Hct. 35,1
AL. 30,78
AT. 236
AE. 4,56
GDS 156
Na. 134
Krisis tiroidEdema Pulmo AkutCHF grade IV
Hiperkalemia,Hipoalbumin
Ventilasi : On ventilator mode P-SIMV RR12, PS 15 Peep 6, FiO2 45%
Koreksi hiperkalemiaKoreksi hipoalbumin
Kultur darah
Jantung : S1-S2 tgl, reg murmur (-)Paru : ves +/+. Rbk +/+, wh-/-, Sat. 94-99%%Abdomen : soufle, H/L ttb, peristaltik +Extremitas : edema tungkai bawah +/+
K. 5,19
Cl. 109
BUN 59
Creat 3,1
Albumin 1,5
AGD :
FiO2 : 0,5
PH : 7,25
PCO2 : 36,9
PO2 : 149,5
HCO3 : 16,5
BE : -9,2
AaDO2 : 156,9
SO2 : 98,9
Kultur sputum
Terapi medikamentosa :Ceftriaxone 3x1 gramLasix 1x20 mgDobutamin titrasiVascon titrasiMO titrasiDexamethasone 3x 5 mgPTU 1x400 mgDigoxin 1x 0,5 mg
Intake parenteral: RL 500 cc
Intake enteral 150 cc/2jam
Balans cairan CM : 1952,3 ml CK : 1150 ml IWL : 700 ml BC : + 102,3 ml UO : 0,9 cc/kgBB/jam
Hari Pemeriksaan Fisik Pmx penunjang Assesment/masalah Tindakan3 KU : Coma
GCS : E1VTM1TD : 100-140/70-90HR : 150-180x/mntRR : 15-28Temp: 37,2 - 38,8°CKepala/leher :Pupil Ø 4 mm, RC +/+ menurun , CA -/-Jantung : S1-S2 tgl, reg murmur (-)Paru : ves +/+. Rbk +/+, wh-/-, Sat. 94-99%%Abdomen : soufle, H/L ttb, peristaltik +Extremitas : edema tungkai bawah +/+
Hb. 9,8
Hct. 31,7
AL. 32,2
AT. 159
AE. 3,93
GDS 99
Na. 136
K. 6,3
Cl. 112
Albumin 1,9
AGD :
FiO2 : 0,5
PH : 7,314
PCO2 : 31,3
PO2 : 108,3
HCO3 : 16,1
BE : -8,5
Krisis tiroidEdema Pulmo AkutCHF grade IV
Hiperkalemia,Hipoalbumin
NGT dialirkan
Ventilasi : On ventilator mode P-SIMV RR12, PS 15 Peep 6, FiO2 45%
Koreksi hiperkalemiaKoreksi hipoalbumin
Terapi medikamentosa :Ceftriaxone 3x1 gramLasix 2x20 mgDexamethasone 3x 5 mgPTU 1x400 mgDigoxin 1x 0,5 mg
Intake parenteral: RD12 500 cc
RL 500 cc
Balans cairan CM : 2025 ml
AaDO2 : 116,9
SO2 : 97,7
CK : 4125 ml IWL : 700 ml BC : - 2520 ml UO : 3,04 cc/kgBB/jam
Hari Pemeriksaan Fisik Pmx penunjang Assesment/masalah Tindakan4 KU : Coma
GCS : E1VTM1TD : 90-130/50-70HR : 160-180x/mntRR : 12-50Temp: 38,2 - 39,8°CKepala/leher :Pupil Ø 4 mm, RC +/+ menurun , CA -/-Jantung : S1-S2 tgl, reg murmur (-)Paru : ves +/+. Rbk +/+, wh-/-, Sat. 94-99%%Abdomen : soufle, H/L ttb, peristaltik +Extremitas : edema tungkai bawah +/+
GDS 197
Na. 152
K. 5,13
Cl. 114
Albumin 1,39
AGD :
FiO2 : 0,5
PH : 7,314
PCO2 : 31,3
PO2 : 108,3
HCO3 : 16,1
BE : -8,5
AaDO2 : 116,9
SO2 : 97,7
Krisis tiroidEdema Pulmo AkutCHF grade IV
Hiperkalemia,HipoalbuminHipernatremia
NGT dialirkan
Problem : terjadi penurunan TD yg tdk respon dg inotropik dan vasopresor.OS dinyatakan meninggal pk.16.40 WIB
Ventilasi : On ventilator mode P-SIMV RR12, PS 15 Peep 6, FiO2 45%
Koreksi hiperkalemiaKoreksi hipoalbuminKoreksi hipernatremia
Terapi medikamentosa :Ceftriaxone 3x1 gramGentamycin 1x240 mgLasix 2x20 mgDexamethasone 3x 5 mgPTU 1x400 mgDigoxin 1x 0,5 mg
Intake parenteral: RD 12 500 cc
RL 500 cc
PEMBAHASAN
Krisis tiroid adalah merupakan keadaan klinis yang mengancam jiwa,
suatu keadaan klinis yang berat dari hipertiroid, merupakan hasil dari
kegagalan tubuh untuk melakukan kompensasi hipertiroid yang berat.
Terjadinya hipertiroidisme biasanya perlahan-lahan dalam beberapa bulan
sampai beberapa tahun, namun dapat juga timbul secara dramatis. Hampir
semua sistem dalam tubuh mengalami gangguan akibat kelebihan hormone
tiroid ini sehingga pasien memberikan keluhan banyak macam. Dalam batas
fisiologis, hormon tiroid merangsang pertumbuhan dan perkembangan tubuh
serta meningkatkan sintesa banyak enzim. Manifestasi klinis yang paling
sering dalah penurunan berat badan, kelelahan, tremor, gugup, berkeringat
banyak, tidak tahan panas, palpitasi dan pembesaran tiroid. Penurunan berat
badan meskipun nafsu makan bertambah dan tidak tahan panas adalah
sangat spesifik, sehingga perlu dipikirkan adanya hipertiroidisme.
Dari hasil anamnesa pada pasien ini didapatkan riwayat bahwa
pasien pernah didiagnosa sebagai penderita struma yang kemudian pasien
tidak pernah lagi kontrol dikarenakan keluhan yang semakin memberat.
Sedangkan dari pemeriksaan fisik pasien juga didapatkan adanya
pembesaran kelenjar tiroid dan exophtalmus serta adanya peningkatan
freeT4, dan penurunan TSH. Kemudian berdasarkan Sistem skoring Burch
dan Wartofsky (Migneco, 2005), didapatkan adanya takikardi ≥ 140 (25),
adanya udem pulmo (15), adanya atrial fibrilasi(10), adanya kelainan system
syaraf yang dimulai dengan adanya agitasi hingga kejang (30) serta adanya
faktor pencetus berupa kehamilan dan persalinan pervaginam dengan
ekstraksi vakum (10) sehingga jumlah skor adalah 90. Dimana bila skor ≥ 45
maka krisis tiroid dapat ditegakkan.
Selain itu pasien juga didiagnosa dengan gagal jantung kongestif.
Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan dari hasil anamnesa berupa sesak yang
semakin berat dengan beraktifitas. Sedangkan dari pemeriksaan fisik
didapatkan adanya peningkatan JVP, adanya ronkhi basah kasar diseluruh
lapang paru dan adanya udem di kaki. Kemudian ditunjang dengan hasil
rontgen dada yang menunjukkan adanya cardiomegali dan udem pulmo.
Akan tetapi seharusnya pasien dilakukan pemeriksaan Ekokardiografi untuk
lebih jelas mengetahui fungsi-fungsi dinding jantung dimana pada pasien ini
tidak dilakukan dikarenakan peralatan yang rusak pada saat itu.
Selama perawatan ICU pasien diberikan terapi suportif berupa
pengamanan jalan nafas dengan intubasi, pernafasan dengan ventilasi
mekanik dan pemasangan monitor invasive berupa CVC. Pengamanan jalan
nafas dpada pasien ini seharusnya dilakukan pada saat pasien masih di UGD
karena pada saat pemeriksaan fisik di UGD pasien telah mengalami gagal
nafas. Selain itu pasien juga diberikan terapi kausatif berupa pemberian
antibiotik ,lugol, PTU, kortikosteroid dan furosemid. Disini tidak dilakukan
pemberian propanolol dikarenakan adanya udem paru pada pasien.
Antagonis adrenergik diberikan untuk melawan efek dari hormonβ
tiroid dan hipersensitivitas karena efek katekolamin. Propanolol merupakan
obat pilihan, juga menghambat konversi T4 menjadi T3. 1 selektifβ
antagonis tidak dapat menghambat konversi T4 ke T3 seefektif propanolol.
Pada pasien ini tidak diberikan propanolol dikarenakan adanya gagal jantung
kongestif sehingga bila diberikan blockers dapat memicu syokβ
kardiogenik.
Reserphine dan guanethidine. Meskipun telah digantikan dalam
penggunaannya oleh -adrenergik blocker, dapat dignakan sebagai β life-
saving, dan dapat dipertimbangkan pada hipertiroid yang resisten terhadap
propanolol atau pada keadaan kontraindikasi propanolol. Onset lambat, efek
samping termasuk depresi saraf pusat dan diare. Sediaan parenteral dari
reserphin tidak lagi diproduksi. Diltiazem menurunkan denyut jantung sama
efektif dengan propanolol dan dapat dipertimbangkan sebagai alternatif
terahadap blocker pada krisis tiroidβ . Walaupun pada pasien ini tidak
diberikan akan tetapi pemberian reserpin dan guanethidine dapat
dipertimbangkan.
Pemberian obat-obatan untuk hipertiroidisme adalah bertujuan
membatasi produksi hormone tiroid yang berlebihan dengan cara menekan
produksi (obat anti tiroid/OAT seperti Prophyltiourasil dan lugol) atau
merusak jaringan tiroid (yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).
Penggunaan obat anti tiroid seperti diatas umumnya dengan dosis besar
pada permulaan sampai tercapai eutiroidisme, kemudian diberikan dosis
rendah untuk mempertahankan keadaan eutiroidisme. Pada pasien ini telah
diberikan PTU 200 mg di UGD, karena pertimbangan berat ringannya
keadaan dimana pasien masih dalam keadaan hipertiroid maka diberikan
lagi dosis ulangan 200mg di ICU. Obat ini mempunyai kerja imunosupresif
seperti pada penyakit Graves, dapat menurunkan konsentrasi thyroid
stimulating antibody (TSAb) yang bekerja pada sel tiroid, disamping itu dapat
unutk menghambat sintesa hormone tiroid serta mencegah konversi perifer
T4 menjadi T3.
Selain itu pasien juga mendapatkan terapi kortikosteroid.
Kortikosteroid pada umumnya diberikan selama krisis, karena defisiensi
relatif dapat terjadi, dan glukokortikoid menghambat konversi perifer T4
menjadi T3. Hidrokortisone 100mg i.v per 6 jam atau deksamethason 5mg i.v
per 12 jam bersama dengan iodida, dapat menyebabkan penurunan
bermakna derajat tirotoksikosis.
Pada hari pertama hingga hari kedua rawat di ICU pasien diberi nutrisi
enteral berupa diet cair tinggi kalori tinggi protein. Akan tetapi pada hari
ketiga terdapat residu yang banyak setiap pemberian nutrisi sehingga
diputuskan NGT dialirkan. Dikarenakan nutrisi parenteral tidak dapat
diberikan maka diganti dengan pemberian nutrisi parenteral berupa RD12%.
Selama perawatan di ICU terjadi penurunan keadaan umum, terjadinya
syok merupakan suatu tanda prognosis yang buruk. Yang menyebabkan
kematian pada pasien ini kemungkinan karena syok kardiogenik dimana
pasien telah memiliki gagal jantung sebelumnya walaupun pasien telah
diberi obat-obatan inotropik dan vasopresor. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena hiperaktivitas yang berlebihan dimana sampai pada
batas tertentu jantung tidak mampu lagi mengkompensasi kebutuhan
cardiac output, dimana disebutkan pula pada beberapa literatur bahwa
terjadinya hipotensi dan syok dapat merupakan suatu prognosis yang buruk.
Kemungkinan lain pada pasien ini juga dapat menyebabkan kematian oleh
karena syok septik.
RINGKASAN
Telah dilakukan perawatan terhadap pasien wanita, usia 28 tahun dengan
diagnosa krisis tiroid disertai udem paru di ICU. Pasien dilakukan perawatan
untuk stabilisasi kardiorepirasi akibat hipermetabolisme serta tatalaksana
krisis tiroid untuk mengurangi produksi hormone tiroid dan mencegah
konversi perifer T4 ke T3 disertai adanya penyakit penyerta yaitu gagal
jantung kongestif. Selama perawatan kondisi pasien tidak stabil, cenderung
terjadi penurunan keadaan umum serta perburukan hemodinamik, sampai
akhirnya pasien dinyatakan meninggal setelah perawatan kurang lebih
empat hari di ICU yang kemungkinan disebabkan syok kardiogenik.
DAFTAR PUSTAKA
Bongard, F.S., Sue, D.Y; 2002, Endocrine Problem in The Critically Ill Patient, Current Critical Care Diagnosis & Treatment, 2nd edition, Mac Graw Hill
Henneman G, 2003, Grave’s Disease : Complications, www.thyroidmanager.org (17-4-2010)
Klein Irwin, 2001, Thyroid hormone and cardiovascular hemodynamic, www.nejm.org(7-4-2010)
Lazarus, 2005, Screening for thyroid disease in pregnancy, www. jcp.bmjjournals.com(7-4-2010)
Migneco, 2005 Management of Thyrotoxyc Crisis, www.european view.org(5-3-2010)
Misra M, 2010 Singhal A, Campbell D. Thyroid storm, www.emedicine.medscape.com(17-4-2010)
Morgan,G.E,Mikhail,M.S, 2006, Critical Care, in Clinical anesthesiology, Fourth edition, A lange Medical Book
Oh, T.E., 2009, Intensive Care Manual, 6th ed, Butterworth Heinemann, Elsevier Science, China
Schraga ED, 2009, Hyperthyroidism , thyroid storm , and Graves disease. www. emedicine.medscape.com (17-4-2010)
Sovari, A., 2008, Cardiogenic Pulmonary Edema, www.emedicine.medscap.com (27-04-2010)
Stoelting, RK., 2002, Restrictive Lung Disease in Anesthesia and Co-Existing disease, Fourt edition, Churchill livingstone
Wilson LM, 2006, Penyakit Kardiovaskuler dan Paru-Paru. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit). Edisi Bahasa Indonesia: Alih Bahasa: Anugerah P. Edisi VI. Buku I. EGC. Jakarta
Yang MJ., 2005, Pregnancy Complicated with Pulmonary Edema Due to Hyperthyroidism www. Homepage,vghtpe.gov.tw (7-4-2010)
LAPORAN KASUS
PENATALAKSANAAN KRISIS TIROID POST
PARTUM YANG DISERTAI UDEM PARU DI
INTENSIVE CARE UNIT
Oleh :
Susi Handayani
Peserta MS-PPDS I Anestesiologi & Reanimasi
Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta
Pembimbing Moderator
Dr. Calcarina FRW, SpAn.KIC Dr. Bambang
Suryono, SpAn,KIC,KNA, MKes
LABORATORIUM ANESTESI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UGM / RSUP DR. SARDJITO
YOGYAKARTA