Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Laporan Penelitian
Mitigasi Korupsi Anggaran di Jawa Tengah
Bab 1 Pendahulan
1.1. Latar Belakang
Korupsi adalah musuh berbahaya bagaikan penyakit kronis yang menggerogoti daya
tahan perekonomian Negara. Jika tidak segera dilakukan pencegahan yang optimal tentu akan
merusak tata kelola kehidupan bernegara. Untuk mampu melakukan pencegahan yang
optimal maka perlu adanya upaya dalam mendeteksi pola, modus dan mekanisme praktik
korupsi yang terjadi selama ini.
Setidaknya terdapat dua modus korupsi yang sangat kronis. Pertama, korupsi melalui
penyusunan dan implementasi anggaran, baik pusat maupun daerah. Modus korupsi
terencana melalui anggaran antara lain sejak perencanaan pengadaan barang dan jasa
melalui besaran tarif dan volumenya. Hal ini terkait pula dengan para pengambil kebijakan,
vendor, dan kontraktor pengadaan barang dan jasa. Modus dan mekanisme korupsi yang
terencana terletak pada penyalahgunaan wewenang pengelola dan pelaksana atau
implementator anggaran. Pihak pelaksana anggaran antara lain: kementerian, dinas,
organisasi perangkat daerah (OPD), badan atau lembaga. Selain pelaksana anggaran, pihak
yang kerap terlibat adalah para vendor dan kontraktor pengadaan barang dan jasa. Mereka
melakukan korupsi melalui anggaran terstruktur, sistematis dan masif.
Kedua, korupsi melalui pengelolaan sumber daya alam terutama dalam pengelolaan
sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, kelautan, perikanan dan lain lain. Dalam hal
ini biasanya korupsi yang terkait dari sisi penerimaan negara. Mekanisme antara lain melalui
proses perijinan, uang sewa, imbal beli, atau bagi hasil dalam pengelolaan sumber daya alam.
Para pejabat/pengelola sumber daya alam dapat memainkan pemberian ijin, tarif
penerimaan dari tarif sewa, imbal beli, atau bagi hasil dalam pengelolaan sumber daya alam.
Penyusunan dan implementasi anggaran sangat rawan dikorupsi. Bahkan, penyusunan
anggaran dapat dimanfaatkan untuk merencanakan korupsi. Dengan kata lain terdapat
indikasi korupsi yang terencana melalui penyusunan anggaran. Modus korupsi terencana
melalui anggaran antara lain; perencanaan pengadaan barang dan jasa melalui besaran tarif
2
dan volumenya. Hal ini terkait pula dengan para pengambil kebijakan, vendor, dan kontraktor
pengadaan barang dan jasa. Dari sana dapat diprediksi modus dan mekanisme korupsi yang
terencana. Disamping korupsi terencana melalui anggaran, juga ada korupsi yang terencana
melalui pengelolaan sumber daya alam. Antara lain korupsi dari pemberian ijin, tarif
penerimaan dari tarif sewa, imbal beli, bagi hasil dan luasan atau volume kandungan alam
dalam pengelolaan sumber daya alam.
Padahal penyusunan dan implementasi anggaran sangat strategis untuk mencapai
target-target pembangunan. Namun instrumen yang sangat strategis tersebut justru yang
sangat rawan dikorupsi. Karenanya, jika korupsi mampu dikurangi atau dicegah,
pembangunan berkelanjutan akan tercapai. Pencegahan korupsi dapat diraih melalui
implementasi prinsip good government governance. Pencegahan korupsi tersebut
memerlukan instrumen atau model. Jika anggaran dikelola secara profesional oleh
Pemerintah Pusat/Kota/Kabupaten dapat meningkatkan kinerja penyelenggaraan
pemerintahan atau pembangunan. Sebab, anggaran yang diimplementasikan menjadi sarana
pelayanan kepada masyarakat (public service), fungsi pembangunan (development) dan
fungsi perlindungan kepada masayarakat (society protection) dapat dinikmati oleh
masyarakat.
Optimalisasi anggaran akan mampu mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih
(good government governance). Siregar (2004) mengatakan bahwa optimizing the utilization
of assets in terms of service benefit and financial return. Pengelolaan aset membutuhkan
setidaknya tiga hal: minimize cost of ownership, maximize asset availability, dan maximize
asset utilization. Jika anggaran dikelola dengan semestinya, pembangunan berkelanjutan
akan berjalan dengan baik.
Semenjak era desentralisasi fiskal dibuka di Indonesia, korupsi di tingkat wilayah
(pemerintahan daerah) merebak. Korupsi tidak saja terjadi di daerah kaya sumberdaya alam,
namun juga yang karakteristik ekonominya tidak tergantung dengan sumberdaya alam.
Hartanto and Probohudono (2013) dan Arifin dan Irsan (2019) menyatakan bahwa faktor yang
memengaruhi korupsi di daerah adalah populasi, pajak daerah, dan kewenangan pejabat
untuk perijinan. Karenanya perlu ada instrumen pencegahan korupsi atau tindakan preventif,
melalui mitigasi peluang tindakan korupsi baik yang dilakukan melalui penyusunan anggaran
maupun pengelolaan sumber daya alam. Dengan kata lain untuk merumuskan formula atau
mitigasi pencegahan tindakan korupsi baik dari sisi belanja maupun penerimaan.
3
1.2. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengeksplorasi peluang, modus atau mekanisme korupsi terencana melalui
penyusunan anggaran dan implementasikannya.
b. Mengeksplorasi peluang, modus atau mekanisme korupsi terencana melalui
pengelolaan sumberdaya alam.
c. Mengetahui besaran anggaran yang dikorupsi di setiap mata rantai dalam
implementasi anggaran.
d. Mengetahui besaran korupsi dari sisi penerimaan tarif uang sewa, imbal beli, bagi
hasil, atau luasan dan volume kandungan sumber daya alam.
e. Menyusun model dan instrumen mitigasi terjadinya tindakan korupsi.
1.3. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Untuk mengetahui pola dan modus korupsi yang terencana melalui proses
penganggaran dan pengelolaan sumber daya alam.
b. Dapat mengetahui upaya pencegahan korupsi sejak dini melalui perbaikan pola dan
sistem penganggaran yang lebih transparan.
c. Menutup berbagai celah kebocoran anggaran, memperbaiki kualitas anggaran yang
lebih efektif dan efisien.
d. Peran stimulus fiskal melalui APBN maupun APBD akan lebih optimal memacu
pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
e. Untuk mencegah adanya eksploitasi sumber daya dan pola pengelolaan sumber
daya alam sesuai dengan prinsip Sustainable Development Goals (SDGs).
1.4. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini adapun metodologi yang digunakan antara lain sebagai berikut.
a. Pengumpulan data, kajian dan kompilasi peraturan dan perundang-undangan
terkait dengan penyusunan dan implementasi anggaran pusat/daerah.
b. Pengumpulan data, kanjian kompilasi peraturan perundang-undangan terkait
dengan pengelolaan sumber daya alam.
4
c. Validasi untuk memastikan data yang diperoleh relevan dengan penelitian terkait
mitigasi dan pencegahan tindakan korupsi.
d. Eksplorasi melalui focus group discussion (FGD) membahas sistem informasi
anggaran dan pengelolaan sumber daya alam.
e. Simulasi sistem mitigasi atau instrumen pencegahan korupsi.
1.5. Lokasi Penelitian
Penelitian ini melingkupi berbagai kasus pada proses pengelolaan anggaran dan
pengelolaan sumber daya alam secara nasional di Indonesia. Namun secara khusus terdapat
dua Propinsi yang dilakukan pengamatan secara lebih mendalam yang dijadikan sampel, yaitu
Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Riau.
1.6. Teknik Perolehan Data
Data Primer
a. Wawancara dan investigasi kepada perangkat di setiap OPD dan instansi, badan dan
lembaga di daerah terkait dengan penyusunan dan implementasi anggaran.
b. Wawancara dan investigasi kepada perangkat instansi, badan dan lembaga di
daerah terkait dengan pengelolaan sumber daya alam.
c. Wawancara dengan para pengamat, pakar dan pegiat anti korupsi terkait dengan
korupsi anggaran dan sumber daya alam.
Data Skunder
a. Hasil kajian atau penelitian terdahulu, publikasi ilmiah, pemberitaan dari media
massa, dan sumber sumber informasi lain terkait dengan tindakan korupsi yang
bersumber dari penyusunan dan implementasi anggaran.
b. Hasil kajian atau penelitian terdahulu, publikasi ilmiah, pemberitaan, dan sumber
sumber informasi terkait dengan tindakan korupsi yang bersumber dari
pengelolaan sumber daya alam.
1.7. Metode Analisis
Metode analisis dilakukan menggunakan analisis keterkaitan alur peristiwa, modus
modus di setiap mata rantai peristiwa disingkronkan dengan modus, bentuk, atau mekanisme
5
korupsinya. Setiap mata rantai kegiatan, mulai dari proses perencanaan sampai dengan
implementasi anggaran dikaitan dengan modus dan mekanisme korupsi. Analisis
penghubungan antar peristiwa dan tindakan korupsi disimpulkan menjadi mekanisme korupsi
yang terencana.
1.8. Tahap Penelitian
1. Tahap pertama dilakukan studi literatur dan desk study, antara lain mengkompilasi
berbagai kasus korupsi yang terkait dengan pengelolaan anggaran dan sumberdaya
alam secara nasional.
2. Tahap kedua dilakukan investigasi terkait dengan peluang, modus, dan mekanisme
korupsi Pengelolaan anggaran terutama dalam hal pengadaan barang dan jasa, serta
dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.
3. Tahap ketiga, menganalisis keterkaitan antara perencanaan dan implementasi
pengelolaan anggaran dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.
4. Tahap keempat, menyusun model atau instrumen Mitigasi Tindak Pidana Korupsi pada
pengelolaan Anggaran dan Pengelolaan Sumberdaya Alam
1.9. Kerjasama Riset
1. Kerjasama riset dilakuan dengan Lembaga penelitian Universitas Muhamadiyah
Semarang dan Lembaga Penelitian Universitas Riau.
2. Selain dengan Lembaga Penelitian, kerjasama riset untuk memperoleh data yang
maksimal telah dilakukan melalui berbagai jaringan, antara lain dengan Lembaga-
lembaga pemerintahan daerah (Jawa Tengah dan Riau), seperti Badan Perencana
Kompilasi
berbagai kasus
korupsi terkait
pengelolaan
anggaran dan
pengelolaan
sumberdaya alam
Eksplorasi dan
investigasi
terkait dengan
peluang, modus,
dan mekanisme
korupsi
Menyusun
Model atau
Instrumen
Mitigasi
Korupsi
Analisis
keterkaitan
antara
perencanaan
dan
implementasi
6
Pembangunan Daerah (Bappeda), Biro Perekonomian Jawa Tengah (Pemerintah
Propinsi), Biro Pusat Statistik (BPS Jawa Tengah), Legislatif (DPRD), Ikatan Sarjana
Ekonomi (ISEI) Jawa Tengah, Akademisi, dan Tokoh Masyarakat.
3. Secara khusus juga bekerja sama dan memanfaatkan hasil riset sebelumnya yang
telah dilakukan oleh jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik di tingkat
nasional maupun daerah. Antara lain Indonesia Coruption Wacth (ICW), Publi what
You Pay (PWYP), Transparansi Indonesia (TI), Forum Transparansi Anggaran
(FITRA), IRES, dsb.
4. Memanfaatkan hasil-hasil riset dan penanganan kasus yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
5. Jaringan dengan berbagai lembaga berkepentingan (Stakeholder) tersebut untuk
mempermudah mendapatkan data, baik data primer melalui interview mendalam
ataupun diskusi terpimpin (Focus Group Discussion/FGD) juga data-data sekunder.
6. Adapun bentuk kerjasama dengan Lembaga Penelitian antara lain dalam hal
pelaksanaan wawancara mendalam (indepth interview) dengan para pemangku
kepentingan (Stakeholder) yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam
proses perencanaan anggaran.
1.10. Publikasi Riset
1. Hasil riset diterbitkan dalam dua bahasa (English dan Indonesia). Diseminasi
kajian akan disampaikan kepada seluruh pemangku kepentingan, terutama yang
terlibat langsung dalam proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran. Utamanya
Gubernur, Bappeda, Biro Perekonomian, DPRD, KPK, Kementerian Keuangan,
Kementerian Dalam Negeri, FITRA, ICW, dsb. Hasil riset ini rencananya juga akan
dikirimkan ke Lembaga-lembaga internasional terkait.
2. Hasil riset juga dipublikasi dalam bentuk opini atau kolom di media cetak.
3. Resume hasil akhir kajian ini disebarluaskan ke media melalui press realese atau
press conference untuk semua media massa (online, cetak, maupun elektronik).
4. Hasil kajian ini dalam bentuk media grafik ataupun video akan dipublikasi melalui
website ataupun youtube.
7
Bab 2
Studi Literatur
2.1. Definisi Korupsi
Definisi korupsi di Indonesia secara gamblang dijelaskan dalam 13 Pasal dalam UU
No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001. Menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi
yakni: “Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara”.
Berdasarkan pasal-pasal tersbeut, korupsi dirumuskan ke dalam 30 (tiga puluh)
bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan
yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.i Ketiga puluh bentuk/jenis tindak pidana
korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam 7 aspek: kerugian negara,
suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, benturan kepentingan dalam
pengadaan, dan gratifikasi.
Selain bentuk/jenis tindak pidana di atas, terdapat tindak pidana lain yang berkaitan
dengan tindak pidana korupsi di atas, yakni: merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi,
tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, bank yang tidak
memberi keterangan rekening tersangka, saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau
memberi keterangan palsu, orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan
keterangan atau memberi keterangan palsu, serta saksi yang membuka identitas pelapor.
Setidaknya terdapat 22 Undang-undang yang mengatur mengenai tindak pidana
korupsi. Peraturan mengenai Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) diatur pada Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2001. Undang-undang ini memuat perubahan terhadap Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999. Namun dalam perjalanannya, Undang-undang Tipikor masih belum
lengkap jika disandingkan dengan konsensus milik Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yakni
UNCAC. Hal ini karena adanya tiga hal yang belum diatur dalam UU Anti Korupsi di Indonesia
yakni mempengaruhi proses pengadilan, penyembunyian hasil korupsi dan pencucian hasil
korupsi.
8
2.2. Korupsi Anggaran
2.2.1 Fraud
Korupsi anggaran biasanya disebabkan karena fraud. Istilah fraud secara bahasa
berarti kecurangan. Sedangkan fraud secara hukum berarti atau pencurian (pasal 362 KUHP),
pemerasan dan pengancaman (pasal 368 KUHP), penggelapan (pasal 372 KUHP), perbuatan
curang (pasal 378 KUHP), dan sebagainya.
Webster’s New World Dictionary mendefinisikan fraud sebagai suatu pembohongan
atau penipuan (deception) yang dilakukan seseorang demi keuntungan pribadi. Sedangkan
menurut Black’s Law Dictionary, fraud adalah berbagai cara yang direncanakan oleh
seseorang untuk mendapatkan keuntungan dengan memberi saran yang menyesatkan atau
menutupi kebenaran. Fraud mencakup semua cara atau siasat yang licik, tersembunyi, serta
tidak jujur sehingga pihak lain yang menjadi korban. Menurut Wells (2007: 3) menyatakan
bahwa fraud is criminal deception intended to financially benefit the deceiver. Artinya
fraud dapat diartikan sebagai kebohongan yang disengaja dengan cara menceritakan hal yang
tidak benar, mengambil keuntungan secara tidak adil atau tidak sah dari pihak lain.
International Standards of Auditing (ISA) seksi 240, The Auditor’s Responsibility to
Consider Fraud in an Audit of Financial Statements paragraf 6 mendefinisikan fraud sebagai:
“tindakan yang disengaja oleh anggota manajemen perusahaan, pihak yang berperan
dalam governance perusahaan, karyawan, atau pihak ketiga yang melakukan pembohongan
atau penipuan untuk memperoleh keuntungan yang tidak adil atau ilegal”.
Sedangkan dalam Standar Auditing yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia-
Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP) fraud diterjemahkan sebagai kecurangan terkait
dengan pelaporan keuangan. Auditor berkepentingan untuk menguji apakah suatu perbuatan
mengandung fraud mengakibatkan salah saji (misstatement) dalam pelaporan keuangan.
Fraud berarti penipuan yang disengaja (intentional deception), kebohongan (lying), curang
(cheating), dan pencurian (stealing).
Beberapa definisi di atas saling bersinonim, yaitu dalam pengelolaan anggaran
disebut fraud ketika seseorang dengan sengaja me-markup atau me-markdown dalam proses
pengadaan barang dan jasa dalam instansi pemerintah atau swasta. Pengguna anggaran
dengan sengaja tidak melaporkan transaksi akuntansi demi keuntungan pribadi. Pengguna
anggaran dengan sengaja memanipulasi laporan keuangan sehingga terlihat “indah” untuk
9
menutupi kebohongan. Kecurangan demikian disebut fraudulent financial reporting atau
kecurangan dalam pelaporan keuangan. Contoh, pengguna anggaran mencuri kas atau
persediaan dengan cara memanipulasi dokumen-dokumen untuk menghilangkan bukti
kejahatannya. Bentuk fraud demikian dikenal dengan miss appropriation of assets atau
penyalahgunaan aktiva. Kasus-kasus fraudulent financial reporting dan miss appropriation of
assets merupakan kasus fraud yang umum terjadi baik di Lembaga pemerintah maupun
swasta.
Fraud berlawanan dengan (truth), adil (justice), kewajaran (fairness), dan kesamaan
(equity). Fraud memiliki arti lapping dan kitting terhadap anggaran. Lapping didefinisikan
perbuatan penggelapan uang yang telah dianggarkan dengan berbagai cara pencatatan yang
kelitu. Sedangkan kitting didefinisikan sebagai penyelewengan dengan cara tidak mencatat.
Disamping itu kitting juga dapat dilakukan dengan cara “window dressing” yaitu keadaan
posisi catatan kas yang sebenarnya tidak baik (kekurangan kas) dibuat menjadi lebih baik
dengan menaikkan posisi atau nilai kas tersebut dari keadaan yang sebenarnya.
SAS 82 (AU 316) membuat perbedaan antara dua jenis kesalahan penyajian, yaitu
Kekeliruan (Error) dan Kecurangan (Fraud). Kedua jenis kesalahan penyajian ini dapat bersifat
material maupun tidak material. Suatu kekeliruan (Error) adalah kesalahan penyajian atas
laporan keuangan yang tidak disengaja, sementara Kecurangan (Fraud) merupakan kesalahan
penyajian yang disengaja.
2.2.2 Tipe Fraud
Ada dua tipe fraud, yaitu eksternal dan internal. Eksternal fraud adalah fraud yang
dilakukan oleh pihak luar terhadap diluar pengguna anggaran. Fraud eksternal adalah
fraud yang dilakukan oleh vendor, wajib pajak terhadap pemerintah, atau pemegang polis
terhadap perusahaan asuransi. Sedangkan Internal fraud adalah tindakan fraud yang
dilakukan oleh karyawan, pegawai, eksekutif eksekutif terhadap anggaran pemerintah atau
swasta.
Ikatan Akuntan Indonesia (2011:316.2) menyatakan bahwa ada dua tipe salah saji
yang relevan dengan pertimbangan auditor tentang fraud dalam audit atas laporan
keuangan, yaitu salah saji yang timbul sebagai akibat dari fraud dalam pelaporan keuangan
dan fraud yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva, berikut
penjelasannya:
10
1. Salah saji yang timbul dari fraud dalam pelaporan keuangan adalah salah saji atau
penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan
untuk mengelabui pemakai laporan keuangan. Fraud dalam laporan keuangan dapat
menyangkut tindakan seperti yang disajikan berikut:
a. Manipulasi, pemalsuan atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen
pendukungnya yang menjadi sumber data bagi penyajian laporan keuangan.
b. Representasi yang salah dalam atau penghilangan dari laporan keuangan
peristiwa, transaksi atau informasi yang signifikan.
c. Salah penerapan secara sengaja prinsip akuntansi yang berkaitan dengan jumlah,
klasifikasi, cara penyajian atau pengungkapan.
2. Salah saji yang timbul akibat penyalahgunaan atau penggelapan terhadap aktiva
(keuangan dan aset lainnya), yang berakibat laporan keuangan tidak disajikan sesuai
dengan prinsip akuntansi yang benar. Perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva
atau asset lainnya dilakukan dengan berbagai cara, termasuk penggelapan tanda
terima barang atau uang, pencurian aktiva, atau tindakan yang menyebabkan
diantaranya harga barang atau jasa tidak wajar. Perlakuan menyimpang terhadap
aktiva atau aset lainnya disertai dengan catatan atau dokumen palsu atau yang
menyesatkan oleh satu atau lebih individu oleh pegawai atau atau pihak ketiga.
2.3. Korupsi Sumber Daya Alam
Menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) bahwa sumberdaya alam terdiri atas sumber daya
hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. Hal ini dapat
diartikan bahwa semua kekayaan yang ada di bumi Indonesia, baik yang bersifat biotik (air,
tanah, udara, energi surya, mineral), maupun abiotik (manusia, tumbuhan, hewan atau mikro
organisme) ada dalam satu kesatuan tatanan secara utuh dan menyeluruh yang saling
mempengaruhi.
Korupsi akan merusak tatanan alam sehingga dapat menyebabkan ketidakseimbangan
dan kerusakan dalam hubungan timbal balik antara makhluk hidup. Keserakahan atas
penguasaan Sumber Daya Alam oleh para elit secara “korup” untuk memperkaya diri sendiri
bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3, bahwa Negara menguasai seluruh kekayaan
Sumber Daya Alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
11
Korupsi Sumber Daya Alam dan Kesejahteraan, adalah istilah yang digunakan untuk
menjelaskan tentang kegagalan negara dalam pengelolaan Sumber Daya Alam melalui cara-
cara korupsi dengan mengorbankan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Amanat dan mandat di dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 tersebut di atas disalahartikan hanya
dengan pajak dan royalti yang diambil oleh pemerintah untuk kemakmuran dan
kesejahteraan rakyatnya. Royalti dan pajak pun tidak sebanding dengan kerusakan Sumber
Daya Alam dan lingkungan.
Tujuh puluh lima tahun tahun sejak kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamirkan
oleh para pendiri bangsa, masyarakat adil, makmur dan sejahtera (welfare) sebagaimana
tercantum dalam UUD 1945 dan dasar Negara Indonesia Pancasila, masih jauh dari harapan,
bahkan harus menempuh jalan yang terjal. Proses eksploitasi Sumber Daya Alam yang
dilakukan dengan cara-cara “korup” yang dimulai sejak orde baru sampai saat ini, justru harus
dibayar dengan akumulasi berbagai kesenjangan sosial dan krisis multidimensional. Sumber
Daya Alam dikeruk habis, sedangkan masyarakat yang berada di garis kemiskinan tidak pernah
berubah secara signifikan.
Kesenjangan ekonomi secara struktural, dimana kesenjangan terlembagakan dan
terperangkap melalui rangkaian sistem dan kebijakan yang tidak adil. Oleh karenanya,
kelompok masyarakat yang lemah kehilangan kemampuan membebaskan dari perlakuan
tidak adil terkait dengan hubungan produksi, antara majikan dengan buruh, pusat dan daerah
serta MNC (corporat asing) dan Negara. Kesenjangan ini diibaratkan seperti Champagne Glass
Distribution, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Negara dan para pemilik modal memperlakukan Sumber Daya Alam layaknya alat
produksi yang dieksploitasi untuk diambil keuntungan yang setinggi-tingginya untuk
kepentingan kelompok elit dan individu, sehingga berimplikasi pada kesenjangan yang
semakin lebar di negara yang kaya akan Sumber Daya Alam. Korupsi bagaikan virus yang telah
masuk ke semua lini, dari hulu sampai hilir. Mental bangsa semakin tak berdaya dalam sistem
pemerintahan yang “korup”. Sumber Daya Alam sebagai aset bangsa dapat menjaga
keberlangsungan ekosistem menuju kedaulatan rakyat yang adil, makmur dan sejahtera
mengalami degradasi dan deforestasi yang semakin parah. Keseimbangan ekosistem tidak
mampu lagi dijaga yang menyebabkan intensitas berbagai bencana ekologis terus meningkat
dari waktu ke waktu.
12
2.4. Rantai Nilai Industri Ekstraktif
Alba (2009, The World Bank) memperkenalkan kerangka terintegrasi dari kegiatan
operasi industri ekstraktif dari hulu hingga hilir. Kerangka ini digambarkan sebagai sebuah
rantai nilai yang berangkat dari asumsi bahwa industri ekstraktif (khususnya pertambangan
dan mineral) berpotensi dalam menghasilkan pendapatan negara yang signifikan sehingga
diharapkan dapat mengentaskan kemisknan dan berkontribusi bagi pembangunan
berkelanjutan. Dalam pandangan World Bank, industri mampu menciptakan lapangan
pekerjaan, transfer teknologi dan pengetahuan, serta meningkatkan pendapatan secara
signifikan. Dengan manfaat tersebut Pemerintah akan dapat membangun infrastruktur dan
memenuhi kebutuhan layanan dasar. Namun, pendapatan industri ekstraktif ini memiliki
karaktek yang volatil, penuh ketidakpastian, ketersediaanya terbatas dan tergantung pada
pasar global yang menjadi tantangan bagi pembuat kebijakan publik.
Banyak negara-negara kaya sumberdaya alam telah menjadi korban ‘kutukan sumber
daya-resource curse’-dimana pilihan kebijakan yang buruk dan korupsi telah memperparah
siklus kemiskinan dan konflik. Untu itu Bank Dunia bekerja sama dengan Pemerintah di
berbagai negara untuk mendukung pengelolaan pendapatan industri ekstraktif mineral dan
hidrokarbon yang lebih transparan dan berkelanjutan, guna memaksimalkan pembangunan
dan mengurangi kemiskinan. Untuk itu World Bank mendukung inisiatif EITI (Extractive
Industries Transparency Initiative) di berbagai negara sejak dilaunching pada 2002.
Mekanisme ini mendorong manfaat industri ekstraktif yang lebih baik melalui transparansi
pendapatan dari industri ekstraktif melalui verifikasi dan publikasi pembayaran perusahaan
dan penerimaan pemerintah untuk mencegah praktek korupsi, melalui keterlibatan voluntary
dari Pemerintah, industri dan masyarakat sipil serta pemangku kepentingan lainnya dalam
melaksanakan standar global ini.
Namun, EITI ini memiliki keterbatasan cakupan karena lebih fokus pada aspek
pembayaran dan penerimaan. Untuk itu, dikembangkanlah kerangka nilai yang lebih
terintegrated ini, mulai dari fase perolehan kontrak dan izin, regulasi dan pengawasan
operasi, pengumpulan royalti dan pajak, manajemen dan alokasi pendapatan, serta
pelaksanaan kebijakan dan program pembangunan berkelanjutan. Kerangka nilai ini
diilustrasikan pada Gambar 1.
13
Gambar 2.1. Kerangka Nilai Industri Ekstraktif
2.5. Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance)
Governance atau pemerintahan didefinisikan sebagai mekanisme, praktek dan tata
kelola dalam mengatur sumber daya. Governance dalam konteks pemerintahan menjadi salah
satu peran penyedia jasa pelayanan dan fasilitasi kepada masyarakat (Aggarwal, 2011). Salah
satu peran pemerintah adalah memonitor akuntabilitas pemerintahan. Sementara arti good
mengandung dua pemahaman yakni nilai yang menjunjung tinggi keinginan rakyat dan nilai-
nilai yang mampu meningkatkan kemampuan rakyat mencapai tujuan kemandirian,
pembangunan berkelanjutan, dan keadilan sosial (Sedarmayanti, 2012).
Dikatakan terdapat good governance atau kepemerintahan yang baik pada
pemerintah, jika penyelenggaraan pemerintahan, baik pusat maupun daerah sejalan dengan
prinsip efisiensi, penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik
secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal
and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Oleh karena itu pemerintah dituntut
menjadi pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel. Penerapan good governance
mensyaratkan peran masyarakat sebagai kekuatan mitra pemerintah. Implementasi prinsip
good governance memberikan mekanisme dan pedoman kepada para stakeholder dalam
memenuhi kepentingan masing-masing (Mardiasmo, 2004).
Salah satu ukuran dalam menilai Good Governance dapat melalui indikator yang telah
dibangun oleh World Bank yakni Worldwide Governance Indicators (WGI). Indikator ini terdiri
14
dari beberapa penilaian diantaranya kontrol korupsi (control of corruption), efektivitas
pemerintah (Government Effectiveness), Stabilitas politik dan hilangnya kekerasan (political
stability and absence of violence), kualitas regulator (regulatory qualities), aturan hukum (rule
of law), serta suara dan akuntabilitas (voice and accountabilty).
2.6. Pencegahan Korupsi
Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) merupakan aktivitas yang paling rawan terhadap
tindakan korupsi di seluruh dunia (OECD, 2007). Mengutip data statistik perkara korupsi oleh
KPK, terdapat kasus korupsi terkait PBJ tahun 2015 terdapat 72 kasus tahun 2016 terdapat 83
kasus, dan tahun 2017 terdapat 41. Sejak tahun 2004-2017, KPK telah menangani 411 kasus
korupsi yang 131, sepertiga kasus diantaranya terjadi di bidang PBJ. Kasus terbanyak kedua
yang ditangani KPK adalah kasus penyuapan.
Secara nasional, pencegahan dan pemberantasan korupsi sudah mengarah pada
pencegahan, bukan semata-mata penindakan (PP No 5/2012: 23-24). Association of Certified
Fraud Examiners (Kassem dan Higson, 2012), menyatakan bahwa pencegahan korupsi dimulai
dari fraud diamond theory. Perilaku korupsi terjadi karena empat hal[vii]: (i) dorongan dari
pegawai untuk menyalahgunakan uang dan aset institusi; (ii) keadaan yang memungkinkan
pegawai untuk melakukan penyalahgunaan; (iii) pola pikir dan etika pegawai yang
memungkinkan pegawai untuk melakukan penyalahgunaan; (iv) kapasitas pegawai untuk
membuat kejahatannya tidak terdeteksi oleh sistem.
Sedangkan menurut Greyclar dan Prenzler (2013: 72)[viii], korupsi dapat dicegah
dengan lima cara, yaitu: (i) mempersulit upaya untuk melakukan korupsi; (ii) mengurangi
penyebab yang mentolerir/memungkinkan terjadinya korupsi; (iii) meningkatkan resiko
terdeteksi; (iv) mengurangi insentif terjadinya korupsi; dan (v) mengurangi provokasi untuk
terjadinya korupsi. Diperkuat oleh Piga (2011) yang menyatakan bahwa korupsi politik di
pengadaan bersandar pada kapasitas birokrat untuk melakukan korupsi administratif.
15
BAB 4
PELUANG, MODUS DAN MEKANISME KORUPSI ANGGARAN
4.1. Peluang Korupsi
a. Alokasi Anggaran yang Besar
Semakin besar alokasi anggaran tersedia semakin besar peluang dikorupsi. Diantara
peluang korupsi anggaran besar tersedia andalah, kasus BLBI, Hambalang, E KTP,
Simulator SIM pada anggaran Kepolisian, Bansos dan lain-lain. Anggaran APBN 2020
untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp. 700 an T, juga sangat berpeluang untuk
dikorupsi. Pasal 27 UU No 2 tahun 2020 tentang penanganan Covid 19, memberikan
kekebalan hukum baik pidana maupun perdata serta tidak dapat diajukan sebagai objek
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
b. Kewenangan Terlalu Besar dan Waktu Pelaksanaan Panjang (Multi Years)
Kepemilikan kewenangan yang besar dan dominan dalam menentukan kebijakan serta
waktu pelaksanaan yang panjang dapat menjadi peluang untuk terjadinya korupsi. Hal
demikian terjadi pada HPH (Hak Pengelolaan Hutan), Ijin Usaha Penambangan, BLBI,
dan lain-lain, sehingga dikorupsi secara masif.
c. Pengadaan Barang dan Jasa (BPJ)
Temuan KPK menunjukkan bahwa 80 % korupsi berasal dari proses BPJ. Peluang korupsi
dimulai dari penunjukan pejabat pembuat komitmen (PPK), penentuan pemenang
penyedia barang dan jasa atau vendor, dan penentuan harga. PBJ yang dilakukan secara
swakelola peluang korupsi lebih besar karena PPK diaudit oleh panitia sendiri. Aparat
Pengawas Intern Pemerintah (APIP) atau Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan Perwakilan (BPKP) tidak bisa menilai kewajaran harga.
e. Dana Pengaman Sosial (Bantuan Sosial/Bansos)
Dana pengaman sosial dan atau bantuan sosial terkait dengan penanganan kesehatan,
dampak ekonomi, pengembangan UMKM, berpeluang untuk dikorupsi. Contoh,
pemberian stimulus penguatan modal usaha UMKM dalam bentuk uang atau barang
dari pemerintah daerah secara memadai kepada individu/masyarakat yang terdampak
atau memiliki risiko sosial, fasilitas kesehatan milik masyarakat/pemerintah. Jika kurang
analisis yang matang dan tidak mengacu pada pengelolaan hibah dan bansos yang
16
bersumber dari APBD sesuai Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 dan Permendagri
Nomor 99 Tahun 2019, berpeluang untuk dikropsi.
f. Transfer atau Alokasi Dana dari Pusat Kepada Daerah.
Pendanaan yang bersumber dari transfer pemerintah pusat dan antar daerah terkait
dengan belanja modal dan atau untuk pembiayaan kegiatan pembangunan sarana dan
prasarana serta pemberdayaan masyarakat berpeluang dikorupsi. Peluang korupsi
diantaranya, untuk perjalanan dinas, penyelenggaraan kegiatan rapat, pendidikan dan
pelatihan, bimbingan teknis, sosialisasi, workshop, lokakarya, seminar atau kegiatan
sejenis lainnya.
g. Anggaran untuk Kondisi Yang Bersifat Darurat.
Anggaran yang bersifat darurat dan PBJ dibolehkan dilakukan secara swakelola
berpeluang dikorupsi, karena di setiap tahapan PBJ sulit mendapatkan harga terbaik,
yaitu; keterbatasan produsen atau vendor yang ikut dalam persaingan, proses
menentukan standar/kewajaran harga dan pemenuhan nilai manfaat (value for money)
melalui mekanisme pasar tidak berjalan normal. Seluruh pihak yang terlibat dalam PBJ
dalam keadaan darurat berpotensi untuk menawarkan, menjanjikan, memberi atau
menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat kepada siapapun yang terkait dengan PBJ.
h. Pengawasan dan Pengendalian Yang Kurang Efektif
Internal auditor pemerintah pusat atau daerah (BPK, BPKP, KPK, Inspektorat Pusat atau
daerah) tidak efektif dalam menjalankan peran pengendalian dan pengawasan
implementasi anggaran. Terbukti bahwa temuan hasil audit tidak dapat dijadikan alat
untuk penyidikan dan penyeledilikan kasus dugaan korupsi (kasus korupsi sumber waras
Jakarta). Hal demikian ditunjukkan bahwa sering hilangnya kasus yang sudah menjadi
ranah pengadilan tindak pidana korupsi.
i. Aspek Hukum Yang Tidak Membuat Jera
Putusan pidana terhadap koruptor yang terlalu ringan atau tidak terasa berat sehingga
tidak membuat jera baik yang sudah terpidana maupun bagi yang belum. Mereka tidak
memiliki rasa takut jika ternyata terbukti menjadi terpidana korupsi.
j. Konfilk Kepentingan
Konflik kepentingan muncul ketika penunjukan penyedia barang/jasa atau vendor.
Contoh, ketika proses penunjukan platform digital dalam program kartu prakerja
diduga tidak menggunakan mekanisme PBJ yang banar atau transparan, tidak sesuai
17
dengan Perpres Nomor 16 Tahun 2018. Hal demikian mengakibatkan proses
penunjukkan vendor kurang transparan.
K. Dinasti Kekuasaan (Oligarki)
Oligarki kekuasaan keluarga menjadi salah satu potensi untuk melanggengkan
kekuasaan korupsi. Hal demikian terjadi di Kabupaten Klaten, Sri Mulyani Bupati
sekarang adalah istri Sunarna wakil Bupati Klaten dua periode 2005-2010 dan menjadi
Bupati 2010-2015. Haryanto Wibowo adalah Bupati Klaten periode 2000-2005.
Berikutnya Sri Hartini istri Haryanto dan Sri Mulyani Istri Sunarno sebagai Bupati dan
wakil bupati periode 2015-2020. Sri Hartini juga terjerat korupsi, ditangkap KPK terkait
kasus dugaan jual beli jabatan. Dahulu Sunarno terjerat korupsi, kini pun Sri Mulyani
pun menjadi Bupati juga tersangka korupsi.
L. Biaya politik pada Pilkada
Hasil survei GNP-SDA KPK tahun 2016-2017 dengan sampel 400 orang donatur yang
melakukan bantuan pada calon-calon kepala daerah diketahui bahwa penyebab atau
motivasi korupsi sektor SDA adalah; kemudahan ikut tender, keamanan menjalankan
bisnis, dan akses perijinan bantuan sosial. 80 persen pelaku korupsi adalah pihak swasta
atau vendor. Itulah yang disebut “cukong politik”.
4.2. Modus Korupsi
Modus tersering dilakukan oleh para koruptor adalah hubungan antara Eksekutif,
Legislatif, Yudikatif dan Supplier/Vendor. Kajian KPK dan ICW menunjukkan hal yang sama
yaitu sejak tahun 2014, 80 % modus korupsi terjadi pada proses PBJ. Hal demikian ditunjukkan
bahwa terdapat 18 mafia proyek atau modus korupsi saat proses PBJ sebagai berikut:
1. Pengusaha menggunakan pengaruh pejabat pusat untuk “membujuk” Kepala
Daerah/Pejabat Daerah dalam mengintervensi proses memenangkan vendor, mark-up
harga atau nilai kontrak, sehingga vendor tersebut memberikan fee atau profit sharing
kepada pejabat pusat maupun daerah.
2. Vendor memengaruhi Kepala /Pejabat Daerah untuk mengintervensi proses pengadaan
rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau penunjukan langsung, dan mark up
harga barang dan jasa, kemudian selisihnya dibagi-bagi.
18
3. Panitia pengadaan membuat spesifikasi barang yang mengarah kepada merk atau
produk tertentu dalam rangka memenangkan rekanan tertentu dan melakukan mark
up harga barang atau nilai kontrak.
4. Kepala/Pejabat Daerah memerintahkan bawahannya untuk mencairkan dan
menggunakan dana/anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian
mempertanggungjawabkan pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti
yang tidak benar atau fiktif.
5. Kepala/Pejabat Daerah memerintahkan bawahannya menggunakan dana/uang daerah
untuk kepentingan pribadi kepala/pejabat daerah atau koleganya yang bersangkutan,
kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran dimaksud dengan
menggunakan bukti-bukti yang tidak benar, bahkan dengan menggunakan bukti-bukti
yang kegiatannya fiktif.
6. Kepala Daerah menerbitkan peraturan daerah sebagai dasar pemberian upah pungut
atau honor dengan menggunakan dasar peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi yang tidak berlaku lagi.
7. Pengusaha/vendor, pejabat eksekutif, dan legislatif daerah bersepakat melakukan
ruislag (pelepasan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan cara tukar menukar) atas
aset Pemda dan melakukan mark down atas aset Pemda serta mark up atas aset
pengganti dari pengusaha/rekanan.
8. Para Kepala Daerah meminta uang jasa (dibayar dimuka) kepada pemenang tender
sebelum melaksanakan proyek.
9. Kepala Daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan akan
diberikan proyek pengadaan.
10. Kepala Daerah membuka rekening atas nama kas daerah dengan specimen pribadi
(bukan pejabat dan bendahara yang ditunjuk), dimaksudkan untuk mepermudah
pencairan dana tanpa melalui prosedur.
11. Kepala Daerah meminta atau menerima jasa giro/tabungan dana pemerintah yang
ditempatkan pada bank.
12. Kepala Daerah memberikan izin pengelolaan sumber daya alam kepada perusahaan
yang tidak memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk kepentingan pribadi atau
kelompoknya.
19
13. Kepala Daerah menerima uang/barang yang berhubungan dengan proses perijinan
yang dikeluarkannya.
14. Kepala Daerah/keluarga/kelompoknya membeli lebih dulu barang dengan harga yang
murah kemudian dijual kembali kepada instansinya dengan harga yang sudah di-mark
up.
15. Kepala Daerah meminta bawahannya untuk mencicilkan barang pribadinya
menggunakan anggaran daerahnya.
16. Kepala Daerah memberikan dana kepada pejabat tertentu dengan beban kepada
anggaran dengan alasan pengurusan DAU/DAK.
17. Kepala Daerah memberikan dana kepada DPRD dalam proses penyusunan APBD.
18. Kepala Daerah mengeluarkan dana untuk perkara pribadi dengan beban anggaran
daerah.
4.2.1 Temuan KPK
Kajian KPK tentang modus korupsi melalui PBJ yang terjadi di Kementerian/Lembaga
Negara (Chaya Harefa, 2016, Plt Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK) adalah:
a. Modus korupsi sering terjadi yaitu pada proyek yang telah diijon atau dijual dengan 'deal-
deal' tertentu kepada vendor sebelum anggaran disetujui atau disahkan.
b. Rekayasa dokumen melalui persekongkolan berbagai pihak terkait yang mana diantara
pihak tersebut memulai inisiatif.
c. Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dibuatkan oleh pihak yang akan ditunjuk sebagai calon
pemenang.
d. Selalu terjadi mark up harga.
e. Memberi dan menerima suap terhadap pihak-pihak terkait PBJ.
f. Manipulasi pemilihan pemenang.
Diantara korupsi raksasa terkait dengan BPJ adalah korupsi KTP Elektronik (E-KTP),
korupsi simulator ujian SIM, dan korupsi Hambalang. Kasus tersebut melibatkan banyak
pejabat pemerintahan, di lembaga eksekutif, legislatif, juga pihak swasta, yaitu pemenang
dan pemegang tender, dengan melakukan persekongkolan. Laporan Tahunan KPK 2016
menyebutkan bahwa PBJ adalah titik rawan korupsi, sampai mencapai 80 %. Hal demikian
dimulai dari tahap perencanaan dan pengelolaan APBD (Anggaran Pemerintah dan Belanja
Daerah), sampai dengan saat implementasi. Modus korupsi dilakukan dengan cara
20
penggelembungan (mark-up) anggaran, berikutnya saat tahap lelang, pra kualifikasi
perusahaan, penyusunan dokumen lelang, pengumuman dokumen lelang, dan tahap
penyusunan harga perkiraan sendiri.
4.2.2 Keterlibatan Vendor/Penyedia Barang dan Jasa
Beberapa modus keterlibatan pejabat publik dan perusahaan swasta dalam korupsi
PBJ (Aida Ratna Zulaiha, acch.kpk.go.id, 5/12/17), antara lain:
a. Suap vendor/pihak swasta kepada pejabat publik.
b. Pejabat publik menggunakan perusahaan “boneka” tertentu untuk diajak kerjasama
menjalani korupsi.
c. Kolusi antar peserta tender, penetapan harga, kartel, dan praktik yang tidak kompetitif.
Korupsi di sektor PBJ Pemerintah dapat mengakibatkan 3 hal yaitu:
a. Kualitas barang dan jasa yang didapatkan pemerintah rendah.
b. Kerugian keuangan negara karena disalokasi dan disdistribusi.
c. Nilai manfaat yang didapatkan rendah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dokumen tender yang diperlukan membutuhkan
waktu lama dan tidak transparan. Dari 468 kasus tindak pidana korupsi yang ditangani KPK,
50 persen atau sedikitnya 224 kasus berasal dari PBJ, berikutnya kesalahan dalam
menggunakan anggaran (Larto Untoro, 2016, dalam Sosialisasi Pencegahan Korupsi dan
Layanan PBJ oleh KPK).
Larto Untoro menjelaskan bahwa operasi tangkap tangan (OTT) dengan tersangka
sejumlah anggota DPR RI terkait dengan PBJ yang didanai APBN tahun 2016, sekitar Rp. 300
triliun dikorupsi melalui intervensi kewenangan, pelemahan institusi dalam proses PBJ. Situasi
dikondisikan para pelaku korupsi tidak mengetahui lingkup barang dan jasa yang diperlukan
dan tentang kewajaran harga dalam proses PBJ (ICW, 2017).
Di tahun 2018, terdapat 84 kasus korupsi yang diproses hukum mencapai Rp. 1,02
triliun terkait dengan proses PBJ (Wana Alamsyah, 2018). Wana menjelaskan bahwa korupsi
terkait dengan transportasi terdapat 46 kasus dengan kerugian negara sebesar Rp. 912 miliar,
pendidikan sebanyak 25 kasus dengan nilai kerugian negara sebesar Rp. 61,1 miliar, dan
kesehatan sebesar 18 kasus dengan nilai kerugian negara sebesar Rp. 51 miliar.
ICW juga mencatat sepanjang 2017, ada 576 kasus korupsi yang ditangani oleh aparat
penegak hukum dengan total kerugian negara mencapai Rp. 6,5 miliar dan suap Rp. 211
21
miliar. Wana mengatakan jumlah tersangka pada 2017 mencapai 1.298 orang, jika
dibandingkan pada 2016 penanganan korupsi ini mengalami peningkatan khususnya pada
aspek kerugian negara dan jumlah tersangka. Pada tahun 2016, kerugian negara dalam 482
kasus korupsi mencapai Rp. 1,5 triliun dan naik menjadi Rp. 6,5 triliun pada tahun 2017 ini.
Kasus yang menyebabkan kerugian negaraantara lain kasus KTP elektronik, Kepolisian (kasus
TPPI) dan Kejaksaan (kasus pemberian kredit oleh PT PANN).
Tahun 2016, terdapat 1.101 tersangka kasus korupsi dan naik menjadi 1.298 tersangka
tahun 2017. Kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi mempengaruhi
peningkatan jumlah tersangka. Wana menjelaskan modus korupsi terbanyak pada 2017
adalah penyalahgunaan anggaran dengan jumlah 154 kasus, dengan kerugian negara
mencapai Rp. 1,2 triliun. Disusul kasus penggelembungan harga (mark up) 77 kasus dan pungli
71 kasus. Modus terkait dengan suap dan gratifikasi sebanyak 44 sampai dengan 211 kasus.
Anggaran desa juga merupakan sektor yang paling banyak dikorupsi dengan 98 kasus, dan
kerugian negara mencapai Rp. 39,3 miliar. Sektor pemerintahan 55 kasus dengan kerugian
negara Rp. 255 miliar dan sektor pendidikan 53 kasus dengan kerugian negara mencapai Rp.
81,8 miliar.
Kasus korupsi terbanyak terjadi pada pemerintah kabupaten yaitu sebanyak 222
dengan kerugian negara Rp. 1,17 triliun. Kedua pemerintah desa sebanyak 106 kasus dengan
kerugian negara Rp. 33,6 miliar. Dan ketiga adalah pemerintah kota dengan jumlah kasus 45
dengan kerugian negara Rp. 159 miliar. Jawa Timur menjadi provisi dengan kasus korupsi
peringkat terbanyak pada 2017. Ada 68 kasus dengan kerugian negara senilai Rp. 90,2 miliar,
disusul Jawa Barat dengan 42 kasus. Dilihat dari sisi kerugian negara, korupsi di Jawa Barat
lebih besar dibanding Jawa Timur, mencapai Rp. 647 miliar, walaupun Jawa Timur menempati
urutan pertama dalam jumlah kasus.
Tercatat bahwa kementerian/lembaga belum tertib melaporkan PBJ pada situs
monev.lkpp.go.id. Berdasarkan situs tersebut, belanja barang dan jasa pemerintah tahun
2017 Rp. 994 triliun yang diumumkan hanya Rp. 908,7 triliun. Berarti terdapat sekitar Rp. 86
triliun lebih anggaran belanja barang dan jasa tidak diumumkan pada publik. Jika PBJ tidak
transparan, berarti dapat berpotensi dikorupsi. Salah satu Kementrian/Lembaga yang tidak
mengumumkan sebagian lelang pada publik adalah Kementrian Keuangan (Rp. 18 triliun),
Kemenkes (Rp. 6 triliun), Pemprov DKI Jakarta (Rp. 5 Triliun) dan K/L serta Pemda lainnya.
Pada Kemendikbud, Kemen PUPR, dan KKP total anggaran tidak dibuka pada publik, sehingga
22
tidak bisa dihitung berapa anggaran belanja barang dan jasa yang tidak diumumkan pada
publik. Modus yang digunakan terkait korupsi PBJ adalah penyalahgunaan anggaran (67
kasus), mark up (60 kasus), kegiatan/proyek fiktif (33 kasus). Artinya bahwa sektor pelayanan
public rawan dikorupsi.
Kasus yang agak lama terjadi (2011), negara dirugikan akibat korupsi E-KTP mencapai
Rp. 2,3 triliun dari total dana proyek yang dianggarkan sebesar Rp. 5,9 triliun. Artinya hampir
50 % dana proyek KTP Elektronik telah dikorupsi. Kasus korupsi proyek pembangunan Pusat
Pendidikan, Pelatihan dan Sarana Olah Raga Nasional (P3SON), dikenal kasus Hambalang
tahun 2011 terdapat kerugian negara mencapai Rp. 706 miliar. Kasus telah menyeret
beberapa politisi, anggota DPR, Menteri, dan beberapa pejabat pemerintahan lainnya.
4.2.3 Modus Sebelum dan Sesudah Perpres 54/2010
Sebelum ada Perpres 54/2010, modus korupsi terjadi pada tahapan proses
perencanaan anggaran dan perencanaan persiapan PBJ pemerintah. Modus antara lain:
a. Proyek sudah dijual terlebih dahulu sebelum anggaran disetujui/disahkan.
b. Persekongkolan antara DPR, kuasa pengguna anggaran K/L dan vendor.
c. Mark up harga.
d. Suap kepada pihak terkait.
e. Harga perkiraan sendiri yang dibuat pihak vendor.
f. Manipulasi pemenang.
Setelah diberlakukan Perpres 54/2010, modus korupsi bergeser pada tahapan
pelaksanaan PBJ, proses serah terima dan pembayaran serta proses pengawasan dan
pertanggungjawaban. Modus yang terjadi pada proses pelaksanaan serta proses serah-terima
dan pembayaran, antara lain:
a. Pengumuman terbatas.
b. Manipulasi pemilihan pemenang, dokumen lelang dan dokumen serah-terima.
c. Mark up harga serta suap kepada pihak terkait.
d. Persekongkolan antara Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK), Pokja ULP/Pimpro, PPHP dan Bendahara.
Penyebab utama korupsi dalam proses PBJ antara lain melalui persekongkolan,
markup harga, suap kepada pihak terkait, manipulasi dokumen dan pemenang pengadaan.
23
Modus lain adalah Harga Perkiraan Sendiri (HPS) tidak dibuat oleh panitia pengadaan, tetapi
oleh pihak vendor yang akan ditunjuk sebagai pemenang. Korupsi PBJ terjadi sampai pada
proses serah-terima, pembayaran, proses pengawasan dan pertanggungjawaban yaitu
dilakukan dengan cara pengumuman terbatas, memanipulasi pemilihan pemenang, dokumen
lelang, dokumen serah-terima, penggelembungan harga, serta suap kepada pihak terkait.
Pada bagian ini juga terjadi persekongkolan antara KPA, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK),
kelompok kerja unit layanan pengadaan, pejabat penerima hasil pekerjaan, dan bendahara.
Adapun modus korupsi pada tahap pengawasan dan pertanggungjawaban, yakni
adanya suap kepada auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghilangkan temuan, serta suap kepada
penegak hukum untuk meringankan hukuman.
Terkait kasus korupsi PBJ, sebelum Perpres No. 54 Tahun 2010, KPK telah menangani
30 perkara dengan 66 terpidana, dimana jumlah kerugian negara mencapai Rp. 1,15 triliun
dan uang pengganti lebih dari Rp. 332,4 miliar. Sedangkan, setelah Perpres, KPK telah
menangani 12 perkara dengan 33 terpidana, dimana jumlah kerugian negara mencapai Rp.
166 miliar dan uang pengganti lebih dari Rp. 75 miliar. Setelah Perpres No. 54 Tahun 2010
telah ada empat kali perubahan, yaitu: pertama, Perpres No. 35 Tahun 2011, kedua Perpres
No. 70 Tahun 2012, ketiga Perpres No. 172 tahun 2014, dan keempat Perpres No. 4 Tahun
2015 Tentang Perubahan Keempat Atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
4.3. Mekanisme Korupsi
Mekanisme korupsi terjadi sepanjang siklus anggaran. Mulai dari perencanaan
anggaran sampai, implementasi, pengawasan sampai dengan pelaporan. Hal demikian dapat
dilihat pada gambar 4.1. dan 4.2. dibawah. Walaupun gambar 4.1 dan 4.2. tersebut
menggambarkan APBN, namun demikian terjadi pada APBD propinsi maupun
Kabupaten/Kota. Hasil penelitian FITRA menunjukkan bahwa mekanisme korupsi dilakukan
sepanjang siklus penganggaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
pelaporan. Hal demikian sejalan dengan hasil kajian KPK bahwa terdapat 18 mafia tender
proyek pemerintah terkait dengan implementasi anggaran terutama dalam proses PBJ.
Sejak perumusan kegiatan yang akan disusun dalam bentuk anggaran, sudah terdapat
“titipan” kegiatan dari eksekutif maupun legislatif untuk di masukkan dalam dalam mata
24
anggaran APBD maupun APBN. Dan kemudian ditransmisikan kepada vendor yang nantinya
direkayasa menjadi pemenang tender. Hal demikian terkait dengan HPS (harga perkiraan
sendiri) yang justru disusun oleh sang “penitip”.
Dalam hal implementasi anggaran di Daerah, vendor/pihak swasta menggunakan
pengaruh pejabat pusat untuk “membujuk” Kepala Daerah/Pejabat Daerah mengintervensi
proses PBJ dalam rangka memenangkan vendor. Oleh karena itu ketiganya melakukan dan
menyetujui adanya mark-up harga atau nilai kontrak. Lalu vendor tersebut memberikan
sejumlah uang kepada pejabat pusat maupun daerah. Vendor berkolaborasi dengan
Kepala/Pejabat Daerah untuk mengintervensi proses PBJ agar vendor tersebut dimenangkan
dalam tender atau penunjukan langsung dengan harga yang telah di mark up. Dalam bahasa
daerah disebut “bagi-bagi” proyek. Keuntungan dan jenis proyek yang dimasukkan dalam
mata anggaran sudah direncanakan dalam penganggaran di APBN maupun APBD. Hal
demikian terjadi di Pusat maupun berbagai daerah propinsi dan Kabupaten/Kota.
Mekanisme berikutnya bahwa Kepala/Pejabat Daerah memerintahkan bawahan
untuk mencairkan anggaran yang sudah ada dalam mata anggaran tetapi tanpa kegiatan.
Artinya kegiatan fiktif dengan menggunakan bukti fiktif pula. Kepala/Pejabat Daerah
memerintahkan bawahan menggunakan dana untuk kepentingan pribadi, kemudian
mempertanggungjawabkan pengeluaran dengan menggunakan bukti fiktif. Dalam hal
pelaporan maka juga menggunakan suap kepada auditor untuk memperoleh opini audit wajar
tanpa pengecualian. Hal demikian sebagaimana terjadi di Kabupaten Purbalingga Jawa
Tengah.
Di beberapa daerah juga terjadi mekanisme terjadi bahwa Kepala Daerah menerbitkan
peraturan daerah sebagai dasar pemberian fee atau honor tertentu untuk menjadi landasan
pencairan anggaran APBD maupun APBN. Contoh, vendor, eksekutif, maupun legislatif
melakukan kesepakatan ruislag (pelepasan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan cara
tukar menukar) atas aset Pemda dan melakukan mark down atas aset Pemda serta mark up
atas aset pengganti dari vendor. Berikutnya Para Kepala Daerah meminta fee keuntungan
kepada vendor pemenang tender proyek. Caranya yaitu Kepala Daerah membuka rekening
atas nama kas daerah dengan specimen pribadi bukan bendahara untuk mepermudah
pencairan dana tanpa melalui prosedur.
Artinya bahwa eksekutif dan legislatif melakukan kesepakatan “titip” mata anggaran
tertentu yang sudah direncanakan termasuk vendor yang akan dimenangkan. Mekanisme
25
demikian sering terjadi karena proyek telah diijon atau dijual dengan 'deal-deal' tertentu
kepada vendor sebelum anggaran disetujui atau disahkan. Berikutnya terjadi mekanisme
persekongkolan berbagai pihak memulai inisiatif bentuk proyek yang dimasukkan dalam mata
anggaran dan termasuk penyusunan HPS dibuatkan oleh calon vendor pemenang.
Mekanisme korupsi sangat tertata rapi sistematis. Pejabat atau yang berwenang
melakukan terhadap implementasi anggran menggunakan perusahaan “boneka” tertentu
untuk diajak kerjasama korupsi, yaitu dalam mekanisme tender, penetapan harga, jenis
barang dan jasa yang didapatkan.
26
41 anggota DPRD Kota Malang
menerima uang suap dari Wali Kota
Malang (nonaktif) Moch Anton, untuk
memuluskan pengesahan APBD
Perubahan Kota Malang Tahun 2015.
Kota Malang
Komisi Pemberantasan
Korupsi ( KPK) menetapkan
empat tersangka dalam kasus
dugaan suap terkait opini
wajar tanpa pengecualian
(WTP) Kementerian Desa
Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi
(PDTT).
Kasus korupsi menyerang Bupati KotawaringinTimur, Supian Hadi, menyebabkan kerugian
negara mencapai Rp5,8 triliun.Supian diduga menyelahgunakan wewenangdalam penerbitan izin usaha pertambangan
kepada PT Fajar Mentaya Abadi, PT Billy Indonesia, dan PT Aries Iron Mining pada 2010
hingga 2012
Berdasarkan perhitungan BPK, dalamkasus KTP elektronik, negara mengalamikerugian mencapai Rp2,3 triliun.
Hasil audit BPK menyebut, kasus proyek wismaatlet Hambalang mengakibatkankerugian negara mencapai Rp806 miliar.
Ketua DPR Setya Novanto korupsi proyek pengadaan KTP Elektronik (e-KTP), yang ditaksir merugikan negara hinggaRp2,3 triliun
penangkapan seorang Kepala Seksi pada Ditjen
Perimbangan Keuangan (DJPK), Yaya Purnomo
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Anggota Komisi IX DPR Fraksi Partai Demokrat
Amin Santono, Eka Kamaludin selaku swasta
sekaligus perantara suap dan pengusaha
kontraktor benama Ahmad Ghaist.
Sumber Kemenkeu
Gambar 4.1.
27
Gambar 4.2.
Gambar 4.2. menggambarkan siklus mekanisme korupsi anggaran yang telah
terencana dan terstruktur. Korupsi PBJ menjadi modus terbesar, terstruktur dan terencana.
Mekanisme korupsi anggaran, terutama dalam proses PBJ berawal dari proses penganggaran.
Mata anggaran yang sering dikorupsi berikutnya yaitu Bantuan Sosial, dana perijinan, dan
Honorarium. Dalam proses penganggaran, mata anggaran/ akun-akun dalam anggran sudah
terencana untuk dikorupsi. Dalam proses PBJ mekanisme dilakukan dengan sengaja me-
markup harga harga barang dan jasa, jenis barang dan jasa, berikutnya menentukan HPS yang
dilakunan terlebih dahulu dalam penganggaran, dan secara terselubung vendor yang nantinya
dimenangkan.
Berikutnya adalah soal pembagian fee proyek. Hasil mark up yang dilakukan dengan
vendor pemenang maka dilakukan pembagian keuntungan oleh vendor, pejabat pemilik
ootoritas, pejabat pembuat komitmen dan bagian penganggaran serta bendahara kegiatan.
Itulah yang disebut dengan bagi bagi proyek dan keuntungannya.
Hal demikian terkait dengan pemberian kemudahan ijin proyek bagi pemenang tender
karena dengan dimenangkan tender tersebut langkah berikutnya adalah mempermudah ijin
proyek atau eksplorasi sumber daya alam agar pembagian fee proyek segera dapat dibagi.
Bahkan ada proyek yang sudah “diijon” artinya pejabat pemilik otoritas sudah dibeli terlebih
dahulu sebelem proyek dikerjakan, karena sudah direncanakan di dalam proses
penganggaran.
28
Mekanisme yang sangat paradoks adalah ketika ditemukan bahwa honor menjadi
modus korupsi. Meski tidak terlalu bear, karena sudah ada standar penghonoran, namun
anggaran dapat dibuat volume yang besar kepanitian dan kegiatan. Honor ini terkait dengan
volume besaran perjalanan dinas para pejabat pemerintah. oleh karena itu mekanime korupsi
penghonoran terkait erat dengan volume kegiatan yang dibuat kepanitiaan dan terkait erat
dengan honor perjalanan dinas para pejabat karena kegiatan dilakukan di luar kantor atau di
luar kota. Lebih paradoks adalah ketika honor itu diberikan oleh vendor pemenang kegiatan
proyek. Jadi ada doble atau multiple honor, yaitu diberi uang saku dari pemenang proyek
kegiatan juga.
4.4. Potensi Kerugian Negara Akbibat Korupsi Anggaran
KPK (Saut Situmorang, 2019) memprediksi bahwa korupsi yang bersumber dari APBN
pada 2019 lebih dari Rp. 2165 triliun. Prediksi KPK tersebut didasarkan atas proporsi 10 % dari
sekitar Rp. 200 triliun APBN dalam satu tahun (BBC News Indonesia, 2020). Tahun 2018 KPK
menarget terungkap lebih 100 kasus dan tahun 2019 akan menarget lebih dari 200 kasus,
melalui proses penindakan operasi tangkap tangan (OTT). OTT di tahun 2018 KPK sampai 30
mulai dari pejabat kementerian, anggota DPR, hingga Kepala Daerah baik Propinsi maupun
Kabupaten/Kota.
Kasus korupsi pada pemerintah kabupaten dengan jumlah 264 kasus, pemerintah kota
dengan jumlah 56 kasus, dan pemerintah provinsi dengan jumlah 23 kasus. Kerugian negara
akibat korupsi di lingkungan pemerintah kabupaten mencapai Rp 657,7 miliar, lembaga
BUMN Rp 249,4 miliar, dan pemerintah kota Rp 88,1 miliar. Dalam laporan ICW terdapat tiga
besar sektor yang paling merugikan negara akibat korupsi, yaitu: a) Sektor investasi
pemerintah, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 439 miliar. b) Sektor keuangan
daerah dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 417,4 miliar. c) Sektor sosial
kemasyarakatan, yakni korupsi yang kasusnya berkaitan dengan dana-dana bantuan yang
diperuntukkan bagi masyarakat, yang diperkirakan mencapai Rp 299 miliar.
Kerugian negara yang memiliki niliai lebih dari triliyun antara lain,
a. Kasus korupsi BLBI merugikan negara sebesar Rp 4,58 triliun dengan terdakwa
Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Arsyad Temenggung
dan Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI. Syafruddin
dinyatakan bersalah terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada
29
Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Syafruddin melakukan penghapusan
piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja
(PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). Perbuatan Syafruddin dinilai telah
menghilangkan hak tagih negara terhadap Sjamsul Nursalim.
b. Kasus korupsi E-KTP yang melibatkan ketua dan Anggota DPR, pejabat
Kementerian Dalam Negeri, Direktur PT Murakabi Sejahtera dan Direktur Utama
PT Quadra Solution merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun. Hasil audit BPK,
jumlah tersebut diperoleh dari perhitungan pembayaran yang lebih mahal
dibandingkan harga rill proyek. Total pembayaran kepada konsorsium yang
dipimpin Perum Percetakan Negara RI (PNRI) itu sebesar Rp 4,92 triliun. Padahal,
harga rill pelaksanaan proyek tahun anggaran 2011-2012 itu sekitar Rp 2,62 triliun.
Orang-orang yang telibat antara lain mantan anggota DPR, Miryam S Hariyani;
Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) Isnu Edhi Wijaya; Ketua Tim
Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP Husni Fahmi; dan Direktur Utama PT
Sandipala Arthaputra Paulus Tanos termasuk mantan Ketua DPR, Setya Novanto.
c. ICW mencatat kerugian Negara Capai Rp. 55,8 Triliun dan dan USD105,5 juta, sejak
tahun 1996 sampai 2020. Terdapat 40 koruptor mengkorupsi uang negara masih
berstatus buronan. Para buronan sebagian bersembunyi di negara-negara seperti
New Guinea, Cina, Singapura, Hong Kong, Amerika Serikat dan Australia. Institusi
penegak hukum belum mampu menangkap buronan koruptor adalah Kejaksaan
Agung sebanyak 21 orang, Polri sebanyak 13 orang, dan KPK sebanyak 6 orang.
d. Merujuk Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2020, negara
memberikan alokasi anggaran kepada BIN sebesar Rp. 7,4 triliun yang mana Rp 2
triliun diantaranya digunakan untuk operasi intelijen luar negeri. Selain itu,
terdapat alokasi anggaran sebesar Rp. 1,9 triliun untuk modernisasi peralatan
teknologi intelijen. Besarnya anggaran dan banyaknya jumlah buronan tidak linear
dengan kinerja BIN. Artinya, negara sudah mengalami kerugian akibat anggaran
negara dikrorupsi, masih ditambah mengeluarkan anggaran untuk operasi.
e. Kasus Korupsi APBD paling banyak dikorupsi oleh Kepala Daerah adalah terkait
dengan proses PBJ. ICW menyebut bahwa nilai kerugian negara akibat korupsi
anggaran 2017 terdapat 576 kasus dengan kerugian negara mencapai Rp 6,5 triliun
dan suap Rp 211 miliar. Jumlah tersangka kasus korupsi mencapai 1.298 orang.
30
Sedangkan pada 2016 terdapat 482 kasus dan kerugian negara mencapai 1,5
triliun. Artinya, jumlah tersangka kasus korupsi tercatat mengalami peningkatan
signifikan. Pada 2016, terdapat 1.101 tersangka dan meningkat hingga 1.298
tersangka pada 2017. Modus korupsi paling banyak yaitu korupsi anggaran.
Kemudian diikuti mark up terdapat 77 kasus, pungutan liar terdapat 71 kasus,
suap tercatat mencapai 42 kasus dengan nilai suap mencapai Rp 211 miliar.
f. Modus korupsi anggaran yang sering dilakukan oleh penegak hukum mencapai Rp
2,3 triliun. ICW menyatakan bahwa total kerugian negara mencapai Rp 31,077
triliun. Korupsi anggaran sekitar 24 persen atau sebanyak 134 kasus dengan nilai
kerugian sebesar Rp 803,3 miliar. Jumlah kasus terdapat 550, penggelapan
terdapat 107 kasus dengan nilai kerugian sebesar Rp 412,4 miliar, ketiga mark up
sebanyak 104 kasus dengan kerugian Rp 455 miliar, dan penyalahgunaan
wewenang sebanyak 102 kasus dengan kerugian Rp 991,8 miliar. Kasus yang
ditangani Kepolisian mencapai 151 kasus atau 27 persen, dengan nilai kerugian
negara Rp 1,1 triliun. Sedangkan yang ditangani KPK sebanyak 30 kasus atau 5
persen, dengan nilai kerugian negara Rp 722,6 miliar.
Sejak tahun 1998-2020 kerugian negara yang bersal dari APBN mencapai 55,8 T dan
USD 105,5 juta, oleh sekitar 40 koruptor dan ribuan koruptor yang mengkorupsi APBD di
daerah propinsi dan kabupaten/kota. Kerugian negara dalam tahun 2016 1,5 T dengan 1.101
kasus, tahun 2017 6,5, T dengan 1.298 kasus. Dalam proses PBJ terdapat 994 T yang dikelola
transparan 908,7 T, artinya terdapat ada 86 T tidak transparan terutama terkait dengan
pelanan publik. Tersebar pada kementerian keuangan 18 T, Ketenaga kerjaan 6 T dan di
propinsi DKI 5 T. terdiri dari 67 kasus penyalahgunaan anggaran, 60 kasus mark up dan 33
proyek fikstif. Sedangkan kasus korupsi di Jateng, terdapat korupsi di pemkab sekitar 1,17 T,
dengan 222 kasus, pemkot 155 M dengan 106 kasus, dan PemDes 33,6 M dengan 106 kasus.
Kerugian negara tidak hanya dari uang yang dikorupsi juga negara harus mengeluarkan
anggaran lagi untuk menangkap koruptor. Missal sebuah kasus penangkapan koruptor
sebesar 7,4 T, maka pemerintah harus mengeluarkan dana penangkapan sebesar 3,9 T yaitu
2 T untuk biaya operasi dan 1,9 untuk pembaruan peralatan operasi. Secara rinci dapat
diperhatikan tabel berikut.
31
Tabel 4.1
Ringkasan Kasus, Modus, Potensi Kerugian Negara Karena Korupsi
No Nama Kasus Modus Potensi Kerugian Negara
Pihak yang terlibat
1 BLBI Mengkorupsi uang
negara dengan cara bailout
4,58 T Gubernur BI, deputi senior BI, para pemilik bank
2 E-KTP Mark up harga 2,3 T ( hampir 50 %) Ketua DPR, Petinggi Partai
3 Simulator Ujian SIM Mark up harga Jendral Polisi
4 Hambalang Markup harga 706 M Petinggi Partai, Anggota DPR
5 Kementerian Transportasi (46 kasus)
Mark Up harga 912 M Banyak pihak
6 Kementerian Kesehatan (18 Kasus
Mark Up harga 51 M Banyak pihak
7 Kementerian Pendidikan (25 Kasus)
Mark Up harga 61,1 M Banyak pihak
8 Dana Desa (98 kasus) 39,3 M
9 Pemerintahan (55 kasus)
81,8 M
10 DAK di Kebumen 5 % plus 2 % Anggota DPR, Ketua DPRD, Bupati
11 Fee proyek BPJ Kebumen
5 - 7 % plus bentuk lain
Vendor, Bupati, dan Pejabat daerah lainnya
12 Fee proyek BPJ di Klaten
10 % Vendor, dan pejabat daerah lainnya
13 Promosi jabatan di Klaten
2 M, USD 5,700 dan SSD 2,035
Oligarki, pipmpinan partai politik
14 Penjualan asset tanah 4,7 M Bupati
15 Gratifikasi kepada auditor (BPK)
1,07 M dan 400 juta Bupati, PPKom, pejabat lainnya
16 Suap Kepada pengadilan
Bupati Jepara 700 juta Bupati dan Hakim
17 Jual beli Jabatan Bupati Kudus 250 juta Bupati dan Pejabat daerah lainnya
18 RSUD Sragen 2,1 M Bupati dan direktur RS
19 Blora 670 Juta Bupati dan Kadinas Peternakan
20 Batang 760 Bupati dan pejabat lainnya.
Sumber: Data skunder dari berbagai sumber
32
Bab 6
Kasus Korupsi Pengelolaan Anggaran Di Provinsi Jawa Tengah
6.1. Provinsi Jawa Tengah
Jawa Tengah (Jateng) berada di peringkat kedua dalam hal kasus korupsi sepanjang
2018 (ICW, 2019). Kasus korupsi di Jateng selama 2018 sebanyak 36 kasus dengan 65
tersangka dan kerugian negara Rp. 152,9 miliar. Jateng berada di bawah Jawa Timur dengan
52 kasus korupsi yang menjerat 135 tersangka dengan kerugian negara Rp. 125,9 miliar. Bila
dibandingkan pada 2017, jumlah kasus korupsi di Jateng pada 2018 mengalami kenaikan.
Pada 2017, terdapat 29 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp. 40,3 miliar.
Herru (Sekda) Jateng mengatakan bahwa pihak yang ikut terlibat dalam kasus korupsi
diantaranya dari unsur leglislatif di DPRD, Eksekutif, Masyarakat dalam hal ini adalah rekanan,
bahkan dari unsur Akademisi. Dari aspek normantif, korupsi dapat dimulai dari tahap
perencanaan baik di Pusat maupun di Daerah. Hal demikian karena terdapat celah
“permainan” pada setiap tahapan mulai dari perencanaan, penganggaran sampai dengan
implementasi anggaran.
Pernyataan Sekda Jateng dibenarkan oleh Bambang (Ketua DPRD) Jateng menjelaskan
bahwa potensi korupsi dapat dilakukan mulai saat penganggaran (budgeting) sampai dengan
pada tahapan pengawasan. Jika dikaitkan dengan masalah korupsi saat ini, setelah reformasi
justru semakin bertambah di masa-masa selanjutnya. Fungsi budgeting atau penganggaran di
DPRD sudah ditentukan pedoman dan deadline oleh Menteri Dalam Negeri yang kemudian
harus digedok oleh DPRD seharusnya dapat menghindarkan dari masalah korupsi. Tetapi
korupsi terkait anggaran masih dapat dilakukan oleh sebagian pihak terkait. Keharusan
trasparansi sudah dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan akademisi untuk melakukan
pengawasan, namun korupsi masih terjadi pada tahapan pengawasan.
Cahyo (2020) mengungkapkan bahwa Kepala Daerah masih “memainkan” hal hal
terkait dengan perijinan. Contoh, hal yang terkait dengan perijinan tata ruang dan galian C di
Kabupaten Semarang. Hal demikian karena sangat mengiurkan, menjadi potensi dan modus
korupsi. DPR tidak boleh melakukan apa yang disebut dengan melanggar tata ruang atau
menjembatani memberikan izin. Hal demikian dapat mendorong potensi korupsi.
Joko Prihatmoko (2020) menjelaskan bahwa di Jawa Tengah tidak hanya galian C, di
Grobogan, Gombong, Rembang, Wonogiri dan lainnya, terdapat tambang kapur yang menjadi
33
incaran banyak pihak. Dan Jateng adalah lumbung tambang semen yang sangat besar.
Sebelum 2011 pelaku penambang bukan semata-mata dari BUMN, tambang semen oleh
swasta, modus korupsi mengarah pada lisensi dan perizinan.
Proses pengadaan lahan sudah terdapat perbaikan di dalam BUMN, ada ketegasan
yang menindak internal. Namun demikian menyulitkan bagi para peneliti untuk mengamati
yang terkait dengan dugaan suatu permainan. Dokumen transaksi sangat susah diakses
tentang sesuatu yang diduga markup atau fiktif. Informasi tentang investor terkait dengan
pengadaan lahan selalu tertutup. Beberapa investor yang mengolah lahan, ijin amdalnya
dipecah-pecah terkait dengan problem high cost.
Problem galian C di lahan pertanian dengan modus antara lain, dengan cara
menghindari kewajiban reklamasi (75 jt per-hektar). Disamping itu juga pungutan dan jasa
keamanan sebesar 50 ribu rupiah per rit. Bisa dapet 800 ribu rupiah sampai 1 juta rupiah.
Perlindungan dari penguasa daerah menjadi celah yang dapat dipermainkan yaitu aparat
militer/kepolisian. Hal demikian tidak bisa dijangkau oleh Pemerintah Daerah.
Wijayanto (2020) menyebutkan bahwa korupsi terkait dengan galian C sulit di depan
hukum. Bukti-bukti materiil dalam korupsi menjadi hal yang sulit ditemukan terkait langsung
dengan APBD. Contoh, lahan terbuka hijau tidak bisa digunakan untuk perumahan, hotel, atau
properti lain dan lain-lain karena mendapat ijin dari pusat, maka pemerintah daerah tidak
dapat mengakses sebagai pendapatan, dan tidak bisa disebut sebagai korupsi. Contoh lain,
Tambang semen Kendeng, tidak hanya masalah korupsi uang, tetapi lingkungan yang
terdampak karena kerusakan alam.
Democracy for sale yang berakibat pada ongkos politik menjadi semakin mahal.
Ongkos politik yang mahal tersebut menjadi menjadi hulu potensi korupsi saat menjabat.
Kemudian ada gerakan secara politik KPK dilemahkan. Paradigma yang berlaku saat ini adalah
bagaimana lingkungan dan alam diperlakukan tidak adil. Pola setiap menjelang pemilu banyak
orang tertangkap KPK, sitem pemilu ada pengaruhnya terhadap kasus tadi.
6.2. Kabupaten Kebumen
a. Modus korupsi berupa bupati menerima suap dan gratifikasi dari vendor (Komisaris PT
KAK, Hojin Anshori dan Khayub Muhammad Lutfi). KPK telah menetapkan Bupati
(Mohammad Yahya Fuad) korupsi karena menerima suap dan gratifikasi terkait
sejumlah proyek yang menggunakan APBD tahun 2016. Mekanisme korupsi dilakukan
34
dengan cara mengumpulkan para kontraktor atau rekanan kemudian membagikan
proyek PBJ yang bersumber dari dana alokasi khusus infrastruktur APBN 2016 sebesar
Rp. 100 miliar, terkait proyek pembangunan RSUD Prembun sebesar Rp. 16 miliar, dari
Grup Trada senilai Rp. 40 miliar, dan kontraktor lainnya sebesar Rp. 20 miliar. Bupati
menerima fee proyek senilai Rp. 2,3 miliar kira kira sebesar 5 sampai 7 persen. Hojin
merupakan anggota tim sukses saat Fuad menjadi calon bupati.
b. Modus korupsi melibatkan Wakil Ketua DPR RI Taufiq Kurniawan, Ketua DPRD
Kabupaten Kebumen, Cipto Waluyo dan Bupati. KPK menetapkan mereka sebagai
tersangka telah melakukan pemotongan Dana Alokasi Khusus sebesar 5 %. Modus
korupsi terstruktur dan sistematis yaitu melibatkan pimpinan DPR, DPRD, Bupati, Ketua
Komisi A DPRD, Yudhy Tri Hartanto, dan Sigit Widodo PNS Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan. Korupsi dilakukan dengan cara menerima suap dari Direktur Utama
(Dirut) PT Otoda Sukses Mandiri Abadi (OSMA) Group, Hartoyo terkait pemulusan
proyek di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga pada APBD Perubahan 2016 sebesar
Rp. 70 juta, dan menerima commitment fee sebesar Rp. 750 juta dari anggaran sebesar
Rp. 4,8 miliar dari proyek pengadaan buku, alat peraga dan TIK (Teknologi Informasi
dan Komunikasi). Mekanisme korupsi dimulai dari DAK (Dana Alokasi Khusus) yang
dipotong 5 %, kemudian kepala daerah memotong lagi 2 % dalam penetapan di DPRD.
KPK menemukan bukti uang sebesar Rp. 70 juta, bahwa Muhammad Yahya Fuad
bersama 9 orang melakukan korupsi terkait PBJ di Dinas Pendidikan, Pemuda dan
Olahraga yang bersumber dari APBD Kebumen Tahun 2016.
6.3. Kabupaten Klaten
a. Modus dan mekanisme korupsi melibatkan puluhan rekanan proyek APBD 2015 Dinas
Pekerjaan Umum dan ESDM ketika penunjukkan langsung (PL) dalam proses PBJ. Para
rekanan menyetorkan uang kepada oknum Pejabat Organisasi Perangkat Daerah (OPD),
Pejabat Pembuat Komitmen (PPKom) dan pejabat lelang pengadaan. Diantara Pejabat
yang menjadi tersangka yatu Abdul Mussyid, staf ahli bupati, mantan Kepala Dinas
Pekerjaan Umum dan ESDM.
b. Modus korupsi dilakukan dengan cara menempel Stiker wajah Bupati Klaten Sri Mulyani
yang menutupi botol cairan pembersih tangan sumbangan Kementerian Sosial untuk
masyarakat dalam penyaluran bantuan sosial. PBJ dan bantuan sosial diselewengkan
35
untuk momen Pilkada serentak 2020. Foto wajah dan namanya terlihat jelas dalam
bantuan yang dibagikan kepada warga untuk popularitas dari paket bantuan pemerintah
pusat berupa handsanitizer, masker, kantong plastik, sampai kardus.
c. Bupati Klaten Sri Hartini menerima suap terkait promosi jabatan dalam pengisian susunan
organisasi dan tata kerja organisasi perangkat daerah. KPK menemukan bukti uang sekitar
Rp. 2 miliar dan mata uang asing US$ 5.700 dan SGD 2.035, suap dari Suramlan alias SUL,
Kepala Seksi SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten. Suami Sri Hartini, Haryanto
Wibowo, bupati Klaten periode 2000-2005, dan Sri Hartini yang pernah menjabat sebagai
wakil bupati Klaten, dan menjadi ketua DPC PDIP Klaten periode 2006-2010 dan
bendahara DPD PDIP Jawa Tengah periode 2010-2015.
d. Sekretaris Dinas Pendidikan (Disdik 2015-2016) Kabupaten Klaten Sudirno terbukti
korupsi berupa suap dan gratifikasi selaku PPKom Bidang Pendidikan Dasar, bersama
dengan Bupati Klaten 2016–2021 (Sri Hartini). Pemberian gratifikasi dari Sri Rahardjo Rp
350 juta dan Dandy Ivan Chory Rp 400 juta. Sudirno (tidak bareng Bupati) menerima
gratifikasi sebesar Rp 1.070.000.000 dari pihak Smart Educatama selaku rekanan proyek.
Suap dan gratifikasi diberikan Sudirno (selaku tangan kanan Bupati Klaten) dalam
penunjukan para kontraktor atau rekanan pada pengadaan buku dan laboratorium serta
pekerjaan fisik pada Disdik Klaten yang bersumber dari APBD Perubahan Tahun Anggaran
2016.
e. Bupati Klaten Sri Hartini periode 2016-2021 terlibat kasus korupsi buku ajar. Hal
demikian adalah kelanjutan korupsi suaminya Haryanto Wibowo bupati Klaten periode
2000-2005 yang pernah terbelit kasus korupsi kasus proyek pengadaan buku paket
tahun ajaran 2003-2004 senilai Rp 4,7 miliar. Selain kasus dugaan korupsi buku ajar,
Haryanto Wibowo suami Sri Hartini juga terlibat kasus penggunaan anggaran daerah
untuk perjalanan ke luar negeri pada 2001 dan penjualan aset daerah seluas 600 meter
persegi di bawah harga pasar.
6.4. Kabupaten Jepara
Bupati Jepara Achmad Mazuki, ditetapkan oleh KPK dalam kasus suap atau
menyogok hakim Pengadilan Negeri Semarang, bernama Lasito sebesar Rp. 700 juta. Uang
diberikan guna mempengaruhi putusan praperadilan dari kasus korupsi yang menjerat
Marzuqi, terkait putusan atas praperadilan kasus dugaan korupsi penggunaan dana
36
bantuan partai politik (KPK, 6/11/2018). Kasus bermula dari penyalahgunaan dana
bantuan politik untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk tahun 2011 dan 2012
yang berasal dari APBD. Dana tersebut malahan dibagikan untuk tunjangan hari raya (THR)
pengurus Dewan Pimpinan Cabang PPP atas perintah Ketua DPC PPP, yakni Ahmad
Marzuqi. dibagikan masing-masing sebesar Rp. 149 juta. Berikutnya, Marzuqi, dalam
menghadapi kasus hukum, melakukan suap kepada hakim di PN Semarang yang akan
memutuskan praperadilan.
6.5. Kabupaten Kudus
Modus korupsi melibatkan Bupati Kudus berupa jual beli jabatan di Pemerintah
kabupaten Kudus tahun 2019. Bupati Kudus, M Tamzil menerima suap beserta staf khusus
Bupati Kudus Agus Soeranto dan Plt Sekretaris Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan
dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Kudus, Akhmad Sofyan. M Tamzil meminta staf
khususnya, Agus Soeranto, mencarikan uang sebesar Rp. 250 juta, kemudian Soeranto
meminta uang ke Plt Sekretaris Dinas DPPKAD Kabupaten Kudus Akhmad Sofyan yang
pernah berpesan kepada Soeranto untuk memudahkan karirnya. M Tamzil juga menerima
suap sebesar Rp. 750 juta dari Plt Sekretaris DPPKAD Kudus Akhmad Shofian. Uang
diserahkan melalui ajudan bupati, Uka Wisnu Sejati dan Soeranto dalam tiga tahap. Uang
itu diberikan dengan tujuan agar Akhmad Shofian dan istrinya, Rini Kartika mendapat
jabatan baru setingkat dengan eselon III dan untuk memuluskan karir keduanya.
6.6. Kabupaten Purbalingga
Bupati Purbalingga (Tasdi) memungut uang dari sejumlah rekanan dalam proyek
pembangunan gedung Islamic Center. Tasdi menerima Rp. 400 juta dengan alsan untuk
menutup kerugian pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dispermades) pada
tahun 2017. Tetapi ternyata digunakan untuk menutup BPK agar temuan audit di
Dispermades diberi opini WTP (wajar tanpa pengecualian). Jika tidak diberikan uang
sebesar Rp. 400 juta tersebut tidak akan dapat opini WTP. Tasdi mengaku minta uang lagi
ke rekanan pemenang lelang gedung Islamic Center tahap II sebesar Rp 500 juta. Selain
dari rekanan, Tasdi juga menerima uang dari para kepala dinas yang dia lantik.
6.7. Sragen
37
a. Bupati dan Wakil Bupati melakukan korupsi Kas Daerah Sragen 2003-2011 pada masa
pemerintahan Bupati Sragen Untung Wiyono dan Agus Fatchur Rahman dengan total
kerugian negara sebesar Rp. 11,2 miliar. Korupsi proyek ruang operasi RSUD Sragen Senilai
Rp. 2,1 Miliar melibatkan tiga pihak, yaitu Direktur RSUD Sragen tahun 2016, dr. Djoko
Sugeng Pudjianto, Direktur PT Fabrel Medikatama, Rahardyan Wahyu Utomo, serta
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Nanang Yulianto Eko Budi Raharjo. Proyek pengadaan
ruang operasi RSUD Sragen tersebut dilakukan pada 2016 lalu dengan anggaran proyek
mencapai Rp. 8 miliar dengan sumber dana dari Bantuan Keuangan Provinsi Jawa Tengah.
Mekanisme korupsi yaitu melakukan pengondisian harga. Eks Direktur RSUD
sebagai kuasa pengguna anggaran, sementara Direktur PT Fabrel Medikatama sebagai
penyedia barang. Berdasarkan penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) Perwakilan Jawa Tengah, jumlah kerugian negara mencapai Rp.
2.106.766.740.
6.8. Kabupaten Blora
Korupsi melibatkan mantan Kepala Dinas Peternakan dan perikanan (Dinakikan)
Blora, Wahyu Agustini terkait kasus dugaan pemotongan dana inseminasi dalam Program
Kementrian Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab). Korupsi
mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp. 670 juta. Wahyu Agustini menjalani rotasi
dari Kepala Dinakikan Blora menjadi Staf Ahli Bupati Blora bidang Ekonomi dan
Pembangunan (11 Januari 2019).
6.9. Kabupaten Batang
Modul korupsi melibatkan Bupati Batang Bambang Bintoro yaitu membagi-
bagikan uang yang bersumber dari APBD sebesar Rp. 769 juta kepada anggota DPRD
periode 1999-2004. Mekanisme korupsi yaitu melakukan pemberian uang purnatugas
bagi anggota DPRD Kabupaten Batang. Uang dibagikan di Ruang Mawar Gedung DPRD
melibatkan beberapa mantan pejabat daerah dan pimpinan DPRD.
38
Bab 8
Kasus Korupsi Pengelolaan Sumber Daya Di Provinsi Jawa Tengah
Cahyo (2020) mengungkapkan bahwa Kepala Daerah di Jawa Tengah sering
memanfaatkan hal hal terkait dengan perijinan eksplorasi sumber daya alam (SDA), terutama
galian C sebagai peluang korupsi. Modus yang terjadi terutama dalam hal perijinan tata ruang,
galian C, tambang batu di Kabupaten Semarang mengarah pada penyimpangan kegunaan
lahan. Hal demikian sangat berpotensi menjadi modus korupsi. Joko Prihatmoko (2020)
menjelaskan bahwa di Jawa Tengah tidak hanya galian C, terutaman semen di Grobogan, Pati,
Blora, Gombong, Rembang, Wonogiri dan lainnya, terdapat tambang kapur yang berpotensi
untuk dieksplorasi oleh banyak pihak dan berpotensi untuk pelanggaran perijinan yang
berpotensi untuk korupsi terselubung karena persoalan lingkungan.
Jateng adalah lumbung tambang semen yang sangat besar. Sebelum 2011 pelaku
penambang bukan semata-mata dari BUMN, tambang semen oleh swasta, modus korupsi
mengarah pada lisensi dan perijinan. Proses pengadaan lahan sudah terdapat perbaikan di
dalam BUMN, ada ketegasan yang menindak internal. Namun demikian menyulitkan bagi
para peneliti untuk mengamati yang terkait dengan dugaan suatu permainan. Yang demikian
terutama terjadi di Kabupaten Cilacap, Pati, Rembang dan Batang. Dokumen transaksi sangat
susah diakses tentang sesuatu yang diduga markup atau fiktif. Informasi tentang investor
terkait dengan pengadaan lahan selalu tertutup. Beberapa investor yang mengolah lahan, ijin
amdalnya dipecah-pecah terkait dengan problem high cost.
Problem galian C di lahan pertanian dengan modus antara lain, dengan cara
menghindari kewajiban reklamasi (75 jt per-hektar). Disamping itu juga pungutan dan jasa
keamanan sebesar 50 ribu rupiah per rit. Bisa dapet 800 ribu rupiah sampai 1 juta rupiah.
Perlindungan dari penguasa daerah menjadi celah yang dapat dipermainkan yaitu aparat
militer/kepolisian. Hal demikian tidak bisa dijangkau oleh Pemerintah Daerah.
Wijayanto (2020) menyebutkan bahwa korupsi terkait dengan galian C sulit di depan
hukum. Bukti-bukti materiil dalam korupsi menjadi hal yang sulit ditemukan terkait langsung
dengan APBD. Contoh, lahan terbuka hijau tidak bisa digunakan untuk perumahan, hotel, atau
properti lain dan lain-lain karena mendapat ijin dari pusat, maka pemerintah daerah tidak
dapat mengakses sebagai pendapatan, dan tidak bisa disebut sebagai korupsi. Contoh lain,
39
Tambang semen Kendeng, tidak hanya masalah korupsi uang, tetapi lingkungan yang
terdampak karena kerusakan alam.
8.1. Korupsi SDA di Kabupaten Cilacap
8.1.1 Eksploitasi SDA di Pulau Nusakambangan
Di Kabupaten Cilacap telah terjadi eksploitasi SDA di Pulau Nusakambangan melalui
industrialisasi berbasis SDA, sehingga mengakibatkan krisis lingkungan. Artinya, telah terjadi
korupsi terselubung oleh para pihak yang mendapatkan keuntungan dari dampak buruk
terhadap lingkungan. Pemegang otoritas kebijakan mengabaikan eksploitasi SDA di pulau
Nusakambangan. Kerugian negara akibat korupsi terkait dengan eksploitasi SDA di
Nusakambangan berupa kerusakan lingkungan yang mana dalam perbaikan lingkungan
menggunakan APBD atau APBN.
Qitfirul Rizal Azis (2019) mengungkapkan bahwa kerusakan lingkungan hidup di
Kabupaten Cilacap disebabkan oleh fungsi pengawasan, hukum, tata kelola, dan kebijakan
yang lemah terkait dengan perijinan eksploitasi SDA. Kekayaan alam di pulau Nusakambangan
menjadi menarik bagi investor untuk mendirikan industri yang mengeksploitasi SDA.
Kerusakan pulau Nusakambangan berarti merusak pulau yang menjadi benteng kota Cilacap
dari hantaman gelombang laut selatan atau tsunami.
8.1.2. Korupsi Pertamina Marine
Telah terjadi kasus korupsi di PT Pertaminan Marine RU IV Cilacap, Jawa Tengah,
senilai Rp 4,3 miliar. Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Cilacap Tri Ari Mulyanto menjelaskan
adanya penyimpangan dana yang dikelola oleh tersangka berinisial PA (49) bulan Mei-Juni
2018. PA mengambil uang 20 kali tetapi tidak dapat mempertanggungjawabkan Ketika terjadi
penagihan oleh Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) untuk membayar jasa
pelabuhan. Berdasarkan hasil audit Pertamina, kerugian negara mencapai Rp 4,3 miliar.
Setelah dikumpulkan bukti kasus tersebut pada 25 September 2018, yang bersangkutan di-
PHK dan ditetapkan Daftar Pencarian Orang (DPO), dan kemudian berhasil ditangkap.
8.2. Korupsi SDA di Kabupaten Pati dan Rembang (Tambang Semen)
Kajian KPK tentang pertambangan batu kapur di Pegunungan Kendeng Utara,
Kabupaten Rembang oleh PT Semen Indonesia Tbk (Persero) di kawasan Cekungan Air Tanah
40
Watu Putih, dikhawatirkan akan mengganggu penyelamatan lingkungan. Mata air di
Cekungan Air Tanah Watu Putih tersebut menjadi sumber/mata air yang mampu memenuhi
kebutuhan 607.198 jiwa di 14 kecamatan, dan juga memiliki sungai bawah tanah yang
memasok kebutuhan air rumah tangga dan lahan pertanian seluas 15.873,9 ha di Kecamatan
Sukolilo dan 9.063,232 ha di Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati.
Pembangunan pabrik semen oleh PT. SMS di Kecamatan Tambakromo dan Kayen
memunculkan konflik baru berupa konflik kepentingan. Konflik SDA Pegunungan Kendeng,
Kabupaten Pati menimbulkan banyak pertentangan dari masyarakat, karena SDA yang telah
lama menjadi tumpuan hidup masyarakat dieksploitasi oleh pihak swasta. Di satu sisi
eksploitasi menyebabkan SDA rusak menjadi dasar masyarakat menolak pabrik semen, di sisi
lain pemerintah daerah dan beberapa pihak yang menyetujui pendirian pabrik semen.
Perbedaan cara pandang masyarakat tersebut menyebabkan benturan kepentingan terhadap
eksplorasi SDA dapat menguras anggaran APBD untuk melakukan “pendamaian”.
Kawasan Karst di Pegunungan Kendeng Utara Kabupaten Pati membentang di lima
kabupaten, yaitu Kabupaten Kudus, Blora, Grobogan, Rembang, dan Pati. Secara ekologis,
Kawasan Karst Pegunungan Kedeng Utara memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah.
Tercatat ada 24 jenis flora yang tumbuh, antara lain Mahoni (Swietenia macrophylia), Jambu
Mete (Anacardium occidentale), Randu Kapuk (Ceiba Pentandra), Randu Alas (Salmalia
malabarica), dan Kepuh (Sterculia foetida). Sedangkan fauna, terdapat 45 jenis burung, 11
jenis mamalia, 1 jenis herpetofauna yaitu ular Sanca Kembang (pyton reticulatus) dan jenis-
jenis dari arthropoda serta moluska.
Tumbuhan-tumbuhan yang terdapat di Pegunungan Kendeng Utara memiliki peran
penting dalam mengikat air yang masuk ke dalam pori-pori rekahan Pegunungan Kendeng
Utara. Air tidak langsung hilang sehingga dapat menjadi sumber air bagi masyarakat sekitar
Pegunungan Kendeng Utara, yaitu sebanyak 79 sumber mata air sepanjang tahun di
Kecamatan Sukolilo dan 15 sumber mata air sepanjang tahun di Kecamatan Tambakromo.
Bahkan data lain menunjukkan terdapat 200 sumber mata air di Pegunungan Kendeng Utara
(Ismalina 2013).
KPK menilai bahwa proses pertambangan batu kapur di Kabupaten Rembang
berpotensi dikorupsi terkait dengan penyelamatan sumberdaya alam. Pertambangan batu
kapur di Pegunungan Kendeng Utara, Kabupaten Rembang oleh PT Semen Indonesia Tbk
(Persero) di kawasan Cekungan Air Tanah Watu Putih ditolak oleh berbagai elemen
41
masyarakat, mulai dari petani lokal, akademisi, sampai organisasi lingkungan. Hasil kajian Tim
Pencegahan Korupsi SDA KPK tentang pertambangan batu kapur atau karst dan sistem tata
kelola pertambangan menyatakan bahwa Izin Usaha Pertambangan (IUP) terdapat pada
empat wilayah yaitu Kabupaten Blora, Grobogan, Pati dan Rembang terkait dengan
peningkatan sistem data dan informasi, pelaksanaan kewajiban reklamasi dan pasca
tambang, serta pengoptimalan penerimaan negara.
8.3. Korupsi SDA di Kabupaten Batang
Telah terjadi ratusan (500) warga Kabupaten Batang Jawa Tengah bersama
rombongan Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi Republik Indonesia (GNPK-RI) mendatangi
kantor KPK. Mereka melaporkan telah terjadi korupsi pengadaan tanah proyek PLTU Batang
seluas 226 hektar senilai sekitar hampir Rp 2 triliun (Ketua Umum GNPK-RI Basri Budi Utomo,
2017). Setelah dilakukan klarifikasi kepada pihak yang terlibat pada proses pengadaan tanah
PLTU Batang, harga yang diterima masyarakat tidak sesuai. Mereka hanya menerima ganti
rugi tanah Rp 100 ribu per meter persegi, padahal informasi yang diperoleh, harga dari
investor sampai Rp 50 dolar per meter persegi. Jadi kalau kurs satu dolar Rp 12 ribu setara
600 ribu per meter. Selisih Rp 500 ribu dilporkan kepada Tipikor di KPK. Korupsi melibatkan
skitar 12 orang pejabat sipil dan militer.
42
Bab 10
Dampak Korupsi Terhadap Sustainable Development
Secara terperinci dampak korupsi terhadap sustainable development yaitu:
1. Korupsi Terhadap Ekonomi
Transparansi Internasional Indonesia (TII) mencatat kalau uang rakyat dalam praktek APBN
dan APBD menguap oleh perilaku korupsi. Sekitar 30-40 persen dana menguap karena
dikorupsi, dan korupsi terjadi 70 persennya pada pengadaan barang dan jasa oleh
pemerintah. Maka jika ekonomi dipengaruhi belanja negara sebagaimana rumus umum
pendapatan nasional yaitu Y = C + I + G + (X – M), maka dengan G (atau dibaca APBN)
berkurang Rp. 200 triliun, dan multifliyer effect sebesar 5. Maka kerugian negara secara
ekonomi Rp. 1000 triliyun, karena dikorupsi berarti korupsi mengurangi pendapatan
nasional.
2. Korupsi terhadap Sosial dan Kemiskinan
Praktek korupsi menciptakan ekonomi biaya tinggi yang dapat memberi beban tambahan
bagi pelaku ekonomi. Kondisi ekonomi biaya tinggi berdampak pada pelayanan publik yang
tidak efisien, sehingga harga yang ditetapkan untuk hal hal yang bersifat pelayanan public
mahal. Berikutnya akan berdampak pada kerugian pelaku ekonomi akibat penyelewengan
anggaran untuk pelayanan publik. Padahal masyarakat miskin seharusnya mendapatkan
pelayanan dari pelayanan publik yang lebih murah. Karena dana pelayanan publik
dikorupsi, akhirnya menjadi mahal, dan intrumen penanggulangan kemiskinan tidak bisa
dilaksanakan.
3. Korupsi Terhadap Birokrasi
Aparat hukum yang seharusnya menyelesaikan masalah dengan adil dan tanpa memihak,
justru sering memihak kelompok tertentu dengan menerima suap, gratifikasi atau dengan
istilah lain melindungi koruptor. Dengan demikian biroktrasi menjadi rusak. Negara
berjalan tanpa sistem dan prosedur yang jelas.
4. Korupsi Terhadap Politik
Pemilih diperoleh dari suap. Sedangkan suap diperoleh dari kekuatan kapitalis. Pilkada
berjalan karena adanya suap yang diberikan oleh calon-calon pemimpin partai yang
berkolaborasi dengan “cukong politik”, bukan karena simpati atau percaya terhadap
kemampuan dalam memimpin daerah. Akhirnya, korupsi menyandera para pimpinan
43
daerah. Dengan demikian pemeirntahan akan menghasilkan plutokrasi (sistem politik yang
dikuasai pemilik modal/kapitalis).
5. Korupsi Terhadap Penegakan Hukum
Korupsi yang melibatkan apparat penegak hukum dapat menghambat terbentuknya
keadilan. Jika masyarakat merasakan terdapat ketidak adilan, berikutnya tidak akan terjadi
kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan. Hal demikian akan mengakibatkan tidak
percaya terhadap kebijakan negara. Jika demikian dapat menghambat peran negara dalam
pengaturan alokasi dan distribusi kekayaan negara.
6. Korupsi Terhadap Pertahanan dan Keamanan
Korupsi dapat melemahkan sektor pertahanan dan keamanan negara. Jika anggaran yang
dikorupsi untuk pengadaan alutsista dan pengembangan SDM di bidang pertahanan dan
keamanan negara tentu dapat memperkuat pertahanan dan keamanan negara. Dengan
demikian, korupsi menjadikan negara menjadi lemah, dan kekuatan asing mudah
menerobos batas wilayah negara Indonesia.
7. Korupsi Terhadap Kerusakan Lingkungan
Korupsi dapat menurunkan kualitas lingkungan akibat pengrusakan SDA. Kerugikan negara
berupa pembiayaan untuk mengembalikan kualitas lingkungan yang sangat besar, yang
belum tentu terbayarkan oleh para pelaku eksploitasi SDA, antara lain kasus ilegal loging
kerugian negara sampai 30-42 triliun rupiah per tahun.
8. Korupsi Terhadap Biaya Sosial
Korupsi dapat menyebabkan pelayanan publik antara lain terkait dengan kesehatan dan
pendidikan sangat mahal. Korupsi menyebabkan terjadi misalokasi sumber daya sehingga
perekonomian tidak dapat optimum. Negara diibaratkan sedang membiayai pelaku
kejahatan. Nilai kerugian negara menjadi biaya yang secara ekspisit jika sebesar Rp 200 T
seandainya uang tersebut digunakan untuk pembangunan 200 gedung sekolah dasar (SD)
baru dengan fasilitas yang lumayan lengkap, dapat membiayai sekolah 3,36 juta orang
hingga menjadi sarjana.
44
Bab 11
Formulasi Mitigasi Korupsi
Beberapa mitigasi korupsi yang dapat dilakukan adalah melalui motif dan modus
korupsi sebagai berikut:
1. Mitigasi korupsi terkait dengan regulai dan pelaku/aparat penegak hukum. Di antara
Regulasi yang dapat dijadilan alat mitigasi adalah UU Tipikor, UU TPPU, UU Lingkungan
Hidup, UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Perikanan, UU Minerba, UU Covid dan lain-
lain. UU tersebut justru dimanfaatkan oleh aparat hukum untuk untuk melindungi
koruptor. UU Minerba tidak mampu menyelesaikan masalah tetapi justru memperluas
perusakan lingkungan. Korupsi SDA akan merusak tatanan ekonomi daerah tambang
karena mempertajam konflik di kawasan tambang antar kelompok masyarakat. Korupsi
tak tampak, namun kerusahan lingkungan menjadi akibat dari UU Minerba tampak jelas.
UU Minerba merupakan pesanan oknum tertentu.
2. Mitigasi korupsi terkait dengan proses penganggran dan implementasinya. Proses
penganggran dijadikan alat untuk korupsi terencana. Mulai dari penyusunan kegiatan
menjadi mata anggaran, lalu menentuan harga dan satuan, sampai dengan proses
pengadaan barang dan jasa.
3. Mitigasi korupsi terkait dengan proses pengadaan barang dan jasa. Hal tersebut terkait
dengan mark up dan mark down harga, menentukan pemenang tender (vendor) dan
penentuan HPS, sampai dengan pembagian jenis proyek dan bagi untung, sudah
terencana dalam proses penganggaran. Proses PBJ berpotensi dikorupsi antara lain
persekongkolan atau kolusi dengan penyedia barang dan jasa, menerima kickback,
penyuapan, gratifikasi, benturan kepentingan, perbuatan curang, berniat jahat
memanfaatkan kondisi darurat, hingga membiarkan terjadinya tindak pidana. Salah satu
faktor pendorong terjadinya tindak pidana korupsi adalah adaya konflik kepentingan
(conflict of interest).
4. Mitigasi korupsi terkait dengan penegakan hukum, terutama penindakan praktik suap.
Justru pemerintah “memfasilitasi” perusakan atau penyelewengan uang negara melalui
kebijakan. Pemerintah sering membiarkan kejahatan kelompok tertentu untuk
mendapatkan keuntungan pribadi dari perusakan lingkungan maupun SDA.
45
5. Mitigasi korupsi terkait dengan pilkada. Para incumbent pada pilkada baik propinsi atau
kabupaten/kota selalu menggunakan wewenang/otoritas penggunaan APBD untuk
bansos atau hibah sehingga APBD dipakai untuk alat politik bagi petahana. Aparat
Penegak Hukum (APH) dalam penyelesaian kasus korupsi dana bansos atau hibah untuk
kepentingan pilkada tidak sekedar korupsi, melainkan proses perusakan demokrasi.
6. Mitigasi korupsi terkait dengan perangkat partai, dan kelembagaan di legislatif dan
eksekutif. Kasus korupsi Pembangunan Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional
(P3SON) Hambalang yang melibatkan ketua umum, bendahara umum, Menpora, anggota
DPR dan sejumlah direksi BUMN dan pengusaha (vendor).
7. UU tentang Covid-19 berpotensi memunculkan “penunggang gelap”. Pasal 27 ayat 2
berpotensi untuk melindungi perbuatan korupsi. Dijelaskan bahwa bahwa anggota KSSK,
Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian
Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan,
dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini, tidak dapat
dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan
pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangn-undangan.
Frasa “itikad baik” dalam Pasal 27 ayat (2) Perppu Covid-19 tentu sulit dibuktikan, karena
sangat subjektif jika terjadi permasalahan hukum. Bagi pembuat kebijakan seakan
mendapat imunitas. Kata “impunity” dari akar kata “impune” yang artinya tanpa
hukuman. Ketentuan ini bertentangan dengan asas persamaan di hadapan hukum
(equality before the law).
46
Bab 12
Kesimpulan Dan Rekomendasi