Upload
cia-chester-hilgenbrink
View
717
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sutera alam merupakan salah satu subsektor agro-industri yang memiliki
potensi untuk dikembangkan karena memiliki berbagai keunggulan yaitu seluruh bahan
baku tersedia dan berasal dari sumber daya alam lokal. Berdasarkan sistem agribisnis,
sutera alam merupakan kegiatan dengan rangkaian usaha yang cukup panjang, menjadi
bagian dari pengembangan di bidang pertanian dan kehutanan yang dikaitkan dengan
kegiatan agroindustri. Kegiatan usaha sutera alam terbagi dalam dua segmen, yaitu
produksi bahan mentah dalam hal ini kepompong ulat sutera (kokon) yang disebut
industri hulu dan segmen produksi pengelolaan bahan mentah menjadi bahan baku
industri dalam hal ini benang sutera dan pengelolaan bahan baku (benang sutera) menjadi
hasil jadi kain sutera yang disebut industri hilir.
Produk berbasis sutera alam memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Hal itu
dikarenakan selain teknologi yang digunakan relatif sederhana, kegiatan sutera alam
bersifat padat karya yaitu hasil dari keterampilan tangan dan dapat menjadi sumber
pendapatan masyarakat, sehingga kegiatan ini merupakan salah satu alternatif untuk
meningkatkan peranan sektor pertanian dan kehutanan dalam mendorong perekonomian
masyarakat. Produk benang sutera merupakan komoditas ekspor yang menjadi bahan
baku industri lain di dalam maupun luar negeri, sehingga dapat meningkatkan devisa,
menyerap tenaga kerja, dan memiliki keterkaitan yang erat dengan sektor atau subsektor
lain diluar subsektor agroindustri.
Volume impor sutera alam dari berbagai negara produsen sutera seperti China,
India, Jepang, Korea dan Brazil lebih banyak pada hasil budidaya ulat sutera (produksi
kokon) dan benang sutera. Kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan potensi
sumber daya alam yang menunjang bagi pengembangan budidaya murbei dan
pemeliharaan kokon di Indonesia. Dengan demikian pasar bagi pemenuhan kebutuhan
kokon dan benang dalam negeri masih terbuka.
Peningkatan permintaan produk sutera alam dunia merupakan peluang bagi
Indonesia untuk memproduksi sutera alam yang lebih optimal. Ekspor sutera alam
Indonesia saat ini telah mencakup berbagai negara, antara lain : Malaysia, Jepang, Turki,
Yunani, Jerman, Amerika dan Spanyol.
Ekspor yang berkembang positif karena adanya permintaan produk sutera yang
meningkat dan potensi pasar dunia yang cukup besar merupakan momentum dan peluang
bagi Indonesia untuk memacu peningkatan produktivitas sutera alam. Oleh karena itu
perlu diketahui dan dianalisis aspek produksi, pabrik dan aspek usaha dari produk kain
sutera. Salah satu perusahaan yang bergerak dalam produksi sutera alam adalah CV Batu
Gede Sutera Alam yang terletak di Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran umum CV Batu Gede Sutera Alam. Bagaimana Aspek produksi, Pabrik dan Aspek Usaha CV Batu Gede Sutera Alam.
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui gambaran umum CV Batu Gede Sutera Alam. Untuk mengetahui Aspek produksi, Pabrik dan Aspek Usaha CV Batu Gede Sutera
Alam.
BAB II
KERANGKA TEORITIS
2.1 Kegiatan Persuteraan Alam Di Indonesia
Sutera alam adalah produk olahan dari ulat sutera Bombyx mori linn.
Persuteraan alam merupakan kegiatan agro industri yang meliputi pembibitan ulat sutera,
budidaya tanaman murbei, pemeliharaan ulat sutera, pemintalan, pertenunan, pembatikan
/ pencelupan / pencapan / penyempurnaan, garmen dan pembuatan benang jadi lainnya
termasuk pemasarannya (SKB Menteri Kehutanan, Menteri Petrindustrian dan Menteri
Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah). Berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan, Nomor 50/Kpts-II/1997, tanggal 20 Januari 1997, yang dimaksud dengan
persuteraan alam adalah bagian kegiatan perhutanan sosial dengan hasil kokon atau
benang sutera yang terdiri dari kegiatan moriculture, sericulture, filature dan manufacture
8). Kegiatan moriculture adalah kegiatan budidaya atau memelihara tanaman murbei
untuk menghasilkan daun sebagai pakan ulat sutera. Sedangkan sericulture adalah
kegiatan pemeliharaan ulat sutera sampai menghasilkan kokon (kepompong) sebagai
bahan baku pembuatan benang sutera. Setelah itu adalah kegiatan filature, yaitu kegiatan
mengolah kokon menjadi benang sutera. Kegiatan akhir pada pesuteraan alam adalah
manufacture yaitu pertenunan dan pembuatan benang sutera menjadi kain sutera dan
produk barang jadi lainnya yang berbasis sutera serta meliputi pemasarannya.
Persuteraan alam diawali dengan kegiatan pemeliharaan tanaman murbei. Daun
tanaman murbei digunakan sebagai pakan ulat sutera. Untuk menghasilkan kualitas kain
sutera yang baik dibutuhkan kualitas ulat sutera yang baik, maka dari itu pakan yang
diberikan pada ulat sutera harus diperhatikan oleh petani-petani ulat sutera. Tanaman
murbei tahan terhadap perlakuan pemangkasan dan membutuhkan sinar matahari penuh.
Murbei yang dipangkas dan dipelihara dengan baik akan tumbuh tunas baru yang muda,
jumlahnya banyak dan tumbuh pesat serta dapat menghasilkan daun yang banyak
berwarna hijau segar. Daun inilah yang akan digunakan untuk pakan ulat sutera
(Nasaruddin & Nurcahyo 1992). Kuantitas dan kandungan gizi yang ada dalam daun
murbei sangat penting untuk pertumbuhan ulat sutera. Hal ini akan mempengaruhi
produksi kokon serta mutu kokon yang dihasilkan oleh ulat sutera, sehingga baik
langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi jumlah dan mutu benang sutera
yang dihasilkan (Santoso 1997).
2.2 Ulat Sutera Sebagai Penghasil Benang Sutera
Ulat sutera adalah serangga atau sejenis ngengat penghasil benang sutera. Ulat
sutera mempunyai metamorfosa sempurna dalam siklus hidupnya mulai dari telur, larva,
pupa sampai dengan kupu-kupu. Ulat sutera yang dikembangkan di Indonesia ialah
species Bombyx mori linn. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), klasifikasi ulat sutera
adalah sebagai berikut : Phylum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Famili :
Bombycidae Genus : Bombyx Species : Bombyx mori linn
Selain Bombyx mori linn ada pula jenis ulat atau serangga lain yang mampu
menghasilkan sutera, antara lain : Antheraca pernyi yang hidup di China, dan Antheraca
paphia di India. Ketiga jenis serangga tersebut merupakan anggota keluarga Saturmidae
yang juga berasal dari bangsa Lepideptera. Sutera sendiri sebetulnya berasal dari serat
yang dianyam oleh ulat menjadi kepompong (kokon). Kepompong itu berfungsi sebagai
pelindung saat ulat merubah diri menjadi bentuk pupa. Filamen sutera yang dikeluarkan
dari mulut ulat sutera tersebut, terdiri atas beberapa asam amino seperti alanin, fenil
alanin, asam asparat, asam glutamat, glisin, lisin oksiprolin, prolin ,serin dan kirosin.
Sebuah kepompong yang melingkari tubuh ulat itu bila dipintal menjadi filamen
mencapai 900 m bahkan 1800 m.
2.2.1.Persiapan pemeliharaan
Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam mempersiapkan pemeliharaan ulat adalah
desinfeksi. Desinfeksi dilakukan sebelum dan sesudah pemeliharaan secara menyeluruh
dan intensif sebagai pencegahan berkembangnya bibit penyakit ulat sutera. Desinfeksi
dapat dilakukan dengan penyemprotan atau mencelupkan peralatan dalam larutan
formalin 2% atau kaporit untuk membasmi bibit virus, bakteri atau jamur. Untuk
desinfeksi bagian dalam ruangan pemeliharaan diperlukan kira-kira 3 liter larutan untuk
tiap 3,3 m2 luas lantai. Bila digunakan formalin maka semua jendela dan pintu perlu
ditutup rapat-rapat selama 15 jam sesudah perlakuan untuk menghindari keluarnya gas
beracun dari desinfektan (Mien Kaomini dkk, Sutera Alam Indonesia, 2000).
Bila desinfeksi dilakukan menggunakan larutan kaporit perlu diperhatikan
pencampurannya dengan air dan disemprotkan. Sesudah penyemprotan dibiarkan basah
selama 30 menit. Untuk desinfeksi sasag ulat, keranjang, dan peralatan yang akan
dipakai selama pemeliharaan, dilakukan dengan pencelupan pada larutan kaporit selama
30 menit, kemudian dikeringkan tanpa dibilas. Pencelupan menggunakan larutan
desinfektan dilakukan untuk membasmi bibit penyakit terutama hypha cendawan
Aspergilus yang dapat menembus sampai ke bagian dalam benda-benda yang terbuat dari
kayu (Mien Kaomini dkk, Sutera Alam Indonesia, 2000).
Pemeliharaan Ulat Kecil (Instar I-III)
Pemeliharaan ulat kecil ditandai dengan hakitate sekitar jam 9-10 pagi. Ulat yang
telah menetas setelah diinkubasi pada kotak penetasan dipindahkan pada rak
pemeliharaan. Sebelum hakitate ulat yang baru menetas permukaan tubuh ulat
didesinfeksi dengan menggunakan kapur kaporit (kapur 95 : kaporit 5) untuk
pemberantasan Aspergillus dan Muscardine. Kemudian digunakan masing-masing
sebanyak 1 gr, 2 gr, dan 3 gr per 0,1 m2 tempat pemeliharaan untuk instar I, II, dan III
(Ohtsuki, 1987 dalam Mien Kaomini dkk, Sutera Alam Indonesia, 2000).
Ulat kecil memerlukan suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kebutuhan ulat
yaitu 27°-28°C dan kelembaban 90% untuk instar I, 26°- 27°C dan kelembaban 85%
untuk instar II, dan 25°C dengan kelembaban 80% untuk instar III. Akan tetapi pada saat
berganti kulit kelembaban nisbi tempat pemeliharaan diturunkan menjadi 70% untuk
mengeringkan tempat pemeliharaan (J.O.C.V., 1975 dalam Mien Kaomini dkk, Sutera
Alam Indonesia,2000). Kesehatan ulat tergantung pada pemberian pakan dengan daun
yang berkualitas baik dan sehat. Kecocokan daun murbei sebagai pakan ulat kecil
berdasarkan posisi tunasnya. Dengan mengambil daun terbesar yang mengkilap di dekat
pucuk tunas di antara semua daun yang mengkilap, maka sampai dua daun di bawahnya
baik untuk ulat instar I, sampai daun ketiga dan keempat daun acuan tadi, baik untuk
instar II dan samapai daun kelima dan keenam dibawahnya, baik untuk instar III
(J.O.C.V., 1975 dalam Mien Kaomini dkk, Sutera Alam Indonesia,2000). Pemetikan
pucuk dilakukan dari tunas muda sampai daun kelima dan keenam untuk instar I, sampai
daun ketujuh untuk instar II, dan sampai daun kedelapan untuk instar III. Panen daun
dilakukan pagi hari dan hasil panen daun disimpan pada tempat yang sejuk dan ditutup
dengan kain yang telah dibasahi. Jumlah daun yang diberikan pada ulat kecil sebanyak
48 kg daun. Ulat kecil aktif makan selama ± 12 hari dan mengalami 3 x masa tidur
(eksidis). Pemberian pakan dilakukan sebanyak 4x perhari dengan rajangan secara halus
dan ditaburkan secara merata pada tempat pemeliharaan. Ukuran rajangan daun antara
0,5-1 cm untuk instar I; 1,5-2 cm untuk instar II; dan 3-4 cm untuk instar III. Bila yang
diberikan potongan tunas maka seluruh tunas yang digunakan harus dipotong-potong
sepanjang 1cm untuk instar I, dan potongan sepanjang 2-4 cm untuk instar II dan III.
Menjelang pergantian kulit pakan yang diberikan dirajang lebih halus agar daun cepat
mongering (Sukarman, 1998, dalam Mien Kaomini dkk, Sutera Alam Indonesia,2000).
Pemeliharaan Ulat Besar (Instar IV-V)
Pemeliharaan ulat besar mencakup instar IV dan V. Ulat besar memerlukan suhu
yang ideal untuk pertumbuhannya yaitu 23°-24°C dan kelembaban 70-75% untuk instar
IV dan 22°-23° dan kelembaban 60-65% untuk instar V. Ulat besar aktif makan selama ±
14-16 hari sebelum akhirnya ulat mulai mengokon dan mengalami 1x eksidis. Jumlah
daun + ranting yang diberikan pada ulat besar ± 1,2 ton/boks. Pemberian pakan
dilaksanakan 4x sehari dengan mengindahkan kemungkinan layu daun, efisiensi produksi
kokon dan efisiensi pengelolaan tenaga kerja. Pemberian pakan untuk ulat besar salah
satunya dengan daun utuh. Daun yang diberikan tanpa dirajang terlebih dahulu.
Pemeliharaan ulat besar dilakukan dalam rak-rak ulat yang lebih besar dibanding dengan
rak ulat kecil. Kepadatan pemeliharaan yang baik adalah 200 ulat instar IV dan 100 ulat
instar V untuk 0,1 m2 tempat pemeliharaan karena ulat akan rakus makan. Penempatan
tempat pemeliharaan perlu diatur untuk memudahkan pemeliharaan maupun perlakuan
pada waktu ganti kulit. Perlakuan yang diberikan pada saat ulat tidur dan bangun sama
dengan ulat kecil hanya saja yang menjadi pembedanya adalah jumlah kapur yang
ditaburkan pada tubuh ulat (Mien Kaomini dkk, Sutera Alam Indonesia, 2000).
Berdasarkan penelitian Samsijah dan Kusumaputra (1976) dalam Mien Kaomini,
2000 mengenai pengaruh pemberian pakan pada ulat kecil dan ulat besar dengan jenis
daun yang berbeda (M. Multicaulis, M. Alba, dan M. Chatayana) terhadap pemeliharaan
daun dan mutu kokon, dipeoleh hasil bahwa M. Alba memiliki kadar protein tertinggi
pada daun muda (18,66%) dan tua (17,59%). Sedangkan daun yang memilki kandungan
karbohidrat tertinggi sebanyak 56,18% pada daun muda dan 63,14% pada daun tua
dimiliki oleh M.Chatayana. Pemberian pakan M.Alba pada ulat kecil dan M.Multicaulis
pada ulat besar, memberikan rendemen pemeliharaan tertinggi dan mutu kokon yang
cukup baik.
Pengokonan dan Panen Kokon
Pengokonan dan panen kokon merupakan langkah-langkah terakhir dalam
pemeliharaan ulat sutera. Bila hal ini tidak dilaksanakan dengan baik maka dapat
berpengaruh buruk pada kualitas filamen kokon. Ulat instar V akan mulai membentuk
kokon pada hari ke 6. Pada saat itu ukuran tubuh ulat mulai menyusut, kotoran menjadi
lunak, ulat berhenti makan, dan mulai berputar-putar dengan mengangkat kepala dan
sebagian badannya. Pada fase ini bagian badan mulai tampak agak transparan. Pada fase
ini ulat dikatakan matang dan siap untuk mengokon. Bila pengokonan dilakukan pada
ulat yang belum matang atau dilakukan terlambat setelah ulat matang maka daya pintal
ulat menjadi kurang dan panjang filamen yang didapat akan berkurang. Selain itu ulat
sutera yang kelewat dewasa cenderung membuat kokon yang dobel/rangkap. Proses
pengokonan dilakukan selama 2 hari penuh. Pada saat ulat mengeluarkan serat sutera
diusahakan tidak terganggu karena akan menyebabkan daya pintal yang menurun (Mien
Kaomini dkk, Sutera Alam Indonesia, 2000).
Kondisi iklim seperti suhu, kelembaban, arus udara selama pengokonan berpengaruh
terhadap kualitas filamen kokon terutama kepada kualitas pemintalan. Sebaiknya ulat
sutera yang sedang mengokon mendapat perlakuan suhu 23°-25°C, kelembaban 60-75%,
sirkulasi udara 0,2-1m/s dan cahaya remang-remang dengan intensitas 10-20 lux. Suhu,
kelembaban dan arus udara berpengaruh pada persentase daya pintal kokon secara timbal
balik. Bila ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi, dapat menurunkan daya pintal ulat.
Sedangkan jika salah satu dari syarat tersebut dipenuhi dapat meningkatkan daya pintal
dari ulat secara drastic (Mien Kaomini dkk, Sutera Alam Indonesia, 2000).
Jenis dan struktur tempat pengokonan sangat berpengaruh pada kualitas kokon yang
dihasilkan. Oleh karena itu diperlukan persyaratan tempat pengokonan seperti kekuatan
dan sruktur yang cocok untuk mengokonkan, mampu mengontrol kelembaban, memberi
kemudahan untuk memperlakukan ulat pada waktu mengokon dan kemudahan pada saat
panen kokon. Menurut bentuk dan strukturnya tempat pengokonan diklasifikasikan
kedalam : tempat pengokonan yang berputar (rotary), yang berombak, bambu, spiral,
yang terbuat dari plastik. Berdasarkan hasil penelitian Budisantoso (1997) dalam Mien
Kaomini dkk, 2000 mengenai pengaruh alat pengokonan “Mukade” (daun kelapa
kering), bambu, “Seriframe” (plastik) dan “Rotary” (dari karton) dan teknik pemasakan
terhadap kualitas serat sutera. Kesimpulannya adalah bahwa alat pengokonan Rotary dan
Mukade memberi hasil yang baik untuk semua parameter kualitas serat sutera yang
diamati yaitu panjang serat, daya gulung, dan rendemen serat. Untuk alat pengokonan
rotary masing-masing ditemukan 940,96 m; 77,69% dan 19,36%. Sedangkan untuk alat
mukade masing-masing ditemukan 902,75 m; 75,73% dan 19,58% (Mien Kaomini dkk,
Sutera Alam Indonesia, 2000).
Ada beberapa metode yang dilakukan dalam mengokonkan ulat pada tempat
pengokonan seperti metode pemungutan dengan tangan, metode guncangan tunas, dan
metode mengokonkan alami. Akan tetapi kebanyakan petani menggunakan metode
pemungutan dengan tangan karena ulat mengokon secara bertahap. Pada metode ini ulat
yang telah matang dipungut dengan tangan. Kelebihan metode ini adalah hanya ulat yang
telah matang yang dipilh serta dikumpulkan untuk dimasukan pada tempat pengokonan.
Sedangkan kelemahannya adalah dibutuhkan pengalaman untuk dapat menentukan ulat
yang telah matang serta dibutuhkan 5-6 jam untuk memilih ulat daru populasi yang
berasal dari satu boks telur (Mien Kaomini dkk, Sutera Alam Indonesia, 2000).
Panen Kokon
Panen kokon dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara. Jika suhu lingkungan
berada diantara 24°-27°C maka panen kokon dapat dilakukan pada hari ke-6 dan 7
setelah mengokon dan telah memastikan bahwa pupa yang ada didalam kokon telah
menjadi coklat serta kulitnya cukup keras. Jika panen dilakukan sebelum pupa yang
terbentuk coklat dan keras maka akan menyebabkan kokon menjadi cacat pintal karena
dapat membuat kokon kotor dalam. Kokon yang telah dipanen diselimuti oleh serabut
serat sutera (floss) yang apabila dibiarkan akan menyebabkan absorbsi udara sehingga
dapat menurunkan mutu kokon. Selain itu serabut kokon bersifat menempel satu sama
lain sehingga dapat menyulitkan penanganan selanjutnya (pemintalan). Oleh karena itu
maka diadakan kegiatan pemebersihan serabut serat sutera yang lebih dikenal dengan
Flossing. Pembersihan serabut serat ini bisa dikerjakan secara manual maupun
menggunakan mesin (Mien Kaomini dkk, Sutera Alam Indonesia, 2000).
2.3 Pemintalan Benang Sutera
Pemintalan merupakan proses penyatuan filamen yang berasal dari kokon untuk
dipintal menjadi benang. Industri pemintalan sutera Indonesia tahun 2007 terdapat 4.463
unit usaha dengan daerah penghasil utama terdapat di daerah Sulawesi Selatan dan Jawa
Barat. Tenaga kerja yang terserap sebanyak 7.796 orang dengan nilai produksi sebesar
Rp. 19,5 milyar dan benang sutera yang dihasilkan sekitar 78 ton per tahun. Produksi ini
masih di bawah kapasitas produksi terpasang industri benang samping diekspor ke
Jepang, Italia, Perancis dan Amerika Serikat.
Satu set mesin pemintal serat sutra terdiri dari oven kokon dengan bahan bakar
minyak tanah, mesin pengupas serabut kolosom serta panci untuk memasak kokon agar
serat benang terurai dan siap untuk dipintal. Selain itu, terdapat bak pemilah kokon untuk
menyeleksi kokon, mesin relling untuk memintal kokon menjadi benang, mesin re-
relling untuk mengeringkan dan menggulung benang, serta mesin kelos besar untuk
persiapan penggabungan benang. Pada proses pemintalan selanjutnya menggunakan
mesin twist gintir untuk memilin dan merangkapkan benang dari dua benang tunggal
menjadi satu benang ganda. Setelah itu, digulung dengan menggunakan mesin kelos
kecil untuk persiapan proses tenun. (Ujang & Vitex 2005).
Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), mesin utama dalam proses pengolahan
benang sutera, adalah mesin reeling. Spesifikasi terbaik mesin ini tergantung dari
beberapa faktor seperti : kapasitas produksi, kualitas kokon, sistem penyuapan atau
pengambilan ujung, sistem kecepatan pengambilan ujung dan penggulungan filamen
serta keterampilan operator. Mesin reeling yang digunakan dalam industri pemintalan
benang sutera terdiri dari; reeling tradisional yang dibuat oleh pengrajin setempat dan
menghasilkan benang kasar (nomor besar), reeling mekanis yang dibuat oleh pengusaha
industri kecil, dan reeling otomatis yang dapat diperoleh dari impor yaitu mesin dengan
teknologi maju yang berkecepatan tinggi guna mengolah kokon yang bermutu. Selain itu,
mesin dan perlengkapan lain yang diperlukan dalam pemintalan benang adalah mesin re-
reeling, mesin doubling/twisting, dryer dan sentrifuge/ekstraktor untuk pengeringan
benang, mesin kelos (winding) dan gudang penyimpan kokon dan benang serta
perlengkapan penunjangnya.
2.4 Pertenunan Sutera
Pertenunan merupakan tahap produksi setelah melakukan proses pemintalan,
kegiatan pertenunan ini merupakan proses membuat kain dari bahan baku benang dengan
menggunakan mesin atau alat tenun. Pertenunan sutera di Indonesia menggunakan dua
jenis alat tenun yaitu Alat Tenun Mesin (ATM) dan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).
Produktivitas ATM lebih tinggi dan kualitasnya pun lebih baik dibandingkan dengan
ATBM. Pertenunan yang menggunakan ATM, kerapatan anyaman pada kain sutera yang
dihasilkan akan merata dan sebaliknya bila menggunakan ATBM (Hafsah 2007).
Keluhan konsumen terhadap produk sutera dalam negeri adalah kenampakan
yang tidak rata, warna yang kurang mengkilau dan warna tidak tahan luntur.
Permasalahan tersebut terutama disebabkan proses pertenunan dengan ATBM. Untuk itu
perlu dilakukan penyempurnaan kualitas sutera alam dengan proses penenunan sebagai
berikut:
a. Proses Degumming
Filamen sutera mentah terdiri dari dua filamen fibroin yang terbungkus dalam
serisin. Komposisi serat sutera tersebut antara lain serisin 22 – 25 persen, fibroin 62 – 67
persen, air 10 – 11 persen dan garam mineral 1 – 1,5 persen. Serisin adalah protein
albumin yang tidak larut dalam air dingin, tetapi menjadi lemah didalam air panas, larut
didalam alkali lemah dan sabun. Proses degumming ini dilakukan melalui perebusan atau
pemasakan benang sutera yang sudah dipintal.
b. Proses Penghilangan Kanji
Sebelum proses pertenunan pada umumnya benang lungsi dikanji terlebih
dahulu untuk memperkuat benang supaya tidak mudah putus karena gesekan selama
proses pertenunan. Kanji yang ada pada kain perlu dihilangkan, karena kanji yang ada
akan menghalangi penyerapan zat warna atau zat-zat kimia lain pada bahan untuk proses
selanjutnya.
c. Proses Pengelantangan
Serat sutera mempunyai warna agak kekuning-kuningan atau kecokelat-
cokelatan. Untuk mendapatkan warna yang putih perlu proses pemutihan yang disebut
proses pengelantangan. Proses pengelantangan sutera dapat dilakukan dengan
menggunakan zat pengelantangan jenis Natrium Hidrosulfit atau oksidator Hidrogen
Peroksida pada pH, konsentrasi, suhu dan waktu tertentu.
d. Proses Pengikatan
Tenun sutera tradisional Indonesia umumnya ada dua macam, yaitu tenun ikat
dan jumputan (sasirangan). Tenun ikat yaitu benang sutera setelah melalui proses
degumming dan atau pengelantangan kemudian benang tersebut diikat sesuai dengan
motif yang diinginkan (ikat lungsi, ikat pakan atau keduanya) kemudian dicelup. Disini
bahan yang terikat tidak akan tercelup sehingga pada waktu bahan tersebut ditenun akan
memberikan motif. Jumputan (sasirangan), bahan-bahan diikat setelah proses
degumming,
e. Proses Pencelupan
Proses pencelupan adalah proses pemberian warna pada bahan secara merata. Di
Indonesia pencelupan bahan sutera banyak mempergunakan zat warna direk, asam,
kationik, naftol dan reaktif.
Walaupun Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) memiliki kekurangan
dibandingkan dengan Alat Tenun Mesin (ATM) namun ATBM juga memiliki beberapa
kelebihan. Menurut Muflikh (2003), kelebihan-kelebihan ATBM yaitu kekuatan kain
yang dihasilkan sangat tinggi, harga jual kain lebih tinggi dan kain tersesan lebih
eksklusif karena dikerjakan secara manual. Jenis-jenis kain tenun yang dihasilkan oleh
beberapa daerah di Indonesia melalui ATBM antara lain sarung mandar, sengkang,
samarinda dan songket
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Gambaran Umum Perusahaan
3.1.1 Lokasi
CV. Batu Gede Sutera Alam terletak di Jln. Raya Ciapus Rt. 02/10, Ds. Pasir Eurih,
Kec.Taman Sari, Kabupaten Bogor. CV.Batu Gede Sutera Alam juga dikenal dengan sebutan
Rumah Sutera Alam yang dapat dicapai dari Kota Bogor dengan mengambil arah ke Bogor
Barat ke kawasan Empang dan dilanjutkan ke kawasan Ciapus.CV. Batu Gede Sutera Alam
terletak pada kaki Gunung Salak ± 3 km dari wisata alam Gunung Salak. Oleh karena itu
keadaan lingkungan di daerah CV. Batu Gede Sutera Alam termasuk kawasan dingin.
3.1.2 Pendirian Perusahaan
CV.Batu Gede Sutera Alam (CV.BGSA) merupakan industri perorangan yang bergerak
dalam industri persuteraan alam dan lebih berorientasi pada kegiatan agrowisata. CV.Batu
Gede Sutera Alam berdiri sejak tahun 2000. Tujuan pertama industri ini didirikan adalah
untuk kebun percontohan di daerah Bogor yang bekerja sama dengan IPB. Satu tahun
didirikannya industri ini (tahun 2001) yaitu pada bulan Oktober dilakukan persiapan lahan
untuk penanaman tanaman murbei, sedangkan penanamannya dilakukan pada bulan
November dan Desember. Pada tahun 2002 telah diadakannya pemeliharaan tanaman
murbei,ditambah dengan pemeliharaan ulat besar untuk produksi kokon. Hasil panen kokon
dijual untuk PT. Indo Jado Sutera Pratama di daerah Sukabumi sebagai bahan baku
pemintalan benang.
Namun pada tahun 2003 tepatnya bulan Agustus PT. Indo Jado Sutera Pratama mengalami
kebangkrutan sehingga CV. Batu Gede Sutera Alam tidak dapat mengirim kembali hasil
panen. Yang pada akhirnya hasil produksi kokon diproses secara sendiri untuk dijadikan
benang sutera. Untuk melaksanakan kegiatan pemintalan maka pada tahun 2005 dibangun
pabrik pemintalan dan pembelian mesin-mesin pemintalan benang. Pada tahun 2005 hingga
sekarang kegiatan persuteraan alam mulai dari pemeliharaan kebun, pemeliharaan ulat dan
pemintalan benang terus berlangsung dan untuk memasarkan hasil pemintalan benang sutera
yang diproduksi saat ini sampai pada berbagai daerah seperti Garut, Jakarta, Bandung dan
Bali.
3.1.3 Organisasi Perusahaan
CV Batu Gede Bogor merupakan perusahaan yang bergerak dibidang agribisnis, agrowisata
serta pendidikan dan pelatihan persuteraan alam. Tipe organisasi bisnis CV Batu Gede Bogor
adalah perusahaan perseorangan. Perusahaan perseorangan dikelola dan dipimpin oleh
seseorang yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap semua risiko dari aktivitas usaha
yang dijalankan.
Struktur organisasi CV Batu Gede Bogor adalah struktur organisasi bentuk lini dan staf.
Bentuk ini secara umum digunakan oleh organisasi karena bentuknya sederhana sehingga
cepat dalam pengambilan keputusan. Struktur organisasi tersebut dapat memperlihatkan
hubungan antara tugas dan wewenang atasan secara horizontal dan vertikal, selain itu melalui
hubungan tersebut dapat memberikan data maupun informasi yang diperlukan oleh pihak
yang bersangkutan. Lebih jelasnya lihat gambar struktur organisasi:
3.1.4 Struktur dan Personalia Pelaksanaan Kelembagaan
CV. Batu Gede Sutera Alam merupakan industri perorangan yang dimiliki sekaligus
dikepalai oleh H. Tatang Ghazali Gandasasmita sebagai pimpinan dan pembinaan industri.
Sebagai pimpinan yang membawahi 3 bagian pokok yaitu Bagian Keuangan, Bagian
Administrasi/Umum dan Bagian Produksi Khusus untuk Bagian Produksi dikepalai oleh
supervisor untuk mengawasi setiap jalannya kegiatan yaitu pemeliharaan kebun murbei,
pemeliharaan ulat sutera, pemintalan benang dan pertenunan.
CV Batu Gede memiliki satu orang tenaga kerja administrasi yang menangani ketiga bidang
tersebut, satu orang supir, lima orang petani sutera sekaligus sebagai pendidik dan pelatih
persuteraan alam, serta sepuluh orang tenaga kerja langsung untuk produksi kain sutera yang
merupakan tenaga kerja borongan. Semua tenaga kerja pada CV Batu Gede berasal dari
lingkungan sekitar perusahaan yang sudah berpengalaman dan memahami mengenai
pesuteraan alam.
Hari kerja CV Batu Gede adalah enam hari seminggu dengan jumlah jam kerja selama tujuh jam
kerja dalam sehari, dimulai pukul 08.00 – 16.00 WIB (istirahat satu jam). Hari dan jam kerja
tersebut berlaku untuk tenaga kerja administrasi dan petani sutera. Sedangkan tenaga kerja
borongan untuk produksi kain sutera, jumlah hari dan jam kerja mereka disesuaikan dengan
produksi kain sutera perusahaan. Hari orang kerja (HOK) per periode (satu bulan) pada CV Batu
Gede adalah 24 – 26 HOK.
3.2 Aspek Produksi, Pabrik dan Aspek Usaha
3.2.1 Kapasitas Terpasang dan Kapasitas Aktual
Kapasitas terpasang yaitu kapasitas produksi maksimal yang dihasilkan oleh perusahaan
itu sendiri. Berdasarkan penelitian yang diperoleh kapasitas terpasang dalam Rumah
Sutera Alam per tahun adalah 600 Kg Kokon akan menghasilkan 60 Kg benang yang
dapat dijadikan 600 m kain sutera
Kapasitas aktual yaitu kemampuan ideal kapasitas produksi suatu perusahaan.
Berdasarkan penelitian yang diperoleh kapasitas aktual sesuai dengan kapasitas
terpasang yang ditargetkan oleh Rumah Sutera Alam per tahun yaitu 600 Kg Kokon akan
menghasilkan 60 Kg benang yang dapat dijadikan 600 m kain
3.2.2 Produksi Utama dan Produk Sampingan
CV Batu Gede dibidang agribisnis menghasilkan produk berbasis sutera alam melalui
kegiatan pengembangan kebun murbei, pemeliharaan ulat kecil, ulat besar dan kepompong /
kokon (cocoon), pemintalan benang sutera, serta penenunan kain sutera. Produk utama yang
dihasilkan oleh CV Batu Gede adalah benang sutera serta kain tenun sutera. Kain tenun
sutera ini mempunyai banyak jenis, yaitu tenun bermotif, tenun ikat, tenun organdi, serta
batik sutera. Selain itu, CV Batu Gede ini juga memiliki produk sampingan, yaitu berupa
aksesoris/souvenir buatan tangan yang berasal dari kokon rusak yang tidak bisa dijadikan
benang, teh murbei serta penyewaan lokasi (ekowisata atau penginapan)
3.2.3 Jenis dan Jumlah Bahan Baku & Bahan Penolong
Bahan Baku
Bahan baku untuk memproduksi kain sutera adalah benang sutera. Benang sutera yang
dibutuhkan adalah jenis pakan dan lungsi. Benang pakan merupakan benang sutera yang
dipasang secara horizontal pada Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), sedangkan benang lungsi
adalah benang sutera yang dipasang secara vertikal pada ATBM. Proporsi penggunaan
benang pakan lebih besar untuk menghasilkan kain tenun sutera. Rasio perbandingan
penggunaan benang pakan dan benang lungsi untuk menghasilkan kain tenun sutera adalah
tiga berbanding satu (3:1). Setiap meter produksi kain sutera membutuhkan 0,075 kg benang
pakan dan 0,025 kg benang lungsi.
Pengadaan bahan baku untuk memproduksi kain sutera terdapat dua proses. Pertama, bahan
baku diperoleh diawali dengan proses budidaya murbei sebagai pakan ulat sutera dan
budidaya ulat sutera sebagai penghasil kokon. Kegiatan ini dilakukan oleh petani di lahan
perusahaan. Untuk pengadaan kokon, CV Batu Gede Rumah Sutera Alam biasanya memesan
15-20 boks (1 boks = 25.000 butir telur) telur ulat Sutera setiap bulannya di Ujung Pandang
atau Candi Roto Magelang. Dari 15-20 boks tersebut CV Batu Gede Rumah Sutera Alam
hanya menngunakan 1 boks untuk produksi, sisanya didistribusikan kebeberapa petani
disekitar daerah tersebut. Kokon yang dihasilkan akan diolah melalui proses perebusan dan
pemintalan sehingga menghasilkan benang sutera mentah (Raw Silk). Saat ini jumlah
produksi kokon CV Batu Gede Rumah Sutera Alam adalah rata-rata 40 kg per bulan. Jumlah
tersebut masih jauh untuk kebutuhan kokon sebagai penghasil benang sutera yang merupakan
bahan baku kain sutera pada CV Batu Gede Rumah Sutera Alam yaitu rata-rata 115 kg per
bulan. Sehingga perusahaan melakukan pengadaan bahan baku pada proses yang kedua, yaitu
melakukan kerjasama melalui pembelian benang sutera pada mitra tani perusahaan yang
berada di wilayah perkebunan murbei Karya Sari, Leuwiliang, Kabupaten Bogor.
Bahan Penolong
Bahan pembantu yang digunakan dalam proses produksi kain sutera pada CV Batu
Gede antara lain : soda as, zat pewarna (direk, asam, kationik, naftol dan reaktif), kazesol,
natrium silikat dan hidrogen peroksida. Bahan-bahan pembantu tersebut diperoleh
perusahaan dengan melakukan pembelian pada toko kimia yang berada di pasar Anyar
Bogor. Zat soda as digunakan untuk menghilangkan kotoran dan serisin pada benang sutera
sehingga tekstur benang menjadi halus Serisin adalah protein albumin yang terdapat pada
benang sutera mentah yang tidak larut dalam air dingin, tetapi menjadi lemah di dalam air
panas dan larut di dalam alkali lemah seperti zat soda as. Zat pewarna (direk, asam, kationik,
naftol dan reaktif) digunakan untuk memberikan warna pada serat benang sutera sehingga
menghasilkan kain tenun warna. Kazesol digunakan untuk menghaluskan tekstur benang
sutera dengan menghilangkan zat kanji pada benang sutera yang menyebabkan benang
menjadi kaku. Natrium silikat digunakan untuk memutihkan benang atau kain sutera dan
hidrogen peroksia sebagai zat oksidatornya.
3.2.4 Jumlah Tenaga Kerja Produksi
CV Batu Gede memiliki tenaga kerja tidak langsung dan tenaga kerja langsung. Tenaga kerja
tidak langsung merupakan tenaga kerja yang tidak melakukan rangkaian proses produksi kain
tenun sutera, yaitu staf adminsitrasi, supir dan petani sutera. Sedangkan tenaga kerja langsung
(TKL) merupakan tenaga kerja yang melakukan seluruh tahap proses produksi kain tenun
sutera. Tenaga kerja langsung pada CV Batu Gede merupakan tenaga kerja pemborong yang
melakukan semua kegiatan produksi kain tenun sutera. Artinya TKL tersebut bukan tenaga
kerja tetap perusahaan melainkan tenaga kerja yang digunakan perusahaan untuk
memproduksi kain tenun sutera berdasarkan order atau pesanan yang ada perusahaan. maka
dari itu sewaktu-waktu TKL ini dapat beralih ke perusahaan lain atau mengerjakan jenis
pekerjaan lain sesuai dengan keahlian mereka apabila perusahaan tidak melakukan produksi
lagi atau adanya penurunan produksi.
Pada CV Batu Gede Rumah Sutera Alam hanya memanfaatkan 20 tenaga kerja. CV Batu
Gede memiliki satu orang tenaga kerja administrasi yang menangani 3 bagian pokok yaitu
Bagian Keuangan, Bagian Administrasi/Umum dan Bagian Produksi Khusus, satu orang
supir, lima orang petani sutera sekaligus sebagai pendidik dan pelatih persuteraan alam, serta
tigabelas orang tenaga kerja langsung untuk produksi kain sutera yang merupakan tenaga
kerja borongan. Jumlah hari dan jam kerja mereka disesuaikan dengan produksi kain sutera
perusahaan. Hari orang kerja (HOK) per periode (satu bulan) pada CV Batu Gede adalah 24 –
26 HOK.
3.2.5 Jumlah Bahan Bakar
Penggunaan bahan bakar (diesel) tidak selalu digunakan pada proses produksi, Karena
Rumah Sutera Alam menggunakan listrik sebagai bahan penggerak mesin. Bahan bakar
digunakan apabila listrik padam
3.2.6 Jumlah KwH Listrik
Pada proses produksi, Rumah Sutera Alam menghabiskan biaya untul listrik rata-rata sebesar
Rp. 900.000. bulan atau Rp. 10.800.000/tahun (tanpa pemadaman listrik).
3.2.7 Pengolahan
Proses produksi kain sutera pada CV Batu Gede yaitu:
1. Pembersihan getah benang (degumming yarn)
Proses ini dilakukan melalui perebusan atau pemasakan benang sutera yang sudah dipintal
dengan menggunakan zat Soda As. Soda As digunakan untuk menghilangkan getah (serisin)
yang terdapat pada benang. Setelah perebusan atau pemasakan, pada benang lungsi dilakukan
pengkanjian atau pemberian zat kazesol dan hidrogen peroksida agar benang tidak keras dan
berbulu. Pengkanjian ini digunakan agar benang menjadi kuat, putih bersih dan lentur.
2. Pengelosan (twisting lungsi)
Pengelosan atau penggulungan adalah kegiatan menggulung benang lungsi pada gulungan
kelos. Gulungan kelos ini merupakan gulungan benang lungsi yang berdiameter dua cm.
Pengelosan dilakukan secara manual dengan tangan menggunakan alat kincir yang diputar.
3. Pemaletan (twisting pakan)
Sama halnya dengan pengelosan, pemaletan ini merupakan kegiatan menggulung benang
pakan pada gulungan palet dengan menggunakan alat kincir secara manual. Gulungan palet
adalah gulungan benang pakan yang berukuran lebih kecil dari gulungan kelos yaitu
berdiameter satu cm.
4. Pewarnaan atau pencelupan
Proses ini dilakukan untuk menghasilkan kain tenun warna. Sebelumnya benang sutera diikat
sesuai dengan motif yang diinginkan (ikat lungsi, ikat pakan atau keduanya) kemudian
dicelup. Benang yang terikat tidak akan tercelup sehingga pada waktu bahan tersebut ditenun
akan memberikan motif. Pencelupan dilakukan untuk memberikan warna secara merata.
Disini bahan yang terikat tidak akan tercelup sehingga pada waktu bahan tersebut ditenun
akan memberikan motif. Bahan sutera mempergunakan zat warna direk, asam, kationik,
naftol dan reaktif.
5. Penghanian
Penghanian merupakan kegiatan memasukkan dan mensejajarkan benang hasil gulungan
pada alat hani.
6. Pencucukan
Setelah benang dihani, maka selanjutnya dilakukan pencucukan yaitu benang pada alat hani
dimasukkan pada alat tenun bukan mesin (ATBM).
7. Penenunan
Penenunan merupakan kegiatan menenun benang sutera secara manual dengan tangan
menggunakan ATBM untuk menghasilkan kain tenun sutera. Proses penenunan ini, benang
pakan dipasang secara horizontal dan benang lungsi dipasang secara vertikal pada ATBM.
8. Pembersihan kain tenun (degumming cloth)
Proses ini dilakukan melalui perebusan kain tenun sutera dalam larutan soda as, setelah itu
dijemur agar kain tidak kotor dan tidak kaku.
3.2.8 Pemasaran
Kegiatan pemasaran kain sutera pada CV Batu Gede meliputi kegiatan penjualan, distribusi,
transaksi pembayaran dan promosi. Produk kain sutera yang dijual perusahaan adalah kain
tenun sutera putih polos (dobby) dan kain tenun sutera warna. Harga kedua jenis kain sutera
tersebut bervariatif, namun rata-rata harga produk yang paling banyak dipesan oleh
konsumen untuk kain dobby adalah Rp 110.000,00 per meter dan kain tenun warna adalah Rp
200.000,00 per meter.
Kegiatan penjualan kain sutera pada CV Batu Gede meliputi kegiatan penerimaan pesanan
dan penawaran melalui telepon atau negosiasi langsung dari konsumen. Konsumen yang
menjadi pelanggan perusahaan terdiri dari para pedagang kain, tailors, toko pakaian dan butik
yang berada di Bogor, Jakarta dan kota-kota lainnya di wilayah Jawa Barat. Konsumen baru
yang akan menjadi calon pelanggan dilakukan negosiasi dan supervisi terlebih dahulu oleh
pemilik perusahaan dan bagian administrasi perusahaan, yaitu dengan memberikan dafar kain
sutera yang dijual beserta daftar harganya. Kesepakatan akan ditentukan pada saat melakukan
kerjasama, seperti menentukan jenis kain sutera, waktu pengiriman atau pengambilan, waktu
dan bentuk pembayarannya. Sebagian besar konsumen biasanya mengambil pesanan kain
sutera secara datang langsung ke perusahaan sebelumnya pihak perusahaan memberitahukan
selesainya pesanan via telepon.
Kegiatan distribusi dilakukan apabila konsumen menginginkan perusahaan mengantarkan
pesanannya ke lokasi konsumen. Kegiatan ini dilakukan oleh supir dan bagian administrasi
perusahaan. Saluran distribusi perusahaan merupakan saluran distribusi tidak langsung karena
produk kain sutera yang dijual perusahaan tidak berhubungan langsung dengan konsumen
akhir melainkan melalui perantara (distributor) terlebih dahulu seperti pemborong (jobber),
pedagang, toko-toko atau butik. Lamanya proses pemesanan tergantung pada jenis dan
jumlah produk yang dipesan. Biaya pengiriman produk ditanggung oleh konsumen atau
perusahaan berdasarkan dengan permintaan konsumen. Kegiatan pembayaran dari konsumen
ditangani langsung oleh pemilik perusahaan. Sistem pembayaran dapat dilakukan secara tunai
atau tidak tunai dengan pemberian uang muka sebesar 30 persen dari total pembelian dan
pelunasannya dilakukan apabila semua pesanan produk telah diterima konsumen. Kegiatan
promosi dilakukan untuk menyampaikan informasi mengenai profil, kegiatan dan produk
perusahaan kepada konsumen yaitu melalui katalog dan website. Website perusahaan yang
dapat dikunjungi konsumen adalah www.rumahsuteraalam.com.
BAB IV
KESIMPULAN & SARAN
4.1 KESIMPULAN
1. CV Batu Gede Bogor merupakan perusahaan yang bergerak dibidang agribisnis,
agrowisata serta pendidikan dan pelatihan persuteraan alam. Tipe organisasi bisnis CV
Batu Gede Bogor adalah perusahaan perseorangan.
2. Rumah Sutera Alam bisa memproduksi 600 Kg Kokon akan menghasilkan 60 Kg
benang yang dapat dijadikan 600 m kain sutera pertahun.
3. Produk utama yang dihasilkan oleh CV Batu Gede adalah benang sutera serta kain tenun sutera dan produk sampingan, yaitu berupa aksesoris/souvenir buatan tangan yang berasal dari kokon rusak yang tidak bisa dijadikan benang, teh murbei serta penyewaan lokasi (ekowisata atau penginapan).
4. Proses produksi kain sutera pada cv batu gede yaitu pembersihan getah benang (degumming yarn), pengelosan (twisting lungsi), pemaletan (twisting pakan), pewarnaan atau pencelupan, penghanian, pencucukan, penenunan, pembersihan kain tenun (degumming cloth).
4.2 SARAN
Rumah Ulat sutera sebaiknya menambah alat produksi agar dapat meningkatkan jumlah
produksi dan menambah tenaga kerja sehingga mengurangi dapat pengangguran.
LAMPIRAN
Daun Murbei yang digunakan untuk pakan ulat sutera
Luas lahan tanaman murbei ini 2 hektar
Ulat sutera dewasa yang akan segera menjadi kokon
Ulat sutera yang sudan mengkokon
Ulat sutera dewasa yang akan segera menjadi kokon
Perebusan kokon untuk pembersihan getah benang
Kokon yang sudah dilepas getah benangnya
Penggulungan/pemintalan benang dari kokon
Penggulungan/pemintalan benang dari kokon
Benang sutera yang sudah jadi
LAPORAN PRAKTIKUM
MANAJEMEN AGRIBISNIS
Alat penggulung benang sutera
Proses penenunan benang menjadi kain sutera
Proses penenunan benang menjadi kain sutera
Hasil kain sutera yang sudah jadi
Aspek Produksi, Pabrik dan Aspek UsahaCV BATU GEDE RUMAH SUTERA ALAM
Oleh:
Citralia Anggriyani (E1D0090)
Eko Priyanto (E1D0090)
Juraida (E1D0090)
Indra Aresta (E1D0090)
Novicia Dewi Maharani (E1D009067)
Roland Aritonang (E1D0090)
(E1D0090)
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2012