Upload
anonymous-jmc9izf
View
12
Download
2
Tags:
Embed Size (px)
DESCRIPTION
gdggf
Citation preview
SEMINAR ARTIKEL JURNAL
Clinical Efficacy of A New Monofilament
Fibre-Containing Wound Debridement Product
KRITISI JURNAL
Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Surgikal
RSUD dr. Saiful Anwar Malang
Oleh:
Kelompok 6 - Profesi PSIK A 2010
1. Ana Istiqomah 105070207111003
2. Ma’rifatul Kisabana 105070201111004
3. Dini Widya Ayuningtyas 105070200111006
4. Fitri Ayuning Ulansari 105070200111039
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Angka kejadian luka setiap tahun semakin meningkat, baik luka akut maupun
luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan prevalensi pasien
dengan luka adalah 3.50 per 1000 populasi penduduk. Mayoritas luka pada
penduduk dunia adalah luka karena pembedahan atau trauma (48.00%), ulkus kaki
(28.00%), luka dekubitus (21.00%). Pada tahun 2009, Med Market Diligence, sebuah
asosiasi luka di Amerika melakukan penelitian tentang insiden luka di dunia
berdasarkan etiologi penyakit. Diperoleh data untuk luka bedah ada 110.30 juta
kasus, luka trauma 1.60 juta kasus, luka lecet ada 20.40 juta kasus, luka bakar 10
juta kasus, ulkus dekubitus 8.50 juta kasus, ulkus vena 12.50 juta kasus, ulkus
diabetik 13.50 juta kasus, amputasi 0.20 juta per tahun, karsinoma 0.60 juta per
tahun, melanoma 0.10 juta, komplikasi kanker kulit ada sebanyak 0.10 juta kasus
(Diligence, 2009).
Luka adalah rusaknya struktur jaringan dan fungsi anatomis normal sebagai
akibat adanya proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal yang
mengenai organ tertentu (Potter & Perry, 2006). Upaya yang dilakukan untuk
menyembuhkan luka bertujuan meminimalkan efek dari luka tersebut akan tetapi
pada umumnya tingkat kesembuhannya tidak sesuai dengan yang diharapkan (Sari,
2009). Perawat harus memahami fisiologi penyembuhan luka dan ditantang untuk
memberikan pengkajian luka berdasarkan pengetahuan integritas kulit dan
pencegahan infeksi (Morison, 2004). Menurut Tarigan (2005), peran perawat dalam
perawatan luka sangat penting, karena keberhasilan penyembuhan luka sangat
tergantung pada penanganan yang tepat. Untuk penanganan yang tepat maka
seorang perawat harus terampil dan memahami prinsip tentang perawatan luka.
Perawatan luka dilakukan terdiri dari proses pembersihan luka, debridemen,
pemberian zat antiseptik dengan bahan alami dan pembalutan (Sari, 2009).
Berdasarkan konsep fisiologi, setiap kejadian luka, mekanisme tubuh akan
mengupayakan pengembalikan komponen-komponen jaringan yang rusak dengan
membentuk struktur baru dan fungsional sama dengan keadaan sebelumnya (Tawi,
2008). Namun, apabila penyembuhan terjadi pada kulit yang mengalami luka terbuka
yang lebar sehingga tepinya tidak dapat saling didekatkan maka akan lebih banyak
jaringan granulasi yang terbentuk sehingga jaringan tersebut sering terlihat menutupi
dasar luka seperti sebuah karpet yang lembut, yang mudah berdarah jika disentuh.
Pada keadaan lain, jaringan granulasi sebenarnya tumbuh di bawah keropeng
dimana akan terlepas setelah penyembuhan lengkap. Sebagian orang sering tidak
sabar menunggu dan melepaskan keropeng tersebut pada stadium penyembuhan
yang belum lengkap sehingga seluruh proses penyembuhan ini memerlukan waktu
yang lebih lama dan biasanya terbentuk jaringan parut yang lebih luas dimana
hasilnya kurang diharapkan pada penyembuhan luka (Wilson, 2006).
Apabila luka telah terinfeksi pada masa yang cukup lama, maka waktu
penyembuhannya tidak sesuai lagi dengan kondisi normal. Hal ini jika tidak
mendapatkan penanganan yang benar dapat menimbulkan kerusakan yang lebih
luas pada jaringan tubuh di sekitarnya sehingga menyebabkan jaringan yang terluka
menjadi mati atau nekrosis. Hal ini juga dapat mengakibatkan penyebaran infeksi
keseluruh tubuh melalui darah, seperti kejadian sepsis sehingga dapat mengancam
nyawa seseorang (Kusmawan, 2009). Walaupun sudah banyak dikembangkan obat-
obatan yang digunakan sebagai penanganan luka seperti Silver Sulfadiazine,
Bacitracin dan Mafenide Acetate yang merupakan agen anti microbial atau
Hydrocolloids dan Hydrogel sebagai Absorptive dressings, namun efisiensi dan
efektifitas dari perbaikan jaringan yang terluka menjadi suatu pokok dalam
kelangsungan hidup manusia (Singer & Dagum, 2008). Oleh karena itu, dalam
penyembuhan luka telah menarik banyak generasi penyedia pelayanan kesehatan,
dan berbagai macam strategi telah digunakan untuk mempercepat dan
menyempurnakan proses penyembuhan luka (Huttenlocher & Horwitz, 2007).
Metode debridement yang tersedia saat ini untuk perawat umum meliputi
debridement mekanik, autolitik, gauze dan surgikal debridement. Beberapa metode
debridement tersebut masih memerlukan ketrampilan dan pelatihan khusus. Ketika
memilih sebuah metode, dokter atau perawat harus menyadari semua pilihan dan
menentukan apakah ia memiliki atau tidak keterampilan dan pengetahuan untuk
melakukan itu, dan menilai potensi risiko bagi pasien (Wounds UK, 2013). Jika
dokter atau perawat tidak memiliki keterampilan, ia harus merujuk pasien ke
spesialis perawatan luka yang mampu melakukan hal tersebut.
Baru-baru ini, metode selektif baru debridement mekanis. Monofilament fiber
telah diperkenalkan ke pasar. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengulas
tentang artikel jurnal yang dilakukan oleh Bahr dan Mustafi et al. (2011) berjudul
“Clinical efficacy of a new monofilament fibre-containing wound debridement
product”. Ketertarikan penulis dikarenan jurnal ini mengevaluasi kefektifan
monofilament fiber pad debridemen baru yang diharapkan mampu meningkatkan
penyembuhan luka pasien dan membantu kinerja dokter maupun perawat yang
merawat luka.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Memahami penggunaan monofilamen fiber pad untuk debridemen luka agar
dapat diimplementasikan di IRNA II RSUD dr. Saiful Anwar Malang
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui metode dan hasil penelitian berjudul berjudul “Clinical efficacy
of a new monofilament fibre-containing wound debridement product” yang
dilakukan oleh Bahr dan Mustafi et al. pada tahun 2011
2. Memahami keefektifan penggunaan monofilamen fiber pad untuk
debridemen luka agar dapat diimplementasikan di IRNA II RSUD dr. Saiful
Anwar Malang
3. Mengetahui cara penggunaan monofilamen fiber pad untuk debridemen
luka agar dapat diimplementasikan di IRNA II RSUD dr. Saiful Anwar
Malang
4. Mengidentifikasi implikasi perawatan luka di IRNA II RSUD dr. Saiful Anwar
Malang dengan monofilamen fiber pad sebagai metode debridemen
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Praktis
1. Memberikan masukan terhadap pembaharuan pedoman
penatalaksanaan perawatan luka dengan debridement menggunakan
monofilamen fiber pad bagi IRNA II RSUD dr. Saiful Anwar Malang.
2. Memfasilitasi proses penyembuhan luka dan meningkatkan kepuasaan
pasien terhadap perawatan luka dengan memberikan informasi tentang
cara penggunaan monofilamen fiber pad untuk debridemen luka agar
nantinya dapat diimplementasikan di IRNA II RSUD dr. Saiful Anwar
Malang.
3. Memberikan informasi tentang keefektifan monofilamen fiber pad untuk
debridemen luka dibandingkan metode lainnya yang dapat membantu
mengurangi beban kerja perawat dan dokter.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Luka
2.1.1 Definisi
Luka adalah suatu cedera dimana kulit robek, terpotong atau tertusuk,
atau trauma benda tumpul yang menyebabkan kontusi. Luka dikategorikan
dua jenis yaitu luka terbuka dan tertutup. Luka terbuka diklasifikasikan
berdasarkan obyek penyebab luka antara lain: luka insisi, luka laserasi, luka
abrasi, luka tusuk, luka penetrasi, dan luka tembak. Luka tertutup dibagi
menjadi tiga: kontusi, hematoma dan luka tekan. Luka tertutup memiliki
bahaya yang sama dengan luka terbuka. Selain itu terdapat pula beberapa
jenis luka lainnya seperti luka bakar, luka sengatan listrik, luka akibat zat
kimia, cedera suhu dingin, luka radiasi dan ionisasi serta luka gigit dan
sengatan serangga (Pusponegoro, 2005; Eslami et al, 2009).
2.1.2 Fase Penyembuhan
Tubuh mempunyai pelindung dalam menahan perubahan lingkungan
yaitu kulit. Apabila faktor dari luar tidak mampu ditahan oleh pelindung
tersebut maka terjadilah luka. Dalam merespon luka tersebut, tubuh memiliki
fungsi fisiologis penyembuhan luka. Proses penyembuhan ini terdiri dari fase
awal, intermediate dan fase lanjut. Masing – masing fase memiliki proses
biologis dan peranan sel yang berbeda. Pada fase awal, terjadi hemostasis
dimana pembuluh darah yang terputus pada luka akan dihentikan dengan
terjadinya reaksi vasokonstriksi untuk memulihkan aliran darah serta inflamasi
untuk membuang jaringan rusak dan mencegah infeksi bakteri. Pada fase
intermediate, terjadi proliferasi sel mesenkim, epitelialisasi dan angiogenesis.
Selain itu terjadi pula kontraksi luka dan sintesis kolagen pada fase ini.
Sedangkan untuk fase akhir, terjadi pembentukan luka/remodeling
(Pusponegoro, 2005; Lawrence, 2002).
Fase Awal (Hemostasis dan Inflamasi)
Pada luka yang menembus epidermis, akan merusak pembuluh darah
menyebabkan pendarahan. Untuk mengatasinya terjadilah proses hemostasis.
Proses ini memerlukan peranan platelet dan fibrin. Pada pembuluh darah
normal, terdapat monofilament fiber pad endotel seperti prostacyclin untuk
menghambat pembentukan bekuan darah. Ketika pembuluh darah pecah,
proses pembekuan dimulai dari rangsangan collagen terhadap platelet.
Platelet menempel dengan platelet lainnya dimediasi oleh protein fibrinogen
dan factor von Willebrand. Agregasi platelet bersama dengan eritrosit akan
menutup kapiler untuk menghentikan pendarahan (Lawrence, 2002).
Saat platelet teraktivasi, membran fosfolipid berikatan dengan faktor
pembekuan V, dan berinteraksi dengan faktor pembekuan X. Aktivitas
protrombinase dimulai, memmonofilament fiber padsi trombin secara
eksponensial. Trombin kembali mengaktifkan platelet lain dan mengkatalisasi
pembentukan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin berlekatan dengan sel darah
merah membentuk bekuan darah dan menutup luka. Fibrin menjadi rangka
untuk sel endotel, sel inflamasi dan fibroblast (Leong dan Phillips, 2012).
Fibronectin bersama dengan fibrin sebagai salah satu komponen
rangka tersebut dihasilkan fibroblast dan sel epitel. Fibronectin berperan
dalam membantu perlekatan sel dan mengatur perpindahan berbagai sel ke
dalm luka. Rangka fibrin-fibronectin juga mengikat sitokin yang dihasilkan
pada saat luka dan bertindak sebagai penyimpan faktor – faktor tersebut untuk
proses penyembuhan (Lawrence, 2002).
Reaksi inflamasi adalah respon fisiologis normal tubuh dalam
mengatasi luka. Inflamasi ditandai oleh rubor (kemerahan), tumor
(pembengkakan), calor (hangat), dan dolor (nyeri). Tujuan dari reaksi inflamasi
ini adalah untuk membunuh bakteri yang mengkontaminasi luka (Leong dan
Phillips, 2012, Gurtner, 2007).
Pada awal terjadinya luka terjadi vasokonstriksi lokal pada arteri dan
kapiler untuk membantu menghentikan pendarahan. Proses ini dimediasi oleh
epinephrin, norepinephrin dan prostaglandin yang dikeluarkan oleh sel yang
cedera. Setelah 10-15 menit pembuluh darah akan mengalami vasodilatasi
yang dimediasi oleh serotonin, histamin, kinin, prostaglandin, leukotriene dan
monofilament fiber pad endotel. Hal ini yang menyebabkan lokasi luka tampak
merah dan hangat (Eslami, 2009; Lawrence, 2002).
Sel mast yang terdapat pada permukaan endotel mengeluarkan
histamin dan serotonin yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas vaskuler. Hal ini mengakibatkan plasma keluar dari intravaskuler
ke ekstravaskuler (Leong dan Phillips, 2012). Leukosit berpindah ke jaringan
yang luka melalui proses aktif yaitu diapedesis. Proses ini dimulai dengan
leukosit menempel pada sel endotel yang melapisi kapiler dimediasi oleh
selectin. Kemudian leukosit semakin melekat akibat integrin yang terdapat
pada permukaan leukosit dengan intercellular adhesion moleculer (ICAM)
pada sel endotel. Leukosit kemudian berpindah secara aktif dari sel endotel ke
jaringan yang luka (Lawrence, 2002).
Agen kemotaktik seperti monofilament fiber pad bakteri, complement
factor, histamin, PGE2, leukotriene dan platelet derived growth factor (PDGF)
menstimulasi leukosit untuk berpindah dari sel endotel. Leukosit yang terdapat
pada luka di dua hari pertama adalah neutrofil. Sel ini membuang jaringan mati
dan bakteri dengan fagositosis. Netrofil juga mengeluarkan protease untuk
mendegradasi matriks ekstraseluler yang tersisa. Setelah melaksanakan
fungsi fagositosis, neutrofil akan difagositosis oleh makrofag atau mati.
Meskipun neutrofil memiliki peran dalam mencegah infeksi, keberadaan
neutrofil yang persisten pada luka dapat menyebabkan luka sulit untuk
mengalami proses penyembuhan. Hal ini bisa menyebabkan luka akut
berprogresi menjadi luka kronis (Pusponegoro, 2005; Webster, 2012).
Pada hari kedua / ketiga luka, monosit / makrofag masuk ke dalam luka
melalui mediasi monocyte chemoattractant protein 1 (MCP-1). Makrofag
sebagai sel yang sangat penting dalam penyembuhan luka memiliki fungsi
fagositosis bakteri dan jaringan mati. Makrofag mensekresi proteinase untuk
mendegradasi matriks ekstraseluler (ECM) dan penting untuk membuang
material asing, merangsang pergerakan sel, dan mengatur pergantian ECM.
Makrofag merupakan penghasil sitokin dan growth factor yang menstimulasi
proliferasi fibroblast, monofilament fiber padsi kolagen, pembentukan
pembuluh darah baru, dan proses penyembuhan lainnya (Lawrence, 2002;
Gurtner, 2007).
Limfosit T muncul secara signifikan pad hari kelima luka sampai hari
ketujuh. Limfosit mempengaruhi fibroblast dengan menghasilkan sitokin,
seperti IL-2 dan fibroblast activating factor. Limfosit T juga menghasilkan
interferon-γ (IFN- γ), yang menstimulasi makrofag untuk mengeluarkan sitokin
seperti IL-1 dan TNF-α. Sel T memiliki peran dalam penyembuhan luka kronis
(Leong dan Phillips, 2012).
Fase Intermediate (Proliferasi)
Pada fase ini terjadi penurunan jumlah sel-sel inflamasi, tanda-tanda
radang berkurang, munculnya sel fibroblast yang berproliferasi, pembentukan
pembuluh darah baru, epitelialisasi dan kontraksi luka. Matriks fibrin yang
dipenuhi platelet dan makrofag mengeluarkan growth factor yang
mengaktivasi fibroblast. Fibroblast bermigrasi ke daerah luka dan mulai
berproliferasi hingga jumlahnya lebih dominan dibandingkan sel radang pada
daerah tersebut. Fase ini terjadi pada hari ketiga sampai hari kelima
(Lawrence, 2002).
Dalam melakukan migrasi, fibroblast mengeluarkan matriks
mettaloproteinase (MMP) untuk memecah matriks yang menghalangi migrasi.
Fungsi utama dari fibroblast adalah sintesis kolagen sebagai komponen utama
ECM. Kolagen tipe I dan III adalah kolagen utama pembentuk ECM dan
normalnya ada pada dermis manusia. Kolagen tipe III dan fibronectin
dihasilkan fibroblast pada minggu pertama dan kemudian kolagen tipe III
digantikan dengan tipe I. Kolagen tersebut akan bertambah banyak dan
menggantikan fibrin sebagai penyusun matriks utama pada luka (Lawrence,
2002; Schultz, 2007).
Pembentukan pembuluh darah baru / angiogenesis adalah proses
yang dirangsang oleh kebutuhan energi yang tinggi untuk proliferasi sel. Selain
itu angiogenesis juga dierlukan untuk mengatur vaskularisasi yang rusak
akibat luka dan distimulasi kondisi laktat yang tinggi, kadar pH yang asam, dan
penurunan tekanan oksigen di jaringan (Leong dan Phillips, 2012; Gurtner,
2007).
Setelah trauma, sel endotel yang aktif karena terekspos berbagai
substansi akan mendegradasi membran basal dari vena postkapiler, sehingga
migrasi sel dapat terjadi antara celah tersebut. Migrasi sel endotel ke dalam
luka diatur oleh fibroblast growth factor (FGF), platelet-derived growth factor
(PDGF), dan transforming growth factor-β (TGF-β). Pembelahan dari sel
endotel ini akan membentuk lumen. Kemudian deposisi dari membran basal
akan menghasilkan maturasi kapiler (Webster et al, 2012; Leong dan Phillip,
2012).
Angiogenesis distimulasi dan diatur oleh berbagai sitokin yang
kebanyakan dihasilkan oleh makrofag dan platelet. Tumor necrosis factor-α
(TNF-α) yang dihasilkan makrofag merangsang angiogenesis dimulai dari
akhir fase inflamasi. Heparin, yang bisa menstimulasi migrasi sel endotel
kapiler, berikatan dengan berbagai faktor angiogenik lainnya. Vascular
endothelial growth factor (VEGF) sebagai faktor angiogenik yang poten
dihasilkan oleh keratinosit, makrofag dan fibroblast selama proses
penyembuhan (Lawrence, 2002).
Pada fase ini terjadi pula epitelialisasi yaitu proses pembentukan
kembali lapisan kulit yang rusak. Pada tepi luka, keratinosit akan berproliferasi
setelah kontak dengan ECM dan kemudian bermigrasi dari membran basal ke
permukaan yang baru terbentuk. Ketika bermigrasi, keratinosis akan menjadi
pipih dan panjang dan juga membentuk tonjolan sitoplasma yang panjang.
Pada ECM, mereka akan berikatan dengan kolagen tipe I dan bermigrasi
menggunakan reseptor spesifik integrin. Kolagenase yang dikeluarkan
keratinosit akan mendisosiasi sel dari matriks dermis dan membantu
pergerakan dari matriks awal. Keratinosit juga mensintesis dan mensekresi
MMP lainnya ketika bermigrasi (Schultz, 2007).
Matriks fibrin awal akan digantikan oleh jaringan granulasi. Jaringan
granulasi akan berperan sebagai perantara sel-sel untuk melakukan migrasi.
Jaringan ini terdiri dari tiga sel yang berperan penting yaitu : fibroblast,
makrofag dan sel endotel. Sel-sel ini akan menghasilkan ECM dan pembuluh
darah baru sebagai sumber energi jaringan granulasi. Jaringan ini muncul
pada hari keempat setelah luka. Fibroblast akan bekerja menghasilkan ECM
untuk mengisi celah yang terjadi akibat luka dan sebagai perantara migrasi
keratinosit. Matriks ini akan tampak jelas pada luka. Makrofag akan
menghasilkan growth factor yang merangsang fibroblast berproliferasi.
Makrofag juga akan merangsang sel endotel untuk membentuk pembuluh
darah baru (Gurtner, 2007).
Kontraksi luka adalah gerakan centripetal dari tepi leka menuju arah
tengah luka. Kontraksi luka maksimal berlanjut sampai hari ke-12 atau ke-15
tapi juga bisa berlanjut apabila luka tetap terbuka. Luka bergerak ke arah
tengah dengan rata – rata 0,6 sampai 0,75 mm / hari. Kontraksi juga
tergantung dari jaringan kulit sekitar yang longgar. Sel yang banyak ditemukan
pada kontraksi luka adalah myofibroblast. Sel ini berasal dari fibroblast normal
tapi mengandung mikrofilamen di sitoplasmanya (Leong dan Phillips, 2012;
Lawrence, 2002).
Fase Akhir (Remodelling)
Fase remodelling jaringan parut adalah fase terlama dari proses
penyembuhan Proses ini dimulai sekitar hari ke-21 hingga satu tahun.
Pembentukan kolagen akan mulai menurun dan stabil. Meskipun jumlah
kolagen sudah maksimal, kekuatan tahanan luka hanya 15% dari kulit normal.
Proses remodelling akan meningkatkan kekuatan tahanan luka secara
drastis. Proses ini didasari pergantian dari kolagen tipe III menjadi kolagen tipe
I. Peningkatan kekuatan terjadi secara signifikan pada minggu ketiga hingga
minggu keenam setelah luka. Kekuatan tahanan luka maksimal akan
mencapai 90% dari kekuatan kulit normal (Lawrence, 2002).
2.1.3 Gangguan Penyembuhan Luka
Proses fisiologis yang kompleks dari penyembuhan luka dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu fase yang berkepanjangan dapat
mempengaruhi hasil dari penyembuhan luka yaitu jaringan parut yang
terbentuk. Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari dalam
tubuh (endogen) atau dari luar tubuh (eksogen), penyebab tersebut antara lain
kontaminasi bakteri atau benda asing, kekebalan tubuh yang lemah, ganguan
koagulasi, obat-obatan penekan sistem imun, paparan radiasi, dan beberapa
faktor lain. Suplai darah juga mempengaruhi proses penyembuhan, dimana
suplai darah pada ekstremitas bawah adalah yang paling sedikit pada tubuh
dan suplai darah pada wajah serta tangan cukup tinggi. Usia pasien yang tua
juga memperpanjang proses penyembuhan (Pusponegoro, 2005; Webster,
2012; Leong dan Phillip, 2012).
2.2 Debridemen
2.2.1 Definisi
Debridemen adalah proses alami yang terjadi pada semua luka dan
penting untuk penyembuhan, pada jaringan yang mati dan rusak, luka yang
kotor dan bakteri yang dikeluarkan dari luka. Sehingga meminimalkan risiko
infeksi dan membentuk jaringan granulasi yang sehat untuk membantu
penyembuhan (Strohal et.al, 2013). Dilakukannya debridemen didasarkan
pada pengkajian luka yang komprehensif dan dilakukan oleh orang yang
berkompeten (Ousey dan Cook, 2012). Sebelum melakukan debridemen ada
beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: keadaan umum pasien,
penyebab luka, kondisi sikulasi pasien dan kemungkinan penyembuhan luka,
ukuran dan lokasi luka, jumlah eksudat, dan kemungkinan infeksi.
2.2.2 Keuntungan
Debridemen dilakukan untuk menghapus jaringan mati, slough, dan
debris. Dengan kata lain dapat mencegah dampak buruk dari jaringan mati,
slough, dan debris. Dampak buruk jaringan mati, slough, dan debris pada luka
(Brown A., 2013), ialah:
Mencegah atau menunda proses penyembuhan luka yang normal
Menyembunyikan infeksi
Menarik bakteri pada luka
Meningkatkan risiko infeksi
Mencegah menilai tingkat dan ukuran luka, yang sangat bermasalah
ketika pementasan kerusakan tekanan ulkus
Meningkatkan bau dan eksudat
2.2.3 Metode
Ada banyak metode yang digunakan untuk debridemen. Metode
debridemen antara lain autolitik, surgikal, biosurgikal, dn mekanikal
debridemen. Keputusan bagaimana dan kapan harus dilakukan prosedur
tergantung pada: metode debridemen yang tersedia, metode yang dikuasai
oleh praktisi, waktu yang tersedia, dan keinginan pasien (Flanagan, 2013).
Berikut ini beberapa metode debridemen menurut Brown A. (2013), yaitu:
Autolitik
Autolitik adalah proses yang menggunakan kelembapan tubuh untuk
menghilangkan jaringan yang mati atau devitalisasi jaringan. Hal ini dapat
menggunakan dressing atau balutan yang yang dapat memberikan
kelembapan. Proses ini umumnya lebih lambat dari proses debridemen yang
lain dan waktu yang dibutuhkan pada metode ini sangat bervariasi sesuai
dengan ukuran luka dan jumlah jaringan yang mati.
Umumnya, perkembangan dari metode ini antara 72-96 jam dan
eschar hitam akan berubah warna menjadi coklat atau abu-abu, bahkan bisa
menjadi slough yang berwarna kuning. Luka perlu dilakukan pengkajian ulang
setiap pergantian balutan dan menentukan kebutuhan balutan.
Balutan yang digunakan untuk debridemen terbagi dalam dua
kategori, yaitu: memberikan kelembapan dan menyerap kelebihan
kelembapan. Jika luka sangat kering, balutan yang akan memberikan
kelembapan seperti hydrogel. Namun, luka akan menjadi basah akibat dari
autilisis sehingga secondary dressing diperlukan untuk menyerap eksudat.
Surgikal
Surgikal merupakan cara tercepat untuk debridement luka, tetapi
membutuhkan skill yang baik dan harus memperhatikan kompetensi dari
praktisi seperti perawat ahli bedah. Metode ini dilakukan di kamar operasi dan
dilakukan ketika debridement diperlukan dengan cepat, seperti selulitis atau
sepsis yang berkembang dengan cepat. Metode ini menggunakan teknik
steril. Namun tidak direkomendasikan dilakukan di rumah pasien karena
berisiko terjadinya perdarahan dan membutuhkan anestesi.
Biosurgikal
Juga dikenal sebagai terapi larva, metode ini menggunakan larva
yang steril dari lalat hijau (Lucilia sericata) untuk mende-bridemen luka dan
efektif untuk slough, berbau dan luka yang terinfeksi. Metode ini sudah
digunakan sejak 400 tahun yang lalu dan metode ini semakin berkembang.
Larva diberikan pada jaringan mati dan luka yang memiliki eksudat sehingga
akan mengeluarkan antibacterial yang akan mengurangi bakteria. Pergerakan
larva pada luka akan meningkatkan eksudat .
Terapi larva digunakan sebagai alternatif jika debridemen yang cepat
diperlukan atau kalau luka belum membaik dengan autolitik debridemen.
Terdapat beberapa faktor yang digunakan untuk menentukan debridemen
larva: sakit yang dirasakan pasien meningkat dan/atau jumlah eksudat
meningkat, yang mungkin meningkatkan resiko perdarahan. Kontraindikasi
penggunaan terapi larva adalah luka dekat dengan mata, saluran pencernaan
bagian atas dan saluran pernafasan atas, dan pasien yang memiliki alergi
terhadap larva.
Mekanikal
Debridemen mekanis melibatkan baik menggunakan dressing kasa
kering atau basah ke kering, dressing kasa/tulle atau pad serat monofilamen
untuk menghapus jaringan yang mati. Sebuah kasa yang dibasahi diusapkan
pada luka (Strohal et al, 2013; Luka Inggris, 2013). Prosedur ini menyakitkan
dan juga menghilangkan jaringan sehat; tidak dianjurkan untuk digunakan di
Inggris ( Wounds UK, 2013). Sebuah pad monofilamen (Monofilament fiber,
Activa Healthcare) baru-baru ini telah diperkenalkan sebagai alternatif untuk
kasa. Produsen mengklaim pad serat menghilangkan kotoran dan jaringan
mati, meninggalkan jaringan granulasi yang sehat utuh (Strohal et al, 2013;
Wounds UK 2013).
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Metode Penelitian Artikel Jurnal
Artikel jurnal ini merupakan laporan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bahr
dan Mustafi et al. (2011) merupakan penelitian observasional analitik pada
beberapa pusat rumah sakit (multicenter). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi keefektifan penggunaan monofilament fiber pad baru yaitu
monofilament fibre pada proses debridemen luka.
3.1.1 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien dari 11 pusat
penyembuhan luka yaitu 5 pusat penyembuhan luka di Jerman, 4 di Italia,
dan 2 di Australia yang terdiri dari outpatient clinics, community clinics, dan
long-term care facilities. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 57
responden. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien dengan luka yang
dirawat di pusat penyembuhan luka tersebut dengan memenuhi kriteria.
3.1.2 Kriteria Sampel
Kriteria Inklusi
1. Pasien dengan luka tertutup eksudat, seperti ulkus tekanan (decubitus),
ulkus kaki diabetik, luka trauma
2. Pasien dengan lapisan kulit yang keras (slough) pada luka bedah
3. Pasien dengan hiperkeratosis dan/atau penumpukan eksudat kering
pada area kulit sekitar luka.
4. Pasien dengan dugaan terdapat biofilm pada luka.
Kriteria Eksklusi
1. Adanya tanda dan gejala infeksi sistemik (termasuk eritema dan
demam).
2. Pasien dengan skala nyeri >7 atau hiperestesia.
3. Pasien berusia <18 tahun atau lebih dari 85 tahun.
4. Pasien alergi terhadap alat dan bahan.
5. Pasien yang sedang hamil atau menyusui.
3.1.3 Waktu Pengambilan Data
Data untuk penelitian ini dilakukan selama 6 bulan pada tahun 2010.
3.1.4 Alat dan Bahan
Monofilament Fiber Pad
Terbuat dari 18 juta monofilament fibers per 10x10 cm. Serat ini
didesain untuk menghilangkan lapisan kulit yang keras dan sel-sel kulit
mati. Serat-serat ini tahan terhadap zat kimia, stabil, dan dapat
menyerap cairan.
Cairan irigasi
Cairan irigasi pada luka di penelitian ini menggunakan cairan
salin steril dan polihexanide (betadine).
Cara melakukan debridement
Debridement dilakukan dengan cara mengusap Monofilament
fiber pad secara tegas dari tepi luka untuk menghilangkan slough dan
jaringan mati. Akan tetapi pada kasus dengan slough yang tebal dan
melekat kuat pada dasar luka atau nekrosis yang keras dianjurkan
bahwa jaringan ini dilunakan terlebih dahulu sebelum menggunakan
Monofilament fiber pad.
Balutan Luka
Balutan yang digunakan setel;ah dilakukan debridement
diantaranya adalah alginate dan hidrofiber dengan foam dressing sesuai
balutan standart yang diterapkan di pusat penyembuhan luka tersebut.
3.1.5 Variabel Penelitian
a. Data Primer
Data primer berupa keefektifan debridemen dievaluasi dengan
membandingkan kondisi luka pada setiap perawatan luka. Baik secara
langsung maupun dari hasil foto menggunakan skor criteria yang sama.
Ketidakefektifan debridemen dinilai dengan beberapa kriteria, yaitu:
Waktu tindakan debridemen (<2, 2-4, 5-7, >7 menit)
Kemampuan menghilangkan debris, jaringan nekrotik, dan slough.
Kemampuan menyerap debris, jaringan nekrotik, dan slough.
Sebelum dan setelah penilaian keefektifan debridement
diklasifikasikan menjadi tiga kategori berdasarkan kondisi luka, yaitu:
Kelas A
Kondisi luka tertutupi oleh slough dan jaringan nekrotik, kulit sekitar
luka juga tertutupi oleh jaringan hiperkeratotik dan eksudat kering.
Kelas B
Kondisi luka tertutupi oleh slough, tanpa jaringan nekrotik, kulit
sekitar luka juga tertutupi sebagian oleh jaringan hiperkeratotik dan
eksudat kering.
Kelas C
Kondisi luka tertutupi oleh slough <20% area luka dan, kulit sekitar
luka bersih.
b. Data Sekunder
1. Keamanan
Keamanan monofilament fiber pad ini dinilai dari keberadaan
efek samping, seperti:
Sisa material pada area luka setelah perawatan luka
Perubahan struktur fiber setelah perawatan luka
2. Toleransi
Toleransi pasien terhadap monofilament fiber pad ini dinilai
dari ada/tidaknya keluhan pasien dan evaluasi dokter atau perawat
dengan 5 point likert scale tentang:
Gangguan rasa nyaman
Adanya rasa tekanan pada luka
Rasa terbakar pada area luka
Iritasi sekitar luka
Bengkak
Kemerahan
Efek samping
3. Kepuasan Pasien
Kepuasan pasien terhadap monofilament fiber pad ini dinilai
menggunakan 6 point likert scale dari penggabungan dua aspek
yaitu penilaian keefektifan debridemen per sesi dan derajat
kepuasan pasien seperti keinginan menggunakan monofilament
fiber pad ini lagi dan keinginan menceritakan monofilament fiber
pad ini kepada kerabat.
3.1.6 Proses Pengambilan Data
Perawatan luka menggunakan Monofilament fiber pad dilakukan
dengan interval 4 hari selama 12 hari. Jadi ada 3 sesi dalam kurun waktu 12
hari. Evaluasi perawatan luka dilakukan pada hari ke-0 (untuk sesi 1), hari
ke 4 (untuk sesi 2), dan hari ke 8 (untuk sesi 3). Kondisi luka dievaluasi
secara langsung dan melalui dokumentasi foto kondisi luka sebelum dan
sesudah masing-masing perawatan. Keseluruhan proses perawatan luka
dan hasil pengkajian dicatat sebagai data variabel.
3.1.7 Analisa Statistik
Variabel-variabel yang telah didapatkan dianalisa menggunakan
ANOVA dengan confidence interval 95% dan significant value p<0,05.
3.2 Hasil Penelitian dan Diskusi Peneliti
1. Data Dasar
Dari 60 pasien dengan luka kronik dan luka akut, tiga pasien gagal di-
follow up dan dievaluasi hingga akhir sehingga hanya dengan 57 pasien
dimana 54 pasien dengan 1 luka dan 3 pasien dengan 2 luka. Cairan irigasi
menggunakan saline pada 30% sampel (n=17) dan polihexanide 70% (n=40).
2. Keefektifan Debridemen
Perbedaan signifikan ditunjukkan dari perbedaan antara kondisi luka pada
setiap sesi (lihat gambar 2). Bahkan pada sesi ke 3 didapatkan 21% (n=12)
mengalami epitelisasi luka (100% granulasi). Hasil evaluasi pada hari ke
12 menunjukkan 77% (n=44) telah mengalami epitelisasi luka (100%
granulasi). Sedangkan penelitian sebelumnya menunjukkan debridemen
dengan enzim autolitik atau pemberian balutan luka lembab memerlukan
waktu 20 hari untuk 100% granulasi. Contoh kondisi luka bisa dilihat pada
gambar 4 dan 5.
Hasil observasi langsung dan foto juga melaporkan bahwa monofilament
fiber pad ini mampu menghilangkan slough, debris, eksudat kering, hingga
crust secara efisien tanpa merusak jaringan yang rapuh pada kulit sekitar
luka.
Monofilament fiber pad ini juga memerlukan waktu perawatan yang lebih
singkat (p<0,05) bila dibandingkan dengan debridemen autolitik, surgical,
dan debridement dengan menggunakan kasa basah.
3. Keamanan
Hanya 3,3% dari total jumlah perawatan luka (5/152) yang mengalami
perubahan bentuk pada monofilament fiber pad tetapi perubahan ini tidak mem-
pengaruhi efektifitas debridemen dan serat yang tertinggal pada area luka
mudah dibersihkan dengan irigasi luka.
4. Toleransi
Selama pelaksanaan debridemen menggunakan monofilament fiber pad ini
45% (n=26) pasien tidak mengeluhkan nyeri. Setelah perawatan luka berakhir
pasien ditanya tentang adanya efek sam[ping seperti alergi, nyeri, atau iritasi
didapatkan 98,2% (n=56) menyatakan tidak ada efek samping tersebut.
5. Kepuasan Pasien
Rata-rata nilai kepuasaan pasien terhadap monofilament fiber pad
monofilament fiber untuk perawatan luka ialah “good”.
Peneliti juga menjelaskan keterbatasan penelitiannya dimana tidak
terdapat kelompok kontrol dan peneliti juga menyarankan pengukuran aspek
financial untuk penelitian selanjutnya.
3.3 Kesimpulan
Menurut Strohal et al (2013), debridement adalah proses alami yang terjadi
pada semua luka dan sangat penting untuk penyembuhan dengan menghilangkan
jaringan rusak dan jaringan mati, kotoran dan bakteri dikeluarkan dari luka,
meminimalkan risiko infeksi dan mendorong terbentuknya jaringan granulasi yang
sehat, serta membantu penyembuhan luka. Debridement bukan hanya
penghapusan jaringan mati (juga dikenal sebagai jaringan devitalised) atau jaringan
terinfeksi tetapi juga bahan asing dari luka (Wounds UK, 2013). Hal ini dilakukan
untuk menghasilkan luka yang layak dan memfasilitasi proses penyembuhan.
Metode debridement yang tersedia saat ini untuk perawat umum meliputi
debridement mekanik dan autolitik. Metode lain, seperti gauze dan surgikal
debridement, memerlukan ketrampilan dan pelatihan khusus. Ketika memilih
sebuah metode, dokter atau perawat harus menyadari semua pilihan dan
menentukan apakah ia memiliki atau tidak keterampilan dan pengetahuan untuk
melakukan itu, dan menilai potensi risiko bagi pasien (Wounds UK, 2013). Jika
dokter atau perawat tidak memiliki keterampilan, ia harus merujuk pasien ke
spesialis perawatan luka yang mampu melakukan hal tersebut.
Baru-baru ini, metode selektif baru debridement mekanis. Monofilament fiber
pad telah diperkenalkan ke pasar. Monofilament fiber pad menawarkan alternatif
penyelesaian masalah tersebut yang aman untuk menghilangkan slough dan
hiperkeratosis (penebalan lapisan luar kulit). Hasil penelitian Bahr dan Mustafi et al.
(2011) yang diulas diatas telah menunjukkan bahwa Monofilament fiber memenuhi
tujuan utama dilakukannya debridemen dan merupakan metode yang nyaman serta
mudah untuk diterapkan. Keunggulan Monofilament fiber pad diantaranya berupa:
Keefektifan debridement 'sangat bagus' untuk penyembuhan luka baik dari segi
waktu perawatan, kemampuan debridemen dan lama penyembuhan luka
hingga granulasi
Tingkat keamanan pengguna baik
Tingkat toleransi pengguna baik
Kenyamanan dan kemudahan bagi penggunaan 'sangat bagus'
Tidak ada efek samping berarti
Analisis fotografi juga telah menegaskan bahwa pad Monofilament fiber pad
mampu menghilangkan slough, eksudat yang kering dan mengeras, tanpa merusak
kulit yang rapuh di sekitar luka.
Dari penelitian Bahr dan Mustafi et al. (2011), keefektifan debridement
'sangat bagus' untuk penyembuhan luka baik dari segi waktu perawatan
monofilament fiber pad ini juga memerlukan waktu perawatan yang lebih singkat
(p<0,05) bila dibandingkan dengan debridemen autolitik, surgikal, dan debridemen
dengan menggunakan kasa basah hanya kurang lebih 2,51 menit. Strohal et al
(2013) juga menyatakan debridement mekanis dianggap sebagai metode tercepat
dari debridement. Hasil case report Gray et al (2011) melaporkan bahwa dua dari
sepuluh pasien memiliki kulit hiperkeratotik pada tungkai bawah mampu dihilangkan
dalam waktu kurang dari 2 menit dan dua pasien lainnya mampu dibersihakan
hematoma pada luka dalam waktu kurang dari 5 menit (lihat tabel 2).
Keefektifan debridement dari segi kemampuan debridemen pada penelitian
Bahr dan Mustafi et al. (2011) melaporkan bahwa monofilament fiber pad ini mampu
menghilangkan slough, debris, eksudat kering, hingga crust secara efisien tanpa
merusak jaringan yang rapuh pada kulit sekitar luka. Hasil penelitian lainnya yang
dilakukan oleh Haemmerle et al (2011), Vowden et al (2011), dan Gray et al (2011)
menunjukkan bahwa Monofilament fiber pad bukan hanya mampu menghilangkan
slough nekrotik, dan hiperkeratosis tetapi dapat digunakan pada berbagai jenis luka,
termasuk ulkus vena tungkai, ulkus kaki diabetik (neuropati dan neuro-iskemik),
ulkus arteri, borok karena berbagai penyebab, ulkus dekubitus dan luka paska
trauma (lihat contoh gambar pada tabel 2). Hasil studi Stephen-Haynes dan
Callaghan (2012) menunjukkan tiga puluh dua perawat (80%) dari empat puluh
responden melaporkan adanya dampak positif pada dasar luka menggunakan
penilaian visual. Tiga puluh empat perawat (85%) juga melaporkan bahwa setelah
debridemen, ada visibilitas yang lebih jelas dari dasar luka dan kulit di sekitarnya
karena penghapusan puing-puing, slough atau hiperkeratosis, sehingga mereka
mampu mengidentifikasi tujuan manajemen luka dengan lebih jelas. Akan tetapi
pada kasus dengan slough yang tebal dan melekat kuat pada dasar luka atau
nekrosis yang keras dianjurkan bahwa jaringan ini dilunakan terlebih dahulu
sebelum menggunakan pad. Hasil studi Gray et al (2011) menunjukkan bahwa
Monofilament fiber pad lebih menguntungkan pada slough dan jaringan nekrotik
yang lebih lunak dilihat dari kecepatan dan keefektifan debridemen dibandingkan
dengan kondisi luka dimana debris melekat kuat pada dasar luka.
Tabel. Jenis Slough dan Jaringan Nekrotik Yang Paling Diuntungkan Dari Debridemen Mekanis
(Gray et al, 2011)
No. Jenis Luka Sebelum Debridemen Setelah Debridemen
1 Hiperkeratosis
2 Hematoma
3 Ulkus kaki
Dari segi lamanya penyembuhan luka hingga granulasi 100% pada
penelitian Bahr dan Mustafi et al. (2011) menunjukkan bahwa kurang lebih
dibutuhkan waktu 12 hari agar luka mengalami epitelisasi (100% granulasi).
Penelitian sebelumnya menunjukkan debridemen dengan enzim autolitik atau
pemberian balutan luka lembab memerlukan waktu 20 hari untuk 100% granulasi.
Strohal et al (2013) juga menyatakan bahwa debridemen autolitik dianggap sebagai
metode paling lambat dari debridemen.
Tingkat keamanan pengguna Monofilament fiber pad juga cukup baik
dimana hanya 3,3% dari total jumlah perawatan luka (5/152) yang dilakukan oleh
Bahr dan Mustafi et al. (2011) mengalami perubahan bentuk pada monofilament
fiber pad tetapi perubahan ini tidak mempengaruhi efektifitas debridemen dan serat
yang tertinggal pada area luka mudah dibersihkan dengan irigasi luka. Selama
proses debridemen pada penelitian monofilament fiber pad ini juga menunjukkan
toleransi, kenyamanan, dan kepuasan yang baik, serta tidak adanya efek samping
dimana 45% (n=26) pasien tidak mengeluhkan nyeri, rata-rata pasien puas, dan
98,2% (n=56) tidak melaporkan efek samping. Hasil studi Johnson et al (2012) juga
melaporkan bahwa seluruh pasien sangat menerima monofilament fiber pad
perawatan ini dengan rasa nyeri minimal selama proses debridemen pada 95%
kasus. Karena pad ini dilaporkan menyebabkan rasa sakit yang minimal sehingga
dapat digunakan oleh dokter atau perawat pemula baik di klinik maupun di rumah.
3.4 Keunggulan Monofilament Fiber Pad
Meskipun manfaat dari debridemen diakui baik dalam praktek klinis dan
sejumlah teknik debridement yang ada, pada kenyataannya pilihan dapat
dipersempit oleh faktor-faktor seperti akses ke spesialis dan peralatan yang tidak
memadai. Semua teknik debridemen non-bedah melibatkan cara penghapusan
jaringan dan debris dari luka, tanpa merusak jaringan yang sehat dalam waktu
secepat mungkin. Studi menunjukkan bahwa jika proses debridement dipercepat,
penyembuhan akan tercapai lebih cepat (Steed et al, 1996). Namun, dalam
pelaksanaannya membutuhkan perawat spesialis, dokter yang terlatih, penggunaan
USG, serta peralatan hydrosurgical, untuk melaksanakan prosedur. Hal ini
merupakan masalah pada pelaksanaan perawatan luka yang dapat menyebabkan
keterlambatan dalam proses pengobatan.
Teknik debridemen dengan menggunakan Monofilament Fibre Pad dapat
mempercepat proses debridemen alami tubuh dan merupakan metode yang relatif
sederhana yang tidak memerlukan pelatihan khusus. Tetapi hal ini membutuhkan
proses yang panjang, untuk memperoleh debride luka secara efektif (Gray et al,
2011).
Monofilament Fibre Pad dikembangkan sebagai kebutuhan perawatan luka
yang murah, mudah digunakan, cepat dan efektif untuk membersihkan kulit dan
debride luka yang dapat digunakan dalam semua pengaturan kesehatan oleh semua
praktisi kesehatan, dan tampaknya telah mencapai sasaran tersebut di klinik berlatih
sejak diluncurkan di Inggris pada tahun 2011. Monofilament Fibre Pad juga bisa
digunakan untuk menggantikan metode debridement yang ada, misalnya
debridement autolitik, atau untuk metode lain, misalnya untuk mempertahankan
manfaat dari debridment bedah atau tajam (Vowden dan Vowden, 2011). Hal ini
dapat digunakan pada biasa ditemui luka kronis seperti borok kaki, ulkus tekanan
dan ulkus kaki diabetik dan trauma akut dan luka bedah penyembuhan dengan niat
sekunder mekanis debride luka dangkal yang mengandung slough longgar dan
puing-puing, atau untuk menghilangkan kerak atau hiperkeratosis dari kulit.
Tabel. Perbandingan Keunggulan dan Kekurangan Masing-Masing Teknik Debridemen
(Strohal et al, 2013)
No. Jenis Luka Keunggulan Kekurangan
1 Debridement
mekanik
Prosedur sangat cepat
Tidak membutuhkan atau
keterampilan khusus
Hanya menyebabkan
sedikit atau tidak ada rasa
nyeri
Tidak ada kerusakan
pada jaringan yang sehat
Kurang efisien bila digunakan
pada jaringan nekrosis padat,
sehingga membutuhkan
beberapa prior softening
2 Debridement
gauze
Prosedur yang cepat
Membutuhkan biaya lebih
untuk staff, alat dan
bahan
Efisien digunakan pada
jaringan nekrosis yang
padat
Cocok digunakan untuk
luka terinfeksi
Beresiko terjadinya infeksi bila
sterilitas tidak dijaga dengan
baik
3 Debridement
larva
Mampu mengurangi
infeksi bakteri
Mampu memisahkan
jaringan nekrosis dari
jaringan yang sehat
dengan baik
Membutuhkan sedikit alat
dan bahan
Kemungkinan menimbulkan
nyeri
Memiliki kontrainsdikasi bila
pasien mengalami penurunan
perfusi, pada luka terdapat
pembuluh darah yang
berhubungan dengan organ
vital, luka kanker
4 Autolitik
debridemen
Mudah digunakan
Sedikit menimbulkan nyeri
Mampu mengurangi
jumlah eksudat
Tidak ada kerusakan
pada jaringan yang sehat
Resiko alergi
Resiko inflamasi
Tidak semua teknik autolitik
cocok untuk eksudat berlebih
Membutuhkan waktu
perawatan yang lama
Mampu memicu eksudat
berlebih
5 Debridement Efisien pada jaringan Dibutuhkan keterampilan dan
surgical nekrosis yang padat
Cocok untuk luka yang
terinfesksi
keahlian khusus seperti teknik
pembedahan dan anastesi
Membutuhkan biaya lebih
untuk alat, bahan dan ruang
operasi
Membutuhkan waktu yang
lebih lama
Beresiko menghilangkan
jaringan yang sehat
Beresiko infeksi bila sterilitas
tidak terjaga
Tidak cocok digunakan pada
pasien dengan penurunan
perfusi
Butuh pencegahan lebih bila
dilakukan seperti area wajah
3.5 Cara Penggunaan
Beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam penggunaan
Monofilament fiber pad sesuai rekomendasi dari L&R Company, yaitu cuci setiap
emolien, krim atau salep sebelum menggunakan Monofilament fiber pad kemudian
ikuti langkah berikut:
Langkah 1
Buka paket Monofilament fiber pad.
Langkah 2
Sepenuhnya membasahi sisi putih dan lembut dari Monofilament fiber pad
dengan normal saline, jika disarankan untuk melakukannya. Singkirkan
kelebihan air tetapi jangan diperas.
Langkah 3
Dengan tekanan lembut, sapu area kulit dengan gerakan lurus searah atau
gerakan melingkar pada luka, membersihkan daerah tersebut dengan lembut.
Langkah 4
Gunakan sepotong Monofilament fiber pad baru untuk setiap daerah luka yang
terpisah misalnya jika memiliki kulit kering atau luka pada kedua kaki. Untuk
wilayah yang lebih luas, mungkin membutuhkan lebih dari satu bagian dari
Monofilament fiber pad.
3.6 Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini merupakan sebuah deskriptif dari praktik, tidak memiliki
pembanding atau kelompok kontrol, serta hubungan sebab dan akibat tidak dapat
disimpulkan. Sehingga peneliti belum dapat menerapkan hasil penelitian. Secara
umum hasil dari penelitian menunjukkan bahwa monofilament fiber pad secara
cepat dan efektif dapat mendukung penyembuhan luka. Namun, hal tersebut
berada di luar ruang lingkup evaluasi, sehingga untuk menarik kesimpulan
mengenai dampak yang mungkin dari uji monofilament fiber pad pada
penyembuhan luka masih akan dibahas dalam penelitian selanjutnya yang saat ini
direncanakan.
3.7 Implikasi Keperawatan di Indonesia
Metode debridemen yang tersedia saat ini untuk perawat di Indonesia masih
memerlukan ketrampilan dan pelatihan khusus. Alternatif metode yang baru yaitu
Monofilament fiber pad telah diperkenalkan untuk menyelesaian masalah tersebut.
Penggunaan Monofilament fiber pad sebagai debridemen mekanik juga telah
direkomendasikan secara internasional. Pada konferensi tahunan "EWMA 2013",
yang diselenggarakan 15-17 Mei di Kopenhagen, European Wound Management
Association (EWMA) menerbitkan artikel "EWMA Document: Debridement. An
updated overview and clarification of the principle role of debridement". Dalam
konferensi ini, sebuah tim internasional ahli perawatan luka memberikan ringkasan
yang komprehensif dan berbasis metode praktik debridemen untuk pertama kalinya.
Ketika membandingkan prosedur mekanis debridement dengan Monofilament fiber
dari Lohmann & Rauscher (L&R) sangat direkomendasikan: “Monofilamen fiber pad
menunjukkan potensi untuk meningkatkan keefektifan debridemen mekanis sebagai
teknik yang layak, ditunjukkan bahwa metode ini dapat mempercepat tindakan,
penyembuhan luka, aman, mudah diterapkan dan sedikit memiliki efek nyeri untuk
pasien.”
Data atau catatan terkait penerapan monofilamen fiber pad atau yang lebih
dikenal Monofilament fiber di Indonesia belum ada. Bila melihat manfaat
monofilament fiber pad ini baik untuk pasien dan perawat, maka selayaknya
direkomendasikan untuk diterapkan di Indonesia baik perawatan luka akut maupun
kronis khususnya di IRNA II RSUD dr. Saiful Anwar Malang. Kedepannya sebelum
penerapam tersebut dilakukan, masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai
keefektifan aplikasi Monofilamen fiber pad dengan melibatkan kelompok kontrol dan
membandingkan dengan metode debridement serta modern wound dressing yang
telah ada saat ini.
BAB 4
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai jurnal yang berjudul
“Clinical Efficacy of a New Monofilament Fibre-Containing Wound Debridement
Product” maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Monofilament fiber pad dengan menggunakan metode debridement, terbukti
mampu menghilangkan slough, eksudat yang kering dan mengeras, tanpa
merusak kulit yang rapuh di sekitar luka, aman, tidak memiliki efek samping yang
berarti, nyaman dan mudah digunakan. Keefektifan debridement 'sangat bagus'
untuk penyembuhan luka baik dari segi waktu perawatan, kemampuan
debridemen dan lama penyembuhan luka hingga granulasi
2. Monofilamen fiber pad untuk debridemen luka masih membutuhkan penelitian
lebih lanjut di IRNA II RSUD dr. Saiful Anwar Malang dengan mempertimbangkan
hasil dari penelitian jurnal terkait keefektifan debridemen yang sangat bagus untuk
penyembuhan luka dalam waktu perawatan yang lebih singkat (p<0,05) apabila
dibandingkan dengan debridemen autolitik, surgikal, dan debridemen dengan
menggunakan kasa basah hanya kurang lebih 2,51 menit.
3. Penggunaan Monofilamen fiber pad di IRNA II RSUD dr. Saiful Anwar Malang
dapat diimplementasikan dengan teknik sederhana. Monofilament fiber pad
dibasahi dengan normal saline secukupnya, berikan tekanan lembut, sapu area
kulit dengan gerakan lurus searah atau gerakan melingkar pada luka,
membersihkan daerah tersebut dengan lembut dengan menggunakan sepotong
Monofilament fiber pad baru untuk setiap daerah luka yang terpisah.
4. Implikasi perawatan luka di IRNA II RSUD dr. Saiful Anwar Malang dengan
Monofilamen fiber pad sebagai metode debridemen tidak memerlukan ketrampilan
dan pelatihan khusus, sehinggan dapat dilakukan oleh semua perawat.
3.2 SARAN
Kedepannya diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai keefektifan aplikasi
Monofilamen fiber pad dengan melibatkan kelompok kontrol dan membandingkan
dengan metode debridement serta modern wound dressing yang telah ada saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bahr S, Mustafi N, Hattig P, et al. 2011. Clinical Efficacy of A New Monofilament Fibre-
Containing Wound Debridement Product. J Wound Care.
Brown A. 2013. The role of debridement in the healing process. Nursing Times.
Eslami A, Gallant-Behm CL, Hart DA, Wiebe C, Honardoust D, Gardner H, dkk, 2009.
Expression of Integrin αvβ6 and TGF-β in Scarless vs Scar-forming Wound
Healing. J Histochem Cytochem.
Gray D, Acton C, Chadwick P, et al. 2011. Consensus Guidance For The Use of
Debridement Techniques In The UK. Wounds UK.
Gurtner GC. 2007. Wound Healing: Normal and Abnormal. Grabb and Smith’s Plastic
Surgery. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Hammerle, G., Duelli, H., Abel, M., Strohal, R. 2011. The Wound Debrider: A New
Monofilament Fibre Technology. Br J nurs.
Johnson, Susan et al. 2012. A Multicentre Observational Study Examining The Effects of
A Mechanical Debridement System. Journal of Community Nursing.
Lawrence WT. 2002. Wound Healing Biology and Its Application to Wound Management,
The Physiologic Basis of Surgery. Edisi ke-3. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
Leong M. dan Phillips LG. 2012. Sabiston Textbook of Surgery. Edisi ke-19. Amsterdam:
Elsevier Saunders.
Potter PA., Perry AG. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan
Praktik. Edisi 4. Alih Bahasa: Renata Kumalasari. Jakarta: EGC.
Pusponegoro AD, 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta: EGC.
Schultz GS. 2007. The Physiology of Wound Bed Preparation. Surgical Wound Healing
and Management. Switzerland: Informa Healthcare.
Stephen-Haynes J. 2010. Wound Assessment In The Primary Care Setting. Community
Health Care Support. Available at: http://tinyurl.com/kge3yvb.
Stephen-Haynes J, Callaghan R. 2012. A New Debridement Technique Tested On
Pressure Ulcers. Wounds UK.
Strohal R, Apelqvist J, Dissemond J et al. 2013. EWMA document: Debridement. J
Wound Care.
Vowden, K.R., Vowden, P. 1999. Wound Debridement, Part 2: Sharp Techniques. J
Wound care.
Webster J, Scuffham P, Sherriff KL, Stankiewicz M, Chaboyer WP. 2012. Negative
pressure wound therapy for skin grafts and surgical wounds healing by primary
intention. Cochrane Database of Systematic Reviews.
Wounds UK. 2013. Effective Debridement in a Changing NHS: UK Consensus. Wounds
UK, London.