373
Daftar Isi Landasan Hukum i Alamat Kantor Pusat Bank Indonesia ii V isi Misi dan Nilai-Nilai Str ategis Bank Indonesia iv Keter angan T anda- T anda, P eriode Lapor an, dan Sumber Data iv Daftar T abel Dan Gr afik v i Dewan Gubernur Bank Indonesia xii Kata P engantar xii Bab 1: T injauan Umum 1 Evaluasi Perekonomian Indonesia Tahun 2002 4 Kondisi Ekonomi Makro 4 Nilai Tukar dan Inflasi 8 Kebijakan dan Perkembangan Moneter 9 Kebijakan dan Perkembangan Perbankan 12 Kebijakan dan Perkembangan Sistem Pembayaran Nasional 14 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2003 16 Prospek Ekonomi Dunia 16 Prospek Ekonomi Makro 17 Prospek Nilai Tukar dan Inflasi 19 Prospek Perbankan 20 Faktor Risiko dan Ketidakpastian 21 Sasaran Inflasi dan Arah Kebijakan Tahun 2003 23 PENUTUP 25 BAB 2: Kondisi Ekonomi Makro 26 Permintaan Agregat 28 Penawaran Agregat 37 Ketenagakerjaan 41 Bab 3: Nilai T uk ar 47 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar 49 Faktor Fundamental 49 Faktor Sentimen 49 Indikator Risiko 52 Faktor Kebijakan 54 Permintaan dan Penawaran Valuta Asing 56 Nilai Tukar Riil 57 boks: Pengaruh Pelaku Utama Pasar pada Nilai Tukar 59 Bab 4 : Inflasi 61 Perkembangan Indikator Inflasi 62 Perkembangan Inflasi IHK 64 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi 66 Pengaruh Kebijakan Pemerintah di Bidang Harga dan Pendapatan 66 Pengaruh Ekspektasi 67 Pengaruh Kondisi Permintaan dan Penawaran 69 Pengaruh Faktor Eksternal 69 Pengaruh Faktor Alam 70 Bab 5 : Moneter 71 Evaluasi Kebijakan Moneter 2002 73 Perkembangan Uang beredar 76 Uang Primer 76 Uang Beredar 79

Laporan Perekonomian Indonesia 2002

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Laporan perekonomian Indonesia tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Citation preview

Daftar IsiLandasan Hukum iAlamat Kantor Pusat Bank Indonesia iiVisi Misi dan Nilai-Nilai Strategis Bank Indonesia ivKeterangan Tanda- Tanda, Periode Laporan, dan Sumber Data ivDaftar Tabel Dan Grafik viDewan Gubernur Bank Indonesia xiiKata Pengantar xiiBab 1: Tinjauan Umum 1

Evaluasi Perekonomian Indonesia Tahun 2002 4Kondisi Ekonomi Makro 4Nilai Tukar dan Inflasi 8Kebijakan dan Perkembangan Moneter 9Kebijakan dan Perkembangan Perbankan 12Kebijakan dan Perkembangan Sistem Pembayaran Nasional 14

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2003 16Prospek Ekonomi Dunia 16Prospek Ekonomi Makro 17Prospek Nilai Tukar dan Inflasi 19Prospek Perbankan 20Faktor Risiko dan Ketidakpastian 21Sasaran Inflasi dan Arah Kebijakan Tahun 2003 23

PENUTUP 25

BAB 2: Kondisi Ekonomi Makro 26Permintaan Agregat 28Penawaran Agregat 37Ketenagakerjaan 41

Bab 3: Nilai Tukar 47Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar 49

Faktor Fundamental 49Faktor Sentimen 49Indikator Risiko 52Faktor Kebijakan 54

Permintaan dan Penawaran Valuta Asing 56Nilai Tukar Riil 57

boks: Pengaruh Pelaku Utama Pasar pada Nilai Tukar 59

Bab 4 : Inflasi 61Perkembangan Indikator Inflasi 62Perkembangan Inflasi IHK 64Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi 66

Pengaruh Kebijakan Pemerintah di Bidang Harga dan Pendapatan 66Pengaruh Ekspektasi 67Pengaruh Kondisi Permintaan dan Penawaran 69Pengaruh Faktor Eksternal 69Pengaruh Faktor Alam 70

Bab 5 : Moneter 71Evaluasi Kebijakan Moneter 2002 73Perkembangan Uang beredar 76

Uang Primer 76Uang Beredar 79

Transmisi Kebijakan Moneter 82Suku Bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) 82Suku Bunga Deposito dan Kredit 84Pasar Modal 86Obligasi Pemerintah 89

boks: Perkembangan Reksa Dana di Indonesia 93

Bab 6 : Neraca Pembayaran 96Transaksi Berjalan 99

Ekspor 100Impor 102Jasa-jasa 104

Lalu Lintas Modal 105Cadangan Devisa 108

boks: Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan 109

Bab 7 : Keuangan Pemerintah 111Pendapatan Negara dan Hibah 114Belanja Negara 116Defisit Dan Pembiayaan 119Dampak Operasi Keuangan Pemerintah Terhadap Sektor Riil 119Dampak Rupiah Operasi Keuangan Pemerintah 120Dampak Valuta Asing Operasi Keuangan Pemerintah 121Prospek APBN 2003 123

Pendapatan Negara dan Hibah 124Belanja Negara 125

Defisit dan Pembiayaan 126Dampak Operasi Keuangan Pemerintah terhadap Permintaan Agregat, Moneter dan Neraca

Pembayaran 127boks: Reprofiling Obligasi Negara 133boks: Undang-Undang No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (UU SUN) 136

Bab 8 : Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain 139Perbankan 140

Kebijakan Perbankan 141Kebijakan Perbankan Syariah 149Kebijakan di Bidang Bank Perkreditan Rakyat (BPR) 154Perkembangan Bank Umum 155Perkembangan Perbankan Syariah 162

Lembaga Keuangan Lainnya 166Perusahaan Pembiayaan 167Perum Pegadaian 169

boks: Master Plan Peningkatan Efektivitas Pengawasan Bank 171boks: Makassar Meeting dan Upaya Pengembangan UKM 173boks: Pembatasan Pembelian Kredit oleh Bank dari BPPN 177boks: Pengaturan Risiko Pasar (Market Risk) dalam Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank

179

Bab 9: Sistem Pembayaran Nasional 180KEBIJAKAN SISTEM PEMBAYARAN TAHUN 2002 181

Sistem Pembayaran Tunai 181Sistem Pembayaran Nontunai 182

PERKEMBANGAN ALAT-ALAT PEMBAYARAN 186Alat Pembayaran Tunai 186Alat Pembayaran Nontunai 188

RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN NASIONAL 191Sistem Pembayaran Tunai 192Sistem Pembayaran Nontunai 192

boks: Penukaran Uang Pecahan Kecil Melalui Pihak Ketiga 194boks: Pengembangan Intercity Clearing 195

Bab 10 : Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional 197PERKEMBANGAN EKONOMI DUNIA 198

Amerika Serikat 200Negara-negara Euro 201Jepang 202Asia Non Jepang 203Amerika Latin 204Pasar Keuangan Internasional 205Pasar Komoditas Internasional 206

Kerjasama Internasional 206Kerjasama di Bidang Moneter, Keuangan dan Perbankan 207Bilateral Swap Arrangement 211

The New Basel Capital Accord 211Anti Money Laundering dan Pembiayaan Terorisme 212Kerjasama di Bidang Pembangunan 214

Bab 11: Prospek Ekonomi Dan Arah Kebijakan 218Prospek Ekonomi Global 220

Pertumbuhan Ekonomi dan Perdagangan Dunia 220Inflasi dan Suku Bunga Internasional 221Prospek Harga Komoditas Pasar Internasional 222

Prospek Ekonomi Indonesia 223Prospek Permintaan 223Prospek Penawaran 227Prospek Neraca Pembayaran Tahun 2003 231Prospek Nilai Tukar 233Prospek Inflasi 234Prospek Perbankan 238Faktor Risiko Dan Ketidakpastian 239

Sasaran Inflasi dan Arah Kebijakan 241Sasaran Inflasi 241Arah Kebijakan Moneter 242Arah Kebijakan Perbankan 243Arah Kebijakan Sistem Pembayaran 244

boks: SBI Scripless dan Automatic Bidding System (ABS) 245boks: On-line Scripless Securities Settlement System (Ssss) 247boks: Konsekuensi dan Persiapan Indonesia Menghadapi Berakhirnya Program IMF pada Akhir Tahun

2003 251boks: Arsitektur Perbankan Indonesia 255boks: Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Di Indonesia 257

LampiranA Kantor Pusat, Kantor Perwakilan dan Kantor-Kantor Bank Indonesia 263B Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 31 Desember 2002 264C.1 Organisasi dan Sumber Daya Manusia 265C.2 Struktur Organisasi Bank 271D.1 Neraca Bank Indonesia 277D.2 Laporan Surplus Defisit Bank Indonesia 278E.1 Daftar Peraturan Bank Indonesia 2002 279E.2 Daftar Surat Edaran (Ekstern) Bank Indonesia 2002 284E.3 Berbagai Ketentuan dan Kebijakan Penting di Bidang Ekonomi dan Keuangan 2002 286F.1 Tabel Statistik I 296G Specimen Pecahan Uang Kartal yang Ditebitkan Pada 2002 343H Daftar Singkatan 311

i

Laporan ini merupakan penjelasan lengkap dari informasi

mengenai “Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Moneter 2002 dan

Arah Kebijakan Moneter 2003” yang telah disampaikan kepada

Dewan Perwakilan Rakyat dan masyarakat melalui media massa

pada tanggal 9 Januari 2003 sebagai pelaksanaan amanat pasal

58 Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Landasan Hukum

ii

Sampul Depan :Rotunda antara Gedung A dan Gedung B Bank Indonesia, Jakarta

Alamat Kantor Pusat :Jl. MH. Thamrin No. 2, Jakarta 10110 - Indonesia

http://www.bi.go.id

Alamat Kantor Pusat Bank Indonesia

iii

L A P O R A NT A H U N A N

2002

ISSN 0522-2575

iv

Visi Bank Indonesia :“Menjadi lembaga bank sentral yang dapat dipercaya secaranasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai

strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasiyang rendah dan stabil.”

Misi Bank Indonesia :“Mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui

pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitassistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang

berkesinambungan.”

Nilai-Nilai Strategis Organisasi Bank Indonesia :“Nilai-nilai yang menjadi dasar Bank Indonesia, manajemen, danpegawai untuk bertindak dan atau berperilaku, yang terdiri atas

Kompetensi, Integritas, Transparansi, Akuntabilitas, danKebersamaan.”

Visi Misi dan Nilai-Nilai Strategis Bank Indonesia

v

Keterangan Tanda-tanda, Periode Laporan, dan Sumber Data

r Angka diperbaiki* Angka sementara** Angka sangat sementara. . . Angka belum tersedia- Angka tidak adax Angka sebelum dan sesudah tanda ini tidak dapat diperbandingkan satu sama lain- - Nol atau lebih kecil daripada digit terakhir$ (dolar) Dolar Amerika SerikatBI Bank IndonesiaAS Amerika Serikat

Periode laporan adalah 1 Januari 2002 sampai dengan 31 Desember 2002.Sumber data adalah Bank Indonesia, kecuali jika dinyatakan lain.

Keterangan Tanda- Tanda, Periode Laporan, dan Sumber Data

vi

DAFTAR TABEL DAN GRAFIK

TABEL

Tabel 1.1 Beberapa Indikator Makroekonomi ........................................................ 5Tabel 2.1 Produk Domestik Bruto Menurut Penggunaan ............................................ 28Tabel 2.2 Perkembangan Alat Pembayaran Berbasis Kartu ........................................ 31Tabel 2.3 Persetujuan PMA dan PMDN ................................................................ 33Tabel 2.4 Penerbitan Obligasi Tahun 2002 ........................................................... 35Tabel 2.5 Kesenjangan Tabungan-Investasi .......................................................... 35Tabel 2.6 Pertumbuhan Ekonomi Menurut Sektor Ekonomi ........................................ 37Tabel 2.7 Tingkat Utilisasi Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan ................................. 39Tabel 2.8 Angkatan Kerja dan Pengangguran ........................................................ 40Tabel 2.9 Jumlah Pekerja Berdasarkan Sektor Perekonomian .................................... 42Tabel 2.10 Jumlah Pekerja Berdasarkan Status Pekerjaan.......................................... 43Tabel 2.11 Penganggur Terbuka Berdasarkan Tingkat Pendidikan.................................. 44Tabel 3.1 Sovereign (Foreign Currency Long Term) Debt Ratings................................. 52Tabel 4.1 Sumbangan Inflasi IHK Menurut Kelompok Tahun 2002................................. 65Tabel 4.2 Realisasi Kebijakan Pemerintah di Bidang Harga dan Pendapatan 2002 ............ 66Tabel 5.1 Uang Primer ................................................................................... 76Tabel 5.2 Operasi Pasar Terbuka dan Komponennya ................................................ 78Tabel 5.3 Uang Beredar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya ............................. 80Tabel 5.4 Perkembangan Suku Bunga 2002 .......................................................... 84Tabel 5.5 Perkembangan Posisi Obligasi Pemerintah ............................................... 90Tabel 6.1 Neraca Pembayaran Indonesia ............................................................. 98Tabel 6.2 Ekspor Barang Industri ...................................................................... 101Tabel 6.3 Ekspor Barang Pertambangan .............................................................. 101Tabel 6.4 Impor Nonmigas Menurut Kelompok Barang ............................................. 103Tabel 6.5 Impor Barang Baku ........................................................................... 103Tabel 6.6 Impor Barang Modal ......................................................................... 103Tabel 6.7 Posisi Utang Luar Negeri Indonesia ........................................................ 105Tabel 6.8 Posisi Utang Luar Negeri Menurut Jangka Waktu ....................................... 106Tabel 6.9 Indikator Beban Utang ...................................................................... 108Tabel 7.1 Perkembangan Asumsi APBN ................................................................ 113Tabel 7.2 Pendapatan Negara dan Hibah ............................................................. 115Tabel 7.3 Belanja Negara ............................................................................... 117Tabel 7.4 Operasi Keuangan Pemerintah ............................................................. 118Tabel 7.5 Stimulus Fiskal ............................................................................... 120Tabel 7.6 Dampak Rupiah Keuangan Pemerintah APBN 2002 ...................................... 121Tabel 7.7 Dampak Valuta Asing Keuangan Pemerintah APBN 2002 ............................... 122Tabel 7.8 Asumsi Pokok APBN 2003.................................................................... 122

Daftar Tabel Dan Grafik

vii

Tabel 7.9 Pendapatan Negara dan Hibah ............................................................. 125Tabel 7.10 Belanja Negara ............................................................................... 127Tabel 7.11 Operasi Keuangan Pemerintah ............................................................. 129Tabel 7.12 Stimulus Fiskal ............................................................................... 130Tabel 7.13 Dampak Rupiah Operasi Keuangan Pemerintah ......................................... 130Tabel 7.14 Dampak Valuta Asing Operasi Keuangan Pemerintah ................................... 131Tabel 8.1 Perkembangan Jumlah Bank dan Kantor Bank ........................................... 154Tabel 8.2 Indikator Kinerja Bank Umum .............................................................. 155Tabel 8.3 Perkembangan Dana Pihak Ketiga Perbankan............................................ 156Tabel 8.4 Perkembangan Posisi Kredit Perbankan .................................................. 157Tabel 8.5 Perkembangan Realisasi Kredit Baru ...................................................... 158Tabel 8.6 Perkembangan Kredit UKM (Pagu di bawah Rp5,0 Miliar).............................. 159Tabel 8.7 Perkembangan Jaringan Kantor Perbankan Syariah .................................... 161Tabel 8.8 Perkembangan Pangsa Kegiatan Usaha Perbankan Syariah Terhadap Perbankan

Nasional ....................................................................................... 162Tabel 8.9 Realisasi PYD Perbankan Syariah kepada Sektor UKM .................................. 163Tabel 8.10 Perkembangan Usaha BPR .................................................................. 165Tabel 8.11 Perkembangan Kinerja Perusahaan Pembiayaan ........................................ 166Tabel 8.12 Perkembangan Sumber dan Penggunaan Dana Perusahaan Pembiayaan ............ 166Tabel 8.13 Rincian Pembiayaan Menurut Sektor Ekonomi .......................................... 167Tabel 8.14 Perkembangan Kualitas Aktiva Produktif Perusahaan Pembiayaan................... 168Tabel 8.15 Perkembangan Kinerja Perum Pegadaian ................................................ 169Tabel 9.1 Perkembangan Posisi UYD .................................................................. 186Tabel 9.2 Perkembangan Penemuan Uang Palsu Per Pecahan..................................... 188Tabel 9.3 Pangsa Transaksi BI-RTGS Berdasarkan Pelaku .......................................... 189Tabel 9.4 Peta Aliran Dana Antar Rekening .......................................................... 190Tabel 10.1 Beberapa Indikator Ekonomi Dunia ...................................................... 199Tabel 11.1 Pertumbuhan Ekonomi di Berbagai Kawasan Dunia .................................... 220Tabel 11.2 Perkembangan Inflasi dan Suku Bunga Internasional ................................... 221Tabel 11.3 Proyeksi Produksi Permintaan Minyak Dunia ............................................. 222Tabel 11.4 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sisi Pengeluaran ....................................... 223Tabel 11.5 Prediksi Pertumbuhan PDB Sektoral 2002-2003 ......................................... 227Tabel 11.6 Proyeksi Neraca Pembayaran Indonesia .................................................. 231Tabel 11.7 Rencana dan Prakiraan Penerapan Kebijakan Pemerintah di Bidang Harga dan

Pendapatan Tahun 2003 ..................................................................... 236Tabel 11.8 Perbandingan Harga Jual BBM 2002 dan Prakiraan Harga Jual BBM 2003 ........... 236Tabel 11.9 Lintasan Indikatif Sasaran Inflasi IHK Jangka Menengah ............................... 241

viii

GRAFIK

Grafik 2.1 Pertumbuhan Konsumsi Tahunan........................................................... 29Grafik 2.2 Indeks Riil Penjualan Eceran ............................................................... 29Grafik 2.3 Survei Penjualan Eceran .................................................................... 29Grafik 2.4 Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga .................................................... 30Grafik 2.5 Penjualan Sepeda Motor .................................................................... 30Grafik 2.6 Penjualan Van dan Sedan ................................................................... 30Grafik 2.7 Perkembangan Kredit Konsumsi ........................................................... 30Grafik 2.8 Perkembangan Biaya Konsumen ........................................................... 31Grafik 2.9 Survei Konsumen ............................................................................. 31Grafik 2.10 Perkembangan Impor Barang Konsumsi ................................................... 32Grafik 2.11 Penjualan Truk ................................................................................ 34Grafik 2.12 Produksi Semen............................................................................... 34Grafik 2.13 Pertumbuhan Investasi Berdasarkan Jenis ............................................... 34Grafik 2.14 Perkembangan Kredit Investasi ............................................................ 34Grafik 2.15 Pertumbuhan Ekspor-Impor Barang dan Jasa ............................................ 36Grafik 2.16 Kontribusi Terhadap Pertumbuhan ........................................................ 37Grafik 2.17 Survei Kegiatan Dunia Usaha ............................................................... 38Grafik 2.18 Indeks Produksi ............................................................................... 38Grafik 2.19 Produksi Kendaraan Bermotor ............................................................. 39Grafik 2.20 Incremental Capital-Output Ratio (ICOR) ................................................ 41Grafik 2.21 Proporsi Pekerja Formal dan Informal .................................................... 43Grafik 2.22 Tingkat Pengangguran Terbuka dan Jumlah Tenaga Kerja Terkena PHK ............. 43Grafik 2.23 Penggunaan Tenaga Kerja ................................................................... 44Grafik 2.24 UMR/UMP...................................................................................... 44Grafik 2.25 Pertumbuhan UMR/UMP Riil ................................................................ 45Grafik 2.26 Kasus Pemogokan dan Jam Kerja yang Hilang ........................................... 45Grafik 2.27 Pendapatan Per Kapita Riil ................................................................. 45Grafik 3.1 Perkembangan Rata-Rata (Bulanan) Nilai Tukar Rupiah Tahun 2002 ................. 48Grafik 3.2 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah dan Faktor Sentimen Tahun 2002 ................ 50Grafik 3.3 Perkembangan Premi Swap ................................................................. 53Grafik 3.4 Kurva Yield Swap ............................................................................. 53Grafik 3.5 Covered Interest Rate Parity ............................................................... 53Grafik 3.6 Arah Perkembangan Nilai Tukar Rupiah dan Premi Risiko.............................. 53Grafik 3.7 Volatilitas Nilai Tukar Rupiah............................................................... 55Grafik 3.8 Penawaran dan Permintaan Valas di Pasar Spot ......................................... 56Grafik 3.9 Volume Transaksi Spot dan Volatilitas Nilai Tukar ...................................... 57Grafik 3.10 Komposisi Transaksi Devisa Antarbank Khusus Dolar-Rupiah .......................... 57Grafik 3.11 Real Effective Exchange Rate .............................................................. 58Grafik 3.12 Bilateral Real Exchange Rate .............................................................. 58Grafik 4.1 Perkembangan Inflasi IHK Tahunan dan Bulanan ........................................ 62

ix

Grafik 4.2 Inflasi IHK dan Inflasi Inti ................................................................... 63Grafik 4.3 Indeks Harga Pedagang Besar (IHPB) Umum ............................................. 63Grafik 4.4 Inflasi Harga Aset dan PDB Deflator ....................................................... 63Grafik 4.5 Inflasi IHK dan Administered Price ........................................................ 67Grafik 4.6 Ekspektasi Kenaikan Harga (Survei Konsumen) .......................................... 68Grafik 4.7 Ekspektasi Kenaikan Harga 1 Bulan ke Depan (Survei Penjualan Eceran) ........... 68Grafik 4.8 Inflasi Makanan dan Bukan Makanan ...................................................... 69Grafik 4.9 Inflasi Traded dan Non-Traded ............................................................. 70Grafik 4.10 IHPB Impor dan Nilai Tukar ................................................................. 70Grafik 5.1 Target Indikatif dan Aktual Uang Primer ................................................. 73Grafik 5.2 Pertumbuhan Uang Kartal dan Uang Primer ............................................. 74Grafik 5.3 Suku Bunga Instrumen Moneter ............................................................ 74Grafik 5.4 Pertumbuhan Tahunan Test Date Uang Primer ........................................... 76Grafik 5.5 Pertumbuhan Tahunan Uang Kartal ....................................................... 77Grafik 5.6 Net Domestic Assets ......................................................................... 78Grafik 5.7 Net International Reserve .................................................................. 78Grafik 5.8 Perkembangan M1 Nominal ................................................................. 79Grafik 5.9 Perkembangan M2 Nominal ................................................................. 79Grafik 5.10 APU1, APU2, dan Rasio C/DPK ............................................................. 79Grafik 5.11 Pertumbuhan M1 Riil dan M2 Riil .......................................................... 80Grafik 5.12 Posisi Uang Kartal dan Simpanan Giro .................................................... 80Grafik 5.13 Posisi Simpanan Rupiah ..................................................................... 81Grafik 5.14 Nilai dan Suku Bunga PUAB Rupiah ........................................................ 82Grafik 5.15 PUAB Valas .................................................................................... 83Grafik 5.16 Net Pemberi dan Penerima di PUAB Pagi dan Sore ..................................... 83Grafik 5.17 Net Pemberi dan Penerima di PUAB Valas................................................ 84Grafik 5.18 Suku Bunga Perbankan ...................................................................... 85Grafik 5.19 Suku Bunga Riil ............................................................................... 86Grafik 5.20 Suku Bunga Deposito Riil Beberapa Negara .............................................. 86Grafik 5.21 Perkembangan IHSG dan LQ 45 ............................................................ 87Grafik 5.22 Pergerakan Indeks Saham di Beberapa Bursa ........................................... 88Grafik 5.23 Nilai dan Volume Perdagangan ............................................................. 88Grafik 5.24 Net Beli/Jual Asing .......................................................................... 89Grafik 5.25 Perkembangan Volume dan Frekuensi Transaksi Perdagangan Obligasi Pemerintah ... 91Grafik 5.26 Perkembangan Volume Transaksi Perdagangan Obligasi Menurut Jenis Transaksi ...... 91Grafik 5.27 Kepemilikan Obligasi Pemerintah ......................................................... 92Grafik 6.1 Transaksi Berjalan, Neraca Perdagangan, dan Neraca Jasa ........................... 99Grafik 6.2 Nilai Ekspor Nonmigas dan Migas .......................................................... 99Grafik 6.3 Pangsa Ekspor Nonmigas .................................................................... 100Grafik 6.4 Pangsa Ekspor Nonmigas Menurut Kawasan Negara Tujuan ........................... 102Grafik 6.5 Pangsa Impor Nonmigas Menurut Kawasan Negara Asal ................................ 104Grafik 6.6 Pangsa Utang Luar Negeri .................................................................. 106

x

Grafik 6.7 Cadangan Devisa ............................................................................. 108Grafik 7.1 Perkembangan Penerimaan Pajak dan Bukan Pajak ( Persen Terhadap

Pendapatan Negara) ......................................................................... 114Grafik 7.2 Komponen Pendapatan Negara ............................................................ 114Grafik 7.3 Komponen Belanja Negara ................................................................. 116Grafik 7.4 Komponen Pembiayaan Defisit ............................................................. 119Grafik 7.5 Dampak Operasi Keuangan Pemerintah terhadap Sektor Riil (Persen Terhadap

PDB a/d Harga Berlaku) ..................................................................... 119Grafik 7.6 Perkembangan Penerimaan Pajak dan Bukan Pajak (Persen Terhadap Pendapatan

Negara) ........................................................................................ 123Grafik 7.7 Komponen Pendapatan Negara ............................................................ 124Grafik 7.8 Komponen Belanja Negara ................................................................. 126Grafik 7.9 Komponen Pembiayaan Defisit ............................................................. 126Grafik 7.10 Dampak Operasi Keuangan Pemerintah terhadap Sektor Riil (Persen Terhadap

PDB a/d Harga Berlaku) ..................................................................... 128Grafik 8.1 Pangsa Aset Per Kelompok Bank ........................................................... 155Grafik 8.2 Komposisi Aktiva Produktif ................................................................. 155Grafik 8.3 Perkembangan DPK, Kredit dan LDR ...................................................... 159Grafik 8.4 Perkembangan NPLs ......................................................................... 160Grafik 8.5 Perkembangan Net Interest Income (NII) ................................................ 160Grafik 8.6 Perkembangan Modal Perbankan .......................................................... 161Grafik 8.7 Perkembangan Kegiatan Usaha Perbankan Syariah ..................................... 162Grafik 8.8 Perkembangan Penghimpunan Dana Perbankan Syariah ............................... 162Grafik 8.9 Perkembangan Pembiayaan Nonlancar (Gross) Bank Syariah ......................... 163Grafik 8.10 Perkembangan Kinerja Perum Pegadaian ................................................ 168Grafik 9.1 Perkembangan Posisi Kas ................................................................... 187Grafik 9.2 Perkembangan PTTB......................................................................... 187Grafik 9.3 Perkembangan Jumlah Inflow dan Outflow .............................................. 188Grafik 9.4 Aktivitas Harian BI-RTGS Tahun 2002 ..................................................... 189Grafik 9.5 Sistim Pembayaran Nontunai ............................................................... 189Grafik 9.6 Waktu Penggunaan BI-RTGS ................................................................ 190Grafik 9.7 Nominal Kliring Nasional .................................................................... 190Grafik 9.8 Volume Kliring Penyerahan ................................................................. 191Grafik 9.9 Transaksi Kartu Kredit, Kartu Debit, dan ATM ........................................... 191Grafik 9.10 Jumlah Mesin ATM............................................................................ 191Grafik 10.1 Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara Industri Utama ................................ 199Grafik 10.2 Perkembangan Inflasi Negara-Negara Industri Utama .................................. 199Grafik 10.3 Suku Bunga Fed Fund ........................................................................ 201Grafik 10.4 Perkembangan Suku Bunga LIBOR ......................................................... 205Grafik 11.1 Perkembangan Harga Komoditas Pertanian .............................................. 222Grafik 11.2 Leading Indikator Ekonomi ................................................................. 223Grafik 11.3 Indeks Survei Konsumen .................................................................... 224

xi

Grafik 11.4 Komponen Indeks Ekspektasi Konsumen .................................................. 224Grafik 11.5 Rencana Konsumsi dalam 6-12 Bulan yang Akan Datang ............................... 224Grafik 11.6 Perkembangan Harga Komoditas Mineral ................................................ 226Grafik 11.7 Perkembangan Komposit Inflasi Beberapa Mitra Dagang .............................. 235Grafik 11.8 Ekspektasi Inflasi Berdasarkan Consensus Forecast .................................... 235Grafik 11.9 Ekspektasi Harga Penjual Eceran .......................................................... 236

xii

Dewan Gubernur Bank Indonesia

DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIAPer Tanggal 31 Desember 2002

Duduk dari kiri ke kanan :SYAHRIL SABIRIN, Gubernur. ANWAR NASUTION, Deputi Gubernur Senior.

Berdiri dari kiri ke kanan :AULIA POHAN, Deputi Gubernur. MAMAN H. SOMANTRI, Deputi Gubernur. MIRANDA S. GOELTOM, Deputi Gubernur.

ASLIM TADJUDDIN, Deputi Gubernur. MAULANA IBRAHIM, Deputi Gubernur. BUN BUNAN E.J. HUTAPEA, Deputi Gubernur.

xiii

Kata Pengantar

Kata Pengantar

Dengan mengucapkan Bismillahirrahmaanirrahiim perkenankan saya mengantarkan

penerbitan Laporan Tahunan Bank Indonesia tahun 2002. Laporan ini adalah salah satu wujud

akuntabilitas Bank Indonesia sebagaimana diatur di dalam pasal 58 Undang-undang No. 23 tahun

1999 tentang Bank Indonesia. Laporan ini menyajikan langkah-langkah kebijakan yang telah diambil

dan hasil-hasil yang telah dicapai oleh Bank Indonesia di bidang moneter, perbankan, dan sistem

pembayaran selama tahun 2002 serta arah kebijakan Bank Indonesia tahun 2003. Laporan ini

juga menguraikan perkembangan dan permasalahan yang terjadi pada perekonomian Indonesia

dan internasional selama tahun 2002 serta prospeknya di tahun 2003.

Dalam tahun 2002 upaya kita untuk keluar dari krisis ekonomi telah menunjukkan hasil-

hasil yang cukup membesarkan hati, meskipun tidak berlangsung secepat yang kita harapkan.

Di sektor keuangan, program restrukturisasi perbankan telah mulai menunjukkan hasil yang positif.

Kondisi kesehatan perbankan mulai membaik sehingga telah memungkinkan bank-bank untuk

meningkatkan pemberian kredit serta penyaluran dana dalam bentuk lainnya, sehingga pelaksanaan

fungsi intermediasi perbankan sedikit demi sedikit mulai pulih kembali. Di sektor fiskal, berbagai

upaya pengurangan subsidi serta pengurangan beban utang dalam dan luar negeri pemerintah

telah mulai memberikan ruang gerak bagi Pemerintah dalam memberikan stimulus kepada

perekonomian. Dengan didukung oleh langkah tegas namun bijaksana oleh Pemerintah dalam

menangani kasus-kasus separatisme dan terorisme di dalam negeri, ketegangan sosial-politik dan

kerawanan keamanan di beberapa daerah konflik telah mulai berkurang. Kebijakan moneter dan

xiv

fiskal yang konsisten dan didukung oleh faktor kestabilan politik, perbaikan keamanan, serta

beberapa kemajuan yang dicapai dalam program restrukturisasi ekonomi telah membantu

tercapainya kestabilan ekonomi dan moneter selama tahun 2002.

Kondisi moneter di sepanjang tahun 2002 cukup stabil dan terkendali, baik dari sisi nilai

tukar rupiah, inflasi, maupun jumlah uang beredar, sehingga telah memungkinkan terjadinya

penurunan suku bunga secara signifikan. Nilai tukar rupiah secara rata-rata mengalami apresiasi

sebesar 10% disertai dengan volatilitas yang lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya sehingga

oleh berbagai pihak serta media massa disebut sebagai the best-performing currency in Asia dalam

tahun 2002. Kekhawatiran banyak kalangan bahwa tragedi bom di Bali bulan Oktober yang lalu

akan menyebabkan nilai tukar rupiah terpuruk telah berhasil dihindari. Didukung oleh berkurangnya

ekspektasi inflasi di kalangan masyarakat, laju inflasi menurun dari 12,55% pada tahun 2001

menjadi 10,03% pada tahun 2002, setelah sebelumnya selama dua tahun berturut-turut mengalami

peningkatan. Laju inflasi tahun 2002 ini hanya berada sedikit di atas sasaran yang ditetapkan oleh

Bank Indonesia sebesar 9% - 10%. Situasi moneter yang stabil telah memberikan ruang gerak bagi

Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga secara bertahap. Selama tahun 2002 suku bunga

SBI 1 bulan telah turun sebesar 469 basis points, yaitu dari 17,62% pada akhir 2001 menjadi

12,93% pada akhir 2002, diikuti oleh penurunan jenis-jenis suku bunga lainnya.

Perkembangan makroekonomi yang positif tersebut telah memberikan harapan bagi

percepatan pemulihan ekonomi Indonesia di tahun-tahun mendatang. Meskipun belum optimal,

iklim yang positif ini telah dimanfaatkan oleh perbankan untuk melakukan restrukturisasi kredit,

memperkuat struktur permodalan, dan meningkatkan penyaluran kredit. Secara keseluruhan, selama

tahun 2002 bank-bank umum telah menyalurkan kredit baru sebesar Rp79,4 triliun, meningkat

dibandingkan dengan jumlah kredit baru selama tahun 2001 sebesar Rp56,8 triliun. Sekitar 41%

dari jumlah kredit baru tahun 2002 tersebut disalurkan pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah

(UKM). Perkembangan yang menggembirakan juga terjadi pada perbankan syariah, baik dari sisi

jumlah bank dan jaringan kantor cabangnya, maupun dari sisi aset, dana pihak ketiga, dan

pembiayaan yang diberikan. Sementara itu, suku bunga simpanan yang menurun telah meningkatkan

minat investor terhadap obligasi. Di sektor riil, kondisi moneter yang stabil telah memberikan

xv

kesempatan kepada dunia usaha untuk melakukan restrukturisasi keuangan secara internal serta

membantu masyarakat dalam mempertahankan tingkat konsumsinya. Penurunan suku bunga juga

telah mendorong perusahaan bereputasi baik untuk mencari alternatif pembiayaan dari pasar

keuangan, baik di dalam maupun di luar negeri.

Sekalipun demikian, masih banyak tantangan yang harus dijawab untuk mewujudkan

prospek ekonomi yang lebih baik. Berbagai perkembangan yang terjadi dan kemajuan yang dicapai

dalam tahun 2002 cukup menjanjikan harapan bagi percepatan pemulihan ekonomi di tahun 2003.

Namun, aktivitas di sektor riil selama tahun 2002 yang masih berjalan lambat, dengan laju

pertumbuhan ekonomi yang mencapai 3,7%, memperlihatkan masih banyaknya tantangan yang

harus dihadapi guna mewujudkan harapan itu. Dari sisi eksternal, prospek perekonomian dunia di

tahun 2003 secara keseluruhan diperkirakan akan membaik namun disertai oleh meningkatnya

ketidakpastian. Tantangan yang dihadapi oleh Indonesia semakin meningkat dengan bergabungnya

Cina ke dalam WTO, munculnya negara-negara pesaing baru di kawasan regional, dan mulai

diberlakukannya AFTA pada tahun ini. Dari sisi internal, berbagai permasalahan struktural,

khususnya yang terkait dengan penegakan hukum, otonomi daerah, dan ketenagakerjaan, yang

tahun lalu telah menyebabkan sektor riil kurang responsif terhadap perbaikan kondisi makroekonomi,

tahun ini diperkirakan masih akan membatasi pertumbuhan investasi dan ekspor. Selain itu, tensi

sosial-politik menjelang Pemilu 2004 diperkirakan akan meningkat. Berbagai permasalahan

eksternal dan internal tersebut diperkirakan akan mempengaruhi upaya optimalisasi fungsi

intermediasi perbankan pada khususnya dan pemulihan ekonomi pada umumnya.

Di tengah berbagai tantangan yang harus kita hadapi, Bank Indonesia memandang

prospek pertumbuhan ekonomi tahun 2003 secara umum akan lebih baik daripada tahun

sebelumnya. Kondisi makroekonomi yang stabil diperkirakan masih terus berlangsung pada tahun

ini sehingga dapat menciptakan ekspektasi positif di kalangan pelaku usaha dan mendorong

berlanjutnya pemulihan fungsi intermediasi perbankan. Kenaikan stimulus fiskal dan mulai

berjalannya proyek-proyek besar yang selama ini terbengkalai akan memberikan dampak multi-

plier di berbagai sektor perekonomian. Sekalipun membaik, ruang lingkup pemulihan ekonomi

diperkirakan masih terbatas. Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan masih bertumpu pada

xvi

kegiatan konsumsi. Sementara itu, investasi dan ekspor diperkirakan mulai tumbuh positif tetapi

tidak terlalu signifikan. Dalam situasi demikian, pertumbuhan ekonomi tahun 2003 diprakirakan

pada kisaran 3,5% - 4,0%.

Nuansa optimisme dalam melihat prospek ekonomi ke depan juga diperlihatkan oleh

kalangan perbankan nasional sebagaimana terlihat pada rencana sebagian besar bank untuk

meningkatkan ekspansi kredit dalam tahun 2003. Namun, perbankan tampaknya masih akan

dihadapkan pada pilihan pasar yang terbatas mengingat kinerja sektor korporasi belum banyak

yang dapat diharapkan. Solusi yang tersedia adalah dengan memanfaatkan bisnis kecil dan

menengah (UKM) sebagai fokus pertumbuhan kredit. Guna memanfaatkan peluang tersebut,

perbankan nasional telah merencanakan untuk meningkatkan plafon kredit baru pada sektor UKM,

yaitu dari sebesar Rp30,89 triliun pada tahun 2002 menjadi Rp42,3 triliun pada tahun 2003.

Kestabilan moneter diperkirakan dapat terus berlanjut dalam tahun 2003. Nilai tukar

rupiah diprakirakan masih dapat menguat dan bergerak stabil pada kisaran Rp8.800 -Rp9.200 per

dolar Amerika Serikat. Secara fundamental, kestabilan nilai tukar rupiah tersebut antara lain

didukung oleh kondisi neraca pembayaran yang diperkirakan masih akan mengalami surplus.

Sekalipun demikian, terdapat beberapa faktor risiko yang perlu diwaspadai dampak negatifnya

terhadap kestabilan nilai tukar, yaitu meningkatnya suhu politik menjelang Pemilu 2004 dan

kemungkinan melemahnya mata uang regional akibat flight to safety jika terjadi serangan Amerika

Serikat ke Irak. Sementara itu, tekanan inflasi di tahun 2003 diprakirakan lebih rendah dari tahun

sebelumnya. Hal ini didukung oleh relatif menguatnya nilai tukar rupiah dan menurunnya ekspektasi

inflasi di kalangan masyarakat. Sumber utama inflasi tahun 2003 diprakirakan masih berasal dari

dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan.

Untuk memperkuat kestabilan makroekonomi, Bank Indonesia akan mengupayakan

penurunan laju inflasi secara gradual sesuai dengan sasaran inflasi jangka menengah sebesar

6% - 7% pada tahun 2006. Komitmen pada upaya pencapaian sasaran inflasi jangka menengah

ini sangat diperlukan untuk mendukung penurunan ekspektasi inflasi masyarakat. Sejalan dengan

prospek makroekonomi tahun 2003 dan sasaran inflasi jangka menengah tersebut, Dewan Gubernur

Bank Indonesia telah menetapkan sasaran inflasi untuk tahun 2003 sebesar 9% dengan deviasi

xvii

sebesar satu angka persentase. Pertumbuhan uang primer yang konsisten dengan sasaran inflasi

tersebut diperkirakan rata-rata sekitar 13%. Dalam hal ini, penurunan suku bunga diperkirakan

masih dimungkinkan sepanjang tidak mengganggu kestabilan nilai tukar rupiah dan pencapaian

sasaran inflasi. Untuk mendukung pencapaian sasaran inflasi, Bank Indonesia akan berupaya

secara konsisten menempuh kebijakan-kebijakan yang diperlukan, baik di bidang moneter,

perbankan, maupun sistem pembayaran.

Demikianlah sekelumit gambaran kinerja ekonomi Indonesia di tahun 2002 serta prospek

ekonomi dan arah kebijakan Bank Indonesia di tahun 2003 yang uraiannya secara panjang lebar

terdapat di dalam laporan ini. Semoga laporan ini dapat menjadi bahan referensi yang bermanfaat

bagi para pembaca.

Akhir kata, saya atas nama Dewan Gubernur Bank Indonesia mengucapkan terima kasih

kepada seluruh pimpinan dan karyawan Bank Indonesia yang selama tahun 2002 yang lalu telah

bekerja keras secara profesional dalam mengemban amanat Undang-undang No. 23 tahun 1999

tentang Bank Indonesia. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada berbagai pihak di luar

Bank Indonesia yang selama ini telah memberikan bantuan dan kerja sama yang tulus kepada

Bank Indonesia. Semoga Tuhan Yang Maha Pemurah selalu melimpahkan ridha-Nya dan

memberikan kemudahan kepada kita semua dalam melangkah menuju ke masa depan yang lebih

baik.

Jakarta, Februari 2003

GUBERNUR BANK INDONESIA

Syahril Sabirin

1

Tinjauan Umum

Tinjauan Umum1BAB

l a p o r a nt a h u n a n

Bab 1: Tinjauan Umum

2

Tinjauan Umum

tumbuh sebesar 9,1% lebih rendah dari sasaran

indikatifnya sebesar 13%-14%. Kondisi moneter yang

stabil tersebut telah menyebabkan tingkat inflasi IHK

selama 2002 mengalami kecenderungan yang menurun

hingga mencapai 10,03%, sedikit di atas sasaran

inflasi yang telah ditetapkan 9%-10%. Menurunnya

tekanan inflasi selama tahun laporan juga tercermin

dari kecenderungan inflasi inti1 yang menurun hingga

mencapai 6,96%. Kecenderungan penurunan inflasi ini

konsisten dengan proses disinflasi yang telah

ditetapkan Bank Indonesia (BI) dengan sasaran inflasi

jangka menengah sebesar 6%-7% pada 2006.

Membaiknya kondisi moneter yang terjadi

selama 2002 telah memberikan iklim yang positif bagi

perekonomian seperti yang tercermin dari membaiknya

ekspektasi dunia usaha terhadap proses pemulihan

ekonomi. Iklim yang positif ini juga dimanfaatkan oleh

perbankan untuk memperbaiki kondisi internalnya

melalui restrukturisasi kredit dan penguatan struktur

permodalan sehingga mampu meningkatkan ekspansi

kredit perbankan walaupun belum seperti yang

diharapkan. Di sektor dunia usaha, penurunan suku

bunga secara umum telah memberikan optimisme

TINJAUAN UMUM

S elama 2002, secara umum kondisi

perekonomian Indonesia menunjukkan

perkembangan positif yang ditandai dengan semakin

stabilnya kondisi makroekonomi. Kebijakan moneter

dan fiskal yang konsisten didukung oleh beberapa

kemajuan yang dicapai dalam restrukturisasi ekonomi

telah membantu tercapainya kestabilan ekonomi dan

moneter selama tahun laporan. Nilai tukar menguat

secara signifikan dengan pergerakan yang stabil,

uang primer terkendali berada di bawah sasaran

indikatifnya, sementara agregat moneter lainnya, M1

dan M2, mengalami pertumbuhan walaupun

melambat. Perkembangan positif ini telah mendorong

penurunan tingkat inflasi, setelah selama dua tahun

berturut-turut mengalami peningkatan. Membaiknya

prospek inflasi, terkendalinya uang primer, serta

perkembangan nilai tukar yang stabil dan cenderung

menguat tersebut telah memberikan ruang gerak

bagi kebijakan moneter untuk secara bertahap dan

konsisten menurunkan suku bunga dalam rangka

memberikan sinyal yang positif bagi proses

pemulihan ekonomi.

Secara keseluruhan tahun, suku bunga SBI

mengalami penurunan yang sangat signifikan, dari

17,62% menjadi 12,93%. Nilai tukar mengalami

apresiasi secara signifikan sebesar 10,10% sehingga

mencapai rata-rata Rp9.316 per dolar. Uang primer

1B A B

1 Inflasi inti dihitung dengan pendekatan exclusion, yaitu denganmengeluarkan barang-barang yang tergolong dalam administeredprice dan volatile food dari keranjang IHK. Volatile food adalah barang-barang dalam keranjang IHK yang pergerakan harganya sangatberfluktuasi, antara lain : beras, daging ayam ras, daging sapi, lombokmerah, lombok rawit, minyak goreng.

Kondisi moneter yang stabil selama 2002 telah menyebabkan tingkatinf lasi IHK mengalami kecenderungan yang menurun hinggamencapai 10,03%, sedikit di atas sasaran inflasi yang telah ditetapkan9%-10%.

3

Tinjauan Umum

pelaku usaha akan prospek pemulihan ekonomi dan

memberikan kesempatan kepada sektor korporat untuk

melakukan restrukturisasi keuangan. Ditengah masih

terbatasnya pembiayaan dari perbankan, kondisi

tersebut telah memberikan peluang yang lebih luas bagi

perusahaan dengan reputasi baik untuk memperoleh

alternatif pembiayaan melalui penerbitan obligasi baik

dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Sementara

itu, di sektor rumah tangga, penurunan suku bunga

tersebut telah mendorong peningkatan konsumsi.

Namun demikian, keberhasilan dalam mencapai

berbagai perbaikan indikator makro dan moneter

masih dihadapkan pada permasalahan struktural

sehingga perekonomian Indonesia tidak terlalu

responsif terhadap perbaikan yang telah dicapai.

Tingginya risiko di sektor riil yang ditimbulkan oleh

permasalahan struktural, seperti ketidakpastian

hukum, ketidakpastian regulasi investasi akibat

otonomi daerah, masalah perburuhan, dan faktor

keamanan menyebabkan sumber-sumber

pertumbuhan ekonomi yang berasal dari investasi

dan ekspor masih terbatas.

Dengan adanya permasalahan struktural

tersebut di atas, secara keseluruhan selama 2002

perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh

sebesar 3,7% dan masih bertumpu pada konsumsi,

sementara peranan investasi dan ekspor dalam

mendorong pertumbuhan masih terbatas. Di sisi

eksternal, masih lemahnya perekonomian global,

meningkatnya persaingan di Asia dalam menarik

minat investasi asing, dan mulai menurunnya daya

saing Indonesia memperburuk kinerja ekspor.

Walaupun demikian, dengan keberhasilan

restrukturisasi utang luar negeri (swasta dan

pemerintah), secara umum Neraca Pembayaran In-

donesia mengalami perbaikan selama 2002.

Ke depan, prospek pemulihan ekonomi Indonesia

2003 diprakirakan akan sedikit membaik dengan

pertumbuhan ekonomi diprakirakan sebesar 3,5%-4,0%,

walaupun berbagai risiko dan ketidakpastian di dalam

negeri terutama menjelang dilangsungkannya Pemilu

2004 perlu terus diwaspadai. Masih lemahnya

perekonomian global dan persepsi negatif masyarakat

internasional terhadap keamanan Indonesia akan

memberikan tekanan pada ekspor dan arus modal dari

luar negeri akan membatasi investasi Indonesia.

Dengan demikian, prospek ekonomi Indonesia 2003

diprakirakan masih tergantung pada kinerja

konsumsi. Ketergantungan pertumbuhan ekonomi

yang semakin besar terhadap konsumsi yang telah

berlangsung sejak krisis tentu saja kurang

menggembirakan mengingat pertumbuhan seperti ini

tidak menjamin pertumbuhan yang berkesinambungan

(sustainable). Oleh sebab itu, berbagai upaya perlu

dilakukan untuk terus memperbaiki iklim investasi

dan ekspor melalui serangkaian langkah mengatasi

berbagai permasalahan mendasar, baik melalui

kebijakan struktural yang dapat menciptakan insentif

seperti kebijakan perpajakan, perburuhan dan

keamanan, maupun dari segi pembiayaan.

Laju inflasi pada 2003 diprakirakan sedikit

mengalami penurunan. Dari sisi permintaan,

tekanan inflasi diprakirakan t idak terlalu

signifikan seiring dengan tingkat pertumbuhan

ekonomi yang masih moderat. Sementara itu,

tekanan inflasi yang bersumber dari passthrough

nilai tukar diprakirakan juga tidak terlalu kuat

seiring dengan menguatnya nilai tukar dibanding

4

Tinjauan Umum

tahun 2002 walaupun risiko melemahnya rupiah

menjelang diselenggarakannya Pemilu tetap harus

diwaspadai. Di sisi lain, tekanan inflasi yang

bersumber dari dampak kebijakan pemerintah di

bidang harga dan pendapatan diprakirakan masih

relatif tinggi walaupun lebih rendah dibanding tahun-

tahun sebelumnya. Dengan memperhatikan prakiraan-

prakiraan tersebut di atas, BI menetapkan sasaran

inflasi IHK yang dipandang cukup realistis yang

sesuai dengan kondisi perekonomian pada 2003,

yaitu sebesar 9% dengan deviasi sebesar 1%.

Untuk mencapai sasaran laju inflasi tersebut,

kebijakan moneter BI diarahkan pada upaya

pengendalian uang primer dengan fokus pada

penyerapan kelebihan likuiditas perbankan agar tetap

sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian. Dalam

produksi dan investasi di sektor riil yang sangat

diperlukan untuk memperbaiki struktur pertumbuhan

ekonomi Indonesia. Sementara itu, kebijakan di

bidang sistem pembayaran akan diarahkan pada upaya

peningkatan efisiensi, efektivitas serta keamanan

sistem pembayaran guna mendorong terwujudnya

sistem pembayaran yang aman dan efisien serta

menjaga stabilitas sistem keuangan dari kemungkinan

terjadinya kegagalan sistemik.

EVALUASI PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN

2002

Kondisi Ekonomi Makro

Bersamaan dengan membaiknya indikator-

indikator makro moneter seperti nilai tukar, inflasi,

dan suku bunga, perekonomian Indonesia selama 2002

kaitan ini, BI menetapkan sasaran pertumbuhan uang

primer sebesar 13%. Pencapaian sasaran uang primer

tersebut diprakirakan masih dapat membawa suku

bunga untuk cenderung menurun mengingat masih

longgarnya likuiditas perbankan. Secara operasional,

pengendalian moneter akan dilakukan dengan

mengoptimalkan instrumen-instrumen moneter yang

tersedia khususnya melalui operasi pasar terbuka

(OPT) dan sterilisasi valas untuk mengurangi tekanan

terhadap nilai tukar dan inflasi. Di bidang perbankan,

kebijakan BI akan diarahkan pada upaya memperkuat

ketahanan sistem perbankan, memperbaiki

infrastruktur sistem perbankan, serta upaya untuk

tetap mempercepat pemulihan fungsi intermediasi

perbankan, dalam rangka mendorong kegiatan

Perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 3,7% dengan konsumsimasih menjadi motor pertumbuhan.

secara umum masih mengindikasikan berlangsungnya

proses pemulihan ekonomi. Namun demikian,

pertumbuhan ekonomi hanya mampu mencapai 3,7%

disertai dengan belum seimbangnya struktur

pertumbuhan ekonomi. Ketidakseimbangan struktur

pertumbuhan ekonomi tersebut tercermin dari masih

besarnya ketergantungan pertumbuhan ekonomi pada

konsumsi (Tabel 1.1). Lebih dari itu, kinerja ekspor

dan investasi yang semula diprakirakan membaik justru

mengalami kontraksi selama tahun laporan. Sejalan

dengan perkembangan tersebut, impor juga mengalami

penurunan secara tajam, terutama impor bahan baku

dan barang modal. Di bidang tenaga kerja,

pertumbuhan ekonomi yang moderat tersebut

diprakirakan hanya mampu menampung tenaga kerja

5

Tinjauan Umum

sebesar 0,8 juta dari penambahan angkatan kerja

baru sebesar 1,7 juta selama 2002, sehingga jumlah

pengangguran terbuka mencapai 9,1 juta dengan

tingkat pengangguran terbuka sekitar 9,1%.

Dari sisi permintaan, pertumbuhan konsumsi

yang semula diprakirakan mengalami perlambatan

justru menunjukkan kinerja yang membaik dibanding

tahun sebelumnya. Konsumsi rumah tangga selama

2002 mengalami pertumbuhan sebesar 4,7%

sedangkan konsumsi pemerintah tumbuh sebesar

12,8%. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga ini

antara lain didorong oleh kenaikan upah minimum

yang cukup signifikan di awal tahun dan meningkatnya

pembiayaan konsumen baik yang disediakan oleh

perbankan maupun lembaga pembiayaan bukan

bank. Di sisi konsumsi pemerintah, pertumbuhan

yang cukup tinggi tersebut terutama didorong oleh

menurunnya beban subsidi pemerintah sehingga

memungkinkan peningkatan pengeluaran konsumsi.

Dari jumlah pengeluaran konsumsi tersebut,

sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai dan

pengeluaran rutin daerah.

Sementara itu, investasi yang diprakirakan

akan membaik pada paro kedua 2002 ternyata masih

menunjukkan kecenderungan yang kurang

menggembirakan sehingga secara keseluruhan justru

mengalami kontraksi sebesar 0,2%, jauh lebih rendah

dari tahun 2001 (7,7%) dan 2000 (13,8%).

Melambatnya pertumbuhan investasi ini konsisten

dengan melemahnya aktivitas konstruksi dan

menurunnya impor bahan baku dan barang-barang

modal seperti mesin dan peralatan. Memburuknya

pertumbuhan investasi juga diindikasikan dari

menurunnya nilai persetujuan investasi, baik PMA

maupun PMDN, yang masing-masing mengalami

penurunan sebesar 35,3% dan 57,0%. Dari sisi

pembiayaan, melemahnya investasi tercermin dari

masih terbatasnya kredit investasi bank. Di sisi

eksternal, ekspor mengalami pertumbuhan negatif

sebesar 1,2% yang jauh lebih rendah dibandingkan

Tabel 1.1Beberapa Indikator Makroekonomi

3,7

5,5

4,7

12,8

-0,2

-1,2

-8,3

1,7

4,0

6,2

3,6

7,8

5,6

8,05

4,72

9,85

7,99

9,06

5,97

12,93

12,42

12,81

18,25

17,82

10,03

4,0

32,2

6,4

9.316

Produk Domestik Bruto

Menurut Pengeluaran

Konsumsi

Konsumsi Rumah Tangga

Konsumsi Pemerintah

Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto

Ekspor Barang dan Jasa

Impor Barang dan Jasa

Menurut Lapangan Usaha

Pertanian

Industri pengolahan

Listrik, Gas dan Air Bersih

Perdagangan, Hotel, dan Restoran

Pengangkutan dan Komunikasi

Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan

Agregat Moneter

Pertumbuhan M2

- Rata-Rata

- Akhir Periode

Pertumbuhan M1

- Rata-Rata

- Akhir Periode

Pertumbuhan Uang Primer

- Rata-Rata (test date)

- Akhir Periode

Suku Bunga

SBI (1 bulan)

PUAB (overnight)

Deposito (1 bulan)

Kredit Modal Kerja

Kredit Investasi

Inflasi

Neraca Pembayaran

Transaksi Berjalan/PDB

DSR

Cadangan Devisa Setara Impor Nonmigas

Rata-Rata Nilai Tukar (Rp/$)

200220012000

3,4

4,8

4,4

9,0

7,7

1,9

8,1

1,0

4,1

7,7

5,3

7,3

3,4

14,74

12,99

19,76

9,59

17,85

9,47

17,62

15,90

16,07

19,19

17,90

12,55

4,7

39,7

6,1

10.255

4,9

3,9

3,6

6,5

13,8

26,5

21,1

1,9

6,0

7,6

5,7

8,6

4,6

9,88

15,60

22,67

30,13

18,62

22,28

14,53

14,22

11,96

17,65

16,86

9,35

5

41

6

8.403

Rincian

Sumber: - BPS- Bank Indonesia

***

(Persen)

6

Tinjauan Umum

dengan pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 1,9%.

Rendahnya kinerja investasi dan ekspor

tersebut tidak terlepas dari masih tingginya risiko

investasi yang memperburuk daya saing

perekonomian Indonesia terkait dengan berbagai

masalah struktural yang masih ada. Di samping itu,

kinerja investasi dan ekspor diperburuk oleh

pertumbuhan ekonomi dunia yang masih lemah,

semakin tajamnya persaingan global, dan regional

serta masih berlangsungnya proteksionisme di

beberapa negara. Sejalan dengan masih lemahnya

investasi dan ekspor, impor juga mengalami

pertumbuhan negatif sebesar 8,3%.

Dari sisi produksi, seluruh sektor ekonomi

mencatat pertumbuhan yang positif, dengan sektor

pengangkutan dan komunikasi, dan sektor listrik, gas

dan air bersih menunjukkan pertumbuhan tertinggi,

masing-masing sebesar 7,8% dan 6,2%. Dilihat dari

sumbangan terhadap pertumbuhan, pertumbuhan

ekonomi 2002 terutama didorong oleh sektor industri

pengolahan, sektor pengangkutan dan komunikasi,

dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Walaupun

pertumbuhan sektor industri pengolahan masih

menjadi penyumbang terbesar, namun selama 2002

pertumbuhan sektor ini sedikit mengalami

perlambatan, yaitu tumbuh sebesar 4,0%, lebih rendah

dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang

mencatat pertumbuhan sebesar 4,1%.

Sektor pengangkutan dan komunikasi

merupakan salah satu sektor yang juga terkena

dampak langsung dari tragedi Bali, walaupun sampai

akhir tahun laporan sektor ini masih tumbuh cukup

tinggi. Tingginya pertumbuhan tersebut terutama

berasal dari Subsektor Pengangkutan yang tercermin

dari meningkatnya jumlah penumpang maskapai

penerbangan udara sebagai akibat turunnya tarif

penerbangan. Untuk subsektor komunikasi, kegiatan

yang menyumbang pada pertumbuhan adalah

investasi perusahaan telepon swasta dan operator

telepon seluler.

Sektor perdagangan, hotel dan restoran masih

memberikan kontribusi yang cukup signifikan pada

pertumbuhan ekonomi, walaupun mengalami

perlambatan pertumbuhan (3,6%) terutama akibat

terjadinya tragedi Bali yang mengganggu kinerja

subsektor hotel dan restoran menjelang akhir tahun.

Sektor pertanian mengalami peningkatan

pertumbuhan. Membaiknya kinerja sektor ini

terutama didukung oleh meningkatnya produktivitas

dan perluasan lahan pertanian. Sementara itu, gejala

El Nino yang semula diperkirakan memberikan

dampak negatif ternyata tidak terjadi.

Di bidang fiskal, pelaksanaan keuangan pemerintah

selama 2002 masih mencerminkan langkah-langkah

konsolidasi pemerintah untuk menjamin kesinambungan

fiskal jangka menengah. Meskipun demikian, penurunan

defisit lebih cepat dari rencana semula, terutama karena

sangat rendahnya realisasi pengeluaran pembangunan.

Defisit keuangan pemerintah tercatat sebesar 1,7% dari

PDB, lebih rendah dari rencana semula sebesar 2,5% dari

PDB. Di sisi pendapatan, tax ratio hanya akan mencapai

12,7% dari PDB terutama karena tidak tercapainya tar-

get penerimaan PPh nonmigas dan PPN. Meskipun

demikian, tekanan dari sisi perpajakan ini dapat

diimbangi oleh lebih tingginya penerimaan negara

bukan pajak (PNBP) terutama dari sektor migas

sejalan dengan kenaikan harga minyak dunia. Secara

keseluruhan pendapatan negara tercatat 18,0% dari

7

Tinjauan Umum

PDB atau relatif sama dengan target semula.

Di sisi belanja negara, realisasi pengeluaran

rutin berada di bawah target meskipun beban

pembayaran bunga utang dalam negeri melampaui

target karena perkembangan suku bunga domestik

yang lebih tinggi dari asumsi APBN. Realisasi

pengeluaran pembangunan berada di bawah target

karena rendahnya tingkat penyerapan pinjaman luar

negeri khususnya pinjaman proyek. Sementara itu,

realisasi anggaran belanja untuk daerah relatif tidak

mengalami hambatan yang berarti dan berjalan sesuai

dengan target. Secara keseluruhan, realisasi belanja

negara tercatat 19,7% dari PDB, atau lebih rendah

4,7% dari target semula.

Dalam kaitannya dengan dampak pengeluaran

pemerintah terhadap perekonomian, pemerintah

masih terus melakukan stimulus fiskal pada tingkat

yang relatif sama dengan tahun lalu yaitu sekitar

11,8% terhadap PDB dimana 7,0% dari PDB

diantaranya dalam bentuk konsumsi dan 4,8% dari

PDB dalam bentuk investasi. Di sisi lain pembayaran

transfer turun secara signifikan yang dicapai

melalui pengurangan subsidi dari 5,2% menjadi 2,4%

dari PDB. Dari sisi moneter, perkembangan

pengeluaran rupiah pemerintah cukup kondusif

dalam mendukung operasi pengendalian moneter.

Ekspansi rupiah bersih pemerintah turun dibanding

tahun lalu dari Rp32,2 triliun menjadi sekitar Rp19,5

triliun. Seluruh jumlah ini diperkirakan akan dapat

diserap oleh BI mengingat pada periode yang sama

terjadi aliran devisa masuk bersih dari sektor

pemerintah setara Rp24,3 triliun.

Di sektor eksternal, Neraca Pembayaran Indone-

sia (NPI) menunjukkan kinerja yang membaik, yang

ditunjang oleh meningkatnya surplus transaksi berjalan

dan menurunnya defisit neraca modal. Membaiknya

transaksi berjalan terutama didukung oleh

meningkatnya kinerja ekspor. Sementara itu,

membaiknya kinerja neraca modal terutama

disebabkan oleh keberhasilan dalam merestrukturisasi

utang luar negeri.

Walaupun ekspor telah menunjukan kinerja

membaik, namun dengan masih adanya berbagai

kendala menyebabkan kinerja ekspor belum seperti

yang diharapkan. Mulai menurunnya daya saing ekspor

Indonesia dan masih lemahnya perekonomian dunia

serta semakin tajamnya persaingan global

menyebabkan kinerja ekspor barang dan jasa masih

terbatas. Rendahnya daya saing tersebut tercermin

dari menurunnya pangsa ekspor Indonesia di negara-

negara tujuan ekspor, sementara negara pesaing

seperti Cina menunjukkan peningkatan pangsa. Dari

dalam negeri, ekspor masih menghadapi kendala

terkait dengan masalah keamanan dan perburuhan

yang menyebabkan terjadinya relokasi usaha

sejumlah perusahaan. Sebagai akibatnya, selama

tahun laporan kinerja ekspor nonmigas hanya mampu

mencapai $45,3 miliar atau tumbuh1,0% dan ekspor

migas mencapai $12,7 miliar atau tumbuh 1,3%.

Impor secara keseluruhan mengalami peningkatan

sebesar 0,5% sehingga menjadi $34,8 miliar.

Peningkatan tersebut terutama berasal dari impor

migas yang tumbuh sebesar 15,0%, sementara impor

nonmigas mengalami penurunan sebesar 2,4%.

Defisit transaksi jasa-jasa pada 2002 mencapai

$15,9 miliar tidak jauh berbeda dengan defisit pada

2001 sebesar $15,8 miliar. Peristiwa tragedi Bali yang

diprakirakan akan menurunkan arus masuk turis dapat

8

Tinjauan Umum

diimbangi oleh menurunnya pembayaran bunga utang

luar negeri dan menurunnya pembayaran jasa sektor

minyak sejalan dengan menurunnya volume produksi

minyak. Secara keseluruhan, surplus transaksi

berjalan tahun 2002 diprakirakan mencapai $7,3 miliar

(3,9% dari PDB) lebih tinggi dari surplus tahun

sebelumnya sebesar $6,9 miliar (4,7% dari PDB).

Dari sisi neraca modal, kinerja transaksi modal

membaik dengan adanya penjadwalan dan

restrukturisasi utang serta tambahan arus modal masuk

sektor swasta. Keberhasilan pemerintah dalam

penjadwalan kembali utang melalui Paris Club dan Lon-

don Club memberikan kontribusi positif pada

menurunnya defisit neraca modal pemerintah, yaitu

sebesar $0,6 miliar. Sementara itu, defisit neraca

modal swasta mengalami perbaikan secara signifikan

sejalan dengan berhasilnya restrukturisasi utang dan

meningkatnya arus modal masuk sebagai hasil

privatisasi dan divestasi. Arus modal masuk juga

diperoleh dari mulai maraknya akses pinjaman melalui

pasar obligasi internasional dari perusahaan domestik

dengan reputasi yang bagus. Perkembangan yang

positif ini menyebabkan defisit transaksi modal

swasta turun menjadi $3,0 miliar, lebih kecil

dibandingkan dengan defisit pada tahun sebelumnya

sebesar $8,3 miliar. Dengan demikian, arus modal

secara keseluruhan mengalami penurunan defisit

menjadi $3,6 miliar, jauh berkurang dibandingkan

dengan $9,0 miliar pada tahun sebelumnya. Dengan

perkembangan tersebut, secara keseluruhan Neraca

Pembayaran Indonesia mengalami surplus sebesar $3,6

miliar, membaik dari tahun sebelumnya yang mengalami

defisit sebesar $1,38 miliar. Perkembangan neraca

pembayaran ini menyebabkan posisi cadangan devisa

sampai dengan akhir 2002 menjadi $31,6 miliar atau

setara dengan 6,6 bulan impor dan pembayaran utang

pemerintah.

Nilai Tukar dan Inflasi

Secara umum, nilai tukar rupiah selama tahun

laporan mengalami apresiasi disertai dengan

menurunnya volatilitas. Perkembangan ini selain

ditunjang oleh membaiknya faktor fundamental,

faktor regional, dan faktor sentimen, juga tidak

terlepas dari intervensi BI dalam menjaga agar nilai

tukar tidak terlalu berfluktuasi. Secara keseluruhan,

rata-rata nilai tukar rupiah mengalami apresiasi

sekitar 10,10% dari tahun sebelumnya, yaitu dari

Rp10.255 per dolar menjadi Rp9.316 per dolar atau

secara point-to-point mengalami apresiasi sebesar

16,2%, yaitu dari Rp10.400 per dolar menjadi

Rp8.950 per dolar pada akhir 2002.

Dari sisi fundamental apresiasi nilai tukar ru-

piah didorong oleh membaiknya neraca pembayaran

dari defisit menjadi surplus. Dari sisi sentimen pasar,

menguatnya nilai tukar rupiah juga ditunjang oleh

menguatnya sentimen positif pasar yang didorong

oleh keberhasilan penjadualan utang, persetujuan

pencairan pinjaman IMF, perbaikan peringkat utang

Indonesia oleh Fitch dan Standard and Poor, dan

terlaksananya beberapa program privatisasi dan

divestasi BCA dan Bank Niaga. Menguatnya sentimen

positif ini tercermin juga dari menurunnya tingkat

premi swap untuk semua tenor. Premi swap untuk 1

bulan yang pada akhir 2001 sebesar 16,8% mengalami

penurunan hingga 12,5% pada akhir 2002. Sementara

itu, melemahnya bursa Amerika sehubungan dengan

berbagai skandal keuangan yang melibatkan

9

Tinjauan Umum

beberapa perusahaan besar di Amerika dan

menurunnya Fed Fund rate sebesar 50 bp mendorong

melemahnya US dolar terhadap Yen yang kemudian

berimbas pada sejumlah mata uang regional,

termasuk rupiah.

Menguatnya nilai tukar rupiah secara signifikan

selama tahun laporan dan permintaan yang belum

memberikan tekanan signifikan, telah memberikan

dampak positif pada perkembangan inflasi yang

menunjukkan kecenderungan menurun, tercermin

kecenderungan meningkatnya tekanan depresiasi ru-

piah; dan faktor musiman sehubungan dengan

perayaan hari keagamaan.

Kebijakan dan Perkembangan Moneter

Kebijakan Moneter

Pada awal 2002, dengan mempertimbangkan bahwa

tekanan inflasi yang terjadi lebih banyak disebabkan

oleh kebijakan pemerintah di bidang harga (cost push)

dan ekspektasi inflasi, kebijakan moneter selama 2002

baik dari perilaku inflasi IHK maupun inflasi inti.

Secara keseluruhan, inflasi IHK selama 2002

mengalami penurunan menjadi sebesar 10,03%, lebih

rendah dibanding 2001 yaitu sebesar 12,55%,

sedangkan inflasi inti sebesar 6,96% dibandingkan

10,04% pada tahun sebelumnya. Tekanan inflasi IHK

tersebut antara lain bersumber dari dampak

kebijakan pemerintah di bidang harga dan

pendapatan sebesar 3,31%, lebih rendah

dibandingkan 3,83% pada tahun sebelumnya. Di

samping itu, tekanan inflasi juga berasal dari gejolak

suplai terutama menurunnya pasokan bahan makanan

dan gangguan distribusi barang akibat banjir yang

terjadi di awal tahun. Faktor lainnya yang menjadi

determinan inflasi adalah menurunnya ekspektasi

inflasi. Walaupun secara umum ekspektasi

masyarakat terhadap inflasi cenderung membaik

seperti yang tercermin dari survei yang dilakukan,

namun sejak triwulan III-2002 ekspektasi inflasi

mengalami peningkatan, terutama dipicu oleh

kebijakan pemerintah di bidang harga, seperti BBM;

diarahkan pada upaya penyerapan ekses likuiditas

perbankan dengan tetap memperhatikan perkembangan

suku bunga yang terjadi agar tetap dapat memberikan

sinyal yang kondusif bagi perbaikan sisi penawaran di

sektor riil. Secara operasional, strategi kebijakan

moneter ini ditempuh dengan mengoptimalkan

instrumen moneter yang tersedia, khususnya OPT dan

sterilisasi valas, sehingga penyerapan kelebihan

likuiditas dapat berlangsung dengan suku bunga SBI yang

cenderung menurun. Strategi ini ditempuh sepanjang

tidak menimbulkan tekanan inflasi ke depan yang dapat

mengakibatkan inflasi melampaui kisaran target yang

telah ditetapkan.

Dalam perjalanannya, kondisi moneter sejak awal

2002 terus menunjukkan perkembangan yang positif.

Perkembangan uang primer menunjukkan pergerakan

yang relatif stabil dan berada pada level di bawah

target indikatif yang ditetapkan, sementara nilai tukar

cenderung stabil dan menguat, sehingga mengurangi

tekanan inflasi. Kondisi ini telah memberikan ruang

gerak bagi BI untuk menurunkan suku bunga secara

Menguatnya nilai tukar dan masih melemahnya permintaan agregatmenyebabkan inflasi cenderung menurun.

10

Tinjauan Umum

bertahap dengan tetap memperhatikan perkembangan

suku bunga riil dan perbedaan suku bunga dengan luar

negeri (interest rate differential). Kebijakan

penurunan suku bunga ini dilakukan untuk terus

berupaya memberikan stimulus perekonomian melalui

pemulihan intermediasi dan peningkatan ekspektasi

pelaku usaha terhadap membaiknya prospek

pemulihan ekonomi (confidence channel). Strategi ini

diharapkan mendorong pelaku usaha untuk melakukan

restrukturisasi keuangannya dan memanfaatkan

sumber-sumber pendanaan yang tersedia baik melalui

perbankan maupun pasar modal guna meningkatkan

penggunaan dan kapasitas produksinya.

Dalam pelaksanaannya, strategi ini dilakukan

dengan terus melihat perkembangan inflasi, nilai

tukar, uang primer, dan suku bunga riil dari triwulan

ke triwulan. Pada triwulan I-2002, dengan melihat

tingginya angka uang primer pada akhir 2001 dan

perkiraan akan masuknya kembali uang kartal ke

dalam sistem perbankan setelah perayaan hari besar

keagamaan, BI berupaya melakukan penyerapan

likuditas perbankan melalui kombinasi instrumen OPT

dan sterilisasi valas agar uang primer kembali pada

tingkat di bawah target indikatifnya. Adanya kelebihan

likuditas yang sangat tinggi di perbankan di awal

tahun menyebabkan penyerapan ini berhasil dilakukan

sekaligus menurunkan suku bunga SBI sebesar 86 bp

hingga mencapai 16,76% pada akhir triwulan pertama.

Suku bunga fasilitas simpanan BI (FASBI) yang tidak

mengalami perubahan dalam periode ini, menunjukkan

kehati-hatian sebelum dipastikannya bahwa

perkembangan ini tidak membahayakan inflasi dan

nilai tukar.

Pada triwulan II dan III-2002, terus berlanjutnya

kecenderungan menguatnya nilai tukar dan menurunnya

inflasi serta perkembangan uang primer di bawah

sasarannya memberikan ruang gerak pada BI untuk

memperkuat sinyal penurunan suku bunga (accommo-

dative policy). Sinyal ini dilakukan melalui penurunan

suku bunga FASBI sebanyak empat kali dari 15,13%

menjadi 12,63% atau 250 bp selama periode ini.

Penurunan suku bunga FASBI ini terus mendorong

penurunan suku bunga SBI hingga mencapai 13,22% pada

akhir triwulan III-2002.

Pada triwulan IV-2002, strategi kebijakan moneter

sedikit mengalami perubahan dari strategi yang

akomodatif menjadi lebih netral (neutral bias).

Perubahan ini didasari oleh mulai meningkatnya

ekspektasi inflasi sehubungan dengan agak melemahnya

nilai tukar pasca terjadinya tragedi Bali serta sudah

cukup rendahnya suku bunga SBI dalam menjaga tingkat

inflasi ke depan yang konsisten dengan pencapaian tar-

get inflasi jangka menengah. Namun dalam kenyataannya

dampak tragedi Bali tersebut terhadap nilai tukar tidak

berlangsung lama dan tidak seburuk yang diprakirakan

bahkan nilai tukar rupiah mengalami penguatan kembali.

Membaiknya nilai tukar rupiah ditambah dengan

menurunnya prospek inflasi ke depan mendorong BI untuk

menurunkan suku bunga FASBI sebesar 50 bp untuk

seluruh tenor pada akhir bulan November. Secara

keseluruhan, kebijakan moneter selama 2002 tersebut

telah mendorong penurunan suku bunga SBI 1 dan 3 bulan

sebesar 469 bp dan 451 bp untuk hingga masing-masing

mencapai 12,93% dan 13,12% pada akhir Desember 2002.

Membaiknya perkembangan inflasi dan nilai

tukar selama 2002 telah mendorong ekspektasi

positif masyarakat terhadap penurunan inflasi dan

kestabilan moneter yang kemudian mendorong

11

Tinjauan Umum

mereka menurunkan permintaan uang kartal untuk

berjaga-jaga (precautionary demand motive). Di

samping itu, menurunnya permintaan uang kartal

untuk motif ini didorong oleh membaiknya kondisi

sosial politik pada 2002. Menurunnya pertumbuhan

uang kartal ini menjadi penyebab utama menurunnya

pertumbuhan uang primer selama tahun laporan.

Secara rata-rata, pertumbuhan uang primer

mencapai 9,06%, jauh lebih rendah dibandingkan

tahun sebelumnya sebesar 17,85% dan berada di

bawah sasaran indikatifnya sebesar 13%-14%. Seiring

dengan menurunnya pertumbuhan uang primer, M1

dan M2 juga mengalami penurunan, masing-masing

sebesar 9,85% dan 8,05%, lebih rendah dibandingkan

dengan tahun sebelumnya, masing-masing sebesar

bunga simpanan ini juga terkait dengan penurunan suku

bunga maksimum penjaminan sebesar 355 bp yang

diantaranya disebabkan oleh penurunan margin suku

bunga penjaminan sebesar 200 bp.

Sejalan dengan menurunnya suku bunga deposito

nominal tersebut, suku bunga deposito riil juga

mengalami penurunan hingga mencapai 2,78%.

Pergerakan suku bunga deposito riil yang turun secara

signifikan ini telah mendorong permintaan agregat

melalui konsumsi. Strategi penurunan suku bunga yang

dilakukan pada saat menguatnya nilai tukar ini telah

memberikan sinyal positif bagi perekonomian riil

melalui membaiknya persepsi investor sebagaimana

yang tercermin dari menurunnya premi risiko dan

persepsi yang tertangkap dari survei-survei yang

19,76% dan 14,74%.

Transmisi Kebijakan Moneter

Secara umum, kebijakan moneter yang

akomodatif berupa penurunan suku bunga instrumen

moneter telah berhasil mendorong penurunan suku

bunga simpanan, sementara suku bunga kredit belum

mengalami perubahan sebagaimana yang diharapkan.

Penurunan suku bunga instrumen mendorong penurunan

suku bunga PUAB dalam level yang cukup signifikan.

Penurunan itu juga diikuti oleh pergerakan suku bunga

simpanan perbankan yang juga menurun, meskipun laju

penurunannya tidak setajam laju penurunan suku bunga

SBI. Suku bunga rata-rata tertimbang deposito 1 bulan

mengalami penurunan sebesar 326 bp hingga tercatat

pada posisi 12,81%. Dalam pada itu, penurunan suku

dilakukan oleh Bank Indonesia.

Penurunan suku bunga simpanan direspon suku

bunga kredit secara berbeda-beda. Suku bunga kredit

modal kerja mengalami penurunan sebesar 94 bp

menjadi 18,25% yang terjadi sejak triwulan II seiring

dengan menurunnya suku bunga instrumen moneter.

Suku bunga kredit investasi yang sejak awal 2002 masih

menunjukkan peningkatan, sejak Oktober mulai

menunjukkan sedikit penurunan yang mencerminkan

adanya time lag dalam merespon penurunan suku bunga

instrumen moneter. Masih lambatnya penurunan suku

bunga kredit investasi ini juga disebabkan masih

tingginya persepsi risiko perbankan terhadap

penyaluran kredit yang bersifat jangka panjang ini yang

menyebabkan perbankan belum bisa optimal dalam

Menurunnya suku bunga SBI telah mendorong penurunan sukubunga deposito, namun belum mampu sepenuhnya mendorongpenurunan suku bunga kredit.

12

Tinjauan Umum

menyalurkan kredit investasi seperti tercermin pada

pertumbuhan kredit investasi yang rendah. Di sisi

permintaan, rendahnya pertumbuhan kredit investasi

juga mencerminkan masih tingginya risiko yang

dihadapi dunia usaha. Sementara suku bunga kredit

konsumsi justru mengalami peningkatan sebesar 36

bp dari 19,85% menjadi 20,21%. Namun demikian vol-

ume kredit konsumsi tetap meningkat cukup signifikan

pada akhir periode laporan yang antara lain

mencerminkan adanya reorientasi kredit perbankan dari

sektor korporat ke sektor ritel.

Walaupun dampak penurunan suku bunga terhadap

sektor riil melalui jalur kredit perbankan belum

sebagaimana yang diharapkan, namun kebijakan ini

telah memberikan dampak positif melalui jalur harga

aset, yaitu pada tingkat tertentu telah terjadi

pergeseran sumber pembiayaan dari perbankan kepada

obligasi. Di tengah-tengah menurunnya suku bunga

deposito dan keterbatasan pembiayaan kredit jangka

panjang, sektor korporasi yang memiliki reputasi baik

memiliki kesempatan yang lebih besar untuk

menerbitkan obligasi. Di sisi penempatan dana oleh

nasabah, menurunnya suku bunga simpanan perbankan

tersebut menyebabkan obligasi dan reksa dana menjadi

alternatif penempatan dana yang menarik.

Kebijakan dan Perkembangan Perbankan

Melanjutkan kebijakan perbankan yang ditempuh

pada tahun sebelumnya, pada 2002 BI tetap

memfokuskan pada tiga hal, yaitu program penyehatan

perbankan, program pemantapan ketahanan sistem

perbankan dan program pemulihan intermediasi

perbankan. Dalam program penyehatan perbankan,

pemerintah masih tetap melanjutkan program

penjaminan meskipun secara bertahap cakupan

penjaminannya akan dikurangi. Sedangkan terhadap

program rekapitalisasi bank dan restrukturisasi kredit

yang telah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir, BI

terus melakukan pemantauan perkembangannya.

Dalam program pemantapan sistem perbankan,

upaya perbaikan infrastruktur perbankan, peningkatan

mutu pengelolaan perbankan dan penyempurnaan

aturan prudensial terus dilakukan. Salah satu prioritas

dalam memperbaiki infrastruktur perbankan yang

sangat krusial dalam menunjang stabilitas sistem

keuangan adalah rencana pendirian lembaga penjamin

simpanan (LPS) sebagai pengganti skema penjaminan

yang ada saat ini. Dalam hal ini, BI bersama-sama

dengan Pemerintah melakukan persiapan pendirian LPS

ini, termasuk mempersiapkan landasan hukumnya dan

skema penjaminan yang optimal, dalam arti sejauh

mungkin mengurangi moral hazard yang mungkin

terjadi namun dengan tetap mempertahankan momen-

tum kepercayaan masyarakat terhadap perbankan

nasional yang terus membaik.

Di bidang pengawasan dan pengaturan

perbankan, untuk memenuhi standar internasional

seperti yang ditetapkan dalam 25 Basel Core Principle,

penyempurnaan terhadap sistem pengawasan

perbankan dengan pendekatan risiko (risk-based

approach) terus dilakukan, termasuk dimasukkannya

risiko pasar (market risk) dalam memperhitungkan

permodalan bank yang diperlukan. Dengan semakin

kompleksnya produk dan jasa perbankan disertai

dengan meningkatnya globalisasi ekonomi,

pembenahan terhadap tatanan sistem perbankan ke

depan sangat diperlukan. Dalam hal ini, BI sedang

mempersiapkan cetak biru Arsitektur Perbankan In-

13

Tinjauan Umum

donesia (API) dengan tujuan menciptakan sistem

perbankan ke depan yang mampu menghadapi

perubahan serta menjamin stabilitas sistem

keuangan. Sedangkan untuk mendorong stabilitas

sistem keuangan, BI sedang mempersiapkan Cetak

Biru Stabilitas Sistem Keuangan dengan cakupan

kerangka kerja pelaksanaan tugas BI dalam

mendorong stabilitas sistem keuangan, kerangka

kerja koordinasi dalam mencegah krisis keuangan (cri-

sis prevention) dan langkah-langkah yang harus

ditempuh dalam penanganan krisis (crisis resolution).

Secara internal, BI mempersiapkan organisasi yang

melakukan monitoring dan surveilance terhadap

memberi keringanan dalam kriteria penilaian kualitas

kredit yang disalurkan perbankan kepada sektor

mikro dan UKM di daerah-daerah tersebut. Selain

itu, sebagai wujud dukungan BI terhadap upaya

pengentasan kemiskinan, BI telah bekerja sama

dengan Kantor Menteri Koordinator Bidang

Kesejahteraan Rakyat dalam mendorong perbankan

menyalurkan kredit kepada masyarakat

berpenghasilan rendah.

Kebijakan pemantapan ketahanan sistem

perbankan juga dilakukan melalui pengembangan

sistem perbankan berdasarkan prinsip syariah. Di

bidang ini, sejumlah inisiatif dan langkah strategis

stabilitas sistem keuangan.

Sementara itu, untuk mendorong fungsi

intermediasi perbankan, berbagai langkah terus

dilakukan, terutama dalam bentuk insentif guna

mendorong penyaluran kredit khususnya kepada

sektor usaha kecil dan menengah yang saat ini

dirasakan sebagai salah satu sektor yang menjadi

penggerak pertumbuhan ekonomi. Dalam kaitan ini

berbagai upaya telah dilakukan seperti Proyek Kredit

Mikro, Pengembangan Sistem Informasi Terpadu

Pengembangan Usaha Kecil, serta upaya-upaya

mempertemukan pelaku usaha dengan perbankan

yang dikenal sebagai Bazar Intermediasi di sejumlah

daerah. Untuk menggairahkan kembali

perekonomian di daerah-daerah tertentu, khususnya

daerah-daerah yang sedang dilanda konflik, BI telah

telah dilakukan. Langkah strategis yang dilakukan

pada 2002 adalah diselesaikannya Cetak Biru

Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia yang

mencakup arah pengembangan perbankan syariah yang

menjadi landasan bagi BI dan lembaga perbankan

syariah serta lembaga keuangan syariah lainnya dalam

mengembangkan perbankan syariah yang memiliki

daya saing, efisien dan memenuhi prinsip kehati-

hatian namun mampu berperan mendorong sektor riil

melalui pembiayaan yang berdasarkan prinsip bagi

hasil (quasi equity). Sesuai dengan cetak biru

tersebut, prioritas yang dilakukan selama 2002

adalah melengkapi dan menyempurnakan

ketentuan perbankan syariah, meningkatkan

pemahaman masyarakat, pengembangan

infrastruktur dan meningkatkan kerjasama

Dalam rangka mengantisipasi perkembangan perbankan ke depan danmeningkatkan stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesiamempersiapkan cetak biru Arsitektur Perbankan Indonesia danStabilitas Sistem Keuangan.

14

Tinjauan Umum

internasional di bidang perbankan syariah. Seiring

dengan t ingginya keinginan dari perbankan

konvens ional untuk membuka kantor bank

berdasarkan prinsip syariah atau perubahan sta-

tus menjadi perbankan syar iah, B I te lah

mengeluarkan Peraturan BI untuk mengatur hal

ini. Dalam bidang kerjasama internasional, BI

terlibat aktif dalam pengembangan Internasional

Islamic Financial Market (IIFM) sebagai lembaga

pengembangan instrumen pasar keuangan syariah

dan Islamic Financial Services Board (IFSB) yang

berperan dalam pengaturan dan pengawasan

perbankan syariah.

Berbagai kebijakan perbankan tersebut di atas

dan didukung oleh membaiknya kondisi makro

moneter telah mendorong perbaikan kinerja

perbankan. Perbaikan tersebut tercermin dari

peningkatan struktur permodalan, perbaikan rasio

NPLs, peningkatan profitabilitas serta terus

berlangsungnya pemulihan fungsi intermediasi

perbankan. Dalam hal permodalan, perbaikan struktur

permodalan bank tercermin dari meningkatnya

indikator CAR industri perbankan yang mencapai

22,49% pada akhir 2002 atau meningkat 1,99% dari

tahun sebelumnya. Sementara itu, upaya-upaya

restrukturisasi kredit yang dilakukan oleh perbankan

telah memperbaiki NPLs perbankan yang mencapai

8,3% (atau secara neto 2,9%), dibandingkan dengan

12,1% (3,6% neto) pada tahun sebelumnya. Walaupun

secara industri, NPL neto di bawah 5%, namun masih

terdapat 20 bank dengan rasio NPLs neto di atas 5%.

Dari segi profitabilitas, seiring dengan meningkatnya

spread antara suku bunga kredit dengan suku bunga

simpanan akibat penurunan suku bunga SBI, net in-

terest income perbankan mengalami peningkatan,

yaitu sebesar Rp42,9 triliun dibandingkan dengan

Rp37,8 triliun pada tahun sebelumnya.

Membaiknya kondisi kesehatan perbankan yang

didukung oleh membaiknya kondisi makro moneter telah

memperbaiki kinerja intermediasi perbankan walaupun

sebagaimana diharapkan. Membaiknya kinerja

intermediasi perbankan tersebut tercermin dari

meningkatnya outstanding kredit yang disalurkan oleh

perbankan yang mengalami peningkatan sebesar 17,4%.

Namun demikian, dilihat dekomposisinya, pertumbuhan

terbesar masih dialami oleh kredit konsumsi (36,5%).

Sementara kredit modal kerja dan kredit investasi masih

tumbuh masing-masing sebesar 13,8% dan 11,3%. Hal

ini menunjukkan bahwa preferensi perbankan dalam

penyaluran kredit masih ditujukan pada kredit yang

bersifat jangka pendek yang mencerminkan masih

tingginya persepsi perbankan terhadap risiko pinjaman

jangka panjang dan tingginya kehati-hatian di sisi

perbankan. Dilihat dari kredit baru, jumlah kredit yang

disalurkan oleh perbankan selama 2002 telah mencapai

Rp79,4 triliun meningkat dibandingkan dengan

penyaluran kredit baru 2001 yang hanya mencapai

Rp56,8 triliun. Sementara itu, karena sektor korporasi

sebagian besar sedang dalam proses restrukturisasi,

perbankan lebih banyak memfokuskan pada sektor re-

tail dan UKM. Hal ini tercermin dari meningkatnya jumlah

kredit yang disalurkan untuk segmen ini. Dari total kredit

baru yang disalurkan selama 2002, sebanyak 41,1%

merupakan penyaluran kredit kepada sektor UKM.

Kebijakan dan Perkembangan Sistem Pembayaran

Nasional

Dalam rangka memperlancar aktivitas dan

15

Tinjauan Umum

efisiensi perekonomian, upaya untuk menjaga stabilitas

dan kelancaran sistem pembayaran terus diupayakan

oleh Bank Indonesia. Pada sistem pembayaran non tunai,

kebijakan tahun 2002 dititikberatkan pada upaya untuk

penurunan risiko dan peningkatan efisiensi sistem

pembayaran. Dalam rangka meningkatkan efisiensi

sistem pembayaran, kebijakan ini diimplementasikan

melalui perluasan penerapan sistem BI-RTGS, penurunan

batas nominal (capping) nota kredit yang diproses melalui

kliring, penyesuaian biaya pemrosesan transaksi melalui

BI-RTGS dan kliring, implementasi sistem otomasi kliring

berbasis image di KBI Bandung dan Medan, serta

implementasi kliring antar wilayah (intercity clearing).

Sementara dalam rangka penurunan risiko sistem

pembayaran, berbagai kebijakan telah dilakukan pada

2002 termasuk penyusunan mekanisme untuk mengatasi

kegagalan peserta kliring dalam penyelesaian kewajiban

setelmen (failure to settle scheme), regulasi di bidang

penyelenggaraan kegiatan usaha alat pembayaran

berbasis kartu, serta penyusunan RUU Transfer Dana.

Secara internal, upaya pengurangan risiko sistem

pembayaran ini dilakukan dengan membentuk Bagian

Pengawasan Sistem Pembayaran di Bank Indonesia. Pada

tataran yang lebih strategis, untuk meningkatkan

efisiensi dan menurunkan risiko sistem pembayaran, BI

sedang melakukan kaji ulang terhadap Blue Print Sistem

Pembayaran 1995. Dalam memenuhi ketentuan standar

internasional di bidang sistem pembayaran, terutama

sistem pembayaran yang memiliki dampak sistemik

seperti yang ditentukan oleh BIS dalam The Core Prin-

ciples for Systemically Important Payment System, BI

telah menetapkan BI-RTGS dan Sistem Kliring sebagai

sistem pembayaran yang penting secara sistemik.

Dalam kaitan ini, BI juga telah melakukan penilaian

secara menyeluruh kesesuaian kedua sistem di atas

terhadap prinsip-prinsip tersebut dan melakukan

beberapa penyempurnaan terhadap beberapa hal yang

masih belum memenuhi standar internasional tersebut.

Kebijakan sistem pembayaran di atas, terutama

upaya perluasan penerapan sistem RTGS dan adanya

kebijakan penurunan batas nominal (capping) nota kredit

yang diproses melalui RTGS, telah menyebabkan

aktivitas sistem pembayaran melalui RTGS mengalami

peningkatan yang cukup berarti. Hal tersebut tercermin

dari peningkatan nominal rata-rata harian transaksi

RTGS sebesar 21,3% atau jumlah transaksi per hari

mengalami kenaikan sebesar 105,8%. Sebaliknya, sejalan

dengan peningkatan aktivitas RTGS, aktivitas kliring

harian mengalami penurunan sebesar 23,8%. Di bidang

aktivitas transaksi pembayaran berbasis kartu,

penggunaan kartu ATM, kartu debet dan kartu kredit

mengalami peningkatan yang cukup berarti. Peningkatan

transaksi berbasis kartu tersebut tidak terlepas dari

semakin luasnya jaringan ATM dan outlet yang

menggunakan kartu debet, serta meningkatnya

pembiayaan konsumen melalui kartu kredit.

Untuk sistem pembayaran tunai, prioritas

kebijakan BI selama 2002 diarahkan pada

pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap uang

kartal, menjaga kualitas uang yang diedarkan, dan

minimalisasi peredaran uang palsu. Dalam hal

pemenuhan kebutuhan akan uang, beberapa langkah

yang telah ditempuh, antara lain dengan

penyempurnaan Rencana Distribusi Uang (RDU) dan

kerjasama dengan pihak ketiga dalam

pendistribusian uang pecahan kecil di wilayah

JABOTABEK. Pemenuhan kebutuhan uang kartal di

masyarakat tercermin dari posisi uang kartal yang

16

Tinjauan Umum

diedarkan (UYD), sepanjang 2002 mengalami

peningkatan rata-rata sebesar 11,8%. Dilihat dari

jenis uangnya, perbandingan antara uang kertas

dan uang logam pada 2002 tidak banyak mengalami

perubahan, yaitu sebesar 97,76% untuk uang kertas

dan 2,24% untuk uang logam.

Selain menyediakan uang dalam jumlah yang

cukup, BI juga senantiasa menjaga agar kualitas uang

yang dipegang masyarakat dalam kondisi layak edar

dengan cara melakukan clean money policy yaitu

menarik dan memusnahkan uang yang tidak layak edar

melalui Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB).

Secara nominal, jumlah PTTB selama 2002 sebesar

Rp54,1 triliun atau meningkat sebesar 62,33%.

Di samping itu, untuk menjaga kualitas uang

sekaligus meningkatkan efisiensi pengadaan uang, BI

telah melakukan kajian terhadap alternatif komposisi

kandungan bahan logam dan standarisasi ukuran uang

logam untuk mendapatkan bahan logam uang yang

secara intrinsik lebih rendah dari nilai nominalnya

tetapi memiliki masa edar yang relatif lama.

Dalam rangka minimalisasi peredaran uang palsu,

berbagai langkah telah ditempuh baik yang bersifat

langkah preventif dan represif. Upaya preventif

dilakukan dengan memperkuat unsur pengaman yang

dapat memudahkan masyarakat untuk mengenali uang

rupiah secara kasat mata dan kasat raba serta

sosialisasi pengenalan keaslian uang rupiah melalui

penyebaran poster dan stiker, penataran, dan

penayangan iklan layanan masyarakat di media masa.

Sedangkan upaya represif dilakukan dengan

meningkatkan kerjasama dengan instansi terkait

dalam upaya memberantas peredaran uang palsu

tersebut antara lain dengan Badan Koordinasi

Pemberantasan Uang Palsu (BOTASUPAL) dan POLRI

dalam melakukan penangkapan dan pemrosesan pihak-

pihak yang terlibat dalam pemalsuan uang rupiah ke

pengadilan. Selama 2002, jumlah uang palsu yang

dilaporkan oleh bank-bank, POLRI dan BI berjumlah

370.112 bilyet (Rp9,9 miliar), mengalami peningkatan

dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah 98.028

bilyet (Rp3,9 miliar).

PROSPEK EKONOMI DAN ARAH KEBIJAKAN TAHUN

2003

Evaluasi kinerja ekonomi tahun 2002

menunjukkan bahwa terdapat berbagai perkembangan

positif yang memberikan sejumlah harapan terhadap

perbaikan ekonomi tahun 2003. Membaiknya indikator

moneter dan kestabilan makroekonomi yang

diprakirakan tetap dapat dijaga pada 2003 diharapkan

akan semakin mendorong ekspektasi positif pelaku

usaha terhadap proses pemulihan ekonomi. Namun

demikian, sejumlah faktor eksternal dan masih adanya

sejumlah permasalahan struktural menyebabkan

sektor riil menjadi kurang responsif terhadap

perbaikan indikator moneter yang telah terjadi.

Kondisi ini telah menyebabkan proses pemulihan

ekonomi Indonesia tidak secepat yang diharapkan.

Upaya mengatasi berbagai faktor risiko dan ketidak-

pastian tersebut akan menjadi kunci keberhasilan

untuk menjamin prospek pemulihan ekonomi yang

lebih baik pada tahun mendatang.

Prospek Ekonomi Dunia

Selama 2003, perekonomian dunia diprakirakan

akan tumbuh 3,7%, lebih tinggi dari pertumbuhan 2002

yang diprakirakan mencapai 2,8%. Membaiknya

17

Tinjauan Umum

perekonomian dunia ini terutama didukung oleh

meningkatnya volume perdagangan yang diprakirakan

tumbuh sebesar 6,1%. Meningkatnya pertumbuhan

ekonomi tersebut juga didukung oleh kebijakan

moneter dan fiskal yang cenderung ekspansif di

dari 5,6% menjadi 6%. Meskipun demikian, dengan

tetap berlangsungnya kebijakan ekonomi yang

ekspansif, suku bunga diprakirakan akan cenderung

turun, terutama suku bunga jangka pendek.

Sementara itu, kenaikan harga komoditi non

beberapa negara. Di negara industri maju,

pertumbuhan ekonomi diprakirakan sedikit membaik

namun masih relatif lamban, dengan pertumbuhan

ekonomi Amerika Serikat, Jepang dan Eropa

diprakirakan tumbuh masing-masing sebesar 2,6%,

1,1% dan 2,3%. Di negara-negara berkembang,

pertumbuhan ekonomi diprakirakan masih akan lebih

tinggi dibandingkan dengan negara-negara maju.

Dalam 2003 pertumbuhan ekonomi di negara-negara

di kawasan Afrika, Asia, ASEAN dan Amerika Latin

diprakirakan tumbuh masing-masing sebesar 4,2%,

6,3%, 4,2% dan 3,0%. Membaiknya pertumbuhan

ekonomi di negara-negara berkembang tersebut

terutama didorong oleh meningkatnya permintaan

domestik yang didukung oleh kebijakan

makroekonomi yang cenderung longgar, terutama di

negara-negara dengan tingkat inflasi rendah.

Seiring dengan meningkatnya permintaan

agregat yang didorong kebijakan ekonomi yang

ekspansif, tingkat inflasi dunia secara umum

mengalami peningkatan secara moderat. Laju inflasi

di negara maju diprakirakan akan meningkat dari

1,4% menjadi 1,7%, sedangkan inflasi di negara-

negara berkembang diprakirakan akan meningkat

migas pada 2002 diprakirakan masih terus berlanjut

pada 2003. Kenaikan harga komoditi terutama

terjadi pada harga-harga komoditi pertanian dan

bahan baku industri seiring dengan meningkatnya

permintaan. Harga minyak dunia diprakirakan akan

kembali turun. Beberapa faktor yang mendukung

penurunan harga minyak antara lain relatif stabilnya

persediaan minyak dunia sertapenambahan kuota

produksi OPEC.

Prospek Ekonomi Makro

Membaiknya indikator makroekonomi yang

diprakirakan masih terus berlangsung hingga tahun

depan akan terus menciptakan ekspektasi positif

para pelaku usaha dan mendorong terus pulihnya

fungsi intermediasi. Sementara itu, stimulus fiskal

dan mulai berjalannya proyek-proyek besar yang

sementara ini terhenti akan memberikan dampak

multiplier di berbagai sektor perekonomian. Secara

keseluruhan, pertumbuhan ekonomi 2003

diprakirakan akan mencapai kisaran 3,5%-4,0%,

lebih tinggi dibandingkan dengan 2002. Perkiraan

pertumbuhan ini masih berada dalam kisaran asumsi

APBN 2003.

Semakin membaiknya kestabilan ekonomi makro diprakirakan akanmendorong peningkatan kinerja perekonomian tahun 2003, terutamajika didukung oleh sejumlah kebijakan struktural, seperti di bidanghukum, perburuhan dan investasi.

18

Tinjauan Umum

Dari sisi permintaan, proyeksi pertumbuhan

ekonomi tersebut diprakirakan masih bertumpu pada

konsumsi. Penurunan suku bunga dan masih

rendahnya tingkat leverage sektor rumah tangga2

diprakirakan terus mendorong meningkatnya

penyaluran kredit konsumsi, terutama bagi kelas

menengah ke atas. Kenaikan konsumsi juga didukung

oleh kenaikan gaji PNS dan UMP. Sementara itu,

investasi diprakirakan mulai tumbuh positif walaupun

tidak terlalu signifikan. Pertumbuhan investasi

diprakirakan masih bertumpu pada investasi

pemerintah melalui berbagai proyek besar yang

tertunda, seperti pembangunan 21 proyek jalan tol,

kelistrikan dan kimia. Sementara investasi swasta

diprakirakan masih lemah karena masih terbatasnya

sumber-sumber pembiayaan serta iklim investasi

yang belum kondusif. Ekspor diprakirakan akan

meningkat seiring dengan mulai membaiknya

perekonomian mitra dagang dan meningkatnya

permintaan komoditi andalan Indonesia, seperti

minyak sawit, karet dan produk agribisnis lainnya.

Hal ini ditunjang juga oleh kebijakan pemerintah

untuk mencari pasar nontradisional seperti Amerika

Latin dan Eropa Timur. Dengan membaiknya ekspor,

impor juga diprakirakan akan meningkat sejalan

dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi.

Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi

diprakirakan terjadi di semua sektor ekonomi dengan

sektor listrik, sektor angkutan terutama subsektor

telekomunikasi dan sektor bangunan akan mengalami

kinerja yang terbaik. Sesuai dengan rencana

pemerintah untuk melanjutkan kembali sejumlah

proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan tol

dan proyek-proyek kelistrikan, sektor bangunan dan

sektor listrik diprakirakan akan tumbuh relatif tinggi.

Pembangunan proyek-proyek infrastruktur ini

diprakirakan akan memiliki dampak multiplier yang

besar terhadap beberapa sektor usaha lainnya,

meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan

pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Di sektor

bangunan, pembangunan properti, yaitu perumahan

dan pusat perbelanjaan, juga diprakirakan tumbuh

tinggi. Seiring dengan meningkatnya kinerja di sektor

bangunan, industri konstruksi baja dan industri se-

men diprakirakan tumbuh dengan pesat. Di sektor

listrik, optimalisasi pembangkit yang sudah ada dan

pembangunan pembangkit baru serta adanya

kelanjutan pembangunan beberapa proyek listrik

swasta dalam rangka mengantisipasi kenaikan

permintaan terhadap energi listrik pada 2003, akan

mendorong sektor listrik mengalami pertumbuhan

yang tinggi. Sektor industri pengolahan, yang

memberikan sumbangan terbesar, diprakirakan akan

tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun

sebelumnya. Sektor-sektor lainnya seperti sektor

perdagangan, sektor pengangkutan dan komunikasi,

dan sektor jasa diprakirakan tumbuh lebih rendah dari

tahun sebelumnya akibat dampak dari tragedi bom

Bali. Namun, khusus untuk subsektor komunikasi

pertumbuhannya diprakirakan tinggi sejalan dengan

ekspansi yang dilakukan oleh Indosat dan Telkom.

Di sisi fiskal, APBN 2003 tetap disusun dengan

semangat mengendalikan defisit dengan

mempertimbangkan pula perkembangan terkini berupa

dampak negatif peristiwa Bali dan upaya untuk

mengakomodasi kuatnya keinginan masyarakat akan2 Rasio antara utang rumah tangga terhadap pendapatan yang dapat

dibelanjakan oleh rumah tangga.

19

Tinjauan Umum

stimulus fiskal. Defisit direncanakan sebesar 1,8% dari

PDB, relatif sama dengan realisasi defisit tahun 2002

yang turun lebih cepat dari rencana semula.

Pengendalian defisit tahun ini direncanakan akan

dicapai melalui langkah-langkah lanjutan peningkatan

pendapatan negara terutama dari penerimaan pajak

dan penghematan terutama dari pemotongan subsidi

migas dan pengurangan beban bunga utang dalam

negeri. Di sisi pembiayaan defisit, sumber pembiayaan

pemerintah masih berasal dari non-perbankan dalam

negeri —seperti privatisasi dan penjualan asset oleh

BPPN—sedangkan selebihnya diperoleh dari utang luar

negeri. Namun, karena sumbangan bersih dari sumber-

sumber tersebut lebih kecil dari kebutuhan pembiayaan

defisit, maka untuk menutup kekurangannya –dan untuk

pertama kalinya sejak krisis tahun 1997– pemerintah

berencana akan menarik tabungannya pada sistem

moneter atau Sisa Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp8,5

triliun. Dalam kaitannya dengan dampak pengeluaran

pemerintah terhadap perekonomian, kontribusi

langsung sektor pemerintah terhadap PDB meningkat

dibanding tahun lalu yaitu dari 11,8% pada 2002

menjadi 13,4% pada 2003, dimana 7,7% dari PDB

diantaranya untuk pengeluaran konsumsi dan 5,7% dari

PDB untuk pengeluaran investasi. Sebagaimana telah

disinggung di atas, peningkatan ini akan dicapai

terutama melalui langkah-langkah pemotongan yang

cukup signifikan pada subsidi BBM dan pengurangan

beban bunga utang dalam negeri. Di sisi moneter,

adanya alokasi dana tambahan untuk stimulus fiskal

menyebabkan ekspansi rupiah bersih pemerintah akan

meningkat menjadi Rp26,7 triliun. Sebagian besar dari

jumlah tersebut diprakirakan dapat dibiayai dengan

aliran devisa masuk bersih dari sektor pemerintah yang

mencapai setara Rp18,2 triliun, dan sisanya dengan

penarikan SAL sebesar Rp8,5 triliun.

Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia pada 2003

diprakirakan akan menunjukkan kinerja yang

menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini

tercermin dari menurunnya surplus neraca pembayaran

menjadi sebesar $1,0 miliar, lebih rendah

dibandingkan dengan surplus tahun 2002 sebesar $3,6

miliar. Penurunan surplus NPI ini disebabkan oleh

penurunan surplus transaksi berjalan yang dibarengi

meningkatnya defisit transaksi modal. Penurunan

surplus transaksi berjalan sebesar $2,6 miliar

diprakirakan terutama karena terjadinya peningkatan

defisit neraca jasa (sebesar $2,3 miliar) sehubungan

dengan menurunnya penerimaan dari sektor

pariwisata terkait dengan terjadinya tragedi Bali. Di

sisi neraca perdagangan, ekspor dan impor selama

2003 diprakirakan akan tumbuh masing-masing

sebesar 1,3% dan 2,8%, sehingga surplus neraca

perdagangan diprakirakan akan turun sekitar $0,2

miliar. Sementara itu, neraca lalu lintas modal pada

2003 diprakirakan akan sedikit memburuk yang

tercermin dari peningkatan defisit dari $3,6 miliar

menjadi $3,7 miliar. Memburuknya defisit tersebut

terutama disebabkan oleh meningkatnya defisit lalu

lintas modalswasta sebesar $2,6 miliar. Dengan

prakiraan di atas, posisi cadangan devisa pada akhir

2003 diprakirakan mencapai sebesar $32,6 miliar atau

setara dengan 6,7 bulan impor dan pembayaran utang

luar negeri pemerintah.

Prospek Nilai Tukar dan Inflasi

Secara umum nilai tukar rupiah selama 2003

diprakirakan masih menguat walaupun tidak

20

Tinjauan Umum

setajam tahun sebelumnya dan bergerak pada

kisaran Rp8.800-Rp9.200 per dolar. Secara funda-

mental, prakiraan nilai tukar tersebut didasarkan

pada membaiknya kinerja perekonomian Indone-

sia termasuk neraca pembayaran yang masih

mengalami surplus walaupun dalam jumlah yang

lebih kecil. Faktor lain yang menunjang penguatan

nilai tukar adalah keberhasilan dalam

restrukturisasi utang pemerintah dan swasta serta

program privatisasi BUMN dan divestasi aset-aset

BPPN yang selain menambah pasokan valas juga

memberikan dampak sentimen positif. Di samping

itu, persepsi positif pasar terhadap komitmen BI

untuk memelihara stabilitas nilai tukar diharapkan

masih akan berlanjut. Namun di sisi lain perlu

diwaspadai meningkatnya suhu politik menjelang

Pemilu 2004 dan kemungkinan melemahnya mata

uang regional akibat flight to safety jika terjadi

serangan AS ke Irak.

Sementara itu, tekanan inflasi 2003

diprakirakan lebih rendah dari inflasi 2002. Prakiraan

ini didasarkan pada prakiraan masih lemahnya

tekanan inflasi yang bersumber dari permintaan

agregat, relatif menguatnya nilai tukar rupiah dan

menurunnya ekspektasi inflasi oleh masyarakat.

Sumber inflasi ke depan diprakirakan antara lain

bersumber dari dampak penerapan kebijakan

pemerintah di bidang harga dan pendapatan yang

diprakirakan masih cukup tinggi, walaupun lebih

rendah dari sebelumnya. Rendahnya inflasi yang

berasal dari tekanan permintaan agregat didukung

oleh prakiraan bahwa pertumbuhan ekonomi 2003

masih tergantung pada pertumbuhan konsumsi yang

cenderung menunjukkan perlambatan. Lebih dari itu,

adanya tragedi Bali telah menurunkan optimisme in-

vestor terhadap membaiknya iklim investasi dan

ekspor. Dengan prakiraan nilai tukar pada 2003 akan

mengalami penguatan, secara umum pergerakan

nilai tukar diprakirakan tidak akan memberikan

tekanan terhadap inflasi. Di lain pihak, rencana

kebijakan pemerintah di bidang harga dan

pendapatan pada 2003 diprakirakan memberikan

sumbangan sebesar 3,02%, terutama terkait dengan

rencana kebijakan pemerintah menaikkan harga

beberapa administered prices seperti TDL (6% per

triwulan), BBM (sekitar 23%), tarif telpon (15%) dan

upah minimum propinsi (7%).

Prospek Perbankan

Seiring dengan membaiknya prospek

pertumbuhan ekonomi dan menurunnya suku bunga,

perkembangan kondisi perbankan Indonesia di 2003

diprakirakan juga akan semakin membaik.

Penghimpunan Dana Pihak Ketiga pada 2003

diprakirakan masih akan meningkat, khususnya

untuk simpanan giro dan tabungan. Namun demikian,

penghimpunan dana dalam bentuk deposito

diprakirakan akan mengalami persaingan yang cukup

ketat dari reksadana, mengingat tingkat

pengembalian (rate of return) yang diberikan oleh

reksadana lebih tinggi dari pada bunga deposito.

Sejalan dengan peningkatan penghimpunan

dana, pemberian kredit diprakirakan akan terus

meningkat, baik dalam bentuk corporate lending

maupun retail lending. Hasil survei terhadap 14 bank

besar yang masuk dalam systemically important

bank (SIB) menunjukkan bahwa ekspansi kredit baru

oleh bank-bank tersebut pada 2003 diprakirakan

21

Tinjauan Umum

akan mencapai Rp83 triliun. Sementara itu, hasil

survei lainnya menunjukkan bahwa 40 bank akan

menaikkan ekspansi kreditnya secara rata-rata

diatas 5% dibandingkan dengan tahun 2002. Dari sisi

penggunaannya, peningkatan kredit tersebut

diprakirakan sebagian besar masih disalurkan untuk

modal kerja dan konsumsi, sementara kredit

investasi diprakirakan masih belum banyak tumbuh

secara signifikan. Sementara itu, pangsa penyaluran

kredit untuk sektor UKM diprakirakan akan

meningkat menjadi sekitar Rp42,3 triliun, mengingat

sebagian besar bank-bank telah melakukan reposisi

kebijakan pemberian kreditnya dari kredit korporat

ke kredit ritel.

Di sisi permodalan, secara keseluruhan

perkembangan kecukupan modal (CAR) perbankan

diprakirakan akan sedikit mengalami penurunan

walaupun masih diatas 8%. Penurunan tersebut

disebabkan oleh semakin besarnya risiko aktiva

produktif perbankan seiring dengan ekspansi kredit.

Di sisi lain, meskipun secara industri rasio NPLs neto

di bawah 5% diprakirakan akan dapat dipertahankan

pada 2003, namun masih terdapat beberapa bank

yang NPLs neto-nya berada di atas 5% karena adanya

berbagai kendala dalam restrukturisasi kredit.

Pada 2003, perbankan syariah diprakirakan akan

tumbuh pesat sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.

Pertumbuhan ini terutama didorong oleh masih besarnya

potensi pasar perbankan syariah dan banyaknya wilayah

potensial yang belum terlayani oleh jasa perbankan ini.

Optimisme pertumbuhan volume usaha perbankan

syariah juga didukung oleh rencana pengembangan

usaha yang dicanangkan oleh bank umum syariah dan

unit usaha syariah bank umum konvensional, serta

rencana masuknya bank-bank baru kedalam industri

perbankan syariah.

Faktor Risiko dan Ketidakpastian

Prospek perkonomian Indonesia pada 2003 akan

sangat dipengaruhi oleh perkembangan berbagai

faktor risiko dan ketidakpastian baik yang berasal

dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejumlah

faktor risiko dan ketidakpastian yang diprakirakan

akan berpengaruh terhadap prospek ekonomi Indo-

nesia pada 2003, antara lain:

Pertama, dari sisi eksternal, meskipun

perekonomian dunia secara keseluruhan

diprakirakan akan membaik dibandingkan dengan

tahun sebelumnya, namun juga disertai

meningkatnya ketidakpastian. Pertumbuhan

ekonomi dunia di 2003 lebih banyak merupakan

kontribusi kinerja ekonomi regional berbagai negara

di kawasan Asia. Sementara itu, pertumbuhan

ekonomi sebagian besar negara maju seperti

Amerika Serikat dan Jepang diprakirakan belum

tumbuh secara berarti. Relatif lemahnya

pertumbuhan ekonomi tersebut bahkan dapat

semakin memburuk apabila meningkatnya

ketegangan politik di Timur Tengah berlangsung

lama sehingga secara signifikan mempengaruhi

arus perdagangan dunia. Meningkatnya

ketidakpastian akibat ketegangan politik di Timur

Tengah tersebut diprakirakan juga akan berdampak

negatif terhadap iklim investasi global yang

sementara ini belum pulih. Perkembangan kondisi

global yang kurang menguntungkan tersebut

dikhawatirkan dapat memperburuk persepsi inves-

tor dan mitra dagang luar negeri terhadap prospek

perekonomian Indonesia. Tendensi memburuknya

22

Tinjauan Umum

kepercayaan masyarakat internasional tersebut

antara lain nampak dari pengenaan “war premium”

terhadap kegiatan perdagangan luar negeri Indo-

nesia. Premi tersebut meningkatkan biaya

transaksi dagang dengan mitra luar negeri serta

semakin memperkuat keengganan investor

internasional untuk menanamkan modalnya di In-

donesia.

Kedua, dari sisi investor dan mitra dagang luar

negeri, persepsi negatif terhadap prospek

perekonomian Indonesia dikhawatirkan akan

semakin meningkat. Hal ini dilatarbelakangi oleh

berbagai permasalahan sosial politik dan

keamanan yang diperburuk oleh dampak lanjutan

insiden Bali. Tendensi memburuknya kepercayaan

masyarakat internasional tersebut antara lain

nampak dari dikenakannya “war premium”

terhadap kegiatan perdagangan Indonesia. Premi

tersebut akan meningkatkan biaya transaksi

dagang dengan mitra luar negeri dan memperkuat

keengganan masyarakat internasional untuk

menanam modal di Indonesia.

Ketiga, dari sisi internal, secara khusus perlu

dicermati pula perkembangan situasi politik dan

keamanan terutama menjelang dilangsungkannya

Pemilu 2004. Meskipun cenderung terus

membaik, perkembangan faktor tersebut masih

mengandung banyak ketidakpastian yang dapat

meningkatkan ketegangan politik. Apabila

ketegangan tersebut meningkat di luar kendali

maka dalam jangka pendek akan berpengaruh

negatif pada berbagai variabel indikator seperti

nilai tukar dan uang kartal. Perkembangan

tersebut juga bisa berdampak negatif pada sektor

riil karena memburuknya tingkat kepercayaan

konsumen dan iklim investasi.

Keempat, masih maraknya berbagai konflik

perburuhan yang ditandai oleh berbagai aksi

pemogokan buruh diyakini dapat mengganggu

ketenangan dan kepastian usaha. Berlarutnya

permasalahan tersebut selain berpotensi

meningkatkan angka PHK, juga membentuk persepsi

yang kurang kondusif di kalangan mitra dagang

maupun investor luar negeri sehingga dapat

mengurangi minat pihak asing untuk berdagang dan

berinvestasi di Indonesia. Di samping itu, kenaikan

upah sebagai solusi konflik perburuhan jika tidak

diikuti peningkatan produktivitas akan menurunkan

daya saing produk Indonesia.

Kelima, mencuatnya berbagai ketidakpuasan atas

proses dan penyelesaian beberapa kasus hukum

yang besar mengakibatkan persepsi masyarakat

yang kurang kondusif terhadap penegakan

supremasi hukum. Berlarutnya permasalahan

tersebut, selain memicu rendahnya kepercayaan

dunia usaha terhadap iklim usaha domestik juga

berdampak buruk terhadap upaya untuk

menggerakkan minat investor luar negeri untuk

masuk ke Indonesia. Di samping itu, hal tersebut

juga dapat mengurangi kredibilitas pemerintah

dalam menyelenggarakan good governance.

Keenam, faktor risiko yang juga akan menentukan

prospek ekonomi ke depan adalah fungsi intermediasi

perbankan yang belum pulih sebagaimana yang

diharapkan. Meski ekspansi kredit pada 2002 relatif

membaik namun peningkatannya dirasakan masih

jauh dari yang dibutuhkan oleh sektor riil.

Keengganan bank untuk menyalurkan kredit seperti

23

Tinjauan Umum

yang tercermin dari masih rigid-nya suku bunga

kredit dalam merespon penurunan suku bunga SBI

dan terbatasnya pembiayaan yang bersifat jangka

panjang menyebabkan sumber-sumber pertumbuhan

ekonomi yang berasal dari investasi menjadi

terkendala.

Ketujuh, berkenaan dengan akan diakhirinya pro-

gram IMF pada akhir 2003 perlu adanya exit strat-

egy yang tepat. Disatu sisi, keberhasilan dari exit

program IMF akan dapat memelihara kepercayaan

dunia internasional dan independensi kebijakan

ekonomi. Namun kegagalan memelihara ketahanan

fiskal dan neraca pembayaran, terutama jika exit

policy yang dilakukan tidak dapat menjaga

dan sejalan dengan upaya BI untuk terus membangun

kredibilitas.

Sejalan dengan strategi jangka menengah

tersebut, BI menetapkan sasaran inflasi untuk tahun

2003 sebesar 9% dengan deviasi 1%. Sasaran diatas

diharapkan akan dapat tercapai bila didukung oleh

ekspektasi inflasi yang terus menurun, nilai tukar ru-

piah mencapai rata-rata Rp9.000 per dolar,

pertumbuhan ekonomi mencapai 3,8% dan sumbangan

dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan

pendapatan diprakirakan tidak lebih dari 3,02%.

kepercayaan dunia internasional, dapat

memperburuk prospek perekonomian Indonesia.

Sasaran Inflasi dan Arah Kebijakan Tahun 2003

Sasaran Inflasi

Pada tahun lalu, BI telah menetapkan program

disinflasi jangka menengah dengan menetapkan

sasaran inflasi sebesar 6%-7% pada 2006. Mengingat

sasaran jangka menengah tersebut merupakan

tingkat inflasi yang memberikan dampak negatif

minimal terhadap proses pemulihan ekonomi, maka

sasaran inflasi tahunan dalam beberapa tahun ke

depan akan terus diupayakan agar konsisten

dengan sasaran jangka menengah tersebut.

Komitmen pada upaya pencapaian sasaran inflasi

jangka menengah ini sangat perlu untuk mendorong

terus menurunnya ekspektasi inflasi masyarakat

Arah Kebijakan

Dengan memperhatikan prospek ekonomi dan

sasaran inflasi yang ditetapkan serta berbagai

tantangan yang dihadapi pada 2003, BI akan berupaya

untuk secara konsisten menempuh kebijakan-kebijakan

di bidang moneter, perbankan dan sistem pembayaran.

Di bidang moneter, kebijakan BI secara konsisten

diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi IHK sebesar

9% pada 2003 serta menjaga komitmen pencapaian

sasaran inflasi jangka menengah, yaitu 6%-7% pada

2006. Dalam pelaksanaannya, kerangka kebijakan

moneter yang digunakan tetap mengacu pada

pencapaian sasaran uang primer. Untuk itu, pada 2003

uang primer perlu diarahkan untuk secara bertahap

mencapai pertumbuhan rata-rata sekitar 13% yang

diprakirakan sesuai dengan kebutuhan riil

Bank Indonesia menetapkan sasaran inflasi tahun 2003 sebesar 9%dengan deviasi 1%

24

Tinjauan Umum

perekonomian. Upaya penyerapan kelebihan likuditas

agar tetap sesuai dengan sasaran uang primer

tersebut diprakirakan masih dapat membawa suku

bunga instrumen moneter terus menurun.

Dalam operasional kebijakan moneter,

optimalisasi penggunaan instrumen moneter seperti

yang dilakukan pada 2002 tetap perlu

dipertahankan, termasuk upaya untuk tetap

menggunakan kebijakan sterilisasi/intervensi valas

dalam membantu penyerapan likuditas perbankan

serta meminimalkan fluktuasi nilai tukar yang

berlebihan. Sementara itu, dalam jangka panjang

penggunaan Surat Perbendaharaan Negara dan

Obligasi Negara tetap perlu dipertimbangkan

sebagai alternatif instrumen. Oleh sebab itu upaya

untuk membangun infrastruktur pengembangan

pasar sekunder surat-surat berharga tersebut perlu

terus dilakukan, terutama dalam rangka

meningkatkan efektivitas penggunaan surat-surat

berharga tersebut sebagai instrumen moneter.

Di bidang perbankan, kebijakan masih

diarahkan pada program penyehatan perbankan dan

ketahanan sistem perbankan, dengan lebih

menekankan pada risk based supervision. Dalam

rangka memperkuat struktur perbankan Indonesia,

BI sedang menyempurnakan Arsitektur Perbankan

Indonesia (API) yang akan selesai pada 2003.

Penyempurnaan API ini mencakup enam pilar, yaitu

penciptaan struktur perbankan yang sehat, sistem

pengawasan yang independen dan efektif, sistem

pengaturan perbankan yang mampu mengantisipasi

perkembangan perbankan dan pasar keuangan ke

depan, penguatan infrastruktur perbankan dan

perlindungan konsumen. Sementara itu, dalam

rangka meningkatkan peran BI dalam menjaga

kestabilan sistem keuangan, BI mempersiapkan

Cetak Biru Stabilitas Sistem Keuangan dengan

cakupan aspek surveilance/monitoring stabilitas

sistem keuangan, prosedur penyelesaian krisis (cri-

sis resolution) dan aspek organisasinya. Di samping

itu, BI akan tetap mendorong pemulihan fungsi

intermediasi perbankan dengan tetap

memperhatikan ketentuan kehati-hatian serta

melanjutkan upaya-upaya dalam pemberdayaan

UKM. Terkait dengan target pencapaian NPLs neto

maksimum 5% pada akhir Juni 2003, BI meminta

bank-bank yang masih memiliki NPLs neto diatas

5% untuk membuat rencana yang jelas dan konkrit

di dalam menyusun business plan agar dapat

mencapai target NPLs neto maksimum 5%.

Di bidang perbankan syariah, arah kebijakan

selama 2003 akan diprioritaskan pada upaya

penyempurnaan ketentuan dan infrastruktur

pendukung bagi pengembangan perbankan

syar iah. Di s i s i ketentuan, penyempurnaan

tersebut antara la in mencakup penyusunan

ketentuan pengawasan perbankan syar iah

berbasis risiko (risk based supervision), pruden-

tial regulation dan penilaian tingkat kesehatan

perbankan syar iah, penyempurnaan s i stem

pelaporan dan pedoman akuntasi dan audit

perbankan syar iah. Sementara i tu,

penyempurnaan infrastruktur akan meliputi

pemetaan wi layah-wi layah potens ia l bagi

pengembangan kantor-kantor bank syariah baru

guna mendorong pengembangan jaringan kantor

bank syariah.

Di bidang sistem pembayaran, kebijakan

25

Tinjauan Umum

tahun 2003 tetap diprioritaskan pada upaya

peningkatan kelancaran s istem pembayaran

melalui peningkatan efisiensi dan pengurangan

risiko sistem pembayaran. Di bidang sistem

pembayaran tunai, upaya peningkatan efektivitas

pengedaran uang kepada masyarakat dilakukan

melalui kerjasama dengan pihak ketiga. Di

samping itu, dalam upaya untuk meningkatkan

penanggulangan terhadap uang palsu, jejaring

dengan pihak-pihak terkait akan diperluas seperti

POLRI, KBI dan Perbankan yang mempunyai

jaringan sampai tingkat pedesaan, termasuk

sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah terutama

mengenai unsur-unsur pengaman (security fea-

tures) yang kasat mata dan kasat raba. Di bidang

sistem pembayaran non tunai, kebijakan di tahun

2003 diarahkan pada kebijakan untuk dapat

mengurangi risiko dan meningkatkan efisiensi

sistem pembayaran melalui program lanjutan

implementasi BI-RTGS di 10 KBI dan penyusunan

ketentuan yang terkait dengan masalah

penyelenggaraan kegiatan usaha alat pembayaran

berbasis kartu, upaya mengatasi kegagalan

peserta kliring dalam penyelesaian settlement

serta rancangan UU Transfer Dana.

PENUTUP

Sebagai penutup, perlu dikemukakan bahwa

beberapa kemajuan yang dicapai di bidang ekonomi

dan moneter selama 2002 merupakan hasil dari

kerjasama dan koordinasi yang baik antara kebijakan

makroekonomi seperti kebijakan moneter dan fiskal

yang ditunjang dengan kemajuan di bidang

restrukturisasi ekonomi. Oleh sebab itu, ke depan

koordinasi seperti ini perlu terus ditingkatkan apalagi

tantangan serta ketidakpastian yang menghadang

semakin berat. Pengalaman selama 2002 memberikan

pelajaran kepada kita bahwa keberhasilan kebijakan

makroekonomi dalam menjaga stabilitas maupun

melakukan stimulus tidak akan berhasil membawa

dampak yang signifikan pada perekonomian, jika

persoalan struktural dan mikroekonomi, seperti

persoalan perburuhan, perpajakan, keamanan

berinvestasi serta good governance tidak dibenahi.

Oleh sebab itu, ke depan penyelesaian masalah

struktural dan kebijakan mikroekonomi perlu menjadi

prioritas utama.

Sementara itu, BI terus melakukan transformasi

internal, baik dalam rangka meningkatkan efektivitas

kebijakan moneter dalam bentuk kaji ulang terhadap

kerangka kebijakan moneter, melakukan reposisi peran

BI dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, maupun

dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi

manajemen intern melalui perbaikan tata kelola (good

governance) guna menghadapi tantangan dan

perubahan-perubahan ke depan.

26

Kondisi Ekonomi Makro

Kondisi Ekonomi Makro2BAB

l a p o r a nt a h u n a n

BAB 2: Kondisi Ekonomi Makro

27

Kondisi Ekonomi Makro

KONDISI EKONOMI MAKRO2B A B

B ersamaan dengan membaiknya indikator

makro moneter seperti inflasi, nilai tukar, dan

suku bunga, perekonomian Indonesia sepanjang 2002

secara umum masih mengindikasikan proses

pemulihan ekonomi. Produk Domestik Bruto (PDB)

2002 dengan harga berlaku mencapai Rp1.610,0

triliun. Sementara itu, pertumbuhan PDB 2002 dengan

harga konstan mencapai 3,7%, meningkat

dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 3,4%.

Dengan pertumbuhan tersebut, PDB 2002 dengan

harga konstan baru mencapai Rp426,7 triliun, masih

lebih rendah dari PDB 1997 senilai Rp433,2 triliun.

Perkembangan ini menandakan perekonomian Indo-

nesia belum sepenuhnya pulih dari krisis yang

berlangsung sejak lima tahun silam.

Aktivitas ekonomi yang meningkat tercermin

dari meningkatnya permintaan konsumsi baik di

sektor rumah tangga maupun di sektor pemerintah,

sedangkan kegiatan investasi belum menunjukkan

perkembangan yang menggembirakan. Dari sisi

permintaan luar negeri, kinerja ekspor yang

mengalami kontraksi tidak terlepas dari kondisi

perekonomian dunia yang belum pulih, persaingan

yang semakin ketat di pasar global, adanya hambatan

ekspor seperti pengalihan perdagangan seiring dengan

terbentuknya blok-blok perdagangan (trade diversion)

dan proteksionisme, serta daya saing produk Indone-

sia di pasar global yang menurun.

Pada sisi penawaran, seluruh sektor ekonomi

mengalami pertumbuhan positif. Pertumbuhan

tertinggi terjadi pada sektor angkutan dan

komunikasi, sektor listrik, gas dan air bersih, dan

sektor keuangan. Sementara itu, sektor industri

pengolahan dan sektor perdagangan yang memiliki

pangsa dominan dalam pembentukan PDB mengalami

perlambatan. Namun melambatnya pertumbuhan

kedua sektor tersebut masih dapat diimbangi oleh

membaiknya kinerja sebagian besar sektor dalam

pembentukan PDB, sehingga secara keseluruhan

pertumbuhan PDB tetap meningkat. Pertumbuhan

sektor industri pengolahan yang melemah dapat

diimbangi oleh pasokan impor barang konsumsi

sehingga kondisi penawaran masih dapat memenuhi

pertumbuhan permintaan.

Kinerja investasi yang masih kurang

menggembirakan menyebabkan kapasitas per-

ekonomian, khususnya sektor industri pengolahan,

tumbuh melambat. Namun masih lemahnya permintaan

masyarakat menyebabkan tingkat utilisasi kapasitas

produksi belum mengalami peningkatan yang berarti

sehingga secara rata-rata masih tetap pada tingkat

yang cukup rendah. Dengan demikian, perkembangan

Perekonomian tahun 2002 tumbuh 3,7%, meningkat dibandingkantahun sebelumnya, namun masih belum didukung oleh struktur yangseimbang. Perekonomian masih bertumpu pada konsumsi sementarainvestasi dan ekspor masih belum menunjukkan perkembangan yangmenggembirakan.

28

Kondisi Ekonomi Makro

tingkat utilisasi kapasitas tersebut belum memberikan

tekanan harga secara signifikan. Perkembangan di sisi

produksi dan investasi tersebut mengindikasikan

bahwa perbaikan beberapa indikator moneter belum

direspon secara optimal oleh kegiatan di sektor riil.

Pertumbuhan ekonomi yang moderat tersebut belum

mampu memperbaiki kondisi ketenagakerjaan. Jumlah

pengangguran terbuka meningkat karena jumlah

angkatan kerja semakin tidak sebanding dengan

lapangan kerja yang tersedia. Di samping itu,

pengurangan atau penghentian aktivitas produksi

mendorong meningkatnya pemutusan hubungan kerja.

Kondisi ketenagakerjaan bertambah suram menyusul

kasus pemulangan besar-besaran tenaga kerja ilegal

Indonesia di Malaysia, anjloknya kunjungan wisatawan

mancanegara pasca tragedi Bali, serta masih maraknya

aksi unjuk rasa dan pemogokan buruh.

PERMINTAAN AGREGAT

Pertumbuhan PDB 2002 tercatat sebesar

3,7%, lebih t inggi dar i pertumbuhan tahun

Tabel 2.1Produk Domestik Bruto menurut Pengeluaran

Produk Domestik Bruto (Riil)Menurut PengeluaranKonsumsi

Konsumsi Rumah Tangga

Konsumsi Pemerintah

Investasi1)

Ekspor Barang dan Jasa

Impor Barang dan Jasa

Jenis2002**2001*20001999

Pertumbuhan Kontribusi Pertumbuhan Kontribusi Pertumbuhan Kontribusi Pertumbuhan Kontribusi

0,8

4,3

4,6

0,7

-18,2

-31,8

-40,7

0,8

3,3

3,2

0,1

-4,5

-11,4

-14,3

4,9

3,9

3,6

6,5

13,8

26,5

21,1

4,9

3,1

2,6

0,5

2,8

6,4

4,4

3,4

4,8

4,4

9,0

7,7

1,9

8,1

3,4

3,7

3,1

0,7

1,7

0,6

2,0

3,7

5,5

4,7

12,8

-0,2

-1,2

-8,3

3,7

4,3

3,3

1,0

-0,1

-0,4

-2,2

(Persen)

1) Investasi disini adalah Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto

Sumber : BPS

sebelumnya sebesar 3,4% (Tabel 2.1). Meskipun

demikian, kenaikan pertumbuhan tersebut tidak diikuti

oleh membaiknya struktur perekonomian. Di sisi

domestik, konsumsi tetap menjadi tumpuan kenaikan

pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, kegiatan

investasi justru mengalami pertumbuhan negatif. Di

sisi eksternal, ekspor neto yang meningkat lebih

disebabkan oleh kontraksi impor barang dan jasa yang

jauh lebih tajam dari pada kontraksi ekspor barang

dan jasa.

Perkembangan indikator moneter yang positif

sepanjang tahun —seperti menurunnya tekanan inflasi,

stabilnya nilai tukar dan menurunnya suku bunga—,

belum direspon secara optimal oleh sektor riil.

Penurunan suku bunga cenderung direspon lebih kuat

oleh kegiatan konsumsi. Sementara itu, respon

kegiatan investasi —yang memiliki efek pengganda

(multiplier effect) yang lebih tinggi daripada

konsumsi— masih lemah. Rendahnya realisasi

investasi juga tidak terlepas dari iklim investasi yang

masih belum kondusif di samping masih tingginya

29

Kondisi Ekonomi Makro

suku bunga kredit investasi. Selain itu, nilai tukar

rupiah yang menguat dengan volatilitas yang rendah

sepanjang tahun laporan juga belum dapat

mendorong kegiatan produksi dan investasi termasuk

di dalamnya kegiatan ekspor dan impor.

Pada 2002 sumbangan konsumsi terhadap laju

pertumbuhan PDB sebesar 4,3%, meningkat dari 3,7%

pada 2001. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya

pertumbuhan konsumsi baik di sektor rumah tangga

maupun di sektor pemerintah. Pertumbuhan pengeluaran

konsumsi rumah tangga meningkat dari 4,4% menjadi

4,7% pada tahun laporan. Sedangkan pengeluaran

konsumsi pemerintah mencapai 12,8% pada 2002, jauh

lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang mencapai 9,0%.

Hal ini seiring dengan meningkatnya peran pemerintah

dalam mendorong roda perekonomian. Meningkatnya

peran pemerintah tercermin pada pertumbuhan

konsumsi pemerintah yang selalu lebih tinggi

dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi rumah

tangga sejak 2000 (Grafik 2.1).

Meningkatnya konsumsi rumah tangga

tercermin dari beberapa indikator konsumsi.

Secara umum perkembangan triwulanan indeks riil

penjualan eceran terus menunjukkan peningkatan,

hingga mencapai 126,2 pada triwulan IV-2002 (Grafik

2.2).1 Kenaikan penjualan eceran terjadi di hampir

seluruh kelompok barang yang disurvei, kecuali untuk

penjualan eceran kelompok bahan konstruksi yang

mencatat penurunan. Peningkatan penjualan terutama

disumbang oleh peningkatan penjualan kelompok

makanan dan tembakau, kelompok kendaraan dan suku

cadangnya, kelompok pakaian dan perlengkapannya dan

kelompok perlengkapan rumah tangga (Grafik 2.3).

1 Hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dilakukan oleh Bank Indonesia

Grafik 2.1Pertumbuhan Konsumsi Tahunan

Grafik 2.3Survei Penjualan Eceran

Grafik 2.2Indeks Riil Penjualan Eceran

30

Kondisi Ekonomi Makro

Hasil survei yang menunjukkan peningkatan

penjualan pada kelompok makanan dan tembakau,

searah dengan meningkatnya pertumbuhan tahunan

pengeluaran konsumsi yang dialokasikan untuk

makanan yang meningkat dari 0,3% pada 2001

menjadi 0,7% pada tahun laporan (Grafik 2.4).

Sementara itu, meskipun terdapat kecenderungan

melemah, pertumbuhan tahunan pengeluaran

konsumsi bukan makanan pada 2002 masih tetap

tinggi yakni sebesar 9,0%. Kecenderungan

meningkatnya perkembangan pengeluaran konsumsi

bukan makanan tersebut tercermin pada indikator

Grafik 2.4Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga

Sumber : GAIKINDOGrafik 2.5

Penjualan Sepeda Motor

Grafik 2.6Penjualan Van dan Sedan

Grafik 2.7Perkembangan Kredit Konsumsi

konsumsi lainnya seperti angka penjualan kendaraan

bermotor nonniaga. Didorong oleh kemudahan dari

sisi pembiayaannya, penjualan sepeda motor terus

mengalami peningkatan hingga mencapai 2,3 juta

unit pada 2002 atau meningkat 39,5% dibandingkan

tahun sebelumnya (Grafik 2.5). Perkembangan yang

sama juga ditunjukkan oleh penjualan van dan se-

dan yang angka penjualannya tetap meningkat dan

mencapai 264 ribu unit pada 2002 atau meningkat

5,1% dibandingkan tahun sebelumnya (Grafik 2.6).

Meningkatnya pengeluaran konsumsi rumah

tangga tercermin pula dari sisi pembiayaannya, baik

31

Kondisi Ekonomi Makro

yang bersumber dari perbankan (kredit konsumsi)

maupun yang bersumber dari perusahaan

pembiayaan (pembiayaan konsumen). Pertumbuhan

tahunan kredit konsumsi masih tetap tinggi hingga

mencapai 36,5%. Meskipun demikian, pertumbuhan

tahunan tersebut masih lebih rendah apabila

dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 45,5%

(Grafik 2.7). Perkembangan serupa juga ditunjukkan

oleh indikator pembiayaan konsumen. Pertumbuhan

rata-rata pembiayaan konsumen masih tetap tinggi

seiring dengan menurunnya suku bunga dan hingga

November 2002 mencapai 24,7%. Namun demikian

dibandingkan dengan pertumbuhan tahun

sebelumnya yang mencapai rata-rata 76,3%, terdapat

perlambatan pertumbuhan (Grafik 2.8). Hal ini

mengindikasikan gejala melambatnya sumber

pembiayaan konsumsi. Indikasi tersebut juga terlihat

pada perkembangan alat pembayaran kartu.

Pemakaian kartu kredit sebagai sarana transaksi non

tunai semakin meluas sebagaimana tercermin pada

peningkatan jumlah pemegang kartu kredit yang hingga

November 2002 telah mencapai 4,1 juta orang atau

meningkat 18,4% dibandingkan tahun sebelumnya.

Namun demikian, pertumbuhan volume transaksi

kartu kredit justru menurun dari 41,9% pada 2001

menjadi 14,9% pada 2002. Di samping itu, sumber

Grafik 2.8Perkembangan Pembiayaan Konsumen

4.093.37122,25,4

12.930.1617,50,6

Kartu KreditJumlah Pemegang (Orang)Volume Transaksi (Triliun Rp)Nilai Transaksi per Orang (Juta Rp)

Kartu DebitJumlah Pemegang (Orang)Volume Transaksi (Triliun Rp)Nilai Transaksi per Orang (Juta Rp)

Jenis 1998 1999 2000 2001 2002 a)

3.457.22619,35,6

13.587.5056,70,5

2.622.60413,65,2

13.103.6764,70,4

2.043.84610,45,1

12.110.9703,20,3

2.028.4424,92,4

5.374.3762,60,5

a) Data s.d. November 2002

Grafik 2.9Survei Konsumen

Tabel 2.2Perkembangan Alat Pembayaran Berbasis Kartu

a) Data s.d. November 2002

32

Kondisi Ekonomi Makro

pembiayaan sendiri berupa penggunaan kartu debit

sebagai sarana transaksi juga mengalami penurunan.

Jumlah pemegang kartu debit menurun sebesar 4,8%

dari 13,6 juta orang pada 2001 menjadi 12,9 juta

pada tahun laporan (Tabel 2.2).

Sementara itu, Survei Konsumen mengindi-

kasikan konsumen yang masih tetap pesimis terhadap

kondisi ekonomi sebagaimana tercermin dari indeks

kondisi ekonomi saat ini yang masih berada di bawah

100 sepanjang tahun laporan (Grafik 2.9).2 Pesimisme

konsumen tersebut juga tercermin pada indeks

ketepatan waktu pembelian barang tahan lama yang

masih tetap rendah, yang berarti masyarakat masih

memprioritaskan pembelian barang primer seperti

sandang dan pangan. Ketidakmampuan untuk membeli

barang dan persepsi semakin tingginya harga-harga

barang adalah dua alasan utama konsumen tidak

membeli barang tahan lama. Alasan tersebut

mengindikasikan melemahnya daya beli masyarakat

meskipun dari sisi pendapatan terjadi kenaikan secara

nominal terkait dengan adanya kenaikan upah mini-

mum propinsi yang diberlakukan sejak 1 Januari 2002.

Di samping itu, berbagai kebijakan pemerintah di

bidang harga untuk menaikkan harga BBM, tarif dasar

listrik, tarif telepon, dan tarif angkutan semakin

memperlemah daya beli masyarakat. Melemahnya

daya beli masyarakat tersebut diperburuk oleh kondisi

sektor tenaga kerja seiring dengan meningkatnya

jumlah pengangguran.

Pesimisme konsumen juga diperlihatkan oleh

hasil-hasil survei yang dilakukan lembaga lain. Survei

Tendensi Konsumen yang dilakukan Badan Pusat

Statistik (BPS) menunjukkan adanya perubahan arah

kecenderungan konsumsi. Hingga triwulan III-2002

indikasi tendensi konsumen terus menunjukkan

peningkatan, namun memasuki triwulan IV-2002 indeks

telah berada di bawah 100 yang mengindikasikan bahwa

prospek konsumen secara umum menurun.

Perkembangan yang serupa juga ditunjukkan oleh hasil

Survei Consumer Confidence yang dilakukan oleh

Danareksa Research Institute (DRI). Sejak awal tahun

indeks kepercayaan konsumen terus meningkat hingga

September 2002, selanjutnya indeks kembali berada

di bawah 100.

Ditinjau dari sumber atau asal barang,

perkembangan konsumsi tidak saja dipenuhi dari

produksi dalam negeri, namun juga dari impor. Seiring

dengan meningkatnya pertumbuhan konsumsi,

pertumbuhan impor barang konsumsi 2002

menunjukkan peningkatan sebesar 12,7%, jauh lebih

tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun

lalu yang menurun 5,8% (Grafik 2.10).3 Kenaikan

impor barang konsumsi terjadi pada hampir seluruh

Grafik 2.10Perkembangan Impor Barang Konsumsi

3 Sumber: Neraca Pembayaran Indonesia2 Hasil Survei Konsumen (SK) yang dilakukan oleh Bank Indonesia

33

Kondisi Ekonomi Makro

jenis komoditi seperti bahan makanan dan minuman,

makanan dan minuman untuk rumah tangga, dan

barang konsumsi tidak tahan lama. Peningkatan impor

barang konsumsi dapat dilihat dari maraknya impor

produk pertanian seperti beras dan gula serta

membanjirnya produk manufaktur seperti pakaian

jadi dan barang-barang elektronik di pasar domestik.

Di satu sisi, meningkatnya kehadiran pemain asing

di pasar domestik selain memberikan lebih banyak

pilihan kepada konsumen, hal tersebut juga

membantu mengurangi tekanan harga melalui

pemenuhan kekurangan pasokan khususnya bahan

pokok seperti beras dan gula. Namun di sisi lain,

fenomena tersebut mengindikasikan rendahnya daya

saing industri dalam negeri.

Di sektor pemerintah, pertumbuhan konsumsi

pemerintah dalam PDB pada tahun laporan meningkat

cukup tinggi sebesar 12,8% dibandingkan tahun

sebelumnya 9,0%. Hal ini disebabkan oleh menurunnya

beban subsidi pemerintah sehingga memungkinkan

peluang bagi peningkatan pengeluaran konsumsi

pemerintah. Dari jumlah pengeluaran konsumsi

tersebut, sebagian besar digunakan untuk konsumsi

daerah yang dialokasikan dalam bentuk Dana Alokasi

Umum serta Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang.

Kegiatan investasi yang diprakirakan akan

membaik di paro kedua 2002 ternyata masih

menunjukkan kecenderungan yang kurang

menggembirakan sehingga secara keseluruhan

justru mengalami kontraksi sebesar 0,2%, jauh lebih

rendah dari 2001 (7,7%) dan 2000 (13,8%). Semakin

memburuknya kegiatan investasi tidak terlepas dari

masih tingginya risiko investasi yang memperburuk

daya saing perekonomian seperti masalah

perburuhan, implementasi otonomi daerah yang

terkait dengan investasi, ketidakpastian hukum

serta kondisi keamanan yang diperburuk oleh

tragedi Bali.

Secara umum indikasi memburuknya kegiatan

investasi dapat dilihat dari menurunnya jumlah

persetujuan investasi asing maupun domestik dan

menurunnya impor barang modal dan bahan baku.

Nilai persetujuan investasi dalam rangka Penanaman

Modal Dalam Negeri (PMDN) merosot 57,0%, yakni

dari Rp58,8 triliun (264 proyek) di tahun 2001

menjadi hanya Rp25,2 triliun (181 proyek) pada

periode yang sama di tahun laporan. Perkembangan

serupa juga terjadi pada nilai persetujuan investasi

dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) yang

merosot sebesar 35,3%, yakni dari $15,1 miliar

(1.333 proyek) menjadi $9,7 miliar (1.135 proyek)

pada 2002 (Tabel 2.3). Selain itu, terdapat pula

indikasi beralihnya minat investor asing dari sektor

industri ke bidang perdagangan dan reparasi serta

bidang jasa lainnya yang tingkat pengembaliannya

lebih cepat dan sunk cost (biaya investasi awal yang

pasti hilang) yang lebih rendah.

Tabel 2.3Persetujuan PMA dan PMDN

181

25.262,3

1.135

9.744,1

Penanaman Modal Dalam Negeri

Jumlah Proyek

Nilai Investasi (Miliar Rp)

Penanaman Modal Asing

Jumlah Proyek

Nilai Investasi (Juta $)

200220012000

264

58.816,0

1.333

15.055,9

355

92.410,0

1.524

15.426,6

Sumber : BKPM

34

Kondisi Ekonomi Makro

Selain hasil survei, melemahnya kegiatan investasi

juga diperlihatkan oleh berbagai indikator dini (prompt

indicator) seperti penjualan truk dan produksi semen.

Meskipun penjualan truk maupun produksi semen masih

terus meningkat, pertumbuhannya menunjukkan

kecenderungan yang melambat. Melambatnya

pertumbuhan penjualan truk tercermin dari menurunnya

rata-rata pertumbuhan dari 43,3% (2001) menjadi 11,5%

(2002) (Grafik 2.11). Perkembangan penjualan truk

tersebut searah dengan perkembangan investasi alat

angkutan yang dalam tahun laporan terus mengalami

penurunan. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan

Grafik 2.11Penjualan Truk

Grafik 2.12Produksi Semen

Grafik 2.13Pertumbuhan Investasi Berdasarkan Jenis

Grafik 2.14Perkembangan Kredit Investasi

produksi semen pada 2002 mengalami kontraksi 1,8%,

jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan

2001 sebesar 12,6% (Grafik 2.12). Pertumbuhan produksi

semen tersebut terlihat melambat sejak pertengahan

2001 meskipun sempat menunjukkan arah peningkatan

pada pertengahan tahun laporan. Perkembangan

tersebut sejalan dengan pertumbuhan tahunan investasi

bangunan yang cenderung melambat, meskipun terlihat

mulai menunjukkan kenaikan menjelang akhir tahun

2002 (Grafik 2.13).

Dari sisi pembiayaan, indikasi melemahnya

kegiatan investasi terlihat pada menurunnya pangsa

35

Kondisi Ekonomi Makro

kredit investasi terhadap total kredit perbankan dari

24,0% pada 2001 menjadi 22,8% pada tahun laporan.

Ditinjau dari pertumbuhannya, kredit investasi tumbuh

11,3%, relatif tidak berubah dibandingkan tahun

sebelumnya yakni 10,2% (Grafik 2.14). Kecenderungan

yang berbeda diperlihatkan oleh pembiayaan yang

bersumber dari non perbankan seperti penerbitan

obligasi yang terus meningkat. Maraknya penerbitan

obligasi tersebut terutama didukung oleh faktor suku

bunga yang menurun. Sepanjang tahun laporan, tercatat

dua belas perusahaan yang telah menerbitkan obligasi

dengan total nilai sebesar Rp5,3 triliun (Tabel 2.4).

Meskipun iklim investasi masih belum kondusif,

potensi pembiayaan domestik yang diperlukan untuk

mendukung kegiatan investasi pada dasarnya masih

tinggi. Hal ini antara lain tercermin dari masih

besarnya kesenjangan tabungan-investasi walaupun

nisbah surplus kesenjangan tabungan-investasi

terhadap PDB sejak 2000 terus menunjukan penurunan

hingga mencapai 4,08% pada 2002. Penurunan sur-

plus tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya

surplus di sektor swasta. Sementara itu, defisit di

sektor pemerintah sedikit menurun dari 2,72% pada

2001 menjadi 1,66% dalam tahun laporan (Tabel 2.5).

Faktor utama menurunnya defisit tersebut adalah

peningkatan tabungan pemerintah akibat menurunnya

pengeluaran rutin untuk subsidi BBM.

Penyumbang kedua terbesar dalam

pertumbuhan PDB adalah ekspor neto yang

mencapai 1,8%. Namun, tingginya sumbangan

ekspor neto tersebut disebabkan oleh kontraksi

impor barang dan jasa yang jauh lebih tajam

daripada kontraksi ekspor barang dan jasa. Setelah

mencapai puncaknya pada 2000 yang mencapai

PemerintahTabunganInvestasiDefisit/Surplus

SwastaTabunganInvestasiDefisit/Surplus

TotalTabunganInvestasiDefisit/Surplus

PemerintahTabunganInvestasiDefisit/Surplus

SwastaTabunganInvestasiDefisit/Surplus

TotalTabunganInvestasiDefisit/Surplus

Produk Domestik Bruto (Triliun Rp)Transaksi Berjalan (Miliar )Rata-Rata Nilai Tukar (Rp/$)

2002

62,974,2-11,3

222,9166,156,8

285,8240,345,5

5,676,68

-1,02

20,0814,965,12

25,7521,654,10

1.110,05,8

7.850

28,960,1

-31,2

307,3208,698,7

336,2268,767,5

2,254,69

-2,44

23,9716,277,70

26,2220,965,27

1.282,08,0

8.438

21,862,3

-40,5

365,1253,8111,3

386,9316,170,8

1,464,18

-2,72

24,4917,027,46

25,9521,204,75

1.491,06,9

10.255

-27,7

355,1259,495,7

393,3325,368,0

2,293,95

-1,66

21,2915,555,74

23,5819,504,08

9.316

200120001999Harga Berlaku (Triliun Rp)

Rasio Terhadap PDB (Persen)

38,21)

65,91)

1.667,91)

7,32)

1 ) Tabungan-Investasi Pemerintah dan PDB harga berlaku berdasarkanAPBN Realisasi 2002

2 ) Transaksi Berjalan berdasarkan Neraca Pembayaran IndonesiaSumber : BPS, Bank Indonesia dan Departemen Keuangan (diolah)

Tabel 2.4Penerbitan Obligasi Tahun 2002

400300400600300200

1.000300450

1.075200100

5.325

No. Emiten Nilai

Sumber : Bursa Efek Surabaya

Jasa Marga IXOto Multiartha IAstra Sedaya Finance IIPupuk Kaltim IPerum Pegadaian IXBhakti Investama IIITelkom IFederal International Finance IMatahari Putra PrimaIndosat IIBank Nagari VInti Visindo InternasionalTotal

123456789

101112

(Miliar Rp)

Tabel 2.5Kesenjangan Tabungan-Investasi

36

Kondisi Ekonomi Makro

pertumbuhan 26,5%, pertumbuhan ekspor barang

dan jasa terus menunjukkan penurunan hingga

mencatat kontraksi sebesar 1,2% pada 2002. Secara

umum, buruknya kinerja ekspor tidak terlepas dari

berbagai permasalahan yang terjadi baik di dalam

maupun di luar negeri. Dari dalam negeri, industri

berorientasi ekspor masih menghadapi sejumlah

persoalan seperti: (i) ketidakpastian penegakan

hukum; (i i) naiknya beban biaya produksi

sehubungan dengan kenaikan tarif telepon, listrik,

dan BBM; (iii) tuntutan kenaikan upah buruh dan

maraknya aksi pemogokan; (iv) teknologi produksi

yang mulai usang seiring dengan turunnya investasi

barang modal; (v) lemahnya penguasaan pasar dan

belum efisiennya sistem distribusi; (vi) adanya

persoalan struktural seperti munculnya peraturan-

peraturan daerah yang tidak mendukung

pengembangan industri dan perdagangan; (vii)

kondisi keamanan yang tidak kondusif.

Dari sisi eksternal, lambatnya pemulihan

ekonomi di beberapa negara — terutama negara mitra

dagang utama Indonesia, seperti Amerika Serikat (AS)

dan Jepang— semakin mempersulit kinerja ekspor.

World Economic Outlook yang pada awal tahun

memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS 2002

sebesar 2,3%, ternyata justru merevisinya menjadi

2,2%. Melambatnya kinerja ekonomi tersebut

tercermin dari kepercayaan konsumen yang

menyentuh level terendah dalam 9 tahun terakhir.

Sementara itu, kegiatan ekonomi di Jepang pada 2002

kembali mengalami kontraksi 0,5%, lebih rendah dari

tahun lalu sebesar -0,3%. Perkembangan ekonomi

Jepang yang kurang menggembirakan tersebut

menyebabkan business confidence pengusaha

menurun, seperti tercermin pada indeks Tankan pada

September 2002 yang masih negatif. Lemahnya

kinerja ekonomi di dua kekuatan ekonomi terbesar

dunia tersebut telah menyebabkan terhambatnya

proses pemulihan perekonomian dunia.

Selain perekonomian dunia yang belum

sepenuhnya pulih, beberapa permasalahan ekspor

lainnya dari sisi eksternal adalah: (i) semakin

tajamnya persaingan global. Masuknya Cina sebagai

anggota WTO menjadi tantangan yang cukup berat

bagi produk Indonesia; (ii) meningkatnya

proteksionisme yang diperlihatkan oleh sikap

sejumlah negara yang cenderung meningkatkan

hambatan non tarif dengan dalih melindungi industri

dalam negeri; (iii) terjadinya pengalihan

perdagangan (trade diversion) seiring dengan

terbentuknya blok-blok perdagangan; (iv)

perkembangan harga komoditi primer di pasar

internasional yang tidak menguntungkan posisi

penjual. Hal ini terkait dengan kondisi global saat

ini yang diwarnai oleh kelebihan pasokan dunia

sehingga pembeli lebih berperan dalam penentuan

harga (buyer’s market).

Grafik 2.15Pertumbuhan Ekspor-Impor Barang dan Jasa

37

Kondisi Ekonomi Makro

Sementara itu, kegiatan impor mencatat

kontraksi sangat tajam. Impor barang dan jasa pada

tahun laporan mencatat kontraksi 8,3%, jauh lebih

buruk dibandingkan dengan tahun lalu yang meningkat

sebesar 8,1% (Grafik 2.15). Pertumbuhan yang negatif

tersebut terkait erat dengan masih buruknya

pertumbuhan investasi dan rendahnya pertumbuhan

sektor industri berorientasi ekspor yang memiliki

kandungan impor tinggi terutama untuk bahan baku

dan barang modal. Dalam periode laporan, pertumbuhan

impor bahan baku mengalami kontraksi sebesar 2,9%,

sedangkan impor barang modal mengalami kontraksi

sebesar 6,7%.4

PENAWARAN AGREGAT

Pertumbuhan ekonomi dari sisi produksi pada

2002 menunjukkan adanya peningkatan dengan

pertumbuhan positif terjadi pada seluruh sektor

pembentuk PDB (Tabel 2.6). Meski demikian, dari 9

sektor ekonomi yang ada, hanya 4 sektor yang

mengalami peningkatan pertumbuhan, yakni sektor

pertanian, sektor pertambangan, sektor

pengangkutan, dan sektor keuangan. Sementara itu

sektor-sektor lainnya justru melambat, termasuk sektor

industri pengolahan yang memiliki pangsa terbesar

dalam pembentukan PDB. Dilihat dari penyumbang

terhadap pertumbuhan, kontributor utama

pertumbuhan pada tahun laporan masih berasal dari

sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, ho-

tel dan restoran, dan sektor pengangkutan, masing-

masing sebesar 1,1%, 0,6%, dan 0,6% (Grafik 2.16).

Tabel 2.6Pertumbuhan Ekonomi Menurut Sektor Ekonomi

PertanianPertambanganIndustriListrikBangunanPerdaganganPengangkutanKeuanganJasaPDB

2002**2001*20001999Pertumbuhan Kontribusi Pertumbuhan Kontribusi Pertumbuhan Kontribusi Pertumbuhan Kontribusi

22,0-1,63,98,3

-1,9-0,1-0,8-7,21,90,8

0,4-0,21,00,1

-0,10,0

-0,1-0,50,20,8

1,95,56,07,65,65,78,64,62,34,9

0,30,51,60,10,30,90,60,30,24,9

1,00,04,17,74,25,37,33,42,03,4

0,20,01,10,10,20,90,50,20,23,4

1,72,34,06,24,13,67,85,62,03,7

0,30,21,10,10,20,60,60,40,23,7

4 Sumber : Neraca Pembayaran Indonesia

Grafik 2.16Kontribusi terhadap Pertumbuhan

(Persen)

Sektor1)

1) Nama sektor disederhanakanSumber : BPS

38

Kondisi Ekonomi Makro

Sektor pertambangan yang tahun lalu tidak mengalami

pertumbuhan, pada tahun laporan mengalami

pertumbuhan sebesar 2,3%.

Sektor industri pengolahan tumbuh sebesar

4,0% dan memberikan sumbangan 1,1% terhadap

pertumbuhan PDB. Meskipun demikian, angka

pertumbuhan ini sedikit melambat apabila

dibandingkan pertumbuhan tahun lalu yang mencapai

4,1%. Berbagai permasalahan yang melingkupi dunia

usaha seperti faktor risiko usaha yang tinggi,

meningkatnya biaya produksi yang bersumber dari

penyesuaian harga BBM, TDL serta berbagai retribusi

baru seiring dengan implementasi otonomi daerah,

menjadi beberapa penyebab melambatnya

pertumbuhan sektor ini.

Perlambatan pertumbuhan pada sektor ini juga

tak terlepas dari masih belum tuntasnya permasalahan

yang membatasi proses intermediasi perbankan,

meski suku bunga SBI sudah turun. Meskipun jumlah

kredit baru terus meningkat, peningkatannya tidak

cukup besar untuk dapat memacu pertumbuhan yang

lebih tinggi. Bahkan posisi kredit perbankan yang

disalurkan ke sektor ini mengalami penurunan

dibandingkan tahun 2001. Selain itu, permasalahan

mendasar dalam perekonomian Indonesia seperti

tidak adanya kepastian hukum turut menghambat

proses pemulihan ekonomi. Adanya persaingan dari

negara-negara tetangga seperti Vietnam, Cina, India

juga merupakan salah satu tantangan yang dihadapi

oleh pelaku usaha di Indonesia. Dampak dari

permasalahan ini sudah mulai terlihat dari adanya

penutupan beberapa perusahaan PMA.

Indikasi perlambatan pertumbuhan sektor ini

tercermin juga pada hasil Survei Kegiatan Dunia

Usaha (SKDU) yang dilakukan oleh Bank Indonesia

dan Survei Tendensi Bisnis yang dilakukan BPS (Grafik

2.17). Kedua survei tersebut menunjukkan

perkembangan indeks yang melemah yang

mengindikasikan menurunnya optimisme pengusaha

terhadap kondisi perusahaan dan bisnis. Prospek

bisnis yang melemah tersebut terutama disebabkan

oleh menurunnya pesanan baik dari dalam maupun

luar negeri. Gambaran serupa juga tercermin pada

hasil survei industri besar dan sedang, dimana

pertumbuhan indeks produksinya bahkan mencatat

kontraksi (Grafik 2.18).

Grafik 2.17Survei Kegiatan Dunia Usaha

Grafik 2.18Indeks Produksi

39

Kondisi Ekonomi Makro

Terlepas dari masih terdapatnya berbagai

permasalahan diatas, seiring dengan kenaikan

permintaan, kegiatan ekonomi dari sisi produksi masih

terus tumbuh positif, meski pertumbuhannya tidak

dapat memenuhi seluruh kenaikan permintaan

tersebut. Peningkatan kegiatan ekonomi ini tercermin

dari angka utilisasi kegiatan di sektor industri

pengolahan -khususnya industri elektronika serta

industri kimia, agro dan hasil hutan yang memiliki

pangsa lebih dari 80% dari total produksi di sektor

industri pengolahan- yang menunjukkan peningkatan

bahkan tingkat utilisasinya sudah berada diatas angka

utilisasi sebelum krisis (Tabel 2.7). Indikator lain

seperti produksi sepeda motor juga masih berada pada

tren yang terus meningkat sejak 1998 (Grafik 2.19).

Sektor perdagangan, hotel dan restoran

mengalami pertumbuhan sebesar 3,6%, turun

dibandingkan tahun lalu sebesar 5,3%. Dengan

pertumbuhan yang melambat tersebut, kontribusi

sektor ini terhadap pertumbuhan PDB hanya mencapai

0,6%. Pertumbuhan pada sektor ini terutama didorong

oleh subsektor perdagangan besar dan eceran seiring

dengan peningkatan konsumsi masyarakat.

Indikator dari pertumbuhan subsektor

perdagangan tercermin dari dibukanya beberapa gerai

ritel selama tahun laporan. Hasil Survei Penjualan

Eceran sampai dengan Desember 2002 juga

menunjukkan adanya peningkatan namun dengan laju

yang melambat dibandingkan tahun sebelumnya.

Perlambatan ini diperparah oleh tragedi Bali yang

menyebabkan merosotnya kinerja subsektor hotel dan

subsektor restoran.

Pada tahun laporan sektor pengangkutan dan

komunikasi tumbuh 7,8%, lebih tinggi dari pertumbuhan

tahun sebelumnya (7,3%). Meski terjadi tragedi Bali pada

triwulan terakhir 2002, dampaknya tidak terlalu

signifikan mengingat sampai tiga triwulan pertama

2002, sektor pengangkutan dan komunikasi masih

mencatat pertumbuhan yang meningkat apabila

dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Pertumbuhan yang terjadi terutama berasal dari

pertumbuhan pada subsektor pengangkutan, khususnya

angkutan jalan raya dan angkutan udara. Untuk angkutan

udara, bertambahnya maskapai penerbangan udara dan

kebijakan pemerintah yang hanya membatasi ceiling

price mendorong persaingan yang semakin ketat

sehingga menyebabkan harga tiket pesawat lebih murah.

Namun demikian, tragedi Bali telah menyebabkan

pertumbuhan kegiatan angkutan udara melambat.

Tabel 2.7Tingkat Utilisasi Industri Kimia, Agro, dan Hasil Hutan

Industri Kimia Hulu

Industri Kimia Hilir

Industri Kimia Hasil Pertanian

Industri Agro

Industri Hasil hutan

Rata-Rata

2002*2001200019991998199784,8

75,8

75,4

56,1

60,7

70,6

80,8

72,2

71,8

53,4

57,8

67,2

75,9

70,4

69,6

53,4

67,4

67,3

66,0

64,3

68,0

46,4

60,1

61,0

65,4

54,9

67,8

44,2

58,5

58,2

72,1

78,1

69,0

47,5

68,4

67,0Sumber : Departemen Perindustrian dan Perdagangan

(Persen)

Grafik 2.19Produksi Kendaraan Bermotor

40

Kondisi Ekonomi Makro

Untuk subsektor komunikasi, pertumbuhan

pada tahun laporan terkait erat dengan deregulasi

di sektor telekomunikasi. Deregulasi ini

memungkinkan terjadinya persaingan yang ketat

antar perusahaan yang bergerak di sektor tersebut.

Deregulasi ini juga mendorong terjadinya

peningkatan investasi oleh beberapa operator

utama. Selain itu berbagai tawaran program baru

dari operator telepon seluler juga berperan dalam

peningkatan pertumbuhan subsektor ini.

Sektor pertanian mencatat pertumbuhan

sebesar 1,7%, lebih tinggi dari pertumbuhan pada

tahun sebelumnya yang hanya sebesar 1,0%.

Peningkatan pertumbuhan ini terutama terjadi pada

subsektor tanaman bahan makanan melalui

peningkatan produktivitas dan perluasan lahan

pertanian. Selain itu, gejala alam El Nino yang

semula diperkirakan memberikan dampak negatif

ternyata tidak terjadi. Dalam mengantisipasi

kemungkinan penurunan produksi akibat terjadinya

musim kering, Departemen Pertanian telah

menggalakkan upaya untuk memperluas lahan tanam

dan penyediaan benih kepada petani. Selain itu,

tercukupinya kebutuhan pupuk dalam negeri karena

tidak adanya gangguan pasokan gas kepada industri

pupuk juga turut memperlancar proses produksi di

sektor ini.

Fenomena yang paling menonjol pada sektor

pertanian adalah terjadinya pergeseran masa panen

raya. Bencana banjir yang terjadi pada akhir 2001

dan awal tahun laporan telah menyebabkan

mundurnya masa tanam padi. Akibatnya, musim

panen raya bergeser ke triwulan II. Dengan

demikian, produksi padi pada triwulan ini meningkat

secara signifikan dan bahkan mampu mendukung

penurunan kegiatan sektor-sektor lainnya yang

sampai paro pertama 2002 masih kurang

menggembirakan. Selain tanaman bahan makanan,

subsektor perkebunan juga memberikan sumbangan

yang cukup besar bagi pertumbuhan sektor ini.

Sementara itu, subsektor kehutanan justru

mengalami kontraksi. Hal ini terkait dengan

kebijakan pemerintah yang membatasi kegiatan di

subsektor kehutanan dalam upayanya untuk menjaga

kelestarian lingkungan.

Sektor-sektor lain dalam pembentukan PDB

secara umum juga memperlihatkan perbaikan.

Sektor keuangan dan sektor pertambangan mencatat

adanya peningkatan pertumbuhan. Meningkatnya

dana pihak ketiga dan penyaluran kredit

mencerminkan proses intermediasi perbankan yang

terus membaik. Sektor konstruksi juga terus tumbuh

terutama berasal dari perbaikan infrastruktur yang

dilakukan oleh pemerintah seiring dengan

pelaksanaan proyek-proyek besar pembangunan jalan

di berbagai daerah di Indonesia serta pembangunan

properti komersial dan residensial.

Interaksi Permintaan dan Penawaran

Perkembangan sisi penawaran menunjukkan

pertumbuhan yang positif, meski belum pada tingkat

yang diharapkan. Terus melemahnya pertumbuhan

investasi, serta menurunnya impor bahan baku

penolong dan impor barang modal menyebabkan

penambahan kapasitas produksi dan utilisasi menjadi

terbatas. Bahkan peningkatan di sisi penawaran ini

tidak cukup untuk memenuhi kenaikan permintaan

domestik. Kesenjangan antara permintaan dan

41

Kondisi Ekonomi Makro

penawaran domestik ini ditutup oleh pasokan yang

berasal dari impor sehingga tekanan harga yang

berasal dari permintaan tidak terlalu besar.

Perkembangan perekonomian yang belum

terlalu menggembirakan tercermin pula pada

angka incremental capital output ratio (ICOR) yang

mengukur efisiensi dari suatu perekonomian. Pada

periode laporan angka ICOR relatif tidak berubah

(Grafik 2.20). Dengan kata lain, laju pertumbuhan

ekonomi yang meningkat membutuhkan investasi

yang lebih tinggi dengan rasio yang relatif sama.

KETENAGAKERJAAN

Perkembangan ketenagakerjaan pada 2002

menunjukkan kecenderungan yang memburuk

sebagaimana tercermin dari besarnya penambahan

angkatan kerja yang tidak sebanding dengan

penambahan lapangan kerja. Hal ini terkait dengan

pertumbuhan ekonomi yang masih rendah.

Sementara itu, upaya peningkatan kesejahteraan

pekerja belum optimal karena masih relatif tingginya

tingkat inflasi, sehingga upah minimum propinsi

(UMP) masih berada di bawah tingkat kebutuhan

hidup minimum (KHM). Di sisi lain, permasalahan

perburuhan di dalam negeri dan tenaga kerja Indo-

nesia (TKI) ilegal di luar negeri turut memperburuk

kondisi ketenagakerjaan 2002.

Grafik 2.20Incremental Capital-Output Ratio (ICOR)

Tabel 2.8Angkatan Kerja dan Pengangguran

PendudukPenduduk Usia KerjaAngkatan KerjaTingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%)

BekerjaFormalInformalBekerja >= 35 jam semingguBekerja < 35 jam seminggu (setengah penganggur)

Penganggur TerbukaTingkat Pengangguran Terbuka (%)Penganggur Terbuka & Setengah PenganggurTingkat Penganggur Terbuka & Setengah Penganggur (%)

Bukan Angkatan KerjaPenduduk Bukan Usia Kerja

1997 1998 1999 2000 2001 2002*

195,8135,1

89,666,385,431,753,757,428,04,24,7

32,236,045,560,7

198,5138,6

92,766,987,730,357,355,731,95,15,5

37,039,945,859,9

200,3141,1

94,867,288,831,956,957,431,46,06,4

37,439,446,359,2

205,8141,295,767,889,831,558,359,730,1

5,86,1

35,937,545,564,6

208,9144,098,868,690,829,461,460,430,4

8,08,1

38,438,945,264,9

212,0148,4100,567,891,629,262,462,828,9

9,19,1

38,037,848,363,6

Sumber : BPS

(Juta Orang)

42

Kondisi Ekonomi Makro

Penduduk Usia Kerja dan Angkatan Kerja

Jumlah penduduk usia kerja pada akhir 2002

mencapai 148,4 juta orang5, meningkat dibandingkan

pada akhir 2001 sebanyak 144 juta. Dari jumlah

tersebut, sebanyak 67,7% atau 100,5 juta orang

merupakan angkatan kerja. Sementara itu jumlah

penduduk yang bekerja mencapai 91,6 juta orang atau

naik 1,7% dibandingkan pada 2001 (Tabel 2.8). Dengan

perkembangan tersebut tingkat kesempatan kerja

mencapai 91,2%, turun dibandingkan tahun

sebelumnya sebesar 91,9%. Jika dihitung berdasarkan

penduduk yang bekerja minimal 35 jam seminggu,

yaitu sebanyak 62,8 juta orang, tingkat kesempatan

kerja hanya mencapai 62,5%.

Ditinjau berdasarkan lapangan pekerjaan,

terjadi penurunan jumlah pekerja di sektor

pertanian dan sektor jasa-jasa. Meskipun

mengalami penurunan, sektor pertanian masih

menjadi sektor penyerap tenaga kerja terbesar

(42,5%), disusul sektor perdagangan, hotel dan

restoran (19,6%), sektor industri pengolahan

(13,7%), dan sektor jasa-jasa (11,9%). Sejalan

dengan dominasi sektor pertanian sebagai penyedia

lapangan kerja, jenis pekerjaan juga didominasi

oleh tenaga usaha pertanian (42,1%), disusul tenaga

produksi (25,4%), dan tenaga usaha penjualan

(18,4%). Jumlah pekerja yang berprofesi sebagai

tenaga kepemimpinan dan tenaga profesional masih

sangat kecil, yaitu masing-masing 0,4% dan 3,5%

dari penduduk yang bekerja (Tabel 2.9).

Berdasarkan status pekerjaan, jumlah

penduduk yang bekerja di sektor formal turun sebesar

0,5%. Penurunan jumlah penduduk yang bekerja di

sektor formal bersumber dari penurunan jumlah

penduduk yang bekerja sebagai buruh/karyawan,

yang merupakan status pekerjaan terbanyak. Di sisi

lain, terjadi peningkatan pada jumlah penduduk yang

berusaha dengan dibantu buruh tetap. Perkembangan

tersebut mengindikasikan bahwa jumlah unit usaha

formal sebenarnya mengalami peningkatan pada

2002 namun secara keseluruhan usaha formal

tersebut mempekerjakan lebih sedikit karyawan

dibandingkan 2001. Sementara itu, jumlah penduduk

yang bekerja di sektor informal mengalami

peningkatan sebesar 1,6%, yang disebabkan oleh

terjadinya kenaikan jumlah pekerja bebas dan

jumlah orang yang berusaha sendiri tanpa dibantu

anggota keluarga atau buruh tetap (Tabel 2.10).

Perkembangan tersebut mengindikasikan adanya

peralihan pekerja dari sektor formal ke sektor in-

formal sehingga pangsa pekerja di sektor formal

semakin menurun sebagaimana kecenderungan yang

terjadi sejak 1997 (Grafik 2.21).

Tingkat Pengangguran

Jumlah penganggur mencapai 38,0 juta or-

ang, yang terdiri dari 9,1 juta orang penganggur

terbuka dan 28,9 juta orang setengah penganggur.

Tabel 2.9Jumlah Pekerja Berdasarkan Sektor Perekonomian

2002*20012000199919981997Pertanian

Perdagangan, Hotel dan Restoran

Industri Pengolahan

Jasa-Jasa

Lain-Lain

Total

39,0

17,7

12,6

10,9

11,5

91,6

39,7

17,5

12,1

11,0

10,5

90,8

40,7

18,5

11,6

9,6

9,5

89,8

38,4

17,5

11,5

12,2

9,2

88,8

39,4

16,8

9,9

12,4

9,1

87,7

34,8

17,0

11,0

12,6

10,1

85,4

* angka sementaraSumber : BPS

5 Sumber BPS.

(Juta Orang)

43

Kondisi Ekonomi Makro

Tabel 2.10Jumlah Pekerja Berdasarkan Status Pekerjaan

Masih tingginya jumlah penganggur tersebut tidak

terlepas dari rendahnya tingkat pertumbuhan

ekonomi yang hanya mampu menyerap

penambahan tenaga kerja sebanyak 0,8 juta or-

ang, sementara penambahan angkatan kerja baru

pada periode yang sama mencapai 1,7 juta. Hal

ini mengakibatkan tingkat pengangguran terbuka

meningkat dari 8,1% pada 2001 menjadi 9,1% pada

2002 (Grafik 2.22). Ditinjau dari komposisi tingkat

pendidikan, penganggur terbuka tak berpendidikan

hingga berpendidikan SD mengalami peningkatan

sedangkan penganggur terbuka berpendidikan

SLTP ke atas berkurang (Tabel 2.11). Namun

demikian, penganggur terbuka tetap didominasi

oleh angkatan kerja berpendidikan SLTA (34,7%).

Selain karena bertambahnya angkatan kerja

baru, jumlah penganggur yang bertambah juga

disebabkan oleh meningkatnya kasus pemutusan

hubungan kerja (PHK), terutama karena pengurangan

atau penghentian sejumlah aktivitas produksi di

sektor industri pengolahan. Selama 2002 jumlah PHK

tercatat sebanyak 3.774 kasus dengan jumlah pekerja

1997 1998 1999 2000 2001 2002*

Pekerja FormalBuruh/karyawanBerusaha dibantu buruh tetapPekerja InformalBerusaha sendiriBerusaha dibantu anggota keluarga/buruh tidak tetapPekerja bebas di pertanianPekerja bebas di nonpertanianPekerja tak dibayarTotal Pekerja

31,730,3

1,553,719,918,0

0,00,0

15,885,4

30,328,81,5

57,320,519,70,00,0

17,187,7

31,929,42,6

56,921,718,90,00,0

16,388,8

31,529,52,0

58,319,520,70,00,0

18,189,8

29,426,62,8

61,417,520,33,62,4

17,690,8

29,226,2

3,062,419,118,0

4,23,3

17,991,6

Grafik 2.22Tingkat Pengangguran Terbuka dan Jumlah Tenaga

Kerja Terkena PHKGrafik 2.21

Proporsi Pekerja Formal dan Informal

(Juta Orang)

Sumber BPS.

Sumber : BPSSumber : BPS

44

Kondisi Ekonomi Makro

yang kehilangan pekerjaan mencapai 116.176 orang.

Jumlah ini telah mendekati jumlah pekerja yang terkena

PHK selama puncak krisis tahun 1998 yang tercatat

sebanyak 127.735 orang (Grafik 2.22). Angka

pengangguran tersebut juga diperparah oleh dampak

tragedi Bali yang mengakibatkan melambatnya

kegiatan ekonomi di sektor perdagangan, hotel dan

restoran, sektor transportasi dan sektor jasa-jasa yang

terkait dengan pariwisata.

Tingkat pengangguran dan PHK yang meningkat

pada 2002 sejalan dengan Indikator Penggunaan Tenaga

Kerja SKDU. Untuk rata-rata seluruh sektor, indikator

tersebut mencatat Saldo Bersih Tertimbang negatif

(Grafik 2.23). Hal itu menunjukkan bahwa jumlah

perusahaan yang mengurangi penggunaan tenaga

kerja lebih banyak dibandingkan dengan jumlah

perusahaan yang menambah tenaga kerja. Secara

sektoral, indikasi pengurangan tenaga kerja terbesar

terjadi pada sektor pertanian.

Upah Minimum

Secara rata-rata UMP 2002 mencapai

Rp362.743/bulan atau meningkat 18,1% dibanding

tahun sebelumnya (Grafik 2.24). Namun demikian,

peningkatan UMP ini masih lebih rendah dibandingkan

peningkatan kebutuhan hidup minimum (KHM) yang

pada 2002 mencapai sekitar Rp422.347/bulan atau

meningkat 23% dibanding 2001. Relatif tingginya

indeks harga konsumen menyebabkan terjadinya

penurunan daya beli pekerja sebagaimana terlihat dari

kenaikan UMP riil yang melambat dari 22,4% pada

2001 menjadi 7,3% pada 2002 (Grafik 2.25). Secara

sektoral, UMP tertinggi di beberapa propinsi seperti

Kalimantan Tengah, Irian Jaya, Maluku, dan Maluku

Utara diterima pekerja di sektor pertambangan.

Sementara untuk provinsi lainnya, UMP sektor industri

pengolahan, sektor perdagangan, dan sektor

keuangan menempati urutan teratas.

Grafik 2.24 UMR/UMP

Sumber : Depnakertrans dan data diolah

Tabel 2.11Pengganggur Terbuka Berdasarkan Tingkat Pendidikan

< SD

SD

SLTP

SLTA

> SLTA

Total

2002*200120001999199819971.110.200

2.393.300

1.874.600

3.157.700

564.200

9.100.000

851.426

1.893.565

1.786.317

2.933.490

540.233

8.005.031

221.242

1.216.976

1.367.892

2.546.355

460.766

5.813.231

278.500

1.151.252

1.159.478

2.886.216

554.873

6.030.319

257.330

911.782

984.104

2.479.739

429.528

5.062.483

216.495

760.172

736.375

2.106.182

378.082

4.197.306

Grafik 2.23Penggunaan Tenaga Kerja

Sumber : BPS

45

Kondisi Ekonomi Makro

Permasalahan Ketenagakerjaan

Permasalahan ketenagakerjaan diwarnai

dengan meningkatnya jumlah pemogokan. Sampai

November 2002, tercatat 209 kasus pemogokan yang

melibatkan 92.325 pekerja dan menyebabkan

659.102 jam kerja hilang (Grafik 2.26). Meskipun

jumlah kasus pemogokan mengalami peningkatan,

dampak pemogokan terhadap penurunan

produktivitas mengalami penurunan karena jam

kerja yang hilang lebih sedikit dibandingkan pada

kasus pemogokan 2001. Selain disebabkan oleh

masalah pemenuhan UMP, beberapa faktor lain

pemicu kasus pemogokan adalah ketidakpuasan

kerja, perlakuan yang tidak adil, tuntutan perbaikan

fasilitas dan tunjangan kerja, permasalahan

jender, masalah uang Jamsostek dan penolakan

terhadap metode kerja baru yang diterapkan

perusahaan.

Permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar

negeri pada 2002 ditandai dengan diberlakukannya

kebijakan baru pemerintah Malaysia yang lebih keras

terhadap tenaga kerja ilegal. Hal ini memicu eksodus

besar-besaran TKI ilegal di Malaysia untuk kembali ke

Indonesia. Selain berdampak pada meningkatnya

jumlah pencari kerja di tanah air, pemulangan TKI ilegal

tersebut diperkirakan mempengaruhi perekonomian

desa yang selama ini bergantung pada kiriman uang

dari TKI.

Pendapatan Perkapita

Dengan jumlah penduduk pada 2002 yang

diperkirakan mencapai sekitar 212 juta jiwa

maka pendapatan per kapita nominal 2002

mencapai Rp7,6 juta atau setara dengan $811,

meningkat dibandingkan pada 2001 senilai $677.

Grafik 2.25Pertumbuhan UMR/UMP Riil

Grafik 2.26Kasus Pemogokan dan Jam Kerja yang Hilang

Grafik 2.27Pendapatan Per Kapita Riil

Sumber : Depnakertrans dan data diolah Sumber : BPS

Sumber : BPS

46

Kondisi Ekonomi Makro

Secara r i i l , pendapatan per kap i ta 2002

mencapai sekitar Rp2 juta6, atau setara dengan

$215. Walaupun ter jad i pen ingkatan 2,1%

dibandingkan tahun 2001, pendapatan per kapita

r i i l 2002 tersebut mas ih leb ih rendah

dibandingkan pendapatan per kapita 1997 yang

mencapai Rp2,2 juta (Grafik 2.27). Sementara

itu peningkatan pendapatan per kapita dalam

dolar lebih disebabkan oleh menguatnya nilai

tukar rupiah pada tahun laporan.

6 PDB atas dasar harga konstan 1993 dibagi jumlah penduduk

47

Nilai Tukar

Bab 3: Nilai Tukar

Nilai Tukar3BAB

l a p o r a nt a h u n a n

48

Nilai Tukar

Grafik 3.1Perkembangan Rata-Rata (Bulanan) Nilai Tukar Rupiah

Tahun 2002

NILAI TUKAR3B A B

S etelah mengalami depresiasi pada 2001,

nilai tukar rupiah mengalami apresiasi yang

signifikan pada periode laporan 2002. Secara

keseluruhan, nilai tukar rupiah menguat tajam, yaitu

sebesar 10,1% dari rata-rata Rp10.255 per dolar pada

2001 menjadi Rp9.316 pada 2002. Sementara itu

secara point to point, nilai tukar rupiah bahkan

mengalami apresiasi yang lebih tajam, yaitu sebesar

16,2% dari Rp10.400 pada akhir 2001 menjadi Rp8.950

per dolar AS pada akhir 2002. Dengan apresiasi

tersebut, rupiah tercatat sebagai mata uang yang

mengalami apresiasi tertinggi di Asia selama 2002.

Perkembangan nilai tukar rupiah sepanjang

periode laporan secara umum dapat dibagi dalam dua

fase (Grafik 3.1). Dalam fase pertama yang

berlangsung dari Januari s.d. Juni 2002, nilai tukar

rupiah cenderung mengalami penguatan yang tajam

hingga sempat menyentuh nilai tertinggi Rp8.425 per

dolar dengan disertai pergerakan yang relatif stabil.

Menguatnya nilai tukar rupiah tersebut terutama

didukung oleh membaiknya faktor fundamental yang

bersumber dari surplus neraca pembayaran dan dipicu

oleh membaiknya faktor-faktor sentimen serta upaya

Bank Indonesia (BI) dalam menstabilkan nilai tukar

rupiah.

Selanjutnya pada fase kedua yang berlangsung

dari Juli s.d. Desember 2002, nilai tukar rupiah

bergerak lebih fluktuatif. Pola pergerakan nilai tukar

rupiah pada fase kedua ini dipicu oleh faktor-faktor

sentimen negatif dan diikuti oleh meningkatnya

permintaan valuta asing di pasar domestik, terutama

akibat tragedi Bali yang menyebabkan rupiah terpuruk

ke nilai terendah Rp9.425 per dolar pada Oktober

2002. Namun, melemahnya rupiah tersebut tidak

berlangsung lama setelah BI melakukan berbagai

upaya untuk mengembalikan kepercayaan pasar.

Selanjutnya, pulihnya kepercayaan pasar yang diiringi

oleh membaiknya faktor sentimen dan fundamental

telah mendorong rupiah bertahan di bawah level

Rp9.000 per dolar pada akhir periode laporan.

Pergerakan nilai tukar tersebut dipengaruhi oleh

sejumlah faktor, baik faktor fundamental, faktor

sentimen dan risiko, maupun kebijakan di bidang nilai

Nilai tukar rupiah mengalami apresiasi secara signifikan disertaipenurunan volatilitas yang disebabkan oleh membaiknya faktor funda-mental dan sentimen serta dukungan kebijakan nilai tukar.

49

Nilai Tukar

tukar. Dari sisi fundamental, pergerakan nilai tukar

rupiah selama 2002 terutama dipengaruhi oleh besarnya

surplus neraca pembayaran yang disebabkan oleh

penurunan defisit transaksi modal dan meningkatnya

surplus transaksi berjalan.

Dari sisi sentimen, faktor positif yang

mendorong penguatan nilai tukar rupiah terutama

terkait dengan kemajuan yang dicapai dalam program

restrukturisasi ekonomi seperti keberhasilan

penjadwalan kembali utang luar negeri, pencairan

pinjaman IMF, dan terlaksananya program divestasi

bank serta privatisasi BUMN. Sentimen positif

tersebut dikonfirmasi oleh membaiknya beberapa

indikator risiko seperti peringkat kredit (credit rat-

ing), tingkat premi risiko1, dan tingkat premi swap.

Dari sisi kebijakan, berbagai upaya telah

ditempuh oleh BI terutama dalam rangka

meminimalkan fluktuasi nilai tukar rupiah. Kebijakan

ini dilakukan baik melalui intervensi valuta asing

maupun kebijakan lainnya yang bersifat

nonkonvensional, seperti moral suasion kepada

pelaku pasar dan pemantauan kegiatan transaksi

devisa yang dilakukan oleh bank dan pelaku pasar

utama nonbank.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAITUKARFaktor Fundamental

Secara fundamental, kecenderungan

menguatnya nilai tukar rupiah dalam periode laporan

tidak terlepas dari membaiknya kinerja sektor

eksternal yang tercermin dari surplus Neraca

Pembayaran Indonesia (NPI). Selama tahun laporan,

NPI mengalami surplus sebesar $3,6 miliar, setelah

dalam tahun sebelumnya mencatat defisit sebesar

$1,4 miliar. Surplus tersebut bersumber dari

berkurangnya secara drastis defisit lalu lintas modal

dan meningkatnya surplus transaksi berjalan (Lihat

Bab 6 Neraca Pembayaran).

Defisit lalu lintas modal menurun drastis dari

$9,0 miliar pada 2001 menjadi $3,6 miliar pada tahun

laporan. Penurunan defisit tersebut terutama

bersumber dari penarikan pinjaman IMF, penjadwalan

kembali pembayaran utang luar negeri baik

pemerintah maupun swasta, menurunnya pembayaran

utang luar negeri swasta, keberhasilan pelaksanaan

program divestasi bank dan privatisasi BUMN, serta

penerbitan obligasi swasta dalam valuta asing di luar

negeri.

Sementara itu, surplus transaksi berjalan

meningkat dari $6,9 miliar menjadi $7,3 miliar dalam

periode yang sama. Peningkatan surplus tersebut

terutama disebabkan oleh peningkatan ekspor yang

lebih besar dibandingkan dengan peningkatan impor.

Faktor Sentimen

Kecenderungan menguatnya nilai tukar rupiah

pada fase pertama juga dipicu oleh sejumlah faktor

sentimen (Grafik 3.2). Berbagai peristiwa yang

menimbulkan sentimen positif terhadap nilai tukar

rupiah dapat dikelompokkan sebagai berikut:

i. Dampak penguatan mata uang Asia (re-

gional). Masih lemahnya kinerja ekonomi

Amerika Serikat (AS) menyebabkan nilai tukar

dolar cenderung melemah terutama terhadap

mata uang utama seperti yen dan euro. Hal

ini banyak memberikan pengaruh positif1 Premi risiko diproksi dengan menggunakan selisih yield antara Yankee

Bond Indonesia dan US Treasury Note yang sama-sama berjangka waktu10 tahun dan akan jatuh tempo tahun 2006.

50

Nilai Tukar

terhadap pergerakan mata uang regional,

termasuk rupiah.

ii. Keberhasilan pemerintah dalam melakukan

negosiasi dengan negara-negara donor.

Perundingan pemerintah dengan negara-

negara donor yang tergabung dalam forum PC

III telah menghasilkan kesepakatan mengenai

penjadwalan kembali pembayaran utang

pemerintah sebesar $5,4 miliar, masing-

masing sebesar $2,4 miliar yang jatuh tempo

tahun 2002 dan $3,0 miliar yang akan jatuh

tempo tahun 2003. Menyusul keberhasilan fo-

rum PC III, kreditur komersial yang tergabung

dalam forum London Club akhirnya juga

memberikan persetujuan prinsip terhadap

penjadwalan kembali pembayaran utang

komersial pemerintah. Sementara itu, IMF

juga telah mengucurkan pinjaman kepada In-

donesia sekitar $1,09 miliar dalam enam bulan

pertama 2002.

iii. Kemajuan dalam proses divestasi dan

privatisasi sejumlah bank dan BUMN. BPPN

telah berhasil menuntaskan proses divestasi

BCA, sementara proses privatisasi sejumlah

BUMN seperti Bank Mandiri, PT Telkom, dan

PT Indofarma juga mulai berjalan secara

bertahap. Selain itu, kebijakan pemerintah

untuk memperpanjang masa Penyelesaian

Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) tidak lebih

dari tiga bulan juga mendapat sambutan yang

positif dari pasar.

iv. Minat investor asing terhadap aset-aset

pemerintah cukup besar. Proses divestasi dan

privatisasi sejumlah bank dan BUMN telah

Grafik 3.2Perkembangan Nilai Tukar Rupiah dan Faktor Sentimen Tahun 2002

51

Nilai Tukar

mengundang masuk investor asing seperti

Farallon Capital yang telah memenangkan tender

pembelian saham BCA.

Sementara itu, sentimen negatif selama fase

pertama bersumber dari penurunan credit rating In-

donesia oleh Standar & Poor’s (S&P) dari CCC menjadi

“Selective Default (SD)” pada April 2002, dan aksi

profit taking dengan membeli dolar yang dilakukan

pada saat rupiah menguat. Namun demikian, secara

keseluruhan sentimen positif masih lebih kuat,

sehingga nilai tukar rupiah cenderung menguat

sepanjang Januari hingga Juni 2002.

Selanjutnya pada fase kedua, nilai tukar ru-

piah cenderung berfluktuasi akibat beberapa

sentimen negatif sebagai berikut:

i. Dampak melemahnya mata uang regional.

Melemahnya rupiah dalam fase kedua ini cukup

banyak dipengaruhi oleh kecenderungan

melemahnya mata uang regional Asia terhadap

dolar. Memburuknya kondisi ekonomi global,

ancaman perang AS terhadap Irak, dan

terorisme internasional telah meningkatkan

risiko keamanan dan ketidakpastian dalam

berusaha.

ii. Kepercayaan investor asing terhadap pasar

modal yang memburuk. Memburuknya

kepercayaan investor tersebut diawali dengan

terpuruknya indeks Dow Jones. Hal ini

merupakan akibat dari terbongkarnya skandal

keuangan yang melibatkan perusahaan-

perusahaan raksasa di Amerika Serikat.

Sentimen negatif tersebut kemudian menjalar

ke berbagai bursa saham di seluruh dunia yang

memicu aksi jual saham oleh investor asing di

Bursa Efek Jakarta (BEJ) sehingga memberikan

tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

iii. Dampak tragedi Bali. Serangkaian aksi

peledakan bom terutama di Bali telah merusak

kepercayaan investor internasional sehingga

mendorong mereka mengambil posisi long dol-

lar. Tragedi tersebut antara lain menyebabkan

tertundanya pertemuan CGI yang semula

direncanakan di Yogyakarta pada Oktober 2002.

Tragedi tersebut juga menyebabkan anjloknya

pendapatan devisa dari sektor industri pariwisata

dan menimbulkan pesimisme di sebagian

kalangan, antara lain terlihat dari penilaian Po-

litical and Economic Risk Consultancy Ltd. (PERC)

terhadap risiko keamanan Indonesia yang

memburuk.

Walaupun tekanan depresiasi terhadap rupiah

pada fase kedua cukup berat, namun terdapat

beberapa aspek yang menimbulkan sentimen positif

sehingga sangat membantu mengurangi tekanan

depresiasi terhadap nilai tukar rupiah, bahkan

kadangkala berdampak apresiatif. Beberapa aspek

tersebut antara lain:

i. Aspek ekonomi. Membaiknya beberapa indikator

ekonomi seperti neraca pembayaran yang masih

mencatat surplus, laju inflasi dan suku bunga

yang cenderung menurun, uang primer yang

terkendali di bawah target, serta defisit fiskal

yang lebih kecil di bawah target semula telah

meningkatkan kepercayaan lembaga donor

sebagaimana tercermin dari pencairan pinjaman

IMF senilai $365 juta pada Desember 2002.

Khusus terkait dengan membaiknya kinerja

fiskal, selain bersumber dari pencairan pinjaman

52

Nilai Tukar

IMF, keberhasilan pemerintah dalam mengurangi

beban fiskal juga bersumber dari hasil divestasi

Bank Niaga, privatisasi PT Indosat, dan

persetujuan reprofiling obligasi pemerintah untuk

bank-bank rekap.

ii. Aspek politik, hukum, dan keamanan. Dari aspek

politik, penguatan rupiah didukung oleh situasi

politik yang cukup kondusif setelah Sidang Tahunan

MPR tahun 2002 yang berjalan cukup lancar dan

aman. Dari aspek hukum, upaya-upaya pemerintah

untuk menyelesaikan kasus peledakan bom di Bali

mendapat dukungan dari berbagai negara dan telah

mencatat kemajuan yang cukup pesat sehingga

berangsur-angsur memulihkan kepercayaan inves-

tor. Dari aspek keamanan, optimisme terhadap

membaiknya situasi keamanan muncul setelah

ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara

Pemerintah RI dan GAM pada Desember 2002.

iii. Country risk. Menyusul suksesnya hasil

perundingan Paris Club dan London Club, beberapa

lembaga pemeringkat utang seperti Fitch IBCA dan

S&P, memperbaiki credit rating Indonesia. Bahkan,

pasca tragedi Bali, S&P telah meningkatkan out-

look utang perbankan untuk 2003.

Indikator Risiko

Country risk Indonesia secara umum dinilai

membaik sebagaimana tercermin dari membaiknya

peringkat utang (sovereign credit rating) Indonesia

yang dilakukan oleh dua lembaga pemeringkat

internasional, yaitu Fitch IBCA dan S&P (Tabel 3.1).

Perbaikan peringkat kredit oleh Fitch IBCA tersebut

didasarkan pada disetujuinya penjadwalan kembali

pembayaran utang pemerintah dalam forum PC III dan

London Club. Perbaikan peringkat kredit terjadi baik

pada foreign maupun local currency long-term debt,

masing-masing dari B- menjadi B, yang efektif

berlaku sejak 1 Agustus 2002. Langkah Fitch IBCA

Tabel 3.1Sovereign (Foreign Currency Long Term) Debt Ratings

Country

Investment Grade

Non-Investment/Speculative Grade

FITCH IBCAMOODY’SS & PRating Effect ive Rating Effect ive Rating Effect ive

Malaysia

Thailand

Philippines

Indonesia

BBB+BBBBBB-

BBB-BBBA-

BB+BBBB-

CCC+SDCCC

20-Aug-0210-Nov-9915-Sep-98

8-Jan-9824-Oct-973-Sep-97

21-Feb-9730-May-9530-Jun-93

5-Sep-0223-Apr-022-Nov-01

24-Jun-0217-Oct-0012-Jul-00

21-Jun-003-Apr-0021-Dec-97

18-May-9723-Jan-9712-May-95

20-Mar-989-Jan-9821-Dec-97

7-Aug-027-Dec-999-Sep-99

24-Jun-9926-Apr-9914-May-98

15-Mar-0117-Jan-018-Jul-99

1-Aug-0216-Mar-9821-Jan-98

Baa2 *+Baa2Baa3 *+

Baa3Ba1 *+Ba1 *+

Ba1Ba2 *+Ba2

B3B2Ba1

BBB+BBBBBB- *+

BBB-BB+ *+BB+

BB+BB+ *-BB+

BB-B+ *-

53

Nilai Tukar

Grafik 3.3Perkembangan Premi Swap

tersebut diikuti oleh S&P dengan meningkatkan

peringkat utang Indonesia dari “Selective Default

(SD)” menjadi CCC+ yang efektif sejak 5 Septem-

ber 2002. Selanjutnya, pasca tragedi Bali, S&P

bahkan telah meningkatkan outlook utang sektor

perbankan untuk 2003 dari “negative” menjadi

“stable”. Hal ini menunjukkan pandangan optimis

terhadap prospek ekonomi Indonesia.

Sementara itu, lembaga pemeringkat dari Hong

Kong, Political and Economic Risk Consultancy Ltd.

(PERC), menilai country risk Indonesia memburuk

pasca tragedi Bali. Hal ini didasarkan pada

meningkatnya faktor risiko keamanan sehingga

dikhawatirkan dapat menyebabkan menurunnya

industri pariwisata, berkurangnya iklim investasi yang

kondusif, dan terganggunya aktivitas ekspor dan

impor. Di samping itu memburuknya peringkat

tersebut juga didasarkan pada beban fiskal yang

diperkirakan semakin berat akibat tertundanya sidang

CGI pada Oktober 2002. Namun demikian, penilaian

lembaga ini tidak banyak mempengaruhi persepsi

pasar yang positif terhadap prospek ekonomi Indo-

nesia sebagaimana tercermin dari membaiknya

indikator risiko.

Membaiknya country risk Indonesia

dikonfirmasi juga oleh membaiknya beberapa

indikator risiko. Indikator risiko berjangka pendek

yang diwakili oleh tingkat premi swap menunjukkan

kecenderungan menurun untuk semua tenor sejak

akhir 2001 (Grafik 3.3 dan 3.4). Tingkat premi swap

1 bulan menurun dari 16,80% pada akhir 2001

menjadi 12,53% pada akhir 2002, sementara tingkat

premi swap 3 bulan menurun dari 17,30% menjadi

13,00%. Dengan suku bunga SIBOR 1 bulan yang

menurun signifikan dari 1,88% menjadi 1,38%, maka

tingkat implied swap premium2 1 bulan menurun

tajam dari 18,68% menjadi 13,91% dalam periode

yang sama. Tingkat implied swap premium tersebut

lebih tinggi dari suku bunga SBI 1 bulan yang

cenderung menurun hingga mencapai 12,93% pada

akhir periode laporan sehingga membuka peluang

sejumlah bank untuk menarik keuntungan yang timbul

akibat terjadinya perbedaan antara suku bunga Ru-

Grafik 3.4Kurva Yield Swap

2 Implied swap premium adalah tingkat premi swap ditambah dengan sukubunga simpanan/penempatan dalam valuta asing.

54

Nilai Tukar

piah di pasar uang dan implied swap rate.

Menurunnya premi swap dan suku bunga —baik

dalam negeri (JIBOR) maupun luar negeri (SIBOR)3—

menyebabkan covered interest rate parity4 membaik.

Hal ini tercermin dari angka covered interest rate yang

positif selama delapan bulan berturut-turut dalam

periode laporan setelah selama satu tahun sebelumnya

terus-menerus mencatat angka negatif (Grafik 3.5).

Walaupun tragedi di Bali kemudian memicu kenaikan

tingkat premi swap sehingga menyebabkan angka cov-

ered interest rate kembali negatif sejak bulan Oktober

2002, namun posisinya masih membaik dari -0,83%

pada akhir periode sebelumnya menjadi -0,75% pada

akhir periode laporan.

Dalam jangka yang lebih panjang, indikator

risiko yang diwakili oleh tingkat premi risiko juga

membaik dari 534 bp menjadi 402 bp dalam kurun

waktu yang sama (Grafik 3.6). Hal ini menunjukkan

ekspektasi pelaku pasar terhadap rupiah yang lebih

baik ke depan meskipun disertai sikap kehati-

hatian sebagaimana tercermin dari masih cukup

tingginya tingkat premi risiko tersebut

dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya

seperti Cina, Korea Selatan, dan Malaysia yang

berada dalam kisaran 150-250 bp. Penurunan

tersebut disebabkan oleh yield Yankee Bond RI yang

menurun lebih besar dibandingkan dengan

menurunnya yield US Treasury Notes dalam periode

laporan.

Faktor Kebijakan

Dalam rangka menstabilkan nilai tukar rupiah,

pada periode laporan BI melakukan berbagai

langkah kebijakan dengan mengoptimalkan

seluruh instrumen yang tersedia. Langkah-langkah

tersebut meliputi penyerapan secara konsisten

terhadap ekses likuiditas rupiah di pasar melalui

instrumen Operasi Pasar Terbuka (OPT),

pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan

mengenai pembatasan transaksi rupiah oleh

nonresiden, pengawasan terhadap kewajaran

transaksi valuta asing, moral suasion, dan

Grafik 3.5Covered Interest Rate Parity

Grafik 3.6Arah Perkembangan Nilai Tukar Rupiah

dan Premi Risiko

3 Dalam hal ini, JIBOR dianggap sebagai benchmark suku bunga pasaruang antarbank di dalam negeri, sementara SIBOR dianggap sebagaibenchmark suku bunga pasar uang antarbank di luar negeri (Singapura).

4 Covered interest rate parity = suku bunga dalam negeri (JIBOR 1 bulan)– suku bunga luar negeri (SIBOR 1 bulan) – premi swap (1 bulan).

55

Nilai Tukar

sterilisasi/intervensi valuta asing.

Untuk membatasi kegiatan spekulasi valuta asing,

BI tetap melakukan pemantauan terhadap tingkat

kepatuhan bank dalam transaksi valuta asing sesuai

dengan PBI No.3/3/2001 tanggal 12 Januari 2001 tentang

Pembatasan Terhadap Transaksi Rupiah dan Pemberian

Kredit Valuta Asing oleh Bank. Berkaitan dengan itu,

transaksi forward jual dan swap jual kepada nonresiden

dalam jumlah tertentu tetap dilarang apabila tidak

didasari oleh kegiatan ekonomi riil (underlying transac-

tion). Pemantauan tersebut secara efektif dapat

meningkatkan kepatuhan bank, sehingga membantu

mengurangi gejolak nilai tukar rupiah di pasar.

Untuk mengikuti perkembangan pasar secara

cermat, BI secara ketat mengamati kewajaran transaksi

valas melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU).

Pengawasan tersebut bertujuan untuk memastikan

bahwa transaksi di pasar telah berlangsung secara wajar

menurut common practice yang berlaku di pasar valas.

Pemantauan tersebut juga merupakan bagian dari early

warning system untuk mengetahui lebih dini terhadap

transaksi tertentu yang berpotensi mengganggu

kestabilan nilai tukar rupiah di pasar. Di samping itu, BI

secara rutin melakukan survei untuk mengetahui

persepsi pelaku pasar terhadap arah perkembangan nilai

tukar rupiah ke depan. Hasil survei tersebut digunakan

sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam

pelaksanaan kebijakan di bidang nilai tukar.

Berdasarkan pemantauan terhadap kondisi pasar

tersebut, BI melakukan kebijakan moral suasion dengan

memberikan penjelasan untuk menenangkan pelaku

pasar. Pada periode laporan, hal tersebut dilakukan

beberapa kali seperti pada saat terjadi panic buying

oleh pelaku pasar yang merespon tragedi Bali secara

berlebihan. Kebijakan tersebut telah mengembalikan

kepercayaan pasar, sehingga membantu menahan nilai

tukar rupiah tidak melemah lebih lanjut.

Untuk melengkapi berbagai langkah kebijakan di

atas, BI dalam periode laporan juga melaksanakan

kebijakan sterilisasi/intervensi valuta asing dengan

menjual dolar untuk menambah pasokan valuta asing

di pasar. Selain berfungsi sebagai instrumen untuk

menyerap kelebihan likuiditas rupiah, kebijakan tersebut

juga dimaksudkan untuk meredam fluktuasi nilai tukar

rupiah yang berlebihan dan sekaligus mempengaruhi

persepsi pasar. Dalam pelaksanaannya, kebijakan ini

dilakukan secara konsisten dan terukur dengan

memperhatikan psikologi pasar dan kecukupan cadangan

devisa. Kebijakan tersebut terbukti mampu meredam

gejolak nilai tukar rupiah sepanjang tahun laporan. Hal

tersebut ditunjukkan oleh rata-rata harian tingkat

volatilitas5 nilai tukar rupiah pada 2002 yang menurun

menjadi 1,4%, dibandingkan 2,8% pada periode

sebelumnya (Grafik 3.7). Sementara dari sisi level nilai

tukar, kebijakan sterilisasi/intervensi valuta asing dalam

Grafik 3.7Volatilitas Nilai Tukar Rupiah

5 Deviasi nilai tukar harian dari 22 days moving average(1 bulan kalender).

56

Nilai Tukar

periode laporan juga cukup efektif menjaga momen-

tum kecenderungan apresiasi nilai tukar rupiah, bahkan

sampai dengan akhir tahun mampu bertahan di bawah

level Rp9.000.

PERMINTAAN DAN PENAWARAN VALUTA ASINGBerbagai faktor yang mempengaruhi nilai tukar ru-piah selama periode laporan seperti dikemukakandi atas juga tercermin dari kondisi permintaan danpenawaran di pasar valuta asing. Selama periodelaporan, permintaan valuta asing masih cukup kuatsebagaimana tercermin dari aksi beli valuta asingkorporasi —terutama oleh beberapa BUMN sebagaibig players— meskipun sebagian dapat dipenuhi daripenerimaan devisa hasil penjualan aset-aset BPPN.Aksi beli yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar tersebut selama ini seringkalimenjadi faktor pemicu permintaan di pasar valutaasing (Boks: Pengaruh Pelaku Utama Pasar pada Nilai

Tukar). Tekanan permintaan valuta asing dari pemainutama tersebut terasa lebih berat dalam semester IIyang rata-rata mencapai posisi net beli sebesar$454,5 juta setiap bulannya, meningkat dari rata-rata $304,6 juta dalam semester I-2002.Peningkatan permintaan tersebut sejalan denganpergerakan nilai tukar rupiah yang cenderungmenguat dalam semester I-2002 dan kemudiancenderung melemah dalam semester II-2002.

Masih tingginya tekanan permintaan valuta

asing juga tercermin dari data transaksi devisa

antara bank dengan nasabahnya. Nasabah on-shore

mencatat posisi net overbought sebesar $2,5 miliar,

sementara nasabah off-shore mencatat posisi net

oversold sebesar $1,2 miliar, sehingga secara

keseluruhan nasabah mencatat posisi net overbought

terhadap bank di pasar spot sebesar $1,3 miliar

dalam periode laporan.6 Perkembangan ini

menunjukkan bank mencatat posisi net oversold

sebesar $1,3 miliar. Posisi oversold bank yang sejalan

dengan posisi oversold nasabah off-shore

mengindikasikan bahwa nasabah off-shore menjadi

market maker yang diikuti oleh bank-bank dengan

mengambil posisi yang sama.

Mengal i rnya pasokan valuta as ing dar i

nasabah off-shore yang terus-menerus mencatat

posisi net oversold sejak Januari hingga Juni

2002 ter sebut juga menjad i penyebab

menguatnya rupiah dalam semester I -2002

(Grafik 3.8). Namun, pasokan dari nasabah off-

shore mulai berkurang memasuki semester II-

2002 sebagaimana tercermin dari seringnya

nasabah off-shore berada dalam posisi net over-

bought. Hal ini menyebabkan tekanan depresiasi

terhadap nilai tukar rupiah dalam semester II-2002.

Sementara itu, volume transaksi devisa

antarbank di pasar spot secara rata-rata harian

sed ik i t meningkat dar i $517,7 juta da lam

Grafik 3.8Penawaran dan Permintaan Valas di Pasar Spot

2 Overbought adalah kelebihan jumlah pembelian valas dibanding denganpenjualan valas. Oversold adalah sebaliknya.

57

Nilai Tukar

periode sebelumnya menjadi $538,2 juta dalam

periode laporan (Grafik 3.9).7 Lonjakan volume

transaksi harian terjadi setelah tragedi Bali yang

memicu kepanikan pasar (panic buying), sehingga

volume transaksi valuta asing melonjak hingga

mencapai $786,8 juta pada 14 Oktober 2002.

Dilihat dari jenis transaksi, transaksi devisa

antarbank da lam per iode laporan mas ih

didominasi oleh transaksi swap yang secara

kumulatif mencapai $146,0 miliar atau 54% dari

total transaksi, sementara transaksi spot dan

forward masing-masing hanya mencapai $117,2

miliar dan $7,1 miliar atau 43% dan 3% dari total

transaksi devisa antarbank dalam periode yang

sama (Grafik 3.10). Dengan demikian, volume

transaksi devisa antarbank secara kumulatif —baik

spot, forward maupun swap— menurun 5,5% dari

$286,1 miliar pada 2001 menjadi $270,3 miliar

pada 2002. Sementara itu, transaksi devisa

antarbank masih didominasi oleh bank-bank asing.

Pangsa 5 pemain terbesar —terdiri atas 4 bank

asing dan 1 bank persero— mencapai 55,8% dari

total volume transaksi devisa antarbank dalam

periode laporan.

NILAI TUKAR RIIL

Selama tahun laporan, nilai tukar rupiah secara

riil masih undervalued terhadap dolar sebagaimana

terlihat dari indeks Real Effective Exchange Rate

(REER) yang masih di bawah 100 (Grafik 3.11).

Meskipun demikian, rupiah mengalami penguatan

sebagaimana tercermin dari meningkatnya indeks

REER dari 73,52 pada akhir 2001 menjadi 88,57

pada akhir tahun laporan. Penguatan tersebut

sejalan dengan menguatnya nilai tukar rupiah

secara nominal.

Secara bilateral, nilai tukar rupiah relatif masih

kompetitif dalam mendukung ekspor dibandingkan

dengan mata uang negara-negara emerging Asia

lainnya, kecuali terhadap baht Thailand. Indeks Bilat-

eral Real Exchange Rate (BRER) Indonesia meningkat

Grafik 3.9Volume Transaksi Spot dan Volatilitas Nilai Tukar

7 Volume transaksi devisa antarbank hanya dihitung dari satu sisi (bankpenjual atau bank pembeli) sehingga tidak terjadi double counting. Datayang ditampilkan dalam analisis ini hanya khusus untuk transaksi dolar-rupiah.

Grafik 3.10Komposisi Transaksi Devisa Antarbank

Khusus Dolar-Rupiah

58

Nilai Tukar

Grafik 3.12Bilateral Real Exchange Rate

dari 51,47 pada akhir periode sebelumnya menjadi

64,13 pada akhir periode laporan (Grafik 3.12). Indeks

BRER Indonesia tersebut sudah berada di atas indeks

BRER Thailand yang mencapai 60,97 pada akhir periode

laporan. Namun, nilai tukar rupiah masih lebih

kompetitif dibandingkan dengan ringgit Malaysia, dolar

Singapura, won Korea, dan yuan RRC.

Grafik 3.11Real Effective Exchange Rate

59

Nilai Tukar

permintaan dolar dari pelaku utama pasar yang

segera diikuti oleh pelaku pasar lainnya.

Kecenderungan tersebut menimbulkan efek yang

berkelanjutan (snowball effect) pada transaksi pasar

valuta asing domestik. Dengan demikian,

permintaan murni valuta asing menciptakan dampak

berganda (multiplier effect), sehingga pelaku pasar

lain cenderung ikut membeli valuta asing(long dol-

lar position) dalam rangka transaksi murni maupun

spekulasi. Bahkan beberapa pelaku pasar bertindak

over-responsive dengan ikut membeli valuta asing

mendahului pembelian dari pihak korporasi.

Dari sisi korporasi utama, kebutuhan valuta

asing yang harus dipenuhi di pasar diperkirakan

masih tetap besar, mengingat penerimaan devisa

hasil ekspor migas masih belum mencukupi

kebutuhan operasional diantaranya untuk

pembiayaan impor minyak mentah dan distribusi.

Sementara itu, korporasi BUMN lainnya juga

mempunyai kebutuhan valuta asing untuk biaya

pengadaan listrik namun dengan jumlah yang lebih

Di tengah nuansa pergerakan nilai tukar ru-

piah yang cenderung mengalami penguatan, aksi

beli valuta asing oleh pelaku utama pasar

merupakan faktor pemicu terjadinya depresiasi

dan meningkatnya volatilitas nilai tukar rupiah.

Hal ini disebabkan kegiatan transaksi pelaku

utama pasar mempunyai peran penting dalam

mempengaruhi perilaku pelaku pasar lainnya. Pada

umumnya, transaksi valuta asing oleh pelaku utama

pasar merupakan permintaan murni (genuine de-

mand) yang digunakan untuk membiayai

kebutuhan operasional dalam proses produksi.

Sementara itu, transaksi pelaku pasar lain yang

mengikuti pelaku utama pasar, selain untuk

memenuhi permintaan murni juga memanfaatkan

momentum tersebut untuk kegiatan spekulasi.

Secara bersama-sama, transaksi pelaku pasar

menjadi faktor yang cukup dominan menentukan

perkembangan nilai tukar rupiah.

Sebagaimana tahun sebelumnya, pelaku

utama pasar masih didominasi oleh beberapa

korporasi BUMN dengan jumlah permintaan yang

cukup signifikan di pasar. Sepanjang periode

laporan, transaksi valuta asing pelaku utama pasar

cukup sensitif terhadap perkembangan sentimen

baik dari dalam maupun luar negeri. Pada

pertengahan tahun, nilai dolar yang mencapai harga

terendah dan kemudian disusul oleh sentimen

negatif regional, mendorong peningkatan

bo

ks

Pengaruh Pelaku Utama Pasar pada Nilai Tukar

Kebutuhan Valuta Asing Korporasi Utama

BBM Dalam Negeri

Pengeluaran Dalam DolarPengolahan Kilang

Dalam NegeriImpor Minyak Mentah

Produksi MinyakMentah Dalam Negeri Utang Luar Negeri

Impor BBM

KonsumsiBBM

Nasional

60

Nilai Tukar

kecil serta frekuensi yang lebih rendah. Selain

untuk keperluan impor bahan baku, pembelian

valuta asing oleh korporasi juga digunakan untuk

memenuhi kewajiban lainnya seperti pembayaran

pinjaman luar negeri yang cenderung meningkat

pada 2002.

Di sisi lain, berdasarkan kelompok pelaku pasar

juga dijumpai adanya dampak penggandaan yang

masih merupakan hal yang wajar. Transaksi dari

kelompok nasabah, baik dari dalam maupun luar

negeri, mendorong terciptanya transaksi antarbank

yang merupakan derivasi pasar untuk memenuhi

kebutuhan transaksi nasabah. Pada 2002, transaksi

devisa nasabah yang rata-rata mencapai $349 juta

per hari, mendorong naiknya transaksi antarbank

yang rata-rata menjadi $546 juta per hari. Dengan

demikian, transaksi nasabah mendorong terjadinya

kenaikan transaksi antarbank sebesar 1,5 kali, tidak

jauh berbeda dibandingkan angka tahun

sebelumnya. Dampak penggandaan tersebut

memberikan pengaruh negatif terhadap volatilitas

nilai tukar rupiah. Hal tersebut menunjukkan

besarnya kendala yang dihadapi BI dalam

mengendalikan nilai tukar rupiah pada 2002 di

tengah kecenderungan menguatnya rupiah dengan

tingkat volatilitas yang rendah.

Dampak Multiplier Pasar Valuta Asing

PELAKU UTAMA PASAR

FOLLOWER : BANK AND NONBANK

BANKA

BANKB

SnowBall

Effect

STABILITASNILAI TUKAR

RUPIAH

61

Inflasi

Inflasi4BAB

l a p o r a nt a h u n a n

Bab 4 : Inflasi

62

Inflasi

INFLASI4B A B

Pada 2002, perkembangan seluruh indikator

harga yakni inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK),

inflasi inti, Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB),

Indeks Harga Aset (IHA), dan PDB deflator menunjukkan

terjadinya penurunan inflasi dibandingkan tahun

sebelumnya. Penurunan inflasi dalam tahun laporan

terutama disebabkan oleh menguatnya nilai tukar ru-

piah yang disertai dengan rendahnya tingkat volatilitas

dan membaiknya ekspektasi inflasi. Sementara itu,

permintaan domestik belum menyebabkan tekanan

inflasi yang signifikan karena meningkatnya pasokan

barang konsumsi yang berasal dari impor.

Sementara itu, perkembangan inflasi IHK1 , yang

merupakan sasaran Bank Indonesia (BI), walaupun telah

menunjukkan kecenderungan menurun tetapi masih

sedikit di atas sasaran 2002. Relatif tingginya inflasi

tersebut pada tahun laporan antara lain disebabkan oleh

dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan

pendapatan yang lebih tinggi dari prakiraan awal tahun

serta ekspektasi masyarakat terhadap inflasi yang masih

tinggi walaupun telah menunjukkan perbaikan.

PERKEMBANGAN INDIKATOR INFLASI

Inflasi pada 2002 tercatat sebesar 10,03%

(y-o-y), lebih rendah dibandingkan dengan inflasi

tahun sebelumnya yang mencapai 12,55%. Penurunan

inflasi tahunan (y-o-y) yang cukup tajam terutama

terjadi pada semester pertama, meskipun kemudian

agak tertahan penurunannya pada semester kedua.

Kecenderungan penurunan inflasi juga terlihat dari

pergerakan inflasi bulanan (m-t-m). Inflasi tertinggi

terjadi pada Januari dan kemudian sempat mengalami

deflasi di Maret dan April (Grafik 4.1).

Kecenderungan penurunan inflasi semakin jelas

terlihat dari perkembangan inflasi inti (core inflation)

yang dihitung dengan pendekatan exclusion. Inflasi inti2

yang sejak awal 2000 mencatat peningkatan, pada

pertengahan 2001 mulai menunjukkan kecenderungan

menurun. Pada 2002 penurunan inflasi inti tersebut

Grafik 4.1Perkembangan Inflasi IHK Tahunan dan Bulanan

1 Selanjutnya yang disebut inflasi adalah inflasi IHK

2 Untuk selanjutnya, istilah inflasi inti dalam laporan ini digunakan untukmenunjukkan inflasi inti yang dihitung dengan pendekatan exclusionkecuali disebutkan lain.

Laju inflasi 2002 mengalami penurunan seiring dengan menguatnyanilai tukar, dan membaiknya ekspektasi inflasi masyarakat, sedangkanpermintaan belum memberikan tekanan yang signifikan.

63

Inflasi

terus berlanjut bahkan dengan laju penurunan yang

lebih tajam mencapai 6,96% dibandingkan pada 2001

sebesar 10,04%. Hal ini mengindikasikan bahwa laju

inflasi secara umum pada dasarnya mengalami

penurunan, tetapi karena adanya kenaikan harga/tarif

yang ditetapkan oleh pemerintah (administered prices),

penurunan inflasi tidak setajam inflasi inti (Grafik 4.2).

Kecenderungan laju inflasi yang menurun juga

diindikasikan oleh indikator perkembangan harga

lainnya seperti IHPB dan IHA. Kecenderungan penurunan

laju inflasi IHPB Umum telah terjadi sejak awal 2001

bahkan dengan penurunan yang cukup tajam pada

pertengahan 2002 yang ditandai oleh deflasi IHPB

tahunan pada Juni sebesar 3,33% (Grafik 4.3). Secara

bulanan, penurunan IHPB ditandai oleh deflasi pada 4

bulan yakni Maret, April, Juni dan Agustus. Terjadinya

deflasi IHPB umum pada periode tersebut terutama

disebabkan oleh deflasi yang cukup besar pada IHPB

kelompok barang impor dan ekspor seiring dengan

terjadinya apresiasi nilai tukar rupiah yang cukup besar.

Sejalan dengan itu, laju inflasi harga aset yang

diukur dari perubahan IHA tahunan (y-o-y) mencatat

penurunan yang cukup tajam pada 2002 yakni

mencapai 1,52%, dibandingkan 2001 sebesar 23,09%

(Grafik 4.4). Rendahnya laju IHA pada tahun laporan

terutama disebabkan oleh penurunan yang cukup tajam

pada harga sewa properti komersial, yakni dari 39,69%

pada 2001 menjadi -3,68% pada tahun laporan.

Penurunan harga properti komersial tersebut terutama

terkait dengan penguatan nilai tukar rupiah mengingat

sebagian besar harga properti komersial tersebut

dalam satuan dolar. Komponen inflasi harga aset

lainnya, yakni harga properti residensial walaupun

tidak mengalami deflasi tetapi cenderung mengalami

inflasi yang rendah. Secara tahunan, harga properti

Grafik 4.3Indeks Harga Pedagang Besar (IHPB) Umum

Grafik 4.4Inflasi Harga Asset dan PDB Deflator

Grafik 4.2Inflasi IHK dan Inflasi Inti

64

Inflasi

residensial pada tahun laporan hanya meningkat

sebesar 6,95%, lebih rendah dibandingkan tahun lalu

yang mencapai 10,86%. Kenaikan harga properti

residensial tersebut terutama terjadi pada tipe rumah

besar yang berlokasi di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Sejalan dengan perkembangan harga properti

tersebut, komponen inflasi harga aset lainnya yang

merupakan kelompok financial asset diwakili oleh

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), juga mencatat

penurunan. Penurunan IHSG tersebut selain

dipengaruhi oleh perkembangan di dalam negeri yang

kurang kondusif juga dipengaruhi oleh melemahnya

perdagangan di bursa saham regional dan dunia.

Indikator harga yang lebih luas cakupannya yakni

PDB deflator juga menunjukkan perkembangan yang

menurun pada 2002. PDB deflator pada tahun 2002

mencatat inflasi 4,54% (y-o-y), lebih rendah

dibandingkan dengan tahun 2001 yang mencapai

12,58%. Berbagai perkembangan indikator harga

tersebut di atas mengindikasikan bahwa penurunan

inflasi merupakan kecenderungan umum yang terjadi

sepanjang tahun laporan.

PERKEMBANGAN INFLASI IHK

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, laju inflasi

telah menunjukkan kecenderungan menurun. Namun

demikian, realisasi inflasi tersebut sedikit lebih tinggi

dari sasaran inflasi IHK yang ditetapkan pada 2002

yakni pada kisaran 9,0%-10,0%.

Pada semester pertama 2002 laju inflasi

menunjukkan kecenderungan yang menurun. Hal ini

terutama disebabkan oleh menguatnya nilai tukar

rupiah dan membaiknya ekspektasi inflasi. Nilai

tukar rupiah dalam periode tersebut mengalami

apresiasi yang cukup besar dan disertai oleh

volatilitas yang rendah sehingga menurunkan

tekanan inflasi yang bersumber dari sisi eksternal.

Pengaruh menguatnya nilai tukar rupiah terhadap

inflasi antara lain tercermin dari perkembangan

inflasi kategori traded yang turun cukup tajam pada

pertengahan tahun laporan.

Selain faktor menguatnya nilai tukar rupiah,

penurunan inflasi juga dipengaruhi oleh

membaiknya ekspektasi inflasi. Hal ini tercermin

dari hasil survei konsumen yang antara lain

mengukur ekspektasi masyarakat atas perkembangan

harga pada periode 6 s.d. 12 bulan ke depan. Hasil

survei mengindikasikan bahwa ekspektasi inflasi

konsumen cenderung membaik yang antara lain dipicu

oleh menguatnya nilai tukar rupiah dan harapan

membaiknya kondisi ekonomi.

Penurunan inflasi juga ditunjang oleh terjaganya

pasokan kebutuhan pokok masyarakat khususnya

beras. Operasi pasar beras yang dilakukan Badan

Urusan Logistik (Bulog) dan ditunjang oleh

melimpahnya beras impor telah menyebabkan

turunnya harga beras. Harga beras yang sempat

mencapai level yang cukup tinggi pada awal 2002,

secara bertahap mengalami penurunan mencapai

Rp2.790 per kg.3 Pada akhir tahun laporan, stok beras

Bulog mencapai 1,75 juta ton atau masih cukup untuk

memenuhi kebutuhan distribusi rutin sekitar tujuh

bulan.4

Laju penurunan inflasi pada semester pertama

2002 sedikit terhambat oleh adanya kebijakan

3 Sumber : Bulog4 Sumber : Siaran Pers Kantor Menko Perekonomian, 29 November 2002.

65

Inflasi

pemerintah di bidang harga dan pendapatan.

Kebijakan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak

(BBM), tarif telepon dan Tarif Dasar Listrik (TDL)

pada periode tersebut tidak hanya meningkatkan

harga BBM dan tarif listrik tetapi juga mendorong

kenaikan barang dan jasa lainnya akibat kenaikan

faktor biaya (cost push) dan meningkatnya

ekspektasi inflasi yang menyertai kenaikan harga

yang ditetapkan pemerintah tersebut.

Pada semester kedua 2002, penurunan inflasi

sedikit tertahan. Kondisi ini terutama terkait dengan

faktor musiman yakni menghadapi perayaan hari

besar keagamaan, berlanjutnya kenaikan adminis-

tered prices, dan meningkatnya ekspektasi inflasi.

Sebagaimana periode-periode sebelumnya, tekanan

inflasi yang terjadi menjelang perayaan hari raya

keagamaan dan akhir tahun cenderung tinggi.

Sementara itu, kebijakan pemerintah di bidang

harga yang memberikan sumbangan cukup besar

terhadap kenaikan inflasi pada semester kedua tahun

laporan antara lain berasal dari kenaikan tarif listrik,

kenaikan BBM, kenaikan Harga Jual Eceran (HJE)

rokok, dan kenaikan harga LPG. Faktor lainnya yang

menyebabkan tertahannya penurunan inflasi pada

akhir 2002 adalah mulai memburuknya ekspektasi

inflasi. Hasil survei menunjukkan ekspektasi

konsumen pada kuartal terakhir 2002 cenderung

meningkat yang dipicu oleh kenaikan administered

price, meningkatnya tekanan depresiasi nilai tukar

rupiah pasca tragedi Bali, serta faktor musiman yang

terkait dengan perayaan keagamaan dan tahun baru.

Selain mempengaruhi ekspektasi inflasi konsumen,

berbagai perkembangan tersebut juga turut memicu

meningkatkan ekspektasi inflasi pedagang.

Berdasarkan hasil survei penjualan eceran, ekspektasi

inflasi pedagang yang meningkat di akhir 2002

terutama dipicu oleh kenaikan administered prices.

Di samping itu, adanya faktor musiman dan

kecenderungan dari pedagang untuk memanfaatkan

momentum perayaan keagamaan dan tahun baru

dengan menaikkan harga telah mendorong peningkatan

ekspektasi inflasi pedagang.

Berdasarkan kelompoknya, sumbangan

tertinggi inflasi 2002 terjadi pada kelompok

perumahan yang diikuti oleh kelompok bahan

makanan, kelompok transpor dan komunikasi serta

kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan

tembakau (Tabel 4.1). Sementara kelompok yang

memberikan sumbangan terendah adalah kelompok

sandang. Tingginya sumbangan inflasi kelompok

perumahan terutama karena dalam kelompok ini

terdapat sub kelompok biaya tempat tinggal

dimana di dalamnya termasuk tarif listrik, sewa

rumah, dan upah pembantu, yang pada tahun

laporan mengalami kenaikan cukup tinggi. Apabila

dilihat dari kenaikan harganya, kelompok transpor

dan komunikasi mencatat inflasi yang tertinggi

Tabel 4.1Sumbangan Inflasi IHK Menurut Kelompok Tahun 2002

2,36

1,72

2,79

0,26

0,31

0,82

1,77

10,03

Bahan Makanan

Makanan Jadi, minuman, Rokok,

dan Tembakau

Perumahan

Sandang

Kesehatan

Pendidikan, Rekreasi, Olahraga

Transport dan Komunikasi

Total

SumbanganInflasiKelompok

9,13

9,18

12,71

2,69

5,63

10,85

15,52

No

1

2

3

4

5

6

7

Sumber: BPS

(Persen)

66

Inflasi

yakni sebesar 15,52%. Inflasi yang tinggi pada

kelompok ini terutama bersumber dari kenaikan

harga sub kelompok transportasi yakni harga

bensin, solar, dan tarif angkutan serta sub

kelompok komunikasi dan pengiriman dalam hal

ini adalah tarif telepon.

Ditinjau dari inflasi per kota, inflasi tertinggi

terjadi di kota Manado sebesar 15,22%, sedangkan

inflasi terendah terjadi di kota Ternate sebesar 6,40%.

Namun demikian, sumbangan inflasi terbesar masih

bersumber dari sejumlah kota besar terutama kota

Jakarta sebesar 3,09% dan Surabaya sebesar 0,74%

mengingat bobotnya yang tinggi.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI

Pengaruh Kebijakan Pemerintah di Bidang Harga

dan Pendapatan

Di bidang harga, pemerintah secara bertahap

melanjutkan penyesuaian harga sejumlah barang pada

harga pasarnya. Sementara itu, kebijakan di bidang

pendapatan antara lain diarahkan untuk

mempertahankan daya beli sebagian masyarakat,

khususnya mereka yang berpendapatan tetap. Pada

2002 kebijakan pemerintah di bidang harga dan

pendapatan masih memberikan dampak yang cukup

besar (3,31%) terhadap inflasi, walaupun telah menurun

dibandingkan tahun sebelumnya (3,83%).

Realisasi dampak kebijakan pemerintah di bidang

harga dan pendapatan tersebut lebih tinggi

dibandingkan dengan asumsi pada awal 2002 yang

diperkirakan sebesar 2,57%. Hal ini terutama

disebabkan oleh: (i) penetapan harga/tarif yang belum

teridentifikasi pada awal tahun, (ii) perubahan

mekanisme penetapan kenaikan harga BBM, dan (iii)

realisasi kenaikan harga/tarif yang lebih tinggi dari

asumsi awal tahun (Tabel 4.2). Hal tersebut telah

menyebabkan realisasi dampak kebijakan pemerintah

lebih tinggi dari asumsi pada awal tahun yang

diprakirakan sekitar 2,57%

Kebijakan pemerintah yang belum teridentifikasi

pada awal tahun antara lain kenaikan harga LPG yang

terjadi dua kali yakni pada Juni dan Desember,

kenaikan tarif Kereta Api kelas bisnis dan eksekutif

pada Februari, dan kenaikan tarif angkutan kota

dalam propinsi (AKDP) di sejumlah kota, serta

kenaikan tarif air PAM. Belum teridentifikasinya

kebijakan pemerintah tersebut karena pada awal

tahun laporan informasi mengenai rencana kenaikan

tersebut belum tersedia.

Penetapan harga BBM pada 2002 mengalami

perubahan dibandingkan tahun sebelumnya.

Perubahan mendasar dari penetapan harga BBM dalam

negeri terjadi pada mekanisme penetapannya yang

dilakukan secara bulanan. Berdasarkan Keputusan

Tabel 4.2Realisasi Kebijakan Pemerintah di Bidang Harga

dan Pendapatan 2002

Kebijakan PemerintahDampakInflasi

Di Bidang HargaListrikBBMAngkutan *)Gas ElpijiTeleponAir MinumRokok

Di Bidang PendapatanUMP

Total

0,740,401,100,100,510,050,19

0,22

3,31

KenaikanHarga/Tarif

38,5121,7418,6924,3441,139,544,24

18,10

Catatan: *) termasuk dampak tidak langsungSumber: BPS, diolah

(Persen)

67

Inflasi

Presiden (Keppres) No. 9 tanggal 16 Januari 2002

mengenai Penetapan Harga BBM Dalam Negeri, antara

lain disebutkan bahwa penetapan harga BBM dalam

negeri dilakukan oleh Pertamina pada setiap awal

bulan5 dengan memperhitungkan perkembangan

harga Mid Oil Platt’s Singapore (MOPS) yang

merupakan harga transaksi jual beli pada bursa

minyak di Singapura. Selain itu, Keppres tersebut

juga menyebutkan mulai berlakunya batas harga

terendah (floor price) dan tertinggi (ceiling price)

untuk setiap jenis BBM dalam rangka menghindari

fluktuasi harga BBM dalam negeri yang terlalu besar.

Perubahan jangka waktu penetapan harga BBM

menjadi bulanan menyebabkan kemungkinan

terjadinya fluktuasi harga BBM setiap bulan sehingga

dampaknya terhadap inflasi juga akan terjadi secara

bulanan. Hal ini berbeda dengan periode sebelumnya

dimana kenaikan harga BBM hanya terjadi satu atau

dua kali dalam periode satu tahun.

Sementara itu, TDL dan tarif telepon mencatat

kenaikan harga lebih tinggi dari yang diprakirakan

semula. Selama 2002, TDL dalam keranjang IHK

mencatat kenaikan harga sekitar 38,5%, jauh lebih

tinggi dari rencana semula yakni sebesar 6,0%

setiap triwulan atau 24,0% dalam satu tahun. Dalam

periode yang sama, tarif telepon dalam keranjang

IHK mencatat kenaikan sekitar 41,1%, jauh lebih

tinggi dari rencana semula rata-rata sebesar 15,0%.

Dalam tahun laporan tidak semua harga/tarif

yang ditetapkan pemerintah tersebut memberikan

dampak inflasi setinggi dari yang diprakirakan

semula. HJE ditetapkan naik sebesar 22%, namun

kenaikan harga rokok dalam keranjang IHK hanya

naik rata-rata sekitar 4,2%. Hal ini disebabkan

sejumlah industri rokok sudah memberlakukan harga

jual produknya di atas HJE minimum yang baru.

Selain HJE, Upah Minimun Propinsi (UMP) juga

memberikan dampak inflasi yang lebih rendah dari

prakiraan karena realisasi kenaikan UMP lebih

rendah dari prakiraan awal.

Tingginya dampak kebijakan pemerintah di

bidang harga dan pendapatan terhadap inflasi, secara

lebih jelas terlihat pada perkembangan inflasi tahunan

kelompok administered priceyang masih berada di atas

inflasi IHK (Grafik 4.5). Inflasi administered price di

tahun laporan masih mencatat peningkatan bahkan

sempat mencapai tingkat tertinggi pada Mei 2002

sebesar 35,66% (y-o-y) dan pada akhir tahun mencatat

inflasi 22,12% (y-o-y).

Pengaruh Ekspektasi

Bank Indonesia mengumumkan sasaran inflasi

untuk tahun 2002 sebesar 9%-10% dengan maksud

mengarahkan ekspektasi inflasi pelaku ekonomi, baik

Grafik 4.5Inflasi IHK dan Administered Price

5 Berdasarkan Keputusan Presiden No. 27 Tahun 2002 tanggal 30 April2002, pasal 6 antara lain mengubah penetapan harga BBM menjadisetiap awal bulan.

68

Inflasi

konsumen maupun pedagang pada kisaran level

sasaran inflasi yang ditetapkan. Sasaran inflasi

tersebut diharapkan dapat menjadi dasar bagi pelaku

ekonomi, baik bagi konsumen dalam hal

membelanjakan pendapatannya maupun bagi

pedagang dalam hal kalkulasi biaya dan penetapan

harga jual produknya.

Dalam perkembangannya, ekspektasi inflasi

selama 2002 cenderung membaik yang tercermin dari

perkembangan ekspektasi inflasi hasil survei konsumen

dan survei penjualan eceran.6 Membaiknya ekspektasi

inflasi konsumen maupun pedagang tersebut sejalan

dengan penguatan nilai tukar rupiah dan peningkatan

ketersediaan barang-barang. Namun demikian, apabila

dilihat perkembangannya secara triwulanan, sejak awal

triwulan III-2002 ekspektasi inflasi baik konsumen

maupun pedagang sedikit memburuk. Memburuknya

ekspektasi inflasi tersebut dipicu oleh kecenderungan

meningkatnya tekanan depresiasi rupiah, penerapan

kebijakan pemerintah di bidang harga, dan faktor

musiman sehubungan dengan perayaan hari besar

keagamaan dan tahun baru.

Ekspektasi inflasi telah cenderung membaik,

namun masih berada pada tingkat yang cukup

tinggi. Hal ini terkait dengan pembentukan

ekspektasi masyarakat terhadap inflasi yang masih

cenderung bersifat adaptive, yakni pembentukan

inflasi yang lebih mendasarkan pada

perkembangan inflasi pada periode-periode

sebelumnya. Inflasi yang masih berada pada

tingkat yang tinggi (double digit) tahun lalu,

mengakibatkan masih tingginya ekspektasi inflasi

masyarakat selama 2002.

Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan

ekspektasi masyarakat terhadap inflasi adalah

pergerakan nilai tukar rupiah. Grafik 4.6 dan 4.7

menunjukkan perkembangan ekspektasi inflasi baik

oleh konsumen maupun pedagang yang searah dengan

pergerakan nilai tukar rupiah. Pada saat nilai tukar

menguat, ekspektasi inflasi yang terbentuk juga

cenderung membaik. Sebaliknya pada saat nilai tukar

mendapat tekanan maka pembentukan ekspektasi

inflasi masyarakat cenderung memburuk. Di samping

6 Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi perkembanganekspektasi inflasi konsumen maupun pedagang adalah hasil SurveiKonsumen dan Survei Penjualan Eceran, Bank Indonesia.

Grafik 4.6Ekspektasi Kenaikan Harga

Survei Konsumen

Grafik 4.7Ekspektasi Kenaikan Harga 1 Bulan ke Depan

Survei Penjualan Eceran

69

Inflasi

itu, pergerakan ekspektasi inflasi baik konsumen

maupun pedagang pada 2002 juga dipengaruhi oleh

penerapan kebijakan pemerintah di bidang harga dan

pendapatan. Pada awal tahun, ekspektasi inflasi yang

terbentuk masih cenderung tinggi karena pada saat

itu, pemerintah mengumumkan rencana untuk

menaikkan harga sejumlah barang/jasa, walaupun

pada periode tersebut rupiah mengalami apresiasi.

Dalam perkembangannya, implementasi kebijakan

pemerintah di bidang harga tersebut dilakukan secara

bertahap, sehingga dampak inflasi pada semester

pertama cenderung menurun. Seiring dengan itu,

ekspektasi inflasi masyarakat yang terjadi juga

membaik. Namun demikian, pada periode selanjutnya

seiring dengan meningkatnya dampak kebijakan

pemerintah di bidang harga, ekspektasi inflasi yang

terjadi cenderung memburuk.

Pengaruh Kondisi Permintaan dan Penawaran

Dalam tahun laporan, interaksi permintaan dan

penawaran relatif tidak menimbulkan tekanan inflasi

secara signifikan. Pertumbuhan permintaan yang masih

didominasi oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga

terutama dialokasikan untuk pengeluaran bukan

makanan. Kecenderungan peningkatan pengeluaran

konsumsi bukan makanan tersebut sudah tampak sejak

akhir 1998 dan pada tahun laporan proporsi7 pengeluaran

konsumsi bukan makanan sudah lebih tinggi dibandingkan

pengeluaran konsumsi makanan. Tingginya pertumbuhan

pengeluaran konsumsi bukan makanan ini belum

memberikan tekanan yang signifikan pada laju inflasi

bukan makanan karena cukupnya pasokan. Tekanan

inflasi bukan makanan lebih disebabkan faktor-faktor

lainnya, seperti administered prices (Grafik 4.8).

Di sisi penawaran, rendahnya tingkat investasi

dan utilisasi menyebabkan peningkatan kapasitas

perekonomian relatif terbatas. Sementara itu,

membaiknya sektor pertanian telah menyebabkan

terjaganya pasokan bahan makanan dalam tahun

laporan. Dalam kondisi permintaan yang masih

meningkat tekanan inflasi dapat terjadi. Namun,

adanya penambahan pasokan barang yang berasal dari

luar negeri, khususnya impor barang konsumsi mampu

mengurangi tekanan inflasi yang terjadi.

Pengaruh Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang mempengaruhi inflasi

antara lain bersumber dari nilai tukar rupiah dan harga

barang impor. Pergerakan nilai tukar rupiah yang

secara umum menguat dalam tahun laporan telah

membantu menurunkan tekanan inflasi. Pengaruh

apresiasi nilai tukar terhadap inflasi antara lain

terlihat dari pergerakan IHPB dan inflasi kelompok

traded (Grafik 4.9). Sementara itu, kecenderungan

perkembangan harga di pasar dunia bagi sejumlah

Grafik 4.8Inflasi Makanan dan Bukan Makanan

7 Distribusi persentase terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) hargakonstan 1993.

70

Inflasi

komoditas penting seperti beras, gula pasir dan emas

juga mengalami penurunan. Apresiasi nilai tukar ru-

piah yang diiringi oleh penurunan harga barang impor

tersebut memberikan pengaruh pada penurunan

tekanan inflasi pada tahun laporan. Perkembangan

IHPB impor dan inflasi kelompok traded menunjukkan

perkembangan yang menurun bahkan untuk IHPB

impor telah mengalami deflasi sejak Maret 2002

(Grafik 4.10).

Pengaruh Faktor Alam

Di awal tahun laporan, bencana banjir besar

melanda beberapa daerah, seperti Jabotabek,

Jawa Timur, Sumatera Utara dan beberapa daerah

yang merupakan sentra produksi bahan pangan dan

jalur transportasi penting. Bencana banjir tersebut

sempat mengganggu aktif itas ekonomi dan

distribusi yang melalui wilayah yang terkena

bencana banjir. Dampak banjir ini tercermin pada

tingginya inflasi Februari 2002 yang mencapai

1,50% (m-t-m). Realisasi inflasi Februari tersebut

jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata inflasi

bulanan Februari selama 3 tahun terakhir yang

hanya di bawah 1% mengingat periode tersebut

pada umumnya merupakan puncak surplus bahan

pangan.

Pada periode akhir tahun, produksi beberapa

komoditas pertanian cenderung mencapai tingkat

yang terendah. Dalam tahun laporan, musim

kemarau yang di ikuti oleh anomali El Nino

walaupun dalam intensitas lebih rendah, telah

menyebabkan kemarau di sejumlah daerah terutama

di pesisir pulau Jawa dan daerah lainnya yang

merupakan penghasil bahan pangan dan sayuran.

Kondisi ini antara lain turut meningkatkan tekanan

inflasi menjelang akhir tahun laporan.

Grafik 4.10IHPB Impor dan Nilai Tukar

Grafik 4.9Inflasi Traded dan Non-traded

71

Moneter

Moneter5BAB

l a p o r a nt a h u n a n

BAB 5 : MONETER

72

Moneter

MONETER5B A B

Selama 2002, kebijakan moneter tetap

ditujukan pada upaya pengendalian uang primer

yang sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian.

Kebijakan tersebut dimaksudkan agar kestabilan

harga tetap dapat terjaga sehingga mampu

mendukung proses pemulihan ekonomi yang terus

berlangsung. Dalam melaksanakan kebijakan

tersebut, strategi kebijakan moneter selama 2002

tetap ditujukan pada upaya penyerapan ekses

likuiditas perbankan dengan mengupayakan

penurunan suku bunga. Untuk itu, Bank Indonesia

(BI) menetapkan target pertumbuhan rata-rata uang

primer selama 2002 sebesar 13,0%-14,0%.

Dalam perjalanannya, perkembangan uang

primer selama 2002 terkendali seperti tercermin

dari pertumbuhan uang primer yang berada di bawah

target pertumbuhannya. Di samping itu, terkendalinya

pergerakan uang primer juga tercermin dari posisi

test date1 uang primer yang selalu berada di bawah

target indikatifnya. Melambatnya pertumbuhan uang

primer tersebut terutama disebabkan oleh

berkurangnya motif berjaga-jaga dalam memegang

uang kartal sehubungan dengan membaiknya

ekspektasi masyarakat atas kestabilan moneter dan

sosial politik. Ekspektasi positif atas kestabilan

moneter terbentuk karena pada saat yang

bersamaan indikator makro lainnya seperti laju

inflasi dan nilai tukar juga menunjukkan

perkembangan yang positif. Sementara itu, agregat

moneter lainnya, M1 dan M2, masih mengalami

pertumbuhan meskipun melambat.

Perkembangan positif tersebut memberikan

keyakinan terhadap membaiknya prospek inflasi

sehingga membuka ruang gerak yang lebih lebar

bagi BI untuk memberikan sinyal penurunan suku

bunga secara bertahap melalui penurunan suku

bunga instrumen moneter. Langkah penurunan

tersebut dilakukan secara hati-hati dengan tetap

memperhatikan perkembangan suku bunga riil dan

perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri (in-

terest rate differential).

Penurunan suku bunga instrumen moneter

tersebut juga diikuti oleh beberapa suku bunga

lainnya. Suku bunga Pasar Uang Antar Bank

(PUAB) dan suku bunga simpanan perbankan

menga lami penurunan yang s ign i f i kan,

sementara suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK)

dan Kredit Investasi (KI) belum menunjukkan

penurunan yang berarti. Dalam pada itu, suku1 Test date adalah rata-rata uang primer yang dihitung dari tanggal 16

bulan yang bersangkutan hingga tanggal 15 bulan berikutnya

Kondisi moneter selama 2002 menunjukan perkembangan yang kondusiftercermin dari terkendalinya uang primer, menguatnya nilai tukar, danmenurunnya suku bunga.

73

Moneter

bunga Kredit Konsumsi (KK) justru mengalami

sedikit peningkatan. Lambannya penurunan suku

bunga KI terutama d i sebabkan o leh mas ih

tingginya persepsi risiko perbankan terhadap

penyaluran kredit jangka panjang.

Selain itu, menurunnya suku bunga simpanan

dan relatif rigid-nya suku bunga kredit perbankan

telah mendorong beberapa perusahaan yang memiliki

reputasi baik untuk menerbitkan obligasi di pasar

domestik atau melakukan penawaran umum perdana

(initial public offering/IPO) dan penawaran terbatas

(right issue) di pasar modal. Sementara itu, dari sisi

permintaan, penurunan suku bunga simpanan telah

mengakibatkan obligasi dan reksa dana menjadi

alternatif investasi yang menarik.

EVALUASI KEBIJAKAN MONETER 2002

Pada awal 2002, BI menetapkan sasaran moneter

khususnya uang primer dengan rata-rata pertumbuhan

sebesar 13,0%-14,0% selama 2002. Penetapan target

uang primer tersebut didasarkan pada target inflasi

IHK sebesar 9,0%-10,0%, pertumbuhan ekonomi sebesar

3,5%-4,0%, dan rata-rata nilai tukar rupiah sebesar

Rp9.500 – Rp10.500 per dolar. Dengan pertumbuhan

uang primer tersebut, BI mengharapkan dapat

mencapai target inflasi yang telah ditetapkan sekaligus

tetap menjaga likuiditas yang cukup bagi

perekonomian.

Dalam pelaksanaannya, dengan menimbang bahwa

tekanan inflasi yang terjadi selama ini lebih banyak

disebabkan oleh keterbatasan dari sisi penawaran dan

kebijakan pemerintah di bidang harga (cost push),

maka kebijakan moneter selama 2002 diarahkan pada

upaya penyerapan ekses likuiditas perbankan dengan

tetap memperhatikan perkembangan suku bunga yang

terjadi agar dapat memberikan sinyal yang kondusif

bagi perbaikan sisi penawaran di sektor riil. Titik berat

pengendalian likuiditas melalui penyerapan ekses

likuiditas perbankan tersebut juga sejalan dengan

kenyataan bahwa perkembangan uang primer sangat

ditentukan oleh perilaku permintaan uang kartal2 yang

sulit dikendalikan melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT).

Strategi ini diterjemahkan dalam bentuk

perkembangan suku bunga SBI yang menurun dengan

magnitude yang kecil sepanjang tekanan inflasi ke

depan masih berada dalam kisaran target inflasi yang

telah ditetapkan. Secara operasional, strategi

kebijakan moneter ditempuh dengan mengoptimalkan

instrumen moneter yang tersedia, khususnya OPT dan

sterilisasi valuta asing (valas).

Uang primer selama 2002 menunjukkan

perkembangan yang terkendali , yang tercermin dari

lebih rendahnya posisi test date uang primer

dibandingkan target indikatifnya(Grafik 5.1).

2 Uang kartal adalah uang logam dan uang kertas yang berada dimasyarakat.

Grafik 5.1Target Indikatif dan Aktual Uang Primer

74

Moneter

Hal tersebut terutama disebabkan oleh lebih

rendahnya permintaan uang kartal untuk berjaga-jaga

sejalan dengan ekspektasi positif atas kestabilan

sosial politik dan moneter. Disamping itu, lebih

rendahnya posisi uang primer tersebut diakibatkan

oleh lebih rendahnya permintaan uang kartal untuk

kebutuhan transaksi sejalan dengan lebih rendahnya

pertumbuhan ekonomi dan menguatnya rata-rata nilai

tukar dibandingkan prakiraan semula (Grafik 5.2).

Terkendalinya uang primer yang dibarengi dengan

menurunnya prospek inflasi serta stabilnya pergerakan

nilai tukar telah memungkinkan BI untuk memberikan

sinyal penurunan suku bunga secara bertahap, yang

diperlukan guna mempercepat proses pemulihan

ekonomi.

Sinyal penurunan suku bunga ini terutama

dilakukan melalui penurunan suku bunga Fasilitas

Simpanan BI (FASBI3 ) yang diikuti oleh penurunan suku

bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Selama 2002,

suku bunga FASBI overnight (O/N) diturunkan sebanyak

lima kali dengan total penurunan sebesar 300 bp hingga

pada akhir Desember 2002 mencapai posisi 12,13%.

Sementara itu, FASBI dengan jangka waktu 2-6 hari

dan 7 hari masing-masing turun sebesar 300 bp dan

338 bp hingga mencapai 12,38% dan 12,50%.

Selanjutnya, suku bunga SBI 1 dan 3 bulan mengalami

penurunan masing-masing sebesar 469 bp dan 451 bp

dibandingkan posisi akhir 2001 hingga tercatat pada

posisi 12,93% dan 13,12% pada akhir Desember 2002.

Penurunan suku bunga SBI 1 dan 3 bulan yang terjadi

selama 2002 lebih besar dibandingkan peningkatan

yang terjadi selama 2001, yaitu sebesar 309 bp dan

332 bp. Laju penurunan suku bunga SBI tersebut

terutama terjadi hingga September 2002 dan sejak

Oktober penurunan yang terjadi menjadi relatif lambat

hingga akhir 2002 (Grafik 5.3).

Secara operasional, strategi kebijakan moneter

selama 2002 dilakukan dengan memperhatikan

perkembangan kondisi ekonomi makro dan moneter

dari triwulan ke triwulan. Pada triwulan I, dengan

mempertimbangkan bahwa angka uang primer pada

akhir 2001 masih cukup tinggi dan akan masuknya

kembali uang kartal ke dalam sistem perbankan

setelah perayaan hari besar keagamaan, BI berusaha3 Sebelum November 2002 dikenal dengan Intervensi Rupiah Kontraktif

yang selanjutnya diubah menjadi FASBI

Grafik 5.2Pertumbuhan Tahunan Uang Kartal

dan Uang Primer (Target Indikatif dan Aktual)Grafik 5.3

Suku Bunga Instrumen Moneter

75

Moneter

melakukan penyerapan likuditas secara optimal

terutama melalui pelaksanaan OPT. Hal ini dilakukan

untuk menjaga perkembangan uang primer agar

sesuai dengan target indikatifnya. Kondisi perbankan

yang likuid di awal tahun menyebabkan suku bunga

SBI 1 bulan mengalami penurunan cukup signifikan

sebesar 86 bp setelah mencatat terus peningkatan

selama 2001. Namun demikian, mengingat laju inflasi

masih relatif tinggi dan nilai tukar masih relatif

lemah, dalam periode ini BI masih menempuh

kebijakan yang berhati-hati dengan tidak mengubah

suku bunga FASBI (neutral bias).

Memasuki triwulan II-2002, posisi uang primer

berada di bawah target indikatifnya, sementara

nilai tukar rupiah dan inflasi menunjukkan

perkembangan yang membaik. Perkembangan yang

positif ini memberikan ruang gerak pada BI untuk

memberikan sinyal penurunan suku bunga guna

memelihara momentum pemulihan ekonomi dengan

tetap menjaga pencapaian target inflasi

(accomodative policy). Sinyal penurunan suku bunga

tersebut dilakukan melalui penurunan suku bunga

FASBI seluruh tenor pada Mei dan Juni masing-

masing sebesar 50 bp. Penurunan suku bunga FASBI

tersebut mendorong penurunan suku bunga SBI 1

dan 3 bulan dalam triwulan II-2002 masing-masing

sebesar 165 bp dan 171 bp. Penurunan suku bunga

SBI tersebut juga didorong oleh kondisi perbankan

yang mengalami kelebihan likuiditas sebagai akibat

dari belum berjalannya fungsi intermediasi

perbankan secara lebih optimal. Perkembangan ini

memungkinkan posisi test date uang primer selama

triwulan II-2002 masih berada di bawah target

indikatifnya.

Sejalan dengan kecenderungan semakin

positifnya perkembangan moneter, upaya untuk

memperkuat sinyal penurunan suku bunga dalam

triwulan III-2002 semakin ditingkatkan terutama

melalui penurunan lebih lanjut suku bunga FASBI O/N

sebesar 150 bp. Strategi tersebut berhasil mendorong

penurunan suku bunga SBI 1 bulan dan 3 bulan masing-

masing sebesar 189 bp dan 107 bp. Sebagaimana

triwulan sebelumnya, meskipun suku bunga SBI

mengalami penurunan, posisi test date uang primer

selama triwulan III-2002 tetap berada di bawah target

indikatifnya.

Dalam upaya untuk meningkatkan fungsi FASBI

sebagai instrumen pengendalian moneter, pada Sep-

tember 2002 BI memisahkan periode perdagangan

FASBI O/N menjadi pagi dan sore serta

membedakan suku bunga antara kedua periode

tersebut. Sesi pagi dimulai pukul 08.00 s.d. 12.00

bbwi, sementara sesi sore sore dimulai 13.00 s.d.

16.30 bbwi. Tingkat suku bunga FASBI O/N sesi sore

ditetapkan sebesar 50,0% dari suku bunga FASBI

O/N sesi pagi. Dengan kebijakan tersebut, suku

bunga FASBI O/N sesi pagi sebesar 12,63% dan FASBI

O/N sesi sore sebesar 6,31%. Sementara itu, semua

perdagangan FASBI untuk tenor lainnya hanya

dibatasi pada sesi pagi.

Pada triwulan IV-2002, dengan melihat

perkembangan suku bunga SBI yang sudah menurun

hingga mencapai tingkat yang cukup rendah dan

konsisten dengan pencapaian target inflasi jangka

menengah, BI berusaha memperlambat laju

penurunan suku bunga SBI. Kebijakan moneter ini

dilakukan juga untuk mengantisipasi melemahnya

nilai tukar rupiah sebagai dampak dari tragedi Bali.

76

Moneter

Grafik 5.4Pertumbuhan Tahunan Test Date Uang Primer

Setelah nilai tukar menguat kembali, serta

mempertimbangkan prospek inflasi yang tetap

membaik, pada akhir November 2002 BI menurunkan

suku bunga FASBI sebesar 50 bp untuk seluruh tenor.

Secara keseluruhan, selama triwulan IV-2002 tersebut

suku bunga SBI 1 bulan hanya menurun sebesar 29

bp dari 13,22% pada akhir September 2002 menjadi

12,93% pada akhir Desember 2002.

PERKEMBANGAN UANG BEREDAR

Uang Primer

Selama 2002, posisi test date uang primer

selalu berada di bawah target indikatifnya dengan

perbedaan berkisar antara Rp1,26 triliun sampai

Rp7,7 triliun. Perbedaan terbesar terjadi pada

Agustus, sementara perbedaan terkecil pada Novem-

ber. Dengan perkembangan tersebut, rata-rata

pertumbuhan tahunan test date uang primer selama

2002 hanya mencapai 9,06%, lebih rendah

dibandingkan rata-rata pertumbuhan pada tahun

sebelumnya yaitu 17,85% (Grafik 5.4).

Dilihat dari posisi akhir Desember 2002, uang

primer mencapai Rp138,3 triliun atau Rp10,5 triliun

lebih tinggi dibandingkan dengan posisi akhir Desember

2001 sebesar Rp127,8 triliun (Tabel 5.1). Ditinjau dari

komponennya, peningkatan uang primer tersebut

terutama berasal dari peningkatan uang kartal sebesar

Tabel 5.1Uang Primer

Uang PrimerUang Kertas dan Logam yang Diedarkan di masyarakat di perbankanGiro Bank pada Bank IndonesiaGiro Sektor Swasta

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Uang Primer Cadangan Devisa Bersih (NIR) (USD=Rp7000) Aktiva Domestik Bersih (NDA) 1. Tagihan Bersih pada Pemerintah 2. Bantuan Likuiditas 3. Kredit Likuiditas 4. Tagihan Lainnya 5. Operasi Pasar Terbuka 6. Lainnya Bersih (NOI)

Rincian20022001

Maret Juni Sept DesPerubahan

Tahunan

127,891,376,314,934,8

1,7

127,8128,1

-0,3160,837,115,1

1,9-102,6-112,4

117,082,469,712,733,41,2

117,0130,1

-13,1174,6

36,414,91,9

-114,5-126,4

119,984,572,012,534,01,5

119,9133,0

-13,0173,2

36,914,72,2

-118,0-122,0

123,986,372,813,636,01,5

123,9142,9

-19,0171,2

36,714,52,3

-115,9-127,9

138,398,480,717,738,21,6

138,3151,8

-13,6168,5

36,614,42,4

-113,3-122,2

10,57,14,42,73,4

-0,1

10,523,7

-13,27,8

-0,5-0,60,5

-10,6-9,7

(Triliun Rp)

Des

77

Moneter

Rp4,4 triliun dan saldo giro positif bank umum sebesar

Rp3,4 triliun. Peningkatan uang kartal tersebut

terutama disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan

transaksi masyarakat berkaitan dengan Lebaran,

Natal dan Tahun Baru. Sementara itu, peningkatan

saldo giro positif bank di BI terutama bersumber

dari meningkatnya posisi Giro Wajib Minimum

(GWM), seiring dengan peningkatan dana pihak

ketiga bank. Selain kedua komponen di atas,

peningkatan uang primer juga bersumber dari

meningkatnya posisi kas di bank sebesar Rp2,7

triliun untuk mengantisipasi penarikan uang kartal

oleh masyarakat.

Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya,

pertumbuhan uang kartal selama 2002 mengalami

perlambatan (Grafik 5.5). Rata-rata pertumbuhan

tahunan uang kartal selama 2002 tercatat sebesar

10,85%, lebih rendah dibandingkan 2001 sebesar

19,58%. Faktor utama yang mendorong lambatnya

pertumbuhan uang kartal selama 2002 adalah

berkurangnya permintaan uang kartal untuk

tujuan berjaga-jaga. Hal in i d idorong oleh

meningkatnya ekspektasi positif masyarakat

seiring dengan lebih stabilnya kondisi sosial

politik pada 2002 serta adanya kecenderungan

membaiknya perkembangan beberapa agregat

moneter seperti inflasi dan nilai tukar. Selain itu,

relatif lambatnya pertumbuhan uang kartal 2002

juga disebabkan oleh lebih rendahnya permintaan

uang kartal untuk kebutuhan transaksi. Hal ini

seiring dengan membaiknya laju inflasi dan nilai

tukar rupiah dibandingkan dengan 2001.

Berdasarkan faktor yang mempengaruhinya,

peningkatan uang primer terutama bersumber dari

lebih besarnya net ekspansi rupiah rekening

pemerintah dan biaya pengendalian moneter

dibandingkan dengan pengaruh kontraksi OPT dan

sterilisasi valas. Hingga Desember 2002, net

ekspansi rekening rupiah pemerintah yang

berdampak pada uang primer mencapai Rp7,5

tril iun4, yang diantaranya ditujukan untuk

pembayaran gaji, Dana Alokasi Umum (DAU) dan

Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp110,0 triliun,

pembayaran kupon obligasi sebesar Rp66,0 triliun

dan pembayaran proyek sebesar Rp22,8 triliun.

Ekspansi ini lebih besar dibandingkan kontraksi

yang diantaranya berasal dari penerimaan pajak

Rp146,9 triliun, penerimaan BPPN sebesar Rp29,0

triliun, penerimaan deviden Rp11,7 triliun. Net

ekspansi sebesar Rp7,5 triliun tersebut telah

memperhitungkan dampak kontraksi dari

penerbitan Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp2,0

triliun pada akhir Desember 2002.

Grafik 5.5Pertumbuhan Tahunan Uang Kartal

4 Net ekspansi rekening rupiah pemerintah sebesar Rp7,5 triliun ru-piah merupakan bagian dari mutasi rekening tagihan bersih padapemerintah (sebesar Rp7,8 triliun) yang berpengaruh langsung padauang primer

78

Moneter

Sementara itu, net kontraksi OPT hingga akhir

2002 berjumlah Rp10,6 triliun terutama berasal dari

kontraksi SBI sebesar Rp21,9 triliun, lebih besar

dibandingkan dengan pengaruh ekspansi FASBI

sebesar Rp11,3 triliun (Tabel 5.2). Kontraksi SBI

tersebut terutama terjadi pada triwulan I-2002

(Rp44,4 triliun), sementara pada triwulan II-2002

kontraksi yang terjadi semakin mengecil bahkan

mencatat ekspansi pada triwulan III dan IV-2002.

Semakin rendahnya kontraksi SBI pada triwulan II-

2002 dan ekspansi SBI pada triwulan III-2002 berkaitan

dengan semakin tajamnya penurunan suku bunga SBI

pada kedua periode tersebut. Sebagian besar ekspansi

SBI tersebut dapat terserap kembali melalui FASBI,

berkaitan dengan masih belum adanya tempat

penanaman lain yang lebih menguntungkan bagi

perbankan. Sementara itu, ekspansi SBI yang cukup

besar pada triwulan IV-2002 lebih disebabkan oleh

meningkatnya kebutuhan likuiditas jangka pendek

perbankan seiring dengan meningkatnya kebutuhan

uang kartal menjelang perayaan beberapa hari besar

keagamaan dan tahun baru.

Dengan perkembangan tagihan bersih kepada

pemerintah (NetClaims on Goverment/NCG) dan OPT

tersebut, Aktiva Domestik Bersih (NetDomestic As-

sets/NDA) selama 2002 menunjukkan kecenderungan

yang menurun dan pada umumnya berada di bawah

performance criteria (PC) NDA5 yang ditetapkan. Pada

akhir Desember 2002, NDA mencapai posisi negatif

Rp13,6 triliun atau Rp24,5 triliun di bawah PC NDA

sebesar positif Rp10,9 triliun (Grafik 5.6).

Sementara itu, posisi Net International Reserves

(NIR) menunjukkan perkembangan yang meningkat

dan selalu berada di atas PC NIR6 yang ditetapkan

(Grafik 5.7). Pada akhir Desember 2002, posisi NIR

Grafik 5.6Net Domestic Assets

Tabel 5.2Operasi Pasar Terbuka dan Komponennya

PerubahanS B I

PerubahanFA S B I

-44,4-2,44,8

20,1-21,9

32,6-1,2-2,6

-17,511,3

Trw ITrw IITrw IIITrw IVTOTAL

2002 PerubahanO P T

-11,8-3,62,22,6

-10,6

(Triliun Rp)

Grafik 5.7Net International Reserve

Keterangan : (-) Kontraksi / (+) Ekspansi

5 performance criteria NDA adalah batas atas dari NDA pada akhirperiode yang tidak boleh terlampaui.

6 performance criteria (PC) NIR adalah batas bawah dari NIR pada akhirperiode.

79

Moneter

mencapai $21,7 miliar atau $2,9 miliar diatas PC NIR

sebesar $18,8 miliar. Dibandingkan dengan posisi

tahun sebelumnya, NIR mengalami peningkatan

sebesar $3,3 miliar, terutama berasal dari hasil migas

sebesar $4,7 miliar, penerimaan pinjaman luar negeri

sebesar $2,0 miliar, dan penerimaan BPPN sebesar

$1,7 miliar. Penerimaan valas tersebut lebih besar

dibandingkan pengeluaran valas terutama untuk

pembayaran utang luar negeri pemerintah sebesar

$5,1 miliar.

Uang Beredar

Selama 2002, posisi likuiditas perekonomian

yang tercermin dari jumlah uang beredar dalam arti

sempit (M1) dan dalam arti luas (M2) terus

menunjukkan peningkatan walaupun dengan

pertumbuhan yang melambat dibandingkan tahun

sebelumnya. Posisi M1 maupun M2 menunjukkan

peningkatan sepanjang tahun, kecuali pada triwulan

I-2002 (Grafik 5.8 dan 5.9). Selama tahun laporan,

M1 dan M2 mengalami rata-rata pertumbuhan tahunan

masing-masing sebesar 9,85% dan 8,05%, lebih rendah

dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai

19,76% dan 14,74%7. Lambatnya pertumbuhan M2

diantaranya berkaitan dengan menurunnya suku bunga

dana perbankan dan masih belum optimalnya

penyaluran kredit perbankan.

Lambatnya pertumbuhan M1 dan M2 tersebut

diiringi oleh relatif stabilnya angka pengganda uang

(APU), sehingga melambatnya laju pertumbuhan M1-

M2 lebih disebabkan oleh lambatnya pertumbuhan uang

primer (Grafik 5.10). Rata-rata APU1 dan APU2 pada

tahun laporan masing-masing sebesar 1,44 dan 6,95,

Grafik 5.8Perkembangan M1 Nominal

Grafik 5.10APU1, APU2, dan Rasio C/DPK

Grafik 5.9Perkembangan M2 Nominal

7 rata-rata pertumbuhan M2 pada masa sebelum krisis mencapai 24,0%.

80

Moneter

hampir sama dibandingkan tahun sebelumnya. Rata-rata

APU1 dan APU2 tersebut lebih rendah dibandingkan

periode sebelum krisis yang mencapai 1,75 dan 7,96.

Rendahnya pertumbuhan M1 dan M2 dibandingkan laju

inflasi yang terjadi selama 2002 menyebabkan likuiditas

perekonomian secara riil mengalami rata-rata

pertumbuhan yang negatif (Grafik 5.11). Selama 2002,

M1 dan M2 riil rata-rata tumbuh sebesar -1,87% dan

-3,47%, lebih rendah dibandingkan 2001 yang mencapai

7,46% dan 2,96%.

Sampai dengan akhir Desember 2002, M1

mencapai posisi Rp191,9 triliun atau mengalami

peningkatan sebesar Rp14,2 triliun (pertumbuhan

tahunan 7,99%) dibandingkan posisi akhir Desember

2001 (Tabel 5.3). Dilihat dari komponennya, peningkatan

M1 tersebut berasal dari peningkatan uang kartal sebesar

Rp4,3 triliun dan uang giral sebesar Rp9,9 triliun.

Berdasarkan kepemilikannya, peningkatan uang giral

terutama terjadi pada simpanan giro milik perusahaan

swasta. Dalam pada itu, peningkatan uang kartal

sebesar Rp4,3 triliun terutama terjadi pada November

dan Desember 2002 berkaitan dengan meningkatnya

kebutuhan uang kartal menjelang perayaan hari besar

keagamaan dan Tahun Baru (Grafik 5.12).

Sementara itu, dalam periode yang sama, M2

mengalami peningkatan sebesar Rp39,9 triliun

Grafik 5.11Pertumbuhan M1 Riil dan M2 Riil

Grafik 5.12Posisi Uang Kartal dan Simpanan Giro

M2

M1

Uang Kartal

Uang Giral

Uang Kuasi

Deposito dalam Rupiah

Tabungan dalam Rupiah

Simpanan dalam Valas

Faktor yang Mempengaruhi M2

Aktiva Luar Negeri (Bersih)

Bank Indonesia

Bank Umum

Aktiva Dalam Negeri (Bersih)

Tagihan Bersih pada Pemerintah

Bank Indonesia

Bank Umum

Tagihan kepada Sektor Usaha

Total Kredit

Kredit dalam Rupiah

Kredit dalam Valas

Tagihan Lainnya

Lainnya (Bersih)

Rincian 2000 2001 2002 Perubahan2002-2001

844,1

177,7

76,3

101,4

666,3

340,9

170,7

154,8

844,1

234,0

192,6

41,4

610,1

529,7

160,8

368,9

329,2

307,6

202,6

105,0

21,6

-248,8

883,9

191,9

80,7

111,3

692,0

359,8

191,7

140,5

883,9

250,7

212,4

38,3

633,2

510,4

168,5

341,8

389,3

365,4

271,9

93,6

23,9

-266,4

39,9

14,2

4,3

9,9

25,6

18,9

21,0

-14,3

39,9

16,7

19,8

-3,1

23,1

-19,4

7,8

-27,1

60,1

57,8

69,2

-11,4

2,3

-17,7

(Triliun Rp)

747,0

162,2

72,4

89,8

584,8

292,0

152,6

140,2

747,0

210,7

201,2

9,5

536,3

520,3

133,7

386,6

294,9

269,0

152,5

116,5

25,9

-278,9

Tabel 5.3Uang Beredar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya

81

Moneter

hingga mencapai posisi Rp883,9 triliun pada akhir

Desember 2002 (pertumbuhan tahunan 4,72%).

Peningkatan tersebut, selain disebabkan oleh

peningkatan M1 juga berasal dari peningkatan uang

kuasi sebesar Rp25,6 triliun.

Dilihat dari komponennya, peningkatan uang

kuasi tersebut terutama terjadi pada deposito dalam

rupiah sebesar Rp18,9 triliun dan tabungan dalam ru-

piah sebesar Rp21,0 triliun (Grafik 5.13). Peningkatan

tersebut lebih besar dibandingkan dengan penurunan

simpanan dalam valas sebesar Rp14,3 triliun. Dengan

perkembangan tersebut posisi deposito dan tabungan

pada akhir tahun masing-masing mencapai Rp359,8

triliun (pertumbuhan tahunan 5,56%) dan Rp191,7

triliun (12,3%). Pertumbuhan deposito rupiah sebesar

5,56% lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun

sebelumnya yang mencapai 16,75%. Hal ini

diprakirakan berkaitan dengan cenderung

menurunnya suku bunga deposito selama 2002 dan

semakin berkembangnya obligasi dan produk reksa

dana yang menjanjikan tingkat return yang lebih tinggi

dari deposito. Sementara itu, penurunan simpanan

valas semata-mata sebagai dampak dari menguatnya

nilai tukar rupiah. Apabila dinilai dalam valuta dolar,

simpanan valas meningkat sebesar $0,8 miliar.

Berdasarkan faktor-faktor yang

mempengaruhi, meningkatnya M2 selama 2002

disebabkan oleh pengaruh ekspansi Aktiva Dalam

Negeri Bersih (NetDomestic Assets/NDA) sebesar

Rp23,1 triliun dan Aktiva Luar Negeri Bersih

(NetForeign Assets/NFA) sebesar Rp16,7 triliun.

Ekspansi NDA tersebut terutama didorong oleh

ekspansi tagihan bersih kepada sektor usaha

(Claims on Business Sector/CBS) sebesar Rp60,1

tril iun sementara tagihan bersih kepada

pemerintah (Net Claims on Government/NCG)

mencatat kontraksi sebesar Rp19,4 triliun. Adapun,

peningkatan NFA terutama berasal dari ekspansi

NFA BI sebesar Rp19,8 triliun yang lebih besar

dibandingkan dengan kontraksi yang terjadi di bank

umum sebesar Rp3,1 triliun.

Ekspansi CBS terjadi karena adanya

peningkatan kredit rupiah sebesar Rp69,2 triliun

yang terutama ditujukan untuk pembiayaan modal

kerja sektor perindustrian, jasa-jasa dunia usaha,

perdagangan dan konstruksi. Selain itu,

peningkatan kredit rupiah tersebut juga disebabkan

peralihan kredit dari BPPN ke perbankan diantaranya

melalui program asset to bond swap8 . Sementara

itu, kredit valas mengalami penurunan sebesar

Rp11,4 tri l iun, yang lebih diakibatkan oleh

menguatnya nilai tukar rupiah. Jika faktor nilai

tukar dihilangkan, kredit valas sampai dengan

Desember 2002 meningkat sebesar $0,4 miliar.

Grafik 5.13Posisi Simpanan Rupiah

8 Asset to bond swap merupakan program pertukaran kredit antaraobligasi pemerintah dengan kredit yang telah direstrukturisasi maupunstraight bond.

82

Moneter

Kontraksi pada NCG sebesar Rp19,4 triliun

bersumber dari kontraksi NCG di Bank Umum sebesar

Rp27,1 triliun, sedangkan NCG di BI mengalami

ekspansi sebesar Rp7,8 triliun. Kontraksi NCG di bank

umum tersebut terutama berkaitan dengan pelunasan

obligasi yang jatuh tempo secara tunai sebesar Rp3,9

triliun, program asset to bond swap sebesar Rp8,7

triliun, serta adanya pengalihan obligasi rekap yang

dimiliki bank kepada pengelola reksa dana. Adapun

ekspansi NCG di BI terutama disebabkan oleh ekspansi

rekening rupiah pemerintah seperti yang telah

diuraikan sebelumnya.

Sementara itu, peningkatan NFA yang terutama

terjadi di BI bersumber dari penerimaan migas,

penerimaan pinjaman luar negeri dan pengelolaan

cadangan devisa yang lebih besar dibandingkan

pengeluaran khususnya untuk pembayaran hutang luar

negeri. Dalam pada itu, penurunan NFA di Bank Umum

sebagian besar berasal dari penurunan tagihan

perbankan kepada bukan penduduk antara lain tagihan

dalam bentuk giro dan call money.

TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER

Penurunan suku bunga instrumen moneter yang

terjadi selama periode laporan diikuti oleh

penurunan suku bunga PUAB dan suku bunga

simpanan perbankan secara signifikan. Namun di

sisi lain, penurunan tersebut belum diikuti oleh

penurunan suku bunga kredit khususnya KMK dan KI

secara proporsional, sementara suku bunga KK

justru sedikit meningkat. Meskipun menurun, suku

bunga KI yang merupakan kredit berjangka waktu

panjang masih cenderung tinggi. Fenomena ini

menunjukkan perbankan lebih cenderung untuk

menyalurkan kredit jangka pendek dibandingkan

kredit jangka panjang.

Masih tersendatnya penyaluran KI yang lebih

berjangka panjang mendorong perusahaan-

perusahaan yang memiliki reputasi baik untuk mencari

dana di pasar modal. Di sisi lain, menurunnya suku

bunga dana telah mendorong sebagian investor

mengalihkan sebagian dananya ke pasar obligasi dan

reksa dana yang memberikan coupon rate atau capi-

tal gain yang lebih menarik.

Suku Bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB)

Perkembangan PUAB selama 2002 menunjukkan

kondisi yang cukup likuid, terlihat dari terus turunnya

suku bunga PUAB. Penurunan suku bunga PUAB ini

searah dengan turunnya suku bunga instrumen

moneter BI khususnya FASBI O/N. Suku bunga PUAB

O/N baik di pagi maupun sore hari turun masing-

masing sebesar 348 bp dan 739 bp dan tercatat pada

posisi 12,42% dan 8,14% di akhir Desember 2002

(Grafik 5.14). Lebih tingginya penurunan suku bunga

di PUAB sore hari berkaitan dengan dipisahkannya

FASBI O/N menjadi pagi dan sore serta ditetapkannya

Grafik 5.14Nilai dan Suku Bunga PUAB Rupiah

83

Moneter

suku bunga FASBI O/N sore yang jauh lebih rendah

dibandingkan pagi hari.

Di PUAB valas dalam negeri, hingga Oktober

suku bunga yang terjadi cenderung stabil dan

selanjutnya terus menurun hingga akhir 2002 (Grafik

5.15). Suku bunga PUAB valas turun sebesar 48 bp

dari 1,73% di akhir 2001 menjadi 1,25% di akhir tahun

laporan. Cenderung turunnya suku bunga PUAB valas

tersebut berkaitan dengan turunnya suku bunga di

luar negeri.

Volume transaksi di PUAB rupiah menunjukkan

pergerakan yang cenderung fluktuatif dan lebih tinggi

dibandingkan dengan 2001. Rata-rata per hari volume

PUAB pagi dan sore meningkat dari Rp1,8 triliun dan

Rp1,4 triliun di 2001 menjadi Rp2,2 triliun dan Rp1,5

triliun. Sementara itu, volume perdagangan PUAB valas

yang terjadi selama 2002 menunjukkan pergerakan

yang lebih rendah dibandingkan dengan 2001. Rata-

rata volume PUAB valas selama 2002 mencapai $155,5

juta per hari, lebih rendah dibandingkan 2001 yang

mencapai $166,7 juta per hari.

Berdasarkan kelompok pelaku di pasar PUAB ru-

piah, bank umum swasta devisa (BUSD) dan non devisa

(BUSND) masih dominan bertindak sebagai bank

pemberi baik di PUAB pagi maupun sore (Grafik 5.16).

Dominannya kelompok BUSD sebagai bank pemberi

berkaitan dengan tingginya kondisi likuiditas bank

tersebut sehubungan dengan besarnya dana yang

diterima terutama berasal dari kupon obligasi rekap.

Sementara itu, bank asing dan campuran selalu menjadi

net peminjam untuk kedua PUAB. Adapun bank persero

selama 2002 lebih banyak bertindak sebagai net

pemberi pada PUAB pagi, namun di PUAB sore

terkadang juga bertindak sebagai net peminjam dalam

jumlah yang relatif kecil.

Grafik 5.16Net Pemberi dan Penerima di PUAB Pagi dan Sore

Grafik 5.15PUAB Valas

84

Moneter

Berdasarkan kelompok pelaku di PUAB valas,

hanya kelompok bank umum swasta devisa (BUSD)

saja yang selalu bertindak sebagai net pemberi,

sementara kelompok bank lainnya sepanjang tahun

bertindak sebagai net peminjam (Grafik 5.17).

Kelompok bank persero masih merupakan peminjam

terbesar di pasar valas, diantaranya berkaitan dengan

upaya untuk memperoleh margin suku bunga dengan

melakukan penempatan di luar negeri.

Suku Bunga Deposito dan Kredit

Seiring dengan penurunan suku bunga PUAB,

suku bunga rata-rata tertimbang deposito perbankan

jangka waktu 1 dan 3 bulan masing-masing turun

sebesar 326 bp dan 361 bp hingga tercatat pada

posisi 12,81% dan 13,63% di akhir 2002. Meskipun

suku bunga rata-rata tertimbang deposito 1 bulan

Tabel 5.4Perkembangan Suku Bunga 20021

SBI1 bulan3 bulan

Fasilitas Simpanan BI (FASBI)O/N2-6 hari7 hari

Pasar Uang Antar BankPuab O/N pagiPuab O/N sorePuab O/N valas

Suku Bunga Penjaminan Dep 1 bl Dep 3 bl PUAB rupiah PUAB valas

Deposito1 bulan- Counter rate- Rata-rata tertimbang(LBU)3 bulan6 bulan12 bulan

KreditModal kerjaInvestasiKonsumsi

Jenis20022001

IV I I I I I I IV2002

17,6217,63

15,1315,3815,88

15,9015,53

1,73

17,8818,0415,69

2,05

13,7716,0717,2416,1815,48

19,1917,9019,85

16,7616,89

15,1315,3815,88

15,6615,431,66

17,8718,3218,151,70

13,9515,6417,0216,2616,13

19,3518,0320,11

15,1115,18

14,1314,3814,88

14,5414,471,81

16,7319,9214,951,67

13,6214,7615,8515,7316,23

19,0818,1120,28

13,2214,11

12,6312,8813,13

12,9311,291,71

15,1215,2113,731,67

12,7113,5014,3614,8115,99

18,7418,1120,1

-4,69-4,51

-3,00-3,00-3,38

-3,48-7,39-0,48

-3,55-3,60-2,97-0,74

-1,86-3,26-3,61-2,39-0,20

-0,94-0,080,36

1) Akhir periode2) Suku bunga sesi pagi

Grafik 5.17Net Pemberi dan Penerima di PUAB Valas

12,9313,12

12,1312,3812,50

12,428,141,25

14,3314,4412,72

1,31

11,9112,8113,6313,7915,28

18,2517,8220,21

2

(Persen)

85

Moneter

masih lebih rendah dibandingkan dengan suku bunga

SBI pada tenor yang sama, yaitu sebesar 12,93%,

namun dengan lebih cepatnya penurunan SBI

dibandingkan suku bunga deposito, perbedaan yang

terjadi semakin tipis (Tabel 5.4). Hal ini berkaitan

dengan berpengaruhnya juga suku bunga penjaminan

terhadap pergerakan suku bunga deposito. Selama

tahun laporan suku bunga penjaminan deposito 1 dan

3 bulan hanya turun sebesar 355 bp dan 360 bp hingga

mencapai 14,33% dan 14,44% di Desember 2002.

Penurunan suku bunga penjaminan ini, selain

didorong oleh penurunan rata-rata deposito beberapa

bank JIBOR, juga didorong oleh penurunan margin

penjaminan. Margin penjaminan deposito ini masing-

masing turun sebesar 100 bp pada April dan Juni

2002. Dengan penurunan tersebut, margin

penjaminan antara suku bunga rata-rata bank JIBOR

dengan suku bunga penjaminan secara total hanya

tinggal 200 bp dibandingkan dengan akhir 2001 yang

mencapai 400 bp.

Penurunan suku bunga simpanan perbankan

tersebut ternyata tidak diikuti oleh penurunan suku

bunga kredit dengan pergerakan yang sama, bahkan

suku bunga KK menunjukkan sedikit peningkatan

(Grafik 5.18). Suku bunga KMK dan KI hanya turun

sebesar 94 bp dan 8 bp dibandingkan dengan posisi

akhir 2001, hingga masing-masing berada pada

posisi 18,25 % dan 17,82% di Desember 2002.

Sementara itu, suku bunga KK meningkat sebesar

36 bp, hingga berada pada posisi 20,21% di

Desember 2002. Tingkat suku bunga KMK yang mulai

turun sejak triwulan II-2002 tersebut telah lebih

rendah dibandingkan masa sebelum krisis yang

berkisar 19,0%. Sementara itu, tingkat suku bunga

KI yang baru menunjukkan sedikit penurunan sejak

Oktober 2002 tersebut masih lebih tinggi

dibandingkan dengan sebelum krisis yang berkisar

antara 16,0% hingga 16,5%. Rigid-nya pergerakan

suku bunga KI ini disebabkan oleh masih tingginya

persepsi risiko perbankan terhadap penyaluran

kredit yang bersifat jangka panjang yang

menyebabkan perbankan cenderung menyalurkan

kredit yang berjangka pendek. Hal ini tercermin

dari pertumbuhan KI yang rendah. Di sisi

permintaan, rendahnya pertumbuhan KI juga

mencerminkan masih tingginya risiko dunia usaha.

Meskipun suku bunga kredit relatif tinggi, namun

permintaan akan kredit perbankan cenderung

meningkat khususnya KMK dan KK. Meningkatnya KMK

terkait dengan menurunnya suku bunga jenis kredit

ini dan masih tingginya kebutuhan perusahaan dalam

memanfaatkan kapasitas produksi yang masih

tersedia. Sementara itu, meningkatnya KK ditengah

masih tingginya suku bunga jenis kredit ini lebih

disebabkan oleh relatif rendahnya risiko yang dihadapi

perbankan dalam menyalurkan KK. Selain itu,

peningkatan KK ini juga sejalan dengan masih

Grafik 5.18Suku Bunga Perbankan

86

Moneter

rendahnya tingkat leverage ratio (rasio antara cicilan

utang terhadap pendapatan) di sektor rumah tangga

dan adanya reorientasi kredit perbankan dari sektor

korporat ke sektor retail.

Pada awal tahun, beberapa indikator suku bunga

riil, seperti SBI dan simpanan perbankan sempat

menunjukkan peningkatan, namun di akhir tahun suku

bunga riil cenderung menurun. Penurunan suku bunga

riil ini berkaitan dengan lebih cepatnya penurunan suku

bunga secara nominal dibandingkan dengan penurunan

inflasi yang terjadi. Kondisi ini telah menyebabkan

posisi SBI 1 dan 3 bulan riil pada akhir Desember 2002

berada pada posisi 2,90% dan 3,09%, jauh lebih rendah

dibandingkan dengan akhir 2001 yang mencapai 5,07%

dan 5,08%. Dengan arah pergerakan yang sama dengan

SBI, suku bunga deposito riil baik 1 dan 3 bulan pada

akhir tahun laporan juga turun mencapai 2,78% dan

3,60%, lebih rendah dibandingkan posisi akhir 2001

sebesar 3,52% dan 4,69% (Grafik 5.19).

Meskipun cenderung menurun, suku bunga riil

Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan suku

bunga riil beberapa negara Asia lainnya seperti Thai-

land, Korea Selatan, dan Malaysia, kecuali Filipina

(Grafik 5.20). Suku bunga riil di ketiga negara

tersebut hanya berkisar antara 1% hingga 2%. Dengan

demikian, kisaran suku bunga deposito riil yang

terjadi saat ini dirasa masih cukup kompetitif untuk

menjaga minat masyarakat untuk menanamkan

dananya di perbankan dalam negeri.

Pasar Modal

Seiring dengan masih tingginya suku bunga

kredit perbankan yang berjangka waktu panjang,

perusahaan-perusahaan yang memiliki reputasi baik

berusaha untuk mendapatkan dana di pasar modal.

Di sisi investor, menurunnya suku bunga simpanan

perbankan mendorong sebagian investor untuk

mengalihkan penanaman dananya ke pasar obligasi

dan reksa dana. Di pasar obligasi korporasi, total

perusahaan yang melakukan IPO pada 2002 mencapai

12 perusahaan dengan nilai Rp5,3 triliun, meningkat

dibandingkan 2001 yang hanya mencapai 6

perusahaan dengan nilai Rp2,9 triliun. Dengan

perkembangan tersebut, jumlah perusahaan yang

telah memperoleh pernyataan “efektif melakukan

penawaran umum obligasi” mencapai 100 emiten

Grafik 5.19Suku Bunga Riil

Grafik 5.20Suku Bunga Deposito Riil Beberapa Negara

87

Moneter

dengan total nilai emisi Rp37,2 triliun di 2002. Posisi

tersebut meningkat dibandingkan akhir 2001 sebanyak

94 perusahaan dengan nilai emisi Rp31,7 triliun.

Adapun total obligasi yang beredar di pasar sekunder

mencapai nilai Rp20,6 triliun, relatif sama

dibandingkan dengan 2001.

Meningkatnya transaksi masyarakat di pasar

obligasi dan menurunnya suku bunga simpanan

perbankan, juga telah mendorong semakin

maraknya perdagangan pasar reksa dana terutama

pada jenis penanaman yang berpendapatan tetap

(boks: Perkembangan Reksa Dana di Indonesia).

Dari s is i produk, jumlah reksa dana yang

diterbitkan mengalami peningkatan dari 108 jenis

di akhir 2001 menjadi 131 jenis pada 2002. Adapun

jumlah pemegang unit penyertaan meningkat

cukup signifikan dari 51.723 unit di tahun 2001

menjadi 125.820 unit, dengan Nilai Aktiva Bersih

(NAB) dari hanya Rp8,0 triliun di akhir 2001

menjadi Rp46,61 triliun di 2002.

Relatif rigid-nya suku bunga pinjaman di

sektor perbankan juga telah mendorong dunia

usaha untuk mencari dana di pasar saham. Hal ini

terlihat dari meningkatnya posisi penawaran umum

perdana (IPO) dan penawaran terbatas (right is-

sue) di pasar saham. Jumlah perusahaan yang

melakukan IPO di pasar saham selama 2002 telah

mencapai 20 perusahaan dengan nilai mencapai

Rp1,2 triliun, lebih tinggi dibandingkan 2001 yang

mencapai Rp1,1 tr i l iun dengan jumlah 32

perusahaan. Selain itu, total right issue yang

terjadi juga meningkat dari Rp4,2 triliun dengan

13 perusahaan pada 2001 menjadi Rp8,7 triliun

dengan 12 perusahaan pada 2002.

Sementara itu, kinerja transaksi di pasar saham

lebih didorong oleh faktor-faktor yang bersifat

sentimen dan perkembangan bursa di luar negeri

dibandingkan dengan perkembangan suku bunga

yang terjadi. Seiring dengan menguatnya nilai tukar

rupiah dan relatif stabilnya kondisi politik dan

keamanaan di dalam negeri, pasar saham sempat

membaik selama empat bulan pertama 2002. Dalam

periode ini indeks harga saham gabungan di Bursa

Efek Jakarta (BEJ) sempat meningkat hingga

menembus angka tertinggi yang merupakan posisi

tertinggi sejak Mei 2000 (Grafik 5.21). Namun

demikian, perkembangan saham tersebut kembali

menunjukkan arah yang terus memburuk hingga

akhir Oktober dan ditutup sedikit membaik di akhir

tahun.

Di awal tahun, membaiknya kondisi pasar modal

didorong oleh faktor eksternal maupun internal. Dari

faktor eksternal, membaiknya prakiraaan ekonomi

global telah mendorong peningkatan indeks di bursa

saham internasional yang juga berpengaruh terhadap

kinerja perdagangan saham di dalam negeri. Indeks

Dow Jones sempat mencapai posisi 10.635 dan Nikkei

Grafik 5.21Perkembagan IHSG dan LQ 45

88

Moneter

11.980 (Grafik 5.22). Selain faktor eksternal di atas

beberapa faktor dari dalam negeri juga turut

membantu mendorong membaiknya pasar modal

seperti:

1. Menguatnya nilai tukar rupiah dan relatif

stabilnya kondisi politik dan keamanan di dalam

negeri.

2. Keberhasilan pemerintah dalam penjadwalan

kembali utang luar negeri di forum Paris Club

yang dilanjutkan dengan penjadwalan kembali

utang dalam London Club.

3. Keberhasilan program divestasi 51% saham

pemerintah di BCA yang berhasil memberikan

sentimen positif terhadap iklim investasi di

dalam negeri.

Kondisi tersebut telah meningkatkan IHSG dan

LQ 45, yang merupakan indikator kinerja 45 saham

terlikuid di BEJ, hingga masing-masing sempat

menembus level tertinggi selama 2002 sebesar

551,60 dan 122,09. Sementara posisi keduanya pada

akhir 2001 hanya sebesar 392,03 dan 80,06.

Namun demikian seiring dengan memburuknya

kondisi bursa regional dan internasional berkaitan

dengan skandal keuangan pada perusahaan-perusahaan

besar AS menyebabkan IHSG terdorong melemah.

Kondisi tersebut juga didorong oleh peristiwa-peristiwa

di dalam negeri yang dinilai berdampak negatif bagi

perkembangan bursa. Beberapa faktor tersebut

diantaranya adalah keputusan pailit PT. Asuransi Manulife

Indonesia, penundaan divestasi Bank Niaga dan tidak

tercapainya target divestasi saham pemerintah di

Indosat. Menurunnya kinerja bursa saham di dalam

negeri semakin diperburuk lagi oleh tragedi Bali pada

pertengahan Oktober sehingga IHSG dan LQ 45 sempat

mencapai posisi terendahnya sejak 1999 yaitu pada

posisi 337,48 dan 69,09. Posisi IHSG dan LQ 45 ini ditutup

sedikit membaik, masing-masing pada posisi 424,95

dan 91,98 pada akhir Desember 2002.

Arah perkembangan yang sama juga terjadi

pada indikator kinerja pasar modal lainnya seperti

nilai dan volume perdagangan saham, kapitalisasi

pasar, dan net beli (jual) asing. Selama 2002,

pergerakan nilai dan volume perdagangan saham

searah dengan pergerakan IHSG. Perdagangan

saham sempat mencapai total volume sebesar

35,72 miliar lembar saham dengan nilai Rp20,3

Grafik 5.23Nilai dan Volume Perdagangan

Grafik 5.22Pergerakan Indeks Saham di Beberapa Bursa

89

Moneter

triliun pada April 2002, yang selanjutnya menurun

menjadi 6,23 miliar lembar dengan nilai Rp10,2

triliun di Desember 2002. Nilai perdagangan saham

tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan akhir

2001 yang mencapai Rp6,6 triliun (Grafik 5.23).

Sementara itu, nilai kapitalisasi pasar juga

menunjukkan arah perkembangan yang sama, yaitu

sempat mencapai nilai tertinggi pada posisi Rp344

triliun dengan jumlah 889,9 miliar lembar saham di

April dan kemudian cenderung menurun hingga akhir

2002 tercatat pada posisi Rp268,8 triliun dengan jumlah

939,5 miliar lembar saham. Nilai kapitalisasi pasar

tersebut sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan akhir

2001 yang mencapai Rp239,3 triliun dengan jumlah

saham hanya 884,2 miliar lembar.

Posisi net beli asing yang sempat mencapai posisi

yang tinggi pada Juli 2002 sebesar Rp1,0 triliun, terus

menurun bahkan sempat terjadi net jual sebesar Rp17,1

miliar di November (Grafik 5.24). Net beli asing tersebut

kembali meningkat tajam pada akhir tahun hingga

mencapai Rp4,8 triliun, berkaitan dengan keberhasilan

proses divestasi yang menyebabkan membaiknya

beberapa harga saham unggulan. Seiring dengan itu,

persentase rata-rata nilai perdagangan asing terhadap

total perdagangan selama 2002 menunjukkan

kecenderungan yang terus menurun sejak Juli hingga

November dan kembali mencatat peningkatan tertinggi

sebesar 24,0% di akhir tahun laporan.

Obligasi Pemerintah

Menurunnya suku bunga instrumen moneter dan

perbankan selama 2002 juga telah berdampak pada

perubahan komposisi obligasi pemerintah dan volume

perdagangannya di pasar sekunder sebagai berikut :

1. Meningkatnya jumlah obligasi variable rate (VR)

akibat penggantian beberapa jenis obligasi

lainnya yang jatuh tempo dengan jenis VR.

2. Meningkatnya permintaan akan obligasi

pemerintah di pasar sekunder oleh kelompok

nonbank.

3. Meningkatnya perdagangan obligasi bunga tetap

(FR) di pasar sekunder.

4. Menurunnya yield obligasi secara umum terutama

terjadi pada seri FR sehingga mendorong

meningkatnya harga jenis obligasi ini.

Sejak dikeluarkannya obligasi pemerintah

pada 28 Mei 1999 sampai 31 Oktober 2000 total

obligasi yang diterbitkan mencapai Rp430,4 triliun.

Posisi tersebut terus mengalami perubahan hingga

mencapai Rp419,4 triliun di akhir 2002, menurun

dibandingkan dengan posisi akhir 2001 yang

mencapai Rp435,3 triliun (Tabel 5.5). Berdasarkan

komposisinya, posisi obligasi di akhir 2002 tersebut

sebagian besar merupakan jenis variable rate (VR)

yang mencapai Rp239,6 triliun atau mencapai 57,1%

dari total, diikuti oleh obligasi bunga tetap (FR)

sebesar Rp154,5 triliun (36,8%), dan hedge bond

Grafik 5.24Net Beli/Jual Asing

90

Moneter

(HB) Rp25,3 triliun (6,0%). Komposisi obligasi FR dan

HB tersebut mengalami penurunan dibandingkan

dengan 2001 sementara posisi obligasi VR cenderung

meningkat. Hal ini berkaitan dengan cenderung

turunnya suku bunga perbankan yang mendorong

pemerintah mengganti beberapa obligasi jenis FR dan

HB yang jatuh tempo ke jenis VR.

Penurunan dan perubahan komposisi obligasi

selama 2002 antara lain disebabkan oleh:

1. Penukaran obligasi seri FR yang jatuh tempo

dengan VR milik beberapa bank (total Rp24,8

triliun) pada Maret 2002. Penukaran sebagian

besar obligasi jatuh tempo ini berkaitan dengan

semakin menurunnya suku bunga SBI 3 bulan.

2. Pelunasan secara tunai obligasi seri VR0001

yang jatuh tempo sebesar Rp3,9 triliun pada

Juli 2002.

3. Pelunasan obligasi seri VR sebesar Rp7,2 triliun

dan FR sebesar Rp1,5 triliun melalui program

asset to bond swap sejak Agustus hingga

Desember. Program ini merupakan pertukaran

antara obligasi pemerintah dengan kredit yang

telah direstrukturisasi maupun straight bond

(kredit yang tidak mengandung unsur ekuitas)

di BPPN. Program ini ditujukan untuk mengurangi

beban kewajiban pembayaran kupon dan pokok

obligasi pemerintah yang jatuh tempo.

4. Penukaran obligasi HB yang jatuh tempo sebesar

Rp10,0 triliun dengan obligasi seri VR sebesar

Rp6,5 triliun dan FR sebesar Rp3,5 triliun yang

akan jatuh tempo 2008 hingga 2011.

5. Indeksasi obligasi seri HB yang menyesuaikan

dengan menguatnya nilai tukar selama 2002.

6. Selain itu, pada November 2002 pemerintah telah

melakukan reprofiling obligasi pemerintah senilai

Rp171,8 triliun yang dimiliki oleh 4 bank BUMN-

rekap. Program ini dilakukan dengan melunasi

obligasi yang jatuh tempo antara 2004-2009 dengan

Tabel 5.5Perkembangan Posisi Obligasi Pemerintah

Menurut Seri Fixed Rate Variable Rate Hedge Bond

Menurut Portofolio Investasi Perdagangan - Bebas diperdagangkan - Yang diagunkan

Menurut Kepemilikan Departemen Keuangan Bank-Rekap Bank Non-Rekap Sub-Registry

Jenis Total ObligasiRekap*

Pangsa(%)

2001Pangsa

(%)2002

Pangsa(%)

430.422167.217226.39836.807

430.422430.422

-

430.422430.422

100,0038,8552,608,55

100,00100,00

100,00100,00

435.303 175.464 219.479 40.360

435.303 370.649 64.654 61.184 3.470

435.303 878 396.631 24.773 13.022

100,0040,3150,429,27

100,0085,1514,8594,6

5,4

100,00 0,20 91,12 5,69 2,99

419.356154.456239.602

25.299

419.356319.643

99.71399.713

419.356 872,5 359.872 13.829 44.782

100,0036,8357,146,03

100,0076,2223,78100,0

0,0

100,00 0,21 85,82 3,30 10,68

* Total obligasi rekapitalisasi perbankan sejak tanggal 28 Mei 1999 s.d. 31 Oktober 2000

(Miliar Rp)

91

Moneter

menerbitkan obligasi seri baru sebagai pengganti

dengan jangka waktu yang lebih panjang antara

2010-2020

Di pasar sekunder, jumlah portofolio

perdagangan obligasi menunjukkan peningkatan yang

signifikan seiring dengan semakin meningkatnya

persentase obligasi pemerintah yang boleh

diperdagangkan. Jumlah obligasi pemerintah yang

boleh diperdagangkan mengalami peningkatan dari

hanya 25% menjadi 100% dari seluruh portofolio yang

dimiliki. Meskipun demikian, jumlah portofolio yang

diperdagangan hanya meningkat dari Rp64,7 triliun

(14,9% dari total obligasi) di 2001 menjadi Rp99,7

triliun (23,6%) di Desember 2002. Peningkatan

portofolio perdagangan ini mencerminkan masih

tingginya kebutuhan likuiditas bank-bank peserta

rekapitalisasi, meningkatnya permintaan pasar

terhadap obligasi pemerintah, dan pemenuhan dana

guna pelunasan kewajiban sebagian bank rekap

kepada BPPN.

Perdagangan obligasi di pasar sekunder tersebut

cenderung meningkat tinggi selama 2002 mencapai

rata-rata Rp475,2 miliar per hari, jauh meningkat dari

tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp256,5 miliar

per hari. Perdagangan di pasar sekunder tersebut

mencapai puncaknya pada Agustus 2002 yang mencapai

rata-rata Rp754,7 miliar per hari (Grafik 5.25). Jenis

transaksi obligasi di pasar sekunder dapat dibedakan

atas transaksi repo (jual dengan kewajiban pembelian

kembali) dan outright (jual putus). Dari keseluruhan

total transaksi, jenis transaksi outright lebih

mendominasi dibandingkan transaksi repo (Grafik

5.26). Sementara itu dari transaksi outright tersebut,

obligasi seri FR merupakan jenis obligasi yang paling

banyak diminati oleh investor dibandingkan dengan

seri VR. Kondisi ini berlawanan dengan tahun 2001.

Berdasarkan komposisi kepemilikannya setelah

transaksi di pasar sekunder, pangsa kepemilikan

obligasi rekap terbesar masih berada di bank peserta

rekapitalisasi yang mencapai Rp359,9 triliun atau

85,8% dari total obligasi (Grafik 5.27). Pangsa

kepemilikan tersebut diikuti oleh kelompok sub-

registry, yang terdiri atas beberapa lembaga keuangan

nonbank dan masyarakat, mencapai Rp44,8 triliun

(10,7%). Pangsa kepemilikan oleh kelompok sub-

registry tersebut meningkat dibandingkan 2001 yang

Grafik 5.26Perkembangan Volume Transaksi Perdagangan

Obligasi Menurut Jenis Transaksi

Grafik 5.25Perkembangan Volume dan Frekuensi Transaksi

Perdagangan Obligasi Pemerintah

92

Moneter

hanya sebesar Rp13,02 triliun (3,0%). Peningkatan

kepemilikan oleh kelompok sub-registry ini dipicu oleh

cenderung menurunnya suku bunga deposito dan

kurang menariknya kondisi pasar modal selama 2002.

Adapun kepemilikan obligasi oleh bank nonrekap

mencapai Rp13,8 triliun (3,3%), jauh menurun

dibandingkan dengan posisi akhir 2001 sebesar

Rp24,8 triliun. Sementara itu, kepemilikan asing atas

obligasi pemerintah masih sangat kecil dengan

proporsi sekitar 0,14% pada 2002. Jumlah kepemilikan

asing tersebut mengalami peningkatan dari Rp38,0

miliar pada 2001 menjadi Rp611,1 miliar pada 2002.

Grafik 5.27Kepemilikan Obligasi Pemerintah

Perdagangan obligasi pemerintah selama

2002 selain dipengaruhi oleh menurunnya suku

bunga SBI juga diwarnai oleh isu reprofiling.

Kedua faktor tersebut telah berpengaruh terhadap

menurunnya obligasi terutama untuk obligasi

berjangka waktu pendek dan jenis FR. I su

reprofiling telah memberikan sentimen positif

kepada pasar karena penyebaran maturity obligasi

pada jangka waktu yang lebih panjang akan

semakin memberikan keyakinan pasar akan

kemampuan pemerintah untuk membayar

kembali.

93

Moneter

Perkembangan Dana Masyarakat yangDikelola Manajer Investasi Tahun 1995-2002

2,585,208,755,399,05

10,2515,8856,09

19951996199719981999200020012002

Tahun Dana Masyarakat

Sumber : Statistik Pasar Modal, Bapepam

Investasi dalam bentuk reksa dana telah

diperkenalkan sejak 1996 yang meliputi

penanaman dana dalam bentuk reksa dana fixed

income, reksa dana equity, reksa dana mixed

antara keduanya, serta reksa dana dalam bentuk

pasar uang. Sampai dengan Desember 2002

terdapat 131 macam jenis reksa dana yang telah

diterbitkan oleh lembaga keuangan yang ada di

Indonesia. Perkembangan reksa dana mulai

semakin marak pada 2002 karena sekitar 60%

pemasaran dari reksa dana tersebut

menggunakan marketing channeling perbankan.

tertentu dari para pengelola dana (fund manager)

tersebut. Kegiatan usaha baru bank sebagai agen

reksa dana ini telah mampu mengumpulkan dana

masyarakat sekitar Rp27 triliun per Oktober 2002

atau sekitar 60,0% dari total dana masyarakat yang

terkumpul melalui produk reksa dana.

Pada umumnya reksa dana yang dijual adalah

reksa dana pendapatan tetap dengan tingkat

pengembalian (return) berkisar antara 10,0%-

14,0% dengan rata-rata pengembalian sebesar

12,0%-13,0% setahun. Bahkan ada reksa dana

pendapatan tetap dari sebuah BUSN per Oktober

2002 dapat mencetak tingkat pengembalian hingga

18,94% dalam satu tahun. Selain itu, bank juga

menjual reksa dana pasar uang, campuran bahkan

reksa dana saham dengan tingkat pengembalian

lebih tinggi hingga mencapai 40,0% setahun.

Pertumbuhan investasi reksa dana dalam

setahun terakhir terus memperlihatkan kenaikan

yang sangat pesat. Dari grafik di bawah terlihat

bahwa dana masyarakat yang berhasil dihimpun

dan dikelola oleh Manajer Investasi (MI) pada

Januari 2002 hanya mencapai Rp16,62 triliun

kemudian menjadi Rp56,09 triliun pada Desember

2002 atau mengalami kenaikan sebesar 237,48%.

Sedangkan nilai aset bersih reksa dana mengalami

peningkatan dari Rp8,53 triliun pada bulan Januari

2002 menjadi Rp46,61 triliun pada Desember

2002. Reksa dana pendapatan tetap mencapai

Nilai Aset Bersih (NAB)terbesar sebesar Rp37,34

bo

ks

Perkembangan Reksa Dana di Indonesia

Saat ini telah banyak bank-bank yang menjadi

agen dari penjualan reksa dana, yaitu sekitar 12

bank, dimana 6 bank merupakan bank asing dan 6

bank lainnya merupakan bank umum swasta

nasional (BUSN) dan bank campuran. Atas jasa

layanan tersebut bank menerima imbalan (fee)

(Triliun Rp)

94

Moneter

faktor-faktor tersebut adalah : (i) suku bunga SBI

dalam setahun terakhir yang terus menunjukkan

trend menurun yang diikuti oleh penurunan suku

bunga simpanan bank, (ii) reksa dana yang

berumur kurang dari 5 tahun tidak terkena pajak

atas capital gain ataupun kuponnya sesuai

Undang-Undang Pajak No. 17 tahun 2000, dan (iii)

sejak Agustus 2002 manajer investasi dapat

berinvestasi pada efek-efek luar negeri sebesar

15,0% dari total dana kelolaan.

Dari sisi bank, faktor yang mempengaruhi

adalah : (i) perbaikan atas struktur aset bank

untuk meningkatkan likuiditas dan penghasilan

dari obligasi pemerintah di saat penyaluran dana

pada kredit belum optimal; (ii) penurunan cost

of fund karena beralihnya simpanan masyarakat

dari deposito ke giro milik MI.

Perkembangan pesat reksa dana

diperkirakan masih akan berlanjut terus

mengingat proporsi reksa dana dari total investasi

masyarakat baru mencapai 6,29%, bila

dibandingkan dengan proporsi simpanan

masyarakat pada DPK yaitu 93,71% dimana deposito

mencapai 53,4% dari komposisi DPK. Kondisi ini

masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan di

Malaysia dan AS yang investasi masyarakat pada

reksa dananya telah mencapai 50,0% serta 60,0%

dari total investasinya.

Adapun risiko-risiko dari produk reksa dana

ini bagi nasabah meliputi :

· Risiko kredit : risiko menurunnya NAB jika

terjadi wanprestasi/kebangkrutan dari

triliun atau pangsanya mencapai 80,11% dari

NAB total reksa dana yang mencapai Rp46,61

triliun. Komposisi reksa dana pendapatan tetap

tersebut sebagian besar terdiri dari obligasi

pemerintah yang dianggap merupakan

instrumen yang bebas dari risiko (risk free)

sebagaimana terl ihat dari pertumbuhan

kepemilikan obligasi pemerintah oleh reksa

dana yang meningkat.

Pertumbuhan investasi reksa dana yang

sangat cepat dalam setahun terakhir tersebut

dipicu oleh beberapa faktor. Dari sisi nasabah

Perkembangan Dana Masyarakat yang DikelolaReksa Dana

Kepemilikan Obligasi Pemerintah olehReksa Dana dan Perbankan 2002

95

Moneter

manajer investasi dan penerbit surat

berharga (emiten);

· Risiko likuiditas : dalam hal terjadi

penjualan kembali (redemption) secara

massal dalam jangka waktu singkat oleh

pemegang unit penyertaan maka dapat

terjadi risiko penundaan dalam pelunasan

portofolio.

· Risiko harga : risiko terjadinya penurunan

NAB akibat perubahan harga pasar dari

portofolio.

Sementara itu, bagi bank yang bertindak

sebagai agen dari reksa dana maka timbul pula

risiko reputasi yang dapat berubah menjadi

tuntutan hukum dari nasabah kepada bank akibat

terjadi kesalahpahaman nasabah bahwa reksa

dana yang dijual bank merupakan produk bank

serta dijamin pula oleh program penjaminan

simpanan nasabah.

Pertumbuhan yang sangat cepat dari investasi

reksa dana tersebut juga harus diiringi dengan

pengawasan dan monitoring yang lebih ketat lagi

oleh Bapepam terhadap lembaga-lembaga penerbit

reksa dana tersebut.

Untuk mengantisipasi perkembangan

tersebut, dalam jangka panjang diperlukan

pengkajian dan pembahasan yang mendalam guna

melindungi kepentingan nasabah dan bank melalui

pengaturan :

(i) Lembaga kustodian yang digunakan MI harus

berupa lembaga bank

(ii) Kemungkinan pengaturan komposisi

portofolio Manajer Investasi agar terdiri dari

efek-efek yang telah di rating dan tercatat

di bursa efek;

(iii) Pembatasan prosentase pembelian efek tidak

hanya dari satu perusahaan namun dari satu

grup usaha.

96

Neraca Pembayaran

Neraca Pembayaran6BAB

l a p o r a nt a h u n a n

97

Neraca Pembayaran

NERACA PEMBAYARAN6B A B

D alam tahun laporan, secara keseluruhan

Neraca Pembayaran Indonesia (NPI)

menunjukkan perbaikan dibandingkan tahun

sebelumnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan naiknya

surplus neraca transaksi berjalan dan turunnya defisit

lalu lintas modal (LLM). Kenaikan surplus transaksi

berjalan disumbang oleh peningkatan ekspor yang

lebih besar dibandingkan dengan peningkatan

impor. Dari sisi transaksi modal, penurunan defisit

LLM terutama berkaitan dengan keberhasilan

penjadwalan kembali utang luar negeri (ULN) baik

pemerintah maupun swasta.

Walaupun kinerja ekspor dalam tahun laporan

telah menunjukkan perbaikan, namun perkembangan

ekspor tersebut masih menghadapi beberapa

permasalahan yang berasal dari sisi eksternal dan

internal. Dari sisi eksternal, ekspor Indonesia

dipengaruhi oleh masih lesunya kondisi

perekonomian dunia terutama di beberapa negara

maju yang merupakan pasar utama ekspor Indone-

sia. Di samping itu, perkembangan ekspor Indone-

sia juga masih menghadapi beberapa masalah

sehubungan dengan semakin tajamnya persaingan

global dalam perdagangan internasional dan semakin

ketatnya standar kualitas beberapa komoditi yang

diterapkan di beberapa negara mitra dagang. Dari

s i s i internal , k inerja ekspor se lama 2002

dipengaruhi o leh berbagai permasalahan

struktural seperti masalah perburuhan, penegakan

hukum, kondisi keamanan, dan masih rendahnya

kegiatan penanaman modal. Hal ini juga tercermin

dari turunnya impor nonmigas dalam bentuk bahan

baku dan barang modal yang sebagian besar

ditujukan untuk kegiatan industri yang menunjang

ekspor.

Dari sisi LLM, semakin menurunnya defisit

LLM swasta terkait dengan hasil privatisasi dan

divestasi, penjadwalan kembali ULN swasta,

penerbitan obligasi beberapa perusahaan di luar

negeri dan meningkatnya penarikan pinjaman oleh

perusahaan penanaman modal as ing (PMA).

Sedangkan turunnya defisit LLM pemerintah

terutama berasal dar i penjadwalan kembali

pembayaran pokok dan bunga ULN pemerintah dan

peningkatan realisasi penarikan pinjaman dari IMF.

Dengan perkembangan tersebut di atas,

secara keseluruhan NPI pada 2002 mengalami sur-

plus sebesar $3,6 miliar, meningkat dibandingkan

dengan tahun sebelumnya yang mencatat defisit

sebesar $1,4 miliar. Dengan peningkatan surplus

Neraca Pembayaran Indonesia menunjukan perkembangan yangmembaik terutama didukung oleh menurunnya defisit lalu lintas modalhasil dari restrukturisasi utang luar negeri dan meningkatnya surplustransaksi berjalan.

98

Neraca Pembayaran

membentuk Tim Koordinasi Peningkatan Kelancaran

Arus Barang Ekspor dan Impor1 untuk merumuskan

langkah kebijakan yang terpadu dan terkoordinasi

guna menunjang dan meningkatkan kelancaran arus

barang serta meningkatkan daya saing ekspor Indo-

nesia. Selain itu, dalam rangka meningkatkan nilai

tambah ekspor komoditas pertambangan serta

mendukung tetap terpeliharanya kelestarian

lingkungan, pemerintah menetapkan kembali barang

yang diatur, diawasi, dan dilarang ekspornya.2 Untuk

mendorong kegiatan industri pengolahan, pemerintah

mengatur tata cara impor mesin dan peralatan mesin

bukan baru3 dengan menetapkan kriteria mesin dan

peralatan mesin bukan baru yang dapat diimpor dan

ketentuan mengenai uji kelaikan barang impor

tersebut. Di samping berbagai kebijakan untuk

mendorong ekspor dan impor, Bank Indonesia juga

terus berupaya meningkatkan sistem pemantauan

kegiatan lalu lintas devisa (LLD) masyarakat. Setelah

mewajibkan bank menyampaikan laporan kegiatan

LLD sejak tahun 2000, kewajiban tersebut kini

diperluas untuk perusahaan bukan lembaga keuangan

(Boks: Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh

Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan).

Dalam rangka mengurangi tekanan terhadap

neraca modal, pemerintah telah menempuh upaya

penjadwalan kembali ULN pemerintah melalui fase

kedua Paris Club (PC) II, dan PC III serta London Club.

tersebut, posisi cadangan devisa pada akhir 2002

tercatat sebesar $31,6 miliar (Tabel 6.1).

Perkembangan yang cukup menggembirakan

pada NPI tidak terlepas dari berbagai kebijakan yang

diambil pemerintah di bidang ekspor dan impor serta

LLM. Di bidang ekspor dan impor, pemerintah

2 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 575/MPP/KEP/VIII/2002 tentang Perubahan Atas Lampiran Keputusan MenteriPerindustrian dan Perdagangan No. 558/MPP/KEP/12/1998 tentangKetentuan Umum Dibidang Ekspor Sebagaimana Telah Diubah BeberapaKali Terakhir Dengan Keputusan Menteri Perindustrian danPerdagangan No. 443/MPP/KEP/5/2002, tanggal 6 Agustus 2002.

3 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 756/MPP/II/2002 tentang Impor Mesin dan Peralatan Mesin Bukan Baru, tanggal12 November 2002.

1 Keputusan Presiden RI No. 54 Tahun 2002 tentang Tim KoordinasiPeningkatan Kelancaran Arus Barang Ekspor dan Impor, tanggal 23 Juli2002.

Tabel 6.1Neraca Pembayaran IndonesiaTabel 6.1Neraca Pembayaran Indonesia

2002*

(Miliar $)

7,323,158,045,312,76,75,70,3

-34,8-28,3-6,6-6,3-0,3

-15,9-11,6-4,2-2,1-2,1-3,6-0,61,3-1,8-3,0-6,93,93,7-0,1-3,6

31,6

6,63,9

A. Transaksi Berjalan1. Neraca Barang

a. Ekspor (fob) Nonmigas Migas

MinyakLNGLPG

b. Impor (fob) Nonmigas Migas

MinyakGas

2. Jasaa. Nonmigasb. Migas

MinyakGas

B. Lalu Lintas Modal1. Lalu Lintas Modal Pemerintah (Bersih)

a. Penerimaan pinjaman dan bantuanb. Pelunasan pinjaman 1)

2. Lalu Lintas Modal Swasta (Bersih)a. Penanaman modal langsung (bersih)b. Lainnya (bersih)

C. Jumlah (A+B)D. Selisih Perhitungan antara C dan EE. Lalu lintas Moneter 2)

Catatan :1. Aktiva Luar Negeri (GFA) 3)

Setara Impor Nonmigas dan PembayaranUtang Luar Negeri Pemerintah (bulan)

2. Transaksi Berjalan/PDB (%)

20012000Rincian

6,922,757,444,812,66,95,30,4

-34,7-29,0-5,7-5,4-0,3

-15,8-11,5-4,3-2,4-1,9-9,0-0,71,1-1,8-8,3-5,9-2,4-2,10,71,4

28,0

5,94,7

8,025,065,450,315,18,06,80,4

-40,4-34,4-6,0-5,8-0,1

-17,1-12,5-4,6-2,2-2,4-6,83,25,0-1,8

-10,0-4,6-5,41,23,8-5,0

29,4

6,03,4

1) Setelah diperhitungkan penjadwalan kembali ULN2) Minus (-) : Surplus, dan sebaliknya3) Sejak 2000 menggunakan konsep IRFCL menggantikan konsep

cadangan devisa bruto (GFA)

99

Neraca Pembayaran

Berbeda dengan penjadwalan sebelumnya yang

hanya mencakup pokok pinjaman, pada PC III ini

penjadwalan ULN mencakup juga bunga pinjaman.

Di samping itu, sebagai implikasi comparable

treatment dari kesepakatan yang diperoleh dalam

PC III, pemerintah telah melakukan negosiasi

dalam forum London Club sehingga penjadwalan

kembali Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN)

selain pokok pinjaman juga mencakup bunga

Pinjaman Sindikasi.

Upaya perbaikan LLM swasta melalui proses

penjadwalan kembali ULN swasta nonbank dan

swasta bank juga memperlihatkan keberhasilan

dibandingkan tahun sebelumnya. Penyelesaian ULN

swasta di bawah Prakarsa Jakarta (Jakarta Initia-

tive Task Force) telah mencapai rasio sekitar

65,2% total ULN yang ingin diselesaikan melalui

Prakarsa Jakarta, meningkat dari 14% pada tahun

sebelumnya. Penjadwalan kembali ULN swasta bank

melalui mekanisme program Exchange Offer I dan

II (EO I & EO II) juga memperlihatkan penyelesaian

yang semakin positif.

TRANSAKSI BERJALAN

Pada tahun laporan transaksi berjalan mencatat

surplus sebesar $7,3 miliar, meningkat dari surplus

tahun sebelumnya sebesar $6,9 miliar (Tabel 6.1 dan

Grafik 6.1). Surplus neraca perdagangan yang

mencapai $23,1 miliar merupakan sumber utama

naiknya surplus transaksi berjalan tersebut.

Meningkatnya surplus neraca perdagangan dalam

tahun laporan bersumber dari meningkatnya ekspor

migas dan nonmigas. Sementara itu, impor juga

mengalami peningkatan meskipun impor nonmigas

menunjukkan penurunan. Turunnya impor nonmigas

terutama pada bahan baku dan barang modal

mencerminkan masih lemahnya kegiatan investasi

dan produksi di dalam negeri. Sementara itu, dalam

tahun laporan neraca jasa mencatat defisit sebesar

$15,9 miliar, tidak banyak mengalami perubahan

dibandingkan dengan defisit pada tahun sebelumnya

sebesar $15,8 miliar. Relatif tetapnya defisit neraca

jasa pada tahun laporan berasal penurunan defisit jasa

di sektor migas yang diimbangi dengan peningkatan

defisit jasa dari sektor nonmigas.

Grafik 6.1Transaksi Berjalan, Neraca Perdagangan,

dan Neraca JasaGrafik 6.2

Nilai Ekspor Migas dan Nonmigas

100

Neraca Pembayaran

EKSPOR

Kinerja ekspor Indonesia dalam tahun laporan

telah menunjukkan perbaikan dibandingkan tahun

sebelumnya. Total nilai ekspor tercatat sebesar $58,0

miliar, meningkat dibandingkan dengan nilai ekspor

tahun sebelumnya sebesar $57,4 miliar. Ekspor

nonmigas tercatat sebesar $45,3 miliar sementara

ekspor migas mencapai $12,7 miliar (Grafik 6.2).

Ekspor nonmigas dalam tahun laporan mencapai

pertumbuhan positif sebesar 1,0% setelah dalam

tahun sebelumnya mencatat pertumbuhan negatif

11,0%. Secara sektoral, kenaikan ekspor nonmigas

tersebut berasal dari kenaikan ekspor barang di sektor

pertanian dan industri yang masing-masing

mengalami pertumbuhan 10,2% dan 0,9%. Sementara

itu, kelompok barang di sektor pertambangan

menunjukkan pertumbuhan negatif 4,4%.

Sebagaimana tahun sebelumnya, struktur ekspor

nonmigas tetap didominasi oleh sektor industri yang

mencapai 79,5% dari nilai total ekspor nonmigas,

diikuti oleh sektor pertambangan dan sektor pertanian

masing-masing sebesar 11,8% dan 8,7% (Grafik 6.3).

Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pangsa

ekspor sektor industri relatif tetap, sedangkan sektor

pertambangan turun dari 12,5% dan sektor pertanian

naik dari 7,9%.

Di sektor pertanian, nilai ekspor mencapai $3,9

miliar, meningkat dibandingkan dengan nilai ekspor

tahun sebelumnya ($3,6 miliar). Peningkatan ekspor

terjadi di beberapa komoditas utama seperti getah

karet (19,0%) dan kopi (36,7%). Peningkatan ekspor

getah karet terkait erat dengan keberhasilan

kesepakatan International Tripartite Rubber Com-

pany (ITRCo) antara Indonesia, Malaysia dan Thai-

land yang ditandatangani pada Agustus 2002 yang

antara lain untuk mengawasi skema pengurangan

produksi (management scheme). Kesepakatan ketiga

negara penghasil karet terbesar di dunia tersebut

mampu mengangkat harga karet internasional. Selain

itu, masuknya Vietnam sebagai anggota Asean Rub-

ber Business Club (ARBC) juga turut mengangkat

harga karet alam mengingat ARBC menguasai hampir

90% pangsa pasar karet dunia. Sedangkan

peningkatan nilai ekspor komoditi kopi antara lain

lebih disebabkan oleh kenaikan volume ekspor kopi

terkait dengan peningkatan permintaan dunia.

Sementara itu, ekspor udang yang merupakan

komoditas unggulan dari sektor pertanian

menunjukkan penurunan (-10,6%). Turunnya ekspor

udang antara lain berkaitan dengan turunnya harga

di pasar internasional sebagai akibat isu bahwa

sebagian udang asal Asia mengandung chlorampheni-

col yang cukup tinggi. Hal tersebut mengurangi minat

konsumen untuk membeli produk impor karena

dikhawatirkan tidak aman untuk dikonsumsi (produk

tercemar). Di samping itu, pemogokan pekerja di

pantai barat AS yang menyebabkan tertahannya

Grafik 6.3Pangsa Ekspor Nonmigas

101

Neraca Pembayaran

Tekstil & produk tekstil- Pakaian jadiKerajinan tanganProduk kayu- Kayu lapisProduk rotanMinyak sawitBungkil kopraProduk kimiaProduk logamBarang-barang listrikSemenKertasProduk karetGelas dan alat dari gelasAlas kakiProduk plastikMesin & pesawat mekanikLainnya

T o t a l

Tabel 6.2Ekspor Barang Industri

13,57,21,18,43,30,64,60,15,02,3

14,50,35,51,10,73,02,36,99,6

79,5

Pangsa(%)

Nilai(Juta $)

Perubahan(%)

2002*Rincian

2001 2002*

6.1163.256

5013.7831.515

2802.068

642.2421.0436.562

1132.500

520309

1.3491.0533.1284.329

35.962

-9,4-14,8-5,9-4,5

-12,23,3

54,030,84,5

-7,77,3

-33,1-6,621,01,2

-5,82,82,42,2

0,9

-7,7-6,0-2,9

-11,9-13,6-8,16,2

-20,3-5,0-7,1-3,920,7

-12,1-2,3

-12,5-11,6-15,8-19,3-31,8

-12,3

didorong oleh perkembangan teknologi informasi (TI)

dunia. Hal tersebut berkaitan dengan dominasi

komponen TI dalam struktur ekspor barang-barang

elektronik dari Indonesia.

Sementara itu, ekspor tekstil dan produk tekstil

(TPT) yang merupakan salah satu komoditas unggulan

terus menunjukkan penurunan (-9,4%) sebagaimana

yang terjadi dalam tahun sebelumnya (-7,7%).

Penurunan tersebut antara lain disebabkan oleh relokasi

pabrik tekstil ke Cina dan Vietnam seiring dengan

belum kondusifnya iklim usaha di dalam negeri terkait

dengan masalah struktural yang belum terselesaikan.

Di sektor pertambangan, nilai ekspor mencapai

$5,4 miliar atau turun 4,4% dibandingkan tahun

barang-barang ekspor ke AS, turut mempengaruhi

turunnya nilai ekspor udang.

Di sektor industri, total nilai ekspor mencapai

$36,0 miliar atau tumbuh sebesar 0,9%

dibandingkan tahun sebelumnya (Tabel 6.2).

Peningkatan ekspor tersebut terjadi pada beberapa

komoditas utama, seperti minyak sawit (54,0%)

dan barang-barang elektronik (7,3%). Peningkatan

ekspor minyak sawit disebabkan oleh peningkatan

permintaan dunia yang diikuti dengan penurunan

produksi di beberapa negara pesaing. Selain itu,

penurunan produksi minyak nabati terutama

minyak kedelai dan minyak bunga matahari yang

merupakan substitusi minyak sawit, turut

mendorong naiknya volume ekspor dan harga

minyak sawit di pasar Internasional. Kenaikan yang

terjadi pada ekspor barang-barang elektronik

TimahTembagaNikelAlumuniunBatu baraLainnya

T o t a l

0,64,90,10,54,71,0

11,9

Pangsa(%)

Nilai(Juta $)

Perubahan(%)

2002*Rincian

2001 2002*

287 2.224 47 233 2.144 436

5.370

16,8-8,0

-84,410,110,2

-13,3

-4,4

4,86,3

-16,9-18,619,0

-37,5

1,0

sebelumnya. Penurunan ekspor terjadi pada

beberapa komoditas seperti tembaga (-8,0%), dan

nikel (-84,4%). Penurunan nilai ekspor komoditas

tembaga dan nikel lebih dikarenakan turunnya harga

komoditi tersebut di pasar internasional. Sebaliknya,

nilai ekspor komoditas alumunium, batu bara dan

timah mengalami peningkatan masing-masing

sebesar 10,1% 10,2% dan 16,8% (Tabel 6.3).

Berdasarkan negara tujuan, pangsa ekspor

nonmigas ke negara-negara Asia mencapai 56,8%,

Tabel 6.3Ekspor Barang Pertambangan

102

Neraca Pembayaran

kawasan Amerika 19,1%, Eropa 18,7%, Australia/

Oceania 3,0%, dan Afrika 2,4% (Grafik 6.4). Tujuan

ekspor nonmigas terbesar di kawasan Asia adalah

ASEAN, kemudian diikuti Jepang dan Cina. Secara

individual, pangsa ekspor Indonesia ke Amerika dan

Jepang turun masing-masing sebesar 1,3% dan 9,8%

dibanding tahun sebelumnya. Penurunan pangsa

ekspor Indonesia ke Amerika antara lain disebabkan

oleh meningkatnya ekspor dari negara-negara

pesaing seperti Cina dan Vietnam4 . Sementara itu,

ekspor Indonesia ke Australia/Oceania dan Singapura

mengalami peningkatan masing-masing sebesar

32,6% dan 1,3%.

Di tengah meningkatnya harga minyak dunia,

ekspor migas mengalami peningkatan sebesar 1,3%.

Ditinjau dari komponennya, peningkatan tersebut

bersumber dari peningkatan ekspor gas sebesar 7,1%

sementara ekspor minyak bumi turun sebesar 3,5%.

Penurunan ekspor minyak bumi lebih disebabkan oleh

menurunnya produksi minyak dari sebesar 1,3 juta barel

per hari menjadi 1,2 juta barel per hari. Menurunnya

produksi minyak antara lain disebabkan oleh penurunan

produksi secara alamiah (natural decline) pada beberapa

sumur yang ada, penerapan teknologi baru yang masih

dalam tahap penyelesaian, dan jumlah penemuan

cadangan minyak baru relatif kecil seiring dengan belum

ditemukannya sumber-sumber minyak baru. Sementara

itu, harga rata-rata ekspor minyak bumi pada 2002

meningkat menjadi $24,6 per barel dibandingkan dengan

$23,4 per barel dalam tahun 2001. Peningkatan harga

minyak antara lain terjadi karena meningkatnya

permintaan menjelang pergantian musim di belahan

barat dunia dan rencana penyerangan AS ke Irak.

Sedangkan harga rata-rata ekspor Liquefied Natural Gas

(LNG) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) mengalami

penurunan masing-masing menjadi sebesar $4,2 per

MMBTU dan $249,1 per ribu MTon dari $4,3 per MMBTU

dan $258,4 per ribu MTon.

IMPOR

Sejalan dengan peningkatan ekspor, nilai

impor dalam tahun laporan meningkat sebesar 0,5%

sehingga menjadi $34,8 miliar. Hal ini bersumber

4 Hal ini dapat dilihat dari peningkatan pangsa impor Amerika dariCina dan Vietnam masing-masing sebesar 12,35% dan 0,05% (pada Q1-2002) dari 11,77% dan 0,03% (pada Q2-2001) Sumber : Bulletin ofIndonesian Economic Studies (BIES), Vol. 38, No. 2,2002: 141-162.

Grafik 6.4Pangsa Ekspor Nonmigas Menurut Kawasan Negara Tujuan

103

Neraca Pembayaran

Tabel 6.4 Impor Nonmigas Menurut Kelompok Barang

Barang KonsumsiBahan BakuBarang Modal

Nilai(Juta $)

Pangsa(%)

9,171,819,1

Rincian

7,972,120,0

12,7-2,9-6,7

-5,8-15,7-19,2

2.57620.2815.402

2.28720.8865.789

Pertumbuhan(%)

2001 2002* 2001 2002* 2001 2002*

sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 6.5 dan Tabel 6.6.

Penurunan nilai impor kedua komponen penunjang

industri itu menunjukkan bahwa berkurangnya tambahan

mesin baru antara lain disebabkan oleh kegiatan investasi

di Indonesia belum membaik. Sementara itu, di kelompok

barang konsumsi, kenaikan antara lain terjadi pada bahan

makanan dan minuman, alat angkutan bukan untuk

industri, dan barang konsumsi setengah tahan lama.

Tabel 6.6Impor Barang Modal

Pangsa(%)

Nilai(Juta $)

Perubahan(%)

2002*Rincian

2001 2002*

Traktor dan alat pertanianAlat kerajinan / perhiasanKontainer dan kotakpenyimpananReaktor nuklir dan mesinmekanikGenerator dan alatelektronikaLokomotif, kapal, pesawatAlat pertukanganAlat optik & ukurMobil penumpang

T o t a l

0,10,0

0,2

11,4

2,53,20,11,20,3

19,1

340

61

3.225

71491039

32693

5.402

51,8-22,3

3,2

-12,1

12,1-2,4-2,8-7,322,7

-6,7

-49,6-16,8

23,1

-7,8

-2,4-44,2-1,7

-41,1-39,3

-19,2

dari peningkatan impor migas menjadi $6,6 miliar

dari sebesar $5,7 miliar pada 2001 sebagai akibat

menurunnya produksi minyak di dalam negeri.

Sementara itu, impor nonmigas mengalami

penurunan, yaitu dari $29,0 miliar menjadi $28,3

miliar dalam tahun laporan.

Berdasarkan kelompok barang, penurunan nilai

impor nonmigas terjadi pada bahan baku dan barang

modal masing-masing sebesar 2,9% dan 6,7%,

sedangkan kelompok barang konsumsi mengalami

kenaikan sebesar 12,7% (Tabel 6.4). Perkembangan

ini mencerminkan masih rendahnya kegiatan investasi

dan produksi di Indonesia. Sementara itu, kenaikan

nilai impor migas terutama berasal dari peningkatan

nilai impor minyak sebesar 16,4% sedangkan nilai

impor gas relatif tidak berbeda dibandingkan tahun

sebelumnya. Sebagaimana tahun sebelumnya, pangsa

impor nonmigas terbesar masih didominasi oleh impor

kelompok bahan baku, diikuti oleh impor kelompok

barang modal dan barang konsumsi. Dibandingkan

dengan tahun lalu, pangsa impor kelompok bahan baku

dan barang modal sedikit menurun, sedangkan

kelompok barang konsumsi meningkat.

Di kelompok bahan baku dan barang modal, hampir

seluruh barang mengalami penurunan terutama pada

bahan baku setengah jadi untuk industri di kelompok

bahan baku dan mesin mekanik di kelompok barang modal

Makanan dan minuman(industri)Makanan dan minuman(industri 1/2 jadi)Bahan baku mentahuntuk industriBahan baku 1/2 jadiuntuk industriBahan bakar dan pelumas(mentah)Bahan bakar dan pelumas(1/2 jadi)Suku cadang danperlengkapan barang modalSuku cadang danperlengkapan alat angkutan

T o t a l

1.090

723

2.576

12.363

12

139

1.648

1.728

20.281

14,1

-7,7

-0,5

-5,6

-1,5

-6,9

-5,2

10,6

-2,9

-16,0

-14,1

-21,0

-14,2

-23,5

10,5

0,4

-32,5

-15,7

3,9

2,6

9,1

43,8

0,0

0,5

5,8

6,1

71,8

Pangsa(%)

Nilai(Juta $)

Perubahan(%)

2002*Rincian

2001 2002*

Tabel 6.5Impor Bahan Baku

104

Neraca Pembayaran

Berdasarkan negara asalnya, pangsa impor barang

nonmigas (C&F) Indonesia dari negara-negara di Asia

mencapai 58,9%, Eropa 18,5%, kawasan Amerika 14,3%,

Australia/Oceania 7,0%, dan Afrika 1,3% (Grafik 6.5).

Negara pengimpor nonmigas terbesar di kawasan Asia

adalah Jepang, kemudian diikuti oleh ASEAN dan Cina.

Secara individual, pangsa impor dari Jepang dan Cina

pada 2002 mengalami peningkatan dibandingkan tahun

sebelumnya masing-masing dari 16,9% dan 6,7% menjadi

18,1% dan 8,6%. Sedangkan pangsa impor nonmigas

yang berasal dari Amerika sebesar 14,3%, menurun

dibandingkan pangsa tahun sebelumnya sebesar 15,8%.

JASA-JASA

Sebagaimana pada tahun-tahun sebelumnya,

neraca jasa dalam tahun laporan mencatat masih

defisit. Defisit neraca jasa pada 2002 mencapai $15,9

miliar yang disumbang oleh defisit jasa sektor migas

dan nonmigas masing-masing sebesar $4,2 miliar dan

$11,6 miliar. Relatif tetapnya defisit neraca jasa pada

tahun laporan berasal penurunan defisit jasa di sektor

migas yang diimbangi oleh peningkatan defisit jasa

dari sektor nonmigas.

Penurunan defisit jasa di sektor migas terutama

terjadi pada jasa non-freight sehingga mencapai

defisit sebesar $3,7 miliar, sedangkan defisit jasa

freight justru mengalami peningkatan menjadi $0,6

miliar seiring dengan meningkatnya impor migas.

Sebaliknya, turunnya defisit pada sektor nonmigas

berasal dari defisit jasa freight yang menurun sebesar

10,1% sebagai dampak turunnya impor nonmigas.

Sementara itu, defisit jasa non freight pada

sektor nonmigas meningkat sebesar 4,1% sehingga

mencapai $9,5 miliar, meskipun penerimaan devisa

yang berasal dari transfer tenaga kerja Indonesia

(TKI) mengalami peningkatan dan pembayaran bunga

ULN mengalami penurunan. Peningkatan tersebut

antara lain bersumber dari turunnya penerimaan

devisa dari sektor pariwisata dan naiknya

pembayaran jasa pengangkutan. Penerimaan dari

sektor pariwisata turun menjadi $5,0 miliar (4,7 juta

orang) setelah dalam tahun sebelumnya mencatat

pemasukan sebesar $5,3 miliar (5,1 juta orang)

antara lain merupakan dampak tragedi Bali pada

bulan Oktober. Selama 2002, pembayaran jasa

pengangkutan mengalami peningkatan sekitar 7,7%.

Grafik 6.5Pangsa Impor Nonmigas Menurut Kawasan Negara Asal

105

Neraca Pembayaran

Sementara itu, penjadwalan kembali bunga ULN

pemerintah sebesar $765 juta telah memberikan

sumbangan terhadap penurunan pembayaran bunga

ULN dalam tahun laporan.

LALU LINTAS MODAL

Dalam tahun laporan, lalu lintas modal bersih

tercatat mengalami defisit sebesar $3,6 miliar, jauh

lebih rendah dari defisit tahun sebelumnya sebesar

$9,0 miliar. Penurunan defisit tersebut disumbangkan

oleh penurunan defisit LLM swasta dan LLM pemerintah

masing-masing dari $8,3 miliar dan $0,7 miliar menjadi

sebesar $3,0 miliar dan $0,6 miliar. Sebagaimana telah

dikemukakan sebelumnya, turunnya defisit LLM

tersebut antara lain bersumber dari hasil penjadwalan

kembali ULN pemerintah dan swasta.

Dari sisi LLM swasta, turunnya defisit LLM

swasta bersumber dari penerimaan dalam rangka

privatisasi, aliran bersih investasi portofolio, dan

meningkatnya penarikan pinjaman perusahaan PMA.

Dalam hal investasi portofolio, telah terjadi inflows

yang berasal dari penerbitan obligasi di luar negeri

oleh beberapa perusahaan. Di samping itu, turunnya

pembayaran ULN swasta juga mendorong penurunan

defisit LLM swasta.

Adapun surplus pada aliran bersih modal

pemerintah terutama berasal dari realisasi

penarikan pinjaman IMF (IMF purchase) sebesar $1,4

miliar, pinjaman proyek sebesar $1,4 miliar, dan

pinjaman program sebesar $0,8 miliar. Khusus

mengenai pinjaman IMF, pencairan pinjaman IMF

dalam tahun laporan naik $1,0 milyar setelah pada

tahun sebelumnya mengalami beberapa kali

penundaan sehubungan dengan tertundanya

Tabel 6.7Posisi Utang Luar Negeri Indonesia

Keterangan

Pemerintah

Swasta

a. Lembaga Keuangan

- Bank

- Bukan Bank

b. Bukan Lembaga

Keuangan

Surat-Surat Berharga

Total

74.197

55.230

7.437

4.869

2.568

47.793

1.470

130.897

73.464

56.390

8.021

5.164

2.857

48.369

1.436

131.290

74.157

56.493

8.372

5.848

2.524

48.121

1.486

132.136

71.677

58.299

8.735

6.309

2.426

49.564

1.580

131.556

71.377

60.058

7.713

6.649

1.064

52.345

1.638

133.073

74.916

64.608

8.870

7.720

1.150

55.738

2.169

141.693

2000 2001

Juta $

2002

Mar Jun Sep Des *)

kesepakatan tentang Letter of Intent (LoI) antara

IMF dengan Pemerintah RI. Selain itu, perbaikan lalu

lintas modal pemerintah tidak terlepas dari hasil

penjadwalan kembali utang pemerintah melalui Paris

Club dan London Club.

Dalam konteks utang luar negeri, posisi ULN

Indonesia akhir tahun laporan turun 1,6% menjadi

$130,9 miliar dibandingkan dengan posisi akhir 2001

(Tabel 6.7). Penurunan tersebut terutama karena

turunnya utang swasta dalam jumlah yang cukup

signifikan sekitar $4,8 miliar yang disebabkan oleh

pembayaran atas utang yang jatuh tempo.

Sedangkan utang pemerintah meningkat sekitar $2,8

miliar terutama dipengaruhi oleh apresiasi yen

Jepang terhadap dolar AS. Dampak apresiasi itu

sendiri terhadap posisi ULN pemerintah cukup

signifikan mengingat pangsa utang pemerintah

dalam mata uang yen Jepang mencapai sekitar 33,7%

dari total ULN pemerintah.

Utang luar negeri pemerintah diakhir tahun

laporan mencapai 56,7% dari total ULN Indonesia.

Sementara pangsa utang swasta lembaga keuangan

dan bukan lembaga keuangan (termasuk surat-surat

berharga) masing-masing tercatat sebesar 5,7% dan

106

Neraca Pembayaran

37,6% (Grafik 6.6).

Dalam tahun laporan posisi ULN pemerintah

tercatat sebesar $74,2 miliar. Dari total utang

tersebut, utang multilateral tercatat sebesar $28,8

miliar, utang bilateral $26,2 miliar, fasilitas kredit

ekspor (FKE) $16,4 miliar, utang leasing $369 juta,

utang komersial $2,3 miliar dan utang dalam bentuk

surat-surat berharga yang dimiliki oleh investor asing

$95 juta.

Sementara itu, posisi ULN swasta pada akhir

tahun laporan mencapai $56,7 miliar, turun 8,1%

dibandingkan posisi tahun sebelumnya. Dari total

utang tersebut, utang lembaga keuangan tercatat

sebesar $7,4 mil iar, utang bukan lembaga

keuangan $47,8 miliar, dan utang dalam bentuk

surat-surat berharga yang dimiliki oleh investor

asing $1,5 miliar.

Berdasarkan jangka waktu pembayarannya,

utang jangka pendek diperkirakan mencapai $1,5

mil iar atau 1,1% dari total ULN Indonesia,

selebihnya sebesar $129,4 miliar tergolong utang

jangka menengah dan panjang. Dari total utang

jangka pendek tersebut, utang pemerintah

Tabel 6.8Posisi Utang Luar Negeri Menurut Jangka Waktu

JANGKAWAKTU

1 Jk. Pendek 2)

2 Jk. Menengah & Panjang 3)

T o t a l

1.479,1

129.417,9

130.897,0

1.383,8

55.315,8

56.699,7

928,3

48.334,8

49.263,1

116,8

2.451,0

2.567,8

338,8

4.530,0

4.868,8

95,3

74.102,0

74.197,3

Pemerintah TotalSwasta

Des 2002 *)

Swasta

1) Termasuk surat-surat berharga2) Sampai dengan 1 tahun3) Lebih dari 1 tahun*) Angka sementara

NOLembaga KeuanganBank Bukan Bank

JumlahBukanLembaga

Keuangan1)

mencapai $0,1 miliar dan utang swasta termasuk

bank sebesar $1,4 miliar. Dari total utang jangka

pendek swasta tersebut, sejumlah $0,5 miliar

merupakan utang lembaga keuangan dan $0,9 miliar

adalah utang bukan lembaga keuangan (Tabel 6.8).

Berdasarkan sektor ekonomi yang dibiayai,

sektor industri pengolahan merupakan sektor ekonomi

terbesar yang dibiayai dengan ULN, yaitu mencapai

$27,9 miliar atau 21,6% dari total ULN. Sektor kedua

terbesar adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa

perusahaan yang mencapai $23,2 miliar atau 17,9%,

dan diikuti oleh sektor listrik, gas dan air bersih

sebesar $14,3 miliar atau 11,0%.

Dilihat dari negara pemberi utang, Jepang

merupakan kreditur terbesar dengan jumlah mencapai

$38,9 miliar atau 29,7% dari total ULN Indonesia.

Amerika Serikat di urutan kedua dengan jumlah sebesar

$11,9 miliar atau 9,1%, kemudian berturut-turut diikuti

oleh Singapura, Belanda, Jerman dan Inggris masing-

masing sebesar $7,3 miliar (5,6%) $6,4 miliar (4,9%),

$6,3 miliar (4,8%) dan $4,7 miliar (3,6%). Sebagaimana

tahun sebelumnya, lembaga internasional seperti IBRD,

IMF dan ADB merupakan lembaga pemberi pinjaman

terbesar kepada pemerintah Indonesia masing-masing

Grafik 6.6Pangsa Utang Luar Negeri

Juta $

107

Neraca Pembayaran

mencapai $10,7 miliar (8,2%), $8,8% miliar (6,7%) dan

$8,1 miliar (6,2%).

Sementara itu dalam konteks penjadwalan

kembali ULN, periode laporan ditandai dengan

penyelesaian fase kedua PC II pada Februari 2002

dengan nilai penjadwalan kembali pokok pinjaman

sebesar $2,7 miliar. Nilai tersebut merupakan fase

terakhir dari rencana total penjadwalan kembali ULN

PC II sebesar $5,8 miliar. Selanjutnya pemerintah juga

berhasil menjadwal kembali ULN yang jatuh tempo

selama 21 bulan terakhir sampai dengan akhir 2003

melalui PC III. Melalui kesepakatan tersebut,

pemerintah dapat menunda beban utang (pokok dan

bunga) sebesar $5,4 miliar, mencakup utang yang

akan jatuh tempo selama 2002 sekitar $2,4 miliar

dan selama 2003 sekitar $3,0 miliar. Dalam kerangka

penjadwalan kembali PC III ini pemerintah juga telah

menandatangani perjanjian debt swap dengan Jerman

dengan nilai sebesar DM50 juta yang ditujukan untuk

perbaikan kualitas pendidikan. Delapan negara lainnya

yaitu Inggris, Kanada, Perancis, Finlandia, Italia,

Selandia Baru, Swedia, dan Spanyol juga telah

menyatakan ikut mendukung program debt swap bagi

Indonesia. Dalam konteks ini, pada tanggal 12 Juni

2002 telah ditandatangani Memorandum of Under-

standing (MoU) dengan Inggris mengenai kesedian

Inggris untuk mengkonversi ULN Indonesia sejumlah

GBP100 juta melalui program debt swap. Jumlah

tersebut akan ditingkatkan menjadi GBP200 juta

apabila program konversi yang disepakati berhasil

diimplementasikan. Di samping itu, sebagai implikasi

comparable treatment kesepakatan Paris Club,

pemerintah juga telah melakukan penjadwalan

kembali PKLN berupa pokok dan bunga Pinjaman

Sindikasi 1995 dan bunga Pinjaman Sindikasi 1996

dan 1997 dengan total nilai sebesar $1,3 miliar5

melalui forum London Club.

Selain itu, selama periode laporan proses

penyelesaian penjadwalan kembali ULN swasta juga

relatif memperlihatkan tanda-tanda yang lebih baik

dibanding tahun sebelumnya. Hal tersebut antara lain

tercermin dari penyelesaian penjadwalan kembali ULN

swasta melalui Prakarsa Jakarta (Jakarta Initiative

Task Force) yang sampai dengan Desember 2002

mencapai nilai kumulatif $18,9 miliar atau sekitar

65,2% dari total ULN bermasalah dari sekitar 126

perusahaan yang terdaftar pada lembaga tersebut6 .

Relatif meningkatnya penyelesaian penjadwalan

kembali ULN swasta ini diantaranya juga didukung

oleh fluktuasi nilai tukar yang relatif stabil selama

periode laporan sehingga penyusunan proyeksi arus

kas perusahaan relatif lebih mudah dilakukan dan

konsistensi kesepakatan nilai penjadwalan kembali

dapat dipertahankan.

Di sektor swasta perbankan, proses penjadwalan

kembali ULN yang dilakukan melalui program EO I dan

EO II yang perjanjiannya ditandatangani masing-

masing pada 18 Agustus 1998 dan 25 Mei 1999, juga

memperlihatkan penyelesaian yang positif. Program

EO I dengan nilai penjadwalan kembali sebesar $3,0

miliar telah berakhir dengan dilakukannya pembayaran

pokok tranche keempat/tranche terakhir pada tanggal

28 Agustus 2002. Sementara untuk EO II dengan nilai

penjadwalan kembali sebesar $3,3 miliar, telah mulai

5 Terdiri dari Pinjaman Sindikasi 1995 sebesar $ 300 juta, 1996 sebesar$ 500 juta dan 1997 sebesar $ 500 juta.

6 Press release JITF per 20 Desember 2002. Jumlah utang yangdirestrukturisasi sampai pada tahapan MoU, meliputi utang domestikdan utang luar negeri baik dalam rupiah maupun valuta asing.

108

Neraca Pembayaran

dilakukan pembayaran pokok tranche pertama pada

tanggal 5 Juli 2002. Selama 2002 juga telah

dilakukan transaksi buyback oleh beberapa obligor

peserta EO II yang mencapai sebesar total $330,1

juta sampai dengan akhir Desember 2002. Adapun

sisa posisi EO II tercatat sebesar $2,5 miliar pada

akhir Desember 2002.

Di akhir tahun laporan, rasio pembayaran utang

terhadap ekspor (DSR) tercatat sebesar 32,2%, rasio

total utang terhadap ekspor dan rasio total utang

terhadap PDB masing-masing sebesar 194,0% dan

68,7% (Tabel 6.9). Rasio-rasio tersebut relatif

mengalami perbaikan dibandingkan dengan kondisi

pada tahun sebelumnya. Di samping itu, kecuali DSR,

kedua rasio lainnya juga sudah berada pada kisaran

Tabel 6.9Indikator Beban Utang

DSR

Ratio TotalUtang terhadapEkspor

Ratio TotalUtang terhadapPDB

Indikator

Persen

20

130-220

50 - 80

32,2

194,0

68,7

41,4

200,7

91,1

41,1

191,0

93,8

56,8

252,1

105,0

57,9

261,8

146,3

44,5

207,3

62,2

1997 1998 1999 2000 2001 2002*)Kriteria

BankDunia

normal standar rasio yang ditetapkan oleh Bank

Dunia. Secara umum perkembangan rasio-rasio

tersebut mencerminkan semakin berkurangnya

tekanan beban ULN dan ketergantungan

perekonomian Indonesia terhadap sumber dana dari

luar negeri.

CADANGAN DEVISA

Dengan surplus neraca pembayaran yang

mencapai $3,6 miliar, pada akhir tahun laporan

posisi cadangan devisa meningkat sebesar 12,7%.

Kondisi tersebut menyebabkan jumlah cadangan

devisa mencapai $31,6 miliar atau setara dengan

6,6 bulan impor dan pembayaran ULN pemerintah

(Grafik 6.7).

Grafik 6.7Cadangan Devisa

109

Neraca Pembayaran

Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan

Undang-Undang No. 24 tahun 1999 tentang Lalu

Lintas Devisa (LLD) dan Sistem Nilai Tukar, Bank

Indonesia telah mengeluarkan serangkaian

peraturan yang mewajibkan lembaga keuangan

(Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank/LKNB)

untuk menyampaikan laporan kegiatan LLD kepada

Bank Indonesia. Pelaporan kegiatan LLD oleh bank

telah dilakukan sejak tahun 2000, sedangkan

pelaporan kegiatan LLD oleh LKNB dilakukan sejak

tahun 2001. Dalam perkembangannya, sistem

pemantauan kegiatan LLD Bank dan LKNB terus

diperbaiki sehingga diharapkan dapat

meningkatkan kualitas data laporan.

Selanjutnya, dari hasil penelitian diketahui

bahwa masih cukup banyak kegiatan LLD yang

dilakukan penduduk antara lain melalui rekening

giro yang dibuka pada bank di luar negeri dan

yang penyelesaiannya dilakukan secara netting.

Oleh karena itu, melalui Peraturan Bank Indone-

sia No. 4/2/PBI/2002 tentang Pemantauan

Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan

Lembaga Keuangan cakupan pemantauan

tersebut diperluas. Ketentuan tersebut

mewajibkan perusahaan bukan lembaga

keuangan (selanjutnya disebut Perusahaan) untuk

melaporkan kegiatan LLD secara langsung kepada

Bank Indonesia.

Sebagai pelaksanaan dari peraturan tersebut

di atas, Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran

No. 4/5/DSM tanggal 28 Maret 2002 tentang

Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh

Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan. Mengingat

luasnya cakupan perusahaan yang perlu dipantau

serta untuk menjaga kesinambungan dan

konsistensi data LLD yang diperoleh, maka pada

tahap awal ketentuan ini hanya diberlakukan

kepada seluruh Badan Usaha yang beroperasi di

Indonesia yang memiliki aset atau omzet per tahun

sebesar Rp100 miliar atau lebih. Kewajiban

pelaporan kegiatan LLD tersebut mulai

diberlakukan untuk pelaporan kegiatan LLD periode

laporan Mei 2002. Pada tahap selanjutnya,

ketentuan ini juga akan diberlakukan secara

bertahap pada perusahaan lainnya.

Di dalam ketentuan dimaksud, perusahaan

yang melakukan kegiatan LLD diwajibkan untuk

menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia

secara berkala yang mencakup :

1. Laporan transaksi LLD secara bulanan, yaitu

kegiatan LLD yang dilakukan melalui

rekening giro perusahaan pada bank di luar

negeri (overseas current account atau OCA),

rekening antar perusahaan/kantor (inter

company/office account atau ICA), dan

melalui sarana lainnya;

Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa olehPerusahaan Bukan Lembaga Keuanganb

ok

s

110

Neraca Pembayaran

2. Laporan Posisi secara semesteran, yang

meliputi tagihan (claims) dan kewajiban (li-

abilities) perusahaan kepada bukan

penduduk.

Menyadari bahwa pemantauan LLD ini

merupakan hal yang baru bagi perusahaan, maka

perusahaan diberi kesempatan untuk memahami

dan melakukan uji coba pelaksanaan pelaporan

kegiatan LLD kepada Bank Indonesia sampai

dengan periode laporan November 2002.

Selanjutnya, sanksi administratif mulai

diberlakukan mulai pelaporan kegiatan LLD periode

laporan Desember 2002. Namun demikian,

mengingat masih banyaknya perusahaan yang

belum siap memenuhi ketentuan terutama

berkaitan dengan diberlakukannya sanksi admi-

nistratif maka pengenaan sanksi tersebut diundur

dan mulai diberlakukan untuk pelaporan kegiatan

LLD periode laporan Januari 2004.

Untuk mendukung kelancaran sistem

pelaporan dan peningkatan kualitas data LLD,

berbagai upaya terus dilakukan antara lain

membentuk help desk yang bertugas untuk

melayani konsultasi dalam membahas

permasalahan yang terjadi pada pelaporan LLD

Perusahaan.

Dengan peraturan tersebut diharapkan

diperoleh keterangan dan data LLD perusahaan

yang lengkap dan akurat untuk melengkapi data

yang sudah diperoleh terlebih dahulu dari

pemantauan kegiatan LLD Bank dan LKNB sehingga

mendukung perumusan dan peningkatan

efektivitas kebijakan moneter maupun kebijakan

ekonomi lainnya.

111

Keuangan Pemerintah

Bab 7 : Keuangan Pemerintah

Moneter5BAB

l a p o r a nt a h u n a n

Moneter5BAB

l a p o r a nt a h u n a n

Moneter5BAB

l a p o r a nt a h u n a n

Moneter5BAB

l a p o r a nt a h u n a n

Moneter5BAB

l a p o r a nt a h u n a n

Moneter5BAB

l a p o r a nt a h u n a n

Keuangan Pemerintah7BAB

l a p o r a nt a h u n a n

112

Keuangan Pemerintah

KEUANGAN PEMERINTAH7B A B

Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN) 2002 diarahkan pada langkah-

langkah konsolidasi pemerintah untuk menjamin

kesinambungan keuangan negara di masa depan.

Beberapa langkah konsolidasi dalam paket kebijakan fiskal

2002 berhasil dilaksanakan misalnya penurunan yang

cukup signifikan pada subsidi, reprofiling sebagian utang

dalam negeri (Boks : Reprofiling Obligasi Negara) dan

rescheduling utang luar negeri pemerintah, namun

sebagian lainnya harus ditunda misalnya pengenaan

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di pulau Batam.1

Disamping itu, pemerintah menghadapi tantangan

yang tidak ringan dalam proses penyesuaian fiskal

untuk mengantisipasi perkembangan aktual pada

besaran-besaran ekonomi makro terutama suku

bunga domestik dan tingkat penyerapan utang luar

negeri yang tidak sesuai dengan asumsi semula.

Kebijakan di s is i pendapatan negara

terutama dilakukan di sektor perpajakan yang

me l ipu t i upaya -upaya i n tens i f i ka s i dan

eks tens i f i ka s i pener imaan pa jak se r ta

peningkatan pelayanan kepada wajib pajak

(WP). Upaya intensifikasi terutama meliputi:

(i) peningkatan tarif efektif Pajak Penghasilan

(PPh) atas WP pengusaha tertentu dari 1,0%

menjadi 2,0% dari omzet; (ii) peningkatan tarif

PPh final atas bunga obligasi dari 15,0% menjadi

20,0%; serta (iii) pengenaan PPh atas capital gain

penjualan aset (Non Prakarsa Jakarta) dalam

rangka restrukturisasi. Sementara itu upaya

ekstensif ikasi diantaranya meliputi: ( i )

peningkatan dan perluasan program pemeriksaan

pajak; (ii) identifikasi dan monitoring secara

intensif atas 400 penunggak pajak terbesar; serta

(iii) pembangunan dan pengembangan bank data

melalui kerjasama dengan berbagai instansi terkait.

Meskipun berbagai kebijakan tersebut dapat

dilaksanakan, tingkat tax ratio diprakirakan hanya

mencapai 12,7% dari PDB, atau di bawah target

anggaran 13,0% dari PDB. Pencapaian pajak yang

lebih rendah tersebut terutama terjadi pada jenis

penerimaan perpajakan terpenting, yaitu PPh

Nonmigas dan PPN, di samping juga Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak

Perdagangan Internasional. Hal ini terutama

diprakirakan karena: (i) tertundanya implementasi

dari beberapa kebijakan perpajakan, seperti

pengenaan PPN di pulau Batam dan pencabutan

fasilitas pembebasan pajak atas barang-barang

strategis; (ii) kondisi perusahaan-perusahaan besar

Kebijakan keuangan pemerintah masih diarahkan untuk mendukungkonsolidasi fiskal dalam rangka menjamin tercapainya kondisi fiskalyang sustainable. Pada 2002 defisit anggaran dapat dikendalikan padatingkat yang lebih rendah dari rencana semula yaitu 1,7% dari PDB.

1 Pada tahun 2002 pemerintah juga memberlakukan Undang-Undangtentang Surat Utang Negara (SUN) yang memberikan “standing ap-propriation” yaitu jaminan pemerintah kepada pasar untuk membayarsemua kewajiban pokok dan bunga utang (Boks : Undang-Undang No.24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara).

113

Keuangan Pemerintah

terutama perusahaan PMA yang masih merugi; (iii)

adanya perlambatan perkembangan industri yang

berbasis ekspor, terutama industri sepatu, garmen,

elektronik dan produk kayu.

Di sisi lain, sumber Penerimaan Negara Bukan

Pajak (PNBP) memberikan kontribusi yang cukup

signifikan untuk menutup kekurangan pendapatan

negara dari perpajakan. Jenis pendapatan ini

mencapai sekitar 5,3% dari PDB, lebih tinggi dari

target semula 4,9% dari PDB. Kelebihan PNBP

terhadap targetnya terutama berasal dari

penerimaan yang tidak diprakirakan sebelumnya

dari migas (oil windfall profit) dan PNBP Lainnya

berupa carry over penerimaan di 2001 yang baru

dibayarkan pada 2002. Dengan kondisi ini, jumlah

pendapatan negara dan hibah secara keseluruhan

diprakirakan mencapai 18,0% dari PDB atau relatif

sama dengan target semula.

Di sisi belanja negara, beberapa kebijakan

penting yang dilaksanakan antara lain penurunan

subsidi dan pengurangan beban bunga utang dalam

negeri melalui kebijakan buy back. Dengan berbagai

kebijakan di sisi belanja tersebut, realisasi belanja

negara dapat dikendalikan pada angka 19,7% dari

PDB, atau di bawah rencana semula 20,4% dari PDB.

Dilihat dari tiga kelompok belanja negara,

pengeluaran rutin pemerintah pusat dan pengeluaran

pembangunan berada di bawah target (2,4% dan

23,0% di bawah target), sedangkan anggaran belanja

untuk daerah relatif tidak mengalami perubahan

yang berarti dan berjalan sesuai dengan target.

Dari sisi ekonomi makro, pelaksanaan APBN

juga menghadapi tekanan akibat perkembangan

aktual ekonomi makro yang berbeda dengan

prakiraan semula. Tekanan yang paling signifikan

berasal dari suku bunga SBI 3 bulan yang

diprakirakan mencapai rata-rata 15,2% atau lebih

tinggi dari prakiraan semula 14,0% per tahun yang

menyebabkan lebih tingginya beban bunga utang

dalam negeri dibandingkan alokasi anggarannya

(Tabel 7.1).

Meskipun pelaksanaan APBN menghadapi

berbagai tantangan, pemerintah memprakirakan

bahwa defisit operasi keuangan pemerintah dapat

dikendalikan pada angka 1,7% dari PDB atau di

bawah rencana semula 2,5% dari PDB yang terutama

dibiayai dengan hasil privatisasi dan penjualan aset

program restrukturisasi perbankan. Namun, sebagai

konsekuensinya tingkat stimulus fiskal atau kontribusi

langsung pemerintah terhadap permintaan agregat

hanya mencapai 11,8% dari PDB, lebih rendah dari

rencana semula 12,5% dari PDB. Kontribusi tersebut

dalam bentuk pengeluaran konsumsi sebesar 7,0% dari

PDB dan pengeluaran investasi sebesar 4,8% dari PDB.

Di sisi moneter, perkembangan pengeluaran

pemerintah masih cukup kondusif dalam mendukung

operasi pengendalian moneter, meskipun ekspansi

rupiah bersih pemerintah mencapai Rp19,5 triliun,

PDB Nominal (triliun rupiah)

Pertumbuhan Ekonomi (%)

Laju Inflasi (%)

Harga Minyak Mentah ($ per barel)

Produksi Minyak (juta barel per hari)

Nilai Tukar (Rp/$)

Rata-Rata Suku Bunga SBI 3 Bulan (%)

Tabel 7.1Perkembangan Asumsi APBN

APBN-PAN2001

1) Realisasi sementara (revisi IV, Januari 2003)

Sumber : Departemen Keuangan

1.4913,5

11,924,61,27

10.21916,4

1.6854,09,0

22,01,32

9.00014,0

1.7164,09,5

22,81,26

9.28015,7

1.6683,6

10,0324,11,26

9.31115,2

APBN2002

APBN-P2002

Realisasi2002 1)

114

Keuangan Pemerintah

lebih tinggi dari rencana semula Rp15,4 triliun.

Seluruh jumlah ini diprakirakan dapat diserap oleh

Bank Indonesia mengingat pada periode yang sama

terjadi aliran devisa masuk bersih dari sektor

pemerintah setara Rp24,3 triliun.

Dibandingkan realisasi tahun lalu, operasi

keuangan pemerintah pada tahun laporan secara

umum menunjukkan perkembangan yang lebih baik.

Hal ini tercermin dari beberapa indikator seperti

lebih tingginya tax ratio (12,7% dari PDB pada 2002

dibandingkan 12,4% dari PDB pada 2001), lebih

rendahnya defisit anggaran (1,7% dari PDB pada

2002 dibanding 2,7% dari PDB pada 2001) dan lebih

kondusifnya dampak rupiah keuangan pemerintah

terhadap operasi pengendalian moneter (1,2% dari

PDB pada 2002 dibanding 2,2% dari PDB pada 2001).

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

Realisasi pendapatan negara dan hibah dapat

mencapai jumlah yang ditargetkan. Dalam nilai nomi-

nal angka realisasinya mencapai Rp300,2 triliun

atau 0,6% di bawah target, sedangkan dalam

persentase terhadap PDB angka realisasi

pendapatan tersebut mencapai 18,0% atau sedikit

di atas target anggaran yang ditetapkan sebesar

17,9% dari PDB. Dibandingkan dengan tahun

sebelumnya, rasio pendapatan negara dan hibah

pada 2002 lebih rendah dari 2001 yang tercatat

20,2% dari PDB. Secara umum, hal ini terutama

disebabkan oleh harga minyak yang lebih rendah

dan nilai tukar yang menguat.

Kontributor utama penerimaan pemerintah

masih tetap berasal dari penerimaan perpajakan

yang mencakup 70,3% dari total penerimaan.

Meskipun demikian, tingkat tax ratio hanya

mencapai 12,7% dari PDB, atau di bawah target

yang diharapkan yaitu 13,0% dari PDB. Jika

dilihat lebih jauh, pencapaian pajak yang lebih

rendah tersebut terutama terjadi pada jenis

penerimaan perpajakan terpenting yaitu PPh

Nonmigas dan PPN. Hal ini disebabkan oleh

tertundanya implementasi beberapa kebijakan

perpajakan dan aktivitas perekonomian yang

lebih rendah dari prakiraan semula. Sementara

itu, PNBP justru memperlihatkan perkembangan

Grafik 7.2Komponen Pendapatan Negara

Grafik 7.1Perkembangan Penerimaan Pajak dan Bukan Pajak

(Persen terhadap Pendapatan Negara)

Catatan:1) Data diolah dari tahun anggaran menjadi tahun kalender2) 1997-2001 APBN-PAN; 2002 Realisasi sementara belum diaudit periode

1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV-Januari 2003)

115

Keuangan Pemerintah

yang cukup menggembirakan. Meskipun target

anggarannya d i tetapkan leb ih konservat i f

dibandingkan penerimaan pajak, namun dalam

realisasinya penerimaan ini mencapai 5,3% dari

PDB, atau leb ih t ingg i dar i target yang

diharapkan yaitu 4,9% dari PDB. Pelampauan

PNBP ini disebabkan adanya penerimaan yang

melampaui target dari minyak dan gas alam serta

PNBP lainnya, termasuk didalamnya penyetoran

dana off budget dan pengembalian kelebihan

subsidi BBM tahun 2001 dengan mengacu pada

hasil audit BPKP (Grafik 7.1).

Secara keseluruhan, PPh Nonmigas dan PPN

masih menjadi dua sumber utama pendapatan

negara dengan pangsa masing-masing sebesar

28,1% dan 21,9% dari total pendapatan negara.

Walaupun tidak mencapai target, namun kedua

penerimaan tersebut meningkat dibandingkan

tahun lalu. Sementara itu, sumber penerimaan

ketiga terbesar adalah PNBP dari minyak dengan

pangsa 15,9% dari total pendapatan negara.

Penerimaan ini melebihi target namun menurun(Triliun Rp)

1) APBN Perhitungan Anggaran Negara (PAN) : realisasi 1 Januari s.d. 31 Desember 2001 yang telah diaudit 2) APBN Perubahan (P) : perkiraan realisasi 3) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 4) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam realisasi APBN 2002 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam APBN-PAN 2001 terhadap PDB

Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)

Tabel 7.2Pendapatan Negara dan Hibah

A. Pendapatan Negara dan HibahI. Penerimaan Dalam Negeri

1. Penerimaan Pajaka. Pajak Dalam Negeri

i. Pajak Penghasilan1. Migas2. Non Migas

ii. Pajak Pertambahan Nilaiiii. Pajak Bumi dan Bangunaniv. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunanv. Cukaivi.Pajak Lainnya

b. Pajak Perdagangan Internasionali. Bea Masukii. Pajak/Pungutan Ekspor

2. Penerimaan Bukan Pajak (PNBP)a. Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA)

i. Minyak Bumiii. Gas Alamiii. Pertambangan Umumiv. Kehutananv. Perikanan

b. Bagian Laba BUMNc. PNBP Lainnya

II. Hibah

Uraian20022001

APBN-PAN 1) APBN Realisasi 3)

Nominal

20,19 20,16 12,44 11,80 6,34 1,55 4,79 3,75 0,35 0,10 1,17 0,09 0,64 0,61 0,04 7,72 5,75 3,95 1,48 0,16 0,15 0,00 0,59 1,38 0,03

301,87 301,87 219,63

207,03 104,50 15,68 88,82 70,10 5,92 2,21 22,35 1,95 12,60 12,25 0,35 82,25 63,20 44,01 14,52 1,34 3,03 0,29 10,35 8,70

-

17,91 17,91 13,03 12,28 6,20 0,93 5,27 4,16 0,35 0,13 1,33 0,12 0,75 0,73 0,02 4,88 3,75 2,61 0,86 0,08 0,18 0,02 0,61 0,52 -

305,15304,89214,71202,57103,31

16,1187,2067,806,031,50

22,471,46

12,1411,840,31

90,1868,0047,6816,351,432,360,19

10,9111,270,26

17,78 17,76

12,5111,80

6,02 0,94 5,08 3,95 0,35 0,09 1,31 0,08 0,71 0,69 0,02 5,25 3,96 2,78 0,95 0,08 0,14 0,01 0,64 0,66 0,01

% thd PDB Nominal % Thd PDB Nominal % thd PDB Nominal

301,08 300,60 185,54 175,97 94,58 23,10 71,47 55,96 5,25 1,42 17,39 1,38 9,57 9,03 0,54 115,06 85,67 58,95 22,09 2,32 2,24 0,07 8,84 20,55 0,48

300,19 299,89

210,95 200,32 101,68 17,22 84,46 65,85 6,36 1,63 23,34 1,47 10,63 10,40 0,23 88,93 65,22 47,69 12,33 1,85 3,15 0,20 9,76 13,95 0,30

% thd PDB Perubahan4)

18,00 17,98 12,65 12,01 6,10 1,03 5,06 3,95 0,38 0,10 1,40 0,09 0,64 0,62 0,01 5,33 3,91 2,86 0,74 0,11 0,19 0,01 0,59 0,84 0,02

(2,20) (2,18) 0,20 0,21 (0,25) (0,52) 0,27 0,20 0,03 0,00 0,23 (0,00) (0,00) 0,02 (0,02) (2,38) (1,84) (1,09) (0,74) (0,04) 0,04 0,01 (0,01) (0,54)

(0,01)

APBN-P 2)

116

Keuangan Pemerintah

dibandingkan tahun lalu (Grafik 7.2 dan Tabel 7.2).

Jenis-jenis penerimaan lain yang cukup penting

seperti cukai dan PPh Migas berada di atas target,

sedangkan PNBP dari gas alam berada di bawah tar-

get. Cukai mengalami peningkatan yang cukup

signifikan dibandingkan tahun lalu karena

meningkatnya produksi barang kena cukai serta

dampak beberapa kebijakan seperti pemberantasan

peredaran rokok polos dan pemantauan secara intensif

terhadap Harga Jual Eceran (HJE) barang kena cukai

di peredaran Sementara itu, PNBP dari gas alam

mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu seiring

dengan turunnya harga minyak internasional dan

menguatnya nilai tukar rupiah.

BELANJA NEGARA

Realisasi belanja negara berada di bawah

jumlah yang ditargetkan. Dalam nilai nominal, angka

realisasinya mencapai Rp327,9 triliun atau 4,7% di

bawah target, sedangkan dalam persentase terhadap

PDB angka realisasi belanja tersebut mencapai 19,7%

atau di bawah rencana anggaran yang ditetapkan

sebesar 20,4% dari PDB. Dibandingkan dengan tahun

sebelumnya, rasio belanja negara pada 2002 lebih

rendah dari 2001 yang tercatat 22,9% dari PDB

terutama karena penurunan yang sangat signifikan

pada alokasi dana untuk subsidi.

Alokasi belanja terbesar masih tetap untuk

pengeluaran rutin pemerintah pusat yang mencapai

57,7% dari total belanja negara, diikuti oleh belanja

untuk daerah (30,0%) dan pengeluaran pembangunan

(12,3%). Dibandingkan dengan rencana anggaran,

realisasi dana untuk pengeluaran rutin pemerintah

pusat dan alokasi dana untuk pengeluaran

pembangunan masing-masing tercatat 2,4% dan

23,0% lebih rendah, sedangkan alokasi dana untuk

belanja daerah sedikit lebih tinggi dari rencana

anggaran. Sebagian besar dari alokasi anggaran

digunakan untuk pembayaran bunga utang yakni

sebesar 27,4%, diikuti oleh Dana Alokasi Umum

(DAU) untuk daerah sebesar 21,1% dan subsidi

sebesar 12,2% dari total belanja negara (Grafik 7.3).

Realisasi yang lebih rendah pada pengeluaran

rutin pemerintah pusat terjadi pada hampir seluruh

komponennya, kecuali pembayaran bunga utang

khususnya utang dalam negeri. Terlampauinya alokasi

dana untuk pembayaran bunga utang dalam negeri

disebabkan oleh lebih tingginya tingkat suku bunga

rata-rata SBI 3 bulan yang menjadi acuan penentuan

bunga utang dalam negeri dan ditambah pula oleh

tertundanya pelaksanaan penarikan obligasi

rekapitalisasi perbankan. Penarikan obligasi tersebut

semula direncanakan dimulai pada awal tahun

anggaran, namun baru dapat dilaksanakan mulai

akhir triwulan III-2002. Dibandingkan dengan tahun

lalu, hampir seluruh pos mengalami kenaikan

Grafik 7.3Komponen Belanja Negara

117

Keuangan Pemerintah

realisasi, kecuali pembayaran subsidi BBM dan bunga

utang luar negeri.

Tercapainya rencana anggaran untuk daerah

tidak terlepas dari semakin baiknya pelaksanaan

otonomi daerah sejak mulai digulirkan pada awal

2001. Alokasi terbesar masih tetap untuk DAU yang

mencakup lebih dari dua pertiga total belanja untuk

daerah. Dibandingkan dengan tahun lalu, alokasi

dana untuk hampir seluruh pos pada belanja daerah

ini mengalami kenaikan yang cukup signifikan,

termasuk untuk pos baru yang dinamakan Dana

Otonomi Khusus dan Penyeimbang. Pada pos yang

terakhir ini tercakup pula alokasi anggaran untuk

membiayai kenaikan tunjangan kependidikan untuk

guru pada 2002 sebesar 50,0% yang berlaku sejak

Oktober 2002.

Rendahnya tingkat realisasi pengeluaran

pembangunan tidak terlepas dari kendala teknis

dan administratif dalam pencairan utang luar

negeri serta rendahnya t ingkat penyerapan

pinjaman proyek. Pinjaman ini terutama

dialokasikan untuk melanjutkan kembali proyek-

(Triliun Rp)

1) APBN Perhitungan Anggaran Negara (PAN) : realisasi 1 Januari s.d. 31 Desember 2001 yang telah diaudit 2) APBN Perubahan (P) : perkiraan realisasi 3) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 4) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam APBN-PAN 2001 terhadap PDB

Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)

Tabel 7.3Belanja Negara

B. Belanja NegaraI. Belanja Pemerintah Pusat

1. Pengeluaran Rutina. Belanja Pegawaib. Belanja Barangc. Pembayaran Bunga Utang

i. Utang Dalam Negeriii. Utang Luar Negeri

d. Subsidii. Subsidi BBMii. Subsidi Non BBM

- Pangan- Listrik- Bunga Kredit Program- Lainnya

e. Pengeluaran Rutin Lainnya2. Pengeluaran Pembangunan

a. Pembiayaan Pembangunan Rupiahb. Pembiayaan Proyek (termasuk Hibah)

II. Anggaran Belanja untuk Daerah1. Dana Perimbangan

a. Dana Bagi Hasilb. Dana Alokasi Umumc. Dana Alokasi Khusus

2. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang

Uraian20022001

APBN-PAN 1) APBN Realisasi 3)

Nominal

22,91 17,47

14,68 2,60 0,67 5,84 3,90 1,94 5,19 4,59 0,61 - - - - 0,38 2,79 1,43 1,36 5,44 5,44 1,34 4,05 0,05 -

344,01 246,04 193,74 41,30 12,86 88,50 59,52 28,98 41,59 30,38 11,21 4,70 4,11 2,20 0,20 9,49 52,30 26,47 25,83 97,97 94,53 24,60 69,11 0,82 3,44

20,41 14,60 11,50 2,45 0,76 5,25 3,53 1,72 2,47 1,80 0,67 0,28 0,24 0,13 0,01 0,56 3,10 1,57 1,53 5,81 5,61 1,46 4,10 0,05 0,20

345,60 247,80 200,38 42,20 13,90 91,54 63,21 28,32 42,64 31,16 11,47 4,70 4,10 2,47 0,20 10,11 47,41 27,19 20,22 97,81 94,04 24,27 69,11 0,66 3,77

20,13 14,44 11,67 2,46 0,81 5,33 3,68 1,65 2,48 1,82 0,67 0,27 0,24 0,14 0,01 0,59 2,76 1,58 1,18 5,70 5,48 1,41 4,03 0,04 0,22

% thd PDB Nominal % thd PDB Nominal % thd PDB Nominal

341,56 260,51 218,92 38,71 9,93 87,14 58,20 28,95 77,44 68,38 9,06 - - - - 5,69 41,59

21,37 20,21 81,05 81,05

20,0160,35

0,70-

327,86 229,34 189,07 39,69 12,43 89,87 64,46 25,41 40,01 31,16 8,84 - - - - 7,08 40,27 27,64 12,63 98,52 94,76 24,99 69,14 0,64 3,76

% thd PDB Perubahan4)

19,66 13,75

11,342,38

0,75 5,39 3,86 1,52 2,40 1,87 0,53 - - - - 0,42 2,41 1,66 0,76 5,91 5,68 1,50 4,15 0,04 0,23

(3,25)(3,72)(3,35)

(0,22)0,08

(0,46) (0,04) (0,42) (2,80) (2,72) (0,08) - - - - 0,04 (0,37)

0,22(0,60)

0,47 0,25 0,16 0,10 (0,01) 0,23

APBN-P 2)

118

Keuangan Pemerintah

proyek transportasi dan energi yang

pelaksanaannya tertunda akibat krisis ekonomi

sejak tahun anggaran 1997/1998. Selain itu,

pinjaman proyek juga digunakan untuk proyek-

(Triliun Rp)

2 Proyek-proyek cost recovery yaitu proyek-proyek yang menghasilkanpenerimaan sehingga dapat memenuhi pembayaran kembali sekaligusmembiayai operasional dan pemeliharaan proyek yang bersangkutan,sedangkan proyek-proyek dengan spillovers yaitu proyek-proyek yangdapat dinikmati oleh masyarakat luas, termasuk masyarakat di luarlokasi proyek.

1) APBN Perhitungan Anggaran Negara (PAN) : realisasi 1 Januari s.d. 31 Desember 2001 yang telah diaudit 2) APBN Perubahan (P) : perkiraan realisasi 3) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 4) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam APBN-PAN 2001 terhadap PDB

Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)

Tabel 7.4Operasi Keuangan Pemerintah

A. Pendapatan Negara dan HibahI. Penerimaan Dalam Negeri

1. Penerimaan Pajak2. Penerimaan Bukan Pajak (PNBP)

II. Hibah

B. Belanja NegaraI. Belanja Pemerintah Pusat

1. Pengeluaran Rutin2. Pengeluaran Pembangunan

II. Anggaran Belanja Untuk Daerah1. Dana Perimbangan2. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang

C. Keseimbangan PrimerPerbedaan Statistik

D. Surplus/(Defisit) Anggaran

E. PembiayaanI. Pembiayaan Dalam Negeri

1. Perbankan Dalam Negeria. Otoritas Moneterb. Kredit/Pinjaman Sektor Perbankanc. Koreksi Moneter

2. Non-Perbankan Dalam Negeria. Privatisasib. Penjualan Aset Program Restruk. Perbankanc. Penjualan Obligasi Pemerintah

II. Pembiayaan Luar Negeri (Neto)1. Penarikan Pinjaman LN (Bruto)

a. Pinjaman Programb. Pinjaman Proyek

2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN

Uraian20022001

APBN-PAN 1) APBN Realisasi 3)

Nominal

20,19 20,16 12,44 7,72 0,03

22,91 17,47 14,68 2,79 5,44 5,44 -

3,13

(2,72)

2,722,03

(0,08) (0,08) - - 2,11 0,23 1,88 - 0,69 1,75 0,43 1,32 (1,07)

301,87 301,87 219,63 82,25 -

344,01 246,04 193,74 52,30 97,97 94,53 3,44

46,36 0,00

(42,14)

42,13 23,50 - - - - 23,50 3,95 19,55 - 18,63 35,36 9,53 25,83 (16,73)

17,91 17,91

13,034,88

-

20,41 14,60 11,50 3,10 5,81 5,61 0,20

2,75

(2,50)

2,50 1,39 - - - - 1,39 0,23 1,16 - 1,11 2,10 0,57 1,53 (0,99)

305,15 304,89 214,71 90,18 0,26

345,60 247,80 200,38 47,41 97,81 94,04 3,77

51,08 0,00

(40,46)

40,45 24,19 0,20 0,20 - - 23,99 4,44 19,55 - 16,26 29,31 9,35 19,96 (13,05)

17,78 17,76 12,51 5,25 0,01

20,1314,4411,672,765,705,480,22

2,98

(2,36)

2,361,41

0,01 0,01 - - 1,40 0,26 1,14 - 0,95 1,71 0,54 1,16 (0,76)

% thd PDB Nominal % thd PDB Nominal % thd PDB Nominal

301,08 300,60 185,54 115,06 0,48

341,56 260,51 218,92 41,59 81,05 81,05 -

46,66 0,00

(40,48)

40,4930,22

(1,23)(1,23)

- - 31,45 3,47 27,98 - 10,27 26,15 6,42 19,74 (15,88)

300,19 299,89 210,95 88,93 0,30

327,86 229,34 189,07 40,27 98,52 94,76 3,76

62,19 (0,00)

(27,68)

27,6820,56

(4,71) (4,71) - - 25,27 7,66 19,55 (1,94) 7,12 19,37 7,04 12,33 (12,26)

% thd PDB Perubahan4)

18,00 17,98 12,65 5,33 0,02

19,66 13,75 11,34 2,41 5,91 5,68 0,23

3,73

(1,66)

1,66 1,23 (0,28) (0,28) - - 1,52 0,46 1,17 (0,12) 0,43 1,16 0,42 0,74 (0,73)

(2,20) (2,18) 0,20 (2,38) (0,01)

(3,25) (3,72) (3,35) (0,31) 0,47 0,25 0,23

0,60

1,06

(1,06) (0,79) (0,20) (0,20) - - (0,59) 0,23 (0,70) (0,12) (0,26) (0,59) (0,01) (0,58) 0,33

APBN-P 2)

119

Keuangan Pemerintah

Grafik 7.5Dampak Operasi Keuangan Pemerintah

terhadap Sektor Riil (Persen terhadap PDB a/d Harga Berlaku)

Catatan:1) Data diolah dari tahun anggaran menjadi tahun kalender2) 1997-2001 APBN-PAN; 2002 Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari

s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV-Januari 2003)3) Terdiri dari Pembayaran Bunga Utang Dalam Negeri dan Subsidi

proyek cost recovery dan proyek-proyek dengan

spillovers yang signifikan.2 Dibandingkan dengan

tahun lalu, t ingkat real isasi pengeluaran

pembangunan pada 2002 relatif tidak mengalami

perubahan yang berarti (Tabel 7.3).

DEFISIT DAN PEMBIAYAAN

Dengan perkembangan pendapatan dan

belanja negara di atas, defisit operasi keuangan

pemerintah pada 2002 dapat dikendalikan pada

angka Rp27,7 triliun atau setara dengan 1,7%

terhadap PDB (Tabel 7.4). Angka ini lebih rendah

dari rencana anggaran yang ditetapkan sebesar

Rp42,1 triliun atau 2,5% terhadap PDB. Sebagian

besar dari defisit ini dibiayai dari hasil privatisasi

BUMN dan penjualan aset program restrukturisasi

perbankan, sedangkan sisanya dibiayai dari

penarikan pinjaman luar negeri bersih. Hasil dari

privatisasi BUMN sebesar Rp7,7 triliun atau 93,9%

di atas target, sedangkan penjualan aset oleh BPPN

dapat memenuhi target anggaran.

Sumber pembiayaan dari luar negeri bersih

berada d i bawah target karena t ingkat

penyerapan utang luar negeri hanya mencapai

54,8% dari rencana semula. Tingkat penyerapan

yang rendah terutama ter jad i pada jen i s

pinjaman proyek yang hanya mencapai 47,7%,

sementara pinjaman program mencapai 73,9%.

Pembayaran cicilan pokok diprakirakan juga di

bawah target yaitu hanya mencapai 73.3% dari

rencana, terutama karena depresias i dolar

terhadap mata uang regional khususnya yen yang

merupakan negara pemberi pinjaman terbesar

kepada Indonesia (Grafik 7.4).

Di sisi pembiayaan dalam negeri, pada periode

laporan pemerintah melakukan refinancing untuk obligasi

pemerintah yang jatuh tempo senilai Rp1,9 triliun, atau

lebih rendah dari rencana semula Rp3,9 triliun.

DAMPAK OPERASI KEUANGAN PEMERINTAH

TERHADAP SEKTOR RIIL

Stimulus fiskal, melalui pengeluaran konsumsi dan

investasi pemerintah, pada 2002 diprakirakan

mencapai 11,8% dari PDB, di bawah target yang

ditetapkan 12,5% dari PDB. Alokasi terbesar yaitu 7,0%

Grafik 7.4Komponen Pembiayaan Defisit

Catatan:2000-2001 APBN-PAN; 2002 Realisasi sementara belum diaudit periode1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV-Januari 2003)

120

Keuangan Pemerintah

dari PDB masih tetap untuk pengeluaran konsumsi

terutama DAU untuk daerah dan Belanja Pegawai Dalam

Negeri Pemerintah Pusat, sisanya untuk pengeluaran

investasi terutama dalam bentuk Pembiayaan Rupiah

dan Dana Bagi Hasil untuk daerah (Tabel 7.5).

Selain melakukan stimulus fiskal, pemerintah

juga melakukan transfer ke sektor swasta dalam

bentuk pembayaran bunga utang dalam negeri dan

subsidi. Transfer terbesar dan lebih tinggi dari rencana

semula adalah untuk pembayaran bunga utang dalam

negeri yang mencapai 3,9% dari PDB, sementara

sisanya untuk subsidi yang mencapai 2,4% dari PDB.

Jika dilihat dari perkembangan dari tahun ke

tahun, tampak bahwa sumbangan pemerintah

terhadap permintaan agregat terutama dalam bentuk

investasi masih terbatas. Terbatasnya investasi

pemerintah terutama disebabkan oleh

ketidaklancaran dalam penarikan pinjaman luar

negeri —yang terkait dengan kendala teknis dan ad-

ministratif serta pemenuhan policy matrix dengan

pemberi pinjaman (Grafik 7.5). Di sisi lain, konsumsi

pemerintah masih cenderung meningkat, terutama

dalam bentuk dana perimbangan untuk daerah.

DAMPAK RUPIAH OPERASI KEUANGAN PEMERINTAH

Selama tahun 2002 operasi keuangan pemerintah

dalam rupiah diprakirakan menimbulkan dampak

ekspansi bersih pada uang beredar sebesar Rp19,5

triliun. Angka ini lebih tinggi sekitar 26,7% dari rencana

semula terutama karena tidak tercapainya target

penerimaan pajak dan lebih tingginya realisasi

(Triliun Rp)

Tabel 7.5Stimulus Fiskal

I. Konsumsi Pemerintah Belanja Pegawai Dalam Negeri Belanja Barang Dalam Negeri Dana Alokasi Umum Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang Pengeluaran Rutin Lainnya

II. Pembentukan Modal Domestik Bruto Pembiayaan dalam Rupiah Bantuan Proyek Dana Alokasi Umum Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Khusus

III. Jumlah I + II Memo Items : Pembayaran Transfer a. Bunga Utang Dalam Negeri b. Subsidi

Uraian20022001

APBN-PAN 1) APBN Realisasi 3)

Nominal

6,90 2,60 0,67 3,25 - 0,38

4,97 1,43 1,36 0,79 1,39

11,87 9,10 3,90 5,19

120,01 39,80 11,71 55,58 3,44 9,49

91,25 26,47 25,83 13,53 25,42

211,26 101,11 59,52 41,59

7,12 2,36 0,69 3,30 0,20 0,56

5,41 1,57 1,53 0,80 1,51

12,54 6,00 3,53 2,47

122,81 40,65 12,71 55,58 3,77 10,11

85,87 27,19 20,22 13,53 24,92

208,69 105,85 63,21 42,64

7,16 2,37 0,74 3,24 0,22 0,59

5,00 1,58 1,18 0,79 1,45

12,16 6,17 3,68 2,48

% thd PDB Nominal % thd PDB Nominal % thd PDB Nominal

102,87 38,71

9,9348,53

-5,69

74,1121,3720,2111,8220,71

176,98135,6458,2077,44

117,06 38,79 11,84 55,60 3,76 7,08

79,4427,6412,6313,5425,63

196,49 104,47 64,46 40,01

% thd PDB Perubahan4)

7,02 2,33 0,71 3,33 0,23 0,42

4,76 1,66 0,76 0,81 1,54

11,78 6,26 3,86 2,40

0,12 (0,27) 0,04 0,08 0,23 0,04

(0,21) 0,22 (0,60) 0,02 0,15

(0,09) (2,83) (0,04) (2,80)

APBN-P 2)

1) APBN Perhitungan Anggaran Negara (PAN) : realisasi 1 Januari s.d. 31 Desember 2001 yang telah diaudit 2) APBN Perubahan (P) : perkiraan realisasi 3) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 4) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam APBN-PAN 2001 terhadap PDB

Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)

121

Keuangan Pemerintah

pembayaran bunga utang dalam negeri.

Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya,

pengeluaran pemerintah memberikan dampak

ekspansi rupiah yang lebih rendah. Hal ini tercermin

pada ekspansi rupiah yang turun dari Rp32,2 triliun

menjadi sekitar Rp19,5 triliun. Penurunan ini dicapai

terutama berkat penurunan yang sangat tajam pada

pembayaran subsidi dari Rp77,4 triliun menjadi

Rp40,0 triliun (Tabel 7.6).

DAMPAK VALUTA ASING OPERASI KEUANGAN

PEMERINTAH

Selama 2002, operasi keuangan pemerintah

dalam valuta asing diprakirakan menghasilkan

aliran devisa masuk bersih setara Rp24,3 triliun,

atau lebih besar dari jumlah ekspansi rupiah

bers ih pemerintah tersebut d i atas. Angka

tersebut lebih tinggi 57,3% dari target semula

terutama karena faktor nilai tukar rata-rata

aktual sebesar Rp9.311 yang lebih tinggi dari

(Triliun Rp)

Tabel 7.6Dampak Rupiah Keuangan Pemerintah APBN 2002

Uraian20022001

APBN-PAN 1) APBN Realisasi 3)

Nominal % thd PDB Nominal % thd PDB Nominal % thd PDB Nominal % thd PDB Perubahan4)

APBN-P 2)

A. Penerimaan Rupiah Pajak

Migas Nonmigas

Bukan Pajak Privatisasi Penjualan Aset Prog. Restrukt. Perbankan Penjualan Obligasi Pemerintah Jumlah Penerimaan

B. Pengeluaran Rupiah Operasional

Belanja Pegawai Dalam Negeri Subsidi Bunga Utang Dalam Negeri Pengeluaran Rutin Lainnya

Investasi Dana Perimbangan Jumlah Pengeluaran

C. Perbedaan Statistik

D. Dampak Rupiah

23,10162,4460,55 0,99

17,20 -

264,27

(189,98)(38,71)(77,44)(58,20)(15,62)(25,41)

(81,05)(296,45)

0,00

(32,17)

1,5510,89

4,06 0,07 1,15 - 17,72

(12,74) (2,60) (5,19) (3,90) (1,05) (1,70) (5,44) (19,88)

(2,16)

15,68 203,94 43,52 1,13 12,02 - 276,29

(162,11) (39,80) (41,59) (59,52) (21,20) (31,64) (97,97) (291,71)

0,00

(15,42)

0,93 12,10 2,58 0,07 0,71 - 16,39

(9,62) (2,36) (2,47) (3,53) (1,26) (1,88) (5,81) (17,31)

(0,92)

16,11 196,32 47,61 1,27 12,02 - 273,33

(169,31) (40,65) (42,64) (63,21) (22,82) (31,24) (97,81) (298,36)

0,00

(25,03)

0,94 11,44 2,77 0,07 0,70 - 15,92

(9,86) (2,37) (2,48) (3,68) (1,33) (1,82) (5,70) (17,38)

(1,46)

17,22 191,46 50,38 2,19 12,02 (1,94) 271,32

(162,17) (38,79) (40,01) (64,46)

(18,91)(30,17)(98,52)

(290,86)

(0,00)

(19,54)

1,03 11,48 3,02 0,13 0,72 (0,12)

16,27

(9,72)(2,33)(2,40)(3,86)(1,13)(1,81)(5,91)

(17,44)

(1,17)

(0,52) 0,58 (1,04) 0,06 (0,43) (0,12) (1,46)

3,02 0,27 2,80 0,04 (0,09) (0,10) (0,47) 2,44

0,99

1) APBN Perhitungan Anggaran Negara (PAN) : realisasi 1 Januari s.d. 31 Desember 2001 yang telah diaudit 2) APBN Perubahan (P) : perkiraan realisasi 3) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 4) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam APBN-PAN 2001 terhadap PDB

Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)

122

Keuangan Pemerintah

Tabel 7.8Asumsi Pokok APBN 2003

PDB Nominal (triliun rupiah)

Pertumbuhan Ekonomi (%)

Laju Inflasi (%)

Harga Minyak Mentah ($ per barel)

Produksi Minyak (juta barel per hari)

Nilai Tukar (Rp/$)

Rata-Rata Suku Bunga SBI 3 Bulan (%)

APBN 2003Realisasi 20021)

1940

4,0

9,0

22,0

1,27

9000

13,0

1668

3,6

10,03

24,1

1,26

9311

15,2

1) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV Januari 2003)Sumber : Departemen Keuangan

asumsi anggaran sebesar Rp9.000 per dolar dan

karena adanya penerimaan migas yang lebih

t ingg i da r i yang d ip rak i rakan . Da r i

perbandingan dampak rupiah dan valas di atas

terlihat bahwa aliran devisa masuk bersih sektor

pemerintah lebih besar dari ekspansi rupiah

bersih pemerintah sehingga memungkinkan BI

untuk menyerap seluruh ekspansi rupiah bersih

tersebut melalui sterilisasi valas.

Dibandingkan dengan tahun lalu, aliran

devisa masuk bersih pada tahun ini terlihat

lebih rendah yang terutama juga disebabkan

oleh menguatnya rata-rata nilai tukar rupiah,

di samping karena penurunan produksi dan

harga minyak (Tabel 7.7).

(Triliun Rp)

Tabel 7.7Dampak Valuta Asing Keuangan Pemerintah APBN 2002

Uraian20022001

APBN-PAN 1) APBN Realisasi 3)

Nominal % thd PDB Nominal % thd PDB Nominal % thd PDB Nominal % thd PDB Perubahan4)

APBN-P 2)

A. Transaksi Berjalan Neraca Barang

Ekspor Migas Impor Bantuan Proyek

Neraca JasaUtang Luar NegeriPembayaran Bunga Utang Luar NegeriBelanja Pegawai Luar NegeriBelanja Barang Luar NegeriPenerimaan PPh NonmigasHibah

B. Pemasukan Modal Neto PemerintahPenarikan Utang Luar NegeriPembayaran Cicilan Pokok Utang Luar NegeriPrivatisasiPenjualan Aset Prog. Restrukt. Perbankan

C. Dampak Valas (A+B)

0,66 2,57 3,66 (1,08)

(1,91) (1,94) - - - 0,03

1,58 1,75 (1,07) 0,17 0,72

2,24

(13,57) 18,07 38,73 (20,66)

(31,63) (28,98) (1,50) (1,16) - -

28,99 35,36 (16,73) 2,82 7,53

15,42

(0,80) 1,07 2,30 (1,23)

(1,88) (1,72) (0,09) (0,07) - -

1,72 2,10 (0,99) 0,17 0,45

0,92

(2,14) 26,39 42,57 (16,18)

(28,53) (28,32) (1,55) (1,19) 2,28 0,26

26,97 29,31 (13,05) 3,17 7,53

24,83

(0,12) 1,54 2,48 (0,94)

(1,66) (1,65) (0,09) (0,07) 0,13 0,01

1,57 1,71 (0,76) 0,18 0,44

1,45

9,88 38,3454,51

(16,17)

(28,47)(28,95)

- -

- 0,48

23,5226,15

(15,88)2,48

10,78

33,40

4,13 28,45 38,55 (10,11)

(24,32) (25,41) (0,90) (0,60) 2,28 0,30

20,12 19,37 (12,26) 5,48 7,53

24,25

0,25 1,71 2,31 (0,61)

(1,46) (1,52) (0,05) (0,04) 0,14 0,02

1,21 1,16 (0,73) 0,33 0,45

1,45

(0,41) (0,87) (1,34) 0,48

0,45 0,42 (0,05) (0,04) 0,14 (0,01)

(0,37) (0,59) 0,33 0,16 (0,27)

(0,79)

1) APBN Perhitungan Anggaran Negara (PAN) : realisasi 1 Januari s.d. 31 Desember 2001 yang telah diaudit 2) APBN Perubahan (P) : perkiraan realisasi 3) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 4) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam APBN-PAN 2001 terhadap PDB

Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)

123

Keuangan Pemerintah

Grafik 7.6Perkembangan Penerimaan Pajak dan Bukan Pajak

(Persen terhadap Pendapatan Negara)

Catatan:1) Data diolah dari tahun anggaran menjadi tahun kalender2) 1997-2001 APBN-PAN; 2002 Realisasi sementara belum diaudit periode

1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV-Januari 2003); 2003 APBN

PROSPEK APBN 2003

Sesuai amanat Propenas 2000 – 2004, kebijakan

fiskal pada APBN 2003 merupakan kelanjutan dari

langkah konsolidasi fiskal dalam dua tahun terakhir.

Secara operasional langkah konsolidasi tersebut

dilakukan dalam bentuk pengendalian defisit anggaran

melalui peningkatan penerimaan pajak secara progresif,

penghematan anggaran belanja negara terutama subsidi,

dan pengurangan utang secara bertahap. Meskipun

demikian, pemerintah tetap melakukan upaya

memperkuat stimulus fiskal melalui alokasi sejumlah

dana dari subsidi ke pengeluaran pembangunan. Adapun

asumsi-asumsi ekonomi makro yang digunakan untuk

menyusun APBN 2003 dapat dilihat di Tabel 7.8.

Sebagai konsekuensi dari rencana tindak lanjut

kebijakan fiskal di 2003 tersebut, rasio penerimaan

pajak (tax ratio) diprakirakan akan mengalami

peningkatan meskipun rasio pendapatan negara secara

keseluruhan terhadap PDB akan sedikit menurun karena

menurunnya penerimaan minyak.Di sisi belanja negara,

terlihat upaya pemerintah untuk menekan belanja

negara melalui pemotongan subsidi secara signifikan.

Sementara itu, peningkatan stimulus fiskal dilakukan

melalui kebijakan di sisi pendapatan dan belanja

negara, termasuk di dalamnya sejumlah stimulus fiskal

tambahan untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan

mengantisipasi dampak negatif tragedi Bali.3 Secara

keseluruhan, rasio defisit pada 2003 akan sedikit lebih

tinggi dibanding 2002 yaitu dari 1,7% menjadi 1,8%

terhadap PDB. Untuk membiayai defisit, pemerintah masih

mengandalkan sumber pembiayaan baik dari nonperbankan

dalam negeri maupun utang luar negeri. Oleh karena jumlah

pembiayaan bersih lebih kecil dari prakiraan defisit, maka

untuk menutup kekurangannya pemerintah berencana

akan menarik tabungannya pada sistem moneter

sebesar Rp8,5 triliun. Hal ini dilakukan pemerintah

untuk pertama kalinya sejak krisis ekonomi 1997.

Operasi keuangan pemerintah di 2003 akan

menimbulkan beberapa konsekuensi baik terhadap

permintaan agregat maupun moneter. Di sisi

permintaan agregat, kontribusi langsung sektor

keuangan pemerintah terhadap PDB akan meningkat

dibandingkan tahun lalu dari 11,8% menjadi 13,4%.

Peningkatan tersebut terjadi baik melalui

pengeluaran konsumsi dari 7,0% menjadi 7,7% dari

PDB maupun pengeluaran investasi dari 4,8%

menjadi 5,7% dari PDB. Peningkatan tersebut dicapai

melalui pemotongan yang cukup signifikan pada jenis

pengeluaran transfer (transfer payment) dari 6,3%

menjadi 4,2% dari PDB.

Di sisi moneter, tambahan likuiditas rupiah ke

perekonomian diprakirakan meningkat dari 1,2%

3 Stimulus fiskal antara lain dilakukan dalam bentuk penundaan,penurunan dan pencabutan 45 jenis pajak (PPh, PPN dan PPnBM) dankenaikan gaji/pensiun Pegawai Negeri Sipil rata-rata 10%. Selain itu,pemerintah juga mengalokasikan dana kompensasi sosial sebesar Rp4,4triliun untuk Program Penanggulangan Dampak Pengurangan SubsidiEnergi (PPD-PSE) antara lain dalam bentuk bantuan beras murah,pelayanan kesehatan, bantuan pendidikan, pembangunan sarana airbersih, dana bergulir untuk usaha kecil dan penanggulanganpengangguran.

124

Keuangan Pemerintah

Grafik 7.7Komponen Pendapatan Negara

menjadi 1,4% dari PDB, demikian pula secara nominal

meningkat dari Rp19,5 triliun menjadi Rp26,7 triliun.

Tambahan likuiditas rupiah pada 2003 tersebut akan lebih

besar dari aliran devisa masuk bersih pemerintah pada

tahun yang sama yang diprakirakan hanya mencapai 0,9%

dari PDB (setara Rp18,2 triliun). Dengan demikian,

selisihnya sebesar Rp8,5 triliun tidak dapat disterilisasi

dengan aliran devisa masuk bersih pemerintah.

Pendapatan Negara dan Hibah

Pendapatan negara direncanakan sebesar Rp

336,2 triliun atau setara dengan 17,3% dari PDB, lebih

rendah dibanding rasio di 2002 sebesar 18,0% dari

PDB. Faktor dominan yang mempengaruhi

perkembangan pendapatan negara tersebut adalah

lebih rendahnya rasio PNBP, khususnya minyak,

walaupun di sisi lain, rasio penerimaan pajak (tax

ratio) diprakirakan lebih tinggi (Grafik 7.6).

Dilihat dari jenis penerimaan, sumber

penerimaan terbesar secara berturut-turut masih

didominasi oleh PPh Nonmigas, PPN dan PNBP dari

minyak dengan pangsa masing-masing sebesar

31,6%, 24,0% dan 11,9%. Tulang punggung utama

pendapatan negara yaitu penerimaan pajak

direncanakan sebesar Rp254,1 triliun atau 75,6% dari

total pendapatan negara. Dibandingkan realisasi di

2002, tax ratio meningkat dari 12,7% menjadi 13,1%

(Grafik 7.7). Adapun rencana tindak kebijakan di

bidang perpajakan untuk mencapai target pajak

antara lain:

a. Kenaikan tarif PPh atas keuntungan dari

revaluasi aset;

b. Pengenaan PPh atas capital gain dari pengalihan

hak penambangan minyak oleh suatu

perusahaan minyak kepada perusahaan lainnya;

c. Pencabutan pembebasan PPN atas barang

strategis;

d. Peningkatan persentase Nilai Jual Kena Pajak

(NJKP) PBB;

e. Perubahan strata industri rokok dari tiga strata

menjadi dua strata, yakni industri kecil dan

nonkecil; serta

f. Perubahan tarif cukai dari ad valorem menjadi

semi specific.

Sementara itu, PNBP direncanakan sebesar

Rp82,0 triliun atau 24,4% dari total pendapatan

negara. Dibandingkan realisasi di 2002, rasio PNBP

terhadap PDB turun dari 5,3% menjadi 4,2%.

Penurunan ini terutama disebabkan oleh lebih

rendahnya penerimaan dari sumber daya alam (SDA)

(Grafik 7.7). Penurunan PNBP dari SDA didorong oleh

prakiraan menurunnya penerimaan minyak sejalan

dengan penggunaan asumsi harga minyak yang lebih

rendah dan apresiasi nilai tukar rupiah.

125

Keuangan Pemerintah

1) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 2) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam APBN 2003 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB

Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)

Tabel 7.9Pendapatan Negara dan Hibah

A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri

1. Penerimaan Pajak a. Pajak Dalam Negeri

i. Pajak Penghasilan 1. Migas 2. Nonmigas ii. Pajak Pertambahan Nilai iii. Pajak Bumi dan Bangunan iv. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan v. Cukai vi. Pajak Lainnya

b. Pajak Perdagangan Internasional i. Bea Masuk ii. Pajak/Pungutan Ekspor

2. Penerimaan Bukan Pajak (PNBP) a. Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA)

I. Minyak Bumi ii. Gas Alam iii. Pertambangan Umum iv. Kehutanan v. Perikanan

b. Bagian Laba BUMN c. PNBP Lainnya

II. Hibah

Uraian20032002

Realisasi 1) APBNNominal

18,00 17,98 12,65 12,01 6,10 1,03 5,06 3,95 0,38 0,10 1,40 0,09 0,64 0,62 0,01 5,33 3,91 2,86 0,74 0,11 0,19 0,01 0,59 0,84 0,02

336,16 336,16 254,14 241,74 120,92 14,78 106,15 80,79 7,52 2,40 27,95 2,16 12,40 11,96 0,44 82,02 59,40 39,91 16,28 1,48 1,27 0,45 10,41 12,21 -

17,33 17,33 13,10 12,46 6,23 0,76 5,47 4,16 0,39 0,12 1,44 0,11 0,64 0,62 0,02 4,23 3,06 2,06 0,84 0,08 0,07 0,02 0,54 0,63 -

(0,67) (0,65) 0,45 0,45 0,14 (0,27) 0,41 0,22 0,01 0,03 0,04 0,02 0,00 (0,01) 0,01 (1,10) (0,85) (0,80) 0,10 (0,03) (0,12) 0,01 (0,05) (0,21) (0,02)

% thd PDB Nominal % thd PDB Perubahan2)

300,19 299,89 210,95 200,32 101,68 17,22 84,46 65,85 6,36 1,63 23,34 1,47 10,63 10,40 0,23 88,93 65,22 47,69 12,33 1,85 3,15 0,20 9,76 13,95 0,30

(Triliun Rp)

BELANJA NEGARA

Belanja negara direncanakan sebesar Rp370,6

triliun atau setara dengan 19,1% dari PDB, lebih

rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang

mencapai 19,7% dari PDB (Tabel 7.10). Penurunan

tersebut bersumber dari lebih rendahnya rasio

pengeluaran rutin pemerintah pusat, sementara

rasio pengeluaran pembangunan pemerintah pusat

dan rasio anggaran belanja untuk daerah mengalami

kenaikan. Kebijakan ini merupakan bagian dari

langkah konsolidasi fiskal yang dilakukan

pemerintah dalam rangka mengendalikan defisit

anggaran menuju ketahanan fiskal yang

berkesinambungan.

Pengeluaran Rutin direncanakan sebesar Rp188,6

triliun atau 50,9% dari total belanja negara. Angka

4 Harga eceran BBM yang pada 2002 masih ada yang diberlakukandengan 75,0% dari harga pasar (atau 25,0%-nya masih disubsidi),terutama untuk industri kecil menengah dan sektor transportasi,tidak berlaku lagi. Pada 2003, harga seluruh jenis BBM, kecuali minyaktanah untuk rumah tangga dan UKM, akan diberlakukan 100,0% dariharga pasar di Singapura (Mid Oil Platts Singapore) plus 5,0%.

126

Keuangan Pemerintah

Grafik 7.8Komponen Belanja Negara

5 Program privatisasi tahun 2003 merupakan kelanjutan sebagian pro-gram privatisasi 2002 yang belum selesai ditambah penjualan beberapaBUMN.

Grafik 7.9Komponen Pembiayaan Defisit

Catatan:2000-2001 APBN-PAN; 2002 Realisasi sementara belum diaudit periode

1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV-Januari 2003); 2003 APBN

ini turun dari 11,3% dari PDB pada 2002 menjadi 9,7%

dari PDB pada 2003 (Grafik 7.8). Turunnya pengeluaran

rutin terutama karena turunnya subsidi BBM dan beban

bunga utang dalam negeri. Penurunan subsidi BBM

direncanakan melalui kebijakan penyesuaian harga

BBM dalam negeri serta didasari pula oleh prakiraan

apresiasi rupiah dari Rp9.311 menjadi Rp9.000 per

dolar.4 Penurunan beban bunga utang dalam negeri

didasarkan atas prakiraan lebih rendahnya suku bunga

SBI 3 bulan dibandingkan realisasi di 2002 yaitu dari

rata-rata 15,2% menjadi 13% dan penurunan posisi

utang karena adanya pembayaran obligasi pemerintah

jatuh tempo dan kebijakan pembelian kembali (buy

back) obligasi pemerintah.

Pengeluaran pemerintah yang juga mendapat

porsi cukup besar pada APBN 2003 adalah anggaran

belanja daerah yang dianggarkan sebesar Rp116,9

triliun atau 31,5% dari total belanja negara.

Dibandingkan realisasi di 2002, angka ini sedikit

meningkat dari 5,9% menjadi 6,0% dari PDB.

Alokasi dana terkecil adalah untuk pengeluaran

pembangunan yang direncanakan sebesar Rp65,1

triliun atau 17,6% dari total belanja negara.

Sebagaimana telah disinggung di atas, angka ini

meningkat cukup tajam dibanding 2002 dari 2,4%

terhadap PDB menjadi 3,4% terhadap PDB sebagai

upaya untuk meningkatkan stimulus fiskal dan

mengantisipasi dampak negatif tragedi Bali.

Defisit dan Pembiayaan

Defisit pada APBN 2003 diprakirakan sebesar

Rp34,4 triliun atau 1,8% dari PDB. Angka defisit ini

sedikit lebih tinggi dibandingkan realisasi defisit 2002

sebesar 1,7% dari PDB. Untuk membiayai defisit,

pemerintah masih mengandalkan sumber pembiayaan

dari nonperbankan dalam negeri, yaitu penjualan aset

oleh BPPN dan privatisasi.

Sumbangan penjualan aset dan privatisasi

masing-masing direncanakan sebesar Rp18 triliun dan

Rp8 triliun.5 Selain itu, dalam pos nonperbankan dalam

negeri dianggarkan dana Rp12,1 triliun untuk

membiayai pengelolaan surat utang negara, yang

sebagian anggarannya (Rp8,5 triliun) berasal dari Sisa

127

Keuangan Pemerintah

Tabel 7.10Belanja Negara

B. Belanja NegaraI.Belanja Pemerintah Pusat

1. Pengeluaran Rutina. Belanja Pegawaib. Belanja Barangc. Pembayaran Bunga Utang

i. Utang Dalam Negeriii. Utang Luar Negeri

d. Subsidii. Subsidi BBMii. Subsidi Non BBM

- Pangan- Listrik- Bunga Kredit Program- Lainnya

e. Pengeluaran Rutin Lainnya2. Pengeluaran Pembangunan

a. Pembiayaan Pembangunan Rupiahb. Pembiayaan Proyek (termasuk Hibah)

II. Anggaran Belanja Untuk Daerah1. Dana Perimbangan

a. Dana Bagi Hasilb. Dana Alokasi Umumc. Dana Alokasi Khusus

2. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang

Uraian20032002

Realisasi APBNNominal

19,66 13,75 11,34 2,38 0,75 5,39 3,86 1,52 2,40 1,87 0,53 - - - - 0,42 2,41 1,66 0,76

5,91 5,68 1,50 4,15 0,04 0,23

370,59 253,71 188,58 50,24 15,43 81,98 55,18 26,80 25,47 13,21 12,26 4,70 4,52 1,64 1,40 15,48 65,13 46,23 18,90

116,88 107,49 27,90 76,98 2,62 9,39

19,10 13,08 9,72 2,59 0,80 4,23 2,84 1,38 1,31 0,68 0,63 0,24 0,23 0,08 0,07 0,80 3,36 2,38 0,97

6,02 5,54 1,44 3,97 0,13 0,48

(0,55) (0,67) (1,61) 0,21 0,05 (1,16) (1,02) (0,14) (1,09) (1,19) 0,10 0,24 0,23 0,08 0,07 0,37 0,94 0,73 0,22

0,12 (0,14) (0,06) (0,18) 0,10 0,26

% thd PDB1) Nominal % thd PDB Perubahan2)

327,86 229,34 189,07 39,69 12,43 89,87 64,46 25,41 40,01 31,16 8,84 - - - - 7,08 40,27 27,64 12,63

98,52 94,76 24,99 69,14 0,64 3,76

(Triliun Rp)

Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) guna membiayai

program buy back obligasi negara.

Sementara itu, pemerintah masih merencanakan

penarikan utang luar negeri setara Rp29,3 triliun dan

di sisi lain melakukan amortisasi utang luar negeri

setara Rp17,3 triliun. Pembiayaan dari luar negeri ini

telah memperhitungkan penjadwalan ulang cicilan

pokok dan bunga utang luar negeri dari hasil Paris

Club III. Oleh karena jumlah pembiayaan bersih baik

dari nonbank dalam negeri maupun utang luar negeri

lebih kecil dari prakiraan defisit, maka untuk menutup

kekurangannya —dan untuk pertama kalinya sejak

krisis ekonomi 1997— pemerintah berencana akan

menarik tabungannya pada sistem moneter sebesar

Rp8,5 triliun (Tabel 7.11).

Dampak Operasi Keuangan Pemerintah terhadap

Permintaan Agregat, Moneter dan Neraca

Pembayaran

Di sisi permintaan agregat, kontribusi langsung

sektor keuangan pemerintah terhadap PDB akan

meningkat dibandingkan tahun lalu dari 11,8% menjadi

13,4%. Peningkatan tersebut terjadi melalui baik

1) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 2) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam APBN 2003 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB

Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)

128

Keuangan Pemerintah

Grafik 7.10Dampak Operasi Keuangan Pemerintah terhadap Sektor Riil

(Persen terhadap PDB a/d Harga Berlaku)

Catatan:1) Data diolah dari tahun anggaran menjadi tahun kalender2) 1997-2001 APBN-PAN; 2002 Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV-Januari 2003); 2003 APBN3) Terdiri dari pembayaran bunga utang dalam negeri dan subsidi

pengeluaran konsumsi dari 7,0% menjadi 7,7% maupun

pengeluaran investasi dari 4,8% menjadi 5,7%.

Sebaliknya, akan terjadi pemotongan yang cukup

signifikan pada jenis pengeluaran transfer (transfer

payment) dari 6,3% menjadi 4,2% (Grafik 7.10).

Sementara itu, komposisi pengeluaran konsumsi

dan investasi pemerintah terhadap total pengeluaran

pemerintah yang berpengaruh terhadap permintaan

agregat masih relatif tetap, yaitu masing-masing

sekitar 65,0% dan 35,0%. Sebagian besar pengeluaran

konsumsi masih dialokasikan untuk DAU dan belanja

pegawai pemerintah pusat, sementara sebagian besar

pengeluaran investasi masih dialokasikan untuk

pembiayaan rupiah dan Dana Bagi Hasil.

Selanjutnya, transfer ke sektor swasta menurun

dari 6,3% terhadap PDB pada 2002 menjadi 4,2% pada

2003. Penurunan yang cukup signifikan terjadi pada

subsidi, yaitu subsidi BBM sebagai konsekuensi dari

pergeseran prioritas pengeluaran pemerintah untuk

stimulus fiskal melalui pengeluaran pembangunan.

Penurunan juga terjadi pada pembayaran bunga utang

dalam negeri karena prakiraan menurunnya suku

bunga dan posisi utang domestik (Tabel 7.12).

Di sisi moneter, tambahan likuiditas rupiah

dari pemerintah ke perekonomian pada 2003

diprakirakan akan meningkat dibandingkan tahun

sebelumnya dari Rp19,5 triliun menjadi Rp26,7

triliun. Ekspansi rupiah terbesar akan berasal dari

pembayaran dana perimbangan untuk daerah yang

mencapai 36,0% dari total pengeluaran rupiah

pemerintah, kemudian diikuti oleh pembayaran

bunga utang domestik, pengeluaran investasi, dan

belanja pegawai pusat masing-masing antara

15,0% - 17,0%. Sementara itu, kontraksi rupiah

sebagian besar (85,0%) akan berasal dari

penerimaan pajak terutama PPh Nonmigas dan PPN

(Tabel 7.13).

Di sisi transaksi valas pemerintah, aliran devisa

masuk pemerintah terutama berasal dari penerimaan

migas dan penarikan utang luar negeri. Aliran devisa

masuk tersebut lebih besar dari pembayaran

kewajiban luar negeri pemerintah seperti bunga dan

pokok utang luar negeri serta impor bantuan proyek

sehingga akan menciptakan aliran devisa masuk

bersih bagi neraca pembayaran Indonesia setara

Rp18,2 triliun (Tabel 7.14).

Dari perbandingan dampak rupiah dan valas di

atas terlihat bahwa rencana aliran devisa masuk

bersih sektor pemerintah akan lebih rendah dari

rencana ekspansi rupiah bersih, sehingga tidak

seluruh ekspansi rupiah bersih dapat disterilisasi

dengan aliran devisa masuk bersih pemerintah. Kondisi

ini juga sejalan dengan rencana pemerintah yang akan

menggunakan akumulasi tabungannya pada tahun-

tahun anggaran sebelum ini atau dikenal sebagai SAL

sebesar Rp8,5 triliun untuk menutup kekurangan

pembiayaan anggaran 2003 ini.

129

Keuangan Pemerintah

Tabel 7.11Operasi Keuangan Pemerintah

A. Pendapatan Negara dan HibahI. Penerimaan Dalam Negeri

1.Penerimaan Pajak2.Penerimaan Bukan Pajak (PNBP)

II.Hibah

B. Belanja NegaraI. Belanja Pemerintah Pusat

1.Pengeluaran Rutin2.Pengeluaran Pembangunan

II.Anggaran Belanja Untuk Daerah1.Dana Perimbangan2.Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang

C. Keseimbangan PrimerPerbedaan Statistik

D. Surplus/(Defisit) Anggaran

E. PembiayaanI. Pembiayaan Dalam Negeri

1.Perbankan Dalam Negeria. Otoritas Moneterb. Kredit/Pinjaman Sektor Perbankanc. Koreksi Moneter

2.Non-Perbankan Dalam Negeria. Privatisasib. Penjualan Aset Program Restrukturisasi Perbankanc. Penjualan Obligasi Pemerintah

II.Pembiayaan Luar Negeri (Neto)1.Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto)

a. Pinjaman Programb. Pinjaman Proyek

2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri

Uraian20032002

Realisasi 1) APBNNominal

18,00 17,98 12,65 5,33 0,02

19,66 13,75 11,34 2,41 5,91 5,68 0,23

3,73

(1,66)

1,66 1,23 (0,28) (0,28) - - 1,52 0,46 1,17 (0,12) 0,43 1,16 0,42 0,74 (0,73)

336,16 336,16 254,14 82,02 -

370,59 253,71 188,58 65,13 116,88 107,49 9,39

47,54 (0,00)

(34,44)

34,44 22,45 8,50 8,50 - - 13,95 8,00 18,00 (12,05) 11,99 29,25 10,35 18,90 (17,26)

17,33 17,33 13,10 4,23 -

19,10 13,08 9,72 3,36 6,02 5,54 0,48

2,45

(1,78)

1,78 1,16 0,44 0,44 - - 0,72 0,41 0,93 (0,62) 0,62 1,51 0,53 0,97 (0,89)

(0,67) (0,65) 0,45 (1,10) (0,02)

(0,55) (0,67) (1,61) 0,94 0,12 (0,14) 0,26

(1,28)

(0,12)

0,12 (0,08) 0,72 0,72 - - (0,80) (0,05) (0,24) (0,50) 0,19 0,35 0,11 0,23 (0,15)

% thd PDB Nominal % thd PDB Perubahan2)

300,19 299,89 210,95 88,93 0,30

327,86 229,34 189,07 40,27 98,52 94,76 3,76

62,19(0,00)

(27,68)

27,6820,56(4,71)(4,71)

--

25,277,66

19,55(1,94)

7,1219,377,04

12,33(12,26)

(Triliun Rp)

1) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003)2) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam APBN 2003 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB

Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)

130

Keuangan Pemerintah

Tabel 7.12Stimulus Fiskal

I. Konsumsi Pemerintah Belanja Pegawai Dalam Negeri Belanja Barang Dalam Negeri Dana Alokasi Umum Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang Pengeluaran Rutin Lainnya

II. Pembentukan Modal Domestik Bruto Pembiayaan dalam Rupiah Bantuan Proyek Dana Alokasi Umum Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Khusus

III. Jumlah I + II Memo Items : Pembayaran Transfer a. Bunga Utang Dalam Negeri b. Subsidi

Uraian20032002

Realisasi1) APBNNominal

7,022,330,713,330,230,42

4,761,660,760,811,54

11,786,263,862,40

149,7048,7014,2461,909,39

15,48

110,7246,2318,9015,0730,51

260,4280,6555,1825,47

7,722,510,733,190,480,80

5,712,380,970,781,57

13,424,162,841,31

0,700,180,02

(0,14)0,260,37

0,940,730,22

(0,03)0,04

1,64(2,11)(1,02)(1,09)

% thd PDB Nominal % thd PDB Perubahan2)

117,0638,7911,8455,603,767,08

79,4427,6412,6313,5425,63

196,49104,4764,4640,01

(Triliun Rp)

1) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 2) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam APBN 2003 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB

Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)

Tabel 7.13Dampak Rupiah Operasi Keuangan Pemerintah

A. Penerimaan rupiahPajak

MigasNonmigas

Bukan PajakPrivatisasiPenjualan Aset Program Restrukturisasi Perbankan

Penjualan Obligasi PemerintahJumlah Penerimaan

B. Pengeluaran rupiahOperasional

Belanja Pegawai Dalam NegeriSubsidiBunga Utang Dalam NegeriPengeluaran Rutin Lainnya

InvestasiDana PerimbanganJumlah Pengeluaran

C. Perbedaan StatistikD. Dampak Rupiah

Uraian20032002

Realisasi1) APBNNominal

1,0311,483,020,130,72

(0,12)16,27

(9,72) (2,33) (2,40) (3,86) (1,13) (1,81) (5,91) (17,44)

(1,17)

14,78239,3643,782,29

11,06(12,05)299,22

(159,06) (48,70) (25,47) (55,18) (29,71) (50,01) (116,88) (325,95) (0,00) (26,73)

0,7612,342,260,120,57

(0,62)15,42

(8,20) (2,51) (1,31) (2,84) (1,53) (2,58) (6,02) (16,80)

(1,38)

(0,27)0,86

(0,76)(0,01)(0,15)(0,50)(0,84)

1,52 (0,18) 1,09 1,02 (0,40) (0,77) (0,12)

0,64

(0,21)

% thd PDB Nominal % thd PDB Perubahan2)

17,22191,46

50,38 2,19 12,02 (1,94) 271,32

(162,17) (38,79) (40,01) (64,46) (18,91) (30,17) (98,52) (290,86) (0,00) (19,54)

(Triliun Rp)

1) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 2) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam APBN 2003 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB

Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)

131

Keuangan Pemerintah

Tabel 7.14Dampak Valuta Asing Operasi Keuangan Pemerintah

A. Transaksi Berjalan Neraca Barang

Ekspor Migas

Impor Bantuan Proyek

Neraca Jasa

Pembayaran Bunga Utang Luar Negeri

Belanja Pegawai Luar Negeri

Belanja Barang Luar Negeri

Penerimaan PPh Nonmigas

Hibah

B. Pemasukan Modal Neto Pemerintah Penarikan Utang Luar Negeri

Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri

Privatisasi

Penjualan Aset Program Restrukturisasi Perbankan

C. Dampak Valas (A+B)

Uraian20032002

Realisasi 1) APBNNominal

0,25 1,71

2,31

(0,61)

(1,46)

(1,52)

(0,05)

(0,04)

0,14

0,02

1,21 1,16

(0,73)

0,33

0,45

1,45

(6,41) 23,12

38,24

(15,12)

(29,53)

(26,80)

(1,54)

(1,19)

-

-

24,64 29,25

(17,26)

5,71

6,94

18,23

(0,33) 1,19

1,97

(0,78)

(1,52)

(1,38)

(0,08)

(0,06)

-

-

1,27 1,51

(0,89)

0,29

0,36

0,94

(0,58) (0,51)

(0,34)

(0,17)

(0,06)

0,14

(0,03)

(0,03)

(0,14)

(0,02)

0,060,35

(0,15)

(0,03)

(0,09)

(0,51)

% thd PDB Nominal % thd PDB Perubahan3)

4,13 28,45

38,55

(10,11)

(24,32)

(25,41)

(0,90)

(0,60)

2,28

0,30

20,1219,37

(12,26)

5,48

7,53

24,25

(Triliun Rp)

1) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 2) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam APBN 2003 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB

Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)

132

Keuangan Pemerintah

bo

ks

Reprofiling Obligasi Negara

Kebijakan reprofiling (penataan ulang profil

jatuh tempo) obligasi negara pada dasarnya

merupakan upaya pemerintah untuk mengurangi

potensi tekanan terhadap kondisi likuiditas

keuangan negara di masa mendatang. Reprofiling

tersebut dilakukan dengan cara menukarkan

sebagian obligasi negara di bank-bank yang

direkapitalisasi oleh pemerintah dengan obligasi

negara seri baru yang berjangka waktu lebih

panjang. Transaksi penukaran obligasi negara

tersebut dilakukan dengan metode free of pay-

ment (FoP) yaitu tanpa perpindahan dana atas

pokok utang. Sifat kebijakan ini adalah voluntary

yang ditujukan pada bank-bank yang telah

direkapitalisasi oleh pemerintah.

Secara lebih spesifik, beberapa

pertimbangan yang mendasari dilakukannya

reprofiling antara lain adalah: (i) struktur jatuh

tempo obligasi yang ada tidak seimbang dari tahun

ke tahun, dimana sebagian besar diantaranya jatuh

tempo pada periode 2004 – 2009; (ii) tingginya

alokasi anggaran pemerintah untuk pembayaran

bunga obligasi negara sehingga membatasi ruang

gerak pemerintah untuk melakukan stimulus

fiskal; (iii) pasar sekunder belum berkembang

sepenuhnya, dalam arti bahwa hanya beberapa seri

tertentu obligasi pemerintah yang laku di pasar,

sehingga pasar belum memiliki benchmark untuk

pembentukan harga yang transparan (Grafik 1).

Dampak positif yang diharapkan

pemerintah dari reprofiling tersebut antara lain

adalah: (i) profil jatuh tempo obligasi negara

menjadi lebih merata dan tersebar dalam kurun

jangka waktu yang lebih panjang, sehingga

menurunkan beban pembayaran pokok utang

pada setiap tahun anggaran pada periode 2004

– 2009; (ii) resiko tidak terbayarnya pokok

obligasi antara tahun 2004 – 2009 (refinancing

risk) berkurang; (i i i) penurunan beban

pembayaran pokok utang di atas akan

memberikan ruang gerak yang lebih besar bagi

pemerintah untuk melakukan stimulus fiskal; (iv)

mendorong terbentuknya benchmark yield curve

dengan jangka waktu yang lebih panjang; (v)

berkurangnya refinancing risk akan

meningkatkan kepercayaan pasar terhadap

Profil Jatuh Tempo Obligasi Negara

Keterangan : Hedge Bond diasumsikan di-roll over pada 2008-2009Sumber : Pusat Manajemen Obligasi Negara - Departemen Keuangan.

133

Keuangan Pemerintah

obligasi yang diterbitkan pemerintah.1 Dari sisi

bank rekapitalisasi, program reprofiling ini

juga bermanfaat karena mengurangi resiko

kredit (credit r i sk ) aset obl igas i yang

dimi l ik inya, d i samping juga dapat

menyeimbangkan antara struktur cash flow

yang berasal dari obligasi negara dengan

kebutuhan likuiditasnya (Grafik 2).

Beberapa prinsip umum yang digunakan

pemerintah dalam melakukan program

reprofiling adalah: (i) Net Present Value (NPV)

obligasi negara adalah netral atau tetap, dalam

arti nilai saat ini (present value) dari obligasi

yang ditata ulang sama dengan obligasi baru

hasil pertukaran; (ii) jangka waktu jatuh tempo

atau maturity obligasi yang ditata ulang

diperpanjang sampai dengan 2020, yaitu untuk

seri FR baru menjadi 2010 – 2013 dan untuk

seri VR baru menjadi 2014 – 2020; ( i i i )

menggunakan yield curve yang berlaku di pasar,

dengan didasarkan pada: harga rata-rata

obligasi tersebut di pasar sekunder saat ini,

perkembangan suku bunga SBI dan tambahan 2

bps (0,02%) per tahun setelah 2009; (iv) jumlah

obligasi yang ditata ulang pada periode 2004 –

2009 disesuaikan dengan proyeksi kemampuan

APBN, kebutuhan likuiditas perbankan dan

perkembangan pasar sekunder.

Untuk tahap pertama, program reprofiling

dilakukan terhadap 4 Bank BUMN yaitu Bank

Mandiri, BNI, BRI dan BTN yang disetujui oleh

Dewan Perwakilan Rakyat pada 11 November

2002 dan telah dilaksanakan pada 20 Novem-

ber 2002. Hal ini didasarkan atas pertimbangan

bahwa Bank-Bank BUMN merupakan pemilik

terbesar obligasi negara yang telah diterbitkan

1 Sementara itu, untuk mengurangi jumlah obligasi negara, selama2002, pemerintah telah melakukan penarikan obligasi negaramelalui penarikan obligasi rekapitalisasi karena kelebihanpenyertaan modal pemerintah sebesar Rp7,8 triliun, programasset to bond swap sebesar Rp8,7 triliun dan pelunasan obligasinegara yang telah jatuh tempo sebesar Rp3,9 triliun.

Keterangan : Posisi per 30 Agustus 2002, tidak termasuk Hedge Bonds dan SuratUtang ke Bank Indonesia.

Sumber : Pusat Manajemen Obligasi Negara - Departemen Keuangan.

Profil Jatuh Tempo Obligasi NegaraBerdasarkan Kepemilikan

Keterangan : Tidak termasuk Surat Utang ke Bank Indonesia dan Hedge BondSumber : Pusat Manajemen Obligasi Negara - Departemen Keuangan.

Profil Jatuh Tempo Seluruh Obligasi Pemerintah Seri FR danVR Sebelum dan Sesudah Reprofiling

134

Keuangan Pemerintah

Rp231,6 triliun— menyerahkan kepada pemerintah

obligasi negara yang jatuh tempo pada periode

2004 - 2009 sebesar Rp171,8 triliun, sementara

sisanya sebesar Rp59,8 triliun tetap berada pada

bank-bank tersebut (retained) (Grafik 4).

Obligasi yang diserahkan adalah seri FR0002

sampai dengan FR0009 sebesar Rp74,8 triliun dan

seri VR0006 sampai dengan VR00016 sebesar Rp97,0

triliun yang diambil dari portofolio investasi dan atau

portofolio perdagangan masing-masing bank.

Sebagai pengganti obligasi negara yang telah

diserahkan tersebut, pemerintah menerbitkan

obligasi baru dengan jangka waktu jatuh tempo lebih

panjang yaitu 2010 sampai dengan 2020 dengan

jumlah nominal yang sama. Obligasi baru diterbitkan

dengan rincian seri FR0010 sampai dengan FR0020

Seri dan Jatuh Tempo Obligasi Reprofiling

VR FRLama Baru

Seri Jatuh TempoLama Baru

Seri Jatuh Tempo Seri Jatuh Tempo Seri Jatuh Tempo

Sumber : Pusat Manajemen Obligasi Negara - Departemen Keuangan

VR0006

VR0007

VR0008

VR0009

VR0010

VR0011

VR0012

VR0013

VR0014

VR0015

VR0016

VR0017

VR0018

25-Des-04

25-Apr-05

25-Nov-05

25-Mar-06

25-Okt-06

25-Feb-07

25-Sep-07

25-Jan-08

25-Agt-08

25-Des-08

25-Jul-09

25-Jun-11

25-Okt-12

VR0019

VR0020

VR0021

VR0022

VR0023

VR0024

VR0025

VR0026

VR0027

VR0028

VR0029

VR0030

VR0031

25-Des-14

25-Apr-15

25-Nov-15

25-Mar-16

25-Okt-16

25-Feb-17

25-Sep-17

25-Jan-18

25-Jul-18

25-Agt-18

25-Agt-19

25-Des-19

25-Jul-20

FR0006

FR0007

FR0003

FR0008

FR0009

FR0004

FR0005

FR0002

15-Sep-04

15-Sep-04

15-Mei-05

15-Mei-05

15-Mei-05

15-Feb-06

15-Jul-07

15-Jun-09

FR0013

FR0010

FR0011

FR0014

FR0012

FR0015

FR0016

FR0017

FR0018

VR0019

VR0020

15-Sep-10

15-Mar-10

15-Mei-10

15-Nov-10

15-Mei-10

15-Feb-11

15-Agt-11

15-Jan-12

15-Jul-12

15-Jun-13

15-Des-13

pemerintah (Grafik 3).

Dalam pertukaran tersebut, keempat bank

BUMN —yang memegang obligasi negara sejumlah

Sumber: Pusat Manajemen Obligasi Negara - Departemen Keuangan.

Obligasi Negara Bank BUMNyang Ditata Ulang dan Tetap Berada di Bank

135

Keuangan Pemerintah

dan seri VR0019 sampai dengan seri VR0031 yang

selanjutnya dicatat dalam portofolio investasi

masing-masing bank (Tabel 1). Seluruh obligasi

negara yang telah diserahkan ke pemerintah tersebut

dinyatakan lunas dan tidak berlaku lagi terhitung

sejak 20 November 2002.

Berkaitan dengan bunga pada periode

berjalan, bunga berjalan (accrued interest)

obligasi seri Fixed Rate (FR) sampai dengan 20

November 2002 telah dibayar sebesar Rp2,9 triliun.

Sementara itu, bunga berjalan atas obligasi negara

seri Variable Rate (VR) diperhitungkan di dalam

pembayaran kupon pertama obligasi negara seri

VR yang baru dan dibayarkan penuh pada tanggal

jatuh tempo kupon berikutnya.

Upaya untuk mempertahankan NPV agar

netral diperkirakan akan mengakibatkan

penambahan beban bunga sebesar Rp0,8 triliun

per tahun (perhitungan atas dasar yield curve pasar

pada tanggal 13 September 2002). Namun,

tambahan beban ini diharapkan akan dapat ditutup

dari dividen dan PPh yang disetor bank-bank BUMN.

Untuk mencapai target dividen tersebut,

pemerintah merencanakan untuk meningkatkan

bagian labanya (pay out ratio) dari bank-bank

BUMN dari 50,0% menjadi 54,0%-55,0%. Laba

dimaksud adalah pendapatan BUMN setelah

dipotong pajak penghasilan (PPh)

136

Keuangan Pemerintah

bo

ks Undang-Undang No. 24 Tahun 2002

tentang Surat Utang Negara (UU SUN)

Pada 22 Oktober 2002 pemerintah telah

memberlakukan Undang-Undang (UU) No. 24

Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (UU SUN).

Sebelum Undang-Undang ini disahkan, istilah

Surat Utang Negara (SUN) lebih dikenal sebagai

Obligasi Pemerintah. Tema pokok UU SUN adalah

memberikan “standing appropriation” yaitu

jaminan pemerintah kepada pasar untuk

membayar semua kewajiban pokok dan bunga

utang yang timbul akibat penerbitan SUN. Makna

penting UU SUN adalah, memberikan landasan

hukum bagi pemerintah untuk menerbitkan SUN

dan memberikan kepastian hukum bagi investor

(pemodal) untuk memiliki SUN sehingga dapat

menjadi instrumen investasi yang aman dan

bebas risiko. Sedangkan kepada Bank

Indonesia(BI), UU SUN memberikan landasan

hukum sebagai agen lelang dan penatausaha.

Mengacu kepada UU SUN, Surat Utang

Negara terdiri dari Surat Perbendaharaan Negara

(SPN) atau semacam T-Bills di AS dan Obligasi

Negara (ON). SPN merupakan SUN yang berjangka

waktu sampai dengan 12 bulan dengan

pembayaran bunga secara diskonto, dengan

demikian memiliki karakteristik yang mirip

dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

Sementara ON berjangka waktu lebih panjang

dari 12 bulan dengan kupon dan/atau pembayaran

bunga secara diskonto.

SUN diterbitkan dengan beberapa tujuan,

yaitu: (i) membiayai defisit APBN; (ii) menutup

kekurangan kas jangka pendek akibat

ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan

pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu

tahun anggaran; (iii) mengelola portfolio utang

negara.

PERANAN PEMERINTAH, BANK INDONESIA, DPR,

DAN BAPEPAM.

a. Peranan Pemerintah (Menteri Keuangan)

UU SUN memberikan kewenangan kepada

pemerintah dalam menerbitkan dan mengelola SUN

termasuk kewajiban yang menyertai yaitu

akuntabilitas dan transparansi pengelolaan SUN

dimaksud. Dalam pelaksanaannya kewenangan ini

dilaksanakan melalui menteri keuangan yang dalam

hal ini telah membentuk instansi khusus yang

menangani pengelolaan SUN yaitu Pusat Manajemen

Obligasi Negara (PMON).

Dalam pengelolaan SUN, Menteri Keuangan

antara lain berwenang menunjuk agen lelang di

pasar perdana termasuk ketentuan-ketentuan

yang terkait dengan lelang (metode, kriteria

peserta, dan penetapan hasil akhir lelang) serta

pihak yang menjadi pelaksana pembelian dan

penjualan SUN di pasar sekunder. Sehubungan

dengan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan

SUN, pemerintah diwajibkan membuat laporan

137

Keuangan Pemerintah

pertanggungjawaban sebagai bagian pelaksanaan

APBN kepada DPR (Pasal 16) dan secara berkala

mempublikasikan informasi tentang kebijakan

pengelolaan utang, rencana penerbitan, jumlah

SUN yang beredar beserta komposisinya (Pasal 17).

b. Peranan Bank Indonesia

UU SUN memberikan beberapa peran kepada

BI dalam rangka pelaksanaan penerbitan SUN.

Pertama, UU SUN mewajibkan pemerintah untuk

terlebih dahulu berkonsultasi dengan BI ketika akan

menerbitkan SUN (Pasal 6). Konsultasi dengan BI

dilakukan pada saat pemerintah merencanakan

penerbitan SUN untuk satu tahun anggaran, dan

dimaksudkan untuk mengevaluasi implikasi moneter

dari penerbitan SUN agar tercapai keselarasan antara

kebijakan fiskal, termasuk manajemen utang, dan

kebijakan moneter.

Kedua, UU SUN memberikan landasan hukum

bagi BI untuk bertindak sebagai penata usaha SUN

(Pasal 12). Sebagai penata usaha SUN, BI

melakukan tiga kegiatan yaitu pencatatan

kepemilikan, kliring dan penyelesaian transaksi

(settlement), serta agen pembayar bunga dan

pokok SUN. Kedua hal pertama merupakan fungsi

BI sebagai central registry sedangkan hal terakhir

merupakan fungsi BI sebagai paying agent.

Ketiga, UU SUN memberikan landasan hukum

bagi BI sebagai agen lelang di pasar perdana (Pasal

13) dalam penerbitan Surat Perbendaharaan Negara

(SPN). Sementara itu, untuk penerbitan Obligasi

Negara, BI dapat ditunjuk pemerintah sebagai

agen lelang. Penunjukan BI sebagai agen lelang ini

diharapkan dapat meningkatkan efektivitifas

pelaksanaan kebijakan moneter dan sesuai dengan

arah kebijakan BI untuk menggunakan SUN sebagai

piranti Operasi Pasar Terbuka (OPT) alternatif di

masa mendatang dan secara bertahap dapat

menggantikan SBI.

Keempat, UU SUN dapat memberikan peran

kepada BI sebagai agen pemerintah dalam

kegiatan di pasar sekunder, yaitu bahwa

pemerintah dapat menunjuk BI sebagai agen

pembelian atau penjualan ketika pemerintah

melakukan manajemen utang di pasar sekunder

(Pasal 14), misalnya saat melakukan buy back atas

SUN yang masih outstanding.

c. Peranan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Sebagai lembaga legistatif yang salah satu

tugasnya melakukan pengawasan terhadap pihak

pemerintah, peranan DPR dilakukan pada saat

sebelum dan setelah penerbitan SUN. Sebelum

menerbitkan SUN, pemerintah terlebih dahulu

perlu mendapat persetujuan DPR sebagaimana

diatur dalam Pasal 7 UU SUN. Persetujuan DPR ini

memegang peranan yang penting dalam standing

appropriation karena meliputi juga persetujuan

atas kewajiban pemerintah untuk membayar

semua kewajiban bunga dan pokok utang yang

timbul akibat penerbitan SUN sampai dengan jatuh

waktu SUN yang bersangkutan dengan

mengalokasikan dana yang dianggarkan dari APBN

setiap tahunnya. Setelah penerbitan SUN,

138

Keuangan Pemerintah

DPR dapat melakukan pengawasannya yang

antara lain bersumber dari laporan

pertanggungjawaban dan publikasi yang

disampaikan pemerintah sebagaimana

dimaksudkan pada huruf a.

d. Peranan Badan Pengawas Pasar Modal

(Bapepam)

UU SUN juga menyinggung peranan instansi

Pemerintah dalam pengaturan dan pengawasan

terhadap kegiatan perdagangan SUN yang

berfungsi sebagai otoritas Pasar Modal.

Otoritas pasar modal dimaksud adalah Bapepam

sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1995

tentang Pasar Modal. Pengaturan dan

pengawasan ini dimaksudkan untuk

memberikan perl indungan terhadap

kepentingan pemodal dan para pelaku pasar SUN

sebagaimana diatur pasal Pasal 15 UU SUN.

Pengawasan dan pengaturan diperlukan agar

kegiatan perdagangan SUN dapat dilaksanakan

secara efisien dan sehat.

Sanksi hukum dan Ketentuan Peralihan

Untuk mencegah pemalsuan dan

perdagangan SUN secara tidak sah maka UU SUN

juga mengatur mengenai sanksi yang tegas bagi

pihak yang sengaja melakukan pelanggaran

hukum dengan memberikan sanksi denda dan

pidana yang diatur pada Pasal 19. Sedangkan

pada ketentuan peralihan dalam Pasal 20 diatur

bahwa Surat Utang atau Obligasi Negara yang

telah diterbitkan pemerintah dan masih out-

standing sebelum berlakunya UU SUN ini dalam

rangka: a) program rekapitalisasi bank umum,

b) pinjaman luar negeri dalam bentuk surat

utang atau obligasi, c) pinjaman dalam negeri

dalam bentuk surat utang, dan d) pembiayaan

kredit program, dinyatakan sah dan tetap

berlaku sampai dengan saat jatuh tempo.

139

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

ab 8 : Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

Perbankan dan LembagaKeuangan Lain

8BAB

l a p o r a nt a h u n a n

140

Perbankan dan Lembaga Keuangan LainPERBANKANDAN LEMBAGA KEUANGAN LAIN8

B A B

ecara umum kinerja perbankandan lembaga

askeuangan lainnya pada 2002 menunjukkan

perkembangan yang membaik. Di sektor perbankan,

perbaikan tersebut tercermin dari terus

berlangsungnya proses pemulihan fungsi intermediasi

seperti meningkatnya Dana Pihak Ketiga (DPK) dan

kredit yang disalurkan. Selain itu, perbaikan sektor

perbankan juga terlihat dari meningkatnya permodalan

dan profitabilitas, serta membaiknya kualitas kredit.

Sementara itu, perbaikan kinerja lembaga keuangan

lainnya seperti perusahaan pembiayaan dan Perum

Pegadaian tercermin dari meningkatnya total aset,

permodalan, nilai kegiatan usaha dan perolehan laba

tahun berjalan. Perbaikan di sektor perbankan dan

lembaga keuangan lainnya tidak terlepas dari

membaiknya kondisi ekonomi makro, seperti stabilnya

nilai tukar, terkendalinya laju inflasi dan penurunan

suku bunga. Di sektor perbankan, perbaikan tersebut

juga didorong oleh kebijakan perbankan yang

dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) dan konsolidasi

internal perbankan.

Namun demikian proses pemulihan intermediasi

perbankan masih menghadapi beberapa hambatan,

seperti masih tingginya persepsi perbankan terhadap

risiko dan ketidakpastian di sektor riil. Kondisi

tersebut menyebabkan perbankan berhati-hati dalam

menyalurkan kredit, terutama kredit kepada sektor

korporat dan kredit yang berjangka waktu panjang,

sehingga mendorong perbankan untuk melakukan

ekspansi kredit ke sektor Usaha Kecil dan Menengah

(UKM). Dalam kaitan tersebut dan untuk mendorong

kredit UKM, BI melakukan penyederhanaan kriteria

penilaian kualitas kredit yang disalurkan oleh

perbankan kepada sektor UKM dan daerah-daerah

tertentu (distressed area). Selain itu, BI juga

menghimbau kepada beberapa bank yang memiliki

Capital Adequacy Ratio (CAR) cukup tinggi supaya

lebih memperhatikan ekspansi kreditnya dalam rangka

mempercepat pemulihan fungsi intermediasi

perbankan.

PERBANKAN

Melanjutkan kebijakan pada tahun-tahun

sebelumnya, kebijakan BI di bidang perbankan pada

2002 tetap difokuskan pada upaya-upaya untuk

mempertahankan program penyehatan lembaga

perbankan dan program pemantapan ketahanan

sistem perbankan.

Berbagai kebijakan perbankan yang didukung

oleh perbaikan-perbaikan pada indikator makro,

berhasil mendorong perbaikan kinerja perbankan

pada tahun laporan. Perbaikan tersebut tercermin dari

Berbagai kebijakan perbankan dan membaiknya kondisi moneter telahmeningkatkan kinerja perbankan sebagaimana tercermin dari semakinpulihnya fungsi intermediasi, serta membaiknya permodalan dankualitas kredit.

141

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

meningkatnya DPK, permodalan dan CAR, perbaikan

rasio Non–Performing Loans (NPLs) serta terus

berlangsungnya pemulihan fungsi intermediasi

perbankan. Pemulihan fungsi intermediasi perbankan

tercermin dari peningkatan penyaluran kredit baru,

peningkatan Loan to Deposits Ratio (LDR), perubahan

komposisi aktiva produktif perbankan dan

peningkatan pendapatan bunga kredit.

Sementara itu, kinerja perbankan syariah

selama 2002 juga mengalami pertumbuhan pesat baik

dari sisi jumlah jaringan kantor maupun dari sisi aset,

DPK dan pembiayaan yang diberikan (PYD).

Membaiknya kinerja perbankan syariah tersebut tidak

terlepas dari semakin berkembangnya pasar keuangan

syariah sebagai bagian dari infrastruktur perbankan

syariah.

Perkembangan yang menggembirakan juga

terjadi pada kelompok Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

yang tercermin dari indikator penghimpunan dan

penyaluran dana serta rasio NPLs, profitabilitas dan

permodalannya.

Kebijakan Perbankan

Kebijakan perbankan tetap difokuskan pada

kesinambungan upaya pelaksanaan program

restrukturisasi perbankan. Hal ini dilakukan melalui

: (1) program penyehatan perbankan yang meliputi

penjaminan pemerintah bagi bank umum dan BPR,

rekapitalisasi bank umum dan restrukturisasi kredit

perbankan; (2) program pemantapan ketahanan

sistem perbankan yang meliputi pengembangan

infrastruktur perbankan, peningkatan good corpo-

rate governance, serta penyempurnaan

pengaturan dan pemantapan sistem pengawasan

bank; (3) program pemulihan fungsi intermediasi

perbankan, terutama melalui upaya mendorong

penyaluran kredit di sektor Usaha Mikro, Kecil dan

Menengah (UMKM).

Program Penyehatan Perbankan

Kebijakan penyehatan perbankan selama 2002

masih diarahkan untuk melanjutkan program

penjaminan pemerintah. Selain itu, pemantauan

terhadap program rekapitalisasi bank umum dan pro-

gram restrukturisasi kredit juga terus dilanjutkan.

Program Penjaminan

Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat

terhadap sistem perbankan, pemerintah tetap

memberlakukan program penjaminan untuk bank

umum dan BPR. Untuk program penjaminan bank

umum, secara bertahap akan dilakukan pengurangan

cakupan penjaminan seiring dengan akan dibentuknya

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dalam kaitan

tersebut, BI, untuk dan atas nama pemerintah,

melakukan pembayaran pokok dan bunga yang terkait

dengan interbank debt exchange offer. Selama tahun

laporan telah dilakukan pembayaran kewajiban inter-

bank debt exchange offer sebesar $171,7 juta.

Sementara itu, untuk program penjaminan BPR,

sampai dengan September 2002 jumlah dana untuk

pembayaran dana nasabah dari 96 BPR yang dibekukan

kegiatan usahanya pada 1999 dan 2000 mencapai

sebesar Rp115,3 miliar. Sedangkan untuk BPR dengan

status Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) pada

Desember 2001 dan Januari 2002 telah disetujui

pembayaran penjaminannya.

142

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

Program Rekapitalisasi

Dalam pelaksanaan program rekapitalisasi,

perbankan diwajibkan mencatat obligasi pemerintah

yang dimiliki dalam portofolio investasi, perdagangan

dan yang diagunkan (collateral). Posisi obligasi

pemerintah per 31 Desember 2002 adalah sebesar

Rp419,4 triliun yang terdiri dari obligasi portofolio

perdagangan sebesar Rp99,7 triliun (23,8%) dan

portofolio investasi sebesar Rp319,6 triliun (76,2%).

Jumlah obligasi yang dimasukkan dalam portofolio

perdagangan mengalami peningkatan sebesar Rp35,0

triliun (54,1%) bila dibandingkan dengan posisi pada

akhir 2001.

Sementara berdasarkan kepemilikan, obligasi

yang dimiliki bank rekap sebesar Rp359,9 triliun

(85,8%) 1, sedangkan sisanya sebesar Rp59,5 triliun

dimiliki oleh bank nonrekap, masyarakat (sub-regis-

try) dan Departemen Keuangan. Untuk obligasi yang

dimiliki masyarakat meningkat sebesar Rp31,8 triliun

(244,5%) dibanding posisi pada akhir 2001 yaitu dari

Rp13,0 triliun menjadi Rp44,8 triliun pada Desember

2002. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh maraknya

produk reksadana yang diinvestasikan dalam obligasi

pemerintah.

Program Restrukturisasi Kredit

Dengan berakhirnya masa kerja Satuan Tugas

(Satgas) Restrukturisasi Kredit di BI pada 31 Desember

2001 maka upaya restrukturisasi kredit bermasalah

yang berada dalam portofolio bank tetap dilakukan

oleh masing-masing bank. Untuk kredit bermasalah

yang telah dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan

Nasional (BPPN), pelaksanaan restrukturisasinya

dilaksanakan oleh lembaga tersebut. Sementara

restrukturisasi terhadap utang luar negeri perusahaan

swasta bukan bank masih dilakukan melalui Prakarsa

Jakarta.

Berdasarkan sampel yang diambil dari enam bank

yang termasuk dalam Systemically Important Banks

(SIBs) pada September 2002, restrukturisasi kredit

yang dilakukan telah mencapai Rp42,0 triliun. Adapun

dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit, perbankan

masih menghadapi beberapa permasalahan antara

lain: (i) terganggunya kondisi perusahaan terkait yang

selama ini membiayai pembayaran kewajiban debitur;

(ii) rendahnya kualitas manajemen perusahaan

debitur; (iii) persyaratan atau model restrukturisasi

yang diterapkan oleh bank pada saat awal

restrukturisasi kadang kala tidak sesuai dengan

perkembangan usaha debitur; (iv) pola restrukturisasi

kredit yang telah disepakati tidak sepenuhnya

diterapkan dengan baik oleh debitur; (v) sulitnya

merestrukturisasi kredit sindikasi; (vi) masalah

kepastian hukum dalam hal eksekusi agunan kredit;

dan (vii) sulitnya penyelesaian kewajiban debitur yang

terkait dengan debitur pada bank lain dan/atau BPPN.

Sementara itu, restrukturisasi atas kredit

bermasalah yang dialihkan bank-bank peserta

rekapitalisasi kepada BPPN, sampai dengan Desember

2002 mencapai Rp367,6 triliun dengan 296.883

debitur, dimana sebesar Rp55,9 triliun sudah

memasuki tahap implementasi usulan restrukturisasi

dan sebesar Rp21,4 triliun telah terbayar penuh.

Sedangkan restrukturisasi atas pinjaman luar

negeri perusahaan swasta bukan bank yang telah

1 Bank rekap terdiri dari 4 bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN),4 Bank Take Over (BTO), 3 bank umum Swasta Nasional (BUSN)Rekap dan 12 Bank Pembangunan Daerah (BPD) rekap.

143

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

selesai melalui mediasi Prakarsa Jakarta sampai

dengan November 2002 sebesar $17,5 miliar.

Pemantapan Ketahanan Sistem Perbankan

Upaya pemantapan ketahanan sistem perbankan

dilakukan melalui: (i) perbaikan infrastruktur

perbankan yang tercermin dari pengembangan BPR

dan perbankan syariah, serta upaya pembentukan LPS

sebagai pengganti program penjaminan pemerintah;

(ii) peningkatan mutu pengelolaan bank (good corpo-

rate governance) melalui pelaksanaan fit and proper

test, wawancara terhadap calon pengurus baru di

bidang perbankan, penunjukan Direktur kepatuhan,

dan penyerahan kasus hasil investigasi tindak pidana

di bidang perbankan kepada lembaga penegak hukum;

(iii) penyempurnaan berbagai ketentuan perbankan;

dan (iv) pemantapan sistem pengawasan bank yang

mengacu pada 25 prinsip dasar pengawasan

perbankan yang efektif dan berbasis resiko.

Perbaikan Infrastruktur Perbankan

Guna mendukung ketahanan sistem perbankan

yang mantap dan menjaga kepercayaan masyarakat

terhadap perbankan maka diperlukan infrastruktur

yang memadai, antara lain dilakukan melalui

pengembangan bank berdasarkan prinsip syariah,

pengembangan BPR2 serta rencana pembentukan LPS.

Komitmen pemerintah untuk mulai

mengurangi cakupan penjaminan saat ini dan

persiapan pendirian LPS sebagaimana diatur dalam

pasal 37b UU No.10 Tahun 1998, akan mulai efektif

dibahas kembali di 2003. Dalam hal pengurangan

cakupan penjaminan, pemerintah diharapkan benar-

benar dapat mengelola kondisi aktual perbankan saat

ini agar tetap dapat mempertahankan momentum

kepercayaan masyarakat terhadap perbankan yang

terus membaik. Beberapa faktor yang harus

dipertimbangkan dalam rencana pengurangan cakupan

penjaminan oleh pemerintah adalah: (a) kondisi

perekonomian yang mendukung proses penyehatan

perbankan; (b) telah selesainya proses restrukturisasi

perbankan; (c) adanya kerangka pengawasan dan

pengaturan yang efektif; (d) tersedianya prosedur

penyelesaian bank bermasalah; (e) adanya elemen

lender of the last resort; dan (f) pulihnya kepercayaan

masyarakat terhadap perbankan.

Dalam rangka persiapan pendirian LPS tersebut,

Tim Kerja Persiapan LPS yang beranggotakan BI,

Departemen Keuangan dan BPPN sedang melakukan

kajian terhadap landasan hukum operasional LPS.

Salah satu rekomendasi dari tim kerja adalah usulan

agar LPS diatur dalam Undang-Undang (UU). Hal

tersebut dengan pertimbangan untuk memberikan

keleluasaan gerak LPS dan memberikan landasan

hukum yang lebih kuat dari penjaminan pemerintah

saat ini yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Rencana pendirian LPS tersebut akan diselaraskan

dengan rencana pemerintah untuk mulai mengurangi

cakupan penjaminan.

Peningkatan Mutu Pengelolaan Perbankan (Good Cor-

porate Governance)

Secara umum upaya meningkatkan good corpo-

rate governance (GCG) telah dimulai pada 1999

melalui pembentukan Komite Nasional Kebijakan Cor-

porate Governance. Tugas utama komite ini adalah2 Untuk lebih jelasnya baca sub bab Kebijakan Perbankan Syariah dan

sub bab Kebijakan BPR dan Kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

144

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

merumuskan dan menyusun rekomendasi kebijakan

nasional corporate governance yang mencakup

pedoman GCG, rincian penyempurnaan perangkat

hukum dan struktur kelembagaan pendukung. Khusus

untuk industri perbankan, GCG dilakukan melalui fit

and proper test terhadap pemilik dan pengurus bank,

penerapan wawancara bagi calon pemilik dan pengurus

bank (new entry), penunjukan direktur kepatuhan

(compliance director), dan investigasi tindak pidana

di bidang perbankan.

Pelaksanaan Penilaian Fit and Proper

Fit and proper test merupakan upaya

menciptakan sumber daya manusia perbankan yang

memiliki integritas dan kompetensi yang tinggi.

Penilaian dilakukan terhadap dewan komisaris, direksi

dan pejabat eksekutif bank yang selama ini telah aktif

di bank (existing) dalam pengelolaan kegiatan

operasional bank serta didasarkan atas hasil

pengawasan dan pemeriksaan yang dilakukan BI.

Sejak 1999 sampai dengan periode laporan telah

dilakukan penilaian fit and proper terhadap 1.149 or-

ang yang terdiri dari 93 orang pemilik (pemegang

saham) dan 1.056 orang pengurus.

Wawancara Terhadap Calon Pemilik dan Pengurus Bank

Wawancara terhadap pengurus baru (new entry)

termasuk pimpinan kantor perwakilan bank, dan calon

pemilik bank dilakukan untuk mengetahui integritas

dan kompetensinya. Selama 2002, BI telah melakukan

wawancara terhadap 229 calon terdiri dari 12 calon

pemilik dan 217 calon pengurus yang diajukan oleh

90 bank, dan yang berhasil lulus sebanyak 12 calon

pemilik (100%) dan 197 calon pengurus (91%).

Direktur Kepatuhan (Compliance Director)

Direktur kepatuhan merupakan bagian penting

dari sistem pengendalian internal yang dilaksanakan

oleh manajemen bank yang secara aktif mengambil

berbagai langkah untuk mencegah manajemen bank

dalam menetapkan kebijaksanaan dan/atau

mengambil keputusan yang di dalamnya mengandung

unsur-unsur ketidakpatuhan, penyimpangan atau

bahkan pelanggaran terhadap ketentuan kehati-hatian

(prudential regulation). Sejak Juli 1999 sampai

dengan Desember 2002 perbankan telah mengajukan

sebanyak 272 orang calon. Hasil penilaian atas

pencalonan tersebut, sebanyak 211 orang calon telah

disetujui, 37 orang calon ditolak, 5 orang calon sedang

dalam proses penilaian, dan 19 orang dibatalkan

pencalonannya.

Investigasi Tindak Pidana di Bidang Perbankan

Koordinasi antara BI dengan Kepolisian Republik

Indonesia dan Kejaksaan Agung dalam rangka

penanganan tindak pidana yang terjadi di bidang

perbankan terus ditingkatkan. Selama 2002 BI telah

melaporkan sebanyak 28 kasus dugaan tindak pidana

di bidang perbankan yang terjadi pada 15 bank yang

terdiri dari : (i) sembilan kasus transaksi yang

mencurigakan yang berindikasi tindak pidana di

bidang pencucian uang (money laundering) pada 6

bank umum; dan (ii) sembilan belas kasus dugaan

tindak pidana di bidang perbankan yang terjadi pada

7 bank umum dan 2 BPR.

Dalam rangka mempercepat proses tindak lanjut

terhadap laporan transaksi yang mencurigakan (sus-

picious transactions) yang disampaikan oleh bank-

145

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

bank, maka sejak 1 Desember 2002 BI membentuk

satu tim investigasi yang bertugas khusus untuk

melakukan analisis dan tindak lanjut terhadap laporan-

laporan bank yang berkaitan dengan transaksi yang

mencurigakan tersebut. Namun setelah dibentuknya

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

(PPATK), maka tugas tim investigasi akan dialihkan

dari BI kepada PPATK. Dalam rangka operasionalisasi

PPATK, BI mendukung sepenuhnya langkah-langkah

pemerintah untuk segera mengefektifkan lembaga

tersebut melalui berbagai dukungan penuh berupa

sumber daya manusia dan fasilitas perkantoran.

Penyempurnaan Ketentuan Perbankan

Pada tahun laporan BI telah menyempurnakan

beberapa ketentuan perbankan antara lain mencakup

ketentuan mengenai perubahan kegiatan usaha bank

umum konvensional menjadi bank umum berdasarkan

prinsip syariah, penetapan margin suku bunga

simpanan pihak ketiga yang dijamin pemerintah,

Kualitas Aktiva Produktif (KAP) dan prinsip kehati-

hatian dalam rangka pembelian kredit oleh bank dari

BPPN.

Secara garis besar, ketentuan perbankan yang

dikeluarkan BI dapat dikelompokan menjadi: (i) sistem

pengawasan; (ii) prinsip kehati-hatian (prudential

banking); dan (iii) penjaminan pemerintah.

(i) Ketentuan yang dikeluarkan dalam lingkup

sistem pengawasan mencakup penetapan sta-

tus BPR dalam pengawasan khusus dan

pembekuan kegiatan usaha3 , perubahan

kegiatan usaha bank umum konvensional

menjadi bank umum berdasarkan prinsip

syariah4 dan KAP5 . Ketentuan penetapan status

BPR merupakan peraturan pelaksanaan PBI No.3/

15/PBI/2001 tanggal 21 September 2001

tentang Penetapan Status Bank Perkreditan

Rakyat Dalam Pengawasan Khusus dan

Pembekuan Kegiatan Usaha sebagaimana telah

diubah dengan PBI No.3/24/PBI/2001 tanggal 24

Desember 2001. Sementara itu, ketentuan KAP

dimaksudkan untuk meningkatkan penyaluran

kredit kepada sektor KUK dan pemulihan kondisi

perekonomian daerah tertentu.

(ii) Ketentuan yang dikeluarkan dalam

lingkup prinsip kehati-hatian adalah prinsip kehati-

hatian dalam rangka pembelian kredit oleh bank dari

BPPN (Boks: Pembatasan Pembelian Kredit oleh Bank

dari BPPN).6 Ketentuan ini dimaksudkan agar

perbankan dalam melakukan pembelian kredit dari

BPPN tetap berpedoman pada prinsip kehati-hatian

sehingga tidak menimbulkan risiko yang dapat

membahayakan perbankan nasional. Selain itu,

terkait dengan tragedi Bali maka BI menerbitkan

peraturan tentang perlakuan khusus terhadap kredit

bank umum pasca tragedi Bali yang dimaksudkan untuk3 Surat Edaran (SE) No. 4/1/DPBPR tanggal 24 Januari 2002 perihal

Penetapan Status Bank Perkreditan Rakyat Dalam Pengawasan Khususdan Pembekuan Kegiatan Usaha.

4 PBI No. 4/1/PBI/2002 tanggal 27 Maret 2002 tentang PerubahanKegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank UmumBerdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank BerdasarkanPrinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional.

5 PBI No. 4/6/PBI tanggal 6 September 2002 tentang Perubahan AtasSurat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/147/KEP/DIR tanggal12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif.

6 PBI No. 4/7/PBI/2002 tanggal 27 September 2002 tentang PrinsipKehati-hatian Dalam Rangka Pembelian Kredit Oleh Bank Dari BadanPenyehatan Perbankan Nasional.

7 PBI No. 4/11/PBI/2002 tanggal 20 Desember 2002 tentang PerlakuanKhusus Terhadap Kredit Bank Umum Pasca Tragedi Bali.

8 SE No. 4/9/DPM tanggal 26 Juni 2002 perihal Penetapan Margin SukuBunga Simpanan Pihak Ketiga yang dijamin Pemerintah.

146

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

mendukung pemulihan kondisi perekonomian daerah

tersebut.7

(iii) Dalam kaitan dengan penjaminan pemerintah

ketentuan yang dikeluarkan mencakup penetapan

margin suku bunga simpanan pihak ketiga yang

dijamin pemerintah.8 Dalam ketentuan ini antara

lain disebutkan bahwa margin suku bunga

simpanan pihak ketiga yang dijamin oleh

pemerintah dalam rupiah ditetapkan sebesar 200

bp, sedangkan dalam valuta asing ditetapkan

sebesar 100 bp di atas rata-rata suku bunga

deposito berjangka dari bank-bank anggota

Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) yang

dipilih oleh BI.

Pemantapan Sistem Pengawasan Bank

Sebagaimana pada tahun sebelumnya, pro-

gram pemantapan sistem pengawasan bank tetap

berorientasi ke depan (forward looking), dengan

berdasarkan pada pengawasan berbasis risiko (risk

based supervision) yang mengacu pada 25 Prinsip Dasar

Pengawasan Perbankan yang Efektif. Sampai dengan

akhir 2002, dari 25 Core Principles (CP) tersebut, In-

donesia sudah mematuhi dan melaksanakan (fully

compliant) 2 prinsip dasar yaitu CP-1 mengenai Pre-

conditions for Effective Banking Supervision yang

mencakup Objectives, Independence and Resources,

Legal Protection serta CP-2 mengenai Permissible

Activities. Sementara itu, juga terdapat 10 CP lainnya

yang sudah Largely Compliant (Boks: Master Plan

Peningkatan Efektivitas Pengawasan Bank).

Kebijakan Sistem Pengawasan Bank

Dalam meningkatkan pengawasan dan

pengaturan perbankan, BI mengacu kepada 25 Basel

Core Pinciples (BCP) yang secara formal telah menjadi

pegangan bagi bank sentral atau lembaga pengawasan

bank di seluruh dunia. Mengingat sebagian besar dari

25 BCP tersebut belum dipenuhi, diperlukan berbagai

upaya untuk peningkatan sistem pengawasan

perbankan di Indonesia.

Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem

pengawasan perbankan di Indonesia masih terbatas

kepada compliance (kepatuhan). Sedangkan

pendekatan yang sudah diterapkan secara

internasional dan memberikan hasil yang lebih akurat

dalam merefleksi kondisi bank adalah menggunakan

risk-based approach. Menyikapi hal tersebut, BI telah

mengembangkan dan terus menyempurnakan

kerangka pengawasan berdasarkan risiko (risk based

supervision-RBS). Pada prinsipnya, RBS merupakan

suatu proses pemantauan dan penilaian sejauhmana

pengelolaan risiko dan sistem pengendalian intern

bank dapat diterapkan secara efektif.

Implikasi pengawasan berdasarkan risiko ini

cukup besar, baik di lingkungan BI sendiri maupun

perbankan. BI dituntut untuk merubah kerangka

pengawasannya dari compliance approach ke risk-

based approach. Uji coba penerapan risk based su-

pervision telah mulai dilakukan pada 2002 dan akan

terus diimplementasikan di tahun-tahun mendatang.

Selain itu, seiring dengan semakin

terintegrasi–nya pasar keuangan domestik dengan

keuangan global dan meningkatnya aktivitas trading

yang dilakukan perbankan maka pengaturan mengenai

risiko pasar (market risk) dalam permodalan bank

dipandang sudah saatnya. (Boks: Pengaturan Risiko

Pasar (market risk ) dalam Kewajiban Penyediaan

Modal Minimum Bank). Hal ini selaras pula dengan

147

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

dokumen Basel Committee tahun 1996 yang

merekomendasikan agar perbankan mengalokasikan

modalnya untuk mengantisipasi kerugian akibat

perubahan harga/indikator pasar. Penyusunan

ketentuan dengan muatan materi di atas, secara

intensif sedang dilakukan oleh BI dan diharapkan dapat

dikeluarkan di 2003.

Perkembangan Pengawasan Bank

Dalam rangka tugas BI selaku otoritas pengawas

perbankan, pada 20 Agustus 2002 BI menetapkan sta-

tus dua bank umum swasta nasional (BUSN) menjadi

Bank Dalam Pengawasan Khusus karena memiliki CAR

di bawah 8,0%. Namun setelah manajemen dan

pemegang saham kedua bank tersebut melakukan

beberapa langkah penyehatan sebagaimana yang

ditentukan oleh BI, maka sejak 9 Oktober 2002 dan

30 Desember 2002, BI mencabut status Bank dalam

Pengawasan Khusus untuk kedua BUSN tersebut.

Selain itu, BI juga melakukan pengawasan

intensif terhadap bank yang memiliki potensi

kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan

usahanya dengan kriteria: (i) memiliki Tingkat

Kesehatan (TKS) tergolong Kurang Sehat atau Tidak

Sehat; (ii) memiliki permasalahan aktual dan atau

potensial di bidang likuiditas, profitabilitas dan

solvabilitas berdasarkan penilaian risiko keseluruhan;

(iii) terdapat pelampauan dan atau pelanggaran BMPK

dan langkah penyelesaian yang diusulkan bank

berdasarkan penilaian BI tidak dapat diterima atau

tidak mungkin dicapai; (iv) terdapat pelanggaran

Posisi Devisa Neto (PDN) dan langkah penyelesaian

yang diusulkan bank berdasarkan penilaian BI tidak

dapat diterima atau tidak mungkin dicapai; (v)

memiliki Giro Wajib Minimum (GWM) lebih dari 5,0%

namun dinilai mengalami permasalahan likuiditas yang

mendasar; (vi) memiliki permasalahan profitabilitas

mendasar; (vii) memiliki rasio NPLs neto lebih dari

5,0%, dan (viii) berperan cukup signifikan terhadap

risiko sistemik dalam sistem perbankan dan memiliki

pengaruh besar terhadap perekonomian nasional.

Di samping itu, BI telah melakukan pemeriksaan

umum terhadap 77 bank dan pemeriksaan khusus

terhadap 54 bank. Pemeriksaan khusus yang dilakukan

antara lain meliputi pemeriksaan fit and proper,

pemeriksaan modal, pemeriksaan terhadap KAP dan

penerapan know your customer (KYC). Sementara itu,

dalam rangka memperbaiki struktur permodalan bank,

pada September 2002 BI mengeluarkan izin merger 5

bank (Bank Bali, Bank Universal, Bank Patriot, Bank

Prima Express dan Bank Artha Media) menjadi Bank

Permata Tbk.

Peningkatan Fungsi Intermediasi Perbankan

Ditengah-tengah masih rendahnya daya serap

sektor korporat, upaya peningkatan fungsi

intermediasi perbankan dilakukan dengan mendorong

perbankan untuk menyalurkan kredit kepada sektor

UMKM. Beberapa upaya yang telah ditempuh oleh Bank

Indonesia dalam pengembangan UMKM meliputi

kebijakan kredit UMKM, pengembangan kelembagaan,

dan pemberian bantuan teknis.

Kebijakan Kredit UMKM

Dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan

UMKM, maka pada 22 April 2002 telah ditandatangani

Memorandum of Understanding (MoU) atau

kesepakatan bersama antara Menteri Koordinator

Bidang Kesejahteraan Rakyat dengan Gubernur BI

148

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

tentang penanggulangan kemiskinan melalui

pemberdayaan dan pengembangan UMKM.

Adapun tugas yang harus dilaksanakan oleh BI

adalah: (a) mendorong bank umum dan BPR untuk

meningkatkan penyaluran kredit UMKM sesuai dengan

business plan masing-masing bank dengan tetap

memperhatikan prinsip kehati-hatian; (b) melakukan

pemantauan dan evaluasi penyaluran kredit UMKM dari

bank umum dan BPR setiap tiga bulan; (c)

menyediakan informasi sektor/subsektor unggulan

untuk pengembangan usaha kecil melalui SIPUK; (d)

melakukan penelitian; (e) memberikan pelatihan

kepada staf bank umum dan BPR, khususnya di bidang

pembiayaan UMKM; (f) menyesuaikan ketentuan untuk

bank umum dan BPR guna mendorong penyaluran

kredit UMKM dengan tetap memperhatikan prinsip

kehati-hatian dan peraturan perundang-undangan

yang berlaku; dan (g) memperkuat infrastruktur

kelembagaan perbankan dalam penyaluran kredit

UMKM.

Selain mendorong perbankan menyalurkan kredit

kepada UMKM, BI juga masih mendukung pembiayaan

UMKM melalui penyediaan KLBI relending dalam rangka

kredit program oleh BUMN Koordinator pengelola KLBI.

Hal ini merupakan tindak lanjut pasal 74 UU No. 23/

99, yang mengamanatkan pengalihan pengelolaan KLBI

dalam rangka kredit program kepada 3 BUMN

Koordinator yang ditunjuk pemerintah, yakni BRI, BTN

dan PT. Permodalan Nasional Madani (PNM). Tiga BUMN

Koordinator tersebut berwenang untuk menyalurkan

kembali (relending) angsuran KLBI yang diterima dari

bank pelaksana sampai dengan KLBI dimaksud jatuh

tempo. Jumlah angsuran KLBI yang dapat di-relending

oleh BUMN Koordinator kepada sektor UMKM sampai

dengan posisi akhir Desember 2002 adalah sebesar

Rp3,6 triliun, atau meningkat sebesar 140,0%

dibandingkan posisi akhir Desember 2001 sebesar

Rp1,5 triliun. Angsuran KLBI yang telah di-relending

adalah sebesar Rp1,7 triliun atau 48,6% dari jumlah

angsuran KLBI yang tersedia. Dibandingkan dengan

angsuran KLBI yang di-relending pada akhir Desember

2001, yaitu sebesar Rp1,3 triliun, maka telah terjadi

peningkatan sebesar 30,8%. Seperti pada tahun

sebelumnya, relending tersebut sebagian besar

(76,5%) dilakukan oleh PT. PNM, yaitu sebesar Rp1,3

triliun.

Disamping melalui dana relending, BI juga

membantu penyediaan dana untuk kredit program

melalui pembelian Surat Utang Pemerintah (SUP) No.

005 dalam rangka kredit program dengan plafon Rp

9,97 triliun. Sampai dengan posisi akhir Desember

2002, dana yang tersedia adalah Rp3,09 triliun, dan

telah ditarik oleh pemerintah sebesar Rp850 miliar,

sehingga dana yang masih dapat ditarik adalah Rp2,24

triliun.

Di samping itu, pembiayaan UMKM juga

didukung oleh dana yang berasal dari luar negeri dalam

bentuk two-step loan (TSL). Sesuai dengan pasal 74

UU No.23 Tahun 1999, pengelolaan dana tersebut

dialihkan dari BI kepada BUMN. Sementara itu,

berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik

Indonesia No. 335/KM.1/2002 tanggal 29 Juli 2002,

telah dibentuk Tim Pengkajian Penyaluran TSL yang

terdiri dari dua tim, yaitu Tim Pengarah dan Tim

Pelaksana. BI telah ditunjuk untuk menjadi anggota

Tim Pengarah, yang diketuai oleh Direktur Jenderal

Lembaga Keuangan. Tujuan pembentukan tim ini

adalah melakukan kajian dalam rangka memberikan

149

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

rekomendasi mengenai lembaga keuangan yang dapat

menerima pengalihan pengelolaan TSL dari BI dan

selanjutnya berfungsi sebagai lembaga intermediasi

dalam penyaluran TSL yang baru.

Pengembangan Kelembagaan UMKM

Program pengembangan UMKM, selain dilakukan

dengan kebijakan perkreditan, juga dilakukan dengan

pengembangan kelembagaan UMKM. Dalam kaitan ini,

BI mendorong kerjasama bank umum dengan BPR

(linkage program) dalam penyaluran kredit kepada

UKM. Sampai dengan Desember 2002, telah terjalin

kerjasama antara 8 bank dan PT PNM dengan 727

BPR, dengan plafon kredit Rp310 miliar. Selain itu,

BI juga mendorong pembentukan UKM center, yakni

lembaga pelayanan dari bank kepada sektor UMKM.

Sampai saat in telah terdapat 4 bank yang telah

membentuk UKM center tersebut.

Disamping itu, BI juga menyelenggarakan bazar

intermediasi yang bertujuan untuk mempertemukan

bank dengan UKM, yang antara lain telah dilaksanakan

di Makassar, Medan, dan Bandung (Boks: Makassar

Meeting dan Upaya Pengembangan UKM).

Rencana pendirian kredit biro yang merupakan

suatu lembaga yang mengumpulkan, mengolah serta

menyediakan informasi mengenai kredibilitas

individu, yaitu informasi mengenai track record

individu tersebut dalam memenuhi kewajiban

keuangannya. Dengan informasi yang utuh dan

komprehensif akan memberikan kemudahan bagi bank

dalam melakukan proses dan analisis pemberian

kredit secara hati-hati berdasarkan permohonan

debitur-calon debitur sehingga dapat mengurangi

potensi kerugian. Selain itu, dalam upaya

mengantisipasi terjadinya wanprestasi debitur, peran

lembaga penjamin kredit (PT Askrindo dan Perum

Sarana Pengembangan Usaha) terus ditingkatkan.

Bantuan Teknis UMKM

Dalam upaya pengembangan sektor UMKM, BI

tetap memberikan bantuan teknis kepada perbankan,

yang dilaksanakan melalui pelatihan, kegiatan

penelitian dan pemberian informasi. Dalam tahun

laporan, ruang lingkup pemberian bantuan teknis

diperluas bukan hanya untuk sektor perbankan tetapi

juga untuk pengusaha UMKM.

Selama tahun 2002, beberapa kegiatan

pelatihan yang telah dilaksanakan oleh BI antara lain,

pelatihan untuk bank umum, training of facilitator

(ToF) dan training of trainers (ToT), workshop,

lokakarya, exposure training program (ETP), dan

konsultasi. Di samping itu, BI juga melakukan

kegiatan penelitian yang dimaksudkan untuk

melakukan pemetaan potensi UMKM melalui baseline

economic survey (BLS) dan penelitian pola pembiayaan

UMKM.

Kebijakan Perbankan Syariah

Dalam upaya mewujudkan perbankan syariah

yang sehat, yang dapat memenuhi kebutuhan

masyarakat dan berkontribusi dalam mendorong

terciptanya ketahanan sistem perbankan dan

pembangunan nasional, BI telah melakukan berbagai

langkah sesuai dengan fungsi dan perannya sebagai

otoritas perbankan. Sejak awal pengembangannya,

sejumlah isu penting yang telah diidentifikasi dan

perlu menjadi perhatian guna menjamin tercapainya

sasaran pengembangan perbankan syariah, antara

lain: (i) penyusunan dan penyempurnaan peraturan

º

º

150

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

dan perundang-undangan yang sesuai dengan

karakteristik usaha perbankan syariah, (ii)

pengembangan jaringan kantor bank syariah yang

dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin

meningkat, (iii) peningkatan pemahaman masyarakat

terhadap perbankan syariah, (iv) penyediaan

infrastruktur dan lembaga pendukung yang dapat

mendorong perkembangan perbankan syariah yang

sehat dan istiqomah menjalankan prinsip syariah, (v)

peningkatan efisiensi operasi, mutu pelayanan dan

daya saing perbankan syariah, (vi) pengembangan

pembiayaan sistem bagi hasil dalam proporsi yang

memadai dalam portofolio pembiayaan bank syariah,

dan (vii) adanya bank syariah yang memiliki

kompetensi, profesionalisme dan dapat memenuhi

standar internasional.

Selama 2002, sejumlah insiatif dan langkah

strategis telah dilakukan dengan pendekatan

bertahap, berkesinambungan serta memperhatikan

urgensi dan prioritas jangka pendek. Langkah penting

yang dilakukan selama 2002 adalah: (i) menyusun

cetak biru pengembangan perbankan syariah; (ii)

menyempurnakan ketentuan; (iii) meningkatkan

pemahaman masyarakat; dan (iv) meningkatkan

kerjasama internasional di bidang perbankan syariah

dalam rangka pengembangan infrastruktur dan

lembaga pendukung perbankan syariah.

Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah

Untuk mengembangkan sistem perbankan

syariah yang sehat dan amanah serta menjawab

tantangan yang akan dihadapi oleh sistem perbankan

syariah Indonesia, BI telah menyusun “Cetak Biru

Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”, yang

merupakan bagian integral dari Arsitektur Perbankan

Indonesia (API).

Cetak biru ini meletakkan posisi serta cara

pandang BI dalam mengembangkan perbankan syariah

di Indonesia dan berfungsi sebagai pedoman bagi

para stakeholder perbankan syariah. Pandangan

filosofis dan strategi pencapaiannya dituangkan dalam

kerangka visi, misi, dan sasaran serta inisiatif-

inisiatif yang akan dilakukan dalam periode sepuluh

tahun mendatang. Adapun visi dari kegiatan

pengembangan perbankan syariah adalah:

“Terwujudnya sistem perbankan syariah yang

kompetitif, efisien, dan memenuhi prinsip kehati-

hatian serta mampu mendukung sektor riil secara

nyata melalui kegiatan pembiayaan berbasis bagi

hasil dan transaksi riil dalam kerangka keadilan,

tolong menolong dan menuju kebaikan guna mencapai

kemaslahatan masyarakat”.

Sasaran yang realistis untuk mewujudkan visi

yang sudah dicanangkan dibuat dengan

mempertimbangkan kondisi aktual, serta kekuatan

dan keterbatasan pelaku industri perbankan syariah

dan stakeholders lainnya. Sasaran pengembangan

perbankan syariah sampai 2011 dikelompokan dalam

empat fokus sasaran yang terdiri dari: (1)

terpenuhinya prinsip syariah dalam operasional bank

syariah, (2) diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam

operasional perbankan syariah, (3) terciptanya sistem

perbankan syariah yang kompetitif, dan efisien, serta

(4) terciptanya stabilitas sistemik serta terealisasinya

kemanfaatan sistem perbankan syariah bagi

masyarakat luas. Pada fokus sasaran keempat,

ditetapkan target pertumbuhan perbankan syariah

nasional yang dapat mencapai pangsa sebesar 5,0%

151

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

dari total aset perbankan nasional pada 2011.

Dalam upaya untuk mewujudkan sasaran yang

telah ditetapkan, BI telah menetapkan inisiatif-

inisiatif strategis yang menekankan pada aspek

peningkatan kepatuhan pada prinsip syariah, kualitas

ketentuan kehati-hatian, efisiensi operasi dan daya

saing, serta kestabilan sistem perbankan.

Implementasi inisiatif strategis tersebut dapat dibagi

ke dalam tiga tahapan pencapaian. Tahap pertama,

inisiatif diprioritaskan untuk meletakkan landasan

pengembangan yang kuat bagi pertumbuhan. Kedua,

inisiatif difokuskan pada usaha untuk memperkuat

struktur industri. Ketiga, inisiatif difokuskan pada

pemenuhan standar keuangan dan kualitas pelayanan

internasional.

Penyusunan dan Penyempurnaan Perundang–

Undangan dan Ketentuan Perbankan Syariah

Guna mewujudkan sistem perbankan syariah

yang sehat dan konsisten menjalankan prinsip syariah

maka upaya penyusunan dan penyempurnaan

perundang-undangan dan ketentuan yang sesuai

dengan karakteristik usaha bank syariah merupakan

prioritas penting. Perundang-undangan dan ketentuan

yang lengkap diperlukan sebagai dasar pengembangan

perbankan syariah nasional.

Penyusunan Naskah Akademis RUU Perbankan Syariah

Selama 2002 telah dilaksanakan penyusunan

naskah akademis yang bertujuan mengkaji tentang

urgensi penyempurnaan perundang-undangan yang

mengatur perbankan syariah, baik dalam bentuk UU

Perbankan Syariah atau cukup menjadi bagian dari

UU Perbankan. Kajian yang dilakukan dengan

mempertimbangkan masukan dari praktisi perbankan

syariah, akademisi, ulama, dan tokoh masyarakat

menghasilkan kesimpulan dan argumentasi tentang

manfaat pengembangan perbankan syariah dan

perlunya keberadaan UU Perbankan Syariah yang

terpisah. Saat ini pokok-pokok hasil kajian tersebut

menjadi masukan untuk penyempurnaan aturan

perbankan syariah dalam UU Perbankan mengingat

perbankan syariah merupakan bagian dari perbankan

nasional.

Penyempurnaan Ketentuan Kelembagaan

Dalam rangka menyempurnakan ketentuan yang

mengatur mengenai kelembagaan perbankan syariah,

pada 27 Maret 2002 telah diberlakukan PBI No.4/1/

PBI/2002 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank

Umum Konvensional menjadi Bank Umum Berdasarkan

Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Umum

Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum

Konvensional. PBI tersebut bertujuan untuk

menyempurnakan dan memperjelas ketentuan-

ketentuan yang mengatur mengenai konversi secara

penuh kegiatan usaha bank konvensional menjadi

bank syariah serta kegiatan usaha perbankan syariah

oleh bank umum konvensional. Selain itu, PBI ini juga

memberikan alternatif yang lebih luas dalam

9 Unit Syariah adalah satuan kerja khusus dari kantor cabang ataukantor di bawah kantor cabang bank umum konvensional yang kegiatanusahanya melakukan penghimpunan dana dan pemberian jasaperbankan lainnya berdasarkan Prinsip Syariah. Hal tersebut dalamrangka persiapan bank umum konvensional untuk mengubah kantorcabang atau kantor dibawah kantor cabang konvensional menjadiKantor Cabang Syariah (KCS). Untuk setiap pembukaan Unit Syariahbank umum konvensional wajib menyisihkan modal kerja tertentu direkening UUS. Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahunUnit Syariah harus diubah menjadi KCS dengan memenuhi persyaratanpembukaan KCS (termasuk persyaratan penyediaan modal KCS). Apabilabank umum konvensional tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut,Bank Indonesia akan mencabut izin usaha kantor cabang atau kantordi bawah kantor cabang bank umum konvensional dimana Unit Syariahbertempat.

152

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

pengembangan jaringan kantor pelayanan perbankan

syariah, yang memungkinkan bank konvensional yang

telah memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) untuk

membuka jaringan kantor bank syariah di kantor bank

konvensionalnya. Kantor bank syariah yang berada di

kantor bank konvesionalnya tersebut selanjutnya

dinamakan Unit Syariah9.

Penyusunan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan

(PSAK)

BI bekerjasama dengan pihak-pihak terkait

lainnya telah berhasil menyelesaikan standar

akuntansi keuangan yang sesuai dengan prinsip-

prinsip syariah yang dapat sebagai acuan standar

setiap kegiatan operasional perbankan syariah di In-

donesia. Standar tersebut diterbitkan dalam bentuk

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.

59 dan diharapkan untuk dapat diberlakukan dalam

kegiatan perbankan syariah nasional mulai 1 Januari

2003. Proses penyusunan PSAK No. 59 tersebut

melibatkan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), BI, dan

praktisi perbankan syariah dan mengacu kepada Ac-

counting and Auditing Standard for Islamic Financial

Institutions yang diterbitkan oleh AAOIFI, Bahrain.

Sebagai tindak lanjut dari PSAK tersebut, pada 2002

telah dilakukan penyusunan Pedoman Akuntansi

Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) dan Panduan

Audit Perbankan Syariah (PAPS). PAPSI telah selesai

disusun namun belum disahkan, sedangkan PAPS

masih dalam proses penyusunan.

Penyusunan Pedoman Pengawasan Perbankan

Syariah

Pada 2002 telah dihasilkan pedoman pengawasan

perbankan syariah yang diperlukan sebagai panduan

pelaksanaan pemeriksaan dan pengawasan bank

syariah nasional. Selanjutnya panduan tersebut akan

disempurnakan dengan mengadopsi 25 prinsip dasar

pengawasan perbankan yang efektif serta pengawasan

perbankan berbasis risiko.

Penyusunan Ketentuan Fasilitas Pembiayaan

Jangka Pendek (FPJP) Bank Syariah

Berkaitan dengan fungsi BI selaku lender of the

last resort bagi perbankan, maka selain untuk

perbankan konvensional juga diperlukan adanya FPJP

bagi perbankan syariah yang diatur sesuai dengan

karakteristik usaha perbankan syariah. Sejalan dengan

penyusunan ketentuan FPJP bagi perbankan

konvensional, pada 2002 pembahasan substansi

ketentuan FPJP bagi perbankan syariah telah dapat

diselesaikan dan saat ini masih dalam tahap legal

drafting.

Pengkajian Indikator Kinerja BPR Syariah (BPRS)

Pada tahun laporan, BI telah melakukan

penelitian mengenai indikator kinerja BPRS dengan

menggunakan metode Performance Indicators (PI)

sebagai alternatif ukuran kinerja konvensional.10

Penggunaan PI sebagai alat ukur penilaian kinerja BPRS

diharapkan dapat memberikan wacana pemikiran atas

adanya alternatif metode penilaian kinerja BPRS yang

lebih sesuai dengan karakteristik BPRS sebagai

lembaga keuangan mikro. Beberapa keunggulan

metode PI dibandingkan CAMEL adalah mampu

memberikan gambaran mengenai kemampuan10 Ukuran kinerja konvensional menggunakan indikator CAMEL

(Capital, Asset Quality, Management, Earning & Liquidity)

153

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

finansial, kualitas portofolio, produktivitas dan

cakupan operasional yang merupakan karakteristik

lembaga keuangan mikro yang dimiliki oleh BPRS.

Selain itu, penilaian kinerja dengan metode PI dinilai

lebih berhati-hati, sehingga direkomendasikan

sebagai alternatif penilaian kinerja BPRS disamping

dengan metode CAMEL sebagaimana dilakukan selama

ini.

Peningkatan Pemahaman Masyarakat Terhadap

Perbankan Syariah

Program sosialisasi dalam rangka meningkatkan

pemahaman masyarakat terhadap perbankan syariah

terus dilaksanakan secara intensif di berbagai daerah

selama 2002 melalui kerjasama dengan majelis ulama,

perguruan tinggi, Masyarakat Ekonomi Syariah dan

lembaga lainnya termasuk organisasi massa seperti

NU dan Muhammadiyah. Pelaksanaan kegiatan

edukasi publik tersebut dilakukan dalam berbagai

bentuk kegiatan termasuk seminar, workshop, liputan

dan diskusi melalui media massa cetak dan elektronik,

serta penerbitan buku-buku perbankan syariah. Guna

lebih mendorong peran serta seluruh stakehoders

perbankan syariah perlu dibentuk suatu lembaga

koordinasi yang menghimpun dan melibatkan seluruh

pelaku perbankan syariah dan pihak terkait untuk

melakukan kegiatan sosialisasi dan edukasi publik

secara bersama-sama. Upaya peningkatan

pemahaman masyarakat tersebut penting dilakukan

secara berkesinambungan agar masyarakat dapat

memiliki pemahaman yang benar tentang perbankan

syariah. Pemahaman tersebut pada gilirannya

diharapkan dapat mendukung pertumbuhan perbankan

syariah.

Kerjasama Internasional Perbankan Syariah

International Islamic Financial Market (IIFM)

Sejak tahun 2000, BI secara aktif terlibat dalam

pengembangan IIFM yaitu lembaga yang berfungsi

mengembangkan dan mengatur instrumen dan

mekanisme pasar keuangan syariah internasional.

IIFM didirikan oleh BI bersama otoritas perbankan dari

Malaysia, Brunei Darussalam, Bahrain, Sudan dan IDB.

Keikutsertaan BI dalam lembaga tersebut akan

bermanfaat untuk perkembangan lembaga keuangan

syariah, khususnya untuk kepentingan pengelolaan

likuiditas, sehingga efisiensi pengelolaan dana

perbankan syariah dapat lebih ditingkatkan. Selama

2002, lembaga IIFM dengan sekretariat di Manama,

Bahrain telah melakukan konsolidasi dan penyiapan

perangkat organisasi, pengembangan sistem dan

prosedur operasional. Diharapkan pada 2003 kegiatan

operasional IIFM dapat dimulai.

Islamic Financial Services Board (IFSB)

Pertumbuhan yang pesat dari industri keuangan

syariah di berbagai negara menimbulkan kebutuhan

akan berdirinya suatu lembaga internasional yang

berfungsi: (1) menyusun dan menyebarluaskan standar

dan prinsip-prinsip dasar di bidang pengawasan dan

pengaturan, penerapan prinsip syariah oleh industri

keuangan syariah, dan secara sukarela dapat diadopsi

oleh negara anggota; (2) menjadi penghubung dan

bekerja sama dengan lembaga penetapan standar di

bidang moneter dan stabilitas keuangan ; dan (3)

mendorong praktek manajemen risiko yang sebaik-

baiknya melalui aktivitas riset, pelatihan dan bantuan

teknis. Berkaitan dengan hal tersebut, pada Novem-

ber 2001 di Paris dengan dengan diprakarsai oleh

154

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

sejumlah Gubernur dan Senior Officials bank sentral

negara-negara yang telah mengembangkan

perbankan/lembaga keuangan syariah yaitu Bahrain,

Mesir, Iran, Pakistan, Sudan, Jordan, Malaysia, dan

Indonesia, serta perwakilan dari IDB, AAOIFI dan IMF

sepakat untuk mendirikan IFSB. Pada 3 November

2002, IFSB resmi didirikan dengan sekretariat di Kuala

Lumpur, Malaysia.

Pada sidang pertama 3 November 2002,

Gubernur BI dipilih sebagai Chairman IFSB.

Keterlibatan aktif BI dalam lembaga ini dinilai penting

dalam rangka mempersiapkan regulasi, sistem

pengawasan dan panduan best practises yang sesuai

dengan standar internasional bagi perbankan syariah.

Disamping dapat turut serta berkontribusi dalam

lembaga tersebut melalui pendekatan sinergi, BI akan

dapat memanfaatkan hasil riset dan pengembangan

lembaga tersebut untuk percepatan penyempurnaan

regulasi dan pengawasan perbankan syariah di Indo-

nesia .

Kebijakan di Bidang Bank Perkreditan Rakyat

(BPR)

Sebagai salah satu upaya perbaikan

infrastruktur perbankan, kebijakan pengembangan

BPR terus dilakukan. Salah satu upaya pengembangan

BPR dilakukan melalui kerjasama dengan GTZ dalam

proyek ProFI (Promotion of Small Financial Institu-

tion) meliputi pelaksanaan training bersertifikasi

untuk pengurus BPR dan penyempurnaan sistem

pengawasan dan pengaturan BPR. Selain itu sejalan

dengan tujuan BI untuk menyehatkan industri BPR,

USAID bekerjasama dengan The Asia Foundation (TAF)

telah menyampaikan kerangka acuan (Term of Refer-

ence) program bantuan teknis penyehatan BPR

bermasalah di wilayah Jabotabek, termasuk upaya

mempertemukan BPR dengan calon investor apabila

BPR tersebut memerlukan tambahan modal baru.

Dalam hal ini telah diundang 40 BPR bermasalah di

wilayah Jabotabek pada acara presentasi TAF dan

USAID pada 24 September 2002 di BI. Dari 40 BPR, 26

diantaranya telah menyatakan minat untuk mengikuti

program TAF dimaksud. Selanjutnya juga telah

dilakukan kerjasama dengan akademisi dalam rangka

pelaksanaan penyusunan Blue Print BPR melalui Base11 Terdiri dari Bank Bali, Bank Universal, Bank Prima Ekspress, Bank

Arthamedia dan Bank Patriot.

Tabel 8.1Perkembangan Jumlah Bank dan Kantor Bank

I. Bank UmumJumlah BankJumlah Kantor2)

Bank PerseroJumlah BankJumlah Kantor

BPDJumlah BankJumlah Kantor

BUSNDevisa

Jumlah BankJumlah Kantor

BUSNNondevisa Jumlah Bank Jumlah Kantor

BankCampuran Jumlah Bank

Jumlah KantorBank

AsingJumlah BankJumlah Kantor

II.BPRBKDNonBKD

Posisi Pangsa1)

(%)

100,00 100,00

3,55 26,92

18,44 12,98

25,53 50,92

28,37 7,54

17,02 0,76

7,09 0,87

- - -

Kelompok Bank

-2,83,5

0,04,3

0,06,1

-5,33,9

-4,8-5,0

0,00,0

0,01,7

-1,70,0

-5,6

-4,03,9

0,04,1

0,03,8

0,03,9

-2,33,9

-17,2-7,0

0,013,2

-0,80,0

-2,5

141 7.001

5 1.885

26 909

36 3.565

40 528

24 53

10 61

7.571 5.345 2.226

145 6.765

5 1.807

26 857

38 3.432

42 556

24 53

10 60

7.703 5.345 2.358

151 6.509

5 1.736

26 826

38 3.302

43 535

29 57

10 53

7.764 5.345 2.419

Pertumbuhan(%)

2000 2001 2002 2001 2002*)

1) Pangsa terhadap seluruh bank umum2) Tidak termasuk BRI Unit Desa

155

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

Bank Permata.11 Walaupun jumlah bank mengalami

penurunan, namun jumlah kantor bank meningkat dari

6.765 kantor pada akhir 2001 menjadi 7.001 kantor

pada akhir 2002. Peningkatan jumlah kantor tersebut

terutama terjadi pada kelompok bank swasta devisa

dan bank persero (Tabel 8.1).

Dari 141 bank tersebut, pemerintah mempunyai

kepemilikan terhadap 37 bank (26,24%) yang terdiri

dari 5 bank BUMN, 3 eks BTO, 3 bank rekap dan 26

BPD terdiri dari 12 BPD Rekap dan 14 BPD Nonrekap.

Sedangkan sisanya sebanyak 69 bank kategori A dan

Line Survey untuk BPR di wilayah Jabotabek, Jawa

Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Barat.

Dalam rangka mempromosikan berbagai inisiatif

dan pendekatan keuangan mikro yang bertujuan untuk

menanggulangi kemiskinan dan menggerakkan

ekonomi rakyat, BI mendukung terselenggaranya Temu

Nasional dan Bazar Keuangan Mikro pada Juli 2002.

Sebagai tindak lanjutnya direncanakan akan dibentuk

Pusat Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di BI yang akan

berfungsi sebagai: (i) pusat informasi keuangan mikro

bagi stakeholders yang membutuhkan; (ii) pemberi

bantuan teknis bagi LKM; dan (iii) memfasilitasi

kerjasama antara lembaga keuangan formal dan LKM

(linkage program) untuk meningkatkan outreach LKM

dalam melayani usaha mikro.

Perkembangan Bank Umum

Kelembagaan

Hingga akhir 2002, jumlah bank yang masih

beroperasi menjadi 141 bank, turun sebanyak 4 bank

dibandingkan dengan tahun sebelumnya karena

adanya merger 5 BUSN pada September 2002 menjadi

Tabel 8.2Indikator Kinerja Bank Umum

Total Asset

Dana Pihak Ketiga

Kredit

LDR (%)

NPL - gross (%)

NPL - net (%)

Modal

CAR

Laba (Rugi)

Sebelum Pajak

Net Interest Income

Indikator

1.112,2

835,8

410,3

38,2

8,3

2,9

93,0

22,5

21,9

42,9

1.099,7

797,4

358,6

33,0

12,1

3,6

62,3

20,5

13,1

37,8

1.030,5

699,1

320,4

33,2

18,8

5,8

53,5

12,5

10,5

22,8

1.006,7

617,6

277,3

26,2

32,8

7,3

(41,2)

(8,1)

(75,4)

(38,6)

895,5

625,3

545,5

72,4

48,6

34,7

(129,8)

(15,7)

(178,6)

(61,2)

1998 1999 2000 2001 2002

(Triliun Rp)

Grafik 8.1Pangsa Aset Per Kelompok Bank

Grafik 8.2Komposisi Aktiva Produktif

156

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

1 bank Eks BTO yang telah didivestasi (49,64%)

dimiliki swasta nasional, 24 bank campuran (17,02%)

dimiliki oleh swasta nasional dan asing, dan sebanyak

10 bank asing (7,09%) dimiliki oleh pihak asing.

Kegiatan Usaha Bank Umum

Secara umum, kinerja bank umum pada tahun

laporan menunjukkan kecenderungan yang membaik,

walaupun pada beberapa indikator mengalami

pertumbuhan yang sedikit melambat. Perbaikan

tersebut tercermin pada terus berlangsungnya proses

pemulihan fungsi intermediasi perbankan yang

ditunjukkan dengan peningkatan penyaluran kredit

baru, LDR, rasio kredit terhadap aktiva produktif,

dan rasio pendapatan bunga kredit terhadap total

pendapatan bunga. Selain itu, perbaikan ini juga

terlihat dari meningkatnya permodalan dan

profitabilitas, serta membaiknya kualitas kredit.

Perbaikan kinerja perbankan tersebut tidak terlepas

dari membaiknya kondisi ekonomi makro dan moneter

seperti tercermin dari menurunnya suku bunga SBI,

terkendalinya laju inflasi dan menguatnya nilai tukar

rupiah.

Total Aset dan Aktiva Produktif

Total aset perbankan secara agregat mengalami

peningkatan sebesar 1,1% dibandingkan pada 2001

sehingga menjadi Rp1.112,2 triliun. Peningkatan aset

tersebut terutama didorong oleh meningkatnya

portofolio kredit yang disalurkan dan portofolio SBI

(Tabel 8.2). Dari sisi kepemilikan aset per kelompok

bank, kelompok bank BUMN memiliki pangsa terbesar

dari total aset perbankan yaitu 46,4% (Rp516,6

triliun), diikuti dengan kelompok eks BTO sebesar

19,4% (Rp216,2 triliun) dan bank Kategori A sebesar

11,1% (Rp123,9 triliun).

Seiring dengan meningkatnya portofolio kredit

dan jumlah obligasi pemerintah yang diperdagangkan

di pasar sekunder serta program asset to bond swap,

komposisi aktiva produktif perbankan pada tahun

laporan mengalami pergeseran. Bila pada tahun-tahun

sebelumnya aktiva produktif didominasi oleh obligasi

pemerintah, maka pada tahun laporan mulai beralih

ke kredit (Grafik 8.2).

Porsi kredit mengalami peningkatan dari sebesar

34,8% pada Desember 2001 menjadi 40,1% pada akhir

tahun laporan, sementara porsi obligasi pemerintah

turun dari 38,5% menjadi 35,2%. Kelompok bank yang

memiliki porsi kredit terbesar adalah kelompok eks

bank campuran (63,0%), diikuti kelompok bank

kategori A (55,2%), dan BPD (46,0%). Sementara

kelompok bank yang masih memiliki porsi obligasi

pemerintah terbesar adalah kelompok bank BUMN

(50,4%), diikuti kelompok bank rekap (45,7%) dan

kelompok eks BTO (43,3%).

Tabel 8.3Perkembangan Dana Pihak Ketiga Perbankan

Giro - Rupiah - Valas

Deposito - Rupiah - Valas

Tabungan

Total - Rupiah - Valas

Posisi(Triliun Rp)

Pangsa(%)

23,666,133,9

53,481,718,3

23,0

100,082,217,8

Keterangan

23,364,535,5

55,278,421,6

21,5

100,079,820,2

5,88,50,9

1,45,7

(14,1)

12,4

4,88,1

(8,0)

15,315,814,3

14,416,28,0

12,0

14,115,010,5

197,0 130,2

66,8

446,2364,681,6

192,6

835,8687,4148,4

186,2 120,0 66,2

439,9 344,9 95,1

171,3

797,4 636,2 161,2

Pertumbuhan(%)

2001 2002 2001 2002 2001

161,5 103,6 57,9

384,7 296,7 88,0

152,9

699,1 553,2 145,9

2000 2002

157

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

triliun pada 2001 menjadi Rp835,8 triliun.

Peningkatan tersebut lebih rendah bila dibandingkan

pada 2001 yang mencapai 14,1% atau sebesar Rp98,3

triliun. Jika menggunakan kurs tetap (Desember

2000), maka DPK perbankan pada 2002 mengalami

peningkatan sebesar Rp61,8 triliun atau 7,9%, juga

lebih rendah dibandingkan pada 2001 yang meningkat

sebesar Rp85,8 triliun atau 12,3% (Tabel 8.3).

Lebih rendahnya pertumbuhan DPK pada tahun

Penghimpunan Dana

Seiring dengan membaiknya kondisi

perekonomian yang tercermin dari peningkatan PDB

dan pulihnya kepercayaan masyarakat kepada

perbankan nasional, DPK perbankan tercatat

menunjukan peningkatan. Secara nominal, DPK

perbankan selama 2002 mengalami peningkatan

sebesar 4,8% atau sebesar Rp38,5 triliun dari Rp797,4

Tabel 8.4Perkembangan Posisi Kredit Perbankan

Sektor Ekonomi 1)

- Pertanian- Pertambangan- Perindustrian- Listrik, Air dan Gas- Konstruksi- Perdagangan- Pengangkutan- Jasa Dunia Usaha- Jasa Sosial- Lainnya

Total Jenis Penggunaan 1)

- Kredit Modal Kerja- Kredit Investasi- Kredit Konsumsi

Total Kelompok Bank

- Bank BUMN- Bank Rekap- Eks BTO- Bank Kategori A- BPD- Bank Campuran- Bank Asing

Total Jenis Valuta

- Rupiah- Valas

Total

Posisi(Triliun Rp)

Pangsa(%)

6,11,1

33,11,22,5

17,93,48,61,2

25,0100,0

55,722,821,6

100,0

45,25,2

14,514,45,76,18,9

100,0

72,427,6

100,0

Keterangan

6,7 1,0 37,5 1,6 2,6 15,6 2,4

8,8 1,1 22,6

100,0

57,524,018,5

100,0

44,67,79,9

12,5 4,8

8,112,5

100,0

63,736,3

100,0

6,5 27,3 3,4

(14,0) 13,9 34,4 65,6

14,6 28,5 29,8 17,4

13,8 11,3 36,5

17,4

16,0 (23,1) 68,2 32,2 36,8

(13,9) (18,7)

14,4

29,9 (12,8)

14,4

6,5(41,7) 7,4

(0,6) 14,4 6,6

3,74,5

20,837,6

11,6

4,410,245,511,6

12,1(23,6)

65,938,048,5(0,6)(4,7)11,9

28,4(8,7)11,9

22,73,9

122,7 4,4 9,4

66,32,6

31,8 4,6

92,9 371,1

206,6 84,4 80,0

371,1

185,4 21,3 59,7 59,1 23,3 25,1 36,3

410,3

296,9 113,4 410,3

21,33,1

118,7 5,18,2

49,37,6

27,73,6

71,5 316,0

181,675,858,6

316,1

159,9 27,7 35,5

44,717,129,244,7

358,6

228,6 130,1

358,6

Pertumbuhan(%)

2001 2002 2001 2002 2001

20,0 5,3 110,5 5,1 7,2 46,2 7,3

26,5 2,9 52,0 283,1

174,0 68,8 40,3

283,1

142,7 36,3 21,4 32,4

11,5 29,4 46,9

320,5

178,0142,4

320,5

2000 2002

Keterangan : 1) Tidak termasuk kredit penerusan (channeling)

158

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

laporan di samping dipengaruhi oleh turunnya suku

bunga simpanan sejalan dengan trend penurunan suku

bunga SBI, juga adanya alternatif penanaman dana

bagi masyarakat yang memberikan return yang lebih

tinggi daripada deposito seperti reksa dana.

Dilihat dari pangsa komponen DPK, deposito

masih tetap mendominasi yaitu sebesar 53,4%, namun

mengalami penurunan sebesar 1,8 poin dibandingkan

pada 2001. Sedangkan porsi giro sebesar 23,6% atau

naik 0,3 poin dibandingkan 2001, dan porsi tabungan

sebesar 23,0% atau naik 1,5 poin dibandingkan dengan

2001.

Intermediasi Perbankan

Selama tahun laporan, proses pemulihan fungsi

intermediasi perbankan terus menunjukkan

perbaikan. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan

outstanding kredit dan realisasi penyaluran kredit

baru serta terjadinya perubahan struktur aktiva

produktif bank.

Kredit perbankan terus menunjukkan trend yang

meningkat, terutama kredit rupiah, sementara kredit

Tabel 8.5Perkembangan Realisasi Kredit Baru

Sektor Ekonomi- Pertanian- Pertambangan- Perindustrian- Listrik, Air, dan Gas- Konstruksi- Perdagangan- Pengangkutan- Jasa Dunia Usaha- Jasa Sosial- Lainnya

Total

Kelompok Bank- Bank BUMN- Bank Rekap- Eks BTO- Bank Kategori A- BPD- Bank Campuran - Bank Asing

Total

Jenis Penggunaan - Kredit Modal Kerja

- Kredit Investasi - Kredit Konsumsi

Total

3,3 1,8

29,4 0,4 5,5

20,9 8,8

13,5 0,7

15,7 100,0

28,8 6,2

26,6 29,1 2,5 3,1 3,8

100,0

63,3 22,1 14,6

100,0

Keterangan Porsi(%)

0,5 (29,4)

26,8 (11,5) 157,3

54,1 204,2

68,0 (40,7)

9,9 39,8

77,1 74,4 61,5 32,5 24,2

(7,1) (52,3)

39,8

31,5 73,3 37,0

39,8

Pertum-buhan

(%)

2.5931.392

23.316325

4.382 16.621 7.02210.701 586

12.478 79.416

22.838 4.916

21.103 23.079 1.968 2.468 3.045

79.416

50.276 17.538 11.603 79.417

Jumlah

606 711

5.027 23

869 4.183 1.566 3.251 147

2.845 19.229

4.244 1.363 5.028 6.780 485 724 605

19.229

12.180 4.198 2.850

19.229

768 98

11.061 280

2.751 6.488 2.536 2.491 216

3.458 30.146

10.3621.905

7.969 7.446

722 992 750

30.146

19.890 7.063

3.193 30.146

755 63

3.732 13

477 3.725 2.350 2.891 138

3.339 17.484

5.103 936

4.345 5.852 453 322 474

17.484

10.489 4.108 2.887

17.484

464 520

3.496 9

286 2.224

569 2.068

85 2.837 12.557

3.129 713

3.761 3.001

308 429

1.217 12.557

7.717 2.169 2.672 12.558

Trw I

2.5791.972

18.390367

1.703 10.785 2.309 6.371

989 11.352 56.817

12.8942.819

13.069 17.417 1.584 2.655 6.378

56.817

38.230 10.120 8.467

56.817

2001Trw II Trw III Trw IV

2002

(Miliar Rp)

159

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

valas berfluktuasi karena adanya pengaruh perubahan

nilai tukar (Tabel 8.4). Secara nominal, outstanding

kredit pada Desember 2002 sebesar Rp410,3 triliun

atau mengalami peningkatan sebesar Rp51,6 triliun

(14,4%), lebih besar dibandingkan dengan peningkatan

pada 2001 sebesar Rp38,2 triliun (11,9%). Namun

apabila pengaruh perubahan nilai tukar dihilangkan

dengan menggunakan kurs tetap (Desember 2000),

outstanding kredit selama 2002 mengalami

peningkatan sebesar Rp70 triliun (20,1%) atau lebih

besar dari peningkatan pada 2001 yang hanya

mencapai Rp28,1 triliun (8,8%).

Berdasarkan sektor usahanya, urutan sektor yang

memperoleh penyaluran kredit terbesar tidak

mengalami perubahan bila dibanding dengan tahun

sebelumnya. Sektor perindustrian mempunyai porsi

terbesar (33,1%), diikuti sektor perdagangan (17,9%),

sektor jasa-jasa dunia usaha (8,6%) dan sektor

pertanian (6,1%). Sektor usaha yang mengalami

pertumbuhan kredit terbesar pada 2002 adalah sektor

pengangkutan (65,6%), sektor perdagangan (34,4%),

sektor jasa sosial (28,5%) dan sektor pertambangan

(27,3%). Sementara berdasarkan jenis

penggunaannya, pangsa kredit masih didominasi oleh

Kredit Modal Kerja (KMK) yakni sebesar Rp206,6 triliun

(55,7%), sementara Kredit Investasi (KI) sebesar

Rp84,4 triliun (22,8%) dan Kredit Konsumsi (KK)

sebesar Rp80 triliun (21,6%). Namun bila dilihat dari

pertumbuhannya, KK yang mengalami pertumbuhan

terbesar yakni sebesar 36,5%, diikuti KMK sebesar

13,8% dan KI sebesar 11,3% (Tabel 8.4).

Selama tahun laporan, perbankan mampu

menyalurkan kredit baru sebesar Rp79,4 triliun atau

meningkat Rp22,6 triliun (39,8%) bila dibandingkan

Tabel 8.6Perkembangan Kredit UKM (pagu di bawah Rp5 miliar)

Keterangan Porsi(%)

Pertum-buhan

(%)JumlahTrw I2001

Trw II Trw III Trw IV

2002

(Miliar Rp)

Kelompok Bank- Bank BUMN- Bank Rekap- Eks BTO- Bank Kategori A- BPD- Bank Campuran- Bank Asing

Total% terhadap Total Kredit Baru

19,5 6,2 30,8 35,3 5,5 1,5 1,4

100,0 -

63,5 34,7 35,3 29,3 34,6 47,8 8,4

37,3 -

6.356 2.009

10.053 11.516 1.782

476 462

32.654 41,1

1.817 577

2.214 2.677 382 184 111

7.962 46,3

1.811 601

3.234 3.709 713 110 102

10.280 34,1

1.747 452 2.659 3.124 418 120 127 8.647 49,5

981 379

1.945 2.005 270 61

123 5.765 45,9

3.887 1.491 7.430 8.909 1.324

322 427

23.790 41,9

Grafik 8.3Perkembangan DPK, Kredit dan LDR

160

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

dengan penyaluran kredit baru pada 2001 yang hanya

mencapai Rp56,8 triliun. Secara rata-rata, penyaluran

kredit baru selama 2002 sebesar Rp6,6 triliun perbulan

atau meningkat Rp1,9 triliun (38,6%) bila dibandingkan

pada 2001 yang hanya sebesar Rp4,7 triliun perbulan

(Tabel 8.5).

Sama seperti tahun sebelumnya, KMK masih

mendominasi realisasi penyaluran kredit baru pada

2002, yakni sebesar Rp50,3 triliun atau 63,3% dari

total kredit baru. Sementara KI sebesar Rp17,5 triliun

(22,1%) dan KK sebesar Rp11,6 triliun (14,6%). Satu

hal yang cukup menggembirakan adalah terjadinya

peningkatan pada penyaluran KI sebesar 73,3% dari

Rp10,1 triliun pada 2001 menjadi sebesar Rp17,5

triliun pada tahun laporan (Tabel 8.5).

Dari total kredit baru yang disalurkan selama

2002 tersebut, sebesar Rp32,7 triliun atau 41,1%

merupakan penyaluran kredit kepada debitur dengan

pagu kredit di bawah Rp5 miliar yang merupakan

kredit mikro, KUK dan Kredit Usaha Menengah.

Sementara proporsi setiap bulannya berfluktuasi

antara 32,0%-64,3%. Meningkatnya pangsa kredit baru

ke sektor UKM disebabkan beberapa bank melakukan

perubahan orientasi dari korporat menjadi retail.

Peningkatan penyaluran kredit baru selama

periode laporan berhasil mendorong peningkatan LDR

yang pada akhir periode laporan mencapai 38,2% atau

meningkat bila dibandingkan dengan akhir 2001 yang

mencapai 33,0%. Walaupun mengalami peningkatan,

namun LDR tersebut masih jauh dibawah target ideal

sebesar 70,0%-80,0%. Rendahnya LDR pasca krisis

tersebut terjadi karena besarnya komponen obligasi

pemerintah dalam aktiva produktif perbankan yang

terus terbawa ke periode berikutnya. Dengan

membaiknya kondisi perekonomian, penurunan laju

inflasi dan suku bunga, diharapkan dapat mendorong

pertumbuhan kredit yang signifikan ke depan (Grafik

8.3).

Kualitas Kredit Perbankan

Kualitas kredit perbankan yang tercermin dari

nilai nominal NPLs dan rasio NPLs menunjukkan

perbaikan. Nilai nominal NPLs perbankan turun dari

Rp43,4 triliun pada Desember 2001 menjadi Rp33,2

Grafik 8.4Perkembangan NPLs

Grafik 8.5Perkembangan Net Interest Income (NII)

161

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

triliun pada Desember 2002. Perbaikan tersebut

sebagian besar disebabkan oleh upaya-upaya

restrukturisasi kredit yang dilakukan oleh perbankan

sendiri maupun penghapusbukuan kredit. Sejalan

dengan penurunan nominal NPLs dan meningkatnya

outstanding kredit perbankan, maka rasio NPLs-gross

perbankan membaik dari 12,1% pada Desember 2001

menjadi 8,3% pada Desember 2002, sementara NPLs-

net membaik dari 3,6% menjadi 2,9% (Grafik 8.4).

Sampai dengan akhir tahun laporan, jumlah bank

yang masih mempunyai rasio net NPLs di atas 5,0%

berjumlah 20 bank, berkurang 25 bank bila

dibandingkan dengan posisi Desember 2001. Kondisi

tersebut menyebabkan target indikatif rasio NPLs neto

di bawah 5,0% pada Desember 2002 sulit untuk

tercapai, terlebih setelah perbankan juga menghadapi

permasalahan adanya potensi memburuknya kualitas

kredit sebagai dampak tragedi Bali, sehingga BI

memutuskan untuk menunda sampai Juni 2003.

Terhadap bank-bank yang belum dapat memenuhi tar-

get tersebut, BI meminta untuk menyusun action plan

pencapaian NPLs neto di bawah 5,0% dalam business

plan-nya.

Profitabilitas

Walaupun pada 2002 terjadi trend penurunan

suku bunga, baik SBI maupun FASBI, yang juga

berdampak pada penerimaan kupon obligasi

pemerintah seri Variable Rate Bond (VRB), namun

perbankan masih mampu membukukan Net Interest

Income (NII) yang positif dan bahkan lebih tinggi dari

2001 ketika terjadi trend peningkatan suku bunga.

Selama 2002, perbankan mampu membukukan NII

sebesar Rp42,9 triliun, sementara pada 2001 hanya

sebesar Rp37,8 triliun.

Meningkatnya perolehan NII tersebut disebabkan

oleh meningkatnya penyaluran kredit baru dan masih

relatif tingginya suku bunga kredit sehingga

penerimaan bunga kredit cukup tinggi, dilain pihak

suku bunga deposito (cost of fund) mengalami

penurunan yang cukup tajam mengikuti penurunan

suku bunga SBI. Seiring dengan peningkatan perolehan

NII, laba sebelum pajak yang diperoleh perbankan juga

meningkat dari Rp13,1 triliun pada 2001 menjadi

Rp21,9 triliun pada 2002 (Grafik 8.5).

Permodalan dan CAR

Permodalan bank secara keseluruhan mengalami

peningkatan dari Rp62,3 triliun pada Desember 2001

Grafik 8.6Perkembangan Modal Perbankan

Tabel 8.7Perkembangan Jaringan Kantor Perbankan Syariah

26

12783

2002Uraian

BUSUUSJumlah Kantor BankBPR Syariah

23

9681

2001

23

6278

2000

21

4078

1999

1019

1992

162

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

menjadi Rp93,0 triliun pada akhir periode laporan.

Peningkatan tersebut sebagian besar berasal dari

setoran modal sebesar Rp8,3 triliun, pembentukan

cadangan modal Rp2,7 triliun, koreksi kerugian tahun

sebelumnya Rp12,3 triliun dan laba tahun berjalan

Rp7,0 triliun. Peningkatan posisi modal terutama

terjadi pada kelompok bank BUMN yang meningkat

sebesar Rp14,0 triliun, diikuti kelompok bank asing

Rp5,6 triliun dan kelompok eks BTO Rp4,5 triliun

(Grafik 8.6).

Membaiknya kualitas aktiva perbankan yang

diiringi dengan peningkatan permodalan bank,

mendorong peningkatan CAR. Pada akhir 2002, CAR

untuk keseluruhan bank umum mencapai 22,5% atau

meningkat 199 poin bila dibandingkan dengan akhir

2001 sebesar 20,5%. Namun bila dilihat secara individu

masih terdapat 3 bank yang memiliki CAR di bawah

8,0%.

Perkembangan Perbankan Syariah

Sebagai industri keuangan yang relatif baru,

perbankan syariah pada 2002 memperlihatkan

pertumbuhan yang cukup pesat. Hal tersebut

tercermin dari meningkatnya jumlah bank yang

beroperasi berdasarkan prinsip syariah dan cukup

tingginya pertumbuhan aset, DPK maupun PYD. Selain

itu pasar keuangan syariah juga mulai tumbuh dan

semakin berkembang.

Kelembagaan

Pada 2002 terdapat peningkatan jaringan kantor

perbankan syariah yang ditandai dengan masuknya 3

bank umum Konvensional (BUK) yang membuka UUS

serta beroperasinya 2 BPR Syariah baru. Dengan

demikian sampai dengan akhir 2002 terdapat 2 bank

umum Syariah (BUS), 6 UUS, 127 kantor bank, dan 83

BPR Syariah (Tabel 8.7) yang tersebar pada 20 propinsi

di Indonesia. Sementara itu pada akhir 2002 terdapat

1 BUK yang mengajukan permohonan pembukaan UUS,

Grafik 8.7Perkembangan Kegiatan Usaha Perbankan Syariah

Tabel 8.8Perkembangan Pangsa Kegiatan Usaha Perbankan Syariah

terhadap Perbankan Nasional

0,370,350,80

200220012000

0,250,230,57

0,170,150,40

(Persen)

Keterangan

AsetDana Pihak KetigaPembiayaan

Grafik 8.8Perkembangan Penghimpunan Dana

Perbankan Syariah

163

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

8 permohonan pembukaan kantor cabang syariah, dan

2 permohonan pendirian BPR Syariah. Seluruh

permohonan yang diajukan ini masih dalam proses

analisis untuk mendapatkan persetujuan.

Pertumbuhan jaringan kantor bank syariah yang kian

pesat tidak terlepas dari dukungan BI baik dalam

bentuk ketentuan maupun sosialisasi mengenai

perbankan syariah kepada masyarakat.

Kegiatan Usaha

Total Aset

Sejalan dengan bertambahnya jaringan kantor

bank, kegiatan usaha perbankan syariah juga

mengalami pertumbuhan yang cukup pesat (Grafik

8.7). Pada akhir 2002 total aset perbankan syariah

tercatat sebesar Rp4,1 triliun. Jumlah tersebut

mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu

sebesar Rp1,4 triliun atau 50,3% dibandingkan tahun

sebelumnya. Peningkatan tersebut menyebabkan

pangsa total aset perbankan syariah terhadap total

aset perbankan nasional meningkat dari 0,3% pada

akhir 2001 menjadi 0,4% pada akhir periode laporan

(Tabel 8.8).

Penghimpunan Dana

Secara umum pertumbuhan penghimpunan DPK

perbankan syariah pada 2002 tercatat sebesar 61,5%.

Tambahan DPK perbankan syariah memberikan

kontribusi sebesar 2,9% dari total tambahan DPK

perbankan nasional. Sementara itu kontribusi DPK

terhadap total aset perbankan syariah meningkat dari

2001 sebesar 66,4% menjadi 71,4% pada 2002 (Grafik

8.8).

Peningkatan DPK tersebut terjadi pada semua

komponen, yaitu giro sebesar 19,7%, tabungan 38,0%

dan deposito 90,4%. Dilihat dari komposisinya tidak

mengalami perubahan dibandingkan tahun

sebelumnya. Deposito masih mendominasi komposisi

DPK dengan pangsa yang meningkat dari sebesar

50,7% pada akhir 2001 menjadi 59,8% pada akhir

tahun laporan.

Pesatnya pertumbuhan DPK perbankan syariah

dalam dua tahun terakhir memberikan indikasi adanya

respon positif dari masyarakat. Perkembangan

tersebut searah dengan hasil penelitian yang dilakukan

BI mengenai preferensi masyarakat terhadap

perbankan syariah. Semakin banyak dan luasnya

jaringan kantor serta peningkatan fasilitas pelayanan,

seperti ATM bersama, menjadi faktor pendorong

Grafik 8.9Perkembangan Pembiayaan Nonlancar (Gross)

Bank Syariah

Tabel 8.9Realisasi PYD Perbankan Syariah kepada sektor UKM

57,930,7

5,3

Pertumbuhan(%)

20021)2001

472149119

299114113

(Miliar Rp)Jenis

BUSUSBPRS

1) untuk BPRS data September 2002

164

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

pertumbuhan DPK. Di samping itu gencarnya kegiatan

sosialisasi, edukasi, dan promosi yang dilakukan oleh

BI, Perbankan Syariah, dan perguruan tinggi, serta

Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (ASBISINDO) juga

meningkatkan preferensi masyarakat terhadap

perbankan syariah.

Pembiayaan dan Kualitas Pembiayaan

Pada 2002 pembiayaan perbankan syariah

tumbuh sebesar 59,9% dari sebesar Rp2,1 triliun

menjadi sebesar Rp3,3 triliun, sedikit lebih rendah

dibandingkan tahun sebelumnya yang meningkat

sebesar 61,3%. Pembiayaan perbankan syariah masih

didominasi oleh pembiayaan dengan aqad murabahah

(sale with markup) yakni sebesar 70,9%, diikuti

mudharabah (profit-loss sharing) 15,2%, dan

musyarakah (mutual partnership profit-loss sharing)

1,8%. Sedangkan bentuk-bentuk pembiayaan lainnya

seperti salam (advance purchase), istishna'–(commis-

sioned manufacture), ijarah (operational lease),

gadai (mortgage) dan hawalah (transfer services)

memiliki porsi yang masih kecil.

Porsi pembiayaan dengan aqad murabahah dari

tahun ke tahun mengalami peningkatan dari sebesar

69,3% pada 2001 menjadi 70,9% pada tahun laporan.

Dominasi penggunaan aqad murabahah dalam

pembiayaan tidak terlepas dari berbagai faktor, antara

lain karakteristik pembiayaan murabahah yang return-

nya dapat diprakirakan dan mempermudah Asset and

Liability Management (ALMA) bank karena sumber

DPK sebagian besar berasal dari dana berjangka

pendek. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian

yang dilakukan BI mengenai kinerja industri BPRS di

2002 yang menyatakan bahwa pembiayaan dengan

akad murabahah lebih disukai masyarakat karena

perhitungan yang mudah.

Peningkatan pembiayaan perbankan syariah juga

diikuti dengan upaya mempertahankan kualitas aktiva

produktifnya yang tercermin dari rasio Non Perform-

ing Financing (NPF) perbankan syariah di bawah 5,0%

(Grafik 8.9). Sementara itu Financing to Deposit Ra-

tio (FDR) bank syariah, yang diperoleh dengan

membandingkan antara PYD dengan DPK, dalam tiga

tahun terakhir tetap di atas 100,0%, yaitu berturut-

turut 123,5% (2000), 113,5% (2001) dan 112,3%

(2002). Hal tersebut menunjukkan bahwa fungsi

intermediasi perbankan syariah telah berjalan dengan

baik.

Sejalan kebijakan umum BI untuk mendorong

pengembangan sektor UKM, perbankan syariah telah

memberikan respon yang cukup baik. Hal tersebut

tampak dari peningkatan jumlah pembiayaan yang

dialokasikan kepada sektor UKM pada 2002 yaitu

57,9% untuk BUS, 30,7% UUS dan 5,3% BPRS (Tabel

8.9). Untuk BUS portofolio pembiayaan kepada sektor

UKM telah mencapai sekitar 20% dari total PYD.

Solvabilitas dan Profitabilitas

Secara umum kondisi solvabilitas perbankan

syariah dalam dua tahun terakhir cukup baik. Hal

tersebut tampak dari CAR yang tetap di atas 8,0%,

walaupun mengalami penurunan dibandingkan tahun

sebelumnya dari 21,5% menjadi 14,8%. Penurunan CAR

perbankan syariah tersebut terutama disebabkan

ekspansi pembiayaan (59,9%) yang jauh lebih besar

dari penambahan modal bank (16,4%). Jika trend

tersebut terus berlangsung, dalam jangka pendek

perbankan syariah perlu menambah modal disetor agar

tetap dapat menjaga CAR di atas 8,0%.

165

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

Pada tahun laporan perbankan syariah berhasil

membukukan keuntungan sebesar Rp54,1 miliar

dengan Return on Asset (ROA) dan Return on Equity

(ROE) masing-masing sebesar 1,6% dan 10,1%. Secara

industri, pencapaian ROE pada 2002 lebih rendah dari

periode sebelumnya yaitu sebesar 17,7%. Hal ini

disebabkan masih belum dicapainya titik impas (break

event point) UUS yang baru beroperasi pada tahun

laporan. Namun demikian, dengan semakin banyaknya

bank syariah yang beroperasi, pencapaian skala

ekonomis industri perbankan syariah diharapkan akan

semakin cepat. Dilain pihak penurunan suku bunga

SBI yang diikuti dengan turunnya suku bunga tabungan

dan deposito bank konvensional, diharapkan mampu

meningkatkan daya saing perbankan syariah pada

tahun-tahun mendatang.

Pasar Keuangan Syariah

Instrumen pasar keuangan syariah meliputi

Sertifikat Wadiah BI (SWBI), Pasar Uang Antarbank

berdasarkan prinsip Syariah (PUAS), dan Obligasi

Syariah. Posisi SWBI pada akhir 2002 tercatat sebesar

Rp390 miliar, dengan rata-rata outstanding per bulan

Rp319 miliar. Pada semester II-2002 terdapat

kecenderungan penurunan outstanding SWBI yang

dialihkan kepada PYD, sehubungan dengan kebutuhan

untuk ekspansi ke sektor riil.

Sementara itu aktivitas PUAS sepanjang 2002

menunjukkan kecenderungan yang meningkat dan

mencapai puncaknya pada Oktober 2002 dengan vol-

ume transaksi senilai Rp14,2 miliar. Peningkatan vol-

ume PUAS juga tidak terlepas dari semakin banyaknya

peserta PUAS.

Sebagai alternatif investasi perbankan syariah,

pada 2002 untuk pertama kalinya diterbitkan obligasi

syariah oleh salah satu BUMN senilai Rp100,0 miliar

dari total obligasi Rp1,0 triliun. Penerbitan obligasi

syariah tersebut mendapat respon yang positif dari

masyarakat sehingga dalam penawaran perdana

mengalami oversubscribe mencapai Rp175,0 miliar.

Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat

Kelembagaan

Dalam tahun laporan, jumlah BPR non BKD yang

masih aktif sebanyak 2.141 BPR dan 82 BPR

diantaranya beroperasi dengan prinsip syariah.

Jumlah tersebut berkurang karena adanya pencabutan

izin usaha BPR.

Pada periode laporan BI telah mencabut ijin

usaha 151 BPR (109 BPR merupakan BPR BBKU dan 42

BPR dicabut langsung), sedangkan jumlah BPR yang

telah dibekukan sebanyak 78 BPR. Dari BPR yang di-

BBKU, sebanyak 8 BPR telah berhasil diselamatkan

melalui proses akuisisi sehingga tidak perlu dicabut

izin usahanya.

Kegiatan Usaha

Industri BPR mengalami kemajuan yang sangat

baik ditunjukkan dengan peningkatan total aset,

Tabel 8.10Perkembangan Usaha BPR

8.3935.5976.4201.096

294

20021)20012000

6.7474.2804.860

936223

4.7313.0823.619

705116

(Miliar Rp)

Uraian

Volume UsahaDana Pihak KetigaKreditModal DisetorLaba (Rugi) Tahun Berjalan

1) Data September 2002

166

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Total

aset BPR mengalami peningkatan sebesar 24,4% dari

Rp6.747 miliar pada posisi akhir 2001 menjadi

Rp8.393 miliar pada posisi akhir September 2002.

Dari sisi penghimpunan dana yaitu tabungan dan

deposito terjadi peningkatan. Jumlah tabungan

meningkat sebesar 18,6% dari Rp1.574 miliar pada

posisi akhir 2001 menjadi Rp1.867 miliar pada akhir

September 2002. Sedangkan jumlah deposito

meningkat sebesar 24,2% dari Rp2.706 miliar pada

akhir 2001 menjadi Rp3.370 miliar pada akhir Sep-

tember 2002 (Tabel 8.10).

Sejalan dengan peningkatan dana yang

dihimpun, sisi penyaluran dana yaitu kredit yang

diberikan juga mengalami peningkatan sebesar 32,1%

dari Rp4.860 miliar pada akhir 2001 menjadi Rp6.420

miliar pada akhir September 2002. Kondisi tersebut

di atas menunjukan bahwa tingkat kepercayaan

masyarakat terhadap BPR terus meningkat dan

prospeknya terus membaik.

Kualitas kredit BPR juga menunjukkan perbaikan

terlihat dari menurunnya NPLs dari 12,0% pada akhir

2001 menjadi 9,0% pada tahun laporan. Meningkatnya

kualitas kredit tersebut diikuti dengan meningkatnya

perolehan laba BPR, tercermin pada laba tahun

berjalan BPR yang mengalami peningkatan 170,3%

dibanding sebelumnya dari Rp223,0 miliar menjadi

Rp294,0 miliar.

LEMBAGA KEUANGAN LAINNYA

Seiring dengan membaiknya kinerja perbankan

selama 2002, kinerja lembaga keuangan bukan bank

seperti perusahaan pembiayaan dan Perum Pegadaian

juga mengalami peningkatan, baik dilihat dari total

aset, nilai kegiatan usaha maupun laba yang diperoleh.

Tabel 8.11Perkembangan Kinerja Perusahaan Pembiayaan

0,4

8,1

7,9

-9,1

0,4

37,2

25,0

111,5

-5,7

-2,6

-10,1

124,2

12,7

-

20021)

Keterangan

Jumlah Perusahaan2)

Total Aset

Nilai Kegiatan Usaha

Sewa guna usaha

Pembiayaan anjak piutang

Pembiayaan kartu kredit

Pembiayaan konsumen

Lainnya

Pinjaman yang Diterima3)

Dalam negeri

Luar negeri

Obligasi

Modal Disetor

Laba (Rugi) Tahun Berjalan

0,4

4,4

4,9

2,9

-

50,0

97,3

45,2

47,4

-0,5

4,5

-7,0

-11,2

11,4

2001r

247

40,4

33,3

12,8

3,3

1,1

15,4

0,6

29,4

17,9

11,5

1,7

7,6

1,5

20021)

246

37,3

30,8

14,1

3,3

0,8

12,4

0,3

31,1

18,4

12,8

0,7

6,8

(0,1)

2001r

245

35,8

29,4

13,7

6,6

0,4

8,5

0,2

31,3

17,6

13,7

0,8

6,1

(2,6)

2000

Posisi(Triliun Rp)

Pertumbuhan(%)

1) Posisi sampai November 20022) Satuan3) Termasuk pinjaman subordinasi

Tabel 8.12Perkembangan Sumber dan

Penggunaan Dana Perusahaan Pembiayaan

8,1-7,5-2,9

-16,8-1,8-1,4-2,1

124,2551,1

12,1

8,17,96,92,7

11,4

20021)

Keterangan

AKTIVA (Sumber Dana)Pinjaman bank

- Dalam negeri- Luar negeri

Pinjaman lainnya2)

- Dalam negeri- Luar negeri

ObligasiModal3)

Lain-lainPASIVA(Penggunaan Dana)

PembiayaanSimpanan pada bankPenyertaanLain-lain

4,412,025,6-8,2

-19,6-33,5-5,5

-11,2-73,9

4,1

4,44,9

-20,3-19,235,7

2001r

40,4 19,6 13,8 5,8 9,8 4,1 5,7 1,7 2,6 6,7

40,4 33,3 3,2 0,1 3,8

20021)

37,3 21,1 14,2 7,0 10,0 4,2 5,8 0,7 (0,6) 6,0

37,3 30,8 3,0 0,1 3,4

2001r

35,8 18,9 11,3 7,6 12,4 6,3 6,2 0,8 (2,2) 5,8

35,829,43,70,12,5

2000

Posisi(Triliun Rp)

Pertumbuhan(%)

1) Posisi sampai November 20022) Termasuk pinjaman subordinasi3) Modal bersih setelah ditambah/dikurangi laba/rugi tahun berjalan dan tahun sebelumnya serta ditambah dengan laba ditahan dan cadangan

167

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

Secara tidak langsung, peningkatan kinerja

perusahaan pembiayaan dan Perum Pegadaian

tersebut didorong oleh perbankan. Hal ini terlihat dari

meningkatnya sumber pendanaan perusahaan

pembiayaan dan perum pegadaian yang bersumber

dari perbankan. Di sisi lain, masih belum optimalnya

fungsi intermediasi perbankan telah membuka peluang

kepada perusahaan pembiayaan dan Perum Pegadaian

menjadi alternatif sumber pendanaan, khususnya bagi

masyarakat dan pengusaha golongan kecil dan

menengah, sehingga peranannya mengalami

peningkatan.

Perusahaan Pembiayaan

Secara umum kinerja perusahaan pembiayaan

selama 2002 menunjukkan perkembangan yang terus

membaik. Peningkatan kinerja tersebut tercermin dari

meningkatnya total aset, nilai kegiatan usaha dan

perolehan laba tahun berjalan. Sampai dengan No-

vember 2002, total aset perusahaan pembiayaan

mengalami peningkatan sebesar 8,1% dibanding

dengan tahun sebelumnya, dari Rp37,3 triliun menjadi

Rp40,4 triliun. Sementara nilai kegiatan usahanya

(pembiayaan) meningkat sebesar 7,9% dari Rp30,8

triliun menjadi Rp33,3 triliun. Perkembangan lain yang

cukup menggembirakan adalah perolehan laba tahun

berjalan sebesar Rp1,5 triliun, setelah beberapa tahun

sebelumnya selalu mengalami kerugian (Tabel 8.11).

Pada tahun laporan, perkembangan kegiatan

usaha perusahaan pembiayaan mengalami sedikit

perubahan. Jika pada periode-periode sebelumnya

kegiatan sewa guna usaha selalu mendominasi, maka

pada tahun laporan bergeser menjadi pembiayaan

konsumen yaitu sebesar Rp15,4 triliun (46,4%).

Sementara kegiatan sewa guna usaha sebesar Rp12,8

triliun (38,6%), pembiayaan anjak piutang Rp3,3

triliun (9,9%) dan pembiayaan kartu kredit Rp1,1

triliun (3,3%). Jika dibandingkan dengan posisi tahun

sebelumnya, hanya jenis kegiatan sewa guna usaha

yang mengalami penurunan yaitu sebesar 9,1%,

sementara kegiatan lainnya mengalami peningkatan.

Tabel 8.13Rincian Pembiayaan Menurut Sektor Ekonomi

Pertanian Pertambangan Perindustrian Listrik, Air, dan Gas Konstruksi Perdagangan Pengangkutan Jasa Dunia Usaha Jasa Sosial Lain-Lain Jumlah

Nilai Pembiayaan(Triliun Rp)

Pertumbuhan(%)

-26,657,1

-17,4-50,4-13,2

7,99,6

-1,272,120,27,9

Keterangan

-20,923,3-2,5

-34,7-0,3

-14,72,5

16,311,020,54,9

1,3 2,015,2 0,2 5,2

14,2 7,9 2,8 3,3

48,0100,0

1,9 1,4

19,8 0,4 6,4

14,2 7,8 3,0 2,1

43,1 100,0

0,4 0,7 5,0 0,1 1,7 4,7 2,6 0,9 1,1

16,0 33,3

0,6 0,4 6,1 0,1 2,0 4,4 2,4 0,9 0,6 13,3 30,8

Porsi(%)

2001r 20021) 2001r 20021) 2001r

0,7 0,3 6,3 0,2 2,0 5,1 2,3 0,8 0,6 11,0 29,4

2000 20021)

1) Sampai November 2002

168

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

Peningkatan terbesar terjadi pada kegiatan

pembiayaan kartu kredit dan pembiayaan konsumen

yaitu masing-masing meningkat sebesar 37,2% dan

25,0%. Hal ini sejalan dengan perkembangan

konsumsi domestik yang mengalami peningkatan

dibanding dengan tahun sebelumnya dan masih

menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi

(Tabel 8.11).

Sampai dengan November 2002, sumber dana

yang berhasil dihimpun perusahaan pembiayaan

meningkat sebesar Rp3,0 triliun atau naik 8,1%

dibandingkan posisi akhir tahun sebelumnya.

Peningkatan sumber dana tersebut berasal dari

obligasi, setoran modal dan perolehan laba tahun

berjalan. Sementara itu, pinjaman yang diterima baik

dari dalam negeri maupun luar negeri mengalami

penurunan masing-masing sebesar 2,6% dan 10,1%.

Sumber utama pendanaan perusahaan pembiayaan

pada tahun laporan masih berasal dari pinjaman bank

dalam negeri yakni sebesar 34,2%, sementara

pinjaman bank luar negeri sebesar 14,3%. Untuk

pinjaman selain bank sebesar 24,3%, yang bersumber

dari dalam negeri sebesar 10,2% dan luar negeri

sebesar 14,1% (Tabel 8.12).

Dari sisi penggunaan dana, komposisinya juga

tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan

tahun sebelumnya. Sebagian besar dana perusahaan

pembiayaan disalurkan dalam bentuk pembiayaan

kegiatan usaha, yaitu sebesar Rp33,3 triliun atau

82,4% dari total dana yang dimiliki (Tabel 8.12).

Seiring dengan membaiknya perekonomian, aktivitas

pembiayaan yang dilakukan perusahaan pembiayaan

pada tahun laporan mengalami pertumbuhan yang lebih

tinggi dibanding tahun sebelumnya yaitu dari 4,9%

pada 2001 menjadi 7,9% sampai November 2002.

Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan

penerimaan perusahaan pembiayaan, sehingga pada

tahun laporan berhasil mencatat laba sebesar Rp1,5

triliun setelah beberapa tahun sebelumnya selalu

mengalami kerugian. Dampak dari perolehan laba

tahun berjalan ditambah dengan peningkatan setoran

modal menyebabkan modal bersih perusahaan

Grafik 8.10Perkembangan Kinerja Perum Pegadaian

Pembiayaan :- Sewa guna

usaha

- Anjak piutang

- Kartu kredit

- Pembiayaan

konsumen

Surat Berhargayang DimilikiPenyertaan

Total Aktiva

Produktif

M

13,614,6

63,1

2,4

1,4

13,10,1

13,6

Aktiva Produktif DLMDLMDL

(Persen)

20021)2000 2001r

4,26,6

6,3

3,6

1,5

3,63,0

4,2

82,2 78,8

30,6

94,0

97,2

83,3 96,9

82,2

16,7 15,7

64,7

22,0

2,1

8,6 6,8

16,3

5,3 7,8

6,4

2,3

1,7

6,1 0,2

5,3

78,0 76,5

28,9

75,7

96,3

85,3 93,1

78,4

22,8 18,6

53,1

31,7

3,7

11,7 2,3

22,3

7,4 12,4

4,2

1,5

1,6

0,2 -

7,1

69,7 69,0

42,7

66,8

94,7

88,0 97,7

70,6L = Lancar, D = Diragukan, M = Macet1) Sampai November 2002

Tabel 8.14Perkembangan Kualitas Aktiva Produktif Perusahaan Pembiayaan

169

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

pembiayaan pada tahun laporan menjadi positif

sebesar Rp2,6 triliun.

Penyaluran dana perusahaan pembiayaan pada

tahun laporan masih bertumpu pada sektor

perindustrian dan perdagangan yang masing-masing

memperoleh pembiayaan sebesar Rp5,0 triliun (15,2%)

dan Rp4,7 triliun (14,2%). Untuk sektor perindustrian,

jumlah penyaluran pada tahun laporan mengalami

penurunan dibandingkan selama 2001 yang mencapai

Rp6,1 triliun. Sementara sektor lain yang memperoleh

pembiayaan cukup signifikan adalah sektor

pengangkutan sebesar Rp2,6 triliun dan sektor

konstruksi sebesar Rp1,7 triliun (Tabel 8.13).

Dilihat dari kolektibilitasnya, kualitas aktiva

produktif perusahaan pembiayaan yang terdiri dari

kegiatan pembiayaan (sewa guna usaha, anjak

piutang, kartu kredit dan pembiayaan konsumen),

surat berharga yang dimiliki dan penyertaan

menunjukkan perkembangan yang membaik

dibanding dengan tahun sebelumnya. Kualitas aktiva

produktif dalam kategori lancar meningkat dari 78,4%

menjadi 82,2%. Sementara pangsa aktiva produktif

yang bermasalah, yaitu kategori diragukan dan macet,

juga mengalami perbaikan. Untuk kategori diragukan

turun dari 5,3% menjadi 4,2% dan kategori macet turun

dari 16,3% menjadi 13,6%. Jika dirinci menurut jenis

pembiayaannya, kegiatan anjak piutang memiliki

kualitas aktiva yang terburuk yaitu dengan pangsa

kategori macet mencapai 63,1%. Sedangkan kualitas

aktiva produktif yang terbaik dimiliki oleh pembiayaan

konsumen dengan porsi kredit macet hanya sebesar

1,4% (Tabel 8.14).

Perum Pegadaian

Kinerja Perum Pegadaian selama 2002 juga

menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun

sebelumnya, sebagaimana tercermin dari peningkatan

total aset, pinjaman yang diberikan, pendapatan

usaha dan perolehan laba tahun berjalan. Total aset

Perum Pegadaian mengalami peningkatan sebesar

31,2%, pinjaman yang diberikan meningkat 31,0%,

pendapatan usaha meningkat 40,5% dan laba tahun

berjalan meningkat 8,2% dibandingkan dengan tahun

sebelumnya. Peningkatan kinerja tersebut didukung

oleh ekspansi jaringan pelayanan dengan mendirikan

kantor cabang baru dan program diversifikasi produk

(Grafik 8.10).

Terus meningkatnya permintaan masyarakat

akan layanan Perum Pegadaian yang terlihat dari

trend peningkatan nasabah,

Tabel 8.15Perkembangan Kinerja Perum Pegadaian

Jumlah Kantor Cabang2)

Omzet

Pendapatan Usaha

- Sewa Modal

- Jasa Taksiran

- Jasa Titipan

- Penyimpanan & Asuransi

- Lainnya

Posisi Pasiva

- Kewajiban Jangka Pendek

a. Hutang Bank

b. Hutang Promes

c. Obligasi Jatuh Tempo

d. Lainnya

- Obligasi

- Kewajiban Jangka Panjang

- Ekuitas

Laba (Rugi) Tahun Berjalan

Jumlah Nasabah3)

1) Berdasarkan laporan operasional Desember 2002 2)Satuan/unit3) Orang

Rincian

737

7.823.704

776.203

699.094

42

28

71.827

5.212

898.737

600.858

105.000

64.600

128.279

873.060

95.000

486.320

87.505

17.490.235

706

5.970.310

552.358

500.562

27

18

47.033

4.718

480.568

252.363

50.000

99.750

78.455

636.672

200.000

475.614

80.851

15.692.229

659

4.230.778

377.162

341.936

16

11 31.270

3.929

454.176

157.631

50.000

199.710

46.835

439.486

105.000

415.256

46.838

12.982.306

649

3.229.280

449.087

417.370

16

10

25.319

6.372

243.612

120.067

60.272

-

63.272

389.556

100.000

409.553

61.755

12.427.554

1999 2000 2001r 20021)

(Juta Rp)

170

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

mendorong Perum Pegadaian untuk menambah

kantor cabang. Selama 2002, Perum Pegadaian

berhasil menambah 31 kantor cabang baru diseluruh

Indonesia, sehingga jumlah kantor cabangnya

meningkat menjadi 737 kantor cabang pada akhir

tahun laporan. Perluasan jaringan kantor tersebut

mendorong peningkataan jumlah nasabah yang

berhasil dilayani sebesar 11,5% menjadi sebanyak

17,5 juta nasabah. Dilihat dari komposisinya,

sebagian besar nasabah Perum Pegadaian adalah

pedagang dengan pangsa sebesar 23,2%, disusul

petani sebesar 21,6%, karyawan 15,5% dan nelayan

5,8% (Tabel 8.15).

Sementara untuk mengantisipasi maraknya

persaingan dalam bisnis gadai, Perum Pegadaian

selama tahun laporan berhasil meluncurkan dua

produk unggulan, yaitu gadai gabah dan gadai

syariah. Peluncuran program gadai gabah ini

merupakan terobosan Perum Pegadaian untuk

memberikan manfaat bagi petani dan menghindarkan

petani dari jeratan pengijon. Dalam pelaksanaannya,

perum pegadaian bekerja sama dengan agen maupun

KUD sebagai pelaksana. Sementara peluncuran

produk gadai syariah bertujuan untuk memberikan

pelayanan kepada nasabah yang membutuhkan

pinjaman yang bebas dari unsur riba. Produk gadai

syariah ini diprakirakan akan cepat berkembang dan

memberikan kontribusi yang cukup besar, mengingat

mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam dan

makin maraknya bisnis yang menggunakan sistem

syariah.

Penambahan kantor cabang dan diversifikasi

produk tersebut berhasil meningkatkan omzet

kegiatan usaha (pinjaman yang diberikan) oleh Perum

Pegadaian. Selama 2002, Perum Pegadaian berhasil

memberikan pinjaman kepada masyarakat sebesar

Rp7,8 triliun atau meningkat 31,0% dibandingkan

2001. Peningkatan jumlah pinjaman yang diberikan

tersebut berdampak pada peningkatan pendapatan

usaha secara signifikan sehingga mencapai menjadi

Rp77,2 miliar atau meningkat 40,5%. Kontribusi

peningkatan pendapatan usaha tersebut tetap

diberikan oleh kegiatan utamanya yaitu sewa modal

yang mencapai 90,1%. Kegiatan usaha lainnya yang

memberikan kontribusi cukup besar adalah

penyimpanan dan asuransi sebesar 9,3%. Peningkatan

pendapatan usaha dan berbagai upaya efisiensi yang

dilakukan Perum Pegadaian berhasil meningkatkan

perolehan laba tahun berjalan. Selama tahun 2002,

Perum Pegadaian memperoleh laba sebesar Rp87,5

miliar atau meningkat sebesar Rp6,7 miliar (8,2%)

dibandingkan perolehan laba 2001 (Tabel 8.15).

Dari sisi sumber dana, sebagian besar berasal

dari penerbitan obligasi, yaitu sebesar Rp873,1 miliar

atau 37,1% dari total dana yang dimiliki. Jumlah

tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp236,4

miliar atau 37,1% dari posisi tahun sebelumnya.

Berdasarkan berbagai indikator kinerja Perum

Pegadaian yang mengalami peningkatan, pada tahun

laporan Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo)

memberikan peringkat A+ (stable outlook) untuk

obligasi yang diterbitkan oleh Perum Pegadaian.

Sementara pinjaman dana dari bank sebesar Rp600,9

miliar atau 25,5% dari total dana. Jumlah tersebut

juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan

dibanding tahun sebelumnya yang hanya sebesar

Rp252,4 miliar. Sumber dana lainnya adalah modal

sendiri sebesar 20,7%, pinjaman jangka pendek selain

bank 12,7% dan pinjaman jangka panjang 4%.

171

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

bo

ks

Master Plan Peningkatan Efektivitas Pengawasan Bank

Berkembangnya produk dan permasalahan

perbankan mengisyaratkan perlunya terus

dilakukan upaya penyempurnaan ketentuan dan

prosedur pengawasan sehingga dapat diwujudkan

suatu format pengawasan bank yang efektif yang

selaras dengan standar internasional. Untuk tujuan

ini, Basel Committe pada September 1997 telah

mengeluarkan dokumen “25 Basel Core Principles

for Effective Banking Supervision” yang pada

dasarnya memuat prinsip-prinsip pokok yang dapat

dijadikan pedoman dalam rangka meningkatkan

stabilitas keuangan baik domestik maupun

internasional.

Dalam rangka restrukturisasi perbankan,

Bank Indonesia (BI) telah mengakomodasi upaya

di atas dengan melakukan penilaian sendiri (self

assessment) tingkat kepatuhannya terhadap

prinsip-prinsip pokok (Core Principles/CP)

tersebut. Agar lebih objektif, BI telah pula meminta

asistensi IMF untuk melakukan penilaian yang

sama. Sinergi dari hasil penilaian tersebut

diharapkan dapat membantu penetapan urutan

prioritas dan arahan dalam penyediaan asistensi

IMF untuk penyempurnaan ketentuan dan prosedur

pengawasan bank lebih lanjut. Penilaian oleh IMF

yang diselesaikan pada bulan September 2002

menunjukkan pemenuhan (fully compliant) BI

terhadap 2 CP yaitu CP.1 “preconditions for effec-

tive banking supervision” dan CP. 2 “permissible

activities”. Sementara itu, prinsip-prinsip pokok

lainnya masih tersebar pada kategori largely com-

pliance, materially non compliance dan non-com-

pliant. Hasil penilaian ini mencerminkan pula

perlunya peningkatan efektivitas pelaksanaan

beberapa ketentuan perbankan BI. Apalagi

beberapa prakondisi untuk pengawasan bank yang

efektif berupa (i) kebijakan ekonomi makro yang

sehat dan sustainable; (ii) tersedianya

infrastruktur; (iii) disiplin pasar yang efektif; (iv)

adanya prosedur penyelesaian masalah bank yang

efisien; dan (v) mekanisme perlindungan terhadap

risiko sistemik atau jaring pengaman sosial (fi-

nancial safety net) belum seluruhnya dapat

dikontrol oleh BI.

Untuk meningkatkan kualitas pemenuhannya,

BI telah menyusun suatu master plan Peningkatan

Effektivitas Pengawasan Bank yang memuat upaya-

upaya penyempurnaan ketentuan dan pengawasan

bank terhadap prinsip-prinsip pokok yang berada

diluar kategori fully compliance. Pelaksanaan

master plan ini dilakukan secara terintegrasi

dengan interval monitoring secara triwulanan.

Sampai dengan akhir 2002, realisasi pelaksanaan

master plan ini telah meningkatkan kualitas

pemenuhan atas dokumen Basel. Proses ini terus

berlanjut dan pada waktunya diharapkan dapat

dilakukan penilaian ulang secara independen agar

dapat diketahui kualitas pengawasan bank yang

dilakukan oleh BI.

172

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

Fully Compliance 2 2 CP. 1; CP. 2Largely Compliance 5 10 CP. 3; CP. 5; CP. 6; CP. 14; CP. 15; CP. 18;

CP. 21; CP. 22; CP. 24; CP. 25Materially Non Compliance 16 12 CP. 4; CP. 7; CP. 8; CP. 9; CP. 10; CP. 12;

CP. 13; CP. 16; CP. 17; CP. 19; CP. 20; CP. 23;

Non Compliance 2 1 CP. 11

Tingkat PemenuhanPenilaian

Realisasi Pelaksanaan Master Plan

Keterangan(September 2000) 2002

173

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

Makassar Meeting dan Upaya Pengembangan UKM

bo

ks

Latar Belakang

Kondisi geografis wilayah Republik Indone-

sia yang sangat luas dengan struktur penduduk

dan sosial masyarakat yang heterogen telah

mendorong timbulnya perbedaan dalam proses

dan hasil pembangunan selama ini khususnya

antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan

Timur Indonesia (KTI). Dilain pihak, pemerataan

pembangunan merupakan topik yang selalu

menjadi pembicaraan strategis dalam agenda

pembangunan pemerintah.

Salah satu tindakan untuk mengatasi

permasalahan tersebut, pemerintah melalui Menko

Perekonomian dan Menteri Negara Percepatan

Pembangunan KTI telah berkoordinasi dengan Bank

Indonesia (BI) untuk memprakarsai pertemuan

dialogis dengan pihak terkait sebagai upaya untuk

mempercepat laju pembangunan dan pemulihan

ekonomi di KTI. Pihak yang terlibat dalam

pertemuan yang diselenggarakan pada 8 – 10 Sep-

tember 2002 tersebut adalah pemerintah pusat,

pemerintah daerah, perbankan, pelaku usaha dan

tokoh-tokoh masyarakat.

Tujuan diselenggarakannya pertemuan

tersebut adalah untuk mencari masukan

perumusan langkah-langkah konkrit pembangunan

KTI melalui peningkatan investasi dan

pengembangan sektor riil di kawasan tersebut.

Secara rinci tujuan tersebut dijabarkan dalam

beberapa agenda pertemuan, antara lain :

a. Menerima laporan kinerja dan masalah yang

dihadapi perbankan dalam memberikan

dukungan bagi percepatan pembangunan dan

pemulihan ekonomi di KTI serta menampung

masukan dan usulan pemecahan

permasalahan tersebut.

b. Membahas berbagai kemungkinan kebijakan

yang dapat diambil oleh pemerintah untuk

mempercepat pembangunan ekonomi.

c. Mempertemukan berbagai kepentingan,

sehingga diharapkan dapat dihasilkan pola

kemitraan yang sinergis dan iklim ekonomi

yang kondusif bagi perbaikan sektor riil serta

peningkatan investasi.

Hasil kesepakatan Makassar

Kesepakatan dari temu dialog tersebut

dirumuskan dalam tiga Bidang, dengan beberapa

kesimpulan antara lain :

a. Bidang sumber daya alam, meliputi sektor

pertanian, perkebunan, perikanan, kelautan,

kehutanan, pertambangan dan energi, serta

lingkungan hidup. Dengan rincian

kesepakatan antara lain :

- Mengatur pemanfaatan tata ruang pertanian

dengan kehutanan pusat/ daerah,

meningkatkan kerja sama Pemda – pengusaha

- perbankan untuk pengembangan komoditi

unggulan, menurunkan bea impor produk

pendukung sarana dan prasarana pertanian,

174

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

dan memperluas kewenangan perizinan Pemda

untuk pemanfaatan hasil hutan.

- Memberdayakan masyarakat nelayan

pesisir, memberikan kewenangan

perizinan dan pengawasan laut dalam

eksploitasi hasil laut yang lebih luas

kepada Pemda.

- Menyelesaikan tumpang tindih kawasan

kehutanan, pertambangan dan

membangun energi listrik pedesaan, dan

melestarikan penanggulangan

pencemaran lingkungan, dan pembiayaan

pencegahan pencemaran industri.

b. Bidang infrastuktur, meliputi sektor

perhubungan darat, perhubungan laut, dan

perhubungan udara, dengan kesepakatan

antara lain :

· Meningkatkan kapasitas dan kualitas

jalan pendukung jalan produksi,

menyusun rencana induk perkereta-

apian di Kalimantan, Sulawesi, Maluku

dan Papua, dan mengembangkan

pelabuhan dengan pola kemitraan.

· Mengalihkan pusat distribusi

penerbangan ke KTI, membuka bandara-

bandara perintis baru dan mendorong

pendirian perusahaan penerbangan lokal.

c. Bidang tenaga kerja dan keuangan, meliputi

sektor tenaga kerja, keuangan dan

perbankan, dan koperasi. Rumusan yang

disepakati, antara lain :

· Memberdayakan eks TKI dengan

memanfaatkan lahan perkebunan,

meningkatkan fungsi BLK, membentuk

kelembagaan sertifikasi pergudangan

untuk produk ekspor serta mendirikan

pusat-pusat informasi pasar yang

terintegrasi ke dalam website BI.

· Meningkatkan fungsi intermediasi

perbankan, meningkatkan akses

pembiayaan untuk UKM, memperluas pola

kemitraan inti plasma, meningkatkan

infrastruktur pendukung UKM dengan

memperluas jaringan kantor bank

terutama BPR, meningkatkan penyediaan

outlet khusus UKM, mendirikan lembaga

penjaminan kredit UKM dan

mengembangkan konsultan dengan

memanfaatkan UKM center yang telah

ada.

· Memberikan bantuan teknis, manajemen

atau penyaluran dana kepada BPR dan

membuat peraturan yang memudahkan

pembentukan BPR dan BPRS di daerah-

daerah serta melakukan sharing untuk

pembinaan BPR dengan BI dan bank

umum.

· Memberikan perlakuan khusus atas

pengenaan pajak deposito kepada para

nasabah BPR, serta melakukan pengawasan

terhadap penerapan Keputusan Presiden

No.56/2002 tentang restrukturisasi hutang

UKM dan Keputusan Menteri Keuangan

No.300/2002 untuk pelaksanaannya.

· Melakukan rescheduling usaha-usaha yang

potensial berdasarkan kelayakannya serta

175

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

menghapus peraturan yang tumpang tindih yang

memberatkan pelaku usaha serta seluruh

pungutan liar yang menyebabkan biaya tinggi.

Beberapa Program yang telah ditempuh Bank

Indonesia

Bagi Bank Indonesia, pertemuan dialogis

Makassar ini merupakan upaya sosialisasi

kesepakatan bersama (MoU) pada 22 April 2002

antara Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat

dan Gubernur BI tentang program penanggulangan

kemiskinan melalui pemberdayaan dan

pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah

(UKM). Beberapa kegiatan yang telah disepakati

dilakukan oleh BI dalam MoU tersebut meliputi :

a. Mendorong bank umum dan BPR untuk

meningkatkan penyaluran kredit kepada UKM

dalam rangka penanggulangan kemiskinan

sesuai dengan business plan masing-masing

bank dengan tetap memperhatikan prinsip

kehati-hatian.

b. Melakukan pemantauan dan evaluasi penyaluran

kredit kepada UKM setiap 3 (tiga) bulan.

c. Menyediakan informasi sektor, subsektor

unggulan untuk pengembangan usaha kecil

melalui Sistem Informasi Terpadu

Pengembangan Usaha Kecil (SIPUK) dengan

alamat http://www.bi.go.id.

d. Melakukan berbagai penelitian antara lain

penelitian Potensi Dasar Ekonomi Daerah/BLS

(Baseline Economic Survey) dan penelitian

komoditi yang layak dibiayai oleh bank (lend-

ing model) untuk pengembangan usaha kecil.

e. Memberikan pelatihan kepada pegawai/

petugas di bank umum dan BPR mengenai

pembiayaan kepada UKM.

f. Memberikan landasan hukum yang memadai

kepada bank umum dan BPR dalam

mendorong penyaluran kredit kepada usaha

mikro, kecil dan menengah, dengan tetap

memperhatikan prinsip kehati-hatian dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

g. Memperkuat infrastruktur kelembagaan

perbankan dalam penyaluran kredit UKM.

Disamping hal-hal diatas, untuk

menindaklanjuti pertemuan tersebut, BI juga telah

melakukan beberapa upaya sejalan dengan pro-

gram BI dalam penanggulangan kemiskinan melalui

pemberdayaan dan pengembangan UKM.

Dalam rangka meningkatkan infrastruktur

pendukung UKM, maka perluasan jaringan kantor

bank khususnya BPR sangat diperlukan. Untuk itu,

BI telah melakukan sosialisasi mengenai ketentuan

baru tentang BPR di beberapa Kantor Bank Indo-

nesia. Disamping itu, untuk mempercepat proses

pendirian BPR, wewenang proses perizinan yang

sebelumnya menjadi kewenangan Kantor Pusat

sudah dilimpahkan ke Kantor Bank Indonesia (KBI).

Selanjutnya untuk mendorong peningkatan

minat perbankan dalam menyalurkan kredit kepada

pengusaha kecil, Bank Indonesia telah menerbitkan

peraturan baru dengan meningkatkan plafond

Kredit Usaha Kecil (KUK) yang mendapatkan

perlakuan khusus dari Rp350 juta menjadi Rp500

juta dan untuk daerah tertentu sebesar Rp1 miliar

(Propinsi Aceh, Propinsi Maluku, Kabupaten

176

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

Sambas-Kalimantan Barat, Kabupaten

Kotawaringin Timur-Kalimantan Tengah, dan

Kabupaten Poso-Sulawesi Tengah). Perlakuan

khusus dalam hal ini, adalah perhitungan kualitas

aktiva produktif tidak lagi didasarkan atas 3 faktor

yaitu prospek usaha, kondisi keuangan dan

kemampuan membayar debitur, namun didasarkan

hanya pada faktor kemampuan membayar debitur.

Selain itu, BI memberikan bantuan dalam

bentuk pemberian sistem informasi seperti SIPUK,

SIABE, dan SPKUI melalui website http://

www.bi.go.id.

Dalam upaya mendorong sektor riil, BI telah

memprakarsai pertemuan langsung pejabat-

pejabat bank yang menangani kredit dengan para

pengusaha kecil, seperti yang telah dilakukan di

KBI Makassar dan Bandung.

Hasil yang dicapai

Terlepas dari dialog Makassar yang dilakukan

baru-baru ini, upaya-upaya yang telah dilakukan

untuk mengembangkan KTI selama ini tampaknya

mulai menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Hal ini tercermin dari perkembangan beberapa

indikator perbankan di KTI.

Penghimpunan DPK oleh perbankan di

wilayah KTI sampai Juni 2002 adalah sebesar

Rp59 tril iun atau meningkat 3,0% bila

dibandingkan posisi akhir 2001. Sementara itu,

jumlah kredit di wilayah KTI mencapai sekitar

Rp27 triliun, meningkat 8% bila dibanding posisi

Akhir 2001. Apabila dilihat dari perbandingan

antara dana yang dihimpun dan kredit yang

disalurkan perbankan di wilayah KTI, ternyata

LDR untuk KTI 44,83% atau lebih tinggi

dibandingkan dengan Kawasan Barat Indonesia

dan secara nasional yang masing-masing sebesar

38,5% dan 39,4%.

Khusus mengenai perkembangan UKM, dapat

dikemukakan bahwa sampai dengan September

2002, jumlah UKM yang disalurkan menunjukkan

177

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

Sebagai bagian dar i restruktur isas i

perbankan dan pemulihan ekonomi nasional

khususnya untuk meringankan beban APBN,

BPPN melakukan Program Penjualan Aset Kredit

(PPAK).

Untuk mendukung program tersebut, pada

27 September 2002 Bank Indones ia (BI)

mengeluarkan PBI No. 4/7/PBI/2002 tentang

Prinsip Kehati-hatian Dalam Rangka Pembelian

Kredit oleh Bank dari Badan Penyehatan

Perbankan Nasional (BPPN). Ketentuan ini

memberikan insent i f bagi bank untuk

melakukan pembelian kredit dari BPPN dengan

tetap dalam kerangka prinsip kehati-hatian.

Dengan ketentuan ini diharapkan bank dapat

berpartisipasi aktif dalam upaya pemulihan

ekonomi namun dengan risiko yang terkendali

sehingga tidak mengganggu kinerja bank baik

saat ini maupun di masa yang akan datang.

Dari aspek penilaian dan transparansi, PBI juga

mencakup serangkaian standar akuntansi dan

pengungkapan, termasuk pengumuman dalam

laporan publikasi dan laporan tahunan.

Salah satu insentif yang diberikan dalam

PBI No. 4/7/PBI/2002 adalah penetapan

kualitas lancar dalam jangka waktu 1 tahun

bagi kredit-kredit yang dibeli dari BPPN.

Sedangkan penilaian kualitas selanjutnya

didasarkan pada anal i s i s arus kas dan

ketepatan pembayaran debitur. Penetapan

kualitas lancar merupakan insentif yang cukup

signifikan mengingat kredit seharusnya dinilai

berdasarkan prospek usaha, kondisi keuangan

dan kemampuan membayar debitur. Pemberian

insent i f in i d i lakukan dengan

mempertimbangkan bahwa penjualan aset

telah di lakukan melalui mekanisme yang

terbuka dan dengan pemberian discount yang

cukup besar sehingga kredit telah dibeli

sebesar nilai wajarnya yaitu sebesar nilai yang

diprakirakan dapat tertagih (sustainable

loan ) . Dengan pemberian insent i f

tersebut,PPAK yang wajib dibentuk bank hanya

sebesar 1,0% dari nilai buku kredit sehingga

tidak mengganggu tingkat permodalan bank.

Sela in insent i f , terdapat beberapa

batasan yang diberikan dalam PBI. Salah

satunya adalah batasan pembelian kredit dari

BPPN sebesar maksimum 50% dari modal inti

bank. Penetapan batasan ini dilakukan dengan

beberapa tujuan, yaitu agar transfer aset

tidak terkonsentrasi pada satu bank tertentu

(concentration risk), menciptakan fair market

value dari kredit yang dijual dan mendorong

bank untuk tetap berkonsentrasi pada kredit

baru sehingga fungsi intermediasi perbankan

dapat terlaksana sepenuhnya.

Angka 50,0% ditetapkan berdasarkan kajian

dan analisa terhadap kondisi perbankan serta

kemampuan untuk menyerap kredit yang

Pembatasan Pembelian Kredit oleh Bank dariBadan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)b

ok

s

178

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

179

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

Pengaturan Risiko Pasar (Market Risk) dalamKewajiban Penyediaan Modal Minimum Bankb

ok

s

Latar belakang

Sampai dengan saat ini perhitungan

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)

bank di Indonesia secara substansial masih

berdasarkan dokumen Basel Capital Accord (CA)

yang diterbitkan pada 1988. Sesuai dengan

dokumen ini, maka bank-bank diwajibkan

memelihara tingkat permodalan minimum sebesar

8,0% dari aktiva tertimbang menurut risiko

(ATMR). Seiring dengan perkembangan

kompleksitas transaksi perbankan, pendekatan ini

dipandang tidak tepat lagi karena masih

sepenuhnya mendasarkan pada antisipasi bank

terhadap risiko kredit (credit risk), sementara

operasional bank dalam prakteknya harus pula

menghadapi berbagai bentuk risiko lainnya antara

lain risiko pasar (market risk) dan risiko

operasional (operational risk).

Sejalan dengan pandangan di atas, sejak

Januari 1996 Basel Committee telah mengeluarkan

Amandemen CA yang memasukkan unsur risiko

pasar (market risk) dalam perhitungan modal

bank. Pengaturan ini mulai berlaku efektif sejak

akhir Desember 1997 di negara-negara industri

anggota G-10. Sementara itu, untuk Indonesia

pengaturan ini belum dapat diterapkan sehubungan

dengan berbagai permasalahan yang timbul akibat

krisis. Namun demikian, seiring dengan perbaikan

kinerja perbankan, aktivitas trading perbankan

yang terus meningkat dan semakin terintegrasinya

pasar keuangan domestik dengan pada keuangan

global, maka pengaturan mengenai risiko pasar

(market risk) dalam permodalan bank dipandang

sudah saatnya.

Sejak awal 2002, Bank Indonesia (BI) telah

melakukan kajian intensif tentang rencana

pengaturan ini termasuk melalui diskusi dengan

perbankan dan pihak terkait lainnya dengan

harapan pengaturan ini telah mulai dapat

diterapkan di awal 2004.

Materi ketentuan yang akan diatur

Lingkup risiko pasar yang diatur dalam

Amandemen CA 1996 pada dasarnya meliputi

risiko suku bunga (interest rate risk), risiko ekuitas

(equity risk), risiko komoditas (commodities risk),

risiko nilai tukar (foreign exchange risk) dan risiko

perubahan harga option (Option). Namun demikian

pengaturan perbankan saat ini menetapkan

pembatasan terhadap beberapa transaksi tertentu,

karena itu untuk sementara perbankan akan

diwajibkan menyediakan sejumlah tertentu modal

untuk melindungi dari risiko kerugian nilai tukar

maupun suku bunga. Berbeda dengan risiko suku

bunga yang akan dihitung terhadap posisi trading

book yang dimiliki bank, maka proses perhitungan

risiko nilai tukar akan dilakukan terhadap seluruh

portofolio bank (trading dan banking book).

Implikasi pengaturan terhadap modal bank

Dengan berlakunya ketentuan risiko pasar ini,

maka perhitungan tambahan modal (capital charge)

180

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

untuk risiko pasar akan dikalikan dengan angka

12,5 yang akan ditambahkan ke angka ATMR untuk

risiko kredit untuk memperoleh penyebut angka

ATMR total. Selanjutnya perhitungan rasio modal

minimum sebesar 8% akan dilakukan sebagaimana

yang telah berlaku saat ini. Disadari bahwa secara

teknis, dengan adanya tambahan ATMR di atas

berarti bank wajib menambah modal untuk tetap

dapat mempertahankan rasio modal minimumnya

sesuai dengan ketentuan. Dapat saja terjadi modal

minimum bank akan turun, namun hal inipun

bergantung pada jenis dan jangka waktu eksposur

yang dimiliki bank yang bersangkutan. Menyikapi

kebijakan ini, maka perbankan diharapkan mampu

mengelola dengan baik risiko pasar yang terkandung

pada seluruh eksposur baik yang terdapat pada bank-

ing maupun trading book.

Lingkup bank yang terkena

Dalam pengkajian, disadari pula bahwa tidak

semua bank melakukan aktivitas yang langsung

terekspos oleh risiko pasar sehingga berkembang

pemikiran bahwa penerapan ketentuan risiko pasar

ini tidak akan diberlakukan bagi seluruh bank,

namun hanya kepada bank-bank tertentu. Dalam

hal ini tentu perlu diterapkan kriteria-kritera

tertentu sebagaimana dilakukan oleh beberapa

negara yang telah lebih dahulu menerapkan

pengaturan ini. Berdasarkan hasil kajian,

pendekatan yang dapat diterima tampaknya akan

mendasarkan pada status sebagai bank devisa, total

aset yang relatif besar dan posisi trading yang

signifikan bagi bank devisa/nondevisa sebagai

kriteria yang dapat diterima.

Penerapan metode Standar BIS

Sesuai dokumen CA 1996, pada dasarnya

terdapat 2 metode dalam menghitung risiko pasar

yaitu metode standar BIS dan metode alternatif (in-

ternal model). Berbeda dengan metode alternatif

yang umumnya digunakan oleh bank-bank besar

yang telah memiliki unit dan proses manajemen

risiko yang baik, maka metode standar BIS lebih

sederhana. Melalui metode ini, bank dapat langsung

menghitung tambahan modal untuk risiko pasar

yang terdapat dalam portofolionya. Dengan

memperhatikan kondisi perbankan saat ini, BI

memilih untuk sementara menerapkan metode

standar BIS. Adapun metode internal dapat

digunakan oleh perbankan untuk kepentingan in-

ternal manajemen bank, sambil menunggu

pemenuhan berbagai faktor kuantitatif dan

kualitatif yang dipersyaratkan untuk kelancaran

penggunaan metode internal oleh bank.

Persiapan penerapan

Penerapan pengaturan risiko pasar ini disadari

merupakan kebijakan yang penting dalam

menentukan arah perkembangan perbankan ke

depan. Oleh karena itu, penerapannya dipandang

perlu dilakukan secara berhati-hati dengan

memperhatikan kesiapan perbankan. Untuk

mengakomodasi hal ini, diusulkan masa transisi

selama satu tahun yang akan memberikan

kesempatan bagi perbankan dalam melakukan

persiapan sebelum ketentuan dimaksud berlaku

efektif. Alokasi masa transisi ini juga dimaksudkan

untuk mempersiapkan kelancaran tugas pengawasan

BI dan peran dari lembaga lain yang terkait (lembaga

rating).

180

Sistem Pembayaran Nasional

Bab 9: Sistem Pembayaran Nasional

Sistem Pembayaran Nasional9BAB

l a p o r a nt a h u n a n

181

Sistem Pembayaran Nasional

9B A B

SISTEM PEMBAYARAN NASIONAL

Salah satu tugas pokok Bank Indonesia (BI) dalam

rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai

rupiah adalah mewujudkan sistem pembayaran

nasional yang efisien, cepat, aman dan handal yang

meliputi sistem pembayaran tunai dan nontunai. Untuk

mewujudkan hal tersebut, selama 2002 BI telah

menempuh berbagai kebijakan di bidang sistem

pembayaran. Di bidang sistem pembayaran tunai,

kebijakan yang diambil mencakup tiga aspek pokok

yaitu : pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap

uang kartal, menjaga kualitas uang layak edar dan

minimalisasi peredaran uang palsu. Di bidang sistem

pembayaran nontunai, kebijakan dititikberatkan pada

upaya penurunan risiko pembayaran antarbank dan

peningkatan efisiensi serta kualitas dan kapasitas

layanan sistem pembayaran.

Secara umum, aktivitas sistem pembayaran pada

tahun laporan mengalami peningkatan yang seirama

dengan peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap

alat pembayaran baik tunai maupun nontunai. Uang

Kartal yang Diedarkan (UYD) selama 2002 mengalami

pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 11,8%, lebih

rendah dibandingkan pertumbuhan tahunan rata-rata

tahun sebelumnya sebesar 19,9%. Sementara itu, seiring

dengan perluasan implementasi sistem BI–Real Time

Gross Settlement (BI-RTGS) dan penurunan batas

nominal (capping) nota kredit melalui transaksi kliring,

aktivitas pembayaran nontunai melalui sistem BI-

RTGS mengalami peningkatan, sedangkan transaksi

kliring menunjukkan penurunan. Di bidang transaksi

yang berbasis kartu, seperti kartu kredit, kartu debit,

dan penggunaan kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM)

mengalami peningkatan yang antara lain disebabkan

oleh makin meluasnya jaringan ATM dan meningkatnya

pembiayaan konsumen melalui kartu kredit.

KEBIJAKAN SISTEM PEMBAYARAN TAHUN 2002

Sistem Pembayaran Tunai

Dalam rangka pemenuhan kebutuhan

masyarakat terhadap uang kartal, kebijakan utama

diarahkan pada penyediaan uang yang layak edar

dalam jumlah cukup, baik dari segi nominal maupun

jenis pecahan, dan secara tepat waktu. Dari segi nomi-

nal, BI berupaya menyediakan kebutuhan uang kartal

di masyarakat yang cenderung meningkat terutama

menjelang perayaan hari besar keagamaan dan tahun

baru. Selanjutnya, untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat akan uang pecahan kecil telah

dikembangkan pilot project kerjasama dengan pihak

ketiga untuk pendistribusian uang pecahan kecil di

wilayah JABOTABEK (Boks : Penukaran Uang Pecahan

Kecil Melalui Pihak Ketiga). Melalui kegiatan ini,

masyarakat dapat menukarkan uang pecahan kecil

tanpa dipungut biaya melalui loket penukaran yang

Kebijakan sistem pembayaran nasional dititikberatkan pada penurunanresiko dan efisiensi serta pemenuhan uang kartal sesuai dengan kebutuhanriil masyarakat.

182

Sistem Pembayaran Nasional

disediakan oleh pihak ketiga dimaksud pada pusat-

pusat keramaian.

Di samping itu, untuk menyediakan uang kartal

dalam jumlah dan komposisi pecahan yang sesuai

dengan kebutuhan masyarakat, BI telah

menyempurnakan perhitungan rencana distribusi uang

(RDU). Penyempurnaan ini dilakukan dengan

menambahkan variabel-variabel yang lebih kompleks

dan relevan, antara lain faktor musiman, karakteristik

masing-masing daerah, penggunaan data historis dan

survei kebutuhan uang. Hasil RDU yang disempurnakan

tersebut diharapkan dapat menjadi acuan yang lebih

baik dalam menetapkan rencana cetak uang dan

pembelian bahan uang. Sejalan dengan itu, guna

memperlancar proses distribusi uang, BI juga berupaya

mengoptimalkan fungsi depot kas yang berada di

beberapa Kantor BI (KBI).

Selain itu, dalam rangka meningkatkan

pelayanan perkasan kepada masyarakat, BI telah

menerapkan Otomasi Administrasi Perkasan (OAP) dan

Sistem Informasi Pengedaran Uang (SIPU) sehingga

informasi kegiatan perkasan di BI dapat diperoleh secara

on-line.

Untuk mendapatkan bahan logam uang yang

secara intrinsik lebih rendah dari nilai nominalnya

tetapi memiliki masa edar yang relatif lama, pada 2002

mulai dilakukan kajian terhadap alternatif komposisi

kandungan bahan logam uang rupiah dan standarisasi

ukuran uang logam. Hasil dari kajian ini diharapkan

dapat menjadi dasar pertimbangan dalam penerbitan

uang logam di masa mendatang.

Berkenaan dengan pemalsuan uang rupiah, BI

telah mengambil langkah preventif maupun represif

untuk menanggulanginya. Langkah-langkah preventif

yang telah dilakukan adalah penyempurnaan desain

dan peningkatan serta penambahan unsur-unsur

pengaman untuk penerbitan emisi baru uang kertas

rupiah pecahan Rp50.000, Rp20.000 dan Rp10.000.

Di samping itu, telah pula dilakukan kajian

penggantian bahan uang pecahan Rp100.000 dari

bahan plastik-polymer menjadi bahan kertas uang.

Peningkatan unsur pengaman tersebut bertujuan

untuk memudahkan masyarakat sebagai first line of

defense, dalam mengenali keaslian uang rupiah secara

kasat mata dan kasat raba.

Langkah preventif lainnya adalah dengan

menyebarluaskan ciri-ciri keaslian uang rupiah dan

cara mudah mengenali uang rupiah melalui

penyebaran poster dan stiker, kegiatan penataran,

serta penayangan iklan layanan masyarakat di media

televisi bekerjasama dengan kepolisian RI. Upaya lain

yang telah dilakukan adalah dengan meningkatkan

koordinasi bersama unsur-unsur terkait yang

tergabung dalam Badan Koordinasi Pemberantasan

Uang Palsu (BOTASUPAL). Sementara itu, upaya

represif dilakukan melalui koordinasi dengan instansi

terkait dalam penangkapan dan pemrosesan ke

pengadilan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam

pemalsuan uang rupiah.

Sistem Pembayaran Nontunai

Dalam lingkup sistem pembayaran nontunai telah

dilakukan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk

menurunkan risiko pembayaran serta mengefisienkan

sistem pembayaran. Salah satu kebijakan yang

dilakukan adalah perluasan implementasi sistem BI-

RTGS. Selama 2002, sistem BI-RTGS sebagai sarana

penyelesaian akhir transaksi (settlement) secara real

time telah diimplementasikan di 15 KBI yaitu

183

Sistem Pembayaran Nasional

Banjarmasin, Makasar, Pontianak, Palangkaraya,

Jayapura, Ambon, Palu, Kendari, Bandar Lampung,

Bengkulu, Mataram, Kupang, Jambi, Banda Aceh dan

Palembang. Dengan demikian, sejak sistem ini mulai

diimplementasikan (November 2000) hingga akhir 2002

terdapat 27 KBI yang telah menggunakan sistem BI-

RTGS. Dengan makin meluasnya cakupan implementasi

sistem BI-RTGS, risiko yang terdapat pada sistem

pembayaran yaitu risiko kredit (credit risk) dan risiko

likuiditas (liquidity risk) dapat diminimalisasi.

Sedangkan untuk meminimalkan risiko kegagalan

pembayaran yang berasal dari penyelesaian transaksi

kliring antarbank, diatur suatu kebijakan penurunan

batas nominal (capping) nota kredit yang diproses

melalui kliring.1 Dengan diberlakukannya kebijakan

tersebut pada 1 Oktober 2002, batas nominal nota

kredit yang dapat diproses melalui kliring yang semula

di bawah Rp1 miliar diturunkan menjadi di bawah Rp100

juta. Dengan diturunkannya batas nominal tersebut,

terjadi pergeseran penyelesaian sebagian transaksi dari

Sistem Kliring ke Sistem BI-RTGS.

Sehubungan dengan hal tersebut telah dilakukan

penyesuaian besarnya biaya baik di sistem kliring

maupun di sistem BI-RTGS. Pada sistem BI-RTGS,

besarnya biaya transaksi bervariasi sesuai dengan waktu

diterimanya instruksi pengiriman dana oleh BI. Semakin

mendekati waktu cut off time (pukul 19.00 BBWI)

semakin besar biaya yang harus dibayar oleh bank. Hal

ini dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya

penumpukan penyelesaian transaksi menjelang batas

cut off time. Dengan diterapkannya sistem biaya BI-

RTGS yang baru ini, diharapkan transaksi antarbank

melalui sistem ini dapat menyebar selama jam

operasional sistem BI-RTGS. Penyebaran transaksi

pembayaran melalui sistem BI-RTGS yang merata akan

memperlancar sistem pembayaran serta

memperlihatkan adanya pengelolaan likuiditas

perbankan yang semakin baik. Di lain pihak penyesuaian

biaya yang diterapkan pada sistem kliring mencakup

kenaikan biaya proses warkat penyerahan dan

pengembalian.

Sementara itu, dalam rangka meningkatkan

efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan kliring,

diperlukan suatu standarisasi s istem dan

kelengkapan pendukung yang akan bermanfaat

untuk mengakomodasi kebutuhan pemeriksaan/

investigasi (audit), kebutuhan data dan informasi

hasil kliring secara cepat serta akurat dengan

menggunakan fasilitas berbasis web (remote access).

Untuk mewujudkan hal tersebut, pada 2002 telah

diimplementasikan sistem otomasi kliring berbasis

image (Image Clearing System/ICS) di KBI Bandung

dan Medan. Otomasi kliring dengan basis image

tersebut dilakukan dengan proses otomasi oleh

mesin baca pilah warkat kliring (reader sorter) yang

merekam data sekaligus image warkat yang

dikliringkan. Selain itu, sistem tersebut dilengkapi

dengan penyampaian informasi berupa Sistem

Informasi Kliring Jarak Jauh (SIKJJ) serta sistem

penyimpanan data image berupa CD Burner.

Selanjutnya, untuk mengakomodasi kebutuhan

atas penyelesaian transaksi yang menggunakan cek/

Bilyet Giro antar kota di seluruh wilayah Indonesia,

BI telah mengembangkan sistem kliring antar

1 Surat Edaran No. 4/12/DASP Perihal Jadwal Kliring danTanggal Valuta Penyelesaian Akhir, Sistem PenyelenggaraanKliring Lokal serta Jenis dan Batasan Nominal Warkat atauData Keuangan Elektronik

184

Sistem Pembayaran Nasional

wilayah atau dikenal dengan nama Intercity Clear-

ing.2 (Boks : Pengembangan Intercity Clearing)

Penyelenggaraan kliring yang semula hanya dapat

memproses warkat yang diterbitkan oleh bank di

satu wilayah kliring lokal, dengan sistem intercity

clearing dapat memproses cek/bilyet giro dari

wilayah kliring lokal manapun. Dengan dilakukannya

sistem kliring antar wilayah dapat diperoleh

peningkatan dalam efisiensi waktu dan biaya yang

dikeluarkan dalam memproses warkat-warkat inkaso

yaitu yang semula diselesaikan dalam jangka waktu

berkisar antara 2-7 hari menjadi sama dengan jangka

waktu penyelesaian kliring lokal. Sistem kliring antar

wilayah (intercity clearing) mulai diimplementasi–

kan pada 1 November 2002 dan diikuti oleh 35 bank

peserta kliring di seluruh wilayah Indonesia.

Guna mendukung tercapainya pasar keuangan

yang efektif, sistem pembayaran yang dikategorikan

Systemically Important Payment System (SIPS) perlu

diberikan perlindungan untuk menghindari risiko

sistemik, karena gangguan terhadap sistem dapat

mengganggu sistem keuangan domestik maupun

internasional. Mengacu pada The Core Principles for

Systemically Important Payment System yang

dikembangkan oleh Bank for International Settlement

(BIS), BI menilai bahwa sistem pembayaran di Indonesia

yang dikategorikan SIPS adalah Sistem BI-RTGS dan

Sistem Kliring. Alasan dipilihnya kedua sistem tersebut

didasarkan pada besarnya total nilai transaksi yang

diproses, sifat pembayaran beserta dampaknya

terhadap pasar keuangan domestik dan internasional

serta kegunaannya untuk melakukan penyelesaian

(settlement) transaksi pasar keuangan maupun hasil

kliring dari sistem lain.

Dalam rangka memenuhi core principles

tersebut, BI telah melakukan pengkajian untuk

menilai kesesuaian penyelenggaraan sistem BI-RTGS

dan Sistem Kliring dengan BIS Core Principles for

Systemically Important Payment System. Berdasarkan

pengkajian yang telah dilakukan terhadap Sistem BI-

RTGS dan Sistem Kliring menunjukan bahwa kedua

sistem tersebut telah memenuhi core principles yang

terkait dengan kehandalan sistem, prosedur dan

kepastian settlement. Sedangkan untuk core prin-

ciples yang terkait dengan aspek pengaturan dan

ketentuan, manajemen risiko dan corporate gover-

nance belum seluruhnya terpenuhi. Meskipun

demikian, berbagai perbaikan dan penyempurnaan

tetap dilakukan secara bertahap melalui kebijakan

dan penyempurnaan ketentuan di bidang sistem

pembayaran. Sebagai contoh, dalam penyempurnaan

di bidang hukum, saat ini sedang disusun Rancangan

Undang-Undang Transfer Dana yang mengatur secara

rinci mengenai hak, kewajiban, dan kepastian hukum

para pihak yang terkait di dalamnya. Semua

penyempurnaan yang dilakukan ditujukan agar dalam

jangka panjang BI dapat memenuhi seluruh prinsip-

prinsip dalam BIS Core Principles for Systemically

Important Payment System.

Berbagai pengembangan di bidang sistem

pembayaran yang dilakukan oleh BI sangat terkait

dengan pengguna dari sistem pembayaran, terutama

pihak perbankan. Hal tersebut didasarkan bahwa setiap

pengembangan produk sistem pembayaran akan selalu

memberikan akibat bagi pihak perbankan sebagai2 SE No. 4/16/DASP Perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal atas

cek dan bilyet giro yang berasal dari luar wilayah kliring

185

Sistem Pembayaran Nasional

pelaku langsung produk sistem pembayaran. Untuk

menyamakan kepentingan dan menampung kebutuhan

perbankan dalam setiap pengembangan aplikasi dan

produk sistem pembayaran diperlukan media

komunikasi dan konsultasi sistem pembayaran nasional

yang akan mewakili seluruh perbankan. Berkaitan

dengan hal di atas, pada Agustus 2002 telah dibentuk

Forum Komunikasi Sistem Pembayaran Nasional (FKSPN)

yang terdiri dari lima komite yaitu Komite By-Laws,

Komite Legal dan Perlindungan Konsumen, Komite

Standar dan Prosedur, Komite Manajemen Risiko dan

Komite Teknologi Informasi. Dalam forum ini diharapkan

dapat dilakukan identifikasi kebutuhan berbagai pihak

terkait terutama perbankan sehingga dapat dilakukan

sinkronisasi pengembangan sistem pembayaran di masa

mendatang.

Dalam kaitannya dengan pengawasan sistem

pembayaran, BI memiliki tanggung jawab agar

masyarakat luas dapat memperoleh jasa sistem

pembayaran yang efisien, cepat, tepat dan aman.

Sehubungan dengan hal tersebut, pada 3 Juni 2002 BI

telah membentuk Bagian Pengawasan Sistem

Pembayaran. Bagian ini berwenang untuk memberikan

izin operasional terhadap pihak yang menyelenggarakan

kegiatan di bidang sistem pembayaran dan melakukan

pengawasan terhadap penyelenggaraan sistem

pembayaran baik yang dilakukan oleh BI maupun pihak

lain di luar BI.

Selain penerapan kebijakan tersebut di atas,

berbagai penyempurnaan tengah dilakukan selama 2002

antara lain:

· Penyusunan skema untuk mengatasi kegagalan

peserta kliring dalam penyelesaian kewajiban

settlement (failure to settle scheme)

Dalam pasal 16 Undang-Undang No. 23 tahun

1999 disebutkan bahwa salah satu wewenang BI adalah

mengatur sistem kliring antarbank. Penyelesaian akhir

kegiatan kliring yang diterapkan saat ini dilakukan

pada akhir hari (net settlement ), dimana hasil kliring

akan dibebankan secara neto ke rekening giro bank

peserta kliring. Dengan dilakukannya settlement pada

akhir hari, kebutuhan likuiditas akan terakumulasi

pada akhir hari sehingga dimungkinkan timbulnya

saldo debet pada rekening giro bank. Saldo debet

tersebut harus dilunasi selambat-selambatnya pada

pukul 09.00 BBWI keesokan harinya, dan apabila bank

tidak mampu maka bank tersebut akan diskors dari

kegiatan kliring.

Berdasarkan UU No. 23 tahun 1999, BI berkewajiban

untuk menjaga kelancaran sistem pembayaran. Namun

demikian, BI tidak harus bertanggungjawab atas

kekurangan dana bank yang dapat mengakibatkan bank

tersebut gagal melakukan settlement atas hasil

kliringnya. Hal ini juga didukung oleh Core Principles

for Systemically Important Payment Systems, yang

dikembangkan oleh BIS. Berkaitan dengan hal tersebut,

BI akan menerapkan suatu metode yang dikenal dengan

istilah failure-to-settle scheme. Bentuk mekanisme

failure-to-settle yang dapat diterapkan diantaranya

adalah metode cash deposit, pool of collateral dan loss

sharing arrangement.

· Review terhadap cetak biru sistem pembayaran

nasional

Dalam melakukan pengembangan sistem

pembayaran nasional diperlukan suatu panduan yang

berisi kebijakan yang dapat mewujudkan adanya

sistem pembayaran yang efektif, efisien, aman dan

handal. Rencana dan kebijakan BI di bidang sistem

186

Sistem Pembayaran Nasional

pembayaran pada saat ini, masih didasarkan pada

cetak biru sistem pembayaran nasional yang

diterbitkan pada 1995.

Dalam perkembangannya, terdapat banyak

perubahan yang terjadi baik dari sisi kemampuan

bank, teknologi maupun kebutuhan masyarakat yang

pada akhirnya menuntut peran aktif BI untuk

menyesuaikan arah kebijakan dan pengembangan di

bidang sistem pembayaran. Di sisi lain adanya kerja

sama regional dan internasional antarbank sentral

telah memberikan warna baru pada kebijakan bank

sentral di bidang sistem pembayaran. Namun

demikian, perkembangan tersebut belum seluruhnya

terakomodasi dalam Cetak Biru Sistem Pembayaran

yang ada, sehingga saat ini sedang dilakukan review

atas cetak biru dimaksud yang mencakup aspek

hukum, kelembagaan, kepemilikan, keamanan,

efisiensi dan penurunan risiko.

PERKEMBANGAN ALAT-ALAT PEMBAYARANAlat Pembayaran Tunai

Uang Kartal yang Diedarkan (UYD)

Posisi UYD tahun 2002 cenderung meningkat,

namun dengan laju pertumbuhan yang lebih rendah

dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Secara rata-

rata, UYD pada tahun laporan tumbuh sebesar 11,8%,

lebih rendah dibandingkan dengan 2001 yang tumbuh

sebesar 19,9%. Pada akhir Desember 2002, posisi UYD

mencapai Rp98,4 triliun atau meningkat dibandingkan

dengan tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp 91,3

triliun (Tabel 9.1)

Lebih rendahnya peningkatan UYD di 2002

terutama disebabkan oleh berkurangnya permintaan

masyarakat untuk keperluan berjaga-jaga (precaution-

ary motive) seiring dengan membaiknya kondisi sosial

politik di dalam negeri. Sementara itu, meningkatnya

posisi UYD pada tahun laporan berkaitan dengan masih

meningkatnya kegiatan ekonomi nasional dan laju

inflasi. Secara bulanan, kenaikan terbesar terjadi pada

November dan Desember 2002 terutama karena

meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap uang

kartal dalam menghadapi perayaan hari-hari besar

keagamaan dan Tahun Baru 2003 yang waktunya saling

berdekatan.

Berdasarkan jenisnya, perbandingan antara uang

kertas dan uang logam terhadap UYD pada 2002 tidak

banyak mengalami perubahan. Pada tahun laporan,

porsi uang kertas terhadap UYD mencapai 97,8%

(Rp96,24 triliun) dan uang logam 2,2% (Rp2,18

triliun).

Pengadaan Uang dan Posisi Kas.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat

terhadap uang kartal, pada 2002 BI melakukan

rencana pengadaan uang sebanyak 4,7 miliar bilyet uang

kertas senilai Rp86,0 triliun dan 1,6 miliar keping uang

logam senilai Rp316,9 miliar. Dari total rencana

pengadaan tersebut, seluruhnya telah dapat dipenuhi

dalam tahun laporan. Sebagian besar dari pengadaan

uang ini digunakan untuk mengganti uang lusuh yang

dimusnahkan yaitu sekitar Rp 54,1 triliun dan sisanya

untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan

perekonomian. Sejalan dengan itu, posisi kas BI akhir

Tabel 9.1Perkembangan Posisi UYD

10097,792,21

2001Porsi (%)

98,4296,242,18

100,0097,992,01

2002

UYDKertasLogam

Jumlah Jumlah Porsi (%)91,2789,441,83

187

Sistem Pembayaran Nasional

2002 masih cukup aman yaitu Rp 61,5 triliun atau

mampu memenuhi lebih dari 3,3 bulan rata-rata

permintaan masyarakat. Posisi kas BI pada akhir 2002

ini naik 80,4% dibandingkan dengan posisi kas pada

akhir 2001 yang tercatat sebesar Rp34,07 triliun (Grafik

9.1).

Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB)

Selain menyediakan uang dalam jumlah yang

cukup, BI juga senantiasa menjaga agar kualitas uang

yang dipegang masyarakat terjaga kualitasnya dengan

cara melakukan clean money policy yaitu menarik dan

memusnahkan uang yang tidak layak edar atau PTTB

serta mengganti uang yang dimusnahkan tersebut.

Jumlah PTTB tahun 2002 sebesar Rp 54,1 triliun atau

naik 62,33% dengan tahun sebelumnya yang mencapai

Rp33,4 triliun (Grafik 9.2).

Secara nominal, PTTB terbesar adalah untuk

pecahan Rp50.000 dengan nilai Rp30,7 triliun (56,7%

dari total PTTB) kemudian diikuti oleh pecahan

Rp20.000 senilai Rp10,2 triliun(18,9%). Adapun

dilihat dari jumlah lembar (bilyet), PTTB terbesar

adalah untuk pecahan Rp1.000 sebanyak 1,2 miliar

bilyet (32,0% dari total), kemudian diikuti oleh

pecahan Rp50.000 sebanyak 612,8 juta bilyet

(16,0%) dan Rp5.000 sebanyak 545,4 juta bilyet

(14,0%).

Perkembangan Aliran Uang Masuk (inflow) dan

Aliran Uang Keluar (outflow).

Aliran uang masuk (inflow) secara nasional

cenderung berfluktuasi. Rata-rata bulanan inflow

selama 2002 adalah sebesar Rp17,0 triliun atau naik

sebesar 9,9% dibandingkan dengan rata–rata bulanan

inflow 2001 yang tercatat sebesar Rp15,4 triliun.

Sementara itu, rata-rata bulanan aliran keluar (out-

flow) pada 2002 mencapai Rp17,6 triliun atau naik

sebesar 12,8% dibandingkan rata-rata bulanan out-

flow 2001 yang mencapai Rp15,6 triliun.

Berdasarkan perkembangan inflow-outflow di

atas, secara nasional pada 2002 terjadi net outflow

sebesar Rp7,3 triliun atau rata-rata per bulan sebesar

Rp0,6 triliun. Sementara itu, bila dilihat dari masing-

masing KBI hampir seluruh KBI di luar Jawa mengalami

net outflow. Sedangkan KBI di Jawa kecuali Jakarta

mengalami net inflow. Hal ini terutama disebabkan

aktivitas pengeluaran/belanja masyarakat yang

Grafik 9.1Perkembangan Posisi Kas

Grafik 9.2Perkembangan PTTB

188

Sistem Pembayaran Nasional

sebagian besar mengalir ke Jawa (Grafik 9.3).

Perkembangan Jumlah Temuan Uang Palsu.

Perkembangan penemuan uang palsu yang

berasal dari laporan bank-bank, POLRI dan BI, dalam

periode Januari sampai dengan Desember 2002 adalah

sebanyak 370.112 bilyet (Rp9,9 miliar) atau

meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya

sejumlah 98.028 bilyet (Rp3,9 miliar). Dari jumlah

uang palsu yang ditemukan tersebut, penemuan

terbesar adalah untuk pecahan Rp20.000 sebanyak

288.895 bilyet (78,1%), diikuti pecahan Rp50.000

sebanyak 74.514 bilyet (20,1%), pecahan Rp100.000

sebanyak 3.374 bilyet (0,9%), pecahan Rp10.000

sebanyak 2.669 bilyet (0,7 %) dan pecahan Rp5.000

sebanyak 660 bilyet (0,2%) (Tabel 9.2).

Dilihat dari sumber laporan temuan uang palsu,

jumlah sebesar 370.112 bilyet tersebut terdiri dari

temuan perbankan dan BI sebesar 24.647 bilyet (6,7%)

dan temuan dari POLRI sebesar 345.465 bilyet (93,3%).

Dengan kata lain, jumlah uang palsu yang sempat

beredar di masyarakat adalah sebesar 24.647 bilyet

sedangkan sisanya sebagian besar merupakan uang palsu

yang berpotensi untuk diedarkan namun dapat

diamankan oleh POLRI.

Alat Pembayaran Nontunai

Perkembangan Transaksi RTGS

Pada 2002, aktivitas BI-RTGS mengalami

peningkatan yang signifikan baik secara volume maupun

nominal. Peningkatan tersebut seiring dengan perluasan

implementasi sistim BI-RTGS di seluruh Indonesia, yang

sampai akhir tahun laporan telah berhasil

diimplementasikan di 27 kota di Indonesia. Disamping

itu, penurunan batas nominal (capping) nota kredit

kliring juga turut mendorong kenaikan aktifitas BI-RTGS

tersebut. Nominal rata-rata harian transaksi BI-RTGS

pada 2002 mencapai Rp55,7 triliun atau meningkat

21,3% dibandingkan Rp45,9 triliun pada 2001.

Grafik 9.3Perkembangan Jumlah Inflow dan Outflow

Tabel 9.2Perkembangan Penemuan Uang Palsu per Pecahan (dalam bilyet)

100.000

50.000

20.000

10.000

5.000

Jumlah

3.374

74.514

288.895

2.669

660

370.112

TOTALBank POLRI Jumlah

Triwulan - IVBank POLRI Jumlah

Triwulan - IIIBank POLRI Jumlah

Triwulan - IIBank POLRI Jumlah

Triwulan - IBank POLRI Jumlah(Rp)

PecahanJenis Temuan

1.617

59.642

283.576

84

546

345.465

1.757

14.872

5.319

2.585

114

24.647

150

4.780

1.196

1.533

19

7.678

-

129

-

-

-

129

150

4.651

1.196

1.533

19

7.549

386

5.760

11.624

454

574

18.798

18

2.736

10.628

84

546

14.012

368

3.024

996

370

28

4.786

1.287

3.206

1.366

426

40

6.325

368

42

53

-

-

463

919

3.164

1.313

426

40

5.862

1.551

60.768

274.709

256

27

337.311

1.231

56.735

272.895

-

-

330.861

320

4.033

1.814

256

27

6.450

189

Sistem Pembayaran Nasional

Sementara itu, volume rata-rata harian mencapai

8.725 transaksi atau meningkat 105,8% dibandingkan

4.239 transaksi pada periode yang sama (Grafik 9.4

dan 9.5). Dengan meluasnya implementasi sistem BI-

RTGS akan memudahkan perbankan di seluruh wilayah

Indonesia dalam melakukan transfer dana (bernilai

tinggi atau bersifat penting) secara cepat. Hal ini

dapat dilaksanakan tanpa melalui kliring lokal atau

melakukan interface ke dalam sistem internal masing-

masing bank untuk meneruskan perintah transfer

tersebut melalui kantor cabangnya yang sudah memiliki

fasilitas BI-RTGS.

Berdasarkan nilai nominal, BI memiliki pangsa

terbesar dalam melakukan transaksi melalui BI-RTGS

(Tabel 9.3). Tingginya nilai transaksi yang dilakukan

oleh BI ini sangat terkait dengan fungsi dan peran BI,

baik sebagai pemegang kas negara maupun sebagai

otoritas moneter. Sementara itu, berdasarkan volume

transaksi, BUSN merupakan pihak yang paling aktif

dalam melakukan transaksi.

Secara umum, profil aliran dana yang terjadi

selama ini menunjukkan bahwa: (a) BUSN merupakan

pelaku paling aktif transfer dana (baik dalam rangka

pasar uang maupun untuk untung nasabah); dan (b) BPD

memiliki peran yang relatif kecil di dalam sistem trans-

fer dana di Indonesia (Tabel 9.4).

Berdasarkan waktu pelaksanaan transaksi dalam

sistem BI-RTGS, waktu transaksi teraktif berdasarkan

nominal terutama terjadi pada pagi hari (antara pukul

08.00 – 09.00 WIB) yang terutama disebabkan tingginya

aktivitas setoran dan penarikan uang kartal oleh

perbankan yang dibukukan melalui sistem BI-RTGS.

Sementara itu, waktu transaksi teraktif secara vol-

ume terjadi pada siang hari (antara pukul 14.00 – 15.00

BBWI) yang terutama disebabkan tingginya transfer

dana dari/untuk untung nasabah (Grafik 9.6).

Perkembangan Transaksi Kliring

Grafik 9.4Aktivitas Harian BI-RTGS Tahun 2002

Grafik 9.5Sistem Pembayaran Nontunai

Tabel 9.3Pangsa Transaksi BI-RTGS Berdasarkan Pelaku

10,133,59

14,9129,273,08

39,02

13,572,91

10,3355,422,14

15,64

Pangsa (%)Klasifikasi

Bank AsingBank CampuranBank PemerintahBank IndonesiaBank Pembangunan DaerahBank Umum Swasta Nasional

Nominal Volume

190

Sistem Pembayaran Nasional

Grafik 9.7Nominal Kliring Nasional

Selama 2002, total nominal kliring penyerahan

secara nasional menunjukkan penurunan sebesar

23,8% dibandingkan tahun sebelumnya dari Rp2.035

triliun menjadi Rp1.550 triliun. Sebaliknya, dari sisi

jumlah warkat terjadi peningkatan sebesar 1,9% dari

71.616 ribu lembar menjadi 72.979 ribu lembar. Kedua

kondisi ini terjadi sebagai akibat dari makin

meluasnya implementasi sistem BI-RTGS dan

penurunan batasan capping kliring. Adapun

berdasarkan rata-rata harian, aktivitas kliring secara

nominal pada 2002 mengalami penurunan sebesar

23,1% dari Rp8,2 triliun menjadi Rp6,3 triliun.

Grafik 9.6Waktu Penggunaan BI-RTGS

Dari

10,46

3,75

14,89

30,07

2,97

37,85

100,00

BUSNPangsa Volume

Kepada

Bank Asing

Bank Campuran

Bank Pemerintah

Bank Indonesia

BPD

BUSN

TotalBPDBank

IndonesiaBank

PemerintahBank

CampuranBank Asing

Total

4,57

1,67

6,16

18,59

0,78

21,55

53,32

0,03

0,01

1,34

2,31

0,39

0,28

4,36

0,30

0,24

2,45

0,25

0,62

2,56

6,42

2,59

0,78

3,26

5,49

1,15

7,47

20,74

0,69

0,39

0,33

1,91

0,01

1,49

4,82

2,28

0,66

1,35

1,52

0,02

4,50

10,33

Tabel 9.4Peta Aliran Dana Antar Rekening

Dari

14,36

2,87

10,08

56,10

2,06

14,54

100,00

BUSNPangsa Nominal

Kepada

Bank Asing

Bank Campuran

Bank Pemerintah

Bank Indonesia

BPD

BUSN

BPDBankIndonesia

BankPemerintah

BankCampuranBank Asing

Total

2,73

1,06

2,54

21,80

0,33

6,30

34,76

0,02

0,01

1,26

3,70

0,37

0,27

5,63

0,29

0,08

1,94

0,13

0,37

0,96

3,77

2,22

0,33

1,95

22,16

0,97

2,71

30,34

1,08

0,34

0,29

2,79

0,01

1,19

5,70

8,02

1,05

2,10

5,52

0,01

3,11

19,81

(Persen)

191

Sistem Pembayaran Nasional

Sebaliknya, rata-rata jumlah warkat yang diproses per

hari mengalami peningkatan sebesar 10,9% yaitu dari

267 ribu lembar menjadi 296 ribu lembar pada 2002.

Ditinjau dari wilayah kliringnya, wilayah kliring Jakarta

memiliki pangsa volume terbesar mencapai 49% dan

pangsa nominal sebesar 44% dari total aktivitas kliring

secara nasional (Grafik 9.7 dan 9.8).

Perkembangan Alat Pembayaran Berbasis Kartu

Pada 2002, terjadi peningkatan aktivitas

penggunaan alat pembayaran berbasis kartu, baik berupa

kartu kredit, kartu debet, maupun kartu ATM. Dari ketiga

jenis alat pembayaran berbasis kartu tersebut, kartu

ATM memiliki aktivitas tertinggi yaitu dengan nilai

transaksi sebesar Rp 299 triliun atau naik sebanyak

44,4% dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai

Rp207 triliun. Secara umum, peningkatan aktivitas

pembayaran dengan menggunakan kartu ATM tersebut

sejalan dengan kenaikan posisi uang kartal diedarkan

(Grafik 9.9 dan 9.10). Selain itu, peningkatan ini juga

disebabkan oleh makin luasnya jaringan pelayanan ATM,

baik berupa penambahan mesin, perluasan jaringan

merchant yang dapat menerima pembayaran melalui

kartu ATM, maupun penambahan jumlah bank yang

menjadi anggota switching ATM. Selanjutnya,

penggunaan kartu kredit yang mencapai Rp24,2 triliun

(atau meningkat sebesar 26,0% dari tahun sebelumnya)

dapat dikaitkan dengan peningkatan pemberian kredit

oleh perbankan. Sementara itu, penggunaan kartu

debet yang mencapai Rp8,3 triliun atau meningkat

sebesar 25,6% dibandingkan aktivitas tahun 2001

menunjukkan bahwa penggunaan alat pembayaran yang

memiliki fungsi dan fitur yang mirip dengan ATM

diminati oleh masyarakat.

RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM PEMBAYARANNASIONAL

Grafik 9. 8Volume Kliring Penyerahan

Grafik 9.9Transaksi Kartu Kredit, Kartu Debit dan ATM

Grafik 9.10Jumlah Mesin ATM (unit)

192

Sistem Pembayaran Nasional

Sistem Pembayaran Tunai

1. Meningkatkan efektivitas pengedaran uang melalui

pihak ketiga, yang meliputi :

a. Pendistribusian uang pecahan kecil.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat

akan uang pecahan kecil yang layak edar dan

mempercepat penarikan uang lusuh/tidak layak

edar dari masyarakat, pada 2003 BI akan

melanjutkan pelaksanaan penyaluran uang pecahan

kecil melalui pihak ketiga dan pilot project melalui

BPR di kantor pusat dan di tujuh KBI.

b. Evaluasi penyelenggaraan kas titipan.

Untuk daerah-daerah yang tidak memiliki KBI,

pelaksanaan distribusi uang dilakukan melalui Kas

Titipan yang bekerjasama dengan perbankan

setempat. Sehubungan dengan itu, pada 2003, BI

akan melakukan kajian tentang efektivitas

keberadaan kas titipan sebagai ujung tombak

dalam pengedaran uang di daerah-daerah yang

tidak mempunyai KBI.

2. Memperluas jejaring (networking) penanggulangan

uang palsu.

Dalam rangka penanggulangan pemalsuan uang baik

preventif maupun represif, pada 2003 BI melakukan

kerjasama dengan POLRI dalam bentuk pembekalan

keterampilan kepada petugas di KBI maupun POLDA

dalam penanggulangan pemalsuan uang. Di samping

itu, dalam rangka efektivitas sosialisasi ciri-ciri

keaslian uang rupiah asli, pada 2003 BI akan

melakukan kerjasama dengan BRI yang mempunyai

kantor cabang sampai tingkat pedesaan.

Sistem Pembayaran Nontunai

1. Melanjutkan implementasi sistem BI-RTGS

Implementasi sistem BI-RTGS yang sampai dengan

akhir 2002 telah dilakukan di 27 KBI, akan diperluas

penggunaannya di 10 KBI lainya pada 2003, yaitu KBI

Cirebon, Tasikmalaya, Purwokerto, Solo, Jember,

Kediri, Malang, Ternate, Sibolga dan Lhokseumawe.

Dengan demikian pada 2003 diharapkan seluruh KBI

telah terhubung oleh sistem BI-RTGS sehingga

rencana program Centralized Settlement Account

(CSA) dapat terwujud. Apabila seluruh KBI telah

menggunakan sistem ini, maka setiap bank hanya akan

memelihara satu rekening giro saja di BI. Hal tersebut

akan meningkatkan efisiensi baik bagi bank maupun

Bank Indonesia.

2. Penyusunan regulasi bidang sistem pembayaran

dalam upaya menurunkan risiko sistem pembayaran

a. Penyusunan peraturan mengenai penyelengga-

raan kegiatan usaha alat pembayaran berbasis

kartu

Penggunaan alat pembayaran berbasis kartu yang

makin marak di masyarakat dewasa ini perlu

didukung oleh pengaturan yang komprehensif,

jelas dan mengandung kepastian hukum. Berkaitan

dengan hal tersebut, BI tengah menyusun PBI yang

mengatur mengenai penyelenggaraan kegiatan

usaha alat pembayaran berbasis kartu. Dalam

ketentuan tersebut akan diatur penyelenggaraan

kegiatan usaha yang bergerak dalam bisnis alat

pembayaran berbasis kartu agar dapat memenuhi

standar keamanan atas produk yang diberikan dan

memberikan informasi secara jelas dan benar

mengenai produk serta jasa yang ditawarkan

kepada pemegang kartu.

b. Penyusunan mekanisme untuk mengatasi

kegagalan peserta kliring dalam penyelesaian

atas settlement (Failure to settle Scheme).

193

Sistem Pembayaran Nasional

Pada 2003 BI merencanakan untuk meminta

komitmen dari perbankan berkaitan dengan

metode yang akan digunakan dalam mekanisme

failure to settle antara lain metoda cash de-

posit, pool of collateral, loss sharing.

c. Penyusunan Rancangan Undang-Undang Transfer

Dana (RUU Funds Transfer)

Dalam melaksanakan tugas mengatur dan menjaga

kelancaran sistem pembayaran nasional, BI

memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk

mengatur dan melaksanakan kegiatan jasa

transfer dana serta penyelesaian akhir transaksi

pembayaran antarbank. Saat ini, pelaksanaan

transfer dana tersebut belum dilengkapi oleh

aturan yang mampu melindungi konsumen dari

berbagai permasalahan hukum, antara lain

mengenai hak dan kewajiban para pihak serta

alat bukti transfer yang dilakukan secara

elektronik. Untuk mencegah timbulnya

permasalahan hukum tersebut, perlu segera

disusun suatu landasan hukum yang kuat dalam

bentuk Undang-Undang yang dapat memberikan

kepastian hukum bagi para pihak yang terkait

didalamnya.

3. Review cetak biru sistem pembayaran nasional

Pelaksanaan review cetak biru sistem pembayaran

nasional yang telah dimulai sejak awal 2002 akan

tetap dilanjutkan hingga 2003. Dalam hal ini, BI akan

melakukan konsultasi dan komunikasi kepada pihak

di luar BI yang terkait dalam pengembangan sistem

pembayaran guna mendapat masukan yang berkaitan

dengan penyempurnaan cetak biru tersebut. Hal

tersebut dilakukan agar dalam pengembangan sistem

pembayaran di Indonesia terdapat sinkronisasi dari

berbagai kepentingan para penyelenggara sistem

pembayaran guna terwujudnya suatu sistem

pembayaran yang efektif dan efisien.

194

Sistem Pembayaran Nasional

Desember 2001 telah dilakukan pilot project

program kerja sama penukaran uang pecahan kecil

kepada masyarakat melalui pihak ketiga untuk

melayani kebutuhan masyarakat di wilayah DKI

Jakarta. Saat ini perusahaan yang ditunjuk untuk

melayani penukaran dimaksud berjumlah lima

perusahaan.

Mencermati hasil positif dan sambutan

masyarakat yang begitu antusias terhadap pro-

gram kerja sama ini, maka untuk dapat

menjangkau lebih luas lagi masyarakat terutama

di pelosok-pelosok, program kerja sama ini

diperluas lagi ke wilayah Bogor, Tangerang, Bekasi,

Karawang, Depok dan Serang. Perluasan tersebut

dimulai sejak 30 September 2002 dengan

menunjuk enam puluh sembilan BPR dalam pilot

project program kerja sama penukaran uang

pecahan kecil.

Sampai saat ini pelaksanaan penukaran uang

pecahan kecil kepada masyarakat baik melalui

perusahaan pihak ketiga maupun BPR masih dinilai

baik, karena selain efisien dari segi biaya juga

jangkauan yang dapat dicapai lebih luas dari

kegiatan kas keliling yang selama ini dilaksanakan

oleh BI. Di samping itu, dengan adanya pengalihan

tugas penukaran ini, maka satuan kerja kas tidak

perlu lagi melakukan kegiatan kas keliling sehingga

dapat lebih fokus dalam melakukan kegiatan

pelayanan kas lainnya.

Tugas utama Bank Indonesia (BI) di bidang

pengedaran uang yaitu menjamin tersedianya uang

dalam jumlah cukup dengan jenis pecahan yang

sesuai dengan kebutuhan, kapan dan dimanapun

setiap diperlukan dengan kualitas baik dan kondisi

layak edar.

Pelaksanaan tugas tersebut saat ini

nampaknya masih belum optimal tercermin dari

masih berkembangnya persepsi di masyarakat

bahwa sulit memperoleh pecahan kecil dan apabila

ada tidak layak edar.

Kondisi tersebut mengindikasikan mekanisme

distribusi uang dari BI ke bank umum dan dari bank

umum ke masyarakat masih belum berjalan

dengan baik. Bank umum yang diharapkan dapat

menjadi lembaga intermediasi dalam melayani

kebutuhan uang kartal di masyarakat ternyata

mempunyai kecenderungan enggan menarik uang

pecahan kecil terutama uang logam karena

keterbatasan SDM, kapasitas khazanah dan

pengangkutan serta pola pelayanan kepada

nasabah (selama ini lebih banyak/cenderung

menggunakan pecahan besar).

Memperhatikan kendala-kendala yang ada dan

untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat

akan uang pecahan kecil, mempercepat proses

penarikan uang lusuh dari masyarakat serta

menjadikan tugas BI dapat fokus pada pelayanan

kepada perbankan (wholesale), maka pada 13

bo

ks

Suatu Solusi Mengatasi Kelangkaan Uang

Penukaran Uang Pecahan Kecil Melalui Pihak Ketiga

195

Sistem Pembayaran Nasional

Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang

Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa salah satu

tugas BI adalah mengatur dan menjaga kelancaran

sistem pembayaran. Rencana dan kebijakan BI

dibidang sistem pembayaran dirangkum dalam Cetak

Biru Sistem Pembayaran Nasional yang diterbitkan

pada tahun 1995. Berdasarkan Cetak Biru tersebut,

salah satu upaya yang harus dilakukan demi

terciptanya sistem pembayaran yang efektif, efisien,

aman dan handal khususnya dalam menciptakan

kelancaran transaksi perdagangan dan pembayaran

antarwilayah adalah terbentuknya penyelengaraan

kliring antar wilayah atau dikenal dengan istilah

intercity clearing.

Sebelum sistem intercity clearing

diimplementasikan pada 1 Oktober 2002,

penyelenggaraan kliring antarbank masih bersifat

lokal dimana cek/bilyet giro (BG) yang dapat

dikliringkan hanyalah cek/BG yang diterbitkan oleh

kantor bank yang menjadi peserta kliring diwilayah

kliring yang bersangkutan. Sementara untuk cek/

BG yang diterbitkan oleh bank diluar wilayah kliring

lokal yang bersangkutan akan diproses melalui

mekanisme inkaso baik melalui bank sendiri ataupun

melalui bank lain atau bank korespoden.

Kondisi ini membawa dampak yang kurang

menguntungkan baik dari sisi perbankan, masyarakat

dan BI yaitu diantaranya kurangnya kualitas pelayanan

yang dapat diberikan kepada nasabah, tingginya biaya

transfer yang harus ditanggung oleh nasabah, waktu

penyelesaian transaksi relatif lama dan ketidakpastian

dana yang pada akhirnya akan menyebabkan

ketidakefisienan sistem pembayaran nasional.

Berkaitan dengan hal tersebut, dikembangkan sistem

intercity clearing yang membolehkan bank

mengkliringkan warkat-warkatnya pada penyelenggara

kliring wilayah manapun.

Hal ini dimungkinkan dengan melihat adanya

teknologi yang dimiliki oleh perbankan yang sanggup

untuk melakukan verifikasi secara on line atas cek/

bilyet giro luar kota. Secara teknis, pendaftaran

untuk menjadi peserta intercity clearing dilakukan

hanya satu kali oleh kantor pusat bank yang

bersangkutan dan akan berlaku bagi seluruh kantor

cabang bank tersebut di seluruh Indonesia. Dengan

adanya kemungkinan bagi setiap bank untuk

mengkliringkan cek/BG luar kota, maka bank peserta

intercity clearing perlu memperhatikan hal-hal

sebagai berikut:

a. Sistem verifikasi cek/BG

Sistem dan prosedur verifikasi atau validasi

atas cek/BG merupakan faktor penting yang harus

diperhatikan oleh bank peserta khususnya untuk

cek/BG yang diterbitkan oleh kantor bank yang

berada diwilayah kliring lain. Dalam hal ini bank

perlu memperhatikan aspek keamanan, efisiensi dan

ketersediaan back up (contingency plan).

bo

ks

Pengembangan Intercity Clearing

196

Sistem Pembayaran Nasional

b. Pencetakan warkat

Dengan diterapkannya sistem intercity clear-

ing, maka kantor bank yang menjadi peserta

diwilayah kliring otomasi/elekronik harus mengisi

field-field: sandi kantor, bank tertarik, nomor

rekening, sandi transaksi dan nominal apabila akan

mengkliringkan setoran cek/BG luar kota yang

berasal dari wilayah nonotomasi dimana kondisi clear

band masih dalam keadaan kosong. Oleh karena itu

bank perlu memperhatikan pencetakan warkat baik

yang dilakukan secara desentralisasi maupun

sentralisasi (oleh kantor pusat) agar tetap mengacu

pada standar yang telah ditentukan oleh BI.

Sementara dari sisi penyelenggara kliring,

dengan diterapkannya sistem intercity clearing

menimbulkan kewajiban bagi penyelenggara untuk

melakukan updating sandi peserta kliring pada

aplikasi yang digunakan sebagai penyelenggara.

Proses updating perlu dilakukan setiap kali

terdapat pendaftaran, penambahan maupun

pengurangan kepesertaan dalam sistem intercity

clearing.

Pada akhirnya penerapan intercity clearing

diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

masyarakat dan perbankan khususnya bagi

pembayaran cek/BG antar kota.

197

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

10 : Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

Perekonomian Dunia danKerja Sama Internasional

10BAB

l a p o r a nt a h u n a n

198

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

10B A B PEREKONOMIAN DUNIA

DAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

P erkembangan ekonomi dunia dalam tahun

laporan cenderung membaik dibandingkan dengan

tahun sebelumnya, walaupun masih dibayangi dengan

ketidakpastian. Hal tersebut ditandai oleh pertumbuhan

ekonomi dunia yang meningkat secara moderat,

meningkatnya volume perdagangan dunia dan

menurunnya tingkat inflasi di berbagai kawasan.

Meskipun demikian, pertumbuhan ekonomi dunia

tersebut tidak sebesar yang diharapkan sebelumnya

karena konsumsi dunia masih lemah yang dipengaruhi

oleh tingginya tingkat pengangguran dan

ketidakpastian prospek ekonomi. Disamping itu,

kegiatan pasar saham dunia cenderung melemah,

terutama pada paro kedua, akibat skandal laporan

keuangan perusahaan besar Amerika Serikat (AS).

Perkembangan ekonomi dunia pada 2002 juga ditandai

dengan meningkatnya geopolitical risk yang pada

gilirannya mempengaruhi kepercayaan usaha dan

kepercayaan konsumen. Dalam upaya memberikan

stimulus terhadap pertumbuhan ekonomi dunia,

negara-negara utama dunia cenderung menjalankan

kebijakan ekonomi longgar sebagaimana tercermin

pada tingkat suku bunga yang cenderung turun.

Berbagai perkembangan ekonomi dunia tersebut,

mendapatkan perhatian dari berbagai forum

internasional. Selama tahun laporan, pembahasan

dalam berbagai forum kerjasama moneter dan

keuangan internasional, dan regional masih

menitikberatkan pada upaya memperkuat arsitektur

keuangan internasional sebagai upaya menjaga stabilitas

keuangan internasional. Di samping itu, berbagai

pertemuan internasional membahas secara intensif

mengenai upaya-upaya masing-masing negara dalam

rangka anti pencucian uang dan pemberantasan

pembiayaan terorisme. Dalam kerjasama di bidang

pembangunan, pada tahun laporan telah dicapai

komitmen bersama yang dituangkan dalam “Monterrey

Consensus” yang menjadi acuan bagi lembaga keuangan

dan negara donor dalam program meningkatkan

pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan.

PERKEMBANGAN EKONOMI DUNIA

Selama 2002, perekonomian dunia tumbuh 2,8%,

meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya

(2,2%). Sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan

ekonomi, volume perdagangan dunia meningkat

menjadi 2,1%. Dari sisi harga, tingkat inflasi di berbagai

kawasan cenderung menurun sebagaimana tercermin

pada inflasi negara maju yang turun dari 2,2% menjadi

1,4% dan di negara berkembang turun dari 5,7% menjadi

5,6%. Sementara itu, suku bunga dalam tahun laporan

cenderung menurun (Tabel 10.1) (Grafik 10.1).

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi dunia

pada tahun laporan terutama ditopang oleh

Perekonomian dunia selama 2002 membaik terutamadidukung oleh pesatnya laju pertumbuhan negara-negaraAsia .

199

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

membaiknya perekonomian AS, pesatnya laju

pertumbuhan negara-negara di kawasan Asia,

terutama Cina dan negara industri baru Asia, serta

berlanjutnya pemulihan ekonomi di beberapa

negara di Asia.

Namun demikian perbaikan pertumbuhan

ekonomi dunia tersebut masih disertai dengan

pertumbuhan konsumsi yang relatif rendah di semua

kawasan, yang terutama disebabkan oleh tingginya

angka pengangguran. Jumlah pengangguran yang

cenderung meningkat menyebabkan menurunnya

ekspektasi pendapatan sehingga mendorong

masyarakat untuk mengurangi konsumsinya. Masih

lemahnya tingkat konsumsi telah mengurangi tekanan

inflasi sebagaimana tercermin pada menurunnya laju

inflasi di semua kawasan. Sementara itu investasi

cenderung masih lemah seiring dengan meningkatnya

kekhawatiran terhadap kemungkinan serangan AS dan

sekutunya ke Irak, skandal akuntansi yang melibatkan

perusahaan-perusahaan besar di AS, serta

kekhawatiran terhadap meningkatnya kegiatan

terorisme. Meningkatnya harga minyak hingga sempat

mencapai $31,4 per barel dalam tahun laporan, juga

turut memberikan tekanan terhadap konsumsi dan

investasi dunia.

Kebijakan ekonomi dunia selama 2002 masih

melanjutkan kebijakan tahun-tahun sebelumnya yang

cenderung ekspansif baik melalui kebijakan moneter

Grafik 10.1Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara Industri Utama

Grafik 10.2Perkembangan Inflasi Negara-Negara Industri Utama

Tabel 10.1Beberapa Indikator Ekonomi Dunia

Pertumbuhan Ekonomi (%) Dunia Negara-negara industri Negara-negara berkembang Negara-negara dalam transisiLaju Inflasi (%) Negara-negara industri Negara-negara berkembangVolume Perdagangan Dunia (% pertumbuhan)Harga Perdagangan Dunia (% perubahan) Barang manufaktur Minyak mentah Komoditas primer nonmigasNilai Tukar Utama Yen/$ $/EUROSuku Bunga Negara Industri (rata-rata %) Jangka pendek Jangka panjang

Indikator

2,81,74,23,9

1,45,6

2,1

2,60,54,2

1240,939

2,34,2

2,20,83,9

5

2,25,7

-0,1

-2,3-14

-5,4

121,50,896

3,24,4

4,73,85,76,6

2,36,1

12,6

-5,2571,8

107,80,924

4,55

2000 2001 2002*

Sumber : IMF, World Economic Outlook, September 2002, Bloomberg

200

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

maupun kebijakan fiskal. Kebijakan tersebut

ditempuh dalam upaya memberikan stimulus yang

lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi dunia,

sehubungan dengan kecenderungan melambatnya

ekonomi dunia setelah mencapai pertumbuhan yang

relatif tinggi pada triwulan pertama. Kebijakan

ekonomi longgar terutama ditempuh oleh negara-

negara utama yang memiliki inflasi rendah, seperti

AS, Jepang dan kawasan Uni Eropa. Dalam pada itu,

di beberapa negara lainnya, khususnya negara-negara

yang menghadapi ancaman inflasi, baik di negara

maju maupun di negara berkembang, kebijakan yang

dipilih adalah meningkatkan efektivitas dan

kredibilitas kebijakan anti inflasi (grafik 10.3).

Sementara itu, perkembangan pasar modal

pada semester pertama tahun laporan ditandai

dengan optimisme yang kuat terhadap membaiknya

ekonomi AS. Namun demikian, memasuki semes-

ter berikutnya perkembangan pasar modal mulai

menunjukkan arah yang berbeda. Perkembangan

tersebut diawali dengan menurunnya bursa saham

AS seiring dengan melesunya perekonomian AS,

skandal akuntansi yang melibatkan perusahaan-

perusahaan besar AS serta berubahnya ekspektasi

keuntungan perusahaan, sehingga memberikan

sentimen bearish terhadap bursa saham. Sentimen

bearish tersebut kemudian menjalar ke bursa

saham Eropa, Jepang dan bursa-bursa saham

lainnya di dunia.

Meskipun secara umum kondisi perekonomian

dunia membaik, beberapa faktor risiko dan

ketidakpastian masih membayangi kesinambungan

pertumbuhan ekonomi di berbagai kawasan. Kinerja

ekonomi di tiga kekuatan ekonomi dunia yaitu AS, Eropa

Barat dan Jepang masih rentan. Sementara itu proses

restrukturisasi di negara-negara emerging market

khususnya Asia masih belum sepenuhnya berjalan baik

sehingga masih sangat rentan terhadap gangguan

eksternal (external shock). Disamping itu, ancaman

serangan AS dan sekutunya terhadap Irak telah

memperbesar risiko usaha (business risk) karena

meningkatnya ketidakpastian.

Amerika Serikat

Pada tahun laporan pertumbuhan ekonomi AS

diperkirakan mencapai 2,2%, lebih tinggi dibandingkan

tahun sebelumnya (0,3%). Meningkatnya pertumbuhan

ekonomi tersebut tidak terlepas dari kebijakan moneter

yang cenderung longgar (easing bias) yang diambil pada

tahun sebelumnya, antara lain melalui penurunan Fed

Fund rate sebanyak 11 kali pada 2001, yaitu dari 6,5%

pada akhir 2000 menjadi 1,75% pada akhir 2001.

Sebagai akibatnya, pada triwulan pertama tahun

laporan, pertumbuhan ekonomi AS meningkat tajam

sebesar 5,0% (q-t-q). Sejalan dengan perkembangan

yang positif tersebut beberapa indikator

memperlihatkan peningkatan aktivitas ekonomi seperti

meningkatnya kegiatan di sektor manufaktur, naiknya

konsumsi dan turunnya persediaan.

Namun demikian pada triwulan-triwulan

selanjutnya perekonomian AS kembali melambat dipicu

oleh melemahnya pengeluaran konsumsi swasta dan

investasi domestik. Melemahnya kegiatan investasi dan

konsumsi tersebut merupakan akibat dari menurunnya

kepercayaan dunia usaha dan konsumen terhadap

prospek perekonomian. Penurunan kegiatan dunia usaha

tercermin pada penurunan jumlah pesanan produksi

manufaktur, turunnya tingkat pemakaian kapasitas

201

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

1,01,52,02,53,03,54,04,55,05,56,06,57,07,5

4/30

/199

9

6/30

/199

9

8/31

/199

9

10/2

9/19

99

12/3

1/19

99

2/29

/200

0

4/28

/200

0

6/30

/200

0

8/31

/200

0

10/3

1/20

00

12/3

0/20

00

2/28

/200

1

4/30

/200

1

6/29

/200

1

8/31

/200

1

10/3

1/20

01

12/3

1/20

01

2/28

/200

2

4/30

/200

2

6/28

/200

2

8/30

/200

2

10/3

1/20

02

12/3

1/20

02

Persen

Fed Fund Target

Fed Fund Effective

terpasang dan berkurangnya produksi industri.

Penurunan kinerja dunia usaha menyebabkan lemahnya

penciptaan lapangan kerja bahkan beberapa

perusahaan harus mengurangi karyawannya. Sebagai

akibatnya, pengangguran meningkat dari 5,7% pada

awal tahun menjadi 6,0% pada akhir 2002 sehingga tidak

mampu untuk mendorong konsumsi. Penurunan

konsumsi juga didukung oleh indikator lain seperti

menurunnya consumer confidence dan angka

penjualan retail.

Masih lemahnya konsumsi masyarakat AS dalam

tahun laporan telah menekan inflasi pada level yang

rendah. Tingkat inflasi pada 2002 diperkirakan

mencapai 1,5%, lebih rendah dibandingkan tahun

sebelumnya (2,8%). Tingkat inflasi ini juga lebih rendah

dibandingkan dengan target inflasi Federal Reserve

sebesar 2,5%.

Indikator penurunan kinerja ekonomi AS juga

terlihat dari pasar keuangan sebagaimana

ditunjukkan oleh indeks pasar modal yang terus

menurun seiring dengan depresiasi dolar.

Melemahnya indeks pasar modal dan nilai tukar dolar

Amerika tersebut terutama disebabkan oleh

sentimen negatif pasar akibat terjadinya skandal

laporan keuangan di beberapa perusahaan besar AS,

kekhawatiran akan serangan AS ke Irak, dan prospek

melambatnya pertumbuhan ekonomi AS. Dari sektor

eksternal, memburuknya kinerja ekonomi juga

terlihat pada semakin besarnya defisit neraca

perdagangan dan neraca transaksi berjalan.

Menghadapi perkembangan yang kurang

menguntungkan tersebut, pada 6 November 2002 Fed-

eral Reserve telah memotong target suku bunga Fed

Fund sebesar 50 bps menjadi 1,25%. Penurunan yang

cukup besar tersebut diharapkan mampu

memberikan stimulus bagi kegiatan konsumsi

maupun investasi (Grafik 10.3).

Di sisi fiskal, Pemerintah AS telah mengeluarkan

paket stimulus fiskal senilai $674,0 miliar selama 10

tahun dimulai dari 2001. Selama 2002 telah dikucurkan

paket stimulus fiskal sebesar $80,0 miliar. Program

stimulus fiskal ini diantaranya berupa percepatan

pemotongan pajak bagi investasi baru, penurunan pajak

atas deviden, dan peningkatan subsidi bagi

pengangguran. Kebijakan tersebut mengakibatkan

defisit anggaran pemerintah AS meningkat menjadi

$158,0 miliar pada 2002.

Negara-negara Euro

Pada tahun laporan pertumbuhan ekonomi negara-

negara yang tergabung dalam kawasan Eropa mencatat

pertumbuhan 1,1%, lebih rendah dibandingkan tahun

sebelumnya (1,6%). Meskipun lebih rendah, pergerakan

ekonomi kawasan Eropa menunjukkan arah yang sama

dengan AS. Setelah mencatat pertumbuhan yang stabil

pada triwulan pertama, kinerja ekonomi di kawasan

ini menunjukkan perlambatan hingga akhir tahun.

Grafik 10.3Suku Bunga Fed Fund

202

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

Penurunan kegiatan ekonomi disebabkan oleh

penurunan kinerja ekspor, investasi dan konsumsi.

Menurunnya kinerja ekspor diindikasikan oleh turunnya

produksi industri dan pesanan pabrikan (factory or-

der) terutama yang ditujukan untuk kegiatan ekspor,

akibat melambatnya kinerja ekonomi AS sebagai pasar

utama Eropa. Sementara itu turunnya business con-

fidence index menunjukkan pesimisme dunia usaha

akan prospek usaha di kawasan Euro.

Melemahnya kegiatan usaha telah menyebabkan

berkurangnya pendapatan perusahaan. Untuk

mengurangi kerugian, banyak perusahaan yang mulai

mengurangi tenaga kerjanya, sehingga tingkat

pengangguran meningkat hingga 8,3%. Peningkatan

pengangguran dan suramnya prospek ekonomi telah

menurunkan keyakinan konsumen (consumer confi-

dence) dan menahan konsumen untuk membelanjakan

pendapatannya sehingga konsumsi dan penjualan

eceran menurun.

Menurunnya kinerja ekonomi telah berdampak

pada terlampauinya batasan defisit fiskal 3,0% terhadap

PDB di beberapa negara utama seperti Jerman,

Perancis dan Spanyol. Perlambatan ekonomi yang

dialami oleh Jerman khususnya, telah membawa

pengaruh yang besar bagi kawasan Uni Eropa secara

keseluruhan karena Jerman merupakan negara terbesar

dalam Uni Eropa.

Melemahnya konsumsi masyarakat merupakan

faktor utama penyebab berkurangnya laju inflasi di

kawasan ini . Tingkat inflasi pada tahun laporan

diperkirakan hanya mencapai 2,1% sedikit lebih rendah

dibandingkan dengan tingkat inflasi tahun sebelumnya

yang mencapai 2,6%, namun sedikit melebihi target

inflasi European Central Bank (ECB) sebesar 2,0%.

Dengan inflasi yang lebih tinggi dari target mendorong

ECB untuk mempertahankan suku bunga pada level

3,25% di tengah menurunnya kinerja perekonomian.

Penurunan suku bunga dilakukan pada 5 Desember

2002 sebesar 50 bps setelah laju inflasi Jerman

menunjukkan penurunan pada November 2002.

Jepang

Dalam tahun laporan perekonomian Jepang

terlihat makin suram sebagaimana tercermin pada

kontraksi ekonomi yang makin besar pada 2002 yaitu –

0,5% dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar –

0,3%. Sumber utama memburuknya kinerja ekonomi

Jepang adalah karena masih belum terselesaikannya

berbagai permasalahan struktural di dalam negeri.

Proses restrukturisasi korporasi dan perbankan yang

belum tuntas telah berdampak luas pada seluruh sendi

perekonomian melalui credit crunch. Tingginya kredit

macet pada sektor perbankan telah memberatkan

neraca keuangan perbankan dan perusahaan sehingga

menghambat kemampuan bank untuk menyalurkan

kredit, maupun kemampuan perusahaan untuk

mendapatkan laba.

Fenomena credit crunch tersebut telah

menyebabkan banyak perusahaan yang bangkrut

maupun mengurangi karyawannya, sehingga

mendorong tingkat pengangguran Jepang pada 2002

masih bertahan pada level tinggi yaitu 5,5% dan

diperkirakan akan semakin meningkat pada 2003.

Tingginya angka pengangguran dan suramnya prospek

ekonomi semakin mengurangi minat konsumsi

masyarakat Jepang.

Lemahnya konsumsi juga telah memperburuk

inflasi Jepang yang telah negatif sejak beberapa tahun

203

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

terakhir. Deflasi Jepang pada 2002 diperkirakan

sebesar 1,0% lebih buruk dibandingkan dengan

deflasi 0,7% pada tahun sebelumnya. Penurunan

harga-harga tersebut menyebabkan semakin

banyaknya perusahaan yang bangkrut terutama

perusahaan dengan pangsa konsumen domestik.

Lemahnya permintaan domestik merupakan salah

satu masalah fundamental dalam perekonomian

Jepang. Berbagai upaya untuk meningkatkannya sejauh

ini belum memperlihatkan hasil sebagaimana yang

diharapkan. Kebijakan moneter longgar dengan suku

bunga yang mendekati nol persen (zero interest rate

policy) dan penyediaan dana hingga triliunan yen ke

sistem keuangan, tidak mampu mendorong konsumsi.

Demikian juga dari sisi fiskal, pemerintah Jepang telah

beberapa kali melaksanakan paket stimulus fiskal.

Lemahnya permintaan domestik mengakibatkan

ekonomi Jepang saat ini sangat tergantung pada

ekspor. Dalam posisi ini, perdagangan Jepang menjadi

sangat tergantung pada permintaan luar negeri dan

nilai tukar mata uang. Dalam hal ini, usaha yang dapat

dilakukan pemerintah Jepang untuk mendorong ekspor

adalah dengan melakukan kebijakan di bidang nilai

tukar. Meskipun perkembangan ekonomi Jepang tidak

menggembirakan, sentimen negatif terhadap dolar

dalam 2002 telah menyebabkan yen mengalami

apresiasi terhadap dolar hingga 9,8%. Apresiasi yen

tersebut dipandang terlampau kuat, dan dikhawatirkan

akan memperlemah daya saing ekspor Jepang

sehingga kurang menguntungkan bagi perekonomian

Jepang. Oleh karena itu, Bank of Japan telah

melakukan intervensi beberapa kali dan meminta the

Fed dan ECB untuk menjual cadangan yen mereka guna

menahan laju apresiasi yen.

Asia Non Jepang

Membaiknya perkembangan ekonomi dunia

pada tahun laporan, banyak ditopang oleh relatif

tingginya pertumbuhan ekonomi negara-negara di

kawasan Asia. Beberapa negara Asia yang mengalami

pertumbuhan yang tinggi antara lain ekonomi Cina

dan Laos PDR yang diperkirakan tumbuh 7,5% dan

5,5%, lebih tinggi dibandingkan 7,3% dan 5,3% tahun

sebelumnya. Sementara itu Korea Selatan mengalami

pertumbuhan yang mengesankan, diperkirakan

tumbuh 6,3% dua kali lebih tinggi dibandingkan

dengan pertumbuhan tahun sebelumnya. Demikian

juga negara-negara ASEAN mengalami peningkatan

pertumbuhan ekonomi yang sangat tajam pada tahun

laporan yaitu masing-masing diperkirakan mencapai

3,0% - 4,0%.

Relatif tingginya pertumbuhan ekonomi negara-

negara di kawasan Asia tersebut antara lain didukung

oleh kebijakan ekonomi yang cenderung longgar (eas-

ing bias) baik melalui kebijakan fiskal, moneter

maupun perdagangan. Beberapa negara seperti

Filipina, Malaysia, Thailand dan Cina bahkan

mengalami defisit anggaran pemerintah akibat

kebijakan ekspansi fiskal. Di samping itu Cina juga

menerapkan kebijakan melonggarkan ketentuan

penanaman modal untuk menarik investasi. Kebijakan

fiskal yang ditempuh oleh Korea Selatan dan Singapura

adalah dengan penurunan tarif pajak. Sementara itu

kebijakan penurunan suku bunga diambil oleh Taiwan,

Singapura dan Indonesia.

Kebijakan yang cenderung longgar tersebut

dapat diterapkan karena tingkat inflasi negara-negara

Asia pada umumnya bergerak pada kisaran yang

rendah dan cenderung menurun. Dalam tahun laporan

204

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

tingkat inflasi negara industri baru Asia turun dari

2,4% menjadi 1,8%, sementara tingkat inflasi negara

berkembang Asia turun dari 2,6% menjadi 2,1%.

Perlambatan ekonomi dunia dan berkurangnya

permintaan dari negara-negara utama dunia telah

mengakibatkan persaingan yang semakin ketat dalam

perdagangan dunia. Pada umumnya untuk

meningkatkan daya saing, kebijakan yang ditempuh

adalah dengan mengupayakan agar nilai tukar tetap

kompetitif. Selain itu, beberapa negara juga telah

melaksanakan kebijakan reorientasi pasar ekspor, dari

pasar tradisional (yaitu AS dan Jepang) menuju pasar-

pasar lain yang potensial, terutama ke negara-negara

di kawasan Asia Tenggara (intra regional trading).

Meskipun ekonomi mengalami pertumbuhan yang

pesat, namun restrukturisasi korporasi dan perbankan

belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Masih relatif

tingginya kredit macet menyebabkan kualitas aset di

kedua sektor tersebut belum membaik. Di beberapa

negara hal ini telah menghambat fungsi intermediasi

perbankan sekaligus merupakan tantangan yang masih

dihadapi pada 2003.

Amerika Latin

Dalam tahun laporan, ekonomi negara-negara di

kawasan Amerika Latin secara umum mengalami kontraksi

-0,6%, memburuk dibandingkan dengan tahun sebelumnya

yang mencatat pertumbuhan positif (0,6%). Kontraksi

tersebut terutama disumbang oleh Argentina sebagai

negara terbesar di kawasan tersebut yang diperkirakan

mengalami kontraksi ekonomi hingga -16,0% setelah

tahun lalu mengalami kontraksi –4,4%. Penurunan kinerja

ekonomi juga dialami oleh Chile yang diperkirakan

tumbuh 2,2% lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya

(2,8%). Ekonomi Brazil diperkirakan hanya tumbuh

sebesar 1,5% sama dengan tahun sebelumnya, sedangkan

pertumbuhan ekonomi Meksiko meningkat tajam dari –

0,3% menjadi 1,5%. Di samping dihadapkan pada

permasalahan yang spesifik berkembang pada masing-

masing negara, penurunan kinerja ekonomi kawasan

tersebut terjadi seiring dengan masih belum pulihnya

tingkat konsumsi AS yang merupakan mitra dagang utama

bagi negara-negara di kawasan Amerika Latin. Penurunan

ekspor telah menyebabkan berkurangnya output industri,

meningkatnya pengangguran dan selanjutnya

menurunkan permintaan dalam negeri.

Kinerja perekonomian yang memburuk tersebut

juga diiringi meningkatnya laju inflasi dari 6,4% pada

2001, menjadi 8,6% pada tahun laporan. Naiknya laju

inflasi terutama disumbang oleh Argentina dengan tingkat

inflasi yang diperkirakan mencapai 29,0% yang

disebabkan oleh turunnya likuiditas perekonomian akibat

capital outflow, ketidakstabilan sosial politik dalam

negeri, serta depresiasi nilai tukar peso. Nilai tukar peso

Argentina pada paro pertama tahun 2002 telah

terdepresasi hingga 70,0% dan kembali mengalami

apresiasi hingga 14,0% mulai September 2002 karena

didorong oleh sentimen positif bahwa IMF kembali akan

memberikan bantuannya. Sementara itu berbeda dengan

Argentina, laju inflasi di ketiga negara utama kawasan

Amerika Latin lainnya mengalami penurunan.

Untuk mengatasi kesulitan ekonomi, Argentina

menerapkan reformasi sektor publik dan pemulihan

intermediasi perbankan, Brazil menerapkan kebijakan

ekonomi pro pertumbuhan termasuk menerapkan

kebijakan moneter longgar, sementara Meksiko

menerapkan kebijakan fiskal yang berhati-hati sejalan

dengan perencanaan bank sentral.

205

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

Pasar Keuangan Internasional

Sejalan dengan perkembangan ekonomi dunia

yang cenderung melambat menjelang akhir tahun

laporan, perkembangan di pasar keuangan juga

menunjukkan kecenderungan yang sama. Pasar saham

diberbagai bursa utama dunia terlihat menurun

terutama pada paro kedua tahun laporan. Menurunnya

indeks bursa saham terkait dengan menurunnya minat

investor akibat memburuknya prospek usaha dan

meningkatnya risiko geopolitik (geopolitical risk).

Pergerakan indeks bursa saham diwarnai oleh isu

melambatnya ekonomi AS dan Eropa, skandal laporan

keuangan yang melibatkan perusahaan-perusahaan

besar di AS, ancaman serangan AS dan sekutunya ke

Irak, dan kekhawatiran meningkatnya terorisme

internasional. Terpuruknya bursa saham di AS telah

mempengaruhi penurunan di bursa saham kawasan

Eropa dan Jepang. Selain karena efek penularan dari

bursa saham AS, merosotnya indeks harga saham Eropa

dan Jepang juga dipicu oleh memburuknya kondisi usaha

di kawasan tersebut. Kondisi ekonomi yang sedang lesu

telah menyebabkan turunnya permintaan domestik

sehingga pendapatan dan keuntungan perusahaan-

perusahaan mengalami penurunan. Penurunan harga

saham terutama untuk perusahan yang bergerak di

bidang otomotif dan teknologi informasi seperti

komputer dan komponennya.

Menurunnya kegiatan ekonomi terutama pada paro

kedua tahun laporan yang disertai dengan

kecenderungan penurunan tingkat inflasi telah

menimbulkan tekanan penurunan suku bunga pasar

uang di berbagai kawasan dunia. Suku bunga LIBOR $

berjangka waktu 6 bulan turun dari 1,98% pada

Desember 2001 menjadi 1,38% pada bulan Desember

2002. Sedangkan suku bunga LIBOR Euro berjangka

waktu 6 bulan turun dari 3,25% menjadi 2,80% untuk

periode yang sama. Pertumbuhan ekonomi yang

menunjukkan gejala perlambatan pada paro kedua

tahun laporan juga telah memberikan tekanan bagi

bank sentral negara utama dunia untuk menurunkan

suku bunga benchmark-nya. Pada triwulan empat, Fed

Res dan ECB telah menurunkan suku bunga

benchmarknya sebesar 50 bps yaitu masing-masing

dari 1,75% dan 3,25% menjadi 1,25% dan 2,75%.

Sementara itu di kawasan Asia non Jepang, suku bunga

cenderung bergerak turun namun dengan besaran yang

beragam (Grafik 10.4).

Sementara itu, di pasar valas nilai tukar dolar AS

mengalami depresiasi terhadap hampir seluruh mata

uang utama dunia terutama euro dan yen. Terpuruknya

bursa saham AS akibat ketidakpastian prospek ekonomi

AS dan skandal laporan keuangan, serta meningkatnya

kekhawatiran terhadap ancaman serangan AS dan

sekutunya ke Irak telah menyebabkan penanaman

dalam dolar beresiko lebih tinggi. Kondisi tersebut

menyebabkan investor cenderung melepaskan aset

dalam denominasi dolar sehingga mengurangi

Grafik 10.4Perkembangan Suku Bunga LIBOR

206

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

permintaan terhadap dolar. Sejalan dengan apresiasi

yen terhadap dolar, nilai tukar mata uang Asia lainnya

juga cenderung menguat. Dalam tahun laporan, ru-

piah tercatat merupakan mata uang yang berkinerja

terbaik di Asia.

Pasar Komoditas Internasional

Setelah mencapai level terendah dalam tahun

2001, harga-harga di pasar komoditas internasional

kembali naik di 2002. Harga-harga komoditas tersebut

secara umum mengalami kenaikan sejalan dengan

peningkatan volume perdagangan dunia dan

membaiknya pertumbuhan ekonomi dunia. Meskipun

demikian, masing-masing komoditas mengalami

pergerakan yang beragam sepanjang tahun laporan.

Minyak bumi sebagai salah satu komoditas utama

dunia mengalami peningkatan yang tajam dalam tahun

laporan. Kecenderungan peningkatan harga minyak

dunia tersebut terutama dipengaruhi oleh tiga faktor

yaitu: (i) meningkatnya permintaan seiring dengan

perkembangan ekonomi dunia yang cenderung

membaik; (ii) meningkatnya kekhawatiran terjadinya

serangan AS ke Irak yang dapat mengganggu kelancaran

pasokan minyak dunia dan; (iii) terjadinya gejolak di

Venezuela, yang juga merupakan salah satu produsen

utama minyak dunia, pada akhir 2002. Faktor-faktor

tersebut menyebabkan harga minyak dunia sepanjang

tahun laporan cenderung berada pada level yang tinggi,

di atas target OPEC yaitu $22,0-28,0 per barrel, bahkan

harga minyak mentah brent sempat mengalami

lonjakan hingga mencapai $31,4 per barrel, yang juga

merupakan harga tertinggi pada 2002. Secara point to

point harga minyak dunia telah meningkat 55,0% yaitu

dari $19,3 per barrel menjadi $29,9 per barrel.

Harga komoditas nonmigas dalam tahun laporan

secara umum juga mengalami peningkatan. Faktor

yang melatarbelakangi kenaikan tersebut terutama

adalah meningkatnya permintaan seiring dengan

membaiknya perkembangan ekonomi dunia. Dari sisi

penawaran, pasokan komoditas dalam tahun laporan

cenderung stabil sebagaimana tercermin pada tingkat

persediaan dunia yang mencukupi.

Sementara itu salah satu komoditas utama

nonmigas dunia yaitu emas, mengalami peningkatan

harga yang tajam dalam tahun laporan. Kecenderungan

meningkatnya harga emas tersebut terjadi seiring

dengan melesunya pasar saham internasional dan

melemahnya nilai tukar dolar. Kecenderungan

melesunya pasar saham telah meningkatkan daya tarik

emas sebagai alternatif investasi. Sementara itu,

melemahnya dolar menyebabkan harga emas, yang

diperdagangkan dalam denominasi dolar, terlihat

semakin murah sehingga mendorong naiknya

permintaan terhadap logam mulia ini. Sementara itu

meningkatnya suhu di kawasan Teluk juga telah

memberikan dorongan peningkatan permintaan

terhadap emas karena emas dipandang merupakan

investasi yang aman. Harga emas dunia dalam tahun

laporan meningkat 25,0% yaitu dari $278,9 per troy oz

menjadi $348,1 per troy oz dan sempat mencapai level

tertinggi hingga $349,7 per troy oz.

KERJASAMA INTERNASIONAL

Selama tahun laporan, pembahasan dalam

berbagai forum kerjasama moneter dan keuangan

internasional dan regional masih menitikberatkan

pada upaya memperkuat arsitektur keuangan

internasional. Di samping itu, berbagai pertemuan

207

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

internasional membahas secara intensif mengenai

upaya-upaya masing-masing negara dalam rangka anti

money laundering dan pemberantasan pembiayaan

terorisme. Dalam kerjasama di bidang pembangunan,

pada tahun laporan telah dicapai komitmen bersama

yang dituangkan dalam “Monterrey Consensus” yang

menjadi acuan bagi lembaga keuangan dan negara

donor dalam program meningkatkan pertumbuhan dan

mengurangi kemiskinan.

Kerjasama di Bidang Moneter, Keuangan dan

Perbankan

International Financial Architecture

Selama tahun laporan, berbagai lembaga

keuangan dan forum-forum kerjasama internasional

dan regional melanjutkan upaya-upaya memperkuat

arsitektur keuangan internasional dan meningkatkan

stabilitas keuangan internasional. Upaya tersebut

antara lain diwujudkan dengan memperkuat

pengawasan (surveillance) untuk mencegah terjadinya

krisis, meningkatkan keterlibatan swasta dalam

mencegah dan menanggulangi krisis. Sementara itu,

di kawasan ASEAN, upaya meningkatkan stabilitas

keuangan regional antara lain merupakan penjabaran

dari komitmen para pemimpin negara ASEAN untuk

mencapai Asian Vision 2020 yang dirumuskan dalam

Roadmap for Integration of ASEAN (RIA).

Surveillance

Krisis di Asia dan Amerika Latin telah mendorong

berbagai lembaga internasional, seperti IMF, ASEAN,

ASEAN+3 dan ADB untuk mengambil langkah-langkah

memperkuat efektivitas surveillance dengan

pandangan untuk mengurangi kemungkinan timbulnya

krisis di masa yang akan datang. Selain surveillance

rutin yang dilakukan oleh IMF terhadap negara-negara

anggotanya setiap tahunnya (Article IV Consulta-

tions), beberapa forum internasional seperti G-20

juga memonitor perkembangan pemenuhan suatu

negara terhadap Standards dan Codes Internasional

sebagaimana dilakukan dalam program IMF “Reports

on the Observance on Standards and Codes”.

Sebagai hasil review pada April 2002 terhadap

program surveillance, IMF memperluas cakupan

surveillance dari hanya moneter, fiskal, dan nilai tukar

menjadi assessment terhadap kerentanan sektor

eksternal, analisis sustainability utama pinjaman luar

negeri, kerentanan sektor finansial dan kebijakan

struktural dan institusi. Perluasan ini sejalan dengan

perubahan yang terjadi dalam situasi global serta

ekspansi aliran modal internasional.

Di tingkat regional, surveillance semakin

ditingkatkan dengan diselenggarakannya informal

policy dialogue ASEAN+3 di samping upaya bersama

di ASEAN bekerjasama dengan ADB untuk membangun

Sistem Deteksi Dini (Early Warning System) terhadap

kemungkinan timbulnya krisis.

Keterlibatan Sektor Swasta dalam Mencegah dan

Menanggulangi Krisis

Upaya pencegahan dan penanggulangan krisis,

khususnya krisis keuangan mendapatkan perhatian

besar tidak hanya dari negara yang mengalami krisis

tetapi juga menjadi perhatian dunia. Keterlibatan

sektor swasta dalam mencegah dan menanggulangi

krisis dimaksudkan untuk membagi beban resolusi

krisis secara adil dengan sektor pemerintah,

memperkuat disiplin pasar, dan meningkatkan

208

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

kemampuan “emerging market borrower” dalam

melindungi dirinya sendiri dari volatilitas dan efek

penularan. Upaya-upaya yang dilakukan antara lain

melalui peningkatan transparansi, privatisasi, good

corporate governance, penyelesaian utang yang

mencakup standstill, dan mekanisme restrukturisasi

ULN Pemerintah (Sovereign Debt Restructuring Mecha-

nism - SDRM).

SDRM

Permasalahan beban utang pemerintah yang

memberatkan kondisi fiskal banyak dialami oleh negara

berkembang seperti di negara Amerika Latin, Turki, dan

Rusia. Berulangnya permasalahan krisis utang di

beberapa negara telah mendorong perhatian lembaga-

lembaga internasional untuk mencari alternatif solusi.

Restrukturisasi ULN pemerintah merupakan salah satu

alternatif yang dapat membantu untuk mengatasi krisis

utang luar negeri dan memberikan manfaat bagi

kreditor, debitor maupun perekonomian negara

penerima utang. Dalam pelaksanaannya, proses menuju

tercapainya kesepakatan restrukturisasi utang luar

negeri seringkali mengalami hambatan dan berlarut-

larut. Salah satu problem utamanya adalah kesulitan

untuk menjamin aksi bersama (collective action) di

antara para kreditor dalam upaya mencapai

kesepakatan negosiasi karena masing-masing kreditor

mengutamakan kepentingannya dan mencoba free-ride

dengan harapan memperoleh pembayaran sesuai

dengan kontrak awal.

Dengan latar belakang tersebut, IMF mengajukan

proposal yang intinya adalah membentuk SDRM sebagai

kerangka kerja penjadwalan kembali utang luar negeri

secara seimbang untuk memulihkan sustainability dan

pertumbuhan, tanpa meningkatkan risiko default.

Konsep ini telah disetujui International Monetary and

Financial Committee pada April 2002 untuk

dikembangkan sebagai bagian dari upaya IMF untuk

memperbaiki penanganan krisis (crisis management).

SDRM dirancang untuk memfasilitasi

restrukturisasi ULN pemerintah dari negara anggota

IMF yang menghadapi masalah unsustainable debt

melalui kerangka aksi secara kolektif (collective ac-

tion) di antara para kreditor. SDRM ditujukan agar

proses restrukturisasi menjadi lebih teratur, terukur

dan dapat cepat terselesaikan. SDRM juga

memberikan proteksi nilai aset dan hak-hak kreditor.

Konsep ideal dari SDRM dimaksudkan untuk dapat

mencapai keseimbangan insentif yang tepat baik bagi

pemerintah selaku debitor maupun bagi para

kreditornya. Apabila konsep SDRM ini berhasil

dirancang dan diimplementasikan secara tepat,

diharapkan akan dapat mengurangi biaya

restrukturisasi bagi debitor dan kreditor.

Jenis utang yang dapat diikutsertakan dalam

inisiatif SDRM adalah ULN pemerintah yang berasal dari

kreditor swasta atas dasar perjanjian di bawah hukum

internasional, misalnya eurobonds dan syndicated bank

loans. SDRM tidak mencakup pinjaman resmi

pemerintah yang berasal dari pemerintah negara lain

(kini ditangani oleh Paris Club) dan lembaga-lembaga

keuangan internasional, instrumen utang pemerintah

yang dimiliki oleh lembaga keuangan internasional,

utang pemerintah yang diatur oleh hukum domestik

(obligasi domestik pemerintah) dan tagihan kepada

swasta, termasuk tagihan terhadap sistem perbankan.

Konsep SDRM yang dirancang dengan memberikan

perhatian lebih kepada kepentingan negara-negara

209

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

berkembang nampaknya masih terus dikaji agar lebih

relevan bagi banyak krisis keuangan yang terjadi di

negara-negara berkembang, khususnya mengenai

kemungkinan perluasan cakupan ULN pemerintah yang

dapat ditangani melalui SDRM. Perdebatan di tingkat

internasional masih berlangsung dengan alot, seperti

terjadi dalam sidang dewan eksekutif IMF, sidang G-

20, dan pertemuan Manila Framework, antara lain

menyangkut formulasi kerangka hukum internasional,

penentuan mekanisme voting dan aspek teknis lainnya,

mengingat negara-negara kreditur khawatir akan

dirugikan kepentingannya.

Roadmap for Integration of ASEAN (RIA)

Dalam KTT ASEAN November 2001 di Brunei, para

pemimpin negara-negara ASEAN mengeluarkan the RIA

yang menjadi payung bagi kesepakatan-kesepakatan

ekonomi dan inisiatif ASEAN untuk menuju integrasi

ASEAN 2020. RIA memiliki tiga pilar utama yaitu: (i)

menjembatani kesenjangan pembangunan; (ii)

memperdalam kerjasama ekonomi; (iii) meningkatkan

integrasi ekonomi.

RIA di bidang keuangan dan moneter dijabarkan

dalam 4 isu utama yaitu: (i) mengembangkan pasar

modal ASEAN; (ii) liberalisasi sektor jasa; (iii)

liberalisasi neraca modal (capital account); (iv)

pembentukan mata uang dan sistem nilai tukar

ASEAN. Selama tahun laporan beberapa inisiatif telah

dikemukakan dan beberapa studi telah dilakukan

untuk mendukung proses liberalisasi dimaksud,

misalnya studi mengenai kesesuaian dan prakondisi

pembentukan mata uang tunggal ASEAN (ASEAN com-

mon currency) dan prakarsa untuk mengembangkan

pasar obligasi Asia (Asian Bond Market).

Pembentukan Mata Uang Tunggal ASEAN

Salah satu bentuk persiapan ke arah integrasi

keuangan ASEAN adalah dengan melakukan studi

mengenai kesesuaian dan prakondisi pembentukan mata

uang tunggal. ASEAN Currency and Exchange Rate

Mechanism Task Force telah memulai studi tersebut

pada pertengahan 2001 dan telah menyelesaikan dan

melaporkan hasil studi tersebut pada ASEAN Central

Bank Forum Oktober 2002. Hasil analisis menunjukkan

bahwa ide pembentukan mata tunggal ASEAN belum

dapat diwujudkan dalam waktu dekat mengingat

perbedaan kesenjangan ekonomi yang begitu besar

antara negara-negara ASEAN. Rendahnya tingkat

konvergensi ekonomi negara-negara ASEAN dapat

menyebabkan dampak shocks yang berbeda. ASEAN juga

belum memiliki lead country yang tepat yang mata

uangnya dapat digunakan sebagai jangkar (anchor) bagi

mekanisme nilai tukar regional. Tingkat perdagangan

intraregional ASEAN masih relatif rendah terhadap total

perdagangan internasional negara-negara ASEAN. Di

samping itu, komitmen politik ASEAN masih didominasi

oleh kepentingan nasional masing-masing negara

anggota. Negara-negara ASEAN perlu memiliki

komitmen politik yang kuat serta waktu yang cukup

untuk mencapai setidaknya mendekati konvergensi

ekonomi agar tidak ada kepentingan yang saling

bertentangan dalam merespons suatu kebijakan re-

gional apabila integrasi moneter berlangsung.

Pasar obligasi Asia selama ini tidak populer di

kalangan para manajer investasi, karena preferensi

lebih diarahkan pada obligasi yang memiliki peringkat

yang tinggi. Dalam perkembangan terakhir, ruang untuk

mengembangkan pasar obligasi Asia tampak terbuka

dengan meningkatnya cadangan devisa negara-negara

210

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

Asia, disamping tumbuhnya keinginan untuk

memperoleh yield yang lebih tinggi dan diversifikasi

portfolio. Inisiatif untuk mengembangkan pasar

obligasi Asia mengemuka dalam pertemuan informal

pejabat bank sentral dan departemen keuangan

negara-negara ASEAN+3 di Chiang Mai, Thailand pada

Desember 2002. Tujuan dari inisiatif tersebut adalah

untuk mendorong perkembangan pasar obligasi Asia

yang efisien dan likuid sehingga sektor swasta dan

publik di Asia dapat meningkatkan dan menanamkan

modal jangka panjang tanpa risiko currency dan ma-

turity mismatch. Pasar obligasi Asia diharapkan dapat

menggantikan pinjaman luar negeri, sehingga pada

gilirannya dapat: (i) menyediakan pembiayaan jangka

panjang yang stabil bagi sektor swasta dan publik

dengan memanfaatkan tabungan negara-negara Asia;

(ii) memperkuat sistem keuangan regional dengan

menyediakan berbagai alternatif untuk mentransfer

tabungan menjadi investasi modal dalam kawasan;

(iii) mempersiapkan dasar pertumbuhan ekonomi

yang berkelanjutan dengan meningkatkan sektor

keuangan regional.

Untuk mewujudkan hal tersebut perlu diciptakan

lingkungan yang kondusif untuk membangun pasar

regional melalui pendekatan yang komprehensif,

antara lain dengan: (i) memperbaiki infrastruktur untuk

pasar obligasi Asia dengan memperkuat sistem

pemeringkat regional, menyempurnakan mekanisme

penyelesaian (settlement) regional, menciptakan

proses due diligence dan menciptakan regional finan-

cial arrangements jangka pendek; (ii) Menyediakan

credit enhancement dengan memanfaatkan teknik

keuangan yang terstruktur untuk membantu SME

memperoleh akses terhadap pasar obligasi Asia, serta

meningkatkan efisiensi dan likuiditas pasar dengan

membuat tersedianya market making arrangements

dan menerbitkan obligasi pemerintah sebagai bench-

mark di pasar; (iii) Memfasilitasi perkembangan pasar

dengan bantuan teknis dari negara maju dan

diseminasi informasi mengenai profil keuangan high-

performing companies di kawasan serta situasi

ekonomi dan kondisi lainnya seputar pasar obligasi

regional.

Untuk meningkatkan yield sekaligus mendorong

perkembangan pasar obligasi Asia, Hongkong Mon-

etary Authority (HKMA) dalam pertemuan EMEAP Work-

ing Group on Financial Market pada Juni 2002

mengemukakan ide pembentukan Asian Bond Fund

(ABF)1 . Para Deputi EMEAP dalam sidang November 2002

pada dasarnya mendukung ide dasar dari pebentukan

ABF, namun masih diperlukan berbagai penyempurnaan

dan kesepakatan mengenai berbagai aspek dari ABF.

Indonesia mengapresiasi upaya pembentukan ABF ini

dan percaya bahwa investasi dalam ABF akan

menguntungkan bagi perkembangan Asian Bond Market.

Walaupun demikian, terdapat beberapa hal yang masih

perlu didiskusikan mengingat Bank Indonesia memiliki

investment guidelines yang konservatif yang tidak

memperkenankan penanaman yang melibatkan sektor

korporasi. Disamping itu, penanaman ABF akan

mencakup investasi pada obligasi negara yang

bersangkutan, padahal investasi pada own country

securities tidak masuk ke dalam perhitungan NIR (Net

International Reserves), sehingga penanaman pada ABF

1 Asian Bond Fund akan berbentuk investment pool ( terdiri dari kombinasiobligasi yang diterbitkan oleh negara-negara Asia) yang akan dikelolaoleh suatu manajer investasi. Setiap bank sentral yang akanberpartisipasi akan mengalokasikan sebagian kecil dari cadangandevisanya untuk tujuan ini. Keikutsertaan bank-bank sentral negaraEMEAP dalam ABF adalah berdasarkan prinsip sukarela.

211

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

nantinya dapat menurunkan jumlah NIR.

Bilateral Swap Arrangement

Dalam sidang ASEAN Finance Ministers Meeting

(AFMM) ke-4 di Brunei Darussalam pada tanggal 24-25

Maret 2000, para Menteri Keuangan negara-negara

ASEAN telah sepakat untuk menjajagi kemungkinan

memperluas keanggotaan ASEAN Swap Arrangement

(ASA) sehingga mencakup seluruh negara ASEAN serta

memasukkan negara regional yaitu Cina, Jepang dan

Korea. Sebagai tindak lanjut keputusan tersebut dalam

sidang Special ASEAN Finance and Central Bank Depu-

ties Meeting (AFDM) pada 6 Mei 2000 di Chiang Mai,

Thailand, usulan perluasan ASA tersebut direalisasikan

melalui kesepakatan yang dikenal dengan Chiang Mai

Initiative. Salah satu kesepakatan tersebut adalah Bi-

lateral Swap Arrangement (BSA) diantara negara-negara

ASEAN+3 (Cina, Jepang dan Korea).BSA bertujuan untuk

menyediakan short term financial assistance dalam

bentuk swap kepada negara anggota Chiang Mai

Initiative. Fasilitas swap ini merupakan supplement dari

financing facility yang disediakan oleh IMF dan ASA

dalam rangka mengatasi kesulitan Balance of Payment

(BOP) negara anggotanya. Beberapa manfaat yang

diperoleh dari BSA antara lain adalah: (i) mempererat

kerjasama di bidang keuangan antara negara-negara

ASEAN dan negara+3 (Korea, Jepang, Cina); (ii) Fasilitas

BSA dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif

untuk mendukung neraca pembayaran; (iii) Tidak ada

commitment fee pada saat penandatanganan perjanjian

BSA, sehingga tidak ada biaya yang dikeluarkan sebelum

penarikan pinjaman dilakukan.

Setelah main principles disetujui dalam sidang

AFMM ke-5 di Kuala Lumpur pada 8 April 2001, masing-

masing negara ASEAN bernegosiasi secara bilateral

dengan negara +3. Sampai dengan pertemuan AFMM +3

di Shanghai pada 10 Mei 2002, negara-negara yang

telah menandatangani BSA adalah Jepang-Korea,

Jepang-Thailand, Jepang-Philippina, Jepang-Malaysia,

Cina-Thailand dan Cina-Jepang. Sementara itu proses

perundingan masih berjalan antara Cina-Korea dan Ko-

rea-Thailand (tahap akhir); Korea-Malaysia dan Ko-

rea-Philippine (telah mencapai kesepakatan); Jepang-

Singapore, Cina-Malaysia, Cina-Filipina dan Indone-

sia-Jepang (negosiasi). Perjanjian BSA antara Indo-

nesia dan Jepang direncanakan akan ditandatangani

pada Februari 2003.

THE NEW BASEL CAPITAL ACCORD

Dalam tahun laporan, forum kerjasama bank

sentral seperti EMEAP (Executive Meeting of East Asia

Pacific), SEACEN (South-East Asia Central Bank) serta

Forum kerjasama kementrian keuangan “Manila Frame-

work” secara intensif membahas proposal The New

Basel Capital Accord2 , terutama menyangkut konsep

dan kesiapan bank-bank negara berkembang di Asia

Tenggara mengikuti jadwal implementasi ketentuan

baru tersebut.

The New Basel Capital Accord pada intinya

meningkatkan sensitivitas risiko perbankan dalam

menjalankan kegiatan usaha. Capital Accord baru tersebut

memuat tiga inovasi mendasar yaitu: (i) melengkapi

2 Proposal Basel Accord II diajukan oleh Bank for International Settle-ments pada Juni 2001 untuk menggantikan Basel Capital Accord yangpertama kali dipublikasikan 1988 dan telah diamandemen pada 1996.

3 The New Basel Accord terdiri dari 3 pilar utama untuk memperkokohdan menyehatkan sistem perbankan. Pilar pertama adalah persyaratanmodal minimum. Pilar kedua adalah supervisory review process dimanaproses pengawasan membutuhkan pengawas untuk memastikan bahwasetiap bank menjalankan proses internal yang baik untuk menilaikecukupan modalnya berdasarkan evaluasi resiko secara cermat. Pilarketiga adalah mendorong market discipline melalui peningkatantransparansi manajemen bank.

212

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

standar kuantitatif yang berlaku saat ini dengan dua

pilar tambahan yang berkaitan dengan supervisory re-

view dan market discipline3 ; (ii) mengijinkan bank-bank

yang memiliki kemampuan manajemen risiko yang baik

untuk menggunakan sistem internalnya sendiri dalam

melakukan evaluasi risiko kredit yang dikenal dengan

internal rating based; (iii) memungkinkan bank-bank

untuk menggunakan sistem grading dari lembaga-

lembaga pemeringkat swasta dengan

mengklasifikasikan tagihan-tagihan luar negerinya

menjadi lima kelompok risiko dan tagihan-tagihan

kepada sektor korporasi dan bank menjadi tiga kelompok

risiko. Perhitungan risiko dalam konsep yang baru

diperluas tidak hanya mencakup risiko kredit dan

risiko pasar sebagaimana dalam Basel Capital Accord

I, tetapi juga akan mencakup risiko operasional.

Pada 2002, proposal tersebut telah mengalami

beberapa modifikasi setelah menerima masukan-

masukan dari berbagai pihak termasuk pandangan-

pandangan dari bank-bank sentral dan departemen

keuangan khususnya dari negara-negara berkembang.

Capital Accord baru dijadwalkan untuk diterbitkan

pada Oktober 2003 dan diimplementasikan pada akhir

2006. Pemberlakuan the New Basel Accord tersebut

hanya mengikat bagi anggota Bank for International

Settlements (BIS)4 . Pemberlakuan ketentuan baru

tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi

perekonomian negara-negara berkembang. Di satu sisi,

jika seluruh perbankan dapat mengaplikasikan

ketentuan baru tersebut, maka kepercayaan terhadap

sistem perbankan akan meningkat dan perekonomian

mendapat manfaat nyata dari pemenuhan ketentuan

tersebut. Di lain pihak, memaksakan pemenuhan

ketentuan tersebut sementara perbankan negara-

negara berkembang termasuk Indonesia belum siap

dan belum mampu, akan beresiko terhambatnya proses

restrukturisasi perbankan, bahkan berisiko pada

penutupan bank yang pada gilirannya membahayakan

perekonomian nasional.

Anti Money Laundering dan Pembiayaan

Terorisme

Anti Money Laundering

Dunia internasional, terutama negara-negara

maju, telah menetapkan bahwa pemberantasan

money laundering harus menjadi komitmen seluruh

negara di dunia karena money laundering berdampak

negatif bagi perekonomian dunia. Perhatian yang

besar diberikan oleh lembaga internasional seperti IMF

dan World Bank serta dengan terbentuknya forum kerja

sama internasional dalam rangka meningkatkan upaya

pemberantasan money laundering, seperti: (i) Financial

Action Task Force on Money Laundering (FATF) dibentuk

oleh negara-negara OECD; (ii) Asia Pacific Group on

Money Laundering (APG) dibentuk oleh negara-negara

di kawasan Asia Pacific.

Adapun langkah-langkah upaya pemberantasan

money laundering yang telah dilaksanakan oleh forum

internasional adalah dengan telah ditetapkannya

standar internasional sistem pencegahan dan

pemberantasan money laundering oleh FATF dengan

mengeluarkan 40 rekomendasi. FATF juga melakukan

review terhadap negara-negara yang dipandang rawan

kegiatan money laundering dengan berpedoman pada

25 kriteria Non Cooperative Countries and Territories

(NCCT’s). APG melakukan assessment terhadap sistem4 Indonesia belum menjadi anggota BIS

213

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

penanganan money laundering di negara-negara

anggota dan menyelenggarakan kerja sama

penanganan money laundering di kawasan Asia Pa-

cific, termasuk mengupayakan capacity building.

Sedangkan lembaga internasional seperti World Bank

dan Asian Development Bank mengkaitkan masalah

penanganan money laundering dengan persyaratan

pencairan pinjaman.

Upaya-upaya internasional melalui lembaga-

lembaga tersebut semakin diintensifkan dan

dikaitkan dengan upaya pemberantasan pembiayaan

terorisme internasional (combating financing of ter-

rorism). Dalam perspektif tertentu upaya-upaya

negara maju melalui forum-forum internasional

tersebut menjadi tekanan terhadap negara-negara

berkembang seperti Indonesia.

Pemberantasan Pembiayaan Terorisme

Setelah tragedi WTC pada 11 September 2001

dan berbagai aksi terorisme di dunia, banyak forum

internasional berusaha menangani berbagai isu yang

terkait dengan terorime. Menindaklanjuti KTT G-20

di Ottawa 2001, negara anggota G-20 berjanji untuk

bekerjasama dengan lembaga keuangan internasional,

FATF, Financial Stability Forum (FSF), dan lembaga

internasional terkait lainnya untuk mencegah

penyalahgunaan sistem keuangan serta ancaman

terhadap integritas sistem keuangan dengan cara

meningkatkan standar internasional yang terkait

dengan pendanaan terorisme, money laundering dan

ketentuan serta pengawasan sektor keuangan.

Pada lingkup kerjasama ASEAN dan APEC, masalah

terorisme juga menjadi agenda pembahasan di antara

negara-negara anggota. Pada Juli 2002, Indonesia

bersama dengan negara ASEAN lainnya dalam ARF

telah menandatangani traktat mengenai

pemberantasan terorisme dengan AS. Sementara itu

pada bulan yang sama, Indonesia bersama-sama

Philipina dan Thailand membentuk trilateral agree-

ment untuk pemberantasan terorisme. Dalam

pertemuan APEC di Los Cabos pada Oktober 2002 para

pemimpin ekonomi APEC mendiskusikan dampak

ekonomi akibat terorisme, upaya APEC memerangi

terorisme dan rencana aksi, konsep pengamanan

perdagangan di wilayah APEC (STAR), dan strategi

keamanan dunia maya (cyber security strategy).

Sejalan dengan hal tersebut, KTT ASEAN ke-8

pada November 2002 di Phnom-Penh menegaskan

kembali pendiriannya untuk melaksanakan the ASEAN

Declaration on Joint Action to Counter Terrorism,

sebagaimana telah diadopsi dalam pertemuan ASEAN

di Brunei Darussalam pada November 2001. Negara-

negara ASEAN bertekad meningkatkan upaya

pencegahan dan pemberantasan terorisme secara

sendiri-sendiri maupun bersama dengan rencana

kerja sebagaimana disepakati dalam Special Ministe-

rial Meeting on Terrorism di Kuala Lumpur, Mei 2002.

Berkenaan dengan tragedi WTC, pemerintah

Indonesia menyambut baik dikeluarkannya Resolusi

Dewan Keamanan PBB No. 1373 28 September 2001 dan

menegaskan sikap untuk melaksanakan isi resolusi

tersebut sebagai prioritas kebijakan nasional. Terhadap

tragedi Bali, pemerintah dan aparat penegak hukum

Indonesia bekerjasama dengan negara lain berupaya

sekuat tenaga mengungkap pelaku pemboman tersebut.

Sebagai pelaksanaan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.

1373 tersebut, pemerintah dibawah koordinasi

Departemen Luar Negeri telah membentuk forum

214

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

koordinasi antar departemen teknis terkait untuk

membahas langkah-langkah bersama pemerintah Indo-

nesia. Pemerintah telah menyusun dan menyampaikan

dua laporan resmi kepada the Counter Terrorism Com-

mittee (CTC) – Dewan Keamanan PBB pada November

2001 dan Juni 2002 yang memuat penjelasan atas

ketentuan dan langkah-langkah yang telah dan sedang

dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah juga

menyampaikan laporan secara spesifik yang memuat

uraian mengenai penerapan Know Your Customer Prin-

ciples pada perbankan Indonesia sebagaimana diatur

dalam PBI No.3/10/PBI/2001 dan PBI No.3/23/PBI/2001

tentang Prinsip Mengenai Nasabah. Disamping itu,

pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang No.1 tahun 2002 tanggal 18

Oktober 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme. Peraturan ini merupakan kebijakan dan

langkah strategis untuk memperkuat ketertiban

masyarakat dan keselamatan masyarakat dengan

menjunjung tinggi hukum dan hak azasi manusia, serta

tidak bersifat diskriminatif.

Kerjasama di Bidang Pembangunan

Pengurangan kemiskinan tetap menjadi prioritas

bagi negara-negara berkembang. Oleh karena itu, IMF,

dan Bank Dunia bersama masyarakat internasional

lainnya memiliki tanggung jawab untuk membantu

negara-negara berkembang tidak saja dalam

mengembangkan kerangka untuk pembangunan

ekonomi, tetapi juga membangun kapasitas dan sumber

daya yang dibutuhkan untuk implementasi program

pembangunannya. Dalam kaitan ini, pada tahun laporan

telah dicapai kesepakatan bersama “Monterrey

Consensus”, disamping sebelumnya telah dan sedang

dilaksanakan program-program pengurangan

kemiskinan seperti prakarsa highly indebted poor

countries (HIPC) dan program Poverty Reduction and

Growth Facility (PRGF).

Monterrey Consensus

Pada 18-22 Maret 2002 di Monterrey, Mexico

diselenggarakan pertemuan internasional yang

bertujuan untuk menghimpun kesepakatan dunia

dalam menghapus kemiskinan, mencapai

pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam

upaya mencapai sistem ekonomi global yang adil

dan menyeluruh. Dalam pertemuan tersebut para

pemimpin dunia menyatakan komitmennya untuk

meningkatkan kerjasama dan bersatu memerangi

kemiskinan dengan target penurunan tingkat

kemiskinan di dunia menjadi setengahnya pada 2015.

Kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan

tersebut disebut dengan “Monterrey Consensus” yang

pada intinya berisi pentingnya peningkatan kerjasama

dan kemitraan antara negara-negara maju dan negara-

negara berkembang untuk mendukung upaya

pembangunan dalam era globalisasi dan semakin

kuatnya saling ketergantungan antar negara. Sebagai

dasar peningkatan kerjasama dan kemitraan tersebut,

di satu sisi negara-negara berkembang perlu melakukan

pembenahan dalam pengelolaan pembangunan,

memperkuat upaya penegakan hukum dan

pemerintahan yang bersih, demokratis dan akuntabel.

Di sisi lain, negara-negara maju memberikan komitmen

untuk meningkatkan jumlah bantuan pembangunan

kepada negara-negara berkembang. Dalam hal ini

diperlukan sinergi antara bantuan pembangunan yang

diberikan dengan peningkatan akses negara tersebut

215

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

dalam perdagangan dunia. AS berencana

menganggarkan dana sebesar $5,0 milyar untuk 3

tahun ke depan. Uni Eropa (UE) menganggarkan

sekitar $8,0 – $10,0 milyar per tahun dalam jangka

waktu 3 tahun.

Dalam kaitannya dengan masalah utang luar

negeri negara berkembang, telah disepakati untuk

meningkatkan upaya penyelesaiannya dengan melalui

penerapan prinsip burden sharing antara kreditor dan

debitor, baik antar pemerintah maupun antar

pemerintah dengan swasta. Beberapa mekanisme

penyelesaian utang luar negeri yang dapat ditempuh

antara lain melalui skema debt swaps maupun debt

relief, seraya mengkaji kemungkinan memanfaatkan

ketersediaan SDR (Special Drawing Right) guna

membantu keperluan pembiayaan pembangunan di

negara-negara berkembang. Telah disepakati pula

untuk meningkatkan koordinasi dan koherensi

kebijakan di antara lembaga-lembaga internasional

yang menangani bidang moneter, keuangan,

perdagangan dan pembangunan. Dalam kaitan ini

juga ditekankan perlunya meningkatkan partisipasi

negara berkembang dalam proses pengambilan

keputusan di berbagai lembaga internasional

khususnya IMF dan World Bank.

Berlandaskan kepada kesepakatan dalam

“Monterrey consensus” tersebut, Bank Dunia melakukan

upaya peningkatan kemitraan antara sektor

pemerintah, swasta dan NGO dalam pembangunan serta

harmonisasi berbagai langkah guna mendorong

efektifitas bantuan yang diberikan Bank Dunia serta

lembaga-lembaga yang menaunginya. Perhatian khusus

diberikan kepada upaya mendorong pertumbuhan di

negara-negara berpenghasilan rendah serta

peningkatan kemampuan negara-negara tersebut

dalam memanfaatkan bantuan yang diberikan Bank

Dunia melalui capacity building serta peningkatan cor-

porate & public governance. Para pemimpin dunia

dalam sidang, mendorong Bank Dunia meningkatkan

bantuannya kepada negara-negara miskin guna

meningkatkan infrastruktur dalam memanfaatkan

peluang dari perdagangan global.

Sejalan dengan Monterey Consensus, konstituen

Southeast Asia Group di IMF dalam sidang tahunan IMF

di Washington September 2002 menegaskan

pentingnya bagi negara industri untuk membuka

pasarnya bagi negara-negara berkembang.

Pembangunan infrastruktur ekonomi dengan

berdasarkan bantuan keuangan akan berkurang

manfaatnya jika negara-negara berkembang tidak

memiliki saluran untuk ekspor dan jalan untuk

menciptakan pertumbuhan ekonomi.

Berkaitan dengan implementasi Monterrey Con-

sensus, pertemuan para Gubernur Bank Sentral dan

Menteri Keuangan G-20 pada November 2002 di New

Delhi, India, menekankan bahwa kualitas bantuan

sama pentingnya dengan kecukupan jumlah bantuan.

Alokasi bantuan keuangan seringkali tidak optimal

akibat tidak efektifnya desain dan strategi

implementasi dari program bantuan tersebut yang

antara lain disebabkan oleh banyaknya kepentingan

dari pemberian bantuan keuangan yang beberapa

diantaranya merupakan alasan nonekonomi (misalnya

pemberlakuan ad-hoc conditionalities). Oleh sebab

itu, agar pemanfaatan bantuan menjadi efektif,

negara penerima bantuan hendaknya diberikan

fleksibilitas dan otonomi kebijakan. Dalam kaitan ini

bantuan yang tidak mengikat dan kombinasi yang

216

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

sehat antara investasi dan bantuan program

(programme assistance) dengan fokus sektoral

nampaknya menjadi pilihan yang baik bagi negara

berkembang.

Bagi Indonesia kiranya “Monterrey consensus” ini

dapat dijadikan sebagai rujukan bagi perumusan

kebijakan dan pelaksanaan pembangunan nasional yang

lebih terpadu dan berkelanjutan, antara lain yang

berkaitan dengan peningkatan langkah-langkah

pembenahan tata pemerintahan, penegakan hukum,

penguatan kelembagaan dan peningkatan efektifitas

bantuan asing, sehingga dapat memulihkan

kepercayaan masyarakat internasional khususnya

negara dan lembaga kreditur dan kalangan investor.

Namun demikian, diperlukan komitmen yang tegas

dan usaha yang keras bagi pemerintah RI dalam

mewujudkan hal tersebut di atas, terutama

peningkatan koordinasi di dalam negeri, yakni antara

pemerintah pusat-daerah, antar instansi/lembaga

pemerintahan, dan antara pemerintah dengan

lembaga legistatif (DPR).

Program HIPC, PRSP dan PRGF

Upaya yang telah dilakukan IMF bekerjasama

dengan Bank Dunia untuk membantu negara-negara

miskin meliputi (i) Program Highly Indebted Poor

Countries (HIPC), (ii) Poverty Reduction Strategy

Papers (PRSP), dan (iii) Poverty Reduction and

Growh Facility (PRGF).

Mengenai HIPC, dalam tahun laporan, kemajuan

yang dicapai dalam inisiatif penyelesaian utang negara

miskin melalui skim HIPC cukup menggembirakan.

Dalam sidang tahunan IMF/WB September 2002

diungkapkan bahwa 2/3 negara-negara miskin telah

memperoleh manfaat dari program HIPC.

Permasalahan khusus dihadapi dalam menangani

utang negara-negara miskin yang dianggap sudah

tidak sustainable. Dalam kaitan ini diperlukan adanya

pengkajian mengenai debt sustainability sebagai

dasar penilaian negara maupun lembaga donor dalam

memberikan pinjaman konsesional. Isu-isu penting

yang perlu diperhatikan adalah bagaimana membantu

negara-negara miskin dalam jangka panjang setelah

berhasil melaksanakan program HIPC. Selama ini

negara-negara tersebut banyak tergantung pada

beberapa komoditas tertentu sehingga rentan

terhadap perubahan harga komoditas di pasar

internasional. Penurunan harga dapat mengakibatkan

negara-negara tersebut kembali menjadi penghutang

berat. Negara-negara berkembang kembali

menekankan perlunya akses pasar yang lebih besar

dari negara-negara maju.

Mengenai PRSP, program tersebut telah

berhasil membantu meningkatkan pembangunan di

negara-negara miskin, terutama post-conflict coun-

tries. Agar bantuan lebih efektif, negara-negara

tersebut harus meningkatkan kemampuan

institusional, termasuk koordinasi.

Mengenai PRGF, program ini merupakan salah

satu sumber pertumbuhan bagi negara-negara

miskin. Di satu sisi, negara-negara miskin perlu

memperbaiki berbagai permasalahan di dalam

negeri seperti penyesuaian struktural dan kebijakan

makro yang sehat. Di sisi lain, negara-negara

miskin perlu juga memperoleh peluang akses pasar

terutama untuk produk hasil pertanian bagi negara-

negara tersebut. IMF dan Bank Dunia tampaknya

perlu merampingkan desain country-owned pro-

217

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

grams untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi

dan mengurangi kemiskinan. PRGF juga perlu dibuat

fleksibel agar dapat mudah disesuaikan dengan

kondisi negara yang spesifik.

Di luar program-program tersebut di atas,

dalam tahunan laporan Bank Dunia juga menekankan

upaya meningkatkan pendidikan guna mengurangi

kemiskinan dan ketimpangan serta merupakan dasar

bagi pertumbuhan ekonomi yang mantap. Bank Dunia

bekerjasama dengan pemerintah Belanda berupaya

untuk meningkatkan kesempatan memperoleh

pendidikan melalui program “ Education for The

World’s Children”. Dalam kaitan ini telah disusun

langkah kerja dalam mencapai konsensus

internasional untuk menciptakan sistem pendidikan

dasar yang dapat dijangkau seluruh anak-anak pada

2015. Untuk mewujudkan hal tersebut, Bank Dunia

juga bekerja sama dengan lembaga-lembaga multi-

lateral PBB seperti UNESCO.

218

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

Bab 11: Prospek Ekonomi Dan ArahKebijakanProspek Ekonomidan Arah Kebijakan

11BAB

l a p o r a nt a h u n a n

219

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

11B A B PROSPEK EKONOMI

DAN ARAH KEBIJAKAN

Prospek pertumbuhan ekonomi diprakirakan masih

akan membaik meskipun masih akan sangat

tergantung keberhasilan penanganan berbagai faktor

risiko dan permasalahan yang mendasar, baik yang

bersumber dari sisi eksternal maupun domestik. Dari

sisi eksternal, relatif lambatnya pertumbuhan

sebagian besar negara maju serta meningkatnya

ketegangan politik di Timur Tengah dapat berpotensi

memperburuk iklim investasi global yang sementara

ini belum pulih. Disamping itu, terjadinya berbagai

skandal keuangan yang dilakukan oleh beberapa

perusahaan internasional semakin mengurangi minat

investor untuk menanamkan modal di negara-negara

berkembang. Dari sisi domestik, disamping berbagai

permasalahan fundamental ekonomi seperti belum

pulihnya fungsi intermediasi perbankan dan risiko

likuiditas keuangan pemerintah, berbagai faktor

sosial politik seperti masih maraknya konflik

perburuhan, persepsi masyarakat yang kurang

kondusif terhadap supremasi hukum serta

perkembangan suhu sosial, politik dan keamanan

menjelang Pemilu 2004 juga perlu terus dicermati.

Apabila dampak buruk berbagai faktor risiko dan

ketidak-pastian di atas dapat diminimalkan,

pertumbuhan ekonomi pada 2003 diprakirakan akan

mencapai 3,5% – 4,0%. Dari sisi permintaan, sumber

utama pertumbuhan ekonomi masih akan banyak

ditopang oleh kegiatan konsumsi. Sementara itu,

mengingat kondisi global yang belum terlalu kondusif

pertumbuhan ekspor dan investasi –meskipun

diprakirakan akan membaik- diprakirakan belum akan

mengalami peningkatan yang cukup berarti. Dari sisi

penawaran, seluruh sektor kegiatan ekonomi

diprakirakan akan mencatat pertumbuhan positif.

Pertumbuhan yang cukup tinggi diperkirakan akan

terjadi pada sektor listrik, gas dan air bersih, sektor

angkutan dan telekomunikasi, dan sektor bangunan.

Meski demikian, dampak tragedi Bali diprakirakan

masih terasa pada beberapa sektor terutama pada

sektor-sektor yang terkait dengan pariwisata dan

perhotelan. Menurunnya kinerja sektor tersebut

selanjutnya akan berpengaruh pula pada kinerja Neraca

Pembayaran Indonesia.

Secara keseluruhan, kinerja Neraca Pembayaran

Indonesia (NPI) pada 2003 diprakirakan akan sedikit

menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini

terutama disebabkan oleh menurunnya surplus

transaksi berjalan akibat meningkatnya defisit

Perekonomian 2003 diprakirakan tumbuh sebesar 3,5%-4% seiring denganmeningkatnya kinerja investasi dan ekspor. Sementara itu, denganmempertimbangkan prospek inflasi yang cenderung menurun dan kondisiperbankan yang masih likuid, kebijakan moneter diarahkan untuk secarabertahap menurunkan suku bunga guna memperkuat sinyal positif bagiproses pemulihan ekonomi.

220

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

transaksi jasa dan menurunnya surplus transaksi

barang. Sementara itu, neraca lalu lintas modal

diprakirakan akan sedikit memburuk yang terutama

disebabkan oleh meningkatnya defisit lalu lintas modal

swasta.

Secara umum, perkembangan nilai tukar rupiah

pada 2003 diprakirakan membaik. Prakiraan ini

sejalan dengan survei pasar yang mengindikasikan

perkembangan nilai tukar rupiah akan cenderung

menguat dan relatif stabil. Meskipun perkembangan

berbagai faktor sentimen pasar masih perlu dicermati,

stabilitas nilai tukar tersebut akan didukung oleh

perkembangan faktor fundamental yang membaik

termasuk ketersediaan pasokan valas yang cukup,

yang bersumber dari perolehan devisa hasil ekspor,

aliran modal masuk baik dalam bentuk pinjaman luar

negeri, pembelian aset BPPN, keberhasilan program

privatisasi BUMN dan divestasi bank-bank rekap, serta

aliran modal masuk portfolio.

Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang

moderat dan nilai tukar rupiah yang cenderung

menguat dan stabil, perkembangan inflasi IHK di

2003 diprakirakan akan lebih rendah dibandingkan

tahun sebelumnya. Disamping itu, penurunan inflasi

juga disebabkan oleh lebih rendahnya dampak

penerapan kebijakan pemerintah di bidang harga dan

pendapatan, dan menurunnya ekspektasi inflasi

masyarakat.

Seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi

makro di atas, kondisi perbankan Indonesia di 2003

diprakirakan akan semakin membaik. Perbaikan

tersebut antara lain tercermin dari meningkatnya

penghimpunan DPK dan pertumbuhan kredit yang

diberikan, rasio NPL yang relatif rendah serta

terpeliharanya kecukupan modal.

PROSPEK EKONOMI GLOBALPertumbuhan Ekonomi dan Perdagangan Dunia

Pertumbuhan ekonomi dunia di 2003 diprakirakan

sedikit menguat. Berdasarkan prakiraan IMF 1

perekonomian dunia akan tumbuh 3,7%, lebih tinggi

dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang

mencapai 2,8% . Meskipun cenderung menguat,

prakiraan tersebut perlu lebih dicermati mengingat

peningkatannya lebih banyak disumbang oleh

tingginya pertumbuhan ekonomi negara berkembang

seperti Cina dan ASEAN. Sementara itu, pertumbuhan

ekonomi berbagai negara maju yang menjadi mitra

dagang utama Indonesia seperti Amerika Serikat (AS),

Jepang dan Uni Eropa (UE) diprakirakan masih berada

pada kisaran yang rendah. Di sisi lain, prospek

pertumbuhan tersebut juga masih menghadapi

berbagai risiko seperti meningkatnya geopolitical risk

1 World Economic Outlook, September 2002

Tabel 11.1Pertumbuhan Ekonomi di Berbagai Kawasan Dunia

Pertumbuhan EkonomiDuniaNegara-Negara Industri

Amerika SerikatJepangUni EropaNegara Industri Baru Asia

Negara-Negara BerkembangAfrikaAsiaCinaASEAN-4 **Amerika Latin

Negara-Negara dalam Transisi

Rincian

3,72,52,61,12,34,95,24,26,37,24,23,04,5

2,81,72,2

-0,51,14,74,23,16,17,53,6

-0,63,9

2,20,80,3

-0,31,60,83,93,55,65,62,60,65,0

2001 2002* 2003*

Sumber : IMF, World Economic Outlook, September 2002* Angka prakiraan** Terdiri dari Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand

(Persen)

221

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

dan masih besarnya ketergantungan ekonomi dunia

terhadap perekonomian AS.

Meskipun prospek pemulihan ekonomi dunia

diprakirakan masih membaik, pertumbuhan

ekonomi di berbagai negara maju diprakirakan

masih relatif lemah. Pertumbuhan ekonomi AS,

Jepang dan Zona Euro masing-masing diprakirakan

tumbuh 2,6%, 1,1% dan 2,3%. Prakiraan

pertumbuhan ekonomi AS yang masih rendah

tersebut terutama disebabkan oleh pertumbuhan

konsumsi akibat anjloknya harga saham dan masih

tingginya tingkat pengangguran. Sementara itu,

pertumbuhan ekonomi kawasan Eropa diharapkan

dapat didorong oleh pulihnya konsumsi karena

meningkatnya pendapatan dan rendahnya inflasi.

Selain itu investasi diharapkan dapat meningkat

sehubungan dengan meningkatnya siklus

persediaan, pendapatan perusahaan dan

pemanfaatan kapasitas produksi. Perekonomian

Jepang diprakirakan masih rentan dan memiliki

ketergantungan yang tinggi terhadap ekspor

sehingga dikhawatirkan akan dapat mengalami

pertumbuhan yang lebih rendah apabila nilai tukar

yen cenderung menguat.

Pertumbuhan ekonomi negara-negara

berkembang diprakirakan masih lebih tinggi

dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi negara

maju. Dalam tahun 2003 pertumbuhan ekonomi

negara-negara berkembang di kawasan Afrika, Asia,

ASEAN-4 dan Amerika Latin akan cenderung

meningkat masing-masing sebesar 4,2%, 6,3%, 4,2%

dan 3,0%. Membaiknya pertumbuhan ekonomi di

negara berkembang tersebut terutama didorong oleh

permintaan domestik yang umumnya memiliki

kontribusi yang besar terhadap perekonomian, dengan

ditunjang oleh kebijakan ekonomi yang masih akan

cenderung longgar, terutama negara-negara dengan

tingkat inflasi yang masih terkendali.Inflasi dan Suku Bunga Internasional

Seiring dengan menguatnya permintaan agregat,

perkembangan inflasi dunia di 2003 diprakirakan akan

sedikit meningkat terutama di negara-negara

berkembang. Sementara itu, perkembangan inflasi

negara maju seperti AS, Jepang dan UE –meskipun

cenderung meningkat- diprakirakan masih relatif

rendah akibat masih lemahnya permintaan. Disamping

itu, masuknya barang impor yang harganya relatif lebih

murah diprakirakan juga memberikan kontribusi

terhadap perkembangan harga yang relatif rendah

(Tabel 11.2).

Meskipun perkembangan ekonomi dunia

diprakirakan meningkat dibandingkan dengan tahun

sebelumnya, namun pertumbuhan ekonomi tersebut

dipandang masih lamban dan memerlukan stimulus

lebih lanjut. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi longgar

(easing bias economic policy) masih akan

dipertahankan pada 2003. Sebagai akibatnya, suku

bunga diprakirakan masih akan cenderung berada

Tabel 11.2Perkembangan Inflasi dan Suku Bunga Internasional

Tingkat InflasiNegara-Negara IndustriNegara-Negara BerkembangNegara-Negara Transisi

Suku Bunga Jangka PendekAmerika SerikatJepangUni Eropa

Rincian

1.76

8.8

3.20.13.8

1.45.6

11.3

2.10.13.4

2.25.7

15.9

3.70.24.1

2001 2002* 2003*

Sumber : IMF, World Economic Outlook, September 2002* Angka prakiraan

(Persen)

222

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

dalam kisaran yang rendah.

Prospek Harga Komoditas Pasar Internasional

Secara umum, perkembangan harga komoditas

di pasar internasional diprakirakan sedikit meningkat

yang didorong oleh meningkatnya harga-harga

komoditas nonmigas. Sementara itu, harga komoditas

minyak diprakirakan kembali turun dibandingkan

dengan harga pada akhir 2002. Meningkatnya

produksi minyak mentah yang disertai dengan

peningkatan persediaan minyak negara maju

diprakirakan menjadi faktor koreksi terhadap

perkembangan harga minyak yang cukup tinggi

menyusul terjadinya ketegangan politik di Timur

Tengah serta memburuknya situasi di Venezuela.

Kecenderungan meningkatnya harga komoditi

nonmigas pada 2002 diprakirakan masih berlanjut

pada 2003, seiring dengan membaiknya

perkembangan ekonomi dunia. Meningkatnya harga

komoditi nonmigas di pasar dunia terutama

bersumber dari komoditas pertanian dan bahan baku

industri. Beberapa komoditas pertanian dan bahan

baku industri yang diprakirakan mencatat kenaikan

cukup tinggi tersebut adalah komoditas minyak kelapa

minyak sawit, coklat, dan kayu gergajian. Sementara

itu, harga komoditas kopi dan gula diprakirakan

cenderung masih rendah, sedangkan perkembangan

harga komoditas mineral dan logam diprakirakan

cenderung stabil mengingat persediaan dunia yang

relatif masih cukup serta peningkatan produksi

Tabel 11.3Proyeksi Produksi Permintaan Minyak Dunia

Tabel PermintaanOECD

Amerika SerikatLainnya

Non OECD

Total ProduksiOECDNon OECD

OPECLainnya

Perubahan Stock

IV

79,149,820,829,012,1

78,724,254,529,125,4

-0,4

Aktiva Produktif

Sumber : Energy Information Agency, Short Term Energy Outlook, November 2002

IIIIIIIVIIIIII20032002

77,348,420,527,912,2

78,223,954,329,125,2

0,9

76,146,820,126,712,1

77,423,653,829,124,7

1,3

78,249,120,328,811,8

77,624,053,629,224,4

-0,6

77,548,820,028,811,9

77,924,053,929,324,6

0,4

76,247,819,927,912,0

75,623,152,528,224,3

-0,6

74,846,219,626,612,0

75,023,651,427,424,0

0,2

76,647,919,428,511,7

75,323,651,727,923,8

-1,3

(Juta Barrel Per Hari)

Grafik 11.1Perkembangan Harga Komoditas Pertanian

223

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

yang relatif lemah.

Sementara itu, perkembangan harga minyak

yang cenderung meningkat tajam sejak paro kedua

2002 diprakirakan kembali turun ke rentang harga

yang telah ditetapkan OPEC ($22 – $28 per barel) di

2003. Beberapa faktor yang mendorong penurunan

harga minyak tersebut antara lain adalah berkurangnya

sentimen negatif pasar terhadap rencana serangan

AS terhadap Irak, relatif stabilnya persediaan minyak

dunia serta rencana penambahan kuota produksi

minyak negara OPEC (Tabel 11.3).

PROSPEK EKONOMI INDONESIA

Secara keseluruhan ekonomi Indonesia di 2003

akan tumbuh pada kisaran 3,5% - 4,0% atau sedikit

membaik dibandingkan 2002. Prakiraan pertumbuhan

ekonomi ini lebih rendah dibandingkan dengan

prakiraan semula (sebelum terjadinya tragedi Bali).

Dari sisi permintaan, sumber pertumbuhan utama

masih berasal dari konsumsi. Meskipun masih

terbatas, peran ekspor barang dan jasa terhadap

pertumbuhan ekonomi akan kembali meningkat

seiring dengan kemungkinan membaiknya kondisi

ekonomi internasional. Sementara dari sisi

penawaran, seluruh sektor perekonomian akan

tumbuh positif dengan sumbangan terbesar masih

berasal dari sektor industri pengolahan. Prakiraan

pertumbuhan yang moderat ini sejalan dengan

kecenderungan pergerakan Leading Indikator Ekonomi

(LIE)2 yang relatif flat (Grafik 11.2).

Sementara itu, consensus forecast dari lembaga-

lembaga ekonomi dan keuangan (Desember 2002)

menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2002 berada

dalam kisaran 2,9% s.d. 4,2% dengan rata-rata 3,6%.

Dampak tragedi Bali menyebabkan beberapa institusi

ekonomi merevisi ke bawah prakiraan pertumbuhan

ekonominya sebesar 0,7%-1,0% dari prakiraan semula

sehubungan dengan meningkatnya risk premium dan

turunnya investor-confidence dan consumer confidence.Prospek Permintaan

Dari sisi permintaan, komponen utama

penggerak pertumbuhan ekonomi masih akan berasal

dari konsumsi swasta. Pertumbuhan konsumsi yang

positif tersebut sejalan dengan kebijakan pemerintah

untuk meningkatkan gaji dan UMP serta

2 Indeks merupakan komposit dari beberapa indikator ekonomi sepertiIHK, M2 Rill, Volume Kliring, IHSG, dan SKDU.

Grafik 11.2Leading Indikator Ekonomi

Tabel 11.4Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sisi Pengeluaran

Konsumsi SwastaKonsumsi PemerintahTotal KonsumsiTotal investasiEkspor Barang dan JasaImpor Barang dan JasaProduk Domestik Bruto

Komponen Pengeluaran

4,3 - 4,812,8 - 13,35,2 - 5,70,8 - 1,31,0 - 1,51,7 - 2,23,5 - 4,0

4,712,85,5

-0,2-1,2-8,33,7

2002* 2003**

* Angka Prakiraan Bank Indonesia** Angka Proyeksi Bank Indonesia

(Persen)

224

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

perkembangan harga yang akan relatif stabil.

Sementara itu, kegiatan ekspor dan investasi masih

akan tumbuh positif meskipun kontribusinya terhadap

pertumbuhan relatif terbatas. Rendahnya

pertumbuhan ekspor dan investasi disamping akibat

problem struktural yang dihadapi juga terkait dengan

rendahnya kepercayaan masyarakat internasional

terhadap perekonomian Indonesia.

Pada 2003, konsumsi swasta tumbuh pada

kisaran 4,3% - 4,8%. Meskipun masih mampu tumbuh

dalam kisaran yang cukup tinggi, laju pertumbuhan

konsumsi swasta tersebut lebih lambat dibandingkan

dengan 2002 (Grafik 11.3). Perlambatan tersebut

ditengarai seiring dengan menurunnya daya beli

masyarakat yang disebabkan oleh tingginya angka

pengangguran, menurunnya transfer pendapatan TKI

serta berkurangnya subsidi pemerintah kepada

masyarakat.

Perlambatan pertumbuhan konsumsi swasta juga

diindikasikan dari sisi pembiayaan. Kecenderungan

perlambatan kredit konsumsi dan pembiayaan

konsumen selama 2002 diprakirakan masih akan

terjadi di 2003. Disamping itu, perkembangan alat

pembayaran berbasis kartu juga mengindikasikan

melambatnya kegiatan konsumsi sebagaimana

tercermin dari nilai transaksi per individu pemegang

kartu yang menurun.

Indikasi melemahnya kegiatan konsumsi juga

tercermin pada indeks ekspektasi konsumen yang

masih berada dalam level pesimis (Grafik 11.4).

Pesimisme konsumen dalam 6 hingga 12 bulan yang

akan datang terutama didorong oleh prospek jumlah

pengangguran yang masih tinggi, sementara

ekspektasi terhadap prospek ekonomi mengalami

peningkatan meskipun masih pesimis pada Desember

Grafik 11.3Indeks Survei Konsumen

Grafik 11.4Komponen Indeks Ekspektasi Konsumen

Grafik 11.5Rencana Konsumsi dalam 6-12 Bulan yang Akan Datang

225

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

2002. Disamping itu, konsumen masih pesimis untuk

melakukan rencana pembelian barang-barang tahan

lama dalam 6-12 bulan. Optimisme rencana konsumsi

responden hanya terjadi pada kelompok sandang dan

rekreasi/tamasya(Grafik 11.5).

Konsumsi pemerintah akan tumbuh sebesar

12,8% – 13,3% atau meningkat dibandingkan dengan

tahun lalu karena meningkatnya pengeluaran rutin

pemerintah, khususnya dalam bentuk belanja

pegawai, belanja barang, dan meningkatnya anggaran

belanja daerah dalam bentuk dana perimbangan.

Meningkatnya anggaran belanja daerah diharapkan

dapat lebih meningkatkan konsumsi di daerah

sehingga fungsi pemerataan pendapatan dapat lebih

ditingkatkan.

Sementara itu, pengeluaran investasi akan

tumbuh pada kisaran 0,8% – 1,3% di 2003. Meskipun

mampu tumbuh positif, pertumbuhan investasi di

tahun mendatang secara umum masih belum

menggembirakan mengingat pertumbuhan positif

tersebut lebih banyak disumbang oleh berbagai proyek

pemerintah pusat maupun proyek-proyek yang

dilakukan oleh BUMN. Sementara itu, kegiatan

investasi yang dilakukan oleh swasta murni

diprakirakan masih akan terbatas.

Berbagai proyek pemerintah yang memberikan

sumbangan terhadap pengeluaran investasi sebagian

besar merupakan proyek-proyek yang tertunda

pelaksanaannya pada periode sebelumnya antara lain

proyek jalan tol, kelistrikan, telekomunikasi dan

petrokimia. Dari sisi pembiayaan, disamping dibiayai

melalui penarikan utang luar negeri, pertumbuhan

investasi pemerintah juga didukung dana yang

dihimpun melalui penerbitan obligasi oleh berbagai

badan usaha pemerintah.

Pertumbuhan investasi swasta masih akan

cenderung pesimis. Dari sisi pembiayaan, berbagai

kemajuan dalam melakukan restrukturisasi utang

telah dicapai oleh beberapa kelompok perusahaan

besar serta membaiknya kondisi perbankan dalam

negeri merupakan faktor positif yang dapat menjadi

pendongkrak investasi. Namun demikian, upaya untuk

kembali menggiatkan kegiatan investasi diprakirakan

masih menghadapi kendala yang tidak ringan karena

upaya untuk memobilisasi dana yang lebih besar relatif

sulit. Beberapa investor swasta yang merencanakan

untuk melakukan kegiatan investasi yang cukup besar

sebagian merupakan perusahaan yang sudah cukup

lama berkecimpung di Indonesia.

Perkembangan persepsi investor internasional

terhadap iklim investasi Indonesia perlu terus

dicermati mengingat sebagian lembaga rating maupun

investasi masih menilai bahwa iklim investasi di dalam

negeri masih berisiko tinggi. Selain disebabkan oleh

perkembangan berbagai faktor domestik, berbagai

faktor eksternal seperti risiko keamanan global dan

rendahnya pertumbuhan ekonomi negara maju telah

memicu terjadinya pesimisme investor secara global

sehingga mendorong para investor untuk cenderung

menghindari investasi pada aset yang berisiko tinggi.

Hal ini antara lain tercermin dari turunnya pangsa

investasi AS dan Eropa di kawasan Asia kendati

pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan Asia

relatif tinggi. Terkait dengan hal itu, kecenderungan

turunnya Foreign Direct Investment dunia ( sebesar

27% di 2002) diprakirakan masih akan berlangsung

di tahun mendatang.

Memperhatikan kecenderungan tersebut upaya

226

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

mobilisasi pembiayaan investasi nampaknya harus

disertai pula dengan penajaman strategi kebijakan

serta penyusunan skala prioritas yang tepat guna

pengembangan industri dalam negeri. Dalam skenario

yang lebih buruk, banyaknya relokasi usaha ke luar

negeri dapat kembali terjadi mengingat keterkaitan

bisnis yang relatif kecil, khususnya terhadap PMA yang

berorientasi pasar ekspor namun tidak banyak

tergantung pada pasokan bahan baku domestik.

Sementara itu, pertumbuhan ekspor akan

meningkat sebesar 1,0% – 1,5% seiring dengan

membaiknya prospek pertumbuhan berbagai negara

mitra dagang Indonesia. Berbagai kebijakan

pemerintah untuk mencari terobosan pasar baru

seperti pasar Timur Tengah dan Amerika Latin,

penerapan skema imbal beli serta upaya pemulihan

kepercayaan internasional melalui road show dan

eksebisi dagang diprakirakan juga akan berdampak

positif terhadap perkembangan ekspor di tahun

mendatang.

Permintaan beberapa komoditas ekspor utama

yang diprakirakan membaik antara lain komoditas

tembaga, aluminium, dan nikel (Grafik 11.6).

Prakiraan ini sejalan dengan berbagai hasil riset

lembaga independen yang menengarai adanya

peningkatan permintaan bahan tambang terkait

dengan ekspektasi meningkatnya pertumbuhan

ekonomi dunia. Indikasi menguatnya permintaan juga

nampak dari hasil Pameran Produk Ekspor di akhir

2002 yang mencatat nilai transaksi lebih tinggi

dibandingkan pameran pada periode sebelumnya.

Peluang peningkatan ekspor juga didukung oleh

perkembangan harga beberapa perkebunan seperti

minyak sawit, coklat, karet dan produk agribisnis

lainnya yang diprakirakan cenderung meningkat.

Perkembangan harga yang membaik tersebut

diharapkan dapat lebih mendorong produsen untuk

lebih meningkatkan produksinya sekaligus membantu

penciptaan lapangan kerja.

Di sisi lain, berbagai permasalahan yang

berpotensi untuk menahan perkembangan positif

ekspor tersebut masih perlu dicermati. Semakin

tingginya biaya produksi, masalah keamanan, serta

masih maraknya aksi demonstrasi buruh ditengarai

telah menyebabkan beberapa mitra luar negeri

mengalihkan pesanannya ke negara lain yang lebih

kompetitif dan lebih dapat menjamin kelangsungan

pasokan barangnya.

Sementara itu, impor di 2003 akan tumbuh pada

kisaran 1,9% – 2,2%, sedikit meningkat dibandingkan

pertumbuhan tahun sebelumnya seiring dengan

membaiknya kegiatan ekspor, konsumsi maupun

investasi. Selain itu, diberlakukannya AFTA pada awal

2003 diprakirakan mendorong penurunan tarif impor

beberapa barang, seperti plastik dan bahan kimia, yang

pada akhirnya mendorong kegiatan impor. Namun

Grafik 11.6Perkembangan Harga Komoditas Mineral

227

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

demikian, perlu pula dicermati dampak berbagai

kebijakan pembatasan impor yang bertujuan untuk

melindungi industri dalam negeri seperti tekstil

(dibatasi hanya dapat dilakukan oleh produsen dan

digunakan sebagai bahan baku), gula, dan produk baja

gulungan canai panas dan dingin (hot dan cold rolled

steel).

Prospek Penawaran

Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi terjadi

di semua sektor ekonomi. Pertumbunan yang cukup

tinggi diprakirakan terjadi pada sektor listrik, gas,

dan air bersih, sektor angkutan dan telekomunikasi,

dan sektor bangunan. Sementara itu, sektor industri

pengolahan yang merupakan pangsa terbesar dalam

pembentukan PDB juga akan meningkat

pertumbuhannya dibanding tahun sebelumnya.

Prospek ekonomi yang positif tersebut antara lain

didukung oleh adanya komitmen pemerintah untuk

mempercepat pemulihan ekonomi melalui penerusan

beberapa proyek infrastruktur. Pembangunan proyek-

proyek infrastruktur ini diprakirakan akan memiliki

dampak multiplier yang besar terhadap beberapa

sektor usaha lainnya, meningkatkan penyerapan

tenaga kerja, dan pertumbuhan ekonomi secara

keseluruhan.

Kinerja sektor pertanian, peternakan,

perkebunan, perikanan, dan kehutanan

diprakirakan tumbuh positif meskipun lebih rendah

dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya

(Tabel 11.5). Pertumbuhan yang melambat ini terjadi

karena adanya keterlambatan khususnya untuk

subsektor pertanian yang terkait dengan panjangnya

musim kemarau pada akhir tahun 2002. Kondisi ini

diperparah oleh banjir yang melanda beberapa sentra

produksi seiring dengan masuknya musim hujan.

Meski demikian, subsektor ini tetap dapat

mempertahankan pertumbuhan yang positif melalui

upaya-upaya antara lain adanya program pemerintah

yang meliputi program intensifikasi, ekstensifikasi,

penetapan harga dasar gabah, peningkatan tarif impor

beras, dan pemberian subsidi pupuk. Sementara itu,

kinerja subsektor kehutanan masih belum dapat

memberikan sumbangan yang berarti mengingat belum

adanya upaya pemerintah yang serius untuk

menyelamatkan pelestarian dan pelindungan sumber

daya alam hutan.

Program intensifikasi tanaman pangan dilakukan

dengan mengoptimalisasi lahan kering dan lahan

pasang-surut, dan peningkatan kualitas irigasi

(terutama di luar pulau Jawa), peningkatan

produktivitas, pengamanan produksi, pengelolaan,

dan pemasaran hasil. Sementara program

ekstensifikasi meliputi perluasan areal tanam dan

konversi lahan (terutama dipulau Jawa). Berbagai

program tersebut dicanangkan dalam bentuk Program

Aksi Masyarakat Agribisnis Tanaman Pangan (Proksi

Mantap) yang dilakukan di 200 kabupaten/kota.

Tabel 11.5Prediksi Pertumbuhan PDB Sektoral Tahun 2002 – 2003

PertanianPertambanganIndustriListrkBangunanPerdaganganAngkutanKeuanganJasaTotal PDB

Sektor

1,1 - 1,62,3 - 2,84,4 - 4,97,0 - 7,55,4 - 5,93,0 - 3,57,8 - 8,35,8 - 6,30,9 - 1,43,5 - 4,0

1,72,34,06,24,13,67,85,62,03,6

2002 2003

(Persen)

228

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

Sementara itu, pemerintah memberikan subsidi pupuk

secara langsung sehingga harganya lebih terjangkau

oleh petani. Untuk menjaga ketersediaan pupuk,

pemerintah dan para distributor pupuk akan

melakukan monitoring distribusi pupuk. Insentif lain

yang diberikan pemerintah kepada petani adalah

menaikkan harga pembelian gabah dan menaikkan

bea masuk beras impor.

Namun demikian, patut diwaspadai adanya

penurunan debit air di sejumlah bendungan dan

daerah aliran sungai akibat musim kemarau pada

musim tanam periode Oktober-Desember 2002 yang

dapat berpotensi menurunkan hasil panen periode

Maret-Mei 2003. Persediaan benih padi, jagung dan

kedelai untuk musim tanam 2002-2003 ditengarai

mengalami krisis, dimana sampai dengan bulan

Oktober 2002 persediaan benih baru mencapai 15%

dari kebutuhan.

Sektor Pertambangan dan Penggalian

diprakirakan tumbuh lebih tinggi dari tahun

sebelumnya, namun masih relatif rendah jika

dibandingkan dengan pertumbuhan sebelum krisis.

Faktor keamanan dan kepastian hukum masih menjadi

problema yang melingkupi sektor ini. Selain itu,

kendala lain yang juga dihadapi adalah belum

jelasnya kontrak karya pertambangan, tumpang tindih

lahan, dan otonomi daerah, terutama masalah pajak,

retribusi, dan iuran daerah lainnya. Eksplorasi

tambang di daerah hutan lindung nampaknya akan

terhambat dengan adanya UU no. 41/1999 tentang

kehutanan yang melarang eksplorasi tambang di

kawasan hutan lindung.

Namun demikian, investasi di bidang

pertambangan masih tetap berlangsung, seperti

penambangan batubara di Parambahan, Sawahlunto/

Sumbar oleh Camco International dari Cina, dan

pengembangan kegiatan eksplorasi minyak oleh

Pertamina bekerja sama dengan Malaysia, Irak, dan

Vietnam. Selain itu, terdapat rencana pelaksanaan

22 proyek pertambangan di Kawasan Timur Indone-

sia (KTI) dan adanya beberapa penemuan tambang

minyak dan gas baru, seperti sumur minyak di Cepu,

di laut dalam Makasar, dan di sejumlah wilayah In-

donesia yang belum dieksplorasi. Seperti halnya

penjualan LNG dari Tangguh ke Fujian tahun 2002,

mulai 2003 Pertamina akan memasok LNG sebanyak

2,6 juta ton per tahun ke provinsi Jiangshu, Cina,

dari kilang Badak Bontang dengan kontrak selama

20 tahun. Sementara itu, produksi batu bara

diproyeksikan naik tipis dari sekitar 9,6 juta ton

di 2002 menjadi 9,8 juta ton di 2003.

Sektor industri pengolahan masih menjadi

motor penggerak perekonomian. Sektor ini

diprakirakan mengalami pertumbuhan yang lebih

tinggi dibandingkan pertumbuhan 2002, terutama

untuk memenuhi permintaan domestik yang

didukung dengan berbagai paket kebijakan dalam

menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif. Untuk

mempercepat pembangunan bidang industri dan

perdagangan, mulai 2003 pemerintah akan

merevitalisasi industri untuk mengembalikan

utilitas industri seperti sebelum krisis. Program

revitalisasi industri ini akan meliputi empat cabang

industri, yakni tekstil dan produk tekstil (TPT),

elektronika, alas kaki, dan pengolahan kayu dan

bubur kertas (pulp).

Kinerja industri konstruksi baja meningkat

seiring dengan maraknya pembangunan gedung, tol,

229

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

dan sarana infrastruktur lainnya, serta adanya

kebijakan pemerintah menaikkan bea masuk pipa

baja jenis hot rolled coil (HRC) dan cold rolled coil

(CRC) sebesar 20,0% dan 25,0% dari tarif bea masuk

sebelumnya 5,0%-15,0%. Begitu pula halnya dengan

industri semen yang mengalami peningkatan sejalan

dengan konsumsi domestik yang tumbuh 8,0%-10,0%.

Untuk mengantisipasi kenaikan permintaan, beberapa

produsen semen akan melakukan ekspansi

pembangunan pabrik, terutama di luar pulau Jawa.

Beberapa industri lainnya diprakirakan

mengalami peningkatan kapasitas sehubungan dengan

telah dihidupkannya kembali beberapa mega proyek.

Peningkatan kapasitas produksi juga akan terjadi pada

industri petrokimia dengan rencana peremajaan (re-

vamping) unit-unit pabrik amoniaknya. Industri di

bidang makanan dan minuman diprakirakan masih

tumbuh mengingat masih relatif tingginya permintaan

dalam negeri. Konsumsi air minum dalam kemasan

di dalam negeri diproyeksikan tumbuh 20,0% per tahun

hingga 2005. Industri otomotif juga diprakirakan

meningkat sejalan dengan permintaan mobil yang naik

sekitar 10,0%-12,0% dibanding 2002 dan penjualan

sepeda motor diprakirakan meningkat sebesar 15,0%.

Sejalan dengan hal tersebut, produksi ban sepeda mo-

tor naik sebesar 10,0%-25,0%. Sementara itu, sentra

industri di KTI akan dibangun dimana salah satunya

adalah sentra industri kelapa yang akan memproduksi

oleum chemical dan coco butter.

Kinerja industri elektonika dan industri sepatu

diprakirakan akan menurun menyusul adanya rencana

penutupan pabrik dan relokasi pabrik ke luar negeri.

Penutupan pabrik-pabrik tersebut di atas disebabkan

oleh berkurangnya order, meningkatnya biaya

operasional, adanya persoalan ketenagakerjaan dan

keamanan sehingga menyebabkan margin keuntungan

yang menurun. Sementara itu, industri TPT

diprakirakan masih menghadapi masalah daya saing

mengingat mesin-mesin yang digunakan sudah

berumur tua dan adanya produk-produk impor yang

harganya lebih murah.

Sektor listrik, gas, dan air bersih diprakirakan

tumbuh relatif tinggi sejalan dengan kebutuhan akan

listrik yang selalu meningkat dengan rata-rata 9,0%

per tahun. Peningkatan permintaan ini akan direspon

dengan mengoptimalkan pembangkit yang sudah ada

dan membangun pembangkit baru melalui kerja sama

dengan pemasok listrik swasta (Independent Power

Producers/IPP). Beberapa proyek yang akan

menambah pasokan listrik di 2003 antara lain adalah

:

a. Tanjung Jati B di Jepara: PLTP Dieng (Unit 4)

b. Paiton: PLTP Cibuni

c. Tanjung Jati A: PLTP Sarulla

d. PLTU Serang: PLTGU Palembang Timur

e. PLTP Bedugul (Unit 1,2,3,4): Transmisi tegangan

tinggi di Klaten.

f. PLTP Patuha (Unit 1,2,3,4): Transmisi tegangan

tinggi di Sulawesi Utara.

g. PLTP Kamojang: Transmisi tegangan tinggi di

Sulawesi Selatan.

h. PLTP Sibayak : PLTD (Diesel) di NTB.

Sektor bangunan diprakirakan tumbuh lebih

tinggi dibanding 2002. Pertumbuhan tersebut antara

lain didukung oleh pembangunan jalan tol yang diyakini

akan berdampak besar terhadap dunia usaha,

penyerapan tenaga kerja, masuknya investor asing,

dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dalam

230

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

tahun 2003, akan dilaksanakan pembangunan

infrastruktur antara lain pembangunan beberapa luas

jalan tol. Selain itu, beberapa pemda berencana

membangun sejumlah infrastruktur, seperti jalan raya,

terminal bis, dan jembatan. Pembangunan infrastruktur

juga meliputi pembangunan rel kereta api jalur ganda

di beberapa lokasi di pulau Jawa.

Sementara itu, pembangunan perumahan tipe RS/

RSS oleh pemerintah diprakirakan meningkat menjadi

180 ribu unit di 2003 dan pembangunan irigasi akan

naik 10,0%. Pembangunan perumahan real estate oleh

pihak swasta dan pusat perbelanjaan diprakirakan

mengalami kenaikan masing-masing 10,0%.

Sektor perdagangan, hotel, dan restoran

diprakirakan tumbuh lebih rendah dibandingkan

dengan 2002. Subsektor Perdagangan (retail) naik

tetapi dengan pertumbuhan melambat (yaitu sekitar

3%,0) karena konsumsi melambat. Masih tumbuhnya

subsektor ini diindikasikan oleh pembangunan

beberapa gerai di berbagai kota. Khusus di Bali,

perdagangan retail terutama untuk barang-barang

kerajinan dan souvenir diprakirakan menurun sebagai

dampak dari menurunnya jumlah kunjungan wisman.

Subsektor hotel akan mengalami penurunan

mengingat wisman diprakirakan turun sekitar 1 juta

orang (25,0%) akibat masih belum pulihnya dampak

tragedi Bali. Untuk memulihkan citra pariwisata

terutama di Bali, pemerintah bersama-sama pihak

swasta sedang membuat program pemulihan dengan

4 tahap, yaitu tahap rescue, tahap rehabilitasi, tahap

normalisasi, dan tahap ekspansi. Sementara itu,

subsektor restoran akan mengalami peningkatan

seiring dengan rencana pembukaan beberapa inter-

national chained restaurant.

Sektor angkutan dan telekomunikasi

diprakirakan tumbuh relatif tinggi di 2003 dibandingkan

dengan 2002. Dampak tragedi Bali terhadap kinerja

subsektor pengangkutan terutama angkutan udara

diprakirakan tidak akan berlangsung lama. Sementara

itu, angkutan kereta api diprakirakan meningkat sejalan

dengan rencana pemerintah untuk membeli rangkaian

KRL dari Jerman dan rencana pembangunan rel ganda

di pulau Jawa.

Sementara itu, subsektor telekomunikasi

tumbuh tinggi. Hal ini sejalan dengan rencana

pembangunan Telkom merencanakan akan

membangun jaringan telepon baru yang dibagi

menjadi enam paket, yaitu dua paket jaringan

Code Division Multy Access (CDMA), dua paket

penunjang, serta dua paket Public Switched

Telephon Network (PSTN). Sebagai upaya untuk

mendukung pesatnya kenaikan permintaan

bandwith saat ini, di 2003 PT Telkom akan bekerja

sama dengan dua perusahaan as ing akan

membangun jaringan kabel bawah laut. Sementara

itu, selain telepon tetap, pengembangan juga

akan dilakukan untuk telepon seluler di kedua

perusahaan tersebut melalu i anak

perusahaannya.

Kinerja Sektor Bank dan Lembaga Keuangan

Lainnya di 2003 akan lebih baik dibandingkan 2002.

Kecenderungan perbaikan kondisi perbankan

diprakirakan akan terus berlanjut seiring dengan

membaiknya kepercayaan masyarakat terhadap

perbankan nasional. Beberapa indikator perbankan

diprakirakan akan meningkat, seperti pendanaan,

kredit, permodalan, dan profitabilitas. Perbaikan

kondisi perbankan ini sejalan dengan prakiraan

231

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) yang

tercermin dari direvisinya prospek (outlook)

peringkat perbankan dari sebelumnya “negatif”,

menjadi “stabil”. Perbaikan prospek ini

mengindikasikan membaiknya stabilitas perbankan,

meskipun masih jauh dari posisi ‘aman’ dan masih

dihadapkan pada risiko ekonomi dan risiko industri

yang tinggi.

Sejalan dengan masih tumbuhnya konsumsi,

pembiayaan konsumsi oleh perbankan (consumer

banking) diprakirakan masih meningkat. Trend

peningkatan kredit pada segmen retail, seperti

pembiayaan rumah dan kendaraan bermotor

diprakirakan terus berlangsung di 2003. Peningkatan

penyaluran pinjaman kepada masyarakat juga

terjadi pada Perum Pegadaian yang dananya berasal

dari penerbitan obligasi.

Sektor jasa-jasa diprakirakan tumbuh relatif

rendah. Dampak tragedi Bali diprakirakan masih

terasa disepanjang 2003 terutama pada subsektor

jasa swasta. Di beberapa lokasi pariwisata, terutama

di Bali, jasa hiburan dan rekreasi serta jasa

perorangan dan rumah tangga, misalnya jasa

pemandu wisata, diprakirakan mengalami

penurunan.Prospek Neraca Pembayaran Tahun 2003

Dalam tahun 2003, secara keseluruhan kinerja

Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) diprakirakan

belum sebaik kinerja dalam tahun sebelumnya. Hal

tersebut tercermin pada menurunnya surplus NPI dari

$3,6 miliar menjadi $1,0 miliar (Tabel 11.6).

Transaksi berjalan diprakirakan mengalami

surplus sebesar $4,7 miliar, menurun dari surplus

tahun sebelumnya sebesar $7,3 miliar. Penurunan

surplus tersebut bersumber dari peningkatan defisit

transaksi jasa, sementara transaksi barang justru

diprakirakan mengalami penurunan surplus dibanding

tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekspor dan impor

pada 2003 diprakirakan mencapai masing-masing

Tabel 11.7Proyeksi Neraca

Tabel 11.6Proyeksi Neraca Pembayaran Indonesia

2003*2002*

(Miliar $)

Rincian

A. Transaksi Berjalan1. Neraca Barang

a. Ekspor (fob)NonmigasMigas

MinyakLNGLPG

b. Impor (fob)NonmigasMigas

MinyakGas

2. Jasaa. Nonmigasb. Migas

MinyakGas

B. Lalu Lintas Modal1. Lalu Lintas Modal Pemerintah (Bersih)

a. Penerimaan pinjaman dan bantuan- Bantuan program- Bantuan pangan- IGGI/CGI- Di luar IGGI/CGI

b. Pelunasan pinjaman1)

2. Lalu Lintas Modal Swasta (Bersih)a. Penanaman modal langsung (bersih)b. Lainnya (bersih)

C. Jumlah (A+B)

D. Selisih Perhitungan antara C dan E

E. Lalu lintas Moneter2)

Catatan :1. Aktiva Luar Negeri (GFA)3)

Setara Impor Nonmigas dan pembayaranutang luar negeri pemerintah (bulan)

2. Transaksi Berjalan/PDB (%)

4,722,958,746,612,16,15,60,3

-35,8-29,7-6,1-5,8-0,3

-18,2-13,8-4,4-2,2-2,2

-3,71,83,81,20,02,10,5

-1,9-5,6-1,3-4,2

1,0

0,0

-1,0

32,6

6,72,2

7,323,158,045,312,76,75,70,3

-34,8-28,3-6,6-6,3-0,3

-15,9-11,6-4,2-2,1-2,1

-3,6-0,61,30,80,01,4

-0,9-1,8-3,0-6,93,9

3,7

-0,1

-3,6

31,6

6,63,9

1) Setelah diperhitungkan rescheduling2) Minus (-) : Suplus, dan sebaliknya3) Sejak 2000 menggunakan konsep IRFCl menggantikan konsep cadangan

devisa bruto (GFA)

232

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

3 Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada Desember2002, sebagian besar responden memprakirakan nilai tukar rupiah rata-rata di 2003 akan menguat dibandingkan rata-rata nilai tukar 2002,meskipun dengan pergerakan yang cenderung melemah menjelang akhirsemester I-2003 mendekati sidang tahunan MPR 2003. Membaiknyapersepsi responden terhadap nilai tukar 2003 juga tercermin pada pathprakiraan nilai tukar dengan level rata-rata yang lebih rendah menuruthasil survei Desember 2002 ke rata-rata Rp9.000 per dolar dibandingkanrata-rata nilai tukar Rp9.052 per dolar menurut hasil survei November2002.

sebesar 1,3% dan 2,8%. Prakiraan pertumbuhan

ekspor tersebut lebih baik dibandingkan dengan

pertumbuhan ekspor 2002 yang mencatat pertumbuhan

sebesar 1,1%.

Pertumbuhan ekspor terutama didukung oleh ekspor

nonmigas yang diprakirakan tumbuh sebesar 3,0%, sejalan

dengan perkembangan ekonomi dunia pada 2003 yang

diprediksikan lebih baik daripada tahun sebelumnya.

Pertumbuhan ekspor nonmigas tersebut terjadi pada

semua sektor, baik pada Sektor Pertanian, Pertambangan

maupun Industri. Pertumbuhan tertinggi diprakirakan

terjadi pada Sektor Pertanian dan Pertambangan dengan

tingkat pertumbuhan yang sama yaitu sebesar 3,4%,

diikuti oleh Sektor Industri sebesar 2,9%.

Sementara itu, nilai ekspor migas diprakirakan

mengalami penurunan dibandingkan tahun

sebelumnya. Kenaikan harga minyak yang terus

berlangsung sampai dengan akhir 2002 diprakirakan

tidak berlanjut selama 2003, sehingga penerimaan

ekspor minyak menjadi lebih kecil dibandingkan

dengan penerimaan tahun sebelumnya.

Impor pada 2003 diprakirakan tumbuh 2,8%,

membaik dibandingkan dengan pertumbuhan impor

di 2002 yang mengalami penurunan sebesar 0,5%.

Prakiraan pertumbuhan impor tersebut seiring

dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang

diproyeksikan lebih baik pada 2003. Dil ihat

berdasarkan kelompok barang, diprakirakan

pertumbuhan impor barang-barang konsumsi masih

yang terbesar, diikuti dengan pertumbuhan impor

bahan baku dan barang modal.

Perkembangan yang kurang menggembirakan

akan terjadi pada transaksi jasa yang diprakirakan

mengalami defisit $18,2 miliar atau meningkat 14,5%

dibandingkan dengan defisit pada sebelumnya.

Peningkatan defisit tersebut antara lain berasal dari

menurunnya penerimaan dari Sektor Pariwisata

berkaitan dengan turunnya jumlah kunjungan turis

mancanegara yang masuk sebagai dampak tragedi Bali.

Jumlah kunjungan turis asing pada 2003 diprakirakan

turun menjadi 4,1 juta orang, menurun dibandingkan

tahun lalu yang mencapai 4,7 juta orang. Penurunan

jumlah turis asing tersebut menyebabkan perolehan

devisa turun sekitar $0,6 miliar.

Di sisi lalu lintas modal (LLM), kinerja LLM

diprakirakan akan sedikit menurun dibandingkan

tahun sebelumnya yang terlihat dari meningkatnya

defisit LLM dari $3,6 miliar menjadi $3,7 miliar.

Menurunnya kinerja LLM tersebut terutama

disebabkan oleh peningkatan defisit LLM swasta,

sedangkan LLM pemerintah mengalami peningkatan

surplus setelah mengalami defisit pada tahun

sebelumnya. LLM swasta dalam tahun 2003

diprakirakan masih mencatat defisit sebesar $5,6

miliar, lebih tinggi dari defisit dalam tahun sebelumnya

sebesar $3,0 miliar. Dalam tahun 2003, surplus LLM

pemerintah diprakirakan mencapai $1,8 miliar,

membaik dibandingkan tahun sebelumnya yang

mencatat defisit $0,6 miliar. Surplus LLM pemerintah

tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya

kewajiban pembayaran pinjaman kepada IMF (IMF

repurchases) dan meningkatnya penarikan pinjaman

233

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

luar negeri pemerintah, baik dalam bentuk pinjaman

program dan pinjaman proyek.

Dengan perkembangan tersebut di atas, posisi

cadangan devisa pada akhir 2003 diprakirakan

mencapai sebesar $32,6 miliar. Jumlah tersebut setara

dengan 6,7 bulan impor dan pembayaran utang luar

negeri pemerintah.

Prospek Nilai Tukar

Pada 2003 rata-rata nilai tukar rupiah

diprakirakan membaik dibandingkan 2002. Dengan

menggunakan pendekatan model “Behavioral Equilib-

rium Exchange Rate (BEER)” nilai tukar rupiah

diprakirakan akan bergerak dalam kisaran Rp8.800

– Rp9.200 per dolar. Prakiraan tersebut juga telah

mempertimbangkan dampak tragedi Bali, sentimen/

isu yang berkembang di dalam maupun luar negeri,

pasokan/permintaan valas di pasar domestik, hasil

survei3 , dan komitmen Bank Indonesia untuk menjaga

kestabilan nilai tukar rupiah melalui kebijakan

sterilisasi valas. Dengan menggunakan formula Bi-

lateral Real Effective Exchange Rate (BRER), nilai

tukar ini diprakirakan masih cukup kompetitif untuk

mendorong kegiatan ekspor Indonesia.

Ditinjau dari berbagai faktor yang

mempengaruhinya, perkembangan nilai tukar yang

membaik tersebut antara lain didukung oleh faktor

fundamental yang cukup kondusif serta beberapa

sentimen positif pasar. Sementara itu, beberapa faktor

yang dapat memicu terjadinya sentimen negatif

diprakirakan dapat diredam dengan berbagai

kebijakan baik oleh Bank Indonesia maupun

pemerintah.

Di sisi fundamental, perbaikan nilai tukar ru-

piah akan didukung oleh relatif seimbangnya pasar

valas di dalam negeri. Potensi pasokan valuta asing

murni (genuine supply) di Indonesia akan bersumber

dari perolehan devisa hasil ekspor, aliran masuk

modal asing baik dalam bentuk utang luar negeri dan

investasi, serta pembelian aset atau surat berharga

perusahaan domestik oleh investor asing yang di

antaranya akan bersumber dari kelanjutan program

privatisasi BUMN, divestasi bank rekap, penjualan

aset BPPN, dan penjualan obligasi valas perusahaan

di Indonesia. Sementara itu, potensi permintaan

murni valuta asing (genuine demand) dari sektor

swasta dan berbagai institusi pemerintah termasuk

BUMN terutama untuk keperluan pembayaran utang

luar negeri dan pembiayaan impor. Namun dengan

disetujuinya restrukturisasi utang luar negeri baik

pemerintah maupun swasta melalui forum Paris Club,

London Club, dan Jakarta Initiative Task Force

(JITF), maka tekanan permintaan valas akan

berkurang di 2003.

Dari sisi sentimen, berbagai faktor positif dan

negatif diprakirakan mewarnai pasar. Sentimen

positif pasar diharapkan berlanjut menyusul

keberhasilan pemerintah dalam menangani dampak

tragedi Bali. Hal ini diharapkan membantu

memulihkan kepercayaan internasional terhadap In-

donesia dan selanjutnya menambah penerimaan

valas dari pariwisata dan portfolio investment yang

sempat merosot tidak lama setelah tragedi Bali

berlangsung. Sejumlah faktor positif lainnya juga

akan mewarnai perkembangan rupiah ke arah yang

lebih baik. Faktor tersebut di antaranya adalah

prakiraan penguatan nilai tukar regional terutama

berkaitan dengan besarnya defisit neraca

234

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

perdagangan AS, multiplier effect atas kelanjutan

pelaksanaan 14 mega proyek pemerintah dan

berlanjutnya program privatisasi/divestasi.

Beberapa sentimen negatif yang berpotensi

timbul di 2003 juga perlu terus diwaspadai

mengingat hal itu akan meningkatkan faktor risiko

maupun ketidakpastian, sehingga berpotensi

mendorong terjadinya peningkatan permintaan

valas untuk kegiatan spekulasi. Faktor-faktor

ketidakpastian tersebut antara lain ketidakpastian

hukum dan keamanan dalam negeri, biaya ekonomi

yang lebih t inggi sebagai dampak proses

pelaksanaan otonomi daerah, aturan perburuhan

baru yang kurang kondusif bagi investasi,

intermediasi perbankan yang belum sepenuhnya

pulih, serta besarnya beban keuangan negara. Di

s is i la in, peri laku pasar valas juga akan

dipengaruhi oleh eskalasi politik pada bulan Juli-

Agustus 2003 menjelang dan pada saat

berlangsungnya sidang tahunan MPR dan persiapan

pemilu 2004. Disamping itu, memanasnya suhu

polit ik global akibat isu terorisme dan

kemungkinan terjadinya perang di Timur Tengah.

Di sisi kebijakan, potensi fluktuasi nilai tukar yang

berlebihan diharapkan dapat diredam dengan berbagai

upaya untuk mengatasi permasalahan struktur mikro

pasar valuta asing di Indonesia dan mengoptimalkan

intermediasi sektor perbankan. Hal tersebut diharapkan

dapat mendorong bank-bank untuk mengurangi

penempatan dana valas ke luar negeri dan

meningkatkan minat eksportir untuk menempatkan

devisa hasil ekspor di dalam negeri.4 Sementara itu,

dalam rangka meminimalkan fluktuasi nilai tukar ru-

piah, Bank Indonesia tetap memegang komitmennya

untuk melakukan kebijakan sterilisasi di pasar valuta

asing. Langkah tersebut diharapkan mampu

memelihara stabilitas nilai tukar.

Prospek Inflasi

Perkembangan inflasi di Indonesia dipengaruhi

oleh faktor fundamental yang lebih terkait dengan

kondisi ekonomi makro dan faktor nonfundamental

yang berupa gangguan (shocks). Faktor fundamen-

tal dimaksud terutama adalah perkembangan

permintaan dan penawaran agregat, perkembangan

faktor eksternal yang memiliki pengaruh langsung

terhadap inflasi (pass through effect) dan

perkembangan inflasi yang diekspektasikan oleh

masyarakat. Sementara itu, faktor shock terutama

bersumber dari penerapan kebijakan pemerintah di

bidang harga dan pendapatan, faktor alam, serta

masalah yang terkait dengan distribusi (supply).

Dengan mempertim-bangkan prakiraan

perkembangan berbagai faktor tersebut,

perkembangan inflasi di 2003 maupun dalam jangka

menengah diprakirakan cenderung mengalami

penurunan.

Prospek Inflasi Tahun 2003

Berdasarkan faktor-faktor yang mempenga-

ruhinya, potensi tekanan inflasi pada 2003 diprakirakan

mengalami penurunan dibandingkan dangan tahun

4 Penempatan valuta asing di pasar uang valas (PUAB valas) dalam negeridipandang masih berisiko tinggi karena tingkat kesehatan sebagian besarbank nasional yang masih rentan (fragile) terhadap terjadinya risikosistemik, yang tercermin dari hilangnya “credit line” sebagian besarbank nasional untuk memperoleh akses ke pasar uang valas (PUAB valas).Apabila hal ini terus berlangsung maka dikhawatirkan akan semakinmemperdalam “segmentasi pasar” dan membuat pasar keuangandomestik menjadi semakin tidak efisien dan illiquid (market imper-fection). Sementara itu, penempatan valuta asing dalam bentukpenyaluran kredit —terutama kredit investasi— juga diprakirakan masihakan terbatas apabila bank-bank yang mengalami surplus likuiditas tetapmengalami kesulitan untuk mendapatkan sektor usaha yang berprospekcukup baik.

235

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

sebelumnya. Hal ini didasarkan pada perkembangan

faktor fundamental dan nonfundamental yang

mengalami penurunan dalam memberikan tekanan

terhadap perkembangan inflasi di 2003. Faktor funda-

mental yang diantaranya adalah kondisi permintaan

yang realtif belum terlalu kuat dalam memberikan

tekanan inflasi, ekspektasi masyarakat mengalami

sedikit penurunan, serta nilai tukar rupiah juga

diprakirakan sedikit mengalami penguatan. Sementara

dampak penerapan kebijakan pemerintah di bidang

harga dan pendapatan ternyata masih memberikan

sumbangan inflasi yang signifikan walaupun masih lebih

rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Interaksi perkembangan permintaan dan

penawaran pada 2003 diprakirakan tidak memberikan

tekanan yang berarti terhadap perkembangan inflasi.

Hal ini terutama didasarkan atas perkembangan

berbagai indikator sisi permintaan yang menunjukkan

pertumbuhan yang rendah.

Tekanan permintaan yang tidak terlalu kuat

terutama disebabkan oleh pertumbuhan konsumsi

rumah tangga yang diprakirakan melambat.

Sementara itu, peningkatan pertumbuhan konsumsi

pemerintah tidak berdampak signifikan dalam

menimbulkan tekanan permintaan karena porsinya

yang relatif kecil. Di sisi lain, permintaan luar negeri

diprakirakan relatif masih lemah sehingga belum

menimbulkan tekanan inflasi yang cukup berarti.

Dari sisi penawaran, rendahnya pertumbuhan

investasi dalam dua tahun terakhir, dikhawatirkan akan

sulit mengimbangi permintaan yang meningkat pada

periode mendatang sehingga tekanan inflasi dapat

timbul akibat keterbatasan penawaran. Secara

sektoral, potensi tekanan inflasi dapat muncul dari

melemahnya pertumbuhan di sektor pertanian yang

berpotensi mengurangi pasokan bahan makanan.

Sementara itu, prakiraan melemahnya pertumbuhan

di Sektor Perdagangan diprakirakan tidak akan

menimbulkan tekanan inflasi mengingat penurunan

pertumbuhan sektor ini justru bersumber dari

melambatnya permintaan terutama untuk subsektor

perdagangan, retail dan perhotelan.

Tekanan inflasi dari sisi eksternal pada 2003

diprakirakan tidak signifikan sejalan dengan

Grafik 11.7Perkembangan Komposit Inflasi Beberapa

Negara Mitra Dagang

Grafik 11.8Ekspektasi Inflasi Berdasarkan Consensus Forecast

236

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

prakiraan adanya penguatan nilai tukar rupiah dan

relatif lambannya peningkatan inflasi di negara

mitra dagang. Perkembangan nilai tukar rupiah di

2003 secara rata-rata diprakirakan mengalami

penguatan dibandingkan dengan 2002. Pada 2003

perkembangan nilai tukar rupiah diprakirakan

mencapai Rp9.000 per dolar dengan pergerakan yang

menunjukkan penguatan di awal tahun yang

kemudian melemah di akhir tahun. Sementara itu,

pertumbuhan ekonomi dunia diprakirakan hanya

sedikit mengalami percepatan di 2003 sehingga

tidak menimbulkan tekanan yang berarti terhadap

perkembangan inflasi dunia. Sejalan dengan itu,

tingkat inflasi di beberapa negara mitra dagang

utama Indonesia secara rata-rata diprakirakan

hanya meningkat dari 0,90% menjadi 0,96% (y-o-y).

Beberapa negara mitra dagang yang dimaksud adalah

negara yang merupakan kontributor sumber barang

impor terbesar bagi Indonesia yaitu Jepang, AS,

Korea, Singapura, Cina, Thailand, Kanada dan Ma-

laysia.

Ekspektasi masyarakat terhadap perkembangan

inflasi yang merupakan faktor dominan dalam

mempengaruhi perkembangan inflasi diprakirakan

menurun pada 2003. Faktor ekspektasi inflasi ini

dipengaruhi oleh perkembangan inflasi pada periode

lalu (adaptive expectation) dan perkembangan kondisi

perekonomian terutama variabel-variabel yang

memiliki hubungan erat dengan perkembangan

inflasi, yaitu perkembangan nilai tukar dan kebijakan

pemerintah dibidang harga dan pendapatan. Untuk

tahun 2003 inflasi yang diekspektasikan oleh

masyarakat terlihat sedikit menurun dibandingkan

dengan inflasi 2002. Hal ini tercermin pada angka

rata-rata consensus forecast dan survei ekspektasi

pedagang mengenai perkembangan harga ke depan

yang menunjukkan kecenderungan menurun. Angka

consensus forecast perkembangan inflasi Indonesia

Grafik 11.9Ekspektasi harga Penjual Eceran

TDLBBMCukai (HJE) RokokTarif TeleponUMR/UMPTarif Tol

KebijakanPemerintah

Setiap triwulanTrw I

Trw IVTrw ITrw ITrw I

242112157

50

KenaikanHarga/Tarif

PeriodePenerapan

Tabel 11.8Perbandingan Harga Jual BBM 2002dan Prakiraan Harga Jual BBM 2003

Premium

Solar

Minyak Tanah Industri

Minyak Diesel

Minyak Bakar

Jenis BBM

1.450

900

900

900

800

2002 2003Harga

TerendahHarga

TertinggiHarga

TertinggiHarga

Terendah

1.750

1.550

1.650

1.520

1.150

1.600

1.650

1.800

1.600

1.150

2.100

2.100

2.200

2.050

1.600

Tabel 11.7Rencana dan Prakiraan Penerapan Kebijakan

Pemerintahdi Bidang Harga dan Pendapatan Tahun 2003

(Persen)

(Rp/Liter)

237

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

di 2003 secara umum lebih rendah dibandingkan

dengan inflasi 2002 meskipun pada pertengahan tahun

memperlihatkan pergerakan yang meningkat (Grafik

11.8). Sementara itu, hasil Survei Pedagang Eceran

memperlihatkan bahwa responden yang menyatakan

terjadinya peningkatan harga pada periode enam

bulan ke depan semakin berkurang. Hal ini dapat

mengindikasikan ekspektasi penurunan inflasi pada

periode enam bulan mendatang (Grafik 11.9).

Dampak kebijakan pemerintah di bidang harga

dan pendapatan pada 2003 diprakirakan memberikan

sumbangan terhadap inflasi IHK yang cukup tinggi yaitu

sebesar 3,02%. Hal ini berkaitan dengan beberapa

rencana kenaikan tarif/harga administered prices dan

pendapatan seperti kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL),

potensi kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) rokok,

kenaikan harga BBM, kenaikan tarif telepon, dan

kenaikan Upah Minimum Regional (UMP) (Tabel 11.7

dan 11.8).

TDL direncanakan naik sebesar 6% setiap

triwulan mulai awal 2003 sehingga dalam satu

tahun akan mengalami kenaikan sekitar 24%.

Kenaikan TDL yang masih tetap berlanjut pada

tahun ini antara lain diperlukan untuk mengatasi

krisis keuangan yang dialami PLN.

Rencana pemerintah meningkatkan penerimaan

negara yang berasal dari cukai menjadi Rp 27,7

triliun dari Rp 22,5 triliun pada tahun

sebelumnya berpotensi menaikkan HJE rokok

sekitar 12,0%. Potensi tersebut bersumber dari

prakiraan lesunya pertumbuhan volume

penjualan rokok di 2003 sehingga target

penerimaan cukai tersebut tampaknya akan sulit

untuk dicapai dengan hanya mengandalkan vol-

ume penjualan rokok. Oleh karena itu, kenaikan

HJE dilakukan oleh pemerintah dalam rangka

mengkompensasi volume penjualan rokok yang

tidak kondusif. Selain itu terdapat pula rencana

perubahan tarif cukai dari ad valorem menjadi

semi specific5 yang diprakirakan juga berpotensi

dalam mengakibatkan kenaikan harga rokok.

Hampir seluruh jenis BBM kecuali solar dan

minyak tanah telah disesuaikan menjadi 100,0%

harga pasar. Penyesuaian tersebut

mengakibatkan harga BBM untuk seluruh jenis

penggunaan akan mengalami kenaikan rata-

rata sebesar 21,0%. Presentase kenaikan harga

BBM tersebut didasarkan pada prakiraan rata-

rata harga BBM yang akan berada pada nilai

tengah dari kisaran batas bawah dan batas atas

harga BBM yang akan ditetapkan di 2003 yang

selanjutnya dibandingkan dengan harga BBM di

akhir 2002. Dampak inflasi dari kenaikan BBM

ini sangat besar karena akan berpengaruh

terhadap meningkatnya harga-harga barang

lainnya terutama di sektor angkutan.

Pemerintah berencana menaikkan tarif telepon

sekitar 15,0%. Kenaikan tersebut merupakan

bagian dari rencana yang telah disepakati antara

pemerintah dan DPR untuk menaikan tarif telepon

selama tiga tahun dari 2002 hingga 2004 sebesar

45,5% sehingga secara rata-rata akan ada

kenaikan tarif sekitar 15,0% per tahun. Namun

demikian berdasarkan rencana kenaikan

perkomponennya, tarif telepon tersebut5 Merubah sistem perhitungan cukai dari persentase menjadi nilai rupiah

tertentu.

238

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

6 Hasil survei Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP)terhadap 14 bank SIB pada 27 Desember 2002 mengenai rencanaekspansi kredit baru untuk 2003.

7 Hasil survei DPNP terhadap 83 bank pada 11 Desember 2002.

diprakirakan mengalami kenaikan sekitar 30%.

Kenaikan paling besar terjadi pada tarif pulsa

lokal (33,3%) dan abodemen (31%) sementara

tarif pulsa sambungan langsung jarak jauh (SLJJ)

akan mengalami penurunan sebesar 3,9%.

Kenaikan yang cukup besar juga akan

diberlakukan untuk tarif jalan tol, yaitu sekitar

25%-75%. Namun dengan bobot yang sangat kecil

dalam perhitungan IHK (0,01%), dampak

kenaikan tarif Tol tersebut terhadap inflasi tidak

signifikan.

Dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi

IHK pada 2003 diprakirakan juga akan berasal dari

kenaikan upah minimum propinsi (UMP) yang

diprakirakan meningkat sebesar 7,0%. Kenaikan

UMP tersebut akan berdampak langsung terhadap

kenaikan biaya operasional perusahaan yang pada

akhirnya akan sangat berpotensi besar terhadap

kenaikan harga output dalam rangka

mempertahankan margin keuntungan. Sementara

itu, kenaikan gaji PNS dan tunjangan guru masing-

masing sebesar 10% dan 50% yang akan diterapkan

pada 2003 diprakirakan tidak berdampak

signifikan terhadap kenaikan harga-harga.

Prospek Inflasi Jangka Menengah

Dalam jangka menengah, perkembangan inflasi

diprakirakan terus mengalami penurunan. Prakiraan

tersebut didasari oleh beberapa faktor penyebab

inflasi yang diprakirakan memberikan tekanan

menurun dalam beberapa tahun mendatang serta

didukung pula oleh komitmen Bank Indonesia dalam

mengupayakan penurunan inflasi.

Potensi dampak inflasi dari penerapan

kebijakan pemerintah dibidang harga dan pendapatan

diprakirakan semakin menurun berkaitan dengan

penurunan intensitas dari penerapan kebijakan ini di

tahun-tahun mendatang. Potensi ini terutama

bersumber dari upaya pemerintah dalam mengurangi

defisit anggaran melalui pengurangan subsidi dan

peningkatan penerimaan pajak. Adanya prakiraan

stabilnya perkembangan nilai tukar rupiah dalam

jangka menengah mengindikasikan tidak adanya

tekanan inflasi yang ditimbulkan oleh pergerakan

nilai tukar dalam beberapa tahun mendatang.

Sementara itu, perkembangan harga komoditas

internasional diprakirakan tidak mengalami

peningkatan yang berarti dan bahkan pelaksanaan

AFTA cukup berpotensi bagi terjadinya penurunan

harga di dalam negeri.

Pada akhirnya perkembangan positif berbagai

faktor penyebab inflasi tersebut akan berdampak

pada turunnya tingkat inflasi yang diekspektasikan

oleh masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, upaya

Bank Indonesia dalam mengendalikan laju inflasi

diharapkan dapat lebih mengarahkan ekspektasi

masyarakat pada perkembangan inflasi yang menurun

pada tahun-tahun mendatang.

Prospek Perbankan

Tantangan perbankan ke depan adalah

bagaimana mengoptimalkan fungsi intermediasi

perbankan. Selain itu, perbankan juga harus

mempersiapkan diri dalam pencapaian target Non-

Performing Loans(NPLs) neto 5,0% pada Juni 2003,

239

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

persiapan penerapan risiko pasar (market risk)

dalam perhitungan Capital Adequacy Ratio (CAR)

pada awal 2004, dan rencana pengurangan cakupan

program penjaminan sebelum terbentuknya

Lembaga Penjamin Simpanan.

Meskipun masih banyak tantangan yang

dihadapi, namun intermediasi perbankan diprakirakan

akan terus meningkat, khususnya untuk sektor Unit

usaha kecil dan menengah (UKM). Hasil survei6

terhadap 14 bank Systemically Important Banks (SIBs)

menunjukkan bahwa ekspansi kredit baru untuk bank-

bank yang tergabung dalam kelompok pada 2003

diprakirakan mencapai Rp83,0 triliun. Hasil survei

lainnya7 menunjukkan bahwa 40 bank akan menaikkan

ekspansi kreditnya secara rata-rata diatas 5,0%

dibandingkan dengan 2002. Survei yang sama juga

mengindikasikan bahwa dari sisi penggunaannya di

2003 diprakirakan sebagian besar masih disalurkan

untuk modal kerja dan konsumsi, dan kredit investasi

diprakirakan masih belum banyak mengalami

pertumbuhan yang signifikan. Sementara itu, sektor

usaha memiliki daya serap tinggi terhadap sektor

kredit perbankan pada 2003 adalah perdagangan,

industri dan jasa-jasa lainnya.

Penyaluran kredit untuk sektor UKM diprakirakan

meningkat porsinya pada 2003 mengingat sebagian

besar bank-bank telah melakukan “reposisi”

kebijakan pemberian kreditnya dari corporate lend-

ing ke retail lending. Proyeksi kredit untuk sektor

UKM diprakirakan mencapai Rp42,3 triliun pada 2003.

Hal ini sejalan dengan hasil survei yang menunjukkan

bahwa pemberian kredit di 2003 akan diprioritaskan

pada kredit dengan plafond sampai dengan Rp1,0

milyar dan Rp5,0 milyar.

Corporate lending diprakirakan masih tetap

berjalan namun porsinya masih kecil. Kecilnya pangsa

corporate lending tersebut disebabkan beberapa

faktor, antara lain masih banyaknya debitur-debitur

besar yang berada di BPPN, perbankan memerlukan

waktu yang cukup lama untuk menjadikan debitur kecil

dan menengah menjadi debitur besar serta trauma

beberapa bank kreditnya menjadi macet.

Dari sisi permodalan, CAR perbankan secara

industri diprakirakan akan sedikit mengalami

penurunan walaupun masih di atas 8%. Penurunan

tersebut disebabkan oleh semakin besarnya risiko

aktiva produktif perbankan dalam rangka ekspansi

kredit yang semakin meningkat. Sementara itu,

secara individu diprakirakan masih terdapat beberapa

bank yang memiliki CAR dibawah 8%, khususnya bagi

bank-bank yang memiliki exposures cukup besar

terhadap perubahan suku bunga dan nilai tukar maupun

penurunan kualitas aktiva produktif.

Dengan semakin menyatunya produk perbankan

dan lembaga keuangan lainnya serta keinginan

nasabah bank untuk memperoleh pelayanan keuangan

dalam satu atap, maka diprakirakan semakin banyak

bank-bank yang akan menjadi selling agent

perusahaan asuransi dan reksa dana maupun

menerbitkan produk-produk dan jasa perbankan baru

seperti misalnya dual currency deposits, internet bank-

ing, dan mobile banking.

Faktor Risiko Dan Ketidakpastian

Meskipun prospek pemulihan perekonomian In-

donesia di 2003 secara umum diprakirakan membaik

namun berbagai faktor risiko dan ketidakpastian

terutama pasca terjadinya tragedi Bali masih perlu

dicermati. Berbagai faktor risiko tersebut, apabila

240

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

tidak tertangani dengan baik dapat berpotensi

memperburuk kondisi ekonomi Indonesia ke depan.

Namun sebaliknya, apabila risiko tersebut dapat

diredam maka hal tersebut justru dapat mempercepat

proses pemulihan ekonomi yang saat ini terus

diupayakan. Berbagai risiko yang diprakirakan dapat

membawa dampak negatif terhadap prospek

perekonomian Indonesia antara lain memburuknya

kondisi perekonomian sebagian besar negara maju

dan persepsi investor global yang belum membaik.

Dari sisi domestik, disamping belum pulihnya fungsi

intermediasi perbankan, masih maraknya berbagai

konflik perburuhan serta relatif rendahnya

kepercayaan dunia usaha terhadap penegakan hukum

serta potensi meningkatnya suhu politik menjelang

pelaksanaan Pemilu 2004 dapat menjadi faktor

penghambat upaya pemulihan ekonomi yang sedang

dilakukan.

Dari sisi eksternal, meskipun perekonomian

dunia secara keseluruhan diprakirakan membaik

namun peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut

lebih banyak didukung oleh kinerja ekonomi

berbagai negara berkembang di kawasan Asia.

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi sebagian

besar negara maju yang menjadi pasar tradisional

ekspor Indonesia, seperti AS dan Jepang,

diprakirakan belum tumbuh secara berarti. Relatif

lemahnya pertumbuhan ekonomi tersebut bahkan

dapat semakin memburuk apabila meningkatnya

ketegangan politik di timur tengah berlangsung lama

sehingga secara signifikan mempengaruhi arus

perdagangan dunia.

Meningkatnya ketidakpastian akibat

ketegangan politik di Timur Tengah tersebut

diprakirakan juga akan berdampak negatif terhadap

iklim investasi global yang sementara ini belum pulih.

Perkembangan kondisi politik global yang kurang

menguntungkan tersebut dikhawatirkan dapat

memperburuk persepsi investor dan mitra dagang luar

negeri terhadap prospek perekonomian Indonesia.

Tendensi memburuknya kepercayaan masyarakat

internasional tersebut antara lain nampak dari

pengenaan “war premium” terhadap kegiatan

perdagangan luar negeri Indonesia. Premi tersebut

meningkatkan biaya transaksi dagang dengan mitra

luar negeri serta semakin memperkuat keengganan in-

vestor internasional untuk menanamkan modalnya di

Indonesia.

Dari sisi domestik, secara khusus perlu dicermati

perkembangan situasi politik dan keamanan

menjelang dilangsungkannya Pemilu 2004. Meskipun

cenderung terus membaik, perkembangan faktor

tersebut masih mengandung banyak ketidakpastian

sehingga berpotensi meningkatkan ketegangan

politik. Dalam jangka pendek, berbagai variabel

indikator seperti nilai tukar dan inflasi dapat

terpengaruh oleh sentimen negatif yang timbul.

Sementara dalam jangka panjang, sentimen negatif

yang persisten akan berdampak buruk terhadap

kepercayaan masyarakat sehingga mempengaruhi

konsumsi dan investasi.

Maraknya berbagai konflik perburuhan diyakini

dapat mengganggu ketenangan dan kepastian usaha

dan berpotensi mengurangi produktifitas. Berlarutnya

penyelesaian masalah tersebut berpotensi

mengakibatkan tingginya pemutusan hubungan kerja

(PHK), semakin mengurangi daya beli masyarakat dan

dapat mendorong terjadinya berbagai konflik sosial

241

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

lainnya. Di sisi lain, tuntutan kenaikan upah yang

tidak dibarengi dengan peningkatan produktifitas

akan meningkatkan biaya produksi per unit (unit

cost) sehingga mengurangi daya saing produk In-

donesia.

Disamping itu, mencuatnya berbagai

ketidakpuasan atas proses dan penyelesaian

beberapa kasus hukum yang relatif besar

menimbulkan persepsi masyarakat yang kurang

kondusif terhadap penegakan supremasi hukum.

Selain mengurangi kredibilitas pemerintah dalam

penyelenggaraan tata kelola negara (public gover-

nance), hal tersebut juga mengurangi minat in-

vestor untuk menanam modal ke Indonesia.

Di sisi lain, faktor risiko yang juga akan

menentukan prospek ekonomi ke depan adalah fungsi

intermediasi perbankan yang belum sepenuhnya

berjalan normal. Meskipun ekspansi kredit di 2002

relatif membaik, peningkatannya dirasakan masih

jauh dari yang dibutuhkan oleh sektor riil. Selain

berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi,

keengganan bank untuk menyalurkan kredit juga akan

mempengaruhi efektifitas kebijakan moneter akibat

mekanisme transmisi kebijakan moneter yang tidak

berjalan optimal.

Sementara itu, berkenaan dengan rencana

diakhir inya program IMF pada akhir 2003

diperlukan suatu strategi yang tepat guna

meminimalkan dampak buruk yang mungkin terjadi

terutama terhadap kondisi fiskal dan neraca

pembayaran. Terkait dengan hal itu, diperlukan

kebijakan yang tepat terutama untuk menutup

defisit fiskal dan neraca pembayaran baik melalui

mobilisasi sumber dana luar negeri (penarikan

pinjaman baru dan penjadwalan kembali

pembayaran utang luar negeri) maupun melalui

mobilisasi pembiayaan dari sumber domestik.

(Boks : Konsekuensi dan Persiapan Indonesia

Menghadapi Berakhirnya Program IMF pada Akhir

2003)SASARAN INFLASI DAN ARAH KEBIJAKANSasaran Inflasi

Sejak awal 2002 Bank Indonesia telah

menetapkan sasaran inflasi jangka menengah 6,0%-

7,0% yang akan dicapai pada 2006. Sasaran yang

ditetapkan dalam bentuk angka inflasi yang disertai

dengan periode pencapaiannya tersebut merupakan

sasaran inflasi yang optimum, dimana sasaran inflasi

dapat ditujukan pada tingkat inflasi yang cukup rendah

dan proses pencapaiannya diprakirakan tidak

menghambat proses pemulihan ekonomi Indonesia8 .

Adapun asumsi-asumsi yang mendasari penetapan

sasaran inflasi jangka menengah tersebut adalah:

terkendalinya tingkat permintaan masyarakat, adanya

penurunan intensitas penerapan kebijakan inflatoir

pemerintah di bidang harga dan pendapatan, dan

adanya kestabilan perkembangan nilai tukar rupiah.

Pencapaian sasaran inflasi tersebut perlu diupayakan

melalui proses disinflasi dengan penetapan sasaran inflasi

yang terus menurun mencapai level yang dituju pada

periode jangka menengah. Secara sederhana, proses8 Lihat Boks Penetapan Sasaran Inflasi Bank Indonesia, Laporan Tahunan

Bank Indonesia tahun 2001.

Tabel 11.9Lintasan Indikatif Sasaran Inflasi IHK Jangka Menengah

Inflasi IHK

Sasaran

9

Periode2003 2004 2005 2006

8 7 6

(Persen)

242

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

disinflasi dapat ditunjukkan dengan angka sasaran inflasi

yang menurun secara linier yang diharapkan dapat

mendukung proses pembentukan ekspektasi inflasi

masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka lintasan

indikatif sasaran inflasi sejak 2003 sampai dengan 2006

adalah sebagai mana disajikan pada tabel 11.9.

Mengingat tingginya tingkat ketidakpastian

dalam mencapai sasaran tersebut serta dengan

mempertimbangan efektifitas kebijakan moneter

dalam pengendalian inflasi dalam jangka pendek,

penetapan sasaran inflasi jangka pendek

(tahunan) dapat lebih rendah atau lebih tinggi dari

lintasan indikatif sasaran inflasi yang ditetapkan.

Penetapan sasaran inflasi jangka pendek perlu

disesuaikan dengan prakiraan perkembangan

faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dalam

tahun yang bersangkutan.

Berdasarkan faktor-faktor yang menjadi sumber

tekanan inflasi pada 2003, Bank Indonesia masih

memiliki ruang untuk melakukan berbagai upaya

dalam mengarahkan perkembangan inflasi pada

lintasan indikatif sasaran inflasi 2003 tanpa

menghambat proses pemulihan ekonomi, yaitu pada

angka 9,0%. Namun demikian, dalam menghadapi

faktor ketidakpastian dalam upaya pencapaian

sasaran inflasi tersebut perlu disertakan angka

deviasi yang paling reliable dan acceptable pada

angka sasaran yang ditetapkan, yaitu ±1,0%. Dengan

demikian sasaran inflasi IHK untuk tahun 2003 adalah

9,0% (±1,0%).

Arah Kebijakan Moneter

a. Kebijakan moneter secara konsisten tetap

diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi IHK

sebesar 9,0% pada 2003 serta dengan menjaga

komitmen pencapaian sasaran inflasi jangka

menengah. Secara operasional, pencapaian

uang primer tetap diupayakan agar konsisten

dengan sasaran inflasi yang telah ditetapkan,

namun momentum positif yang telah dicapai

melalui penurunan suku bunga SBI perlu tetap

dijaga. Untuk itu, uang primer perlu diarahkan

untuk secara bertahap mencapai pertumbuhan

rata-rata sekitar 13%, sesuai dengan

kebutuhan riil perekonomian.

b. Di tengah kondisi perbankan yang mengalami

kelebihan likuditas, pencapaian sasaran uang

primer tersebut diprakirakan masih dapat

membawa suku bunga instrumen moneter yang

cenderung menurun. Dengan memperhatikan

sejumlah variabel-variabel informasi lainnya

seperti masih tingginya rigiditas suku bunga

kredit perbankan serta adanya kecenderungan

menurunnya inflasi inti secara signifikan,

tekanan inflasi yang dapat ditimbulkan oleh

penurunan suku bunga diprakirakan belum terlalu

kuat. Penurunan suku bunga tersebut diharapkan

tetap dapat memberikan sinyal positif kepada

para pelaku usaha akan prospek pemulihan

perekonomian. Di samping mempengaruhi suku

bunga kredit perbankan, penurunan suku bunga

ini diharapkan dapat mendorong sektor korporat

untuk menerbitkan obligasi sebagai alternatif

pembiayaan investasinya.

c. Secara operasional, optimalisasi penggunaan

instrumen moneter seperti yang dilakukan pada

2002 tetap perlu dipertahankan, termasuk

upaya untuk tetap menggunakan kebijakan

243

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

sterilisasi valas dalam membantu penyerapan

likuditas perbankan serta meminimalkan

fluktuasi nilai tukar yang berlebihan. Disamping

optimalisasi infrastruktur SBI, dalam jangka

panjang penggunaan Surat Perbendaharaan

Negara dan Obligasi Negara tetap perlu

dipertimbangkan sebagai alternatif instrumen

(Boks : SBI Scripless dan Automatic Bidding Sys-

tem (ABS). Namun demikian, strategi ini tetap

harus memperhatikan timing dan magnitude

yang tepat sesuai dengan kondisi pasar.

Penggunaan surat utang pemerintah sebagai

instrumen moneter di pasar sekunder juga

menuntut adanya kesiapan infrastuktur/aturan-

aturan mengenai sistem lelang baik outright

maupun repo. Kesiapan infrastruktur

diharapkan dapat menjamin kelancaran

transaksi di pasar sekunder yang selanjutnya

dapat meningkatkan efektivitas penggunaan

surat utang pemerintah sebagai alternatif

instrumen moneter. (Boks : On Line Scripless

Securities Settlement System (SSSS)

Arah Kebijakan Perbankan

a. Kebijakan di bidang perbankan masih

meneruskan program penyehatan perbankan.

Terkait dengan hal tersebut, target pencapaian

NPLs neto maksimum 5,0% pada akhir Juni 2003

diharapkan dapat tercapai. Bagi bank-bank yang

masih memiliki NPLs neto diatas 5,0% perlu

membuat rencana yang jelas dan konkrit di dalam

business plan mereka mengenai upaya-upaya dan

langkah-langkah yang harus dilakukan untuk

mencapai target NPLs neto maksimum 5,0%.

b. Mendorong bank-bank untuk terus meningkatkan

pemberian kredit ke sektor UKM mengingat

potensi pengembangannya masih sangat besar

dan memiliki prospek usaha yang

menggembirakan.

c. Menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia (API)

yang merupakan policy direction bagi industri

perbankan nasional sebagai antisipasi dalam

menghadapi segala perubahan-perubahan yang

terjadi dalam jangka panjang. (Boks : Arsitektur

Perbankan Indonesia)

d. Mempersiapkan cetak biru stabilitas sistem

keuangan dengan cakupan aspek monitoring dan

surveilance stabilitas keuangan, prosedur

penanganan krisis (crisis resolution) dan aspek

organisasinya. (Boks : Stabilitas Sistem

Keuangan (SSK) di Indonesia).

e. Walaupun CAR perbankan belum memasukkan

unsur market risk dalam perhitungannya, namun

perbankan tetap diminta untuk melakukan

persiapan-persiapan yang diperlukan secara

bertahap di 2003 sebelum penerapan market risk

dalam perhitungan CAR diberlakukan pada 2004.

Perhitungan CAR yang baru dengan memasukkan

unsur market risk tidak akan mengubah

ketentuan batas minimum CAR 8% yang sudah

ada selama ini.

f. Mengeluarkan pedoman pelaksanaan

manajemen risiko untuk bank-bank sehingga

diharapkan bank-bank dapat membuat

pedoman pelaksanaan manajemen risiko di

banknya masing-masing sesuai dengan standar

yang telah ditentukan dalam rangka

memperkuat internal control.

244

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

g. Menyiapkan materi pengaturan LPS dengan

mempertimbangkan beberapa faktor seperti

proses restrukturisasi perbankan, kerangka

pengawasan perbankan yang efektif, prosedur

penyelesaian bank bermasalah dan adanya

elemen lender of the last resort.

h. Di bidang perbankan syariah, arah kebijakan

di 2003 akan diprioritaskan pada upaya

penyempurnaan ketentuan dan infrastruktur

pendukung bagi pengembangan perbankan

syariah. Di sisi ketentuan, penyempurnaan

tersebut antara lain mencakup penyusunan

ketentuan pengawasan perbankan syariah

berbasis risiko (risk-based supervision), pru-

dential regulation, peni laian t ingkat

kesehatan perbankan syariah,

penyempurnaan sistem pelaporan serta

pedoman akuntansi dan audit perbankan

syariah. Sementara itu, penyempurnaan

infrastruktur akan meliputi pemetaan

wilayah-wilayah potensial bagi pengembangan

dan pembukaan kantor-kantor bank syariah

baru guna mendorong pengembangan

jaringan kantor bank syariah. Disamping itu,

kegiatan sosialisasi perbankan syariah akan

dilaksanakan secara lebih intensif untuk

meningkatkan pemahaman masyarakat

terhadap perbankan syariah.

Arah Kebijakan Sistem Pembayaran

a. Di bidang sistem pembayaran tunai, kebijakan

diarahkan untuk mengupayakan pemenuhan

kebutuhan masyarakat akan uang kartal melalui

peningkatan efektivitas pengedaran uang. Pola

penyaluran uang pecahan kecil kepada

masyarakat yang dilakukan di kantor pusat,

melalui perusahaan pihak ketiga dan BPR akan

dilanjutkan ditujuh Kantor Bank Indonesia (KBI).

Disamping itu, untuk daerah-daerah yang tidak

memiliki KBI, pelaksanaan distribusi uang

dilakukan melalui Kas Titipan yang bekerjasama

dengan perbankan setempat. Untuk

meningkatkan efektivitas keberadaan kas

titipan tersebut, Bank Indonesia akan

melakukan evaluasi dan penyempurnaan fungsi

kas titipan sebagai ujung tombak dalam

pengedaran uang di daerah. Kebijakan lain

dibidang sistem pembayaran tunai adalah

memperluas jejaring penanggulangan uang

palsu. Perluasan jejaring ini dilakukan melalui

peningkatan kerjasama dengan POLRI dalam

bentuk pembekalan keterampilan kepada

petugas di KBI maupun POLDA dalam

penanggulangan pemalsuan uang. Disamping itu,

dalam rangka meningkatkan efektivitas

sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah asli,

pada 2003 Bank Indonesia akan melakukan

kerjasama dengan perbankan yang mempunyai

jaringan sampai tingkat pedesaan.

b. Dibidang sistem pembayaran nontunai,

kebijakan tetap diarahkan untuk memperluas

implementasi sistem Real Time Gross Settle-

ment (RTGS), mengurangi risiko sistem

pembayaran, dan mengkaji ulang blue print

sistem pembayaran nasional. Perluasan

implementasi sistem BI-RTGS pada 2003 akan

dilakukan di 10 KBI yaitu KBI Cirebon,

Tasikmalaya, Purwokerto, Solo, Jember, Kediri,

245

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sampai saat ini

masih merupakan piranti utama dalam pelaksanaan

kebijakan moneter melalui operasi pasar terbuka

(OPT). Pada dasarnya, SBI merupakan surat utang

jangka pendek dalam rupiah yang diterbitkan Bank

Indonesia secara diskonto dan penerbitannya

ditujukan untuk kepentingan operasi kebijakan

moneter. SBI diterbitkan pertama kali pada tahun

1984 berdasarkan Keputusan Presiden No. 5 tahun

1984 tentang Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia

dan SK Direksi Bank Indonesia No. 16/55/Kep/Dir

tanggal 21 Januari 1984 tentang SBI.

Perkembangan yang sangat cepat di pasar

keuangan, menuntut perlunya inovasi bukan hanya

dalam hal tersedianya instrumen secara memadai

dan berkesinambungan tetapi juga adanya

infrastruktur pendukung untuk memfasilitasi

kegiatan transaksi secara akurat, cepat dan aman.

Dengan memperhatikan hal tersebut serta untuk

meningkatkan efektifitas pelaksanaan OPT, Bank In-

donesia melakukan penyempurnaan cara penerbitan

dan mekanisme transaksi SBI yang didukung dengan

sistem penatausahaan secara elektronis.

Sebelumnya, setiap penerbitan SBI selalu disertai

dengan pencetakan warkat (fisik) surat berharga

dan warkat tersebut pada umumnya disimpan di

Bank Indonesia. Kepada pemilik diberikan ‘bukti

depo simpanan’ (BDS) sebagai bukti kepemilikan SBI

yang ditatausahakan di Bank Indonesia.

Penyempurnaan ketentuan SBI tertuang dalam

Peraturan Bank Indonesia (PBI), yaitu PBI No. 4/10/

PBI/2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia. Selain itu

Bank Indonesia juga menyempurnakan ketentuan

pelaksanaan kebijakan moneter yang tertuang dalam

PBI No. 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka.

Kedua ketentuan tersebut dikeluarkan pada 18 Novem-

ber 2002 dan mulai berlaku sejak 25 November 2002.

Kedua ketentuan tersebut sekaligus dimaksudkan untuk

memberikan landasan hukum yang lebih jelas mengenai

kedudukan dan fungsi SBI dalam kaitan dengan

kebijakan moneter di Indonesia, mengingat kedua

ketentuan yang menjadi dasar penerbitan SBI selama

ini sudah tidak memadai bila dikaitkan dengan tuntutan

perubahan pasar keuangan yang sangat dinamis.

Materi penyempuraan tersebut terutama

meliputi penerbitan SBI secara scripless, yaitu

penerbitan SBI tanpa disertai dengan pencetakan

warkat (fisik) dari surat berharga. Dalam hal ini,

pencatatan atas kepemilikan SBI dilakukan secara

elektronis dalam suatu sistem penatausahaan secara

elektronis yang ada di Bank Indonesia.

Sistem penatausahaan secara elektronis

tersebut dikenal dengan Book Entry Registry (BER)

yang selama ini juga digunakan untuk

menatausahakan perdagangan obligasi pemerintah.

Dalam hal ini, Bank Indonesia bertindak sebagai

central registry (CR) yang menatausahakan

kepemilikan SBI oleh perbankan. Selain itu, di Bank

bo

ks

SBI Scripless dan Automatic Bidding System (ABS)

246

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

Indonesia terdapat pula rekening atas nama sub-reg-

istry (SR) yang menatausahakan kepemilikan SBI oleh

pihak lain di luar bank. Saat ini, terdapat sebelas

bank yang ditunjuk sebagai SR. Penunjukkan tersebut

dilakukan melalui proses seleksi yang ketat

berdasarkan kriteria yang ditetapkan Bank Indone-

sia, untuk menjamin bahwa bank-bank yang ditunjuk

sebagai SR mampu melaksanakan fungsi sebagai

penatausaha SBI scripless sesuai dengan standar yang

diinginkan Bank Indonesia. Kriteria dimaksud antara

lain, memiliki pengalaman dalam penatausahaan

surat berharga minimal tigatahun, nominal surat

berharga yang ditatausahakan dalam enam bulan

terakhir rata-rata sebesar 1,0 triliun, memiliki sistem

pencatatan surat berharga secara scripless yang aspek

keamanannya telah diaudit dan memiliki jaringan usaha

yang luas. Kesebelas SR dimaksud meliputi Bank Niaga,

Deutsche Bank AG, Citibank NA, BII, ABN AMRO Bank

N.V., BNI, HSBC, BCA, BRI dan Standard Chartered Bank.

Dengan adanya penyempurnaan mekanisme

penerbitan SBI tersebut, transaksi SBI, khususnya

di pasar sekunder diharapkan dapat dilakukan

dengan lebih efisien. Selain itu, transaksi repo surat

berharga, termasuk SBI, diharapkan juga dapat

berkembang untuk mengurangi volatilitas tingkat

bunga dan mengurangi segmentasi yang terjadi di

pasar uang. Dapat dikemukakan bahwa di pasar

sekunder SBI dapat diperdagangkan baik secara repo

maupun outright serta dapat dijadikan agunan.

SBI Scripless memiliki satuan unit sebesar

Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Namun, jumlah

transaksi terkecil di pasar perdana (pada saat penerbitan

melalui lelang) ditetapkan sebesar 1.000 unit atau

Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan selebihnya

dengan kelipatan 100 unit atau Rp100.000.000,00

(seratus juta rupiah). Sedangkan penawaran tingkat

diskonto diajukan dengan kelipatan 0,0625%.

Penerbitan SBI oleh Bank Indonesia dapat dilakukan

dengan mekanisme lelang maupun nonlelang. Pembeli

SBI pada saat penerbitan (pasar perdana) adalah bank

dan pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Untuk

saat ini, hanya bank yang dapat membeli SBI di pasar

perdana melalui mekanisme lelang. Hal ini

dimaksudkan untuk lebih menunjukkan fungsi SBI

sebagai instrumen moneter yang ditujukan untuk

mempengaruhi jumlah likuiditas di pasar uang melalui

perubahan jumlah saldo giro bank di Bank Indonesia.

Transaksi di pasar perdana ini hanya dapat

dilakukan melalui sarana automatic bidding system

(ABS) dari Bloomberg yang bersifat on-line dan real-

time. Sebelumnya, penyampaian penawaran lelang

SBI dapat dilakukan melalui telepon, faksimili maupun

reuter’s monitor dealing system (RMDS). Dengan

sarana ABS, baik penyampaian penawaran (bidding),

proses penentuan pemenang lelang, pengumuman

maupun konfirmasi hasil lelang kepada peserta lelang

dilakukan secara elektronis sehingga lebih cepat dan

aman (mengurangi unsur human error).

Penyampaian penawaran lelang SBI bagi bank

yang tidak memiliki sarana ABS dapat dilakukan

baik melalui bank lain ataupun pialang pasar uang

yang telah memiliki sarana ABS. Saat ini

terdapat 40 bank dan 7 pialang pasar uang

memiliki sarana ABS.

247

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

bo

ks

On-line Scripless Securities Settlement System (SSSS)

Pendahuluan

Sejak diterbitkannya Obligasi Pemerintah

dalam rangka program rekapitalisasi Perbankan yang

kemudian dikenal dengan sebutan Surat Utang

Negara (SUN) dengan dikeluarkannya UU No. 24

tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, Bank

Indonesia ditugasi untuk menatausahakan surat

utang tersebut. Hal ini sesuai dengan pasal 55 ayat

3 dalam UU No. 23 tahun 1999 yang menyatakan

bahwa Bank Indonesia membantu Pemerintah dalam

penerbitan SUN. Pada awalnya, peran Bank Indone-

sia sebagai penatausaha SUN tercantum dalam

Persetujuan Bersama Departemen Keuangan dan

Bank Indonesia 28 Mei 1999. Dalam Persetujuan

Bersama tersebut disepakati bahwa Bank Indone-

sia bertindak sebagai agen penatausaha SUN yang

tugasnya antara lain untuk mencatat kepemilikan

semua SUN dalam daftar pemegang SUN dan semua

perpindahan kepemilikan SUN yang dibuktikan

dengan konfirmasi pencatatan SUN serta melakukan

pembayaran bunga dan pokok SUN pada saat jatuh

waktu. Selanjutnya tugas Bank Indonesia sebagai

penatausaha SUN yang mencakup central registry,

kliring dan settlement serta agen pembayar

ditegaskan dalam pasal 12 ayat 1 UU No. 24 tahun

2002 tentang Surat Utang Negara.

Untuk menatausahakan SUN, Bank Indonesia

menggunakan sistem yang disebut BI-SKRIP yaitu

Bank Indonesia-Sistem Kliring, Registrasi dan

Penatausahaan Obligasi Pemerintah. BI-SKRIP terdiri

dari CR yang terdapat di Bank Indonesia dan sebelas

SR yang memperoleh persetujuan dari Bank

Indonesia. Karena pencatatan dalam BI-SKRIP

menggunakan two-tier system maka yang dapat

menjadi nasabah dari CR adalah SR, Bank dan

market maker, serta pihak lain yang ditunjuk oleh

Bank Indonesia. Sementara itu, peserta perusahaan

maupun perorangan tidak dapat menjadi nasabah

di CR dan hanya menjadi nasabah di SR. Struktur

BI-SKRIP dapat digambarkan sebagai berikut :

Dalam rangka pencatatan kepemilikan, Bank In-

donesia sebagai CR menggunakan sistem Book Entry

Registry (BER) untuk settlement SUN yang

diperdagangkan secara scripless (tanpa warkat).

Struktur Pencatatan Surat Berhargadalam BI-SKRIP

Perusahaansekuritas

Perusahaan

Individu

Pihak Asing

Sub-Registryx 11

Primary DealersMarket Makers(akan ditunjuk)

Bankx 145

Central Registry- Clearing/Settlement

248

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

Sistem BER sejak 17 November 2000 telah terkoneksi

dengan sistem Real Time Gross Settlement Bank

Indonesia (BI-RTGS) sehingga pelaksanaan settlement

dana transaksi SUN di pasar primer dan sekunder

maupun pembayaran kupon obligasi pemerintah pada

saat jatuh waktu dapat dilakukan secara on-line.

Sistem BER dalam pengembangannya juga telah

digunakan untuk menangani setllement SBI yang

diperdagangkan secara scripless maupun untuk

settlement instrumen OPT ataupun nantinya

digunakan untuk menangani settlement SUN yang

mungkin akan diterbitkan

Hubungan sistem BER dengan peserta dalam

CR saat ini masih dilakukan secara manual. Dalam

hal terjadi perdagangan/perpindahan surat

berharga, penyerahan formulir surat permohonan

perpindahan register (SPPR) untuk pemindahan

kepemilikan surat berharga dan formulir Surat

perintah penyelesaian pembayaran (SPPP) ke Bank

Indonesia masih dilakukan dengan penyampaian

hard copy oleh kurir. Demikian pula penyampaian

laporan kepemilikan masih dilakukan secara

manual. Selain itu SR maupun bank juga tidak

dapat melihat secara on-line posisi kepemilikan

surat berharga dalam rekeningnya. Kepemilikan

surat berharga hanya diketahui berdasarkan

konfirmasi pencatatan surat berharga (KPS) harian

ataupun bulanan yang disampaikan oleh CR atau

SR.

Hubungan manual antara Bank Indonesia

sebagai CR dengan Bank, SR maupun dengan

pelaku pasar domestik lainnya sebagai nasabah

langsung CR yang telah disebutkan di atas ternyata

dapat menimbulkan berbagai permasalahan

seperti keterlambatan pencatatan transaksi akibat

keterlambatan pengiriman instruksi pemindahan

kepemilikan surat berharga, tidak

terselesaikannya transaksi sesuai dengan batas

waktu yang ditetapkan akibat kesalahan pengisian

formulir maupun kesalahan surat berharga yang

ditransaksikan serta keterlambatan penyampaian

laporan kepemilikan surat berharga di sub-regis-

try. Dengan pemikiran tersebut maka disadari

perlunya suatu interkoneksi yang terintegrasi

antara CR dengan SR maupun dengan nasabah

langsung CR lainnya dalam suatu sistem yang pada

saat ini sedang dikembangkan oleh Bank Indone-

sia yang disebut On-line Scripless Securities

Settlement System (SSSS). Bank Indonesia

merencanakan untuk mengimplementasikan SSSS

baik untuk SUN maupun untuk SBI pada Septem-

ber 2003.

Grand Design SSSS

Dalam grand design direncanakan bahwa

SSSS sebagai sistem setllement surat berharga

akan terhubung dengan sistem BI-RTGS yang

merupakan sistem untuk settlement dana,

sehingga SSSS nantinya akan dapat melakukan

settlement berbagai jenis transaksi maupun

melakukan pembayaran bunga dan pokok surat

berharga yang jatuh waktu. SSSS juga akan

terintegrasi dengan sistem ABS yang merupakan

sistem yang melakukan proses lelang surat

249

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

berharga mulai dari pengumuman, pengajuan

penawaran, penentuan dan pengumuman hasil

lelang sehingga lelang oleh Bank Indonesia dapat

diselesaikan secara lebih cepat dan akurat. Untuk

mendukung transparansi pasar, hasil settlement

dalam SSSS tersebut akan langsung diteruskan ke

berbagai sistem informasi yang ada seperti dalam

website Bank Indonesia, PIPU, Bloomberg, Bridge

Systems, Reuters maupun penyedia informasi

lainnya.

Keuntungan Penggunaan SSSS

Penggunaan On-line SSSS ini memiliki beberapa

keuntungan bagi pasar sekunder surat berharga,

yaitu :

1. Mengurangi waktu, biaya dan Sumber Daya

manusia dalam penyelesaian transaksi.

Dengan menggunakan s i stem SSSS,

transaksi dapat dilakukan secara on-line

dan tidak perlu dilakukan secara manual.

Tugas Bank Indonesia sebagai CR sebagai

pengelola sistem SSSS tidak perlu lagi

PenyelesaianPembayaran

Pengumumandan proses Lelang

Pencatatan Penatausahaan

ABS

SSSSRTGS

www.bi.go.id /PIPU/ Bloomberg/ BES/Sistem informasi lainnya

Surat Berhargaa. Obligasi Pemerintahb. T-Billsc. SBI

Infrastruktur Penerbitan dan Penatausahaan SuratBerharga

250

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

dilakukan penyelesaian secara manual,

pembayaran dapat langsung diteruskan ke

sistem RTGS.

2. Mengurangi risiko penyelesaian transaksi

surat berharga di pasar sekunder dengan

prinsip Delivery Versus Payment (DVP).

Bank for International Settlement (BIS)

telah merekomendasikan bahwa setiap

settlement transaksi pasar uang yang

berkaitan dengan bank hendaknya

menggunakan prinsip DVP, mengingat

kegagalan settlment surat berharga dapat

mempengaruhi kestabi lan s i stem

keuangan. Transaksi dengan prinsip DVP

dalam sistem on-line akan mengurangi atau

menghilangkan terjadinya resiko transaksi

yaitu di mana penjual surat berharga telah

menyampaikan surat berharganya tapi

t idak mener ima pembayaran atau

sebaliknya pembeli telah menyelesaikan

pembayaran tapi tidak menerima surat

berharga yang dibelinya.

3. Meningkatkan transaksi pasar sekunder surat

berharga.

Keuntungan ini tidak terlepas dari keuntungan

pertama dan kedua karena penghematan

waktu dan biaya penyelesaian transaksi dengan

Bank Indonesia serta keyakinan akan keamanan

transaksi akan mendorong peserta pasar untuk

lebih meningkatkan transaksi sekunder surat

berharga. Peningkatan pasar sekunder SUN

maupun SBI akan membuat pasar semakin

likuid. Peningkatan likuiditas ini juga terjadi

karena SSSS akan terhubung dengan Indone-

sian Government Securities Trading System

(IGSTS) yang merupakan sistem perdagangan

SUN yang digunakan oleh Asosiasi Pedagang

Surat Utang Negara (APSUN) dan dioperasikan

oleh Bursa Efek Surabaya (BES). APSUN ini

merupakan asosiasi yang beranggotakan 15

bank yang aktif memperdagangkan SUN

sehingga proses settlement transaksi yang

cepat akan semakin meningkat perdagangan

yang dilakukan antar anggota APSUN ini.

251

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

Di tengah-tengah situasi krisis yang memburuk

dengan cepat di paro kedua 1997, pemerintah In-

donesia pada 31 Oktober 1997 mengajukan

permohonan bantuan keuangan dari IMF untuk

mendukung neraca pembayaran (balance of pay-

ment support), memulihkan kepercayaan pasar, dan

akhirnya menstabilkan rupiah. Permohonan ini

dipenuhi oleh Dewan Eksekutif IMF pada 5 Novem-

ber 1997 dengan pemberian fasilitas Stand-by-Ar-

rangement (SBA), yang kemudian diubah menjadi

Extended Fund Facilities (EFF) pada Agustus 1998

dan terakhir New EFF pada Februari 2000 seiring

dengan krisis yang semakin dalam dan luas.1

Komitmen pinjaman yang diperoleh Indonesia dari

IMF hingga akhir 2002 berjumlah $15,1 miliar, di

mana $13,2 miliar diantaranya telah dicairkan dan

yang telah dibayar kembali berjumlah $4,4 miliar.2

Dengan perkembangan ini, posisi pinjaman Indone-

sia dari IMF per akhir 2002 tercatat sebesar $8,9

miliar. Sebagai skim terakhir, komitmen New EFF

akan berakhir pada 31 Desember 2003 mendatang.

Sebagai konsekuensi dari pemanfaatan

bantuan keuangan IMF tersebut, Indonesia

berkewajiban untuk memenuhi sejumlah

persyaratan (conditionality) IMF yang dituangkan

dalam butir-butir Letter of Intent (LoI)-selanjutnya

disebut dengan Program IMF. Selain berfungsi sebagai

dasar pertimbangan (review) IMF sebelum

mencairkan bantuan keuangannya secara bertahap,

kemajuan negara peminjam dalam pemenuhan

butir-butir LoI dalam prakteknya dijadikan rujukan

(reference) oleh pelaku pasar dan masyarakat

internasional, termasuk lembaga Consultative Group

on Indonesia dan Paris Club, untuk mengukur

kesungguhan negara tersebut dalam menjalankan

program pemulihan ekonominya.

Dengan adanya rencana pemerintah Indone-

sia untuk tidak melanjutkan Program IMF di Indone-

sia setelah 2003, pertanyaan penting pertama yang

muncul adalah bagaimana Indonesia pada akhir 2003

nanti dapat memperoleh persetujuan dari Dewan

Eksekutif IMF untuk mengakhiri Program IMF seperti

halnya Korea Selatan dan Thailand. Pertanyaan

kedua adalah konsekuensi apa saja yang harus

dihadapi Indonesia dari diakhirinya program IMF

tersebut. Sementara itu, pertanyaan ketiga terkait

dengan langkah persiapan apa saja yang sebaiknya

dilakukan Indonesia agar proses berakhirnya

program IMF ini dapat berlangsung dengan sesedikit

mungkin menimbulkan gejolak.

Menurut ketentuan IMF yang berlaku,

persetujuan apakah sebuah negara dapat mengakhiri

program IMF dengan resmi berada di tangan Dewan

Eksekutif IMF. Keputusan dewan tersebut didasarkan

pada penilaian apakah kebijakan dan kondisi

bo

ks Konsekuensi dan Persiapan Indonesia Menghadapi

Berakhirnya Program IMF pada Akhir Tahun 2003

1 EFF adalah sebuah fasilitas IMF yang diberikan kepada negaraanggota yang mengalami ketidakseimbangan neraca pembayaranyang serius sehingga memerlukan external financing dengan jangkawaktu pengembalian pinjaman yang relatif panjang untukmemungkinkan dilakukannya reformasi ekonomi secara struktural.

2 Perhitungan menggunakan nilai tukar IMF pada 31 Desember 2002sebesar $1,35952 per Special Drawing Rights (SDR)

252

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

ekonomi, khususnya posisi cadangan devisa, negara

tersebut telah menunjukkan perbaikan yang

signifikan. Sebagai informasi, Korea Selatan dan

Thailand disetujui keluar dari program IMF masing-

masing pada 3 Desember 2000 dan 19 Juni 2001.

Meski telah dinyatakan lulus, kedua negara tersebut

menempuh skim yang berbeda. Korea Selatan telah

melunasi semua pinjaman IMF jauh lebih cepat dari

jadwal awal, sementara Thailand sampai saat ini

masih melunasi pinjamannya sesuai dengan jadwal

yang ditetapkan sebelumnya. Dengan menimbang

bahwa menurut ketentuan IMF, percepatan

pembayaran kembali hanya bisa dilakukan oleh

negara yang mempunyai kondisi neraca pembayaran

dan cadangan devisa yang demikian kuat, skim

keluarnya Indonesia dari program IMF kemungkinan

besar akan mirip dengan skim yang dijalani Thai-

land. Meski skim ini tidak mensyaratkan pemenuhan

conditionality seperti dalam program IMF,

perekonomian Indonesia masih akan di-review oleh

Dewan Eksekutif IMF sebanyak dua kali dalam

setahun (Post Program Monitoring atau PPM).3

Apa konsekuensi-konsekuensi yang perlu kita

cermati dari diakhirinya program IMF di Indonesia

pada akhir 2003 nanti? Konsekuensi pertama terkait

dengan hilangnya kesempatan Indonesia untuk

memperoleh penjadwalan utang luar negeri

pemerintah di bawah Paris Club. Hanya negara yang

terkait dengan suatu program IMF, entah itu dalam

bentuk SBA ataupun EFF, dapat memperoleh

penjadwalan utang Paris Club. Selain itu, dengan

menimbang bahwa penjadwalan utang dalam Paris

Club juga menganut prinsip comparability of treat-

ment untuk semua kreditor Indonesia, kemungkinan

penjadwalan utang dengan London Club

kemungkinan besar juga akan tertutup seiring

dengan berakhirnya program IMF.

Sementara itu, data menunjukkan bahwa

pinjaman program bilateral maupun multilateral

yang policy matrix-nya terkait langsung dengan

program IMF di Indonesia memiliki tingkat realisasi

penarikan di 2001 yang jauh lebih tinggi daripada

jenis pinjaman-pinjaman program jenis lainnya.4

Kenyataan ini berpotensi melahirkan keragu-raguan

di kalangan negara donor terhadap kemampuan

Indonesia dalam memenuhi policy matrix pinjaman-

pinjaman program tanpa keberadaan program IMF,

yang pada gilirannya dapat mengganggu realisasi

penarikan pinjaman program.

Munculnya financing gap dalam keuangan

pemerintah sebagai dampak hilangnya kesempatan

memperoleh penjadwalan utang Paris Club

merupakan konsekuensi kedua dari berakhirnya

program IMF. Hilangnya kesempatan memperoleh

penjadwalan utang Paris Club di 2004 saja akan

memaksa pemerintah untuk mencari sumber dana

alternatif sampai dengan Rp30,0 triliun untuk

pembayaran utang luar negeri di tahun tersebut.

3 Dengan asumsi bahwa Indonesia masih akan menarik sisa pinjamanIMF selama tahun 2003 dan melunasinya sesuai jadwal, reviewberkala IMF di bawah skim PPM ini diprakirakan masih akanberlangsung paling lama sampai dengan akhir 2008, kecuali bilaDewan Eksekutif IMF memutuskan lain.

4 Pinjaman program merupakan jenis pinjaman terbesar dalam utangluar negeri pemerintah Indonesia.

253

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

Sumber-sumber dana alternatif tersebut harus digali

lebih dalam bilamana berakhirnya program IMF

ternyata juga mengganggu penarikan pinjaman pro-

gram bilateral maupun multilateral.

Sebagai konsekuensi ketiga, berakhirnya

program IMF memaksa pelaku pasar dan masyarakat

internasional untuk mencari alternatif rujukan (ref-

erence) dalam menilai perekonomian Indonesia.

Menjadi pertanyaan krusial adalah apakah

pemerintah Indonesia-bersama dengan DPR dan

Bank Indonesia-mampu merumuskan kebijakan

pemulihan ekonomi yang koheren dan

melaksanakannya secara konsisten. Bilamana hal ini

dapat diwujudkan, kredibilitas pemerintah yang

terbangun kokoh diprakirakan dapat menggantikan

fungsi rujukan program IMF bagi pelaku pasar dan

masyarakat internasional. Sebaliknya, merosotnya

kepercayaan (confidence) mereka terhadap

perekonomian Indonesia akan menjadi taruhannya.

Konsekuensi keempat terkait dengan kondisi

neraca pembayaran dan cadangan devisa kita pasca

berakhirnya program IMF. Pembayaran kembali

pinjaman IMF sesuai dengan jadwal semula

diperkirakan tidak akan membahayakan kinerja

keduanya. Justru yang menjadi kekuatiran adalah

bilamana berakhirnya program IMF diikuti oleh

peningkatan capital outflows seiring dengan

menurunnya kepercayaan (confidence) pelaku pasar

dan masyarakat internasional terhadap

perekonomian Indonesia. Dalam kondisi ini dan

dengan asumsi kinerja ekspor belum akan

mengalami perbaikan yang berarti, neraca

pembayaran dan cadangan devisa kita dapat

menghadapi tahun-tahun yang sulit dalam beberapa

tahun kedepan.

Menyimak konsekuensi-konsekuensi di atas,

sejumlah hal perlu dipersiapkan bersama agar proses

berakhirnya program IMF pada akhir 2003 nanti

dapat berjalan mulus (exit strategy). Persiapan

pertama dan utama yang harus dilakukan

pemerintah Indonesia adalah dengan sadar dan

sistematis memupuk kemampuan dalam merancang

kebijakan yang koheren sekaligus konsisten

melaksanakannya. Dalam kaitan ini, langkah awal

yang sebaiknya dilakukan pemerintah adalah

berupaya memenuhi komitmen-komitmen yang

telah tertuang dalam butir-butir LoI dalam sisa 2003

secara konsisten dan tepat waktu.

Persiapan kedua, pemerintah Indonesia

dituntut untuk bekerja keras mengeksplorasi

sumber-sumber pembiayaan sebagai kompensasi

hilangnya kesempatan memperoleh penjadwalan

utang Paris Club dan kemungkinan turunnya tingkat

penarikan pinjaman program bilateral dan multi-

lateral seiring dengan berakhirnya program IMF.

Peningkatan pendapatan pajak melalui perluasan

basis pajak (tax base), efisiensi pengeluaran melalui

peralihan dari price subsidies menjadi targeted sub-

sidies, reprofiling obligasi pemerintah, dan

penerbitan surat utang di pasar domestik khususnya

untuk refinancing merupakan sumber-sumber

alternatif yang telah banyak dibicarakan untuk

dieksplorasi lebih jauh. Satu kemungkinan langkah

terobosan dapat dilakukan dalam bentuk upaya

254

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

memperoleh penjadwalan utang luar negeri secara

bilateral dengan sejumlah negara di luar kerangka

Paris Club .

Persiapan ketiga yang sebaiknya dilakukan

pemerintah adalah peningkatan upaya

pengembangan pasar domestik bagi surat utang

negara. Selain sangat kondusif bagi peningkatan

daya serap penerbitan surat utang negara guna

pembiayaan keuangan pemerintah, pasar surat

utang negara yang telah berkembang diharapkan

dapat membantu menarik investasi portfolio oleh

pelaku pasar asing. Hal ini pada gilirannya

diharapkan dapat mengkompensasi financing gap

dalam neraca pembayaran sebagai akibat

pembayaran kembali utang IMF dan tertutupnya

peluang penjadwalan utang Paris Club.

Hal keempat dan terakhir yang harus

diupayakan pemerintah adalah membangun

komitmen politik yang kokoh dan luas untuk pulih

dari krisis dan kepemimpinan yang kuat dan

memiliki kemampuan mengkoordinir proses

berakhirnya program IMF. Pengalaman Korea

Selatan dan Thailand mengajarkan kepada Indo-

nesia bahwa keberadaan kedua hal tersebut, selain

kestabilan politik dan keamanan, memainkan peran

yang tidak dapat diabaikan di balik cerita

keberhasilan kedua negara tersebut keluar dari

program IMF.

255

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

Krisis perbankan yang terjadi pada tahun

1997 telah memberikan pelajaran pentingnya

menciptakan industri perbankan nasional yang

memiliki ketahanan dan kemampuan yang memadai

untuk menghadapi berbagai macam gejolak eksternal

(external shocks). Sementara itu, saat ini

perkembangan produk dan jasa perbankan mengalami

perubahan yang lebih kompleks disertai dengan risiko

yang lebih besar sebagai akibat dari tuntutan nasabah

yang menginginkan produk dan jasa bank yang lebih

bervariasi. Dengan munculnya produk-produk baru

yang semakin inovatif tersebut, perbankan nasional

harus siap menghadapi segala macam risko yang

kemungkinan berpotensi untuk muncul di kemudian

hari. Disamping itu, perkembangan teknologi

informasi menyebabkan distribusi produk dan jasa

yang ditawarkan oleh lembaga keuangan termasuk

perbankan semakin meluas dan cepat sehingga

sifatnya menjadi global dan universal. Dalam rangka

menghadapi segala perubahan dan tantangan

tersebut, perbankan nasional perlu mempersiapkan

segala sesuatunya agar memiliki ketahanan yang kuat

dalam menghadapi berbagai macam perubahan serta

mampu berkompetisi secara sehat dan wajar di

pasar nasional maupun memiliki daya saing di pasar

intenasional.

Dalam kondisi demikian, industri perbankan

nasional memerlukan adanya suatu kerangka acuan

bagaimana perbankan nasional mampu mengatasi

segala perubahan dan tantangan tersebut serta

arah yang hendak dicapai oleh perbankan nasional

di masa yang akan datang. Kerangka acuan

tersebut diwujudkan dalam bentuk cetak biru

arsitektur perbankan nasional yang bersifat

menyeluruh dan dapat dipakai sebagai acuan bagi

semua pihak yang terlibat di dalam industri

perbankan. Sehubungan dengan hal tersebut, saat

ini Bank Indonesia sedang menyusun Arsitektur

Perbankan Indonesia (API) yang dapat dipakai

sebagai kerangka kebijakan perbankan di masa

yang akan datang. Direncanakan penyusunan API

tersebut dapat diselesaikan pada akhir tahun 2003

sehingga implementasinya dapat dilakukan secara

bertahap dari tahun 2004 sampai dengan 2014.

Dengan demikian perbankan nasional memiliki

waktu yang cukup untuk menyesuaikan diri dengan

berbagai kebijakan perbankan yang telah

direkomendasikan di dalam API tersebut.

Visi dari pada API itu sendiri adalah terciptanya

sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien untuk

mencapai stabilitas sistem keuangan dan mendorong

pembangunan ekonomi nasional. Visi tersebut

dijabarkan dalam beberapa tujuan sebagai berikut:

1. Terciptanya struktur perbankan domestik yang

sehat dan mampu memenuhi kebutuhan

masyarakat untuk mendorong pembangunan

ekonomi nasional yang berkesinambungan.

2. Terciptanya industri perbankan yang kuat dan

memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki

ketahanan dalam menghadapi risiko.

bo

ks

Arsitektur Perbankan Indonesia

256

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

3. Terciptanya good corporate governance dalam

rangka memperkuat kondisi internal perbankan

nasional.

4. Terciptanya sistem pengaturan dan pengawasan

bank yang efektif dan mengacu pada standar

internasional.

5. Terwujudnya infrastruktur yang lengkap untuk

mendukung terciptanya industri perbankanyang

sehat.

6. Terwujudnya pemberdayaan dan perlindungan

konsumen pengguna jasa perbankan.

Secara garis besar, kerangka dasar (grand

design) dari pada API itu terdiri dari 6 (enam) pilar

yaitu yang satu sama lain saling berhubungan dan

saling menunjang. Keenam pilar di dalam API

tersebut tertuang di dalam diagram di bawah ini.

Dari keenam pilar API diatas, pilar yang

berada ditengah yaitu mengenai struktur perbankan

ke depan merupakan pilar yang paling penting

diantara pilar-pilar lainnya. Pilar tersebut

mencerminkan fondasi kelembagaan perbankan

kedepan yang diharapkan mampu menciptakan

lembaga perbankan yang kokoh dan berdaya saing

internasional. Sedangkan pilar-pilar lainnya

merupakan pilar pendukung yang juga memiliki

peran dan kontribusi yang sangat penting dalam

rangka mewujudkan sistem perbankan yang sehat

dan stabil.

Bagan : Enam Pilar Arsitektur Perbankan Indonesia

257

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

Pendahuluan

Krisis perbankan tahun 1997 menunjukkan

bahwa faktor-faktor yang secara potensial dapat

mengancam stabilitas sistem keuangan secara

menyeluruh, bukan terbatas pada individu institusi

keuangan, sangat diperlukan oleh otoritas yang

menjaga sistem keuangan, termasuk bank sentral.

Krisis tersebut juga memberikan pelajaran bahwa

mekanisme pemeliharaan stabilitas sistem keuangan

dan penanganan krisis belum berjalan secara efektif.

Peran pemeliharaan stabilitas sistem keuangan

nasional secara umum dapat dikatakan ada pada

Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dan otoritas

pengawas bank, sementara Departemen Keuangan

berperan sebagai otoritas fiskal dan otoritas

pengawas lembaga keuangan non-bank. Berdasarkan

pengalaman di waktu krisis, belum efektifnya upaya

pemeliharaan stabilitas sistem keuangan di

Indonesia antara lain disebabkan belum adanya

kerangka kerja formal dalam menjaga upaya

stabilitas sistem keuangan termasuk belum

tersedianya infrastruktur keuangan, mekanisme

koordinasi yang efektif, kerangka kerja pengaturan

yang kondusif, serta mekanisme penyelesaian krisis

yang komprehensif.

Oleh sebab itu, ke depan diperlukan suatu

mekanisme yang efektif dan menyeluruh dalam

menjaga stabilitas sistem keuangan yang mencakup

elemen-elemen tersebut. Hal ini mendorong Bank

Indonesia untuk menyempurnakan langkah-langkah

yang menyeluruh dalam menjalankan fungsinya

untuk mendorong stabilitas sistem keuangan.

Langkah-langkah ini dituangkan dalam Cetak Biru

Stabilitas Sistem Keuangan, yang antara lain

mencakup persiapan organisasi, mempersiapkan

peran monitong dan surveilance, dan penyelesaian

krisis.

Alasan-Alasan Perlunya Fungsi SSK

Terdapat beberapa faktor pendorong mengapa

stabilitas sistem keuangan menjadi prioritas Bank

Indonesia. Pertama, krisis dalam sistem keuangan

selalu membawa dampak negatif terhadap kinerja

perekonomian dan menghabiskan biaya fiskal yang

tidak sedikit. Krisis yang terjadi sejak 1997 tidak

saja berdampak terhadap sektor riil, namun bahkan

berkembang jauh lebih buruk menjadi krisis multi-

dimensi termasuk krisis di bidang sosial dan politik.

Kedua, bagi kebijakan moneter, ketidakstabilan

sistem keuangan telah menyebabkan Bank Indone-

sia dihadapkan ada persoalan yang sangat mendasar

bagi berlangsungnya manajemen moneter. Tidak

berfungsinya intermediasi perbankan telah

menyebabkan proses transmisi kebijakan moneter

menjadi tidak berjalan dengan baik dan kebijakan

moneter dalam mempengaruhi sasaran akhir inflasi

menjadi kurang efektif. Ketiga, bank sentral juga

memiliki peranan penting dalam menciptakan sistem

pembayaran yang lancar dan aman, yang menjadi

salah satu prasyarat terciptanya stabilitas sistem

bo

ks

Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Di Indonesia

258

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

keuangan. Keempat, peran bank sentral sebagai

lender of the last resort, yaitu peranan bank sentral

sebagai penyedia likuditas sementara untuk

mencegah terjadinya risiko sistemik mengharuskan

bank sentral untuk memonitor risiko-risiko yang

dapat menyebabkan terjadinya ketidakstabilan

sistem keuangan secara menyeluruh.

Ruang Lingkup Kerja SSK

Secara umum, suatu sistem keuangan

dikatakan stabil jika institusi-institusi keuangan

berada dalam kondisi sehat baik dari sisi

keuangannya maupun sisi risiko yang dihadapinya.

Dalam kondisi demikian, terdapat tingkat

kepercayaan yang tinggi terhadap institusi keuangan

secara umum bahwa mereka dapat memenuhi

kewajiban keuangannya dengan baik. Kedua, sistem

keuangan yang stabil terjadi jika pasar-pasar

keuangan berada dalam kondisi stabil, yaitu pasar

keuangan tidak diwarnai oleh gejolak harga yang

tinggi sehingga tidak mencerminkan kondisi

fundamental pasar tersebut.

Sekalipun memiliki peran dominan, namun

apabila mengacu pada karateristik diatas, jelas

terlihat bahwa Bank Indonesia tidak akan mampu

mewujudkan kondisi kestabilan system keuangan

dimaksud tanpa peran aktif dari lembaga-lembaga

otoritas lain terkait, yang merupakan bagian utama

dari suatu kerangka infrastruktur sistem keuangan

secara keseluruhan. Untuk itu, kedepan diperlukan

adanya pembagian peran dan tanggung jawab dari

masing-masing lembaga yang ada, termasuk

lembaga-lembaga yang saat ini masih dalam proses

pembentukan seperti otoritas jasa keuangan dan

Lembaga Penjamin Simpanan, untuk dapat

memberikan kontribusinya dalam upaya penciptaan

stabilitas sistem keuangan. Peran masing-masing

lembaga dan hubungannya antara satu dengan yang

lain dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan

nantinya perlu diatur secara formal. Disamping itu,

kerangka koordinasi dan kerjasama yang intensif dan

harmonis antar lembaga dimaksud mutlak harus

disusun dan dilaksanakan secara efektif agar tujuan

memelihara stabilitas sistem keuangan dapat

tercapai.

Peran dan Fungsi Bank Indonesia dalam SSK

Berdasarkan praktek yang dilakukan di negara-

negara lain, secara umum peran bank sentral dalam

stabilitas sistem keuangan mencakup area sebagai

berikut:

• Melakukan pemantauan terhadap stabilitas

sistem keuangan (financial system surveillance)

• Memberikan rekomendasi kebijakan stabilitas

sistem keuangan, misalnya kepada otoritas lain

(Pemerintah). Peran ini dilakukan bersama-sama

dengan lembaga lain yang mempunyai otoritas

dalam pengawasan lembaga dan pasar keuangan.

• Memberikan bantuan untuk penyelesaian krisis

antara lain melalui mekanisme lender of the last

resort.

• Menciptakan safe and robust payment system

antara lain melalui pengawasan terhadap system

pembayaran (payment system oversight).

259

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

• Melakukan kerjasama dan koordinasi dengan

otoritas lain, mengingat stabilitas system

keuangan bukan hanya tanggung jawab bank

sentral semata melainkan otoritas lain pun

memberikan kontribusi yang signifikan.

• Mendorong penciptaan kebijakan moneter yang

kondusif.

Guna melaksanakan peran tersebut diatas, BI

dalam waktu dekat akan mengambil inisiatif akan

melaksanakan beberapa fungsi stabilitas sistem

keuangan yang akan dicerminkan dalam internal

organisasi BI. Fungsi-fungsi dimaksud antara lain

fungsi riset, fungsi monitoring, fungsi pengaturan

dan fungsi pencegahan dan penyelesaian krisis.

Fungsi riset merupakan salah satu komponen

terpenting yang direncanakan menjadi tugas utama

Bank Indonesia pada tahap awal implementasi fungsi

stabilitas sistem keuangan di lembaga ini. Obyek

riset antara lain mencakup lembaga keuangan, pasar

uang dan modal, kebijakan makro ekonomi,

kebijakan fiskal, sektor korporat, sektor rumah

tangga, sistim pembayaran, hutang luar negeri,

hutang dalam negeri, dan pasar keuangan

international.

Fungsi surveillance ditujukan untuk melakukan

monitoring terhadap semua indikator yang dapat

mempengaruhi stabilitas sistem keuangan, yang

secara umum dapat dikelompokkan dalam dua

bagian yaitu indikator mikro-agregat dan indikator

makro. Obyek monitoring meliputi lembaga

keuangan, pasar modal, sektor riil, international

market, kebijakan fiskal pemerintah, kebijakan

moneter, hutang luar negari, hutang dalam negeri,

dan sistem pembayaran.

Fungsi pengaturan berkaitan dengan

penyusunan kerangka kerja pengaturan, ketentuan,

standar dan guidelines sebagai rambu-rambu baik

bagi bank maupun lembaga keuangan lain agar

beroperasi berdasarkan aturan prudensial. Peranan

Bank Indonesia dalam pengaturan dan penyusunan

standard akan berkaitan dengan aspek

macroprudential, moneter, dan sistem pembayaran.

Secara prinsip unit stabilitas system keuangan

merupakan satuan kerja yang akan mendukung

satuan kerja lain internal maupun external dengan

memberikan rekomendasi-rekomendasi yang

diperlukan dalam penyusunan kebijakan sektor

terkait.

Peran bank sentral dalam stabilitas sistem

keuangan terkait erat dengan fungsi pencegahan dan

penyelesaian krisis keuangan mengingat

kedudukannya sebagai lender of the last resort.

Sebagai acuan pencegahan krisis (crisis prevention),

dalam berbagai forum telah disepakati untuk

menerapkan standar regulasi yang diterapkan secara

internasional yang dimotori oleh lembaga

internasional, seperti IMF, BIS maupun oleh asosiasi

praktisi (lihat Gambar). Standar dan regulasi seperti

itu juga akan dijadikan acuan oleh Bank Indonesia

dalam menyusun kerangka kerja bagi pencapaian

kestabilan sistem keuangan di Indonesia.

Dalam hal penanganan krisis (crisis resolution),

pengalaman menunjukkan bahwa diperlukan adanya

suatu prosedur penanganan disertai kejelasan peran

260

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

dan tanggung jawab dari masing-masing lembaga.

Dalam hal krisis tersebut disebabkan karena adanya

permasalahan pada satu bank/lembaga keuangan,

maka perlu kiranya kejelasan hal-hal sebagai

berikut:

- Wewenang dari lembaga terkait dalam

menentukan suatu lembaga keuangan/bank

termasuk dalam kategori yang dapat

menimbulkan kegagalan sistemik.

- Prosedur penyelamatan lembaga keuangan/bank

yang terkena kirisis dalam UU dalam hal

penggunaan dana masyarakat.

- Peran bank sentral, otoritas pengawas maupun

pemerintah dalam menanggulangi krisis di sektor

keuangan yang masih perlu diperjelas.

Di berbagai negara, antara lain Inggris dan

Australia, dibentuk standing committee yang terdiri

atas Bank Sentral, Otoritas Pengawas Bank dan

pemerintah untuk membahas solusi permasalahan

untuk diputus oleh lembaga yang berwenang seperti

pemerintah.

Aspek lain yang tak kalah pentingnya adalah

koordinasi dari berbagai otoritas dalam menjaga

stabilitas sistem keuangan dan menangani krisis

yang terjadi. Mengingat bahwa unsur-unsur yang

ada dalam stabilitas sistem keuangan ini berada

di berbagai otoritas, yaitu otoritas kebijakan

moneter, otoritas pengawasan lembaga keuangan

dan pasar modal, lembaga penjamin simpanan dan

Pemerintah selaku otoritas kebijakan fiskal,

FINANCIAL STABILITY FORUM

Macroeconomic Policies & Data Transparency

Institutional & Market Infrastructure

Prudential Financial Regulation & Supervision

1.Code of Good Practice of Transparency in Monetary and Financial Policies

2.Code of Good Practice in Fiscal Transparency

3.Data Dissemination Standard

1.Principles of Corporate Governance

2.Core Principles for Systemically Important Payment System

3.Market Integrity (Financial Action Task Force/FATF on Anti Money Laundering)

4. Insolvency

5. International Accounting Standard (IAS)

6. International Standard on Auditing (ISA)

1.Core Principles for Effective Banking Supervision

2.Principles of Securities Regulation

3.Core Principles for Insurance Supervision

12 Key Standards for Sound Financial Systems

261

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan

diperlukan koordinasi di antara otoritas-otoritas

dimaksud.

Berbagai isu akan muncul berkaitan dengan

koordinasi dan kerjasama antara otoritas ini,

antara lain pembagian informasi mengenai kinerja

individual bank yang berpotensi menimbulkan

permasalahan sistemik, dan aggregasi berbagai

indikator dari industri keuangan seperti, kondisi

solvabilitas, likuiditas, dan NPL. Salah satu

pendekatan atas koordinasi adalah dengan

melakukan interlocking management antara Bank

Sentral dan Otoritas Jasa Keuangan. Di samping

itu dapat pula dibentuk Financial Stability Stand-

ing Committee yang beranggotakan Bank Sentral,

Otoritas Jasa Keuangan dan Pemerintah, untuk

memaksimalkan frekuensi koordinasi antar-

lembaga secara rutin. Koordinasi dan kerjasama

antar lembaga tersebut seyogyanya tertuang dalam

suatu Undang-Undang, atau paling tidak dalam

bentuk Memorandum of Understanding (MoU).

262

Lampiran

Lampiranl a p o r a nt a h u n a n

263

Lampiran

Lampiran A

BANK INDONESIA

Kantor Pusat

Jakarta

Kantor PerwakilanLondon

New YorkSingapura

Tokyo

Kantor-Kantor Bank IndonesiaAmbon, Balikpapan,

Banda Aceh, Bandar Lampung,Bandung, Banjarmasin, Batam, Bengkulu, Cirebon

Denpasar, Jambi, Jayapura, Jember, Kediri, Kendari,Kupang, Lhokseumawe, Makassar, Malang, Manado, Mataram,Medan, Padang, Palangkaraya, Palembang, Palu, Pekanbaru,

Pontianak, Purwokerto, Samarinda, Semarang,Sibolga, Solo, Surabaya, Tasikmalaya,

Ternate, Yogyakarta

A Kantor Pusat, Kantor Perwakilan dan Kantor-Kantor Bank Indonesia

264

Lampiran

Lampiran B

Dewan Gubernur Bank Indonesiaper tanggal 31 Desember 2002

Gubernur

Syahril Sabirin

Deputi Gubernur Senior

Anwar Nasution

Deputi Gubernur

Miranda S. Goeltom

Aulia Pohan

Bun Bunan E.J. Hutapea

Maulana Ibrahim

Maman H. Somantri

Aslim Tadjuddin

B Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 31 Desember 2002

265

Lampiran

Lampiran C.1

Organisasi dan Sumber Daya Manusia

Selama 2002, Bank Indonesia telah

melaksanakan beberapa penyempurnaan organisasi

dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).

Penyempurnaan organisasi dilakukan dalam rangka

memenuhi tuntutan perkembangan internal dan

eksternal Bank Indonesia serta dalam rangka

mewujudkan misi Bank Indonesia. Sehubungan dengan

upaya menunjang pengembangan pasar surat berharga

Pemerintah, telah dilakukan pengembangan

penatausahaan surat berharga melalui On Line

Scripless Security Settlement System (SSSS).

Pengembangan ini akan menghasilkan system

penatausahaan surat berharga yang terintegrasi

dengan sistem Bank Indonesia – Real Time Gross

Settlement (BI-RTGS) dan system pelaku pasar

sehingga tercipta Centralized Depository and Settle-

ment di bank Indonesia. Oleh karena itu telah

dilakukan penyempurnaan organisasi Direktorat

Pengelolaan Moneter (DPM) dengan melakukan

perubahan pada struktur organisasi dan tugas pokok

Direktorat dimaksud, yaitu dengan membentuk Tim

Pengembangan Penatausahaan Surat Berharga.

Di bidang Sistem Pembayaran, dengan

memperhatikan Core Principles for Systemically Im-

portant Payment System (CPSIPS) dan Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, maka obyek pengawasan

system pembayaran menjadi lebih luas dan bervariasi.

Agar pengawasan dapat dilakukan dengan lebih

terfokus, tugas pengawasan yang semula tergabung

dalam Tim Pengaturan dan Pengawasan Sistem

Pembayaran Nasional dialihkan kepada satuan kerja

baru di lingkungan Direktorat Akunting dan Sistem

Pembayaran, yaitu Bagian Pengawasan Sistem

Pembayaran.

Dalam rangka melakukan perubahan secara

mendasar dan bersifat menyeluruh, saat ini Bank In-

donesia sedang melaksanakan Program Transformasi

Bank Indonesia. Program ini dilakukan secara bertahap

dan telah memasuki tahap implementasi dengan

pelaksanaan 7 (tujuh) program strategis yaitu Proyek

Perencanaan, Anggaran dan Manajemen Kinerja;

Proyek Manajemen Sumber Daya Manusia; Proyek

Perbankan; Proyek Manajemen Informasi; Proyek

Teknologi Informasi; Proyek Moneter; dan Proyek

Logistik. Implementasi masing-masing proyek

dimaksud dilaksanakan di bawah organisasi Unit

Khusus Program Transformasi (UKPT) sebagai tindak

lanjut atas hasil diagnostic study yang telah dilakukan

pada tahap sebelumnya.

Sebagai wujud implementasi pertama dari

beberapa program strategis adalah Proyek Manajemen

Sumber Daya Manusia, yaitu dengan

disempurnakannya pola pengelolaan sumber daya

manusia. Penyempurnaan ini dilakukan dengan

mengubah kewenangan dan tanggung jawab

Manajemen Sumber Daya Manusia, yaitu dengan lebih

meningkatkan peran Line Manager dalam pengelolaan

sumber daya manusia di satuan kerjanya. Dengan

C.1 Organisasi dan Sumber Daya Manusia

266

Lampiran

adanya perubahan tersebut, telah dilakukan

penyempurnaan organisasi Direktorat Sumber Daya

Manusia dengan peran baru sebagai mitra strategis

dan agen perubahan di Bank Indonesia.

Dalam rangka mewujudkan misi Bank Indone-

sia, sekaligus sebagai hasil implementasi Proyek

Manajemen Informasi, telah dibentuk Unit Khusus

Manajemen Informasi (UKMI) yang mempunyai misi

untuk mempersiapkan strategi dan implementasi

Manajemen Informasi Bank Indonesia yang efektif dan

efisien yang didasarkan pada kebutuhan stakehold-

ers. UKMI berperan sebagai perumus dan pengarah

Manajemen Informasi bank Indonesia, penasihat dan

pengelola informasi pada tingkatan operasional dan

sebagai koordinator factor-faktor pendukung kinerja

manajemen informasi.

Untuk menghasilkan sumber daya manusia yang

memiliki nilai-nilai strategis dan mempunyai

motivasi serta kinerja yang tinggi dalam rangka

mewujudkan misi Bank Indonesia, secara terus-

menerus telah dilakukan penyempurnaan Sistem

manajemen Sumber Daya Manusia.

Selama 2002 telah diimplementasikan ketentuan

mengenai Peningkatan Mutu dan Ketrampilan Luar

Negeri dengan tujuan untuk meningkatkan

kemampuan pegawai sesuai dengan tugas dan jabatan

sehingga dapat memperlancar pelaksanaan tugas,

memperluas wawasan pegawai guna peningkatan

produktivitas kerja organisasi dan meningkatkan

motivasi kerja pegawai.

Di samping itu, telah disempurnakan pula

ketentuan mengenai penerimaan pegawai dengan

tujuan untuk memenuhi kebutuhan sumber daya

manusia yang kompeten guna mendukung pencapaian

tujuan organisasi, dengan ruang lingkup penerimaan

untuk seluruh golongan pegawai. Prinsip dasar

penerimaan pegawai adalah penggunaan proses seleksi

penerimaan yang transparan dan jaminan objektivitas

hasil seleksi penerimaan.

Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia lain

yang telah disempurnakan adalah sistem Promosi

Pegawai. Tujuan promosi adalah untuk mengisi

lowongan jabatan pada satu tingkat golongan di

atasnya dengan pegawai pada golongan satu tingkat

di bawahnya yang memenuhi persyaratan promosi

guna menjaga kesinambungan pemenuhan sumber

daya manusia, untuk meningkatkan motivasi pegawai,

untuk menghargai pegawai yang mempunyai prestasi,

potensi dan kemampuan sesuai dengan persyaratan

jabatan, dan untuk mendorong pengembangan karir

pegawai yang berprestasi dan berpotensi tinggi untuk

menjadi calon pimpinan organisasi. Promosi pegawai

dilaksanakan dengan mengacu pada perencanaan

sumber daya manusia.

Dalam rangka mewujudkan visi Bank Indonesia

menjadi lembaga yang terpercaya secara nasional

dan internasional, pegawai dituntut untuk

melaksanakan tugas berdasarkan nilai-nilai strategis

meliputi kompetensi, integritas, transparansi,

akuntabilitas dan kebersamaan. Oleh karena itu

telah diatur ketentuan tentang pemberian hono-

rarium di Bank Indonesia. Ketentuan ini mengatur

bahwa satuan kerja dilarang memberikan honorarium

kepada pegawai Bank Indonesia yang melaksanakan

tugas kedinasan Bank Indonesia yang dananya

bersumber dari anggaran Bank Indonesia. Di samping

itu, pegawai dilarang menerima honorarium dari

pihak ketiga yang sumber dananya berasal dari

267

Lampiran

Jumlah Pegawai

6.290

6.172

5.686

5.756

5.693

5.465

No. Akhir TahunAnggaran

Kantor PusatKantor BankIndonesia di

daerah

KantorPerwakilan

Jumlah

67 1)

21

17

18

18

14

2.882

2.852

2.601

2.615

2.556

2.480

3.341

3.299

3.068

3.123

3.119

2.971

1997/1998

1998/1999

1999/2000

2000/2001

Jan. 2002

Jan. 2003

1) Termasuk petugas belajar jangka panjang

1

2

3

4

5

6

anggaran Bank Indonesia atas pelaksanaan tugas

kedinasan Bank Indonesia.

Untuk melaksanakan tugas dan wewenang secara

bersih dan bebas dari unsur-unsur korupsi, kolusi dan

nepotisme, kepada Pimpinan (Anggota Dewan

Gubernur) diwajibkan melakukan pelaporan harta

kekayaannya kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan

Penyelenggara Negara sesuai dengan Undang-Undang

yang berlaku. Secara internal, Bank Indonesia telah

menerbitkan Peraturan Dewan Gubernur Bank Indo-

nesia yang menegaskan kewajiban pelaporan

dimaksud kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan

Penyelenggara negara serta mewajibkan pula setiap

Pejabat Bank Indonesia sampai dengan tingkat

tertentu untuk melaporkan kekayaan dan kewajiban/

pinjamannya kepada Gubernur Bank Indonesia.

268

Lampiran

Kantor PusatDirektorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter : Hartadi A. Sarwono

Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter : -

Direktorat Pengelolaan Moneter : Tarmiden Sitorus

Direktorat Pengelolaan Devisa : Made Sukada

Direktorat Luar Negeri : Ny. Veronica W.S.P.

Biro Kredit : Roswita Roza

Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan : Nelson Tampubolon

Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan : M. Ashadi

Direktorat Pengawasan Bank 1 : Aris Anwari

Direktorat Pemeriksaan Bank 1 : Baridjussalam Hadi

Direktorat Pengawasan Bank 2 : Ny. Siti Ch. Fadjrijah

Direktorat Pemeriksaan Bank 2 : Ardhayadi M.

Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat : Abdul Salam

Direktorat Pengedaran Uang : Budiman Kostaman

Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran : Mohamad Ishak

Direktorat Logistik dan Pengamanan : Dede Ariffin S.

Direktorat Teknologi Informasi : Bambang Sindu W.

Direktorat Sumber Daya Manusia : Abdul Azis

Direktorat Keuangan Intern : Sumantri Supono

Direktorat Hukum : -

Direktorat Pengawasan Intern : Harmain Salim

Biro Gubernur : Rusli Simanjuntak

Biro Sekretariat : Djarot Sumartono

Unit Khusus Investigasi Perbankan : Mohammad Ali Said K.

Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan : Halim Alamsyah

Biro Perbankan Syariah : Harisman

Unit Khusus Program Transformasi : Romeo Rissal

Unit Khusus Manajemen Informasi : Dibyo Raharjo

Kantor PerwakilanPerwakilan Singapore : Ilham Ikhsan

Perwakilan Tokyo : -

Perwakilan London : Rasmo Samiun

Perwakilan New York : Maman Hendarman

269

Lampiran

Kantor Bank Indonesia

Kelas IKantor Bank Indonesia Bandung : Djoko Sarwono

Kantor Bank Indonesia Medan : Bambang Setijoprodjo

Kantor Bank Indonesia Semarang : Bachri Ansjori

Kantor Bank Indonesia Surabaya : Nana Supriana

Kelas IIKantor Bank Indonesia Bandar Lampung : Imrandani

Kantor Bank Indonesia Banjarmasin : M. Zaeni Aboe Amin

Kantor Bank Indonesia Denpasar : Lukman Boenjamin

Kantor Bank Indonesia Manado : Hadi Hassim

Kantor Bank Indonesia Padang : M. Djaelani Soegiarto

Kantor Bank Indonesia Palembang : Irman Djaja Dalimi

Kantor Bank Indonesia Makassar : Djoko Sutrisno

Kantor Bank Indonesia Yogyakarta : Amril Arief

Kelas IIIKantor Bank Indonesia Ambon : Rachman Abdulkadir

Kantor Bank Indonesia Banda Aceh : Yusmanazir Katin

Kantor Bank Indonesia Cirebon : Tjahjo Oetomo K.

Kantor Bank Indonesia Jambi : Erman Kurnandi

Kantor Bank Indonesia Jayapura : Sahat Tampubolon

Kantor Bank Indonesia Malang : Sentot Purnomo

Kantor Bank Indonesia Mataram : Satria Mulya

Kantor Bank Indonesia Pekanbaru : Mahmud

Kantor Bank Indonesia Pontianak : Rusli Sembiring

Kantor Bank Indonesia Samarinda : Prabowo

Kantor Bank Indonesia Solo : Adiastopo Joko Purnomo

270

Lampiran

Kelas IVKantor Bank Indonesia Balikpapan : Matsisno

Kantor Bank Indonesia Kupang : Dikan

Kantor Bank Indonesia Jember : Sutikno

Kantor Bank Indonesia Kediri : Imbang Setiamihardja

Kantor Bank Indonesia Purwokerto : Wiyono

Kantor Bank Indonesia Tasikmalaya : Moch. Zaenal Alim

Kantor Bank Indonesia Palangkaraya : Bramono Sidik

Kantor Bank Indonesia Bengkulu : Joko Wardoyo

Kantor Bank Indonesia Kendari : Mokhammad Dakhlan

Kantor Bank Indonesia Palu : J. Wiwoho

Kelas VKantor Bank Indonesia Batam : I Made Sudja

Kantor Bank Indonesia Sibolga : Yasin Effendi

Kantor Bank Indonesia Lhokseumawe : Fachrurrazi

Kantor Bank Indonesia Ternate : Muh. Abdul Fadlil

271

Lampiran

Lam

pira

n C.

2

C.2 Struktur Organisasi Bank

272

Lampiran

I.

II.

III.

IV.

V.

VI.

VII.

DIREKTORAT RISET EKONOMI DAN KEBIJAKAN MONETER1. Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan2. Bagian Studi Struktur dan Perkembangan Pasar Keuangan3. Bagian Studi Ekonomi Makro4. Bagian Studi Sektor Riil5. Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional6. Bagian Perpustakaan Riset dan Administrasi

DIREKTORAT STATISTIK EKONOMI DAN MONETER1. Bagian Statistik Moneter2. Bagian Statistik Neraca Pembayaran3. Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah4. Bagian Pengelolaan Data dan Informasi Ekonomi dan Moneter5. Bagian Administrasi

DIREKTORAT PENGELOLAAN MONETER1. Bagian Operasi Pasar Uang2. Bagian Pengembangan Pasar Uang3. Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang4. Tim Pengembangan Penataan Surat Berharga5. Bagian Administrasi Pasar Uang

DIREKTORAT PENGELOLAAN DEVISA1. Dealing Room2. Tim Pengelolaan Risiko3. Tim Analisis Ekonomi dan Peraturan Devisa4. Bagian Penyelesaian Transaksi Devisa5. Bagian Administrasi dan Pemeliharaan Sistem Tresuri

DIREKTORAT LUAR NEGERI1. Bagian Administrasi dan Analisis Pinjaman Luar Negeri2. Bagian Pinjaman Luar Negeri3. Bagian Ekspor dan Impor4. Bagian Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan Internasional5. Bagian Administrasi

BIRO KREDIT1. Bagian Pengelolaan dan Administrasi Kredit2. Tim Penelitian dan Pengembangan

DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN1. Tim-tim

a.Tim Pengaturan Bankb.Tim Pengembangan Pengawasan Bank

2. Biro Penelitian Perbankan3. Bagian Informasi dan Dokumentasi Penelitian dan Pengaturan

Perbankan

Daftar Satuan Kerja di Bank Indonesia

No. Nama Satuan Kerja Singkatan

DKMAPKSPPKSEMSSRSEI

PRAd

DSMSMonSNPSRKPPDIEAdms

DPMOPUPPUPTPU

-Admp

DPDDR--

PTDAdPS

DLNAPLNPLNEXIMKEPIAdml

BKrPAdk

-

DPNP-

PNPBIDPnP

273

Lampiran

No. Nama Satuan Kerja Singkatan

VIII.

IX.

X.

XI.

XII.

XIII.

XIV.

XV.

XVI.

DIREKTORAT PERIZINAN DAN INFORMASI PERBANKAN1. Tim Bank Dalam Likuidasi2. Bagian Data Perbankan3. Bagian Perizinan4. Bagian Informasi dan Pengembangan Sistem Informasi Perbankan

DIREKTORAT PENGAWASAN BANK 11. Bagian Pengawasan Bank 112. Bagian Pengawasan Bank 123. Bagian Pengawasan Bank 134. Bagian Pengawasan Bank 145. Bagian Pengawasan Bank 156. Bagian Pengawasan Bank 167. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pengawasan Bank 1

DIREKTORAT PENGAWASAN BANK 21. Bagian Pengawasan Bank 212. Bagian Pengawasan Bank 223. Bagian Pengawasan Bank 234. Bagian Pengawasan Bank 245. Bagian Pengawasan Bank 256. Bagian Pengawasan Bank 267. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pengawasan Bank 2

DIREKTORAT PEMERIKSAAN BANK 11. Tim-tim Pemeriksa2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pemeriksaan Bank 1

DIREKTORAT PEMERIKSAAN BANK 21. Tim-tim Pemeriksa2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pemeriksaan Bank 2

DIREKTORAT PENGAWASAN BANK PERKREDITAN RAKYAT1. Tim-tim

a.Tim Pengawasanb.Tim Penjaminan & Likuidasi BPR

2. Bagian Perizinan, Penelitian dan Pengaturan BPR3. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pengawasan BPR

UNIT KHUSUS INVESTIGASI PERBANKAN1. Tim-tim Investigasi2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Investigasi Perbankan

BIRO PERBANKAN SYARIAH1. Tim-Tim a. Tim Penelitian dan Pengaturan Perbankan Syariah b. Tim Pengawasan Bank Syariah c. Tim Perizinan dan Administrasi Perbankan Syariah

DIREKTORAT PENGEDARAN UANG1. Bagian Pengelolaan Uang Masuk2. Bagian Pengelolaan Uang Keluar3. Bagian Distribusi Uang

DPIP-

DtBPrz

IPSiP

DPwB1PwB11PwB12PwB13PwB14PwB15PwB16IDWB1

DPwB2PwB21PwB22PwB23PwB24PwB25PwB26IDWB2

DPmB1-

IDMB1

DPmB2-

IDMB2

DPBPR-

P3BPRIDBPR

UKIP-

IDIP

BPS-

DPUBPUMBPUKDU

274

Lampiran

No. Nama Satuan Kerja Singkatan

XVII.

XVIII.

XIX.

XX.

XXI.

XXII.

XXIII

XXIV.

XXV.

4. Bagian Pelaksanaan Pengadaan Uang5. Tim Penelitian, Perencanaan dan Pengaturan Pengedaran Uang

DIREKTORAT AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN1. Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional2. Bagian Akunting Devisa3. Bagian Kliring Jakarta4. Bagian Penyelesaian Transaksi Rupiah5. Bagian Pengawasan Sistem Pembayaran

DIREKTORAT LOGISTIK DAN PENGAMANAN1. Bagian Perencanaan Logistik dan Jasa2. Bagian Pengelolaan Logistik I3. Bagian Pengelolaan Logistik II4. Bagian Pengelolaan Jasa5. Bagian Pengamanan

DIREKTORAT TEKNOLOGI INFORMASI1. Biro Penelitian dan Pengembangan Teknologi Informasi2. Bagian Pemeliharaan Teknologi Informasi3. Bagian Pemrosesan Data Elektronis

DIREKTORAT SUMBER DAYA MANUSIA1. Tim Perencanaan Strategis SDM2. Tim Konsultansi SDM3. Tim Pelaksanaan SDM

DIREKTORAT KEUANGAN INTERN1. Biro Perencanaan dan Pengendalian Keuangan Intern2. Bagian Laporan Keuangan3. Bagian Pelaksanaan Gaji dan Keuangan Intern4. Bagian Anggaran

DIREKTORAT HUKUM1. Tim-Tim

a. Tim Penasehat Hukumb. Tim Dokumentasi dan Informasi Hukumc. Tim Enquiry Point

DIREKTORAT PENGAWASAN INTERN1. Tim-Tim

a.Tim Pengembangan Pengawasan Internb.Tim Analisis Ketentuanc.Tim Pengawasan Intern

2. Bagian Administrasi dan Informasi

PUSAT PENDIDIKAN DAN STUDI KEBANKSENTRALANKelompok Peneliti

UNIT KHUSUS PROGRAM TRANSFORMASI1. Proyek-Proyek2. Tim Pengendalian Program

PPgU-

DASPPSPNAkDvKlJPTR

PwSP

DLPPrLJPgL- IPgL -II

PgJPam

DTIPPTIPmTIPDE

DSDM---

DKIPPKILKeuPGKIAng

DHk-

DPI-

AdPI

PPSK-

UKPT-

275

Lampiran

No. Nama Satuan Kerja Singkatan

XXVI.

XXVII.

UNIT KHUSUS MANAJEMEN INFORMASI

BIRO GUBERNUR1. Tim-Tim

a.Tim Perencanaan dan Pemantauanb.Tim Hubungan Masyarakatc.Staf Gubernur

BIRO SEKRETARIAT1. Bagian Protokol2. Bagian Arsip

UKMI

BGub-

BSkProArs

276

Lampiran

Kantor Perwakilan Bank Indonesia1. New York N Y2. London Lnd3. Tokyo Tky4. Singapura Sn

Kantor Bank Indonesia1. Ambon Ab2. Balikpapan Bpp3. Banda Aceh Bna4. Bandar Lampung Bdl5. Bandung Bd6. Banjarmasin Bjm7. Batam Btm8. Bengkulu Bn9. Cirebon Cn10. Denpasar Dpr11. Jayapura Jap12. Jambi Jb13. Jember Jr14. Kediri Kd15. Kendari Kdi16. Kupang Kpa17. Lhokseumawe Lsm18. Makassar Mks19. Malang Ml20. Mataram Mtr21. Medan Mdn22. Manado Mo23. Padang Pdg24. Palangkaraya Plk25. Palembang Pg26. Palu Pal27. Pekanbaru Pbr28. Pontianak Ptk29. Purwokerto Pwt30. Samarinda Smr31. Semarang Sm32. Sibolga Sbg33. Solo Slo34. Surabaya Sb35. Tasikmalaya Tsm36. Ternate Tt37. Yogyakarta Yk

Nama Satuan Kerja Singkatan

277

Lampiran

1. Emas

2. Uang asing

3. Hak tarik khusus

4. Giro4.1 Bank Sentral4.2 Bank Koresponden

5. Deposito pada Bank Koresponden

6. Surat berharga6.1 Dalam rupiah6.2 Dalam valuta asing

7. Tagihan7.1 Kepada pemerintah

7.1.1 Dalam rupiah7.1.2 Dalam valuta asing

7.2 Kepada bank7.2.1 Dalam rupiah7.2.2 Dalam valuta asing

7.3 Kepada lainnya7.3.1 Dalam rupiah7.3.2 Dalam valuta asing

8. Penyisihan kerugian aktiva

9. Penyertaan

10. Aktiva lain-lain

Jumlah Aktiva

Lampiran D.1

Bank IndonesiaNeraca

per 31 Desember 2002 dan Desember 20011)

(Jutaan Rupiah)

A. Kewajiban1. Uang dalam peredaran2. Giro2.1 Pemerintah

2.1.1 Dalam rupiah2.1.2 Dalam valuta asing

2.2 Bank2.2.1 Dalam rupiah2.2.2 Dalam valuta asing

2.3 Pihak swasta lainnya2.3.1 Dalam rupiah2.3.2 Dalam valuta asing

2.4 Lembaga keuangan internasional2.4.1 Dalam rupiah2.4.2 Dalam valuta asing

3. Surat berharga yang diterbitkan3.1 Dalam rupiah3.2 Dalam valuta asing4. Pinjaman dari pemerintah4.1 Dalam rupiah4.2 Dalam valuta asing4.3 Surat Utang Bank Indonesia5. Pinjaman luar negeri6. Kewajiban lain-lainJumlah Kewajiban

B. Ekuitas1. Modal2. Cadangan umum3. Cadangan tujuan4. Hasil revaluasi aktiva tetap5. Hasil revaluasi kurs dan SSB6. Hasil indeksasi SUP7. Hasil indeksasi SUBI8. Surplus (defisit) tahun sebelumnya9. Surplus (defisit) tahun berjalan

Jumlah Ekuitas

Jumlah Kewajiban dan Ekuitas

1) a. Laporan Keuangan Bank Indonesia tahun 2001 telah diaudit oleh BPK-RI sesuai laporan No.01/01/Auditama II/GA/V/2002 tanggal 8 Mei 2002dengan dengan pendapat Wajar dengan Pengecualian karena adanya pengaruh Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)

b. Laporan Keuangan Bank Indonesia tahun 2002 yang lengkap telah disampaikan kepada BPK-RI melalui surat No.5/1/GBI/DKI tanggal 31 Januari2003 untuk dimulai pemeriksaan.

c. Kurs Neraca tanggal 31 Desember 2002: $1 = Rp8.940,00 dan pada tanggal 31 Desember 2001: $1 = Rp10.400,00.

Aktiva 31 Des. 2002 31 Des.2001 Unaudited Audited

9.506.255

13.770

146.425

4.399.9282.915.7901.484.138

53.837.138

225.395.1710

225.395.171

351.069.970351.043.888

26.08217.954.49216.894.621

1.059.8718.001.6528.001.652

0

(48.837.112)

229.474

9.835.639

631.552.802

8.933.494

450.286

165.030

11.235.3518.382.9502.852.401

69.063.460

209.867.8860

209.867.886

315.927.999315.897.657

30.34219.182.70217.949.743

1.232.9597.537.5297.537.529

0

(49.753.871)

229.474

9.357.393

602.196.733

Pasiva 31 Des. 2002 31 Des.2001 Unaudited Audited

98.418.806

103.244.75961.813.10341.431.65644.983.70138.326.357

6.657.344924.775795.363129.412

79.990.53279.990.532

0112.801.184112.801.184

034.327.302

278.0552.322.720

31.726.52716.972.012

6.120.818497.783.889

2.948.02920.584.751

8.822.0364.865.933

26.338.17075.334.510(6.428.782)

01.304.264

133.768.913

631.552.802

91.275.606

85.651.63848.684.29536.967.34341.887.38234.668.559

7.218.823798.236671.321126.915

95.791.50195.791.501

0102.143.747102.143.747

031.476.677

350.0072.679.045

28.447.62519.776.825

999.211469.800.823

2.948.0298.233.0063.528.4314.871.249

50.204.50448.575.749(3.610.407)

017.645.349

132.395.910

602.196.733

D.1 Neraca Bank Indonesia

278

Lampiran

PENERIMAAN1. Pengelolaan Moneter1.1 Pengelolaan Devisa1.2 Kegiatan Pasar Uang1.3 Pemberian Kredit dan Pembiayaan

2. Penyelenggaraan Sistem Pembayaran

3. Pengaturan Perbankan

4. Lainnya4.1 Penerimaan Lainnya4.2 Pemulihan Penyisihan Aktiva

Jumlah Penerimaan

PENGELUARAN1. Beban Pengendalian Moneter1.1 Beban Perumusan dan Pelaksanaan Kebijakan Moneter1.2 Beban Pengelolaan Devisa

2. Beban Sistem Pembayaran2.1 Beban Pengedaran Uang2.2 Beban Penyelenggaraan Sistem Pembayaran

3. Beban Pengaturan dan Pengawasan Bank

4. Beban Umum, Administrasi, dan Lainnya4.1 Beban Penyusutan Aktiva Tetap4.2 Beban Amortisasi Aktiva tak berwujud4.3 Beban Penambahan Penyisihan Aktiva Produktif4.4 Beban Umum, Administrasi dan lainnya

Jumlah Pengeluaran

Surplus Sebelum Pos Luar BiasaBeban karena Pos Luar Biasa

SURPLUS

Lampiran D.2

Bank IndonesiaLaporan Surplus Defisit

Periode 1 Januari – 31 Desember 2002 dan 2001(Jutaan Rupiah)

30.749.17121.583.762

3.8799.161.530

58.455

24.743

639.92592.625

547.300

31.472.294

(26.891.306)(18.384.897)

(8.506.409)

(1.038.354)(992.027)

(46.327)

(69.768)

(2.168.602)(153.387)

(2.542)0

(2.012.673)

(30.168.029)

1.304.2640

1.304.264

63.462.68255.040.311

3.8898.418.482

42.163

46.811

178.461178.461

0

63.730.117

(21.075.424)(15.407.479)

(5.667.945)

(718.498)(679.537)

(38.961)

(52.505)

(24.238.341)(138.339)

(2.542)(22.068.133)

(2.029.327)

(46.084.768)

17.645.3490

17.645.349

2002 2001Unaudited Audited

D.2 Laporan Surplus Defisit Bank Indonesia

279

Lampiran

No. No. PBI Tanggal Lembaran Negara KeteranganUrut

Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan jasa

pelayanan perbankan syariah yang semakin meningkat, Bank

Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI)

tentang perubahan kegiatan usaha bank umum konvensional

menjadi bank umum berdasarkan prinsip syariah dan

pembukaan kantor bank berdasarkan prinsip syariah oleh

bank umum konvensional.

Pemantauan kegiatan lalu lintas devisa (LLD) sangat diperlukan

dalam rangka mendukung penerapan sistem devisa bebas.

Pemantauan tersebut dapat dilakukan melalui angka statistik

kegiatan LLD terutama statistik neraca pembayaran dan posisi

investasi internasional Indonesia. Sehubungan dengan itu

Bank Indonesia mengeluarkan PBI yang mengatur tentang

pemantauan kegiatan LLD perusahaan bukan lembaga

keuangan. Kewajiban penyampaian laporan tentang kegiatan

LLD tersebut diberlakukan bagi perusahan bukan lembaga

keuangan yang memiliki total aset/aktiva sekurang-kurangnya

Rp100.000.000.000,00 atau memiliki omset penjualan selama

satu tahun sekurang-kurangnya Rp100.000.000.000,00. PBI

ini juga mengatur sanksi bagi perusahaan yang menyampaikan

laporan secara tidak lengkap dan atau tidak benar, dan juga

bagi perusahaan yang terlambat menyampaikan laporan

tersebut.

PBI ini menetapkan pencabutan dan penarikan dari peredaran

uang logam pecahan Rp5 tahun emisi 1970 dan 1974, Rp25

tahun emisi 1971, Rp50 tahun emisi 1971, serta Rp100 tahun

emisi 1973 dan 1978.

No. No. PBI Tanggal Lembaran Negara Keterangan

Urut

1

2

3

4/1/PBI/2002

4/2/PBI/2002

4/3/PBI/2002

27-03-2002

28-03-2002

06-06-2002

LN Thn 2002 No. 14

TLN No. 4177

LN Thn 2002 No. 15

TLN No. 4178

LN Thn 2002 No. 65

Daftar Peraturan Bank IndonesiaTahun 2002

Lampiran E.1

E.1 Daftar Peraturan Bank Indonesia 2002

280

Lampiran

No. No. PBI Tanggal Lembaran Negara KeteranganUrut

PBI berisi pencabutan SK Direksi Bank Indonesia No. 31/

201/KEP/DIR tanggal 29 Januari 1999 sebagaimana tertuang

dalam SKB antara Menteri Keuangan RI dan Gubernur Bank

Indonesia No. KEP-046/KM.17/1999 dan No. 31/201/KEP/DIR

tentang Program Penjaminan Ekspor Dalam Rangka

Penggerakan Sektor Riil. Ketika itu keadaan perekonomian

Indonesia tidak kondusif, sehingga mempengaruhi kinerja

sektor perbankan. Seiring dengan semakin membaiknya

perekonomian nasional, perbankan nasional mulai dapat

menjalankan kembali fungsi intermediasinya tanpa program

penjaminan pemerintah. Sehubungan dengan itu pemerintah

dan Bank Indonesia memutuskan untuk menghentikan pro-

gram penjaminan ekspor, kecuali untuk L/C impor dan Kredit

Modal Kerja (KMK) yang dijamin dalam Program Penjaminan

Ekspor sebagaimana diatur dalam SKB tersebut yang masih

berjalan dan belum jatuh tempo dan yang sudah jatuh tempo

namun belum diselesaikan pembayarannya. Bagi kedua jenis

kredit tersebut, SKB tersebut dinyatakan tidak berlaku sejak

berakhirnya proses penyelesaian pembayaran L/C impor dan

KMK dimaksud.

PBI ini menetapkan pengeluaran dan pengedaran uang ru-

piah khusus pecahan 500.000 dan pecahan 25.000 seri

“Peringatan Satu Abad Bung Hatta” tahun emisi 2002.

PBI ini mengatur perubahan SK Direksi Bank Indonesia No.

31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas

Aktiva Produktif. Perubahan ini terutama untuk membantu

pemulihan kondisi perekonomian daerah-daerah tertentu

yang mengalami gejolak yang berpengaruh kepada kondisi

ekonomi. Daerah-daerah tersebut adalah Propinsi Nanggroe

Aceh Darussalam, Propinsi Maluku, Propinsi Papua, Kabupaten

Sambas di Propinsi Kalimantan Barat, Kabupaten Kotawaringin

Timur di Propinsi Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Poso

di Propinsi Sulawesi Tengah.

4

5

6

4/4/PBI/2002

4/5PBI/2002

4/6/PBI/2002

10-06-2002

08-08-2002

06-09-2002

LN Thn 2002 No. 68

LN Thn 2002 No. 86

LN Thn 2002 No. 91

TLN No. 4223

281

Lampiran

No. No. PBI Tanggal Lembaran Negara KeteranganUrut

PBI ini mengatur bahwa bank wajib menerapkan prinsip

kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pembelian kredit

dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pembelian

kredit oleh bank dari BPPN wajib dilakukan dengan nilai

wajar. PBI ini juga mengatur tentang sanksi yang dikenakan

terhadap bank yang melakukan pelanggaran terhadap

ketentuan-ketentuan dalam PBI ini. Bank yang telah

melakukan pembelian kredit dari BPPN dalam tahun 2002

sebelum dikeluarkannya PBI ini wajib menyesuaikan dengan

ketentuan yang diatur dalam PBI ini.

Sehubungan dengan dikeluarkannya UU No. 15 Tahun 2002

tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, peraturan tentang

persyaratan dan tata cara membawa uang rupiah keluar atau

masuk wilayah Republik Indonesia perlu disesuaikan. PBI ini

mencabut PBI No. 3/18/PBI/2001 dan mengatur bahwa setiap

orang yang membawa uang rupiah sebesar Rp100.000.000,00

atau lebih keluar wilayah pabean Republik Indonesia wajib

terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia.

Sebaliknya, setiap orang yang membawa uang rupiah sebesar

Rp100.000.000,00 atau lebih masuk wilayah pabean Republik

Indonesia, wajib terlebih dahulu memeriksakan keaslian uang

tersebut kepada petugas Bea dan Cukai di tempat

kedatangan. PBI ini juga mengenakan sanksi terhadap

pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan-ketentuan yang

terdapat dalam PBI dimaksud.

PBI ini mencabut 2 (dua) SK Direksi Bank Indonesia, yaitu

No. 21/53/KEP/DIR tanggal 27 Oktober 1988 tentang

Perdagangan Surat Berharga Pasar Uang, dan No. 23/84/

KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Tata Cara

Penggunaan Diskonto I, dengan tujuan menyempurnakan

pengaturan tentang Operasi Pasar Terbuka (OPT) dalam

rangka mendukung tujuan Bank Indonesia dalam mencapai

dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang dilakukan melalui

7

8

9

4/7/PBI/2002

4/8/PBI/2002

4/9/PBI/2002

27-09-2002

10-10-2002

18-11-2002

LN Thn 2002 No. 97

TLN No. 4228

LN Thn 2002 No. 104

TLN No. 4231

LN Thn 2002 No. 126

TLN No. 4243

282

Lampiran

No. No. PBI Tanggal Lembaran Negara KeteranganUrut

10

11

pengendalian moneter terutama melalui OPT. OPT

bertujuan mencapai target operasional kebijakan

moneter yang dapat berupa target kuantitas uang primer

atau komponennya, atau target suku bunga pasar jangka

pendek. OPT dilakukan melalui penerbitan Sertifikat Bank

Indonesia (SBI); jual beli surat berharga dalam rupiah

yang meliputi SBI, Surat Utang Negara dan surat berharga

lainnya yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan;

penyediaan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia dalam ru-

piah (FASBI); dan jual beli valuta asing terhadap rupiah.

PBI ini juga mengatur tentang sanksi atas pelanggaran

terhadap beberapa ketentuan dalam PBI dimaksud.

Dalam rangka melaksanakan kebijakan moneter melalui

Operasi Pasar Terbuka (OPT), Bank Indonesia

mengeluarkan PBI tentang Sertifikat Bank Indonesia (SBI),

yang dalam hal ini ditatausahakan secara elektronis oleh

Bank Indonesia guna mendukung efektivitas dan efisiensi

pelaksanaan OPT. SBI memiliki beberapa karakteristik,

antara lain mempunyai satuan unit sebesar Rp1.000.000,00

dan berjangka waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan

dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan

dalam jumlah hari dan dihitung dari tanggal penyelesaian

transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu. PBI ini juga

mengenakan sanksi atas pelanggaran terhadap ketentuan

PBI dimaksud.

Tragedi Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 diperkirakan

akan memberikan dampak pada perekonomian Indonesia

khususnya di Propinsi Bali. Nasabah debitur yang terkena

dampak tragedi Bali diperkirakan akan mengalami kesulitan

dalam melunasi kewajibannya sesuai dengan perjanjian

kredit. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia

memandang perlu melakukan upaya-upaya untuk

mendukung pemulihan kondisi perekonomian, antara lain

4/10/PBI/2002

4/11/PBI/2002

18-11-2002

20-12-2002

LN Thn No. 127

TLN No. 4244

LN Thn 2002 No. 135

TLN No. 4248

283

Lampiran

No. No. PBI Tanggal Lembaran Negara KeteranganUrut

dengan memberikan perlakuan khusus terhadap kredit bank

umum yang diberikan kepada nasabah debitur usaha kecil

yang dibiayai oleh bank umum dan memiliki usaha produktif

dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di Propinsi Bali.

284

Lampiran

No. No. SE BI Tanggal Perihal KeteranganUrut

Daftar Surat Edaran (Ekstern)Bank Indonesia Tahun 2002

Lampiran E.2

Penetapan Status Bank Perkreditan Rakyat Dalam Pengawasan

Khusus Dan Pembekuan Kegiatan Usaha

Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh

Perubahan SE No. 2/9/DASP Tanggal 8 Juni 2000 Perihal

Biaya Kliring

Perubahan Atas SE No. 2/25/DASP Tanggal 17 November 2000

Perihal Biaya Dalam Penggunaan Sistem BI RTGS

Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh Perusahaan Bukan

Lembaga Keuangan

Pentapan Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga Yang Dijamin

Pemerintah

Penyelenggara Kliring Lokal Secara Otomasi

Perubahan SE BI No. 3/28/DASP Tanggal 12 Desember 2001 Perihal

Penggunaan Jasa Kurir Dan Tanda Pengenal Petugas Kliring (PTTK)

Dalam Penyelenggaraan Kliring Yang Menggunakan Sistem

Otomasi Dan Eletronik

Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga Yang dijamin

Pemerintah

Perubahan Kedua Atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 2/24/

DASP Tanggal 17 November 2000 Perihal Bank Indonesia Real

Time Gross Settlement

No.No. SE BI Tanggal Perihal Keterangan

Urut

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

4/1/DPBR

4/2/DASP

4/3/DASP

4/4/DASP

4/5/DASP

4/6/DPM

4/7/DASP

4/8/DASP

4/9/DPM

4/10/DASP

24-01-2002

11-02-2002

11-02-2002

01-03-2002

28-03-2002

25-04-2002

07-05-2002

13-05-2002

26-06-2002

26-06-2002

E.2 Daftar Surat Edaran (Ekstern) Bank Indonesia 2002

No. No. SE BI Tanggal Perihal KeteranganUrut

285

Lampiran

Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak

Ekstern

Jadwal Kliring Dan Tanggal Valuta Penyelesaian Akhir, Sistem

Penyelenggaraan Kliring Lokal Serta Jenis Dan Batasan Nominal

Warkat atau Data Keuangan Elektronik

Biaya Kliring

Biaya Dalam Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross

Settlement

Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Elektronik

Penyelenggaraan Kliring Lokal Atas Cek Dan Bilyet Giro Yang

Berasal Dari Luar Wilayah Kliring

Perubahan Surat Edaran Nomor 2/10/DASP Tanggal 8 Juni 2000

Perihal Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong

Pelaksanaan Dan Penyelesaian Fasilitas Simpanan Bank Indonesia

Dalam Rupiah (FASBI) Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka

Tata Cara Penerbitan, Perdagang Dan Penatausahaan Sertifikat

Bank Indonesia

Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh

Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/17/

UPG Tanggal 10 Mei 1994 Perihal Pusat Informasi Pasar Uang

11

12

13

14

15

16

17

18

20

21

22

13-08-2002

24-09-2002

24-09-2002

24-09-2002

30-09-2002

21-10-2002

07-11-2002

18-11-2002

18-11-2002

02-12-2002

17-12-2002

4/11/DASP

4/12/DASP

4/13/DASP

4/14/DASP

4/15/DASP

4/16/DASP

4/17/DASP

4/18/DPM

4/20/DPM

4/2/DASP

4/22/DPM

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

286

Lampiran

Berbagai Ketentuan dan Kebijakan Pentingdi Bidang Ekonomi dan Keuangan

Tahun 2002

Lampiran E.3

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

Perubahan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor

Kep-63/BC/1997 tentang Tatacara Pendirian dan Tatalaksana

Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan

Berikat Perubahan

Pemerintah Menetapkan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak

(BBM) Dalam Negeri

Kebijakan Penyehatan Perbankan dan Restrukturisasi Utang

Perusahaan Berdasarkan Hasil Rapat Komite Kebijakan Sektor

Keuangan

Penyempurnaan Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan

Telekomunikasi No. 79/PR.301/MPPT-95 Tentang Tata Cara

Penyesuaian Tarif Dasar Jasa Telekomunikasi Dalam Negeri

Perubahan Atas Lampiran Keputusan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan No. 558/MPP/Kep/12/1998 Tentang Ketentuan

Umum di Bidang Ekspor Sebagaimana Telah Diubah Beberapa

Kali Terakhir dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan No. 294/MPP/Kep/10/2001

Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif

Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri

Kelas Ekonomi

Keputusan Direktur Jenderal

Bea Cukai No. KEP-03/BC/

2002

Keputusan Presiden Republik

Indonesia No. 9 Tahun 2002

Keputusan Komite Kebijakan

Sektor Keuangan No. KEP.01/

K.KKSK/01/2002

Keputusan Menteri

Perhubungan No. KM.12 Tahun

2002

Keputusan Menteri

Perindustrian dan

Perdagangan No. 57/MPP/

Kep/1/2002

Keputusan Menteri

Perhubungan No. KM 8 Tahun

2002

Januari

15

16

29

31

Februari

1

E.3 Berbagai Ketentuan dan Kebijakan Penting di Bidang Ekonomi dan Keuangan 2002

287

Lampiran

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

Tata Cara dan Persyaratan Ekspor Biji Timah

Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas

Barang Mewah atas Pemakaian Sendiri dan atau Pemberian

Cuma-Cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak

Dasar Penghitungan, Pemungutan, dan Penyetoran Pajak

Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasi; Tembakau

Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil

Tembakau

Pemberian dan Penatausahaan Pajak Pertambahan Nilai

Dibebaskan atas Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak

Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu

Pajak Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang

Diperdagangkan dan/atau Dilaporakan Perdagangannya di Bursa

Efek

Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah

Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap

Pengambilalihan Perusahaan Terbuka

Keputusan Direktur

Jenderal Perdagangan

Luar Negeri No. 02/

DJPLN/KP/II/2002

Surat Edaran Direktur

Jenderal Pajak SE-04/

PJ.51/2002

Keputusan Menteri

Keuangan Republik

Indonesia No. 62/KMK.03/

2002

Keputusan Direktur

Jenderal Pajak No. KEP-

103/PJ.51/2002

Surat Edaran Direktur

Jenderal Pajak No. SE-07/

PJ.51/2002

Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No. 6

Tahun 2002

Keputusan Menteri

Keuangan Republik

Indonesia No. 113/

KMK.03/2002

Keputusan Kepala Badan

Pengawasan Pasar Modal

No. KEP-05/PM/2002

6

18

26

28

Maret

23

28

April

3

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

288

Lampiran

9

17

23

30

Mei

6

7

13

Pedoman Dasar Perhitungan Tarif Pelayanan Jasa Bongkar Muat

Barang Dari dan Ke Kapal di Pelabuhan

Tindak Pidana Pencucian Uang

Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan No. 448/KMK.017/

2000 tentang Perusahaan Pembiayaan

Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke

dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT

Pelabuhan Indonesia III

Perubahan atas Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 9

Tahun 2002 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak

Dalam Negeri

Divestasi Saham Negara Dalam Rangka Penyertaan Modal

Negara pada Bank Pembangunan Daerah Peserta Program

Rekapitalisasi

Penetapan Perkiraan Dana Bagian Daerah Dari Sumber Daya

Alam, Minyak Bumi dan Gas Alam, Pertambangan, Umum serta

Perikanan.

Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak untuk Penghitungan

Pajak Bumi dan Bangunan

Perubahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke

Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Merpati

Nusantara Airlines

Keputusan Menteri

Perhubungan No. KM.25

Tahun 2002

Undang-Undang Republik

Indonesia No. 15 Tahun 2002

Keputusan Menteri

Keuangan Republik Indone-

sia No. 172/KMK.06/2002

Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No. 17

Tahun 2002

Keputusan Presiden Republik

Indonesia No. 27 Tahun 2002

Keputusan Menteri

Keuangan No. 211/KMK.06/

2002

Keputusan Menteri Keuangan

No. 214/KMK.06/2002

Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No. 25

Tahun 2002

Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No. 29

Tahun 2002

289

Lampiran

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

16

23

24

Juni

5

6

10

13

Penjualan Saham Milik Negara Republik Indonesia Pada

Perusahaan Perseroan (Persero) PT Indosat, Tbk

Ketentuan Ekspor Pasir Laut

Konversi Saham Preferen Milik Negara Dalam Rangka

Pelaksanaan Program Rekapitalisasi Bank Umum pada PT Bank

Bukopin Menjadi Saham Biasa

Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Subsidi Bahan Bakar

Minyak

Pencabutan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/

201/KEP/DIR tanggal 29 Januari 1999 Sebagai Tertuang Dalam

Surat Keputusan Bersama Antara Menteri Keuangan Republik

Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia No. KEP-046/KM.17/

1999 dan No. 31/201/KEP/DIR tentang Program Penjaminan

Ekspor Dalam Rangka Penggerakan Sektor Riil

Tata Niaga Impor Gula Kasar (Raw Sugar)

Pengurusan Piutang Negara Kredit Perumahan Bank Tabungan

Negara

Pemberian Pertimbangan Atas Usul Penghapusan Piutang

Negara Yang Berasal Dari Instansi Pemerintah atau Lembaga

Negara

Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No. 30

Tahun 2002

Keputusan Menteri

Perindustrian dan

Perdagangan No. 441/MPP/

Kep/5/2002

Keputusan Menteri

Keuangan No. 249/KMK.06/

2002

Keputusan Menteri Keua-

ngan No. 274/KMK.06/2002

PBI No. 4/4/PBI/2002

Keputusan Menteri

Perindustrian dan

Perdagangan No. 456/MPP/

Kep/6/2002

Keputusan Menteri

Keuangan No. 301/KMK.01/

2002

Keputusan Menteri

Keuangan No. 302/KMK.01/

2002

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

290

Lampiran

Juli

5

16

23

24

29

Agustus

7

Pencabutan Keputusan Menteri Keuangan No. 335/KMK.01/

2000 tentang Crash Program Pengurusan Piutang Negara

Perbankan Sebagaimana Telah Di Ubah Dengan Keputusan

Menteri Keuangan No. 505/KMK.01/2000

Penurunan Tarif Bea Masuk atas Impor Beberapa Produk Tertentu

Ketentuan Impor Cengkeh

Pedoman Alokasi Biaya Pemungutan Pajak Daerah

Tim Koordinasi Peningkatan Kelancaran Arus Barang Ekspor dan

Impor

Pembentukan Bea Masuk Anti Dumping Terhadap Impor Tepung

Terigu

Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah

Jasa Bidang Angkutan Umum Di Darat dan Di Air Yang Tidak

Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai

Keputusan Menteri

Keuangan No. 303/

KMK.01/2002

Keputusan Menteri

Keuangan No. 307/

KMK.06/2002

Keputusan Menteri

Perindustrian dan

Perdagangan No. 528/

MPP/Kep/7/2002

Keputusan Menteri Dalam

Negeri No. 35 Tahun 2002

Keputusan Presiden

Republik Indonesia No. 54

Tahun 2002

Keputusan Menteri

Perindustrian dan

Perdagangan No. 546/

MPP/Kep/7/2002

Keputusan Presiden

Republik Indonesia No. 56

Tahun 2002

Keputusan Direktur

Jenderal Pajak No. KEP-

307/PJ./2002

291

Lampiran

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

11

14

22

23

September

6

Rekomendasi Kebijakan Untuk Mempercepat Pemulihan

Ekonomi Nasional

Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk

Perseroan

Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Investasi

Kolektif

Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Investasi Kolektif

Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan Berkala

Pedoman Pengelolaan Reksadana Berbentuk Perseroan

Perlakuan Pajak Atas Dana Jaminan Penyelesaian Transaksi

Bursa

Penetapan Volume Pasir Laut Yang Dapat Diekspor Tahun 2002

Perubahan Atas Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No,

31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas

Aktiva Produktif

TAP MPR Republik Indonesia

No. 11/MPR/2002

Keputusan Kepala Badan

Pengawasan Pasar Modal No.

KEP-14/PM/2002

Keputusan Kepala Badan

Pengawasan Pasar Modal No.

KEP-15/PM/2002

Keputusan Kepala Badan

Pengawasan Pasar Modal No.

KEP-16/PM/2002

Keputusan Kepala Badan

Pengawasan Pasar Modal No.

KEP-17/PM/2002

Keputusan Kepala Badan

Pengawasan Pasar Modal No.

KEP-13/PM/2002

Keputusan Direktur Jenderal

Pajak No. KEP-390/PJ./2002

Keputusan Menteri

Perindustrian dan

Perdagangan No. 598/MPP/

Kep/7/2002

PBI No. 4/6/PBI/2002

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

292

Lampiran

27

Oktober

18

21

22

30

November

12

18

19

Prinsip Kehati-hatian Dalam Rangka Pembelian Kredit Oleh

Bank Dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional

Perubahan Nama PT Bank Bali Tbk Menjadi PT Bank Permata

Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Subsidi Listrik

Surat Utang Negara

Tata Niaga Impor Tekstil

Perpanjangan Jangka Waktu Impor Mesin, Barang, dan Bahan

Yang Mendapatkan Fasilitas Berdasarkan Keputusan Menteri

Keuangan No. 135/KMK.01/2002 tentang Keringanan Bea Masuk

Atas Impor Mesin, Barang, dan Bahan Dalam Rangka

Pembangunan/Pengembangan Industri/ Industri Jasa

Obligasi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian

Pelaksanaan dan Penyelesaian Fasilitas Bank Indonesia dalam

Rupiah (Fasbi) Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka

Pemberian, Pembebasan Bea Masuk atas Impor Bahan Baku

Komponen untuk Pembuatan Peralatan dan jaringan

Telekomunikasi oleh Industri Telekomunikasi

PBI No. 4/7/PBI/2002

Keputusan Dewan Gubernur

Bank Indonesia No. 4/162/

KEP/DpG/2002

Keputusan Menteri Keuangan

No. 431/KMK.06/2002

Undang-Undang Republik

Indonesia No. 24 Tahun 2002

Keputusan Menteri

Perindustrian dan

Perdagangan No. 732/MPP/

Kep/10/2002

Keputusan Menteri Keuangan

No. 456/KMK.04/2002

Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No. 59

Tahun 2002

Surat Edaran Bank Indonesia

No. 4/18/DPM

Keputusan Menteri Perindus-

trian dan Perdagangan No.

474/MPP/Kep/01/2002

293

Lampiran

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

Pusat Penyelesaian Masalah Usaha (Business Solution Cen-

ter)

Penawaran Umum Efek Bersifat Utang Dalam Denominasi Mata

Uang Selain Rupiah

Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang

Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum

Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajiban

Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham

Tertib Administrasi Importir

Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri

Keputusan Menteri

Perindustrian dan

Perdagangan No. 802/

MPP/Kep/12/2002

Keputusan Kepala Badan

Pengawasan Pasar Modal

No. KEP-23/PM/2002

Instruksi Presiden Republik

Indonesia No. 8 Tahun

2002

Keputusan Bersama

Menteri Keuangan

Republik Indonesia No.

527/KMK.04/2002 dan

Menteri Perindustrian dan

Perdagangan No. 819/

MPP/Kep/12/2002

Keputusan Presiden

Republik Indonesia No. 90

Tahun 2002

Desember

12

24

30

31

294

Lampiran

Lampiran F

Tabel Statistik

........................................................................................................................... Hal.

1. Produk Domestik Bruto menurut Jenis Penggunaan .......................................................... 296

2. Produk Domestik Bruto menurut Lapangan Usaha ............................................................. 297

3. Pengaruh Nilai Tukar Dagang terhadap Produk Domestik Bruto ............................................ 298

4. Hasil Beberapa Jenis Produk Sektor Pertanian ................................................................ 299

5. Produksi, Luas Panen, dan Produksi Rata-rata padi serta Palawija ........................................ 300

6. Hasil Beberapa Jenis Produk Sektor Pertambangan dan Penggalian ....................................... 301

7. Penjualan Tenaga Listrik ............................................................................................ 301

8. Perkembangan Upah Minimum Harian Regional per Propinsi ................................................ 302

9. Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri yang Disetujui Pemerintah menurut Sektor ................ 303

10. Penyebaran Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri yang Disetujui Pemerintah menurut Dati I .. 304

11. Rencana Penanaman Modal Asing yang Disetujui Pemerintah menurut Sektor .......................... 305

12. Penyebaran Rencana Penanaman Modal Asing yang Disetujui Pemerintah menurut Dati I ............ 306

13. Rencana Penanaman Modal Asing yang Disetujui Pemerintah menurut Negara Asal ................... 307

14. Indeks Harga Konsumen Indonesia ................................................................................ 308

15. Indeks Harga Perdagangan Besar Indonesia ..................................................................... 309

16. Perkembangan Laju Inflasi di 43 Kota ............................................................................. 310

17. Neraca Pembayaran Indonesia ..................................................................................... 311

18. Nilai Ekspor Nonmigas menurut Komoditas ...................................................................... 312

19. Volume Ekspor Nonmigas menurut Komoditas .................................................................. 313

20. Nilai Ekspor Nonmigas menurut Negara Tujuan ................................................................ 314

21. Nilai Impor Nonmigas Menurut Negara Tujuan (C&F) .......................................................... 315

22. Ekspor Migas ........................................................................................................... 316

23. Uang Beredar .......................................................................................................... 317

24. Perubahan Uang Beredar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya ..................................... 318

25. Suku Bunga Deposito dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Kelompok Bank ......................... 319

26. Pasar Uang Antarbank di Jakarta .................................................................................. 320

27. Tingkat Diskonto Sertifikat Deposito Rupiah menurut Kelompok Bank .................................... 321

295

Lampiran

28. Penerbitan, Pelunasan, dan Posisi Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ......................................... 322

29. Tingkat Diskonto SBI ................................................................................................. 323

30. Transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) antara Bank Indonesia dan Bank-bank ................... 324

31. Pendapatan dan Belanja Negara .................................................................................. 325

32. Pembiayaan ............................................................................................................ 326

33. Penghimpunan Dana oleh Bank Umum ............................................................................ 327

34. Giro dalam Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum menurut Kelompok Bank ........................ 328

35. Simpanan Berjangka Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum menurut Jangka Waktu .............. 329

36. Simpanan Berjangka Rupiah pada Bank Umum menurut Golongan Pemilik ................................ 330

37. Sertifikat Deposito ................................................................................................... 331

38. Tabungan menurut Jenis pada Bank Umum ..................................................................... 332

39. Suku Bunga Kredit Rupiah Menurut Kelompok Bank .......................................................... 333

40. Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Sektor Ekonomi ............................ 334

41. Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Jenis Penggunaan dan Sektor Ekonomi 335

42. Kredit Perbankan dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Kelompok Bank dan Sektor Ekonomi .... 336

43. Perkembangan Jumlah Aliran Uang Kertas di Jakarta dan KKBI ............................................. 337

44. Pangsa Aliran Uang Keluar per Jenis Pecahan di Jakarta dan KKBI Tahun 2002 ......................... 337

45. Perkembangan Jumlah Aliran Uang Logam di Jakarta dan KKBI ............................................. 338

46. Pertumbuhan Ekonomi Dunia ....................................................................................... 339

47. Inflasi Dunia ............................................................................................................ 340

48. Suku Bunga (%) dan Nilai Tukar .................................................................................... 341

49. Perkembangan Volume Perdagangan Barang dan Harga Dunia .............................................. 341

50. Transaksi Berjalan di Negara Industri dan Negara Sedang Berkembang ................................... 342

296

Lampiran

Pengeluaran konsumsi 286.850,6 299.084,5 305.145,0 319.861,8 337.501,6Rumah tangga 260.022,7 272.070,2 276.377,2 288.510,2 302.139,3Pemerintah 26.827,9 27.014,3 28.767,8 31.351,6 35.362,3

Pembentukan modal tetap domestik bruto 93.604,7 76.572,9 89.389,1 96.243,8 96.058,0Perubahan stok -6.386,9 -9.622,1 -13.794,2 -15.908,0 -25.741,1Ekspor barang dan jasa 134.707,2 91.863,6 116.193,6 118.377,0 116.907,1dikurangi Impor barang dan jasa 132.400,7 78.546,4 98.916,6 106.883,6 97.985,1Produk Domestik Bruto 376.374,7 379.352,5 398.016,9 411.691,0 426.740,5Pendapatan neto terhadap luar negeri

dari faktor produksi -27.965,4 -22.145,1 -25.391,1 -17.399,1 -22.217,8Produk Nasional Bruto 348.409,5 357.207,4 372.625,8 394.291,9 404.522,7dikurangi Pajak tidak langsung neto 1.858,9 6.181,9 -11.746,1 8.979,3 18.896,3dikurangi Penyusutan 18.818,8 18.967,6 19.900,8 20.584,6 21.337,1Pendapatan Nasional 327.731,8 332.057,9 364.471,1 364.728,0 364.289,3

Pengeluaran konsumsi 702.239,5 885.814,6 941.598,4 1.089.146,9 1.269.981,2Rumah tangga 647.823,6 813.183,3 850.818,7 975.730,8 1.137.762,5Pemerintah 54.415,9 72.631,3 90.779,7 113.416,1 132.218,7

Pembentukan modal tetap domestik bruto 243.043,4 221.472,3 275.881,3 316.178,5 325.333,9Perubahan stok -82.716,1 -96.461,4 -72.235,5 -63.281,8 -95.614,3Ekspor barang dan jasa 506.244,8 390.560,1 542.992,4 612.482,2 569.941,9dikurangi Impor barang dan jasa 413.058,1 301.654,0 423.317,9 505.127,7 459.631,1Produk Domestik Bruto 955.753,5 1.099.731,6 1.264.918,7 1.449.398,1 1.610.011,6Pendapatan neto terhadap luar negeri

dari faktor produksi -53.893,7 -83.764,2 -92.161,8 -58.079,0 -77.815,7Produk Nasional Bruto 901.859,8 1.015.967,4 1.172.756,9 1.391.319,1 1.532.195,9dikurangi Pajak tidak langsung neto 6.480,5 17.950,1 -37.820,3 31.425,7 71.186,5dikurangi Penyusutan 47.787,7 54.986,6 63.245,9 72.469,8 80.500,6Pendapatan Nasional 847.591,6 943.030,7 1.147.331,3 1.287.423,6 1.380.508,8

Memorandum item:

Produk Domestik Bruto per kapita 1)

dalam ribuan rupiah 4.814,7 5.489,7 6.145,1 6.938,2 7.594,3dalam $ 491,1 696,5 732,1 677,7 810,8

Produk Nasional Bruto per kapita 1)

dalam ribuan rupiah 4.543,2 5.071,5 5.697,3 6.660,2 7.227,2dalam $ 463,4 643,5 678,8 650,6 771,6

Pendapatan Nasional per kapita 1)

dalam ribuan rupiah 4.269,8 4.707,5 5.573,8 6.162,8 6.511,7dalam $ 435,5 597,3 664,0 602,0 695,2

Tabel 1Produk Domestik Bruto menurut Jenis Penggunaan

(Miliar rupiah)

Jenis penggunaan 1998 1999 2000 2001* 2002**

Harga konstan 1993

1) Menurut harga berlakuSumber : Badan Pusat Statistik

Harga berlaku

F.1 Tabel Statistik I

297

Lampiran

Tabel 2Produk Domestik Bruto menurut Lapangan Usaha

(Miliar rupiah)

Pertanian, peternakan,kehutanan, dan perikanan 63.609,5 64.985,3 66.208,9 66.858,2 68.018,4 172.827,6 215.686,7 217.897,9 246.298,2 281.325,0

Tanaman bahan makanan 33.350,4 34.012,4 34.533,0 34.260,2 34.442,1 91.346,0 116.222,5 112.661,2 126.065,2 141.137,4Tanaman perkebunan 10.501,8 10.702,0 10.722,0 10.979,5 11.327,9 33.289,6 35.966,5 33.744,7 37.491,2 41.919,5Peternakan 6.439,7 6.836,9 7.061,3 7.312,7 7.537,0 15.743,6 23.761,2 27.034,6 30.438,2 34.808,9Kehutanan 6.580,7 6.288,1 6.388,9 6.522,5 6.651,3 11.700,5 13.803,8 14.947,8 15.648,7 16.848,9Perikanan 6.736,9 7.145,8 7.502,9 7.783,3 8.060,0 20.747,9 25.932,8 29.509,7 36.654,8 46.610,3

Pertambangan dan penggalian 37.474,0 36.865,8 38.896,4 38.894,6 39.768,1 120.328,5 109.925,4 175.262,5 191.762,4 191.827,2Minyak dan gas bumi 23.340,1 22.136,8 22.658,3 21.537,3 21.574,4 74.883,7 72.424,9 129.220,9 131.877,8 131.656,7Pertambangan tanpa migas 9.678,0 10.357,7 11.619,2 12.502,5 13.082,2 35.459,9 27.696,1 34.495,7 45.691,9 43.480,4Penggalian 4.455,9 4.371,2 4.618,9 4.855,0 5.111,5 9.984,9 9.804,3 11.545,9 14.192,7 16.690,0

Industri pengolahan 95.320,6 99.058,5 104.986,9 109.290,2 113.671,7 238.897,1 285.873,9 314.918,4 362.031,2 402.601,1Industri migas 11.042,2 11.797,2 11.599,9 11.196,5 11.434,0 33.172,4 35.127,6 54.279,9 56.137,0 56.678,5

Pengilangan minyak bumi 6.310,0 6.606,6 6.843,1 6.958,0 6.917,4 15.092,2 16.320,8 22.602,9 26.477,6 32.389,1Gas alam cair 4.732,3 5.190,6 4.756,9 4.238,5 4.516,6 18.080,2 18.806,8 31.676,9 29.659,5 24.289,5

Industri tanpa migas 84.278,4 87.261,3 93.387,0 98.093,7 102.237,7 205.724,7 250.746,3 260.638,5 305.894,2 345.922,6Listrik, gas, dan air bersih 5.646,1 6.112,9 6.574,8 7.078,0 7.514,6 11.283,1 13.429,0 16.519,3 21.183,9 29.100,5Bangunan 22.465,3 22.035,6 23.278,7 24.259,1 25.255,3 61.761,6 67.616,2 76.573,4 85.263,2 92.366,3Perdagangan, hotel, dan restoran 60.130,7 60.093,7 63.498,3 66.888,1 69.303,2 146.740,1 175.835,4 199.110,4 234.262,6 258.869,2

Perdagangan besar dan eceran 47.845,9 47.574,5 50.333,8 53.055,3 54.827,3 116.688,5 140.588,7 159.384,7 187.996,0 205.791,7Hotel dan restoran 12.284,8 12.519,2 13.164,5 13.832,8 14.475,8 30.051,6 35.246,7 39.725,7 46.266,6 53.077,5

Pengangkutan dan komunikasi 26.975,1 26.772,1 29.072,1 31.207,1 33.649,5 51.937,2 55.189,6 62.305,6 75.795,9 97.343,5Pengangkutan 20.503,8 19.737,6 21.176,3 22.319,8 23.364,1 41.837,2 42.735,7 47.911,3 59.462,8 72.234,5Komunikasi 6.471,3 7.034,5 7.895,8 8.887,3 10.285,4 10.100,0 12.453,9 14.394,3 16.333,1 25.109,0

Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 28.278,7 26.244,6 27.449,4 28.388,6 29.963,2 69.891,7 71.220,2 80.459,9 91.438,4 105.621,7Bank 1) 13.173,0 11.861,8 12.467,5 13.071,4 13.831,8 31.710,2 31.088,6 36.317,3 42.232,0 49.949,0

Sewa bangunan dan jasa perusahaan 15.105,7 14.382,8 14.981,8 15.317,2 16.131,4 38.181,5 40.131,6 44.142,6 49.206,4 55.672,7Jasa-jasa 36.475,0 37.184,0 38.051,5 38.826,9 39.596,6 82.102,5 104.955,3 121.871,4 141.362,2 150.957,2

Pemerintahan umum 21.887,5 22.250,6 22.555,1 22.795,4 22.887,0 40.641,0 56.745,0 69.460,2 81.850,9 83.293,5Swasta 14.587,5 14.933,4 15.496,4 16.031,5 16.709,6 41.445,8 48.210,3 52.411,3 59.511,3 67.663,7

PRODUK DOMESTIK BRUTO 376.374,9 379.352,5 398.016,9 411.691,0 426.740,5 955.753,5 1.099.731,6 1.264.918,7 1.449.398,1 1.610.011,6Nonmigas 341.992,5 345.418,5 363.758,7 378.957,2 393.732,1 847.697,4 992.179,1 1.081.417,9 1.261.383,3 1.421.676,4Migas 34.382,4 33.934,0 34.258,2 32.733,8 33.008,4 108.056,1 107.552,5 163.500,8 188.014,8 188.335,2

Lapangan usahaHarga konstan 1993 Harga berlaku

1998 1999 2000 2001* 2002** 1998 1999 2000 2001* 2002**

1) Termasuk lembaga keuangan di luar bank dan jasa penunjang keuangan

Sumber : Badan Pusat Statistik

298

Lampiran

1. Ekspor barang dan jasa

atas dasar harga berlaku 506.244,8 390.560,1 542.992,4 612.482,2 569.941,9

2. Ekspor barang dan jasa

atas dasar harga konstan 134.707,2 91.863,6 116.193,6 118.377,0 116.907,1

3. Deflator ekspor (1:2) x 100) 375,8 425,2 467,3 517,4 487,5

4. Impor barang dan jasa

atas dasar harga berlaku 413.058,1 301.654,0 423.3117,9 505.127,7 459.631,1

5. Impor barang dan jasa

atas dasar harga konstan 132.400,7 78.546,4 98.916,6 106.883,6 97.985,1

6. Deflator impor (4:5) x 100) 312,0 384,0 428,0 472,6 469,1

7. Indeks nilai tukar dagang (3:6) x 100) 120,5 110,7 109,2 109,5 103,9

8. Perubahan indeks

nilai tukar dagang (%) 5,43 -8,10 -1,36 0,26 -5,07

9. Kapasitas impor riil dari ekspor

(1:6) x 100) 162.270,6 101.696,3 126.880,9 129.599,5 121.501,4

10. Pengaruh nilai tukar dagang (9 - 2) 27.563,4 9.832,7 10.687,3 11.222,5 4.594,3

11. Perubahan nilai tukar dagang (%) 59,60 -64,33 8,69 5,01 -59,06

12. PDB atas dasar harga konstan 1993 376.374,7 379.352,5 398.016,9 411.691,0 426.740,5

13. Perubahan PDB atas dasar

harga konstan (%) -13,13 0,79 4,92 3,44 3,66

14. Pendapatan Domestik Bruto (PnDB) -348.811,5 -369.519,8 -387.329,6 -400.468,5 -422.146,2

(10 - 12)

15. Pertumbuhan PnDB (%) -16,15 5,94 4,82 3,39 -5,41

Tabel 3Pengaruh Nilai Tukar Dagang terhadap Produk Domestik Bruto

(Miliar rupiah)

1) Data s.d. triwulan III-2002Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)

Rincian 1998 1999 2000 2001* 2002**

299

Lampiran

Tanaman panganPadi 49.236,7 50.866,4 51.898,9 50.460,8 51.604,0 1)

Jagung 10.169,4 9204,04 9676,9 9347,19 9.747,0 1)

Ubi kayu 14.696,2 16.458,5 16.089,0 17.054,6 16.665,0 1)

Ubi jalar 1.935,0 1.665,6 1.827,7 1.749,1 1.742,0 1)

Kacang tanah 692,4 659,6 736,5 709,8 713,0 1)

Kacang kedelai 1.305,6 1.382,8 1.017,6 826,9 742,0 1)

Kacang hijau 306,1 265,1 289,9 286,5 …

Tanaman perkebunanKaret Kering 332,6 293,7 336,2 309,0 163,9 2)

Minyak Sawit 4.013,1 4.454,5 4.094,0 3.863,6 1.861,7 2)

Biji Sawit 912,1 1.012,4 930,6 878,2 423,2 2)

Coklat 60,9 58,9 60,5 60,5 27,6 2)

Kopi 28,5 27,5 29,5 29,4 8,3 2)

T e h 132,7 126,4 127,8 117,1 67,5 2)

Kulit Kina 0,4 0,9 0,6 0,6 0,3 2)

Gula Tebu 1.928,7 1.801,4 1.896,3 1.896,2 672,1 2)

Tembakau 7,7 5,8 14,8 14,8 1,7 2)

KehutananKayu Bulat 3) 19.026,9 20.619,9 … … …Kayu Gergajian 3) 2.707,2 2.060,2 … … …Kayu Lapis 3) 7.154,7 4.611,9 … … …

PeternakanDaging 1.228,5 1.193,5 1.445,2 1.450,7 .. .Telur 529,8 640,4 783,3 793,8 .. .Susu (juta liter) 375,4 436,0 495,7 505,0 .. .

PerikananLaut 3.837,0 3.950,0 … … …Darat 1.000,0 1.020,0 … … …

1) Angka Perkiraan Triwulan III-20022) Data sampai dengan bulan Juni 20023) Tahun fiskal dalam ribu m3

Sumber : - Departemen Pertanian- Departemen Kehutanan- Badan Pusat Statistik

Tabel 4Hasil Beberapa Jenis Produk Sektor Pertanian

(Ribu ton)

Rincian 1998 1999 2000 2001 2002

300

Lampiran

Produksi (ribu ton)

Padi 49.236,7 50.866,4 51.898,9 50.460,8 51.604,01)

Jagung 10.169,4 9204,04 9676,9 9347,19 9.747,01)

Ubi kayu 14.696,2 16.458,5 16.089,0 17.054,6 16.665,01)

Ubi jalar 1.935,0 1.665,6 1.827,7 1.749,1 1.742,01)

Kacang tanah 692,4 659,6 736,5 709,8 713,01)

Kacang kedelai 1.305,6 1.382,8 1.017,6 826,9 742,01)

Kacang hijau 306,1 265,1 289,9 286,5 …1)

Luas panen (ribu hektar)

Padi 11.730,3 11.963,2 11.793,5 11.412,0 …

Jagung 3.847,8 3.456,4 3.500,3 3.305,1 …

Ubi kayu 1.205,4 1.350,0 1.284,0 1.279,9 …

Ubi jalar 202,1 172,2 194,3 167,1 …

Kacang tanah 651,1 625,0 683,6 650,7 …

Kacang kedelai 1.095,1 1.151,1 824,5 723,0 …

Kacang hijau 339,2 298,1 131,3 319,6 …

Produktivitas (kuintal/hektar)

Padi 42,0 42,5 44,0 43,9 …

Jagung 26,4 26,6 27,6 27,6 …

Ubi kayu 121,9 121,9 125,3 … …

Ubi jalar 95,8 96,7 94,1 … …

Kacang tanah 10,6 10,6 10,8 10,7 …

Kacang kedelai 11,9 12,0 12,3 11,9 …

Kacang hijau 9,0 8,9 22,1 9,0 …

Tabel 5Produksi, Luas Panen, dan Produksi Rata-rata

Padi serta Palawija

Rincian 1998 1999 2000 2001 2002

1) Angka Perkiraan Triwulan IV-2002

Sumber : Departemen Pertanian

301

Lampiran

Tabel 6Hasil Beberapa Jenis Produk

Sektor Pertambangan dan Penggalian

Rincian Satuan 1998 1999 2000 2001 2002

Pertambangan MigasMinyak Mentah 1) Juta Barel 569,2 545,7 507,3 489,9 420,6 2)

LNG Ribu Metric Ton 27.179,9 29.812,4 27.203,0 24.343,7 10.804,9 3)

LPG Ribu Metric Ton 2.312,2 2.249,8 2.047,3 2.417,5 566,0 3)

Pertambangan Non MigasBatubara Ribu Metric Ton 60.320,8 69.357,6 76.820,2 90.253,8 43.937,8 4)

Nikel Ribu Metric Ton 2.734,0 3.245,3 3.349,3 3.635,4 1.863,6 4)

Tembaga 1) Ribu Metric Ton 2.640,0 2.645,2 3.193,5 3.289,5 1.556,5 4)

Timah Ribu Metric Ton 54,0 47,8 50,2 61,9 38,4 4)

Bauksit Ribu Metric Ton 1.055,6 1.142,5 1.175,4 1.275,6 610,9 4)

Pasir Besi Ribu Metric Ton 561,0 562,3 538,9 490,1 205,1 4)

Emas Ribu Kg 124,0 129,0 117,6 166,1 44,1 4)

Perak Ribu Kg 350,0 292,3 334,6 348,3 108,6 4)

1) Termasuk Kondensat2) Data sampai dengan bulan November 20023) Data sampai dengan bulan Mei 20024) Data sampai dengan bulan Juni 2002

Sumber : Departemen Pertambangan dan Energi

Total 64.383,3 71.337,7 79.050,3 84.029,4 86.503,7Sosial 1.425,8 1.488,7 1.667,1 1.809,3 1.848,6Rumah Tangga 24.391,0 26.859,2 30.506,0 27.381,8 33.798,7Bisnis 8.507,5 9.332,2 10.224,4 10.914,3 11.207,5Industri 27.779,1 31.338,5 33.994,4 35.518,7 36.752,7Publik 2.280,0 1.341,6 2.096,7 2.396,3 2.547,1Multiguna - 977,3 561,7 252,3 205,4

Tabel 7Penjualan Tenaga Listrik

(Juta KWH)

T a h u n 1998 1999 2000 2001 2002

Sumber : PT. Perusahaan Listrik Negara

302

Lampiran

Tabel 8Perkembangan Upah Minimum Regional per Bulan per Propinsi

(dalam rupiah)

Rincian

Aceh Darussalam 147.000 171.000 265.000 300.000 330.000Sumatera Utara 174.000 210.000 254.000 340.500 464.000Sumatera Barat• 137.000 160.000 200.000 250.000 385.000Riau 329.000 394.000 a. Luar Batam 174.000 218.000 329.000 n.a. n.a. b. Batam 270.000 290.000 350.000 n.a. n.a.Jambi 137.500 150.000 173.000 245.000 304.000Sumatera Selatan 255.000 331.500 a. Daratan 146.500 170.000 196.000 n.a. n.a. b. Kepulauan 155.500 181.000 209.000 n.a. n.a.Bengkulu 145.000 150.000 173.000 240.000 295.000Lampung 146.500 160.000 192.000 240.000 310.000DKI Jakarta 198.500 231.000 245.000 426.250 591.266Jawa Barat 245.000 280.779 a. Wilayah I 198.500 230.000 270.000 n.a. n.a. b. Wilayah II 181.000 210.000 245.000 n.a. n.a. c. Wilayah III 167.500 200.000 230.000 n.a. n.a. d. Wilayah IV 160.000 195.000 225.000 n.a. n.a.Jawa Tengah 130.000 153.000 185.000 245.000 314.500D.I. Yogyakarta 122.500 130.000 194.500 237.500 321.750Jawa Timur 220.000 245.000 a. Wilayah I 152.500 182.000 236.000 n.a. n.a. b. Wilayah II 146.500 174.000 212.000 n.a. n.a. c. Wilayah III 139.000 166.000 208.000 n.a. n.a. d. Wilayah IV 134.000 160.000 202.000 n.a. n.a.Bali 162.500 309.750 341.000 a. Kabupaten Badung, Denpasar n.a. 187.000 214.300 n.a. n.a. b. Lainnya n.a. 166.000 190.000 n.a. n.a.Nusa Tenggara Barat 124.000 145.000 180.000 240.000 320.000Nusa Tenggara Timur 122.500 143.000 184.000 275.000 330.000Timor Timur 158.500 183.000 n.a. n.a. n.a.Kalimantan Barat 145.500 175.000 228.000 304.500 ,, ,Kalimantan Tengah 158.500 195.000 285.000 362.000 ,, ,Kalimantan Selatan 144.000 166.000 200.000 295.000 ,, ,Kalimantan Timur 176.000 194.000 233.000 300.000 500.000Sulawesi Utara 135.500 155.000 186.000 372.000 ,, ,Sulawesi Tengah 122.500 150.000 203.000 245.000 350.000Sulawesi Selatan 129.500 148.000 200.000 300.000 375.000Sulawesi Tenggara 139.000 160.000 210.000 275.000 325.000Maluku 156.500 180.000 180.000 230.000 285.000Maluku Utara 230.000 322.000Gorontalo 375.000Irian Jaya 195.500 225.000 315.000 400.000 530.000

Sumber : Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (diolah)

1998 1999 2000 2001 2002

303

Lampiran

Tabel 9Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri

yang Disetujui Pemerintah menurut Sektor(Miliar rupiah)

Sektor 1998 1999 2000 2001 20021)

Pertanian, kehutanan, dan perikanan 5.315,1 2.408,3 4.137,8 1.378,1 1.453,7Pertanian 4.757,9 1.614,8 3.351,4 777,6 1.452,2Kehutanan 542,9 749,3 16,1 445,9 0,0Perikanan 14,3 44,2 770,3 154,6 1,5

Pertambangan 116,3 174,0 36,4 1.198,2 786,7Industri 44.908,0 46.747,5 83.059,5 43.966,6 15.853,5

Makanan 6.711,8 12.729,9 9.220,9 11.108,6 4.967,6Tekstil 1.137,6 2.561,5 2.312,0 2.222,9 440,0Kayu 1.971,9 1.229,0 180,7 553,0 409,1Kertas 12.754,1 20.244,1 8.672,4 4.771,1 150,1Kimia dan farmasi 15.583,2 2.480,9 56.408,7 22.336,9 1.953,1Mineral bukan logam 3.469,0 70,4 3.522,9 596,5 217,1Logam dasar 1.786,3 6.354,2 274,7 375,1 7.179,2Barang-barang logam 960,9 1.070,7 2.444,7 0,0 0,0Lain-lain 533,2 6,8 22,5 2.002,5 537,3

Konstruksi 1.992,0 395,1 843,4 2.006,9 1.499,8Perhotelan 1.150,4 1.380,0 186,3 2.459,1 683,2Pengangkutan 3.260,5 225,3 1.992,8 1.489,0 3.117,7Perumahan dan perkantoran 1.547,5 995,5 225,6 4.540,9 255,1Jasa lainnya 2.459,5 1.226,3 1.845,9 1.635,2 1.612,6

Jumlah 60.749,3 53.552,0 92.327,7 58.674,0 25.262,3

1) Data s.d. akhir Desember 2002Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal

304

Lampiran

Tabel 10Penyebaran Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri

yang Disetujui Pemerintah menurut Dati I(Miliar rupiah)

Jawa dan Madura 18.871,5 22.126,8 17.554,8 20.283,8 12.780,9DKI Jakarta 4.289,7 1.260,5 3.474,9 7.845,7 4.013,7Jawa Barat 8.117,1 18.393,9 9.601,9 7.024,8 5.587,3Jawa Tengah 2.574,9 849,6 1.486,9 2.184,8 1.462,9DI Yogyakarta 6,0 34,6 119,9 105,9 43,4Jawa Timur 3.883,8 1.588,2 2.871,2 3.122,6 1.673,6

Sumatera 10.669,4 14.746,3 37.576,8 9.023,1 4.946,2DI Aceh 1.297,3 94,2 981,3 64,4 1,2Sumatera Utara 1.101,5 1.079,4 612,0 1.192,9 1.275,6Sumatera Barat 336,8 597,6 524,3 7,5 0,0Riau 4.925,1 9.091,5 33.814,3 5.705,5 1.474,2Jambi 1.429,4 3.001,7 1.162,9 771,5 447,4Sumatera Selatan 882,7 149,3 67,7 625,6 12,0Bengkulu 4,0 121,4 116,5 0,0 55,2Lampung 692,6 611,2 297,8 655,7 1.680,6

Kalimantan 11.966,6 5.359,5 4.483,4 3.776,8 2.722,9Kalimantan Barat 416,9 222,6 21,1 10,0 23,7Kalimantan Tengah 9.093,4 3.561,4 331,5 164,3 491,8Kalimantan Selatan 640,6 410,5 3.117,5 188,4 149,4Kalimantan Timur 1.815,7 1.165,0 1.013,3 3.414,1 2.058,0

Sulawesi 13.022,9 1.795,8 31.806,8 20.265,0 3.545,9Sulawesi Utara 1.132,4 51,8 1.487,5 1.174,7 127,8Sulawesi Tengah 630,7 543,9 271,4 1.068,3 94,8Sulawesi Selatan 11.168,7 696,2 29.881,0 16.653,7 141,3Sulawesi Tenggara 91,1 503,9 166,9 1.368,3 3.182,0

Nusa Tenggara 1.289,0 35,2 805,1 1.647,5 15,4Nusa Tenggara Barat 638,5 14,9 803,5 566,5 0,4Nusa Tenggara Timur 650,5 20,3 1,6 1.081,0 15,0

Bali 804,6 1.002,7 58,4 540,2 28,8Timor Timur 2.802,6 47,8 0,0 0,0 0,0Maluku 44,5 20,0 0,0 0,0 68,0Irian Jaya 1.278,7 8.416,0 42,5 3.137,5 154,1

Jumlah 60.749,8 53.550,1 92.327,8 58.673,9 24.262,2

Daerah Tingkat I 1998 1999 2000 2001 2002 1)

1) Data s.d. akhir Desember 2002Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal

305

Lampiran

Tabel 11Rencana Penanaman Modal Asing

yang Disetujui Pemerintah menurut Sektor(Juta $)

Pertanian, kehutanan, dan perikanan 998,2 491,2 443,4 391,7 458,9Pertanian 965,2 412,7 388,9 284,2 446,3Kehutanan 0,0 8,8 5,0 100,6 8,9Perikanan 33,0 69,7 49,5 6,9 3,7

Pertambangan 0,3 14,2 2,4 118,7 49,2Industri 8.388,2 6.929,2 10.703,0 5.145,4 3.208,3

Makanan 342,0 680,9 701,3 289,2 267,3Tekstil 216,9 240,2 401,3 330,0 89,9Kayu 70,8 113,2 155,2 22,4 30,4Kertas 40,8 1.411,8 87,9 742,3 10,0Kimia dan farmasi 6.178,8 3.268,2 7.481,7 2.309,9 1.872,7Mineral bukan logam 237,1 110,4 9,7 107,9 32,6Logam dasar 394,4 501,3 824,0 652,1 348,9Barang-barang logam 890,5 593,0 1.005,4 0,0 0,0Lain-lain 16,9 10,2 36,5 691,6 556,5

Konstruksi 197,8 153,4 225,2 47,6 287,7Perhotelan 451,1 228,6 259,8 6.891,6 254,6Pengangkutan 79,0 102,7 1.218,7 373,3 3.713,2Perumahan dan perkantoran 1.270,9 171,1 301,6 177,5 7,4Jasa lainnya 2.177,6 2.800,2 2.259,4 1.899,1 1.764,8

Jumlah 13.563,1 10.890,6 15.413,5 15.044,9 9.744,1

1) Data s.d. akhir Desember 2002Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal

Sektor 1998 1999 2000 2001 20021)

306

Lampiran

Tabel 12Penyebaran Rencana Penanaman Modal Asing

yang Disetujui Pemerintah menurut Dati I(Juta $)

Jawa dan Madura 10.840,4 2.635,9 10.612,5 5.738,5 4.780,9DKI Jakarta 1.700,1 783,8 3.273,0 1.152,3 3.373,4Jawa Barat 5.504,1 1.498,2 3.137,5 2.780,0 1.053,6Jawa Tengah 3.066,7 69,7 3.082,4 117,1 71,6DI Yogyakarta 6,0 10,5 3,9 10,1 19,8Jawa Timur 563,5 273,7 1.115,7 1.679,0 262,5

Sumatera 1.415,7 7.652,6 2.998,7 2.352,2 2.078,2DI Aceh 6,2 51,8 1.811,1 6,0 0,0Sumatera Utara 229,6 102,7 193,4 106,5 44,5Sumatera Barat 175,8 344,9 19,2 38,2 10,0Riau 537,1 6.956,9 409,5 2.095,4 1.152,4Jamb 201,9 42,0 252,7 5,7 21,6Sumatera Selatan 129,3 39,7 215,5 44,6 732,8Bengkulu 37,7 18,4 0,2 1,9 0,0Lampung 98,1 96,2 97,1 53,9 85,7

Kalimantan 722,7 226,8 136,8 242,6 2.236,6Kalimantan Barat 251,2 102,0 3,3 21,8 1,3Kalimantan Tengah 0,4 50,3 74,5 11,8 8,9Kalimantan Selatan 73,4 30,3 3,1 9,8 34,0Kalimantan Timur 397,7 44,2 55,9 199,2 2.192,4

Sulawesi 192,7 141,8 69,2 81,1 380,2Sulawesi Utara 157,4 24,1 22,9 1,2 1,3Sulawesi Tengah 6,9 2,7 1,7 0,5 0,3Sulawesi Selatan 27,8 12,5 36,6 78,9 373,6Sulawesi Tenggara 0,6 102,5 8,0 0,5 5,0

Nusa Tenggara 57,2 15,0 1.413,4 5,9 121,9Nusa Tenggara Barat 34,6 13,6 1.408,4 4,7 119,4Nusa Tenggara Timur 22,6 1,4 5,0 1,2 2,5

Bali 308,5 193,8 129,9 519,0 86,6Timor Timur 12,4 0,0 0,0 0,0 0,0Maluku 4,9 1,7 0,1 9,3 0,0Irian Jaya 8,6 23,2 52,4 6.095,6 59,7

Jumlah 13.563,1 10.890,8 15.413,0 15.044,2 9.744,1

Daerah Tingkat I 1998 1999 2000 2001 2002 1)

1) Data s.d. akhir Desember 2002Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal

307

Lampiran

Tabel 13Rencana Penanaman Modal Asing

yang Disetujui Pemerintah menurut Negara Asal(Juta $)

Eropa 5.311,9 730,2 5.938,5 923,4 1.358,3Belanda 411,8 48,7 1.159,2 88,9 244,1Belgia 11,5 9,8 5,9 0,2 7,1Inggris 4.745,3 506,9 3.645,5 722,9 720,0Jerman 71,0 87,1 959,5 42,8 35,7Perancis 7,5 22,7 64,7 14,3 262,6Swiss 35,1 42,1 42,2 11,7 74,3Lainnya 29,7 12,9 61,5 42,6 14,5

Amerika 699,6 144,2 253,5 81,5 480,9Amerika Serikat 568,3 136,7 242,1 72,7 467,4Kanada 8,1 3,2 2,4 8,5 7,2Lainnya 123,2 4,3 9,0 0,3 6,3

Asia 4.677,4 6.486,1 3.820,8 12.205,8 6.138,1Hongkong 549,0 76,9 105,4 39,7 1.712,0Jepang 1.330,7 644,3 1.954,4 772,1 510,4Korea Selatan 202,4 263,0 688,3 369,5 369,7Malaysia 1.060,2 186,1 168,2 2.240,4 71,6Filipina 62,5 4,9 7,4 2,0 63,2Singapura 1.267,4 731,1 536,4 1.140,6 3.328,0Taiwan 165,4 1.489,3 131,2 72,3 37,7Thailand 2,8 8,4 6,7 3,0 4,7Lainnya 37,0 3.082,1 222,8 7.566,2 40,8

Australia 85,1 2.458,5 59,9 255,4 233,0Afrika 75,3 65,6 564,0 560,4 875,5Gabungan negara 2.718,4 1.006,0 4.776,4 1.018,6 658,3

Jumlah 13.567,7 10.890,6 15.413,1 15.045,1 9.744,1

Sektor

1) Data s.d. akhir Desember 2002Sumber : - Badan Koordinasi Penanaman Modal

1998 1999 2000 2001 20021)

308

Lampiran

Tabel 14Indeks Harga Konsumen Indonesia

1994 2) 156.97 - 178.57 147.53 161.69 - - 163.17 9.241995 179.14 - 188.93 157.42 173.33 - - 177.83 8.641996 189.99 - 198.00 166.76 190.72 - - 189.62 6.471997 227.88 - 210.36 179.96 206.72 - - 211.62 11.051998 263.22 211.58 159.03 219.71 212.54 161.84 163.70 198.64 1.23

Januari - Maret 166.71 142.23 128.61 161.39 155.88 134.74 119.74 142.15 27.11April - Juni 3) 196.39 167.92 139.17 195.29 171.97 140.84 150.38 163.89 15.29Juli - September 261.00 207.21 155.92 225.22 204.49 162.17 163.18 196.23 19.73Oktober - Desember 163.22 211.58 159.03 219.71 212.54 161.84 163.70 198.64 1.23

1999 - - - - - - - - 2.01Januari 281.09 213.80 160.62 232.11 214.07 161.40 164.95 204.54 2.97Februari 287.60 216.87 162.06 234.23 214.12 161.89 164.29 207.12 1.26Maret 281.65 216.34 162.92 234.71 215.80 162.05 169.16 206.75 -0.18April 275.09 215.52 164.04 233.58 216.57 162.04 169.07 205.34 -0.68Mei 271.38 215.20 164.91 231.18 217.60 162.59 170.06 204.76 -0.28Juni 268.25 215.16 165.34 228.32 218.22 163.06 170.23 204.07 -0.34Juli 258.96 214.87 166.06 224.69 219.48 163.87 169.94 201.93 -1.05Agustus 248.54 215.33 165.87 226.56 220.98 166.48 169.68 200.05 -0.93September 239.06 216.26 166.12 229.63 220.00 169.52 169.94 198.68 -0.68Oktober 4) 237.24 216.13 166.45 232.23 220.06 170.17 171.31 198.79 0.06November 240.00 216.51 165.93 228.38 219.97 170.42 171.56 199.00 0.25Desember 249.54 219.20 166.77 233.21 220.37 170.44 172.20 202.45 1.73

2000 - - - - - - - - 9.35Januari 256.85 220.00 167.56 237.47 220.87 170.43 173.68 205.12 1.32Februari 256.00 220.17 168.34 239.79 221.85 170.23 173.45 205.27 0.07Maret 250.16 219.97 169.05 240.09 222.43 171.83 174.01 204.34 -0.45April 246.16 225.28 171.03 240.50 224.87 173.50 176.83 205.48 0.56Mei 246.08 225.07 174.18 242.55 225.76 174.91 181.19 207.21 0.84Juni 246.47 227.25 174.87 244.54 226.50 175.41 182.54 208.24 0.50Juli 251.39 229.45 176.06 248.54 229.42 178.51 183.37 210.91 1.28Agustus 246.68 231.43 176.71 247.01 230.43 195.70 184.69 211.99 0.51September 240.76 232.73 177.93 247.12 236.19 198.02 186.65 211.87 -0.06Oktober 241.37 237.42 180.60 248.68 238.16 199.24 191.19 214.33 1.16November 246.96 241.62 182.93 249.95 240.47 199.50 191.78 217.15 1.32Desember 259.53 243.49 183.61 256.98 241.46 200.28 194.00 221.37 1.94

2001 - - - - - - - - 12.55Januari 258.68 245.87 184.74 259.03 242.26 200.61 193.21 222.10 0.33Februari 263.04 247.59 185.96 258.88 244.77 201.38 194.29 224.04 0.87Maret 265.51 250.49 188.19 260.70 247.97 202.17 195.00 226.04 0.89April 262.89 252.77 190.09 264.85 252.17 203.41 196.06 227.07 0.46Mei 266.84 255.28 191.63 270.08 254.79 203.89 197.42 229.63 1.13Juni 270.43 261.35 194.72 271.94 257.03 204.61 204.14 233.46 1.67Juli 274.88 266.46 197.93 272.10 259.74 209.40 218.09 238.52 2.12Agustus 268.42 267.54 199.69 264.80 260.26 218.08 218.12 237.92 -0.21September 266.45 269.14 203.04 266.57 260.62 222.74 219.75 239.44 0.64Oktober 269.53 270.38 203.89 271.77 261.32 223.38 219.99 241.06 0.68November 282.50 272.38 206.05 274.81 262.26 223.57 220.14 245.18 1.71Desember 290.74 278.75 208.57 277.90 262.99 224.12 221.47 249.15 1.62

2002 - - - - - - - - 10.03Januari 298.72 286.47 213.58 278.74 264.94 224.60 223.18 254.12 1.99Februari 308.00 288.76 217.15 279.69 266.50 225.50 225.78 257.93 1.50Maret 299.31 289.27 219.02 279.34 268.06 226.25 235.88 257.87 -0.02April 293.58 289.94 219.96 279.08 269.41 226.30 237.96 257.26 -0.24Mei 295.29 290.15 221.68 278.95 271.22 226.93 246.06 259.31 0.80Juni 294.47 290.17 223.80 278.28 272.37 226.57 251.21 260.25 0.36Juli 293.99 291.93 225.83 279.15 273.77 236.77 253.42 262.38 0.82Agustus 292.43 292.36 227.64 279.64 275.18 242.78 253.19 263.13 0.29September 293.48 293.30 230.07 280.15 275.96 247.43 252.19 264.53 0.53Oktober 294.96 296.33 231.00 281.18 276.62 247.99 253.77 265.95 0.54November 309.80 301.30 232.64 283.72 277.03 248.15 254.21 270.87 1.85Desember 317.29 304.35 235.08 285.38 277.79 248.43 255.85 274.13 1.20

Bahan Makanan Peru- Kese- Pendidikan, Transpor PerubahanMakanan Jadi, mahan Sandang hatan Rekreasi & dan Umum Indeks

Akhir periode 1) Minuman, Olahraga Komunikasi UmumRokok danTembakau

1) Angka tahunan/triwulanan adalah angka akhir periode yang bersangkutan2) Berdasarkan April 1988 - Maret 1989 = 100 dengan 4 kelompok: kolom (2) adalah kelompok Makanan; kolom (6) adalah kelompok Aneka Barang dan Jasa3) Berdasarkan Januari 1996 - Desember 1996 = 100, IHK dihitung di 44 kota dan dibagi menjadi 7 kelompok4) Sejak Oktober 1999, IHK dihitung di 43 kota (minus kota Dili)

Sumber : Badan Pusat Statistik

309

Lampiran

Tabel 15Indeks Harga Perdagangan Besar Indonesia 1)

Perubahan 2002 Kelompok 1998 1999 2000 2001 2002 terhadap 2001

(%)

1) Angka tahunan merupakan rata-rata Indeks selama satu tahun yang bersangkutanTahun 1996 - 1998, perhitungan Indeks Harga Perdagangan Besar menggunakan tahun dasar 1983 (1983=100)Tahun 1999 - 2001, perhitungan Indeks Harga Perdagangan Besar menggunakan tahun dasar 1993 (1993=100)

Sumber : Badan Pusat Statistik

Pertanian 750 410 459 567 614 34

Pertambangan dan penggalian 396 214 236 275 308 30

Industri 455 268 278 309 339 22

Impor 598 289 316 356 345 9

Ekspor 592 366 461 521 497 8

Migas 474 355 634 669 615 -3

Nonmigas 994 370 393 462 450 14

Indeks Umum 568 314 353 403 414 17

310

Lampiran

Tabel 16Perkembangan Laju Inflasi di 43 Kota

(Persen)

Lhokseumawe 79.66 6.61 8.73 11.67 10.99Banda Aceh 79.01 5.57 10.57 16.60 10.14Padang Sidempuan 85.72 -0.14 3.95 9.84 10.18Sibolga 85.01 1.65 6.95 8.66 11.58Pematang Siantar 80.23 -0.54 4.67 13.55 9.41Medan 83.81 1.68 5.90 15.50 9.49Padang 87.20 4.23 10.99 9.86 10.22Pekanbaru 75.86 4.35 10.34 14.65 11.66Batam 52.89 -0.28 9.00 12.64 9.14Jambi 72.31 0.49 8.40 10.11 12.62Palembang 89.18 -1.01 8.49 15.15 12.25Bengkulu 84.10 0.47 8.21 10.58 10.11Bandar Lampung 85.22 3.34 10.18 12.94 10.32Jakarta 74.42 1.77 10.29 11.52 9.08Tasikmalaya 73.55 1.58 4.57 16.71 10.29Serang/Cilegon 65.43 -0.04 7.03 12.75 9.68Bandung 72.59 4.29 8.52 11.91 11.97Cirebon 62.23 4.75 6.52 12.93 10.53Purwokerto 80.93 0.99 10.02 11.76 8.77Surakarta 66.38 0.46 7.89 15.58 8.64Semarang 67.19 1.51 8.73 13.98 13.56Tegal 67.73 1.11 7.85 11.26 11.27Yogyakarta 77.46 2.51 7.32 12.56 12.01Jember 84.95 3.16 10.35 13.92 9.75Kediri 77.08 -0.64 7.05 15.91 8.87Malang 93.16 1.49 10.62 12.45 9.74Surabaya 95.21 0.24 10.46 14.13 9.15Denpasar 75.11 4.39 9.81 11.52 12.49Mataram 90.50 0.59 5.19 14.76 7.96Kupang 62.58 10.65 10.62 12.34 9.77Pontianak 78.85 4.49 8.34 10.60 8.61Sampit 75.94 -4.98 11.87 14.69 7.59Palangkaraya 74.65 -0.13 8.57 13.35 9.18Banjarmasin 74.43 1.47 7.57 8.36 9.18Balikpapan 75.10 3.01 10.67 10.82 11.38Samarinda 68.31 3.69 11.91 10.21 10.26Manado 74.24 7.41 11.41 13.30 15.22Palu 95.18 3.58 8.41 18.73 13.36Makasar 80.86 1.64 9.73 11.77 8.25Kendari 97.79 1.29 11.25 12.56 10.35Ternate 72.98 0.38 14.51 13.71 6.40Ambon 75.82 8.26 8.52 14.12 9.47Jayapura 61.83 3.49 10.23 14.00 13.91Inflasi Nasional 77.63 2.01 9.35 12.55 10.03

Kota 1998 1) 1999 2) 2000 2001 2002

Keterangan1) Dihitung dengan menggunakan tahun dasar 1996 = 100 di 44 kota dan terbagi menjadi tujuh kelompok2) Dihitung dengan menggunakan tahun dasar 1996 = 100 di 43 kota (minus kota Dili) dan terbagi menjadi tujuh kelompokSumber : Badan Pusat Statistik

311

Lampiran

Tabel 17Neraca Pembayaran Indonesia

(Juta $)

A. Transaksi Berjalan 4.097 5.783 7.991 6.901 7.2621. Barang 18.429 20.644 25.042 22.696 23.147

a. Ekspor fob 50.370 51.242 65.407 57.365 57.970- Nonmigas 42.951 40.988 50.341 44.805 45.253- Migas 7.419 10.255 15.066 12.560 12.717

b. Impor fob -31.942 -30.598 -40.365 -34.668 -34.823- Nonmigas -29.087 -26.631 -34.378 -28.961 -28.259- Migas -2.855 -3.967 -5.988 -5.707 -6.564

2. Jasa-jasa (bersih) -14.332 -14.861 -17.051 -15.795 -15.885- Nonmigas -11.420 -11.660 -12.500 -11.501 -11.641- Migas -2.911 -3.201 -4.551 -4.294 -4.244

B. Lalu Lintas Modal -3.876 -4.571 -6.772 -8.992 -3.5921. Lalu Lintas Modal Pemerintah (bersih) 9.970 5.352 3.217 -741 -556

a. Penerimaan 13.174 7.932 4.986 1.107 1.266- Bantuan program 1.821 3.870 1.361 507 773- Bantuan pangan 160 273 76 0 0- IGGI/CGI 2.787 2.408 2.420 1.963 1.358- Diluar IGGI/CGI 8.406 1.381 1.130 -1.363 -865

b. Pelunasan pinjaman 1/ -3.204 -2.581 -1.769 -1.847 -1.823

2. Lalu Lintas Modal Swasta (bersih) -13.846 -9.923 -9.989 -8.252 -3.035a. Penanaman modal langsung (bersih) -356 -2.745 -4.550 -5.876 -6.940b. Lainnya (bersih) -13.490 -7.178 -5.439 -2.375 3.905

C. Jumlah (A+B) 221 1.213 1.219 -2.091 3.670

D. Selisih Perhitungan antara C dan E 2.123 2.079 3.823 713 -115

E. Lalu-lintas Moneter 2/ -2.344 -3.292 -5.042 1.378 -3.555

1/ Setelah diperhitungkan rescheduling2/ Minus (-) : Surplus, dan sebaliknya

Rincian 1998 1999 2000 2001 2002*

312

Lampiran

Tabel 18Nilai Ekspor Nonmigas menurut Komoditas

(Juta $)

Total Ekspor 42.951 40.987 50.341 44.805 45.253Pertanian 5.091 4.179 4.152 3.557 3.921

Kayu 53 86 97 105 58Getah karet 1.006 854 883 810 963Kopi 602 465 327 161 220Teh 169 102 115 97 114Lada 195 183 227 105 77Tembakau 139 108 80 95 74Tapioka 21 23 11 12 4Hewan & hasilnya 1.779 1.574 1.622 1.499 1.467- Udang 1.041 886 971 864 772Kulit 72 74 94 81 68Lainnya 1.056 710 695 592 875

Mineral 4.703 4.130 5.566 5.620 5.370Timah 260 242 234 245 287Tembaga 1.792 1.441 2.272 2.416 2.224Nikel 165 219 360 299 47Aluminium 202 138 260 212 233Batu bara 1.669 1.665 1.635 1.945 2.144Lainnya 614 425 805 503 436

Industri 33.157 32.678 40.623 35.628 35.962Tekstil & produk tekstil 7.034 6.291 7.317 6.752 6.116- Pakaian jadi 3.769 3.450 4.067 3.821 3.256Kerajinan tangan 2.089 569 548 532 501Produk kayu 4.245 4.526 4.495 3.962 3.783- Kayu lapis 2.328 2.259 1.996 1.725 1.515Produk rotan 39 255 296 272 280Minyak sawit 888 1.369 1.265 1.343 2.068Bungkil kopra 51 47 62 49 64Produk kimia 2.098 1.835 2.259 2.146 2.242Produk logam 1.387 1.078 1.217 1.131 1.043Barang-barang listrik 2.813 3.365 6.366 6.115 6.562Semen 87 143 141 170 113Kertas 2.471 2.645 3.046 2.677 2.500Produk karet 415 374 440 429 520Gelas dan alat dari gelas 269 279 349 306 309Alas kaki 1.583 1.519 1.620 1.433 1.349Produk plastik 935 860 1.216 1.024 1.053Mesin & psw. mekanik 1.478 1.853 3.783 3.054 3.128Lainnya 5.275 5.670 6.205 4.233 4.329

Rincian 1998 1999 2000 2001 2002*

313

Lampiran

Tabel 19Volume Ekspor Nonmigas menurut Komoditas

(Ribu ton)

1998 1999 2000 2001 2002*Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%)

Rincian

Total Ekspor 199.771 100,0 175.610 100,0 172.032 100,0 226.385 100,0 195.480 100,0Pertanian 5.936 3,0 5.395 3,1 4.467 2,6 4.579 2,0 4.220 2,2

Kayu 489 0,2 679 0,4 685 0,4 849 0,4 952 0,5Getah karet 1.584 0,8 1.544 0,9 1.410 0,8 1.554 0,7 1.288 0,7Kopi 411 0,2 362 0,2 363 0,2 270 0,1 222 0,1Teh 113 0,1 107 0,1 109 0,1 96 0,0 91 0,0Lada 45 0,0 35 0,0 67 0,0 54 0,0 64 0,0Tembakau 114 0,1 78 0,0 32 0,0 46 0,0 57 0,0Tapioka 211 0,1 300 0,2 161 0,1 173 0,1 109 0,1Hewan & hasilnya 949 0,5 819 0,5 664 0,4 567 0,3 649 0,3- Udang 165 0,1 164 0,1 182 0,1 147 0,1 180 0,1Kulit 13 0,0 38 0,0 11 0,0 10 0,0 11 0,0Lainnya 2.007 1,0 1.433 0,8 965 0,6 960 0,4 777 0,4

Mineral 154.226 77,2 116.809 66,5 125.015 72,7 174.330 77,0 142.392 72,8Timah 49 0,0 47 0,0 46 0,0 70 0,0 74 0,0Tembaga 2.946 1,5 2.261 1,3 3.144 1,8 3.110 1,4 3.492 1,8Nikel 1.409 0,7 2.008 1,1 1.918 1,1 2.414 1,1 18.003 9,2Aluminium 1.076 0,5 1.125 0,6 1.204 0,7 1.318 0,6 1.471 0,8Batu bara 52.411 26,2 53.899 30,7 59.742 34,7 68.496 30,3 69.021 35,3Lainnya 96.335 48,2 57.469 32,7 58.961 34,3 98.922 43,7 50.331 25,7

Industri 39.609 19,8 49.307 28,1 42.550 24,7 47.476 21,0 48.868 25,0Tekstil & produk tekstil 1.635 0,8 1.525 0,9 1.677 1,0 1.685 0,7 1.950 1,0- Pakaian jadi 414 0,2 333 0,2 351 0,2 347 0,2 379 0,2Kerajinan tangan 223 0,1 196 0,1 205 0,1 246 0,1 248 0,1Produk kayu 7.302 3,7 6.791 3,9 6.770 3,9 6.242 2,8 6.660 3,4- Kayu lapis 5.157 2,6 4.302 2,4 3.970 2,3 3.668 1,6 3.792 1,9Produk rotan 14 0,0 114 0,1 130 0,1 110 0,0 126 0,1Minyak sawit 1.700 0,9 3.600 2,0 4.521 2,6 5.728 2,5 4.153 2,1Bungkil kopra 984 0,5 983 0,6 1.225 0,7 1.309 0,6 854 0,4Produk kimia 6.883 3,4 5.378 3,1 5.916 3,4 5.604 2,5 5.914 3,0Produk logam 3.391 1,7 3.191 1,8 1.515 0,9 1.667 0,7 2.042 1,0Barang-barang listrik 381 0,2 437 0,2 692 0,4 689 0,3 753 0,4Semen 3.736 1,9 7.383 4,2 7.292 4,2 10.190 4,5 12.268 6,3Kertas 5.585 2,8 9.048 5,2 5.048 2,9 4.626 2,0 5.560 2,8Produk karet 203 0,1 209 0,1 279 0,2 264 0,1 246 0,1Gelas dan alat dari gelas 957 0,5 1.555 0,9 960 0,6 807 0,4 1.580 0,8Alas kaki 173 0,1 165 0,1 157 0,1 148 0,1 142 0,1Produk plastik 1.244 0,6 1.045 0,6 1.195 0,7 1.006 0,4 1.356 0,7Mesin & psw. mekanik 763 0,4 166 0,1 288 0,2 278 0,1 330 0,2Lainnya 4.435 2,2 7.156 4,1 4.680 2,7 6.877 3,0 4.686 2,4

314

Lampiran

Tabel 20Nilai Ekspor Nonmigas menurut Negara Tujuan

(Juta $)

1998 1999 2000 2001 2002*Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%)

Afrika 904 2,1 1.032 2,5 1.157 2,3 1.120 2,5 1.085 2,4Amerika 7.815 18,2 7.679 18,7 9.993 19,9 8.753 19,5 8.637 19,1

Amerika Serikat 6.383 14,9 6.297 15,4 8.463 16,8 7.385 16,5 7.319 16,2Amerika Latin 459 1,1 429 1,0 626 1,2 557 1,2 554 1,2Kanada 409 1,0 346 0,8 446 0,9 405 0,9 369 0,8Lain-lain 564 1,3 607 1,5 458 0,9 406 0,9 395 0,9

Asia 24.831 57,8 23.573 57,5 28.579 56,8 25.219 56,3 25.718 56,8ASEAN 8.723 20,3 7.982 19,5 9.748 19,4 8.555 19,1 8.811 19,5

Brunei 43 0,1 26 0,1 24 0,0 29 0,1 32 0,1Malaysia 1.358 3,2 1.388 3,4 1.861 3,7 1.706 3,8 1.887 4,2Filipina 608 1,4 646 1,6 861 1,7 807 1,8 783 1,7Singapura 5.798 13,5 4.998 12,2 6.073 12,1 5.058 11,3 5.123 11,3Thailand 916 2,1 923 2,3 928 1,8 955 2,1 986 2,2

Hongkong 2.037 4,7 1.400 3,4 1.574 3,1 1.267 2,8 1.186 2,6India 782 1,8 807 2,0 1.088 2,2 981 2,2 1.166 2,6Irak 45 0,1 63 0,2 95 0,2 89 0,2 26 0,1Jepang 5.964 13,9 5.791 14,1 7.844 15,6 6.934 15,5 6.256 13,8Korea Selatan 1.166 2,7 1.287 3,1 1.710 3,4 1.634 3,6 1.795 4,0Myanmar 175 0,4 101 0,2 64 0,1 66 0,1 54 0,1Pakistan 152 0,4 151 0,4 148 0,3 182 0,4 241 0,5RRC 1.320 3,1 1.486 3,6 1.828 3,6 1.573 3,5 2.060 4,6Arab Saudi 476 1,1 428 1,0 535 1,1 477 1,1 464 1,0Taiwan 1.288 3,0 1.234 3,0 1.487 3,0 1.228 2,7 1.177 2,6Lain-lain 2.702 6,3 2.846 6,9 2.458 4,9 2.232 5,0 2.483 5,5

Australia/Oceania 910 2,1 1.058 2,6 1.080 2,1 1.029 2,3 1.365 3,0

Eropa 8.491 19,8 7.645 18,7 9.532 18,9 8.683 19,4 8.448 18,7MEE 7.474 17,4 6.744 16,5 8.774 17,4 7.719 17,2 7.363 16,3

Belanda 1.488 3,5 1.464 3,6 1.895 3,8 1.639 3,7 1.469 3,2Belgia dan Luxemburg 773 1,8 687 1,7 892 1,8 730 1,6 776 1,7Inggris 1.120 2,6 1.175 2,9 1.575 3,1 1.594 3,6 1.454 3,2Italia 729 1,7 605 1,5 708 1,4 605 1,3 598 1,3Jerman 1.458 3,4 1.217 3,0 1.435 2,9 1.277 2,9 1.235 2,7Perancis 545 1,3 506 1,2 730 1,5 598 1,3 611 1,3Lainnya 1.360 3,2 1.090 2,7 1.540 3,1 1.275 2,8 1.220 2,7

Bekas Uni Soviet 67 0,2 49 0,1 81 0,2 60 0,1 67 0,1Eropa Timur Lain-lain 310 0,7 232 0,6 243 0,5 237 0,5 301 0,7Lain-lain 640 1,5 621 1,5 433 0,9 667 1,5 717 1,6

TOTAL 42.951 100,0 40.987 100,0 50.341 100,0 44.805 100,0 45.253 100,0

Benua/negara

315

Lampiran

Tabel 21Nilai Impor Nonmigas Menurut Negara Tujuan (C&F)

(Juta $)

1998 1999 2000 2001 2002*Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%)

Afrika 399 1,2 458 1,6 496 1,3 540 1,7 390 1,3Amerika 5.841 18,2 5.213 18,0 6.086 16,4 4.943 15,8 4.340 14,3

Amerika Serikat 3.482 10,8 3.817 13,2 4.362 11,8 3.926 12,5 3.229 10,6Amerika Latin 462 1,4 726 2,5 722 1,9 469 1,5 557 1,8Kanada 468 1,5 601 2,1 868 2,3 486 1,6 512 1,7Lain-lain 1.428 4,4 70 0,2 133 0,4 61 0,2 42 0,1

Asia 15.857 49,3 15.459 53,3 20.996 56,6 17.657 56,4 17.916 59,0ASEAN 2.646 8,2 4.194 14,5 5.077 13,7 4.675 14,9 4.693 15,4

Brunei 2 0,0 2 0,0 2 0,0 2 0,0 2 0,0Malaysia 380 1,2 679 2,3 906 2,4 882 2,8 948 3,1Filipina 77 0,2 91 0,3 159 0,4 122 0,4 142 0,5Singapura 1.320 4,1 2.189 7,6 2.613 7,0 2.414 7,7 2.221 7,3Thailand 867 2,7 1.233 4,3 1.397 3,8 1.255 4,0 1.380 4,5

Hongkong 260 0,8 349 1,2 488 1,3 326 1,0 293 1,0India 286 0,9 403 1,4 627 1,7 638 2,0 794 2,6Irak 3 0,0 0 0,0 0 0,0 3 0,0 0 0,0Jepang 4.641 14,4 4.472 15,4 7.094 19,1 5.298 16,9 5.500 18,1Korea Selatan 1.356 4,2 1.753 6,0 2.474 6,7 2.264 7,2 1.790 5,9Myanmar 10 0,0 26 0,1 29 0,1 26 0,1 46 0,2Pakistan 140 0,4 125 0,4 73 0,2 89 0,3 61 0,2RRC 981 3,1 1.712 5,9 2.414 6,5 2.086 6,7 2.600 8,6Arab Saudi 117 0,4 203 0,7 301 0,8 264 0,8 211 0,7Taiwan 974 3,0 1.170 4,0 1.718 4,6 1.430 4,6 1.283 4,2Lain-lain 4.443 13,8 1.053 3,6 700 1,9 557 1,8 644 2,1

Australia/Oceania 1.785 5,6 2.139 7,4 2.558 6,9 2.386 7,6 2.114 7,0

Eropa 8.256 25,7 5.727 19,8 6.950 18,7 5.803 18,5 5.628 18,5MEE 5.456 17,0 4.561 15,7 5.255 14,2 4.543 14,5 4.281 14,1

Belanda 349 1,1 489 1,7 611 1,6 440 1,4 446 1,5Belgia dan Luxemburg 256 0,8 251 0,9 395 1,1 270 0,9 247 0,8Inggris 861 2,7 769 2,7 934 2,5 757 2,4 526 1,7Italia 528 1,6 362 1,3 455 1,2 522 1,7 566 1,9Jerman 2.652 8,3 1.758 6,1 1.727 4,7 1.644 5,2 1.648 5,4Perancis 564 1,8 513 1,8 648 1,7 517 1,6 523 1,7Lainnya 246 0,8 418 1,4 485 1,3 392 1,3 324 1,1

Bekas Uni Soviet 166 0,5 188 0,6 319 0,9 210 0,7 226 0,7Eropa Timur Lain-lain 74 0,2 64 0,2 65 0,2 57 0,2 92 0,3Lain-lain 2.560 8 914 3,2 1.312,4 3,5 992,6 3,2 1.030 3,4

TOTAL 32.137 100 28.997 100 37.087 100 31.328 100 30.388 100,0

Benua/negara

316

Lampiran

Nilai Ekspor2)

Minyak Bumi dan hasilnya 4.141 5.680 7.954 6.921 6.679

Gas

- LNG 3.046 4.207 6.756 5.270 5.728

- LPG 233 369 356 369 310

Total 7.420 10.256 15.066 12.560 12.717

Volume Ekspor

Minyak Bumi dan hasilnya (juta barel) 340 336 291 297 275

Gas

- LNG (juta MMBTU)3) 1.384 1.511 1.400 1.222 1.377

- LPG (ribuan Mton) 1.620 1.865 1.215 1.458 1.297

1) Nilai fob Sistem klasifikasi barang berubah dari sistem CCN ke HS sehingga beberapa barang ekspor mengalami pergeserandalam pengelompokannya

2) Terdiri atas minyak mentah dan hasil-hasil minyak dalam juta $3) MMBTU : Million British Thermal Unit

Tabel 22

Ekspor Migas 1)

Negara 1998 1999 2000 2001 20021)

317

Lampiran

1998 101.197 17,5 476.184 82,5 577.381 62,3 4,91998/1999 105.705 17,5 497.620 82,5 603.325 34,1 4,51999 4) 124.633 19,3 521.572 80,7 646.205 11,9 -0,92000 162.186 21,7 584.842 78,3 747.028 15,6 8,82001

Maret 148.375 19,3 618.437 80,7 766.812 16,8 2,6Juni 160.142 20,1 636.298 79,9 796.440 16,4 3,9September 164.237 21,0 618.867 79,0 783.104 14,1 -1,7Desember 177.731 21,1 666.323 78,9 844.053 13,0 7,8

2002Januari 166.769 19,9 671.253 80,1 838.022 13,4Februari 168.643 20,1 668.517 79,9 837.160 10,8Maret 166.173 20,0 665.238 80,0 831.411 8,4 -1,5April 169.002 20,4 659.276 79,6 828.278 4,6Mei 168.257 20,2 664.827 79,8 833.084 5,7Juni 174.017 20,8 664.618 79,2 838.635 5,3 0,9Juli 173.524 20,3 679.194 79,7 852.718 10,6Agustus 175.966 20,5 680.869 79,5 856.835 10,7September 181.791 21,1 677.915 78,9 859.706 9,8 2,5Oktober 181.667 21,1 681.343 78,9 863.010 6,7November 196.537 22,6 673.509 77,4 870.046 5,9Desember 191.939 21,7 691.969 78,3 883.908 4,7 2,8

Tabel 23Uang Beredar(Miliar rupiah)

M11) Uang Kuasi2) M23)

Akhir Periode Posisi Pangsa Posisi Pangsa Posisi Perubahan (%)(%) (%) Tahunan Triwulanan

1) Terdiri atas uang kartal dan uang giral2) Terdiri atas deposito berjangka dan tabungan, dalam rupiah dan valuta asing serta giro valuta asing milik penduduk3) Terdiri atas uang beredar dalam arti sempit (M1) dan uang kuasi4) Data statistik Bank Beku Operasional telah dikeluarkan (7 Bank sejak April 1998, 3 bank sejak Agustus 1998, dan 38 bank sejak Maret 1999)

318

Lampiran

Uang BeredarM2M1

KartalGiral

Kuasi 1)

Faktor yang MempengaruhiAktiva Luar Negeri BersihTagihan Kepada Pemerintah BersihTagihan Bersih kepada BPPNTagihan Kepada Sektor Swasta

Tagihan Kepada Lembaga/ Perusahaan PemerintahTagihan Kepada Perusahaan Swasta dan Perorangan

Aktiva Lainnya Bersih

1) Terdiri atas deposito berjangka dan tabungan dalam rupiah maupun valuta asing serta giro valuta asing milik penduduk

Tabel 24Perubahan Uang Beredar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

(Miliar rupiah)

2002R i n c i a n 1998 1999 2000 2001 2002

I II III IV

221.738 68.824 100.823 97.026 39.854 -12.642 7.224 21.071 24.202 22.854 23.436 37.553 15.545 14.208 -11.558 7.844 7.774 10.148 12.970 16.959 14.018 3.971 4.344 -6.626 2.259 782 7.929 9.884 6.477 23.535 11.574 9.864 -4.932 5.585 6.992 2.219 198.884 45.388 63.270 81.481 25.646 -1.085 -620 13.297 14.054

73.692 -12.581 81.637 23.242 16.721 -12.740 -14.875 32.500 11.836 17.513 425.287 123.060 9.389 -19.355 14.950 -4.954 -10.052 -19.300 29.693 -29.693 - - - - - - - 99.421 -299.689 42.347 34.233 60.143 -5.614 9.567 30.547 25.643

6.389 -8.139 -4.505 3.910 4.689 -1.521 3.485 1.987 738

93.032 -291.550 46.852 30.323 55.454 -4.093 6.082 28.560 24.905 1.419 -14.500 -146.221 30.162 -17.655 -9.238 17.487 -31.924 6.023

319

Lampiran

Bank Persero1 Bulan 41,24 13,23 12,52 5,44 12,05 6,37 16,59 4,95 12,84 2,633 Bulan 48,69 13,70 13,19 5,45 13,33 6,59 17,47 5,36 13,65 2,736 Bulan 35,17 8,14 14,44 7,94 13,42 6,17 16,55 5,67 13,86 2,71

12 Bulan 28,75 12,61 23,14 8,91 12,48 6,24 15,81 5,95 15,67 3,3224 Bulan 16,01 14,87 18,53 14,87 14,32 10,23 18,06 6,34 18,05 5,57

Bank Swasta Nasional1 Bulan 41,88 12,72 12,14 5,34 12,05 6,07 15,83 4,05 12,90 2,323 Bulan 50,24 10,64 12,66 5,68 13,20 6,43 16,94 4,90 13,77 2,676 Bulan 33,34 10,21 13,55 7,98 13,16 6,23 15,58 5,32 13,91 2,73

12 Bulan 26,16 11,49 17,07 16,63 11,50 11,39 14,74 5,70 14,73 3,2524 Bulan 22,85 14,91 17,59 8,02 14,22 8,14 17,22 6,27 17,18 6,23

Bank Pemerintah Daerah1 Bulan 42,05 12,99 12,20 5,09 11,39 4,97 15,04 5,05 12,81 2,483 Bulan 45,35 10,99 12,51 6,19 12,92 4,56 15,98 4,71 13,56 2,656 Bulan 29,46 10,43 13,46 5,18 12,94 5,13 15,61 5,48 14,14 4,17

12 Bulan 23,91 12,94 16,17 5,67 11,43 5,05 14,99 5,37 14,44 3,5024 Bulan 14,03 .. . 13,73 .. . 13,44 .. . 17,42 .. . 17,72 …

Bank Asing & Campuran1 Bulan 33,07 4,71 9,46 4,08 9,73 4,61 12,96 1,92 10,50 1,863 Bulan 40,84 4,71 9,24 4,03 11,21 4,81 12,35 2,00 9,89 1,926 Bulan 44,42 5,15 9,05 4,31 8,13 4,12 11,63 2,58 9,66 2,39

12 Bulan 31,74 5,17 13,46 4,67 8,51 5,09 12,99 3,40 11,68 2,4024 Bulan 15,57 3,59 11,67 4,00 13,00 6,05 8,72 2,53 15,97 3,21

Bank Umum1 Bulan 41,42 12,11 12,24 5,15 11,96 5,94 16,07 4,18 12,81 2,443 Bulan 49,23 10,73 12,95 5,24 13,24 6,11 17,24 4,35 13,63 2,656 Bulan 36,78 8,22 14,25 7,85 13,31 5,72 16,18 5,12 13,79 2,70

12 Bulan 28,29 11,66 22,35 9,11 12,17 7,86 15,48 5,62 15,28 3,2424 Bulan 16,61 14,71 18,38 14,63 14,32 9,47 18,05 6,32 18,02 5,28

Tabel 25Suku Bunga Deposito dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Kelompok Bank 1)

(Persen per tahun)

Jangka WaktuRupiah Valas Rupiah Valas Rupiah Valas Rupiah Valas Rupiah Valas

Desember 1998 Desember 1999 Desember 2000 Desember 2001 Desember 2002

1) Rata-rata tertimbang pada akhir periode

320

Lampiran

1998 Januari - Desember 13.624 63,141999 Januari - Desember 4.411 23,792000 Januari - Desember 2.272 10,462001 Januari - Desember 3.194 14,56

1998 Januari - Maret 14.309 57,36April - Juni 15.148 66,38Juli - September 15.884 74,13Oktober - Desember 9.154 54,68

1999 Januari - Maret 5.165 39,57April - Juni 5.254 29,70Juli - September 3.393 13,44Oktober - Desember 3.831 12,43

2000 Januari - Maret 1.806 9,50April - Juni 1.916 10,03Juli - September 2.488 10,89Oktober - Desember 2.877 11,43

2001 Januari - Maret 3.071 12,71April - Juni 3.106 14,45Juli - September 3.335 15,15Oktober - Desember 3.264 15,93

2002 1) Januari 3.168 15,67Februari 4.234 17,18Maret 3.816 15,70Januari - Maret 3.739 16,18April 3.825 15,69Mei 3.838 15,05Juni 3.969 14,83April - Juni 3.878 15,19Juli 3.437 14,51Agustus 3.921 13,73September 4.060 12,43Juli - September 3.806 13,56Oktober 4.005 12,80November 3.386 11,46Desember 3.332 11,31Oktober - Desember 3.574 11,86

Tabel 26Pasar Uang Antarbank di Jakarta

(Rata-rata Volume Transaksi PUAB Pagi & Sore Berbagai Tenor) 1)

Akhir periode

1) Angka rata-rata harian

Nilai Transaksi(Miliar Rupiah)

Suku Bunga Rata-Rata Tertimbang (Persen per Tahun)

321

Lampiran

Bank Persero1 Bulan 37,96 12,04 13,26 15,33 16,22 16,48 16,19 13,99 13,29 12,913 Bulan 36,94 12,95 13,05 14,99 16,26 17,51 17,19 16,58 14,34 13,266 Bulan 28,13 11,62 11,36 14,84 15,15 14,25 17,49 17,12 15,30 15,06

12 Bulan 23,60 11,66 12,04 14,89 15,88 16,03 16,18 16,16 15,81 14,7224 Bulan 14,22 11,50 13,70 16,30 16,28 16,28 16,29 16,33 16,83 15,05

Bank Swasta Nasional1 Bulan 38,77 12,59 14,20 14,50 16,76 17,28 17,11 15,85 14,52 13,763 Bulan 39,53 11,81 12,93 14,35 15,49 16,81 17,07 16,28 15,25 13,756 Bulan 32,62 13,24 14,16 14,81 15,34 15,77 16,69 17,01 16,08 15,24

12 Bulan 52,40 12,12 12,73 12,81 17,19 17,62 17,44 17,45 13,97 14,6524 Bulan 30,00 - - - - - - - - -

Bank Pemerintah Daerah1 Bulan 31,90 11,26 11,98 13,95 14,69 15,85 16,38 14,98 14,00 12,163 Bulan 35,48 13,88 15,62 15,78 17,24 18,19 18,09 16,92 15,03 14,236 Bulan 26,26 12,00 12,00 12,49 12,50 - - - 15,00 15,00

12 Bulan 25,21 13,81 13,83 14,60 14,54 13,00 15,46 15,92 14,77 15,6824 Bulan 14,50 - - - - - - - - -

Bank Asing & Campuran1 Bulan 48,41 9,43 10,05 10,63 10,93 11,90 - - - -3 Bulan 34,00 9,70 10,06 11,43 12,43 13,78 - - - -6 Bulan 35,50 8,28 8,64 8,70 9,00 10,24 - - - -

12 Bulan - 7,90 8,20 8,33 8,38 8,40 - - - -24 Bulan - - - - - - - - - -

Bank Umum1 Bulan 39,57 12,47 14,09 14,60 16,55 16,81 16,75 15,73 14,45 13,573 Bulan 38,68 11,83 12,89 14,40 15,58 16,97 17,12 16,41 14,99 13,676 Bulan 30,89 12,00 12,00 14,81 15,18 14,65 17,39 17,09 15,39 15,07

12 Bulan 28,77 12,11 12,65 13,97 16,39 16,50 16,52 16,49 15,68 14,7224 Bulan 14,53 11,50 13,70 16,30 16,28 16,28 16,29 16,33 16,33 15,05

Jangka Waktu

1) Rata-rata tertimbang pada akhir periode

Tabel 27Tingkat Diskonto Sertifikat Deposito Rupiah menurut Kelompok Bank 1)

(Persen per tahun)

1999 2000 2001 2002

Desember Desember Maret Juni September Desember Maret Juni September Desember

322

Lampiran

Tabel 28Penerbitan, Pelunasan, dan Posisi Sertifikat Bank Indonesia (SBI)

(Miliar rupiah)

Akhir Periode Penerbitan Pelunasan Posisi1)

Januari - Desember 1998 735.844 700.182 42.765Januari - Desember 1999 711.542 691.408 62.899Januari - Desember 2000 928.944 937.212 59.781Januari - Desember 2001 970.380 974.669 900.128

2002Januari 115.374 66.731 104.385Februari 95.005 95.621 103.769Maret 84.089 87.670 100.188April 84.146 89.451 94.883Mei 100.496 93.673 101.706Juni 83.004 82.129 102.581Juli 81.778 84.520 99.839Agustus 97.668 98.751 98.756September 73.122 74.101 97.777Oktober 93.556 97.423 93.910November 63.425 71.617 85.718Desember 53.157 60.000 78.484

Keterangan :Penerbitan SBI dimulai pada bulan Februari 1984, dan sejak Juli 1998 penjualan SBI dilakukan melalui lelang dengan sistem SOR (Stop Out Rate)1) Angka rata-rata harian

323

Lampiran

Tabel 29Tingkat Diskonto SBI1)

(Persen per tahun)

Periode 7 hari 14 hari 28 hari 90 hari 180 hari 360 hari

1998Maret 29,24 - 27,75 - - -Juni - 52,81 58,00 - - -September - - 68,76 - - -Desember - - 38,44 39,00 - -

1999Maret - - 37,84 38,00 - -Juni - - 22,05 23,75 - -September - - 13,02 13,25 - -Desember - - 12,51 12,75 - -

2000 - - 11,03 11,00 - -Maret - - 11,74 11,09 - -Juni - - 13,62 13,32 - -September - - 14,53 14,31 - -Desember

2001Maret 15,16 14,94Juni 16,52 16,28September 17,65 17,56Desember 17,62 17,63

2002Januari - - 17,09 17,43 - -Februari - - 16,86 17,01 - -Maret - - 16,76 16,89 - -April - - 16,61 16,75 - -Mei - - 15,51 16,29 - -Juni - - 15,11 15,18 - -Juli - - 14,93 15,00 - -Agustus - - 14,35 14,93 - -September - - 13,22 14,11 - -Oktober - - 13,10 13,12 - -November - - 13,06 13,12 - -Desember - - 13,02 13,12 - -

1) Rata-rata tertimbang

324

Lampiran

Tabel 30Transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) antara

Bank Indonesia dan Bank-bank(Miliar rupiah)

Periode Pembelian Pelunasan Posisi

1998Januari - Maret 257.109 256.474 4.090April - Juni 42.929 46.873 146Juli - September 24.136 24.057 227Oktober - Desember 1.342 550 1.018

1999Januari - Maret 1.018 1.018 1.018April - Juni 0 0 1.018Juli - September 0 0 1.018Oktober - Desember 644 1.662 0

2000Januari - Maret 0 0 0April - Juni 0 0 0Juli - September 0 0 0Oktober - Desember 0 0 0

2001Januari - Maret 112 112 0April - Juni 22 22 0Juli - September 0 0 0Oktober - Desember 8 8 0

2002Januari 0 0 0Februari 0 0 0Maret 0 0 0April 0 0 0Mei 0 0 0Juni 0 0 0Juli 0 0 0Agustus 0 0 0September 0 0 0Oktober 0 0 0November 0 0 0Desember 0 0 0

325

Lampiran

Pendapatan Negara dan Hibah 156.470 187.819 205.334 301.078 301.874 300.188 336.156Penerimaan Dalam Negeri 156.409 187.819 205.334 300.600 301.874 299.887 336.156

Penerimaan Perpajakan 102.395 125.951 115.912 185.541 219.627 210.954 254.140Pajak dalam negeri 95.459 120.915 108.884 175.974 207.029 200.325 241.742

PPh 55.944 72.729 57.073 94.576 104.497 101.675 120.925Nonmigas 55.944 59.683 38.421 71.474 88.815 84.460 106.149Migas - 13.046 18.652 23.102 15.682 17.215 14.776

PPN 27.803 33.087 35.232 55.957 70.100 65.853 80.790PBB 3.504 3.525 5.246 5.924 6.357 7.524Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan• 523 604 931 1.417 2.205 1.629 2.402Cukai 7.733 10.381 11.287 17.394 22.353 23.341 27.946Pajak lainnya 413 611 837 1.384 1.950 1.470 2.157

Pajak perdagangan internasional 6.936 5.036 7.028 9.567 12.599 10.629 12.398Bea masuk 2.306 4.177 6.697 9.026 12.249 10.399 11.960Pajak ekspor 4.630 859 331 541 350 230 438

Penerimaan bukan pajak 54.014 61.868 89.422 115.059 82.247 88.933 82.015Penerimaan Sumber Daya Alam 41.368 45.435 76.290 85.672 63.195 65.222 59.396

Minyak bumi 25.957 - 50.953 58.950 44.013 47.689 39.911Gas alam 15.411 - 15.708 22.091 14.524 12.325 16.285

SDA lainnya - - 9.629 4.631 4.658 5.208 3.201Pertambangan umum - - 857 2.320 1.340 1.850 1.483Kehutanan - - 8.719 2.243 3.026 3.155 1.268Perikanan - - 53 68 292 203 450

Bagian laba BUMN• 3.428 5.430 4.018 8.837 10.351 9.760 10.414PNBP 9.217 11.002 9.114 20.550 8.700 13.951 12.206

Hibah 62 - - 478 - 301 -Belanja Negara 172.669 231.879 221.467 341.563 344.009 327.863 370.591

Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 146.020 201.943 188.392 260.508 246.040 229.341 253.714Pengeluaran Rutin 103.261 156.756 162.577 218.923 193.741 189.069 188.584

Belanja Pegawai 23.216 32.719 29.613 38.713 41.298 39.687 50.240Gaji dan pensiun 18.657 27.010 25.005 34.003 41.437Tunjangan beras 1.245 1.822 1.521 1.412 1.575Uang makan/lauk-pauk 1.547 2.567 2.606 2.832 3.460Lain-lain belanja pegawai dalam negeri 1.073 1.294 443 1.550 2.230Belanja pegawai luar negeri 695 25 38 1.502 1.539

Belanja barang 9.862 10.765 9.605 9.931 12.863 12.433 15.427Belanja barang dalam negeri 8.888 9.784 9.500 11.707 14.236 Belanja barang luar negeri 974 980 104 1.156 1.191

Pembayaran bunga utang 32.864 42.910 50.068 87.142 88.500 89.868 81.975Utang dalam negeri 8.385 22.230 31.238 58.197 59.525 64.461 55.180Utang luar negeri 24.480 20.679 18.830 28.945 28.975 25.406 26.795

Subsidi 34.614 65.916 62.745 77.443 41.586 40.006 25.465Subsidi BBM 28.607 40.923 53.810 68.381 30.377 31.162 13.210Subsidi non BBM 6.008 24.993 8.936 9.063 11.209 8.845 12.255

Pengeluaran rutin lainnya 2.703 4.446 10.546 5.694 9.494 7.076 15.476Pengeluaran Pembangunan 42.759 45.187 25.815 41.585 52.299 40.271 65.130

Pembiayaan rupiah 16.578 20.804 8.845 21.371 26.469 27.639 46.230Pembiayaan proyek 26.181 24.383 16.970 20.214 25.830 12.632 18.900

Anggaran Belanja untuk Daerah 26.650 29.936 33.075 81.054 97.969 98.522 116.878Dana Perimbangan 26.650 29.936 33.075 81.054 94.532 94.763 107.491

Dana bagi hasil 3.703 3.993 4.268 20.008 24.600 24.992 27.896Dana alokasi umum 4) 22.947 25.943 28.807 60.346 69.114 69.135 76.978Dana alokasi khusus - - - 701 817 636 2.617

Dana otonomi khusus dan penyeimbang - - - - 3.437 3.759 9.387

Tabel 31Pendapatan dan Belanja Negara

(Miliar rupiah)

R i n c i a n

1) Perhitungan Anggaran Negara (PAN)2) APBN yang telah disetujui DPR3) Realisasi sementara periode 1 Januari sd 31 Desember 2002 (belum diaudit)4) s.d. TA.2000 terdiri atas Dana Rutin Daerah dan Dana Pembangunan DaerahSumber: Departemen Keuangan

1998/99 1) 1999/00 1) 2000 1) 2001 1) 2002 2003 APBN 2) Realisasi 3) APBN 2)

326

Lampiran

Tabel 32Pengeluaran Pemerintah

(miliar rupiah)

I . Pembiayaan Dalam Negeri -4.799 14.672 5.937 30.218 23.501 20.561 22.4501. Perbankan dalam negeri (SILPA/SIKPA) 4) -6.433 -1.941 -12.964 -1.227 - -4.713 8.5002. Non perbankan dalam negeri 1.634 16.613 18.900 31.445 23.501 25.274 13.950

a. Privatisasi 1.634 3.727 - 3.465 3.952 7.665 8.000b. Penjualan aset program restrukturisasi - 12.886 18.900 27.980 19.549 19.549 18.000c . Obligasi negara, neto - - - 0 - -1.939 -12.050

i. Penerbitan obligasi pemerintah - - - 0 3.931 1.991 7.700ii. Pembayaran cicilan pokok

utang/obligasi DN - - - - -3.931 -3.931 -19.750

I I . Pembiayaan Luar Negeri, neto 20.998 29.388 10.196 10.267 18.630 7.116 11.9861. Penarikan pinjaman luar negeri, bruto 51.045 49.584 17.818 26.152 35.360 19.374 29.250

Pinjaman program 24.926 25.201 849 6.416 9.530 7.042 10.350Pinjaman proyek 26.119 24.383 16.970 19.736 25.830 12.332 18.900

2. Pembayaran cicilan pokok utangluar negeri (amortisasi) -30.047 -20.196 -7.623 -15.885 -16.730 -12.259 -17.264

Pembiayaan Bersih 16.199 44.060 16.132 40.485 42.131 29.162 34.436

1) Perhitungan Anggaran Negara (PAN)2) APBN yang telah disetujui DPR3) Realisasi sementara periode 1 Januari sd 31 Desember 20024) Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) / Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SIKPA)Sumber: Departemen Keuangan

Tabel 32Pembiayaan(Miliar rupiah)

R i n c i a n1998/99 1) 1999/00 1) 2000 1) 2001 1) 2002 2003

APBN 2) Realisasi 3) APBN 2)

327

Lampiran

Tabel 33Penghimpunan Dana oleh Bank Umum 1)

(Miliar rupiah)

G i r o Deposito

Dalam Dalam Sub Dalam Dalam SubRupiah Valas Jumlah Rupiah2) Valas Valas

Tabungan JumlahAkhir periode

1998 58.067 39.351 97.418 303.016 103.782 406.798 69.308 573.5241998/1999 60.002 47.244 107.246 303.022 109.778 412.800 79.453 599.4991999 68.456 47.110 115.566 301.431 85.640 387.071 122.981 625.6182000 104.539 70.969 175.508 296.885 93.658 390.543 154.328 720.3792001

Maret 102.113 64.116 166.228 321.209 99.132 420.340 153.385 739.953Juni 107.089 68.126 175.214 315.199 111.614 426.814 160.826 762.854September 109.021 56.781 165.802 323.337 92.225 415.562 163.278 744.642Desember 123.840 66.478 190.318 348.257 97.940 446.196 172.613 809.127

2002Januari 114.802 66.363 181.165 357.143 96.687 453.830 167.888 802.883Februari 115.750 65.139 180.888 355.693 96.706 452.399 166.387 799.675Maret 113.974 63.419 177.393 358.238 94.198 452.436 165.022 794.851April 117.676 63.329 181.004 357.400 89.547 446.947 166.227 794.178Mei 115.753 58.554 174.307 360.883 90.242 451.125 166.992 792.424Juni 119.612 60.044 179.657 362.710 82.686 445.395 171.507 796.559Juli 119.958 67.033 186.991 364.857 85.873 450.730 174.299 812.019Agustus 120.498 63.362 183.860 371.503 87.820 459.323 172.205 815.388September 125.567 69.470 195.037 368.091 86.441 454.532 174.814 824.384Oktober 125.866 73.988 199.854 366.324 86.436 452.760 178.503 831.117November 127.769 74.226 201.995 361.057 81.450 442.507 180.767 825.269Desember 130.877 73.189 204.067 365.771 81.710 447.480 193.468 845.015

1) Termasuk dana milik pemerintah dan bukan penduduk2) Termasuk sertifikat deposito

328

Lampiran

Bank Persero Bank Swasta Nasional Bank Pemerintah Daerah Bank Asing & Campuran J u m l a h

Tabel 34Giro dalam Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum

menurut Kelompok Bank(Miliar rupiah)

1998 24.751 8.476 33.227 23.151 13.447 36.598 4.895 13 4.908 5.270 17.415 22.685 58.067 39.351 97.418

1998/1999 28.271 11.624 39.895 21.921 14.255 36.176 4.374 12 4.386 5.436 21.353 26.789 60.002 47.244 107.246

1999 25.407 12.483 37.890 26.866 15.792 42.658 7.055 15 7.070 9.128 18.820 27.948 68.456 47.110 115.566

2000 49.205 24.284 73.489 34.123 18.973 53.096 10.806 17 10.823 10.405 27.695 38.100 104.539 70.969 175.508

2001

Maret 43.822 12.893 56.715 34.133 20.914 55.048 15.083 23 15.106 9.074 30.286 39.360 102.113 64.116 166.229

Juni 44.526 12.442 56.968 34.728 25.398 60.126 19.539 15 19.554 8.296 30.269 38.565 107.088 68.125 175.213

September 45.145 10.539 55.684 34.546 20.872 55.418 20.810 15 20.825 8.520 25.355 33.875 109.021 56.781 165.802

Desember 54.256 14.430 68.686 38.099 24.270 62.369 22.775 21 22.797 8.710 27.756 36.466 123.840 66.478 190.318

2002

Januari 48.288 14.010 62.298 36.938 24.370 61.308 21.342 29 21.371 8.234 27.954 36.188 114.802 66.363 181.165

Februari 49.514 12.580 62.093 35.567 24.877 60.444 22.483 28 22.511 8.186 27.654 35.840 115.750 65.139 180.888

Maret 47.801 12.807 60.608 34.332 24.026 58.358 23.647 25 23.672 8.194 26.561 34.755 113.974 63.419 177.393

April 49.120 14.467 63.587 35.651 23.933 59.585 24.273 27 24.299 8.632 24.902 33.533 117.676 63.329 181.004

Mei 47.475 12.808 60.283 33.651 22.508 56.160 26.842 27 26.870 7.784 23.211 30.995 115.753 58.554 174.307

Juni 49.322 12.964 62.286 34.952 23.872 58.823 27.260 24 27.284 8.080 23.184 31.264 119.612 60.044 179.657

Juli 45.746 13.392 59.138 37.449 25.393 62.841 27.347 30 27.377 9.416 28.218 37.634 119.958 67.033 186.991

Agustus 45.463 13.844 59.307 37.177 24.865 62.042 28.674 27 28.701 9.184 24.626 33.810 120.498 63.362 183.860

September 48.067 21.328 69.396 39.622 23.651 63.273 28.848 31 28.879 9.030 24.460 33.490 125.567 69.470 195.037

Oktober 49.411 24.463 73.875 40.111 23.890 64.001 27.435 34 27.468 8.909 25.601 34.510 125.866 73.988 199.854

November 51.304 24.068 75.372 40.841 23.676 64.516 25.579 34 25.614 10.045 26.448 36.493 127.769 74.226 201.995

Desember 51.320 22.413 73.733 44.238 24.922 69.160 25.758 23 25.781 9.561 25.831 35.392 130.877 73.189 204.067

Dalam Dalam Sub Dalam Dalam Sub Dalam Dalam Sub Dalam Dalam Sub Dalam DalamRupiah Valas Jumlah Rupiah Valas Jumlah Rupiah Valas Jumlah Rupiah Valas Jumlah Rupiah Valas Jumlah

Akhir periode

329

Lampiran

1998 610 21.039 17.151 50.352 266.585 51.061 406.798

1998/1999 502 15.449 19.414 24.840 307.610 44.984 412.799

1999 436 14.742 35.244 42.125 243.645 50.879 387.071

2000 14.061 6.920 23.503 68.877 215.532 61.649 390.542

2001

Maret 14.038 7.767 23.174 75.696 236.772 62.894 420.340

Juni 14.395 9.451 23.644 66.928 249.025 63.371 426.814

September 14.847 10.553 20.258 75.042 231.910 62.953 415.562

Desember 18.882 13.533 17.903 77.768 242.685 75.425 446.196

2002

Januari 19.099 14.126 18.396 84.858 248.073 69.279 453.830

Februari 18.784 15.834 17.065 84.759 256.853 59.104 452.399

Maret 20.509 17.506 16.292 84.209 240.515 73.405 452.436

April 21.118 19.407 15.439 79.286 245.535 66.162 446.947

Mei 21.469 20.009 16.426 80.742 246.039 66.439 451.125

Juni 21.625 21.108 19.071 78.357 240.985 64.250 445.395

Juli 20.918 20.760 20.230 77.512 245.492 65.818 450.730

Agustus 21.973 22.180 20.347 74.992 246.882 72.949 459.323

September 21.275 22.740 21.277 73.443 250.739 65.059 454.532

Oktober 21.399 22.322 21.187 72.427 247.573 67.851 452.760

November 21.411 22.337 20.992 76.459 239.382 61.926 442.507

Desember 21.447 23.161 20.131 77.078 248.834 56.830 447.480

Akhir periode 24 bulan 12 bulan 6 bulan 3 bulan 1 bulan1) Lain-lain Jumlah

1) Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu

Tabel 35Simpanan Berjangka Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum

menurut Jangka Waktu(Miliar rupiah)

330

Lampiran

Tabel 36Simpanan Berjangka Rupiah pada Bank Umum

menurut Golongan Pemilik(Miliar rupiah)

Badan/ Perusahaan Perusahaan Perusahaan Yayasan Sub-Pemerintah lembaga asuransi negara swasta dan badan Koperasi Perorangan Lainnya jumlah

pemerintah sosial

Akhir periode JumlahBukan

penduduk

P e n d u d u k

1998 8.805 3.626 8.399 18.241 46.408 20.041 768 182.561 13.555 302.404 612 303.016

1998/1999 8.150 3.320 7.963 16.755 47.583 17.970 726 188.258 11.487 302.212 810 303.022

1999 11.268 4.713 11.916 20.463 46.883 20.188 953 173.785 10.165 300.334 1.097 301.431

2000 4.408 5.162 24.412 18.595 39.653 22.864 941 172.917 6.274 295.226 1.659 296.885

2001

Maret 6.343 5.320 26.722 21.707 40.385 26.143 2.244 187.611 3.758 320.233 975 321.209

Juni 6.559 6.017 25.154 16.746 40.117 30.118 1.755 184.916 2.575 313.958 1.243 315.200

September 7.622 5.783 23.028 14.275 39.665 28.616 1.715 198.439 2.769 321.914 1.424 323.338

Desember 7.729 8.761 23.547 13.331 50.718 28.255 893 208.994 2.586 344.812 3.444 348.257

2002

Januari 8.561 7.954 24.264 14.761 52.882 28.871 1.014 213.896 2.888 355.090 2.053 357.143

Februari 9.228 7.404 23.846 15.305 52.107 29.295 858 213.373 2.364 353.780 1.913 355.693

Maret 8.721 8.520 24.531 17.444 50.670 29.634 965 212.536 2.526 355.547 2.690 358.238

April 9.135 7.329 24.522 16.464 50.880 29.575 1.052 213.427 2.293 354.676 2.724 357.400

Mei 9.779 8.535 24.446 15.498 53.748 30.352 1.046 212.179 2.886 358.469 2.414 360.883

Juni 10.879 9.617 24.519 15.687 53.550 31.206 967 211.798 2.157 360.380 2.330 362.710

Juli 10.765 8.547 24.297 17.577 54.920 30.833 789 211.722 3.195 362.645 2.212 364.857

Agustus 11.304 15.239 26.024 15.864 54.554 30.526 1.252 212.022 2.287 369.072 2.431 371.503

September 11.102 10.747 26.746 17.299 54.181 30.845 1.204 211.397 2.113 365.635 2.456 368.091

Oktober 10.956 9.799 26.793 15.263 55.645 30.754 1.172 210.920 2.443 363.744 2.580 366.324

November 10.571 10.254 26.997 13.236 51.647 30.713 1.125 211.676 2.194 358.414 2.644 361.057

Desember 7.869 8.998 27.469 14.434 54.461 31.126 1.204 215.591 2.094 363.248 2.523 365.771

331

Lampiran

Tabel 37Sertifikat Deposito

(Miliar rupiah)

Akhir periode Bank Persero Selain Bank Persero Jumlah

1998 1.792 5.004 6.7961998/1999 829 2.825 3.6541999 491 2.156 2.6472000 410 3.215 3.6252001

Maret 441 3.297 3.739Juni 1.574 4.001 5.575September 1.945 3.855 5.799Desember 2.719 2.882 5.601

2002Januari 3.266 2.796 6.062Februari 3.151 2.526 5.678Maret 3.322 2.549 5.871April 2.986 2.403 5.389Mei 2.626 2.275 4.901Juni 2.067 1.826 3.894Juli 2.383 1.636 4.020Agustus 2.063 1.541 3.604September 1.960 1.574 3.534Oktober 2.047 1.375 3.422November 1.786 1.362 3.148Desember 1.768 1.397 3.165

332

Lampiran

1998 46.292 62.506 307 1.908 18.890 4.894 65.489 69.3081998/1999 45.442 72.328 222 2.047 18.549 5.078 64.213 79.4531999 66.926 115.945 161 855 17.437 6.181 84.524 122.9812000 65.041 152.388 355 755 1.298 1.185 66.694 154.328

2001Maret 86.571 151.593 564 984 626 806 87.761 153.383Juni 67.422 157.535 787 1.960 650 1.330 68.859 160.825September 67.007 161.323 963 1.022 752 933 68.722 163.278Desember 68.138 170.783 510 995 823 834 69.470 172.613

2002Januari 67.752 165.930 490 767 858 1.190 69.100 167.888Februari 68.020 164.460 513 918 852 1.008 69.385 166.387Maret 68.247 163.003 445 949 985 1.070 69.677 165.022April 68.062 164.072 629 1.224 845 931 69.535 166.227Mei 69.120 164.564 562 1.491 1020 937 70.702 166.992Juni 69.333 168.475 519 1.916 1229 1.116 71.081 171.507Juli 68.733 170.457 722 2.643 1184 1.199 70.639 174.299Agustus 69.381 170.139 777 1.077 1235 989 71.394 172.205September 69.804 172.856 559 933 1232 1.025 71.595 174.814Oktober 69.771 176.441 692 1.066 1120 996 71.583 178.503November 69.132 178.861 605 893 1068 1.013 70.805 180.767Desember 68.010 191.177 750 1.116 1028 1.175 69.789 193.468

Tabel 38Tabungan menurut Jenis pada Bank Umum

Penabung Posisi Penabung Posisi Penabung Posisi Penabung Posisi(ribu) (miliar Rp) (ribu) (miliar Rp) (ribu) (miliar Rp) (ribu) (miliar Rp)

Tabungan yangpenarikannya dapat

dilakukan sewaktu-waktu Tabungan berjangka Tabungan lainnya JumlahAkhir periode

333

Lampiran

Tabel 39Suku Bunga Kredit Rupiah menurut Kelompok Bank 1)

(Persen)

Bank Bank Bank Bank Asing & Bank UmumPemerintah Pemerintah Daerah Swata Nasional Campuran

Modal Investasi Modal Investasi Modal Investasi Modal Investasi Modal InvestasiKerja Kerja Kerja Kerja Kerja

Akhir Periode

1) Rata-rata tertimbang

1998 29,03 22,35 30,20 15,83 38,70 40,32 42,89 35,53 34,75 26,23

1999 21,61 17,48 21,81 13,43 19,57 20,61 18,28 22,70 20,68 17,80

2000 18,40 16,53 21,11 18,11 17,55 17,59 15,42 15,49 17,65 16,86

2001

Maret 18,47 16,31 20,87 18,02 17,84 17,95 16,28 16,30 17,90 16,86

Juni 18,64 16,41 20,84 18,07 18,28 17,94 18,05 16,69 18,45 17,04

September 18,91 16,44 20,84 17,73 18,96 18,22 19,24 17,98 19,06 17,22

Desember 19,15 17,11 20,48 17,76 19,16 19,02 19,09 18,55 19,19 17,90

2002

Januari 19,08 17,22 20,46 17,76 19,45 19,12 18,98 18,54 19,27 17,99

Februari 19,05 17,24 20,42 17,72 19,48 19,15 19,34 18,36 19,33 18,01

Maret 18,99 17,31 20,49 17,68 19,51 19,11 19,43 18,31 19,35 18,03

April 18,99 17,39 20,34 17,67 19,54 19,12 18,62 18,70 19,25 18,09

Mei 19,02 17,41 20,38 17,75 19,38 19,08 18,76 18,33 19,20 18,11

Juni 19,12 17,47 20,29 17,84 19,25 19,00 17,89 18,16 19,08 18,11

Juli 19,07 17,50 20,28 17,82 19,09 18,94 17,97 17,73 19,00 18,09

Agustus 19,02 17,59 20,25 17,79 18,95 18,88 17,58 17,69 18,86 18,10

September 19,01 17,72 20,21 17,73 18,80 18,73 17,06 17,30 18,74 18,11

Oktober 18,97 17,65 20,13 17,71 18,66 18,52 16,20 17,03 18,57 18,00

November 18,98 17,66 20,04 17,77 18,46 18,49 15,99 17,05 18,44 18,00

Desember 18,85 17,50 19,93 17,89 18,21 18,30 15,71 16,09 18,25 17,82

334

Lampiran

R i n c i a n 1998 1999 2000 2001

Tabel 40Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing

menurut Sektor Ekonomi 1)

(Miliar rupiah)

1) Tidak termasuk pinjaman antarbank, pinjaman kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk, serta nilai lawan valuta asing pinjaman investasi dalam rangka bantuan proyek

2002

Mar. Jun. Sep. Des.

Kredit dalam Rupiah 313.118 140.527 152.482 202.618 204.639 224.864 250.162 271.851 Pertanian 29.430 21.139 15.028 16.851 17.226 18.844 19.279 19.121 Pertambangan 2.729 879 2.879 890 3.990 1.694 1.559 2.441 Perindustrian 85.594 35.561 35.697 50.434 48.338 48.852 57.218 64.986 Perdagangan 59.830 29.687 30.601 38.491 38.782 46.968 53.240 56.854 Jasa-Jasa 101.129 26.332 23.784 30.696 31.189 34.970 40.780 44.581 Lain-Lain 34.406 26.929 44.493 65.256 65.114 73.536 78.086 83.868

Kredit dalam Valuta Asing 174.308 84.606 116.518 104.977 98.137 87.154 91.010 95.559 Pertanian 9.878 2.638 4.475 4.012 3.964 3.653 3.940 3.211 Pertambangan 3.180 2.818 3.801 3.764 3.191 2.629 3.021 3.654 Perindustrian 86.074 48.698 71.085 66.091 61.612 54.878 55.470 58.049 Perdagangan 36.534 13.601 13.498 9.959 9.247 8.214 8.635 9.124 Jasa-Jasa 37.995 16.829 20.532 18.365 17.714 16.153 18.323 16.402 Lain-Lain 647 22 3.127 2.785 2.409 1.627 1.621 5.119

Jumlah 487.426 225.133 269.000 307.594 302.776 312.018 341.172 365.410 Pertanian 39.308 23.777 19.503 20.863 21.190 22.497 23.219 22.332 Pertambangan 5.909 3.697 6.680 7.440 7.181 4.323 4.580 6.095 Perindustrian 171.668 84.259 106.782 116.525 109.950 103.730 112.688 121.035 Perdagangan 96.364 43.288 44.099 48.450 48.029 55.182 61.875 65.978 Jasa-Jasa 139.124 43.161 44.316 49.061 48.903 51.123 59.103 60.983 Lain-Lain 35.053 26.951 47.620 65.255 67.523 75.163 79.707 88.987

335

Lampiran

Tabel 41Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asingmenurut Jenis Penggunaan dan Sektor Ekonomi 1)

(Miliar rupiah)

1) Tidak termasuk pinjaman antarbank, pinjaman kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk, serta nilai lawan valuta asing pinjaman investasi dalam rangka bantuan proyek

2 0 0 2

Mar. Jun. Sep. Des.R i n c i a n 1998 1999 2000 2001

Kredit Modal Kerja 345.962 167.442 203.724 234.128 232.816 241.499 264.003 282.486 Pertanian 22.058 12.162 8.693 8.748 9.177 9.715 10.421 10.336 Pertambangan 3.880 2.368 3.796 1.197 2.656 2.504 2.621 2.498 Perindustrian 121.867 61.278 80.572 88.208 82.267 76.132 82.950 89.555 Perdagangan 72.065 36.181 36.318 40.360 40.450 46.661 52.895 55.804 Jasa-Jasa 91.039 28.502 26.725 30.360 30.743 31.324 35.409 35.306 Lain-Lain 35.053 26.951 47.620 65.255 67.523 75.163 79.707 88.987

Kredit Investasi 141.464 57.691 65.276 73.466 69.960 70.519 77.169 82.924 Pertanian 17.250 11.615 10.810 12.115 12.013 12.782 12.798 11.996 Pertambangan 2.029 1.329 2.884 6.243 4.525 1.819 1.959 3.598 Perindustrian 49.801 22.981 26.210 28.317 27.683 27.598 29.738 31.480 Perdagangan 24.299 7.107 7.781 8.090 7.579 8.521 8.980 10.174 Jasa-Jasa 48.085 14.659 17.591 18.701 18.160 19.799 23.694 25.676 Lain-Lain - - - - - - - -

Jumlah 487.426 225.133 269.000 307.594 302.776 312.018 341.172 365.410 Pertanian 39.308 23.777 19.503 20.863 21.190 22.497 23.219 22.332 Pertambangan 5.909 3.697 6.680 7.440 7.181 4.323 4.580 6.095 Perindustrian 171.668 84.259 106.782 116.525 109.950 103.730 112.688 121.035 Perdagangan 96.364 43.288 44.099 48.450 48.029 55.182 61.875 65.978 Jasa-Jasa 139.124 43.161 44.316 49.061 48.903 51.123 59.103 60.983 Lain-Lain 35.053 26.951 47.620 65.255 67.523 75.163 79.707 88.987

336

Lampiran

2 0 0 2

Mar. Jun. Sep. Des.R i n c i a n 1998 1999 2000 2001

Tabel 42Kredit Perbankan dalam Rupiah dan Valuta Asingmenurut Kelompok Bank dan Sektor Ekonomi 1)

(Miliar rupiah)

1. Bank Persero 220.747 112.288 102.061 117.104 115.687 122.495 133.345 145.984 Pertanian 17.012 15.516 11.209 12.034 12.151 13.319 13.588 13.632 Pertambangan 1.989 1.360 2.522 5.554 5.212 3.106 3.107 4.040 Perindustrian 84.510 38.489 34.878 40.099 39.523 39.564 43.832 48.155 Perdagangan 43.601 21.958 16.431 17.973 17.489 20.453 22.956 24.144 Jasa-Jasa 55.792 19.945 16.370 15.537 14.531 15.577 18.248 19.835 Lain-Lain 17.843 15.020 20.651 25.907 26.781 30.476 31.614 36.178

2. Bank Swasta Nasional 193.361 56.012 82.425 101.872 103.272 111.064 125.114 136.981 Pertanian 20.272 5.740 4.987 6.049 6.034 6.219 6.505 6.383 Pertambangan 2.414 371 863 838 914 488 713 1.209 Perindustrian 45.416 14.421 22.914 28.237 27.328 26.546 30.373 34.192 Perdagangan 40.687 13.307 21.656 23.401 24.013 27.930 31.494 33.869 Jasa-Jasa 72.058 15.605 17.500 22.162 22.609 24.710 28.150 30.541 Lain-Lain 12.514 6.568 14.505 21.185 22.374 25.171 27.879 30.787

3. Bank Pemerintah Daerah 6.570 6.793 10.106 15.419 16.846 19.090 21.076 21.518 Pertanian 354 853 527 536 627 784 939 969 Pertambangan 19 18 65 188 276 101 170 121 Perindustrian 409 190 249 257 258 288 325 325 Perdagangan 1.053 816 1.182 2.108 2.452 3.004 3.443 3.693 Jasa-Jasa 1.820 1.376 1.260 1.410 1.509 2.030 2.752 2.562 Lain-Lain 2.915 3.540 6.823 10.920 11.724 12.883 13.447 13.848

4. Bank Asing & Campuran 66.748 50.040 74.408 73.199 66.971 59.369 61.637 60.927 Pertanian 1.670 1.668 2.780 2.244 2.378 2.175 2.187 1.348 Pertambangan 1.487 1.948 3.230 860 779 628 590 725 Perindustrian 41.333 31.159 48.741 47.932 42.841 37.332 38.158 38.363 Perdagangan 11.023 7.207 4.830 4.968 4.075 3.795 3.982 4.272 Jasa-Jasa 9.454 6.235 9.186 9.952 10.254 8.806 9.953 8.045 Lain-Lain 1.781 1.823 5.641 7.243 6.644 6.633 6.767 8.174

5. Jumlah (1 s.d. 4) 487.426 225.133 269.000 307.594 302.776 312.018 341.172 365.410 Pertanian 39.308 23.777 19.503 20.863 21.190 22.497 23.219 22.332 Pertambangan 5.909 3.697 6.680 7.440 7.181 4.323 4.580 6.095 Perindustrian 171.668 84.259 106.782 116.525 109.950 103.730 112.688 121.035 Perdagangan 96.364 43.288 44.099 48.450 48.029 55.182 61.875 65.978 Jasa-Jasa 139.124 43.161 44.316 49.061 48.903 51.123 59.103 60.983 Lain-Lain 35.053 26.951 47.620 65.255 67.523 75.163 79.707 88.987

1) Tidak termasuk pinjaman antarbank, pinjaman kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk, serta nilai lawan valuta asing pinjaman investasi dalam rangka bantuan proyek

337

Lampiran

Jakarta 24,2 39,9 24,4 47,2 33,2 51,4 34,9 53,7 37,7 62,3

Bandung 17,9 14,7 22,2 17,1 28,0 20,4 37,6 23,7 40,6 26,2

Semarang 14,5 9,3 17,8 13,6 20,2 15,1 25,5 17,4 27,4 19,1

Surabaya 18,8 18,5 23,4 23,9 28,8 28,6 37,9 33,5 40,4 36,8

Medan 9,4 10,3 11,4 12,8 11,5 11,9 15,1 15,3 16,7 17,7

Padang 5,8 8,7 6,5 11,7 7,8 13,1 10,1 14,9 12,1 16,4

Makassar 7,3 8,8 8,7 10,0 10,4 12,4 13,8 14,9 15,1 16,8

Banjarmasin 4,8 7,2 6,1 9,0 7,8 11,2 10,1 13,4 11,4 15,4

Jumlah 102,7 117,4 120,5 145,3 147,7 164,1 185,0 186,8 201,4 210,7

Tabel 44Pangsa Aliran Uang Keluar per Jenis Pecahan di Jakarta dan KKBI Tahun 2002

(Persen)

Kantor Rp100.000,00 Rp50.000,00 Rp20.000,00 Rp10.000,00 Rp5.000,00 <= Rp1.000,00 Total

Jakarta 42 38 12 5 2 1 100

Bandung 51 33 11 3 1 1 100

Semarang 50 33 11 4 1 0 100

Surabaya 49 38 7 4 1 1 100

Medan 47 36 10 4 2 1 100

Padang 43 34 13 8 2 1 100

Makassar 44 35 14 4 2 1 100

Banjarmasin 47 34 12 5 2 1 100

Kantor 1998 1999 2000 2001 2002Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar

Tabel 43Perkembangan Jumlah Aliran Uang Kertas di Jakarta dan Koordinator KBI (KKBI)

(Triliun rupiah)

338

Lampiran

Tabel 45Perkembangan Jumlah Aliran Uang Logam di Jakarta dan KKBI

(Miliar rupiah)

1998 1999 2000 2001 2002Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar

Jakarta 4,4 105,5 2,2 117,7 4,1 184,5 0,1 196,9 0,6 187,7

Bandung 10,8 12,9 11,1 14,8 15,2 21,0 16,5 28,5 24,9 25,6

Semarang 13,9 8,3 12,2 13,2 14,3 14,4 17,0 15,6 20,5 12,9

Surabaya 1,2 32,8 2,2 29,7 1,8 33,5 4,0 44,2 2,5 50,0

Medan 3,3 11,2 1,1 13,1 0,4 14,0 0,7 24,1 1,0 24,9

Padang 0,3 14,1 0,3 9,7 0,3 12,3 0,5 21,8 0,5 24,8

Makassar 0,5 12,6 0,6 11,2 1,1 10,9 0,5 20,8 0,8 16,5

Banjarmasin 0,7 15,5 0,6 11,4 1,4 11,0 0,8 15,6 0,6 19,6

Jumlah 35,1 212,9 30,3 220,8 38,6 301,6 40,1 367,5 51,4 362,0

Kantor

339

Lampiran

1) Tidak termasuk Belarusia dan UkrainaSumber: – IMF, World Economic Outlook, December 2001

– Bank Indonesia

Tabel 46Pertumbuhan Ekonomi Dunia

(Persen)

Negara 1998 1999 2000 2001 2002*

Dunia 2,8 3,6 4,7 2,2 2,8

Negara Industri/Maju 2,7 3,4 3,8 0,8 1,7 7 Negara industri utama 2,8 3,0 3,4 0,6 1,4 Amerika Serikat 4,3 4,1 3,8 0,3 2,2 Jepang -1,2 0,8 2,4 -0,3 -0,5 Jerman 2,0 2,0 2,9 0,6 0,5 Perancis 3,5 3,2 4,2 1,8 1,2 Italia 1,8 1,6 2,9 1,8 0,7 Inggris 2,9 2,4 3,1 1,9 1,7 Kanada 4,1 5,4 4,5 1,5 3,4 Lain-Lain 2,2 5,0 5,3 1,6 2,6

Negara Berkembang 3,5 4,0 5,7 3,9 4,2 Afrika 3,4 2,8 3,0 3,5 3,1 Timur Tengah, Malta, dan Turki 3,6 1,2 6,1 1,5 3,6 Amerika Latin 2,3 0,2 4,0 0,6 -0,6 Asia 4,0 6,1 6,7 5,6 6,1 NIEs Asia -3,5 6,9 7,5 -0,1 3,8 RRC 7,8 7,1 8,0 7,3 7,5 Indonesia -13,1 0,8 4,8 3,3 3,5 Singapura -0,1 6,9 10,3 -2,0 3,6 Malaysia -7,4 6,1 8,3 0,5 3,5 Thailand -10,5 4,4 4,6 1,8 3,5 Filipina -3,8 7,6 -0,8 -3,4 1,2 Vietnam 3,5 4,2 5,5 5,0 5,3

Negara-Negara Transisi 1) -0,8 3,6 6,6 5,0 3,9 Eropa Tengah dan Timur 2,4 2,2 3,8 3,0 2,7 Rusia -4,9 5,4 9,0 5,8 4,4 Transcaucasus dan Asia Tengah 2,5 4,6 5,3 - -

340

Lampiran

Tabel 47Inflasi Dunia

(Persen)

Negara 1998 1999 2000 2001 2002*

Dunia 2,5 3,0 - - -

Negara Industri/Maju 1,5 1,4 2,3 2,2 1,4 7 Negara industri utama 1,3 1,4 - 2,1 1,2 Amerika Serikat 1,6 2,2 3,4 2,8 1,5 Jepang 0,6 -0,3 -0,6 -0,7 -1,0 Jerman 0,6 0,7 2,1 2,4 1,4 Perancis 0,7 0,6 1,8 1,8 1,8 Italia 1,7 1,7 2,6 2,7 2,4 Inggris 2,7 2,3 2,1 2,1 1,9 Kanada 1,0 1,7 2,7 2,5 1,8 Lain-Lain 2,5 1,3 2,4 2,9 2,3

Negara Berkembang 10,5 6,9 6,1 5,7 5,6 Afrika 10,9 12,3 14,3 13,1 9,6 Timur Tengah, Malta, dan Turki 27,6 23,6 19,6 17,2 17,1 Amerika Latin 9,8 8,9 8,1 6,4 8,6 Asia 7,7 2,5 1,9 2,6 2,1 NIEs Asia 4,4 0,3 1,1 1,9 1,1 RRC -0,8 -1,4 0,4 0,7 -0,4

Indonesia 58,0 20,70 3,8 11,5 11,9Singapura -0,3 0,2 1,1 1,0 -Malaysia 5,3 3,0 1,6 1,4 1,8Thailand 8,1 0,5 1,6 1,7 0,7Filipina 9,7 8,5 4,3 6,1 4,0Vietnam 7,7 7,6 -1,7 0,1 4,1

Negara-Negara Transisi1) 20,9 43,9 20,2 15,9 11,3 Eropa Tengah dan Timur 17,2 20,6 12,8 9,6 6,1 Rusia 27,8 85,9 20,8 20,7 15,8 Transcaucasus dan Asia Tengah 15,3 15,4 14,8 - -

Sumber : – IMF, World Economic Outlook, September 2002– Bank Indonesia– BPS– The Economist

1) Tidak termasuk Belarusia dan Ukraina

341

Lampiran

Tabel 48Suku Bunga (%) dan Nilai Tukar

Rincian 1998 1999 2000 2001 2002*

Suku Bunga di Negara-negara Industri Jangka Pendek 4,00 3,50 4,50 3,20 2,30 Jangka Panjang 4,50 4,60 5,00 4,40 4,20

LIBOR 6 bulan USD - 5,50 6,60 3,70 2,10 Yen 0,20 0,30 0,20 0,10 Euro - 3,00 4,60 4,10 3,40

Nilai Tukar Yen/USD 130,91 113,90 107,80 121,50 124,00 DM/USD 1,76 1,83 2,12 2,18 - USD/GBP 1,66 1,62 1,52 1,44 1,49

Sumber : IMF, World Economic Outlook, September 2002

Tabel 49Perkembangan Volume Perdagangan Barang dan Harga Dunia

(persen)

Rincian 1998 1999 2000 2001 2002*

Volume Perdagangan Barang 4,3 5,5 12,6 -0,1 2,1

Harga

Barang-barang Industri -1,8 -2,0 -5,2 -2,3 2,6

Komoditas Primer Nonmigas -14,7 -7,0 1,8 -5,4 4,2

Minyak -32,1 37,5 57,0 -14,0 0,5

Sumber : IMF, World Economic Outlook, September 2002

342

Lampiran

Sumber : IMF, World Economic Outlook, September 2002

Tabel 50Transaksi Berjalan di Negara Industri dan Negara Sedang Berkembang

(Persen PDB)

Negara 1998 1999 2000 2001 2002*

7 Negara industri utama Amerika Serikat -2,5 -3,5 -4,2 -3,9 -4,6 Jepang 3,2 2,4 2,5 2,1 3,0 Jerman -0,2 -0,9 -1,1 0,1 1,9 Perancis 2,7 2,6 1,5 1,8 1,9 Italia 1,7 0,5 -0,5 0,1 0,2 Inggris - -1,1 -2,0 -2,1 -2,1 Kanada -1,8 0,2 2,6 2,8 1,7

Negara Berkembang RRC 3,4 1,6 1,9 1,5 1,5 Indonesia 4,3 4,10 5,3 4,7 2,7 Singapura 20,9 21,1 16,7 20,4 2,7 Malaysia 12,9 15,9 9,4 8 7 Thailand 12,8 10,2 7,6 5,4 3,5 Filipina 2,0 10,0 11,3 6,3 3,3

343

Lampiran

Specimen Pecahan Uang KartalYang Diterbitkan Pada Tahun 2002

Uang Logam KhususSeri Peringatan Satu Abad Bung Hatta

Pecahan Rp500.000 Dan Rp25.000Tanggal 12 Agustus 2002

Lampiran G

Ciri Ciri Uang

Keterangan

BahanKadarWarnaBentukDiameterBeratKualitas

Rp500.000

Logam Emas0,9990Kuning EmasBulat (lingkaran)28,00 mm15,00 gramProof

Rp25.000

Logam Perak0,9990Putih PerakBulat (lingkaran)38,61 mm28,29 gramProof

No

1234567

Emas

Perak

G Specimen Pecahan Uang Kartal yang Ditebitkan Pada 2002

311

Daftar Singkatan

a/d atas dasarAAOIFI Accounting and Auditing Standard for Islamic Financial InstutionsABF Asian Bond FundABS Automatic Bidding SystemADB Asian Development BankAFDM ASEAN Finance and Central Bank Deputies MeetingAFMM ASEAN Finance Ministers MeetingAFTA Asian Free Trade AreaAgt AgustusALMA Asset and Liability ManagementAPBN Anggaran Pendapatan dan Belanja NegaraAPBN-P APBN PerubahanAPBN-PAN APBN Perhitungan Anggaran NegaraAPEC Asia-Pacific Economic CooperationAPG Asia Pacific Group on Money LaunderingAPI Arsitektur Perbankan IndonesiaApr AprilAPSUN Asosiasi Pedagang Surat Utang NegaraAPU Angka Pengganda UangARBC Asean Rubber Business ClubARMA Auto Regressive Moving AverageAS Amerika SerikatASA ASEAN Swap ArrangementsASBISINDO Asosiasi Perbankan Syariah IndonesiaASEAN Association of Southeast Asian NationsATM Anjungan Tunai MandiriATMR Aktiva Tertimbang Menurut RisikoBAPEPAM Badan Pengawas Pasar ModalBBKU Bank Beku Kegiatan UsahaBBM Bahan Bakar Minyakbbwi bagian barat waktu IndonesiaBCA Bank Central AsiaBCP Basel Core PrinciplesBEJ Bursa Efek JakartaBER Book Entry RegistryBES Bursa Efek Surabaya

Daftar Singkatan

H Daftar Singkatan

312

Daftar Singkatan

BI Bank IndonesiaBI-RTGS Bank Indonesia - Real Time Gross SettlementBIES Bulletin of Indonesian Economic StudiesBII Bank Internasional IndonesiaBIS Bank for International SettlementBKD Badan Kredit DesaBKPM Badan Koordinasi Penanaman ModalBLK Balai Latihan KerjaBLS Baseline Economic SurveyBMPK Batas Maksimum Pemberian KreditBNI Bank Negara IndonesiaBNM Bank Negara MalaysiaBOE Bank of EnglandBOP Balance of PaymentBOTASUPAL Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsubp basis pointBPD Bank Pembangunan DaerahBPEN Badan Pengembangan Ekspor NasionalBPHTB Bea Perolehan Hak atas Tanah dan BangunanBPKP Badan Pemeriksa Keuangan dan PembangunanBPPN Badan Penyehatan Perbankan NasionalBPR Bank Perkreditan RakyatBPRS Bank Perkreditan Rakyat SyariahBPS Badan Pusat StatistikBRER Bilateral Real Exchange RateBRI Bank Rakyat IndonesiaBSA Bilateral Swap ArrangementBTN Bank Tabungan NegaraBTO Bank Take OverBUK Bank Umum KonvensionalBULOG Badan Urusan LogistikBUMN Badan Usaha Milik NegaraBUS Bank Umum SyariahBUSD Bank Umum Swasta DevisaBUSN Bank Umum Swasta NasionalBUSND Bank Umum Swasta Non DevisaC&F Cost and FreightCAMEL Capital Asset Management Earning LiabilitiesCAR Capital Adequacy Ratio

313

Daftar Singkatan

CBS Claims on Business SectorCCI Consumer Confidence IndexCGI Consultative Group on IndonesiaCP Core PrinciplesCPO Crude Palm OilCR Central RegistryCSA Centralized Settlement AccountCTC Counter Terrorism CommitteeDAK Dana Alokasi KhususDASP Direktorat Akunting dan Sistem PembayaranDAU Dana Alokasi UmumDBH Dana Bagi HasilDes DesemberDJIA Dow Jones Industrial AverageDKM Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan MoneterDN Dalam Negeridoc dokumenDPK Dana Pihak KetigaDPM Direktorat Pengelolaan MoneterDPNP Direktorat Penelitian dan Pengembangan PerbankanDPR Dewan Perwakilan RakyatDRI Danareksa Research InstituteDSM Direktorat Statistik Ekonomi dan MoneterDSR Debt Service RatioECB European Central BankEFF Extended Fund FacilityEMEAP Executive Meeting of East Asia and Pacific Central BankersEO Exchange OfferEUR EuroFAASM Fixed Asset Accounting Simulation ModelFASBI Fasilitas Simpanan Bank IndonesiaFATF Financial Action Task Force on Money LaunderingFDI Foreign Direct InvestmentFDR Financing to Deposit RatioFeb FebruariFKE Fasilitas Kredit EksporFKSPN Forum Komunikasi Sistem Pembayaran Nasionalfob Free on BoardFoP Free of Payment

314

Daftar Singkatan

FPJP Fasilitas Pembiayaan Jangka PendekFR Fixed RateFSF Financial Stability ForumGARCH General Auto-regresive Conditional HeteroscidasticityGBHN Garis-Garis Besar Haluan NegaraGBI Gubernur Bank IndonesiaGBP Great Britain PoundsterlingGFA Gross Foreign AssetsGTZ Gesselschaft fur Technische Zusammenarbeit GmbHGWM Giro Wajib MinimumHAM Hak Asasi ManusiaHB Hedge BondHIPC Highly Indebted Poor CountriesHJE Harga Jual EceranHKMA Hongkong Monetary AuthorityHPE Harga Penjual EceranHSBC Hongkong Shanghai Banking CorporationIAI Ikatan Akuntan IndonesiaIBRD International Bank for Reconstruction and DevelopmentICA Inter Company/Office AccountICOR Incremental Capital Output RatioICS Image Clearing SystemIDB Islamic Development BankIDR Indonesia RupiahIFSB Islamic Financial Services BoardIFSO Islamic Financial Services OrganizationIGGI Inter-Governmental Group on IndonesiaIHA Indeks Harga AsetIHK Indeks Harga KonsumenIHPB Indeks Harga Perdagangan BesarIHSG Indeks Harga Saham GabunganIIFM International Islamic Financial MarketIMF International Monetary FundIPO Initial Public OfferingIRFCL International Reserve and Foreign Currency LiquidityITRCo International Tripartite Rubber CompanyJABOTABEK Jakarta Bogor Tangerang BekasiJan JanuariJIBOR Jakarta Interbank Offered Rate

315

Daftar Singkatan

JITF Jakarta Initiative Task ForceJPY Japanese YenJul JuliJun JuniKAP Kualitas Aktiva ProduktifKBI Kantor Bank IndonesiaKCS Kantor Cabang SyariahKI Kredit InvestasiKLBI Kredit Likuiditas Bank IndonesiaKK Kredit KonsumsiKMK Kredit Modal KerjaKP Kantor PusatKPMM Kewajiban Penyediaan Modal MinimumKPR Kredit Pemilikan RumahKTI Kawasan Timur IndonesiaKTT Konferensi Tingkat TinggiKUK Kredit Usaha KecilKYC Know Your CustomerLDKP Lembaga Dana dan Kredit PedesaanLDR Loan to Deposit RatioLIBOR London Interbank Offered RateLIE Leading Indikator EkonomiLKM Lembaga Keuangan MikroLKNB Lembaga Keuangan Non BankLLD Lalu Lintas DevisaLLM Lalu Lintas ModalLLR Lender of the Last ResortLN Luar NegeriLNG Liquefied Natural GasLoI Letter of IntentLPG Liquefied Petroleum GasLPJK Lembaga Pengawas Jasa KeuanganLPS Lembaga Penjamin Simpananm-t-d month to datem-t-m month to monthMar MaretMigas Minyak dan GasMMBTU Mille Mille British Thermal UnitMoU Memorandum of Understanding

316

Daftar Singkatan

MPR Majelis Permusyawaratan RakyatMTon Million TonNAB Nilai Aktiva BersihNBER National Bureau for Economic ResearchNCCT’s Non Cooperative Countries and TerritoriesNCG Net Claims on GovernmentNCS Net Capital StockNDA Net Domestic AssetsNFA Net Foreign AssetsNGO Non Government OrganizationNII Net Interest IncomeNIM Net Interest MarginNIR Net International ReserveNJKP Nilai Jual Kena PajakNOI Net Other ItemsNov NovemberNPF Non Performing FinancingNPI Neraca Pembayaran IndonesiaNPLs Non Performing LoansNPV Net Present ValueO/N OvernightOAP Otomasi Administrasi PerkasanOCA Overseas Current AccountODA Official Development AssistanceOECD Organization for Economic Cooperation and DevelopmentOkt OktoberOPEC Organization of Petroleum Exporting CountriesOPT Operasi Pasar TerbukaPAM Perusahaan Air MinumPAPS Panduan Audit Perbankan SyariahPAPSI Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah IndonesiaPBB Pajak Bumi dan BangunanPBI Peraturan Bank IndonesiaPC Paris ClubPDB Produk Domestik BrutoPemda Pemerintah DaerahPERC Political and Economic Risk Consultancy Ltd.Perum Perusahaan UmumPHK Pemutusan Hubungan Kerja

317

Daftar Singkatan

PI Performance IndicatorsPIPU Pusat Informasi Pasar UangPKLN Pinjaman Komersial Luar NegeriPKPD Perimbangan Keuangan Pusat dan DaerahPKPS Penyelesaian Kewajiban Pemegang SahamPMA Penanaman Modal AsingPMDN Penanaman Modal Dalam NegeriPMON Pusat Manajemen Obligasi NegaraPNB Pendapatan Nasional BrutoPNBP Penerimaan Negara Bukan PajakPNM Permodalan Nasional MadaniPNS Pegawai Negeri SipilPolri Kepolisian Republik IndonesiaPPAK Program Penjualan Aset KreditPPAP Penyisihan Penghapusan Aktiva ProduktifPPATK Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi KeuanganPPE Pameran Produk EksporPPh Pajak PenghasilanPPN Pajak Pertambahan NilaiPPn-BM Pajak Penjualan Barang MewahPRGF Poverty Reduction and Growth FacilityProFI Promotion of Small Financial InstitutionPRSP Poverty Reduction Strategy PaperPSAK Pernyataan Standar Akuntansi KeuanganPSAKS Pernyataan Standar Akuntansi Perbankan SyariahPTTB Pemberian Tanda Tidak BerhargaPUAB Pasar Uang Antar BankPUAS Pasar Uang Antar Bank berdasarkan prinsip SyariahPUKM Pengembangan Usaha Kecil dan MikroPYD Pembiayaan yang DiberikanRDU Rencana Distribusi UangREER Real Effective Exchange RateRI Republik IndonesiaRIA Roadmap for Integration of ASEANRKAT Rencana Kerja Anggaran TahunanROA Return on AssetROE Return on EquityRp RupiahRRC Republik Rakyat China

318

Daftar Singkatan

RTGS Real Time Gross SettlementRUU Rancangan Undang-UndangS&P Standard and Poor’ss.d. sampai denganSAL Sisa Anggaran LebihSBA Stand By ArrangementSBI Sertifikat Bank IndonesiaSBT Saldo Bersih TertimbangSD Selective DefaultSDA Sumber Daya AlamSDM Sumber Daya ManusiaSDR Special Drawing RightsSDRM Sovereign Debt Restructuring MechanismSE Surat EdaranSEACEN South East Asia Central BankSEG SEACEN Expert GroupSep SeptemberSI-PUK Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha KecilSIABE Sistem Informasi Agroindustri Berorientasi EksporSIB Sistem Informasi Baseline Economic SurveySIBOR Singapore Interbank Offered RateSIBs Systemically Important BanksSID Sistem Informasi DebiturSIKJJ Sistem Informasi Kliring Jarak JauhSILM Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending ModelSILPA Sisa Lebih Pembiayaan AnggaranSIPMK Sistem Informasi Prosedur Memperoleh KreditSIPS Systematically Important Payment SystemSIPU Sistem Informasi Pengedaran UangSK Surat KeputusanSKDU Survei Kegiatan Dunia UsahaSKEJ Sistem Kliring Elektronik JakartaSNA Standardized National AccountSPE Survei Penjualan EceranSPKUI Sistem Informasi Penunjang Keputusan untuk InvestasiSPN Sistem Pembayaran NasionalSR Sub RegistrySSK Stabilitas Sistem KeuanganSSSS Scripless Securities Settlement SystemSTB Survei Tendensi Bisnis

319

Daftar Singkatan

STK Survei Tendensi KonsumenSUN Surat Utang NegaraSUP Surat Utang PemerintahSWBI Sertifikat Wadiah Bank IndonesiaTAF The Asia FoundationTDL Tarif Dasar ListrikTHB Thailand Bahtthd terhadapTI Teknologi InformasiTKI Tenaga Kerja IndonesiaTKS Tingkat KesehatanTPT Tekstil dan Produk TekstilTrw TriwulanTSL Two Step LoanUE Uni EropaUK United KingdomUKIP Unit Khusus Investigasi PerbankanUKM Usaha Kecil dan MenengahUKPT Unit Khusus Program TransformasiULN Utang Luar NegeriUMKM Usaha Mikro Kecil dan MenengahUMP Upah Minimum PropinsiUMR Upah Minimum RegionalUN United NationUNDP United Nation Development ProgramUNESCO United Nation Education Scientific and Cultural OrganizationUS United StatesUSAID United States Agencies for International DevelopmentUSD United States DollarUU Undang-UndangUUS Unit Usaha SyariahUYD Uang yang DiedarkanValas Valuta AsingVR Variable RateVRB Variable Rate BondWEO World Economic OutlookWP Wajib PajakWTC World Trade CentreWTO World Trade Organizationy-o-y year on year