Laporan Sementara Morfologi Sel

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bioproses

Citation preview

TUGAS KHUSUS

TUGAS KHUSUS

PEMBUATAN CHITOSAN DARI KULIT KEPITING

Saat ini budidaya udang kepiting telah berkembang dengan pesat sehingga kepiting dijadikan komoditas ekspor non migas yang dapat dihandalkan dan merupakan biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Kepiting pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan makanan yang memiliki nilai gizi tinggi. Kepiting di Indonesia pada umunya diekspor ke luar negeri. Cangkangnya merupakan limbah yang biasanya di jual yang nantinya akan dimanfaatkan untuk pakan ternak. Sebenarnya limbah ini dapat bernilai ekonomis tinggi jika dimanfaatkan menjadi senyawa chitosan. Chitosan dari limbah udang ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami.

Chitosan merupakan produk alamiah yang merupakan turunan dari polisakarida chitin. Bentuk chitosan padatan amorf bewarna putih dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal chitin murni. Chitosan mempunyai rantai yang lebih pendek daripada rantai chitin. Kelarutan chitosan dalam larutan asam serta viskositas larutannya tergantungdari derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer. Chitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Bila chitosan disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama pada suhu sekitar 100oF maka sifat kelarutannya dan viskositasnya akan berubah. Bila chitosan disimpan lama dalam keadaan terbuka (terjadi kontak dengan udara) maka akan terjadi dekomposisi, warnanya menjadi kekuningan dan viskositas larutan menjadi berkurang. Hal ini dapat digambarkan seperti kapas atau kertas yang tidak stabil terhadap udara, panas dan sebagainya. Chitosan dapat dimanfaatkan di berbagai bidang biokimia, obat-obatan atau farmakologi, pangan dan gizi, pertanian, mikrobiologi, penanganan air limbah, industri-industri kertas, tekstil membran atau film, kosmetik dan lain sebagainya.

Dalam cangkang kepiting, chitin terdapat sebagai mukopoli sakarida yang berikatan dengan garam-garam anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein dan lipida termasuk pigmen-pigmen. Oleh karena itu untuk memperoleh chitin dari cangkang udang melibatkan proses-proses pemisahan protein (deproteinasi) dan pemisahan mineral (demineralisasi). Sedangkan untuk mendapatkan chitosan dilanjutkan dengan proses deasetilasi. Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan chitosan memiliki poli kation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang. Indonesia sebagai negara penyedia udang seharusnya mampu mengolah limbah udang yang dihasilkan menjadi chitosan karena murah dan pembuatannya relatif mudah. Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui lama waktu pengawetan makanan dengan menggunakan chitosan.

Kepiting merupakan fauna yang habitat dan penyebarannya terdapat di air tawar, payau dan laut. Jenis-jenisnya sangat beragam dan dapat hidup di berbagai kolom di setiap perairan. Sebagaian besar kepiting yang kita kenal banyak hidup di perairan payau terutama di dalam ekosistem mangrove. Beberapa jenis yang hidup dalam ekosistem ini adalah Hermit Crab, Ucasp, Mud Lobsterdan kepiting bakau. Sebagian besar kepiting merupakan fauna yang aktif mencari makan di malam hari Kepiting pada fase larva (zoea dan megalopa) hidup di dalam air sebagai plankton. Kepiting mulai kehidupan di darat setelah memasuki fase juvenil dan dewasa seiring dengan pembentukan carapace.

Kepiting dan rajungan tergolong dalam satu suku (familia) yakni Portunidae dan seksi (sectio) Brachyura. Cukup banyak jenis yang termasuk dalam suku ini. Dr. kasim Moosa yang banyak menggeluti taksonomi kelompok ini mengemukakan bahwa di Indo-Pasifik Barat saja diperkirakan ada 234 jenis, dan di Indonesia ada 124 jenis. Di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu diperkirakan ada 46 jenis. Tetapi dari sekian jenis ini, hanya ada beberapa saja yang banyak dikenal orang karena biasa dimakan, dan tentu saja berukuran agak besar. Jenis yang tubuhnya berukuran kurang dari 6 cm tidak lazim dimakan karena terlalu kecil dan hampir tidak mempunyai daging yang berarti.

Konsentrasi maksimum kepiting terjadi pada malam hari pada saat air pasang. Kebanyakan kepiting memanjat akar mangrove dan pohon untuk mencari makan. Pada saat siang hari, waktu pasang terendah kebanyakan kepiting tinggal di dalam lubang untuk berlindung dari serangan burung dan predator lainnya. Beberapa spesies seperti Sesarma erythrodactyladan Paragrapsus laevispada saat air surut, turun ke bawah untuk berasosiasi dengan telur-telur ikan.

b. Klasifikasi kepiting bakau

Phylum : Arthropoda

Classis : Crustacea

Subclassis : Malacostraca

Superordo : Eucaridae

Ordo : Decapoda

Familia : Portunidae

Genus : Scylla

Spesies : Scylla sp.S. serrata, S.tranquebarica,S. paramamosain, S.Olivacea

Kepiting adalah binatang crustacea berkaki sepuluh, yang biasanya mempunyai "ekor" yang sangat pendek (bahasa Yunani: brachy = pendek, ura = ekor), atau yang perutnya sama sekali tersembunyi di bawah thorax. Tubuh kepiting umumnya ditutupi dengan exoskeleton (kerangka luar) yang sangat keras, dan dipersenjatai dengan sepasang capit. Kepiting hidup di air laut, air tawar dan darat dengan ukuran yang beraneka ragam, dari pea crab, yang lebarnya hanya beberapa milimeter. Kepiting bakau ukurannya bisa mencapai lebih dari 20 cm. Sapit pada jantan dewasa lebih panjang dari pada sapit betina. Kepiting yang bisa berenang ini terdapat hampir di seluruh perairan pantai Indonesia, terutama di daerah mangrove, di daerah tambak air payau, muara sungai, tetapi jarang ditemukan di pulau-pulau karang. Disamping morfologi sapit, kepiting jantan dan betina dapat dibedakan juga berdasarkan ukuran abdomen, dimana abdomen jantan lebih sempit dari pada abdomen betina.

Kepiting memiliki sepasang mata yang terdiri dari beberapa ribu unit optik. Matanya terletak pada tangkai, dimana mata ini dapat dimasukkan ke dalam rongga pada carapace ketika dirinya terancam. Kadang-kadang kepiting dapat mendengar dan menghasilkan berbagai suara. Hal yang menarik pada berbagai spesies ketika masa kawin, sang jantan mengeluarkan suara yang keras dengan menggunaklan chelipeds-nya atau menggetarkan kaki jalannya untuk menarik perhatian sang betina. Setiap spesies memiliki suara yang khas, hal ini digunakan untuk menarik sang betina atau untuk menakut-nakuti pejantan lainnya.

Limbah cangkang kepiting atau rajungan (Portunus Pelagicus) di sentra produksi pengupasan kepiting ternyata bernilai ekonomis. Di negeri china, bahan cangkang kepiting ini bisa diolah menjadi chitin dan chitosan. Chitosan merupakan gula yang diperoleh dari rangka luar yang keras dari kepiting, lobster maupun udang. Di dalam limbah cangkang kepiting ini mengandung polimer glukosamina (chitin). Akan tetapi, proses daur ulang limbah cangkang kepiting ini belum dilirik oleh pemerintah Indonesia. Padahal nilai ekonomi dari pengolahan limbah cangkang kepiting sangat besar nilai ekonomisnya karena produk olahan cangkang kepiting ini bisa di gunakan untuk obat anti kolesterol, obat pelangsing tubuh, bahan pengawet makanan non kimia, bahan campuran body scrub, perban untuk menghentikan pendarahan.

Chitosan, yang ternyata efektif mempercepat proses epitelisasi, kolagenisasi, menghentikan perdarahan, dan mencegah infeksi, Chitosan ini bisa dibuat salep untuk obat luka bakar. Selama ini pengobatan luka bakar masih menggunakan obat antiseptik yang membutuhkan waktu lama dan belum tentu sempurna. Berbeda jika penyembuhannya dengan salep yang mengandung chitosan, selain luka bakar akan lebih cepat dalam proses epitelisasi dan kolagenisasinya, chitosan juga dapat menghentikan perdarahan dan mencegah infeksi. salep yang mengandung chitosan mampu menyembuhkan luka dengan waktu lebih cepat dibandingkan dengan salep tanpa chitosan. Salep chitosan juga menghasilkan penyembuhan yang kuat karena mampu menebalkan kolagen, sehingga kulit tidak mudah iritasi kembali. Penggunaan salep chitosan menghasilkan jumlah fibroblas paling sedikit. Hal itu menunjukkan chitosan telah menghasilkan penyembuhan sempurna karena semakin sempurna penyembuhan suatu luka, semakin sedikit jumlah fibroblasnya, sehingga luka tidak berbekas. Sebagai salep, chitosan juga tidak berbahaya ketika tertelan atau tercampur dalam makanan. Salep itu juga tidak berbau amis karena telah melalui proses demineralisasi. Chitosan bisa dijadikan bahan kaos penyerap keringat dan serbuk cangkang kepiting ini banyak mengandung kalsium sehingga bisa di olah menjadi tepung untuk membuat biskuit yang mengandung kalsium tinggi.

Serat chitosan bisa dipakai sebagai materi tambahan untuk pembuatan kain tekstil karena mampu mempertahankan warna tekstil. Tepung khitosan ini bisa langsung dimasukan kedalam tablet kapsul untuk dan bisa langsung di minum sebagai serat anti kolesterol. Kitosan juga bisa dijadikan campuran pelitur untuk usaha mebel yang ramah lingkungan. kitosan dari limbah cangkang kepiting ini dapat digunakan sebagai adsorben (menyerap) logam Cd (II) / cadmium pada air limbah. khitosan dapat dimanfaatkan di berbagai bidang biokimia, obat-obatan atau farmakologi, pangan dan gizi, pertanian, mikrobiologi, penanganan air limbah, industri-industri kertas, tekstil membran atau film, kosmetik, pakan ternak, bahan pengganti minyak bumi dalam pembuatan plastik ramah lingkungan,

Proses pembuatan chitosan dari cangkang kepiting sama seperti pembuatan chitosan dari kulit udang. Metode pertama pembuatan chitosan adalah deproteinasi. Dalam metode ini digunakan sistem penambahan feed suplement. Proses deproteinisasi untuk memisahkan atau melepaskan ikatan-ikatan antara protein dengan chitin, kedua menghilangkan garam-garam anorganik atau kandungan mineral yang ada pada chitin, terutama kalsium karbonat (CaCO3). Deproteinasi bertujuan untuk memisahkan protein pada bahan dasar cangkang. Efektifitas prosesnya tergantung pada konsentrasi NaOH yang digunakan.

Tahap kedua berupa demineralisasi yang bertujuan untuk memisahkan mineral organik yang terikat pada bahan dasar, yaitu CaCO3 sebagai mineral utama dan Ca(PO4)2 dalam jumlah minor. Dalam proses demineralisasi menggunakan larutan asam klorida encer. Metode ketiga berupa depigmentasi yakni untuk penghilangan zat-zat warna dilakukan pada waktu pencucian residu setelah proses deproteinasi dan proses demineralisasi. Pada proses ini hasil dari proses demineralisasi direaksikan lebih lanjut dengan menggunakan agensia pemutih berupa natrium hipoklorit (NaOCl) atau peroksida. Proses decolorisasi bertujuan untuk menghasilkan warna putih pada chitin.

Tahap terakhir berupa deasetilasi. Pada tahap ini terjadi tranformasi chitin menjadi chitosan disebut tahap deasetilasi, yaitu dengan memberikan perlakuan dengan basa berkonsentrasi tinggi. Reaksi deasetilasi bertujuan untuk memutuskan gugus asetil yang terikat pada nitrogen dalam struktur senyawa chitin untuk memperbesar persentase gugus amina pada chitosan yang berguna sebagai pengikat/pengkhelat logam. Proses deasetilasi dengan menggunakan alkali pada suhu tinggi akan menyebabkan terlepasnya gugus asetil (CH3CHO-) dari molekul chitin. Gugus amida pada chitin akan berikatan dengan gugus hidrogen yang bermuatan positif sehingga membentuk gugus amina bebas NH2. Dengan adanya gugus ini chitosan dapat mengadsorpsi ion logam dengan membentuk senyawa kompleks. Pelarutan chitin tergantung dari konsentrasi asam mineral dan temperatur.DAFTAR PUSTAKA

Fatimah. 2014. Cangkang Kepiting sebagai Bahan Baku Pembuatan Chitosan. http://jangkargroups.blogspot.com/2014/03/cangkang-kepiting-driel-crab-shell.html (diakses 3 April 2015)Tunki, Swandanu. 2011. Pembuatan Chitosan dari Pemanfaatan Kulit Kepiting. http://swandanu-tunkey.blogspot.com/2011/01/pembuatan-chitosan-dari-pemanfaatan.html (diakses 3 April 2015)