Upload
yuliandriansyah
View
1.400
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Laporan perekonomian Indonesia tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Citation preview
Daftar IsiLandasan Hukum iAlamat Kantor Pusat Bank Indonesia iiVisi Misi dan Nilai-Nilai Strategis Bank Indonesia ivKeterangan Tanda- Tanda, Periode Laporan, dan Sumber Data ivDaftar Tabel Dan Grafik viDewan Gubernur Bank Indonesia xiiKata Pengantar xiiBab 1: Tinjauan Umum 1
Evaluasi Perekonomian Indonesia Tahun 2002 4Kondisi Ekonomi Makro 4Nilai Tukar dan Inflasi 8Kebijakan dan Perkembangan Moneter 9Kebijakan dan Perkembangan Perbankan 12Kebijakan dan Perkembangan Sistem Pembayaran Nasional 14
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2003 16Prospek Ekonomi Dunia 16Prospek Ekonomi Makro 17Prospek Nilai Tukar dan Inflasi 19Prospek Perbankan 20Faktor Risiko dan Ketidakpastian 21Sasaran Inflasi dan Arah Kebijakan Tahun 2003 23
PENUTUP 25
BAB 2: Kondisi Ekonomi Makro 26Permintaan Agregat 28Penawaran Agregat 37Ketenagakerjaan 41
Bab 3: Nilai Tukar 47Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar 49
Faktor Fundamental 49Faktor Sentimen 49Indikator Risiko 52Faktor Kebijakan 54
Permintaan dan Penawaran Valuta Asing 56Nilai Tukar Riil 57
boks: Pengaruh Pelaku Utama Pasar pada Nilai Tukar 59
Bab 4 : Inflasi 61Perkembangan Indikator Inflasi 62Perkembangan Inflasi IHK 64Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi 66
Pengaruh Kebijakan Pemerintah di Bidang Harga dan Pendapatan 66Pengaruh Ekspektasi 67Pengaruh Kondisi Permintaan dan Penawaran 69Pengaruh Faktor Eksternal 69Pengaruh Faktor Alam 70
Bab 5 : Moneter 71Evaluasi Kebijakan Moneter 2002 73Perkembangan Uang beredar 76
Uang Primer 76Uang Beredar 79
Transmisi Kebijakan Moneter 82Suku Bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) 82Suku Bunga Deposito dan Kredit 84Pasar Modal 86Obligasi Pemerintah 89
boks: Perkembangan Reksa Dana di Indonesia 93
Bab 6 : Neraca Pembayaran 96Transaksi Berjalan 99
Ekspor 100Impor 102Jasa-jasa 104
Lalu Lintas Modal 105Cadangan Devisa 108
boks: Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan 109
Bab 7 : Keuangan Pemerintah 111Pendapatan Negara dan Hibah 114Belanja Negara 116Defisit Dan Pembiayaan 119Dampak Operasi Keuangan Pemerintah Terhadap Sektor Riil 119Dampak Rupiah Operasi Keuangan Pemerintah 120Dampak Valuta Asing Operasi Keuangan Pemerintah 121Prospek APBN 2003 123
Pendapatan Negara dan Hibah 124Belanja Negara 125
Defisit dan Pembiayaan 126Dampak Operasi Keuangan Pemerintah terhadap Permintaan Agregat, Moneter dan Neraca
Pembayaran 127boks: Reprofiling Obligasi Negara 133boks: Undang-Undang No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (UU SUN) 136
Bab 8 : Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain 139Perbankan 140
Kebijakan Perbankan 141Kebijakan Perbankan Syariah 149Kebijakan di Bidang Bank Perkreditan Rakyat (BPR) 154Perkembangan Bank Umum 155Perkembangan Perbankan Syariah 162
Lembaga Keuangan Lainnya 166Perusahaan Pembiayaan 167Perum Pegadaian 169
boks: Master Plan Peningkatan Efektivitas Pengawasan Bank 171boks: Makassar Meeting dan Upaya Pengembangan UKM 173boks: Pembatasan Pembelian Kredit oleh Bank dari BPPN 177boks: Pengaturan Risiko Pasar (Market Risk) dalam Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank
179
Bab 9: Sistem Pembayaran Nasional 180KEBIJAKAN SISTEM PEMBAYARAN TAHUN 2002 181
Sistem Pembayaran Tunai 181Sistem Pembayaran Nontunai 182
PERKEMBANGAN ALAT-ALAT PEMBAYARAN 186Alat Pembayaran Tunai 186Alat Pembayaran Nontunai 188
RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN NASIONAL 191Sistem Pembayaran Tunai 192Sistem Pembayaran Nontunai 192
boks: Penukaran Uang Pecahan Kecil Melalui Pihak Ketiga 194boks: Pengembangan Intercity Clearing 195
Bab 10 : Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional 197PERKEMBANGAN EKONOMI DUNIA 198
Amerika Serikat 200Negara-negara Euro 201Jepang 202Asia Non Jepang 203Amerika Latin 204Pasar Keuangan Internasional 205Pasar Komoditas Internasional 206
Kerjasama Internasional 206Kerjasama di Bidang Moneter, Keuangan dan Perbankan 207Bilateral Swap Arrangement 211
The New Basel Capital Accord 211Anti Money Laundering dan Pembiayaan Terorisme 212Kerjasama di Bidang Pembangunan 214
Bab 11: Prospek Ekonomi Dan Arah Kebijakan 218Prospek Ekonomi Global 220
Pertumbuhan Ekonomi dan Perdagangan Dunia 220Inflasi dan Suku Bunga Internasional 221Prospek Harga Komoditas Pasar Internasional 222
Prospek Ekonomi Indonesia 223Prospek Permintaan 223Prospek Penawaran 227Prospek Neraca Pembayaran Tahun 2003 231Prospek Nilai Tukar 233Prospek Inflasi 234Prospek Perbankan 238Faktor Risiko Dan Ketidakpastian 239
Sasaran Inflasi dan Arah Kebijakan 241Sasaran Inflasi 241Arah Kebijakan Moneter 242Arah Kebijakan Perbankan 243Arah Kebijakan Sistem Pembayaran 244
boks: SBI Scripless dan Automatic Bidding System (ABS) 245boks: On-line Scripless Securities Settlement System (Ssss) 247boks: Konsekuensi dan Persiapan Indonesia Menghadapi Berakhirnya Program IMF pada Akhir Tahun
2003 251boks: Arsitektur Perbankan Indonesia 255boks: Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Di Indonesia 257
LampiranA Kantor Pusat, Kantor Perwakilan dan Kantor-Kantor Bank Indonesia 263B Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 31 Desember 2002 264C.1 Organisasi dan Sumber Daya Manusia 265C.2 Struktur Organisasi Bank 271D.1 Neraca Bank Indonesia 277D.2 Laporan Surplus Defisit Bank Indonesia 278E.1 Daftar Peraturan Bank Indonesia 2002 279E.2 Daftar Surat Edaran (Ekstern) Bank Indonesia 2002 284E.3 Berbagai Ketentuan dan Kebijakan Penting di Bidang Ekonomi dan Keuangan 2002 286F.1 Tabel Statistik I 296G Specimen Pecahan Uang Kartal yang Ditebitkan Pada 2002 343H Daftar Singkatan 311
i
Laporan ini merupakan penjelasan lengkap dari informasi
mengenai “Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Moneter 2002 dan
Arah Kebijakan Moneter 2003” yang telah disampaikan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat dan masyarakat melalui media massa
pada tanggal 9 Januari 2003 sebagai pelaksanaan amanat pasal
58 Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Landasan Hukum
ii
Sampul Depan :Rotunda antara Gedung A dan Gedung B Bank Indonesia, Jakarta
Alamat Kantor Pusat :Jl. MH. Thamrin No. 2, Jakarta 10110 - Indonesia
http://www.bi.go.id
Alamat Kantor Pusat Bank Indonesia
iv
Visi Bank Indonesia :“Menjadi lembaga bank sentral yang dapat dipercaya secaranasional maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai
strategis yang dimiliki serta pencapaian inflasiyang rendah dan stabil.”
Misi Bank Indonesia :“Mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui
pemeliharaan kestabilan moneter dan pengembangan stabilitassistem keuangan untuk pembangunan nasional jangka panjang yang
berkesinambungan.”
Nilai-Nilai Strategis Organisasi Bank Indonesia :“Nilai-nilai yang menjadi dasar Bank Indonesia, manajemen, danpegawai untuk bertindak dan atau berperilaku, yang terdiri atas
Kompetensi, Integritas, Transparansi, Akuntabilitas, danKebersamaan.”
Visi Misi dan Nilai-Nilai Strategis Bank Indonesia
v
Keterangan Tanda-tanda, Periode Laporan, dan Sumber Data
r Angka diperbaiki* Angka sementara** Angka sangat sementara. . . Angka belum tersedia- Angka tidak adax Angka sebelum dan sesudah tanda ini tidak dapat diperbandingkan satu sama lain- - Nol atau lebih kecil daripada digit terakhir$ (dolar) Dolar Amerika SerikatBI Bank IndonesiaAS Amerika Serikat
Periode laporan adalah 1 Januari 2002 sampai dengan 31 Desember 2002.Sumber data adalah Bank Indonesia, kecuali jika dinyatakan lain.
Keterangan Tanda- Tanda, Periode Laporan, dan Sumber Data
vi
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK
TABEL
Tabel 1.1 Beberapa Indikator Makroekonomi ........................................................ 5Tabel 2.1 Produk Domestik Bruto Menurut Penggunaan ............................................ 28Tabel 2.2 Perkembangan Alat Pembayaran Berbasis Kartu ........................................ 31Tabel 2.3 Persetujuan PMA dan PMDN ................................................................ 33Tabel 2.4 Penerbitan Obligasi Tahun 2002 ........................................................... 35Tabel 2.5 Kesenjangan Tabungan-Investasi .......................................................... 35Tabel 2.6 Pertumbuhan Ekonomi Menurut Sektor Ekonomi ........................................ 37Tabel 2.7 Tingkat Utilisasi Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan ................................. 39Tabel 2.8 Angkatan Kerja dan Pengangguran ........................................................ 40Tabel 2.9 Jumlah Pekerja Berdasarkan Sektor Perekonomian .................................... 42Tabel 2.10 Jumlah Pekerja Berdasarkan Status Pekerjaan.......................................... 43Tabel 2.11 Penganggur Terbuka Berdasarkan Tingkat Pendidikan.................................. 44Tabel 3.1 Sovereign (Foreign Currency Long Term) Debt Ratings................................. 52Tabel 4.1 Sumbangan Inflasi IHK Menurut Kelompok Tahun 2002................................. 65Tabel 4.2 Realisasi Kebijakan Pemerintah di Bidang Harga dan Pendapatan 2002 ............ 66Tabel 5.1 Uang Primer ................................................................................... 76Tabel 5.2 Operasi Pasar Terbuka dan Komponennya ................................................ 78Tabel 5.3 Uang Beredar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya ............................. 80Tabel 5.4 Perkembangan Suku Bunga 2002 .......................................................... 84Tabel 5.5 Perkembangan Posisi Obligasi Pemerintah ............................................... 90Tabel 6.1 Neraca Pembayaran Indonesia ............................................................. 98Tabel 6.2 Ekspor Barang Industri ...................................................................... 101Tabel 6.3 Ekspor Barang Pertambangan .............................................................. 101Tabel 6.4 Impor Nonmigas Menurut Kelompok Barang ............................................. 103Tabel 6.5 Impor Barang Baku ........................................................................... 103Tabel 6.6 Impor Barang Modal ......................................................................... 103Tabel 6.7 Posisi Utang Luar Negeri Indonesia ........................................................ 105Tabel 6.8 Posisi Utang Luar Negeri Menurut Jangka Waktu ....................................... 106Tabel 6.9 Indikator Beban Utang ...................................................................... 108Tabel 7.1 Perkembangan Asumsi APBN ................................................................ 113Tabel 7.2 Pendapatan Negara dan Hibah ............................................................. 115Tabel 7.3 Belanja Negara ............................................................................... 117Tabel 7.4 Operasi Keuangan Pemerintah ............................................................. 118Tabel 7.5 Stimulus Fiskal ............................................................................... 120Tabel 7.6 Dampak Rupiah Keuangan Pemerintah APBN 2002 ...................................... 121Tabel 7.7 Dampak Valuta Asing Keuangan Pemerintah APBN 2002 ............................... 122Tabel 7.8 Asumsi Pokok APBN 2003.................................................................... 122
Daftar Tabel Dan Grafik
vii
Tabel 7.9 Pendapatan Negara dan Hibah ............................................................. 125Tabel 7.10 Belanja Negara ............................................................................... 127Tabel 7.11 Operasi Keuangan Pemerintah ............................................................. 129Tabel 7.12 Stimulus Fiskal ............................................................................... 130Tabel 7.13 Dampak Rupiah Operasi Keuangan Pemerintah ......................................... 130Tabel 7.14 Dampak Valuta Asing Operasi Keuangan Pemerintah ................................... 131Tabel 8.1 Perkembangan Jumlah Bank dan Kantor Bank ........................................... 154Tabel 8.2 Indikator Kinerja Bank Umum .............................................................. 155Tabel 8.3 Perkembangan Dana Pihak Ketiga Perbankan............................................ 156Tabel 8.4 Perkembangan Posisi Kredit Perbankan .................................................. 157Tabel 8.5 Perkembangan Realisasi Kredit Baru ...................................................... 158Tabel 8.6 Perkembangan Kredit UKM (Pagu di bawah Rp5,0 Miliar).............................. 159Tabel 8.7 Perkembangan Jaringan Kantor Perbankan Syariah .................................... 161Tabel 8.8 Perkembangan Pangsa Kegiatan Usaha Perbankan Syariah Terhadap Perbankan
Nasional ....................................................................................... 162Tabel 8.9 Realisasi PYD Perbankan Syariah kepada Sektor UKM .................................. 163Tabel 8.10 Perkembangan Usaha BPR .................................................................. 165Tabel 8.11 Perkembangan Kinerja Perusahaan Pembiayaan ........................................ 166Tabel 8.12 Perkembangan Sumber dan Penggunaan Dana Perusahaan Pembiayaan ............ 166Tabel 8.13 Rincian Pembiayaan Menurut Sektor Ekonomi .......................................... 167Tabel 8.14 Perkembangan Kualitas Aktiva Produktif Perusahaan Pembiayaan................... 168Tabel 8.15 Perkembangan Kinerja Perum Pegadaian ................................................ 169Tabel 9.1 Perkembangan Posisi UYD .................................................................. 186Tabel 9.2 Perkembangan Penemuan Uang Palsu Per Pecahan..................................... 188Tabel 9.3 Pangsa Transaksi BI-RTGS Berdasarkan Pelaku .......................................... 189Tabel 9.4 Peta Aliran Dana Antar Rekening .......................................................... 190Tabel 10.1 Beberapa Indikator Ekonomi Dunia ...................................................... 199Tabel 11.1 Pertumbuhan Ekonomi di Berbagai Kawasan Dunia .................................... 220Tabel 11.2 Perkembangan Inflasi dan Suku Bunga Internasional ................................... 221Tabel 11.3 Proyeksi Produksi Permintaan Minyak Dunia ............................................. 222Tabel 11.4 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sisi Pengeluaran ....................................... 223Tabel 11.5 Prediksi Pertumbuhan PDB Sektoral 2002-2003 ......................................... 227Tabel 11.6 Proyeksi Neraca Pembayaran Indonesia .................................................. 231Tabel 11.7 Rencana dan Prakiraan Penerapan Kebijakan Pemerintah di Bidang Harga dan
Pendapatan Tahun 2003 ..................................................................... 236Tabel 11.8 Perbandingan Harga Jual BBM 2002 dan Prakiraan Harga Jual BBM 2003 ........... 236Tabel 11.9 Lintasan Indikatif Sasaran Inflasi IHK Jangka Menengah ............................... 241
viii
GRAFIK
Grafik 2.1 Pertumbuhan Konsumsi Tahunan........................................................... 29Grafik 2.2 Indeks Riil Penjualan Eceran ............................................................... 29Grafik 2.3 Survei Penjualan Eceran .................................................................... 29Grafik 2.4 Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga .................................................... 30Grafik 2.5 Penjualan Sepeda Motor .................................................................... 30Grafik 2.6 Penjualan Van dan Sedan ................................................................... 30Grafik 2.7 Perkembangan Kredit Konsumsi ........................................................... 30Grafik 2.8 Perkembangan Biaya Konsumen ........................................................... 31Grafik 2.9 Survei Konsumen ............................................................................. 31Grafik 2.10 Perkembangan Impor Barang Konsumsi ................................................... 32Grafik 2.11 Penjualan Truk ................................................................................ 34Grafik 2.12 Produksi Semen............................................................................... 34Grafik 2.13 Pertumbuhan Investasi Berdasarkan Jenis ............................................... 34Grafik 2.14 Perkembangan Kredit Investasi ............................................................ 34Grafik 2.15 Pertumbuhan Ekspor-Impor Barang dan Jasa ............................................ 36Grafik 2.16 Kontribusi Terhadap Pertumbuhan ........................................................ 37Grafik 2.17 Survei Kegiatan Dunia Usaha ............................................................... 38Grafik 2.18 Indeks Produksi ............................................................................... 38Grafik 2.19 Produksi Kendaraan Bermotor ............................................................. 39Grafik 2.20 Incremental Capital-Output Ratio (ICOR) ................................................ 41Grafik 2.21 Proporsi Pekerja Formal dan Informal .................................................... 43Grafik 2.22 Tingkat Pengangguran Terbuka dan Jumlah Tenaga Kerja Terkena PHK ............. 43Grafik 2.23 Penggunaan Tenaga Kerja ................................................................... 44Grafik 2.24 UMR/UMP...................................................................................... 44Grafik 2.25 Pertumbuhan UMR/UMP Riil ................................................................ 45Grafik 2.26 Kasus Pemogokan dan Jam Kerja yang Hilang ........................................... 45Grafik 2.27 Pendapatan Per Kapita Riil ................................................................. 45Grafik 3.1 Perkembangan Rata-Rata (Bulanan) Nilai Tukar Rupiah Tahun 2002 ................. 48Grafik 3.2 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah dan Faktor Sentimen Tahun 2002 ................ 50Grafik 3.3 Perkembangan Premi Swap ................................................................. 53Grafik 3.4 Kurva Yield Swap ............................................................................. 53Grafik 3.5 Covered Interest Rate Parity ............................................................... 53Grafik 3.6 Arah Perkembangan Nilai Tukar Rupiah dan Premi Risiko.............................. 53Grafik 3.7 Volatilitas Nilai Tukar Rupiah............................................................... 55Grafik 3.8 Penawaran dan Permintaan Valas di Pasar Spot ......................................... 56Grafik 3.9 Volume Transaksi Spot dan Volatilitas Nilai Tukar ...................................... 57Grafik 3.10 Komposisi Transaksi Devisa Antarbank Khusus Dolar-Rupiah .......................... 57Grafik 3.11 Real Effective Exchange Rate .............................................................. 58Grafik 3.12 Bilateral Real Exchange Rate .............................................................. 58Grafik 4.1 Perkembangan Inflasi IHK Tahunan dan Bulanan ........................................ 62
ix
Grafik 4.2 Inflasi IHK dan Inflasi Inti ................................................................... 63Grafik 4.3 Indeks Harga Pedagang Besar (IHPB) Umum ............................................. 63Grafik 4.4 Inflasi Harga Aset dan PDB Deflator ....................................................... 63Grafik 4.5 Inflasi IHK dan Administered Price ........................................................ 67Grafik 4.6 Ekspektasi Kenaikan Harga (Survei Konsumen) .......................................... 68Grafik 4.7 Ekspektasi Kenaikan Harga 1 Bulan ke Depan (Survei Penjualan Eceran) ........... 68Grafik 4.8 Inflasi Makanan dan Bukan Makanan ...................................................... 69Grafik 4.9 Inflasi Traded dan Non-Traded ............................................................. 70Grafik 4.10 IHPB Impor dan Nilai Tukar ................................................................. 70Grafik 5.1 Target Indikatif dan Aktual Uang Primer ................................................. 73Grafik 5.2 Pertumbuhan Uang Kartal dan Uang Primer ............................................. 74Grafik 5.3 Suku Bunga Instrumen Moneter ............................................................ 74Grafik 5.4 Pertumbuhan Tahunan Test Date Uang Primer ........................................... 76Grafik 5.5 Pertumbuhan Tahunan Uang Kartal ....................................................... 77Grafik 5.6 Net Domestic Assets ......................................................................... 78Grafik 5.7 Net International Reserve .................................................................. 78Grafik 5.8 Perkembangan M1 Nominal ................................................................. 79Grafik 5.9 Perkembangan M2 Nominal ................................................................. 79Grafik 5.10 APU1, APU2, dan Rasio C/DPK ............................................................. 79Grafik 5.11 Pertumbuhan M1 Riil dan M2 Riil .......................................................... 80Grafik 5.12 Posisi Uang Kartal dan Simpanan Giro .................................................... 80Grafik 5.13 Posisi Simpanan Rupiah ..................................................................... 81Grafik 5.14 Nilai dan Suku Bunga PUAB Rupiah ........................................................ 82Grafik 5.15 PUAB Valas .................................................................................... 83Grafik 5.16 Net Pemberi dan Penerima di PUAB Pagi dan Sore ..................................... 83Grafik 5.17 Net Pemberi dan Penerima di PUAB Valas................................................ 84Grafik 5.18 Suku Bunga Perbankan ...................................................................... 85Grafik 5.19 Suku Bunga Riil ............................................................................... 86Grafik 5.20 Suku Bunga Deposito Riil Beberapa Negara .............................................. 86Grafik 5.21 Perkembangan IHSG dan LQ 45 ............................................................ 87Grafik 5.22 Pergerakan Indeks Saham di Beberapa Bursa ........................................... 88Grafik 5.23 Nilai dan Volume Perdagangan ............................................................. 88Grafik 5.24 Net Beli/Jual Asing .......................................................................... 89Grafik 5.25 Perkembangan Volume dan Frekuensi Transaksi Perdagangan Obligasi Pemerintah ... 91Grafik 5.26 Perkembangan Volume Transaksi Perdagangan Obligasi Menurut Jenis Transaksi ...... 91Grafik 5.27 Kepemilikan Obligasi Pemerintah ......................................................... 92Grafik 6.1 Transaksi Berjalan, Neraca Perdagangan, dan Neraca Jasa ........................... 99Grafik 6.2 Nilai Ekspor Nonmigas dan Migas .......................................................... 99Grafik 6.3 Pangsa Ekspor Nonmigas .................................................................... 100Grafik 6.4 Pangsa Ekspor Nonmigas Menurut Kawasan Negara Tujuan ........................... 102Grafik 6.5 Pangsa Impor Nonmigas Menurut Kawasan Negara Asal ................................ 104Grafik 6.6 Pangsa Utang Luar Negeri .................................................................. 106
x
Grafik 6.7 Cadangan Devisa ............................................................................. 108Grafik 7.1 Perkembangan Penerimaan Pajak dan Bukan Pajak ( Persen Terhadap
Pendapatan Negara) ......................................................................... 114Grafik 7.2 Komponen Pendapatan Negara ............................................................ 114Grafik 7.3 Komponen Belanja Negara ................................................................. 116Grafik 7.4 Komponen Pembiayaan Defisit ............................................................. 119Grafik 7.5 Dampak Operasi Keuangan Pemerintah terhadap Sektor Riil (Persen Terhadap
PDB a/d Harga Berlaku) ..................................................................... 119Grafik 7.6 Perkembangan Penerimaan Pajak dan Bukan Pajak (Persen Terhadap Pendapatan
Negara) ........................................................................................ 123Grafik 7.7 Komponen Pendapatan Negara ............................................................ 124Grafik 7.8 Komponen Belanja Negara ................................................................. 126Grafik 7.9 Komponen Pembiayaan Defisit ............................................................. 126Grafik 7.10 Dampak Operasi Keuangan Pemerintah terhadap Sektor Riil (Persen Terhadap
PDB a/d Harga Berlaku) ..................................................................... 128Grafik 8.1 Pangsa Aset Per Kelompok Bank ........................................................... 155Grafik 8.2 Komposisi Aktiva Produktif ................................................................. 155Grafik 8.3 Perkembangan DPK, Kredit dan LDR ...................................................... 159Grafik 8.4 Perkembangan NPLs ......................................................................... 160Grafik 8.5 Perkembangan Net Interest Income (NII) ................................................ 160Grafik 8.6 Perkembangan Modal Perbankan .......................................................... 161Grafik 8.7 Perkembangan Kegiatan Usaha Perbankan Syariah ..................................... 162Grafik 8.8 Perkembangan Penghimpunan Dana Perbankan Syariah ............................... 162Grafik 8.9 Perkembangan Pembiayaan Nonlancar (Gross) Bank Syariah ......................... 163Grafik 8.10 Perkembangan Kinerja Perum Pegadaian ................................................ 168Grafik 9.1 Perkembangan Posisi Kas ................................................................... 187Grafik 9.2 Perkembangan PTTB......................................................................... 187Grafik 9.3 Perkembangan Jumlah Inflow dan Outflow .............................................. 188Grafik 9.4 Aktivitas Harian BI-RTGS Tahun 2002 ..................................................... 189Grafik 9.5 Sistim Pembayaran Nontunai ............................................................... 189Grafik 9.6 Waktu Penggunaan BI-RTGS ................................................................ 190Grafik 9.7 Nominal Kliring Nasional .................................................................... 190Grafik 9.8 Volume Kliring Penyerahan ................................................................. 191Grafik 9.9 Transaksi Kartu Kredit, Kartu Debit, dan ATM ........................................... 191Grafik 9.10 Jumlah Mesin ATM............................................................................ 191Grafik 10.1 Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara Industri Utama ................................ 199Grafik 10.2 Perkembangan Inflasi Negara-Negara Industri Utama .................................. 199Grafik 10.3 Suku Bunga Fed Fund ........................................................................ 201Grafik 10.4 Perkembangan Suku Bunga LIBOR ......................................................... 205Grafik 11.1 Perkembangan Harga Komoditas Pertanian .............................................. 222Grafik 11.2 Leading Indikator Ekonomi ................................................................. 223Grafik 11.3 Indeks Survei Konsumen .................................................................... 224
xi
Grafik 11.4 Komponen Indeks Ekspektasi Konsumen .................................................. 224Grafik 11.5 Rencana Konsumsi dalam 6-12 Bulan yang Akan Datang ............................... 224Grafik 11.6 Perkembangan Harga Komoditas Mineral ................................................ 226Grafik 11.7 Perkembangan Komposit Inflasi Beberapa Mitra Dagang .............................. 235Grafik 11.8 Ekspektasi Inflasi Berdasarkan Consensus Forecast .................................... 235Grafik 11.9 Ekspektasi Harga Penjual Eceran .......................................................... 236
xii
Dewan Gubernur Bank Indonesia
DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIAPer Tanggal 31 Desember 2002
Duduk dari kiri ke kanan :SYAHRIL SABIRIN, Gubernur. ANWAR NASUTION, Deputi Gubernur Senior.
Berdiri dari kiri ke kanan :AULIA POHAN, Deputi Gubernur. MAMAN H. SOMANTRI, Deputi Gubernur. MIRANDA S. GOELTOM, Deputi Gubernur.
ASLIM TADJUDDIN, Deputi Gubernur. MAULANA IBRAHIM, Deputi Gubernur. BUN BUNAN E.J. HUTAPEA, Deputi Gubernur.
xiii
Kata Pengantar
Kata Pengantar
Dengan mengucapkan Bismillahirrahmaanirrahiim perkenankan saya mengantarkan
penerbitan Laporan Tahunan Bank Indonesia tahun 2002. Laporan ini adalah salah satu wujud
akuntabilitas Bank Indonesia sebagaimana diatur di dalam pasal 58 Undang-undang No. 23 tahun
1999 tentang Bank Indonesia. Laporan ini menyajikan langkah-langkah kebijakan yang telah diambil
dan hasil-hasil yang telah dicapai oleh Bank Indonesia di bidang moneter, perbankan, dan sistem
pembayaran selama tahun 2002 serta arah kebijakan Bank Indonesia tahun 2003. Laporan ini
juga menguraikan perkembangan dan permasalahan yang terjadi pada perekonomian Indonesia
dan internasional selama tahun 2002 serta prospeknya di tahun 2003.
Dalam tahun 2002 upaya kita untuk keluar dari krisis ekonomi telah menunjukkan hasil-
hasil yang cukup membesarkan hati, meskipun tidak berlangsung secepat yang kita harapkan.
Di sektor keuangan, program restrukturisasi perbankan telah mulai menunjukkan hasil yang positif.
Kondisi kesehatan perbankan mulai membaik sehingga telah memungkinkan bank-bank untuk
meningkatkan pemberian kredit serta penyaluran dana dalam bentuk lainnya, sehingga pelaksanaan
fungsi intermediasi perbankan sedikit demi sedikit mulai pulih kembali. Di sektor fiskal, berbagai
upaya pengurangan subsidi serta pengurangan beban utang dalam dan luar negeri pemerintah
telah mulai memberikan ruang gerak bagi Pemerintah dalam memberikan stimulus kepada
perekonomian. Dengan didukung oleh langkah tegas namun bijaksana oleh Pemerintah dalam
menangani kasus-kasus separatisme dan terorisme di dalam negeri, ketegangan sosial-politik dan
kerawanan keamanan di beberapa daerah konflik telah mulai berkurang. Kebijakan moneter dan
xiv
fiskal yang konsisten dan didukung oleh faktor kestabilan politik, perbaikan keamanan, serta
beberapa kemajuan yang dicapai dalam program restrukturisasi ekonomi telah membantu
tercapainya kestabilan ekonomi dan moneter selama tahun 2002.
Kondisi moneter di sepanjang tahun 2002 cukup stabil dan terkendali, baik dari sisi nilai
tukar rupiah, inflasi, maupun jumlah uang beredar, sehingga telah memungkinkan terjadinya
penurunan suku bunga secara signifikan. Nilai tukar rupiah secara rata-rata mengalami apresiasi
sebesar 10% disertai dengan volatilitas yang lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya sehingga
oleh berbagai pihak serta media massa disebut sebagai the best-performing currency in Asia dalam
tahun 2002. Kekhawatiran banyak kalangan bahwa tragedi bom di Bali bulan Oktober yang lalu
akan menyebabkan nilai tukar rupiah terpuruk telah berhasil dihindari. Didukung oleh berkurangnya
ekspektasi inflasi di kalangan masyarakat, laju inflasi menurun dari 12,55% pada tahun 2001
menjadi 10,03% pada tahun 2002, setelah sebelumnya selama dua tahun berturut-turut mengalami
peningkatan. Laju inflasi tahun 2002 ini hanya berada sedikit di atas sasaran yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia sebesar 9% - 10%. Situasi moneter yang stabil telah memberikan ruang gerak bagi
Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga secara bertahap. Selama tahun 2002 suku bunga
SBI 1 bulan telah turun sebesar 469 basis points, yaitu dari 17,62% pada akhir 2001 menjadi
12,93% pada akhir 2002, diikuti oleh penurunan jenis-jenis suku bunga lainnya.
Perkembangan makroekonomi yang positif tersebut telah memberikan harapan bagi
percepatan pemulihan ekonomi Indonesia di tahun-tahun mendatang. Meskipun belum optimal,
iklim yang positif ini telah dimanfaatkan oleh perbankan untuk melakukan restrukturisasi kredit,
memperkuat struktur permodalan, dan meningkatkan penyaluran kredit. Secara keseluruhan, selama
tahun 2002 bank-bank umum telah menyalurkan kredit baru sebesar Rp79,4 triliun, meningkat
dibandingkan dengan jumlah kredit baru selama tahun 2001 sebesar Rp56,8 triliun. Sekitar 41%
dari jumlah kredit baru tahun 2002 tersebut disalurkan pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah
(UKM). Perkembangan yang menggembirakan juga terjadi pada perbankan syariah, baik dari sisi
jumlah bank dan jaringan kantor cabangnya, maupun dari sisi aset, dana pihak ketiga, dan
pembiayaan yang diberikan. Sementara itu, suku bunga simpanan yang menurun telah meningkatkan
minat investor terhadap obligasi. Di sektor riil, kondisi moneter yang stabil telah memberikan
xv
kesempatan kepada dunia usaha untuk melakukan restrukturisasi keuangan secara internal serta
membantu masyarakat dalam mempertahankan tingkat konsumsinya. Penurunan suku bunga juga
telah mendorong perusahaan bereputasi baik untuk mencari alternatif pembiayaan dari pasar
keuangan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Sekalipun demikian, masih banyak tantangan yang harus dijawab untuk mewujudkan
prospek ekonomi yang lebih baik. Berbagai perkembangan yang terjadi dan kemajuan yang dicapai
dalam tahun 2002 cukup menjanjikan harapan bagi percepatan pemulihan ekonomi di tahun 2003.
Namun, aktivitas di sektor riil selama tahun 2002 yang masih berjalan lambat, dengan laju
pertumbuhan ekonomi yang mencapai 3,7%, memperlihatkan masih banyaknya tantangan yang
harus dihadapi guna mewujudkan harapan itu. Dari sisi eksternal, prospek perekonomian dunia di
tahun 2003 secara keseluruhan diperkirakan akan membaik namun disertai oleh meningkatnya
ketidakpastian. Tantangan yang dihadapi oleh Indonesia semakin meningkat dengan bergabungnya
Cina ke dalam WTO, munculnya negara-negara pesaing baru di kawasan regional, dan mulai
diberlakukannya AFTA pada tahun ini. Dari sisi internal, berbagai permasalahan struktural,
khususnya yang terkait dengan penegakan hukum, otonomi daerah, dan ketenagakerjaan, yang
tahun lalu telah menyebabkan sektor riil kurang responsif terhadap perbaikan kondisi makroekonomi,
tahun ini diperkirakan masih akan membatasi pertumbuhan investasi dan ekspor. Selain itu, tensi
sosial-politik menjelang Pemilu 2004 diperkirakan akan meningkat. Berbagai permasalahan
eksternal dan internal tersebut diperkirakan akan mempengaruhi upaya optimalisasi fungsi
intermediasi perbankan pada khususnya dan pemulihan ekonomi pada umumnya.
Di tengah berbagai tantangan yang harus kita hadapi, Bank Indonesia memandang
prospek pertumbuhan ekonomi tahun 2003 secara umum akan lebih baik daripada tahun
sebelumnya. Kondisi makroekonomi yang stabil diperkirakan masih terus berlangsung pada tahun
ini sehingga dapat menciptakan ekspektasi positif di kalangan pelaku usaha dan mendorong
berlanjutnya pemulihan fungsi intermediasi perbankan. Kenaikan stimulus fiskal dan mulai
berjalannya proyek-proyek besar yang selama ini terbengkalai akan memberikan dampak multi-
plier di berbagai sektor perekonomian. Sekalipun membaik, ruang lingkup pemulihan ekonomi
diperkirakan masih terbatas. Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan masih bertumpu pada
xvi
kegiatan konsumsi. Sementara itu, investasi dan ekspor diperkirakan mulai tumbuh positif tetapi
tidak terlalu signifikan. Dalam situasi demikian, pertumbuhan ekonomi tahun 2003 diprakirakan
pada kisaran 3,5% - 4,0%.
Nuansa optimisme dalam melihat prospek ekonomi ke depan juga diperlihatkan oleh
kalangan perbankan nasional sebagaimana terlihat pada rencana sebagian besar bank untuk
meningkatkan ekspansi kredit dalam tahun 2003. Namun, perbankan tampaknya masih akan
dihadapkan pada pilihan pasar yang terbatas mengingat kinerja sektor korporasi belum banyak
yang dapat diharapkan. Solusi yang tersedia adalah dengan memanfaatkan bisnis kecil dan
menengah (UKM) sebagai fokus pertumbuhan kredit. Guna memanfaatkan peluang tersebut,
perbankan nasional telah merencanakan untuk meningkatkan plafon kredit baru pada sektor UKM,
yaitu dari sebesar Rp30,89 triliun pada tahun 2002 menjadi Rp42,3 triliun pada tahun 2003.
Kestabilan moneter diperkirakan dapat terus berlanjut dalam tahun 2003. Nilai tukar
rupiah diprakirakan masih dapat menguat dan bergerak stabil pada kisaran Rp8.800 -Rp9.200 per
dolar Amerika Serikat. Secara fundamental, kestabilan nilai tukar rupiah tersebut antara lain
didukung oleh kondisi neraca pembayaran yang diperkirakan masih akan mengalami surplus.
Sekalipun demikian, terdapat beberapa faktor risiko yang perlu diwaspadai dampak negatifnya
terhadap kestabilan nilai tukar, yaitu meningkatnya suhu politik menjelang Pemilu 2004 dan
kemungkinan melemahnya mata uang regional akibat flight to safety jika terjadi serangan Amerika
Serikat ke Irak. Sementara itu, tekanan inflasi di tahun 2003 diprakirakan lebih rendah dari tahun
sebelumnya. Hal ini didukung oleh relatif menguatnya nilai tukar rupiah dan menurunnya ekspektasi
inflasi di kalangan masyarakat. Sumber utama inflasi tahun 2003 diprakirakan masih berasal dari
dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan.
Untuk memperkuat kestabilan makroekonomi, Bank Indonesia akan mengupayakan
penurunan laju inflasi secara gradual sesuai dengan sasaran inflasi jangka menengah sebesar
6% - 7% pada tahun 2006. Komitmen pada upaya pencapaian sasaran inflasi jangka menengah
ini sangat diperlukan untuk mendukung penurunan ekspektasi inflasi masyarakat. Sejalan dengan
prospek makroekonomi tahun 2003 dan sasaran inflasi jangka menengah tersebut, Dewan Gubernur
Bank Indonesia telah menetapkan sasaran inflasi untuk tahun 2003 sebesar 9% dengan deviasi
xvii
sebesar satu angka persentase. Pertumbuhan uang primer yang konsisten dengan sasaran inflasi
tersebut diperkirakan rata-rata sekitar 13%. Dalam hal ini, penurunan suku bunga diperkirakan
masih dimungkinkan sepanjang tidak mengganggu kestabilan nilai tukar rupiah dan pencapaian
sasaran inflasi. Untuk mendukung pencapaian sasaran inflasi, Bank Indonesia akan berupaya
secara konsisten menempuh kebijakan-kebijakan yang diperlukan, baik di bidang moneter,
perbankan, maupun sistem pembayaran.
Demikianlah sekelumit gambaran kinerja ekonomi Indonesia di tahun 2002 serta prospek
ekonomi dan arah kebijakan Bank Indonesia di tahun 2003 yang uraiannya secara panjang lebar
terdapat di dalam laporan ini. Semoga laporan ini dapat menjadi bahan referensi yang bermanfaat
bagi para pembaca.
Akhir kata, saya atas nama Dewan Gubernur Bank Indonesia mengucapkan terima kasih
kepada seluruh pimpinan dan karyawan Bank Indonesia yang selama tahun 2002 yang lalu telah
bekerja keras secara profesional dalam mengemban amanat Undang-undang No. 23 tahun 1999
tentang Bank Indonesia. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada berbagai pihak di luar
Bank Indonesia yang selama ini telah memberikan bantuan dan kerja sama yang tulus kepada
Bank Indonesia. Semoga Tuhan Yang Maha Pemurah selalu melimpahkan ridha-Nya dan
memberikan kemudahan kepada kita semua dalam melangkah menuju ke masa depan yang lebih
baik.
Jakarta, Februari 2003
GUBERNUR BANK INDONESIA
Syahril Sabirin
2
Tinjauan Umum
tumbuh sebesar 9,1% lebih rendah dari sasaran
indikatifnya sebesar 13%-14%. Kondisi moneter yang
stabil tersebut telah menyebabkan tingkat inflasi IHK
selama 2002 mengalami kecenderungan yang menurun
hingga mencapai 10,03%, sedikit di atas sasaran
inflasi yang telah ditetapkan 9%-10%. Menurunnya
tekanan inflasi selama tahun laporan juga tercermin
dari kecenderungan inflasi inti1 yang menurun hingga
mencapai 6,96%. Kecenderungan penurunan inflasi ini
konsisten dengan proses disinflasi yang telah
ditetapkan Bank Indonesia (BI) dengan sasaran inflasi
jangka menengah sebesar 6%-7% pada 2006.
Membaiknya kondisi moneter yang terjadi
selama 2002 telah memberikan iklim yang positif bagi
perekonomian seperti yang tercermin dari membaiknya
ekspektasi dunia usaha terhadap proses pemulihan
ekonomi. Iklim yang positif ini juga dimanfaatkan oleh
perbankan untuk memperbaiki kondisi internalnya
melalui restrukturisasi kredit dan penguatan struktur
permodalan sehingga mampu meningkatkan ekspansi
kredit perbankan walaupun belum seperti yang
diharapkan. Di sektor dunia usaha, penurunan suku
bunga secara umum telah memberikan optimisme
TINJAUAN UMUM
S elama 2002, secara umum kondisi
perekonomian Indonesia menunjukkan
perkembangan positif yang ditandai dengan semakin
stabilnya kondisi makroekonomi. Kebijakan moneter
dan fiskal yang konsisten didukung oleh beberapa
kemajuan yang dicapai dalam restrukturisasi ekonomi
telah membantu tercapainya kestabilan ekonomi dan
moneter selama tahun laporan. Nilai tukar menguat
secara signifikan dengan pergerakan yang stabil,
uang primer terkendali berada di bawah sasaran
indikatifnya, sementara agregat moneter lainnya, M1
dan M2, mengalami pertumbuhan walaupun
melambat. Perkembangan positif ini telah mendorong
penurunan tingkat inflasi, setelah selama dua tahun
berturut-turut mengalami peningkatan. Membaiknya
prospek inflasi, terkendalinya uang primer, serta
perkembangan nilai tukar yang stabil dan cenderung
menguat tersebut telah memberikan ruang gerak
bagi kebijakan moneter untuk secara bertahap dan
konsisten menurunkan suku bunga dalam rangka
memberikan sinyal yang positif bagi proses
pemulihan ekonomi.
Secara keseluruhan tahun, suku bunga SBI
mengalami penurunan yang sangat signifikan, dari
17,62% menjadi 12,93%. Nilai tukar mengalami
apresiasi secara signifikan sebesar 10,10% sehingga
mencapai rata-rata Rp9.316 per dolar. Uang primer
1B A B
1 Inflasi inti dihitung dengan pendekatan exclusion, yaitu denganmengeluarkan barang-barang yang tergolong dalam administeredprice dan volatile food dari keranjang IHK. Volatile food adalah barang-barang dalam keranjang IHK yang pergerakan harganya sangatberfluktuasi, antara lain : beras, daging ayam ras, daging sapi, lombokmerah, lombok rawit, minyak goreng.
Kondisi moneter yang stabil selama 2002 telah menyebabkan tingkatinf lasi IHK mengalami kecenderungan yang menurun hinggamencapai 10,03%, sedikit di atas sasaran inflasi yang telah ditetapkan9%-10%.
3
Tinjauan Umum
pelaku usaha akan prospek pemulihan ekonomi dan
memberikan kesempatan kepada sektor korporat untuk
melakukan restrukturisasi keuangan. Ditengah masih
terbatasnya pembiayaan dari perbankan, kondisi
tersebut telah memberikan peluang yang lebih luas bagi
perusahaan dengan reputasi baik untuk memperoleh
alternatif pembiayaan melalui penerbitan obligasi baik
dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Sementara
itu, di sektor rumah tangga, penurunan suku bunga
tersebut telah mendorong peningkatan konsumsi.
Namun demikian, keberhasilan dalam mencapai
berbagai perbaikan indikator makro dan moneter
masih dihadapkan pada permasalahan struktural
sehingga perekonomian Indonesia tidak terlalu
responsif terhadap perbaikan yang telah dicapai.
Tingginya risiko di sektor riil yang ditimbulkan oleh
permasalahan struktural, seperti ketidakpastian
hukum, ketidakpastian regulasi investasi akibat
otonomi daerah, masalah perburuhan, dan faktor
keamanan menyebabkan sumber-sumber
pertumbuhan ekonomi yang berasal dari investasi
dan ekspor masih terbatas.
Dengan adanya permasalahan struktural
tersebut di atas, secara keseluruhan selama 2002
perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh
sebesar 3,7% dan masih bertumpu pada konsumsi,
sementara peranan investasi dan ekspor dalam
mendorong pertumbuhan masih terbatas. Di sisi
eksternal, masih lemahnya perekonomian global,
meningkatnya persaingan di Asia dalam menarik
minat investasi asing, dan mulai menurunnya daya
saing Indonesia memperburuk kinerja ekspor.
Walaupun demikian, dengan keberhasilan
restrukturisasi utang luar negeri (swasta dan
pemerintah), secara umum Neraca Pembayaran In-
donesia mengalami perbaikan selama 2002.
Ke depan, prospek pemulihan ekonomi Indonesia
2003 diprakirakan akan sedikit membaik dengan
pertumbuhan ekonomi diprakirakan sebesar 3,5%-4,0%,
walaupun berbagai risiko dan ketidakpastian di dalam
negeri terutama menjelang dilangsungkannya Pemilu
2004 perlu terus diwaspadai. Masih lemahnya
perekonomian global dan persepsi negatif masyarakat
internasional terhadap keamanan Indonesia akan
memberikan tekanan pada ekspor dan arus modal dari
luar negeri akan membatasi investasi Indonesia.
Dengan demikian, prospek ekonomi Indonesia 2003
diprakirakan masih tergantung pada kinerja
konsumsi. Ketergantungan pertumbuhan ekonomi
yang semakin besar terhadap konsumsi yang telah
berlangsung sejak krisis tentu saja kurang
menggembirakan mengingat pertumbuhan seperti ini
tidak menjamin pertumbuhan yang berkesinambungan
(sustainable). Oleh sebab itu, berbagai upaya perlu
dilakukan untuk terus memperbaiki iklim investasi
dan ekspor melalui serangkaian langkah mengatasi
berbagai permasalahan mendasar, baik melalui
kebijakan struktural yang dapat menciptakan insentif
seperti kebijakan perpajakan, perburuhan dan
keamanan, maupun dari segi pembiayaan.
Laju inflasi pada 2003 diprakirakan sedikit
mengalami penurunan. Dari sisi permintaan,
tekanan inflasi diprakirakan t idak terlalu
signifikan seiring dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi yang masih moderat. Sementara itu,
tekanan inflasi yang bersumber dari passthrough
nilai tukar diprakirakan juga tidak terlalu kuat
seiring dengan menguatnya nilai tukar dibanding
4
Tinjauan Umum
tahun 2002 walaupun risiko melemahnya rupiah
menjelang diselenggarakannya Pemilu tetap harus
diwaspadai. Di sisi lain, tekanan inflasi yang
bersumber dari dampak kebijakan pemerintah di
bidang harga dan pendapatan diprakirakan masih
relatif tinggi walaupun lebih rendah dibanding tahun-
tahun sebelumnya. Dengan memperhatikan prakiraan-
prakiraan tersebut di atas, BI menetapkan sasaran
inflasi IHK yang dipandang cukup realistis yang
sesuai dengan kondisi perekonomian pada 2003,
yaitu sebesar 9% dengan deviasi sebesar 1%.
Untuk mencapai sasaran laju inflasi tersebut,
kebijakan moneter BI diarahkan pada upaya
pengendalian uang primer dengan fokus pada
penyerapan kelebihan likuiditas perbankan agar tetap
sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian. Dalam
produksi dan investasi di sektor riil yang sangat
diperlukan untuk memperbaiki struktur pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Sementara itu, kebijakan di
bidang sistem pembayaran akan diarahkan pada upaya
peningkatan efisiensi, efektivitas serta keamanan
sistem pembayaran guna mendorong terwujudnya
sistem pembayaran yang aman dan efisien serta
menjaga stabilitas sistem keuangan dari kemungkinan
terjadinya kegagalan sistemik.
EVALUASI PEREKONOMIAN INDONESIA TAHUN
2002
Kondisi Ekonomi Makro
Bersamaan dengan membaiknya indikator-
indikator makro moneter seperti nilai tukar, inflasi,
dan suku bunga, perekonomian Indonesia selama 2002
kaitan ini, BI menetapkan sasaran pertumbuhan uang
primer sebesar 13%. Pencapaian sasaran uang primer
tersebut diprakirakan masih dapat membawa suku
bunga untuk cenderung menurun mengingat masih
longgarnya likuiditas perbankan. Secara operasional,
pengendalian moneter akan dilakukan dengan
mengoptimalkan instrumen-instrumen moneter yang
tersedia khususnya melalui operasi pasar terbuka
(OPT) dan sterilisasi valas untuk mengurangi tekanan
terhadap nilai tukar dan inflasi. Di bidang perbankan,
kebijakan BI akan diarahkan pada upaya memperkuat
ketahanan sistem perbankan, memperbaiki
infrastruktur sistem perbankan, serta upaya untuk
tetap mempercepat pemulihan fungsi intermediasi
perbankan, dalam rangka mendorong kegiatan
Perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 3,7% dengan konsumsimasih menjadi motor pertumbuhan.
secara umum masih mengindikasikan berlangsungnya
proses pemulihan ekonomi. Namun demikian,
pertumbuhan ekonomi hanya mampu mencapai 3,7%
disertai dengan belum seimbangnya struktur
pertumbuhan ekonomi. Ketidakseimbangan struktur
pertumbuhan ekonomi tersebut tercermin dari masih
besarnya ketergantungan pertumbuhan ekonomi pada
konsumsi (Tabel 1.1). Lebih dari itu, kinerja ekspor
dan investasi yang semula diprakirakan membaik justru
mengalami kontraksi selama tahun laporan. Sejalan
dengan perkembangan tersebut, impor juga mengalami
penurunan secara tajam, terutama impor bahan baku
dan barang modal. Di bidang tenaga kerja,
pertumbuhan ekonomi yang moderat tersebut
diprakirakan hanya mampu menampung tenaga kerja
5
Tinjauan Umum
sebesar 0,8 juta dari penambahan angkatan kerja
baru sebesar 1,7 juta selama 2002, sehingga jumlah
pengangguran terbuka mencapai 9,1 juta dengan
tingkat pengangguran terbuka sekitar 9,1%.
Dari sisi permintaan, pertumbuhan konsumsi
yang semula diprakirakan mengalami perlambatan
justru menunjukkan kinerja yang membaik dibanding
tahun sebelumnya. Konsumsi rumah tangga selama
2002 mengalami pertumbuhan sebesar 4,7%
sedangkan konsumsi pemerintah tumbuh sebesar
12,8%. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga ini
antara lain didorong oleh kenaikan upah minimum
yang cukup signifikan di awal tahun dan meningkatnya
pembiayaan konsumen baik yang disediakan oleh
perbankan maupun lembaga pembiayaan bukan
bank. Di sisi konsumsi pemerintah, pertumbuhan
yang cukup tinggi tersebut terutama didorong oleh
menurunnya beban subsidi pemerintah sehingga
memungkinkan peningkatan pengeluaran konsumsi.
Dari jumlah pengeluaran konsumsi tersebut,
sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai dan
pengeluaran rutin daerah.
Sementara itu, investasi yang diprakirakan
akan membaik pada paro kedua 2002 ternyata masih
menunjukkan kecenderungan yang kurang
menggembirakan sehingga secara keseluruhan justru
mengalami kontraksi sebesar 0,2%, jauh lebih rendah
dari tahun 2001 (7,7%) dan 2000 (13,8%).
Melambatnya pertumbuhan investasi ini konsisten
dengan melemahnya aktivitas konstruksi dan
menurunnya impor bahan baku dan barang-barang
modal seperti mesin dan peralatan. Memburuknya
pertumbuhan investasi juga diindikasikan dari
menurunnya nilai persetujuan investasi, baik PMA
maupun PMDN, yang masing-masing mengalami
penurunan sebesar 35,3% dan 57,0%. Dari sisi
pembiayaan, melemahnya investasi tercermin dari
masih terbatasnya kredit investasi bank. Di sisi
eksternal, ekspor mengalami pertumbuhan negatif
sebesar 1,2% yang jauh lebih rendah dibandingkan
Tabel 1.1Beberapa Indikator Makroekonomi
3,7
5,5
4,7
12,8
-0,2
-1,2
-8,3
1,7
4,0
6,2
3,6
7,8
5,6
8,05
4,72
9,85
7,99
9,06
5,97
12,93
12,42
12,81
18,25
17,82
10,03
4,0
32,2
6,4
9.316
Produk Domestik Bruto
Menurut Pengeluaran
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi Pemerintah
Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto
Ekspor Barang dan Jasa
Impor Barang dan Jasa
Menurut Lapangan Usaha
Pertanian
Industri pengolahan
Listrik, Gas dan Air Bersih
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi
Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
Agregat Moneter
Pertumbuhan M2
- Rata-Rata
- Akhir Periode
Pertumbuhan M1
- Rata-Rata
- Akhir Periode
Pertumbuhan Uang Primer
- Rata-Rata (test date)
- Akhir Periode
Suku Bunga
SBI (1 bulan)
PUAB (overnight)
Deposito (1 bulan)
Kredit Modal Kerja
Kredit Investasi
Inflasi
Neraca Pembayaran
Transaksi Berjalan/PDB
DSR
Cadangan Devisa Setara Impor Nonmigas
Rata-Rata Nilai Tukar (Rp/$)
200220012000
3,4
4,8
4,4
9,0
7,7
1,9
8,1
1,0
4,1
7,7
5,3
7,3
3,4
14,74
12,99
19,76
9,59
17,85
9,47
17,62
15,90
16,07
19,19
17,90
12,55
4,7
39,7
6,1
10.255
4,9
3,9
3,6
6,5
13,8
26,5
21,1
1,9
6,0
7,6
5,7
8,6
4,6
9,88
15,60
22,67
30,13
18,62
22,28
14,53
14,22
11,96
17,65
16,86
9,35
5
41
6
8.403
Rincian
Sumber: - BPS- Bank Indonesia
***
(Persen)
6
Tinjauan Umum
dengan pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 1,9%.
Rendahnya kinerja investasi dan ekspor
tersebut tidak terlepas dari masih tingginya risiko
investasi yang memperburuk daya saing
perekonomian Indonesia terkait dengan berbagai
masalah struktural yang masih ada. Di samping itu,
kinerja investasi dan ekspor diperburuk oleh
pertumbuhan ekonomi dunia yang masih lemah,
semakin tajamnya persaingan global, dan regional
serta masih berlangsungnya proteksionisme di
beberapa negara. Sejalan dengan masih lemahnya
investasi dan ekspor, impor juga mengalami
pertumbuhan negatif sebesar 8,3%.
Dari sisi produksi, seluruh sektor ekonomi
mencatat pertumbuhan yang positif, dengan sektor
pengangkutan dan komunikasi, dan sektor listrik, gas
dan air bersih menunjukkan pertumbuhan tertinggi,
masing-masing sebesar 7,8% dan 6,2%. Dilihat dari
sumbangan terhadap pertumbuhan, pertumbuhan
ekonomi 2002 terutama didorong oleh sektor industri
pengolahan, sektor pengangkutan dan komunikasi,
dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Walaupun
pertumbuhan sektor industri pengolahan masih
menjadi penyumbang terbesar, namun selama 2002
pertumbuhan sektor ini sedikit mengalami
perlambatan, yaitu tumbuh sebesar 4,0%, lebih rendah
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang
mencatat pertumbuhan sebesar 4,1%.
Sektor pengangkutan dan komunikasi
merupakan salah satu sektor yang juga terkena
dampak langsung dari tragedi Bali, walaupun sampai
akhir tahun laporan sektor ini masih tumbuh cukup
tinggi. Tingginya pertumbuhan tersebut terutama
berasal dari Subsektor Pengangkutan yang tercermin
dari meningkatnya jumlah penumpang maskapai
penerbangan udara sebagai akibat turunnya tarif
penerbangan. Untuk subsektor komunikasi, kegiatan
yang menyumbang pada pertumbuhan adalah
investasi perusahaan telepon swasta dan operator
telepon seluler.
Sektor perdagangan, hotel dan restoran masih
memberikan kontribusi yang cukup signifikan pada
pertumbuhan ekonomi, walaupun mengalami
perlambatan pertumbuhan (3,6%) terutama akibat
terjadinya tragedi Bali yang mengganggu kinerja
subsektor hotel dan restoran menjelang akhir tahun.
Sektor pertanian mengalami peningkatan
pertumbuhan. Membaiknya kinerja sektor ini
terutama didukung oleh meningkatnya produktivitas
dan perluasan lahan pertanian. Sementara itu, gejala
El Nino yang semula diperkirakan memberikan
dampak negatif ternyata tidak terjadi.
Di bidang fiskal, pelaksanaan keuangan pemerintah
selama 2002 masih mencerminkan langkah-langkah
konsolidasi pemerintah untuk menjamin kesinambungan
fiskal jangka menengah. Meskipun demikian, penurunan
defisit lebih cepat dari rencana semula, terutama karena
sangat rendahnya realisasi pengeluaran pembangunan.
Defisit keuangan pemerintah tercatat sebesar 1,7% dari
PDB, lebih rendah dari rencana semula sebesar 2,5% dari
PDB. Di sisi pendapatan, tax ratio hanya akan mencapai
12,7% dari PDB terutama karena tidak tercapainya tar-
get penerimaan PPh nonmigas dan PPN. Meskipun
demikian, tekanan dari sisi perpajakan ini dapat
diimbangi oleh lebih tingginya penerimaan negara
bukan pajak (PNBP) terutama dari sektor migas
sejalan dengan kenaikan harga minyak dunia. Secara
keseluruhan pendapatan negara tercatat 18,0% dari
7
Tinjauan Umum
PDB atau relatif sama dengan target semula.
Di sisi belanja negara, realisasi pengeluaran
rutin berada di bawah target meskipun beban
pembayaran bunga utang dalam negeri melampaui
target karena perkembangan suku bunga domestik
yang lebih tinggi dari asumsi APBN. Realisasi
pengeluaran pembangunan berada di bawah target
karena rendahnya tingkat penyerapan pinjaman luar
negeri khususnya pinjaman proyek. Sementara itu,
realisasi anggaran belanja untuk daerah relatif tidak
mengalami hambatan yang berarti dan berjalan sesuai
dengan target. Secara keseluruhan, realisasi belanja
negara tercatat 19,7% dari PDB, atau lebih rendah
4,7% dari target semula.
Dalam kaitannya dengan dampak pengeluaran
pemerintah terhadap perekonomian, pemerintah
masih terus melakukan stimulus fiskal pada tingkat
yang relatif sama dengan tahun lalu yaitu sekitar
11,8% terhadap PDB dimana 7,0% dari PDB
diantaranya dalam bentuk konsumsi dan 4,8% dari
PDB dalam bentuk investasi. Di sisi lain pembayaran
transfer turun secara signifikan yang dicapai
melalui pengurangan subsidi dari 5,2% menjadi 2,4%
dari PDB. Dari sisi moneter, perkembangan
pengeluaran rupiah pemerintah cukup kondusif
dalam mendukung operasi pengendalian moneter.
Ekspansi rupiah bersih pemerintah turun dibanding
tahun lalu dari Rp32,2 triliun menjadi sekitar Rp19,5
triliun. Seluruh jumlah ini diperkirakan akan dapat
diserap oleh BI mengingat pada periode yang sama
terjadi aliran devisa masuk bersih dari sektor
pemerintah setara Rp24,3 triliun.
Di sektor eksternal, Neraca Pembayaran Indone-
sia (NPI) menunjukkan kinerja yang membaik, yang
ditunjang oleh meningkatnya surplus transaksi berjalan
dan menurunnya defisit neraca modal. Membaiknya
transaksi berjalan terutama didukung oleh
meningkatnya kinerja ekspor. Sementara itu,
membaiknya kinerja neraca modal terutama
disebabkan oleh keberhasilan dalam merestrukturisasi
utang luar negeri.
Walaupun ekspor telah menunjukan kinerja
membaik, namun dengan masih adanya berbagai
kendala menyebabkan kinerja ekspor belum seperti
yang diharapkan. Mulai menurunnya daya saing ekspor
Indonesia dan masih lemahnya perekonomian dunia
serta semakin tajamnya persaingan global
menyebabkan kinerja ekspor barang dan jasa masih
terbatas. Rendahnya daya saing tersebut tercermin
dari menurunnya pangsa ekspor Indonesia di negara-
negara tujuan ekspor, sementara negara pesaing
seperti Cina menunjukkan peningkatan pangsa. Dari
dalam negeri, ekspor masih menghadapi kendala
terkait dengan masalah keamanan dan perburuhan
yang menyebabkan terjadinya relokasi usaha
sejumlah perusahaan. Sebagai akibatnya, selama
tahun laporan kinerja ekspor nonmigas hanya mampu
mencapai $45,3 miliar atau tumbuh1,0% dan ekspor
migas mencapai $12,7 miliar atau tumbuh 1,3%.
Impor secara keseluruhan mengalami peningkatan
sebesar 0,5% sehingga menjadi $34,8 miliar.
Peningkatan tersebut terutama berasal dari impor
migas yang tumbuh sebesar 15,0%, sementara impor
nonmigas mengalami penurunan sebesar 2,4%.
Defisit transaksi jasa-jasa pada 2002 mencapai
$15,9 miliar tidak jauh berbeda dengan defisit pada
2001 sebesar $15,8 miliar. Peristiwa tragedi Bali yang
diprakirakan akan menurunkan arus masuk turis dapat
8
Tinjauan Umum
diimbangi oleh menurunnya pembayaran bunga utang
luar negeri dan menurunnya pembayaran jasa sektor
minyak sejalan dengan menurunnya volume produksi
minyak. Secara keseluruhan, surplus transaksi
berjalan tahun 2002 diprakirakan mencapai $7,3 miliar
(3,9% dari PDB) lebih tinggi dari surplus tahun
sebelumnya sebesar $6,9 miliar (4,7% dari PDB).
Dari sisi neraca modal, kinerja transaksi modal
membaik dengan adanya penjadwalan dan
restrukturisasi utang serta tambahan arus modal masuk
sektor swasta. Keberhasilan pemerintah dalam
penjadwalan kembali utang melalui Paris Club dan Lon-
don Club memberikan kontribusi positif pada
menurunnya defisit neraca modal pemerintah, yaitu
sebesar $0,6 miliar. Sementara itu, defisit neraca
modal swasta mengalami perbaikan secara signifikan
sejalan dengan berhasilnya restrukturisasi utang dan
meningkatnya arus modal masuk sebagai hasil
privatisasi dan divestasi. Arus modal masuk juga
diperoleh dari mulai maraknya akses pinjaman melalui
pasar obligasi internasional dari perusahaan domestik
dengan reputasi yang bagus. Perkembangan yang
positif ini menyebabkan defisit transaksi modal
swasta turun menjadi $3,0 miliar, lebih kecil
dibandingkan dengan defisit pada tahun sebelumnya
sebesar $8,3 miliar. Dengan demikian, arus modal
secara keseluruhan mengalami penurunan defisit
menjadi $3,6 miliar, jauh berkurang dibandingkan
dengan $9,0 miliar pada tahun sebelumnya. Dengan
perkembangan tersebut, secara keseluruhan Neraca
Pembayaran Indonesia mengalami surplus sebesar $3,6
miliar, membaik dari tahun sebelumnya yang mengalami
defisit sebesar $1,38 miliar. Perkembangan neraca
pembayaran ini menyebabkan posisi cadangan devisa
sampai dengan akhir 2002 menjadi $31,6 miliar atau
setara dengan 6,6 bulan impor dan pembayaran utang
pemerintah.
Nilai Tukar dan Inflasi
Secara umum, nilai tukar rupiah selama tahun
laporan mengalami apresiasi disertai dengan
menurunnya volatilitas. Perkembangan ini selain
ditunjang oleh membaiknya faktor fundamental,
faktor regional, dan faktor sentimen, juga tidak
terlepas dari intervensi BI dalam menjaga agar nilai
tukar tidak terlalu berfluktuasi. Secara keseluruhan,
rata-rata nilai tukar rupiah mengalami apresiasi
sekitar 10,10% dari tahun sebelumnya, yaitu dari
Rp10.255 per dolar menjadi Rp9.316 per dolar atau
secara point-to-point mengalami apresiasi sebesar
16,2%, yaitu dari Rp10.400 per dolar menjadi
Rp8.950 per dolar pada akhir 2002.
Dari sisi fundamental apresiasi nilai tukar ru-
piah didorong oleh membaiknya neraca pembayaran
dari defisit menjadi surplus. Dari sisi sentimen pasar,
menguatnya nilai tukar rupiah juga ditunjang oleh
menguatnya sentimen positif pasar yang didorong
oleh keberhasilan penjadualan utang, persetujuan
pencairan pinjaman IMF, perbaikan peringkat utang
Indonesia oleh Fitch dan Standard and Poor, dan
terlaksananya beberapa program privatisasi dan
divestasi BCA dan Bank Niaga. Menguatnya sentimen
positif ini tercermin juga dari menurunnya tingkat
premi swap untuk semua tenor. Premi swap untuk 1
bulan yang pada akhir 2001 sebesar 16,8% mengalami
penurunan hingga 12,5% pada akhir 2002. Sementara
itu, melemahnya bursa Amerika sehubungan dengan
berbagai skandal keuangan yang melibatkan
9
Tinjauan Umum
beberapa perusahaan besar di Amerika dan
menurunnya Fed Fund rate sebesar 50 bp mendorong
melemahnya US dolar terhadap Yen yang kemudian
berimbas pada sejumlah mata uang regional,
termasuk rupiah.
Menguatnya nilai tukar rupiah secara signifikan
selama tahun laporan dan permintaan yang belum
memberikan tekanan signifikan, telah memberikan
dampak positif pada perkembangan inflasi yang
menunjukkan kecenderungan menurun, tercermin
kecenderungan meningkatnya tekanan depresiasi ru-
piah; dan faktor musiman sehubungan dengan
perayaan hari keagamaan.
Kebijakan dan Perkembangan Moneter
Kebijakan Moneter
Pada awal 2002, dengan mempertimbangkan bahwa
tekanan inflasi yang terjadi lebih banyak disebabkan
oleh kebijakan pemerintah di bidang harga (cost push)
dan ekspektasi inflasi, kebijakan moneter selama 2002
baik dari perilaku inflasi IHK maupun inflasi inti.
Secara keseluruhan, inflasi IHK selama 2002
mengalami penurunan menjadi sebesar 10,03%, lebih
rendah dibanding 2001 yaitu sebesar 12,55%,
sedangkan inflasi inti sebesar 6,96% dibandingkan
10,04% pada tahun sebelumnya. Tekanan inflasi IHK
tersebut antara lain bersumber dari dampak
kebijakan pemerintah di bidang harga dan
pendapatan sebesar 3,31%, lebih rendah
dibandingkan 3,83% pada tahun sebelumnya. Di
samping itu, tekanan inflasi juga berasal dari gejolak
suplai terutama menurunnya pasokan bahan makanan
dan gangguan distribusi barang akibat banjir yang
terjadi di awal tahun. Faktor lainnya yang menjadi
determinan inflasi adalah menurunnya ekspektasi
inflasi. Walaupun secara umum ekspektasi
masyarakat terhadap inflasi cenderung membaik
seperti yang tercermin dari survei yang dilakukan,
namun sejak triwulan III-2002 ekspektasi inflasi
mengalami peningkatan, terutama dipicu oleh
kebijakan pemerintah di bidang harga, seperti BBM;
diarahkan pada upaya penyerapan ekses likuiditas
perbankan dengan tetap memperhatikan perkembangan
suku bunga yang terjadi agar tetap dapat memberikan
sinyal yang kondusif bagi perbaikan sisi penawaran di
sektor riil. Secara operasional, strategi kebijakan
moneter ini ditempuh dengan mengoptimalkan
instrumen moneter yang tersedia, khususnya OPT dan
sterilisasi valas, sehingga penyerapan kelebihan
likuiditas dapat berlangsung dengan suku bunga SBI yang
cenderung menurun. Strategi ini ditempuh sepanjang
tidak menimbulkan tekanan inflasi ke depan yang dapat
mengakibatkan inflasi melampaui kisaran target yang
telah ditetapkan.
Dalam perjalanannya, kondisi moneter sejak awal
2002 terus menunjukkan perkembangan yang positif.
Perkembangan uang primer menunjukkan pergerakan
yang relatif stabil dan berada pada level di bawah
target indikatif yang ditetapkan, sementara nilai tukar
cenderung stabil dan menguat, sehingga mengurangi
tekanan inflasi. Kondisi ini telah memberikan ruang
gerak bagi BI untuk menurunkan suku bunga secara
Menguatnya nilai tukar dan masih melemahnya permintaan agregatmenyebabkan inflasi cenderung menurun.
10
Tinjauan Umum
bertahap dengan tetap memperhatikan perkembangan
suku bunga riil dan perbedaan suku bunga dengan luar
negeri (interest rate differential). Kebijakan
penurunan suku bunga ini dilakukan untuk terus
berupaya memberikan stimulus perekonomian melalui
pemulihan intermediasi dan peningkatan ekspektasi
pelaku usaha terhadap membaiknya prospek
pemulihan ekonomi (confidence channel). Strategi ini
diharapkan mendorong pelaku usaha untuk melakukan
restrukturisasi keuangannya dan memanfaatkan
sumber-sumber pendanaan yang tersedia baik melalui
perbankan maupun pasar modal guna meningkatkan
penggunaan dan kapasitas produksinya.
Dalam pelaksanaannya, strategi ini dilakukan
dengan terus melihat perkembangan inflasi, nilai
tukar, uang primer, dan suku bunga riil dari triwulan
ke triwulan. Pada triwulan I-2002, dengan melihat
tingginya angka uang primer pada akhir 2001 dan
perkiraan akan masuknya kembali uang kartal ke
dalam sistem perbankan setelah perayaan hari besar
keagamaan, BI berupaya melakukan penyerapan
likuditas perbankan melalui kombinasi instrumen OPT
dan sterilisasi valas agar uang primer kembali pada
tingkat di bawah target indikatifnya. Adanya kelebihan
likuditas yang sangat tinggi di perbankan di awal
tahun menyebabkan penyerapan ini berhasil dilakukan
sekaligus menurunkan suku bunga SBI sebesar 86 bp
hingga mencapai 16,76% pada akhir triwulan pertama.
Suku bunga fasilitas simpanan BI (FASBI) yang tidak
mengalami perubahan dalam periode ini, menunjukkan
kehati-hatian sebelum dipastikannya bahwa
perkembangan ini tidak membahayakan inflasi dan
nilai tukar.
Pada triwulan II dan III-2002, terus berlanjutnya
kecenderungan menguatnya nilai tukar dan menurunnya
inflasi serta perkembangan uang primer di bawah
sasarannya memberikan ruang gerak pada BI untuk
memperkuat sinyal penurunan suku bunga (accommo-
dative policy). Sinyal ini dilakukan melalui penurunan
suku bunga FASBI sebanyak empat kali dari 15,13%
menjadi 12,63% atau 250 bp selama periode ini.
Penurunan suku bunga FASBI ini terus mendorong
penurunan suku bunga SBI hingga mencapai 13,22% pada
akhir triwulan III-2002.
Pada triwulan IV-2002, strategi kebijakan moneter
sedikit mengalami perubahan dari strategi yang
akomodatif menjadi lebih netral (neutral bias).
Perubahan ini didasari oleh mulai meningkatnya
ekspektasi inflasi sehubungan dengan agak melemahnya
nilai tukar pasca terjadinya tragedi Bali serta sudah
cukup rendahnya suku bunga SBI dalam menjaga tingkat
inflasi ke depan yang konsisten dengan pencapaian tar-
get inflasi jangka menengah. Namun dalam kenyataannya
dampak tragedi Bali tersebut terhadap nilai tukar tidak
berlangsung lama dan tidak seburuk yang diprakirakan
bahkan nilai tukar rupiah mengalami penguatan kembali.
Membaiknya nilai tukar rupiah ditambah dengan
menurunnya prospek inflasi ke depan mendorong BI untuk
menurunkan suku bunga FASBI sebesar 50 bp untuk
seluruh tenor pada akhir bulan November. Secara
keseluruhan, kebijakan moneter selama 2002 tersebut
telah mendorong penurunan suku bunga SBI 1 dan 3 bulan
sebesar 469 bp dan 451 bp untuk hingga masing-masing
mencapai 12,93% dan 13,12% pada akhir Desember 2002.
Membaiknya perkembangan inflasi dan nilai
tukar selama 2002 telah mendorong ekspektasi
positif masyarakat terhadap penurunan inflasi dan
kestabilan moneter yang kemudian mendorong
11
Tinjauan Umum
mereka menurunkan permintaan uang kartal untuk
berjaga-jaga (precautionary demand motive). Di
samping itu, menurunnya permintaan uang kartal
untuk motif ini didorong oleh membaiknya kondisi
sosial politik pada 2002. Menurunnya pertumbuhan
uang kartal ini menjadi penyebab utama menurunnya
pertumbuhan uang primer selama tahun laporan.
Secara rata-rata, pertumbuhan uang primer
mencapai 9,06%, jauh lebih rendah dibandingkan
tahun sebelumnya sebesar 17,85% dan berada di
bawah sasaran indikatifnya sebesar 13%-14%. Seiring
dengan menurunnya pertumbuhan uang primer, M1
dan M2 juga mengalami penurunan, masing-masing
sebesar 9,85% dan 8,05%, lebih rendah dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, masing-masing sebesar
bunga simpanan ini juga terkait dengan penurunan suku
bunga maksimum penjaminan sebesar 355 bp yang
diantaranya disebabkan oleh penurunan margin suku
bunga penjaminan sebesar 200 bp.
Sejalan dengan menurunnya suku bunga deposito
nominal tersebut, suku bunga deposito riil juga
mengalami penurunan hingga mencapai 2,78%.
Pergerakan suku bunga deposito riil yang turun secara
signifikan ini telah mendorong permintaan agregat
melalui konsumsi. Strategi penurunan suku bunga yang
dilakukan pada saat menguatnya nilai tukar ini telah
memberikan sinyal positif bagi perekonomian riil
melalui membaiknya persepsi investor sebagaimana
yang tercermin dari menurunnya premi risiko dan
persepsi yang tertangkap dari survei-survei yang
19,76% dan 14,74%.
Transmisi Kebijakan Moneter
Secara umum, kebijakan moneter yang
akomodatif berupa penurunan suku bunga instrumen
moneter telah berhasil mendorong penurunan suku
bunga simpanan, sementara suku bunga kredit belum
mengalami perubahan sebagaimana yang diharapkan.
Penurunan suku bunga instrumen mendorong penurunan
suku bunga PUAB dalam level yang cukup signifikan.
Penurunan itu juga diikuti oleh pergerakan suku bunga
simpanan perbankan yang juga menurun, meskipun laju
penurunannya tidak setajam laju penurunan suku bunga
SBI. Suku bunga rata-rata tertimbang deposito 1 bulan
mengalami penurunan sebesar 326 bp hingga tercatat
pada posisi 12,81%. Dalam pada itu, penurunan suku
dilakukan oleh Bank Indonesia.
Penurunan suku bunga simpanan direspon suku
bunga kredit secara berbeda-beda. Suku bunga kredit
modal kerja mengalami penurunan sebesar 94 bp
menjadi 18,25% yang terjadi sejak triwulan II seiring
dengan menurunnya suku bunga instrumen moneter.
Suku bunga kredit investasi yang sejak awal 2002 masih
menunjukkan peningkatan, sejak Oktober mulai
menunjukkan sedikit penurunan yang mencerminkan
adanya time lag dalam merespon penurunan suku bunga
instrumen moneter. Masih lambatnya penurunan suku
bunga kredit investasi ini juga disebabkan masih
tingginya persepsi risiko perbankan terhadap
penyaluran kredit yang bersifat jangka panjang ini yang
menyebabkan perbankan belum bisa optimal dalam
Menurunnya suku bunga SBI telah mendorong penurunan sukubunga deposito, namun belum mampu sepenuhnya mendorongpenurunan suku bunga kredit.
12
Tinjauan Umum
menyalurkan kredit investasi seperti tercermin pada
pertumbuhan kredit investasi yang rendah. Di sisi
permintaan, rendahnya pertumbuhan kredit investasi
juga mencerminkan masih tingginya risiko yang
dihadapi dunia usaha. Sementara suku bunga kredit
konsumsi justru mengalami peningkatan sebesar 36
bp dari 19,85% menjadi 20,21%. Namun demikian vol-
ume kredit konsumsi tetap meningkat cukup signifikan
pada akhir periode laporan yang antara lain
mencerminkan adanya reorientasi kredit perbankan dari
sektor korporat ke sektor ritel.
Walaupun dampak penurunan suku bunga terhadap
sektor riil melalui jalur kredit perbankan belum
sebagaimana yang diharapkan, namun kebijakan ini
telah memberikan dampak positif melalui jalur harga
aset, yaitu pada tingkat tertentu telah terjadi
pergeseran sumber pembiayaan dari perbankan kepada
obligasi. Di tengah-tengah menurunnya suku bunga
deposito dan keterbatasan pembiayaan kredit jangka
panjang, sektor korporasi yang memiliki reputasi baik
memiliki kesempatan yang lebih besar untuk
menerbitkan obligasi. Di sisi penempatan dana oleh
nasabah, menurunnya suku bunga simpanan perbankan
tersebut menyebabkan obligasi dan reksa dana menjadi
alternatif penempatan dana yang menarik.
Kebijakan dan Perkembangan Perbankan
Melanjutkan kebijakan perbankan yang ditempuh
pada tahun sebelumnya, pada 2002 BI tetap
memfokuskan pada tiga hal, yaitu program penyehatan
perbankan, program pemantapan ketahanan sistem
perbankan dan program pemulihan intermediasi
perbankan. Dalam program penyehatan perbankan,
pemerintah masih tetap melanjutkan program
penjaminan meskipun secara bertahap cakupan
penjaminannya akan dikurangi. Sedangkan terhadap
program rekapitalisasi bank dan restrukturisasi kredit
yang telah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir, BI
terus melakukan pemantauan perkembangannya.
Dalam program pemantapan sistem perbankan,
upaya perbaikan infrastruktur perbankan, peningkatan
mutu pengelolaan perbankan dan penyempurnaan
aturan prudensial terus dilakukan. Salah satu prioritas
dalam memperbaiki infrastruktur perbankan yang
sangat krusial dalam menunjang stabilitas sistem
keuangan adalah rencana pendirian lembaga penjamin
simpanan (LPS) sebagai pengganti skema penjaminan
yang ada saat ini. Dalam hal ini, BI bersama-sama
dengan Pemerintah melakukan persiapan pendirian LPS
ini, termasuk mempersiapkan landasan hukumnya dan
skema penjaminan yang optimal, dalam arti sejauh
mungkin mengurangi moral hazard yang mungkin
terjadi namun dengan tetap mempertahankan momen-
tum kepercayaan masyarakat terhadap perbankan
nasional yang terus membaik.
Di bidang pengawasan dan pengaturan
perbankan, untuk memenuhi standar internasional
seperti yang ditetapkan dalam 25 Basel Core Principle,
penyempurnaan terhadap sistem pengawasan
perbankan dengan pendekatan risiko (risk-based
approach) terus dilakukan, termasuk dimasukkannya
risiko pasar (market risk) dalam memperhitungkan
permodalan bank yang diperlukan. Dengan semakin
kompleksnya produk dan jasa perbankan disertai
dengan meningkatnya globalisasi ekonomi,
pembenahan terhadap tatanan sistem perbankan ke
depan sangat diperlukan. Dalam hal ini, BI sedang
mempersiapkan cetak biru Arsitektur Perbankan In-
13
Tinjauan Umum
donesia (API) dengan tujuan menciptakan sistem
perbankan ke depan yang mampu menghadapi
perubahan serta menjamin stabilitas sistem
keuangan. Sedangkan untuk mendorong stabilitas
sistem keuangan, BI sedang mempersiapkan Cetak
Biru Stabilitas Sistem Keuangan dengan cakupan
kerangka kerja pelaksanaan tugas BI dalam
mendorong stabilitas sistem keuangan, kerangka
kerja koordinasi dalam mencegah krisis keuangan (cri-
sis prevention) dan langkah-langkah yang harus
ditempuh dalam penanganan krisis (crisis resolution).
Secara internal, BI mempersiapkan organisasi yang
melakukan monitoring dan surveilance terhadap
memberi keringanan dalam kriteria penilaian kualitas
kredit yang disalurkan perbankan kepada sektor
mikro dan UKM di daerah-daerah tersebut. Selain
itu, sebagai wujud dukungan BI terhadap upaya
pengentasan kemiskinan, BI telah bekerja sama
dengan Kantor Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat dalam mendorong perbankan
menyalurkan kredit kepada masyarakat
berpenghasilan rendah.
Kebijakan pemantapan ketahanan sistem
perbankan juga dilakukan melalui pengembangan
sistem perbankan berdasarkan prinsip syariah. Di
bidang ini, sejumlah inisiatif dan langkah strategis
stabilitas sistem keuangan.
Sementara itu, untuk mendorong fungsi
intermediasi perbankan, berbagai langkah terus
dilakukan, terutama dalam bentuk insentif guna
mendorong penyaluran kredit khususnya kepada
sektor usaha kecil dan menengah yang saat ini
dirasakan sebagai salah satu sektor yang menjadi
penggerak pertumbuhan ekonomi. Dalam kaitan ini
berbagai upaya telah dilakukan seperti Proyek Kredit
Mikro, Pengembangan Sistem Informasi Terpadu
Pengembangan Usaha Kecil, serta upaya-upaya
mempertemukan pelaku usaha dengan perbankan
yang dikenal sebagai Bazar Intermediasi di sejumlah
daerah. Untuk menggairahkan kembali
perekonomian di daerah-daerah tertentu, khususnya
daerah-daerah yang sedang dilanda konflik, BI telah
telah dilakukan. Langkah strategis yang dilakukan
pada 2002 adalah diselesaikannya Cetak Biru
Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia yang
mencakup arah pengembangan perbankan syariah yang
menjadi landasan bagi BI dan lembaga perbankan
syariah serta lembaga keuangan syariah lainnya dalam
mengembangkan perbankan syariah yang memiliki
daya saing, efisien dan memenuhi prinsip kehati-
hatian namun mampu berperan mendorong sektor riil
melalui pembiayaan yang berdasarkan prinsip bagi
hasil (quasi equity). Sesuai dengan cetak biru
tersebut, prioritas yang dilakukan selama 2002
adalah melengkapi dan menyempurnakan
ketentuan perbankan syariah, meningkatkan
pemahaman masyarakat, pengembangan
infrastruktur dan meningkatkan kerjasama
Dalam rangka mengantisipasi perkembangan perbankan ke depan danmeningkatkan stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesiamempersiapkan cetak biru Arsitektur Perbankan Indonesia danStabilitas Sistem Keuangan.
14
Tinjauan Umum
internasional di bidang perbankan syariah. Seiring
dengan t ingginya keinginan dari perbankan
konvens ional untuk membuka kantor bank
berdasarkan prinsip syariah atau perubahan sta-
tus menjadi perbankan syar iah, B I te lah
mengeluarkan Peraturan BI untuk mengatur hal
ini. Dalam bidang kerjasama internasional, BI
terlibat aktif dalam pengembangan Internasional
Islamic Financial Market (IIFM) sebagai lembaga
pengembangan instrumen pasar keuangan syariah
dan Islamic Financial Services Board (IFSB) yang
berperan dalam pengaturan dan pengawasan
perbankan syariah.
Berbagai kebijakan perbankan tersebut di atas
dan didukung oleh membaiknya kondisi makro
moneter telah mendorong perbaikan kinerja
perbankan. Perbaikan tersebut tercermin dari
peningkatan struktur permodalan, perbaikan rasio
NPLs, peningkatan profitabilitas serta terus
berlangsungnya pemulihan fungsi intermediasi
perbankan. Dalam hal permodalan, perbaikan struktur
permodalan bank tercermin dari meningkatnya
indikator CAR industri perbankan yang mencapai
22,49% pada akhir 2002 atau meningkat 1,99% dari
tahun sebelumnya. Sementara itu, upaya-upaya
restrukturisasi kredit yang dilakukan oleh perbankan
telah memperbaiki NPLs perbankan yang mencapai
8,3% (atau secara neto 2,9%), dibandingkan dengan
12,1% (3,6% neto) pada tahun sebelumnya. Walaupun
secara industri, NPL neto di bawah 5%, namun masih
terdapat 20 bank dengan rasio NPLs neto di atas 5%.
Dari segi profitabilitas, seiring dengan meningkatnya
spread antara suku bunga kredit dengan suku bunga
simpanan akibat penurunan suku bunga SBI, net in-
terest income perbankan mengalami peningkatan,
yaitu sebesar Rp42,9 triliun dibandingkan dengan
Rp37,8 triliun pada tahun sebelumnya.
Membaiknya kondisi kesehatan perbankan yang
didukung oleh membaiknya kondisi makro moneter telah
memperbaiki kinerja intermediasi perbankan walaupun
sebagaimana diharapkan. Membaiknya kinerja
intermediasi perbankan tersebut tercermin dari
meningkatnya outstanding kredit yang disalurkan oleh
perbankan yang mengalami peningkatan sebesar 17,4%.
Namun demikian, dilihat dekomposisinya, pertumbuhan
terbesar masih dialami oleh kredit konsumsi (36,5%).
Sementara kredit modal kerja dan kredit investasi masih
tumbuh masing-masing sebesar 13,8% dan 11,3%. Hal
ini menunjukkan bahwa preferensi perbankan dalam
penyaluran kredit masih ditujukan pada kredit yang
bersifat jangka pendek yang mencerminkan masih
tingginya persepsi perbankan terhadap risiko pinjaman
jangka panjang dan tingginya kehati-hatian di sisi
perbankan. Dilihat dari kredit baru, jumlah kredit yang
disalurkan oleh perbankan selama 2002 telah mencapai
Rp79,4 triliun meningkat dibandingkan dengan
penyaluran kredit baru 2001 yang hanya mencapai
Rp56,8 triliun. Sementara itu, karena sektor korporasi
sebagian besar sedang dalam proses restrukturisasi,
perbankan lebih banyak memfokuskan pada sektor re-
tail dan UKM. Hal ini tercermin dari meningkatnya jumlah
kredit yang disalurkan untuk segmen ini. Dari total kredit
baru yang disalurkan selama 2002, sebanyak 41,1%
merupakan penyaluran kredit kepada sektor UKM.
Kebijakan dan Perkembangan Sistem Pembayaran
Nasional
Dalam rangka memperlancar aktivitas dan
15
Tinjauan Umum
efisiensi perekonomian, upaya untuk menjaga stabilitas
dan kelancaran sistem pembayaran terus diupayakan
oleh Bank Indonesia. Pada sistem pembayaran non tunai,
kebijakan tahun 2002 dititikberatkan pada upaya untuk
penurunan risiko dan peningkatan efisiensi sistem
pembayaran. Dalam rangka meningkatkan efisiensi
sistem pembayaran, kebijakan ini diimplementasikan
melalui perluasan penerapan sistem BI-RTGS, penurunan
batas nominal (capping) nota kredit yang diproses melalui
kliring, penyesuaian biaya pemrosesan transaksi melalui
BI-RTGS dan kliring, implementasi sistem otomasi kliring
berbasis image di KBI Bandung dan Medan, serta
implementasi kliring antar wilayah (intercity clearing).
Sementara dalam rangka penurunan risiko sistem
pembayaran, berbagai kebijakan telah dilakukan pada
2002 termasuk penyusunan mekanisme untuk mengatasi
kegagalan peserta kliring dalam penyelesaian kewajiban
setelmen (failure to settle scheme), regulasi di bidang
penyelenggaraan kegiatan usaha alat pembayaran
berbasis kartu, serta penyusunan RUU Transfer Dana.
Secara internal, upaya pengurangan risiko sistem
pembayaran ini dilakukan dengan membentuk Bagian
Pengawasan Sistem Pembayaran di Bank Indonesia. Pada
tataran yang lebih strategis, untuk meningkatkan
efisiensi dan menurunkan risiko sistem pembayaran, BI
sedang melakukan kaji ulang terhadap Blue Print Sistem
Pembayaran 1995. Dalam memenuhi ketentuan standar
internasional di bidang sistem pembayaran, terutama
sistem pembayaran yang memiliki dampak sistemik
seperti yang ditentukan oleh BIS dalam The Core Prin-
ciples for Systemically Important Payment System, BI
telah menetapkan BI-RTGS dan Sistem Kliring sebagai
sistem pembayaran yang penting secara sistemik.
Dalam kaitan ini, BI juga telah melakukan penilaian
secara menyeluruh kesesuaian kedua sistem di atas
terhadap prinsip-prinsip tersebut dan melakukan
beberapa penyempurnaan terhadap beberapa hal yang
masih belum memenuhi standar internasional tersebut.
Kebijakan sistem pembayaran di atas, terutama
upaya perluasan penerapan sistem RTGS dan adanya
kebijakan penurunan batas nominal (capping) nota kredit
yang diproses melalui RTGS, telah menyebabkan
aktivitas sistem pembayaran melalui RTGS mengalami
peningkatan yang cukup berarti. Hal tersebut tercermin
dari peningkatan nominal rata-rata harian transaksi
RTGS sebesar 21,3% atau jumlah transaksi per hari
mengalami kenaikan sebesar 105,8%. Sebaliknya, sejalan
dengan peningkatan aktivitas RTGS, aktivitas kliring
harian mengalami penurunan sebesar 23,8%. Di bidang
aktivitas transaksi pembayaran berbasis kartu,
penggunaan kartu ATM, kartu debet dan kartu kredit
mengalami peningkatan yang cukup berarti. Peningkatan
transaksi berbasis kartu tersebut tidak terlepas dari
semakin luasnya jaringan ATM dan outlet yang
menggunakan kartu debet, serta meningkatnya
pembiayaan konsumen melalui kartu kredit.
Untuk sistem pembayaran tunai, prioritas
kebijakan BI selama 2002 diarahkan pada
pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap uang
kartal, menjaga kualitas uang yang diedarkan, dan
minimalisasi peredaran uang palsu. Dalam hal
pemenuhan kebutuhan akan uang, beberapa langkah
yang telah ditempuh, antara lain dengan
penyempurnaan Rencana Distribusi Uang (RDU) dan
kerjasama dengan pihak ketiga dalam
pendistribusian uang pecahan kecil di wilayah
JABOTABEK. Pemenuhan kebutuhan uang kartal di
masyarakat tercermin dari posisi uang kartal yang
16
Tinjauan Umum
diedarkan (UYD), sepanjang 2002 mengalami
peningkatan rata-rata sebesar 11,8%. Dilihat dari
jenis uangnya, perbandingan antara uang kertas
dan uang logam pada 2002 tidak banyak mengalami
perubahan, yaitu sebesar 97,76% untuk uang kertas
dan 2,24% untuk uang logam.
Selain menyediakan uang dalam jumlah yang
cukup, BI juga senantiasa menjaga agar kualitas uang
yang dipegang masyarakat dalam kondisi layak edar
dengan cara melakukan clean money policy yaitu
menarik dan memusnahkan uang yang tidak layak edar
melalui Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB).
Secara nominal, jumlah PTTB selama 2002 sebesar
Rp54,1 triliun atau meningkat sebesar 62,33%.
Di samping itu, untuk menjaga kualitas uang
sekaligus meningkatkan efisiensi pengadaan uang, BI
telah melakukan kajian terhadap alternatif komposisi
kandungan bahan logam dan standarisasi ukuran uang
logam untuk mendapatkan bahan logam uang yang
secara intrinsik lebih rendah dari nilai nominalnya
tetapi memiliki masa edar yang relatif lama.
Dalam rangka minimalisasi peredaran uang palsu,
berbagai langkah telah ditempuh baik yang bersifat
langkah preventif dan represif. Upaya preventif
dilakukan dengan memperkuat unsur pengaman yang
dapat memudahkan masyarakat untuk mengenali uang
rupiah secara kasat mata dan kasat raba serta
sosialisasi pengenalan keaslian uang rupiah melalui
penyebaran poster dan stiker, penataran, dan
penayangan iklan layanan masyarakat di media masa.
Sedangkan upaya represif dilakukan dengan
meningkatkan kerjasama dengan instansi terkait
dalam upaya memberantas peredaran uang palsu
tersebut antara lain dengan Badan Koordinasi
Pemberantasan Uang Palsu (BOTASUPAL) dan POLRI
dalam melakukan penangkapan dan pemrosesan pihak-
pihak yang terlibat dalam pemalsuan uang rupiah ke
pengadilan. Selama 2002, jumlah uang palsu yang
dilaporkan oleh bank-bank, POLRI dan BI berjumlah
370.112 bilyet (Rp9,9 miliar), mengalami peningkatan
dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah 98.028
bilyet (Rp3,9 miliar).
PROSPEK EKONOMI DAN ARAH KEBIJAKAN TAHUN
2003
Evaluasi kinerja ekonomi tahun 2002
menunjukkan bahwa terdapat berbagai perkembangan
positif yang memberikan sejumlah harapan terhadap
perbaikan ekonomi tahun 2003. Membaiknya indikator
moneter dan kestabilan makroekonomi yang
diprakirakan tetap dapat dijaga pada 2003 diharapkan
akan semakin mendorong ekspektasi positif pelaku
usaha terhadap proses pemulihan ekonomi. Namun
demikian, sejumlah faktor eksternal dan masih adanya
sejumlah permasalahan struktural menyebabkan
sektor riil menjadi kurang responsif terhadap
perbaikan indikator moneter yang telah terjadi.
Kondisi ini telah menyebabkan proses pemulihan
ekonomi Indonesia tidak secepat yang diharapkan.
Upaya mengatasi berbagai faktor risiko dan ketidak-
pastian tersebut akan menjadi kunci keberhasilan
untuk menjamin prospek pemulihan ekonomi yang
lebih baik pada tahun mendatang.
Prospek Ekonomi Dunia
Selama 2003, perekonomian dunia diprakirakan
akan tumbuh 3,7%, lebih tinggi dari pertumbuhan 2002
yang diprakirakan mencapai 2,8%. Membaiknya
17
Tinjauan Umum
perekonomian dunia ini terutama didukung oleh
meningkatnya volume perdagangan yang diprakirakan
tumbuh sebesar 6,1%. Meningkatnya pertumbuhan
ekonomi tersebut juga didukung oleh kebijakan
moneter dan fiskal yang cenderung ekspansif di
dari 5,6% menjadi 6%. Meskipun demikian, dengan
tetap berlangsungnya kebijakan ekonomi yang
ekspansif, suku bunga diprakirakan akan cenderung
turun, terutama suku bunga jangka pendek.
Sementara itu, kenaikan harga komoditi non
beberapa negara. Di negara industri maju,
pertumbuhan ekonomi diprakirakan sedikit membaik
namun masih relatif lamban, dengan pertumbuhan
ekonomi Amerika Serikat, Jepang dan Eropa
diprakirakan tumbuh masing-masing sebesar 2,6%,
1,1% dan 2,3%. Di negara-negara berkembang,
pertumbuhan ekonomi diprakirakan masih akan lebih
tinggi dibandingkan dengan negara-negara maju.
Dalam 2003 pertumbuhan ekonomi di negara-negara
di kawasan Afrika, Asia, ASEAN dan Amerika Latin
diprakirakan tumbuh masing-masing sebesar 4,2%,
6,3%, 4,2% dan 3,0%. Membaiknya pertumbuhan
ekonomi di negara-negara berkembang tersebut
terutama didorong oleh meningkatnya permintaan
domestik yang didukung oleh kebijakan
makroekonomi yang cenderung longgar, terutama di
negara-negara dengan tingkat inflasi rendah.
Seiring dengan meningkatnya permintaan
agregat yang didorong kebijakan ekonomi yang
ekspansif, tingkat inflasi dunia secara umum
mengalami peningkatan secara moderat. Laju inflasi
di negara maju diprakirakan akan meningkat dari
1,4% menjadi 1,7%, sedangkan inflasi di negara-
negara berkembang diprakirakan akan meningkat
migas pada 2002 diprakirakan masih terus berlanjut
pada 2003. Kenaikan harga komoditi terutama
terjadi pada harga-harga komoditi pertanian dan
bahan baku industri seiring dengan meningkatnya
permintaan. Harga minyak dunia diprakirakan akan
kembali turun. Beberapa faktor yang mendukung
penurunan harga minyak antara lain relatif stabilnya
persediaan minyak dunia sertapenambahan kuota
produksi OPEC.
Prospek Ekonomi Makro
Membaiknya indikator makroekonomi yang
diprakirakan masih terus berlangsung hingga tahun
depan akan terus menciptakan ekspektasi positif
para pelaku usaha dan mendorong terus pulihnya
fungsi intermediasi. Sementara itu, stimulus fiskal
dan mulai berjalannya proyek-proyek besar yang
sementara ini terhenti akan memberikan dampak
multiplier di berbagai sektor perekonomian. Secara
keseluruhan, pertumbuhan ekonomi 2003
diprakirakan akan mencapai kisaran 3,5%-4,0%,
lebih tinggi dibandingkan dengan 2002. Perkiraan
pertumbuhan ini masih berada dalam kisaran asumsi
APBN 2003.
Semakin membaiknya kestabilan ekonomi makro diprakirakan akanmendorong peningkatan kinerja perekonomian tahun 2003, terutamajika didukung oleh sejumlah kebijakan struktural, seperti di bidanghukum, perburuhan dan investasi.
18
Tinjauan Umum
Dari sisi permintaan, proyeksi pertumbuhan
ekonomi tersebut diprakirakan masih bertumpu pada
konsumsi. Penurunan suku bunga dan masih
rendahnya tingkat leverage sektor rumah tangga2
diprakirakan terus mendorong meningkatnya
penyaluran kredit konsumsi, terutama bagi kelas
menengah ke atas. Kenaikan konsumsi juga didukung
oleh kenaikan gaji PNS dan UMP. Sementara itu,
investasi diprakirakan mulai tumbuh positif walaupun
tidak terlalu signifikan. Pertumbuhan investasi
diprakirakan masih bertumpu pada investasi
pemerintah melalui berbagai proyek besar yang
tertunda, seperti pembangunan 21 proyek jalan tol,
kelistrikan dan kimia. Sementara investasi swasta
diprakirakan masih lemah karena masih terbatasnya
sumber-sumber pembiayaan serta iklim investasi
yang belum kondusif. Ekspor diprakirakan akan
meningkat seiring dengan mulai membaiknya
perekonomian mitra dagang dan meningkatnya
permintaan komoditi andalan Indonesia, seperti
minyak sawit, karet dan produk agribisnis lainnya.
Hal ini ditunjang juga oleh kebijakan pemerintah
untuk mencari pasar nontradisional seperti Amerika
Latin dan Eropa Timur. Dengan membaiknya ekspor,
impor juga diprakirakan akan meningkat sejalan
dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi.
Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi
diprakirakan terjadi di semua sektor ekonomi dengan
sektor listrik, sektor angkutan terutama subsektor
telekomunikasi dan sektor bangunan akan mengalami
kinerja yang terbaik. Sesuai dengan rencana
pemerintah untuk melanjutkan kembali sejumlah
proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan tol
dan proyek-proyek kelistrikan, sektor bangunan dan
sektor listrik diprakirakan akan tumbuh relatif tinggi.
Pembangunan proyek-proyek infrastruktur ini
diprakirakan akan memiliki dampak multiplier yang
besar terhadap beberapa sektor usaha lainnya,
meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Di sektor
bangunan, pembangunan properti, yaitu perumahan
dan pusat perbelanjaan, juga diprakirakan tumbuh
tinggi. Seiring dengan meningkatnya kinerja di sektor
bangunan, industri konstruksi baja dan industri se-
men diprakirakan tumbuh dengan pesat. Di sektor
listrik, optimalisasi pembangkit yang sudah ada dan
pembangunan pembangkit baru serta adanya
kelanjutan pembangunan beberapa proyek listrik
swasta dalam rangka mengantisipasi kenaikan
permintaan terhadap energi listrik pada 2003, akan
mendorong sektor listrik mengalami pertumbuhan
yang tinggi. Sektor industri pengolahan, yang
memberikan sumbangan terbesar, diprakirakan akan
tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Sektor-sektor lainnya seperti sektor
perdagangan, sektor pengangkutan dan komunikasi,
dan sektor jasa diprakirakan tumbuh lebih rendah dari
tahun sebelumnya akibat dampak dari tragedi bom
Bali. Namun, khusus untuk subsektor komunikasi
pertumbuhannya diprakirakan tinggi sejalan dengan
ekspansi yang dilakukan oleh Indosat dan Telkom.
Di sisi fiskal, APBN 2003 tetap disusun dengan
semangat mengendalikan defisit dengan
mempertimbangkan pula perkembangan terkini berupa
dampak negatif peristiwa Bali dan upaya untuk
mengakomodasi kuatnya keinginan masyarakat akan2 Rasio antara utang rumah tangga terhadap pendapatan yang dapat
dibelanjakan oleh rumah tangga.
19
Tinjauan Umum
stimulus fiskal. Defisit direncanakan sebesar 1,8% dari
PDB, relatif sama dengan realisasi defisit tahun 2002
yang turun lebih cepat dari rencana semula.
Pengendalian defisit tahun ini direncanakan akan
dicapai melalui langkah-langkah lanjutan peningkatan
pendapatan negara terutama dari penerimaan pajak
dan penghematan terutama dari pemotongan subsidi
migas dan pengurangan beban bunga utang dalam
negeri. Di sisi pembiayaan defisit, sumber pembiayaan
pemerintah masih berasal dari non-perbankan dalam
negeri —seperti privatisasi dan penjualan asset oleh
BPPN—sedangkan selebihnya diperoleh dari utang luar
negeri. Namun, karena sumbangan bersih dari sumber-
sumber tersebut lebih kecil dari kebutuhan pembiayaan
defisit, maka untuk menutup kekurangannya –dan untuk
pertama kalinya sejak krisis tahun 1997– pemerintah
berencana akan menarik tabungannya pada sistem
moneter atau Sisa Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp8,5
triliun. Dalam kaitannya dengan dampak pengeluaran
pemerintah terhadap perekonomian, kontribusi
langsung sektor pemerintah terhadap PDB meningkat
dibanding tahun lalu yaitu dari 11,8% pada 2002
menjadi 13,4% pada 2003, dimana 7,7% dari PDB
diantaranya untuk pengeluaran konsumsi dan 5,7% dari
PDB untuk pengeluaran investasi. Sebagaimana telah
disinggung di atas, peningkatan ini akan dicapai
terutama melalui langkah-langkah pemotongan yang
cukup signifikan pada subsidi BBM dan pengurangan
beban bunga utang dalam negeri. Di sisi moneter,
adanya alokasi dana tambahan untuk stimulus fiskal
menyebabkan ekspansi rupiah bersih pemerintah akan
meningkat menjadi Rp26,7 triliun. Sebagian besar dari
jumlah tersebut diprakirakan dapat dibiayai dengan
aliran devisa masuk bersih dari sektor pemerintah yang
mencapai setara Rp18,2 triliun, dan sisanya dengan
penarikan SAL sebesar Rp8,5 triliun.
Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia pada 2003
diprakirakan akan menunjukkan kinerja yang
menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini
tercermin dari menurunnya surplus neraca pembayaran
menjadi sebesar $1,0 miliar, lebih rendah
dibandingkan dengan surplus tahun 2002 sebesar $3,6
miliar. Penurunan surplus NPI ini disebabkan oleh
penurunan surplus transaksi berjalan yang dibarengi
meningkatnya defisit transaksi modal. Penurunan
surplus transaksi berjalan sebesar $2,6 miliar
diprakirakan terutama karena terjadinya peningkatan
defisit neraca jasa (sebesar $2,3 miliar) sehubungan
dengan menurunnya penerimaan dari sektor
pariwisata terkait dengan terjadinya tragedi Bali. Di
sisi neraca perdagangan, ekspor dan impor selama
2003 diprakirakan akan tumbuh masing-masing
sebesar 1,3% dan 2,8%, sehingga surplus neraca
perdagangan diprakirakan akan turun sekitar $0,2
miliar. Sementara itu, neraca lalu lintas modal pada
2003 diprakirakan akan sedikit memburuk yang
tercermin dari peningkatan defisit dari $3,6 miliar
menjadi $3,7 miliar. Memburuknya defisit tersebut
terutama disebabkan oleh meningkatnya defisit lalu
lintas modalswasta sebesar $2,6 miliar. Dengan
prakiraan di atas, posisi cadangan devisa pada akhir
2003 diprakirakan mencapai sebesar $32,6 miliar atau
setara dengan 6,7 bulan impor dan pembayaran utang
luar negeri pemerintah.
Prospek Nilai Tukar dan Inflasi
Secara umum nilai tukar rupiah selama 2003
diprakirakan masih menguat walaupun tidak
20
Tinjauan Umum
setajam tahun sebelumnya dan bergerak pada
kisaran Rp8.800-Rp9.200 per dolar. Secara funda-
mental, prakiraan nilai tukar tersebut didasarkan
pada membaiknya kinerja perekonomian Indone-
sia termasuk neraca pembayaran yang masih
mengalami surplus walaupun dalam jumlah yang
lebih kecil. Faktor lain yang menunjang penguatan
nilai tukar adalah keberhasilan dalam
restrukturisasi utang pemerintah dan swasta serta
program privatisasi BUMN dan divestasi aset-aset
BPPN yang selain menambah pasokan valas juga
memberikan dampak sentimen positif. Di samping
itu, persepsi positif pasar terhadap komitmen BI
untuk memelihara stabilitas nilai tukar diharapkan
masih akan berlanjut. Namun di sisi lain perlu
diwaspadai meningkatnya suhu politik menjelang
Pemilu 2004 dan kemungkinan melemahnya mata
uang regional akibat flight to safety jika terjadi
serangan AS ke Irak.
Sementara itu, tekanan inflasi 2003
diprakirakan lebih rendah dari inflasi 2002. Prakiraan
ini didasarkan pada prakiraan masih lemahnya
tekanan inflasi yang bersumber dari permintaan
agregat, relatif menguatnya nilai tukar rupiah dan
menurunnya ekspektasi inflasi oleh masyarakat.
Sumber inflasi ke depan diprakirakan antara lain
bersumber dari dampak penerapan kebijakan
pemerintah di bidang harga dan pendapatan yang
diprakirakan masih cukup tinggi, walaupun lebih
rendah dari sebelumnya. Rendahnya inflasi yang
berasal dari tekanan permintaan agregat didukung
oleh prakiraan bahwa pertumbuhan ekonomi 2003
masih tergantung pada pertumbuhan konsumsi yang
cenderung menunjukkan perlambatan. Lebih dari itu,
adanya tragedi Bali telah menurunkan optimisme in-
vestor terhadap membaiknya iklim investasi dan
ekspor. Dengan prakiraan nilai tukar pada 2003 akan
mengalami penguatan, secara umum pergerakan
nilai tukar diprakirakan tidak akan memberikan
tekanan terhadap inflasi. Di lain pihak, rencana
kebijakan pemerintah di bidang harga dan
pendapatan pada 2003 diprakirakan memberikan
sumbangan sebesar 3,02%, terutama terkait dengan
rencana kebijakan pemerintah menaikkan harga
beberapa administered prices seperti TDL (6% per
triwulan), BBM (sekitar 23%), tarif telpon (15%) dan
upah minimum propinsi (7%).
Prospek Perbankan
Seiring dengan membaiknya prospek
pertumbuhan ekonomi dan menurunnya suku bunga,
perkembangan kondisi perbankan Indonesia di 2003
diprakirakan juga akan semakin membaik.
Penghimpunan Dana Pihak Ketiga pada 2003
diprakirakan masih akan meningkat, khususnya
untuk simpanan giro dan tabungan. Namun demikian,
penghimpunan dana dalam bentuk deposito
diprakirakan akan mengalami persaingan yang cukup
ketat dari reksadana, mengingat tingkat
pengembalian (rate of return) yang diberikan oleh
reksadana lebih tinggi dari pada bunga deposito.
Sejalan dengan peningkatan penghimpunan
dana, pemberian kredit diprakirakan akan terus
meningkat, baik dalam bentuk corporate lending
maupun retail lending. Hasil survei terhadap 14 bank
besar yang masuk dalam systemically important
bank (SIB) menunjukkan bahwa ekspansi kredit baru
oleh bank-bank tersebut pada 2003 diprakirakan
21
Tinjauan Umum
akan mencapai Rp83 triliun. Sementara itu, hasil
survei lainnya menunjukkan bahwa 40 bank akan
menaikkan ekspansi kreditnya secara rata-rata
diatas 5% dibandingkan dengan tahun 2002. Dari sisi
penggunaannya, peningkatan kredit tersebut
diprakirakan sebagian besar masih disalurkan untuk
modal kerja dan konsumsi, sementara kredit
investasi diprakirakan masih belum banyak tumbuh
secara signifikan. Sementara itu, pangsa penyaluran
kredit untuk sektor UKM diprakirakan akan
meningkat menjadi sekitar Rp42,3 triliun, mengingat
sebagian besar bank-bank telah melakukan reposisi
kebijakan pemberian kreditnya dari kredit korporat
ke kredit ritel.
Di sisi permodalan, secara keseluruhan
perkembangan kecukupan modal (CAR) perbankan
diprakirakan akan sedikit mengalami penurunan
walaupun masih diatas 8%. Penurunan tersebut
disebabkan oleh semakin besarnya risiko aktiva
produktif perbankan seiring dengan ekspansi kredit.
Di sisi lain, meskipun secara industri rasio NPLs neto
di bawah 5% diprakirakan akan dapat dipertahankan
pada 2003, namun masih terdapat beberapa bank
yang NPLs neto-nya berada di atas 5% karena adanya
berbagai kendala dalam restrukturisasi kredit.
Pada 2003, perbankan syariah diprakirakan akan
tumbuh pesat sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.
Pertumbuhan ini terutama didorong oleh masih besarnya
potensi pasar perbankan syariah dan banyaknya wilayah
potensial yang belum terlayani oleh jasa perbankan ini.
Optimisme pertumbuhan volume usaha perbankan
syariah juga didukung oleh rencana pengembangan
usaha yang dicanangkan oleh bank umum syariah dan
unit usaha syariah bank umum konvensional, serta
rencana masuknya bank-bank baru kedalam industri
perbankan syariah.
Faktor Risiko dan Ketidakpastian
Prospek perkonomian Indonesia pada 2003 akan
sangat dipengaruhi oleh perkembangan berbagai
faktor risiko dan ketidakpastian baik yang berasal
dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejumlah
faktor risiko dan ketidakpastian yang diprakirakan
akan berpengaruh terhadap prospek ekonomi Indo-
nesia pada 2003, antara lain:
Pertama, dari sisi eksternal, meskipun
perekonomian dunia secara keseluruhan
diprakirakan akan membaik dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, namun juga disertai
meningkatnya ketidakpastian. Pertumbuhan
ekonomi dunia di 2003 lebih banyak merupakan
kontribusi kinerja ekonomi regional berbagai negara
di kawasan Asia. Sementara itu, pertumbuhan
ekonomi sebagian besar negara maju seperti
Amerika Serikat dan Jepang diprakirakan belum
tumbuh secara berarti. Relatif lemahnya
pertumbuhan ekonomi tersebut bahkan dapat
semakin memburuk apabila meningkatnya
ketegangan politik di Timur Tengah berlangsung
lama sehingga secara signifikan mempengaruhi
arus perdagangan dunia. Meningkatnya
ketidakpastian akibat ketegangan politik di Timur
Tengah tersebut diprakirakan juga akan berdampak
negatif terhadap iklim investasi global yang
sementara ini belum pulih. Perkembangan kondisi
global yang kurang menguntungkan tersebut
dikhawatirkan dapat memperburuk persepsi inves-
tor dan mitra dagang luar negeri terhadap prospek
perekonomian Indonesia. Tendensi memburuknya
22
Tinjauan Umum
kepercayaan masyarakat internasional tersebut
antara lain nampak dari pengenaan “war premium”
terhadap kegiatan perdagangan luar negeri Indo-
nesia. Premi tersebut meningkatkan biaya
transaksi dagang dengan mitra luar negeri serta
semakin memperkuat keengganan investor
internasional untuk menanamkan modalnya di In-
donesia.
Kedua, dari sisi investor dan mitra dagang luar
negeri, persepsi negatif terhadap prospek
perekonomian Indonesia dikhawatirkan akan
semakin meningkat. Hal ini dilatarbelakangi oleh
berbagai permasalahan sosial politik dan
keamanan yang diperburuk oleh dampak lanjutan
insiden Bali. Tendensi memburuknya kepercayaan
masyarakat internasional tersebut antara lain
nampak dari dikenakannya “war premium”
terhadap kegiatan perdagangan Indonesia. Premi
tersebut akan meningkatkan biaya transaksi
dagang dengan mitra luar negeri dan memperkuat
keengganan masyarakat internasional untuk
menanam modal di Indonesia.
Ketiga, dari sisi internal, secara khusus perlu
dicermati pula perkembangan situasi politik dan
keamanan terutama menjelang dilangsungkannya
Pemilu 2004. Meskipun cenderung terus
membaik, perkembangan faktor tersebut masih
mengandung banyak ketidakpastian yang dapat
meningkatkan ketegangan politik. Apabila
ketegangan tersebut meningkat di luar kendali
maka dalam jangka pendek akan berpengaruh
negatif pada berbagai variabel indikator seperti
nilai tukar dan uang kartal. Perkembangan
tersebut juga bisa berdampak negatif pada sektor
riil karena memburuknya tingkat kepercayaan
konsumen dan iklim investasi.
Keempat, masih maraknya berbagai konflik
perburuhan yang ditandai oleh berbagai aksi
pemogokan buruh diyakini dapat mengganggu
ketenangan dan kepastian usaha. Berlarutnya
permasalahan tersebut selain berpotensi
meningkatkan angka PHK, juga membentuk persepsi
yang kurang kondusif di kalangan mitra dagang
maupun investor luar negeri sehingga dapat
mengurangi minat pihak asing untuk berdagang dan
berinvestasi di Indonesia. Di samping itu, kenaikan
upah sebagai solusi konflik perburuhan jika tidak
diikuti peningkatan produktivitas akan menurunkan
daya saing produk Indonesia.
Kelima, mencuatnya berbagai ketidakpuasan atas
proses dan penyelesaian beberapa kasus hukum
yang besar mengakibatkan persepsi masyarakat
yang kurang kondusif terhadap penegakan
supremasi hukum. Berlarutnya permasalahan
tersebut, selain memicu rendahnya kepercayaan
dunia usaha terhadap iklim usaha domestik juga
berdampak buruk terhadap upaya untuk
menggerakkan minat investor luar negeri untuk
masuk ke Indonesia. Di samping itu, hal tersebut
juga dapat mengurangi kredibilitas pemerintah
dalam menyelenggarakan good governance.
Keenam, faktor risiko yang juga akan menentukan
prospek ekonomi ke depan adalah fungsi intermediasi
perbankan yang belum pulih sebagaimana yang
diharapkan. Meski ekspansi kredit pada 2002 relatif
membaik namun peningkatannya dirasakan masih
jauh dari yang dibutuhkan oleh sektor riil.
Keengganan bank untuk menyalurkan kredit seperti
23
Tinjauan Umum
yang tercermin dari masih rigid-nya suku bunga
kredit dalam merespon penurunan suku bunga SBI
dan terbatasnya pembiayaan yang bersifat jangka
panjang menyebabkan sumber-sumber pertumbuhan
ekonomi yang berasal dari investasi menjadi
terkendala.
Ketujuh, berkenaan dengan akan diakhirinya pro-
gram IMF pada akhir 2003 perlu adanya exit strat-
egy yang tepat. Disatu sisi, keberhasilan dari exit
program IMF akan dapat memelihara kepercayaan
dunia internasional dan independensi kebijakan
ekonomi. Namun kegagalan memelihara ketahanan
fiskal dan neraca pembayaran, terutama jika exit
policy yang dilakukan tidak dapat menjaga
dan sejalan dengan upaya BI untuk terus membangun
kredibilitas.
Sejalan dengan strategi jangka menengah
tersebut, BI menetapkan sasaran inflasi untuk tahun
2003 sebesar 9% dengan deviasi 1%. Sasaran diatas
diharapkan akan dapat tercapai bila didukung oleh
ekspektasi inflasi yang terus menurun, nilai tukar ru-
piah mencapai rata-rata Rp9.000 per dolar,
pertumbuhan ekonomi mencapai 3,8% dan sumbangan
dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan
pendapatan diprakirakan tidak lebih dari 3,02%.
kepercayaan dunia internasional, dapat
memperburuk prospek perekonomian Indonesia.
Sasaran Inflasi dan Arah Kebijakan Tahun 2003
Sasaran Inflasi
Pada tahun lalu, BI telah menetapkan program
disinflasi jangka menengah dengan menetapkan
sasaran inflasi sebesar 6%-7% pada 2006. Mengingat
sasaran jangka menengah tersebut merupakan
tingkat inflasi yang memberikan dampak negatif
minimal terhadap proses pemulihan ekonomi, maka
sasaran inflasi tahunan dalam beberapa tahun ke
depan akan terus diupayakan agar konsisten
dengan sasaran jangka menengah tersebut.
Komitmen pada upaya pencapaian sasaran inflasi
jangka menengah ini sangat perlu untuk mendorong
terus menurunnya ekspektasi inflasi masyarakat
Arah Kebijakan
Dengan memperhatikan prospek ekonomi dan
sasaran inflasi yang ditetapkan serta berbagai
tantangan yang dihadapi pada 2003, BI akan berupaya
untuk secara konsisten menempuh kebijakan-kebijakan
di bidang moneter, perbankan dan sistem pembayaran.
Di bidang moneter, kebijakan BI secara konsisten
diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi IHK sebesar
9% pada 2003 serta menjaga komitmen pencapaian
sasaran inflasi jangka menengah, yaitu 6%-7% pada
2006. Dalam pelaksanaannya, kerangka kebijakan
moneter yang digunakan tetap mengacu pada
pencapaian sasaran uang primer. Untuk itu, pada 2003
uang primer perlu diarahkan untuk secara bertahap
mencapai pertumbuhan rata-rata sekitar 13% yang
diprakirakan sesuai dengan kebutuhan riil
Bank Indonesia menetapkan sasaran inflasi tahun 2003 sebesar 9%dengan deviasi 1%
24
Tinjauan Umum
perekonomian. Upaya penyerapan kelebihan likuditas
agar tetap sesuai dengan sasaran uang primer
tersebut diprakirakan masih dapat membawa suku
bunga instrumen moneter terus menurun.
Dalam operasional kebijakan moneter,
optimalisasi penggunaan instrumen moneter seperti
yang dilakukan pada 2002 tetap perlu
dipertahankan, termasuk upaya untuk tetap
menggunakan kebijakan sterilisasi/intervensi valas
dalam membantu penyerapan likuditas perbankan
serta meminimalkan fluktuasi nilai tukar yang
berlebihan. Sementara itu, dalam jangka panjang
penggunaan Surat Perbendaharaan Negara dan
Obligasi Negara tetap perlu dipertimbangkan
sebagai alternatif instrumen. Oleh sebab itu upaya
untuk membangun infrastruktur pengembangan
pasar sekunder surat-surat berharga tersebut perlu
terus dilakukan, terutama dalam rangka
meningkatkan efektivitas penggunaan surat-surat
berharga tersebut sebagai instrumen moneter.
Di bidang perbankan, kebijakan masih
diarahkan pada program penyehatan perbankan dan
ketahanan sistem perbankan, dengan lebih
menekankan pada risk based supervision. Dalam
rangka memperkuat struktur perbankan Indonesia,
BI sedang menyempurnakan Arsitektur Perbankan
Indonesia (API) yang akan selesai pada 2003.
Penyempurnaan API ini mencakup enam pilar, yaitu
penciptaan struktur perbankan yang sehat, sistem
pengawasan yang independen dan efektif, sistem
pengaturan perbankan yang mampu mengantisipasi
perkembangan perbankan dan pasar keuangan ke
depan, penguatan infrastruktur perbankan dan
perlindungan konsumen. Sementara itu, dalam
rangka meningkatkan peran BI dalam menjaga
kestabilan sistem keuangan, BI mempersiapkan
Cetak Biru Stabilitas Sistem Keuangan dengan
cakupan aspek surveilance/monitoring stabilitas
sistem keuangan, prosedur penyelesaian krisis (cri-
sis resolution) dan aspek organisasinya. Di samping
itu, BI akan tetap mendorong pemulihan fungsi
intermediasi perbankan dengan tetap
memperhatikan ketentuan kehati-hatian serta
melanjutkan upaya-upaya dalam pemberdayaan
UKM. Terkait dengan target pencapaian NPLs neto
maksimum 5% pada akhir Juni 2003, BI meminta
bank-bank yang masih memiliki NPLs neto diatas
5% untuk membuat rencana yang jelas dan konkrit
di dalam menyusun business plan agar dapat
mencapai target NPLs neto maksimum 5%.
Di bidang perbankan syariah, arah kebijakan
selama 2003 akan diprioritaskan pada upaya
penyempurnaan ketentuan dan infrastruktur
pendukung bagi pengembangan perbankan
syar iah. Di s i s i ketentuan, penyempurnaan
tersebut antara la in mencakup penyusunan
ketentuan pengawasan perbankan syar iah
berbasis risiko (risk based supervision), pruden-
tial regulation dan penilaian tingkat kesehatan
perbankan syar iah, penyempurnaan s i stem
pelaporan dan pedoman akuntasi dan audit
perbankan syar iah. Sementara i tu,
penyempurnaan infrastruktur akan meliputi
pemetaan wi layah-wi layah potens ia l bagi
pengembangan kantor-kantor bank syariah baru
guna mendorong pengembangan jaringan kantor
bank syariah.
Di bidang sistem pembayaran, kebijakan
25
Tinjauan Umum
tahun 2003 tetap diprioritaskan pada upaya
peningkatan kelancaran s istem pembayaran
melalui peningkatan efisiensi dan pengurangan
risiko sistem pembayaran. Di bidang sistem
pembayaran tunai, upaya peningkatan efektivitas
pengedaran uang kepada masyarakat dilakukan
melalui kerjasama dengan pihak ketiga. Di
samping itu, dalam upaya untuk meningkatkan
penanggulangan terhadap uang palsu, jejaring
dengan pihak-pihak terkait akan diperluas seperti
POLRI, KBI dan Perbankan yang mempunyai
jaringan sampai tingkat pedesaan, termasuk
sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah terutama
mengenai unsur-unsur pengaman (security fea-
tures) yang kasat mata dan kasat raba. Di bidang
sistem pembayaran non tunai, kebijakan di tahun
2003 diarahkan pada kebijakan untuk dapat
mengurangi risiko dan meningkatkan efisiensi
sistem pembayaran melalui program lanjutan
implementasi BI-RTGS di 10 KBI dan penyusunan
ketentuan yang terkait dengan masalah
penyelenggaraan kegiatan usaha alat pembayaran
berbasis kartu, upaya mengatasi kegagalan
peserta kliring dalam penyelesaian settlement
serta rancangan UU Transfer Dana.
PENUTUP
Sebagai penutup, perlu dikemukakan bahwa
beberapa kemajuan yang dicapai di bidang ekonomi
dan moneter selama 2002 merupakan hasil dari
kerjasama dan koordinasi yang baik antara kebijakan
makroekonomi seperti kebijakan moneter dan fiskal
yang ditunjang dengan kemajuan di bidang
restrukturisasi ekonomi. Oleh sebab itu, ke depan
koordinasi seperti ini perlu terus ditingkatkan apalagi
tantangan serta ketidakpastian yang menghadang
semakin berat. Pengalaman selama 2002 memberikan
pelajaran kepada kita bahwa keberhasilan kebijakan
makroekonomi dalam menjaga stabilitas maupun
melakukan stimulus tidak akan berhasil membawa
dampak yang signifikan pada perekonomian, jika
persoalan struktural dan mikroekonomi, seperti
persoalan perburuhan, perpajakan, keamanan
berinvestasi serta good governance tidak dibenahi.
Oleh sebab itu, ke depan penyelesaian masalah
struktural dan kebijakan mikroekonomi perlu menjadi
prioritas utama.
Sementara itu, BI terus melakukan transformasi
internal, baik dalam rangka meningkatkan efektivitas
kebijakan moneter dalam bentuk kaji ulang terhadap
kerangka kebijakan moneter, melakukan reposisi peran
BI dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, maupun
dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi
manajemen intern melalui perbaikan tata kelola (good
governance) guna menghadapi tantangan dan
perubahan-perubahan ke depan.
26
Kondisi Ekonomi Makro
Kondisi Ekonomi Makro2BAB
l a p o r a nt a h u n a n
BAB 2: Kondisi Ekonomi Makro
27
Kondisi Ekonomi Makro
KONDISI EKONOMI MAKRO2B A B
B ersamaan dengan membaiknya indikator
makro moneter seperti inflasi, nilai tukar, dan
suku bunga, perekonomian Indonesia sepanjang 2002
secara umum masih mengindikasikan proses
pemulihan ekonomi. Produk Domestik Bruto (PDB)
2002 dengan harga berlaku mencapai Rp1.610,0
triliun. Sementara itu, pertumbuhan PDB 2002 dengan
harga konstan mencapai 3,7%, meningkat
dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 3,4%.
Dengan pertumbuhan tersebut, PDB 2002 dengan
harga konstan baru mencapai Rp426,7 triliun, masih
lebih rendah dari PDB 1997 senilai Rp433,2 triliun.
Perkembangan ini menandakan perekonomian Indo-
nesia belum sepenuhnya pulih dari krisis yang
berlangsung sejak lima tahun silam.
Aktivitas ekonomi yang meningkat tercermin
dari meningkatnya permintaan konsumsi baik di
sektor rumah tangga maupun di sektor pemerintah,
sedangkan kegiatan investasi belum menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan. Dari sisi
permintaan luar negeri, kinerja ekspor yang
mengalami kontraksi tidak terlepas dari kondisi
perekonomian dunia yang belum pulih, persaingan
yang semakin ketat di pasar global, adanya hambatan
ekspor seperti pengalihan perdagangan seiring dengan
terbentuknya blok-blok perdagangan (trade diversion)
dan proteksionisme, serta daya saing produk Indone-
sia di pasar global yang menurun.
Pada sisi penawaran, seluruh sektor ekonomi
mengalami pertumbuhan positif. Pertumbuhan
tertinggi terjadi pada sektor angkutan dan
komunikasi, sektor listrik, gas dan air bersih, dan
sektor keuangan. Sementara itu, sektor industri
pengolahan dan sektor perdagangan yang memiliki
pangsa dominan dalam pembentukan PDB mengalami
perlambatan. Namun melambatnya pertumbuhan
kedua sektor tersebut masih dapat diimbangi oleh
membaiknya kinerja sebagian besar sektor dalam
pembentukan PDB, sehingga secara keseluruhan
pertumbuhan PDB tetap meningkat. Pertumbuhan
sektor industri pengolahan yang melemah dapat
diimbangi oleh pasokan impor barang konsumsi
sehingga kondisi penawaran masih dapat memenuhi
pertumbuhan permintaan.
Kinerja investasi yang masih kurang
menggembirakan menyebabkan kapasitas per-
ekonomian, khususnya sektor industri pengolahan,
tumbuh melambat. Namun masih lemahnya permintaan
masyarakat menyebabkan tingkat utilisasi kapasitas
produksi belum mengalami peningkatan yang berarti
sehingga secara rata-rata masih tetap pada tingkat
yang cukup rendah. Dengan demikian, perkembangan
Perekonomian tahun 2002 tumbuh 3,7%, meningkat dibandingkantahun sebelumnya, namun masih belum didukung oleh struktur yangseimbang. Perekonomian masih bertumpu pada konsumsi sementarainvestasi dan ekspor masih belum menunjukkan perkembangan yangmenggembirakan.
28
Kondisi Ekonomi Makro
tingkat utilisasi kapasitas tersebut belum memberikan
tekanan harga secara signifikan. Perkembangan di sisi
produksi dan investasi tersebut mengindikasikan
bahwa perbaikan beberapa indikator moneter belum
direspon secara optimal oleh kegiatan di sektor riil.
Pertumbuhan ekonomi yang moderat tersebut belum
mampu memperbaiki kondisi ketenagakerjaan. Jumlah
pengangguran terbuka meningkat karena jumlah
angkatan kerja semakin tidak sebanding dengan
lapangan kerja yang tersedia. Di samping itu,
pengurangan atau penghentian aktivitas produksi
mendorong meningkatnya pemutusan hubungan kerja.
Kondisi ketenagakerjaan bertambah suram menyusul
kasus pemulangan besar-besaran tenaga kerja ilegal
Indonesia di Malaysia, anjloknya kunjungan wisatawan
mancanegara pasca tragedi Bali, serta masih maraknya
aksi unjuk rasa dan pemogokan buruh.
PERMINTAAN AGREGAT
Pertumbuhan PDB 2002 tercatat sebesar
3,7%, lebih t inggi dar i pertumbuhan tahun
Tabel 2.1Produk Domestik Bruto menurut Pengeluaran
Produk Domestik Bruto (Riil)Menurut PengeluaranKonsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi Pemerintah
Investasi1)
Ekspor Barang dan Jasa
Impor Barang dan Jasa
Jenis2002**2001*20001999
Pertumbuhan Kontribusi Pertumbuhan Kontribusi Pertumbuhan Kontribusi Pertumbuhan Kontribusi
0,8
4,3
4,6
0,7
-18,2
-31,8
-40,7
0,8
3,3
3,2
0,1
-4,5
-11,4
-14,3
4,9
3,9
3,6
6,5
13,8
26,5
21,1
4,9
3,1
2,6
0,5
2,8
6,4
4,4
3,4
4,8
4,4
9,0
7,7
1,9
8,1
3,4
3,7
3,1
0,7
1,7
0,6
2,0
3,7
5,5
4,7
12,8
-0,2
-1,2
-8,3
3,7
4,3
3,3
1,0
-0,1
-0,4
-2,2
(Persen)
1) Investasi disini adalah Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto
Sumber : BPS
sebelumnya sebesar 3,4% (Tabel 2.1). Meskipun
demikian, kenaikan pertumbuhan tersebut tidak diikuti
oleh membaiknya struktur perekonomian. Di sisi
domestik, konsumsi tetap menjadi tumpuan kenaikan
pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, kegiatan
investasi justru mengalami pertumbuhan negatif. Di
sisi eksternal, ekspor neto yang meningkat lebih
disebabkan oleh kontraksi impor barang dan jasa yang
jauh lebih tajam dari pada kontraksi ekspor barang
dan jasa.
Perkembangan indikator moneter yang positif
sepanjang tahun —seperti menurunnya tekanan inflasi,
stabilnya nilai tukar dan menurunnya suku bunga—,
belum direspon secara optimal oleh sektor riil.
Penurunan suku bunga cenderung direspon lebih kuat
oleh kegiatan konsumsi. Sementara itu, respon
kegiatan investasi —yang memiliki efek pengganda
(multiplier effect) yang lebih tinggi daripada
konsumsi— masih lemah. Rendahnya realisasi
investasi juga tidak terlepas dari iklim investasi yang
masih belum kondusif di samping masih tingginya
29
Kondisi Ekonomi Makro
suku bunga kredit investasi. Selain itu, nilai tukar
rupiah yang menguat dengan volatilitas yang rendah
sepanjang tahun laporan juga belum dapat
mendorong kegiatan produksi dan investasi termasuk
di dalamnya kegiatan ekspor dan impor.
Pada 2002 sumbangan konsumsi terhadap laju
pertumbuhan PDB sebesar 4,3%, meningkat dari 3,7%
pada 2001. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya
pertumbuhan konsumsi baik di sektor rumah tangga
maupun di sektor pemerintah. Pertumbuhan pengeluaran
konsumsi rumah tangga meningkat dari 4,4% menjadi
4,7% pada tahun laporan. Sedangkan pengeluaran
konsumsi pemerintah mencapai 12,8% pada 2002, jauh
lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang mencapai 9,0%.
Hal ini seiring dengan meningkatnya peran pemerintah
dalam mendorong roda perekonomian. Meningkatnya
peran pemerintah tercermin pada pertumbuhan
konsumsi pemerintah yang selalu lebih tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi rumah
tangga sejak 2000 (Grafik 2.1).
Meningkatnya konsumsi rumah tangga
tercermin dari beberapa indikator konsumsi.
Secara umum perkembangan triwulanan indeks riil
penjualan eceran terus menunjukkan peningkatan,
hingga mencapai 126,2 pada triwulan IV-2002 (Grafik
2.2).1 Kenaikan penjualan eceran terjadi di hampir
seluruh kelompok barang yang disurvei, kecuali untuk
penjualan eceran kelompok bahan konstruksi yang
mencatat penurunan. Peningkatan penjualan terutama
disumbang oleh peningkatan penjualan kelompok
makanan dan tembakau, kelompok kendaraan dan suku
cadangnya, kelompok pakaian dan perlengkapannya dan
kelompok perlengkapan rumah tangga (Grafik 2.3).
1 Hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dilakukan oleh Bank Indonesia
Grafik 2.1Pertumbuhan Konsumsi Tahunan
Grafik 2.3Survei Penjualan Eceran
Grafik 2.2Indeks Riil Penjualan Eceran
30
Kondisi Ekonomi Makro
Hasil survei yang menunjukkan peningkatan
penjualan pada kelompok makanan dan tembakau,
searah dengan meningkatnya pertumbuhan tahunan
pengeluaran konsumsi yang dialokasikan untuk
makanan yang meningkat dari 0,3% pada 2001
menjadi 0,7% pada tahun laporan (Grafik 2.4).
Sementara itu, meskipun terdapat kecenderungan
melemah, pertumbuhan tahunan pengeluaran
konsumsi bukan makanan pada 2002 masih tetap
tinggi yakni sebesar 9,0%. Kecenderungan
meningkatnya perkembangan pengeluaran konsumsi
bukan makanan tersebut tercermin pada indikator
Grafik 2.4Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga
Sumber : GAIKINDOGrafik 2.5
Penjualan Sepeda Motor
Grafik 2.6Penjualan Van dan Sedan
Grafik 2.7Perkembangan Kredit Konsumsi
konsumsi lainnya seperti angka penjualan kendaraan
bermotor nonniaga. Didorong oleh kemudahan dari
sisi pembiayaannya, penjualan sepeda motor terus
mengalami peningkatan hingga mencapai 2,3 juta
unit pada 2002 atau meningkat 39,5% dibandingkan
tahun sebelumnya (Grafik 2.5). Perkembangan yang
sama juga ditunjukkan oleh penjualan van dan se-
dan yang angka penjualannya tetap meningkat dan
mencapai 264 ribu unit pada 2002 atau meningkat
5,1% dibandingkan tahun sebelumnya (Grafik 2.6).
Meningkatnya pengeluaran konsumsi rumah
tangga tercermin pula dari sisi pembiayaannya, baik
31
Kondisi Ekonomi Makro
yang bersumber dari perbankan (kredit konsumsi)
maupun yang bersumber dari perusahaan
pembiayaan (pembiayaan konsumen). Pertumbuhan
tahunan kredit konsumsi masih tetap tinggi hingga
mencapai 36,5%. Meskipun demikian, pertumbuhan
tahunan tersebut masih lebih rendah apabila
dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 45,5%
(Grafik 2.7). Perkembangan serupa juga ditunjukkan
oleh indikator pembiayaan konsumen. Pertumbuhan
rata-rata pembiayaan konsumen masih tetap tinggi
seiring dengan menurunnya suku bunga dan hingga
November 2002 mencapai 24,7%. Namun demikian
dibandingkan dengan pertumbuhan tahun
sebelumnya yang mencapai rata-rata 76,3%, terdapat
perlambatan pertumbuhan (Grafik 2.8). Hal ini
mengindikasikan gejala melambatnya sumber
pembiayaan konsumsi. Indikasi tersebut juga terlihat
pada perkembangan alat pembayaran kartu.
Pemakaian kartu kredit sebagai sarana transaksi non
tunai semakin meluas sebagaimana tercermin pada
peningkatan jumlah pemegang kartu kredit yang hingga
November 2002 telah mencapai 4,1 juta orang atau
meningkat 18,4% dibandingkan tahun sebelumnya.
Namun demikian, pertumbuhan volume transaksi
kartu kredit justru menurun dari 41,9% pada 2001
menjadi 14,9% pada 2002. Di samping itu, sumber
Grafik 2.8Perkembangan Pembiayaan Konsumen
4.093.37122,25,4
12.930.1617,50,6
Kartu KreditJumlah Pemegang (Orang)Volume Transaksi (Triliun Rp)Nilai Transaksi per Orang (Juta Rp)
Kartu DebitJumlah Pemegang (Orang)Volume Transaksi (Triliun Rp)Nilai Transaksi per Orang (Juta Rp)
Jenis 1998 1999 2000 2001 2002 a)
3.457.22619,35,6
13.587.5056,70,5
2.622.60413,65,2
13.103.6764,70,4
2.043.84610,45,1
12.110.9703,20,3
2.028.4424,92,4
5.374.3762,60,5
a) Data s.d. November 2002
Grafik 2.9Survei Konsumen
Tabel 2.2Perkembangan Alat Pembayaran Berbasis Kartu
a) Data s.d. November 2002
32
Kondisi Ekonomi Makro
pembiayaan sendiri berupa penggunaan kartu debit
sebagai sarana transaksi juga mengalami penurunan.
Jumlah pemegang kartu debit menurun sebesar 4,8%
dari 13,6 juta orang pada 2001 menjadi 12,9 juta
pada tahun laporan (Tabel 2.2).
Sementara itu, Survei Konsumen mengindi-
kasikan konsumen yang masih tetap pesimis terhadap
kondisi ekonomi sebagaimana tercermin dari indeks
kondisi ekonomi saat ini yang masih berada di bawah
100 sepanjang tahun laporan (Grafik 2.9).2 Pesimisme
konsumen tersebut juga tercermin pada indeks
ketepatan waktu pembelian barang tahan lama yang
masih tetap rendah, yang berarti masyarakat masih
memprioritaskan pembelian barang primer seperti
sandang dan pangan. Ketidakmampuan untuk membeli
barang dan persepsi semakin tingginya harga-harga
barang adalah dua alasan utama konsumen tidak
membeli barang tahan lama. Alasan tersebut
mengindikasikan melemahnya daya beli masyarakat
meskipun dari sisi pendapatan terjadi kenaikan secara
nominal terkait dengan adanya kenaikan upah mini-
mum propinsi yang diberlakukan sejak 1 Januari 2002.
Di samping itu, berbagai kebijakan pemerintah di
bidang harga untuk menaikkan harga BBM, tarif dasar
listrik, tarif telepon, dan tarif angkutan semakin
memperlemah daya beli masyarakat. Melemahnya
daya beli masyarakat tersebut diperburuk oleh kondisi
sektor tenaga kerja seiring dengan meningkatnya
jumlah pengangguran.
Pesimisme konsumen juga diperlihatkan oleh
hasil-hasil survei yang dilakukan lembaga lain. Survei
Tendensi Konsumen yang dilakukan Badan Pusat
Statistik (BPS) menunjukkan adanya perubahan arah
kecenderungan konsumsi. Hingga triwulan III-2002
indikasi tendensi konsumen terus menunjukkan
peningkatan, namun memasuki triwulan IV-2002 indeks
telah berada di bawah 100 yang mengindikasikan bahwa
prospek konsumen secara umum menurun.
Perkembangan yang serupa juga ditunjukkan oleh hasil
Survei Consumer Confidence yang dilakukan oleh
Danareksa Research Institute (DRI). Sejak awal tahun
indeks kepercayaan konsumen terus meningkat hingga
September 2002, selanjutnya indeks kembali berada
di bawah 100.
Ditinjau dari sumber atau asal barang,
perkembangan konsumsi tidak saja dipenuhi dari
produksi dalam negeri, namun juga dari impor. Seiring
dengan meningkatnya pertumbuhan konsumsi,
pertumbuhan impor barang konsumsi 2002
menunjukkan peningkatan sebesar 12,7%, jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun
lalu yang menurun 5,8% (Grafik 2.10).3 Kenaikan
impor barang konsumsi terjadi pada hampir seluruh
Grafik 2.10Perkembangan Impor Barang Konsumsi
3 Sumber: Neraca Pembayaran Indonesia2 Hasil Survei Konsumen (SK) yang dilakukan oleh Bank Indonesia
33
Kondisi Ekonomi Makro
jenis komoditi seperti bahan makanan dan minuman,
makanan dan minuman untuk rumah tangga, dan
barang konsumsi tidak tahan lama. Peningkatan impor
barang konsumsi dapat dilihat dari maraknya impor
produk pertanian seperti beras dan gula serta
membanjirnya produk manufaktur seperti pakaian
jadi dan barang-barang elektronik di pasar domestik.
Di satu sisi, meningkatnya kehadiran pemain asing
di pasar domestik selain memberikan lebih banyak
pilihan kepada konsumen, hal tersebut juga
membantu mengurangi tekanan harga melalui
pemenuhan kekurangan pasokan khususnya bahan
pokok seperti beras dan gula. Namun di sisi lain,
fenomena tersebut mengindikasikan rendahnya daya
saing industri dalam negeri.
Di sektor pemerintah, pertumbuhan konsumsi
pemerintah dalam PDB pada tahun laporan meningkat
cukup tinggi sebesar 12,8% dibandingkan tahun
sebelumnya 9,0%. Hal ini disebabkan oleh menurunnya
beban subsidi pemerintah sehingga memungkinkan
peluang bagi peningkatan pengeluaran konsumsi
pemerintah. Dari jumlah pengeluaran konsumsi
tersebut, sebagian besar digunakan untuk konsumsi
daerah yang dialokasikan dalam bentuk Dana Alokasi
Umum serta Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang.
Kegiatan investasi yang diprakirakan akan
membaik di paro kedua 2002 ternyata masih
menunjukkan kecenderungan yang kurang
menggembirakan sehingga secara keseluruhan
justru mengalami kontraksi sebesar 0,2%, jauh lebih
rendah dari 2001 (7,7%) dan 2000 (13,8%). Semakin
memburuknya kegiatan investasi tidak terlepas dari
masih tingginya risiko investasi yang memperburuk
daya saing perekonomian seperti masalah
perburuhan, implementasi otonomi daerah yang
terkait dengan investasi, ketidakpastian hukum
serta kondisi keamanan yang diperburuk oleh
tragedi Bali.
Secara umum indikasi memburuknya kegiatan
investasi dapat dilihat dari menurunnya jumlah
persetujuan investasi asing maupun domestik dan
menurunnya impor barang modal dan bahan baku.
Nilai persetujuan investasi dalam rangka Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN) merosot 57,0%, yakni
dari Rp58,8 triliun (264 proyek) di tahun 2001
menjadi hanya Rp25,2 triliun (181 proyek) pada
periode yang sama di tahun laporan. Perkembangan
serupa juga terjadi pada nilai persetujuan investasi
dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) yang
merosot sebesar 35,3%, yakni dari $15,1 miliar
(1.333 proyek) menjadi $9,7 miliar (1.135 proyek)
pada 2002 (Tabel 2.3). Selain itu, terdapat pula
indikasi beralihnya minat investor asing dari sektor
industri ke bidang perdagangan dan reparasi serta
bidang jasa lainnya yang tingkat pengembaliannya
lebih cepat dan sunk cost (biaya investasi awal yang
pasti hilang) yang lebih rendah.
Tabel 2.3Persetujuan PMA dan PMDN
181
25.262,3
1.135
9.744,1
Penanaman Modal Dalam Negeri
Jumlah Proyek
Nilai Investasi (Miliar Rp)
Penanaman Modal Asing
Jumlah Proyek
Nilai Investasi (Juta $)
200220012000
264
58.816,0
1.333
15.055,9
355
92.410,0
1.524
15.426,6
Sumber : BKPM
34
Kondisi Ekonomi Makro
Selain hasil survei, melemahnya kegiatan investasi
juga diperlihatkan oleh berbagai indikator dini (prompt
indicator) seperti penjualan truk dan produksi semen.
Meskipun penjualan truk maupun produksi semen masih
terus meningkat, pertumbuhannya menunjukkan
kecenderungan yang melambat. Melambatnya
pertumbuhan penjualan truk tercermin dari menurunnya
rata-rata pertumbuhan dari 43,3% (2001) menjadi 11,5%
(2002) (Grafik 2.11). Perkembangan penjualan truk
tersebut searah dengan perkembangan investasi alat
angkutan yang dalam tahun laporan terus mengalami
penurunan. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan
Grafik 2.11Penjualan Truk
Grafik 2.12Produksi Semen
Grafik 2.13Pertumbuhan Investasi Berdasarkan Jenis
Grafik 2.14Perkembangan Kredit Investasi
produksi semen pada 2002 mengalami kontraksi 1,8%,
jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan
2001 sebesar 12,6% (Grafik 2.12). Pertumbuhan produksi
semen tersebut terlihat melambat sejak pertengahan
2001 meskipun sempat menunjukkan arah peningkatan
pada pertengahan tahun laporan. Perkembangan
tersebut sejalan dengan pertumbuhan tahunan investasi
bangunan yang cenderung melambat, meskipun terlihat
mulai menunjukkan kenaikan menjelang akhir tahun
2002 (Grafik 2.13).
Dari sisi pembiayaan, indikasi melemahnya
kegiatan investasi terlihat pada menurunnya pangsa
35
Kondisi Ekonomi Makro
kredit investasi terhadap total kredit perbankan dari
24,0% pada 2001 menjadi 22,8% pada tahun laporan.
Ditinjau dari pertumbuhannya, kredit investasi tumbuh
11,3%, relatif tidak berubah dibandingkan tahun
sebelumnya yakni 10,2% (Grafik 2.14). Kecenderungan
yang berbeda diperlihatkan oleh pembiayaan yang
bersumber dari non perbankan seperti penerbitan
obligasi yang terus meningkat. Maraknya penerbitan
obligasi tersebut terutama didukung oleh faktor suku
bunga yang menurun. Sepanjang tahun laporan, tercatat
dua belas perusahaan yang telah menerbitkan obligasi
dengan total nilai sebesar Rp5,3 triliun (Tabel 2.4).
Meskipun iklim investasi masih belum kondusif,
potensi pembiayaan domestik yang diperlukan untuk
mendukung kegiatan investasi pada dasarnya masih
tinggi. Hal ini antara lain tercermin dari masih
besarnya kesenjangan tabungan-investasi walaupun
nisbah surplus kesenjangan tabungan-investasi
terhadap PDB sejak 2000 terus menunjukan penurunan
hingga mencapai 4,08% pada 2002. Penurunan sur-
plus tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya
surplus di sektor swasta. Sementara itu, defisit di
sektor pemerintah sedikit menurun dari 2,72% pada
2001 menjadi 1,66% dalam tahun laporan (Tabel 2.5).
Faktor utama menurunnya defisit tersebut adalah
peningkatan tabungan pemerintah akibat menurunnya
pengeluaran rutin untuk subsidi BBM.
Penyumbang kedua terbesar dalam
pertumbuhan PDB adalah ekspor neto yang
mencapai 1,8%. Namun, tingginya sumbangan
ekspor neto tersebut disebabkan oleh kontraksi
impor barang dan jasa yang jauh lebih tajam
daripada kontraksi ekspor barang dan jasa. Setelah
mencapai puncaknya pada 2000 yang mencapai
PemerintahTabunganInvestasiDefisit/Surplus
SwastaTabunganInvestasiDefisit/Surplus
TotalTabunganInvestasiDefisit/Surplus
PemerintahTabunganInvestasiDefisit/Surplus
SwastaTabunganInvestasiDefisit/Surplus
TotalTabunganInvestasiDefisit/Surplus
Produk Domestik Bruto (Triliun Rp)Transaksi Berjalan (Miliar )Rata-Rata Nilai Tukar (Rp/$)
2002
62,974,2-11,3
222,9166,156,8
285,8240,345,5
5,676,68
-1,02
20,0814,965,12
25,7521,654,10
1.110,05,8
7.850
28,960,1
-31,2
307,3208,698,7
336,2268,767,5
2,254,69
-2,44
23,9716,277,70
26,2220,965,27
1.282,08,0
8.438
21,862,3
-40,5
365,1253,8111,3
386,9316,170,8
1,464,18
-2,72
24,4917,027,46
25,9521,204,75
1.491,06,9
10.255
-27,7
355,1259,495,7
393,3325,368,0
2,293,95
-1,66
21,2915,555,74
23,5819,504,08
9.316
200120001999Harga Berlaku (Triliun Rp)
Rasio Terhadap PDB (Persen)
38,21)
65,91)
1.667,91)
7,32)
1 ) Tabungan-Investasi Pemerintah dan PDB harga berlaku berdasarkanAPBN Realisasi 2002
2 ) Transaksi Berjalan berdasarkan Neraca Pembayaran IndonesiaSumber : BPS, Bank Indonesia dan Departemen Keuangan (diolah)
Tabel 2.4Penerbitan Obligasi Tahun 2002
400300400600300200
1.000300450
1.075200100
5.325
No. Emiten Nilai
Sumber : Bursa Efek Surabaya
Jasa Marga IXOto Multiartha IAstra Sedaya Finance IIPupuk Kaltim IPerum Pegadaian IXBhakti Investama IIITelkom IFederal International Finance IMatahari Putra PrimaIndosat IIBank Nagari VInti Visindo InternasionalTotal
123456789
101112
(Miliar Rp)
Tabel 2.5Kesenjangan Tabungan-Investasi
36
Kondisi Ekonomi Makro
pertumbuhan 26,5%, pertumbuhan ekspor barang
dan jasa terus menunjukkan penurunan hingga
mencatat kontraksi sebesar 1,2% pada 2002. Secara
umum, buruknya kinerja ekspor tidak terlepas dari
berbagai permasalahan yang terjadi baik di dalam
maupun di luar negeri. Dari dalam negeri, industri
berorientasi ekspor masih menghadapi sejumlah
persoalan seperti: (i) ketidakpastian penegakan
hukum; (i i) naiknya beban biaya produksi
sehubungan dengan kenaikan tarif telepon, listrik,
dan BBM; (iii) tuntutan kenaikan upah buruh dan
maraknya aksi pemogokan; (iv) teknologi produksi
yang mulai usang seiring dengan turunnya investasi
barang modal; (v) lemahnya penguasaan pasar dan
belum efisiennya sistem distribusi; (vi) adanya
persoalan struktural seperti munculnya peraturan-
peraturan daerah yang tidak mendukung
pengembangan industri dan perdagangan; (vii)
kondisi keamanan yang tidak kondusif.
Dari sisi eksternal, lambatnya pemulihan
ekonomi di beberapa negara — terutama negara mitra
dagang utama Indonesia, seperti Amerika Serikat (AS)
dan Jepang— semakin mempersulit kinerja ekspor.
World Economic Outlook yang pada awal tahun
memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS 2002
sebesar 2,3%, ternyata justru merevisinya menjadi
2,2%. Melambatnya kinerja ekonomi tersebut
tercermin dari kepercayaan konsumen yang
menyentuh level terendah dalam 9 tahun terakhir.
Sementara itu, kegiatan ekonomi di Jepang pada 2002
kembali mengalami kontraksi 0,5%, lebih rendah dari
tahun lalu sebesar -0,3%. Perkembangan ekonomi
Jepang yang kurang menggembirakan tersebut
menyebabkan business confidence pengusaha
menurun, seperti tercermin pada indeks Tankan pada
September 2002 yang masih negatif. Lemahnya
kinerja ekonomi di dua kekuatan ekonomi terbesar
dunia tersebut telah menyebabkan terhambatnya
proses pemulihan perekonomian dunia.
Selain perekonomian dunia yang belum
sepenuhnya pulih, beberapa permasalahan ekspor
lainnya dari sisi eksternal adalah: (i) semakin
tajamnya persaingan global. Masuknya Cina sebagai
anggota WTO menjadi tantangan yang cukup berat
bagi produk Indonesia; (ii) meningkatnya
proteksionisme yang diperlihatkan oleh sikap
sejumlah negara yang cenderung meningkatkan
hambatan non tarif dengan dalih melindungi industri
dalam negeri; (iii) terjadinya pengalihan
perdagangan (trade diversion) seiring dengan
terbentuknya blok-blok perdagangan; (iv)
perkembangan harga komoditi primer di pasar
internasional yang tidak menguntungkan posisi
penjual. Hal ini terkait dengan kondisi global saat
ini yang diwarnai oleh kelebihan pasokan dunia
sehingga pembeli lebih berperan dalam penentuan
harga (buyer’s market).
Grafik 2.15Pertumbuhan Ekspor-Impor Barang dan Jasa
37
Kondisi Ekonomi Makro
Sementara itu, kegiatan impor mencatat
kontraksi sangat tajam. Impor barang dan jasa pada
tahun laporan mencatat kontraksi 8,3%, jauh lebih
buruk dibandingkan dengan tahun lalu yang meningkat
sebesar 8,1% (Grafik 2.15). Pertumbuhan yang negatif
tersebut terkait erat dengan masih buruknya
pertumbuhan investasi dan rendahnya pertumbuhan
sektor industri berorientasi ekspor yang memiliki
kandungan impor tinggi terutama untuk bahan baku
dan barang modal. Dalam periode laporan, pertumbuhan
impor bahan baku mengalami kontraksi sebesar 2,9%,
sedangkan impor barang modal mengalami kontraksi
sebesar 6,7%.4
PENAWARAN AGREGAT
Pertumbuhan ekonomi dari sisi produksi pada
2002 menunjukkan adanya peningkatan dengan
pertumbuhan positif terjadi pada seluruh sektor
pembentuk PDB (Tabel 2.6). Meski demikian, dari 9
sektor ekonomi yang ada, hanya 4 sektor yang
mengalami peningkatan pertumbuhan, yakni sektor
pertanian, sektor pertambangan, sektor
pengangkutan, dan sektor keuangan. Sementara itu
sektor-sektor lainnya justru melambat, termasuk sektor
industri pengolahan yang memiliki pangsa terbesar
dalam pembentukan PDB. Dilihat dari penyumbang
terhadap pertumbuhan, kontributor utama
pertumbuhan pada tahun laporan masih berasal dari
sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, ho-
tel dan restoran, dan sektor pengangkutan, masing-
masing sebesar 1,1%, 0,6%, dan 0,6% (Grafik 2.16).
Tabel 2.6Pertumbuhan Ekonomi Menurut Sektor Ekonomi
PertanianPertambanganIndustriListrikBangunanPerdaganganPengangkutanKeuanganJasaPDB
2002**2001*20001999Pertumbuhan Kontribusi Pertumbuhan Kontribusi Pertumbuhan Kontribusi Pertumbuhan Kontribusi
22,0-1,63,98,3
-1,9-0,1-0,8-7,21,90,8
0,4-0,21,00,1
-0,10,0
-0,1-0,50,20,8
1,95,56,07,65,65,78,64,62,34,9
0,30,51,60,10,30,90,60,30,24,9
1,00,04,17,74,25,37,33,42,03,4
0,20,01,10,10,20,90,50,20,23,4
1,72,34,06,24,13,67,85,62,03,7
0,30,21,10,10,20,60,60,40,23,7
4 Sumber : Neraca Pembayaran Indonesia
Grafik 2.16Kontribusi terhadap Pertumbuhan
(Persen)
Sektor1)
1) Nama sektor disederhanakanSumber : BPS
38
Kondisi Ekonomi Makro
Sektor pertambangan yang tahun lalu tidak mengalami
pertumbuhan, pada tahun laporan mengalami
pertumbuhan sebesar 2,3%.
Sektor industri pengolahan tumbuh sebesar
4,0% dan memberikan sumbangan 1,1% terhadap
pertumbuhan PDB. Meskipun demikian, angka
pertumbuhan ini sedikit melambat apabila
dibandingkan pertumbuhan tahun lalu yang mencapai
4,1%. Berbagai permasalahan yang melingkupi dunia
usaha seperti faktor risiko usaha yang tinggi,
meningkatnya biaya produksi yang bersumber dari
penyesuaian harga BBM, TDL serta berbagai retribusi
baru seiring dengan implementasi otonomi daerah,
menjadi beberapa penyebab melambatnya
pertumbuhan sektor ini.
Perlambatan pertumbuhan pada sektor ini juga
tak terlepas dari masih belum tuntasnya permasalahan
yang membatasi proses intermediasi perbankan,
meski suku bunga SBI sudah turun. Meskipun jumlah
kredit baru terus meningkat, peningkatannya tidak
cukup besar untuk dapat memacu pertumbuhan yang
lebih tinggi. Bahkan posisi kredit perbankan yang
disalurkan ke sektor ini mengalami penurunan
dibandingkan tahun 2001. Selain itu, permasalahan
mendasar dalam perekonomian Indonesia seperti
tidak adanya kepastian hukum turut menghambat
proses pemulihan ekonomi. Adanya persaingan dari
negara-negara tetangga seperti Vietnam, Cina, India
juga merupakan salah satu tantangan yang dihadapi
oleh pelaku usaha di Indonesia. Dampak dari
permasalahan ini sudah mulai terlihat dari adanya
penutupan beberapa perusahaan PMA.
Indikasi perlambatan pertumbuhan sektor ini
tercermin juga pada hasil Survei Kegiatan Dunia
Usaha (SKDU) yang dilakukan oleh Bank Indonesia
dan Survei Tendensi Bisnis yang dilakukan BPS (Grafik
2.17). Kedua survei tersebut menunjukkan
perkembangan indeks yang melemah yang
mengindikasikan menurunnya optimisme pengusaha
terhadap kondisi perusahaan dan bisnis. Prospek
bisnis yang melemah tersebut terutama disebabkan
oleh menurunnya pesanan baik dari dalam maupun
luar negeri. Gambaran serupa juga tercermin pada
hasil survei industri besar dan sedang, dimana
pertumbuhan indeks produksinya bahkan mencatat
kontraksi (Grafik 2.18).
Grafik 2.17Survei Kegiatan Dunia Usaha
Grafik 2.18Indeks Produksi
39
Kondisi Ekonomi Makro
Terlepas dari masih terdapatnya berbagai
permasalahan diatas, seiring dengan kenaikan
permintaan, kegiatan ekonomi dari sisi produksi masih
terus tumbuh positif, meski pertumbuhannya tidak
dapat memenuhi seluruh kenaikan permintaan
tersebut. Peningkatan kegiatan ekonomi ini tercermin
dari angka utilisasi kegiatan di sektor industri
pengolahan -khususnya industri elektronika serta
industri kimia, agro dan hasil hutan yang memiliki
pangsa lebih dari 80% dari total produksi di sektor
industri pengolahan- yang menunjukkan peningkatan
bahkan tingkat utilisasinya sudah berada diatas angka
utilisasi sebelum krisis (Tabel 2.7). Indikator lain
seperti produksi sepeda motor juga masih berada pada
tren yang terus meningkat sejak 1998 (Grafik 2.19).
Sektor perdagangan, hotel dan restoran
mengalami pertumbuhan sebesar 3,6%, turun
dibandingkan tahun lalu sebesar 5,3%. Dengan
pertumbuhan yang melambat tersebut, kontribusi
sektor ini terhadap pertumbuhan PDB hanya mencapai
0,6%. Pertumbuhan pada sektor ini terutama didorong
oleh subsektor perdagangan besar dan eceran seiring
dengan peningkatan konsumsi masyarakat.
Indikator dari pertumbuhan subsektor
perdagangan tercermin dari dibukanya beberapa gerai
ritel selama tahun laporan. Hasil Survei Penjualan
Eceran sampai dengan Desember 2002 juga
menunjukkan adanya peningkatan namun dengan laju
yang melambat dibandingkan tahun sebelumnya.
Perlambatan ini diperparah oleh tragedi Bali yang
menyebabkan merosotnya kinerja subsektor hotel dan
subsektor restoran.
Pada tahun laporan sektor pengangkutan dan
komunikasi tumbuh 7,8%, lebih tinggi dari pertumbuhan
tahun sebelumnya (7,3%). Meski terjadi tragedi Bali pada
triwulan terakhir 2002, dampaknya tidak terlalu
signifikan mengingat sampai tiga triwulan pertama
2002, sektor pengangkutan dan komunikasi masih
mencatat pertumbuhan yang meningkat apabila
dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Pertumbuhan yang terjadi terutama berasal dari
pertumbuhan pada subsektor pengangkutan, khususnya
angkutan jalan raya dan angkutan udara. Untuk angkutan
udara, bertambahnya maskapai penerbangan udara dan
kebijakan pemerintah yang hanya membatasi ceiling
price mendorong persaingan yang semakin ketat
sehingga menyebabkan harga tiket pesawat lebih murah.
Namun demikian, tragedi Bali telah menyebabkan
pertumbuhan kegiatan angkutan udara melambat.
Tabel 2.7Tingkat Utilisasi Industri Kimia, Agro, dan Hasil Hutan
Industri Kimia Hulu
Industri Kimia Hilir
Industri Kimia Hasil Pertanian
Industri Agro
Industri Hasil hutan
Rata-Rata
2002*2001200019991998199784,8
75,8
75,4
56,1
60,7
70,6
80,8
72,2
71,8
53,4
57,8
67,2
75,9
70,4
69,6
53,4
67,4
67,3
66,0
64,3
68,0
46,4
60,1
61,0
65,4
54,9
67,8
44,2
58,5
58,2
72,1
78,1
69,0
47,5
68,4
67,0Sumber : Departemen Perindustrian dan Perdagangan
(Persen)
Grafik 2.19Produksi Kendaraan Bermotor
40
Kondisi Ekonomi Makro
Untuk subsektor komunikasi, pertumbuhan
pada tahun laporan terkait erat dengan deregulasi
di sektor telekomunikasi. Deregulasi ini
memungkinkan terjadinya persaingan yang ketat
antar perusahaan yang bergerak di sektor tersebut.
Deregulasi ini juga mendorong terjadinya
peningkatan investasi oleh beberapa operator
utama. Selain itu berbagai tawaran program baru
dari operator telepon seluler juga berperan dalam
peningkatan pertumbuhan subsektor ini.
Sektor pertanian mencatat pertumbuhan
sebesar 1,7%, lebih tinggi dari pertumbuhan pada
tahun sebelumnya yang hanya sebesar 1,0%.
Peningkatan pertumbuhan ini terutama terjadi pada
subsektor tanaman bahan makanan melalui
peningkatan produktivitas dan perluasan lahan
pertanian. Selain itu, gejala alam El Nino yang
semula diperkirakan memberikan dampak negatif
ternyata tidak terjadi. Dalam mengantisipasi
kemungkinan penurunan produksi akibat terjadinya
musim kering, Departemen Pertanian telah
menggalakkan upaya untuk memperluas lahan tanam
dan penyediaan benih kepada petani. Selain itu,
tercukupinya kebutuhan pupuk dalam negeri karena
tidak adanya gangguan pasokan gas kepada industri
pupuk juga turut memperlancar proses produksi di
sektor ini.
Fenomena yang paling menonjol pada sektor
pertanian adalah terjadinya pergeseran masa panen
raya. Bencana banjir yang terjadi pada akhir 2001
dan awal tahun laporan telah menyebabkan
mundurnya masa tanam padi. Akibatnya, musim
panen raya bergeser ke triwulan II. Dengan
demikian, produksi padi pada triwulan ini meningkat
secara signifikan dan bahkan mampu mendukung
penurunan kegiatan sektor-sektor lainnya yang
sampai paro pertama 2002 masih kurang
menggembirakan. Selain tanaman bahan makanan,
subsektor perkebunan juga memberikan sumbangan
yang cukup besar bagi pertumbuhan sektor ini.
Sementara itu, subsektor kehutanan justru
mengalami kontraksi. Hal ini terkait dengan
kebijakan pemerintah yang membatasi kegiatan di
subsektor kehutanan dalam upayanya untuk menjaga
kelestarian lingkungan.
Sektor-sektor lain dalam pembentukan PDB
secara umum juga memperlihatkan perbaikan.
Sektor keuangan dan sektor pertambangan mencatat
adanya peningkatan pertumbuhan. Meningkatnya
dana pihak ketiga dan penyaluran kredit
mencerminkan proses intermediasi perbankan yang
terus membaik. Sektor konstruksi juga terus tumbuh
terutama berasal dari perbaikan infrastruktur yang
dilakukan oleh pemerintah seiring dengan
pelaksanaan proyek-proyek besar pembangunan jalan
di berbagai daerah di Indonesia serta pembangunan
properti komersial dan residensial.
Interaksi Permintaan dan Penawaran
Perkembangan sisi penawaran menunjukkan
pertumbuhan yang positif, meski belum pada tingkat
yang diharapkan. Terus melemahnya pertumbuhan
investasi, serta menurunnya impor bahan baku
penolong dan impor barang modal menyebabkan
penambahan kapasitas produksi dan utilisasi menjadi
terbatas. Bahkan peningkatan di sisi penawaran ini
tidak cukup untuk memenuhi kenaikan permintaan
domestik. Kesenjangan antara permintaan dan
41
Kondisi Ekonomi Makro
penawaran domestik ini ditutup oleh pasokan yang
berasal dari impor sehingga tekanan harga yang
berasal dari permintaan tidak terlalu besar.
Perkembangan perekonomian yang belum
terlalu menggembirakan tercermin pula pada
angka incremental capital output ratio (ICOR) yang
mengukur efisiensi dari suatu perekonomian. Pada
periode laporan angka ICOR relatif tidak berubah
(Grafik 2.20). Dengan kata lain, laju pertumbuhan
ekonomi yang meningkat membutuhkan investasi
yang lebih tinggi dengan rasio yang relatif sama.
KETENAGAKERJAAN
Perkembangan ketenagakerjaan pada 2002
menunjukkan kecenderungan yang memburuk
sebagaimana tercermin dari besarnya penambahan
angkatan kerja yang tidak sebanding dengan
penambahan lapangan kerja. Hal ini terkait dengan
pertumbuhan ekonomi yang masih rendah.
Sementara itu, upaya peningkatan kesejahteraan
pekerja belum optimal karena masih relatif tingginya
tingkat inflasi, sehingga upah minimum propinsi
(UMP) masih berada di bawah tingkat kebutuhan
hidup minimum (KHM). Di sisi lain, permasalahan
perburuhan di dalam negeri dan tenaga kerja Indo-
nesia (TKI) ilegal di luar negeri turut memperburuk
kondisi ketenagakerjaan 2002.
Grafik 2.20Incremental Capital-Output Ratio (ICOR)
Tabel 2.8Angkatan Kerja dan Pengangguran
PendudukPenduduk Usia KerjaAngkatan KerjaTingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%)
BekerjaFormalInformalBekerja >= 35 jam semingguBekerja < 35 jam seminggu (setengah penganggur)
Penganggur TerbukaTingkat Pengangguran Terbuka (%)Penganggur Terbuka & Setengah PenganggurTingkat Penganggur Terbuka & Setengah Penganggur (%)
Bukan Angkatan KerjaPenduduk Bukan Usia Kerja
1997 1998 1999 2000 2001 2002*
195,8135,1
89,666,385,431,753,757,428,04,24,7
32,236,045,560,7
198,5138,6
92,766,987,730,357,355,731,95,15,5
37,039,945,859,9
200,3141,1
94,867,288,831,956,957,431,46,06,4
37,439,446,359,2
205,8141,295,767,889,831,558,359,730,1
5,86,1
35,937,545,564,6
208,9144,098,868,690,829,461,460,430,4
8,08,1
38,438,945,264,9
212,0148,4100,567,891,629,262,462,828,9
9,19,1
38,037,848,363,6
Sumber : BPS
(Juta Orang)
42
Kondisi Ekonomi Makro
Penduduk Usia Kerja dan Angkatan Kerja
Jumlah penduduk usia kerja pada akhir 2002
mencapai 148,4 juta orang5, meningkat dibandingkan
pada akhir 2001 sebanyak 144 juta. Dari jumlah
tersebut, sebanyak 67,7% atau 100,5 juta orang
merupakan angkatan kerja. Sementara itu jumlah
penduduk yang bekerja mencapai 91,6 juta orang atau
naik 1,7% dibandingkan pada 2001 (Tabel 2.8). Dengan
perkembangan tersebut tingkat kesempatan kerja
mencapai 91,2%, turun dibandingkan tahun
sebelumnya sebesar 91,9%. Jika dihitung berdasarkan
penduduk yang bekerja minimal 35 jam seminggu,
yaitu sebanyak 62,8 juta orang, tingkat kesempatan
kerja hanya mencapai 62,5%.
Ditinjau berdasarkan lapangan pekerjaan,
terjadi penurunan jumlah pekerja di sektor
pertanian dan sektor jasa-jasa. Meskipun
mengalami penurunan, sektor pertanian masih
menjadi sektor penyerap tenaga kerja terbesar
(42,5%), disusul sektor perdagangan, hotel dan
restoran (19,6%), sektor industri pengolahan
(13,7%), dan sektor jasa-jasa (11,9%). Sejalan
dengan dominasi sektor pertanian sebagai penyedia
lapangan kerja, jenis pekerjaan juga didominasi
oleh tenaga usaha pertanian (42,1%), disusul tenaga
produksi (25,4%), dan tenaga usaha penjualan
(18,4%). Jumlah pekerja yang berprofesi sebagai
tenaga kepemimpinan dan tenaga profesional masih
sangat kecil, yaitu masing-masing 0,4% dan 3,5%
dari penduduk yang bekerja (Tabel 2.9).
Berdasarkan status pekerjaan, jumlah
penduduk yang bekerja di sektor formal turun sebesar
0,5%. Penurunan jumlah penduduk yang bekerja di
sektor formal bersumber dari penurunan jumlah
penduduk yang bekerja sebagai buruh/karyawan,
yang merupakan status pekerjaan terbanyak. Di sisi
lain, terjadi peningkatan pada jumlah penduduk yang
berusaha dengan dibantu buruh tetap. Perkembangan
tersebut mengindikasikan bahwa jumlah unit usaha
formal sebenarnya mengalami peningkatan pada
2002 namun secara keseluruhan usaha formal
tersebut mempekerjakan lebih sedikit karyawan
dibandingkan 2001. Sementara itu, jumlah penduduk
yang bekerja di sektor informal mengalami
peningkatan sebesar 1,6%, yang disebabkan oleh
terjadinya kenaikan jumlah pekerja bebas dan
jumlah orang yang berusaha sendiri tanpa dibantu
anggota keluarga atau buruh tetap (Tabel 2.10).
Perkembangan tersebut mengindikasikan adanya
peralihan pekerja dari sektor formal ke sektor in-
formal sehingga pangsa pekerja di sektor formal
semakin menurun sebagaimana kecenderungan yang
terjadi sejak 1997 (Grafik 2.21).
Tingkat Pengangguran
Jumlah penganggur mencapai 38,0 juta or-
ang, yang terdiri dari 9,1 juta orang penganggur
terbuka dan 28,9 juta orang setengah penganggur.
Tabel 2.9Jumlah Pekerja Berdasarkan Sektor Perekonomian
2002*20012000199919981997Pertanian
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Industri Pengolahan
Jasa-Jasa
Lain-Lain
Total
39,0
17,7
12,6
10,9
11,5
91,6
39,7
17,5
12,1
11,0
10,5
90,8
40,7
18,5
11,6
9,6
9,5
89,8
38,4
17,5
11,5
12,2
9,2
88,8
39,4
16,8
9,9
12,4
9,1
87,7
34,8
17,0
11,0
12,6
10,1
85,4
* angka sementaraSumber : BPS
5 Sumber BPS.
(Juta Orang)
43
Kondisi Ekonomi Makro
Tabel 2.10Jumlah Pekerja Berdasarkan Status Pekerjaan
Masih tingginya jumlah penganggur tersebut tidak
terlepas dari rendahnya tingkat pertumbuhan
ekonomi yang hanya mampu menyerap
penambahan tenaga kerja sebanyak 0,8 juta or-
ang, sementara penambahan angkatan kerja baru
pada periode yang sama mencapai 1,7 juta. Hal
ini mengakibatkan tingkat pengangguran terbuka
meningkat dari 8,1% pada 2001 menjadi 9,1% pada
2002 (Grafik 2.22). Ditinjau dari komposisi tingkat
pendidikan, penganggur terbuka tak berpendidikan
hingga berpendidikan SD mengalami peningkatan
sedangkan penganggur terbuka berpendidikan
SLTP ke atas berkurang (Tabel 2.11). Namun
demikian, penganggur terbuka tetap didominasi
oleh angkatan kerja berpendidikan SLTA (34,7%).
Selain karena bertambahnya angkatan kerja
baru, jumlah penganggur yang bertambah juga
disebabkan oleh meningkatnya kasus pemutusan
hubungan kerja (PHK), terutama karena pengurangan
atau penghentian sejumlah aktivitas produksi di
sektor industri pengolahan. Selama 2002 jumlah PHK
tercatat sebanyak 3.774 kasus dengan jumlah pekerja
1997 1998 1999 2000 2001 2002*
Pekerja FormalBuruh/karyawanBerusaha dibantu buruh tetapPekerja InformalBerusaha sendiriBerusaha dibantu anggota keluarga/buruh tidak tetapPekerja bebas di pertanianPekerja bebas di nonpertanianPekerja tak dibayarTotal Pekerja
31,730,3
1,553,719,918,0
0,00,0
15,885,4
30,328,81,5
57,320,519,70,00,0
17,187,7
31,929,42,6
56,921,718,90,00,0
16,388,8
31,529,52,0
58,319,520,70,00,0
18,189,8
29,426,62,8
61,417,520,33,62,4
17,690,8
29,226,2
3,062,419,118,0
4,23,3
17,991,6
Grafik 2.22Tingkat Pengangguran Terbuka dan Jumlah Tenaga
Kerja Terkena PHKGrafik 2.21
Proporsi Pekerja Formal dan Informal
(Juta Orang)
Sumber BPS.
Sumber : BPSSumber : BPS
44
Kondisi Ekonomi Makro
yang kehilangan pekerjaan mencapai 116.176 orang.
Jumlah ini telah mendekati jumlah pekerja yang terkena
PHK selama puncak krisis tahun 1998 yang tercatat
sebanyak 127.735 orang (Grafik 2.22). Angka
pengangguran tersebut juga diperparah oleh dampak
tragedi Bali yang mengakibatkan melambatnya
kegiatan ekonomi di sektor perdagangan, hotel dan
restoran, sektor transportasi dan sektor jasa-jasa yang
terkait dengan pariwisata.
Tingkat pengangguran dan PHK yang meningkat
pada 2002 sejalan dengan Indikator Penggunaan Tenaga
Kerja SKDU. Untuk rata-rata seluruh sektor, indikator
tersebut mencatat Saldo Bersih Tertimbang negatif
(Grafik 2.23). Hal itu menunjukkan bahwa jumlah
perusahaan yang mengurangi penggunaan tenaga
kerja lebih banyak dibandingkan dengan jumlah
perusahaan yang menambah tenaga kerja. Secara
sektoral, indikasi pengurangan tenaga kerja terbesar
terjadi pada sektor pertanian.
Upah Minimum
Secara rata-rata UMP 2002 mencapai
Rp362.743/bulan atau meningkat 18,1% dibanding
tahun sebelumnya (Grafik 2.24). Namun demikian,
peningkatan UMP ini masih lebih rendah dibandingkan
peningkatan kebutuhan hidup minimum (KHM) yang
pada 2002 mencapai sekitar Rp422.347/bulan atau
meningkat 23% dibanding 2001. Relatif tingginya
indeks harga konsumen menyebabkan terjadinya
penurunan daya beli pekerja sebagaimana terlihat dari
kenaikan UMP riil yang melambat dari 22,4% pada
2001 menjadi 7,3% pada 2002 (Grafik 2.25). Secara
sektoral, UMP tertinggi di beberapa propinsi seperti
Kalimantan Tengah, Irian Jaya, Maluku, dan Maluku
Utara diterima pekerja di sektor pertambangan.
Sementara untuk provinsi lainnya, UMP sektor industri
pengolahan, sektor perdagangan, dan sektor
keuangan menempati urutan teratas.
Grafik 2.24 UMR/UMP
Sumber : Depnakertrans dan data diolah
Tabel 2.11Pengganggur Terbuka Berdasarkan Tingkat Pendidikan
< SD
SD
SLTP
SLTA
> SLTA
Total
2002*200120001999199819971.110.200
2.393.300
1.874.600
3.157.700
564.200
9.100.000
851.426
1.893.565
1.786.317
2.933.490
540.233
8.005.031
221.242
1.216.976
1.367.892
2.546.355
460.766
5.813.231
278.500
1.151.252
1.159.478
2.886.216
554.873
6.030.319
257.330
911.782
984.104
2.479.739
429.528
5.062.483
216.495
760.172
736.375
2.106.182
378.082
4.197.306
Grafik 2.23Penggunaan Tenaga Kerja
Sumber : BPS
45
Kondisi Ekonomi Makro
Permasalahan Ketenagakerjaan
Permasalahan ketenagakerjaan diwarnai
dengan meningkatnya jumlah pemogokan. Sampai
November 2002, tercatat 209 kasus pemogokan yang
melibatkan 92.325 pekerja dan menyebabkan
659.102 jam kerja hilang (Grafik 2.26). Meskipun
jumlah kasus pemogokan mengalami peningkatan,
dampak pemogokan terhadap penurunan
produktivitas mengalami penurunan karena jam
kerja yang hilang lebih sedikit dibandingkan pada
kasus pemogokan 2001. Selain disebabkan oleh
masalah pemenuhan UMP, beberapa faktor lain
pemicu kasus pemogokan adalah ketidakpuasan
kerja, perlakuan yang tidak adil, tuntutan perbaikan
fasilitas dan tunjangan kerja, permasalahan
jender, masalah uang Jamsostek dan penolakan
terhadap metode kerja baru yang diterapkan
perusahaan.
Permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar
negeri pada 2002 ditandai dengan diberlakukannya
kebijakan baru pemerintah Malaysia yang lebih keras
terhadap tenaga kerja ilegal. Hal ini memicu eksodus
besar-besaran TKI ilegal di Malaysia untuk kembali ke
Indonesia. Selain berdampak pada meningkatnya
jumlah pencari kerja di tanah air, pemulangan TKI ilegal
tersebut diperkirakan mempengaruhi perekonomian
desa yang selama ini bergantung pada kiriman uang
dari TKI.
Pendapatan Perkapita
Dengan jumlah penduduk pada 2002 yang
diperkirakan mencapai sekitar 212 juta jiwa
maka pendapatan per kapita nominal 2002
mencapai Rp7,6 juta atau setara dengan $811,
meningkat dibandingkan pada 2001 senilai $677.
Grafik 2.25Pertumbuhan UMR/UMP Riil
Grafik 2.26Kasus Pemogokan dan Jam Kerja yang Hilang
Grafik 2.27Pendapatan Per Kapita Riil
Sumber : Depnakertrans dan data diolah Sumber : BPS
Sumber : BPS
46
Kondisi Ekonomi Makro
Secara r i i l , pendapatan per kap i ta 2002
mencapai sekitar Rp2 juta6, atau setara dengan
$215. Walaupun ter jad i pen ingkatan 2,1%
dibandingkan tahun 2001, pendapatan per kapita
r i i l 2002 tersebut mas ih leb ih rendah
dibandingkan pendapatan per kapita 1997 yang
mencapai Rp2,2 juta (Grafik 2.27). Sementara
itu peningkatan pendapatan per kapita dalam
dolar lebih disebabkan oleh menguatnya nilai
tukar rupiah pada tahun laporan.
6 PDB atas dasar harga konstan 1993 dibagi jumlah penduduk
48
Nilai Tukar
Grafik 3.1Perkembangan Rata-Rata (Bulanan) Nilai Tukar Rupiah
Tahun 2002
NILAI TUKAR3B A B
S etelah mengalami depresiasi pada 2001,
nilai tukar rupiah mengalami apresiasi yang
signifikan pada periode laporan 2002. Secara
keseluruhan, nilai tukar rupiah menguat tajam, yaitu
sebesar 10,1% dari rata-rata Rp10.255 per dolar pada
2001 menjadi Rp9.316 pada 2002. Sementara itu
secara point to point, nilai tukar rupiah bahkan
mengalami apresiasi yang lebih tajam, yaitu sebesar
16,2% dari Rp10.400 pada akhir 2001 menjadi Rp8.950
per dolar AS pada akhir 2002. Dengan apresiasi
tersebut, rupiah tercatat sebagai mata uang yang
mengalami apresiasi tertinggi di Asia selama 2002.
Perkembangan nilai tukar rupiah sepanjang
periode laporan secara umum dapat dibagi dalam dua
fase (Grafik 3.1). Dalam fase pertama yang
berlangsung dari Januari s.d. Juni 2002, nilai tukar
rupiah cenderung mengalami penguatan yang tajam
hingga sempat menyentuh nilai tertinggi Rp8.425 per
dolar dengan disertai pergerakan yang relatif stabil.
Menguatnya nilai tukar rupiah tersebut terutama
didukung oleh membaiknya faktor fundamental yang
bersumber dari surplus neraca pembayaran dan dipicu
oleh membaiknya faktor-faktor sentimen serta upaya
Bank Indonesia (BI) dalam menstabilkan nilai tukar
rupiah.
Selanjutnya pada fase kedua yang berlangsung
dari Juli s.d. Desember 2002, nilai tukar rupiah
bergerak lebih fluktuatif. Pola pergerakan nilai tukar
rupiah pada fase kedua ini dipicu oleh faktor-faktor
sentimen negatif dan diikuti oleh meningkatnya
permintaan valuta asing di pasar domestik, terutama
akibat tragedi Bali yang menyebabkan rupiah terpuruk
ke nilai terendah Rp9.425 per dolar pada Oktober
2002. Namun, melemahnya rupiah tersebut tidak
berlangsung lama setelah BI melakukan berbagai
upaya untuk mengembalikan kepercayaan pasar.
Selanjutnya, pulihnya kepercayaan pasar yang diiringi
oleh membaiknya faktor sentimen dan fundamental
telah mendorong rupiah bertahan di bawah level
Rp9.000 per dolar pada akhir periode laporan.
Pergerakan nilai tukar tersebut dipengaruhi oleh
sejumlah faktor, baik faktor fundamental, faktor
sentimen dan risiko, maupun kebijakan di bidang nilai
Nilai tukar rupiah mengalami apresiasi secara signifikan disertaipenurunan volatilitas yang disebabkan oleh membaiknya faktor funda-mental dan sentimen serta dukungan kebijakan nilai tukar.
49
Nilai Tukar
tukar. Dari sisi fundamental, pergerakan nilai tukar
rupiah selama 2002 terutama dipengaruhi oleh besarnya
surplus neraca pembayaran yang disebabkan oleh
penurunan defisit transaksi modal dan meningkatnya
surplus transaksi berjalan.
Dari sisi sentimen, faktor positif yang
mendorong penguatan nilai tukar rupiah terutama
terkait dengan kemajuan yang dicapai dalam program
restrukturisasi ekonomi seperti keberhasilan
penjadwalan kembali utang luar negeri, pencairan
pinjaman IMF, dan terlaksananya program divestasi
bank serta privatisasi BUMN. Sentimen positif
tersebut dikonfirmasi oleh membaiknya beberapa
indikator risiko seperti peringkat kredit (credit rat-
ing), tingkat premi risiko1, dan tingkat premi swap.
Dari sisi kebijakan, berbagai upaya telah
ditempuh oleh BI terutama dalam rangka
meminimalkan fluktuasi nilai tukar rupiah. Kebijakan
ini dilakukan baik melalui intervensi valuta asing
maupun kebijakan lainnya yang bersifat
nonkonvensional, seperti moral suasion kepada
pelaku pasar dan pemantauan kegiatan transaksi
devisa yang dilakukan oleh bank dan pelaku pasar
utama nonbank.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAITUKARFaktor Fundamental
Secara fundamental, kecenderungan
menguatnya nilai tukar rupiah dalam periode laporan
tidak terlepas dari membaiknya kinerja sektor
eksternal yang tercermin dari surplus Neraca
Pembayaran Indonesia (NPI). Selama tahun laporan,
NPI mengalami surplus sebesar $3,6 miliar, setelah
dalam tahun sebelumnya mencatat defisit sebesar
$1,4 miliar. Surplus tersebut bersumber dari
berkurangnya secara drastis defisit lalu lintas modal
dan meningkatnya surplus transaksi berjalan (Lihat
Bab 6 Neraca Pembayaran).
Defisit lalu lintas modal menurun drastis dari
$9,0 miliar pada 2001 menjadi $3,6 miliar pada tahun
laporan. Penurunan defisit tersebut terutama
bersumber dari penarikan pinjaman IMF, penjadwalan
kembali pembayaran utang luar negeri baik
pemerintah maupun swasta, menurunnya pembayaran
utang luar negeri swasta, keberhasilan pelaksanaan
program divestasi bank dan privatisasi BUMN, serta
penerbitan obligasi swasta dalam valuta asing di luar
negeri.
Sementara itu, surplus transaksi berjalan
meningkat dari $6,9 miliar menjadi $7,3 miliar dalam
periode yang sama. Peningkatan surplus tersebut
terutama disebabkan oleh peningkatan ekspor yang
lebih besar dibandingkan dengan peningkatan impor.
Faktor Sentimen
Kecenderungan menguatnya nilai tukar rupiah
pada fase pertama juga dipicu oleh sejumlah faktor
sentimen (Grafik 3.2). Berbagai peristiwa yang
menimbulkan sentimen positif terhadap nilai tukar
rupiah dapat dikelompokkan sebagai berikut:
i. Dampak penguatan mata uang Asia (re-
gional). Masih lemahnya kinerja ekonomi
Amerika Serikat (AS) menyebabkan nilai tukar
dolar cenderung melemah terutama terhadap
mata uang utama seperti yen dan euro. Hal
ini banyak memberikan pengaruh positif1 Premi risiko diproksi dengan menggunakan selisih yield antara Yankee
Bond Indonesia dan US Treasury Note yang sama-sama berjangka waktu10 tahun dan akan jatuh tempo tahun 2006.
50
Nilai Tukar
terhadap pergerakan mata uang regional,
termasuk rupiah.
ii. Keberhasilan pemerintah dalam melakukan
negosiasi dengan negara-negara donor.
Perundingan pemerintah dengan negara-
negara donor yang tergabung dalam forum PC
III telah menghasilkan kesepakatan mengenai
penjadwalan kembali pembayaran utang
pemerintah sebesar $5,4 miliar, masing-
masing sebesar $2,4 miliar yang jatuh tempo
tahun 2002 dan $3,0 miliar yang akan jatuh
tempo tahun 2003. Menyusul keberhasilan fo-
rum PC III, kreditur komersial yang tergabung
dalam forum London Club akhirnya juga
memberikan persetujuan prinsip terhadap
penjadwalan kembali pembayaran utang
komersial pemerintah. Sementara itu, IMF
juga telah mengucurkan pinjaman kepada In-
donesia sekitar $1,09 miliar dalam enam bulan
pertama 2002.
iii. Kemajuan dalam proses divestasi dan
privatisasi sejumlah bank dan BUMN. BPPN
telah berhasil menuntaskan proses divestasi
BCA, sementara proses privatisasi sejumlah
BUMN seperti Bank Mandiri, PT Telkom, dan
PT Indofarma juga mulai berjalan secara
bertahap. Selain itu, kebijakan pemerintah
untuk memperpanjang masa Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) tidak lebih
dari tiga bulan juga mendapat sambutan yang
positif dari pasar.
iv. Minat investor asing terhadap aset-aset
pemerintah cukup besar. Proses divestasi dan
privatisasi sejumlah bank dan BUMN telah
Grafik 3.2Perkembangan Nilai Tukar Rupiah dan Faktor Sentimen Tahun 2002
51
Nilai Tukar
mengundang masuk investor asing seperti
Farallon Capital yang telah memenangkan tender
pembelian saham BCA.
Sementara itu, sentimen negatif selama fase
pertama bersumber dari penurunan credit rating In-
donesia oleh Standar & Poor’s (S&P) dari CCC menjadi
“Selective Default (SD)” pada April 2002, dan aksi
profit taking dengan membeli dolar yang dilakukan
pada saat rupiah menguat. Namun demikian, secara
keseluruhan sentimen positif masih lebih kuat,
sehingga nilai tukar rupiah cenderung menguat
sepanjang Januari hingga Juni 2002.
Selanjutnya pada fase kedua, nilai tukar ru-
piah cenderung berfluktuasi akibat beberapa
sentimen negatif sebagai berikut:
i. Dampak melemahnya mata uang regional.
Melemahnya rupiah dalam fase kedua ini cukup
banyak dipengaruhi oleh kecenderungan
melemahnya mata uang regional Asia terhadap
dolar. Memburuknya kondisi ekonomi global,
ancaman perang AS terhadap Irak, dan
terorisme internasional telah meningkatkan
risiko keamanan dan ketidakpastian dalam
berusaha.
ii. Kepercayaan investor asing terhadap pasar
modal yang memburuk. Memburuknya
kepercayaan investor tersebut diawali dengan
terpuruknya indeks Dow Jones. Hal ini
merupakan akibat dari terbongkarnya skandal
keuangan yang melibatkan perusahaan-
perusahaan raksasa di Amerika Serikat.
Sentimen negatif tersebut kemudian menjalar
ke berbagai bursa saham di seluruh dunia yang
memicu aksi jual saham oleh investor asing di
Bursa Efek Jakarta (BEJ) sehingga memberikan
tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
iii. Dampak tragedi Bali. Serangkaian aksi
peledakan bom terutama di Bali telah merusak
kepercayaan investor internasional sehingga
mendorong mereka mengambil posisi long dol-
lar. Tragedi tersebut antara lain menyebabkan
tertundanya pertemuan CGI yang semula
direncanakan di Yogyakarta pada Oktober 2002.
Tragedi tersebut juga menyebabkan anjloknya
pendapatan devisa dari sektor industri pariwisata
dan menimbulkan pesimisme di sebagian
kalangan, antara lain terlihat dari penilaian Po-
litical and Economic Risk Consultancy Ltd. (PERC)
terhadap risiko keamanan Indonesia yang
memburuk.
Walaupun tekanan depresiasi terhadap rupiah
pada fase kedua cukup berat, namun terdapat
beberapa aspek yang menimbulkan sentimen positif
sehingga sangat membantu mengurangi tekanan
depresiasi terhadap nilai tukar rupiah, bahkan
kadangkala berdampak apresiatif. Beberapa aspek
tersebut antara lain:
i. Aspek ekonomi. Membaiknya beberapa indikator
ekonomi seperti neraca pembayaran yang masih
mencatat surplus, laju inflasi dan suku bunga
yang cenderung menurun, uang primer yang
terkendali di bawah target, serta defisit fiskal
yang lebih kecil di bawah target semula telah
meningkatkan kepercayaan lembaga donor
sebagaimana tercermin dari pencairan pinjaman
IMF senilai $365 juta pada Desember 2002.
Khusus terkait dengan membaiknya kinerja
fiskal, selain bersumber dari pencairan pinjaman
52
Nilai Tukar
IMF, keberhasilan pemerintah dalam mengurangi
beban fiskal juga bersumber dari hasil divestasi
Bank Niaga, privatisasi PT Indosat, dan
persetujuan reprofiling obligasi pemerintah untuk
bank-bank rekap.
ii. Aspek politik, hukum, dan keamanan. Dari aspek
politik, penguatan rupiah didukung oleh situasi
politik yang cukup kondusif setelah Sidang Tahunan
MPR tahun 2002 yang berjalan cukup lancar dan
aman. Dari aspek hukum, upaya-upaya pemerintah
untuk menyelesaikan kasus peledakan bom di Bali
mendapat dukungan dari berbagai negara dan telah
mencatat kemajuan yang cukup pesat sehingga
berangsur-angsur memulihkan kepercayaan inves-
tor. Dari aspek keamanan, optimisme terhadap
membaiknya situasi keamanan muncul setelah
ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara
Pemerintah RI dan GAM pada Desember 2002.
iii. Country risk. Menyusul suksesnya hasil
perundingan Paris Club dan London Club, beberapa
lembaga pemeringkat utang seperti Fitch IBCA dan
S&P, memperbaiki credit rating Indonesia. Bahkan,
pasca tragedi Bali, S&P telah meningkatkan out-
look utang perbankan untuk 2003.
Indikator Risiko
Country risk Indonesia secara umum dinilai
membaik sebagaimana tercermin dari membaiknya
peringkat utang (sovereign credit rating) Indonesia
yang dilakukan oleh dua lembaga pemeringkat
internasional, yaitu Fitch IBCA dan S&P (Tabel 3.1).
Perbaikan peringkat kredit oleh Fitch IBCA tersebut
didasarkan pada disetujuinya penjadwalan kembali
pembayaran utang pemerintah dalam forum PC III dan
London Club. Perbaikan peringkat kredit terjadi baik
pada foreign maupun local currency long-term debt,
masing-masing dari B- menjadi B, yang efektif
berlaku sejak 1 Agustus 2002. Langkah Fitch IBCA
Tabel 3.1Sovereign (Foreign Currency Long Term) Debt Ratings
Country
Investment Grade
Non-Investment/Speculative Grade
FITCH IBCAMOODY’SS & PRating Effect ive Rating Effect ive Rating Effect ive
Malaysia
Thailand
Philippines
Indonesia
BBB+BBBBBB-
BBB-BBBA-
BB+BBBB-
CCC+SDCCC
20-Aug-0210-Nov-9915-Sep-98
8-Jan-9824-Oct-973-Sep-97
21-Feb-9730-May-9530-Jun-93
5-Sep-0223-Apr-022-Nov-01
24-Jun-0217-Oct-0012-Jul-00
21-Jun-003-Apr-0021-Dec-97
18-May-9723-Jan-9712-May-95
20-Mar-989-Jan-9821-Dec-97
7-Aug-027-Dec-999-Sep-99
24-Jun-9926-Apr-9914-May-98
15-Mar-0117-Jan-018-Jul-99
1-Aug-0216-Mar-9821-Jan-98
Baa2 *+Baa2Baa3 *+
Baa3Ba1 *+Ba1 *+
Ba1Ba2 *+Ba2
B3B2Ba1
BBB+BBBBBB- *+
BBB-BB+ *+BB+
BB+BB+ *-BB+
BB-B+ *-
53
Nilai Tukar
Grafik 3.3Perkembangan Premi Swap
tersebut diikuti oleh S&P dengan meningkatkan
peringkat utang Indonesia dari “Selective Default
(SD)” menjadi CCC+ yang efektif sejak 5 Septem-
ber 2002. Selanjutnya, pasca tragedi Bali, S&P
bahkan telah meningkatkan outlook utang sektor
perbankan untuk 2003 dari “negative” menjadi
“stable”. Hal ini menunjukkan pandangan optimis
terhadap prospek ekonomi Indonesia.
Sementara itu, lembaga pemeringkat dari Hong
Kong, Political and Economic Risk Consultancy Ltd.
(PERC), menilai country risk Indonesia memburuk
pasca tragedi Bali. Hal ini didasarkan pada
meningkatnya faktor risiko keamanan sehingga
dikhawatirkan dapat menyebabkan menurunnya
industri pariwisata, berkurangnya iklim investasi yang
kondusif, dan terganggunya aktivitas ekspor dan
impor. Di samping itu memburuknya peringkat
tersebut juga didasarkan pada beban fiskal yang
diperkirakan semakin berat akibat tertundanya sidang
CGI pada Oktober 2002. Namun demikian, penilaian
lembaga ini tidak banyak mempengaruhi persepsi
pasar yang positif terhadap prospek ekonomi Indo-
nesia sebagaimana tercermin dari membaiknya
indikator risiko.
Membaiknya country risk Indonesia
dikonfirmasi juga oleh membaiknya beberapa
indikator risiko. Indikator risiko berjangka pendek
yang diwakili oleh tingkat premi swap menunjukkan
kecenderungan menurun untuk semua tenor sejak
akhir 2001 (Grafik 3.3 dan 3.4). Tingkat premi swap
1 bulan menurun dari 16,80% pada akhir 2001
menjadi 12,53% pada akhir 2002, sementara tingkat
premi swap 3 bulan menurun dari 17,30% menjadi
13,00%. Dengan suku bunga SIBOR 1 bulan yang
menurun signifikan dari 1,88% menjadi 1,38%, maka
tingkat implied swap premium2 1 bulan menurun
tajam dari 18,68% menjadi 13,91% dalam periode
yang sama. Tingkat implied swap premium tersebut
lebih tinggi dari suku bunga SBI 1 bulan yang
cenderung menurun hingga mencapai 12,93% pada
akhir periode laporan sehingga membuka peluang
sejumlah bank untuk menarik keuntungan yang timbul
akibat terjadinya perbedaan antara suku bunga Ru-
Grafik 3.4Kurva Yield Swap
2 Implied swap premium adalah tingkat premi swap ditambah dengan sukubunga simpanan/penempatan dalam valuta asing.
54
Nilai Tukar
piah di pasar uang dan implied swap rate.
Menurunnya premi swap dan suku bunga —baik
dalam negeri (JIBOR) maupun luar negeri (SIBOR)3—
menyebabkan covered interest rate parity4 membaik.
Hal ini tercermin dari angka covered interest rate yang
positif selama delapan bulan berturut-turut dalam
periode laporan setelah selama satu tahun sebelumnya
terus-menerus mencatat angka negatif (Grafik 3.5).
Walaupun tragedi di Bali kemudian memicu kenaikan
tingkat premi swap sehingga menyebabkan angka cov-
ered interest rate kembali negatif sejak bulan Oktober
2002, namun posisinya masih membaik dari -0,83%
pada akhir periode sebelumnya menjadi -0,75% pada
akhir periode laporan.
Dalam jangka yang lebih panjang, indikator
risiko yang diwakili oleh tingkat premi risiko juga
membaik dari 534 bp menjadi 402 bp dalam kurun
waktu yang sama (Grafik 3.6). Hal ini menunjukkan
ekspektasi pelaku pasar terhadap rupiah yang lebih
baik ke depan meskipun disertai sikap kehati-
hatian sebagaimana tercermin dari masih cukup
tingginya tingkat premi risiko tersebut
dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya
seperti Cina, Korea Selatan, dan Malaysia yang
berada dalam kisaran 150-250 bp. Penurunan
tersebut disebabkan oleh yield Yankee Bond RI yang
menurun lebih besar dibandingkan dengan
menurunnya yield US Treasury Notes dalam periode
laporan.
Faktor Kebijakan
Dalam rangka menstabilkan nilai tukar rupiah,
pada periode laporan BI melakukan berbagai
langkah kebijakan dengan mengoptimalkan
seluruh instrumen yang tersedia. Langkah-langkah
tersebut meliputi penyerapan secara konsisten
terhadap ekses likuiditas rupiah di pasar melalui
instrumen Operasi Pasar Terbuka (OPT),
pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan
mengenai pembatasan transaksi rupiah oleh
nonresiden, pengawasan terhadap kewajaran
transaksi valuta asing, moral suasion, dan
Grafik 3.5Covered Interest Rate Parity
Grafik 3.6Arah Perkembangan Nilai Tukar Rupiah
dan Premi Risiko
3 Dalam hal ini, JIBOR dianggap sebagai benchmark suku bunga pasaruang antarbank di dalam negeri, sementara SIBOR dianggap sebagaibenchmark suku bunga pasar uang antarbank di luar negeri (Singapura).
4 Covered interest rate parity = suku bunga dalam negeri (JIBOR 1 bulan)– suku bunga luar negeri (SIBOR 1 bulan) – premi swap (1 bulan).
55
Nilai Tukar
sterilisasi/intervensi valuta asing.
Untuk membatasi kegiatan spekulasi valuta asing,
BI tetap melakukan pemantauan terhadap tingkat
kepatuhan bank dalam transaksi valuta asing sesuai
dengan PBI No.3/3/2001 tanggal 12 Januari 2001 tentang
Pembatasan Terhadap Transaksi Rupiah dan Pemberian
Kredit Valuta Asing oleh Bank. Berkaitan dengan itu,
transaksi forward jual dan swap jual kepada nonresiden
dalam jumlah tertentu tetap dilarang apabila tidak
didasari oleh kegiatan ekonomi riil (underlying transac-
tion). Pemantauan tersebut secara efektif dapat
meningkatkan kepatuhan bank, sehingga membantu
mengurangi gejolak nilai tukar rupiah di pasar.
Untuk mengikuti perkembangan pasar secara
cermat, BI secara ketat mengamati kewajaran transaksi
valas melalui Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU).
Pengawasan tersebut bertujuan untuk memastikan
bahwa transaksi di pasar telah berlangsung secara wajar
menurut common practice yang berlaku di pasar valas.
Pemantauan tersebut juga merupakan bagian dari early
warning system untuk mengetahui lebih dini terhadap
transaksi tertentu yang berpotensi mengganggu
kestabilan nilai tukar rupiah di pasar. Di samping itu, BI
secara rutin melakukan survei untuk mengetahui
persepsi pelaku pasar terhadap arah perkembangan nilai
tukar rupiah ke depan. Hasil survei tersebut digunakan
sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam
pelaksanaan kebijakan di bidang nilai tukar.
Berdasarkan pemantauan terhadap kondisi pasar
tersebut, BI melakukan kebijakan moral suasion dengan
memberikan penjelasan untuk menenangkan pelaku
pasar. Pada periode laporan, hal tersebut dilakukan
beberapa kali seperti pada saat terjadi panic buying
oleh pelaku pasar yang merespon tragedi Bali secara
berlebihan. Kebijakan tersebut telah mengembalikan
kepercayaan pasar, sehingga membantu menahan nilai
tukar rupiah tidak melemah lebih lanjut.
Untuk melengkapi berbagai langkah kebijakan di
atas, BI dalam periode laporan juga melaksanakan
kebijakan sterilisasi/intervensi valuta asing dengan
menjual dolar untuk menambah pasokan valuta asing
di pasar. Selain berfungsi sebagai instrumen untuk
menyerap kelebihan likuiditas rupiah, kebijakan tersebut
juga dimaksudkan untuk meredam fluktuasi nilai tukar
rupiah yang berlebihan dan sekaligus mempengaruhi
persepsi pasar. Dalam pelaksanaannya, kebijakan ini
dilakukan secara konsisten dan terukur dengan
memperhatikan psikologi pasar dan kecukupan cadangan
devisa. Kebijakan tersebut terbukti mampu meredam
gejolak nilai tukar rupiah sepanjang tahun laporan. Hal
tersebut ditunjukkan oleh rata-rata harian tingkat
volatilitas5 nilai tukar rupiah pada 2002 yang menurun
menjadi 1,4%, dibandingkan 2,8% pada periode
sebelumnya (Grafik 3.7). Sementara dari sisi level nilai
tukar, kebijakan sterilisasi/intervensi valuta asing dalam
Grafik 3.7Volatilitas Nilai Tukar Rupiah
5 Deviasi nilai tukar harian dari 22 days moving average(1 bulan kalender).
56
Nilai Tukar
periode laporan juga cukup efektif menjaga momen-
tum kecenderungan apresiasi nilai tukar rupiah, bahkan
sampai dengan akhir tahun mampu bertahan di bawah
level Rp9.000.
PERMINTAAN DAN PENAWARAN VALUTA ASINGBerbagai faktor yang mempengaruhi nilai tukar ru-piah selama periode laporan seperti dikemukakandi atas juga tercermin dari kondisi permintaan danpenawaran di pasar valuta asing. Selama periodelaporan, permintaan valuta asing masih cukup kuatsebagaimana tercermin dari aksi beli valuta asingkorporasi —terutama oleh beberapa BUMN sebagaibig players— meskipun sebagian dapat dipenuhi daripenerimaan devisa hasil penjualan aset-aset BPPN.Aksi beli yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar tersebut selama ini seringkalimenjadi faktor pemicu permintaan di pasar valutaasing (Boks: Pengaruh Pelaku Utama Pasar pada Nilai
Tukar). Tekanan permintaan valuta asing dari pemainutama tersebut terasa lebih berat dalam semester IIyang rata-rata mencapai posisi net beli sebesar$454,5 juta setiap bulannya, meningkat dari rata-rata $304,6 juta dalam semester I-2002.Peningkatan permintaan tersebut sejalan denganpergerakan nilai tukar rupiah yang cenderungmenguat dalam semester I-2002 dan kemudiancenderung melemah dalam semester II-2002.
Masih tingginya tekanan permintaan valuta
asing juga tercermin dari data transaksi devisa
antara bank dengan nasabahnya. Nasabah on-shore
mencatat posisi net overbought sebesar $2,5 miliar,
sementara nasabah off-shore mencatat posisi net
oversold sebesar $1,2 miliar, sehingga secara
keseluruhan nasabah mencatat posisi net overbought
terhadap bank di pasar spot sebesar $1,3 miliar
dalam periode laporan.6 Perkembangan ini
menunjukkan bank mencatat posisi net oversold
sebesar $1,3 miliar. Posisi oversold bank yang sejalan
dengan posisi oversold nasabah off-shore
mengindikasikan bahwa nasabah off-shore menjadi
market maker yang diikuti oleh bank-bank dengan
mengambil posisi yang sama.
Mengal i rnya pasokan valuta as ing dar i
nasabah off-shore yang terus-menerus mencatat
posisi net oversold sejak Januari hingga Juni
2002 ter sebut juga menjad i penyebab
menguatnya rupiah dalam semester I -2002
(Grafik 3.8). Namun, pasokan dari nasabah off-
shore mulai berkurang memasuki semester II-
2002 sebagaimana tercermin dari seringnya
nasabah off-shore berada dalam posisi net over-
bought. Hal ini menyebabkan tekanan depresiasi
terhadap nilai tukar rupiah dalam semester II-2002.
Sementara itu, volume transaksi devisa
antarbank di pasar spot secara rata-rata harian
sed ik i t meningkat dar i $517,7 juta da lam
Grafik 3.8Penawaran dan Permintaan Valas di Pasar Spot
2 Overbought adalah kelebihan jumlah pembelian valas dibanding denganpenjualan valas. Oversold adalah sebaliknya.
57
Nilai Tukar
periode sebelumnya menjadi $538,2 juta dalam
periode laporan (Grafik 3.9).7 Lonjakan volume
transaksi harian terjadi setelah tragedi Bali yang
memicu kepanikan pasar (panic buying), sehingga
volume transaksi valuta asing melonjak hingga
mencapai $786,8 juta pada 14 Oktober 2002.
Dilihat dari jenis transaksi, transaksi devisa
antarbank da lam per iode laporan mas ih
didominasi oleh transaksi swap yang secara
kumulatif mencapai $146,0 miliar atau 54% dari
total transaksi, sementara transaksi spot dan
forward masing-masing hanya mencapai $117,2
miliar dan $7,1 miliar atau 43% dan 3% dari total
transaksi devisa antarbank dalam periode yang
sama (Grafik 3.10). Dengan demikian, volume
transaksi devisa antarbank secara kumulatif —baik
spot, forward maupun swap— menurun 5,5% dari
$286,1 miliar pada 2001 menjadi $270,3 miliar
pada 2002. Sementara itu, transaksi devisa
antarbank masih didominasi oleh bank-bank asing.
Pangsa 5 pemain terbesar —terdiri atas 4 bank
asing dan 1 bank persero— mencapai 55,8% dari
total volume transaksi devisa antarbank dalam
periode laporan.
NILAI TUKAR RIIL
Selama tahun laporan, nilai tukar rupiah secara
riil masih undervalued terhadap dolar sebagaimana
terlihat dari indeks Real Effective Exchange Rate
(REER) yang masih di bawah 100 (Grafik 3.11).
Meskipun demikian, rupiah mengalami penguatan
sebagaimana tercermin dari meningkatnya indeks
REER dari 73,52 pada akhir 2001 menjadi 88,57
pada akhir tahun laporan. Penguatan tersebut
sejalan dengan menguatnya nilai tukar rupiah
secara nominal.
Secara bilateral, nilai tukar rupiah relatif masih
kompetitif dalam mendukung ekspor dibandingkan
dengan mata uang negara-negara emerging Asia
lainnya, kecuali terhadap baht Thailand. Indeks Bilat-
eral Real Exchange Rate (BRER) Indonesia meningkat
Grafik 3.9Volume Transaksi Spot dan Volatilitas Nilai Tukar
7 Volume transaksi devisa antarbank hanya dihitung dari satu sisi (bankpenjual atau bank pembeli) sehingga tidak terjadi double counting. Datayang ditampilkan dalam analisis ini hanya khusus untuk transaksi dolar-rupiah.
Grafik 3.10Komposisi Transaksi Devisa Antarbank
Khusus Dolar-Rupiah
58
Nilai Tukar
Grafik 3.12Bilateral Real Exchange Rate
dari 51,47 pada akhir periode sebelumnya menjadi
64,13 pada akhir periode laporan (Grafik 3.12). Indeks
BRER Indonesia tersebut sudah berada di atas indeks
BRER Thailand yang mencapai 60,97 pada akhir periode
laporan. Namun, nilai tukar rupiah masih lebih
kompetitif dibandingkan dengan ringgit Malaysia, dolar
Singapura, won Korea, dan yuan RRC.
Grafik 3.11Real Effective Exchange Rate
59
Nilai Tukar
permintaan dolar dari pelaku utama pasar yang
segera diikuti oleh pelaku pasar lainnya.
Kecenderungan tersebut menimbulkan efek yang
berkelanjutan (snowball effect) pada transaksi pasar
valuta asing domestik. Dengan demikian,
permintaan murni valuta asing menciptakan dampak
berganda (multiplier effect), sehingga pelaku pasar
lain cenderung ikut membeli valuta asing(long dol-
lar position) dalam rangka transaksi murni maupun
spekulasi. Bahkan beberapa pelaku pasar bertindak
over-responsive dengan ikut membeli valuta asing
mendahului pembelian dari pihak korporasi.
Dari sisi korporasi utama, kebutuhan valuta
asing yang harus dipenuhi di pasar diperkirakan
masih tetap besar, mengingat penerimaan devisa
hasil ekspor migas masih belum mencukupi
kebutuhan operasional diantaranya untuk
pembiayaan impor minyak mentah dan distribusi.
Sementara itu, korporasi BUMN lainnya juga
mempunyai kebutuhan valuta asing untuk biaya
pengadaan listrik namun dengan jumlah yang lebih
Di tengah nuansa pergerakan nilai tukar ru-
piah yang cenderung mengalami penguatan, aksi
beli valuta asing oleh pelaku utama pasar
merupakan faktor pemicu terjadinya depresiasi
dan meningkatnya volatilitas nilai tukar rupiah.
Hal ini disebabkan kegiatan transaksi pelaku
utama pasar mempunyai peran penting dalam
mempengaruhi perilaku pelaku pasar lainnya. Pada
umumnya, transaksi valuta asing oleh pelaku utama
pasar merupakan permintaan murni (genuine de-
mand) yang digunakan untuk membiayai
kebutuhan operasional dalam proses produksi.
Sementara itu, transaksi pelaku pasar lain yang
mengikuti pelaku utama pasar, selain untuk
memenuhi permintaan murni juga memanfaatkan
momentum tersebut untuk kegiatan spekulasi.
Secara bersama-sama, transaksi pelaku pasar
menjadi faktor yang cukup dominan menentukan
perkembangan nilai tukar rupiah.
Sebagaimana tahun sebelumnya, pelaku
utama pasar masih didominasi oleh beberapa
korporasi BUMN dengan jumlah permintaan yang
cukup signifikan di pasar. Sepanjang periode
laporan, transaksi valuta asing pelaku utama pasar
cukup sensitif terhadap perkembangan sentimen
baik dari dalam maupun luar negeri. Pada
pertengahan tahun, nilai dolar yang mencapai harga
terendah dan kemudian disusul oleh sentimen
negatif regional, mendorong peningkatan
bo
ks
Pengaruh Pelaku Utama Pasar pada Nilai Tukar
Kebutuhan Valuta Asing Korporasi Utama
BBM Dalam Negeri
Pengeluaran Dalam DolarPengolahan Kilang
Dalam NegeriImpor Minyak Mentah
Produksi MinyakMentah Dalam Negeri Utang Luar Negeri
Impor BBM
KonsumsiBBM
Nasional
60
Nilai Tukar
kecil serta frekuensi yang lebih rendah. Selain
untuk keperluan impor bahan baku, pembelian
valuta asing oleh korporasi juga digunakan untuk
memenuhi kewajiban lainnya seperti pembayaran
pinjaman luar negeri yang cenderung meningkat
pada 2002.
Di sisi lain, berdasarkan kelompok pelaku pasar
juga dijumpai adanya dampak penggandaan yang
masih merupakan hal yang wajar. Transaksi dari
kelompok nasabah, baik dari dalam maupun luar
negeri, mendorong terciptanya transaksi antarbank
yang merupakan derivasi pasar untuk memenuhi
kebutuhan transaksi nasabah. Pada 2002, transaksi
devisa nasabah yang rata-rata mencapai $349 juta
per hari, mendorong naiknya transaksi antarbank
yang rata-rata menjadi $546 juta per hari. Dengan
demikian, transaksi nasabah mendorong terjadinya
kenaikan transaksi antarbank sebesar 1,5 kali, tidak
jauh berbeda dibandingkan angka tahun
sebelumnya. Dampak penggandaan tersebut
memberikan pengaruh negatif terhadap volatilitas
nilai tukar rupiah. Hal tersebut menunjukkan
besarnya kendala yang dihadapi BI dalam
mengendalikan nilai tukar rupiah pada 2002 di
tengah kecenderungan menguatnya rupiah dengan
tingkat volatilitas yang rendah.
Dampak Multiplier Pasar Valuta Asing
PELAKU UTAMA PASAR
FOLLOWER : BANK AND NONBANK
BANKA
BANKB
SnowBall
Effect
STABILITASNILAI TUKAR
RUPIAH
62
Inflasi
INFLASI4B A B
Pada 2002, perkembangan seluruh indikator
harga yakni inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK),
inflasi inti, Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB),
Indeks Harga Aset (IHA), dan PDB deflator menunjukkan
terjadinya penurunan inflasi dibandingkan tahun
sebelumnya. Penurunan inflasi dalam tahun laporan
terutama disebabkan oleh menguatnya nilai tukar ru-
piah yang disertai dengan rendahnya tingkat volatilitas
dan membaiknya ekspektasi inflasi. Sementara itu,
permintaan domestik belum menyebabkan tekanan
inflasi yang signifikan karena meningkatnya pasokan
barang konsumsi yang berasal dari impor.
Sementara itu, perkembangan inflasi IHK1 , yang
merupakan sasaran Bank Indonesia (BI), walaupun telah
menunjukkan kecenderungan menurun tetapi masih
sedikit di atas sasaran 2002. Relatif tingginya inflasi
tersebut pada tahun laporan antara lain disebabkan oleh
dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan
pendapatan yang lebih tinggi dari prakiraan awal tahun
serta ekspektasi masyarakat terhadap inflasi yang masih
tinggi walaupun telah menunjukkan perbaikan.
PERKEMBANGAN INDIKATOR INFLASI
Inflasi pada 2002 tercatat sebesar 10,03%
(y-o-y), lebih rendah dibandingkan dengan inflasi
tahun sebelumnya yang mencapai 12,55%. Penurunan
inflasi tahunan (y-o-y) yang cukup tajam terutama
terjadi pada semester pertama, meskipun kemudian
agak tertahan penurunannya pada semester kedua.
Kecenderungan penurunan inflasi juga terlihat dari
pergerakan inflasi bulanan (m-t-m). Inflasi tertinggi
terjadi pada Januari dan kemudian sempat mengalami
deflasi di Maret dan April (Grafik 4.1).
Kecenderungan penurunan inflasi semakin jelas
terlihat dari perkembangan inflasi inti (core inflation)
yang dihitung dengan pendekatan exclusion. Inflasi inti2
yang sejak awal 2000 mencatat peningkatan, pada
pertengahan 2001 mulai menunjukkan kecenderungan
menurun. Pada 2002 penurunan inflasi inti tersebut
Grafik 4.1Perkembangan Inflasi IHK Tahunan dan Bulanan
1 Selanjutnya yang disebut inflasi adalah inflasi IHK
2 Untuk selanjutnya, istilah inflasi inti dalam laporan ini digunakan untukmenunjukkan inflasi inti yang dihitung dengan pendekatan exclusionkecuali disebutkan lain.
Laju inflasi 2002 mengalami penurunan seiring dengan menguatnyanilai tukar, dan membaiknya ekspektasi inflasi masyarakat, sedangkanpermintaan belum memberikan tekanan yang signifikan.
63
Inflasi
terus berlanjut bahkan dengan laju penurunan yang
lebih tajam mencapai 6,96% dibandingkan pada 2001
sebesar 10,04%. Hal ini mengindikasikan bahwa laju
inflasi secara umum pada dasarnya mengalami
penurunan, tetapi karena adanya kenaikan harga/tarif
yang ditetapkan oleh pemerintah (administered prices),
penurunan inflasi tidak setajam inflasi inti (Grafik 4.2).
Kecenderungan laju inflasi yang menurun juga
diindikasikan oleh indikator perkembangan harga
lainnya seperti IHPB dan IHA. Kecenderungan penurunan
laju inflasi IHPB Umum telah terjadi sejak awal 2001
bahkan dengan penurunan yang cukup tajam pada
pertengahan 2002 yang ditandai oleh deflasi IHPB
tahunan pada Juni sebesar 3,33% (Grafik 4.3). Secara
bulanan, penurunan IHPB ditandai oleh deflasi pada 4
bulan yakni Maret, April, Juni dan Agustus. Terjadinya
deflasi IHPB umum pada periode tersebut terutama
disebabkan oleh deflasi yang cukup besar pada IHPB
kelompok barang impor dan ekspor seiring dengan
terjadinya apresiasi nilai tukar rupiah yang cukup besar.
Sejalan dengan itu, laju inflasi harga aset yang
diukur dari perubahan IHA tahunan (y-o-y) mencatat
penurunan yang cukup tajam pada 2002 yakni
mencapai 1,52%, dibandingkan 2001 sebesar 23,09%
(Grafik 4.4). Rendahnya laju IHA pada tahun laporan
terutama disebabkan oleh penurunan yang cukup tajam
pada harga sewa properti komersial, yakni dari 39,69%
pada 2001 menjadi -3,68% pada tahun laporan.
Penurunan harga properti komersial tersebut terutama
terkait dengan penguatan nilai tukar rupiah mengingat
sebagian besar harga properti komersial tersebut
dalam satuan dolar. Komponen inflasi harga aset
lainnya, yakni harga properti residensial walaupun
tidak mengalami deflasi tetapi cenderung mengalami
inflasi yang rendah. Secara tahunan, harga properti
Grafik 4.3Indeks Harga Pedagang Besar (IHPB) Umum
Grafik 4.4Inflasi Harga Asset dan PDB Deflator
Grafik 4.2Inflasi IHK dan Inflasi Inti
64
Inflasi
residensial pada tahun laporan hanya meningkat
sebesar 6,95%, lebih rendah dibandingkan tahun lalu
yang mencapai 10,86%. Kenaikan harga properti
residensial tersebut terutama terjadi pada tipe rumah
besar yang berlokasi di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Sejalan dengan perkembangan harga properti
tersebut, komponen inflasi harga aset lainnya yang
merupakan kelompok financial asset diwakili oleh
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), juga mencatat
penurunan. Penurunan IHSG tersebut selain
dipengaruhi oleh perkembangan di dalam negeri yang
kurang kondusif juga dipengaruhi oleh melemahnya
perdagangan di bursa saham regional dan dunia.
Indikator harga yang lebih luas cakupannya yakni
PDB deflator juga menunjukkan perkembangan yang
menurun pada 2002. PDB deflator pada tahun 2002
mencatat inflasi 4,54% (y-o-y), lebih rendah
dibandingkan dengan tahun 2001 yang mencapai
12,58%. Berbagai perkembangan indikator harga
tersebut di atas mengindikasikan bahwa penurunan
inflasi merupakan kecenderungan umum yang terjadi
sepanjang tahun laporan.
PERKEMBANGAN INFLASI IHK
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, laju inflasi
telah menunjukkan kecenderungan menurun. Namun
demikian, realisasi inflasi tersebut sedikit lebih tinggi
dari sasaran inflasi IHK yang ditetapkan pada 2002
yakni pada kisaran 9,0%-10,0%.
Pada semester pertama 2002 laju inflasi
menunjukkan kecenderungan yang menurun. Hal ini
terutama disebabkan oleh menguatnya nilai tukar
rupiah dan membaiknya ekspektasi inflasi. Nilai
tukar rupiah dalam periode tersebut mengalami
apresiasi yang cukup besar dan disertai oleh
volatilitas yang rendah sehingga menurunkan
tekanan inflasi yang bersumber dari sisi eksternal.
Pengaruh menguatnya nilai tukar rupiah terhadap
inflasi antara lain tercermin dari perkembangan
inflasi kategori traded yang turun cukup tajam pada
pertengahan tahun laporan.
Selain faktor menguatnya nilai tukar rupiah,
penurunan inflasi juga dipengaruhi oleh
membaiknya ekspektasi inflasi. Hal ini tercermin
dari hasil survei konsumen yang antara lain
mengukur ekspektasi masyarakat atas perkembangan
harga pada periode 6 s.d. 12 bulan ke depan. Hasil
survei mengindikasikan bahwa ekspektasi inflasi
konsumen cenderung membaik yang antara lain dipicu
oleh menguatnya nilai tukar rupiah dan harapan
membaiknya kondisi ekonomi.
Penurunan inflasi juga ditunjang oleh terjaganya
pasokan kebutuhan pokok masyarakat khususnya
beras. Operasi pasar beras yang dilakukan Badan
Urusan Logistik (Bulog) dan ditunjang oleh
melimpahnya beras impor telah menyebabkan
turunnya harga beras. Harga beras yang sempat
mencapai level yang cukup tinggi pada awal 2002,
secara bertahap mengalami penurunan mencapai
Rp2.790 per kg.3 Pada akhir tahun laporan, stok beras
Bulog mencapai 1,75 juta ton atau masih cukup untuk
memenuhi kebutuhan distribusi rutin sekitar tujuh
bulan.4
Laju penurunan inflasi pada semester pertama
2002 sedikit terhambat oleh adanya kebijakan
3 Sumber : Bulog4 Sumber : Siaran Pers Kantor Menko Perekonomian, 29 November 2002.
65
Inflasi
pemerintah di bidang harga dan pendapatan.
Kebijakan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM), tarif telepon dan Tarif Dasar Listrik (TDL)
pada periode tersebut tidak hanya meningkatkan
harga BBM dan tarif listrik tetapi juga mendorong
kenaikan barang dan jasa lainnya akibat kenaikan
faktor biaya (cost push) dan meningkatnya
ekspektasi inflasi yang menyertai kenaikan harga
yang ditetapkan pemerintah tersebut.
Pada semester kedua 2002, penurunan inflasi
sedikit tertahan. Kondisi ini terutama terkait dengan
faktor musiman yakni menghadapi perayaan hari
besar keagamaan, berlanjutnya kenaikan adminis-
tered prices, dan meningkatnya ekspektasi inflasi.
Sebagaimana periode-periode sebelumnya, tekanan
inflasi yang terjadi menjelang perayaan hari raya
keagamaan dan akhir tahun cenderung tinggi.
Sementara itu, kebijakan pemerintah di bidang
harga yang memberikan sumbangan cukup besar
terhadap kenaikan inflasi pada semester kedua tahun
laporan antara lain berasal dari kenaikan tarif listrik,
kenaikan BBM, kenaikan Harga Jual Eceran (HJE)
rokok, dan kenaikan harga LPG. Faktor lainnya yang
menyebabkan tertahannya penurunan inflasi pada
akhir 2002 adalah mulai memburuknya ekspektasi
inflasi. Hasil survei menunjukkan ekspektasi
konsumen pada kuartal terakhir 2002 cenderung
meningkat yang dipicu oleh kenaikan administered
price, meningkatnya tekanan depresiasi nilai tukar
rupiah pasca tragedi Bali, serta faktor musiman yang
terkait dengan perayaan keagamaan dan tahun baru.
Selain mempengaruhi ekspektasi inflasi konsumen,
berbagai perkembangan tersebut juga turut memicu
meningkatkan ekspektasi inflasi pedagang.
Berdasarkan hasil survei penjualan eceran, ekspektasi
inflasi pedagang yang meningkat di akhir 2002
terutama dipicu oleh kenaikan administered prices.
Di samping itu, adanya faktor musiman dan
kecenderungan dari pedagang untuk memanfaatkan
momentum perayaan keagamaan dan tahun baru
dengan menaikkan harga telah mendorong peningkatan
ekspektasi inflasi pedagang.
Berdasarkan kelompoknya, sumbangan
tertinggi inflasi 2002 terjadi pada kelompok
perumahan yang diikuti oleh kelompok bahan
makanan, kelompok transpor dan komunikasi serta
kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan
tembakau (Tabel 4.1). Sementara kelompok yang
memberikan sumbangan terendah adalah kelompok
sandang. Tingginya sumbangan inflasi kelompok
perumahan terutama karena dalam kelompok ini
terdapat sub kelompok biaya tempat tinggal
dimana di dalamnya termasuk tarif listrik, sewa
rumah, dan upah pembantu, yang pada tahun
laporan mengalami kenaikan cukup tinggi. Apabila
dilihat dari kenaikan harganya, kelompok transpor
dan komunikasi mencatat inflasi yang tertinggi
Tabel 4.1Sumbangan Inflasi IHK Menurut Kelompok Tahun 2002
2,36
1,72
2,79
0,26
0,31
0,82
1,77
10,03
Bahan Makanan
Makanan Jadi, minuman, Rokok,
dan Tembakau
Perumahan
Sandang
Kesehatan
Pendidikan, Rekreasi, Olahraga
Transport dan Komunikasi
Total
SumbanganInflasiKelompok
9,13
9,18
12,71
2,69
5,63
10,85
15,52
No
1
2
3
4
5
6
7
Sumber: BPS
(Persen)
66
Inflasi
yakni sebesar 15,52%. Inflasi yang tinggi pada
kelompok ini terutama bersumber dari kenaikan
harga sub kelompok transportasi yakni harga
bensin, solar, dan tarif angkutan serta sub
kelompok komunikasi dan pengiriman dalam hal
ini adalah tarif telepon.
Ditinjau dari inflasi per kota, inflasi tertinggi
terjadi di kota Manado sebesar 15,22%, sedangkan
inflasi terendah terjadi di kota Ternate sebesar 6,40%.
Namun demikian, sumbangan inflasi terbesar masih
bersumber dari sejumlah kota besar terutama kota
Jakarta sebesar 3,09% dan Surabaya sebesar 0,74%
mengingat bobotnya yang tinggi.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI
Pengaruh Kebijakan Pemerintah di Bidang Harga
dan Pendapatan
Di bidang harga, pemerintah secara bertahap
melanjutkan penyesuaian harga sejumlah barang pada
harga pasarnya. Sementara itu, kebijakan di bidang
pendapatan antara lain diarahkan untuk
mempertahankan daya beli sebagian masyarakat,
khususnya mereka yang berpendapatan tetap. Pada
2002 kebijakan pemerintah di bidang harga dan
pendapatan masih memberikan dampak yang cukup
besar (3,31%) terhadap inflasi, walaupun telah menurun
dibandingkan tahun sebelumnya (3,83%).
Realisasi dampak kebijakan pemerintah di bidang
harga dan pendapatan tersebut lebih tinggi
dibandingkan dengan asumsi pada awal 2002 yang
diperkirakan sebesar 2,57%. Hal ini terutama
disebabkan oleh: (i) penetapan harga/tarif yang belum
teridentifikasi pada awal tahun, (ii) perubahan
mekanisme penetapan kenaikan harga BBM, dan (iii)
realisasi kenaikan harga/tarif yang lebih tinggi dari
asumsi awal tahun (Tabel 4.2). Hal tersebut telah
menyebabkan realisasi dampak kebijakan pemerintah
lebih tinggi dari asumsi pada awal tahun yang
diprakirakan sekitar 2,57%
Kebijakan pemerintah yang belum teridentifikasi
pada awal tahun antara lain kenaikan harga LPG yang
terjadi dua kali yakni pada Juni dan Desember,
kenaikan tarif Kereta Api kelas bisnis dan eksekutif
pada Februari, dan kenaikan tarif angkutan kota
dalam propinsi (AKDP) di sejumlah kota, serta
kenaikan tarif air PAM. Belum teridentifikasinya
kebijakan pemerintah tersebut karena pada awal
tahun laporan informasi mengenai rencana kenaikan
tersebut belum tersedia.
Penetapan harga BBM pada 2002 mengalami
perubahan dibandingkan tahun sebelumnya.
Perubahan mendasar dari penetapan harga BBM dalam
negeri terjadi pada mekanisme penetapannya yang
dilakukan secara bulanan. Berdasarkan Keputusan
Tabel 4.2Realisasi Kebijakan Pemerintah di Bidang Harga
dan Pendapatan 2002
Kebijakan PemerintahDampakInflasi
Di Bidang HargaListrikBBMAngkutan *)Gas ElpijiTeleponAir MinumRokok
Di Bidang PendapatanUMP
Total
0,740,401,100,100,510,050,19
0,22
3,31
KenaikanHarga/Tarif
38,5121,7418,6924,3441,139,544,24
18,10
Catatan: *) termasuk dampak tidak langsungSumber: BPS, diolah
(Persen)
67
Inflasi
Presiden (Keppres) No. 9 tanggal 16 Januari 2002
mengenai Penetapan Harga BBM Dalam Negeri, antara
lain disebutkan bahwa penetapan harga BBM dalam
negeri dilakukan oleh Pertamina pada setiap awal
bulan5 dengan memperhitungkan perkembangan
harga Mid Oil Platt’s Singapore (MOPS) yang
merupakan harga transaksi jual beli pada bursa
minyak di Singapura. Selain itu, Keppres tersebut
juga menyebutkan mulai berlakunya batas harga
terendah (floor price) dan tertinggi (ceiling price)
untuk setiap jenis BBM dalam rangka menghindari
fluktuasi harga BBM dalam negeri yang terlalu besar.
Perubahan jangka waktu penetapan harga BBM
menjadi bulanan menyebabkan kemungkinan
terjadinya fluktuasi harga BBM setiap bulan sehingga
dampaknya terhadap inflasi juga akan terjadi secara
bulanan. Hal ini berbeda dengan periode sebelumnya
dimana kenaikan harga BBM hanya terjadi satu atau
dua kali dalam periode satu tahun.
Sementara itu, TDL dan tarif telepon mencatat
kenaikan harga lebih tinggi dari yang diprakirakan
semula. Selama 2002, TDL dalam keranjang IHK
mencatat kenaikan harga sekitar 38,5%, jauh lebih
tinggi dari rencana semula yakni sebesar 6,0%
setiap triwulan atau 24,0% dalam satu tahun. Dalam
periode yang sama, tarif telepon dalam keranjang
IHK mencatat kenaikan sekitar 41,1%, jauh lebih
tinggi dari rencana semula rata-rata sebesar 15,0%.
Dalam tahun laporan tidak semua harga/tarif
yang ditetapkan pemerintah tersebut memberikan
dampak inflasi setinggi dari yang diprakirakan
semula. HJE ditetapkan naik sebesar 22%, namun
kenaikan harga rokok dalam keranjang IHK hanya
naik rata-rata sekitar 4,2%. Hal ini disebabkan
sejumlah industri rokok sudah memberlakukan harga
jual produknya di atas HJE minimum yang baru.
Selain HJE, Upah Minimun Propinsi (UMP) juga
memberikan dampak inflasi yang lebih rendah dari
prakiraan karena realisasi kenaikan UMP lebih
rendah dari prakiraan awal.
Tingginya dampak kebijakan pemerintah di
bidang harga dan pendapatan terhadap inflasi, secara
lebih jelas terlihat pada perkembangan inflasi tahunan
kelompok administered priceyang masih berada di atas
inflasi IHK (Grafik 4.5). Inflasi administered price di
tahun laporan masih mencatat peningkatan bahkan
sempat mencapai tingkat tertinggi pada Mei 2002
sebesar 35,66% (y-o-y) dan pada akhir tahun mencatat
inflasi 22,12% (y-o-y).
Pengaruh Ekspektasi
Bank Indonesia mengumumkan sasaran inflasi
untuk tahun 2002 sebesar 9%-10% dengan maksud
mengarahkan ekspektasi inflasi pelaku ekonomi, baik
Grafik 4.5Inflasi IHK dan Administered Price
5 Berdasarkan Keputusan Presiden No. 27 Tahun 2002 tanggal 30 April2002, pasal 6 antara lain mengubah penetapan harga BBM menjadisetiap awal bulan.
68
Inflasi
konsumen maupun pedagang pada kisaran level
sasaran inflasi yang ditetapkan. Sasaran inflasi
tersebut diharapkan dapat menjadi dasar bagi pelaku
ekonomi, baik bagi konsumen dalam hal
membelanjakan pendapatannya maupun bagi
pedagang dalam hal kalkulasi biaya dan penetapan
harga jual produknya.
Dalam perkembangannya, ekspektasi inflasi
selama 2002 cenderung membaik yang tercermin dari
perkembangan ekspektasi inflasi hasil survei konsumen
dan survei penjualan eceran.6 Membaiknya ekspektasi
inflasi konsumen maupun pedagang tersebut sejalan
dengan penguatan nilai tukar rupiah dan peningkatan
ketersediaan barang-barang. Namun demikian, apabila
dilihat perkembangannya secara triwulanan, sejak awal
triwulan III-2002 ekspektasi inflasi baik konsumen
maupun pedagang sedikit memburuk. Memburuknya
ekspektasi inflasi tersebut dipicu oleh kecenderungan
meningkatnya tekanan depresiasi rupiah, penerapan
kebijakan pemerintah di bidang harga, dan faktor
musiman sehubungan dengan perayaan hari besar
keagamaan dan tahun baru.
Ekspektasi inflasi telah cenderung membaik,
namun masih berada pada tingkat yang cukup
tinggi. Hal ini terkait dengan pembentukan
ekspektasi masyarakat terhadap inflasi yang masih
cenderung bersifat adaptive, yakni pembentukan
inflasi yang lebih mendasarkan pada
perkembangan inflasi pada periode-periode
sebelumnya. Inflasi yang masih berada pada
tingkat yang tinggi (double digit) tahun lalu,
mengakibatkan masih tingginya ekspektasi inflasi
masyarakat selama 2002.
Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan
ekspektasi masyarakat terhadap inflasi adalah
pergerakan nilai tukar rupiah. Grafik 4.6 dan 4.7
menunjukkan perkembangan ekspektasi inflasi baik
oleh konsumen maupun pedagang yang searah dengan
pergerakan nilai tukar rupiah. Pada saat nilai tukar
menguat, ekspektasi inflasi yang terbentuk juga
cenderung membaik. Sebaliknya pada saat nilai tukar
mendapat tekanan maka pembentukan ekspektasi
inflasi masyarakat cenderung memburuk. Di samping
6 Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi perkembanganekspektasi inflasi konsumen maupun pedagang adalah hasil SurveiKonsumen dan Survei Penjualan Eceran, Bank Indonesia.
Grafik 4.6Ekspektasi Kenaikan Harga
Survei Konsumen
Grafik 4.7Ekspektasi Kenaikan Harga 1 Bulan ke Depan
Survei Penjualan Eceran
69
Inflasi
itu, pergerakan ekspektasi inflasi baik konsumen
maupun pedagang pada 2002 juga dipengaruhi oleh
penerapan kebijakan pemerintah di bidang harga dan
pendapatan. Pada awal tahun, ekspektasi inflasi yang
terbentuk masih cenderung tinggi karena pada saat
itu, pemerintah mengumumkan rencana untuk
menaikkan harga sejumlah barang/jasa, walaupun
pada periode tersebut rupiah mengalami apresiasi.
Dalam perkembangannya, implementasi kebijakan
pemerintah di bidang harga tersebut dilakukan secara
bertahap, sehingga dampak inflasi pada semester
pertama cenderung menurun. Seiring dengan itu,
ekspektasi inflasi masyarakat yang terjadi juga
membaik. Namun demikian, pada periode selanjutnya
seiring dengan meningkatnya dampak kebijakan
pemerintah di bidang harga, ekspektasi inflasi yang
terjadi cenderung memburuk.
Pengaruh Kondisi Permintaan dan Penawaran
Dalam tahun laporan, interaksi permintaan dan
penawaran relatif tidak menimbulkan tekanan inflasi
secara signifikan. Pertumbuhan permintaan yang masih
didominasi oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga
terutama dialokasikan untuk pengeluaran bukan
makanan. Kecenderungan peningkatan pengeluaran
konsumsi bukan makanan tersebut sudah tampak sejak
akhir 1998 dan pada tahun laporan proporsi7 pengeluaran
konsumsi bukan makanan sudah lebih tinggi dibandingkan
pengeluaran konsumsi makanan. Tingginya pertumbuhan
pengeluaran konsumsi bukan makanan ini belum
memberikan tekanan yang signifikan pada laju inflasi
bukan makanan karena cukupnya pasokan. Tekanan
inflasi bukan makanan lebih disebabkan faktor-faktor
lainnya, seperti administered prices (Grafik 4.8).
Di sisi penawaran, rendahnya tingkat investasi
dan utilisasi menyebabkan peningkatan kapasitas
perekonomian relatif terbatas. Sementara itu,
membaiknya sektor pertanian telah menyebabkan
terjaganya pasokan bahan makanan dalam tahun
laporan. Dalam kondisi permintaan yang masih
meningkat tekanan inflasi dapat terjadi. Namun,
adanya penambahan pasokan barang yang berasal dari
luar negeri, khususnya impor barang konsumsi mampu
mengurangi tekanan inflasi yang terjadi.
Pengaruh Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang mempengaruhi inflasi
antara lain bersumber dari nilai tukar rupiah dan harga
barang impor. Pergerakan nilai tukar rupiah yang
secara umum menguat dalam tahun laporan telah
membantu menurunkan tekanan inflasi. Pengaruh
apresiasi nilai tukar terhadap inflasi antara lain
terlihat dari pergerakan IHPB dan inflasi kelompok
traded (Grafik 4.9). Sementara itu, kecenderungan
perkembangan harga di pasar dunia bagi sejumlah
Grafik 4.8Inflasi Makanan dan Bukan Makanan
7 Distribusi persentase terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) hargakonstan 1993.
70
Inflasi
komoditas penting seperti beras, gula pasir dan emas
juga mengalami penurunan. Apresiasi nilai tukar ru-
piah yang diiringi oleh penurunan harga barang impor
tersebut memberikan pengaruh pada penurunan
tekanan inflasi pada tahun laporan. Perkembangan
IHPB impor dan inflasi kelompok traded menunjukkan
perkembangan yang menurun bahkan untuk IHPB
impor telah mengalami deflasi sejak Maret 2002
(Grafik 4.10).
Pengaruh Faktor Alam
Di awal tahun laporan, bencana banjir besar
melanda beberapa daerah, seperti Jabotabek,
Jawa Timur, Sumatera Utara dan beberapa daerah
yang merupakan sentra produksi bahan pangan dan
jalur transportasi penting. Bencana banjir tersebut
sempat mengganggu aktif itas ekonomi dan
distribusi yang melalui wilayah yang terkena
bencana banjir. Dampak banjir ini tercermin pada
tingginya inflasi Februari 2002 yang mencapai
1,50% (m-t-m). Realisasi inflasi Februari tersebut
jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata inflasi
bulanan Februari selama 3 tahun terakhir yang
hanya di bawah 1% mengingat periode tersebut
pada umumnya merupakan puncak surplus bahan
pangan.
Pada periode akhir tahun, produksi beberapa
komoditas pertanian cenderung mencapai tingkat
yang terendah. Dalam tahun laporan, musim
kemarau yang di ikuti oleh anomali El Nino
walaupun dalam intensitas lebih rendah, telah
menyebabkan kemarau di sejumlah daerah terutama
di pesisir pulau Jawa dan daerah lainnya yang
merupakan penghasil bahan pangan dan sayuran.
Kondisi ini antara lain turut meningkatkan tekanan
inflasi menjelang akhir tahun laporan.
Grafik 4.10IHPB Impor dan Nilai Tukar
Grafik 4.9Inflasi Traded dan Non-traded
72
Moneter
MONETER5B A B
Selama 2002, kebijakan moneter tetap
ditujukan pada upaya pengendalian uang primer
yang sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian.
Kebijakan tersebut dimaksudkan agar kestabilan
harga tetap dapat terjaga sehingga mampu
mendukung proses pemulihan ekonomi yang terus
berlangsung. Dalam melaksanakan kebijakan
tersebut, strategi kebijakan moneter selama 2002
tetap ditujukan pada upaya penyerapan ekses
likuiditas perbankan dengan mengupayakan
penurunan suku bunga. Untuk itu, Bank Indonesia
(BI) menetapkan target pertumbuhan rata-rata uang
primer selama 2002 sebesar 13,0%-14,0%.
Dalam perjalanannya, perkembangan uang
primer selama 2002 terkendali seperti tercermin
dari pertumbuhan uang primer yang berada di bawah
target pertumbuhannya. Di samping itu, terkendalinya
pergerakan uang primer juga tercermin dari posisi
test date1 uang primer yang selalu berada di bawah
target indikatifnya. Melambatnya pertumbuhan uang
primer tersebut terutama disebabkan oleh
berkurangnya motif berjaga-jaga dalam memegang
uang kartal sehubungan dengan membaiknya
ekspektasi masyarakat atas kestabilan moneter dan
sosial politik. Ekspektasi positif atas kestabilan
moneter terbentuk karena pada saat yang
bersamaan indikator makro lainnya seperti laju
inflasi dan nilai tukar juga menunjukkan
perkembangan yang positif. Sementara itu, agregat
moneter lainnya, M1 dan M2, masih mengalami
pertumbuhan meskipun melambat.
Perkembangan positif tersebut memberikan
keyakinan terhadap membaiknya prospek inflasi
sehingga membuka ruang gerak yang lebih lebar
bagi BI untuk memberikan sinyal penurunan suku
bunga secara bertahap melalui penurunan suku
bunga instrumen moneter. Langkah penurunan
tersebut dilakukan secara hati-hati dengan tetap
memperhatikan perkembangan suku bunga riil dan
perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri (in-
terest rate differential).
Penurunan suku bunga instrumen moneter
tersebut juga diikuti oleh beberapa suku bunga
lainnya. Suku bunga Pasar Uang Antar Bank
(PUAB) dan suku bunga simpanan perbankan
menga lami penurunan yang s ign i f i kan,
sementara suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK)
dan Kredit Investasi (KI) belum menunjukkan
penurunan yang berarti. Dalam pada itu, suku1 Test date adalah rata-rata uang primer yang dihitung dari tanggal 16
bulan yang bersangkutan hingga tanggal 15 bulan berikutnya
Kondisi moneter selama 2002 menunjukan perkembangan yang kondusiftercermin dari terkendalinya uang primer, menguatnya nilai tukar, danmenurunnya suku bunga.
73
Moneter
bunga Kredit Konsumsi (KK) justru mengalami
sedikit peningkatan. Lambannya penurunan suku
bunga KI terutama d i sebabkan o leh mas ih
tingginya persepsi risiko perbankan terhadap
penyaluran kredit jangka panjang.
Selain itu, menurunnya suku bunga simpanan
dan relatif rigid-nya suku bunga kredit perbankan
telah mendorong beberapa perusahaan yang memiliki
reputasi baik untuk menerbitkan obligasi di pasar
domestik atau melakukan penawaran umum perdana
(initial public offering/IPO) dan penawaran terbatas
(right issue) di pasar modal. Sementara itu, dari sisi
permintaan, penurunan suku bunga simpanan telah
mengakibatkan obligasi dan reksa dana menjadi
alternatif investasi yang menarik.
EVALUASI KEBIJAKAN MONETER 2002
Pada awal 2002, BI menetapkan sasaran moneter
khususnya uang primer dengan rata-rata pertumbuhan
sebesar 13,0%-14,0% selama 2002. Penetapan target
uang primer tersebut didasarkan pada target inflasi
IHK sebesar 9,0%-10,0%, pertumbuhan ekonomi sebesar
3,5%-4,0%, dan rata-rata nilai tukar rupiah sebesar
Rp9.500 – Rp10.500 per dolar. Dengan pertumbuhan
uang primer tersebut, BI mengharapkan dapat
mencapai target inflasi yang telah ditetapkan sekaligus
tetap menjaga likuiditas yang cukup bagi
perekonomian.
Dalam pelaksanaannya, dengan menimbang bahwa
tekanan inflasi yang terjadi selama ini lebih banyak
disebabkan oleh keterbatasan dari sisi penawaran dan
kebijakan pemerintah di bidang harga (cost push),
maka kebijakan moneter selama 2002 diarahkan pada
upaya penyerapan ekses likuiditas perbankan dengan
tetap memperhatikan perkembangan suku bunga yang
terjadi agar dapat memberikan sinyal yang kondusif
bagi perbaikan sisi penawaran di sektor riil. Titik berat
pengendalian likuiditas melalui penyerapan ekses
likuiditas perbankan tersebut juga sejalan dengan
kenyataan bahwa perkembangan uang primer sangat
ditentukan oleh perilaku permintaan uang kartal2 yang
sulit dikendalikan melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT).
Strategi ini diterjemahkan dalam bentuk
perkembangan suku bunga SBI yang menurun dengan
magnitude yang kecil sepanjang tekanan inflasi ke
depan masih berada dalam kisaran target inflasi yang
telah ditetapkan. Secara operasional, strategi
kebijakan moneter ditempuh dengan mengoptimalkan
instrumen moneter yang tersedia, khususnya OPT dan
sterilisasi valuta asing (valas).
Uang primer selama 2002 menunjukkan
perkembangan yang terkendali , yang tercermin dari
lebih rendahnya posisi test date uang primer
dibandingkan target indikatifnya(Grafik 5.1).
2 Uang kartal adalah uang logam dan uang kertas yang berada dimasyarakat.
Grafik 5.1Target Indikatif dan Aktual Uang Primer
74
Moneter
Hal tersebut terutama disebabkan oleh lebih
rendahnya permintaan uang kartal untuk berjaga-jaga
sejalan dengan ekspektasi positif atas kestabilan
sosial politik dan moneter. Disamping itu, lebih
rendahnya posisi uang primer tersebut diakibatkan
oleh lebih rendahnya permintaan uang kartal untuk
kebutuhan transaksi sejalan dengan lebih rendahnya
pertumbuhan ekonomi dan menguatnya rata-rata nilai
tukar dibandingkan prakiraan semula (Grafik 5.2).
Terkendalinya uang primer yang dibarengi dengan
menurunnya prospek inflasi serta stabilnya pergerakan
nilai tukar telah memungkinkan BI untuk memberikan
sinyal penurunan suku bunga secara bertahap, yang
diperlukan guna mempercepat proses pemulihan
ekonomi.
Sinyal penurunan suku bunga ini terutama
dilakukan melalui penurunan suku bunga Fasilitas
Simpanan BI (FASBI3 ) yang diikuti oleh penurunan suku
bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Selama 2002,
suku bunga FASBI overnight (O/N) diturunkan sebanyak
lima kali dengan total penurunan sebesar 300 bp hingga
pada akhir Desember 2002 mencapai posisi 12,13%.
Sementara itu, FASBI dengan jangka waktu 2-6 hari
dan 7 hari masing-masing turun sebesar 300 bp dan
338 bp hingga mencapai 12,38% dan 12,50%.
Selanjutnya, suku bunga SBI 1 dan 3 bulan mengalami
penurunan masing-masing sebesar 469 bp dan 451 bp
dibandingkan posisi akhir 2001 hingga tercatat pada
posisi 12,93% dan 13,12% pada akhir Desember 2002.
Penurunan suku bunga SBI 1 dan 3 bulan yang terjadi
selama 2002 lebih besar dibandingkan peningkatan
yang terjadi selama 2001, yaitu sebesar 309 bp dan
332 bp. Laju penurunan suku bunga SBI tersebut
terutama terjadi hingga September 2002 dan sejak
Oktober penurunan yang terjadi menjadi relatif lambat
hingga akhir 2002 (Grafik 5.3).
Secara operasional, strategi kebijakan moneter
selama 2002 dilakukan dengan memperhatikan
perkembangan kondisi ekonomi makro dan moneter
dari triwulan ke triwulan. Pada triwulan I, dengan
mempertimbangkan bahwa angka uang primer pada
akhir 2001 masih cukup tinggi dan akan masuknya
kembali uang kartal ke dalam sistem perbankan
setelah perayaan hari besar keagamaan, BI berusaha3 Sebelum November 2002 dikenal dengan Intervensi Rupiah Kontraktif
yang selanjutnya diubah menjadi FASBI
Grafik 5.2Pertumbuhan Tahunan Uang Kartal
dan Uang Primer (Target Indikatif dan Aktual)Grafik 5.3
Suku Bunga Instrumen Moneter
75
Moneter
melakukan penyerapan likuditas secara optimal
terutama melalui pelaksanaan OPT. Hal ini dilakukan
untuk menjaga perkembangan uang primer agar
sesuai dengan target indikatifnya. Kondisi perbankan
yang likuid di awal tahun menyebabkan suku bunga
SBI 1 bulan mengalami penurunan cukup signifikan
sebesar 86 bp setelah mencatat terus peningkatan
selama 2001. Namun demikian, mengingat laju inflasi
masih relatif tinggi dan nilai tukar masih relatif
lemah, dalam periode ini BI masih menempuh
kebijakan yang berhati-hati dengan tidak mengubah
suku bunga FASBI (neutral bias).
Memasuki triwulan II-2002, posisi uang primer
berada di bawah target indikatifnya, sementara
nilai tukar rupiah dan inflasi menunjukkan
perkembangan yang membaik. Perkembangan yang
positif ini memberikan ruang gerak pada BI untuk
memberikan sinyal penurunan suku bunga guna
memelihara momentum pemulihan ekonomi dengan
tetap menjaga pencapaian target inflasi
(accomodative policy). Sinyal penurunan suku bunga
tersebut dilakukan melalui penurunan suku bunga
FASBI seluruh tenor pada Mei dan Juni masing-
masing sebesar 50 bp. Penurunan suku bunga FASBI
tersebut mendorong penurunan suku bunga SBI 1
dan 3 bulan dalam triwulan II-2002 masing-masing
sebesar 165 bp dan 171 bp. Penurunan suku bunga
SBI tersebut juga didorong oleh kondisi perbankan
yang mengalami kelebihan likuiditas sebagai akibat
dari belum berjalannya fungsi intermediasi
perbankan secara lebih optimal. Perkembangan ini
memungkinkan posisi test date uang primer selama
triwulan II-2002 masih berada di bawah target
indikatifnya.
Sejalan dengan kecenderungan semakin
positifnya perkembangan moneter, upaya untuk
memperkuat sinyal penurunan suku bunga dalam
triwulan III-2002 semakin ditingkatkan terutama
melalui penurunan lebih lanjut suku bunga FASBI O/N
sebesar 150 bp. Strategi tersebut berhasil mendorong
penurunan suku bunga SBI 1 bulan dan 3 bulan masing-
masing sebesar 189 bp dan 107 bp. Sebagaimana
triwulan sebelumnya, meskipun suku bunga SBI
mengalami penurunan, posisi test date uang primer
selama triwulan III-2002 tetap berada di bawah target
indikatifnya.
Dalam upaya untuk meningkatkan fungsi FASBI
sebagai instrumen pengendalian moneter, pada Sep-
tember 2002 BI memisahkan periode perdagangan
FASBI O/N menjadi pagi dan sore serta
membedakan suku bunga antara kedua periode
tersebut. Sesi pagi dimulai pukul 08.00 s.d. 12.00
bbwi, sementara sesi sore sore dimulai 13.00 s.d.
16.30 bbwi. Tingkat suku bunga FASBI O/N sesi sore
ditetapkan sebesar 50,0% dari suku bunga FASBI
O/N sesi pagi. Dengan kebijakan tersebut, suku
bunga FASBI O/N sesi pagi sebesar 12,63% dan FASBI
O/N sesi sore sebesar 6,31%. Sementara itu, semua
perdagangan FASBI untuk tenor lainnya hanya
dibatasi pada sesi pagi.
Pada triwulan IV-2002, dengan melihat
perkembangan suku bunga SBI yang sudah menurun
hingga mencapai tingkat yang cukup rendah dan
konsisten dengan pencapaian target inflasi jangka
menengah, BI berusaha memperlambat laju
penurunan suku bunga SBI. Kebijakan moneter ini
dilakukan juga untuk mengantisipasi melemahnya
nilai tukar rupiah sebagai dampak dari tragedi Bali.
76
Moneter
Grafik 5.4Pertumbuhan Tahunan Test Date Uang Primer
Setelah nilai tukar menguat kembali, serta
mempertimbangkan prospek inflasi yang tetap
membaik, pada akhir November 2002 BI menurunkan
suku bunga FASBI sebesar 50 bp untuk seluruh tenor.
Secara keseluruhan, selama triwulan IV-2002 tersebut
suku bunga SBI 1 bulan hanya menurun sebesar 29
bp dari 13,22% pada akhir September 2002 menjadi
12,93% pada akhir Desember 2002.
PERKEMBANGAN UANG BEREDAR
Uang Primer
Selama 2002, posisi test date uang primer
selalu berada di bawah target indikatifnya dengan
perbedaan berkisar antara Rp1,26 triliun sampai
Rp7,7 triliun. Perbedaan terbesar terjadi pada
Agustus, sementara perbedaan terkecil pada Novem-
ber. Dengan perkembangan tersebut, rata-rata
pertumbuhan tahunan test date uang primer selama
2002 hanya mencapai 9,06%, lebih rendah
dibandingkan rata-rata pertumbuhan pada tahun
sebelumnya yaitu 17,85% (Grafik 5.4).
Dilihat dari posisi akhir Desember 2002, uang
primer mencapai Rp138,3 triliun atau Rp10,5 triliun
lebih tinggi dibandingkan dengan posisi akhir Desember
2001 sebesar Rp127,8 triliun (Tabel 5.1). Ditinjau dari
komponennya, peningkatan uang primer tersebut
terutama berasal dari peningkatan uang kartal sebesar
Tabel 5.1Uang Primer
Uang PrimerUang Kertas dan Logam yang Diedarkan di masyarakat di perbankanGiro Bank pada Bank IndonesiaGiro Sektor Swasta
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Uang Primer Cadangan Devisa Bersih (NIR) (USD=Rp7000) Aktiva Domestik Bersih (NDA) 1. Tagihan Bersih pada Pemerintah 2. Bantuan Likuiditas 3. Kredit Likuiditas 4. Tagihan Lainnya 5. Operasi Pasar Terbuka 6. Lainnya Bersih (NOI)
Rincian20022001
Maret Juni Sept DesPerubahan
Tahunan
127,891,376,314,934,8
1,7
127,8128,1
-0,3160,837,115,1
1,9-102,6-112,4
117,082,469,712,733,41,2
117,0130,1
-13,1174,6
36,414,91,9
-114,5-126,4
119,984,572,012,534,01,5
119,9133,0
-13,0173,2
36,914,72,2
-118,0-122,0
123,986,372,813,636,01,5
123,9142,9
-19,0171,2
36,714,52,3
-115,9-127,9
138,398,480,717,738,21,6
138,3151,8
-13,6168,5
36,614,42,4
-113,3-122,2
10,57,14,42,73,4
-0,1
10,523,7
-13,27,8
-0,5-0,60,5
-10,6-9,7
(Triliun Rp)
Des
77
Moneter
Rp4,4 triliun dan saldo giro positif bank umum sebesar
Rp3,4 triliun. Peningkatan uang kartal tersebut
terutama disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan
transaksi masyarakat berkaitan dengan Lebaran,
Natal dan Tahun Baru. Sementara itu, peningkatan
saldo giro positif bank di BI terutama bersumber
dari meningkatnya posisi Giro Wajib Minimum
(GWM), seiring dengan peningkatan dana pihak
ketiga bank. Selain kedua komponen di atas,
peningkatan uang primer juga bersumber dari
meningkatnya posisi kas di bank sebesar Rp2,7
triliun untuk mengantisipasi penarikan uang kartal
oleh masyarakat.
Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya,
pertumbuhan uang kartal selama 2002 mengalami
perlambatan (Grafik 5.5). Rata-rata pertumbuhan
tahunan uang kartal selama 2002 tercatat sebesar
10,85%, lebih rendah dibandingkan 2001 sebesar
19,58%. Faktor utama yang mendorong lambatnya
pertumbuhan uang kartal selama 2002 adalah
berkurangnya permintaan uang kartal untuk
tujuan berjaga-jaga. Hal in i d idorong oleh
meningkatnya ekspektasi positif masyarakat
seiring dengan lebih stabilnya kondisi sosial
politik pada 2002 serta adanya kecenderungan
membaiknya perkembangan beberapa agregat
moneter seperti inflasi dan nilai tukar. Selain itu,
relatif lambatnya pertumbuhan uang kartal 2002
juga disebabkan oleh lebih rendahnya permintaan
uang kartal untuk kebutuhan transaksi. Hal ini
seiring dengan membaiknya laju inflasi dan nilai
tukar rupiah dibandingkan dengan 2001.
Berdasarkan faktor yang mempengaruhinya,
peningkatan uang primer terutama bersumber dari
lebih besarnya net ekspansi rupiah rekening
pemerintah dan biaya pengendalian moneter
dibandingkan dengan pengaruh kontraksi OPT dan
sterilisasi valas. Hingga Desember 2002, net
ekspansi rekening rupiah pemerintah yang
berdampak pada uang primer mencapai Rp7,5
tril iun4, yang diantaranya ditujukan untuk
pembayaran gaji, Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp110,0 triliun,
pembayaran kupon obligasi sebesar Rp66,0 triliun
dan pembayaran proyek sebesar Rp22,8 triliun.
Ekspansi ini lebih besar dibandingkan kontraksi
yang diantaranya berasal dari penerimaan pajak
Rp146,9 triliun, penerimaan BPPN sebesar Rp29,0
triliun, penerimaan deviden Rp11,7 triliun. Net
ekspansi sebesar Rp7,5 triliun tersebut telah
memperhitungkan dampak kontraksi dari
penerbitan Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp2,0
triliun pada akhir Desember 2002.
Grafik 5.5Pertumbuhan Tahunan Uang Kartal
4 Net ekspansi rekening rupiah pemerintah sebesar Rp7,5 triliun ru-piah merupakan bagian dari mutasi rekening tagihan bersih padapemerintah (sebesar Rp7,8 triliun) yang berpengaruh langsung padauang primer
78
Moneter
Sementara itu, net kontraksi OPT hingga akhir
2002 berjumlah Rp10,6 triliun terutama berasal dari
kontraksi SBI sebesar Rp21,9 triliun, lebih besar
dibandingkan dengan pengaruh ekspansi FASBI
sebesar Rp11,3 triliun (Tabel 5.2). Kontraksi SBI
tersebut terutama terjadi pada triwulan I-2002
(Rp44,4 triliun), sementara pada triwulan II-2002
kontraksi yang terjadi semakin mengecil bahkan
mencatat ekspansi pada triwulan III dan IV-2002.
Semakin rendahnya kontraksi SBI pada triwulan II-
2002 dan ekspansi SBI pada triwulan III-2002 berkaitan
dengan semakin tajamnya penurunan suku bunga SBI
pada kedua periode tersebut. Sebagian besar ekspansi
SBI tersebut dapat terserap kembali melalui FASBI,
berkaitan dengan masih belum adanya tempat
penanaman lain yang lebih menguntungkan bagi
perbankan. Sementara itu, ekspansi SBI yang cukup
besar pada triwulan IV-2002 lebih disebabkan oleh
meningkatnya kebutuhan likuiditas jangka pendek
perbankan seiring dengan meningkatnya kebutuhan
uang kartal menjelang perayaan beberapa hari besar
keagamaan dan tahun baru.
Dengan perkembangan tagihan bersih kepada
pemerintah (NetClaims on Goverment/NCG) dan OPT
tersebut, Aktiva Domestik Bersih (NetDomestic As-
sets/NDA) selama 2002 menunjukkan kecenderungan
yang menurun dan pada umumnya berada di bawah
performance criteria (PC) NDA5 yang ditetapkan. Pada
akhir Desember 2002, NDA mencapai posisi negatif
Rp13,6 triliun atau Rp24,5 triliun di bawah PC NDA
sebesar positif Rp10,9 triliun (Grafik 5.6).
Sementara itu, posisi Net International Reserves
(NIR) menunjukkan perkembangan yang meningkat
dan selalu berada di atas PC NIR6 yang ditetapkan
(Grafik 5.7). Pada akhir Desember 2002, posisi NIR
Grafik 5.6Net Domestic Assets
Tabel 5.2Operasi Pasar Terbuka dan Komponennya
PerubahanS B I
PerubahanFA S B I
-44,4-2,44,8
20,1-21,9
32,6-1,2-2,6
-17,511,3
Trw ITrw IITrw IIITrw IVTOTAL
2002 PerubahanO P T
-11,8-3,62,22,6
-10,6
(Triliun Rp)
Grafik 5.7Net International Reserve
Keterangan : (-) Kontraksi / (+) Ekspansi
5 performance criteria NDA adalah batas atas dari NDA pada akhirperiode yang tidak boleh terlampaui.
6 performance criteria (PC) NIR adalah batas bawah dari NIR pada akhirperiode.
79
Moneter
mencapai $21,7 miliar atau $2,9 miliar diatas PC NIR
sebesar $18,8 miliar. Dibandingkan dengan posisi
tahun sebelumnya, NIR mengalami peningkatan
sebesar $3,3 miliar, terutama berasal dari hasil migas
sebesar $4,7 miliar, penerimaan pinjaman luar negeri
sebesar $2,0 miliar, dan penerimaan BPPN sebesar
$1,7 miliar. Penerimaan valas tersebut lebih besar
dibandingkan pengeluaran valas terutama untuk
pembayaran utang luar negeri pemerintah sebesar
$5,1 miliar.
Uang Beredar
Selama 2002, posisi likuiditas perekonomian
yang tercermin dari jumlah uang beredar dalam arti
sempit (M1) dan dalam arti luas (M2) terus
menunjukkan peningkatan walaupun dengan
pertumbuhan yang melambat dibandingkan tahun
sebelumnya. Posisi M1 maupun M2 menunjukkan
peningkatan sepanjang tahun, kecuali pada triwulan
I-2002 (Grafik 5.8 dan 5.9). Selama tahun laporan,
M1 dan M2 mengalami rata-rata pertumbuhan tahunan
masing-masing sebesar 9,85% dan 8,05%, lebih rendah
dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai
19,76% dan 14,74%7. Lambatnya pertumbuhan M2
diantaranya berkaitan dengan menurunnya suku bunga
dana perbankan dan masih belum optimalnya
penyaluran kredit perbankan.
Lambatnya pertumbuhan M1 dan M2 tersebut
diiringi oleh relatif stabilnya angka pengganda uang
(APU), sehingga melambatnya laju pertumbuhan M1-
M2 lebih disebabkan oleh lambatnya pertumbuhan uang
primer (Grafik 5.10). Rata-rata APU1 dan APU2 pada
tahun laporan masing-masing sebesar 1,44 dan 6,95,
Grafik 5.8Perkembangan M1 Nominal
Grafik 5.10APU1, APU2, dan Rasio C/DPK
Grafik 5.9Perkembangan M2 Nominal
7 rata-rata pertumbuhan M2 pada masa sebelum krisis mencapai 24,0%.
80
Moneter
hampir sama dibandingkan tahun sebelumnya. Rata-rata
APU1 dan APU2 tersebut lebih rendah dibandingkan
periode sebelum krisis yang mencapai 1,75 dan 7,96.
Rendahnya pertumbuhan M1 dan M2 dibandingkan laju
inflasi yang terjadi selama 2002 menyebabkan likuiditas
perekonomian secara riil mengalami rata-rata
pertumbuhan yang negatif (Grafik 5.11). Selama 2002,
M1 dan M2 riil rata-rata tumbuh sebesar -1,87% dan
-3,47%, lebih rendah dibandingkan 2001 yang mencapai
7,46% dan 2,96%.
Sampai dengan akhir Desember 2002, M1
mencapai posisi Rp191,9 triliun atau mengalami
peningkatan sebesar Rp14,2 triliun (pertumbuhan
tahunan 7,99%) dibandingkan posisi akhir Desember
2001 (Tabel 5.3). Dilihat dari komponennya, peningkatan
M1 tersebut berasal dari peningkatan uang kartal sebesar
Rp4,3 triliun dan uang giral sebesar Rp9,9 triliun.
Berdasarkan kepemilikannya, peningkatan uang giral
terutama terjadi pada simpanan giro milik perusahaan
swasta. Dalam pada itu, peningkatan uang kartal
sebesar Rp4,3 triliun terutama terjadi pada November
dan Desember 2002 berkaitan dengan meningkatnya
kebutuhan uang kartal menjelang perayaan hari besar
keagamaan dan Tahun Baru (Grafik 5.12).
Sementara itu, dalam periode yang sama, M2
mengalami peningkatan sebesar Rp39,9 triliun
Grafik 5.11Pertumbuhan M1 Riil dan M2 Riil
Grafik 5.12Posisi Uang Kartal dan Simpanan Giro
M2
M1
Uang Kartal
Uang Giral
Uang Kuasi
Deposito dalam Rupiah
Tabungan dalam Rupiah
Simpanan dalam Valas
Faktor yang Mempengaruhi M2
Aktiva Luar Negeri (Bersih)
Bank Indonesia
Bank Umum
Aktiva Dalam Negeri (Bersih)
Tagihan Bersih pada Pemerintah
Bank Indonesia
Bank Umum
Tagihan kepada Sektor Usaha
Total Kredit
Kredit dalam Rupiah
Kredit dalam Valas
Tagihan Lainnya
Lainnya (Bersih)
Rincian 2000 2001 2002 Perubahan2002-2001
844,1
177,7
76,3
101,4
666,3
340,9
170,7
154,8
844,1
234,0
192,6
41,4
610,1
529,7
160,8
368,9
329,2
307,6
202,6
105,0
21,6
-248,8
883,9
191,9
80,7
111,3
692,0
359,8
191,7
140,5
883,9
250,7
212,4
38,3
633,2
510,4
168,5
341,8
389,3
365,4
271,9
93,6
23,9
-266,4
39,9
14,2
4,3
9,9
25,6
18,9
21,0
-14,3
39,9
16,7
19,8
-3,1
23,1
-19,4
7,8
-27,1
60,1
57,8
69,2
-11,4
2,3
-17,7
(Triliun Rp)
747,0
162,2
72,4
89,8
584,8
292,0
152,6
140,2
747,0
210,7
201,2
9,5
536,3
520,3
133,7
386,6
294,9
269,0
152,5
116,5
25,9
-278,9
Tabel 5.3Uang Beredar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
81
Moneter
hingga mencapai posisi Rp883,9 triliun pada akhir
Desember 2002 (pertumbuhan tahunan 4,72%).
Peningkatan tersebut, selain disebabkan oleh
peningkatan M1 juga berasal dari peningkatan uang
kuasi sebesar Rp25,6 triliun.
Dilihat dari komponennya, peningkatan uang
kuasi tersebut terutama terjadi pada deposito dalam
rupiah sebesar Rp18,9 triliun dan tabungan dalam ru-
piah sebesar Rp21,0 triliun (Grafik 5.13). Peningkatan
tersebut lebih besar dibandingkan dengan penurunan
simpanan dalam valas sebesar Rp14,3 triliun. Dengan
perkembangan tersebut posisi deposito dan tabungan
pada akhir tahun masing-masing mencapai Rp359,8
triliun (pertumbuhan tahunan 5,56%) dan Rp191,7
triliun (12,3%). Pertumbuhan deposito rupiah sebesar
5,56% lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun
sebelumnya yang mencapai 16,75%. Hal ini
diprakirakan berkaitan dengan cenderung
menurunnya suku bunga deposito selama 2002 dan
semakin berkembangnya obligasi dan produk reksa
dana yang menjanjikan tingkat return yang lebih tinggi
dari deposito. Sementara itu, penurunan simpanan
valas semata-mata sebagai dampak dari menguatnya
nilai tukar rupiah. Apabila dinilai dalam valuta dolar,
simpanan valas meningkat sebesar $0,8 miliar.
Berdasarkan faktor-faktor yang
mempengaruhi, meningkatnya M2 selama 2002
disebabkan oleh pengaruh ekspansi Aktiva Dalam
Negeri Bersih (NetDomestic Assets/NDA) sebesar
Rp23,1 triliun dan Aktiva Luar Negeri Bersih
(NetForeign Assets/NFA) sebesar Rp16,7 triliun.
Ekspansi NDA tersebut terutama didorong oleh
ekspansi tagihan bersih kepada sektor usaha
(Claims on Business Sector/CBS) sebesar Rp60,1
tril iun sementara tagihan bersih kepada
pemerintah (Net Claims on Government/NCG)
mencatat kontraksi sebesar Rp19,4 triliun. Adapun,
peningkatan NFA terutama berasal dari ekspansi
NFA BI sebesar Rp19,8 triliun yang lebih besar
dibandingkan dengan kontraksi yang terjadi di bank
umum sebesar Rp3,1 triliun.
Ekspansi CBS terjadi karena adanya
peningkatan kredit rupiah sebesar Rp69,2 triliun
yang terutama ditujukan untuk pembiayaan modal
kerja sektor perindustrian, jasa-jasa dunia usaha,
perdagangan dan konstruksi. Selain itu,
peningkatan kredit rupiah tersebut juga disebabkan
peralihan kredit dari BPPN ke perbankan diantaranya
melalui program asset to bond swap8 . Sementara
itu, kredit valas mengalami penurunan sebesar
Rp11,4 tri l iun, yang lebih diakibatkan oleh
menguatnya nilai tukar rupiah. Jika faktor nilai
tukar dihilangkan, kredit valas sampai dengan
Desember 2002 meningkat sebesar $0,4 miliar.
Grafik 5.13Posisi Simpanan Rupiah
8 Asset to bond swap merupakan program pertukaran kredit antaraobligasi pemerintah dengan kredit yang telah direstrukturisasi maupunstraight bond.
82
Moneter
Kontraksi pada NCG sebesar Rp19,4 triliun
bersumber dari kontraksi NCG di Bank Umum sebesar
Rp27,1 triliun, sedangkan NCG di BI mengalami
ekspansi sebesar Rp7,8 triliun. Kontraksi NCG di bank
umum tersebut terutama berkaitan dengan pelunasan
obligasi yang jatuh tempo secara tunai sebesar Rp3,9
triliun, program asset to bond swap sebesar Rp8,7
triliun, serta adanya pengalihan obligasi rekap yang
dimiliki bank kepada pengelola reksa dana. Adapun
ekspansi NCG di BI terutama disebabkan oleh ekspansi
rekening rupiah pemerintah seperti yang telah
diuraikan sebelumnya.
Sementara itu, peningkatan NFA yang terutama
terjadi di BI bersumber dari penerimaan migas,
penerimaan pinjaman luar negeri dan pengelolaan
cadangan devisa yang lebih besar dibandingkan
pengeluaran khususnya untuk pembayaran hutang luar
negeri. Dalam pada itu, penurunan NFA di Bank Umum
sebagian besar berasal dari penurunan tagihan
perbankan kepada bukan penduduk antara lain tagihan
dalam bentuk giro dan call money.
TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER
Penurunan suku bunga instrumen moneter yang
terjadi selama periode laporan diikuti oleh
penurunan suku bunga PUAB dan suku bunga
simpanan perbankan secara signifikan. Namun di
sisi lain, penurunan tersebut belum diikuti oleh
penurunan suku bunga kredit khususnya KMK dan KI
secara proporsional, sementara suku bunga KK
justru sedikit meningkat. Meskipun menurun, suku
bunga KI yang merupakan kredit berjangka waktu
panjang masih cenderung tinggi. Fenomena ini
menunjukkan perbankan lebih cenderung untuk
menyalurkan kredit jangka pendek dibandingkan
kredit jangka panjang.
Masih tersendatnya penyaluran KI yang lebih
berjangka panjang mendorong perusahaan-
perusahaan yang memiliki reputasi baik untuk mencari
dana di pasar modal. Di sisi lain, menurunnya suku
bunga dana telah mendorong sebagian investor
mengalihkan sebagian dananya ke pasar obligasi dan
reksa dana yang memberikan coupon rate atau capi-
tal gain yang lebih menarik.
Suku Bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB)
Perkembangan PUAB selama 2002 menunjukkan
kondisi yang cukup likuid, terlihat dari terus turunnya
suku bunga PUAB. Penurunan suku bunga PUAB ini
searah dengan turunnya suku bunga instrumen
moneter BI khususnya FASBI O/N. Suku bunga PUAB
O/N baik di pagi maupun sore hari turun masing-
masing sebesar 348 bp dan 739 bp dan tercatat pada
posisi 12,42% dan 8,14% di akhir Desember 2002
(Grafik 5.14). Lebih tingginya penurunan suku bunga
di PUAB sore hari berkaitan dengan dipisahkannya
FASBI O/N menjadi pagi dan sore serta ditetapkannya
Grafik 5.14Nilai dan Suku Bunga PUAB Rupiah
83
Moneter
suku bunga FASBI O/N sore yang jauh lebih rendah
dibandingkan pagi hari.
Di PUAB valas dalam negeri, hingga Oktober
suku bunga yang terjadi cenderung stabil dan
selanjutnya terus menurun hingga akhir 2002 (Grafik
5.15). Suku bunga PUAB valas turun sebesar 48 bp
dari 1,73% di akhir 2001 menjadi 1,25% di akhir tahun
laporan. Cenderung turunnya suku bunga PUAB valas
tersebut berkaitan dengan turunnya suku bunga di
luar negeri.
Volume transaksi di PUAB rupiah menunjukkan
pergerakan yang cenderung fluktuatif dan lebih tinggi
dibandingkan dengan 2001. Rata-rata per hari volume
PUAB pagi dan sore meningkat dari Rp1,8 triliun dan
Rp1,4 triliun di 2001 menjadi Rp2,2 triliun dan Rp1,5
triliun. Sementara itu, volume perdagangan PUAB valas
yang terjadi selama 2002 menunjukkan pergerakan
yang lebih rendah dibandingkan dengan 2001. Rata-
rata volume PUAB valas selama 2002 mencapai $155,5
juta per hari, lebih rendah dibandingkan 2001 yang
mencapai $166,7 juta per hari.
Berdasarkan kelompok pelaku di pasar PUAB ru-
piah, bank umum swasta devisa (BUSD) dan non devisa
(BUSND) masih dominan bertindak sebagai bank
pemberi baik di PUAB pagi maupun sore (Grafik 5.16).
Dominannya kelompok BUSD sebagai bank pemberi
berkaitan dengan tingginya kondisi likuiditas bank
tersebut sehubungan dengan besarnya dana yang
diterima terutama berasal dari kupon obligasi rekap.
Sementara itu, bank asing dan campuran selalu menjadi
net peminjam untuk kedua PUAB. Adapun bank persero
selama 2002 lebih banyak bertindak sebagai net
pemberi pada PUAB pagi, namun di PUAB sore
terkadang juga bertindak sebagai net peminjam dalam
jumlah yang relatif kecil.
Grafik 5.16Net Pemberi dan Penerima di PUAB Pagi dan Sore
Grafik 5.15PUAB Valas
84
Moneter
Berdasarkan kelompok pelaku di PUAB valas,
hanya kelompok bank umum swasta devisa (BUSD)
saja yang selalu bertindak sebagai net pemberi,
sementara kelompok bank lainnya sepanjang tahun
bertindak sebagai net peminjam (Grafik 5.17).
Kelompok bank persero masih merupakan peminjam
terbesar di pasar valas, diantaranya berkaitan dengan
upaya untuk memperoleh margin suku bunga dengan
melakukan penempatan di luar negeri.
Suku Bunga Deposito dan Kredit
Seiring dengan penurunan suku bunga PUAB,
suku bunga rata-rata tertimbang deposito perbankan
jangka waktu 1 dan 3 bulan masing-masing turun
sebesar 326 bp dan 361 bp hingga tercatat pada
posisi 12,81% dan 13,63% di akhir 2002. Meskipun
suku bunga rata-rata tertimbang deposito 1 bulan
Tabel 5.4Perkembangan Suku Bunga 20021
SBI1 bulan3 bulan
Fasilitas Simpanan BI (FASBI)O/N2-6 hari7 hari
Pasar Uang Antar BankPuab O/N pagiPuab O/N sorePuab O/N valas
Suku Bunga Penjaminan Dep 1 bl Dep 3 bl PUAB rupiah PUAB valas
Deposito1 bulan- Counter rate- Rata-rata tertimbang(LBU)3 bulan6 bulan12 bulan
KreditModal kerjaInvestasiKonsumsi
Jenis20022001
IV I I I I I I IV2002
17,6217,63
15,1315,3815,88
15,9015,53
1,73
17,8818,0415,69
2,05
13,7716,0717,2416,1815,48
19,1917,9019,85
16,7616,89
15,1315,3815,88
15,6615,431,66
17,8718,3218,151,70
13,9515,6417,0216,2616,13
19,3518,0320,11
15,1115,18
14,1314,3814,88
14,5414,471,81
16,7319,9214,951,67
13,6214,7615,8515,7316,23
19,0818,1120,28
13,2214,11
12,6312,8813,13
12,9311,291,71
15,1215,2113,731,67
12,7113,5014,3614,8115,99
18,7418,1120,1
-4,69-4,51
-3,00-3,00-3,38
-3,48-7,39-0,48
-3,55-3,60-2,97-0,74
-1,86-3,26-3,61-2,39-0,20
-0,94-0,080,36
1) Akhir periode2) Suku bunga sesi pagi
Grafik 5.17Net Pemberi dan Penerima di PUAB Valas
12,9313,12
12,1312,3812,50
12,428,141,25
14,3314,4412,72
1,31
11,9112,8113,6313,7915,28
18,2517,8220,21
2
(Persen)
85
Moneter
masih lebih rendah dibandingkan dengan suku bunga
SBI pada tenor yang sama, yaitu sebesar 12,93%,
namun dengan lebih cepatnya penurunan SBI
dibandingkan suku bunga deposito, perbedaan yang
terjadi semakin tipis (Tabel 5.4). Hal ini berkaitan
dengan berpengaruhnya juga suku bunga penjaminan
terhadap pergerakan suku bunga deposito. Selama
tahun laporan suku bunga penjaminan deposito 1 dan
3 bulan hanya turun sebesar 355 bp dan 360 bp hingga
mencapai 14,33% dan 14,44% di Desember 2002.
Penurunan suku bunga penjaminan ini, selain
didorong oleh penurunan rata-rata deposito beberapa
bank JIBOR, juga didorong oleh penurunan margin
penjaminan. Margin penjaminan deposito ini masing-
masing turun sebesar 100 bp pada April dan Juni
2002. Dengan penurunan tersebut, margin
penjaminan antara suku bunga rata-rata bank JIBOR
dengan suku bunga penjaminan secara total hanya
tinggal 200 bp dibandingkan dengan akhir 2001 yang
mencapai 400 bp.
Penurunan suku bunga simpanan perbankan
tersebut ternyata tidak diikuti oleh penurunan suku
bunga kredit dengan pergerakan yang sama, bahkan
suku bunga KK menunjukkan sedikit peningkatan
(Grafik 5.18). Suku bunga KMK dan KI hanya turun
sebesar 94 bp dan 8 bp dibandingkan dengan posisi
akhir 2001, hingga masing-masing berada pada
posisi 18,25 % dan 17,82% di Desember 2002.
Sementara itu, suku bunga KK meningkat sebesar
36 bp, hingga berada pada posisi 20,21% di
Desember 2002. Tingkat suku bunga KMK yang mulai
turun sejak triwulan II-2002 tersebut telah lebih
rendah dibandingkan masa sebelum krisis yang
berkisar 19,0%. Sementara itu, tingkat suku bunga
KI yang baru menunjukkan sedikit penurunan sejak
Oktober 2002 tersebut masih lebih tinggi
dibandingkan dengan sebelum krisis yang berkisar
antara 16,0% hingga 16,5%. Rigid-nya pergerakan
suku bunga KI ini disebabkan oleh masih tingginya
persepsi risiko perbankan terhadap penyaluran
kredit yang bersifat jangka panjang yang
menyebabkan perbankan cenderung menyalurkan
kredit yang berjangka pendek. Hal ini tercermin
dari pertumbuhan KI yang rendah. Di sisi
permintaan, rendahnya pertumbuhan KI juga
mencerminkan masih tingginya risiko dunia usaha.
Meskipun suku bunga kredit relatif tinggi, namun
permintaan akan kredit perbankan cenderung
meningkat khususnya KMK dan KK. Meningkatnya KMK
terkait dengan menurunnya suku bunga jenis kredit
ini dan masih tingginya kebutuhan perusahaan dalam
memanfaatkan kapasitas produksi yang masih
tersedia. Sementara itu, meningkatnya KK ditengah
masih tingginya suku bunga jenis kredit ini lebih
disebabkan oleh relatif rendahnya risiko yang dihadapi
perbankan dalam menyalurkan KK. Selain itu,
peningkatan KK ini juga sejalan dengan masih
Grafik 5.18Suku Bunga Perbankan
86
Moneter
rendahnya tingkat leverage ratio (rasio antara cicilan
utang terhadap pendapatan) di sektor rumah tangga
dan adanya reorientasi kredit perbankan dari sektor
korporat ke sektor retail.
Pada awal tahun, beberapa indikator suku bunga
riil, seperti SBI dan simpanan perbankan sempat
menunjukkan peningkatan, namun di akhir tahun suku
bunga riil cenderung menurun. Penurunan suku bunga
riil ini berkaitan dengan lebih cepatnya penurunan suku
bunga secara nominal dibandingkan dengan penurunan
inflasi yang terjadi. Kondisi ini telah menyebabkan
posisi SBI 1 dan 3 bulan riil pada akhir Desember 2002
berada pada posisi 2,90% dan 3,09%, jauh lebih rendah
dibandingkan dengan akhir 2001 yang mencapai 5,07%
dan 5,08%. Dengan arah pergerakan yang sama dengan
SBI, suku bunga deposito riil baik 1 dan 3 bulan pada
akhir tahun laporan juga turun mencapai 2,78% dan
3,60%, lebih rendah dibandingkan posisi akhir 2001
sebesar 3,52% dan 4,69% (Grafik 5.19).
Meskipun cenderung menurun, suku bunga riil
Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan suku
bunga riil beberapa negara Asia lainnya seperti Thai-
land, Korea Selatan, dan Malaysia, kecuali Filipina
(Grafik 5.20). Suku bunga riil di ketiga negara
tersebut hanya berkisar antara 1% hingga 2%. Dengan
demikian, kisaran suku bunga deposito riil yang
terjadi saat ini dirasa masih cukup kompetitif untuk
menjaga minat masyarakat untuk menanamkan
dananya di perbankan dalam negeri.
Pasar Modal
Seiring dengan masih tingginya suku bunga
kredit perbankan yang berjangka waktu panjang,
perusahaan-perusahaan yang memiliki reputasi baik
berusaha untuk mendapatkan dana di pasar modal.
Di sisi investor, menurunnya suku bunga simpanan
perbankan mendorong sebagian investor untuk
mengalihkan penanaman dananya ke pasar obligasi
dan reksa dana. Di pasar obligasi korporasi, total
perusahaan yang melakukan IPO pada 2002 mencapai
12 perusahaan dengan nilai Rp5,3 triliun, meningkat
dibandingkan 2001 yang hanya mencapai 6
perusahaan dengan nilai Rp2,9 triliun. Dengan
perkembangan tersebut, jumlah perusahaan yang
telah memperoleh pernyataan “efektif melakukan
penawaran umum obligasi” mencapai 100 emiten
Grafik 5.19Suku Bunga Riil
Grafik 5.20Suku Bunga Deposito Riil Beberapa Negara
87
Moneter
dengan total nilai emisi Rp37,2 triliun di 2002. Posisi
tersebut meningkat dibandingkan akhir 2001 sebanyak
94 perusahaan dengan nilai emisi Rp31,7 triliun.
Adapun total obligasi yang beredar di pasar sekunder
mencapai nilai Rp20,6 triliun, relatif sama
dibandingkan dengan 2001.
Meningkatnya transaksi masyarakat di pasar
obligasi dan menurunnya suku bunga simpanan
perbankan, juga telah mendorong semakin
maraknya perdagangan pasar reksa dana terutama
pada jenis penanaman yang berpendapatan tetap
(boks: Perkembangan Reksa Dana di Indonesia).
Dari s is i produk, jumlah reksa dana yang
diterbitkan mengalami peningkatan dari 108 jenis
di akhir 2001 menjadi 131 jenis pada 2002. Adapun
jumlah pemegang unit penyertaan meningkat
cukup signifikan dari 51.723 unit di tahun 2001
menjadi 125.820 unit, dengan Nilai Aktiva Bersih
(NAB) dari hanya Rp8,0 triliun di akhir 2001
menjadi Rp46,61 triliun di 2002.
Relatif rigid-nya suku bunga pinjaman di
sektor perbankan juga telah mendorong dunia
usaha untuk mencari dana di pasar saham. Hal ini
terlihat dari meningkatnya posisi penawaran umum
perdana (IPO) dan penawaran terbatas (right is-
sue) di pasar saham. Jumlah perusahaan yang
melakukan IPO di pasar saham selama 2002 telah
mencapai 20 perusahaan dengan nilai mencapai
Rp1,2 triliun, lebih tinggi dibandingkan 2001 yang
mencapai Rp1,1 tr i l iun dengan jumlah 32
perusahaan. Selain itu, total right issue yang
terjadi juga meningkat dari Rp4,2 triliun dengan
13 perusahaan pada 2001 menjadi Rp8,7 triliun
dengan 12 perusahaan pada 2002.
Sementara itu, kinerja transaksi di pasar saham
lebih didorong oleh faktor-faktor yang bersifat
sentimen dan perkembangan bursa di luar negeri
dibandingkan dengan perkembangan suku bunga
yang terjadi. Seiring dengan menguatnya nilai tukar
rupiah dan relatif stabilnya kondisi politik dan
keamanaan di dalam negeri, pasar saham sempat
membaik selama empat bulan pertama 2002. Dalam
periode ini indeks harga saham gabungan di Bursa
Efek Jakarta (BEJ) sempat meningkat hingga
menembus angka tertinggi yang merupakan posisi
tertinggi sejak Mei 2000 (Grafik 5.21). Namun
demikian, perkembangan saham tersebut kembali
menunjukkan arah yang terus memburuk hingga
akhir Oktober dan ditutup sedikit membaik di akhir
tahun.
Di awal tahun, membaiknya kondisi pasar modal
didorong oleh faktor eksternal maupun internal. Dari
faktor eksternal, membaiknya prakiraaan ekonomi
global telah mendorong peningkatan indeks di bursa
saham internasional yang juga berpengaruh terhadap
kinerja perdagangan saham di dalam negeri. Indeks
Dow Jones sempat mencapai posisi 10.635 dan Nikkei
Grafik 5.21Perkembagan IHSG dan LQ 45
88
Moneter
11.980 (Grafik 5.22). Selain faktor eksternal di atas
beberapa faktor dari dalam negeri juga turut
membantu mendorong membaiknya pasar modal
seperti:
1. Menguatnya nilai tukar rupiah dan relatif
stabilnya kondisi politik dan keamanan di dalam
negeri.
2. Keberhasilan pemerintah dalam penjadwalan
kembali utang luar negeri di forum Paris Club
yang dilanjutkan dengan penjadwalan kembali
utang dalam London Club.
3. Keberhasilan program divestasi 51% saham
pemerintah di BCA yang berhasil memberikan
sentimen positif terhadap iklim investasi di
dalam negeri.
Kondisi tersebut telah meningkatkan IHSG dan
LQ 45, yang merupakan indikator kinerja 45 saham
terlikuid di BEJ, hingga masing-masing sempat
menembus level tertinggi selama 2002 sebesar
551,60 dan 122,09. Sementara posisi keduanya pada
akhir 2001 hanya sebesar 392,03 dan 80,06.
Namun demikian seiring dengan memburuknya
kondisi bursa regional dan internasional berkaitan
dengan skandal keuangan pada perusahaan-perusahaan
besar AS menyebabkan IHSG terdorong melemah.
Kondisi tersebut juga didorong oleh peristiwa-peristiwa
di dalam negeri yang dinilai berdampak negatif bagi
perkembangan bursa. Beberapa faktor tersebut
diantaranya adalah keputusan pailit PT. Asuransi Manulife
Indonesia, penundaan divestasi Bank Niaga dan tidak
tercapainya target divestasi saham pemerintah di
Indosat. Menurunnya kinerja bursa saham di dalam
negeri semakin diperburuk lagi oleh tragedi Bali pada
pertengahan Oktober sehingga IHSG dan LQ 45 sempat
mencapai posisi terendahnya sejak 1999 yaitu pada
posisi 337,48 dan 69,09. Posisi IHSG dan LQ 45 ini ditutup
sedikit membaik, masing-masing pada posisi 424,95
dan 91,98 pada akhir Desember 2002.
Arah perkembangan yang sama juga terjadi
pada indikator kinerja pasar modal lainnya seperti
nilai dan volume perdagangan saham, kapitalisasi
pasar, dan net beli (jual) asing. Selama 2002,
pergerakan nilai dan volume perdagangan saham
searah dengan pergerakan IHSG. Perdagangan
saham sempat mencapai total volume sebesar
35,72 miliar lembar saham dengan nilai Rp20,3
Grafik 5.23Nilai dan Volume Perdagangan
Grafik 5.22Pergerakan Indeks Saham di Beberapa Bursa
89
Moneter
triliun pada April 2002, yang selanjutnya menurun
menjadi 6,23 miliar lembar dengan nilai Rp10,2
triliun di Desember 2002. Nilai perdagangan saham
tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan akhir
2001 yang mencapai Rp6,6 triliun (Grafik 5.23).
Sementara itu, nilai kapitalisasi pasar juga
menunjukkan arah perkembangan yang sama, yaitu
sempat mencapai nilai tertinggi pada posisi Rp344
triliun dengan jumlah 889,9 miliar lembar saham di
April dan kemudian cenderung menurun hingga akhir
2002 tercatat pada posisi Rp268,8 triliun dengan jumlah
939,5 miliar lembar saham. Nilai kapitalisasi pasar
tersebut sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan akhir
2001 yang mencapai Rp239,3 triliun dengan jumlah
saham hanya 884,2 miliar lembar.
Posisi net beli asing yang sempat mencapai posisi
yang tinggi pada Juli 2002 sebesar Rp1,0 triliun, terus
menurun bahkan sempat terjadi net jual sebesar Rp17,1
miliar di November (Grafik 5.24). Net beli asing tersebut
kembali meningkat tajam pada akhir tahun hingga
mencapai Rp4,8 triliun, berkaitan dengan keberhasilan
proses divestasi yang menyebabkan membaiknya
beberapa harga saham unggulan. Seiring dengan itu,
persentase rata-rata nilai perdagangan asing terhadap
total perdagangan selama 2002 menunjukkan
kecenderungan yang terus menurun sejak Juli hingga
November dan kembali mencatat peningkatan tertinggi
sebesar 24,0% di akhir tahun laporan.
Obligasi Pemerintah
Menurunnya suku bunga instrumen moneter dan
perbankan selama 2002 juga telah berdampak pada
perubahan komposisi obligasi pemerintah dan volume
perdagangannya di pasar sekunder sebagai berikut :
1. Meningkatnya jumlah obligasi variable rate (VR)
akibat penggantian beberapa jenis obligasi
lainnya yang jatuh tempo dengan jenis VR.
2. Meningkatnya permintaan akan obligasi
pemerintah di pasar sekunder oleh kelompok
nonbank.
3. Meningkatnya perdagangan obligasi bunga tetap
(FR) di pasar sekunder.
4. Menurunnya yield obligasi secara umum terutama
terjadi pada seri FR sehingga mendorong
meningkatnya harga jenis obligasi ini.
Sejak dikeluarkannya obligasi pemerintah
pada 28 Mei 1999 sampai 31 Oktober 2000 total
obligasi yang diterbitkan mencapai Rp430,4 triliun.
Posisi tersebut terus mengalami perubahan hingga
mencapai Rp419,4 triliun di akhir 2002, menurun
dibandingkan dengan posisi akhir 2001 yang
mencapai Rp435,3 triliun (Tabel 5.5). Berdasarkan
komposisinya, posisi obligasi di akhir 2002 tersebut
sebagian besar merupakan jenis variable rate (VR)
yang mencapai Rp239,6 triliun atau mencapai 57,1%
dari total, diikuti oleh obligasi bunga tetap (FR)
sebesar Rp154,5 triliun (36,8%), dan hedge bond
Grafik 5.24Net Beli/Jual Asing
90
Moneter
(HB) Rp25,3 triliun (6,0%). Komposisi obligasi FR dan
HB tersebut mengalami penurunan dibandingkan
dengan 2001 sementara posisi obligasi VR cenderung
meningkat. Hal ini berkaitan dengan cenderung
turunnya suku bunga perbankan yang mendorong
pemerintah mengganti beberapa obligasi jenis FR dan
HB yang jatuh tempo ke jenis VR.
Penurunan dan perubahan komposisi obligasi
selama 2002 antara lain disebabkan oleh:
1. Penukaran obligasi seri FR yang jatuh tempo
dengan VR milik beberapa bank (total Rp24,8
triliun) pada Maret 2002. Penukaran sebagian
besar obligasi jatuh tempo ini berkaitan dengan
semakin menurunnya suku bunga SBI 3 bulan.
2. Pelunasan secara tunai obligasi seri VR0001
yang jatuh tempo sebesar Rp3,9 triliun pada
Juli 2002.
3. Pelunasan obligasi seri VR sebesar Rp7,2 triliun
dan FR sebesar Rp1,5 triliun melalui program
asset to bond swap sejak Agustus hingga
Desember. Program ini merupakan pertukaran
antara obligasi pemerintah dengan kredit yang
telah direstrukturisasi maupun straight bond
(kredit yang tidak mengandung unsur ekuitas)
di BPPN. Program ini ditujukan untuk mengurangi
beban kewajiban pembayaran kupon dan pokok
obligasi pemerintah yang jatuh tempo.
4. Penukaran obligasi HB yang jatuh tempo sebesar
Rp10,0 triliun dengan obligasi seri VR sebesar
Rp6,5 triliun dan FR sebesar Rp3,5 triliun yang
akan jatuh tempo 2008 hingga 2011.
5. Indeksasi obligasi seri HB yang menyesuaikan
dengan menguatnya nilai tukar selama 2002.
6. Selain itu, pada November 2002 pemerintah telah
melakukan reprofiling obligasi pemerintah senilai
Rp171,8 triliun yang dimiliki oleh 4 bank BUMN-
rekap. Program ini dilakukan dengan melunasi
obligasi yang jatuh tempo antara 2004-2009 dengan
Tabel 5.5Perkembangan Posisi Obligasi Pemerintah
Menurut Seri Fixed Rate Variable Rate Hedge Bond
Menurut Portofolio Investasi Perdagangan - Bebas diperdagangkan - Yang diagunkan
Menurut Kepemilikan Departemen Keuangan Bank-Rekap Bank Non-Rekap Sub-Registry
Jenis Total ObligasiRekap*
Pangsa(%)
2001Pangsa
(%)2002
Pangsa(%)
430.422167.217226.39836.807
430.422430.422
-
430.422430.422
100,0038,8552,608,55
100,00100,00
100,00100,00
435.303 175.464 219.479 40.360
435.303 370.649 64.654 61.184 3.470
435.303 878 396.631 24.773 13.022
100,0040,3150,429,27
100,0085,1514,8594,6
5,4
100,00 0,20 91,12 5,69 2,99
419.356154.456239.602
25.299
419.356319.643
99.71399.713
419.356 872,5 359.872 13.829 44.782
100,0036,8357,146,03
100,0076,2223,78100,0
0,0
100,00 0,21 85,82 3,30 10,68
* Total obligasi rekapitalisasi perbankan sejak tanggal 28 Mei 1999 s.d. 31 Oktober 2000
(Miliar Rp)
91
Moneter
menerbitkan obligasi seri baru sebagai pengganti
dengan jangka waktu yang lebih panjang antara
2010-2020
Di pasar sekunder, jumlah portofolio
perdagangan obligasi menunjukkan peningkatan yang
signifikan seiring dengan semakin meningkatnya
persentase obligasi pemerintah yang boleh
diperdagangkan. Jumlah obligasi pemerintah yang
boleh diperdagangkan mengalami peningkatan dari
hanya 25% menjadi 100% dari seluruh portofolio yang
dimiliki. Meskipun demikian, jumlah portofolio yang
diperdagangan hanya meningkat dari Rp64,7 triliun
(14,9% dari total obligasi) di 2001 menjadi Rp99,7
triliun (23,6%) di Desember 2002. Peningkatan
portofolio perdagangan ini mencerminkan masih
tingginya kebutuhan likuiditas bank-bank peserta
rekapitalisasi, meningkatnya permintaan pasar
terhadap obligasi pemerintah, dan pemenuhan dana
guna pelunasan kewajiban sebagian bank rekap
kepada BPPN.
Perdagangan obligasi di pasar sekunder tersebut
cenderung meningkat tinggi selama 2002 mencapai
rata-rata Rp475,2 miliar per hari, jauh meningkat dari
tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp256,5 miliar
per hari. Perdagangan di pasar sekunder tersebut
mencapai puncaknya pada Agustus 2002 yang mencapai
rata-rata Rp754,7 miliar per hari (Grafik 5.25). Jenis
transaksi obligasi di pasar sekunder dapat dibedakan
atas transaksi repo (jual dengan kewajiban pembelian
kembali) dan outright (jual putus). Dari keseluruhan
total transaksi, jenis transaksi outright lebih
mendominasi dibandingkan transaksi repo (Grafik
5.26). Sementara itu dari transaksi outright tersebut,
obligasi seri FR merupakan jenis obligasi yang paling
banyak diminati oleh investor dibandingkan dengan
seri VR. Kondisi ini berlawanan dengan tahun 2001.
Berdasarkan komposisi kepemilikannya setelah
transaksi di pasar sekunder, pangsa kepemilikan
obligasi rekap terbesar masih berada di bank peserta
rekapitalisasi yang mencapai Rp359,9 triliun atau
85,8% dari total obligasi (Grafik 5.27). Pangsa
kepemilikan tersebut diikuti oleh kelompok sub-
registry, yang terdiri atas beberapa lembaga keuangan
nonbank dan masyarakat, mencapai Rp44,8 triliun
(10,7%). Pangsa kepemilikan oleh kelompok sub-
registry tersebut meningkat dibandingkan 2001 yang
Grafik 5.26Perkembangan Volume Transaksi Perdagangan
Obligasi Menurut Jenis Transaksi
Grafik 5.25Perkembangan Volume dan Frekuensi Transaksi
Perdagangan Obligasi Pemerintah
92
Moneter
hanya sebesar Rp13,02 triliun (3,0%). Peningkatan
kepemilikan oleh kelompok sub-registry ini dipicu oleh
cenderung menurunnya suku bunga deposito dan
kurang menariknya kondisi pasar modal selama 2002.
Adapun kepemilikan obligasi oleh bank nonrekap
mencapai Rp13,8 triliun (3,3%), jauh menurun
dibandingkan dengan posisi akhir 2001 sebesar
Rp24,8 triliun. Sementara itu, kepemilikan asing atas
obligasi pemerintah masih sangat kecil dengan
proporsi sekitar 0,14% pada 2002. Jumlah kepemilikan
asing tersebut mengalami peningkatan dari Rp38,0
miliar pada 2001 menjadi Rp611,1 miliar pada 2002.
Grafik 5.27Kepemilikan Obligasi Pemerintah
Perdagangan obligasi pemerintah selama
2002 selain dipengaruhi oleh menurunnya suku
bunga SBI juga diwarnai oleh isu reprofiling.
Kedua faktor tersebut telah berpengaruh terhadap
menurunnya obligasi terutama untuk obligasi
berjangka waktu pendek dan jenis FR. I su
reprofiling telah memberikan sentimen positif
kepada pasar karena penyebaran maturity obligasi
pada jangka waktu yang lebih panjang akan
semakin memberikan keyakinan pasar akan
kemampuan pemerintah untuk membayar
kembali.
93
Moneter
Perkembangan Dana Masyarakat yangDikelola Manajer Investasi Tahun 1995-2002
2,585,208,755,399,05
10,2515,8856,09
19951996199719981999200020012002
Tahun Dana Masyarakat
Sumber : Statistik Pasar Modal, Bapepam
Investasi dalam bentuk reksa dana telah
diperkenalkan sejak 1996 yang meliputi
penanaman dana dalam bentuk reksa dana fixed
income, reksa dana equity, reksa dana mixed
antara keduanya, serta reksa dana dalam bentuk
pasar uang. Sampai dengan Desember 2002
terdapat 131 macam jenis reksa dana yang telah
diterbitkan oleh lembaga keuangan yang ada di
Indonesia. Perkembangan reksa dana mulai
semakin marak pada 2002 karena sekitar 60%
pemasaran dari reksa dana tersebut
menggunakan marketing channeling perbankan.
tertentu dari para pengelola dana (fund manager)
tersebut. Kegiatan usaha baru bank sebagai agen
reksa dana ini telah mampu mengumpulkan dana
masyarakat sekitar Rp27 triliun per Oktober 2002
atau sekitar 60,0% dari total dana masyarakat yang
terkumpul melalui produk reksa dana.
Pada umumnya reksa dana yang dijual adalah
reksa dana pendapatan tetap dengan tingkat
pengembalian (return) berkisar antara 10,0%-
14,0% dengan rata-rata pengembalian sebesar
12,0%-13,0% setahun. Bahkan ada reksa dana
pendapatan tetap dari sebuah BUSN per Oktober
2002 dapat mencetak tingkat pengembalian hingga
18,94% dalam satu tahun. Selain itu, bank juga
menjual reksa dana pasar uang, campuran bahkan
reksa dana saham dengan tingkat pengembalian
lebih tinggi hingga mencapai 40,0% setahun.
Pertumbuhan investasi reksa dana dalam
setahun terakhir terus memperlihatkan kenaikan
yang sangat pesat. Dari grafik di bawah terlihat
bahwa dana masyarakat yang berhasil dihimpun
dan dikelola oleh Manajer Investasi (MI) pada
Januari 2002 hanya mencapai Rp16,62 triliun
kemudian menjadi Rp56,09 triliun pada Desember
2002 atau mengalami kenaikan sebesar 237,48%.
Sedangkan nilai aset bersih reksa dana mengalami
peningkatan dari Rp8,53 triliun pada bulan Januari
2002 menjadi Rp46,61 triliun pada Desember
2002. Reksa dana pendapatan tetap mencapai
Nilai Aset Bersih (NAB)terbesar sebesar Rp37,34
bo
ks
Perkembangan Reksa Dana di Indonesia
Saat ini telah banyak bank-bank yang menjadi
agen dari penjualan reksa dana, yaitu sekitar 12
bank, dimana 6 bank merupakan bank asing dan 6
bank lainnya merupakan bank umum swasta
nasional (BUSN) dan bank campuran. Atas jasa
layanan tersebut bank menerima imbalan (fee)
(Triliun Rp)
94
Moneter
faktor-faktor tersebut adalah : (i) suku bunga SBI
dalam setahun terakhir yang terus menunjukkan
trend menurun yang diikuti oleh penurunan suku
bunga simpanan bank, (ii) reksa dana yang
berumur kurang dari 5 tahun tidak terkena pajak
atas capital gain ataupun kuponnya sesuai
Undang-Undang Pajak No. 17 tahun 2000, dan (iii)
sejak Agustus 2002 manajer investasi dapat
berinvestasi pada efek-efek luar negeri sebesar
15,0% dari total dana kelolaan.
Dari sisi bank, faktor yang mempengaruhi
adalah : (i) perbaikan atas struktur aset bank
untuk meningkatkan likuiditas dan penghasilan
dari obligasi pemerintah di saat penyaluran dana
pada kredit belum optimal; (ii) penurunan cost
of fund karena beralihnya simpanan masyarakat
dari deposito ke giro milik MI.
Perkembangan pesat reksa dana
diperkirakan masih akan berlanjut terus
mengingat proporsi reksa dana dari total investasi
masyarakat baru mencapai 6,29%, bila
dibandingkan dengan proporsi simpanan
masyarakat pada DPK yaitu 93,71% dimana deposito
mencapai 53,4% dari komposisi DPK. Kondisi ini
masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan di
Malaysia dan AS yang investasi masyarakat pada
reksa dananya telah mencapai 50,0% serta 60,0%
dari total investasinya.
Adapun risiko-risiko dari produk reksa dana
ini bagi nasabah meliputi :
· Risiko kredit : risiko menurunnya NAB jika
terjadi wanprestasi/kebangkrutan dari
triliun atau pangsanya mencapai 80,11% dari
NAB total reksa dana yang mencapai Rp46,61
triliun. Komposisi reksa dana pendapatan tetap
tersebut sebagian besar terdiri dari obligasi
pemerintah yang dianggap merupakan
instrumen yang bebas dari risiko (risk free)
sebagaimana terl ihat dari pertumbuhan
kepemilikan obligasi pemerintah oleh reksa
dana yang meningkat.
Pertumbuhan investasi reksa dana yang
sangat cepat dalam setahun terakhir tersebut
dipicu oleh beberapa faktor. Dari sisi nasabah
Perkembangan Dana Masyarakat yang DikelolaReksa Dana
Kepemilikan Obligasi Pemerintah olehReksa Dana dan Perbankan 2002
95
Moneter
manajer investasi dan penerbit surat
berharga (emiten);
· Risiko likuiditas : dalam hal terjadi
penjualan kembali (redemption) secara
massal dalam jangka waktu singkat oleh
pemegang unit penyertaan maka dapat
terjadi risiko penundaan dalam pelunasan
portofolio.
· Risiko harga : risiko terjadinya penurunan
NAB akibat perubahan harga pasar dari
portofolio.
Sementara itu, bagi bank yang bertindak
sebagai agen dari reksa dana maka timbul pula
risiko reputasi yang dapat berubah menjadi
tuntutan hukum dari nasabah kepada bank akibat
terjadi kesalahpahaman nasabah bahwa reksa
dana yang dijual bank merupakan produk bank
serta dijamin pula oleh program penjaminan
simpanan nasabah.
Pertumbuhan yang sangat cepat dari investasi
reksa dana tersebut juga harus diiringi dengan
pengawasan dan monitoring yang lebih ketat lagi
oleh Bapepam terhadap lembaga-lembaga penerbit
reksa dana tersebut.
Untuk mengantisipasi perkembangan
tersebut, dalam jangka panjang diperlukan
pengkajian dan pembahasan yang mendalam guna
melindungi kepentingan nasabah dan bank melalui
pengaturan :
(i) Lembaga kustodian yang digunakan MI harus
berupa lembaga bank
(ii) Kemungkinan pengaturan komposisi
portofolio Manajer Investasi agar terdiri dari
efek-efek yang telah di rating dan tercatat
di bursa efek;
(iii) Pembatasan prosentase pembelian efek tidak
hanya dari satu perusahaan namun dari satu
grup usaha.
97
Neraca Pembayaran
NERACA PEMBAYARAN6B A B
D alam tahun laporan, secara keseluruhan
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI)
menunjukkan perbaikan dibandingkan tahun
sebelumnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan naiknya
surplus neraca transaksi berjalan dan turunnya defisit
lalu lintas modal (LLM). Kenaikan surplus transaksi
berjalan disumbang oleh peningkatan ekspor yang
lebih besar dibandingkan dengan peningkatan
impor. Dari sisi transaksi modal, penurunan defisit
LLM terutama berkaitan dengan keberhasilan
penjadwalan kembali utang luar negeri (ULN) baik
pemerintah maupun swasta.
Walaupun kinerja ekspor dalam tahun laporan
telah menunjukkan perbaikan, namun perkembangan
ekspor tersebut masih menghadapi beberapa
permasalahan yang berasal dari sisi eksternal dan
internal. Dari sisi eksternal, ekspor Indonesia
dipengaruhi oleh masih lesunya kondisi
perekonomian dunia terutama di beberapa negara
maju yang merupakan pasar utama ekspor Indone-
sia. Di samping itu, perkembangan ekspor Indone-
sia juga masih menghadapi beberapa masalah
sehubungan dengan semakin tajamnya persaingan
global dalam perdagangan internasional dan semakin
ketatnya standar kualitas beberapa komoditi yang
diterapkan di beberapa negara mitra dagang. Dari
s i s i internal , k inerja ekspor se lama 2002
dipengaruhi o leh berbagai permasalahan
struktural seperti masalah perburuhan, penegakan
hukum, kondisi keamanan, dan masih rendahnya
kegiatan penanaman modal. Hal ini juga tercermin
dari turunnya impor nonmigas dalam bentuk bahan
baku dan barang modal yang sebagian besar
ditujukan untuk kegiatan industri yang menunjang
ekspor.
Dari sisi LLM, semakin menurunnya defisit
LLM swasta terkait dengan hasil privatisasi dan
divestasi, penjadwalan kembali ULN swasta,
penerbitan obligasi beberapa perusahaan di luar
negeri dan meningkatnya penarikan pinjaman oleh
perusahaan penanaman modal as ing (PMA).
Sedangkan turunnya defisit LLM pemerintah
terutama berasal dar i penjadwalan kembali
pembayaran pokok dan bunga ULN pemerintah dan
peningkatan realisasi penarikan pinjaman dari IMF.
Dengan perkembangan tersebut di atas,
secara keseluruhan NPI pada 2002 mengalami sur-
plus sebesar $3,6 miliar, meningkat dibandingkan
dengan tahun sebelumnya yang mencatat defisit
sebesar $1,4 miliar. Dengan peningkatan surplus
Neraca Pembayaran Indonesia menunjukan perkembangan yangmembaik terutama didukung oleh menurunnya defisit lalu lintas modalhasil dari restrukturisasi utang luar negeri dan meningkatnya surplustransaksi berjalan.
98
Neraca Pembayaran
membentuk Tim Koordinasi Peningkatan Kelancaran
Arus Barang Ekspor dan Impor1 untuk merumuskan
langkah kebijakan yang terpadu dan terkoordinasi
guna menunjang dan meningkatkan kelancaran arus
barang serta meningkatkan daya saing ekspor Indo-
nesia. Selain itu, dalam rangka meningkatkan nilai
tambah ekspor komoditas pertambangan serta
mendukung tetap terpeliharanya kelestarian
lingkungan, pemerintah menetapkan kembali barang
yang diatur, diawasi, dan dilarang ekspornya.2 Untuk
mendorong kegiatan industri pengolahan, pemerintah
mengatur tata cara impor mesin dan peralatan mesin
bukan baru3 dengan menetapkan kriteria mesin dan
peralatan mesin bukan baru yang dapat diimpor dan
ketentuan mengenai uji kelaikan barang impor
tersebut. Di samping berbagai kebijakan untuk
mendorong ekspor dan impor, Bank Indonesia juga
terus berupaya meningkatkan sistem pemantauan
kegiatan lalu lintas devisa (LLD) masyarakat. Setelah
mewajibkan bank menyampaikan laporan kegiatan
LLD sejak tahun 2000, kewajiban tersebut kini
diperluas untuk perusahaan bukan lembaga keuangan
(Boks: Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh
Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan).
Dalam rangka mengurangi tekanan terhadap
neraca modal, pemerintah telah menempuh upaya
penjadwalan kembali ULN pemerintah melalui fase
kedua Paris Club (PC) II, dan PC III serta London Club.
tersebut, posisi cadangan devisa pada akhir 2002
tercatat sebesar $31,6 miliar (Tabel 6.1).
Perkembangan yang cukup menggembirakan
pada NPI tidak terlepas dari berbagai kebijakan yang
diambil pemerintah di bidang ekspor dan impor serta
LLM. Di bidang ekspor dan impor, pemerintah
2 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 575/MPP/KEP/VIII/2002 tentang Perubahan Atas Lampiran Keputusan MenteriPerindustrian dan Perdagangan No. 558/MPP/KEP/12/1998 tentangKetentuan Umum Dibidang Ekspor Sebagaimana Telah Diubah BeberapaKali Terakhir Dengan Keputusan Menteri Perindustrian danPerdagangan No. 443/MPP/KEP/5/2002, tanggal 6 Agustus 2002.
3 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 756/MPP/II/2002 tentang Impor Mesin dan Peralatan Mesin Bukan Baru, tanggal12 November 2002.
1 Keputusan Presiden RI No. 54 Tahun 2002 tentang Tim KoordinasiPeningkatan Kelancaran Arus Barang Ekspor dan Impor, tanggal 23 Juli2002.
Tabel 6.1Neraca Pembayaran IndonesiaTabel 6.1Neraca Pembayaran Indonesia
2002*
(Miliar $)
7,323,158,045,312,76,75,70,3
-34,8-28,3-6,6-6,3-0,3
-15,9-11,6-4,2-2,1-2,1-3,6-0,61,3-1,8-3,0-6,93,93,7-0,1-3,6
31,6
6,63,9
A. Transaksi Berjalan1. Neraca Barang
a. Ekspor (fob) Nonmigas Migas
MinyakLNGLPG
b. Impor (fob) Nonmigas Migas
MinyakGas
2. Jasaa. Nonmigasb. Migas
MinyakGas
B. Lalu Lintas Modal1. Lalu Lintas Modal Pemerintah (Bersih)
a. Penerimaan pinjaman dan bantuanb. Pelunasan pinjaman 1)
2. Lalu Lintas Modal Swasta (Bersih)a. Penanaman modal langsung (bersih)b. Lainnya (bersih)
C. Jumlah (A+B)D. Selisih Perhitungan antara C dan EE. Lalu lintas Moneter 2)
Catatan :1. Aktiva Luar Negeri (GFA) 3)
Setara Impor Nonmigas dan PembayaranUtang Luar Negeri Pemerintah (bulan)
2. Transaksi Berjalan/PDB (%)
20012000Rincian
6,922,757,444,812,66,95,30,4
-34,7-29,0-5,7-5,4-0,3
-15,8-11,5-4,3-2,4-1,9-9,0-0,71,1-1,8-8,3-5,9-2,4-2,10,71,4
28,0
5,94,7
8,025,065,450,315,18,06,80,4
-40,4-34,4-6,0-5,8-0,1
-17,1-12,5-4,6-2,2-2,4-6,83,25,0-1,8
-10,0-4,6-5,41,23,8-5,0
29,4
6,03,4
1) Setelah diperhitungkan penjadwalan kembali ULN2) Minus (-) : Surplus, dan sebaliknya3) Sejak 2000 menggunakan konsep IRFCL menggantikan konsep
cadangan devisa bruto (GFA)
99
Neraca Pembayaran
Berbeda dengan penjadwalan sebelumnya yang
hanya mencakup pokok pinjaman, pada PC III ini
penjadwalan ULN mencakup juga bunga pinjaman.
Di samping itu, sebagai implikasi comparable
treatment dari kesepakatan yang diperoleh dalam
PC III, pemerintah telah melakukan negosiasi
dalam forum London Club sehingga penjadwalan
kembali Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN)
selain pokok pinjaman juga mencakup bunga
Pinjaman Sindikasi.
Upaya perbaikan LLM swasta melalui proses
penjadwalan kembali ULN swasta nonbank dan
swasta bank juga memperlihatkan keberhasilan
dibandingkan tahun sebelumnya. Penyelesaian ULN
swasta di bawah Prakarsa Jakarta (Jakarta Initia-
tive Task Force) telah mencapai rasio sekitar
65,2% total ULN yang ingin diselesaikan melalui
Prakarsa Jakarta, meningkat dari 14% pada tahun
sebelumnya. Penjadwalan kembali ULN swasta bank
melalui mekanisme program Exchange Offer I dan
II (EO I & EO II) juga memperlihatkan penyelesaian
yang semakin positif.
TRANSAKSI BERJALAN
Pada tahun laporan transaksi berjalan mencatat
surplus sebesar $7,3 miliar, meningkat dari surplus
tahun sebelumnya sebesar $6,9 miliar (Tabel 6.1 dan
Grafik 6.1). Surplus neraca perdagangan yang
mencapai $23,1 miliar merupakan sumber utama
naiknya surplus transaksi berjalan tersebut.
Meningkatnya surplus neraca perdagangan dalam
tahun laporan bersumber dari meningkatnya ekspor
migas dan nonmigas. Sementara itu, impor juga
mengalami peningkatan meskipun impor nonmigas
menunjukkan penurunan. Turunnya impor nonmigas
terutama pada bahan baku dan barang modal
mencerminkan masih lemahnya kegiatan investasi
dan produksi di dalam negeri. Sementara itu, dalam
tahun laporan neraca jasa mencatat defisit sebesar
$15,9 miliar, tidak banyak mengalami perubahan
dibandingkan dengan defisit pada tahun sebelumnya
sebesar $15,8 miliar. Relatif tetapnya defisit neraca
jasa pada tahun laporan berasal penurunan defisit jasa
di sektor migas yang diimbangi dengan peningkatan
defisit jasa dari sektor nonmigas.
Grafik 6.1Transaksi Berjalan, Neraca Perdagangan,
dan Neraca JasaGrafik 6.2
Nilai Ekspor Migas dan Nonmigas
100
Neraca Pembayaran
EKSPOR
Kinerja ekspor Indonesia dalam tahun laporan
telah menunjukkan perbaikan dibandingkan tahun
sebelumnya. Total nilai ekspor tercatat sebesar $58,0
miliar, meningkat dibandingkan dengan nilai ekspor
tahun sebelumnya sebesar $57,4 miliar. Ekspor
nonmigas tercatat sebesar $45,3 miliar sementara
ekspor migas mencapai $12,7 miliar (Grafik 6.2).
Ekspor nonmigas dalam tahun laporan mencapai
pertumbuhan positif sebesar 1,0% setelah dalam
tahun sebelumnya mencatat pertumbuhan negatif
11,0%. Secara sektoral, kenaikan ekspor nonmigas
tersebut berasal dari kenaikan ekspor barang di sektor
pertanian dan industri yang masing-masing
mengalami pertumbuhan 10,2% dan 0,9%. Sementara
itu, kelompok barang di sektor pertambangan
menunjukkan pertumbuhan negatif 4,4%.
Sebagaimana tahun sebelumnya, struktur ekspor
nonmigas tetap didominasi oleh sektor industri yang
mencapai 79,5% dari nilai total ekspor nonmigas,
diikuti oleh sektor pertambangan dan sektor pertanian
masing-masing sebesar 11,8% dan 8,7% (Grafik 6.3).
Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pangsa
ekspor sektor industri relatif tetap, sedangkan sektor
pertambangan turun dari 12,5% dan sektor pertanian
naik dari 7,9%.
Di sektor pertanian, nilai ekspor mencapai $3,9
miliar, meningkat dibandingkan dengan nilai ekspor
tahun sebelumnya ($3,6 miliar). Peningkatan ekspor
terjadi di beberapa komoditas utama seperti getah
karet (19,0%) dan kopi (36,7%). Peningkatan ekspor
getah karet terkait erat dengan keberhasilan
kesepakatan International Tripartite Rubber Com-
pany (ITRCo) antara Indonesia, Malaysia dan Thai-
land yang ditandatangani pada Agustus 2002 yang
antara lain untuk mengawasi skema pengurangan
produksi (management scheme). Kesepakatan ketiga
negara penghasil karet terbesar di dunia tersebut
mampu mengangkat harga karet internasional. Selain
itu, masuknya Vietnam sebagai anggota Asean Rub-
ber Business Club (ARBC) juga turut mengangkat
harga karet alam mengingat ARBC menguasai hampir
90% pangsa pasar karet dunia. Sedangkan
peningkatan nilai ekspor komoditi kopi antara lain
lebih disebabkan oleh kenaikan volume ekspor kopi
terkait dengan peningkatan permintaan dunia.
Sementara itu, ekspor udang yang merupakan
komoditas unggulan dari sektor pertanian
menunjukkan penurunan (-10,6%). Turunnya ekspor
udang antara lain berkaitan dengan turunnya harga
di pasar internasional sebagai akibat isu bahwa
sebagian udang asal Asia mengandung chlorampheni-
col yang cukup tinggi. Hal tersebut mengurangi minat
konsumen untuk membeli produk impor karena
dikhawatirkan tidak aman untuk dikonsumsi (produk
tercemar). Di samping itu, pemogokan pekerja di
pantai barat AS yang menyebabkan tertahannya
Grafik 6.3Pangsa Ekspor Nonmigas
101
Neraca Pembayaran
Tekstil & produk tekstil- Pakaian jadiKerajinan tanganProduk kayu- Kayu lapisProduk rotanMinyak sawitBungkil kopraProduk kimiaProduk logamBarang-barang listrikSemenKertasProduk karetGelas dan alat dari gelasAlas kakiProduk plastikMesin & pesawat mekanikLainnya
T o t a l
Tabel 6.2Ekspor Barang Industri
13,57,21,18,43,30,64,60,15,02,3
14,50,35,51,10,73,02,36,99,6
79,5
Pangsa(%)
Nilai(Juta $)
Perubahan(%)
2002*Rincian
2001 2002*
6.1163.256
5013.7831.515
2802.068
642.2421.0436.562
1132.500
520309
1.3491.0533.1284.329
35.962
-9,4-14,8-5,9-4,5
-12,23,3
54,030,84,5
-7,77,3
-33,1-6,621,01,2
-5,82,82,42,2
0,9
-7,7-6,0-2,9
-11,9-13,6-8,16,2
-20,3-5,0-7,1-3,920,7
-12,1-2,3
-12,5-11,6-15,8-19,3-31,8
-12,3
didorong oleh perkembangan teknologi informasi (TI)
dunia. Hal tersebut berkaitan dengan dominasi
komponen TI dalam struktur ekspor barang-barang
elektronik dari Indonesia.
Sementara itu, ekspor tekstil dan produk tekstil
(TPT) yang merupakan salah satu komoditas unggulan
terus menunjukkan penurunan (-9,4%) sebagaimana
yang terjadi dalam tahun sebelumnya (-7,7%).
Penurunan tersebut antara lain disebabkan oleh relokasi
pabrik tekstil ke Cina dan Vietnam seiring dengan
belum kondusifnya iklim usaha di dalam negeri terkait
dengan masalah struktural yang belum terselesaikan.
Di sektor pertambangan, nilai ekspor mencapai
$5,4 miliar atau turun 4,4% dibandingkan tahun
barang-barang ekspor ke AS, turut mempengaruhi
turunnya nilai ekspor udang.
Di sektor industri, total nilai ekspor mencapai
$36,0 miliar atau tumbuh sebesar 0,9%
dibandingkan tahun sebelumnya (Tabel 6.2).
Peningkatan ekspor tersebut terjadi pada beberapa
komoditas utama, seperti minyak sawit (54,0%)
dan barang-barang elektronik (7,3%). Peningkatan
ekspor minyak sawit disebabkan oleh peningkatan
permintaan dunia yang diikuti dengan penurunan
produksi di beberapa negara pesaing. Selain itu,
penurunan produksi minyak nabati terutama
minyak kedelai dan minyak bunga matahari yang
merupakan substitusi minyak sawit, turut
mendorong naiknya volume ekspor dan harga
minyak sawit di pasar Internasional. Kenaikan yang
terjadi pada ekspor barang-barang elektronik
TimahTembagaNikelAlumuniunBatu baraLainnya
T o t a l
0,64,90,10,54,71,0
11,9
Pangsa(%)
Nilai(Juta $)
Perubahan(%)
2002*Rincian
2001 2002*
287 2.224 47 233 2.144 436
5.370
16,8-8,0
-84,410,110,2
-13,3
-4,4
4,86,3
-16,9-18,619,0
-37,5
1,0
sebelumnya. Penurunan ekspor terjadi pada
beberapa komoditas seperti tembaga (-8,0%), dan
nikel (-84,4%). Penurunan nilai ekspor komoditas
tembaga dan nikel lebih dikarenakan turunnya harga
komoditi tersebut di pasar internasional. Sebaliknya,
nilai ekspor komoditas alumunium, batu bara dan
timah mengalami peningkatan masing-masing
sebesar 10,1% 10,2% dan 16,8% (Tabel 6.3).
Berdasarkan negara tujuan, pangsa ekspor
nonmigas ke negara-negara Asia mencapai 56,8%,
Tabel 6.3Ekspor Barang Pertambangan
102
Neraca Pembayaran
kawasan Amerika 19,1%, Eropa 18,7%, Australia/
Oceania 3,0%, dan Afrika 2,4% (Grafik 6.4). Tujuan
ekspor nonmigas terbesar di kawasan Asia adalah
ASEAN, kemudian diikuti Jepang dan Cina. Secara
individual, pangsa ekspor Indonesia ke Amerika dan
Jepang turun masing-masing sebesar 1,3% dan 9,8%
dibanding tahun sebelumnya. Penurunan pangsa
ekspor Indonesia ke Amerika antara lain disebabkan
oleh meningkatnya ekspor dari negara-negara
pesaing seperti Cina dan Vietnam4 . Sementara itu,
ekspor Indonesia ke Australia/Oceania dan Singapura
mengalami peningkatan masing-masing sebesar
32,6% dan 1,3%.
Di tengah meningkatnya harga minyak dunia,
ekspor migas mengalami peningkatan sebesar 1,3%.
Ditinjau dari komponennya, peningkatan tersebut
bersumber dari peningkatan ekspor gas sebesar 7,1%
sementara ekspor minyak bumi turun sebesar 3,5%.
Penurunan ekspor minyak bumi lebih disebabkan oleh
menurunnya produksi minyak dari sebesar 1,3 juta barel
per hari menjadi 1,2 juta barel per hari. Menurunnya
produksi minyak antara lain disebabkan oleh penurunan
produksi secara alamiah (natural decline) pada beberapa
sumur yang ada, penerapan teknologi baru yang masih
dalam tahap penyelesaian, dan jumlah penemuan
cadangan minyak baru relatif kecil seiring dengan belum
ditemukannya sumber-sumber minyak baru. Sementara
itu, harga rata-rata ekspor minyak bumi pada 2002
meningkat menjadi $24,6 per barel dibandingkan dengan
$23,4 per barel dalam tahun 2001. Peningkatan harga
minyak antara lain terjadi karena meningkatnya
permintaan menjelang pergantian musim di belahan
barat dunia dan rencana penyerangan AS ke Irak.
Sedangkan harga rata-rata ekspor Liquefied Natural Gas
(LNG) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) mengalami
penurunan masing-masing menjadi sebesar $4,2 per
MMBTU dan $249,1 per ribu MTon dari $4,3 per MMBTU
dan $258,4 per ribu MTon.
IMPOR
Sejalan dengan peningkatan ekspor, nilai
impor dalam tahun laporan meningkat sebesar 0,5%
sehingga menjadi $34,8 miliar. Hal ini bersumber
4 Hal ini dapat dilihat dari peningkatan pangsa impor Amerika dariCina dan Vietnam masing-masing sebesar 12,35% dan 0,05% (pada Q1-2002) dari 11,77% dan 0,03% (pada Q2-2001) Sumber : Bulletin ofIndonesian Economic Studies (BIES), Vol. 38, No. 2,2002: 141-162.
Grafik 6.4Pangsa Ekspor Nonmigas Menurut Kawasan Negara Tujuan
103
Neraca Pembayaran
Tabel 6.4 Impor Nonmigas Menurut Kelompok Barang
Barang KonsumsiBahan BakuBarang Modal
Nilai(Juta $)
Pangsa(%)
9,171,819,1
Rincian
7,972,120,0
12,7-2,9-6,7
-5,8-15,7-19,2
2.57620.2815.402
2.28720.8865.789
Pertumbuhan(%)
2001 2002* 2001 2002* 2001 2002*
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 6.5 dan Tabel 6.6.
Penurunan nilai impor kedua komponen penunjang
industri itu menunjukkan bahwa berkurangnya tambahan
mesin baru antara lain disebabkan oleh kegiatan investasi
di Indonesia belum membaik. Sementara itu, di kelompok
barang konsumsi, kenaikan antara lain terjadi pada bahan
makanan dan minuman, alat angkutan bukan untuk
industri, dan barang konsumsi setengah tahan lama.
Tabel 6.6Impor Barang Modal
Pangsa(%)
Nilai(Juta $)
Perubahan(%)
2002*Rincian
2001 2002*
Traktor dan alat pertanianAlat kerajinan / perhiasanKontainer dan kotakpenyimpananReaktor nuklir dan mesinmekanikGenerator dan alatelektronikaLokomotif, kapal, pesawatAlat pertukanganAlat optik & ukurMobil penumpang
T o t a l
0,10,0
0,2
11,4
2,53,20,11,20,3
19,1
340
61
3.225
71491039
32693
5.402
51,8-22,3
3,2
-12,1
12,1-2,4-2,8-7,322,7
-6,7
-49,6-16,8
23,1
-7,8
-2,4-44,2-1,7
-41,1-39,3
-19,2
dari peningkatan impor migas menjadi $6,6 miliar
dari sebesar $5,7 miliar pada 2001 sebagai akibat
menurunnya produksi minyak di dalam negeri.
Sementara itu, impor nonmigas mengalami
penurunan, yaitu dari $29,0 miliar menjadi $28,3
miliar dalam tahun laporan.
Berdasarkan kelompok barang, penurunan nilai
impor nonmigas terjadi pada bahan baku dan barang
modal masing-masing sebesar 2,9% dan 6,7%,
sedangkan kelompok barang konsumsi mengalami
kenaikan sebesar 12,7% (Tabel 6.4). Perkembangan
ini mencerminkan masih rendahnya kegiatan investasi
dan produksi di Indonesia. Sementara itu, kenaikan
nilai impor migas terutama berasal dari peningkatan
nilai impor minyak sebesar 16,4% sedangkan nilai
impor gas relatif tidak berbeda dibandingkan tahun
sebelumnya. Sebagaimana tahun sebelumnya, pangsa
impor nonmigas terbesar masih didominasi oleh impor
kelompok bahan baku, diikuti oleh impor kelompok
barang modal dan barang konsumsi. Dibandingkan
dengan tahun lalu, pangsa impor kelompok bahan baku
dan barang modal sedikit menurun, sedangkan
kelompok barang konsumsi meningkat.
Di kelompok bahan baku dan barang modal, hampir
seluruh barang mengalami penurunan terutama pada
bahan baku setengah jadi untuk industri di kelompok
bahan baku dan mesin mekanik di kelompok barang modal
Makanan dan minuman(industri)Makanan dan minuman(industri 1/2 jadi)Bahan baku mentahuntuk industriBahan baku 1/2 jadiuntuk industriBahan bakar dan pelumas(mentah)Bahan bakar dan pelumas(1/2 jadi)Suku cadang danperlengkapan barang modalSuku cadang danperlengkapan alat angkutan
T o t a l
1.090
723
2.576
12.363
12
139
1.648
1.728
20.281
14,1
-7,7
-0,5
-5,6
-1,5
-6,9
-5,2
10,6
-2,9
-16,0
-14,1
-21,0
-14,2
-23,5
10,5
0,4
-32,5
-15,7
3,9
2,6
9,1
43,8
0,0
0,5
5,8
6,1
71,8
Pangsa(%)
Nilai(Juta $)
Perubahan(%)
2002*Rincian
2001 2002*
Tabel 6.5Impor Bahan Baku
104
Neraca Pembayaran
Berdasarkan negara asalnya, pangsa impor barang
nonmigas (C&F) Indonesia dari negara-negara di Asia
mencapai 58,9%, Eropa 18,5%, kawasan Amerika 14,3%,
Australia/Oceania 7,0%, dan Afrika 1,3% (Grafik 6.5).
Negara pengimpor nonmigas terbesar di kawasan Asia
adalah Jepang, kemudian diikuti oleh ASEAN dan Cina.
Secara individual, pangsa impor dari Jepang dan Cina
pada 2002 mengalami peningkatan dibandingkan tahun
sebelumnya masing-masing dari 16,9% dan 6,7% menjadi
18,1% dan 8,6%. Sedangkan pangsa impor nonmigas
yang berasal dari Amerika sebesar 14,3%, menurun
dibandingkan pangsa tahun sebelumnya sebesar 15,8%.
JASA-JASA
Sebagaimana pada tahun-tahun sebelumnya,
neraca jasa dalam tahun laporan mencatat masih
defisit. Defisit neraca jasa pada 2002 mencapai $15,9
miliar yang disumbang oleh defisit jasa sektor migas
dan nonmigas masing-masing sebesar $4,2 miliar dan
$11,6 miliar. Relatif tetapnya defisit neraca jasa pada
tahun laporan berasal penurunan defisit jasa di sektor
migas yang diimbangi oleh peningkatan defisit jasa
dari sektor nonmigas.
Penurunan defisit jasa di sektor migas terutama
terjadi pada jasa non-freight sehingga mencapai
defisit sebesar $3,7 miliar, sedangkan defisit jasa
freight justru mengalami peningkatan menjadi $0,6
miliar seiring dengan meningkatnya impor migas.
Sebaliknya, turunnya defisit pada sektor nonmigas
berasal dari defisit jasa freight yang menurun sebesar
10,1% sebagai dampak turunnya impor nonmigas.
Sementara itu, defisit jasa non freight pada
sektor nonmigas meningkat sebesar 4,1% sehingga
mencapai $9,5 miliar, meskipun penerimaan devisa
yang berasal dari transfer tenaga kerja Indonesia
(TKI) mengalami peningkatan dan pembayaran bunga
ULN mengalami penurunan. Peningkatan tersebut
antara lain bersumber dari turunnya penerimaan
devisa dari sektor pariwisata dan naiknya
pembayaran jasa pengangkutan. Penerimaan dari
sektor pariwisata turun menjadi $5,0 miliar (4,7 juta
orang) setelah dalam tahun sebelumnya mencatat
pemasukan sebesar $5,3 miliar (5,1 juta orang)
antara lain merupakan dampak tragedi Bali pada
bulan Oktober. Selama 2002, pembayaran jasa
pengangkutan mengalami peningkatan sekitar 7,7%.
Grafik 6.5Pangsa Impor Nonmigas Menurut Kawasan Negara Asal
105
Neraca Pembayaran
Sementara itu, penjadwalan kembali bunga ULN
pemerintah sebesar $765 juta telah memberikan
sumbangan terhadap penurunan pembayaran bunga
ULN dalam tahun laporan.
LALU LINTAS MODAL
Dalam tahun laporan, lalu lintas modal bersih
tercatat mengalami defisit sebesar $3,6 miliar, jauh
lebih rendah dari defisit tahun sebelumnya sebesar
$9,0 miliar. Penurunan defisit tersebut disumbangkan
oleh penurunan defisit LLM swasta dan LLM pemerintah
masing-masing dari $8,3 miliar dan $0,7 miliar menjadi
sebesar $3,0 miliar dan $0,6 miliar. Sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya, turunnya defisit LLM
tersebut antara lain bersumber dari hasil penjadwalan
kembali ULN pemerintah dan swasta.
Dari sisi LLM swasta, turunnya defisit LLM
swasta bersumber dari penerimaan dalam rangka
privatisasi, aliran bersih investasi portofolio, dan
meningkatnya penarikan pinjaman perusahaan PMA.
Dalam hal investasi portofolio, telah terjadi inflows
yang berasal dari penerbitan obligasi di luar negeri
oleh beberapa perusahaan. Di samping itu, turunnya
pembayaran ULN swasta juga mendorong penurunan
defisit LLM swasta.
Adapun surplus pada aliran bersih modal
pemerintah terutama berasal dari realisasi
penarikan pinjaman IMF (IMF purchase) sebesar $1,4
miliar, pinjaman proyek sebesar $1,4 miliar, dan
pinjaman program sebesar $0,8 miliar. Khusus
mengenai pinjaman IMF, pencairan pinjaman IMF
dalam tahun laporan naik $1,0 milyar setelah pada
tahun sebelumnya mengalami beberapa kali
penundaan sehubungan dengan tertundanya
Tabel 6.7Posisi Utang Luar Negeri Indonesia
Keterangan
Pemerintah
Swasta
a. Lembaga Keuangan
- Bank
- Bukan Bank
b. Bukan Lembaga
Keuangan
Surat-Surat Berharga
Total
74.197
55.230
7.437
4.869
2.568
47.793
1.470
130.897
73.464
56.390
8.021
5.164
2.857
48.369
1.436
131.290
74.157
56.493
8.372
5.848
2.524
48.121
1.486
132.136
71.677
58.299
8.735
6.309
2.426
49.564
1.580
131.556
71.377
60.058
7.713
6.649
1.064
52.345
1.638
133.073
74.916
64.608
8.870
7.720
1.150
55.738
2.169
141.693
2000 2001
Juta $
2002
Mar Jun Sep Des *)
kesepakatan tentang Letter of Intent (LoI) antara
IMF dengan Pemerintah RI. Selain itu, perbaikan lalu
lintas modal pemerintah tidak terlepas dari hasil
penjadwalan kembali utang pemerintah melalui Paris
Club dan London Club.
Dalam konteks utang luar negeri, posisi ULN
Indonesia akhir tahun laporan turun 1,6% menjadi
$130,9 miliar dibandingkan dengan posisi akhir 2001
(Tabel 6.7). Penurunan tersebut terutama karena
turunnya utang swasta dalam jumlah yang cukup
signifikan sekitar $4,8 miliar yang disebabkan oleh
pembayaran atas utang yang jatuh tempo.
Sedangkan utang pemerintah meningkat sekitar $2,8
miliar terutama dipengaruhi oleh apresiasi yen
Jepang terhadap dolar AS. Dampak apresiasi itu
sendiri terhadap posisi ULN pemerintah cukup
signifikan mengingat pangsa utang pemerintah
dalam mata uang yen Jepang mencapai sekitar 33,7%
dari total ULN pemerintah.
Utang luar negeri pemerintah diakhir tahun
laporan mencapai 56,7% dari total ULN Indonesia.
Sementara pangsa utang swasta lembaga keuangan
dan bukan lembaga keuangan (termasuk surat-surat
berharga) masing-masing tercatat sebesar 5,7% dan
106
Neraca Pembayaran
37,6% (Grafik 6.6).
Dalam tahun laporan posisi ULN pemerintah
tercatat sebesar $74,2 miliar. Dari total utang
tersebut, utang multilateral tercatat sebesar $28,8
miliar, utang bilateral $26,2 miliar, fasilitas kredit
ekspor (FKE) $16,4 miliar, utang leasing $369 juta,
utang komersial $2,3 miliar dan utang dalam bentuk
surat-surat berharga yang dimiliki oleh investor asing
$95 juta.
Sementara itu, posisi ULN swasta pada akhir
tahun laporan mencapai $56,7 miliar, turun 8,1%
dibandingkan posisi tahun sebelumnya. Dari total
utang tersebut, utang lembaga keuangan tercatat
sebesar $7,4 mil iar, utang bukan lembaga
keuangan $47,8 miliar, dan utang dalam bentuk
surat-surat berharga yang dimiliki oleh investor
asing $1,5 miliar.
Berdasarkan jangka waktu pembayarannya,
utang jangka pendek diperkirakan mencapai $1,5
mil iar atau 1,1% dari total ULN Indonesia,
selebihnya sebesar $129,4 miliar tergolong utang
jangka menengah dan panjang. Dari total utang
jangka pendek tersebut, utang pemerintah
Tabel 6.8Posisi Utang Luar Negeri Menurut Jangka Waktu
JANGKAWAKTU
1 Jk. Pendek 2)
2 Jk. Menengah & Panjang 3)
T o t a l
1.479,1
129.417,9
130.897,0
1.383,8
55.315,8
56.699,7
928,3
48.334,8
49.263,1
116,8
2.451,0
2.567,8
338,8
4.530,0
4.868,8
95,3
74.102,0
74.197,3
Pemerintah TotalSwasta
Des 2002 *)
Swasta
1) Termasuk surat-surat berharga2) Sampai dengan 1 tahun3) Lebih dari 1 tahun*) Angka sementara
NOLembaga KeuanganBank Bukan Bank
JumlahBukanLembaga
Keuangan1)
mencapai $0,1 miliar dan utang swasta termasuk
bank sebesar $1,4 miliar. Dari total utang jangka
pendek swasta tersebut, sejumlah $0,5 miliar
merupakan utang lembaga keuangan dan $0,9 miliar
adalah utang bukan lembaga keuangan (Tabel 6.8).
Berdasarkan sektor ekonomi yang dibiayai,
sektor industri pengolahan merupakan sektor ekonomi
terbesar yang dibiayai dengan ULN, yaitu mencapai
$27,9 miliar atau 21,6% dari total ULN. Sektor kedua
terbesar adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan yang mencapai $23,2 miliar atau 17,9%,
dan diikuti oleh sektor listrik, gas dan air bersih
sebesar $14,3 miliar atau 11,0%.
Dilihat dari negara pemberi utang, Jepang
merupakan kreditur terbesar dengan jumlah mencapai
$38,9 miliar atau 29,7% dari total ULN Indonesia.
Amerika Serikat di urutan kedua dengan jumlah sebesar
$11,9 miliar atau 9,1%, kemudian berturut-turut diikuti
oleh Singapura, Belanda, Jerman dan Inggris masing-
masing sebesar $7,3 miliar (5,6%) $6,4 miliar (4,9%),
$6,3 miliar (4,8%) dan $4,7 miliar (3,6%). Sebagaimana
tahun sebelumnya, lembaga internasional seperti IBRD,
IMF dan ADB merupakan lembaga pemberi pinjaman
terbesar kepada pemerintah Indonesia masing-masing
Grafik 6.6Pangsa Utang Luar Negeri
Juta $
107
Neraca Pembayaran
mencapai $10,7 miliar (8,2%), $8,8% miliar (6,7%) dan
$8,1 miliar (6,2%).
Sementara itu dalam konteks penjadwalan
kembali ULN, periode laporan ditandai dengan
penyelesaian fase kedua PC II pada Februari 2002
dengan nilai penjadwalan kembali pokok pinjaman
sebesar $2,7 miliar. Nilai tersebut merupakan fase
terakhir dari rencana total penjadwalan kembali ULN
PC II sebesar $5,8 miliar. Selanjutnya pemerintah juga
berhasil menjadwal kembali ULN yang jatuh tempo
selama 21 bulan terakhir sampai dengan akhir 2003
melalui PC III. Melalui kesepakatan tersebut,
pemerintah dapat menunda beban utang (pokok dan
bunga) sebesar $5,4 miliar, mencakup utang yang
akan jatuh tempo selama 2002 sekitar $2,4 miliar
dan selama 2003 sekitar $3,0 miliar. Dalam kerangka
penjadwalan kembali PC III ini pemerintah juga telah
menandatangani perjanjian debt swap dengan Jerman
dengan nilai sebesar DM50 juta yang ditujukan untuk
perbaikan kualitas pendidikan. Delapan negara lainnya
yaitu Inggris, Kanada, Perancis, Finlandia, Italia,
Selandia Baru, Swedia, dan Spanyol juga telah
menyatakan ikut mendukung program debt swap bagi
Indonesia. Dalam konteks ini, pada tanggal 12 Juni
2002 telah ditandatangani Memorandum of Under-
standing (MoU) dengan Inggris mengenai kesedian
Inggris untuk mengkonversi ULN Indonesia sejumlah
GBP100 juta melalui program debt swap. Jumlah
tersebut akan ditingkatkan menjadi GBP200 juta
apabila program konversi yang disepakati berhasil
diimplementasikan. Di samping itu, sebagai implikasi
comparable treatment kesepakatan Paris Club,
pemerintah juga telah melakukan penjadwalan
kembali PKLN berupa pokok dan bunga Pinjaman
Sindikasi 1995 dan bunga Pinjaman Sindikasi 1996
dan 1997 dengan total nilai sebesar $1,3 miliar5
melalui forum London Club.
Selain itu, selama periode laporan proses
penyelesaian penjadwalan kembali ULN swasta juga
relatif memperlihatkan tanda-tanda yang lebih baik
dibanding tahun sebelumnya. Hal tersebut antara lain
tercermin dari penyelesaian penjadwalan kembali ULN
swasta melalui Prakarsa Jakarta (Jakarta Initiative
Task Force) yang sampai dengan Desember 2002
mencapai nilai kumulatif $18,9 miliar atau sekitar
65,2% dari total ULN bermasalah dari sekitar 126
perusahaan yang terdaftar pada lembaga tersebut6 .
Relatif meningkatnya penyelesaian penjadwalan
kembali ULN swasta ini diantaranya juga didukung
oleh fluktuasi nilai tukar yang relatif stabil selama
periode laporan sehingga penyusunan proyeksi arus
kas perusahaan relatif lebih mudah dilakukan dan
konsistensi kesepakatan nilai penjadwalan kembali
dapat dipertahankan.
Di sektor swasta perbankan, proses penjadwalan
kembali ULN yang dilakukan melalui program EO I dan
EO II yang perjanjiannya ditandatangani masing-
masing pada 18 Agustus 1998 dan 25 Mei 1999, juga
memperlihatkan penyelesaian yang positif. Program
EO I dengan nilai penjadwalan kembali sebesar $3,0
miliar telah berakhir dengan dilakukannya pembayaran
pokok tranche keempat/tranche terakhir pada tanggal
28 Agustus 2002. Sementara untuk EO II dengan nilai
penjadwalan kembali sebesar $3,3 miliar, telah mulai
5 Terdiri dari Pinjaman Sindikasi 1995 sebesar $ 300 juta, 1996 sebesar$ 500 juta dan 1997 sebesar $ 500 juta.
6 Press release JITF per 20 Desember 2002. Jumlah utang yangdirestrukturisasi sampai pada tahapan MoU, meliputi utang domestikdan utang luar negeri baik dalam rupiah maupun valuta asing.
108
Neraca Pembayaran
dilakukan pembayaran pokok tranche pertama pada
tanggal 5 Juli 2002. Selama 2002 juga telah
dilakukan transaksi buyback oleh beberapa obligor
peserta EO II yang mencapai sebesar total $330,1
juta sampai dengan akhir Desember 2002. Adapun
sisa posisi EO II tercatat sebesar $2,5 miliar pada
akhir Desember 2002.
Di akhir tahun laporan, rasio pembayaran utang
terhadap ekspor (DSR) tercatat sebesar 32,2%, rasio
total utang terhadap ekspor dan rasio total utang
terhadap PDB masing-masing sebesar 194,0% dan
68,7% (Tabel 6.9). Rasio-rasio tersebut relatif
mengalami perbaikan dibandingkan dengan kondisi
pada tahun sebelumnya. Di samping itu, kecuali DSR,
kedua rasio lainnya juga sudah berada pada kisaran
Tabel 6.9Indikator Beban Utang
DSR
Ratio TotalUtang terhadapEkspor
Ratio TotalUtang terhadapPDB
Indikator
Persen
20
130-220
50 - 80
32,2
194,0
68,7
41,4
200,7
91,1
41,1
191,0
93,8
56,8
252,1
105,0
57,9
261,8
146,3
44,5
207,3
62,2
1997 1998 1999 2000 2001 2002*)Kriteria
BankDunia
normal standar rasio yang ditetapkan oleh Bank
Dunia. Secara umum perkembangan rasio-rasio
tersebut mencerminkan semakin berkurangnya
tekanan beban ULN dan ketergantungan
perekonomian Indonesia terhadap sumber dana dari
luar negeri.
CADANGAN DEVISA
Dengan surplus neraca pembayaran yang
mencapai $3,6 miliar, pada akhir tahun laporan
posisi cadangan devisa meningkat sebesar 12,7%.
Kondisi tersebut menyebabkan jumlah cadangan
devisa mencapai $31,6 miliar atau setara dengan
6,6 bulan impor dan pembayaran ULN pemerintah
(Grafik 6.7).
Grafik 6.7Cadangan Devisa
109
Neraca Pembayaran
Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan
Undang-Undang No. 24 tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa (LLD) dan Sistem Nilai Tukar, Bank
Indonesia telah mengeluarkan serangkaian
peraturan yang mewajibkan lembaga keuangan
(Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank/LKNB)
untuk menyampaikan laporan kegiatan LLD kepada
Bank Indonesia. Pelaporan kegiatan LLD oleh bank
telah dilakukan sejak tahun 2000, sedangkan
pelaporan kegiatan LLD oleh LKNB dilakukan sejak
tahun 2001. Dalam perkembangannya, sistem
pemantauan kegiatan LLD Bank dan LKNB terus
diperbaiki sehingga diharapkan dapat
meningkatkan kualitas data laporan.
Selanjutnya, dari hasil penelitian diketahui
bahwa masih cukup banyak kegiatan LLD yang
dilakukan penduduk antara lain melalui rekening
giro yang dibuka pada bank di luar negeri dan
yang penyelesaiannya dilakukan secara netting.
Oleh karena itu, melalui Peraturan Bank Indone-
sia No. 4/2/PBI/2002 tentang Pemantauan
Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan
Lembaga Keuangan cakupan pemantauan
tersebut diperluas. Ketentuan tersebut
mewajibkan perusahaan bukan lembaga
keuangan (selanjutnya disebut Perusahaan) untuk
melaporkan kegiatan LLD secara langsung kepada
Bank Indonesia.
Sebagai pelaksanaan dari peraturan tersebut
di atas, Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran
No. 4/5/DSM tanggal 28 Maret 2002 tentang
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh
Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan. Mengingat
luasnya cakupan perusahaan yang perlu dipantau
serta untuk menjaga kesinambungan dan
konsistensi data LLD yang diperoleh, maka pada
tahap awal ketentuan ini hanya diberlakukan
kepada seluruh Badan Usaha yang beroperasi di
Indonesia yang memiliki aset atau omzet per tahun
sebesar Rp100 miliar atau lebih. Kewajiban
pelaporan kegiatan LLD tersebut mulai
diberlakukan untuk pelaporan kegiatan LLD periode
laporan Mei 2002. Pada tahap selanjutnya,
ketentuan ini juga akan diberlakukan secara
bertahap pada perusahaan lainnya.
Di dalam ketentuan dimaksud, perusahaan
yang melakukan kegiatan LLD diwajibkan untuk
menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia
secara berkala yang mencakup :
1. Laporan transaksi LLD secara bulanan, yaitu
kegiatan LLD yang dilakukan melalui
rekening giro perusahaan pada bank di luar
negeri (overseas current account atau OCA),
rekening antar perusahaan/kantor (inter
company/office account atau ICA), dan
melalui sarana lainnya;
Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa olehPerusahaan Bukan Lembaga Keuanganb
ok
s
110
Neraca Pembayaran
2. Laporan Posisi secara semesteran, yang
meliputi tagihan (claims) dan kewajiban (li-
abilities) perusahaan kepada bukan
penduduk.
Menyadari bahwa pemantauan LLD ini
merupakan hal yang baru bagi perusahaan, maka
perusahaan diberi kesempatan untuk memahami
dan melakukan uji coba pelaksanaan pelaporan
kegiatan LLD kepada Bank Indonesia sampai
dengan periode laporan November 2002.
Selanjutnya, sanksi administratif mulai
diberlakukan mulai pelaporan kegiatan LLD periode
laporan Desember 2002. Namun demikian,
mengingat masih banyaknya perusahaan yang
belum siap memenuhi ketentuan terutama
berkaitan dengan diberlakukannya sanksi admi-
nistratif maka pengenaan sanksi tersebut diundur
dan mulai diberlakukan untuk pelaporan kegiatan
LLD periode laporan Januari 2004.
Untuk mendukung kelancaran sistem
pelaporan dan peningkatan kualitas data LLD,
berbagai upaya terus dilakukan antara lain
membentuk help desk yang bertugas untuk
melayani konsultasi dalam membahas
permasalahan yang terjadi pada pelaporan LLD
Perusahaan.
Dengan peraturan tersebut diharapkan
diperoleh keterangan dan data LLD perusahaan
yang lengkap dan akurat untuk melengkapi data
yang sudah diperoleh terlebih dahulu dari
pemantauan kegiatan LLD Bank dan LKNB sehingga
mendukung perumusan dan peningkatan
efektivitas kebijakan moneter maupun kebijakan
ekonomi lainnya.
111
Keuangan Pemerintah
Bab 7 : Keuangan Pemerintah
Moneter5BAB
l a p o r a nt a h u n a n
Moneter5BAB
l a p o r a nt a h u n a n
Moneter5BAB
l a p o r a nt a h u n a n
Moneter5BAB
l a p o r a nt a h u n a n
Moneter5BAB
l a p o r a nt a h u n a n
Moneter5BAB
l a p o r a nt a h u n a n
Keuangan Pemerintah7BAB
l a p o r a nt a h u n a n
112
Keuangan Pemerintah
KEUANGAN PEMERINTAH7B A B
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) 2002 diarahkan pada langkah-
langkah konsolidasi pemerintah untuk menjamin
kesinambungan keuangan negara di masa depan.
Beberapa langkah konsolidasi dalam paket kebijakan fiskal
2002 berhasil dilaksanakan misalnya penurunan yang
cukup signifikan pada subsidi, reprofiling sebagian utang
dalam negeri (Boks : Reprofiling Obligasi Negara) dan
rescheduling utang luar negeri pemerintah, namun
sebagian lainnya harus ditunda misalnya pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di pulau Batam.1
Disamping itu, pemerintah menghadapi tantangan
yang tidak ringan dalam proses penyesuaian fiskal
untuk mengantisipasi perkembangan aktual pada
besaran-besaran ekonomi makro terutama suku
bunga domestik dan tingkat penyerapan utang luar
negeri yang tidak sesuai dengan asumsi semula.
Kebijakan di s is i pendapatan negara
terutama dilakukan di sektor perpajakan yang
me l ipu t i upaya -upaya i n tens i f i ka s i dan
eks tens i f i ka s i pener imaan pa jak se r ta
peningkatan pelayanan kepada wajib pajak
(WP). Upaya intensifikasi terutama meliputi:
(i) peningkatan tarif efektif Pajak Penghasilan
(PPh) atas WP pengusaha tertentu dari 1,0%
menjadi 2,0% dari omzet; (ii) peningkatan tarif
PPh final atas bunga obligasi dari 15,0% menjadi
20,0%; serta (iii) pengenaan PPh atas capital gain
penjualan aset (Non Prakarsa Jakarta) dalam
rangka restrukturisasi. Sementara itu upaya
ekstensif ikasi diantaranya meliputi: ( i )
peningkatan dan perluasan program pemeriksaan
pajak; (ii) identifikasi dan monitoring secara
intensif atas 400 penunggak pajak terbesar; serta
(iii) pembangunan dan pengembangan bank data
melalui kerjasama dengan berbagai instansi terkait.
Meskipun berbagai kebijakan tersebut dapat
dilaksanakan, tingkat tax ratio diprakirakan hanya
mencapai 12,7% dari PDB, atau di bawah target
anggaran 13,0% dari PDB. Pencapaian pajak yang
lebih rendah tersebut terutama terjadi pada jenis
penerimaan perpajakan terpenting, yaitu PPh
Nonmigas dan PPN, di samping juga Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak
Perdagangan Internasional. Hal ini terutama
diprakirakan karena: (i) tertundanya implementasi
dari beberapa kebijakan perpajakan, seperti
pengenaan PPN di pulau Batam dan pencabutan
fasilitas pembebasan pajak atas barang-barang
strategis; (ii) kondisi perusahaan-perusahaan besar
Kebijakan keuangan pemerintah masih diarahkan untuk mendukungkonsolidasi fiskal dalam rangka menjamin tercapainya kondisi fiskalyang sustainable. Pada 2002 defisit anggaran dapat dikendalikan padatingkat yang lebih rendah dari rencana semula yaitu 1,7% dari PDB.
1 Pada tahun 2002 pemerintah juga memberlakukan Undang-Undangtentang Surat Utang Negara (SUN) yang memberikan “standing ap-propriation” yaitu jaminan pemerintah kepada pasar untuk membayarsemua kewajiban pokok dan bunga utang (Boks : Undang-Undang No.24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara).
113
Keuangan Pemerintah
terutama perusahaan PMA yang masih merugi; (iii)
adanya perlambatan perkembangan industri yang
berbasis ekspor, terutama industri sepatu, garmen,
elektronik dan produk kayu.
Di sisi lain, sumber Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) memberikan kontribusi yang cukup
signifikan untuk menutup kekurangan pendapatan
negara dari perpajakan. Jenis pendapatan ini
mencapai sekitar 5,3% dari PDB, lebih tinggi dari
target semula 4,9% dari PDB. Kelebihan PNBP
terhadap targetnya terutama berasal dari
penerimaan yang tidak diprakirakan sebelumnya
dari migas (oil windfall profit) dan PNBP Lainnya
berupa carry over penerimaan di 2001 yang baru
dibayarkan pada 2002. Dengan kondisi ini, jumlah
pendapatan negara dan hibah secara keseluruhan
diprakirakan mencapai 18,0% dari PDB atau relatif
sama dengan target semula.
Di sisi belanja negara, beberapa kebijakan
penting yang dilaksanakan antara lain penurunan
subsidi dan pengurangan beban bunga utang dalam
negeri melalui kebijakan buy back. Dengan berbagai
kebijakan di sisi belanja tersebut, realisasi belanja
negara dapat dikendalikan pada angka 19,7% dari
PDB, atau di bawah rencana semula 20,4% dari PDB.
Dilihat dari tiga kelompok belanja negara,
pengeluaran rutin pemerintah pusat dan pengeluaran
pembangunan berada di bawah target (2,4% dan
23,0% di bawah target), sedangkan anggaran belanja
untuk daerah relatif tidak mengalami perubahan
yang berarti dan berjalan sesuai dengan target.
Dari sisi ekonomi makro, pelaksanaan APBN
juga menghadapi tekanan akibat perkembangan
aktual ekonomi makro yang berbeda dengan
prakiraan semula. Tekanan yang paling signifikan
berasal dari suku bunga SBI 3 bulan yang
diprakirakan mencapai rata-rata 15,2% atau lebih
tinggi dari prakiraan semula 14,0% per tahun yang
menyebabkan lebih tingginya beban bunga utang
dalam negeri dibandingkan alokasi anggarannya
(Tabel 7.1).
Meskipun pelaksanaan APBN menghadapi
berbagai tantangan, pemerintah memprakirakan
bahwa defisit operasi keuangan pemerintah dapat
dikendalikan pada angka 1,7% dari PDB atau di
bawah rencana semula 2,5% dari PDB yang terutama
dibiayai dengan hasil privatisasi dan penjualan aset
program restrukturisasi perbankan. Namun, sebagai
konsekuensinya tingkat stimulus fiskal atau kontribusi
langsung pemerintah terhadap permintaan agregat
hanya mencapai 11,8% dari PDB, lebih rendah dari
rencana semula 12,5% dari PDB. Kontribusi tersebut
dalam bentuk pengeluaran konsumsi sebesar 7,0% dari
PDB dan pengeluaran investasi sebesar 4,8% dari PDB.
Di sisi moneter, perkembangan pengeluaran
pemerintah masih cukup kondusif dalam mendukung
operasi pengendalian moneter, meskipun ekspansi
rupiah bersih pemerintah mencapai Rp19,5 triliun,
PDB Nominal (triliun rupiah)
Pertumbuhan Ekonomi (%)
Laju Inflasi (%)
Harga Minyak Mentah ($ per barel)
Produksi Minyak (juta barel per hari)
Nilai Tukar (Rp/$)
Rata-Rata Suku Bunga SBI 3 Bulan (%)
Tabel 7.1Perkembangan Asumsi APBN
APBN-PAN2001
1) Realisasi sementara (revisi IV, Januari 2003)
Sumber : Departemen Keuangan
1.4913,5
11,924,61,27
10.21916,4
1.6854,09,0
22,01,32
9.00014,0
1.7164,09,5
22,81,26
9.28015,7
1.6683,6
10,0324,11,26
9.31115,2
APBN2002
APBN-P2002
Realisasi2002 1)
114
Keuangan Pemerintah
lebih tinggi dari rencana semula Rp15,4 triliun.
Seluruh jumlah ini diprakirakan dapat diserap oleh
Bank Indonesia mengingat pada periode yang sama
terjadi aliran devisa masuk bersih dari sektor
pemerintah setara Rp24,3 triliun.
Dibandingkan realisasi tahun lalu, operasi
keuangan pemerintah pada tahun laporan secara
umum menunjukkan perkembangan yang lebih baik.
Hal ini tercermin dari beberapa indikator seperti
lebih tingginya tax ratio (12,7% dari PDB pada 2002
dibandingkan 12,4% dari PDB pada 2001), lebih
rendahnya defisit anggaran (1,7% dari PDB pada
2002 dibanding 2,7% dari PDB pada 2001) dan lebih
kondusifnya dampak rupiah keuangan pemerintah
terhadap operasi pengendalian moneter (1,2% dari
PDB pada 2002 dibanding 2,2% dari PDB pada 2001).
PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH
Realisasi pendapatan negara dan hibah dapat
mencapai jumlah yang ditargetkan. Dalam nilai nomi-
nal angka realisasinya mencapai Rp300,2 triliun
atau 0,6% di bawah target, sedangkan dalam
persentase terhadap PDB angka realisasi
pendapatan tersebut mencapai 18,0% atau sedikit
di atas target anggaran yang ditetapkan sebesar
17,9% dari PDB. Dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, rasio pendapatan negara dan hibah
pada 2002 lebih rendah dari 2001 yang tercatat
20,2% dari PDB. Secara umum, hal ini terutama
disebabkan oleh harga minyak yang lebih rendah
dan nilai tukar yang menguat.
Kontributor utama penerimaan pemerintah
masih tetap berasal dari penerimaan perpajakan
yang mencakup 70,3% dari total penerimaan.
Meskipun demikian, tingkat tax ratio hanya
mencapai 12,7% dari PDB, atau di bawah target
yang diharapkan yaitu 13,0% dari PDB. Jika
dilihat lebih jauh, pencapaian pajak yang lebih
rendah tersebut terutama terjadi pada jenis
penerimaan perpajakan terpenting yaitu PPh
Nonmigas dan PPN. Hal ini disebabkan oleh
tertundanya implementasi beberapa kebijakan
perpajakan dan aktivitas perekonomian yang
lebih rendah dari prakiraan semula. Sementara
itu, PNBP justru memperlihatkan perkembangan
Grafik 7.2Komponen Pendapatan Negara
Grafik 7.1Perkembangan Penerimaan Pajak dan Bukan Pajak
(Persen terhadap Pendapatan Negara)
Catatan:1) Data diolah dari tahun anggaran menjadi tahun kalender2) 1997-2001 APBN-PAN; 2002 Realisasi sementara belum diaudit periode
1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV-Januari 2003)
115
Keuangan Pemerintah
yang cukup menggembirakan. Meskipun target
anggarannya d i tetapkan leb ih konservat i f
dibandingkan penerimaan pajak, namun dalam
realisasinya penerimaan ini mencapai 5,3% dari
PDB, atau leb ih t ingg i dar i target yang
diharapkan yaitu 4,9% dari PDB. Pelampauan
PNBP ini disebabkan adanya penerimaan yang
melampaui target dari minyak dan gas alam serta
PNBP lainnya, termasuk didalamnya penyetoran
dana off budget dan pengembalian kelebihan
subsidi BBM tahun 2001 dengan mengacu pada
hasil audit BPKP (Grafik 7.1).
Secara keseluruhan, PPh Nonmigas dan PPN
masih menjadi dua sumber utama pendapatan
negara dengan pangsa masing-masing sebesar
28,1% dan 21,9% dari total pendapatan negara.
Walaupun tidak mencapai target, namun kedua
penerimaan tersebut meningkat dibandingkan
tahun lalu. Sementara itu, sumber penerimaan
ketiga terbesar adalah PNBP dari minyak dengan
pangsa 15,9% dari total pendapatan negara.
Penerimaan ini melebihi target namun menurun(Triliun Rp)
1) APBN Perhitungan Anggaran Negara (PAN) : realisasi 1 Januari s.d. 31 Desember 2001 yang telah diaudit 2) APBN Perubahan (P) : perkiraan realisasi 3) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 4) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam realisasi APBN 2002 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam APBN-PAN 2001 terhadap PDB
Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)
Tabel 7.2Pendapatan Negara dan Hibah
A. Pendapatan Negara dan HibahI. Penerimaan Dalam Negeri
1. Penerimaan Pajaka. Pajak Dalam Negeri
i. Pajak Penghasilan1. Migas2. Non Migas
ii. Pajak Pertambahan Nilaiiii. Pajak Bumi dan Bangunaniv. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunanv. Cukaivi.Pajak Lainnya
b. Pajak Perdagangan Internasionali. Bea Masukii. Pajak/Pungutan Ekspor
2. Penerimaan Bukan Pajak (PNBP)a. Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA)
i. Minyak Bumiii. Gas Alamiii. Pertambangan Umumiv. Kehutananv. Perikanan
b. Bagian Laba BUMNc. PNBP Lainnya
II. Hibah
Uraian20022001
APBN-PAN 1) APBN Realisasi 3)
Nominal
20,19 20,16 12,44 11,80 6,34 1,55 4,79 3,75 0,35 0,10 1,17 0,09 0,64 0,61 0,04 7,72 5,75 3,95 1,48 0,16 0,15 0,00 0,59 1,38 0,03
301,87 301,87 219,63
207,03 104,50 15,68 88,82 70,10 5,92 2,21 22,35 1,95 12,60 12,25 0,35 82,25 63,20 44,01 14,52 1,34 3,03 0,29 10,35 8,70
-
17,91 17,91 13,03 12,28 6,20 0,93 5,27 4,16 0,35 0,13 1,33 0,12 0,75 0,73 0,02 4,88 3,75 2,61 0,86 0,08 0,18 0,02 0,61 0,52 -
305,15304,89214,71202,57103,31
16,1187,2067,806,031,50
22,471,46
12,1411,840,31
90,1868,0047,6816,351,432,360,19
10,9111,270,26
17,78 17,76
12,5111,80
6,02 0,94 5,08 3,95 0,35 0,09 1,31 0,08 0,71 0,69 0,02 5,25 3,96 2,78 0,95 0,08 0,14 0,01 0,64 0,66 0,01
% thd PDB Nominal % Thd PDB Nominal % thd PDB Nominal
301,08 300,60 185,54 175,97 94,58 23,10 71,47 55,96 5,25 1,42 17,39 1,38 9,57 9,03 0,54 115,06 85,67 58,95 22,09 2,32 2,24 0,07 8,84 20,55 0,48
300,19 299,89
210,95 200,32 101,68 17,22 84,46 65,85 6,36 1,63 23,34 1,47 10,63 10,40 0,23 88,93 65,22 47,69 12,33 1,85 3,15 0,20 9,76 13,95 0,30
% thd PDB Perubahan4)
18,00 17,98 12,65 12,01 6,10 1,03 5,06 3,95 0,38 0,10 1,40 0,09 0,64 0,62 0,01 5,33 3,91 2,86 0,74 0,11 0,19 0,01 0,59 0,84 0,02
(2,20) (2,18) 0,20 0,21 (0,25) (0,52) 0,27 0,20 0,03 0,00 0,23 (0,00) (0,00) 0,02 (0,02) (2,38) (1,84) (1,09) (0,74) (0,04) 0,04 0,01 (0,01) (0,54)
(0,01)
APBN-P 2)
116
Keuangan Pemerintah
dibandingkan tahun lalu (Grafik 7.2 dan Tabel 7.2).
Jenis-jenis penerimaan lain yang cukup penting
seperti cukai dan PPh Migas berada di atas target,
sedangkan PNBP dari gas alam berada di bawah tar-
get. Cukai mengalami peningkatan yang cukup
signifikan dibandingkan tahun lalu karena
meningkatnya produksi barang kena cukai serta
dampak beberapa kebijakan seperti pemberantasan
peredaran rokok polos dan pemantauan secara intensif
terhadap Harga Jual Eceran (HJE) barang kena cukai
di peredaran Sementara itu, PNBP dari gas alam
mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu seiring
dengan turunnya harga minyak internasional dan
menguatnya nilai tukar rupiah.
BELANJA NEGARA
Realisasi belanja negara berada di bawah
jumlah yang ditargetkan. Dalam nilai nominal, angka
realisasinya mencapai Rp327,9 triliun atau 4,7% di
bawah target, sedangkan dalam persentase terhadap
PDB angka realisasi belanja tersebut mencapai 19,7%
atau di bawah rencana anggaran yang ditetapkan
sebesar 20,4% dari PDB. Dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, rasio belanja negara pada 2002 lebih
rendah dari 2001 yang tercatat 22,9% dari PDB
terutama karena penurunan yang sangat signifikan
pada alokasi dana untuk subsidi.
Alokasi belanja terbesar masih tetap untuk
pengeluaran rutin pemerintah pusat yang mencapai
57,7% dari total belanja negara, diikuti oleh belanja
untuk daerah (30,0%) dan pengeluaran pembangunan
(12,3%). Dibandingkan dengan rencana anggaran,
realisasi dana untuk pengeluaran rutin pemerintah
pusat dan alokasi dana untuk pengeluaran
pembangunan masing-masing tercatat 2,4% dan
23,0% lebih rendah, sedangkan alokasi dana untuk
belanja daerah sedikit lebih tinggi dari rencana
anggaran. Sebagian besar dari alokasi anggaran
digunakan untuk pembayaran bunga utang yakni
sebesar 27,4%, diikuti oleh Dana Alokasi Umum
(DAU) untuk daerah sebesar 21,1% dan subsidi
sebesar 12,2% dari total belanja negara (Grafik 7.3).
Realisasi yang lebih rendah pada pengeluaran
rutin pemerintah pusat terjadi pada hampir seluruh
komponennya, kecuali pembayaran bunga utang
khususnya utang dalam negeri. Terlampauinya alokasi
dana untuk pembayaran bunga utang dalam negeri
disebabkan oleh lebih tingginya tingkat suku bunga
rata-rata SBI 3 bulan yang menjadi acuan penentuan
bunga utang dalam negeri dan ditambah pula oleh
tertundanya pelaksanaan penarikan obligasi
rekapitalisasi perbankan. Penarikan obligasi tersebut
semula direncanakan dimulai pada awal tahun
anggaran, namun baru dapat dilaksanakan mulai
akhir triwulan III-2002. Dibandingkan dengan tahun
lalu, hampir seluruh pos mengalami kenaikan
Grafik 7.3Komponen Belanja Negara
117
Keuangan Pemerintah
realisasi, kecuali pembayaran subsidi BBM dan bunga
utang luar negeri.
Tercapainya rencana anggaran untuk daerah
tidak terlepas dari semakin baiknya pelaksanaan
otonomi daerah sejak mulai digulirkan pada awal
2001. Alokasi terbesar masih tetap untuk DAU yang
mencakup lebih dari dua pertiga total belanja untuk
daerah. Dibandingkan dengan tahun lalu, alokasi
dana untuk hampir seluruh pos pada belanja daerah
ini mengalami kenaikan yang cukup signifikan,
termasuk untuk pos baru yang dinamakan Dana
Otonomi Khusus dan Penyeimbang. Pada pos yang
terakhir ini tercakup pula alokasi anggaran untuk
membiayai kenaikan tunjangan kependidikan untuk
guru pada 2002 sebesar 50,0% yang berlaku sejak
Oktober 2002.
Rendahnya tingkat realisasi pengeluaran
pembangunan tidak terlepas dari kendala teknis
dan administratif dalam pencairan utang luar
negeri serta rendahnya t ingkat penyerapan
pinjaman proyek. Pinjaman ini terutama
dialokasikan untuk melanjutkan kembali proyek-
(Triliun Rp)
1) APBN Perhitungan Anggaran Negara (PAN) : realisasi 1 Januari s.d. 31 Desember 2001 yang telah diaudit 2) APBN Perubahan (P) : perkiraan realisasi 3) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 4) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam APBN-PAN 2001 terhadap PDB
Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)
Tabel 7.3Belanja Negara
B. Belanja NegaraI. Belanja Pemerintah Pusat
1. Pengeluaran Rutina. Belanja Pegawaib. Belanja Barangc. Pembayaran Bunga Utang
i. Utang Dalam Negeriii. Utang Luar Negeri
d. Subsidii. Subsidi BBMii. Subsidi Non BBM
- Pangan- Listrik- Bunga Kredit Program- Lainnya
e. Pengeluaran Rutin Lainnya2. Pengeluaran Pembangunan
a. Pembiayaan Pembangunan Rupiahb. Pembiayaan Proyek (termasuk Hibah)
II. Anggaran Belanja untuk Daerah1. Dana Perimbangan
a. Dana Bagi Hasilb. Dana Alokasi Umumc. Dana Alokasi Khusus
2. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang
Uraian20022001
APBN-PAN 1) APBN Realisasi 3)
Nominal
22,91 17,47
14,68 2,60 0,67 5,84 3,90 1,94 5,19 4,59 0,61 - - - - 0,38 2,79 1,43 1,36 5,44 5,44 1,34 4,05 0,05 -
344,01 246,04 193,74 41,30 12,86 88,50 59,52 28,98 41,59 30,38 11,21 4,70 4,11 2,20 0,20 9,49 52,30 26,47 25,83 97,97 94,53 24,60 69,11 0,82 3,44
20,41 14,60 11,50 2,45 0,76 5,25 3,53 1,72 2,47 1,80 0,67 0,28 0,24 0,13 0,01 0,56 3,10 1,57 1,53 5,81 5,61 1,46 4,10 0,05 0,20
345,60 247,80 200,38 42,20 13,90 91,54 63,21 28,32 42,64 31,16 11,47 4,70 4,10 2,47 0,20 10,11 47,41 27,19 20,22 97,81 94,04 24,27 69,11 0,66 3,77
20,13 14,44 11,67 2,46 0,81 5,33 3,68 1,65 2,48 1,82 0,67 0,27 0,24 0,14 0,01 0,59 2,76 1,58 1,18 5,70 5,48 1,41 4,03 0,04 0,22
% thd PDB Nominal % thd PDB Nominal % thd PDB Nominal
341,56 260,51 218,92 38,71 9,93 87,14 58,20 28,95 77,44 68,38 9,06 - - - - 5,69 41,59
21,37 20,21 81,05 81,05
20,0160,35
0,70-
327,86 229,34 189,07 39,69 12,43 89,87 64,46 25,41 40,01 31,16 8,84 - - - - 7,08 40,27 27,64 12,63 98,52 94,76 24,99 69,14 0,64 3,76
% thd PDB Perubahan4)
19,66 13,75
11,342,38
0,75 5,39 3,86 1,52 2,40 1,87 0,53 - - - - 0,42 2,41 1,66 0,76 5,91 5,68 1,50 4,15 0,04 0,23
(3,25)(3,72)(3,35)
(0,22)0,08
(0,46) (0,04) (0,42) (2,80) (2,72) (0,08) - - - - 0,04 (0,37)
0,22(0,60)
0,47 0,25 0,16 0,10 (0,01) 0,23
APBN-P 2)
118
Keuangan Pemerintah
proyek transportasi dan energi yang
pelaksanaannya tertunda akibat krisis ekonomi
sejak tahun anggaran 1997/1998. Selain itu,
pinjaman proyek juga digunakan untuk proyek-
(Triliun Rp)
2 Proyek-proyek cost recovery yaitu proyek-proyek yang menghasilkanpenerimaan sehingga dapat memenuhi pembayaran kembali sekaligusmembiayai operasional dan pemeliharaan proyek yang bersangkutan,sedangkan proyek-proyek dengan spillovers yaitu proyek-proyek yangdapat dinikmati oleh masyarakat luas, termasuk masyarakat di luarlokasi proyek.
1) APBN Perhitungan Anggaran Negara (PAN) : realisasi 1 Januari s.d. 31 Desember 2001 yang telah diaudit 2) APBN Perubahan (P) : perkiraan realisasi 3) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 4) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam APBN-PAN 2001 terhadap PDB
Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)
Tabel 7.4Operasi Keuangan Pemerintah
A. Pendapatan Negara dan HibahI. Penerimaan Dalam Negeri
1. Penerimaan Pajak2. Penerimaan Bukan Pajak (PNBP)
II. Hibah
B. Belanja NegaraI. Belanja Pemerintah Pusat
1. Pengeluaran Rutin2. Pengeluaran Pembangunan
II. Anggaran Belanja Untuk Daerah1. Dana Perimbangan2. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang
C. Keseimbangan PrimerPerbedaan Statistik
D. Surplus/(Defisit) Anggaran
E. PembiayaanI. Pembiayaan Dalam Negeri
1. Perbankan Dalam Negeria. Otoritas Moneterb. Kredit/Pinjaman Sektor Perbankanc. Koreksi Moneter
2. Non-Perbankan Dalam Negeria. Privatisasib. Penjualan Aset Program Restruk. Perbankanc. Penjualan Obligasi Pemerintah
II. Pembiayaan Luar Negeri (Neto)1. Penarikan Pinjaman LN (Bruto)
a. Pinjaman Programb. Pinjaman Proyek
2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN
Uraian20022001
APBN-PAN 1) APBN Realisasi 3)
Nominal
20,19 20,16 12,44 7,72 0,03
22,91 17,47 14,68 2,79 5,44 5,44 -
3,13
(2,72)
2,722,03
(0,08) (0,08) - - 2,11 0,23 1,88 - 0,69 1,75 0,43 1,32 (1,07)
301,87 301,87 219,63 82,25 -
344,01 246,04 193,74 52,30 97,97 94,53 3,44
46,36 0,00
(42,14)
42,13 23,50 - - - - 23,50 3,95 19,55 - 18,63 35,36 9,53 25,83 (16,73)
17,91 17,91
13,034,88
-
20,41 14,60 11,50 3,10 5,81 5,61 0,20
2,75
(2,50)
2,50 1,39 - - - - 1,39 0,23 1,16 - 1,11 2,10 0,57 1,53 (0,99)
305,15 304,89 214,71 90,18 0,26
345,60 247,80 200,38 47,41 97,81 94,04 3,77
51,08 0,00
(40,46)
40,45 24,19 0,20 0,20 - - 23,99 4,44 19,55 - 16,26 29,31 9,35 19,96 (13,05)
17,78 17,76 12,51 5,25 0,01
20,1314,4411,672,765,705,480,22
2,98
(2,36)
2,361,41
0,01 0,01 - - 1,40 0,26 1,14 - 0,95 1,71 0,54 1,16 (0,76)
% thd PDB Nominal % thd PDB Nominal % thd PDB Nominal
301,08 300,60 185,54 115,06 0,48
341,56 260,51 218,92 41,59 81,05 81,05 -
46,66 0,00
(40,48)
40,4930,22
(1,23)(1,23)
- - 31,45 3,47 27,98 - 10,27 26,15 6,42 19,74 (15,88)
300,19 299,89 210,95 88,93 0,30
327,86 229,34 189,07 40,27 98,52 94,76 3,76
62,19 (0,00)
(27,68)
27,6820,56
(4,71) (4,71) - - 25,27 7,66 19,55 (1,94) 7,12 19,37 7,04 12,33 (12,26)
% thd PDB Perubahan4)
18,00 17,98 12,65 5,33 0,02
19,66 13,75 11,34 2,41 5,91 5,68 0,23
3,73
(1,66)
1,66 1,23 (0,28) (0,28) - - 1,52 0,46 1,17 (0,12) 0,43 1,16 0,42 0,74 (0,73)
(2,20) (2,18) 0,20 (2,38) (0,01)
(3,25) (3,72) (3,35) (0,31) 0,47 0,25 0,23
0,60
1,06
(1,06) (0,79) (0,20) (0,20) - - (0,59) 0,23 (0,70) (0,12) (0,26) (0,59) (0,01) (0,58) 0,33
APBN-P 2)
119
Keuangan Pemerintah
Grafik 7.5Dampak Operasi Keuangan Pemerintah
terhadap Sektor Riil (Persen terhadap PDB a/d Harga Berlaku)
Catatan:1) Data diolah dari tahun anggaran menjadi tahun kalender2) 1997-2001 APBN-PAN; 2002 Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari
s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV-Januari 2003)3) Terdiri dari Pembayaran Bunga Utang Dalam Negeri dan Subsidi
proyek cost recovery dan proyek-proyek dengan
spillovers yang signifikan.2 Dibandingkan dengan
tahun lalu, t ingkat real isasi pengeluaran
pembangunan pada 2002 relatif tidak mengalami
perubahan yang berarti (Tabel 7.3).
DEFISIT DAN PEMBIAYAAN
Dengan perkembangan pendapatan dan
belanja negara di atas, defisit operasi keuangan
pemerintah pada 2002 dapat dikendalikan pada
angka Rp27,7 triliun atau setara dengan 1,7%
terhadap PDB (Tabel 7.4). Angka ini lebih rendah
dari rencana anggaran yang ditetapkan sebesar
Rp42,1 triliun atau 2,5% terhadap PDB. Sebagian
besar dari defisit ini dibiayai dari hasil privatisasi
BUMN dan penjualan aset program restrukturisasi
perbankan, sedangkan sisanya dibiayai dari
penarikan pinjaman luar negeri bersih. Hasil dari
privatisasi BUMN sebesar Rp7,7 triliun atau 93,9%
di atas target, sedangkan penjualan aset oleh BPPN
dapat memenuhi target anggaran.
Sumber pembiayaan dari luar negeri bersih
berada d i bawah target karena t ingkat
penyerapan utang luar negeri hanya mencapai
54,8% dari rencana semula. Tingkat penyerapan
yang rendah terutama ter jad i pada jen i s
pinjaman proyek yang hanya mencapai 47,7%,
sementara pinjaman program mencapai 73,9%.
Pembayaran cicilan pokok diprakirakan juga di
bawah target yaitu hanya mencapai 73.3% dari
rencana, terutama karena depresias i dolar
terhadap mata uang regional khususnya yen yang
merupakan negara pemberi pinjaman terbesar
kepada Indonesia (Grafik 7.4).
Di sisi pembiayaan dalam negeri, pada periode
laporan pemerintah melakukan refinancing untuk obligasi
pemerintah yang jatuh tempo senilai Rp1,9 triliun, atau
lebih rendah dari rencana semula Rp3,9 triliun.
DAMPAK OPERASI KEUANGAN PEMERINTAH
TERHADAP SEKTOR RIIL
Stimulus fiskal, melalui pengeluaran konsumsi dan
investasi pemerintah, pada 2002 diprakirakan
mencapai 11,8% dari PDB, di bawah target yang
ditetapkan 12,5% dari PDB. Alokasi terbesar yaitu 7,0%
Grafik 7.4Komponen Pembiayaan Defisit
Catatan:2000-2001 APBN-PAN; 2002 Realisasi sementara belum diaudit periode1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV-Januari 2003)
120
Keuangan Pemerintah
dari PDB masih tetap untuk pengeluaran konsumsi
terutama DAU untuk daerah dan Belanja Pegawai Dalam
Negeri Pemerintah Pusat, sisanya untuk pengeluaran
investasi terutama dalam bentuk Pembiayaan Rupiah
dan Dana Bagi Hasil untuk daerah (Tabel 7.5).
Selain melakukan stimulus fiskal, pemerintah
juga melakukan transfer ke sektor swasta dalam
bentuk pembayaran bunga utang dalam negeri dan
subsidi. Transfer terbesar dan lebih tinggi dari rencana
semula adalah untuk pembayaran bunga utang dalam
negeri yang mencapai 3,9% dari PDB, sementara
sisanya untuk subsidi yang mencapai 2,4% dari PDB.
Jika dilihat dari perkembangan dari tahun ke
tahun, tampak bahwa sumbangan pemerintah
terhadap permintaan agregat terutama dalam bentuk
investasi masih terbatas. Terbatasnya investasi
pemerintah terutama disebabkan oleh
ketidaklancaran dalam penarikan pinjaman luar
negeri —yang terkait dengan kendala teknis dan ad-
ministratif serta pemenuhan policy matrix dengan
pemberi pinjaman (Grafik 7.5). Di sisi lain, konsumsi
pemerintah masih cenderung meningkat, terutama
dalam bentuk dana perimbangan untuk daerah.
DAMPAK RUPIAH OPERASI KEUANGAN PEMERINTAH
Selama tahun 2002 operasi keuangan pemerintah
dalam rupiah diprakirakan menimbulkan dampak
ekspansi bersih pada uang beredar sebesar Rp19,5
triliun. Angka ini lebih tinggi sekitar 26,7% dari rencana
semula terutama karena tidak tercapainya target
penerimaan pajak dan lebih tingginya realisasi
(Triliun Rp)
Tabel 7.5Stimulus Fiskal
I. Konsumsi Pemerintah Belanja Pegawai Dalam Negeri Belanja Barang Dalam Negeri Dana Alokasi Umum Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang Pengeluaran Rutin Lainnya
II. Pembentukan Modal Domestik Bruto Pembiayaan dalam Rupiah Bantuan Proyek Dana Alokasi Umum Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Khusus
III. Jumlah I + II Memo Items : Pembayaran Transfer a. Bunga Utang Dalam Negeri b. Subsidi
Uraian20022001
APBN-PAN 1) APBN Realisasi 3)
Nominal
6,90 2,60 0,67 3,25 - 0,38
4,97 1,43 1,36 0,79 1,39
11,87 9,10 3,90 5,19
120,01 39,80 11,71 55,58 3,44 9,49
91,25 26,47 25,83 13,53 25,42
211,26 101,11 59,52 41,59
7,12 2,36 0,69 3,30 0,20 0,56
5,41 1,57 1,53 0,80 1,51
12,54 6,00 3,53 2,47
122,81 40,65 12,71 55,58 3,77 10,11
85,87 27,19 20,22 13,53 24,92
208,69 105,85 63,21 42,64
7,16 2,37 0,74 3,24 0,22 0,59
5,00 1,58 1,18 0,79 1,45
12,16 6,17 3,68 2,48
% thd PDB Nominal % thd PDB Nominal % thd PDB Nominal
102,87 38,71
9,9348,53
-5,69
74,1121,3720,2111,8220,71
176,98135,6458,2077,44
117,06 38,79 11,84 55,60 3,76 7,08
79,4427,6412,6313,5425,63
196,49 104,47 64,46 40,01
% thd PDB Perubahan4)
7,02 2,33 0,71 3,33 0,23 0,42
4,76 1,66 0,76 0,81 1,54
11,78 6,26 3,86 2,40
0,12 (0,27) 0,04 0,08 0,23 0,04
(0,21) 0,22 (0,60) 0,02 0,15
(0,09) (2,83) (0,04) (2,80)
APBN-P 2)
1) APBN Perhitungan Anggaran Negara (PAN) : realisasi 1 Januari s.d. 31 Desember 2001 yang telah diaudit 2) APBN Perubahan (P) : perkiraan realisasi 3) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 4) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam APBN-PAN 2001 terhadap PDB
Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)
121
Keuangan Pemerintah
pembayaran bunga utang dalam negeri.
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya,
pengeluaran pemerintah memberikan dampak
ekspansi rupiah yang lebih rendah. Hal ini tercermin
pada ekspansi rupiah yang turun dari Rp32,2 triliun
menjadi sekitar Rp19,5 triliun. Penurunan ini dicapai
terutama berkat penurunan yang sangat tajam pada
pembayaran subsidi dari Rp77,4 triliun menjadi
Rp40,0 triliun (Tabel 7.6).
DAMPAK VALUTA ASING OPERASI KEUANGAN
PEMERINTAH
Selama 2002, operasi keuangan pemerintah
dalam valuta asing diprakirakan menghasilkan
aliran devisa masuk bersih setara Rp24,3 triliun,
atau lebih besar dari jumlah ekspansi rupiah
bers ih pemerintah tersebut d i atas. Angka
tersebut lebih tinggi 57,3% dari target semula
terutama karena faktor nilai tukar rata-rata
aktual sebesar Rp9.311 yang lebih tinggi dari
(Triliun Rp)
Tabel 7.6Dampak Rupiah Keuangan Pemerintah APBN 2002
Uraian20022001
APBN-PAN 1) APBN Realisasi 3)
Nominal % thd PDB Nominal % thd PDB Nominal % thd PDB Nominal % thd PDB Perubahan4)
APBN-P 2)
A. Penerimaan Rupiah Pajak
Migas Nonmigas
Bukan Pajak Privatisasi Penjualan Aset Prog. Restrukt. Perbankan Penjualan Obligasi Pemerintah Jumlah Penerimaan
B. Pengeluaran Rupiah Operasional
Belanja Pegawai Dalam Negeri Subsidi Bunga Utang Dalam Negeri Pengeluaran Rutin Lainnya
Investasi Dana Perimbangan Jumlah Pengeluaran
C. Perbedaan Statistik
D. Dampak Rupiah
23,10162,4460,55 0,99
17,20 -
264,27
(189,98)(38,71)(77,44)(58,20)(15,62)(25,41)
(81,05)(296,45)
0,00
(32,17)
1,5510,89
4,06 0,07 1,15 - 17,72
(12,74) (2,60) (5,19) (3,90) (1,05) (1,70) (5,44) (19,88)
(2,16)
15,68 203,94 43,52 1,13 12,02 - 276,29
(162,11) (39,80) (41,59) (59,52) (21,20) (31,64) (97,97) (291,71)
0,00
(15,42)
0,93 12,10 2,58 0,07 0,71 - 16,39
(9,62) (2,36) (2,47) (3,53) (1,26) (1,88) (5,81) (17,31)
(0,92)
16,11 196,32 47,61 1,27 12,02 - 273,33
(169,31) (40,65) (42,64) (63,21) (22,82) (31,24) (97,81) (298,36)
0,00
(25,03)
0,94 11,44 2,77 0,07 0,70 - 15,92
(9,86) (2,37) (2,48) (3,68) (1,33) (1,82) (5,70) (17,38)
(1,46)
17,22 191,46 50,38 2,19 12,02 (1,94) 271,32
(162,17) (38,79) (40,01) (64,46)
(18,91)(30,17)(98,52)
(290,86)
(0,00)
(19,54)
1,03 11,48 3,02 0,13 0,72 (0,12)
16,27
(9,72)(2,33)(2,40)(3,86)(1,13)(1,81)(5,91)
(17,44)
(1,17)
(0,52) 0,58 (1,04) 0,06 (0,43) (0,12) (1,46)
3,02 0,27 2,80 0,04 (0,09) (0,10) (0,47) 2,44
0,99
1) APBN Perhitungan Anggaran Negara (PAN) : realisasi 1 Januari s.d. 31 Desember 2001 yang telah diaudit 2) APBN Perubahan (P) : perkiraan realisasi 3) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 4) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam APBN-PAN 2001 terhadap PDB
Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)
122
Keuangan Pemerintah
Tabel 7.8Asumsi Pokok APBN 2003
PDB Nominal (triliun rupiah)
Pertumbuhan Ekonomi (%)
Laju Inflasi (%)
Harga Minyak Mentah ($ per barel)
Produksi Minyak (juta barel per hari)
Nilai Tukar (Rp/$)
Rata-Rata Suku Bunga SBI 3 Bulan (%)
APBN 2003Realisasi 20021)
1940
4,0
9,0
22,0
1,27
9000
13,0
1668
3,6
10,03
24,1
1,26
9311
15,2
1) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV Januari 2003)Sumber : Departemen Keuangan
asumsi anggaran sebesar Rp9.000 per dolar dan
karena adanya penerimaan migas yang lebih
t ingg i da r i yang d ip rak i rakan . Da r i
perbandingan dampak rupiah dan valas di atas
terlihat bahwa aliran devisa masuk bersih sektor
pemerintah lebih besar dari ekspansi rupiah
bersih pemerintah sehingga memungkinkan BI
untuk menyerap seluruh ekspansi rupiah bersih
tersebut melalui sterilisasi valas.
Dibandingkan dengan tahun lalu, aliran
devisa masuk bersih pada tahun ini terlihat
lebih rendah yang terutama juga disebabkan
oleh menguatnya rata-rata nilai tukar rupiah,
di samping karena penurunan produksi dan
harga minyak (Tabel 7.7).
(Triliun Rp)
Tabel 7.7Dampak Valuta Asing Keuangan Pemerintah APBN 2002
Uraian20022001
APBN-PAN 1) APBN Realisasi 3)
Nominal % thd PDB Nominal % thd PDB Nominal % thd PDB Nominal % thd PDB Perubahan4)
APBN-P 2)
A. Transaksi Berjalan Neraca Barang
Ekspor Migas Impor Bantuan Proyek
Neraca JasaUtang Luar NegeriPembayaran Bunga Utang Luar NegeriBelanja Pegawai Luar NegeriBelanja Barang Luar NegeriPenerimaan PPh NonmigasHibah
B. Pemasukan Modal Neto PemerintahPenarikan Utang Luar NegeriPembayaran Cicilan Pokok Utang Luar NegeriPrivatisasiPenjualan Aset Prog. Restrukt. Perbankan
C. Dampak Valas (A+B)
0,66 2,57 3,66 (1,08)
(1,91) (1,94) - - - 0,03
1,58 1,75 (1,07) 0,17 0,72
2,24
(13,57) 18,07 38,73 (20,66)
(31,63) (28,98) (1,50) (1,16) - -
28,99 35,36 (16,73) 2,82 7,53
15,42
(0,80) 1,07 2,30 (1,23)
(1,88) (1,72) (0,09) (0,07) - -
1,72 2,10 (0,99) 0,17 0,45
0,92
(2,14) 26,39 42,57 (16,18)
(28,53) (28,32) (1,55) (1,19) 2,28 0,26
26,97 29,31 (13,05) 3,17 7,53
24,83
(0,12) 1,54 2,48 (0,94)
(1,66) (1,65) (0,09) (0,07) 0,13 0,01
1,57 1,71 (0,76) 0,18 0,44
1,45
9,88 38,3454,51
(16,17)
(28,47)(28,95)
- -
- 0,48
23,5226,15
(15,88)2,48
10,78
33,40
4,13 28,45 38,55 (10,11)
(24,32) (25,41) (0,90) (0,60) 2,28 0,30
20,12 19,37 (12,26) 5,48 7,53
24,25
0,25 1,71 2,31 (0,61)
(1,46) (1,52) (0,05) (0,04) 0,14 0,02
1,21 1,16 (0,73) 0,33 0,45
1,45
(0,41) (0,87) (1,34) 0,48
0,45 0,42 (0,05) (0,04) 0,14 (0,01)
(0,37) (0,59) 0,33 0,16 (0,27)
(0,79)
1) APBN Perhitungan Anggaran Negara (PAN) : realisasi 1 Januari s.d. 31 Desember 2001 yang telah diaudit 2) APBN Perubahan (P) : perkiraan realisasi 3) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 4) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam APBN-PAN 2001 terhadap PDB
Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)
123
Keuangan Pemerintah
Grafik 7.6Perkembangan Penerimaan Pajak dan Bukan Pajak
(Persen terhadap Pendapatan Negara)
Catatan:1) Data diolah dari tahun anggaran menjadi tahun kalender2) 1997-2001 APBN-PAN; 2002 Realisasi sementara belum diaudit periode
1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV-Januari 2003); 2003 APBN
PROSPEK APBN 2003
Sesuai amanat Propenas 2000 – 2004, kebijakan
fiskal pada APBN 2003 merupakan kelanjutan dari
langkah konsolidasi fiskal dalam dua tahun terakhir.
Secara operasional langkah konsolidasi tersebut
dilakukan dalam bentuk pengendalian defisit anggaran
melalui peningkatan penerimaan pajak secara progresif,
penghematan anggaran belanja negara terutama subsidi,
dan pengurangan utang secara bertahap. Meskipun
demikian, pemerintah tetap melakukan upaya
memperkuat stimulus fiskal melalui alokasi sejumlah
dana dari subsidi ke pengeluaran pembangunan. Adapun
asumsi-asumsi ekonomi makro yang digunakan untuk
menyusun APBN 2003 dapat dilihat di Tabel 7.8.
Sebagai konsekuensi dari rencana tindak lanjut
kebijakan fiskal di 2003 tersebut, rasio penerimaan
pajak (tax ratio) diprakirakan akan mengalami
peningkatan meskipun rasio pendapatan negara secara
keseluruhan terhadap PDB akan sedikit menurun karena
menurunnya penerimaan minyak.Di sisi belanja negara,
terlihat upaya pemerintah untuk menekan belanja
negara melalui pemotongan subsidi secara signifikan.
Sementara itu, peningkatan stimulus fiskal dilakukan
melalui kebijakan di sisi pendapatan dan belanja
negara, termasuk di dalamnya sejumlah stimulus fiskal
tambahan untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan
mengantisipasi dampak negatif tragedi Bali.3 Secara
keseluruhan, rasio defisit pada 2003 akan sedikit lebih
tinggi dibanding 2002 yaitu dari 1,7% menjadi 1,8%
terhadap PDB. Untuk membiayai defisit, pemerintah masih
mengandalkan sumber pembiayaan baik dari nonperbankan
dalam negeri maupun utang luar negeri. Oleh karena jumlah
pembiayaan bersih lebih kecil dari prakiraan defisit, maka
untuk menutup kekurangannya pemerintah berencana
akan menarik tabungannya pada sistem moneter
sebesar Rp8,5 triliun. Hal ini dilakukan pemerintah
untuk pertama kalinya sejak krisis ekonomi 1997.
Operasi keuangan pemerintah di 2003 akan
menimbulkan beberapa konsekuensi baik terhadap
permintaan agregat maupun moneter. Di sisi
permintaan agregat, kontribusi langsung sektor
keuangan pemerintah terhadap PDB akan meningkat
dibandingkan tahun lalu dari 11,8% menjadi 13,4%.
Peningkatan tersebut terjadi baik melalui
pengeluaran konsumsi dari 7,0% menjadi 7,7% dari
PDB maupun pengeluaran investasi dari 4,8%
menjadi 5,7% dari PDB. Peningkatan tersebut dicapai
melalui pemotongan yang cukup signifikan pada jenis
pengeluaran transfer (transfer payment) dari 6,3%
menjadi 4,2% dari PDB.
Di sisi moneter, tambahan likuiditas rupiah ke
perekonomian diprakirakan meningkat dari 1,2%
3 Stimulus fiskal antara lain dilakukan dalam bentuk penundaan,penurunan dan pencabutan 45 jenis pajak (PPh, PPN dan PPnBM) dankenaikan gaji/pensiun Pegawai Negeri Sipil rata-rata 10%. Selain itu,pemerintah juga mengalokasikan dana kompensasi sosial sebesar Rp4,4triliun untuk Program Penanggulangan Dampak Pengurangan SubsidiEnergi (PPD-PSE) antara lain dalam bentuk bantuan beras murah,pelayanan kesehatan, bantuan pendidikan, pembangunan sarana airbersih, dana bergulir untuk usaha kecil dan penanggulanganpengangguran.
124
Keuangan Pemerintah
Grafik 7.7Komponen Pendapatan Negara
menjadi 1,4% dari PDB, demikian pula secara nominal
meningkat dari Rp19,5 triliun menjadi Rp26,7 triliun.
Tambahan likuiditas rupiah pada 2003 tersebut akan lebih
besar dari aliran devisa masuk bersih pemerintah pada
tahun yang sama yang diprakirakan hanya mencapai 0,9%
dari PDB (setara Rp18,2 triliun). Dengan demikian,
selisihnya sebesar Rp8,5 triliun tidak dapat disterilisasi
dengan aliran devisa masuk bersih pemerintah.
Pendapatan Negara dan Hibah
Pendapatan negara direncanakan sebesar Rp
336,2 triliun atau setara dengan 17,3% dari PDB, lebih
rendah dibanding rasio di 2002 sebesar 18,0% dari
PDB. Faktor dominan yang mempengaruhi
perkembangan pendapatan negara tersebut adalah
lebih rendahnya rasio PNBP, khususnya minyak,
walaupun di sisi lain, rasio penerimaan pajak (tax
ratio) diprakirakan lebih tinggi (Grafik 7.6).
Dilihat dari jenis penerimaan, sumber
penerimaan terbesar secara berturut-turut masih
didominasi oleh PPh Nonmigas, PPN dan PNBP dari
minyak dengan pangsa masing-masing sebesar
31,6%, 24,0% dan 11,9%. Tulang punggung utama
pendapatan negara yaitu penerimaan pajak
direncanakan sebesar Rp254,1 triliun atau 75,6% dari
total pendapatan negara. Dibandingkan realisasi di
2002, tax ratio meningkat dari 12,7% menjadi 13,1%
(Grafik 7.7). Adapun rencana tindak kebijakan di
bidang perpajakan untuk mencapai target pajak
antara lain:
a. Kenaikan tarif PPh atas keuntungan dari
revaluasi aset;
b. Pengenaan PPh atas capital gain dari pengalihan
hak penambangan minyak oleh suatu
perusahaan minyak kepada perusahaan lainnya;
c. Pencabutan pembebasan PPN atas barang
strategis;
d. Peningkatan persentase Nilai Jual Kena Pajak
(NJKP) PBB;
e. Perubahan strata industri rokok dari tiga strata
menjadi dua strata, yakni industri kecil dan
nonkecil; serta
f. Perubahan tarif cukai dari ad valorem menjadi
semi specific.
Sementara itu, PNBP direncanakan sebesar
Rp82,0 triliun atau 24,4% dari total pendapatan
negara. Dibandingkan realisasi di 2002, rasio PNBP
terhadap PDB turun dari 5,3% menjadi 4,2%.
Penurunan ini terutama disebabkan oleh lebih
rendahnya penerimaan dari sumber daya alam (SDA)
(Grafik 7.7). Penurunan PNBP dari SDA didorong oleh
prakiraan menurunnya penerimaan minyak sejalan
dengan penggunaan asumsi harga minyak yang lebih
rendah dan apresiasi nilai tukar rupiah.
125
Keuangan Pemerintah
1) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 2) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam APBN 2003 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB
Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)
Tabel 7.9Pendapatan Negara dan Hibah
A. Pendapatan Negara dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri
1. Penerimaan Pajak a. Pajak Dalam Negeri
i. Pajak Penghasilan 1. Migas 2. Nonmigas ii. Pajak Pertambahan Nilai iii. Pajak Bumi dan Bangunan iv. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan v. Cukai vi. Pajak Lainnya
b. Pajak Perdagangan Internasional i. Bea Masuk ii. Pajak/Pungutan Ekspor
2. Penerimaan Bukan Pajak (PNBP) a. Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA)
I. Minyak Bumi ii. Gas Alam iii. Pertambangan Umum iv. Kehutanan v. Perikanan
b. Bagian Laba BUMN c. PNBP Lainnya
II. Hibah
Uraian20032002
Realisasi 1) APBNNominal
18,00 17,98 12,65 12,01 6,10 1,03 5,06 3,95 0,38 0,10 1,40 0,09 0,64 0,62 0,01 5,33 3,91 2,86 0,74 0,11 0,19 0,01 0,59 0,84 0,02
336,16 336,16 254,14 241,74 120,92 14,78 106,15 80,79 7,52 2,40 27,95 2,16 12,40 11,96 0,44 82,02 59,40 39,91 16,28 1,48 1,27 0,45 10,41 12,21 -
17,33 17,33 13,10 12,46 6,23 0,76 5,47 4,16 0,39 0,12 1,44 0,11 0,64 0,62 0,02 4,23 3,06 2,06 0,84 0,08 0,07 0,02 0,54 0,63 -
(0,67) (0,65) 0,45 0,45 0,14 (0,27) 0,41 0,22 0,01 0,03 0,04 0,02 0,00 (0,01) 0,01 (1,10) (0,85) (0,80) 0,10 (0,03) (0,12) 0,01 (0,05) (0,21) (0,02)
% thd PDB Nominal % thd PDB Perubahan2)
300,19 299,89 210,95 200,32 101,68 17,22 84,46 65,85 6,36 1,63 23,34 1,47 10,63 10,40 0,23 88,93 65,22 47,69 12,33 1,85 3,15 0,20 9,76 13,95 0,30
(Triliun Rp)
BELANJA NEGARA
Belanja negara direncanakan sebesar Rp370,6
triliun atau setara dengan 19,1% dari PDB, lebih
rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang
mencapai 19,7% dari PDB (Tabel 7.10). Penurunan
tersebut bersumber dari lebih rendahnya rasio
pengeluaran rutin pemerintah pusat, sementara
rasio pengeluaran pembangunan pemerintah pusat
dan rasio anggaran belanja untuk daerah mengalami
kenaikan. Kebijakan ini merupakan bagian dari
langkah konsolidasi fiskal yang dilakukan
pemerintah dalam rangka mengendalikan defisit
anggaran menuju ketahanan fiskal yang
berkesinambungan.
Pengeluaran Rutin direncanakan sebesar Rp188,6
triliun atau 50,9% dari total belanja negara. Angka
4 Harga eceran BBM yang pada 2002 masih ada yang diberlakukandengan 75,0% dari harga pasar (atau 25,0%-nya masih disubsidi),terutama untuk industri kecil menengah dan sektor transportasi,tidak berlaku lagi. Pada 2003, harga seluruh jenis BBM, kecuali minyaktanah untuk rumah tangga dan UKM, akan diberlakukan 100,0% dariharga pasar di Singapura (Mid Oil Platts Singapore) plus 5,0%.
126
Keuangan Pemerintah
Grafik 7.8Komponen Belanja Negara
5 Program privatisasi tahun 2003 merupakan kelanjutan sebagian pro-gram privatisasi 2002 yang belum selesai ditambah penjualan beberapaBUMN.
Grafik 7.9Komponen Pembiayaan Defisit
Catatan:2000-2001 APBN-PAN; 2002 Realisasi sementara belum diaudit periode
1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV-Januari 2003); 2003 APBN
ini turun dari 11,3% dari PDB pada 2002 menjadi 9,7%
dari PDB pada 2003 (Grafik 7.8). Turunnya pengeluaran
rutin terutama karena turunnya subsidi BBM dan beban
bunga utang dalam negeri. Penurunan subsidi BBM
direncanakan melalui kebijakan penyesuaian harga
BBM dalam negeri serta didasari pula oleh prakiraan
apresiasi rupiah dari Rp9.311 menjadi Rp9.000 per
dolar.4 Penurunan beban bunga utang dalam negeri
didasarkan atas prakiraan lebih rendahnya suku bunga
SBI 3 bulan dibandingkan realisasi di 2002 yaitu dari
rata-rata 15,2% menjadi 13% dan penurunan posisi
utang karena adanya pembayaran obligasi pemerintah
jatuh tempo dan kebijakan pembelian kembali (buy
back) obligasi pemerintah.
Pengeluaran pemerintah yang juga mendapat
porsi cukup besar pada APBN 2003 adalah anggaran
belanja daerah yang dianggarkan sebesar Rp116,9
triliun atau 31,5% dari total belanja negara.
Dibandingkan realisasi di 2002, angka ini sedikit
meningkat dari 5,9% menjadi 6,0% dari PDB.
Alokasi dana terkecil adalah untuk pengeluaran
pembangunan yang direncanakan sebesar Rp65,1
triliun atau 17,6% dari total belanja negara.
Sebagaimana telah disinggung di atas, angka ini
meningkat cukup tajam dibanding 2002 dari 2,4%
terhadap PDB menjadi 3,4% terhadap PDB sebagai
upaya untuk meningkatkan stimulus fiskal dan
mengantisipasi dampak negatif tragedi Bali.
Defisit dan Pembiayaan
Defisit pada APBN 2003 diprakirakan sebesar
Rp34,4 triliun atau 1,8% dari PDB. Angka defisit ini
sedikit lebih tinggi dibandingkan realisasi defisit 2002
sebesar 1,7% dari PDB. Untuk membiayai defisit,
pemerintah masih mengandalkan sumber pembiayaan
dari nonperbankan dalam negeri, yaitu penjualan aset
oleh BPPN dan privatisasi.
Sumbangan penjualan aset dan privatisasi
masing-masing direncanakan sebesar Rp18 triliun dan
Rp8 triliun.5 Selain itu, dalam pos nonperbankan dalam
negeri dianggarkan dana Rp12,1 triliun untuk
membiayai pengelolaan surat utang negara, yang
sebagian anggarannya (Rp8,5 triliun) berasal dari Sisa
127
Keuangan Pemerintah
Tabel 7.10Belanja Negara
B. Belanja NegaraI.Belanja Pemerintah Pusat
1. Pengeluaran Rutina. Belanja Pegawaib. Belanja Barangc. Pembayaran Bunga Utang
i. Utang Dalam Negeriii. Utang Luar Negeri
d. Subsidii. Subsidi BBMii. Subsidi Non BBM
- Pangan- Listrik- Bunga Kredit Program- Lainnya
e. Pengeluaran Rutin Lainnya2. Pengeluaran Pembangunan
a. Pembiayaan Pembangunan Rupiahb. Pembiayaan Proyek (termasuk Hibah)
II. Anggaran Belanja Untuk Daerah1. Dana Perimbangan
a. Dana Bagi Hasilb. Dana Alokasi Umumc. Dana Alokasi Khusus
2. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang
Uraian20032002
Realisasi APBNNominal
19,66 13,75 11,34 2,38 0,75 5,39 3,86 1,52 2,40 1,87 0,53 - - - - 0,42 2,41 1,66 0,76
5,91 5,68 1,50 4,15 0,04 0,23
370,59 253,71 188,58 50,24 15,43 81,98 55,18 26,80 25,47 13,21 12,26 4,70 4,52 1,64 1,40 15,48 65,13 46,23 18,90
116,88 107,49 27,90 76,98 2,62 9,39
19,10 13,08 9,72 2,59 0,80 4,23 2,84 1,38 1,31 0,68 0,63 0,24 0,23 0,08 0,07 0,80 3,36 2,38 0,97
6,02 5,54 1,44 3,97 0,13 0,48
(0,55) (0,67) (1,61) 0,21 0,05 (1,16) (1,02) (0,14) (1,09) (1,19) 0,10 0,24 0,23 0,08 0,07 0,37 0,94 0,73 0,22
0,12 (0,14) (0,06) (0,18) 0,10 0,26
% thd PDB1) Nominal % thd PDB Perubahan2)
327,86 229,34 189,07 39,69 12,43 89,87 64,46 25,41 40,01 31,16 8,84 - - - - 7,08 40,27 27,64 12,63
98,52 94,76 24,99 69,14 0,64 3,76
(Triliun Rp)
Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) guna membiayai
program buy back obligasi negara.
Sementara itu, pemerintah masih merencanakan
penarikan utang luar negeri setara Rp29,3 triliun dan
di sisi lain melakukan amortisasi utang luar negeri
setara Rp17,3 triliun. Pembiayaan dari luar negeri ini
telah memperhitungkan penjadwalan ulang cicilan
pokok dan bunga utang luar negeri dari hasil Paris
Club III. Oleh karena jumlah pembiayaan bersih baik
dari nonbank dalam negeri maupun utang luar negeri
lebih kecil dari prakiraan defisit, maka untuk menutup
kekurangannya —dan untuk pertama kalinya sejak
krisis ekonomi 1997— pemerintah berencana akan
menarik tabungannya pada sistem moneter sebesar
Rp8,5 triliun (Tabel 7.11).
Dampak Operasi Keuangan Pemerintah terhadap
Permintaan Agregat, Moneter dan Neraca
Pembayaran
Di sisi permintaan agregat, kontribusi langsung
sektor keuangan pemerintah terhadap PDB akan
meningkat dibandingkan tahun lalu dari 11,8% menjadi
13,4%. Peningkatan tersebut terjadi melalui baik
1) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 2) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam APBN 2003 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB
Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)
128
Keuangan Pemerintah
Grafik 7.10Dampak Operasi Keuangan Pemerintah terhadap Sektor Riil
(Persen terhadap PDB a/d Harga Berlaku)
Catatan:1) Data diolah dari tahun anggaran menjadi tahun kalender2) 1997-2001 APBN-PAN; 2002 Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV-Januari 2003); 2003 APBN3) Terdiri dari pembayaran bunga utang dalam negeri dan subsidi
pengeluaran konsumsi dari 7,0% menjadi 7,7% maupun
pengeluaran investasi dari 4,8% menjadi 5,7%.
Sebaliknya, akan terjadi pemotongan yang cukup
signifikan pada jenis pengeluaran transfer (transfer
payment) dari 6,3% menjadi 4,2% (Grafik 7.10).
Sementara itu, komposisi pengeluaran konsumsi
dan investasi pemerintah terhadap total pengeluaran
pemerintah yang berpengaruh terhadap permintaan
agregat masih relatif tetap, yaitu masing-masing
sekitar 65,0% dan 35,0%. Sebagian besar pengeluaran
konsumsi masih dialokasikan untuk DAU dan belanja
pegawai pemerintah pusat, sementara sebagian besar
pengeluaran investasi masih dialokasikan untuk
pembiayaan rupiah dan Dana Bagi Hasil.
Selanjutnya, transfer ke sektor swasta menurun
dari 6,3% terhadap PDB pada 2002 menjadi 4,2% pada
2003. Penurunan yang cukup signifikan terjadi pada
subsidi, yaitu subsidi BBM sebagai konsekuensi dari
pergeseran prioritas pengeluaran pemerintah untuk
stimulus fiskal melalui pengeluaran pembangunan.
Penurunan juga terjadi pada pembayaran bunga utang
dalam negeri karena prakiraan menurunnya suku
bunga dan posisi utang domestik (Tabel 7.12).
Di sisi moneter, tambahan likuiditas rupiah
dari pemerintah ke perekonomian pada 2003
diprakirakan akan meningkat dibandingkan tahun
sebelumnya dari Rp19,5 triliun menjadi Rp26,7
triliun. Ekspansi rupiah terbesar akan berasal dari
pembayaran dana perimbangan untuk daerah yang
mencapai 36,0% dari total pengeluaran rupiah
pemerintah, kemudian diikuti oleh pembayaran
bunga utang domestik, pengeluaran investasi, dan
belanja pegawai pusat masing-masing antara
15,0% - 17,0%. Sementara itu, kontraksi rupiah
sebagian besar (85,0%) akan berasal dari
penerimaan pajak terutama PPh Nonmigas dan PPN
(Tabel 7.13).
Di sisi transaksi valas pemerintah, aliran devisa
masuk pemerintah terutama berasal dari penerimaan
migas dan penarikan utang luar negeri. Aliran devisa
masuk tersebut lebih besar dari pembayaran
kewajiban luar negeri pemerintah seperti bunga dan
pokok utang luar negeri serta impor bantuan proyek
sehingga akan menciptakan aliran devisa masuk
bersih bagi neraca pembayaran Indonesia setara
Rp18,2 triliun (Tabel 7.14).
Dari perbandingan dampak rupiah dan valas di
atas terlihat bahwa rencana aliran devisa masuk
bersih sektor pemerintah akan lebih rendah dari
rencana ekspansi rupiah bersih, sehingga tidak
seluruh ekspansi rupiah bersih dapat disterilisasi
dengan aliran devisa masuk bersih pemerintah. Kondisi
ini juga sejalan dengan rencana pemerintah yang akan
menggunakan akumulasi tabungannya pada tahun-
tahun anggaran sebelum ini atau dikenal sebagai SAL
sebesar Rp8,5 triliun untuk menutup kekurangan
pembiayaan anggaran 2003 ini.
129
Keuangan Pemerintah
Tabel 7.11Operasi Keuangan Pemerintah
A. Pendapatan Negara dan HibahI. Penerimaan Dalam Negeri
1.Penerimaan Pajak2.Penerimaan Bukan Pajak (PNBP)
II.Hibah
B. Belanja NegaraI. Belanja Pemerintah Pusat
1.Pengeluaran Rutin2.Pengeluaran Pembangunan
II.Anggaran Belanja Untuk Daerah1.Dana Perimbangan2.Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang
C. Keseimbangan PrimerPerbedaan Statistik
D. Surplus/(Defisit) Anggaran
E. PembiayaanI. Pembiayaan Dalam Negeri
1.Perbankan Dalam Negeria. Otoritas Moneterb. Kredit/Pinjaman Sektor Perbankanc. Koreksi Moneter
2.Non-Perbankan Dalam Negeria. Privatisasib. Penjualan Aset Program Restrukturisasi Perbankanc. Penjualan Obligasi Pemerintah
II.Pembiayaan Luar Negeri (Neto)1.Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto)
a. Pinjaman Programb. Pinjaman Proyek
2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri
Uraian20032002
Realisasi 1) APBNNominal
18,00 17,98 12,65 5,33 0,02
19,66 13,75 11,34 2,41 5,91 5,68 0,23
3,73
(1,66)
1,66 1,23 (0,28) (0,28) - - 1,52 0,46 1,17 (0,12) 0,43 1,16 0,42 0,74 (0,73)
336,16 336,16 254,14 82,02 -
370,59 253,71 188,58 65,13 116,88 107,49 9,39
47,54 (0,00)
(34,44)
34,44 22,45 8,50 8,50 - - 13,95 8,00 18,00 (12,05) 11,99 29,25 10,35 18,90 (17,26)
17,33 17,33 13,10 4,23 -
19,10 13,08 9,72 3,36 6,02 5,54 0,48
2,45
(1,78)
1,78 1,16 0,44 0,44 - - 0,72 0,41 0,93 (0,62) 0,62 1,51 0,53 0,97 (0,89)
(0,67) (0,65) 0,45 (1,10) (0,02)
(0,55) (0,67) (1,61) 0,94 0,12 (0,14) 0,26
(1,28)
(0,12)
0,12 (0,08) 0,72 0,72 - - (0,80) (0,05) (0,24) (0,50) 0,19 0,35 0,11 0,23 (0,15)
% thd PDB Nominal % thd PDB Perubahan2)
300,19 299,89 210,95 88,93 0,30
327,86 229,34 189,07 40,27 98,52 94,76 3,76
62,19(0,00)
(27,68)
27,6820,56(4,71)(4,71)
--
25,277,66
19,55(1,94)
7,1219,377,04
12,33(12,26)
(Triliun Rp)
1) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003)2) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam APBN 2003 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB
Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)
130
Keuangan Pemerintah
Tabel 7.12Stimulus Fiskal
I. Konsumsi Pemerintah Belanja Pegawai Dalam Negeri Belanja Barang Dalam Negeri Dana Alokasi Umum Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang Pengeluaran Rutin Lainnya
II. Pembentukan Modal Domestik Bruto Pembiayaan dalam Rupiah Bantuan Proyek Dana Alokasi Umum Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Khusus
III. Jumlah I + II Memo Items : Pembayaran Transfer a. Bunga Utang Dalam Negeri b. Subsidi
Uraian20032002
Realisasi1) APBNNominal
7,022,330,713,330,230,42
4,761,660,760,811,54
11,786,263,862,40
149,7048,7014,2461,909,39
15,48
110,7246,2318,9015,0730,51
260,4280,6555,1825,47
7,722,510,733,190,480,80
5,712,380,970,781,57
13,424,162,841,31
0,700,180,02
(0,14)0,260,37
0,940,730,22
(0,03)0,04
1,64(2,11)(1,02)(1,09)
% thd PDB Nominal % thd PDB Perubahan2)
117,0638,7911,8455,603,767,08
79,4427,6412,6313,5425,63
196,49104,4764,4640,01
(Triliun Rp)
1) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 2) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam APBN 2003 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB
Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)
Tabel 7.13Dampak Rupiah Operasi Keuangan Pemerintah
A. Penerimaan rupiahPajak
MigasNonmigas
Bukan PajakPrivatisasiPenjualan Aset Program Restrukturisasi Perbankan
Penjualan Obligasi PemerintahJumlah Penerimaan
B. Pengeluaran rupiahOperasional
Belanja Pegawai Dalam NegeriSubsidiBunga Utang Dalam NegeriPengeluaran Rutin Lainnya
InvestasiDana PerimbanganJumlah Pengeluaran
C. Perbedaan StatistikD. Dampak Rupiah
Uraian20032002
Realisasi1) APBNNominal
1,0311,483,020,130,72
(0,12)16,27
(9,72) (2,33) (2,40) (3,86) (1,13) (1,81) (5,91) (17,44)
(1,17)
14,78239,3643,782,29
11,06(12,05)299,22
(159,06) (48,70) (25,47) (55,18) (29,71) (50,01) (116,88) (325,95) (0,00) (26,73)
0,7612,342,260,120,57
(0,62)15,42
(8,20) (2,51) (1,31) (2,84) (1,53) (2,58) (6,02) (16,80)
(1,38)
(0,27)0,86
(0,76)(0,01)(0,15)(0,50)(0,84)
1,52 (0,18) 1,09 1,02 (0,40) (0,77) (0,12)
0,64
(0,21)
% thd PDB Nominal % thd PDB Perubahan2)
17,22191,46
50,38 2,19 12,02 (1,94) 271,32
(162,17) (38,79) (40,01) (64,46) (18,91) (30,17) (98,52) (290,86) (0,00) (19,54)
(Triliun Rp)
1) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 2) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam APBN 2003 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB
Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)
131
Keuangan Pemerintah
Tabel 7.14Dampak Valuta Asing Operasi Keuangan Pemerintah
A. Transaksi Berjalan Neraca Barang
Ekspor Migas
Impor Bantuan Proyek
Neraca Jasa
Pembayaran Bunga Utang Luar Negeri
Belanja Pegawai Luar Negeri
Belanja Barang Luar Negeri
Penerimaan PPh Nonmigas
Hibah
B. Pemasukan Modal Neto Pemerintah Penarikan Utang Luar Negeri
Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri
Privatisasi
Penjualan Aset Program Restrukturisasi Perbankan
C. Dampak Valas (A+B)
Uraian20032002
Realisasi 1) APBNNominal
0,25 1,71
2,31
(0,61)
(1,46)
(1,52)
(0,05)
(0,04)
0,14
0,02
1,21 1,16
(0,73)
0,33
0,45
1,45
(6,41) 23,12
38,24
(15,12)
(29,53)
(26,80)
(1,54)
(1,19)
-
-
24,64 29,25
(17,26)
5,71
6,94
18,23
(0,33) 1,19
1,97
(0,78)
(1,52)
(1,38)
(0,08)
(0,06)
-
-
1,27 1,51
(0,89)
0,29
0,36
0,94
(0,58) (0,51)
(0,34)
(0,17)
(0,06)
0,14
(0,03)
(0,03)
(0,14)
(0,02)
0,060,35
(0,15)
(0,03)
(0,09)
(0,51)
% thd PDB Nominal % thd PDB Perubahan3)
4,13 28,45
38,55
(10,11)
(24,32)
(25,41)
(0,90)
(0,60)
2,28
0,30
20,1219,37
(12,26)
5,48
7,53
24,25
(Triliun Rp)
1) Realisasi sementara belum diaudit periode 1 Januari s.d. 31 Desember 2002 (revisi IV, Januari 2003) 2) Selisih antara pangsa masing-masing pos dalam APBN 2003 terhadap PDB dengan pangsa pos yang sama dalam Realisasi APBN 2002 terhadap PDB
Sumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)
132
Keuangan Pemerintah
bo
ks
Reprofiling Obligasi Negara
Kebijakan reprofiling (penataan ulang profil
jatuh tempo) obligasi negara pada dasarnya
merupakan upaya pemerintah untuk mengurangi
potensi tekanan terhadap kondisi likuiditas
keuangan negara di masa mendatang. Reprofiling
tersebut dilakukan dengan cara menukarkan
sebagian obligasi negara di bank-bank yang
direkapitalisasi oleh pemerintah dengan obligasi
negara seri baru yang berjangka waktu lebih
panjang. Transaksi penukaran obligasi negara
tersebut dilakukan dengan metode free of pay-
ment (FoP) yaitu tanpa perpindahan dana atas
pokok utang. Sifat kebijakan ini adalah voluntary
yang ditujukan pada bank-bank yang telah
direkapitalisasi oleh pemerintah.
Secara lebih spesifik, beberapa
pertimbangan yang mendasari dilakukannya
reprofiling antara lain adalah: (i) struktur jatuh
tempo obligasi yang ada tidak seimbang dari tahun
ke tahun, dimana sebagian besar diantaranya jatuh
tempo pada periode 2004 – 2009; (ii) tingginya
alokasi anggaran pemerintah untuk pembayaran
bunga obligasi negara sehingga membatasi ruang
gerak pemerintah untuk melakukan stimulus
fiskal; (iii) pasar sekunder belum berkembang
sepenuhnya, dalam arti bahwa hanya beberapa seri
tertentu obligasi pemerintah yang laku di pasar,
sehingga pasar belum memiliki benchmark untuk
pembentukan harga yang transparan (Grafik 1).
Dampak positif yang diharapkan
pemerintah dari reprofiling tersebut antara lain
adalah: (i) profil jatuh tempo obligasi negara
menjadi lebih merata dan tersebar dalam kurun
jangka waktu yang lebih panjang, sehingga
menurunkan beban pembayaran pokok utang
pada setiap tahun anggaran pada periode 2004
– 2009; (ii) resiko tidak terbayarnya pokok
obligasi antara tahun 2004 – 2009 (refinancing
risk) berkurang; (i i i) penurunan beban
pembayaran pokok utang di atas akan
memberikan ruang gerak yang lebih besar bagi
pemerintah untuk melakukan stimulus fiskal; (iv)
mendorong terbentuknya benchmark yield curve
dengan jangka waktu yang lebih panjang; (v)
berkurangnya refinancing risk akan
meningkatkan kepercayaan pasar terhadap
Profil Jatuh Tempo Obligasi Negara
Keterangan : Hedge Bond diasumsikan di-roll over pada 2008-2009Sumber : Pusat Manajemen Obligasi Negara - Departemen Keuangan.
133
Keuangan Pemerintah
obligasi yang diterbitkan pemerintah.1 Dari sisi
bank rekapitalisasi, program reprofiling ini
juga bermanfaat karena mengurangi resiko
kredit (credit r i sk ) aset obl igas i yang
dimi l ik inya, d i samping juga dapat
menyeimbangkan antara struktur cash flow
yang berasal dari obligasi negara dengan
kebutuhan likuiditasnya (Grafik 2).
Beberapa prinsip umum yang digunakan
pemerintah dalam melakukan program
reprofiling adalah: (i) Net Present Value (NPV)
obligasi negara adalah netral atau tetap, dalam
arti nilai saat ini (present value) dari obligasi
yang ditata ulang sama dengan obligasi baru
hasil pertukaran; (ii) jangka waktu jatuh tempo
atau maturity obligasi yang ditata ulang
diperpanjang sampai dengan 2020, yaitu untuk
seri FR baru menjadi 2010 – 2013 dan untuk
seri VR baru menjadi 2014 – 2020; ( i i i )
menggunakan yield curve yang berlaku di pasar,
dengan didasarkan pada: harga rata-rata
obligasi tersebut di pasar sekunder saat ini,
perkembangan suku bunga SBI dan tambahan 2
bps (0,02%) per tahun setelah 2009; (iv) jumlah
obligasi yang ditata ulang pada periode 2004 –
2009 disesuaikan dengan proyeksi kemampuan
APBN, kebutuhan likuiditas perbankan dan
perkembangan pasar sekunder.
Untuk tahap pertama, program reprofiling
dilakukan terhadap 4 Bank BUMN yaitu Bank
Mandiri, BNI, BRI dan BTN yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat pada 11 November
2002 dan telah dilaksanakan pada 20 Novem-
ber 2002. Hal ini didasarkan atas pertimbangan
bahwa Bank-Bank BUMN merupakan pemilik
terbesar obligasi negara yang telah diterbitkan
1 Sementara itu, untuk mengurangi jumlah obligasi negara, selama2002, pemerintah telah melakukan penarikan obligasi negaramelalui penarikan obligasi rekapitalisasi karena kelebihanpenyertaan modal pemerintah sebesar Rp7,8 triliun, programasset to bond swap sebesar Rp8,7 triliun dan pelunasan obligasinegara yang telah jatuh tempo sebesar Rp3,9 triliun.
Keterangan : Posisi per 30 Agustus 2002, tidak termasuk Hedge Bonds dan SuratUtang ke Bank Indonesia.
Sumber : Pusat Manajemen Obligasi Negara - Departemen Keuangan.
Profil Jatuh Tempo Obligasi NegaraBerdasarkan Kepemilikan
Keterangan : Tidak termasuk Surat Utang ke Bank Indonesia dan Hedge BondSumber : Pusat Manajemen Obligasi Negara - Departemen Keuangan.
Profil Jatuh Tempo Seluruh Obligasi Pemerintah Seri FR danVR Sebelum dan Sesudah Reprofiling
134
Keuangan Pemerintah
Rp231,6 triliun— menyerahkan kepada pemerintah
obligasi negara yang jatuh tempo pada periode
2004 - 2009 sebesar Rp171,8 triliun, sementara
sisanya sebesar Rp59,8 triliun tetap berada pada
bank-bank tersebut (retained) (Grafik 4).
Obligasi yang diserahkan adalah seri FR0002
sampai dengan FR0009 sebesar Rp74,8 triliun dan
seri VR0006 sampai dengan VR00016 sebesar Rp97,0
triliun yang diambil dari portofolio investasi dan atau
portofolio perdagangan masing-masing bank.
Sebagai pengganti obligasi negara yang telah
diserahkan tersebut, pemerintah menerbitkan
obligasi baru dengan jangka waktu jatuh tempo lebih
panjang yaitu 2010 sampai dengan 2020 dengan
jumlah nominal yang sama. Obligasi baru diterbitkan
dengan rincian seri FR0010 sampai dengan FR0020
Seri dan Jatuh Tempo Obligasi Reprofiling
VR FRLama Baru
Seri Jatuh TempoLama Baru
Seri Jatuh Tempo Seri Jatuh Tempo Seri Jatuh Tempo
Sumber : Pusat Manajemen Obligasi Negara - Departemen Keuangan
VR0006
VR0007
VR0008
VR0009
VR0010
VR0011
VR0012
VR0013
VR0014
VR0015
VR0016
VR0017
VR0018
25-Des-04
25-Apr-05
25-Nov-05
25-Mar-06
25-Okt-06
25-Feb-07
25-Sep-07
25-Jan-08
25-Agt-08
25-Des-08
25-Jul-09
25-Jun-11
25-Okt-12
VR0019
VR0020
VR0021
VR0022
VR0023
VR0024
VR0025
VR0026
VR0027
VR0028
VR0029
VR0030
VR0031
25-Des-14
25-Apr-15
25-Nov-15
25-Mar-16
25-Okt-16
25-Feb-17
25-Sep-17
25-Jan-18
25-Jul-18
25-Agt-18
25-Agt-19
25-Des-19
25-Jul-20
FR0006
FR0007
FR0003
FR0008
FR0009
FR0004
FR0005
FR0002
15-Sep-04
15-Sep-04
15-Mei-05
15-Mei-05
15-Mei-05
15-Feb-06
15-Jul-07
15-Jun-09
FR0013
FR0010
FR0011
FR0014
FR0012
FR0015
FR0016
FR0017
FR0018
VR0019
VR0020
15-Sep-10
15-Mar-10
15-Mei-10
15-Nov-10
15-Mei-10
15-Feb-11
15-Agt-11
15-Jan-12
15-Jul-12
15-Jun-13
15-Des-13
pemerintah (Grafik 3).
Dalam pertukaran tersebut, keempat bank
BUMN —yang memegang obligasi negara sejumlah
Sumber: Pusat Manajemen Obligasi Negara - Departemen Keuangan.
Obligasi Negara Bank BUMNyang Ditata Ulang dan Tetap Berada di Bank
135
Keuangan Pemerintah
dan seri VR0019 sampai dengan seri VR0031 yang
selanjutnya dicatat dalam portofolio investasi
masing-masing bank (Tabel 1). Seluruh obligasi
negara yang telah diserahkan ke pemerintah tersebut
dinyatakan lunas dan tidak berlaku lagi terhitung
sejak 20 November 2002.
Berkaitan dengan bunga pada periode
berjalan, bunga berjalan (accrued interest)
obligasi seri Fixed Rate (FR) sampai dengan 20
November 2002 telah dibayar sebesar Rp2,9 triliun.
Sementara itu, bunga berjalan atas obligasi negara
seri Variable Rate (VR) diperhitungkan di dalam
pembayaran kupon pertama obligasi negara seri
VR yang baru dan dibayarkan penuh pada tanggal
jatuh tempo kupon berikutnya.
Upaya untuk mempertahankan NPV agar
netral diperkirakan akan mengakibatkan
penambahan beban bunga sebesar Rp0,8 triliun
per tahun (perhitungan atas dasar yield curve pasar
pada tanggal 13 September 2002). Namun,
tambahan beban ini diharapkan akan dapat ditutup
dari dividen dan PPh yang disetor bank-bank BUMN.
Untuk mencapai target dividen tersebut,
pemerintah merencanakan untuk meningkatkan
bagian labanya (pay out ratio) dari bank-bank
BUMN dari 50,0% menjadi 54,0%-55,0%. Laba
dimaksud adalah pendapatan BUMN setelah
dipotong pajak penghasilan (PPh)
136
Keuangan Pemerintah
bo
ks Undang-Undang No. 24 Tahun 2002
tentang Surat Utang Negara (UU SUN)
Pada 22 Oktober 2002 pemerintah telah
memberlakukan Undang-Undang (UU) No. 24
Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (UU SUN).
Sebelum Undang-Undang ini disahkan, istilah
Surat Utang Negara (SUN) lebih dikenal sebagai
Obligasi Pemerintah. Tema pokok UU SUN adalah
memberikan “standing appropriation” yaitu
jaminan pemerintah kepada pasar untuk
membayar semua kewajiban pokok dan bunga
utang yang timbul akibat penerbitan SUN. Makna
penting UU SUN adalah, memberikan landasan
hukum bagi pemerintah untuk menerbitkan SUN
dan memberikan kepastian hukum bagi investor
(pemodal) untuk memiliki SUN sehingga dapat
menjadi instrumen investasi yang aman dan
bebas risiko. Sedangkan kepada Bank
Indonesia(BI), UU SUN memberikan landasan
hukum sebagai agen lelang dan penatausaha.
Mengacu kepada UU SUN, Surat Utang
Negara terdiri dari Surat Perbendaharaan Negara
(SPN) atau semacam T-Bills di AS dan Obligasi
Negara (ON). SPN merupakan SUN yang berjangka
waktu sampai dengan 12 bulan dengan
pembayaran bunga secara diskonto, dengan
demikian memiliki karakteristik yang mirip
dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Sementara ON berjangka waktu lebih panjang
dari 12 bulan dengan kupon dan/atau pembayaran
bunga secara diskonto.
SUN diterbitkan dengan beberapa tujuan,
yaitu: (i) membiayai defisit APBN; (ii) menutup
kekurangan kas jangka pendek akibat
ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan
pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu
tahun anggaran; (iii) mengelola portfolio utang
negara.
PERANAN PEMERINTAH, BANK INDONESIA, DPR,
DAN BAPEPAM.
a. Peranan Pemerintah (Menteri Keuangan)
UU SUN memberikan kewenangan kepada
pemerintah dalam menerbitkan dan mengelola SUN
termasuk kewajiban yang menyertai yaitu
akuntabilitas dan transparansi pengelolaan SUN
dimaksud. Dalam pelaksanaannya kewenangan ini
dilaksanakan melalui menteri keuangan yang dalam
hal ini telah membentuk instansi khusus yang
menangani pengelolaan SUN yaitu Pusat Manajemen
Obligasi Negara (PMON).
Dalam pengelolaan SUN, Menteri Keuangan
antara lain berwenang menunjuk agen lelang di
pasar perdana termasuk ketentuan-ketentuan
yang terkait dengan lelang (metode, kriteria
peserta, dan penetapan hasil akhir lelang) serta
pihak yang menjadi pelaksana pembelian dan
penjualan SUN di pasar sekunder. Sehubungan
dengan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan
SUN, pemerintah diwajibkan membuat laporan
137
Keuangan Pemerintah
pertanggungjawaban sebagai bagian pelaksanaan
APBN kepada DPR (Pasal 16) dan secara berkala
mempublikasikan informasi tentang kebijakan
pengelolaan utang, rencana penerbitan, jumlah
SUN yang beredar beserta komposisinya (Pasal 17).
b. Peranan Bank Indonesia
UU SUN memberikan beberapa peran kepada
BI dalam rangka pelaksanaan penerbitan SUN.
Pertama, UU SUN mewajibkan pemerintah untuk
terlebih dahulu berkonsultasi dengan BI ketika akan
menerbitkan SUN (Pasal 6). Konsultasi dengan BI
dilakukan pada saat pemerintah merencanakan
penerbitan SUN untuk satu tahun anggaran, dan
dimaksudkan untuk mengevaluasi implikasi moneter
dari penerbitan SUN agar tercapai keselarasan antara
kebijakan fiskal, termasuk manajemen utang, dan
kebijakan moneter.
Kedua, UU SUN memberikan landasan hukum
bagi BI untuk bertindak sebagai penata usaha SUN
(Pasal 12). Sebagai penata usaha SUN, BI
melakukan tiga kegiatan yaitu pencatatan
kepemilikan, kliring dan penyelesaian transaksi
(settlement), serta agen pembayar bunga dan
pokok SUN. Kedua hal pertama merupakan fungsi
BI sebagai central registry sedangkan hal terakhir
merupakan fungsi BI sebagai paying agent.
Ketiga, UU SUN memberikan landasan hukum
bagi BI sebagai agen lelang di pasar perdana (Pasal
13) dalam penerbitan Surat Perbendaharaan Negara
(SPN). Sementara itu, untuk penerbitan Obligasi
Negara, BI dapat ditunjuk pemerintah sebagai
agen lelang. Penunjukan BI sebagai agen lelang ini
diharapkan dapat meningkatkan efektivitifas
pelaksanaan kebijakan moneter dan sesuai dengan
arah kebijakan BI untuk menggunakan SUN sebagai
piranti Operasi Pasar Terbuka (OPT) alternatif di
masa mendatang dan secara bertahap dapat
menggantikan SBI.
Keempat, UU SUN dapat memberikan peran
kepada BI sebagai agen pemerintah dalam
kegiatan di pasar sekunder, yaitu bahwa
pemerintah dapat menunjuk BI sebagai agen
pembelian atau penjualan ketika pemerintah
melakukan manajemen utang di pasar sekunder
(Pasal 14), misalnya saat melakukan buy back atas
SUN yang masih outstanding.
c. Peranan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Sebagai lembaga legistatif yang salah satu
tugasnya melakukan pengawasan terhadap pihak
pemerintah, peranan DPR dilakukan pada saat
sebelum dan setelah penerbitan SUN. Sebelum
menerbitkan SUN, pemerintah terlebih dahulu
perlu mendapat persetujuan DPR sebagaimana
diatur dalam Pasal 7 UU SUN. Persetujuan DPR ini
memegang peranan yang penting dalam standing
appropriation karena meliputi juga persetujuan
atas kewajiban pemerintah untuk membayar
semua kewajiban bunga dan pokok utang yang
timbul akibat penerbitan SUN sampai dengan jatuh
waktu SUN yang bersangkutan dengan
mengalokasikan dana yang dianggarkan dari APBN
setiap tahunnya. Setelah penerbitan SUN,
138
Keuangan Pemerintah
DPR dapat melakukan pengawasannya yang
antara lain bersumber dari laporan
pertanggungjawaban dan publikasi yang
disampaikan pemerintah sebagaimana
dimaksudkan pada huruf a.
d. Peranan Badan Pengawas Pasar Modal
(Bapepam)
UU SUN juga menyinggung peranan instansi
Pemerintah dalam pengaturan dan pengawasan
terhadap kegiatan perdagangan SUN yang
berfungsi sebagai otoritas Pasar Modal.
Otoritas pasar modal dimaksud adalah Bapepam
sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1995
tentang Pasar Modal. Pengaturan dan
pengawasan ini dimaksudkan untuk
memberikan perl indungan terhadap
kepentingan pemodal dan para pelaku pasar SUN
sebagaimana diatur pasal Pasal 15 UU SUN.
Pengawasan dan pengaturan diperlukan agar
kegiatan perdagangan SUN dapat dilaksanakan
secara efisien dan sehat.
Sanksi hukum dan Ketentuan Peralihan
Untuk mencegah pemalsuan dan
perdagangan SUN secara tidak sah maka UU SUN
juga mengatur mengenai sanksi yang tegas bagi
pihak yang sengaja melakukan pelanggaran
hukum dengan memberikan sanksi denda dan
pidana yang diatur pada Pasal 19. Sedangkan
pada ketentuan peralihan dalam Pasal 20 diatur
bahwa Surat Utang atau Obligasi Negara yang
telah diterbitkan pemerintah dan masih out-
standing sebelum berlakunya UU SUN ini dalam
rangka: a) program rekapitalisasi bank umum,
b) pinjaman luar negeri dalam bentuk surat
utang atau obligasi, c) pinjaman dalam negeri
dalam bentuk surat utang, dan d) pembiayaan
kredit program, dinyatakan sah dan tetap
berlaku sampai dengan saat jatuh tempo.
139
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
ab 8 : Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
Perbankan dan LembagaKeuangan Lain
8BAB
l a p o r a nt a h u n a n
140
Perbankan dan Lembaga Keuangan LainPERBANKANDAN LEMBAGA KEUANGAN LAIN8
B A B
ecara umum kinerja perbankandan lembaga
askeuangan lainnya pada 2002 menunjukkan
perkembangan yang membaik. Di sektor perbankan,
perbaikan tersebut tercermin dari terus
berlangsungnya proses pemulihan fungsi intermediasi
seperti meningkatnya Dana Pihak Ketiga (DPK) dan
kredit yang disalurkan. Selain itu, perbaikan sektor
perbankan juga terlihat dari meningkatnya permodalan
dan profitabilitas, serta membaiknya kualitas kredit.
Sementara itu, perbaikan kinerja lembaga keuangan
lainnya seperti perusahaan pembiayaan dan Perum
Pegadaian tercermin dari meningkatnya total aset,
permodalan, nilai kegiatan usaha dan perolehan laba
tahun berjalan. Perbaikan di sektor perbankan dan
lembaga keuangan lainnya tidak terlepas dari
membaiknya kondisi ekonomi makro, seperti stabilnya
nilai tukar, terkendalinya laju inflasi dan penurunan
suku bunga. Di sektor perbankan, perbaikan tersebut
juga didorong oleh kebijakan perbankan yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) dan konsolidasi
internal perbankan.
Namun demikian proses pemulihan intermediasi
perbankan masih menghadapi beberapa hambatan,
seperti masih tingginya persepsi perbankan terhadap
risiko dan ketidakpastian di sektor riil. Kondisi
tersebut menyebabkan perbankan berhati-hati dalam
menyalurkan kredit, terutama kredit kepada sektor
korporat dan kredit yang berjangka waktu panjang,
sehingga mendorong perbankan untuk melakukan
ekspansi kredit ke sektor Usaha Kecil dan Menengah
(UKM). Dalam kaitan tersebut dan untuk mendorong
kredit UKM, BI melakukan penyederhanaan kriteria
penilaian kualitas kredit yang disalurkan oleh
perbankan kepada sektor UKM dan daerah-daerah
tertentu (distressed area). Selain itu, BI juga
menghimbau kepada beberapa bank yang memiliki
Capital Adequacy Ratio (CAR) cukup tinggi supaya
lebih memperhatikan ekspansi kreditnya dalam rangka
mempercepat pemulihan fungsi intermediasi
perbankan.
PERBANKAN
Melanjutkan kebijakan pada tahun-tahun
sebelumnya, kebijakan BI di bidang perbankan pada
2002 tetap difokuskan pada upaya-upaya untuk
mempertahankan program penyehatan lembaga
perbankan dan program pemantapan ketahanan
sistem perbankan.
Berbagai kebijakan perbankan yang didukung
oleh perbaikan-perbaikan pada indikator makro,
berhasil mendorong perbaikan kinerja perbankan
pada tahun laporan. Perbaikan tersebut tercermin dari
Berbagai kebijakan perbankan dan membaiknya kondisi moneter telahmeningkatkan kinerja perbankan sebagaimana tercermin dari semakinpulihnya fungsi intermediasi, serta membaiknya permodalan dankualitas kredit.
141
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
meningkatnya DPK, permodalan dan CAR, perbaikan
rasio Non–Performing Loans (NPLs) serta terus
berlangsungnya pemulihan fungsi intermediasi
perbankan. Pemulihan fungsi intermediasi perbankan
tercermin dari peningkatan penyaluran kredit baru,
peningkatan Loan to Deposits Ratio (LDR), perubahan
komposisi aktiva produktif perbankan dan
peningkatan pendapatan bunga kredit.
Sementara itu, kinerja perbankan syariah
selama 2002 juga mengalami pertumbuhan pesat baik
dari sisi jumlah jaringan kantor maupun dari sisi aset,
DPK dan pembiayaan yang diberikan (PYD).
Membaiknya kinerja perbankan syariah tersebut tidak
terlepas dari semakin berkembangnya pasar keuangan
syariah sebagai bagian dari infrastruktur perbankan
syariah.
Perkembangan yang menggembirakan juga
terjadi pada kelompok Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
yang tercermin dari indikator penghimpunan dan
penyaluran dana serta rasio NPLs, profitabilitas dan
permodalannya.
Kebijakan Perbankan
Kebijakan perbankan tetap difokuskan pada
kesinambungan upaya pelaksanaan program
restrukturisasi perbankan. Hal ini dilakukan melalui
: (1) program penyehatan perbankan yang meliputi
penjaminan pemerintah bagi bank umum dan BPR,
rekapitalisasi bank umum dan restrukturisasi kredit
perbankan; (2) program pemantapan ketahanan
sistem perbankan yang meliputi pengembangan
infrastruktur perbankan, peningkatan good corpo-
rate governance, serta penyempurnaan
pengaturan dan pemantapan sistem pengawasan
bank; (3) program pemulihan fungsi intermediasi
perbankan, terutama melalui upaya mendorong
penyaluran kredit di sektor Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM).
Program Penyehatan Perbankan
Kebijakan penyehatan perbankan selama 2002
masih diarahkan untuk melanjutkan program
penjaminan pemerintah. Selain itu, pemantauan
terhadap program rekapitalisasi bank umum dan pro-
gram restrukturisasi kredit juga terus dilanjutkan.
Program Penjaminan
Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat
terhadap sistem perbankan, pemerintah tetap
memberlakukan program penjaminan untuk bank
umum dan BPR. Untuk program penjaminan bank
umum, secara bertahap akan dilakukan pengurangan
cakupan penjaminan seiring dengan akan dibentuknya
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dalam kaitan
tersebut, BI, untuk dan atas nama pemerintah,
melakukan pembayaran pokok dan bunga yang terkait
dengan interbank debt exchange offer. Selama tahun
laporan telah dilakukan pembayaran kewajiban inter-
bank debt exchange offer sebesar $171,7 juta.
Sementara itu, untuk program penjaminan BPR,
sampai dengan September 2002 jumlah dana untuk
pembayaran dana nasabah dari 96 BPR yang dibekukan
kegiatan usahanya pada 1999 dan 2000 mencapai
sebesar Rp115,3 miliar. Sedangkan untuk BPR dengan
status Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) pada
Desember 2001 dan Januari 2002 telah disetujui
pembayaran penjaminannya.
142
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
Program Rekapitalisasi
Dalam pelaksanaan program rekapitalisasi,
perbankan diwajibkan mencatat obligasi pemerintah
yang dimiliki dalam portofolio investasi, perdagangan
dan yang diagunkan (collateral). Posisi obligasi
pemerintah per 31 Desember 2002 adalah sebesar
Rp419,4 triliun yang terdiri dari obligasi portofolio
perdagangan sebesar Rp99,7 triliun (23,8%) dan
portofolio investasi sebesar Rp319,6 triliun (76,2%).
Jumlah obligasi yang dimasukkan dalam portofolio
perdagangan mengalami peningkatan sebesar Rp35,0
triliun (54,1%) bila dibandingkan dengan posisi pada
akhir 2001.
Sementara berdasarkan kepemilikan, obligasi
yang dimiliki bank rekap sebesar Rp359,9 triliun
(85,8%) 1, sedangkan sisanya sebesar Rp59,5 triliun
dimiliki oleh bank nonrekap, masyarakat (sub-regis-
try) dan Departemen Keuangan. Untuk obligasi yang
dimiliki masyarakat meningkat sebesar Rp31,8 triliun
(244,5%) dibanding posisi pada akhir 2001 yaitu dari
Rp13,0 triliun menjadi Rp44,8 triliun pada Desember
2002. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh maraknya
produk reksadana yang diinvestasikan dalam obligasi
pemerintah.
Program Restrukturisasi Kredit
Dengan berakhirnya masa kerja Satuan Tugas
(Satgas) Restrukturisasi Kredit di BI pada 31 Desember
2001 maka upaya restrukturisasi kredit bermasalah
yang berada dalam portofolio bank tetap dilakukan
oleh masing-masing bank. Untuk kredit bermasalah
yang telah dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN), pelaksanaan restrukturisasinya
dilaksanakan oleh lembaga tersebut. Sementara
restrukturisasi terhadap utang luar negeri perusahaan
swasta bukan bank masih dilakukan melalui Prakarsa
Jakarta.
Berdasarkan sampel yang diambil dari enam bank
yang termasuk dalam Systemically Important Banks
(SIBs) pada September 2002, restrukturisasi kredit
yang dilakukan telah mencapai Rp42,0 triliun. Adapun
dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit, perbankan
masih menghadapi beberapa permasalahan antara
lain: (i) terganggunya kondisi perusahaan terkait yang
selama ini membiayai pembayaran kewajiban debitur;
(ii) rendahnya kualitas manajemen perusahaan
debitur; (iii) persyaratan atau model restrukturisasi
yang diterapkan oleh bank pada saat awal
restrukturisasi kadang kala tidak sesuai dengan
perkembangan usaha debitur; (iv) pola restrukturisasi
kredit yang telah disepakati tidak sepenuhnya
diterapkan dengan baik oleh debitur; (v) sulitnya
merestrukturisasi kredit sindikasi; (vi) masalah
kepastian hukum dalam hal eksekusi agunan kredit;
dan (vii) sulitnya penyelesaian kewajiban debitur yang
terkait dengan debitur pada bank lain dan/atau BPPN.
Sementara itu, restrukturisasi atas kredit
bermasalah yang dialihkan bank-bank peserta
rekapitalisasi kepada BPPN, sampai dengan Desember
2002 mencapai Rp367,6 triliun dengan 296.883
debitur, dimana sebesar Rp55,9 triliun sudah
memasuki tahap implementasi usulan restrukturisasi
dan sebesar Rp21,4 triliun telah terbayar penuh.
Sedangkan restrukturisasi atas pinjaman luar
negeri perusahaan swasta bukan bank yang telah
1 Bank rekap terdiri dari 4 bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN),4 Bank Take Over (BTO), 3 bank umum Swasta Nasional (BUSN)Rekap dan 12 Bank Pembangunan Daerah (BPD) rekap.
143
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
selesai melalui mediasi Prakarsa Jakarta sampai
dengan November 2002 sebesar $17,5 miliar.
Pemantapan Ketahanan Sistem Perbankan
Upaya pemantapan ketahanan sistem perbankan
dilakukan melalui: (i) perbaikan infrastruktur
perbankan yang tercermin dari pengembangan BPR
dan perbankan syariah, serta upaya pembentukan LPS
sebagai pengganti program penjaminan pemerintah;
(ii) peningkatan mutu pengelolaan bank (good corpo-
rate governance) melalui pelaksanaan fit and proper
test, wawancara terhadap calon pengurus baru di
bidang perbankan, penunjukan Direktur kepatuhan,
dan penyerahan kasus hasil investigasi tindak pidana
di bidang perbankan kepada lembaga penegak hukum;
(iii) penyempurnaan berbagai ketentuan perbankan;
dan (iv) pemantapan sistem pengawasan bank yang
mengacu pada 25 prinsip dasar pengawasan
perbankan yang efektif dan berbasis resiko.
Perbaikan Infrastruktur Perbankan
Guna mendukung ketahanan sistem perbankan
yang mantap dan menjaga kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan maka diperlukan infrastruktur
yang memadai, antara lain dilakukan melalui
pengembangan bank berdasarkan prinsip syariah,
pengembangan BPR2 serta rencana pembentukan LPS.
Komitmen pemerintah untuk mulai
mengurangi cakupan penjaminan saat ini dan
persiapan pendirian LPS sebagaimana diatur dalam
pasal 37b UU No.10 Tahun 1998, akan mulai efektif
dibahas kembali di 2003. Dalam hal pengurangan
cakupan penjaminan, pemerintah diharapkan benar-
benar dapat mengelola kondisi aktual perbankan saat
ini agar tetap dapat mempertahankan momentum
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan yang
terus membaik. Beberapa faktor yang harus
dipertimbangkan dalam rencana pengurangan cakupan
penjaminan oleh pemerintah adalah: (a) kondisi
perekonomian yang mendukung proses penyehatan
perbankan; (b) telah selesainya proses restrukturisasi
perbankan; (c) adanya kerangka pengawasan dan
pengaturan yang efektif; (d) tersedianya prosedur
penyelesaian bank bermasalah; (e) adanya elemen
lender of the last resort; dan (f) pulihnya kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan.
Dalam rangka persiapan pendirian LPS tersebut,
Tim Kerja Persiapan LPS yang beranggotakan BI,
Departemen Keuangan dan BPPN sedang melakukan
kajian terhadap landasan hukum operasional LPS.
Salah satu rekomendasi dari tim kerja adalah usulan
agar LPS diatur dalam Undang-Undang (UU). Hal
tersebut dengan pertimbangan untuk memberikan
keleluasaan gerak LPS dan memberikan landasan
hukum yang lebih kuat dari penjaminan pemerintah
saat ini yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Rencana pendirian LPS tersebut akan diselaraskan
dengan rencana pemerintah untuk mulai mengurangi
cakupan penjaminan.
Peningkatan Mutu Pengelolaan Perbankan (Good Cor-
porate Governance)
Secara umum upaya meningkatkan good corpo-
rate governance (GCG) telah dimulai pada 1999
melalui pembentukan Komite Nasional Kebijakan Cor-
porate Governance. Tugas utama komite ini adalah2 Untuk lebih jelasnya baca sub bab Kebijakan Perbankan Syariah dan
sub bab Kebijakan BPR dan Kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
144
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
merumuskan dan menyusun rekomendasi kebijakan
nasional corporate governance yang mencakup
pedoman GCG, rincian penyempurnaan perangkat
hukum dan struktur kelembagaan pendukung. Khusus
untuk industri perbankan, GCG dilakukan melalui fit
and proper test terhadap pemilik dan pengurus bank,
penerapan wawancara bagi calon pemilik dan pengurus
bank (new entry), penunjukan direktur kepatuhan
(compliance director), dan investigasi tindak pidana
di bidang perbankan.
Pelaksanaan Penilaian Fit and Proper
Fit and proper test merupakan upaya
menciptakan sumber daya manusia perbankan yang
memiliki integritas dan kompetensi yang tinggi.
Penilaian dilakukan terhadap dewan komisaris, direksi
dan pejabat eksekutif bank yang selama ini telah aktif
di bank (existing) dalam pengelolaan kegiatan
operasional bank serta didasarkan atas hasil
pengawasan dan pemeriksaan yang dilakukan BI.
Sejak 1999 sampai dengan periode laporan telah
dilakukan penilaian fit and proper terhadap 1.149 or-
ang yang terdiri dari 93 orang pemilik (pemegang
saham) dan 1.056 orang pengurus.
Wawancara Terhadap Calon Pemilik dan Pengurus Bank
Wawancara terhadap pengurus baru (new entry)
termasuk pimpinan kantor perwakilan bank, dan calon
pemilik bank dilakukan untuk mengetahui integritas
dan kompetensinya. Selama 2002, BI telah melakukan
wawancara terhadap 229 calon terdiri dari 12 calon
pemilik dan 217 calon pengurus yang diajukan oleh
90 bank, dan yang berhasil lulus sebanyak 12 calon
pemilik (100%) dan 197 calon pengurus (91%).
Direktur Kepatuhan (Compliance Director)
Direktur kepatuhan merupakan bagian penting
dari sistem pengendalian internal yang dilaksanakan
oleh manajemen bank yang secara aktif mengambil
berbagai langkah untuk mencegah manajemen bank
dalam menetapkan kebijaksanaan dan/atau
mengambil keputusan yang di dalamnya mengandung
unsur-unsur ketidakpatuhan, penyimpangan atau
bahkan pelanggaran terhadap ketentuan kehati-hatian
(prudential regulation). Sejak Juli 1999 sampai
dengan Desember 2002 perbankan telah mengajukan
sebanyak 272 orang calon. Hasil penilaian atas
pencalonan tersebut, sebanyak 211 orang calon telah
disetujui, 37 orang calon ditolak, 5 orang calon sedang
dalam proses penilaian, dan 19 orang dibatalkan
pencalonannya.
Investigasi Tindak Pidana di Bidang Perbankan
Koordinasi antara BI dengan Kepolisian Republik
Indonesia dan Kejaksaan Agung dalam rangka
penanganan tindak pidana yang terjadi di bidang
perbankan terus ditingkatkan. Selama 2002 BI telah
melaporkan sebanyak 28 kasus dugaan tindak pidana
di bidang perbankan yang terjadi pada 15 bank yang
terdiri dari : (i) sembilan kasus transaksi yang
mencurigakan yang berindikasi tindak pidana di
bidang pencucian uang (money laundering) pada 6
bank umum; dan (ii) sembilan belas kasus dugaan
tindak pidana di bidang perbankan yang terjadi pada
7 bank umum dan 2 BPR.
Dalam rangka mempercepat proses tindak lanjut
terhadap laporan transaksi yang mencurigakan (sus-
picious transactions) yang disampaikan oleh bank-
145
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
bank, maka sejak 1 Desember 2002 BI membentuk
satu tim investigasi yang bertugas khusus untuk
melakukan analisis dan tindak lanjut terhadap laporan-
laporan bank yang berkaitan dengan transaksi yang
mencurigakan tersebut. Namun setelah dibentuknya
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK), maka tugas tim investigasi akan dialihkan
dari BI kepada PPATK. Dalam rangka operasionalisasi
PPATK, BI mendukung sepenuhnya langkah-langkah
pemerintah untuk segera mengefektifkan lembaga
tersebut melalui berbagai dukungan penuh berupa
sumber daya manusia dan fasilitas perkantoran.
Penyempurnaan Ketentuan Perbankan
Pada tahun laporan BI telah menyempurnakan
beberapa ketentuan perbankan antara lain mencakup
ketentuan mengenai perubahan kegiatan usaha bank
umum konvensional menjadi bank umum berdasarkan
prinsip syariah, penetapan margin suku bunga
simpanan pihak ketiga yang dijamin pemerintah,
Kualitas Aktiva Produktif (KAP) dan prinsip kehati-
hatian dalam rangka pembelian kredit oleh bank dari
BPPN.
Secara garis besar, ketentuan perbankan yang
dikeluarkan BI dapat dikelompokan menjadi: (i) sistem
pengawasan; (ii) prinsip kehati-hatian (prudential
banking); dan (iii) penjaminan pemerintah.
(i) Ketentuan yang dikeluarkan dalam lingkup
sistem pengawasan mencakup penetapan sta-
tus BPR dalam pengawasan khusus dan
pembekuan kegiatan usaha3 , perubahan
kegiatan usaha bank umum konvensional
menjadi bank umum berdasarkan prinsip
syariah4 dan KAP5 . Ketentuan penetapan status
BPR merupakan peraturan pelaksanaan PBI No.3/
15/PBI/2001 tanggal 21 September 2001
tentang Penetapan Status Bank Perkreditan
Rakyat Dalam Pengawasan Khusus dan
Pembekuan Kegiatan Usaha sebagaimana telah
diubah dengan PBI No.3/24/PBI/2001 tanggal 24
Desember 2001. Sementara itu, ketentuan KAP
dimaksudkan untuk meningkatkan penyaluran
kredit kepada sektor KUK dan pemulihan kondisi
perekonomian daerah tertentu.
(ii) Ketentuan yang dikeluarkan dalam
lingkup prinsip kehati-hatian adalah prinsip kehati-
hatian dalam rangka pembelian kredit oleh bank dari
BPPN (Boks: Pembatasan Pembelian Kredit oleh Bank
dari BPPN).6 Ketentuan ini dimaksudkan agar
perbankan dalam melakukan pembelian kredit dari
BPPN tetap berpedoman pada prinsip kehati-hatian
sehingga tidak menimbulkan risiko yang dapat
membahayakan perbankan nasional. Selain itu,
terkait dengan tragedi Bali maka BI menerbitkan
peraturan tentang perlakuan khusus terhadap kredit
bank umum pasca tragedi Bali yang dimaksudkan untuk3 Surat Edaran (SE) No. 4/1/DPBPR tanggal 24 Januari 2002 perihal
Penetapan Status Bank Perkreditan Rakyat Dalam Pengawasan Khususdan Pembekuan Kegiatan Usaha.
4 PBI No. 4/1/PBI/2002 tanggal 27 Maret 2002 tentang PerubahanKegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank UmumBerdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank BerdasarkanPrinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional.
5 PBI No. 4/6/PBI tanggal 6 September 2002 tentang Perubahan AtasSurat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/147/KEP/DIR tanggal12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif.
6 PBI No. 4/7/PBI/2002 tanggal 27 September 2002 tentang PrinsipKehati-hatian Dalam Rangka Pembelian Kredit Oleh Bank Dari BadanPenyehatan Perbankan Nasional.
7 PBI No. 4/11/PBI/2002 tanggal 20 Desember 2002 tentang PerlakuanKhusus Terhadap Kredit Bank Umum Pasca Tragedi Bali.
8 SE No. 4/9/DPM tanggal 26 Juni 2002 perihal Penetapan Margin SukuBunga Simpanan Pihak Ketiga yang dijamin Pemerintah.
146
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
mendukung pemulihan kondisi perekonomian daerah
tersebut.7
(iii) Dalam kaitan dengan penjaminan pemerintah
ketentuan yang dikeluarkan mencakup penetapan
margin suku bunga simpanan pihak ketiga yang
dijamin pemerintah.8 Dalam ketentuan ini antara
lain disebutkan bahwa margin suku bunga
simpanan pihak ketiga yang dijamin oleh
pemerintah dalam rupiah ditetapkan sebesar 200
bp, sedangkan dalam valuta asing ditetapkan
sebesar 100 bp di atas rata-rata suku bunga
deposito berjangka dari bank-bank anggota
Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) yang
dipilih oleh BI.
Pemantapan Sistem Pengawasan Bank
Sebagaimana pada tahun sebelumnya, pro-
gram pemantapan sistem pengawasan bank tetap
berorientasi ke depan (forward looking), dengan
berdasarkan pada pengawasan berbasis risiko (risk
based supervision) yang mengacu pada 25 Prinsip Dasar
Pengawasan Perbankan yang Efektif. Sampai dengan
akhir 2002, dari 25 Core Principles (CP) tersebut, In-
donesia sudah mematuhi dan melaksanakan (fully
compliant) 2 prinsip dasar yaitu CP-1 mengenai Pre-
conditions for Effective Banking Supervision yang
mencakup Objectives, Independence and Resources,
Legal Protection serta CP-2 mengenai Permissible
Activities. Sementara itu, juga terdapat 10 CP lainnya
yang sudah Largely Compliant (Boks: Master Plan
Peningkatan Efektivitas Pengawasan Bank).
Kebijakan Sistem Pengawasan Bank
Dalam meningkatkan pengawasan dan
pengaturan perbankan, BI mengacu kepada 25 Basel
Core Pinciples (BCP) yang secara formal telah menjadi
pegangan bagi bank sentral atau lembaga pengawasan
bank di seluruh dunia. Mengingat sebagian besar dari
25 BCP tersebut belum dipenuhi, diperlukan berbagai
upaya untuk peningkatan sistem pengawasan
perbankan di Indonesia.
Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem
pengawasan perbankan di Indonesia masih terbatas
kepada compliance (kepatuhan). Sedangkan
pendekatan yang sudah diterapkan secara
internasional dan memberikan hasil yang lebih akurat
dalam merefleksi kondisi bank adalah menggunakan
risk-based approach. Menyikapi hal tersebut, BI telah
mengembangkan dan terus menyempurnakan
kerangka pengawasan berdasarkan risiko (risk based
supervision-RBS). Pada prinsipnya, RBS merupakan
suatu proses pemantauan dan penilaian sejauhmana
pengelolaan risiko dan sistem pengendalian intern
bank dapat diterapkan secara efektif.
Implikasi pengawasan berdasarkan risiko ini
cukup besar, baik di lingkungan BI sendiri maupun
perbankan. BI dituntut untuk merubah kerangka
pengawasannya dari compliance approach ke risk-
based approach. Uji coba penerapan risk based su-
pervision telah mulai dilakukan pada 2002 dan akan
terus diimplementasikan di tahun-tahun mendatang.
Selain itu, seiring dengan semakin
terintegrasi–nya pasar keuangan domestik dengan
keuangan global dan meningkatnya aktivitas trading
yang dilakukan perbankan maka pengaturan mengenai
risiko pasar (market risk) dalam permodalan bank
dipandang sudah saatnya. (Boks: Pengaturan Risiko
Pasar (market risk ) dalam Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum Bank). Hal ini selaras pula dengan
147
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
dokumen Basel Committee tahun 1996 yang
merekomendasikan agar perbankan mengalokasikan
modalnya untuk mengantisipasi kerugian akibat
perubahan harga/indikator pasar. Penyusunan
ketentuan dengan muatan materi di atas, secara
intensif sedang dilakukan oleh BI dan diharapkan dapat
dikeluarkan di 2003.
Perkembangan Pengawasan Bank
Dalam rangka tugas BI selaku otoritas pengawas
perbankan, pada 20 Agustus 2002 BI menetapkan sta-
tus dua bank umum swasta nasional (BUSN) menjadi
Bank Dalam Pengawasan Khusus karena memiliki CAR
di bawah 8,0%. Namun setelah manajemen dan
pemegang saham kedua bank tersebut melakukan
beberapa langkah penyehatan sebagaimana yang
ditentukan oleh BI, maka sejak 9 Oktober 2002 dan
30 Desember 2002, BI mencabut status Bank dalam
Pengawasan Khusus untuk kedua BUSN tersebut.
Selain itu, BI juga melakukan pengawasan
intensif terhadap bank yang memiliki potensi
kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan
usahanya dengan kriteria: (i) memiliki Tingkat
Kesehatan (TKS) tergolong Kurang Sehat atau Tidak
Sehat; (ii) memiliki permasalahan aktual dan atau
potensial di bidang likuiditas, profitabilitas dan
solvabilitas berdasarkan penilaian risiko keseluruhan;
(iii) terdapat pelampauan dan atau pelanggaran BMPK
dan langkah penyelesaian yang diusulkan bank
berdasarkan penilaian BI tidak dapat diterima atau
tidak mungkin dicapai; (iv) terdapat pelanggaran
Posisi Devisa Neto (PDN) dan langkah penyelesaian
yang diusulkan bank berdasarkan penilaian BI tidak
dapat diterima atau tidak mungkin dicapai; (v)
memiliki Giro Wajib Minimum (GWM) lebih dari 5,0%
namun dinilai mengalami permasalahan likuiditas yang
mendasar; (vi) memiliki permasalahan profitabilitas
mendasar; (vii) memiliki rasio NPLs neto lebih dari
5,0%, dan (viii) berperan cukup signifikan terhadap
risiko sistemik dalam sistem perbankan dan memiliki
pengaruh besar terhadap perekonomian nasional.
Di samping itu, BI telah melakukan pemeriksaan
umum terhadap 77 bank dan pemeriksaan khusus
terhadap 54 bank. Pemeriksaan khusus yang dilakukan
antara lain meliputi pemeriksaan fit and proper,
pemeriksaan modal, pemeriksaan terhadap KAP dan
penerapan know your customer (KYC). Sementara itu,
dalam rangka memperbaiki struktur permodalan bank,
pada September 2002 BI mengeluarkan izin merger 5
bank (Bank Bali, Bank Universal, Bank Patriot, Bank
Prima Express dan Bank Artha Media) menjadi Bank
Permata Tbk.
Peningkatan Fungsi Intermediasi Perbankan
Ditengah-tengah masih rendahnya daya serap
sektor korporat, upaya peningkatan fungsi
intermediasi perbankan dilakukan dengan mendorong
perbankan untuk menyalurkan kredit kepada sektor
UMKM. Beberapa upaya yang telah ditempuh oleh Bank
Indonesia dalam pengembangan UMKM meliputi
kebijakan kredit UMKM, pengembangan kelembagaan,
dan pemberian bantuan teknis.
Kebijakan Kredit UMKM
Dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan
UMKM, maka pada 22 April 2002 telah ditandatangani
Memorandum of Understanding (MoU) atau
kesepakatan bersama antara Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat dengan Gubernur BI
148
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
tentang penanggulangan kemiskinan melalui
pemberdayaan dan pengembangan UMKM.
Adapun tugas yang harus dilaksanakan oleh BI
adalah: (a) mendorong bank umum dan BPR untuk
meningkatkan penyaluran kredit UMKM sesuai dengan
business plan masing-masing bank dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian; (b) melakukan
pemantauan dan evaluasi penyaluran kredit UMKM dari
bank umum dan BPR setiap tiga bulan; (c)
menyediakan informasi sektor/subsektor unggulan
untuk pengembangan usaha kecil melalui SIPUK; (d)
melakukan penelitian; (e) memberikan pelatihan
kepada staf bank umum dan BPR, khususnya di bidang
pembiayaan UMKM; (f) menyesuaikan ketentuan untuk
bank umum dan BPR guna mendorong penyaluran
kredit UMKM dengan tetap memperhatikan prinsip
kehati-hatian dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; dan (g) memperkuat infrastruktur
kelembagaan perbankan dalam penyaluran kredit
UMKM.
Selain mendorong perbankan menyalurkan kredit
kepada UMKM, BI juga masih mendukung pembiayaan
UMKM melalui penyediaan KLBI relending dalam rangka
kredit program oleh BUMN Koordinator pengelola KLBI.
Hal ini merupakan tindak lanjut pasal 74 UU No. 23/
99, yang mengamanatkan pengalihan pengelolaan KLBI
dalam rangka kredit program kepada 3 BUMN
Koordinator yang ditunjuk pemerintah, yakni BRI, BTN
dan PT. Permodalan Nasional Madani (PNM). Tiga BUMN
Koordinator tersebut berwenang untuk menyalurkan
kembali (relending) angsuran KLBI yang diterima dari
bank pelaksana sampai dengan KLBI dimaksud jatuh
tempo. Jumlah angsuran KLBI yang dapat di-relending
oleh BUMN Koordinator kepada sektor UMKM sampai
dengan posisi akhir Desember 2002 adalah sebesar
Rp3,6 triliun, atau meningkat sebesar 140,0%
dibandingkan posisi akhir Desember 2001 sebesar
Rp1,5 triliun. Angsuran KLBI yang telah di-relending
adalah sebesar Rp1,7 triliun atau 48,6% dari jumlah
angsuran KLBI yang tersedia. Dibandingkan dengan
angsuran KLBI yang di-relending pada akhir Desember
2001, yaitu sebesar Rp1,3 triliun, maka telah terjadi
peningkatan sebesar 30,8%. Seperti pada tahun
sebelumnya, relending tersebut sebagian besar
(76,5%) dilakukan oleh PT. PNM, yaitu sebesar Rp1,3
triliun.
Disamping melalui dana relending, BI juga
membantu penyediaan dana untuk kredit program
melalui pembelian Surat Utang Pemerintah (SUP) No.
005 dalam rangka kredit program dengan plafon Rp
9,97 triliun. Sampai dengan posisi akhir Desember
2002, dana yang tersedia adalah Rp3,09 triliun, dan
telah ditarik oleh pemerintah sebesar Rp850 miliar,
sehingga dana yang masih dapat ditarik adalah Rp2,24
triliun.
Di samping itu, pembiayaan UMKM juga
didukung oleh dana yang berasal dari luar negeri dalam
bentuk two-step loan (TSL). Sesuai dengan pasal 74
UU No.23 Tahun 1999, pengelolaan dana tersebut
dialihkan dari BI kepada BUMN. Sementara itu,
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia No. 335/KM.1/2002 tanggal 29 Juli 2002,
telah dibentuk Tim Pengkajian Penyaluran TSL yang
terdiri dari dua tim, yaitu Tim Pengarah dan Tim
Pelaksana. BI telah ditunjuk untuk menjadi anggota
Tim Pengarah, yang diketuai oleh Direktur Jenderal
Lembaga Keuangan. Tujuan pembentukan tim ini
adalah melakukan kajian dalam rangka memberikan
149
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
rekomendasi mengenai lembaga keuangan yang dapat
menerima pengalihan pengelolaan TSL dari BI dan
selanjutnya berfungsi sebagai lembaga intermediasi
dalam penyaluran TSL yang baru.
Pengembangan Kelembagaan UMKM
Program pengembangan UMKM, selain dilakukan
dengan kebijakan perkreditan, juga dilakukan dengan
pengembangan kelembagaan UMKM. Dalam kaitan ini,
BI mendorong kerjasama bank umum dengan BPR
(linkage program) dalam penyaluran kredit kepada
UKM. Sampai dengan Desember 2002, telah terjalin
kerjasama antara 8 bank dan PT PNM dengan 727
BPR, dengan plafon kredit Rp310 miliar. Selain itu,
BI juga mendorong pembentukan UKM center, yakni
lembaga pelayanan dari bank kepada sektor UMKM.
Sampai saat in telah terdapat 4 bank yang telah
membentuk UKM center tersebut.
Disamping itu, BI juga menyelenggarakan bazar
intermediasi yang bertujuan untuk mempertemukan
bank dengan UKM, yang antara lain telah dilaksanakan
di Makassar, Medan, dan Bandung (Boks: Makassar
Meeting dan Upaya Pengembangan UKM).
Rencana pendirian kredit biro yang merupakan
suatu lembaga yang mengumpulkan, mengolah serta
menyediakan informasi mengenai kredibilitas
individu, yaitu informasi mengenai track record
individu tersebut dalam memenuhi kewajiban
keuangannya. Dengan informasi yang utuh dan
komprehensif akan memberikan kemudahan bagi bank
dalam melakukan proses dan analisis pemberian
kredit secara hati-hati berdasarkan permohonan
debitur-calon debitur sehingga dapat mengurangi
potensi kerugian. Selain itu, dalam upaya
mengantisipasi terjadinya wanprestasi debitur, peran
lembaga penjamin kredit (PT Askrindo dan Perum
Sarana Pengembangan Usaha) terus ditingkatkan.
Bantuan Teknis UMKM
Dalam upaya pengembangan sektor UMKM, BI
tetap memberikan bantuan teknis kepada perbankan,
yang dilaksanakan melalui pelatihan, kegiatan
penelitian dan pemberian informasi. Dalam tahun
laporan, ruang lingkup pemberian bantuan teknis
diperluas bukan hanya untuk sektor perbankan tetapi
juga untuk pengusaha UMKM.
Selama tahun 2002, beberapa kegiatan
pelatihan yang telah dilaksanakan oleh BI antara lain,
pelatihan untuk bank umum, training of facilitator
(ToF) dan training of trainers (ToT), workshop,
lokakarya, exposure training program (ETP), dan
konsultasi. Di samping itu, BI juga melakukan
kegiatan penelitian yang dimaksudkan untuk
melakukan pemetaan potensi UMKM melalui baseline
economic survey (BLS) dan penelitian pola pembiayaan
UMKM.
Kebijakan Perbankan Syariah
Dalam upaya mewujudkan perbankan syariah
yang sehat, yang dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat dan berkontribusi dalam mendorong
terciptanya ketahanan sistem perbankan dan
pembangunan nasional, BI telah melakukan berbagai
langkah sesuai dengan fungsi dan perannya sebagai
otoritas perbankan. Sejak awal pengembangannya,
sejumlah isu penting yang telah diidentifikasi dan
perlu menjadi perhatian guna menjamin tercapainya
sasaran pengembangan perbankan syariah, antara
lain: (i) penyusunan dan penyempurnaan peraturan
º
º
150
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
dan perundang-undangan yang sesuai dengan
karakteristik usaha perbankan syariah, (ii)
pengembangan jaringan kantor bank syariah yang
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin
meningkat, (iii) peningkatan pemahaman masyarakat
terhadap perbankan syariah, (iv) penyediaan
infrastruktur dan lembaga pendukung yang dapat
mendorong perkembangan perbankan syariah yang
sehat dan istiqomah menjalankan prinsip syariah, (v)
peningkatan efisiensi operasi, mutu pelayanan dan
daya saing perbankan syariah, (vi) pengembangan
pembiayaan sistem bagi hasil dalam proporsi yang
memadai dalam portofolio pembiayaan bank syariah,
dan (vii) adanya bank syariah yang memiliki
kompetensi, profesionalisme dan dapat memenuhi
standar internasional.
Selama 2002, sejumlah insiatif dan langkah
strategis telah dilakukan dengan pendekatan
bertahap, berkesinambungan serta memperhatikan
urgensi dan prioritas jangka pendek. Langkah penting
yang dilakukan selama 2002 adalah: (i) menyusun
cetak biru pengembangan perbankan syariah; (ii)
menyempurnakan ketentuan; (iii) meningkatkan
pemahaman masyarakat; dan (iv) meningkatkan
kerjasama internasional di bidang perbankan syariah
dalam rangka pengembangan infrastruktur dan
lembaga pendukung perbankan syariah.
Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah
Untuk mengembangkan sistem perbankan
syariah yang sehat dan amanah serta menjawab
tantangan yang akan dihadapi oleh sistem perbankan
syariah Indonesia, BI telah menyusun “Cetak Biru
Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”, yang
merupakan bagian integral dari Arsitektur Perbankan
Indonesia (API).
Cetak biru ini meletakkan posisi serta cara
pandang BI dalam mengembangkan perbankan syariah
di Indonesia dan berfungsi sebagai pedoman bagi
para stakeholder perbankan syariah. Pandangan
filosofis dan strategi pencapaiannya dituangkan dalam
kerangka visi, misi, dan sasaran serta inisiatif-
inisiatif yang akan dilakukan dalam periode sepuluh
tahun mendatang. Adapun visi dari kegiatan
pengembangan perbankan syariah adalah:
“Terwujudnya sistem perbankan syariah yang
kompetitif, efisien, dan memenuhi prinsip kehati-
hatian serta mampu mendukung sektor riil secara
nyata melalui kegiatan pembiayaan berbasis bagi
hasil dan transaksi riil dalam kerangka keadilan,
tolong menolong dan menuju kebaikan guna mencapai
kemaslahatan masyarakat”.
Sasaran yang realistis untuk mewujudkan visi
yang sudah dicanangkan dibuat dengan
mempertimbangkan kondisi aktual, serta kekuatan
dan keterbatasan pelaku industri perbankan syariah
dan stakeholders lainnya. Sasaran pengembangan
perbankan syariah sampai 2011 dikelompokan dalam
empat fokus sasaran yang terdiri dari: (1)
terpenuhinya prinsip syariah dalam operasional bank
syariah, (2) diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam
operasional perbankan syariah, (3) terciptanya sistem
perbankan syariah yang kompetitif, dan efisien, serta
(4) terciptanya stabilitas sistemik serta terealisasinya
kemanfaatan sistem perbankan syariah bagi
masyarakat luas. Pada fokus sasaran keempat,
ditetapkan target pertumbuhan perbankan syariah
nasional yang dapat mencapai pangsa sebesar 5,0%
151
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
dari total aset perbankan nasional pada 2011.
Dalam upaya untuk mewujudkan sasaran yang
telah ditetapkan, BI telah menetapkan inisiatif-
inisiatif strategis yang menekankan pada aspek
peningkatan kepatuhan pada prinsip syariah, kualitas
ketentuan kehati-hatian, efisiensi operasi dan daya
saing, serta kestabilan sistem perbankan.
Implementasi inisiatif strategis tersebut dapat dibagi
ke dalam tiga tahapan pencapaian. Tahap pertama,
inisiatif diprioritaskan untuk meletakkan landasan
pengembangan yang kuat bagi pertumbuhan. Kedua,
inisiatif difokuskan pada usaha untuk memperkuat
struktur industri. Ketiga, inisiatif difokuskan pada
pemenuhan standar keuangan dan kualitas pelayanan
internasional.
Penyusunan dan Penyempurnaan Perundang–
Undangan dan Ketentuan Perbankan Syariah
Guna mewujudkan sistem perbankan syariah
yang sehat dan konsisten menjalankan prinsip syariah
maka upaya penyusunan dan penyempurnaan
perundang-undangan dan ketentuan yang sesuai
dengan karakteristik usaha bank syariah merupakan
prioritas penting. Perundang-undangan dan ketentuan
yang lengkap diperlukan sebagai dasar pengembangan
perbankan syariah nasional.
Penyusunan Naskah Akademis RUU Perbankan Syariah
Selama 2002 telah dilaksanakan penyusunan
naskah akademis yang bertujuan mengkaji tentang
urgensi penyempurnaan perundang-undangan yang
mengatur perbankan syariah, baik dalam bentuk UU
Perbankan Syariah atau cukup menjadi bagian dari
UU Perbankan. Kajian yang dilakukan dengan
mempertimbangkan masukan dari praktisi perbankan
syariah, akademisi, ulama, dan tokoh masyarakat
menghasilkan kesimpulan dan argumentasi tentang
manfaat pengembangan perbankan syariah dan
perlunya keberadaan UU Perbankan Syariah yang
terpisah. Saat ini pokok-pokok hasil kajian tersebut
menjadi masukan untuk penyempurnaan aturan
perbankan syariah dalam UU Perbankan mengingat
perbankan syariah merupakan bagian dari perbankan
nasional.
Penyempurnaan Ketentuan Kelembagaan
Dalam rangka menyempurnakan ketentuan yang
mengatur mengenai kelembagaan perbankan syariah,
pada 27 Maret 2002 telah diberlakukan PBI No.4/1/
PBI/2002 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank
Umum Konvensional menjadi Bank Umum Berdasarkan
Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Umum
Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum
Konvensional. PBI tersebut bertujuan untuk
menyempurnakan dan memperjelas ketentuan-
ketentuan yang mengatur mengenai konversi secara
penuh kegiatan usaha bank konvensional menjadi
bank syariah serta kegiatan usaha perbankan syariah
oleh bank umum konvensional. Selain itu, PBI ini juga
memberikan alternatif yang lebih luas dalam
9 Unit Syariah adalah satuan kerja khusus dari kantor cabang ataukantor di bawah kantor cabang bank umum konvensional yang kegiatanusahanya melakukan penghimpunan dana dan pemberian jasaperbankan lainnya berdasarkan Prinsip Syariah. Hal tersebut dalamrangka persiapan bank umum konvensional untuk mengubah kantorcabang atau kantor dibawah kantor cabang konvensional menjadiKantor Cabang Syariah (KCS). Untuk setiap pembukaan Unit Syariahbank umum konvensional wajib menyisihkan modal kerja tertentu direkening UUS. Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahunUnit Syariah harus diubah menjadi KCS dengan memenuhi persyaratanpembukaan KCS (termasuk persyaratan penyediaan modal KCS). Apabilabank umum konvensional tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut,Bank Indonesia akan mencabut izin usaha kantor cabang atau kantordi bawah kantor cabang bank umum konvensional dimana Unit Syariahbertempat.
152
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
pengembangan jaringan kantor pelayanan perbankan
syariah, yang memungkinkan bank konvensional yang
telah memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) untuk
membuka jaringan kantor bank syariah di kantor bank
konvensionalnya. Kantor bank syariah yang berada di
kantor bank konvesionalnya tersebut selanjutnya
dinamakan Unit Syariah9.
Penyusunan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK)
BI bekerjasama dengan pihak-pihak terkait
lainnya telah berhasil menyelesaikan standar
akuntansi keuangan yang sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah yang dapat sebagai acuan standar
setiap kegiatan operasional perbankan syariah di In-
donesia. Standar tersebut diterbitkan dalam bentuk
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.
59 dan diharapkan untuk dapat diberlakukan dalam
kegiatan perbankan syariah nasional mulai 1 Januari
2003. Proses penyusunan PSAK No. 59 tersebut
melibatkan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), BI, dan
praktisi perbankan syariah dan mengacu kepada Ac-
counting and Auditing Standard for Islamic Financial
Institutions yang diterbitkan oleh AAOIFI, Bahrain.
Sebagai tindak lanjut dari PSAK tersebut, pada 2002
telah dilakukan penyusunan Pedoman Akuntansi
Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) dan Panduan
Audit Perbankan Syariah (PAPS). PAPSI telah selesai
disusun namun belum disahkan, sedangkan PAPS
masih dalam proses penyusunan.
Penyusunan Pedoman Pengawasan Perbankan
Syariah
Pada 2002 telah dihasilkan pedoman pengawasan
perbankan syariah yang diperlukan sebagai panduan
pelaksanaan pemeriksaan dan pengawasan bank
syariah nasional. Selanjutnya panduan tersebut akan
disempurnakan dengan mengadopsi 25 prinsip dasar
pengawasan perbankan yang efektif serta pengawasan
perbankan berbasis risiko.
Penyusunan Ketentuan Fasilitas Pembiayaan
Jangka Pendek (FPJP) Bank Syariah
Berkaitan dengan fungsi BI selaku lender of the
last resort bagi perbankan, maka selain untuk
perbankan konvensional juga diperlukan adanya FPJP
bagi perbankan syariah yang diatur sesuai dengan
karakteristik usaha perbankan syariah. Sejalan dengan
penyusunan ketentuan FPJP bagi perbankan
konvensional, pada 2002 pembahasan substansi
ketentuan FPJP bagi perbankan syariah telah dapat
diselesaikan dan saat ini masih dalam tahap legal
drafting.
Pengkajian Indikator Kinerja BPR Syariah (BPRS)
Pada tahun laporan, BI telah melakukan
penelitian mengenai indikator kinerja BPRS dengan
menggunakan metode Performance Indicators (PI)
sebagai alternatif ukuran kinerja konvensional.10
Penggunaan PI sebagai alat ukur penilaian kinerja BPRS
diharapkan dapat memberikan wacana pemikiran atas
adanya alternatif metode penilaian kinerja BPRS yang
lebih sesuai dengan karakteristik BPRS sebagai
lembaga keuangan mikro. Beberapa keunggulan
metode PI dibandingkan CAMEL adalah mampu
memberikan gambaran mengenai kemampuan10 Ukuran kinerja konvensional menggunakan indikator CAMEL
(Capital, Asset Quality, Management, Earning & Liquidity)
153
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
finansial, kualitas portofolio, produktivitas dan
cakupan operasional yang merupakan karakteristik
lembaga keuangan mikro yang dimiliki oleh BPRS.
Selain itu, penilaian kinerja dengan metode PI dinilai
lebih berhati-hati, sehingga direkomendasikan
sebagai alternatif penilaian kinerja BPRS disamping
dengan metode CAMEL sebagaimana dilakukan selama
ini.
Peningkatan Pemahaman Masyarakat Terhadap
Perbankan Syariah
Program sosialisasi dalam rangka meningkatkan
pemahaman masyarakat terhadap perbankan syariah
terus dilaksanakan secara intensif di berbagai daerah
selama 2002 melalui kerjasama dengan majelis ulama,
perguruan tinggi, Masyarakat Ekonomi Syariah dan
lembaga lainnya termasuk organisasi massa seperti
NU dan Muhammadiyah. Pelaksanaan kegiatan
edukasi publik tersebut dilakukan dalam berbagai
bentuk kegiatan termasuk seminar, workshop, liputan
dan diskusi melalui media massa cetak dan elektronik,
serta penerbitan buku-buku perbankan syariah. Guna
lebih mendorong peran serta seluruh stakehoders
perbankan syariah perlu dibentuk suatu lembaga
koordinasi yang menghimpun dan melibatkan seluruh
pelaku perbankan syariah dan pihak terkait untuk
melakukan kegiatan sosialisasi dan edukasi publik
secara bersama-sama. Upaya peningkatan
pemahaman masyarakat tersebut penting dilakukan
secara berkesinambungan agar masyarakat dapat
memiliki pemahaman yang benar tentang perbankan
syariah. Pemahaman tersebut pada gilirannya
diharapkan dapat mendukung pertumbuhan perbankan
syariah.
Kerjasama Internasional Perbankan Syariah
International Islamic Financial Market (IIFM)
Sejak tahun 2000, BI secara aktif terlibat dalam
pengembangan IIFM yaitu lembaga yang berfungsi
mengembangkan dan mengatur instrumen dan
mekanisme pasar keuangan syariah internasional.
IIFM didirikan oleh BI bersama otoritas perbankan dari
Malaysia, Brunei Darussalam, Bahrain, Sudan dan IDB.
Keikutsertaan BI dalam lembaga tersebut akan
bermanfaat untuk perkembangan lembaga keuangan
syariah, khususnya untuk kepentingan pengelolaan
likuiditas, sehingga efisiensi pengelolaan dana
perbankan syariah dapat lebih ditingkatkan. Selama
2002, lembaga IIFM dengan sekretariat di Manama,
Bahrain telah melakukan konsolidasi dan penyiapan
perangkat organisasi, pengembangan sistem dan
prosedur operasional. Diharapkan pada 2003 kegiatan
operasional IIFM dapat dimulai.
Islamic Financial Services Board (IFSB)
Pertumbuhan yang pesat dari industri keuangan
syariah di berbagai negara menimbulkan kebutuhan
akan berdirinya suatu lembaga internasional yang
berfungsi: (1) menyusun dan menyebarluaskan standar
dan prinsip-prinsip dasar di bidang pengawasan dan
pengaturan, penerapan prinsip syariah oleh industri
keuangan syariah, dan secara sukarela dapat diadopsi
oleh negara anggota; (2) menjadi penghubung dan
bekerja sama dengan lembaga penetapan standar di
bidang moneter dan stabilitas keuangan ; dan (3)
mendorong praktek manajemen risiko yang sebaik-
baiknya melalui aktivitas riset, pelatihan dan bantuan
teknis. Berkaitan dengan hal tersebut, pada Novem-
ber 2001 di Paris dengan dengan diprakarsai oleh
154
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
sejumlah Gubernur dan Senior Officials bank sentral
negara-negara yang telah mengembangkan
perbankan/lembaga keuangan syariah yaitu Bahrain,
Mesir, Iran, Pakistan, Sudan, Jordan, Malaysia, dan
Indonesia, serta perwakilan dari IDB, AAOIFI dan IMF
sepakat untuk mendirikan IFSB. Pada 3 November
2002, IFSB resmi didirikan dengan sekretariat di Kuala
Lumpur, Malaysia.
Pada sidang pertama 3 November 2002,
Gubernur BI dipilih sebagai Chairman IFSB.
Keterlibatan aktif BI dalam lembaga ini dinilai penting
dalam rangka mempersiapkan regulasi, sistem
pengawasan dan panduan best practises yang sesuai
dengan standar internasional bagi perbankan syariah.
Disamping dapat turut serta berkontribusi dalam
lembaga tersebut melalui pendekatan sinergi, BI akan
dapat memanfaatkan hasil riset dan pengembangan
lembaga tersebut untuk percepatan penyempurnaan
regulasi dan pengawasan perbankan syariah di Indo-
nesia .
Kebijakan di Bidang Bank Perkreditan Rakyat
(BPR)
Sebagai salah satu upaya perbaikan
infrastruktur perbankan, kebijakan pengembangan
BPR terus dilakukan. Salah satu upaya pengembangan
BPR dilakukan melalui kerjasama dengan GTZ dalam
proyek ProFI (Promotion of Small Financial Institu-
tion) meliputi pelaksanaan training bersertifikasi
untuk pengurus BPR dan penyempurnaan sistem
pengawasan dan pengaturan BPR. Selain itu sejalan
dengan tujuan BI untuk menyehatkan industri BPR,
USAID bekerjasama dengan The Asia Foundation (TAF)
telah menyampaikan kerangka acuan (Term of Refer-
ence) program bantuan teknis penyehatan BPR
bermasalah di wilayah Jabotabek, termasuk upaya
mempertemukan BPR dengan calon investor apabila
BPR tersebut memerlukan tambahan modal baru.
Dalam hal ini telah diundang 40 BPR bermasalah di
wilayah Jabotabek pada acara presentasi TAF dan
USAID pada 24 September 2002 di BI. Dari 40 BPR, 26
diantaranya telah menyatakan minat untuk mengikuti
program TAF dimaksud. Selanjutnya juga telah
dilakukan kerjasama dengan akademisi dalam rangka
pelaksanaan penyusunan Blue Print BPR melalui Base11 Terdiri dari Bank Bali, Bank Universal, Bank Prima Ekspress, Bank
Arthamedia dan Bank Patriot.
Tabel 8.1Perkembangan Jumlah Bank dan Kantor Bank
I. Bank UmumJumlah BankJumlah Kantor2)
Bank PerseroJumlah BankJumlah Kantor
BPDJumlah BankJumlah Kantor
BUSNDevisa
Jumlah BankJumlah Kantor
BUSNNondevisa Jumlah Bank Jumlah Kantor
BankCampuran Jumlah Bank
Jumlah KantorBank
AsingJumlah BankJumlah Kantor
II.BPRBKDNonBKD
Posisi Pangsa1)
(%)
100,00 100,00
3,55 26,92
18,44 12,98
25,53 50,92
28,37 7,54
17,02 0,76
7,09 0,87
- - -
Kelompok Bank
-2,83,5
0,04,3
0,06,1
-5,33,9
-4,8-5,0
0,00,0
0,01,7
-1,70,0
-5,6
-4,03,9
0,04,1
0,03,8
0,03,9
-2,33,9
-17,2-7,0
0,013,2
-0,80,0
-2,5
141 7.001
5 1.885
26 909
36 3.565
40 528
24 53
10 61
7.571 5.345 2.226
145 6.765
5 1.807
26 857
38 3.432
42 556
24 53
10 60
7.703 5.345 2.358
151 6.509
5 1.736
26 826
38 3.302
43 535
29 57
10 53
7.764 5.345 2.419
Pertumbuhan(%)
2000 2001 2002 2001 2002*)
1) Pangsa terhadap seluruh bank umum2) Tidak termasuk BRI Unit Desa
155
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
Bank Permata.11 Walaupun jumlah bank mengalami
penurunan, namun jumlah kantor bank meningkat dari
6.765 kantor pada akhir 2001 menjadi 7.001 kantor
pada akhir 2002. Peningkatan jumlah kantor tersebut
terutama terjadi pada kelompok bank swasta devisa
dan bank persero (Tabel 8.1).
Dari 141 bank tersebut, pemerintah mempunyai
kepemilikan terhadap 37 bank (26,24%) yang terdiri
dari 5 bank BUMN, 3 eks BTO, 3 bank rekap dan 26
BPD terdiri dari 12 BPD Rekap dan 14 BPD Nonrekap.
Sedangkan sisanya sebanyak 69 bank kategori A dan
Line Survey untuk BPR di wilayah Jabotabek, Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Barat.
Dalam rangka mempromosikan berbagai inisiatif
dan pendekatan keuangan mikro yang bertujuan untuk
menanggulangi kemiskinan dan menggerakkan
ekonomi rakyat, BI mendukung terselenggaranya Temu
Nasional dan Bazar Keuangan Mikro pada Juli 2002.
Sebagai tindak lanjutnya direncanakan akan dibentuk
Pusat Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di BI yang akan
berfungsi sebagai: (i) pusat informasi keuangan mikro
bagi stakeholders yang membutuhkan; (ii) pemberi
bantuan teknis bagi LKM; dan (iii) memfasilitasi
kerjasama antara lembaga keuangan formal dan LKM
(linkage program) untuk meningkatkan outreach LKM
dalam melayani usaha mikro.
Perkembangan Bank Umum
Kelembagaan
Hingga akhir 2002, jumlah bank yang masih
beroperasi menjadi 141 bank, turun sebanyak 4 bank
dibandingkan dengan tahun sebelumnya karena
adanya merger 5 BUSN pada September 2002 menjadi
Tabel 8.2Indikator Kinerja Bank Umum
Total Asset
Dana Pihak Ketiga
Kredit
LDR (%)
NPL - gross (%)
NPL - net (%)
Modal
CAR
Laba (Rugi)
Sebelum Pajak
Net Interest Income
Indikator
1.112,2
835,8
410,3
38,2
8,3
2,9
93,0
22,5
21,9
42,9
1.099,7
797,4
358,6
33,0
12,1
3,6
62,3
20,5
13,1
37,8
1.030,5
699,1
320,4
33,2
18,8
5,8
53,5
12,5
10,5
22,8
1.006,7
617,6
277,3
26,2
32,8
7,3
(41,2)
(8,1)
(75,4)
(38,6)
895,5
625,3
545,5
72,4
48,6
34,7
(129,8)
(15,7)
(178,6)
(61,2)
1998 1999 2000 2001 2002
(Triliun Rp)
Grafik 8.1Pangsa Aset Per Kelompok Bank
Grafik 8.2Komposisi Aktiva Produktif
156
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
1 bank Eks BTO yang telah didivestasi (49,64%)
dimiliki swasta nasional, 24 bank campuran (17,02%)
dimiliki oleh swasta nasional dan asing, dan sebanyak
10 bank asing (7,09%) dimiliki oleh pihak asing.
Kegiatan Usaha Bank Umum
Secara umum, kinerja bank umum pada tahun
laporan menunjukkan kecenderungan yang membaik,
walaupun pada beberapa indikator mengalami
pertumbuhan yang sedikit melambat. Perbaikan
tersebut tercermin pada terus berlangsungnya proses
pemulihan fungsi intermediasi perbankan yang
ditunjukkan dengan peningkatan penyaluran kredit
baru, LDR, rasio kredit terhadap aktiva produktif,
dan rasio pendapatan bunga kredit terhadap total
pendapatan bunga. Selain itu, perbaikan ini juga
terlihat dari meningkatnya permodalan dan
profitabilitas, serta membaiknya kualitas kredit.
Perbaikan kinerja perbankan tersebut tidak terlepas
dari membaiknya kondisi ekonomi makro dan moneter
seperti tercermin dari menurunnya suku bunga SBI,
terkendalinya laju inflasi dan menguatnya nilai tukar
rupiah.
Total Aset dan Aktiva Produktif
Total aset perbankan secara agregat mengalami
peningkatan sebesar 1,1% dibandingkan pada 2001
sehingga menjadi Rp1.112,2 triliun. Peningkatan aset
tersebut terutama didorong oleh meningkatnya
portofolio kredit yang disalurkan dan portofolio SBI
(Tabel 8.2). Dari sisi kepemilikan aset per kelompok
bank, kelompok bank BUMN memiliki pangsa terbesar
dari total aset perbankan yaitu 46,4% (Rp516,6
triliun), diikuti dengan kelompok eks BTO sebesar
19,4% (Rp216,2 triliun) dan bank Kategori A sebesar
11,1% (Rp123,9 triliun).
Seiring dengan meningkatnya portofolio kredit
dan jumlah obligasi pemerintah yang diperdagangkan
di pasar sekunder serta program asset to bond swap,
komposisi aktiva produktif perbankan pada tahun
laporan mengalami pergeseran. Bila pada tahun-tahun
sebelumnya aktiva produktif didominasi oleh obligasi
pemerintah, maka pada tahun laporan mulai beralih
ke kredit (Grafik 8.2).
Porsi kredit mengalami peningkatan dari sebesar
34,8% pada Desember 2001 menjadi 40,1% pada akhir
tahun laporan, sementara porsi obligasi pemerintah
turun dari 38,5% menjadi 35,2%. Kelompok bank yang
memiliki porsi kredit terbesar adalah kelompok eks
bank campuran (63,0%), diikuti kelompok bank
kategori A (55,2%), dan BPD (46,0%). Sementara
kelompok bank yang masih memiliki porsi obligasi
pemerintah terbesar adalah kelompok bank BUMN
(50,4%), diikuti kelompok bank rekap (45,7%) dan
kelompok eks BTO (43,3%).
Tabel 8.3Perkembangan Dana Pihak Ketiga Perbankan
Giro - Rupiah - Valas
Deposito - Rupiah - Valas
Tabungan
Total - Rupiah - Valas
Posisi(Triliun Rp)
Pangsa(%)
23,666,133,9
53,481,718,3
23,0
100,082,217,8
Keterangan
23,364,535,5
55,278,421,6
21,5
100,079,820,2
5,88,50,9
1,45,7
(14,1)
12,4
4,88,1
(8,0)
15,315,814,3
14,416,28,0
12,0
14,115,010,5
197,0 130,2
66,8
446,2364,681,6
192,6
835,8687,4148,4
186,2 120,0 66,2
439,9 344,9 95,1
171,3
797,4 636,2 161,2
Pertumbuhan(%)
2001 2002 2001 2002 2001
161,5 103,6 57,9
384,7 296,7 88,0
152,9
699,1 553,2 145,9
2000 2002
157
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
triliun pada 2001 menjadi Rp835,8 triliun.
Peningkatan tersebut lebih rendah bila dibandingkan
pada 2001 yang mencapai 14,1% atau sebesar Rp98,3
triliun. Jika menggunakan kurs tetap (Desember
2000), maka DPK perbankan pada 2002 mengalami
peningkatan sebesar Rp61,8 triliun atau 7,9%, juga
lebih rendah dibandingkan pada 2001 yang meningkat
sebesar Rp85,8 triliun atau 12,3% (Tabel 8.3).
Lebih rendahnya pertumbuhan DPK pada tahun
Penghimpunan Dana
Seiring dengan membaiknya kondisi
perekonomian yang tercermin dari peningkatan PDB
dan pulihnya kepercayaan masyarakat kepada
perbankan nasional, DPK perbankan tercatat
menunjukan peningkatan. Secara nominal, DPK
perbankan selama 2002 mengalami peningkatan
sebesar 4,8% atau sebesar Rp38,5 triliun dari Rp797,4
Tabel 8.4Perkembangan Posisi Kredit Perbankan
Sektor Ekonomi 1)
- Pertanian- Pertambangan- Perindustrian- Listrik, Air dan Gas- Konstruksi- Perdagangan- Pengangkutan- Jasa Dunia Usaha- Jasa Sosial- Lainnya
Total Jenis Penggunaan 1)
- Kredit Modal Kerja- Kredit Investasi- Kredit Konsumsi
Total Kelompok Bank
- Bank BUMN- Bank Rekap- Eks BTO- Bank Kategori A- BPD- Bank Campuran- Bank Asing
Total Jenis Valuta
- Rupiah- Valas
Total
Posisi(Triliun Rp)
Pangsa(%)
6,11,1
33,11,22,5
17,93,48,61,2
25,0100,0
55,722,821,6
100,0
45,25,2
14,514,45,76,18,9
100,0
72,427,6
100,0
Keterangan
6,7 1,0 37,5 1,6 2,6 15,6 2,4
8,8 1,1 22,6
100,0
57,524,018,5
100,0
44,67,79,9
12,5 4,8
8,112,5
100,0
63,736,3
100,0
6,5 27,3 3,4
(14,0) 13,9 34,4 65,6
14,6 28,5 29,8 17,4
13,8 11,3 36,5
17,4
16,0 (23,1) 68,2 32,2 36,8
(13,9) (18,7)
14,4
29,9 (12,8)
14,4
6,5(41,7) 7,4
(0,6) 14,4 6,6
3,74,5
20,837,6
11,6
4,410,245,511,6
12,1(23,6)
65,938,048,5(0,6)(4,7)11,9
28,4(8,7)11,9
22,73,9
122,7 4,4 9,4
66,32,6
31,8 4,6
92,9 371,1
206,6 84,4 80,0
371,1
185,4 21,3 59,7 59,1 23,3 25,1 36,3
410,3
296,9 113,4 410,3
21,33,1
118,7 5,18,2
49,37,6
27,73,6
71,5 316,0
181,675,858,6
316,1
159,9 27,7 35,5
44,717,129,244,7
358,6
228,6 130,1
358,6
Pertumbuhan(%)
2001 2002 2001 2002 2001
20,0 5,3 110,5 5,1 7,2 46,2 7,3
26,5 2,9 52,0 283,1
174,0 68,8 40,3
283,1
142,7 36,3 21,4 32,4
11,5 29,4 46,9
320,5
178,0142,4
320,5
2000 2002
Keterangan : 1) Tidak termasuk kredit penerusan (channeling)
158
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
laporan di samping dipengaruhi oleh turunnya suku
bunga simpanan sejalan dengan trend penurunan suku
bunga SBI, juga adanya alternatif penanaman dana
bagi masyarakat yang memberikan return yang lebih
tinggi daripada deposito seperti reksa dana.
Dilihat dari pangsa komponen DPK, deposito
masih tetap mendominasi yaitu sebesar 53,4%, namun
mengalami penurunan sebesar 1,8 poin dibandingkan
pada 2001. Sedangkan porsi giro sebesar 23,6% atau
naik 0,3 poin dibandingkan 2001, dan porsi tabungan
sebesar 23,0% atau naik 1,5 poin dibandingkan dengan
2001.
Intermediasi Perbankan
Selama tahun laporan, proses pemulihan fungsi
intermediasi perbankan terus menunjukkan
perbaikan. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan
outstanding kredit dan realisasi penyaluran kredit
baru serta terjadinya perubahan struktur aktiva
produktif bank.
Kredit perbankan terus menunjukkan trend yang
meningkat, terutama kredit rupiah, sementara kredit
Tabel 8.5Perkembangan Realisasi Kredit Baru
Sektor Ekonomi- Pertanian- Pertambangan- Perindustrian- Listrik, Air, dan Gas- Konstruksi- Perdagangan- Pengangkutan- Jasa Dunia Usaha- Jasa Sosial- Lainnya
Total
Kelompok Bank- Bank BUMN- Bank Rekap- Eks BTO- Bank Kategori A- BPD- Bank Campuran - Bank Asing
Total
Jenis Penggunaan - Kredit Modal Kerja
- Kredit Investasi - Kredit Konsumsi
Total
3,3 1,8
29,4 0,4 5,5
20,9 8,8
13,5 0,7
15,7 100,0
28,8 6,2
26,6 29,1 2,5 3,1 3,8
100,0
63,3 22,1 14,6
100,0
Keterangan Porsi(%)
0,5 (29,4)
26,8 (11,5) 157,3
54,1 204,2
68,0 (40,7)
9,9 39,8
77,1 74,4 61,5 32,5 24,2
(7,1) (52,3)
39,8
31,5 73,3 37,0
39,8
Pertum-buhan
(%)
2.5931.392
23.316325
4.382 16.621 7.02210.701 586
12.478 79.416
22.838 4.916
21.103 23.079 1.968 2.468 3.045
79.416
50.276 17.538 11.603 79.417
Jumlah
606 711
5.027 23
869 4.183 1.566 3.251 147
2.845 19.229
4.244 1.363 5.028 6.780 485 724 605
19.229
12.180 4.198 2.850
19.229
768 98
11.061 280
2.751 6.488 2.536 2.491 216
3.458 30.146
10.3621.905
7.969 7.446
722 992 750
30.146
19.890 7.063
3.193 30.146
755 63
3.732 13
477 3.725 2.350 2.891 138
3.339 17.484
5.103 936
4.345 5.852 453 322 474
17.484
10.489 4.108 2.887
17.484
464 520
3.496 9
286 2.224
569 2.068
85 2.837 12.557
3.129 713
3.761 3.001
308 429
1.217 12.557
7.717 2.169 2.672 12.558
Trw I
2.5791.972
18.390367
1.703 10.785 2.309 6.371
989 11.352 56.817
12.8942.819
13.069 17.417 1.584 2.655 6.378
56.817
38.230 10.120 8.467
56.817
2001Trw II Trw III Trw IV
2002
(Miliar Rp)
159
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
valas berfluktuasi karena adanya pengaruh perubahan
nilai tukar (Tabel 8.4). Secara nominal, outstanding
kredit pada Desember 2002 sebesar Rp410,3 triliun
atau mengalami peningkatan sebesar Rp51,6 triliun
(14,4%), lebih besar dibandingkan dengan peningkatan
pada 2001 sebesar Rp38,2 triliun (11,9%). Namun
apabila pengaruh perubahan nilai tukar dihilangkan
dengan menggunakan kurs tetap (Desember 2000),
outstanding kredit selama 2002 mengalami
peningkatan sebesar Rp70 triliun (20,1%) atau lebih
besar dari peningkatan pada 2001 yang hanya
mencapai Rp28,1 triliun (8,8%).
Berdasarkan sektor usahanya, urutan sektor yang
memperoleh penyaluran kredit terbesar tidak
mengalami perubahan bila dibanding dengan tahun
sebelumnya. Sektor perindustrian mempunyai porsi
terbesar (33,1%), diikuti sektor perdagangan (17,9%),
sektor jasa-jasa dunia usaha (8,6%) dan sektor
pertanian (6,1%). Sektor usaha yang mengalami
pertumbuhan kredit terbesar pada 2002 adalah sektor
pengangkutan (65,6%), sektor perdagangan (34,4%),
sektor jasa sosial (28,5%) dan sektor pertambangan
(27,3%). Sementara berdasarkan jenis
penggunaannya, pangsa kredit masih didominasi oleh
Kredit Modal Kerja (KMK) yakni sebesar Rp206,6 triliun
(55,7%), sementara Kredit Investasi (KI) sebesar
Rp84,4 triliun (22,8%) dan Kredit Konsumsi (KK)
sebesar Rp80 triliun (21,6%). Namun bila dilihat dari
pertumbuhannya, KK yang mengalami pertumbuhan
terbesar yakni sebesar 36,5%, diikuti KMK sebesar
13,8% dan KI sebesar 11,3% (Tabel 8.4).
Selama tahun laporan, perbankan mampu
menyalurkan kredit baru sebesar Rp79,4 triliun atau
meningkat Rp22,6 triliun (39,8%) bila dibandingkan
Tabel 8.6Perkembangan Kredit UKM (pagu di bawah Rp5 miliar)
Keterangan Porsi(%)
Pertum-buhan
(%)JumlahTrw I2001
Trw II Trw III Trw IV
2002
(Miliar Rp)
Kelompok Bank- Bank BUMN- Bank Rekap- Eks BTO- Bank Kategori A- BPD- Bank Campuran- Bank Asing
Total% terhadap Total Kredit Baru
19,5 6,2 30,8 35,3 5,5 1,5 1,4
100,0 -
63,5 34,7 35,3 29,3 34,6 47,8 8,4
37,3 -
6.356 2.009
10.053 11.516 1.782
476 462
32.654 41,1
1.817 577
2.214 2.677 382 184 111
7.962 46,3
1.811 601
3.234 3.709 713 110 102
10.280 34,1
1.747 452 2.659 3.124 418 120 127 8.647 49,5
981 379
1.945 2.005 270 61
123 5.765 45,9
3.887 1.491 7.430 8.909 1.324
322 427
23.790 41,9
Grafik 8.3Perkembangan DPK, Kredit dan LDR
160
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
dengan penyaluran kredit baru pada 2001 yang hanya
mencapai Rp56,8 triliun. Secara rata-rata, penyaluran
kredit baru selama 2002 sebesar Rp6,6 triliun perbulan
atau meningkat Rp1,9 triliun (38,6%) bila dibandingkan
pada 2001 yang hanya sebesar Rp4,7 triliun perbulan
(Tabel 8.5).
Sama seperti tahun sebelumnya, KMK masih
mendominasi realisasi penyaluran kredit baru pada
2002, yakni sebesar Rp50,3 triliun atau 63,3% dari
total kredit baru. Sementara KI sebesar Rp17,5 triliun
(22,1%) dan KK sebesar Rp11,6 triliun (14,6%). Satu
hal yang cukup menggembirakan adalah terjadinya
peningkatan pada penyaluran KI sebesar 73,3% dari
Rp10,1 triliun pada 2001 menjadi sebesar Rp17,5
triliun pada tahun laporan (Tabel 8.5).
Dari total kredit baru yang disalurkan selama
2002 tersebut, sebesar Rp32,7 triliun atau 41,1%
merupakan penyaluran kredit kepada debitur dengan
pagu kredit di bawah Rp5 miliar yang merupakan
kredit mikro, KUK dan Kredit Usaha Menengah.
Sementara proporsi setiap bulannya berfluktuasi
antara 32,0%-64,3%. Meningkatnya pangsa kredit baru
ke sektor UKM disebabkan beberapa bank melakukan
perubahan orientasi dari korporat menjadi retail.
Peningkatan penyaluran kredit baru selama
periode laporan berhasil mendorong peningkatan LDR
yang pada akhir periode laporan mencapai 38,2% atau
meningkat bila dibandingkan dengan akhir 2001 yang
mencapai 33,0%. Walaupun mengalami peningkatan,
namun LDR tersebut masih jauh dibawah target ideal
sebesar 70,0%-80,0%. Rendahnya LDR pasca krisis
tersebut terjadi karena besarnya komponen obligasi
pemerintah dalam aktiva produktif perbankan yang
terus terbawa ke periode berikutnya. Dengan
membaiknya kondisi perekonomian, penurunan laju
inflasi dan suku bunga, diharapkan dapat mendorong
pertumbuhan kredit yang signifikan ke depan (Grafik
8.3).
Kualitas Kredit Perbankan
Kualitas kredit perbankan yang tercermin dari
nilai nominal NPLs dan rasio NPLs menunjukkan
perbaikan. Nilai nominal NPLs perbankan turun dari
Rp43,4 triliun pada Desember 2001 menjadi Rp33,2
Grafik 8.4Perkembangan NPLs
Grafik 8.5Perkembangan Net Interest Income (NII)
161
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
triliun pada Desember 2002. Perbaikan tersebut
sebagian besar disebabkan oleh upaya-upaya
restrukturisasi kredit yang dilakukan oleh perbankan
sendiri maupun penghapusbukuan kredit. Sejalan
dengan penurunan nominal NPLs dan meningkatnya
outstanding kredit perbankan, maka rasio NPLs-gross
perbankan membaik dari 12,1% pada Desember 2001
menjadi 8,3% pada Desember 2002, sementara NPLs-
net membaik dari 3,6% menjadi 2,9% (Grafik 8.4).
Sampai dengan akhir tahun laporan, jumlah bank
yang masih mempunyai rasio net NPLs di atas 5,0%
berjumlah 20 bank, berkurang 25 bank bila
dibandingkan dengan posisi Desember 2001. Kondisi
tersebut menyebabkan target indikatif rasio NPLs neto
di bawah 5,0% pada Desember 2002 sulit untuk
tercapai, terlebih setelah perbankan juga menghadapi
permasalahan adanya potensi memburuknya kualitas
kredit sebagai dampak tragedi Bali, sehingga BI
memutuskan untuk menunda sampai Juni 2003.
Terhadap bank-bank yang belum dapat memenuhi tar-
get tersebut, BI meminta untuk menyusun action plan
pencapaian NPLs neto di bawah 5,0% dalam business
plan-nya.
Profitabilitas
Walaupun pada 2002 terjadi trend penurunan
suku bunga, baik SBI maupun FASBI, yang juga
berdampak pada penerimaan kupon obligasi
pemerintah seri Variable Rate Bond (VRB), namun
perbankan masih mampu membukukan Net Interest
Income (NII) yang positif dan bahkan lebih tinggi dari
2001 ketika terjadi trend peningkatan suku bunga.
Selama 2002, perbankan mampu membukukan NII
sebesar Rp42,9 triliun, sementara pada 2001 hanya
sebesar Rp37,8 triliun.
Meningkatnya perolehan NII tersebut disebabkan
oleh meningkatnya penyaluran kredit baru dan masih
relatif tingginya suku bunga kredit sehingga
penerimaan bunga kredit cukup tinggi, dilain pihak
suku bunga deposito (cost of fund) mengalami
penurunan yang cukup tajam mengikuti penurunan
suku bunga SBI. Seiring dengan peningkatan perolehan
NII, laba sebelum pajak yang diperoleh perbankan juga
meningkat dari Rp13,1 triliun pada 2001 menjadi
Rp21,9 triliun pada 2002 (Grafik 8.5).
Permodalan dan CAR
Permodalan bank secara keseluruhan mengalami
peningkatan dari Rp62,3 triliun pada Desember 2001
Grafik 8.6Perkembangan Modal Perbankan
Tabel 8.7Perkembangan Jaringan Kantor Perbankan Syariah
26
12783
2002Uraian
BUSUUSJumlah Kantor BankBPR Syariah
23
9681
2001
23
6278
2000
21
4078
1999
1019
1992
162
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
menjadi Rp93,0 triliun pada akhir periode laporan.
Peningkatan tersebut sebagian besar berasal dari
setoran modal sebesar Rp8,3 triliun, pembentukan
cadangan modal Rp2,7 triliun, koreksi kerugian tahun
sebelumnya Rp12,3 triliun dan laba tahun berjalan
Rp7,0 triliun. Peningkatan posisi modal terutama
terjadi pada kelompok bank BUMN yang meningkat
sebesar Rp14,0 triliun, diikuti kelompok bank asing
Rp5,6 triliun dan kelompok eks BTO Rp4,5 triliun
(Grafik 8.6).
Membaiknya kualitas aktiva perbankan yang
diiringi dengan peningkatan permodalan bank,
mendorong peningkatan CAR. Pada akhir 2002, CAR
untuk keseluruhan bank umum mencapai 22,5% atau
meningkat 199 poin bila dibandingkan dengan akhir
2001 sebesar 20,5%. Namun bila dilihat secara individu
masih terdapat 3 bank yang memiliki CAR di bawah
8,0%.
Perkembangan Perbankan Syariah
Sebagai industri keuangan yang relatif baru,
perbankan syariah pada 2002 memperlihatkan
pertumbuhan yang cukup pesat. Hal tersebut
tercermin dari meningkatnya jumlah bank yang
beroperasi berdasarkan prinsip syariah dan cukup
tingginya pertumbuhan aset, DPK maupun PYD. Selain
itu pasar keuangan syariah juga mulai tumbuh dan
semakin berkembang.
Kelembagaan
Pada 2002 terdapat peningkatan jaringan kantor
perbankan syariah yang ditandai dengan masuknya 3
bank umum Konvensional (BUK) yang membuka UUS
serta beroperasinya 2 BPR Syariah baru. Dengan
demikian sampai dengan akhir 2002 terdapat 2 bank
umum Syariah (BUS), 6 UUS, 127 kantor bank, dan 83
BPR Syariah (Tabel 8.7) yang tersebar pada 20 propinsi
di Indonesia. Sementara itu pada akhir 2002 terdapat
1 BUK yang mengajukan permohonan pembukaan UUS,
Grafik 8.7Perkembangan Kegiatan Usaha Perbankan Syariah
Tabel 8.8Perkembangan Pangsa Kegiatan Usaha Perbankan Syariah
terhadap Perbankan Nasional
0,370,350,80
200220012000
0,250,230,57
0,170,150,40
(Persen)
Keterangan
AsetDana Pihak KetigaPembiayaan
Grafik 8.8Perkembangan Penghimpunan Dana
Perbankan Syariah
163
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
8 permohonan pembukaan kantor cabang syariah, dan
2 permohonan pendirian BPR Syariah. Seluruh
permohonan yang diajukan ini masih dalam proses
analisis untuk mendapatkan persetujuan.
Pertumbuhan jaringan kantor bank syariah yang kian
pesat tidak terlepas dari dukungan BI baik dalam
bentuk ketentuan maupun sosialisasi mengenai
perbankan syariah kepada masyarakat.
Kegiatan Usaha
Total Aset
Sejalan dengan bertambahnya jaringan kantor
bank, kegiatan usaha perbankan syariah juga
mengalami pertumbuhan yang cukup pesat (Grafik
8.7). Pada akhir 2002 total aset perbankan syariah
tercatat sebesar Rp4,1 triliun. Jumlah tersebut
mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu
sebesar Rp1,4 triliun atau 50,3% dibandingkan tahun
sebelumnya. Peningkatan tersebut menyebabkan
pangsa total aset perbankan syariah terhadap total
aset perbankan nasional meningkat dari 0,3% pada
akhir 2001 menjadi 0,4% pada akhir periode laporan
(Tabel 8.8).
Penghimpunan Dana
Secara umum pertumbuhan penghimpunan DPK
perbankan syariah pada 2002 tercatat sebesar 61,5%.
Tambahan DPK perbankan syariah memberikan
kontribusi sebesar 2,9% dari total tambahan DPK
perbankan nasional. Sementara itu kontribusi DPK
terhadap total aset perbankan syariah meningkat dari
2001 sebesar 66,4% menjadi 71,4% pada 2002 (Grafik
8.8).
Peningkatan DPK tersebut terjadi pada semua
komponen, yaitu giro sebesar 19,7%, tabungan 38,0%
dan deposito 90,4%. Dilihat dari komposisinya tidak
mengalami perubahan dibandingkan tahun
sebelumnya. Deposito masih mendominasi komposisi
DPK dengan pangsa yang meningkat dari sebesar
50,7% pada akhir 2001 menjadi 59,8% pada akhir
tahun laporan.
Pesatnya pertumbuhan DPK perbankan syariah
dalam dua tahun terakhir memberikan indikasi adanya
respon positif dari masyarakat. Perkembangan
tersebut searah dengan hasil penelitian yang dilakukan
BI mengenai preferensi masyarakat terhadap
perbankan syariah. Semakin banyak dan luasnya
jaringan kantor serta peningkatan fasilitas pelayanan,
seperti ATM bersama, menjadi faktor pendorong
Grafik 8.9Perkembangan Pembiayaan Nonlancar (Gross)
Bank Syariah
Tabel 8.9Realisasi PYD Perbankan Syariah kepada sektor UKM
57,930,7
5,3
Pertumbuhan(%)
20021)2001
472149119
299114113
(Miliar Rp)Jenis
BUSUSBPRS
1) untuk BPRS data September 2002
164
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
pertumbuhan DPK. Di samping itu gencarnya kegiatan
sosialisasi, edukasi, dan promosi yang dilakukan oleh
BI, Perbankan Syariah, dan perguruan tinggi, serta
Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (ASBISINDO) juga
meningkatkan preferensi masyarakat terhadap
perbankan syariah.
Pembiayaan dan Kualitas Pembiayaan
Pada 2002 pembiayaan perbankan syariah
tumbuh sebesar 59,9% dari sebesar Rp2,1 triliun
menjadi sebesar Rp3,3 triliun, sedikit lebih rendah
dibandingkan tahun sebelumnya yang meningkat
sebesar 61,3%. Pembiayaan perbankan syariah masih
didominasi oleh pembiayaan dengan aqad murabahah
(sale with markup) yakni sebesar 70,9%, diikuti
mudharabah (profit-loss sharing) 15,2%, dan
musyarakah (mutual partnership profit-loss sharing)
1,8%. Sedangkan bentuk-bentuk pembiayaan lainnya
seperti salam (advance purchase), istishna'–(commis-
sioned manufacture), ijarah (operational lease),
gadai (mortgage) dan hawalah (transfer services)
memiliki porsi yang masih kecil.
Porsi pembiayaan dengan aqad murabahah dari
tahun ke tahun mengalami peningkatan dari sebesar
69,3% pada 2001 menjadi 70,9% pada tahun laporan.
Dominasi penggunaan aqad murabahah dalam
pembiayaan tidak terlepas dari berbagai faktor, antara
lain karakteristik pembiayaan murabahah yang return-
nya dapat diprakirakan dan mempermudah Asset and
Liability Management (ALMA) bank karena sumber
DPK sebagian besar berasal dari dana berjangka
pendek. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian
yang dilakukan BI mengenai kinerja industri BPRS di
2002 yang menyatakan bahwa pembiayaan dengan
akad murabahah lebih disukai masyarakat karena
perhitungan yang mudah.
Peningkatan pembiayaan perbankan syariah juga
diikuti dengan upaya mempertahankan kualitas aktiva
produktifnya yang tercermin dari rasio Non Perform-
ing Financing (NPF) perbankan syariah di bawah 5,0%
(Grafik 8.9). Sementara itu Financing to Deposit Ra-
tio (FDR) bank syariah, yang diperoleh dengan
membandingkan antara PYD dengan DPK, dalam tiga
tahun terakhir tetap di atas 100,0%, yaitu berturut-
turut 123,5% (2000), 113,5% (2001) dan 112,3%
(2002). Hal tersebut menunjukkan bahwa fungsi
intermediasi perbankan syariah telah berjalan dengan
baik.
Sejalan kebijakan umum BI untuk mendorong
pengembangan sektor UKM, perbankan syariah telah
memberikan respon yang cukup baik. Hal tersebut
tampak dari peningkatan jumlah pembiayaan yang
dialokasikan kepada sektor UKM pada 2002 yaitu
57,9% untuk BUS, 30,7% UUS dan 5,3% BPRS (Tabel
8.9). Untuk BUS portofolio pembiayaan kepada sektor
UKM telah mencapai sekitar 20% dari total PYD.
Solvabilitas dan Profitabilitas
Secara umum kondisi solvabilitas perbankan
syariah dalam dua tahun terakhir cukup baik. Hal
tersebut tampak dari CAR yang tetap di atas 8,0%,
walaupun mengalami penurunan dibandingkan tahun
sebelumnya dari 21,5% menjadi 14,8%. Penurunan CAR
perbankan syariah tersebut terutama disebabkan
ekspansi pembiayaan (59,9%) yang jauh lebih besar
dari penambahan modal bank (16,4%). Jika trend
tersebut terus berlangsung, dalam jangka pendek
perbankan syariah perlu menambah modal disetor agar
tetap dapat menjaga CAR di atas 8,0%.
165
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
Pada tahun laporan perbankan syariah berhasil
membukukan keuntungan sebesar Rp54,1 miliar
dengan Return on Asset (ROA) dan Return on Equity
(ROE) masing-masing sebesar 1,6% dan 10,1%. Secara
industri, pencapaian ROE pada 2002 lebih rendah dari
periode sebelumnya yaitu sebesar 17,7%. Hal ini
disebabkan masih belum dicapainya titik impas (break
event point) UUS yang baru beroperasi pada tahun
laporan. Namun demikian, dengan semakin banyaknya
bank syariah yang beroperasi, pencapaian skala
ekonomis industri perbankan syariah diharapkan akan
semakin cepat. Dilain pihak penurunan suku bunga
SBI yang diikuti dengan turunnya suku bunga tabungan
dan deposito bank konvensional, diharapkan mampu
meningkatkan daya saing perbankan syariah pada
tahun-tahun mendatang.
Pasar Keuangan Syariah
Instrumen pasar keuangan syariah meliputi
Sertifikat Wadiah BI (SWBI), Pasar Uang Antarbank
berdasarkan prinsip Syariah (PUAS), dan Obligasi
Syariah. Posisi SWBI pada akhir 2002 tercatat sebesar
Rp390 miliar, dengan rata-rata outstanding per bulan
Rp319 miliar. Pada semester II-2002 terdapat
kecenderungan penurunan outstanding SWBI yang
dialihkan kepada PYD, sehubungan dengan kebutuhan
untuk ekspansi ke sektor riil.
Sementara itu aktivitas PUAS sepanjang 2002
menunjukkan kecenderungan yang meningkat dan
mencapai puncaknya pada Oktober 2002 dengan vol-
ume transaksi senilai Rp14,2 miliar. Peningkatan vol-
ume PUAS juga tidak terlepas dari semakin banyaknya
peserta PUAS.
Sebagai alternatif investasi perbankan syariah,
pada 2002 untuk pertama kalinya diterbitkan obligasi
syariah oleh salah satu BUMN senilai Rp100,0 miliar
dari total obligasi Rp1,0 triliun. Penerbitan obligasi
syariah tersebut mendapat respon yang positif dari
masyarakat sehingga dalam penawaran perdana
mengalami oversubscribe mencapai Rp175,0 miliar.
Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat
Kelembagaan
Dalam tahun laporan, jumlah BPR non BKD yang
masih aktif sebanyak 2.141 BPR dan 82 BPR
diantaranya beroperasi dengan prinsip syariah.
Jumlah tersebut berkurang karena adanya pencabutan
izin usaha BPR.
Pada periode laporan BI telah mencabut ijin
usaha 151 BPR (109 BPR merupakan BPR BBKU dan 42
BPR dicabut langsung), sedangkan jumlah BPR yang
telah dibekukan sebanyak 78 BPR. Dari BPR yang di-
BBKU, sebanyak 8 BPR telah berhasil diselamatkan
melalui proses akuisisi sehingga tidak perlu dicabut
izin usahanya.
Kegiatan Usaha
Industri BPR mengalami kemajuan yang sangat
baik ditunjukkan dengan peningkatan total aset,
Tabel 8.10Perkembangan Usaha BPR
8.3935.5976.4201.096
294
20021)20012000
6.7474.2804.860
936223
4.7313.0823.619
705116
(Miliar Rp)
Uraian
Volume UsahaDana Pihak KetigaKreditModal DisetorLaba (Rugi) Tahun Berjalan
1) Data September 2002
166
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Total
aset BPR mengalami peningkatan sebesar 24,4% dari
Rp6.747 miliar pada posisi akhir 2001 menjadi
Rp8.393 miliar pada posisi akhir September 2002.
Dari sisi penghimpunan dana yaitu tabungan dan
deposito terjadi peningkatan. Jumlah tabungan
meningkat sebesar 18,6% dari Rp1.574 miliar pada
posisi akhir 2001 menjadi Rp1.867 miliar pada akhir
September 2002. Sedangkan jumlah deposito
meningkat sebesar 24,2% dari Rp2.706 miliar pada
akhir 2001 menjadi Rp3.370 miliar pada akhir Sep-
tember 2002 (Tabel 8.10).
Sejalan dengan peningkatan dana yang
dihimpun, sisi penyaluran dana yaitu kredit yang
diberikan juga mengalami peningkatan sebesar 32,1%
dari Rp4.860 miliar pada akhir 2001 menjadi Rp6.420
miliar pada akhir September 2002. Kondisi tersebut
di atas menunjukan bahwa tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap BPR terus meningkat dan
prospeknya terus membaik.
Kualitas kredit BPR juga menunjukkan perbaikan
terlihat dari menurunnya NPLs dari 12,0% pada akhir
2001 menjadi 9,0% pada tahun laporan. Meningkatnya
kualitas kredit tersebut diikuti dengan meningkatnya
perolehan laba BPR, tercermin pada laba tahun
berjalan BPR yang mengalami peningkatan 170,3%
dibanding sebelumnya dari Rp223,0 miliar menjadi
Rp294,0 miliar.
LEMBAGA KEUANGAN LAINNYA
Seiring dengan membaiknya kinerja perbankan
selama 2002, kinerja lembaga keuangan bukan bank
seperti perusahaan pembiayaan dan Perum Pegadaian
juga mengalami peningkatan, baik dilihat dari total
aset, nilai kegiatan usaha maupun laba yang diperoleh.
Tabel 8.11Perkembangan Kinerja Perusahaan Pembiayaan
0,4
8,1
7,9
-9,1
0,4
37,2
25,0
111,5
-5,7
-2,6
-10,1
124,2
12,7
-
20021)
Keterangan
Jumlah Perusahaan2)
Total Aset
Nilai Kegiatan Usaha
Sewa guna usaha
Pembiayaan anjak piutang
Pembiayaan kartu kredit
Pembiayaan konsumen
Lainnya
Pinjaman yang Diterima3)
Dalam negeri
Luar negeri
Obligasi
Modal Disetor
Laba (Rugi) Tahun Berjalan
0,4
4,4
4,9
2,9
-
50,0
97,3
45,2
47,4
-0,5
4,5
-7,0
-11,2
11,4
2001r
247
40,4
33,3
12,8
3,3
1,1
15,4
0,6
29,4
17,9
11,5
1,7
7,6
1,5
20021)
246
37,3
30,8
14,1
3,3
0,8
12,4
0,3
31,1
18,4
12,8
0,7
6,8
(0,1)
2001r
245
35,8
29,4
13,7
6,6
0,4
8,5
0,2
31,3
17,6
13,7
0,8
6,1
(2,6)
2000
Posisi(Triliun Rp)
Pertumbuhan(%)
1) Posisi sampai November 20022) Satuan3) Termasuk pinjaman subordinasi
Tabel 8.12Perkembangan Sumber dan
Penggunaan Dana Perusahaan Pembiayaan
8,1-7,5-2,9
-16,8-1,8-1,4-2,1
124,2551,1
12,1
8,17,96,92,7
11,4
20021)
Keterangan
AKTIVA (Sumber Dana)Pinjaman bank
- Dalam negeri- Luar negeri
Pinjaman lainnya2)
- Dalam negeri- Luar negeri
ObligasiModal3)
Lain-lainPASIVA(Penggunaan Dana)
PembiayaanSimpanan pada bankPenyertaanLain-lain
4,412,025,6-8,2
-19,6-33,5-5,5
-11,2-73,9
4,1
4,44,9
-20,3-19,235,7
2001r
40,4 19,6 13,8 5,8 9,8 4,1 5,7 1,7 2,6 6,7
40,4 33,3 3,2 0,1 3,8
20021)
37,3 21,1 14,2 7,0 10,0 4,2 5,8 0,7 (0,6) 6,0
37,3 30,8 3,0 0,1 3,4
2001r
35,8 18,9 11,3 7,6 12,4 6,3 6,2 0,8 (2,2) 5,8
35,829,43,70,12,5
2000
Posisi(Triliun Rp)
Pertumbuhan(%)
1) Posisi sampai November 20022) Termasuk pinjaman subordinasi3) Modal bersih setelah ditambah/dikurangi laba/rugi tahun berjalan dan tahun sebelumnya serta ditambah dengan laba ditahan dan cadangan
167
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
Secara tidak langsung, peningkatan kinerja
perusahaan pembiayaan dan Perum Pegadaian
tersebut didorong oleh perbankan. Hal ini terlihat dari
meningkatnya sumber pendanaan perusahaan
pembiayaan dan perum pegadaian yang bersumber
dari perbankan. Di sisi lain, masih belum optimalnya
fungsi intermediasi perbankan telah membuka peluang
kepada perusahaan pembiayaan dan Perum Pegadaian
menjadi alternatif sumber pendanaan, khususnya bagi
masyarakat dan pengusaha golongan kecil dan
menengah, sehingga peranannya mengalami
peningkatan.
Perusahaan Pembiayaan
Secara umum kinerja perusahaan pembiayaan
selama 2002 menunjukkan perkembangan yang terus
membaik. Peningkatan kinerja tersebut tercermin dari
meningkatnya total aset, nilai kegiatan usaha dan
perolehan laba tahun berjalan. Sampai dengan No-
vember 2002, total aset perusahaan pembiayaan
mengalami peningkatan sebesar 8,1% dibanding
dengan tahun sebelumnya, dari Rp37,3 triliun menjadi
Rp40,4 triliun. Sementara nilai kegiatan usahanya
(pembiayaan) meningkat sebesar 7,9% dari Rp30,8
triliun menjadi Rp33,3 triliun. Perkembangan lain yang
cukup menggembirakan adalah perolehan laba tahun
berjalan sebesar Rp1,5 triliun, setelah beberapa tahun
sebelumnya selalu mengalami kerugian (Tabel 8.11).
Pada tahun laporan, perkembangan kegiatan
usaha perusahaan pembiayaan mengalami sedikit
perubahan. Jika pada periode-periode sebelumnya
kegiatan sewa guna usaha selalu mendominasi, maka
pada tahun laporan bergeser menjadi pembiayaan
konsumen yaitu sebesar Rp15,4 triliun (46,4%).
Sementara kegiatan sewa guna usaha sebesar Rp12,8
triliun (38,6%), pembiayaan anjak piutang Rp3,3
triliun (9,9%) dan pembiayaan kartu kredit Rp1,1
triliun (3,3%). Jika dibandingkan dengan posisi tahun
sebelumnya, hanya jenis kegiatan sewa guna usaha
yang mengalami penurunan yaitu sebesar 9,1%,
sementara kegiatan lainnya mengalami peningkatan.
Tabel 8.13Rincian Pembiayaan Menurut Sektor Ekonomi
Pertanian Pertambangan Perindustrian Listrik, Air, dan Gas Konstruksi Perdagangan Pengangkutan Jasa Dunia Usaha Jasa Sosial Lain-Lain Jumlah
Nilai Pembiayaan(Triliun Rp)
Pertumbuhan(%)
-26,657,1
-17,4-50,4-13,2
7,99,6
-1,272,120,27,9
Keterangan
-20,923,3-2,5
-34,7-0,3
-14,72,5
16,311,020,54,9
1,3 2,015,2 0,2 5,2
14,2 7,9 2,8 3,3
48,0100,0
1,9 1,4
19,8 0,4 6,4
14,2 7,8 3,0 2,1
43,1 100,0
0,4 0,7 5,0 0,1 1,7 4,7 2,6 0,9 1,1
16,0 33,3
0,6 0,4 6,1 0,1 2,0 4,4 2,4 0,9 0,6 13,3 30,8
Porsi(%)
2001r 20021) 2001r 20021) 2001r
0,7 0,3 6,3 0,2 2,0 5,1 2,3 0,8 0,6 11,0 29,4
2000 20021)
1) Sampai November 2002
168
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
Peningkatan terbesar terjadi pada kegiatan
pembiayaan kartu kredit dan pembiayaan konsumen
yaitu masing-masing meningkat sebesar 37,2% dan
25,0%. Hal ini sejalan dengan perkembangan
konsumsi domestik yang mengalami peningkatan
dibanding dengan tahun sebelumnya dan masih
menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi
(Tabel 8.11).
Sampai dengan November 2002, sumber dana
yang berhasil dihimpun perusahaan pembiayaan
meningkat sebesar Rp3,0 triliun atau naik 8,1%
dibandingkan posisi akhir tahun sebelumnya.
Peningkatan sumber dana tersebut berasal dari
obligasi, setoran modal dan perolehan laba tahun
berjalan. Sementara itu, pinjaman yang diterima baik
dari dalam negeri maupun luar negeri mengalami
penurunan masing-masing sebesar 2,6% dan 10,1%.
Sumber utama pendanaan perusahaan pembiayaan
pada tahun laporan masih berasal dari pinjaman bank
dalam negeri yakni sebesar 34,2%, sementara
pinjaman bank luar negeri sebesar 14,3%. Untuk
pinjaman selain bank sebesar 24,3%, yang bersumber
dari dalam negeri sebesar 10,2% dan luar negeri
sebesar 14,1% (Tabel 8.12).
Dari sisi penggunaan dana, komposisinya juga
tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Sebagian besar dana perusahaan
pembiayaan disalurkan dalam bentuk pembiayaan
kegiatan usaha, yaitu sebesar Rp33,3 triliun atau
82,4% dari total dana yang dimiliki (Tabel 8.12).
Seiring dengan membaiknya perekonomian, aktivitas
pembiayaan yang dilakukan perusahaan pembiayaan
pada tahun laporan mengalami pertumbuhan yang lebih
tinggi dibanding tahun sebelumnya yaitu dari 4,9%
pada 2001 menjadi 7,9% sampai November 2002.
Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan
penerimaan perusahaan pembiayaan, sehingga pada
tahun laporan berhasil mencatat laba sebesar Rp1,5
triliun setelah beberapa tahun sebelumnya selalu
mengalami kerugian. Dampak dari perolehan laba
tahun berjalan ditambah dengan peningkatan setoran
modal menyebabkan modal bersih perusahaan
Grafik 8.10Perkembangan Kinerja Perum Pegadaian
Pembiayaan :- Sewa guna
usaha
- Anjak piutang
- Kartu kredit
- Pembiayaan
konsumen
Surat Berhargayang DimilikiPenyertaan
Total Aktiva
Produktif
M
13,614,6
63,1
2,4
1,4
13,10,1
13,6
Aktiva Produktif DLMDLMDL
(Persen)
20021)2000 2001r
4,26,6
6,3
3,6
1,5
3,63,0
4,2
82,2 78,8
30,6
94,0
97,2
83,3 96,9
82,2
16,7 15,7
64,7
22,0
2,1
8,6 6,8
16,3
5,3 7,8
6,4
2,3
1,7
6,1 0,2
5,3
78,0 76,5
28,9
75,7
96,3
85,3 93,1
78,4
22,8 18,6
53,1
31,7
3,7
11,7 2,3
22,3
7,4 12,4
4,2
1,5
1,6
0,2 -
7,1
69,7 69,0
42,7
66,8
94,7
88,0 97,7
70,6L = Lancar, D = Diragukan, M = Macet1) Sampai November 2002
Tabel 8.14Perkembangan Kualitas Aktiva Produktif Perusahaan Pembiayaan
169
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
pembiayaan pada tahun laporan menjadi positif
sebesar Rp2,6 triliun.
Penyaluran dana perusahaan pembiayaan pada
tahun laporan masih bertumpu pada sektor
perindustrian dan perdagangan yang masing-masing
memperoleh pembiayaan sebesar Rp5,0 triliun (15,2%)
dan Rp4,7 triliun (14,2%). Untuk sektor perindustrian,
jumlah penyaluran pada tahun laporan mengalami
penurunan dibandingkan selama 2001 yang mencapai
Rp6,1 triliun. Sementara sektor lain yang memperoleh
pembiayaan cukup signifikan adalah sektor
pengangkutan sebesar Rp2,6 triliun dan sektor
konstruksi sebesar Rp1,7 triliun (Tabel 8.13).
Dilihat dari kolektibilitasnya, kualitas aktiva
produktif perusahaan pembiayaan yang terdiri dari
kegiatan pembiayaan (sewa guna usaha, anjak
piutang, kartu kredit dan pembiayaan konsumen),
surat berharga yang dimiliki dan penyertaan
menunjukkan perkembangan yang membaik
dibanding dengan tahun sebelumnya. Kualitas aktiva
produktif dalam kategori lancar meningkat dari 78,4%
menjadi 82,2%. Sementara pangsa aktiva produktif
yang bermasalah, yaitu kategori diragukan dan macet,
juga mengalami perbaikan. Untuk kategori diragukan
turun dari 5,3% menjadi 4,2% dan kategori macet turun
dari 16,3% menjadi 13,6%. Jika dirinci menurut jenis
pembiayaannya, kegiatan anjak piutang memiliki
kualitas aktiva yang terburuk yaitu dengan pangsa
kategori macet mencapai 63,1%. Sedangkan kualitas
aktiva produktif yang terbaik dimiliki oleh pembiayaan
konsumen dengan porsi kredit macet hanya sebesar
1,4% (Tabel 8.14).
Perum Pegadaian
Kinerja Perum Pegadaian selama 2002 juga
menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun
sebelumnya, sebagaimana tercermin dari peningkatan
total aset, pinjaman yang diberikan, pendapatan
usaha dan perolehan laba tahun berjalan. Total aset
Perum Pegadaian mengalami peningkatan sebesar
31,2%, pinjaman yang diberikan meningkat 31,0%,
pendapatan usaha meningkat 40,5% dan laba tahun
berjalan meningkat 8,2% dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Peningkatan kinerja tersebut didukung
oleh ekspansi jaringan pelayanan dengan mendirikan
kantor cabang baru dan program diversifikasi produk
(Grafik 8.10).
Terus meningkatnya permintaan masyarakat
akan layanan Perum Pegadaian yang terlihat dari
trend peningkatan nasabah,
Tabel 8.15Perkembangan Kinerja Perum Pegadaian
Jumlah Kantor Cabang2)
Omzet
Pendapatan Usaha
- Sewa Modal
- Jasa Taksiran
- Jasa Titipan
- Penyimpanan & Asuransi
- Lainnya
Posisi Pasiva
- Kewajiban Jangka Pendek
a. Hutang Bank
b. Hutang Promes
c. Obligasi Jatuh Tempo
d. Lainnya
- Obligasi
- Kewajiban Jangka Panjang
- Ekuitas
Laba (Rugi) Tahun Berjalan
Jumlah Nasabah3)
1) Berdasarkan laporan operasional Desember 2002 2)Satuan/unit3) Orang
Rincian
737
7.823.704
776.203
699.094
42
28
71.827
5.212
898.737
600.858
105.000
64.600
128.279
873.060
95.000
486.320
87.505
17.490.235
706
5.970.310
552.358
500.562
27
18
47.033
4.718
480.568
252.363
50.000
99.750
78.455
636.672
200.000
475.614
80.851
15.692.229
659
4.230.778
377.162
341.936
16
11 31.270
3.929
454.176
157.631
50.000
199.710
46.835
439.486
105.000
415.256
46.838
12.982.306
649
3.229.280
449.087
417.370
16
10
25.319
6.372
243.612
120.067
60.272
-
63.272
389.556
100.000
409.553
61.755
12.427.554
1999 2000 2001r 20021)
(Juta Rp)
170
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
mendorong Perum Pegadaian untuk menambah
kantor cabang. Selama 2002, Perum Pegadaian
berhasil menambah 31 kantor cabang baru diseluruh
Indonesia, sehingga jumlah kantor cabangnya
meningkat menjadi 737 kantor cabang pada akhir
tahun laporan. Perluasan jaringan kantor tersebut
mendorong peningkataan jumlah nasabah yang
berhasil dilayani sebesar 11,5% menjadi sebanyak
17,5 juta nasabah. Dilihat dari komposisinya,
sebagian besar nasabah Perum Pegadaian adalah
pedagang dengan pangsa sebesar 23,2%, disusul
petani sebesar 21,6%, karyawan 15,5% dan nelayan
5,8% (Tabel 8.15).
Sementara untuk mengantisipasi maraknya
persaingan dalam bisnis gadai, Perum Pegadaian
selama tahun laporan berhasil meluncurkan dua
produk unggulan, yaitu gadai gabah dan gadai
syariah. Peluncuran program gadai gabah ini
merupakan terobosan Perum Pegadaian untuk
memberikan manfaat bagi petani dan menghindarkan
petani dari jeratan pengijon. Dalam pelaksanaannya,
perum pegadaian bekerja sama dengan agen maupun
KUD sebagai pelaksana. Sementara peluncuran
produk gadai syariah bertujuan untuk memberikan
pelayanan kepada nasabah yang membutuhkan
pinjaman yang bebas dari unsur riba. Produk gadai
syariah ini diprakirakan akan cepat berkembang dan
memberikan kontribusi yang cukup besar, mengingat
mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam dan
makin maraknya bisnis yang menggunakan sistem
syariah.
Penambahan kantor cabang dan diversifikasi
produk tersebut berhasil meningkatkan omzet
kegiatan usaha (pinjaman yang diberikan) oleh Perum
Pegadaian. Selama 2002, Perum Pegadaian berhasil
memberikan pinjaman kepada masyarakat sebesar
Rp7,8 triliun atau meningkat 31,0% dibandingkan
2001. Peningkatan jumlah pinjaman yang diberikan
tersebut berdampak pada peningkatan pendapatan
usaha secara signifikan sehingga mencapai menjadi
Rp77,2 miliar atau meningkat 40,5%. Kontribusi
peningkatan pendapatan usaha tersebut tetap
diberikan oleh kegiatan utamanya yaitu sewa modal
yang mencapai 90,1%. Kegiatan usaha lainnya yang
memberikan kontribusi cukup besar adalah
penyimpanan dan asuransi sebesar 9,3%. Peningkatan
pendapatan usaha dan berbagai upaya efisiensi yang
dilakukan Perum Pegadaian berhasil meningkatkan
perolehan laba tahun berjalan. Selama tahun 2002,
Perum Pegadaian memperoleh laba sebesar Rp87,5
miliar atau meningkat sebesar Rp6,7 miliar (8,2%)
dibandingkan perolehan laba 2001 (Tabel 8.15).
Dari sisi sumber dana, sebagian besar berasal
dari penerbitan obligasi, yaitu sebesar Rp873,1 miliar
atau 37,1% dari total dana yang dimiliki. Jumlah
tersebut mengalami peningkatan sebesar Rp236,4
miliar atau 37,1% dari posisi tahun sebelumnya.
Berdasarkan berbagai indikator kinerja Perum
Pegadaian yang mengalami peningkatan, pada tahun
laporan Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo)
memberikan peringkat A+ (stable outlook) untuk
obligasi yang diterbitkan oleh Perum Pegadaian.
Sementara pinjaman dana dari bank sebesar Rp600,9
miliar atau 25,5% dari total dana. Jumlah tersebut
juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan
dibanding tahun sebelumnya yang hanya sebesar
Rp252,4 miliar. Sumber dana lainnya adalah modal
sendiri sebesar 20,7%, pinjaman jangka pendek selain
bank 12,7% dan pinjaman jangka panjang 4%.
171
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
bo
ks
Master Plan Peningkatan Efektivitas Pengawasan Bank
Berkembangnya produk dan permasalahan
perbankan mengisyaratkan perlunya terus
dilakukan upaya penyempurnaan ketentuan dan
prosedur pengawasan sehingga dapat diwujudkan
suatu format pengawasan bank yang efektif yang
selaras dengan standar internasional. Untuk tujuan
ini, Basel Committe pada September 1997 telah
mengeluarkan dokumen “25 Basel Core Principles
for Effective Banking Supervision” yang pada
dasarnya memuat prinsip-prinsip pokok yang dapat
dijadikan pedoman dalam rangka meningkatkan
stabilitas keuangan baik domestik maupun
internasional.
Dalam rangka restrukturisasi perbankan,
Bank Indonesia (BI) telah mengakomodasi upaya
di atas dengan melakukan penilaian sendiri (self
assessment) tingkat kepatuhannya terhadap
prinsip-prinsip pokok (Core Principles/CP)
tersebut. Agar lebih objektif, BI telah pula meminta
asistensi IMF untuk melakukan penilaian yang
sama. Sinergi dari hasil penilaian tersebut
diharapkan dapat membantu penetapan urutan
prioritas dan arahan dalam penyediaan asistensi
IMF untuk penyempurnaan ketentuan dan prosedur
pengawasan bank lebih lanjut. Penilaian oleh IMF
yang diselesaikan pada bulan September 2002
menunjukkan pemenuhan (fully compliant) BI
terhadap 2 CP yaitu CP.1 “preconditions for effec-
tive banking supervision” dan CP. 2 “permissible
activities”. Sementara itu, prinsip-prinsip pokok
lainnya masih tersebar pada kategori largely com-
pliance, materially non compliance dan non-com-
pliant. Hasil penilaian ini mencerminkan pula
perlunya peningkatan efektivitas pelaksanaan
beberapa ketentuan perbankan BI. Apalagi
beberapa prakondisi untuk pengawasan bank yang
efektif berupa (i) kebijakan ekonomi makro yang
sehat dan sustainable; (ii) tersedianya
infrastruktur; (iii) disiplin pasar yang efektif; (iv)
adanya prosedur penyelesaian masalah bank yang
efisien; dan (v) mekanisme perlindungan terhadap
risiko sistemik atau jaring pengaman sosial (fi-
nancial safety net) belum seluruhnya dapat
dikontrol oleh BI.
Untuk meningkatkan kualitas pemenuhannya,
BI telah menyusun suatu master plan Peningkatan
Effektivitas Pengawasan Bank yang memuat upaya-
upaya penyempurnaan ketentuan dan pengawasan
bank terhadap prinsip-prinsip pokok yang berada
diluar kategori fully compliance. Pelaksanaan
master plan ini dilakukan secara terintegrasi
dengan interval monitoring secara triwulanan.
Sampai dengan akhir 2002, realisasi pelaksanaan
master plan ini telah meningkatkan kualitas
pemenuhan atas dokumen Basel. Proses ini terus
berlanjut dan pada waktunya diharapkan dapat
dilakukan penilaian ulang secara independen agar
dapat diketahui kualitas pengawasan bank yang
dilakukan oleh BI.
�
172
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
Fully Compliance 2 2 CP. 1; CP. 2Largely Compliance 5 10 CP. 3; CP. 5; CP. 6; CP. 14; CP. 15; CP. 18;
CP. 21; CP. 22; CP. 24; CP. 25Materially Non Compliance 16 12 CP. 4; CP. 7; CP. 8; CP. 9; CP. 10; CP. 12;
CP. 13; CP. 16; CP. 17; CP. 19; CP. 20; CP. 23;
Non Compliance 2 1 CP. 11
Tingkat PemenuhanPenilaian
Realisasi Pelaksanaan Master Plan
Keterangan(September 2000) 2002
173
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
Makassar Meeting dan Upaya Pengembangan UKM
bo
ks
Latar Belakang
Kondisi geografis wilayah Republik Indone-
sia yang sangat luas dengan struktur penduduk
dan sosial masyarakat yang heterogen telah
mendorong timbulnya perbedaan dalam proses
dan hasil pembangunan selama ini khususnya
antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan
Timur Indonesia (KTI). Dilain pihak, pemerataan
pembangunan merupakan topik yang selalu
menjadi pembicaraan strategis dalam agenda
pembangunan pemerintah.
Salah satu tindakan untuk mengatasi
permasalahan tersebut, pemerintah melalui Menko
Perekonomian dan Menteri Negara Percepatan
Pembangunan KTI telah berkoordinasi dengan Bank
Indonesia (BI) untuk memprakarsai pertemuan
dialogis dengan pihak terkait sebagai upaya untuk
mempercepat laju pembangunan dan pemulihan
ekonomi di KTI. Pihak yang terlibat dalam
pertemuan yang diselenggarakan pada 8 – 10 Sep-
tember 2002 tersebut adalah pemerintah pusat,
pemerintah daerah, perbankan, pelaku usaha dan
tokoh-tokoh masyarakat.
Tujuan diselenggarakannya pertemuan
tersebut adalah untuk mencari masukan
perumusan langkah-langkah konkrit pembangunan
KTI melalui peningkatan investasi dan
pengembangan sektor riil di kawasan tersebut.
Secara rinci tujuan tersebut dijabarkan dalam
beberapa agenda pertemuan, antara lain :
a. Menerima laporan kinerja dan masalah yang
dihadapi perbankan dalam memberikan
dukungan bagi percepatan pembangunan dan
pemulihan ekonomi di KTI serta menampung
masukan dan usulan pemecahan
permasalahan tersebut.
b. Membahas berbagai kemungkinan kebijakan
yang dapat diambil oleh pemerintah untuk
mempercepat pembangunan ekonomi.
c. Mempertemukan berbagai kepentingan,
sehingga diharapkan dapat dihasilkan pola
kemitraan yang sinergis dan iklim ekonomi
yang kondusif bagi perbaikan sektor riil serta
peningkatan investasi.
Hasil kesepakatan Makassar
Kesepakatan dari temu dialog tersebut
dirumuskan dalam tiga Bidang, dengan beberapa
kesimpulan antara lain :
a. Bidang sumber daya alam, meliputi sektor
pertanian, perkebunan, perikanan, kelautan,
kehutanan, pertambangan dan energi, serta
lingkungan hidup. Dengan rincian
kesepakatan antara lain :
- Mengatur pemanfaatan tata ruang pertanian
dengan kehutanan pusat/ daerah,
meningkatkan kerja sama Pemda – pengusaha
- perbankan untuk pengembangan komoditi
unggulan, menurunkan bea impor produk
pendukung sarana dan prasarana pertanian,
174
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
dan memperluas kewenangan perizinan Pemda
untuk pemanfaatan hasil hutan.
- Memberdayakan masyarakat nelayan
pesisir, memberikan kewenangan
perizinan dan pengawasan laut dalam
eksploitasi hasil laut yang lebih luas
kepada Pemda.
- Menyelesaikan tumpang tindih kawasan
kehutanan, pertambangan dan
membangun energi listrik pedesaan, dan
melestarikan penanggulangan
pencemaran lingkungan, dan pembiayaan
pencegahan pencemaran industri.
b. Bidang infrastuktur, meliputi sektor
perhubungan darat, perhubungan laut, dan
perhubungan udara, dengan kesepakatan
antara lain :
· Meningkatkan kapasitas dan kualitas
jalan pendukung jalan produksi,
menyusun rencana induk perkereta-
apian di Kalimantan, Sulawesi, Maluku
dan Papua, dan mengembangkan
pelabuhan dengan pola kemitraan.
· Mengalihkan pusat distribusi
penerbangan ke KTI, membuka bandara-
bandara perintis baru dan mendorong
pendirian perusahaan penerbangan lokal.
c. Bidang tenaga kerja dan keuangan, meliputi
sektor tenaga kerja, keuangan dan
perbankan, dan koperasi. Rumusan yang
disepakati, antara lain :
· Memberdayakan eks TKI dengan
memanfaatkan lahan perkebunan,
meningkatkan fungsi BLK, membentuk
kelembagaan sertifikasi pergudangan
untuk produk ekspor serta mendirikan
pusat-pusat informasi pasar yang
terintegrasi ke dalam website BI.
· Meningkatkan fungsi intermediasi
perbankan, meningkatkan akses
pembiayaan untuk UKM, memperluas pola
kemitraan inti plasma, meningkatkan
infrastruktur pendukung UKM dengan
memperluas jaringan kantor bank
terutama BPR, meningkatkan penyediaan
outlet khusus UKM, mendirikan lembaga
penjaminan kredit UKM dan
mengembangkan konsultan dengan
memanfaatkan UKM center yang telah
ada.
· Memberikan bantuan teknis, manajemen
atau penyaluran dana kepada BPR dan
membuat peraturan yang memudahkan
pembentukan BPR dan BPRS di daerah-
daerah serta melakukan sharing untuk
pembinaan BPR dengan BI dan bank
umum.
· Memberikan perlakuan khusus atas
pengenaan pajak deposito kepada para
nasabah BPR, serta melakukan pengawasan
terhadap penerapan Keputusan Presiden
No.56/2002 tentang restrukturisasi hutang
UKM dan Keputusan Menteri Keuangan
No.300/2002 untuk pelaksanaannya.
· Melakukan rescheduling usaha-usaha yang
potensial berdasarkan kelayakannya serta
175
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
menghapus peraturan yang tumpang tindih yang
memberatkan pelaku usaha serta seluruh
pungutan liar yang menyebabkan biaya tinggi.
Beberapa Program yang telah ditempuh Bank
Indonesia
Bagi Bank Indonesia, pertemuan dialogis
Makassar ini merupakan upaya sosialisasi
kesepakatan bersama (MoU) pada 22 April 2002
antara Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
dan Gubernur BI tentang program penanggulangan
kemiskinan melalui pemberdayaan dan
pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah
(UKM). Beberapa kegiatan yang telah disepakati
dilakukan oleh BI dalam MoU tersebut meliputi :
a. Mendorong bank umum dan BPR untuk
meningkatkan penyaluran kredit kepada UKM
dalam rangka penanggulangan kemiskinan
sesuai dengan business plan masing-masing
bank dengan tetap memperhatikan prinsip
kehati-hatian.
b. Melakukan pemantauan dan evaluasi penyaluran
kredit kepada UKM setiap 3 (tiga) bulan.
c. Menyediakan informasi sektor, subsektor
unggulan untuk pengembangan usaha kecil
melalui Sistem Informasi Terpadu
Pengembangan Usaha Kecil (SIPUK) dengan
alamat http://www.bi.go.id.
d. Melakukan berbagai penelitian antara lain
penelitian Potensi Dasar Ekonomi Daerah/BLS
(Baseline Economic Survey) dan penelitian
komoditi yang layak dibiayai oleh bank (lend-
ing model) untuk pengembangan usaha kecil.
e. Memberikan pelatihan kepada pegawai/
petugas di bank umum dan BPR mengenai
pembiayaan kepada UKM.
f. Memberikan landasan hukum yang memadai
kepada bank umum dan BPR dalam
mendorong penyaluran kredit kepada usaha
mikro, kecil dan menengah, dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
g. Memperkuat infrastruktur kelembagaan
perbankan dalam penyaluran kredit UKM.
Disamping hal-hal diatas, untuk
menindaklanjuti pertemuan tersebut, BI juga telah
melakukan beberapa upaya sejalan dengan pro-
gram BI dalam penanggulangan kemiskinan melalui
pemberdayaan dan pengembangan UKM.
Dalam rangka meningkatkan infrastruktur
pendukung UKM, maka perluasan jaringan kantor
bank khususnya BPR sangat diperlukan. Untuk itu,
BI telah melakukan sosialisasi mengenai ketentuan
baru tentang BPR di beberapa Kantor Bank Indo-
nesia. Disamping itu, untuk mempercepat proses
pendirian BPR, wewenang proses perizinan yang
sebelumnya menjadi kewenangan Kantor Pusat
sudah dilimpahkan ke Kantor Bank Indonesia (KBI).
Selanjutnya untuk mendorong peningkatan
minat perbankan dalam menyalurkan kredit kepada
pengusaha kecil, Bank Indonesia telah menerbitkan
peraturan baru dengan meningkatkan plafond
Kredit Usaha Kecil (KUK) yang mendapatkan
perlakuan khusus dari Rp350 juta menjadi Rp500
juta dan untuk daerah tertentu sebesar Rp1 miliar
(Propinsi Aceh, Propinsi Maluku, Kabupaten
176
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
Sambas-Kalimantan Barat, Kabupaten
Kotawaringin Timur-Kalimantan Tengah, dan
Kabupaten Poso-Sulawesi Tengah). Perlakuan
khusus dalam hal ini, adalah perhitungan kualitas
aktiva produktif tidak lagi didasarkan atas 3 faktor
yaitu prospek usaha, kondisi keuangan dan
kemampuan membayar debitur, namun didasarkan
hanya pada faktor kemampuan membayar debitur.
Selain itu, BI memberikan bantuan dalam
bentuk pemberian sistem informasi seperti SIPUK,
SIABE, dan SPKUI melalui website http://
www.bi.go.id.
Dalam upaya mendorong sektor riil, BI telah
memprakarsai pertemuan langsung pejabat-
pejabat bank yang menangani kredit dengan para
pengusaha kecil, seperti yang telah dilakukan di
KBI Makassar dan Bandung.
Hasil yang dicapai
Terlepas dari dialog Makassar yang dilakukan
baru-baru ini, upaya-upaya yang telah dilakukan
untuk mengembangkan KTI selama ini tampaknya
mulai menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Hal ini tercermin dari perkembangan beberapa
indikator perbankan di KTI.
Penghimpunan DPK oleh perbankan di
wilayah KTI sampai Juni 2002 adalah sebesar
Rp59 tril iun atau meningkat 3,0% bila
dibandingkan posisi akhir 2001. Sementara itu,
jumlah kredit di wilayah KTI mencapai sekitar
Rp27 triliun, meningkat 8% bila dibanding posisi
Akhir 2001. Apabila dilihat dari perbandingan
antara dana yang dihimpun dan kredit yang
disalurkan perbankan di wilayah KTI, ternyata
LDR untuk KTI 44,83% atau lebih tinggi
dibandingkan dengan Kawasan Barat Indonesia
dan secara nasional yang masing-masing sebesar
38,5% dan 39,4%.
Khusus mengenai perkembangan UKM, dapat
dikemukakan bahwa sampai dengan September
2002, jumlah UKM yang disalurkan menunjukkan
177
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
Sebagai bagian dar i restruktur isas i
perbankan dan pemulihan ekonomi nasional
khususnya untuk meringankan beban APBN,
BPPN melakukan Program Penjualan Aset Kredit
(PPAK).
Untuk mendukung program tersebut, pada
27 September 2002 Bank Indones ia (BI)
mengeluarkan PBI No. 4/7/PBI/2002 tentang
Prinsip Kehati-hatian Dalam Rangka Pembelian
Kredit oleh Bank dari Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN). Ketentuan ini
memberikan insent i f bagi bank untuk
melakukan pembelian kredit dari BPPN dengan
tetap dalam kerangka prinsip kehati-hatian.
Dengan ketentuan ini diharapkan bank dapat
berpartisipasi aktif dalam upaya pemulihan
ekonomi namun dengan risiko yang terkendali
sehingga tidak mengganggu kinerja bank baik
saat ini maupun di masa yang akan datang.
Dari aspek penilaian dan transparansi, PBI juga
mencakup serangkaian standar akuntansi dan
pengungkapan, termasuk pengumuman dalam
laporan publikasi dan laporan tahunan.
Salah satu insentif yang diberikan dalam
PBI No. 4/7/PBI/2002 adalah penetapan
kualitas lancar dalam jangka waktu 1 tahun
bagi kredit-kredit yang dibeli dari BPPN.
Sedangkan penilaian kualitas selanjutnya
didasarkan pada anal i s i s arus kas dan
ketepatan pembayaran debitur. Penetapan
kualitas lancar merupakan insentif yang cukup
signifikan mengingat kredit seharusnya dinilai
berdasarkan prospek usaha, kondisi keuangan
dan kemampuan membayar debitur. Pemberian
insent i f in i d i lakukan dengan
mempertimbangkan bahwa penjualan aset
telah di lakukan melalui mekanisme yang
terbuka dan dengan pemberian discount yang
cukup besar sehingga kredit telah dibeli
sebesar nilai wajarnya yaitu sebesar nilai yang
diprakirakan dapat tertagih (sustainable
loan ) . Dengan pemberian insent i f
tersebut,PPAK yang wajib dibentuk bank hanya
sebesar 1,0% dari nilai buku kredit sehingga
tidak mengganggu tingkat permodalan bank.
Sela in insent i f , terdapat beberapa
batasan yang diberikan dalam PBI. Salah
satunya adalah batasan pembelian kredit dari
BPPN sebesar maksimum 50% dari modal inti
bank. Penetapan batasan ini dilakukan dengan
beberapa tujuan, yaitu agar transfer aset
tidak terkonsentrasi pada satu bank tertentu
(concentration risk), menciptakan fair market
value dari kredit yang dijual dan mendorong
bank untuk tetap berkonsentrasi pada kredit
baru sehingga fungsi intermediasi perbankan
dapat terlaksana sepenuhnya.
Angka 50,0% ditetapkan berdasarkan kajian
dan analisa terhadap kondisi perbankan serta
kemampuan untuk menyerap kredit yang
Pembatasan Pembelian Kredit oleh Bank dariBadan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)b
ok
s
179
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
Pengaturan Risiko Pasar (Market Risk) dalamKewajiban Penyediaan Modal Minimum Bankb
ok
s
Latar belakang
Sampai dengan saat ini perhitungan
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)
bank di Indonesia secara substansial masih
berdasarkan dokumen Basel Capital Accord (CA)
yang diterbitkan pada 1988. Sesuai dengan
dokumen ini, maka bank-bank diwajibkan
memelihara tingkat permodalan minimum sebesar
8,0% dari aktiva tertimbang menurut risiko
(ATMR). Seiring dengan perkembangan
kompleksitas transaksi perbankan, pendekatan ini
dipandang tidak tepat lagi karena masih
sepenuhnya mendasarkan pada antisipasi bank
terhadap risiko kredit (credit risk), sementara
operasional bank dalam prakteknya harus pula
menghadapi berbagai bentuk risiko lainnya antara
lain risiko pasar (market risk) dan risiko
operasional (operational risk).
Sejalan dengan pandangan di atas, sejak
Januari 1996 Basel Committee telah mengeluarkan
Amandemen CA yang memasukkan unsur risiko
pasar (market risk) dalam perhitungan modal
bank. Pengaturan ini mulai berlaku efektif sejak
akhir Desember 1997 di negara-negara industri
anggota G-10. Sementara itu, untuk Indonesia
pengaturan ini belum dapat diterapkan sehubungan
dengan berbagai permasalahan yang timbul akibat
krisis. Namun demikian, seiring dengan perbaikan
kinerja perbankan, aktivitas trading perbankan
yang terus meningkat dan semakin terintegrasinya
pasar keuangan domestik dengan pada keuangan
global, maka pengaturan mengenai risiko pasar
(market risk) dalam permodalan bank dipandang
sudah saatnya.
Sejak awal 2002, Bank Indonesia (BI) telah
melakukan kajian intensif tentang rencana
pengaturan ini termasuk melalui diskusi dengan
perbankan dan pihak terkait lainnya dengan
harapan pengaturan ini telah mulai dapat
diterapkan di awal 2004.
Materi ketentuan yang akan diatur
Lingkup risiko pasar yang diatur dalam
Amandemen CA 1996 pada dasarnya meliputi
risiko suku bunga (interest rate risk), risiko ekuitas
(equity risk), risiko komoditas (commodities risk),
risiko nilai tukar (foreign exchange risk) dan risiko
perubahan harga option (Option). Namun demikian
pengaturan perbankan saat ini menetapkan
pembatasan terhadap beberapa transaksi tertentu,
karena itu untuk sementara perbankan akan
diwajibkan menyediakan sejumlah tertentu modal
untuk melindungi dari risiko kerugian nilai tukar
maupun suku bunga. Berbeda dengan risiko suku
bunga yang akan dihitung terhadap posisi trading
book yang dimiliki bank, maka proses perhitungan
risiko nilai tukar akan dilakukan terhadap seluruh
portofolio bank (trading dan banking book).
Implikasi pengaturan terhadap modal bank
Dengan berlakunya ketentuan risiko pasar ini,
maka perhitungan tambahan modal (capital charge)
180
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
untuk risiko pasar akan dikalikan dengan angka
12,5 yang akan ditambahkan ke angka ATMR untuk
risiko kredit untuk memperoleh penyebut angka
ATMR total. Selanjutnya perhitungan rasio modal
minimum sebesar 8% akan dilakukan sebagaimana
yang telah berlaku saat ini. Disadari bahwa secara
teknis, dengan adanya tambahan ATMR di atas
berarti bank wajib menambah modal untuk tetap
dapat mempertahankan rasio modal minimumnya
sesuai dengan ketentuan. Dapat saja terjadi modal
minimum bank akan turun, namun hal inipun
bergantung pada jenis dan jangka waktu eksposur
yang dimiliki bank yang bersangkutan. Menyikapi
kebijakan ini, maka perbankan diharapkan mampu
mengelola dengan baik risiko pasar yang terkandung
pada seluruh eksposur baik yang terdapat pada bank-
ing maupun trading book.
Lingkup bank yang terkena
Dalam pengkajian, disadari pula bahwa tidak
semua bank melakukan aktivitas yang langsung
terekspos oleh risiko pasar sehingga berkembang
pemikiran bahwa penerapan ketentuan risiko pasar
ini tidak akan diberlakukan bagi seluruh bank,
namun hanya kepada bank-bank tertentu. Dalam
hal ini tentu perlu diterapkan kriteria-kritera
tertentu sebagaimana dilakukan oleh beberapa
negara yang telah lebih dahulu menerapkan
pengaturan ini. Berdasarkan hasil kajian,
pendekatan yang dapat diterima tampaknya akan
mendasarkan pada status sebagai bank devisa, total
aset yang relatif besar dan posisi trading yang
signifikan bagi bank devisa/nondevisa sebagai
kriteria yang dapat diterima.
Penerapan metode Standar BIS
Sesuai dokumen CA 1996, pada dasarnya
terdapat 2 metode dalam menghitung risiko pasar
yaitu metode standar BIS dan metode alternatif (in-
ternal model). Berbeda dengan metode alternatif
yang umumnya digunakan oleh bank-bank besar
yang telah memiliki unit dan proses manajemen
risiko yang baik, maka metode standar BIS lebih
sederhana. Melalui metode ini, bank dapat langsung
menghitung tambahan modal untuk risiko pasar
yang terdapat dalam portofolionya. Dengan
memperhatikan kondisi perbankan saat ini, BI
memilih untuk sementara menerapkan metode
standar BIS. Adapun metode internal dapat
digunakan oleh perbankan untuk kepentingan in-
ternal manajemen bank, sambil menunggu
pemenuhan berbagai faktor kuantitatif dan
kualitatif yang dipersyaratkan untuk kelancaran
penggunaan metode internal oleh bank.
Persiapan penerapan
Penerapan pengaturan risiko pasar ini disadari
merupakan kebijakan yang penting dalam
menentukan arah perkembangan perbankan ke
depan. Oleh karena itu, penerapannya dipandang
perlu dilakukan secara berhati-hati dengan
memperhatikan kesiapan perbankan. Untuk
mengakomodasi hal ini, diusulkan masa transisi
selama satu tahun yang akan memberikan
kesempatan bagi perbankan dalam melakukan
persiapan sebelum ketentuan dimaksud berlaku
efektif. Alokasi masa transisi ini juga dimaksudkan
untuk mempersiapkan kelancaran tugas pengawasan
BI dan peran dari lembaga lain yang terkait (lembaga
rating).
180
Sistem Pembayaran Nasional
Bab 9: Sistem Pembayaran Nasional
Sistem Pembayaran Nasional9BAB
l a p o r a nt a h u n a n
181
Sistem Pembayaran Nasional
9B A B
SISTEM PEMBAYARAN NASIONAL
Salah satu tugas pokok Bank Indonesia (BI) dalam
rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah adalah mewujudkan sistem pembayaran
nasional yang efisien, cepat, aman dan handal yang
meliputi sistem pembayaran tunai dan nontunai. Untuk
mewujudkan hal tersebut, selama 2002 BI telah
menempuh berbagai kebijakan di bidang sistem
pembayaran. Di bidang sistem pembayaran tunai,
kebijakan yang diambil mencakup tiga aspek pokok
yaitu : pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap
uang kartal, menjaga kualitas uang layak edar dan
minimalisasi peredaran uang palsu. Di bidang sistem
pembayaran nontunai, kebijakan dititikberatkan pada
upaya penurunan risiko pembayaran antarbank dan
peningkatan efisiensi serta kualitas dan kapasitas
layanan sistem pembayaran.
Secara umum, aktivitas sistem pembayaran pada
tahun laporan mengalami peningkatan yang seirama
dengan peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap
alat pembayaran baik tunai maupun nontunai. Uang
Kartal yang Diedarkan (UYD) selama 2002 mengalami
pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 11,8%, lebih
rendah dibandingkan pertumbuhan tahunan rata-rata
tahun sebelumnya sebesar 19,9%. Sementara itu, seiring
dengan perluasan implementasi sistem BI–Real Time
Gross Settlement (BI-RTGS) dan penurunan batas
nominal (capping) nota kredit melalui transaksi kliring,
aktivitas pembayaran nontunai melalui sistem BI-
RTGS mengalami peningkatan, sedangkan transaksi
kliring menunjukkan penurunan. Di bidang transaksi
yang berbasis kartu, seperti kartu kredit, kartu debit,
dan penggunaan kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM)
mengalami peningkatan yang antara lain disebabkan
oleh makin meluasnya jaringan ATM dan meningkatnya
pembiayaan konsumen melalui kartu kredit.
KEBIJAKAN SISTEM PEMBAYARAN TAHUN 2002
Sistem Pembayaran Tunai
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan
masyarakat terhadap uang kartal, kebijakan utama
diarahkan pada penyediaan uang yang layak edar
dalam jumlah cukup, baik dari segi nominal maupun
jenis pecahan, dan secara tepat waktu. Dari segi nomi-
nal, BI berupaya menyediakan kebutuhan uang kartal
di masyarakat yang cenderung meningkat terutama
menjelang perayaan hari besar keagamaan dan tahun
baru. Selanjutnya, untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat akan uang pecahan kecil telah
dikembangkan pilot project kerjasama dengan pihak
ketiga untuk pendistribusian uang pecahan kecil di
wilayah JABOTABEK (Boks : Penukaran Uang Pecahan
Kecil Melalui Pihak Ketiga). Melalui kegiatan ini,
masyarakat dapat menukarkan uang pecahan kecil
tanpa dipungut biaya melalui loket penukaran yang
Kebijakan sistem pembayaran nasional dititikberatkan pada penurunanresiko dan efisiensi serta pemenuhan uang kartal sesuai dengan kebutuhanriil masyarakat.
182
Sistem Pembayaran Nasional
disediakan oleh pihak ketiga dimaksud pada pusat-
pusat keramaian.
Di samping itu, untuk menyediakan uang kartal
dalam jumlah dan komposisi pecahan yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat, BI telah
menyempurnakan perhitungan rencana distribusi uang
(RDU). Penyempurnaan ini dilakukan dengan
menambahkan variabel-variabel yang lebih kompleks
dan relevan, antara lain faktor musiman, karakteristik
masing-masing daerah, penggunaan data historis dan
survei kebutuhan uang. Hasil RDU yang disempurnakan
tersebut diharapkan dapat menjadi acuan yang lebih
baik dalam menetapkan rencana cetak uang dan
pembelian bahan uang. Sejalan dengan itu, guna
memperlancar proses distribusi uang, BI juga berupaya
mengoptimalkan fungsi depot kas yang berada di
beberapa Kantor BI (KBI).
Selain itu, dalam rangka meningkatkan
pelayanan perkasan kepada masyarakat, BI telah
menerapkan Otomasi Administrasi Perkasan (OAP) dan
Sistem Informasi Pengedaran Uang (SIPU) sehingga
informasi kegiatan perkasan di BI dapat diperoleh secara
on-line.
Untuk mendapatkan bahan logam uang yang
secara intrinsik lebih rendah dari nilai nominalnya
tetapi memiliki masa edar yang relatif lama, pada 2002
mulai dilakukan kajian terhadap alternatif komposisi
kandungan bahan logam uang rupiah dan standarisasi
ukuran uang logam. Hasil dari kajian ini diharapkan
dapat menjadi dasar pertimbangan dalam penerbitan
uang logam di masa mendatang.
Berkenaan dengan pemalsuan uang rupiah, BI
telah mengambil langkah preventif maupun represif
untuk menanggulanginya. Langkah-langkah preventif
yang telah dilakukan adalah penyempurnaan desain
dan peningkatan serta penambahan unsur-unsur
pengaman untuk penerbitan emisi baru uang kertas
rupiah pecahan Rp50.000, Rp20.000 dan Rp10.000.
Di samping itu, telah pula dilakukan kajian
penggantian bahan uang pecahan Rp100.000 dari
bahan plastik-polymer menjadi bahan kertas uang.
Peningkatan unsur pengaman tersebut bertujuan
untuk memudahkan masyarakat sebagai first line of
defense, dalam mengenali keaslian uang rupiah secara
kasat mata dan kasat raba.
Langkah preventif lainnya adalah dengan
menyebarluaskan ciri-ciri keaslian uang rupiah dan
cara mudah mengenali uang rupiah melalui
penyebaran poster dan stiker, kegiatan penataran,
serta penayangan iklan layanan masyarakat di media
televisi bekerjasama dengan kepolisian RI. Upaya lain
yang telah dilakukan adalah dengan meningkatkan
koordinasi bersama unsur-unsur terkait yang
tergabung dalam Badan Koordinasi Pemberantasan
Uang Palsu (BOTASUPAL). Sementara itu, upaya
represif dilakukan melalui koordinasi dengan instansi
terkait dalam penangkapan dan pemrosesan ke
pengadilan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam
pemalsuan uang rupiah.
Sistem Pembayaran Nontunai
Dalam lingkup sistem pembayaran nontunai telah
dilakukan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk
menurunkan risiko pembayaran serta mengefisienkan
sistem pembayaran. Salah satu kebijakan yang
dilakukan adalah perluasan implementasi sistem BI-
RTGS. Selama 2002, sistem BI-RTGS sebagai sarana
penyelesaian akhir transaksi (settlement) secara real
time telah diimplementasikan di 15 KBI yaitu
183
Sistem Pembayaran Nasional
Banjarmasin, Makasar, Pontianak, Palangkaraya,
Jayapura, Ambon, Palu, Kendari, Bandar Lampung,
Bengkulu, Mataram, Kupang, Jambi, Banda Aceh dan
Palembang. Dengan demikian, sejak sistem ini mulai
diimplementasikan (November 2000) hingga akhir 2002
terdapat 27 KBI yang telah menggunakan sistem BI-
RTGS. Dengan makin meluasnya cakupan implementasi
sistem BI-RTGS, risiko yang terdapat pada sistem
pembayaran yaitu risiko kredit (credit risk) dan risiko
likuiditas (liquidity risk) dapat diminimalisasi.
Sedangkan untuk meminimalkan risiko kegagalan
pembayaran yang berasal dari penyelesaian transaksi
kliring antarbank, diatur suatu kebijakan penurunan
batas nominal (capping) nota kredit yang diproses
melalui kliring.1 Dengan diberlakukannya kebijakan
tersebut pada 1 Oktober 2002, batas nominal nota
kredit yang dapat diproses melalui kliring yang semula
di bawah Rp1 miliar diturunkan menjadi di bawah Rp100
juta. Dengan diturunkannya batas nominal tersebut,
terjadi pergeseran penyelesaian sebagian transaksi dari
Sistem Kliring ke Sistem BI-RTGS.
Sehubungan dengan hal tersebut telah dilakukan
penyesuaian besarnya biaya baik di sistem kliring
maupun di sistem BI-RTGS. Pada sistem BI-RTGS,
besarnya biaya transaksi bervariasi sesuai dengan waktu
diterimanya instruksi pengiriman dana oleh BI. Semakin
mendekati waktu cut off time (pukul 19.00 BBWI)
semakin besar biaya yang harus dibayar oleh bank. Hal
ini dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya
penumpukan penyelesaian transaksi menjelang batas
cut off time. Dengan diterapkannya sistem biaya BI-
RTGS yang baru ini, diharapkan transaksi antarbank
melalui sistem ini dapat menyebar selama jam
operasional sistem BI-RTGS. Penyebaran transaksi
pembayaran melalui sistem BI-RTGS yang merata akan
memperlancar sistem pembayaran serta
memperlihatkan adanya pengelolaan likuiditas
perbankan yang semakin baik. Di lain pihak penyesuaian
biaya yang diterapkan pada sistem kliring mencakup
kenaikan biaya proses warkat penyerahan dan
pengembalian.
Sementara itu, dalam rangka meningkatkan
efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan kliring,
diperlukan suatu standarisasi s istem dan
kelengkapan pendukung yang akan bermanfaat
untuk mengakomodasi kebutuhan pemeriksaan/
investigasi (audit), kebutuhan data dan informasi
hasil kliring secara cepat serta akurat dengan
menggunakan fasilitas berbasis web (remote access).
Untuk mewujudkan hal tersebut, pada 2002 telah
diimplementasikan sistem otomasi kliring berbasis
image (Image Clearing System/ICS) di KBI Bandung
dan Medan. Otomasi kliring dengan basis image
tersebut dilakukan dengan proses otomasi oleh
mesin baca pilah warkat kliring (reader sorter) yang
merekam data sekaligus image warkat yang
dikliringkan. Selain itu, sistem tersebut dilengkapi
dengan penyampaian informasi berupa Sistem
Informasi Kliring Jarak Jauh (SIKJJ) serta sistem
penyimpanan data image berupa CD Burner.
Selanjutnya, untuk mengakomodasi kebutuhan
atas penyelesaian transaksi yang menggunakan cek/
Bilyet Giro antar kota di seluruh wilayah Indonesia,
BI telah mengembangkan sistem kliring antar
1 Surat Edaran No. 4/12/DASP Perihal Jadwal Kliring danTanggal Valuta Penyelesaian Akhir, Sistem PenyelenggaraanKliring Lokal serta Jenis dan Batasan Nominal Warkat atauData Keuangan Elektronik
184
Sistem Pembayaran Nasional
wilayah atau dikenal dengan nama Intercity Clear-
ing.2 (Boks : Pengembangan Intercity Clearing)
Penyelenggaraan kliring yang semula hanya dapat
memproses warkat yang diterbitkan oleh bank di
satu wilayah kliring lokal, dengan sistem intercity
clearing dapat memproses cek/bilyet giro dari
wilayah kliring lokal manapun. Dengan dilakukannya
sistem kliring antar wilayah dapat diperoleh
peningkatan dalam efisiensi waktu dan biaya yang
dikeluarkan dalam memproses warkat-warkat inkaso
yaitu yang semula diselesaikan dalam jangka waktu
berkisar antara 2-7 hari menjadi sama dengan jangka
waktu penyelesaian kliring lokal. Sistem kliring antar
wilayah (intercity clearing) mulai diimplementasi–
kan pada 1 November 2002 dan diikuti oleh 35 bank
peserta kliring di seluruh wilayah Indonesia.
Guna mendukung tercapainya pasar keuangan
yang efektif, sistem pembayaran yang dikategorikan
Systemically Important Payment System (SIPS) perlu
diberikan perlindungan untuk menghindari risiko
sistemik, karena gangguan terhadap sistem dapat
mengganggu sistem keuangan domestik maupun
internasional. Mengacu pada The Core Principles for
Systemically Important Payment System yang
dikembangkan oleh Bank for International Settlement
(BIS), BI menilai bahwa sistem pembayaran di Indonesia
yang dikategorikan SIPS adalah Sistem BI-RTGS dan
Sistem Kliring. Alasan dipilihnya kedua sistem tersebut
didasarkan pada besarnya total nilai transaksi yang
diproses, sifat pembayaran beserta dampaknya
terhadap pasar keuangan domestik dan internasional
serta kegunaannya untuk melakukan penyelesaian
(settlement) transaksi pasar keuangan maupun hasil
kliring dari sistem lain.
Dalam rangka memenuhi core principles
tersebut, BI telah melakukan pengkajian untuk
menilai kesesuaian penyelenggaraan sistem BI-RTGS
dan Sistem Kliring dengan BIS Core Principles for
Systemically Important Payment System. Berdasarkan
pengkajian yang telah dilakukan terhadap Sistem BI-
RTGS dan Sistem Kliring menunjukan bahwa kedua
sistem tersebut telah memenuhi core principles yang
terkait dengan kehandalan sistem, prosedur dan
kepastian settlement. Sedangkan untuk core prin-
ciples yang terkait dengan aspek pengaturan dan
ketentuan, manajemen risiko dan corporate gover-
nance belum seluruhnya terpenuhi. Meskipun
demikian, berbagai perbaikan dan penyempurnaan
tetap dilakukan secara bertahap melalui kebijakan
dan penyempurnaan ketentuan di bidang sistem
pembayaran. Sebagai contoh, dalam penyempurnaan
di bidang hukum, saat ini sedang disusun Rancangan
Undang-Undang Transfer Dana yang mengatur secara
rinci mengenai hak, kewajiban, dan kepastian hukum
para pihak yang terkait di dalamnya. Semua
penyempurnaan yang dilakukan ditujukan agar dalam
jangka panjang BI dapat memenuhi seluruh prinsip-
prinsip dalam BIS Core Principles for Systemically
Important Payment System.
Berbagai pengembangan di bidang sistem
pembayaran yang dilakukan oleh BI sangat terkait
dengan pengguna dari sistem pembayaran, terutama
pihak perbankan. Hal tersebut didasarkan bahwa setiap
pengembangan produk sistem pembayaran akan selalu
memberikan akibat bagi pihak perbankan sebagai2 SE No. 4/16/DASP Perihal Penyelenggaraan Kliring Lokal atas
cek dan bilyet giro yang berasal dari luar wilayah kliring
185
Sistem Pembayaran Nasional
pelaku langsung produk sistem pembayaran. Untuk
menyamakan kepentingan dan menampung kebutuhan
perbankan dalam setiap pengembangan aplikasi dan
produk sistem pembayaran diperlukan media
komunikasi dan konsultasi sistem pembayaran nasional
yang akan mewakili seluruh perbankan. Berkaitan
dengan hal di atas, pada Agustus 2002 telah dibentuk
Forum Komunikasi Sistem Pembayaran Nasional (FKSPN)
yang terdiri dari lima komite yaitu Komite By-Laws,
Komite Legal dan Perlindungan Konsumen, Komite
Standar dan Prosedur, Komite Manajemen Risiko dan
Komite Teknologi Informasi. Dalam forum ini diharapkan
dapat dilakukan identifikasi kebutuhan berbagai pihak
terkait terutama perbankan sehingga dapat dilakukan
sinkronisasi pengembangan sistem pembayaran di masa
mendatang.
Dalam kaitannya dengan pengawasan sistem
pembayaran, BI memiliki tanggung jawab agar
masyarakat luas dapat memperoleh jasa sistem
pembayaran yang efisien, cepat, tepat dan aman.
Sehubungan dengan hal tersebut, pada 3 Juni 2002 BI
telah membentuk Bagian Pengawasan Sistem
Pembayaran. Bagian ini berwenang untuk memberikan
izin operasional terhadap pihak yang menyelenggarakan
kegiatan di bidang sistem pembayaran dan melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan sistem
pembayaran baik yang dilakukan oleh BI maupun pihak
lain di luar BI.
Selain penerapan kebijakan tersebut di atas,
berbagai penyempurnaan tengah dilakukan selama 2002
antara lain:
· Penyusunan skema untuk mengatasi kegagalan
peserta kliring dalam penyelesaian kewajiban
settlement (failure to settle scheme)
Dalam pasal 16 Undang-Undang No. 23 tahun
1999 disebutkan bahwa salah satu wewenang BI adalah
mengatur sistem kliring antarbank. Penyelesaian akhir
kegiatan kliring yang diterapkan saat ini dilakukan
pada akhir hari (net settlement ), dimana hasil kliring
akan dibebankan secara neto ke rekening giro bank
peserta kliring. Dengan dilakukannya settlement pada
akhir hari, kebutuhan likuiditas akan terakumulasi
pada akhir hari sehingga dimungkinkan timbulnya
saldo debet pada rekening giro bank. Saldo debet
tersebut harus dilunasi selambat-selambatnya pada
pukul 09.00 BBWI keesokan harinya, dan apabila bank
tidak mampu maka bank tersebut akan diskors dari
kegiatan kliring.
Berdasarkan UU No. 23 tahun 1999, BI berkewajiban
untuk menjaga kelancaran sistem pembayaran. Namun
demikian, BI tidak harus bertanggungjawab atas
kekurangan dana bank yang dapat mengakibatkan bank
tersebut gagal melakukan settlement atas hasil
kliringnya. Hal ini juga didukung oleh Core Principles
for Systemically Important Payment Systems, yang
dikembangkan oleh BIS. Berkaitan dengan hal tersebut,
BI akan menerapkan suatu metode yang dikenal dengan
istilah failure-to-settle scheme. Bentuk mekanisme
failure-to-settle yang dapat diterapkan diantaranya
adalah metode cash deposit, pool of collateral dan loss
sharing arrangement.
· Review terhadap cetak biru sistem pembayaran
nasional
Dalam melakukan pengembangan sistem
pembayaran nasional diperlukan suatu panduan yang
berisi kebijakan yang dapat mewujudkan adanya
sistem pembayaran yang efektif, efisien, aman dan
handal. Rencana dan kebijakan BI di bidang sistem
186
Sistem Pembayaran Nasional
pembayaran pada saat ini, masih didasarkan pada
cetak biru sistem pembayaran nasional yang
diterbitkan pada 1995.
Dalam perkembangannya, terdapat banyak
perubahan yang terjadi baik dari sisi kemampuan
bank, teknologi maupun kebutuhan masyarakat yang
pada akhirnya menuntut peran aktif BI untuk
menyesuaikan arah kebijakan dan pengembangan di
bidang sistem pembayaran. Di sisi lain adanya kerja
sama regional dan internasional antarbank sentral
telah memberikan warna baru pada kebijakan bank
sentral di bidang sistem pembayaran. Namun
demikian, perkembangan tersebut belum seluruhnya
terakomodasi dalam Cetak Biru Sistem Pembayaran
yang ada, sehingga saat ini sedang dilakukan review
atas cetak biru dimaksud yang mencakup aspek
hukum, kelembagaan, kepemilikan, keamanan,
efisiensi dan penurunan risiko.
PERKEMBANGAN ALAT-ALAT PEMBAYARANAlat Pembayaran Tunai
Uang Kartal yang Diedarkan (UYD)
Posisi UYD tahun 2002 cenderung meningkat,
namun dengan laju pertumbuhan yang lebih rendah
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Secara rata-
rata, UYD pada tahun laporan tumbuh sebesar 11,8%,
lebih rendah dibandingkan dengan 2001 yang tumbuh
sebesar 19,9%. Pada akhir Desember 2002, posisi UYD
mencapai Rp98,4 triliun atau meningkat dibandingkan
dengan tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp 91,3
triliun (Tabel 9.1)
Lebih rendahnya peningkatan UYD di 2002
terutama disebabkan oleh berkurangnya permintaan
masyarakat untuk keperluan berjaga-jaga (precaution-
ary motive) seiring dengan membaiknya kondisi sosial
politik di dalam negeri. Sementara itu, meningkatnya
posisi UYD pada tahun laporan berkaitan dengan masih
meningkatnya kegiatan ekonomi nasional dan laju
inflasi. Secara bulanan, kenaikan terbesar terjadi pada
November dan Desember 2002 terutama karena
meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap uang
kartal dalam menghadapi perayaan hari-hari besar
keagamaan dan Tahun Baru 2003 yang waktunya saling
berdekatan.
Berdasarkan jenisnya, perbandingan antara uang
kertas dan uang logam terhadap UYD pada 2002 tidak
banyak mengalami perubahan. Pada tahun laporan,
porsi uang kertas terhadap UYD mencapai 97,8%
(Rp96,24 triliun) dan uang logam 2,2% (Rp2,18
triliun).
Pengadaan Uang dan Posisi Kas.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat
terhadap uang kartal, pada 2002 BI melakukan
rencana pengadaan uang sebanyak 4,7 miliar bilyet uang
kertas senilai Rp86,0 triliun dan 1,6 miliar keping uang
logam senilai Rp316,9 miliar. Dari total rencana
pengadaan tersebut, seluruhnya telah dapat dipenuhi
dalam tahun laporan. Sebagian besar dari pengadaan
uang ini digunakan untuk mengganti uang lusuh yang
dimusnahkan yaitu sekitar Rp 54,1 triliun dan sisanya
untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan
perekonomian. Sejalan dengan itu, posisi kas BI akhir
Tabel 9.1Perkembangan Posisi UYD
10097,792,21
2001Porsi (%)
98,4296,242,18
100,0097,992,01
2002
UYDKertasLogam
Jumlah Jumlah Porsi (%)91,2789,441,83
187
Sistem Pembayaran Nasional
2002 masih cukup aman yaitu Rp 61,5 triliun atau
mampu memenuhi lebih dari 3,3 bulan rata-rata
permintaan masyarakat. Posisi kas BI pada akhir 2002
ini naik 80,4% dibandingkan dengan posisi kas pada
akhir 2001 yang tercatat sebesar Rp34,07 triliun (Grafik
9.1).
Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB)
Selain menyediakan uang dalam jumlah yang
cukup, BI juga senantiasa menjaga agar kualitas uang
yang dipegang masyarakat terjaga kualitasnya dengan
cara melakukan clean money policy yaitu menarik dan
memusnahkan uang yang tidak layak edar atau PTTB
serta mengganti uang yang dimusnahkan tersebut.
Jumlah PTTB tahun 2002 sebesar Rp 54,1 triliun atau
naik 62,33% dengan tahun sebelumnya yang mencapai
Rp33,4 triliun (Grafik 9.2).
Secara nominal, PTTB terbesar adalah untuk
pecahan Rp50.000 dengan nilai Rp30,7 triliun (56,7%
dari total PTTB) kemudian diikuti oleh pecahan
Rp20.000 senilai Rp10,2 triliun(18,9%). Adapun
dilihat dari jumlah lembar (bilyet), PTTB terbesar
adalah untuk pecahan Rp1.000 sebanyak 1,2 miliar
bilyet (32,0% dari total), kemudian diikuti oleh
pecahan Rp50.000 sebanyak 612,8 juta bilyet
(16,0%) dan Rp5.000 sebanyak 545,4 juta bilyet
(14,0%).
Perkembangan Aliran Uang Masuk (inflow) dan
Aliran Uang Keluar (outflow).
Aliran uang masuk (inflow) secara nasional
cenderung berfluktuasi. Rata-rata bulanan inflow
selama 2002 adalah sebesar Rp17,0 triliun atau naik
sebesar 9,9% dibandingkan dengan rata–rata bulanan
inflow 2001 yang tercatat sebesar Rp15,4 triliun.
Sementara itu, rata-rata bulanan aliran keluar (out-
flow) pada 2002 mencapai Rp17,6 triliun atau naik
sebesar 12,8% dibandingkan rata-rata bulanan out-
flow 2001 yang mencapai Rp15,6 triliun.
Berdasarkan perkembangan inflow-outflow di
atas, secara nasional pada 2002 terjadi net outflow
sebesar Rp7,3 triliun atau rata-rata per bulan sebesar
Rp0,6 triliun. Sementara itu, bila dilihat dari masing-
masing KBI hampir seluruh KBI di luar Jawa mengalami
net outflow. Sedangkan KBI di Jawa kecuali Jakarta
mengalami net inflow. Hal ini terutama disebabkan
aktivitas pengeluaran/belanja masyarakat yang
Grafik 9.1Perkembangan Posisi Kas
Grafik 9.2Perkembangan PTTB
188
Sistem Pembayaran Nasional
sebagian besar mengalir ke Jawa (Grafik 9.3).
Perkembangan Jumlah Temuan Uang Palsu.
Perkembangan penemuan uang palsu yang
berasal dari laporan bank-bank, POLRI dan BI, dalam
periode Januari sampai dengan Desember 2002 adalah
sebanyak 370.112 bilyet (Rp9,9 miliar) atau
meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya
sejumlah 98.028 bilyet (Rp3,9 miliar). Dari jumlah
uang palsu yang ditemukan tersebut, penemuan
terbesar adalah untuk pecahan Rp20.000 sebanyak
288.895 bilyet (78,1%), diikuti pecahan Rp50.000
sebanyak 74.514 bilyet (20,1%), pecahan Rp100.000
sebanyak 3.374 bilyet (0,9%), pecahan Rp10.000
sebanyak 2.669 bilyet (0,7 %) dan pecahan Rp5.000
sebanyak 660 bilyet (0,2%) (Tabel 9.2).
Dilihat dari sumber laporan temuan uang palsu,
jumlah sebesar 370.112 bilyet tersebut terdiri dari
temuan perbankan dan BI sebesar 24.647 bilyet (6,7%)
dan temuan dari POLRI sebesar 345.465 bilyet (93,3%).
Dengan kata lain, jumlah uang palsu yang sempat
beredar di masyarakat adalah sebesar 24.647 bilyet
sedangkan sisanya sebagian besar merupakan uang palsu
yang berpotensi untuk diedarkan namun dapat
diamankan oleh POLRI.
Alat Pembayaran Nontunai
Perkembangan Transaksi RTGS
Pada 2002, aktivitas BI-RTGS mengalami
peningkatan yang signifikan baik secara volume maupun
nominal. Peningkatan tersebut seiring dengan perluasan
implementasi sistim BI-RTGS di seluruh Indonesia, yang
sampai akhir tahun laporan telah berhasil
diimplementasikan di 27 kota di Indonesia. Disamping
itu, penurunan batas nominal (capping) nota kredit
kliring juga turut mendorong kenaikan aktifitas BI-RTGS
tersebut. Nominal rata-rata harian transaksi BI-RTGS
pada 2002 mencapai Rp55,7 triliun atau meningkat
21,3% dibandingkan Rp45,9 triliun pada 2001.
Grafik 9.3Perkembangan Jumlah Inflow dan Outflow
Tabel 9.2Perkembangan Penemuan Uang Palsu per Pecahan (dalam bilyet)
100.000
50.000
20.000
10.000
5.000
Jumlah
3.374
74.514
288.895
2.669
660
370.112
TOTALBank POLRI Jumlah
Triwulan - IVBank POLRI Jumlah
Triwulan - IIIBank POLRI Jumlah
Triwulan - IIBank POLRI Jumlah
Triwulan - IBank POLRI Jumlah(Rp)
PecahanJenis Temuan
1.617
59.642
283.576
84
546
345.465
1.757
14.872
5.319
2.585
114
24.647
150
4.780
1.196
1.533
19
7.678
-
129
-
-
-
129
150
4.651
1.196
1.533
19
7.549
386
5.760
11.624
454
574
18.798
18
2.736
10.628
84
546
14.012
368
3.024
996
370
28
4.786
1.287
3.206
1.366
426
40
6.325
368
42
53
-
-
463
919
3.164
1.313
426
40
5.862
1.551
60.768
274.709
256
27
337.311
1.231
56.735
272.895
-
-
330.861
320
4.033
1.814
256
27
6.450
189
Sistem Pembayaran Nasional
Sementara itu, volume rata-rata harian mencapai
8.725 transaksi atau meningkat 105,8% dibandingkan
4.239 transaksi pada periode yang sama (Grafik 9.4
dan 9.5). Dengan meluasnya implementasi sistem BI-
RTGS akan memudahkan perbankan di seluruh wilayah
Indonesia dalam melakukan transfer dana (bernilai
tinggi atau bersifat penting) secara cepat. Hal ini
dapat dilaksanakan tanpa melalui kliring lokal atau
melakukan interface ke dalam sistem internal masing-
masing bank untuk meneruskan perintah transfer
tersebut melalui kantor cabangnya yang sudah memiliki
fasilitas BI-RTGS.
Berdasarkan nilai nominal, BI memiliki pangsa
terbesar dalam melakukan transaksi melalui BI-RTGS
(Tabel 9.3). Tingginya nilai transaksi yang dilakukan
oleh BI ini sangat terkait dengan fungsi dan peran BI,
baik sebagai pemegang kas negara maupun sebagai
otoritas moneter. Sementara itu, berdasarkan volume
transaksi, BUSN merupakan pihak yang paling aktif
dalam melakukan transaksi.
Secara umum, profil aliran dana yang terjadi
selama ini menunjukkan bahwa: (a) BUSN merupakan
pelaku paling aktif transfer dana (baik dalam rangka
pasar uang maupun untuk untung nasabah); dan (b) BPD
memiliki peran yang relatif kecil di dalam sistem trans-
fer dana di Indonesia (Tabel 9.4).
Berdasarkan waktu pelaksanaan transaksi dalam
sistem BI-RTGS, waktu transaksi teraktif berdasarkan
nominal terutama terjadi pada pagi hari (antara pukul
08.00 – 09.00 WIB) yang terutama disebabkan tingginya
aktivitas setoran dan penarikan uang kartal oleh
perbankan yang dibukukan melalui sistem BI-RTGS.
Sementara itu, waktu transaksi teraktif secara vol-
ume terjadi pada siang hari (antara pukul 14.00 – 15.00
BBWI) yang terutama disebabkan tingginya transfer
dana dari/untuk untung nasabah (Grafik 9.6).
Perkembangan Transaksi Kliring
Grafik 9.4Aktivitas Harian BI-RTGS Tahun 2002
Grafik 9.5Sistem Pembayaran Nontunai
Tabel 9.3Pangsa Transaksi BI-RTGS Berdasarkan Pelaku
10,133,59
14,9129,273,08
39,02
13,572,91
10,3355,422,14
15,64
Pangsa (%)Klasifikasi
Bank AsingBank CampuranBank PemerintahBank IndonesiaBank Pembangunan DaerahBank Umum Swasta Nasional
Nominal Volume
190
Sistem Pembayaran Nasional
Grafik 9.7Nominal Kliring Nasional
Selama 2002, total nominal kliring penyerahan
secara nasional menunjukkan penurunan sebesar
23,8% dibandingkan tahun sebelumnya dari Rp2.035
triliun menjadi Rp1.550 triliun. Sebaliknya, dari sisi
jumlah warkat terjadi peningkatan sebesar 1,9% dari
71.616 ribu lembar menjadi 72.979 ribu lembar. Kedua
kondisi ini terjadi sebagai akibat dari makin
meluasnya implementasi sistem BI-RTGS dan
penurunan batasan capping kliring. Adapun
berdasarkan rata-rata harian, aktivitas kliring secara
nominal pada 2002 mengalami penurunan sebesar
23,1% dari Rp8,2 triliun menjadi Rp6,3 triliun.
Grafik 9.6Waktu Penggunaan BI-RTGS
Dari
10,46
3,75
14,89
30,07
2,97
37,85
100,00
BUSNPangsa Volume
Kepada
Bank Asing
Bank Campuran
Bank Pemerintah
Bank Indonesia
BPD
BUSN
TotalBPDBank
IndonesiaBank
PemerintahBank
CampuranBank Asing
Total
4,57
1,67
6,16
18,59
0,78
21,55
53,32
0,03
0,01
1,34
2,31
0,39
0,28
4,36
0,30
0,24
2,45
0,25
0,62
2,56
6,42
2,59
0,78
3,26
5,49
1,15
7,47
20,74
0,69
0,39
0,33
1,91
0,01
1,49
4,82
2,28
0,66
1,35
1,52
0,02
4,50
10,33
Tabel 9.4Peta Aliran Dana Antar Rekening
Dari
14,36
2,87
10,08
56,10
2,06
14,54
100,00
BUSNPangsa Nominal
Kepada
Bank Asing
Bank Campuran
Bank Pemerintah
Bank Indonesia
BPD
BUSN
BPDBankIndonesia
BankPemerintah
BankCampuranBank Asing
Total
2,73
1,06
2,54
21,80
0,33
6,30
34,76
0,02
0,01
1,26
3,70
0,37
0,27
5,63
0,29
0,08
1,94
0,13
0,37
0,96
3,77
2,22
0,33
1,95
22,16
0,97
2,71
30,34
1,08
0,34
0,29
2,79
0,01
1,19
5,70
8,02
1,05
2,10
5,52
0,01
3,11
19,81
(Persen)
191
Sistem Pembayaran Nasional
Sebaliknya, rata-rata jumlah warkat yang diproses per
hari mengalami peningkatan sebesar 10,9% yaitu dari
267 ribu lembar menjadi 296 ribu lembar pada 2002.
Ditinjau dari wilayah kliringnya, wilayah kliring Jakarta
memiliki pangsa volume terbesar mencapai 49% dan
pangsa nominal sebesar 44% dari total aktivitas kliring
secara nasional (Grafik 9.7 dan 9.8).
Perkembangan Alat Pembayaran Berbasis Kartu
Pada 2002, terjadi peningkatan aktivitas
penggunaan alat pembayaran berbasis kartu, baik berupa
kartu kredit, kartu debet, maupun kartu ATM. Dari ketiga
jenis alat pembayaran berbasis kartu tersebut, kartu
ATM memiliki aktivitas tertinggi yaitu dengan nilai
transaksi sebesar Rp 299 triliun atau naik sebanyak
44,4% dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai
Rp207 triliun. Secara umum, peningkatan aktivitas
pembayaran dengan menggunakan kartu ATM tersebut
sejalan dengan kenaikan posisi uang kartal diedarkan
(Grafik 9.9 dan 9.10). Selain itu, peningkatan ini juga
disebabkan oleh makin luasnya jaringan pelayanan ATM,
baik berupa penambahan mesin, perluasan jaringan
merchant yang dapat menerima pembayaran melalui
kartu ATM, maupun penambahan jumlah bank yang
menjadi anggota switching ATM. Selanjutnya,
penggunaan kartu kredit yang mencapai Rp24,2 triliun
(atau meningkat sebesar 26,0% dari tahun sebelumnya)
dapat dikaitkan dengan peningkatan pemberian kredit
oleh perbankan. Sementara itu, penggunaan kartu
debet yang mencapai Rp8,3 triliun atau meningkat
sebesar 25,6% dibandingkan aktivitas tahun 2001
menunjukkan bahwa penggunaan alat pembayaran yang
memiliki fungsi dan fitur yang mirip dengan ATM
diminati oleh masyarakat.
RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM PEMBAYARANNASIONAL
Grafik 9. 8Volume Kliring Penyerahan
Grafik 9.9Transaksi Kartu Kredit, Kartu Debit dan ATM
Grafik 9.10Jumlah Mesin ATM (unit)
192
Sistem Pembayaran Nasional
Sistem Pembayaran Tunai
1. Meningkatkan efektivitas pengedaran uang melalui
pihak ketiga, yang meliputi :
a. Pendistribusian uang pecahan kecil.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat
akan uang pecahan kecil yang layak edar dan
mempercepat penarikan uang lusuh/tidak layak
edar dari masyarakat, pada 2003 BI akan
melanjutkan pelaksanaan penyaluran uang pecahan
kecil melalui pihak ketiga dan pilot project melalui
BPR di kantor pusat dan di tujuh KBI.
b. Evaluasi penyelenggaraan kas titipan.
Untuk daerah-daerah yang tidak memiliki KBI,
pelaksanaan distribusi uang dilakukan melalui Kas
Titipan yang bekerjasama dengan perbankan
setempat. Sehubungan dengan itu, pada 2003, BI
akan melakukan kajian tentang efektivitas
keberadaan kas titipan sebagai ujung tombak
dalam pengedaran uang di daerah-daerah yang
tidak mempunyai KBI.
2. Memperluas jejaring (networking) penanggulangan
uang palsu.
Dalam rangka penanggulangan pemalsuan uang baik
preventif maupun represif, pada 2003 BI melakukan
kerjasama dengan POLRI dalam bentuk pembekalan
keterampilan kepada petugas di KBI maupun POLDA
dalam penanggulangan pemalsuan uang. Di samping
itu, dalam rangka efektivitas sosialisasi ciri-ciri
keaslian uang rupiah asli, pada 2003 BI akan
melakukan kerjasama dengan BRI yang mempunyai
kantor cabang sampai tingkat pedesaan.
Sistem Pembayaran Nontunai
1. Melanjutkan implementasi sistem BI-RTGS
Implementasi sistem BI-RTGS yang sampai dengan
akhir 2002 telah dilakukan di 27 KBI, akan diperluas
penggunaannya di 10 KBI lainya pada 2003, yaitu KBI
Cirebon, Tasikmalaya, Purwokerto, Solo, Jember,
Kediri, Malang, Ternate, Sibolga dan Lhokseumawe.
Dengan demikian pada 2003 diharapkan seluruh KBI
telah terhubung oleh sistem BI-RTGS sehingga
rencana program Centralized Settlement Account
(CSA) dapat terwujud. Apabila seluruh KBI telah
menggunakan sistem ini, maka setiap bank hanya akan
memelihara satu rekening giro saja di BI. Hal tersebut
akan meningkatkan efisiensi baik bagi bank maupun
Bank Indonesia.
2. Penyusunan regulasi bidang sistem pembayaran
dalam upaya menurunkan risiko sistem pembayaran
a. Penyusunan peraturan mengenai penyelengga-
raan kegiatan usaha alat pembayaran berbasis
kartu
Penggunaan alat pembayaran berbasis kartu yang
makin marak di masyarakat dewasa ini perlu
didukung oleh pengaturan yang komprehensif,
jelas dan mengandung kepastian hukum. Berkaitan
dengan hal tersebut, BI tengah menyusun PBI yang
mengatur mengenai penyelenggaraan kegiatan
usaha alat pembayaran berbasis kartu. Dalam
ketentuan tersebut akan diatur penyelenggaraan
kegiatan usaha yang bergerak dalam bisnis alat
pembayaran berbasis kartu agar dapat memenuhi
standar keamanan atas produk yang diberikan dan
memberikan informasi secara jelas dan benar
mengenai produk serta jasa yang ditawarkan
kepada pemegang kartu.
b. Penyusunan mekanisme untuk mengatasi
kegagalan peserta kliring dalam penyelesaian
atas settlement (Failure to settle Scheme).
193
Sistem Pembayaran Nasional
Pada 2003 BI merencanakan untuk meminta
komitmen dari perbankan berkaitan dengan
metode yang akan digunakan dalam mekanisme
failure to settle antara lain metoda cash de-
posit, pool of collateral, loss sharing.
c. Penyusunan Rancangan Undang-Undang Transfer
Dana (RUU Funds Transfer)
Dalam melaksanakan tugas mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran nasional, BI
memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk
mengatur dan melaksanakan kegiatan jasa
transfer dana serta penyelesaian akhir transaksi
pembayaran antarbank. Saat ini, pelaksanaan
transfer dana tersebut belum dilengkapi oleh
aturan yang mampu melindungi konsumen dari
berbagai permasalahan hukum, antara lain
mengenai hak dan kewajiban para pihak serta
alat bukti transfer yang dilakukan secara
elektronik. Untuk mencegah timbulnya
permasalahan hukum tersebut, perlu segera
disusun suatu landasan hukum yang kuat dalam
bentuk Undang-Undang yang dapat memberikan
kepastian hukum bagi para pihak yang terkait
didalamnya.
3. Review cetak biru sistem pembayaran nasional
Pelaksanaan review cetak biru sistem pembayaran
nasional yang telah dimulai sejak awal 2002 akan
tetap dilanjutkan hingga 2003. Dalam hal ini, BI akan
melakukan konsultasi dan komunikasi kepada pihak
di luar BI yang terkait dalam pengembangan sistem
pembayaran guna mendapat masukan yang berkaitan
dengan penyempurnaan cetak biru tersebut. Hal
tersebut dilakukan agar dalam pengembangan sistem
pembayaran di Indonesia terdapat sinkronisasi dari
berbagai kepentingan para penyelenggara sistem
pembayaran guna terwujudnya suatu sistem
pembayaran yang efektif dan efisien.
194
Sistem Pembayaran Nasional
Desember 2001 telah dilakukan pilot project
program kerja sama penukaran uang pecahan kecil
kepada masyarakat melalui pihak ketiga untuk
melayani kebutuhan masyarakat di wilayah DKI
Jakarta. Saat ini perusahaan yang ditunjuk untuk
melayani penukaran dimaksud berjumlah lima
perusahaan.
Mencermati hasil positif dan sambutan
masyarakat yang begitu antusias terhadap pro-
gram kerja sama ini, maka untuk dapat
menjangkau lebih luas lagi masyarakat terutama
di pelosok-pelosok, program kerja sama ini
diperluas lagi ke wilayah Bogor, Tangerang, Bekasi,
Karawang, Depok dan Serang. Perluasan tersebut
dimulai sejak 30 September 2002 dengan
menunjuk enam puluh sembilan BPR dalam pilot
project program kerja sama penukaran uang
pecahan kecil.
Sampai saat ini pelaksanaan penukaran uang
pecahan kecil kepada masyarakat baik melalui
perusahaan pihak ketiga maupun BPR masih dinilai
baik, karena selain efisien dari segi biaya juga
jangkauan yang dapat dicapai lebih luas dari
kegiatan kas keliling yang selama ini dilaksanakan
oleh BI. Di samping itu, dengan adanya pengalihan
tugas penukaran ini, maka satuan kerja kas tidak
perlu lagi melakukan kegiatan kas keliling sehingga
dapat lebih fokus dalam melakukan kegiatan
pelayanan kas lainnya.
Tugas utama Bank Indonesia (BI) di bidang
pengedaran uang yaitu menjamin tersedianya uang
dalam jumlah cukup dengan jenis pecahan yang
sesuai dengan kebutuhan, kapan dan dimanapun
setiap diperlukan dengan kualitas baik dan kondisi
layak edar.
Pelaksanaan tugas tersebut saat ini
nampaknya masih belum optimal tercermin dari
masih berkembangnya persepsi di masyarakat
bahwa sulit memperoleh pecahan kecil dan apabila
ada tidak layak edar.
Kondisi tersebut mengindikasikan mekanisme
distribusi uang dari BI ke bank umum dan dari bank
umum ke masyarakat masih belum berjalan
dengan baik. Bank umum yang diharapkan dapat
menjadi lembaga intermediasi dalam melayani
kebutuhan uang kartal di masyarakat ternyata
mempunyai kecenderungan enggan menarik uang
pecahan kecil terutama uang logam karena
keterbatasan SDM, kapasitas khazanah dan
pengangkutan serta pola pelayanan kepada
nasabah (selama ini lebih banyak/cenderung
menggunakan pecahan besar).
Memperhatikan kendala-kendala yang ada dan
untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
akan uang pecahan kecil, mempercepat proses
penarikan uang lusuh dari masyarakat serta
menjadikan tugas BI dapat fokus pada pelayanan
kepada perbankan (wholesale), maka pada 13
bo
ks
Suatu Solusi Mengatasi Kelangkaan Uang
Penukaran Uang Pecahan Kecil Melalui Pihak Ketiga
195
Sistem Pembayaran Nasional
Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa salah satu
tugas BI adalah mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran. Rencana dan kebijakan BI
dibidang sistem pembayaran dirangkum dalam Cetak
Biru Sistem Pembayaran Nasional yang diterbitkan
pada tahun 1995. Berdasarkan Cetak Biru tersebut,
salah satu upaya yang harus dilakukan demi
terciptanya sistem pembayaran yang efektif, efisien,
aman dan handal khususnya dalam menciptakan
kelancaran transaksi perdagangan dan pembayaran
antarwilayah adalah terbentuknya penyelengaraan
kliring antar wilayah atau dikenal dengan istilah
intercity clearing.
Sebelum sistem intercity clearing
diimplementasikan pada 1 Oktober 2002,
penyelenggaraan kliring antarbank masih bersifat
lokal dimana cek/bilyet giro (BG) yang dapat
dikliringkan hanyalah cek/BG yang diterbitkan oleh
kantor bank yang menjadi peserta kliring diwilayah
kliring yang bersangkutan. Sementara untuk cek/
BG yang diterbitkan oleh bank diluar wilayah kliring
lokal yang bersangkutan akan diproses melalui
mekanisme inkaso baik melalui bank sendiri ataupun
melalui bank lain atau bank korespoden.
Kondisi ini membawa dampak yang kurang
menguntungkan baik dari sisi perbankan, masyarakat
dan BI yaitu diantaranya kurangnya kualitas pelayanan
yang dapat diberikan kepada nasabah, tingginya biaya
transfer yang harus ditanggung oleh nasabah, waktu
penyelesaian transaksi relatif lama dan ketidakpastian
dana yang pada akhirnya akan menyebabkan
ketidakefisienan sistem pembayaran nasional.
Berkaitan dengan hal tersebut, dikembangkan sistem
intercity clearing yang membolehkan bank
mengkliringkan warkat-warkatnya pada penyelenggara
kliring wilayah manapun.
Hal ini dimungkinkan dengan melihat adanya
teknologi yang dimiliki oleh perbankan yang sanggup
untuk melakukan verifikasi secara on line atas cek/
bilyet giro luar kota. Secara teknis, pendaftaran
untuk menjadi peserta intercity clearing dilakukan
hanya satu kali oleh kantor pusat bank yang
bersangkutan dan akan berlaku bagi seluruh kantor
cabang bank tersebut di seluruh Indonesia. Dengan
adanya kemungkinan bagi setiap bank untuk
mengkliringkan cek/BG luar kota, maka bank peserta
intercity clearing perlu memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a. Sistem verifikasi cek/BG
Sistem dan prosedur verifikasi atau validasi
atas cek/BG merupakan faktor penting yang harus
diperhatikan oleh bank peserta khususnya untuk
cek/BG yang diterbitkan oleh kantor bank yang
berada diwilayah kliring lain. Dalam hal ini bank
perlu memperhatikan aspek keamanan, efisiensi dan
ketersediaan back up (contingency plan).
bo
ks
Pengembangan Intercity Clearing
196
Sistem Pembayaran Nasional
b. Pencetakan warkat
Dengan diterapkannya sistem intercity clear-
ing, maka kantor bank yang menjadi peserta
diwilayah kliring otomasi/elekronik harus mengisi
field-field: sandi kantor, bank tertarik, nomor
rekening, sandi transaksi dan nominal apabila akan
mengkliringkan setoran cek/BG luar kota yang
berasal dari wilayah nonotomasi dimana kondisi clear
band masih dalam keadaan kosong. Oleh karena itu
bank perlu memperhatikan pencetakan warkat baik
yang dilakukan secara desentralisasi maupun
sentralisasi (oleh kantor pusat) agar tetap mengacu
pada standar yang telah ditentukan oleh BI.
Sementara dari sisi penyelenggara kliring,
dengan diterapkannya sistem intercity clearing
menimbulkan kewajiban bagi penyelenggara untuk
melakukan updating sandi peserta kliring pada
aplikasi yang digunakan sebagai penyelenggara.
Proses updating perlu dilakukan setiap kali
terdapat pendaftaran, penambahan maupun
pengurangan kepesertaan dalam sistem intercity
clearing.
Pada akhirnya penerapan intercity clearing
diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat dan perbankan khususnya bagi
pembayaran cek/BG antar kota.
197
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
10 : Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
Perekonomian Dunia danKerja Sama Internasional
10BAB
l a p o r a nt a h u n a n
198
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
10B A B PEREKONOMIAN DUNIA
DAN KERJA SAMA INTERNASIONAL
P erkembangan ekonomi dunia dalam tahun
laporan cenderung membaik dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, walaupun masih dibayangi dengan
ketidakpastian. Hal tersebut ditandai oleh pertumbuhan
ekonomi dunia yang meningkat secara moderat,
meningkatnya volume perdagangan dunia dan
menurunnya tingkat inflasi di berbagai kawasan.
Meskipun demikian, pertumbuhan ekonomi dunia
tersebut tidak sebesar yang diharapkan sebelumnya
karena konsumsi dunia masih lemah yang dipengaruhi
oleh tingginya tingkat pengangguran dan
ketidakpastian prospek ekonomi. Disamping itu,
kegiatan pasar saham dunia cenderung melemah,
terutama pada paro kedua, akibat skandal laporan
keuangan perusahaan besar Amerika Serikat (AS).
Perkembangan ekonomi dunia pada 2002 juga ditandai
dengan meningkatnya geopolitical risk yang pada
gilirannya mempengaruhi kepercayaan usaha dan
kepercayaan konsumen. Dalam upaya memberikan
stimulus terhadap pertumbuhan ekonomi dunia,
negara-negara utama dunia cenderung menjalankan
kebijakan ekonomi longgar sebagaimana tercermin
pada tingkat suku bunga yang cenderung turun.
Berbagai perkembangan ekonomi dunia tersebut,
mendapatkan perhatian dari berbagai forum
internasional. Selama tahun laporan, pembahasan
dalam berbagai forum kerjasama moneter dan
keuangan internasional, dan regional masih
menitikberatkan pada upaya memperkuat arsitektur
keuangan internasional sebagai upaya menjaga stabilitas
keuangan internasional. Di samping itu, berbagai
pertemuan internasional membahas secara intensif
mengenai upaya-upaya masing-masing negara dalam
rangka anti pencucian uang dan pemberantasan
pembiayaan terorisme. Dalam kerjasama di bidang
pembangunan, pada tahun laporan telah dicapai
komitmen bersama yang dituangkan dalam “Monterrey
Consensus” yang menjadi acuan bagi lembaga keuangan
dan negara donor dalam program meningkatkan
pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan.
PERKEMBANGAN EKONOMI DUNIA
Selama 2002, perekonomian dunia tumbuh 2,8%,
meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya
(2,2%). Sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi, volume perdagangan dunia meningkat
menjadi 2,1%. Dari sisi harga, tingkat inflasi di berbagai
kawasan cenderung menurun sebagaimana tercermin
pada inflasi negara maju yang turun dari 2,2% menjadi
1,4% dan di negara berkembang turun dari 5,7% menjadi
5,6%. Sementara itu, suku bunga dalam tahun laporan
cenderung menurun (Tabel 10.1) (Grafik 10.1).
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi dunia
pada tahun laporan terutama ditopang oleh
Perekonomian dunia selama 2002 membaik terutamadidukung oleh pesatnya laju pertumbuhan negara-negaraAsia .
199
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
membaiknya perekonomian AS, pesatnya laju
pertumbuhan negara-negara di kawasan Asia,
terutama Cina dan negara industri baru Asia, serta
berlanjutnya pemulihan ekonomi di beberapa
negara di Asia.
Namun demikian perbaikan pertumbuhan
ekonomi dunia tersebut masih disertai dengan
pertumbuhan konsumsi yang relatif rendah di semua
kawasan, yang terutama disebabkan oleh tingginya
angka pengangguran. Jumlah pengangguran yang
cenderung meningkat menyebabkan menurunnya
ekspektasi pendapatan sehingga mendorong
masyarakat untuk mengurangi konsumsinya. Masih
lemahnya tingkat konsumsi telah mengurangi tekanan
inflasi sebagaimana tercermin pada menurunnya laju
inflasi di semua kawasan. Sementara itu investasi
cenderung masih lemah seiring dengan meningkatnya
kekhawatiran terhadap kemungkinan serangan AS dan
sekutunya ke Irak, skandal akuntansi yang melibatkan
perusahaan-perusahaan besar di AS, serta
kekhawatiran terhadap meningkatnya kegiatan
terorisme. Meningkatnya harga minyak hingga sempat
mencapai $31,4 per barel dalam tahun laporan, juga
turut memberikan tekanan terhadap konsumsi dan
investasi dunia.
Kebijakan ekonomi dunia selama 2002 masih
melanjutkan kebijakan tahun-tahun sebelumnya yang
cenderung ekspansif baik melalui kebijakan moneter
Grafik 10.1Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara Industri Utama
Grafik 10.2Perkembangan Inflasi Negara-Negara Industri Utama
Tabel 10.1Beberapa Indikator Ekonomi Dunia
Pertumbuhan Ekonomi (%) Dunia Negara-negara industri Negara-negara berkembang Negara-negara dalam transisiLaju Inflasi (%) Negara-negara industri Negara-negara berkembangVolume Perdagangan Dunia (% pertumbuhan)Harga Perdagangan Dunia (% perubahan) Barang manufaktur Minyak mentah Komoditas primer nonmigasNilai Tukar Utama Yen/$ $/EUROSuku Bunga Negara Industri (rata-rata %) Jangka pendek Jangka panjang
Indikator
2,81,74,23,9
1,45,6
2,1
2,60,54,2
1240,939
2,34,2
2,20,83,9
5
2,25,7
-0,1
-2,3-14
-5,4
121,50,896
3,24,4
4,73,85,76,6
2,36,1
12,6
-5,2571,8
107,80,924
4,55
2000 2001 2002*
Sumber : IMF, World Economic Outlook, September 2002, Bloomberg
200
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
maupun kebijakan fiskal. Kebijakan tersebut
ditempuh dalam upaya memberikan stimulus yang
lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi dunia,
sehubungan dengan kecenderungan melambatnya
ekonomi dunia setelah mencapai pertumbuhan yang
relatif tinggi pada triwulan pertama. Kebijakan
ekonomi longgar terutama ditempuh oleh negara-
negara utama yang memiliki inflasi rendah, seperti
AS, Jepang dan kawasan Uni Eropa. Dalam pada itu,
di beberapa negara lainnya, khususnya negara-negara
yang menghadapi ancaman inflasi, baik di negara
maju maupun di negara berkembang, kebijakan yang
dipilih adalah meningkatkan efektivitas dan
kredibilitas kebijakan anti inflasi (grafik 10.3).
Sementara itu, perkembangan pasar modal
pada semester pertama tahun laporan ditandai
dengan optimisme yang kuat terhadap membaiknya
ekonomi AS. Namun demikian, memasuki semes-
ter berikutnya perkembangan pasar modal mulai
menunjukkan arah yang berbeda. Perkembangan
tersebut diawali dengan menurunnya bursa saham
AS seiring dengan melesunya perekonomian AS,
skandal akuntansi yang melibatkan perusahaan-
perusahaan besar AS serta berubahnya ekspektasi
keuntungan perusahaan, sehingga memberikan
sentimen bearish terhadap bursa saham. Sentimen
bearish tersebut kemudian menjalar ke bursa
saham Eropa, Jepang dan bursa-bursa saham
lainnya di dunia.
Meskipun secara umum kondisi perekonomian
dunia membaik, beberapa faktor risiko dan
ketidakpastian masih membayangi kesinambungan
pertumbuhan ekonomi di berbagai kawasan. Kinerja
ekonomi di tiga kekuatan ekonomi dunia yaitu AS, Eropa
Barat dan Jepang masih rentan. Sementara itu proses
restrukturisasi di negara-negara emerging market
khususnya Asia masih belum sepenuhnya berjalan baik
sehingga masih sangat rentan terhadap gangguan
eksternal (external shock). Disamping itu, ancaman
serangan AS dan sekutunya terhadap Irak telah
memperbesar risiko usaha (business risk) karena
meningkatnya ketidakpastian.
Amerika Serikat
Pada tahun laporan pertumbuhan ekonomi AS
diperkirakan mencapai 2,2%, lebih tinggi dibandingkan
tahun sebelumnya (0,3%). Meningkatnya pertumbuhan
ekonomi tersebut tidak terlepas dari kebijakan moneter
yang cenderung longgar (easing bias) yang diambil pada
tahun sebelumnya, antara lain melalui penurunan Fed
Fund rate sebanyak 11 kali pada 2001, yaitu dari 6,5%
pada akhir 2000 menjadi 1,75% pada akhir 2001.
Sebagai akibatnya, pada triwulan pertama tahun
laporan, pertumbuhan ekonomi AS meningkat tajam
sebesar 5,0% (q-t-q). Sejalan dengan perkembangan
yang positif tersebut beberapa indikator
memperlihatkan peningkatan aktivitas ekonomi seperti
meningkatnya kegiatan di sektor manufaktur, naiknya
konsumsi dan turunnya persediaan.
Namun demikian pada triwulan-triwulan
selanjutnya perekonomian AS kembali melambat dipicu
oleh melemahnya pengeluaran konsumsi swasta dan
investasi domestik. Melemahnya kegiatan investasi dan
konsumsi tersebut merupakan akibat dari menurunnya
kepercayaan dunia usaha dan konsumen terhadap
prospek perekonomian. Penurunan kegiatan dunia usaha
tercermin pada penurunan jumlah pesanan produksi
manufaktur, turunnya tingkat pemakaian kapasitas
201
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
1,01,52,02,53,03,54,04,55,05,56,06,57,07,5
4/30
/199
9
6/30
/199
9
8/31
/199
9
10/2
9/19
99
12/3
1/19
99
2/29
/200
0
4/28
/200
0
6/30
/200
0
8/31
/200
0
10/3
1/20
00
12/3
0/20
00
2/28
/200
1
4/30
/200
1
6/29
/200
1
8/31
/200
1
10/3
1/20
01
12/3
1/20
01
2/28
/200
2
4/30
/200
2
6/28
/200
2
8/30
/200
2
10/3
1/20
02
12/3
1/20
02
Persen
Fed Fund Target
Fed Fund Effective
terpasang dan berkurangnya produksi industri.
Penurunan kinerja dunia usaha menyebabkan lemahnya
penciptaan lapangan kerja bahkan beberapa
perusahaan harus mengurangi karyawannya. Sebagai
akibatnya, pengangguran meningkat dari 5,7% pada
awal tahun menjadi 6,0% pada akhir 2002 sehingga tidak
mampu untuk mendorong konsumsi. Penurunan
konsumsi juga didukung oleh indikator lain seperti
menurunnya consumer confidence dan angka
penjualan retail.
Masih lemahnya konsumsi masyarakat AS dalam
tahun laporan telah menekan inflasi pada level yang
rendah. Tingkat inflasi pada 2002 diperkirakan
mencapai 1,5%, lebih rendah dibandingkan tahun
sebelumnya (2,8%). Tingkat inflasi ini juga lebih rendah
dibandingkan dengan target inflasi Federal Reserve
sebesar 2,5%.
Indikator penurunan kinerja ekonomi AS juga
terlihat dari pasar keuangan sebagaimana
ditunjukkan oleh indeks pasar modal yang terus
menurun seiring dengan depresiasi dolar.
Melemahnya indeks pasar modal dan nilai tukar dolar
Amerika tersebut terutama disebabkan oleh
sentimen negatif pasar akibat terjadinya skandal
laporan keuangan di beberapa perusahaan besar AS,
kekhawatiran akan serangan AS ke Irak, dan prospek
melambatnya pertumbuhan ekonomi AS. Dari sektor
eksternal, memburuknya kinerja ekonomi juga
terlihat pada semakin besarnya defisit neraca
perdagangan dan neraca transaksi berjalan.
Menghadapi perkembangan yang kurang
menguntungkan tersebut, pada 6 November 2002 Fed-
eral Reserve telah memotong target suku bunga Fed
Fund sebesar 50 bps menjadi 1,25%. Penurunan yang
cukup besar tersebut diharapkan mampu
memberikan stimulus bagi kegiatan konsumsi
maupun investasi (Grafik 10.3).
Di sisi fiskal, Pemerintah AS telah mengeluarkan
paket stimulus fiskal senilai $674,0 miliar selama 10
tahun dimulai dari 2001. Selama 2002 telah dikucurkan
paket stimulus fiskal sebesar $80,0 miliar. Program
stimulus fiskal ini diantaranya berupa percepatan
pemotongan pajak bagi investasi baru, penurunan pajak
atas deviden, dan peningkatan subsidi bagi
pengangguran. Kebijakan tersebut mengakibatkan
defisit anggaran pemerintah AS meningkat menjadi
$158,0 miliar pada 2002.
Negara-negara Euro
Pada tahun laporan pertumbuhan ekonomi negara-
negara yang tergabung dalam kawasan Eropa mencatat
pertumbuhan 1,1%, lebih rendah dibandingkan tahun
sebelumnya (1,6%). Meskipun lebih rendah, pergerakan
ekonomi kawasan Eropa menunjukkan arah yang sama
dengan AS. Setelah mencatat pertumbuhan yang stabil
pada triwulan pertama, kinerja ekonomi di kawasan
ini menunjukkan perlambatan hingga akhir tahun.
Grafik 10.3Suku Bunga Fed Fund
202
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
Penurunan kegiatan ekonomi disebabkan oleh
penurunan kinerja ekspor, investasi dan konsumsi.
Menurunnya kinerja ekspor diindikasikan oleh turunnya
produksi industri dan pesanan pabrikan (factory or-
der) terutama yang ditujukan untuk kegiatan ekspor,
akibat melambatnya kinerja ekonomi AS sebagai pasar
utama Eropa. Sementara itu turunnya business con-
fidence index menunjukkan pesimisme dunia usaha
akan prospek usaha di kawasan Euro.
Melemahnya kegiatan usaha telah menyebabkan
berkurangnya pendapatan perusahaan. Untuk
mengurangi kerugian, banyak perusahaan yang mulai
mengurangi tenaga kerjanya, sehingga tingkat
pengangguran meningkat hingga 8,3%. Peningkatan
pengangguran dan suramnya prospek ekonomi telah
menurunkan keyakinan konsumen (consumer confi-
dence) dan menahan konsumen untuk membelanjakan
pendapatannya sehingga konsumsi dan penjualan
eceran menurun.
Menurunnya kinerja ekonomi telah berdampak
pada terlampauinya batasan defisit fiskal 3,0% terhadap
PDB di beberapa negara utama seperti Jerman,
Perancis dan Spanyol. Perlambatan ekonomi yang
dialami oleh Jerman khususnya, telah membawa
pengaruh yang besar bagi kawasan Uni Eropa secara
keseluruhan karena Jerman merupakan negara terbesar
dalam Uni Eropa.
Melemahnya konsumsi masyarakat merupakan
faktor utama penyebab berkurangnya laju inflasi di
kawasan ini . Tingkat inflasi pada tahun laporan
diperkirakan hanya mencapai 2,1% sedikit lebih rendah
dibandingkan dengan tingkat inflasi tahun sebelumnya
yang mencapai 2,6%, namun sedikit melebihi target
inflasi European Central Bank (ECB) sebesar 2,0%.
Dengan inflasi yang lebih tinggi dari target mendorong
ECB untuk mempertahankan suku bunga pada level
3,25% di tengah menurunnya kinerja perekonomian.
Penurunan suku bunga dilakukan pada 5 Desember
2002 sebesar 50 bps setelah laju inflasi Jerman
menunjukkan penurunan pada November 2002.
Jepang
Dalam tahun laporan perekonomian Jepang
terlihat makin suram sebagaimana tercermin pada
kontraksi ekonomi yang makin besar pada 2002 yaitu –
0,5% dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar –
0,3%. Sumber utama memburuknya kinerja ekonomi
Jepang adalah karena masih belum terselesaikannya
berbagai permasalahan struktural di dalam negeri.
Proses restrukturisasi korporasi dan perbankan yang
belum tuntas telah berdampak luas pada seluruh sendi
perekonomian melalui credit crunch. Tingginya kredit
macet pada sektor perbankan telah memberatkan
neraca keuangan perbankan dan perusahaan sehingga
menghambat kemampuan bank untuk menyalurkan
kredit, maupun kemampuan perusahaan untuk
mendapatkan laba.
Fenomena credit crunch tersebut telah
menyebabkan banyak perusahaan yang bangkrut
maupun mengurangi karyawannya, sehingga
mendorong tingkat pengangguran Jepang pada 2002
masih bertahan pada level tinggi yaitu 5,5% dan
diperkirakan akan semakin meningkat pada 2003.
Tingginya angka pengangguran dan suramnya prospek
ekonomi semakin mengurangi minat konsumsi
masyarakat Jepang.
Lemahnya konsumsi juga telah memperburuk
inflasi Jepang yang telah negatif sejak beberapa tahun
203
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
terakhir. Deflasi Jepang pada 2002 diperkirakan
sebesar 1,0% lebih buruk dibandingkan dengan
deflasi 0,7% pada tahun sebelumnya. Penurunan
harga-harga tersebut menyebabkan semakin
banyaknya perusahaan yang bangkrut terutama
perusahaan dengan pangsa konsumen domestik.
Lemahnya permintaan domestik merupakan salah
satu masalah fundamental dalam perekonomian
Jepang. Berbagai upaya untuk meningkatkannya sejauh
ini belum memperlihatkan hasil sebagaimana yang
diharapkan. Kebijakan moneter longgar dengan suku
bunga yang mendekati nol persen (zero interest rate
policy) dan penyediaan dana hingga triliunan yen ke
sistem keuangan, tidak mampu mendorong konsumsi.
Demikian juga dari sisi fiskal, pemerintah Jepang telah
beberapa kali melaksanakan paket stimulus fiskal.
Lemahnya permintaan domestik mengakibatkan
ekonomi Jepang saat ini sangat tergantung pada
ekspor. Dalam posisi ini, perdagangan Jepang menjadi
sangat tergantung pada permintaan luar negeri dan
nilai tukar mata uang. Dalam hal ini, usaha yang dapat
dilakukan pemerintah Jepang untuk mendorong ekspor
adalah dengan melakukan kebijakan di bidang nilai
tukar. Meskipun perkembangan ekonomi Jepang tidak
menggembirakan, sentimen negatif terhadap dolar
dalam 2002 telah menyebabkan yen mengalami
apresiasi terhadap dolar hingga 9,8%. Apresiasi yen
tersebut dipandang terlampau kuat, dan dikhawatirkan
akan memperlemah daya saing ekspor Jepang
sehingga kurang menguntungkan bagi perekonomian
Jepang. Oleh karena itu, Bank of Japan telah
melakukan intervensi beberapa kali dan meminta the
Fed dan ECB untuk menjual cadangan yen mereka guna
menahan laju apresiasi yen.
Asia Non Jepang
Membaiknya perkembangan ekonomi dunia
pada tahun laporan, banyak ditopang oleh relatif
tingginya pertumbuhan ekonomi negara-negara di
kawasan Asia. Beberapa negara Asia yang mengalami
pertumbuhan yang tinggi antara lain ekonomi Cina
dan Laos PDR yang diperkirakan tumbuh 7,5% dan
5,5%, lebih tinggi dibandingkan 7,3% dan 5,3% tahun
sebelumnya. Sementara itu Korea Selatan mengalami
pertumbuhan yang mengesankan, diperkirakan
tumbuh 6,3% dua kali lebih tinggi dibandingkan
dengan pertumbuhan tahun sebelumnya. Demikian
juga negara-negara ASEAN mengalami peningkatan
pertumbuhan ekonomi yang sangat tajam pada tahun
laporan yaitu masing-masing diperkirakan mencapai
3,0% - 4,0%.
Relatif tingginya pertumbuhan ekonomi negara-
negara di kawasan Asia tersebut antara lain didukung
oleh kebijakan ekonomi yang cenderung longgar (eas-
ing bias) baik melalui kebijakan fiskal, moneter
maupun perdagangan. Beberapa negara seperti
Filipina, Malaysia, Thailand dan Cina bahkan
mengalami defisit anggaran pemerintah akibat
kebijakan ekspansi fiskal. Di samping itu Cina juga
menerapkan kebijakan melonggarkan ketentuan
penanaman modal untuk menarik investasi. Kebijakan
fiskal yang ditempuh oleh Korea Selatan dan Singapura
adalah dengan penurunan tarif pajak. Sementara itu
kebijakan penurunan suku bunga diambil oleh Taiwan,
Singapura dan Indonesia.
Kebijakan yang cenderung longgar tersebut
dapat diterapkan karena tingkat inflasi negara-negara
Asia pada umumnya bergerak pada kisaran yang
rendah dan cenderung menurun. Dalam tahun laporan
204
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
tingkat inflasi negara industri baru Asia turun dari
2,4% menjadi 1,8%, sementara tingkat inflasi negara
berkembang Asia turun dari 2,6% menjadi 2,1%.
Perlambatan ekonomi dunia dan berkurangnya
permintaan dari negara-negara utama dunia telah
mengakibatkan persaingan yang semakin ketat dalam
perdagangan dunia. Pada umumnya untuk
meningkatkan daya saing, kebijakan yang ditempuh
adalah dengan mengupayakan agar nilai tukar tetap
kompetitif. Selain itu, beberapa negara juga telah
melaksanakan kebijakan reorientasi pasar ekspor, dari
pasar tradisional (yaitu AS dan Jepang) menuju pasar-
pasar lain yang potensial, terutama ke negara-negara
di kawasan Asia Tenggara (intra regional trading).
Meskipun ekonomi mengalami pertumbuhan yang
pesat, namun restrukturisasi korporasi dan perbankan
belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Masih relatif
tingginya kredit macet menyebabkan kualitas aset di
kedua sektor tersebut belum membaik. Di beberapa
negara hal ini telah menghambat fungsi intermediasi
perbankan sekaligus merupakan tantangan yang masih
dihadapi pada 2003.
Amerika Latin
Dalam tahun laporan, ekonomi negara-negara di
kawasan Amerika Latin secara umum mengalami kontraksi
-0,6%, memburuk dibandingkan dengan tahun sebelumnya
yang mencatat pertumbuhan positif (0,6%). Kontraksi
tersebut terutama disumbang oleh Argentina sebagai
negara terbesar di kawasan tersebut yang diperkirakan
mengalami kontraksi ekonomi hingga -16,0% setelah
tahun lalu mengalami kontraksi –4,4%. Penurunan kinerja
ekonomi juga dialami oleh Chile yang diperkirakan
tumbuh 2,2% lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya
(2,8%). Ekonomi Brazil diperkirakan hanya tumbuh
sebesar 1,5% sama dengan tahun sebelumnya, sedangkan
pertumbuhan ekonomi Meksiko meningkat tajam dari –
0,3% menjadi 1,5%. Di samping dihadapkan pada
permasalahan yang spesifik berkembang pada masing-
masing negara, penurunan kinerja ekonomi kawasan
tersebut terjadi seiring dengan masih belum pulihnya
tingkat konsumsi AS yang merupakan mitra dagang utama
bagi negara-negara di kawasan Amerika Latin. Penurunan
ekspor telah menyebabkan berkurangnya output industri,
meningkatnya pengangguran dan selanjutnya
menurunkan permintaan dalam negeri.
Kinerja perekonomian yang memburuk tersebut
juga diiringi meningkatnya laju inflasi dari 6,4% pada
2001, menjadi 8,6% pada tahun laporan. Naiknya laju
inflasi terutama disumbang oleh Argentina dengan tingkat
inflasi yang diperkirakan mencapai 29,0% yang
disebabkan oleh turunnya likuiditas perekonomian akibat
capital outflow, ketidakstabilan sosial politik dalam
negeri, serta depresiasi nilai tukar peso. Nilai tukar peso
Argentina pada paro pertama tahun 2002 telah
terdepresasi hingga 70,0% dan kembali mengalami
apresiasi hingga 14,0% mulai September 2002 karena
didorong oleh sentimen positif bahwa IMF kembali akan
memberikan bantuannya. Sementara itu berbeda dengan
Argentina, laju inflasi di ketiga negara utama kawasan
Amerika Latin lainnya mengalami penurunan.
Untuk mengatasi kesulitan ekonomi, Argentina
menerapkan reformasi sektor publik dan pemulihan
intermediasi perbankan, Brazil menerapkan kebijakan
ekonomi pro pertumbuhan termasuk menerapkan
kebijakan moneter longgar, sementara Meksiko
menerapkan kebijakan fiskal yang berhati-hati sejalan
dengan perencanaan bank sentral.
205
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
Pasar Keuangan Internasional
Sejalan dengan perkembangan ekonomi dunia
yang cenderung melambat menjelang akhir tahun
laporan, perkembangan di pasar keuangan juga
menunjukkan kecenderungan yang sama. Pasar saham
diberbagai bursa utama dunia terlihat menurun
terutama pada paro kedua tahun laporan. Menurunnya
indeks bursa saham terkait dengan menurunnya minat
investor akibat memburuknya prospek usaha dan
meningkatnya risiko geopolitik (geopolitical risk).
Pergerakan indeks bursa saham diwarnai oleh isu
melambatnya ekonomi AS dan Eropa, skandal laporan
keuangan yang melibatkan perusahaan-perusahaan
besar di AS, ancaman serangan AS dan sekutunya ke
Irak, dan kekhawatiran meningkatnya terorisme
internasional. Terpuruknya bursa saham di AS telah
mempengaruhi penurunan di bursa saham kawasan
Eropa dan Jepang. Selain karena efek penularan dari
bursa saham AS, merosotnya indeks harga saham Eropa
dan Jepang juga dipicu oleh memburuknya kondisi usaha
di kawasan tersebut. Kondisi ekonomi yang sedang lesu
telah menyebabkan turunnya permintaan domestik
sehingga pendapatan dan keuntungan perusahaan-
perusahaan mengalami penurunan. Penurunan harga
saham terutama untuk perusahan yang bergerak di
bidang otomotif dan teknologi informasi seperti
komputer dan komponennya.
Menurunnya kegiatan ekonomi terutama pada paro
kedua tahun laporan yang disertai dengan
kecenderungan penurunan tingkat inflasi telah
menimbulkan tekanan penurunan suku bunga pasar
uang di berbagai kawasan dunia. Suku bunga LIBOR $
berjangka waktu 6 bulan turun dari 1,98% pada
Desember 2001 menjadi 1,38% pada bulan Desember
2002. Sedangkan suku bunga LIBOR Euro berjangka
waktu 6 bulan turun dari 3,25% menjadi 2,80% untuk
periode yang sama. Pertumbuhan ekonomi yang
menunjukkan gejala perlambatan pada paro kedua
tahun laporan juga telah memberikan tekanan bagi
bank sentral negara utama dunia untuk menurunkan
suku bunga benchmark-nya. Pada triwulan empat, Fed
Res dan ECB telah menurunkan suku bunga
benchmarknya sebesar 50 bps yaitu masing-masing
dari 1,75% dan 3,25% menjadi 1,25% dan 2,75%.
Sementara itu di kawasan Asia non Jepang, suku bunga
cenderung bergerak turun namun dengan besaran yang
beragam (Grafik 10.4).
Sementara itu, di pasar valas nilai tukar dolar AS
mengalami depresiasi terhadap hampir seluruh mata
uang utama dunia terutama euro dan yen. Terpuruknya
bursa saham AS akibat ketidakpastian prospek ekonomi
AS dan skandal laporan keuangan, serta meningkatnya
kekhawatiran terhadap ancaman serangan AS dan
sekutunya ke Irak telah menyebabkan penanaman
dalam dolar beresiko lebih tinggi. Kondisi tersebut
menyebabkan investor cenderung melepaskan aset
dalam denominasi dolar sehingga mengurangi
Grafik 10.4Perkembangan Suku Bunga LIBOR
206
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
permintaan terhadap dolar. Sejalan dengan apresiasi
yen terhadap dolar, nilai tukar mata uang Asia lainnya
juga cenderung menguat. Dalam tahun laporan, ru-
piah tercatat merupakan mata uang yang berkinerja
terbaik di Asia.
Pasar Komoditas Internasional
Setelah mencapai level terendah dalam tahun
2001, harga-harga di pasar komoditas internasional
kembali naik di 2002. Harga-harga komoditas tersebut
secara umum mengalami kenaikan sejalan dengan
peningkatan volume perdagangan dunia dan
membaiknya pertumbuhan ekonomi dunia. Meskipun
demikian, masing-masing komoditas mengalami
pergerakan yang beragam sepanjang tahun laporan.
Minyak bumi sebagai salah satu komoditas utama
dunia mengalami peningkatan yang tajam dalam tahun
laporan. Kecenderungan peningkatan harga minyak
dunia tersebut terutama dipengaruhi oleh tiga faktor
yaitu: (i) meningkatnya permintaan seiring dengan
perkembangan ekonomi dunia yang cenderung
membaik; (ii) meningkatnya kekhawatiran terjadinya
serangan AS ke Irak yang dapat mengganggu kelancaran
pasokan minyak dunia dan; (iii) terjadinya gejolak di
Venezuela, yang juga merupakan salah satu produsen
utama minyak dunia, pada akhir 2002. Faktor-faktor
tersebut menyebabkan harga minyak dunia sepanjang
tahun laporan cenderung berada pada level yang tinggi,
di atas target OPEC yaitu $22,0-28,0 per barrel, bahkan
harga minyak mentah brent sempat mengalami
lonjakan hingga mencapai $31,4 per barrel, yang juga
merupakan harga tertinggi pada 2002. Secara point to
point harga minyak dunia telah meningkat 55,0% yaitu
dari $19,3 per barrel menjadi $29,9 per barrel.
Harga komoditas nonmigas dalam tahun laporan
secara umum juga mengalami peningkatan. Faktor
yang melatarbelakangi kenaikan tersebut terutama
adalah meningkatnya permintaan seiring dengan
membaiknya perkembangan ekonomi dunia. Dari sisi
penawaran, pasokan komoditas dalam tahun laporan
cenderung stabil sebagaimana tercermin pada tingkat
persediaan dunia yang mencukupi.
Sementara itu salah satu komoditas utama
nonmigas dunia yaitu emas, mengalami peningkatan
harga yang tajam dalam tahun laporan. Kecenderungan
meningkatnya harga emas tersebut terjadi seiring
dengan melesunya pasar saham internasional dan
melemahnya nilai tukar dolar. Kecenderungan
melesunya pasar saham telah meningkatkan daya tarik
emas sebagai alternatif investasi. Sementara itu,
melemahnya dolar menyebabkan harga emas, yang
diperdagangkan dalam denominasi dolar, terlihat
semakin murah sehingga mendorong naiknya
permintaan terhadap logam mulia ini. Sementara itu
meningkatnya suhu di kawasan Teluk juga telah
memberikan dorongan peningkatan permintaan
terhadap emas karena emas dipandang merupakan
investasi yang aman. Harga emas dunia dalam tahun
laporan meningkat 25,0% yaitu dari $278,9 per troy oz
menjadi $348,1 per troy oz dan sempat mencapai level
tertinggi hingga $349,7 per troy oz.
KERJASAMA INTERNASIONAL
Selama tahun laporan, pembahasan dalam
berbagai forum kerjasama moneter dan keuangan
internasional dan regional masih menitikberatkan
pada upaya memperkuat arsitektur keuangan
internasional. Di samping itu, berbagai pertemuan
207
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
internasional membahas secara intensif mengenai
upaya-upaya masing-masing negara dalam rangka anti
money laundering dan pemberantasan pembiayaan
terorisme. Dalam kerjasama di bidang pembangunan,
pada tahun laporan telah dicapai komitmen bersama
yang dituangkan dalam “Monterrey Consensus” yang
menjadi acuan bagi lembaga keuangan dan negara
donor dalam program meningkatkan pertumbuhan dan
mengurangi kemiskinan.
Kerjasama di Bidang Moneter, Keuangan dan
Perbankan
International Financial Architecture
Selama tahun laporan, berbagai lembaga
keuangan dan forum-forum kerjasama internasional
dan regional melanjutkan upaya-upaya memperkuat
arsitektur keuangan internasional dan meningkatkan
stabilitas keuangan internasional. Upaya tersebut
antara lain diwujudkan dengan memperkuat
pengawasan (surveillance) untuk mencegah terjadinya
krisis, meningkatkan keterlibatan swasta dalam
mencegah dan menanggulangi krisis. Sementara itu,
di kawasan ASEAN, upaya meningkatkan stabilitas
keuangan regional antara lain merupakan penjabaran
dari komitmen para pemimpin negara ASEAN untuk
mencapai Asian Vision 2020 yang dirumuskan dalam
Roadmap for Integration of ASEAN (RIA).
Surveillance
Krisis di Asia dan Amerika Latin telah mendorong
berbagai lembaga internasional, seperti IMF, ASEAN,
ASEAN+3 dan ADB untuk mengambil langkah-langkah
memperkuat efektivitas surveillance dengan
pandangan untuk mengurangi kemungkinan timbulnya
krisis di masa yang akan datang. Selain surveillance
rutin yang dilakukan oleh IMF terhadap negara-negara
anggotanya setiap tahunnya (Article IV Consulta-
tions), beberapa forum internasional seperti G-20
juga memonitor perkembangan pemenuhan suatu
negara terhadap Standards dan Codes Internasional
sebagaimana dilakukan dalam program IMF “Reports
on the Observance on Standards and Codes”.
Sebagai hasil review pada April 2002 terhadap
program surveillance, IMF memperluas cakupan
surveillance dari hanya moneter, fiskal, dan nilai tukar
menjadi assessment terhadap kerentanan sektor
eksternal, analisis sustainability utama pinjaman luar
negeri, kerentanan sektor finansial dan kebijakan
struktural dan institusi. Perluasan ini sejalan dengan
perubahan yang terjadi dalam situasi global serta
ekspansi aliran modal internasional.
Di tingkat regional, surveillance semakin
ditingkatkan dengan diselenggarakannya informal
policy dialogue ASEAN+3 di samping upaya bersama
di ASEAN bekerjasama dengan ADB untuk membangun
Sistem Deteksi Dini (Early Warning System) terhadap
kemungkinan timbulnya krisis.
Keterlibatan Sektor Swasta dalam Mencegah dan
Menanggulangi Krisis
Upaya pencegahan dan penanggulangan krisis,
khususnya krisis keuangan mendapatkan perhatian
besar tidak hanya dari negara yang mengalami krisis
tetapi juga menjadi perhatian dunia. Keterlibatan
sektor swasta dalam mencegah dan menanggulangi
krisis dimaksudkan untuk membagi beban resolusi
krisis secara adil dengan sektor pemerintah,
memperkuat disiplin pasar, dan meningkatkan
208
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
kemampuan “emerging market borrower” dalam
melindungi dirinya sendiri dari volatilitas dan efek
penularan. Upaya-upaya yang dilakukan antara lain
melalui peningkatan transparansi, privatisasi, good
corporate governance, penyelesaian utang yang
mencakup standstill, dan mekanisme restrukturisasi
ULN Pemerintah (Sovereign Debt Restructuring Mecha-
nism - SDRM).
SDRM
Permasalahan beban utang pemerintah yang
memberatkan kondisi fiskal banyak dialami oleh negara
berkembang seperti di negara Amerika Latin, Turki, dan
Rusia. Berulangnya permasalahan krisis utang di
beberapa negara telah mendorong perhatian lembaga-
lembaga internasional untuk mencari alternatif solusi.
Restrukturisasi ULN pemerintah merupakan salah satu
alternatif yang dapat membantu untuk mengatasi krisis
utang luar negeri dan memberikan manfaat bagi
kreditor, debitor maupun perekonomian negara
penerima utang. Dalam pelaksanaannya, proses menuju
tercapainya kesepakatan restrukturisasi utang luar
negeri seringkali mengalami hambatan dan berlarut-
larut. Salah satu problem utamanya adalah kesulitan
untuk menjamin aksi bersama (collective action) di
antara para kreditor dalam upaya mencapai
kesepakatan negosiasi karena masing-masing kreditor
mengutamakan kepentingannya dan mencoba free-ride
dengan harapan memperoleh pembayaran sesuai
dengan kontrak awal.
Dengan latar belakang tersebut, IMF mengajukan
proposal yang intinya adalah membentuk SDRM sebagai
kerangka kerja penjadwalan kembali utang luar negeri
secara seimbang untuk memulihkan sustainability dan
pertumbuhan, tanpa meningkatkan risiko default.
Konsep ini telah disetujui International Monetary and
Financial Committee pada April 2002 untuk
dikembangkan sebagai bagian dari upaya IMF untuk
memperbaiki penanganan krisis (crisis management).
SDRM dirancang untuk memfasilitasi
restrukturisasi ULN pemerintah dari negara anggota
IMF yang menghadapi masalah unsustainable debt
melalui kerangka aksi secara kolektif (collective ac-
tion) di antara para kreditor. SDRM ditujukan agar
proses restrukturisasi menjadi lebih teratur, terukur
dan dapat cepat terselesaikan. SDRM juga
memberikan proteksi nilai aset dan hak-hak kreditor.
Konsep ideal dari SDRM dimaksudkan untuk dapat
mencapai keseimbangan insentif yang tepat baik bagi
pemerintah selaku debitor maupun bagi para
kreditornya. Apabila konsep SDRM ini berhasil
dirancang dan diimplementasikan secara tepat,
diharapkan akan dapat mengurangi biaya
restrukturisasi bagi debitor dan kreditor.
Jenis utang yang dapat diikutsertakan dalam
inisiatif SDRM adalah ULN pemerintah yang berasal dari
kreditor swasta atas dasar perjanjian di bawah hukum
internasional, misalnya eurobonds dan syndicated bank
loans. SDRM tidak mencakup pinjaman resmi
pemerintah yang berasal dari pemerintah negara lain
(kini ditangani oleh Paris Club) dan lembaga-lembaga
keuangan internasional, instrumen utang pemerintah
yang dimiliki oleh lembaga keuangan internasional,
utang pemerintah yang diatur oleh hukum domestik
(obligasi domestik pemerintah) dan tagihan kepada
swasta, termasuk tagihan terhadap sistem perbankan.
Konsep SDRM yang dirancang dengan memberikan
perhatian lebih kepada kepentingan negara-negara
209
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
berkembang nampaknya masih terus dikaji agar lebih
relevan bagi banyak krisis keuangan yang terjadi di
negara-negara berkembang, khususnya mengenai
kemungkinan perluasan cakupan ULN pemerintah yang
dapat ditangani melalui SDRM. Perdebatan di tingkat
internasional masih berlangsung dengan alot, seperti
terjadi dalam sidang dewan eksekutif IMF, sidang G-
20, dan pertemuan Manila Framework, antara lain
menyangkut formulasi kerangka hukum internasional,
penentuan mekanisme voting dan aspek teknis lainnya,
mengingat negara-negara kreditur khawatir akan
dirugikan kepentingannya.
Roadmap for Integration of ASEAN (RIA)
Dalam KTT ASEAN November 2001 di Brunei, para
pemimpin negara-negara ASEAN mengeluarkan the RIA
yang menjadi payung bagi kesepakatan-kesepakatan
ekonomi dan inisiatif ASEAN untuk menuju integrasi
ASEAN 2020. RIA memiliki tiga pilar utama yaitu: (i)
menjembatani kesenjangan pembangunan; (ii)
memperdalam kerjasama ekonomi; (iii) meningkatkan
integrasi ekonomi.
RIA di bidang keuangan dan moneter dijabarkan
dalam 4 isu utama yaitu: (i) mengembangkan pasar
modal ASEAN; (ii) liberalisasi sektor jasa; (iii)
liberalisasi neraca modal (capital account); (iv)
pembentukan mata uang dan sistem nilai tukar
ASEAN. Selama tahun laporan beberapa inisiatif telah
dikemukakan dan beberapa studi telah dilakukan
untuk mendukung proses liberalisasi dimaksud,
misalnya studi mengenai kesesuaian dan prakondisi
pembentukan mata uang tunggal ASEAN (ASEAN com-
mon currency) dan prakarsa untuk mengembangkan
pasar obligasi Asia (Asian Bond Market).
Pembentukan Mata Uang Tunggal ASEAN
Salah satu bentuk persiapan ke arah integrasi
keuangan ASEAN adalah dengan melakukan studi
mengenai kesesuaian dan prakondisi pembentukan mata
uang tunggal. ASEAN Currency and Exchange Rate
Mechanism Task Force telah memulai studi tersebut
pada pertengahan 2001 dan telah menyelesaikan dan
melaporkan hasil studi tersebut pada ASEAN Central
Bank Forum Oktober 2002. Hasil analisis menunjukkan
bahwa ide pembentukan mata tunggal ASEAN belum
dapat diwujudkan dalam waktu dekat mengingat
perbedaan kesenjangan ekonomi yang begitu besar
antara negara-negara ASEAN. Rendahnya tingkat
konvergensi ekonomi negara-negara ASEAN dapat
menyebabkan dampak shocks yang berbeda. ASEAN juga
belum memiliki lead country yang tepat yang mata
uangnya dapat digunakan sebagai jangkar (anchor) bagi
mekanisme nilai tukar regional. Tingkat perdagangan
intraregional ASEAN masih relatif rendah terhadap total
perdagangan internasional negara-negara ASEAN. Di
samping itu, komitmen politik ASEAN masih didominasi
oleh kepentingan nasional masing-masing negara
anggota. Negara-negara ASEAN perlu memiliki
komitmen politik yang kuat serta waktu yang cukup
untuk mencapai setidaknya mendekati konvergensi
ekonomi agar tidak ada kepentingan yang saling
bertentangan dalam merespons suatu kebijakan re-
gional apabila integrasi moneter berlangsung.
Pasar obligasi Asia selama ini tidak populer di
kalangan para manajer investasi, karena preferensi
lebih diarahkan pada obligasi yang memiliki peringkat
yang tinggi. Dalam perkembangan terakhir, ruang untuk
mengembangkan pasar obligasi Asia tampak terbuka
dengan meningkatnya cadangan devisa negara-negara
210
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
Asia, disamping tumbuhnya keinginan untuk
memperoleh yield yang lebih tinggi dan diversifikasi
portfolio. Inisiatif untuk mengembangkan pasar
obligasi Asia mengemuka dalam pertemuan informal
pejabat bank sentral dan departemen keuangan
negara-negara ASEAN+3 di Chiang Mai, Thailand pada
Desember 2002. Tujuan dari inisiatif tersebut adalah
untuk mendorong perkembangan pasar obligasi Asia
yang efisien dan likuid sehingga sektor swasta dan
publik di Asia dapat meningkatkan dan menanamkan
modal jangka panjang tanpa risiko currency dan ma-
turity mismatch. Pasar obligasi Asia diharapkan dapat
menggantikan pinjaman luar negeri, sehingga pada
gilirannya dapat: (i) menyediakan pembiayaan jangka
panjang yang stabil bagi sektor swasta dan publik
dengan memanfaatkan tabungan negara-negara Asia;
(ii) memperkuat sistem keuangan regional dengan
menyediakan berbagai alternatif untuk mentransfer
tabungan menjadi investasi modal dalam kawasan;
(iii) mempersiapkan dasar pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan dengan meningkatkan sektor
keuangan regional.
Untuk mewujudkan hal tersebut perlu diciptakan
lingkungan yang kondusif untuk membangun pasar
regional melalui pendekatan yang komprehensif,
antara lain dengan: (i) memperbaiki infrastruktur untuk
pasar obligasi Asia dengan memperkuat sistem
pemeringkat regional, menyempurnakan mekanisme
penyelesaian (settlement) regional, menciptakan
proses due diligence dan menciptakan regional finan-
cial arrangements jangka pendek; (ii) Menyediakan
credit enhancement dengan memanfaatkan teknik
keuangan yang terstruktur untuk membantu SME
memperoleh akses terhadap pasar obligasi Asia, serta
meningkatkan efisiensi dan likuiditas pasar dengan
membuat tersedianya market making arrangements
dan menerbitkan obligasi pemerintah sebagai bench-
mark di pasar; (iii) Memfasilitasi perkembangan pasar
dengan bantuan teknis dari negara maju dan
diseminasi informasi mengenai profil keuangan high-
performing companies di kawasan serta situasi
ekonomi dan kondisi lainnya seputar pasar obligasi
regional.
Untuk meningkatkan yield sekaligus mendorong
perkembangan pasar obligasi Asia, Hongkong Mon-
etary Authority (HKMA) dalam pertemuan EMEAP Work-
ing Group on Financial Market pada Juni 2002
mengemukakan ide pembentukan Asian Bond Fund
(ABF)1 . Para Deputi EMEAP dalam sidang November 2002
pada dasarnya mendukung ide dasar dari pebentukan
ABF, namun masih diperlukan berbagai penyempurnaan
dan kesepakatan mengenai berbagai aspek dari ABF.
Indonesia mengapresiasi upaya pembentukan ABF ini
dan percaya bahwa investasi dalam ABF akan
menguntungkan bagi perkembangan Asian Bond Market.
Walaupun demikian, terdapat beberapa hal yang masih
perlu didiskusikan mengingat Bank Indonesia memiliki
investment guidelines yang konservatif yang tidak
memperkenankan penanaman yang melibatkan sektor
korporasi. Disamping itu, penanaman ABF akan
mencakup investasi pada obligasi negara yang
bersangkutan, padahal investasi pada own country
securities tidak masuk ke dalam perhitungan NIR (Net
International Reserves), sehingga penanaman pada ABF
1 Asian Bond Fund akan berbentuk investment pool ( terdiri dari kombinasiobligasi yang diterbitkan oleh negara-negara Asia) yang akan dikelolaoleh suatu manajer investasi. Setiap bank sentral yang akanberpartisipasi akan mengalokasikan sebagian kecil dari cadangandevisanya untuk tujuan ini. Keikutsertaan bank-bank sentral negaraEMEAP dalam ABF adalah berdasarkan prinsip sukarela.
211
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
nantinya dapat menurunkan jumlah NIR.
Bilateral Swap Arrangement
Dalam sidang ASEAN Finance Ministers Meeting
(AFMM) ke-4 di Brunei Darussalam pada tanggal 24-25
Maret 2000, para Menteri Keuangan negara-negara
ASEAN telah sepakat untuk menjajagi kemungkinan
memperluas keanggotaan ASEAN Swap Arrangement
(ASA) sehingga mencakup seluruh negara ASEAN serta
memasukkan negara regional yaitu Cina, Jepang dan
Korea. Sebagai tindak lanjut keputusan tersebut dalam
sidang Special ASEAN Finance and Central Bank Depu-
ties Meeting (AFDM) pada 6 Mei 2000 di Chiang Mai,
Thailand, usulan perluasan ASA tersebut direalisasikan
melalui kesepakatan yang dikenal dengan Chiang Mai
Initiative. Salah satu kesepakatan tersebut adalah Bi-
lateral Swap Arrangement (BSA) diantara negara-negara
ASEAN+3 (Cina, Jepang dan Korea).BSA bertujuan untuk
menyediakan short term financial assistance dalam
bentuk swap kepada negara anggota Chiang Mai
Initiative. Fasilitas swap ini merupakan supplement dari
financing facility yang disediakan oleh IMF dan ASA
dalam rangka mengatasi kesulitan Balance of Payment
(BOP) negara anggotanya. Beberapa manfaat yang
diperoleh dari BSA antara lain adalah: (i) mempererat
kerjasama di bidang keuangan antara negara-negara
ASEAN dan negara+3 (Korea, Jepang, Cina); (ii) Fasilitas
BSA dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif
untuk mendukung neraca pembayaran; (iii) Tidak ada
commitment fee pada saat penandatanganan perjanjian
BSA, sehingga tidak ada biaya yang dikeluarkan sebelum
penarikan pinjaman dilakukan.
Setelah main principles disetujui dalam sidang
AFMM ke-5 di Kuala Lumpur pada 8 April 2001, masing-
masing negara ASEAN bernegosiasi secara bilateral
dengan negara +3. Sampai dengan pertemuan AFMM +3
di Shanghai pada 10 Mei 2002, negara-negara yang
telah menandatangani BSA adalah Jepang-Korea,
Jepang-Thailand, Jepang-Philippina, Jepang-Malaysia,
Cina-Thailand dan Cina-Jepang. Sementara itu proses
perundingan masih berjalan antara Cina-Korea dan Ko-
rea-Thailand (tahap akhir); Korea-Malaysia dan Ko-
rea-Philippine (telah mencapai kesepakatan); Jepang-
Singapore, Cina-Malaysia, Cina-Filipina dan Indone-
sia-Jepang (negosiasi). Perjanjian BSA antara Indo-
nesia dan Jepang direncanakan akan ditandatangani
pada Februari 2003.
THE NEW BASEL CAPITAL ACCORD
Dalam tahun laporan, forum kerjasama bank
sentral seperti EMEAP (Executive Meeting of East Asia
Pacific), SEACEN (South-East Asia Central Bank) serta
Forum kerjasama kementrian keuangan “Manila Frame-
work” secara intensif membahas proposal The New
Basel Capital Accord2 , terutama menyangkut konsep
dan kesiapan bank-bank negara berkembang di Asia
Tenggara mengikuti jadwal implementasi ketentuan
baru tersebut.
The New Basel Capital Accord pada intinya
meningkatkan sensitivitas risiko perbankan dalam
menjalankan kegiatan usaha. Capital Accord baru tersebut
memuat tiga inovasi mendasar yaitu: (i) melengkapi
2 Proposal Basel Accord II diajukan oleh Bank for International Settle-ments pada Juni 2001 untuk menggantikan Basel Capital Accord yangpertama kali dipublikasikan 1988 dan telah diamandemen pada 1996.
3 The New Basel Accord terdiri dari 3 pilar utama untuk memperkokohdan menyehatkan sistem perbankan. Pilar pertama adalah persyaratanmodal minimum. Pilar kedua adalah supervisory review process dimanaproses pengawasan membutuhkan pengawas untuk memastikan bahwasetiap bank menjalankan proses internal yang baik untuk menilaikecukupan modalnya berdasarkan evaluasi resiko secara cermat. Pilarketiga adalah mendorong market discipline melalui peningkatantransparansi manajemen bank.
212
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
standar kuantitatif yang berlaku saat ini dengan dua
pilar tambahan yang berkaitan dengan supervisory re-
view dan market discipline3 ; (ii) mengijinkan bank-bank
yang memiliki kemampuan manajemen risiko yang baik
untuk menggunakan sistem internalnya sendiri dalam
melakukan evaluasi risiko kredit yang dikenal dengan
internal rating based; (iii) memungkinkan bank-bank
untuk menggunakan sistem grading dari lembaga-
lembaga pemeringkat swasta dengan
mengklasifikasikan tagihan-tagihan luar negerinya
menjadi lima kelompok risiko dan tagihan-tagihan
kepada sektor korporasi dan bank menjadi tiga kelompok
risiko. Perhitungan risiko dalam konsep yang baru
diperluas tidak hanya mencakup risiko kredit dan
risiko pasar sebagaimana dalam Basel Capital Accord
I, tetapi juga akan mencakup risiko operasional.
Pada 2002, proposal tersebut telah mengalami
beberapa modifikasi setelah menerima masukan-
masukan dari berbagai pihak termasuk pandangan-
pandangan dari bank-bank sentral dan departemen
keuangan khususnya dari negara-negara berkembang.
Capital Accord baru dijadwalkan untuk diterbitkan
pada Oktober 2003 dan diimplementasikan pada akhir
2006. Pemberlakuan the New Basel Accord tersebut
hanya mengikat bagi anggota Bank for International
Settlements (BIS)4 . Pemberlakuan ketentuan baru
tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi
perekonomian negara-negara berkembang. Di satu sisi,
jika seluruh perbankan dapat mengaplikasikan
ketentuan baru tersebut, maka kepercayaan terhadap
sistem perbankan akan meningkat dan perekonomian
mendapat manfaat nyata dari pemenuhan ketentuan
tersebut. Di lain pihak, memaksakan pemenuhan
ketentuan tersebut sementara perbankan negara-
negara berkembang termasuk Indonesia belum siap
dan belum mampu, akan beresiko terhambatnya proses
restrukturisasi perbankan, bahkan berisiko pada
penutupan bank yang pada gilirannya membahayakan
perekonomian nasional.
Anti Money Laundering dan Pembiayaan
Terorisme
Anti Money Laundering
Dunia internasional, terutama negara-negara
maju, telah menetapkan bahwa pemberantasan
money laundering harus menjadi komitmen seluruh
negara di dunia karena money laundering berdampak
negatif bagi perekonomian dunia. Perhatian yang
besar diberikan oleh lembaga internasional seperti IMF
dan World Bank serta dengan terbentuknya forum kerja
sama internasional dalam rangka meningkatkan upaya
pemberantasan money laundering, seperti: (i) Financial
Action Task Force on Money Laundering (FATF) dibentuk
oleh negara-negara OECD; (ii) Asia Pacific Group on
Money Laundering (APG) dibentuk oleh negara-negara
di kawasan Asia Pacific.
Adapun langkah-langkah upaya pemberantasan
money laundering yang telah dilaksanakan oleh forum
internasional adalah dengan telah ditetapkannya
standar internasional sistem pencegahan dan
pemberantasan money laundering oleh FATF dengan
mengeluarkan 40 rekomendasi. FATF juga melakukan
review terhadap negara-negara yang dipandang rawan
kegiatan money laundering dengan berpedoman pada
25 kriteria Non Cooperative Countries and Territories
(NCCT’s). APG melakukan assessment terhadap sistem4 Indonesia belum menjadi anggota BIS
213
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
penanganan money laundering di negara-negara
anggota dan menyelenggarakan kerja sama
penanganan money laundering di kawasan Asia Pa-
cific, termasuk mengupayakan capacity building.
Sedangkan lembaga internasional seperti World Bank
dan Asian Development Bank mengkaitkan masalah
penanganan money laundering dengan persyaratan
pencairan pinjaman.
Upaya-upaya internasional melalui lembaga-
lembaga tersebut semakin diintensifkan dan
dikaitkan dengan upaya pemberantasan pembiayaan
terorisme internasional (combating financing of ter-
rorism). Dalam perspektif tertentu upaya-upaya
negara maju melalui forum-forum internasional
tersebut menjadi tekanan terhadap negara-negara
berkembang seperti Indonesia.
Pemberantasan Pembiayaan Terorisme
Setelah tragedi WTC pada 11 September 2001
dan berbagai aksi terorisme di dunia, banyak forum
internasional berusaha menangani berbagai isu yang
terkait dengan terorime. Menindaklanjuti KTT G-20
di Ottawa 2001, negara anggota G-20 berjanji untuk
bekerjasama dengan lembaga keuangan internasional,
FATF, Financial Stability Forum (FSF), dan lembaga
internasional terkait lainnya untuk mencegah
penyalahgunaan sistem keuangan serta ancaman
terhadap integritas sistem keuangan dengan cara
meningkatkan standar internasional yang terkait
dengan pendanaan terorisme, money laundering dan
ketentuan serta pengawasan sektor keuangan.
Pada lingkup kerjasama ASEAN dan APEC, masalah
terorisme juga menjadi agenda pembahasan di antara
negara-negara anggota. Pada Juli 2002, Indonesia
bersama dengan negara ASEAN lainnya dalam ARF
telah menandatangani traktat mengenai
pemberantasan terorisme dengan AS. Sementara itu
pada bulan yang sama, Indonesia bersama-sama
Philipina dan Thailand membentuk trilateral agree-
ment untuk pemberantasan terorisme. Dalam
pertemuan APEC di Los Cabos pada Oktober 2002 para
pemimpin ekonomi APEC mendiskusikan dampak
ekonomi akibat terorisme, upaya APEC memerangi
terorisme dan rencana aksi, konsep pengamanan
perdagangan di wilayah APEC (STAR), dan strategi
keamanan dunia maya (cyber security strategy).
Sejalan dengan hal tersebut, KTT ASEAN ke-8
pada November 2002 di Phnom-Penh menegaskan
kembali pendiriannya untuk melaksanakan the ASEAN
Declaration on Joint Action to Counter Terrorism,
sebagaimana telah diadopsi dalam pertemuan ASEAN
di Brunei Darussalam pada November 2001. Negara-
negara ASEAN bertekad meningkatkan upaya
pencegahan dan pemberantasan terorisme secara
sendiri-sendiri maupun bersama dengan rencana
kerja sebagaimana disepakati dalam Special Ministe-
rial Meeting on Terrorism di Kuala Lumpur, Mei 2002.
Berkenaan dengan tragedi WTC, pemerintah
Indonesia menyambut baik dikeluarkannya Resolusi
Dewan Keamanan PBB No. 1373 28 September 2001 dan
menegaskan sikap untuk melaksanakan isi resolusi
tersebut sebagai prioritas kebijakan nasional. Terhadap
tragedi Bali, pemerintah dan aparat penegak hukum
Indonesia bekerjasama dengan negara lain berupaya
sekuat tenaga mengungkap pelaku pemboman tersebut.
Sebagai pelaksanaan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.
1373 tersebut, pemerintah dibawah koordinasi
Departemen Luar Negeri telah membentuk forum
214
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
koordinasi antar departemen teknis terkait untuk
membahas langkah-langkah bersama pemerintah Indo-
nesia. Pemerintah telah menyusun dan menyampaikan
dua laporan resmi kepada the Counter Terrorism Com-
mittee (CTC) – Dewan Keamanan PBB pada November
2001 dan Juni 2002 yang memuat penjelasan atas
ketentuan dan langkah-langkah yang telah dan sedang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah juga
menyampaikan laporan secara spesifik yang memuat
uraian mengenai penerapan Know Your Customer Prin-
ciples pada perbankan Indonesia sebagaimana diatur
dalam PBI No.3/10/PBI/2001 dan PBI No.3/23/PBI/2001
tentang Prinsip Mengenai Nasabah. Disamping itu,
pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No.1 tahun 2002 tanggal 18
Oktober 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Peraturan ini merupakan kebijakan dan
langkah strategis untuk memperkuat ketertiban
masyarakat dan keselamatan masyarakat dengan
menjunjung tinggi hukum dan hak azasi manusia, serta
tidak bersifat diskriminatif.
Kerjasama di Bidang Pembangunan
Pengurangan kemiskinan tetap menjadi prioritas
bagi negara-negara berkembang. Oleh karena itu, IMF,
dan Bank Dunia bersama masyarakat internasional
lainnya memiliki tanggung jawab untuk membantu
negara-negara berkembang tidak saja dalam
mengembangkan kerangka untuk pembangunan
ekonomi, tetapi juga membangun kapasitas dan sumber
daya yang dibutuhkan untuk implementasi program
pembangunannya. Dalam kaitan ini, pada tahun laporan
telah dicapai kesepakatan bersama “Monterrey
Consensus”, disamping sebelumnya telah dan sedang
dilaksanakan program-program pengurangan
kemiskinan seperti prakarsa highly indebted poor
countries (HIPC) dan program Poverty Reduction and
Growth Facility (PRGF).
Monterrey Consensus
Pada 18-22 Maret 2002 di Monterrey, Mexico
diselenggarakan pertemuan internasional yang
bertujuan untuk menghimpun kesepakatan dunia
dalam menghapus kemiskinan, mencapai
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam
upaya mencapai sistem ekonomi global yang adil
dan menyeluruh. Dalam pertemuan tersebut para
pemimpin dunia menyatakan komitmennya untuk
meningkatkan kerjasama dan bersatu memerangi
kemiskinan dengan target penurunan tingkat
kemiskinan di dunia menjadi setengahnya pada 2015.
Kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan
tersebut disebut dengan “Monterrey Consensus” yang
pada intinya berisi pentingnya peningkatan kerjasama
dan kemitraan antara negara-negara maju dan negara-
negara berkembang untuk mendukung upaya
pembangunan dalam era globalisasi dan semakin
kuatnya saling ketergantungan antar negara. Sebagai
dasar peningkatan kerjasama dan kemitraan tersebut,
di satu sisi negara-negara berkembang perlu melakukan
pembenahan dalam pengelolaan pembangunan,
memperkuat upaya penegakan hukum dan
pemerintahan yang bersih, demokratis dan akuntabel.
Di sisi lain, negara-negara maju memberikan komitmen
untuk meningkatkan jumlah bantuan pembangunan
kepada negara-negara berkembang. Dalam hal ini
diperlukan sinergi antara bantuan pembangunan yang
diberikan dengan peningkatan akses negara tersebut
215
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
dalam perdagangan dunia. AS berencana
menganggarkan dana sebesar $5,0 milyar untuk 3
tahun ke depan. Uni Eropa (UE) menganggarkan
sekitar $8,0 – $10,0 milyar per tahun dalam jangka
waktu 3 tahun.
Dalam kaitannya dengan masalah utang luar
negeri negara berkembang, telah disepakati untuk
meningkatkan upaya penyelesaiannya dengan melalui
penerapan prinsip burden sharing antara kreditor dan
debitor, baik antar pemerintah maupun antar
pemerintah dengan swasta. Beberapa mekanisme
penyelesaian utang luar negeri yang dapat ditempuh
antara lain melalui skema debt swaps maupun debt
relief, seraya mengkaji kemungkinan memanfaatkan
ketersediaan SDR (Special Drawing Right) guna
membantu keperluan pembiayaan pembangunan di
negara-negara berkembang. Telah disepakati pula
untuk meningkatkan koordinasi dan koherensi
kebijakan di antara lembaga-lembaga internasional
yang menangani bidang moneter, keuangan,
perdagangan dan pembangunan. Dalam kaitan ini
juga ditekankan perlunya meningkatkan partisipasi
negara berkembang dalam proses pengambilan
keputusan di berbagai lembaga internasional
khususnya IMF dan World Bank.
Berlandaskan kepada kesepakatan dalam
“Monterrey consensus” tersebut, Bank Dunia melakukan
upaya peningkatan kemitraan antara sektor
pemerintah, swasta dan NGO dalam pembangunan serta
harmonisasi berbagai langkah guna mendorong
efektifitas bantuan yang diberikan Bank Dunia serta
lembaga-lembaga yang menaunginya. Perhatian khusus
diberikan kepada upaya mendorong pertumbuhan di
negara-negara berpenghasilan rendah serta
peningkatan kemampuan negara-negara tersebut
dalam memanfaatkan bantuan yang diberikan Bank
Dunia melalui capacity building serta peningkatan cor-
porate & public governance. Para pemimpin dunia
dalam sidang, mendorong Bank Dunia meningkatkan
bantuannya kepada negara-negara miskin guna
meningkatkan infrastruktur dalam memanfaatkan
peluang dari perdagangan global.
Sejalan dengan Monterey Consensus, konstituen
Southeast Asia Group di IMF dalam sidang tahunan IMF
di Washington September 2002 menegaskan
pentingnya bagi negara industri untuk membuka
pasarnya bagi negara-negara berkembang.
Pembangunan infrastruktur ekonomi dengan
berdasarkan bantuan keuangan akan berkurang
manfaatnya jika negara-negara berkembang tidak
memiliki saluran untuk ekspor dan jalan untuk
menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Berkaitan dengan implementasi Monterrey Con-
sensus, pertemuan para Gubernur Bank Sentral dan
Menteri Keuangan G-20 pada November 2002 di New
Delhi, India, menekankan bahwa kualitas bantuan
sama pentingnya dengan kecukupan jumlah bantuan.
Alokasi bantuan keuangan seringkali tidak optimal
akibat tidak efektifnya desain dan strategi
implementasi dari program bantuan tersebut yang
antara lain disebabkan oleh banyaknya kepentingan
dari pemberian bantuan keuangan yang beberapa
diantaranya merupakan alasan nonekonomi (misalnya
pemberlakuan ad-hoc conditionalities). Oleh sebab
itu, agar pemanfaatan bantuan menjadi efektif,
negara penerima bantuan hendaknya diberikan
fleksibilitas dan otonomi kebijakan. Dalam kaitan ini
bantuan yang tidak mengikat dan kombinasi yang
216
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
sehat antara investasi dan bantuan program
(programme assistance) dengan fokus sektoral
nampaknya menjadi pilihan yang baik bagi negara
berkembang.
Bagi Indonesia kiranya “Monterrey consensus” ini
dapat dijadikan sebagai rujukan bagi perumusan
kebijakan dan pelaksanaan pembangunan nasional yang
lebih terpadu dan berkelanjutan, antara lain yang
berkaitan dengan peningkatan langkah-langkah
pembenahan tata pemerintahan, penegakan hukum,
penguatan kelembagaan dan peningkatan efektifitas
bantuan asing, sehingga dapat memulihkan
kepercayaan masyarakat internasional khususnya
negara dan lembaga kreditur dan kalangan investor.
Namun demikian, diperlukan komitmen yang tegas
dan usaha yang keras bagi pemerintah RI dalam
mewujudkan hal tersebut di atas, terutama
peningkatan koordinasi di dalam negeri, yakni antara
pemerintah pusat-daerah, antar instansi/lembaga
pemerintahan, dan antara pemerintah dengan
lembaga legistatif (DPR).
Program HIPC, PRSP dan PRGF
Upaya yang telah dilakukan IMF bekerjasama
dengan Bank Dunia untuk membantu negara-negara
miskin meliputi (i) Program Highly Indebted Poor
Countries (HIPC), (ii) Poverty Reduction Strategy
Papers (PRSP), dan (iii) Poverty Reduction and
Growh Facility (PRGF).
Mengenai HIPC, dalam tahun laporan, kemajuan
yang dicapai dalam inisiatif penyelesaian utang negara
miskin melalui skim HIPC cukup menggembirakan.
Dalam sidang tahunan IMF/WB September 2002
diungkapkan bahwa 2/3 negara-negara miskin telah
memperoleh manfaat dari program HIPC.
Permasalahan khusus dihadapi dalam menangani
utang negara-negara miskin yang dianggap sudah
tidak sustainable. Dalam kaitan ini diperlukan adanya
pengkajian mengenai debt sustainability sebagai
dasar penilaian negara maupun lembaga donor dalam
memberikan pinjaman konsesional. Isu-isu penting
yang perlu diperhatikan adalah bagaimana membantu
negara-negara miskin dalam jangka panjang setelah
berhasil melaksanakan program HIPC. Selama ini
negara-negara tersebut banyak tergantung pada
beberapa komoditas tertentu sehingga rentan
terhadap perubahan harga komoditas di pasar
internasional. Penurunan harga dapat mengakibatkan
negara-negara tersebut kembali menjadi penghutang
berat. Negara-negara berkembang kembali
menekankan perlunya akses pasar yang lebih besar
dari negara-negara maju.
Mengenai PRSP, program tersebut telah
berhasil membantu meningkatkan pembangunan di
negara-negara miskin, terutama post-conflict coun-
tries. Agar bantuan lebih efektif, negara-negara
tersebut harus meningkatkan kemampuan
institusional, termasuk koordinasi.
Mengenai PRGF, program ini merupakan salah
satu sumber pertumbuhan bagi negara-negara
miskin. Di satu sisi, negara-negara miskin perlu
memperbaiki berbagai permasalahan di dalam
negeri seperti penyesuaian struktural dan kebijakan
makro yang sehat. Di sisi lain, negara-negara
miskin perlu juga memperoleh peluang akses pasar
terutama untuk produk hasil pertanian bagi negara-
negara tersebut. IMF dan Bank Dunia tampaknya
perlu merampingkan desain country-owned pro-
217
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
grams untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
dan mengurangi kemiskinan. PRGF juga perlu dibuat
fleksibel agar dapat mudah disesuaikan dengan
kondisi negara yang spesifik.
Di luar program-program tersebut di atas,
dalam tahunan laporan Bank Dunia juga menekankan
upaya meningkatkan pendidikan guna mengurangi
kemiskinan dan ketimpangan serta merupakan dasar
bagi pertumbuhan ekonomi yang mantap. Bank Dunia
bekerjasama dengan pemerintah Belanda berupaya
untuk meningkatkan kesempatan memperoleh
pendidikan melalui program “ Education for The
World’s Children”. Dalam kaitan ini telah disusun
langkah kerja dalam mencapai konsensus
internasional untuk menciptakan sistem pendidikan
dasar yang dapat dijangkau seluruh anak-anak pada
2015. Untuk mewujudkan hal tersebut, Bank Dunia
juga bekerja sama dengan lembaga-lembaga multi-
lateral PBB seperti UNESCO.
218
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
Bab 11: Prospek Ekonomi Dan ArahKebijakanProspek Ekonomidan Arah Kebijakan
11BAB
l a p o r a nt a h u n a n
219
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
11B A B PROSPEK EKONOMI
DAN ARAH KEBIJAKAN
Prospek pertumbuhan ekonomi diprakirakan masih
akan membaik meskipun masih akan sangat
tergantung keberhasilan penanganan berbagai faktor
risiko dan permasalahan yang mendasar, baik yang
bersumber dari sisi eksternal maupun domestik. Dari
sisi eksternal, relatif lambatnya pertumbuhan
sebagian besar negara maju serta meningkatnya
ketegangan politik di Timur Tengah dapat berpotensi
memperburuk iklim investasi global yang sementara
ini belum pulih. Disamping itu, terjadinya berbagai
skandal keuangan yang dilakukan oleh beberapa
perusahaan internasional semakin mengurangi minat
investor untuk menanamkan modal di negara-negara
berkembang. Dari sisi domestik, disamping berbagai
permasalahan fundamental ekonomi seperti belum
pulihnya fungsi intermediasi perbankan dan risiko
likuiditas keuangan pemerintah, berbagai faktor
sosial politik seperti masih maraknya konflik
perburuhan, persepsi masyarakat yang kurang
kondusif terhadap supremasi hukum serta
perkembangan suhu sosial, politik dan keamanan
menjelang Pemilu 2004 juga perlu terus dicermati.
Apabila dampak buruk berbagai faktor risiko dan
ketidak-pastian di atas dapat diminimalkan,
pertumbuhan ekonomi pada 2003 diprakirakan akan
mencapai 3,5% – 4,0%. Dari sisi permintaan, sumber
utama pertumbuhan ekonomi masih akan banyak
ditopang oleh kegiatan konsumsi. Sementara itu,
mengingat kondisi global yang belum terlalu kondusif
pertumbuhan ekspor dan investasi –meskipun
diprakirakan akan membaik- diprakirakan belum akan
mengalami peningkatan yang cukup berarti. Dari sisi
penawaran, seluruh sektor kegiatan ekonomi
diprakirakan akan mencatat pertumbuhan positif.
Pertumbuhan yang cukup tinggi diperkirakan akan
terjadi pada sektor listrik, gas dan air bersih, sektor
angkutan dan telekomunikasi, dan sektor bangunan.
Meski demikian, dampak tragedi Bali diprakirakan
masih terasa pada beberapa sektor terutama pada
sektor-sektor yang terkait dengan pariwisata dan
perhotelan. Menurunnya kinerja sektor tersebut
selanjutnya akan berpengaruh pula pada kinerja Neraca
Pembayaran Indonesia.
Secara keseluruhan, kinerja Neraca Pembayaran
Indonesia (NPI) pada 2003 diprakirakan akan sedikit
menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini
terutama disebabkan oleh menurunnya surplus
transaksi berjalan akibat meningkatnya defisit
Perekonomian 2003 diprakirakan tumbuh sebesar 3,5%-4% seiring denganmeningkatnya kinerja investasi dan ekspor. Sementara itu, denganmempertimbangkan prospek inflasi yang cenderung menurun dan kondisiperbankan yang masih likuid, kebijakan moneter diarahkan untuk secarabertahap menurunkan suku bunga guna memperkuat sinyal positif bagiproses pemulihan ekonomi.
220
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
transaksi jasa dan menurunnya surplus transaksi
barang. Sementara itu, neraca lalu lintas modal
diprakirakan akan sedikit memburuk yang terutama
disebabkan oleh meningkatnya defisit lalu lintas modal
swasta.
Secara umum, perkembangan nilai tukar rupiah
pada 2003 diprakirakan membaik. Prakiraan ini
sejalan dengan survei pasar yang mengindikasikan
perkembangan nilai tukar rupiah akan cenderung
menguat dan relatif stabil. Meskipun perkembangan
berbagai faktor sentimen pasar masih perlu dicermati,
stabilitas nilai tukar tersebut akan didukung oleh
perkembangan faktor fundamental yang membaik
termasuk ketersediaan pasokan valas yang cukup,
yang bersumber dari perolehan devisa hasil ekspor,
aliran modal masuk baik dalam bentuk pinjaman luar
negeri, pembelian aset BPPN, keberhasilan program
privatisasi BUMN dan divestasi bank-bank rekap, serta
aliran modal masuk portfolio.
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang
moderat dan nilai tukar rupiah yang cenderung
menguat dan stabil, perkembangan inflasi IHK di
2003 diprakirakan akan lebih rendah dibandingkan
tahun sebelumnya. Disamping itu, penurunan inflasi
juga disebabkan oleh lebih rendahnya dampak
penerapan kebijakan pemerintah di bidang harga dan
pendapatan, dan menurunnya ekspektasi inflasi
masyarakat.
Seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi
makro di atas, kondisi perbankan Indonesia di 2003
diprakirakan akan semakin membaik. Perbaikan
tersebut antara lain tercermin dari meningkatnya
penghimpunan DPK dan pertumbuhan kredit yang
diberikan, rasio NPL yang relatif rendah serta
terpeliharanya kecukupan modal.
PROSPEK EKONOMI GLOBALPertumbuhan Ekonomi dan Perdagangan Dunia
Pertumbuhan ekonomi dunia di 2003 diprakirakan
sedikit menguat. Berdasarkan prakiraan IMF 1
perekonomian dunia akan tumbuh 3,7%, lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang
mencapai 2,8% . Meskipun cenderung menguat,
prakiraan tersebut perlu lebih dicermati mengingat
peningkatannya lebih banyak disumbang oleh
tingginya pertumbuhan ekonomi negara berkembang
seperti Cina dan ASEAN. Sementara itu, pertumbuhan
ekonomi berbagai negara maju yang menjadi mitra
dagang utama Indonesia seperti Amerika Serikat (AS),
Jepang dan Uni Eropa (UE) diprakirakan masih berada
pada kisaran yang rendah. Di sisi lain, prospek
pertumbuhan tersebut juga masih menghadapi
berbagai risiko seperti meningkatnya geopolitical risk
1 World Economic Outlook, September 2002
Tabel 11.1Pertumbuhan Ekonomi di Berbagai Kawasan Dunia
Pertumbuhan EkonomiDuniaNegara-Negara Industri
Amerika SerikatJepangUni EropaNegara Industri Baru Asia
Negara-Negara BerkembangAfrikaAsiaCinaASEAN-4 **Amerika Latin
Negara-Negara dalam Transisi
Rincian
3,72,52,61,12,34,95,24,26,37,24,23,04,5
2,81,72,2
-0,51,14,74,23,16,17,53,6
-0,63,9
2,20,80,3
-0,31,60,83,93,55,65,62,60,65,0
2001 2002* 2003*
Sumber : IMF, World Economic Outlook, September 2002* Angka prakiraan** Terdiri dari Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand
(Persen)
221
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
dan masih besarnya ketergantungan ekonomi dunia
terhadap perekonomian AS.
Meskipun prospek pemulihan ekonomi dunia
diprakirakan masih membaik, pertumbuhan
ekonomi di berbagai negara maju diprakirakan
masih relatif lemah. Pertumbuhan ekonomi AS,
Jepang dan Zona Euro masing-masing diprakirakan
tumbuh 2,6%, 1,1% dan 2,3%. Prakiraan
pertumbuhan ekonomi AS yang masih rendah
tersebut terutama disebabkan oleh pertumbuhan
konsumsi akibat anjloknya harga saham dan masih
tingginya tingkat pengangguran. Sementara itu,
pertumbuhan ekonomi kawasan Eropa diharapkan
dapat didorong oleh pulihnya konsumsi karena
meningkatnya pendapatan dan rendahnya inflasi.
Selain itu investasi diharapkan dapat meningkat
sehubungan dengan meningkatnya siklus
persediaan, pendapatan perusahaan dan
pemanfaatan kapasitas produksi. Perekonomian
Jepang diprakirakan masih rentan dan memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap ekspor
sehingga dikhawatirkan akan dapat mengalami
pertumbuhan yang lebih rendah apabila nilai tukar
yen cenderung menguat.
Pertumbuhan ekonomi negara-negara
berkembang diprakirakan masih lebih tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi negara
maju. Dalam tahun 2003 pertumbuhan ekonomi
negara-negara berkembang di kawasan Afrika, Asia,
ASEAN-4 dan Amerika Latin akan cenderung
meningkat masing-masing sebesar 4,2%, 6,3%, 4,2%
dan 3,0%. Membaiknya pertumbuhan ekonomi di
negara berkembang tersebut terutama didorong oleh
permintaan domestik yang umumnya memiliki
kontribusi yang besar terhadap perekonomian, dengan
ditunjang oleh kebijakan ekonomi yang masih akan
cenderung longgar, terutama negara-negara dengan
tingkat inflasi yang masih terkendali.Inflasi dan Suku Bunga Internasional
Seiring dengan menguatnya permintaan agregat,
perkembangan inflasi dunia di 2003 diprakirakan akan
sedikit meningkat terutama di negara-negara
berkembang. Sementara itu, perkembangan inflasi
negara maju seperti AS, Jepang dan UE –meskipun
cenderung meningkat- diprakirakan masih relatif
rendah akibat masih lemahnya permintaan. Disamping
itu, masuknya barang impor yang harganya relatif lebih
murah diprakirakan juga memberikan kontribusi
terhadap perkembangan harga yang relatif rendah
(Tabel 11.2).
Meskipun perkembangan ekonomi dunia
diprakirakan meningkat dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, namun pertumbuhan ekonomi tersebut
dipandang masih lamban dan memerlukan stimulus
lebih lanjut. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi longgar
(easing bias economic policy) masih akan
dipertahankan pada 2003. Sebagai akibatnya, suku
bunga diprakirakan masih akan cenderung berada
Tabel 11.2Perkembangan Inflasi dan Suku Bunga Internasional
Tingkat InflasiNegara-Negara IndustriNegara-Negara BerkembangNegara-Negara Transisi
Suku Bunga Jangka PendekAmerika SerikatJepangUni Eropa
Rincian
1.76
8.8
3.20.13.8
1.45.6
11.3
2.10.13.4
2.25.7
15.9
3.70.24.1
2001 2002* 2003*
Sumber : IMF, World Economic Outlook, September 2002* Angka prakiraan
(Persen)
222
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
dalam kisaran yang rendah.
Prospek Harga Komoditas Pasar Internasional
Secara umum, perkembangan harga komoditas
di pasar internasional diprakirakan sedikit meningkat
yang didorong oleh meningkatnya harga-harga
komoditas nonmigas. Sementara itu, harga komoditas
minyak diprakirakan kembali turun dibandingkan
dengan harga pada akhir 2002. Meningkatnya
produksi minyak mentah yang disertai dengan
peningkatan persediaan minyak negara maju
diprakirakan menjadi faktor koreksi terhadap
perkembangan harga minyak yang cukup tinggi
menyusul terjadinya ketegangan politik di Timur
Tengah serta memburuknya situasi di Venezuela.
Kecenderungan meningkatnya harga komoditi
nonmigas pada 2002 diprakirakan masih berlanjut
pada 2003, seiring dengan membaiknya
perkembangan ekonomi dunia. Meningkatnya harga
komoditi nonmigas di pasar dunia terutama
bersumber dari komoditas pertanian dan bahan baku
industri. Beberapa komoditas pertanian dan bahan
baku industri yang diprakirakan mencatat kenaikan
cukup tinggi tersebut adalah komoditas minyak kelapa
minyak sawit, coklat, dan kayu gergajian. Sementara
itu, harga komoditas kopi dan gula diprakirakan
cenderung masih rendah, sedangkan perkembangan
harga komoditas mineral dan logam diprakirakan
cenderung stabil mengingat persediaan dunia yang
relatif masih cukup serta peningkatan produksi
Tabel 11.3Proyeksi Produksi Permintaan Minyak Dunia
Tabel PermintaanOECD
Amerika SerikatLainnya
Non OECD
Total ProduksiOECDNon OECD
OPECLainnya
Perubahan Stock
IV
79,149,820,829,012,1
78,724,254,529,125,4
-0,4
Aktiva Produktif
Sumber : Energy Information Agency, Short Term Energy Outlook, November 2002
IIIIIIIVIIIIII20032002
77,348,420,527,912,2
78,223,954,329,125,2
0,9
76,146,820,126,712,1
77,423,653,829,124,7
1,3
78,249,120,328,811,8
77,624,053,629,224,4
-0,6
77,548,820,028,811,9
77,924,053,929,324,6
0,4
76,247,819,927,912,0
75,623,152,528,224,3
-0,6
74,846,219,626,612,0
75,023,651,427,424,0
0,2
76,647,919,428,511,7
75,323,651,727,923,8
-1,3
(Juta Barrel Per Hari)
Grafik 11.1Perkembangan Harga Komoditas Pertanian
223
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
yang relatif lemah.
Sementara itu, perkembangan harga minyak
yang cenderung meningkat tajam sejak paro kedua
2002 diprakirakan kembali turun ke rentang harga
yang telah ditetapkan OPEC ($22 – $28 per barel) di
2003. Beberapa faktor yang mendorong penurunan
harga minyak tersebut antara lain adalah berkurangnya
sentimen negatif pasar terhadap rencana serangan
AS terhadap Irak, relatif stabilnya persediaan minyak
dunia serta rencana penambahan kuota produksi
minyak negara OPEC (Tabel 11.3).
PROSPEK EKONOMI INDONESIA
Secara keseluruhan ekonomi Indonesia di 2003
akan tumbuh pada kisaran 3,5% - 4,0% atau sedikit
membaik dibandingkan 2002. Prakiraan pertumbuhan
ekonomi ini lebih rendah dibandingkan dengan
prakiraan semula (sebelum terjadinya tragedi Bali).
Dari sisi permintaan, sumber pertumbuhan utama
masih berasal dari konsumsi. Meskipun masih
terbatas, peran ekspor barang dan jasa terhadap
pertumbuhan ekonomi akan kembali meningkat
seiring dengan kemungkinan membaiknya kondisi
ekonomi internasional. Sementara dari sisi
penawaran, seluruh sektor perekonomian akan
tumbuh positif dengan sumbangan terbesar masih
berasal dari sektor industri pengolahan. Prakiraan
pertumbuhan yang moderat ini sejalan dengan
kecenderungan pergerakan Leading Indikator Ekonomi
(LIE)2 yang relatif flat (Grafik 11.2).
Sementara itu, consensus forecast dari lembaga-
lembaga ekonomi dan keuangan (Desember 2002)
menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2002 berada
dalam kisaran 2,9% s.d. 4,2% dengan rata-rata 3,6%.
Dampak tragedi Bali menyebabkan beberapa institusi
ekonomi merevisi ke bawah prakiraan pertumbuhan
ekonominya sebesar 0,7%-1,0% dari prakiraan semula
sehubungan dengan meningkatnya risk premium dan
turunnya investor-confidence dan consumer confidence.Prospek Permintaan
Dari sisi permintaan, komponen utama
penggerak pertumbuhan ekonomi masih akan berasal
dari konsumsi swasta. Pertumbuhan konsumsi yang
positif tersebut sejalan dengan kebijakan pemerintah
untuk meningkatkan gaji dan UMP serta
2 Indeks merupakan komposit dari beberapa indikator ekonomi sepertiIHK, M2 Rill, Volume Kliring, IHSG, dan SKDU.
Grafik 11.2Leading Indikator Ekonomi
Tabel 11.4Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sisi Pengeluaran
Konsumsi SwastaKonsumsi PemerintahTotal KonsumsiTotal investasiEkspor Barang dan JasaImpor Barang dan JasaProduk Domestik Bruto
Komponen Pengeluaran
4,3 - 4,812,8 - 13,35,2 - 5,70,8 - 1,31,0 - 1,51,7 - 2,23,5 - 4,0
4,712,85,5
-0,2-1,2-8,33,7
2002* 2003**
* Angka Prakiraan Bank Indonesia** Angka Proyeksi Bank Indonesia
(Persen)
224
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
perkembangan harga yang akan relatif stabil.
Sementara itu, kegiatan ekspor dan investasi masih
akan tumbuh positif meskipun kontribusinya terhadap
pertumbuhan relatif terbatas. Rendahnya
pertumbuhan ekspor dan investasi disamping akibat
problem struktural yang dihadapi juga terkait dengan
rendahnya kepercayaan masyarakat internasional
terhadap perekonomian Indonesia.
Pada 2003, konsumsi swasta tumbuh pada
kisaran 4,3% - 4,8%. Meskipun masih mampu tumbuh
dalam kisaran yang cukup tinggi, laju pertumbuhan
konsumsi swasta tersebut lebih lambat dibandingkan
dengan 2002 (Grafik 11.3). Perlambatan tersebut
ditengarai seiring dengan menurunnya daya beli
masyarakat yang disebabkan oleh tingginya angka
pengangguran, menurunnya transfer pendapatan TKI
serta berkurangnya subsidi pemerintah kepada
masyarakat.
Perlambatan pertumbuhan konsumsi swasta juga
diindikasikan dari sisi pembiayaan. Kecenderungan
perlambatan kredit konsumsi dan pembiayaan
konsumen selama 2002 diprakirakan masih akan
terjadi di 2003. Disamping itu, perkembangan alat
pembayaran berbasis kartu juga mengindikasikan
melambatnya kegiatan konsumsi sebagaimana
tercermin dari nilai transaksi per individu pemegang
kartu yang menurun.
Indikasi melemahnya kegiatan konsumsi juga
tercermin pada indeks ekspektasi konsumen yang
masih berada dalam level pesimis (Grafik 11.4).
Pesimisme konsumen dalam 6 hingga 12 bulan yang
akan datang terutama didorong oleh prospek jumlah
pengangguran yang masih tinggi, sementara
ekspektasi terhadap prospek ekonomi mengalami
peningkatan meskipun masih pesimis pada Desember
Grafik 11.3Indeks Survei Konsumen
Grafik 11.4Komponen Indeks Ekspektasi Konsumen
Grafik 11.5Rencana Konsumsi dalam 6-12 Bulan yang Akan Datang
225
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
2002. Disamping itu, konsumen masih pesimis untuk
melakukan rencana pembelian barang-barang tahan
lama dalam 6-12 bulan. Optimisme rencana konsumsi
responden hanya terjadi pada kelompok sandang dan
rekreasi/tamasya(Grafik 11.5).
Konsumsi pemerintah akan tumbuh sebesar
12,8% – 13,3% atau meningkat dibandingkan dengan
tahun lalu karena meningkatnya pengeluaran rutin
pemerintah, khususnya dalam bentuk belanja
pegawai, belanja barang, dan meningkatnya anggaran
belanja daerah dalam bentuk dana perimbangan.
Meningkatnya anggaran belanja daerah diharapkan
dapat lebih meningkatkan konsumsi di daerah
sehingga fungsi pemerataan pendapatan dapat lebih
ditingkatkan.
Sementara itu, pengeluaran investasi akan
tumbuh pada kisaran 0,8% – 1,3% di 2003. Meskipun
mampu tumbuh positif, pertumbuhan investasi di
tahun mendatang secara umum masih belum
menggembirakan mengingat pertumbuhan positif
tersebut lebih banyak disumbang oleh berbagai proyek
pemerintah pusat maupun proyek-proyek yang
dilakukan oleh BUMN. Sementara itu, kegiatan
investasi yang dilakukan oleh swasta murni
diprakirakan masih akan terbatas.
Berbagai proyek pemerintah yang memberikan
sumbangan terhadap pengeluaran investasi sebagian
besar merupakan proyek-proyek yang tertunda
pelaksanaannya pada periode sebelumnya antara lain
proyek jalan tol, kelistrikan, telekomunikasi dan
petrokimia. Dari sisi pembiayaan, disamping dibiayai
melalui penarikan utang luar negeri, pertumbuhan
investasi pemerintah juga didukung dana yang
dihimpun melalui penerbitan obligasi oleh berbagai
badan usaha pemerintah.
Pertumbuhan investasi swasta masih akan
cenderung pesimis. Dari sisi pembiayaan, berbagai
kemajuan dalam melakukan restrukturisasi utang
telah dicapai oleh beberapa kelompok perusahaan
besar serta membaiknya kondisi perbankan dalam
negeri merupakan faktor positif yang dapat menjadi
pendongkrak investasi. Namun demikian, upaya untuk
kembali menggiatkan kegiatan investasi diprakirakan
masih menghadapi kendala yang tidak ringan karena
upaya untuk memobilisasi dana yang lebih besar relatif
sulit. Beberapa investor swasta yang merencanakan
untuk melakukan kegiatan investasi yang cukup besar
sebagian merupakan perusahaan yang sudah cukup
lama berkecimpung di Indonesia.
Perkembangan persepsi investor internasional
terhadap iklim investasi Indonesia perlu terus
dicermati mengingat sebagian lembaga rating maupun
investasi masih menilai bahwa iklim investasi di dalam
negeri masih berisiko tinggi. Selain disebabkan oleh
perkembangan berbagai faktor domestik, berbagai
faktor eksternal seperti risiko keamanan global dan
rendahnya pertumbuhan ekonomi negara maju telah
memicu terjadinya pesimisme investor secara global
sehingga mendorong para investor untuk cenderung
menghindari investasi pada aset yang berisiko tinggi.
Hal ini antara lain tercermin dari turunnya pangsa
investasi AS dan Eropa di kawasan Asia kendati
pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan Asia
relatif tinggi. Terkait dengan hal itu, kecenderungan
turunnya Foreign Direct Investment dunia ( sebesar
27% di 2002) diprakirakan masih akan berlangsung
di tahun mendatang.
Memperhatikan kecenderungan tersebut upaya
226
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
mobilisasi pembiayaan investasi nampaknya harus
disertai pula dengan penajaman strategi kebijakan
serta penyusunan skala prioritas yang tepat guna
pengembangan industri dalam negeri. Dalam skenario
yang lebih buruk, banyaknya relokasi usaha ke luar
negeri dapat kembali terjadi mengingat keterkaitan
bisnis yang relatif kecil, khususnya terhadap PMA yang
berorientasi pasar ekspor namun tidak banyak
tergantung pada pasokan bahan baku domestik.
Sementara itu, pertumbuhan ekspor akan
meningkat sebesar 1,0% – 1,5% seiring dengan
membaiknya prospek pertumbuhan berbagai negara
mitra dagang Indonesia. Berbagai kebijakan
pemerintah untuk mencari terobosan pasar baru
seperti pasar Timur Tengah dan Amerika Latin,
penerapan skema imbal beli serta upaya pemulihan
kepercayaan internasional melalui road show dan
eksebisi dagang diprakirakan juga akan berdampak
positif terhadap perkembangan ekspor di tahun
mendatang.
Permintaan beberapa komoditas ekspor utama
yang diprakirakan membaik antara lain komoditas
tembaga, aluminium, dan nikel (Grafik 11.6).
Prakiraan ini sejalan dengan berbagai hasil riset
lembaga independen yang menengarai adanya
peningkatan permintaan bahan tambang terkait
dengan ekspektasi meningkatnya pertumbuhan
ekonomi dunia. Indikasi menguatnya permintaan juga
nampak dari hasil Pameran Produk Ekspor di akhir
2002 yang mencatat nilai transaksi lebih tinggi
dibandingkan pameran pada periode sebelumnya.
Peluang peningkatan ekspor juga didukung oleh
perkembangan harga beberapa perkebunan seperti
minyak sawit, coklat, karet dan produk agribisnis
lainnya yang diprakirakan cenderung meningkat.
Perkembangan harga yang membaik tersebut
diharapkan dapat lebih mendorong produsen untuk
lebih meningkatkan produksinya sekaligus membantu
penciptaan lapangan kerja.
Di sisi lain, berbagai permasalahan yang
berpotensi untuk menahan perkembangan positif
ekspor tersebut masih perlu dicermati. Semakin
tingginya biaya produksi, masalah keamanan, serta
masih maraknya aksi demonstrasi buruh ditengarai
telah menyebabkan beberapa mitra luar negeri
mengalihkan pesanannya ke negara lain yang lebih
kompetitif dan lebih dapat menjamin kelangsungan
pasokan barangnya.
Sementara itu, impor di 2003 akan tumbuh pada
kisaran 1,9% – 2,2%, sedikit meningkat dibandingkan
pertumbuhan tahun sebelumnya seiring dengan
membaiknya kegiatan ekspor, konsumsi maupun
investasi. Selain itu, diberlakukannya AFTA pada awal
2003 diprakirakan mendorong penurunan tarif impor
beberapa barang, seperti plastik dan bahan kimia, yang
pada akhirnya mendorong kegiatan impor. Namun
Grafik 11.6Perkembangan Harga Komoditas Mineral
227
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
demikian, perlu pula dicermati dampak berbagai
kebijakan pembatasan impor yang bertujuan untuk
melindungi industri dalam negeri seperti tekstil
(dibatasi hanya dapat dilakukan oleh produsen dan
digunakan sebagai bahan baku), gula, dan produk baja
gulungan canai panas dan dingin (hot dan cold rolled
steel).
Prospek Penawaran
Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi terjadi
di semua sektor ekonomi. Pertumbunan yang cukup
tinggi diprakirakan terjadi pada sektor listrik, gas,
dan air bersih, sektor angkutan dan telekomunikasi,
dan sektor bangunan. Sementara itu, sektor industri
pengolahan yang merupakan pangsa terbesar dalam
pembentukan PDB juga akan meningkat
pertumbuhannya dibanding tahun sebelumnya.
Prospek ekonomi yang positif tersebut antara lain
didukung oleh adanya komitmen pemerintah untuk
mempercepat pemulihan ekonomi melalui penerusan
beberapa proyek infrastruktur. Pembangunan proyek-
proyek infrastruktur ini diprakirakan akan memiliki
dampak multiplier yang besar terhadap beberapa
sektor usaha lainnya, meningkatkan penyerapan
tenaga kerja, dan pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan.
Kinerja sektor pertanian, peternakan,
perkebunan, perikanan, dan kehutanan
diprakirakan tumbuh positif meskipun lebih rendah
dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya
(Tabel 11.5). Pertumbuhan yang melambat ini terjadi
karena adanya keterlambatan khususnya untuk
subsektor pertanian yang terkait dengan panjangnya
musim kemarau pada akhir tahun 2002. Kondisi ini
diperparah oleh banjir yang melanda beberapa sentra
produksi seiring dengan masuknya musim hujan.
Meski demikian, subsektor ini tetap dapat
mempertahankan pertumbuhan yang positif melalui
upaya-upaya antara lain adanya program pemerintah
yang meliputi program intensifikasi, ekstensifikasi,
penetapan harga dasar gabah, peningkatan tarif impor
beras, dan pemberian subsidi pupuk. Sementara itu,
kinerja subsektor kehutanan masih belum dapat
memberikan sumbangan yang berarti mengingat belum
adanya upaya pemerintah yang serius untuk
menyelamatkan pelestarian dan pelindungan sumber
daya alam hutan.
Program intensifikasi tanaman pangan dilakukan
dengan mengoptimalisasi lahan kering dan lahan
pasang-surut, dan peningkatan kualitas irigasi
(terutama di luar pulau Jawa), peningkatan
produktivitas, pengamanan produksi, pengelolaan,
dan pemasaran hasil. Sementara program
ekstensifikasi meliputi perluasan areal tanam dan
konversi lahan (terutama dipulau Jawa). Berbagai
program tersebut dicanangkan dalam bentuk Program
Aksi Masyarakat Agribisnis Tanaman Pangan (Proksi
Mantap) yang dilakukan di 200 kabupaten/kota.
Tabel 11.5Prediksi Pertumbuhan PDB Sektoral Tahun 2002 – 2003
PertanianPertambanganIndustriListrkBangunanPerdaganganAngkutanKeuanganJasaTotal PDB
Sektor
1,1 - 1,62,3 - 2,84,4 - 4,97,0 - 7,55,4 - 5,93,0 - 3,57,8 - 8,35,8 - 6,30,9 - 1,43,5 - 4,0
1,72,34,06,24,13,67,85,62,03,6
2002 2003
(Persen)
228
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
Sementara itu, pemerintah memberikan subsidi pupuk
secara langsung sehingga harganya lebih terjangkau
oleh petani. Untuk menjaga ketersediaan pupuk,
pemerintah dan para distributor pupuk akan
melakukan monitoring distribusi pupuk. Insentif lain
yang diberikan pemerintah kepada petani adalah
menaikkan harga pembelian gabah dan menaikkan
bea masuk beras impor.
Namun demikian, patut diwaspadai adanya
penurunan debit air di sejumlah bendungan dan
daerah aliran sungai akibat musim kemarau pada
musim tanam periode Oktober-Desember 2002 yang
dapat berpotensi menurunkan hasil panen periode
Maret-Mei 2003. Persediaan benih padi, jagung dan
kedelai untuk musim tanam 2002-2003 ditengarai
mengalami krisis, dimana sampai dengan bulan
Oktober 2002 persediaan benih baru mencapai 15%
dari kebutuhan.
Sektor Pertambangan dan Penggalian
diprakirakan tumbuh lebih tinggi dari tahun
sebelumnya, namun masih relatif rendah jika
dibandingkan dengan pertumbuhan sebelum krisis.
Faktor keamanan dan kepastian hukum masih menjadi
problema yang melingkupi sektor ini. Selain itu,
kendala lain yang juga dihadapi adalah belum
jelasnya kontrak karya pertambangan, tumpang tindih
lahan, dan otonomi daerah, terutama masalah pajak,
retribusi, dan iuran daerah lainnya. Eksplorasi
tambang di daerah hutan lindung nampaknya akan
terhambat dengan adanya UU no. 41/1999 tentang
kehutanan yang melarang eksplorasi tambang di
kawasan hutan lindung.
Namun demikian, investasi di bidang
pertambangan masih tetap berlangsung, seperti
penambangan batubara di Parambahan, Sawahlunto/
Sumbar oleh Camco International dari Cina, dan
pengembangan kegiatan eksplorasi minyak oleh
Pertamina bekerja sama dengan Malaysia, Irak, dan
Vietnam. Selain itu, terdapat rencana pelaksanaan
22 proyek pertambangan di Kawasan Timur Indone-
sia (KTI) dan adanya beberapa penemuan tambang
minyak dan gas baru, seperti sumur minyak di Cepu,
di laut dalam Makasar, dan di sejumlah wilayah In-
donesia yang belum dieksplorasi. Seperti halnya
penjualan LNG dari Tangguh ke Fujian tahun 2002,
mulai 2003 Pertamina akan memasok LNG sebanyak
2,6 juta ton per tahun ke provinsi Jiangshu, Cina,
dari kilang Badak Bontang dengan kontrak selama
20 tahun. Sementara itu, produksi batu bara
diproyeksikan naik tipis dari sekitar 9,6 juta ton
di 2002 menjadi 9,8 juta ton di 2003.
Sektor industri pengolahan masih menjadi
motor penggerak perekonomian. Sektor ini
diprakirakan mengalami pertumbuhan yang lebih
tinggi dibandingkan pertumbuhan 2002, terutama
untuk memenuhi permintaan domestik yang
didukung dengan berbagai paket kebijakan dalam
menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif. Untuk
mempercepat pembangunan bidang industri dan
perdagangan, mulai 2003 pemerintah akan
merevitalisasi industri untuk mengembalikan
utilitas industri seperti sebelum krisis. Program
revitalisasi industri ini akan meliputi empat cabang
industri, yakni tekstil dan produk tekstil (TPT),
elektronika, alas kaki, dan pengolahan kayu dan
bubur kertas (pulp).
Kinerja industri konstruksi baja meningkat
seiring dengan maraknya pembangunan gedung, tol,
229
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
dan sarana infrastruktur lainnya, serta adanya
kebijakan pemerintah menaikkan bea masuk pipa
baja jenis hot rolled coil (HRC) dan cold rolled coil
(CRC) sebesar 20,0% dan 25,0% dari tarif bea masuk
sebelumnya 5,0%-15,0%. Begitu pula halnya dengan
industri semen yang mengalami peningkatan sejalan
dengan konsumsi domestik yang tumbuh 8,0%-10,0%.
Untuk mengantisipasi kenaikan permintaan, beberapa
produsen semen akan melakukan ekspansi
pembangunan pabrik, terutama di luar pulau Jawa.
Beberapa industri lainnya diprakirakan
mengalami peningkatan kapasitas sehubungan dengan
telah dihidupkannya kembali beberapa mega proyek.
Peningkatan kapasitas produksi juga akan terjadi pada
industri petrokimia dengan rencana peremajaan (re-
vamping) unit-unit pabrik amoniaknya. Industri di
bidang makanan dan minuman diprakirakan masih
tumbuh mengingat masih relatif tingginya permintaan
dalam negeri. Konsumsi air minum dalam kemasan
di dalam negeri diproyeksikan tumbuh 20,0% per tahun
hingga 2005. Industri otomotif juga diprakirakan
meningkat sejalan dengan permintaan mobil yang naik
sekitar 10,0%-12,0% dibanding 2002 dan penjualan
sepeda motor diprakirakan meningkat sebesar 15,0%.
Sejalan dengan hal tersebut, produksi ban sepeda mo-
tor naik sebesar 10,0%-25,0%. Sementara itu, sentra
industri di KTI akan dibangun dimana salah satunya
adalah sentra industri kelapa yang akan memproduksi
oleum chemical dan coco butter.
Kinerja industri elektonika dan industri sepatu
diprakirakan akan menurun menyusul adanya rencana
penutupan pabrik dan relokasi pabrik ke luar negeri.
Penutupan pabrik-pabrik tersebut di atas disebabkan
oleh berkurangnya order, meningkatnya biaya
operasional, adanya persoalan ketenagakerjaan dan
keamanan sehingga menyebabkan margin keuntungan
yang menurun. Sementara itu, industri TPT
diprakirakan masih menghadapi masalah daya saing
mengingat mesin-mesin yang digunakan sudah
berumur tua dan adanya produk-produk impor yang
harganya lebih murah.
Sektor listrik, gas, dan air bersih diprakirakan
tumbuh relatif tinggi sejalan dengan kebutuhan akan
listrik yang selalu meningkat dengan rata-rata 9,0%
per tahun. Peningkatan permintaan ini akan direspon
dengan mengoptimalkan pembangkit yang sudah ada
dan membangun pembangkit baru melalui kerja sama
dengan pemasok listrik swasta (Independent Power
Producers/IPP). Beberapa proyek yang akan
menambah pasokan listrik di 2003 antara lain adalah
:
a. Tanjung Jati B di Jepara: PLTP Dieng (Unit 4)
b. Paiton: PLTP Cibuni
c. Tanjung Jati A: PLTP Sarulla
d. PLTU Serang: PLTGU Palembang Timur
e. PLTP Bedugul (Unit 1,2,3,4): Transmisi tegangan
tinggi di Klaten.
f. PLTP Patuha (Unit 1,2,3,4): Transmisi tegangan
tinggi di Sulawesi Utara.
g. PLTP Kamojang: Transmisi tegangan tinggi di
Sulawesi Selatan.
h. PLTP Sibayak : PLTD (Diesel) di NTB.
Sektor bangunan diprakirakan tumbuh lebih
tinggi dibanding 2002. Pertumbuhan tersebut antara
lain didukung oleh pembangunan jalan tol yang diyakini
akan berdampak besar terhadap dunia usaha,
penyerapan tenaga kerja, masuknya investor asing,
dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dalam
230
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
tahun 2003, akan dilaksanakan pembangunan
infrastruktur antara lain pembangunan beberapa luas
jalan tol. Selain itu, beberapa pemda berencana
membangun sejumlah infrastruktur, seperti jalan raya,
terminal bis, dan jembatan. Pembangunan infrastruktur
juga meliputi pembangunan rel kereta api jalur ganda
di beberapa lokasi di pulau Jawa.
Sementara itu, pembangunan perumahan tipe RS/
RSS oleh pemerintah diprakirakan meningkat menjadi
180 ribu unit di 2003 dan pembangunan irigasi akan
naik 10,0%. Pembangunan perumahan real estate oleh
pihak swasta dan pusat perbelanjaan diprakirakan
mengalami kenaikan masing-masing 10,0%.
Sektor perdagangan, hotel, dan restoran
diprakirakan tumbuh lebih rendah dibandingkan
dengan 2002. Subsektor Perdagangan (retail) naik
tetapi dengan pertumbuhan melambat (yaitu sekitar
3%,0) karena konsumsi melambat. Masih tumbuhnya
subsektor ini diindikasikan oleh pembangunan
beberapa gerai di berbagai kota. Khusus di Bali,
perdagangan retail terutama untuk barang-barang
kerajinan dan souvenir diprakirakan menurun sebagai
dampak dari menurunnya jumlah kunjungan wisman.
Subsektor hotel akan mengalami penurunan
mengingat wisman diprakirakan turun sekitar 1 juta
orang (25,0%) akibat masih belum pulihnya dampak
tragedi Bali. Untuk memulihkan citra pariwisata
terutama di Bali, pemerintah bersama-sama pihak
swasta sedang membuat program pemulihan dengan
4 tahap, yaitu tahap rescue, tahap rehabilitasi, tahap
normalisasi, dan tahap ekspansi. Sementara itu,
subsektor restoran akan mengalami peningkatan
seiring dengan rencana pembukaan beberapa inter-
national chained restaurant.
Sektor angkutan dan telekomunikasi
diprakirakan tumbuh relatif tinggi di 2003 dibandingkan
dengan 2002. Dampak tragedi Bali terhadap kinerja
subsektor pengangkutan terutama angkutan udara
diprakirakan tidak akan berlangsung lama. Sementara
itu, angkutan kereta api diprakirakan meningkat sejalan
dengan rencana pemerintah untuk membeli rangkaian
KRL dari Jerman dan rencana pembangunan rel ganda
di pulau Jawa.
Sementara itu, subsektor telekomunikasi
tumbuh tinggi. Hal ini sejalan dengan rencana
pembangunan Telkom merencanakan akan
membangun jaringan telepon baru yang dibagi
menjadi enam paket, yaitu dua paket jaringan
Code Division Multy Access (CDMA), dua paket
penunjang, serta dua paket Public Switched
Telephon Network (PSTN). Sebagai upaya untuk
mendukung pesatnya kenaikan permintaan
bandwith saat ini, di 2003 PT Telkom akan bekerja
sama dengan dua perusahaan as ing akan
membangun jaringan kabel bawah laut. Sementara
itu, selain telepon tetap, pengembangan juga
akan dilakukan untuk telepon seluler di kedua
perusahaan tersebut melalu i anak
perusahaannya.
Kinerja Sektor Bank dan Lembaga Keuangan
Lainnya di 2003 akan lebih baik dibandingkan 2002.
Kecenderungan perbaikan kondisi perbankan
diprakirakan akan terus berlanjut seiring dengan
membaiknya kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan nasional. Beberapa indikator perbankan
diprakirakan akan meningkat, seperti pendanaan,
kredit, permodalan, dan profitabilitas. Perbaikan
kondisi perbankan ini sejalan dengan prakiraan
231
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) yang
tercermin dari direvisinya prospek (outlook)
peringkat perbankan dari sebelumnya “negatif”,
menjadi “stabil”. Perbaikan prospek ini
mengindikasikan membaiknya stabilitas perbankan,
meskipun masih jauh dari posisi ‘aman’ dan masih
dihadapkan pada risiko ekonomi dan risiko industri
yang tinggi.
Sejalan dengan masih tumbuhnya konsumsi,
pembiayaan konsumsi oleh perbankan (consumer
banking) diprakirakan masih meningkat. Trend
peningkatan kredit pada segmen retail, seperti
pembiayaan rumah dan kendaraan bermotor
diprakirakan terus berlangsung di 2003. Peningkatan
penyaluran pinjaman kepada masyarakat juga
terjadi pada Perum Pegadaian yang dananya berasal
dari penerbitan obligasi.
Sektor jasa-jasa diprakirakan tumbuh relatif
rendah. Dampak tragedi Bali diprakirakan masih
terasa disepanjang 2003 terutama pada subsektor
jasa swasta. Di beberapa lokasi pariwisata, terutama
di Bali, jasa hiburan dan rekreasi serta jasa
perorangan dan rumah tangga, misalnya jasa
pemandu wisata, diprakirakan mengalami
penurunan.Prospek Neraca Pembayaran Tahun 2003
Dalam tahun 2003, secara keseluruhan kinerja
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) diprakirakan
belum sebaik kinerja dalam tahun sebelumnya. Hal
tersebut tercermin pada menurunnya surplus NPI dari
$3,6 miliar menjadi $1,0 miliar (Tabel 11.6).
Transaksi berjalan diprakirakan mengalami
surplus sebesar $4,7 miliar, menurun dari surplus
tahun sebelumnya sebesar $7,3 miliar. Penurunan
surplus tersebut bersumber dari peningkatan defisit
transaksi jasa, sementara transaksi barang justru
diprakirakan mengalami penurunan surplus dibanding
tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekspor dan impor
pada 2003 diprakirakan mencapai masing-masing
Tabel 11.7Proyeksi Neraca
Tabel 11.6Proyeksi Neraca Pembayaran Indonesia
2003*2002*
(Miliar $)
Rincian
A. Transaksi Berjalan1. Neraca Barang
a. Ekspor (fob)NonmigasMigas
MinyakLNGLPG
b. Impor (fob)NonmigasMigas
MinyakGas
2. Jasaa. Nonmigasb. Migas
MinyakGas
B. Lalu Lintas Modal1. Lalu Lintas Modal Pemerintah (Bersih)
a. Penerimaan pinjaman dan bantuan- Bantuan program- Bantuan pangan- IGGI/CGI- Di luar IGGI/CGI
b. Pelunasan pinjaman1)
2. Lalu Lintas Modal Swasta (Bersih)a. Penanaman modal langsung (bersih)b. Lainnya (bersih)
C. Jumlah (A+B)
D. Selisih Perhitungan antara C dan E
E. Lalu lintas Moneter2)
Catatan :1. Aktiva Luar Negeri (GFA)3)
Setara Impor Nonmigas dan pembayaranutang luar negeri pemerintah (bulan)
2. Transaksi Berjalan/PDB (%)
4,722,958,746,612,16,15,60,3
-35,8-29,7-6,1-5,8-0,3
-18,2-13,8-4,4-2,2-2,2
-3,71,83,81,20,02,10,5
-1,9-5,6-1,3-4,2
1,0
0,0
-1,0
32,6
6,72,2
7,323,158,045,312,76,75,70,3
-34,8-28,3-6,6-6,3-0,3
-15,9-11,6-4,2-2,1-2,1
-3,6-0,61,30,80,01,4
-0,9-1,8-3,0-6,93,9
3,7
-0,1
-3,6
31,6
6,63,9
1) Setelah diperhitungkan rescheduling2) Minus (-) : Suplus, dan sebaliknya3) Sejak 2000 menggunakan konsep IRFCl menggantikan konsep cadangan
devisa bruto (GFA)
232
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
3 Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada Desember2002, sebagian besar responden memprakirakan nilai tukar rupiah rata-rata di 2003 akan menguat dibandingkan rata-rata nilai tukar 2002,meskipun dengan pergerakan yang cenderung melemah menjelang akhirsemester I-2003 mendekati sidang tahunan MPR 2003. Membaiknyapersepsi responden terhadap nilai tukar 2003 juga tercermin pada pathprakiraan nilai tukar dengan level rata-rata yang lebih rendah menuruthasil survei Desember 2002 ke rata-rata Rp9.000 per dolar dibandingkanrata-rata nilai tukar Rp9.052 per dolar menurut hasil survei November2002.
sebesar 1,3% dan 2,8%. Prakiraan pertumbuhan
ekspor tersebut lebih baik dibandingkan dengan
pertumbuhan ekspor 2002 yang mencatat pertumbuhan
sebesar 1,1%.
Pertumbuhan ekspor terutama didukung oleh ekspor
nonmigas yang diprakirakan tumbuh sebesar 3,0%, sejalan
dengan perkembangan ekonomi dunia pada 2003 yang
diprediksikan lebih baik daripada tahun sebelumnya.
Pertumbuhan ekspor nonmigas tersebut terjadi pada
semua sektor, baik pada Sektor Pertanian, Pertambangan
maupun Industri. Pertumbuhan tertinggi diprakirakan
terjadi pada Sektor Pertanian dan Pertambangan dengan
tingkat pertumbuhan yang sama yaitu sebesar 3,4%,
diikuti oleh Sektor Industri sebesar 2,9%.
Sementara itu, nilai ekspor migas diprakirakan
mengalami penurunan dibandingkan tahun
sebelumnya. Kenaikan harga minyak yang terus
berlangsung sampai dengan akhir 2002 diprakirakan
tidak berlanjut selama 2003, sehingga penerimaan
ekspor minyak menjadi lebih kecil dibandingkan
dengan penerimaan tahun sebelumnya.
Impor pada 2003 diprakirakan tumbuh 2,8%,
membaik dibandingkan dengan pertumbuhan impor
di 2002 yang mengalami penurunan sebesar 0,5%.
Prakiraan pertumbuhan impor tersebut seiring
dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang
diproyeksikan lebih baik pada 2003. Dil ihat
berdasarkan kelompok barang, diprakirakan
pertumbuhan impor barang-barang konsumsi masih
yang terbesar, diikuti dengan pertumbuhan impor
bahan baku dan barang modal.
Perkembangan yang kurang menggembirakan
akan terjadi pada transaksi jasa yang diprakirakan
mengalami defisit $18,2 miliar atau meningkat 14,5%
dibandingkan dengan defisit pada sebelumnya.
Peningkatan defisit tersebut antara lain berasal dari
menurunnya penerimaan dari Sektor Pariwisata
berkaitan dengan turunnya jumlah kunjungan turis
mancanegara yang masuk sebagai dampak tragedi Bali.
Jumlah kunjungan turis asing pada 2003 diprakirakan
turun menjadi 4,1 juta orang, menurun dibandingkan
tahun lalu yang mencapai 4,7 juta orang. Penurunan
jumlah turis asing tersebut menyebabkan perolehan
devisa turun sekitar $0,6 miliar.
Di sisi lalu lintas modal (LLM), kinerja LLM
diprakirakan akan sedikit menurun dibandingkan
tahun sebelumnya yang terlihat dari meningkatnya
defisit LLM dari $3,6 miliar menjadi $3,7 miliar.
Menurunnya kinerja LLM tersebut terutama
disebabkan oleh peningkatan defisit LLM swasta,
sedangkan LLM pemerintah mengalami peningkatan
surplus setelah mengalami defisit pada tahun
sebelumnya. LLM swasta dalam tahun 2003
diprakirakan masih mencatat defisit sebesar $5,6
miliar, lebih tinggi dari defisit dalam tahun sebelumnya
sebesar $3,0 miliar. Dalam tahun 2003, surplus LLM
pemerintah diprakirakan mencapai $1,8 miliar,
membaik dibandingkan tahun sebelumnya yang
mencatat defisit $0,6 miliar. Surplus LLM pemerintah
tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya
kewajiban pembayaran pinjaman kepada IMF (IMF
repurchases) dan meningkatnya penarikan pinjaman
233
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
luar negeri pemerintah, baik dalam bentuk pinjaman
program dan pinjaman proyek.
Dengan perkembangan tersebut di atas, posisi
cadangan devisa pada akhir 2003 diprakirakan
mencapai sebesar $32,6 miliar. Jumlah tersebut setara
dengan 6,7 bulan impor dan pembayaran utang luar
negeri pemerintah.
Prospek Nilai Tukar
Pada 2003 rata-rata nilai tukar rupiah
diprakirakan membaik dibandingkan 2002. Dengan
menggunakan pendekatan model “Behavioral Equilib-
rium Exchange Rate (BEER)” nilai tukar rupiah
diprakirakan akan bergerak dalam kisaran Rp8.800
– Rp9.200 per dolar. Prakiraan tersebut juga telah
mempertimbangkan dampak tragedi Bali, sentimen/
isu yang berkembang di dalam maupun luar negeri,
pasokan/permintaan valas di pasar domestik, hasil
survei3 , dan komitmen Bank Indonesia untuk menjaga
kestabilan nilai tukar rupiah melalui kebijakan
sterilisasi valas. Dengan menggunakan formula Bi-
lateral Real Effective Exchange Rate (BRER), nilai
tukar ini diprakirakan masih cukup kompetitif untuk
mendorong kegiatan ekspor Indonesia.
Ditinjau dari berbagai faktor yang
mempengaruhinya, perkembangan nilai tukar yang
membaik tersebut antara lain didukung oleh faktor
fundamental yang cukup kondusif serta beberapa
sentimen positif pasar. Sementara itu, beberapa faktor
yang dapat memicu terjadinya sentimen negatif
diprakirakan dapat diredam dengan berbagai
kebijakan baik oleh Bank Indonesia maupun
pemerintah.
Di sisi fundamental, perbaikan nilai tukar ru-
piah akan didukung oleh relatif seimbangnya pasar
valas di dalam negeri. Potensi pasokan valuta asing
murni (genuine supply) di Indonesia akan bersumber
dari perolehan devisa hasil ekspor, aliran masuk
modal asing baik dalam bentuk utang luar negeri dan
investasi, serta pembelian aset atau surat berharga
perusahaan domestik oleh investor asing yang di
antaranya akan bersumber dari kelanjutan program
privatisasi BUMN, divestasi bank rekap, penjualan
aset BPPN, dan penjualan obligasi valas perusahaan
di Indonesia. Sementara itu, potensi permintaan
murni valuta asing (genuine demand) dari sektor
swasta dan berbagai institusi pemerintah termasuk
BUMN terutama untuk keperluan pembayaran utang
luar negeri dan pembiayaan impor. Namun dengan
disetujuinya restrukturisasi utang luar negeri baik
pemerintah maupun swasta melalui forum Paris Club,
London Club, dan Jakarta Initiative Task Force
(JITF), maka tekanan permintaan valas akan
berkurang di 2003.
Dari sisi sentimen, berbagai faktor positif dan
negatif diprakirakan mewarnai pasar. Sentimen
positif pasar diharapkan berlanjut menyusul
keberhasilan pemerintah dalam menangani dampak
tragedi Bali. Hal ini diharapkan membantu
memulihkan kepercayaan internasional terhadap In-
donesia dan selanjutnya menambah penerimaan
valas dari pariwisata dan portfolio investment yang
sempat merosot tidak lama setelah tragedi Bali
berlangsung. Sejumlah faktor positif lainnya juga
akan mewarnai perkembangan rupiah ke arah yang
lebih baik. Faktor tersebut di antaranya adalah
prakiraan penguatan nilai tukar regional terutama
berkaitan dengan besarnya defisit neraca
234
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
perdagangan AS, multiplier effect atas kelanjutan
pelaksanaan 14 mega proyek pemerintah dan
berlanjutnya program privatisasi/divestasi.
Beberapa sentimen negatif yang berpotensi
timbul di 2003 juga perlu terus diwaspadai
mengingat hal itu akan meningkatkan faktor risiko
maupun ketidakpastian, sehingga berpotensi
mendorong terjadinya peningkatan permintaan
valas untuk kegiatan spekulasi. Faktor-faktor
ketidakpastian tersebut antara lain ketidakpastian
hukum dan keamanan dalam negeri, biaya ekonomi
yang lebih t inggi sebagai dampak proses
pelaksanaan otonomi daerah, aturan perburuhan
baru yang kurang kondusif bagi investasi,
intermediasi perbankan yang belum sepenuhnya
pulih, serta besarnya beban keuangan negara. Di
s is i la in, peri laku pasar valas juga akan
dipengaruhi oleh eskalasi politik pada bulan Juli-
Agustus 2003 menjelang dan pada saat
berlangsungnya sidang tahunan MPR dan persiapan
pemilu 2004. Disamping itu, memanasnya suhu
polit ik global akibat isu terorisme dan
kemungkinan terjadinya perang di Timur Tengah.
Di sisi kebijakan, potensi fluktuasi nilai tukar yang
berlebihan diharapkan dapat diredam dengan berbagai
upaya untuk mengatasi permasalahan struktur mikro
pasar valuta asing di Indonesia dan mengoptimalkan
intermediasi sektor perbankan. Hal tersebut diharapkan
dapat mendorong bank-bank untuk mengurangi
penempatan dana valas ke luar negeri dan
meningkatkan minat eksportir untuk menempatkan
devisa hasil ekspor di dalam negeri.4 Sementara itu,
dalam rangka meminimalkan fluktuasi nilai tukar ru-
piah, Bank Indonesia tetap memegang komitmennya
untuk melakukan kebijakan sterilisasi di pasar valuta
asing. Langkah tersebut diharapkan mampu
memelihara stabilitas nilai tukar.
Prospek Inflasi
Perkembangan inflasi di Indonesia dipengaruhi
oleh faktor fundamental yang lebih terkait dengan
kondisi ekonomi makro dan faktor nonfundamental
yang berupa gangguan (shocks). Faktor fundamen-
tal dimaksud terutama adalah perkembangan
permintaan dan penawaran agregat, perkembangan
faktor eksternal yang memiliki pengaruh langsung
terhadap inflasi (pass through effect) dan
perkembangan inflasi yang diekspektasikan oleh
masyarakat. Sementara itu, faktor shock terutama
bersumber dari penerapan kebijakan pemerintah di
bidang harga dan pendapatan, faktor alam, serta
masalah yang terkait dengan distribusi (supply).
Dengan mempertim-bangkan prakiraan
perkembangan berbagai faktor tersebut,
perkembangan inflasi di 2003 maupun dalam jangka
menengah diprakirakan cenderung mengalami
penurunan.
Prospek Inflasi Tahun 2003
Berdasarkan faktor-faktor yang mempenga-
ruhinya, potensi tekanan inflasi pada 2003 diprakirakan
mengalami penurunan dibandingkan dangan tahun
4 Penempatan valuta asing di pasar uang valas (PUAB valas) dalam negeridipandang masih berisiko tinggi karena tingkat kesehatan sebagian besarbank nasional yang masih rentan (fragile) terhadap terjadinya risikosistemik, yang tercermin dari hilangnya “credit line” sebagian besarbank nasional untuk memperoleh akses ke pasar uang valas (PUAB valas).Apabila hal ini terus berlangsung maka dikhawatirkan akan semakinmemperdalam “segmentasi pasar” dan membuat pasar keuangandomestik menjadi semakin tidak efisien dan illiquid (market imper-fection). Sementara itu, penempatan valuta asing dalam bentukpenyaluran kredit —terutama kredit investasi— juga diprakirakan masihakan terbatas apabila bank-bank yang mengalami surplus likuiditas tetapmengalami kesulitan untuk mendapatkan sektor usaha yang berprospekcukup baik.
235
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
sebelumnya. Hal ini didasarkan pada perkembangan
faktor fundamental dan nonfundamental yang
mengalami penurunan dalam memberikan tekanan
terhadap perkembangan inflasi di 2003. Faktor funda-
mental yang diantaranya adalah kondisi permintaan
yang realtif belum terlalu kuat dalam memberikan
tekanan inflasi, ekspektasi masyarakat mengalami
sedikit penurunan, serta nilai tukar rupiah juga
diprakirakan sedikit mengalami penguatan. Sementara
dampak penerapan kebijakan pemerintah di bidang
harga dan pendapatan ternyata masih memberikan
sumbangan inflasi yang signifikan walaupun masih lebih
rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Interaksi perkembangan permintaan dan
penawaran pada 2003 diprakirakan tidak memberikan
tekanan yang berarti terhadap perkembangan inflasi.
Hal ini terutama didasarkan atas perkembangan
berbagai indikator sisi permintaan yang menunjukkan
pertumbuhan yang rendah.
Tekanan permintaan yang tidak terlalu kuat
terutama disebabkan oleh pertumbuhan konsumsi
rumah tangga yang diprakirakan melambat.
Sementara itu, peningkatan pertumbuhan konsumsi
pemerintah tidak berdampak signifikan dalam
menimbulkan tekanan permintaan karena porsinya
yang relatif kecil. Di sisi lain, permintaan luar negeri
diprakirakan relatif masih lemah sehingga belum
menimbulkan tekanan inflasi yang cukup berarti.
Dari sisi penawaran, rendahnya pertumbuhan
investasi dalam dua tahun terakhir, dikhawatirkan akan
sulit mengimbangi permintaan yang meningkat pada
periode mendatang sehingga tekanan inflasi dapat
timbul akibat keterbatasan penawaran. Secara
sektoral, potensi tekanan inflasi dapat muncul dari
melemahnya pertumbuhan di sektor pertanian yang
berpotensi mengurangi pasokan bahan makanan.
Sementara itu, prakiraan melemahnya pertumbuhan
di Sektor Perdagangan diprakirakan tidak akan
menimbulkan tekanan inflasi mengingat penurunan
pertumbuhan sektor ini justru bersumber dari
melambatnya permintaan terutama untuk subsektor
perdagangan, retail dan perhotelan.
Tekanan inflasi dari sisi eksternal pada 2003
diprakirakan tidak signifikan sejalan dengan
Grafik 11.7Perkembangan Komposit Inflasi Beberapa
Negara Mitra Dagang
Grafik 11.8Ekspektasi Inflasi Berdasarkan Consensus Forecast
236
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
prakiraan adanya penguatan nilai tukar rupiah dan
relatif lambannya peningkatan inflasi di negara
mitra dagang. Perkembangan nilai tukar rupiah di
2003 secara rata-rata diprakirakan mengalami
penguatan dibandingkan dengan 2002. Pada 2003
perkembangan nilai tukar rupiah diprakirakan
mencapai Rp9.000 per dolar dengan pergerakan yang
menunjukkan penguatan di awal tahun yang
kemudian melemah di akhir tahun. Sementara itu,
pertumbuhan ekonomi dunia diprakirakan hanya
sedikit mengalami percepatan di 2003 sehingga
tidak menimbulkan tekanan yang berarti terhadap
perkembangan inflasi dunia. Sejalan dengan itu,
tingkat inflasi di beberapa negara mitra dagang
utama Indonesia secara rata-rata diprakirakan
hanya meningkat dari 0,90% menjadi 0,96% (y-o-y).
Beberapa negara mitra dagang yang dimaksud adalah
negara yang merupakan kontributor sumber barang
impor terbesar bagi Indonesia yaitu Jepang, AS,
Korea, Singapura, Cina, Thailand, Kanada dan Ma-
laysia.
Ekspektasi masyarakat terhadap perkembangan
inflasi yang merupakan faktor dominan dalam
mempengaruhi perkembangan inflasi diprakirakan
menurun pada 2003. Faktor ekspektasi inflasi ini
dipengaruhi oleh perkembangan inflasi pada periode
lalu (adaptive expectation) dan perkembangan kondisi
perekonomian terutama variabel-variabel yang
memiliki hubungan erat dengan perkembangan
inflasi, yaitu perkembangan nilai tukar dan kebijakan
pemerintah dibidang harga dan pendapatan. Untuk
tahun 2003 inflasi yang diekspektasikan oleh
masyarakat terlihat sedikit menurun dibandingkan
dengan inflasi 2002. Hal ini tercermin pada angka
rata-rata consensus forecast dan survei ekspektasi
pedagang mengenai perkembangan harga ke depan
yang menunjukkan kecenderungan menurun. Angka
consensus forecast perkembangan inflasi Indonesia
Grafik 11.9Ekspektasi harga Penjual Eceran
TDLBBMCukai (HJE) RokokTarif TeleponUMR/UMPTarif Tol
KebijakanPemerintah
Setiap triwulanTrw I
Trw IVTrw ITrw ITrw I
242112157
50
KenaikanHarga/Tarif
PeriodePenerapan
Tabel 11.8Perbandingan Harga Jual BBM 2002dan Prakiraan Harga Jual BBM 2003
Premium
Solar
Minyak Tanah Industri
Minyak Diesel
Minyak Bakar
Jenis BBM
1.450
900
900
900
800
2002 2003Harga
TerendahHarga
TertinggiHarga
TertinggiHarga
Terendah
1.750
1.550
1.650
1.520
1.150
1.600
1.650
1.800
1.600
1.150
2.100
2.100
2.200
2.050
1.600
Tabel 11.7Rencana dan Prakiraan Penerapan Kebijakan
Pemerintahdi Bidang Harga dan Pendapatan Tahun 2003
(Persen)
(Rp/Liter)
237
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
di 2003 secara umum lebih rendah dibandingkan
dengan inflasi 2002 meskipun pada pertengahan tahun
memperlihatkan pergerakan yang meningkat (Grafik
11.8). Sementara itu, hasil Survei Pedagang Eceran
memperlihatkan bahwa responden yang menyatakan
terjadinya peningkatan harga pada periode enam
bulan ke depan semakin berkurang. Hal ini dapat
mengindikasikan ekspektasi penurunan inflasi pada
periode enam bulan mendatang (Grafik 11.9).
Dampak kebijakan pemerintah di bidang harga
dan pendapatan pada 2003 diprakirakan memberikan
sumbangan terhadap inflasi IHK yang cukup tinggi yaitu
sebesar 3,02%. Hal ini berkaitan dengan beberapa
rencana kenaikan tarif/harga administered prices dan
pendapatan seperti kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL),
potensi kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) rokok,
kenaikan harga BBM, kenaikan tarif telepon, dan
kenaikan Upah Minimum Regional (UMP) (Tabel 11.7
dan 11.8).
TDL direncanakan naik sebesar 6% setiap
triwulan mulai awal 2003 sehingga dalam satu
tahun akan mengalami kenaikan sekitar 24%.
Kenaikan TDL yang masih tetap berlanjut pada
tahun ini antara lain diperlukan untuk mengatasi
krisis keuangan yang dialami PLN.
Rencana pemerintah meningkatkan penerimaan
negara yang berasal dari cukai menjadi Rp 27,7
triliun dari Rp 22,5 triliun pada tahun
sebelumnya berpotensi menaikkan HJE rokok
sekitar 12,0%. Potensi tersebut bersumber dari
prakiraan lesunya pertumbuhan volume
penjualan rokok di 2003 sehingga target
penerimaan cukai tersebut tampaknya akan sulit
untuk dicapai dengan hanya mengandalkan vol-
ume penjualan rokok. Oleh karena itu, kenaikan
HJE dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
mengkompensasi volume penjualan rokok yang
tidak kondusif. Selain itu terdapat pula rencana
perubahan tarif cukai dari ad valorem menjadi
semi specific5 yang diprakirakan juga berpotensi
dalam mengakibatkan kenaikan harga rokok.
Hampir seluruh jenis BBM kecuali solar dan
minyak tanah telah disesuaikan menjadi 100,0%
harga pasar. Penyesuaian tersebut
mengakibatkan harga BBM untuk seluruh jenis
penggunaan akan mengalami kenaikan rata-
rata sebesar 21,0%. Presentase kenaikan harga
BBM tersebut didasarkan pada prakiraan rata-
rata harga BBM yang akan berada pada nilai
tengah dari kisaran batas bawah dan batas atas
harga BBM yang akan ditetapkan di 2003 yang
selanjutnya dibandingkan dengan harga BBM di
akhir 2002. Dampak inflasi dari kenaikan BBM
ini sangat besar karena akan berpengaruh
terhadap meningkatnya harga-harga barang
lainnya terutama di sektor angkutan.
Pemerintah berencana menaikkan tarif telepon
sekitar 15,0%. Kenaikan tersebut merupakan
bagian dari rencana yang telah disepakati antara
pemerintah dan DPR untuk menaikan tarif telepon
selama tiga tahun dari 2002 hingga 2004 sebesar
45,5% sehingga secara rata-rata akan ada
kenaikan tarif sekitar 15,0% per tahun. Namun
demikian berdasarkan rencana kenaikan
perkomponennya, tarif telepon tersebut5 Merubah sistem perhitungan cukai dari persentase menjadi nilai rupiah
tertentu.
238
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
6 Hasil survei Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP)terhadap 14 bank SIB pada 27 Desember 2002 mengenai rencanaekspansi kredit baru untuk 2003.
7 Hasil survei DPNP terhadap 83 bank pada 11 Desember 2002.
diprakirakan mengalami kenaikan sekitar 30%.
Kenaikan paling besar terjadi pada tarif pulsa
lokal (33,3%) dan abodemen (31%) sementara
tarif pulsa sambungan langsung jarak jauh (SLJJ)
akan mengalami penurunan sebesar 3,9%.
Kenaikan yang cukup besar juga akan
diberlakukan untuk tarif jalan tol, yaitu sekitar
25%-75%. Namun dengan bobot yang sangat kecil
dalam perhitungan IHK (0,01%), dampak
kenaikan tarif Tol tersebut terhadap inflasi tidak
signifikan.
Dampak kebijakan pemerintah terhadap inflasi
IHK pada 2003 diprakirakan juga akan berasal dari
kenaikan upah minimum propinsi (UMP) yang
diprakirakan meningkat sebesar 7,0%. Kenaikan
UMP tersebut akan berdampak langsung terhadap
kenaikan biaya operasional perusahaan yang pada
akhirnya akan sangat berpotensi besar terhadap
kenaikan harga output dalam rangka
mempertahankan margin keuntungan. Sementara
itu, kenaikan gaji PNS dan tunjangan guru masing-
masing sebesar 10% dan 50% yang akan diterapkan
pada 2003 diprakirakan tidak berdampak
signifikan terhadap kenaikan harga-harga.
Prospek Inflasi Jangka Menengah
Dalam jangka menengah, perkembangan inflasi
diprakirakan terus mengalami penurunan. Prakiraan
tersebut didasari oleh beberapa faktor penyebab
inflasi yang diprakirakan memberikan tekanan
menurun dalam beberapa tahun mendatang serta
didukung pula oleh komitmen Bank Indonesia dalam
mengupayakan penurunan inflasi.
Potensi dampak inflasi dari penerapan
kebijakan pemerintah dibidang harga dan pendapatan
diprakirakan semakin menurun berkaitan dengan
penurunan intensitas dari penerapan kebijakan ini di
tahun-tahun mendatang. Potensi ini terutama
bersumber dari upaya pemerintah dalam mengurangi
defisit anggaran melalui pengurangan subsidi dan
peningkatan penerimaan pajak. Adanya prakiraan
stabilnya perkembangan nilai tukar rupiah dalam
jangka menengah mengindikasikan tidak adanya
tekanan inflasi yang ditimbulkan oleh pergerakan
nilai tukar dalam beberapa tahun mendatang.
Sementara itu, perkembangan harga komoditas
internasional diprakirakan tidak mengalami
peningkatan yang berarti dan bahkan pelaksanaan
AFTA cukup berpotensi bagi terjadinya penurunan
harga di dalam negeri.
Pada akhirnya perkembangan positif berbagai
faktor penyebab inflasi tersebut akan berdampak
pada turunnya tingkat inflasi yang diekspektasikan
oleh masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, upaya
Bank Indonesia dalam mengendalikan laju inflasi
diharapkan dapat lebih mengarahkan ekspektasi
masyarakat pada perkembangan inflasi yang menurun
pada tahun-tahun mendatang.
Prospek Perbankan
Tantangan perbankan ke depan adalah
bagaimana mengoptimalkan fungsi intermediasi
perbankan. Selain itu, perbankan juga harus
mempersiapkan diri dalam pencapaian target Non-
Performing Loans(NPLs) neto 5,0% pada Juni 2003,
239
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
persiapan penerapan risiko pasar (market risk)
dalam perhitungan Capital Adequacy Ratio (CAR)
pada awal 2004, dan rencana pengurangan cakupan
program penjaminan sebelum terbentuknya
Lembaga Penjamin Simpanan.
Meskipun masih banyak tantangan yang
dihadapi, namun intermediasi perbankan diprakirakan
akan terus meningkat, khususnya untuk sektor Unit
usaha kecil dan menengah (UKM). Hasil survei6
terhadap 14 bank Systemically Important Banks (SIBs)
menunjukkan bahwa ekspansi kredit baru untuk bank-
bank yang tergabung dalam kelompok pada 2003
diprakirakan mencapai Rp83,0 triliun. Hasil survei
lainnya7 menunjukkan bahwa 40 bank akan menaikkan
ekspansi kreditnya secara rata-rata diatas 5,0%
dibandingkan dengan 2002. Survei yang sama juga
mengindikasikan bahwa dari sisi penggunaannya di
2003 diprakirakan sebagian besar masih disalurkan
untuk modal kerja dan konsumsi, dan kredit investasi
diprakirakan masih belum banyak mengalami
pertumbuhan yang signifikan. Sementara itu, sektor
usaha memiliki daya serap tinggi terhadap sektor
kredit perbankan pada 2003 adalah perdagangan,
industri dan jasa-jasa lainnya.
Penyaluran kredit untuk sektor UKM diprakirakan
meningkat porsinya pada 2003 mengingat sebagian
besar bank-bank telah melakukan “reposisi”
kebijakan pemberian kreditnya dari corporate lend-
ing ke retail lending. Proyeksi kredit untuk sektor
UKM diprakirakan mencapai Rp42,3 triliun pada 2003.
Hal ini sejalan dengan hasil survei yang menunjukkan
bahwa pemberian kredit di 2003 akan diprioritaskan
pada kredit dengan plafond sampai dengan Rp1,0
milyar dan Rp5,0 milyar.
Corporate lending diprakirakan masih tetap
berjalan namun porsinya masih kecil. Kecilnya pangsa
corporate lending tersebut disebabkan beberapa
faktor, antara lain masih banyaknya debitur-debitur
besar yang berada di BPPN, perbankan memerlukan
waktu yang cukup lama untuk menjadikan debitur kecil
dan menengah menjadi debitur besar serta trauma
beberapa bank kreditnya menjadi macet.
Dari sisi permodalan, CAR perbankan secara
industri diprakirakan akan sedikit mengalami
penurunan walaupun masih di atas 8%. Penurunan
tersebut disebabkan oleh semakin besarnya risiko
aktiva produktif perbankan dalam rangka ekspansi
kredit yang semakin meningkat. Sementara itu,
secara individu diprakirakan masih terdapat beberapa
bank yang memiliki CAR dibawah 8%, khususnya bagi
bank-bank yang memiliki exposures cukup besar
terhadap perubahan suku bunga dan nilai tukar maupun
penurunan kualitas aktiva produktif.
Dengan semakin menyatunya produk perbankan
dan lembaga keuangan lainnya serta keinginan
nasabah bank untuk memperoleh pelayanan keuangan
dalam satu atap, maka diprakirakan semakin banyak
bank-bank yang akan menjadi selling agent
perusahaan asuransi dan reksa dana maupun
menerbitkan produk-produk dan jasa perbankan baru
seperti misalnya dual currency deposits, internet bank-
ing, dan mobile banking.
Faktor Risiko Dan Ketidakpastian
Meskipun prospek pemulihan perekonomian In-
donesia di 2003 secara umum diprakirakan membaik
namun berbagai faktor risiko dan ketidakpastian
terutama pasca terjadinya tragedi Bali masih perlu
dicermati. Berbagai faktor risiko tersebut, apabila
240
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
tidak tertangani dengan baik dapat berpotensi
memperburuk kondisi ekonomi Indonesia ke depan.
Namun sebaliknya, apabila risiko tersebut dapat
diredam maka hal tersebut justru dapat mempercepat
proses pemulihan ekonomi yang saat ini terus
diupayakan. Berbagai risiko yang diprakirakan dapat
membawa dampak negatif terhadap prospek
perekonomian Indonesia antara lain memburuknya
kondisi perekonomian sebagian besar negara maju
dan persepsi investor global yang belum membaik.
Dari sisi domestik, disamping belum pulihnya fungsi
intermediasi perbankan, masih maraknya berbagai
konflik perburuhan serta relatif rendahnya
kepercayaan dunia usaha terhadap penegakan hukum
serta potensi meningkatnya suhu politik menjelang
pelaksanaan Pemilu 2004 dapat menjadi faktor
penghambat upaya pemulihan ekonomi yang sedang
dilakukan.
Dari sisi eksternal, meskipun perekonomian
dunia secara keseluruhan diprakirakan membaik
namun peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut
lebih banyak didukung oleh kinerja ekonomi
berbagai negara berkembang di kawasan Asia.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi sebagian
besar negara maju yang menjadi pasar tradisional
ekspor Indonesia, seperti AS dan Jepang,
diprakirakan belum tumbuh secara berarti. Relatif
lemahnya pertumbuhan ekonomi tersebut bahkan
dapat semakin memburuk apabila meningkatnya
ketegangan politik di timur tengah berlangsung lama
sehingga secara signifikan mempengaruhi arus
perdagangan dunia.
Meningkatnya ketidakpastian akibat
ketegangan politik di Timur Tengah tersebut
diprakirakan juga akan berdampak negatif terhadap
iklim investasi global yang sementara ini belum pulih.
Perkembangan kondisi politik global yang kurang
menguntungkan tersebut dikhawatirkan dapat
memperburuk persepsi investor dan mitra dagang luar
negeri terhadap prospek perekonomian Indonesia.
Tendensi memburuknya kepercayaan masyarakat
internasional tersebut antara lain nampak dari
pengenaan “war premium” terhadap kegiatan
perdagangan luar negeri Indonesia. Premi tersebut
meningkatkan biaya transaksi dagang dengan mitra
luar negeri serta semakin memperkuat keengganan in-
vestor internasional untuk menanamkan modalnya di
Indonesia.
Dari sisi domestik, secara khusus perlu dicermati
perkembangan situasi politik dan keamanan
menjelang dilangsungkannya Pemilu 2004. Meskipun
cenderung terus membaik, perkembangan faktor
tersebut masih mengandung banyak ketidakpastian
sehingga berpotensi meningkatkan ketegangan
politik. Dalam jangka pendek, berbagai variabel
indikator seperti nilai tukar dan inflasi dapat
terpengaruh oleh sentimen negatif yang timbul.
Sementara dalam jangka panjang, sentimen negatif
yang persisten akan berdampak buruk terhadap
kepercayaan masyarakat sehingga mempengaruhi
konsumsi dan investasi.
Maraknya berbagai konflik perburuhan diyakini
dapat mengganggu ketenangan dan kepastian usaha
dan berpotensi mengurangi produktifitas. Berlarutnya
penyelesaian masalah tersebut berpotensi
mengakibatkan tingginya pemutusan hubungan kerja
(PHK), semakin mengurangi daya beli masyarakat dan
dapat mendorong terjadinya berbagai konflik sosial
241
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
lainnya. Di sisi lain, tuntutan kenaikan upah yang
tidak dibarengi dengan peningkatan produktifitas
akan meningkatkan biaya produksi per unit (unit
cost) sehingga mengurangi daya saing produk In-
donesia.
Disamping itu, mencuatnya berbagai
ketidakpuasan atas proses dan penyelesaian
beberapa kasus hukum yang relatif besar
menimbulkan persepsi masyarakat yang kurang
kondusif terhadap penegakan supremasi hukum.
Selain mengurangi kredibilitas pemerintah dalam
penyelenggaraan tata kelola negara (public gover-
nance), hal tersebut juga mengurangi minat in-
vestor untuk menanam modal ke Indonesia.
Di sisi lain, faktor risiko yang juga akan
menentukan prospek ekonomi ke depan adalah fungsi
intermediasi perbankan yang belum sepenuhnya
berjalan normal. Meskipun ekspansi kredit di 2002
relatif membaik, peningkatannya dirasakan masih
jauh dari yang dibutuhkan oleh sektor riil. Selain
berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi,
keengganan bank untuk menyalurkan kredit juga akan
mempengaruhi efektifitas kebijakan moneter akibat
mekanisme transmisi kebijakan moneter yang tidak
berjalan optimal.
Sementara itu, berkenaan dengan rencana
diakhir inya program IMF pada akhir 2003
diperlukan suatu strategi yang tepat guna
meminimalkan dampak buruk yang mungkin terjadi
terutama terhadap kondisi fiskal dan neraca
pembayaran. Terkait dengan hal itu, diperlukan
kebijakan yang tepat terutama untuk menutup
defisit fiskal dan neraca pembayaran baik melalui
mobilisasi sumber dana luar negeri (penarikan
pinjaman baru dan penjadwalan kembali
pembayaran utang luar negeri) maupun melalui
mobilisasi pembiayaan dari sumber domestik.
(Boks : Konsekuensi dan Persiapan Indonesia
Menghadapi Berakhirnya Program IMF pada Akhir
2003)SASARAN INFLASI DAN ARAH KEBIJAKANSasaran Inflasi
Sejak awal 2002 Bank Indonesia telah
menetapkan sasaran inflasi jangka menengah 6,0%-
7,0% yang akan dicapai pada 2006. Sasaran yang
ditetapkan dalam bentuk angka inflasi yang disertai
dengan periode pencapaiannya tersebut merupakan
sasaran inflasi yang optimum, dimana sasaran inflasi
dapat ditujukan pada tingkat inflasi yang cukup rendah
dan proses pencapaiannya diprakirakan tidak
menghambat proses pemulihan ekonomi Indonesia8 .
Adapun asumsi-asumsi yang mendasari penetapan
sasaran inflasi jangka menengah tersebut adalah:
terkendalinya tingkat permintaan masyarakat, adanya
penurunan intensitas penerapan kebijakan inflatoir
pemerintah di bidang harga dan pendapatan, dan
adanya kestabilan perkembangan nilai tukar rupiah.
Pencapaian sasaran inflasi tersebut perlu diupayakan
melalui proses disinflasi dengan penetapan sasaran inflasi
yang terus menurun mencapai level yang dituju pada
periode jangka menengah. Secara sederhana, proses8 Lihat Boks Penetapan Sasaran Inflasi Bank Indonesia, Laporan Tahunan
Bank Indonesia tahun 2001.
Tabel 11.9Lintasan Indikatif Sasaran Inflasi IHK Jangka Menengah
Inflasi IHK
Sasaran
9
Periode2003 2004 2005 2006
8 7 6
(Persen)
242
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
disinflasi dapat ditunjukkan dengan angka sasaran inflasi
yang menurun secara linier yang diharapkan dapat
mendukung proses pembentukan ekspektasi inflasi
masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka lintasan
indikatif sasaran inflasi sejak 2003 sampai dengan 2006
adalah sebagai mana disajikan pada tabel 11.9.
Mengingat tingginya tingkat ketidakpastian
dalam mencapai sasaran tersebut serta dengan
mempertimbangan efektifitas kebijakan moneter
dalam pengendalian inflasi dalam jangka pendek,
penetapan sasaran inflasi jangka pendek
(tahunan) dapat lebih rendah atau lebih tinggi dari
lintasan indikatif sasaran inflasi yang ditetapkan.
Penetapan sasaran inflasi jangka pendek perlu
disesuaikan dengan prakiraan perkembangan
faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dalam
tahun yang bersangkutan.
Berdasarkan faktor-faktor yang menjadi sumber
tekanan inflasi pada 2003, Bank Indonesia masih
memiliki ruang untuk melakukan berbagai upaya
dalam mengarahkan perkembangan inflasi pada
lintasan indikatif sasaran inflasi 2003 tanpa
menghambat proses pemulihan ekonomi, yaitu pada
angka 9,0%. Namun demikian, dalam menghadapi
faktor ketidakpastian dalam upaya pencapaian
sasaran inflasi tersebut perlu disertakan angka
deviasi yang paling reliable dan acceptable pada
angka sasaran yang ditetapkan, yaitu ±1,0%. Dengan
demikian sasaran inflasi IHK untuk tahun 2003 adalah
9,0% (±1,0%).
Arah Kebijakan Moneter
a. Kebijakan moneter secara konsisten tetap
diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi IHK
sebesar 9,0% pada 2003 serta dengan menjaga
komitmen pencapaian sasaran inflasi jangka
menengah. Secara operasional, pencapaian
uang primer tetap diupayakan agar konsisten
dengan sasaran inflasi yang telah ditetapkan,
namun momentum positif yang telah dicapai
melalui penurunan suku bunga SBI perlu tetap
dijaga. Untuk itu, uang primer perlu diarahkan
untuk secara bertahap mencapai pertumbuhan
rata-rata sekitar 13%, sesuai dengan
kebutuhan riil perekonomian.
b. Di tengah kondisi perbankan yang mengalami
kelebihan likuditas, pencapaian sasaran uang
primer tersebut diprakirakan masih dapat
membawa suku bunga instrumen moneter yang
cenderung menurun. Dengan memperhatikan
sejumlah variabel-variabel informasi lainnya
seperti masih tingginya rigiditas suku bunga
kredit perbankan serta adanya kecenderungan
menurunnya inflasi inti secara signifikan,
tekanan inflasi yang dapat ditimbulkan oleh
penurunan suku bunga diprakirakan belum terlalu
kuat. Penurunan suku bunga tersebut diharapkan
tetap dapat memberikan sinyal positif kepada
para pelaku usaha akan prospek pemulihan
perekonomian. Di samping mempengaruhi suku
bunga kredit perbankan, penurunan suku bunga
ini diharapkan dapat mendorong sektor korporat
untuk menerbitkan obligasi sebagai alternatif
pembiayaan investasinya.
c. Secara operasional, optimalisasi penggunaan
instrumen moneter seperti yang dilakukan pada
2002 tetap perlu dipertahankan, termasuk
upaya untuk tetap menggunakan kebijakan
243
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
sterilisasi valas dalam membantu penyerapan
likuditas perbankan serta meminimalkan
fluktuasi nilai tukar yang berlebihan. Disamping
optimalisasi infrastruktur SBI, dalam jangka
panjang penggunaan Surat Perbendaharaan
Negara dan Obligasi Negara tetap perlu
dipertimbangkan sebagai alternatif instrumen
(Boks : SBI Scripless dan Automatic Bidding Sys-
tem (ABS). Namun demikian, strategi ini tetap
harus memperhatikan timing dan magnitude
yang tepat sesuai dengan kondisi pasar.
Penggunaan surat utang pemerintah sebagai
instrumen moneter di pasar sekunder juga
menuntut adanya kesiapan infrastuktur/aturan-
aturan mengenai sistem lelang baik outright
maupun repo. Kesiapan infrastruktur
diharapkan dapat menjamin kelancaran
transaksi di pasar sekunder yang selanjutnya
dapat meningkatkan efektivitas penggunaan
surat utang pemerintah sebagai alternatif
instrumen moneter. (Boks : On Line Scripless
Securities Settlement System (SSSS)
Arah Kebijakan Perbankan
a. Kebijakan di bidang perbankan masih
meneruskan program penyehatan perbankan.
Terkait dengan hal tersebut, target pencapaian
NPLs neto maksimum 5,0% pada akhir Juni 2003
diharapkan dapat tercapai. Bagi bank-bank yang
masih memiliki NPLs neto diatas 5,0% perlu
membuat rencana yang jelas dan konkrit di dalam
business plan mereka mengenai upaya-upaya dan
langkah-langkah yang harus dilakukan untuk
mencapai target NPLs neto maksimum 5,0%.
b. Mendorong bank-bank untuk terus meningkatkan
pemberian kredit ke sektor UKM mengingat
potensi pengembangannya masih sangat besar
dan memiliki prospek usaha yang
menggembirakan.
c. Menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia (API)
yang merupakan policy direction bagi industri
perbankan nasional sebagai antisipasi dalam
menghadapi segala perubahan-perubahan yang
terjadi dalam jangka panjang. (Boks : Arsitektur
Perbankan Indonesia)
d. Mempersiapkan cetak biru stabilitas sistem
keuangan dengan cakupan aspek monitoring dan
surveilance stabilitas keuangan, prosedur
penanganan krisis (crisis resolution) dan aspek
organisasinya. (Boks : Stabilitas Sistem
Keuangan (SSK) di Indonesia).
e. Walaupun CAR perbankan belum memasukkan
unsur market risk dalam perhitungannya, namun
perbankan tetap diminta untuk melakukan
persiapan-persiapan yang diperlukan secara
bertahap di 2003 sebelum penerapan market risk
dalam perhitungan CAR diberlakukan pada 2004.
Perhitungan CAR yang baru dengan memasukkan
unsur market risk tidak akan mengubah
ketentuan batas minimum CAR 8% yang sudah
ada selama ini.
f. Mengeluarkan pedoman pelaksanaan
manajemen risiko untuk bank-bank sehingga
diharapkan bank-bank dapat membuat
pedoman pelaksanaan manajemen risiko di
banknya masing-masing sesuai dengan standar
yang telah ditentukan dalam rangka
memperkuat internal control.
244
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
g. Menyiapkan materi pengaturan LPS dengan
mempertimbangkan beberapa faktor seperti
proses restrukturisasi perbankan, kerangka
pengawasan perbankan yang efektif, prosedur
penyelesaian bank bermasalah dan adanya
elemen lender of the last resort.
h. Di bidang perbankan syariah, arah kebijakan
di 2003 akan diprioritaskan pada upaya
penyempurnaan ketentuan dan infrastruktur
pendukung bagi pengembangan perbankan
syariah. Di sisi ketentuan, penyempurnaan
tersebut antara lain mencakup penyusunan
ketentuan pengawasan perbankan syariah
berbasis risiko (risk-based supervision), pru-
dential regulation, peni laian t ingkat
kesehatan perbankan syariah,
penyempurnaan sistem pelaporan serta
pedoman akuntansi dan audit perbankan
syariah. Sementara itu, penyempurnaan
infrastruktur akan meliputi pemetaan
wilayah-wilayah potensial bagi pengembangan
dan pembukaan kantor-kantor bank syariah
baru guna mendorong pengembangan
jaringan kantor bank syariah. Disamping itu,
kegiatan sosialisasi perbankan syariah akan
dilaksanakan secara lebih intensif untuk
meningkatkan pemahaman masyarakat
terhadap perbankan syariah.
Arah Kebijakan Sistem Pembayaran
a. Di bidang sistem pembayaran tunai, kebijakan
diarahkan untuk mengupayakan pemenuhan
kebutuhan masyarakat akan uang kartal melalui
peningkatan efektivitas pengedaran uang. Pola
penyaluran uang pecahan kecil kepada
masyarakat yang dilakukan di kantor pusat,
melalui perusahaan pihak ketiga dan BPR akan
dilanjutkan ditujuh Kantor Bank Indonesia (KBI).
Disamping itu, untuk daerah-daerah yang tidak
memiliki KBI, pelaksanaan distribusi uang
dilakukan melalui Kas Titipan yang bekerjasama
dengan perbankan setempat. Untuk
meningkatkan efektivitas keberadaan kas
titipan tersebut, Bank Indonesia akan
melakukan evaluasi dan penyempurnaan fungsi
kas titipan sebagai ujung tombak dalam
pengedaran uang di daerah. Kebijakan lain
dibidang sistem pembayaran tunai adalah
memperluas jejaring penanggulangan uang
palsu. Perluasan jejaring ini dilakukan melalui
peningkatan kerjasama dengan POLRI dalam
bentuk pembekalan keterampilan kepada
petugas di KBI maupun POLDA dalam
penanggulangan pemalsuan uang. Disamping itu,
dalam rangka meningkatkan efektivitas
sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah asli,
pada 2003 Bank Indonesia akan melakukan
kerjasama dengan perbankan yang mempunyai
jaringan sampai tingkat pedesaan.
b. Dibidang sistem pembayaran nontunai,
kebijakan tetap diarahkan untuk memperluas
implementasi sistem Real Time Gross Settle-
ment (RTGS), mengurangi risiko sistem
pembayaran, dan mengkaji ulang blue print
sistem pembayaran nasional. Perluasan
implementasi sistem BI-RTGS pada 2003 akan
dilakukan di 10 KBI yaitu KBI Cirebon,
Tasikmalaya, Purwokerto, Solo, Jember, Kediri,
245
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sampai saat ini
masih merupakan piranti utama dalam pelaksanaan
kebijakan moneter melalui operasi pasar terbuka
(OPT). Pada dasarnya, SBI merupakan surat utang
jangka pendek dalam rupiah yang diterbitkan Bank
Indonesia secara diskonto dan penerbitannya
ditujukan untuk kepentingan operasi kebijakan
moneter. SBI diterbitkan pertama kali pada tahun
1984 berdasarkan Keputusan Presiden No. 5 tahun
1984 tentang Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia
dan SK Direksi Bank Indonesia No. 16/55/Kep/Dir
tanggal 21 Januari 1984 tentang SBI.
Perkembangan yang sangat cepat di pasar
keuangan, menuntut perlunya inovasi bukan hanya
dalam hal tersedianya instrumen secara memadai
dan berkesinambungan tetapi juga adanya
infrastruktur pendukung untuk memfasilitasi
kegiatan transaksi secara akurat, cepat dan aman.
Dengan memperhatikan hal tersebut serta untuk
meningkatkan efektifitas pelaksanaan OPT, Bank In-
donesia melakukan penyempurnaan cara penerbitan
dan mekanisme transaksi SBI yang didukung dengan
sistem penatausahaan secara elektronis.
Sebelumnya, setiap penerbitan SBI selalu disertai
dengan pencetakan warkat (fisik) surat berharga
dan warkat tersebut pada umumnya disimpan di
Bank Indonesia. Kepada pemilik diberikan ‘bukti
depo simpanan’ (BDS) sebagai bukti kepemilikan SBI
yang ditatausahakan di Bank Indonesia.
Penyempurnaan ketentuan SBI tertuang dalam
Peraturan Bank Indonesia (PBI), yaitu PBI No. 4/10/
PBI/2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia. Selain itu
Bank Indonesia juga menyempurnakan ketentuan
pelaksanaan kebijakan moneter yang tertuang dalam
PBI No. 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka.
Kedua ketentuan tersebut dikeluarkan pada 18 Novem-
ber 2002 dan mulai berlaku sejak 25 November 2002.
Kedua ketentuan tersebut sekaligus dimaksudkan untuk
memberikan landasan hukum yang lebih jelas mengenai
kedudukan dan fungsi SBI dalam kaitan dengan
kebijakan moneter di Indonesia, mengingat kedua
ketentuan yang menjadi dasar penerbitan SBI selama
ini sudah tidak memadai bila dikaitkan dengan tuntutan
perubahan pasar keuangan yang sangat dinamis.
Materi penyempuraan tersebut terutama
meliputi penerbitan SBI secara scripless, yaitu
penerbitan SBI tanpa disertai dengan pencetakan
warkat (fisik) dari surat berharga. Dalam hal ini,
pencatatan atas kepemilikan SBI dilakukan secara
elektronis dalam suatu sistem penatausahaan secara
elektronis yang ada di Bank Indonesia.
Sistem penatausahaan secara elektronis
tersebut dikenal dengan Book Entry Registry (BER)
yang selama ini juga digunakan untuk
menatausahakan perdagangan obligasi pemerintah.
Dalam hal ini, Bank Indonesia bertindak sebagai
central registry (CR) yang menatausahakan
kepemilikan SBI oleh perbankan. Selain itu, di Bank
bo
ks
SBI Scripless dan Automatic Bidding System (ABS)
246
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
Indonesia terdapat pula rekening atas nama sub-reg-
istry (SR) yang menatausahakan kepemilikan SBI oleh
pihak lain di luar bank. Saat ini, terdapat sebelas
bank yang ditunjuk sebagai SR. Penunjukkan tersebut
dilakukan melalui proses seleksi yang ketat
berdasarkan kriteria yang ditetapkan Bank Indone-
sia, untuk menjamin bahwa bank-bank yang ditunjuk
sebagai SR mampu melaksanakan fungsi sebagai
penatausaha SBI scripless sesuai dengan standar yang
diinginkan Bank Indonesia. Kriteria dimaksud antara
lain, memiliki pengalaman dalam penatausahaan
surat berharga minimal tigatahun, nominal surat
berharga yang ditatausahakan dalam enam bulan
terakhir rata-rata sebesar 1,0 triliun, memiliki sistem
pencatatan surat berharga secara scripless yang aspek
keamanannya telah diaudit dan memiliki jaringan usaha
yang luas. Kesebelas SR dimaksud meliputi Bank Niaga,
Deutsche Bank AG, Citibank NA, BII, ABN AMRO Bank
N.V., BNI, HSBC, BCA, BRI dan Standard Chartered Bank.
Dengan adanya penyempurnaan mekanisme
penerbitan SBI tersebut, transaksi SBI, khususnya
di pasar sekunder diharapkan dapat dilakukan
dengan lebih efisien. Selain itu, transaksi repo surat
berharga, termasuk SBI, diharapkan juga dapat
berkembang untuk mengurangi volatilitas tingkat
bunga dan mengurangi segmentasi yang terjadi di
pasar uang. Dapat dikemukakan bahwa di pasar
sekunder SBI dapat diperdagangkan baik secara repo
maupun outright serta dapat dijadikan agunan.
SBI Scripless memiliki satuan unit sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Namun, jumlah
transaksi terkecil di pasar perdana (pada saat penerbitan
melalui lelang) ditetapkan sebesar 1.000 unit atau
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan selebihnya
dengan kelipatan 100 unit atau Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah). Sedangkan penawaran tingkat
diskonto diajukan dengan kelipatan 0,0625%.
Penerbitan SBI oleh Bank Indonesia dapat dilakukan
dengan mekanisme lelang maupun nonlelang. Pembeli
SBI pada saat penerbitan (pasar perdana) adalah bank
dan pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Untuk
saat ini, hanya bank yang dapat membeli SBI di pasar
perdana melalui mekanisme lelang. Hal ini
dimaksudkan untuk lebih menunjukkan fungsi SBI
sebagai instrumen moneter yang ditujukan untuk
mempengaruhi jumlah likuiditas di pasar uang melalui
perubahan jumlah saldo giro bank di Bank Indonesia.
Transaksi di pasar perdana ini hanya dapat
dilakukan melalui sarana automatic bidding system
(ABS) dari Bloomberg yang bersifat on-line dan real-
time. Sebelumnya, penyampaian penawaran lelang
SBI dapat dilakukan melalui telepon, faksimili maupun
reuter’s monitor dealing system (RMDS). Dengan
sarana ABS, baik penyampaian penawaran (bidding),
proses penentuan pemenang lelang, pengumuman
maupun konfirmasi hasil lelang kepada peserta lelang
dilakukan secara elektronis sehingga lebih cepat dan
aman (mengurangi unsur human error).
Penyampaian penawaran lelang SBI bagi bank
yang tidak memiliki sarana ABS dapat dilakukan
baik melalui bank lain ataupun pialang pasar uang
yang telah memiliki sarana ABS. Saat ini
terdapat 40 bank dan 7 pialang pasar uang
memiliki sarana ABS.
247
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
bo
ks
On-line Scripless Securities Settlement System (SSSS)
Pendahuluan
Sejak diterbitkannya Obligasi Pemerintah
dalam rangka program rekapitalisasi Perbankan yang
kemudian dikenal dengan sebutan Surat Utang
Negara (SUN) dengan dikeluarkannya UU No. 24
tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, Bank
Indonesia ditugasi untuk menatausahakan surat
utang tersebut. Hal ini sesuai dengan pasal 55 ayat
3 dalam UU No. 23 tahun 1999 yang menyatakan
bahwa Bank Indonesia membantu Pemerintah dalam
penerbitan SUN. Pada awalnya, peran Bank Indone-
sia sebagai penatausaha SUN tercantum dalam
Persetujuan Bersama Departemen Keuangan dan
Bank Indonesia 28 Mei 1999. Dalam Persetujuan
Bersama tersebut disepakati bahwa Bank Indone-
sia bertindak sebagai agen penatausaha SUN yang
tugasnya antara lain untuk mencatat kepemilikan
semua SUN dalam daftar pemegang SUN dan semua
perpindahan kepemilikan SUN yang dibuktikan
dengan konfirmasi pencatatan SUN serta melakukan
pembayaran bunga dan pokok SUN pada saat jatuh
waktu. Selanjutnya tugas Bank Indonesia sebagai
penatausaha SUN yang mencakup central registry,
kliring dan settlement serta agen pembayar
ditegaskan dalam pasal 12 ayat 1 UU No. 24 tahun
2002 tentang Surat Utang Negara.
Untuk menatausahakan SUN, Bank Indonesia
menggunakan sistem yang disebut BI-SKRIP yaitu
Bank Indonesia-Sistem Kliring, Registrasi dan
Penatausahaan Obligasi Pemerintah. BI-SKRIP terdiri
dari CR yang terdapat di Bank Indonesia dan sebelas
SR yang memperoleh persetujuan dari Bank
Indonesia. Karena pencatatan dalam BI-SKRIP
menggunakan two-tier system maka yang dapat
menjadi nasabah dari CR adalah SR, Bank dan
market maker, serta pihak lain yang ditunjuk oleh
Bank Indonesia. Sementara itu, peserta perusahaan
maupun perorangan tidak dapat menjadi nasabah
di CR dan hanya menjadi nasabah di SR. Struktur
BI-SKRIP dapat digambarkan sebagai berikut :
Dalam rangka pencatatan kepemilikan, Bank In-
donesia sebagai CR menggunakan sistem Book Entry
Registry (BER) untuk settlement SUN yang
diperdagangkan secara scripless (tanpa warkat).
Struktur Pencatatan Surat Berhargadalam BI-SKRIP
Perusahaansekuritas
Perusahaan
Individu
Pihak Asing
Sub-Registryx 11
Primary DealersMarket Makers(akan ditunjuk)
Bankx 145
Central Registry- Clearing/Settlement
248
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
Sistem BER sejak 17 November 2000 telah terkoneksi
dengan sistem Real Time Gross Settlement Bank
Indonesia (BI-RTGS) sehingga pelaksanaan settlement
dana transaksi SUN di pasar primer dan sekunder
maupun pembayaran kupon obligasi pemerintah pada
saat jatuh waktu dapat dilakukan secara on-line.
Sistem BER dalam pengembangannya juga telah
digunakan untuk menangani setllement SBI yang
diperdagangkan secara scripless maupun untuk
settlement instrumen OPT ataupun nantinya
digunakan untuk menangani settlement SUN yang
mungkin akan diterbitkan
Hubungan sistem BER dengan peserta dalam
CR saat ini masih dilakukan secara manual. Dalam
hal terjadi perdagangan/perpindahan surat
berharga, penyerahan formulir surat permohonan
perpindahan register (SPPR) untuk pemindahan
kepemilikan surat berharga dan formulir Surat
perintah penyelesaian pembayaran (SPPP) ke Bank
Indonesia masih dilakukan dengan penyampaian
hard copy oleh kurir. Demikian pula penyampaian
laporan kepemilikan masih dilakukan secara
manual. Selain itu SR maupun bank juga tidak
dapat melihat secara on-line posisi kepemilikan
surat berharga dalam rekeningnya. Kepemilikan
surat berharga hanya diketahui berdasarkan
konfirmasi pencatatan surat berharga (KPS) harian
ataupun bulanan yang disampaikan oleh CR atau
SR.
Hubungan manual antara Bank Indonesia
sebagai CR dengan Bank, SR maupun dengan
pelaku pasar domestik lainnya sebagai nasabah
langsung CR yang telah disebutkan di atas ternyata
dapat menimbulkan berbagai permasalahan
seperti keterlambatan pencatatan transaksi akibat
keterlambatan pengiriman instruksi pemindahan
kepemilikan surat berharga, tidak
terselesaikannya transaksi sesuai dengan batas
waktu yang ditetapkan akibat kesalahan pengisian
formulir maupun kesalahan surat berharga yang
ditransaksikan serta keterlambatan penyampaian
laporan kepemilikan surat berharga di sub-regis-
try. Dengan pemikiran tersebut maka disadari
perlunya suatu interkoneksi yang terintegrasi
antara CR dengan SR maupun dengan nasabah
langsung CR lainnya dalam suatu sistem yang pada
saat ini sedang dikembangkan oleh Bank Indone-
sia yang disebut On-line Scripless Securities
Settlement System (SSSS). Bank Indonesia
merencanakan untuk mengimplementasikan SSSS
baik untuk SUN maupun untuk SBI pada Septem-
ber 2003.
Grand Design SSSS
Dalam grand design direncanakan bahwa
SSSS sebagai sistem setllement surat berharga
akan terhubung dengan sistem BI-RTGS yang
merupakan sistem untuk settlement dana,
sehingga SSSS nantinya akan dapat melakukan
settlement berbagai jenis transaksi maupun
melakukan pembayaran bunga dan pokok surat
berharga yang jatuh waktu. SSSS juga akan
terintegrasi dengan sistem ABS yang merupakan
sistem yang melakukan proses lelang surat
249
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
berharga mulai dari pengumuman, pengajuan
penawaran, penentuan dan pengumuman hasil
lelang sehingga lelang oleh Bank Indonesia dapat
diselesaikan secara lebih cepat dan akurat. Untuk
mendukung transparansi pasar, hasil settlement
dalam SSSS tersebut akan langsung diteruskan ke
berbagai sistem informasi yang ada seperti dalam
website Bank Indonesia, PIPU, Bloomberg, Bridge
Systems, Reuters maupun penyedia informasi
lainnya.
Keuntungan Penggunaan SSSS
Penggunaan On-line SSSS ini memiliki beberapa
keuntungan bagi pasar sekunder surat berharga,
yaitu :
1. Mengurangi waktu, biaya dan Sumber Daya
manusia dalam penyelesaian transaksi.
Dengan menggunakan s i stem SSSS,
transaksi dapat dilakukan secara on-line
dan tidak perlu dilakukan secara manual.
Tugas Bank Indonesia sebagai CR sebagai
pengelola sistem SSSS tidak perlu lagi
PenyelesaianPembayaran
Pengumumandan proses Lelang
Pencatatan Penatausahaan
ABS
SSSSRTGS
www.bi.go.id /PIPU/ Bloomberg/ BES/Sistem informasi lainnya
Surat Berhargaa. Obligasi Pemerintahb. T-Billsc. SBI
Infrastruktur Penerbitan dan Penatausahaan SuratBerharga
250
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
dilakukan penyelesaian secara manual,
pembayaran dapat langsung diteruskan ke
sistem RTGS.
2. Mengurangi risiko penyelesaian transaksi
surat berharga di pasar sekunder dengan
prinsip Delivery Versus Payment (DVP).
Bank for International Settlement (BIS)
telah merekomendasikan bahwa setiap
settlement transaksi pasar uang yang
berkaitan dengan bank hendaknya
menggunakan prinsip DVP, mengingat
kegagalan settlment surat berharga dapat
mempengaruhi kestabi lan s i stem
keuangan. Transaksi dengan prinsip DVP
dalam sistem on-line akan mengurangi atau
menghilangkan terjadinya resiko transaksi
yaitu di mana penjual surat berharga telah
menyampaikan surat berharganya tapi
t idak mener ima pembayaran atau
sebaliknya pembeli telah menyelesaikan
pembayaran tapi tidak menerima surat
berharga yang dibelinya.
3. Meningkatkan transaksi pasar sekunder surat
berharga.
Keuntungan ini tidak terlepas dari keuntungan
pertama dan kedua karena penghematan
waktu dan biaya penyelesaian transaksi dengan
Bank Indonesia serta keyakinan akan keamanan
transaksi akan mendorong peserta pasar untuk
lebih meningkatkan transaksi sekunder surat
berharga. Peningkatan pasar sekunder SUN
maupun SBI akan membuat pasar semakin
likuid. Peningkatan likuiditas ini juga terjadi
karena SSSS akan terhubung dengan Indone-
sian Government Securities Trading System
(IGSTS) yang merupakan sistem perdagangan
SUN yang digunakan oleh Asosiasi Pedagang
Surat Utang Negara (APSUN) dan dioperasikan
oleh Bursa Efek Surabaya (BES). APSUN ini
merupakan asosiasi yang beranggotakan 15
bank yang aktif memperdagangkan SUN
sehingga proses settlement transaksi yang
cepat akan semakin meningkat perdagangan
yang dilakukan antar anggota APSUN ini.
251
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
Di tengah-tengah situasi krisis yang memburuk
dengan cepat di paro kedua 1997, pemerintah In-
donesia pada 31 Oktober 1997 mengajukan
permohonan bantuan keuangan dari IMF untuk
mendukung neraca pembayaran (balance of pay-
ment support), memulihkan kepercayaan pasar, dan
akhirnya menstabilkan rupiah. Permohonan ini
dipenuhi oleh Dewan Eksekutif IMF pada 5 Novem-
ber 1997 dengan pemberian fasilitas Stand-by-Ar-
rangement (SBA), yang kemudian diubah menjadi
Extended Fund Facilities (EFF) pada Agustus 1998
dan terakhir New EFF pada Februari 2000 seiring
dengan krisis yang semakin dalam dan luas.1
Komitmen pinjaman yang diperoleh Indonesia dari
IMF hingga akhir 2002 berjumlah $15,1 miliar, di
mana $13,2 miliar diantaranya telah dicairkan dan
yang telah dibayar kembali berjumlah $4,4 miliar.2
Dengan perkembangan ini, posisi pinjaman Indone-
sia dari IMF per akhir 2002 tercatat sebesar $8,9
miliar. Sebagai skim terakhir, komitmen New EFF
akan berakhir pada 31 Desember 2003 mendatang.
Sebagai konsekuensi dari pemanfaatan
bantuan keuangan IMF tersebut, Indonesia
berkewajiban untuk memenuhi sejumlah
persyaratan (conditionality) IMF yang dituangkan
dalam butir-butir Letter of Intent (LoI)-selanjutnya
disebut dengan Program IMF. Selain berfungsi sebagai
dasar pertimbangan (review) IMF sebelum
mencairkan bantuan keuangannya secara bertahap,
kemajuan negara peminjam dalam pemenuhan
butir-butir LoI dalam prakteknya dijadikan rujukan
(reference) oleh pelaku pasar dan masyarakat
internasional, termasuk lembaga Consultative Group
on Indonesia dan Paris Club, untuk mengukur
kesungguhan negara tersebut dalam menjalankan
program pemulihan ekonominya.
Dengan adanya rencana pemerintah Indone-
sia untuk tidak melanjutkan Program IMF di Indone-
sia setelah 2003, pertanyaan penting pertama yang
muncul adalah bagaimana Indonesia pada akhir 2003
nanti dapat memperoleh persetujuan dari Dewan
Eksekutif IMF untuk mengakhiri Program IMF seperti
halnya Korea Selatan dan Thailand. Pertanyaan
kedua adalah konsekuensi apa saja yang harus
dihadapi Indonesia dari diakhirinya program IMF
tersebut. Sementara itu, pertanyaan ketiga terkait
dengan langkah persiapan apa saja yang sebaiknya
dilakukan Indonesia agar proses berakhirnya
program IMF ini dapat berlangsung dengan sesedikit
mungkin menimbulkan gejolak.
Menurut ketentuan IMF yang berlaku,
persetujuan apakah sebuah negara dapat mengakhiri
program IMF dengan resmi berada di tangan Dewan
Eksekutif IMF. Keputusan dewan tersebut didasarkan
pada penilaian apakah kebijakan dan kondisi
bo
ks Konsekuensi dan Persiapan Indonesia Menghadapi
Berakhirnya Program IMF pada Akhir Tahun 2003
1 EFF adalah sebuah fasilitas IMF yang diberikan kepada negaraanggota yang mengalami ketidakseimbangan neraca pembayaranyang serius sehingga memerlukan external financing dengan jangkawaktu pengembalian pinjaman yang relatif panjang untukmemungkinkan dilakukannya reformasi ekonomi secara struktural.
2 Perhitungan menggunakan nilai tukar IMF pada 31 Desember 2002sebesar $1,35952 per Special Drawing Rights (SDR)
252
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
ekonomi, khususnya posisi cadangan devisa, negara
tersebut telah menunjukkan perbaikan yang
signifikan. Sebagai informasi, Korea Selatan dan
Thailand disetujui keluar dari program IMF masing-
masing pada 3 Desember 2000 dan 19 Juni 2001.
Meski telah dinyatakan lulus, kedua negara tersebut
menempuh skim yang berbeda. Korea Selatan telah
melunasi semua pinjaman IMF jauh lebih cepat dari
jadwal awal, sementara Thailand sampai saat ini
masih melunasi pinjamannya sesuai dengan jadwal
yang ditetapkan sebelumnya. Dengan menimbang
bahwa menurut ketentuan IMF, percepatan
pembayaran kembali hanya bisa dilakukan oleh
negara yang mempunyai kondisi neraca pembayaran
dan cadangan devisa yang demikian kuat, skim
keluarnya Indonesia dari program IMF kemungkinan
besar akan mirip dengan skim yang dijalani Thai-
land. Meski skim ini tidak mensyaratkan pemenuhan
conditionality seperti dalam program IMF,
perekonomian Indonesia masih akan di-review oleh
Dewan Eksekutif IMF sebanyak dua kali dalam
setahun (Post Program Monitoring atau PPM).3
Apa konsekuensi-konsekuensi yang perlu kita
cermati dari diakhirinya program IMF di Indonesia
pada akhir 2003 nanti? Konsekuensi pertama terkait
dengan hilangnya kesempatan Indonesia untuk
memperoleh penjadwalan utang luar negeri
pemerintah di bawah Paris Club. Hanya negara yang
terkait dengan suatu program IMF, entah itu dalam
bentuk SBA ataupun EFF, dapat memperoleh
penjadwalan utang Paris Club. Selain itu, dengan
menimbang bahwa penjadwalan utang dalam Paris
Club juga menganut prinsip comparability of treat-
ment untuk semua kreditor Indonesia, kemungkinan
penjadwalan utang dengan London Club
kemungkinan besar juga akan tertutup seiring
dengan berakhirnya program IMF.
Sementara itu, data menunjukkan bahwa
pinjaman program bilateral maupun multilateral
yang policy matrix-nya terkait langsung dengan
program IMF di Indonesia memiliki tingkat realisasi
penarikan di 2001 yang jauh lebih tinggi daripada
jenis pinjaman-pinjaman program jenis lainnya.4
Kenyataan ini berpotensi melahirkan keragu-raguan
di kalangan negara donor terhadap kemampuan
Indonesia dalam memenuhi policy matrix pinjaman-
pinjaman program tanpa keberadaan program IMF,
yang pada gilirannya dapat mengganggu realisasi
penarikan pinjaman program.
Munculnya financing gap dalam keuangan
pemerintah sebagai dampak hilangnya kesempatan
memperoleh penjadwalan utang Paris Club
merupakan konsekuensi kedua dari berakhirnya
program IMF. Hilangnya kesempatan memperoleh
penjadwalan utang Paris Club di 2004 saja akan
memaksa pemerintah untuk mencari sumber dana
alternatif sampai dengan Rp30,0 triliun untuk
pembayaran utang luar negeri di tahun tersebut.
3 Dengan asumsi bahwa Indonesia masih akan menarik sisa pinjamanIMF selama tahun 2003 dan melunasinya sesuai jadwal, reviewberkala IMF di bawah skim PPM ini diprakirakan masih akanberlangsung paling lama sampai dengan akhir 2008, kecuali bilaDewan Eksekutif IMF memutuskan lain.
4 Pinjaman program merupakan jenis pinjaman terbesar dalam utangluar negeri pemerintah Indonesia.
253
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
Sumber-sumber dana alternatif tersebut harus digali
lebih dalam bilamana berakhirnya program IMF
ternyata juga mengganggu penarikan pinjaman pro-
gram bilateral maupun multilateral.
Sebagai konsekuensi ketiga, berakhirnya
program IMF memaksa pelaku pasar dan masyarakat
internasional untuk mencari alternatif rujukan (ref-
erence) dalam menilai perekonomian Indonesia.
Menjadi pertanyaan krusial adalah apakah
pemerintah Indonesia-bersama dengan DPR dan
Bank Indonesia-mampu merumuskan kebijakan
pemulihan ekonomi yang koheren dan
melaksanakannya secara konsisten. Bilamana hal ini
dapat diwujudkan, kredibilitas pemerintah yang
terbangun kokoh diprakirakan dapat menggantikan
fungsi rujukan program IMF bagi pelaku pasar dan
masyarakat internasional. Sebaliknya, merosotnya
kepercayaan (confidence) mereka terhadap
perekonomian Indonesia akan menjadi taruhannya.
Konsekuensi keempat terkait dengan kondisi
neraca pembayaran dan cadangan devisa kita pasca
berakhirnya program IMF. Pembayaran kembali
pinjaman IMF sesuai dengan jadwal semula
diperkirakan tidak akan membahayakan kinerja
keduanya. Justru yang menjadi kekuatiran adalah
bilamana berakhirnya program IMF diikuti oleh
peningkatan capital outflows seiring dengan
menurunnya kepercayaan (confidence) pelaku pasar
dan masyarakat internasional terhadap
perekonomian Indonesia. Dalam kondisi ini dan
dengan asumsi kinerja ekspor belum akan
mengalami perbaikan yang berarti, neraca
pembayaran dan cadangan devisa kita dapat
menghadapi tahun-tahun yang sulit dalam beberapa
tahun kedepan.
Menyimak konsekuensi-konsekuensi di atas,
sejumlah hal perlu dipersiapkan bersama agar proses
berakhirnya program IMF pada akhir 2003 nanti
dapat berjalan mulus (exit strategy). Persiapan
pertama dan utama yang harus dilakukan
pemerintah Indonesia adalah dengan sadar dan
sistematis memupuk kemampuan dalam merancang
kebijakan yang koheren sekaligus konsisten
melaksanakannya. Dalam kaitan ini, langkah awal
yang sebaiknya dilakukan pemerintah adalah
berupaya memenuhi komitmen-komitmen yang
telah tertuang dalam butir-butir LoI dalam sisa 2003
secara konsisten dan tepat waktu.
Persiapan kedua, pemerintah Indonesia
dituntut untuk bekerja keras mengeksplorasi
sumber-sumber pembiayaan sebagai kompensasi
hilangnya kesempatan memperoleh penjadwalan
utang Paris Club dan kemungkinan turunnya tingkat
penarikan pinjaman program bilateral dan multi-
lateral seiring dengan berakhirnya program IMF.
Peningkatan pendapatan pajak melalui perluasan
basis pajak (tax base), efisiensi pengeluaran melalui
peralihan dari price subsidies menjadi targeted sub-
sidies, reprofiling obligasi pemerintah, dan
penerbitan surat utang di pasar domestik khususnya
untuk refinancing merupakan sumber-sumber
alternatif yang telah banyak dibicarakan untuk
dieksplorasi lebih jauh. Satu kemungkinan langkah
terobosan dapat dilakukan dalam bentuk upaya
254
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
memperoleh penjadwalan utang luar negeri secara
bilateral dengan sejumlah negara di luar kerangka
Paris Club .
Persiapan ketiga yang sebaiknya dilakukan
pemerintah adalah peningkatan upaya
pengembangan pasar domestik bagi surat utang
negara. Selain sangat kondusif bagi peningkatan
daya serap penerbitan surat utang negara guna
pembiayaan keuangan pemerintah, pasar surat
utang negara yang telah berkembang diharapkan
dapat membantu menarik investasi portfolio oleh
pelaku pasar asing. Hal ini pada gilirannya
diharapkan dapat mengkompensasi financing gap
dalam neraca pembayaran sebagai akibat
pembayaran kembali utang IMF dan tertutupnya
peluang penjadwalan utang Paris Club.
Hal keempat dan terakhir yang harus
diupayakan pemerintah adalah membangun
komitmen politik yang kokoh dan luas untuk pulih
dari krisis dan kepemimpinan yang kuat dan
memiliki kemampuan mengkoordinir proses
berakhirnya program IMF. Pengalaman Korea
Selatan dan Thailand mengajarkan kepada Indo-
nesia bahwa keberadaan kedua hal tersebut, selain
kestabilan politik dan keamanan, memainkan peran
yang tidak dapat diabaikan di balik cerita
keberhasilan kedua negara tersebut keluar dari
program IMF.
255
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
Krisis perbankan yang terjadi pada tahun
1997 telah memberikan pelajaran pentingnya
menciptakan industri perbankan nasional yang
memiliki ketahanan dan kemampuan yang memadai
untuk menghadapi berbagai macam gejolak eksternal
(external shocks). Sementara itu, saat ini
perkembangan produk dan jasa perbankan mengalami
perubahan yang lebih kompleks disertai dengan risiko
yang lebih besar sebagai akibat dari tuntutan nasabah
yang menginginkan produk dan jasa bank yang lebih
bervariasi. Dengan munculnya produk-produk baru
yang semakin inovatif tersebut, perbankan nasional
harus siap menghadapi segala macam risko yang
kemungkinan berpotensi untuk muncul di kemudian
hari. Disamping itu, perkembangan teknologi
informasi menyebabkan distribusi produk dan jasa
yang ditawarkan oleh lembaga keuangan termasuk
perbankan semakin meluas dan cepat sehingga
sifatnya menjadi global dan universal. Dalam rangka
menghadapi segala perubahan dan tantangan
tersebut, perbankan nasional perlu mempersiapkan
segala sesuatunya agar memiliki ketahanan yang kuat
dalam menghadapi berbagai macam perubahan serta
mampu berkompetisi secara sehat dan wajar di
pasar nasional maupun memiliki daya saing di pasar
intenasional.
Dalam kondisi demikian, industri perbankan
nasional memerlukan adanya suatu kerangka acuan
bagaimana perbankan nasional mampu mengatasi
segala perubahan dan tantangan tersebut serta
arah yang hendak dicapai oleh perbankan nasional
di masa yang akan datang. Kerangka acuan
tersebut diwujudkan dalam bentuk cetak biru
arsitektur perbankan nasional yang bersifat
menyeluruh dan dapat dipakai sebagai acuan bagi
semua pihak yang terlibat di dalam industri
perbankan. Sehubungan dengan hal tersebut, saat
ini Bank Indonesia sedang menyusun Arsitektur
Perbankan Indonesia (API) yang dapat dipakai
sebagai kerangka kebijakan perbankan di masa
yang akan datang. Direncanakan penyusunan API
tersebut dapat diselesaikan pada akhir tahun 2003
sehingga implementasinya dapat dilakukan secara
bertahap dari tahun 2004 sampai dengan 2014.
Dengan demikian perbankan nasional memiliki
waktu yang cukup untuk menyesuaikan diri dengan
berbagai kebijakan perbankan yang telah
direkomendasikan di dalam API tersebut.
Visi dari pada API itu sendiri adalah terciptanya
sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien untuk
mencapai stabilitas sistem keuangan dan mendorong
pembangunan ekonomi nasional. Visi tersebut
dijabarkan dalam beberapa tujuan sebagai berikut:
1. Terciptanya struktur perbankan domestik yang
sehat dan mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat untuk mendorong pembangunan
ekonomi nasional yang berkesinambungan.
2. Terciptanya industri perbankan yang kuat dan
memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki
ketahanan dalam menghadapi risiko.
bo
ks
Arsitektur Perbankan Indonesia
256
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
3. Terciptanya good corporate governance dalam
rangka memperkuat kondisi internal perbankan
nasional.
4. Terciptanya sistem pengaturan dan pengawasan
bank yang efektif dan mengacu pada standar
internasional.
5. Terwujudnya infrastruktur yang lengkap untuk
mendukung terciptanya industri perbankanyang
sehat.
6. Terwujudnya pemberdayaan dan perlindungan
konsumen pengguna jasa perbankan.
Secara garis besar, kerangka dasar (grand
design) dari pada API itu terdiri dari 6 (enam) pilar
yaitu yang satu sama lain saling berhubungan dan
saling menunjang. Keenam pilar di dalam API
tersebut tertuang di dalam diagram di bawah ini.
Dari keenam pilar API diatas, pilar yang
berada ditengah yaitu mengenai struktur perbankan
ke depan merupakan pilar yang paling penting
diantara pilar-pilar lainnya. Pilar tersebut
mencerminkan fondasi kelembagaan perbankan
kedepan yang diharapkan mampu menciptakan
lembaga perbankan yang kokoh dan berdaya saing
internasional. Sedangkan pilar-pilar lainnya
merupakan pilar pendukung yang juga memiliki
peran dan kontribusi yang sangat penting dalam
rangka mewujudkan sistem perbankan yang sehat
dan stabil.
Bagan : Enam Pilar Arsitektur Perbankan Indonesia
257
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
Pendahuluan
Krisis perbankan tahun 1997 menunjukkan
bahwa faktor-faktor yang secara potensial dapat
mengancam stabilitas sistem keuangan secara
menyeluruh, bukan terbatas pada individu institusi
keuangan, sangat diperlukan oleh otoritas yang
menjaga sistem keuangan, termasuk bank sentral.
Krisis tersebut juga memberikan pelajaran bahwa
mekanisme pemeliharaan stabilitas sistem keuangan
dan penanganan krisis belum berjalan secara efektif.
Peran pemeliharaan stabilitas sistem keuangan
nasional secara umum dapat dikatakan ada pada
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dan otoritas
pengawas bank, sementara Departemen Keuangan
berperan sebagai otoritas fiskal dan otoritas
pengawas lembaga keuangan non-bank. Berdasarkan
pengalaman di waktu krisis, belum efektifnya upaya
pemeliharaan stabilitas sistem keuangan di
Indonesia antara lain disebabkan belum adanya
kerangka kerja formal dalam menjaga upaya
stabilitas sistem keuangan termasuk belum
tersedianya infrastruktur keuangan, mekanisme
koordinasi yang efektif, kerangka kerja pengaturan
yang kondusif, serta mekanisme penyelesaian krisis
yang komprehensif.
Oleh sebab itu, ke depan diperlukan suatu
mekanisme yang efektif dan menyeluruh dalam
menjaga stabilitas sistem keuangan yang mencakup
elemen-elemen tersebut. Hal ini mendorong Bank
Indonesia untuk menyempurnakan langkah-langkah
yang menyeluruh dalam menjalankan fungsinya
untuk mendorong stabilitas sistem keuangan.
Langkah-langkah ini dituangkan dalam Cetak Biru
Stabilitas Sistem Keuangan, yang antara lain
mencakup persiapan organisasi, mempersiapkan
peran monitong dan surveilance, dan penyelesaian
krisis.
Alasan-Alasan Perlunya Fungsi SSK
Terdapat beberapa faktor pendorong mengapa
stabilitas sistem keuangan menjadi prioritas Bank
Indonesia. Pertama, krisis dalam sistem keuangan
selalu membawa dampak negatif terhadap kinerja
perekonomian dan menghabiskan biaya fiskal yang
tidak sedikit. Krisis yang terjadi sejak 1997 tidak
saja berdampak terhadap sektor riil, namun bahkan
berkembang jauh lebih buruk menjadi krisis multi-
dimensi termasuk krisis di bidang sosial dan politik.
Kedua, bagi kebijakan moneter, ketidakstabilan
sistem keuangan telah menyebabkan Bank Indone-
sia dihadapkan ada persoalan yang sangat mendasar
bagi berlangsungnya manajemen moneter. Tidak
berfungsinya intermediasi perbankan telah
menyebabkan proses transmisi kebijakan moneter
menjadi tidak berjalan dengan baik dan kebijakan
moneter dalam mempengaruhi sasaran akhir inflasi
menjadi kurang efektif. Ketiga, bank sentral juga
memiliki peranan penting dalam menciptakan sistem
pembayaran yang lancar dan aman, yang menjadi
salah satu prasyarat terciptanya stabilitas sistem
bo
ks
Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Di Indonesia
258
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
keuangan. Keempat, peran bank sentral sebagai
lender of the last resort, yaitu peranan bank sentral
sebagai penyedia likuditas sementara untuk
mencegah terjadinya risiko sistemik mengharuskan
bank sentral untuk memonitor risiko-risiko yang
dapat menyebabkan terjadinya ketidakstabilan
sistem keuangan secara menyeluruh.
Ruang Lingkup Kerja SSK
Secara umum, suatu sistem keuangan
dikatakan stabil jika institusi-institusi keuangan
berada dalam kondisi sehat baik dari sisi
keuangannya maupun sisi risiko yang dihadapinya.
Dalam kondisi demikian, terdapat tingkat
kepercayaan yang tinggi terhadap institusi keuangan
secara umum bahwa mereka dapat memenuhi
kewajiban keuangannya dengan baik. Kedua, sistem
keuangan yang stabil terjadi jika pasar-pasar
keuangan berada dalam kondisi stabil, yaitu pasar
keuangan tidak diwarnai oleh gejolak harga yang
tinggi sehingga tidak mencerminkan kondisi
fundamental pasar tersebut.
Sekalipun memiliki peran dominan, namun
apabila mengacu pada karateristik diatas, jelas
terlihat bahwa Bank Indonesia tidak akan mampu
mewujudkan kondisi kestabilan system keuangan
dimaksud tanpa peran aktif dari lembaga-lembaga
otoritas lain terkait, yang merupakan bagian utama
dari suatu kerangka infrastruktur sistem keuangan
secara keseluruhan. Untuk itu, kedepan diperlukan
adanya pembagian peran dan tanggung jawab dari
masing-masing lembaga yang ada, termasuk
lembaga-lembaga yang saat ini masih dalam proses
pembentukan seperti otoritas jasa keuangan dan
Lembaga Penjamin Simpanan, untuk dapat
memberikan kontribusinya dalam upaya penciptaan
stabilitas sistem keuangan. Peran masing-masing
lembaga dan hubungannya antara satu dengan yang
lain dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan
nantinya perlu diatur secara formal. Disamping itu,
kerangka koordinasi dan kerjasama yang intensif dan
harmonis antar lembaga dimaksud mutlak harus
disusun dan dilaksanakan secara efektif agar tujuan
memelihara stabilitas sistem keuangan dapat
tercapai.
Peran dan Fungsi Bank Indonesia dalam SSK
Berdasarkan praktek yang dilakukan di negara-
negara lain, secara umum peran bank sentral dalam
stabilitas sistem keuangan mencakup area sebagai
berikut:
• Melakukan pemantauan terhadap stabilitas
sistem keuangan (financial system surveillance)
• Memberikan rekomendasi kebijakan stabilitas
sistem keuangan, misalnya kepada otoritas lain
(Pemerintah). Peran ini dilakukan bersama-sama
dengan lembaga lain yang mempunyai otoritas
dalam pengawasan lembaga dan pasar keuangan.
• Memberikan bantuan untuk penyelesaian krisis
antara lain melalui mekanisme lender of the last
resort.
• Menciptakan safe and robust payment system
antara lain melalui pengawasan terhadap system
pembayaran (payment system oversight).
259
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
• Melakukan kerjasama dan koordinasi dengan
otoritas lain, mengingat stabilitas system
keuangan bukan hanya tanggung jawab bank
sentral semata melainkan otoritas lain pun
memberikan kontribusi yang signifikan.
• Mendorong penciptaan kebijakan moneter yang
kondusif.
Guna melaksanakan peran tersebut diatas, BI
dalam waktu dekat akan mengambil inisiatif akan
melaksanakan beberapa fungsi stabilitas sistem
keuangan yang akan dicerminkan dalam internal
organisasi BI. Fungsi-fungsi dimaksud antara lain
fungsi riset, fungsi monitoring, fungsi pengaturan
dan fungsi pencegahan dan penyelesaian krisis.
Fungsi riset merupakan salah satu komponen
terpenting yang direncanakan menjadi tugas utama
Bank Indonesia pada tahap awal implementasi fungsi
stabilitas sistem keuangan di lembaga ini. Obyek
riset antara lain mencakup lembaga keuangan, pasar
uang dan modal, kebijakan makro ekonomi,
kebijakan fiskal, sektor korporat, sektor rumah
tangga, sistim pembayaran, hutang luar negeri,
hutang dalam negeri, dan pasar keuangan
international.
Fungsi surveillance ditujukan untuk melakukan
monitoring terhadap semua indikator yang dapat
mempengaruhi stabilitas sistem keuangan, yang
secara umum dapat dikelompokkan dalam dua
bagian yaitu indikator mikro-agregat dan indikator
makro. Obyek monitoring meliputi lembaga
keuangan, pasar modal, sektor riil, international
market, kebijakan fiskal pemerintah, kebijakan
moneter, hutang luar negari, hutang dalam negeri,
dan sistem pembayaran.
Fungsi pengaturan berkaitan dengan
penyusunan kerangka kerja pengaturan, ketentuan,
standar dan guidelines sebagai rambu-rambu baik
bagi bank maupun lembaga keuangan lain agar
beroperasi berdasarkan aturan prudensial. Peranan
Bank Indonesia dalam pengaturan dan penyusunan
standard akan berkaitan dengan aspek
macroprudential, moneter, dan sistem pembayaran.
Secara prinsip unit stabilitas system keuangan
merupakan satuan kerja yang akan mendukung
satuan kerja lain internal maupun external dengan
memberikan rekomendasi-rekomendasi yang
diperlukan dalam penyusunan kebijakan sektor
terkait.
Peran bank sentral dalam stabilitas sistem
keuangan terkait erat dengan fungsi pencegahan dan
penyelesaian krisis keuangan mengingat
kedudukannya sebagai lender of the last resort.
Sebagai acuan pencegahan krisis (crisis prevention),
dalam berbagai forum telah disepakati untuk
menerapkan standar regulasi yang diterapkan secara
internasional yang dimotori oleh lembaga
internasional, seperti IMF, BIS maupun oleh asosiasi
praktisi (lihat Gambar). Standar dan regulasi seperti
itu juga akan dijadikan acuan oleh Bank Indonesia
dalam menyusun kerangka kerja bagi pencapaian
kestabilan sistem keuangan di Indonesia.
Dalam hal penanganan krisis (crisis resolution),
pengalaman menunjukkan bahwa diperlukan adanya
suatu prosedur penanganan disertai kejelasan peran
260
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
dan tanggung jawab dari masing-masing lembaga.
Dalam hal krisis tersebut disebabkan karena adanya
permasalahan pada satu bank/lembaga keuangan,
maka perlu kiranya kejelasan hal-hal sebagai
berikut:
- Wewenang dari lembaga terkait dalam
menentukan suatu lembaga keuangan/bank
termasuk dalam kategori yang dapat
menimbulkan kegagalan sistemik.
- Prosedur penyelamatan lembaga keuangan/bank
yang terkena kirisis dalam UU dalam hal
penggunaan dana masyarakat.
- Peran bank sentral, otoritas pengawas maupun
pemerintah dalam menanggulangi krisis di sektor
keuangan yang masih perlu diperjelas.
Di berbagai negara, antara lain Inggris dan
Australia, dibentuk standing committee yang terdiri
atas Bank Sentral, Otoritas Pengawas Bank dan
pemerintah untuk membahas solusi permasalahan
untuk diputus oleh lembaga yang berwenang seperti
pemerintah.
Aspek lain yang tak kalah pentingnya adalah
koordinasi dari berbagai otoritas dalam menjaga
stabilitas sistem keuangan dan menangani krisis
yang terjadi. Mengingat bahwa unsur-unsur yang
ada dalam stabilitas sistem keuangan ini berada
di berbagai otoritas, yaitu otoritas kebijakan
moneter, otoritas pengawasan lembaga keuangan
dan pasar modal, lembaga penjamin simpanan dan
Pemerintah selaku otoritas kebijakan fiskal,
FINANCIAL STABILITY FORUM
Macroeconomic Policies & Data Transparency
Institutional & Market Infrastructure
Prudential Financial Regulation & Supervision
1.Code of Good Practice of Transparency in Monetary and Financial Policies
2.Code of Good Practice in Fiscal Transparency
3.Data Dissemination Standard
1.Principles of Corporate Governance
2.Core Principles for Systemically Important Payment System
3.Market Integrity (Financial Action Task Force/FATF on Anti Money Laundering)
4. Insolvency
5. International Accounting Standard (IAS)
6. International Standard on Auditing (ISA)
1.Core Principles for Effective Banking Supervision
2.Principles of Securities Regulation
3.Core Principles for Insurance Supervision
12 Key Standards for Sound Financial Systems
261
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan
diperlukan koordinasi di antara otoritas-otoritas
dimaksud.
Berbagai isu akan muncul berkaitan dengan
koordinasi dan kerjasama antara otoritas ini,
antara lain pembagian informasi mengenai kinerja
individual bank yang berpotensi menimbulkan
permasalahan sistemik, dan aggregasi berbagai
indikator dari industri keuangan seperti, kondisi
solvabilitas, likuiditas, dan NPL. Salah satu
pendekatan atas koordinasi adalah dengan
melakukan interlocking management antara Bank
Sentral dan Otoritas Jasa Keuangan. Di samping
itu dapat pula dibentuk Financial Stability Stand-
ing Committee yang beranggotakan Bank Sentral,
Otoritas Jasa Keuangan dan Pemerintah, untuk
memaksimalkan frekuensi koordinasi antar-
lembaga secara rutin. Koordinasi dan kerjasama
antar lembaga tersebut seyogyanya tertuang dalam
suatu Undang-Undang, atau paling tidak dalam
bentuk Memorandum of Understanding (MoU).
263
Lampiran
Lampiran A
BANK INDONESIA
Kantor Pusat
Jakarta
Kantor PerwakilanLondon
New YorkSingapura
Tokyo
Kantor-Kantor Bank IndonesiaAmbon, Balikpapan,
Banda Aceh, Bandar Lampung,Bandung, Banjarmasin, Batam, Bengkulu, Cirebon
Denpasar, Jambi, Jayapura, Jember, Kediri, Kendari,Kupang, Lhokseumawe, Makassar, Malang, Manado, Mataram,Medan, Padang, Palangkaraya, Palembang, Palu, Pekanbaru,
Pontianak, Purwokerto, Samarinda, Semarang,Sibolga, Solo, Surabaya, Tasikmalaya,
Ternate, Yogyakarta
A Kantor Pusat, Kantor Perwakilan dan Kantor-Kantor Bank Indonesia
264
Lampiran
Lampiran B
Dewan Gubernur Bank Indonesiaper tanggal 31 Desember 2002
Gubernur
Syahril Sabirin
Deputi Gubernur Senior
Anwar Nasution
Deputi Gubernur
Miranda S. Goeltom
Aulia Pohan
Bun Bunan E.J. Hutapea
Maulana Ibrahim
Maman H. Somantri
Aslim Tadjuddin
B Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 31 Desember 2002
265
Lampiran
Lampiran C.1
Organisasi dan Sumber Daya Manusia
Selama 2002, Bank Indonesia telah
melaksanakan beberapa penyempurnaan organisasi
dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Penyempurnaan organisasi dilakukan dalam rangka
memenuhi tuntutan perkembangan internal dan
eksternal Bank Indonesia serta dalam rangka
mewujudkan misi Bank Indonesia. Sehubungan dengan
upaya menunjang pengembangan pasar surat berharga
Pemerintah, telah dilakukan pengembangan
penatausahaan surat berharga melalui On Line
Scripless Security Settlement System (SSSS).
Pengembangan ini akan menghasilkan system
penatausahaan surat berharga yang terintegrasi
dengan sistem Bank Indonesia – Real Time Gross
Settlement (BI-RTGS) dan system pelaku pasar
sehingga tercipta Centralized Depository and Settle-
ment di bank Indonesia. Oleh karena itu telah
dilakukan penyempurnaan organisasi Direktorat
Pengelolaan Moneter (DPM) dengan melakukan
perubahan pada struktur organisasi dan tugas pokok
Direktorat dimaksud, yaitu dengan membentuk Tim
Pengembangan Penatausahaan Surat Berharga.
Di bidang Sistem Pembayaran, dengan
memperhatikan Core Principles for Systemically Im-
portant Payment System (CPSIPS) dan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, maka obyek pengawasan
system pembayaran menjadi lebih luas dan bervariasi.
Agar pengawasan dapat dilakukan dengan lebih
terfokus, tugas pengawasan yang semula tergabung
dalam Tim Pengaturan dan Pengawasan Sistem
Pembayaran Nasional dialihkan kepada satuan kerja
baru di lingkungan Direktorat Akunting dan Sistem
Pembayaran, yaitu Bagian Pengawasan Sistem
Pembayaran.
Dalam rangka melakukan perubahan secara
mendasar dan bersifat menyeluruh, saat ini Bank In-
donesia sedang melaksanakan Program Transformasi
Bank Indonesia. Program ini dilakukan secara bertahap
dan telah memasuki tahap implementasi dengan
pelaksanaan 7 (tujuh) program strategis yaitu Proyek
Perencanaan, Anggaran dan Manajemen Kinerja;
Proyek Manajemen Sumber Daya Manusia; Proyek
Perbankan; Proyek Manajemen Informasi; Proyek
Teknologi Informasi; Proyek Moneter; dan Proyek
Logistik. Implementasi masing-masing proyek
dimaksud dilaksanakan di bawah organisasi Unit
Khusus Program Transformasi (UKPT) sebagai tindak
lanjut atas hasil diagnostic study yang telah dilakukan
pada tahap sebelumnya.
Sebagai wujud implementasi pertama dari
beberapa program strategis adalah Proyek Manajemen
Sumber Daya Manusia, yaitu dengan
disempurnakannya pola pengelolaan sumber daya
manusia. Penyempurnaan ini dilakukan dengan
mengubah kewenangan dan tanggung jawab
Manajemen Sumber Daya Manusia, yaitu dengan lebih
meningkatkan peran Line Manager dalam pengelolaan
sumber daya manusia di satuan kerjanya. Dengan
C.1 Organisasi dan Sumber Daya Manusia
266
Lampiran
adanya perubahan tersebut, telah dilakukan
penyempurnaan organisasi Direktorat Sumber Daya
Manusia dengan peran baru sebagai mitra strategis
dan agen perubahan di Bank Indonesia.
Dalam rangka mewujudkan misi Bank Indone-
sia, sekaligus sebagai hasil implementasi Proyek
Manajemen Informasi, telah dibentuk Unit Khusus
Manajemen Informasi (UKMI) yang mempunyai misi
untuk mempersiapkan strategi dan implementasi
Manajemen Informasi Bank Indonesia yang efektif dan
efisien yang didasarkan pada kebutuhan stakehold-
ers. UKMI berperan sebagai perumus dan pengarah
Manajemen Informasi bank Indonesia, penasihat dan
pengelola informasi pada tingkatan operasional dan
sebagai koordinator factor-faktor pendukung kinerja
manajemen informasi.
Untuk menghasilkan sumber daya manusia yang
memiliki nilai-nilai strategis dan mempunyai
motivasi serta kinerja yang tinggi dalam rangka
mewujudkan misi Bank Indonesia, secara terus-
menerus telah dilakukan penyempurnaan Sistem
manajemen Sumber Daya Manusia.
Selama 2002 telah diimplementasikan ketentuan
mengenai Peningkatan Mutu dan Ketrampilan Luar
Negeri dengan tujuan untuk meningkatkan
kemampuan pegawai sesuai dengan tugas dan jabatan
sehingga dapat memperlancar pelaksanaan tugas,
memperluas wawasan pegawai guna peningkatan
produktivitas kerja organisasi dan meningkatkan
motivasi kerja pegawai.
Di samping itu, telah disempurnakan pula
ketentuan mengenai penerimaan pegawai dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan sumber daya
manusia yang kompeten guna mendukung pencapaian
tujuan organisasi, dengan ruang lingkup penerimaan
untuk seluruh golongan pegawai. Prinsip dasar
penerimaan pegawai adalah penggunaan proses seleksi
penerimaan yang transparan dan jaminan objektivitas
hasil seleksi penerimaan.
Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia lain
yang telah disempurnakan adalah sistem Promosi
Pegawai. Tujuan promosi adalah untuk mengisi
lowongan jabatan pada satu tingkat golongan di
atasnya dengan pegawai pada golongan satu tingkat
di bawahnya yang memenuhi persyaratan promosi
guna menjaga kesinambungan pemenuhan sumber
daya manusia, untuk meningkatkan motivasi pegawai,
untuk menghargai pegawai yang mempunyai prestasi,
potensi dan kemampuan sesuai dengan persyaratan
jabatan, dan untuk mendorong pengembangan karir
pegawai yang berprestasi dan berpotensi tinggi untuk
menjadi calon pimpinan organisasi. Promosi pegawai
dilaksanakan dengan mengacu pada perencanaan
sumber daya manusia.
Dalam rangka mewujudkan visi Bank Indonesia
menjadi lembaga yang terpercaya secara nasional
dan internasional, pegawai dituntut untuk
melaksanakan tugas berdasarkan nilai-nilai strategis
meliputi kompetensi, integritas, transparansi,
akuntabilitas dan kebersamaan. Oleh karena itu
telah diatur ketentuan tentang pemberian hono-
rarium di Bank Indonesia. Ketentuan ini mengatur
bahwa satuan kerja dilarang memberikan honorarium
kepada pegawai Bank Indonesia yang melaksanakan
tugas kedinasan Bank Indonesia yang dananya
bersumber dari anggaran Bank Indonesia. Di samping
itu, pegawai dilarang menerima honorarium dari
pihak ketiga yang sumber dananya berasal dari
267
Lampiran
Jumlah Pegawai
6.290
6.172
5.686
5.756
5.693
5.465
No. Akhir TahunAnggaran
Kantor PusatKantor BankIndonesia di
daerah
KantorPerwakilan
Jumlah
67 1)
21
17
18
18
14
2.882
2.852
2.601
2.615
2.556
2.480
3.341
3.299
3.068
3.123
3.119
2.971
1997/1998
1998/1999
1999/2000
2000/2001
Jan. 2002
Jan. 2003
1) Termasuk petugas belajar jangka panjang
1
2
3
4
5
6
anggaran Bank Indonesia atas pelaksanaan tugas
kedinasan Bank Indonesia.
Untuk melaksanakan tugas dan wewenang secara
bersih dan bebas dari unsur-unsur korupsi, kolusi dan
nepotisme, kepada Pimpinan (Anggota Dewan
Gubernur) diwajibkan melakukan pelaporan harta
kekayaannya kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara sesuai dengan Undang-Undang
yang berlaku. Secara internal, Bank Indonesia telah
menerbitkan Peraturan Dewan Gubernur Bank Indo-
nesia yang menegaskan kewajiban pelaporan
dimaksud kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara negara serta mewajibkan pula setiap
Pejabat Bank Indonesia sampai dengan tingkat
tertentu untuk melaporkan kekayaan dan kewajiban/
pinjamannya kepada Gubernur Bank Indonesia.
268
Lampiran
Kantor PusatDirektorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter : Hartadi A. Sarwono
Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter : -
Direktorat Pengelolaan Moneter : Tarmiden Sitorus
Direktorat Pengelolaan Devisa : Made Sukada
Direktorat Luar Negeri : Ny. Veronica W.S.P.
Biro Kredit : Roswita Roza
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan : Nelson Tampubolon
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan : M. Ashadi
Direktorat Pengawasan Bank 1 : Aris Anwari
Direktorat Pemeriksaan Bank 1 : Baridjussalam Hadi
Direktorat Pengawasan Bank 2 : Ny. Siti Ch. Fadjrijah
Direktorat Pemeriksaan Bank 2 : Ardhayadi M.
Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat : Abdul Salam
Direktorat Pengedaran Uang : Budiman Kostaman
Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran : Mohamad Ishak
Direktorat Logistik dan Pengamanan : Dede Ariffin S.
Direktorat Teknologi Informasi : Bambang Sindu W.
Direktorat Sumber Daya Manusia : Abdul Azis
Direktorat Keuangan Intern : Sumantri Supono
Direktorat Hukum : -
Direktorat Pengawasan Intern : Harmain Salim
Biro Gubernur : Rusli Simanjuntak
Biro Sekretariat : Djarot Sumartono
Unit Khusus Investigasi Perbankan : Mohammad Ali Said K.
Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan : Halim Alamsyah
Biro Perbankan Syariah : Harisman
Unit Khusus Program Transformasi : Romeo Rissal
Unit Khusus Manajemen Informasi : Dibyo Raharjo
Kantor PerwakilanPerwakilan Singapore : Ilham Ikhsan
Perwakilan Tokyo : -
Perwakilan London : Rasmo Samiun
Perwakilan New York : Maman Hendarman
269
Lampiran
Kantor Bank Indonesia
Kelas IKantor Bank Indonesia Bandung : Djoko Sarwono
Kantor Bank Indonesia Medan : Bambang Setijoprodjo
Kantor Bank Indonesia Semarang : Bachri Ansjori
Kantor Bank Indonesia Surabaya : Nana Supriana
Kelas IIKantor Bank Indonesia Bandar Lampung : Imrandani
Kantor Bank Indonesia Banjarmasin : M. Zaeni Aboe Amin
Kantor Bank Indonesia Denpasar : Lukman Boenjamin
Kantor Bank Indonesia Manado : Hadi Hassim
Kantor Bank Indonesia Padang : M. Djaelani Soegiarto
Kantor Bank Indonesia Palembang : Irman Djaja Dalimi
Kantor Bank Indonesia Makassar : Djoko Sutrisno
Kantor Bank Indonesia Yogyakarta : Amril Arief
Kelas IIIKantor Bank Indonesia Ambon : Rachman Abdulkadir
Kantor Bank Indonesia Banda Aceh : Yusmanazir Katin
Kantor Bank Indonesia Cirebon : Tjahjo Oetomo K.
Kantor Bank Indonesia Jambi : Erman Kurnandi
Kantor Bank Indonesia Jayapura : Sahat Tampubolon
Kantor Bank Indonesia Malang : Sentot Purnomo
Kantor Bank Indonesia Mataram : Satria Mulya
Kantor Bank Indonesia Pekanbaru : Mahmud
Kantor Bank Indonesia Pontianak : Rusli Sembiring
Kantor Bank Indonesia Samarinda : Prabowo
Kantor Bank Indonesia Solo : Adiastopo Joko Purnomo
270
Lampiran
Kelas IVKantor Bank Indonesia Balikpapan : Matsisno
Kantor Bank Indonesia Kupang : Dikan
Kantor Bank Indonesia Jember : Sutikno
Kantor Bank Indonesia Kediri : Imbang Setiamihardja
Kantor Bank Indonesia Purwokerto : Wiyono
Kantor Bank Indonesia Tasikmalaya : Moch. Zaenal Alim
Kantor Bank Indonesia Palangkaraya : Bramono Sidik
Kantor Bank Indonesia Bengkulu : Joko Wardoyo
Kantor Bank Indonesia Kendari : Mokhammad Dakhlan
Kantor Bank Indonesia Palu : J. Wiwoho
Kelas VKantor Bank Indonesia Batam : I Made Sudja
Kantor Bank Indonesia Sibolga : Yasin Effendi
Kantor Bank Indonesia Lhokseumawe : Fachrurrazi
Kantor Bank Indonesia Ternate : Muh. Abdul Fadlil
272
Lampiran
I.
II.
III.
IV.
V.
VI.
VII.
DIREKTORAT RISET EKONOMI DAN KEBIJAKAN MONETER1. Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan2. Bagian Studi Struktur dan Perkembangan Pasar Keuangan3. Bagian Studi Ekonomi Makro4. Bagian Studi Sektor Riil5. Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional6. Bagian Perpustakaan Riset dan Administrasi
DIREKTORAT STATISTIK EKONOMI DAN MONETER1. Bagian Statistik Moneter2. Bagian Statistik Neraca Pembayaran3. Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah4. Bagian Pengelolaan Data dan Informasi Ekonomi dan Moneter5. Bagian Administrasi
DIREKTORAT PENGELOLAAN MONETER1. Bagian Operasi Pasar Uang2. Bagian Pengembangan Pasar Uang3. Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang4. Tim Pengembangan Penataan Surat Berharga5. Bagian Administrasi Pasar Uang
DIREKTORAT PENGELOLAAN DEVISA1. Dealing Room2. Tim Pengelolaan Risiko3. Tim Analisis Ekonomi dan Peraturan Devisa4. Bagian Penyelesaian Transaksi Devisa5. Bagian Administrasi dan Pemeliharaan Sistem Tresuri
DIREKTORAT LUAR NEGERI1. Bagian Administrasi dan Analisis Pinjaman Luar Negeri2. Bagian Pinjaman Luar Negeri3. Bagian Ekspor dan Impor4. Bagian Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan Internasional5. Bagian Administrasi
BIRO KREDIT1. Bagian Pengelolaan dan Administrasi Kredit2. Tim Penelitian dan Pengembangan
DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN1. Tim-tim
a.Tim Pengaturan Bankb.Tim Pengembangan Pengawasan Bank
2. Biro Penelitian Perbankan3. Bagian Informasi dan Dokumentasi Penelitian dan Pengaturan
Perbankan
Daftar Satuan Kerja di Bank Indonesia
No. Nama Satuan Kerja Singkatan
DKMAPKSPPKSEMSSRSEI
PRAd
DSMSMonSNPSRKPPDIEAdms
DPMOPUPPUPTPU
-Admp
DPDDR--
PTDAdPS
DLNAPLNPLNEXIMKEPIAdml
BKrPAdk
-
DPNP-
PNPBIDPnP
273
Lampiran
No. Nama Satuan Kerja Singkatan
VIII.
IX.
X.
XI.
XII.
XIII.
XIV.
XV.
XVI.
DIREKTORAT PERIZINAN DAN INFORMASI PERBANKAN1. Tim Bank Dalam Likuidasi2. Bagian Data Perbankan3. Bagian Perizinan4. Bagian Informasi dan Pengembangan Sistem Informasi Perbankan
DIREKTORAT PENGAWASAN BANK 11. Bagian Pengawasan Bank 112. Bagian Pengawasan Bank 123. Bagian Pengawasan Bank 134. Bagian Pengawasan Bank 145. Bagian Pengawasan Bank 156. Bagian Pengawasan Bank 167. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pengawasan Bank 1
DIREKTORAT PENGAWASAN BANK 21. Bagian Pengawasan Bank 212. Bagian Pengawasan Bank 223. Bagian Pengawasan Bank 234. Bagian Pengawasan Bank 245. Bagian Pengawasan Bank 256. Bagian Pengawasan Bank 267. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pengawasan Bank 2
DIREKTORAT PEMERIKSAAN BANK 11. Tim-tim Pemeriksa2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pemeriksaan Bank 1
DIREKTORAT PEMERIKSAAN BANK 21. Tim-tim Pemeriksa2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pemeriksaan Bank 2
DIREKTORAT PENGAWASAN BANK PERKREDITAN RAKYAT1. Tim-tim
a.Tim Pengawasanb.Tim Penjaminan & Likuidasi BPR
2. Bagian Perizinan, Penelitian dan Pengaturan BPR3. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pengawasan BPR
UNIT KHUSUS INVESTIGASI PERBANKAN1. Tim-tim Investigasi2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Investigasi Perbankan
BIRO PERBANKAN SYARIAH1. Tim-Tim a. Tim Penelitian dan Pengaturan Perbankan Syariah b. Tim Pengawasan Bank Syariah c. Tim Perizinan dan Administrasi Perbankan Syariah
DIREKTORAT PENGEDARAN UANG1. Bagian Pengelolaan Uang Masuk2. Bagian Pengelolaan Uang Keluar3. Bagian Distribusi Uang
DPIP-
DtBPrz
IPSiP
DPwB1PwB11PwB12PwB13PwB14PwB15PwB16IDWB1
DPwB2PwB21PwB22PwB23PwB24PwB25PwB26IDWB2
DPmB1-
IDMB1
DPmB2-
IDMB2
DPBPR-
P3BPRIDBPR
UKIP-
IDIP
BPS-
DPUBPUMBPUKDU
274
Lampiran
No. Nama Satuan Kerja Singkatan
XVII.
XVIII.
XIX.
XX.
XXI.
XXII.
XXIII
XXIV.
XXV.
4. Bagian Pelaksanaan Pengadaan Uang5. Tim Penelitian, Perencanaan dan Pengaturan Pengedaran Uang
DIREKTORAT AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN1. Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional2. Bagian Akunting Devisa3. Bagian Kliring Jakarta4. Bagian Penyelesaian Transaksi Rupiah5. Bagian Pengawasan Sistem Pembayaran
DIREKTORAT LOGISTIK DAN PENGAMANAN1. Bagian Perencanaan Logistik dan Jasa2. Bagian Pengelolaan Logistik I3. Bagian Pengelolaan Logistik II4. Bagian Pengelolaan Jasa5. Bagian Pengamanan
DIREKTORAT TEKNOLOGI INFORMASI1. Biro Penelitian dan Pengembangan Teknologi Informasi2. Bagian Pemeliharaan Teknologi Informasi3. Bagian Pemrosesan Data Elektronis
DIREKTORAT SUMBER DAYA MANUSIA1. Tim Perencanaan Strategis SDM2. Tim Konsultansi SDM3. Tim Pelaksanaan SDM
DIREKTORAT KEUANGAN INTERN1. Biro Perencanaan dan Pengendalian Keuangan Intern2. Bagian Laporan Keuangan3. Bagian Pelaksanaan Gaji dan Keuangan Intern4. Bagian Anggaran
DIREKTORAT HUKUM1. Tim-Tim
a. Tim Penasehat Hukumb. Tim Dokumentasi dan Informasi Hukumc. Tim Enquiry Point
DIREKTORAT PENGAWASAN INTERN1. Tim-Tim
a.Tim Pengembangan Pengawasan Internb.Tim Analisis Ketentuanc.Tim Pengawasan Intern
2. Bagian Administrasi dan Informasi
PUSAT PENDIDIKAN DAN STUDI KEBANKSENTRALANKelompok Peneliti
UNIT KHUSUS PROGRAM TRANSFORMASI1. Proyek-Proyek2. Tim Pengendalian Program
PPgU-
DASPPSPNAkDvKlJPTR
PwSP
DLPPrLJPgL- IPgL -II
PgJPam
DTIPPTIPmTIPDE
DSDM---
DKIPPKILKeuPGKIAng
DHk-
DPI-
AdPI
PPSK-
UKPT-
275
Lampiran
No. Nama Satuan Kerja Singkatan
XXVI.
XXVII.
UNIT KHUSUS MANAJEMEN INFORMASI
BIRO GUBERNUR1. Tim-Tim
a.Tim Perencanaan dan Pemantauanb.Tim Hubungan Masyarakatc.Staf Gubernur
BIRO SEKRETARIAT1. Bagian Protokol2. Bagian Arsip
UKMI
BGub-
BSkProArs
276
Lampiran
Kantor Perwakilan Bank Indonesia1. New York N Y2. London Lnd3. Tokyo Tky4. Singapura Sn
Kantor Bank Indonesia1. Ambon Ab2. Balikpapan Bpp3. Banda Aceh Bna4. Bandar Lampung Bdl5. Bandung Bd6. Banjarmasin Bjm7. Batam Btm8. Bengkulu Bn9. Cirebon Cn10. Denpasar Dpr11. Jayapura Jap12. Jambi Jb13. Jember Jr14. Kediri Kd15. Kendari Kdi16. Kupang Kpa17. Lhokseumawe Lsm18. Makassar Mks19. Malang Ml20. Mataram Mtr21. Medan Mdn22. Manado Mo23. Padang Pdg24. Palangkaraya Plk25. Palembang Pg26. Palu Pal27. Pekanbaru Pbr28. Pontianak Ptk29. Purwokerto Pwt30. Samarinda Smr31. Semarang Sm32. Sibolga Sbg33. Solo Slo34. Surabaya Sb35. Tasikmalaya Tsm36. Ternate Tt37. Yogyakarta Yk
Nama Satuan Kerja Singkatan
277
Lampiran
1. Emas
2. Uang asing
3. Hak tarik khusus
4. Giro4.1 Bank Sentral4.2 Bank Koresponden
5. Deposito pada Bank Koresponden
6. Surat berharga6.1 Dalam rupiah6.2 Dalam valuta asing
7. Tagihan7.1 Kepada pemerintah
7.1.1 Dalam rupiah7.1.2 Dalam valuta asing
7.2 Kepada bank7.2.1 Dalam rupiah7.2.2 Dalam valuta asing
7.3 Kepada lainnya7.3.1 Dalam rupiah7.3.2 Dalam valuta asing
8. Penyisihan kerugian aktiva
9. Penyertaan
10. Aktiva lain-lain
Jumlah Aktiva
Lampiran D.1
Bank IndonesiaNeraca
per 31 Desember 2002 dan Desember 20011)
(Jutaan Rupiah)
A. Kewajiban1. Uang dalam peredaran2. Giro2.1 Pemerintah
2.1.1 Dalam rupiah2.1.2 Dalam valuta asing
2.2 Bank2.2.1 Dalam rupiah2.2.2 Dalam valuta asing
2.3 Pihak swasta lainnya2.3.1 Dalam rupiah2.3.2 Dalam valuta asing
2.4 Lembaga keuangan internasional2.4.1 Dalam rupiah2.4.2 Dalam valuta asing
3. Surat berharga yang diterbitkan3.1 Dalam rupiah3.2 Dalam valuta asing4. Pinjaman dari pemerintah4.1 Dalam rupiah4.2 Dalam valuta asing4.3 Surat Utang Bank Indonesia5. Pinjaman luar negeri6. Kewajiban lain-lainJumlah Kewajiban
B. Ekuitas1. Modal2. Cadangan umum3. Cadangan tujuan4. Hasil revaluasi aktiva tetap5. Hasil revaluasi kurs dan SSB6. Hasil indeksasi SUP7. Hasil indeksasi SUBI8. Surplus (defisit) tahun sebelumnya9. Surplus (defisit) tahun berjalan
Jumlah Ekuitas
Jumlah Kewajiban dan Ekuitas
1) a. Laporan Keuangan Bank Indonesia tahun 2001 telah diaudit oleh BPK-RI sesuai laporan No.01/01/Auditama II/GA/V/2002 tanggal 8 Mei 2002dengan dengan pendapat Wajar dengan Pengecualian karena adanya pengaruh Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
b. Laporan Keuangan Bank Indonesia tahun 2002 yang lengkap telah disampaikan kepada BPK-RI melalui surat No.5/1/GBI/DKI tanggal 31 Januari2003 untuk dimulai pemeriksaan.
c. Kurs Neraca tanggal 31 Desember 2002: $1 = Rp8.940,00 dan pada tanggal 31 Desember 2001: $1 = Rp10.400,00.
Aktiva 31 Des. 2002 31 Des.2001 Unaudited Audited
9.506.255
13.770
146.425
4.399.9282.915.7901.484.138
53.837.138
225.395.1710
225.395.171
351.069.970351.043.888
26.08217.954.49216.894.621
1.059.8718.001.6528.001.652
0
(48.837.112)
229.474
9.835.639
631.552.802
8.933.494
450.286
165.030
11.235.3518.382.9502.852.401
69.063.460
209.867.8860
209.867.886
315.927.999315.897.657
30.34219.182.70217.949.743
1.232.9597.537.5297.537.529
0
(49.753.871)
229.474
9.357.393
602.196.733
Pasiva 31 Des. 2002 31 Des.2001 Unaudited Audited
98.418.806
103.244.75961.813.10341.431.65644.983.70138.326.357
6.657.344924.775795.363129.412
79.990.53279.990.532
0112.801.184112.801.184
034.327.302
278.0552.322.720
31.726.52716.972.012
6.120.818497.783.889
2.948.02920.584.751
8.822.0364.865.933
26.338.17075.334.510(6.428.782)
01.304.264
133.768.913
631.552.802
91.275.606
85.651.63848.684.29536.967.34341.887.38234.668.559
7.218.823798.236671.321126.915
95.791.50195.791.501
0102.143.747102.143.747
031.476.677
350.0072.679.045
28.447.62519.776.825
999.211469.800.823
2.948.0298.233.0063.528.4314.871.249
50.204.50448.575.749(3.610.407)
017.645.349
132.395.910
602.196.733
D.1 Neraca Bank Indonesia
278
Lampiran
PENERIMAAN1. Pengelolaan Moneter1.1 Pengelolaan Devisa1.2 Kegiatan Pasar Uang1.3 Pemberian Kredit dan Pembiayaan
2. Penyelenggaraan Sistem Pembayaran
3. Pengaturan Perbankan
4. Lainnya4.1 Penerimaan Lainnya4.2 Pemulihan Penyisihan Aktiva
Jumlah Penerimaan
PENGELUARAN1. Beban Pengendalian Moneter1.1 Beban Perumusan dan Pelaksanaan Kebijakan Moneter1.2 Beban Pengelolaan Devisa
2. Beban Sistem Pembayaran2.1 Beban Pengedaran Uang2.2 Beban Penyelenggaraan Sistem Pembayaran
3. Beban Pengaturan dan Pengawasan Bank
4. Beban Umum, Administrasi, dan Lainnya4.1 Beban Penyusutan Aktiva Tetap4.2 Beban Amortisasi Aktiva tak berwujud4.3 Beban Penambahan Penyisihan Aktiva Produktif4.4 Beban Umum, Administrasi dan lainnya
Jumlah Pengeluaran
Surplus Sebelum Pos Luar BiasaBeban karena Pos Luar Biasa
SURPLUS
Lampiran D.2
Bank IndonesiaLaporan Surplus Defisit
Periode 1 Januari – 31 Desember 2002 dan 2001(Jutaan Rupiah)
30.749.17121.583.762
3.8799.161.530
58.455
24.743
639.92592.625
547.300
31.472.294
(26.891.306)(18.384.897)
(8.506.409)
(1.038.354)(992.027)
(46.327)
(69.768)
(2.168.602)(153.387)
(2.542)0
(2.012.673)
(30.168.029)
1.304.2640
1.304.264
63.462.68255.040.311
3.8898.418.482
42.163
46.811
178.461178.461
0
63.730.117
(21.075.424)(15.407.479)
(5.667.945)
(718.498)(679.537)
(38.961)
(52.505)
(24.238.341)(138.339)
(2.542)(22.068.133)
(2.029.327)
(46.084.768)
17.645.3490
17.645.349
2002 2001Unaudited Audited
D.2 Laporan Surplus Defisit Bank Indonesia
279
Lampiran
No. No. PBI Tanggal Lembaran Negara KeteranganUrut
Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan jasa
pelayanan perbankan syariah yang semakin meningkat, Bank
Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI)
tentang perubahan kegiatan usaha bank umum konvensional
menjadi bank umum berdasarkan prinsip syariah dan
pembukaan kantor bank berdasarkan prinsip syariah oleh
bank umum konvensional.
Pemantauan kegiatan lalu lintas devisa (LLD) sangat diperlukan
dalam rangka mendukung penerapan sistem devisa bebas.
Pemantauan tersebut dapat dilakukan melalui angka statistik
kegiatan LLD terutama statistik neraca pembayaran dan posisi
investasi internasional Indonesia. Sehubungan dengan itu
Bank Indonesia mengeluarkan PBI yang mengatur tentang
pemantauan kegiatan LLD perusahaan bukan lembaga
keuangan. Kewajiban penyampaian laporan tentang kegiatan
LLD tersebut diberlakukan bagi perusahan bukan lembaga
keuangan yang memiliki total aset/aktiva sekurang-kurangnya
Rp100.000.000.000,00 atau memiliki omset penjualan selama
satu tahun sekurang-kurangnya Rp100.000.000.000,00. PBI
ini juga mengatur sanksi bagi perusahaan yang menyampaikan
laporan secara tidak lengkap dan atau tidak benar, dan juga
bagi perusahaan yang terlambat menyampaikan laporan
tersebut.
PBI ini menetapkan pencabutan dan penarikan dari peredaran
uang logam pecahan Rp5 tahun emisi 1970 dan 1974, Rp25
tahun emisi 1971, Rp50 tahun emisi 1971, serta Rp100 tahun
emisi 1973 dan 1978.
No. No. PBI Tanggal Lembaran Negara Keterangan
Urut
1
2
3
4/1/PBI/2002
4/2/PBI/2002
4/3/PBI/2002
27-03-2002
28-03-2002
06-06-2002
LN Thn 2002 No. 14
TLN No. 4177
LN Thn 2002 No. 15
TLN No. 4178
LN Thn 2002 No. 65
Daftar Peraturan Bank IndonesiaTahun 2002
Lampiran E.1
E.1 Daftar Peraturan Bank Indonesia 2002
280
Lampiran
No. No. PBI Tanggal Lembaran Negara KeteranganUrut
PBI berisi pencabutan SK Direksi Bank Indonesia No. 31/
201/KEP/DIR tanggal 29 Januari 1999 sebagaimana tertuang
dalam SKB antara Menteri Keuangan RI dan Gubernur Bank
Indonesia No. KEP-046/KM.17/1999 dan No. 31/201/KEP/DIR
tentang Program Penjaminan Ekspor Dalam Rangka
Penggerakan Sektor Riil. Ketika itu keadaan perekonomian
Indonesia tidak kondusif, sehingga mempengaruhi kinerja
sektor perbankan. Seiring dengan semakin membaiknya
perekonomian nasional, perbankan nasional mulai dapat
menjalankan kembali fungsi intermediasinya tanpa program
penjaminan pemerintah. Sehubungan dengan itu pemerintah
dan Bank Indonesia memutuskan untuk menghentikan pro-
gram penjaminan ekspor, kecuali untuk L/C impor dan Kredit
Modal Kerja (KMK) yang dijamin dalam Program Penjaminan
Ekspor sebagaimana diatur dalam SKB tersebut yang masih
berjalan dan belum jatuh tempo dan yang sudah jatuh tempo
namun belum diselesaikan pembayarannya. Bagi kedua jenis
kredit tersebut, SKB tersebut dinyatakan tidak berlaku sejak
berakhirnya proses penyelesaian pembayaran L/C impor dan
KMK dimaksud.
PBI ini menetapkan pengeluaran dan pengedaran uang ru-
piah khusus pecahan 500.000 dan pecahan 25.000 seri
“Peringatan Satu Abad Bung Hatta” tahun emisi 2002.
PBI ini mengatur perubahan SK Direksi Bank Indonesia No.
31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas
Aktiva Produktif. Perubahan ini terutama untuk membantu
pemulihan kondisi perekonomian daerah-daerah tertentu
yang mengalami gejolak yang berpengaruh kepada kondisi
ekonomi. Daerah-daerah tersebut adalah Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, Propinsi Maluku, Propinsi Papua, Kabupaten
Sambas di Propinsi Kalimantan Barat, Kabupaten Kotawaringin
Timur di Propinsi Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Poso
di Propinsi Sulawesi Tengah.
4
5
6
4/4/PBI/2002
4/5PBI/2002
4/6/PBI/2002
10-06-2002
08-08-2002
06-09-2002
LN Thn 2002 No. 68
LN Thn 2002 No. 86
LN Thn 2002 No. 91
TLN No. 4223
281
Lampiran
No. No. PBI Tanggal Lembaran Negara KeteranganUrut
PBI ini mengatur bahwa bank wajib menerapkan prinsip
kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pembelian kredit
dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pembelian
kredit oleh bank dari BPPN wajib dilakukan dengan nilai
wajar. PBI ini juga mengatur tentang sanksi yang dikenakan
terhadap bank yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan dalam PBI ini. Bank yang telah
melakukan pembelian kredit dari BPPN dalam tahun 2002
sebelum dikeluarkannya PBI ini wajib menyesuaikan dengan
ketentuan yang diatur dalam PBI ini.
Sehubungan dengan dikeluarkannya UU No. 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, peraturan tentang
persyaratan dan tata cara membawa uang rupiah keluar atau
masuk wilayah Republik Indonesia perlu disesuaikan. PBI ini
mencabut PBI No. 3/18/PBI/2001 dan mengatur bahwa setiap
orang yang membawa uang rupiah sebesar Rp100.000.000,00
atau lebih keluar wilayah pabean Republik Indonesia wajib
terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia.
Sebaliknya, setiap orang yang membawa uang rupiah sebesar
Rp100.000.000,00 atau lebih masuk wilayah pabean Republik
Indonesia, wajib terlebih dahulu memeriksakan keaslian uang
tersebut kepada petugas Bea dan Cukai di tempat
kedatangan. PBI ini juga mengenakan sanksi terhadap
pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam PBI dimaksud.
PBI ini mencabut 2 (dua) SK Direksi Bank Indonesia, yaitu
No. 21/53/KEP/DIR tanggal 27 Oktober 1988 tentang
Perdagangan Surat Berharga Pasar Uang, dan No. 23/84/
KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Tata Cara
Penggunaan Diskonto I, dengan tujuan menyempurnakan
pengaturan tentang Operasi Pasar Terbuka (OPT) dalam
rangka mendukung tujuan Bank Indonesia dalam mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang dilakukan melalui
7
8
9
4/7/PBI/2002
4/8/PBI/2002
4/9/PBI/2002
27-09-2002
10-10-2002
18-11-2002
LN Thn 2002 No. 97
TLN No. 4228
LN Thn 2002 No. 104
TLN No. 4231
LN Thn 2002 No. 126
TLN No. 4243
282
Lampiran
No. No. PBI Tanggal Lembaran Negara KeteranganUrut
10
11
pengendalian moneter terutama melalui OPT. OPT
bertujuan mencapai target operasional kebijakan
moneter yang dapat berupa target kuantitas uang primer
atau komponennya, atau target suku bunga pasar jangka
pendek. OPT dilakukan melalui penerbitan Sertifikat Bank
Indonesia (SBI); jual beli surat berharga dalam rupiah
yang meliputi SBI, Surat Utang Negara dan surat berharga
lainnya yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan;
penyediaan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia dalam ru-
piah (FASBI); dan jual beli valuta asing terhadap rupiah.
PBI ini juga mengatur tentang sanksi atas pelanggaran
terhadap beberapa ketentuan dalam PBI dimaksud.
Dalam rangka melaksanakan kebijakan moneter melalui
Operasi Pasar Terbuka (OPT), Bank Indonesia
mengeluarkan PBI tentang Sertifikat Bank Indonesia (SBI),
yang dalam hal ini ditatausahakan secara elektronis oleh
Bank Indonesia guna mendukung efektivitas dan efisiensi
pelaksanaan OPT. SBI memiliki beberapa karakteristik,
antara lain mempunyai satuan unit sebesar Rp1.000.000,00
dan berjangka waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan
dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan
dalam jumlah hari dan dihitung dari tanggal penyelesaian
transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu. PBI ini juga
mengenakan sanksi atas pelanggaran terhadap ketentuan
PBI dimaksud.
Tragedi Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 diperkirakan
akan memberikan dampak pada perekonomian Indonesia
khususnya di Propinsi Bali. Nasabah debitur yang terkena
dampak tragedi Bali diperkirakan akan mengalami kesulitan
dalam melunasi kewajibannya sesuai dengan perjanjian
kredit. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia
memandang perlu melakukan upaya-upaya untuk
mendukung pemulihan kondisi perekonomian, antara lain
4/10/PBI/2002
4/11/PBI/2002
18-11-2002
20-12-2002
LN Thn No. 127
TLN No. 4244
LN Thn 2002 No. 135
TLN No. 4248
283
Lampiran
No. No. PBI Tanggal Lembaran Negara KeteranganUrut
dengan memberikan perlakuan khusus terhadap kredit bank
umum yang diberikan kepada nasabah debitur usaha kecil
yang dibiayai oleh bank umum dan memiliki usaha produktif
dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di Propinsi Bali.
284
Lampiran
No. No. SE BI Tanggal Perihal KeteranganUrut
Daftar Surat Edaran (Ekstern)Bank Indonesia Tahun 2002
Lampiran E.2
Penetapan Status Bank Perkreditan Rakyat Dalam Pengawasan
Khusus Dan Pembekuan Kegiatan Usaha
Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh
Perubahan SE No. 2/9/DASP Tanggal 8 Juni 2000 Perihal
Biaya Kliring
Perubahan Atas SE No. 2/25/DASP Tanggal 17 November 2000
Perihal Biaya Dalam Penggunaan Sistem BI RTGS
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh Perusahaan Bukan
Lembaga Keuangan
Pentapan Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga Yang Dijamin
Pemerintah
Penyelenggara Kliring Lokal Secara Otomasi
Perubahan SE BI No. 3/28/DASP Tanggal 12 Desember 2001 Perihal
Penggunaan Jasa Kurir Dan Tanda Pengenal Petugas Kliring (PTTK)
Dalam Penyelenggaraan Kliring Yang Menggunakan Sistem
Otomasi Dan Eletronik
Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga Yang dijamin
Pemerintah
Perubahan Kedua Atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 2/24/
DASP Tanggal 17 November 2000 Perihal Bank Indonesia Real
Time Gross Settlement
No.No. SE BI Tanggal Perihal Keterangan
Urut
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
4/1/DPBR
4/2/DASP
4/3/DASP
4/4/DASP
4/5/DASP
4/6/DPM
4/7/DASP
4/8/DASP
4/9/DPM
4/10/DASP
24-01-2002
11-02-2002
11-02-2002
01-03-2002
28-03-2002
25-04-2002
07-05-2002
13-05-2002
26-06-2002
26-06-2002
E.2 Daftar Surat Edaran (Ekstern) Bank Indonesia 2002
No. No. SE BI Tanggal Perihal KeteranganUrut
285
Lampiran
Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak
Ekstern
Jadwal Kliring Dan Tanggal Valuta Penyelesaian Akhir, Sistem
Penyelenggaraan Kliring Lokal Serta Jenis Dan Batasan Nominal
Warkat atau Data Keuangan Elektronik
Biaya Kliring
Biaya Dalam Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement
Penyelenggaraan Kliring Lokal Secara Elektronik
Penyelenggaraan Kliring Lokal Atas Cek Dan Bilyet Giro Yang
Berasal Dari Luar Wilayah Kliring
Perubahan Surat Edaran Nomor 2/10/DASP Tanggal 8 Juni 2000
Perihal Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong
Pelaksanaan Dan Penyelesaian Fasilitas Simpanan Bank Indonesia
Dalam Rupiah (FASBI) Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka
Tata Cara Penerbitan, Perdagang Dan Penatausahaan Sertifikat
Bank Indonesia
Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh
Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/17/
UPG Tanggal 10 Mei 1994 Perihal Pusat Informasi Pasar Uang
11
12
13
14
15
16
17
18
20
21
22
13-08-2002
24-09-2002
24-09-2002
24-09-2002
30-09-2002
21-10-2002
07-11-2002
18-11-2002
18-11-2002
02-12-2002
17-12-2002
4/11/DASP
4/12/DASP
4/13/DASP
4/14/DASP
4/15/DASP
4/16/DASP
4/17/DASP
4/18/DPM
4/20/DPM
4/2/DASP
4/22/DPM
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
286
Lampiran
Berbagai Ketentuan dan Kebijakan Pentingdi Bidang Ekonomi dan Keuangan
Tahun 2002
Lampiran E.3
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
Perubahan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor
Kep-63/BC/1997 tentang Tatacara Pendirian dan Tatalaksana
Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan
Berikat Perubahan
Pemerintah Menetapkan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak
(BBM) Dalam Negeri
Kebijakan Penyehatan Perbankan dan Restrukturisasi Utang
Perusahaan Berdasarkan Hasil Rapat Komite Kebijakan Sektor
Keuangan
Penyempurnaan Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan
Telekomunikasi No. 79/PR.301/MPPT-95 Tentang Tata Cara
Penyesuaian Tarif Dasar Jasa Telekomunikasi Dalam Negeri
Perubahan Atas Lampiran Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 558/MPP/Kep/12/1998 Tentang Ketentuan
Umum di Bidang Ekspor Sebagaimana Telah Diubah Beberapa
Kali Terakhir dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 294/MPP/Kep/10/2001
Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif
Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri
Kelas Ekonomi
Keputusan Direktur Jenderal
Bea Cukai No. KEP-03/BC/
2002
Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 9 Tahun 2002
Keputusan Komite Kebijakan
Sektor Keuangan No. KEP.01/
K.KKSK/01/2002
Keputusan Menteri
Perhubungan No. KM.12 Tahun
2002
Keputusan Menteri
Perindustrian dan
Perdagangan No. 57/MPP/
Kep/1/2002
Keputusan Menteri
Perhubungan No. KM 8 Tahun
2002
Januari
15
16
29
31
Februari
1
E.3 Berbagai Ketentuan dan Kebijakan Penting di Bidang Ekonomi dan Keuangan 2002
287
Lampiran
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
Tata Cara dan Persyaratan Ekspor Biji Timah
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah atas Pemakaian Sendiri dan atau Pemberian
Cuma-Cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak
Dasar Penghitungan, Pemungutan, dan Penyetoran Pajak
Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasi; Tembakau
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil
Tembakau
Pemberian dan Penatausahaan Pajak Pertambahan Nilai
Dibebaskan atas Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak
Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu
Pajak Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang
Diperdagangkan dan/atau Dilaporakan Perdagangannya di Bursa
Efek
Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah
Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap
Pengambilalihan Perusahaan Terbuka
Keputusan Direktur
Jenderal Perdagangan
Luar Negeri No. 02/
DJPLN/KP/II/2002
Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak SE-04/
PJ.51/2002
Keputusan Menteri
Keuangan Republik
Indonesia No. 62/KMK.03/
2002
Keputusan Direktur
Jenderal Pajak No. KEP-
103/PJ.51/2002
Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak No. SE-07/
PJ.51/2002
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 6
Tahun 2002
Keputusan Menteri
Keuangan Republik
Indonesia No. 113/
KMK.03/2002
Keputusan Kepala Badan
Pengawasan Pasar Modal
No. KEP-05/PM/2002
6
18
26
28
Maret
23
28
April
3
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
288
Lampiran
9
17
23
30
Mei
6
7
13
Pedoman Dasar Perhitungan Tarif Pelayanan Jasa Bongkar Muat
Barang Dari dan Ke Kapal di Pelabuhan
Tindak Pidana Pencucian Uang
Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan No. 448/KMK.017/
2000 tentang Perusahaan Pembiayaan
Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke
dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT
Pelabuhan Indonesia III
Perubahan atas Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 9
Tahun 2002 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak
Dalam Negeri
Divestasi Saham Negara Dalam Rangka Penyertaan Modal
Negara pada Bank Pembangunan Daerah Peserta Program
Rekapitalisasi
Penetapan Perkiraan Dana Bagian Daerah Dari Sumber Daya
Alam, Minyak Bumi dan Gas Alam, Pertambangan, Umum serta
Perikanan.
Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak untuk Penghitungan
Pajak Bumi dan Bangunan
Perubahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke
Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Merpati
Nusantara Airlines
Keputusan Menteri
Perhubungan No. KM.25
Tahun 2002
Undang-Undang Republik
Indonesia No. 15 Tahun 2002
Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indone-
sia No. 172/KMK.06/2002
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 17
Tahun 2002
Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 27 Tahun 2002
Keputusan Menteri
Keuangan No. 211/KMK.06/
2002
Keputusan Menteri Keuangan
No. 214/KMK.06/2002
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 25
Tahun 2002
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 29
Tahun 2002
289
Lampiran
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
16
23
24
Juni
5
6
10
13
Penjualan Saham Milik Negara Republik Indonesia Pada
Perusahaan Perseroan (Persero) PT Indosat, Tbk
Ketentuan Ekspor Pasir Laut
Konversi Saham Preferen Milik Negara Dalam Rangka
Pelaksanaan Program Rekapitalisasi Bank Umum pada PT Bank
Bukopin Menjadi Saham Biasa
Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Subsidi Bahan Bakar
Minyak
Pencabutan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/
201/KEP/DIR tanggal 29 Januari 1999 Sebagai Tertuang Dalam
Surat Keputusan Bersama Antara Menteri Keuangan Republik
Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia No. KEP-046/KM.17/
1999 dan No. 31/201/KEP/DIR tentang Program Penjaminan
Ekspor Dalam Rangka Penggerakan Sektor Riil
Tata Niaga Impor Gula Kasar (Raw Sugar)
Pengurusan Piutang Negara Kredit Perumahan Bank Tabungan
Negara
Pemberian Pertimbangan Atas Usul Penghapusan Piutang
Negara Yang Berasal Dari Instansi Pemerintah atau Lembaga
Negara
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 30
Tahun 2002
Keputusan Menteri
Perindustrian dan
Perdagangan No. 441/MPP/
Kep/5/2002
Keputusan Menteri
Keuangan No. 249/KMK.06/
2002
Keputusan Menteri Keua-
ngan No. 274/KMK.06/2002
PBI No. 4/4/PBI/2002
Keputusan Menteri
Perindustrian dan
Perdagangan No. 456/MPP/
Kep/6/2002
Keputusan Menteri
Keuangan No. 301/KMK.01/
2002
Keputusan Menteri
Keuangan No. 302/KMK.01/
2002
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
290
Lampiran
Juli
5
16
23
24
29
Agustus
7
Pencabutan Keputusan Menteri Keuangan No. 335/KMK.01/
2000 tentang Crash Program Pengurusan Piutang Negara
Perbankan Sebagaimana Telah Di Ubah Dengan Keputusan
Menteri Keuangan No. 505/KMK.01/2000
Penurunan Tarif Bea Masuk atas Impor Beberapa Produk Tertentu
Ketentuan Impor Cengkeh
Pedoman Alokasi Biaya Pemungutan Pajak Daerah
Tim Koordinasi Peningkatan Kelancaran Arus Barang Ekspor dan
Impor
Pembentukan Bea Masuk Anti Dumping Terhadap Impor Tepung
Terigu
Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah
Jasa Bidang Angkutan Umum Di Darat dan Di Air Yang Tidak
Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
Keputusan Menteri
Keuangan No. 303/
KMK.01/2002
Keputusan Menteri
Keuangan No. 307/
KMK.06/2002
Keputusan Menteri
Perindustrian dan
Perdagangan No. 528/
MPP/Kep/7/2002
Keputusan Menteri Dalam
Negeri No. 35 Tahun 2002
Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 54
Tahun 2002
Keputusan Menteri
Perindustrian dan
Perdagangan No. 546/
MPP/Kep/7/2002
Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 56
Tahun 2002
Keputusan Direktur
Jenderal Pajak No. KEP-
307/PJ./2002
291
Lampiran
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
11
14
22
23
September
6
Rekomendasi Kebijakan Untuk Mempercepat Pemulihan
Ekonomi Nasional
Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk
Perseroan
Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Investasi
Kolektif
Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Investasi Kolektif
Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan Berkala
Pedoman Pengelolaan Reksadana Berbentuk Perseroan
Perlakuan Pajak Atas Dana Jaminan Penyelesaian Transaksi
Bursa
Penetapan Volume Pasir Laut Yang Dapat Diekspor Tahun 2002
Perubahan Atas Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No,
31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas
Aktiva Produktif
TAP MPR Republik Indonesia
No. 11/MPR/2002
Keputusan Kepala Badan
Pengawasan Pasar Modal No.
KEP-14/PM/2002
Keputusan Kepala Badan
Pengawasan Pasar Modal No.
KEP-15/PM/2002
Keputusan Kepala Badan
Pengawasan Pasar Modal No.
KEP-16/PM/2002
Keputusan Kepala Badan
Pengawasan Pasar Modal No.
KEP-17/PM/2002
Keputusan Kepala Badan
Pengawasan Pasar Modal No.
KEP-13/PM/2002
Keputusan Direktur Jenderal
Pajak No. KEP-390/PJ./2002
Keputusan Menteri
Perindustrian dan
Perdagangan No. 598/MPP/
Kep/7/2002
PBI No. 4/6/PBI/2002
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
292
Lampiran
27
Oktober
18
21
22
30
November
12
18
19
Prinsip Kehati-hatian Dalam Rangka Pembelian Kredit Oleh
Bank Dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional
Perubahan Nama PT Bank Bali Tbk Menjadi PT Bank Permata
Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Subsidi Listrik
Surat Utang Negara
Tata Niaga Impor Tekstil
Perpanjangan Jangka Waktu Impor Mesin, Barang, dan Bahan
Yang Mendapatkan Fasilitas Berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan No. 135/KMK.01/2002 tentang Keringanan Bea Masuk
Atas Impor Mesin, Barang, dan Bahan Dalam Rangka
Pembangunan/Pengembangan Industri/ Industri Jasa
Obligasi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian
Pelaksanaan dan Penyelesaian Fasilitas Bank Indonesia dalam
Rupiah (Fasbi) Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka
Pemberian, Pembebasan Bea Masuk atas Impor Bahan Baku
Komponen untuk Pembuatan Peralatan dan jaringan
Telekomunikasi oleh Industri Telekomunikasi
PBI No. 4/7/PBI/2002
Keputusan Dewan Gubernur
Bank Indonesia No. 4/162/
KEP/DpG/2002
Keputusan Menteri Keuangan
No. 431/KMK.06/2002
Undang-Undang Republik
Indonesia No. 24 Tahun 2002
Keputusan Menteri
Perindustrian dan
Perdagangan No. 732/MPP/
Kep/10/2002
Keputusan Menteri Keuangan
No. 456/KMK.04/2002
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 59
Tahun 2002
Surat Edaran Bank Indonesia
No. 4/18/DPM
Keputusan Menteri Perindus-
trian dan Perdagangan No.
474/MPP/Kep/01/2002
293
Lampiran
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
Pusat Penyelesaian Masalah Usaha (Business Solution Cen-
ter)
Penawaran Umum Efek Bersifat Utang Dalam Denominasi Mata
Uang Selain Rupiah
Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang
Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum
Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajiban
Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham
Tertib Administrasi Importir
Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri
Keputusan Menteri
Perindustrian dan
Perdagangan No. 802/
MPP/Kep/12/2002
Keputusan Kepala Badan
Pengawasan Pasar Modal
No. KEP-23/PM/2002
Instruksi Presiden Republik
Indonesia No. 8 Tahun
2002
Keputusan Bersama
Menteri Keuangan
Republik Indonesia No.
527/KMK.04/2002 dan
Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 819/
MPP/Kep/12/2002
Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 90
Tahun 2002
Desember
12
24
30
31
294
Lampiran
Lampiran F
Tabel Statistik
........................................................................................................................... Hal.
1. Produk Domestik Bruto menurut Jenis Penggunaan .......................................................... 296
2. Produk Domestik Bruto menurut Lapangan Usaha ............................................................. 297
3. Pengaruh Nilai Tukar Dagang terhadap Produk Domestik Bruto ............................................ 298
4. Hasil Beberapa Jenis Produk Sektor Pertanian ................................................................ 299
5. Produksi, Luas Panen, dan Produksi Rata-rata padi serta Palawija ........................................ 300
6. Hasil Beberapa Jenis Produk Sektor Pertambangan dan Penggalian ....................................... 301
7. Penjualan Tenaga Listrik ............................................................................................ 301
8. Perkembangan Upah Minimum Harian Regional per Propinsi ................................................ 302
9. Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri yang Disetujui Pemerintah menurut Sektor ................ 303
10. Penyebaran Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri yang Disetujui Pemerintah menurut Dati I .. 304
11. Rencana Penanaman Modal Asing yang Disetujui Pemerintah menurut Sektor .......................... 305
12. Penyebaran Rencana Penanaman Modal Asing yang Disetujui Pemerintah menurut Dati I ............ 306
13. Rencana Penanaman Modal Asing yang Disetujui Pemerintah menurut Negara Asal ................... 307
14. Indeks Harga Konsumen Indonesia ................................................................................ 308
15. Indeks Harga Perdagangan Besar Indonesia ..................................................................... 309
16. Perkembangan Laju Inflasi di 43 Kota ............................................................................. 310
17. Neraca Pembayaran Indonesia ..................................................................................... 311
18. Nilai Ekspor Nonmigas menurut Komoditas ...................................................................... 312
19. Volume Ekspor Nonmigas menurut Komoditas .................................................................. 313
20. Nilai Ekspor Nonmigas menurut Negara Tujuan ................................................................ 314
21. Nilai Impor Nonmigas Menurut Negara Tujuan (C&F) .......................................................... 315
22. Ekspor Migas ........................................................................................................... 316
23. Uang Beredar .......................................................................................................... 317
24. Perubahan Uang Beredar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya ..................................... 318
25. Suku Bunga Deposito dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Kelompok Bank ......................... 319
26. Pasar Uang Antarbank di Jakarta .................................................................................. 320
27. Tingkat Diskonto Sertifikat Deposito Rupiah menurut Kelompok Bank .................................... 321
295
Lampiran
28. Penerbitan, Pelunasan, dan Posisi Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ......................................... 322
29. Tingkat Diskonto SBI ................................................................................................. 323
30. Transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) antara Bank Indonesia dan Bank-bank ................... 324
31. Pendapatan dan Belanja Negara .................................................................................. 325
32. Pembiayaan ............................................................................................................ 326
33. Penghimpunan Dana oleh Bank Umum ............................................................................ 327
34. Giro dalam Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum menurut Kelompok Bank ........................ 328
35. Simpanan Berjangka Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum menurut Jangka Waktu .............. 329
36. Simpanan Berjangka Rupiah pada Bank Umum menurut Golongan Pemilik ................................ 330
37. Sertifikat Deposito ................................................................................................... 331
38. Tabungan menurut Jenis pada Bank Umum ..................................................................... 332
39. Suku Bunga Kredit Rupiah Menurut Kelompok Bank .......................................................... 333
40. Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Sektor Ekonomi ............................ 334
41. Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Jenis Penggunaan dan Sektor Ekonomi 335
42. Kredit Perbankan dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Kelompok Bank dan Sektor Ekonomi .... 336
43. Perkembangan Jumlah Aliran Uang Kertas di Jakarta dan KKBI ............................................. 337
44. Pangsa Aliran Uang Keluar per Jenis Pecahan di Jakarta dan KKBI Tahun 2002 ......................... 337
45. Perkembangan Jumlah Aliran Uang Logam di Jakarta dan KKBI ............................................. 338
46. Pertumbuhan Ekonomi Dunia ....................................................................................... 339
47. Inflasi Dunia ............................................................................................................ 340
48. Suku Bunga (%) dan Nilai Tukar .................................................................................... 341
49. Perkembangan Volume Perdagangan Barang dan Harga Dunia .............................................. 341
50. Transaksi Berjalan di Negara Industri dan Negara Sedang Berkembang ................................... 342
296
Lampiran
Pengeluaran konsumsi 286.850,6 299.084,5 305.145,0 319.861,8 337.501,6Rumah tangga 260.022,7 272.070,2 276.377,2 288.510,2 302.139,3Pemerintah 26.827,9 27.014,3 28.767,8 31.351,6 35.362,3
Pembentukan modal tetap domestik bruto 93.604,7 76.572,9 89.389,1 96.243,8 96.058,0Perubahan stok -6.386,9 -9.622,1 -13.794,2 -15.908,0 -25.741,1Ekspor barang dan jasa 134.707,2 91.863,6 116.193,6 118.377,0 116.907,1dikurangi Impor barang dan jasa 132.400,7 78.546,4 98.916,6 106.883,6 97.985,1Produk Domestik Bruto 376.374,7 379.352,5 398.016,9 411.691,0 426.740,5Pendapatan neto terhadap luar negeri
dari faktor produksi -27.965,4 -22.145,1 -25.391,1 -17.399,1 -22.217,8Produk Nasional Bruto 348.409,5 357.207,4 372.625,8 394.291,9 404.522,7dikurangi Pajak tidak langsung neto 1.858,9 6.181,9 -11.746,1 8.979,3 18.896,3dikurangi Penyusutan 18.818,8 18.967,6 19.900,8 20.584,6 21.337,1Pendapatan Nasional 327.731,8 332.057,9 364.471,1 364.728,0 364.289,3
Pengeluaran konsumsi 702.239,5 885.814,6 941.598,4 1.089.146,9 1.269.981,2Rumah tangga 647.823,6 813.183,3 850.818,7 975.730,8 1.137.762,5Pemerintah 54.415,9 72.631,3 90.779,7 113.416,1 132.218,7
Pembentukan modal tetap domestik bruto 243.043,4 221.472,3 275.881,3 316.178,5 325.333,9Perubahan stok -82.716,1 -96.461,4 -72.235,5 -63.281,8 -95.614,3Ekspor barang dan jasa 506.244,8 390.560,1 542.992,4 612.482,2 569.941,9dikurangi Impor barang dan jasa 413.058,1 301.654,0 423.317,9 505.127,7 459.631,1Produk Domestik Bruto 955.753,5 1.099.731,6 1.264.918,7 1.449.398,1 1.610.011,6Pendapatan neto terhadap luar negeri
dari faktor produksi -53.893,7 -83.764,2 -92.161,8 -58.079,0 -77.815,7Produk Nasional Bruto 901.859,8 1.015.967,4 1.172.756,9 1.391.319,1 1.532.195,9dikurangi Pajak tidak langsung neto 6.480,5 17.950,1 -37.820,3 31.425,7 71.186,5dikurangi Penyusutan 47.787,7 54.986,6 63.245,9 72.469,8 80.500,6Pendapatan Nasional 847.591,6 943.030,7 1.147.331,3 1.287.423,6 1.380.508,8
Memorandum item:
Produk Domestik Bruto per kapita 1)
dalam ribuan rupiah 4.814,7 5.489,7 6.145,1 6.938,2 7.594,3dalam $ 491,1 696,5 732,1 677,7 810,8
Produk Nasional Bruto per kapita 1)
dalam ribuan rupiah 4.543,2 5.071,5 5.697,3 6.660,2 7.227,2dalam $ 463,4 643,5 678,8 650,6 771,6
Pendapatan Nasional per kapita 1)
dalam ribuan rupiah 4.269,8 4.707,5 5.573,8 6.162,8 6.511,7dalam $ 435,5 597,3 664,0 602,0 695,2
Tabel 1Produk Domestik Bruto menurut Jenis Penggunaan
(Miliar rupiah)
Jenis penggunaan 1998 1999 2000 2001* 2002**
Harga konstan 1993
1) Menurut harga berlakuSumber : Badan Pusat Statistik
Harga berlaku
F.1 Tabel Statistik I
297
Lampiran
Tabel 2Produk Domestik Bruto menurut Lapangan Usaha
(Miliar rupiah)
Pertanian, peternakan,kehutanan, dan perikanan 63.609,5 64.985,3 66.208,9 66.858,2 68.018,4 172.827,6 215.686,7 217.897,9 246.298,2 281.325,0
Tanaman bahan makanan 33.350,4 34.012,4 34.533,0 34.260,2 34.442,1 91.346,0 116.222,5 112.661,2 126.065,2 141.137,4Tanaman perkebunan 10.501,8 10.702,0 10.722,0 10.979,5 11.327,9 33.289,6 35.966,5 33.744,7 37.491,2 41.919,5Peternakan 6.439,7 6.836,9 7.061,3 7.312,7 7.537,0 15.743,6 23.761,2 27.034,6 30.438,2 34.808,9Kehutanan 6.580,7 6.288,1 6.388,9 6.522,5 6.651,3 11.700,5 13.803,8 14.947,8 15.648,7 16.848,9Perikanan 6.736,9 7.145,8 7.502,9 7.783,3 8.060,0 20.747,9 25.932,8 29.509,7 36.654,8 46.610,3
Pertambangan dan penggalian 37.474,0 36.865,8 38.896,4 38.894,6 39.768,1 120.328,5 109.925,4 175.262,5 191.762,4 191.827,2Minyak dan gas bumi 23.340,1 22.136,8 22.658,3 21.537,3 21.574,4 74.883,7 72.424,9 129.220,9 131.877,8 131.656,7Pertambangan tanpa migas 9.678,0 10.357,7 11.619,2 12.502,5 13.082,2 35.459,9 27.696,1 34.495,7 45.691,9 43.480,4Penggalian 4.455,9 4.371,2 4.618,9 4.855,0 5.111,5 9.984,9 9.804,3 11.545,9 14.192,7 16.690,0
Industri pengolahan 95.320,6 99.058,5 104.986,9 109.290,2 113.671,7 238.897,1 285.873,9 314.918,4 362.031,2 402.601,1Industri migas 11.042,2 11.797,2 11.599,9 11.196,5 11.434,0 33.172,4 35.127,6 54.279,9 56.137,0 56.678,5
Pengilangan minyak bumi 6.310,0 6.606,6 6.843,1 6.958,0 6.917,4 15.092,2 16.320,8 22.602,9 26.477,6 32.389,1Gas alam cair 4.732,3 5.190,6 4.756,9 4.238,5 4.516,6 18.080,2 18.806,8 31.676,9 29.659,5 24.289,5
Industri tanpa migas 84.278,4 87.261,3 93.387,0 98.093,7 102.237,7 205.724,7 250.746,3 260.638,5 305.894,2 345.922,6Listrik, gas, dan air bersih 5.646,1 6.112,9 6.574,8 7.078,0 7.514,6 11.283,1 13.429,0 16.519,3 21.183,9 29.100,5Bangunan 22.465,3 22.035,6 23.278,7 24.259,1 25.255,3 61.761,6 67.616,2 76.573,4 85.263,2 92.366,3Perdagangan, hotel, dan restoran 60.130,7 60.093,7 63.498,3 66.888,1 69.303,2 146.740,1 175.835,4 199.110,4 234.262,6 258.869,2
Perdagangan besar dan eceran 47.845,9 47.574,5 50.333,8 53.055,3 54.827,3 116.688,5 140.588,7 159.384,7 187.996,0 205.791,7Hotel dan restoran 12.284,8 12.519,2 13.164,5 13.832,8 14.475,8 30.051,6 35.246,7 39.725,7 46.266,6 53.077,5
Pengangkutan dan komunikasi 26.975,1 26.772,1 29.072,1 31.207,1 33.649,5 51.937,2 55.189,6 62.305,6 75.795,9 97.343,5Pengangkutan 20.503,8 19.737,6 21.176,3 22.319,8 23.364,1 41.837,2 42.735,7 47.911,3 59.462,8 72.234,5Komunikasi 6.471,3 7.034,5 7.895,8 8.887,3 10.285,4 10.100,0 12.453,9 14.394,3 16.333,1 25.109,0
Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 28.278,7 26.244,6 27.449,4 28.388,6 29.963,2 69.891,7 71.220,2 80.459,9 91.438,4 105.621,7Bank 1) 13.173,0 11.861,8 12.467,5 13.071,4 13.831,8 31.710,2 31.088,6 36.317,3 42.232,0 49.949,0
Sewa bangunan dan jasa perusahaan 15.105,7 14.382,8 14.981,8 15.317,2 16.131,4 38.181,5 40.131,6 44.142,6 49.206,4 55.672,7Jasa-jasa 36.475,0 37.184,0 38.051,5 38.826,9 39.596,6 82.102,5 104.955,3 121.871,4 141.362,2 150.957,2
Pemerintahan umum 21.887,5 22.250,6 22.555,1 22.795,4 22.887,0 40.641,0 56.745,0 69.460,2 81.850,9 83.293,5Swasta 14.587,5 14.933,4 15.496,4 16.031,5 16.709,6 41.445,8 48.210,3 52.411,3 59.511,3 67.663,7
PRODUK DOMESTIK BRUTO 376.374,9 379.352,5 398.016,9 411.691,0 426.740,5 955.753,5 1.099.731,6 1.264.918,7 1.449.398,1 1.610.011,6Nonmigas 341.992,5 345.418,5 363.758,7 378.957,2 393.732,1 847.697,4 992.179,1 1.081.417,9 1.261.383,3 1.421.676,4Migas 34.382,4 33.934,0 34.258,2 32.733,8 33.008,4 108.056,1 107.552,5 163.500,8 188.014,8 188.335,2
Lapangan usahaHarga konstan 1993 Harga berlaku
1998 1999 2000 2001* 2002** 1998 1999 2000 2001* 2002**
1) Termasuk lembaga keuangan di luar bank dan jasa penunjang keuangan
Sumber : Badan Pusat Statistik
298
Lampiran
1. Ekspor barang dan jasa
atas dasar harga berlaku 506.244,8 390.560,1 542.992,4 612.482,2 569.941,9
2. Ekspor barang dan jasa
atas dasar harga konstan 134.707,2 91.863,6 116.193,6 118.377,0 116.907,1
3. Deflator ekspor (1:2) x 100) 375,8 425,2 467,3 517,4 487,5
4. Impor barang dan jasa
atas dasar harga berlaku 413.058,1 301.654,0 423.3117,9 505.127,7 459.631,1
5. Impor barang dan jasa
atas dasar harga konstan 132.400,7 78.546,4 98.916,6 106.883,6 97.985,1
6. Deflator impor (4:5) x 100) 312,0 384,0 428,0 472,6 469,1
7. Indeks nilai tukar dagang (3:6) x 100) 120,5 110,7 109,2 109,5 103,9
8. Perubahan indeks
nilai tukar dagang (%) 5,43 -8,10 -1,36 0,26 -5,07
9. Kapasitas impor riil dari ekspor
(1:6) x 100) 162.270,6 101.696,3 126.880,9 129.599,5 121.501,4
10. Pengaruh nilai tukar dagang (9 - 2) 27.563,4 9.832,7 10.687,3 11.222,5 4.594,3
11. Perubahan nilai tukar dagang (%) 59,60 -64,33 8,69 5,01 -59,06
12. PDB atas dasar harga konstan 1993 376.374,7 379.352,5 398.016,9 411.691,0 426.740,5
13. Perubahan PDB atas dasar
harga konstan (%) -13,13 0,79 4,92 3,44 3,66
14. Pendapatan Domestik Bruto (PnDB) -348.811,5 -369.519,8 -387.329,6 -400.468,5 -422.146,2
(10 - 12)
15. Pertumbuhan PnDB (%) -16,15 5,94 4,82 3,39 -5,41
Tabel 3Pengaruh Nilai Tukar Dagang terhadap Produk Domestik Bruto
(Miliar rupiah)
1) Data s.d. triwulan III-2002Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)
Rincian 1998 1999 2000 2001* 2002**
299
Lampiran
Tanaman panganPadi 49.236,7 50.866,4 51.898,9 50.460,8 51.604,0 1)
Jagung 10.169,4 9204,04 9676,9 9347,19 9.747,0 1)
Ubi kayu 14.696,2 16.458,5 16.089,0 17.054,6 16.665,0 1)
Ubi jalar 1.935,0 1.665,6 1.827,7 1.749,1 1.742,0 1)
Kacang tanah 692,4 659,6 736,5 709,8 713,0 1)
Kacang kedelai 1.305,6 1.382,8 1.017,6 826,9 742,0 1)
Kacang hijau 306,1 265,1 289,9 286,5 …
Tanaman perkebunanKaret Kering 332,6 293,7 336,2 309,0 163,9 2)
Minyak Sawit 4.013,1 4.454,5 4.094,0 3.863,6 1.861,7 2)
Biji Sawit 912,1 1.012,4 930,6 878,2 423,2 2)
Coklat 60,9 58,9 60,5 60,5 27,6 2)
Kopi 28,5 27,5 29,5 29,4 8,3 2)
T e h 132,7 126,4 127,8 117,1 67,5 2)
Kulit Kina 0,4 0,9 0,6 0,6 0,3 2)
Gula Tebu 1.928,7 1.801,4 1.896,3 1.896,2 672,1 2)
Tembakau 7,7 5,8 14,8 14,8 1,7 2)
KehutananKayu Bulat 3) 19.026,9 20.619,9 … … …Kayu Gergajian 3) 2.707,2 2.060,2 … … …Kayu Lapis 3) 7.154,7 4.611,9 … … …
PeternakanDaging 1.228,5 1.193,5 1.445,2 1.450,7 .. .Telur 529,8 640,4 783,3 793,8 .. .Susu (juta liter) 375,4 436,0 495,7 505,0 .. .
PerikananLaut 3.837,0 3.950,0 … … …Darat 1.000,0 1.020,0 … … …
1) Angka Perkiraan Triwulan III-20022) Data sampai dengan bulan Juni 20023) Tahun fiskal dalam ribu m3
Sumber : - Departemen Pertanian- Departemen Kehutanan- Badan Pusat Statistik
Tabel 4Hasil Beberapa Jenis Produk Sektor Pertanian
(Ribu ton)
Rincian 1998 1999 2000 2001 2002
300
Lampiran
Produksi (ribu ton)
Padi 49.236,7 50.866,4 51.898,9 50.460,8 51.604,01)
Jagung 10.169,4 9204,04 9676,9 9347,19 9.747,01)
Ubi kayu 14.696,2 16.458,5 16.089,0 17.054,6 16.665,01)
Ubi jalar 1.935,0 1.665,6 1.827,7 1.749,1 1.742,01)
Kacang tanah 692,4 659,6 736,5 709,8 713,01)
Kacang kedelai 1.305,6 1.382,8 1.017,6 826,9 742,01)
Kacang hijau 306,1 265,1 289,9 286,5 …1)
Luas panen (ribu hektar)
Padi 11.730,3 11.963,2 11.793,5 11.412,0 …
Jagung 3.847,8 3.456,4 3.500,3 3.305,1 …
Ubi kayu 1.205,4 1.350,0 1.284,0 1.279,9 …
Ubi jalar 202,1 172,2 194,3 167,1 …
Kacang tanah 651,1 625,0 683,6 650,7 …
Kacang kedelai 1.095,1 1.151,1 824,5 723,0 …
Kacang hijau 339,2 298,1 131,3 319,6 …
Produktivitas (kuintal/hektar)
Padi 42,0 42,5 44,0 43,9 …
Jagung 26,4 26,6 27,6 27,6 …
Ubi kayu 121,9 121,9 125,3 … …
Ubi jalar 95,8 96,7 94,1 … …
Kacang tanah 10,6 10,6 10,8 10,7 …
Kacang kedelai 11,9 12,0 12,3 11,9 …
Kacang hijau 9,0 8,9 22,1 9,0 …
Tabel 5Produksi, Luas Panen, dan Produksi Rata-rata
Padi serta Palawija
Rincian 1998 1999 2000 2001 2002
1) Angka Perkiraan Triwulan IV-2002
Sumber : Departemen Pertanian
301
Lampiran
Tabel 6Hasil Beberapa Jenis Produk
Sektor Pertambangan dan Penggalian
Rincian Satuan 1998 1999 2000 2001 2002
Pertambangan MigasMinyak Mentah 1) Juta Barel 569,2 545,7 507,3 489,9 420,6 2)
LNG Ribu Metric Ton 27.179,9 29.812,4 27.203,0 24.343,7 10.804,9 3)
LPG Ribu Metric Ton 2.312,2 2.249,8 2.047,3 2.417,5 566,0 3)
Pertambangan Non MigasBatubara Ribu Metric Ton 60.320,8 69.357,6 76.820,2 90.253,8 43.937,8 4)
Nikel Ribu Metric Ton 2.734,0 3.245,3 3.349,3 3.635,4 1.863,6 4)
Tembaga 1) Ribu Metric Ton 2.640,0 2.645,2 3.193,5 3.289,5 1.556,5 4)
Timah Ribu Metric Ton 54,0 47,8 50,2 61,9 38,4 4)
Bauksit Ribu Metric Ton 1.055,6 1.142,5 1.175,4 1.275,6 610,9 4)
Pasir Besi Ribu Metric Ton 561,0 562,3 538,9 490,1 205,1 4)
Emas Ribu Kg 124,0 129,0 117,6 166,1 44,1 4)
Perak Ribu Kg 350,0 292,3 334,6 348,3 108,6 4)
1) Termasuk Kondensat2) Data sampai dengan bulan November 20023) Data sampai dengan bulan Mei 20024) Data sampai dengan bulan Juni 2002
Sumber : Departemen Pertambangan dan Energi
Total 64.383,3 71.337,7 79.050,3 84.029,4 86.503,7Sosial 1.425,8 1.488,7 1.667,1 1.809,3 1.848,6Rumah Tangga 24.391,0 26.859,2 30.506,0 27.381,8 33.798,7Bisnis 8.507,5 9.332,2 10.224,4 10.914,3 11.207,5Industri 27.779,1 31.338,5 33.994,4 35.518,7 36.752,7Publik 2.280,0 1.341,6 2.096,7 2.396,3 2.547,1Multiguna - 977,3 561,7 252,3 205,4
Tabel 7Penjualan Tenaga Listrik
(Juta KWH)
T a h u n 1998 1999 2000 2001 2002
Sumber : PT. Perusahaan Listrik Negara
302
Lampiran
Tabel 8Perkembangan Upah Minimum Regional per Bulan per Propinsi
(dalam rupiah)
Rincian
Aceh Darussalam 147.000 171.000 265.000 300.000 330.000Sumatera Utara 174.000 210.000 254.000 340.500 464.000Sumatera Barat• 137.000 160.000 200.000 250.000 385.000Riau 329.000 394.000 a. Luar Batam 174.000 218.000 329.000 n.a. n.a. b. Batam 270.000 290.000 350.000 n.a. n.a.Jambi 137.500 150.000 173.000 245.000 304.000Sumatera Selatan 255.000 331.500 a. Daratan 146.500 170.000 196.000 n.a. n.a. b. Kepulauan 155.500 181.000 209.000 n.a. n.a.Bengkulu 145.000 150.000 173.000 240.000 295.000Lampung 146.500 160.000 192.000 240.000 310.000DKI Jakarta 198.500 231.000 245.000 426.250 591.266Jawa Barat 245.000 280.779 a. Wilayah I 198.500 230.000 270.000 n.a. n.a. b. Wilayah II 181.000 210.000 245.000 n.a. n.a. c. Wilayah III 167.500 200.000 230.000 n.a. n.a. d. Wilayah IV 160.000 195.000 225.000 n.a. n.a.Jawa Tengah 130.000 153.000 185.000 245.000 314.500D.I. Yogyakarta 122.500 130.000 194.500 237.500 321.750Jawa Timur 220.000 245.000 a. Wilayah I 152.500 182.000 236.000 n.a. n.a. b. Wilayah II 146.500 174.000 212.000 n.a. n.a. c. Wilayah III 139.000 166.000 208.000 n.a. n.a. d. Wilayah IV 134.000 160.000 202.000 n.a. n.a.Bali 162.500 309.750 341.000 a. Kabupaten Badung, Denpasar n.a. 187.000 214.300 n.a. n.a. b. Lainnya n.a. 166.000 190.000 n.a. n.a.Nusa Tenggara Barat 124.000 145.000 180.000 240.000 320.000Nusa Tenggara Timur 122.500 143.000 184.000 275.000 330.000Timor Timur 158.500 183.000 n.a. n.a. n.a.Kalimantan Barat 145.500 175.000 228.000 304.500 ,, ,Kalimantan Tengah 158.500 195.000 285.000 362.000 ,, ,Kalimantan Selatan 144.000 166.000 200.000 295.000 ,, ,Kalimantan Timur 176.000 194.000 233.000 300.000 500.000Sulawesi Utara 135.500 155.000 186.000 372.000 ,, ,Sulawesi Tengah 122.500 150.000 203.000 245.000 350.000Sulawesi Selatan 129.500 148.000 200.000 300.000 375.000Sulawesi Tenggara 139.000 160.000 210.000 275.000 325.000Maluku 156.500 180.000 180.000 230.000 285.000Maluku Utara 230.000 322.000Gorontalo 375.000Irian Jaya 195.500 225.000 315.000 400.000 530.000
Sumber : Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (diolah)
1998 1999 2000 2001 2002
303
Lampiran
Tabel 9Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri
yang Disetujui Pemerintah menurut Sektor(Miliar rupiah)
Sektor 1998 1999 2000 2001 20021)
Pertanian, kehutanan, dan perikanan 5.315,1 2.408,3 4.137,8 1.378,1 1.453,7Pertanian 4.757,9 1.614,8 3.351,4 777,6 1.452,2Kehutanan 542,9 749,3 16,1 445,9 0,0Perikanan 14,3 44,2 770,3 154,6 1,5
Pertambangan 116,3 174,0 36,4 1.198,2 786,7Industri 44.908,0 46.747,5 83.059,5 43.966,6 15.853,5
Makanan 6.711,8 12.729,9 9.220,9 11.108,6 4.967,6Tekstil 1.137,6 2.561,5 2.312,0 2.222,9 440,0Kayu 1.971,9 1.229,0 180,7 553,0 409,1Kertas 12.754,1 20.244,1 8.672,4 4.771,1 150,1Kimia dan farmasi 15.583,2 2.480,9 56.408,7 22.336,9 1.953,1Mineral bukan logam 3.469,0 70,4 3.522,9 596,5 217,1Logam dasar 1.786,3 6.354,2 274,7 375,1 7.179,2Barang-barang logam 960,9 1.070,7 2.444,7 0,0 0,0Lain-lain 533,2 6,8 22,5 2.002,5 537,3
Konstruksi 1.992,0 395,1 843,4 2.006,9 1.499,8Perhotelan 1.150,4 1.380,0 186,3 2.459,1 683,2Pengangkutan 3.260,5 225,3 1.992,8 1.489,0 3.117,7Perumahan dan perkantoran 1.547,5 995,5 225,6 4.540,9 255,1Jasa lainnya 2.459,5 1.226,3 1.845,9 1.635,2 1.612,6
Jumlah 60.749,3 53.552,0 92.327,7 58.674,0 25.262,3
1) Data s.d. akhir Desember 2002Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
304
Lampiran
Tabel 10Penyebaran Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri
yang Disetujui Pemerintah menurut Dati I(Miliar rupiah)
Jawa dan Madura 18.871,5 22.126,8 17.554,8 20.283,8 12.780,9DKI Jakarta 4.289,7 1.260,5 3.474,9 7.845,7 4.013,7Jawa Barat 8.117,1 18.393,9 9.601,9 7.024,8 5.587,3Jawa Tengah 2.574,9 849,6 1.486,9 2.184,8 1.462,9DI Yogyakarta 6,0 34,6 119,9 105,9 43,4Jawa Timur 3.883,8 1.588,2 2.871,2 3.122,6 1.673,6
Sumatera 10.669,4 14.746,3 37.576,8 9.023,1 4.946,2DI Aceh 1.297,3 94,2 981,3 64,4 1,2Sumatera Utara 1.101,5 1.079,4 612,0 1.192,9 1.275,6Sumatera Barat 336,8 597,6 524,3 7,5 0,0Riau 4.925,1 9.091,5 33.814,3 5.705,5 1.474,2Jambi 1.429,4 3.001,7 1.162,9 771,5 447,4Sumatera Selatan 882,7 149,3 67,7 625,6 12,0Bengkulu 4,0 121,4 116,5 0,0 55,2Lampung 692,6 611,2 297,8 655,7 1.680,6
Kalimantan 11.966,6 5.359,5 4.483,4 3.776,8 2.722,9Kalimantan Barat 416,9 222,6 21,1 10,0 23,7Kalimantan Tengah 9.093,4 3.561,4 331,5 164,3 491,8Kalimantan Selatan 640,6 410,5 3.117,5 188,4 149,4Kalimantan Timur 1.815,7 1.165,0 1.013,3 3.414,1 2.058,0
Sulawesi 13.022,9 1.795,8 31.806,8 20.265,0 3.545,9Sulawesi Utara 1.132,4 51,8 1.487,5 1.174,7 127,8Sulawesi Tengah 630,7 543,9 271,4 1.068,3 94,8Sulawesi Selatan 11.168,7 696,2 29.881,0 16.653,7 141,3Sulawesi Tenggara 91,1 503,9 166,9 1.368,3 3.182,0
Nusa Tenggara 1.289,0 35,2 805,1 1.647,5 15,4Nusa Tenggara Barat 638,5 14,9 803,5 566,5 0,4Nusa Tenggara Timur 650,5 20,3 1,6 1.081,0 15,0
Bali 804,6 1.002,7 58,4 540,2 28,8Timor Timur 2.802,6 47,8 0,0 0,0 0,0Maluku 44,5 20,0 0,0 0,0 68,0Irian Jaya 1.278,7 8.416,0 42,5 3.137,5 154,1
Jumlah 60.749,8 53.550,1 92.327,8 58.673,9 24.262,2
Daerah Tingkat I 1998 1999 2000 2001 2002 1)
1) Data s.d. akhir Desember 2002Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
305
Lampiran
Tabel 11Rencana Penanaman Modal Asing
yang Disetujui Pemerintah menurut Sektor(Juta $)
Pertanian, kehutanan, dan perikanan 998,2 491,2 443,4 391,7 458,9Pertanian 965,2 412,7 388,9 284,2 446,3Kehutanan 0,0 8,8 5,0 100,6 8,9Perikanan 33,0 69,7 49,5 6,9 3,7
Pertambangan 0,3 14,2 2,4 118,7 49,2Industri 8.388,2 6.929,2 10.703,0 5.145,4 3.208,3
Makanan 342,0 680,9 701,3 289,2 267,3Tekstil 216,9 240,2 401,3 330,0 89,9Kayu 70,8 113,2 155,2 22,4 30,4Kertas 40,8 1.411,8 87,9 742,3 10,0Kimia dan farmasi 6.178,8 3.268,2 7.481,7 2.309,9 1.872,7Mineral bukan logam 237,1 110,4 9,7 107,9 32,6Logam dasar 394,4 501,3 824,0 652,1 348,9Barang-barang logam 890,5 593,0 1.005,4 0,0 0,0Lain-lain 16,9 10,2 36,5 691,6 556,5
Konstruksi 197,8 153,4 225,2 47,6 287,7Perhotelan 451,1 228,6 259,8 6.891,6 254,6Pengangkutan 79,0 102,7 1.218,7 373,3 3.713,2Perumahan dan perkantoran 1.270,9 171,1 301,6 177,5 7,4Jasa lainnya 2.177,6 2.800,2 2.259,4 1.899,1 1.764,8
Jumlah 13.563,1 10.890,6 15.413,5 15.044,9 9.744,1
1) Data s.d. akhir Desember 2002Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
Sektor 1998 1999 2000 2001 20021)
306
Lampiran
Tabel 12Penyebaran Rencana Penanaman Modal Asing
yang Disetujui Pemerintah menurut Dati I(Juta $)
Jawa dan Madura 10.840,4 2.635,9 10.612,5 5.738,5 4.780,9DKI Jakarta 1.700,1 783,8 3.273,0 1.152,3 3.373,4Jawa Barat 5.504,1 1.498,2 3.137,5 2.780,0 1.053,6Jawa Tengah 3.066,7 69,7 3.082,4 117,1 71,6DI Yogyakarta 6,0 10,5 3,9 10,1 19,8Jawa Timur 563,5 273,7 1.115,7 1.679,0 262,5
Sumatera 1.415,7 7.652,6 2.998,7 2.352,2 2.078,2DI Aceh 6,2 51,8 1.811,1 6,0 0,0Sumatera Utara 229,6 102,7 193,4 106,5 44,5Sumatera Barat 175,8 344,9 19,2 38,2 10,0Riau 537,1 6.956,9 409,5 2.095,4 1.152,4Jamb 201,9 42,0 252,7 5,7 21,6Sumatera Selatan 129,3 39,7 215,5 44,6 732,8Bengkulu 37,7 18,4 0,2 1,9 0,0Lampung 98,1 96,2 97,1 53,9 85,7
Kalimantan 722,7 226,8 136,8 242,6 2.236,6Kalimantan Barat 251,2 102,0 3,3 21,8 1,3Kalimantan Tengah 0,4 50,3 74,5 11,8 8,9Kalimantan Selatan 73,4 30,3 3,1 9,8 34,0Kalimantan Timur 397,7 44,2 55,9 199,2 2.192,4
Sulawesi 192,7 141,8 69,2 81,1 380,2Sulawesi Utara 157,4 24,1 22,9 1,2 1,3Sulawesi Tengah 6,9 2,7 1,7 0,5 0,3Sulawesi Selatan 27,8 12,5 36,6 78,9 373,6Sulawesi Tenggara 0,6 102,5 8,0 0,5 5,0
Nusa Tenggara 57,2 15,0 1.413,4 5,9 121,9Nusa Tenggara Barat 34,6 13,6 1.408,4 4,7 119,4Nusa Tenggara Timur 22,6 1,4 5,0 1,2 2,5
Bali 308,5 193,8 129,9 519,0 86,6Timor Timur 12,4 0,0 0,0 0,0 0,0Maluku 4,9 1,7 0,1 9,3 0,0Irian Jaya 8,6 23,2 52,4 6.095,6 59,7
Jumlah 13.563,1 10.890,8 15.413,0 15.044,2 9.744,1
Daerah Tingkat I 1998 1999 2000 2001 2002 1)
1) Data s.d. akhir Desember 2002Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
307
Lampiran
Tabel 13Rencana Penanaman Modal Asing
yang Disetujui Pemerintah menurut Negara Asal(Juta $)
Eropa 5.311,9 730,2 5.938,5 923,4 1.358,3Belanda 411,8 48,7 1.159,2 88,9 244,1Belgia 11,5 9,8 5,9 0,2 7,1Inggris 4.745,3 506,9 3.645,5 722,9 720,0Jerman 71,0 87,1 959,5 42,8 35,7Perancis 7,5 22,7 64,7 14,3 262,6Swiss 35,1 42,1 42,2 11,7 74,3Lainnya 29,7 12,9 61,5 42,6 14,5
Amerika 699,6 144,2 253,5 81,5 480,9Amerika Serikat 568,3 136,7 242,1 72,7 467,4Kanada 8,1 3,2 2,4 8,5 7,2Lainnya 123,2 4,3 9,0 0,3 6,3
Asia 4.677,4 6.486,1 3.820,8 12.205,8 6.138,1Hongkong 549,0 76,9 105,4 39,7 1.712,0Jepang 1.330,7 644,3 1.954,4 772,1 510,4Korea Selatan 202,4 263,0 688,3 369,5 369,7Malaysia 1.060,2 186,1 168,2 2.240,4 71,6Filipina 62,5 4,9 7,4 2,0 63,2Singapura 1.267,4 731,1 536,4 1.140,6 3.328,0Taiwan 165,4 1.489,3 131,2 72,3 37,7Thailand 2,8 8,4 6,7 3,0 4,7Lainnya 37,0 3.082,1 222,8 7.566,2 40,8
Australia 85,1 2.458,5 59,9 255,4 233,0Afrika 75,3 65,6 564,0 560,4 875,5Gabungan negara 2.718,4 1.006,0 4.776,4 1.018,6 658,3
Jumlah 13.567,7 10.890,6 15.413,1 15.045,1 9.744,1
Sektor
1) Data s.d. akhir Desember 2002Sumber : - Badan Koordinasi Penanaman Modal
1998 1999 2000 2001 20021)
308
Lampiran
Tabel 14Indeks Harga Konsumen Indonesia
1994 2) 156.97 - 178.57 147.53 161.69 - - 163.17 9.241995 179.14 - 188.93 157.42 173.33 - - 177.83 8.641996 189.99 - 198.00 166.76 190.72 - - 189.62 6.471997 227.88 - 210.36 179.96 206.72 - - 211.62 11.051998 263.22 211.58 159.03 219.71 212.54 161.84 163.70 198.64 1.23
Januari - Maret 166.71 142.23 128.61 161.39 155.88 134.74 119.74 142.15 27.11April - Juni 3) 196.39 167.92 139.17 195.29 171.97 140.84 150.38 163.89 15.29Juli - September 261.00 207.21 155.92 225.22 204.49 162.17 163.18 196.23 19.73Oktober - Desember 163.22 211.58 159.03 219.71 212.54 161.84 163.70 198.64 1.23
1999 - - - - - - - - 2.01Januari 281.09 213.80 160.62 232.11 214.07 161.40 164.95 204.54 2.97Februari 287.60 216.87 162.06 234.23 214.12 161.89 164.29 207.12 1.26Maret 281.65 216.34 162.92 234.71 215.80 162.05 169.16 206.75 -0.18April 275.09 215.52 164.04 233.58 216.57 162.04 169.07 205.34 -0.68Mei 271.38 215.20 164.91 231.18 217.60 162.59 170.06 204.76 -0.28Juni 268.25 215.16 165.34 228.32 218.22 163.06 170.23 204.07 -0.34Juli 258.96 214.87 166.06 224.69 219.48 163.87 169.94 201.93 -1.05Agustus 248.54 215.33 165.87 226.56 220.98 166.48 169.68 200.05 -0.93September 239.06 216.26 166.12 229.63 220.00 169.52 169.94 198.68 -0.68Oktober 4) 237.24 216.13 166.45 232.23 220.06 170.17 171.31 198.79 0.06November 240.00 216.51 165.93 228.38 219.97 170.42 171.56 199.00 0.25Desember 249.54 219.20 166.77 233.21 220.37 170.44 172.20 202.45 1.73
2000 - - - - - - - - 9.35Januari 256.85 220.00 167.56 237.47 220.87 170.43 173.68 205.12 1.32Februari 256.00 220.17 168.34 239.79 221.85 170.23 173.45 205.27 0.07Maret 250.16 219.97 169.05 240.09 222.43 171.83 174.01 204.34 -0.45April 246.16 225.28 171.03 240.50 224.87 173.50 176.83 205.48 0.56Mei 246.08 225.07 174.18 242.55 225.76 174.91 181.19 207.21 0.84Juni 246.47 227.25 174.87 244.54 226.50 175.41 182.54 208.24 0.50Juli 251.39 229.45 176.06 248.54 229.42 178.51 183.37 210.91 1.28Agustus 246.68 231.43 176.71 247.01 230.43 195.70 184.69 211.99 0.51September 240.76 232.73 177.93 247.12 236.19 198.02 186.65 211.87 -0.06Oktober 241.37 237.42 180.60 248.68 238.16 199.24 191.19 214.33 1.16November 246.96 241.62 182.93 249.95 240.47 199.50 191.78 217.15 1.32Desember 259.53 243.49 183.61 256.98 241.46 200.28 194.00 221.37 1.94
2001 - - - - - - - - 12.55Januari 258.68 245.87 184.74 259.03 242.26 200.61 193.21 222.10 0.33Februari 263.04 247.59 185.96 258.88 244.77 201.38 194.29 224.04 0.87Maret 265.51 250.49 188.19 260.70 247.97 202.17 195.00 226.04 0.89April 262.89 252.77 190.09 264.85 252.17 203.41 196.06 227.07 0.46Mei 266.84 255.28 191.63 270.08 254.79 203.89 197.42 229.63 1.13Juni 270.43 261.35 194.72 271.94 257.03 204.61 204.14 233.46 1.67Juli 274.88 266.46 197.93 272.10 259.74 209.40 218.09 238.52 2.12Agustus 268.42 267.54 199.69 264.80 260.26 218.08 218.12 237.92 -0.21September 266.45 269.14 203.04 266.57 260.62 222.74 219.75 239.44 0.64Oktober 269.53 270.38 203.89 271.77 261.32 223.38 219.99 241.06 0.68November 282.50 272.38 206.05 274.81 262.26 223.57 220.14 245.18 1.71Desember 290.74 278.75 208.57 277.90 262.99 224.12 221.47 249.15 1.62
2002 - - - - - - - - 10.03Januari 298.72 286.47 213.58 278.74 264.94 224.60 223.18 254.12 1.99Februari 308.00 288.76 217.15 279.69 266.50 225.50 225.78 257.93 1.50Maret 299.31 289.27 219.02 279.34 268.06 226.25 235.88 257.87 -0.02April 293.58 289.94 219.96 279.08 269.41 226.30 237.96 257.26 -0.24Mei 295.29 290.15 221.68 278.95 271.22 226.93 246.06 259.31 0.80Juni 294.47 290.17 223.80 278.28 272.37 226.57 251.21 260.25 0.36Juli 293.99 291.93 225.83 279.15 273.77 236.77 253.42 262.38 0.82Agustus 292.43 292.36 227.64 279.64 275.18 242.78 253.19 263.13 0.29September 293.48 293.30 230.07 280.15 275.96 247.43 252.19 264.53 0.53Oktober 294.96 296.33 231.00 281.18 276.62 247.99 253.77 265.95 0.54November 309.80 301.30 232.64 283.72 277.03 248.15 254.21 270.87 1.85Desember 317.29 304.35 235.08 285.38 277.79 248.43 255.85 274.13 1.20
Bahan Makanan Peru- Kese- Pendidikan, Transpor PerubahanMakanan Jadi, mahan Sandang hatan Rekreasi & dan Umum Indeks
Akhir periode 1) Minuman, Olahraga Komunikasi UmumRokok danTembakau
1) Angka tahunan/triwulanan adalah angka akhir periode yang bersangkutan2) Berdasarkan April 1988 - Maret 1989 = 100 dengan 4 kelompok: kolom (2) adalah kelompok Makanan; kolom (6) adalah kelompok Aneka Barang dan Jasa3) Berdasarkan Januari 1996 - Desember 1996 = 100, IHK dihitung di 44 kota dan dibagi menjadi 7 kelompok4) Sejak Oktober 1999, IHK dihitung di 43 kota (minus kota Dili)
Sumber : Badan Pusat Statistik
309
Lampiran
Tabel 15Indeks Harga Perdagangan Besar Indonesia 1)
Perubahan 2002 Kelompok 1998 1999 2000 2001 2002 terhadap 2001
(%)
1) Angka tahunan merupakan rata-rata Indeks selama satu tahun yang bersangkutanTahun 1996 - 1998, perhitungan Indeks Harga Perdagangan Besar menggunakan tahun dasar 1983 (1983=100)Tahun 1999 - 2001, perhitungan Indeks Harga Perdagangan Besar menggunakan tahun dasar 1993 (1993=100)
Sumber : Badan Pusat Statistik
Pertanian 750 410 459 567 614 34
Pertambangan dan penggalian 396 214 236 275 308 30
Industri 455 268 278 309 339 22
Impor 598 289 316 356 345 9
Ekspor 592 366 461 521 497 8
Migas 474 355 634 669 615 -3
Nonmigas 994 370 393 462 450 14
Indeks Umum 568 314 353 403 414 17
310
Lampiran
Tabel 16Perkembangan Laju Inflasi di 43 Kota
(Persen)
Lhokseumawe 79.66 6.61 8.73 11.67 10.99Banda Aceh 79.01 5.57 10.57 16.60 10.14Padang Sidempuan 85.72 -0.14 3.95 9.84 10.18Sibolga 85.01 1.65 6.95 8.66 11.58Pematang Siantar 80.23 -0.54 4.67 13.55 9.41Medan 83.81 1.68 5.90 15.50 9.49Padang 87.20 4.23 10.99 9.86 10.22Pekanbaru 75.86 4.35 10.34 14.65 11.66Batam 52.89 -0.28 9.00 12.64 9.14Jambi 72.31 0.49 8.40 10.11 12.62Palembang 89.18 -1.01 8.49 15.15 12.25Bengkulu 84.10 0.47 8.21 10.58 10.11Bandar Lampung 85.22 3.34 10.18 12.94 10.32Jakarta 74.42 1.77 10.29 11.52 9.08Tasikmalaya 73.55 1.58 4.57 16.71 10.29Serang/Cilegon 65.43 -0.04 7.03 12.75 9.68Bandung 72.59 4.29 8.52 11.91 11.97Cirebon 62.23 4.75 6.52 12.93 10.53Purwokerto 80.93 0.99 10.02 11.76 8.77Surakarta 66.38 0.46 7.89 15.58 8.64Semarang 67.19 1.51 8.73 13.98 13.56Tegal 67.73 1.11 7.85 11.26 11.27Yogyakarta 77.46 2.51 7.32 12.56 12.01Jember 84.95 3.16 10.35 13.92 9.75Kediri 77.08 -0.64 7.05 15.91 8.87Malang 93.16 1.49 10.62 12.45 9.74Surabaya 95.21 0.24 10.46 14.13 9.15Denpasar 75.11 4.39 9.81 11.52 12.49Mataram 90.50 0.59 5.19 14.76 7.96Kupang 62.58 10.65 10.62 12.34 9.77Pontianak 78.85 4.49 8.34 10.60 8.61Sampit 75.94 -4.98 11.87 14.69 7.59Palangkaraya 74.65 -0.13 8.57 13.35 9.18Banjarmasin 74.43 1.47 7.57 8.36 9.18Balikpapan 75.10 3.01 10.67 10.82 11.38Samarinda 68.31 3.69 11.91 10.21 10.26Manado 74.24 7.41 11.41 13.30 15.22Palu 95.18 3.58 8.41 18.73 13.36Makasar 80.86 1.64 9.73 11.77 8.25Kendari 97.79 1.29 11.25 12.56 10.35Ternate 72.98 0.38 14.51 13.71 6.40Ambon 75.82 8.26 8.52 14.12 9.47Jayapura 61.83 3.49 10.23 14.00 13.91Inflasi Nasional 77.63 2.01 9.35 12.55 10.03
Kota 1998 1) 1999 2) 2000 2001 2002
Keterangan1) Dihitung dengan menggunakan tahun dasar 1996 = 100 di 44 kota dan terbagi menjadi tujuh kelompok2) Dihitung dengan menggunakan tahun dasar 1996 = 100 di 43 kota (minus kota Dili) dan terbagi menjadi tujuh kelompokSumber : Badan Pusat Statistik
311
Lampiran
Tabel 17Neraca Pembayaran Indonesia
(Juta $)
A. Transaksi Berjalan 4.097 5.783 7.991 6.901 7.2621. Barang 18.429 20.644 25.042 22.696 23.147
a. Ekspor fob 50.370 51.242 65.407 57.365 57.970- Nonmigas 42.951 40.988 50.341 44.805 45.253- Migas 7.419 10.255 15.066 12.560 12.717
b. Impor fob -31.942 -30.598 -40.365 -34.668 -34.823- Nonmigas -29.087 -26.631 -34.378 -28.961 -28.259- Migas -2.855 -3.967 -5.988 -5.707 -6.564
2. Jasa-jasa (bersih) -14.332 -14.861 -17.051 -15.795 -15.885- Nonmigas -11.420 -11.660 -12.500 -11.501 -11.641- Migas -2.911 -3.201 -4.551 -4.294 -4.244
B. Lalu Lintas Modal -3.876 -4.571 -6.772 -8.992 -3.5921. Lalu Lintas Modal Pemerintah (bersih) 9.970 5.352 3.217 -741 -556
a. Penerimaan 13.174 7.932 4.986 1.107 1.266- Bantuan program 1.821 3.870 1.361 507 773- Bantuan pangan 160 273 76 0 0- IGGI/CGI 2.787 2.408 2.420 1.963 1.358- Diluar IGGI/CGI 8.406 1.381 1.130 -1.363 -865
b. Pelunasan pinjaman 1/ -3.204 -2.581 -1.769 -1.847 -1.823
2. Lalu Lintas Modal Swasta (bersih) -13.846 -9.923 -9.989 -8.252 -3.035a. Penanaman modal langsung (bersih) -356 -2.745 -4.550 -5.876 -6.940b. Lainnya (bersih) -13.490 -7.178 -5.439 -2.375 3.905
C. Jumlah (A+B) 221 1.213 1.219 -2.091 3.670
D. Selisih Perhitungan antara C dan E 2.123 2.079 3.823 713 -115
E. Lalu-lintas Moneter 2/ -2.344 -3.292 -5.042 1.378 -3.555
1/ Setelah diperhitungkan rescheduling2/ Minus (-) : Surplus, dan sebaliknya
Rincian 1998 1999 2000 2001 2002*
312
Lampiran
Tabel 18Nilai Ekspor Nonmigas menurut Komoditas
(Juta $)
Total Ekspor 42.951 40.987 50.341 44.805 45.253Pertanian 5.091 4.179 4.152 3.557 3.921
Kayu 53 86 97 105 58Getah karet 1.006 854 883 810 963Kopi 602 465 327 161 220Teh 169 102 115 97 114Lada 195 183 227 105 77Tembakau 139 108 80 95 74Tapioka 21 23 11 12 4Hewan & hasilnya 1.779 1.574 1.622 1.499 1.467- Udang 1.041 886 971 864 772Kulit 72 74 94 81 68Lainnya 1.056 710 695 592 875
Mineral 4.703 4.130 5.566 5.620 5.370Timah 260 242 234 245 287Tembaga 1.792 1.441 2.272 2.416 2.224Nikel 165 219 360 299 47Aluminium 202 138 260 212 233Batu bara 1.669 1.665 1.635 1.945 2.144Lainnya 614 425 805 503 436
Industri 33.157 32.678 40.623 35.628 35.962Tekstil & produk tekstil 7.034 6.291 7.317 6.752 6.116- Pakaian jadi 3.769 3.450 4.067 3.821 3.256Kerajinan tangan 2.089 569 548 532 501Produk kayu 4.245 4.526 4.495 3.962 3.783- Kayu lapis 2.328 2.259 1.996 1.725 1.515Produk rotan 39 255 296 272 280Minyak sawit 888 1.369 1.265 1.343 2.068Bungkil kopra 51 47 62 49 64Produk kimia 2.098 1.835 2.259 2.146 2.242Produk logam 1.387 1.078 1.217 1.131 1.043Barang-barang listrik 2.813 3.365 6.366 6.115 6.562Semen 87 143 141 170 113Kertas 2.471 2.645 3.046 2.677 2.500Produk karet 415 374 440 429 520Gelas dan alat dari gelas 269 279 349 306 309Alas kaki 1.583 1.519 1.620 1.433 1.349Produk plastik 935 860 1.216 1.024 1.053Mesin & psw. mekanik 1.478 1.853 3.783 3.054 3.128Lainnya 5.275 5.670 6.205 4.233 4.329
Rincian 1998 1999 2000 2001 2002*
313
Lampiran
Tabel 19Volume Ekspor Nonmigas menurut Komoditas
(Ribu ton)
1998 1999 2000 2001 2002*Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%)
Rincian
Total Ekspor 199.771 100,0 175.610 100,0 172.032 100,0 226.385 100,0 195.480 100,0Pertanian 5.936 3,0 5.395 3,1 4.467 2,6 4.579 2,0 4.220 2,2
Kayu 489 0,2 679 0,4 685 0,4 849 0,4 952 0,5Getah karet 1.584 0,8 1.544 0,9 1.410 0,8 1.554 0,7 1.288 0,7Kopi 411 0,2 362 0,2 363 0,2 270 0,1 222 0,1Teh 113 0,1 107 0,1 109 0,1 96 0,0 91 0,0Lada 45 0,0 35 0,0 67 0,0 54 0,0 64 0,0Tembakau 114 0,1 78 0,0 32 0,0 46 0,0 57 0,0Tapioka 211 0,1 300 0,2 161 0,1 173 0,1 109 0,1Hewan & hasilnya 949 0,5 819 0,5 664 0,4 567 0,3 649 0,3- Udang 165 0,1 164 0,1 182 0,1 147 0,1 180 0,1Kulit 13 0,0 38 0,0 11 0,0 10 0,0 11 0,0Lainnya 2.007 1,0 1.433 0,8 965 0,6 960 0,4 777 0,4
Mineral 154.226 77,2 116.809 66,5 125.015 72,7 174.330 77,0 142.392 72,8Timah 49 0,0 47 0,0 46 0,0 70 0,0 74 0,0Tembaga 2.946 1,5 2.261 1,3 3.144 1,8 3.110 1,4 3.492 1,8Nikel 1.409 0,7 2.008 1,1 1.918 1,1 2.414 1,1 18.003 9,2Aluminium 1.076 0,5 1.125 0,6 1.204 0,7 1.318 0,6 1.471 0,8Batu bara 52.411 26,2 53.899 30,7 59.742 34,7 68.496 30,3 69.021 35,3Lainnya 96.335 48,2 57.469 32,7 58.961 34,3 98.922 43,7 50.331 25,7
Industri 39.609 19,8 49.307 28,1 42.550 24,7 47.476 21,0 48.868 25,0Tekstil & produk tekstil 1.635 0,8 1.525 0,9 1.677 1,0 1.685 0,7 1.950 1,0- Pakaian jadi 414 0,2 333 0,2 351 0,2 347 0,2 379 0,2Kerajinan tangan 223 0,1 196 0,1 205 0,1 246 0,1 248 0,1Produk kayu 7.302 3,7 6.791 3,9 6.770 3,9 6.242 2,8 6.660 3,4- Kayu lapis 5.157 2,6 4.302 2,4 3.970 2,3 3.668 1,6 3.792 1,9Produk rotan 14 0,0 114 0,1 130 0,1 110 0,0 126 0,1Minyak sawit 1.700 0,9 3.600 2,0 4.521 2,6 5.728 2,5 4.153 2,1Bungkil kopra 984 0,5 983 0,6 1.225 0,7 1.309 0,6 854 0,4Produk kimia 6.883 3,4 5.378 3,1 5.916 3,4 5.604 2,5 5.914 3,0Produk logam 3.391 1,7 3.191 1,8 1.515 0,9 1.667 0,7 2.042 1,0Barang-barang listrik 381 0,2 437 0,2 692 0,4 689 0,3 753 0,4Semen 3.736 1,9 7.383 4,2 7.292 4,2 10.190 4,5 12.268 6,3Kertas 5.585 2,8 9.048 5,2 5.048 2,9 4.626 2,0 5.560 2,8Produk karet 203 0,1 209 0,1 279 0,2 264 0,1 246 0,1Gelas dan alat dari gelas 957 0,5 1.555 0,9 960 0,6 807 0,4 1.580 0,8Alas kaki 173 0,1 165 0,1 157 0,1 148 0,1 142 0,1Produk plastik 1.244 0,6 1.045 0,6 1.195 0,7 1.006 0,4 1.356 0,7Mesin & psw. mekanik 763 0,4 166 0,1 288 0,2 278 0,1 330 0,2Lainnya 4.435 2,2 7.156 4,1 4.680 2,7 6.877 3,0 4.686 2,4
314
Lampiran
Tabel 20Nilai Ekspor Nonmigas menurut Negara Tujuan
(Juta $)
1998 1999 2000 2001 2002*Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%)
Afrika 904 2,1 1.032 2,5 1.157 2,3 1.120 2,5 1.085 2,4Amerika 7.815 18,2 7.679 18,7 9.993 19,9 8.753 19,5 8.637 19,1
Amerika Serikat 6.383 14,9 6.297 15,4 8.463 16,8 7.385 16,5 7.319 16,2Amerika Latin 459 1,1 429 1,0 626 1,2 557 1,2 554 1,2Kanada 409 1,0 346 0,8 446 0,9 405 0,9 369 0,8Lain-lain 564 1,3 607 1,5 458 0,9 406 0,9 395 0,9
Asia 24.831 57,8 23.573 57,5 28.579 56,8 25.219 56,3 25.718 56,8ASEAN 8.723 20,3 7.982 19,5 9.748 19,4 8.555 19,1 8.811 19,5
Brunei 43 0,1 26 0,1 24 0,0 29 0,1 32 0,1Malaysia 1.358 3,2 1.388 3,4 1.861 3,7 1.706 3,8 1.887 4,2Filipina 608 1,4 646 1,6 861 1,7 807 1,8 783 1,7Singapura 5.798 13,5 4.998 12,2 6.073 12,1 5.058 11,3 5.123 11,3Thailand 916 2,1 923 2,3 928 1,8 955 2,1 986 2,2
Hongkong 2.037 4,7 1.400 3,4 1.574 3,1 1.267 2,8 1.186 2,6India 782 1,8 807 2,0 1.088 2,2 981 2,2 1.166 2,6Irak 45 0,1 63 0,2 95 0,2 89 0,2 26 0,1Jepang 5.964 13,9 5.791 14,1 7.844 15,6 6.934 15,5 6.256 13,8Korea Selatan 1.166 2,7 1.287 3,1 1.710 3,4 1.634 3,6 1.795 4,0Myanmar 175 0,4 101 0,2 64 0,1 66 0,1 54 0,1Pakistan 152 0,4 151 0,4 148 0,3 182 0,4 241 0,5RRC 1.320 3,1 1.486 3,6 1.828 3,6 1.573 3,5 2.060 4,6Arab Saudi 476 1,1 428 1,0 535 1,1 477 1,1 464 1,0Taiwan 1.288 3,0 1.234 3,0 1.487 3,0 1.228 2,7 1.177 2,6Lain-lain 2.702 6,3 2.846 6,9 2.458 4,9 2.232 5,0 2.483 5,5
Australia/Oceania 910 2,1 1.058 2,6 1.080 2,1 1.029 2,3 1.365 3,0
Eropa 8.491 19,8 7.645 18,7 9.532 18,9 8.683 19,4 8.448 18,7MEE 7.474 17,4 6.744 16,5 8.774 17,4 7.719 17,2 7.363 16,3
Belanda 1.488 3,5 1.464 3,6 1.895 3,8 1.639 3,7 1.469 3,2Belgia dan Luxemburg 773 1,8 687 1,7 892 1,8 730 1,6 776 1,7Inggris 1.120 2,6 1.175 2,9 1.575 3,1 1.594 3,6 1.454 3,2Italia 729 1,7 605 1,5 708 1,4 605 1,3 598 1,3Jerman 1.458 3,4 1.217 3,0 1.435 2,9 1.277 2,9 1.235 2,7Perancis 545 1,3 506 1,2 730 1,5 598 1,3 611 1,3Lainnya 1.360 3,2 1.090 2,7 1.540 3,1 1.275 2,8 1.220 2,7
Bekas Uni Soviet 67 0,2 49 0,1 81 0,2 60 0,1 67 0,1Eropa Timur Lain-lain 310 0,7 232 0,6 243 0,5 237 0,5 301 0,7Lain-lain 640 1,5 621 1,5 433 0,9 667 1,5 717 1,6
TOTAL 42.951 100,0 40.987 100,0 50.341 100,0 44.805 100,0 45.253 100,0
Benua/negara
315
Lampiran
Tabel 21Nilai Impor Nonmigas Menurut Negara Tujuan (C&F)
(Juta $)
1998 1999 2000 2001 2002*Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%)
Afrika 399 1,2 458 1,6 496 1,3 540 1,7 390 1,3Amerika 5.841 18,2 5.213 18,0 6.086 16,4 4.943 15,8 4.340 14,3
Amerika Serikat 3.482 10,8 3.817 13,2 4.362 11,8 3.926 12,5 3.229 10,6Amerika Latin 462 1,4 726 2,5 722 1,9 469 1,5 557 1,8Kanada 468 1,5 601 2,1 868 2,3 486 1,6 512 1,7Lain-lain 1.428 4,4 70 0,2 133 0,4 61 0,2 42 0,1
Asia 15.857 49,3 15.459 53,3 20.996 56,6 17.657 56,4 17.916 59,0ASEAN 2.646 8,2 4.194 14,5 5.077 13,7 4.675 14,9 4.693 15,4
Brunei 2 0,0 2 0,0 2 0,0 2 0,0 2 0,0Malaysia 380 1,2 679 2,3 906 2,4 882 2,8 948 3,1Filipina 77 0,2 91 0,3 159 0,4 122 0,4 142 0,5Singapura 1.320 4,1 2.189 7,6 2.613 7,0 2.414 7,7 2.221 7,3Thailand 867 2,7 1.233 4,3 1.397 3,8 1.255 4,0 1.380 4,5
Hongkong 260 0,8 349 1,2 488 1,3 326 1,0 293 1,0India 286 0,9 403 1,4 627 1,7 638 2,0 794 2,6Irak 3 0,0 0 0,0 0 0,0 3 0,0 0 0,0Jepang 4.641 14,4 4.472 15,4 7.094 19,1 5.298 16,9 5.500 18,1Korea Selatan 1.356 4,2 1.753 6,0 2.474 6,7 2.264 7,2 1.790 5,9Myanmar 10 0,0 26 0,1 29 0,1 26 0,1 46 0,2Pakistan 140 0,4 125 0,4 73 0,2 89 0,3 61 0,2RRC 981 3,1 1.712 5,9 2.414 6,5 2.086 6,7 2.600 8,6Arab Saudi 117 0,4 203 0,7 301 0,8 264 0,8 211 0,7Taiwan 974 3,0 1.170 4,0 1.718 4,6 1.430 4,6 1.283 4,2Lain-lain 4.443 13,8 1.053 3,6 700 1,9 557 1,8 644 2,1
Australia/Oceania 1.785 5,6 2.139 7,4 2.558 6,9 2.386 7,6 2.114 7,0
Eropa 8.256 25,7 5.727 19,8 6.950 18,7 5.803 18,5 5.628 18,5MEE 5.456 17,0 4.561 15,7 5.255 14,2 4.543 14,5 4.281 14,1
Belanda 349 1,1 489 1,7 611 1,6 440 1,4 446 1,5Belgia dan Luxemburg 256 0,8 251 0,9 395 1,1 270 0,9 247 0,8Inggris 861 2,7 769 2,7 934 2,5 757 2,4 526 1,7Italia 528 1,6 362 1,3 455 1,2 522 1,7 566 1,9Jerman 2.652 8,3 1.758 6,1 1.727 4,7 1.644 5,2 1.648 5,4Perancis 564 1,8 513 1,8 648 1,7 517 1,6 523 1,7Lainnya 246 0,8 418 1,4 485 1,3 392 1,3 324 1,1
Bekas Uni Soviet 166 0,5 188 0,6 319 0,9 210 0,7 226 0,7Eropa Timur Lain-lain 74 0,2 64 0,2 65 0,2 57 0,2 92 0,3Lain-lain 2.560 8 914 3,2 1.312,4 3,5 992,6 3,2 1.030 3,4
TOTAL 32.137 100 28.997 100 37.087 100 31.328 100 30.388 100,0
Benua/negara
316
Lampiran
Nilai Ekspor2)
Minyak Bumi dan hasilnya 4.141 5.680 7.954 6.921 6.679
Gas
- LNG 3.046 4.207 6.756 5.270 5.728
- LPG 233 369 356 369 310
Total 7.420 10.256 15.066 12.560 12.717
Volume Ekspor
Minyak Bumi dan hasilnya (juta barel) 340 336 291 297 275
Gas
- LNG (juta MMBTU)3) 1.384 1.511 1.400 1.222 1.377
- LPG (ribuan Mton) 1.620 1.865 1.215 1.458 1.297
1) Nilai fob Sistem klasifikasi barang berubah dari sistem CCN ke HS sehingga beberapa barang ekspor mengalami pergeserandalam pengelompokannya
2) Terdiri atas minyak mentah dan hasil-hasil minyak dalam juta $3) MMBTU : Million British Thermal Unit
Tabel 22
Ekspor Migas 1)
Negara 1998 1999 2000 2001 20021)
317
Lampiran
1998 101.197 17,5 476.184 82,5 577.381 62,3 4,91998/1999 105.705 17,5 497.620 82,5 603.325 34,1 4,51999 4) 124.633 19,3 521.572 80,7 646.205 11,9 -0,92000 162.186 21,7 584.842 78,3 747.028 15,6 8,82001
Maret 148.375 19,3 618.437 80,7 766.812 16,8 2,6Juni 160.142 20,1 636.298 79,9 796.440 16,4 3,9September 164.237 21,0 618.867 79,0 783.104 14,1 -1,7Desember 177.731 21,1 666.323 78,9 844.053 13,0 7,8
2002Januari 166.769 19,9 671.253 80,1 838.022 13,4Februari 168.643 20,1 668.517 79,9 837.160 10,8Maret 166.173 20,0 665.238 80,0 831.411 8,4 -1,5April 169.002 20,4 659.276 79,6 828.278 4,6Mei 168.257 20,2 664.827 79,8 833.084 5,7Juni 174.017 20,8 664.618 79,2 838.635 5,3 0,9Juli 173.524 20,3 679.194 79,7 852.718 10,6Agustus 175.966 20,5 680.869 79,5 856.835 10,7September 181.791 21,1 677.915 78,9 859.706 9,8 2,5Oktober 181.667 21,1 681.343 78,9 863.010 6,7November 196.537 22,6 673.509 77,4 870.046 5,9Desember 191.939 21,7 691.969 78,3 883.908 4,7 2,8
Tabel 23Uang Beredar(Miliar rupiah)
M11) Uang Kuasi2) M23)
Akhir Periode Posisi Pangsa Posisi Pangsa Posisi Perubahan (%)(%) (%) Tahunan Triwulanan
1) Terdiri atas uang kartal dan uang giral2) Terdiri atas deposito berjangka dan tabungan, dalam rupiah dan valuta asing serta giro valuta asing milik penduduk3) Terdiri atas uang beredar dalam arti sempit (M1) dan uang kuasi4) Data statistik Bank Beku Operasional telah dikeluarkan (7 Bank sejak April 1998, 3 bank sejak Agustus 1998, dan 38 bank sejak Maret 1999)
318
Lampiran
Uang BeredarM2M1
KartalGiral
Kuasi 1)
Faktor yang MempengaruhiAktiva Luar Negeri BersihTagihan Kepada Pemerintah BersihTagihan Bersih kepada BPPNTagihan Kepada Sektor Swasta
Tagihan Kepada Lembaga/ Perusahaan PemerintahTagihan Kepada Perusahaan Swasta dan Perorangan
Aktiva Lainnya Bersih
1) Terdiri atas deposito berjangka dan tabungan dalam rupiah maupun valuta asing serta giro valuta asing milik penduduk
Tabel 24Perubahan Uang Beredar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
(Miliar rupiah)
2002R i n c i a n 1998 1999 2000 2001 2002
I II III IV
221.738 68.824 100.823 97.026 39.854 -12.642 7.224 21.071 24.202 22.854 23.436 37.553 15.545 14.208 -11.558 7.844 7.774 10.148 12.970 16.959 14.018 3.971 4.344 -6.626 2.259 782 7.929 9.884 6.477 23.535 11.574 9.864 -4.932 5.585 6.992 2.219 198.884 45.388 63.270 81.481 25.646 -1.085 -620 13.297 14.054
73.692 -12.581 81.637 23.242 16.721 -12.740 -14.875 32.500 11.836 17.513 425.287 123.060 9.389 -19.355 14.950 -4.954 -10.052 -19.300 29.693 -29.693 - - - - - - - 99.421 -299.689 42.347 34.233 60.143 -5.614 9.567 30.547 25.643
6.389 -8.139 -4.505 3.910 4.689 -1.521 3.485 1.987 738
93.032 -291.550 46.852 30.323 55.454 -4.093 6.082 28.560 24.905 1.419 -14.500 -146.221 30.162 -17.655 -9.238 17.487 -31.924 6.023
319
Lampiran
Bank Persero1 Bulan 41,24 13,23 12,52 5,44 12,05 6,37 16,59 4,95 12,84 2,633 Bulan 48,69 13,70 13,19 5,45 13,33 6,59 17,47 5,36 13,65 2,736 Bulan 35,17 8,14 14,44 7,94 13,42 6,17 16,55 5,67 13,86 2,71
12 Bulan 28,75 12,61 23,14 8,91 12,48 6,24 15,81 5,95 15,67 3,3224 Bulan 16,01 14,87 18,53 14,87 14,32 10,23 18,06 6,34 18,05 5,57
Bank Swasta Nasional1 Bulan 41,88 12,72 12,14 5,34 12,05 6,07 15,83 4,05 12,90 2,323 Bulan 50,24 10,64 12,66 5,68 13,20 6,43 16,94 4,90 13,77 2,676 Bulan 33,34 10,21 13,55 7,98 13,16 6,23 15,58 5,32 13,91 2,73
12 Bulan 26,16 11,49 17,07 16,63 11,50 11,39 14,74 5,70 14,73 3,2524 Bulan 22,85 14,91 17,59 8,02 14,22 8,14 17,22 6,27 17,18 6,23
Bank Pemerintah Daerah1 Bulan 42,05 12,99 12,20 5,09 11,39 4,97 15,04 5,05 12,81 2,483 Bulan 45,35 10,99 12,51 6,19 12,92 4,56 15,98 4,71 13,56 2,656 Bulan 29,46 10,43 13,46 5,18 12,94 5,13 15,61 5,48 14,14 4,17
12 Bulan 23,91 12,94 16,17 5,67 11,43 5,05 14,99 5,37 14,44 3,5024 Bulan 14,03 .. . 13,73 .. . 13,44 .. . 17,42 .. . 17,72 …
Bank Asing & Campuran1 Bulan 33,07 4,71 9,46 4,08 9,73 4,61 12,96 1,92 10,50 1,863 Bulan 40,84 4,71 9,24 4,03 11,21 4,81 12,35 2,00 9,89 1,926 Bulan 44,42 5,15 9,05 4,31 8,13 4,12 11,63 2,58 9,66 2,39
12 Bulan 31,74 5,17 13,46 4,67 8,51 5,09 12,99 3,40 11,68 2,4024 Bulan 15,57 3,59 11,67 4,00 13,00 6,05 8,72 2,53 15,97 3,21
Bank Umum1 Bulan 41,42 12,11 12,24 5,15 11,96 5,94 16,07 4,18 12,81 2,443 Bulan 49,23 10,73 12,95 5,24 13,24 6,11 17,24 4,35 13,63 2,656 Bulan 36,78 8,22 14,25 7,85 13,31 5,72 16,18 5,12 13,79 2,70
12 Bulan 28,29 11,66 22,35 9,11 12,17 7,86 15,48 5,62 15,28 3,2424 Bulan 16,61 14,71 18,38 14,63 14,32 9,47 18,05 6,32 18,02 5,28
Tabel 25Suku Bunga Deposito dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Kelompok Bank 1)
(Persen per tahun)
Jangka WaktuRupiah Valas Rupiah Valas Rupiah Valas Rupiah Valas Rupiah Valas
Desember 1998 Desember 1999 Desember 2000 Desember 2001 Desember 2002
1) Rata-rata tertimbang pada akhir periode
320
Lampiran
1998 Januari - Desember 13.624 63,141999 Januari - Desember 4.411 23,792000 Januari - Desember 2.272 10,462001 Januari - Desember 3.194 14,56
1998 Januari - Maret 14.309 57,36April - Juni 15.148 66,38Juli - September 15.884 74,13Oktober - Desember 9.154 54,68
1999 Januari - Maret 5.165 39,57April - Juni 5.254 29,70Juli - September 3.393 13,44Oktober - Desember 3.831 12,43
2000 Januari - Maret 1.806 9,50April - Juni 1.916 10,03Juli - September 2.488 10,89Oktober - Desember 2.877 11,43
2001 Januari - Maret 3.071 12,71April - Juni 3.106 14,45Juli - September 3.335 15,15Oktober - Desember 3.264 15,93
2002 1) Januari 3.168 15,67Februari 4.234 17,18Maret 3.816 15,70Januari - Maret 3.739 16,18April 3.825 15,69Mei 3.838 15,05Juni 3.969 14,83April - Juni 3.878 15,19Juli 3.437 14,51Agustus 3.921 13,73September 4.060 12,43Juli - September 3.806 13,56Oktober 4.005 12,80November 3.386 11,46Desember 3.332 11,31Oktober - Desember 3.574 11,86
Tabel 26Pasar Uang Antarbank di Jakarta
(Rata-rata Volume Transaksi PUAB Pagi & Sore Berbagai Tenor) 1)
Akhir periode
1) Angka rata-rata harian
Nilai Transaksi(Miliar Rupiah)
Suku Bunga Rata-Rata Tertimbang (Persen per Tahun)
321
Lampiran
Bank Persero1 Bulan 37,96 12,04 13,26 15,33 16,22 16,48 16,19 13,99 13,29 12,913 Bulan 36,94 12,95 13,05 14,99 16,26 17,51 17,19 16,58 14,34 13,266 Bulan 28,13 11,62 11,36 14,84 15,15 14,25 17,49 17,12 15,30 15,06
12 Bulan 23,60 11,66 12,04 14,89 15,88 16,03 16,18 16,16 15,81 14,7224 Bulan 14,22 11,50 13,70 16,30 16,28 16,28 16,29 16,33 16,83 15,05
Bank Swasta Nasional1 Bulan 38,77 12,59 14,20 14,50 16,76 17,28 17,11 15,85 14,52 13,763 Bulan 39,53 11,81 12,93 14,35 15,49 16,81 17,07 16,28 15,25 13,756 Bulan 32,62 13,24 14,16 14,81 15,34 15,77 16,69 17,01 16,08 15,24
12 Bulan 52,40 12,12 12,73 12,81 17,19 17,62 17,44 17,45 13,97 14,6524 Bulan 30,00 - - - - - - - - -
Bank Pemerintah Daerah1 Bulan 31,90 11,26 11,98 13,95 14,69 15,85 16,38 14,98 14,00 12,163 Bulan 35,48 13,88 15,62 15,78 17,24 18,19 18,09 16,92 15,03 14,236 Bulan 26,26 12,00 12,00 12,49 12,50 - - - 15,00 15,00
12 Bulan 25,21 13,81 13,83 14,60 14,54 13,00 15,46 15,92 14,77 15,6824 Bulan 14,50 - - - - - - - - -
Bank Asing & Campuran1 Bulan 48,41 9,43 10,05 10,63 10,93 11,90 - - - -3 Bulan 34,00 9,70 10,06 11,43 12,43 13,78 - - - -6 Bulan 35,50 8,28 8,64 8,70 9,00 10,24 - - - -
12 Bulan - 7,90 8,20 8,33 8,38 8,40 - - - -24 Bulan - - - - - - - - - -
Bank Umum1 Bulan 39,57 12,47 14,09 14,60 16,55 16,81 16,75 15,73 14,45 13,573 Bulan 38,68 11,83 12,89 14,40 15,58 16,97 17,12 16,41 14,99 13,676 Bulan 30,89 12,00 12,00 14,81 15,18 14,65 17,39 17,09 15,39 15,07
12 Bulan 28,77 12,11 12,65 13,97 16,39 16,50 16,52 16,49 15,68 14,7224 Bulan 14,53 11,50 13,70 16,30 16,28 16,28 16,29 16,33 16,33 15,05
Jangka Waktu
1) Rata-rata tertimbang pada akhir periode
Tabel 27Tingkat Diskonto Sertifikat Deposito Rupiah menurut Kelompok Bank 1)
(Persen per tahun)
1999 2000 2001 2002
Desember Desember Maret Juni September Desember Maret Juni September Desember
322
Lampiran
Tabel 28Penerbitan, Pelunasan, dan Posisi Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
(Miliar rupiah)
Akhir Periode Penerbitan Pelunasan Posisi1)
Januari - Desember 1998 735.844 700.182 42.765Januari - Desember 1999 711.542 691.408 62.899Januari - Desember 2000 928.944 937.212 59.781Januari - Desember 2001 970.380 974.669 900.128
2002Januari 115.374 66.731 104.385Februari 95.005 95.621 103.769Maret 84.089 87.670 100.188April 84.146 89.451 94.883Mei 100.496 93.673 101.706Juni 83.004 82.129 102.581Juli 81.778 84.520 99.839Agustus 97.668 98.751 98.756September 73.122 74.101 97.777Oktober 93.556 97.423 93.910November 63.425 71.617 85.718Desember 53.157 60.000 78.484
Keterangan :Penerbitan SBI dimulai pada bulan Februari 1984, dan sejak Juli 1998 penjualan SBI dilakukan melalui lelang dengan sistem SOR (Stop Out Rate)1) Angka rata-rata harian
323
Lampiran
Tabel 29Tingkat Diskonto SBI1)
(Persen per tahun)
Periode 7 hari 14 hari 28 hari 90 hari 180 hari 360 hari
1998Maret 29,24 - 27,75 - - -Juni - 52,81 58,00 - - -September - - 68,76 - - -Desember - - 38,44 39,00 - -
1999Maret - - 37,84 38,00 - -Juni - - 22,05 23,75 - -September - - 13,02 13,25 - -Desember - - 12,51 12,75 - -
2000 - - 11,03 11,00 - -Maret - - 11,74 11,09 - -Juni - - 13,62 13,32 - -September - - 14,53 14,31 - -Desember
2001Maret 15,16 14,94Juni 16,52 16,28September 17,65 17,56Desember 17,62 17,63
2002Januari - - 17,09 17,43 - -Februari - - 16,86 17,01 - -Maret - - 16,76 16,89 - -April - - 16,61 16,75 - -Mei - - 15,51 16,29 - -Juni - - 15,11 15,18 - -Juli - - 14,93 15,00 - -Agustus - - 14,35 14,93 - -September - - 13,22 14,11 - -Oktober - - 13,10 13,12 - -November - - 13,06 13,12 - -Desember - - 13,02 13,12 - -
1) Rata-rata tertimbang
324
Lampiran
Tabel 30Transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) antara
Bank Indonesia dan Bank-bank(Miliar rupiah)
Periode Pembelian Pelunasan Posisi
1998Januari - Maret 257.109 256.474 4.090April - Juni 42.929 46.873 146Juli - September 24.136 24.057 227Oktober - Desember 1.342 550 1.018
1999Januari - Maret 1.018 1.018 1.018April - Juni 0 0 1.018Juli - September 0 0 1.018Oktober - Desember 644 1.662 0
2000Januari - Maret 0 0 0April - Juni 0 0 0Juli - September 0 0 0Oktober - Desember 0 0 0
2001Januari - Maret 112 112 0April - Juni 22 22 0Juli - September 0 0 0Oktober - Desember 8 8 0
2002Januari 0 0 0Februari 0 0 0Maret 0 0 0April 0 0 0Mei 0 0 0Juni 0 0 0Juli 0 0 0Agustus 0 0 0September 0 0 0Oktober 0 0 0November 0 0 0Desember 0 0 0
325
Lampiran
Pendapatan Negara dan Hibah 156.470 187.819 205.334 301.078 301.874 300.188 336.156Penerimaan Dalam Negeri 156.409 187.819 205.334 300.600 301.874 299.887 336.156
Penerimaan Perpajakan 102.395 125.951 115.912 185.541 219.627 210.954 254.140Pajak dalam negeri 95.459 120.915 108.884 175.974 207.029 200.325 241.742
PPh 55.944 72.729 57.073 94.576 104.497 101.675 120.925Nonmigas 55.944 59.683 38.421 71.474 88.815 84.460 106.149Migas - 13.046 18.652 23.102 15.682 17.215 14.776
PPN 27.803 33.087 35.232 55.957 70.100 65.853 80.790PBB 3.504 3.525 5.246 5.924 6.357 7.524Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan• 523 604 931 1.417 2.205 1.629 2.402Cukai 7.733 10.381 11.287 17.394 22.353 23.341 27.946Pajak lainnya 413 611 837 1.384 1.950 1.470 2.157
Pajak perdagangan internasional 6.936 5.036 7.028 9.567 12.599 10.629 12.398Bea masuk 2.306 4.177 6.697 9.026 12.249 10.399 11.960Pajak ekspor 4.630 859 331 541 350 230 438
Penerimaan bukan pajak 54.014 61.868 89.422 115.059 82.247 88.933 82.015Penerimaan Sumber Daya Alam 41.368 45.435 76.290 85.672 63.195 65.222 59.396
Minyak bumi 25.957 - 50.953 58.950 44.013 47.689 39.911Gas alam 15.411 - 15.708 22.091 14.524 12.325 16.285
SDA lainnya - - 9.629 4.631 4.658 5.208 3.201Pertambangan umum - - 857 2.320 1.340 1.850 1.483Kehutanan - - 8.719 2.243 3.026 3.155 1.268Perikanan - - 53 68 292 203 450
Bagian laba BUMN• 3.428 5.430 4.018 8.837 10.351 9.760 10.414PNBP 9.217 11.002 9.114 20.550 8.700 13.951 12.206
Hibah 62 - - 478 - 301 -Belanja Negara 172.669 231.879 221.467 341.563 344.009 327.863 370.591
Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 146.020 201.943 188.392 260.508 246.040 229.341 253.714Pengeluaran Rutin 103.261 156.756 162.577 218.923 193.741 189.069 188.584
Belanja Pegawai 23.216 32.719 29.613 38.713 41.298 39.687 50.240Gaji dan pensiun 18.657 27.010 25.005 34.003 41.437Tunjangan beras 1.245 1.822 1.521 1.412 1.575Uang makan/lauk-pauk 1.547 2.567 2.606 2.832 3.460Lain-lain belanja pegawai dalam negeri 1.073 1.294 443 1.550 2.230Belanja pegawai luar negeri 695 25 38 1.502 1.539
Belanja barang 9.862 10.765 9.605 9.931 12.863 12.433 15.427Belanja barang dalam negeri 8.888 9.784 9.500 11.707 14.236 Belanja barang luar negeri 974 980 104 1.156 1.191
Pembayaran bunga utang 32.864 42.910 50.068 87.142 88.500 89.868 81.975Utang dalam negeri 8.385 22.230 31.238 58.197 59.525 64.461 55.180Utang luar negeri 24.480 20.679 18.830 28.945 28.975 25.406 26.795
Subsidi 34.614 65.916 62.745 77.443 41.586 40.006 25.465Subsidi BBM 28.607 40.923 53.810 68.381 30.377 31.162 13.210Subsidi non BBM 6.008 24.993 8.936 9.063 11.209 8.845 12.255
Pengeluaran rutin lainnya 2.703 4.446 10.546 5.694 9.494 7.076 15.476Pengeluaran Pembangunan 42.759 45.187 25.815 41.585 52.299 40.271 65.130
Pembiayaan rupiah 16.578 20.804 8.845 21.371 26.469 27.639 46.230Pembiayaan proyek 26.181 24.383 16.970 20.214 25.830 12.632 18.900
Anggaran Belanja untuk Daerah 26.650 29.936 33.075 81.054 97.969 98.522 116.878Dana Perimbangan 26.650 29.936 33.075 81.054 94.532 94.763 107.491
Dana bagi hasil 3.703 3.993 4.268 20.008 24.600 24.992 27.896Dana alokasi umum 4) 22.947 25.943 28.807 60.346 69.114 69.135 76.978Dana alokasi khusus - - - 701 817 636 2.617
Dana otonomi khusus dan penyeimbang - - - - 3.437 3.759 9.387
Tabel 31Pendapatan dan Belanja Negara
(Miliar rupiah)
R i n c i a n
1) Perhitungan Anggaran Negara (PAN)2) APBN yang telah disetujui DPR3) Realisasi sementara periode 1 Januari sd 31 Desember 2002 (belum diaudit)4) s.d. TA.2000 terdiri atas Dana Rutin Daerah dan Dana Pembangunan DaerahSumber: Departemen Keuangan
1998/99 1) 1999/00 1) 2000 1) 2001 1) 2002 2003 APBN 2) Realisasi 3) APBN 2)
326
Lampiran
Tabel 32Pengeluaran Pemerintah
(miliar rupiah)
I . Pembiayaan Dalam Negeri -4.799 14.672 5.937 30.218 23.501 20.561 22.4501. Perbankan dalam negeri (SILPA/SIKPA) 4) -6.433 -1.941 -12.964 -1.227 - -4.713 8.5002. Non perbankan dalam negeri 1.634 16.613 18.900 31.445 23.501 25.274 13.950
a. Privatisasi 1.634 3.727 - 3.465 3.952 7.665 8.000b. Penjualan aset program restrukturisasi - 12.886 18.900 27.980 19.549 19.549 18.000c . Obligasi negara, neto - - - 0 - -1.939 -12.050
i. Penerbitan obligasi pemerintah - - - 0 3.931 1.991 7.700ii. Pembayaran cicilan pokok
utang/obligasi DN - - - - -3.931 -3.931 -19.750
I I . Pembiayaan Luar Negeri, neto 20.998 29.388 10.196 10.267 18.630 7.116 11.9861. Penarikan pinjaman luar negeri, bruto 51.045 49.584 17.818 26.152 35.360 19.374 29.250
Pinjaman program 24.926 25.201 849 6.416 9.530 7.042 10.350Pinjaman proyek 26.119 24.383 16.970 19.736 25.830 12.332 18.900
2. Pembayaran cicilan pokok utangluar negeri (amortisasi) -30.047 -20.196 -7.623 -15.885 -16.730 -12.259 -17.264
Pembiayaan Bersih 16.199 44.060 16.132 40.485 42.131 29.162 34.436
1) Perhitungan Anggaran Negara (PAN)2) APBN yang telah disetujui DPR3) Realisasi sementara periode 1 Januari sd 31 Desember 20024) Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) / Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SIKPA)Sumber: Departemen Keuangan
Tabel 32Pembiayaan(Miliar rupiah)
R i n c i a n1998/99 1) 1999/00 1) 2000 1) 2001 1) 2002 2003
APBN 2) Realisasi 3) APBN 2)
327
Lampiran
Tabel 33Penghimpunan Dana oleh Bank Umum 1)
(Miliar rupiah)
G i r o Deposito
Dalam Dalam Sub Dalam Dalam SubRupiah Valas Jumlah Rupiah2) Valas Valas
Tabungan JumlahAkhir periode
1998 58.067 39.351 97.418 303.016 103.782 406.798 69.308 573.5241998/1999 60.002 47.244 107.246 303.022 109.778 412.800 79.453 599.4991999 68.456 47.110 115.566 301.431 85.640 387.071 122.981 625.6182000 104.539 70.969 175.508 296.885 93.658 390.543 154.328 720.3792001
Maret 102.113 64.116 166.228 321.209 99.132 420.340 153.385 739.953Juni 107.089 68.126 175.214 315.199 111.614 426.814 160.826 762.854September 109.021 56.781 165.802 323.337 92.225 415.562 163.278 744.642Desember 123.840 66.478 190.318 348.257 97.940 446.196 172.613 809.127
2002Januari 114.802 66.363 181.165 357.143 96.687 453.830 167.888 802.883Februari 115.750 65.139 180.888 355.693 96.706 452.399 166.387 799.675Maret 113.974 63.419 177.393 358.238 94.198 452.436 165.022 794.851April 117.676 63.329 181.004 357.400 89.547 446.947 166.227 794.178Mei 115.753 58.554 174.307 360.883 90.242 451.125 166.992 792.424Juni 119.612 60.044 179.657 362.710 82.686 445.395 171.507 796.559Juli 119.958 67.033 186.991 364.857 85.873 450.730 174.299 812.019Agustus 120.498 63.362 183.860 371.503 87.820 459.323 172.205 815.388September 125.567 69.470 195.037 368.091 86.441 454.532 174.814 824.384Oktober 125.866 73.988 199.854 366.324 86.436 452.760 178.503 831.117November 127.769 74.226 201.995 361.057 81.450 442.507 180.767 825.269Desember 130.877 73.189 204.067 365.771 81.710 447.480 193.468 845.015
1) Termasuk dana milik pemerintah dan bukan penduduk2) Termasuk sertifikat deposito
328
Lampiran
Bank Persero Bank Swasta Nasional Bank Pemerintah Daerah Bank Asing & Campuran J u m l a h
Tabel 34Giro dalam Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum
menurut Kelompok Bank(Miliar rupiah)
1998 24.751 8.476 33.227 23.151 13.447 36.598 4.895 13 4.908 5.270 17.415 22.685 58.067 39.351 97.418
1998/1999 28.271 11.624 39.895 21.921 14.255 36.176 4.374 12 4.386 5.436 21.353 26.789 60.002 47.244 107.246
1999 25.407 12.483 37.890 26.866 15.792 42.658 7.055 15 7.070 9.128 18.820 27.948 68.456 47.110 115.566
2000 49.205 24.284 73.489 34.123 18.973 53.096 10.806 17 10.823 10.405 27.695 38.100 104.539 70.969 175.508
2001
Maret 43.822 12.893 56.715 34.133 20.914 55.048 15.083 23 15.106 9.074 30.286 39.360 102.113 64.116 166.229
Juni 44.526 12.442 56.968 34.728 25.398 60.126 19.539 15 19.554 8.296 30.269 38.565 107.088 68.125 175.213
September 45.145 10.539 55.684 34.546 20.872 55.418 20.810 15 20.825 8.520 25.355 33.875 109.021 56.781 165.802
Desember 54.256 14.430 68.686 38.099 24.270 62.369 22.775 21 22.797 8.710 27.756 36.466 123.840 66.478 190.318
2002
Januari 48.288 14.010 62.298 36.938 24.370 61.308 21.342 29 21.371 8.234 27.954 36.188 114.802 66.363 181.165
Februari 49.514 12.580 62.093 35.567 24.877 60.444 22.483 28 22.511 8.186 27.654 35.840 115.750 65.139 180.888
Maret 47.801 12.807 60.608 34.332 24.026 58.358 23.647 25 23.672 8.194 26.561 34.755 113.974 63.419 177.393
April 49.120 14.467 63.587 35.651 23.933 59.585 24.273 27 24.299 8.632 24.902 33.533 117.676 63.329 181.004
Mei 47.475 12.808 60.283 33.651 22.508 56.160 26.842 27 26.870 7.784 23.211 30.995 115.753 58.554 174.307
Juni 49.322 12.964 62.286 34.952 23.872 58.823 27.260 24 27.284 8.080 23.184 31.264 119.612 60.044 179.657
Juli 45.746 13.392 59.138 37.449 25.393 62.841 27.347 30 27.377 9.416 28.218 37.634 119.958 67.033 186.991
Agustus 45.463 13.844 59.307 37.177 24.865 62.042 28.674 27 28.701 9.184 24.626 33.810 120.498 63.362 183.860
September 48.067 21.328 69.396 39.622 23.651 63.273 28.848 31 28.879 9.030 24.460 33.490 125.567 69.470 195.037
Oktober 49.411 24.463 73.875 40.111 23.890 64.001 27.435 34 27.468 8.909 25.601 34.510 125.866 73.988 199.854
November 51.304 24.068 75.372 40.841 23.676 64.516 25.579 34 25.614 10.045 26.448 36.493 127.769 74.226 201.995
Desember 51.320 22.413 73.733 44.238 24.922 69.160 25.758 23 25.781 9.561 25.831 35.392 130.877 73.189 204.067
Dalam Dalam Sub Dalam Dalam Sub Dalam Dalam Sub Dalam Dalam Sub Dalam DalamRupiah Valas Jumlah Rupiah Valas Jumlah Rupiah Valas Jumlah Rupiah Valas Jumlah Rupiah Valas Jumlah
Akhir periode
329
Lampiran
1998 610 21.039 17.151 50.352 266.585 51.061 406.798
1998/1999 502 15.449 19.414 24.840 307.610 44.984 412.799
1999 436 14.742 35.244 42.125 243.645 50.879 387.071
2000 14.061 6.920 23.503 68.877 215.532 61.649 390.542
2001
Maret 14.038 7.767 23.174 75.696 236.772 62.894 420.340
Juni 14.395 9.451 23.644 66.928 249.025 63.371 426.814
September 14.847 10.553 20.258 75.042 231.910 62.953 415.562
Desember 18.882 13.533 17.903 77.768 242.685 75.425 446.196
2002
Januari 19.099 14.126 18.396 84.858 248.073 69.279 453.830
Februari 18.784 15.834 17.065 84.759 256.853 59.104 452.399
Maret 20.509 17.506 16.292 84.209 240.515 73.405 452.436
April 21.118 19.407 15.439 79.286 245.535 66.162 446.947
Mei 21.469 20.009 16.426 80.742 246.039 66.439 451.125
Juni 21.625 21.108 19.071 78.357 240.985 64.250 445.395
Juli 20.918 20.760 20.230 77.512 245.492 65.818 450.730
Agustus 21.973 22.180 20.347 74.992 246.882 72.949 459.323
September 21.275 22.740 21.277 73.443 250.739 65.059 454.532
Oktober 21.399 22.322 21.187 72.427 247.573 67.851 452.760
November 21.411 22.337 20.992 76.459 239.382 61.926 442.507
Desember 21.447 23.161 20.131 77.078 248.834 56.830 447.480
Akhir periode 24 bulan 12 bulan 6 bulan 3 bulan 1 bulan1) Lain-lain Jumlah
1) Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu
Tabel 35Simpanan Berjangka Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum
menurut Jangka Waktu(Miliar rupiah)
330
Lampiran
Tabel 36Simpanan Berjangka Rupiah pada Bank Umum
menurut Golongan Pemilik(Miliar rupiah)
Badan/ Perusahaan Perusahaan Perusahaan Yayasan Sub-Pemerintah lembaga asuransi negara swasta dan badan Koperasi Perorangan Lainnya jumlah
pemerintah sosial
Akhir periode JumlahBukan
penduduk
P e n d u d u k
1998 8.805 3.626 8.399 18.241 46.408 20.041 768 182.561 13.555 302.404 612 303.016
1998/1999 8.150 3.320 7.963 16.755 47.583 17.970 726 188.258 11.487 302.212 810 303.022
1999 11.268 4.713 11.916 20.463 46.883 20.188 953 173.785 10.165 300.334 1.097 301.431
2000 4.408 5.162 24.412 18.595 39.653 22.864 941 172.917 6.274 295.226 1.659 296.885
2001
Maret 6.343 5.320 26.722 21.707 40.385 26.143 2.244 187.611 3.758 320.233 975 321.209
Juni 6.559 6.017 25.154 16.746 40.117 30.118 1.755 184.916 2.575 313.958 1.243 315.200
September 7.622 5.783 23.028 14.275 39.665 28.616 1.715 198.439 2.769 321.914 1.424 323.338
Desember 7.729 8.761 23.547 13.331 50.718 28.255 893 208.994 2.586 344.812 3.444 348.257
2002
Januari 8.561 7.954 24.264 14.761 52.882 28.871 1.014 213.896 2.888 355.090 2.053 357.143
Februari 9.228 7.404 23.846 15.305 52.107 29.295 858 213.373 2.364 353.780 1.913 355.693
Maret 8.721 8.520 24.531 17.444 50.670 29.634 965 212.536 2.526 355.547 2.690 358.238
April 9.135 7.329 24.522 16.464 50.880 29.575 1.052 213.427 2.293 354.676 2.724 357.400
Mei 9.779 8.535 24.446 15.498 53.748 30.352 1.046 212.179 2.886 358.469 2.414 360.883
Juni 10.879 9.617 24.519 15.687 53.550 31.206 967 211.798 2.157 360.380 2.330 362.710
Juli 10.765 8.547 24.297 17.577 54.920 30.833 789 211.722 3.195 362.645 2.212 364.857
Agustus 11.304 15.239 26.024 15.864 54.554 30.526 1.252 212.022 2.287 369.072 2.431 371.503
September 11.102 10.747 26.746 17.299 54.181 30.845 1.204 211.397 2.113 365.635 2.456 368.091
Oktober 10.956 9.799 26.793 15.263 55.645 30.754 1.172 210.920 2.443 363.744 2.580 366.324
November 10.571 10.254 26.997 13.236 51.647 30.713 1.125 211.676 2.194 358.414 2.644 361.057
Desember 7.869 8.998 27.469 14.434 54.461 31.126 1.204 215.591 2.094 363.248 2.523 365.771
331
Lampiran
Tabel 37Sertifikat Deposito
(Miliar rupiah)
Akhir periode Bank Persero Selain Bank Persero Jumlah
1998 1.792 5.004 6.7961998/1999 829 2.825 3.6541999 491 2.156 2.6472000 410 3.215 3.6252001
Maret 441 3.297 3.739Juni 1.574 4.001 5.575September 1.945 3.855 5.799Desember 2.719 2.882 5.601
2002Januari 3.266 2.796 6.062Februari 3.151 2.526 5.678Maret 3.322 2.549 5.871April 2.986 2.403 5.389Mei 2.626 2.275 4.901Juni 2.067 1.826 3.894Juli 2.383 1.636 4.020Agustus 2.063 1.541 3.604September 1.960 1.574 3.534Oktober 2.047 1.375 3.422November 1.786 1.362 3.148Desember 1.768 1.397 3.165
332
Lampiran
1998 46.292 62.506 307 1.908 18.890 4.894 65.489 69.3081998/1999 45.442 72.328 222 2.047 18.549 5.078 64.213 79.4531999 66.926 115.945 161 855 17.437 6.181 84.524 122.9812000 65.041 152.388 355 755 1.298 1.185 66.694 154.328
2001Maret 86.571 151.593 564 984 626 806 87.761 153.383Juni 67.422 157.535 787 1.960 650 1.330 68.859 160.825September 67.007 161.323 963 1.022 752 933 68.722 163.278Desember 68.138 170.783 510 995 823 834 69.470 172.613
2002Januari 67.752 165.930 490 767 858 1.190 69.100 167.888Februari 68.020 164.460 513 918 852 1.008 69.385 166.387Maret 68.247 163.003 445 949 985 1.070 69.677 165.022April 68.062 164.072 629 1.224 845 931 69.535 166.227Mei 69.120 164.564 562 1.491 1020 937 70.702 166.992Juni 69.333 168.475 519 1.916 1229 1.116 71.081 171.507Juli 68.733 170.457 722 2.643 1184 1.199 70.639 174.299Agustus 69.381 170.139 777 1.077 1235 989 71.394 172.205September 69.804 172.856 559 933 1232 1.025 71.595 174.814Oktober 69.771 176.441 692 1.066 1120 996 71.583 178.503November 69.132 178.861 605 893 1068 1.013 70.805 180.767Desember 68.010 191.177 750 1.116 1028 1.175 69.789 193.468
Tabel 38Tabungan menurut Jenis pada Bank Umum
Penabung Posisi Penabung Posisi Penabung Posisi Penabung Posisi(ribu) (miliar Rp) (ribu) (miliar Rp) (ribu) (miliar Rp) (ribu) (miliar Rp)
Tabungan yangpenarikannya dapat
dilakukan sewaktu-waktu Tabungan berjangka Tabungan lainnya JumlahAkhir periode
333
Lampiran
Tabel 39Suku Bunga Kredit Rupiah menurut Kelompok Bank 1)
(Persen)
Bank Bank Bank Bank Asing & Bank UmumPemerintah Pemerintah Daerah Swata Nasional Campuran
Modal Investasi Modal Investasi Modal Investasi Modal Investasi Modal InvestasiKerja Kerja Kerja Kerja Kerja
Akhir Periode
1) Rata-rata tertimbang
1998 29,03 22,35 30,20 15,83 38,70 40,32 42,89 35,53 34,75 26,23
1999 21,61 17,48 21,81 13,43 19,57 20,61 18,28 22,70 20,68 17,80
2000 18,40 16,53 21,11 18,11 17,55 17,59 15,42 15,49 17,65 16,86
2001
Maret 18,47 16,31 20,87 18,02 17,84 17,95 16,28 16,30 17,90 16,86
Juni 18,64 16,41 20,84 18,07 18,28 17,94 18,05 16,69 18,45 17,04
September 18,91 16,44 20,84 17,73 18,96 18,22 19,24 17,98 19,06 17,22
Desember 19,15 17,11 20,48 17,76 19,16 19,02 19,09 18,55 19,19 17,90
2002
Januari 19,08 17,22 20,46 17,76 19,45 19,12 18,98 18,54 19,27 17,99
Februari 19,05 17,24 20,42 17,72 19,48 19,15 19,34 18,36 19,33 18,01
Maret 18,99 17,31 20,49 17,68 19,51 19,11 19,43 18,31 19,35 18,03
April 18,99 17,39 20,34 17,67 19,54 19,12 18,62 18,70 19,25 18,09
Mei 19,02 17,41 20,38 17,75 19,38 19,08 18,76 18,33 19,20 18,11
Juni 19,12 17,47 20,29 17,84 19,25 19,00 17,89 18,16 19,08 18,11
Juli 19,07 17,50 20,28 17,82 19,09 18,94 17,97 17,73 19,00 18,09
Agustus 19,02 17,59 20,25 17,79 18,95 18,88 17,58 17,69 18,86 18,10
September 19,01 17,72 20,21 17,73 18,80 18,73 17,06 17,30 18,74 18,11
Oktober 18,97 17,65 20,13 17,71 18,66 18,52 16,20 17,03 18,57 18,00
November 18,98 17,66 20,04 17,77 18,46 18,49 15,99 17,05 18,44 18,00
Desember 18,85 17,50 19,93 17,89 18,21 18,30 15,71 16,09 18,25 17,82
334
Lampiran
R i n c i a n 1998 1999 2000 2001
Tabel 40Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing
menurut Sektor Ekonomi 1)
(Miliar rupiah)
1) Tidak termasuk pinjaman antarbank, pinjaman kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk, serta nilai lawan valuta asing pinjaman investasi dalam rangka bantuan proyek
2002
Mar. Jun. Sep. Des.
Kredit dalam Rupiah 313.118 140.527 152.482 202.618 204.639 224.864 250.162 271.851 Pertanian 29.430 21.139 15.028 16.851 17.226 18.844 19.279 19.121 Pertambangan 2.729 879 2.879 890 3.990 1.694 1.559 2.441 Perindustrian 85.594 35.561 35.697 50.434 48.338 48.852 57.218 64.986 Perdagangan 59.830 29.687 30.601 38.491 38.782 46.968 53.240 56.854 Jasa-Jasa 101.129 26.332 23.784 30.696 31.189 34.970 40.780 44.581 Lain-Lain 34.406 26.929 44.493 65.256 65.114 73.536 78.086 83.868
Kredit dalam Valuta Asing 174.308 84.606 116.518 104.977 98.137 87.154 91.010 95.559 Pertanian 9.878 2.638 4.475 4.012 3.964 3.653 3.940 3.211 Pertambangan 3.180 2.818 3.801 3.764 3.191 2.629 3.021 3.654 Perindustrian 86.074 48.698 71.085 66.091 61.612 54.878 55.470 58.049 Perdagangan 36.534 13.601 13.498 9.959 9.247 8.214 8.635 9.124 Jasa-Jasa 37.995 16.829 20.532 18.365 17.714 16.153 18.323 16.402 Lain-Lain 647 22 3.127 2.785 2.409 1.627 1.621 5.119
Jumlah 487.426 225.133 269.000 307.594 302.776 312.018 341.172 365.410 Pertanian 39.308 23.777 19.503 20.863 21.190 22.497 23.219 22.332 Pertambangan 5.909 3.697 6.680 7.440 7.181 4.323 4.580 6.095 Perindustrian 171.668 84.259 106.782 116.525 109.950 103.730 112.688 121.035 Perdagangan 96.364 43.288 44.099 48.450 48.029 55.182 61.875 65.978 Jasa-Jasa 139.124 43.161 44.316 49.061 48.903 51.123 59.103 60.983 Lain-Lain 35.053 26.951 47.620 65.255 67.523 75.163 79.707 88.987
335
Lampiran
Tabel 41Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asingmenurut Jenis Penggunaan dan Sektor Ekonomi 1)
(Miliar rupiah)
1) Tidak termasuk pinjaman antarbank, pinjaman kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk, serta nilai lawan valuta asing pinjaman investasi dalam rangka bantuan proyek
2 0 0 2
Mar. Jun. Sep. Des.R i n c i a n 1998 1999 2000 2001
Kredit Modal Kerja 345.962 167.442 203.724 234.128 232.816 241.499 264.003 282.486 Pertanian 22.058 12.162 8.693 8.748 9.177 9.715 10.421 10.336 Pertambangan 3.880 2.368 3.796 1.197 2.656 2.504 2.621 2.498 Perindustrian 121.867 61.278 80.572 88.208 82.267 76.132 82.950 89.555 Perdagangan 72.065 36.181 36.318 40.360 40.450 46.661 52.895 55.804 Jasa-Jasa 91.039 28.502 26.725 30.360 30.743 31.324 35.409 35.306 Lain-Lain 35.053 26.951 47.620 65.255 67.523 75.163 79.707 88.987
Kredit Investasi 141.464 57.691 65.276 73.466 69.960 70.519 77.169 82.924 Pertanian 17.250 11.615 10.810 12.115 12.013 12.782 12.798 11.996 Pertambangan 2.029 1.329 2.884 6.243 4.525 1.819 1.959 3.598 Perindustrian 49.801 22.981 26.210 28.317 27.683 27.598 29.738 31.480 Perdagangan 24.299 7.107 7.781 8.090 7.579 8.521 8.980 10.174 Jasa-Jasa 48.085 14.659 17.591 18.701 18.160 19.799 23.694 25.676 Lain-Lain - - - - - - - -
Jumlah 487.426 225.133 269.000 307.594 302.776 312.018 341.172 365.410 Pertanian 39.308 23.777 19.503 20.863 21.190 22.497 23.219 22.332 Pertambangan 5.909 3.697 6.680 7.440 7.181 4.323 4.580 6.095 Perindustrian 171.668 84.259 106.782 116.525 109.950 103.730 112.688 121.035 Perdagangan 96.364 43.288 44.099 48.450 48.029 55.182 61.875 65.978 Jasa-Jasa 139.124 43.161 44.316 49.061 48.903 51.123 59.103 60.983 Lain-Lain 35.053 26.951 47.620 65.255 67.523 75.163 79.707 88.987
336
Lampiran
2 0 0 2
Mar. Jun. Sep. Des.R i n c i a n 1998 1999 2000 2001
Tabel 42Kredit Perbankan dalam Rupiah dan Valuta Asingmenurut Kelompok Bank dan Sektor Ekonomi 1)
(Miliar rupiah)
1. Bank Persero 220.747 112.288 102.061 117.104 115.687 122.495 133.345 145.984 Pertanian 17.012 15.516 11.209 12.034 12.151 13.319 13.588 13.632 Pertambangan 1.989 1.360 2.522 5.554 5.212 3.106 3.107 4.040 Perindustrian 84.510 38.489 34.878 40.099 39.523 39.564 43.832 48.155 Perdagangan 43.601 21.958 16.431 17.973 17.489 20.453 22.956 24.144 Jasa-Jasa 55.792 19.945 16.370 15.537 14.531 15.577 18.248 19.835 Lain-Lain 17.843 15.020 20.651 25.907 26.781 30.476 31.614 36.178
2. Bank Swasta Nasional 193.361 56.012 82.425 101.872 103.272 111.064 125.114 136.981 Pertanian 20.272 5.740 4.987 6.049 6.034 6.219 6.505 6.383 Pertambangan 2.414 371 863 838 914 488 713 1.209 Perindustrian 45.416 14.421 22.914 28.237 27.328 26.546 30.373 34.192 Perdagangan 40.687 13.307 21.656 23.401 24.013 27.930 31.494 33.869 Jasa-Jasa 72.058 15.605 17.500 22.162 22.609 24.710 28.150 30.541 Lain-Lain 12.514 6.568 14.505 21.185 22.374 25.171 27.879 30.787
3. Bank Pemerintah Daerah 6.570 6.793 10.106 15.419 16.846 19.090 21.076 21.518 Pertanian 354 853 527 536 627 784 939 969 Pertambangan 19 18 65 188 276 101 170 121 Perindustrian 409 190 249 257 258 288 325 325 Perdagangan 1.053 816 1.182 2.108 2.452 3.004 3.443 3.693 Jasa-Jasa 1.820 1.376 1.260 1.410 1.509 2.030 2.752 2.562 Lain-Lain 2.915 3.540 6.823 10.920 11.724 12.883 13.447 13.848
4. Bank Asing & Campuran 66.748 50.040 74.408 73.199 66.971 59.369 61.637 60.927 Pertanian 1.670 1.668 2.780 2.244 2.378 2.175 2.187 1.348 Pertambangan 1.487 1.948 3.230 860 779 628 590 725 Perindustrian 41.333 31.159 48.741 47.932 42.841 37.332 38.158 38.363 Perdagangan 11.023 7.207 4.830 4.968 4.075 3.795 3.982 4.272 Jasa-Jasa 9.454 6.235 9.186 9.952 10.254 8.806 9.953 8.045 Lain-Lain 1.781 1.823 5.641 7.243 6.644 6.633 6.767 8.174
5. Jumlah (1 s.d. 4) 487.426 225.133 269.000 307.594 302.776 312.018 341.172 365.410 Pertanian 39.308 23.777 19.503 20.863 21.190 22.497 23.219 22.332 Pertambangan 5.909 3.697 6.680 7.440 7.181 4.323 4.580 6.095 Perindustrian 171.668 84.259 106.782 116.525 109.950 103.730 112.688 121.035 Perdagangan 96.364 43.288 44.099 48.450 48.029 55.182 61.875 65.978 Jasa-Jasa 139.124 43.161 44.316 49.061 48.903 51.123 59.103 60.983 Lain-Lain 35.053 26.951 47.620 65.255 67.523 75.163 79.707 88.987
1) Tidak termasuk pinjaman antarbank, pinjaman kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk, serta nilai lawan valuta asing pinjaman investasi dalam rangka bantuan proyek
337
Lampiran
Jakarta 24,2 39,9 24,4 47,2 33,2 51,4 34,9 53,7 37,7 62,3
Bandung 17,9 14,7 22,2 17,1 28,0 20,4 37,6 23,7 40,6 26,2
Semarang 14,5 9,3 17,8 13,6 20,2 15,1 25,5 17,4 27,4 19,1
Surabaya 18,8 18,5 23,4 23,9 28,8 28,6 37,9 33,5 40,4 36,8
Medan 9,4 10,3 11,4 12,8 11,5 11,9 15,1 15,3 16,7 17,7
Padang 5,8 8,7 6,5 11,7 7,8 13,1 10,1 14,9 12,1 16,4
Makassar 7,3 8,8 8,7 10,0 10,4 12,4 13,8 14,9 15,1 16,8
Banjarmasin 4,8 7,2 6,1 9,0 7,8 11,2 10,1 13,4 11,4 15,4
Jumlah 102,7 117,4 120,5 145,3 147,7 164,1 185,0 186,8 201,4 210,7
Tabel 44Pangsa Aliran Uang Keluar per Jenis Pecahan di Jakarta dan KKBI Tahun 2002
(Persen)
Kantor Rp100.000,00 Rp50.000,00 Rp20.000,00 Rp10.000,00 Rp5.000,00 <= Rp1.000,00 Total
Jakarta 42 38 12 5 2 1 100
Bandung 51 33 11 3 1 1 100
Semarang 50 33 11 4 1 0 100
Surabaya 49 38 7 4 1 1 100
Medan 47 36 10 4 2 1 100
Padang 43 34 13 8 2 1 100
Makassar 44 35 14 4 2 1 100
Banjarmasin 47 34 12 5 2 1 100
Kantor 1998 1999 2000 2001 2002Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar
Tabel 43Perkembangan Jumlah Aliran Uang Kertas di Jakarta dan Koordinator KBI (KKBI)
(Triliun rupiah)
338
Lampiran
Tabel 45Perkembangan Jumlah Aliran Uang Logam di Jakarta dan KKBI
(Miliar rupiah)
1998 1999 2000 2001 2002Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar
Jakarta 4,4 105,5 2,2 117,7 4,1 184,5 0,1 196,9 0,6 187,7
Bandung 10,8 12,9 11,1 14,8 15,2 21,0 16,5 28,5 24,9 25,6
Semarang 13,9 8,3 12,2 13,2 14,3 14,4 17,0 15,6 20,5 12,9
Surabaya 1,2 32,8 2,2 29,7 1,8 33,5 4,0 44,2 2,5 50,0
Medan 3,3 11,2 1,1 13,1 0,4 14,0 0,7 24,1 1,0 24,9
Padang 0,3 14,1 0,3 9,7 0,3 12,3 0,5 21,8 0,5 24,8
Makassar 0,5 12,6 0,6 11,2 1,1 10,9 0,5 20,8 0,8 16,5
Banjarmasin 0,7 15,5 0,6 11,4 1,4 11,0 0,8 15,6 0,6 19,6
Jumlah 35,1 212,9 30,3 220,8 38,6 301,6 40,1 367,5 51,4 362,0
Kantor
339
Lampiran
1) Tidak termasuk Belarusia dan UkrainaSumber: – IMF, World Economic Outlook, December 2001
– Bank Indonesia
Tabel 46Pertumbuhan Ekonomi Dunia
(Persen)
Negara 1998 1999 2000 2001 2002*
Dunia 2,8 3,6 4,7 2,2 2,8
Negara Industri/Maju 2,7 3,4 3,8 0,8 1,7 7 Negara industri utama 2,8 3,0 3,4 0,6 1,4 Amerika Serikat 4,3 4,1 3,8 0,3 2,2 Jepang -1,2 0,8 2,4 -0,3 -0,5 Jerman 2,0 2,0 2,9 0,6 0,5 Perancis 3,5 3,2 4,2 1,8 1,2 Italia 1,8 1,6 2,9 1,8 0,7 Inggris 2,9 2,4 3,1 1,9 1,7 Kanada 4,1 5,4 4,5 1,5 3,4 Lain-Lain 2,2 5,0 5,3 1,6 2,6
Negara Berkembang 3,5 4,0 5,7 3,9 4,2 Afrika 3,4 2,8 3,0 3,5 3,1 Timur Tengah, Malta, dan Turki 3,6 1,2 6,1 1,5 3,6 Amerika Latin 2,3 0,2 4,0 0,6 -0,6 Asia 4,0 6,1 6,7 5,6 6,1 NIEs Asia -3,5 6,9 7,5 -0,1 3,8 RRC 7,8 7,1 8,0 7,3 7,5 Indonesia -13,1 0,8 4,8 3,3 3,5 Singapura -0,1 6,9 10,3 -2,0 3,6 Malaysia -7,4 6,1 8,3 0,5 3,5 Thailand -10,5 4,4 4,6 1,8 3,5 Filipina -3,8 7,6 -0,8 -3,4 1,2 Vietnam 3,5 4,2 5,5 5,0 5,3
Negara-Negara Transisi 1) -0,8 3,6 6,6 5,0 3,9 Eropa Tengah dan Timur 2,4 2,2 3,8 3,0 2,7 Rusia -4,9 5,4 9,0 5,8 4,4 Transcaucasus dan Asia Tengah 2,5 4,6 5,3 - -
340
Lampiran
Tabel 47Inflasi Dunia
(Persen)
Negara 1998 1999 2000 2001 2002*
Dunia 2,5 3,0 - - -
Negara Industri/Maju 1,5 1,4 2,3 2,2 1,4 7 Negara industri utama 1,3 1,4 - 2,1 1,2 Amerika Serikat 1,6 2,2 3,4 2,8 1,5 Jepang 0,6 -0,3 -0,6 -0,7 -1,0 Jerman 0,6 0,7 2,1 2,4 1,4 Perancis 0,7 0,6 1,8 1,8 1,8 Italia 1,7 1,7 2,6 2,7 2,4 Inggris 2,7 2,3 2,1 2,1 1,9 Kanada 1,0 1,7 2,7 2,5 1,8 Lain-Lain 2,5 1,3 2,4 2,9 2,3
Negara Berkembang 10,5 6,9 6,1 5,7 5,6 Afrika 10,9 12,3 14,3 13,1 9,6 Timur Tengah, Malta, dan Turki 27,6 23,6 19,6 17,2 17,1 Amerika Latin 9,8 8,9 8,1 6,4 8,6 Asia 7,7 2,5 1,9 2,6 2,1 NIEs Asia 4,4 0,3 1,1 1,9 1,1 RRC -0,8 -1,4 0,4 0,7 -0,4
Indonesia 58,0 20,70 3,8 11,5 11,9Singapura -0,3 0,2 1,1 1,0 -Malaysia 5,3 3,0 1,6 1,4 1,8Thailand 8,1 0,5 1,6 1,7 0,7Filipina 9,7 8,5 4,3 6,1 4,0Vietnam 7,7 7,6 -1,7 0,1 4,1
Negara-Negara Transisi1) 20,9 43,9 20,2 15,9 11,3 Eropa Tengah dan Timur 17,2 20,6 12,8 9,6 6,1 Rusia 27,8 85,9 20,8 20,7 15,8 Transcaucasus dan Asia Tengah 15,3 15,4 14,8 - -
Sumber : – IMF, World Economic Outlook, September 2002– Bank Indonesia– BPS– The Economist
1) Tidak termasuk Belarusia dan Ukraina
341
Lampiran
Tabel 48Suku Bunga (%) dan Nilai Tukar
Rincian 1998 1999 2000 2001 2002*
Suku Bunga di Negara-negara Industri Jangka Pendek 4,00 3,50 4,50 3,20 2,30 Jangka Panjang 4,50 4,60 5,00 4,40 4,20
LIBOR 6 bulan USD - 5,50 6,60 3,70 2,10 Yen 0,20 0,30 0,20 0,10 Euro - 3,00 4,60 4,10 3,40
Nilai Tukar Yen/USD 130,91 113,90 107,80 121,50 124,00 DM/USD 1,76 1,83 2,12 2,18 - USD/GBP 1,66 1,62 1,52 1,44 1,49
Sumber : IMF, World Economic Outlook, September 2002
Tabel 49Perkembangan Volume Perdagangan Barang dan Harga Dunia
(persen)
Rincian 1998 1999 2000 2001 2002*
Volume Perdagangan Barang 4,3 5,5 12,6 -0,1 2,1
Harga
Barang-barang Industri -1,8 -2,0 -5,2 -2,3 2,6
Komoditas Primer Nonmigas -14,7 -7,0 1,8 -5,4 4,2
Minyak -32,1 37,5 57,0 -14,0 0,5
Sumber : IMF, World Economic Outlook, September 2002
342
Lampiran
Sumber : IMF, World Economic Outlook, September 2002
Tabel 50Transaksi Berjalan di Negara Industri dan Negara Sedang Berkembang
(Persen PDB)
Negara 1998 1999 2000 2001 2002*
7 Negara industri utama Amerika Serikat -2,5 -3,5 -4,2 -3,9 -4,6 Jepang 3,2 2,4 2,5 2,1 3,0 Jerman -0,2 -0,9 -1,1 0,1 1,9 Perancis 2,7 2,6 1,5 1,8 1,9 Italia 1,7 0,5 -0,5 0,1 0,2 Inggris - -1,1 -2,0 -2,1 -2,1 Kanada -1,8 0,2 2,6 2,8 1,7
Negara Berkembang RRC 3,4 1,6 1,9 1,5 1,5 Indonesia 4,3 4,10 5,3 4,7 2,7 Singapura 20,9 21,1 16,7 20,4 2,7 Malaysia 12,9 15,9 9,4 8 7 Thailand 12,8 10,2 7,6 5,4 3,5 Filipina 2,0 10,0 11,3 6,3 3,3
343
Lampiran
Specimen Pecahan Uang KartalYang Diterbitkan Pada Tahun 2002
Uang Logam KhususSeri Peringatan Satu Abad Bung Hatta
Pecahan Rp500.000 Dan Rp25.000Tanggal 12 Agustus 2002
Lampiran G
Ciri Ciri Uang
Keterangan
BahanKadarWarnaBentukDiameterBeratKualitas
Rp500.000
Logam Emas0,9990Kuning EmasBulat (lingkaran)28,00 mm15,00 gramProof
Rp25.000
Logam Perak0,9990Putih PerakBulat (lingkaran)38,61 mm28,29 gramProof
No
1234567
Emas
Perak
G Specimen Pecahan Uang Kartal yang Ditebitkan Pada 2002
311
Daftar Singkatan
a/d atas dasarAAOIFI Accounting and Auditing Standard for Islamic Financial InstutionsABF Asian Bond FundABS Automatic Bidding SystemADB Asian Development BankAFDM ASEAN Finance and Central Bank Deputies MeetingAFMM ASEAN Finance Ministers MeetingAFTA Asian Free Trade AreaAgt AgustusALMA Asset and Liability ManagementAPBN Anggaran Pendapatan dan Belanja NegaraAPBN-P APBN PerubahanAPBN-PAN APBN Perhitungan Anggaran NegaraAPEC Asia-Pacific Economic CooperationAPG Asia Pacific Group on Money LaunderingAPI Arsitektur Perbankan IndonesiaApr AprilAPSUN Asosiasi Pedagang Surat Utang NegaraAPU Angka Pengganda UangARBC Asean Rubber Business ClubARMA Auto Regressive Moving AverageAS Amerika SerikatASA ASEAN Swap ArrangementsASBISINDO Asosiasi Perbankan Syariah IndonesiaASEAN Association of Southeast Asian NationsATM Anjungan Tunai MandiriATMR Aktiva Tertimbang Menurut RisikoBAPEPAM Badan Pengawas Pasar ModalBBKU Bank Beku Kegiatan UsahaBBM Bahan Bakar Minyakbbwi bagian barat waktu IndonesiaBCA Bank Central AsiaBCP Basel Core PrinciplesBEJ Bursa Efek JakartaBER Book Entry RegistryBES Bursa Efek Surabaya
Daftar Singkatan
H Daftar Singkatan
312
Daftar Singkatan
BI Bank IndonesiaBI-RTGS Bank Indonesia - Real Time Gross SettlementBIES Bulletin of Indonesian Economic StudiesBII Bank Internasional IndonesiaBIS Bank for International SettlementBKD Badan Kredit DesaBKPM Badan Koordinasi Penanaman ModalBLK Balai Latihan KerjaBLS Baseline Economic SurveyBMPK Batas Maksimum Pemberian KreditBNI Bank Negara IndonesiaBNM Bank Negara MalaysiaBOE Bank of EnglandBOP Balance of PaymentBOTASUPAL Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsubp basis pointBPD Bank Pembangunan DaerahBPEN Badan Pengembangan Ekspor NasionalBPHTB Bea Perolehan Hak atas Tanah dan BangunanBPKP Badan Pemeriksa Keuangan dan PembangunanBPPN Badan Penyehatan Perbankan NasionalBPR Bank Perkreditan RakyatBPRS Bank Perkreditan Rakyat SyariahBPS Badan Pusat StatistikBRER Bilateral Real Exchange RateBRI Bank Rakyat IndonesiaBSA Bilateral Swap ArrangementBTN Bank Tabungan NegaraBTO Bank Take OverBUK Bank Umum KonvensionalBULOG Badan Urusan LogistikBUMN Badan Usaha Milik NegaraBUS Bank Umum SyariahBUSD Bank Umum Swasta DevisaBUSN Bank Umum Swasta NasionalBUSND Bank Umum Swasta Non DevisaC&F Cost and FreightCAMEL Capital Asset Management Earning LiabilitiesCAR Capital Adequacy Ratio
313
Daftar Singkatan
CBS Claims on Business SectorCCI Consumer Confidence IndexCGI Consultative Group on IndonesiaCP Core PrinciplesCPO Crude Palm OilCR Central RegistryCSA Centralized Settlement AccountCTC Counter Terrorism CommitteeDAK Dana Alokasi KhususDASP Direktorat Akunting dan Sistem PembayaranDAU Dana Alokasi UmumDBH Dana Bagi HasilDes DesemberDJIA Dow Jones Industrial AverageDKM Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan MoneterDN Dalam Negeridoc dokumenDPK Dana Pihak KetigaDPM Direktorat Pengelolaan MoneterDPNP Direktorat Penelitian dan Pengembangan PerbankanDPR Dewan Perwakilan RakyatDRI Danareksa Research InstituteDSM Direktorat Statistik Ekonomi dan MoneterDSR Debt Service RatioECB European Central BankEFF Extended Fund FacilityEMEAP Executive Meeting of East Asia and Pacific Central BankersEO Exchange OfferEUR EuroFAASM Fixed Asset Accounting Simulation ModelFASBI Fasilitas Simpanan Bank IndonesiaFATF Financial Action Task Force on Money LaunderingFDI Foreign Direct InvestmentFDR Financing to Deposit RatioFeb FebruariFKE Fasilitas Kredit EksporFKSPN Forum Komunikasi Sistem Pembayaran Nasionalfob Free on BoardFoP Free of Payment
314
Daftar Singkatan
FPJP Fasilitas Pembiayaan Jangka PendekFR Fixed RateFSF Financial Stability ForumGARCH General Auto-regresive Conditional HeteroscidasticityGBHN Garis-Garis Besar Haluan NegaraGBI Gubernur Bank IndonesiaGBP Great Britain PoundsterlingGFA Gross Foreign AssetsGTZ Gesselschaft fur Technische Zusammenarbeit GmbHGWM Giro Wajib MinimumHAM Hak Asasi ManusiaHB Hedge BondHIPC Highly Indebted Poor CountriesHJE Harga Jual EceranHKMA Hongkong Monetary AuthorityHPE Harga Penjual EceranHSBC Hongkong Shanghai Banking CorporationIAI Ikatan Akuntan IndonesiaIBRD International Bank for Reconstruction and DevelopmentICA Inter Company/Office AccountICOR Incremental Capital Output RatioICS Image Clearing SystemIDB Islamic Development BankIDR Indonesia RupiahIFSB Islamic Financial Services BoardIFSO Islamic Financial Services OrganizationIGGI Inter-Governmental Group on IndonesiaIHA Indeks Harga AsetIHK Indeks Harga KonsumenIHPB Indeks Harga Perdagangan BesarIHSG Indeks Harga Saham GabunganIIFM International Islamic Financial MarketIMF International Monetary FundIPO Initial Public OfferingIRFCL International Reserve and Foreign Currency LiquidityITRCo International Tripartite Rubber CompanyJABOTABEK Jakarta Bogor Tangerang BekasiJan JanuariJIBOR Jakarta Interbank Offered Rate
315
Daftar Singkatan
JITF Jakarta Initiative Task ForceJPY Japanese YenJul JuliJun JuniKAP Kualitas Aktiva ProduktifKBI Kantor Bank IndonesiaKCS Kantor Cabang SyariahKI Kredit InvestasiKLBI Kredit Likuiditas Bank IndonesiaKK Kredit KonsumsiKMK Kredit Modal KerjaKP Kantor PusatKPMM Kewajiban Penyediaan Modal MinimumKPR Kredit Pemilikan RumahKTI Kawasan Timur IndonesiaKTT Konferensi Tingkat TinggiKUK Kredit Usaha KecilKYC Know Your CustomerLDKP Lembaga Dana dan Kredit PedesaanLDR Loan to Deposit RatioLIBOR London Interbank Offered RateLIE Leading Indikator EkonomiLKM Lembaga Keuangan MikroLKNB Lembaga Keuangan Non BankLLD Lalu Lintas DevisaLLM Lalu Lintas ModalLLR Lender of the Last ResortLN Luar NegeriLNG Liquefied Natural GasLoI Letter of IntentLPG Liquefied Petroleum GasLPJK Lembaga Pengawas Jasa KeuanganLPS Lembaga Penjamin Simpananm-t-d month to datem-t-m month to monthMar MaretMigas Minyak dan GasMMBTU Mille Mille British Thermal UnitMoU Memorandum of Understanding
316
Daftar Singkatan
MPR Majelis Permusyawaratan RakyatMTon Million TonNAB Nilai Aktiva BersihNBER National Bureau for Economic ResearchNCCT’s Non Cooperative Countries and TerritoriesNCG Net Claims on GovernmentNCS Net Capital StockNDA Net Domestic AssetsNFA Net Foreign AssetsNGO Non Government OrganizationNII Net Interest IncomeNIM Net Interest MarginNIR Net International ReserveNJKP Nilai Jual Kena PajakNOI Net Other ItemsNov NovemberNPF Non Performing FinancingNPI Neraca Pembayaran IndonesiaNPLs Non Performing LoansNPV Net Present ValueO/N OvernightOAP Otomasi Administrasi PerkasanOCA Overseas Current AccountODA Official Development AssistanceOECD Organization for Economic Cooperation and DevelopmentOkt OktoberOPEC Organization of Petroleum Exporting CountriesOPT Operasi Pasar TerbukaPAM Perusahaan Air MinumPAPS Panduan Audit Perbankan SyariahPAPSI Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah IndonesiaPBB Pajak Bumi dan BangunanPBI Peraturan Bank IndonesiaPC Paris ClubPDB Produk Domestik BrutoPemda Pemerintah DaerahPERC Political and Economic Risk Consultancy Ltd.Perum Perusahaan UmumPHK Pemutusan Hubungan Kerja
317
Daftar Singkatan
PI Performance IndicatorsPIPU Pusat Informasi Pasar UangPKLN Pinjaman Komersial Luar NegeriPKPD Perimbangan Keuangan Pusat dan DaerahPKPS Penyelesaian Kewajiban Pemegang SahamPMA Penanaman Modal AsingPMDN Penanaman Modal Dalam NegeriPMON Pusat Manajemen Obligasi NegaraPNB Pendapatan Nasional BrutoPNBP Penerimaan Negara Bukan PajakPNM Permodalan Nasional MadaniPNS Pegawai Negeri SipilPolri Kepolisian Republik IndonesiaPPAK Program Penjualan Aset KreditPPAP Penyisihan Penghapusan Aktiva ProduktifPPATK Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi KeuanganPPE Pameran Produk EksporPPh Pajak PenghasilanPPN Pajak Pertambahan NilaiPPn-BM Pajak Penjualan Barang MewahPRGF Poverty Reduction and Growth FacilityProFI Promotion of Small Financial InstitutionPRSP Poverty Reduction Strategy PaperPSAK Pernyataan Standar Akuntansi KeuanganPSAKS Pernyataan Standar Akuntansi Perbankan SyariahPTTB Pemberian Tanda Tidak BerhargaPUAB Pasar Uang Antar BankPUAS Pasar Uang Antar Bank berdasarkan prinsip SyariahPUKM Pengembangan Usaha Kecil dan MikroPYD Pembiayaan yang DiberikanRDU Rencana Distribusi UangREER Real Effective Exchange RateRI Republik IndonesiaRIA Roadmap for Integration of ASEANRKAT Rencana Kerja Anggaran TahunanROA Return on AssetROE Return on EquityRp RupiahRRC Republik Rakyat China
318
Daftar Singkatan
RTGS Real Time Gross SettlementRUU Rancangan Undang-UndangS&P Standard and Poor’ss.d. sampai denganSAL Sisa Anggaran LebihSBA Stand By ArrangementSBI Sertifikat Bank IndonesiaSBT Saldo Bersih TertimbangSD Selective DefaultSDA Sumber Daya AlamSDM Sumber Daya ManusiaSDR Special Drawing RightsSDRM Sovereign Debt Restructuring MechanismSE Surat EdaranSEACEN South East Asia Central BankSEG SEACEN Expert GroupSep SeptemberSI-PUK Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha KecilSIABE Sistem Informasi Agroindustri Berorientasi EksporSIB Sistem Informasi Baseline Economic SurveySIBOR Singapore Interbank Offered RateSIBs Systemically Important BanksSID Sistem Informasi DebiturSIKJJ Sistem Informasi Kliring Jarak JauhSILM Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending ModelSILPA Sisa Lebih Pembiayaan AnggaranSIPMK Sistem Informasi Prosedur Memperoleh KreditSIPS Systematically Important Payment SystemSIPU Sistem Informasi Pengedaran UangSK Surat KeputusanSKDU Survei Kegiatan Dunia UsahaSKEJ Sistem Kliring Elektronik JakartaSNA Standardized National AccountSPE Survei Penjualan EceranSPKUI Sistem Informasi Penunjang Keputusan untuk InvestasiSPN Sistem Pembayaran NasionalSR Sub RegistrySSK Stabilitas Sistem KeuanganSSSS Scripless Securities Settlement SystemSTB Survei Tendensi Bisnis
319
Daftar Singkatan
STK Survei Tendensi KonsumenSUN Surat Utang NegaraSUP Surat Utang PemerintahSWBI Sertifikat Wadiah Bank IndonesiaTAF The Asia FoundationTDL Tarif Dasar ListrikTHB Thailand Bahtthd terhadapTI Teknologi InformasiTKI Tenaga Kerja IndonesiaTKS Tingkat KesehatanTPT Tekstil dan Produk TekstilTrw TriwulanTSL Two Step LoanUE Uni EropaUK United KingdomUKIP Unit Khusus Investigasi PerbankanUKM Usaha Kecil dan MenengahUKPT Unit Khusus Program TransformasiULN Utang Luar NegeriUMKM Usaha Mikro Kecil dan MenengahUMP Upah Minimum PropinsiUMR Upah Minimum RegionalUN United NationUNDP United Nation Development ProgramUNESCO United Nation Education Scientific and Cultural OrganizationUS United StatesUSAID United States Agencies for International DevelopmentUSD United States DollarUU Undang-UndangUUS Unit Usaha SyariahUYD Uang yang DiedarkanValas Valuta AsingVR Variable RateVRB Variable Rate BondWEO World Economic OutlookWP Wajib PajakWTC World Trade CentreWTO World Trade Organizationy-o-y year on year