Upload
madherisa-paulita
View
95
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL
BLOK 10 INFEKSI II KEDOKTERAN GIGI
MODUL 1 LESI JARINGAN LUNAK DAN KELENJAR SALIVA
KELOMPOK 2
Khemal Ilham Rinaldy 1310015102
Devi Sarfina 1310015105
Jumiati 1310015097
Dini Sylvana 1310015107
Shalahuddin Al Amin 1310015113
Madherisa Paulita 1310015099
Raisa Debrina Commas 1310015111
Suhastianti Shafira Utami 1310015100
Frediyuwana Dharmaswara 1310015114
TUTOR drg. Masyudi, M.Si
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
TAHUN 2014
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayah-Nya lah laporan hasil diskusi kelompok kecil ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari diskusi kelompok kecil (DKK) kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya laporan ini. Pertama-tama kami ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. drg. Masyudi selaku tutor kelompok 2 yang telah membimbing kami dalam melaksanakan diskusi kelompok kecil (DKK) dalam skenario modul 1 blok 10 ini.
2. Teman-teman kelompok 2 yang telah mencurahkan pikiran dan tenaganya sehingga diskusi kelompok kecil (DKK) 1 dan 2 dapat berjalan dengan baik dan dapat menyelesaikan laporan hasil diskusi kelompok kecil (DKK) kelompok 2.
3. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman khususnya program studi kedokteran gigi angkatan 2013, segala fasilitas yang telah kami gunakan untuk menambah pengetahuan tentang modul kami ini, serta pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Kami sengaja menyelesaikan laporan ini untuk memenuhi salah satu tugas kuliah dengan sistem PBL. Dan tentunya kami selaku penyusun juga mengharapkan agar laporan ini dapat berguna baik bagi penyusun sendiri maupun bagi pembaca di kemudian hari.
Laporan ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran serta kritik yang membangun sangat kami harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil diskusi kelompok kecil (DKK) ini.
Samarinda, Februari 2015
Hormat kami,
Tim penyusun
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..……………………………………………………………1
1.2 Tujuan……………………………………………………………………....1
1.3 Manfaat………………………………………..……………………………2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Skenario ........................................................................................................3
2.2 Step 1 Terminologi .......................................................................................3
2.3 Step 2 Identifikasi Masalah ..........................................................................4
2.4 Step 3 Analisa masalah .................................................................................4
2.5 Step 4 Kerangka Konsep ..............................................................................14
2.6 Step 5 Learning Objective ............................................................................14
2.7 Step 6 Belajar Mandiri .................................................................................15
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ..................................................................................................38
3.2 Saran .............................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................39
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dasar dari suatu perawatan yang baik adalah diagnosis yang tepat. Walaupun
dasarnya adalah ilmu pengetahuan, namun ilmu kedokteran gigi juga merupakan
suatu seni. Hal ini dapat terlihat jelas dari perawatan gigi yang diberikan, juga
dalam menentukan diagnosis penyakit gigi dan mulut. Perawatan higienen gigi
dan mulut yang lengkap didasarkan pada model ADPIE (Penilaian, diagnosis,
perencanaan, penerapan dan evaluasi). Begitu pemerikasaan lengap dilakukan,
dimulailah tahap diagnosis dan perawatan yang tepat. Maka dari itu dokter gigi
harus mempunyai dasar ilmu pengetahuan tentang area gigi dan mulut yang
terbatas, terlebih kadang banyak pasien yang mengajukan keluhan tanpa tanda-
tanda penyakit. Mahasiswa harus mampu mengenali berbagai tanda yang terdapat
didalam ronggo mulut, salah satu yang paling banyak adalah lesi yang dibagi
menjadi dua yaitu lesi merah dan lesi putih.
Lesi putih menunjukkan adanya area abnormal di mukosa oral yang
berdasarkan pemeriksaan klinik tampak lebih putih daripada jaringan sekitar dan
biasanya sedikit meninggi, kasar, dan memiliki tekstur yang berbeda
dibandingkan jaringan yang normal. Lesi Merah menunjukkan area mukosa yang
memerah, biasanya lebih halus dan “athropic looking”.
Lesi putih pada mukosa oral diklasifikasikan menjadi dua, yaitu keratotik
white lesion dan non-keratotik lesion. Keratotic white lesion tidak bisa diangkat
menggunakan rubbing atau scraping dan biasanya merupakan hasil dari
hiperkeratinosis. Sedangkan non-keratotic lesion dapat diangkat karena
merupakan akumulasi dari debris atau formasi pseudomembran.
1.2 TUJUAN
Memberikan pemahaman kepada mahasiswa agar dapat mengidentifikasi juga
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 4
membedakan dan mampu menggunakan istilah diagnosis yang menyebutkan
macam lesi merah dan lesi putih yang mirip pada mukosa mulut, juga mampu
mengenali penyebab dan cirri klinis lesi putih dna lesi merah, selain itu
mahasiswa juga dianjurkan mampu memilih perawatan yang tepat untuk lesi putih
dan lesi merah.
1.3 MANFAAT
Makalah ini berisi materi berbagai macam penyakit yang diklasifikasikan
Lesi Merah maupun Lesi Putih yang terdapat dalam mukosa oral dari mulai
penjelasan mengenai definisi, etiologi, diagnosis banding, manifestasi klinis,
histopatologis, perawatan dan insidensi penyakit tersebut. Hal itu diharapkan akan
lebih memudahkan mengidentifikasikan suatu penyakit serta bagaimana cara
menanganinya
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 5
BAB 2
ISI DAN PEMBAHASAN
2.1. SKENARIO MODUL
LESI YANG MENYERANG KELUARGAKU..... ?
Namaku Dentalo (19 tahun) mahasiswa PSKG, mempunyai masalah pada
mukosa rongga mulut, setiap akan ujian selalu ada muncul ulser pada mukosa
bukal. Sedangkan adikku dentisia (16 tahun) setiap akan menstruasi sering
timbul lesi pada mukosa labial rongga mulut, hal ini diperparah lagi dengan nilai
Hemoglobin adikku Hb 9.5 mg/dl . Ayahku Dentalmo (40 tahun) pada daerah
tepi gingivaterdapat lesi berwarna putih, menonjol, tetapi tidak
mengkilat,timbulnya indurasi menyebabkan permukaan menjadi kasar dan
berlekuk-lekuk. Ayahku mempunyai kebiasaan buruk yaitu sering minum
alkuhol dan perokok berat, sehari ayahku bisa menghabiskan 2 bungkus
rokok..bahh ngeri kalii. Rasa penasaranku membuat aku bertanya pada dosenku,
dosenku yang baik hati mengatakan bahwa bahwa lesi yang muncul pada
Dentalo setiap waktu ujian serta pada Dentisia setiap menstrusasi menurutnya
tidak terlalu menghawatirkan. Tetapi betapa terkejutnya dosenku setelah melihat
lesi pada bagian tepi gingiva ayahku...ini berbahaya bahh...maklum dosen ku
orang medan pulaa.
2.2. TUJUH LANGKAH PBL BERDASARKAN THE SEVEN JUMPS
2.2.1. IDENTIFIKASI ISTILAH
Ulser : Luka terbuka dengan hilangnya seluruh epitel dari
permukaan sampai dasar kadang sampai meluas kedalam lamina popria
dibawahnya.
Hemoglobin : Protein yang mengandung zat besi di sel darah merah.
Indurasi : Pengerasan abnormal suatu jaringan/organ.
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 6
Menstruasi : Meluruhnya dinding Rahim disertai pendarahan yang
terjadi secara berulang, kecuali saat kehamilan.
Lesi : Kelainan patologi pada jaringan yang
menimbulkan gejala karena adanya penyakit dan trauma.
Mukosa : Lapisan kulit dalam yang tertutup epitel.
Gingiva : Bagian dari mukosa rongga mulut yang menutupi
processus alveolaris dan mengelilingi gig, yang melindungi jaringan
dibawah perlekatan gigi terhadap pengaruh lingkungan rongga mulut.
2.2.2. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Etiologi Lesi ?
2. Klasifikasi Lesi ?
3. Apa ada hubungan usia dengan lesi yang terjadi pada mereka ?
4. Perbedaan lesi dengan ulser ?
5. Mengapa pada saat ujian bisa timbul ulser ? Apa hubungannya ?
6. Mengapa pada saat menstruasi timbul lesi pada mukosa labialnya ?
7. Apa hubungannya dengan mengonsumsi alkohol dan merokok dengan
lesi yang dialami Dentalo ?
8. Mengapa lesi yang dialami Dentalmo lebih berbahaya dibanding lesi
dentalo dan dentisia ?
9. Cara mengatasi lesi pada tepi gingivanya Dentalmo ?
2.2.3 ANALISA MASALAH
1. Etiologi dari lesi biasanya karena banyak faktor
seperti
Faktor lokal : Trauma kronik (mukosa terkena gigitan) / maloklusi,
defisiensi nutrisi, rokok, alcohol dan oral hygine
Faktor sistemik : orang yang terinfeksi virus dan bakteri misalnya
herpes simplek, HIV, efek radiasi, hormonal, dan faktor pisikologis.
2. Klasifikasi Lesi
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 7
Lesi merupakan kelainan patologis pada jaringan yang menimbulkan
gejala karena fungsinya terganggu akibat penyakit dan trauma yang
dibagi menjadi dua, lesi yang pertama kali muncul disebut lesi primer
dan lesi skunder timbul setelah adanya lesi primer.
A. Lesi Primer
No Nama
Lesi
Keterangan Gambar Lesi
1 Makula Titik sampai bercak,
Diameter dari beberapa mm
hingga 1 cm,
a. Warna :
Berasal dari vaskularisasi : Merah
kecoklatan, bila ditekan bewarna
pucat, misalnya : Hiperemia.
Berasal dari Pigmen darah :
Merah Kebiruan, misalnya :
Petechiae, purpura, ecymosis
(hematoma).
Berasal dari Pigmen Melanin :
Biru Kecoklatan, misalnya :
Hiperpigmentasi.
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 8
2 Papula Lesi yang membenjol padat,
Kurang dari 1cm diameternya
Permukaan papula : Erosi atau
deskuamasi,
Makula dan papula terasa gatal,
rasa terbakar dan nyeri,
Misalnya :
Lichen Planus (pada mukosa)
adalah papula keputihan,
Fordyce’s spot adalah anomali
pertumbuhan dimana kelenjar
lemak tumbuh ektopik.
3 Plak Ukuran diameternya lebih besar
dari 1 cm, misalnya :
Leukoplakia (Lesi pra-ganas, lesi
ini bisa menjadi ganas)
4 Nodula Suatu massa yang padat,
Membenjol yang tebal dan kurang
dari 1 cm diameternya,
Tumor jinak dari jaringan ikat
yang terjadi karena iritasi kronis
(iritasi ringan yang terus
menerus),
Dapat hilang sendiri atau tidak,
setelah iritasi kronis dihilangkan
(misal eksisi),
Misalnya : Iritasi fibroma
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 9
5 Vesikula Suatu benjolan kulit berisi cairan
dan berbatas jelas,
Diameternya kurang dari 1cm,
Misalnya : Cacar Air
6 Bula Suatu benjolan kulit berisi cairan
yang lebih besar dari 1 cm
diameternya,
Dapat terbentuk karena adanya
trauma mekanis atau gesekan,
Misalnya : Pemphigus Vulgaris
7 Postula Suatu vesikel yang berisi eksudat
purulen,
Misalnya : Penyakit Impetigo,
pada kulit berupa bisul-bisul kecil
8 Keratosis Penebalan yang abnormal dari
lapisan terluar epitel (stratum
korneum),
Bewarna putih keabuan,
Misalnya : Linea Alba bukalis,
Leukoplakia dan Lichen Planus
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 10
9 Wheals Suatu papula atau plak yang
bewarna merah muda , edema, dan
berisi serum,
Edema kulit yang menjadi
gelembung yang hanya muncul
singkat dan menimbulkan rasa
gatal
Misalnya : Gigitan nyamuk dan
urtikaria
10 Tumor Massa padat, besar, meninggi dan
berukuran lebih dari 1-2 cm,
Tumor bisa ganas atau jinak,
Misalnya : Kanker payudara
versus limfoma (tumor jinak yang
sebagian terbentuk sebagian besar
dari jaringan adipose).
B. Lesi Sekunder
No Nama Lesi Keterangan Gambar Lesi
1 Erosi Hilangnya epitel di
atas lapisan sel basal,
Dapat sembuh tanpa
jaringan parut,
Misalnya : Kulit
setelah mengalami
suatu lepuhan atau
vesikel yang pecah.
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 11
2 Ulseri Hilangnya epidermis
dan lapisan kulit yang
lebih dalam
(Hilangnya epitel
yang meluas di bawah
lapisan sel basal),
Misalnya : Reccurent
Apthous Stomatitis
dan Bechet’s
Syndrome
3 Fisura Retak linier pada
kulit yang meluas
melalui epidermis dan
memaparkan dermis,
Dapat terjadi pada
kulit kering dan
inflamasi kronis,
Suatu celah dalam
epidermis
Misalnya : Fissure
tongue dan
Geographic tongue
4 Sikatriks Pembentukan
jaringan baru yang
berlebihan dalam
proses penyembuhan
luka,
Misalnya : Keloid
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 12
5 Deskuamasi Pengelupasan
lapisan epitel (stratum
korneum),
Terjadi secara
fisiologis
Pelepasan epitel
sehingga kulit
mengalami
regenerasi.
9 Sinus Suatu saluran yang
memanjang dan
rongga supuratif ,
kista atau abses,
Misalnya: Abses
Periapikal
3. Tidak ada pengaruh usia dengan lesi yang ada pada penderita, karena
pada penderita yang mengalami lesi tersebut semuanya berbeda
etiologinya, jadi terjadinya lesi tidak dipengaruhi oleh usia tetapi
tergantung dari faktor etiologinya juga dapat dipengaruhi oleh penyakit
sistemik.
4. Lesi itu hanya tanda yang terlihat didalam rongga mulut, sedangkan
Ulser dikatakan sudah terbentuknya kawah pada kulit rongga mulut.
Dikatakan Lesi belum tentu berbentuk ulser, sedangkan ulser sudah
pasti lesi.
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 13
5. Saat penderita sedang dalam ujian bisa muncul ulser, dikarenakan
penderita sedang mengalami stress pasca ujian yang akan dihadapi yang
memicu timbulnya lesi dan berlanjut pada ulser.
6. Penderita menderita stomatitis aftosa rekuren yang ditandai dengan
adanya ulser rekuren yang nyeri pada mukosa oral, rekuren yang terus-
menerus terjadi saat pasien mengalami menstruasi. Meskipun dapat
terlihat pada setiap orang, wanita dan dewasa muda sedikit lebih rentan.
7. Kebiasaan merokok dan minum alcohol memicu timbulnya lesi pada
mukosa mulut, karena efek langsung dari tembakau yang dapat merusak
lingkungan rongga mulut dengan rasa terbakar akibat merokok.
8. Karena lesi yang dialami Dentalmo sudah sampai kepada ketahap pre-
karsinogen akibat dari konsumsi rokok dan alcohol yang terus-menerus
dilakukannya dibandingkan dengan lesi yang dialami oleh anak-
anaknya yang umumnya terjadi karena pemicunya berupa stress dan
mestruasi yang terjadi secara fisiologis.
9. Lesi yang dialami oleh dentalmo disebabkan karena konsumsi rokok
dan minum alcohol, perawatannya dilakukan dengan mengurangi dan
menghentikan kebiasaan merokok dan minum alcohol, menjaga oral
Hygine dan pemberian obat misalnya diberi salep yang mengandung
topical agent.
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 14
2.2.4 KERANGKA KONSEP
2.2.5 LEARNING OBJECT
Mahasiswa mampu memahami :
1. Lesi Merah dan Lesi Putih
b. Etiologi
c. Manifestasi
d. Karakteristik & Diagnosa
e. Pengobatan dan perawatan
2.2.6 BELAJAR MANDIRI
2.2.7 SINTESIS
A. LESI PUTIH
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 15
1. Linea Alba
Linea alba ( garis putih ) adalah temuan intra oral yang umum terjadi ,
Karakteristik berupa garis gelombang putih yang menonjol dengan panjang
bervariasi dan terletak mencolok pada garis oklusi di mukosa bukal . Umumnya
garis putih yang tidak bergejala ini mempunyai lebar 1-2 mm dan meluas
horizontal dari molar kedua sampai ke region kaninus mukosa bukal , berakhir
pada kalikulus angularis . Lesi paling sering ditemukan bilateral dan tidak bisa
dihilangkan dengan digosok . Etiologi Lesi berkembang sebagai respon terhadap
gesekan gigi – gigi , yang mengakibatkan epitel menjadi menebal (hiperkeratotik
). Kondisi ini sering dihubungkan dengan lidah krenasi dan dapat merupakan
tanda dari tekanan , bruksisme , clenching , atau mengisap . Perawatanya
sendiri ini dapat dilakukan dengan menghilangkan kebiasaan bruksisme dan
clenching ( mengerot ).
2. Leukodema
Leukodema adalah perubahan permukaan mukosa bukal yang berwarna abu-
abu , putih susu , atau opaselen . Varian mukosa yang umum ini dihubungkan
dengan individu berpigmen gelap tetapi kadang – kadang juga terlihat pada
individu berpigmen lebih pucat . Insidensi leukodema cenderung meningkat
bersama usia dan ditemukan pada 50 % anak – anak Afrika Amerika , serta 92 %
orang dewasa Afrika Amerika . Mukosa labial , palatum lunak , dan dasar mulut
adalah lokasi yang lebih jarang untuk ditemukan .
Karakteristik Leukodema biasanya pucat dan bilateral . Pemeriksaan yang
teliti terhadap leukodema menunjukkan adanya garis putih halus serta keriput .
Pada kasus yang berat dan sudah lama dapat terlihat adanya lipatan jaringan
yang saling menumpuk . Penonjolan lesi berhubungan dengan derajat pigmentasi
melanin dibawahnya , ttingkat kebersihan mulut , dan banyaknya kebiasaan
merokok . Tepi lesi bergelombang dan luas ; lesi menghilang ke jaringan di
dekatnya , yang smembuat sulituntuk menentukan dimana lesi tersebut dimulai
dan berakhir . Diagnosis kondisi ini dengan jalan meregangkan mukosa , yang
menyebabkan warna putih secara signifikan hilang atau berkurang pada
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 16
beberapa kasus . Mengusap lesi tidak akan menghilangkan lesi tersebut .
Etiologi leukodema belum diketahui , meskipun terjadi lebih parah pada
perokok dan menghilang jika kebiasaan merokok dihentikan . Pemeriksaan
biopsy dari specimen biopsy menunjukkan peningkatan ketebalan epitel dengan
edema intraselular yang mencolok pada lapisan spinosa ( tengah ) tanpa adanya
peradangan . Perawatannya tidak ada komplikasi serius yang dihubungkan
dengan lesi ini , dan lesi tdak perlu diobati .
3. Lesi Putih Traumatik
Lesi putih traumatik etiologinya disebabkan oleh beberapa iritan kimia dan
fisik seperti trauma karena gesekan , panas , penggunaan aspirin secara topical ,
penggunaan larutan kumur mulut yang berlebihan , cairan kaustik , dan bahkan
pasta gigi . Trauma gesekan sering terlihat pada gingiva cekat . Trauma ini
disebabkan oleh penyikatan gigi yang terlalu kuat , gerakan protesa mulut , dan
mengunyah di atas linger yang tidak bergigi. Karakteristiknya dengan
berjalannya waktu , mukosa akan menebal dan permukaan putih yang kasar akan
berkembang sehingga tidak bisa dihapus . Tidak ada rasa sakit . Pemeriksaan
histologi menunjukan adanya hyperkeratosis .
Trauma akan dapat menimbulkan pengelupasan lesi atau rasa kasar
berwarna putih jika lapisan permukaan dari mukosa mengalami kerusakan . Lesi
biasanya tampak berupa bercak putih dengan tepi yang besar dan tidak teratur .
Dibawahnya terdapat permukaan yang kasar , merah , atau berdarah . Mukosa
yang bergerak lebih rentan terhadap trauma dibandingkan mukosa cekat . Rasa
sakit akan reda dan terjadi penyembuhan dalam waktu beberapa hari setelah
penyebabnya dihilangkan .
Lesi putih lainnnya yang disebabkan oleh trauma adalah jaringan parut .
Jaringan ini mencermikan adanya respon penyembuhan fibrosa dari dermis .
Jaringan parut sering tidak bergejala , linear , berwarna merah muda keputihan ,
dan berbatas tegas . Pemeriksaan riwayat yang menyeluruh dapat menunjukkan
cedera terdahulu , penyakit ulseratif kambuhan , kelainan kejang , atau operasi
yang pernah dilakukan . Perawatan yang dapat dilakukan adalah menghilangkan
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 17
iritan dengan menggunakan anastesi topical dan analgesic.
4. Leukoplakia
Leukoplakia merupakan salah satu kelainan yang terjadi di mukosa rongga
mulut. Meskipun leukoplakia tidak termasuk dalam jenis tumor, lesi ini sering
meluas sehingga menjadi suatu lesi pre-cancer. Leukoplakia merupakan suatu
istilah yang digunakan untuk menunjukkan adanya suatu bercak putih atau plak
yang tidak normal yang terdapat pada membran mukosa dan sukar untuk
dihilangkan atau terkelupas.
Mukosa rongga mulut merupakan bagian yang paling mudah mengalami
perubahan, karena lokasinya yang sering berhubungan dengan pengunyahan,
sehingga sering pula mengalami iritasi mekanis. Di samping itu, banyak
perubahan yang sering terjadi akibat adanya kelainan sistemik. Perlu diingat
bahwa kelainan yang terjadi pada umumnya memberikan gambaran yang mirip
antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga dapat menimbulkan kesukaran
dalam menentukan diagnosis yang tepat.
Faktor-faktor yang berperan adalah iritasi kimia melalui tembakau atau
faktor mekanis melalui pemasangan gigi palsu yang tidak baik, alkohol dan
infeksi CandidaY3 terkena iritan terus-menerus (penggemar pizza panas) dan
Human Papiloma Virus sero tipe 16. Leukoplakia dalam perkembangannya sering
menjadi ganas dan untuk menyingkirkan diagnosis banding, maka sangat
diperlukan biopsi dari leukoplakia tersebut. Gambaran histologinya dapat
bermacam-macam dan tergantung dari umur lesi pada saat biopsi dilakukan.
Kendala dalam menegakkan diagnosis leukoplakia masih sering terjadi. Hal ini
disebabkan oleh beberapa kemungkinan seperti etiologi leukoplakia yang belum
jelas serta perkembangan yang agresif dari leukoplakia yang mula-mula hanya
sebagai hiperkeratosis ringan tetapi pada akhirnya menjadi karsinoma sel
skuamosa dengan angka kematian yang tinggi.
Etiologi leukoplakia belum diketahui dengan pasti sampai saat ini. Menurut
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 18
beberapa ahli klinik, predisposisi leukoplakia terdiri atas beberapa faktor yang
multipel yiatu: faktor lokal, faktor sistemik, dam malnutrisi vitamin.
1. Faktor Lokal
Biasanya merupakan segala macam bentuk iritasi kronis, antara lain:
a. Trauma
Trauma karena gigitan tepi atau akar gigi yang tajam
Iritasi dari gigi yang malposisi
Pemakaian protesa yang kurang baik sehingga menyebabkan iritasi
Adanya kebiasaan menggigit jaringan mulut, pipi dan lidah
b. Kemikal atau termal
Tembakau
Terjadinya iritasi pada jaringan mukosa mulut tidak hanya disebabkan oleh
asap rokok dan panas yang terjadi pada waktu merokok, tetapi dapat juga
disebabkan oleh zat-zat yang terdapat di dalam tembakau yang ikut
terkunyah. Banyak peneliti yang berpendapat bahwa pipa rokok juga
merupakan benda yang berbahaya, sebab dapat menyebabkan lesi yang
spesifik pada palatum yang disebut "Stomatitis Nicotine". Pada lesi ini,
dijumpai adanya warna kemerahan dan timbul pembengkakan pada palatum.
Selanjutnya, palatum akan berwarna putih kepucatan, serta terjadi penebalan
yang sifatnya merata. Ditemukan pula adanya "multinodular" dengan bintik-
bintik kemerahan pada pusat noduli. Kelenjar saliva yang membengkak dan
terjadi perubahan di daerah sekitarnya. Banyak penelitian yang kemudian
berpendapat bahwa lesi ini merupakan salah satu bentuk dari leukoplakia.
Alkohol
Telah banyak diketahui bahwa alkohol merupakan salah satu faktor yang
memudahkan terjadinya leukoplakia, karena pemakaian alkohol dapat
menimbulkan iritasi pada mukosa.
Bakteri
Leukoplakia dapat terjadi karena adanya infeksi bakteri, penyakit
periodontal yang disertai kebersihan mulut yang kurang baik.
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 19
2. Faktor Sistemik
Selain dari faktor yang terjadi secara lokal di atas, kondisi dari
membran mukosa mulut yang dipengaruhi oleh penyakit lokal maupun
sistemik berperan penting dalam meningkatkan efektifitas yang bekerja
secara lokal
a. Penyakit sistemik, penyakit sistemik yang behubungan dengan
leukoplakia antara lain adalah sifilis tertier, anemia sidrofenik, dan
xeroftalmia yang disebabkan oleh penyakit kelenjar saliva.
b. Bahan-bahan yang diberikan secara sistemik seperti alkohol, obat-obat
antimetabollit, dan serum antilimfosit spesifik
3. Faktor Malnutrisi Vitamin
Defisiensi vitamin A diperkirakan dapat mengakibatkan metaplasia dan
keratinisasi dari susunan epitel, terutama epitel kelenjar dan epitel mukosa
respiratorius. Beberapa ahli menyatakan bahwa leukoplakia di uvula
merupakan manifestasi dari pemasukkan vitamin A yang tidak cukup.
Apabila kelainan tersebut parah, gambarannya mirip dengan leukoplakia.
Selain itu, pada percobaan dengan menggunakan binatang tikus, dapat
diketahui bahwa kekurangan vitamin B kompleks akan menimbulkan
perubahan hiperkeratotik.
Gambaran Klinis Penderita leukoplakia tidak mengeluhkan rasa nyeri,
tetapi lesi pada mulut tersebut sensitif terhadap rangsangan sentuh, makanan
panas dan makanan yang pedas.
Dari pemeriksaan klinis, ternyata oral leukoplakia mempunyai
bermacam-macam bentuk. Secara klinis lesi ini sukar dibedakan dan dikenal
pasti karena banyak lesi lain yang memberikan gambaran yang serupa serta
tanda-tanda yang hampir sama. Pada umumnya, lesi ini lebih banyak
ditemukan pada penderita dengan usia di atas 40 tahun dan lebih banyak pria
daripada wanita. Hal ini terjadi karena sebagian besar pria merupakan
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 20
perokok berat. Lesi ini sering ditemukan pada daerah alveolar, mukosa
lidah, bibir, palatum lunak dan keras, daerah dasar mulut, gingival, mukosa
lipatan bukal, serta mandibular alveolar ridge. Bermacam-macam bentuk
lesi dan daerah terjadinya lesi tergantung dari awal terjadinya lesi tersebut,
dan setiap individu akan berbeda.
Secara klinis, lesi tampak kecil, berwarna putih, terlokalisir, barbatas
jelas, dan permukaannya tampak melipat. Bila dilakukan palpasi akan terasa
keras, tebal, berfisure, halus, datar atau agak menonjol. Kadang-kadang lesi
ini dapat berwarna seperti mutiara putih atau kekuningan. Pada perokok
berat, warna jaringan yang terkena berwarna putih kecoklatan. Ketiga
gambaran tersebut di atas lebih dikenal dengan esbutan “speckled
leukoplakia”.
Leukoplakia dapat dibagi menjadi 3 stadium, yaitu homogenous
leukoplakia, erosif leukoplakia, speckled atau verocuos leukoplakia.
Homogenous leukoplakia merupakan bercak putih yang kadang-kadang
berwarna kebiruan, permukaannya licin, rata, dan berbatas jelas. Pada tahap
ini, tidak dijumpai adanya indurasi.
Erosif leukoplakia berwarna putih dan mengkilat seperti perak dan pada
umumnya sudah disertai dengan indurasi. Pada palpasi, permukaan lesi
mulai terasa kasar dan dijumpai juga permukaan lesi yang erosive.
Speckled atau verocuos leukoplakia merupakan stadium leukoplakia
dimana permukaan lesi tampak sudah menonjol, berwarna putih, tetapi tidak
mengkilat. Timbulnya indurasi menyebabkan permukaan menjadi kasar dan
berlekuk-lekuk. Saat ini, lesi telah dianggap berubah menjadi ganas. Karena
biasanya dalam waktu yang relatif singkat akan berubah menjadi tumor
ganas seperti squamus sel karsinoma, terutama bila lesi ini terdapat di lidah
dan dasar
Pemeriksaan histopatologis akan membantu menentukan penegakan
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 21
diagnosis leukoplakia. Bila diikuti dengan pemeriksaan histopatologi dan
sitologi, akan tampak adanya perubahan keratinisasi sel epitelium, terutama
pada bagian superfisial.Secara mikroskopis, perubahan ini dapat dibedakan
menjadi 5 bagian, yaitu hiperkeratosis, hiperparakeratosis, akantosis,
diskeratosis atau displasia, carcinoma in situ.
Pada hiperkeratosis proses ini ditandai dengan adanya suatu
peningkatan yang abnormal dari lapisan ortokeratin atau stratum corneum,
dan pada tempat-tempat tertentu terlihat dengan jelas. Dengan adanya
sejumlah ortokeratin pada daerah permukaan yang normal maka akan
menyebabkan permukaan epitel rongga mulut menjadi tidak rata, serta
memudahkan terjadinya iritasi.
Parakeratosis dapat dibedakan dengan ortokeratin dengan melihat
timbulnya pengerasan pada lapisan keratinnya. Parakeratin dalam keadaan
normal dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu di dalam rongga mulut.
Apabila timbul parakeratosis di daerah yang biasanya tidak terdapat
penebalan lapisan parakeratin maka penebalan parakeratin disebut sebagai
parakeratosis. Dalam pemeriksaan histopatologis, adanya ortokeratin,
parakeratin, dan hiperparakeratosis kurang dapat dibedakan antara satu
dengan yang lainnya. Meskipun demikian, pada pemeriksaan yang lebih
teliti lagi akan ditemukan hiperortokeratosis, yaitu keadaan di mana lapisan
granularnya terlihat menebal dan sangat dominan. Sedangkan
hiperparakeratosis sendiri jarang ditemukan, meskipun pada kasus-kasus
yang parah.
Akantosis adalah suatu penebalan dan perubahan yang abnormal dari
lapisan spinosum pada suatu tempat tertentu yang kemudian dapat menjadi
parah disertai pemanjangan, penebalan, penumpukan dan penggabungan
dari retepeg atau hanya kelihatannya saja. Terjadinya penebalan pada lapisan
stratum spinosum tidak sama atau bervariasi pada tiap-tiap tempat yang
berbeda dalam rongga mulut. Bisa saja suatu penebalan tertentu pada tempat
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 22
tertentu dapat dianggap normal, sedang penebalan tertentu pada daerah
tertentu bisa dianggap abnormal. Akantosis kemungkinan berhubungan atau
tidak berhubungan dengan suatu keadaan hiperortikeratosis maupun
parakeratosis. Akantosis kadang-kadang tidak tergantung pada perubahan
jaringan yang ada di atasnya.
Pada diskeratosis, terdapat sejumlah kriteria untuk mendiagnosis suatu
displasia epitel. Meskipun demikian, tidak ada perbedaan yang jelas antara
displasia ringan, displasia parah, dan atipia yang mungkin dapat
menunjukkan adanya suatu keganasan atau berkembang ke arah karsinoma
in situ. Kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis adanya displasia epitel
adalah: adanya peningkatan yang abnormal dari mitosis; keratinisasi sel-sel
secara individu; adanya bentukan “epithel pearls” pada lapisan spinosum;
perubahan perbandingan antara inti sel dengan sitiplasma; hilangnya
polaritas dan disorientasi dari sel; adanya hiperkromatik; adanya
pembesaran inti sel atau nucleus; adanya dikariosis atau nuclear atypia dan
“giant nuclei”; pembelahan inti tanpa disertai pembelahan sitoplasma; serta
adanya basiler hiperplasia dan karsinoma intra epitel atau carcinoma in situ.
Carsinoma in situ secara klinis tampak datar, merah, halus, dan
granuler. Mungkin secara klinis carcinoma in situ kurang dapat dilihat. Hal
ini berbeda dengan hiperkeratosis atau leukoplakia yang dalam pemeriksaan
intra oral kelainan tersebut tampak jelas. Pada umumnya, antara displasia
dan carsinoma in situ tidak memiliki perbedaan yang jelas. Displasia
mengenai permukaan yang luas dan menjadi parah, menyebabkan perubahan
dari permukaan sampai dasar. Bila ditemukan adanya basiler hiperlpasia
maka didiagnosis sebagai
Untuk menetapkan diagnosis oral leukoplakia, perlu pemeriksaan dan
gambaran histopatologis. Hal ini untuk mengetahui adanya proses
diskeratosis. Meskipun pada pemeriksaan histopatologis tampak adanya
proses diskeratosis, masih sulit dibedakan dengan carsinoma in situ, karena
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 23
di antara keduanya tidak memiliki batasan yang jelas.
Pemeriksaan histopatologis juga diperlukan untuk mengetahui ada
tidaknya sel-sel “atypia” dan infiltrasi sel ganas yang masuk ke jaringan
yang lebih dalam. Keadaan ini biasanya ditemukan pada squamus sel
carsinoma ‘karsinoma sel skuamosa’. Karsinoma sel skuamosa merupakan
kasus tumor ganas rongga mulut yang terbanyak dan lokasinya pada
umumnya di lidah. Penyebab yang pasti dari karsinoma sel skuamosa belum
diketahui, tetapi banyak lesi yang merupakan permulaan keganasan dan
faktor-faktor yang mempermudah terjadinya karsinoma tersebut. Lesi pra-
ganas dan factor-faktor predisposisi itu adalah leukoplakia, perokok,
pecandu alkohol, adanya iritasi setempat, defisiensi vitamin A,B, B12,
kekurangan gizi, dll. Seperti halnya lesi pra-ganas rongga mulut lainnya,
dalam stadium dini karsinoma ini tidak memberikan rasa sakit. Rasa sakit
baru terasa apabila terjadi infeksi sekunder. Oleh karena itu, apabila
ditemukan adanya lesi pra-ganas dalam rongga mulut, terutama leukoplakia,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan histopatologi.
Leukoplakia memiliki gambaran klinis yang mirip dengan beberapa
kelainan. Oleh karena itu, diperlukan adanya “diferensial diagnosis” atau
diagnosis banding untuk membedakan apakah kelainan tersebut adalah lesi
leukoplakia atau bukan. Pada beberapa kasus, leukoplakia tidak dapat
dibedakan dengan lesi yang berwarna putih di dalam rongga mulut tanpa
dilakukan biopsy. Jadi, cara membedakannya dengan leukoplakia adalah
dengan pengambilan biopsi. Ada beberapa lesi berwarna putih yang juga
terdapat dalam rongga mulut, yang memerlukan diagnosis banding dengan
leukoplakia. Lesi tersebut antara lain: syphililitic mucous patches; “lupus
erythematous” dan ” white sponge nevus”; infeksi mikotik, terutama
kandidiasis; white folded gingivo stomatitis; serta terbakarnya mukosa
mulut karena bahan-bahan kimia tertentu, misalnya minuman atau makanan
yang pedas.
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 24
Untuk menentukan diagnosis yang tepat, perlu dilakukan pemeriksaan
yang teliti baik secara klinis maupun histopatologis, karena lesi ini secara
klinis mempunyai gambaran yang serupa dengan “lichen plannus” dan
“white sponge naevus”.
Untuk menentukan diagnosis yang tepat, perlu dilakukan pemeriksaan
yang teliti baik secara klinis maupun histopatologis, karena lesi ini secara
klinis mempunyai gambaran yang serupa dengan “lichen plannus” dan
“white sponge naevus”.
Dalam penatalaksanaan leukoplakia yang terpenting adalah
mengeliminir faktor predisposisi yang meliputi penggunaan tembakau
(rokok), alkohol, memperbaiki higiene mulut, memperbaiki maloklusi, dan
memperbaiki gigi tiruan yang letaknya kurang baik. Penatalaksanaan lain
yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan eksisi secara “chirurgis”
atau pembedahan terhadap lesi yang mempunyai ukuran kecil atau agak
besar. Bila lesi telah mengenai dasar mulut dan meluas, maka pada daerah
yang terkena perlu dilakukan “stripping”.
Pemberian vitamin B kompleks dan vitamin C dapat dilakukan
sebagai tindakan penunjang umum, terutama bila pada pasien tersebut
ditemukan adanya faktor malnutrisi vitamin. Peranan vitamin C dalam
nutrisi erat kaitannya dengan pembentukan substansi semen intersellular
yang penting untuk membangun jaringan penyangga. Karena, fungsi vitamin
C menyangkut berbagai aspek metabolisme, antara lain sebagai elektron
transport. Pemberian vitamin C dalam hubungannya dengan lesi yang sering
ditemukan dalam rongga mulut adalah untuk perawatan suportif melalui
regenerasi jaringan, sehingga mempercepat waktu penyembuhan. Perawatan
yang lebih spesifik sangat tergantung pada hasil pemeriksaan histopatologi.
5. Morsicatio Buccarum
Morsicatio Buccarum merupakan perubahan pada mukosa mulut
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 25
etiologinya karena mengunyah pipi dan menggigit pipi yang merupakan
kebiasaan yang sering dilakukan disaat gelisah yang mengakibatkan
perubahan pada mukosa yang jika terus menerus dilakukan yang
menyebabkan iritasi kronis pada mukosa.
Karakteristiknya tampak berupa plak putih asimetris pada mukosa
bukal dan mukosa labial, lesi tidak nyeri dan kasar jika diraba serta sedikit
mengelupas jika digosok dan tetap ada jika kebiasaan menggigit pipi
berlangsung. Diagnosis diperlukan pemerikasaan visual dan verbal dari
kebiasaan gelisah penderita. Meskipun tidak berpotensi menjadi ganas,
penderita harus diberitahukan tentang adanya perubahan pada mukosa
tersebut. Perawatan yang perlu dilakukan adalah terapi psikologis dan
menghilangkan kebiasaan menggigit pipi tersebut.
B. LESI MERAH
Lesi merah adalah suatu keadaan abnormal mukosa yang berwarna lebih
merah dari jaringan di sekitarnya, sedikit licin, dan memiliki granula.
Penyebab terjadinya lesi merah biasanya dikarenakan oleh faktor lokal,
faktor herediter dan respon autoimun. Lesi merah juga bisa terjadi karena
epitel yang tipis, dilatasi pembuluh darah, peningkatan jumlah pembuluh
darah dan ekstravasasi ke jaringan lunak.
1. Thrombus
Thrombus adalah pembentukan bekuan darah pada pembuluh darah.
Rangkaian kejadian yang mencakup trauma, pengaktifan urutan pembekuan
dan pembentukan beku darah secara tipikal mengakibatkan berhentinya
perdarahan. Beberapa hari kemudian, plasminogen mengawali pemecahan
bekuan, dan aliran darah yang normal akan kembali terjadi. Pada kasus
tertentu, jika bekuan tidak terlarut, aliran bekuan akan stagnan dan terbentuk
thrombus. Jadi, penyebab terbentuknya thrombus ini merupakan bekuan
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 26
darah yang disebabkan oleh stagnasi darah atau pembekuan darah yang
abnormal.
Karakteristik klinis dari thrombus intraoral adalah berupa nodula
yang menonjol, bundar, berwarna merah hingga biru-keunguandan letaknya
khas di mukosa labial. Lesi ini padat, keras dan terasa nyeri ketika diraba.
Perawatan untuk lesi ini biasanya dilakukan penghilangan lesi
dengan pembedahan dan pemeriksaan histologi jika persisten atau
menimbulkan gejala.
2. Hemangioma
Hemangioma adalah tumor jinak pembuluh darah (sel endotel) yang
mengalami poliferasi. Penyebab dari hemangioma ini adalah abnormalitas
kongenital yang mengakibatkan terjadinya anyaman pembuluh darah dalam
tulang atau jaringan lunak. Hemangioma dibagi menjadi dua tipe yaitu,
kapiler yang terdiri atas pembuluh darah kecil yang halus dan hemangioma
kavernosus yang terdiri atas ruang vaskular yang berdinding tipis dan besar.
3. Eritoplakia
Etiologi tidak diketahui, hanya beberapa pendapat menganggap
penyebabnya sama dengan penyebab kanker mulut, seperti tembakau,
alcohol, kesalahan nutrisi, irritasi kronis & faktor2 lain yang memberikan
kontribusi dengan berbagai modifikasi. Gambaran klinis asimptomatis,
bagian merah scperti bludru biasanya dijumpai pada dasar mulut atau area
retromolar pada orang dewasa. Pada orang yang lebih tua lesi merah dapat
merupakan foci dr white hyperkeratosis (speckled erythroplakia).
Histopatologi 40% displasia hebat atau in situ carcinoma. Pada biopsy
hampir 90% eritroplakia memperlihatkan displasia yang hebat dan
separuhnya berubah menjadi invasive squameus cell carcinoma, sisanya
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 27
displasia sedang. Penurunan produksi keratin dan kenaikan relative
vaskularisasi memperlihatkan warna klinis lesi ini. DD : Atrophic
candidiasis, macula pada Kaposi's sarcoma, ecchymosis, kontak alergi,
malformasi vaskuler dan psoriasis, untuk perawatannya diperlukan terapi
eksisi.
C. LESI ULSERATIF
1. Stomatitis Aftosa Rekuren
Stomatitis aftosa rekuren (SAR) adalah suatu peradangan yang terjadi pada
mukosa mulut, biasanya berupa ulser putih kekuningan. Ulser ini dapat berupa ulser
tunggal maupun lebih dari satu. SAR dapat menyerang mukosa mulut yang tidak
berkeratin yaitu mukosa bukal, labial, lateral dan ventral lidah, dasar mulut, palatum
lunak dan mukosa orofaring.
Definisi SAR merupakan ulser oval rekuren pada mukosa mulut tanpa tanda-
tanda adanya penyakit lain dan salah satu kondisi ulseratif mukosa mulut yang paling
menyakitkan terutama sewaktu makan, menelan dan berbicara. Penyakit ini relatif
ringan karena tidak bersifat membahayakan jiwa dan tidak menular. Tetapi bagi
orang – orang yang menderita SAR dengan frekuensi yang sangat tinggi akan merasa
sangat terganggu. Beberapa ahli menyatakan bahwa SAR bukan merupakan penyakit
yang berdiri sendiri, tetapi lebih merupakan gambaran beberapa keadaan patologis
dengan gejala klinis yang sama. SAR dapat membuat frustasi pasien dan dokter gigi
dalam merawatnya karena kadang-kadang sebelum ulser yang lama sembuh ulser
baru dapat timbul dalam jumlah yang lebih banyak.
Faktor Predisposisi sampai saat ini, etiologi SAR masih belum diketahui dengan
pasti. Ulser pada SAR bukan karena satu faktor saja tetapi multifaktorial yang
memungkinkannya berkembang menjadi ulser. Faktor-faktor ini terdiri dari pasta gigi
dan obat kumur sodium lauryl sulphate (SLS), trauma, genetik, gangguan
immunologi, alergi dan sensitifitas, stres, defisiensi nutrisi, hormonal, merokok,
infeksi bakteri, penyakit sistemik, dan obat-obatan. Dokter gigi sebaiknya
mempertimbangkan bahwa faktor-faktor tersebut dapat memicu perkembangan ulser
SAR.
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 28
A. Pasta Gigi dan Obat Kumur SLS
Penelitian menunjukkan bahwa produk yang mengandungi SLS yaitu agen
berbusa paling banyak ditemukan dalam formulasi pasta gigi dan obat kumur, yang
dapat berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya ulser, disebabkan karena
efek dari SLS yang dapat menyebabkan epitel pada jaringan oral menjadi kering dan
lebih rentan terhadap iritasi. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa peserta
yang menggunakan pasta gigi yang bebas SLS mengalami sariawan yang lebih
sedikit. Penurunan ini ditemukan setinggi 81% dalam satu penelitian. Studi yang
sama juga melaporkan bahwa subjek penelitian merasa bahwa sariawan yang mereka
alami kurang menyakitkan daripada pada saat mereka menggunakan pasta gigi yang
menggandung SLS.
B. Trauma
Ulser dapat terbentuk pada daerah bekas terjadinya luka penetrasi akibat trauma.
Pendapat ini didukung oleh hasil pemeriksaan klinis, bahwa sekelompok ulser terjadi
setelah adanya trauma ringan pada mukosa mulut. Umumnya ulser terjadi karena
tergigit saat berbicara, kebiasaan buruk, atau saat mengunyah, akibat perawatan gigi,
makanan atau minuman terlalu panas, dan sikat gigi. Trauma bukan merupakan
faktor yang berhubungan dengan berkembangnya SAR pada semua penderita tetapi
trauma dapat dipertimbangkan sebagai faktor pendukung.
C. Genetik
Faktor ini dianggap mempunyai peranan yang sangat besar pada pasien yang
menderita SAR. Faktor genetik SAR diduga berhubungan dengan peningkatan
jumlah human leucocyte antigen (HLA), namun beberapa ahli masih menolak hal
tersebut. HLA menyerang sel-sel melalui mekanisme sitotoksik dengan jalan
mengaktifkan sel mononukleus ke epitelium. Sicrus (1957) berpendapat bahwa
bila kedua orangtua menderita SAR maka besar kemungkinan timbul SAR pada
anak-anaknya. Pasien dengan riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak
usia muda dan lebih berat dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga SAR.
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 29
D. Gangguan Immunologi
Tidak ada teori yang seragam tentang adanya imunopatogenesis dari SAR,
adanya disregulasi imun dapat memegang peranan terjadinya SAR. Salah satu
penelitian mungungkapkan bahwa adanya respon imun yang berlebihan pada
pasien SAR sehingga menyebabkan ulserasi lokal pada mukosa. Respon imun itu
berupa aksi sitotoksin dari limfosit dan monosit pada mukosa mulut dimana
pemicunya tidak diketahui. Menurut Bazrafshani dkk, terdapat pengaruh dari IL-
1B dan IL-6 terhadap resiko terjadinya SAR. Menurut Martinez dkk, pada SAR
terdapat adanya hubungan dengan pengeluaran IgA, total protein, dan aliran
saliva. Sedangkan menurut Albanidou-Farmaki dkk, terdapat karakteristik sel T
tipe 1 dan tipe 2 pada penderita SAR.
E. Stres
Stres merupakan respon tubuh dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan
lingkungan yang terjadi terus menerus yang berpengaruh terhadap fisik dan
emosi. Stres dinyatakan merupakan salah satu faktor yang berperan secara tidak
langsung terhadap ulser stomatitis rekuren ini.
F. Defisiensi Nutrisi
Wray (1975) meneliti pada 330 pasien SAR dengan hasil 47 pasien
menderita defisiensi nutrisi yaitu terdiri dari 57% defisiensi zat besi, 15%
defisiensi asam folat, 13% defisiensi vitamin B12, 21% mengalami defisiensi
kombinasi terutama asam folat dan zat besi dan 2% defisiensi ketiganya.
Penderita SAR dengan defisiensi zat besi, vitamin B12 dan asam folat diberikan
terapi subtitusi vitamin tersebut hasilnya 90% dari pasien tersebut mengalami
perbaikan. Faktor nutrisi lain yang berpengaruh pada timbulnya SAR adalah
vitamin B1, B2 dan B6. Dari 60 pasien SAR yang diteliti, ditemukan 28,2%
mengalami penurunan kadar vitamin-vitamin tersebut. Penurunan vitamin B1
terdapat 8,3%, B2 6,7%, B6 10% dan 33% kombinasi ketiganya. Terapi dengan
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 30
pemberian vitamin tersebut selama 3 bulan memberikan hasil yang cukup baik,
yaitu ulserasi sembuh dan rekuren berkurang.
G. Hormonal
Pada wanita, sering terjadinya SAR di masa pra menstruasi bahkan banyak
yang mengalaminya berulang kali. Keadaan ini diduga berhubungan dengan
faktor hormonal. Hormon yang dianggap berperan penting adalah estrogen dan
progesteron. Dua hari sebelum menstruasi akan terjadi penurunan estrogen dan
progesteron secara mendadak. Penurunan estrogen mengakibatkan terjadinya
penurunan aliran darah sehingga suplai darah utama ke perifer menurun dan
terjadinya gangguan keseimbangan sel-sel termasuk rongga mulut,
memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan
terhadap jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi
SAR. Progesteron dianggap berperan dalam mengatur pergantian epitel mukosa
mulut.
H. Infeksi Bakteri
Graykowski dan kawan-kawan pada tahun 1966 pertama kali menemukan
adanya hubungan antara bakteri Streptokokus bentuk L dengan lesi SAR dengan
12 penelitian lebih lanjut ditetapkan bahwa Streptokokus sanguis sebagai
penyebab SAR. Donatsky dan Dablesteen mendukung pernyataan tersebut
dengan melaporkan adanya kenaikan titer antibodi terhadap Streptokokus
sanguis 2A pada pasien SAR dibandingkan dengan kontrol.
I. Alergi dan Sensitifitas
Alergi adalah suatu respon imun spesifik yang tidak diinginkan
(hipersensitifitas) terhadap alergen tertentu. Alergi merupakan suatu reaksi
antigen dan antibodi. Antigen ini dinamakan alergen, merupakan substansi
protein yang dapat bereaksi dengan antibodi, tetapi tidak dapat membentuk
antibodinya sendiri. SAR dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 31
terhadap beberapa bahan pokok yang ada dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik
atau permen karet dan bahan gigi palsu atau bahan tambalan serta bahan
makanan.29,30 Setelah berkontak dengan beberapa bahan yang sensitif, mukosa
akan meradang dan edematous. Gejala ini disertai rasa panas, kadang-kadang
timbul gatal-gatal, dapat juga berbentuk vesikel kecil, tetapi sifatnya sementara
dan akan pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang kemudian
berkembang menjadi SAR.
J. Obat-obatan
Penggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), beta blockers, agen
kemoterapi dan nicorandil telah dinyatakan berkemungkinan menempatkan
seseorang pada resiko yang lebih besar untuk terjadinya SAR.
K. Penyakit Sistemik
Beberapa kondisi medis yang berbeda dapat dikaitkan dengan kehadiran
SAR. Bagi pasien yang sering mengalami kesulitan terus-menerus dengan SAR
harus dipertimbangkan adanya penyakit sistemik yang diderita dan perlu
dilakukan evaluasi serta pengujian oleh dokter. Beberapa kondisi medis yang
dikaitkan dengan keberadaan ulser di rongga mulut adalah penyakit Behcet’s,
penyakit disfungsi neutrofil, penyakit gastrointestinal, HIV-AIDS, dan sindroma
Sweet’s.
L. Merokok
Adanya hubungan terbalik antara perkembangan SAR dengan merokok.
Pasien yang menderita SAR biasanya adalah bukan perokok, dan terdapat
prevalensi dan keparahan yang lebih rendah dari SAR diantara perokok berat
berlawanan dengan yang bukan perokok. Beberapa pasien melaporkan
mengalami SAR setelah berhenti merokok.
Gambaran klinis SAR pada penderita yang merokok penting untuk
diketahui karena tidak ada metode diagnosa laboratoriam spesifik yang dapat
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 32
dilakukan untuk menegakkan diagnosa SAR. SAR diawali gejala prodormal
yang digambarkan dengan rasa sakit dan terbakar selama 24-48 jam sebelum
terjadi ulser. Ulser ini menyakitkan, berbatas jelas, dangkal, bulat atau oval,
tertutup selaput pseudomembran kuning keabu-abuan, dan dikelilingi pinggiran
yang eritematus dan dapat bertahan untuk beberapa hari atau bulan.
Tahap perkembangan SAR dibagi kepada 4 tahap yaitu:
1. Tahap premonitori, terjadi pada 24 jam pertama perkembangan lesi SAR. Pada
waktu prodromal, pasien akan merasakan sensasi mulut terbakar pada tempat
dimana lesi akan muncul. Secara mikroskopis sel-sel mononuklear akan
menginfeksi epitelium, dan edema akan mulai berkembang.
2. Tahap pre-ulserasi, terjadi pada 18-72 jam pertama perkembangan lesi SAR.
Pada tahap ini, makula dan papula akan berkembang dengan tepi eritematus.
Intensitas rasa nyeri akan meningkat sewaktu tahap pre-ulserasi ini.
3. Tahap ulseratif akan berlanjut selama beberapa hari hingga 2 minggu. Pada
tahap ini papula-papula akan berulserasi dan ulser itu akan diselaputi oleh
lapisan fibromembranous yang akan diikuti oleh intensitas nyeri yang
berkurang.
4. Tahap penyembuhan, terjadi pada hari ke - 4 hingga 35. Ulser tersebut akan
ditutupi oleh epitelium. Penyembuhan luka terjadi dan sering tidak
meninggalkan jaringan parut dimana lesi SAR pernah muncul. Semua lesi
SAR menyembuh dan lesi baru berkembang.
Berdasarkan hal tersebut SAR dibagi menjadi tiga tipe yaitu stomatitis aftosa
rekuren tipe minor, stomatitis aftosa rekuren tipe mayor, dan stomatitis aftosa
rekuren tipe herpetiformis.
1. SAR Tipe Minor
Tipe minor mengenai sebagian besar pasien SAR yaitu 75% sampai dengan
85% dari keseluruhan SAR, yang ditandai dengan adanya ulser berbentuk bulat
dan oval, dangkal, dengan diameter 1-10 mm, dan dikelilingi oleh pinggiran
yang eritematous. Ulserasi dari tipe minor cenderung mengenai daerah-daerah
non-keratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal dan dasar mulut. Ulserasi biasa
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 33
tunggal atau merupakan kelompok yang terdiri atas 4-5 ulser dan akan sembuh
dalam waktu 10-14 hari tanpa meninggalkan bekas jaringan parut.
2. SAR Tipe Mayor
Tipe mayor diderita 10%-15% dari penderita SAR dan lebih parah dari tipe
minor. Ulser biasanya tunggal, berbentuk oval dan berdiameter sekitar 1-3 cm,
berlangsung selama 2 minggu atau lebih dan dapat terjadi pada bagian mana saja
dari mukosa mulut, termasuk daerah-daerah berkeratin. Ulser yang besar, dalam
serta bertumbuh dengan lambat biasanya terbentuk dengan bagian tepi yang
menonjol serta eritematous dan mengkilat, yang menunjukkan bahwa terjadi
edema. Selalu meninggalkan jaringan parut setelah sembuh dan jaringan parut
tersebut terjadi karena keparahan dan lamanya ulser.
3. SAR Tipe Herpetiformis
Istilah herpetiformis pada tipe ini dipakai karena bentuk klinisnya (yang dapat
terdiri dari 100 ulser kecil-kecil pada satu waktu) mirip dengan gingivostomatitis
herpetik primer, tetapi virus-virus herpes tidak mempunyai peran etiologi pada
SAR tipe herpetiformis. SAR tipe herpetiformis jarang terjadi yaitu sekitar 5%-
10% dari kasus SAR. Setiap ulser berbentuk bulat atau oval, mempunyai
diameter 0,5- 3,0 mm dan bila ulser bergabung bentuknya tidak teratur. Setiap
ulser berlangsung selama satu hingga dua minggu dan tidak akan meninggalkan
jaringan parut ketika sembuh.
a. Diagnosa
Diagnosis SAR didasarkan pada anamnesa dan gambaran klinis dari ulser.
Biasanya pada anamnesa, pasien akan merasakan sakit dan terbakar pada
mulutnya, lokasi ulser berpindah-pindah dan sering berulang. Harus ditanyakan
sejak dari umur berapa terjadi, lama (durasi), serta frekuensi ulser. Setiap
hubungan dengan faktor 18 predisposisi juga harus dicatat.16 Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan ulser pada bagian mukosa mulut dengan bentuk yang oval
dengan lesi ±1 cm yang jumlahnya sekitar 2-6. Pemeriksaan tambahan
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 34
diperlukan seperti pemeriksaan sitologi, biopsi, dan kultur bila ulser tidak
kunjung sembuh.
b. Perawatan
Dalam upaya melakukan perawatan terhadap pasien SAR, tahapannya
adalah :
1. Edukasi bertujuan untuk memberikan informasi mengenai penyakit yang
dialami yaitu SAR agar mereka mengetahui dan menyadarinya.
2. Instruksi bertujuan agar dapat dilakukan tindakan pencegahan dengan
menghindari faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya SAR.
3. Pengobatan bertujuan untuk mengurangi gejala yang dihadapi agar pasien
dapat mendapatkan kualitas hidup yang menyenangkan.
Tindakan pencegahan timbulnya SAR dapat dilakukan diantaranya dengan
menjaga kebersihan rongga mulut, menghindari stres serta mengkonsumsi nutrisi
yang cukup, terutama yang mengandung vitamin B12 dan zat besi. Menjaga
kebersihan rongga mulut dapat juga dilakukan dengan berkumur-kumur
menggunakan air garam hangat atau obat kumur. SAR juga dapat dicegah
dengan mengutamakan konsumsi makanan kaya serat seperti sayur dan buah
yang mengandung vitamin C, B12, dan mengandung zat besi. Karena penyebab
SAR sulit diketahui maka pengobatannya hanya untuk mengobati keluhannya
saja. Perawatan merupakan tindakan simtomatik dengan tujuan untuk
mengurangi gejala, mengurangi jumlah dan ukuran ulkus, dan meningkatkan
periode bebas penyakit. Bagi pasien yang mengalami stomatitis aftosa rekuren
mayor, perawatan diberikan dengan pemberian obat untuk penyembuhan ulser
dan diinstruksikan cara pencegahan. Bagi pasien yang mengalami SAR akibat
trauma pengobatan tidak diindikasikan. Pasien yang menderita SAR dengan
kesakitan yang sedang atau parah, dapat diberikan obat kumur yang
mengandung benzokain dan lidokain yang kental untuk menghilangkan rasa
sakit jangka pendek yang berlangsung sekitar 10-15 menit. Bagi menghilangkan
rasa sakit yang berlangsung sehingga enam jam, dapat diberikan zilactin secara
topikal. Zilactin dapat lengket pada ulser dan membentuk membran
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 35
impermeabel yang melindungi ulser dari trauma dan iritasi lanjut. Dapat juga
diberikan ziladent yang juga mengandung benzokain untuk topikal analgesia.
Selain itu, dapat juga menggunakan larutan betadyne secara topikal dengan efek
yang sama. Dyclone digunakan sebagai obat kumur tetapi hanya sebelum makan
dan sebelum tidur. Aphthasol merupakan pasta oral amlexanox yang mirip
dengan zilactin yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit dengan membentuk
lapisan pelindung pada ulser.
Bagi mempercepat penyembuhan ulser, glukokortikoid, baik secara oral atau
topikal adalah andalan terapi. Topikal betametason yang mengandung sirup dan
fluocinonide ointment dapat digunakan pada kasus SAR yang ringan. Pemberian
prednison secara oral ( sampai 15 mg / hari) pada ksaus SAR yang lebih parah.
Hasil terapeutik dalam dilihat dalam satu minggu. Thalidomide adalah obat
hipnotis yang mengandung imunosupresif dan antiinflamasi. Obat ini telah
digunakan dalam pengobatan stomatitis aftosa rekuren mayor, sindrom Behcet,
serta eritema nodosum. Namun, resiko pada teratogenesis telah membatasi
penggunaannya.
Klorheksidin adalah obat kumur antibakteri yang mempercepatkan
penyembuhan ulser dan mengurangi keparahan lesi SAR. Selain itu, tetrasiklin
diberikan sesuai dengan efek anti streptokokus, tetrasiklin 250mg dalam 10 cc
sirup direkomendasikan sebagai obat kumur, satu kali sehari selama dua minggu.
Levamisol telah dianjurkan sebagai perawatan yang mungkin untuk SAR,
namun oleh karena efek samping immunostimulatornya, pemakaian obat ini
kurang diindikasikan. Pemberian obat-obatan tertentu yang tidak diperbolehkan
hanya dapat merusak jaringan normal disekeliling ulser dan bila pemakaiannya
berlebihan maka akan mematikan jaringan dan dapat memperluas ulser.
Beberapa penyakit pada gastrointestinal yang dapat menyebabkan ulkus
pada rongga mulut adalah:
2. Celiac disease
Merupakan gangguan autoimun yang ditandai dengan adanya intoleransi
terhadap gluten pada usus halus. Campisi dkk. (2008) melaporkan bahwa lesi
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 36
pada rongga mulut seperti RAS dapat berfungsi sebagai tanda adanya gangguan
gastrointestinal kronis yang disebabkan oleh adanya malabsorpsi.
3. Chron’s disease
Merupakan penyakit kronis pada gastrointestinal yang ditandai dengan
adanya pembengkakan pada saluran pencernaan, nyeri abdomen, nausea, diare,
kehilangan berat badan, demam, dan perdarahan rectal. Pada 10-20% pasien
chron’s disease terjadi ulkus pada rongga mulut, dengan karakteristik yang
disebut cobble stone. Apabila terdapat ulkus rekuren dengan sebab yang tidak
jelas pada rongga mulut, maka penyakit ini dapat dipertimbangkan sebagai salah
satu faktor etiologi ulkus.
4. Reflux Disease (GERD)
Merupakan salah satu gangguan gastrointestinal yang disebabkan oleh
keluarnya asam lambung menuju esophagus. Asam lambung yang keluar hingga
ke rongga mulut dapat menyebabkan terjadinya keruasakan pada mukosa yang
bersifat erosif dan dapat berakhir sebagai ulkus. Selain itu, GERD juga dapat
menyebabkan timbulnya faringitis, laringitis, bronchitis, dan pneumonia.
5. Behcet’s Syndrome
Adanya keterkaitan rongga mulut merupakan komponen yang penting pada
Behcet’s syndrome dengan manifestasi pada rongga mulut sebesar 99%. Lesi ini
serupa dengan aphthous ulcerations pada orang sehat dengan durasi dan
frekuensi yang sama, namun pada pasien dengan Behcet’s syndrome, lesi dapat
berjumlah 6 atau lebih. Lesi dapat terjadi pada palatum lunak dan orofaring,
dengan tepi yang bergelombang dan dikelilingi oleh area eritema yang difus.
Pada penderita Behcet’s syndrome, ketiga jenis RAS dapat muncul, namun
minor RAS paling banyak terjadi pada pasien ini. Selain pada rongga mulut, lesi
pada genital dan ocular (mata) juga muncul pada pasien ini.
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 37
6. Erythema Multiforme
Lesi timbul tiba-tiba, nyeri, penyebaran luas, biasanya sembuh sendiri.
Gambaran klinisnya bervariasi sehingga disebut “multiformis, multiple, pada
bibir berbentuk krusta disertai bercak darah.
7. Lupus Erytematosus
Eritematus dan ulkus pada mukosa bukal, gingiva dan vermilion, dengan
area putih keratosis mengelilingi ulkus dan biasanya nyeri
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 38
BAB 3
KESIMPULAN
1. KESIMPULAN
Deteksi lesi dini dalam rongga mulut adalah mengenali atau mencurigai lesi
pada stadium dini secara klinis dan mendiagnosa lesi pada kasus-kasus yang
belum menimbulakan keluhan atau masih pada tahap dapat ditoleransi.
Pemeriksaan yang paling menentukan untuk mendiagnosa lesi prekanker rongga
mulut adalah pemeriksaan histopatologik. Perawatan lesi pada stadium dini
memberikan prognosa yang baik. Perawatan itu antara lain dengan
menghilangkan faktor iritan baik lokal maupun sistemik, pemberian obat
kortikosteroid, bedah eksisi, cautery, kuretase dan cryotherapy.
3. SARAN
Setiap professional dibidang kesehatan diharapkan untuk terus menurunkan
morbiditas dan mortalitas lesi prekanker dengan cara mendeteksi sedini mungkin
tanda-tanda lesi yang menimbulkan keganasan.
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 39
DAFTAR PUSAKA
Langlais, R. P., Miller, C. S., & Nield-Gehrig, J. S. (2009). Atlas Berwarna Lesi Mulut Yang Sering Ditemukan (4 ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Birnbaum, W., & Dunne, S.M.(2009). Diagnosis Kelainan dalam Mulut Petunjuk Bagi Klinis. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Scully, C., & Cawson, R.A.(1991). Atlas Bantu Kedokteran Gigi Penyakit Mulut. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 40