37
1 I TEPUNG TULANG 1.1 Pendahuluan Potensi perikanan Indonesia sangat besar, hal ini dibuktikan dengan produksi perikanan pada tahun 2012 yang mencapai 15.504.747 ton (BPS, 2012). Pada proses produksinya, dihasilkan sekitar 20 - 30% berupa limbah (Nabil, 2005). Ini berarti limbah yang dihasilkan pada tahun 2012 sekitar 3.100.949,4 - 4.651.424,1 ton. Salah satu limbah yang dihasilkan berupa tulang ikan. Limbah tulang ikan hingga saat ini belum termanfaatkan secara optimal. Disisi lain tulang ikan memiliki potensi sebagai tepung untuk bahan pangan. Pemanfaatan tepung tulang ikan dapat digunakan untuk pengayaan (enrichment) sebagai salah satu upaya fortifikasi zat gizi dalam makanan (Nabil, 2005), hal ini didasarkan karena kandungan kalsium dan fosfor yang cukup tinggi. Menurut Trilaksani dkk., (2006) kadar kalsium tepung tulang yaitu berkisar antara 23,72 - 39,24 (%bb), sedangkan kandungan fosfor berskisar antara 11,34 - 14,25 (%bb). Kalsium dan fosfor sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Kedua mineral tersebut memiliki peran penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Dari latar belakang tersebut, maka diperlukan suatu usaha untuk mengeksplorasi potensi limbah tulang tersebut. Dalam praktikum ini dilakukan pembuatan tepung tulang ikan dari limbah tulang ikan, hasil sampingan produk olahan perikanan dengan perlakuan pengeringan menggunakan oven dan matahari, kemudian tepung tulang tersebut diuji organoleptik dan

Laporan Limbah Fatim TIHP Unair

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tepung Tulang, Minyak Ikan, Biofertilizer dan kitosan

Citation preview

1

I TEPUNG TULANG1.1 PendahuluanPotensi perikanan Indonesia sangat besar, hal ini dibuktikan dengan produksi perikanan pada tahun 2012 yang mencapai 15.504.747 ton (BPS, 2012). Pada proses produksinya, dihasilkan sekitar 20 - 30% berupa limbah (Nabil, 2005). Ini berarti limbah yang dihasilkan pada tahun 2012 sekitar 3.100.949,4 - 4.651.424,1 ton. Salah satu limbah yang dihasilkan berupa tulang ikan. Limbah tulang ikan hingga saat ini belum termanfaatkan secara optimal.Disisi lain tulang ikan memiliki potensi sebagai tepung untuk bahan pangan. Pemanfaatan tepung tulang ikan dapat digunakan untuk pengayaan (enrichment) sebagai salah satu upaya fortifikasi zat gizi dalam makanan (Nabil, 2005), hal ini didasarkan karena kandungan kalsium dan fosfor yang cukup tinggi. Menurut Trilaksani dkk., (2006) kadar kalsium tepung tulang yaitu berkisar antara 23,72 - 39,24 (%bb), sedangkan kandungan fosfor berskisar antara 11,34 - 14,25 (%bb). Kalsium dan fosfor sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Kedua mineral tersebut memiliki peran penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Dari latar belakang tersebut, maka diperlukan suatu usaha untuk mengeksplorasi potensi limbah tulang tersebut. Dalam praktikum ini dilakukan pembuatan tepung tulang ikan dari limbah tulang ikan, hasil sampingan produk olahan perikanan dengan perlakuan pengeringan menggunakan oven dan matahari, kemudian tepung tulang tersebut diuji organoleptik dan kandungan lemaknya guna untuk mengetahui kualitas tepung tulang yang dihasilkan. 1.2 METODEBahan yang digunakan pada praktikum ini meliputi limbah tulang ikan 300 gram dan air, sedangkan alat yang digunakan meliputi panci, kompor, baskom, saringan, autoclave, pisau, grinder, ayakan dan timbangan. Metode praktikum ini terdiri dari dua tahap yaitu pembuatan tepung tulang dan pengujian kandungan minyak. Tahap pembuatan tepung tulang yaitu dimulai dengan proses perebusan tulang ikan, kemudian dicuci hingga bersih. Selanjutnya tulang ikan dimasukkan ke dalam autoclave pada suhu 121 C selama dua jam. Kemudian tulang dibagi menjadi dua untuk diberi perlakuan dengan pengeringan menggunakan oven dan matahari. Ketika pengeringan telah selesai, kemudian tulang digrinder dan kemudian diayak. Banyaknya Molekul kecil yang lolos pengayakan akan menjadi rendemen akhir yang didapat. Rendemen yang didapat diuji lanjut organoleptiknya, setelah itu diletakkan dalam oven untuk mengetahui kadar air dalam tepung tulang. Kemudian dilanjutkan dengan uji kandungan lemak pada minggu berikutnya dengan metode BnD.1.3 HasilRendemen tepung tulang yang dihasilkan dengan perlakuan pengeringan menggunakan oven dan panas matahari masing-masing yaitu 46,18 % dan 62,73%, dapat dilihat pada Lampiran 2. Kadar air tepung tulang dengan pemanasan oven dan matahari yaitu masing-masing 3,8% dan 8,06 %. Sedangkan kandungan minyak pada tepung tulang menggunakan pengeringan dengan oven yaitu rata-rata 10,9 % dan kandungan lemak tepung tulang pengeringan dengan sinar matahari yaitu rata-rata 7,7 %. Hasil lengkap dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil PengujianTepung Tulang IkanParameterTepung TulangSatuan

OvenMatahari

Rendemen46, 262, 2%

Kadar Air3, 88, 06%

Kandungan Lemak10, 97, 7%

Uji organoleptik yang dihasilkan yaitu kenampakan dan warna mencapai Asymp. Sig. < 0,05, sedangakan untuk tekstur dan aroma diperoleh Asymp. Sig. > 0,05. Hasli uji oraganoleptik dapat dilihat pada Lampiran 1.1.4 PembahasanRendemen tepung tulang yang dihasilkan dengan menggunakan pengeringan matahari lebih besar yaitu 62,73 % dibanding rendemen tepung tulang yang pengeringannya menggunakan oven yaitu 46,18 %. Hal ini diduga karena pada pengeringan menggunakan matahari, suhu yang dihantarkan ke bahan cukup fluktuatif dan sulit untuk dikendalikan sebab di tempat terbuka, sehingga bahan kurang optimal dalam proses pengeringannya. Disamping itu pengeringan dengan matahari, suhu yang dihantarkan kurang merata, sehingga pengeringan sebagian bahan kurang optimum. Berbeda dengan pengeringan menggunakan oven, rendemen tepung tulang yang dihasilkan lebih sedikit, sebab pemerataan pengeringan lebih optimal dan suhu oven dapat dikontrol. Hal ini didukung dengan kandungan air pada masing-masing tepung tulang. Tepung tulang dengan perlakuan pengeringan dengan oven memiliki kadar air 3,8 (%bb), yang lebih rendah dibanding dengan pengeringan menggunakan cahaya matahari yaitu 8,06 (%bb). Perbedaan yang cukup signifikan, sehingga wajar jika rendemen tepung tulang dengan pengeringan menggunakan matahari lebih besar nilainya daripada pengeringan dengan oven. Nilai kadar air tersebut masih berada pada kisaran standar yang ditetapkan SNI (SNI 01-3158-1992) untuk kadar air tepung tulang (maksimal 8 %bb) sehingga dapat diterima, tetapi kadar air tersebut lebih tinggi daripada kadar air tepung tulang produksi International Seafood of Alaska (ISA) yaitu 3,4 %bb dan Mulia (2004) sebesar 3,6 %bb. Menurut Trilaksani dkk., (2006), rendemen dana kadar air adalam tepung tulang dipengaruhi oleh lamanya waktu autoclave.Kandungan lemak pada tiap perlakuan berbeda. Tepung tulang yang dikeringkan menggunakan oven lebih besar yaitu 10,9 (%bb) dibandingkan tepung tulang yang dikeringkan dengan menggunakan matahari yaitu 7,7 (%bb). Nilai tidak sesuai dengan standar kadar lemak yang ditetapkan SNI (1992) akan tetapi cukup sesuai dengan kadar lemak yang diperoleh tepung tulang produksi ISA dab Elfauziah (2003). Kadar lemak tepung tulang ikan yang ditetapkan Standar Nasional Indonesia (1992) sebesar 3 dan 6 (%bb) masing-masing untuk mutu I dan II, sedangkan kadar lemak tepung tulang ikan produksi ISA dan Elfauziah masing-masing sebesar 5,6 %bb dan 9,78 %bb. Perbedaan kadar minyak dalam bahan disebabkan oleh oksidasi lemak yang terjadi pada bahan. Tepung tulang yang dikeringkan menggunakan matahari berada pada ruangan terbuka dan bercahaya, sehingga oksigen dan kelembapan udara tersedia tinggi dan menyebabkan terjadinya oksidasi lemak yang terkandung pada tepung tulang, yang menyebabkan degradasi kandungan lemak. Menurut Siswati dkk., (2013) hasil oksidasi minyak atau lemak dalam bahan pangan tidak hanya mengakibatkan rasa dan bau tidak enak, tetapi juga dapat menurunkan nilai gizi karena rusaknya vitamin (karoten dan tokoferol) dan asam lemak esensial dalam lemak. Sedangkan tepung tulang yang dikeringkan menggunakan oven lebih terkontrol kandungan lemaknya sebab ruangan oven tertutup kadar oksigen dan kelembapan udara rendah. Oksidasi terjadi pada ikatan tidak jenuh dalam asam lemak. Pada suhu kamar sampai dengan suhu 100 oC, setiap ikatan tidak jenuh dapat mengabsorbsi 2 atom oksigen, sehingga terbentuk persenyawaan peroksida yang bersifat labil. Peroksida ini dapat menguraikan radikal tidak jenuh yang masih utuh sehingga terbentuk 2 molekul persenyawaan oksida. Proses pembentukan peroksida ini dipercepat oleh adanya cahaya, suasana asam, kelembaban udara dan katalis (Siswati dkk., 2013). Hasil Uji hedonik yang dihasilkan berdasarkan paramater kenampakan dan warna mencapai Asymp. Sig. < 0,05, hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan dengan matahari dan oven memberikan pengaruh terhadap hasil kenampakan dan warna sedangakan untuk tekstur dan aroma diperoleh Asymp. Sig. > 0,05 yang berarti bahwa perlakuan pengeringan yang berbeda tidak memberikan pengaruh terhadap tekstur dan aroma. Foto tepung tulang ikan dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

AB

Gambar 1. Tepung Tulang Ikan dengan Pengeringan (A) Oven (B) Matahari

Dapat dilihat pada gambar 1, bahwa penampakan tepung tulang sangat berbeda. Sehingga pada uji hedonik kenampakan dan warna tepung tulang terdapat perbedaan yang sangat nyata yang dibuktikan dengan nilai Asimp. Sig. yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Kenampakan pada tepung tulang tersebut dikarenakan oleh perbedaan perlakuan yakni dengan pengeringan menggunakan oven dan matahari. Kenampakan menggunakan oven lebih putih dibanding dengan tepung tulang yang dikeringkan menggunakan matahari. Hal tersebut terjadi karena tingkat suhu yang digunakan pada oven lebih stabil, sedangkan suhu dari pengeringan dengan matahari lebih fluktuatif. Selain itu, penggunaan pengeringan dengan matahari di ruang terbuka dapat berpotensi besar terjadi kontaminasi oleh mikrobia, sehingga menghasilkan warna tepung tulang yang kekuningan sebab kandungan dalam bahan terdegradasi oleh mikroba.

1.5 Kesimpulan dan SaranDari hasil praktikum tepung tulang ikan dapat disimpulakan bahwa pemberian perlakuan pengeringan perlakuan memperikan pengaruh terhadap rendemen, kadar air, lemak dan nilai hedonik parameter kenampakan dan warna. Jika dibandingakn antar perlakuan maka pengeringan menggunakan oven menghasilkan tepung tulang yang lebih baik daripada tepung tulang yang menggunakan pengeringan dengan matahari.Saran untuk praktikum yang telah dilakukan yaitu perlakuan cukup menggunakan oven saja akan tetapi suhu yang digunakan berbeda. Selain itu yakni lama pemasakan tulang ikan juga dibedakan karena pemasakan dapat berpengaruh pada hasil tepung tulang (Trilaksani dkk., 2006).1.6 Daftar PustakaBadan Pusat Statistik (BPS). 2012. Statistik Ekspor Hasil Perikanan Menurut Komoditi, Provinsi Dan Pelabuhan Asal Ekspor 2012. Oktober. Pusat Data, Statistik, dan Informasi Sekretariat Jenderal, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.Dewan Standarisasi Nasional. 1992. Standar Nasional untuk Tepung Tulang. SNI 01-3158-1992. Jakarta: Dewan Standarisasi NasionalElfauziah R.2003. Pemisahan kalsium dari tulang kepala ikan patin (Pangasius. sp.). Skripi. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.Mulia. 2004. Kajian potensi limbah tulang ikan patin (Pangasius sp.) sebagai alternative sumber kalsium dalam produk mi kering. Skripsi. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.Nabil, M. 2005. Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tuna (Thunnus sp.) Sebagai Sumber Kalsium Dengan Metode Hidrolisis Protein. Skripsi. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.Siswati, N.D., J. SU., Junaini. 2013. Pemanfaatan Antioksidan Alami Flavonol Untuk Mencegah Proses Ketengikan Minyak Kelapa. Artikel Ilmiah. FTI UPN. 7 hal.Trilaksani, W., E. Salamah., dan M. Nabil. 2006. Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tuna (Thunnus sp.) Sebagai Sumber Kalsium Dengan Metode Hidrolisis Protein. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 9 (2): 34-45.

1.7 LampiranLampiran 1. Olahan Data uji Hedonik dengan SPSS

(Lanjutan)

Lampiran 2. Rendemen Tepung Tulang Ikan Semua KelompokKelompokBerat Awal (gr)Berat Akhir (gr)Rendemen (%)

OvenMatahariOvenMatahariOvenMatahari

115015069, 273994, 146, 262, 7

215015078, 420068, 574852, 945, 7

315015036, 562836, 415324, 424, 3

415015079, 123473, 0377, 887, 4

515015062, 2561, 6841, 541

615015079, 2580, 0652, 853, 4

Lampiran 3. Dokumentasi Praktikum Tulang Ikan

II MIYAK IKAN2.1 PendahuluanIndonesia memiliki perairan yang luas dan hasil perikanan yang sangat melimpah. Melimpahnya hasil perikanan, menyebabkan tergeraknya pemikiran untuk membangun sebuah industri pengolahan ikan. Industri pengolahan ikan di Indonesia semakin meningkat, karena permintaan pasar Internasional yang tinggi. Seiring dengan meningkatnya industri pengolahan ikan, meningkat pula limbah yang dihasilkan, baik dalam bentuk padat maupun bentuk cair. Ketika limbah dibiarkan maka akan terjadi perubahan pada limbah tersebut salah satunya timbulnya bau, selain itu jika limbah tersebut dibuang ke lingkungan maka akan menyebabkan pencemran lingkungan. Selama ini upaya pengolahan dan pemanfaatan limbah baik cair ataupun padat belum optimal. Pembuatan minyak ikan merupakan salah satu alternatif dalam pengolahan limbah hasil perikanan. Menurut Stansby (1982) dalam Dewi (2013), kandungan asam lemak omega-3 yakni EPA (Eicosapentaenoic Acid) dan DHA (Docosahexaenoic Acid) dalam minyak ikan cukup tinggi, hal ini dikuatkan dengan penelitian Dewi (1996) dalam Dewi (2013) menunjukkan bahwa Kadar total asam lemak omega-3 pada minyak limbah pengalengan lemuru sebesar 29,68%, dengan kandungan EPA dan DHA pada minyak ikan lemuru masing-masing sebesar 15 % dan 11 %. Telah diketahui bahwa EPA dan DHA sangat berperan penting dalam kelangsungan hidup manusia.Dari latar belakang tersebut maka dilaksanakan praktikum pembuatan minyak ikan dari limbah jeroan hasil pengolahan perikanan dengan metode wet rendering dan BnD, untuk meningkatkan nilai ekonomis dari limbah tersebut, selain itu hal tersebut merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi pencemaran lingkungan.2.2 METODEBahan yang digunakan pada praktikum ini meliputi by product hasil perikanan (jeroan), dan aquades. Alat yang digunakan diantaranya yaitu hot plate/kompor, pengaduk kaca, beaker glass 250 ml, timbangan, loyang, botol sampel, refrigerator, freezer dan termometer. Prosedur kerja praktikum meliputi penimbangan by-product hasil perikanan sebanyak 200 gr, kemudian penambahan aquades sebanyak 200 mL yang dilanjutkan dengan ekstraksi pada suhu 40, 60, dan 80 C selama 30 menit di atas water bath. Setelah ekstraksi selesai dilakukan dekantasi dan penyaringan, kemudian hasil filtrat yang diperoleh dibekukan dalam Freezer. Hari selanjutnya dilakukan pemisahan antara lipid dan pelarut, yang kemudian ditimbang untuk mengetahui rendemen yang diperoleh. Sebagai pembanding maka dilakukan ekstraksi minyak dengan menggunakan BnD.2.3 HasilHasil rendemen minyak ikan yang paling tinggi yaitu dengan menggunakan metode BnD 11,2 %, kemudian disusul dengan hasil rendemen dengan ekstraksi wet rendering menggunakan suhu 80 C yaitu 8,3 % dan rendemen dengan pemanasan 60 C sebesar 2,7 %, serta yang terakhir rendemen minyak dari pemanasan 40 C yaitu 2,2 %. Hasil rendemen minyak dapat dilihat pada tabel 2. Sig. yang dihasilkan dari rendemen pembuatan minyak ikan yaitu < 0,05, data lengkap pembuatan minyak ikan dapat dilihat pada Lampiran 1.Tabel 2. Rendemen Minyak Ikan

PerlakuanBerat Awal (gr)Berat Akhir (gr)Rendemen (%)Rata-rata

Ulangan 1Ulangan 2Ulangan 1Ulangan 2Ulangan 1Ulangan 2(%)

Suhu 40C2002004,26494,45892,13242,22942,1809

2,12,22,2

Suhu 60C2002009,40761,21654,70380,60822,6560

4,70,62,7

Suhu 80C20020012,225020,97786,112510,48898,3007

6,110,58,3

BND550,62050,494312,51009,886011,1980

12,59,911,2

2.4 PembahasanBerdasarkan data hasil ekstraksi minyak, rendemen tertinggi diperoleh dengan metode Bligh and Dryer (BnD) yaitu 11,2 % dibanding dengan ekstraksi dengan metode wet rendering dengan suhu 40, 60 dan 80 oC. Sedangkan untuk metode wet rendering, semakin tinngi suhu yang digunakan maka hasil rendemen minyak yang diperoleh juga semakan besar. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil menggunakan analisis data dengan anova sig < 0,05. Hal ini berarti bahwa pemberian perlakuan pada ekstraksi minyak ikan memiliki perbedaan yang nyata.

Gambar 2. Grafik Rendemen MinyakUji lanjut dengan Duncan menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan antar perlakuan wet rendering, sedangkan hasil rendemen BnD menghasilkan perbedaan yang nyata dengan hasil rendemen wet rendering menggunkan suhu 40 oC dan 60 oC, walaupun BnD tidak berbeda nyata dengan perlakuan suhu 80 oC, hal ini dapat dilihat dari hasil notasi dari ke empat sampel tersebut pada gambar 2. Hasil praktikum ini didukung oleh penelitian Huli dkk (2014) yang menunjukkan bahwa nilai rendemen minyak ikan hasil ekstraksi wet rendering lebih rendah dibandingkan dengan ekstraksi Bligh and Dryer. Olahan data dapat dilihat pada Lampiran 4. Jika dianalisa, hal tersebut terjadi karena pelarut yang digunakan pada metode wet rendering berupa air sehingga tidak dapat mengekstraksi minyak dalam bahan secara optimal. Disisi lain minyak memiliki sifat hidrofobik, sehingga kemungkinan besar ekstrak lemak sulit untuk dilakukan yang menyebabkan rendemen minyak lebih rendah. Diketahui bahwa pelarut yang digunakan untuk metode BnD menggunakan kloroform yang selektif untuk ekstraksi minyak. Hal ini didukung oleh penelitian Ramalhosa et al. (2012) bahwa ekstraksi dengan metode wet rendering belum dapat mengekstraksi minyak secara total sedangkan pada metode ekstraksi Bligh and Dyer menggunakan pelarut kimia yang tingkat kepolarannya berbeda dapat mengekstraksi minyak dalam tubuh ikan. Jika dilihat dari tingkat safety minyak tersebut, ekstraksi minyak menggunakan pelarut air lebih aman dibanding dengan ekstrak menggunakan BnD yang pelarutnya berupa zat kimia. BnD berpotensi menimbulkan residu bahan kimia terhadap minyak ikan sehingga berbahaya bagi kesehatan apabila terkonsumsi. Menurut Hadiwibowo (2010) dalam Akbar (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi laju ekstraksi suatu bahan yaitu preparasi pada padatan, laju difusi, suhu, pemilihan pelarut, dan kelembapan padatan. Apabila ditinjau pada sisi bahan baku yang digunakan, kandungan minyak dalam ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis ikan, jenis kelamin, umur (tingkat kematangan), musim, siklus bertelur, letak geografis perairan dan jenis makanan yang dikonsumsi ikan tersebut (Ackman, 1982 dalam Isnani, 2013).2.5 Kesimpulan dan SaranHasil praktikum ini dapat disimpulkan bahwa metode yang paling efektif untuk menghasilkan rendemen minyak yang tinggi yaitu dengan menggunakan metode BnD. Sedangkan untuk kualitas minyak yang paling bagus yaitu dengan menggunakan metode wet rendering. Saran untuk praktikum ini yaitu, menggunakan pelarut yang lebih aman dalam mengekstrak minyak ikan, sehingga tidak menimbulkan residu yang berbahaya bagi kesehatan.2.6 Daftar PustakaAkbar, M.A. 2012. Optimasi Ekstraksi Spent Bleaching Earth dalam Recovery Minyak Sawit. Skripsi. Universitas Indonesia. 110 hal.Dewi, R.R. 2013. Karakterisasi Dan Penentuan Komposisi Asam Lemak Dari Hasil Pemurnian Limbah Pengalengan Ikan Dengan Variasi Alkali Pada Proses Netralisasi. Skripsi. Universitas Jember. 85 hal.Huli, L.O., S.H. Susseno dan J. Santoso. 2014. Kualiatas Minayk Ikan Dari Kulit ikan Swangi. JPHPI 17 (3).Isnani, A.N. 2013. Ekstraksi Dan Karakterisasi Minyak Ikan Patin Yang Diberi Pakan Pellet Dicampur Probiotik. Skripsi. Universitas Jember. 74 halRamalhosa MJ, Paiga P, Morais S, Alves RM, Matos CD, Oliveira MB. 2012. Lipid content of frozen fish: Comparison of different extraction methods and variability during freezing storage. Food Chemistry 131:328336.

2.7 LampiranLampiran 4. Hasil data Rendemen Minyak Ikan dengan Metode SPSS

Lampiran 5. Dokumentasi Pembuatan Minyak Ikan

III BIOFERTILIZER3.1 PendahuluanPada industri pengolahan ataupun konsumsi ikan oleh rumah tangga, menghasilkan limbah berupa kepala, ekor sirip, tulang dan jeroan, jika diestimasi sekitar 35% (Irawan, 1995 dalam Rengi dan Sumarto, 2014). Disis lain pada prosesnya, industri perikanan juga menghasilkan hasil sampingan berupa limbah cair. Limbah cair yang dihasilkan oleh perusahaan perikanan lebih banyak daripada limbah padat, sehingga perlu di-treatment terlebih dahulu sebelum dialirkan ke sungai. Menurut Marriot and Gravani (2006), pada limbah cair terdapat banyak kandungan zat organik yang memicu mikroorganisme tumbuh subur, jika limbah tersebut dibuang langsung ke perairan maka unsur hara perairan akan meningkat, sehingga terjadi blooming mikroorganisme yang menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut dalam air (BOD), sehingga ikan mati. Kandungan protein dan lemak dalam limbah cair industri perikanan cukup tinggi yang mengakibatkan nilai nitrat dan amonia cukup tinggi, sehingga memiliki optensi untuk dijadikan pupuk organik lengkap (Waryanti dkk., 2013). Tetapi limbah cair industri perikanan tidak dapat dimanfaatkan langsung sebagai pupuk cair karena kandungan bahan organik berupa lemak dan protein tidak dapat diserap langsung oleh tanaman, sehingga kandungan organik dalam limbah cair perlu diuraikan menjadi senyawa-senyawa organik yang lebih sederhana. Dari hal tersebut pupuk cair organik lebih mudah diserap nutrisinya oleh tanaman. Salah satu aktivator biasa ditambahkan yaitu EM4 (effective microorganisms) (Dwicaksono dkk., 2013). Dari latar belakang di atas maka dilaksanakan pembuatan pupuk cair, guna meningkatkan nilai tambah dan manfaat limbah cair tersebut.3.2 METODEBahan yang digunakan dalam pembuatan pupuk cair meliputi Limbah ikan berupa jeroan, pupuk TSP, pupuk KCl, Pupuk Urea, EM4 (Effective Microorganisme 4), bibit Bayam (Amaranthus tricolor), dedak, gula. Alat yang digunakan diantaranya Neraca analitik, Autoclave, Aerator, Galon, Polybag. Tahapan pertama pada pembuatan pupuk cair yaitu pembuatan limbah cair buatan (pengganti limbah cair industri) dengan memanfaat jeroan ikan yang dicincang, selanjutnya direbus pada air mendidih selama 10 menit, perbandingan berat limbah padat ikan (kg) dan volume air (liter) yang digunakan yaitu 1:5. Setelah itu air hasil rebusan disaring dan kemudian cairan didinginkan.Tahapan kedua yaitu pembuatan pupuk organik cair dengan komposisi sebagai berikut:Tabel 3. Komposisi Pembuatan Pupuk Organik CairJenis PupukKomposisi

AFI 1 (Kontrol Negatif)Tanpa pupuk

AFI 2 (Kontrol Positif)Urea (0,45 g) + SP36 (0,4 g) + KCl (0,15 g)

AFI 3Limbah cair 2 L + TSP 0,8 gr + KCl 0,3 gr

AFI 4Limbah cair 2 L, Dedak 10%, 0.1% gula dan 0,1% EM4.

AFI 5Limbah cair 2 L + TSP 1,6 gr + KCl 0,4 gr

AFI 6Limbah cair 2 L, Dedak 10%, 2% gula dan 1% EM4.

AFI 7Limbah Cair

Pembuatan pupuk dilakukan dalam gallon/dirigen 3 L. Masing-masing perlakuan diatas difermentasi selama 7 hari pada wadah terbuka dengan suhu ruang (27-30 C). Setiap harinya dilakukan pengadukan untuk aerasi, selain itu juga dilakukan pengukuran pH setiap hari selama 7 hari. Setelah 7 hari dilakukan penyaringan guna memisahkan padatan yang ada.Tahap ke tiga yaitu pengaplikasian pupuk organik cair pada tanaman bayam (A. tricolor). Tanaman bayam ditanam pada polybag berukuran 35 x 35 cm dan diisi dengan tanah sebanyak 3 kg. Bibit bayam yang digunakan adalah sebanyak 0,015 gr polybag. Bibit sebanyak 0,015 gr akan menghasilkan anakan bayam sebanyak 10-12 batang. Bibit tersebut terlebih dahulu disemai selama 2 minggu. Setelah 2 minggu, anakan tanaman bayam dipindahkan ke polybag (dihitung sebagai 0 MST (Minggu Setelah Tanam)). Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu 1/2 dosis pada saat penanaman di polybag dan 1/2 dosis pada saat tanaman berumur 2 MST (Minggu Setelah Tanam). Kemudian dilakukan pengamatan terhadap tanaman bayam setiap minggu selama 3 minggu, ini berdasarkan umur panen tanaman bayam yaitu 21( 3MST) sampai 28 hari (4MST). Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman dan jumlah daun.

3.3 HasilHasil dari pertumbuhan bayam yaitu sebagai berikut:Tabel 4. Pengujian Hasil Tinggi Tanaman Bayam dengan AnovaSum of SquaresDfMean SquareFSig.

Between Groups1.4886.2489.619.000

Within Groups.36114.026

Total1.84820

Sig yang diperoleh dari semua perlakuan yaitu AFI 1, AFI 2, AFI 3, AFI 4, AFI 5, AFI 6 dan AFI yaitu < 0,01. Untuk uji lanjut Duncan yaitu sebagai baerikut:Tabel 5. Hasil Uji lanjut denga DuncanPerlakuanNSubset for alpha = .05

12345

AFI 43.1067

AFI 63.3333.3333

AFI 23.3967.3967.3967

AFI 13.5000.5000.5000

AFI 53.6900.6900.6900

AFI 33.7067.7067

AFI 73.9800

Sig..053.247.051.156.053

3.4 PembahasanBerdasarkan hasil praktikum perlakuan AFI 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7 memberikan pengaruh pertumbuhan bayam secara signifikan dan berbeda sangat nyata, hasil tersebut dapat dilihat pada uji anova sig. < 0,01 (tabel 4). Hal ini dikarenakan adanya kontrol positif dan kontrol negatif pada pemberian perlakuan, sehingga perbedaan sangat terlihat jelas. Apabila dilakukan uji lanjut dengan metode Duncan pemberian antar perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Hal ini berarti bahwa komposisi pupuk cair dengan kontrol positif memiliki kesamaan peranan dalam pertumbuhan bayam, sehingga pupuk cair yang didapat dari praktikum dapat menjadi alternatif untuk pupuk pertanian.Pada studi literatur seharusnya penambahan EM4 pada pembuatan pupuk cair dari limbah cair industri perikanan dapat menyederhanakan kandungan organik dalam bahan sehingga pupuk lebih mudah digunakan oleh tanaman (Dwicaksono dkk., 2013), akan tetapi upaya tersebut tidak memberikan efek yang signifikan pada praktikum ini, setelah diuji lanjut dengan Duncan. Hal tersebut terjadi karena pemberian konsentrasi pupuk yang kurang tepat. Menurut Hanolo (1997) dalam Marliah dkk., (2012) menyatakan bahwa pemberian pupuk organik cair harus memperhatikan konsentrasi dalam pengaplikasiannya terhadap tanaman yang dibudidayakan. Sebab penggunaan konsentrasi pupuk organik cair yang tepat dapat memperbaiki pertumbuhan, mempercepat panen, memperpanjang masa atau umur produksi dan dapat meningkatkan hasil tanaman (Rizqiani dkk., 2007).Hasil yang ditunjukkan pada pengukuran pertumbuhan tanaman bayam yang berbeda terjadi pada 2 MST yaitu dengan nilai Fhitung 9,54 lebih besar daripada Ftabel, hasil ini dapat dilihat pada Lampiran 6. Hal ini dikarenakan 2 MST merupakan pemberian pupuk cair pertama kali oleh praktikan sehingga kerja pupuk cair atau organik masih belum terlihat nyata. Akan tetapi pada minggu berikutnya pemberian perlakuan yang berbeda memberikan pengaruh yang sama sehingga Fhitung kurang dari Ftabel, walaupun pada dasarnya terdapat pengaruh terhadap pertumbuhan bayam.3.5 Kesimpulan dan SaranPemberian perlakuan berbeda tidak memberikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman bayam. Disisi lain pupuk cair yang berasal dari perikanan dapat dijadikan alternatif pupuk organik pasaran. Saran untuk praktikum ini yaitu, praktikan perlu memberikan konsentrasi yang tepat agar pupuk tersebut dapat berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan tanaman bayam.3.6 Daftar PustakaDwicaksono, M. R. B., B. Suharto., L. D. Susanawati. 2013. Pengaruh Penambahan Effective Microorganisms pada Limbah Cair Industri Perikanan Terhadap Kualitas Pupuk Cair Organik. Jurnal Sumberdaya Alam & Lingkungan: 7-11.Marliah, A., M. Hayati dan I. Muliansyah. 2012. Pemanfaatan Pupuk Organik Cair Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Beberapa Varietas Tomat (Lycopersicum esculentum L.). Jurnal Agrista 16 (3): 122-128.Marriot, N. G. and R. B. Gravani. 2006. Principle of Food Sanitation. Spinger. USA. pp. 213.Rengi, P. dan Sumarto. 2014. Kajian Teknologi Pemanfaatan Hasil Samping Perikanan Untuk Pembuatan Pupuk Cair Organik. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau: 48-55.Rizqiani, N., F.A. Erlina & W.Y. Nasih. 2007. Pengaruh Dosis dan Frekuensi Pemberian Pupuk Organik Cair Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Buncis. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan VII (1) : 43-45.Waryanti, A., Sudarno., E. Sutrisno. 2013. Studi Pengaruh Penambahan Sabut Kelapa Pada Pembuatan Pupuk Cair Dari Limbah Air Cucian Ikan Terhadap Kualitas Unsur Hara Makro (CNPK). Artikel Ilmiah. Universitas Diponegoro Semarang. 7 hal.3.7 LampiranLampiran 6. Olahan Data Statistik Pertumbuhan Tanaman Tiap MST1 MSTAFI 1AFI 2AFI 3AFI 4AFI 5AFI 6AFI 7

10.161.161.600.660.930.800.72

21.091.250.240.550.881.110.52

30.301.440.740.680.601.000.92

Anova: Single Factor

SUMMARY

GroupsCountSumAverageVariance

Column 131.550.5166670.251433

Column 233.851.2833330.020433

Column 332.580.860.4732

Column 431.890.630.0049

Column 532.410.8033330.031633

Column 632.910.970.0247

Column 732.160.720.04

ANOVA

Source of VariationSSdfMSFP-valueF crit

Between Groups1.13069560.1884491.558720.2308712.847726

Within Groups1.6926140.1209

Total2.82329520

2 MSTAFI 1AFI 2AFI 3AFI 4AFI 5AFI 6AFI 7

10.460.310.420.140.710.300.94

20.330.400.960.150.680.400.77

30.710.480.740.030.680.301.23

Anova: Single Factor

SUMMARY

GroupsCountSumAverageVariance

Column 131.4950.4983330.038158

Column 231.1940.3980.007177

Column 332.120.7066670.073733

Column 430.320.1066670.004433

Column 532.070.690.0003

Column 6310.3333330.003333

Column 732.9380.9793330.054521

ANOVA

Source of VariationSSDfMSFP-valueF crit

Between Groups1.48507960.2475139.5377320.000282.847726

Within Groups0.363313140.025951

Total1.84839320

3 MST

AFI 1AFI 2AFI 3AFI 4AFI 5AFI 6AFI 7

10.200.070.360.781.320.000.64

20.160.411.080.001.623.700.70

31.130.710.550.590.710.000.00

Anova: Single Factor

SUMMARY

GroupsCountSumAverageVariance

Column 131.480.49333330.299758

Column 231.190.39666670.102533

Column 331.990.66333330.139233

Column 431.370.45666670.165433

Column 533.651.21666670.215033

Column 633.71.23333334.563333

Column 731.340.44666670.150533

ANOVA

Source of VariationSSdfMSFP-valueF crit

Between Groups2.43360.4054190.5035490.795712.847726

Within Groups11.27140.8051226

Total13.720

4 MST

AFI 1AFI 2AFI 3AFI 4AFI 5AFI 6AFI 7

10.851.120.170.300.260.000.24

20.571.360.070.000.473.900.01

30.371.300.280.700.760.000.82

Anova: Single Factor

GroupsCountSumAverageVariance

Column 131.7850.5950.059275

Column 233.781.260.0156

Column 330.520.17333330.011033

Column 4310.33333330.123333

Column 531.490.49666670.063033

Column 633.91.35.07

Column 731.070.35666670.174233

ANOVA

Source of VariationSSdfMSFP-valueF crit

Between Groups3.70360.61724720.7832360.5969952.847726

Within Groups11.03140.7880726

Total14.7420

IV KITOSAN4.1 PendahuluanUdang merupakan salah satu produk primadona perikanan dari enam komoditas produk perikanan lainnya. Tahun 2011-2012 ekspor udang dari 316.124 ton menjadi 324.136 ton (BPS, 2012). Banyaknya produksi udang ini akan menghasilkan limbah yang banyak juga sebab hasil samping produksi yang berupa kepala, kulit, ekor dan kaki adalah sekitar 35%-50% dari berat awal (Swastawati dkk., 2008). Meningkatnya kuantitas limbah udang menjadi salah satu masalah yang perlu dicari solusinya, sehingga memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan udang, serta meminimalisir pencemaran lingkungan yang ditimbulkan. Limbah kulit udang terdiri dari tiga komponen utama yaitu protein (25%-44%), kalsium karbonat (45%-50%), dan kitin (15%-20%) (Fohcher, 1992 dalam Azhar dkk., 2010). Kandungan kitin dari limbah udang (kepala, kulit, dan ekor) mencapai sekitar 50% dari berat udang (Widodo dkk., 2005 dalam Purwanti, 2014). Potensi limbah ini dapat diolah lebih lanjut menjadi senyawa polisakarida dimana di dalamnya termasuk chitin. Chitin ini dapat diolah lebih lanjut menjadi chitosan dan glukosamin yang memiliki sifat biodegradable dan ramah lingkungan. Latar belakang tersebut yang mendasari pelaksanaan praktikum pembuatan kitosan dari limbah kulit udang.4.2 METODEBahan yang digunakan dalam praktikum pembuatan kitin dan kitosan yaitu 250 gram kulit udang, HCl 1 N, NaOH 3 N, NaOH 50% dan aquades. Alat yang digunakan meliputi heater strirrer (2 buah), kompor listrik (1 buah), kompor gas (1 buah), baskom (4 buah), saringan (2 buah), portable pH meter, kertas indikator pH, pisau (4 buah), batang pengaduk kaca (2 buah), Beaker glass (2 L, 2 buah) timbangan, dan lemari asam. Tahapan pembuatan kitosan pada praktikum meliputi tiga tahap yaitu demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi. Tahapan pembuatan kitosan dibedakan menjadi dua langkah yang berbeda, yaitu kelompok pertama melakukan deproteinasi terlebih dahulu, sedangkan kelompok kedua melakukan tahapan demineralisasi terlebih dahulu.Tahap deproteinasi dilakukan pada suhu 90 C dengan menggunakan pelarut NaOH 3 N, perbandingan antara bahan dan pelarut yaitu 1:10. Selanjutnya dilakukan pemanasan selama 1 jam, kemudian dicuci dengan akuades hingga pH netral. Proses deproteinasi ini bertujuan untuk menghilangkan kandungan protein pada kulit udang.Tahap demineralisasi juga dilakukan pada suhu 90 C tetapi menggunakan HCl 1 N dengan perbandingan bahan dan pelarut 1:7. Selanjutnya campuran bahan dan pelarut dipanaskan selama 1 jam. Kemudian dicuci menggunakan aquades hingga mencapai pH netral. Proses demineralisasi ini bertujuan untuk menghilangkan mineral dalam kulit udang, sehingga akan diperoleh kitin.Tahap deasetilasi yaitu dilakukan pada suhu 140 C sambil dilakukan pengadukan selama 2 jam, pelarut yang digunakan berupa NaOH 50% dengan perbandingan bahan dan pelarut 1:20. Kemudian dilakukan pencucian dengan akuades sampai pH netral. Proses deasetilasi ini bertujuan untuk menghilangkan gugus asetil. Ketika proses selesai kemudian dilakukan pengeringan dengan menggunakan oven pada suh 100 C untuk menguapkan air yang terkandung, hingga terbentuk kitosan yang larut asam.4.3 HasilRendemen kitosan yang diperolh dapat dilihat sebagai berikut:Tabel 6. Hasil rendemen pembuatan kitosan perlakuan 1 dan perlakuan 2Tahapan PembuatanBerat Awal (gr)Berat Akhir (gr)Renedemen Akhir (%)Warna

Depro-Demin-Deasetil (K1)12532,556126,04Putih

Demin-Depro-Deasetil (K2)12522,22917,78Putih cerah

Hitungan rendemen diuraikan sebagai berikut:Kitosan Perlakuan 1(K1) = Berat Akhir 100%Berat Awal =32,5561 100%125 =26,04 %Kitosan Perlakuan 2(K2) = Berat Akhir 100%Berat Awal =22,229 100%

= 17,78 %1254.4 PembahasanProses pembuatan kitosan dengan langkah yang berbeda memberikan hasil rendemen yang berbeda. Rendemen tiap langkah dapat dilihat pada tabel di bawah ini:Tabel 7. Rendemen Pada Tiap Langkah Proses Dempro-Demin dan Demin DeproProsesBerat Awal (gr)Berat Akhir (gr)Rendemen (%)

Depro12576,58461,2672

Demin76,58468,30889,1936

Deasetilasi68,30832,556147,6607

ProsesBerat Awal (gr)Berat Akhir (gr)Rendemen (%)

Demin 12561,85849,4864

Depro61,85836,0258,2302

Deasetilasi36,0222,22961,71

Tabel 7. Menunjukkan hasil rendemen tiap langkah perlakuan K1 dan K2. Dapat dilihat bahwa rendemen yang dihasilkan pada tahap pertama selisihnya cukup besar masing-masing 61,27% dan 49,48%. Hal tersebut dikarenakan, praktikum yang dilakukan tidak berlangsung secara kontinyu, sehingga hasil pada tahap satu diletakkan dalam freezer, akibatnya pada saat praktikum dilanjutkan terdapat kerusakan (busuk) pada perlakuan K2. Hal ini dikarenakan pada K2 masih terdapat kandungan protein. Seperti yang telah diketahui bahwa tahap awal K2 yaitu demineralisasi (penghilangan mineral) tidak menghilangkan protein, sedangkan menurut Fohcher, (1992) dalam Azhar dkk., (2010) kandungan protein dalam limbah kulit udang yaitu 25 44%, nilai yang cukup besar. Protein merupakan salah satu media yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Menurut Soedarto dan Siswanto 2008 bahwa Mikroba memperoleh sumber energi dengan menguraikan protein menjadi peptone, polipeptida, dipeptida, peptida, asam amino dan akhirnya elemen nitrogen yang membentuk TVB. Pendapat tersebut diperjelas oleh Ilyas (1978) dalam Soedarto dan Siswanto (2008) bahwa selama proses dekomposisi protein akan terbentuk senyawa yang berbau busuk seperti hidrogen sulfida, merkaptan, indol, skatol, putresin dan kadaverin. Kerusakan ataupun pembusukan dipercepat oleh kadar air dalam bahan tersebut, sebab pada saat setelah tahap awal bahan tidak dikeringkan. Kadar air merupakan pemegang peranan penting, dalam proses pembusukan dan ketengikan. Umumnya kerusakan pangan merupakan proses mikrobiologis, kimiawi, enzimatik atau kombinasi antara ketiganya. Berlangsungnya ketiga proses tersebut memerlukan air dimana kini telah diketahui bahwa hanya air bebas yang dapat membantu berlangsungnya proses tersebut (Tabrani,1997 dalam Ahmad, 2014).Pada tahap dua, perlakuan K1 dan K2 menghasilkan rendemen yang berbeda dan selisihnya cukup tinggi yang masing-masing 89,19% dan 58,23%. Hal ini dikarenakan pada tahap ini, bahan untuk pembuatan kitosan lebih sedikit kadar airnya sebab dilakukan pengepresan. Selain itu, asumsi estimasi air yang ada pada bahan hanya 60% sedangkan pada tahap satu sebesar 80%. Perlakuan K2 menghasilkan rendemen yang lebih rendah sebab tahap K2 merupakan tahap demineralisasi (penghilangan mineral). Mineral merupakan unsur tertinggi dalam limbah kulit udang.Mmineral dalam limbah kulit udang berupa CaCO3 sebesar 45-50% (Fohcher, 1992 dalam Azhar dkk., 2010).Pada tahap tiga, rendemen perlakuan K2 yaitu 61,71% lebih besar dari rendemen K1 47,66%. Hal ini dikarenakan pada tahap sebelumnya, K2 melalui tahap deproteinasi menggunakan NaOH 3 N, sedangkan pada tahap tiga ini deasetilasi juga menggunakan larutan NaOH 50 %, diduga hal tersebut terdapat keterkaitan, yang menyebabkan rendemen pada tahap tiga K2 lebih besar daripada K1, walaupun sebelumnya sudah dilakukan netralisasi, tapi tidak menutup kemungkinkan bahwa pH bahan tetap/mendekati basa, sehingga pada tahap deasetilasi gugus asetil yang dihilangkan lebih rendah dari K1.Rendemen akhir yang dihasilkan lebih besar K1 26,04%, sedangkan K2 17,78%, hal ini disebabkan bahan K2 mengalami pembusukan sebelum tahap deproteinasi, sehingga sebagian bahan dibuang agar tidak mengganggu tahap selanjutnya. Penyebab kebusukan dapat dilihat pada bahasan sebelumnya. Disamping itu tahapan deproteinasi dan demineralisasi seharusnya dilakukan dalam satu kali waktu (kontinyu), sehingga potensi kebusukan dapat diminimalisir bahkan tidak terjadi. Karena menurut Purwanti (2014), urutan proses baik proses demineralisasi lebih dahulu atau proses deproteinasi lebih dahulu pada pembuatan kitosan dari limbah udang tidak begitu menunjukkan perbedaan signifikan dilihat dari kitosan yang dihasilkan artinya tidak berbeda jauh terhadap rendeman yang dihasilkan. Akan tetapi urutan proses ini menunjukkan perbedaan pada derajat deasetilasinya (Purwanti, 2014), sehingga berpengaruh pada kualitas kitosan itu sendiri.Perlakuan urutan proses yang berbeda menyebabkan perbedaan warna terhadap kitosan yang dihasilkan. Perlakuan K2 menghasilkan kitosan yang lebih cerah dibanding perlakuan K1. Hal ini dikarenakan, urutan proses K2 menggunakan larutan yang sama secara berurutan ketika proses demineralisasi ke deasetilasi. Sehingga pembentukan warna lebih optimal dibandingkan dengan K1. Selain itu, ditinjau dari segi efisiensi perlakuan K2 lebih mudah dilaksanakan dikarenakan penggunaan larutan yang sama secara berurutan, sehingga pembuatan larutan dapat dilakukan secara bersamaan walaupun konsentrasinya berbeda.Pada prinsipnya proses demineralisasi merupakan penghilangan mineral atau bahan anorganik lainnya dalam kulit udang. Seperti yang telah dijelaskan pada bahsan sebelumnya, mineral merupakan kandungan tertinggi dalam kulit udang dalam bentuk CaCO3 dan Ca3(PO4)2. Menurut Johnson dan Peniston (1982) dalam Arif dkk., (2013), bahwa kulit Crustacea, umumnya mengandung 30-50% mineral berdasarkan bobot kering. Kandungan mineral dapat dihilangkan dengan mereaksikan kulit udang tersebut dengan larutan HCl 1N, reaksi dari CaCO3 dan Ca3(PO4)2 dengan HCl menurut Yuliusman dan Adelina, (2010) sebagai berikut:

Reaksi antara CaCO3 dengan HCl menyebabkan terjadinya pembentukan gas CO2 dan ditandai adanya gelembung-gelembung udara pada saat penambahan larutan HCl ke dalam sampel. Hal tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi proses pemisahan mineral pada limbah kulit udang (Arif dkk., 2013). Menurut Johnson dan Peniston (1982) dalam Arif dkk., (2013), bahwa demineralisasi secara umum dilakukan dengan larutan HCl atau asam lain seperti H2SO4 pada kondisi tertentu. Keefektifan HCl dalam melarutkan kalsium 10% lebih tinggi daripada H2SO4. Pencucian setelah tahap demineralisasi untuk menghilangkan HCl agar crude kitin tidak rusak ketika akan direaksikan dengan NaOH pada tahap deproteinasi, yang diakibatkan oleh perubahan pH yang cukup drastis.Tahap deproteinasi merupakan proses penghilangan protein yang terdapat pada limbah udang, protein merupakan kandungan tertinggi kedua setelah mineral yang ada pada limbah kulit udang. Menurut Karmas (1982) dalam Harjanti (2014), bahwa keefektifan proses pemisahan protein tergantung pada kekuatan basa dan suhu yang digunakan. Untuk mempercepat proses demineralisasi dan deproteinasi maka dilakukan pemanasan dan penggilingan (Azhar dkk., 2010). Ketika proses pencampuran pelarut basa NaOH dan bahan terjadi, terbentuk sedikit gelembung di permukaan, agak mengental dan berwarna kemerahan. Terbentuknya kekentalan ini mengindikasikan adanya kandungan protein dari dalam bahan yang terlepas dan berikatan dengan ion Na+ dalam larutan, membentuk natrium proteinat. Pada saat deproteinasi, ujung rantai protein (poliamida) yang bermuatan negatif akan bereaksi dengan basa (NaOH) membentuk garam amino. Persamaan (3) dan (4) menunjukkan reaksi kimia yang terjadi pada tahap deproteinasi (Yuliusman dan Adelina, 2010) :

Tahap deasetilasi yaitu Tahap deasetilasi tahapan perubahan kitin menjadi kitosan dengan melarutkan crude kitin dalam larutan NaOH 50%. Pemilihan konsentrasi NaOH 50% karena kondisi tersebut reaksi hidrolisis amida dan pemutusan ikatan antara gugus asetil dengan atom nitrogen berlangsung efektif. Pada proses ini, gugus asetil kitin bereaksi dengan atom nitrogen dan gugus amina. Reaksi yang terjadi pada deasetilasi adalah reaksi adisi, dimana gugus OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH3 pada kitin. Kemudian terjadi eleminasi gugus CH3COO- sehingga menghasilkan suatu amina berupa kitosan (Yuliusman dan Adelina, 2010). Berikut pembentukan kitosan dari kitin:

Gambar 3. Mekanisme Reaksi Pembentukan Chitosan dari Chitin (Suhardi, 1993 dalam Harjanti, 2014)

4.5 Kesimpulan dan SaranRendemen akhir yang diperoleh dari perlakuan K1 lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan K2. Namun, perlakuan K2 menghasilkan kitosan yang warnanya lebih cerah. Ditinjau dari efisiensi, perlakuan K2 lebih mudah dilaksanakan dikarenakan penggunaan larutan yang sama secara berurutan. Saran untuk praktikum ini yaitu, seharusnya tahapan demineralisasi dan deproteinasi dilakukan pada satu waktu (tidak ada selisih hari), agar praktikan mendapat data yang lebih valid.4.6 Daftar PustakaAhmad, N. 2012. Kajian Terhadap Kadar Air Tepung Jagung dan Tepung Karaginan Untuk Pembuatan Puding Jagung. Tesis. Universitas Negeri Gorontalo.Arif, A.R., Ischaidar., H. Natsir., S. Dali. 2013. Isolasi Kitin dari Limbah Udang Putih (Penaeus merguiensis) Secara Enzimatis. Seminar Nasional Kimia: 10-16.Azhar, M., J. Efendi., E. Syofyeni., R.M. Lesi dan S. Novalina. 2010. Pengaruh Konsentrasi NaOH Dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin Dari Limbah Kulit Udang. Eksakta 1 (9): 1-8.Badan Pusat Statistik (BPS). 2012. Statistik Ekspor Hasil Perikanan Menurut Komoditi, Provinsi Dan Pelabuhan Asal Ekspor 2012. Oktober. Pusat Data, Statistik, dan Informasi Sekretariat Jenderal, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.Harjanti, R.S. Kitosan dari Limbah Udang sebagai Bahan Pengawet Ayam Goreng. Jurnal Rekayasa Proses 8 (1): 12-19.Purwanti, A. 2014. Evaluasi Proses Pengolahan Limbah Kulit Udang Untuk Meningkatkan Mutu Kitosan Yang Dihasilkan. Jurnal Teknologi 7 (1): 83-90.Soedarto dan H.P. Siswanto. 2008. Respon Kualitas Bandeng (Chanos chanos) Asap Terhadap Lama Pengeringan. Berkala Ilmiah Perikanan 3 (1): 49-53.Swastawati, F., I. Wijayanti, E. Susanto. 2008. Pemanfaatan Limbah Kulit Udang Menjadi Edible Coating untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan. Jurnal Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti. 4(4) 101-106.Yuliusman dan Adelina, P.W. 2010. Pemanfaatan Kitosan Dari Cangkang Rajungan Pada Proses Adsorpsi Logam Nikel Dari Larutan NiSO4. Seminar Rekayasa Kimia Dan Proses:1-10.