Upload
dgumelar
View
217
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ergw
Citation preview
LAPORAN KASUS
MASTOIDITIS DAN SINDROM GRADENIGO DENGAN BAKTERI ANAEROB
DHIMAS PANJI GUMELAR
1161050046
ABSTRAK
Latar Belakang
Sindrom gradenigo adalah penyakit langka, dimana dikarakteristikan dengan tiga kondisi ,
otitis edia supuratif, nyeri pada divisi 1 dan 2 dari nervus trigeminus, dan parase nervus
abdusen. Biasanya tidak semua trias gejala dari gradenigo sindrom ini muncul. Tapi dapat
ditemukan pada kondisi dimana tidak ditangani secara benar.
Presentasi Kasus.
Kami melaporkan kasus dari anak perempuan usia 3 tahun dengan demam dan otitis media
kiri. Dia terkena mastoiditis akut, yang mana sudah ditatalaksna denga antibiotic intravena,
pemasangan ventilation tube, dan mastoidektomi kortikal. Setelah 6 hari keadaan klinis
memburuk dengan munculnya parase nervus abdesen kiri. Pemeriksaan mikrobiologi
menunjukkan staphylococcus aureus dan fusobacterium necrophorum. Scanning MRI
menunjukan osteomyelitis pada kompleks pre mastoid, dan hiper intense sinyal dari
meningen yang berdekatan. Dia sudah berhasil diobati dengan antiobiotik intra vena
sprektum luas untuk bakteri anaerob. Setelah 8 minggu pemantauan tidak didapati lagi tanda
infeksi berulang atau parase nervus abdusen.
Kesimpulan
Sindrom Gradenigo adalah langka, tetapi merupakan komplikasi infeksi telinga tengah yang
mengancam kehidupan . hal ini pada umumnya disebabkan mikroorganiesme anaerobic.
Tetapi mikroorganisme anaerob dapat ditemukan maka antibiotic yang sesuai harus
dipertimbangakan ketika pemilihan terapi antibiotic.
Kata kunci : sindrom gradenigo, mastoiditis akut, petrosis apical, otitis media akut, parase
abdusen, fusobacterium necrophorum.
Latar Belakang.
Sindrom gradenigo ( GS )adalah trias klinis dari keadaan penyerta : otitis media, nyeri pada
divisi 1 dan 2 nervus trigeminus, dan parase nervus abdusen. Hal ini pertama kali
dideskripsikan pada 1907 oleh Guiseppe Gradenigo. Sebelum era antibiotic hal ini diketahui
sebagai komplikasi dari otitis media akut dan mastoditis. Gejala muncul pada infeksi yang
menyebar ke apex petrous dari tulang temporal, dimana nervus cranial VI dan ganglion dari
trigeminus sangat dekat dan dibatasi hanya oleh duramater. Keterlibatan nervus cranial VI ini
dilihat sebagai reaksi akibat inflamasi terdekat, dimana saraf meewati kanal dorello dibawah
ligament pectroclinoid.
Trias gejala dari SG mungkin seluruhnya tidak selalu muncul. Misalnya, tidak adanya
kelumpuhan nervus abdusen atnpa mengesampingkan adanya apical petrositis. Evaluasi
radiologi menggunakan computered tomography ( CT ) dan magnetic resonance imagine
( MRI ) sebagai alat pembantu diagnosis dan manajemen dari GS, dan membantu untuk
menyingkirkan diagnosis banding seperti sepsis sinus thrombosis atau benda non infeksius
lain. Dengan penggunaan antibiotic spectrum luas, insidensi dari petrositis apical saat ini
sudah jarang, dilaporkan pada 2 dari 100000 anak dengan oitis media.
Kami melaporkan kasus dari komplikasi OMA dengan mastoiditis dan petrositis apical
diagnosis terkini dengan Gradenigo Syndrome.
Presentasi kasus
Anak perempuan 3 tahun dengan tanpa riwayat sakit berat dibawa ke departemen anak
dengan demam tinggi ( 39 – 40.4 ͦC ) selama 4 hari dan nyeri telinga sebelah kiri. Datang
dengan kondisi buruk, dehidrasi, penurunan suhu tubuh, pucat. Pemeriksaan fisik didapati
nyeri tekan mastoid kiri dengan eritema retoauriculae, edema, dan fluktuasi. Lalu
pemeriksaan gerakan bola mata dan refleks mata normal, rangsang meningen negatif,
Penurunan kesadaran dan tanda neurologic lain tidak ditemuka kelainan. Tidak ada
pembesaran kelenjar getah bening. Pemeriksaan darah awal menunjukkan Protein C-reactive
256mg/L dan pengobatan antibiotic intravena dengan benzyl penicillin sudah dimulai.
Anak tersebut dirujuk ke departemen ORL kami, dimana otomicroscopy menunjukkan
edema pada canal auditory ekterna dan bulging, membrane timpani hiperemis. Hasil ini
mengindikasikan pembedahn drainase dari abses dengan anastesi umum dan pemasangan
ventilation tube pada membrane timpani kiri. Material mukopurulen dari abses kemudan
dikirim untuk pemeriksaan mikrobiologi sehari setelah operasi, anak tersebut menunjukan
tanda dari perbaikan dengan penurunan demam yang baik serta edema retroaurikuler dan
eritema serta anorexia berkurang. Namun pada hari yang sama demam kembali muncul ( 39
derajat celcius ) serta perkemangan eritema dan pembengkakan di sekitar sayatan. Karena
cepatnya kerusakan mastoidektomi akut dan drainase pun dillakukan.
Setelah mengamati terus menerus perkembangan klinis, terjadi perkembangan. 6 hari setelah
operasi anak tersebut mengalami malasah dalam mempertahankan keseimbangan, dan orang
tua anak tersebut memberitahukan bahwa anak tersebut mengalami sedikit strabismus. Tidak
ada sakit kepala atau keterlibatan nervus trigeminus. Pemeriksaan fisik menunjukan visus
normal di kedua mata, tetapi kelainan papillar edema sebelah kiri dan kelumpuhan abducens.
( Gambar 1)
Dalam rangka untuk menghilangkan kemungkinan sinus thrombosis, scanning MRI
dilakukan. Dan menunjukakan osteomyelitis dalam komplek petro mastoid, kemudian
penebalan dan peningkatan dari meningens yang berdekatan, tidak ada tanda – tanda sinus
thrombosis. Akhirnya tidak ada abses intra kanial yang ditemukan setelan penyuntikan
kontras.
Kultur pus dari abses mastoid menunjukkan pertumbuhan dari staphylococcus aureus
yang sensitive terhadap dicloxacillin and ceufuroxime, tetapi resistensi terhadap penicillin
dan fusobacterium necrophorum sensitive terhadap metronidazole dan penicillin. Anak
tesebut sudah pulang setelah 20 hari pemberian antibiotic intravena kombinasi dari
cefuroxime dan metronidazole. Selama 8 minggu pamantauan tidak ada tanda infeksi
berulang atau kelumpuhan nervus abducen.
Kesimpulan
Sindrom Gradenigo sebagai hasil dari petrositis jarang terlihat setelah pengenalan dan
penyebaran dari antibiotic. SG akan tetap ada namun, potensi komplikasi yang serius lebih
pada OMA dan akut mastoiditis.
Dimana pneumatisaasi dari sel mastoid di tulang temporal hamper menyeluruh,
pneumatisasi dari petrous apex bervariasi dan hanya ditemukan pada 1 dari 3 kasus pada
pasien dewasa.; dalam lingkupnya hal tersebut mungkin meberikan jalan untuk OMA untuk
menyebar juga secara medial menyebabkan pterositis. Sebagai tambahan, kondisi ini
mungkin juga sebagai hasil dari perpanjangan infeksi melalui destruksi tulang atau
hematogen melalui jalur vena menyebabkan osteomyelitis pada area yang tidak
terpneumatisasi di tulang petrous. Karena lokasi pusat puncak petrosa, petrositis apikal
mungkin cepat berkembang menjadi komplikasi yang parah dan mengancam kehidupan
seperti meningitis, abses otak, trombosis sinus lateral, empiema dan kelumpuhan saraf
kranial. penundaan antara gejala otologic dan keterlibatan saraf kranial bervariasi dari 1
minggu sampai 2 - 3 bulan. dalam kasus kami, waktu antara timbulnya gejala awal dan
munculnya kelumpuhan abducens dua minggu.
kami menemukan penyebab yang patogen menjadi staphylococcus aureus dalam
kombinasi dengan Fusobacterium necrophorum ditemukan di kedua telinga tengah rongga
mastoid. sthapylococcus aureus sering ditemukan di mastoiditis akut (8,6%), hanya dilampaui
oleh pseudomonas aeruginosa (11,8%) streptococcus pneumonniae (9,9%) dan pyogenes
streptokokus (9,2%). Ada pendapat bahwa S. aureus memiliki kecenderungan yang lebih
besar untuk menyerang tulang, karena telah ditemukan dalam kasus yang lebih dengan
osteomyolitis.
Demonstrasi Fusobacterium necrophorum di GS lebih tidak biasa, dan untuk
pengetahuan kita ini hanya dilaporkan dalam dua kasus sebelumnya. Fusobacterium
necrophorum adalah aerobik, non-motil batang Gram-negatif, biasanya ditemukan dalam
flora oral, gastro - intestinal serta saluran kemih genito- pada wanita. biasanya tidak
menyerang permukaan mukosa pada individu sehat, tetapi jika sistem pertahanan host
dikompromikan telah diketahui menyebabkan berbagai kemajuan pesat infeksi serius
termasuk bacterimia; Kondisi klinis ini dikenal sebagai necrobacillosis.
Demonstrasi Fusobacterium necrophorum sulit, karena budidaya ini kompleks dan
bergantung pada masa inkubasi yangl lama; ini dapat menyebabkan tidak
dipertimbangkannya demonstrasi klinis namun budidaya mikroorganisme anaerob harus
dipertimbangkan. dengan demikian, ketika pengobatan antibiotika empiris dimulai, dapat
direkomendasikan untuk mencakup agen anti-stapylococcal ampuh serta metronidazol untuk
menutupi organisme anaerobik.
CT scan adalah pilihan pertama pencitraan, karena banyak tersedia dan memiliki
sensiviy tinggi untuk deteksi perubahan struktur tulang termasuk lesi di apeks petrosa mana
SG dalam banyak kasus akan muncul. Selanjutnya mungkin mendeteksi keberadaan abses
intercranial, meskipun kurang sensitif dibandingkan MR. MRI berguna dalam mengevaluasi
sejauh mana lesi dari puncak petrosa lokal pada CT scan, serta menunjukkan keterlibatan
meningeal. Selain itu, MRI lebih unggul dalam mendeteksi komplikasi intrakranial. sebuah
angiografi MRI dapat dilakukan untuk aturan keluar tanda-tanda trombosis sinus.
SG adalah jarang, tetapi mengancam komplikasi infeksi telinga tengah yang harus
dipertimbangkan ketika gejala atipikal berkembang setelah OMA hidup. modalitas radiologi
seperti CT dan MRI sebaiknya tidak ditunda dan CT harus dianggap sebagai pilihan pertama
dari pencitraan saat SG diduga. pengobatan harus mencakup drainase telinga tengah dan
mastoidectomy serta antibiotik spektrum luas intravena. SG ini paling sering disebabkan oleh
mikroorganisme aerobik, tetapi juga dapat ditemukan dalam interaksi dengan
mikroorganisme anaerob. karena beratnya komplikasi terkait kami menunjukkan bahwa
pengobatan antibiotik termasuk cakupan anaerobik.