Upload
rosalia-kusumaningtyas
View
949
Download
19
Embed Size (px)
Citation preview
Acara III
PROTEIN SEL TUNGGAL
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMDASAR-DASAR BIOTEKNOLOGI
oleh :Nama : Maria Rosalia K
NIM : 09.70.0055Kelompok : A1
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2010
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
PST (Protein Sel Tunggal) atau Single Cell Protein (SCP) merupakan bentuk
pemanfaatan protein mikroorganisme. Istilah PST (Protein Sel Tunggal) atau Single
Cell Protein (SCP) menunjuk pada penggunaan biomassa sel sebagai makanan dan
makanan hewan. Istilah PST mencakup baik keseluruhan sel maupun isolat protein sel.
Melalui metode produksi tertentu termasuk upaya peningkatan produktivitas galur,
protein ekstraselular telah dapat diproduksi dengan efisiensi yang cukup tinggi. Karena
protein ekstraseluler yang diperoleh merupakan protein yang relatif murni, maka dapat
digunakan sebagai sumber makanan. Telah diketahui juga bahwa sejumlah
mikroorganisme dapat memproduksi protein ekstraseluler, walaupun dalam konsentrasi
rendah (Rahman, 1992).
Organisme yang biasa digunakan dalam pembuatan PST adalah organisme yang
bersifat nonpatogen serta nontoksikogen dan juga hasil metabolisme dari organisme
tersebut harus tidak berbahaya. PST pada manusia digunakan sebagai suplemen protein
atau sebagai zat aditif pada bahan pangan untuk mempertahankan ataupun memperbaiki
cita rasa dan pengikat lemak. PST memiliki potensi yang cukup tinggi karena memiliki
kandungan protein yang tinggi, bau dan cita rasa PST yang enak dalam produksi pangan
(Smith, 1995). Beberapa organism yang digunakan dalam pembuatan PST adalah jamur,
yeast, bakteri, dan alga yang kaya akan protein. Kemampuan manusia untuk mencerna
protein ini sekitar 65 sampai 96%. Protein dari yeast pada umumnya mempunyai
tingkat cerna yang lebih tinggi oleh manusia. Beberapa dari spesies yeast yang
digunakan berasal dari kelas Candida, Saccharomyces, dan Torulopsis. Beberapa
bakteri diketahui telah digunakan terutama dari genus methylophillus. Kegunaan dari
protein mikroba sebagai makanan mempunyai beberapa keuntungan melebihi protein
yang diperoleh dari binatang. Protein hewani tidak mencukupi kebutuhan protein untuk
sumber pangan manusia sehingga diproduksi protein dari mikroorganisme yang dikenal
dengan Protein Sel Tunggal (PST). Protein mikroorganisme dapat menjadi sumber dari
vitamin B, karoten dan karbohidrat (Ray, 1996).
Sel Tunggal ini didapatkan dengan cara mengisolasi sel yang terlarut dalam cairan
fermentasi dan mengeringkannya serta menjualnya dalam bentuk bubuk kering. Yang
selanjutnya dijual sebagai protein kering untuk makanan ternak. Nilai jual dari Sel
1
2
Tunggal ini cukup kompetitif, karena seiring dengan meningkatnya harga bahan baku
industri pakan ternak, sel tunggal menawarkan harga yang lebih murah sebagai
alternatif sumber protein. Proses isolasi Sel Tunggal ini cukup sederhana. Sel bakteri
yang terlarut dalam larutan induk pertama kali mengalami proses pemanasan untuk
memudahkan pengendapan. Selanjutnya larutan induk yang telah dipanaskan,
mengalami proses pemisahan untuk memisahkan antara endapan (wet cake) dan filtrat
(produk cair). Endapan, yang berupa sel bakteri, kemudian mengalami proses
pengeringan untuk mencapai kadar air tertentu. Dan proses terakhir adalah proses
pengemasan yang kemudian di jual ke konsumen.
1.2. Tujuan Praktikum
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui proses produksi protein sel
tunggal (PST) dengan menggunakan Acetobacter xylinum dan Acetobacter aceti,
mengetahui pengaruh penggunaan sukrosa terhadap biomassa, dan mengetahui aktivitas
dari protein sel tunggal yang dihasilkan.
1.3. Manfaat Praktikum
Manfaat dari praktikum ini adalah praktikan dapat memilih organisme yang sesuai
dengan kebutuhan penelitian tertentu, praktikan dapat menghindari hal-hal yang dapat
menghambat produksi protein sel tunggal, serta mengontrol aktivitas protein sel tunggal
agar diperoleh hasil yang optimum.
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil dari pengukuran berat biomassa protein sel tunggal dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Berat Biomassa.
Kelompok Berat Awal (g) Berat Akhir (g) BiomassaA1 0,8200 0,8201 0,0001A2 0,79 0,801 0,001A3 0,8 0,8 -A4 0,79 0,797 0,007A5 0,8 0,80 0,01A6 0,79 0,80 0,01A7 0,8 0,8 -
Dari hasil percobaan di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata berat biomassa yang
dihasilkan berkisar antara 0,0001-0,01 gram, dengan berat tertinggi diperoleh pada
kelompok A5 dan A6 yang menggunakan organisme Acetobacter aceti yakni sebesar
0,01 gram, dan berat terendah diperoleh pada kelompok A1 dengan organisme
Acetobacter xylinum, yakni sebesar 0,0001 gram. Pada kelompok A3 dan A7 tidak
diperoleh biomassa karena berat awal sebelum dan sesudah dioven adalah sama.
3
3. PEMBAHASAN
Protein Sel Tunggal adalah istilah yang digunakan untuk protein kasar atau murni yang
berasal dari mikroorganisme, seperti bakteri, khamir, kapang, ganggang dan protozoa.
Sebenarnya ada dua istilah yang digunakan untuk produk mikroba ini, yaitu PST
(Protein Sel Tunggal) dan Microbial Biomass Product (MBP) atau Produk Biomassa
Mikrobial (PBM). Bila mikroba yang digunakan tetap berada dan bercampur dengan
masa substratnya maka seluruhnya dinamakan PBM. Bila mikrobanya dipisahkan dari
substratnya maka hasil panennya merupakan PST. Di samping sebagai sumber protein,
PST juga sebagai sumber vitamin, mineral dan asam-asam amino terutama lisin.
Kandungan lisin pada PST umumnya memadai dibandingkan protein dari tanaman,
sehingga PST dapat digunakan untuk melengkapi kekurangan lisin makanan lain.
Dalam jurnal berjudul “PENGARUH JENIS VITAMIN B DAN SUMBER
NITROGEN DALAM PENINGKATAN KANDUNGAN PROTEIN KULIT UBI
KAYU MELALUI PROSES FERMENTASI” dilakukan percobaan yang sama dengan
praktikum protein sel tunggal ini. Penelitian dalam jurnal ini bertujuan untuk
memanfaatkan limbah kulit ubi kayu menjadi makanan yang berprotein tinggi,
meningkatkan kandungan protein pada kulit ubi kayu dengan proses fermentasi,
mengetahui pengaruh jenis sumber nitrogen dan jenis vitamin B dalam proses
fermentasi untuk meningkatkan kandungan protein, mengetahui jenis sumber nitrogen
dan jenis vitamin B yang optimal dalam proses fermentasi kulit ubi kayu. Variabel
berubah dalam jurnal ini adalah jenis sumber nitrogen yang digunakan yaitu urea,
dedak, ammonium sulfat, diammonium pospat, ammonium nitrat dan jenis vitamin B
yaitu vitamin B1, B2, B12, dan B kompleks. Dari hasil analisa diperoleh bahwa
penambahan jenis vitamin B yang paling optimal adalah B complek sedangkan pada
jenis sumber nitrogen yang paling optimal adalah (NH4)2SO4. Dalam praktikum ini
dilakukan beberapa langkah percobaan yang secara umum meliputi persiapan media dan
produksi protein sel tunggal itu sendiri, organisme yang digunakan dalam praktikum ini
adalah Acetobacter xylinum (kelompomk A1-A3) dan Acetobacter aceti (kelompok A4-
A7). Sedangkan media yang digunakan dalam praktikum ini adalah media LB (Lactose
Broth).
4
5
Pertama-tama dalam persiapan media dilakukan pencairan kultur dalam 0,85% garam
fisiologis, kemudian mikoorganisme tersebut diinokulasikan dalam media LB secara
aseptis. Penggunaan garam fisiologis ini memiliki fungsi yang sama dengan larutan
buffer, yaitu dapat memberikan pH yang sesuai sehingga enzim bisa aktif dan inaktif,
dan juga memberikan pH yang sesuai sehingga enzim dapat diendapkan. Selain itu
menurut Tranggono & Sutardi (1990) juga untuk mencegah hilangnya aktivitas enzim
selama penyimpanan. Larutan buffer adalah larutan yang tahan panas terhadap
perubahan pH dengan penambahan asam atau basa. Proses inokulasi kultur organisme
harus dilakukan secara aseptis, untuk mencegah kontaminasi dalam media. Adapun
pemilihan media LB sebagai media produksi protein sel tunggal karena menurut Lay
(1994), media LB merupakan media cair yang dibuat dari larutan gula dengan
konsentrasi tinggi, gula mengandung nutrient yang berfungsi untuk menunjang
pertumbuhan mikoorganisme inokulum tersebut. Kemudian dilakukan inkubasi selama
kurang lebih semalam, agar inokulum organisme tersebut dapat tersebar secara merata
dalam media LB dan inokulum tetap terjaga dalam keadaan aktif. Menurut Rahman
(1992) pemilihan organisme inokulum ini harus murni, yaitu biakan yang hanya terdiri
dari satu spesies tunggal dan memiliki umur inokulum yang berda dalam keadaan aktif
untuk menghindari fase adaptasi, yaitu fase dimana inokulum akan menyesuaikan diri
dengan substrat dan kondisi lingkungan, yang dapat menyebabkan proses fermentasi
dalam tabung fermentor berlangsung lama. Kemudian Setelah diinkubasi, dilakukan
sentrifugasi dengan kecepatan maksimal 3500 rpm selama 20 menit dalam keadaan
dingin. Menurut Suyitno (1989), sentrifugasi adalah proses pemisahan antar dua
komponen yaitu antara cairan yang tidak saling melarutkan atau cairan dengan padatan
yang terdispersi di dalamnya disebut dengan sentrifugasi. Partikel yang mempunyai
massa lebih besar akan mempunyai gaya sentrifugasi yang lebih besar juga, sebaliknya
pada partikel dengan massa lebih kecil, maka gaya sentrifugalnya juga akan lebih kecil.
Dengan demikian, terhadap campuran yang berisi partikel dengan massa lebih besar,
yang mempunyai gaya sentrifugal lebih besar akan terlempar lebih jauh di pusat atau
sumbu putar dibandingkan dengan partikel dengan massa yang lebih kecil. Dari
perbedaan tersebut, kedua partikel dengan massa yang berbeda dapat dipisahkan.
Dengan proses sentrifugasi, akan dihasilkan dua fase yaitu endapan dan cairan. Dalam
praktikum ini fase cairan digunakan dalam praktikum enzim dan fase endapan
6
digunakan dalam praktikum PST ini. Endapan yang diperoleh disaring dengan kertas
saring (sebelumnya kertas saring kosong ditimbang), kemudian kertas saring
dikeringkan beserta dengan endapan dalam oven 60°C selama 1 jam. Dari hasil
pengeringan ini menurut Schlegel & Schmidt (1994) akan diperoleh sejumlah biomassa
yang merupakan sejumlah sel yang berasal dari pertumbuhan suatu mikrobia pada
media cair ataupun media padat. Menurut Sudarmadji, et al (1989), tujuan dari
pengeringan menggunakan oven ini adalah menguapkan air yang ada di dalam bahan
dengan jalan pemanasan. Kemudian menimbang bahan sampai konstan yang berarti
semua air sudah diuapkan, dan dilakukan analisa protein dengan uji Kjeldhal. Uji
Kjeldhal yang dilakukan secara umum hampir sama dengan Uji Kjeldhal yang
dilakukan dalam praktikum biokimia pangan sebelumnya, hanya penakaran larutan-
larutan yang digunakan lebih sedikit, karena larutan sampel yang digunakan lebih
sedikit. Dasar perhitungan penentuan protein menurut Kjeldhal ini adalah hasil
penelitian dan pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah
mengandung unsur N rata-rata 16% (dalam protein murni). Uji Kjeldhal dalam
praktikum kloter A ini mengalami sedikit kendala, yakni penggunaan larutan yang salah
yang menyebabkan tidak diperolehnya titik akhir titrasi yang ditandai dengan perubahan
warna merah muda menjadi kuning. Sehingga hasil akhir percobaan hanya diperoleh
berat biomassa dan tidak dilakukan uji protein.
Dari hasil percobaan diperoleh bahwa rata-rata berat biomassa yang dihasilkan berkisar
antara 0,0001-0,01 gram, dengan berat tertinggi diperoleh pada kelompok A5 dan A6
yang menggunakan organisme Acetobacter aceti yakni sebesar 0,01 gram, dan berat
terendah diperoleh pada kelompok A1 dengan organisme Acetobacter xylinum, yakni
sebesar 0,0001 gram. Pada kelompok A3 dan A7 tidak diperoleh biomassa karena berat
awal sebelum dan sesudah dioven adalah sama. Ciri-ciri Acetobacter adalah selnya
berbentuk bulat panjang sampai batang lurus atau agak bengkok, ukurannya 0,6-0,8 ×
3,0 μm, terdapat dalam bentuk tunggal berpasangan atau dalam bentuk rantai.
Acetobacter merupakan aerobik sejati, membentuk kapsul, bersifat nonmotil dan tidak
mempunyai spora, suhu optimumnya adalah 30°C. (Pelczar, 1988). Acetobacter
xylinum merupakan bakteri berbentuk batang pendek, yang mempunyai panjang 2
mikron dan lebar 1 micron, dengan permukaan dinding yang berlendir. Bakteri ini dapat
7
membentuk rantai pendek dengan satuan 6-8 sel. Bersifat ninmotil dan dengan
pewarnaan Gram menunjukkan Gram negatif. Bakteri ini tidak membentuk endospora
maupun pigmen. Pada kultur sel yang masih muda, individu sel berada sendiri-sendiri
dan transparan. Koloni yang sudah tua membentuk lapisan menyerupai gelatin yang
kokoh menutupi sel koloninya. Pertumbuhan koloni pada medium cair setelah 48 jam
inokulasi akan membentuk lapisan pelikel dan dapat dengan mudah diambil dengan
jarum oase. Bakteri ini dapat membentuk asam dari glukosa, etil alcohol, dan propel
alcohol, tidak membentuk indol dan mempunyai kemampuan mengoksidasi asam asetat
menjadi CO2 dan H2O. Sifat yang paling menonjol dari bakteri itu adalah memiliki
kemampuan untuk mempolimerisasi glukosa sehingga menjadi selulosa. Acetobacter
aceti, ditemukan Beijerinck pada tahun 1989. Bakteri ini penting dalam produksi asam
asetat, yang mengoksidasi alkohol sehingga menjadi asam asetat. Banyak terdapat pada
ragi tape, yang menyebabkan tape yang melewati 2 hari fermentasi akan menjadi berasa
asam. Sehingga dari sifat fisiologis tersebut, dapat diketahui bahwa sifat dari
Acetobaceter xylinum lebih menonjol dan lebih sering digunakan dalam produksi sel
tunggal seperti nata de coco jika dibandingkan Acetobacter aceti. Disamping itu
dijelaskan pula bahwa Acetobacetr xylinum memiliki kemampuan untuk
mempolimerisasi glukosa menjadi selulosa, dan memiliki kemampuan mengoksidasi
asam asetat. Sedangkan pada Acetobacter aceti dijelaskan bahwa bakteri ini hanya dapat
mengubah unsur gula dan senyawa nitrogen menjadi asam asetat. Dimana menurut
Winardi (1999), asam asetat dapat menyebabkan nilai pH saat fermentasi semakin turun
dan menurut Dewayani (2001), bahwa nilai kisaran pH yang masih ditoleransi oleh
bakteri Acetobacter hanya berkisar 2,5–5. Apabila nilai pH yang telah difermentasikan
tersebut sudah tidak berkisar antara 2,5-5, maka bakteri Acetobacter tidak dapat
melakukan aktivitas metabolisme dengan baik sehingga akan menyebabkan produk dari
hasil fermentasi tersebut juga kurang optimal. Alaban (1962) juga menambahkan bahwa
proses pembentukan polisakarida ekstrasellular (nata) dapat terjadi 24 jam setelah
inkubasi, kemudian cenderung lambat pada hari berikutnya, dikarenakan keasaman
medium bertambah serta gula dalam substrat berkurang. Sehingga hasil percobaan yang
diperoleh dalam praktikum ini tidak sesuai dengan tinjauan pustaka yang diperoleh, hal
ini dapat disebabkan karena umur inokulum yang digunakan berbeda. Seharusnya
dengan umur inokulum yang sama (dalam keadaan aktif) maka bakteri Acetobacter
8
xylinum memiliki jumlah biomassa yang lebih besar dibandingkan Acetobacetr aceti.
Disisi lain kesalahan praktikan saat melakukan percobaan juga dapat menyebabkan
jumlah sel biomassa yang dihasilkan, seperti saat pengambilan biomassa dari kertas
saring yang dikeringkan, jika pengambilan biomassa terlalu dipaksakan dapat
menyebabkan kertas saring ikut terambil dan menyebabkan data yang diperoleh tidak
valid.
Menurut Judoamidjojo (1993), ada tiga faktor utama yang sangat mempengaruhi hasil
pembuatan protein sel tunggal (jumlah biomassa yang diperoleh) yaitu konsentrasi
substrat, umur inokulum dan proses fermentasi. Semakin tinggi konsentrasi medium
substrat yang digunakan, maka semakin banyak kebutuhan nutrisi organisme protein sel
tunggal yang terpenuhi, seperti gula, senyawa nitrogen, vitamin dan mineral. Dalam
praktikum ini digunakan medium dengan konsentrasi substrat yang sama, yakni media
LB, yang menurut pendapat Lay (1994), media LB merupakan media cair yang dibuat
dari larutan gula dengan konsentrasi tinggi. Sehingga dalam praktikum ini perbedaan
antara biomassa yang dihasilkan satu kelompok dengan kelompok lain jelas bukan
disebabkan karena konsentrasi substrat. Selanjutnya adalah pengaruh perbedaan umur
inokulum yang digunakan. Rahman (1992), menjelaskan bahwa umur inokulum yang
digunakan harus dalam keadaan aktif untuk menghindari fase adaptasi, yaitu fase
dimana inokulum akan menyesuaikan diri dengan substrat dan kondisi lingkungan
sekitarnya, yang dapat menyebabkan jumlah sel yang dihasilkan tetap karena belum ada
pembelahan. Dalam jurnal “KULTUR TIGA JENIS MIKROALGA (Tetraselmis sp.,
Chlorella sp. DAN Chaetoceros gracilis) DAN PENGARUH KEPADATAN AWAL
TERHADAP PERTUMBUHAN C. gracilis DI LABORATORIUM” juga
menambahkan bagaimana kepadatan awal kultur yang diinokulasi mempengaruhi laju
pertumbuhan sel. Dalam jurnal ini dilakukan beberapa variasi percobaan dengan
kepadatan awal yang digunakan untuk perlakuan ada 4 tingkat yaitu 100.000 sel/ml,
10.000 sel/ml, 1000 sel/ml dan 100 sel/ml. Ternyata diperoleh hasil laju pertumbuhan
tertinggi dicapai oleh perlakuan dengan kepadatan awal terendah, diikuti oleh kepadatan
awal yang lebih tinggi. Namun dilain pihak, kepadatan awal 10.000 se/ml menghasikan
kepadatan maksimal paling tinggi dan dipandang sebagai kepadatan yang paling efektif.
Dalam praktikum ini digunakan 2 jenis bakteri Acetobacter, yakni Acetobacter xylinum
9
dan Acetobacter Aceti. Sehingga perbedaan jumlah sel biomassa yang dihasilkan dapat
disebabkan karena perbedaan umur inokulum, karena inokulum yang digunakan juga
berbeda. Ketiga adalah proses fermentasi, fermentasi mempunyai pengertian aplikasi
metabolisme mikroba untuk mengubah bahan baku menjadi produk yang bernilai lebih
tinggi, seperti asam-asam organik, protein sel tunggal, antibiotika dan biopolimer.
Dalam praktikum ini dilakukan proses fermentasi yang hanya diinkubasi selama
semalam, sehingga biomassa yang dihasilkan hanya sedikit, yakni sekitar 0,0001-0,01.
4. KESIMPULAN
PST (Protein Sel Tunggal) atau Single Cell Protein (SCP) merupakan bentuk
pemanfaatan protein mikroorganisme yang menunjuk pada penggunaan biomassa sel
sebagai makanan.
Organisme yang banyak digunakan untuk memproduksi protein sel adalah jamur,
yeast, bakteri, dan alga yang kaya akan protein.
Inokulum Single Cell Protein harus murni yaitu biakan yang hanya terdiri dari satu
spesies tunggal, dimana umur inokulum harus dalam keadaan aktif.
Jumlah biomassa yang dihasilakn dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni konsentrasi
substrat, umur inokulum dan proses fermentasi.
Konsentrasi substrat yang baik mengandung gula, senyawa nitrogen, vitamin dan
mineral.
Bakteri Acetobacetr xylinum memiliki kemampuan mengoksidasi asam asetat untuk
menghindari kondisi pH yang terlalu asam.
Bakteri Acetobacter aceti tidak memiliki kemampuan mengoksidasi asam asetat,
sehingga kondisi pH dalam substrat menjadi terlalu asam.
Bakteri Acetobacter xylinum dapat menghasilkan jumlah biomassa yang lebih banyak
dibandingkan Acetobacter aceti.
Bila mikroba yang digunakan tetap berada dan bercampur dengan masa substratnya
maka seluruhnya dinamakan PBM.
Bila mikrobanya dipisahkan dari substratnya maka hasil panennya merupakan PST.
Penyaringan dengan menggunakan filter vakum ini bertujuan agar proses
penyaringan berlangsung cepat dan dengan penyaringan ini maka semua bahan akan
benar-benar tersaring secara sempurna karena kondisi yang vakum.
Pengeringan menggunakan oven bertujuan menguapkan air yang ada di dalam bahan
dengan jalan pemanasan.
Semarang, 8 Oktober 2010 Asisten Dosen :- Chindya Paramitha
Maria Rosalia K.09.70.0055
10
5. DAFTAR PUSTAKA
Alaban. 1962. Foods And Food Production Encyclopedia. Van Nostrand Reinhold Company. New York.
Dewayani, 2001. Teknologi Pengolahan Nata de Coco, penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Judoamidjojo, A.A. Darwis, dan Endang Gumbira, 1993, Teknologi Fermentasi, Institut
Pertanian Bogor (IPB), Bogor.
Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Pelczal, Michael. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
Puspitasari & Sidik. 2009. Pengaruh Jenis Vitamin B dan Sumber Nitrogen Dalam Peningkatan Kandungan Protein Kulit Ubi Kayu Melalui Proses Fermentasi. Jurusan Teknik Kimia, Universitas Diponegoro, Semarang. (Jurnal)
Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi Industrial II. Penerbit Arcan. Jakarta.
Ray, B. ( 1996 ). Fundamental Food Microbiology. CRC Press. New York.
Schlegel & Schmidt. (1994). Mikrobiologi Umum. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Smith, J.E. (1995). Bioteknologi. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Jakarta.
Sudarmadji, S.; B. Haryono; & Suhardi. (1989). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Sutomo. 2005. Kultur Tiga Jenis Mikroalga (Tetraselmis sp., Chlorella sp. DAN Chaetoceros gracilis) Dan Pengaruh Kepadatan Awal Terhadap Pertumbuhan C. gracilis Di Laboratorium. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. (Jurnal)
Suyitno. (1989). Petunjuk Laboratorium Rekayasa Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan & Gizi UGM. Yogyakarta.
11
12
Tranggono & Sutardi. (1990). Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. PAU Pangan dan Gizi. UGM. Yogyakarta.
Winardi. (1999). Bioindustri Penerapan Teknologi Fermentasi Edisi I. Jakarta: Melton Putra.
6. LAMPIRAN
6.1. Laporan Sementara
6.2. Jurnal
13